dm tipe 2 disertai tb paru

Upload: nurul-aini-yudita

Post on 08-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penyakit Dalam

TRANSCRIPT

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi TB Paru1Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang organ paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

1.2 Epidemiologi TB Paru1Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

1.3 Cara Penularan TB Paru1Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).

1.4 Klasifikasi TB Paru1Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis: Tuberkulosis paru Bekas tuberkulosis paru Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi atas 2:a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif.b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru.WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni: Kategori I, ditujukan terhadap: Kasus baru dengan sputum positif. Kasus baru dengan bentuk TB berat. Kategori II, ditujukan terhadap: Kasus kambuh. Kasus gagal dengan sputum BTA positif. Kategori III, ditujukan terhadap: Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I. Kategori IV, ditujukan terhadap: TB kronik.

1.5 Manifestasi Klinis TB Paru1Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah: Demam Batuk/ batuk darah Sesak nafas Nyeri dada Malaise

1.6 Pemeriksaan Fisik pada TB Paru1 Keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Juga didapatkan suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan, dengan tanda-tanda seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

1.7 Pemeriksaan Radiologis pada TB Paru11) Rontgen dada Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.2) BronkografiUntuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.3) CT-scan4) MRI

1.8 Pemeriksaan Laboratorium pada TB Paru11) SputumDengan ditemukannya kuman BTA di dalam sputum, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.2) Tes tuberkulinPemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength).

1.9 Diagnosis TB Paru1Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan.WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien TB paru. Pasien dengan sputum BTA positif:1) Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan, atau2) Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau3) Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. Pasien dengan sputum BTA negatif:1) Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif, atau2) Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.

1.10 Pengobatan TB Paru1Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menetapkan strategi DOTS di mana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan resimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi empat kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut.

1.11 Evaluasi Pengobatan TB Paru11) KlinisBiasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.2) BakteriologisBiasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.3) RadiologisEvaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

1.12 Komplikasi TB Paru1Komplikasi dibagi atas: Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim berat, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).

1.13 Definisi DMDiabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hipoglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2

1.14 Epidemiologi DMMenurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.3

Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah rural.3Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh karena:3 Faktor demografi: 1) Jumlah penduduk meningkat; 2) Penduduk usia lanjut bertambah banyak; 3) Urbanisasi makin tak terkendali Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1) Penghasilan per capita tinggi; 2) Restoran siap santap; 3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjangSecara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologik diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.2

1.15 Klasifikasi DM2Secara klinis terdapat 2 macam diabetes:1) Juvenile onset diabetes/ insulin dependent diabetes melitus (IDDM)/ ketosis prone/ diabetes tipe 1Kekurangan insulin secara total atau hampir total, tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.2) Stable atau maturity onset/ non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM)/ diabetes tipe 2Defisiensi insulin yang relatif, tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan.

1.16 Diagnosis DM2Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.

1.17 Tatalaksana DM1) Terapi non farmakologis4Berupa perencanaan makan/ terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obes.a. Terapi gizi medisTerapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.Tujuan dari terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan: Kadar glukosa darah mendekati normal Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl Glukosa darah 2 jam setah makan < 180 mg Tekanan darah < 130/80 mmHg Profil lipid: Kolesterol LDL < 100 mg/dl Kolesterol HDL > 40 mg/dl Trigliserida < 150 mg/dl Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat. Karbohidrat: tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA= monounsaturated fatty acids). Protein: 10-15% dari total kalori per hari, diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari pada penderita dengan kelainan ginjal. Lemak: membatasi asupan lemak jenuh dan kolesterol.b. Latihan jasmaniPrinsip latihan jasmani bagi diabetisi harus memenuhi beberapa hal: Frekuensi: 3-5 kali per minggu Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate) Durasi: 30-60 menit Jenis: latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. 2) Terapi farmakologis5Bila dengan terapi non farmakologis sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan gambar di bawah ini.

Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres), pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.Obat anti hiperglikemik oral dapat digolongkan sebagai berikut:a. Golongan Insulin Sensitizing BiguanidGolongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C sebesar 1-2%. Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang lanjut usia. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. GlitazoneObat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo. Contoh obat golongan glitazone yaitu rosiglitazone 4 dan 8 mg/ hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) dan pioglitazone dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.b. Golongan sekretagok insulinSekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid. SulfonilureaObat ini bekerja dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. GlinidGlinid merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Golongan ini meliputi repaglinid dan nateglinid.c. Penghambat alfa glukosidaseObat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh obat golongan ini yaitu acarbose.Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemik oral: Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain. Bila gagal, baru beralih kepada insulin. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

1.18 Komplikasi DMKomplikasi DM dapat dibagi atas 2 yaitu:1) Komplikasi akut, seperti hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik.62) Komplikasi kronis, terdiri dari mikroangiopati dan makroangiopati.a. Mikroangiopati, seperti retinopati dan nefropati.b. Makroangiopati, seperti penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer.7

BAB IILAPORAN KASUS

Identitas PasienNama: Ny. MUmur: 42 tahunJenis kelamin: PerempuanStatus: MenikahMasuk RS: 4 April 2015

AnamnesisKeluhan Utama: batuk-batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang: Batuk-batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Batuk hilang-timbul. Dahak berwarna kuning kehijauan. Sesak nafas ketika batuk. Demam 1 minggu yang lalu. Demam hilang-timbul. Pasien mengeluhkan berkeringat malam. Penurunan nafsu makan sejak 1 minggu yang lalu. Penurunan berat badan sejak 1 minggu yang lalu dari 56 kg menjadi 42 kg. Sering haus. Sering BAK, sering terbangun pada malam hari karena BAK. Warna BAK normal. Frekuensi BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga: Ayah pasien menderita penyakit diabetes.

Pemeriksaan FisikUmumSuhu: 39,3oCNadi: 76x/menitTekanan darah: 130/80 mmHgPernafasan: 24x/menitBerat badan: 42 kgKesadaran: komposmentis kooperatifKeadaan umum: sedangKeadaan sakit: sedangKeadaan gizi: sedangCyanosis: (-)Edema umum: (-)

Kulit Turgor normal Ikterus (-) Edema (-)

Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran

Kepala: Normocephal Rambut hitam, tidak mudah dicabut

Mata: Konjungtiva tidak anemis Sklera tidak ikterik Pupil isokor

Telinga:Tidak ada kelainan

Hidung:Tidak ada kelainan

Mulut:Tidak ada kelainan

Leher: JVP 5-2 cmH2O

Dada: normochest

Paru-paruInspeksi: gerakan simetris kanan sama dengan kiriPalpasi: fremitus kanan sama dengan kiriPerkusi: sonorAuskultasi: vesikuler, Rh +/-, Wh -/-

JantungInspeksi: iktus tidak terlihatPalpasi: iktus teraba pada 1 jari medial LMCS RIC V Perkusi: batas jantung kiri: 1 jari medial LMCS RIC V batas jantung kanan: LSD batas jantung atas: RIC IIAuskultasi: irama jantung teratur, bising (-)

PerutInspeksi: tidak tampak membuncitPalpasi: supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)Perkusi: timpaniAuskultasi: bising usus (+) normal

Tangan: ujung jari hangat

Kaki: suhu raba hangat, edema (-)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Waktu MasukDarah Hb 15,4 Leukosit 8000 Eritrosit 5.070.000 Trombosit 343.000 Ht 44 GDS 494 SGOT 21 SGPT 17 Ureum 29 Kreatinin 0,98Sputum BTA (+)

Diagnosis sementara: TB Paru DM

Pengobatan: Diet MIDD 1900 kkal IVFD RL 20 tts/i Paracetamol 4 x 500 mg Novorapid 3 x 6 unit Ambroxol Ceftriaxon 1 x 2 gram

BAB IIIDISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 42 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUD Lubuk Basung sejak tanggal 4 April 2015 dengan keluhan utama batuk-batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Batuk hilang timbul. Dahak berwarna kuning kehijauan. Pasien juga mengeluh sesak nafas, berkeringat malam, dan nafsu makan menurun. Berat badan turun drastis dari 56 kg menjadi 42 kg. Selain itu, pasien sering haus dan sering BAK. Dari keterangan pasien, diketahui bahwa ayah pasien menderita penyakit diabetes.Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara ronkhi di paru kanan. Hasil pemeriksaan labor didapatkan sputum BTA (+), GDS 494. Dari hasil rontgen dada terlihat bayangan cincin di lobus atas paru kanan.Pasien didiagnosis menderita TB paru karena berdasarkan teori, pasien memenuhi kriteria diagnosis seperti dikeluhkannya batuk kronis, sesak nafas, keringat malam, nafsu makan menurun disertai penurunan berat badan, pada pemeriksaan fisik ditemukan suara ronkhi, pemeriksaan sputum BTA (+), dan pada pemeriksaan radiologi terlihat bayangan cincin yang merupakan kavitas.Pasien juga didiagnosis menderita DM karena didapatkan nilai GDS 494 mg/dl dan terdapat beberapa keluhan khas DM pada pasien yaitu sering haus dan sering BAK. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jika terdapat keluhan khas seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.Tatalaksana untuk TB adalah pemberian OAT yang diminum setiap hari selama 6 bulan. Selain itu karena pasien juga menderita DM, maka perlu hati-hati dalam pemberian etambutol, karena efek samping etambutol pada mata sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi pada mata. Perlu juga diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas obat oral antidiabetes (seperti sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dilanjutkan sampai 9 bulan. Harus diberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya untuk minum obat tersebut setiap hari tanpa putus. Tatalaksana untuk DM adalah pemberian Novorapid, juga disarankan kepada pasien untuk mengatur pola makannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Intermedia; 2009.2. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.4. Yunir E, Soebardi S. Terapi non farmakologi pada diabetes melitus dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.5. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2 dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.6. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.7. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis, dan strategi pengelolaan dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.

19