divisi buku perguruan tinggi - repository.usu.ac.id

296

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id
Page 2: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id
Page 3: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

Divisi Buku Perguruan TinggiPT RajaGrafindo Persada

D E P O K

Page 4: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

DUMMY

DUMMY

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Sembiring, Rosnidar Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan/ Rosnidar Sembiring -- Ed. 1. --Cet. 2-- Depok: Rajawali Pers, 2017. xii, 284 hlm., 21 cm Bibliografi: hlm. 225 ISBN 978-602-425-021-8

1. Hukum Keluarga. I. Judul 346. 015

Hak cipta 2016, pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2016.1629 RAJDr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.Hukum keluarga:Harta-harta Benda dalam Perkawinan

Cetakan ke-1, September 2016Cetakan ke-2, Oktober 2017

Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok

Desain cover oleh [email protected]

Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RAJAGRAfinDo PeRSADA

Kantor Pusat: Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163 E-mail : [email protected] Http: //www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:

Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243 Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok Soragan Indah Blok A-1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok. A No. 9, Telp. (031) 8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 Rt. 78, Kel. Demang Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Pekanbaru-28294, Perum. De’Diandra Land Blok. C1/01 Jl. Kartama, Marpoyan Damai, Telp. (0761) 65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. (061) 7871546. Makassar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok A 14/3, Komp. Perum. Bumi Permata Hijau, Telp. (0411) 861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 05, Telp. (0511) 3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol g. 100/V No. 5B, Denpasar, Bali, Telp. (0361) 8607995, Bandar Lampung-35115, Perum. Citra Persada Jl. H. Agus Salim Kel. Kelapa Tiga Blok B No. 12A Tanjung Karang Pusat, Telp. 082181950029.

Page 5: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

vKata Sambutan

DUMMY

DUMMY

Kata Sambutan

Ucapan terima kasih dengan sebutan Alhamdulillah, tentunya adalah kata awal atas diberikannya kesehatan dan perhatian untuk terus berkarya dalam keikutsertaan penulis mencerdaskan bangsa yang sangat membutuhkan sentuhan karya-karya anak bangsa ini. Atas Ridha-Nya pada penulislah maka penulisan ini dapat terwujud dengan baik. Dan tentunya Selawat beriring salam juga kita sampaikan pada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang atas ajarannya kepada kita sehingga atas turutnya kita pada ajaran itu maka terwujud pula hasil karya seperti ini dan dengan harapan dapat digunakan oleh mahasiswa khususnya dan masyarakat hukum umumnya. Dan semoga syafaat beliau menetes pula ke penulis dengan persembahan karya tulis yang berjudul Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan ini.

Buku ini menjadi setitik pencerahan yang bermanfaat besar bagi kehidupan manusia, karena beberapa hubungan kemanusiaan dalam hidupnya sehari-hari bertindak dan berharap menyuluh generasi yang akan datang untuk lebih baik, dan telah menjadi perhatian dalam buku ini. Apa yang diuraikan dalam buku ini telah memenuhi pengisian alam pikiran manusia dalam mengisi

Page 6: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

vi HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

dan menjalani kehidupan berkeluarga secara privat. Sentuhan-sentuhan karya seperti ini juga akan memudahkan dan meyakinkan pengalaman hidup yang dilalui menjadi semakin dirasakan benar oleh pembaca buku ini. Maka dengan membaca buku ini banyak hal yang dapat diketahui dalam mengisi dimensi hukum keluarga yang memang banyak persoalan hukum di dalamnya. Memang dengan tidak mengurangi rasa hormat, dengan hadirnya buku ini saya sangat bangga dan berterima kasih, penulisan ini telah hadir menyuluh hukum keluarga di tengah-tengah kehidupan yang terus berkembang saat ini.

Kepada penulis, sekali lagi saya sampaikan ucapan terima kasih yang tinggi karena di tengah-tengah kesibukan kehidupannya masih disempatkan menulis buku ini, walaupun sekecil ini namun sangat besar manfaatnya bagi mahasiswa yang mau mendalami ilmu hukum keluarga dan hartanya dalam perkawinan. Dan semoga karya-karya ilmiah lainnya terus dapat dihadirkan demi hidupnya ilmu dan tanggung jawab ilmiah beliau sebagai seorang Doktor yang harus menulis dan berkarya dalam mencerdaskan anak bangsa ini. Sekecil apa pun yang dituliskan seorang Doktor pasti akan menjadi butiran ilmu yang dapat mengisi kehausan masyarakat pencinta ilmu. Dan Selaku Ketua Prodi MKN USU mengucapkan terima kasih atas hadirnya buku ini, karena Mahasiswa MKN memang sangat membutuhkannya. Selamat berkarya semoga Allah Swt. terus memberi kekuatan pada penulis.

Terima kasih,Medan, Agustus 2016

Ketua Prodi MKN FH USU

Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis

Page 7: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

viiKata Pengantar

DUMMY

DUMMY

Kata PEnGantaR

Alhamdulillahirabbil alamin, segala puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan sehingga buku ini dapat terselesaikan.

Buku ini berangkat dari titik temu dan paduan antara ketertarikan riset penelitian para mahasiswanya (S1, S2, dan S3) dengannya sebagai pembimbing. Seperti misalnya, tesis mengenai penyelesaian harta-harta perkawinan bagi putusnya perkawinan akibat kematian (disebabkan kecelakaan, sedangkan usia perkawinan baru 8 bulan dan perkawinan tersebut belum memperoleh anak).

Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami dan mendalami keberadaan hukum keluarga dan harta-harta benda dalam perkawinan apalagi ada tiga dimensi hukum yang mengaturnya yaitu hukum Perdata, hukum Islam, dan hukum Adat.

Dengan menyinggung anak luar kawin, juga dianalisis Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang kasus Iqbal, anak Machicha Mochtar, juga menyuguhkan sekilas contoh akta.

Page 8: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

viii HUKUM KELUARGA

Terselesaikannya penulisan buku ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sdr. Fahmi Fadhli Rais, S.Pi.; Novalia Arnita Simamora, S.H., M.H.; Sudarman Sinaga. Kepada Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, penulis mengucapkan terima kasih karena telah berkenan menerbitkan buku ini sehingga dapat sampai ke tangan pembaca.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan agar buku ini dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan serta ilmu pengetahuan di bidang hukum keluarga dan harta benda dalam perkawinan. Namun demikian, seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan dan kekurangan buku ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dan konstruktif sangat penulis harapkan bagi kesempurnaan buku ini dan buku-buku berikutnya.

Medan, Juli 2016

Wassalam penulis,

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.

Page 9: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

ixDaftar Isi

DaFtaR ISI

KATA SAMBUTAN vKATA PENGANTAR viiDAFTAR ISI ix

BAB 1 PENGANTAR HUKUM PERDATA BARAT 1 A. Keberlakuan Burgelijk Wetboek 1 B. Penggolongan Penduduk 4 C. Subjek Hukum 6 D. Kewarganegaraan 11 E. Cakap Bertindak dalam Hukum 19

F. Pengampuan 34

BAB 2 HUKUM PERKAWINAN 41A. Pengertian Hukum Kekeluargaan di Indonesia 41B. Pengertian Hukum Perkawinan 42C. Sumber-sumber Hukum Perkawinan Nasional 45

Page 10: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

x HUKUM KELUARGA

D. Asas-asas Hukum Perkawinan Nasional 51E. Syarat Sahnya Perkawinan 54F. Hubungan Hukum Suami dan Istri dalam Perkawinan 58G. Perjanjian Perkawinan 64H. Akta Perjanjian Kawin 73I. Contoh Akta Perjanjian Perkawinan 74J. Contoh Akta Perkawinan 77

BAB 3 HARTA DALAM PERKAWINAN 83A. Pengertian Harta dalam Perkawinan 83B. Harta Bersama 91C. Harta Bawaan 97D. Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam Perkawinan 104E. Hadiah dan Hibah 106F. Pengurusan Harta dalam Perkawinan 111

BAB 4 ANAK DI LUAR PERKAWINAN 115A. Latar Belakang 115B. Anak Luar Kawin 122C. Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam 140

BAB 5 HARTA ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN 145

A. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hal Pewarisan 145B. Pengurusan Harta Warisan Anak yang Lahir di Luar Pernikahan 148

Page 11: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

xiDaftar Isi

BAB 6 ANAK YANG LAHIR SELAMA PERKAWINAN 149

A. Pengertian 149B. Hubungan Hukum Orangtua dan Anak 149

BAB 7 PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) 159A. Pengertian Pengangkatan Anak 159B. Dasar Hukum dari Pengangkatan Anak 161C. Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak 167D. Persyaratan Adopsi 171E. Kriteria Motivasi Pengangkatan Anak 174F. Hukum Islam dan Pengangkatan Anak 176G. Ketentuan Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak serta Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak 177H. Contoh Akta Pengangkatan Anak (Adopsi) 182

BAB 8 HUKUM WARIS 187A. Hukum Waris Perdata (BW) 187B. Hukum Waris dalam Islam 196C. Hukum Waris Adat 204

DAFTAR PUSTAKA 225LAMPIRAN 231BIODATA PENULIS 283

Page 12: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 13: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

1Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

PEnGantaR HuKum PERData baRat

bab 1

A. Keberlakuan Burgelijk WetboekEksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) Indonesia secara historis tidak dapat dilepaskan dari “Burgerlijk Wetboek” (BW) Belanda dan “Code Civil” Prancis. Demikian juga Code Civil Prancis banyak mengambil alih dari hukum Romawi. Pertautan sejarah ini didasarkan atas asas konkordansi (concordantie beginsel). Kodifikasi BW di Belanda disahkan melalui Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838 dengan Staatsblad 1838 Nomor 12 yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1838. Melalui pengumuman Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan bahwa sejak tanggal 1 Mei 1848 BW berlaku di Indonesia.1

Secara yuridis formal, KUH Perdata sebagai hasil kodifikasi Hukum Perdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu buku I mengatur tentang orang (Van Personen) mulai Pasal 1 s.d. 498, buku II mengatur tentang benda (Van Zaken) mulai Pasal 499 s.d. 1232, Buku III

1Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga, (Medan: USU Press, 2011), hlm. 11.

Page 14: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

2 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

mengatur tentang perikatan (Van Verbintenissen) mulai Pasal 1233 s.d. 1864, dan buku IV mengatur tentang pembuktian dan kedaluwarsa (Van Bewijs en Verjaring) mulai Pasal 1865 s.d. 1993.2

Pada perkembangannya, terdapat pasal-pasal KUH Perdata yang sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan hukum masyarakat, sehingga dicabut atau diganti dengan Undang-Undang antara lain Buku I yang mengatur perkawinan diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Buku II yang mengatur mengenai tanah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, Hipotek atas tanah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.3

Berdasarkan sistematika Ilmu Hukum, sistematika Hukum Perdata dibagi atas 4 (empat) bagian yaitu bagian pertama tentang hukum perorangan (Personenrecht), bagian kedua tentang hukum keluarga (Familierecht), bagian ketiga tentang hukum harta kekayaan (Vermogensrecht), dan bagian keempat tentang hukum waris (Erfrecht).

Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia beraneka ragam, artinya sistem hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum di mana setiap penduduk mempunyai sistem hukumnya masing-masing, seperti Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), dan lain sebagainya.4 Pluralisme hukum tersebut telah ada sejak zaman Hindia-Belanda. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebab timbulnya pluralisme dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu: (1) politik pemerintahan Hindia-Belanda; (2) belum adanya ketentuan hukum yang berlaku secara nasional; dan (3) faktor etnisitas.5

2Ibid.3Ibid, hlm. 12.4Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:

Kencana, 2008), hlm. 4.5Ibid., hlm. 5.

Page 15: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

3Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

Mengenai keberlakuan BW di Indonesia, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Mahadi menyatakan bahwa:6

1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi, yang masih berlaku adalah aturan-aturannya yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana kemerdekaan.

2. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk mene-tapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.

4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis, tegasnya tidak setuju untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat).

Oleh karenanya, secara yuridis formal kedudukan BW tetap sebagai undang-undang sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Namun, pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula diundangkan. Beberapa bagian daripadanya sudah tidak berlaku lagi, baik karena ada suatu peraturan perundang-undangan yang baru dalam lapangan perdata yang menggantikannya, maupun karena disingkirkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat BW dikodifikasikan.7

6Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 13.7Ibid., hlm. 14. Salah satu Yurisprudensi tersebut adalah Putusan Mahkamah

Agung RI No 7/K/Sip/1973 tentang tidak ada batas waktu kedaluwarsa dalam menggugat harta warisan; Putusan Mahkamah Agung RI No 401K/Sip/1972 tentang utang piutang uang dengan borg suatu barang tetap, kalau yang berutang melakukan wanprestasi tidak dengan otomatis barang-barang tanggungan itu menjadi milik yang mengutangkan, akan tetapi hal ini baru benar, kalau tidak diperjanjikan dengan tegas di dalam surat perjanjian. Berapa pun besarnya bunga utang, asal sudah diperjanjikan

Page 16: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

4 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

B. Penggolongan PendudukPemerintah Hindia-Belanda membagi golongan penduduk

di daerah jajahannya menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain: (1) golongan Eropa dan dipersamakan dengannya; (2) golongan Timur Asing yang terdiri dari Timur Asing golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa, seperti Arab, India, dan lain-lain; dan (3) golongan Bumiputra, yaitu orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.8

Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 131 IS yang membedakan berlakunya ketentuan hukum bagi ketiga golongan tersebut, yaitu:

Pertama, bagi golongan Eropa di Hindia-Belanda, berdasarkan Pasal 131 IS ayat 2 sub a berlaku seluruh hukum Eropa dan ber-laku sejak 1 Mei 1848 sebagaimana tertuang dalam Stb. 1848 dan Stb. 1917.

Kedua, bagi golongan Timur Asing terdapat perbedaan: (1) bagi golongan Timur Asing Tionghoa semenjak tahun 1917 dengan Stb. 1917-129 jo. Stb. 1924-557 diperlakukan di seluruh hukum Eropa (BW dan WvK) dengan pengecualian mengenai tata cara perkawinan dan hal mencegah perkawinan; dan (2) bagi golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, berdasar Stb. 1855-79 jo. Stb. 1924-557 diperlakukan sebagian dari Hukum Eropa (hukum harta kekayaan dan hukum waris dengan testament) untuk lainnya berlaku hukum adat masing-masing (menurut yurisprudensi hukum adat tersebut meliputi hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat).

Ketiga, bagi golongan Bumiputra, berlaku hukum adat yang telah direseptio dari hukum Islam (vide Pasal 131 IS ayat 2 sub b juncto Pasal 131 IS ayat 6).9

harus dipenuhi; dan Yurisprudensi lainnya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No 562K/Sip/1979 tentang hukum adat: hibah dari suami kepada istri mengenai barang asal tidak dapat disahkan, karena ahli waris tersebut menjadi kehilangan hak warisnya.

8Titik Triwulan Tutik, Loc.Cit.9Ibid.

Page 17: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

5Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

Perihal untuk menundukkan diri pada Hukum Eropa telah diatur lebih lanjut di dalam Staatsblad 1917 No. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan yaitu:10

1. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;

2. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yang dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (Vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;

3. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;

4. Penundukan secara diam-diam, menurut Pasal 29 yang berbunyi: “Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa”.

Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata untuk Golongan Timur Asing adalah sebagai berikut.11

Mula-mula dengan peraturan yang termuat di dalam Staatsblad 1855 No. 79 Hukum Perdata Eropa (BW dan WvK) dengan pengecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing. Kemudian, pada tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, karena untuk golongan dianggapnya hukum Eropa yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.

Pengaturan bagi golongan Tionghoa terdapat dalam Staatsblad Tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini sekarang berlaku bagi bangsa Tionghoa, yaitu seluruh hukum privat Eropa terkecuali pasal-pasal yang mengenai Burgelijke Stand, upacara-

10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 2001), hlm. 12.11Ibid., hlm. 13.

Page 18: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

6 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

upacara sebelum berlangsung pernikahan (bagian 2 dan 3 dari Titel 4 Buku I BW) dan bagi orang Tionghoa diadakan suatu Burgelijke Stand tersendiri serta suatu peraturan tersendiri pula tentang pengangkatan anak (adopsi), yaitu dalam bagian II Staatsblad Tahun 1917 No. 129 tersebut.

Bagi golongan Timur Asing lainnya (Arab, India, dan sebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan tersendiri dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 No. 556 (mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1925), menurut peraturan tersebut pada pokoknya bagi mereka itu berlaku hukum privat Eropa dengan pengecualian hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan, sehingga mereka itu tetap untuk bagian-bagian hukum belakangan ini tetap tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Tetapi bagian yang mengenai pembuatan surat wasiat (testament), berlaku untuk mereka.12

C. Subjek HukumIstilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda

rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum, rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum. Chaidir Ali menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu dan oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Selanjutnya Algra menyatakan bahwa subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum atau disebut dengan Rechtsbevoegdheid.13

Menurut Pendapat Ahli, subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan

12Ibid. hlm. 14.13Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., hlm. 41.

Page 19: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

7Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum; subjek hukum merupakan sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang atau berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid); subjek hukum juga merupakan segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.14

Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam hukum, khususnya hukum keperdataan karena subjek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.15 Dalam lapangan hukum perdata, mengenal subjek hukum sebagai salah satu bagian dari kategori hukum merupakan hal yang tidak dapat diabaikan karena subjek hukum adalah konsep dan pengertian (concept en begriff) yang mendasar.

Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht, obligation) dalam hukum. Hak merupakan wewenang yang diberikan kepada subjek hukum untuk melakukan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu dalam lapangan hukum tertentu. Kewajiban adalah suatu pembebanan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk melaksanakan sesuatu.16 Berlakunya manusia sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir) jika kepentingannya memerlukannya (untuk menjadi ahli waris).17

Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap), pengertian orang tidak identik dengan manusia. Orang diartikan dalam konteks yuridis analisis hukum perdata, sedangkan manusia merupakan pengertian biologis yang memiliki budaya dan indrawi. Status subjek hukum diperoleh manusia pada momentum ketika manusia itu dilahirkan

14J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15.

15Ibid., hlm. 40.16Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 20.17Ibid.

Page 20: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

8 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

(sudah merupakan kodrat) dan akan berakhir ketika meninggal dunia. Prinsip pengakuan manusia sebagai subjek hukum pada saat dilahirkan mendapat pengecualian dalam Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi:

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada.”18

Prinsip hukum dalam pasal tersebut dikenal dengan fiksi hukum (rechtsfictie). Eksistensi pasal tersebut memiliki arti penting dalam kaitannya dengan Pasal 836 KUH Perdata yang berbunyi:

“Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang.”19

Berdasarkan prinsip hukum yang terkandung dalam Pasal 2 KUH Perdata, apabila terdapat suatu peristiwa hukum (rechts fictie) yaitu jika seorang wanita hamil, maka anak yang ada dalam kandungannya akan memperoleh manfaat hukum terhadap seorang pewaris.

Berkaitan dengan hal di atas, bahwa hubungan hukum yang dilakukan, maka manusia adalah para pihak yang setiap melakukan hubungan hukum masing-masing memiliki hak dan kewajiban secara timbal balik, yaitu pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya. Kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban, kita sebut sebagai kewenangan hukum. Hal ini harus dibedakan dengan kewenangan bertindak. Kewenangan hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subjek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dari setiap subjek hukum dipengaruhi banyak faktor, misalnya saja faktor usia, statusnya

18Ibid.19Ibid., hlm. 21.

Page 21: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

9Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

(menikah atau belum), status sebagai ahli waris (dalam lapangan hukum waris) dan lain-lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam hal melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian, bahwa pihak-pihak yang hendak melakukan perjanjian harus memenuhi unsur-unsur perjanjian dan juga syarat-syarat sahnya perjanjian. Salah satu dari unsur perjanjian yang harus dipenuhi menyangkut kewenangan bertindak adalah, “Adanya para pihak, sedikitnya dua orang pihak ini disebut subjek perjanjian, manusia maupun badan hukum mempunyai wewenang perbuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.

Menurut Pasal 2 KUH Perdata, manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal. Tetapi, UU menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, sedangkan berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu.

Seseorang yang cakap belum tentu berwenang, tetapi yang berwenang sudah pasti cakap. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1330 KUH Perdata maka dapat diketahui yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum yaitu:

Page 22: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

10 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1. Orang yang belum dewasa;

2. Orang yang di bawah pengampuan;

3. Para istri (tetapi ketidakcakapan istri ini telah dicabut dengan keluarnya UU Nomor 1974 tentang Perkawinan).

Menurut paham konvensional, subjek hukum meliputi manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Dalam paham progresif, terjadi perkembangan dari subjek hukum yaitu bukan saja manusia dan badan hukum tetapi juga termasuk pejabat pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum tersendiri.

Perkataan orang (person) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subjek hukum. Dewasa ini subjek hukum itu terdiri dari manusia (naturlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat dan sebagainya.20

Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia, yang disebut Badan Hukum. Badan hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, misalnya dengan melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.21 Perbedaan antara badan hukum dengan manusia adalah, badan hukum memperoleh status sebagai subjek hukum karena bukan sifat bawaannya, melainkan diberi oleh undang-undang. Misalnya:

20Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117.

21Ibid., hlm. 117.

Page 23: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

11Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

1. Koperasi sebagai badan hukum diberikan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.

2. Perseroan terbatas sebagai badan hukum diberikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1997 tentang Perseroan terbatas.

3. Yayasan sebagai badan hukum diberikan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

Badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat dihukum penjara (kecuali hukuman denda).22

Adapun badan hukum terdiri atas:

1. Badan Hukum Publik, yaitu Negara, Daerah Swatantra tingkat I dan Kotamadya, Kotapraja, Desa.

2. Badan Hukum Perdata, yang dapat dibagi lagi dalam:

a. Badan Hukum (perdata) Eropa: seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Lembaga, Koperasi.

b. Badan Hukum Indonesia: seperti Gereja Indonesia, Masjid, Wakaf, Koperasi.

D. Kewarganegaraan

1. Status Kewarganegaraan

Seseorang dapat dinyatakan sebagai warga negara suatu negara haruslah melalui ketentuan-ketentuan dari suatu negara. Ketentuan inilah yang menjadi asas atau pedoman dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. Setiap negara memiliki kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarga-negaraannya. Dalam penentuan kewarganegaraan, ada 2 (dua) asas atau pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan.23

22Ibid., hlm. 118.23Cholisin, Ilmu Kewarganegaraan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), hlm. 109.

Page 24: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

12 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Dalam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ada 2 (dua) asas kewarganegaraan yang digunakan, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari asas kewarganegaraan yang berdasarkan perkawinan juga dibagi menjadi 2 (dua), yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.24

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bahwa asas kewarganegaraan umum terdiri atas 4 (empat) asas, yaitu asas kelahiran (ius soli), asas ketu runan (ius sanguinis), asas kewarga negaraan tunggal, dan asas kewarga-negaraan ganda terbatas. Asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis) mempunyai pengertian yang sama dengan yang telah diterangkan di atas tadi. Sedangkan asas kewarga negaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarga negaraan bagi setiap orang. Jadi, setiap warga negara hanya memiliki satu kewarga-negaraan, tidak bisa memiliki kewarga negaraan ganda atau lebih dari satu.

Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda (lebih dari satu kewarga-negaraan) bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Jadi, kewarganegaraan ini hanya bisa dimiliki ketika masih anak-anak dan setelah anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun, maka ia harus memilih atau menentukan salah satu kewarganegaraannya. Jadi, sebagai seorang warga negara tidak boleh memiliki lebih dari satu kewarganegaraan dan jika seseorang berhak mendapatkan status kewarganegaraan karena kelahiran dan keturunan sekaligus, maka ia harus memilih salah satu di antaranya ketika ia sudah berumur 18 tahun.

Permasalahan mengenai kewarganegaraan menjadi penting setelah beberapa kali terjadi permasalahan yang berkaitan dengan status kewarganegaraan, tidak sedikit Warga Negara Indonesia

24Ibid.

Page 25: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

13Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing dan pada akhirnya sering terjadi persengketaan mengenai anak mereka. Selain itu, kasus-kasus Warga Negara Asing yang banyak ditemui adalah menyalahgunakan izin tinggal di Indonesia. Permasalahan tersebut harus ditangani secara serius. Dengan demikian, informasi dan pengetahuan mengenai asas kewarganegaraan harus disosialisasikan pada masyarakat melalui berbagai sarana atau media, seperti media massa, media elektronik dan pendidikan sekolah.

Penduduk Indonesia adalah mereka yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan Negara Republik Indonesia, sehingga diperbolehkan berdomisili di wilayah Republik Indonesia. Faktor-faktor yang membedakan penduduk dan bukan penduduk Warga Negara Republik Indonesia adalah faktor jangka waktu dan faktor tempat tinggal. Perbedaan penduduk dan konsekuensinya akan membawa perbedaan terhadap status kewarganegaraan. Dengan demikian status kewarganegaraan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu:

a. Penduduk dengan status Warga Negara Indonesia (WNI).

b. Penduduk dengan status Warga Negara Asing (WNA).

Perbedaan penduduk dan bukan penduduk Negara Indonesia serta perbedaan penduduk dengan status WNI dan WNA membawa konsekuensi terhadap perbedaan hak dan kewajibannya. Mengenai kependudukan orang asing, mengenai Undang-Undang ex darurat No. 9/1955 yang disebut dalam lembaran Negara Republik Indonesia No.33 Tahun 1955, menyebutkan bahwa orang asing dapat menjadi penduduk Indonesia dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Jika ia lama menetap di Indonesia.

b. Orang asing dapat disebut menetap di Indonesia, jika ia mendapat izin bertempat tinggal di sini (setelah habis masa izin yang berlaku). Izin itu disebut izin menetap.

Page 26: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

14 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

c. Izin menetap itu dapat diberikan kepada orang asing yang sudah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal di Indonesia undang-undang darurat itu memuat ketentuan bahwa orang disebut tidak menetap lagi di Indonesia apabila ia:

1) Melepas hak menetap;

2) Berada di luar negeri terus-menerus selama lebih dari 18 bulan;

3) Tidak memenuhi hak dan kewajiban selama di luar negeri;

4) Memperoleh kedudukan di luar negeri yang serupa dengan kedudukan yang menetap di Indonesia;

5) Berangkat ke luar negeri untuk mempersatukan diri dengan suaminya yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

Status kewarganegaraan penduduk Indonesia, membawa konsekuensi adanya perbedaan hak dan kewajiban bagi penduduk Indonesia yang berbeda kewarganegaraannya. Misalnya, hanya mereka yang berstatus warga negaralah yang diperbolehkan untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Orang-orang bangsa lain, seperti orang-orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab yang telah menjadi penduduk Indonesia dapat menjadi Warga Negara Indonesia melalui Undang-Undang.

Menurut UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Mereka yang telah menjadi warga negara berdasarkan undang-undang atau peraturan atau perjanjian yang sudah terlebih dahulu berlaku, yaitu sebagai berikut:

Page 27: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

15Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

1) Menurut UU No.3 Tahun 1946 tentang Warga Negara Indonesia:

a) Penduduk asli dan keturunannya;

b) Istri dari warga negara;

c) Keturunan dari seorang warga negara yang kawin dengan wanita Warga Negara Asing;

d) Anak-anak yang lahir dalam daerah RI yang oleh orangtuanya tidak diakui dengan cara sah;

e) Anak-anak yang lahir dalam daerah RI yang tidak diketahui siapa orangtuanya;

f) Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayah seorang Warga Negara Indonesia meninggal;

g) Orang-orang bukan penduduk asli yang paling akhir telah berturut-turut tinggal di Indonesia selama 5 tahun, telah berumur 21 tahun atau telah kawin;

h) Masuk menjadi warga negara dengan jalan kewarga-negaraan (naturalisasi).

Apabila seseorang telah menjadi warga negara suatu negara, maka ia memiliki suatu hubungan dengan negaranya. Hubungan tersebut pada umumnya berupa peranan. Peranan pada dasarnya adalah tugas yang dilakukan oleh seseorang yang sesuai dengan statusnya sebagai warga negara. Secara teori, status warga negara meliputi status pasif, aktif, negatif, dan positif.25

2. Dwikewarganegaraan

Pada beberapa negara, untuk menentukan kewarganegaraannya ada yang memakai asas ius soli, sedang di negara lain berlaku asas ius sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan 2 (dua) kemungkinan, yaitu:26

25Ibid., hlm. 112.26Kansil, Op.Cit, hlm. 98.

Page 28: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

16 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

a. a-patride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan;

b. bi-patride, yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwi-kewarganegaraan).

Seorang keturunan bangsa X, yang negaranya memakai dasar kewarganegaraan ius soli, lahir di negara Y, di mana berlaku dasar ius sanguinis. Orang ini bukanlah Warga Negara X, karena ia tidak lahir di Negara X, tetapi ia juga bukan Warga Negara Y, karena ia bukanlah keturunan bangsa Y. Dengan demikian maka orang ini sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan. Ia adalah a-patride.

Seorang bangsa B yang negaranya menganut asas ius sanguinis lahir di Negara A, di mana berlaku asas ius soli. Oleh karena orang ini adalah keturunan bangsa B, maka ia dianggap sebagai warga negara dari Negara B, akan tetapi oleh Negara A ia juga dianggap sebagai warga negaranya, karena ia dilahirkan di Negara A. orang ini mempunyai dwi-kewarganegaraan. Ia adalah bi-patride.

Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai kewarga-negaraan adalah sangat penting bagi tiap negara, karena hal itu dapat mencegah adanya penduduk yang a-patride dan yang bi-patride. Ketentuan-ketentuan itu penting pula untuk membedakan hak dan kewajiban-kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur persoalan kewarga-negaraan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia (UU No. 62 Tahun 1958), yang pada pokoknya memakai asas ius sanguinis. Sebelum adanya UU Kewarganegaraan di Indonesia berlaku peraturan Kewarganegaraan yang lama, yang pada pokoknya menganut asas ius soli. Sebagai-mana akibat daripada Peraturan Kewarganegaraan yang lama itu timbullah masalah dwi-kewarganegaraan di kalangan orang-orang Cina di Indonesia.27

27Ibid., hlm. 99.

Page 29: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

17Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

Kewarganegaraan ganda adalah sebuah status yang disematkan kepada seseorang yang secara hukum merupakan warga negara sah di beberapa negara. Kewarganegaraan ganda ada karena sejumlah negara memiliki persyaratan kewarganegaraan yang berbeda dan tidak eksklusif. Secara umum, kewarganegaraan ganda berarti orang-orang yang “memiliki” kewarganegaraan ganda, tetapi secara teknis diklaim sebagai warga negara oleh masing-masing pemerintah negara bersangkutan.

Masing-masing negara mengikuti alasan-alasan mereka sendiri dalam menetapkan kriteria mereka untuk kewarganegaraan. Setiap negara memiliki persyaratan berbeda mengenai kewarganegaraan, serta kebijakan berbeda mengenai kewarganegaraan ganda. Hukum-hukum tersebut kadang meninggalkan celah yang memungkinkan seseorang mendapatkan kewarganegaraan lain tanpa menghapus kewarganegaraan asli, sehingga menciptakan kondisi bagi seseorang untuk memiliki dua kewarganegaraan atau lebih. Berikut adalah persyaratan umum bagi seseorang untuk memperoleh kewarganegaraan di suatu negara:

a. Sedikitnya satu orangtua adalah warga negara di negara tersebut (jus sanguinis);

b. Orang tersebut lahir di teritori negara bersangkutan (jus soli);

c. Orang tersebut menikahi seseorang yang memiliki kewarga-negaraan di negara bersangkutan (jure matrimonii);

d. Orang tersebut mengalami naturalisasi;

e. Orang tersebut diadopsi dari negara lain ketika masih di bawah umur dan sedikitnya satu orangtua asuhnya adalah warga negara di negara bersangkutan;

f. Orang tersebut melakukan investasi uang dalam jumlah besar.

Setelah kewarganegaraan diberikan, negara pemberi dapat atau tidak dapat mempertimbangkan penghapusan kewarganegaraan lamanya secara sukarela agar sah. Dalam hal naturalisasi, sejumlah

Page 30: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

18 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

negara mensyaratkan pendaftar naturalisasi untuk menghapus kewarganegaraan mereka sebelumnya. Sayangnya, penghapusan tersebut bisa saja tidak diakui oleh negara bersangkutan. Secara teknis, orang tersebut masih memiliki dua kewarganegaraan.

Sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bagi anak yang dilahirkan pada dan setelah 1 Agustus 2006 dari pasangan WNI atau salah satu orangtuanya adalah WNI maka dapat mengajukan kewarganegaraan ganda terbatas dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah Warga Negara Indonesia (WNI) dan ibu Warga Negara Asing (WNA);

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah Warga Negara Asing (WNA) dan ibu Warga Negara Indonesia (WNI);

c. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu Warga Negara Asing (WNA) yang diakui oleh ayah Warga Negara Indonesia (WNI) dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

d. Anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu Warga Negara Indonesia (WNI), yang karena ketentuan dari negara tempat anak dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

e. Anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir di luar per-kawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayah Warga Negara Asing (WNA);

f. Anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum berusia 5 (lima) tahun, diangkat secara sah sebagai anak oleh Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan Penetapan Pengadilan.

Page 31: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

19Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

E. Cakap Bertindak dalam Hukum

1. Pengertian

Dalam hukum perdata, istilah kecakapan dan kewenangan, memiliki arti yang berbeda. Cakap bertindak dalam hukum dikenal dengan istilah rechtsbekwaamheid, sedangkan wewenang bertindak dalam hukum disebut rechtsbevoegdheid. Istilah kecakapan dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2 yang berbunyi: “Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.” Namun tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kecakapan. Pada asasnya, setiap orang cakap untuk bertindak dalam hukum kecuali oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.

Pembentuk undang-undang menyebutkan istilah tak cakap atau onbekwaamheid pada Pasal 1330 KUH Perdata yang mengatakan: “Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan”, adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Perlu dicermati bahwa pembentuk Undang-Undang dalam kedua pasal tersebut tidak konsisten menggunakan terminologi hukum yakni kata perikatan dan persetujuan. Formulasi norma hukum untuk kecakapan diletakkan pada terminologi “perikatan” (verbintenis), sedangkan norma hukum tak cakap diletakkan pada terminologi “persetujuan” (overeenkomst).28

Terminologi “perikatan” pada Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, dibaca sebagai persetujuan atau perjanjian. Alasannya adalah dalam arti perikatan termasuk juga undang-undang. Jadi, tidak mungkin

28Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 37.

Page 32: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

20 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

membuat perjanjian yang dilahirkan dari suatu Undang-Undang. Perjanjian adalah kehendak yang lahir dari para pihak.

Setiap orang yang cakap bertindak dalam hukum tidak secara otomatis menjadi berwenang melakukan perbuatan hukum. Untuk berwenang melakukan perbuatan hukum, diperlukan syarat bagi seseorang adalah kecakapan bertindak. Artinya, tidak mungkin terjadi seorang yang tidak cakap tetapi berwenang melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Dengan kata lain, wewenang melakukan perbuatan hukum merupakan syarat khusus bagi seseorang. Jadi, jikalau seseorang telah cakap, maka orang tersebut dapat melakukan kewenangan bertindak untuk perbuatan hukum tertentu. Dalam hukum perdata, orang yang cakap adalah orang yang sudah dewasa. Pengertian dewasa menurut hukum adat berbeda dengan KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dibedakan pula dewasa dalam arti perkawinan dan dewasa dalam hukum perjanjian.

Menurut hukum positif, dikatakan sudah dewasa untuk membuat perjanjian adalah 18 tahun (Pasal 47-50 UU Perkawinan), sedangkan dewasa untuk melakukan perkawinan berbeda lagi pengaturannya, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan (Pasal 7 UU Perkawinan).

Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) disebut curandi dan pengampunya disebut curator. Sebagai dasar mereka diletakkan di bawah pengampuan adalah bermacam-macam tergantung kepada statusnya. Mereka ini antara lain, karena gila (sakit otak), dungu, lemah akal, mata gelap, dan pemborosan.29

Mengenai perempuan yang tak cakap, di Belanda khususnya ketidakcakapan seorang istri sudah dihapus sejak tanggal 1 Januari 1957. Demikian juga di Indonesia, istri sudah cakap melakukan perbuatan hukum sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lahirnya gerakan untuk menghapuskan istri

29Ibid., hlm. 37.

Page 33: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

21Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

tidak cakap adalah diawali oleh gerakan emansipasi wanita pada tahun 1970-an, dan sekarang semakin mendapat penguatan dengan munculnya gerakan gender, yang dapat memberi pengaruh besar bagi perkembangan hukum.30

Adapun kaitan antara kewenangan hukum, kecakapan ber-tindak, dan kewenangan bertindak, akan dijelaskan sebagai berikut:

Kewenangan hukum adalah kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum, yaitu kewenangan untuk menjadi subjek hukum. Sedangkan yang menjadi subjek hukum, adalah semua manusia dan badan hukum yang juga pendukung hak dan kewajiban. Apabila semua manusia dan badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban, maka tidak berarti bahwa semua subjek hukum bisa dengan leluasa secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-tindakan hukum. Untuk itu, harus ada kecakapan bertindak, yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum pada umumnya. Ada 2 (dua) macam subjek hukum, yaitu subjek hukum yang oleh Undang-Undang dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa menimbulkan akibat hukum yang sempurna (anak-anak belum dewasa pada umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam arti harus didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat perjanjian kawin, untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa). Jadi, kecakapan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak bagi subjek hukum pada umumnya, dan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum, maka kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak khusus, yang hanya tertuju pada orang-orang tertentu untuk tindakan-tindakan hukum tertentu saja.31

30Ibid., hlm. 39.31J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1992), hlm. 296.

Page 34: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

22 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Dewasa

Dalam hal-hal yang sangat penting adakalanya dirasa perlu untuk mempersamakan seorang anak yang masih di bawah umur dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak tersebut dapat bertindak sendiri di dalam pengurusan kepentingan-kepentingannya. Untuk memenuhi keperluan ini, diadakan peraturan tentang “handlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.32

Pendewasaan (handlichting) atau perlunakan diatur dalam Pasal 419 sampai dengan Pasal 432 KUH Perdata. Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai pendewasaan, tetapi dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendewasaan adalah upaya hukum yang dipergunakan untuk menghilangkan atau menghapuskan keadaan seseorang yang belum dewasa (minderjarigheid) untuk mendapatkan hak-hak kedewasaan baik untuk keseluruhannya maupun dalam hal-hal tertentu.33

Pendewasaan ini dimaksudkan sebagai pengecualian dari apa yang ditentukan mengenai kebelumdewasaannya dan perwalian yang mana orang yang belum dewasa menurut ketentuan hukum belum dan dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum, maka dengan melalui proses pendewasaan tersebut berarti sifat kebelumdewasaannya menjadi hapus baik untuk keseluruhan ataupun secara terbatas dalam hal perbuatan-perbuatan tertentu.34

Wirjono Projodikoro memberikan pengertian pendewasaan adalah “Pemberian keleluasaan seorang anak yang berumur hampir 21 tahun ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, di mana orang yang belum dewasa itu dapat diberi beberapa kekuasaan dari orang dewasa”.35

32Subekti, Op.Cit., hlm. 55.33Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 54.34Ibid., hlm. 55.35Wirjono Projodikoro, dalam Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum

Orang dan Keluarga, (Medan: USU Press, 2011), hlm. 55.

Page 35: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

23Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

Menurut Subekti, pendewasaan (handlichtting) adalah:36

“Suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa”.

Pendewasaan juga dikemukakan oleh Achmad Ichsan, yaitu:37

“Jalan atau upaya hukum ataupun cara hukum untuk meniadakan keadaan belum dewasa baik secara sempurna maupun hanya sebagian dari orang-orang yang masih berumur di bawah 21 tahun”.

Pendewasaan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu dewasa penuh (sempurna) dan dewasa terbatas. Untuk melakukan pendewasaan penuh, orang yang belum dewasa dan telah mencapai umur 20 (dua puluh) tahun mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal (yang sekarang ini adalah presiden) setelah mendapat pertimbangan dari HGH (sekarang Mahkamah Agung). Pendewasaan ini diperoleh setelah adanya surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis). Akibat hukumnya adalah perbuatan hukum dari anak yang belum dewasa disamakan dengan orang dewasa. Presiden dalam surat tersebut dapat memberikan pembatasan kepada anak yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang masih memerlukan izin pengadilan sampai berumur 21 (dua puluh satu) tahun yakni dalam hal memindahkan atau menjaminkan barang tidak bergerak.38

Untuk pendewasaan yang terbatas, diberikan kepada anak yang telah berumur 18 tahun oleh pangadilan atas permintaan anak yang bersangkutan dengan ketentuan orangtua atau walinya tidak keberatan. Pengadilan akan menetapkan hak-hak tersebut secara tegas. Akibat hukumnya adalah anak yang belum dewasa memperoleh hak-hak tertentu seperti orang dewasa, agar pendewasaan terbatas ini berlaku bagi pihak ketiga maka harus diumumkan dalam berita negara.39

36Subekti, Op.Cit., hlm. 55.37Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1969), hlm. 80.38Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati., Op.Cit., hlm. 56.39Ibid., hlm. 57.

Page 36: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

24 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Berikut konsep yang dipakai dalam KUH Perdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, orang dewasa adalah mereka-mereka yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; dan mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum menurut KUH Perdata, yaitu orang-orang yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. Menurut KUH Perdata, ada faktor lain selain unsur usia untuk mengukur kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suami-istri yang bersangkutan belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun. Sekalipun Pasal 330 KUH Perdata mengaitkan kedewasaan dengan umur tertentu. Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa yang cakap untuk melakukan tindakan hukum adalah mereka-mereka yang telah dewasa, namun dalam hal ini tidak berarti bahwa pembuat undang-undang tidak diperbolehkan memberikan pengecualian-pengecualian. Seperti yang dikatakan di atas, bahwa adanya pengecualian atas prinsip bahwa yang disebut cakap untuk melakukan tindakan hukum adalah bagi mereka yang sudah dewasa (menurut ukuran Pasal 330 KUH Perdata).

Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan panutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan (ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyat al-ada). Dalam hal penentuan usia dewasa, khususnya untuk perkawinan, ulama Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i memiliki pandangan sendiri, sebagai bukti adalah pandangan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI menyatakan lelaki yang ingin menikah

Page 37: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

25Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

sekurangnya harus berusia 19 (sembilan belas) tahun sedangkan perempuan 16 (enam belas) tahun. Tentunya, aturan ini bisa di tawar dengan cara meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun wanita. Namun harus dipahami, batas usia dewasa bukan 19 (sembilan belas) tahun atau 16 (enam belas) tahun. Pasal 98 KHI menyatakan, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, dengan catatan anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah. Oleh karena itu, usia 21 (dua puluh satu) tahun ini juga menjadi pertimbangan penting bagi orang yang hendak melangsungkan perkawinan. Pasal 15 ayat (2) KHI mengharuskan seseorang yang belum 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendapat izin dari kedua orangtua atau walinya jika hendak menikah, yang hal ini selaras dengan Pasal 6 UU Perkawinan. Sedangkan ukuran kedewasaan versi draf KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), pada Buku I tepatnya Bab II tentang Kecakapan Hukum, ditegaskan bahwa: “Usia dewasa bagi laki-laki adalah 19 (sembilan belas) tahun penuh dan perempuan 16 (enam belas) tahun penuh. Yang menarik bagi lelaki, kedewasaan tidak hanya dibuktikan dengan keluarnya sperma ketika mimpi, tetapi juga kemampuannya untuk menghamili. Berikut adalah 5 (lima) pasal yang ada dalam Bab II KHES tentang Kecakapan Hukum:40

1) Pasal 2: Kedewasaan (baligh) dibuktikan dengan keluarnya sperma ketika bermimpi, kemampuan untuk bisa menghamili, dan/atau menstruasi;

2) Pasal 3: Umur dewasa (baligh) bagi laki-laki adalah 19 (sembilan belas) tahun penuh, dan bagi perempuan adalah 16 (enam belas) tahun penuh. Bab II, Draf Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung;

40Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung, Perma No 2 Tahun 2008, Bab II.

Page 38: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

26 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

3) Pasal 4: Seseorang yang setelah mencapai batas akhir usia baligh, tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh, dianggap telah mencapai baligh secara hukum;

4) Pasal 5: Tindakan seseorang yang belum mencapai usia baligh yang memperlihatkan tingkah laku seperti orang yang telah baligh, tidak diakui secara hukum;

5) Pasal 6: Pengakuan kedewasaan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang dibenarkan Peraturan Perundang-undangan; dan Pengadilan dapat mengukuhkan dan/atau menolak permohonan pengukuhan pengakuan kedewasaan berdasarkan alat bukti yang diajukan.

Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum, sedangkan istilah Pendewasaan menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini, karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berpikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan, sedangkan sisi lain daripada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidaksempurnaannya, maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang ke arah kedewasaan ia harus dibimbing.

3. Contoh Komparasi Akta Bagi Orang yang Cakap Bertindak dalam Hukum

PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGINomor:

- Pada hari ini, - Pukul- Berhadapan dengan saya, FENNY WULANDARI, Sarjana

Hukum, Notaris yang berkedudukan di Kota Medan dan

Page 39: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

27Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

berkantor di Jalan Kapten Muslim Komplek Griya Riatur Indah Blok A Nomor 3A, dengan wilayah jabatan meliputi seluruh Provinsi Sumatera Utara, sesuai dengan keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tertanggal ----------, dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, dan dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, notaris, kenal dan akan disebut pada akhir akta ini: --------------------------------------------------------------------------------------------

1. Nyonya NGATIYAH, lahir di Saintis, pada tanggal 30-11-1941 (tiga puluh November seribu sembilan ratus empat puluh satu), Warga Negara Indonesia, Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kota Medan, Jalan Marelan VII Lingkungan IV, Kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan Medan Marelan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan: 1271127011410001. ---------------------------------------------

- Menurut keterangannya untuk melakukan tindakan hukum di dalam akta ini penghadap berwenang sepenuhnya dan tidak memerlukan persetujuan dari siapa pun juga karena penghadap telah berstatus Janda. ------------------------------------

- Dan selanjutnya untuk melakukan tindakan hukum di dalam akta ini turut didampingi anak kandung penghadap yaitu: -----------------------------------------------------------------------------------

- Tuan SUHARSO, lahir di Marelan, pada tanggal 17-10-1975 (tujuh belas Oktober seribu sembilan ratus tujuh puluh lima), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Kota Medan, Jalan Marelan VII Lingkungan IV, Kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan Medan Marelan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan: 1271121710750001. -------------------------------------------

- Seterusnya dalam akta ini disebut “PIHAK PERTAMA” (yang melepaskan hak).--------------------------------------------------------

Page 40: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

28 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Tuan SUPARDI, lahir di Klumpang, pada tanggal 30-09-1975 (tiga puluh September seribu sembilan ratus tujuh puluh lima), Warga Negara Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), bertempat tinggal di Kota Medan, Pasar 2 Gang Mesjid Lingkungan 17, Kelurahan Rengas Pulau, Kecamatan Medan Marelan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan: 1271063009750004. -----------------------

- Seterusnya dalam akta ini disebut “PIHAK KEDUA” (yang menerima hak). ---------------------------------------------------------

- Para penghadap telah saya, Notaris, kenal. ----------------------- PIHAK PERTAMA menerangkan dengan akta ini, untuk dan

guna kepentingan PIHAK KEDUA, melepaskan segala hak dan cara dan nama apa pun juga yang ada pada PIHAK PERTAMA atas: ----------------------------------------------------------------------

- Sebidang tanah kosong seluas kurang lebih 153,69-M2 (seratus lima puluh tiga koma enam puluh sembilan meter persegi) dengan ukuran Panjang12 m/12,3 m (dua belas/dua belas koma tiga meter)dan ukuran lebar 11,5 m/15,8 m (sebelas koma lima meter/lima belas koma delapan meter) tanah mana dengan batas-batas sebagai berikut: -------------

- Sebelah Utara dengan ukuran lebar 11,5 m (sebelas koma lima meter) berbatasan dengan tanah Saudara Khailiza; ------------

- Sebelah Selatan dengan ukuran lebar 13,8 m (tiga belas koma delapan meter) berbatasan dengan tanah Saudara Ngatiyah; ----------------------------------------------------------------------------

- Sebelah Timur dengan ukuran panjang 12 m (dua belas meter) berbatasan dengan Jalan; --------------------------------------------

- Sebelah Barat dengan ukuran panjang 12,3 m (dua belas koma tiga meter) berbatasan dengan tanah Saudara Remin; ----------------------------------------------------------------------------

- Tanah mana merupakan sebagian seluas kurang lebih 9.300-M2 (sembilan ribu tiga ratus meter persegi)yang terletak di dalam daerah Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan, Kecamatan Medan Deli sekarang dikenal dengan Kecamatan

Page 41: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

29Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

Marelan, Kelurahan Tanah Enam Ratus, setempat dikenal dengan Jalan Al - Iman V, sesuai dengan Gambar TATA LETAK SITUASI TANAH yang diarsir berwarna merah tertanggal hari ini juga serta dilekatkan dalam minuta akta ini. ----------------

- Hak atas tanah mana diperoleh penghadap PIHAK PERTAMA berdasarkan SURAT KETERANGAN TANAH yang dibuat di bawah tangan bermaterai cukup tertanggal 16-02-1985 (enam belas Februari seribu sembilan ratus delapan puluh lima), Nomor: 21/3/SKT/TER/1985 yang diketahui oleh Kepala Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Deli yang pada saat itu dijabat oleh Ahmad Dahlan dan surat tanah mana terdaftar atas nama PIHAK PERTAMA NGATIYAH. -----------------------------------------------------------------------------

- Surat keterangan tanah yang mana aslinya diperlihatkan kepada saya, Notaris dan fotokopinya dijahitkan pada akta ini. -----------------------------------------------------------------------

- Demikian berikut segala sesuatu yang berada dan terdapat serta didirikan dan ditanam di atas tanah tersebut, baik yang telah ada sekarang maupun yang mungkin akan ada dikemudian hari,yang menurut sifat dan ketentuan berdasarkan Undang-Undang termasuk menjadi bilangannya. ------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa untuk memastikan lokasi dan luas tanah tersebut, maka para pihak telah sama-sama mengetahui keadaan di lapangan mengenai tanah tersebut dan pihak kedua sebagai pembeli juga telah mengetahui akan batas-batas tanah tersebut, yang mana para pihak telah sama-sama mengukur kembali luas tanah tersebut, sehingga didapat hasil yang sebagaimana yang telah disebutkan di atas. --------------------------------------------

- Pelepasan hak ini telah terjadi dan diterima oleh PIHAK KEDUA dan selanjutnya dengan memakai syarat–syarat dan perjanjian-perjanjian sebagai berikut: ---------------------------

----------------------------------- Pasal 1 ------------------------------------ Pelepasan hak serta penyerahan ini menurut keterangan kedua

belah pihak telah terjadi dan diterima dengan harga ganti rugi

Page 42: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

30 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

sebesar Rp. 23.000.000.- (dua puluh tiga juta rupiah) dan uang mana menurut keterangan Pihak Pertama telah diterima dari Pihak Kedua dengan tunai dengan memakai tanda penerimaan (kuitansi) yang sah secara tersendiri. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 2 ------------------------------------ PIHAK KEDUA menerima apa yang dilepaskan haknya serta

diserahkan dengan akta ini menurut keadaan pada hari ini, dengan membebaskan PIHAK PERTAMA dari segala tuntutan mengenai kemungkinan kurangnya luas ataupun ukuran tanah tersebut sesuai dengan luas ataupun ukuran yang telah disebutkan di atas. ----------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 3 ------------------------------------ Semua untung dan rugi dari apa yang dilepaskan haknya serta

diserahkan dengan Akta ini mulai hari ini adalah menjadi hak dan tanggungan PIHAK KEDUA. ----------------------------------

----------------------------------- Pasal 4 ------------------------------------ PIHAK PERTAMA menjamin PIHAK KEDUA tentang

benar adanya hak-hak dan penuntutan-penuntutan PIHAK PERTAMA atas tanah yang dilepaskan haknya serta diserahkan dengan Akta ini, dan PIHAK PERTAMA juga menyatakan dengan tegas dan sejelas-jelasnya bahwa PIHAK PERTAMA menjamin bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan perkara, bebas dari sitaan dan silang sengketa serta tidak dibebani dengan hak tanggungan berupa apa pun juga, dan tidak disewakan. ---------------------------------------------------------------

- Bahwa PIHAK KEDUA baik sekarang maupun dikemudian hari tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang mengatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atas apa yang dilepaskan haknya serta diserahkan itu, dan karenanya PIHAK KEDUA dibebaskan oleh PIHAK PERTAMA dari segala tuntutan dari Pihak lain mengenai hal–hal tersebut. -----------------------------------------

Page 43: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

31Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

- Selanjutnya PIHAK KEDUA telah menerima pernyataan tersebut dengan tegas dan jelas. -----------------------------------

----------------------------------- Pasal 5 ------------------------------------ Kedua belah pihak mengetahui bahwa bersamaan dengan

Pelepasan hak serta penyerahan ini PIHAK KEDUA dapat mengajukan permohonan perolehan sesuatu hak/status atas tanah tersebut di atas kehadapan Pihak yang berwenang dalam hal ini dan PIHAK PERTAMA dengan ini dengan tegas melepaskan hak dan tuntutannya atas tanah tersebut khusus guna kepentingan PIHAK KEDUA. ----------------------------------

- Segala sesuatu tanpa hak lagi bagi PIHAK PERTAMA untuk menuntut ganti kerugian berupa apa pun juga dari PIHAK KEDUA. ------------------------------------------------------------------

- Bersamaan dengan pelepasan hak-hak seperti tersebut di atas, maka PIHAK PERTAMA dengan ini memberikan kuasa kepada PIHAK KEDUA, dan -------------------------------------------------

- Baik bersama-sama maupun masing-masing untuk jika perlu menjalankan hak–hak PIHAK PERTAMA dengan sepenuhnya termasuk untuk memohon hak atas tanah tersebut kepada Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku hingga diterbitkan sertifikatnya (Tanda Bukti Hak Atas Tanah), atas nama PIHAK KEDUA. ----------------------------------------------------------------------------

- Agar supaya pelepasan dan penyerahan hak serta permohonan tersebut dapat diselesaikan dengan semestinya, demikian termasuk untuk membuat dan menandatangani Akta-akta/Surat-surat ataupun segala dokumen lainnya berupa apa pun juga tidak ada yang dikecualikan, baik secara di bawah tangan maupun dihadapan pihak yang berwenang. --------------------------------------------------------------------------------------------------

- Kuasa tersebut adalah merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari pelepasan dan penyerahan hak ini, dan dengan tidak adanya kuasa mana pelepasan serta penyerahan hak ini tidak akan dibuat. -------------------------------

Page 44: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

32 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

- Dan karenanya kuasa itu tidak akan batal atau dapat dibatalkan dicabut kembali karena alasan-alasan apa pun juga termasuk ketentuan - ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai berakhirnya suatu kuasa. --------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 6 ------------------------------------ Bahwa PIHAK PERTAMA menerangkan dengan akta ini,

PIHAK PERTAMA berjanji tidak akan mengajukan sesuatu permohonan hak atas tanah tersebut dan jika ternyata kelak sebelum atau sesudah hari ini yang Berwajib sudah atau akan mengeluarkan sesuatu hak atas tanah tersebut, atas nama PIHAK PERTAMA atau orang lain yang terbukti permohonan hak itu diperbuat sebelum maupun selama tanah itu dipunyai oleh PIHAK PERTAMA, maka PIHAK PERTAMA akan menyerahkan hak tersebut dan memindah namakannya kepada PIHAK KEDUA, dengan ketentuan bahwa semua biaya yang diperlukan untuk itu ditanggung dan dibayar oleh PIHAK PERTAMA sepenuhnya dan kuasa ini berlaku juga untuk melakukan perbuatan atau tindakan tersebut. ------------------

- Selanjutnya dengan PIHAK PERTAMA memberi kuasa penuh yang tidak dapat dicabut dan/atau berakhir dengan alasan apa pun juga dengan demikian PIHAK KEDUA berhak untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada Pihak lain atas nama PIHAK PERTAMA dengan ketentuan PIHAK KEDUA dibebaskan dari pertanggung jawaban sebagai kuasa dan jika ada menerima uang ganti rugi akan menjadi hak PIHAK KEDUA sepenuhnya. -------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 7 ------------------------------------ Segala pajak-pajak mengenai tanah tersebut, terutama Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) sebelum pada hari dan tanggal akta ini adalah menjadi tanggungan dan pembayaran Pihak Pertama dan sesudahnya adalah menjadi tanggungan dan pembayaran Pihak Kedua, sedangkan apabila atas penjualan tanah tersebut oleh yang berwajib dikenakan Pajak Penghasilan (PPH)

Page 45: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

33Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

maupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah maka biaya-biaya tersebut ditanggung dan dibayar oleh Pihak Kedua. -----------

- Ongkos Akta ini serta biaya-biaya lainnya yang bersangkut paut dengan Pelepasan serta penyerahan hak ini, seluruhnya menjadi tanggungan dan pembayaran Pihak Kedua. --------------------------------------------------------------------------------------

----------------------------------- Pasal 8 ------------------------------------ Tentang pelepasan hak dengan ganti rugi ini dan segala

akibatnya pihak-pihak telah memilih domisili yang umum dan tidak berubah di kantor Panitera Pengadilan Negeri di Kota Medan. ------------------------------------------------------------------

- Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini menjamin akan kebenaran identitas para penghadap sesuai tanda pengenal yang disampaikan kepada saya, Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut dan selanjutnya para penghadap menyatakan telah mengerti dan memahami isi akta ini. -----------------------------------------------

---------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI ----------------------- Dibuat dan diselenggarakan di Kota Medan, pada hari,

tanggal, bulan dan tahun yang telah disebutkan pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh nyonya SUMARNINGSIH, Ahli Madya, lahir di Medan, pada tanggal 13-08-1981 (tiga belas Agustus seribu sembilan ratus delapan puluh satu), Warga Negara Indonesia, Pegawai Kantor Notaris, bertempat tinggal di Medan, Jalan Setia Budi Pasar Satu Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor Induk Kependudukan: 1271215308810001, Nona CITRA WATI, Ahli Madya, lahir di Tanjung Balai, pada tanggal 12-08-1981 (dua belas Agustus seribu sembilan ratus delapan puluhsatu), Warga Negara Indonesia, Pegawai Kantor Notaris, bertempat tinggal di Medan, Jalan Tengku Amir Hamzah Gang Asuhan Nomor 7, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia, Nomor

Page 46: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

34 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Induk Kependudukan: 1271034506810009,Kemudian setelah saya notaris bacakan dan jelaskan isi dan maksud akta ini kepada para penghadap dan saksi–saksi, maka seketika akta ini ditandatangani serta dibubuhkan cap ibu jari tangan kiri oleh para penghadap, dan selanjutnya ditandatangani oleh saksi–saksi dan saya, Notaris. --------------------------------------

F. Pengampuan

1. Pengertian

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal, cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka untuk menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenankan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada di bawah pengampuan. Pengampuan diatur dalam buku I KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 433 KUH Perdata, bahwa kondisi sakit jiwa (permanen atau tidak) merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan.

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang (yang disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak mampu di dalam segala hal, untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum. Atas dasar itu orang tersebut dengan keputusan hakim lantas dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Oleh karenanya, orang tersebut diberi seorang wakil menurut undang-undang, yaitu yang disebut dengan pengampu (curator).

Perihal pengampuan (curatele) diatur dalam Pasal 433 s.d. 462 KUH Perdata. Dalam Pasal 433 KUH Perdata disebutkan bahwa:

Page 47: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

35Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

“Setiap orang yang sudah dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Dari ketentuan pasal di atas, seseorang yang sudah dewasa harus ditaruh di bawah pengampuan apabila berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap (buta). Di samping itu seseorang karena keborosannya juga dapat ditaruh di bawah pengampuan.41

Apabila orang tersebut berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, maka setiap anggota keluarga sedarah berhak meminta pengampuan. Sedangkan apabila disebabkan keborosannya, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai derajat keempat. Seorang suami atau istri dapat meminta pengampuan terhadap istri atau suaminya. Selain itu, seseorang yang merasa bahwa dirinya tidak mampu mengurus sendiri kepentingan-kepentingannya diperbolehkan meminta pengampuan pada diri sendiri. Kejaksaan diwajibkan meminta pengampuan bagi seseorang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap apabila belum ada permintaan dari sesuatu pihak.42

Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama layaknya orang yang belum dewasa. Sedangkan bagi seseorang yang ditaruh di bawah curatele karena keborosannya masih dapat membuat surat wasiat dan masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan dengan ketentuan mendapat izin dan bantuan dari curator serta weeskamer.

41Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 57.42Ibid.

Page 48: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

36 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Apabila keputusan untuk pengampuan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka pengadilan akan mengangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP). Pengampuan akan berakhir, apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang, sementara itu, pembebasan dari pengampuan harus memerhatikan ketentuan undang-undang guna memperoleh izin pengampuan serta harus diumumkan.43

Dalam menetapkan seseorang diletakkan pengampuan, Pengadilan Negeri terikat dan harus tunduk pada ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:

1) Pasal 438 KUH Perdata: Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna men-dasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.

2) Pasal 439 KUH Perdata: Pangadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan peng-ampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.

Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu ter-letak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan autentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri. Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat

43Ibid., hlm. 34.

Page 49: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

37Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah.

3) Pasal 440 KUH Perdata: Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.

4) Pasal 441 KUH Perdata: Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya.

5) Pasal 442 KUH Perdata: Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa.

2. Cara Menetapkan Curatele

Pasal 436 BW menegaskan bahwa, yang berkuasa menetapkan curatele adalah Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya berdiam orang yang diletakkan di bawah curatele.

Yang dapat memohonkan curatele adalah:

a. bagi yang kekurangan daya berpikir:

1) setiap keluarga sedarah (bloedverwanten) dan suami atau istri (echtgenoot), Pasal 434 BW;

2) jaksa, akan tetapi hanya apabila seorang bakal kurandus (curandus) tidak mempunyai suami atau istri ataupun tidak mempunyai keluarga sedarah di wilayah Indonesia.

Page 50: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

38 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

b. Dalam hal razernij: jaksa wajib memintakan kuratel bilamana kuratel tersebut belum dimintakan. Dalam hal onnozelheid atau krankzinnigheid: jaksa dapat (tidak wajib) memintakan Curatele apabila bakal Curandus tidak mempunyai keluarga sedarah atau suami-istri di wilayah Indonesia;

c. Bagi yang lemah pikiran (zwakheid van vermogens): orangnya sendiri merasa tidak cakap untuk mengurus kepentingannya sendiri;

d. Bagi keborosan: hanya oleh keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh sanak keluarganya dalam garis menyimpang sampai derajat keempat dan/atau suami-istri.44

3. Prosedur di Muka Pengadilan

a. Dalam Hal Kekurangan Daya Berpikir (krankzinningheid) dan Dalam Hal Keborosan

Permohonannya harus jelas menyebutkan fakta-fakta yang menyatakan adanya krankzinningheid atau adanya keborosan. Permohonan itu harus disertai alat-alat bukti dan kalau ada harus menampilkan saksi-saksi. Bilamana fakta-fakta yang dibutuhkan cukup penting untuk menetapkan adanya suatu pengampunan maka wajiblah pengadilan mendengar keluarga sedarah dan sanak keluarga semenda. Setelah itu pengadilan mendengar orang yang hendak dimintakan Curatele itu.45 Jika orang ini tidak mampu berpindah tempat maka pemeriksaan dilangsungkan di rumahnya oleh seorang hakim atau lebih yang diangkat untuk keperluan tersebut oleh panitera dan harus dihadiri pula oleh jaksa.

Setelah permohonan diajukan maka jika ada alasan untuk pengampuan itu pengadilan mengangkat seorang pengurus

44R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Saifoedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 195-196.

45Ibid.

Page 51: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

39Bab 1 | Pengantar Hukum Perdata Barat

DUMMY

DUMMY

sementara guna mengurus pribadi dan harta kekayaan orang yang dimintakan pengampuan itu. Baru setelah itu pengadilan memberikan putusan. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan setelah ada konklusi jaksa. Atas putusan Pengadilan Negeri ini diperkenankan naik banding. Pengadilan Tinggi berwenang untuk mendengar sendiri orang yang dimintakan Curatele itu jika ada alasan untuk itu.46

b. Dalam hal lemah pikiran

Dalam proses ini tidak diperlukan fakta-fakta yang menun-jukkan lemah pikiran itu dan tidak diperlukan menunjukkan bukti-bukti. Suami atau istri dari yang memohon didengar demikian pula anak-anaknya. Keterangan saksi-saksi, demikian pula pemanggilan pihak-pihak, tidak dilakukan dan pengadilan segera memutus setelah mendengar konklusi jaksa.47

4. Berlakunya Akibat Pengampuan

Pengampuan itu mulai berlaku terhitung sejak putusan atau penetapan pengadilan diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang di bawah curatele maka orang itu mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang minderjarige. Ia menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya dinyatakan batal kalau yang menjadi kurandus itu disebabkan oleh kekurangan daya berpikir (krankzinnigheid).

Bagi seorang kurandus karena keborosan maka ketidakcakapan bertindaknya hanya menyangkut perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan saja. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang tidak bersifat harta kekayaan (misalnya dalam bidang hukum keluarga), maka ia tetap dapat dianggap cakap bertindak.

46Ibid., hlm. 197.47Ibid.

Page 52: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

40 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Terhadap seorang kurandus (curandus) karena lemah pikiran timbul keragu-raguan apakah ia harus disamakan dengan seorang kurandus karena kekurangan daya berpikirnya ataukah dengan kurandus karena keborosan. Menurut Scholten, ia lebih condong untuk menyamakan kedudukan seorang kurandus karena lemah pikiran itu dengan seorang kurandus dengan keborosan. Jadi ia hanya tidak cakap bertindak dalam bidang hukum harta kekayaan saja.

Seseorang yang kekurangan daya berpikir yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebelum ia dinyatakan di bawah curatele, maka perbuatan-perbatan hukum yang dilakukannya itu dapat pula dimintakan pembatalan apabila ternyata bahwa sebab-sebab curatele itu sudah ada pada waktu perbuatan hukum itu dilakukannya, dan apabila sebelum meninggal sudah diajukan permohonan curatele kepada pengadilan.

5. Berakhirnya Pengampuan

a. Bagi curandus:

Berakhirnya pengampuan bagi curandus adalah dengan matinya, atau dengan hapusnya atau dengan berhentinya sebab-sebab curatele. Hal ini harus dilakukan dengan putusan pengadilan.

b. Bagi curator:

Pengecualian sebab-sebab umum maka yang berlaku untuk pengakhiran perwalian berlaku pulalah di sini. Di samping itu berlaku pula Pasal 459 BW yang mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dipaksakan untuk menjadi curator selama lebih dari delapan tahun kecuali apabila curator itu merupakan suami atau istri curandus atau keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.48

48Ibid.

Page 53: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

41Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

HuKum PERKaWInan

bab 2

A. Pengertian Hukum Kekeluargaan di IndonesiaDi dalam penjelasan umum ditegaskan beberapa konsepsi

dasar yang menyangkut masalah hukum perkawinan, penjelasan tersebut menyangkut 5 (lima) hal, yaitu:1

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Secara historis berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut:

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat;

b. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat;

1Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 162.

Page 54: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

42 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huweliksordomantie Christen Indonesia (S. 1933 No. 74);

d. Bagi orang timur asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka;

f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-Undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai kewajiban perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

B. Pengertian Hukum PerkawinanPasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Page 55: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

43Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam perkawinan, yaitu:

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita

3. Sebagai suami-istri

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa ikatan suami-istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami-istri. Hidup bersama suami-istri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami-istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami-istri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.

Jika dilihat dari hukum Islam, Pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu: aqad yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk menaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama. Perkawinan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.

Barangsiapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh lagi, hendaklah ia takwa kepada Allah Swt. demikian sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasullullah Saw.3

2Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 28.

3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 3.

Page 56: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

44 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Menurut Sayuti Thalib, perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandang yaitu:4

1. Perkawinan dari segi hukum

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian oleh Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 21 dinyatakan Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebutkan dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaaliizhan”.5

Alasan untuk mengatakan perkawinan suatu perjanjian karena adanya:6

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan yaitu dengan aqad nikah, rukun dan syarat tertentu;

b. Cara memutuskan ikatan perkawinan yaitu dengan prosedur thalaq, fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Perkawinan dilihat dari segi sosial

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum adalah bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. Dulu sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang dengan syarat-syarat yang tertentu.

3. Perkawinan dilihat dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama yaitu suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami-istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya.7

4Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1974, hlm. 47.

5Mohd. Idris Ramulyo, Dalam Sayuti Thaib, Ibid.6Ibid.7Ibid., hlm. 19.

Page 57: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

45Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

C. Sumber-sumber Hukum Perkawinan NasionalIstilah sumber hukum digunakan dalam tiga pengertian

yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan yang erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni:8

1. Sumber hukum dalam pengertian asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk konkret ialah berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan;

2. Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukan aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif yang penting bagi setiap orang untuk mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu. Dengan kata lain, sumber hukum di sini diartikan bentuk-bentuk hukum positif di mana merupakan tempat dapat ditemukan aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif berupa peraturan atau ketetapan, baik tertulis atau tidak tertulis;

3. Sumber hukum dalam artian hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang dalam menentukan isi hukum positifnya. Di samping harus memerhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional, dan lain-lainnya.

Pengertian sumber hukum perkawinan (nasional) diartikan tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan perkawinan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan perkawinan yang sedang berlaku pada saat ini. Ketentuan yang

8Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 1.

Page 58: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

46 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

secara khusus atau yang berkaitan dengan perkawinan tersebut dalam penelitian ini akan dibahas sumber hukum perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum perdata barat. Karena Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa, “Ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku lagi”.9

Undang-Undang Perkawinan memuat kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksanaannya. Ini berarti Undang-Undang Perkawinan akan berfungsi sebagai “payung” dan “sumber pokok” bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia. Dalam konsiderans Undang-Undang Perkawinan dinyatakan: “sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-Undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara. Rumusan ketentuan dalam Pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pelaksanaan teknik Kompilasi Hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional.10

Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam

9Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 244.

10Ibid.

Page 59: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

47Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinnekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan sendirinya Undang-Undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk Warga Negara Indonesia tertentu dan itu didasarkan kepada hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-Undang Perkawinan, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya itu.11

Menurut Hazairin, bahwa kitab-kitab suci yang memuat syariat ada berisikan kesamaan-kesamaan yang dapat dijadikan landasan bersama bagi pembinaan hukum nasional, sedangkan perbedaan-perbedaan dapat dijadikan sumber bagi hukum-hukum khusus bagi umat Islam, hukum khusus bagi Nasrani, dan khusus bagi umat Hindu Bali. Setiap pemeluk agama tentu maklum apa yang diperlukannya secara khusus dan buat yang selebihnya selaras dengan cita-cita unifikasi hukum sebanyak mungkin dapatlah semua umat beragama yang ditundukkan kepada satu kodifikasi hukum yang sekarang telah kita mulai untuk menggantikan berbagai sistem hukum yang diwariskan oleh kekuasaan kolonial.12

Dari segi isinya, Undang-Undang Perkawinan memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat materiil dan juga memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat ajektif mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Kandungan materi Undang-Undang Perkawinan mengatur pokok persoalan sebagai berikut:

11Ibid. hlm. 246.12Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,

(Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 35.

Page 60: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

48 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

a. Dasar perkawinan;

b. Syarat-syarat perkawinan;

c. Pencegahan perkawinan;

d. Batalnya perkawinan;

e. Perjanjian perkawinan;

f. Hak dan kewajiban suami dan istri;

g. Harta benda dalam perkawinan;

h. Putusnya perkawinan serta akibatnya;

i. Kedudukan anak;

j. Hak dan kewajiban antara orangtua dan anak;

k. Perwalian;

l. Ketentuan-ketentuan lain;

m. Ketentuan peralihan;

n. Ketentuan penutup.

Di samping itu, Undang-Undang Perkawinan dilengkapi dengan Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal atau Batang Tubuh Undang-Undang Perkawinan.

2. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahmakah Agung dan Menteri Agama Nomor 7/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 dibentuk suatu Tim Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Tim ini bertugas melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasaran proyek ini mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Penyusunan Kompilasi Hukum Islam tersebut selain bersumber pada 13 kitab fikih yang kesemuanya mazhab Syafi’i, juga bersumber

Page 61: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

49Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

pada kitab-kitab fikih dari mazhab lain. Memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya, membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.13

Dengan adanya instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 disebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk dapat dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan di samping peraturan perundang-undangan lainnya. Walaupun dasar dari Kompilasi Hukum Islam ini hanya berbentuk Instruksi Presiden yang didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Namun, dapat dikatakan kelahiran Kompilasi Hukum Islam ini tidak terlepas dari Undang-Undang Perkawinan sebelumnya yaitu UU No. 7 Tahun 1989.14

Selain melengkapi pilar Peradilan Agama, dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, telah jelas dan pasti nilai-nilai hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Bahasa dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan rumusanya dengan apa yang mesti diterapkan oleh para hakim di seluruh nusantara. Sebagai bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fikih dalam penegakan hukum dan keadilan, lambat laun akan ditinggalkan. Perannya hanya sebagai bahan orientasi dan kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan Agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakan hukum yang sama. Pegangan dan rujukan hukum yang mesti

13Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 255.14Ibid. hlm. 256.

Page 62: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

50 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

mereka pedomani sama di seluruh Indonesia, yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.15 Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam sebagai kitab hukum, para hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang berdisparitas. Dengan adanya pedoman Kompilasi Hukum Islam, para hakim diharapkan bisa menegakkan hukum dan kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya putusan-putusan yang bercorak variabel. Persamaan persepsi dan keseragaman putusan melalui Kompilasi Hukum Islam, tetap membuka kebebasan hakim untuk menjatuhkan putusan yang mengandung variabel. Asal tetap proporsional secara kasuistik.16

Secara rinci materi kandungan ketentuan hukum perkawinan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:17

a. Ketentuan umum

b. Dasar-dasar perkawinan

c. Peminangan

d. Rukun dan syarat perkawinan

e. Mahar

f. Larangan kawin

g. Perjanjian perkawinan

h. Kawin hamil

i. Beristri lebih dari satu orang

j. Pencegahan perkawinan

k. Batalnya perkawinan

15Ibid.16M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilam Agama, (Jakarta:

Pustaka Kartini, 1990), hlm. 109-110.17Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 258.

Page 63: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

51Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

l. Hak dan kewajiban suami dan istri

m. Harta kekayaan dalam perkawinan

n. Pemeliharaan anak

o. Perwalian

p. Putusnya perkawinan

q. Akibat putusnya perkawinan

r. Rujuk

s. Masa berkabung

Di samping itu, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal atau Batang Tubuh Kompilasi Hukum Islam.

D. Asas-asas Hukum Perkawinan NasionalDalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut.18

1. Asas Perkawinan Kekal

Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup. Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dalam kaitan ini, Islam mengharamkan perkawinan untuk jangka waktu tertentu, misalnya untuk 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan saja. Perkawinan yang seperti ini dalam hukum Islam dinamakan nikah mut’ah.

18Ibid., hlm. 264.

Page 64: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

52 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Tujuan pokok perkawinan ialah untuk menciptakan ikatan sosial yang benar dan juga dalam hubungan darah. Untuk mencapai tujuan itu, salah satu bentuk perkawinan yang absah adalah akad yang permanen.19 Prinsip perkawinan kekal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya

Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan (kafa’ah) agama sebagai dasar untuk melakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain. Prinsip ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Asas Perkawinan Terdaftar

Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut UU

19Hammudah ‘Abad Al, The Family Structure in Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1984), hlm. 140. Dalam Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 264.

Page 65: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

53Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menentukan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Asas Perkawinan Monogami

UU Perkawinan menganut asas monogami, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya, dalam waktu yang bersamaan seorang suami atau istri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

5. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan atau Kebebasan Berkehendak (Tanpa Paksaan)

Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada kesukarelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami-istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga. Perkawinan yang tanpa didasari oleh persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dapat dijadikan alasan membatalkan perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.

6. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami-istri

Hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat adalah seimbang. Suami-istri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan istri berkedudukan sebaga ibu rumah tangga.

Page 66: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

54 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami-istri. Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 UU Perkawinan.

7. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri, di mana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan.

8. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian

Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU Perkawinan menganut prinsip yang mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian maka harus ada alasan-alasan tertentu dan di depan sidang pengadilan. Rasio yuridis asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Prinsip ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

E. Syarat Sahnya PerkawinanMenurut Hukum Perdata, Perkawinan yang sah adalah

perkawinan yang dilakukan di muka petugas kantor pencatatan sipil. Perkawinan yang dilakukan menurut tata cara suatu agama saja tidaklah sah.20 Ketentuan tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah secara imperatif pada Pasal 2, yang berbunyi:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan;

20Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Yogyakarta: Yayasan Gadjah Mada, sa., hlm. 5. Dalam Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 87.

Page 67: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

55Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan Pasal 2 tersebut diterangkan bahwa, “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Selanjutnya, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya adalah sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Ada 2 (dua) macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, syarat materiil ini disebut juga dengan syarat subjektif. Sedangkan syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut juga “syarat objektif”.21

Syarat-syarat perkawinan dalam hukum nasional diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya meliputi persyaratan materiil maupun syarat formal. Dalam melaksanakan perkawinan, maka para pihak juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.

Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, yang meliputi:

1. Persyaratan terhadap orangnya (Para pihak)

Persyaratan berikut berlaku umum bagi semua perkawinan, yaitu:

21Abulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 76.

Page 68: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

56 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

a. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;

b. Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 18 (delapan belas) tahun bagi wanita;22

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi laki-laki yang beristri lebih dari seorang;

d. Bagi wanita tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah.

Adapun ketentuan yang berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu adalah:

a. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

b. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Memperoleh izin dari orangtua atau wali calon mempelai, dan mendapat izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang (berpoligami).

Syarat materiil maupun syarat formil yang terkandung dalam ketentuan Pasal 2 tersebut memiliki aspek perdata dan aspek administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substansi dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi yang terakhir adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum adanya perkawinan yang sudah dilakukan oleh suami-istri bagi masyarakat dan negara.

Menurut Tan Kamello dalam bukunya yang berjudul Hukum Orang dan Keluarga, bahwa syarat-syarat perkawinan yang terdapat

22Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita, ketentuan ini sudah berubah dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 tentang Batas Usia Perkawinan: Perempuan harus sudah berumur 18 tahun.

Page 69: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

57Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri, sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut:23

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami-istri (Pasal 6 ayat (1));

2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur (Pasal 7 ayat (1)); Jika belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Kalau orangtua sudah meninggal diperoleh dari wali, dan jika tak ada wali diperoleh izin pengadilan setempat;

3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (Pasal 3, 9);

4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 jo Op No. 9 Tahun 1975);

5. Calon suami-istri memiliki agama yang sama.

Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut:

1. Kedua calon suami-istri atau kedua orangtua atau wakilnya mem beritahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau tertulis;

2. Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;

3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas calon suami-istri;

23Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 44.

Page 70: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

58 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada papan pengumuman di kantor tersebut agar mudah dibaca oleh masyarakat;

5. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman;

6. Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua) orang saksi;

7. Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami-istri, diikuti saksi dan pegawai pencatat. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada suami-istri diberikan kutipan akta perkawinan.24

F. Hubungan Hukum Suami dan Istri dalam PerkawinanPerkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan istri

antara seorang pria dan seorang wanita, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan peranan dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga, baik masing-masing maupun sendiri-sendiri. Berikut akan dijabarkan kedudukan hukum suami dan istri, kewajiban dan hak suami-istri, kewajiban suami dan hak istri serta kewajiban istri dan hak suami.

1. Kedudukan Hukum Suami dan Istri

Ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

24Ibid., hlm. 45.

Page 71: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

59Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Sesuai dengan maksud Undang-Undang Perkawinan tersebut, dalam pembinaan keluarga modern tidak dikehendaki terjadinya perkawinan yang tidak seimbang antara kedudukan suami dan kedudukan istri. Misalnya, perkawinan yang terjadi antara suami yang berpendidikan tinggi dengan perempuan yang berpendidikan rendah dan berasal sebagai pembantu suami adalah tidak baik, karena dapat berakibat terganggunya kebahagiaan rumah tangga. Bahkan, perkawinan antar agama, di mana selama perkawinan suami misalnya tetap menganut agama Islam dan istri tetap menganut agama Kristen sering kali menimbulkan kekakuan dalam hubungan kekerabatan yang menyangkut keagamaan atau mereka yang menjauhkan diri dari masalah keagamaan atau rohaniah.25 Lain halnya dalam hubungan kemasyarakatan/berwiraswasta, suami bekerja dan istri bekerja sebagai karyawan, atau berwiraswasta mengadakan hubungan dengan pihak ketiga dalam usaha tertentu atas tanggung jawab sendiri atau atas tanggung jawab bersama. Dalam hubungan demikian keluarga modern banyak menunjukkan keberhasilan, di mana istri tetap berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala rumah tangga. Hal mana berarti bahwa seluruh harta kekayaan hasil pencarian bersama dikuasai dan dimanfaatkan bersama.26 Karena seimbang hak dan kedudukan suami-istri tersebut, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Lain halnya dengan sistem hukum perdata barat, di mana membatasi bertindak melakukan perbuatan hukum bagi seorang istri, yang memerlukan izin atau bantuan suaminya, kalau tidak perbuatan hukumnya menjadi tidak sah.

25Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), hlm. 105.

26Ibid.

Page 72: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

60 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Walaupun hak dan kedudukan suami-istri seimbang namun mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga sebagai pendamping suami. Demikian pula menurut hukum Islam suami berkedudukan sebagai kepala keluarga (QS 4: 34) dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam kedudukan sebagai kepala rumah tangga, suami merupakan pemimpin dan sekaligus pembimbing terhadap istri, anak-anak, dan kerumahtanggaan lainnya. Istri sebagai ibu rumah tangga berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Dalam hukum Islam kewajiban utama seorang istri berbakti lahir batin kepada suaminya sepanjang dibenarkan oleh agama (QS 4: 34). Istri yang saleh menurut pandangan Al-Qur’an adalah istri yang taat kepada Allah dan lagi memelihara diri di balik suaminya.27

2. Kewajiban dan Hak Suami-Istri

Untuk menegakkan rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur. Dalam mencapai itu, suami dan istri berkewajiban saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Kewajiban-kewajiban ini dicantumkan di dalam Pasal 30 dan Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan.

Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan tersebut merupakan ciri dari kehidupan keluarga modern, di mana suami-istri secara bersama-sama wajib memikul tanggung jawabnya.28 Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban masing-masing, suami atau istri dapat mengajukan gugatan kepada

27Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 338.28Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 104.

Page 73: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

61Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pengadilan. Demikian ketentuan hak suami-istri yang dicantumkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan.

Ketentuan ini agaknya belum sesuai dengan keluarga yang hidupnya masih bertaut dengan hubungan kekerabatan, walaupun undang-undang tidak menutup kemungkinan bagi suami atau istri untuk menggugat ke pengadilan apabila suami atau istrinya melalaikan kewajibannya. Oleh karena itu, pada kenyataannya dalam kehidupan keluarga rumah tangga tidak selamanya kemampuan berada di tangan suami, adakalanya kemampuan itu justru ada di tangan istri, sehingga istri menggantikan kedudukan suami mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangga mereka.29

3. Kewajiban Suami dan Hak Istri

Sebagai kepala keluarga, suami tidak mendapatkan hak-hak istri melebihi dari istri atau istri-istri. Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa suami yang berkewajiban untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan penghasilannya. Seandainya istri juga bekerja maka ia tidak berkewajiban untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga tersebut, kecuali istri rela atau ikhlas untuk itu. Saat ini kewajiban seperti itu tidak harus mutlak dibebankan kepada suami, kalau perlu bisa dibantu oleh istrinya, namun jangan mewajibkan istri untuk bekerja.30

Agar dapat hidup dengan tenang, suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri bersama. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 32 Undang-Undang Perkawinan. Kediaman tetap dalam keluarga modern tidak berarti

29Ibid. hlm. 105.30Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 339.

Page 74: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

62 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

adanya bangunan rumah tangga yang tetap dikuasai dan/atau dimiliki bangunannya, tetapi tempat kediaman yang tetap dalam arti tidak dalam waktu yang singkat berpindah-pindah, sehingga alamat tempat kediaman menjadi tidak menentu dan tidak dapat diketahui domisilinya, akibatnya menyulitkan dalam perhubungan hukum. Begitu pula walaupun penguasaan dan pemilikan tempat kediaman itu dikuasai oleh istri, namun alamatnya atas nama suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga.31

Tempat kediaman keluarga yang dimaksud adalah tempat tinggal layak huni bagi istri dan anak-anaknya, sehingga mereka merasa terlindungi dari gangguan pihak lain, aman dan tentram. Selain itu, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Penyediaan tempat kediaman ini menjadi kewajiban suami yang didasarkan pada kesanggupannya dengan memerhatikan kepentingan dan pendapat istrinya. Dengan demikian, penentuan tempat kediaman bukan semata-mata di tangan suami, harus dimusyawarahkan secara bersama-sama oleh suami-istri.32

Hammudah ‘Abd Al ‘Ati mengemukakan, yang terpenting perumahan bagi istri itu haruslah layak untuk menjadi privacy, kenyamanan dan kebebasannya, serta sesuai dengan tingkat kehidupannya. Rumah itu haruslah sesuai dengan kapasitas istrinya, hingga istri merasa memperoleh haknya secara eksklusif. Tidak seorang pun sanak saudara, anak buah, atau seorang pun boleh ikut tinggal dirumah itu. Kecuali jika istrinya dengan senang hati menyatakan setuju. Tujuannya adalah terciptanya kesejahteraan bagi istri dan stabilitas perkawinnya. Tanggung jawab seorang suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istrinya tidaklah disertai oleh adanya wewenang untuk memaksa istrinya tinggal di suatu rumah yang tidak disetujuinya. 33

31Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 106.32Ibid.33Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Op.Cit., hlm. 205.

Page 75: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

63Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan antara lain menentukan bahwa:

“Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang, berkewajiban memberi jaminan hidup yang sama kepada suami-istri dan anak-anaknya”.

Dalam hal ini menurut hukum Islam, seorang suami harus bisa bertindak dalam memenuhi kebutuhan dan keperluan rumah tangga kepada masing-masing istri dan anak-anaknya (QS 4: 3) secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri. Bahkan para istri harus disediakan tempat tinggal sendiri-sendiri, kecuali mereka menyetujui, rela, dan ikhlas untuk ditempatkan dalam satu tempat kediaman.34

Perspektif hukum Islam menyatakan, bahwa masing-masing istri bagi orang yang beristri lebih dari seorang hendaklah dipisahkan tempat kediaman mereka, masing-masing menempati sebuah rumah, rumah itu pun harus sama, kecuali kalau mereka sama-sama rela dan ikhlas ditempatkan dalam sebuah rumah saja. Pembagian waktu di antara mereka itu, hendaklah sama dan betul dilakukan. Kalau kiranya suami diam dalam sebuah rumah terpisah dari istrinya, hendaklah pertemuan suami dengan istri-istrinya itu pun dilakukan dengan seadil-adilnya. Jika seorang istri dipanggil ke rumahnya, yang lain pun hendak dipanggil juga ke rumahnya dengan memakai giliran dan waktu yang tertentu. Diam suami dengan istri-istrinya hendaklah sama lamanya, sekurang-kurangnya masa pembagian itu semalam dan sebanyak-banyaknya tiga malam. Dengan kata lain, suami harus bersikap seadil-adilnya terhadap istri masing-masing, kecuali kalau dengan ridha yang sungguh-sungguh dari pihak istri. Apabila suami hendak bepergian hanya dengan salah seorang istrinya, hendaklah dia mengadakan undian di antara istri-istrinya itu, siapa yang memperoleh undian hendaklah dia dibawa dan yang lain boleh ditinggal.35

34Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 340.35Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), hlm. 371-372. Dalam

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 340.

Page 76: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

64 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

4. Kewajiban Istri dan Hak Suami

Dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Per-kawinan menentukan bahwa, “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Dengan demikian selaku ibu rumah tangga, seorang istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Soal pembelanjaan rumah tangga sehari-hari menjadi kewajiban istri untuk mengatur dan menyelenggarakannya.

Dalam hukum Islam, terhadap istri yang durhaka (nusyuz) terhadap suaminya, yakni meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan ibu rumah tangga, maka kewajiban-kewajiban suami terhadapnya tidak berlaku atau gugur (QS 4: 34 dan QS 4: 128), kecuali dengan alasan yang sah yang dapat dibuktikan oleh istri. Jika seorang istri durhaka, seorang suami hendaknya menasihatinya dengan bahasa yang lemah lembut. Kalau nasihat tersebut tidak dihiraukannya, pisahkan dirimu dari tempat tidur istri atau mereka. Selanjutnya bila tidak berhasil, seorang suami dapat menjalankan haknya untuk memukul istrinya dengan harapan untuk mendidik dan mengajarinya menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik bagi suami maupun anak-anaknya. Dengan berakhirnya durhaka itu, kewajiban suami terhadap istrinya berlaku kembali seperti semula.36

G. Perjanjian PerkawinanPerjanjian Perkawinan adalah suatu jenis perjanjian. Ia

merupakan species dari genus perjanjian. Dengan demikian, ia harus memenuhi syarat-syarat dari genusnya dan di samping itu ia mengandung pula sesuatu unsur yang menjadikannya sebagai species. Dengan demikian kita terdampar ke dalam bidang hukum perjanjian. Kalau kita sudah sampai ke bidang ini, maka jelas kelihatan kepada kita, bahwa kita belum mempunyai hukum

36Ibid.

Page 77: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

65Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

perjanjian (perikatan) yang bersifat unifikasi. Pernyataan ini berarti, bahwa kita masih tetap bergelimang dalam arus pluralisme. Yang harus diperhatikan ialah apa syarat-syarat untuk membuat sesuatu perjanjian, masing-masing menurut:37

1. KUH Perdata;

2. Hukum Adat;

3. Aturan Hukum Intergentil;

4. Aturan Hukum Perdata Internasional.

Perjanjian dapat dilihat dalam arti formal maupun materiil. Rumus perjanjian perkawinan, seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu suatu jenis perjanjian, yang dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkannya perkawinan oleh suami-istri atas dasar persetujuan bersama, dan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, ketentuan tersebut merupakan rumus yang bersifat formal. Artinya adalah rumus itu hanya menggambarkan kulit (siapa yang membuat, apabila dibuat disahkan oleh siapa), sama sekali tidak menyinggung isi. Sebenarnya, perjanjian perkawinan selain mempunyai kulit, juga mempunyai isi. Apabila rumus mementingkan isi, maka dikatakan bahwa rumus itu bersifat material. Masalah yang sama terdapat juga pada huwelijksvoorwaarden, yang dapat diberi rumus formal, tapi juga rumus material.

Rumus formal untuk huwelijksvoorwaarden, pernah diberikan oleh seorang sarjana Belanda, Hamaker, lebih kurang pada penghujung abad yang lampau. Rumus formal itu berbunyi, bahwa: “Tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami-istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya”.38 Syarat penting pada

37Mahadi, Perjanjian Perkawinan, (Medan: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas USU, sa), hlm. 16.

38Konsep Disertasi Henry Lie A Weng, sebagaimana dimuat dalam buku Perjanjian Perkawinan, dalam Mahadi, Op.Cit., hlm. 18.

Page 78: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

66 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

rumus material ialah disebutnya tujuan perjanjian, yaitu mengatur dan sebagainya.

Seorang sarjana modern yang lain, Van der Pleeg memberi rumus material yakni, “Tiap ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan antara calon suami-istri, yang timbul dari perkawinan mereka, adalah perjanjian perkawinan (overeenkomst van huwelijksvoorwaarden)”.

Sifat material pada huwelijksvoorwaarden tidak terdapat dalam KUH Perdata secara langsung. Secara tidak langsung sifat itu dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 119 KUH Perdata, yang berbunyi: “Sejak perkawinan dilangsungkan, secara otomatis terjadi penyatuan harta antara suami-istri, sepanjang tentang harta itu mereka tidak membuat huwelijksvoorwaarden”. Kalimat induk pada perumusan Pasal 119 KUH Perdata mengatur mengenai kedudukan harta benda. Anak kalimat dari perumusan itu membolehkan para pihak untuk membuat huwelijksvoorwaarden. Adalah logis, bahwa huwelijksvoorwaarden juga mengatur mengenai kedudukan harta benda, yaitu pengaturan itu boleh lain daripada pengaturan, yang terdapat dalam induk kalimat.39

Perjanjian perkawinan menurut peraturan perundang-undangan (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Di dalam KUH Perdata (BW) tentang perjanjian kawin umumnya ditentukan dalam Pasal 139 sampai Pasal 154. Di dalam Pasal 139 dikatakan bahwa, “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata-susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini menurut pasal berikutnya”.40

39Ibid.40Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,

2007), hlm.52.

Page 79: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

67Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Dalam KUH Perdata mensyaratkan perjanjian perkawinan harus dibuat secara notarial, termasuk perubahannya, kalau tidak maka perjanjian perkawinannya akan diancam batal demi hukum. Dalam Pasal 147 KUH Perdata antara lain dinyatakan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 148 KUH Perdata antara lain menyatakan bahwa segala perubahan dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama seperti perjanjian kawin yang dulu dibuatnya.41

KUH Perdata juga membatasi dengan melarang hal-hal tertentu untuk dimuat di dalam perjanjian perkawinannya. Hal-hal yang dilarang dimuat di dalam perjanjian tersebut meliputi:

1. Sebagaimana ketentuan Pasal 139 KUH Perdata, bahwa perjanjian perkawinan yang diadakan tidak boleh berlawanan atau melanggar hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan; calon suami-istri dapat saja mengadakan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan sepanjang perjanjiannya tersebut tidak menyalahi kesusilaan atau ketertiban umum serta mengindahkan pula segala ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Di dalam perjanjian perkawinannya:

a. Tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami;

b. Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami terhadap anak pada saat perpisahan meja dan ranjang;

c. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada suami-istri yang hidup terlama;

41Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 287.

Page 80: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

68 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

d. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami sebagai kepala keluarga (Lihat Pasal 40 KUH Perdata).

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan, yang dalam bahasa Belanda dinamakan huwelijkse voorwaarden.

Adapun syarat-syarat perjanjian perkawinan tersebut adalah:

1. Harus diajukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan;

2. Diajukan secara tertulis, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dengan dimuat di dalam akta perkawinan;

3. Perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan;

4. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga;

5. Perjanjian perkawinan yang telah disahkan tadi berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut;

6. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan dengan membawa akibat hukumnya mengikat suami-istri dan mengikat pula terhadap pihak ketiga yang tersangkut dengan perjanjian perkawinan tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa, “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan

Page 81: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

69Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Yang dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk “taklik talak” sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan.42

Hal-hal apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tidak diatur dalam UU Perkawinan. Kedua belah pihak (suami-istri) secara bersama-sama bebas menentukan isi perjanjian perkawinannya asalkan perjanjiannya tidak melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2), perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 ayat (3)). Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah lagi oleh suami-istri, kecuali bila suami-istri setuju mengadakan perubahan dan perubahan tersebut tidak akan merugikan pihak ketiga.43

Perjanjian perkawinan ada yang mengatur adanya ketentuan pengaturan harta dan ada pula perjanjian perkawinan dengan pisah harta, berikut akan dijelaskan secara rinci.

1. Perjanjian Perkawinan dengan Pengaturan Harta

Hukum Islam terdapat dua pendapat yang mengemukakan tentang harta bersama, yaitu:

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan kecuali adanya “syirkah”, harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.

42Ibid., hlm. 53.43Ibid., hlm. 288.

Page 82: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

70 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Oleh karena itu, wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam segala hal, termasuk mengurus harta benda, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat. Sebagaimana Firman Allah (QS An-Nisa’: 32).

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

b. Pendapat kedua menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami dan istri menurut hukum Islam. Pendapat ini mengakui bahwa apa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai harta bersama seperti dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam.

Dalam ketentuan Pasal 35, Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 UU Perkawinan), ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing baik hadiah, warisan menjadi penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan), kecuali kedua belah pihak menentukan lain dalam perjanjian (Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan), yaitu pisah harta, sehingga masing-masing berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

Page 83: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

71Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena usahanya menjadi harta bersama.

2. Perjanjian Kawin Dengan Pisah Harta

Untuk melindungi si istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, Undang-Undang memberikan kepada si istri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan. Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si istri:

a. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;

b. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si istri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;

c. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si istri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh suami terhadap kekayaan istrinya.

Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Hal ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami.mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.

Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si istri memperoleh kembali haknya untuk

Page 84: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

72 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut Undang-Undang untuk bertindak sendiri dalam hukum. Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akta notaris, yang harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim dalam mengadakan pemisahan itu.

Dalam Pasal 105 KUH Perdata diatur bahwa suami sebagai kepala dalam persatuan suami-istri, sehingga ia dapat mengatur seluruh harta istrinya. Apabila tidak ingin hal ini berlaku, maka dapat dibuat suatu perjanjian kawin sebagai bentuk penyimpangan, sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) dan (3) KUH Perdata, sedangkan dalam Pasal 140 ayat (2) dan (3) KUH Perdata mengatur bahwa, dapat diperjanjikan si istri dapat mengurus harta kekayaan pribadinya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan menikmati sendiri pendapatannya. Selain itu, dapat diatur juga suami tidak boleh memindahtangankan atau membebani barang-barang tidak bergerak milik istri, surat berharga, piutang yang didapat sebelum atau sesudah perkawinan, tanpa persetujuan dari istri. Perjanjian kawin semacam ini disebut dengan perjanjian kawin di luar persekutuan harta benda, dan diatur dalam Pasal 139 KUH Perdata.

Dengan perjanjian kawin jenis ini, maka tidak ada persekutuan harta benda sama sekali. Baik persekutuan menurut undang-undang, untung-rugi, hasil dan pendapatan, maupun percampuran apa pun secara tegas semuanya ditiadakan.

Misalnya, apabila suami berutang, maka tidak dapat dibebankan kepada istri sama sekali.

Dalam perjanjian kawin ini, yang diatur antara lain:

a. Tidak ada persekutuan dalam bentuk apa pun.

b. Harta masing-masing tetap milik masing-masing.

Page 85: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

73Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

c. Istri berhak mengurus hartanya sendiri, serta bebas menikmati hasilnya tanpa bantuan suami.

d. Utang masing-masing tetap menjadi tanggungan masing-masing.

e. Biaya rumah tangga menjadi tanggungan suami sebagai kepala rumah tangga (seperti belanja, sekolah, telepon, listrik, air).

f. Perabot rumah tangga dianggap sebagai milik istri.

g. Pakaian, perhiasan, buku-buku yang terkait pendidikan atau pekerjaan, dianggap sebagai milik yang menggunakan.

h. Barang bergerak lainnya karena hibah, warisan, atau apa pun dalam perkawinan, jatuh kepada salah satu pihak, asal harus dapat dibuktikan asal-usulnya. Apabila tidak dapat dibuktikan, maka harus dibagi dua.

H. Akta Perjanjian KawinPerjanjian kawin ialah suatu perjanjian (persetujuan)

yang dibuat oleh calon suami-istri atau pada saat perkawinan dilangsungkan, hal ini dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat dari perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:

1. Bilamana terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak lain;

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inbreg) yang cukup besar;

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut;

4. Atas utang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

Adapun syarat perjanjian kawin tersebut dapat kita beda-bedakan atau dikelompokkan sebagai berikut:

Page 86: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

74 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1. Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi/para pihak.

2. Syarat-syarat cara pembuatan akta perjanjian kawin.

3. Syarat-syarat mengenai isi perjanjian kawin.

Di dalam membuat perjanjian kawin BW mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk kepastian hukum dari perjanjian kawin tersebut.

2. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perjanjian akan mengikat para pihak.

3. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.

Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 (tentang pembaruan buku 1 BW) yang intinya perjanjian kawin menurut BW tidak bisa dirubah selama perkawinan akan tetapi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956 boleh diubah paling sedikit sudah berjalan 1 tahun asalkan ada sebab suami di samping sebagai beheer sudah mengarah ke bacsking (149 BW).

I. Contoh Akta Perjanjian PerkawinanAKTA PERJANJIAN PERKAWINAN

Nomor: …………………. Pada hari ini,.................., tanggal...................... (........................), pukul.................. (..................). -------------------------------------------- Menghadap di hadapan saya,.................................., Sarjana

Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris Kabupaten ………........, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang akan disebut dan telah dikenal oleh saya, Notaris; ----------------------

I. Nona.................., Sarjana Hukum, lahir di.................., pada tanggal.................., (………………………………), Warga Negara Indonesia, Pekerjaan.................., Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor.................., bertempat tinggal di.................., Rukun Tetangga.................., Rukun

Page 87: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

75Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Warga.................., Desa.................., Kecamatan.................., Kabupaten..................

II. Tuan.................., Sarjana Hukum, lahir di.................., pada tanggal.................., (………………………………), Warga Negara Indonesia, Pekerjaan.................., Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor.................., bertempat tinggal di.................., Rukun Tetangga.................., Rukun Warga.................., Desa.................., Kecamatan.................., Kabupaten………………………………....................................

- Para penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris. --------------- Para penghadap menerangkan, bahwa akibat hukum dari

perkawinan yang hendak mereka langsungkan mengenai harta benda mereka akan diatur menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berikut: --------------------------------

Pasal 1Antara suami dan istri tidak ada persekutuan harta benda, bukan saja persekutuan harta menurut hukum, tetapi juga percampuran apa pun juga dengan ini secara tegas ditiadakan.---------------------

Pasal 2- Pihak istri akan mengurus sendiri harta bendanya, baik yang

tetap maupun yang bergerak, dan bebas memungut hasil dan bunga dari hartanya, pekerjaannya ataupun dari sumber yang lain. ----------------------------------------------------------------------

- Untuk mengurus itu, pihak istri tidak memerlukan bantuan dari pihak suami dan dengan akta ini pihak istri diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjalankan pengurusan itu, dan bila pihak suami menjalankan pengurusan sesuatu urusan dari pihak istri, maka karena perbuatannya itu, pihak suami harus bertanggung jawab tentang hal itu.------

Pasal 3

- Semua pengeluaran untuk keperluan rumah tangga dan pengeluaran serta beban-beban lainnya berkenaan dengan

Page 88: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

76 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

perkawinan serta pula pendidikan dari anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka, untuk keseluruhannya itu adalah menjadi tanggungan dari pihak suami semata-mata, harus dipikul dan dibayarnya, dan untuk itu pihak istri tidak dapat dituntut. --------------------------------------------------------

- Pengeluran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga yang dilakukan oleh pihak istri, dianggap dilakukan dengan persetujuan pihak suami. ----------------------------------

Pasal 4

- Barang-barang, pakaian dan perhiasan, buku-buku, surat-surat, alat-alat dan perkakas-perkakas yang berkenaan dengan pendidikan atau pekerjaan dari masing-masing pihak yang terdapat pada sesuatu waktu, menjadi juga pada waktu perkawinan diputuskan, adalah hak milik dari pihak yang dianggap menggunakan barang itu. -------------------------------

- Dengan tidak diadakan perhitungan atau penyelidikan lebih jauh, maka barang-barang itu dianggap sama dengan atau sebagai pengganti dari barang-barang yang serupa yang dibawa dalam perkawinan. ----------------------------------------------------

- Seluruh barang rumah tangga yang pada sesuatu waktu, jadi juga pada waktu perkawinan diputuskan terdapat dalam rumah suami-istri, dengan mengecualikan barang-barang yang menurut ayat satu dari pasal ini adalah milik pihak suami, adalah milik pihak istri, oleh karena perabot itu dianggap sama dengan atau sebagai pengganti dari perabot yang dibawa oleh pihak dalam perkawinan. -------------------------------------------

- Mengenai hal ini tidak dapat diadakan dan tidak dapat dituntut supaya dilakukan pemeriksaan atau perhitungan. --------------

Pasal 5

- Mengenai barang-barang bergerak yang tidak termasuk dalam salah satu ketentuan yang diatur dalam pasal 4, yang selama perkawinan karena warisan atau karena hibah atau dengan jalan lain jatuh pada salah satu pihak harus ternyata dari bukti-bukti atau penjelasan lain. ------------------------------------

Page 89: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

77Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

- Bilamana tidak terdapat bukti atau penjelasan lain, tentang asal usulnya barang-barang yang berkenaan, pihak suami tidak berhak menganggap barang-barang itu sebagai miliknya, sedang pihak istri atau para ahli-warisnya berhak untuk membuktikan adanya atau harga barang-barang yang demikian, dengan surat-surat bukti lain, dengan saksi-saksi atau oleh karena umum telah mengetahuinya. -----------------

- Dari segala sesuatu yang tersebut di atas, dibuatlah ----------- ---------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI ----------------------

- Dibuat sebagai minute dan diresmikan di......................, pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut dalam kepala akta ini, dengan dihadiri oleh: -------------------------------------------------

1. Nyonya ................., Sarjana Hukum, lahir di .................., pada tanggal ...................... (......................), bertempat tinggal di Dukuh ................ Desa ............., Kecamatan ......................, Kabupaten ………………………………….

2. Tuan ................, Sarjana Hukum, lahir di................, pada tanggal ................ (………………………………), bertempat tinggal di Dukuh ................, Desa ................, Kecamatan ................, Kabupaten ………………………………….

- Kedua-duanya pegawai kantor saya, Notaris, sebagai saksi-saksi. --------------------------------------------------------------------

- Segera setelah akta ini dibacakan oleh saya, Notaris, kepada para penghadap dan para saksi, maka seketika akta ini ditanda-tangani oleh para penghadap, para saksi dan saya, Notaris. ----------------------------------------------------------------------------

- Dilangsungkan dengan tiada memakai perubahan suatu apa pun. ----------------------------------------------------------------------

J. Contoh Akta PerkawinanPada hari xxx, bulan xxx, tahun xxx di kota xxx telah dibuat

perjanjian perkawinan dari dan antara

Page 90: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

78 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1. Nama:

Alamat:

Tempat dan Tanggal Lahir:

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama

1. Nama:

Alamat:

Tempat dan Tanggal Lahir:

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

Kedua belah pihak, berdasarkan iktikad baik, sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu bersepakat untuk mengikatkan diri dan tunduk pada perjanjian ini.

Pasal 1Prinsip Dasar

Kedua belah pihak adalah saling sama hak, saling sama martabat, dan saling sama kedudukan di depan hukum

Pasal 2Asas

Perjanjian berasaskan pada prinsip keadilan, kesetaraan, kesamaan kedudukan, hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Pasal 3Perkawinan Monogami

Kedua belah pihak sepakat bahwa pada prinsipnya perkawinan ini hanya tunduk pada perkawinan monogami

Page 91: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

79Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pasal 4Keadaan Khusus

(1) Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak sepakat untuk meng abaikan prinsip monogami;

(2) Keadaan khusus tersebut adalah: Dalam jangka waktu 15 tahun setelah perkawinan disahkan

oleh pejabat yang berwenang, salah satu pihak berdasarkan surat keterangan dari Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Perjanjian ini, dinyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh keturunan dan;

Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan peng-angkatan anak (adopsi);

(3) Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perjanjian ini adalah RSB XXX.

Pasal 5Pengabaian

Pengabaian prinsip monogami ini, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 6Harta Kekayaan dan Pengelolaan Kekayaan

(1) Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi: XXX (sebutkan satu persatu);

(2) Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama;

(3) Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1);

(4) Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak ketiga.

Page 92: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

80 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 7(1) Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama

berlangsungnya perkawinan adalah harta milik bersama;(2) Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut dijalankan

secara bersama-sama;(3) Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan

hukum tanpa izin terhadap harta bersama termasuk namun tidak terbatas pada menjual, membeli, menggadaikan, dan menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga.

Pasal 8Perlindungan Anak dan Kekerasan

Terhadap Rumah Tangga(1) Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tindak

pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagai telah diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

(2) Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja dalam rumah yang merupakan tempat kediaman dan/atau tinggal dari kedua belah pihak.

Pasal 9Perhatian pada Anak

(1) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak.

(2) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu yang seimbang terhadap anak;

(3) Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Page 93: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

81Bab 2 | Hukum Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pasal 10Perubahan Perjanjian

(1) Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap keten-tuan yang belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak ber-tentangan dengan hukum.

(3) Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan sehingga akan melekat terhadap perjanjian ini.

(4) Perubahan perjanjian hanya sah, berlaku, dan mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri di mana perjanjian ini didaftarkan

Pasal 11Perselisihan

(1) Apabila terjadi perselisihan mengenai isi dan penafsiran dari perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara damai;

(2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk satu atau lebih mediator;

(3) Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima;

(4) Pengaturan tentang mediasi akan diatur dalam perjanjian lain yang melekat pada perjanjian ini;

(5) Pengaturan tentang mediasi dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan.

(6) Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri XXX sebagai tempat penyelesaian per-selisihan.

Page 94: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

82 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Diberikan sebagai SALINAN RESMI,Yang sama bunyinya. ---------------------

Notaris(cap dan meterai stempel dengan tandatangan Notaris)

Page 95: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

83Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

HaRta DaLam PERKaWInan

bab 3

A. Pengertian Harta dalam Perkawinan Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan

perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara anggota, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya, dengan jumlah anak yang ideal untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin.1

Upaya untuk mewujudkan keluarga sejahtera ini menjadi kewajiban dari suatu keluarga yang dibentuk. Apabila dihubungkan antara ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, maka tidak dapat dipungkiri untuk kelangsungan hidup suatu keluarga dibutuhkan harta kekayaan guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kebutuhan akan

1Muhammad Djumhana, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 111.

Page 96: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

84 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

harta benda dalam keluarga tidak saja untuk pengembangan diri pribadi suami dan/atau istri tetapi juga demi kebutuhan dan kepentingan anak-anak.

Kesejahteraan dalam keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatakan bahwa: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Oleh karena itu, dalam Bab VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang harta benda dalam perkawinan. Ada ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan menentukan bahwa:

Ayat (1) menentukan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa, “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain”.

Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas memiliki kesamaan dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara pribadi maupun secara bersama-sama merupakan hak asasi, maka perlu dipertegas luas lingkup hak milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu perkawinan. Karena, perkawinan sesungguhnya adalah

Page 97: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

85Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau istri, juga berkaitan dengan hak milik bersama antara suami dan istri selama dalam perkawinan. Oleh karena itu, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta bersama selama perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan mengatur tentang harta pribadi dari masing-masing suami atau istri. Tegasnya hak milik pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi kerancuan dan benturan hak milik antara keduanya.

Menurut J. Satrio, “Hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan.”2 J. Satrio menyebutkan bahwa hukum harta perkawinan merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan hukum harta benda perkawinan adalah terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht”.

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami-istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:

1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan;

2. Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan;

3. Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.

2Ibid., hlm. 27.

Page 98: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

86 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

4. Harta yang diperoleh suami-istri bersama ketika upacara per-kawinan sabagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.3

Harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan UU Perkawinan sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUH Perdata. Karena, aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang. Hal ini diperkuat dengan cara memperoleh hak milik melalui pewarisan dimasukkan dalam ketentuan hukum benda bukan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi, fokus pembahasannya adalah benda sebagai objek hukum, atau dengan kata lain berkaitan dengan cara memperoleh atau peralihan hak milik atas benda yang ada dalam perkawinan.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Akan sulit dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan. Ilmu hukum perdata mengenal adanya pemilikan atas suatu benda secara individu atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar para individu. Pemilikan benda secara individu atau pribadi disebut dengan hak milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda secara bersama-sama disebut dengan istilah hak milik bersama.

Perkawinan yang dilangsungkan antara suami istri memiliki 3 (tiga) akibat hukum yaitu: Pertama, akibat dari hubungan suami-

3Vivi Aisyah, Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, http://mydock.blogspot.com/2012/04/hukum-perkawinan-dan-harta-perkawinan-dalam-hukum-adat.html#ixz3wJM3yvrp. Diakses pada tanggal 10 Maret 2016. Pukul 09.00 Wib.

Page 99: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

87Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

istri; Kedua, akibat terhadap harta perkawinan; dan Ketiga, akibat terhadap anak yang dilahirkan. Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena salah satu faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan rumah tangga terletak kepada harta benda. Walaupun kenyataan sosialnya menunjukkan masih adanya keretakan hidup berumah tangga bukan disebabkan harta benda, melainkan faktor lain. Harta benda merupakan penopang dari kesejahteraan tersebut.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal 3 (tiga) macam harta, yaitu: Pertama, harta bersama; kedua, harta bawaan; dan ketiga, harta perolehan. Setelah terjadinya perkawinan, maka kedudukan harta benda 2 orang yang saling mengikatkan diri dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah. Berkaitan dengan kedudukan harta benda dalam perkawinan pengaturan harta tersebut diatur dalam Pasal 35 Jo. Pasal 36 Jo. Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan merumuskan bahwa, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan merumuskan bahwa, harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Berdasarkan ketentuan di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat 2 (dua) penggolongan harta benda dalam perkawinan yaitu:

1. Harta bersama (Pasal 35 ayat 1) UU Perkawinan;

2. Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan;

Page 100: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

88 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

3. Harta yang berasal dari hibah atau warisan adalah harta masing-masing suami-istri yang diperoleh bukan karena usaha bersama-sama maupun sendiri-sendiri tetapi diperoleh karena hibah, warisan atau wasiat. Dengan kata lain, pengertian jenis harta ini adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak diperoleh sebagai hasil dari mata pencaharian suami dan istri tersebut.

Pengertian mengenai harta bersama adalah harta yang diperoleh setelah suami-istri tersebut berada di dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka. Harta bersama ini juga disebut sebagai harta pencarian. Harta bawaan adalah harta masing-masing suami-istri yang telah dimilikinya sebelum perkawinan baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lain.

Berdasarkan penggolongan jenis-jenis harta tersebut maka sebagai konsekuensinya terdapat 2 (dua) macam penggolongan hak milik terhadap harta yaitu:

1. Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus mengenai harta yang digolongkan sebagai harta hasil dari mata pencaharian, pengaturannya adalah hak kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh pasangan suami-istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka si suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebaliknya.

2. Adanya hak milik pribadi secara terpisah

Pada harta yang digolongkan sebagai jenis harta yang kedua yaitu harta bawaan dan jenis harta ketiga yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak berasal dari mata pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik

Page 101: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

89Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing suami-istri mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta yang dimilikinya sebelum terjadinya perkawinan.

Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan, bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Berdasarkan pasal ini, secara yuridis formal dapat dipahami pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Yang mendapatkan bisa suami-istri secara bersama-sama, atau suami saja yang bekerja dan istri tidak bekerja atau istri yang bekerja dan suami tidak bekerja. Tidak ditentukan yang mendapatkan harta, melainkan harta itu diperoleh selama perkawinan. Jadi sangat jelas dan tegas, hukum menentukan bahwa harta yang diperoleh sebelum perkawinan bukanlah harta bersama. Dengan demikian, sifat norma hukum yang melekat pada Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah memaksa (dwingendrecht) atau disebut juga Imperative Norm.4

Harta bawaan dan harta perolehan diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

Mengenai harta bawaan dan harta perolehan walaupun sudah ditentukan oleh hukum, namun masih terbuka untuk dijadikan harta bersama dengan cara membuat perjanjian kawin sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian sifat norma hukum yang melekat pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan adalah mengatur (aanvullendrecht).5

4Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 108.5Ibid., hlm. 109.

Page 102: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

90 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Bagaimana pengurusan dan penguasaan mengenai ketiga macam harta tersebut serta hukum apakah yang berlaku. Mengenai harta bersama, suami-istri tidaklah bebas dan leluasa melakukan perbuatan hukum melainkan jika salah satu pihak akan menjaminkan atau mengalihkan harta tersebut wajib untuk meminta persetujuan dari pihak lainnya. Misalnya seorang suami-istri memiliki rumah sebagai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Suaminya seorang pelaku usaha dan istrinya seorang guru. Suami membutuhkan modal usaha dan memerlukan rumah tersebut untuk dijadikan jaminan utang kepada bank. Tindakan suami menjaminkan rumah itu harus mendapat izin dari istri. Jika tidak demikian, maka perjanjian kredit dengan jaminan rumah tersebut menjadi cacat hukum, dan dapat dibatalkan. Biasanya bank (kreditor) sangat hati-hati mengucurkan kreditnya sehingga dalam contoh di atas, bank meminta kepada istri untuk turut menandatangani perjanjian kredit agar di belakang hari tidak menjadi masalah hukum. Berbeda halnya dengan harta bawaan masing-masing suami atau istri yang tidak memerlukan izin salah satu pihak jika harta tersebut mau dijualkan ataupun dialihkan kepada pihak lain. Suami atau istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut.

Pengaturan hukum atas harta bersama jika terjadi perceraian adalah menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Dalam praktik, penggunaan hukum agama atau hukum adat tergantung pada agama dan suku dari suami-istri. Jika suami dan istri yang putus karena perceraian menganut agama Islam, mereka selalu membagi harta benda berdasarkan hukum Islam, namun tidak pula menutup kemungkinan dibagi berdasarkan hukum adatnya. Bagi agama non Islam, pembagian harta benda karena perceraian selalu tunduk pada hukum adat jika mereka satu suku, dan kalau tidak ada kesepakatan diselesaikan menurut hukum adat maka yang berlaku adalah hukum positif.

Page 103: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

91Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki oleh pasangan suami-istri sebelum perkawinan terjadi tidak menjadi bercampur kepemilikannya atau kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut tidak menjadi kepemilikan secara kolektif. Akan tetapi hak kepemilikan mengenai jenis harta ini dapat ditentukan menjadi hak kepemilikan bersama atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar hukum dalam hal ini adalah Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan: “……..adalah di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Hal ini mengandung arti yaitu apabila suami dan istri menghendaki terjadinya percampuran salah satu atau kedua jenis harta tersebut, maka percampuran harta ini dapat dimungkinkan dengan perjanjian sebelumnya. Mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas merumuskan hukum yang berlaku dalam pembagiannya karena diserahkan pembagian tersebut kepada hukum masing-masing.

Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing.

B. Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama

Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga

Page 104: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

92 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan.6

Harta bersama meliputi:

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan demikian;

c. Utang–utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami-istri.

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, harta bersama suami-istri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan, sehingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri.7

2. Harta Bersama Berdasarkan Hukum Adat

Secara umum, hukum adat tentang harta gono-gini hampir sama di seluruh daerah. Yang dapat dianggap sama adalah perihal terbatasnya harta kekayaan yang menjadi harta bersama (harta persatuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya, terutama mengenai kelanjutan dari harta kesatuan itu sendiri pada kenyataanya memang berbeda di masing-masing daerah. Misalnya di Jawa, pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan dan harta gono-gini setelah terjadi perceraian antara suami dan istri akan bermakna penting sekali.

Hal ini berbeda sekali dengan kondisi dari salah satu keduanya meninggal dunia, pembagian tersebut tidak begitu penting. Sementara itu, di Aceh, pembagian harta kekayaan kepada harta

6Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm. 96.

7J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 66.

Page 105: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

93Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

bawaan dan hareuta sauhareukat bermakna sangat penting baik ketika terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan jika salah seorang pasangan meninggal dunia.

Meskipun pembagian harta gono-gini di berbagai daerah boleh dikatakan hampir sama, tetapi ada juga yang dibedakan berdasarkan konteks budaya lokal masyarakatnya. Salah satu contoh di mana hukum adat yang cenderung tidak memberlakukan konsep harta gono-gini, yaitu di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Menurut hukum adat Lombok, perempuan yang bercerai pulang kerumah orangtuanya dengan hanya membawa anak dan barang seadanya, tanpa mendapat hak gono-gini.

3. Harta Bersama Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 119 KUH Perdata menentukan bahwa, mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara kekayaan suami-istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami-istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139 sampai Pasal 154 KUH Perdata.

Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH Perdata, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketenteraman umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Page 106: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

94 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami-istri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa, “Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing”. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau diagunkan.

Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami-istri dalam menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta pribadi mereka. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, di mana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami-istri karena perkawinan dan harta istri tetap mutlak jadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya.

Mengenai wujud harta pribadi itu sejalan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Ketentuan ini sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan (hewelijksevoorwaarden) sebelum akad nikah dilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami atau istri adalah (1) harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum

Page 107: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

95Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

perkawinan mereka laksanakan, (2) harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan. Di luar jenis ini semua harta langsung masuk menjadi harta bersama dalam perkawinan.

Semua harta yang diperoleh suami-istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.

4. Harta Bersama Menurut Hukum Islam

Konsep harta gono-gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih (hukum Islam). Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu, karena masalah harta gono-gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fikih Islam klasik, isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fikih klasik. Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.

Hukum Islam tidak melihat adanya gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Dalam kitab-kitab fikih, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami-istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain disebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami-istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (32), bahwa bagi semua

Page 108: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

96 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula.

Hukum Islam juga berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya. Namun Al-Qur’an dan Hadis tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsung perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Al-Qur’an dan hadis juga tidak menegaskan secara jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam perkawinan, maka secara langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut. 8

Sebagian pendapat para pakar hukum Islam mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef, serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa, suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama ini, sedangkan hal- hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu diatur dalam hadis yang juga merupakan salah satu sumber hukum Islam juga.9

Perspektif hukum Islam tentang gono-gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami-istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami-istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah atau perkongsian.

8Alfarabi, Harta Bersama/Gono gini dalam Hukum Perdata, http://alfarabi1706.blogspot.com/2013/01/harta-bersama-gono-gini-hukum-perdata.html. Diakses 13 Maret 2016, Pukul 09.00 Wib.

9Ibid., hlm. 109.

Page 109: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

97Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami-istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami-istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum.

Hukum Islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami-istri.

C. Harta Bawaan

1. Pengertian Harta Bawaan

Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 sama-sama berlaku bagi siapa saja. (dengan kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut). sedangkan harta bersama KUH Perdata dan harta bersama menurut UU Perkawinan hanya untuk memperbandingkan atau memperjelas pengertiannya. Harta yang selama ini dimiliki, secara otomatis akan menjadi harta bersama sejak terjadinya suatu perkawinan sejauh tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (yang dikenal dengan perjanjian perkawinan) sebelum atau pada saat perkawinan itu dilaksanakan.

Page 110: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

98 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Bila harta yang dimiliki saat ini adalah sebuah rumah, mobil serta deposito menjadi satu yang dikenal dengan nama harta bersama, maka sebelum atau pada saat perkawinan dilaksanakan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat melakukan perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta secara tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut (Pasal 29 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Jika terjadi perceraian bila tidak terdapat adanya suatu perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta, dalam praktik biasanya memang mengalami kesulitan dalam pembuktiannya, sehingga untuk lebih jelasnya mengenai “bagian masing-masing”, diadakan perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta.

Harta bawaan adalah harta yang dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). Harta warisan merupakan harta bawaan yang sepenuhnya dikuasai oleh suami atau istri, sehingga harta warisan tidak dapat diganggu gugat oleh suami atau istri. Jika terjadi perceraian maka harta warisan (dari orangtua) tetap ada di bawah kekuasaan masing-masing (tidak dapat dibagi).

Undang-Undang yang melindungi pihak di mana pihak tersebut mempunyai harta warisan disebut dengan perjanjian perkawinan (Pasal 29 UU Perkawinan) sebagai klausul yaitu:

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Page 111: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

99Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan di-langsungkan.

d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

2. Harta Bawaan dalam Keluarga

Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta benda. Pasca musibah gempa dan tsunami, persoalan kewarisan menjadi salah satu masalah hukum yang membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat mungkin. Dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar dalam musibah tersebut, menjadikan seseorang secara seketika dapat menyandang status ahli waris atau mendapatkan hak kepemilikan atas suatu harta warisan, namun tidak jarang juga persoalan terjadi bahwa harta warisan ini dapat menjadi bumerang dan bahkan menyebabkan tali persaudaraan terganggu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf e menjelaskan, bahwa makna ‘harta warisan’ adalah sebagai harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal dan membayar seluruh utang-utangnya.

Dari definisi ini berarti, harta warisan terdiri dari 2 jenis harta, pertama harta bawaan dan kedua harta bersama dalam sebuah keluarga, warisan bukan hanya berupa harta peninggalan dalam arti harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami dan istri, tetapi adakalanya juga harta bawaan.

Ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa, “Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah, serta hadiah, hibah atau warisan yang diterima dari pihak ketiga selama perkawinan”.

Page 112: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

100 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Sebelum berbicara lebih jauh tentang harta bawaan, dalam buku Hukum Adat Sketsa Asas, (karangan Iman Sudiyat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) menjelaskan, pada umumnya harta kekayaan keluarga itu dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) bagian:

a. Harta warisan (dibagikan semasa hidup atau sesudah si pewaris meninggal) untuk salah seorang di antara suami-istri, dari kerabatnya masing-masing;

b. Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk sendiri oleh suami atau istri masing-masing sebelum atau selama perkawinan;

c. Harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan atas usaha dan sebagai milik bersama;

d. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami-istri bersama.

Biasanya pasangan yang menikah sudah dibekali dengan Undang-Undang Perkawinan, namun tidak sedikit yang hanya sekadar menyimpan undang-undang tersebut tanpa membacanya, tetapi hanya sebatas pelengkap buku nikah, sehingga banyak pasangan suami-istri tidak terlalu memahami aturan yang ada di dalamnya. Akibat belum adanya pemahaman yang benar tentang harta bawaan ini, maka biasanya nasib harta bawaan sering menjadi sengketa setelah harta warisan akan dibagikan.

Terlebih lagi bagi seorang istri, ketika suaminya lebih dahulu meninggal dunia daripada dirinya, para istri banyak yang tidak memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh sebagai warisan dari suaminya. Pasca musibah gempa dan tsunami di Aceh, banyak perempuan yang berstatus janda karena suami mereka meninggal atau hilang pada kejadian itu, yang tidak memperoleh hak-hak waris yang memang menjadi hak mereka, bahkan dari harta bawaan yang mereka miliki karena sebelumnya harta itu sudah dipakai oleh suami untuk keperluan anda dan hukum dalam keseharian selama berumah tangga. Rida Wahyuni, Staf lapangan Pusat Studi

Page 113: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

101Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

dan Advokasi Hak Waris, Yayasan Bungong Jeumpa, mengatakan, secara garis besar pemahaman tentang kepemilikan harta antara suami dan istri secara umum dipahami oleh masyarakat, namun belum ada penguatan tentang pemahaman tersebut. Sehingga akan menjadikan satu kesulitan jika konflik keluarga terjadi, terkait pembagian harta warisan. ketika salah satu dari suami atau istri meninggal dunia.

Banyak warga yang belum bisa membedakan mana harta bawaan dan harta bersama. Hal ini terindikasi dari adanya beberapa kasus yang masuk ke Mahmakah Syar’iyah tentang bagaimana harus membagi harta warisan yang merupakan harta bersama dan memilah dengan harta bawaan.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama. Adapun harta bawaan, tetap menjadi harta milik masing-masing suami dan istri dan di bawah penguasaan masing-masing selama perkawinan sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 86 KHI menyebutkan, harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Akan tetapi kondisi ini dapat saja berubah jika pasangan suami-istri, sebelumnya telah membuat sebuah janji perkawinan yang menyebutkan posisi harta bawaan mereka. Akan tetapi, membuat janji perkawinan ini masih sangat jarang dilakukan masyarakat kita, meskipun hal ini telah diatur dalam perundang-undangan.

Janji perkawinan dibuat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perseteruan ketika pembagian warisan dilakukan. Sebelum akad nikah berlangsung, kedua calon pasangan suami-istri biasanya akan menyepakati tentang hal-hal tertentu secara tertulis, yang kemudian disebut sebagai janji perkawinan. Harta bawaan juga sering disebut sebagai harta asal, yang dimiliki seseorang sebelum melangsungkan perkawinan. Harta bawaan

Page 114: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

102 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

ini akan menjadi bagian harta warisan dan berhak diwarisi oleh pasangan jika pasangannya meninggal dunia.

Harta bawaan tidak berhak diwarisi jika suami-istri berpisah dengan bercerai. Seorang istri akan bisa mendapat bagian harta bawaan suami sebesar ¼ bagian, jika sang suami meninggal dunia dan tidak memiliki anak, dan akan mendapat 1/8 bagian jika mereka memiliki anak. Suami akan mendapat ½ bagian harta bawaan istri jika sang istri meninggal dunia, tidak mempunyai anak dan akan mendapat ¼ bagian jika mereka memiliki anak.

Hak dari pembagian harta bawaan akan gugur (suami atau istri) manakala kedua pasangan ini berpisah dengan cara bercerai. Terdapat banyak kasus di mana pihak istri atau pihak perempuan sering menderita kerugian, karena tidak mendapatkan hak apa pun dari peninggalan suaminya, terlebih lagi jika pasangan suami-istri ini tidak memiliki anak. Besarnya peran dari pihak keluarga suami sering kali mengaburkan hak-hak istri yang ditinggalkan.

Meski dalam posisi hukum, kaum perempuan sudah disetarakan haknya, tetapi dalam pelaksanaan sehari-hari masih banyak kasus yang bertolak belakang dengan peraturan yang berlaku. Pemikiran akan keberadaan kaum perempuan sebagai kaum marginal, masih sering ditemui di pedesaan dalam wilayah Aceh. Oleh karena itu, penyuluhan hukum terkait dengan hukum faraid ini juga harus terus diupayakan oleh berbagai pihak.

Dalam buku Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: (refleksi terhadap beberapa bentuk integrasi hukum dalam bidang kewarisan di Aceh), disebutkan bahwa harta bawaan atau hareuta tuha di Aceh diakui menurut hukum adat dan didefinisikan sebagai harta benda yang diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum menikah, dalam bentuk warisan, hibah atau harta benda yang dibeli atau dibuat. Pengamat Adat sekaligus pakar sejarah Aceh, Nurdin Abdurrahman, mengatakan di sebagian besar daerah Aceh seperti Aceh Pidie dan Aceh Besar, memberikan bekal harta kepada anak saat mereka melangsungkan perkawinan sudah menjadi kewajiban

Page 115: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

103Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

bagi orangtuanya. Harta bawaan ini juga dikenal dengan istilah hareuta peunulang.

Hareuta Peunulang adalah penghibahan benda tidak bergerak (rumah atau tanah) dari orangtua kepada anak perempuannya yang telah menikah. Penghibahan tersebut umumnya disaksikan oleh geuchik. Kebiasaan ini berkembang untuk mengimbangi kenyataan bahwa pembagian warisan memberikan porsi lebih besar kepada ahli waris laki-laki. Biasanya orangtua memberikan benda-benda yang tidak bergerak tersebut untuk menunjang kehidupan baru yang akan dijalankan oleh anak mereka yang baru melangsungkan pernikahan.

Ada orangtua yang memberikan barang-barang tepat pada saat pernikahan berlangsung, tetapi ada pula yang memberikan ketika cucu pertama mereka lahir. Pemberian ini juga bertujuan untuk menyatakan bahwa seorang anak sudah resmi memiliki penghidupan baru dan keluarga yang baru. Kegiatan pemisahan ini juga sering disebut dengan istilah peumeukleh. Kegiatan ini biasanya juga dilangsungkan di hadapan geuchik (lurah).

Pada saat penyerahan, biasanya geuchik akan menanyakan berapa banyak harta seorang ayah yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian pihak ahli waris anak laki-laki dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu, seorang ayah biasanya bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta kepada ahli warisnya kelak.

Dari penjelasan di atas harus dicatat bahwa, meskipun hareuta peunulang dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, namun hareuta peunulang tidak merupakan bagian dari warisan orangtua, dan juga tidak dapat menafikan hak waris anak perempuan. Hal ini berarti bahwa hareuta peunulang merupakan harta bawaan dan oleh karena itu tetap berada di bawah penguasaan mutlak dan eksklusif dari anak perempuan tersebut. Hareuta peunulang tidak

Page 116: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

104 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

boleh dibagi dengan ahli waris lainnya. Juga penting untuk dicatat bahwa sangat kecil kemungkinannya bahwa ahli waris yang lain akan mempersoalkan penyerahan hareuta peunulang karena tindakan tersebut akan dianggap tidak menghormati keputusan almarhum orangtuanya.

D. Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan dalam PerkawinanMenurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, harta

benda perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terbagi atas:10

1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan.

Harta bersama meliputi:

a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan demikian;

c. Utang–utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami-istri.

2. Harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami-istri yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami-istri yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan.

10Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op.Cit., hlm. 89.

Page 117: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

105Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Harta pribadi meliputi:

a. Harta yang dibawa masing-masing suami-istri ke dalam perkawinan termasuk utang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan;

b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pem-berian dari pihak lain kecuali ditentukan lain;

c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan lain;

d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami-istri sepanjang perkawinan berlangsung termasuk utang yang timbul akibat pengurusan harta milik pribadi tersebut.

Menurut J. Satrio, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta yaitu:11

1. Harta bersama

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta bersama suami-istri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan sehingga disimpulkan bahwa termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri.

2. Harta pribadi

Menurut Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak masuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta bawaan suami atau istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah, hibah, atau warisan.

11J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Op.Cit., hlm. 66.

Page 118: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

106 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

E. Hadiah dan Hibah

1. Hadiah

Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah disebutkan bahwa, hadiah itu dimaksudkan untuk mewujudkan kasih sayang di antara sesama manusia. Maksud tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa. Suatu hadiah dapat menjadikan orang yang memberi dapat menimbulkan kecintaan pada diri penerima hadiah kepadanya, selain itu, ketentuan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah Saw. menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya. Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadis di dalam shahihnya (2585) dan hadis ini memiliki hadis-hadis pendukung yang lain.

‘Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw. menerima hadiah dan membalasnya”.

Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadis Abu Hurairah ra, berkata bahwa: “Rasulullah Saw. apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?.” Apabila dikatakan shadaqah maka beliau berkata pada para sahabatnya “Makanlah!”. Sedangkan beliau tidak makan, dan apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya tanda penerimaan beliau, lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari 2576) dan (Muslim 1077).

Hadiah menurut istilah syar’i, yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya suatu benda kepada seseorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.

Page 119: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

107Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Definisi di antara 3 (tiga) perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang fakir dan orang kaya yang diniatkan untuk meraih rasa cinta dan balas budi atas hadiah yang telah diberikan.

Adapun hukum dari menerima dan menolak hadiah adalah sebagai berikut:

a. Hukum Menerima Hadiah

Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya. Maka, wajib menerimanya dikarenakan dalil-dalil berikut ini:

1) Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan jangan menganiaya kaum muslimin”. Di dalam Ash-Shahih (al-Bukhari dan Muslim). Dari Umar ra, beliau berkata: Rasulullah Saw. memberi ku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, “Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku”. Maka beliau menjawab, “Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah, dan bila engkau tidak menginginkannya, bersedekahlah dengannya.”

2) Salim Bin Abdillah berkata: “Oleh karena itu, Abdullah tidak pernah meminta kepada orang lain sedikit pun dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya sedikit pun”. (Shahih At Targhib 836). Dan di dalam sebuah riwayat, Umar ra berkata, “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di tangan-nya!, saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikit pun dan tidaklah aku diberikan

Page 120: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

108 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya,” (shahih At Targhib 836).

3) Rasulullah Saw. tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan oleh sebab yang syar’i. Oleh karena adanya dalil-dalil ini maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.

4) Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadis Abu Hurairrah ra, beliau berkata, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).

b. Hukum Menolak Hadiah

Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya, kecuali dikarenakan unsur syar’i. Nabi Muhammad Saw. melarang kita untuk menolak hadiah, hal ini berdasarkan sabda beliau, yang menyatakan bahwa: “jangan kalian menolak hadiah”.

2. Hibah

Para imam mazhab sepakat hibah menjadi sah hukumnya jika diakukan dengan 3 (tiga) perkara yaitu: Ijab, Kabul, dan Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan). Oleh karena itu, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali, hibah tidak sah kecuali berkumpulnya tiga perkara itu. Maliki berpendapat bahwa, sah dan lazimnya suatu hibah itu tidak memerlukan serah terima barang tetapi cukup adanya ijab dan kabul saja.

Serah terima barang merupakan syarat pelaksanaan dan syarat sempurnanya hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan mengakhirkan penyerahan barang, padahal yang menerima hibah

Page 121: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

109Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

terus-menerus memintanya hingga orang yang menghibahkan mati, sedangkan yang menerima terus memintanya (karena belum menerima hibahnya tersebut) hibahnya tidak menjadi batal dan ia berhak menerima kembali kepada ahli warisnya.

Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah Swt. Oleh karena itu, hibah hukumnya adalah mubah. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah: 177, yang berbunyi:

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya”.

Selain itu, hibah juga memiliki rukun dan syarat, jenis hibah, serta hikmah adanya hibah. Berikut akan diuraikan yang terkait dengan hibah, adalah sebagai berikut:

a. Rukun dan Syarat Hibah

1) Pemberi Hibah (Wahib)

Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh (dewasa), dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.

2) Penerima Hibah (Mauhub Lahu)

Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), di antaranya: “Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya”.

Page 122: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

110 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

3) Barang yang dihibahkan (Mauhub)

Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), di antaranya adalah, jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

4) Akad (Ijab dan Kabul), misalnya si penerima menyatakan, “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

b. Jenis Hibah

Hibah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apa pun. Misalnya, menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

2) Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

c. Hikmah hibah

Adapun hikmah hibah adalah:

1) Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama

2) Menumbuhkan sikap saling tolong menolong

Page 123: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

111Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

3) Dapat mempererat tali silaturahmi

4) Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

F. Pengurusan Harta dalam Perkawinan Pengaturan tentang pengurusan harta kekayaan perkawinan

dalam KUH Perdata didasarkan pada Maritale Macht, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 KUH Perdata, yang menentukan bahwa, “Suami adalah kepala persekutuan suami-istri (De man is het hoofd der echtvereeniging)”, sedangkan istri harus taat dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 KUH Perdata). Selanjutnya, dalam Pasal 108 KUH Perdata ditentukan, “Bahwa seorang wanita yang terikat tali perkawinan dalam melakukan perbuatan hukum harus mendapat izin lebih dahulu dari suaminya”. Oleh karena itu, Pasal 108 mengandung ketidakcakapan berbuat hukum (onbekwaamheid) bagi istri. Menurut Pitlo, kedua asas tersebut (asas maritale macht dan asas onbekwaamheid) merupakan 2 (dua) asas yang berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berlainan. Asas maritale macht mengakibatkan suami berwenang mengelola sebagian besar harta kekayaan, sedangkan asas onbekwaamheid mengakibatkan dalam setiap melakukan perbuatan hukum, istri harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari suami, karena kedua asas tersebut berbeda, maka tidak dapat diterapkan secara berdampingan. Suatu ketidaksengajaan telah terjadi adalah, kedua asas tersebut diterapkan secara bersama-sama dalam KUH Perdata.12

Berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membebani.”

Menurut Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ini, suami diberi wewenang yang sangat besar dalam mengurus (beheren) harta

12Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op.Cit., hlm. 47-48.

Page 124: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

112 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

kekayaan perkawinan. Istilah beheren di sini dipergunakan dalam arti luas yaitu, mengelola. Yang meliputi tindakan pengurusan (beherr) dalam arti sempit dan tindakan memutus (beschikken). Beheren dalam arti sempit menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata meliputi semua perbuatan untuk memelihara agar harta kekayaan itu tetap utuh dan berbuah, atau melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan tujuan atau fungsinya, sehingga harta kekayaan tersebut menghasilkan, misalnya mengolah tanah, menyewakan rumah, melakukan perbaikan atau reparasi. Beschikken (tindakan memutus) berisi tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan yuridis atas harta kekayaan perkawinan, yang dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata disebutkan sebagai perbuatan menjual, memindahtangankan dan membebani. Menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata, suami sendiri harus mengelola harta kekayaan persatuan.

Selajutnya, Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata menetukan, tanpa campur tangan istri, suami berwenang menjual, memindahtangankan atau membebani harta persatuan perkawinan. Istilah mengelola (beheren) dalam ayat (1) tersebut dipergunakan dalam arti luas, meliputi tindakan pengurusan (beheren dalam arti sempit) dan tindakan beschikken (tindakan memutus) sebagaimana diatur dalam ayat (2) Pasal 124 KUH Perdata. Kewenangan mengelola (besturen) suami berlaku terhadap harta persatuan, atas nama siapa pun harta persatuan itu terdaftar. Dalam suatu perkawinan, harta persatuan dapat berasal dari masing-masing suami-istri atau hasil mereka bersama. Sebelum perkawinan berlangsung, kemungkinan masing-masing suami atau istri mempunyai harta, jadi status hartanya adalah hart prive suami atau hart prive istri. Pada saat perkawinan berlangsung, harta tersebut dibawa masuk dalam perkawinan kemudian menurut hukum statusnya berubah menjadi harta persatuan. Selain berasal dari harta bawaan masing-masing suami atau istri, harta persatuan juga berasal dari harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta persatuan ini dapat berupa benda tetap maupun benda bergerak yang terdiri atas nama atau

Page 125: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

113Bab 3 | Harta Dalam Perkawinan

DUMMY

DUMMY

tidak atas nama, benda tetap maupun benda bergerak, yang terdiri atas nama istri yang diperoleh sebelum perkawinan biasanya dibiarkan tetap atas nama istri. Terhadap harta persatuan yang terdiri atas nama istri tersebut dapat dijual, dipindahtangankan atau dibeli oleh suami tanpa campur tangan istri. Jadi, menurut Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata, benda tetap (misalnya tanah) maupun benda bergerak (misalnya saham) yang terdiri atas nama istri, baik diperoleh sebelum maupun sepanjang perkawinan dapat dijual, dipindahtangankan atau dibebani oleh suami tanpa kuasa, izin atau persetujuan istri.

Terhadap harta kekayaan istri, hak pengelolaan suami dibedakan atas harta milik istri yang berupa benda tetap dan benda bergerak. Terhadap harta istri yang berupa benda tetap, suami hanya berwenang melakukan beheren (pengurusan) saja. Beschikken terhadap kekayaan istri yang berupa benda tetap adalah batal demi hukum (nietheid van rechtswege), karena perbuatan hukum tersebut dilakukan oleh orang yang tidak berwenang.

Terhadap harta istri yang berupa benda bergerak, terdapat perbedaan pendapat. HR dalam Arrestnya tertanggal 22 Juni 1888 dan tanggal 26 April 1940 menyatakan bahwa, terhadap harta private istri yang berupa benda bergerak, suami berwenang melakukan tindakan beschikken. Kewenangan ini didasarkan pada penafsiran a contrario terhadap Pasal 105 ayat (5) KUH Perdata. Dalam mengelola harta persatuan suami tidak bertanggung jawab kepada istri. Untuk itu suami tidak diminta oleh istri untuk memberi perhitungan dan pertanggungjawaban, juga setelah persatuan harta kekayaan terputus.

Dengan demikian, kekuasaan suami atas harta persatuan sangatlah besar. Suami dapat menghabiskan harta persatuan tanpa sepengetahuan istri. Wewenang mengelola suami ini muncul dari undang-undang, jadi dalam melakukan pengelolaan, suami melakukan berdasar kewenangannya sendiri, tidak mendapat kuasa dari istri, karena tersebut merupakan bagian dari maritale

Page 126: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

114 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

macht. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, kekuasaan suami atas harta kekayaan istri mempunyai 2 (dua) corak, yaitu:

1. Intern (antara suami-istri) dalam arti, merupakan hak suami tersendiri.

2. Ekstern (terhadap pihak ketiga) yang berarti suami adalah wakil (vertegenwoordiger) dari istri.

Berdasarkan Pasal 125 KUH Perdata, diatur jalan keluar apabila suami tidak dapat melakukan pengelolaan atas harta persatuan, yaitu suami dalam keadaan tidak hadir atau dalam keadaan memaksa untuk melakukan tindakan terhadap harta persatuan dalam keadaan demikian, maka oleh Pengadilan Negeri si istri dapat diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum memindahtangankan atau membebani (beschikken) harta persatuan. Walaupun tidak disebut dalam Pasal 125 KUH Perdata, namun mestinya Pengadilan Negeri berwenang memberi kuasa kepada istri untuk melakukan pengurusan (beheren) atas harta persatuan, karena tindakan pengurus ini sangat bermanfaat bagi suami-istri yang bersangkutan. Selain itu, akibat hukum yang ditimbulkan oleh tindakan pengurusan (beheren) tidak begitu besar. Kekuasaan suami dalam mengelola yang sedemikian besarnya atas harta perkawinan tersebut dibatasi oleh undang-undang dan dapat pula dibatasi oleh perjanjian.

Page 127: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

115Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

anaK DI LuaR PERKaWInan

bab 4

A. Latar BelakangSetiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan

agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dari kehidupan suami-istri di dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan berakibat penting dalam masyarakat yaitu apabila mereka dianugerahi keturunan, dengan keturunannya mereka bisa membentuk suatu keluarga sendiri. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami-istri memikul amanah dan tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang membutuhkan pengorbanan.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan banyak disinggung perihal masalah kekeluargaan yang berhubungan erat dengan suatu dasar perkawinan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjelaskan, bahwa:

Page 128: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

116 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas, memberi suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita bangsa, yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya di masa depan, maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial.

Anak merupakan generasi muda pewaris suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi kuat, makmur dan sejahtera apabila generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hak-haknya. Pembinaan anak merupakan tanggung jawab orangtua atau keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah serta anak itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup serta pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan mental anak sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses pembangunan apabila tidak ada upaya perlindungan terhadap anak maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ini akan mengganggu jalannya pembangunan itu sendiri, mengganggu ketertiban dan keamanan negara.

Page 129: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

117Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena berkaitan dengan harta warisan. Selain itu, hukum ingin memastikan bahwa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu adalah sah, dan secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat dengan memberi label anak haram, anak tidak sah, anak zina, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memengaruhi psikologi anak tersebut. Apabila anak yang dilahirkan tidak sah, oleh seorang istri misalnya istri berzina dengan pria lain, maka suaminya dapat menyangkal anak tersebut dengan mengajukan bukti-bukti yang cukup. Penyangkalannya diajukan kepada pengadilan untuk memberikan keputusan hukum tentang anak tersebut.1

Kedudukan anak luar kawin dalam kehidupan sehara-hari adalah serba sulit, di satu pihak karena status yang demikian oleh sebagian masyarakat mereka dipandang rendah dan hina, di lain pihak dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan masih mendapat pembatasan-pembatasan.

Sejak lahir manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban, begitu juga dengan anak luar kawin, mereka juga sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dengan anggota masyarakat lainnya. Karena itu, anak luar kawin juga berhak mendapatkan perlindungan hukum termasuk dalam bidang keperdataan seperti yang dapat dinikmati oleh anak-anak lainnya. Tidak boleh ada diskriminasi dalam hal menyangkut hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: “Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum”.

Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai generasi pewaris untuk pembangunan dan memimpin negara di kemudian hari, namun, dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum menikmati haknya. Menurut ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 67.

Page 130: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

118 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1974 tentang Perkawinan, bahwa kedudukan anak luar kawin akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini belum terwujud. Hal demikian berarti sarana hukum yang tersedia bagi penyelesaian masalah anak luar kawin sampai saat ini belum memadai.

1. Pengertian Hubungan di Luar Nikah

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian untuk melangsungkan suatu perkawinan, maka harus memenuhi syarat-syarat maupun ketentuan serta tata cara melakukan perkawinan. Hak dan kewajiban suami dan istri dan berakhirnya perkawinan dengan perceraian juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.2

Bertitik tolak dari hal-hal tersebut, di sini hubungan luar nikah dapat kami beri pengertian sebagai berikut:

“Hubungan luar nikah (kawin) adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami-istri tanpa dilandasi dengan ikatan perkawinan seperti dimaksud Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.

Hubungan tersebut tidak memiliki tali perkawinan, oleh karena itu, tidak ada persyaratan yang harus dipenuhi seperti dalam melakukan perkawinan maupun hak dan kewajiban yang jelas di antara mereka. Bentuk-bentuk hubungan luar nikah ini biasanya berupa hubungan seks dan hidup bersama, berikut akan dijelaskan pengertian keduanya:3

2Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan di Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998), hlm. 72.

3Ibid., hlm. 73.

Page 131: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

119Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

a. Hubungan seks

Setiap manusia normal yang tumbuh dewasa dalam dirinya pasti memiliki rasa tertarik kepada lawan jenisnya untuk melakukan hubungan seks atau hubungan kelamin. Apabila hubungan seks dilakukan di luar perkawinan, maka hubungan tersebut seperti yang banyak di dengar di masyarakat dilakukan dengan teman, dengan pacar, dengan pekerja seks komersial (PSK), dan terkadang dengan orang lain yang baru dikenal. Bentuk hubungannya dapat berupa perzinaan dan pemerkosaan.

b. Hidup bersama

Hubungan seks sebagaimana dibicarakan di atas merupakan hubungan luar nikah yang sifatnya hanya sebentar. Biasanya setelah hubungan itu selesai, mereka bubar dan pulang masing-masing ke rumahnya. Berbeda dengan hidup bersama tanpa nikah, mereka tidak ingin hubungannya hanya sebatas hubungan seks saja, tetapi mereka bersepakat untuk tinggal berdua selama mereka mau. Dalam kehidupan masyarakat hidup bersama tanpa nikah kebanyakan dilakukan kaum tunawisma dan tunakarya, mereka umumnya menempati gubuk-gubuk liar maupun di bawah jembatan. Ada juga kaum terpelajar atau dari kalangan berduit yang hidup kumpul “kebo”. Tapi jumlahnya sangat sedikit dan biasanya pelakunya tidak ingin diketahui identitasnya karena malu kalau diketahui orang lain.

2. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Hubungan Luar Nikah

Adanya kenyataan di masyarakat mengenai hubungan luar nikah tentu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan itu. Menurut pendapat Gatot Supramono, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya hubungan luar nikah, yaitu:4

4Ibid., hlm. 75.

Page 132: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

120 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

a. Faktor cinta

Cinta merupakan salah satu faktor yang paling banyak memengaruhi terjadinya hubungan luar nikah. Kalau ada laki-laki dan wanita yang sudah sama-sama jatuh cinta, pada umumnya mereka sering “lupa diri”. Pada kenyataannya, mereka rela mengorbankan apa saja yang di miliki oleh dirinya masing-masing. Mereka rela melakukan apa yang mereka anggap demi cinta yang utuh. Faktor ini sering menyebabkan terjadinya perbuatan yang menyimpang, misalnya hamil di luar nikah yang terjadi pada remaja. Hal tersebut menjadi jalan pintas bagi seseorang untuk melakukan hidup bersama tanpa nikah.

b. Faktor mau sama mau

Berbeda dari faktor sebelumnya, faktor mau sama mau antara pria dan wanita melakukan suatu hubungan tidak selalu bermula dari adanya cinta. Pada faktor ini, sepasang manusia (pria dan wanita) yang berlainan jenis hanya sebatas saling tertarik saja, bukan karena di landasi saling cinta antara keduanya. Mereka mau melakukan hubungan luar nikah karena adanya keinginan sementara (rasa tertarik), hubungan tersebut biasanya hanya dilakukan sekali atau sesekali. Bentuknya hanya berupa hubungan seks saja dan tidak untuk hidup bersama.

c. Tuntutan biologis (mencari kepuasan semata)

Faktor lain yang mendorong terjadinya hubungan di luar nikah adalah untuk penyaluran tuntutan biologis. Pada kategori ini pada umumnya sering terjadi di kalangan remaja maupun di kehidupan rumah tangga. Di kalangan remaja misalnya, banyaknya wanita hilang keperawanannya bahkan hamil di luar nikah karena kurang mampu meredam tuntuan biologis. Di kalangan rumah tangga, hal ini sering terjadi pada rumah tangga yang sedang bermasalah, terutama ada hambatan dalam melakukan hubungan suami-istri.

Page 133: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

121Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

d. Faktor ekonomi

Tekanan ekonomi serta menginginkan kehidupan yang lebih baik yang dijadikan oleh sebagian orang mau melakukan hubungan di luar nikah demi mendapatkan uang. Bentuk perbuatan itu berupa perbuatan pekerja seks pada umumnya yang dilakukan oleh kaum wanita pekerja seks komersial. Selain itu, karena faktor ekonomi kurang menunjang kebutuhan hidup, maka sebagian orang rela untuk hidup bersama tanpa nikah. Mereka yang hidup di gubuk-gubuk liar atau yang bertempat tinggal di bawah jembatan yang hidupnya seperti layaknya pasangan yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak. Mereka bukannya tidak mau melakukan perkawinan, tetapi tidak mempunyai biaya untuk kepentingan tersebut.

3. Permasalahan yang Timbul Akibat Hubungan di Luar Nikah

Akibat adanya hubungan di luar nikah menyebabkan beberapa permasalahan yang terjadi di masyarakat, yaitu:

a. Pada hubungan di luar nikah terutama atas dasar saling cinta, biasanya sering terjadi pada pasangan remaja (muda mudi) saat ini, pergaulan yang kurang sehat sering menimbulkan wanita hamil di luar nikah. Kondisi seperti ini menimbulkan paksaan terhadap laki-laki yang telah menghamilinya untuk bertanggung jawab dan membuat perjanjian untuk mengawini perempuan tersebut. Karena kondisi tersebut sangat besar bagi si perempuan, yaitu menjadi hamil dan melahirkan anak tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan memberi efek negatif bagi dirinya maupun keluarganya di hadapan masyarakat. Keadaan-keadaan seperti ini yang membuat adanya perjanjian antara keduanya, yaitu untuk menikahi si perempuan yang telah hamil di luar nikah, apabila janji tersebut dipenuhi maka tidak akan menjadi masalah, namun bagaimana halnya jika laki-laki tersebut di kemudian hari

Page 134: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

122 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

ternyata ingkar janji, dan apakah laki-laki tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum?.

b. Dalam hukum pidana, hubungan di luar nikah tersebut hanya dilarang apabila salah satu pihak atau kedua-duanya telah menikah (terikat perkawinan) dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan masalah jika pelakunya adalah orang yang belum menikah dan salah satu pihak merasa dirugikan?.

c. Apabila dari hubungan di luar nikah tersebut melahirkan seorang anak, yang menurut Undang-Undang Perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja, apakah laki-laki yang menghamili masih memiliki hubungan hukum dengan anak tersebut?.

B. Anak Luar Kawin

1. Anak Luar Kawin Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris diatur dalam Pasal 280 jo Pasal 863 KUH Perdata. Anak luar kawin yang berhak mewarisi tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti sempit. Mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang dalam Pasal 272 jo 283 KUH Perdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah apa yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 280 KUH Perdata.

Pembagian tersebut dilakukan karena undang-undang yang telah mengaturnya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan, memberikan akibat hukum yang berbeda atas status anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283

Page 135: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

123Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

KUH Perdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 KUH Perdata dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 KUH Perdata adalah berbeda.

Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283 KUH Perdata, dihubungkan dengan Pasal 273 KUH Perdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, Undang-Undang dalam keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUH Perdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUH Perdata). Pengecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.

Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan Undang-Undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUH Perdata).

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUH Perdata).

Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu overspelig atau

Page 136: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

124 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

bloedsrhenning (anak zina). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUH Perdata).

Pasal 280 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa: “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, menimbulkan hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya”. Artinya adalah, bahwa antara anak luar kawin dan “ayah” (biologisnya) maupun “ibunya” pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau “ayah” dan/atau “ibunya”memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.

Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara orangtua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. Akan tetapi, jika dihubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya didasarkan atas hubungan darah, yaitu melalui suatu pengakuan. Dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah.

Anak sah berada di bawah kekuasaan orangtua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUH Perdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUH Perdata.

Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUH Perdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian

Page 137: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

125Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUH Perdata.

b. Berdasarkan Pasal 836 KUH Perdata, ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUH Perdata yang menyebutkan, bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.

Ketentuan Pasal 832 KUH Perdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris, yakni harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUH Perdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin, KUH Perdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 250 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:

“Anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah”.

Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUH Perdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43 UU Perkawinan, yaitu:

a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;

b. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Page 138: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

126 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan bahwa:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa:

a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat;

b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah menurut agama Islam, yaitu adanya ijab dan kabul, wali nikah dan pengantin yang sudah cukup umur, namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.

Page 139: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

127Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Dari 5 (lima) rukun nikah itu tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadis Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap dianggap anak sah.

Sebuah Hadis Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari hadis itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah.

Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinaan anak hanya bernasab dengan ibunya.

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu, “anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan Pasal 250 KUH Perdata menentukan bahwa, “tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.

Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas memberikan definisi atau batasan tentang anak, namun hanya memberikan pengertian anak secara negatif, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 98 ayat (1) yaitu: “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang

Page 140: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

128 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.

Batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya. Sedangkan anak sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orangtuanya yang sah menurut ajaran agama. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Apabila suatu perkawinan yang menurut hukum sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan merupakan anak yang sah pula.

2. Kedudukan dan Pengakuan Anak yang Lahir di Luar Perkawinan

Berdasarkan ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orangtuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orangtuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.

Berbeda halnya dengan UU No. 1 Tahun 1974, dalam KUH Perdata dinyatakan secara tegas bahwa anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan setelah 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan

Page 141: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

129Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

dibubarkan.5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal istilah anak luar kawin. Istilah anak luar kawin (Erkent Natuurlijke Kind) dijumpai dalam KUH Perdata Bab XII Bagian Kedua. Sebutan lain untuk anak luar kawin adalah anak wajar. Selain itu, dikenal pula istilah anak zina dan anak sumbang.6

Anak luar kawin dapat diartikan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Anak zina, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain;

b. Anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita yang menurut undang-undang tidak diperkenankan melakukan perkawinan satu sama lain;

c. Anak alami, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi kedua orangtuanya tidak terikat dengan perkawinan lain.7

Dari ketiga jenis anak luar kawin tersebut, tidak semuanya dapat memperoleh harta warisan dari orangtuanya. Hanya anak alami saja yang dapat memperoleh harta warisan, itu pun dengan persyaratan khusus melalui lembaga pengakuan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak luar kawin, mengenal lembaga pengakuan dan pengesahan anak. Lembaga pengakuan anak diatur dalam Pasal 280 KUH Perdata yang mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan hukum perdata antara si anak dengan ayah atau ibunya. Dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

5Ibid., hlm. 68.6Ibid., hlm. 69.7Ibid.

Page 142: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

130 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

dengan ibunya dan keluarga ibunya. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengakui anak tersebut?. Jika dicermati Pasal 41 UU Perkawinan, maka tidak akan terjadi pengakuan itu dilakukan oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya sudah berlangsung secara otomatis tepat sejak anak itu dilahirkan.8

Pada prinsipnya, anak yang dilahirkan karena perzinaan (overspel) atau dikenal dengan anak sumbang tidak mungkin untuk diakui. Dalam hal tertentu, pengecualian atas pengakuan ini hanya dimungkinkan dengan adanya dispensasi dari Presiden. Lembaga pengesahan anak diatur dalam 2 (dua) cara yaitu melalui Pasal 272 KUH Perdata dan Pasal 274 KUH Perdata. Dalam Pasal 272 KUH Perdata, pengesahan dilakukan dengan perkawinan orangtua, sedangkan dalam Pasal 274 KUH Perdata, pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan Presiden setelah mendengar nasihat Mahkamah Agung.

Akan tetapi, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUH Perdata. Sehingga anak luar kawin memiliki kedudukan secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orangtuanya.

8Ibid.

Page 143: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

131Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan:

a. Pengakuan sukarela

Pengakuan sukarela adalah suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya dan ibunya seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbullah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUH Perdata.

Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUH Perdata, yaitu:

1) Dalam akta kelahiran si anak. Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) KUH Perdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan/atau kuasanya berdasarkan kuasa autentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut;

2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orangtuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) Jo Pasal 272 KUH Perdata, pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah;

3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta autentik, seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUH Perdata;

4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUH Perdata.

Page 144: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

132 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

b. Pengakuan Paksaan

Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUH Perdata.

Anak luar kawin yang mendapat pengakuan adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang). Menurut KUH Perdata, ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

1) Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUH Perdata.

2) Golongan II: Orangtua (bapak atau ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857 KUH Perdata.

3) Golongan III: Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata.

4) Golongan IV: Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2), Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 856 dan Pasal 866 KUH Perdata.

Page 145: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

133Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

3. Status Hukum Anak Luar Kawin

Menurut Hukum Adat, apabila seorang istri melahirkan anak sebagai akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkan tadi, kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh masyarakat Hukum Adat, menolaknya.

Di dalam Hukum Adat, tidak ada aturan sebagaimana dikenal dalam Hukum Islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah menikah, sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah. Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut Hukum Adat, mempunyai ayah bekas suami wanita yang melahirkan tadi, apabila kelahirannya terjadi dalam batas waktu-waktu mengandung.

Terhadap anak-anak di luar perkawinan, Hukum Adat di berbagai daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Akan tetapi pada dasarnya hal itu tercela, dan Hukum Adat mempunyai berbagai cara untuk mengatasi hal itu. Pertama-tama ada lembaga kawin paksa (seperti di Sumatera dan Bali) di mana laki-laki yang menyebabkan kehamilan si wanita, dipaksa untuk mengawininya dan terhadapnya dapat dijatuhi Hukum Adat, apabila hal itu tidak dapat dipatuhinya.

Kemudian ada cara lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang hamil tadi dengan laki-laki lain agar si anak lahir sebagai anak yang sah (di Jawa nikah tambalan). Namun dapat dikatakan, bahwa pada umumnya anak luar kawin tidak mempunyai ayah (kecuali di Minahasa dikenal lembaga lilian yang bermaksud untuk menghilangkan keraguan bahwa ayah biologis adalah juga ayah si anak secara yuridis).

Anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut hukum dengan yang menikahinya. Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga dari ibu seperti yang dikatakan oleh S.A. Hakim, S.H., di dalam Hukum Adat

Page 146: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

134 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan. Menurut Hukum Islam, anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh ayahnya (ayah alaminya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi, si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai ayah.

Menurut buku Dr. Wirdjono, Hakikat dalam Hukum Islam, disebutkan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai ayah. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan menurut hukum Islam adalah anak tidak sah, yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.

Menurut Hukum Perdata, anak di luar perkawinan dikenal dengan istilah natuurlijke kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut di dalam BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Baru setelah adanya pengakuan, terbitlah suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (hak mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya, demikian menurut Subekti. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijke kind.

Pasal 272 BW yang berbunyi sebagai berikut: Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orangtua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.

Page 147: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

135Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Jikalau kedua orangtua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan cara pengesahan dari Kepala Negara, yaitu Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka Pencatatan Sipil dengan catatan dalam Akta Kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orangtua, atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris.

Jadi, jika ditinjau menurut Hukum Perdata yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek, kita akan melihat adanya tiga tingkatan status hukum daripada anak di luar perkawinan, yakni:

a. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh kedua orangtuanya;

b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orangtuanya;

c. Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orangtuanya melakukan perkawinan yang sah.

Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU tersebut, dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Ketentuan pasal tersebut menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris hanya dengan ibunya. Sebaliknya, anak yang sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan ibunya dan keluarga ibunya, juga hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Page 148: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

136 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

4. Syarat Mendapatkan Warisan

Untuk dapat menjadi seorang ahli waris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, yaitu untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 874 KUH Perdata, bahwa diimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian melalui surat wasiat.

b. Berdasarkan ketentuan Pasal 836 KUH Perdata, bahwa ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”.

Ketentuan Pasal 832 KUH Perdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUH Perdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUH Perdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUH Perdata, yaitu setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUH Perdata, bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Sementara dalam hukum Waris Islam berlaku ketentuan mengenai rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, rukun tersebut meliputi:

Page 149: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

137Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

a. Muwarits (Pewaris)

Muwarits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda. Harta warisan dapat dibagi setelah pewaris dinyatakan meninggal dunia baik secara fisik maupun secara hukum, peristiwa kematian itu harus diketahui secara pasti atau bisa juga berdasarkan keputusan hakim seperti orang hilang yang tidak diketahui keberadaannya apakah ia sudah mati atau masih hidup. Jadi syarat pembagian waris itu adalah pewaris secara pasti telah meninggal dunia atau atas putusan hakim.

b. Warits (Ahli Waris)

Warits adalah seorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta warisan. Orang yang berhak mendapat warisan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah atau nasab, hubungan perkawinan, karena memerdekakan si mayat dan karena sesama Islam.

c. Mauruts (Harta Warisan)

Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan, terlebih dahulu diketahui apa yang disebut dengan “harta peninggalan” atau dalam bahasa Arab disebut dengan “tirkah atau tarikah”, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.

Pengertian tersebut di atas menegaskan, bahwa harta peninggalan itu terdiri dari:

a. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, dan piutang-piutang;

b. Hak-hak kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan;

Page 150: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

138 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

c. Hak-hak yang bukan kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaan ini seperti hak khiyar, hak syuf ’ah (hak beli diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan).

Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayat, yang terdiri dari:

a. Zakat atas harta peninggalan

Yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayat, akan tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta peninggalannya, seperti zakat pertanian dan zakat harta.

b. Biaya pemeliharaan mayat

Yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan mayat adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kafan dan penguburan.

c. Biaya utang-utang yang masih ditagih oleh kreditor (pemberi pinjaman)

Hal ini sejalan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya itu dilunasi”.

d. Wasiat

Yang dimaksud dengan wasiat di sini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya:

Page 151: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

139Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

“Kamu wasiatkan sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain”.

Menurut ketentuan hukum Waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Karena hubungan perkawinan. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau istri dari si mayat.

b. Karena adanya hubungan darah. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.

c. Karena memerdekakan si mayat. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.

d. Karena sesama Islam. Seseorang Muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Maal dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.

Page 152: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

140 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

C. Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan sedarah dengan ayahnya.

Ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dimaknai dan diartikan sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dengan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya”.

Page 153: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

141Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Berdasarkan putusan tersebut di atas, maka tampak bahwa putusan ini tidak ada disebut menghapuskan atau mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya saja mengubah makna dari ketentuan pasal tersebut, asalkan memenuhi persyaratan (Conditionally Unconstitutional) yakni sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya.

Akan tetapi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini juga masih terdapat kontroversi pendapat yang berkaitan dengan frasa “anak luar nikah atau anak di luar perkawinan” yang dimaksudkan, hubungan perdata yang dimaksud, hak-hak apa saja yang dimaksud dalam konteks hubungan keperdataan itu (termasuk waris terhadap anak tersebut atau tidak), dan bagaimana besar bagian hak waris yang diperoleh.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. MUI menyatakan, bahwa:

“Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut hukum agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

Selanjutnya, MUI menjelaskan bahwa ketentuan hukum terhadap anak di luar pernikahan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya;

b. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya;

Page 154: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

142 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

c. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan orang yang mengakibatkan kelahirannya;

d. Pezina dikenakan hukuman Hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifz al-nasb);

e. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman Ta’zir terhadap lelaki pezina yang menyebabkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah;

f. Hukuman sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan nomor 5 bertujuan untuk melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

2. Analisis Anak Luar Kawin dalam Hal Mewaris Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Kesimpulan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada tanggal 17 Februari 2012 tersebut adalah bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum maupun ahli agama. Adapun yang menjadi bagian yang kontroversial tersebut adalah mengenai hak bagian warisan dari anak yang lahir di luar perkawinan atau yang disebut dengan anak zina.

Jika dikaji dalam perspektif Hukum Islam, anak zina tidak berhak untuk mewarisi dari ayah biologisnya. Hal itu karena anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya

Page 155: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

143Bab 4 | Anak di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

(lelaki yang menyebabkan kelahirannya). Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, bahwa:

“Siapa pun laki-laki yang melacur dengan perempuan yang merdeka atau budak perempuan, maka anaknya adalah anak zina dan mewarisi atau diwarisi”.9

Oleh karena itu, anak zina dalam perspektif hukum Islam tidak memiliki hak waris dari ayah biologisnya. Selain itu, menurut kalangan pendapat ahli, Muhammad Jawad Mugniyah dalam bukunya yang berjudul “Fikih 5 (Lima) Mahzab”, yang mengacu pada mahzab Hanafi, menjelaskan bahwa antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi. Hal itu disebabkan bahwa anak zina tidak memiliki hubungan hukum (hubungan syar’i) dengan ayah biologisnya. Dengan kata lain, anak zina tidak termasuk anak yang syar’i berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang tidak diragukan kebenarannya.10

Dalam ketentuan Pasal 862 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa anak luar kawin yang telah diakui oleh ayah biologisnya saja yang berhak untuk mendapatkan warisan. Dalam ketentuan pasal tersebut bahwa untuk mendapatkan bagian warisan, anak luar kawin harus mendapat pengakuan dari ayahnya. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, putusan MK tersebut mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam putusannya, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dengan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/

9Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Cet 10, (Kuala Lumpur: Darul Fikr, 2007), hlm. 489.

10Neng Djubaidah, Farida Prihartini dan Sulaikin Lubis, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hecca Publishing bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 23.

Page 156: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

144 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya”. Ketentuan tersebut berarti, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan akan mendapatkan bagian hak warisan (hubungan keperdataan) selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan ayahnya, tanpa harus mendapatkan pengakuan dari ayah si anak (anak luar nikah).

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yaitu antara anak zina dengan ayah biologisnya pada dasarnya tidak memiliki hubungan keperdataan (dalam Islam disebut dengan hubungan nasab), sehingga di dalam bidang hukum kewarisan antara anak zina terhadap ayah biologisnya tidak memiliki hak waris. Akan tetapi, untuk melindungi anak tersebut Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa melalui Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, yang salah satunya adalah mewajibkan ayah biologisnya untuk mencukupi kebutuhan hidup si anak (anak luar kawin) dikarenakan untuk melindungi kehidupan si anak. Hal yang serupa juga tergambar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu bahwa anak luar kawin berhak atas hubungan keperdataan tidak hanya pada ibunya tetapi juga terhadap ayah dan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan secara benar dan rasional, ketentuan tersebut guna melindungi kehidupan si anak.

Page 157: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

145Bab 5 | Harta Anak yang Lahir di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

HaRta anaK YanG LaHIRDI LuaR PERKaWInan

bab 5

A. Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hal PewarisanBerdasarkan ketentuan Hukum Perdata, berkaitan dengan

anak dibedakan atas 3 (tiga) golongan terhadap anak-anak, yaitu:

1. Anak sah, yaitu yang dilahirkan dalam perkawinan;

2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, tetapi diakui oleh ayah atau ibunya. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak itu;

3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan tidak diakui oleh ayahnya maupun ibunya, menurut hukum anak tersebut tidak punya ibu.

Anak luar kawin, yang bapak ibunya tidak boleh kawin karena dekatnya hubungan darah (anak sumbang), dan anak luar kawin yang berasal dari hubungan laki-laki dengan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan (anak zina), tidak ada kemungkinan untuk diakui oleh bapak dan/atau ibunya. Anak seperti ini, tidak berhak sama sekali atas harta warisan dari orangtuanya dan sebanyak-banyaknya hanya memperoleh sekadar nafkah yang cukup untuk hidup.

Page 158: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

146 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Terhadap anak luar kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya. Oleh karena itu, anak luar kawin yang tidak diakui tidak akan mewarisi dari siapa pun juga. Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan pihak orang yang mengakuinya. Adapun dengan keluarga sedarah dari orangtua yang mengakui tersebut mereka tidak mempunyai hubungan hukum sama sekali. Jadi, anak tersebut tidak berhak terhadap barang-barang keluarga orangtua yang mengakuinya (Pasal 872 KUH Perdata). Adapun pengecualiannya adalah, apabila tidak meninggalkan ahli waris sampai dengan derajat yang mengizinkan pewarisan, maka anak luar kawin tersebut berhak menuntut seluruhnya harta warisan dengan mengesampingkan negara (Pasal 873 KUH Perdata). Anak luar kawin dapat disahkan dengan perkawinan orangtuanya atau dengan surat pengesahan. Jika pengesahan karena perkawinan orangtuanya, maka keadaan anak tersebut sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan.

Hal ini berarti ia berhak penuh atas warisan yang terbuka dari peninggalan orangtuanya. Jika pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan anak-anak sah yang ada sebelum pengesahan itu dilakukan. Dalam hal mewarisi yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak bagian anak luar nikah tergantung dengan siapa anak luar nikah tersebut mewaris. Hanya anak luar nikah yang telah diakui dan disahkan oleh orangtuanya yang mendapat harta warisan. Besarnya hak bagian anak luar kawin tersebut adalah sabagai berikut:

1. Anak luar nikah mewarisi bersama-sama golongan pertama, yang meliputi anak-anak atau sekalian keturunannya (Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan suami atau istri hidup lebih lama (Pasal 852 A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), maka bagian anak luar nikah tersebut ialah 1/3 dari harta yang ditinggalkan.

Page 159: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

147Bab 5 | Harta Anak yang Lahir di Luar Perkawinan

DUMMY

DUMMY

2. Anak luar nikah mewarisi bersama-sama ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga, Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa: Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan ataupun suami dan istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah ataupun saudara (laki-laki maupun perempuan) atau keturunan saudara, hak anak luar nikah menerima ½ dari warisan.

3. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris golongan keempat, yang meliputi sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka besarnya hak bagian anak luar nikah adalah ¾ berdasarkan Pasal 863 ayat (1) bagian ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Anak luar nikah mewaris dengan ahli waris keluarga yang bertalian darah dalam lain penderajatan, maka besarnya hak bagian anak luar nikah menurut Pasal 863 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dihitung dengan melihat keluarga yang terdekat hubungan penderajatannya dengan pewaris (dalam hal ini adalah golongan ketiga), sehingga anak luar nikah menerima setengah bagian (Pasal 863 ayat (1) bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

5. Anak luar nikah sebagai satu-satunya ahli waris. Apabila anak luar nikah yang telah diakui oleh orangtuanya sebagai ahli waris tunggal, maka anak luar nikah tersebut mendapat seluruh harta warisan (Pasal 865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Selain bagian anak luar nikah dalam pewarisan yang telah dijelaskan di atas, maka anak luar nikah yang diakui oleh orangtuanya juga berhak mendapatkan atau menuntut bagian mutlak atau legitieme portie. Pengertian legitieme portie adalah ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi oleh undang-undang. Menurut Pasal 961 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagian mutlak atau legitieme portie dari bagian

Page 160: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

148 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

luar nikah adalah ½ dari bagian yang menurut Undang-Undang sedianya harus diwariskan dalam pewarisan karena kematian.

B. Pengurusan Harta Warisan Anak yang Lahir di Luar PernikahanPengurusan harta warisan anak yang lahir di luar pernikahan

dapat diurus oleh Notaris dengan membuat beberapa perjanjian. Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat ketentuan sebagai berikut:

1. Akta Pembatalan, akta pembatalan merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan akta pembagian waris yang telah pernah dibuat sebelumnya, dan untuk membuat akta pembagian waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;

2. Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara mufakat dan membagi waris menurut Undang-Undang;

3. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan akta pembagian waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta perjanjian pelepasan hak tuntutan ini dibuat tanpa membatalkan akta pembagian waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.

Page 161: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

149Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan

DUMMY

DUMMY

anaK YanG LaHIRSELama PERKaWInan

bab 6

A. PengertianSecara yuridis, yang dimaksud dengan anak sah adalah

pertama, anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah; kedua, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena itu, anak sah tidak dapat dilepaskan dari suatu perkawinan yang sah.1

B. Hubungan Hukum Orangtua dan Anak

1. Kedudukan Hukum Anak

Kesahan suatu perkawinan akan menentukan kedudukan hukum, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga. Mengenai kedudukan hukum anak diatur di dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 dan Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan.

Dalam hal ini perlu diketahui UU Perkawinan membedakan anak dalam perkawinan atas anak yang sah dan anak yang tidak sah. Keduanya mempunyai kedudukan hukum yang berbeda dalam

1Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hlm. 68.

Page 162: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

150 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

keluarga. Ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, ini berarti bahwa anak sah itu meliputi:

a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, yakni anak-anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah dilangsungkan, termasuk pula kawin hamil;

b. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah, yakni anak-anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah dilakukan tetapi kemudian orangtuanya bercerai.

Pengertian anak yang sah ini hendaknya termasuk pula anak-anak yang dilahirkan dari hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri yang menikah secara sah dengan suaminya.

Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dengan kata lain perkawinan yang tidak menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu merupakan perkawinan yang tidak sah, sehingga anak-anak yang dilahirkannya pun termasuk anak yang tidak sah pula. Anak-anak yang sah itu dengan sendirinya mempunyai hubungan hukum dengan orangtua mereka. Orangtua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban terhadap anak-anaknya dan demikian pula anak-anak mempunyai hak dan kewajiban terhadap orangtuanya.

2. Kewajiban Orangtua Terhadap Anak

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum antara orangtua dengan anak terlihat secara jelas dalam “alimentatieplicht”, yaitu suatu kewajiban orangtua terhadap anak untuk memberikan penghidupannya sampai si anak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja, bahkan adakalanya anak dibiayai oleh orangtuanya walaupun sudah berumah tangga, misalnya untuk melanjutkan pendidikan ke

Page 163: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

151Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan

DUMMY

DUMMY

jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, hal tersebut tergantung pada kondisi orangtua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya si anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak selesai Sekolah Dasar dan bahkan membantu orangtuanya untuk mengurangi beban kehidupan mereka.2

Secara normatif, orangtua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrecht), artinya tidak boleh kewajiban orangtua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk hal tersebut.

Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa kewajiban orangtua terhadap anak adalah:

a. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;

b. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtuanya putus.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU Perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab dan kewajiban kedua orangtua terhadap anak-anak mereka untuk mengasuh, memelihara dan mendidik, serta lainnya melekat sampai anak-anaknya dewasa atau mampu berdiri sendiri. Bila terjadi perceraian maka pengurusan anak tersebut diputuskan oleh pengadilan.

Berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua terhadap anak juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menentukan bahwa:

2Ibid., hlm. 106.

Page 164: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

152 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

a. Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

b. Dalam hal orangtua tidak ada, atau tidak diketahui kebera-daannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melak sanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hukum Islam, seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pemeliharaan anak dari seorang ayah. Seorang perempuan lebih didahulukan tentang masalah pemeliharaan, baru berikutnya seorang laki-laki. Oleh karena itu, hak pemeliharaan didahulukan kepada orang-orang perempuan dari mahram anak, ditinjau dari segi nasab, kemudian baru kepada perempuan mahram dari selain ashabah. Dengan kata lain, lebih diutamakan keluarga yang terdekat dan seterusnya guna menjaga rasa belas kasih terhadap anak kecil. Lebih diutamakan ibunya daripada ayah dalam pemeliharaan ini berlaku sejak anak itu dilahirkan. Oleh karena itu, ayah tidak mempunyai hak memisahkan anak dari ibunya di saat anak itu masih menyusu, sedangkan keperluan anak kepada ibunya sesudah menyusu tidak kurang dari kebutuhan di waktu menyusui.3

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, batas pemeliharaan anak sampai usia dewasa atau mampu berdiri sendiri adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Ini berarti orang yang cacat fisik atau mental walaupun sudah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dianggap tidak berada dalam pemeliharaan orangtuanya.

3Ibid., hlm. 351.

Page 165: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

153Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa, pemeliharaan anak belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun dalam terjadinya perceraian adalah hak ibunya. Bagi yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Semua biaya pemeliharaan anak tadi ditanggung oleh ayahnya.

Orangtua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah bagi anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar keluasan rezeki yang ada padanya. Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk mencari dan memberi nafkah kepada anak-anak dan istrinya, sedangkan ibunya berkewajiban untuk mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anaknya tersebut.

3. Hak-hak Anak

Mengenai hak-hak seorang anak secara rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak sebagai upaya untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ini membedakan hak-hak seorang anak secara umum dan hak-hak anak secara khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial, dan memerlukan pelayanan khusus.

Ketentuan tersebut di atas diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang secara umum anak-anak berhak atas

Page 166: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

154 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Kesejahteraan dimaksud bukan saja diberikan pada waktu anak dilahirkan, tetapi juga pada saat dan semasa dalam kandungan. Semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan. Demikan pula semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. Terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, anak berhak mendapat perlindungan. Bahkan anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan dalam keadaan yang membahayakan.

Hak-hak anak berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 66, yang akan diuraikan sebagai berikut:

Pasal 52

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara;

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum, bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 53

(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya;

(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

Page 167: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

155Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan/atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat manusia, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpastisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 55

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orangtua dan/atau wali.

Pasal 56

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri;

(2) Dalam hal orangtua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dan dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orangtua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orangtua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orangtua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orangtua;

(3) Orangtua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajibannya sebagai orangtua yang sesungguhnya.

Page 168: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

156 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 58

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruh, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

(2) Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan/atau pem bunuhan anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak;

(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk orangtuanya tetap dijamin oleh Undang-Undang.

Pasal 60

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya;

(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan mem berikan informasi sesuai dengan tingkat intelek tualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Page 169: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

157Bab 6 | Anak yang Lahir Selama Perkawinan

DUMMY

DUMMY

Pasal 62

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lainnya yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

Pasal 65

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Pasal 66

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir;

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memerhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya

Page 170: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

158 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak anak tersebut dan tidak adanya perlakuan diskriminasi terhadap anak-anak.

Page 171: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

159Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

PEnGanGKatan anaK (aDOPSI)

bab 7

A. Pengertian Pengangkatan AnakSecara etimologis istilah pengangkatan anak atau adopsi

berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari kata bahasa Inggris, yaitu adoption1 atau dalam bahasa Belanda, adoptie2 ataupun dalam bahasa latin, adoptio3. Maksud dari pengangkatan anak di sini adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak kandung sendiri. Adopsi memiliki arti mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri, sehingga memutuskan hubungan antara orangtua kandungnya, serta segala urusan perwalian dan waris jatuh kepada orangtua angkat tersebut.

Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.4

1Jhon M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Inggris Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2004), hlm. 13.

2Subekti dan Tjoro Sudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977), hlm. 6.

3Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Ghalia, 1986), hlm. 28.4Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2001), hlm. 35

Page 172: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

160 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), adopsi ini tidak termuat, hanya lembaga pengangkatan anak diatur di dalam Staatsblad 1917 No. 129, di dalam peraturan tersebut ditetapkan, bahwa pengangkatan anak adalah pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau pernah beristri yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi, hanya anak laki-laki saja yang dapat diangkat. Akan tetapi pada saat ini, menurut Yurisprudensi dinyatakan bahwa anak perempuan dapat diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak. Sementara menurut yurisprudensi putusan MA RI No 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990 jo putusan MA RI No 53 K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996 Pengangkatan anak diartikan sebagai anak yang sejak lahir diurus, dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dikawinkan oleh orangtua angkatnya. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seorang anak dari kekuasaan orangtua kandungnya ke dalam kekuasaan orangtua angkatnya, untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak kandung. Pihak-pihak yang terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

1. Pihak orangtua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat.

2. Pihak orangtua baru, yang mengangkat anak.

3. Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.

4. Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan, organisasi).

5. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan.

Page 173: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

161Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

6. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak.

7. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang menguntungkan atau merugikan dirinya.

Tentang hubungan hukum antara orangtua asal setelah anak tersebut diangkat oleh orang lain menjadi putus, anak tersebut mewaris kepada bapak yang mengangkatnya.

B. Dasar Hukum dari Pengangkatan AnakAdapun dasar-dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia

adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Dasar hukum ini digunakan, karena dalam undang-undang ini dari Pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak anak, tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anak dan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk kesejahteraan anak. Hal-hal yang telah disebutkan tadi tidak hanya berlaku untuk anak kandung tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.

2. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarga-negaraan Republik Indonesia

Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Anak Asing yang belum berumur 5 (lima) tahun yang diangkat oleh seorang warga Negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak tersebut”. Pasal ini hanya berlaku bagi anak asing yang diadopsi oleh Warga Negara Indonesia, karena hal ini akan berkaitan dengan kewarganegaraan anak adopsi tersebut.

Page 174: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

162 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dalam undang-undang ini benar-benar diatur bagaimana dalam mengusahakan perlindungan terhadap anak. Dalam undang-undang ini diatur tentang pengangkatan anak dari Pasal 39 sampai 41. Selain mengatur tentang pengangkatan anak, juga diatur tentang hak dan kewajiban anak dalam Pasal 4 sampai 19, baik anak kandung maupun anak adopsi yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pasal 39 mengatur mengenai tujuan adopsi yaitu adopsi dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan menurut adat setempat dan peraturan perundang-undangan, menyatakan juga adopsi tidak memutuskan hubungan antara anak yang diadopsi dan orangtua kandungnya. Dalam proses adopsi agama calon orangtua adopsi dan calon anak adopsi harus sama, apabila asal usul orangtua kandung tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Adopsi yang dilakukan oleh Warga Negara Asing adalah merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan untuk anak yang bersangkutan. Pasal 40 mengatur bahwa “Setiap orangtua adopsi wajib untuk memberitahukan asal usul orangtua kandung anak kepada anak yang bersangkutan, tetapi dalam pemberitahuannya dilihat dari situasi, kondisi dan kesiapan anak.” Sementara, Pasal 41 mengatur bahwa “Pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan adopsi anak.“

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

Dasar hukum ini digunakan dalam adopsi anak dan pengangkatan anak, karena tujuan pengadopsian anak dan pengangkatan anak adalah agar kehidupan dan kesejahteraan anak dapat terpenuhi. Dalam undang-undang ini, Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 dalam proses menyejahterakan anak

Page 175: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

163Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

terdapat campur tangan pemerintah, masyarakat dan yayasan atau organisasi sosial. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 yaitu “Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”. Ini berarti bahwa anak adopsi juga berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya dan setiap orang dan negara wajib ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak

Bagi anak yang mempunyai masalah dalam Peraturan Pemerintah ini diatur usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak yang mempunyai masalah dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Agar dapat menyejahterakan anak-anak tersebut adopsi anak dapat menjadi salah satu solusi terbaik.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1989 tentang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.

Dalam Surat Edaran ini menyebutkan syarat-syarat peng-angkatan anak, permohonan pengesahan pengangkatan anak, pemeriksaan di pengadilan dan lain-lain.

7. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan “Convention on the Right of the Child” (Konvensi tentang Hak-hak Anak)

Dasar hukum ini digunakan, karena dalam konvensi tentang Hak-hak Anak disebutkan, anak berhak mendapat per-lindungan, kesempatan, dan fasilitas untuk berkembang secara

Page 176: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

164 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

sehat dan wajar, mendapat jaminan sosial, mendapatkan pendidikan dan perawatan dan lain-lain. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut adopsi adalah salah satu cara yang sesuai.

Dasar hukum adopsi anak secara khusus oleh Dinas Kesejah-teraan Sosial:

1. Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial Dasar hukum ini mengatur tentang organisasi-organisasi sosial, termasuk yayasan sosial yang bertugas dalam menangani adopsi anak.

2. Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang Tim

Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption Keputusan Menteri Sosial ini mengatur tentang perizinan pengangkatan anak atau adopsi akan yang dilakukan antar WNI dan WNA.

Berdasarkan Pasal 8 Staatsblad 1917 No. 129 berkaitan dengan syarat-syarat tentang adopsi, disebutkan bahwa ada 5 (lima) syarat adopsi, yaitu sebagai berikut:5

1. Persetujuan orang yang mengangkat anak;

2. Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orangtuanya, maka diperlukan izin dari orangtua itu, apabila bapak sudah wafat dan ibu telah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) selaku pengawas wali;

3. Apabila anak yang akan diangkat itu adalah lahir di luar perkawinan, maka diperlukan izin dari orangtuanya, yang mengakuinya sebagai anak dan jika anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari Balai Harta Peninggalan;

5Ibid.

Page 177: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

165Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

4. Apabila anak yang diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri;

5. Apabila yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dan keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat keempat; Persetujuan yang dimaksud pada sub ini dapat diganti dengan izin Pengadilan Negeri dari wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak.

Adapun ketentuan lainnya yang diatur dalam Staatsblad 1917 No. 129 adalah:6

• Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129 menyebutkan, bahwa pengangkatan anak ini harus dilakukan dengan Akta Notaris;

• Pasal11,mengenainamakeluarga(geslachtsnaam) orang yang mengangkat anak, nama-nama juga menjadi nama dari anak yang diangkat;

• Pasal12,menyamakanseoranganakangkatdengananaksahdari perkawinan orang yang mengangkat;

• Pasal13,mewajibkanBalaiHartaPeninggalanuntukapabilaada seorang janda ingin mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan yang perlu mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan anak yang diangkat;

• Pasal 14 yangmenyebutkan, suatu pengangkatan anakberakibat terputusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dan orangtuanya sendiri, kecuali:

1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali kekeluargaan

6Wirdjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 82.

Page 178: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

166 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Mengenai peraturan Hukum Pidana yang berdasarkan pada tali kekeluargaan

3. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan biaya dari gijzeling (ditahan dalam penjara berhubung dengan adanya utang uang)

4. Mengenai kesaksian dalam akta autentik

• Pasal15,yangmenentukanbahwasuatupengangkatananaktidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri, bahwa pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak secara lain daripada dengan akta notaris adalah batal dengan sendirinya (van Rechtswege Nietig); Pengangkatan anak dapat dibatalkan, apabila bertentangan dengan pasal-pasal tersebut dalam Staatsblad 1917 No. 129.

Dalam Hukum Adat, dengan diangkatnya seorang anak, hubungan hukum dengan keluarga yang lama tidak terputus, kecuali: menurut Hukum Adat di Bali (pengangkatan anak “sentana”). Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, seseorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua orangtua angkatnya, apabila ia telah dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan, bertempat tinggal bersama, dan telah mendapat hibah dari orangtuanya (orangtua angkatnya).7 Tentang kedudukan hukum anak angkat di dalam Hukum Adat, ada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai status dan kedudukan hukumnya di dalam hal mewaris dari kedua orangtua yang mengangkatnya.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959 tersebut menyebutkan, bahwa: Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orangtua angkat tersebut.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 27 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959, menentukan, bahwa: Menurut hukum yang berlaku

7Ibid., hlm. 37.

Page 179: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

167Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orangtua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal), anak angkat tidak berhak mewarisinya.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516K/Sip/1968 tanggal 4 Januari 1969, menurut Hukum Adat yang berlaku di Sumatera Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya. Ia hanya dapat memperoleh hadiah atau hibah dari orangtua angkat selagi hidup.

Dari ketentuan Yurisprudensi ini, kedudukan anak angkat dari beberapa daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat masyarakat adat setempat memberikan status hukum kepada anak yang diangkat. Seperti di Jawa, biasanya yang diangkat selaku anak masih kerabat dekat, misalnya keponakan sendiri, dan kebanyakan yang mengangkat anak itu tidak mempunyai anak sendiri.

Bagaimana pandangan Hukum Islam dalam lembaga pengangkatan anak ini. Penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang anak angkat tersebut mempunyai hubungan darah dengan orangtua angkatnya. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui di dalam Hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip dasar sebab mewaris dan prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau urhaam. Hubungan anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya adalah anak sulbi, artinya anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu, QS IV: 23b dan 1.8

C. Akibat Hukum dari Pengangkatan AnakPengadilan dalam praktik telah merintis mengenai akibat

hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:

8Ibid., hlm. 38.

Page 180: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

168 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1. Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

2. Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

3. Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.

Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh orangtua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akibat hukum dengan orangtua kandung dan orangtua angkat.

1. Dengan Orangtua Kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orangtua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orangtua kandung telah digantikan oleh orangtua angkat.

Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya

Page 181: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

169Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orangtua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orangtua angkatnya dan orangtua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

2. Dengan Orangtua Angkat

Kedudukan anak angkat terhadap orangtua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di Pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung.

Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orangtua angkatnya seperti hubungan anak dengan orangtua kandung dan hubungan dengan orangtua kandungnya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orangtua angkatnya dan tidak dari orangtua kandungnya.

Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung, antara lain

1. Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959

Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orangtua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.

Page 182: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

170 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957

Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah.

3. Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959

Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orangtua angkat tersebut.

Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan peng-angkatan anak sudah sangat jelas pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak yang telah diangkat.

Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Hal ini berimplikasi secara hukum, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orangtua yang mengangkat dengan orangtua kandung anak. Jika, seorang anak diadopsi secara legal, maka setelah pengangkatan ada akibat hukum yang ditimbulkan, seperti hak perwalian dan pewarisan.

Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orangtua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak itu pula, segala hak dan kewajiban orangtua kandung teralih pada orangtua angkat. Kecuali, bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila ia akan menikah maka yang bisa jadi wali nikah hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam hal ini perkawinan siapa pun orangnya yang melangsungkan perkawinan di Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum atau Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional memiliki ketentuan

Page 183: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

171Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak.

Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang perantau, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karena itu, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orangtua kandungnya.

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan ahli waris dari orangtua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Sementara dalam Staatsblad 1979 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat. Artinya, akibat pengangkatan anak tersebut maka terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan kelahiran, yaitu antara orangtua kandung dan anak tersebut. Secara otomatis hak dan kewajiban seorang anak angkat itu sama dengan anak kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orangtua angkat. Anak angkat juga berhak mengetahui asal usulnya. Karena itu, orangtua angkat wajib menjelaskan tentang asal muasalnya kepada si anak angkat, tak perlu khawatir si anak lalu akan kembali kepada orangtua kandungnya.

D. Persyaratan AdopsiKetentuan dalam Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129, mengatur

siapa-siapa yang dapat mengangkat anak, dipersyaratkan bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama atau jika ia telah bercerai dengan istrinya, maka pengangkatan anak itu dilakukan oleh suami sendiri. Dalam hal seorang laki-laki yang

Page 184: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

172 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

kawin atau telah pernah kawin mengangkat anak, ia harus tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena pengangkatan anak. Demikian pula seorang janda yang ditinggal suaminya karena meninggal dunia dan tidak kawin lagi, dapat mengangkat anak jika dari perkawinannya tidak mempunyai keturunan, kecuali sebelum meninggal dunia suaminya telah membuat wasiat yang tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukan pengangkatan anak.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 diatur syarat-syarat pengangkatan anak, yang dibedakan atas:

1. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia:

a. Calon orangtua angkat:

1) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua kandung dengan orangtua angkat (private adoption) diperbolehkan;

2) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.

b. Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:

1) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak;

2) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

Page 185: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

173Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

2. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh orangtua angkat Warga Negara Indonesia (inter country adoption):

a. Calon orangtua angkat:

1) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui suatu Yayasan Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNA yang langsung dilakukan antara orangtua kandung WNA dengan orangtua angkat tidak diperbolehkan;

2) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.

b. Syarat-syarat bagi calon anak angkat WNA:

1) Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5 tahun;

2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orangtua angkat WNI yang bersangkutan.

3. Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh orangtua angkat Warga Negara Asing (inter country adoption):

a. Calon orangtua angkat:

1) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;

2) Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon orangtua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang Warga Negara Indonesia;

Page 186: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

174 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

3) Pengangkatan anak WNI harus dilakukan suatu Yayasan Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan antara orangtua kandung WNI dengan orangtua angkat WNA tidak diperbolehkan;

4) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah tidak diperbolehkan.

b. Syarat-syarat bagi calon anak angkat WNI:

1) Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5 (lima) tahun;

2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orangtua angkat WNA yang bersangkutan.

E. Kriteria Motivasi Pengangkatan AnakAdapun kriteria pengangkatan anak di Indonesia didasari

sebagai berikut:

1. Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.

2. Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orangtua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu beban orangtua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang ikhlas antara orangtua angkat dengan orangtua kandung.

Page 187: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

175Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

3. Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orangtua. Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan.

4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki.

5. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada anggota masyarakat.

6. Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orangtua angkatnya mempunyai banyak kekayaan.

7. Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi ini erat hubungannya dengan misi kemanusiaan.

8. Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, di samping motivasi sebagai pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi orangtua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah baik kehidupannya.

9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan meneruskan garis keturunan.

10. Adanya hubungan keluarga, maka orangtua kandung dari si anak tersebut meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan.

11. Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orangtua angkat.

Page 188: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

176 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

12. Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus, dapat saja berarti orangtuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orangtua yang sudah meninggal dunia.

13 Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat pertalian famili dengan orangtua si anak angkat.

14. Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.

F. Hukum Islam dan Pengangkatan AnakSeorang Muslim menurut agama Islam haruslah mengasihi

sesama manusia, saling tolong manusia, “Dan manusia-manusia yang beriman baik pria maupun wanita masing-masing mereka tolong menolong” (Al Baqarah: 71). Dalam suasana tolong-menolong ini, tidak terkecuali upaya menolong anak-anak kecil atau bayi yang terlantar, tidak mampu, atau miskin.

Intinya agama Islam menganjurkan umatnya untuk menolong dan membantu sesama, jadi juga menolong dan membantu anak-anak atau bayi yang terlantar, atau tidak mampu itu. Dalam upaya menolong anak-anak atau bayi yang terlantar, agama Islam kemung-kinan untuk melakukan pengangkatan anak, tetapi tidak dalam arti pengangkatan untuk dijadikan seperti anak kandung. Menurut hukum Islam, bahwa pengangkatan anak bertujuan utama kepentingan kesejahteraan si anak angkat dan bukan melanjutkan keturunan.

Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam menegaskan tentang penger-tian Anak Angkat sebagai, “Anak yang dalam hal pemeli haraan

Page 189: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

177Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. Dengan demikian, menurut hukum Islam yang diperbolehkan adalah pengangkatan anak yang bentuk hubungannya seperti pemeli haraan anak. Oleh sebab itu, ada penulis dari kalangan Islam yang cenderung menyebut hubungan demikian bukan peng angkatan anak melainkan memungut anak (laqietr),9 yang secara tegas dibedakan dengan pengangkatan anak (adopsi). Tetapi pada umumnya orang tidak keberatan dengan istilah pengangkatan anak (adopsi) asalkan diberi arti sebagaimana dimaksud oleh agama Islam tadi.

Pengangkatan dengan arti dan sifat yang demikian adalah sesuai dengan kaidah dalam Surat Al Ahzab ayat (4) dan (5), di mana pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak memberi kepada anak angkat status seperti anak kandung dari orangtua yang mengangkat, sehingga: (i) si anak angkat tetap mempunyai hubungan darah dan hubungan mewarisi dengan orangtua kandungnya; (ii) di belakang nama si anak angkat tetap menggunakan nama ayah angkatnya; (iii) tidak ada hubungan darah dan hubungan mewaris antara anak angkat dengan orangtua angkat; (iv) orangtua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali nikah anak angkat.

G. Ketentuan Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak serta Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan AnakPengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum

yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung

9Fuad Mohd, Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), hlm. 81.

Page 190: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

178 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

jawab atas perawatannya, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat.10 Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagai-mana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka prosesnya perlu mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

Pengangkatan anak terdiri dari Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.11 Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dapat dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat ataupun berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.12

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak, bahwa dalam pengangkatan anak ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Syarat anak yang diangkat:

a) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b) Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c) Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d) Memerlukan perlindungan khusus.

2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a) Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

10Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

11Lihat ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf b.12Lihat ketentuan Pasal 8 huruf a dan huruf b Pemerintah No. 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

Page 191: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

179Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

b) Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan

c) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak juga memberikan persyaratan terhadap calon orangtua angkat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak, yang menentukan sebagai berikut:

a. Sehat jasmani dan rohani;

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f. Tidak merupakan pasangan sejenis;

g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orangtua atau wali anak;

j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

m. Memperoleh izin menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Page 192: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

180 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pengangkatan anak yang dilakukan antar Warga Negara Indonesia harus mengikuti tata cara atau prosedur pengangkatan anak, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak, yang menentukan bahwa: “Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 20 menjelaskan bahwa, pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. Selanjutnya, pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi lain.13

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Peng-angkatan Anak, yang menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Menteri”. Salah satunya adalah dengan Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, menjelaskan bahwa, tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.14

Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang diatur dalam peraturan menteri sosial ini meliputi persyaratan terhadap calon anak angkat maupun persyaratan terhadap calon orangtua angkat.

13Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

14Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Page 193: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

181Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, bahwa syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:

a. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d. Memerlukan perlindungan khusus.

Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan per-syaratan administratif calon anak angkat yang meliputi: Copy KTP orangtua kandung/wali yang sah/kerabat calon anak angkat; Copy kartu keluarga orangtua calon anak angkat; Dan kutipan akta kelahiran calon anak angkat.15

Berdasarkan ketentuan Pasal 7, bahwa syarat-syarat calon orangtua angkat dalam hal pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

a. sehat jasmani dan rohani;

b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;

f. tidak merupakan pasangan sejenis;

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;

15Pasal 5 Peraturan Menteri Sosial No 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Page 194: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

182 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orangtua atau wali anak;

j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;

l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

Umur calon orangtua angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu perhitungan umur calon orangtua angkat pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak. Selanjutnya, Persetujuan tertulis dari calon anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari calon anak angkat.16

H. Contoh Akta Pengangkatan Anak (Adopsi)PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

Nomor: 03,-- Pada hari ini, Rabu, tanggal 27-05-2015 (dua puluh tujuh Mei

dua ribu lima belas). -------------------------------------------------- Pukul 16.00 WIB (Waktu Indonesia Barat). ---------------------- Berhadapan dengan saya, XXX, Sarjana Hukum, Notaris di

Medan, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang nama-namanya akan disebut pada bagian akhir akta ini:--------------------------1. Nyonya zzzz, lahir di Pematangsiantar, pada tanggal 18-

12-1995 (delapan belas Desember seribu sembilan ratus sembilan puluh lima), Warga Negara Indonesia, Pelajar/Mahasiswa, bertempat tinggal di Medan, Jalan Kemiri G

16Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Page 195: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

183Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

Pinang nomor: 5-C, Kelurahan Sudirejo II, Kecamatan Medan Kota, pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor: 1271015812950003. --------------------------------------------- menurut keterangannya untuk melakukan perbuatan

hukum dalam akta ini tidak perlu mendapat persetujuan dari siapa pun dikarenakan penghadap tidak pernah melakukan pernikahan. ------------------

- selanjutnya dalam akta ini disebut juga: Pihak PERTAMA ----------------------------------------------------------------------------2. Nyonya KKKK, lahir di Balige, pada tanggal 28-01-1976

(dua puluh delapan Januari seribu sembilan ratus tujuh puluh enam), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Toba Samosir, Jalan Pemandian, Desa Lumban Silintong, Kecamatan Balige, pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor:1212016801760002. ---------------- Untuk sementara berada di Medan. -------------------- Dalam melakukan perbuatan hukum dalam akta ini

dilakukan bersama-sama dengan suaminya yang sah, -----------------------------------------------------------------

Tuan ccccc, lahir di Balige, pada tanggal 15-07-1982 (lima belas Juli seribu sembilan ratus delapan puluh dua), Warga Negara Indonesia, Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Toba Samosir, Jalan Pemandian, Desa Lumban Silintong, Kecamatan Balige, pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor: 1212011507820005, sesuai dengan Akta Perkawinan Nomor 474.2/01/678/II/2008 tertanggal 20-02-2008 (dua puluh Februari dua ribu delapan) yang kutipan akta ini dikeluarkan di Toba Samosir pada tanggal 20-02-2008 (dua puluh Februari dua ribu delapan) oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Toba Samosir, yang turut hadir dan membubuhi tanda tangannya dalam akta ini.-----------

- Untuk sementara berada di Medan. --------------------- selanjutnya dalam akta ini disebut juga: Pihak KEDUA. ---------- Para Penghadap saya, Notaris, kenal. ------------------------------

Page 196: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

184 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

- Para Penghadap menerangkan terlebih dahulu: ------------------- bahwa Pihak Pertama adalah Ibu kandung dari bayi laki-laki:

------------------------------------------------------------------------------

KULI, lahir di Medan, pada tanggal 03-02-2015 (tiga Februari dua ribu lima belas), Warga Negara Indonesia, berdasarkan surat keterangan lahir yang dikeluarkan oleh pimpinan Rumah Sakit Umum Bahagia Medan Dokter Alim Said, Sp. OG pada tanggal 26-02-2015 (dua puluh enam Februari dua ribu lima belas) dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan POLITM.Kes, Nomor Induk Pegawai (NIP): 196110989032002.-- bahwa untuk memberikan kesempatan dalam kehidupan dan

pendidikan yang lebih luas dan baik terhadap anak tersebut di atas, maka Pihak Pertama dengan akta ini menyerahkan anak tersebut kepada Pihak Kedua untuk diasuh dan dibesarkan. -----------------------------------------------------------------------------

- bahwa Pihak Kedua bersedia membiayai, memelihara, mengurus, memerhatikan, membimbing dan mendidik anak-anak tersebut di atas -------------------------------------------------

sebagai anak-anak mereka sendiri. ---------------------------------- bahwa Pihak Pertama menerangkan dengan ini telah

memberikan dan menyerahkan anak-anaknya yang bernama, KULI tersebut di atas kepada Pihak Kedua untuk diambil, diangkat dan dianggap oleh Pihak Kedua sebagai anak-anaknya sendiri, pula Pihak Pertama telah menyerahkan kepada Pihak Kedua semua kekuasaannya sebagai orangtua anak tersebut dan melepaskan semua haknya atas diri dan badan anak-anak tersebut, hak-hak mana selanjutnya menjadi tanggung jawab dan kepunyaan Pihak Kedua yang dianggap sebagai orangtua anak tersebut. ----------------------------------------------------------

- bahwa Pihak Kedua menerangkan mereka telah mengangkat anak tersebut sebagai anak mereka sendiri yang sah. -------------------------------------------------------------------------------------

- bahwa pihak Kedua menerangkan mereka memiliki pekerjaan yang tetap sebagaimana yang tertera dalam Kartu Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia, terdaftar atas nama CCCC, Nomor Induk Pegawai (NIP) 19820715 200701 1 002, yang

Page 197: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

185Bab 7 | Pengangkatan Anak (Adopsi)

DUMMY

DUMMY

dikeluarkan pada tanggal 9-11-2009 (sembilan November dua ribu sembilan) oleh Kepala Badan Kepegawaian Negera III Nomor Induk Pegawai (NIP): 010081802, sehingga mereka menyatakan sanggup secara finansial untuk memelihara, mengurus, membimbing dan memerhatikan pendidikannya, hingga Pihak Kedua meninggal dunia. ----------------------------

- Selanjutnya para pihak menerangkan: ----------------------------- bahwa apabila mungkin dikemudian hari ternyata dalam

perkawinan Pihak Kedua yaitu Nyonya KKK dan Tuan CCCC, tidak lagi terjalin suatu kebahagian dan keharmonisan dalam rumah tangganya, sehingga terjadi pisah tempat tidur atau kediaman/domisili maupun putusnya perkawinan mereka atau bercerai, maka Tuan CCCC berjanji dan mengikat diri sepenuhnya untuk tetap dan bersedia menanggung segala biaya-biaya hidup, pemeliharaan, pendidikan, dan segala hak atas anak-anak tersebut yang diberikan oleh peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. ----------------------------------------------------------------------------

- bahwa apabila Nyonya KKK meninggal dunia lebih dahulu dari suaminya Tuan CCCC tersebut, maka Tuan CCC berjanji dan mengikat diri sepenuhnya untuk wajib dan bersedia menanggung segala biaya hidup, pengurusan dan pendidikan terhadap anak-anak tersebut di atas. ------------------------------

- Akhirnya mengenai akta ini dan segala akibatnya para pihak memilih tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan di Medan. ----------------------------------------------------------------------------

--------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI ---------------------- Dibuat dan diresmikan di Medan, pada hari dan tanggal

seperti tersebut pada bagian awal akta ini, dengan dihadiri oleh: ---------------------------------------------------------------------1. Nona RI, SH, Lahir di Ngaso, pada tanggal 04-12-1990

(empat Desember seribu sembilan ratus sembilan puluh), Pekerjaan Pegawai Kantor, Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Medan. ----------------------------------

Page 198: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

186 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Tuan Ok, SH, Lahir di Pematangsiantar, pada tanggal 03-10-1989 (tiga Oktober seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan), Pekerjaan Pegawai Kantor Notaris, Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Medan. -----------------------------------------------------------------------

- Keduanya sebagai saksi-saksi. --------------------------------------- Segera setelah saya, Notaris bacakan dan jelaskan isi dan

maksud akta ini kepada para penghadap dan saksi-saksi, maka akta ini ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris. ----------------------------------------------------------

- Di samping menandatangani akta ini, para penghadap juga membubuhkan cap ibu jarinya pada lembar lain. -----------------

- Dilangsungkan dengan perubahan yakni pencoretan dan penggantian. -----------------------------------------------------------

- Minuta akta ini telah ditandatangani sebagaimana mestinya. -----------------------------------------------------------------------------

- Diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya. ------------------

Page 199: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

187Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMYHuKum WaRIS

bab 8

A. Hukum Waris Perdata (BW)

1. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya, hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang diwarisi oleh ahli warisnya.1

Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa, “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Oleh karena itu, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 Kitab

1Effendi Perangin-Angin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.

Page 200: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

188 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan pun dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jelasnya, seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 836 KUH Perdata, yang menentukan bahwa, “Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUH Perdata ini supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang”.2

Hukum waris menurut konsepsi perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula haknya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.3

Menurut Pitlo, “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang meng atur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang mem-perolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga”.4

Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:5

2Ibid., hlm. 4.3Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

(Bandung: Revika Aditama, 2011), hlm. 25.4A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,

Terjemahan M. Isa Arief, Jakarta: Intermassa, 1979, hlm. 1.5Eman Suparman, Loc.Cit.

Page 201: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

189Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

a. Ada seseorang yang meninggal dunia;

b. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Sifat hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu, menganut:6

a. Sistem pribadi, yaitu yang menentukan bahwa ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris.

b. Sistem bilateral, yaitu mewaris dari pihak ibu maupun bapak.

c. Sistem perderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Dalam hukum waris BW, berlaku suatu asas yang menentukan bahwa, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.7

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Berdasarkan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka jelas bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kewarisan diatur di dalam Buku II tentang Kebendaan. Sistematika tersebut memberi petunjuk bahwa hak kewarisan dan segala sesuatu yang timbul karenanya dipandang sebagai hak kebendaan. Dalam kaitan ini memang banyak bukti bahwa hukum waris memiliki dimensi hukum kebendaan. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain yang tercantum di dalam Pasal 833, Pasal 834, dan Pasal 1000 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8

6Effendi Perangin-Angin, Loc.Cit.7Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve

S Gravenhage,sa,), hlm. 8. Dalam Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 28.8Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),

hlm. 13.

Page 202: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

190 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW adalah, “Adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan”.9 Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu:

a. Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;

b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;

c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama 5 (lima) tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sistem hukum waris BW memiliki ciri yang khas, yaitu menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Atau apabila tidak untuk dibagi maka harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.

2. Warisan dalam Sistem Hukum Waris BW

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun, ketentuan

9Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 12.

Page 203: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

191Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada ahli waris antara lain:10

a. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik);

b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;

c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut BW maupun firma menurut Wvk, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota atau persero.

Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu:11

a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;

b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah atau ibunya.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa menurut BW, kematian seseorang mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas dijelaskan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa: “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”.12 Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”.13

Adapun yang dimaksud dengan saisine adalah, ahli waris yang memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia

10Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 82.

11Ibid.12Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 28.13Lihat Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 1977), hlm.

79. Dalam Eman Suparman, Ibid.

Page 204: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

192 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.

Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta perkawinan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan sutau kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang tidak memandang akan sifat atau asal dari daripada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem waris adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris. Sedangkan sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.14

3. Pewaris dan Dasar Hukumnya

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum seorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada 2 (dua) cara, yaitu:15

a. Menurut ketentuan Undang-Undang;

b. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).

14Ibid., hlm. 28.15R Subekti, Op.Cit., hlm. 78.

Page 205: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

193Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang akan ditinggalkan oleh seseorang tersebut.16

Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara yang ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.17

Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seorang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.

4. Ahli Waris Menurut Sistem BW dan Porsi Bagiannya

Undang-undang mengatur beberapa hal yang menyangkut ahli waris. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah ahli waris

16Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 85.17Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 29.

Page 206: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

194 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 832, Pasal 833, Pasal 834, Pasal 837 dan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ketentuan Undang-Undang pada prinsipnya menegaskan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami-istri yang masih hidup. Jika yang pertama tidak ada, maka negara lah yang maju menjadi ahli waris. Menurut undang-undang, seluruh ahli waris dengan sendirinya memperoleh hak milik atas semua harta peninggalan pewaris.18

Ahli waris memiliki hak untuk mengadakan gugatan kepada siapa saja demi memperjuangkan hak warisnya. Gugatan yang berisi tuntutan untuk memperoleh warisan yang didasarkan kepada hak waris yang dimilikinya lebih dikenal dengan “heriditatis pelitio”. Gugatan semacam itu dapat ditujukan kepada setiap orang sejauh menyangkut diserahkannya segala sesuatu yang timbul dari hak waris termasuk di dalamnya segala hasil pendapatan dan ganti rugi.19

Pada dasarnya semua harta peninggalan adalah milik ahli waris, dalam hal ini berlaku hukum waris menurut undang-undang. Adapun ketetapan dalam wasiat tetap diakui keberadaannya. Oleh sebab itu, setiap ahli waris dapat menuntut pembayaran dari suatu harta warisan atau harta peninggalan. Artinya adalah semua harta warisan atau harta peninggalan harus segera dibagi-bagi kepada para ahli waris dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi, jadi dalam satu kesatuan.

Undang-undang menetapkan adanya keluarga sedarah yang berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup paling lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

a. Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, Pasal 852 a,

18Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 66.

19Ibid.

Page 207: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

195Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

Pasal 852b, dan Pasal 515 KUH Perdata.20 Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.21

b. Golongan II: Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas, yaitu orangtua, (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857 KUH Perdata.22 Bagi orangtua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat 3 (tiga) orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian.23

c. Golongan III: meliputi kakek, nenek, dan leluhur dalam garis lurus ke atas, yang jumlah bagiannya telah ditetapkan dalam, Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata.24 Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan golongan kedua, maka dalam kondisi ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu harus di bagi 2 (dua) atau yang disebut dengan kloving. Selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris,

20Ibid., hlm. 67.21Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 87.22Sudarsono, Loc.Cit.23Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 88.24Sudarsono, Loc.Cit.

Page 208: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

196 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada nenek.25

d. Golongan IV: Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Yang terdiri dari, paman dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu, yang bagiannya telah ditetapkan dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2), Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, dan Pasal 866 KUH Perdata. Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi 2 (dua), satu bagian untuk paman dan bibi serta garis keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.26

B. Hukum Waris dalam Islam

1. Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.27

2. Sistem Hukum Waris Islam

Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu, “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia

25Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 90.26Ibid., hlm. 91.27Ibid., hlm. 33.

Page 209: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

197Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”.28

Menurut Hazairin, “Sistem kewarisan Islam adalah sistem individual bilateral”.29 Hal tersebut karena atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang tercantum masing-masing dalam surat An-Nissa (QS IV) ayat 7,8,11,12,13,33, dan ayat 176 serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut Al-Qur’an yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem hukum waris individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral.

Adapun ciri atau spesifikasi sistem hukum waris Islam menurut Al-Qur’an, yaitu:30

a. Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orangtua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di laur Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orangtua baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah.

b. Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orangtuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di atas maksudnya ialah jika orangtua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orangtuanya.

28Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 17. Lihat juga Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 13.

29Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tintamas,sa), hlm. 14-15. Lihat juga Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 15.

30Ibid.

Page 210: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

198 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

c. Bahwa suami-istri saling mewaris; artinya pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di Negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam telah dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu:31

a. Anggota keluarga yang berhak mewarisi pertama adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak bapak yang terdekat atau disebut ashabah;

b. Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu, tidak mempunyai hak waris;

c. Keturunannya yaitu anak, cucu, canggah, pada dasarnya lebih berhak mewarisi daripada leluhur pewaris, yaitu ayah, kakak, maupun buyutnya.

Setelah Islam datang, Al-Qur’an membawa perubahan dan perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok hukum waris Islam dalam Al-Qur’an sebagaimana ditentukan dalam surat An-Nisa ayat-ayat tersebut di atas.

3. Unsur-unsur dan Asas-asas Hukum Waris Islam

a. Unsur-unsur Hukum Waris Islam

Unsur-unsur hukum waris Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan masyarakat Muslim yang mendiami Negara Republik Indonesia terdiri atas 3 (tiga) unsur yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut akan diuraikan sebagai berikut:32

31Ibid., hlm. 16.32Mohammad Daud Ali, “Hukum Kewarisan Islam: Asas-Asas dan Konstelasinya

dengan Hukum Kewarisan Nasional”, Makalah disampaikan pada seminar sehari Lembaga Pendidikan Alhuda, Jakarta, 15 Januari 1994, hlm. 8. Lihat juga Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 46.

Page 211: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

199Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

1) Pewaris

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam. Meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. Pewaris di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33, dan 176 terdiri atas orangtua yaitu ayah dan ibu (Al-walidain), dan kerabat (Al-aqrabin).33

2) Harta warisan

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. Harta warisan tercantum dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa ayat 7 dengan istilah tarakah atau harta yang akan ditinggalkan (Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 180) beralih kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris).34

3) Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

33Umar Syihab, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo, (Disertasi Doktor Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1988), hlm. 89. Lihat Juga Zainuddin Ali, Ibid.

34Umar Syihab, Ibid., hlm. 91.

Page 212: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

200 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

b. Asas-asas Hukum Waris Islam

Asas-asas hukum waris Islam terdiri atas: Ijbari; bilateral; individual; keadilan berimbang; dan akibat kematian.35 Berikut akan dijelaskan asas-asas tersebut:

1) Ijbari

Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.36

Asas ijbari dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: (1) dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7, yang menjelaskan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan harta peninggalan ibu ayah dan keluarga dekatnya. Oleh karena itu, dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian atau hak ahli waris. Oleh karena itu, pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu meminta-minta hak kepada (calon) pewarisnya.37

Demikian juga bila unsur ijbari dilihat dari segi, (2) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Hal ini, tercermin dalam kata mafrudan yang makna asalnya adalah ditentukan atau diperhitungkan. Apa yang sudah ditentukan atau

35Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 45.36Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa, kata ijbari berarti kewajiban

(compulsary), yaitu kewajiban melakukan sesuatu. Unsur kewajiban itu terlihat dalam perpindahan harta pewaris kepada ahli warisnya sesuai jumlah yang diwajibkan oleh Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 11, 12, 13 dan ayat 33. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm. 18.

37Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 4.

Page 213: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

201Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh hambanya. Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu menyadarkan manusia untuk melaksanakan kewarisan yang sudah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.38

Selanjutnya unsur ijbari yang terakhir, (3) kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci oleh Allah Swt. dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 33. Rincian ahli waris dan pembagiannya yang sudah pasti, tidak ada suatu kekuasaan manusia pun yang dapat mengubahnya. Unsur yang demikian, dalam kepustakaan hukum kewarisan Islam yang sui generis dapat disebut bersifat wajib dilaksanakan oleh ahli waris.39

2) Asas bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian kewarisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, 12, dan 176, yaitu: antara anak dengan orangtuanya; antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua.40

3) Asas individual

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris

38Ibid.39Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 18-19.40Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa

Raya, 1990), hlm 168.

Page 214: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

202 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).41

Asas individual tersebut dalam hukum kewarisan Islam diperoleh dari analisis garis hukum Al-Qur’an mengenai pembagian harta warisan. Sebagai contoh, garis hukum surat An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan, bahwa: anak laki-laki untuk menerima warisan dari orangtua atau keluarga dekatnya. Demikian juga halnya dengan perempuan berhak menerima harta warisan orangtuanya dan/atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) mempunyai rincian tertentu.42

4) Asas keadilan berimbang

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam Al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Di dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses, dan tujuan segala tindakan manusia. Asas keadilan seimbang antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikan. Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.43 dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap keluarganya.44

41Ibid., hlm. 169.42Muhammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 5.43Ibid., hlm. 6.44Ibid., hlm. 15.

Page 215: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

203Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

5) Akibat kematian

Asas kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada orang yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.45

4. Syarat-syarat Hukum Waris Islam

Syarat-syarat dalam hukum waris Islam, terdiri atas syarat kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta; kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia; dan diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris.46

Kepastian meninggalnya seseorang yang mempunyai harta dan kepastian hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya pewaris menunjukkan bahwa perpindahan hak atas harta dalam bentuk kewarisan tergantung seluruhnya pada saat yang pasti. Oleh karena itu, meninggalnya pemilik harta dan hidupnya ahli waris merupakan pedoman untuk menetapkan peristiwa pelaksanaan hukum kewarisan Islam.

Penetapan pemilik harta meninggal dan ahli waris hidup sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam hukum Islam, berarti hukum kewarisan Islam bertujuan untuk

45Ibid., hlm. 7.46Husnain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris Fisy-Syari’at Al-Islamiyah, (Qarihah:

Matabi’ Al-ahram At-Tijariyah, 1971), hlm. 12. Dalam Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 52-53.

Page 216: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

204 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

menyelesaikan secara tuntas masalah harta warisan orang yang meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam kandungan sebagai ahli waris menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik dalam menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin timbul dalam kasus kewarisan.47

C. Hukum Waris Adat

1. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan.48

Menurut Soepomo, hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.49

Sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:50

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat batak. Yang menjadi ahli warisnya hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami,

47Umar Syihab, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo, Disertasi, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 1988), hlm. 87. Dalam Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 45.

48Betrand Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Surabaya: Fadjar, 1953), hlm. 197.

49Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat Cetakan Ke-13, Loc.Cit.50Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 41.

Page 217: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

205Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orangtuanya yang meninggal dunia.

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

c. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari 2 (dua) sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan di dalam hukum waris adalah sama atau sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.

2. Unsur-unsur Hukum Waris Adat

Unsur-unsur waris adat yang mendiami Negara Indonesia terdiri atas: pewaris; harta warisan; dan ahli waris. Berikut akan diuraikan beberapa unsur-unsur tersebut, yaitu:51

a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah: (1) orangtua atau

51Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 2-7.

Page 218: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

206 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

ayah/ibu, (2) saudara-saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (3) suami atau istri yang meninggal dunia.52

b. Harta warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:

1) Harta bawaan atau harta asal;

2) Harta perkawinan;

3) Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah, dan

4) Harta yang menunggu, yaitu harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi ahli waris yang akan menerima itu tidak diketahui keberadaannya.

c. Ahli waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, yakni; anak kandung, orangtua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain itu, dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin, yang biasanya diberikan harta warisan di antara mereka, selain itu, biasa juga diberikan harta dari pewaris, baik melalui wasiat maupun melalui hibah.

3. Asas-asas Hukum Waris Adat

Ada 5 (lima) asas dalam hukum waris adat, yaitu:53

a. Asas ketuhanan dan pengendalian diri

Yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan

52Umar Syihab, Op.Cit., hlm. 89.53Zainuddin Ali, Op.Cit., hlm. 8.

Page 219: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

207Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

dimiliki merupakan karunia Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan bila seseorang meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukum-Nya untuk membagi harta warisan mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena perselisihan di antara para ahli waris memberatkan perjalanan arwah pewaris untuk menghadap Tuhan. Dalam hal ini yang terpenting adalah menjaga kerukunan hidup di antara para ahli waris dan semua keturunannya.

b. Asas kesamaan dan kebersamaan hak

Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa setiap ahli waris memiliki kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak utnuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta warisan itu mesti sama banyak, melainkan pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan tanggung jawabnya.

c. Asas kerukunan dan kekeluargaan

Asas ini menentukan bahwa, para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.

d. Asas musyawarah dan mufakat

Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituangkan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.

Page 220: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

208 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

e. Asas keadilan

Asas keadilan yaitu asas yang berdasarkan status, kedudukan, dan jasa, sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.

Berdasarkan asas-asas hukum adat yang diuraikan di atas, ditemukan warga masyarakat yang melaksanakan pembagian harta warisannya memahami bahwa hukum waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan dari seorang (pewaris) kepada ahli warisnya. Tolak ukur dalam proses pewarisan itu, supaya penerusan atau pembagian harta warisan dapat berjalan dengan rukun, damai, dan tidak menimbulkan silang sengketa di antara para ahli waris atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris.54

4. Sifat Hukum Waris Adat

Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris barat seperti di dalam KUH Perdata, maka tampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.

Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual, sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan

54Ibid., hlm. 10.

Page 221: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

209Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:

“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”.55

Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat di antara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.56

Hukum waris adat tidak mengenal asas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat di mana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 913 KUH Perdata atau di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUH Perdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi, jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.57

55Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.Cit., hlm. 10.56Ibid.57Ibid.

Page 222: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

210 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Hukum adat waris menunjukkan coraknya yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendikan atas prinsip yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis relijius, komunal, konkret, dan kontan. Oleh karena itu, hukum adat waris memiliki sifat yang berbeda dengan hukum waris Islam dan hukum waris barat. Perbedaannya dengan hukum Islam bahwa dalam hukum adat, harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaannya untuk sementara tidak dibagi atau ditunda untuk waktu yang lama bahkan hanya sebagian saja yang dibagi, sedangkan dalam Hukum Islam setiap ahli waris dapat menuntut (tetapi jarang sekali yang menuntut), pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu.58

Yang paling menonjol perbedaan antara hukum adat waris dengan hukum waris menurut Hukum Islam adalah penggantian waris. Hukum Islam tidak mengenal ketentuan penggantian waris, sedangkan dalam hukum adat waris, penggantian waris merupakan asas fundamental. Komplikasi Hukum Islam mengadopsi ketentuan penggantian waris dari hukum adat berdasarkan alasan yang sama yaitu kebutuhan hukum masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum.

Dalam hukum adat waris, pembagian harta warisan merupakan tindakan bersama secara musyawarah dan kekeluargaan atas asas gotong-royong, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah/tenteram dan damai, dengan memerhatikan keadaan khusus setiap ahli khusus setiap ahli waris. Sedangkan dalam Hukum Islam, bagian dari masing-masing ahli waris sudah ditentukan dan masing-masing bagian dibagi menurut ketentuan tersebut dengan logikanya masing-masing.

Menurut hukum adat waris, anak perempuan, khususnya di Jawa yang struktur kekerabatannya bersifat parental, apabila tidak ada anak laki-laki dapat menutup hak dari saudara-saudara ayah

58Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, (Surabaya: Laksbang Yustitia, 2011), hlm. 110.

Page 223: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

211Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

ibunya atau kakek neneknya untuk mendapatkan harta asal atau harta pusaka, sebab di Jawa dikenal adanya penggantian waris atau plaatsvervulilling. Sedangkan dalam Hukum Islam, sebelum ada Komplikasi Hukum Islam, status anak perempuan secara pasti hanyalah hak terhadap harta gono gini orangtuanya.59

Dalam hukum adat waris harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi di antara para ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata ditentukan adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing sewaktu-waktu untuk menurut pembagian dari harta warisan (Pasal 1066 KUH Perdata). Bahkan di dalam Hukum Barat itu, ahli waris berhak menggugat si pewaris atau wali untuk segera membagi harta warisan itu, sedangkan dalam hukum adat waris perbuatan yang demikian dianggap tabu dan bertentangan dengan kebiasaan dan moral. Anak yang memaksakan kehendak untuk membagikan harta benda warisan dianggap “tidak tahu adat” suatu ungkapan sebagai sanksi moral, bahkan mungkin sebagai sanksi hukum adat. Anak yang demikian, dianggap tidak layak dan tidak pantas disebut ahli waris. Akan tetapi, saat ini dengan modernisasi dan hak asasi manusia persoalan gugat menggugat oleh anak terhadap orangtua dianggap sebagai hal yang wajar.60

5. Sistem Waris Hukum Adat

Dikatakan oleh beberapa ahli hukum bahwa sistem pewarisan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan atau struktur sosial kemasyarakatan setempat. Namun ada pula yang mengatakan bahwa antara keduanya tidak ada keterkaitannya satu sama lain, sebagaimana dikatakan oleh Hazairin misalnya. Pada masyarakat di Indonesia dikenal tiga jenis struktur sosial sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang dalam hukum adat disebut sistem kekerabatan yaitu: Matrilineal; Patrilineal; dan Parental. Oleh

59Ibid., hlm. 111.60Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, (Surabaya: Laksbang

Yustitia, 2011), hlm. 111-112.

Page 224: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

212 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

karena itu, sistem pewarisannya pun dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis utama itu. Walaupun antara sistem kekerabatan tidak secara langsung berkenaan dengan pola pewarisan sebagaimana disebutkan di bawah ini.

Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama berkenaan dengan kewarisan. Hukum adat waris memiliki 3 (tiga) sistem kewarisan, yaitu:

a. Sistem Individual

b. Sistem Kolektif

c. Sistem Mayorat

Ad. a) Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental) Jawa. Di Jawa, setiap anak dapat memperoleh secara individual harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris secara individual atau perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh, dan Lombok.

Ad. b) Sistem kewarisan kolektif memiliki ciri-ciri bahwa semua harta peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau pada masyarakat woe-woe Ngadhubhaga di Kabupaten Ngada –Flores yaitu khususnya terhadap ngora ngadhu-bhaga-bhaga dan ngora ana woe yaitu harta pusaka tinggi warisan leluhur. Para ahli waris secara bersama-sama merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagi kepemilikannya di antara ahli waris yang bersangkutan dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaian atau penggarapannya saja di antara para

Page 225: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

213Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

ahli waris itu seperti genggam bauntuiq pada masyarakat matrilineal di Minangkabau. Sistem pewarisan kolektif, yang ada asasnya mewajibkan para ahli waris mengelola harta peninggalan secara bersama/kolektif, tidak dibagi-bagikan secara individual seperti di Minangkabau. Ngadhu-bhaga (Flores), Ambon, Minahasa.61

Ad. c) Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta peninggalan yaitu harta warisan terutama harta pusaka seluruh atau sebagian besar diwariskan hanya kepada satu saja. Seperti di Bali hanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah Semendo di Sumatera Selatan hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua saja. Sistem pewarisan mayorat;

a. Mayorat pria: anak/keturunan laki-laki tertua/sulung pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris tunggal (Lampung, Bali, Irian Jaya)

b. Mayorat wanita: anak perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal, adalah waris tunggal (Tanah Semendo, Sumatera Selatan).

c. Mayorat wanita bungsu: anak perempuan terkecil/bungsu menjadi ahli waris ketika si pewaris meninggal (Kerinci).

Perlu ditegaskan bahwa ketiga sistem kewarisan tersebut di atas, masing-masing tidak secara langsung menunjuk pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu atau struktur sosial tertentu dari masyarakat hukum adat di mana sistem kewarisan itu berlaku. Sebab suatu sistem tersebut di atas dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat hukum adat atau dalam suatu bentuk susunan masyarakat hukum adat dapat pula ditemukan lebih dari satu sistem kewarisan sebagaimana dimaksud di atas.

61Ibid., hlm. 118.

Page 226: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

214 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Sebagaimana dikatakan oleh Hazairin bahwa sifat individual, kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan, tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat tempat hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan individual tidak hanya ada atau ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Bahkan mungkin saja di sana pun dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif terbatas.

Demikian pula sistem mayorat, selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Tanah Semendo, dijumpai pula pada masyarakat bilateral pada orang Dayak di Kalimantan Barat dan masyarakat Ngadhu-bhaga di Flores-NTT. Sedangkan sistem kolektif itu dalam batas-batas tertentu dapat pula dijumpai dalam masyarakat bilateral seperti di Minahasa, Sulawesi Utara. Contoh, sistem kewarisan mayorat, yaitu hak waris hanya diberikan kepada anak perempuan tertua sebagaimana ditemukan pada masyarakat Tanah-Semendo di Sumatera Selatan yang bentuk susunan masyarakat hukum adatnya patriarchat yang monolateral, juga ditemukan pada masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat yang bentuk susunan masyarakat adatnya parental atau bilateral. Contoh lain, sistem kewarisan kolektif yang ditemukan pada masyarakat matriarchat Minangkabau yang monolateral juga ditemukan pada masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara yang bentuk susunan masyarakat hukum adatnya bilateral yaitu parental, yaitu pewarisan terhadap tanah wawakes un teranak.62

6. Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris

Anak Kandung

a. Anak sah sebagai ahli waris: anak sah mempunyai hak keutamaan sebagai ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan. Anak sah adalah anak yang lahir dari dan dalam

62Soerojo Wignjodipoero dalam Ibid., hlm. 119.

Page 227: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

215Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang diakui sah oleh hukum. Namun secara hukum adat, pada masyarakat tertentu, anak sah tidak secara dengan sendirinya menurut hukum berhak atas harta asal ayahnya. Misalnya, pada masyarakat patrilineal di mana jujur/belis belum tuntas diberikan kepada kerabat perempuan, sehingga perempuan/ibu belum masuk ke kerabat suami termasuk anak laki-laki dan perempuan yang masih tetap pada kerabat ibunya.

b. Anak luar kawin yang diakui setelah perkawinan kedua orangtuanya secara sah. Anak yang diakui ini setelah perkawinan kedua orangtuanya sah secara hukum, maka kedudukannya berubah dari anak luar kawin menjadi anak yang diakui, sehingga dengan sendirinya menurut hukum ia adalah anak sah. Dan dengan demikian, kedudukannya sama dengan kedudukan anak sah.

c. Anak tidak sah sebagai ahli waris: secara normatif anak tidak sah (luar kawin) hanya mempunyai hubungan hukum (keperdataan) dengan ibu kandungnya dan warga kerabat ibu kandungnya (Ingat putusan Mahkamah Konstitusi tentang kasus Iqbal/anak Machicha Mochtar). Oleh karena itu, ia dapat mewaris dari ibunya atau kerabat ibunya. Hal ini tidak hanya pada masyarakat matrilineal saja, tetapi juga pada masyarakat patrilineal dan parental. Anak tidak sah ada dua macam yaitu anak luar kawin yang sewaktu-waktu dapat berubah status hukumnya menjadi anak sah dan anak incest yang selamanya tidak mungkin menjadi anak sah. Anak incest demikian misalnya disebabkan hubungan seksual antara kedua orang yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat. Misalnya, ayah dengan anak perempuannya, anak laki-laki dengan ibunya, kakak beradik kandung, anak laki-laki dengan ibunya, dan sebagainya.

d. Anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini terutama terdapat dalam sistem kekerabatan patrilineal dengan bentuk

Page 228: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

216 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

perkawinan jujur, seperti di Tanah Batak, Lampung Pepadun, Bali (kecuali Tenganan Pagringsingan yang parental), Nafri di Jayapura/Irian Jaya, Timor, Flores (kecuali Ngadhu-bhaga = matrilineal). Anak perempuan dapat menerima bagian sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya mengikuti sang suami.

Jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan, maka anak tersebut (terutama yang sulung) diberi status anak laki-laki dengan melakukan perkawinan ambil suami (ngakuk ragah) atau pinjam jago (nginjam jaguk) di Lampung yang beradat Pepadun. Di Bali disebut sentana rajeg dan perkawinannya disebut perkawinan nyeburin. Bila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka diangkatlah anak laki-laki dari saudara kandung laki-lakinya yang terdekat. Pada masyarakat Ngadhu-bhaga (Flores) dilakukan melalui upacara pengangkatan anak kandung oleh si ayah. Anak ini disebut ana dheko lega ema seperti sentana rajeg di Bali.

e. Anak perempuan sebagai ahli waris. Hal ini dijumpai dalam sistem kekerabatan matrilineal (seperti di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan Rejanglebong, Lampung Pemingir, Ngadhu-bhaga (Flores) dan beberapa suku di Timor Besar) berbentuk perkawinan semenda, dengan 2 (dua) kemungkinan: suami mengikuti status istri/masuk ke kerabat istri, atau tidak termasuk kerabat istri, namun tetap pada kerabatnya sendiri (Minangkabau dan Ngadhu-bhaga). Anak perempuan sebagai penerima dan penerus harta warisan terdapat di Minangkabau, wilayah Semendo, Sumatera Selatan dan Lampung Pemingir, Ngadhu-bhaga di Flores Tengah. Bedanya: di Minangkabau sang ibu mewariskan hartanya kepada anak kandungnya dan sang ayah mewariskan kepada kemenakannya i.c. anak saudaranya wanita tunggal buah perut. Sedangkan di wilayah Semendo, ayah dan ibu hanya memastikan hartanya kepada anak perempuannya saja. Jika seorang pewaris di wilayah

Page 229: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

217Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

Semendo hanya mempunyai anak laki-laki, maka anak tersebut dijodohkan dengan wanita dalam bentuk perkawinan semendo ngangkit.

f. Anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris. Kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris yang berhak sama atas harta warisan orangtuanya, terdapat dalam sistem kekeluargaan parental: Jawa Madura, Kalimantan (Dayak), Sulawesi (kecuali di Minahasa lebih cenderung ke patrilineal), Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Tenganan Pegringsingan (Bali), Ternate, Lombok.

Pengertian sama haknya tidaklah berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan dibagi sama rata atau jumlahnya sama secara matematis di antara para ahli waris, karena harta itu tidak merupakan kesatuan yang dengan begitu saja secara matematis dapat dinilai harganya dengan uang. Cara pembagiannya pun bergantung kepada keadaan harta dan hak warisnya berdasarkan asas gotong royong dan asas kepatutan: segala sesuatu diusahakan pelaksanaannya dalam suasana rukun-damai, secara musyawarah mufakat, berlandaskan asas kepatutan. Di Jawa umumnya berdasarkan asas “sigar semangka” (bagian sama besar), maka di beberapa wilayah lain berlaku asas “wanita menjunjung, pria memikul” atau sepikul-segendong. Namun asas yang terakhir ini yaitu asas sepikul segendong sudah mulai terkoreksi, yaitu setelah adanya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam.

g. Anak sulung selaku ahli waris

Pada umumnya anak tertua dihormati dan disegani, lebih-lebih si sulung yang sudah hidup mandiri, baik yang diberi tanggung jawab maupun yang tidak diberi tanggung jawab atas kehidupan dan penghidupan adik-adiknya.

Page 230: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

218 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

1) Anak sulung laki-laki

Apabila pewaris meninggal, sebagaimana berlaku di Lampung yang beradat Pepadun, dan di Bali yang patrilineal (kecuali Tenganan Pagringsingan) atau juga pada masyarakat Papua di Teluk Yos Sudarso Jayapura, seluruh tanggung jawab pewaris selaku kepala rumah tangga, baik dalam kedudukan adat maupun terhadap harta kekayaan kerabat, beralih secara langsung kepada anak sulung laki-laki dari istri tertua (kalau istrinya lebih dari satu). Anak sulung itu harus tetap tinggal di rumah bapaknya dan bertanggung jawab atas kehidupan adik-adiknya, laki-laki maupun perempuan sampai mereka mampu hidup mandiri. Mandiri artinya si anak telah mampu mencari nafkah sendiri, mampu melaksanakan perbuatan hukum sendiri, mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

2) Anak Sulung Perempuan

Ketika si pewaris meninggal dunia, maka di wilayah Semendo Sumatera Selatan, harta warisannya tidak dibagi, tetapi tetap utuh, dan penguasaannya berpindah ke tangan anak sulung perempuan sebagai tunggu tubang artinya pengelola harta peninggalan orangtua. Di dalam pengurusan harta tersebut, ia didampingi kakaknya laki-laki tertua selaku payung jurai artinya pelindung keturunan. Fungsi saudara laki-laki mirip dengan kedudukan Mamak Kepala Waris di Minangkabau sebagai pengelola harta pusaka.

Pada masyarakat adat Dayak Landak dan Dayak Tayan, jika di pewaris meninggal, maka bagian-bagian pokok dari warisannya pun tetap utuh sebagai kebulatan demi kesejahteraan hidup seluruh anggota kerabat. Sedangkan yang berfungsi sebagai anak pengkalan artinya pengurus dan penyantun kehidupan orangtua beserta hartanya sampai akhir hayatnya ialah anak sulung perempuan.

Page 231: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

219Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

h. Anak Pengkalan dan Anak Bungsu selaku Waris

Pada dasarnya anak pengkalan seyogianya anak sulung laki-laki ataupun perempuan. Tetapi di dalam masyarakat Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penetapan tentang anak pengkalan –sulung, kedua, ketiga, itu dilakukan oleh orangtua. Jika terjadi pembagian warisan, maka bagian terbesar jatuh ke tangan anak pengkalan, kemudian anak bungsu terakhir barulah anak-anak yang lain, berdasarkan pertimbangan anak pengkalan dan anak bungsu tersebut.

Di beberapa daerah di Tanah Batak terdapat sistem pewarisan mayorat yang memberikan hak kepada anak bungsu yang berdiam terlama di rumah orangtuanya, untuk menguasai harta warisan yang tak terbagi-bagi, bersama-sama dengan abang-abangnya yang belum manjae (berpencar, misah, mentas).

i. Anak Tiri

Dalam masyarakat Lampung beradat Pepadun, bila seorang balu/duda yang sudah mempunyai anak dan kemudian menikah lagi dengan seorang janda karena kematian suami dan tidak mempunyai anak, sedangkan selama perkawinan baru itu mereka tidak pula dikaruniani anak, tidak mungkin salah seorang anak dari suami baru dijadikan tegak tegi (penerus garis keturunan) bagi janda dan mendiang suaminya. Hal ini misalnya terjadi dalam bentuk perkawinan levirat (Lampung = semalang), yaitu janda bercerai mati dikawini oleh abang/adik mendiang suaminya. Maka, anak laki-laki dari suami (baru) yang nyemalang dan telah mandiri, jika dijadikan tegak tegi dari suami yang sudah almarhum, dengan sendirinya berhak atas harta warisan mendiang suami tadi, dan berhak pula sebagai ahli waris dari harta bawaan janda tersebut dan harta pencarian pasangan suami-istri pertama (yang bercerai mati) itu.

Page 232: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

220 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Sebaliknya, mungkin saja dapat terjadi perkawinan antara seorang suami yang sudah beristri tetapi tidak dikaruniai keturunan dengan istri kedua yang sudah beranak, tetapi dalam perkawinan kedua ini mereka tidak dapat keturunan. Maka dalam hal ini dapat saja salah seorang anak bawaan dari istri kedua itu diangkat menjadi penerus garis keturunan suami tersebut. Dengan demikian maka anak tiri itu menjadi ahli waris dari bapak tiri dan ibu tiri (istri pertama) dengan jalan pengangkatan atau pengakuan oleh orangtua tiri tersebut.

j. Anak Angkat

Berhak-tidaknya anak angkat mewaris harta orangtua angkatnya, bergantung pada motif dan tujuan pengangkatannya:

1) Kemenakan bertali darah diangkat karena tiadanya anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan atau generasi di dalam sistem patrilineal atau tidak adanya anak perempuan penerus kesinambungan keturunan di lingkungan masyarakat matrilineal.

2) Agar menantu laki-laki dapat menjadi anak angkat dalam hubungan bertali adat, maka dalam perkawinan antara seorang wanita Lampung dengan seorang pria luar daerah yang memasukkan menantu (ngurukken mengiyan), si suami tadi dijadikan anak angkat dari salah satu kepala keluarga anggota kerabat.

3) Pembinaan pendidikan dan kesejahteraan kemenakan, warga kerabat lain atau bahkan anak luar kerabat yang menderita kesekengan, didasari rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan, menciptakan lembaga anak angkat walaupun tanpa upacara resmi, sehingga menjalin hubungan tali budi.

4) Berdasarkan hubungan baik dan rasa persaudaraan atau karena kebutuhan akan tenaga kerja dalam pekerjaan sehari-hari, maka lahirlah jenis anak angkat bertali emas.

Page 233: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

221Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

a) Anak Angkat Mewaris

Hak mewaris mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat, mulai dari yang paling sempit sampai yang paling luas, dapatlah dilukiskan berturut-turut sebagai berikut:

(1) Di Wilayah Lampung, anak angkat tegak tegi, selaku penyambung garis keturunan ayah angkatnya, menjadi ahli waris ayah angkat tersebut.

(2) Serupa namun agak luas daripada di Lampung ialah hak anak angkat mutlak di kalangan masyarakat Madura dan kaum Osing di Banyuwangi: meskipun tidak lagi mewaris dari orangtua kandungnya, namun mereka menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya.

(3) Setingkat lebih luas ialah hak anak angkat di wilayah Jawa selebihnya, terutama Jawa Tengah: mereka “ngangsu sumur loro” artinya “menimba dari dua sumur”, karena di samping mendapat warisan dari orangtua angkat, juga masih tetap mewaris dari orangtua kandungnya. Tinggal lagi, jika ada anak kandung, maka bagian si anak angkat tidaklah sebanyak porsi anak kandung. Dalam pada itu, kalau orangtua angkat khawatir jangan-jangan anak angkatnya tidak mendapat bagian yang wajar atau tersisihkan sama sekali oleh anak kandungnya, maka sebelum meninggal, orangtua tersebut memberikan bagian dan harta warisannya kepada anak angkatnya dengan jalan penunjukan (hibah wasiat). Di samping tidak boleh mewaris lebih banyak daripada bagian anak kandung, maka anak angkat itu juga hanya boleh mewaris harta gono-gini, harta pencarian, tidak berhak atas bagian harta asal/bawaan.

Page 234: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

222 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

(4) Meningkat kuat lagi ialah hak mewaris anak angkat di kalangan suku Dayak Kendaan atau Dayak Benawas di Kalimantan Barat, yang posisinya sebagai ahli waris tidak berbeda dengan anak kandung ayah angkatnya.

(5) Yang paling kuat kedudukannya ialah anak angkat di Minahasa:

(a) Tanpa adanya anak kandung, maka anak angkatlah yang manjadi ahli waris ayah angkatnya;

(b) Sekalipun ada anak kandung, namun anak angkat itu mempunyai hak mewaris yang sama dengan anak kandung, kecuali mengenai harta kalakeran (karena memer-lukan persetujuan para warga kerabat yang bersangkutan);

(c) Di samping harta pencarian, anak angkat itu pun di berbagai wilayah berhak pula mewaris harta bawaan;

(d) Meskipun status sebagai anak angkat sudah dicabut karena tingkah lakunya yang tercela, namun kalau sebelum itu ia menunjukkan pengabdian yang sungguh-sungguh kepada orangtua angkatnya, maka mungkin haknya atas bagian warisan tidak dicabut.

b) Anak angkat tidak mewaris

Di Rote, Nusa Tenggara Timur terdapat perkawinan ambil menantu laki-laki tanpa pembayaran jujur. Si istri berfungsi sebagai jembatan/penghubung dan berkedudukan sebagai istri sekaligus suami/kepala rumah tangga. Meskipun si suami seakan-akan

Page 235: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

223Bab 8 | Hukum Waris

DUMMY

DUMMY

diambil sebagai anak angkat, namun ia tidak berhak mewaris dari mertuanya, karena yang mewaris kelak ialah cucu laki-laki keturunan pasangan suami-istri tersebut.

Lembaga adat “kawin masuk” pada masyarakat Ngadhu-bhaga di Flores (NTT) serupa dengan lembaga “perkawinan ambil laki-laki” (ngakuk ragah) di wilayah Lampung Pepadun, yang juga tidak menghasilkan hak mewaris bagi si menantu, meskipun ia nyata-nyata diambil sebagai anak angkat.

Beberapa jenis anak yang kedudukannya lebih lemah daripada anak angkat tak mewaris ialah:

(1) Anak Akuan: yang diakui sebagai anak ber-dasarkan belas kasihan atau karena baik hati;

(2) Anak Pancingan, anak panutan, anak pupon: sarana untuk memperoleh anak kandung sendiri;

(3) Anak piara, anak pungut: dipelihara karena sekeng (kuat) dan diperlukan tenaganya;

(4) Anak Titip: dititipkan kepada kakek nenek atau warga kerabat lain/tetangga karena orangtuanya tidak mampu.63

63Ibid., hlm. 129-137.

Page 236: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Page 237: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

225Daftar Pustaka

DUMMY

DUMMY

DaFtaR PuStaKa

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,1994.

Afandi, Ali, Hukum Keluarga Menurut Undang-Undang Hukum Perdata, Yogyakarta: Graha Ilmu, 1981.

Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1990.

Anshori, Ghofur, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Eksistensi Dan Adaotabilitas, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: FH-UII, cet-3, 1980.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Indonesia, Jakarta: Riskita, 2002.

Djubaidah, Neng, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hesca Publishing, 2005.

Djubaidah, Neng, Farida Prihartini dan Sulaikin Lubis, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hecca Publishing bekerja

Page 238: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

226 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007.

, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Hamid, Zhari, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UUP Islam, Jakarta: Bina Cipta, 1987.

Husen, Abdul Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahati Aneska, 1992.

Kartohadiprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.

J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.

, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Harahap, M Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Vol.1, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990.

, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir, 1975.

Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1960.

Kamello, Tan, dan Syarifah Lisa Andriani, Hukum Orang dan Keluarga, Medan: USU Press, 2010.

Page 239: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

227Daftar Pustaka

DUMMY

DUMMY

Kharli Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Husnain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris Fisy-Syari’at Al-Islamiyah, Qarihah: Matabi’ Al-ahram At-Tijariyah, 1971.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Mustofa, Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: Sinar Grafika, 2005.

Pandika, Rusli, Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Perangin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

Pitlo, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, terjemahan J. Satrio, Cetakan keempat, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen, 1971.

Patrik, Purwahid, Asas-Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986.

Poerdarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung: Sumur, 1991.

Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor Tahun 974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Rahman, Fachtur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1982.

Page 240: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

228 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Sanusi, Ahmad, Perlunya Pencatatan Perkawinan, Jakarta: Merdeka, 2 Maret 1982.

Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat Cetakan Ke-13, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.

Subekti, R, Aneka Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1992.

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Sudiyat, Imam, Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 1981

Supramono, Gatot, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1998.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1985.

, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Graha Indonesia, 1986.

Syahar, Saidus, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Bandung: Alumni, 1981.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Syihab, Umar, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di Wajo, Disertasi, Makassar: Universitas Hasanuddin, 1988.

Page 241: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

229Daftar Pustaka

DUMMY

DUMMY

Ter Haar, Betrand, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Surabaya: Fadjar, 1953.

Thong Kie, Tan, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktik Notaris, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.

Thaib, M. Hasballah, dan Jauhari, Iman, Kapita Selekta Hukum Islam, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Thaib, M. Hasballah dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan, Bandung: Citapustaka Media, 2014.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2009.

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Vollmar, H.F.A, Pengantar Studi hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1992.

Wadong, Maulana Hasan, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000.

Witanto, D. Y, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012.

Yaswirma, Hukum Keluarga, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1956.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Page 242: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

230 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung.

Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan dan Pengangkatan Anak.

Peraturan Menteri Sosial No 110/Huk/2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Page 243: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

231Lampiran

DUMMY

DUMMY

LamPIRan

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIANOMOR: 110/HUK/2009

TENTANG

PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, perlu menetapkan Peraturan Menteri Sosial RI tentang Persyaratan Pengangkatan Anak;

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);

Page 244: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

232 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4611);

3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474); 2

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3495);

5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3882);

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4235);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4844);

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6434);

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4674);

10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2008

Page 245: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

233Lampiran

DUMMY

DUMMY

Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4916);

11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4967); 3

12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4768);

14. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) (Lembaran Negara RI Tahun 1990 Nomor 57);

15. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 171/M Tahun 2005;

16. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2008;

17. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2008;

18. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;

19. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Sosial;

Page 246: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

234 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIATENTANG

PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.

2. Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

3. Calon Anak Angkat yang selanjutnya disingkat CAA adalah anak yang diajukan untuk menjadi Anak Angkat.

4. Calon Orang Tua Angkat yang selanjutnya disingkat COTA adalah orang yang mengajukan permohonan untuk menjadi Orang Tua Angkat.

5. Orang Tua Tunggal adalah seseorang yang berstatus tidak menikah atau janda/duda.

6. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia adalah pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh calon orang tua angkat Warga Negara Indonesia.

7. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA Warga Negara Asing atau anak Warga Negara Asing oleh COTA angkat Warga Negara Indonesia.

8. Pengangkatan Anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh COTA terhadap CAA yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung.

9. Pengangkatan Anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh COTA terhadap CAA yang berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak yang ditunjuk oleh Menteri.

Page 247: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

235Lampiran

DUMMY

DUMMY

10. Lembaga Pengasuhan Anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak. 5

11. Lembaga Asuhan Anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar.

12. Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak yang selanjutnya disingkat Tim PIPA adalah suatu wadah pertemuan koordinasi lintas Instansi guna memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing atau kepada Gubernur untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar Warga Negara Indonesia, yang diselenggarakan secara komprehensif dan terpadu.

13. Anak terlantar atau diterlantarkan adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosialnya.

14. Anak yang memerlukan perlindungan khusus, adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

15. Instansi Sosial adalah Instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat maupun di daerah.

16. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

17. Izin Pengangkatan Anak adalah persetujuan dari Menteri atau Gubernur atas permohonan COTA untuk melakukan pengangkatan anak.

18. Penetapan atau Keputusan Pengadilan adalah Putusan atau Penetapan Ketua Pengadilan yang memutuskan atau menetapkan bahwa CAA menjadi anak angkat.

Page 248: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

236 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 2(1) Prinsip pengangkatan anak, meliputi:

a. pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya;

c. COTA harus seagama dengan agama yang dianut oleh CAA;d. dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak

disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk tempat ditemukannya anak tersebut; dan

e. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(2) Selain prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan mental anak.

Pasal 3(1) Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak

untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan ini ditujukan sebagai acuan bagi masyarakat dalam melaksanakan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

BAB IIPERSYARATAN CALON ANAK ANGKAT DAN

CALON ORANG TUA ANGKAT

Bagian PertamaPersyaratan Calon Anak Angkat

Pasal 4Syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:a. anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;

Page 249: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

237Lampiran

DUMMY

DUMMY

c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan

d. memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 5Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif CAA yang meliputi:a. copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat CAA;b. copy kartu keluarga orang tua CAA; danc. kutipan akta kelahiran CAA.

Pasal 6Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam 3 (tiga) kategori yang meliputi:a. anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu

anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus;

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat;

c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus.

Bagian keduaPersyaratan Calon Orang Tua Angkat

Pasal 7(1) Persyaratan COTA meliputi:

a. sehat jasmani dan rohani;b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi

55 (lima puluh lima) tahun;c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan

tindak kejahatan;e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;f. tidak merupakan pasangan sejenis;

Page 250: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

238 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; 8

h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua

atau wali anak;j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,

sejak izin pengasuhan diberikan; danm. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu perhitungan umur COTA pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak.

(3) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA.

Pasal 8(1) COTA dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak

waktu paling singkat 2 (dua) tahun.(2) Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.(3) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat

dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh COTA.

BAB III JENIS PENGANGKATAN ANAK

Pasal 9Pengangkatan anak terdiri dari:a. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia; danb. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga

Negara Asing.

Pasal 10(1) Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi:

Page 251: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

239Lampiran

DUMMY

DUMMY

a. Pengangkatan Anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; ataub. Pengangkatan Anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari pengangkatan anak:a. secara langsung; danb. melalui Lembaga Pengasuhan Anak.

(3) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri dari:a. Pengangkatan Anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga

Negara Asing;b. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal.

Pasal 11Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, hanya dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak.

BAB IVKEWENANGAN

Pasal 12Menteri memiliki kewenangan memberikan izin Pengangkatan Anak untuk selanjutnya ditetapkan ke pengadilan, yang meliputi:a. Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga

Negara Asing;b. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal; danc. Pengangkatan Anak yang dilakukan oleh COTA yang salah seorangnya

Warga Negara Asing.

Pasal 13(1) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin Peng-

angkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 2 kepada Pejabat Eselon I yang memiliki kewenangan di bidang Pengangkatan Anak.

(2) Menteri dapat mendelegasikan pelaksanaan pemberian izin Peng-angkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b kepada kepala instansi sosial provinsi.

(3) Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Menteri.

Page 252: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

240 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 14(1) Kepala Instansi Sosial Provinsi memiliki kewenangan;

a. memberikan izin Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia untuk selanjutnya ditetapkan ke pengadilan; dan

b. memberikan rekomendasi untuk pemberian izin Pengangkatan Anak yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(2) Pemberian izin Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi Sosial Provinsi setempat sesuai dengan lingkup wilayah kewenangannya.

(3) Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota memiliki kewenangan memberikan rekomendasi atas permohonan izin Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia di lingkup kabupaten/kota setempat untuk dilanjutkan ke Tim PIPA provinsi.

Pasal 15(1) Menteri melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap

pelaksanaan pemberian izin Pengangkatan Anak. (2) Gubernur melalui Kepala Instansi Sosial Provinsi melakukan

pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian izin Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia dan Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal di provinsi dan kabupaten/kota.

(3) Bupati/Walikota melalui Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia yang berada di lingkup wilayah kabupaten/kota.

(4) Gubernur melakukan pembinaan, bimbingan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setelah mendapat pendelegasian kewenangan Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal dari Menteri.

Pasal 16Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, bimbingan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

Page 253: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

241Lampiran

DUMMY

DUMMY

BAB VPENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA

Bagian PertamaPengangkatan Anak Secara Adat Kebiasaan

Pasal 17(1) Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia yang berdasarkan

adat kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

(2) Kepala Instansi Sosial provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke Departemen Sosial, instansi sosial dan instansi terkait.

Bagian KeduaPengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Paragraf PertamaPengangkatan Anak Secara Langsung

Pasal 18(1) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara langsung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, CAA harus berada dalam pengasuhan orang tua kandung atau wali;

(2) Pelaksanaan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara langsung hanya dapat dilakukan oleh COTA baik suami maupun istri berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 19Persyaratan COTA pada pengangkatan anak secara langsung meliputi:a. persyaratan material; danb. persyaratan administratif.

Page 254: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

242 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 20Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, meliputi:a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu

untuk mengasuh CAA;b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55

(limapuluh lima) tahun;c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;f. tidak merupakan pasangan sejenis;g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

anak;h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;i. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu

menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua kandung atau wali anak;

j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi setempat;

l. memperoleh rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota; dan

m. memperoleh izin Kepala Instansi Sosial Provinsi.

Pasal 21(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 huruf b, yaitu harus melampirkan:a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari

Rumah Sakit Pemerintah;c. copy akta kelahiran COTA;d. surat Keterangan Catatan Kepolisian setempat;e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;f. kartu keluarga dan KTP COTA;g. copy akta Kelahiran CAA;

Page 255: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

243Lampiran

DUMMY

DUMMY

h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;i. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas

kertas bermaterai cukup;j. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang

menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak dan perlindungan anak;

k. surat pernyataan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

l. surat pernyataan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menjelaskan bahwa COTA akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak;

m. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menjelaskan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan anak;

n. surat rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota; dan

o. surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi Sosial Provinsi.

(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22(1) Pengangkatan anak secara langsung, dilaksanakan dengan tata cara:

a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 21 ayat (1);

b. Kepala Instansi Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota menugaskan Pekerja Sosial Provinsi/Kab/Kota untuk melakukan penilaian kelayakan COTA;

c. permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi melalui Instansi Sosial Kabupaten/Kota;

Page 256: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

244 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

d. Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi untuk dapat diproses lebih lanjut ke provinsi;

e. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Keputusan tentang Izin Pengangkatan Anak untuk dapat diproses lebih lanjut di pengadilan;

f. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial dan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten/kota; dan

g. Instansi sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.

(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Paragraf KeduaPengangkatan Anak Melalui Lembaga Pengasuhan Anak

Pasal 23(1) Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, CAA harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak.

(2) Pada pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), CAA harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 24Persyaratan COTA pada pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak meliputi:a. persyaratan material; danb. persyaratan administratif.

Pasal 25Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, meliputi:a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu

untuk mengasuh CAA;

Page 257: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

245Lampiran

DUMMY

DUMMY

b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun;

c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;f. tidak merupakan pasangan sejenis;g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

anak;h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;i. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu

menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak

izin pengasuhan diberikan; m. memperoleh rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten; dann. memperoleh izin untuk pengangkatan anak dari Kepala Instansi Sosial

Provinsi.

Pasal 26(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24 huruf b, yaitu harus melampirkan:a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari

Rumah Sakit Pemerintah;c. copy akta kelahiran COTA;d. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;f. kartu keluarga dan KTP COTA;g. copy akta kelahiran CAA;h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;i. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup

bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/atau hasil laporan Pekerja Sosial;

Page 258: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

246 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

j. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas kertas bermaterai cukup;

k. surat pernyataan di kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak dan perlindungan anak;

l. surat pernyataan akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;

m. surat pernyataan dan jaminan COTA di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

n. surat pernyataan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan anak;

o. laporan sosial mengenai anak dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;

p. surat penyerahan anak dari orangtua/wali yang sah/kerabat kepada rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;

q. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

r. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

s. laporan Sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial instansi sosial provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak;

t. surat keputusan izin asuhan dari kepala instansi sosial;u. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial

Instansi sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak;v. surat rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota;w. surat rekomendasi pertimbangan perizinan pengangkatan anak

dari Tim PIPA daerah; danx. surat Keputusan Izin untuk Pengangkatan Anak yang dikeluarkan

oleh Kepala Instansi Sosial Provinsi untuk ditetapkan di pengadilan.

(2) Persyaratan administrartif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 259: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

247Lampiran

DUMMY

DUMMY

Pasal 27(1) Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak dilaksanakan

dengan tata cara sebagai berikut:a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada

Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 26 ayat (1);

b. Kepala Instansi Sosial Provinsi menugaskan Pekerja Sosial Provinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;

c. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Izin Peng-asuhan Sementara;

d. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara;

e. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup;

f. Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Provinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA:

g. Kepala Instansi Sosial Provinsi membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Provinsi;

h. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat untuk izin peng-angkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di pengadilan;

i. dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak akan dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

j. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial; dan ke Dinas Kependudukan Catatan Sipil kabupaten/kota;

k. Kepala Instansi Sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.

(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Page 260: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

248 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Paragraf KetigaPengangkatan Anak Oleh Orang Tua Tunggal

Pasal 28(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh

Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin

pengangkatan anak kepada Gubernur.

Pasal 29(1) Pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Orang Tua

Tunggal Warga Negara Indonesia dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia dan dari pemerintah negara asal anak;

(2) Pelaksanaan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditentukan oleh negara di mana CAA berasal.

Pasal 30Pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak.

Pasal 31Persyaratan COTA pada pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal meliputi:a. persyaratan material; danb. persyaratan administratif.

Pasal 32Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a, meliputi:a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu

untuk mengasuh CAA;b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55

(limapuluh lima) tahun;c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;

Page 261: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

249Lampiran

DUMMY

DUMMY

e. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

f. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;g. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu

menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;h. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;i. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;j. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak

izin pengasuhan diberikan; dank. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk

ditetapkan di pengadilan.

Pasal 33(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal

31 huruf b, yaitu harus melampirkan:a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari

Rumah Sakit Pemerintah;c. copy akta kelahiran COTA;d. surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;e. kartu Keluarga dan KTP COTA;f. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;g. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup

bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/atau hasil laporan Pekerja Sosial;

h. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas kertas bermaterai cukup;

i. surat pernyataan di kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak dan perlindungan anak;

j. surat pernyataan akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;

k. surat pernyataan dan jaminan COTA di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

Page 262: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

250 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

l. surat pernyataan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan anak;

m. laporan sosial mengenai CAA dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;

n. surat penyerahan anak dari ibu kandung/wali yang sah/kerabat kepada rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;

o. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

p. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

q. laporan sosial mengenai COTA yang dibuat oleh Pekerja Sosial Instansi Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak;

r. surat keputusan Izin Asuhan dari Menteri Sosial cq Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial;

s. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial Fungsional Departemen Sosial dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak;

t. surat keputusan TIM PIPA tentang Pemberian Pertimbangan Pengangkatan Anak; dan

u. surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Menteri Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.

(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34(1) Pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal dilaksanakan dengan tata

cara sebagai berikut:a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak

kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 33 ayat (1);

b. Menteri Sosial c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;

Page 263: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

251Lampiran

DUMMY

DUMMY

c. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara diberikan kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak;

d. penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;e. bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan

sementara;f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai

pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;

g. kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA;

h. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA;

i. diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak;

j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk ditetapkan di pengadilan;

k. apabila permohonan pengangkatan anak yang ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/wali yang sah/kerabat atau menetapkan pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak;

l. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Departemen Sosial; dan

m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng-angkatan anak tersebut.

(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf j, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Pasal 35Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal yang kewenangan pemberian izin pengangkatannya telah didelegasikan oleh Menteri kepada Gubernur, tata cara pengajuannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 27.

Page 264: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

252 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

BAB VIPENGANGKATAN ANAK OLEH COTA YANG SALAH

SEORANGNYA WARGA NEGARA ASINGPasal 36

(1) CAA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a, harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak.

(2) CAA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 37Persyaratan COTA pada pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya Warga Negara Asing meliputi: a. persyaratan material; danb. persyaratan administratif.

Pasal 38Persyaratan material COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, meliputi:a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu

untuk mengasuh CAA;b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55

(limapuluh lima) tahun;c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;f. tidak merupakan pasangan sejenis;g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

anak;h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;i. memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu

menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;j. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang

menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

Page 265: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

253Lampiran

DUMMY

DUMMY

k. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa akan melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

l. dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;

m. COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

n. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak;

o. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak izin pengasuhan diberikan;

p. melalui Lembaga Pengasuhan Anak;q memperoleh persetujuan pengangkatan anak secara tertulis dari

pemerintah negara asal suami atau istri melalui kedutaan atau perwakilan negara suami dan/atau istri yang ada di Indonesia;

r. memperoleh rekomendasi untuk pengangkatan anak dari Kepala Instansi Sosial Provinsi;

s. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk di tetapkan di pengadilan.

Pasal 39(1) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal

37 huruf b, yaitu harus melampirkan:a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari

Rumah Sakit Pemerintah;c. copy akta kelahiran COTA;d. surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setempat;e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA;f. kartu keluarga dan KTP COTA;g. copy akta kelahiran CAA;h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;i. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup

bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/atau hasil laporan Pekerja Sosial;

Page 266: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

254 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

j. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas kertas bermaterai cukup;

k. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pengangkatan anak demi kepentingan terbaik bagi anak dan perlindungan anak;

l. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hakhak dan kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;

m. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan anak;

n. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan akan melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

o. membuat surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;

p. membuat surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

q. surat pernyataan dan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

r. laporan sosial mengenai Anak dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak atau surat keterangan dari COTA mengenai kronologis anak hingga berada dalam asuhan mereka;

s. surat penyerahan anak dari ibu kandung/wali yang sah/kerabat kepada COTA/rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;

t. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Provinsi kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

u. surat keputusan kuasa asuh anak dari Pengadilan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

Page 267: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

255Lampiran

DUMMY

DUMMY

v. laporan Sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;

w. surat keputusan Izin Asuhan dari Instansi Sosial Provinsi;x. laporan sosial perkembangan anak dibuat oleh Pekerja Sosial

Instansi Sosial Provinsi;y. surat keputusan TIM PIPA tentang Pemberian Pertimbangan Izin

Pengangkatan Anak;z. surat Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Menteri

Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus

memenuhi persyaratan administrasi lainnya, yang meliputi:a. rekomendasi dari instansi sosial provinsi;b. surat izin dari pemerintah negara asal suami dan/atau istri;c. foto copy pasport dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan

Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP)d. akte kelahiran suami dan/atau Istri Warga Negara Asing;e. copy kutipan akte perkawinan/surat nikah yang dilegalisir di

catatan sipil/KUA jika perkawinan di Indonesia dan di legalisir negara asal dikeluarkannya surat tersebut jika perkawinan di Luar Negeri;

f. persetujuan dari keluarga suami atau Istri Warga Negara Asing yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya surat tersebut;

g. surat keterangan catatan kepolisian dari Negara asal suami atau Istri Warga Negara Asing dan melaporkannya kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

h. laporan sosial dari negara asal di mana COTA berdomisili. (3) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf k, dan ayat (2) huruf b dan huruf d harus disahkan di negara asal suami atau istri melalui Departemen luar negeri Negara setempat, diketahui oleh perwakilan RI di negara tersebut, dan kemudian disahkan di Departemen Luar Negeri dan kedutaan besar asing yang ada di Indonesia serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Page 268: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

256 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 41(1) Pelaksanaan pengangkatan anak oleh COTA yang salah seorangnya

Warga Negara Asing dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada

Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2);

b. Kepala Instansi Sosial Provinsi menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;

c. Kepala Instansi Sosial Provinsi mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan Sementara;

d. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara;

e. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup;

f. Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Provinsi dan Lembaga Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA:

g. Kepala Instansi Sosial Provinsi membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Provinsi;

h. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat rekomendasi untuk Izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di Departemen Sosial;

i. Menteri Sosial c.q Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Departemen Sosial;

j. forum TIM PIPA mengeluarkan surat keputusan tentang pertimbangan pengangkatan anak;

k. Menteri Sosial mengeluarkan Keputusan tentang Izin Pengangkatan Anak untuk ditetapkan di pengadilan;

l. dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

m. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan

Page 269: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

257Lampiran

DUMMY

DUMMY

tersebut ke Departemen Sosial dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten/kota; dan

n. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng-angkatan anak tersebut.

(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) huruf l, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

BAB VIIPENGANGKATAN ANAK ANTARA WARGA NEGARA

INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING

Bagian PertamaPengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh

Warga Negara Asing Di IndonesiaPasal 42

(1) CAA pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA yang Warga Negara Asing harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak.

(2) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA Warga Negara Asing, CAA harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5. 28

(3) Pengajuan permohonan pengangkatan anak, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga melampirkan penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa CAA terlantar.

Pasal 43Persyaratan COTA pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing meliputi:a. persyaratan material; danb. persyaratan administratif.

Pasal 44Persyaratan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, meliputi:a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu

untuk mengasuh CAA;

Page 270: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

258 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

b. berada dalam rentang umur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun pada saat COTA mengajukan permohonan pengangkatan anak;

c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;f. tidak merupakan pasangan sejenis;g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

anak;h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;i. memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu

menyampaikan pendapatnya;j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah untuk

kesejahteraan dan perlindungan anak serta demi kepentingan terbaik bagi anak;

k. membuat pernyataan tertulis akan dan bersedia melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

l. dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;

m. COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun

n. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak;

o. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan;

p. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal COTA melalui kedutaan atau perwakilan negara COTA;

q. CAA berada di Lembaga Pengasuhan Anak;r. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;s. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk

ditetapkan di pengadilan.

Page 271: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

259Lampiran

DUMMY

DUMMY

Pasal 45(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf

b, yaitu harus melampirkan:a. surat keterangan sehat COTA dari Rumah Sakit Pemerintah;b. surat keterangan kesehatan dari Dokter Spesialis Jiwa Pemerintah

yang menyatakan COTA tidak mengalami gangguan kesehatan jiwa;

c. Surat keterangan tentang fungsi organ reproduksi COTA dari dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Pemerintah;

d. akte kelahiran COTA yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya surat tersebut;

e. copy paspor dan Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP); serta surat keterangan tempat tinggal;

f. copy KTP orang tua kandung CAA dan/atau copy kartu keluarga orang tua kandung CAA dan/atau surat keterangan identitas agama orang tua kandung CAA dan/atau penetapan pengadilan tentang agama CAA;

g. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) COTA dari MABES POLRI;

h. copy akte perkawinan yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya surat tersebut;

i. copy akte kelahiran anak kandung COTA, apabila COTA telah mempunyai seorang anak;

j. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA yang dilegalisir oleh kedutaan besar negara COTA dan dilihat dan dicatat di Deplu dan Dephukham;

k. surat pernyataan persetujuan CAA di atas kertas bermaterai cukup bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan/atau hasil laporan Pekerja Sosial,

l. surat izin dari orang tua/wali di atas kertas bermaterai cukup;m. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan

bahwa pengangkatan anak untuk kesejahteraan dan perlindungan anak, serta demi kepentingan terbaik bagi anak;

n. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa akan dan bersedia melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

Page 272: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

260 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

o. membuat surat penyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat di mana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;

p. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun

q. surat pernyataan dan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya;

r. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak di atas kertas bermaterai cukup;

s. surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan kesiapan anak;

t. surat izin dari pemerintah negara asal COTA yang dilegalisir Departemen Luar Negeri setempat;

u. persetujuan dari keluarga COTA yang dilegalisir di negara asal dikeluarkannya surat tersebut;

v. laporan sosial mengenai CAA yang dibuat oleh Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak;

w. surat penyerahan anak dari ibu kandung kepada rumah sakit/kepolisian/masyarakat yang dilanjutkan dengan penyerahan anak kepada Instansi Sosial;

x. surat penyerahan anak dari Instansi Sosial kepada Lembaga Pengasuhan Anak;

y. laporan sosial mengenai COTA dibuat oleh Pekerja Sosial Instansi Sosial;

z. surat keputusan Izin Asuhan yang ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial atas nama Menteri Sosial RI tentang pemberian izin pengasuhan sementara;

aa. laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak mengenai perkembangan anak selama diasuh sementara oleh COTA;

bb. foto CAA bersama COTA;

Page 273: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

261Lampiran

DUMMY

DUMMY

cc. surat keputusan TIM PIPA tentang pertimbangan izin peng-angkatan anak;

dd. surat Keputusan Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial tentang pemberian izin pengangkatan anak untuk diproses lebih lanjut di pengadilan; dan

ee. Penetapan pengadilan bahwa status CAA sebagai anak terlantar.(2) Persyaratan administratif COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

yang berupa copy harus dilegalisir oleh lembaga yang menerbitkan dokumen atau lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46(1) Pengangkatan anak WNI oleh WNA dilaksanakan dengan tata cara

sebagai berikut:a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak

kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 45 ayat (1);

b. Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA;

c. Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial cq Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak;

d. penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;e. bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan

sementara;f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai

pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup;

g. kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA;

h. Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA;

i. diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak;

Page 274: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

262 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan di pengadilan;

k. apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/wali yang sah/kerabat, Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak;

l. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Departemen Sosial; dan

m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan peng-angkatan anak tersebut.

(2) Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf j, dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan.

Bagian KeduaPengangkatan Anak Warga Negara Asing di Indonesia

Oleh Warga Negara IndonesiaPasal 47

(1) Pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia, harus memenuhi syarat:a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik

Indonesia;b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal

anak; danc. COTA dan CAA harus berada di wilayah negara Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditentukan oleh negara anak di mana anak tersebut berasal.

Pasal 48(1) Persetujuan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

47 ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia harus dilaporkan dan dicatat di instansi yang berwenang dengan tembusan pemberitahuan ke Departemen Sosial.

Page 275: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

263Lampiran

DUMMY

DUMMY

Pasal 49(1) Tata cara pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh

Warga Negara Indonesia, tunduk kepada tata cara dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara asal anak.

(2) Pemerintah Indonesia dapat memberikan rekomendasi sesuai dengan permintaan Negara yang bersangkutan.

BAB VIIIPENGANGKATAN ANAK WARGA NEGARA INDONESIA YANG

DILAHIRKAN DI LUAR WILAYAH INDONESIAPasal 50

(1) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, harus dilaksanakan di Negara Republik Indonesia.

(2) Dalam hal ibu kandung CAA berkewarganegaraan Indonesia dan ayah kandung berkewarganegaraan asing pelaksanaan pengangkatan anak dapat diproses di Negara Republik Indonesia atau di negara asal ayah kandung CAA.

Pasal 51Pengangkatan anak yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia yang memerlukan perlindungan khusus dapat dilakukan pengangkatan anak oleh COTA Warga Negara Asing.

Pasal 52(1) Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar

wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus memenuhi persyaratan dan tata cara pengangkatan anak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan ini.

(2) Selain memenuhi persyaratan dan tata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:a. memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah RI melalui

Perwakilan RI di negara COTA dan CAA berada;b. adanya pengesahan atas dokumen pengangkatan anak di negara

asal COTA melalui Departemen Luar Negeri negara setempat, untuk kemudian dilihat/diketahui oleh Perwakilan R.I di negara tersebut dan kemudian disahkan di Departemen Luar Negeri dan

Page 276: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

264 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

kedutaan besar negara asal COTA di Jakarta serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;

c. menyampaikan laporan sosial CAA secara tertulis dan berkala minimal 1 (satu) tahun sekali ke Perwakilan RI di mana COTA dan CAA berada dan COTA mengijinkan bilamana Tim berkunjung untuk melihat perkembangan CAA;

d. CAA sementara ditempatkan di lembaga sosial setempat yang memperoleh ijin dari Pemerintah negara setempat hingga COTA memperoleh penetapan atau putusan pengangkatan anak dari pengadilan.

BAB IXKETENTUAN PENUTUP

Pasal 53Pada saat peraturan ini berlaku, maka Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 2/HUK/1995 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 54Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 19 Oktober 2009

MENTERI SOSIAL RI,

TTDDR (HC) H. BACHTIAR CHAMSYAH, S.E.

SALINAN, Peraturan ini disampaikan kepada Yth:1. Presiden Republik Indonesia. 2. Wakil Presiden Republik Indonesia. 3. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 4. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI. 5. Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI. 6. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI. 7. Menteri Luar Negeri.

Page 277: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

265Lampiran

DUMMY

DUMMY

8. Menteri Dalam Negeri. 9. Menteri Hukum dan HAM. 10. Menteri Agama. 11. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 12. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 13. Kepala Kepolisian RI. 14. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 15. Para Gubernur di seluruh Indonesia. 16. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Sosial RI. 17. Para Kepala Dinas Sosial Provinsi di seluruh Indonesia. 18. Para Pejabat Eselon II di lingkungan Departemen Sosial RI.

Page 278: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

266 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANGPELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Mengingat:1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

MEMUTUSKAN:Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENG-ANGKATAN ANAK.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Page 279: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

267Lampiran

DUMMY

DUMMY

3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang- undangan dan adat kebiasaan.

5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak.

6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.

7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak.

8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat maupun di daerah.

9. Menteri adalah me nteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 2Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat. (2) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan

dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 4Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

Pasal 5Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Page 280: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

268 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 6(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya

mengenai asalusulnya dan orang tua kandungnya. (2) Pemberitahuan asal- usul dan orang tua kandungnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

BAB IIJENIS PENGANGKATAN ANAK

Pasal 7Pengangkatan anak terdiri atas: a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga

Negara Asing.

Bagian PertamaPengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 8Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, meliputi: a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9(1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.

(2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

Pasal 10(1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.

(2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Page 281: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

269Lampiran

DUMMY

DUMMY

Bagian KeduaPengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia

Dengan Warga Negara AsingPasal 11

(1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi: a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara

Asing; danb. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga

Negara Indonesia.(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui putusan pengadilan.

BAB IIISYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK

Pasal 12(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:

a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan

anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus.

(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12

(dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; danc. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 13Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55

(lima puluh lima) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak

kejahatan;

Page 282: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

270 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang

anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali

anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak

izin pengasuhan diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Pasal 14Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat: a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui

kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c. melalui lembaga pengasuhan anak.

Pasal 15Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat: a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia;

dan b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pasal 16(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh

Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di-

delegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.

Page 283: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

271Lampiran

DUMMY

DUMMY

Pasal 17Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat: a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c.

membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 18Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IVTATA CARA PENGANGKATAN ANAK

Bagian PertamaPengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 19Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 20(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan

diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.(2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke

instansi terkait.

Pasal 21(3) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan

jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun. (4) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat

di lakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.

Page 284: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

272 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Bagian KeduaPengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia

Dengan Warga Negara AsingPasal 22

(1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan.

(2) Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Pasal 23Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.

Pasal 24Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Pasal 25(1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim

Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan

Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VBIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 26Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan: a. penyuluhan; b. konsultasi; c. konseling; d. pendampingan; dan e. pelatihan.

Page 285: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

273Lampiran

DUMMY

DUMMY

Pasal 27(1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan

agar masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang persyaratan, prosedur dan tata cara pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak; b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan

perundang- undangan.

Pasal 28(1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan

untuk membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon orang tua angkat atau pihak lainnya agar mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak.

Pasal 29(1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan

untuk membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak. (2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

a. membantu memahami permasalahan pengangkatan anak; dan b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.

Pasal 30(1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d di-

maksudkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.

Pasal 31(1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan

agar petugas memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan peng-angkatan anak.

Page 286: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

274 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.

BAB VIPENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 32Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam pengangkatan anak.

Pasal 33Pengawasan dilaksanakan untuk: a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;b. mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan

anak; dan c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak.

Pasal 34Pengawasan dilaksanakan terhadap: a. orang perseorangan; b. lembaga pengasuhan; c. rumah sakit bersalin; d. praktik-praktik kebidanan; dan e. panti sosial pengasuhan anak.

Pasal 35Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat.

Pasal 36Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Departemen Sosial.

Pasal 37Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain oleh:

Page 287: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

275Lampiran

DUMMY

DUMMY

a. orang perseorangan; b. keluarga; c. kelompok; d. lembaga pengasuhan anak; dan e. lembaga perlindungan anak.

Pasal 38(1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran

terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri.

(2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran.

BAB VIIPELAPORAN

Pasal 39Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang tua angkat dan perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua angkat kepada Menteri atau kepala instansi sosial setempat.

Pasal 40Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 41Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen yang bertanggung jawab di bidang sosial.

Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.

Page 288: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

276 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

BAB VIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IXKETENTUAN PENUTUP

Pasal 44Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

Page 289: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

277Lampiran

DUMMY

DUMMY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIATAHUN 2007 NOMOR 123

PENJELASANATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANGPELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

I. UMUM Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita

perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung secara terus-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat memengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari- hari di dalam masyarakat masih banyak dijumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, di mana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.

Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak–hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Page 290: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

278 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Untuk itu, perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.

II. PASAL DEMI PASALPasal 1

Cukup jelas.Pasal 2

Cukup jelas.Pasal 3

Ayat (1) Cukup jelas.Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”setempat” adalah setingkat desa atau

kelurahan.Pasal 4

Cukup jelas.Pasal 5

Cukup jelas.Pasal 6

Cukup jelas.Pasal 7

Cukup jelas.Pasal 8

Cukup jelas.Pasal 9

Cukup jelas.Pasal 10

Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak secara langsung”

adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung

Page 291: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

279Lampiran

DUMMY

DUMMY

dalam pengasuhan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak” adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 11 Cukup jelas.

Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”sepanjang ada alasan mendesak”

seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.

Huruf c Yang dimaksud dengan ”anak memerlukan perlindungan

khusus” adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan; anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental; anak yang menyandang cacat; dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 13 Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15 Cukup jelas.

Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”orang tua tunggal” adalah seseorang

yang berstatus tidak menikah atau janda/duda.Ayat (2) Cukup jelas.

Page 292: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

280 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 17 Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas.

Pasal 19 Cukup jelas.

Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah Mahkamah

Agung melalui Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas.Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 20 ayat (2).

Pasal 23 Cukup jelas.

Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan

Anak” yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 26 Huruf a Cukup jelas.Huruf b Cukup jelas.Huruf c Yang dimaksud dengan ”konseling” adalah kegiatan yang

dilakukan setelah tahap konsultasi dalam hal terjadinya permasalahan pengangkatan anak.

Page 293: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

281Lampiran

DUMMY

DUMMY

Huruf d Cukup jelas.Huruf e Cukup jelas.

Pasal 27 Cukup jelas.

Pasal 28 Cukup jelas.

Pasal 29 Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31 Cukup jelas.

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal 34 Cukup jelas.

Pasal 35 Cukup jelas.

Pasal 36 Cukup jelas.

Pasal 37 Cukup jelas.

Pasal 38 Ayat (1) Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah suatu badan yang

dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertugas: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan

perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengum pulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

2. Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 39 Cukup jelas.

Page 294: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

282 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41 Cukup jelas.

Pasal 42 Cukup jelas.

Pasal 43 Cukup jelas.

Pasal 44 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4768

Page 295: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

283Lampiran

DUMMY

DUMMY

bIOData PEnuLIS

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, lahir di Pematang Siantar pada tanggal 2 Februari 1967. Ia telah menyelesaikan S1 (1990), S2 (2002), S3(2013), di Universitas Sumatera Utara dengan menerima beasiswa (di semua strata).

Pendidikan doktor diselesaikan pada almamater yang sama pada tahun 2013 dengan prediket cum laude/pujian. Pada tahun 1991, sebagai penerima beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas), ia menjadi dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam mengasuh mata kuliah hukum adat (S1), hukum keluarga dan harta-harta benda dalam perkawinan (MKN), dan hukum waris adat (S2 Ilmu Hukum).

Pernah menjadi kepala Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum periode 2009-2012, sekarang menjadi Ketua Umum Ilmu-ilmu Umum LIDA (Lembaga Ilmu-ilmu Dasar) Universitas Sumatera Utara, anggota Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran USU dan RSUP H. Adam Malik Medan dan anggota MPD (Majelis Pengawas Daerah), Pengawas Notaris-notaris Kabupaten Deli Serdang. Penulis juga aktif mengajar pada Program Magister Ilmu Hukum di Perguruan Tinggi

Page 296: Divisi Buku Perguruan Tinggi - repository.usu.ac.id

284 HUKUM KELUARGA

DUMMY

DUMMY

Swasta, serta aktif mengikuti kegiatan ilmiah; seminar, workshop dan pelatihan, juga sering diundang menjadi narasumber. Penulis bisa dihubungi via email: [email protected].