diskusi tembakau antrop 2014_pertembakauan_syamsul hadi_seminar week anthropology fisip ui

14
FCTC, KEBIJAKAN TEMBAKAU DAN IMPLIKASINYA: SUDUT PANDANG EKONOMI POLITIK Syamsul Hadi, MA, Ph.D Departemen HI FISIP UI

Upload: muki-trenggono-wicaksono

Post on 26-Jul-2015

112 views

Category:

Law


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

FCTC, KEBIJAKAN TEMBAKAU DAN IMPLIKASINYA: SUDUT PANDANG EKONOMI POLITIKSyamsul Hadi, MA, Ph.D

Departemen HI FISIP UI

Page 2: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Kampanye Paling Sukses

Kampanye anti rokok adalah salah satu kampanye yang paling sukses secara internasional, lebih dari kampanye anti korupsi dan anti terorisme.

Saat saya kuliah awal 1990an, dosen merokok di depan kelas adalah hal biasa. Sampai sekitar tahun 2000, ruangan di pesawat terbang masih dibagi antara “smoking room” & “non-smoking room”.

Kondisi yang ada sekarang adalah bukti betapa suksesnya kampanye anti rokok internasional

Page 3: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

FCTC sebagai Rezim Internasional

Keberhasilan kampanye anti rokok sangat berkait dengan keberadaan Framework on Tobaco Control” (FCTC) yang diusung oleh WHO.

Dalam disiplin Ekonomi Politik Internasional, FCTC dapat dilihat sebagai Rezim internasional. Stephen Krasner (2009) mendefinisikan rezim (regime) sebagai “sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’expectations converge in a given area of international relations”.

Dalam definisi Krasner ini, sebuah perjanjian internasional (termasuk FCTC) dapat dilihat sebagai “explicit regime” (rezim yang eksplisit).

Page 4: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Rezim Internasional dan Ketiadaan “World Government”

Robert E. Keohane & Joseph Nye (1977) mendefinisikan rezim sebagai “sets of governing arrangements that include networks of rules, norms, and procedures that regularize behavior and control its effects”.

Teori tentang rezim internasional muncul di era 1970an, dengan berangkat dari persoalan mendasar dalam sistem internasional yang cenderung bersifat anarki, karena ketiadaan sebuah “world government”, yang memunculkan visi “governance without government”.

Page 5: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Implementasi FCTC

Upaya memberlakukan FCTC secara global dilakukan dengan dua cara :

1. Pertama, semua negara didorong untuk meratifikasi peraturan ini kedalam hukum nasional. Proses ratifikasi di Indonesia dilakukan lewat UU.

2. Kedua, medorong masuknya prisip-prinsip dan kaidah dalam FCTC untuk dimasukkan ke dalam UU sektoral seperti UU kesehatan, dan peraturan sektoral seperti Peraturan Pemerintah (PP).

Page 6: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Ketika Bungkus Rokok Wajib Bergambar Tengkorak

Implementasi cara kedua, yaitu menerapkan aturan-aturan FCTC tanpa meratifikasinya itulah yang diberlakukan di Indonesia saat ini, dengan contoh nyata sebagai berikut:

Pasal 6-7 FCTC: Kebijakan pajak dan harga serta non harga untuk mengurangi permintaan

Pasal 8 FCTC: Pemberlakuan ruang khusus merokok untuk melindungi perokok pasif

Pasal 9-10 FCTC: Aturan untuk memberitahukan kandungan tembakau

Pasal 11 FCTC: Aturan tentang kemasan dan label rokok Pasal 13 FCTC: Aturan iklan, promosi & sponsorship. Pasal 14 FCTC: Mencantumkan seruan berhenti merokok.

Page 7: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Penelitian yang Unik & Menarik

Penelitian ini berusaha bersikap netral di antara dua arus yang berlawanan dalam memandang regulasi tembakau di Indonesia, khususnya dalam hal:

1. Kesehatan publik: Peneliti cenderung pro-regulasi.

2. Kesejahteraan petani: Peneliti agak mendua, tapi pro-petani (kurang setuju dg pengurangan aktivitas pertanian tembakau)

3. Perindustrian & ketenagakerjaan: Peneliti mendorong regulasi yang masih memberi ruang hidup bagi sektor tembakau.

Page 8: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Tanpa Ratifikasi pun, Rezim FCTC Sudah Diadopsi di Indonesia

Dalam hal. 5, peneliti menyimpulkan bhw terdapat pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang berusaha memasukkan pokok-pokok ketentuan dalam FCTC.

Kesimpulan itu sangat benar, dan sebenarnya adopsi terhadap aturan-aturan dalam FCTC tidak hanya dilakukan dalam level nasional, namun level daerah (melalui Perda). Lihat buku kami Kriminalisasi Berujung Monopoli (2011).

Pertarungan dalam hal meratifikasi FCTC atau tidak sebenarnya hanya pertarungan untuk memenangkan (bagi yang kontra untuk mencegah) diadopsinya “simbol besar” bagi kebijakan pertembakauan.

Faktanya, seperti saya tunjukkan diatas, praktis hampir keseluruhan aturan FCTC sudah diterapkan dengan detail.

Page 9: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Posisi Ambigu

Di halaman 7 ringkasan hasil penelitian tertulis, “...bagaimanapun juga industri rokok tetap harus ditempatkan sebagai industri legal yang dilindungi sejauh belum ada ketentuan yang sebaliknya” (cetak miring dari saya).

Kalimat ini problematik dan ambigu, yang menyiratkan pandangan bahwa industri rokok boleh tidak dilindungi kalau ada ketentuan yang membenarkannya. Menurut saya ini naif, karena melupakan kenyataan bahwa setiap kebijakan publik tidaklah sepenuhnya netral atau berada di ruang hampa. Aturan semacam ini yang menurut saya justru tidak boleh ada, mengingat industri rokok berkait langsung dengan pertanian tembakau, cengkeh dan kepentingan kalangan buruh yang bekerja di dalamnya.

Page 10: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Signifikansi Industri Tembakau

Di saat industri-industri nasional lain makin tergusur akibat penerapan aneka perjanjian perdagangan bebas (termasuk CAFTA), industri rokok atau tembakau adalah satu-satunya industri yang menggunakan bahan baku, tenaga kerja, teknologi, dan pasar nasional secara terintegrasi. Industri rokok juga praktis bersifat “kebal” terhadap krisis ekonomi.

Dalam situasi krisis yang paling parah sekalipun, seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998, usaha rokok dan tembakau lainnya tetap tidak terpengaruh – kalau tidak bisa dikatakan sebagai sektor usaha yang paling stabil.

Ini menunjukkan bahwa industri ini sangat kuat mengakar di dalam negeri, dilihat dari sisi bahan baku, sistem produksi, tenaga kerja, maupun pasar.

Page 11: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Lapangan Kerja dan Income Negara

Kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja: 1,25 jutaorang bekerja di ladang-ladang tembakau, sedangkan 1,5 juta orang bekerja di ladang cengkeh, dan sekurangnya 10 juta orang yang terlibat langsung dalam industri rokok. Belum lagi mereka yang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok.

Pendapatan cukai nasional tahun 2010 mencapai Rp 63,3 trilyun, tahun 2011 Rp 77 triliun, tahun 2012 Rp 79,9 triliun. Angka ini lebih besar dari pajak yang didapatkan pemerintah dari sektor tambang yang secara ekologis bermasalah.

Page 12: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Rokok & Ekonomi Daerah

Kontribusi terhadap ekonomi daerah: Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) di Kabupaten

Temanggung mencapai Rp 10,05 milyar pada 2009 (25,9 % dari PAD Temanggung) dan Rp 13,67 milyar pada tahun 2010 (24,81 % dari PAD Temanggung).

Di samping Kediri, Malang dan lain-lain, daerah yang terhidupi oleh industri rokok adalah Kudus. Tahun 2009 Kudus menyumbang Rp 15,1 triliun dari total pendapatan cukai nasional yang sekitar Rp 60 triliun. Jumlah tenaga kerja di Kudus yang terserap di sektor ini adalah 84.988 orang.

Daerah yang terhidupi oleh sektor yang terkait dengan bisnis rokok adalah Kabupaten Minahasa, yang merupakan penghasil cengkeh terbesar di Indonesia. Kesejahteraan rakyat sangat tergantung dari cengkeh. Contoh: monopoli BPPC di awal 1990an menyebabkan kemiskinan massal, karena harga cengkeh yang rendah.

Page 13: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Problema Menaikkan Cukai & Standarisasi Rokok

Di hal. 8 peneliti menyatakan setuju dengan usaha mengurangi sisi permintaan dengan menaikkan harga (sesuai dengan isi FCTC). Faktanya memang cukai rokok hampir setiap tahun naik. Tahun 2009 naik 10 %, tahun 2011 naik 5,9 %. Ini menyebabkan gelombang PHK dalam industri rokok, karena kenaikan biaya produksi, dan gulung tikarnya sejumlah besar industri rokok berskala kecil. Tahun 2008 industri rokok di Indonesia berjumlah 4.793 unit, dan menurun drastic menjadi 3.255 unit pada tahun 2008.

Regulasi-regulasi lain yang senafas dengan kandungan FCTC (termasuk PP No. 109/2012 ), berisi standarisasi produksi yang sudah pasti memerlukan tambahan ongkos produksi memberikan tambahan pukulan yang telak bagi industri rokok nasional, terutama yang berskala kecil dan menengah.

Page 14: Diskusi tembakau antrop 2014_Pertembakauan_Syamsul Hadi_Seminar Week Anthropology FISIP UI

Petani Tembakau & Perjuangan Hidup Petani

Di hal. 7 alenia terakhir disebutkan bahwa bertanam tembakau bukan satu-satunya kegiatan petani. Masalahnya ada daerah-daerah tertentu yang memang paling cocoknya ditanami tembakau dan cengkeh.

Petani apapun (bukan hanya petani tembakau) umumnya memang harus mencari tambahan pemasukan karena sulit mengandalkan penghasilan sebagai “petani murni” untuk biaya hidup di zaman serba mahal ini.

Mereka perlu tambahan untuk biaya pendidikan, kesehatan, dsb. Di daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan NTT bahkan banyak keluarga petani yang disupport oleh anggota keluarganya yang jadi TKI di Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dsb.