diskusi kasus

Upload: filissa-thilfani

Post on 01-Mar-2016

10 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

DK

TRANSCRIPT

DISKUSI KASUS

1. Mengapa di DD dengan gangguan penyesuaian?Gejala klinis pada gangguan crampuran anxietas-depresi dengan gangguan penyesuaian hampir sama dimana terdapat gejala baik depresif maupun anxietas yang tidak saling mendominasi dan tidak menunjukkan rangkaian gejala berat. Pada kasus terdapat gejala depresif berupa afek hipotimik, sering merasa sedih, tidak nafsu makan, berat badan menurun dan kesulitan tidur. Sedangkan sering gelisah, mudah tersinggung, dan hiperaktivitas otonomik (kepala pusing dan palpitasi) menunjukkan gejala anxietas. Jika gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian. Pada kasus, penyakit kronik akibat MDR TB serta faktor kehilangan anggota keluarga merupakan stresor yang jelas. Hal inilah yang memperkuat diagnosis gangguan penyesuaian. Akan tetapi pada gangguan penyesuaian, gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan sedangkan pada kasus gejala telah muncul selama 8 bulan sehingga diagnosis F41.2 gangguan campuran anxietas dan depresi lebih tepat. Sumber: Kaplan, Sadock, Grebb, MD. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 17-31.Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta: 75, 78-79.

2. Mengapa diagnosisnya gangguan anxietas dan depresif? Bukankah gejala depresif lebih menonjol?Dari autoanamnesa dan pemeriksaan pada status mental ditemukan adanya gejala rasa sedih dan gelisah akan penyakit yang dideritanya serta pasien mengalami kesedihan jika teringat anaknya yang meninggal. Pasien juga mengalami insomnia, nafsu makan menurun, serta penurunan berat badan. Pada pasien juga ditemukan afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi/rasa lelah yang nyata dan menurunnya aktivitas. Karena terdapat gejala anxietas dan depresi dimana masing-masing tidak menunjukan gejala berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri maka berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) di diagnosa dengan Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F41.2).Gejala depresif menonjol jika telah terjadi gangguan depresif berat yang ditandai dengan disabilitas berat. Pada kasus, penderita tidak dapat bekerja lagi menjadi tukang cuci tetapi masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti memasak, makan, minum, mandi dan berpakaian sehingga masih tergolong disabilitas ringan. Sumber: Kaplan, Sadock, Grebb, MD. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 17-31.Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta: 75, 78-79.

3. Bagaimana cara edukasi kepada keluarga pasien?Edukasi kepada keluarga dapat dilakukan dengan menjelaskan tentang penyakit dan proses penyembuhannya. Perlunya semangat dan dukungan dari keluarga selama pasien berada dalam masa pengobatan untuk menghindari depresi yang lebih berat pada pasien. Keluarga perlu memantau keadaan kesehatan pasien dan kepatuhan terapi. Selain itu, kita perlu menekankan pentingnya kontrol teratur dan minum obat secara teratur. Tidak membatasi aktifitas pasien, tetap melibatkan pasien dalam urusan sehari-hari, serta mendukung aktivitas sosial pasien dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan diluar rumah.

4. Pada pasien yang sedang konsumsi obat TB, apakah berpengaruh dengan konsumsi obat psikiatri?Pasien yang menderita TB harus diobati hingga sembuh, sementara obat yang digunakan untuk pengobatan TB memiliki efek menimbulkan gangguan mood seperti anxietas, depresi, ataupun psikosis. Kombinasi obat TB dan obat gangguan jiwa juga harus diperhatikan penggunaannya karena interaksi antara beberapa obat TB dan obat psikiatri dapat memberikan efek yang semakin buruk pada pasien. Sebagai contoh, SSRIs merupakan standar pengobatan untuk depresi, akan tetapi pada pasien TB yang mendapatkan terapi isoniazid, SSRIs merupakan obat yang dikontraindikasikan pemberiannya bersama isoniazid sehingga diperlukan antidepresan lain yang interaksinya lebih minimal.Sumber : Treton, AJ, GW Currier. Treatment of Comorbid Tuberculosis and Depression. 2001. 3 (6): 236-42Doherty AM, J Kelly, C McDonald, AM ODywer, J Keane, J Cooney. A Review of The Interplay Between Tuberculosis and Mental Health. 2013: 1-6

5. Depresi dan TB. Apakah depresi disebabkan oleh efek samping obat atau makan obat yang teratur menjadi beban? Prevalensi pada pasien MDR TB yang mengalami depresi, atau penyakit kronik mengalami depresi?Prevalensi gangguan mood pada pasien dengan penyakit kronis adalah 8,9%-12,9%, dengan prevalensi setelah 6 bulan adalah 5,8%-9,4%, sementara prevalensi depresi pada pasien TB yang didapatkan pada suatu studi adalah 45,5%, sementara pada studi yang dilakukan sebelumnya di Nigeria ditemukan prevalensi sebesar 52,5%.Depresi yang timbul pada pasien dengan TB (penyakit kronis) dapat disebabkan karena kondisi medisnya itu sendiri sehingga pasien merasa terbebani dan merasa hidupnya kurang berharga serta stigma masyarakat yang menyebabkan pasien merasa kurang dihargai. Selain itu, pengobatan TB sendiri juga berkontribusi terhadap terjadinya depresi, anxietas, dan psikosis. Kondisi penyakit kronis sendiri juga berperan menyebabkan depresi akibat peran mediator inflamasi. Kondisi sakit dapat menyebabkan perubahan endokrin, otonomik, dan perilaku yang diakibatkan sitokin pro-inflamatori seperti interleukin-1 dan (IL-1 and IL-1), tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin-6 (IL-6) sebagai respon akibat infeksi. Sitokin pro-inflamatori utama yang berperan dalam perubahan perilaku adalah IL-1 dan TNF- . Pada percobaan pada hewan yang disuntik IL-1 atau TNF- akan berdiam diri di sudut dan tidak ada ketertarikan melakukan aktivitas fisik dan terhadap lingkungan sosial.Sumber:Pachi A, D Bratis, G Moussas, A Tselebis. Psychiatric Morbidity and Other Factors Affecting Treatment Adherence in Pulmonary Tuberculosis Patients. 2013: 1-29Ige OM, VO Lasebikan. Prevalence of Depression in Tuberculosis Patients in Comparison with Non-Tuberculosis Family Contacts Visiting the DOTS Clinic in a Nigerian Tertiary Care Hospital and Its Correlation with Disease Pattern. 2011. 8: 235-41Dantzer R,JC. OConnor, GG. Freund,RW. Johnson,KW. Kelley. From inflammation to sickness and depression: when the immune system subjugates the brain. 2008. 9(1): 46-56.

6. Pada pasien dengan MDR TB, sampai kapan kita akan memberikan obat psikiatri?Tidak semua pasien MDR TB diberikan obat psikiatri. Pengobatan dengan menggunakan antidepresan dan antianxietas diberikan jika terdapat tanda dan gejala pasien cemas dan depresi. Dengan demikian, pada pasien MDR TB dengan gangguan anxietas dan depresi, pemberian obat psikiatri diberikan sampai keluhan yang dialami pasien (sulit tidur, gelisah, cemas, tidak nafsu makan, dll.) telah teratasi. Pasien yang dikonsulkan dari bagian penyakit dalam dengan MDR TB dan jika terdapat gangguan jiwa seperti anxietas dan depresi, setelah kita beri obat, pasien dapat dianjurkan untuk kontrol ulang jika gejala tidak berkurang atau bahkan bertambah.

7. Apa alasan pemberian haloperidol pada pasien ini?Haloperidol merupakan antipsikotik tipikal yang bekerja di Dopamine Receptor Antagonist (DRA). Beberapa peneliti menjelaskan bahwa paparan prolong terhadap dopamin berperan penting pada depresi. Konsentrasi dopamin yang tinggi berhubungan dengan skizofrenia dan beberapa gangguan jiwa lainnya. Penelitian di laboratorium dengan menggunakan tikus menunjukkan bahwa paparan prolong terhadap dopamin melalui inaktivasi protein regulasi di otak dikenal sebagai Akt dapat menyebabkan tikus tersebut berperilaku depresif dalam menghadapi stres. Dengan demikian, pemberian haloperidol pada kasus ini bertujuan untuk mengurangi paparan yang berlebihan terhadap dopamin.Sumber: Anonim. 2005. Dopamine May Play New Role in Depression. (http://www.webmd.com/depression/news/20050728/dopamine-may-play-new-role-in-depression, diakses pada 23 Maret 2015).

8. Mengapa prognosis pada kasus ini dubia ad bonam? Dan apakah bisa berulang?Mohon maaf sebelumnya, pada kasus ini kami hanya mencantumkan prognosis dari segi psikiatrinya. Untuk segi psikiatri, menurut kami prognosisnya adalah dubia ad bonam karna stressor pada pasien ini jelas yaitu karena masalah keluarga berupa meninggalnya anak lelakinya dan masalah penyakit berupa penyakit kronis TB dan efek samping dari obat TB tersebut. Jika stressor ini kita atasi maka kemungkinan pasien akan segera membaik.Gangguan ini bisa saja berulang. Pada pasien ini didiagnosis menderita MDR TB dan harus melanjutkan pengobatan, tidak menutup kemungkinan efek samping obat TB akan mempengaruhi pasien ini serta perasaan yang memikirkan penyakit kronis yang dideritanya ini. Kejadian depresi biasanya lebih sering ditemukan pada pasien yang sedang menjalani pengobatan TB, khususnya pada kondisi tua, penyakit ekstensif, kondisi sakit yang lama, pasien dengan pengobatan kategori II, serta jika pasien berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Selain itu, bisa saja pasien tiba-tiba mengingat akan anaknya yang telah meninggal. Untuk itu sangat diperlukan dukungan keluarga terdekat.Sumber :Kaplan, Sadock, Grebb, MD. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 17-31.Ige OM, VO Lasebikan. Prevalence of Depression in Tuberculosis Patients in Comparison with Non-Tuberculosis Family Contacts Visiting the DOTS Clinic in a Nigerian Tertiary Care Hospital and Its Correlation with Disease Pattern. 2011. 8: 235-41.