d_ips_0707205_chapter2

105
24 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori Kajian teori digunakan untuk memberi arah dalam menemukan jawaban permasalahan penelitian. Mengingat kajian penelitian sangat kompleks, maka teori yang digunakan juga bersifat kompleks dan multidisipliner. Teori-teori tersebut merupakan teori-teori utama atau grand theory dan teori-teori turunannya. 1. Teori Politik Identitas Politik identitas erat kaitannya dengan perubahan sosial. Teori-teori utama berkenaan dengan politik identitas dikembangkan oleh beberapa pakar/teoritikus, seperti Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2000). Teorinya menyebutkan bahwa identitas diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya berbentuk narasi atau menyerupai cerita. Jadi identitas sepenuhnya adalah konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi budaya dan akulturasi. Berger dan Luckmann (1990) mempertegas konsepsi tersebut dengan menyebutkan bahwa, identitas lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang terus-menerus. Oleh karenanya, identitas sudah dirancang dengan sangat seksama, dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan obyektif di mana identitas itu berada. Singkatnya, setiap orang ‘adalah’ benar-benar apa yang diandaikan tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, setiap identitas mudah dikenal secara obyektif maupun subyektif. Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa dirinya.

Upload: elvarahizkia

Post on 29-Sep-2015

16 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Hakslalska

TRANSCRIPT

  • 24

    BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

    A. Kajian Teori

    Kajian teori digunakan untuk memberi arah dalam menemukan jawaban

    permasalahan penelitian. Mengingat kajian penelitian sangat kompleks, maka teori

    yang digunakan juga bersifat kompleks dan multidisipliner. Teori-teori tersebut

    merupakan teori-teori utama atau grand theory dan teori-teori turunannya.

    1. Teori Politik Identitas

    Politik identitas erat kaitannya dengan perubahan sosial. Teori-teori utama

    berkenaan dengan politik identitas dikembangkan oleh beberapa pakar/teoritikus,

    seperti Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2000). Teorinya

    menyebutkan bahwa identitas diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini

    tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas

    sosial. Keduanya berbentuk narasi atau menyerupai cerita. Jadi identitas

    sepenuhnya adalah konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi

    budaya dan akulturasi.

    Berger dan Luckmann (1990) mempertegas konsepsi tersebut dengan

    menyebutkan bahwa, identitas lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang

    terus-menerus. Oleh karenanya, identitas sudah dirancang dengan sangat seksama,

    dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan obyektif di mana identitas

    itu berada. Singkatnya, setiap orang adalah benar-benar apa yang diandaikan

    tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, setiap identitas mudah dikenal secara

    obyektif maupun subyektif. Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa

    dirinya.

  • 25

    Dalam pandangan filsuf terkemuka asal Perancis, Jaques Lacan (dalam

    Sarup, 2008), identitas berhubungan dengan dialektika pengakuan. Dialektika

    pengakuan ini merujuk pada gagasan bahwa kita mendapatkan pengetahuan tentang

    siapa diri kita dan bagaimana orang bersikap pada kita. Lacan juga menegaskan

    bahwa berkat identitas, setiap orang tetap sama, selalu identik dengan dirinya

    sendiri, dan sekaligus berbeda dengan orang lain (Sarup, 2008; 11-22). Fenomena

    pengakuan juga dikemukakan Alessandro Pizzorno (2004: 175) bahwa, identitas

    seseorang didefinisikan oleh orang lain, atau lebih pada pengakuan yang diberikan

    orang lain.

    Menurut Giddens (2003), konsep identitas bertalian erat dengan teori

    strukturasi yang di dalamnya mencakup strukturasi, agensi dan kekuasaan,

    orisinalitas, inovasi dan perubahan. Struktur atau strukturasi mencakup

    konsep-konsep struktur, sistem, dan dualitas struktur. Struktur dalam konteks teori

    fungsionalis juga dapat dibandingkan dengan gagasan mengenai fungsi. Struktur

    berfungsi menganalisis hubungan-hubungan sosial, dalam konteks ruang dan waktu

    yang melibatkan proses reproduksi praktek-praktek di suatu tempat. Dengan

    demikian struktur adalah aturan dan sumberdaya atau dengan kata lain struktur

    sebagai perangkat aturan dan sumberdaya. Sedangkan agen atau agensi

    (agency) sering dihubungkan dengan kekuasaan. Ada dugaan bahwa menjadi agen

    berarti harus mampu memberi sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi

    kekuasaan-kekuasaan yang disebarkan orang lain (Giddens, 2003: 1-22).

    Berdasarkan teori-teori utama tersebut, teori-teori yang berkaitan dengan

    permasalahan penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut.

  • 26

    a. Pengertian Identitas dan Identitas Etnik

    Carmazzi (2006: 9) menyebutkan, identitas adalah siapa kita sebenanya,

    baik sebagai diri sendiri maupun anggota suatu kelompok sosial. Gardiner dan

    Kosmitzki sebagaimana dikutip Samovar, Poter dan McDaniel (2010: 184)

    menunjukkan, bahwa identitas adalah definisi diri seseorang sebagai individu

    yang berbeda dan terpisah, termasuk perilaku, kepercayaan dan sikap. Ada pula

    yang menyatakan bahwa identitas adalah konsep diri yang direfleksikan atau

    gambaran diri bahwa kita berasal dari keluarga, gender, budaya, etnik, dan proses

    sosialisasi individu. Indentitas pada dasarnya merujuk pada pandangan reflektif

    mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri

    kita (Samovar, Poter dan McDaniel, 2010: 184). Begitu pula Parekh (2008: 13)

    menyatakan bahwa identitas adalah sekelompok manusia yang mewarisi sifat-sifat

    yang mendefinisikan mereka sebagai jenis individu atau kelompok tertentu dan

    membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Pendek

    kata, identitas mengacu kepada bagaimana manusia membedakan dirinya dengan

    orang lain, baik sebagai individu maupun anggota kelompok sosial, dan orang lain

    pun mengakuinya, berdasarkan ciri-ciri tertentu yang melekat padanya.

    Dengan demikian, setiap manusia selain memiliki identitas diri, juga

    memiliki identitas kelompok sosial. Kelompok sosial amat penting bagi manusia,

    di mana kelompok sosial yang muncul atas dasar ikatan primordial antara lain

    berwujud sukubangsa atau etnik. Dengan mengacu kepada berbagai definisi yang

    dikemukakan para pakar (van den Berg, 1981; Eriksen, 1993; Sowell, 1989; Barth,

    1988; Koentjaraningrat, 1989; Feagin 1993) yang mengkaji tentang masalah etnik,

    dapat diketahui bahwa etnik merupakan kelompok sosial yang mempunyai tradisi

  • 27

    kebudayaan dan sejarah yang sama, memiliki peranan dan bentuk simbol yang

    sama, memiliki bentuk kesenian yang sama, yang diciptakan dalam ruang dan

    waktu mereka, dan memiliki domain tertentu yang sama, yang disebut ethnic

    domain.

    Ada pula yang menyatakan bahwa etnik adalah kelompok sosial yang

    anggotanya merasa menjadi satu kesatuan atas dasar suatu identitas etnik, yakni

    persamaan budaya, bahasa, adat-istiadat, tradisi, agama, peranan dan simbol-simbol

    yang sama, maupun perjalanan sejarah yang sama (Bachtiar, 1985; Liliweri, 2005).

    Sehubungan dengan itu, Tilaar (2007: 16) menyebutkan, bahwa identitas

    merupakan konsep yang sangat erat kaitannya dengan etnisitas. Identitas memiliki

    pengertian yang berbeda-beda dan sangat luas; misalnya kita mengenal dalam

    ungkapan sehari-hari seperti identitas Indonesia, identitas suku Batak, identitas

    suku Jawa, identitas suku Sunda, identitas suku Bali, dan sebagainya. Tidak jarang

    identitas tersebut sebenarnya kadang-kadang berupa stereotip-stereotip, baik yang

    positf maupun negatif dari suatu etnik. Seringkali pula terjadi generalisasi

    berlebihan terhadap suatu identitas; misalnya orang Cina identik dengan kerja keras

    atau bangsa Melayu diidentikkan sebagai bangsa pemalas. Identitas yang

    berkonotasi identik tersebut harus dipertanyakan, karena stereotip-stereotip yang

    mengidentikkan suatu etnik dengan sifat-sifat tertentu seringkali tidak terlepas dari

    perkembangan sejarah suatu etnik atau masyarakat. Dari uraian tersebut

    menunjukkan bahwa identitas suatu etnik melekat dalam etnik itu sendiri (Tilaar,

    2007: 17).

    Demikian pula Samovor, Porter dan McDaniel (2010: 187) menunjukkan

    bahwa identitas etnik mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan

  • 28

    sejarah, tradisi, nilai, perilaku, asal daerah, dan bahasa yang didapat melalui

    warisan. Adakalanya etnik juga merupakan suatu kelompok individu yang

    mempunyai kebudayaan yang berbeda, namun di antara para anggotanya merasa

    memiliki semacam subkultur yang sama (Liliweri, 2005).

    Berdasarkan gagasan tersebut terlihat bahwa identitas etnik lebih banyak

    mengacu kepada penanda kebudayaan. Dengan adanya kenyataan ini maka

    mengacu pada gagasan Samovor, Porter dan McDaniel (2010), dapat dikatakan

    bahwa idenitas etnik bisa menyatu dengan identitas budaya. Begitu pula setiap

    etnik menempati lokalitas tertentu sebagai ruang hidupnya. Akibatnya, lokalitas

    sering dipakai sebagai label dan atau disatukan dengan nama etnik. Dengan

    demikian etnik memiliki karakteristik budaya yang khas dan lokalitas tersendiri

    sebagai ruang hidupnya. Karakteristik ini tidak saja untuk membedakan dirinya

    dengan etnik lain, tetapi juga untuk menunjukkan orang kita, kelompok atau in-

    group. Sebaliknya, di luar itu adalah orang luar, kelompok luar atau out-group.

    Pembedanya adalah karakteristik budaya etnik dan asal kedaerahan. Penguatan

    identitas etnik yang menyatu dengan identitas budaya dan lokalitas secara mudah

    bisa memunculkan faham kekitaan dan kemerekaan (Atmadja, 2010).

    b. Identitas Etnik Bali

    Etnik Bali merupakan salah satu etnik yang tercakup di dalam Negara

    Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Etnik Bali memiliki identitas, yakni

    kesamaan-kesamaan budaya dan teritorialitas, yakni Pulau Bali. Bagus (2007: 286)

    menggambarkan bahwa etnik Bali adalah sekelompok manusia yang terikat oleh

    kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik kebudayaan lokal Bali maupun

    kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat

  • 29

    oleh adanya kesatuan bahasa, yakni bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan

    perjalanan sejarah dan kebudayaanya. Supatra (2006: 92) menyebutkan bahwa

    identitas orang Bali yang paling mendasar adalah keyakinan yang menjadi

    pedoman dan landasan hidup orang Bali, yakni agama Hindu. Keyakinan terhadap

    agama Hindu inilah yang melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya,

    kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang

    merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari,

    karakteristik identitas kebudayaan Bali mewujudkan diri dalam berbagai konsepsi,

    aktivitas sosial maupun karya fisik artefaktual orang Bali, termasuk di dalamnya

    penantaan ruang dan lingkungan tempat tinggal (Supatra, 2006). Persamaan-

    persamaan yang menjadi ciri identitas etnik Bali juga mencakup kesamaan sebagai

    krama desa (warga desa) suatu desa pakramanan (desa adat) dengan berbagai

    aturan yang mengikatnya (Windia dan Sudantra, 2006; Sirtha, 2005; Geertz dan

    Geertz, 1975).

    Penempatan agama Hindu sebagai unsur identitas etnik Bali menimbulkan

    implikasi bahwa etnik Bali tidak saja terikat pada identitas budaya, tetapi juga pada

    identitas agama, yakni agama Hindu. Gagasan ini tidak bisa diabaikan, mengingat

    pendapat Thufail dan Ramsted (2011) bahwa, agama bagi suatu sukubangsa tidak

    selamanya hanya diposisikan sebagai pedoman bertindak dalam hubungan mereka

    dengan Tuhan maupun sesama manusia secara meruang dan mewaktu, tetapi

    sekaligus juga diposisikan sebagai identitas etnik. Dengan demikian tidak

    mengherankan jika etnik Bali sering diidentikan dengan agama Hindu, begitu pula

    sebaliknya. Dengan demikian, memunculkan suatu slogan, baik di kalangan orang

  • 30

    Bali maupun orang luar Bali (etnik non-Bali) yang menyatakan bahwa Bali adalah

    Hindu dan Hindu adalah Bali (Atmadja, 2010).

    Keunikan karakteristik budaya etnik Bali bukan terberi, tetapi lahir secara

    prosesual, mulai dari Zaman Prasejarah dan Zaman Sejarah yang di dalamnya

    melibatkan dinamika politik antara lain kebijakan negara yang digariskan pada

    pemerintahan raja-raja keturunan Majapahit yang dianggap banyak membawa

    unsur kebudayaan baru bagi Bali (sejak abad ke-14) (Sirtha, 2005; Subagiasta,

    2005; Parimartha, 2009). Kondisi ini melahirkan aneka pencitraan tentang

    identitas etnik Bali yang secara umum ditampilkan pada tiga wajah, yakni

    pertama, kebudayaan Bali dianggap eksotik atau bahkan diposisikan sebagai Pulau

    Sorga (Covarrubias, 1972). Pencitaraan ini memunculkan dua citra berikutnya yang

    berlanjut pada representasi tentang Bali yang sekaligus menjadi gambaran tentang

    identitas orang Bali (Dwipayana, 2005). Adapun citra yang kedua, adalah budaya

    Bali dianggap bersifat tunggal dan homogen. Artinya, Bali tidak pernah dipandang

    sebagai komunitas yang plural, tetapi selalu dibayangkan sebagai sebuah entitas

    dengan batas-batas yang jelas; berada dalam satu ruang; mempunyai bahasa sama;

    cara hidup yang sama, dan agama yang sama. Padahal orang Bali kontemporer

    memiliki keragaman kultural, perbedaan cara hidup dan hibriditas identitas

    (Sukarma, 2009; Burhanuddin, 2009).

    Cara berpikir tersebut ini tentu kurang mengena, mengingat di Bali juga

    terdapat komunitas orang Bali Mula atau Bali Aga. Mereka kebanyakan bermukim

    di desa-desa di perbukitan. Mereka memiliki ekspresi budaya berbeda dengan

    orang Bali dataran (Atmadja, 1998). Dalam wajah agama dan etnik pun terdapat

    keragaman, misalnya di tengah-tengah etnik Bali terdapat komunitas Kristen,

  • 31

    Katolik dan Islam (Dwipayana, 2005: viii). Citra ketiga atas Bali adalah citra

    tentang keajegan budayanya. Bali selalu dibayangkan memiliki kultur-tradisi yang

    senantiasa tegar (ajeg). Pendek kata, homogenisasi identitas orang Bali diikuti oleh

    konstruksi citra bahwa agama-budaya mereka senantiasa kuat dan lentur

    menghadapi arus perubahan jaman.

    Gagasan ini memberikan petunjuk bahwa kebudayaan Bali sebagai identitas

    etnik Bali, sebagaimana gagasan Harsoyo (1984) tentang ciri-ciri kebudayaan,

    secara eksistensial tunduk pada dua arah, yakni ke-ajeg-an dan perubahan.

    Artinya, selalu ada unsur kebudayaan yang ajeg, dan sebaliknya ada unsur yang

    selalu berdinamika atau bahkan sengaja diberikan peluang untuk berubah sehingga

    terjadi gerak kebudayaan yang menyatukan antara kontinyuitas dan

    diskontinyuitas. Unsur kebudayaan yang ajeg (di-ajeg-kan) atau bersifat

    kontinyuitas adalah inti kebudayaan, antara lain berwujud ideologi. Sedangkan

    unsur kebudayaan yang mudah berubah atau diskontinyuitas, sehingga sengaja

    ditanggalkan atau diadaptasikan adalah unsur yang pinggiran, antara lain berwujud

    artefak dan tindakan sosial yang menyertainya (Keesing, 1992; Saifuddin, 2005).

    Dengan mengacu kepada teori-teori perubahan kebudayaan (Lauer, 1989;

    Sanderson, 1993) dapat dikatakan bahwa perubahan kebudayaan adalah menyatu

    dengan kehidupan suatu masyarakat. Walaupun demikian harus disadari bahwa di

    balik adanya perubahan selalu ada unsur kebudayaan yang ajeg (di-ajeg-kan),

    yakni inti kebudayaan Bali. Perubahan suatu kebudayaan bisa secara evolutif,

    revolutif atau bahkan meminjam gagasan Geertz (1976) bisa pula secara involutif

    pada aspek artefak dan tindakan sosial yang menyertainya. Perubahan kebudayaan

    sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan sesuai pula dengan makna yang

  • 32

    terkandung dalam identitas kebudayaan yang melekat dalam suatu etnik, yakni

    bukan sebagai sesuatu yang terkunci untuk suatu perubahan, melainkan sesuatu

    yang secara prosesual terus berubah yang berlangsung secara historis. Namun, apa

    pun bentuk perubahannya, selalu akan memadukan antara dua hal yang bersifat

    antagonisme, yakni meng-ajeg-kan dan mengubah ke arah suatu keselarasan sosial.

    Kondisi ini sesuai dengan inti kebudayaan Bali, yakni bertumpu pada ideologi Tri

    Hita Karana yang menekankan pada harmoni (Atmadja, 1998; Eisemen, 1998).

    Perubahan identitas kebudayaan etnik Bali secara historis mulai

    memunculkan wacana kekhawatiran, yakni terjadi pada tahun 1920-an. Hal ini

    sebagaimana dipaparkan Atmadja (2001), berkaitan dengan penetrasi kebudayaan

    Barat (Belanda) yang dianggap membawa sesuatu yang baru bagi kebudayaan Bali.

    Dalam konteks ini muncul gerakan pemertahanan kebudayaan Bali antara lain

    berwujud cita-cita memodernisasikan kebudayaan Bali agar setara dengan

    kebudayaan Barat. Namun di pihak lain Vickers (1998), Atmadja (2011a),

    Suryawan (2009) dan Dwipayana, 2005), menyebutkan bahwa pemerintah kolonial

    Belanda justru mengambil kebijakan yang konservatif, yakni menerapkan

    kebijakan Baliseering atau Balinisasi. Tujuannya, meningkatkan kesadaran kaum

    muda atas warisan budayanya, melalui pendidikan yang menekankan pelajaran

    bahasa, sastra dan kesenian tradisionalnya. Jika didekonstruksi kebijakan

    Balinisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka tujuan yang

    sebenarnya bukan melindungi kebudayaan Bali, tetapi memulihkan keadaan aslinya

    agar Bali menjadi museum hidup.

  • 33

    c. Politik Identitas sebagai Alat Pemertahanan Identitas Etnik

    Walaupun Bali terus dielu-elukan sebagai pulau yang spektakuler secara

    kultural dan keagamaan, kebudayaannya bersifat ajeg, namun realitasnya bisa

    berbeda. Artinya, kebudayaan Bali tidak ajeg, melainkan telah dan terus

    mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan kebudayaan memang telah

    berlangsung sejak lama. Atmadja (2010) menunjukkan, bahwa pada tahun 1970-an

    terjadi perubahan sosiobudaya secara drastik pada masyarakat Bali. Adapun faktor-

    faktor penyebabnya adalah sebagai berikut.

    1) Modernisasi dan Politik Kebudayaan Indonesiaisasi

    Atmadja (2010) menunjukkan bahwa faktor penting yang menyebabkan

    terjadinya perubahan sosial budaya pada masyarakat Bali adalah modernisasi

    berwujud penerapan Revolusi Hijau pada masa pemerintahan Orde Baru. Revolusi

    Hijau berintikan pada pengadopsian teknologi hayati dan kimiawi dan teknologi

    mekanis guna meningkatkan produksi hasil pertanian, terutama padi. Teknologi ini

    tidak saja berbentuk artefak atau alat dan cara, tetapi berkaitan pula dengan

    ideologi yang ada di baliknya. Muatan ideologinya adalah modernisme yang

    berintikan pada pemilahan kebudayaan menjadi dua, yakni kebudayaan modern

    dan kebudayaan tradisional. Dalam konteks ini teknologi yang menyertai Revolusi

    Hijau adalah teknologi modern, sedangkan teknologi yang lokal milik orang Bali

    adalah bersifat tradisional. Teknologi modern lebih unggul atau lebih baik,

    sedangkan teknologi tradisional kurang unggul atau kurang baik. Berkenaan

    dengan itu tidak mengherankan jika bersamaan dengan adanya Revolusi Hijau

    terjadi penggantian teknologi secara besar-besaran pada masyarakat Bali, yakni

    teknologi tradisional digantikan dengan teknologi modern.

  • 34

    Modernisasi tidak saja berlangsung pada bidang pertanian, tetapi juga pada

    bidang-bidang kehidupan lainnya. Misalnya, Bali mengalami Revolusi

    Transportasi atau lazim pula disebut Revolusi Colt. Revolusi Transportasi

    berwujud perbaikan prasarana dan sarana transportasi, yakni jalan dan jembatan

    yang disertai dengan pengenalan angkutan umum berbentuk bis mini colt. Revolusi

    Transportasi tidak saja melancarkan hubungan antara desa dan kota, tetapi

    mengakibatkan pula kebudayaan kota meluas ke desa sehingga desa mengalami

    urbasisasi pengkotaan secara kultural (Atmadja, 2010). Aspek pengkotaan

    lainnya yang menerpa desa adalah program WC dan Kamar Mandi masuk desa,

    air masuk desa, TV masuk desa, listrik masuk desa, dll. Pendek kata, melalui

    berbagai program yang diterapkan pada masa pemerintah Orde Baru, masyarakat

    Bali mendapatkan masukan aneka bentuk teknologi, tidak saja teknologi pertanian,

    tetapi juga teknologi transportasi dan teknologi domestik.

    Dengan mengacu kepada Sanderson (1993) masukan teknologi tidak saja

    menimbulkan perubahan pada aspek infrastruktur material, tetapi juga pada

    komponen sistem sosiobudaya lainnya, yakni struktur sosial dan superstruktur

    ideologi. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa sistem

    sosiobudaya terdiri dari tiga komponen dasar, yakni infrastruktur material, struktur

    sosial dan superstruktur ideologi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak

    terpisahkan. Karena itu, jika terjadi perubahan pada infrastruktur material

    masuknya teknologi baru, maka terjadi pula perubahan pada struktur sosial dan

    superstruktur ideologi. Apalagi adanya kenyataan teknologi tidak saja berwujud

    fisikal, tetapi selalu memuat ideologi secara tersembunyi. Demikian, misalnya di

    balik pemakaian teknologi hayati kimiawi dalam konteks Revolusi Hijau terdapat

  • 35

    ideologi pasar. Mengingat, apa pun bentuk teknologi hayati kimiawi didapat lewat

    pasar. Dengan mengacu kepada Durkheim (dalam Laeyendecker, 1983) pada aspek

    struktur sosial terjadi juga pergeseran dari solidaritas mekanis ke solidaritas

    organis. Pada tataran superstruktur ideologi pasar menguat yang diikuti dengan

    pergeseran kolektivisme ke arah individualisme.

    Kebijakan negara lainnya adalah penerapan politik kebudayaan yang

    mengarah pada penguatan identitas kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu,

    politik kebudayaan seperti ini bisa disebut Indonesiaisasi (Atmadja, 2010).

    Kebijakan ini ditandai oleh penginternalisasian berbagai unsur kebudayaan

    nasional secara lebih mantap, misalnya bahasa Indonesia terjadi (re-)

    Indonesiaisasi. Belum terhitung lagi adanya penerapan sistem kepolitikan yang

    bersifat sentralisik dengan dalih bahwa hal itu sangat diperlukan demi keamanan

    dan kestabilan politik agar pembangunan terlaksana dengan baik. Untuk itu,

    pranata dan lembaga politik tradisional, misalnya desa pakraman dikooptasi dan

    diletakkan di bawah hegemoni desa dinas sebagai kepanjangan tangan penguasa

    supradesa.

    Kondisi tersebut mengakibatkan desa pakraman sebagai republik kecil

    tidak bisa berperan secara optimal dalam mengurus masalah adat dan agama.

    Indonesiaisasi yang diterapkan oleh negara sangat kental dengan kebudayaan Jawa

    sehingga tidak mengherankan jika Indonesiaisasi disamakan dengan Jawaisasi.

    Politik kebudayaan seperti ini mengakibatkan adanya kekhawatiran bahwa

    kebudayaan Bali akan mengalami marginalisasi. Kasus yang sering dipakai sebagai

    indikatornya adalah pemakaian bahasa Bali, terutama bahasa Bali halus semakin

    lama semakin ditinggalkan oleh orang Bali terutama pada generasi, digantikan

  • 36

    dengan bahasa Indonesia. Jikalau pun bahasa Bali halus digunakan pada ruang

    publik, kebanyakan berbentuk campur kode (Atmadja, 2010; 2011). Dengan

    demikian, modernisasi dan Indonesiaisasi yang berlangsung secara simultan sejak

    pemerintahan Orde Baru memunculkan kekhawatiran di kalangan orang Bali,

    yakni indentitas kebudayaan etnik mereka mengalami kegoyahan (tidak ajeg).

    2) Terpaan Globalisasi

    Perubahan sosiobudaya pada masyarakat Bali menjadi lebih kuat, karena

    bersamaan dengan adanya Revolusi Hijau dan politik kebudayaan Indonesiaisasi,

    berlangsung pula globalisasi. Giddens (1990; 2003) menyebutkan, bahwa proses

    globalisasi ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, di mana peristiwa

    yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri suatu tempat.

    Begitu pula sebaliknya, peristiwa yang terjadi di dalam negeri tidak semata-mata

    mempengaruhi stabilitas nasional, tetapi juga mempengaruhi kondisi negara lain,

    regional, atau bahkan stabilitas global. Kata globalisasi bagi Giddens (2000)

    berakar pada konsep keterjarakan ruang dan waktu. Globalisasi tidak hanya

    berwujud gejala saling ketergantungan secara ekonomi, tetapi juga transformasi

    waktu dan ruang dalam kehidupan manusia (Giddens, 2000: 15). Hal ini diperkuat

    oleh adanya revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi komunikasi yang telah

    sangat mengondisikan kehidupan kita ke dalam dunia yang satu (Giddens, 2005

    :100). Bersamaan dengan itu terjadi arus manusia, uang, ideologi, informasi, dan

    teknologi dari negara-negara maju atau negara-negara pusat ke negara-negara

    sedang berkembang atau negara-negara pinggiran (Lull, 1998).

    Dengan adanya kenyataan itu maka Kearney (1995) menyebut globalisasi

    berkaitan dengan konsep deteritorialisasi. Ide tentang deteritorialisasi ini

  • 37

    mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi,

    komunitas, politik, budaya, dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal.

    Globalisasi telah menyeret hal-hal yang bersifat lokal dan terikat dengan karakter

    asal-usul, menjadi sesuatu yang bersifat global dan beredar bebas dalam batas-

    batas lokal. Dengan demikian globalisasi juga diterjemahkan sebagai suatu proses

    integrasi manusia yang melewati batas-batas negara bangsa.

    Dalam konteks ekonomi dan kebudayaan, globalisasi seringkali

    memberikan kesan akan adanya perluasan kebudayaan Amerika Serikat sehingga

    tidak mengherankan globalisasi sering pula diartikan sebagai Amerikaisasi. Produk

    Amerika Serikat yang dikonsumsi secara mendunia antara lain adalah Coca-cola

    dan McDomald sehingga tidak mengherankan jika globalisasi yang disamakan

    dengan Amerikaisasi diidentikkan pula dengan Coca-colaisasi dan McDonaldisasi.

    (Jacobs, 2000; Giddens, 2001; Ritzer, 2006; Ritzer dan Goodman, 2008). Namun,

    apa pun label yang diberikan terhadap globalisasi, maka tidak bisa dipungkiri

    bahwa globalisasi tidak sekedar pengonsumsian terhadap suatu barang dan jasa,

    tetapi menyangkut pula pengonsumsian ideologi yang ada di baliknya, yakni

    ideologi pasar. Ideologi pasar tidak saja ada di balik apa yang dikonsumsi, tetapi

    juga dilembagakan lewat pusat-pusat perbelanjaan mulai dari hypermarker,

    supermarket sampai kepada berbagai turunannya, yakni minimarket, toserba dan

    waserda yang menyebar sampai ke desa-desa (Atmadja, 2010).

    Atmadja (2010) menyimpulkan bahwa rangkaian perubahan sosiobudaya

    yang terjadi pada masyarakat Bali, baik sebagai akibat dari modernisasi,

    Indonesiaisasi maupun globalisasi, tidak hanya pada komponen teknologi atau

  • 38

    infrastruktur material, tetapi meluas pula pasa aspek struktur sosial dan

    superstruktur ideologi. Untuk lebih jelas dapat dicermati pada pada tabel 2.1 Tabel 2.1

    Arah Perubahan Masyarakat Bali sebagai Akibat dari Modernisasi, Indonesiaisasi dan Globalisasi

    No. Perubahan dari Ke 1. Ideologi dominan adalah

    ideologi Tri Hita Karana yang menekankan pada keharmonisan.

    Ideologi dominan adalah ideologi pasar yang menekankan pada persaingan guna memenuhi keinginan bukan kebutuhan.

    2. Ekonomi subsistensi dominan, sedangkan ekonomi pasar hanya sebagai pelengkap.

    Ekonomi pasar menguat bahkan keseluruhan aspek kehidupan masyarakat Bali mengalami pasarisasi yang hebat. Ekonomi subsistensi melemah, bahkan diabaikan.

    3. Kolektivitas (menyama-braya) sangat tinggi.

    Individualitas menguat, bahkan berlaku kebiasaan mati iba hidup kae (biarkan orang lain mati yang penting saya hidup).

    4. Masyarakat tertutup/semi tertutup (melokal, menasional).

    Masyarakat terbuka, tidak saja menasional, tetapi juga mengglobal. Bali bagian dari kampung global sebagai konsekuensi dari globalisasi.

    5. Monokultur (etnik Bali, Agama Hindu, budaya Bali).

    Multikultur (multietnik, multibangsa atau multination multibudaya dan multiagama). Menyebar atau membentuk kantong-kantong sosiobudaya sehingga melahirkan multikultur dan subkultur.

    6. Mengutamakan aspek spiritual

    Menonjolkan aspek material

    7. Mengutamakan aspek rohaniah (pikiran, budi dan kesadaran menguasai tubuh)

    Menonjolkan aspek badaniah (tubuh mengendalikan pikiran, budi dan kesadaran sehingga manusia terjebak syahwatisme dan kamaisme.

    8. Mengutamakan isi dan kedalaman penghayatan sehingga cenderung memegang etos kesederhanaan.

    Mengutamakan kulit atau penampilan (penampilanisme) sehingga cenderung berpegang pada etos kemewahan.

    9. Peran orang tua sebagai pendidik di dalam keluarga dan warga komunitas dengan menggunakan bale banjar sebagai ruang pembelajaran

    Peran orang tua sebagai pendidik di dalam keluarga dan warga komunitas pada bale banjar sebagai ruang bagi penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah

  • 39

    kultur lokal Bali bagi penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah sangat kuat.

    melemah. Hal ini digantikan oleh media, yakni TV sehingga lebih banyak mengajarkan manusia sebagai homo consumer lewat iklan dan tampilan gaya hidup para artis atau kaum selebriti.

    10. Label Pulau Surga Label Pulau Neraka 11. Label Pulau Dewata Label Pulau Denawa

    Sumber: Atmadja (2009: 8). Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa perubahan sosiobudaya

    berdampak sangat luas pada masyarakat Bali. Dengan mengacu kepada Sanderson

    (1993) perubahan tidak saja menyangkut aspek infrastruktur material dan struktur

    sosial, tetapi menyentuh atau bahkan menggerogoti pula superstruktur ideologi

    yang berlaku pada masyarakat Bali, yakni ideologi Tri Hita Karana. Superstruktur

    ideologi merupakan aspek kognitif dan aspek evaluatif guna memberikan pedoman

    bertindak bagi manusia Bali baik pada aspek struktur sosial maupun infrastruktur

    material. Kekacauan pada tataran superstruktur ideologi yang berlanjut pada tataran

    struktur sosial dan infrastruktur mengakibatkan banyak orang menyatakan bahwa

    label indah tentang Bali, yakni Bali sebagai Pulau Sorga dan Pulau Dewata telah

    bergeser menjadi Bali sebagai Pulau Neraka dan Pulau Denawa (Raksasa).

    Bersamaan dengan itu maka Bali sering pula digambarkan memasuki suatu era apa

    yang disebut Zaman Kali Yuga atau Zaman Keblinger (Atmadja, 2010).

    3) Pariwisata Budaya

    Tabel 2.1 menunjukkan bahwa masyarakat Bali tidak saja mengalami

    pergeseran pada tataran infrastruktur material dan struktur sosial, tetapi juga pada

    tataran superstruktur ideologi, yakni ideologi Tri Hita Karana. Ideologi Tri Hita

    Karana merupakan dominan yang berlaku secara lokal Bali. Ideologi ini bercampur

    dengan dengan ideologi dominan yang berlaku pada ruang lingkup global, yakni

  • 40

    ideologi pasar. Dengan berpegang pada gagasan para pakar yang mengkaji tentang

    globalisasi, kapitatalisme dan neoliberalisme, misalnya Gorz (2005), Shutt (2005),

    Harvey (2009), Tormey (2005), Lull (1998), dan Wibowo (2010), ideologi pasar

    yang melandasi dan atau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari globalisasi dan

    kapitalisme, sangat menekankan pada kekuasaan pasar sebagai penentu

    kesejahreaan hidup manusia. Kekuasaan pasar terkait dengan penyediaan

    komoditas yang tersedia secara melimpah yang bisa diakses oleh siapa pun tanpa

    memperhatikan perbedaan kelas sosial. Semuanya bisa bermain pada pasar.

    Melalui komoditas yang disediakan oleh pasar, manusia mendapatkan kepuasan

    akan keinginannya yang tidak pernah berakhir, karena secara substansial manusia

    pada dasarnya adalah pabrik hasrat berjalan (Atmadja, 2010; Piliang, 2006).

    Pengkonsumsian suatu komoditas lewat pasar membutuhkan uang. Uang

    didapat melalui pemasaran suatu komoditas berwujud barang dan atau jasa. Tanpa

    uang manusia tidak akan bisa bermain pada pasar guna memenuhi hasratnya.

    Akibatnya, manusia terjebak pada pendewaan uang sehingga melahirkan

    maneytheisme (Atmadja, 2010). Bersamaan dengan itu, maka apa pun bisa dijual

    guna mendapatkan uang sehingga kemunculan komodifikasi atau pasarisasi dalam

    kehidupan manusia tidak terhindarkan. Komodifikasi berintikan pada gagasan

    bahwa apa pun produk manusia, bahkan bisa pula dirinya sendiri, adalah komoditas

    atau barang dagangan yang bisa dipasarkan guna menghasilkan uang. Kepemilikan

    uang amat penting, karena uang bisa dipakai untuk membeli barang dan jasa yang

    tersedia di pasar. Dalam sistem ekonomi kapitalis uang bisa pula diinvestasikan

    guna menghasilkan yang lebih banyak lagi (Piliang, 2006; Atmadja, 2010).

  • 41

    Bersamaan dengan adanya penguatan komodifikasi pada masyarakat Bali,

    maka kebudayaan sebagai produk manusia secara mudah berkembang menjadi

    komoditas. Komodifikasi kebudayaan tidak hanya sebagai akibat dari globalisasi,

    tetapi merupakan pula dampak ikutan dari adanya pengembangan Bali sebagai

    DTW. Gagasan ini sejalan dengan pendapat Pitana dan Diarta (2009), Pitana dan

    Gayatri (2004), Picard (2006), Anom ed, (2010) dan Kadt ed (1979) yang melihat

    bahwa komodifikasi kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

    pengembangan pariwisata. Sebab, kunjungan wisatawan ke suatu DTW, salah satu

    faktor penyebabnya terletak pada penikmatan daya tarik kebudayaan. Lebih-lebih

    Bali yang terkenal sebagai DTW yang menggelobal, bertumpu pada pariwisata

    budaya. Akibatnya, Bali sulit menghindarkan diri dari komodifisi kebudayaan

    (Picard, 2006; Pitana dan Diarta, 2009, Pitana dan Gayatri, 2004).

    Bertolak dari paparan tersebut maka dapat dikatakan bahwa gerakan

    pemertahanan identitas kebudayaan etnik Bali bisa pula merupakan jawaban atas

    pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang berbasiskan kebudayaan

    Bali melahirkan pariwisata budaya. Orang Bali melihat pariwisata dalam konteks

    asas rwa bhineda, yakni ada dampak positif dan negatifnya. Dampak negatif terkait

    dengan gagasan bahwa pariwisata mengancam kelestarian kebudayaan Bali.

    Dampak positif pariwisata memberikan masukan finansial bagi masyarakat Bali

    yang pada akhirnya bisa mengalir ke arah pelestarian budaya Bali. Namun,

    bagaimana pun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa usaha mempertahankan identitas

    etnik tidak hanya bisa dilihat dari segi ketakutan akan kehilangan identitas sebagai

    akibat dari globalisasi termasuk di dalamnya pariwisata, melainkan bisa pula terkait

    dengan komodifikasi kebudayaan. Artinya, suatu komunitas mempertahankan

  • 42

    identitas kebudayaannya, baik disadari maupun tidak, memiliki pula tujuan yang

    disadari maupun tidak, yakni menjadikan kebudayaan yang dimilikinya tetap

    bertahan, sebab kebudayaan adalah barang dagangan yang bisa dijual guna

    menjaga kejayaan sebagai DTW.

    Gagasan ini diperkuat oleh temuan Atmadja, Atmadja dan Widiastuti

    (2009) yang menyatakan bahwa desa-desa pada kawasan pariwisata Ubud secara

    bergairah memperhatikan kebudayaan yang mereka miliki, bahkan disertai pula

    dengan berbagai inovasi guna menghasilkan berbagai produk kebudayaan yang

    baru, karena terdorong oleh kegiatan pariwisata. Kebudayaan adalah aset yang bisa

    dijual kepada wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Perhatian mereka

    terhadap kebudayaan bisa berwujud revitalisasi terhadap kebudayaan yang ada atau

    bisa pula memunculkan kreativitas budaya baru yang amat menarik bagi

    wisatawan, terutama dalam bentuk barang-barang cenderamata. Bahkan muncul

    pula usaha melakukan revitalisasi terhadap suatu unsur kebudayaan, dengan

    sasaran yang sama, yakni dijual kepada wisatawan.

    Dengan demikian, berbicara tentang pemertahanan identitas kebudayaan

    etnik Bali pada Desa Pakraman Ubud, paling tidak bisa dilihat dari dua perspektif,

    yakni: pertama, perspektif identitas. Hal ini mengacu kepada suatu gagasan bahwa

    mereka mempertahankan kebudayaan yang mereka miliki, karena mereka takut

    akan kehilangan identitasnya sebagai orang Bali. Kehilangan identitas etnik berarti

    mereka mati secara kultural. Kedua, perspektif komodifikasi. Perspektif ini

    bermakna bahwa secara disadari maupun tidak, mereka mempertahankan

    kebudayaan sebagai identitas etnik, terkait dengan kedudukan kebudayaan sebagai

    komoditas yang bisa dijual pada pasar pariwisata. Kemunculan komodifikasi

  • 43

    kebudayaan berkaitan erat dengan daya tarik pariwisata Bali, yakni kebudayaan.

    Eksistensi Bali sebagai DTW bertumpu pada pariwisata budaya. Kebudayaan Bali

    berfungsi ganda, yakni tidak saja sebagai identitas etnik, tetapi juga sebagai

    komoditas yang diperuntukan bagi para wisatawan mancanegara dan domestik.

    4) Kedatangan Etnik Non-Bali

    Bali sejak lama telah menampung migran dari luar Bali untuk mencari

    nafkah di Bali. Atmadja (2010a) dan Ramstedt (2011) mencatat mereka tidak saja

    bekerja pada sektor formal, yakni pegawai negeri dan swasta rantau pegawai,

    tetapi juga bekerja pada sektor informal, misalnya pedagang rantau dagang.

    Pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang menggelobal

    mengakibatkan peluang kerja tumbuh secara berlimpah. Kondisi ini mengakibatkan

    migran dari luar Bali ke Bali semakin banyak. Sebagaimana lazimnya mereka tidak

    saja bekerja pada sektor formal, pegawai negeri dan pegawai swasta, tetapi begerak

    pula pada sektor informal. Jumlah mereka terus bertambah dan daya sebarnya

    semakin luas, tidak saja di kota, tetapi juga ke daerah-daerah pedesaan.

    Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, yakni: pertama, pendatang

    dianggap menggerogoti periuk nasi orang Bali. Sebab, banyak pendatang yang

    mengambil pekerjaan yang sama dengan pekerjaan orang Bali. Bahkan yang tidak

    kalah pentingnya, pekerjaan yang secara ideal menurut orang Bali adalah

    miliknya, justru diambil alih oleh pendatang. Misalnya, membuat banten (sesajen)

    canang sari yang digunakan untuk bersembahyang di pura (Mustika, 2011;

    Atmadja, 2010). Kedua, pendatang mendirikan rumah makan atau warung.

    Warung ini banyak yang berlabel identitas etnik atau kedaerahan, misalnya Warung

    Sunda, Warung Jawa, Rumah Makan Minang, Warung/Rumah Makan Banyuwagi,

  • 44

    dll. Bahkan banyak pula yang berlabel agama, misalnya Warung Muslim (Mustika,

    2011: 9). Warung seperti ini merupakan saingan bagi rumah makan/warung orang

    Bali. Sebab, orang Bali bisa makan pada warung seperti ini, karena mereka tidak

    mengenal hukum haram dan halal. Sebaliknya, orang non-Bali yang beragama

    Islam jarang makan pada warung orang Bali, karena mereka mengenal adanya

    hukum haram dan halal.

    Pendatang tidak saja merebut periuk nasi orang Bali, tetapi berimplikasi

    pula pada aspek sosial, budaya, dan demografi. Sebab, pendatang yang bermukim

    di Bali membawa pula sistem dan kebudayaan yang mereka miliki. Pada bidang

    sosial orang Bali acap kali menyatakan bahwa kejahatan di Bali kebanyakan

    dilakukan oleh para pendatang. Begitu pula pelacuran di Bali pada komplek

    pelacuran yang bersifat semiformal bisa pula berkedok pelayan cafe yang

    menjalar ke desa-desa, kebanyakan wanita dari Jawa. Aneka bentuk penyakit

    sosial yang menjangkiti masyarakat Bali acap kali dikaitkan konsep pencemaran

    yang dilakukan oleh pendatang. Belum terhitung lagi adanya kenyataan bahwa

    jumlah pendatang yang semakin banyak, memumnculkan kekhawatiran bahwa

    secara demografis etnik Bali akan terganggu.

    Masalah agama tidak kalah menariknya, mengingat pendatang yang

    bermukim di Bali banyak yang beragama non-Hindu, terutama Islam. Ketakutan

    orang Bali terhadap agama Islam, acapkali dikaitkan dengan pengalaman

    keruntuhan Majapahit yang disebabkan karena Islamisasi, mengakibatkan mereka

    waspada terhadap Islam. Apalagi setelah kasus Bom Bali I dan II, citra orang non-

    Bali, khsususnya yang beragama Islam sebagai aktor yang mengancam eksistensi

    kebudayaan Bali sangat kuat (Atmadja, 2010, 2010a). Belum terhitung lagi adanya

  • 45

    kenyataan, bahwa pilihan anutan partai politik di kalangan orang Islam acap kali

    berbeda daripada orang Bali. Orang Islam banyak yang memilih partai yang

    berbasis agama Islam, sedangkan orang Bali memilih partai berbasis nasionalis

    (Atmadja, 2003, 2010). Jadi, ada sindrom kejatuhan Majapahit yang

    mengakibatkan orang Bali menerima orang Islam untuk menetap di Bali secara

    setengah hati, bahkan penuh dengan kecurigaan.

    Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa di tengah-tengah arus

    globalisasi, etnik Bali tidak saja merasa diserang oleh budaya global, tetapi juga

    etnik lain, baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Kesemuanya ini

    dianggap membawa pengaruh negatif atau bahkan merusak kelangsungan hidup

    kebudayaan Bali. Identitas etnik Bali dianggap mengalami ancaman yang serius,

    sehingga etnik Bali mengalami krisis identitas. Krisis identitas membutuhkan

    penanggulangan. Jika krisis identitas tidak tertanggulangi secara baik maka etnik

    Bali akan mati secara kultural. Kondisi ini tentu sangat menakutkan, mengingat

    bahwa identitas tidak saja sebagai penanda seseorang sebagai orang Bali dan

    sekaligus untuk membedakannya dengan orang lain, tetapi terkait pula dengan jati

    diri etnik Bali di tengah-tengah etnik lainnya. Kehilangan identitas yang sekaligus

    berarti kehilangan jati diri tentu tidak diinginkan oleh siapa pun juga, termasuk di

    dalamnya etnik Bali (Atmadja, 2010). Dengan demikian penanganan yang tepat

    dan cepat guna memelihara dan atau memulihkan identitas etnik Bali, tidak saja

    sangat penting, tetapi merupakan pula hal yang sangat mendesak.

    Bertolak dari paparan di atas maka dapat dikemukakan bahwa berbicara

    tentang kemunculan gerakan pemertahanan identitas kebalian yang berlaku pada

    etnik Bali, atau Atmadja (2011c) menyebutnya sebagai suatu gerakan kultural

  • 46

    yang mengarah kepada re-Bali-isasi atas orang Bali, tidak bisa dilepaskan dari

    hakikat identitas etnik, yakni: pertama, identitas etnik bukan sesuatu yang

    membeku atau terbentuk sekali jadi, melainkan berwujud sesuatu yang bersifat cair

    atau tunduk pada asas prosesual yang di dalamnya melibatkan suatu perubahan

    (Barker, 2004). Artinya, identitas etnik terus berubah atau terbentuk secara

    historis, lengkap dengan pasang surutnya. Kedua, sesuai dengan asas rwa bhineda

    atau oposisi biner yang berlaku pada masyarakat Bali (Atmadja, 1998, 2010), maka

    dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik Bali antara lain karena globalisasi

    atau dampak dari kuatnya pengaruh terpaan kebudayaan global, di satu sisi

    memang membawa manfaat (dampak positif), yakni kenikmatan bagi manusia Bali

    karena apa yang mereka inginkan terwujudkan secara baik lewat persediaan barang

    dan atau jasa lewat pasar (Tabel 2.1).

    Namun, di sisi yang lain kemunculan krisis identitas tidak terhindarkan

    sehingga label Bali pun bergeser, yakni dari Bali sebagai Pulau Sorga dan Pulau

    Dewata berubah menjadi Bali sebagai Pulau Neraka dan Pulau Denawa (dampak

    negatif atau sesuatu yang tidak diinginkan). Krisis identitas membutuhkan

    penanggulangan sehingga terbentuklah gerakan pemertahanan identitas etnik atau

    pada masyarakat Bali lazim disebut gerakan Ajeg Bali.

    d. Ajeg Bali sebagai Gerakan Politik Identitas

    Wacana Ajeg Bali memiliki sejarah yang panjang yang dekat hubungannya

    dengan usaha pihak luar untuk mendefinisikan identitas Bali yang Hindu dan non-

    Hindu. Ini merupakan bentukan pemerintah kolonial Belanda yang berhasil

    menciptakan citra tentang Bali sebagai sebuah pulau Hindu yang terpisah dengan

    Pulau Islam di sebalah Barat (Jawa) dan Timur (Lombok). Melalui pembentukan

  • 47

    politik identitas yang beroposisi dengan Islam ini, Belanda berhasil menanamkan

    bagaimana orang Bali mendefinisikan diri mereka sendiri (Dwipayana, 2005: x-xi).

    Pembentukan politik identitas dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru dengan

    tujuan mendomestifikasi identitas-identitas etnik demi mengakomodasinya dalam

    kerangka proses pembangunan ekonomi. Untuk itu, pemerintah Orde Baru

    mempromosikan identitas provinsial yang homogen sehingga mengabaikan

    keberagaman etnik di dalam tiap provinsi. Dengan kebijakan ini, tahun 1958 Bali

    menjadi provinsi yang terpisah (Nordholt, 2005; Dwipayana, 2005).

    Upaya pembentukan identitas terus berlanjut, terutama setelah tahun 1930,

    tindakan diambil untuk menjaga Bali dalam kondisi yang asli. Pada saat yang sama

    sekumpulan kategori baru diperkenalkan, di mana orang Bali diajak memikirkan

    diri mereka sendiri. Dalam rangka menjaga keadaan tradisional, sebuah

    perbedaan diciptakan pada tingkat desa, antara adat (tradisi) dan dinas

    (administrasi), di mana adat atau tradisi dibingkai oleh agama. Sedangkan istilah

    atau kategori kebudayaan dan kesenian ditambahkan selanjutnya untuk

    mengatur kehidupan masyarakat Bali. Singkatnya orang Bali mulai berfikir tentang

    dirinya dalam lingkup yang didefinisikan oleh orang luar yang menurut Michel

    Pichard (2006) mereka memiliki budaya, yang telah berubah menjadi keberadaan

    yang terpisah yang bisa diperlihatkan, dipertunjukkan dan dijual (Nordholt, 2005).

    Pada masa reformasi yang sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah,

    masyarakat Bali memanfaatkan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah

    untuk mengedepankan kembali sistem sosial tradisional mereka, khususnya dengan

    memperkuat wewenang desa pakraman atas adat dan agama yang telah dirampas

    pemerintah (Picard, 2006). Dalam konteks inilah, ketika segala penyimpangan

  • 48

    ingin dikoreksi, maka wacana atau slogan Ajeg Bali mulai muncul di permukaan.

    Hal ini dapat dipandang sebagai suatu strategi untuk membangkitkan semangat

    memahami, melakukan koreksi atas apa yang telah dilakukan. Wacana dan slogan

    Ajeg Bali dimunculkan oleh kelompok media Bali Post dan Bali TV, yang dengan

    caranya masing-masing secara intensif terus memperkenalkan Ajeg Bali sebagai

    usaha untuk menjaga Bali. Menjaga Bali adalah mengembangkan dan mengajegkan

    adat dan budaya Bali (Parimartha, 2009).

    Dalam perkembangannya, Ajeg Bali juga dimaknai sebagai gerakan

    pemertahanan identitas etnik. Hal ini misalnya tampak dari analisis Nordholt

    (2005: xxxi) yang menyebutkan, bahwa Ajeg berarti kuat, tegak, dan dengan kata

    lain merupakan versi yang lebih kuat dari istilah ke-Bali-an. Di luar aspek ritual,

    kampanye Ajeg Bali merupakan instrumen untuk menekankan profil etnik eksklusif

    dari budaya Bali dan agama Hindu. Hal ini sekaligus juga dapat dimaknai sebagai

    sebuah gerakan penguatan politik identitas di Bali setelah masa reformasi (Zuhro,

    dkk., 2009).

    Pemaknaan Ajeg Bali sebagai gerakan pemertahanan identitas etnik dan

    pemurnian budaya juga dapat dicermati dari definisi yang dipaparkan Degung

    Santikarma, sebagaimana dikutip Suryawan (2009) sebagai berikut:

    Ajeg Bali mengandung gerak pemurnian budaya, yang ingin memilah antara yang asli dan yang luar. Ini tidak hanya karena benda yang asli memiliki nilai komersial yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang asli bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali. Ajeg Bali juga muncul sebagai gerakan pemertahanan identitas etnik (Suryawan, 2009: 95).

    Pemaknaan lain tentang Ajeg Bali, termuat dalam Prasasasti Ajeg Bali, sebagai

    berikut:

  • 49

    Ajeg Bali merupakan obsesi besar di tengah era kesejagatan. Bali tidak mungkin melepaskan diri dari globalisasi. Bali juga tidak akan mungkin menutup diri dari dunia luar. Tetapi manusia Bali harus tetap Bali. Mereka harus menjunjung tinggi budayanya, berupaya tetap menjaga lingkungannya dan taat pada ajaran agama yang dianutnya. Ajeg Bali yang sudah menjadi cita-cita masyarakat harus didukung oleh setiap orang Bali (Bali Post, Ajeg Bali, 2004: 17).

    Kedua definisi di atas jelas menunjukkan bahwa Ajeg Bali pada dasarnya

    merupakan gerakan pemertahanan identitas etnik, yakni budaya Bali yang berbasis

    Agama Hindu. Karena itu, tidak mengherankan jika Atmadja (2010: 3-4)

    menyebutkan Ajeg Bali sebagai gerakan kultural guna melanggengkan kultur Bali.

    Aspek yang di-ajeg-kan adalah inti kebudayaan Bali, yakni ideologi Ti Hita

    Karana sebagai abstraksi dari pengetahuan orang Bali dalam hal berhubungan

    dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang

    kesemuanya itu tidak terlepas dari agama Hindu. Kemunculan gerakan kultural

    Ajeg Bali tidak bisa dilepaskan dari marginalisasi kebudayaan Bali oleh

    globalisasi. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, selain globalisasi, marginalisasi

    kebudayaan Bali bisa pula disebabkan oleh Indonesianisasi, yakni penyebarluasan

    kebudayaan nasional, antara lain melalui pendidikan yang disponsori oleh negara

    melalui pendidikan formal dan media (Atmadja, 2010).

    Gerakan kultural Ajeg Bali yang diiringi dengan penguatan identitas

    kebalian, diikuti oleh munculnya sikap etnosentris yang melahirkan faham

    Baliisme. Dengan mengacu kepada Liliweri (2005), faham etnosentris dapat

    melahirkan prasangka etnik yang berujung pada sikap resistensi terhadap nilai-nilai

    luar yang masuk ke Bali. Berkenaan dengan itu, maka pendatang dari luar Bali

    atau etnik non-Bali dan non-Hindu yang bermukim di Bali dicurigai sebagai

    ancaman bagi identitas kebalian etnik Bali. Kehancuran basis ekonomi akibat Bom

  • 50

    Bali I dan II berimplikasi luas dan kompleks pada komponen struktur sosial dan

    superstuktur ideologi masyarakat Bali. Akibatnya muncullah sikap etnosentrisme

    pada masyarakat Bali, yang dipicu oleh kenyataan bahwa pelaku Bom Bali adalah

    orang luar Bali yang kebetulan beragama Islam.

    Setelah peristiwa Bom Bali I dan II, pemaknaan Ajeg Bali sebagai sebuah

    gerakan pemertahanan identitas etnik ditujukan pula pada gagasan pertahanan dan

    keamanan Bali dari teror. Gagasan ini dapat dicermati dari konsep pemahaman

    Ajeg Bali berikut:

    Ajeg Bali berarti kita sebaiknya kembali ke asal, kembali ke Bali yang murni dan damai, di mana semuanya teratur dan asli. Ajeg berarti Bali aman, dan mampu melawan teroris. Ajeg Bali menawarkan pada kita sebuah jawaban pada modernisasi tanpa isi (Bali Post, 2004, sebagaimana dikutip Nordholt, 2005: xxxi).

    Berdasarkan definisi tersebut tidak mengherankan jika Picard (2006)

    menyatakan bahwa ungkapan Ajeg Bali maknanya berbeda daripada ungkapan

    identitas Bali sebelumnya. Jelas bahwa sejak serangan Oktober 2002, orang Bali

    bersikap membela diri, karena mereka merasa diserang dari mana-mana; entah oleh

    mondialisasi, pariwisata, Jakarta, para pendatang, agama Islam, terorisme, dll.

    Agresi ini telah menghadirkan rasa lemah mereka sebagai minoritas etnik dan

    religius di negara Indonesia. Orang Bali tidak hanya rugi dari segi ekonomi, tapi

    mungkin lebih-lebih lagi, mereka merasa dihina kehormatannya, bahkan dihina

    kejantanannya. Dari situ, pengungkapan identitas yang bersifat reaksional dan

    militan, jauh lebih eksklusif dibandingkan dengan pengungkapan ke-Bali-an

    sebelumnya (Picard, 2006: 300). Fakta ini kemudian menimbulkan pemaknaan

    yang hipergeneralisasi, tercermin pada penyamaan bahwa Islam identik dengan

    kekerasan, dan bahkan identik dengan terorisme. Lebih jauh fakta ini juga

  • 51

    mengganggu hubungan antara umat Hindu dan Islam di Bali yang secara historis

    sangat baik dan harmonis, tercermin dari penggunaan idiom Nyama Bali-

    Nyama Selam. Di sisi lain fakta ini juga memunculkan ide terhadap upaya

    pembatasan ruang nafkah bagi orang luar Bali (pendatang). Ide tersebut

    terwujud dengan munculnya apa yang disebut debaksoisasi, yakni pembebasan

    Bali dari pedagang bakso keliling orang-orang Jawa yang semula menyebar luas di

    kota-kota, bahkan sampai ke pedesaan (Atmadja, 2008: 2).

    Dengan mengacu pada perkembangan pemikiran tersebut, baik dari segi

    pemaknaaan maupun ruang geraknya, Ajeg Bali dalam konteks penelitian ini tetap

    dikembalikan pada ide dasarnya, yakni gerakan kultural pemertahanan identitas

    etnik Bali, berikut pemertahanan identitas lainnya yakni identitas budaya, agama

    Hindu, tradisi, adat-istiadat dan sebagainya. Pemertahanan ini dimaksudkan

    sebagai penangkal adanya pengaruh dari luar, baik yang diakibatkan oleh

    komodifikasi pariwisata maupun globalisasi. Ini sejalan dengan tujuan dari

    perkembangan pariwisata di Bali umumnya, dan di kawasan Ubud khususnya,

    yang lebih mengedepankan pada pariwisata budaya.

    Pariwisata budaya telah menjadikan orang Bali sadar akan budayanya,

    meski pada realitasnya seperti yang dicemaskan Picard (2006), begitu budaya Bali

    diistimewakan dan diagungkan oleh wisatawan, maka ia sekaligus diobjektifkan

    dan dipasarkan kepada bangsa lain. Untuk itulah dimunculkan gerakan Ajeg Bali

    sebagai upaya pemertahanan identitas etnik yang secara konkrit mewujud dalam

    upaya pemertahanan agama Hindu dan kebudayaan Bali agar tidak tergerus oleh

    budaya global. Namun bagaimana pun juga pemertahanan identitas etnik tersebut

  • 52

    sekaligus diperlukan pula sebagai komoditas kebudayaan Bali dalam konteks

    pariwisata.

    2. Teori Konstruksi Sosial

    Teori konstruksi sosial antara lain dikembangkan oleh Peter L. Berger dan

    Thomas Luckman (1990). Teori ini pada intinya mengulas masyarakat dalam

    realitas obyektif dan masyarakat sebagai realitas subyektif. Berger memandang

    masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.

    Dialektika tersebut berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan,

    yakni: eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai

    produk manusia), obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang

    dikembangkan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi

    (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi

    soaial tempat invidu menjadi anggotanya).

    Ajeg Bali adalah sebuah konstruksi sosial dalam rangka pemertahanan

    identitas etnik Bali, yakni kebudayaan Bali. Pencapaian sasaran ini tidak terjadi

    secara otomatis, melainkan mutlak membutuhkan aktivitas, yakni pendidikan.

    Gagasan ini diperkuat dengan teori konstruksionis yang berpendapat bahwa

    identitas budaya seseorang merupakan intelectual artefact or cultural contruct.

    Identitas bukan produk dari alam, nature, melainkan konsekuensi dari pendidikan

    dan pembelajaran, nurture (Maliki, 2010: 184).

    a. Pendidikan sebagai Agen Sosialisasi dan Enkulturasi

    Dengan mengacu kepada Atmadja dan Atmadja (2010d) pendidikan sebagai

    suatu proses konstruksi, pada dasarnya mengarah pada usaha menjadikan manusia

    agar menjadi makhluk dewasa. Kata dewasa berasal dari bahasa Sansekerta, yakni

  • 53

    dewa dan sya [sa] yang berarti memiliki karakter seperti dewa atau dewata.

    Jadi, pendidikan sebagai proses pendewasaan, bermakna menjadikan manusia

    memiliki sifat-sifat luhur tak ubahnya seperti dewa atau dewata. Berkenaan dengan

    itu maka pendidikan pada dasarnya bisa disebut sebagai suatu proses dewaisasi

    atau dewataisasi (Atmadja dan Atmadja, 2010d). Manusia berkepribadian

    menyerupai dewa berpedoman pada kebudayaan berwujud gagasan yang berlaku

    dalam suatu masyarakat, atau Geertz (1999) menyebutnya dengan istilah aspek

    kognitif dan aspek evaluatif atau disebut pula kebudayaan sebagai tatanan

    kenyataan ideasional. Kebudayaan yang ditanamankan adalah warisan leluhur.

    Karena itu, tidak mengherankan jika Duverger (1982: 365) menyatakan bahwa

    tujuan utama dari pendidikan adalah mewariskan kepada generasi yang baru,

    semua pengalaman peradaban yang dikembangkan oleh generas-generasi

    terdahulu. Dalam perspektif etnisitas maka aspek yang diwariskan secara lintas

    generasi tentu saja adalah hal-hal yang berkaitan dengan apa yang menjadi identitas

    suatu etnik.

    Kebudayaan sebagai aspek kognitif dan aspek evaluatif yang diwariskan

    secara menggenerasi amat penting, baik dilihat dari segi identitas etnik maupun

    kemanfaatannya sebagai resep bertindak atau habitus (Bourdieu dalam Widja,

    2009) bagi pendukungnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Kelangsungan hidup suatu masyarakat sangat bergantung pada sejauh mana

    warganya mampu mempertahankan kelangsungan kebudayaan yang dimilikinya

    secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, peran pendidikan tidak bisa diabaikan,

    mengingat, pendidikan sebagai proses dewaisasi secara substansial berujung pada

    pewarisan kebudayaan dengan harapan yang bersangkutan bisa bertindak secara

  • 54

    baik dan benar dalam sistem sosial. Karena itu, Tilaar (2009) dan Koentjaraningrat

    (1984) menyebut pendidikan sebagai enkulturasi atau pembudayaan. Pemakaian

    istilah pembudayaan berkaitan dengan adanya kenyataan bahwa secara substansial

    pendidikan pada dasarnya adalah mempelajari kebudayaan. Artinya, warga

    masyarakat mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan

    sistem nilai, norma, adat istiadat dan peraturan-peraturan yang hidup dalam

    kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1983: 236).

    Pendidikan sebagai proses enkultusai tidak sebatas penanaman kebudayaan,

    yakni aspek kognisi dan aspek evaluatif dalam pikiran, tetapi berlanjut pula pada

    bagaimana mempraktikkan atau mengeksternalisasikannya dalam bentuk tindakan

    sosial. Dalam konteks ini manusia yang berkarakter dewasa memiliki ciri-cira

    karakter sebagai dewa, harus berlanjut pada kemampuan bertindak secara baik dan

    benar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini merupakan suatu keharusan,

    mengingat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga homo socius

    atau manusia sebagai makhluk sosial. Bertolak dari gagasan ini maka pendidikan

    tidak saja bisa disebut sebagai proses enkulturasi atau pembudayaan, tetapi bisa

    pula disebut proses sosialisasi. Artinya, ... dalam proses ini seseorang individu

    dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi

    dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam

    peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehar-hari (Koentjaraningrat,

    1983: 232). Dengan berpegang pada gagasan ini, maka tepat pendapat Samovar,

    Porter dan McDaniel (2010: 392) yang menyatakan bahwa ...budaya tidak bisa

    dipisahkan hubungannya dari pendidikan; orang yang dibesarkan dalam budaya

    akan belajar sesuai dengan apa yang dibutuhkan budaya mereka.

  • 55

    Nilai-nilai dan norma-norma tidak bisa dilepaskan dari ideologi dominan

    dalam masyarakat dan negara. Adapun yang dimaksud dengan ideologi adalah

    sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh

    kelompok tertentu (Oneil, 2001: 3). Berkenaan dengan itu wajar jika ideologi

    ditempatkan pada aspek superstruktur dalam sistem sosiobudaya (Sanderson, 1993;

    Bottomore, 1999). Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari posisi ideologi bagi

    manusia, yakni sebagai sumber dan arah bagi pengembangan nilai-nilai yang

    berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Fudyatanta, 2006: Tilaar,

    2009; Muhmidayeli, 2011). Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika

    pendidikan lazim pula disebut sebagai proses ideologisasi, yakni sebagai proses

    yang terencana dan sistematis guna melanggengkan ideologi dominan yang berlaku

    dalam masyarakat maupun negara (Atmadja, 2010c; Widja, 2009).

    Pada tataran lokal masyarakat Bali mengenal ideologi Tri Hita Karana

    (Atmadja, 1998). Ideologi Tri Hita Karana merupakan landasan dan arah bagi

    penyelenggaraan pendidikan guan mewujudkan orang Bali yang dianggap ideal.

    Sebaliknya, pada tataran nasional Indonesia mengenal ideologi negara Pancasila

    (Fudyatanta, 2006). Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan hasil konsensus

    nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus diwujudkan atau

    diselenggarakan dalam konteks Bhineka Tunggal Ika, yang artinya meskipun

    berbeda tetapi tetap satu (unity in diversity) (Rohman, 2009: 41). Dengan demikian,

    pendidikan tidak saja mencakup enkulturasi dan sosialisasi, tetapi terkait pula

    dengan ideologisasi. Artinya, melalui pendidikan diwujudkan manusia dewasa

    yang ditandai oleh anutan yang kuat terhadap ideologi (Tri Hita Karana dan

  • 56

    Pancasila), nilai-nilai, dan norma-norma yang tercermin pada tindakan sosial dalam

    kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Bertolak dari pentingnya pendidikan baik dalam konteks sosialisasi dan

    enkulturasi maupun ideologisasi, maka tidak mengherankan jika setiap masyarakat

    memiliki berbagai lembaga yang secara langsung maupun tidak mengemban peran

    sebagai agen pendidikan. Agen pendidikan berperan mengiringi keberadaan suatu

    masyarakat yang berlangsung secara menggenerasi melalui sistem pewarisan

    sehingga melahirkan apa yang disebut agen pendidikan tradisional (Atmadja,

    2010a).

    b. Masyarakat sebagai Agen PendidikanTradisional

    1) Sistem Pendidikan Tradisional pada Masyarakat Bali

    Dengan berpegang pada berbagai kajian tentang Bali (Atmadja, 2010a,

    2010b, 1998; Geertz dan Geertz, 1975; Danandjaja, 1982) ada berbagai agen

    sosialisasi tradisional yang berperan penting guna mewujudkan orang Bali yang

    berkarakter Bali. Karakter orang Bali mengacu kepada kebudayaan Bali yang

    berlandaskan agama Hindu. Akibatnya, kebudayaan Bali memiliki ciri khas jika

    dibandingkan dengan kebudayaan etnik lainnya. Kebudayaan adalah hasil ciptaan

    manusia dan diwariskan melalui proses belajar atau sosialisasi dan pembudayaan.

    Dengan demikian kebudayaan bukan warisan biologis, melainkan warisan sosial

    yang bersifat lintas generasi (Geertz, 1972). Pembentukkan kebudayaan sebagai

    warisan sosial membutuhkan sistem pendidikan secara tradisional. Pendidikan

    sebagai sistem terdiri dari berbagai komponen. Adapun komponen-komponen

    yang tercakup dalam sistem pendidikan tradisional Bali guna mewujudkan manusia

    berkarakter kebalian dapat dilihat pada Bagan 2.1

  • 57

    Bagan 2.1 Pemertahanan Budaya Bali Berbasis Agama Hindu Melalui

    Berbagai Agen Pendidikan Tradisional

    Agama Hindu

    Panca Sraddha Tiga Kerangka Agama

    1. Percaya kepada Brahman

    2. Percaya kepada Atman

    3. Percaya kepada Punarbhawa

    4. Percaya kepada Karmaphala

    5. Percaya kepada Moksha

    1. Tattwa

    2. Etika

    3. Upakara

    Panca Yadnya

    1. Dewa Yadnya

    2. Pitra Yadnya

    3. Manusa Yadnya

    4. Resi Yadnya

    5. Bhuta Yadnya

    Kebudayaan Bali Berintikan

    Tri Hita Karana

    Agen Pendidikan

    1. Kuren/ Dadia

    2. Desa Pakraman

    3. Subak

    4. Desa Dinas

    5. Sekaa

    6. Geriya

    7. Puri

    Metode Pembelajaran

    1. Pembelajaran melalui nyanyian rakyat

    2. Pembelajaran melalui ceritera rakyat

    3. Pembelajaran melalui permainan rakyat

    4. Pembelajaran melalui pemberian contoh

    dan pemraktekan

    Sasaran: mewujudkan manusia

    berkebudayaan Bali (Baliisasi)

    dalam konteks Ajeg Bali.

  • 58

    Bagan 2.1 menunjukkan bahwa secara tradisional masyarakat Bali

    mengenal berbagai agen sosialisasi guna membalikan orang Bali. Dengan mengacu

    kepada Geertz dan Geertz (1975) agen-agen sosialisasi pada masyarakat Bali terdiri

    dari kuren dan dadia, desa pakraman, desa dinas, subak, dan sekaa. Namun

    menurut Atmadja (2010b) agen-agen sosialisasi tersebut kurang lengkap, karena

    mengabaikan dua agen lainnya, yakni geriya dan puri. Dengan demikian

    masyarakat Bali mengenal tujuh agen sosialisasi, yakni kuren dan dadia, desa

    pakraman, desa dinas, subak, sekaa, geriya dan puri. Dalam melaksanakan

    perannya agen-agen tersebut bisa saling berkaitan satu sama lainnya atau

    berhubungan secara fungsional guna mempertahankan identitas etnik Bali.

    2) Agen-agen Pendidikan Tradisional pada masyarakat Bali

    Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Bali mengenal sistem

    pendidikan tradisional, yakni kegiatan bersifat sistematis yang dilakukan secara

    turun-temurun dalam konteks mengonstruksi secara sosial guna membentuk orang

    Bali yang berbudaya Bali. Kegiatan ini melibatkan berbagai agen pendidikan, baik

    secara kelembagaan maupun secara individual. Adapun makna dari agen-agen dan

    bagaimana fungsinya dalam konteks pemertahanan identitas etnik Bali dapat

    dicermati pada uraian sebagai berikut.

    a) Kuren dan Dadia

    Agen sosialisasi yang pertama dan utama pada masyarakat Bali adalah

    kuren atau keluarga batih. Semiawan (2009) dan Matsumoto (2004) menyebutkan

    peran keluarga dalam bidang pendidikan tidak bisa dinafikan. Tanpa keluarga

    penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tidak akan terwujudkan

    secara berkelanjutan. Kuren-kuren sebagai keluarga batih membentuk dadia, yakni

  • 59

    klen kecil patrilineal (Koentjaraningrat, 1982). Kuren yang tergabung dalam dadia

    lazim membentuk sekaa dadia, sekaa dewa, dan sebutan-sebutan lainnya. Dengan

    demikian masyarakat yang tergabung dalam sekaa dadia ini termasuk masyarakat

    hukum adat geneologis. Mereka diikat oleh suatu tempat persembahyangan

    bersama yang merupakan tempat roh leluhur mereka bersemayam, yang disebut

    pura dadia, sanggah gede, dan sebutan lainnya.

    Aktivitas utama kelompok dadia ini adalah kegiatan-kegiatan yang

    berkaitan dengan sosial keagamaan yang ditujukan pada roh leluhur dan dewa-

    dewa Hindu. Dalam konteks inilah mereka sangat intensif menanamkan

    kebudayaan Bali yang berbasiskan agama Hindu. Dadia tidak saja memiliki

    anggota dan pengurus, tetapi juga harta kekayaan tersendiri. Bahkan yang tidak

    kalah pentingnya, dadia sering pula melahirkan suatu orgainsasi yang disebut

    sekaa dadia. Organisasi seperti ini memiliki awig-awig yang dibuat oleh dan untuk

    mengikat anggota kelompok dadia, sehingga dapat diklasifikasi sebagai

    masyarakat hukum (Windia dan Sudantra, 2006: 72).

    b) Desa Pakraman

    Desa Pakraman berperanan penting dan menjadi basis bagi

    penyelenggaraan sosialisasi dalam konteks gerakan Ajeg Bali. Hal ini tidak terlepas

    dari fungsi, tanggung jawab dan wewenang desa pakraman, yakni sebagai wadah

    bagi pelestarian kebudayaan Bali yang berbasiskan agama Hindu. Untuk itu, posisi

    desa pakraman amat kuat, karena didukung oleh struktur dan kultur yang mapan,

    disertai dengan kemampuan untuk melakukan kontrol sosial bagi warganya.

    Karena itu, tidak mengherankan jika desa pakraman lazim disebut republik kecil

    (Covarrubias, 1972).

  • 60

    Desa pakraman memiliki aneka fungsi antara lain membina dan

    mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan

    mengembangkan kebudayaan Bali, berdasarkan paras paros salunglung sabayan

    taka atau musyawarah mufakat. Dalam upaya pemertahanan dan pelestarian

    warisan budaya Bali, desa pakraman berupaya menjaga dan memelihara nilai-nilai

    adat dan budaya masyarakat Bali terutama nilai etika, moral, dan peradaban yang

    merupakan inti adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali agar keberadaannya tetap

    terjaga dan berlanjut (Sirtha, 2008).

    Berdasarkan peran dan fungsinya tersebut jelas terlihat bahwa desa

    pakraman merupakan basis dari segala kegiatan adat-istiadat, agama, budaya dari

    segenap krama atau warga desa. Kegitan adat, agama dan kebudayaan sangat

    intensif yang melibatkan warga desa pakraman secara kolektif. Bersamaan dengan

    adanya penyelenggaraan aktivitas adat dan agama, maka terjadi pemertahanan

    identitas etnik melalui sosialisasi, enkulturasi dan ideologisasi. Pendek kata,

    pemertahanan identitas etnik Bali merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

    tugas, wewenang dan tanggung jawab desa pakraman bersama krama desa-nya.

    Mengacu padateori fungsionalis struktural (Ritzer dan Goodman, 2004) dapat

    dikatakan bahwa di balik apa yang dilakukan oleh desa pakraman ada fungsi latent

    yang tidak bisa diabaikan, yakni mendidik warganya agar selalu mempertahankan

    identitas etnik Bali, yakni kebudayaan Bali yang bernafaskan agama Hindu.

    c) Desa Dinas

    Berbeda dengan desa pakraman yang mengatur masalah adat dan agama,

    maka desa dinas mengatur urusan administrasi yang berhubungan dengan

    pelaksanaan pemerintah desa di bawah kecamatan (Sirtha, 2008: 2). Berdasarkan

  • 61

    fungsinya tersebut maka desa dinas lebih banyak berhubungan ke luar, yakni

    dengan negara/pemerintahan formal. Walaupun demikian, desa dinas bisa

    bersinergi dengan instansi-instansi pemerintah dalam menangani berbagai masalah

    yang terkait dengan budaya dan agama, misalnya Dinas Kebudayaan, Dinas

    Agama, dan Dinas Pendidikan. Begitu pula sebaliknya, jika dipandang perlu, maka

    desa pakraman pun bisa berkoordinasi dengan desa dinas dalam konteks

    pemertahanan kebudayaan Bali dan agama Hindu. Sebagaimana dikemukakan

    Atmadja (1998), walaupun arena desa pakraman dan desa dinas berbeda perannya,

    namun keduanya bisa berhubungan secara koordinatif. Kondisi ini bisa terjadi,

    mengingat di balik perbedaan peran, keduanya memiliki titik temu, yakni menjaga

    kedamaian komunitas desa berbasiskan kebudayaan Bali dan agama Hindu.

    d) Subak

    Dalam konteks pemertahanan identitas etnik, maka keberadaan subak

    sangat penting. Gagasan ini berkaitan erat dengan adanya kenyataan, yakni selain

    merupakan organisasai adat khas Bali, secara fisik keberadaan subak juga

    menunjukkan eksistensi budaya agraris yang merupakan budaya asli masyarakat

    Bali sejak abad ke-10, yakni sejak Bali diperintah oleh raja-raja Bali Kuno pada

    masa pemerintahan Dinasti Warmadewa (Goris, 1974; Budiastra, 1977).

    Betapa pentingnya fungsi subak dipertegas melalui Peraturan Pemerintah

    No. 23 Tahun 1982 yang merumuskan subak sebagai masyarakat hukum adat

    yang bersifat sosial-religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai

    organisasi di bidang tataguna air di tingkat usaha tani (Goris, 1974: 307).

    Pengertian yang senada dapat dilihat dalam Perda Bali No. 02/PD/DPRD/1972

    tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali, yang merumuskan bahwa; subak adalah

  • 62

    masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosial-religius, yang terdiri atas para

    petani yang menggarap sawah pada areal persawahan dan mendapatkan air dari

    suatu sumber. Subak sebagai institusi tradisional Bali juga berasaskan ideologi

    Tri Hita Karana, terlihat pada ciri-ciri sebagai berikut.

    (1) Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (awig-awig), baik tertulis maupun tidak tertulis

    (2) Subak memiliki suatu sumber air bersama. Sumber air tersebut dapat berupa bendung (ampelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi

    (3) Subak mempunyai areal persawahan (4) Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal (5) Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau Pura Subak (pura

    yang berhubungan dengan kesuburan) (Windia dan Sudantra, 2006: 61).

    Berdasarkan sejumlah ciri dasar mengenai subak tersebut, tampak bahwa

    secara garis besar subak mengandung tiga unsur pokok, yakni; (1) unsur religius,

    (2) unsur sosial, dan (3) unsur fisik. Ini sejalan dengan ideologi Tri Hita Karana, di

    mana subak unsur Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dengan adanya

    kenyataan ini maka subak tidak sekedar ada sebagai suatu organisasi tradisional,

    tetapi merupakan pula wadah penting bagi pemertahanan kebudayaan Bali lewat

    berbagai kegiatan yang dilakukannya yang melibatkan anggota subak.

    e) Sekaa

    Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali juga hidup organisasi-

    organisasi tradisional yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus atas dasar

    kepentingan dan tujuan bersama yang disebut sekaa. Ada sekaa-sekaa yang

    fungsinya menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara keagamaan yang

    berkaitan dengan desa dan di pura, misalnya sekaa baris (perkumpulan tari baris),

  • 63

    sekaa teruna (perkumpulan pemuda), sekaa daha (perkumpulan gadis-gadis),

    sekaa pesantian, dsb. Sekaa dalam arti ini memiliki sifat permanen, tetapi ada pula

    sekaa-sekaa yang bersifat sementara, yakni sekaa-sekaa yang didirikan

    berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu. Mereka beraktivitas dalam bermacam-

    macam kegiatan, ada yang berdasarkan pekerjaan, kegemaran, dan lain-lain. Nama

    sekaa itu kemudian disesuaikan dengan kegiatan kelompok tersebut, seperti

    misalnya di bidang pertanian dikenal adanya sekaa numbeg (perkumpulan

    memacul), sekaa memula (perkumpulan menanam padi), sekaa manyi

    (perkumpulan menuai), dsb. Dalam bidang kesenian dikenal adanya sekaa gong

    (perkumpulan gamelan), sekaa nupeng (perkumpulan tari topeng), sekaa ngigel

    (perkumpulan menari), dsb. Dalam bidang sosial ekonomi terdapat sekaa nukang

    (perkumpulan tukang bangunan) (Bagus, 2007; Windia dan Sudantra, 2006).

    Dalam rangka pemertahanan identitas etnik keberadaan sekaa sangat

    penting. Sebab, melalui sekaa identitas etnik Bali, misalnya kesenian dalam

    berbagai bentuknya, misalnya seni tari, tabuh, kerawitan, dan lain-lain tetap hidup

    dan bertahan. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bersamaan dengan adanya

    kegairahan masyarakat Bali dalam mengkaji teks sastra keagamaan mereka

    mengenal sekaa shanti. Sekaa shanti merupakan perkumpulan yang secara khusus

    mengkaji teks sastra agama Hindu untuk dicari tahu maknanya, baik makna

    denotatif maupun makna konotatifnya guna dipakai sebagai pedoman bertindak

    dalam kehidupan bermasyarakat (Atmadja, 2010a).

    f) Puri

    Gelebet (1986), Budihardjo (1991) dan Munandar (2005: 1) menyebutkan,

    bahwa masyarakat Bali mengartikan puri sebagai tempat tinggal kaum ksatria atau

  • 64

    golongan yang memegang pemerintahan atau rumah bangsawan yang dihormati di

    suatu daerah. Pada masa berjayanya kerajaan-kerajaan di Bali, puri memiliki

    makna penting dalam kehidupan sosial, religius dan politik masyarakat Bali.

    Sebagaimana dikemukakan Geertz (1980: 130) bahwa puri adalah bangunan tempat

    tinggal raja yang pantas dihormati dan bahkan disucikan. Puri juga merupakan

    tempat bertemunya dewa-dewa dengan masyarakat dan tempat bertemunya

    penguasa dengan bagsawan lainnya. Dewasa ini, walaupun puri telah kehilangan

    legitimasi politisnya secara formal, namun kekuasaan puri secara informal tetap

    kuat. Kondisi ini tampak misalnya di Kabupaten Gianyar, bupatinya berasal dari

    puri, yakni Puri Ubud. Dengan cara ini puri tetap bisa mempertahankan legitimasi

    kekuasaannya dengan memadukan model legitimasi modern, yakni asas demokrasi

    dan legitimasi tradisional, yakni budaya politik dewa-raja (Atmadja, 2010).

    Pemertahanan identitas etnik Bali tidak bisa dilepaskan dari peran puri.

    Gagasan ini berkaitan erat dengan eksistensi puri, yakni tidak saja sebagai rumah

    tinggal golongan ksatrya atau kelas penguasa, tetapi seperti dikemukakan

    Abdulllah (2006: 59) puri atau kraton merupakan pula pusat kebudayaan. Bahkan

    yang tidak kalah pentingnya, dengan mengacu kepada Lombard (2005) dan

    Atmadja (2010a) puri merupakan pula pusat teladan bagi masyarakat Bali. Dalam

    konteks ini puri mengembangkan kebudayaan Bali secara intensif, lalu

    memancarkannya ke daerah-daerah di luar puri. Dengan adanya kenyataan ini tidak

    mengherankan jika puri bisa diposisikan sebagai lembaga penting dalam rangka

    menyokong pemertahanan identitas etnik Bali. Kekuatan puri sebagai arena sosial

    bagi pelembagaan dan penyebarluasan kebudayaan Bali terkait pula dengan tautan

    antara puri dan masyarakat Bali, yakni bersifat tautan tuan-hamba, patron-klien,

  • 65

    bapak-anak buah atau Atmadja (2010a) menyebutnya dengan istilah tautan gusti-

    panjak. Hubungan ini bersifat hegemonik sehingga apa yang dikemukakan oleh

    puri acap kali masih diperhatikan, paling tidak pada komunitas di sekitar puri.

    g) Geriya

    Geriya merupakan bangunan tempat tinggal yang disucikan masyarakat

    Bali, yang memiliki makna sosial-religius. Geriya merupakan tempat tinggal

    golongan Brahmana. Dalam agama Hindu yang menganut sistem Catur Warna

    atau penggolongan berdasarkan profesi/pekerjaan, golongan Brahmana memiliki

    kedudukan tertinggi karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan.

    Geriya merupakan pusat pemertahanan dan pengembangan agama Hindu yang

    teraktualisasi dalam berbagai bentuk tradisi keagamaan.

    Pemertahanan identitas etnik Bali tidak bisa dilepaskan dari peran geriya.

    Geriya memiliki posisi penting, yakni sebagai pusat kekuatan magis dalam konteks

    pengembangan agama Hindu. Fungsi geriya memang lebih banyak terkait dengan

    penyelenggaraan ritual. Namun, di balik praktik ritual yang mereka lalukan atas

    permintaan sisya, maka fungsi latent dalam konteks pendidikan agama Hindu dan

    kebudayaan Bali tidak bisa diabaikan. Geriya adalah penjaga tradisi sehingga

    meminjam gagasan Abdullah (2006: 59) geriya merupakan pula pusat kebudayaan.

    Posisi ini menyatu dengan kuren, dadia, dan desa pakraman. Gagasan ini tidak bisa

    dilepaskan dari adanya kenyataan, bahwa pelaksanaan ritual sebagai wujud

    pemertahanan tradisi agama Hindu pada tataran kuren, dadia dan desa pakraman,

    membutuhkan pemimpin ritual antara lain berasal dari orang geriya yang

    memenuhi persyaratan lewat upacara inisiasi yang disebut diksa. Diksa melahirkan

  • 66

    pemimpin agama yang disebut pinandita atau jika yang bersangkutan berasal dari

    kaum Brahmana disebut pedanda atau peranda.

    Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara tradisional,

    masyarakat Bali tidak hanya mengenal lima agen pendidikan seperti dikemukakan

    Geertz dan Geertz (1975), melainkan perlu ditambah dengan dua agen lainnya

    sehingga jumlahnya menjadi tujuh agen pendidikan, yakni keluarga batih (kuren)

    dan dadia, desa pakraman, subak, desa dinas, sekaa, geriya, dan puri. Dalam

    melakukan perannya maka agen-agen pendidikan bisa saling berkaitan atau

    berhubungan secara fungsional guna mewujudkan tujuan yang diidealkan, yakni

    manusia berkebudayaan Bali dalam konteks Ajeg Bali.

    3) Metode Pembelajaran Tradisional pada Masyarakat Bali

    Pencapaian sasaran tersebut membutuhkan metode pembelajaran, yakni

    cara-cara yang digunakan agar tujuan pendidikan tercapai secara baik (Yamin dan

    Maisah, 2010). Bagan 2.1 menunjukkan ada beberapa metode pembelajaran

    tradisional pada masyarakat Bali, yakni pertama, pembelajaran melalui nyanyian

    rakyat (melajah sambilang magending). Untuk itu, masyarakat Bali mengenal

    berbagai bentuk nyanyian rakyat yang menggunakan aneka tembang. Kedua,

    pembelajaran melalui ceritera rakyat (melajah sambilang masatua). Dalam konteks

    ini Bali sangat kaya akan ceritera rakyat baik yang berbentuk dongeng, legenda

    maupun mitos. Ketiga, pembelajaran melalui permainan rakyat sehingga tidak

    mengherankan jika Bali memiliki banyak permainan rakyat. Keempat,

    pembelajaran melalui pemberian contoh dan pemraktekkan. Penerapan metode

    pembelajaran ini membutuhkan peran orang tua yang berkedudukan sebagai model

    yang sekaligus mengontrol keberhasilan pengetahuan dan keterampilan yang

  • 67

    dilembagakan lewat pendidikan (Atmadja, 2010e). Penerapan metode-metode

    pembelajaran ini bisa berlangsung secara terpadu, misalnya nyanyian rakyat

    bergabung dengan permainan rakyat. Namun, apa pun bentuk metode pembelajaran

    yang digunakan dan bagaimanapun penerapannya pada masyarakat Bali, tujuannya

    sama, yakni membalikan orang Bali dalam konteks Ajeg Bali.

    Dengan mengacu kepada Harahap (2011), Danandjaja (1989) dan

    Endraswara (2010) maka dapat dikemukakan bahwa apa pun bentuk metode

    pembelajaran yang berlaku pada masyarakat Bali, termasuk ke dalam foklor.

    Metode pembelajaran tradisional sebagai foklor terkait dengan prasana dan sarana

    pembelajaran. Dalam konteks inilah permainan rakyat, ceritra rakyat, nyanyian

    rakyat, dan berbagai bentuk teknologi pembelajaran tradisional lainnya, tidak

    hanya berfungsi rekreatif, melainkan bisa pula berfungsi edukatif. Artinya, melalui

    permainan rakyat, ceritra rakyat, dan nyanyian rakyat warga suatu komunitas,

    selain mendapatkan hiburan yang menyenangkan, terkandung pulakeinginan untuk

    menyampaikan dan menananamkanpesan moralitas dalam rangka menjaga

    kelangsungan hidup sistem sosiobudaya yang mereka miliki. Dengan demikian

    dapat disimpulkan bahwa setiap masyarakat mengenal sistem pendidikan

    tradisional yang di dalamnya mencakup metode pembelajaran tradisional.

    Pemakaian metode ini tertuju pada pemertahanan asas moralitas guna menjaga

    kelangsungan hidup sistem sosiobudaya dalam suatu komunitas.

    4) Agama Hindu dan Kebudayaan Bali sebagai Bahan Ajar

    Bagan 2.1 menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat Bali tidak bisa

    dilepaskan dari agama Hindu. Penduduk Bali mayoritas adalah etnik Bali beragama

    Hindu. Agama Hindu merupakan dasar keyakinan masyarakat Bali. Artinya, semua

  • 68

    bidang kehidupan, pola perilaku dan sistem tindakan masyarakat Bali senantiasa

    mencerminkan implementasi ajaran agama Hindu.Dengan demikian dapat

    dikatakan bahwa basis kebudayaan Bali adalah agama Hindu. Pengaruh agama

    Hindu amat kuat pada etnik Bali. Akibatnya, tidak mengherankan jika agama

    Hindu diposisikan pula sebagai identitas etnik Bali, tanpa mengabaikan identitas

    lainnya, yakni kebudayaan yang di dalamnya mencakup bahasa Bali, tata nama,

    pakaian, dan sebagainya (Windia dan Sudantra, 2006: 2).

    Bertolak dari kenyataan ini maka tidak mengherankan jika ada beberapa

    konsep dasar dalam agama Hindu yang sangat intensif ditanamkan melalui

    pendidikan. Gagasanini tidak bisa dilepaskas dari adanya kenyataan, bahwa realitas

    kebudayaan Bali secara substansial merupakan representasi dari konsep-konsep

    tersebut. Adapun konsep-konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut.

    a) Panca Sraddha Dasar Keimanan Agama Hindu

    Ajaran agama Hindu memiliki lima dasar keyakinan sehingga disebut

    Panca Sraddha. Sraddha (keyakinan) adalah landasan kepercayaan Hindu yang

    bersumberkan pada pustaka suci Weda, yang tersebar dalam naskah-naskah Sruti,

    baik dalam bagian Brahmana, Upanisad, maupun dalam Bhagawad Gita. Dengan

    memahami dasar Sraddha sebagai landasan kepercayaan, maka cakrawala pandang

    dari masing-masing pribadi akan bertambah luas, sebagaimana halnya dengan

    luasnya ajaran Weda yang sifatnya kekal dan abadi itu. Untuk itu, sebagai pijakan

    dasar berpikir, diperlukan suatu sikap netral tanpa prasangka, agar tidak

    mempersempit data penalaran dan intuisi sebagai penimbang dan penopang dalam

    memahaminya (Maswinara, 1996; Wiana, 2004; Sukardana, 2009).

  • 69

    Seperti telah disebutkan di atas, Sraddha yang bersumberkan pada kitab

    suci Weda tersebar dalam naskah-naskah Sruti, baik dalam bagian Brahmana,

    Upanisad, maupun dalam Bhagawad Gita. Dasar-dasar keyakinan yang terdapat

    dalam kitab-kitab suci tersebut adalah berjenjang sesuai dengan tahapan

    kemampuan kesadaran spiritual dari masing-masing penganut secara pribadi,

    karena bagaimanapun juga perkembangan kesadaran dari masing-masing pribadi

    itu tidak akan sama persis, tergantung pada beberapa faktor penentu yang

    mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu sangat

    penting disadari, karena evolusi spiritual dari setiap pribadi adalah berbeda-beda,

    sesuai dengan wasana karma dan samskara-nya (Maswinara, 1996: 33).

    Secara sederhana, Sradha yang terdapat dalam kitab-kitab suci tersebut

    dikelompokkan beberapa point tertentu, sehingga dari keseluruhan uraian dasar

    tersebut dapat disusun suatu daftar Sraddha pokok sebagai tulang punggung

    keyakinan Hindu tentang segala keberadaan, perubahan serta keterbatasannya. Dari

    pengelompokan tersebut terbentuklah lima Sraddha pokok, yang kemudian dikenal

    dengan Panca Sraddha. Dengan demikian Lima Sraddha atau Panca Sraddha ini

    merupakan lima dasar keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar ajaran

    dalam agama Hindu (Maswinara, 1996: 43-44).

    Adapun kelima Sraddha tersebut adalah, pertama, percaya terhadap Tuhan

    atau Brahman (Sang Hyang Widhi/Widhi Sraddha). Tuhan adalah tunggal dan

    dewa-dewa adalah personifikasi Tuhan. Kedua, percaya terhadap Atman (Atman

    Sraddha). Atman adalah roh individu. Atman adalah percikan Tuhan yang ada di

    dalam diri manusia (makhluk hidup). Atman imanensi dari Brahman yang bersifat

    trasendental. Ketiga, percaya akan karma phala (Punarbhawa Sraddha). Karma

  • 70

    phala adalah hukum sebab akibat yang menyertai segala perbuatan manusia.

    Keempat, percaya akan samsara, tumimba lahir atau reinkarnasi (Samsara

    Sraddha). Samsara adalah Atman terlahir kembali dalam bentuk makluk hidup

    sesuai degan hasil perbuatannya (karma phala). Kelima, percaya terhadap moksa

    (Moksa Sraddha). Moksa adalah Atman terbebas dari kelahiran kembali dan

    mencapai kemanunggalan dengan Brahaman. Kelima Sraddha tersebut saling

    berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan yang saling

    menunjang dan tidak dapat berjalan sendiri tanpa mengaitkan dengan yang lainnya.

    b) Tiga Kerangka Agama Hindu

    Selain Panca Sraddha, pokok-pokok ajaran agama Hindu juga termuat

    dalam Tiga Kerangka Agama Hindu, yakni(1) Tattwa atau Filsafat Agama Hindu;

    (2) Ethika atau Susila Agama Hindu; dan (3) Upacara atau Ritual Agama Hindu.

    Aspek Tattwa atau Filsafat merupakan inti ajaran agama Hindu, aspek Ethika atau

    Susila merupakan dasar pelaksanaan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-

    hari, sedangkan aspek upacara (yadnya) merupakan pengorbanan suci yang tulus

    ikhlaskepada Tuhan Yang Maha Esa (Sukardana, 2009: 17).

    Aspek Tattwa atau Filsafat mencakup segala hal yang mendasari ajaran

    tentang kepercayaan kepada Tuhan dalam agama Hindu terangkum dalam Tattwa.

    Di dalamnya berisi ajaran tantang kepercayaan kepada Tuhan. Agama bertitik tolak

    dari kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena agama adalah sebuah

    kepercayaan, maka dengan agama seseorang merasakan ketenangan dalam hidup,

    dan karena ketenangan seseorang akan memiliki ketetapan hati dalam menghadapi

    sesuatu (Sindhu dan Dalem, 1994; Sukardana, 2009).

  • 71

    Aspek Ethika atau Susila: Ethika adalah pengetahuan tentang kesusilaan

    atau susila. Susila beras