Download - d_ips_0707205_chapter2
-
24
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Kajian Teori
Kajian teori digunakan untuk memberi arah dalam menemukan jawaban
permasalahan penelitian. Mengingat kajian penelitian sangat kompleks, maka teori
yang digunakan juga bersifat kompleks dan multidisipliner. Teori-teori tersebut
merupakan teori-teori utama atau grand theory dan teori-teori turunannya.
1. Teori Politik Identitas
Politik identitas erat kaitannya dengan perubahan sosial. Teori-teori utama
berkenaan dengan politik identitas dikembangkan oleh beberapa pakar/teoritikus,
seperti Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2000). Teorinya
menyebutkan bahwa identitas diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini
tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas
sosial. Keduanya berbentuk narasi atau menyerupai cerita. Jadi identitas
sepenuhnya adalah konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi
budaya dan akulturasi.
Berger dan Luckmann (1990) mempertegas konsepsi tersebut dengan
menyebutkan bahwa, identitas lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang
terus-menerus. Oleh karenanya, identitas sudah dirancang dengan sangat seksama,
dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan obyektif di mana identitas
itu berada. Singkatnya, setiap orang adalah benar-benar apa yang diandaikan
tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, setiap identitas mudah dikenal secara
obyektif maupun subyektif. Setiap orang tahu siapa tiap orang lain dan siapa
dirinya.
-
25
Dalam pandangan filsuf terkemuka asal Perancis, Jaques Lacan (dalam
Sarup, 2008), identitas berhubungan dengan dialektika pengakuan. Dialektika
pengakuan ini merujuk pada gagasan bahwa kita mendapatkan pengetahuan tentang
siapa diri kita dan bagaimana orang bersikap pada kita. Lacan juga menegaskan
bahwa berkat identitas, setiap orang tetap sama, selalu identik dengan dirinya
sendiri, dan sekaligus berbeda dengan orang lain (Sarup, 2008; 11-22). Fenomena
pengakuan juga dikemukakan Alessandro Pizzorno (2004: 175) bahwa, identitas
seseorang didefinisikan oleh orang lain, atau lebih pada pengakuan yang diberikan
orang lain.
Menurut Giddens (2003), konsep identitas bertalian erat dengan teori
strukturasi yang di dalamnya mencakup strukturasi, agensi dan kekuasaan,
orisinalitas, inovasi dan perubahan. Struktur atau strukturasi mencakup
konsep-konsep struktur, sistem, dan dualitas struktur. Struktur dalam konteks teori
fungsionalis juga dapat dibandingkan dengan gagasan mengenai fungsi. Struktur
berfungsi menganalisis hubungan-hubungan sosial, dalam konteks ruang dan waktu
yang melibatkan proses reproduksi praktek-praktek di suatu tempat. Dengan
demikian struktur adalah aturan dan sumberdaya atau dengan kata lain struktur
sebagai perangkat aturan dan sumberdaya. Sedangkan agen atau agensi
(agency) sering dihubungkan dengan kekuasaan. Ada dugaan bahwa menjadi agen
berarti harus mampu memberi sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi
kekuasaan-kekuasaan yang disebarkan orang lain (Giddens, 2003: 1-22).
Berdasarkan teori-teori utama tersebut, teori-teori yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut.
-
26
a. Pengertian Identitas dan Identitas Etnik
Carmazzi (2006: 9) menyebutkan, identitas adalah siapa kita sebenanya,
baik sebagai diri sendiri maupun anggota suatu kelompok sosial. Gardiner dan
Kosmitzki sebagaimana dikutip Samovar, Poter dan McDaniel (2010: 184)
menunjukkan, bahwa identitas adalah definisi diri seseorang sebagai individu
yang berbeda dan terpisah, termasuk perilaku, kepercayaan dan sikap. Ada pula
yang menyatakan bahwa identitas adalah konsep diri yang direfleksikan atau
gambaran diri bahwa kita berasal dari keluarga, gender, budaya, etnik, dan proses
sosialisasi individu. Indentitas pada dasarnya merujuk pada pandangan reflektif
mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri
kita (Samovar, Poter dan McDaniel, 2010: 184). Begitu pula Parekh (2008: 13)
menyatakan bahwa identitas adalah sekelompok manusia yang mewarisi sifat-sifat
yang mendefinisikan mereka sebagai jenis individu atau kelompok tertentu dan
membentuk sebuah bagian integral bagi pemahaman diri tentang mereka. Pendek
kata, identitas mengacu kepada bagaimana manusia membedakan dirinya dengan
orang lain, baik sebagai individu maupun anggota kelompok sosial, dan orang lain
pun mengakuinya, berdasarkan ciri-ciri tertentu yang melekat padanya.
Dengan demikian, setiap manusia selain memiliki identitas diri, juga
memiliki identitas kelompok sosial. Kelompok sosial amat penting bagi manusia,
di mana kelompok sosial yang muncul atas dasar ikatan primordial antara lain
berwujud sukubangsa atau etnik. Dengan mengacu kepada berbagai definisi yang
dikemukakan para pakar (van den Berg, 1981; Eriksen, 1993; Sowell, 1989; Barth,
1988; Koentjaraningrat, 1989; Feagin 1993) yang mengkaji tentang masalah etnik,
dapat diketahui bahwa etnik merupakan kelompok sosial yang mempunyai tradisi
-
27
kebudayaan dan sejarah yang sama, memiliki peranan dan bentuk simbol yang
sama, memiliki bentuk kesenian yang sama, yang diciptakan dalam ruang dan
waktu mereka, dan memiliki domain tertentu yang sama, yang disebut ethnic
domain.
Ada pula yang menyatakan bahwa etnik adalah kelompok sosial yang
anggotanya merasa menjadi satu kesatuan atas dasar suatu identitas etnik, yakni
persamaan budaya, bahasa, adat-istiadat, tradisi, agama, peranan dan simbol-simbol
yang sama, maupun perjalanan sejarah yang sama (Bachtiar, 1985; Liliweri, 2005).
Sehubungan dengan itu, Tilaar (2007: 16) menyebutkan, bahwa identitas
merupakan konsep yang sangat erat kaitannya dengan etnisitas. Identitas memiliki
pengertian yang berbeda-beda dan sangat luas; misalnya kita mengenal dalam
ungkapan sehari-hari seperti identitas Indonesia, identitas suku Batak, identitas
suku Jawa, identitas suku Sunda, identitas suku Bali, dan sebagainya. Tidak jarang
identitas tersebut sebenarnya kadang-kadang berupa stereotip-stereotip, baik yang
positf maupun negatif dari suatu etnik. Seringkali pula terjadi generalisasi
berlebihan terhadap suatu identitas; misalnya orang Cina identik dengan kerja keras
atau bangsa Melayu diidentikkan sebagai bangsa pemalas. Identitas yang
berkonotasi identik tersebut harus dipertanyakan, karena stereotip-stereotip yang
mengidentikkan suatu etnik dengan sifat-sifat tertentu seringkali tidak terlepas dari
perkembangan sejarah suatu etnik atau masyarakat. Dari uraian tersebut
menunjukkan bahwa identitas suatu etnik melekat dalam etnik itu sendiri (Tilaar,
2007: 17).
Demikian pula Samovor, Porter dan McDaniel (2010: 187) menunjukkan
bahwa identitas etnik mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan
-
28
sejarah, tradisi, nilai, perilaku, asal daerah, dan bahasa yang didapat melalui
warisan. Adakalanya etnik juga merupakan suatu kelompok individu yang
mempunyai kebudayaan yang berbeda, namun di antara para anggotanya merasa
memiliki semacam subkultur yang sama (Liliweri, 2005).
Berdasarkan gagasan tersebut terlihat bahwa identitas etnik lebih banyak
mengacu kepada penanda kebudayaan. Dengan adanya kenyataan ini maka
mengacu pada gagasan Samovor, Porter dan McDaniel (2010), dapat dikatakan
bahwa idenitas etnik bisa menyatu dengan identitas budaya. Begitu pula setiap
etnik menempati lokalitas tertentu sebagai ruang hidupnya. Akibatnya, lokalitas
sering dipakai sebagai label dan atau disatukan dengan nama etnik. Dengan
demikian etnik memiliki karakteristik budaya yang khas dan lokalitas tersendiri
sebagai ruang hidupnya. Karakteristik ini tidak saja untuk membedakan dirinya
dengan etnik lain, tetapi juga untuk menunjukkan orang kita, kelompok atau in-
group. Sebaliknya, di luar itu adalah orang luar, kelompok luar atau out-group.
Pembedanya adalah karakteristik budaya etnik dan asal kedaerahan. Penguatan
identitas etnik yang menyatu dengan identitas budaya dan lokalitas secara mudah
bisa memunculkan faham kekitaan dan kemerekaan (Atmadja, 2010).
b. Identitas Etnik Bali
Etnik Bali merupakan salah satu etnik yang tercakup di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Etnik Bali memiliki identitas, yakni
kesamaan-kesamaan budaya dan teritorialitas, yakni Pulau Bali. Bagus (2007: 286)
menggambarkan bahwa etnik Bali adalah sekelompok manusia yang terikat oleh
kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik kebudayaan lokal Bali maupun
kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat
-
29
oleh adanya kesatuan bahasa, yakni bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan
perjalanan sejarah dan kebudayaanya. Supatra (2006: 92) menyebutkan bahwa
identitas orang Bali yang paling mendasar adalah keyakinan yang menjadi
pedoman dan landasan hidup orang Bali, yakni agama Hindu. Keyakinan terhadap
agama Hindu inilah yang melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya,
kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang
merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari,
karakteristik identitas kebudayaan Bali mewujudkan diri dalam berbagai konsepsi,
aktivitas sosial maupun karya fisik artefaktual orang Bali, termasuk di dalamnya
penantaan ruang dan lingkungan tempat tinggal (Supatra, 2006). Persamaan-
persamaan yang menjadi ciri identitas etnik Bali juga mencakup kesamaan sebagai
krama desa (warga desa) suatu desa pakramanan (desa adat) dengan berbagai
aturan yang mengikatnya (Windia dan Sudantra, 2006; Sirtha, 2005; Geertz dan
Geertz, 1975).
Penempatan agama Hindu sebagai unsur identitas etnik Bali menimbulkan
implikasi bahwa etnik Bali tidak saja terikat pada identitas budaya, tetapi juga pada
identitas agama, yakni agama Hindu. Gagasan ini tidak bisa diabaikan, mengingat
pendapat Thufail dan Ramsted (2011) bahwa, agama bagi suatu sukubangsa tidak
selamanya hanya diposisikan sebagai pedoman bertindak dalam hubungan mereka
dengan Tuhan maupun sesama manusia secara meruang dan mewaktu, tetapi
sekaligus juga diposisikan sebagai identitas etnik. Dengan demikian tidak
mengherankan jika etnik Bali sering diidentikan dengan agama Hindu, begitu pula
sebaliknya. Dengan demikian, memunculkan suatu slogan, baik di kalangan orang
-
30
Bali maupun orang luar Bali (etnik non-Bali) yang menyatakan bahwa Bali adalah
Hindu dan Hindu adalah Bali (Atmadja, 2010).
Keunikan karakteristik budaya etnik Bali bukan terberi, tetapi lahir secara
prosesual, mulai dari Zaman Prasejarah dan Zaman Sejarah yang di dalamnya
melibatkan dinamika politik antara lain kebijakan negara yang digariskan pada
pemerintahan raja-raja keturunan Majapahit yang dianggap banyak membawa
unsur kebudayaan baru bagi Bali (sejak abad ke-14) (Sirtha, 2005; Subagiasta,
2005; Parimartha, 2009). Kondisi ini melahirkan aneka pencitraan tentang
identitas etnik Bali yang secara umum ditampilkan pada tiga wajah, yakni
pertama, kebudayaan Bali dianggap eksotik atau bahkan diposisikan sebagai Pulau
Sorga (Covarrubias, 1972). Pencitaraan ini memunculkan dua citra berikutnya yang
berlanjut pada representasi tentang Bali yang sekaligus menjadi gambaran tentang
identitas orang Bali (Dwipayana, 2005). Adapun citra yang kedua, adalah budaya
Bali dianggap bersifat tunggal dan homogen. Artinya, Bali tidak pernah dipandang
sebagai komunitas yang plural, tetapi selalu dibayangkan sebagai sebuah entitas
dengan batas-batas yang jelas; berada dalam satu ruang; mempunyai bahasa sama;
cara hidup yang sama, dan agama yang sama. Padahal orang Bali kontemporer
memiliki keragaman kultural, perbedaan cara hidup dan hibriditas identitas
(Sukarma, 2009; Burhanuddin, 2009).
Cara berpikir tersebut ini tentu kurang mengena, mengingat di Bali juga
terdapat komunitas orang Bali Mula atau Bali Aga. Mereka kebanyakan bermukim
di desa-desa di perbukitan. Mereka memiliki ekspresi budaya berbeda dengan
orang Bali dataran (Atmadja, 1998). Dalam wajah agama dan etnik pun terdapat
keragaman, misalnya di tengah-tengah etnik Bali terdapat komunitas Kristen,
-
31
Katolik dan Islam (Dwipayana, 2005: viii). Citra ketiga atas Bali adalah citra
tentang keajegan budayanya. Bali selalu dibayangkan memiliki kultur-tradisi yang
senantiasa tegar (ajeg). Pendek kata, homogenisasi identitas orang Bali diikuti oleh
konstruksi citra bahwa agama-budaya mereka senantiasa kuat dan lentur
menghadapi arus perubahan jaman.
Gagasan ini memberikan petunjuk bahwa kebudayaan Bali sebagai identitas
etnik Bali, sebagaimana gagasan Harsoyo (1984) tentang ciri-ciri kebudayaan,
secara eksistensial tunduk pada dua arah, yakni ke-ajeg-an dan perubahan.
Artinya, selalu ada unsur kebudayaan yang ajeg, dan sebaliknya ada unsur yang
selalu berdinamika atau bahkan sengaja diberikan peluang untuk berubah sehingga
terjadi gerak kebudayaan yang menyatukan antara kontinyuitas dan
diskontinyuitas. Unsur kebudayaan yang ajeg (di-ajeg-kan) atau bersifat
kontinyuitas adalah inti kebudayaan, antara lain berwujud ideologi. Sedangkan
unsur kebudayaan yang mudah berubah atau diskontinyuitas, sehingga sengaja
ditanggalkan atau diadaptasikan adalah unsur yang pinggiran, antara lain berwujud
artefak dan tindakan sosial yang menyertainya (Keesing, 1992; Saifuddin, 2005).
Dengan mengacu kepada teori-teori perubahan kebudayaan (Lauer, 1989;
Sanderson, 1993) dapat dikatakan bahwa perubahan kebudayaan adalah menyatu
dengan kehidupan suatu masyarakat. Walaupun demikian harus disadari bahwa di
balik adanya perubahan selalu ada unsur kebudayaan yang ajeg (di-ajeg-kan),
yakni inti kebudayaan Bali. Perubahan suatu kebudayaan bisa secara evolutif,
revolutif atau bahkan meminjam gagasan Geertz (1976) bisa pula secara involutif
pada aspek artefak dan tindakan sosial yang menyertainya. Perubahan kebudayaan
sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan sesuai pula dengan makna yang
-
32
terkandung dalam identitas kebudayaan yang melekat dalam suatu etnik, yakni
bukan sebagai sesuatu yang terkunci untuk suatu perubahan, melainkan sesuatu
yang secara prosesual terus berubah yang berlangsung secara historis. Namun, apa
pun bentuk perubahannya, selalu akan memadukan antara dua hal yang bersifat
antagonisme, yakni meng-ajeg-kan dan mengubah ke arah suatu keselarasan sosial.
Kondisi ini sesuai dengan inti kebudayaan Bali, yakni bertumpu pada ideologi Tri
Hita Karana yang menekankan pada harmoni (Atmadja, 1998; Eisemen, 1998).
Perubahan identitas kebudayaan etnik Bali secara historis mulai
memunculkan wacana kekhawatiran, yakni terjadi pada tahun 1920-an. Hal ini
sebagaimana dipaparkan Atmadja (2001), berkaitan dengan penetrasi kebudayaan
Barat (Belanda) yang dianggap membawa sesuatu yang baru bagi kebudayaan Bali.
Dalam konteks ini muncul gerakan pemertahanan kebudayaan Bali antara lain
berwujud cita-cita memodernisasikan kebudayaan Bali agar setara dengan
kebudayaan Barat. Namun di pihak lain Vickers (1998), Atmadja (2011a),
Suryawan (2009) dan Dwipayana, 2005), menyebutkan bahwa pemerintah kolonial
Belanda justru mengambil kebijakan yang konservatif, yakni menerapkan
kebijakan Baliseering atau Balinisasi. Tujuannya, meningkatkan kesadaran kaum
muda atas warisan budayanya, melalui pendidikan yang menekankan pelajaran
bahasa, sastra dan kesenian tradisionalnya. Jika didekonstruksi kebijakan
Balinisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka tujuan yang
sebenarnya bukan melindungi kebudayaan Bali, tetapi memulihkan keadaan aslinya
agar Bali menjadi museum hidup.
-
33
c. Politik Identitas sebagai Alat Pemertahanan Identitas Etnik
Walaupun Bali terus dielu-elukan sebagai pulau yang spektakuler secara
kultural dan keagamaan, kebudayaannya bersifat ajeg, namun realitasnya bisa
berbeda. Artinya, kebudayaan Bali tidak ajeg, melainkan telah dan terus
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan kebudayaan memang telah
berlangsung sejak lama. Atmadja (2010) menunjukkan, bahwa pada tahun 1970-an
terjadi perubahan sosiobudaya secara drastik pada masyarakat Bali. Adapun faktor-
faktor penyebabnya adalah sebagai berikut.
1) Modernisasi dan Politik Kebudayaan Indonesiaisasi
Atmadja (2010) menunjukkan bahwa faktor penting yang menyebabkan
terjadinya perubahan sosial budaya pada masyarakat Bali adalah modernisasi
berwujud penerapan Revolusi Hijau pada masa pemerintahan Orde Baru. Revolusi
Hijau berintikan pada pengadopsian teknologi hayati dan kimiawi dan teknologi
mekanis guna meningkatkan produksi hasil pertanian, terutama padi. Teknologi ini
tidak saja berbentuk artefak atau alat dan cara, tetapi berkaitan pula dengan
ideologi yang ada di baliknya. Muatan ideologinya adalah modernisme yang
berintikan pada pemilahan kebudayaan menjadi dua, yakni kebudayaan modern
dan kebudayaan tradisional. Dalam konteks ini teknologi yang menyertai Revolusi
Hijau adalah teknologi modern, sedangkan teknologi yang lokal milik orang Bali
adalah bersifat tradisional. Teknologi modern lebih unggul atau lebih baik,
sedangkan teknologi tradisional kurang unggul atau kurang baik. Berkenaan
dengan itu tidak mengherankan jika bersamaan dengan adanya Revolusi Hijau
terjadi penggantian teknologi secara besar-besaran pada masyarakat Bali, yakni
teknologi tradisional digantikan dengan teknologi modern.
-
34
Modernisasi tidak saja berlangsung pada bidang pertanian, tetapi juga pada
bidang-bidang kehidupan lainnya. Misalnya, Bali mengalami Revolusi
Transportasi atau lazim pula disebut Revolusi Colt. Revolusi Transportasi
berwujud perbaikan prasarana dan sarana transportasi, yakni jalan dan jembatan
yang disertai dengan pengenalan angkutan umum berbentuk bis mini colt. Revolusi
Transportasi tidak saja melancarkan hubungan antara desa dan kota, tetapi
mengakibatkan pula kebudayaan kota meluas ke desa sehingga desa mengalami
urbasisasi pengkotaan secara kultural (Atmadja, 2010). Aspek pengkotaan
lainnya yang menerpa desa adalah program WC dan Kamar Mandi masuk desa,
air masuk desa, TV masuk desa, listrik masuk desa, dll. Pendek kata, melalui
berbagai program yang diterapkan pada masa pemerintah Orde Baru, masyarakat
Bali mendapatkan masukan aneka bentuk teknologi, tidak saja teknologi pertanian,
tetapi juga teknologi transportasi dan teknologi domestik.
Dengan mengacu kepada Sanderson (1993) masukan teknologi tidak saja
menimbulkan perubahan pada aspek infrastruktur material, tetapi juga pada
komponen sistem sosiobudaya lainnya, yakni struktur sosial dan superstruktur
ideologi. Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa sistem
sosiobudaya terdiri dari tiga komponen dasar, yakni infrastruktur material, struktur
sosial dan superstruktur ideologi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Karena itu, jika terjadi perubahan pada infrastruktur material
masuknya teknologi baru, maka terjadi pula perubahan pada struktur sosial dan
superstruktur ideologi. Apalagi adanya kenyataan teknologi tidak saja berwujud
fisikal, tetapi selalu memuat ideologi secara tersembunyi. Demikian, misalnya di
balik pemakaian teknologi hayati kimiawi dalam konteks Revolusi Hijau terdapat
-
35
ideologi pasar. Mengingat, apa pun bentuk teknologi hayati kimiawi didapat lewat
pasar. Dengan mengacu kepada Durkheim (dalam Laeyendecker, 1983) pada aspek
struktur sosial terjadi juga pergeseran dari solidaritas mekanis ke solidaritas
organis. Pada tataran superstruktur ideologi pasar menguat yang diikuti dengan
pergeseran kolektivisme ke arah individualisme.
Kebijakan negara lainnya adalah penerapan politik kebudayaan yang
mengarah pada penguatan identitas kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu,
politik kebudayaan seperti ini bisa disebut Indonesiaisasi (Atmadja, 2010).
Kebijakan ini ditandai oleh penginternalisasian berbagai unsur kebudayaan
nasional secara lebih mantap, misalnya bahasa Indonesia terjadi (re-)
Indonesiaisasi. Belum terhitung lagi adanya penerapan sistem kepolitikan yang
bersifat sentralisik dengan dalih bahwa hal itu sangat diperlukan demi keamanan
dan kestabilan politik agar pembangunan terlaksana dengan baik. Untuk itu,
pranata dan lembaga politik tradisional, misalnya desa pakraman dikooptasi dan
diletakkan di bawah hegemoni desa dinas sebagai kepanjangan tangan penguasa
supradesa.
Kondisi tersebut mengakibatkan desa pakraman sebagai republik kecil
tidak bisa berperan secara optimal dalam mengurus masalah adat dan agama.
Indonesiaisasi yang diterapkan oleh negara sangat kental dengan kebudayaan Jawa
sehingga tidak mengherankan jika Indonesiaisasi disamakan dengan Jawaisasi.
Politik kebudayaan seperti ini mengakibatkan adanya kekhawatiran bahwa
kebudayaan Bali akan mengalami marginalisasi. Kasus yang sering dipakai sebagai
indikatornya adalah pemakaian bahasa Bali, terutama bahasa Bali halus semakin
lama semakin ditinggalkan oleh orang Bali terutama pada generasi, digantikan
-
36
dengan bahasa Indonesia. Jikalau pun bahasa Bali halus digunakan pada ruang
publik, kebanyakan berbentuk campur kode (Atmadja, 2010; 2011). Dengan
demikian, modernisasi dan Indonesiaisasi yang berlangsung secara simultan sejak
pemerintahan Orde Baru memunculkan kekhawatiran di kalangan orang Bali,
yakni indentitas kebudayaan etnik mereka mengalami kegoyahan (tidak ajeg).
2) Terpaan Globalisasi
Perubahan sosiobudaya pada masyarakat Bali menjadi lebih kuat, karena
bersamaan dengan adanya Revolusi Hijau dan politik kebudayaan Indonesiaisasi,
berlangsung pula globalisasi. Giddens (1990; 2003) menyebutkan, bahwa proses
globalisasi ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, di mana peristiwa
yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri suatu tempat.
Begitu pula sebaliknya, peristiwa yang terjadi di dalam negeri tidak semata-mata
mempengaruhi stabilitas nasional, tetapi juga mempengaruhi kondisi negara lain,
regional, atau bahkan stabilitas global. Kata globalisasi bagi Giddens (2000)
berakar pada konsep keterjarakan ruang dan waktu. Globalisasi tidak hanya
berwujud gejala saling ketergantungan secara ekonomi, tetapi juga transformasi
waktu dan ruang dalam kehidupan manusia (Giddens, 2000: 15). Hal ini diperkuat
oleh adanya revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi komunikasi yang telah
sangat mengondisikan kehidupan kita ke dalam dunia yang satu (Giddens, 2005
:100). Bersamaan dengan itu terjadi arus manusia, uang, ideologi, informasi, dan
teknologi dari negara-negara maju atau negara-negara pusat ke negara-negara
sedang berkembang atau negara-negara pinggiran (Lull, 1998).
Dengan adanya kenyataan itu maka Kearney (1995) menyebut globalisasi
berkaitan dengan konsep deteritorialisasi. Ide tentang deteritorialisasi ini
-
37
mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi,
komunitas, politik, budaya, dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal.
Globalisasi telah menyeret hal-hal yang bersifat lokal dan terikat dengan karakter
asal-usul, menjadi sesuatu yang bersifat global dan beredar bebas dalam batas-
batas lokal. Dengan demikian globalisasi juga diterjemahkan sebagai suatu proses
integrasi manusia yang melewati batas-batas negara bangsa.
Dalam konteks ekonomi dan kebudayaan, globalisasi seringkali
memberikan kesan akan adanya perluasan kebudayaan Amerika Serikat sehingga
tidak mengherankan globalisasi sering pula diartikan sebagai Amerikaisasi. Produk
Amerika Serikat yang dikonsumsi secara mendunia antara lain adalah Coca-cola
dan McDomald sehingga tidak mengherankan jika globalisasi yang disamakan
dengan Amerikaisasi diidentikkan pula dengan Coca-colaisasi dan McDonaldisasi.
(Jacobs, 2000; Giddens, 2001; Ritzer, 2006; Ritzer dan Goodman, 2008). Namun,
apa pun label yang diberikan terhadap globalisasi, maka tidak bisa dipungkiri
bahwa globalisasi tidak sekedar pengonsumsian terhadap suatu barang dan jasa,
tetapi menyangkut pula pengonsumsian ideologi yang ada di baliknya, yakni
ideologi pasar. Ideologi pasar tidak saja ada di balik apa yang dikonsumsi, tetapi
juga dilembagakan lewat pusat-pusat perbelanjaan mulai dari hypermarker,
supermarket sampai kepada berbagai turunannya, yakni minimarket, toserba dan
waserda yang menyebar sampai ke desa-desa (Atmadja, 2010).
Atmadja (2010) menyimpulkan bahwa rangkaian perubahan sosiobudaya
yang terjadi pada masyarakat Bali, baik sebagai akibat dari modernisasi,
Indonesiaisasi maupun globalisasi, tidak hanya pada komponen teknologi atau
-
38
infrastruktur material, tetapi meluas pula pasa aspek struktur sosial dan
superstruktur ideologi. Untuk lebih jelas dapat dicermati pada pada tabel 2.1 Tabel 2.1
Arah Perubahan Masyarakat Bali sebagai Akibat dari Modernisasi, Indonesiaisasi dan Globalisasi
No. Perubahan dari Ke 1. Ideologi dominan adalah
ideologi Tri Hita Karana yang menekankan pada keharmonisan.
Ideologi dominan adalah ideologi pasar yang menekankan pada persaingan guna memenuhi keinginan bukan kebutuhan.
2. Ekonomi subsistensi dominan, sedangkan ekonomi pasar hanya sebagai pelengkap.
Ekonomi pasar menguat bahkan keseluruhan aspek kehidupan masyarakat Bali mengalami pasarisasi yang hebat. Ekonomi subsistensi melemah, bahkan diabaikan.
3. Kolektivitas (menyama-braya) sangat tinggi.
Individualitas menguat, bahkan berlaku kebiasaan mati iba hidup kae (biarkan orang lain mati yang penting saya hidup).
4. Masyarakat tertutup/semi tertutup (melokal, menasional).
Masyarakat terbuka, tidak saja menasional, tetapi juga mengglobal. Bali bagian dari kampung global sebagai konsekuensi dari globalisasi.
5. Monokultur (etnik Bali, Agama Hindu, budaya Bali).
Multikultur (multietnik, multibangsa atau multination multibudaya dan multiagama). Menyebar atau membentuk kantong-kantong sosiobudaya sehingga melahirkan multikultur dan subkultur.
6. Mengutamakan aspek spiritual
Menonjolkan aspek material
7. Mengutamakan aspek rohaniah (pikiran, budi dan kesadaran menguasai tubuh)
Menonjolkan aspek badaniah (tubuh mengendalikan pikiran, budi dan kesadaran sehingga manusia terjebak syahwatisme dan kamaisme.
8. Mengutamakan isi dan kedalaman penghayatan sehingga cenderung memegang etos kesederhanaan.
Mengutamakan kulit atau penampilan (penampilanisme) sehingga cenderung berpegang pada etos kemewahan.
9. Peran orang tua sebagai pendidik di dalam keluarga dan warga komunitas dengan menggunakan bale banjar sebagai ruang pembelajaran
Peran orang tua sebagai pendidik di dalam keluarga dan warga komunitas pada bale banjar sebagai ruang bagi penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah
-
39
kultur lokal Bali bagi penyelenggaraan pendidikan di luar sekolah sangat kuat.
melemah. Hal ini digantikan oleh media, yakni TV sehingga lebih banyak mengajarkan manusia sebagai homo consumer lewat iklan dan tampilan gaya hidup para artis atau kaum selebriti.
10. Label Pulau Surga Label Pulau Neraka 11. Label Pulau Dewata Label Pulau Denawa
Sumber: Atmadja (2009: 8). Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa perubahan sosiobudaya
berdampak sangat luas pada masyarakat Bali. Dengan mengacu kepada Sanderson
(1993) perubahan tidak saja menyangkut aspek infrastruktur material dan struktur
sosial, tetapi menyentuh atau bahkan menggerogoti pula superstruktur ideologi
yang berlaku pada masyarakat Bali, yakni ideologi Tri Hita Karana. Superstruktur
ideologi merupakan aspek kognitif dan aspek evaluatif guna memberikan pedoman
bertindak bagi manusia Bali baik pada aspek struktur sosial maupun infrastruktur
material. Kekacauan pada tataran superstruktur ideologi yang berlanjut pada tataran
struktur sosial dan infrastruktur mengakibatkan banyak orang menyatakan bahwa
label indah tentang Bali, yakni Bali sebagai Pulau Sorga dan Pulau Dewata telah
bergeser menjadi Bali sebagai Pulau Neraka dan Pulau Denawa (Raksasa).
Bersamaan dengan itu maka Bali sering pula digambarkan memasuki suatu era apa
yang disebut Zaman Kali Yuga atau Zaman Keblinger (Atmadja, 2010).
3) Pariwisata Budaya
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa masyarakat Bali tidak saja mengalami
pergeseran pada tataran infrastruktur material dan struktur sosial, tetapi juga pada
tataran superstruktur ideologi, yakni ideologi Tri Hita Karana. Ideologi Tri Hita
Karana merupakan dominan yang berlaku secara lokal Bali. Ideologi ini bercampur
dengan dengan ideologi dominan yang berlaku pada ruang lingkup global, yakni
-
40
ideologi pasar. Dengan berpegang pada gagasan para pakar yang mengkaji tentang
globalisasi, kapitatalisme dan neoliberalisme, misalnya Gorz (2005), Shutt (2005),
Harvey (2009), Tormey (2005), Lull (1998), dan Wibowo (2010), ideologi pasar
yang melandasi dan atau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari globalisasi dan
kapitalisme, sangat menekankan pada kekuasaan pasar sebagai penentu
kesejahreaan hidup manusia. Kekuasaan pasar terkait dengan penyediaan
komoditas yang tersedia secara melimpah yang bisa diakses oleh siapa pun tanpa
memperhatikan perbedaan kelas sosial. Semuanya bisa bermain pada pasar.
Melalui komoditas yang disediakan oleh pasar, manusia mendapatkan kepuasan
akan keinginannya yang tidak pernah berakhir, karena secara substansial manusia
pada dasarnya adalah pabrik hasrat berjalan (Atmadja, 2010; Piliang, 2006).
Pengkonsumsian suatu komoditas lewat pasar membutuhkan uang. Uang
didapat melalui pemasaran suatu komoditas berwujud barang dan atau jasa. Tanpa
uang manusia tidak akan bisa bermain pada pasar guna memenuhi hasratnya.
Akibatnya, manusia terjebak pada pendewaan uang sehingga melahirkan
maneytheisme (Atmadja, 2010). Bersamaan dengan itu, maka apa pun bisa dijual
guna mendapatkan uang sehingga kemunculan komodifikasi atau pasarisasi dalam
kehidupan manusia tidak terhindarkan. Komodifikasi berintikan pada gagasan
bahwa apa pun produk manusia, bahkan bisa pula dirinya sendiri, adalah komoditas
atau barang dagangan yang bisa dipasarkan guna menghasilkan uang. Kepemilikan
uang amat penting, karena uang bisa dipakai untuk membeli barang dan jasa yang
tersedia di pasar. Dalam sistem ekonomi kapitalis uang bisa pula diinvestasikan
guna menghasilkan yang lebih banyak lagi (Piliang, 2006; Atmadja, 2010).
-
41
Bersamaan dengan adanya penguatan komodifikasi pada masyarakat Bali,
maka kebudayaan sebagai produk manusia secara mudah berkembang menjadi
komoditas. Komodifikasi kebudayaan tidak hanya sebagai akibat dari globalisasi,
tetapi merupakan pula dampak ikutan dari adanya pengembangan Bali sebagai
DTW. Gagasan ini sejalan dengan pendapat Pitana dan Diarta (2009), Pitana dan
Gayatri (2004), Picard (2006), Anom ed, (2010) dan Kadt ed (1979) yang melihat
bahwa komodifikasi kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengembangan pariwisata. Sebab, kunjungan wisatawan ke suatu DTW, salah satu
faktor penyebabnya terletak pada penikmatan daya tarik kebudayaan. Lebih-lebih
Bali yang terkenal sebagai DTW yang menggelobal, bertumpu pada pariwisata
budaya. Akibatnya, Bali sulit menghindarkan diri dari komodifisi kebudayaan
(Picard, 2006; Pitana dan Diarta, 2009, Pitana dan Gayatri, 2004).
Bertolak dari paparan tersebut maka dapat dikatakan bahwa gerakan
pemertahanan identitas kebudayaan etnik Bali bisa pula merupakan jawaban atas
pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang berbasiskan kebudayaan
Bali melahirkan pariwisata budaya. Orang Bali melihat pariwisata dalam konteks
asas rwa bhineda, yakni ada dampak positif dan negatifnya. Dampak negatif terkait
dengan gagasan bahwa pariwisata mengancam kelestarian kebudayaan Bali.
Dampak positif pariwisata memberikan masukan finansial bagi masyarakat Bali
yang pada akhirnya bisa mengalir ke arah pelestarian budaya Bali. Namun,
bagaimana pun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa usaha mempertahankan identitas
etnik tidak hanya bisa dilihat dari segi ketakutan akan kehilangan identitas sebagai
akibat dari globalisasi termasuk di dalamnya pariwisata, melainkan bisa pula terkait
dengan komodifikasi kebudayaan. Artinya, suatu komunitas mempertahankan
-
42
identitas kebudayaannya, baik disadari maupun tidak, memiliki pula tujuan yang
disadari maupun tidak, yakni menjadikan kebudayaan yang dimilikinya tetap
bertahan, sebab kebudayaan adalah barang dagangan yang bisa dijual guna
menjaga kejayaan sebagai DTW.
Gagasan ini diperkuat oleh temuan Atmadja, Atmadja dan Widiastuti
(2009) yang menyatakan bahwa desa-desa pada kawasan pariwisata Ubud secara
bergairah memperhatikan kebudayaan yang mereka miliki, bahkan disertai pula
dengan berbagai inovasi guna menghasilkan berbagai produk kebudayaan yang
baru, karena terdorong oleh kegiatan pariwisata. Kebudayaan adalah aset yang bisa
dijual kepada wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Perhatian mereka
terhadap kebudayaan bisa berwujud revitalisasi terhadap kebudayaan yang ada atau
bisa pula memunculkan kreativitas budaya baru yang amat menarik bagi
wisatawan, terutama dalam bentuk barang-barang cenderamata. Bahkan muncul
pula usaha melakukan revitalisasi terhadap suatu unsur kebudayaan, dengan
sasaran yang sama, yakni dijual kepada wisatawan.
Dengan demikian, berbicara tentang pemertahanan identitas kebudayaan
etnik Bali pada Desa Pakraman Ubud, paling tidak bisa dilihat dari dua perspektif,
yakni: pertama, perspektif identitas. Hal ini mengacu kepada suatu gagasan bahwa
mereka mempertahankan kebudayaan yang mereka miliki, karena mereka takut
akan kehilangan identitasnya sebagai orang Bali. Kehilangan identitas etnik berarti
mereka mati secara kultural. Kedua, perspektif komodifikasi. Perspektif ini
bermakna bahwa secara disadari maupun tidak, mereka mempertahankan
kebudayaan sebagai identitas etnik, terkait dengan kedudukan kebudayaan sebagai
komoditas yang bisa dijual pada pasar pariwisata. Kemunculan komodifikasi
-
43
kebudayaan berkaitan erat dengan daya tarik pariwisata Bali, yakni kebudayaan.
Eksistensi Bali sebagai DTW bertumpu pada pariwisata budaya. Kebudayaan Bali
berfungsi ganda, yakni tidak saja sebagai identitas etnik, tetapi juga sebagai
komoditas yang diperuntukan bagi para wisatawan mancanegara dan domestik.
4) Kedatangan Etnik Non-Bali
Bali sejak lama telah menampung migran dari luar Bali untuk mencari
nafkah di Bali. Atmadja (2010a) dan Ramstedt (2011) mencatat mereka tidak saja
bekerja pada sektor formal, yakni pegawai negeri dan swasta rantau pegawai,
tetapi juga bekerja pada sektor informal, misalnya pedagang rantau dagang.
Pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang menggelobal
mengakibatkan peluang kerja tumbuh secara berlimpah. Kondisi ini mengakibatkan
migran dari luar Bali ke Bali semakin banyak. Sebagaimana lazimnya mereka tidak
saja bekerja pada sektor formal, pegawai negeri dan pegawai swasta, tetapi begerak
pula pada sektor informal. Jumlah mereka terus bertambah dan daya sebarnya
semakin luas, tidak saja di kota, tetapi juga ke daerah-daerah pedesaan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, yakni: pertama, pendatang
dianggap menggerogoti periuk nasi orang Bali. Sebab, banyak pendatang yang
mengambil pekerjaan yang sama dengan pekerjaan orang Bali. Bahkan yang tidak
kalah pentingnya, pekerjaan yang secara ideal menurut orang Bali adalah
miliknya, justru diambil alih oleh pendatang. Misalnya, membuat banten (sesajen)
canang sari yang digunakan untuk bersembahyang di pura (Mustika, 2011;
Atmadja, 2010). Kedua, pendatang mendirikan rumah makan atau warung.
Warung ini banyak yang berlabel identitas etnik atau kedaerahan, misalnya Warung
Sunda, Warung Jawa, Rumah Makan Minang, Warung/Rumah Makan Banyuwagi,
-
44
dll. Bahkan banyak pula yang berlabel agama, misalnya Warung Muslim (Mustika,
2011: 9). Warung seperti ini merupakan saingan bagi rumah makan/warung orang
Bali. Sebab, orang Bali bisa makan pada warung seperti ini, karena mereka tidak
mengenal hukum haram dan halal. Sebaliknya, orang non-Bali yang beragama
Islam jarang makan pada warung orang Bali, karena mereka mengenal adanya
hukum haram dan halal.
Pendatang tidak saja merebut periuk nasi orang Bali, tetapi berimplikasi
pula pada aspek sosial, budaya, dan demografi. Sebab, pendatang yang bermukim
di Bali membawa pula sistem dan kebudayaan yang mereka miliki. Pada bidang
sosial orang Bali acap kali menyatakan bahwa kejahatan di Bali kebanyakan
dilakukan oleh para pendatang. Begitu pula pelacuran di Bali pada komplek
pelacuran yang bersifat semiformal bisa pula berkedok pelayan cafe yang
menjalar ke desa-desa, kebanyakan wanita dari Jawa. Aneka bentuk penyakit
sosial yang menjangkiti masyarakat Bali acap kali dikaitkan konsep pencemaran
yang dilakukan oleh pendatang. Belum terhitung lagi adanya kenyataan bahwa
jumlah pendatang yang semakin banyak, memumnculkan kekhawatiran bahwa
secara demografis etnik Bali akan terganggu.
Masalah agama tidak kalah menariknya, mengingat pendatang yang
bermukim di Bali banyak yang beragama non-Hindu, terutama Islam. Ketakutan
orang Bali terhadap agama Islam, acapkali dikaitkan dengan pengalaman
keruntuhan Majapahit yang disebabkan karena Islamisasi, mengakibatkan mereka
waspada terhadap Islam. Apalagi setelah kasus Bom Bali I dan II, citra orang non-
Bali, khsususnya yang beragama Islam sebagai aktor yang mengancam eksistensi
kebudayaan Bali sangat kuat (Atmadja, 2010, 2010a). Belum terhitung lagi adanya
-
45
kenyataan, bahwa pilihan anutan partai politik di kalangan orang Islam acap kali
berbeda daripada orang Bali. Orang Islam banyak yang memilih partai yang
berbasis agama Islam, sedangkan orang Bali memilih partai berbasis nasionalis
(Atmadja, 2003, 2010). Jadi, ada sindrom kejatuhan Majapahit yang
mengakibatkan orang Bali menerima orang Islam untuk menetap di Bali secara
setengah hati, bahkan penuh dengan kecurigaan.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa di tengah-tengah arus
globalisasi, etnik Bali tidak saja merasa diserang oleh budaya global, tetapi juga
etnik lain, baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Kesemuanya ini
dianggap membawa pengaruh negatif atau bahkan merusak kelangsungan hidup
kebudayaan Bali. Identitas etnik Bali dianggap mengalami ancaman yang serius,
sehingga etnik Bali mengalami krisis identitas. Krisis identitas membutuhkan
penanggulangan. Jika krisis identitas tidak tertanggulangi secara baik maka etnik
Bali akan mati secara kultural. Kondisi ini tentu sangat menakutkan, mengingat
bahwa identitas tidak saja sebagai penanda seseorang sebagai orang Bali dan
sekaligus untuk membedakannya dengan orang lain, tetapi terkait pula dengan jati
diri etnik Bali di tengah-tengah etnik lainnya. Kehilangan identitas yang sekaligus
berarti kehilangan jati diri tentu tidak diinginkan oleh siapa pun juga, termasuk di
dalamnya etnik Bali (Atmadja, 2010). Dengan demikian penanganan yang tepat
dan cepat guna memelihara dan atau memulihkan identitas etnik Bali, tidak saja
sangat penting, tetapi merupakan pula hal yang sangat mendesak.
Bertolak dari paparan di atas maka dapat dikemukakan bahwa berbicara
tentang kemunculan gerakan pemertahanan identitas kebalian yang berlaku pada
etnik Bali, atau Atmadja (2011c) menyebutnya sebagai suatu gerakan kultural
-
46
yang mengarah kepada re-Bali-isasi atas orang Bali, tidak bisa dilepaskan dari
hakikat identitas etnik, yakni: pertama, identitas etnik bukan sesuatu yang
membeku atau terbentuk sekali jadi, melainkan berwujud sesuatu yang bersifat cair
atau tunduk pada asas prosesual yang di dalamnya melibatkan suatu perubahan
(Barker, 2004). Artinya, identitas etnik terus berubah atau terbentuk secara
historis, lengkap dengan pasang surutnya. Kedua, sesuai dengan asas rwa bhineda
atau oposisi biner yang berlaku pada masyarakat Bali (Atmadja, 1998, 2010), maka
dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik Bali antara lain karena globalisasi
atau dampak dari kuatnya pengaruh terpaan kebudayaan global, di satu sisi
memang membawa manfaat (dampak positif), yakni kenikmatan bagi manusia Bali
karena apa yang mereka inginkan terwujudkan secara baik lewat persediaan barang
dan atau jasa lewat pasar (Tabel 2.1).
Namun, di sisi yang lain kemunculan krisis identitas tidak terhindarkan
sehingga label Bali pun bergeser, yakni dari Bali sebagai Pulau Sorga dan Pulau
Dewata berubah menjadi Bali sebagai Pulau Neraka dan Pulau Denawa (dampak
negatif atau sesuatu yang tidak diinginkan). Krisis identitas membutuhkan
penanggulangan sehingga terbentuklah gerakan pemertahanan identitas etnik atau
pada masyarakat Bali lazim disebut gerakan Ajeg Bali.
d. Ajeg Bali sebagai Gerakan Politik Identitas
Wacana Ajeg Bali memiliki sejarah yang panjang yang dekat hubungannya
dengan usaha pihak luar untuk mendefinisikan identitas Bali yang Hindu dan non-
Hindu. Ini merupakan bentukan pemerintah kolonial Belanda yang berhasil
menciptakan citra tentang Bali sebagai sebuah pulau Hindu yang terpisah dengan
Pulau Islam di sebalah Barat (Jawa) dan Timur (Lombok). Melalui pembentukan
-
47
politik identitas yang beroposisi dengan Islam ini, Belanda berhasil menanamkan
bagaimana orang Bali mendefinisikan diri mereka sendiri (Dwipayana, 2005: x-xi).
Pembentukan politik identitas dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru dengan
tujuan mendomestifikasi identitas-identitas etnik demi mengakomodasinya dalam
kerangka proses pembangunan ekonomi. Untuk itu, pemerintah Orde Baru
mempromosikan identitas provinsial yang homogen sehingga mengabaikan
keberagaman etnik di dalam tiap provinsi. Dengan kebijakan ini, tahun 1958 Bali
menjadi provinsi yang terpisah (Nordholt, 2005; Dwipayana, 2005).
Upaya pembentukan identitas terus berlanjut, terutama setelah tahun 1930,
tindakan diambil untuk menjaga Bali dalam kondisi yang asli. Pada saat yang sama
sekumpulan kategori baru diperkenalkan, di mana orang Bali diajak memikirkan
diri mereka sendiri. Dalam rangka menjaga keadaan tradisional, sebuah
perbedaan diciptakan pada tingkat desa, antara adat (tradisi) dan dinas
(administrasi), di mana adat atau tradisi dibingkai oleh agama. Sedangkan istilah
atau kategori kebudayaan dan kesenian ditambahkan selanjutnya untuk
mengatur kehidupan masyarakat Bali. Singkatnya orang Bali mulai berfikir tentang
dirinya dalam lingkup yang didefinisikan oleh orang luar yang menurut Michel
Pichard (2006) mereka memiliki budaya, yang telah berubah menjadi keberadaan
yang terpisah yang bisa diperlihatkan, dipertunjukkan dan dijual (Nordholt, 2005).
Pada masa reformasi yang sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah,
masyarakat Bali memanfaatkan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah
untuk mengedepankan kembali sistem sosial tradisional mereka, khususnya dengan
memperkuat wewenang desa pakraman atas adat dan agama yang telah dirampas
pemerintah (Picard, 2006). Dalam konteks inilah, ketika segala penyimpangan
-
48
ingin dikoreksi, maka wacana atau slogan Ajeg Bali mulai muncul di permukaan.
Hal ini dapat dipandang sebagai suatu strategi untuk membangkitkan semangat
memahami, melakukan koreksi atas apa yang telah dilakukan. Wacana dan slogan
Ajeg Bali dimunculkan oleh kelompok media Bali Post dan Bali TV, yang dengan
caranya masing-masing secara intensif terus memperkenalkan Ajeg Bali sebagai
usaha untuk menjaga Bali. Menjaga Bali adalah mengembangkan dan mengajegkan
adat dan budaya Bali (Parimartha, 2009).
Dalam perkembangannya, Ajeg Bali juga dimaknai sebagai gerakan
pemertahanan identitas etnik. Hal ini misalnya tampak dari analisis Nordholt
(2005: xxxi) yang menyebutkan, bahwa Ajeg berarti kuat, tegak, dan dengan kata
lain merupakan versi yang lebih kuat dari istilah ke-Bali-an. Di luar aspek ritual,
kampanye Ajeg Bali merupakan instrumen untuk menekankan profil etnik eksklusif
dari budaya Bali dan agama Hindu. Hal ini sekaligus juga dapat dimaknai sebagai
sebuah gerakan penguatan politik identitas di Bali setelah masa reformasi (Zuhro,
dkk., 2009).
Pemaknaan Ajeg Bali sebagai gerakan pemertahanan identitas etnik dan
pemurnian budaya juga dapat dicermati dari definisi yang dipaparkan Degung
Santikarma, sebagaimana dikutip Suryawan (2009) sebagai berikut:
Ajeg Bali mengandung gerak pemurnian budaya, yang ingin memilah antara yang asli dan yang luar. Ini tidak hanya karena benda yang asli memiliki nilai komersial yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang asli bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali. Ajeg Bali juga muncul sebagai gerakan pemertahanan identitas etnik (Suryawan, 2009: 95).
Pemaknaan lain tentang Ajeg Bali, termuat dalam Prasasasti Ajeg Bali, sebagai
berikut:
-
49
Ajeg Bali merupakan obsesi besar di tengah era kesejagatan. Bali tidak mungkin melepaskan diri dari globalisasi. Bali juga tidak akan mungkin menutup diri dari dunia luar. Tetapi manusia Bali harus tetap Bali. Mereka harus menjunjung tinggi budayanya, berupaya tetap menjaga lingkungannya dan taat pada ajaran agama yang dianutnya. Ajeg Bali yang sudah menjadi cita-cita masyarakat harus didukung oleh setiap orang Bali (Bali Post, Ajeg Bali, 2004: 17).
Kedua definisi di atas jelas menunjukkan bahwa Ajeg Bali pada dasarnya
merupakan gerakan pemertahanan identitas etnik, yakni budaya Bali yang berbasis
Agama Hindu. Karena itu, tidak mengherankan jika Atmadja (2010: 3-4)
menyebutkan Ajeg Bali sebagai gerakan kultural guna melanggengkan kultur Bali.
Aspek yang di-ajeg-kan adalah inti kebudayaan Bali, yakni ideologi Ti Hita
Karana sebagai abstraksi dari pengetahuan orang Bali dalam hal berhubungan
dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang
kesemuanya itu tidak terlepas dari agama Hindu. Kemunculan gerakan kultural
Ajeg Bali tidak bisa dilepaskan dari marginalisasi kebudayaan Bali oleh
globalisasi. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, selain globalisasi, marginalisasi
kebudayaan Bali bisa pula disebabkan oleh Indonesianisasi, yakni penyebarluasan
kebudayaan nasional, antara lain melalui pendidikan yang disponsori oleh negara
melalui pendidikan formal dan media (Atmadja, 2010).
Gerakan kultural Ajeg Bali yang diiringi dengan penguatan identitas
kebalian, diikuti oleh munculnya sikap etnosentris yang melahirkan faham
Baliisme. Dengan mengacu kepada Liliweri (2005), faham etnosentris dapat
melahirkan prasangka etnik yang berujung pada sikap resistensi terhadap nilai-nilai
luar yang masuk ke Bali. Berkenaan dengan itu, maka pendatang dari luar Bali
atau etnik non-Bali dan non-Hindu yang bermukim di Bali dicurigai sebagai
ancaman bagi identitas kebalian etnik Bali. Kehancuran basis ekonomi akibat Bom
-
50
Bali I dan II berimplikasi luas dan kompleks pada komponen struktur sosial dan
superstuktur ideologi masyarakat Bali. Akibatnya muncullah sikap etnosentrisme
pada masyarakat Bali, yang dipicu oleh kenyataan bahwa pelaku Bom Bali adalah
orang luar Bali yang kebetulan beragama Islam.
Setelah peristiwa Bom Bali I dan II, pemaknaan Ajeg Bali sebagai sebuah
gerakan pemertahanan identitas etnik ditujukan pula pada gagasan pertahanan dan
keamanan Bali dari teror. Gagasan ini dapat dicermati dari konsep pemahaman
Ajeg Bali berikut:
Ajeg Bali berarti kita sebaiknya kembali ke asal, kembali ke Bali yang murni dan damai, di mana semuanya teratur dan asli. Ajeg berarti Bali aman, dan mampu melawan teroris. Ajeg Bali menawarkan pada kita sebuah jawaban pada modernisasi tanpa isi (Bali Post, 2004, sebagaimana dikutip Nordholt, 2005: xxxi).
Berdasarkan definisi tersebut tidak mengherankan jika Picard (2006)
menyatakan bahwa ungkapan Ajeg Bali maknanya berbeda daripada ungkapan
identitas Bali sebelumnya. Jelas bahwa sejak serangan Oktober 2002, orang Bali
bersikap membela diri, karena mereka merasa diserang dari mana-mana; entah oleh
mondialisasi, pariwisata, Jakarta, para pendatang, agama Islam, terorisme, dll.
Agresi ini telah menghadirkan rasa lemah mereka sebagai minoritas etnik dan
religius di negara Indonesia. Orang Bali tidak hanya rugi dari segi ekonomi, tapi
mungkin lebih-lebih lagi, mereka merasa dihina kehormatannya, bahkan dihina
kejantanannya. Dari situ, pengungkapan identitas yang bersifat reaksional dan
militan, jauh lebih eksklusif dibandingkan dengan pengungkapan ke-Bali-an
sebelumnya (Picard, 2006: 300). Fakta ini kemudian menimbulkan pemaknaan
yang hipergeneralisasi, tercermin pada penyamaan bahwa Islam identik dengan
kekerasan, dan bahkan identik dengan terorisme. Lebih jauh fakta ini juga
-
51
mengganggu hubungan antara umat Hindu dan Islam di Bali yang secara historis
sangat baik dan harmonis, tercermin dari penggunaan idiom Nyama Bali-
Nyama Selam. Di sisi lain fakta ini juga memunculkan ide terhadap upaya
pembatasan ruang nafkah bagi orang luar Bali (pendatang). Ide tersebut
terwujud dengan munculnya apa yang disebut debaksoisasi, yakni pembebasan
Bali dari pedagang bakso keliling orang-orang Jawa yang semula menyebar luas di
kota-kota, bahkan sampai ke pedesaan (Atmadja, 2008: 2).
Dengan mengacu pada perkembangan pemikiran tersebut, baik dari segi
pemaknaaan maupun ruang geraknya, Ajeg Bali dalam konteks penelitian ini tetap
dikembalikan pada ide dasarnya, yakni gerakan kultural pemertahanan identitas
etnik Bali, berikut pemertahanan identitas lainnya yakni identitas budaya, agama
Hindu, tradisi, adat-istiadat dan sebagainya. Pemertahanan ini dimaksudkan
sebagai penangkal adanya pengaruh dari luar, baik yang diakibatkan oleh
komodifikasi pariwisata maupun globalisasi. Ini sejalan dengan tujuan dari
perkembangan pariwisata di Bali umumnya, dan di kawasan Ubud khususnya,
yang lebih mengedepankan pada pariwisata budaya.
Pariwisata budaya telah menjadikan orang Bali sadar akan budayanya,
meski pada realitasnya seperti yang dicemaskan Picard (2006), begitu budaya Bali
diistimewakan dan diagungkan oleh wisatawan, maka ia sekaligus diobjektifkan
dan dipasarkan kepada bangsa lain. Untuk itulah dimunculkan gerakan Ajeg Bali
sebagai upaya pemertahanan identitas etnik yang secara konkrit mewujud dalam
upaya pemertahanan agama Hindu dan kebudayaan Bali agar tidak tergerus oleh
budaya global. Namun bagaimana pun juga pemertahanan identitas etnik tersebut
-
52
sekaligus diperlukan pula sebagai komoditas kebudayaan Bali dalam konteks
pariwisata.
2. Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial antara lain dikembangkan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman (1990). Teori ini pada intinya mengulas masyarakat dalam
realitas obyektif dan masyarakat sebagai realitas subyektif. Berger memandang
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
Dialektika tersebut berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan,
yakni: eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai
produk manusia), obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang
dikembangkan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi
(individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi
soaial tempat invidu menjadi anggotanya).
Ajeg Bali adalah sebuah konstruksi sosial dalam rangka pemertahanan
identitas etnik Bali, yakni kebudayaan Bali. Pencapaian sasaran ini tidak terjadi
secara otomatis, melainkan mutlak membutuhkan aktivitas, yakni pendidikan.
Gagasan ini diperkuat dengan teori konstruksionis yang berpendapat bahwa
identitas budaya seseorang merupakan intelectual artefact or cultural contruct.
Identitas bukan produk dari alam, nature, melainkan konsekuensi dari pendidikan
dan pembelajaran, nurture (Maliki, 2010: 184).
a. Pendidikan sebagai Agen Sosialisasi dan Enkulturasi
Dengan mengacu kepada Atmadja dan Atmadja (2010d) pendidikan sebagai
suatu proses konstruksi, pada dasarnya mengarah pada usaha menjadikan manusia
agar menjadi makhluk dewasa. Kata dewasa berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
-
53
dewa dan sya [sa] yang berarti memiliki karakter seperti dewa atau dewata.
Jadi, pendidikan sebagai proses pendewasaan, bermakna menjadikan manusia
memiliki sifat-sifat luhur tak ubahnya seperti dewa atau dewata. Berkenaan dengan
itu maka pendidikan pada dasarnya bisa disebut sebagai suatu proses dewaisasi
atau dewataisasi (Atmadja dan Atmadja, 2010d). Manusia berkepribadian
menyerupai dewa berpedoman pada kebudayaan berwujud gagasan yang berlaku
dalam suatu masyarakat, atau Geertz (1999) menyebutnya dengan istilah aspek
kognitif dan aspek evaluatif atau disebut pula kebudayaan sebagai tatanan
kenyataan ideasional. Kebudayaan yang ditanamankan adalah warisan leluhur.
Karena itu, tidak mengherankan jika Duverger (1982: 365) menyatakan bahwa
tujuan utama dari pendidikan adalah mewariskan kepada generasi yang baru,
semua pengalaman peradaban yang dikembangkan oleh generas-generasi
terdahulu. Dalam perspektif etnisitas maka aspek yang diwariskan secara lintas
generasi tentu saja adalah hal-hal yang berkaitan dengan apa yang menjadi identitas
suatu etnik.
Kebudayaan sebagai aspek kognitif dan aspek evaluatif yang diwariskan
secara menggenerasi amat penting, baik dilihat dari segi identitas etnik maupun
kemanfaatannya sebagai resep bertindak atau habitus (Bourdieu dalam Widja,
2009) bagi pendukungnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kelangsungan hidup suatu masyarakat sangat bergantung pada sejauh mana
warganya mampu mempertahankan kelangsungan kebudayaan yang dimilikinya
secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, peran pendidikan tidak bisa diabaikan,
mengingat, pendidikan sebagai proses dewaisasi secara substansial berujung pada
pewarisan kebudayaan dengan harapan yang bersangkutan bisa bertindak secara
-
54
baik dan benar dalam sistem sosial. Karena itu, Tilaar (2009) dan Koentjaraningrat
(1984) menyebut pendidikan sebagai enkulturasi atau pembudayaan. Pemakaian
istilah pembudayaan berkaitan dengan adanya kenyataan bahwa secara substansial
pendidikan pada dasarnya adalah mempelajari kebudayaan. Artinya, warga
masyarakat mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan
sistem nilai, norma, adat istiadat dan peraturan-peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1983: 236).
Pendidikan sebagai proses enkultusai tidak sebatas penanaman kebudayaan,
yakni aspek kognisi dan aspek evaluatif dalam pikiran, tetapi berlanjut pula pada
bagaimana mempraktikkan atau mengeksternalisasikannya dalam bentuk tindakan
sosial. Dalam konteks ini manusia yang berkarakter dewasa memiliki ciri-cira
karakter sebagai dewa, harus berlanjut pada kemampuan bertindak secara baik dan
benar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini merupakan suatu keharusan,
mengingat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga homo socius
atau manusia sebagai makhluk sosial. Bertolak dari gagasan ini maka pendidikan
tidak saja bisa disebut sebagai proses enkulturasi atau pembudayaan, tetapi bisa
pula disebut proses sosialisasi. Artinya, ... dalam proses ini seseorang individu
dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi
dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam
peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehar-hari (Koentjaraningrat,
1983: 232). Dengan berpegang pada gagasan ini, maka tepat pendapat Samovar,
Porter dan McDaniel (2010: 392) yang menyatakan bahwa ...budaya tidak bisa
dipisahkan hubungannya dari pendidikan; orang yang dibesarkan dalam budaya
akan belajar sesuai dengan apa yang dibutuhkan budaya mereka.
-
55
Nilai-nilai dan norma-norma tidak bisa dilepaskan dari ideologi dominan
dalam masyarakat dan negara. Adapun yang dimaksud dengan ideologi adalah
sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh
kelompok tertentu (Oneil, 2001: 3). Berkenaan dengan itu wajar jika ideologi
ditempatkan pada aspek superstruktur dalam sistem sosiobudaya (Sanderson, 1993;
Bottomore, 1999). Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari posisi ideologi bagi
manusia, yakni sebagai sumber dan arah bagi pengembangan nilai-nilai yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Fudyatanta, 2006: Tilaar,
2009; Muhmidayeli, 2011). Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika
pendidikan lazim pula disebut sebagai proses ideologisasi, yakni sebagai proses
yang terencana dan sistematis guna melanggengkan ideologi dominan yang berlaku
dalam masyarakat maupun negara (Atmadja, 2010c; Widja, 2009).
Pada tataran lokal masyarakat Bali mengenal ideologi Tri Hita Karana
(Atmadja, 1998). Ideologi Tri Hita Karana merupakan landasan dan arah bagi
penyelenggaraan pendidikan guan mewujudkan orang Bali yang dianggap ideal.
Sebaliknya, pada tataran nasional Indonesia mengenal ideologi negara Pancasila
(Fudyatanta, 2006). Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan hasil konsensus
nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus diwujudkan atau
diselenggarakan dalam konteks Bhineka Tunggal Ika, yang artinya meskipun
berbeda tetapi tetap satu (unity in diversity) (Rohman, 2009: 41). Dengan demikian,
pendidikan tidak saja mencakup enkulturasi dan sosialisasi, tetapi terkait pula
dengan ideologisasi. Artinya, melalui pendidikan diwujudkan manusia dewasa
yang ditandai oleh anutan yang kuat terhadap ideologi (Tri Hita Karana dan
-
56
Pancasila), nilai-nilai, dan norma-norma yang tercermin pada tindakan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Bertolak dari pentingnya pendidikan baik dalam konteks sosialisasi dan
enkulturasi maupun ideologisasi, maka tidak mengherankan jika setiap masyarakat
memiliki berbagai lembaga yang secara langsung maupun tidak mengemban peran
sebagai agen pendidikan. Agen pendidikan berperan mengiringi keberadaan suatu
masyarakat yang berlangsung secara menggenerasi melalui sistem pewarisan
sehingga melahirkan apa yang disebut agen pendidikan tradisional (Atmadja,
2010a).
b. Masyarakat sebagai Agen PendidikanTradisional
1) Sistem Pendidikan Tradisional pada Masyarakat Bali
Dengan berpegang pada berbagai kajian tentang Bali (Atmadja, 2010a,
2010b, 1998; Geertz dan Geertz, 1975; Danandjaja, 1982) ada berbagai agen
sosialisasi tradisional yang berperan penting guna mewujudkan orang Bali yang
berkarakter Bali. Karakter orang Bali mengacu kepada kebudayaan Bali yang
berlandaskan agama Hindu. Akibatnya, kebudayaan Bali memiliki ciri khas jika
dibandingkan dengan kebudayaan etnik lainnya. Kebudayaan adalah hasil ciptaan
manusia dan diwariskan melalui proses belajar atau sosialisasi dan pembudayaan.
Dengan demikian kebudayaan bukan warisan biologis, melainkan warisan sosial
yang bersifat lintas generasi (Geertz, 1972). Pembentukkan kebudayaan sebagai
warisan sosial membutuhkan sistem pendidikan secara tradisional. Pendidikan
sebagai sistem terdiri dari berbagai komponen. Adapun komponen-komponen
yang tercakup dalam sistem pendidikan tradisional Bali guna mewujudkan manusia
berkarakter kebalian dapat dilihat pada Bagan 2.1
-
57
Bagan 2.1 Pemertahanan Budaya Bali Berbasis Agama Hindu Melalui
Berbagai Agen Pendidikan Tradisional
Agama Hindu
Panca Sraddha Tiga Kerangka Agama
1. Percaya kepada Brahman
2. Percaya kepada Atman
3. Percaya kepada Punarbhawa
4. Percaya kepada Karmaphala
5. Percaya kepada Moksha
1. Tattwa
2. Etika
3. Upakara
Panca Yadnya
1. Dewa Yadnya
2. Pitra Yadnya
3. Manusa Yadnya
4. Resi Yadnya
5. Bhuta Yadnya
Kebudayaan Bali Berintikan
Tri Hita Karana
Agen Pendidikan
1. Kuren/ Dadia
2. Desa Pakraman
3. Subak
4. Desa Dinas
5. Sekaa
6. Geriya
7. Puri
Metode Pembelajaran
1. Pembelajaran melalui nyanyian rakyat
2. Pembelajaran melalui ceritera rakyat
3. Pembelajaran melalui permainan rakyat
4. Pembelajaran melalui pemberian contoh
dan pemraktekan
Sasaran: mewujudkan manusia
berkebudayaan Bali (Baliisasi)
dalam konteks Ajeg Bali.
-
58
Bagan 2.1 menunjukkan bahwa secara tradisional masyarakat Bali
mengenal berbagai agen sosialisasi guna membalikan orang Bali. Dengan mengacu
kepada Geertz dan Geertz (1975) agen-agen sosialisasi pada masyarakat Bali terdiri
dari kuren dan dadia, desa pakraman, desa dinas, subak, dan sekaa. Namun
menurut Atmadja (2010b) agen-agen sosialisasi tersebut kurang lengkap, karena
mengabaikan dua agen lainnya, yakni geriya dan puri. Dengan demikian
masyarakat Bali mengenal tujuh agen sosialisasi, yakni kuren dan dadia, desa
pakraman, desa dinas, subak, sekaa, geriya dan puri. Dalam melaksanakan
perannya agen-agen tersebut bisa saling berkaitan satu sama lainnya atau
berhubungan secara fungsional guna mempertahankan identitas etnik Bali.
2) Agen-agen Pendidikan Tradisional pada masyarakat Bali
Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Bali mengenal sistem
pendidikan tradisional, yakni kegiatan bersifat sistematis yang dilakukan secara
turun-temurun dalam konteks mengonstruksi secara sosial guna membentuk orang
Bali yang berbudaya Bali. Kegiatan ini melibatkan berbagai agen pendidikan, baik
secara kelembagaan maupun secara individual. Adapun makna dari agen-agen dan
bagaimana fungsinya dalam konteks pemertahanan identitas etnik Bali dapat
dicermati pada uraian sebagai berikut.
a) Kuren dan Dadia
Agen sosialisasi yang pertama dan utama pada masyarakat Bali adalah
kuren atau keluarga batih. Semiawan (2009) dan Matsumoto (2004) menyebutkan
peran keluarga dalam bidang pendidikan tidak bisa dinafikan. Tanpa keluarga
penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tidak akan terwujudkan
secara berkelanjutan. Kuren-kuren sebagai keluarga batih membentuk dadia, yakni
-
59
klen kecil patrilineal (Koentjaraningrat, 1982). Kuren yang tergabung dalam dadia
lazim membentuk sekaa dadia, sekaa dewa, dan sebutan-sebutan lainnya. Dengan
demikian masyarakat yang tergabung dalam sekaa dadia ini termasuk masyarakat
hukum adat geneologis. Mereka diikat oleh suatu tempat persembahyangan
bersama yang merupakan tempat roh leluhur mereka bersemayam, yang disebut
pura dadia, sanggah gede, dan sebutan lainnya.
Aktivitas utama kelompok dadia ini adalah kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan sosial keagamaan yang ditujukan pada roh leluhur dan dewa-
dewa Hindu. Dalam konteks inilah mereka sangat intensif menanamkan
kebudayaan Bali yang berbasiskan agama Hindu. Dadia tidak saja memiliki
anggota dan pengurus, tetapi juga harta kekayaan tersendiri. Bahkan yang tidak
kalah pentingnya, dadia sering pula melahirkan suatu orgainsasi yang disebut
sekaa dadia. Organisasi seperti ini memiliki awig-awig yang dibuat oleh dan untuk
mengikat anggota kelompok dadia, sehingga dapat diklasifikasi sebagai
masyarakat hukum (Windia dan Sudantra, 2006: 72).
b) Desa Pakraman
Desa Pakraman berperanan penting dan menjadi basis bagi
penyelenggaraan sosialisasi dalam konteks gerakan Ajeg Bali. Hal ini tidak terlepas
dari fungsi, tanggung jawab dan wewenang desa pakraman, yakni sebagai wadah
bagi pelestarian kebudayaan Bali yang berbasiskan agama Hindu. Untuk itu, posisi
desa pakraman amat kuat, karena didukung oleh struktur dan kultur yang mapan,
disertai dengan kemampuan untuk melakukan kontrol sosial bagi warganya.
Karena itu, tidak mengherankan jika desa pakraman lazim disebut republik kecil
(Covarrubias, 1972).
-
60
Desa pakraman memiliki aneka fungsi antara lain membina dan
mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan
mengembangkan kebudayaan Bali, berdasarkan paras paros salunglung sabayan
taka atau musyawarah mufakat. Dalam upaya pemertahanan dan pelestarian
warisan budaya Bali, desa pakraman berupaya menjaga dan memelihara nilai-nilai
adat dan budaya masyarakat Bali terutama nilai etika, moral, dan peradaban yang
merupakan inti adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali agar keberadaannya tetap
terjaga dan berlanjut (Sirtha, 2008).
Berdasarkan peran dan fungsinya tersebut jelas terlihat bahwa desa
pakraman merupakan basis dari segala kegiatan adat-istiadat, agama, budaya dari
segenap krama atau warga desa. Kegitan adat, agama dan kebudayaan sangat
intensif yang melibatkan warga desa pakraman secara kolektif. Bersamaan dengan
adanya penyelenggaraan aktivitas adat dan agama, maka terjadi pemertahanan
identitas etnik melalui sosialisasi, enkulturasi dan ideologisasi. Pendek kata,
pemertahanan identitas etnik Bali merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
tugas, wewenang dan tanggung jawab desa pakraman bersama krama desa-nya.
Mengacu padateori fungsionalis struktural (Ritzer dan Goodman, 2004) dapat
dikatakan bahwa di balik apa yang dilakukan oleh desa pakraman ada fungsi latent
yang tidak bisa diabaikan, yakni mendidik warganya agar selalu mempertahankan
identitas etnik Bali, yakni kebudayaan Bali yang bernafaskan agama Hindu.
c) Desa Dinas
Berbeda dengan desa pakraman yang mengatur masalah adat dan agama,
maka desa dinas mengatur urusan administrasi yang berhubungan dengan
pelaksanaan pemerintah desa di bawah kecamatan (Sirtha, 2008: 2). Berdasarkan
-
61
fungsinya tersebut maka desa dinas lebih banyak berhubungan ke luar, yakni
dengan negara/pemerintahan formal. Walaupun demikian, desa dinas bisa
bersinergi dengan instansi-instansi pemerintah dalam menangani berbagai masalah
yang terkait dengan budaya dan agama, misalnya Dinas Kebudayaan, Dinas
Agama, dan Dinas Pendidikan. Begitu pula sebaliknya, jika dipandang perlu, maka
desa pakraman pun bisa berkoordinasi dengan desa dinas dalam konteks
pemertahanan kebudayaan Bali dan agama Hindu. Sebagaimana dikemukakan
Atmadja (1998), walaupun arena desa pakraman dan desa dinas berbeda perannya,
namun keduanya bisa berhubungan secara koordinatif. Kondisi ini bisa terjadi,
mengingat di balik perbedaan peran, keduanya memiliki titik temu, yakni menjaga
kedamaian komunitas desa berbasiskan kebudayaan Bali dan agama Hindu.
d) Subak
Dalam konteks pemertahanan identitas etnik, maka keberadaan subak
sangat penting. Gagasan ini berkaitan erat dengan adanya kenyataan, yakni selain
merupakan organisasai adat khas Bali, secara fisik keberadaan subak juga
menunjukkan eksistensi budaya agraris yang merupakan budaya asli masyarakat
Bali sejak abad ke-10, yakni sejak Bali diperintah oleh raja-raja Bali Kuno pada
masa pemerintahan Dinasti Warmadewa (Goris, 1974; Budiastra, 1977).
Betapa pentingnya fungsi subak dipertegas melalui Peraturan Pemerintah
No. 23 Tahun 1982 yang merumuskan subak sebagai masyarakat hukum adat
yang bersifat sosial-religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai
organisasi di bidang tataguna air di tingkat usaha tani (Goris, 1974: 307).
Pengertian yang senada dapat dilihat dalam Perda Bali No. 02/PD/DPRD/1972
tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali, yang merumuskan bahwa; subak adalah
-
62
masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosial-religius, yang terdiri atas para
petani yang menggarap sawah pada areal persawahan dan mendapatkan air dari
suatu sumber. Subak sebagai institusi tradisional Bali juga berasaskan ideologi
Tri Hita Karana, terlihat pada ciri-ciri sebagai berikut.
(1) Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (awig-awig), baik tertulis maupun tidak tertulis
(2) Subak memiliki suatu sumber air bersama. Sumber air tersebut dapat berupa bendung (ampelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi
(3) Subak mempunyai areal persawahan (4) Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal (5) Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau Pura Subak (pura
yang berhubungan dengan kesuburan) (Windia dan Sudantra, 2006: 61).
Berdasarkan sejumlah ciri dasar mengenai subak tersebut, tampak bahwa
secara garis besar subak mengandung tiga unsur pokok, yakni; (1) unsur religius,
(2) unsur sosial, dan (3) unsur fisik. Ini sejalan dengan ideologi Tri Hita Karana, di
mana subak unsur Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dengan adanya
kenyataan ini maka subak tidak sekedar ada sebagai suatu organisasi tradisional,
tetapi merupakan pula wadah penting bagi pemertahanan kebudayaan Bali lewat
berbagai kegiatan yang dilakukannya yang melibatkan anggota subak.
e) Sekaa
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali juga hidup organisasi-
organisasi tradisional yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus atas dasar
kepentingan dan tujuan bersama yang disebut sekaa. Ada sekaa-sekaa yang
fungsinya menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara keagamaan yang
berkaitan dengan desa dan di pura, misalnya sekaa baris (perkumpulan tari baris),
-
63
sekaa teruna (perkumpulan pemuda), sekaa daha (perkumpulan gadis-gadis),
sekaa pesantian, dsb. Sekaa dalam arti ini memiliki sifat permanen, tetapi ada pula
sekaa-sekaa yang bersifat sementara, yakni sekaa-sekaa yang didirikan
berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu. Mereka beraktivitas dalam bermacam-
macam kegiatan, ada yang berdasarkan pekerjaan, kegemaran, dan lain-lain. Nama
sekaa itu kemudian disesuaikan dengan kegiatan kelompok tersebut, seperti
misalnya di bidang pertanian dikenal adanya sekaa numbeg (perkumpulan
memacul), sekaa memula (perkumpulan menanam padi), sekaa manyi
(perkumpulan menuai), dsb. Dalam bidang kesenian dikenal adanya sekaa gong
(perkumpulan gamelan), sekaa nupeng (perkumpulan tari topeng), sekaa ngigel
(perkumpulan menari), dsb. Dalam bidang sosial ekonomi terdapat sekaa nukang
(perkumpulan tukang bangunan) (Bagus, 2007; Windia dan Sudantra, 2006).
Dalam rangka pemertahanan identitas etnik keberadaan sekaa sangat
penting. Sebab, melalui sekaa identitas etnik Bali, misalnya kesenian dalam
berbagai bentuknya, misalnya seni tari, tabuh, kerawitan, dan lain-lain tetap hidup
dan bertahan. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bersamaan dengan adanya
kegairahan masyarakat Bali dalam mengkaji teks sastra keagamaan mereka
mengenal sekaa shanti. Sekaa shanti merupakan perkumpulan yang secara khusus
mengkaji teks sastra agama Hindu untuk dicari tahu maknanya, baik makna
denotatif maupun makna konotatifnya guna dipakai sebagai pedoman bertindak
dalam kehidupan bermasyarakat (Atmadja, 2010a).
f) Puri
Gelebet (1986), Budihardjo (1991) dan Munandar (2005: 1) menyebutkan,
bahwa masyarakat Bali mengartikan puri sebagai tempat tinggal kaum ksatria atau
-
64
golongan yang memegang pemerintahan atau rumah bangsawan yang dihormati di
suatu daerah. Pada masa berjayanya kerajaan-kerajaan di Bali, puri memiliki
makna penting dalam kehidupan sosial, religius dan politik masyarakat Bali.
Sebagaimana dikemukakan Geertz (1980: 130) bahwa puri adalah bangunan tempat
tinggal raja yang pantas dihormati dan bahkan disucikan. Puri juga merupakan
tempat bertemunya dewa-dewa dengan masyarakat dan tempat bertemunya
penguasa dengan bagsawan lainnya. Dewasa ini, walaupun puri telah kehilangan
legitimasi politisnya secara formal, namun kekuasaan puri secara informal tetap
kuat. Kondisi ini tampak misalnya di Kabupaten Gianyar, bupatinya berasal dari
puri, yakni Puri Ubud. Dengan cara ini puri tetap bisa mempertahankan legitimasi
kekuasaannya dengan memadukan model legitimasi modern, yakni asas demokrasi
dan legitimasi tradisional, yakni budaya politik dewa-raja (Atmadja, 2010).
Pemertahanan identitas etnik Bali tidak bisa dilepaskan dari peran puri.
Gagasan ini berkaitan erat dengan eksistensi puri, yakni tidak saja sebagai rumah
tinggal golongan ksatrya atau kelas penguasa, tetapi seperti dikemukakan
Abdulllah (2006: 59) puri atau kraton merupakan pula pusat kebudayaan. Bahkan
yang tidak kalah pentingnya, dengan mengacu kepada Lombard (2005) dan
Atmadja (2010a) puri merupakan pula pusat teladan bagi masyarakat Bali. Dalam
konteks ini puri mengembangkan kebudayaan Bali secara intensif, lalu
memancarkannya ke daerah-daerah di luar puri. Dengan adanya kenyataan ini tidak
mengherankan jika puri bisa diposisikan sebagai lembaga penting dalam rangka
menyokong pemertahanan identitas etnik Bali. Kekuatan puri sebagai arena sosial
bagi pelembagaan dan penyebarluasan kebudayaan Bali terkait pula dengan tautan
antara puri dan masyarakat Bali, yakni bersifat tautan tuan-hamba, patron-klien,
-
65
bapak-anak buah atau Atmadja (2010a) menyebutnya dengan istilah tautan gusti-
panjak. Hubungan ini bersifat hegemonik sehingga apa yang dikemukakan oleh
puri acap kali masih diperhatikan, paling tidak pada komunitas di sekitar puri.
g) Geriya
Geriya merupakan bangunan tempat tinggal yang disucikan masyarakat
Bali, yang memiliki makna sosial-religius. Geriya merupakan tempat tinggal
golongan Brahmana. Dalam agama Hindu yang menganut sistem Catur Warna
atau penggolongan berdasarkan profesi/pekerjaan, golongan Brahmana memiliki
kedudukan tertinggi karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan.
Geriya merupakan pusat pemertahanan dan pengembangan agama Hindu yang
teraktualisasi dalam berbagai bentuk tradisi keagamaan.
Pemertahanan identitas etnik Bali tidak bisa dilepaskan dari peran geriya.
Geriya memiliki posisi penting, yakni sebagai pusat kekuatan magis dalam konteks
pengembangan agama Hindu. Fungsi geriya memang lebih banyak terkait dengan
penyelenggaraan ritual. Namun, di balik praktik ritual yang mereka lalukan atas
permintaan sisya, maka fungsi latent dalam konteks pendidikan agama Hindu dan
kebudayaan Bali tidak bisa diabaikan. Geriya adalah penjaga tradisi sehingga
meminjam gagasan Abdullah (2006: 59) geriya merupakan pula pusat kebudayaan.
Posisi ini menyatu dengan kuren, dadia, dan desa pakraman. Gagasan ini tidak bisa
dilepaskan dari adanya kenyataan, bahwa pelaksanaan ritual sebagai wujud
pemertahanan tradisi agama Hindu pada tataran kuren, dadia dan desa pakraman,
membutuhkan pemimpin ritual antara lain berasal dari orang geriya yang
memenuhi persyaratan lewat upacara inisiasi yang disebut diksa. Diksa melahirkan
-
66
pemimpin agama yang disebut pinandita atau jika yang bersangkutan berasal dari
kaum Brahmana disebut pedanda atau peranda.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara tradisional,
masyarakat Bali tidak hanya mengenal lima agen pendidikan seperti dikemukakan
Geertz dan Geertz (1975), melainkan perlu ditambah dengan dua agen lainnya
sehingga jumlahnya menjadi tujuh agen pendidikan, yakni keluarga batih (kuren)
dan dadia, desa pakraman, subak, desa dinas, sekaa, geriya, dan puri. Dalam
melakukan perannya maka agen-agen pendidikan bisa saling berkaitan atau
berhubungan secara fungsional guna mewujudkan tujuan yang diidealkan, yakni
manusia berkebudayaan Bali dalam konteks Ajeg Bali.
3) Metode Pembelajaran Tradisional pada Masyarakat Bali
Pencapaian sasaran tersebut membutuhkan metode pembelajaran, yakni
cara-cara yang digunakan agar tujuan pendidikan tercapai secara baik (Yamin dan
Maisah, 2010). Bagan 2.1 menunjukkan ada beberapa metode pembelajaran
tradisional pada masyarakat Bali, yakni pertama, pembelajaran melalui nyanyian
rakyat (melajah sambilang magending). Untuk itu, masyarakat Bali mengenal
berbagai bentuk nyanyian rakyat yang menggunakan aneka tembang. Kedua,
pembelajaran melalui ceritera rakyat (melajah sambilang masatua). Dalam konteks
ini Bali sangat kaya akan ceritera rakyat baik yang berbentuk dongeng, legenda
maupun mitos. Ketiga, pembelajaran melalui permainan rakyat sehingga tidak
mengherankan jika Bali memiliki banyak permainan rakyat. Keempat,
pembelajaran melalui pemberian contoh dan pemraktekkan. Penerapan metode
pembelajaran ini membutuhkan peran orang tua yang berkedudukan sebagai model
yang sekaligus mengontrol keberhasilan pengetahuan dan keterampilan yang
-
67
dilembagakan lewat pendidikan (Atmadja, 2010e). Penerapan metode-metode
pembelajaran ini bisa berlangsung secara terpadu, misalnya nyanyian rakyat
bergabung dengan permainan rakyat. Namun, apa pun bentuk metode pembelajaran
yang digunakan dan bagaimanapun penerapannya pada masyarakat Bali, tujuannya
sama, yakni membalikan orang Bali dalam konteks Ajeg Bali.
Dengan mengacu kepada Harahap (2011), Danandjaja (1989) dan
Endraswara (2010) maka dapat dikemukakan bahwa apa pun bentuk metode
pembelajaran yang berlaku pada masyarakat Bali, termasuk ke dalam foklor.
Metode pembelajaran tradisional sebagai foklor terkait dengan prasana dan sarana
pembelajaran. Dalam konteks inilah permainan rakyat, ceritra rakyat, nyanyian
rakyat, dan berbagai bentuk teknologi pembelajaran tradisional lainnya, tidak
hanya berfungsi rekreatif, melainkan bisa pula berfungsi edukatif. Artinya, melalui
permainan rakyat, ceritra rakyat, dan nyanyian rakyat warga suatu komunitas,
selain mendapatkan hiburan yang menyenangkan, terkandung pulakeinginan untuk
menyampaikan dan menananamkanpesan moralitas dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup sistem sosiobudaya yang mereka miliki. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa setiap masyarakat mengenal sistem pendidikan
tradisional yang di dalamnya mencakup metode pembelajaran tradisional.
Pemakaian metode ini tertuju pada pemertahanan asas moralitas guna menjaga
kelangsungan hidup sistem sosiobudaya dalam suatu komunitas.
4) Agama Hindu dan Kebudayaan Bali sebagai Bahan Ajar
Bagan 2.1 menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat Bali tidak bisa
dilepaskan dari agama Hindu. Penduduk Bali mayoritas adalah etnik Bali beragama
Hindu. Agama Hindu merupakan dasar keyakinan masyarakat Bali. Artinya, semua
-
68
bidang kehidupan, pola perilaku dan sistem tindakan masyarakat Bali senantiasa
mencerminkan implementasi ajaran agama Hindu.Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa basis kebudayaan Bali adalah agama Hindu. Pengaruh agama
Hindu amat kuat pada etnik Bali. Akibatnya, tidak mengherankan jika agama
Hindu diposisikan pula sebagai identitas etnik Bali, tanpa mengabaikan identitas
lainnya, yakni kebudayaan yang di dalamnya mencakup bahasa Bali, tata nama,
pakaian, dan sebagainya (Windia dan Sudantra, 2006: 2).
Bertolak dari kenyataan ini maka tidak mengherankan jika ada beberapa
konsep dasar dalam agama Hindu yang sangat intensif ditanamkan melalui
pendidikan. Gagasanini tidak bisa dilepaskas dari adanya kenyataan, bahwa realitas
kebudayaan Bali secara substansial merupakan representasi dari konsep-konsep
tersebut. Adapun konsep-konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Panca Sraddha Dasar Keimanan Agama Hindu
Ajaran agama Hindu memiliki lima dasar keyakinan sehingga disebut
Panca Sraddha. Sraddha (keyakinan) adalah landasan kepercayaan Hindu yang
bersumberkan pada pustaka suci Weda, yang tersebar dalam naskah-naskah Sruti,
baik dalam bagian Brahmana, Upanisad, maupun dalam Bhagawad Gita. Dengan
memahami dasar Sraddha sebagai landasan kepercayaan, maka cakrawala pandang
dari masing-masing pribadi akan bertambah luas, sebagaimana halnya dengan
luasnya ajaran Weda yang sifatnya kekal dan abadi itu. Untuk itu, sebagai pijakan
dasar berpikir, diperlukan suatu sikap netral tanpa prasangka, agar tidak
mempersempit data penalaran dan intuisi sebagai penimbang dan penopang dalam
memahaminya (Maswinara, 1996; Wiana, 2004; Sukardana, 2009).
-
69
Seperti telah disebutkan di atas, Sraddha yang bersumberkan pada kitab
suci Weda tersebar dalam naskah-naskah Sruti, baik dalam bagian Brahmana,
Upanisad, maupun dalam Bhagawad Gita. Dasar-dasar keyakinan yang terdapat
dalam kitab-kitab suci tersebut adalah berjenjang sesuai dengan tahapan
kemampuan kesadaran spiritual dari masing-masing penganut secara pribadi,
karena bagaimanapun juga perkembangan kesadaran dari masing-masing pribadi
itu tidak akan sama persis, tergantung pada beberapa faktor penentu yang
mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu sangat
penting disadari, karena evolusi spiritual dari setiap pribadi adalah berbeda-beda,
sesuai dengan wasana karma dan samskara-nya (Maswinara, 1996: 33).
Secara sederhana, Sradha yang terdapat dalam kitab-kitab suci tersebut
dikelompokkan beberapa point tertentu, sehingga dari keseluruhan uraian dasar
tersebut dapat disusun suatu daftar Sraddha pokok sebagai tulang punggung
keyakinan Hindu tentang segala keberadaan, perubahan serta keterbatasannya. Dari
pengelompokan tersebut terbentuklah lima Sraddha pokok, yang kemudian dikenal
dengan Panca Sraddha. Dengan demikian Lima Sraddha atau Panca Sraddha ini
merupakan lima dasar keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar ajaran
dalam agama Hindu (Maswinara, 1996: 43-44).
Adapun kelima Sraddha tersebut adalah, pertama, percaya terhadap Tuhan
atau Brahman (Sang Hyang Widhi/Widhi Sraddha). Tuhan adalah tunggal dan
dewa-dewa adalah personifikasi Tuhan. Kedua, percaya terhadap Atman (Atman
Sraddha). Atman adalah roh individu. Atman adalah percikan Tuhan yang ada di
dalam diri manusia (makhluk hidup). Atman imanensi dari Brahman yang bersifat
trasendental. Ketiga, percaya akan karma phala (Punarbhawa Sraddha). Karma
-
70
phala adalah hukum sebab akibat yang menyertai segala perbuatan manusia.
Keempat, percaya akan samsara, tumimba lahir atau reinkarnasi (Samsara
Sraddha). Samsara adalah Atman terlahir kembali dalam bentuk makluk hidup
sesuai degan hasil perbuatannya (karma phala). Kelima, percaya terhadap moksa
(Moksa Sraddha). Moksa adalah Atman terbebas dari kelahiran kembali dan
mencapai kemanunggalan dengan Brahaman. Kelima Sraddha tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan yang saling
menunjang dan tidak dapat berjalan sendiri tanpa mengaitkan dengan yang lainnya.
b) Tiga Kerangka Agama Hindu
Selain Panca Sraddha, pokok-pokok ajaran agama Hindu juga termuat
dalam Tiga Kerangka Agama Hindu, yakni(1) Tattwa atau Filsafat Agama Hindu;
(2) Ethika atau Susila Agama Hindu; dan (3) Upacara atau Ritual Agama Hindu.
Aspek Tattwa atau Filsafat merupakan inti ajaran agama Hindu, aspek Ethika atau
Susila merupakan dasar pelaksanaan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-
hari, sedangkan aspek upacara (yadnya) merupakan pengorbanan suci yang tulus
ikhlaskepada Tuhan Yang Maha Esa (Sukardana, 2009: 17).
Aspek Tattwa atau Filsafat mencakup segala hal yang mendasari ajaran
tentang kepercayaan kepada Tuhan dalam agama Hindu terangkum dalam Tattwa.
Di dalamnya berisi ajaran tantang kepercayaan kepada Tuhan. Agama bertitik tolak
dari kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena agama adalah sebuah
kepercayaan, maka dengan agama seseorang merasakan ketenangan dalam hidup,
dan karena ketenangan seseorang akan memiliki ketetapan hati dalam menghadapi
sesuatu (Sindhu dan Dalem, 1994; Sukardana, 2009).
-
71
Aspek Ethika atau Susila: Ethika adalah pengetahuan tentang kesusilaan
atau susila. Susila beras