skripsirepository.ub.ac.id/4459/1/pratama dimas winanto.pdf · kelulusan saya dari jurusan teknik...
TRANSCRIPT
APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI
KUALITAS AIR SUNGAI DI TITIK BAMBE TAMBANGAN
KABUPATEN GRESIK
SKRIPSI
TEKNIK PENGAIRAN KONSENTRASI SISTEM INFORMASI
SUMBER DAYA AIR
Ditujukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Teknik
PRATAMA DIMAS WINANTO
NIM. 115060400111029 - 64
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2017
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah ayat 5).
Kelulusan saya dari Jurusan Teknik Pengairan tercinta hanyalah akhir dari kehidupanku
sebagai seorang mahasiswa sarjana. Sebuah penantian yang cukup lama, kurang lebih 6
tahun lamanya pengalaman saya sebagai seorang Mahasiswa Teknik Pengairan.
Teriring Ucapan Terima Kasih kepada:
Yang utama dari segalanya di dunia maupun di akhirat
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Atas ridho-Nya, alhamdulillah bisa
menyelesaikan tugas akhir sarjana ini. Dan atas karunia nikmat-Nya berupa iman,
kesehatan, dan waktu akhirnya saya bisa menjalani kehidupan ini dengan baik, meskipun
dalam diri ini selalu banyak khilaf dan kekurangan. Ya Allah maafkanlah hamba-Mu ini.
Semoga dengan berakhirnya jenjang studi sarjana ini, ya Allah yang maha memberi,
berikanlah hamba kemudahan dalam bekerja dan berkarya di dunia nyata, karena melalui
firman-Mu lah hamba akhirnya paham bahwa “sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada
kemudahan” (QS. Al-Insyirah ayat 5). Salah satu motivasi yang selalu hamba terapkan
dalam hidup hamba ini.
Dan juga sholawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Rasullah Muhammad SAW.
Kedua Orang Tua tercinta
Terima kasih bu Sri Winarsih. Terima kasih pak Rubiyanto. Kalianlah Orang tua terbaik.
Kedua adik tersayang
Maafkan kakakmu ini karena telah menghabiskan waktu 6 tahun lebih untuk
menyelesaikan studi ini. Maafkan aku ini karena tak bisa jadi panutan, saya doakan
semoga adikku bisa menyelesaikan studinya tepat waktu. Kalian adalah adik yang aku
sayangi.
Dosen Pembimbing terhormat
Bapak Dr. Eng. Riyanto Haribowo, ST., MT., dan Dr. Very Dermawan, ST., MT., selaku
dosen pembimbing tugas akhir saya, terima kasih banyak pak, saya dibantu selama ini,
Dan teman-teman WRE
Khususnya kepada teman-teman Teknik Pengairan 2011 satu kos ku, Akhmad Zahidin,
M. Arifudin Nugraha, Ardi Prakoso, M. Fais Yudha, Try Maretha Lasmana dan
Oktavian Anggih P.
Tak lupa juga kepada teman-teman Teknik Pengairan 2013 seperjuangan tugas akhir ini,
Nevan Satrya Yudha, Rhanda Delio, dan Bagas Abdi Ivantoro.
Akhirnya, semoga setelah semua ini hidup kita berjalan semakin baik
“WE ARE WHAT WE BELIEVE WE ARE”
Pratama Dimas Winanto
RINGKASAN
Pratama Dimas Winanto, Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya, September 2017, Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk Memprediksi Kualitas
Air Sungai di Titik Bambe Tambangan Kabupaten Gresik, Dosen Pembimbing: Riyanto
Haribowo dan Very Dermawan.
Air dapat menjadi bencana bagi manusia, bila keberadaanya tidak memenuhi dari
segi kuantitas dan kualitas. Berbagai aktivitas domestik maupun kegiatan industri di hilir
Sungai Brantas akan berpengaruh terhadap kualitas perairan sungai dan dapat
meningkatkan potensi pencemaran. Salah satu upaya pengelolaan kualitas air yang penting
dilakukan adalah pemantauan kualitas air. Dalam pemantauan kualitas air diperlukan
banyak bahan, banyak parameter dan peralatan serta tenaga yang sangat terlatih sehingga
penerapannya menjadi tidak praktis dan mahal. Salah satu metode yang dapat digunakan
untuk membantu peramalan, simulasi dan pemantauan kualitas air sungai adalah dengan
metode JST (Jaringan Syaraf Tiruan).
Dalam studi ini JST diaplikasikan untuk memprediksi kualitas air (DO, BOD,
COD, pH dan suhu) di titik pantau Bambe Tambangan berdasarkan parameter kualitas air
titik pantau Jembatan Jrebeng dan Cangkir Tambangan. Maka dibuat 3 (tiga) skenario
prediksi yaitu Skenario I untuk output DO, pH dan suhu Bambe Tambangan. Skenario II
dan III untuk output BOD dan COD Bambe Tambangan namun dengan input yang
berbeda. Masing-masing skenario akan dicoba dengan berbagai variasi persentase dataset
(training-cross validation-testing) dan berbagai epoch. JST dimodelkan dengan bantuan
software NeuroSolutions7.
Kemudian hasil prediksi JST akan dibandingan dengan data aktualnya, lalu akan
dihitung persentase kesalahan relatif (KR). Sehingga akan terlihat bagaimana kehandalan
JST dalam memprediksi kualitas air pada Bambe Tambangan. Hasilnya, untuk Skenario I,
output DO, pH dan suhu yang dihasilkan JST sangat baik dengan persentase KR < 10%.
KR terkecil Skenario I yang dihasilkan JST untuk prediksi DO adalah 5,23%, untuk pH
adalah 1,61%, dan untuk suhu adalah 1,46%. Untuk Skenario II dan III, output BOD dan
COD yang dihasilkan JST memiliki KR masih > 10%. KR terkecil yang dihasilkan untuk
prediksi BOD adalah 15,22% pada Skenario II dan untuk BOD adalah 15,87% juga pada
Skenario II. Rata-rata nilai KR terendah didapatkan JST dengan jaringan yang
menggunakan persentase dataset 60-20-20 dengan epoch 5000.
Kata kunci: kualitas air, Sungai Brantas, jaringan syaraf tiruan, NeuroSolutions7
halaman ini sengaja dikosongkan
SUMMARY
Pratama Dimas Winanto, Department of Water Resources Engineering, Faculty of
Engineering, University of Brawijaya, September 2017, Application of Artificial Neural
Networks to Predict the Water River Quality at Bambe Tambangan Point of Gresik
Regency, Academic Supervisor: Riyanto Haribowo dan Very Dermawan.
Water can be a disaster for humans, if its existence does not meet in terms of
quantity and quality. Various of domestic activities and industrial activities in Brantas
River downstream will affect the quality of river waters and can increase the potential for
pollution. One of the important water quality management efforts is water quality
monitoring. In the water quality monitoring required many materials, many parameters
and equipment and highly trained personnel so that its implementation becomes
impractical and expensive. One of method that can be used to help forecasting, simulating
and monitoring the quality of river water is ANN (Artificial Neural Network) method.
In this study ANN is applied to predict water quality (DO, BOD, COD, pH and
temperature) at the point of Bambe Tambangan based on water quality parameter of
monitoring point in Jrebeng Bridge and Cangkir Tambangan. Then made 3 (three)
prediction scenario that is Scenario I for output DO, pH and temperature of Bambe
Tambangan. Scenarios II and III output for BOD and COD Bambe Tambangan but with
different inputs. Each scenario will be tested with a variety of training-cross validation-
testing and various epochs. To model the prediction with ANN, in this study will be used
NeuroSolutions7 software.
Then the results of the predicted JST will be compared with the actual data, then
will be calculated the percentage of relative error (RE). So it will be seen how the
reliability of ANN in predicting water quality in Bambe Tambangan. As a result, for
Scenario I, the DO, pH and temperature output generated by ANN are excellent with the
percentage of RE < 10%. The smallest RE produced by ANN for the prediction of DO is
5,23%, for pH is 1,61%, and for temperature is 1,46% in Scenario I. For Scenarios II and
III, the output of BOD and COD produced by ANN has RE > 10% higher than Scenario I.
The smallest RE produced for BOD prediction is 15,22% in Scenario II and for COD is
15,87% also in Scenario II. The lowest average RE score was obtained by ANN with a
network using percentage datasets 60-20-20 with epoch 5000.
Keywords: water quality, Brantas River, artificial neural network, NeuroSolutions7
halaman ini sengaja dikosongkan
i
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan seminar usulan skripsi yang berjudul
“Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk Memprediksi Kualitas Air Sungai di Titik Bambe
Tambangan Kabupaten Gresik” dengan baik.
Laporan seminar usulan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat yang
harus ditempuh mahasiswa Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Malang. Dengan kesungguhan serta rasa rendah hati, penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tuaku dan kedua adik saya yang sangat membantu dalam segala hal, doa,
dan motivasi bagi saya.
2. Bpk Dr. Eng Riyanto Haribowo, ST., MT. dan Bpk Dr. Very Dermawan, ST., MT.
selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dalam penyelesaian laporan
skripsi ini.
3. Bpk Dr. Eng Tri Budi Prayogo, ST., MT. dan Bpk Ir. Moch. Sholichin, MT. PhD
selaku dosen penguji yang telah berkenan menguji skripsi ini
4. Teman-teman Jurusan Pengairan 2011 dan 2013, khususnya Nevan, Bagas dan Rhanda
serta semuanya.
Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis,
walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, tetapi masih terdapat banyak kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat
bagi yang membutuhkan.
Malang, 12 September 2017
Penulis
ii
halaman ini sengaja dikosongkan
iii
DAFTAR ISI
Halaman
PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ ix
DAFTAR SIMBOL ...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah..................................................................................... 2
1.3 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.4 Batasan Masalah .......................................................................................... 3
1.5 Tujuan .......................................................................................................... 4
1.6 Manfaat ........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
2.1 Tinjauan Umum Tentang Air....................................................................... 7
2.2 Kualitas Air .................................................................................................. 7
2.3 Parameter Kualitas Air ................................................................................ 8
2.3.1 Parameter Fisika .............................................................................. 8
2.3.2 Parameter Kimia .............................................................................. 9
2.3.3 Parameter Biologi ............................................................................ 12
2.4 Parameter yang ditinjau ............................................................................... 13
2.4.1 Dissolved Oxygen (DO) ................................................................... 13
2.4.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD) .............................................. 14
2.4.3 Chemical Oxygen Demand (COD) .................................................. 14
2.4.4 Derajat Keasaman (pH) ................................................................... 14
2.4.5 Suhu (T) ........................................................................................... 14
2.5 Data Hujan ................................................................................................... 15
2.5.1 Uji Ketidakadaan Trend ................................................................... 15
2.5.2 Uji Stasioner .................................................................................... 17
2.5.3 Uji Persistensi .................................................................................. 18
2.6 Jaringan Syaraf Tiruan ................................................................................. 18
2.6.1 Definisi ............................................................................................. 18
2.6.2 Komponen Jaringan Syaraf Tiruan .................................................. 19
2.6.3 Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan .................................................. 20
2.6.4 Cara Kerja Jaringan Syaraf Tiruan .................................................. 20
2.6.5 Fungsi Aktivasi ................................................................................ 20
2.6.6 Arsitektur Jaringan ........................................................................... 23
2.6.7 Bias dan Treshold ............................................................................ 24
2.6.8 Parameter Jaringan Syaraf Tiruan .................................................... 25
iv
2.7 Proses Pelatihan ........................................................................................... 26
2.7.1 Algoritma Hebb ............................................................................... 27
2.7.2 Algoritma Perceptron ...................................................................... 28
2.7.3 Algoritma ADALINE ...................................................................... 30
2.7.4 Algoritma Backpropagation ............................................................ 31
2.8 JST untuk Peramalan ................................................................................... 37
2.9 NeuroSolutions7 .......................................................................................... 38
2.9.1 NeuroSolutions For Excel ............................................................... 38
2.9.2 Pembagian Data (Tag Data) ............................................................ 38
2.9.3 Pembuatan Jaringan (Build Network) .............................................. 39
2.9.4 Pelatihan Jaringan (Train Network) ................................................. 39
2.9.5 Uji Jaringan (Test Network) ............................................................. 39
2.9.6 Produksi (Production) ..................................................................... 40
2.10 Metode Neraca Massa ................................................................................. 40
2.11 Pengukuran di Lapangan ............................................................................. 42
2.11.1 Pengukuran Parameter Kualitas Air ................................................ 42
2.11.2 Pengukuran Laju Air dengan Current Meter ................................... 43
BAB III METODE ....................................................................................................... 45
3.1 Daerah Aliran Sungai Brantas ..................................................................... 45
3.1.1 Gambaran Umum DAS Brantas ...................................................... 45
3.1.2 Penggunaan Lahan DAS Brantas .................................................... 46
3.1.3 Kependudukan di Wilayah Sungai Brantas ..................................... 47
3.2 Lokasi Studi ................................................................................................. 47
3.2.1 Lokasi Pemantauan Parameter Kualitas Air .................................... 47
3.2.2 Kondisi Lingkungan Sekitar Pemantauan Kualitas Air ................... 51
3.3 Data Pendukung Studi ................................................................................. 54
3.4 Tahap Penyelesaian Studi ............................................................................ 54
3.4.1 Tahapan Metode JST dengan Software NeuroSolutions7 ............... 55
3.4.2 Tahapan Perhitungan Analitis Metode Neraca Massa ..................... 59
3.4.3 Tahapan Pengukuran Kualitas dan Laju Air di Lapangan ............... 58
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 65
4.1 Kondisi Eksisting Data ................................................................................ 65
4.1.1 Data Curah Hujan ............................................................................ 65
4.1.2 Data Kualitas Air ............................................................................. 74
4.2 Prediksi Kualitas Air Metode Jaringan Syaraf Tiruan ................................ 90
4.2.1 Skenario I ......................................................................................... 90
4.2.2 Skenario II ....................................................................................... 102
4.2.3 Skenario III ...................................................................................... 110
4.2.4 Rekapitulasi Persentase Kesalahan Relatif Semua JST ................... 115
4.2.5 Hasil JST Terbaik untuk Memprediksi Kualitas Air ....................... 117
4.3 Prediksi JST dengan Menggunakan Data Primer Kualitas Air ................... 119
4.4 Metode Prediksi dengan Rumus Neraca Massa .......................................... 120
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 123
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 123
5.2 Saran ............................................................................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 2.1 Nilai Tc untuk Pengujian Distribusi Normal ............................................. 25
Tabel 3.1 Luas Wilayah Kota dan Kabupaten yang Masuk Wilayah DAS Brantas . 45
Tabel 3.2 Tipe Tata Guna Lahan di DAS Brantas .................................................... 46
Tabel 3.3 Titik Pemantauan Parameter Kualitas Air yang digunakan ...................... 50
Tabel 3.4 Stasiun Hujan yang digunakan .................................................................. 51
Tabel 3.5 Industri/Pabrik disekitar Lokasi Studi ....................................................... 52
Tabel 4.1 Data Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun Krian ....................................... 66
Tabel 4.2 Jumlah Curah Hujan Bulanan dalam Setahun Stasiun Hujan Krian ......... 66
Tabel 4.3 Perhitungan Koefisien Peringkat Spearman Stasiun Hujan Krian ............ 67
Tabel 4.4 Perhitungan Uji Mann-Whitney Stasiun Hujan Krian .............................. 68
Tabel 4.5 Perhitungan Uji F (Kestabilan Varian) Stasiun Hujan Krian .................... 69
Tabel 4.6 Perhitungan Uji t (Kestabilan Rata-rata) Stasiun Hujan Krian ................. 71
Tabel 4.7 Perhitungan Koefisien Korelasi Serial Spearman Stasiun Hujan Krian ... 72
Tabel 4.8 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Krian ......... 74
Tabel 4.9 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Ketawang .. 74
Tabel 4.10 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Botokan ..... 74
Tabel 4.11 Contoh Data Parameter Kualitas Air di Bambe Tambangan .................... 75
Tabel 4.12 Jumlah DO Bulanan dalam Setahun Titik Bambe Tambangan ................. 76
Tabel 4.13 Perhitungan Koefisien Peringkat Spearman DO Bambe Tambangan ....... 76
Tabel 4.14 Perhitungan Uji Mann-Whitney DO Bambe Tambangan ......................... 77
Tabel 4.15 Perhitungan Uji F (Kestabilan Varian) DO Bambe Tambangan ............... 79
Tabel 4.16 Perhitungan Uji t (Kestabilan Rata-rata) DO Bambe Tambangan ............ 77
Tabel 4.17 Perhitungan Koefisien Korelasi Serial Spearman DO Bambe
Tambangan ................................................................................................ 82
Tabel 4.18 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Kualitas Air Bambe Tambangan . 83
Tabel 4.19 Kriteria Mutu Air Kelas II (Dua) untuk Parameter DO, BOD, COD, pH dan
Suhu ........................................................................................................... 84
Tabel 4.20 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output DO 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 5000 ......................................................................... 96
Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output
DO 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000 ..................................... 84
Tabel 4.22 Rekapitulasi Hasil Perhitungan KR% Model Skenario I Output DO 3 .... 98
Tabel 4.23 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output pH 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 1000 ......................................................................... 98
Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output
pH 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 1000 ...................................... 99
Tabel 4.25 Rekapitulasi Hasil Perhitungan KR% Model Skenario I Output pH 3 .... 99
vi
Tabel 4.26 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output Suhu 3 dengan
Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000............................................................ 100
Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output
Suhu 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000 ................................... 100
Tabel 4.28 Rekapitulasi Hasil Perhitungan KR% Model Skenario I Output Suhu 3 .. 101
Tabel 4.29 Rekapitulasi Hasil Perhitungan KR% Model Skenario I Output
Gabungan 3 ............................................................................................... 101
Tabel 4.30 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario II untuk Output BOD 3 dengan
Dataset 60-20-20 dan Epoch 10000.......................................................... 107
Tabel 4.31 Hasil Perhitungan Persentase Kesalahan Relatif (KR) Skenario II untuk
Output BOD 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 10000 .................... 107
Tabel 4.32 Rekapitulasi Hasil Perhitungan KR% Model Skenario II Output BOD 3 108
Tabel 4.33 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario II untuk Output COD 3 dengan
Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000............................................................ 109
Tabel 4.34 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario II untuk Output
COD 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000 .................................. 109
Tabel 4.35 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario II Output
COD 3 ....................................................................................................... 110
Tabel 4.36 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario III untuk Output BOD 3 dengan
Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000............................................................ 112
Tabel 4.37 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario III untuk Output
BOD 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000 .................................. 112
Tabel 4.38 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario III Output
BOD 3 ....................................................................................................... 113
Tabel 4.39 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario III untuk Output COD 3 dengan
Dataset 60-20-20 dan Epoch 1000............................................................ 114
Tabel 4.40 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario III untuk Output
COD 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 1000................................... 114
Tabel 4.41 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario III Output
COD 3 ....................................................................................................... 115
Tabel 4.42 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR % Model Skenario I.............. 115
Tabel 4.43 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR % Model Skenario II dan III
Skenario II ................................................................................................. 116
Tabel 4.44 JST Terbaik untuk Memprediksi Kualitas Air Bambe Tambangan .......... 117
Tabel 4.45 Perbandingan DO Bambe Tambangan Output JST terbaik dengan Data
Aktual ........................................................................................................ 117
Tabel 4.46 Hasil Output JST dan Kesalahan Relatif dengan Data Primer ................. 120
Tabel 4.47 Hasil Perhitungan Metode Neraca Massa ................................................. 121
Tabel 4.48 Perhitungan Kesalahan Relatif Hasil Metode Neraca Massa .................... 122
Tabel 4.49 Perbandingan Hasil Prediksi JST dan Neraca Massa dengan Data
Primer ........................................................................................................ 122
vii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1 Struktur neuron jaringan syaraf ............................................................ 20
Gambar 2.2 Fungsi sigmoid biner ............................................................................ 21
Gambar 2.3 Fungsi sigmoid bipolar ......................................................................... 21
Gambar 2.4 Fungsi identitas ..................................................................................... 22
Gambar 2.5 Jaringan layar tunggal ........................................................................... 23
Gambar 2.6 Jaringan layar jamak ............................................................................. 24
Gambar 2.7 Arsitektur jaringan dengan lapisan kompetitif (Competitive layer net) 24
Gambar 2.8 Lapisan jaringan backpropagation ....................................................... 32
Gambar 2.9 Arsitektur backpropagation .................................................................. 24
Gambar 2.10 Profil aliran sungai ............................................................................... 41
Gambar 2.11 Horiba U-50 multi-parameter water quality checker ........................... 42
Gambar 2.12 Current meter yang digunakan ............................................................. 43
Gambar 3.1 Titik pemantauan parameter kualitas air di kali surabaya .................... 49
Gambar 3.2 Peta situasi lokasi studi ......................................................................... 53
Gambar 3.3 Contoh cara input data pada neurosolutions7 ....................................... 56
Gambar 3.4 Contoh cara tag data column(s) as input neurosolutions7 ................... 56
Gambar 3.5 Contoh cara build network pada neurosolutions7................................. 57
Gambar 3.6 Contoh cara training network pada neurosolutions7 ............................ 57
Gambar 3.7 Contoh test network pada dataset training dengan neurosolutions7 .... 58
Gambar 3.8 Contoh cara tahapan produksi dan hasil neurosolutions7 pada
jaringan yang telah dibuat .................................................................... 58
Gambar 3.9 Diagram alir penyelesaian studi ........................................................... 61
Gambar 3.10 Diagram alir metode JST dengan neurosolutions7 ............................... 62
Gambar 3.11 Diagram alir prediksi kualitas air dengan metode neraca massa .......... 63
Gambar 3.12 Diagram alir pengukuran data primer ................................................... 64
Gambar 4.1 Grafik data kualitas air bambe tambangan dan kriteria mutu air
kelas II parameter DO........................................................................... 85
Gambar 4.2 Grafik data kualitas air bambe tambangan dan kriteria mutu air
kelas II parameter BOD ........................................................................ 86
Gambar 4.3 Grafik data kualitas air bambe tambangan dan kriteria mutu air
kelas II parameter COD ........................................................................ 87
Gambar 4.4 Grafik data kualitas air bambe tambangan dan kriteria mutu air
kelas II parameter pH ........................................................................... 88
Gambar 4.5 Grafik data kualitas air bambe tambangan dan kriteria mutu air
kelas II parameter suhu ......................................................................... 89
Gambar 4.6 Arsitektur jaringan untuk skenario I ..................................................... 91
Gambar 4.7 Performa pelatihan (train) jaringan skenario I untuk output DO 3
dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000 ............................................ 92
viii
Gambar 4.8 Performa pelatihan (train) jaringan skenario I untuk output DO 3
dengan dataset 60-20-20 epoch 10000 ................................................. 93
Gambar 4.9 Hasil test network pada dataset training jaringan skenario I
output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000 ....................... 94
Gambar 4.10 Hasil test network pada dataset training jaringan skenario I
output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000 ..................... 94
Gambar 4.11 Grafik hasil test network pada dataset cross validation jaringan
skenario I output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000 ...... 95
Gambar 4.12 Grafik hasil test network pada dataset testing jaringan
skenario I output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000 ...... 96
Gambar 4.13 Arsitektur jaringan untuk skenario II ................................................... 103
Gambar 4.14 Performa pelatihan (train) jaringan skenario II untuk output BOD 3
dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000 .......................................... 104
Gambar 4.15 Hasil test network pada dataset training jaringan skenario II
output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000 .................. 105
Gambar 4.16 Hasil test network pada dataset cross validation jaringan skenario II
output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000 .................. 106
Gambar 4.17 Hasil test network pada dataset testing jaringan skenario II
output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000 .................. 106
Gambar 4.18 Arsitektur jaringan untuk skenario III .................................................. 111
Gambar 4.19 Grafik perbandingan DO 3 output JST terbaik dengan data aktual
PJT I ..................................................................................................... 119
Gambar 4.20 Skema aliran sungai untuk analitis neraca massa ................................. 120
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
Lampiran 1. Data Curah Hujan ................................................................................... 129
Lampiran 2. Data Kualitas Air Sekunder .................................................................... 142
Lampiran 3. Hasil Prediksi Metode JST...................................................................... 163
Lampiran 4. Data Primer Kualitas Air ........................................................................ 209
Lampiran 5. Aturan-aturan Pemerintah ....................................................................... 215
Lampiran 6. Dokumentasi ........................................................................................... 228
x
halaman ini sengaja dikosongkan
xi
DAFTAR SIMBOL
Besaran dasar Satuan dan Singkatannya Simbol
Debit
DO
BOD
COD
Meter kubik perdetik atau m3/dt
Dissolved Oxygen atay mg/L
Biochemical Oxygen Demand atau
mg/L
Chemical Oxygen Demand atau
mg/L
Q
Fungsi x - f(x) Turunan fungsi x - f’(x) Variabel persamaan matematika - y Variabel input i = 1,2, …n - xi Bobot bias - b Bobot bias dari input ke unit output
tinggi muka air - btj
Persamaan fungsi aktivasi pada suatu
unit pengolah yang merupakan perkalian
input dan bobotnya
- f(net)
Nilai keluaran di unit tersembunyi - zj Perkalian input dari input layer dan
bobotnya ke output layer - z_net j
Persamaan fungsi aktivasi pada hidden
layer yang merupakan perkalian input
dari input layer dan bobotnya ke output
layer
- f(z_net j)
Nilai output layer - yk Perkalian dari output layer dan bobotnya
ke output jaringan - y_net k
Persamaan fungsi aktivasi pada output
layer yang merupakan perkalian dari
output layer dan bobotnya ke output
jaringan
- f(y_netk)
Informasi error pada lapisan
tersembunyi - δj
Informasi error pada lapisan output - δk Informasi error pada lapisan output
tinggi muka air - δt
Banyaknya pengamatan - n Selisih antara output target dengan
output jaringan. - tt – yt
xii
Besaran dasar Satuan dan Singkatannya Simbol
Bobot lapisan bias ke lapisan
tersembunyi - v0j
Bobot penghubung lapisan tersembunyi
dengan output jaringan tinggi muka air - wtj
Bobot bias ke lapisan output - wk0
Bobot penghubung lapisan
tersembunyi-keluaran jaringan pada
waktu t - 1
- wkj (t-1)
Bobot penghubung lapisan
tersembunyi-keluaran jaringan pada
waktu t + 1
- wkj (t+1)
Koreksi bobot pada lapisan input-i ke
lapisan tersembunyi-j - ∆vji
Koreksi bobot pada lapisan
tersembunyi j - ∆wj
Koreksi bias pada dari input layer ke
unit output tinggi muka air - ∆btj
Koreksi bobot pada lapisan
tersembunyi j ke lapisan keluaran
jaringan
- ∆wkj
Koreksi bias pada lapisan input-i ke
lapisan tersembunyi-j - ∆bji
Faktor skala - β Nilai pusat pada neuron tersembunyi
ke-j - μ
Masukan yang berasal dari unit i - ai
Kecepatan belajar - C Nilai keluaran yang diinginkan unit j
setelah diberikan pola p pada lapisan
masukan
- tjp
Bobot lapisan input ke lapisan
tersembunyi pada t-1 - vji (t-1)
Nilai keluaran yang dihasilkan unit j
setelah diberikan pola p pada lapisan
masukan
- xjp
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelangsungan kehidupan manusia sangatlah bergantung terhadap keberadaan sumber
daya air. Meski demikian, air dapat menjadi bencana bagi manusia, bila keberadaanya
tidak memenuhi dari segi kuantitas dan kualitas. Seiring dengan meningkatnya penduduk
dan keragaman kegiatan manusia dapat mengakibatkan berubahnya fungsi lingkungan dan
berdampak negatif terhadap kualitas sumber air, misalnya pada sungai. Kualitas perairan
sungai sangat bergantung dari aktivitas yang ada pada daerah alirannya. Berbagai aktivitas
domestik maupun kegiatan industri akan berpengaruh terhadap kualitas perairan, aktivitas
tersebut dapat menambah tekanan dan beban pencemaran pada badan sungai.
Sungai Brantas adalah sungai terpanjang kedua di Provinsi Jawa Timur yang memiliki
fungsi penting salah satunya yaitu sebagai sumber bahan baku air minum. Jika dilihat dari
sempadan dan lingkungannya berpotensi rawan tercemar karena padatnya kawasan
industri dan pemukiman. Terutama pada bagian hilir Sungai Brantas. Sungai Brantas
dikhawatirkan menjadi sarana yang mudah dan praktis sebagai pembuangan limbah padat
maupun cair hasil dari kegiatan rumah tangga dan industri. Dengan keberadaan berbagai
jenis limbah dan sampah yang mengandung beragam jenis bahan pencemar ke badan-
badan perairan, akan meningkatkan besar beban pencemaran yang diterima oleh sungai
tersebut. Jika beban yang diterima oleh sungai melampaui ambang batas maka dapat
memicu terjadinya penurunan kualitas air sungai. Mengingat penurunan kualitas air sungai
menyebabkan perubahan manfaat keberadaan sungai dan membahayakan lingkungan,
maka diperlukan upaya pengelolaan kualitas air.
Salah satu usaha dalam mengelolaa kualitas air adalah pemantauan kualitas air.
Beragam cara yang dipakai dalam memantau kualitas air, baik secara kimia, fisika dan
biologi. Pemantauan kualitas air sangat dibutuhkan, karena berfungsi untuk memberikan
informasi dasar yang dijadikan acuan untuk menentukan status kualitas airnya. Dalam
pemantauan kualitas air diperlukan banyak bahan, banyak parameter dan alat-alat ukur
serta tenaga ahli sehingga penerapannya menjadi tidak murah dan rumit. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk membantu peramalan, simulasi dan pemantauan kualitas air
sungai adalah dengan metode jaringan syaraf tiruan atau yang biasa dikenal dengan JST.
2
Oleh karena itu, penulis ingin menerapkan metode JST pada pemantauan kualitas air
di Sungai Brantas kawasan hilir. Dalam studi ini JST diaplikasikan untuk memodelkan
prediksi kualitas air di titik pantau Bambe Tambangan berdasarkan nilai Dissolved Oxygen
(DO), suhu, pH Biological Oxygen Demand (BOD), dan Chemical Oxygen Demand (COD)
titik pantau Jembatan Jrebeng dan Cangkir Tambangan. Serta juga mempertimbangkan
curah hujan di tiga stasiun hujan terdekat dengan Bambe Tambangan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) No. 42 Tahun 2008 tentang pengelolaan
sumber daya air (SDA), menetapkan DAS Brantas menjadi sungai strategis nasional
semenjak tahun 2006. Hal ini merujuk pada besarnya pengaruh DAS Brantas pada stok
pangan nasional, yang mencapai 9 juta ton beras pertahun setara dengan hampir 18% stok
pangan nasional, mempunyai luas +25% luas Provinsi Jawa Timur (12.000 km2),
mempunyai panjang 320 km dengan jumlah air per tahun 12 milyar m3 sebagai pemasok
air baku untuk beragam kebutuhan seperti untuk pembangkit tenaga listrik, PDAM, irigasi,
industri dan lain sebainya.
DAS Brantas melewati 11 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Blitar,
Kabupaten Malang, Tulungagung, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Jombang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Trenggalek,
serta 5 Kota yaitu Kota Malang, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Mojokerto dan Kota
Surabaya. Dari wilayah administrasi kabupaten dan kota tersebut, mempunyai jumlah
penduduk sebanyak 19.006.008 jiwa, dengan tingkat kepadatan mencapai 1.208 jiwa/km2
(Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2011).
Sedangkan kawasan hilir DAS Brantas terdiri dari wilayah Kabupaten Mojokerto,
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya. Di wilayah hilir DAS Brantas
tersebut mengalir Kali Surabaya yang merupakan anak Sungai Brantas. Salah satu
permasalahan yang terjadi di Kali Surabaya adalah pencemaran air. Karena tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi dan banyaknya industri dengan potensi pencemar yang
ada di DAS Brantas ± 483 industri, di Kali Surabaya 65 industri dan Kali Tengah 33
industri.
Hasil kajian Badan Ligkungan Hidup Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan bahwa
persentase pencemaran bersumber dari limbah domestik yaitu 50%, limbah industri yaitu
40%, limbah pertanian dll yaitu 10%.
3
Dua pelanggaran yang sering dilakukan oleh industri sekitar Kali Surabaya yaitu:
1. Memiliki IPAL namun tidak mengoperasikannya dengan optimal
2. Membuang limbah namun tidak sesuai aturan yang ditetapkan
Dalam upaya mewujudkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 12 Tahun 2013
tentang kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air Provinsi Jawa Timur,
disebutkan bahwa salah satu upaya pengendalian pencemaran air adalah dengan cara
mengembangkan dan menerapkan teknologi dalam memperbaiki kualitas air dan sistem
pemantauan kualitas air pada sumber air. Dalam pemantauan kualitas air sungai masalah
yang akan dihadapi salah satunya adalah bagaimana memodelkan dan memprediksi
kualitas air sungai pada titik pantau aliran selanjutnya atau di bagian hilir. Maka
dilakukanlah studi pemodelan kualitas air Sungai Brantas hilir, bagian Kali Surabaya, dari
titik pantau Jembatan Jrebeng dan Cangkir Tambangan untuk Bambe Tambangan. Untuk
mempermudah pemodelan, maka dalam studi ini digunakan metode Jaringan Syaraf
Tiruan.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan-batasan masalah yang ada, maka diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi eksisting data hujan dan kualitas air (DO, BOD, COD, pH dan
suhu) yang digunakan?
2. Bagaimanakah perbandingan hasil prediksi kualitas air antara metode JST dengan data
aktual dari PJT I (data sekunder) pada titik Bambe Tambangan?
3. Bagaimanakah perbandingan hasil prediksi antara metode JST dengan data hasil
pengukuran di lapangan (data primer) pada titik Bambe Tambangan?
4. Bagaimanakah perbandingan hasil prediksi kualitas air pada titik Bambe Tambangan
antara metode Neraca Massa dengan data hasil pengukuran di lapangan (data primer)?
1.4 Batasan Masalah
Agar dalam penyelesaian studi ini menjadi lebih fokus dan terarah maka dibuatlah
batasan masalah antara lain:
1. Titik lokasi untuk pemantauan sampel kualitas air sungai di Sungai Brantas yaitu:
Jembatan Jrebeng
Cangkir Tambangan
Bambe Tambangan
4
2. Data yang digunakan dalam metode JST adalah data parameter kualitas air (DO, BOD,
COD, pH, dan suhu) dan curah hujan selama kurang lebih 10 tahun (2006-2015).
3. Data curah hujan didapatkan dari pengukuran di tiga stasiun hujan di Kabupaten
Sidoarjo, yaitu:
Stasiun Hujan Krian
Stasiun Hujan Ketawang
Stasiun Hujan Botokan
4. Prediksi parameter kualitas air menggunakan metode JST dengan bantuan software
NeuroSolutions7.
5. Membandingkan hasil prediksi kualitas air (DO, BOD, COD, pH, dan suhu) antara
metode JST dengan data aktual dari PJT I.
6. Perhitungan analitis prediksi kualitas air dengan metode neraca massa
7. Membandingkan hasil prediksi kualitas air parameter DO, pH dan suhu antara metode
JST dan pengukuran di lapangan (data primer)
8. Tidak membahas pengaruh tata guna lahan di DAS Brantas secara lengkap
9. Tidak menguji data kualitas air dengan statistik
10. Tidak membahas debit sungai secara detail
11. Tidak membahas analisa parameter biologi kualitas air
1.5 Tujuan
Tujuan dari studi ini antara lain adalah:
1. Memberikan informasi kondisi eksisting data hujan dan kualitas air parameter DO,
BOD, COD, pH dan suhu pada lokasi yang digunakan dalam studi ini.
2. Mengetahui perbandingan hasil prediksi kualitas air (DO, BOD, COD, pH, dan suhu)
antara metode JST dengan data aktual dari PJT I.
3. Membandingkan hasil prediksi metode JST dengan data pengukuran di lapangan (data
primer) pada titik Bambe Tambangan untuk parameter DO, pH dan suhu.
4. Mengetahui perbandingan hasil analitis metode neraca massa dengan data pengukuran
di lapangan (data primer) pada titik Bambe Tambangan untuk parameter DO, pH dan
suhu.
1.6 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat dari studi ini antara lain adalah:
1. Memberikan solusi kemudahan dalam kegiatan pantau kualitas air sungai.
5
2. Diharapkan mampu menjadi salah satu masukan terhadap kegiatan pengelolaan
kualitas air yakni pemantauan kualitas air sungai untuk pemerintah dan Perum Jasa
Tirta I.
3. Memberikan salah satu alternatif untuk pemodelan kualitas air sungai yaitu dengan
menggunakan metode JST.
6
halaman ini sengaja dikosongkan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul air tersusun atas
dua atom hidrogen (H) dan oksigen (O). Atom-atom hidrogen tertempel pada sebuah sisi
dari atom oksigen, molekul air yang mempunyai muatan positif pada bagian atom hidrogen
dan bermuatan negatif pada bagian atom oksigen. Seperti pada muatan listrik yang
berlawanan selalu tarik menarik, maka molekul air condong untuk saling tarik menarik,
inilah sebabnya air menetes (Krisnandi, 2009).
Pada kondisi standar, air memiliki sifat tidak berwarna, tidak berwarna dan tidak
berasa. Air memiliki kemampuan melarutkan banyak zat kimia dan beberapa jenis gas
serta berbagai macam molekul organik. Air dikatakan bagus apabila memenuhi dari segi
kualitasnya dan bisa digunakan dalam jumlah yang memadai untuk keperluan hidup
manusia. Salah satu air permukaan yang sering digunakan dalam banyak bidang adalah air
sungai.
2.2 Kualitas air
Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115
tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini
meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis (Masduqi, 2009).
Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air
tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisika, biologi, atau uji kenampakan
(bau dan warna). Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai
kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap
dalam kondisi alamiahnya.
Air untuk minum umumnya berasal dari air permukaan (surface water) seperti danau,
sungai dan cadangan air lainnya di permukaan bumi atau dari air tanah (ground water) atau
air yang di pompa (melalui pengeboran) dari dalam tanah yang umumnya bebas dari
kandungan zat berbahaya, namun tidak selalu bersih (Krisnandi,2009).
8
Kualitas air yang baik ini minimal mengandung oksigen terlarut sebanyak lebih 5
mg/l. Oksigen terlarut ini dapat ditingkatkan dengan menambah oksigen ke dalam air
dengan menggunakan aerator atau air yang terus mengalir. Kelebihan plankton dapat
menyebabkan kandungan oksigen didalam air menjadi berkurang (Ansori, 2008).
2.3 Parameter Kualitas Air
2.3.1 Parameter Fisika
A. Kecerahan
Kecerahan adalah parameter fisika yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis pada
suatu ekosistem perairan. Kecerahan yang tinggi menunjukkan daya tembus cahaya
matahari yang jauh kedalam perairan. Begitu pula sebaliknya (Erikarianto, 2008).
Menurut Kordi dan Andi (2009), kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan
kedalam air dan dinyatakan dalam (%). Kemampuan cahaya matahari untuk tembus sampai
kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan air. Dengan mengetahui kecerahan suatu
perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses
asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang
paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih, baik untuk
kehidupan ikan.
B. Suhu
Menurut Nontji (1987), suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian
dalam pengkajian-pengkajian keairan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk
mempelajari gejala-gejala fisika didalam laut, tetapi juga dengan kaitannya kehidupan
hewan atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi.
Suhu air dipermukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi
yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara,
kecepatan angin, dan radiasi matahari.
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran
organisme baik dilautan maupun diperairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut.
Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum,
laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan
hewan budidaya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim
(Kordi dan Andi, 2009).
9
C. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya
cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan
organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).
Kekeruhan pada perairan tergenang, misalnya waduk, lebih banyak disebabkan oleh
bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus, sedangkan kekeruhan
pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi
yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran
air hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan
dan daya lihat organisme aquatic serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
2.3.2 Parameter Kimia
A. pH
Menurut Andayani (2005), pH adalah cerminan derajat keasaman yang diukur dari
jumlah ion hidrogen menggunakan rumus pH = -log (H+). Air murni terdiri dari ion H+ dan
OH- dalam jumlah berimbang hingga pH air murni biasa 7. Makin banyak ion OH- dalam
cairan, makin rendah ion H+, dan makin tinggi pH. Cairan demikian disebut cairan alkalis.
Sebaliknya, makin banyak H+ makin rendah pH dan cairan tersebut bersifat asam. pH
antara 7-9 sangat memadai kehidupan di perairan. Namun pada keadaan tertentu, dimana
air di dasar memiliki potensi keasaman, pH air dapat turun hingga mencapai 4.
pH air mempengaruhi tangkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan
jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan
budidaya. Pada pH rendah (keasaman tinggi), kandungan oksigan terlarut akan berkurang,
sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan
berkurang. Hal ini sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha
budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5-9,0 dan kisaran optimal
adalah pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2009).
B. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Menurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu,
makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Dilaut, oksigen terlarut
(dissolved oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses
fotosintesis fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut ini sangat
memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan organisme untuk
kehidupan, antara lain pada proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk pembakaran
10
(metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan
CO2 dan H2O.
Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air.
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehinnga bila ketersediaannya didalam air
tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat.
Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan
lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang terkandung pada
metabolisme ikan (Kordi dan Andi, 2009).
C. Kebutuhan Oksigen Biologi (Biochemical Oxygen Demand)
Secara tidak langsung, BOD (biochemical oxygen demand) merupakan gambaran
kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk
mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Effendi, 2003). BOD hanya
menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis. Bahan organik
ini dapat berupa lemak, protein, kanji, glukosa dan sebagainya. Bahan organik merupakan
hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah
domestik dan industri.
Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah pembusukan
tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 - 7,0 mg/L. Perairan yang memiliki
nilai BOD lebih dari 10 mg/L dianggap telah mengalami pencemaran (Effendi, 2003).
D. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand)
Chemical oxygen demand (COD), menggambarkan jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2
dan H2O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah
dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel (Effendi, 2003).
Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga
dan industri, misalnya pabrik bubur kertas, dan industri makanan. Perairan yang memiliki
nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD
pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan perairan yang
tercemar dapat lebih dari 200 mg/L.
E. Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida (CO2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air
renik maupun tingkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan
karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang
11
berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racun secara langsung bagi pembudidayaan
biota air, terutama dikolam dan ditambak (Kordi dan Andi, 2009).
Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan
karbondioksida di perairan relatif banyak, kerana karbondioksida memiliki kelarutan yang
relatif banyak.
F. Amonia, Nitrit dan Nitrat
Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi
mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang melimpah
di atmosfer akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup secara
langsung (Effendi, 2003). Nitrogen harus mmengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi
NH3, NH4, dan NO3.
Diperairan, nitrogen dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik
terdiri dari amonia (NH3), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan molekul nitrogen (N2) dalam
bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea.
Amonia (NH3)
Makin tinggi pH, air tambak atau kolam, daya racun amonia semakin meningkat,
sebab sebagian besar berada dalam bentuk NH3, sedangkan amonia dalam molekul
(NH3) lebih beracun daripada yang berbentuk ion (NH4+). Amonia dalam bentuk
molekul dapat bagian membran sel lebih cepat daripada ion NH4+ (Kordi dan Andi,
2009).
Amonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasukan oksigen.
Sebaliknya, pada wilayah tanpa oksigen yang biasanya terdapat di dasar perairan,
kadar amonia relatif tinggi. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi
adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan
limpasan pupuk pertanian.
Nitrit (NO2)
Di perairan alami, nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih
sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit
merupakan bentuk peralihan antara amonia dengan nitrat, dan antara nitrat dengan gas
nitrogen.
Sumber nitrit dapat berupa limbah domestik dan limbah industri. Kadar nitrit pada
perairan relatif lebih kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Di perairan, kadar
nitrit jarang melebihi 1 mg/L. Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat
12
toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Effendi, 2003). Bagi manusi dan
hewan, nitrit bersifat lebih toksik daripada nitrat.
Nitrat (NO3)
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air
dan bersifat stabil.senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa
nitrogen di perairan. Dua bakteri yang berperan dalam pembentukan nitrat, yaitu
Nitrosomonas dan Nitrobacter. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya
lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami
hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/L. Kadar nitrat-nitrogen yang melebihi 0,2
mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (Effendi, 2003).
G. Orthophospat
Menurut Andayani (2005), orthophospat yang larut, dengan mudah tesedia bagi
tanaman, tetapi ketersediaan bentuk-bentuk lain belum ditentukan dengan pasti.
Konsentrasi fosfor dalam air sangat rendah. Konsentasi ortophospate yang biasanya
tidak lebih dari 5-20 mg/liter dan jarang melebihi 1000 mg/liter. Fosfat ditambahkan
sebagai pupuk dalam kolam, pada awalnya tinggi orthophospat yang terlarut dalam air
dan konsentrasi akan turun dalam beberapa hari setelah perlakuan.
Menurut Muchtar (2002), fitoplankton merupakan salah satu parameter biologi yang
erat hubungannya dengan fosfat dan nitrat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton
disuatu perairan tergantung tergantung pada kandungan zat hara fosfat dan nitrat. Sama
halnya seperti zat hara lainnya, kandungan fosfat dan nitrat disuatu perairan, secara alami
terdapat sesuai dengan kebutuhan organisme yang hidup diperairan tersebut.
2.3.3 Parameter Biologi
A. Bakteri
Bakteri adalah organisme kecil bersel satu dimana benda-benda organik menembus sel
dan dipergunakan sebagai makanan. Apabila jumlah makan dan gizi berlebihan, maka
bakteri akan cepat berkembang biak sampai sumber makanan tersebut habis. Bakteri
dijumpai di air, tanah, serta udara yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, konsentrasi
oksigen, dan pH (Sugiharto, 1987).
Pada banyak bakteri dapat menggunakan energi yang berasal dari reaksi kimia dengan
sinar matahari. Bakteri aerob memerlukan O2 yang terlarut di dalam air/air limbah sebagai
usaha untuk mengoksidasi bahan organik, sedangkan yang tidak memerlukan O2 untuk
proses tersebut dikenal sebagai bakteri anaerob.
13
Bakteri diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang ada di dalam air limbah.
Oleh karena itu, diperlukan jumlah bakteri yang cukup untuk menguraikan bahan-bahan
tersebut. Bakteri itu sendiri akan berkembang biak apabila jumlah makanan yang
terkandung di dalamnya cukup tersedia, sehingga pertumbuhan bakteri dapat
dipertahankan secara konstan.
B. Alga
Alga berbeda dengan bakteri dan jamur pada kemampuannya dalam mengadakan
fotosintesis, pemanfaatan oksigen pada pertumbuhannya. Alga diklasifikasikan melalui
pigmen warna yang ada, biasanya bening, hijau, motile green, kuning hijau, coklat emas
dan abu-abu hijau. Melalui autotropik alga dirangsang untuk meningkatkan tingkat gizinya
seperti nitrogen dan fosfor dalam air. Alga sangat mudah untuk dibedakan karena
ukurannya yang relatif besar dan bisa mencapai beberapa ratus kaki panjangnya. Beberapa
tipe uniseluler adalah tidak beraturan, akan tetapi umumnya mempunyai ciri khas,
sehingga bermanfaat pada kolam oksidasi dapat memberikan gangguan pada pengolahan
air bersih seperti dengan menimbulkannya rasa dan bau yang tidak diinginkan (Sugiharto,
1987).
C. Zooplankton
Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan
baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut, sungai dan waduk. Perubahan
lingkungan yang terjadi pada suatu perairan akan mempengaruhi keberadaan zooplankton
baik langsung atau tidak langsung. Struktur komunitas dan pola penyebaran zooplankton
dalam perairan dapat dipakai sebagai salah satu indikator biologi dalam menentukan
perubahan kondisi perairan tersebut.
Struktur komunitas zooplankton di suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungan
dan ketersediaan makanan dalam hal ini fitoplankton. Apabila kondisi lingkungan sesuai
dengan kebutuhan zooplankton maka akan terjadi proses pemangsaan fitoplankton oleh
zooplankton. Apabila kondisi lingkungan dan ketersediaan fitoplankton tidak sesuai
dengan kebutuhan zooplankton, maka zooplankton akan mencari kondisi lingkungan dan
makanan yang lebih sesuai.
2.4 Parameter yang digunakan
2.4.1 Dissolved Oxygen (DO)
DO (dissolved oxygen), oksigen terlarut adalah banyaknya oksigen yang terkandung di
dalam air dan diukur dalam satuan miligram per liter. Oksigen terlarut ini dipergunakan
14
sebagai tanda derajat atau tingkat kekotoran limbah yang ada. Semakin besar oksigen
terlarut menunjukkan tingkat kekotoran limbah yang semakin kecil. Jadi ukuran DO
berbanding terbalik dengan BOD (Sugiharto, 1987:7).
2.4.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD (biochemichal oxygen demand) atau kebutuhan oksigen biokimiawi merupakan
satuan yang digunakan untuk mengukur kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk
menguraikan bahan organik di dalam air limbah, yang menggunakan ukuran mg/liter air
kotor (Sugiharto, 1987:27). Pemeriksaan BOD didasarkan didasarkan atas reaksi oksidasi
zat organik dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya
bakteri aerob sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbondioksida, air dan amonia.
2.4.3 Chemical Oxygen Demand (COD)
COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari uji BOD
karena bahan-bahan yang stabil terhadap rekasi biologi dan mikroorganisme dapat ikut
teroksidasi dalam uji COD , seperti selulosa (Fardiaz, 1992). Pengukuran BOD dan COD
saling melengkapi, apabila sampel BOD mengandung zat racun maka pertumbuhan bakteri
berkurang sehingga nilai BOD nya rendah. Nilai COD tidak tergantung pertumbuhan
bakteri.
2.4.4 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) air memengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
memengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat
membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen
terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas
pernapasan naik dan selera makan akan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada
suasana basa (Kordi dan Tancung, 2007). Selain itu, dalam kondisi basa, konsentrasi
ammonia bebas (NH3) yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik akan meningkat
(Effendi, 2003).
2.4.5 Suhu (T)
Pengaruh suhu secara tidak langsung adalah mempengaruhi metabolisme, daya larut
gas-gas, termasuk oksigen serta berbagai reaksi kimia dalam air. Semakin tinggi suhu air,
semakin tinggi pula laju metabolisme udang yang berarti semakin besar konsumsi
oksigennya, padahal kenaikan suhu tersebut bahkan mengurangi daya larut oksigen dalam
air. Setiap kenaikan suhu 10 oC akan mempercepat laju reaksi kimia sebesar 2 kali. (Kordi
dan Tancung, 2007:59).
15
2.5 Data Hujan
Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi
(hydrologic phenomena), seperti besarnya: curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya
penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan
aliran, konsentrasi sedimen sungai akan selalu berubah terhadap waktu (Soewarno, 1995).
Data hidrologi yang erat kaitanya dengan masalah kualitas air sungai yaitu data curah
hujan. Besarnya hujan yang turun akan berpengaruh langsung terhadap debit dan tinggi
muka air sungai. Dengan demikian jika terjadi kenaikan debit sungai maka resiko
pencemaran dapat turun. Hal ini dikarenakan debit sungai yang besar dapat mengencerkan
konsentrasi pencemar.
Ketetapan dalam memilih lokasi dan peralatan baik curah hujan maupun debit
merupakan faktor yang menentukan kualitas data yang diperoleh. Analisis data hujan
dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan dan analisis statistik yang
diperhitungkan. Untuk mendapatkan data hujan yang berkualitas, maka perlu dilakukan uji
screening data sebelum dipakai dalam analisa lanjutan. Subbab berikut akan menjelaskan
mengenai uji screening data hujan.
2.5.1 Uji Ketidakadaan Trend
Deret berkala yang nilainya menunjukkan gerkan yang berjangka panjang dan
mempunyai kecenderungan menuju ke satu arah, arah menaik atau menurun disebut
dengan pola atau trend. Trend musim sering disebut dengan variasi musim (seasonal trend
atau seasonal variation) dan hanya menunjukkan gerakan dalam jangka satu tahun saja.
Variasi musim dari suatu variabel hidrologi umumnya diengaruhi oleh kondisi iklim.
Variasi acak umumnya gerakan yang disebabkan oleh faktor kebetulan (chance factor),
misal banjir besar, dan umunya variasi acak sulit untuk diramal waktu kejadianya.
Apabila dalam deret berkala menunjukkan adanya trend maka datanya tidak
disarankan untuk digunakan pada beberapa analisis hidrologi, misal analisis peluang dan
simulasi. Apabila deret berkala itu menunjukkan adanya trend, maka analisis hidrologi
harus mengikuti garis trend yang dihasilkan, misal analisis regresi anatu analisis rata-rata
bergerak. Ketidakadaaan trend dapat diuji dengan banyak cara. Secara visual dapat
ditentukan dengan menggambarkan deret berkala dalam kertas grafik aritmatik.
A. Uji Korelasi Peringkat Metode Spearman
Trend dapat dipandang sebagai korelasi antara waktu dengan variant dari suatu
variabel hidrologi. Oleh karena itu koefisien korelasinya dapat digunakan untuk
menentukan ketidakadaan trend dari suatu deret berkala. Salah satu cara adalah dengan
16
menggunakan koefisien korelasi peringkat metode spearman yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
𝐾𝑝 = 1 −6 ∑ (𝑑𝑡)2𝑛
𝑖=1
𝑛3−𝑛 (2-1)
𝑡 = 𝐾𝑝 [𝑛−2
1−𝐾𝑝2]
1
2 (2-2)
dengan:
Kp = koefisien korelasi peringkat dari spearman
n = jumlah data
dt = Rt – Tt
Tt = peringkat dari waktu
Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala
T = nilai distribusi t, pada derajat kebebasan (n-2) untuk derajat kepercayaan tertentu
(umumnya 5%)
Uji –t digunakan untuk menentukan apakah variabel waktu dan variabel hidrologi itu
saling tergantung (dependent) atau tidak tergantung (independent). Dalam hal ini yang
diuji adalah Tt dan Rt.
B. Uji Mann dan Whitney
Uji Mann dan Whitney untuk menguji apakah satu set sampel data deret berkala
menunjukan adanya trend atau tidak dapat digunakan prosedur yang sama, yaitu dengan
menggunakan persamaan berikut, dengan cara membagi satu seri data deret berkala
menjadi dua bagian yang jumlahnya sama.
𝑈1 = 𝑁1 𝑁2 +𝑁1
2(𝑁1 + 1) − 𝑅𝑚 (2-3)
𝑈2 = 𝑁1 𝑁2 − 𝑅𝑚 (2-4)
𝑍 =𝑈−
𝑁1 𝑁22
1
12{𝑁1 𝑁2(𝑁1+𝑁2+1)}
12
(2-5)
Hipotesa nol HO, apakah kelompok I dan kelompok II berasal dari populasi yang sama.
Tabel 2.1 Nilai Tc untuk Pengujian Distribusi Normal
Derajat
Kepercayaan 0,1 0,05 0,01 0,015 0,002
Uji Satu Sisi -1,28 / +1,28 -1,654 / +1,645 -2,33 / +2,33 -2,58 / +2,58 -2,88 / +2,88
Uji Dua Sisi -1,654 / +1,645 -1,96 / +1,96 -2,58 / +2,58 -2,81 / +2,81 -3,08 / +3,08
Sumber: Bonnier (1981)
17
2.5.2 Uji Stasioner
Setelah dilakukan pengujian ketidakadaan trend apabila deret berkala tersebut tidak
menunjukkan adanya trend sebelum data deret berkala digunakan untuk analisis lanjutan
harus dilakukan uji stasioner. Apabila menunjukkan adanya trend maka deret berkala
tersebut dapat dilakukan analisis menurut garis trend yang dihasilkan. Analisis garis trend
dapat menggunakan analisis regresi. Model matematik yang digunakan untuk analisis
regresi tergantung dari kecenderungan garis trend yang dihasilkan.
Apabila menunjukkan tidak ada garis trend maka uji stasioner yang dimaksudkan
untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala. Pengujian nilai
varian dari deret berkala dapat dilakukan dengan Uji-F dengan persamaan:
𝐹 =𝑛1 𝑆1 (𝑛2−1)
𝑛2 𝑆22(𝑛1−1) (2-6)
Dengan deret berkala dibagi menjadi dua kelompok atau lebih, setiap dua kelompok
diuji menggunakan Uji-F. Apabila hasil pengujian ternyata hipotesis nol ditolak, berarti
nilai varianya tidak stabil atau tidak homogen. Deret berkala dengan nilai varianya tidak
homogen berarti deret berkala tersebut tidak stasioner, dan tidak perlu melakukan
pengujian selanjutnya.
Akan tetapi bila hipotesis nil untuk nilai varian tersebut menunjukkan stasioner, maka
pengujian selanjutnya adalah menguji kestabilan nilai rata-ratanya. Untuk rata-rata deret
berkala bila datanya dianggap sebuah populasi maka dapat dilakukan pengujian dengan
menggunakan Uji-T, berikut persamaanya,
𝑡 =𝑋𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎1−𝑋𝑟𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎2
𝜎(1
𝑛1+
1
𝑛2)
12
(2-7)
𝜎 = [𝑛1𝑆12+𝑛2𝑆22
𝑛1+𝑛2−2]
1
2 (2-8)
Seperti dalam pengujian kestabilan nilai varian, maka dalam pengujian nilai rata-rata,
data deret berkala dibagi menjadi dua kelompok atau lebih. Setiap dua pasingan kelompok
diuji. Apabila dalam pengujiannya ternyata hipotesis nol ditolak, berarti nilai rata-rata
setiap dua kelompok tidak homogen dan deret berkala tidak stasioner pada derajat
kepercayaan tertentu.
Analisis hidrologi lanjutan seperti analisis peluang, atau simulasi dapat dilakukan pada
bagian atau pada seluruh rangkaian deret berkala yang tidak mengandung trend dan
stasioner, tahap selanjutnya adalah melaksanakan uji persistensi.
18
2.5.3 Uji Persistensi
Anggapan bahwa dat berasal dari sampel acak harus diuji, yang umumnya merupakan
persyaratan dalam analisis distribusi peluang. Persistensi (persistence) adalah
ketidaktergantungan dari setiap nilai dalam deret berkala. Untuk melaksanakan pengujian
presistensi harus dihitung besarnya koefisisen korelasi serial. Salah satu metode untuk
menentukan koefisien korelasi serial adalah dengan metode spearman. Koefisien korelasi
serial metode spearman dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐾𝑠 = 1 −6 ∑ (𝑑𝑖)2𝑚
𝑖=1
𝑚3−𝑚 (2-9)
𝑡 = 𝐾𝑠 [𝑚−2
1−𝐾𝑠]
1
2 (2-10)
dengan:
Ks = koefisien korelasi serial
m = N-1
N = jumlah data
di = perbedaan nilai antara peringkat data ke Xi dan ke Xi+1
T = nilai dari distribusi-t pada derajat kebebasan m-2 dan derajat kepercayaan
tertentu (umumnya 5% ditolak, atau 95% diterima)
2.6 Jaringan Syaraf Tiruan
2.6.1 Definisi
Jaringan syaraf tiruan (JST) atau sering disebut dengan artifical neural network
(ANN) atau simulated neural network (SNN) dibuat pertama kali pada tahun 1943 oleh
neurophysiologist Waren McCulloch dan Walter Pits. Jaringan Syaraf Tiruan adalah
paradigma pemrosesan suatu informasi yang terinspirasi oleh sistem sel syaraf biologi,
sama seperti otak yang memproses suatu informasi. Elemen mendasar dari paradigma
tersebut adalah struktur yang baru dari sistem pemrosesan informasi. Jaringan Syaraf
Tiruan, seperti manusia, belajar dari suatu contoh. JST dibentuk untuk memecahkan suatu
masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran
(Siang JJ, 2005:3).
Tahun 1958, Rosenblatt memperkenalkan dan mulai mengembangkan model jaringan
yang disebut Perceptron. Metode pelatihan diperkenalkan untuk mengoptimalkan hasil
iterasinya. Widrow dan Hoff pada 1960 mengembangkan perceptron dengan
memperkenalkan aturan pelatihan jaringan, yang dikenal sebagai aturan delta (atau sering
disebut kuadrat rata-rata terkecil). Aturan ini akan mengubah bobot perceptron apabila
19
keluaran yang dihasilkan tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Apa yang dilakukan
peneliti sebelumnya hanya menggunakan jaringan dengan layer tunggal (single-layer).
Rumelhart pada tahun 1986 mengembangkan konsep perceptron menjadi
backpropagation, yang memungkinkan jaringan diproses melalui beberapa layer (multi-
layer). Selain itu, beberapa model jaringan syaraf tiruan lain juga mulai dikembangkan
oleh Kohonen pada tahun 1972, Hopfield pada tahun 1982 dan lain-lain. Memasuki tahun
1990 pengembangan jaringan syaraf tiruan mulai ramai dibicarakan dengan
menerapkannya pada aplikasi model-model untuk menyelesaikan bebagai masalah di dunia
nyata.
Menurut Kusumadewi (2003:2), Jaringan Syaraf Tiruan atau disingkat JST merupakan
salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mensimulasikan proses
pembelajaran pada otak manusia tersebut. Istilah tiruan di sini digunakan karena dapat
diimplementasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan
sejumlah proses perhitungan selama proses pembelajaran. Dalam studi ini akan digunakan
software NeuroSolutions7 untuk memodelkan JST.
2.6.2 Komponen Jaringan Syaraf Tiruan
Ada beberapa tipe jaringan syaraf tiruan, namun komponen yang dimilikinya hampir
semuanya sama. Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf tiruan juga terdiri dari
beberapa neuron, dan antara neuron-neuron tersebut saling berhubungan. Neuron-neuron
tersebut akan menginformasikan informasi yang diterima melalui sambungan menuju
neuron-neuron yang lain. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini disebut dengan bobot.
Kemudian informasi tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut.
Neuron terdiri dari 3 elemen pembentuk:
1. Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi memiliki bobot atau
kekuatan yang berbeda-beda. Bobot yang bernilai positif akan memperkuat sinyal dan
bernilai negatif akan memperlemah sinyal yang dibawanya. Jumlah, struktur dan
polahubungan antar unit-unit tersebut akan menentukan arsitektur jaringan (dan juga
model jaringan yang terbentuk).
2. Suatu unit penjumlahan yang akan menjumlahkan input-input sinyal yang sudah
dikalikan dengan bobotnya. Misalnya x1, x2, ... , xm adalah unit-unit input dan wj1, wj2,
... , wjm adalah bobot penghubung dari unit-unit tersebut ke unit keluaran Yj, maka unit
penjumlahan akan memberikan keluaran sebesar uj = x1wj1 + x2wj2 + ... + xmwjm
3. Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron akan akan
diteruskan ke neuron lain atau tidak.
20
Gambar 2.1 Struktur neuron jaringan syaraf
Sumber: Kusumadewi (2004:49)
2.6.3 Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan
Jaringan syaraf tiruan dikembangkan berdasarkan model matematis dengan
mengasumsikan (Muis, 2006:3):
a) Informasi diproses oleh elemen-elemen sederhana yang disebut neuron
b) Sinyal-sinyal dilewatkan antara neuron yang saling berhubungan
c) Setiap sambungan antara dua neuron ada bobotnya masing-masing yang akan
mengalikan sinyal yang ditransmisikan
d) Tiap neuron memiliki fungsi aktivasi yang akan menetukan besaran keluaran fungsi
2.6.4 Cara Kerja Jaringan Syaraf Tiruan
Cara kerja dari jaringan staraf tiruan adalah sebagai berikut:
a) Informasi (input) akan dikirim neuron dengan bobot kedatangan tertentu.
b) Input ini akan akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan
nilai-nilai semua bobot yang datang.
c) Hasil penjumlahan ini kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang
(threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron.
d) Apabila input tersebut melewati nilai suatu ambang tertentu, maka neuron tersebut
akan diaktifkan.
e) Apabila neuron tersebut diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output
melalui bobot-bobot output-nya ke semua neuron yang saling berhubungan.
2.6.5 Fungsi Aktivasi
Setiap neuron dalam jaringan syaraf tiruan mempunyai keadaan internal yang disebut
dengan level aktivasi atau level aktivitas yang merupakan fungsi input yang diterima.
Secara tipikal suatu neuron mengirimkan aktivitasnya ke beberapa neuron lain sebagai
sinyal. Sehingga, argumen fungsi aktivasi dipakai untuk menentukan keluaran suatu
neuron. Argumen fungsi aktivasi adalah net masukan (kombinasi linier masukan dan
bobotnya).
BobotBobot
Fungsi aktivasi
OutputOutput ke
neuron-
neuron
yang lain
Input dan
neuron-
neuron
yang lain
21
Fungsi aktivasi diharapkan dapat mendekati nilai-nilai maksimum dan minimum
secara baik. Berikut ini beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan, yaitu:
A. Fungsi Sigmoid Biner
Fungsi sigmoid biner digunakan untuk jaringan syaraf tiruan yang dilatih dengan
menggunakan metode backpropagation. Fungsi ini memiliki range 0 sampai dengan 1.
Kurva fungsi sigmoid biner adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Fungsi sigmoid biner
Sumber: Siang JJ (2005:99)
y = 0
= f(net)
= 1
1+𝑒−𝑥 (2-11)
Sumber: Siang JJ (2005:99).
B. Fungsi Sigmoid Bipolar
Fungsi sigmoid bipolar hampir sama dengan fungsi sigmoid biner, hanya saja output
dari fungsi ini memiliki range antara 1 sampai -1. Kurva fungsi sigmoid bipolar adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.3 Fungsi sigmoid bipolar
Sumber: Siang JJ (2005:100)
f(x)
1
x
0
f(x)
1
x
-1
22
y = 0
= 2 .f(net) – 1
= 2.1
1+𝑒−𝑥 - 1 (2-12)
Sumber: Siang JJ (2005:99).
dimana net sendiri adalah:
net = ∑ xiwini=0 (2-13)
Sumber: Muis (2006:4).
C. Fungsi Threshold (Batas Ambang)
f(x) = {
1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ≥ 𝑎
0 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 < 𝑎 (2-14)
Untuk beberapa kasus, fungsi threshold yang dibuat tidak berharga 0 atau 1, tetapi
berharga -1 atau 1 (sering disebut theshold bipolar).
f(x) = {
1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ≥ 𝑎
−1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 < 𝑎 (2-15)
Sumber: Siang JJ (2005:26).
D. Fungsi Identitas
Fungsi identitas atau linier akan membawa input ke output yang sebanding. Fungsi
identitas sering dipakai apabila, keluaran yang diinginkan berupa bilangan rill sembarang.
Bilangan rill (bukan hanya pada range [0,1] atau [-1,1].
f (x) = x (2-16)
Sumber: Siang JJ (2005:26).
Fungsi ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4 Fungsi identitas
Sumber: Kanata (2014)
23
2.6.6 Arsitektur Jaringan
Beberapa arsitektur jaringan yang sering dipakai dalam jaringan syaraf tiruan antara
lain (Siang JJ , 2005:24):
1. Jaringan Layar Tunggal (Single Layer Network)
Dalam jaringan ini, sekumpulan input neuron dihubungkan langsung dengan
sekumpulan output. Dalam beberapa permodelan (misalnya perceptron), hanya ada sebuah
unit neuron output. Gambar 2.5 menunjukkan arsitektur jaringan dengan n unit input (X1,
X2,… Xn) dan m unit output (Y1, Y2,… Ym). Semua unit input dihubungkan dengan semua
unit output, meskipun dengan bobot yang berbeda-beda. Tidak ada unit input yang
dihubungkan dengan unit input yang lainnya. Demikian pula dengan unit output. Besaran
wji menyatakan hubungan antara unit ke-i dalam input dengan unit ke-j dalam output.
Selama proses pelatihan bobot-bobot tersebut akan dimodifikasi untuk meningkatkan
keakuratan hasil.
Gambar 2.5 Jaringan layar tunggal
Sumber: Hermawan (2006:39)
2. Jaringan Layar Jamak (Multilayer Network)
Jaringan layar jamak merupakan perluasan dari layar tunggal. Dalam jaringan ini,
selain unit input dan output, ada unit-unit lain yang disebut layar tersembunyi (hidden
layer). Sama seperti pada unit input dan output, unit-unit dalam satu layar tidak saling
berhubungan. Jaringan layar jamak dapat menyelesaikan masalah yang lebih kompleks
dibandingkan dengan layar tunggal, meskipun kadangkala proses pelatihan lebih kompleks
dan lama.
24
Gambar 2.6 Jaringan layar jamak
Sumber: Hermawan (2006:40)
3. Jaringan dengan Lapisan Kompetitif (Competitive Layer Net)
Pada jaringan dengan lapisan kompetitif ini, umumnya hubungan antar neuronnya
tidak diperlihatkan pada diagram arsitektur dan sekumpulan neuronnya bersaing untuk
mendapatkan hak menjadi aktif. Arsitektur jaringan dengan lapisan kompetitif (competitive
layer net) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.7 dengan bobot –η berkut.
Gambar 2.7 Arsitektur jaringan dengan lapisan kompetitif (Competitive layer net)
Sumber: Hermawan (2006:41)
2.6.7 Bias dan Threshold
Pada sistem jaringan syaraf tiruan terkadang ditambahkan sebuah unit masukan yang
nilainya selalu =1. Unit tersebut disebuat bias. Bias dapat dinilai sebagai input uang
25
nilainya =1. Bias berfungsi untuk mengubah nilai threshold menjadi = 0 (bukan = a). Jika
melibatkan bias, maka keluaran unit penjumlahan adalah (Siang JJ, 2005:27):
𝑛𝑒𝑡 = 𝑏 + ∑ 𝑥𝑖𝑤𝑖𝑖 (2-17)
Fungsi aktivasi threshold menjadi:
f(net) = {
1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 ≥ 0
−1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥 < 0 (2-18)
2.6.8 Parameter Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Terdapat beberapa parameter-parameter yang digunakan sebagai batas kesalahan
dalam melakukan pembelajaran, batas minimum dari sebuah fungsi aktivasi dan kontrol
ukuran pada bobot. Parameter yang digunakan pada metode JST adalah sebagai berikut:
1. Maksimum epoch
Epoch merupakan perulangan atau iterasi dari proses yang dilakukan untuk mencapai
target yang telah ditentukan. Maksimum epoch adalah jumlah epoch maksimum yang
boleh dilakukan selama proses pelatihan. Iterasi akan dihentikan apabila nilai melebihi
maksimum epoch.
2. Learning rate
Learning rate merupakan laju pembelajaran yang berupa perkalian negatif dari
gradient untuk menentukan perubahan pada nilai bobot dan bias. Semakin besar nilai
learning rate akan berimplikasi pada semakin besarnya langkah pembelajaran. Jika nilai
learning rate yang diatur terlalu besar maka algoritma akan menjadi tidak stabil.
Sebaliknya jika nilai learning rate yang diatur terlalu kecil maka algoritma akan mencapai
target dalam jangka waktu yang lama.
3. Perhitungan error
Perhitungan error bertujuan untuk mengukur keakurasian jaringan dalam mengenali
pola yang diberikan. Ada tiga macam perhitungan error yang digunakan, yaitu:
a. Mean Square Error (MSE)
MSE merupakan error rata-rata kuadrat dari selisih antara output jaringan dengan
output target. Tujuannya adalah memperoleh nilai error sekecil-kecilnya secara
iterative dengan mengganti nilai bobot yang terhubung pada semua neuron dalam
jaringan. Untuk mengetahui seberapa banyak bobot yang diganti, setiap iterasi
memerlukan perhitungan error yang berasosiasi dengan setiap neuron pada output dan
hidden layer. Nilai MSE yang baik adalah mendekati 0 (MSE 0).
26
Rumus perhitungan MSE adalah sebagai berikut:
MSE = 1
N∑ (tk-y
k)
2Ni=1 (2-19)
b. Mean Absolute Error (MAE)
MAE merupakan perhitungan error hasil absolute dari selisih antara nilai hasil sistem
dengan nilai aktual. Nilai MAE yang baik adalah mendekati 0 (MAE 0). Rumus
perhitungan MAE adalah sebagi berikut:
MAE = 1
N∑ |tk-y
k|
2Ni=1 (2-20)
c. Mean Absolute Percentage Error (MAPE)
MAPE merupakan perhitungan error hasil absolute dari selisih antara nilai hasil
sistem dengan nilai aktual dalam bentuk persentase. Suatu pemodelan jaringan
mempunyai kinerja yang sangat baik apabila nilai MAPE berada dibawah 10% dan
mempunyai kinerja yang baik apabila berada diantara 10% dan 20%. Rumus
perhitungan MAPE adalah sebagai berikut:
MAPE = 1
N∑ |tk-y
k|. 100%N
i=1 (2-21)
dengan:
tk = nilai output target
yk = nilai output jaringan
N = jumlah output dari neuron
4. Kesalahan Relatif (KR)
Perhitungan kesalahan relatif adalah perhitungan absolute dari output jaringan dan
output target dibagi output target yang telah dirata-rata. Perhitungan ini bertujuan untuk
membuktikan bahwa hasil output jaringan dan output target mempunyai nilai yang tidak
jauh berbeda. Interval keakuratan dari hasil peramalan yang dilakukan umumnya adalah
95%, sehingga taraf kesalahan yang diinjinkan adalah 5%.
KR = 1
𝑁∑
|tk-yk|
tk . 100% (2-22)
2.7 Proses Pelatihan
Berdasarkan cara memodifikasi bobotnya, terdapat dua macam pelatihan yang dikenal
yaitu metode pelatihan terawasi (supervised learning), dan pelatihan tak terawasi
(unsupervised learning). Dalam pelatihan terawasi, terdapat sejumlah pasangan data
(masukan – target keluaran) yang dipakai untuk melatih jaringan hingga diperoleh bobot
yang diinginkan. Pada setiap pelatihan, suatu input diberikan ke jaringan. Jaringan akan
27
memproses dan mengeluarkan output. Selisih antara keluaran jaringan dengan target
(keluaran yang diinginkan) merupakan kesalahan yang terjadi. Jaringan akan memodifikasi
bobot sesuai dengan kesalahan tersebut. Sistem jaringan ulang menggunakan pelatihan
dengan supervisi adalah backpropagation, perceptron, dan adaline. Sedangkan dalam
pelatihan tanpa supervisi, perubahan bobot jaringan dilakukan berdasarkan parameter
tertentu dan jaringan dimodifikasi menurut ukuran parameter tersebut (Siang JJ, 2005:28).
Ada banyaknya teknik (algoritma) jaringan saraf tiruan yang tersedia. Teknik-teknik
yang ada saat ini memiliki arsitektur yang sangat beragam dan canggih. Ini berbeda jauh
dengan arsitektur jaringan saraf tiruan pada masa-masa awal perkembangan jaringan saraf
tiruan. Macam dari algoritma jaringan syaraf tiruan akan diuraikan pada subbab
selanjutnya.
2.7.1 Algoritma Hebb
Model neuron yang diperkenalkn McCulloch-Pitts mengharuskan kita untuk
menentukan bobot garis dan bias secara analitik. Pada masalah yang kompleks, hal ini
sangat sulit dilakukan. Pada tahun 1949, D.O Hebb memperkenalkan cara menghitung
bobot dan bias secara iteratif. model hebb adalah model tertua yang menggunakan aturan
supervisi. Dasar dari algoritma Hebb adalah kenyataan bahwa apabila 2 neuron yang
dihubungkan dengan sinapsis secara serentak menjadi aktif (sama-sama bernilai positif dan
negatif), maka kekuatan sinapsisnya sinkron (salah satu bernilai positif dan yang lain
bernilai negatif), maka kekuatan sinapsisnya akan melemah. Karena itulah dalam setiap
iterasi, bobot sinapsis dan bias diubah berdasarkan perkalian neuronneuron di kedua
sisinya. Untuk jaringan layar tunggal dengan 1 unit keluaran dimana semua unit masukan
xi terhubbung langsung dengan unit keluaran y, maka perubahan nilai bobot dilakukan
berdasarkan persamaan (Siang JJ, 2004:44):
wi (baru) = wi (lama) + xi y (2-23)
Algoritma pelatihan Hebb dengan vektor input s dan unit target t adalah sebagai berikut:
1) Inisialisasi semua bobot = wi = 0 (i = 1, ..., n)
2) Untuk semua vektor input s dan unit target t, lakukan:
a. Set aktivasi unit masukan xi = si (i=1, ..., n)
b. Set aktivasi unit keluaran: y =t
c. Perbaiki bobot menurut persamaan
wi (baru) = wi (lama) + Δw (i = 1, ..., n) dengan Δw = xi y
d. Perbaiki bias menurut persamaan:
b (baru) = b (lama) + y (2-24)
28
Perhatikan bahwa perbaikan bias dilakukan sama seperti bobot. Arsitektur jaringan
hebb sama dengan jaringan McCulloch-Pitts. Beberapa unit masukan dihubungkan
langsung dengan sebuah nit keluaran, ditambah dengan sebuah bias. Masalah yang sering
timbul dalam jaringan Hebb adalah dalam menentukan representasi data masukan/keluaran
untuk fungsi aktivasi yang berupa threshold. Representasi yang sering dipakai adalah
bipolar (nilai -1 atau 1). Kadangkala jaringan dapat menentukan pola secara benar jika
dipakai representasi biner (nilai 0 atau 1).
2.7.2 Algoritma Perceptron
Model jaringan perceptron ditemukan oleh Rosenblatt (1962) dan Minsky – Papert
(1969). Model tersebut merupakan model yang memiliki aplikasi dan pelatihan yang paling
baik pada era tersebut. Perceptron termasuk kedalam salah satu bentuk Jaringan Syaraf
Tiruan yang sederhana. Perceptron biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu
tipe pola tertentu yang sering dikenal dengan istilah pemisahan secara linear. Pada
dasarnya perceptron pada Jaringan Syaraf dengan satu lapisan memiliki bobot yang bisa
diatur dan suatu nilai ambang. Algoritma yang digunakan oleh aturan perceptron ini akan
mengatur parameter-parameter bebasnya melalui proses pembelajaran. Fungsi aktivasi
dibuat sedemikian rupa sehingga terjadi pembatasan antara daerah positif dan daerah
negatif. Fungsi aktivasi bukan merupakan fungsi biner (bipolar) tetapi memiliki
kemungkinan nilai -1, 0, atau 1 (Siang JJ, 2004:59). Untuk suatu harga threshold θ yang
ditentukan:
Secara geometris fungsi aktivasi membentuk 2 garis sekaligus, masing – masing
dengan persamaan:
W1X1 + W2X2 + …+ WnXn + b = θ, dan (2-26)
W1X1 + W2X2 + …+ WnXn + b = -θ (2-27)
Pelatihan Perceptron. Misalkan:
S adalah vector masukan dan t adalah target keluaran
α adalah laju pemahaman ( learning rate ) yang ditentukan
θ adalah threshold yang ditentukan.
Algoritma pelatihan perceptron adalah sebagai berikut:
a. Inisialisasi semua bobot dan bias ( umumnya wi = b 0 )
(2-25)
29
Tentukan laju pemahaman (=α). Untuk penyederhanaan biasanya α diberi nilai = 1
b. Selama ada elemen vector masukan yang respon unit keluarannya tidak sama dengan
target, lakukan:
1) Set aktivasi unit masukan xi = si ( i = 1,…n)
2) Hitung respon unit keluaran: net = ∑ xiwi + b
c. Perbaiki bobot pola yang mengandung kesalahan (y ≠ t ) menurut persamaan:
Wi (baru) = wi (lama) + ∆ w (i=1,…n) dengan ∆ w = α t xi (2-29)
b (baru) = b (lama) + ∆ b dengan ∆ b = α t (2-30)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam algoritma tersebut:
a) Iterasi dilakukan terus hingga semua pola memiliki keluaran jaringan yang sama
dengan targetnya ( jaringan sudah memahami pola). Iterasi tidak berhenti setelah
semua pola dimasukan seperti yang terjadi pada model Hebb.
b) Perubahan bobot hanya dilakukan pada pola yang mengandung kesalahan (keluaran
jaringan ≠ target ). Perubahan tersebut merupakan hasil kali unit masukan dengan
target laju pemahaman. Perubahan bobot hanya akan terjadi kalau unit masukan ≠ 0.
Perceptron kemudian dikembangkan dengan menambah layer jaringan. Jaringan saraf
tiruan multilayer perceptron merupakan perkembangan dari jaringan saraf tiruan
perceptron yang bertujuan untuk menutupi keterbatasan kemampuan dari jaringan saraf
tiruan perceptron dalam melakukan operasi logika yang kompleks. Dengan adanya
penambahan satu layer yaitu hidden layer, jaringan saraf tiruan multilayer perceptron
mampu menyelesaikan permasalahan operasi logic yang kompleks sehingga jaringan saraf
tiruan multilayer perceptron menjadi salah satu jaringan yang powerfull dan menjadi
jaringan yang sering digunakan untuk menyelesaikan permasalahan klasifikasi,
pengenalan, dan prediksi. Jaringan saraf tiruan multilayer perceptron melakukan proses
training bertujuan untuk melakukan generalisasi dengan baik. Selama proses training,
jaringan saraf tiruan multilayer perceptron merubah bobot – bobot jaringannya untuk
membentuk arsitektur jaringannya sehingga dapat diketahui apakah jaringan saraf tiruan
multilayer perceptron memiliki kemampuan generalisasi yang baik atau tidak.
Multi-Layer Perceptron adalah jaringan syaraf tiruan feed-forward yang terdiri dari
sejumlah neuron yang dihubungkan oleh bobot-bobot penghubung. Neuron-neuron
(2-28)
30
tersebut disusun dalam lapisan-lapisan yang terdiri dari satu lapisan input (input layer),
satu atau lebih lapisan tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan output (output layer).
Lapisan input menerima sinyal dari luar, kemudian melewatkannya ke lapisan tersembunyi
pertama, yang akan diteruskan sehingga akhirnya mencapai lapisan output.
Tidak ada batasan banyaknya hidden layer dan jumlah neuron pada setiap layernya.
Setiap neuron pada input layer terhubung dengan setiap neuron pada hidden layer.
Demikian juga, setiap neuron pada hidden layer terhubung ke setiap neuron pada output
layer. Setiap neuron, kecuali pada layer input, memiliki input tambahan yang disebut bias.
Bilangan yang diperlihatkan pada gambar di atas digunakan untuk mengidentifikasi setiap
node pada masing-masing layer.
Kemudian, jaringan dilatih agar keluaran jaringan sesuai dengan pola pasangan
masukan-target yang telah ditentukan. Proses pelatihan adalah proses iteratif untuk
mementukan bobot-bobot koneksi antara neuron yang paling optimal. Kata
backpropagation yang sering dikaitkan pada MLP merujuk pada cara bagaimana gradien
perubahan bobot dihitung. Jaringan MLP yang sudah dilatih dengan baik akan memberikan
keluaran yang masuk akal jika diberi masukan yang serupa (tidak harus sama) dengan pola
yang dipakai dalam pelatihan.
2.7.3 Algoritma ADALINE
Model adaline (Adaptive Linear Neuron) ditemukan oleh Widrow dan Hoff (1960).
Arsitekturnya mirip dengan perceptron. Beberapa masukan dan sebuah bias dihubungkan
langsung dengan sebuah neuron keluaran. Perbedaan dengan perceptron adalah dalam hal
cara modifikasi bobotnya. Bobot dimodifikasi dengan aturan delta (sering juga disebut
least mean square). Selama pelatihan, fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi identitas.
Net = Σ xiwi + b (2-31)
Y = f (net) = net = Σ xiwi + b (2-32)
Kuadrat selisih antara target (t) dan keluaran jaringan (f(net)) merupakan error yang
terjadi. Dalam aturan delta, bobot dimodifikasi sedemikian hingga errornya minimum.
E = (t-f(net))2 = (t – (Σ xiwi + b))2 (2-33)
E merupakan fungsi bobot wi. Penurunan E tercepat terjadi pada arah
𝜕𝐸
𝜕𝑤𝑖= -2 (t-(Σ xiwi + b )) xi = -2 (t-y) xi. (2-34)
Maka perubahan bobot adalah:
Δwi = α (t-y) xi dengan α merupakan bilangan positif kecil (umumnya diambil = 0.1)
31
Algoritma pelatihan ADALINE adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi semua bobot dan bias (umumnya wi = b = 0)
Tentukan laju pemahaman (=α). Unuk penyederhanaan biasanya α diberi nilai kecil
(=0.1)
2. Selama max Δwi> batas toleransi, lakukan:
a. Set aktivasi unit masukan xi = si (i = 1, ..., n)
b. Hitung respon unit keluaran: net = Σ xiwi + b
Y = f(net) = net
c. Perbaiki bobot pola yang mengandungkesalahan (y ≠ t) menurut persamaan:
Wi (baru) = wi (lama) + α (t-y) i (2-35)
B (baru) = b (lama) + α (t-y) (2-36)
Setelah proses pelatihan selesai, ADALINE dapat dipakai untuk pengenalan pola.
Untuk itu, umumnya dipakai fungsi threshold bipolar (meskipun tidak menutup
kemungkinan digunakan bentuk lainnya). Caranya adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi semua bobot dan bias dengan bobot dan bias hasil pelatihan
2. Untuk setiap input masukan bipolar x, lakukan:
a. Set aktivasi unit masukan xi = si (i = 1, ..., n)
b. Hitung net vktor keluaran:
Net = Σ xiwi + b (2-37)
c. Kenakan fungsi aktivasi:
𝑦 = {−1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑛𝑒𝑡 <01 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑛𝑒𝑡 ≥0
(2-38)
2.7.4 Algoritma Backpropagation
Jaringan perambatan galat mundur (backpropagation) merupakan salah satu algoritma
yang sering digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Jaringan
perambatan galat mundur (backpropagation) merupakan salah satu algoritma yang sering
digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit karena, algoritma ini dilatih
dengan menggunakan metode belajar terbimbing. Pada jaringan diberikan sepasang pola
yang terdiri dari pola masukan dan pola yang diinginkan. Ketika suatu pola diberikan
kepada jaringan, bobot-bobot diubah untuk memperkecil perbedaan pola keluaran dan pola
yang diinginkan. Pelatihan ini dilakukan berulang-ulang sehingga semua pola yang
dikeluarkan jaringan dapat memenuhi pola yang diinginkan.
Algoritma pelatihan jaringan syaraf perambatan galat mundur terdiri atas dua langkah,
yaitu perambatan maju dan perambatan mundur. Algoritma backpropogation
32
menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur
(backward). Untuk mendapatkan error ini tahap perambatan maju (forward propagation)
harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron di aktifkan
dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan, seperti sigmoid, atau
tansig, atau purelin.
Langkah perambatan maju dan perambatan mundur ini dilakukan pada jaringan untuk
setiap pola yang diberikan selama jaringan mengalami pelatihan. Jaringan perambatan
galat mundur terdiri atas tiga lapisan atau lebih unit pengolahan.
Jaringan perambatan galat mundur terdiri atas tiga lapisan atau lebih unit pengolah
Gambar 2.8 menunjukkan jaringan perambatan galat mundur dengan tiga lapisan
pengolahan, bagian bawah sebagai masukan, bagian tengah disebut sebagai lapisan
tersembunyi dan bagian atas disebut lapisan keluaran.Ketiga lapisan ini terhubung secara
penuh.
Gambar 2.8 Lapisan jaringan backpropagation
Sumber: Hermawan (2006:50)
Gambar 2.9 menunjukkan arsitektur jaringan backpropagation dimana 𝑣𝑗𝑖 merupakan
bobot garis dari unit masukan 𝑥𝑖 ke unit layar tersembunyi 𝑧𝑗 (𝑣𝑗0merupakan bobot garis
yang menghubungkan bias di unit masukan ke unit layar tersembunyi 𝑧𝑗). Sedangkan 𝑤𝑘𝑗
merupakan bobot dari unit layar tersembunyi 𝑧𝑗 ke unit keluaran 𝑦𝑘 (𝑤𝑘0 merupakan bobot
dari bias di layar tersembunyi ke unit keluaran 𝑧𝑘).
33
Gambar 2.9 Arsitektur backpropagation
Sumber: Siang JJ (2004:98)
A. Pelatihan Backpropagation
Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase. Fase pertama adalah fase maju. Pola
masukan dihitung maju mulai dari layar masukan hingga layar keluaran menggunakan
fungsi aktivasi yang ditentukan. Fase kedua adalah fase mundur. Selisih antara keluaran
jaringan dengan target yang diinginkan merupakan kesalahan yang terjadi. Kesalahan
tersebut dipropagasikan mundur, dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan
unit-unit di layar keluaran. Fase ketiga adalah modifikasi bobot untuk menurunkan
kesalahan yang terjadi (Siang JJ, 2004:100). Berikut merupakan penjelasan dari masing-
masing fase pelatihannya.
Fase I: Propagasi Maju
Pada fase propagasi maju, sinyal masukan (= 𝑥𝑖) dipropagasikan ke layar tersembunyi
menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran dari setiap unit layar tersembunyi
(= 𝑧𝑗) tersebut selanjutnya dipropagasikan maju ke lapisan selanjutnya. Demikian
seterusnya sampai menghasilkan keluaran jaringan (= 𝑦𝑘). Berikutnya, keluaran jaringan
(= 𝑦𝑘) dibandingkan dengan target yang harus dicapai (= 𝑡𝑘). Selisih 𝑡𝑘 − 𝑦𝑘 adalah
kesalahan yang terjadi. Jika kesalahan yang terjadi lebih kecil dari batas toleransi yang
ditentukan, maka iterasi dihentikan. Namun, apabila kesalahan yang terjadi lebih besar dari
batas toleransi yang ditentukan, maka bobot setiap garis dalam jaringan akan dimodifikasi
untuk mengurangi kesalahan yang terjadi.
34
Fase II: Propagasi Mundur
Berdasarkan kesalahan 𝑡𝑘 − 𝑦𝑘, dihitung faktor 𝛿𝑘 (k = 1,2, … , m) yang dipakai
untuk mendistribusikan kesalahan di unit 𝑦𝑘 ke semua unit tersembunyi yang terhubung
langsung dengan . 𝛿𝑘 juga dipakai untuk mengubah bobot garis yang berhubungan
langsung dengan unit keluaran. Dengan cara yang sama, dihitung 𝛿𝑗 di setiap unit di layar
tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari unit tersembunyi
di layar bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua faktor 𝛿 di unit tersembunyi yang
berhubungan dengan unit masukan dihitung.
Fase III: Perubahan Bobot
Setelah semua faktor 𝛿 dihitung, bobot semua garis dimodifikasi bersamaan.
Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor 𝛿 neuron di layar atasnya. Ketiga fase
tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian dipenuhi. Umunya kondisi
penghentian yang sering dipakai adalah jumlah iterasi atau kesalahan. Iterasi akan
dihentikan jika jumlah iterasi yang dilakukan sudah melebihi jumlah maksimum iterasi
yang ditetapkan, atau jika kesalahan yang terjadi sudah lebih kecil dari batas toleransi yang
diinjinkan.
Alogaritma pelatihan untuk jaringan dengan satu layar tersembunyi adalah sebagai
berikut:
1. Inisialisasi bobot (dengan nilai acak yang cukup kecil)
2. Tetapkan: Epoch = 0, MSE = 1
Fase I: Propagasi Maju
3. Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskannya ke unit tersembunyi di
atasnya.
4. Hitung semua keluaran di unit tersembunyi zj(j = 1, 2, ..., p)
z_net j = vj0 + ∑ 𝑋𝑖 𝑉𝑗𝑖𝑛𝑖=1 (2-39)
zj = f (z_net j) = 1
1+ 𝑒−𝑧𝑛𝑒𝑡𝑗 (2-40)
5. Hitung semua keluaran jaringan di unit yk (k = 1, 2, ..., m)
y_net k = wk0 + ∑ 𝑍𝑗 𝑊𝑘𝑗𝑝𝑗=1 (2-41)
yk = f (y_net k) = 1
1+ 𝑒−𝑦𝑘 (2-42)
Fase II: Propagasi Mundur
6. Hitung faktor δ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit keluaran yk
(k = 1, 2, ..., m)
δk = (tk – yk) f’ (y_net k) = (tk – yk) yk (1 – yk) (2-43)
35
δk merupakan unit kesalahan yang akan dipakai dalam perubahan bobot layar
dibawahnya (langkah 7). Hitung suku perubahan bobot wkj (yang akan dipakai nanti
untuk merubah bobot wkj) dengan laju percepatan α. (k = 1, 2, ..., m ; j = 0, 1, ..., p)
∆wkj = α δk zj (2-44)
7. Hitung faktor δ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit tersembunyi zj
(j = 1, 2, ..., p)
δ_net j = ∑ 𝛿𝑘 𝑊𝑘𝑗𝑚𝑘=1 (2-45)
faktor δ unit tersembunyi:
δj = δ_net j f’(z_net j) = δ_net j zj(1 – zj) (2-46)
Hitung suku perubahan bobot vji (yang akan dipakai untuk merubah bobot vji).
(j = 1, 2, ..., p ; i = 0, 1, ..., n)
∆vji = α δj xi (2-47)
Fase III: Perubahan bobot
8. Hitung semua perubahan bobot
Perubahan bobot garis yang ke unit keluaran: (k = 1, 2, .., m; j = 0, 1,..., p)
wkj (baru) = wkj (lama) + ∆wj (2-48)
Perubahan bobot garis yang ke unit tersembunyi: (j = 1,2,.., p; i = 0,1,.., n)
vji (baru) = vji (lama) + ∆ji (2-49)
Setelah pelatihan selesai dilakukan, jaringan dapat dipakai untuk pengenalan pola.
Dalam hal ini, hanya propagasi maju (langkah 4 dan 5) saja yang dipakai untuk
menentukan keluaran jaringan. Apabila fungsi aktivasi yang dipakai bukan sigmoid biner,
maka langkah 4 dan 5 harus disesuaikan. Demikian pula pada turunannya pada langkah 6
dan 7.
B. Optimasi Arsitektur Backpropagation
Masalah utama yang dihadapi dalam backpropagation adalah lamanya iterasi yang
harus dilakukan. Backpropagation tidak dapat memberi kepastian tentang berapa epoch
yang harus dilalui untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Oleh karena itu parameter-
parameter jaringan dicoba-coba untuk menghasilkan jumlah iterasi yang relatif lebih
sedikit.
C. Pemilihan Bobot dan Bias Awal
Bobot awal akan mempengaruhi apakah jaringan mencapai titik minimum lokal atau
global, dan seberapa cepat konvergensinya. Bobot yang menghasilkan nilai turunan
aktivasi yang kecil sedapat mungkin dihindari karena akan menyebabkan perubahan
bobotnya menjadi sangat kecil. Demikian pula nilai bobot awal tidak boleh terlalu besar
36
karena nilai turunan fungsi aktivasinya menjadi sangat kecil juga. Oleh karena itu dalam
standar backpropagation, bobot dan bias diisi dengan bilangan acak kecil.
Nguyen dan Widrow (1990 dalam Siang JJ 2004:104) mengusulkan cara membuat
inisialisasi bobot dan bias ke unit tersembunyi sehingga menghasilkan iterasi lebih cepat.
Misal: n = jumlah unit masukan
P = jumlah unit tersembunyi
β = faktor skala = 0,7 √𝑝𝑛
Alogaritma inisialisasi Nguyen Widrow adalah sebagai berikut:
a. Inisialisasi semua bobot (vji (lama)) dengan bilangan acak dalam interval
b. Hitung ‖vj‖ = √𝑉2𝑗1 + 𝑉2𝑗2 + ⋯ + 𝑉2𝑗𝑛 (2-50)
c. Bobot yang dipakai sebagai inisialisasi = vji = 𝛽 𝑉𝑗𝑖 (𝑙𝑎𝑚𝑎)
‖𝑣𝑗‖ (2-51)
d. Bias yang dipakai sebagai inisialisasi = vj0 = bilangan acak antara –β dan β
D. Jumlah Unit Tersembunyi
Hasil teoritis yang dapat menunjukkan bahwa jaringan dengan sebuah layar
tersembunyi sudah cukup bagi backpropagation untuk mengenali korelasi antara masukan
dan target dengan tingkat ketelitian yang ditentukan. Akan tetapi penambahan jumlah
lapisan ptersembunyi terkadang membuat pelatihan lebih mudah.
Jika jaringan memiliki lebih dari satu layar tersembunyi, maka alogaritma pelatihan
yang dijabarkan sebelumnya perlu direvisi. Dalam propagasi maju, keluaran harus dihitung
untuk tiap layar, dimulai dari layar tersembunyi paling bawah (terdekat dengan masukan).
Sebaliknya, dalam propagasi mundur, faktor δ perlu dihitung untuk setiap layar
tersembunyi, dimulai dari layar keluaran (Siang JJ, 2004:111).
E. Jumlah Pola Penelitian
Tidak ada kepastian tentang berapa banyak pola yang diperlukan agar jaringan dapat
dilatih dengan sempurna. Jumlah pola yang dibutuhkan dipengaruhi oleh banyaknya bobot
dalam jaringan serta tingkat akurasi yang diharapkan. Aturan kasarnya dapat ditentukan
berdasarkan rumus (Siang JJ, 2004:111):
Jumlah pola = jumlah bobot / tingkat akurasi (2-52)
Untuk jaringan dengan 80 bobot dan tingkat akurasi 0,1 maka 800 pola masukan
diharapkan akan mampu mengenali dengan benar 90% pola diantaranya.
F. Lama Iterasi
Tujuan utama penggunaan backpropagation adalah mendapatkan keseimbangan antara
pengenalan pola pelatihan secara benar dan respon yang baik untuk pola lain yang sejenis
37
(data pengujian). Jaringan dapat dilatih terus menerus hingga semua pola pelatihan dikenali
dengan benar. Akan tetapi hal itu tidak menjamin jaringan akan mampu mengenali pola
pengujian yang tepat. Jadi tidaklah bermanfaat untuk menerusakan iterasi hingga semua
kesalahan pola pelatihan = 0.
Umumnya data dibagi menjadi dua bagian, yaitu pola data yang dipakai sebagai
pelatihan dan data yang dipakai untuk pengujian. Perubahan bobot dilakukan berdasarkan
pola pelatihan. Akan tetapi selama pelatihan (misalnya setiap 10 epoch), kesalahan yang
terjadi dihitung berdasarkan semua data (pelatihan dan pengujian). Selama kesalahan ini
menurun, pelatihan terus dijalankan. Akan tetapi jika kesalahannya sudah meningkat,
pelatihan tidak ada gunanya lagi untuk diteruskan. Jaringan sudah mulai mengambil sifat
yang hanya dimiliki secara spesifik oleh data pelatihan (tetapi tidak dimiliki oleh data
pengujian) dan sudah mulai kehilangan kemampuan melakukan generalisasi (Siang JJ,
2004:112).
2.8 JST untuk Peramalan
Salah satu bidang dimana JST dapat diaplikasikan dengan baik adalah bidang
peramalan (forecasting). Peramalan yang sering kita dengar adalah peramalan besarnya
penjualan, nilai tukar valuta asing, prediksi besarnya aliran air sungai, dll.
Secara umum, masalah peramalan dapat dinyatakan sebagai berikut, diketahui
sejumlah data runtun waktu (time series) x1, x2 , .... ,xn. Masalahnya adalah memperkirakan
berapa harga xn+1 berdasarkan x1, x2 , .... ,xn. Dengan JST misal backpropagation, record
data dipakai sebagai data pelatihan untuk mencari bobot yang optimal. Untuk itu kita perlu
menetapkan besarnya periode dimana data berfluktuasi. Periode ini kita tentukan secara
intuitif.
Bagian tersulit adalah menentukan jumlah layar (dan unitnya). Tidak ada teori yang
dengan pasti dapat dipakai. Tapi secara praktis dicoba jaringan yang kecil terlebih dahulu
(misal terdiri dari 1 layar tersembunyi dengan beberapa unit saja). Jika gagal (kesalahan
tidak turun dalam epoch yang besar), maka jaringan diperbesar dengan menambahkan unit
tersembunyi atau bahkan menambah layar tersembunyi.
2.9 NeuroSolutions7
2.9.1 Neurosolutions For Excel
NeuroSolutions adalah paket perangkat lunak jaringan syaraf tiruan yang mudah
digunakan untuk Windows. Yang menggabungkan modular, desain antarmuka jaringan
38
berbasis ikon dengan implementasi Kecerdasan buatan dan algoritma pembelajaran yang
canggih dengan menggunakan langkah intuitif atau antarmuka dengan Excel yang mudah
digunakan. Lakukan peramalan penjualan, prediksi olahraga, klasifikasi medis, dan banyak
lagi dengan NeuroSolutions.
Proses jaringan syaraf tiruan itu cukup panjang dengan persamaan matematika yang
rumit dan NeuroSolutions dirancang untuk membuat teknologinya menjadi simpel dan
mudah diakses oleh para pengembang jaringan syaraf pemula dan lanjutan. Ada tiga fase
dasar dalam analisis jaringan syaraf: pelatihan jaringan pada data Anda, pengujian jaringan
untuk akurasi dan membuat prediksi / klasifikasi dari data baru. Hanya Express Builder di
NeuroSolutions Excel dapat menyelesaikan semua ini secara otomatis dalam satu langkah
sederhana.
Dengan NeuroSolutions for Excel, akan mudah memulai dengan cepat dalam
memecahkan masalah Anda masalah. Ini menyediakan desain antarmuka yang mudah
digunakan dan intuitif agar pengguna dapat dengan mudah menyiapkan simulasi secara
otomatis membangun, melatih dan menguji beberapa topologi jaringan syaraf tiruan dan
menghasilkan laporan hasil yang mudah dibaca termasuk model berkinerja terbaik.
2.9.2 Pembagian Data (Tag Data)
Sebelum memodelkan JST, langkah awal adalah menyiapkan data lalu membaginya
kebagian mana input, desire, training, cross validation, testing dan as production. Untuk
input dan desire dibagi berdasarkan columns data. Sedangkan training, cross validation,
testing dan as production dibagi berdasarkan rows data. Pembagian data menurut baris
(rows) bisa dilakukan secara otomatis berdasarkan persentase jumlahnya dengan rows by
percentages. Fitur ini Menyediakan metode yang cepat untuk menandai beberapa baris
data.
Mungkin sudah jelas peran dari set data pelatihan dan pengujian, tapi kita sering
ditanya “Apa itu Cross Validation?”. Cross Validation adalah kumpulan data set lain yang
digunakan selama proses pelatihan untuk membantu Mencegah model jaringan syaraf
tiruan dari overspecializing pada data pelatihan. Jadi ketika jaringan syaraf berada pada
tahap Pelatihan, perangkat lunak juga menggunakan data validasi silang untuk menguji
jaringan secara simultan untuk menghentikan Pelatihan jaringan syaraf sebelum mulai
menjadi overspecializing dalam data pelatihan.
2.9.3 Pembuatan Jaringan (Build Network)
Berbagi macam jaringan bisa dibuat dengan aplikasi ini. Salah satu bentuk jaringan
default yang dapat dibuat adalah regression MLP. Saat item menu ini dipilih, breadboard
39
akan dibuat dengan Excel dan NeuroSolutions breadboard adalah jaringan Multilayer
Perceptron satu lapisan tersembunyi (MLP) yang disiapkan bersama semua Komponen
untuk memecahkan masalah regresi (yaitu, pendekatan fungsi). Hal ini umumnya
direkomendasikan untuk kumpulan data lebih besar dari 1000 baris untuk menghindari
over-fitting, namun kumpulan data yang lebih kecil dapat digunakan.
Multilayer perceptrons (MLPs) adalah jaringan feedforward berlapis yang biasanya
dilatih dengan backpropagation statis. Jaringan akan menemukan cara mereka ke dalam
aplikasi yang tak terhitung jumlahnya yang membutuhkan klasifikasi pola statis.
Keuntungan utama mereka adalah mudah digunakan, dan mereka bisa mendekati peta
input atau output apapun. Kelemahan utamanya adalah mereka berlatih dengan lambat, dan
memerlukan banyak data pelatihan (biasanya tiga kali lebih banyak sampel pelatihan
daripada bobot jaringan).
2.9.4 Pelatihan Jaringan (Train Network)
Breadboard NeuroSolutions aktif dilatih satu kali dan bobot jaringan terbaik disimpan
(catatan: bobot jaringan terbaik disimpan pada saat kesalahan validasi minimum jika opsi
cross validation digunakan. Atau saat jika epoch pelatihan dengan error terkecil. Laporan
Dari hasil pelatihan tersebut kemudian dihasilkan. Laporan yang dihasilkan berisi
informasi berikut:
1. Plot MSE versus Epoch.
2. Tabel yang menunjukkan MSE pelatihan yang minimum, periode dimana MSE
pelatihan minimum ini terjadi, dan MSE pelatihan terakhir.
2.9.5 Uji Jaringan (Test Network)
NeuroSolutons Memungkinkan pengguna untuk menguji jaringan pada kumpulan data
yang dipilih (Training, Cross Validation, atau Testing). Pengguna juga Memiliki pilihan
untuk menggunakan bobot jaringan saat ini atau menggunakan bobot jaringan terbaik
(catatan: Jika validasi silang digunakan selama pelatihan, bobot jaringan terbaik adalah
yang memberikan kesalahan validasi lintas minimum. Jika tidak, bobot jaringan terbaik
adalah yang memberikan kesalahan pelatihan minimum) yang disimpan selama pelatihan
Uji coba (catatan: jika Anda memilih untuk memuat bobot jaringan terbaik, breadboard
aktif harus sama topologinya sebagai salah satu yang bobot terbaik diciptakan). Selama
pengujian, pembelajaran dimatikan dan Kumpulan data yang dipilih diumpankan melalui
jaringan. Output jaringan dikumpulkan dan sebuah laporan kemudian dihasilkan
menunjukkan hasil pengujian. Isi dari laporan yang dihasilkan ini bervariasi berdasarkan
pada apakah Klasifikasi atau Jenis laporan regresi dipilih.
40
1. Regresi yang dipilih: Plot dari output jaringan dan output jaringan yang diinginkan
untuk setiap output. Setiap output yang diinginkan akan diplot sebagai warna solid dan
output jaringan yang sesuai akan menjadi garis putus-putus Warnanya sama. Untuk
masalah dengan output tunggal, plot scatter juga akan dihasilkan.
2. Klasifikasi yang dipilih: matriks menunjukkan jumlah keluaran yang diklasifikasikan
sebagai anggota masing-masing kelas.
3. Tabel yang melaporkan MSE, NMSE, MAE, kesalahan absolut minimum, kesalahan
absolut maksimum, dan koefisien korelasi (r) untuk setiap keluaran. Perhatikan bahwa
MSE diukur dengan menggunakan keluaran yang diinginkan (yaitu tidak
dinormalisasi), yang berbeda daripada MSE yang dilaporkan dalam laporan Pelatihan
(yang merupakan setengah dari kesalahan kuadrat-normal). Jika Jenis laporan
klasifikasi dipilih, tabel ini juga mencakup persentase yang benar untuk setiap kelas.
2.9.6 Produksi (Production)
Pilih item menu ini untuk menerapkan model syaraf anda ke data yang ditandai
sebagai production. Ini akan memberikan hasil produksi Masukan data ke dalam model
neural dan menghasilkan output model. Outputnya akan ditulis kembali ke data anda pada
lembar di lokasi yang untuk produksi. Perhatikan bahwa menurut definisi, data produksi
tidak memiliki output yang diinginkan karena data produksi adalah data yang digunakan
untuk penerapan model syaraf. Demikian, lokasi yang diinginkan produksi akan kosong
sampai dataset produksi diterapkan.
2.10 Metode Neraca Massa
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 110 Tahun 2003 tentang
pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air, penentuan daya
tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan
menggunakan metode neraca massa. Model matematika yang menggunakan perhitungan
neraca massa dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir
(downstream) yang berasal dari sumber pencemar point sources dan non point sources,
perhitungan ini dapat pula dipakai untuk menentukan persentase perubahan laju alir atau
beban polutan. Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas
air dan massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca
massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan
CR = ∑ 𝐶𝑖 𝑄𝑖
∑ 𝑄𝑖 =
∑ 𝑀𝑖
∑ 𝑄𝑖 (2-53)
41
dengan:
CR = konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan
Ci = konsentrasi konstituen pada aliran ke-i
Qi = debit aliran ke-i
Mi = massa konstituen pada aliran ke-i
Metode neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi
terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu proyek, dan
dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada danau, dan samudera.
Tetapi metode neraca massa ini hanya tepat digunakan untuk komponen-komponen yang
konservatif yaitu komponen yang tidak mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak
hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya)
selama proses pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan
neraca massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan
pendekatan saja.
Gambar 2.10 Profil aliran sungai
Sumber: KEPMEN LH No. 110 (2003)
Keterangan:
1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar
2. Aliran sumber pencemar A
3. Aliran sumber pencemar B
4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar
2.11 Pengukuran di Lapangan
2.11.1 Pengukuran Parameter Kualitas Air
Pengukuran kualitas air sungai di lapangan bertujuan untuk mengetahui yang
sesungguhnya kondisi nilai yang valid dengan menggunakan alat ukur HORIBA untuk
parameter kualitas air Oksigen terlarut (DO), Keasaman (pH), suhu (T).
42
Horiba adalah adalah alat ukur kualitas air yang memiliki banyak aplikasi, seperti
mengukur Oksigen dalam air, tingkat kekeruhan air, suhu air, potensial reduksi-oksidasi
(ORP), konduktifitas, kedalaman air dan dilengkapi dengan GPS. Horiba U-50
Multiparameter Water Quality Checker memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh alat
instrumentasi air lainnya, yaitu Horiba U-50 Multiparameter Water Quality Checker
dibekali dengan sensitifitas tinggi kekeruhan meter yang sesuai dengan EPA metode 180,1
sehingga mudah mempertahankan oksigen terlarut. Hal ini dapat digunakan sebagai fitur
dengan range pengukuran konsentarsi tinggi.Indikator kualitas air U-50 multiparameter
sangat akurasi untuk laboratorium dan kemudahan push-tombol operasi untuk pengukuran
kualitas air di lapangan. Sebelas parameter dapat diukur: pH, pH (mV), ORP, suhu,
oksigen terlarut, konduktivitas elektrolitik, kekeruhan, total padatan terlarut, salinitas,
gravitasi spesifik air laut, dan kedalaman.
Unit kontrol kualitas air multiparameter HORIBA memiliki desain tahan air yang
memungkinkan Anda untuk bekerja tanpa perhatian dari percikan atau tanpa sengaja
menjatuhkan instrumen di dalam air. HORIBA cukup fleksibel untuk digunakan untuk
memeriksa kualitas dari berbagai sampel air, dari pabrik limbah ke drainase perkotaan, air
sungai, danau dan air rawa, tangki air, pasokan air pertanian, dan air laut.
Gambar 2.11 Horiba U-50 multi-parameter water quality checker
Sumber: Dokumentasi (2017)
43
2.11.2 Pengukuran Laju Air dengan Current Meter
Pengukuran laju air di sungai dilakukan untuk mengetahui kecepatan aliran di sungai
karena untuk perhitungan menggunakan rumus neraca masa diperlukan laju air. Alat yang
biasa di gunakan untuk mengukur laju air sungai adalah current meter. Pengukuran
kecepatan aliran langsung dengan alat ukur arus atau current meter dapat dilaksanakan
dengan cara merawas (turun langsung), menggunakan perahu, menggunakan jembatan dan
menggunakan kereta gantung.
Gambar 2.12 Current meter yang digunakan
Sumber: Dokumentasi (2017)
44
halaman ini sengaja dikosongkan
45
BAB III
METODE
3.1 DAS (Daerah Aliran Sungai) Brantas
3.1.1 Gambaran Umum DAS Brantas
Kawasan Sungai Brantas merupakan kawasan sungai strategis nasional dan menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
11A Tahun 2006. Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas merupakan sungai terpanjang
kedua dan terpenting di Jawa Timur, di samping hilir Bengawan Solo. Sungai Brantas
bersumber di Desa Sumber Brantas (Kota Batu). Dari tempat tersebut, Sungai Brantas
mengalir kearah Malang, Tulungagung, Kediri, Blitar, Jombang, dan Mojokerto. Di
Kabupaten Mojokerto aliran Sungai Brantas bercabang dua menjadi Kali Mas (ke arah
Surabaya) dan KaliPorong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo).
Secara geografis DAS Brantas terletak pada 115o17’0’’ hingga 118o19’0’’ Bujur
Timur dan 7o55’30’’ hingga 7o57’30’’ Lintang Selatan. Penentuan batas DAS ditentukan
dari punggung-punggung bukit aliran sungai yang masuk ke dalam sungai utama yaitu
Sungai Brantas. Luas DAS Brantas adalah seluas 12.150,30 km2 (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2012).
Batas administrasi kawasan Kali Brantas meliputi 13 Kabupaten (Blitar, Gresik,
Jombang, Kediri, Madiun, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Nganjuk, Ponorogo, Sidoarjo,
Trenggalek dan Tulungagung) dan 6 Kota (Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto dan
Surabaya) atau senilai 26,5% dari luas Propinsi Jawa Timur. Tabel 3.1 merupakan tabel
yang menunjukan luas wilayah kota dan kabupaten yang masuk ke wilayah DAS Brantas.
Tabel 3.1 Luas Wilayah Kota dan Kabupaten yang Masuk Wilayah DAS Brantas
No. Kab./Kota Luas Kab./Kota
(Km2)
Persentase Luas yang
Masuk DAS Bantas (%)
Luas Kab./Kota
yang Masuk DAS
Brantas (Km2)
1 Blitar 1753 0,74 1305,76
2 Gresik 1283 0,10 128,68
3 Jombang 1114 0,97 1080,58
4 Kediri 1522 1,00 1522,00
5 Kota Batu 202 1,00 202,00
6 Kota Blitar 33 1,00 33,00
7 Kota Kediri 69 1,00 69,00
8 Kota Malang 110 1,00 110,00
46
No. Kab./Kota Luas Kab./Kota
(Km2)
Persentase Luas yang
Masuk DAS Bantas (%)
Luas Kab./Kota
yang Masuk DAS
Brantas (Km2)
9 Kota Mojokerto 20 1,00 20,00
10 Kota Surabaya 331 0,62 205,22
11 Madiun 1011 0,15 151,65
12 Malang 3457 0,66 2296,61
13 Mojokerto 974 0,91 886,34
14 Nganjuk 1284 1,00 1284,00
15 Pasuruan 1487 0,32 472,87
16 Ponorogo 1487 0,04 62,75
17 Sidoarjo 719 1,00 719,00
18 Trenggalek 1245 0,52 645,52
19 Tulungagung 1151 0,83 955,32
Jumlah 12150,30
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2012)
3.1.2 Penggunaan Lahan DAS Brantas
Pengggunaan lahan paling dominan di DAS Brantas adalah sawah dan kebun. Hal ini
menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk di sekitar DAS Brantas adalah petani dan
DAS Brantas merupakan salah satu lumbung padi nasional. Penggunaan lahan sawah
seluas 387.584,62 ha atau seluas 32,20% dari seluruh luas DAS. Luas kebun di DAS
Brantas kurang lebih 247.492,60 ha atau seluas 20,37% dari seluruh luas DAS. Sedangkan
luas penggunaan lahan hutan hanya menempati wilayah 85.569,84 ha atau seluas 7,04%
dari seluruh luas DAS. Penggunaan lahan permukiman menempati wilayah seluas
199.436,92 ha atau seluas 16,41% dari seluruh luas DAS. Penggunaan lahan permukiman
tersebar merata di seluruh DAS dan cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 3.2 Tipe Tata Guna Lahan di DAS Brantas
No. Tata Guna Lahan Luasan (ha) Persentase (%)
1 Pemukiman 199436,9 16,41
2 Rawa/Hutan Rawa 3117,32 0,26
3 Empang 24274,78 2
4 Pabrik/Bangunan 2782,62 0,23
5 Bandar Udara/Pelabuhan 608,48 0,05
6 Penggaraman 150,89 0,01
7 Sungai 518,9 0,04
8 Pasir 190,65 0,02
9 Danau/Bendungan 2815,87 0,23
10 Tanah Kosong/Padang Rumput 12328,95 1,01
11 Semak Belukar 62307,96 5,13
12 Sawah Irigasi 312108,5 25,69
13 Sawah Tadah hujan 75476,08 6,21
14 Hutan 85569,84 7,04
15 Kebun 247492,6 20,37
16 Ladang 185850 15,3
Jumlah 1215030,4 100
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2012)
47
3.1.3 Kependudukan di Wilayah Sungai Brantas
Berikut ini merupakan gambaran umum kependudukan di wilayah Sungai Brantas.
1. Total penduduk di WS Kali Brantas tahun 2008 adalah 16.194.400 jiwa (42,16% Jawa
Timur), dengan pertumbuhan rata-rata 0,99 % lebih rendah dari Provinsi Jawa timur
2. Total penduduk di wilayah Kota tahun 2008 adalah 27,07% dengan luas wilayah
5,21% sisanya di wilayah Kabupaten, dengan mata pencaharian terutama dari sektor
pertanian
3. Usia penduduk terkonsentrasi pada usia produktif antara usia 15-59 tahun (angkatan
kerja) sebesar 67,7%
4. Kepadatan penduduk pada tahun 2008 senilai 1.317 jiwa/km2 jauh lebih tinggi dari
Propinsi Jawa Timur (827 jiwa/km2)
3.2 Lokasi Studi
3.2.1 Lokasi Pemantauan Parameter Kualitas Air
Data parameter kualitas air yang digunakan dalam studi ini diambil dari tiga titik
lokasi di aliran Sungai Brantas hilir. Parameter yang diambil adalah parameter fisika
berupa suhu (T), parameter kimia BOD (biological oxygen demand), DO (dissolved
oxygen), COD (chemical oxygen demand) dan keasaman (pH). Semua titik pemantauan
kualitas air untuk studi ini masuk kedalam wilayah Kabupaten Gresik.
Letak lokasi Kab. Gresik disebelah barat laut Kota Surabaya yang juga ibu kota
Provinsi Jawa Timur dengan luasan wilayah 1.191,25 km² yang terdiri dari 18 Kecamatan,
330 Desa dan 26 Kelurahan. Kabupaten Gresik juga memiliki kepulauan, yaitu Pulau
Bawean dan beberapa daratan pulau kecil di sekitarnya. Geografis wilayah Kabupaten
Gresik terletak antara 112° sampai 113° BT dan 7° sampai 8° LS. Sebagian besar
wilayahnya adalah dataran rendah dengan ketinggian 2 - 12 meter diatas permukaan air
laut. Batas-batas wilayah Kabupaten Gresik adalah seperti berikut:
Utaraa : Laut Jawa
Timura : Selat Madura dan Kota Surabaya
Selatana : Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokertoh
Baratr : Kabupaten Lamongan
48
Dalam studi ini akan dilakukan prediksi parameter kualitas air pada Bambe
Tambangan, berdasarkan parameter kualitas air di Jembatan Jrebeng dan Cangkir
Tambangan. Tiga titik lokasi diatas berada di aliran Sungai Barantas hilir, tepatnya di Kali
Surabaya. Tiga titik tersebut juga merupakan stasiun monitoring Perum Jasa Tirta I.
Lokasi pemantauan kualitas air pertama adalah Jembatan Jrebeng yang terletak di
Desa Krikilan, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik dan lokasi pemantauan kedua
terletak di Cangkir Tambangan Desa Cangkir, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik.
Sedangkan lokasi pemantauan ketiga berada di Bambe Tambangan yang masuk wilayah
Kelurahan Bangkingan, Perbatasan antara Kecamatan Driyorejo Gresik, dan Kecamatan
Lakarsantri,Surabaya.
49
Gam
bar
3.1
Tit
ik p
eman
tauan
par
amet
er k
ual
itas
air
di
kal
i su
rabay
a
Sum
ber
: P
erum
Jas
a T
irta
I
50
Tabel 3.3 Titik Pemantauan Parameter Kualitas Air yang digunakan
Lokasi Sungai
Koordinat
Bujur
Selatan
Bujur
Timur
Kabupaten Gresik
1
Jembatan Jrebeng
Surabaya S7o23,252' E112o34,628'
2
Cangkir Tambangan
Surabaya S7o21,816' E112o38,200'
3
Bambe Tambangan
Surabaya S7o21,071' E112o39,869'
Sumber: Survei dan Dokumentasi Lapangan (2017)
51
Tabel 3.4 Stasiun Hujan yang digunakan
No. Nama Stasiun Hujan Kecamatan Kabupaten Koordinat
1 Krian Krian Sidoarjo -7.408, 112.579
2 Ketawang Sukodono Sidoarjo -7.395, 112.635
3 Botokan Sukodono Sidoarjo -7.390, 112.658
Sumber: Survei Lapangan
3.2.2 Kondisi Lingkungan Sekitar Lokasi Pemantauan Kualitas Air
Kali Surabaya sepanjang ±50 km merupakan cabang dari Kali Brantas yang airnya
digunakan untuk berbagai macam keperluan. Disekitar titik lokasi studi, air sungai tersebut
digunakan untuk beberapa kepentingan:
- Industri-industri yang berada di Surabaya dan sepanjang Kali Surabaya yang berada di
wilayah Kabupaten Gresik.
- Pembawa buangan-buangan industri dan rumah tangga menuju ke laut.
Keanekaragaman penggunaan air Kali Surabaya yang satu sama lain bertolak belakang
sangat terlihat jelas, di satu pihak air digunakan untuk kelangsungan hidup manusia, di lain
pihak air pada saat yang sama sebagai saluran tempat membuang air kotor industri dan
rumah tangga.
Berdasarkan kunjungan lapangan yang telah dilakukan, dapat diamati bahwa kualitas
air di lokasi studi sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah sekitar. Jenis aktifitas tertentu
dapat menjadi sumber pencemar bagi air sungai. Di wilayah lokasi studi dapat diamati
bahwa ada dua sumber pencemar utama air sungai. Ini disebabkan di sepanjang lokasi studi
didominasi oleh kawasan industri/pabrik (non-domestik) dan kawasan pemukiman
penduduk (domestik)
A. Industri/Pabrik disekitar Lokasi Studi
Disepanjang lokasi studi dapat kita temukan lebih dari 30 (tiga puluh) industri/pabrik.
Letak pabrik-pabrik tersebut berjajar sepanjang di sebelah kiri aliran sungai. Beberapa
pabrik yang cukup besar dan dengan nama yang tidak asing terletak tidak jauh dari lokasi
studi, diantaranya:
Jembatan Jrebeng : Wahana Lentera Raya (home furniture) dan
PT. Wiharta Prametal (material bangunan)
Cangkir Tambangan : PT. Sinar Sosro (minuman) dan
PT. Delta Jaya Mas (hoses)
Bambe Tambangan : PT. Gloria Bisco (makanan biskuit) dan
PT. Jangkar Nusantara Megah (ransum militer)
52
Selain pabrik diatas juga tersebar berbagai macam industri/pabrik seperti pabrik
kertas, detergent, makanan, dan pabrik minuman yang lainya. Berikut merupakan nama-
nama industri/pabrik yang berada di kawasan lokasi studi dan berpeluang menjadi sumber
pencemaran air sungai.
Tabel 3.5 Industri/Pabrik disekitar Lokasi Studi
No. Nama Industri/Pabrik No. Nama Industri/Pabrik No. Nama Industri/Pabrik
1 PT. Wahana Lentera Jaya 13 PT. Panji Mas Textile 25 PT. Jatim Bromo Steel
2 PT. Wiharta Prametal 14 PT. Multipack Unggul 26 PT. Unimos
3 PT. Sasmita Abadi Gloves 15 PT. Karriel Pacific Indonesia 27 PT. Tri Ratna Diesel
4 PT. Garuda Food Putra Putri Jaya 16 PT. Madu Lingga Perkasa 28 PT. Surabaya Meka Box
5 PT. Mitra Saruta Indonesia 17 PT. Wings Surya 29 PT. Indraco Jaya Percasa
6 PT. Evitex Manggala 18 PT. Mega Global Food Industri 30 PT. Keramik Diamond Industries
7 PT. Royal Oriental Raplastex 19 PT. Rama Emerald Multi Sukses 31 PT. Sekawan Intiplast
8 PT. Surya Plastindo 20 PT. Timur Megah Steel 32 PT. Gloria Bisco
9 PT. Merakindo Mix 21 PT. Zensei Indonesia 33 PT. Waru Gunung Industry
10 PT. Jaya Beton Indonesia-Surabaya 22 PT. Sinarberlian Chemindo 34 PT. Kedawung Industrial Park
11 PT. Surah Indah Wood Industries 23 PT. Sinar Sosro
12 PT. Benteng Mas Abadi 24 PT. Delta Jaya Mas
Sumber: Survei Lapangan
B. Kawasan Pemukiman Warga disekitar Lokasi Studi
Kegiatan warga dapat pula menjadi sumber pencemar air sungai. Limbah yang
bersumber dari kamar mandi, kakus, dapur, dan tempat cuci pakaian, merupakan buangan
dari aktivitas warga di pemukimanya. Tidak semua rumah tangga membuang limbahnya
secara langsung ke Kali Surabaya. Diasumsikan hanya rumah tangga yang letaknya berada
0,5 km dari tepi sungai yang diperhitungkan (Sastrawijaya, 2009:124).
Tepat di sempadan sungai sekitar titik lokasi studi, sebagian besar merupakan
pemukiman warga yang mayoritas pekerja industri sekitar. Pemukiman tersebut adalah
terdiri dari kawasan rumah-rumah untuk tempat tinggal pekerja pabrik, beberapa toko-toko
sembako, dan beberapa warung dan rumah makan. Buangan dari kegiatan rumah tangga
dipemukiman juga dibuang ke sungai tersebut. Buangan tersebut secara kuantitatif terdiri
dari zat organik padat atau cair, bahan berbahaya dan beracun (B3), bakteri maupun
parasit. Selain hasil buangan kegiatan rumah tangga, keberadaan pemukiman disekitar
lokasi studi beberapa juga melanggar aturan sempadan sungai. Gambar 3.3 berikut
menggambarkan sebaran industri maupun pabrik dan kawasan pemukiman disekitar titik
lokasi studi yang berpotensi menjadi sumber pencemar air sungai.
53
Gam
bar
3.2
Pet
a si
tuas
i lo
kas
i st
udi
Sum
ber
: S
urv
ei L
apan
gan
(2017)
54
3.3 Data Pendukung Studi
Untuk keperluan studi ini, beberapa data yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Peta lokasi titik pengambilan sampel kualitas air,
Digunakan untuk mengetahui penyebaran titik-titik lokasi pengambilan sampel
parameter kualitas air. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air diperoleh dari
Perum Jasa Tirta I. Menggunakan 3 titik pemantauan yaitu:
a. Jembatan Jrebeng
b. Cangkir tambangan
c. Bambe Tambangan
2. Data curah hujan bulanan selama 10 tahun (2006-2015) dari tiga stasiun hujan yang
wilayahnya terdekat dengan titik lokasi pemantauan kualitas air. Maka tiga stasiun
hujan yang dipakai adalah sebagai berikut:
a. Stasiun Hujan Krian
b. Stasiun Hujan Ketawang
c. Stasiun Hujan Botokan
3. Data parmeter kualitas air bulanan yang digunakan adalah,
a. Data primer (pH, DO, suhu dan laju air) dari hasil pengukuran dilapangan
b. Data sekunder parameter kualitas air (DO, BOD, COD, pH dan suhu) yang
merupakan hasil monitoring kualitas air oleh Perum Jasa Tirta I selama 10 tahun
(2006-2015).
3.4 Tahapan Penyelesaian Studi
Secara umum tahapan penyelesaian studi ini adalah seperti berikut:
1. Penentuan lokasi titik-titik pengambilan sampel kualitas air
2. Pengumpulan data-data parameter kualitas air berupa DO (dissolved oxygen), BOD
(biological oxygen demand), COD (chemical oxygen demand) dan keasaman (pH) dan
suhu (T).
3. Pengumpulan data hujan dari 3 stasiun hujan terdekat dengan lokasi pemantauan
kualitas air
4. Screening test pada data hujan dan kualitas air yang akan digunakan, yang meliputi uji
ketidakadaan trend, uji F, uji t dan uji persistensi
5. Analisa prediksi parameter kualitas air dengan pemodelan jaringan syaraf tiruan
menggunakan bantuan software NeuroSolutions7
55
6. Membandingkan parameter kualitas air hasil output JST dengan nilai parameter
kualitas air aktual dari PJT I (data sekunder).
7. Prediksi metode JST menggunakan data kualitas air hasil pengukuran di lapangan
(data primer)
8. Analisa prediksi kualitas air dengan metode neraca massa
9. Selesai
3.4.1 Tahapan Metode JST dengan Software NeuroSolutions7
1. Model data input dan output
JST pada studi ini digunakan untuk memprediksi kualitas air sungai pada Bambe
Tambangan berdasarkan parameter kualitas air di Jembatan Jrebeng dan Cangkir
Tambangan serta data curah hujan disekitarnya. Berikut contoh model data input dan
output yang diterapkan yaitu:
misalnya
INPUT
X1 = CH Krian
X2 = CH Ketawang
X3 = CH Botokan
X4 = pH Jembatan Jrebeng
X5 = pH Cangkir Tambangan
X6 = Suhu Jembatan Jrebeng
X7 = Suhu Cangkir Tambangan
X8 = DO Jembatan Jrebeng
X9 = DO Cangkir Tambangan
OUTPUT
Y1 = DO Bambe Tambangan
Y2 = pH Bambe Tambangan
Y3 = Suhu Bambe Tambangan
56
Gambar 3.3 Contoh cara input data pada neurosolutions7
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
2. Pembagian dataset
Dalam software NeuroSolutions7 pembagian data dibagi berdasarkan columns dan
rows pada microsoft excel. Data columns dibagi menjadi kelompok data input, dan
data desire. Sedangkan pembagian data berdasarkan rows terkait dengan pembagian
data untuk pelatihan (training), data untuk validisi (cross validation), dan data untuk
pengujian (testing). Akan dicoba dengan berbagai variasi dataset mulai 50-30-20, 60-
20-20, dan 60-30-10.
Gambar 3.4 Contoh cara tag data column(s) as input neurosolutions7
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
Input Desire
1
2
57
3. Perancangan jaringan
JST yang diujikan adalah jaringan algoritma MLP (Multi-Layer Perceptron) dalam
NeuroSolutions7 dengan dicobakan berbagai variasi epoch mulai 1000, 5000, dan
10000.
Gambar 3.5 Contoh cara build network pada neurosolutions7
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
4. Proses pelatihan jaringan (train network)
Gambar 3.6 Contoh cara training network pada neurosolutions7
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
1
2
1 2
58
5. Proses pengujian jaringan (test network)
Gambar 3.7 Contoh cara test network pada dataset training dengan neurosolutions7
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
6. Proses produksi (as production) setelah performa model pelatihan dan pengujian
jaringan yang diharapakan telah tercapai
Gambar 3.8 Contoh cara tahapan produksi dan hasil neurosolutions7 pada jaringan yang
telah dibuat
Sumber: NeuroSolutions7 (2017)
7. Output hasil prediksi metode JST
8. Penilaian performa dan output JST
Saat percobaaan untuk menemukan model jaringan yang baik, maka dibutuhkan
kriteria penilaian terhadap proses dan hasil jaringan itu sendiri.
1
2
1
2
59
Kriteria yang diharapakan adalah:
a. Proses training dibuat dengan mencoba variasi parameter jaringan (epoch dan
dataset) sampai menemukan nilai MSE yang paling kecil yang mendekati nol
(0,01 – 0,001).
b. Setelah produksi dari jaringan (output) keluar maka akan dibandingkan dengan
data aktual nya dan akan dihitung nilai KR (kesalahan relatif). Sehingga dipilihlah
jaringan dengan nilai KR terkecil dari berbagai model simulasi percobaan. Nilai
KR terkecil artinya data hasil prediksi telah mendekati data aktual keadaan yang
sebenarnya. Diharapkan hasil dengan KR < 10%.
3.4.2 Tahapan Perhitungan Analitis Metode Neraca Massa
Untuk analisa prediksi kualitas air dengan memakai cara neraca massa, langkah-
langkah yang dilakukan adalah:
1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan kecepatan alir pada aliran sungai sebelum
bercampur dengan sumber pencemar.
2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber pencemar.
3. Tentukan konsentrasi rerata di aliran akhir setelah aliran bercampur dengan sumber
pecemar dengan perhitungan:
𝐶𝑅 =∑ 𝐶𝑖𝑄𝑖
∑ 𝑄𝑖
dengan:
CR = konsentrasi rerata konstituen untuk aliran gabungan
Ci = konsentrasi konstituen pada aliran ke-i
Qi = debit aliran ke-i dan
Mi = massa konstituen pada aliran ke-i
3.4.3 Tahapan Pengukuran Kualitas dan Laju Air di Lapangan
A. Pengukuran Parameter Kualitas Air dengan HORIBA Water Quality Checker
1) Nyalakan alat dengan menekan tombol ON/OFF
2) Pegang dan posisikan alat sejajar, display meter mengarah ke pengguna
3) Celupkan sebagian (bagian bawah) alat deteksi ke media air sungai selama
beberapa menit hingga alat tersebut dapat menyesuaikan dengan kondisi lapangan
dan dapat berjalan dengan baik
4) Kemudian mulai dengan mencelupkan alat beberapa saat hingga display meter
menunjukkan angka yang stabil
(3-1)
60
5) Lakukan pencatatan terhadap nilai parameter-parameter kualitas air yang terbaca
di display meter
6) Ulang langkah-langkah diatas untuk mengukur titik-titik selanjutnya
B. Pengukuran Laju Air dengan Current Meter
Lakukan pengukuran dengan tahapan sebagai berikut:
1) Pilih penampang melintang sungai/saluran terbuka dilokasi yang ditentukan
dengan memperhatikan karakteristik aliran pada survei pendahuluan.
2) Bentangkan tali/kabel pada penampang melintang sungai/saluran dilokasi yang
telah ditentukan dengan merawas, menggunakan perahu, kereta gantung
(cablecar), winch cableway atau dari jembatan.
3) Ukur lebar penampang basah lalu periksa dan rakit alat ukur.
4) Catat tinggi muka air dan waktu pada saat dimulainya pengukuran.
Catatan: Pencatatan tinggi muka air dilakukan setiap 5-10 menit apabila
perubahan muka air cukup mencolok selama pengukuran.
5) Turunkan alat pengukur arus hingga bagian bawah alat menyentuh permukaan
aliran, tunggu hingga alat tersebut berada pada posisi yang benar (lurus dan
berlawanan dengan arah aliran). Baca dan catat angka pada meteran penggantung
alat pengukur arus (soundingreel).
6) Turunkan alat pengukur arus. Baca dan catat angka pada meteran penggantung
alat pengukur arus.
7) Hitung kedalaman aliran dengan mengurangkan selisih pembacaan.
8) Tempatkan alat ukur kecepatan pada titik kedalaman yang diinginkan, misalnya
pada titik kedalaman 0,2d, 0,6d dan 0,8d.
9) Periksa apakah arah alat sudah benar dan sudut juntaian tali tidak lebih besar dari
10o terhadap garis vertikal. Selain itu periksa apakah pencatat putaran baling-
baling pengukur kecepatan arus (counter) bekerja dengan baik.
10) Lakukan pengukuran kecepatan aliran pada titik-titik kedalaman seperti diuraikan
dan catat pada formulir jumlah putaran baling-baling pada setiap titik pengukuran.
11) Hitung kecepatan aliran dengan bantuan persamaan kecepatan aliran untuk baling
baling alat pengukur arus yang dipergunakan.
61
Mulai
Water Quality
CheckerCurrent-Meter
Metode Analitis
Neraca Massa
Metode
JST
Hasil Metode
JST
Data
Primer
Data
Sekunder
pH Suhu DO
PJT I
Laju
AirDO BOD COD pH Suhu
Perbandingan Hasil
JST dan Data PJT I
Rumusan Masalah 3
Rumusan Masalah 2
Analisa dan
Pembahasan
Kesimpulan dan
Saran
Selesai
Dinas PU Pengairan
Jawa Timur
Curah Hujan Rumusan Masalah 1
Perbandingan Hasil
JST dan Data Primer
Hasil Metode
Neraca Massa
Perbandingan Hasil
Neraca Massa dan
Data PrimerRumusan Masalah 4
Gambar 3.9 Diagram alir penyelesaian studi
62
Mulai
Tag Data
Production
KR < 10%
Selesai
Data Kualitas Air
DO, BOD, COD, pH
dan Suhu
(2006-2015)
Data Curah Hujan
(2006-2015)
Build Network
Train Network
Test Network
Input
- Kualitas Air (Titik 1 dan 2)
- Curah Hujan (3 Stasiun hujan
terdekat)
Desire
- Kualitas Air
(Titik 3)
NeuroSolutions7
Output
JST
Tidak
Ya
Analisa dan
Pembahasan
Gambar 3.10 Diagram alir metode JST dengan neurosolutions7
63
Mulai
Prediksi DO, pH, Suhu
di Hilir
Data Parameter
Kualitas Air Hulu
DO Laju Air
Hasil Perhitungan
Selesai
pH Suhu
Gambar 3.11 Diagram alir prediksi kualitas air dengan metode neraca massa
64
Gambar 3.12 Diagram alir pengukuran data primer
Mulai
Celupkan Sensor
HORIBA
Kedalam Air Sungai
Tunggu hingga angka
Pembacaan display meter
Stabil
Catat Hasil Pembacaan
utk Parameter
DO, pH, Suhu
Aktifkan
Display Meter
HORIBA
Selesai
Siapkan Alat
Water Quality Checker
HORIBA U-50
Kondisikan Sensor agar
Steril, sesuaikan dengan
Lingkungan Pengukuran
Siapkan Alat
Current Meter
Tentukan Lokasi
Pengukuran
Pengukuran
Parameter Kualitas Air
Pengukuran
Laju Air
Ukur Lebar Penampang dan
Catat Tinggi Muka Air
Turunkan Current Meter
Kedalam Aliran Sungai
Posisikan alat yang benar,
Lurus dan Berlawanan Arah
Aliran
Periksa kinerja
baling-baling Pengukur
Sampai baik
Catat Hasil Pengukuran
Laju Aliran
Rekapitulasi Hasil
Masing-masing
Pengukuran
65
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Eksisting Data
4.1.1 Data Curah Hujan
Data curah hujan dalam studi ini merupakan salah satu data input jaringan syaraf
tiruan yang dipakai untuk memprediksi parameter kualitas air. Data curah hujan yang
dibutuhkan dalam studi ini adalah curah hujan bulanan dari tiga stasiun hujan yang
keberadaanya dekat dengan lokasi studi. Selain itu pemilihan stasiun hujan juga didasarkan
atas ketersediaan datanya dalam periode yang cukup. Tambahan input data hujan dalam
studi ini diharapkan mampu menambah akurasi prediksi kualitas air. Karena terdapat
hubungan antara hujan dan debit sungai serta dengan kualitas air. Jika curah hujan tinggi,
maka kecenderungan debit air sungai akan tinggi, sehingga konsentrasi pencemar akan
turun. Maka kualitas air di sungai bisa membaik.
Daripada data hujan sebenarnya data debit sungai lah yang paling berpengaruh besar
terhadap konsentrasi pencemar. Namun apakah menggunakan data hujan atau data debit
sungai sebagai input tambahan tidak akan menjadi masalah dalam prediksi metode JST.
Dikarenakan sifat adaptif dari metode JST sendirilah yang memberi keleluasaan bagi
pengguna. Secara otomatis JST akan menyesuaikan output berdasarkan inputannya. Jika
menggunakan input data hujan maka output kualitas air akan menyesuaikan dengan input
data hujan, begitupun sebaliknya jika menggunakan input data debit sungai.
Data hujan yang didapatkan dari stasiun hujan tidak dapat langsung digunakan dalam
perhitungan, dikarenakan perlu untuk mengetahui kondisi eksisting sejauh mana kualitas
dan kehandalan data yang diperoleh. Maka perlu adanya pengujian terhadap data
(Screening test). Kualitas data yang digunakan akan mempengaruhi kesesuaian hasil
prediksi kualitas air dengan Jaringan Syaraf Tiruan. Uji yang dilakukan terhadap data
antara lain yaitu uji ketidakadaan trend, uji stasioner, dan uji persistensi. Tabel 4.1
meupakan contoh data hujan yang digunakan dalam studi ini yang didapatkan dari Dinas
PU Pengairan Provinsi Jawa Timur.
66
Tabel 4.1 Data Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun Krian
No Tahun Bulan
Total Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
1 2006 216 301 445 69 60 10 0 0 0 0 24 156 1281
2 2007 346 235 324 221 127 40 35 0 0 65 87 313 1793
3 2008 270 96 148 45 3 3 0 0 0 18 173 264 1020
4 2009 214 327 311 189 82 35 0 0 0 18 83 264 1523
5 2010 320 226 156 150 85 23 37 62 14 243 172 342 1830
6 2011 215 177 385 195 190 14 0 0 0 0 183 395 1754
7 2012 402 47 198 300 39 22 0 0 0 0 43 378 1429
8 2013 527 209 313 255 122 238 89 0 0 0 0 356 2109
9 2014 251 74 330 288 56 111 44 0 0 0 79 357 1590
10 2015 392 383 458 157 30 27 0 0 0 0 82 309 1838
Sumber: Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur
Data hujan yang digunakan dalam studi ini selengkapnya disajikan di bagian
Lampiran 1 (Data Curah Hujan) Analisa selanjutnya adalah melakukan pengujian
terhadap data curah hujan. Curah hujan bulanan akan dijumlahkan dalam satu tahun untuk
mempermudah perhitungan uji screening data. Berikut contoh perhitungan uji screening
data hujan untuk stasiun hujan Krian:
1. Uji Ketidakadaan Trend
A. Uji Korelasi Peringkat Spearman
Trend dapat dipandang sebagai korelasi antara waktu dengan variat dari suatu variabel
hidrologi. Oleh karena itu koefisien korelasinya dapat digunakan untuk menentukan
ketidakadaan trend dari suatu deret berkala. Data dari masing-masing stasiun hujan diuji
keacakannya menggunakan uji korelasi peringkat Spearman. Uji ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya trend dalam suatu deret berkala.
Tabel 4.2 Jumlah Curah Hujan Bulanan dalam Setahun Stasiun Hujan Krian
No. Tahun Curah Hujan (mm)
1 2006 1281
2 2007 1793
3 2008 1020
4 2009 1523
5 2010 1830
6 2011 1754
7 2012 1429
8 2013 2109
9 2014 1590
10 2015 1838
Sumber: Hasil Perhitungan
67
Tabel 4.3 Perhitungan Koefisien Peringkat Spearman Stasiun Hujan Krian
Tahun Peringka Tt CH (mm) Peringkat Rt Dt Dt2
2006 1 1281 9 8 64
2007 2 1793 4 2 4
2008 3 1020 10 7 49
2009 4 1523 7 3 9
2010 5 1830 3 -2 4
2011 6 1754 5 -1 1
2012 7 1429 8 1 1
2013 8 2109 1 -7 49
2014 9 1590 6 -3 9
2015 10 1838 2 -8 64
Jumlah 254
Perhitungan Uji Ketidakadaan Trend (Spearman) N = 10
Kp = -0,539
T = -1,812
α 5% = 0,05
Dk = 8
t kritis = 1,86
Kesimpulan = tidak ada trend
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Tahun 2007
Dt = Peringkat Rt – Peringkat Tt
= 4 – 2 = 2
Dt2 = 22 = 4
N = 10
Kp = 1 - 6 ∑ (𝑑𝑡)2𝑛
𝑖=1
𝑛3−𝑛
= 1 - 6 × 254
53−5
= -0,539
T = Kp ⌈n−2
1−Kp2⌉
0,5
= -0,539 ⌈5−2
1−(−0,539)2⌉
0,5
= -1,812
Dk = n – 2
= 10 – 2 = 8
H0 = Deret berkala dua seri data (Rt dan Tt) adalah independen pada
derajat kepercayaan 5%.
68
Dengan derajat kepercayaan α = 5% dan Dk = 8, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,86.
Kesimpulan = jika -T kritis < T < T kritis, maka tidak ada trend
= -1,86 < -1,812 < 1,86, maka tidak ada trend
Oleh karena itu hipotesis nol pada derajat kepercayaan 5% diterima, atau dapat dikatakan
dua seri data (Rt dan Tt) adalah independen dan tidak mungkin menunjukkan adanya trend.
B. Uji Mann-Whitney
Uji Mann-Whitney digunakan untuk menguji dua kelompok data yang tidak
berpasangan berasal dari populasi yang sama atau tidak. Data hujan kemudian dibagi
menjadi dua kelompok yang sama jumlahnya dan diberi peringkat berdasarkan nilai
besarnya. Dua kelompok yaitu Kelompok 1 dan 2 diuji apakah Kelompok 1 mempunyai
sebaran yang sama dengan Kelompok 2.
Tabel 4.4 Perhitungan Uji Mann-Whitney Stasiun Hujan Krian
Tahun CH Kelompok 1 Peringkat Tahun CH Kelompok 2 Peringkat
2006 1281 9 2011 1754 5
2007 1793 4 2012 1429 8
2008 1020 10 2013 2109 1
2009 1523 7 2014 1590 6
2010 1830 3 2015 1838 2
Jumlah 33 22
Perhitungan Uji Ketidakadaan Trend (Mann-Whitney)
N1 = 5
N2 = 5
Rm = 33
U1 = 7
U2 = 18
Jika U1 < U2, maka digunakan U = U1
Z = -1,149
α 5% = 0,05
Z kritis = 1,645
Kesimpulan = tidak ada trend
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
N1 (jumlah data) = 5
N2 (jumlah data) = 5
Rm = 33
U1 = N1 N2 + 𝑁1
𝑁2 (N1 + 1) – Rm
= 5 x 5 + 5
5 (5 + 1) – 33 = 7
U2 = N1 N2 – U1
= 5 x 5 – 7 = 18
69
Karena U1 < U2 maka untuk perhitungan selanjutnya digunakan U = 7. Selanjutnya,
menghitung nilai Z:
Z =
𝑈−(𝑁1 𝑁2)
2
[1
12{𝑁1 𝑁2 (𝑁1+𝑁2+1)}]
0,5
Z =
7−(5× 5)
2
[1
12{5×5 (5+5+1)}]
0,5 = -1,149
H0 = Kelompok 1 dan Kelompok 2 berasal dari populasi yang sama.
Dengan derajat kepercayaan α = 5%, maka dengan tabel nilai kritis dc (Soewarno, 1995)
diperoleh nilai Z kritis = -1,645 dan 1,645.
Kesimpulan = jika -Z kritis < Z < Z kritis, maka tidak ada trend
= -1,645 < -1,149 < 1,645, maka tidak ada trend
Dengan demikian H0 tidak dapat ditolak pada derajat kepercayaan 5%. Atau dapat
dikatakan bahwa kelompok 1 dan 2 berasal dari populasi yang sarna, atau dengan kata lain
tidak terjadi perubahan yang nyata nilai rata-ratanya sehingga tidak menunjukkan adanya
trend.
2. Uji Stasioner
Jika telah dilakukan uji ketidakaan trend maka selanjutnya adalah uji stasioner data
hujan. Apabila menunjukkan tidak ada trend maka uji stasioner dimaksudkan untuk
menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala. Pengujian ini termasuk uji
untuk mengetahui kesamaan jenis untuk mengetahui homogen atau tidaknya varian dan
rata-ratanya.
A. Uji F (Kestabilan Varian)
Pengujian nilai varian suatu deret berkala dilakukan dengan menggunakan uji-F.
Prinsip uji F adalah membandingkan variasi gabungan antara kelompok sampel (variance
between group) dengan varian kombinasi seluruh klompok (variance between group).
Apabila hasil pengujian ditolak, berarti nilai varian tidak stabil atau tidak homogen. Deret
berkala yang nilai variannya tidak homogen berarti deret berkala tersebut tidak stasioner.
Tabel 4.5 Perhitungan Uji F (Kestabilan Varian) Stasiun Hujan Krian
Kelompok 1 Kelompok 2
Tahun Curah Hujan (mm) Tahun Curah Hujan (mm)
2006 1281 2011 1754
2007 1793 2012 1429
2008 1020 2013 2109
2009 1523 2014 1590
2010 1830 2015 1838
70
Perhitungan Uji F
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
n1 (jumlah data) = 5
n2 (jumlah data) = 5
S1 (deviasi standar) = 343,90
S2 (deviasi standar) = 257,44
dk1 = n1 – 1
= 5 -1 = 4
dk2 = n2 – 1
= 5 -1 = 4
F = 𝑛1 𝑆1
2(𝑛2−1)
𝑛2 𝑆22(𝑛1−1)
F = 5×343,902(5−1)
5×257,442(5−1)
= 1,78
H0 = Nilai varian kelompok I dan II tidak ada beda nyata pada derajat kepercayaan 5%.
Berarti deret berkala (data hujan) stasioner.
Dengan derajat kepercayaan α 5%, dk1 = 4 dan dk2 = 4, maka dengan tabel F kritis
(Soewarno, 1995) diperoleh nilai F kritis = 6,39.
Kesimpulan = jika F < F kritis, maka nilai varian stasioner
= 1,78 < 6,39, maka nilai varian stasioner
Maka H0 diterima bahwa varian kedua kelompok data tabel 4.5 tidak berbeda nyata. Atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada peluang 95% nilai variannya stabil yang
berarti data tersebut stasioner.
N1 = 5
N2 = 5
Rerata X1 = 1489,40
Rerata X2 = 1744,00
S1 = 343,90
S2 = 257,44
α 5% = 0,05
Dk1 = 4
Dk2 = 4
F = 1,78
F kritis = 6,39
Kesimpulan = Stasioner
71
B. Uji t (Kestabilan Rata-rata)
Dalam suatu pengujian stasioneritas data, apabila uji kestabilan varian menunjukkan
stasioner maka pengujian selanjutnya adalah pengujian kestabilan nilai rata-ratanya dengan
menggunakan Uji-t. Pada Uji-t, data dibagi menjadi dua kelompok atau lebih dan setiap
pasangan 2 kelompok diuji. Apabila hasil pengujian ditolak, berarti nilai rata-rata dua
kelompok tersebut tidak homogen dan tidak stasioner pada derajat kepercayaan tertentu.
Tabel 4.6 Perhitungan Uji t (Kestabilan Rata-rata) Stasiun Hujan Krian
Kelompok 1 Kelompok 2
Tahun Curah Hujan (mm) Tahun Curah Hujan (mm)
2006 1281 2011 1754
2007 1793 2012 1429
2008 1020 2013 2109
2009 1523 2014 1590
2010 1830 2015 1838
Perhitungan Uji t
N1 = 5
N2 = 5
Rerata X1 = 1489,40
Rerata X2 = 1744,00
S1 = 343,90
S2 = 257,44
α 5% = 0,05
Df = 8
Σ = 339,62
T = 1,19
T kritis = 1,86
Kesimpulan = Stasioner
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
N1 (jumlah data) = 5
N2 (jumlah data) = 5
S1 (deviasi standar) = 343,90
S2 (deviasi standar) = 257,44
Df = N1 + N2 – 2
= 5 + 5 - 2 = 8
σ = (𝑛1 𝑆1
2+ 𝑛2 𝑆22
𝑛1+𝑛2−2)
1
2= (
5 × 343,90 + 5 ×257,44
5+5−2)
1
2 = 339,62
T = 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑋1− 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑋2
𝜎 (1
𝑛1 +
1
𝑛2)
12
= 1489,40 – 1744,00
339,62 (1
5 +
1
5)
12
= 1,19
H0 = Nilai varian kelompok I dan II tidak ada beda nyata pada derajat kepercayaan 5%.
Berarti deret berkala (data hujan) stasioner.
72
Dengan derajat kepercayaan α 5%, dan Df = 8, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,86.
Kesimpulan = jika T < T kritis, maka nilai rata-rata stasioner
= 1,19 < 1,86, maka nilai rata-rata stasioner
Maka hipotesis nol diterima. Dengan memperhatikan Uji-F dan Uji-t tersebut maka deret
berkala data hujan di stasiun hujan Krian adalah stasioner, berarti nilai rata-rata serta nilai
variannya adalah stabil.
3. Uji Persistensi (Uji Ketidaktergantungan)
Persistensi (persistence) adalah ketidak-tergantungan dari setiap nilai dalam deret
berkala. Untuk melaksanakan pengujian persistensi harus dihitung besarnya koefisien
korelasi serial. Salah satu metode untuk menentukan koefisien korelasi serial adalah
dengan metode Spearman.
Tabel 4.7 Perhitungan Koefisien Korelasi Serial Spearman Stasiun Hujan Krian
No. Tahun Curah Hujan Peringkat Di Di2
1 2006 1281 9 -
2 2007 1793 4 5 25
3 2008 1020 10 -6 36
4 2009 1523 7 3 9
5 2010 1830 3 4 16
6 2011 1754 5 -2 4
7 2012 1429 8 -3 9
8 2013 2109 1 7 49
9 2014 1590 6 -5 25
10 2015 1838 2 4 16
Jumlah 189
Perhitungan Uji Persistensi
M = 9
Ks = -0,575
T = -1,859
Dk = 7
α 5% = 0,05
T kritis = 1,895
Kesimpulan = diterima (tidak ada persistensi)
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Tahun 2007
Di = Peringkat th.2006 – Peringkat th.2007
= 9 – 4 = 5
Di2 = 52 = 25
N = 10
M = n – 1
73
= 10 – 1 = 9
Ks = 1 - 6 ∑ (𝑑𝑖)2𝑛
𝑖=1
𝑚3−𝑚
= 1 - 6 × 189
53−5 = -0,575
T = Ks ⌈m−2
1−Ks2⌉
0,5
= -0,575 ⌈9−2
1−(−0,575)2⌉
0,5
= -1,859
Dk = m – 2
= 9 – 2 = 7
H0 = dua seri data (tahun dan curah hujan) adalah independen sehingga tidak persistensi
Dengan derajat kepercayaan α 5% dan Dk = 7, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,895.
Kesimpulan = jika -T kritis < T < T kritis, maka tidak ada persistensi
= -1,895 < -1,859 < 1,895, maka tidak ada persistensi
Maka H0 diterima pada derajat kepercayaan 5%. Atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa 95% data hujan di stasiun hujan Krian adalah independen atau tidak menunjukkan
adanya persistensi. Atau dapat dikatakan bahwa data tersebut merupakan data bersifat
acak.
Setelah semua uji screening data hujan untuk stasiun hujan Krian dilakukan, maka
hasil akan direkapitulasi. Berikut Tabel 4.8 merupakan hasil uji screening data hujan
stasiun hujan Krian.
Tabel 4.8 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Krian
Keterangan Uji Ketidakadaan Trend Uji Stasioner
Uji Persistensi Uji Spearman Uji Mann-Whitney Uji F Uji t
Nilai Hitung -1,812 -1,149 1,785 1,185 -1,859
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan Diterima diterima diterima diterima diterima
Sumber: Hasil Perhitungan
Perhitungan uji screening data curah hujan (uji ketidakadaan trend, uji stasioner, dan
uji persistensi) juga dilakukan untuk stasiun hujan yang lain, yaitu stasiun hujan Ketawang
dan Botokan. Berikut hasil uji screening data hujan pada stasiun hujan Ketawang dan
Botokan.
74
Tabel 4.9 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Ketawang
Keterangan Uji Ketidakadaan Trend Uji Stasioner
Uji Persistensi Uji Spearman Uji Mann-Whitney Uji F Uji t
Nilai Hitung -1,700 -1,149 0,674 0,990 -1,098
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
Sumber: Hasil Perhitungan
Tabel 4.10 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Hujan Stasiun Hujan Botokan
Keterangan Uji Ketidakadaan Trend Uji Stasioner
Uji Persistensi Uji Spearman Uji Mann-Whitney Uji F Uji t
Nilai Hitung -1,594 -1,149 0,974 0,876 -1,272
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari hasil uji screening data hujan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kondisi
eksisting data hujan dari stasiun Krian, Ketawang dan Botokan yang diperoleh sifatnya
handal dan berkualitas. Karena telah memenuhi syarat uji screening yang berarti data tidak
menunjukan adanya trend, bersifat stasioner (varian dan rata-ratanya homogen) dan
bersifat acak. Dengan demikian data hujan selanjutnya dapat digunakan dalam analisa
lanjutan.
4.1.2 Data Kualitas Air
Dalam studi ini, data yang akan digunakan untuk prediksi kualitas air dengan Jaringan
Syaraf Tiruan adalah data parameter kualitas air bulanan berupa DO, BOD, COD, pH dan
suhu. Data parameter tersebut merupakan data sekunder yang diperoleh dari Perum Jasa
Tirta 1. Seluruh data sekunder akan digunakan pada metode Jaringan Syaraf Tiruan. Maka
data input merupakan data parameter kualitas air yang berada di titik Jembatan Jrebeng dan
Cangkir Tambangan, dan output akan ditargetkan ke titik Bambe Tambangan. Pemilihan
titik-titik pantau kualitas air didasarkan atas keberadaanya dalam satu alur sungai tanpa
adanya percabangan aliran keluar dan berdasarkan ketersediaan data dalam periode yang
cukup.
Setelah proses pengumpulan data sekunder selesai, diperlukan analisa terlebih dahulu
terhadap kondisi eksistingnya. Tujuannya untuk memperoleh gambaran data kualitas air
yang handal dan berkualitas. Data kualitas air akan di uji screeening terlebih dahulu, lalu
perlu juga untuk dibandingkan dengan kriteria mutu air yang sesuai dengan kelas
peruntukannya. Semua titik pantau kualitas air studi ini berada dalam satu alur aliran
75
sungai, yaitu di aliran Kali Surabaya. Berikut merupakan contoh data parameter kualitas air
bulanan DO, BOD, COD, pH dan Suhu di salah satu titik pantau yaitu Bambe Tambangan.
Tabel 4.11 Contoh Data Parameter Kualitas Air di Bambe Tambangan
Tahun Bulan Parameter
DO (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L) pH Suhu (oC)
2015
Januari 3,2 3,6 17,9 7,2 28,8
Februari 4,3 6,1 25,1 7,1 30
Maret 3,6 5,7 21,2 7,4 29,1
April 3 5,7 22,9 7,4 30
Mei 3,5 5,9 33,9 7,4 29,7
Juni 3,4 4,3 17,5 7,3 29,1
Juli 3,4 5,3 19,3 7,2 27,8
Agustus 4,6 6,1 28,7 7,8 29,2
September 3,9 1,7 6 7,4 29,8
Oktober 4,4 6,5 25,9 7,7 30
November 3,9 3,9 17,1 7,3 29,9
Desember 3,1 4,8 20,3 7,4 29,9
Sumber: Data Perum Jasa Tirta I
Data kualitas air titik pantau lainya yaitu, Jembatan Jrebeng, Cangkir Tambangan, dan
Bambe Tambangan untuk tahun 2006-2015 selengkapnya disajikan pada bagian Lampiran
2 (Data Kualitas Air Sekunder).
Berdasarkan data kualitas air 2006-2015 yang diperoleh, pada titik pantau Bambe
Tambangan nilai tertinggi untuk parameter DO terjadi pada bulan Mei 2003 sebesar 5,8
mg/L, dan terendah pada bulan November 2007 sebesar 2,3 mg/L. Untuk parameter BOD,
tertinggi 35,6 mg/L pada September 2009, terendah 1,4 mg/L pada Semptember 2011.
Untuk parameter COD, tertinggi 74,9 mg/L pada September 2009, terendah 5,7 mg/L pada
Juli 2004. Untuk parameter pH, tertinggi 7,9 terjadi pada bulan Oktober 2014, terendah 5,9
terjadi pada bulan Juni 2009. Sedangkan untuk parameter Suhu, nilai maksimum terjadi
pada bulan November 2014 sebesar 32,8 oC dan terendah 26 oC terjadi saat bulan Maret
2009.
Selanjutnya analisa kondisi eksisting data kualitas air dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana kualitas dan kehandalan data dengan uji screening dan untuk mengetahui
sejauh mana kesesuaian dengan kelas peruntukan yang ditetapkan.
Uji Screening Data Kualitas Air
Pada data kualitas air juga dilakukan perhitungan uji screening data dengan prosedur
atau tahapan-tahapan yang sama seperti pada data hujan. Uji screening data kualitas air
dilakukan pada setiap titik pantau kualitas air dan pada masing-masing parameter. Berikut
contoh perhitungan dan hasil uji screening data kualitas air parameter DO untuk titik
pantau Bambe Tambangan:
76
1. Uji Ketidakadaan Trend
A. Uji Korelasi Peringkat Spearman
Data dari masing-masing parameter kualitas air diuji keacakannya menggunakan uji
korelasi peringkat Spearman. Uji ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya trend
dalam suatu deret berkala.
Tabel 4.12 Jumlah DO Bulanan dalam Setahun Titik Bambe Tambangan
No. Tahun DO (mg/L)
1 2006 45,20
2 2007 40,00
3 2008 46,80
4 2009 48,00
5 2010 45,50
6 2011 48,30
7 2012 48,40
8 2013 48,20
9 2014 45,80
10 2015 44,30
Sumber: Hasil Perhitungan
Tabel 4.13 Perhitungan Koefisien Peringkat Spearman DO Bambe Tambangan
Tahun Peringka Tt DO (mg/L) Peringkat Rt Dt Dt2
2006 1 45,20 8 7 49
2007 2 40,00 10 8 64
2008 3 46,80 5 2 4
2009 4 48,00 4 0 0
2010 5 45,50 7 2 4
2011 6 48,30 2 -4 16
2012 7 48,40 1 -6 36
2013 8 48,20 3 -5 25
2014 9 45,80 6 -3 9
2015 10 44,30 9 -1 1
Jumlah 208
Perhitungan Uji Ketidakadaan Trend (Spearman)
N = 10
Kp = -0,261
T = -0,763
α 5% = 0.05
Dk = 8
t kritis = 1.86
Kesimpulan = tidak ada trend
Sumber: Hasil Perhitungan
77
Contoh perhitungan:
Tahun 2007
Dt = Peringkat Rt – Peringkat Tt
= 10 – 2 = 8
Dt2 = 82 = 64
N = 10
Kp = 1 - 6 ∑ (𝑑𝑡)2𝑛
𝑖=1
𝑛3−𝑛
= 1 - 6 × 208
53−5
= -0,261
T = Kp ⌈n−2
1−Kp2⌉
0,5
= -0,261 ⌈5−2
1−(−0,261)2⌉
0,5
= -0,763
Dk = n – 2 = 10 – 2 = 8
H0 = Deret berkala dua seri data (Rt dan Tt) adalah independen pada
derajat kepercayaan 5%.
Dengan derajat kepercayaan α = 5% dan Dk = 8, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,86.
Kesimpulan = jika -T kritis < T < T kritis, maka tidak ada trend
= -1,86 < -0,763 < 1,86, maka tidak ada trend
Oleh karena itu hipotesis nol pada derajat kepercayaan 5% diterima, atau dapat dikatakan
dua seri data (Rt dan Tt) adalah independen dan tidak mungkin menunjukkan adanya trend.
B. Uji Mann-Whitney
Data kualitas air kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang sama jumlahnya dan
diberi peringkat berdasarkan nilai besarnya. Dua kelompok yaitu Kelompok 1 dan 2 diuji
apakah Kelompok 1 mempunyai sebaran yang sama dengan Kelompok 2.
Tabel 4.14 Perhitungan Uji Mann-Whitney DO Bambe Tambangan
No. DO Kelompok 1 Rank DO Kelompok 2 Rank
1 45,20 8 48,30 2
2 40,00 10 48,40 1
3 46,80 5 48,20 3
4 48,00 4 45,80 6
5 45,50 7 44,30 9
Jumlah 34 21
78
Perhitungan Uji Ketidakadaan Trend (Mann-Whitney)
N1 = 5
N2 = 5
Rm = 34
U1 = 6
U2 = 19
Jika U1 < U2, maka digunakan U = U1
Z = -1,358
α 5% = 0,05
Z kritis = 1,645
Kesimpulan = tidak ada trend
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
N1 (jumlah data) = 5
N2 (jumlah data) = 5
Rm = 34
U1 = N1 N2 + 𝑁1
𝑁2 (N1 + 1) – Rm
= 5 x 5 + 5
5 (5 + 1) – 34 = 6
U2 = N1 N2 – U1
= 5 x 5 – 6 = 19
Karena U1 < U2 maka untuk perhitungan selanjutnya digunakan U = 6. Selanjutnya,
menghitung nilai Z:
Z =
𝑈−(𝑁1 𝑁2)
2
[1
12{𝑁1 𝑁2 (𝑁1+𝑁2+1)}]
0,5
Z =
6−(5× 5)
2
[1
12{5×5 (5+5+1)}]
0,5
Z = -1,358
H0 = Kelompok 1 dan Kelompok 2 berasal dari populasi yang sama.
Dengan derajat kepercayaan α = 5%, maka dengan tabel nilai kritis dc (Soewarno, 1995)
diperoleh nilai Z kritis = -1,645 dan 1,645.
Kesimpulan = jika -Z kritis < Z < Z kritis, maka tidak ada trend
= -1,645 < -1,358 < 1,645, maka tidak ada trend
Dengan demikian H0 tidak dapat ditolak pada derajat kepercayaan 5%. Atau dapat
dikatakan bahwa kelompok 1 dan 2 berasal dari populasi yang sama, atau dengan kata lain
tidak terjadi perubahan yang nyata nilai rata-ratanya sehingga tidak menunjukkan adanya
trend.
79
2. Uji Stasioner
Jika telah dilakukan uji ketidakaan trend maka selanjutnya adalah uji stasioner data
kualitas air. Apabila menunjukkan tidak ada trend maka uji stasioner dimaksudkan untuk
menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala. Pengujian ini termasuk uji
untuk mengetahui kesamaan jenis untuk mengetahui homogen atau tidaknya varian dan
rata-ratanya.
A. Uji F (Kestabilan Varian)
Apabila hasil pengujian ditolak, berarti nilai varian tidak stabil atau tidak homogen.
Deret berkala yang nilai variannya tidak homogen berarti deret berkala tersebut tidak
stasioner.
Tabel 4.15 Perhitungan Uji F (Kestabilan Varian) DO Bambe Tambangan
Kelompok 1 Kelompok 2
Tahun DO (mg/L) Tahun DO (mg/L)
2006 45,20 2011 48,30
2007 40,00 2012 48,40
2008 46,80 2013 48,20
2009 48,00 2014 45,80
2010 45,50 2015 44,30
Perhitungan Uji F
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
n1 (jumlah data) = 5
n2 (jumlah data) = 5
S1 (deviasi standar) = 3,06
S2 (deviasi standar) = 1,86
dk1 = n1 – 1
= 5 -1 = 4
dk2 = n2 – 1
= 5 -1 = 4
N1 = 5
N2 = 5
Rerata X1 = 45,10
Rerata X2 = 47,00
S1 = 3,06
S2 = 1,86
α 5% = 0,05
Dk1 = 4
Dk2 = 4
F = 2,71
F kritis = 6,39
Kesimpulan = Stasioner
80
F = 𝑛1 𝑆1
2(𝑛2−1)
𝑛2 𝑆22(𝑛1−1)
F = 5×3,062(5−1)
5×1,862(5−1)
= 2,71
H0 = Nilai varian kelompok I dan II tidak ada beda nyata pada derajat kepercayaan 5%.
Berarti deret berkala (data kualitas air) stasioner.
Dengan derajat kepercayaan α 5%, dk1 = 4 dan dk2 = 4, maka dengan tabel F kritis
(Soewarno, 1995) diperoleh nilai F kritis = 2,71.
Kesimpulan = jika F < F kritis, maka nilai varian stasioner
= 1,78 < 2,71, maka nilai varian stasioner
Maka H0 diterima bahwa varian kedua kelompok data tabel 4.15 tidak berbeda nyata. Atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada peluang 95% nilai variannya stabil yang
berarti data tersebut stasioner.
B. Uji t (Kestabilan Rata-rata)
Dalam suatu pengujian stasioneritas data, apabila uji kestabilan varian menunjukkan
stasioner maka pengujian selanjutnya adalah pengujian kestabilan nilai rata-ratanya dengan
menggunakan Uji-t. Apabila hasil pengujian ditolak, berarti nilai rata-rata dua kelompok
tersebut tidak homogen dan tidak stasioner pada derajat kepercayaan tertentu.
Tabel 4.16 Perhitungan Uji t (Kestabilan Rata-rata) DO Bambe Tambangan
Kelompok 1 Kelompok 2
Tahun DO (mg/L) Tahun DO (mg/L)
2006 45,20 2011 48,30
2007 40,00 2012 48,40
2008 46,80 2013 48,20
2009 48,00 2014 45,80
2010 45,50 2015 44,30
Perhitungan Uji t
N1 = 5
N2 = 5
Rerata X1 = 45,10
Rerata X2 = 47,00
S1 = 3,06
S2 = 1,86
α 5% = 0,05
Df = 8
Σ = 2,83
T = 1,06
T kritis = 1,86
Kesimpulan = Stasioner
Sumber: Hasil Perhitungan
81
Contoh perhitungan:
N1 (jumlah data) = 5
N2 (jumlah data) = 5
S1 (deviasi standar) = 3,06
S2 (deviasi standar) = 1,86
Df = N1 + N2 – 2
= 5 + 5 - 2
= 8
σ = (𝑛1 𝑆1
2+ 𝑛2 𝑆22
𝑛1+𝑛2−2)
1
2
= (5 × 3,06 + 5 ×1,86
5+5−2)
1
2
= 2,83
T = 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑋1− 𝑅𝑒𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑋2
𝜎 (1
𝑛1 +
1
𝑛2)
12
= 45,10 – 47,00
2,83 (1
5 +
1
5)
12
= 1,06
H0 = Nilai varian kelompok I dan II tidak ada beda nyata pada derajat kepercayaan 5%.
Berarti deret berkala (data kualitas air) stasioner.
Dengan derajat kepercayaan α 5%, dan Df = 8, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,86.
Kesimpulan = jika T < T kritis, maka nilai rata-rata stasioner
= 1,06 < 1,86, maka nilai rata-rata stasioner
Maka hipotesis nol diterima. Dengan memperhatikan Uji-F dan Uji-t tersebut maka deret
berkala data DO Bambe Tambangan adalah stasioner, berarti nilai rata-rata serta nilai
variannya adalah stabil.
3. Uji Persistensi (Uji Ketidaktergantungan)
Persistensi (persistence) adalah ketidak-tergantungan dari setiap nilai dalam deret
berkala. Untuk melaksanakan pengujian persistensi harus dihitung besarnya koefisien
korelasi serial. Salah satu metode untuk menentukan koefisien korelasi serial adalah
dengan metode Spearman.
82
Tabel 4.17 Perhitungan Koefisien Korelasi Serial Spearman DO Bambe Tambangan
No. Tahun DO (mg/L) Peringkat Di Di2
1 2006 45,20 8 -
2 2007 40,00 10 -2 4
3 2008 46,80 5 5 25
4 2009 48,00 4 1 1
5 2010 45,50 7 -3 9
6 2011 48,30 2 5 25
7 2012 48,40 1 1 1
8 2013 48,20 3 -2 4
9 2014 45,80 6 -3 9
10 2015 44,30 9 -3 9
Jumlah 87
Perhitungan Uji Persistensi
M = 9
Ks = 0,275
T = 0,757
Dk = 7
α 5% = 0,05
T kritis = 1,895
Kesimpulan = diterima (tidak ada persistensi)
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Tahun 2007
Di = Peringkat th.2006 – Peringkat th.2007
= 8 – 10 = -2
Di2 = (-2)2 = 4
N = 10
M = n – 1
= 10 – 1 = 9
Ks = 1 - 6 ∑ (𝑑𝑖)2𝑛
𝑖=1
𝑚3−𝑚
= 1 - 6 × 87
53−5 = 0,275
T = Ks ⌈m−2
1−Ks2⌉
0,5
= 0,275 ⌈9−2
1−0,2752⌉
0,5= 0,757
Dk = m – 2
= 9 – 2 = 7
H0 = dua seri data (tahun dan kualitas air) adalah independen sehingga tidak persistensi
Dengan derajat kepercayaan α 5% dan Dk = 7, maka dengan tabel T kritis (Soewarno,
1995) diperoleh nilai T kritis = 1,895.
83
Kesimpulan = jika -T kritis < T < T kritis, maka tidak ada persistensi
= -1,895 < 0,757 < 1,895, maka tidak ada persistensi
Maka H0 diterima pada derajat kepercayaan 5%. Atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa 95% data DO Bambe Tambangan adalah independen atau tidak menunjukkan
adanya persistensi. Atau dapat dikatakan bahwa data tersebut merupakan data bersifat
acak.
Setelah semua uji screening data kualitas air di Bambe Tambangan dilakukan, maka
hasil akan direkapitulasi. Berikut Tabel 4.18 merupakan hasil uji screening data kualitas air
di Bambe Tambangan:
Tabel 4.18 Rekapitulasi Hasil Uji Screening Data Kualitas Air Bambe Tambangan
Keterangan Uji Ketidakadaan Trend Uji Stasioner
Uji Persistensi Uji Spearman Uji Mann-Whitney Uji F Uji t
A. Parameter DO
Nilai Hitung -0,763 -1,358 2,712 1,061 0,757
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
B. Parameter BOD
Nilai Hitung 1,700 -1,567 0,686 1,736 0,022
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
C. Parameter COD
Nilai Hitung 1,443 -1,475 0,880 1,636 0,379
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
D. Parameter pH
Nilai Hitung -1,083 -0,940 1,023 0,925 -0,708
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
E. Parameter Suhu
Nilai Hitung -0,840 -0,522 2,600 0,783 -1,859
Nilai Kritis (Tabel) -1,860 s.d. 1,860 -1,645 s.d. 1,645 6,390 1,860 -1,895 s.d 1,895
Syarat Nilai Hitung < Nilai kritis, maka H0 Diterima (tidak ada trend, bersifat stasioner dan acak)
Kesimpulan diterima diterima diterima diterima diterima
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari hasil uji screening data yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kondisi
eksisting data kualitas air Bambe Tambangan untuk parameter DO, BOD, COD, pH dan
suhu yang diperoleh sifatnya handal dan berkualitas. Karena telah memenuhi syarat uji
screening yang berarti data tidak menunjukan adanya tren, bersifat stasioner (varian dan
rata-ratanya homogen) dan bersifat acak. Maka data kualitas air selanjutnya dapat
digunakan dalam analisa lanjutan. Uji screening data kulitas air untuk titik pantau lainnya
84
yaitu Jembatan Jrebeng dan Cangkir Tambangan, hasilnya disajikan pada bagian
Lampiran 2 (Data Kualitas Air Sekunder).
Kesesuaian Data Kualitas Air dengan Kelas Peruntukannya
Dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, pada pasal 1
ayat 6 disebutkan bahwa kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak
untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Aliran Kali Surabaya oleh Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2010, menurut klasifikasi kualitas airnya
ditetapkan sebagai Kelas II (dua).
Pasal 8 pada PP No. 82 Tahun 2001, menjelaskan tentang peruntukan sesuai dengan
kelas airnya. Bahwa Kelas II (dua) peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut. Oleh karena Kali Surabaya ditetapkan sebagai Kelas II (dua), maka batasan
kriteria mutu air yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.19 Kriteria Mutu Air Kelas II untuk Parameter DO, BOD, COD, pH dan Suhu
Parameter Satuan Kriteria
Nilai Keterangan
Suhu oC Deviasi 3 Deviasi temperatur dari keadaan alaminya
pH 6 s.d. 9
Apabila secara ilmiah diluar rentang
tersebut, maka ditentukan berdasarkan
kondisi alamiah
BOD mg/L 3
COD mg/L 25
DO mg/L 4 Angka batas minimum
Sumber: PP No. 82 Tahun 2001
Jika kriteria mutu air kelas II di Tabel 4.19 diterapkan pada data kualitas air sekunder
studi ini, maka gambaran keseuaian kelas peruntukan kualitas air akan terlihat pada grafik-
grafik berikut:
85
Gam
bar
4.1
Gra
fik d
ata
kual
itas
air
bam
be
tam
ban
gan
dan
kri
teri
a m
utu
air
kel
as I
I p
aram
eter
DO
Sum
ber
: P
erum
Jas
a T
irta
I
Ber
das
ark
an g
rafi
k d
iata
s, d
apat
dik
etah
ui
bah
wa
sebag
ian
bes
ar d
ata,
nil
ainya
ber
ada
dib
awah
gar
is b
atas
sy
arat
kri
teri
a m
utu
air
yan
g d
itet
apk
an u
ntu
k p
aram
ater
DO
yai
tu m
inim
um
4 m
g/L
. N
amun a
da
beb
erap
a bula
n y
ang n
ilai
par
amet
er D
O n
ya
dia
tas
stan
dar
kri
teri
a m
utu
air
kel
as d
ua,
yai
tu t
erja
di
sem
isal
di
bula
n A
gust
us
2016 (
4,6
mg/L
) p
ada
bula
n i
nil
ah k
emungkin
an k
on
dis
i
kual
itas
air
di
Bam
be
Tam
ban
gan
sed
ang
tid
ak t
erce
mar
. D
iket
ahui
bah
wa
dar
i 120 d
ata
DO
Bam
be
Tam
ban
gan
, 49 d
ata
mem
enuhi
kri
teri
a D
O k
elas
II
(dat
a yan
g d
iata
s gar
is s
tand
ar D
O K
elas
II)
dan
71 d
ata
tidak
mem
enuhi
kri
teri
a D
O k
elas
II.
(Min
. 4 m
g/L)
86
Gam
bar 4
.2 G
rafik d
ata kualitas air b
ambe tam
ban
gan
dan
kriteria m
utu
air kelas II p
arameter B
OD
Sum
ber: P
erum
Jasa Tirta I
Berd
asarkan
grafik
diatas, d
apat d
iketah
ui b
ahw
a sebag
ian b
esar data n
ilainya b
erada d
iatas garis sy
arat bak
u m
utu
air kelas
II. Hal in
i men
unju
kkan
berd
asarkan
param
eter BO
D, b
anyak
yan
g tid
ak m
emen
uhi k
riteria mutu
air kelas II co
nto
hnya p
ada b
ulan
Agustu
s 2008 (2
0,3
mg/L
). Syarat k
elas II ditetap
kan
untu
k p
aramater B
OD
yaitu
mak
simum
3 m
g/L
. Nam
un ad
a beb
erapa b
ulan
yan
g n
ilai param
eter BO
D n
ya m
emen
uhi stan
dar d
an k
riteria m
utu
air kelas II, y
aitu terjad
i semisal d
i bulan
Sep
tember 2
01
1 (1
,4
mg/L
). Dik
etahui b
ahw
a dari 1
20 d
ata BO
D B
ambe T
amban
gan
, 12 d
ata mem
enuhi k
riteria BO
D k
elas II (data y
ang d
ibaw
ah g
aris
standar B
OD
Kelas II) d
an 1
08 d
ata tidak
mem
enu
hi k
riteria BO
D k
elas II.
87
Gam
bar
4.3
Gra
fik d
ata
kual
itas
air
bam
be
tam
ban
gan
dan
kri
teri
a m
utu
air
kel
as I
I p
aram
eter
CO
D
Sum
ber
: P
erum
Jas
a T
irta
I
Ber
das
ark
an g
rafi
k d
iata
s, d
apat
dik
etah
ui
bah
wa
sebag
ian b
esar
dat
a nil
ainya
ber
ada
dib
awah
gar
is b
atas
. H
al i
ni
men
unju
kkan
mas
ih m
emen
uhi
kri
teri
a m
utu
air
yan
g d
itet
apkan
untu
k p
aram
ater
CO
D y
aitu
mak
sim
um
25 m
g/L
. N
amun a
da
beb
erap
a bula
n y
ang n
ilai
CO
D n
ya
tidak
mem
enuhi
kri
teri
a m
utu
air
kel
as I
I, y
aitu
ter
jadi
sem
isal
di
bula
n M
ei 2
010 s
ebes
ar 4
1
mg/L
. D
iket
ahui
bah
wa
dar
i 120 d
ata
CO
D B
ambe
Tam
ban
gan
, 88 d
ata
mem
enuhi
kri
teri
a C
OD
kel
as I
I (d
ata
yan
g d
ibaw
ah g
aris
stan
dar
CO
D K
elas
II)
dan
32 d
ata
tidak
mem
enuh
i kri
teri
a C
OD
kel
as I
I.
88
Gam
bar 4
.4 G
rafik d
ata kualitas air b
ambe tam
ban
gan
dan
kriteria m
utu
air kelas II p
arameter p
H
Sum
ber: P
erum
Jasa Tirta I
Berd
asarkan
grafik
diatas, d
apat d
iketah
ui b
ahw
a semua d
ata nilain
ya m
emen
uhi k
riteria mutu
air kelas II y
ang d
itetapk
an
untu
k p
aramater p
H y
aitu 6
- 9. Jik
a din
ilai dari seg
i param
eter pH
, tidak
terjadi p
encem
aran y
ang b
erarti, karen
a ham
pir sem
ua n
ilai
dari d
ata yan
g d
ipero
leh m
emen
uhi k
riteria. Han
ya d
ata pad
a bulan
Juni 2
009 (5
,9) y
ang tid
ak m
emen
uhi k
riteria pH
air kelas II.
89
Gam
bar
4.5
Gra
fik d
ata
kual
itas
air
bam
be
tam
ban
gan
par
amet
er s
uhu
Sum
ber
: P
erum
Jas
a T
irta
I
Untu
k a
nal
isa
kondis
i ek
sist
ing k
ual
itas
air
ber
das
arkan
kes
esu
aian
den
gan
kel
as p
eruntu
kan
ya
di
titi
k p
anta
u l
ainya
(Jem
bat
an
Jreb
eng d
an C
angkir
Tam
ban
gan
) dap
at d
ilih
at d
i bag
ian L
am
pir
an
2 (
Data
Ku
ali
tas
Air
Sek
un
der
).
90
4.2 Prediksi Kualitas Air Metode Jaringan Syaraf Tiruan
Dalam studi ini, metode JST akan diterapkan untuk memprediksi parameter kualitas air
(DO, BOD, COD, pH dan suhu) di titik Bambe Tambangan. Pada tahapan prediksi dengan
metode JST dalam studi ini akan dibuat 3 (tiga) macam skenario. Sehingga diharapkan akan
terlihat skenario manakah yang memiliki akurasi yang paling tinggi dengan kesalahan relatif
paling rendah untuk lokasi studi.
Perbedaan mendasar dari ketiga skenario tersebut terletak pada variabel input dan
output nya. Output skenario dibedakan dengan dasar mengelompokkan cara pengukuran
parameter kualitas air. Skenario I digunakan untuk memprediksi parameter yang dapat
diukur langsung di lapangan (in situ) seperti DO, pH dan suhu. Sedangkan Skenario II dan
III untuk memprediksi parameter yang pengukurannya dilakukan di laboratorium, misalnya
BOD dan COD. Proses Training dan testing JST dibuat dengan bantuan software
NeuroSolutions7. Semua jaringan dimodelkan dengan menggunakan software
NeuroSolutions7 dengan algoritma regression MLP (Multi-Layer Perceptron). Pada masing-
masing skenario akan dicoba dengan berbagai komposisi persentase dataset (training, cross
validation, testing) mulai 50-30-20, 60-20-20, 60-30-10, dan batasan epoch mulai 1000,
5000 dan 10000. Maka hasil tahapan-tahapan pengerjaan dalam software NeuroSolutions7
akan diuraikan pada subbab selanjutnya.
4.2.1 Skenario 1
Skenario I digunakan untuk memprediksi parameter seperti DO, pH dan suhu pada titik
Bambe Tambangan dengan input DO, pH dan suhu titik Jembatan Jrebeng dan Cangkir
Tambangan. Input juga ditambahkan dengan data hujan dari tiga lokasi stasiun hujan
terdekat dengan titik pemantauan kualitas air. Berikut skenario variabel input dan output JST
serta dan rancangan arsitektur jaringan yang digunakan pada model Skenario I adalah
sebagai berikut:
Output Input
a. DO 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 Suhu 1 Suhu 2 DO 1 DO 2
b. pH 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 Suhu 1 Suhu 2 DO 1 DO 2
c. Suhu 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 Suhu 1 Suhu 2 DO 1 DO 2
d. DO 3 + pH 3 + Suhu 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 Suhu 1 Suhu 2 DO 1 DO 2
dimana:
Titik 1 = Jembatan Jrebeng
Titik 2 = Cangkir Tambangan
Titik 3 = Bambe Tambangan
CH = Curah Hujan
91
Gambar 4.6 Arsitektur jaringan untuk skenario I
Rumus Pemodelan JST Skenario I
y_ink = W0k +∑{(𝐵 + ∑(𝑍1𝐶𝐻1 + 𝑍1𝐶𝐻2 + 𝑍1𝐶𝐻3 + 𝑍1𝑝𝐻1 + 𝑍1𝑝𝐻2 + 𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 1 +
𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍1𝐷𝑂 1 + 𝑍1𝐷𝑂 2)𝑊1𝑘 + ⋯ + (𝐵 + ∑(𝑍11𝐶𝐻1 + 𝑍11𝐶𝐻2 + 𝑍11𝐶𝐻3 +
𝑍11𝑝𝐻1 + 𝑍11𝑝𝐻2 + 𝑋𝑍11𝑆𝑢ℎ𝑢 1 + 𝑍11𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍11𝐷𝑂 1 + 𝑍11𝐷𝑂 2)𝑊12𝑘 }
dengan:
y_ink = nilai output
W = bobot dari hidden layer ke output
X = neuron pada input layer
Z = hidden layer
B = bias / unit masukan B= 1
Seperti yang telah diuraikan di subbab sebelumnya, bahwa untuk memprediksi kualitas
air Bambe Tambangan, dibuatlah beragam jaringan dengan variasi persentase dataset dan
variasi epoch. Jaringan yang terbaik merupakan jaringan yang memiliki kesalahan relatif
yang paling kecil. Berikut adalah hasil pelatihan dan pengujian jaringan yang menghasilkan
output terbaik dengan hasil kesalahan relatif terkecil untuk memprediksi kualitas air Bambe
Tambangan menggunakan model Skenario I:
92
a. Ouput DO 3
1. Persentase dataset terbaik,
Setelah semua jaringan dicoba dengan persentase dataset yang berbeda-beda, hasil
terbaik untuk prediksi DO Bambe Tambangan dihasilkan oleh jaringan yang menggunakan
dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training, 20% cross validation, dan 20%
untuk testing.
2. Hasil tahapan “Train Network”,
Maka percobaan dengan dataset yang sama, jaringan akan dicoba dengan epoch
pelatihan yang berbeda-beda dari 1000, 5000, dan 10000. Hasilnya jaringan terbaik untuk
memprediksi DO Bambe Tambangan adalah jaringan dengan batasan epoch pelatihan
sebesar 5000. Berikut merupakan performa hasil pelatihan jaringannya,
Gambar 4.7 Performa pelatihan (train) jaringan skenario I untuk output DO 3 dengan
dataset 60-20-20 dan epoch 5000
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
MSE
Epoch
MSE versus Epoch
Training MSE
Cross Validation MSE
Best Networks Training Cross Validation
Epoch # 2674 78
Minimum MSE 0.003155956 0.029998066
Final MSE 0.003155956 0.030250285
93
Gambar 4.8 Performa pelatihan (train) jaringan skenario I untuk output DO 3 dengan
dataset 60-20-20 epoch 10000
Penjelasan:
Agar jaringan menghasilkan kesalahan relatif yang kecil, maka saat pelatihan jaringan
harus didapatkan nilai MSE (Mean Square Error) kecil dan mendekati nol . Jaringan yang
memiliki nilai MSE yang terkecil dibanding jaringan yang lain itulah yang dapat
menghasilkan kesalahan relatif terkecil juga. Dari dua gambar performa hasil pelatihan
jaringan Skenario I Output DO 3, dapat diketahui bahwa pelatihan jaringan dengan dataset
60-20-20 epoch 5000 (Gambar 4.7) lebih bagus daripada jaringan dengan dataset 60-20-20
epoch 10000 (Gambar 4.8).
Hal demikian dapat dinilai yang pertama secara visualisasi grafis yang dihasilkan. Ciri
pelatihan jaringan yang bagus ditunjukkan dengan grafis MSE vs Epoch yang stabil dan
tidak ada menunjukkan grafis MSE yang naik pada epoch terakhir. Jadi secara visual terlihat
bahwa jaringan Skenario I Output DO 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 grafis MSE
nya lebih stabil (Gambar 4.7), sehingga lebih bagus daripada yang epoch 10000 (Gambar
4.8).
Kedua dapat dinilai berdasarkan secara angka yang terdapat di tabel hasil performa
pelatihan. Ciri jaringan yang bagus adalah jaringan yang nilai MSE hasil pelatihannya yang
paling kecil dan paling mendekati nol (0,001). Jadi secara angka MSE terlihat bahwa
jaringan Skenario I Output DO 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 menghasilkan
minimum MSE 0,003 lebih kecil (Gambar 4.7), sehingga lebih bagus daripada yang epoch
10000 yang menghasilkan minimum MSE 0,005 (Gambar 4.8).
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
MSE
Epoch
MSE versus Epoch
Training MSE
Cross Validation MSE
Best Networks Training Cross Validation
Epoch # 9995 5
Minimum MSE 0.005238018 0.023263013
Final MSE 0.005238018 0.084678474
94
Gam
bar 4
.9 H
asil test netw
ork p
ada d
ata
set train
ing
jaringan
sken
ario I o
utp
ut D
O 3
den
gan
data
set 60-2
0-2
0 d
an ep
och
50
00
50
00
Perfo
rma
nce
DO
3
RM
SE0.207657344
NR
MSE
0.044182414
MA
E0.154696329
NM
AE
0.032914113
Min
Ab
s Error
0.001894136
Max A
bs Erro
r0.577552848
r0.963146716
Score
95.16107363
Gam
bar 4
.10 H
asil test netw
ork p
ada d
ata
set train
ing
jaringan
sken
ario I o
utp
ut D
O 3
den
gan
data
set 60-2
0-2
0 d
an ep
och
10000
50
00
3.
Hasil tah
apan
“Test N
etwork”.
Untu
k p
ertama test n
etwork p
ada d
ata
set train
ing
,
Perfo
rma
nce
DO
3
RM
SE0.46894722
NR
MSE
0.099776004
MA
E0.356081867
NM
AE
0.075762099
Min
Ab
s Error
0.003503354
Max A
bs Erro
r1.385576393
r0.801284549
Score
85.56181989
95
Penjelasan:
Dari dua gambar performa hasil test network pada dataset training, dapat diketahui
bahwa jaringan Skenario I Output DO 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 (Gambar 4.9)
lebih bagus daripada jaringan dengan dataset 60-20-20 epoch 10000 (Gambar 4.10).
Hal demikian dapat dinilai yang pertama secara visualisasi grafis yang dihasilkan. Ciri
pengujian jaringan yang bagus ditunjukkan dengan grafis DO Aktual vs DO Output JST
yang saling berhimpitan. Jadi secara visual terlihat bahwa jaringan Skenario I Output DO 3
dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 grafisnya lebih saling berhimpitan antara DO Output
JST dengan DO 3 Aktual (Gambar 4.9), lebih bagus daripada yang epoch 10000 (Gambar
4.10).
Kedua dapat dinilai berdasarkan secara angka yang terdapat di tabel hasil performa
pengujian. Ciri jaringan yang bagus adalah jaringan yang nilai r yang paling besar dan
paling mendekati 1. Dan juga nilai score yang dihasilkan paling besar yang mendekati 100.
Artinya jika score semakin mendekati seratus, berarti output yang dihasilkan semakin
mendekati data aktualnya. Jadi berdasarkan angka score terlihat bahwa jaringan dengan
dataset 60-20-20 epoch 5000 menghasilkan score 95,1 (Gambar 4.9) lebih bagus daripada
yang epoch 10000 yang menghasilkan score 85,6 (Gambar 4.10).
test network selanjutnya adalah pada dataset cross validation dan berikut hasilnya,
Gambar 4.11 Grafik hasil test network pada dataset cross validation jaringan skenario I
output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000
0
5
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ou
tpu
t
Exemplar
Desired Output and Actual Network Output
DO 3
DO 3 Output
96
test network terakhir adalah pada dataset testing dan berikut hasilnya,
Gambar 4.12 Grafik hasil test network pada dataset testing jaringan skenario I untuk output
DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000
4. Tahapan selanjutnya adalah produksi (production),
Dengan tool “Apply New Data”. Maka akan muncul data pada kolom kosong output
production sebelumnya dan berikut hasilnya,
Tabel 4.20 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output DO 3 dengan Dataset 60-
20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Output JST
DO 3 (mg/L)
2006 Mei 3,62
2007 Mei 3,81
2008 Mei 3,98
2009 Mei 4,28
2010 Mei 3,89
2011 Mei 3,70
2012 Mei 3,75
2013 Mei 3,39
2014 Mei 3,41
2015 Mei 3,00
Sumber: Hasil Perhitungan
5. Perhitungan Kesalahan Relatif
Langkah nomor 1 sampai 4 diatas merupakan proses dari awal sampai akhir metode JST
untuk prediksi DO 3 (Skenario I dengan komposisi dataset 60-20-20 dan epoch 5000).
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data perlu
0
5
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ou
tpu
t
Exemplar
Desired Output and Actual Network Output
DO 3
DO 3 Output
97
dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif). KR
dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada model
JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data aktual dan
dihitung persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output DO 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % DO 3 (mg/L) DO 3 (mg/L)
2006 Mei 3,7 3,62 2,17
2007 Mei 3,7 3,81 3,01
2008 Mei 4,2 3,98 5,20
2009 Mei 4,4 4,28 2,68
2010 Mei 3,9 3,89 0,29
2011 Mei 3,7 3,70 0,07
2012 Mei 3,1 3,75 20,98
2013 Mei 3,4 3,39 0,33
2014 Mei 3,3 3,41 3,26
2015 Mei 3,5 3,00 14,36
Rerata KR % 5,23
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(3,7 − 3,62)
3,7| × 100%
= 2,17%
Tabel 4.22 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario I
output DO Bambe Tambangan:
Tabel 4.22 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario I Output DO 3
a. Output DO 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 13,10 8,82 8,29
5000 12,69 5,23 10,03
10000 12,45 10,72 8,23
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif, jaringan Skenario I output DO 3 dengan dataset
60-20-20 dan epoch 5000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-rata nilai KR terkecil
yaitu sebesar 5,23%. Hal demikian menunjukkan bahwa output jaringan tersebut sangat
bagus mendekati data aktualnya, karena memiliki KR masih dibawah 10%.
98
Pada model Skenario I dengan tahapan yang sama, jaringan juga dicoba dengan variasi
dataset yang lain yaitu 50-30-20 dan 60-30-10, juga dengan beragam epoch mulai 1000,
5000 dan 10000 serta akan diprediksi output untuk parameter yang lain, yaitu pH 3, Suhu 3
dan gabungan 3 output sekaligus (DO 3, pH 3, dan Suhu 3).
b. Ouput pH 3
Setelah semua jaringan Skenario I output pH 3 dicoba dengan persentase dataset yang
berbeda-beda, hasil terbaik untuk prediksi pH Bambe Tambangan dihasilkan oleh jaringan
Skenario I yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training,
20% cross validation, dan 20% untuk testing dan dengan batasan epoch 1000.
Performa pelatihan jaringan Skenario I output pH 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
1000 menghasilkan minimum MSE 0,005 cukup mendekati nol (0,001). Dan performa hasil
pengujian jaringan pada dataset training, jaringan Skenario I output pH 3 dengan dataset
60-20-20 epoch 1000 menghasilkan score 88,7. Pada tahap produksi, jaringan Skenario I
output pH 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 1000 menghasilkan output sebagai berikut:
Tabel 4.23 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output pH 3 dengan Dataset 60-
20-20 dan Epoch 1000
Tahun Bulan Output JST
pH 3
2006 Mei 6,90
2007 Mei 7,30
2008 Mei 7,23
2009 Mei 6,98
2010 Mei 7,41
2011 Mei 7,09
2012 Mei 7,21
2013 Mei 7,34
2014 Mei 7,41
2015 Mei 6,98
Sumber: Hasil Perhitungan
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data
perlu dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif).
KR dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada
model JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data
aktual dan dihitung persentase kesalahan relatifnya.
99
Tabel 4.24 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output pH 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 1000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % pH 3 pH 3
2006 Mei 6,80 6,90 1,41
2007 Mei 7,30 7,30 0,01
2008 Mei 7,40 7,23 2,33
2009 Mei 7,10 6,98 1,69
2010 Mei 7,30 7,41 1,49
2011 Mei 6,90 7,09 2,70
2012 Mei 7,20 7,21 0,15
2013 Mei 7,30 7,34 0,54
2014 Mei 7,40 7,41 0,17
2015 Mei 7,40 6,98 5,63
Rerata KR % 1,61
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(6,80 − 6,90)
6,80| × 100%
= 1,61%
Tabel 4.25 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario I
output pH Bambe Tambangan:
Tabel 4.25 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario I Output pH 3
b. Output pH 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 2,27 1,61 2,18
5000 2,89 1,83 2,59
10000 2,52 1,85 2,07
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif, jaringan Skenario I output pH 3 dengan dataset
60-20-20 dan epoch 1000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-rata nilai KR terkecil
yaitu sebesar 1,61%. Hal demikian menunjukkan bahwa output jaringan tersebut sangat
bagus mendekati data aktualnya, karena memiliki KR masih dibawah 5%.
c. Ouput Suhu 3
Setelah semua jaringan Skenario I output suhu 3 dicoba dengan persentase dataset yang
berbeda-beda, hasil terbaik untuk prediksi suhu Bambe Tambangan dihasilkan oleh jaringan
yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training, 20% cross
validation, dan 20% untuk testing dan dengan batasan epoch 5000.
100
Performa pelatihan jaringan Skenario I output suhu 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
5000 menghasilkan minimum MSE 0,002 cukup mendekati nol (0,001). Dan performa hasil
pengujian jaringan pada dataset training, jaringan Skenario I output suhu 3 dengan dataset
60-20-20 epoch 5000 menghasilkan score 91,5 cukup mendekati 100. Pada tahap produksi,
jaringan Skenario I output suhu 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 menghasilkan output
sebagai berikut:
Tabel 4.26 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario I untuk Output Suhu 3 dengan Dataset 60-
20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Output JST
Suhu 3 (C)
2006 Mei 28,68
2007 Mei 31,13
2008 Mei 29,29
2009 Mei 27,72
2010 Mei 29,54
2011 Mei 29,78
2012 Mei 29,67
2013 Mei 30,36
2014 Mei 31,60
2015 Mei 29,62
Sumber: Hasil Perhitungan
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data
perlu dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif).
KR dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada
model JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data
aktual dan dihitung persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario I untuk Output Suhu 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % Suhu 3 (C) Suhu 3 (C)
2006 Mei 29,00 28,68 1,10
2007 Mei 31,00 31,13 0,42
2008 Mei 29,00 29,29 0,99
2009 Mei 28,00 27,72 0,99
2010 Mei 29,50 29,54 0,13
2011 Mei 29,00 29,78 2,68
2012 Mei 30,40 29,67 2,41
2013 Mei 29,00 30,36 4,68
2014 Mei 31,30 31,60 0,96
2015 Mei 29,70 29,62 0,28
Rerata KR % 1,46
Sumber: Hasil Perhitungan
101
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(29,00 − 28,68)
29,00| × 100%
= 1,10%
Tabel 4.28 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario I
output suhu Bambe Tambangan:
Tabel 4.28 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario I Output Suhu 3
c. Output Suhu 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 1,88 1,70 1,78
5000 1,55 1,46 1,97
10000 1,80 2,31 1,55
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif, jaringan Skenario I output pH 3 dengan dataset
60-20-20 dan epoch 5000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-rata nilai KR terkecil
yaitu sebesar 1,46%. Hal demikian menunjukkan bahwa output jaringan tersebut sangat
bagus mendekati data aktualnya, karena memiliki KR masih dibawah 5%.
d. Ouput Gabungan DO 3, pH 3 dan Suhu 3
Prediksi dengan model Skenario I juga dicoba dengan membuat jaringan yang
menggabungkan tiga output sekaligus yaitu DO, pH, dan suhu Bambe Tambangan. Jika pada
poin a, b dan c jaringan dibuat dengan output tunggal, maka pada poin d ini jaringan dibuat
dengan output ganda.
Tabel 4.29 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario I
output gabungan (DO, pH, dan suhu) Bambe Tambangan:
Tabel 4.29 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario I Output Gabungan
d. Gabungan 3
Output Sekaligus
(DO 3, pH 3,
Suhu 3)
Epoch
Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 – 20 60 - 30 -10
DO3 pH3 Suhu3 DO3 pH3 Suhu3 DO3 pH3 Suhu3
1000 11,76 1,88 1,74 10,56 1,93 1,68 12,75 2,11 1,60
5000 14,41 2,21 1,74 8,34 1,69 1,58 11,51 1,91 1,84
10000 10,09 1,88 1,81 10,54 1,94 1,68 10,00 2,06 1,51
Sumber: Hasil Perhitungan
102
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif jaringan Skenario I output gabungan, didapatkan
hasil output JST dengan kesalahan relatif yang lebih besar dibandingkan dengan jaringan
output tunggal. Misal pada output DO 3, dengan model jaringan output tunggal dihasilkan
KR terkecil sebesar 5,23% (Tabel 4.22), sedangkan dengan model jaringan output ganda
(gabungan) dihasilkan KR terkecil sebesar 8,34% (Tabel 4.29). Namun dengan model
jaringan output ganda (gabungan) hasilnya dirasa kurang memuaskan dan tidak konsisten.
Dikarenakan KR terkecil masing-masing parameter terletak berpencar pada dataset dan
epoch yang tidak sama. KR terkecil DO 3 terletak pada dataset 60-20-20 dan epoch 5000,
sedangkan KR terkecil suhu 3 terletak pada dataset 60-30-10 dan epoch 1000, dan KR
terkecil pH 3 terletak pada dataset 50-30-20 dan epoch 5000. Semua KR terkecil masing-
masing parameter terletak tidak pada satu dataset. Sehingga menyebabkan hasilnya tidak
konsisten.
Setelah semua prediksi dengan model Skenario I dilakukan, hasil prediksi metode JST
dan perhitungan kesalahan relatif terlengkap untuk masing-masing output DO, pH, suhu di
titik 3 (Bambe Tambangan) dapat dilihat pada bagian Lampiran 3 (Hasil Prediksi Metode
JST).
4.2.2 Skenario II
Skenario II digunakan untuk memprediksi parameter BOD dan COD pada titik Bambe
Tambangan dengan input DO, BOD, COD, pH, dan suhu titik Jembatan Jrebeng dan
Cangkir Tambangan. Input juga ditambahkan dengan data hujan dari tiga lokasi stasiun
hujan terdekat dengan titik pemantauan kualitas air. Berikut skenario variabel input dan
output JST yang digunakan pada model Skenario II adalah sebagai berikut:
Output Input
a. BOD 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 pH 3 Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 DO 1 DO 2 DO 3 BOD 1 BOD 2
b. COD 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 pH 3 Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 DO 1 DO 2 DO 3 COD 1 COD 2
dimana:
Titik 1 = Jembatan Jrebeng
Titik 2 = Cangkir Tambangan
Titik 3 = Bambe Tambangan
CH = Curah Hujan
Pada pemodelan JST dengan model Skenario II prinsip dan langkahnya adalah sama
dengan model Skenario I. Hanya saja ada penambahan pada variabel input yaitu BOD dan
COD titik 1 dan 2. Serta jika pada model Skenario I outputnya berupa parameter DO, pH
103
dan suhu Bambe Tambangan, maka pada model Skenario II outputnya diganti dengan
parameter BOD dan COD Bambe Tambangan.
Berikut rancangan arsitektur jaringan yang digunakan pada model Skenario II adalah
sebagai berikut:
Gambar 4.13 Arsitektur jaringan untuk skenario II
Rumus Pemodelan JST Skenario II
y_ink = W0k +∑{(𝐵 + ∑(𝑍1𝐶𝐻1 + 𝑍1𝐶𝐻2 + 𝑍1𝐶𝐻3 + 𝑍1𝑝𝐻1 + 𝑍1𝑝𝐻2 + 𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 1 +
𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍1𝐷𝑂 1 + 𝑍1𝐷𝑂 2)𝑊1𝑘 + ⋯ + (𝐵 + ∑(𝑍11𝐶𝐻1 + 𝑍11𝐶𝐻2 + 𝑍11𝐶𝐻3 +
𝑍11𝑝𝐻1 + 𝑍11𝑝𝐻2 + 𝑋𝑍11𝑆𝑢ℎ𝑢 1 + 𝑍11𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍11𝐷𝑂 1 + 𝑍11𝐷𝑂 2)𝑊12𝑘 }
dengan:
y_ink = nilai output
W = bobot dari hidden layer ke output
X = neuron pada input layer
Z = hidden layer
B = bias / unit masukan B= 1
104
Berikut adalah hasil pelatihan dan pengujian jaringan yang menghasilkan output terbaik
dengan hasil kesalahan relatif terkecil untuk memprediksi kualitas air Bambe Tambangan
menggunakan model Skenario II:
a. Output BOD 3 (Skenario II)
Berikut adalah hasil pelatihan dan pengujian jaringan yang menghasilkan output terbaik
untuk memprediksi BOD Bambe Tambangan dengan model Skenario II. Secara keseluruhan
jaringan yang terbaik merupakan jaringan yang memiliki kesalahan relatif yang paling kecil.
Berikut jaringan terbaik yang didapatkan setelah beberapa percobaan dilakukan,
1. Persentase dataset terbaik,
Setelah semua jaringan untuk Skenario II dicoba dengan persentase dataset yang
berbeda-beda, hasil terbaik untuk prediksi BOD Bambe Tambangan dihasilkan oleh
jaringan yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk
training, 20% cross validation, dan 20% untuk testing.
2. Hasil tahapan “Train Network”,
Maka percobaan dengan dataset yang sama, jaringan akan dicoba dengan epoch
pelatihan yang berbeda-beda dari 1000, 5000, dan 10000. Hasilnya jaringan terbaik
untuk memprediksi BOD Bambe Tambangan dengan Skenario II adalah jaringan
dengan batasan epoch pelatihan sebesar 10000. Berikut merupakan performa hasil
pelatihan jaringannya,
Gambar 4.14 Performa pelatihan (train) jaringan skenario II untuk output BOD 3 dengan
dataset 60-20-20 dan epoch 10000
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
MSE
Epoch
MSE versus Epoch
Training MSE
Cross Validation MSE
Best Networks Training Cross Validation
Epoch # 148 13
Minimum MSE 0.000610479 0.005564819
Final MSE 0.001447945 0.55876357
105
Penjelasan:
Dari Gambar 4.14 performa hasil pelatihan jaringan Skenario II Output BOD 3, dapat
diketahui bahwa pelatihan jaringan dengan dataset 60-20-20 epoch 10000 terbilang cukup
bagus. Hal demikian dapat dinilai berdasarkan secara angka yang terdapat di tabel hasil
performa pelatihan. Jadi berdasarkan angka MSE terlihat bahwa jaringan Skenario II Output
BOD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 10000 menghasilkan minimum MSE yang bagus,
yaitu sebesar 0,0006. Sudah bisa dikatakan telah mendekati nol dan memenuhi syarat
performa pelatihan jaringan yang diinginkan.
3. Hasil tahapan “Test Network”.
Untuk pertama test network pada dataset training dan berikut hasilnya,
Gambar 4.15 Hasil test network pada dataset training jaringan skenario II output BOD 3
dengan dataset 60-20-20 epoch 10000
Pemjelasan:
Dari Gambar 4.15 performa hasil test network pada dataset training, dapat diketahui
bahwa hasil pengujian jaringan Skenario II Output DO 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
10000 lumayan bagus. Karena berdasarkan angka score terlihat bahwa hasil uji jaringan
tersebut menghasilkan score 93,9 dan dapat dikatakan hampir mendekati 100.
0
10
20
30
40
1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67
Ou
tpu
t
Exemplar
Desired Output and Actual Network Output
BOD 3
BOD 3 Output
Performance BOD 3
RMSE 1.725935312
NRMSE 0.050465945
MAE 1.220165073
NMAE 0.035677341
Min Abs Error 0.011310379
Max Abs Error 5.926301936
r 0.941392796
Score 93.8822098
106
test network kedua adalah pada dataset cross validation dan berikut hasilnya,
Gambar 4.16 Hasil test network pada dataset cross validation jaringan skenario II untuk
output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000
test network terakhir adalah pada dataset testing dan berikut hasilnya,
Gambar 4.17 Hasil test network pada dataset testing jaringan skenario II output BOD 3,
dengan dataset 60-20-20 dan epoch 10000
0
5
10
15
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ou
tpu
t
Exemplar
Desired Output and Actual Network Output
BOD 3
BOD 3 Output
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ou
tpu
t
Exemplar
Desired Output and Actual Network Output
BOD 3
BOD 3 Output
107
4. Tahapan selanjutnya adalah produksi (production),
Dengan tool “Apply New Data”. Maka akan muncul data pada kolom kosong output
production sebelumnya dan berikut hasilnya,
Tabel 4.30 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario II untuk Output BOD 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 10000
Tahun Bulan Output JST
BOD 3 (mg/L)
2006 Mei 7,31
2007 Mei 2,57
2008 Mei 5,62
2009 Mei 6,12
2010 Mei 10,21
2011 Mei 5,11
2012 Mei 5,16
2013 Mei 4,02
2014 Mei 4,78
2015 Mei 5,64
Sumber: Hasil Perhitungan
5. Perhitungan Kesalahan Relatif
Langkah diatas merupakan proses dari awal sampai akhir pemodelan JST untuk prediksi
BOD 3 (Skenario II dengan komposisi dataset 60-20-20 dan epoch 10000). Berikut
merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data aktual dan dihitung
persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.31 Hasil Perhitungan Persentase Kesalahan Relatif (KR) Skenario II untuk Output
BOD 3 dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 10000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % BOD 3 (mg/L) BOD 3 (mg/L)
2006 Mei 7,1 7,31 3,02
2007 Mei 2,0 2,57 28,71
2008 Mei 6,2 5,62 9,35
2009 Mei 9,3 6,12 34,21
2010 Mei 9,0 10,21 13,44
2011 Mei 5,3 5,11 3,52
2012 Mei 4,4 5,16 17,33
2013 Mei 4,6 4,02 12,54
2014 Mei 3,8 4,78 25,67
2015 Mei 5,9 5,64 4,42
Rerata KR % 15,22
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(7,1 − 7.31)
7,1| × 100% = 3,02%
108
Tabel 4.32 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario II
output BOD Bambe Tambangan:
Tabel 4.32 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario II Output BOD 3
a. Output BOD 3
(Skenario II)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 33,41 18,63 23,00
5000 31,95 16,69 29,40
10000 35,58 15,22 27,83
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif, jaringan Skenario II output BOD 3 dengan dataset
60-20-20 dan epoch 10000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-rata nilai KR yang
terkecil yaitu sebesar 15,22%. Namun KR masih diatas 10%. hal tersebut bisa saja terjadi
karena data BOD dan COD homogentitas nya kurang dan fluktulasi data nya kurang bagus
dan teratur.
Pada Skenario II dengan tahapan yang sama, jaringan juga dicoba dengan variasi
dataset yang lain yaitu 50-30-20 dan 60-30-10, juga dengan beragam epoch mulai 1000,
5000 dan 10000 serta akan diprediksi output untuk parameter yang lain selain BOD, yaitu
COD 3 (titik Bambe Tambangan).
b. Ouput COD 3 (Skenario II)
Setelah semua jaringan dicoba dengan persentase dataset yang berbeda-beda, hasil
terbaik untuk prediksi COD Bambe Tambangan dengan Skenario II dihasilkan oleh jaringan
yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training, 20% cross
validation, dan 20% untuk testing dan dengan batasan epoch 5000.
Performa pelatihan jaringan Skenario II output COD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
5000 menghasilkan minimum MSE 0,002 cukup mendekati nol (0,001). Dan performa hasil
pengujian jaringan pada dataset training, jaringan Skenario I output COD 3 dengan dataset
60-20-20 epoch 5000 menghasilkan score 94,1 cukup mendekati 100. Pada tahap produksi,
jaringan Skenario I output suhu 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000 menghasilkan output
sebagai berikut:
109
Tabel 4.33 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario II untuk Output COD 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Output JST
COD 3 (mg/L)
2006 Mei 16,16
2007 Mei 12,57
2008 Mei 22,47
2009 Mei 20,69
2010 Mei 38,70
2011 Mei 29,16
2012 Mei 19,51
2013 Mei 18,66
2014 Mei 6,56
2015 Mei 26,79
Sumber: Hasil Perhitungan
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data
perlu dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif).
KR dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada
model JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data
aktual dan dihitung persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.34 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario II untuk Output COD 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % COD 3 (mg/L) COD 3 (mg/L)
2006 Mei 12,70 16,16 27,22
2007 Mei 12,30 12,57 2,20
2008 Mei 25,00 22,47 10,11
2009 Mei 23,60 20,69 12,32
2010 Mei 41,00 38,70 5,62
2011 Mei 29,20 29,16 0,15
2012 Mei 17,10 19,51 14,08
2013 Mei 19,90 18,66 6,25
2014 Mei 16,30 6,56 59,74
2015 Mei 33,90 26,79 20,98
Rerata KR % 15,87
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(12,70−16,16)
12,70| × 100% = 27,22%
Tabel 4.35 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario II
output COD Bambe Tambangan:
110
Tabel 4.35 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario II Output COD 3
b. Output COD 3
(Skenario II)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 22,73 17,70 18,43
5000 21,95 15,87 22,21
10000 20,45 21,09 19,14
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif, jaringan Skenario II output COD 3 dengan dataset
60-20-20 dan epoch 5000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-rata nilai KR terkecil
yaitu sebesar 15,87%. Kesalahan relatif masih diatas 10%, hal tersebut bisa saja terjadi
karena data BOD dan COD homogentitas nya kurang dan fluktulasi data nya kurang bagus
dan teratur.
Setelah semua prediksi dengan model Skenario II dilakukan, hasil produksi metode JST
selengkapnya dan kesalahan relatif untuk masing-masing output BOD dan COD di titik 3
(Bambe Tambangan) dapat dilihat pada bagian Lampiran 3.
4.2.3 Skenario III
Skenario III digunakan untuk memprediksi parameter BOD dan COD pada titik Bambe
Tambangan dengan input DO, pH, dan suhu titik Jembatan Jrebeng dan Cangkir
Tambangan. Input juga ditambahkan dengan data hujan dari tiga lokasi stasiun hujan
terdekat dengan titik pemantauan kualitas air. Berikut skenario variabel input dan output JST
yang digunakan pada model Skenario III adalah sebagai berikut:
Output Input
a. BOD 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 pH 3 Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 DO 1 DO 2 DO 3
b. COD 3 CH Krian, CH Ketawang, CH Botokan pH 1 pH 2 pH 3 Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 DO 1 DO 2 DO 3
dimana:
Titik 1 = Jembatan Jrebeng
Titik 2 = Cangkir Tambangan
Titik 3 = Bambe Tambangan
CH = Curah Hujan
Pada pemodelan JST dengan model Skenario III prinsip dan langkahnya adalah sama
dengan model Skenario II. Skenario II dan III digunakan untuk memprediksi BOD dan COD
di titik 3 (Bambe Tambangan). Perbedaannya terletak pada variabel input. Dimana pada
Skenario II menggunakan variabel input BOD dan COD titik 1 dan 2 (Jembatan Jrebeng dan
Cangkir Tambangan), sedangkan pada Skenario III tidak menggunakannya.
Rancangan arsitektur jaringan yang digunakan pada Model Skenario III adalah sebagai
berikut:
111
Gambar 4.18 Arsitektur jaringan untuk skenario III
Rumus Pemodelan JST Skenario III
y_ink = W0k +∑{(𝐵 + ∑(𝑍1𝐶𝐻1 + 𝑍1𝐶𝐻2 + 𝑍1𝐶𝐻3 + 𝑍1𝑝𝐻1 + 𝑍1𝑝𝐻2 + 𝑍1𝑝𝐻3 +
𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 1 + 𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍1𝑆𝑢ℎ𝑢 3 + 𝑍1𝐷𝑂 1 + 𝑍1𝐷𝑂 2 + 𝑍1𝐷𝑂 3)𝑊1𝑘 + ⋯ + (𝐵 +
∑(𝑍12𝐶𝐻1 + 𝑍12𝐶𝐻2 + 𝑍12𝐶𝐻3 + 𝑍12𝑝𝐻1 + 𝑍12𝑝𝐻2 + 𝑍12𝑝𝐻3 + 𝑍12𝑆𝑢ℎ𝑢 1 +
𝑍12𝑆𝑢ℎ𝑢 2 + 𝑍12𝑆𝑢ℎ𝑢 3 + 𝑍12𝐷𝑂 1 + 𝑍12𝐷𝑂 2 + 𝑍12𝐷𝑂 3)𝑊13𝑘
dengan:
y_ink = nilai output
W = bobot dari hidden layer ke output
X = neuron pada input layer
Z = hidden layer
B = bias / unit masukan B= 1
a. Output BOD 3 (Skenario III)
Setelah semua jaringan dicoba dengan persentase dataset yang berbeda-beda, hasil
terbaik untuk prediksi BOD Bambe Tambangan dengan Skenario III dihasilkan oleh
112
jaringan yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training,
20% cross validation, dan 20% untuk testing dan dengan batasan epoch 5000.
Performa pelatihan jaringan Skenario III output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
5000 menghasilkan minimum MSE 0,002 cukup mendekati nol (0,001). Dan performa hasil
pengujian jaringan pada dataset training, jaringan Skenario III output BOD 3 dengan
dataset 60-20-20 epoch 5000 menghasilkan score 91,3 cukup mendekati 100. Pada tahap
produksi, jaringan Skenario III output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 5000
menghasilkan output sebagai berikut:
Tabel 4.36 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario III untuk Output BOD 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Output JST
BOD 3 (mg/L)
2006 Mei 5,49
2007 Mei 3,27
2008 Mei 6,50
2009 Mei 8,29
2010 Mei 8,71
2011 Mei 3,72
2012 Mei 3,62
2013 Mei 4,19
2014 Mei 3,31
2015 Mei 3,34
Sumber: Hasil Perhitungan
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data perlu
dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif). KR
dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada
model JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data
aktual dan dihitung persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.37 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario III untuk Output BOD 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 5000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % BOD 3 (mg/L) BOD 3 (mg/L)
2006 Mei 7,10 5,49 22,70
2007 Mei 2,00 3,27 63,30
2008 Mei 6,20 6,50 4,83
2009 Mei 9,30 8,29 10,85
2010 Mei 9,00 8,71 3,18
2011 Mei 5,30 3,72 29,88
2012 Mei 4,40 3,62 17,63
2013 Mei 4,60 4,19 8,89
2014 Mei 3,80 3,31 12,87
2015 Mei 5,90 3,34 43,35
Rerata KR % 21,75
Sumber: Hasil Perhitungan
113
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(7,10 − 5,49)
7,10| × 100%
= 22,70%
Tabel 4.38 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario III
output BOD Bambe Tambangan:
Tabel 4.38 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario III Output BOD 3
a. Output BOD 3
(Skenario III)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 28,98 26,94 27,85
5000 30,73 21,75 30,84
10000 29,16 34,24 31,10
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif model jaringan Skenario III output BOD 3,
jaringan dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-
rata nilai KR terkecil yaitu sebesar 21,75%. Kesalahan relatif masih diatas 10%, hal tersebut
bisa saja terjadi karena data BOD dan COD homogentitas nya kurang dan fluktulasi data nya
kurang bagus dan teratur.
Pada Skenario III dengan tahapan yang sama, jaringan juga dicoba dengan variasi
dataset yang lain yaitu 50-30-20 dan 60-30-10, juga dengan beragam epoch mulai 1000,
5000 dan 10000 serta akan diprediksi output untuk parameter yang lain selain BOD, yaitu
COD 3 (titik Bambe Tambangan).
b. Output COD 3 (Skenario III)
Setelah semua jaringan dicoba dengan persentase dataset yang berbeda-beda, hasil
terbaik untuk prediksi COD Bambe Tambangan dengan Skenario III dihasilkan oleh
jaringan yang menggunakan dataset 60-20-20, dengan maksud data 60% untuk training,
20% cross validation, dan 20% untuk testing dan dengan batasan epoch 1000.
Performa pelatihan jaringan Skenario III output COD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch
1000 menghasilkan minimum MSE 0,003 cukup mendekati nol (0,001). Dan performa hasil
pengujian jaringan pada dataset training, jaringan Skenario III output COD 3 dengan
dataset 60-20-20 epoch 1000 menghasilkan score 71,3 dirasa kurang mendekati 100. Pada
tahap produksi, jaringan Skenario III output COD 3 dengan dataset 60-20-20 epoch 1000
menghasilkan output sebagai berikut:
114
Tabel 4.39 Hasil Tahapan Produksi JST Skenario III untuk Output COD 3 dengan Dataset
60-20-20 dan Epoch 1000
Tahun Bulan Output JST
COD 3 (mg/L)
2006 Mei 14,96
2007 Mei 15,75
2008 Mei 21,19
2009 Mei 15,33
2010 Mei 37,57
2011 Mei 28,01
2012 Mei 23,70
2013 Mei 19,87
2014 Mei 14,09
2015 Mei 27,56
Sumber: Hasil Perhitungan
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana keakuratan hasil output JST maka data
perlu dibandingkan dengan data aktual nya, dan dihitung persentase KR (Kesalahan Relatif).
KR dihitung pada tahap production. Sehingga bisa mengetahui gambaran keakuratan pada
model JST. Berikut merupakan output hasil prediksinya, akan dibandingkan dengan data
aktual dan dihitung persentase kesalahan relatifnya.
Tabel 4.40 Hasil Perhitungan Kesalahan Relatif (KR) JST Skenario III untuk Output COD 3
dengan Dataset 60-20-20 dan Epoch 1000
Tahun Bulan Data Aktual PJT I Output Model JST
KR % COD 3 (mg/L) COD 3 (mg/L)
2006 Mei 12,70 14,96 17,80
2007 Mei 12,30 15,75 28,09
2008 Mei 25,00 21,19 15,25
2009 Mei 23,60 15,33 35,03
2010 Mei 41,00 37,57 8,37
2011 Mei 29,20 28,01 4,09
2012 Mei 17,10 23,70 38,60
2013 Mei 19,90 19,87 0,17
2014 Mei 16,30 14,09 13,58
2015 Mei 33,90 27,56 18,69
Rerata KR % 17,97
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Mei 2006
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(12,70 − 14,96)
12,70| × 100%
= 17,80%
Tabel 4.41 Merupakan rekapitulasi perhitungan kesalahan relatif seluruh jaringan yang
telah dibuat dengan beberapa dataset dan epoch yang berbeda untuk model Skenario III
output COD Bambe Tambangan:
115
Tabel 4.41 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR% Model Skenario III Output COD 3
b. Output COD 3
(Skenario III)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 46,32 17,97 27,84
5000 20,87 25,44 20,30
10000 29,37 24,57 26,26
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada tahap perhitungan kesalahan relatif model jaringan Skenario III output COD 3,
jaringan dengan dataset 60-20-20 dan epoch 1000 adalah jaringan yang menghasilkan rata-
rata nilai KR terkecil yaitu sebesar 17,97%. Kesalahan relatif masih diatas 10%, hal tersebut
bisa saja terjadi karena data BOD dan COD homogentitas nya kurang dan fluktulasi data nya
kurang bagus dan teratur.
Setelah semua prediksi dengan model Skenario III dilakukan, hasil produksi metode
JST dan kesalahan relatif selengkapnya untuk masing-masing output BOD dan COD di titik
3 (Bambe Tambangan) dapat dilihat pada bagian Lampiran 3.
4.2.4 Rekapitulasi Persentase Kesalahan Relatif Semua JST
Dibawah ini merupakan rekapitulasi semua hasil perhitungan persentase KR untuk
model jaringan Skenario I, II, dan III:
Tabel 4.42 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR % Model Skenario I
a. Output DO 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 13,10 8,82 8,29
5000 12,69 5,23 10,03
10000 12,45 10,72 8,23
b. Output pH 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 2,27 1,61 2,18
5000 2,89 1,83 2,59
10000 2,52 1,85 2,07
c. Output Suhu 3
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 1,88 1,70 1,78
5000 1,55 1,46 1,97
10000 1,80 2,31 1,55
d. Gabungan 3
Output Sekaligus
(DO 3, pH 3,
Suhu 3)
Epoch
Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 – 20 60 - 30 -10
DO3 pH3 Suhu3 DO3 pH3 Suhu3 DO3 pH3 Suhu3
1000 11,76 1,88 1,74 10,56 1,93 1,68 12,75 2,11 1,60
5000 14,41 2,21 1,74 8,34 1,69 1,58 11,51 1,91 1,84
10000 10,09 1,88 1,81 10,54 1,94 1,68 10,00 2,06 1,51
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada Tabel 4.42 bagian yang diblok warna biru merupakan hasil KR terkecil untuk
masing-masing output. Berdasarkan tabel diatas dengan model Skenario I, Penggunaan
metode JST untuk memprediksi DO pada titik 3 (Bambe Tambangan) menghasilkan
persentase kesalahan relatif yang cukup kecil < 10%. artinya output DO hasil prediksi JST
116
bisa dikatakan cukup bagus. Sedangkan akurasi hasil JST yang paling bagus adalah dengan
KR < 5%. Hal ini terjadi jika digunakan untuk prediksi parameter pH dan Suhu kualitas air
di Bambe Tambangan. Bahkan kesalahan relatifnya hanya sekitar 1%. Berarti hasil output
pH dan suhu metode JST sangat mendekati dengan data aktualnya. Kesimpulannya, dengan
model Skenario I, JST berhasil dalam memprediksi parameter kualitas air DO, pH dan suhu
dengan hasil yang bagus.
Tabel 4.43 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Rerata KR % Model Skenario II dan III
Skenario II
a. Output BOD 3
(Skenario II)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 33,41 18,63 23,00
5000 31,95 16,69 29,40
10000 35,58 15,22 27,83
b. Output COD 3
(Skenario II)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 22,73 17,70 18,43
5000 21,95 15,87 22,21
10000 20,45 21,09 19,14
Skenario III
a. Output BOD 3
(Skenario III)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 28,98 26,94 27,85
5000 30,73 21,75 30,84
10000 29,16 34,24 31,10
b. Output COD 3
(Skenario III)
Epoch Dataset (Train - Cross Val - Test)
50 - 30 -20 60 - 20 -20 60 -30 -10
1000 46,32 17,97 27,84
5000 20,87 25,44 20,30
10000 29,37 24,57 26,26
Sumber: Hasil Perhitungan
Pada Tabel 4.43 bagian yang diblok warna biru merupakan hasil KR (kesalahan relatif)
terkecil untuk masing-masing output. Berdasarkan Tabel 4.43, untuk parameter BOD 3
(Bambe Tambangan) kesalahan relatif terkecil adalah sebesar 15,22% pada jaringan
Skenario II dengan dataset 60-20-20 epoch 10000. Dan dengan model Skenario III
menghasilkan KR terkecil BOD 3 sebesar 21,75% pada jaringan dataset 60-20-20 epoch
5000. Sedangkan untuk COD 3 (Bambe Tambangan), KR terkecil sebesar 15,87%
didapatkan dengan jaringan Skenario II pada dataset 60-20-20 epoch 5000. Dan dengan
model Skenario III, KR CO 3 terkecil sebesar 17,97% pada jaringan dataset 60-20-20 epoch
1000.
117
Dapat disimpulkan bahwa untuk memprediksi BOD dan COD Bambe Tambangan hasil
Skenario II lebih baik daripada Skenario III. Karena hasil KR Skenario II lebih kecil
daripada Skenario III.
4.2.5 Hasil JST Terbaik untuk Memprediksi Kualitas Air
Sejauh prediksi kualitas air dengan metode JST yang telah dilakukan, berdasarkan
model Skenario I, II, dan III, output terbaik semua dihasilkan pada jaringan dengan dataset
60-20-20 dan sebagian besar terdapat pada epoch 5000. Berikut adalah jaringan yang
memberikan hasil terbaik untuk mempediksi kualitas air di Bambe Tambangan:
Tabel 4.44 JST Terbaik untuk Memprediksi Kualitas Air Bambe Tambangan
Parameter Skenario Epoch Persentase Dataset (Train - Cross Val - Test) KR % Terkecil
DO 1 5000 60-20-20 5,23
pH 1 1000 60-20-20 1,61
Suhu 1 5000 60-20-20 1,46
BOD 2 10000 60-20-20 15,22
COD 2 5000 60-20-20 15,87
Sumber: Hasil Perhitungan
Model jaringan syaraf tiruan terbaik untuk prediksi kualitas air Bambe Tambangan telah
didapatkan, selanjutnya kualitas air output jaringan tersebut akan dibandingkan dengan data
aktual (data sekunder) dari Perum Jasa Tirta I. Output JST yang dibandingkan dipilih dari
jaringan yang terbaik. Misalkan untuk parameter DO 3 (Bambe Tambangan) hasil terbaik
diperoleh dari JST Skenario I dengan dataset 60-20-20 dan epoch 5000. Maka
perbandingannya adalah sebagai berikut
Tabel 4.45 Perbandingan DO Bambe Tambangan Output JST terbaik dengan Data Aktual
Tahun Bulan DO 3 JST DO 3 Aktual
Tahun Bulan DO 3 JST DO 3 Aktual
2006
Januari 4,86 4,9
2012
Januari 4,04 3,9
Februari 4,05 4,1
Februari 3,07 4,1
Maret 4,82 4,8
Maret 4,94 4,9
April 3,73 3,7
April 3,59 3,6
Mei 3,62 3,7
Mei 3,75 3,1
Juni 0,41 0,4
Juni 3,60 3,6
Juli 4,03 4,1
Juli 3,41 5
Agustus 3,67 4,1
Agustus 3,42 3,7
September 3,84 3,9
September 3,44 4
Oktober 3,67 3,8
Oktober 4,64 4
November 3,67 3,9
November 3,88 3,6
Desember 3,80 3,8
Desember 4,47 4,9
2007
Januari 3,59 3,6
2013
Januari 3,94 3,9
Februari 3,97 3,9
Februari 4,46 3,8
Maret 4,94 5,1
Maret 5,16 4
April 3,44 3,1
April 4,37 4,1
Mei 3,81 3,7
Mei 3,39 3,4
Juni 3,40 3,9
Juni 3,30 4
Juli 3,70 3,7
Juli 5,34 4,8
Agustus 3,40 3,1
Agustus 3,62 4,7
118
Tahun Bulan DO 3 JST DO 3 Aktual
Tahun Bulan DO 3 JST DO 3 Aktual
September 3,23 3
September 3,65 4
Oktober 1,67 1,6
Oktober 3,98 3,8
November 2,29 2,3
November 3,59 4
Desember 3,19 3
Desember 4,47 3,7
2008
Januari 4,82 4,9
2014
Januari 3,99 4,6
Februari 4,09 4,1
Februari 4,53 4
Maret 4,14 3,8
Maret 5,57 3,6
April 4,01 4,2
April 4,94 3,7
Mei 3,98 4,2
Mei 3,41 3,3
Juni 3,78 4
Juni 3,85 3,6
Juli 2,61 2,4
Juli 5,23 4,9
Agustus 3,96 4
Agustus 3,27 3,5
September 3,68 3,3
September 3,44 3,9
Oktober 3,80 3,9
Oktober 3,23 3,2
November 4,03 4,1
November 4,63 4,1
Desember 3,88 3,9
Desember 4,04 3,4
2009
Januari 3,81 4,3
2015
Januari 2,67 3,2
Februari 4,82 4,8
Februari 5,51 4,3
Maret 4,68 4,9
Maret 4,44 3,6
April 4,73 4,8
April 3,40 3
Mei 4,28 4,4
Mei 3,00 3,5
Juni 3,57 3,1
Juni 4,13 3,4
Juli 3,94 3,9
Juli 3,98 3,4
Agustus 4,03 3,6
Agustus 3,34 4,6
September 3,22 3,4
September 3,37 3,9
Oktober 3,33 3,6
Oktober 3,40 4,4
November 3,73 3,9
November 3,93 3,9
Desember 3,28 3,3
Desember 4,00 3,1
2010
Januari 4,58 4,9
2006 Mei 3,62 3,7
Februari 3,60 3,8
2007 Mei 3,81 3,7
Maret 4,25 4,1
2008 Mei 3,98 4,2
April 4,16 4,1
2009 Mei 4,28 4,4
Mei 3,89 3,9
2010 Mei 3,89 3,9
Juni 3,59 3,4
2011 Mei 3,70 3,7
Juli 4,01 4,2
2012 Mei 3,75 3,1
Agustus 3,42 3,6
2013 Mei 3,39 3,4
September 3,87 3,8
2014 Mei 3,41 3,3
Oktober 3,37 3,5
2015 Mei 3,00 3,5
November 2,80 2,8
Desember 3,66 3,4
2011
Januari 3,42 3,4
Februari 3,75 3,5
Maret 5,06 4,9
April 3,43 3,2
Mei 3,70 3,7
Juni 4,39 4,5
Juli 4,00 4
Agustus 5,19 5
September 4,58 4
Oktober 4,34 4,2
November 4,86 4,9
Desember 2,88 3
Sumber: Hasil Perhitungan
119
Gambar 4.19 Grafik perbandingan antara DO 3 output JST terbaik dengan data aktual PJT I
Sumber: Hasil Perhitungan
Perbandingan kualitas air Bambe Tambangan antara output JST yang terbaik dengan
data aktual PJT I untuk parameter lainnya (BOD, COD, pH dan suhu) disajikan pada bagian
lampiran 3.
4.3 Prediksi JST dengan Menggunakan Data Primer Kualitas Air
Pada subbab ini juga dicoba memprediksi kualitas air menggunakan data primer yang
diperoleh dengan pengukuran mandiri dilapangan. Pengukuran mandiri tersebut dilakukan
pada bulan mei 2017. Pengukuran meliputi data parameter kualitas air DO, pH dan suhu.
Data primer kualitas air hasil pengukuran mandiri dilapangan dapat dilihat pada bagian
Lampiran 4 (Data Primer Kualitas Air). Pengukuran BOD dan COD tidak dilakukan,
karena berdasarkan hasil prediksi JST untuk parameter BOD dan COD dihasilkan kesalahan
relatif yang kurang memuaskan.
Prediksi dilakukan mengguakan model JST yang telah dibuat sebelumnya. Maka untuk
memprediksi kualitas air parameter DO, pH dan suhu pada titik Bambe Tambangan dipihlah
jaringan Skenario I dengan nilai kesalahan relatif terkecil yang telah dibuat sebelumnya.
Berikut tahapan pengerjaannya:
1. Pilih jaringan JST yang menghasilkan output DO dengan kesalahan relatif paling kecil
yang telah dibuat sebelumnya. Maka untuk DO, dipilih JST Skenario I dataset 60-20-20
epoch 5000.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Jan
uar
iM
are
tM
eiJu
liSe
pte
mb
erN
ove
mb
erJa
nu
ari
Mar
et
Mei
Juli
Sep
tem
ber
No
vem
ber
Jan
uar
iM
are
tM
eiJu
liSe
pte
mb
erN
ove
mb
erJa
nu
ari
Mar
et
Mei
Juli
Sep
tem
ber
No
vem
ber
Jan
uar
iM
are
tM
eiJu
liSe
pte
mb
erN
ove
mb
erJa
nu
ari
Mar
et
Mei
Juli
Sep
tem
ber
No
vem
ber
Jan
uar
iM
are
tM
eiJu
liSe
pte
mb
erN
ove
mb
erJa
nu
ari
Mar
et
Mei
Juli
Sep
tem
ber
No
vem
ber
Jan
uar
iM
are
tM
eiJu
liSe
pte
mb
erN
ove
mb
erJa
nu
ari
Mar
et
Mei
Juli
Sep
tem
ber
No
vem
ber
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
DO
(mg/
L)
Bulan Tahun ke-
Perbandingan DO 3 Hasil JST dan Data Aktual PJT I
DO 3 JST DO 3 Aktual
120
2. Buka data dan buka jaringan yang telah disimpan sebelumnya dengan “Open Eksisting
Network” pada software NeuroSolutions7.
3. Lalu masukkan data primer dan tag ulang sebagai data produksi dengan “Tag Data” >>
“Row(s) As Production pada pada software NeuroSolutions7.
4. Tahap produksi dengan tool “Apply New Data” maka akan muncul data pada kolom
kosong output production sebelumnya.
Dengan langkah yang sama seperti diatas, maka lakukan juga prediksi menggunakan data
primer untuk output pH dan suhu. Berikut rekapitulasi hasil output JST berdasarkan data
primer dan perhitungan kesalahan relatifnya:
Tabel 4.46 Hasil Output JST dan Kesalahan Relatif dengan Data Primer
4.4 Metode Prediksi dengan Rumus Neraca Massa
Model matematika yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat digunakan
untuk menentukan konsentrasi rata-rata aliran hilir (downstream) yang berasal dari sumber
pada bagian hulu (upstream). Metode ini sejalan dengan yang tertulis pada Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 110 Tahun 2003 tentang pedoman penetapan daya tampung
beban pencemaran air. Pendekatan metode ini akan diterapkan untuk mengetahui besaran
parameter DO, pH dan suhu pada titik hilir, yaitu Bambe Tambangan. Data yang digunakan
dalam contoh perhitungan neraca massa adalah data primer kualitas air. Berikut analisa
perhitungan prediksi dengan metode neraca massa:
Tahun Bulan
CH Kri CH Ket CH Bot pH 1 pH 2 Suhu 1 Suhu 2 DO 1 DO 2 DO 3 pH 3 Suhu 3 DO 3 pH 3 Suhu 3 DO 3 pH 3 Suhu 3
2017 Mei 0.0 0.0 0.0 5.7 5.7 29.3 29.3 7.2 6.7 3.59 5.51 28.73 5.26 5.72 29.28 31.76 3.59 1.87
Sumber: Hasil Perhitungan
Input Output JST Data Primer KR %
121
Gambar 4.20 Skema aliran sungai untuk analitis neraca massa
Tabel 4.47 Hasil Perhitungan Metode Neraca Massa
Titik Q (m3/det) DO (mg/L) pH Suhu (C)
1 119,78 7,16 5,74 29,31
2 91,55 7,23 5,75 29,28
3 119,88 6,66 5,73 29,28
4 104,13 5,79 5,71 29,33
5 435,34 6,71 5,73 29,30
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Prediksi untuk Titik 5
Parameter DO
𝐶𝑅 =∑ 𝐶𝑖𝑄𝑖
∑ 𝑄𝑖
=(7,16 × 119,78) + (7,23 × 91,55) + (6,66 × 119,88) + (5,79 × 104,13)
(119,78 + 91,55 + 119,88 + 104,13)= 6,71
Parameter pH
=(5,74 × 119,78) + (5,75 × 91,55) + (5,73 × 119,88) + (5,71 × 104,13)
(119,78 + 91,55 + 119,88 + 104,13)= 5,73
Parameter Suhu
=(29,31 × 119,78) + (29,28 × 91,55) + (29,28 × 119,88) + (29,33 × 104,13)
(119,78 + 91,55 + 119,88 + 104,13)= 29,30
122
Perhitungan Kesalahan Relatif
Hasil perhitungan analitis Neraca Massa akan dibandingkan dengan data primer dan
dihitung persentase kesalahan realitifnya. Berikut perhitungan kesalahan relatif metode
Neraca Massa:
Tabel 4.48 Perhitungan Kesalahan Relatif Hasil Metode Neraca Massa
Parameter Hasil Data Primer KR %
Neraca Massa Aktual
DO 6,71 5,26 27,54
pH 5,73 5,72 0,20
Suhu 29,30 29,28 0,07
Sumber: Hasil Perhitungan
Contoh perhitungan:
Parameter DO
𝐾𝑅 % = |(𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑌 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙)
𝑌 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙| × 100%
= |(5,26 − 6,71)
5,26| × 100%
= 27,54 %
Berikut merupakan perbandingan hasil prediksi kualitas air antara metode JST, Neraca
Massa, dengan data hasil pengukuran dilapangan (data primer) untuk bulan Mei 2017.
Tabel 4.49 Perbandingan Hasil Prediksi JST dan Neraca Massa dengan Data Primer
Parameter Hasil Hasil Data Primer KR % KR %
JST Neraca Massa Aktual JST Neraca Massa
DO (mg/L) 3,59 6,68 5,26 31,76 27,54
pH 5,51 5,73 5,72 3,59 0,20
Suhu (C) 28,73 29,30 29,28 1,87 0,07
Sumber: Hasil Perhitungan
123
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa perhitungan metode yang telah dilakukan sesuai dengan rumusan
masalah pada kajian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kondisi eksisting data hujan dan kualitas air
a. Data hujan
Data hujan bulanan dari 3 stasiun hujan yang digunakan yaitu Krian, Ketawang dan
Botokan telah memenuhi syarat uji screening data hujan. Uji yang dilakukan antara
lain uji ketidakaadan trend, stasioner dan persistensi. Sehingga data hujan yang
digunakan dapat dikatakan handal dan berkualitas secara statistik.
Untuk kondisi eksisting data kualitas air.
b. Data kualitas air
Data kualitas air dari 3 titik pantau yang digunakan yaitu Jembatan Jrebeng,
Cangkir Tambangan, dan Bambe Tambangan untuk parameter DO, BOD, COD, pH
dan suhu dapat dinyatakan telah memenuhi syarat uji screening data. Uji yang
dilakukan antara lain uji ketidakaadan trend, stasioner dan persistensi. Sehingga data
kualitas air yang digunakan dapat dikatakan handal dan berkualitas secara statistic
Data parameter DO, pH dan suhu sebagian besar memenuhi kriteria kelas II, lalu
dari parameter BOD dan COD banyak terdapat data yang tidak memenuhi kriteria
mutu air kelas II yang ditentukan oleh peraturan gubernur Jawa Timur tahun 2013
untuk Kali Surabaya.
2. Hasil prediksi kualitas air metode JST pada Bambe Tambangan kemudian
dibandingkan dengan data aktual PJT 1. Model JST untuk prediksi kualitas air di
Bambe Tambangan terbaik diperoleh dengan dataset 60% training, 20% cross
validation, 20% testing dengan epoch 5000. Berikut merupakan nilai kesalahan relatif
terkecil hasil perbandingan untuk masing-masing parameter:
a. Untuk parameter DO, dihasilkan kesalahan relatif terkecil sebesar 5,23% oleh
jaringan dengan model Skenario I output DO 3 dengan dataset 60-20-20 dan
epoch
b. 5000
124
c. Untuk parameter pH, dihasilkan kesalahan relatif terkecil sebesar 1,61% oleh
jaringan dengan model Skenario I output pH 3 dengan dataset 60-20-20 dan
epoch 1000
d. Untuk parameter suhu, dihasilkan kesalahan relatif terkecil sebesar 1,46% oleh
jaringan dengan model Skenario I output Suhu 3 dengan dataset 60-20-20 dan
epoch 5000
e. Untuk parameter BOD, dihasilkan kesalahan relatif terkecil sebesar 15,22% oleh
jaringan dengan model Skenario II output BOD 3 dengan dataset 60-20-20 dan
epoch 10000
f. Untuk parameter COD, dihasilkan kesalahan relatif terkecil sebesar 15,87% oleh
jaringan dengan model Skenario II output COD 3 dengan dataset 60-20-20 dan
epoch 5000
3. Perbandingan antara hasil prediksi kualitas air metode JST parameter DO, pH dan
suhu pada Bambe Tambangan untuk bulan mei tahun 2017 dengan data pengukuran
lapangan (data primer) adalah sebagai berikut:
a. Untuk parameter DO, dengan metode JST didapatkan output sebesar 3,59 mg/L
sedangkan data aktual primernya 5,26 mg/L maka kesalahan relatif yang
dihasilkan sebesar 31,76%
b. Untuk parameter pH, dengan metode JST didapatkan output sebesar 5,51
sedangkan data aktual primernya 5,72 maka kesalahan relatif yang dihasilkan
sebesar 3,59%
c. Untuk parameter suhu, dengan metode JST didapatkan output sebesar 28,73 C
sedangkan data aktual primernya 29,28 C maka kesalahan relatif yang dihasilkan
sebesar 1,87%
4. Perbandingan antara hasil perhitungan pengenceran metode neraca massa dengan data
pengukuran dilapangan (data primer) untuk bulan mei 2017 adalah sebagai berikut:
a. Untuk parameter DO, dengan rumus neraca massa didapatkan hasil sebesar 6,68
mg/L sedangkan data aktual primernya 5,26 mg/L maka kesalahan relatif yang
dihasilkan sebesar 27,54%
b. Untuk parameter pH, dengan rumus neraca massa didapatkan hasil sebesar 5,73
sedangkan data aktual primernya 5,72 maka kesalahan relatif yang dihasilkan
sebesar 0,20%
125
c. Untuk parameter suhu, dengan rumus neraca massa didapatkan hasil sebesar 29,30
C sedangkan data aktual primernya 29,28 C maka kesalahan relatif yang
dihasilkan sebesar 0,07%
5.2 Saran
Penggunaan metode JST sangat bagus dalam memprediksi kualitas parameter DO, pH
dan suhu. Namun masih dirasa kurang untuk memprediksi BOD dan COD. Agar hasil
output lebih bagus bias dilakukan dengan jalan:
1. Menambah variabel input dengan parameter kualitas air yang lain,
2. Memperpanjang data historis parameter kualitas air dengan maksud menambah data
untuk training pada JST
3. Menggunakan software yang full acces bukan trial, tentunya dengan cara legal
membeli lisensi resmi.
126
halaman ini sengaja dikosongkan
127
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2012). http://jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk/article/download/1213/612 (diakses
pada tanggal 12 bulan Oktober 2016)
Anonim. (2014). http://pengairan.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/02 (diakses pada
tanggal 13 bulan Oktober 2016)
Badan Lingkungan Hidup. (2011). Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur.
Surabaya: Badan Linkungan Hidup Provinsi Jawa Timur
Hermawan, Arief. 2006. Jaringan Syaraf Tiruan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: C.V Andi
OFFSET.
Hasibuan, Zainal A. (2007). Metodologi Penelitian Pada Bidang Ilmu Komputer Dan
Teknologi Informasi. Depok: Fasilkom Universitas Indonesia
Kusumadewi, Sri. (2004). Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan MATLAB &
Excel Link. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kusumadewi, Sri. (2003). Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Peraturan Gubernur Jatim No 12 tahun 2013. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan
Sumberdaya Air Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Jakarta
SNI 8066.2015.Tata Cara Pengukuran debit aliran sungai dan saluran terbuka
menggunakan alat ukur arus dan pelampung. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional
Siang, J. J. (2004). Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemrogamannya Menggunakan Matlab.
Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Winita. (2011). Pemilihan Teknik Peramalan dan Penentuan Kesalahan Peramalan.
http://winita.staff.mipa.uns.ac.id. [Online] 2011. [Dikutip: 16 11 2015.]
http://winita.staff.mipa.uns.ac.id/files/2011/09/pemilihan-teknik-peramalan.pdf.
Yunanti, Fitria. (2010). Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk Memprediksi Prestasi Siswa
SMU dengan Metode Backpropagation. Yogyakarta.
Hasibuan, Zainal A. (2007). Metodologi Penelitian Pada Bidang Ilmu Komputer Dan
Teknologi Informasi. Depok: Fasilkom Universitas Indonesia.
128
halaman ini sengaja dikosongkan