diktat pancasila.doc

138
MATERI AJAR PENDIDIKAN PANCASILA OLEH H. L. HASIRUN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS CENDERAWASIH

Upload: sovian-pekei

Post on 01-Jan-2016

271 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

oleh H.L Hasirun

TRANSCRIPT

PANCASILA

MATERI AJAR

PENDIDIKAN PANCASILA

OLEH

H. L. HASIRUN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS CENDERAWASIH

FAKLTAS EKONOMI

JAYAPURA

2012

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN PANCASILA1.Pengrtian Pancasila secara EtimologisSecara etimologis istilah pancasila berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana), bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Dalam bahasa Jawa diartikan susila yang memiliki hubunga moralitas. Secara etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan ialah dasar yang memiliki lima unsur atau lima aturan tingkah laku yang penting. Ajaran Pancasiila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five moral principles, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganutnya.

2.Pengertian Pancasial secara HistorisPerumusan Pancasila diawali ketika sidang BPUPKI pertama dr Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah yaitu tentang suatu rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Ir. Soekarno berpidato secara lisan mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia dengan istilah Pancasila, yang artinya lima dasar. Yang pad akhirnya diproklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945 dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Sejak saat itulah perkataan pancsila menjadi bahasa Indonesia yang merupakan istilah umum.

a.Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)

Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di hadapan sidang lengkap badan Penyidik pada tanggal 29 Mei 1945 pada sedang BPUPKI.yang berisikan lima dasar yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat.

b. Pada 31 Mei 1945 Soepomo mendapatkan giliran berpidato, dalam pidatonya, Soepomo menyampaikan rumusan calon dasar negara :

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir dan batin

4. Musyawarah

5. Keadilan rakyaat

c.Ir. Soekarno (1 Juni 1945)

Didepan sidang badan penyidik pada tangal 1 Juni 1945 yang rumusannya adalah Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia, internasinalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, kesejahteraan social.

d. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)

Sembilan tokoh yang dikenal dengan panitia sembilan yang telah mengadakan sidang pada tanggal 22 Juni 1945 yang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal dengan Piagam jakarta yang didalamnya memuat Pancasila.3. Pengertian Pancasila secara terminologisPancasila berhasil diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945yang telah berhasil melahirkan negara Republik Indonesia, dan berhasil disahkan pada tanggal 18 Agutus 1945 dengan UUD 1945.

a.Dalam konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 29 Desember 1949 17 Agustus 1950

1.Ketuhanan yang Maha Esa

2. Peri Kemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kerakyatan

5.Keadilan Sosial

b. Dalam UUD(Undang-Undang Dasar Sementara 1950), 17 Agustus1950- 5 Juni 1959

1.Ketuhanan Yang Maha Esa

2.Peri Kemanusiaan

3.Kebangsaan

4.Kerakyatan

5.Keadilan social

c.Rumusan Pancasial di kalangan masyarakat

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2.Perikemanusiaan

3.Kebangsaan

4.Kedaulatan Rakyat

5.Keadilan Sosial

Dari bermacam-macam rumusan Pancasila tersebut diatas yang sah dan benar secara konstitusional adalah rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan ketetapan NO.XX/MPRS/1966, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan, dan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 aline keempat.B. Landasan Pendidikan Pancasila

1. Landasan HistorisSecara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan, serta nilai-nilai religius. Artinya asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu berdasarkan fakta objektif, secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila. Atas dasar pengertian dan alasan historis inilah maka sangat penting bagi para generasi penerus bangsa, terutama kalangan intelektual kampus untuk mengkaji, memahami dan mengembangkan berdasarkan pendekatan ilmiah, yang pada gilirannya akan memiliki suatu kesadaran serta wawasan kebangsaan yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya sendiri. 2. Landasan Kultural

Setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senantiasa memiliki suatu pandangan hidup, filsafat hidup serta pegangan hidup agar tidak terombang-ambing dalam kancah pergaulan masyarakat internasional. Setiap bangsa memiliki ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain. Negara komunisme dan liberalisme meletakkan dasar filsafat negaranya pada suatu konsep ideologi tertentu, misalnya komunisme mendasarkan ideologinya pada suatu konsep pemikiran Karl Marx.

Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah hanya merupakan suatu hasil konseptual seseorang saja, melainkan merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti Soekarno, M. Yamin, M. Hatta, Soepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya. Oleh karena itu para generasi penerus bangsa terutama kalangan intelektual kampus sudah seharusnya untuk mendalami secara dinamis, dalam arti mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman.

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis perkuliahan Pendidikan Pancasila di pendidikan tinggi tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Demikian juga berdasarkan SK Mendiknas RI, No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa kelompok Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi, yang terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai realisasi dari SK tersebut Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi mengeluarkan Surat Keputusan No. 38/DIKTI/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Adapun rambu-rambu MPK Pendidikan Pancasila adalah terdiri atas selain segi historis, filosofis, ketatanegaraan, kehidupan berbangsa dan bernegara, juga dikembangkan etika politik.

Memperhatikan uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa secara yuridis formal terdapat kewajiban yang mengikat kita yang bersifat imperatif untuk mempelajari Pancasila. Sebab Pancasila telah menjadi kesepakatan atau konsensus nasional yang didudukkan sebagai asas kerohanian atau dasar filsafat negara Indonesia.

4. Landasan Filosofis

Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia. Oleh karena itu sudah merupakan suatu keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikannya dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan secara filosofis dan obyektif bahwa bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara mendasarkan pada nilai-nilai yang tertuang dalam sila-sila Pancasila, yang secara filosofis merupakan filosofi bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara.

C. Tujuan Pendidikan Pancasila

Dalam SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002, dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang meng-utamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan, sehingga perbedaan pemikiran diarahkan pada perilaku yang mendukung upaya terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun rumusan tujuan yang lain, Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan sikap dan perilaku : (1) memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab sesuai dengan hati nuraninya, (2) memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-cara pemecahannya, (3) mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta (4) memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.

PANCASILA DALAM KONTEKS

SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

A. Masa Kejayaan Nasional

Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan telah berdirinya Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur). Berdasarkan prasasti berupa 7 yupa (tiang batu), dapat diketahui bahwa raja Mulawarman mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih kepada raja yang dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kutai untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia menampilkan nilai sosial politik dan ketuhanan, dalam bentuk kerajaan , kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana. Kemudian pada abad V muncul pula Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat..

Selanjutnya pada abad ke-7, muncul kerajaan yang nantinya memegang peranan besar dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Kerajaan tersebut adalah Sriwijaya yang terletak di Sumatera (sekitar Palembang sekarang). Merupakan kerajaan maritim yang dengan keagungan armada lautnya segera dapat menguasai kunci-kunci lalu lintas di Indonesia bagian Barat, seperti Selat Sunda dan Selat Malaka. Sriwijaya merupakan kekuatan besar yang disegani dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Ia mengadakan hubungan dengan Cina di Asia Timur dan India (Nalanda) di Asia Selatan. Kemakmuran yang dicapainya telah mendorong kerajaan ini mengembangkan diri dalam bidang kebudayaan. Perguruan Tinggi Agama Budha berkembang baik, bahkan terkenal di luar negeri. Banyak musafir agama Budha dari Cina harus belajar lebih dulu di Sriwijaya sebelum melanjutkan studinya ke India. Terdapat guru besar - guru besar tamu dari India yang mengajar di sini, seperti Dharmakirti. Puncak kejayaan dicapai pada masa raja Balaputra (850). Setelah itu kerajaan ini mengalami kemunduran.

Peranannya sebagai negara besar, empat abad berikutnya digantikan oleh Majapahit yang terletak di sekitar Mojokerto (Jawa Timur) sekarang. Sebelum Majapahit muncul dalam panggung sejarah Indonesia, maka muncullah terlebih dahulu banyak kerajaan kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur silih berganti. Di Jawa Tengah, kita kenal kerajaan seperti : Kerajaan Kalingga (abad VII), Sanjaya (abad VIII), Syailendra (abad VIII dan IX). Refleksi puncak budaya dari Jawa Tengah ini ialah menjulangnya Candi Borobudur (candi agama Budha pada abad IX) dan Candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad X). Bangunan yang mengagumkan itu hanya dapat dilaksanakan atas semangat dan kerja gotong royong masyarakat yang berlandaskan jiwa keagamaan.

Di Jawa Timur berkembanglah kerajaan-kerajaan, seperti Kerajaan Isana (abad IX), Darmawangsa (abad X), Airlangga (abad XI). Raja Airlangga diketahui membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai. Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Kediri (abad XII) dan Singasari (abad XIII). Kerajaan Singasari inilah yang kemudian erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 yang mencapai zaman keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada yang dibantu laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai Nusantara. Wilayah kekuasaannya semasa jayanya itu membentang dari Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) sampai Papua melalui Kalimantan Utara. Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365), yang dalam kitab tersebut telah terdapat istilah Pancasila. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang bunyi lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, namun satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya realitas kehidupan agama pada saat itu. Bahkan salah satu bawahan kekuasaannya yaitu Samudra Pasai justru telah memeluk agama Islam. Toleransi positif dalam bidang agama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang telah silam. Selain itu dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Kemudian disebabkan oleh factor dalam negeri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan (1520).

B. Zaman Penjajahan

Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti orang-orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.

Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang pada awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis. Akan tetapi lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan, yang kemudian meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.

Pada akhir abad XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C. (Verenigde Oost Indische Compagnie), yang di kalangan rakyat dikenal istilah kompeni.

Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan, sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan kekuasaan VOC namun Gubernur Jenderal J.P. Coen tewas dalam serangan yang kedua itu.

Bangsa Belanda kemudian mulai memainkan peranan politiknya dengan licik di Indonesia. Di beberapa daerah kemudian muncul pula perlawanan terhadap kekuasaan VOC (kompeni). Di Makassar perlawanan terhadap kompeni terjadi pada tahun 1667 di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Menyusul pula wilayah Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun kemudian dapat ditundukkan oleh kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad XVII nampaknya juga tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni (VOC).

Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan (1799), maka sejak tahun 1800 kekuasaan di Indonesia dikendalikan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda (pem.Hindia Belanda). Sejak itulah pemerintah Hindia Belanda semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer. Apalagi ketika mereka ingin segera membulatkan hegemoninya sampai ke pelosok-pelosok nusantara, maka dengan melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut kemudian meledaklah perlawanan rakyat di berbagai wilayah nusantara, antara lain : Pattimura di Maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1837), Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830), Jelantik di Bali (1850), Pangeran Antasari di Banjarmasin (1860), Panglima Polim, Teuku Tjik Di Tiro, Teuku Umar dalam perang Aceh (1871-1904), Anak Agung Made dalam perang Lombok (1894-1895), Sisingamangaraja di Batak (1900), dan masih banyak lagi . Dorongan akan cinta tanah air menimbulkan semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda, namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan persatuan di antara mereka dalam perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban.

C. Kebangkitan Nasional

Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri. Republik Philipina (1898) yang dipelopori oleh Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsusima (1905), gerakan Sun Yat Sen dengan Republik Cinanya (1911), Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri.

Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang merupakan pelopor pergerakan nasional, sehingga segera setelah itu muncullah organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Di antaranya yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1911, yang kemudian dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan meng- ganti namanya menjadi Sarekat Islam (SI) tahun 1912 di bawah H.O.S. Cokroaminoto.Berikutnya muncullah Indische Partuij (1913) dipimpin oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro). Oleh karena partai ini bersifat radikal, sehingga tidak dapat berumur panjang karena pemimpinnya dibuang ke luar negeri (1913).

Dalam situasi yang menggoncangkan itu muncullah Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927, yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Sartono, dan tokoh lainnya. Mulailah kini perjuangan nasional Indonesia dititikberatkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas, yaitu Indonesia merdeka. Kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda (tokoh-tokohnya antara lain Muh. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, dll.) lebih tegas merumuskan persatuan Indonesia yaitu satu Bahasa, satu Bangsa dan satu Tanah Air Indonesia (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dikumandangkan dalam acara ikrar Sumpah Pemuda itu dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan kesadaran berbangsa.

D. Zaman Pendudukan Jepang

Cita-cita Jepang untuk membangun kawasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikannya dengan mencetuskan Perang Asia Timur Raya, picunya dimulai dengan penyerangan mendadaknya atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. Sejak itu gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah kawasan Asia Tenggara : Philipina (Januari 1942) dan Singapura (Februari 1942) dikuasai, dan selanjutnya giliran Indonesia pada bulan Maret 1942.

Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan politiknya. Untuk itu Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda Jepang pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia. Akan tetapi dalam perang melawan Sekutu Barat (yaitu Amerika, Inggris, Perancis, Belanda dan negara sekutu lainnya) nampaknya Jepang makin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia yaitu P.M. Koiso Kuniaki pada tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Akan tetapi tidak menentukan kapan tanggal kemerdekaan itu.

Dengan berjalannya waktu, ketika pasukan Jepang mengalami kekalahan demi kekalahan di berbagai medan pertempuran, maka pemerintah Jepang merasa perlu segera merealisasikan janji kemerdekaan itu kepada bangsa Indonesia. Sebagai realisasi janji politik tersebut, pada tanggal 29 April 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintah Balatentara Jepang di Jawa) dibentuk suatu Badan yang diberi nama Dokuritsu Zyumbi Coosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini bertugas untuk menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia dan beranggotakan pemuka-pemuka bangsa Indonesia.

Pada tanggal 28 Mei 1945 para anggota BPUPKI dilantik dengan susunan sebagai berikut :

Ketua : Dr. Radjiman Wedyodiningrat

Ketua Muda : R.P. Soeroso

Ketua Muda : Ichibangase (anggota luar biasa orang Jepang)

Anggota : Sejumlah 60 orang, tidak termasuk Ketua dan Ketua Muda.

BPUPKI mengadakan dua masa sidang, yaitu a) Masa Sidang Pertama tanggal 29 Mei s.d. 1 Juni 1945, dan b) Masa Sidang Kedua tanggal 10 s.d. 16 Juli 1945.

Dalam Sidang Pertama , BPUPKI membicarakan atau mempersiapkan Rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka. Pada kesempatan itu telah tampil/berpidato tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk mengajukan konsep dasar Negara, seperti :

a) Tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara Indonesia yang telah disiapkan secara tertulis sebagai berikut :

I.. Peri Kebangsaan

II. Peri Kemanusiaan

III. Peri Ketuhanan

IV. Peri Kerakyatan

V. Kesejahteraan Rakyat.

b) Pada 31 Mei 1945 Soepomo mendapatkan giliran berpidato, dalam pidatonya, Soepomo menyampaikan rumusan calon dasar negara :

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir dan batin

4. Musyawarah

5. Keadilan rakyaat

c) Tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno secara lisan tanpa teks mengajukan usul tentang Konsepsi Dasar Filsafat Negara Indonesia Merdeka, yang diberi nama Pancasila dengan urutan sebagai berikut :

1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan

3. Mufakat atau Demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial

5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Tanggal 1 Juni 1945 sidang BPUPKI Pertama diakhiri dan dibentuk Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang anggota (Panitia Delapan) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia bertugas untuk memeriksa usul-usul yang masuk, menampung dan melaporkannya kepada sidang pleno BPUPKI yang kedua. Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Delapan dan sejumlah anggota BPUPKI, yang antara lain memutuskan untuk membentuk satu Panitia Kecil Penyelidik Usul-usul/Perumus Dasar Negara yang dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar, yang beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan). Pada waktu itu juga diadakan pertemuan Panitia Sembilan dan disetujui agar para anggota segera menyusun suatu Konsep Rancangan Mukadimah Hukum Dasar yang akan diajukan ke sidang BPUPKI yang kedua. Konsep Rancangan Preambule Hukum Dasar inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta.

Pada Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10 s.d. 16 Juli 1945 adalah untuk mem-persiapkan Rancangan Hukum Dasar. Ketika Sidang Kedua ini telah dibuka oleh Ketua, diumumkan pula penambahan 6 (enam) anggota baru Badan Penyelidik. Kemudian Ir. Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil (Panitia Sembilan) yang dibentuk atas inisiatifnya melaporkan hasil pekerjaannya yaitu berupa konsep Rancangan Preambule Hukum Dasar (Piagam Jakarta). Terdapat hal yang sangat menarik perhatian yaitu pemakaian istilah Hukum Dasar yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Dasar, karena menurut Prof. Soepomo istilah hukum dalam bahasa Belanda recht itu meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Sementara Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis.

Beberapa keputusan penting yang patut diketahui dalam rapat BPUPKI kedua adalah sebagai berikut : dalam rapat tanggal 10 Juli antara lain diambil keputusan tentang bentuk negara. Dari 64 suara (ada beberapa anggota yang tidak hadir) yang pro Republik 55 orang, yang meminta kerajaan 6 orang, adapun bentuk lain dan blangko 1 orang.

Pada sidang hari berikutnya (11 Juli 1945) dibentuklah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 3 (tiga) Panitia Kecil yaitu : 1} Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno, 2) Panitia Perancang Ekonomi dan Keuangan yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta, dan 3) Panitia Perancang Pembelaan Tanah Air yang diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso.

Kecuali itu juga diputuskan mengenai luas wilayah negara baru. Dari 66 suara, 19 suara menyetujui bekas daerah Hindia Belanda, 6 suara menyetujui bekas daerah Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, tetapi dikurangi dengan Irian Barat, dan 39 suara menyetujui bekas daerah Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Irian Timur, Timor Portugis dan pulau-pulau sekitarnya.

Setelah sidang BPUPKI yang kedua ini ditutup, maka tugas BPUPKI dianggap selesai dan kemudian dibubarkan. Badan ini mengakhiri tugasnya setelah berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar untuk Indonesia Merdeka. Untuk melanjutkan tugas-tugas BPUPKI, kemudian dibentuklah suatu badan yang diberi nama Dokuritsu Zyumbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI).

E. Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI

Kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II ternyata membawa hikmah bagi bangsa Indonesia. Setelah bom atom pertama dijatuhkan di Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945, hari berikutnya keanggotaan sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta. Lembaga ini beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari daerah-daerah lain di luar Jawa. Pada tanggal 9 Agustus 1945 bersamaan dengan pemboman Nagasaki, tiga tokoh Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, dan Radjiman yang diundang ke Dalat - Saigon untuk menemui Panglima Tertinggi Wilayah Selatan, Jenderal Terauci Hisaichi, menerima janji kemerdekaan Indonesia. Soekarno ditunjuk sebagai Ketua PPKI dan Hatta sebagai Wakil Ketua.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaan serta waktu Proklamasi. Perbedaan itu terjadi antara golongan pemuda antara lain : Sukarni, Adam Malik, Syahrir, Soedarsono, dkk. Dalam masalah ini golongan pemuda lebih bersikap agresif yaitu menghendaki kemerdekaan secepat mungkin. Perbedaan itu memuncak dengan diamankannya Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, agar tidak mendapat pengaruh dari Jepang. Setelah diadakan pertemuan di Pejambon Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan diperoleh kepastian bahwa Jepang telah menyerah maka Dwitunggal Soekarno-Hatta setuju untuk dilaksanakan proklamasi kemerdekaan, tetapi dilaksanakan di Jakarta.

Bertempat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Oranye Nassau Boulevard (sekarang Jl. Imam Bonjol no.1), bertemulah Soekarno-Hatta dengan para pemuda dan sejumlah anggota PPKI, dan setelah mendapat kepastian bahwa Jepang tidak ikut campur tangan tentang proklamasi, maka kemudian diputuskan untuk merumuskan redaksi naskah proklamasi. Pada pertemuan tersebut akhirnya konsep Soekarnolah yang diterima dan diketik oleh Sayuti Melik, barulah kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

Kemudian pada keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jumat, jam 10 pagi WIB, Bung Karno dengan di-dampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi dengan khidmad.

Sehari telah Proklamasi keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya yang pertama, dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :

1. Mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia dengan jalan :

a. Menetapkan Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan sebagai Pembukaan UUD Negara RI.

b. Menetapkan Rancangan Hukum Dasar dengan beberapa perubahan sebagai UUD Negara RI, yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945.

2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama.

3. Membentuk Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Musyawarah darurat.

Demikian sekilas sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu asas hidup bersama demi kesejahteraan bersama, yaitu negara yang berdasarkan Pancasila.

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIAA. Undang-Undang Dasar 1945Dalam perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan dantek nologi memasuki abad ke-21, hukum di Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, hal ini adanya perubahan terhadap Undang Undang Dasar 1945, perubahan (amandemen) dimaksud sampai empat kali, yang dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999 mengamandemen 2 pasal, amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000 sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada tanggal 10 November 2001 sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah 10 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 2 pasal.

Apabila dilihat dari jumlah pasal pada Undang Undang Dasar 1945 adalah berjumlah 37 pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah pasalnya melebihi 37 pasal, yaitu menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada pasal pasal yang diamandemen ulang seperti pasal 6 A ayat 4, pasal 23 C.

1. Struktur Pemerintahan Indonesia Berdasarkan UUD 1945Demokrasi Indonesia merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita citanya.

Demokrasi di Indonesia sebagaiman tertuang dalam UUD 1945 mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga mengakui perbedaan serta keanekaragaman mengingat Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika . Secara filosofi bahwa Demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat. Secara umum sistem pemerintahan yang demokratis mengandung unsur unsur penting yaitu :

a. Ketertiban warga negara dalam pembuatan keputusan politik.

b. Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara.

c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warga negara.

d. Suatu sistem perwakilan.

e. Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.

Dengan unsur unsur diatas maka demokrasi mengandung ciri yang merupakan patokan bahwa warga negara dalam hal tertentu pembuatan keputusan keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung adanya keterlibatan atau partisipasi. Oleh karena itu didalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, selalu menemukan adanya supra struktur politik dan infra struktur politik sebagai pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montesquiue maka supra struktur politik meliputi lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Di Indonesia dibawah sistem UUD 1945 lembaga lembaga negara atau alat alat perlengkapan negara adalah :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat

b. Dewan Perwakilan Rakyat

c. Presiden

d. Mahkamah Agung

e. Badan Pemeriksa Keuangan

Alat perlengkapan diatas juga dinyatakan sebagai Supra Struktur Politik. Adapun Infra Struktur Politik suatu negara terdiri lima komponen sebagai berikut :

a. Partai Politik

b. Golongan Kepentingan (Interest Group)c. Golongan Penekan (Preassure Group)d. Alat Komunikasi Politik (Mass Media)e. Tokoh tokoh Politik2. Pembagian KekuasaanBahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang Undang Dasar sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :

a. Kekuasaan Eksekutif didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4

ayat 1 UUD 1945)

b. Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (pasal 5 ayat 1, pasal 19 dan pasal 22 C UUD 1945).

c. Kekuasaan Yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung (pasal 24 ayat 1 UUD 1945)

d.Kekuasaan Inspektif atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal ini dimuat pada pasal 20 A ayat 1.

e. Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada kekuasaan Konsultatif, sebelum UUD diamandemen kekuasaan tersebut dipegang oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA).3. Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil AmandemenSebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu sebagai Studi Komparatif sistem pemerintahan Negara menurut UUD 1945 mengalami perubahan.

a. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat ).

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum ( Rechtstaat ), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ( Machtstaat ), mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintahan dan lembaga lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun.

b. Sistem Konstitusi Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan ketentuan konstitusi dan juga oleh ketentuan ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional.

c.Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi disamping MPR dan DPR. Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara pemerintahan tertinggi disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini Preiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

d.Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam melaksanakan tugas dibantu oleh menteri menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil amandemen).

e. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun Kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan Diktator artinya kekuasaan tidak terbatas, disini Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR.

f.Negara Indonesia adalah negara hukum, negara hukum berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan kekuasaan. Ciri ciri suatu negara hukum adalah :

1) Pengakuan dan perlindungan hak hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

2) Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.

3) Jaminan kepastian hukum.

g. Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden pasal 4 ayat 2 dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat secara legitimasi. Presiden kedudukannya kuat, disini kekuasaan Presiden tidak lagi berada dibawah MPR selaku mandataris. Akan tetapi jika Presiden dalam melaksanakan tugas menyimpang dari Konstitusi, maka MPR melakukan Impeachment, pasal 3 ayat 3 UUD 1945 dan dipertegas oleh pasal 7A. Proses Impeachment agar bersifat adil dan obyektif harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, pasal 7B ayat 4 dan 5, dan jika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden melanggar hukum, maka MPR harus segera bersidang dan keputusan didukung 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir pasal 7B ayat 7.

h. Pemerintahan Daerah, diatur oleh pasal 18 UUD 1945 Pasal 18 ayat 1 menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang undang. Pasal 18 ayat 2 mengatur otonomi pemerintahan daerah, ayat tersebut menyatakan bahwa pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, atau pengertian otonomi sama artinya mengatur rumah tangga sendiri.

i. Pemilihan Umum

Hasil amandemen UUD 1945 tahun 2002 secara eksplisit mengatur tentang Pemilihan Umum dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali, diatur pasal 22E ayat 1. Untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden pasal 22 E ayat 2. Dalam pemilu tersebut landasan yang dipergunakan adalah Undang Undang UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.

j. Wilayah Negara Pasal 25A UUD 1945 hasil amandemen 2002 memuat ketentuan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas batas dan hak haknya ditetapkan dengan Undang Undang.

h. Hak Asasi Manusia Menurut UUD 1945

Hak asasi manusia tidaklah lahir mendadak sebagaimana kita lihat dalam Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948 yang ditanda-tangani oleh PBB. Hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan filosofis manusia yang melatarbelakangi. Bangsa Indonesia didalam hak asasi manusia terlihat lebih dahulu sudah memiliki aturan hukumnya seperti dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dinyatakan bahwa : kemerdekaan adalah hak segala bangsa . Sebagai contoh didalam UUD 1945 pasal 28A menyatakan : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memepertahankan hidup dan kehidupannya . Pasal 28A sampai dengan pasal 28J mengatur tentang hakasasi manusia didalam UUD 1945.

B. Memahami Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945Sistem Konstitusi (Hukum Dasar) Republik Indonesia, selain tersusun dalam hukum dasar yang tertulis yaitu UUD 1945, juga mengakui hukum dasar yang tidak tertulis. Perlu diperhatikan bahwa kaidah kaidah hukum ketatanegaraan tidak hanya terdapat pada hukum dasar. Kaidah kaidah hukum ketatanegaraan terdapat juga pada berbagai peraturan ketatanegaraan lainnya seperti dalam Tap. MPR, UU, Perpu, dan sebagainya. Hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam UUD 1945 adalah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan bukan hukum adat (juga tidak tertulis), terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Meminjam rumusan (dalam teori) mengenai Konvensi dari AV. Dicey : adalah ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan Discretionary Powers . Dicretionary Powers adalah kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak yang semata mata didasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan dari pemegang kekuasaan itu sendiri.

Hal diatas yang mula mula mengemukakan yaitu Dicey dikalangan sarjana di Inggris pendapat tersebut dapat diterima, lebih lanjut beliau memperinci konvensi ketatanegaraan merupakan hal hal sebagai berikut :

a. Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.

b.Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.

c. Konvensi ditaati semata mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.

d. Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya ( sebaliknya ) discretionary plowers dilaksanakan.

Menyinggung ketatanegaraan adalah tak terlepas dariorganisasi negara, disini muncul pertanyaan yaitu : apakah negara itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita pinjam Teori Kekelompokan yang dikemukakan oleh ; Prof. Mr. R. Kranenburg adalah sebagai berikut :

Negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama

Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya, sedangkan organisasinya, yaitu negara bersifat sekunder. Tentang negara muncul adanya bentuk negara dan sistem pemerintahan, keberadaan bentuk negara menurut pengertian ilmu negara dibagi menjadi dua yaitu : Monarchie dan Republik, jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk negara disebut Monarchie dan kepala negaranya disebut Raja atau Ratu. Jika kepala negara dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan, bentuk negaranya disebut Republik dan kepala negaranya adalah Presiden.

Bentuk negara menurut UUD 1945 baik dalam Pembukaan dan Batang Tumbuh dapat diketahui pada pasal 1 ayat 1, tidak menunjukkan adanya persamaan pengertian dalam menggunakan istilah bentuk negara ( lihat alinea ke 4 ), maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dst. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik .

Dalam sistem ketatanegaraan dapat diketahui melalui kebiasaan ketatanegaraan (convention), hal ini mengacu pengertian Konstitusi, Konstitusi mengandung dua hal yaitu : Konstitusi tertulis dan Konstitusi tidak tertulis, menyangkut konstitusi sekelumit disampaikan tentang sumber hukum melalui ilmu hukum yang membedakan dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dan substansi hukum sedangkan sumber hukum dalam arti formal adalah hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, contoh dari hukum formal adalah Undang Undang dalam arti luas, hukum adat, hukum kebiasaan, dan lain lain.

Konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan mendinamisasi kaidah kaidah hukum perundang undangan. Konvensi di Negara Republik Indonesia diakui merupakan salah satu sumber hukum tata negara.

Pengertian Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 2 kelompok yaitu : Pembukaan, Batang Tumbuh yang memuat pasalpasal, dan terdiri 16 bab, 37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan 2 pasal. Mengenai kedudukan Undang Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, Pancasila merupakan segala sumber hukum. Dilihat dari tata urutan eraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/ 2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan.

Sifat Undang Undang Dasar 1945, singkat namun supel, namun harus ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia, untuk itu perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut :

a. Pasalnya hanya 37 buah, hanya mengatur pokok pokoknya saja, berisi instruksi kepada penyelenggara negara dan pimpinan pemerintah untuk : - Menyelenggarakan pemerintahan negara dan - Kesejahteraan Sosial

b. Aturan pelaksanaan diserahkan kepada tataran hukum yang lebih rendah yakni Undang Undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabutnya.

c. Yang penting adalah semangat para penyelenggara negara dan pemerintah dalam praktek pelaksanaan.

d. Kenyataan bahwa UUD 1945 bersifat singkat namun supel seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945, secara kontekstual, aktual dan konsisten dapat dipergunakan untuk menjelaskan ungkapan Pancasila merupakan ideologi terbuka serta membuatnya operasional.

e. Dapat kini ungkapan Pancasila merupakan ideologi terbuka dioperasionalkan setelah ideologi Pancasila dirinci dalam tataran nilai. Pasal pasal yang mengandung nilai nilai Pancasila ( nilai dasar ) yakni aturan pokok di dalam UUD 1945 yang ada kaitannya dengan pokok pokok pikiran atau ciri khas yang terdapat pada UUD 1945. Nilai instrumen Pancasila, yaitu aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu ( TAP MPR, UU, PP, dsb ).

Fungsi dari Undang Undang Dasar merupakan suatu alat untuk menguji peraturan perundang undangan dibawahnya apakah bertentangan dengan UUD disamping juga merupakan sebagai fungsi pengawasan. Makna Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia yang merupakan sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan pergaulan bangsa bangsa di dunia. Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan hikmat dalam 4 alinea itu, setiap alinea dan kata katanya mengandung arti dan makna yang sangat mendalam, mempunyai nilai nilai yang dijunjung oleh bangsa bangsa beradab, kemudian didalam pembukaan tersebut dirumuskan menjadi 4 alinea.

Pokok pokok pikiran ; alinea pertama berbunyi Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan perikeadilan . Makna yang terkandung dalam alinea pertama ini ialah :

1. Adanya keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia membela kemerdekaan melawan penjajah.

2. Tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan tekad untuk tetap berdiri dibarisan yang paling depan untuk menentang dan menghapus penjajahan diatas dunia.

3. Pengungkapan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perkemanusiaan dan perikeadilan; penjajah harus ditentang dan dihapuskan.

4. Menegaskan kepada bangsa / pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.

Alinea kedua berbunyi : Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, makna yang terkandung disini adalah :

1. Bahwa kemerdekaan yang merupakan hak segala bangsa itu bagi bangsa Indonesia, dicapai dengan perjuangan pergerakkan bangsa Indonesia.

2. Bahwa perjuangan pergerakan tersebut telah sampai pada tingkat yang menentukan, sehingga momentum tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan.

3. Bahwa kemerdekaan bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan Negara Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang tidak lain adalah merupakan cita cita bangsa Indonesia ( cita cita nasional ).

Alinea ke tiga berbunyi : Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya . Hal ini mengandung makna adanya :

1. Motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat ridho Tuhan.

2. Keinginan yang didambakan oleh segenap bangsa Imdonesia terhadap suatu kehidupan didunia dan akhirat.

3. Pengukuhan dari proklamasi kemerdekaan. Alinea ke-empat berbunyi : Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .

Alinea ke empat ini sekaligus mengandung :

1. Fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia yaitu :

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

b. Memajukan kesejahteraan umum

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

d. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial

2. Susunan/bentuk Negara adalah Republik

3. Sistem pemerintahan Negara adalah Kedaulatan Rakyat

4. Dasar Negara adalah Pancasila, sebagaimana seperti dalam sila sila yang terkandung didalamnya.

Dari uraian diatas maka, sementara dapat disimpulkan bahwa sungguh tepat apa yang telah dirumuskan didalam Pembukaan UUD 1945 yaitu : Pancasila merupakan landasan ideal bagi terbentuknya masyarakat adil dan makmur material dan spiritual didalam Negara Republik Indonesia yang bersatu dan demokratif. Sebelum menjelaskan mengenai sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 disampaikan terlebih dahulu mengenai struktur ketatanegaraan pada umumnya. Istilah struktur ketatanegaraan disini adalah terjemahan dari istilah Inggris The Structure of Government .

Pada umumnya struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu : supra struktur politik dan infra struktur politik, yang dimaksud dengan supra struktur politik disini adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat alat perlengkapan negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Hal hal yang termasuk dalam supra struktur politik ini adalah ; mengenai kedudukannya, kekuasaan dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta hubungan antara alat alat perlengkapan itu satu sama lain. Adapun infra struktur politik meliputi lima macam komponen, yaitu : komponen Partai Politik; Komponen golongan kepentingan, Komponen alat komunikasi politik, Komponen golongan penekan, Komponen tokoh politik.

Praktek ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 dapat diuraikan mengenai pendapat pendapat secara umum yang berpengaruh (dominan) berpendapat, UUD 1945 dan Pancasila harus dilestarikan, upaya pelestarian ditempuh dengan cara antara lain tidak memperkenankan UUD 1945 diubah. Secara hukum upaya tersebut diatur sebagai berikut :

1. MPR menyatakan secara resmi tidak akan mengubah UUD 1945 seperti tercantum dalam TAP MPR No. I/MPR/1983, pasal 104 berbunyi sebagai berikut Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen .

2. Diperkenalkannya referendum dalam sistem ketatanegaraan RI. Kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945 harus terlebih dahulu disetujui dalam sebuah referendum sebelum kehendak itu menjelma menjadi perubahan UUD. Referendum secara formal mengatur tentang tata cara perubahan UUD 1945 secara nyata, lembaga ini justru bertujuan untuk mempersempit kemungkinan mengubah UUD 1945 hal ini dapat diketahui pada bunyi konsideran TAP MPR No. IV/MPR/1983 huruf e yang berbunyi Bahwa dalam rangka makin menumbuhkan kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau ketentuan pengangkatan 1/3 jumlah anggota MPR perlu ditemukan jalan konstitusional agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk merubah UUD 1945 .

Kata melestarikan dan mempertahankan UUD 1945 secara formal adalah dengan tidak mengubah kaidah kaidah yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 diakui bahwa UUD

1945 seperti yang terdapat didalam penjelasan adalah sebagai berikut : Memang sifat aturan itu mengikat oleh karena itu makin supel ( elastic ) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem UUD jangan sampai ketinggalan jaman .

Dari uraian diatas dapat diketahui adanya dua prinsip yang berbeda yaitu : yang pertama berkeinginan mempertahankan, sedangkan prinsip yang kedua menyatakan UUD jangan sampai ketinggalan jaman, yang artinya adanya perubahan , mengikuti perkembangan jaman dalam hal ini perlu dicari jalan keluar untuk memperjelas atau kepastian hukum dalam ketatanegaraan. Jalan keluar salah satu diantaranya bentuk ketentuan yang mengatur

cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Konvensi merupakan condition sine quanon (keadaan sesungguhnya) untuk melaksanakan UUD 1945. Untuk melestarikan atau mempertahankan UUD 1945 yaitu agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman sedangkan larangan mengubah UUD 1945 dapat dilihat sebagai aspek statis (mandeg) dari upaya mempertahankan atau melestarikan UUD 1945.

Selain alasan alasan diatas kehadiran konvensi dalam sistem ketatanegaraan RI, didorong pula oleh :

1. Konvensi merupakan sub sistem konstitusi yang selalu ada di setiap negara.

2. Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat.

Konvensi merupakan salah satu sarana untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Didalam memperjelas mengenai ketatanegaraan di Indonesia pada UUD 1945 sebelum amandemen dapat dilihat pada bagan lampiran tersendiri. Dan setelah UUD 1945 dilakukan

amandemen yang pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, ketiga pada tanggal 9 November 2001 dan keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 dari perubahan atau amandemen UUD 1945 tampak terlihat adanya perubahan struktur ketatanegaraan RI yang selanjutnya didalam struktur setelah amandemen adanya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi dalam hal ini diatur kedalam UUD 1945 yang diamandemen pasal 7B ayat 1 5 yang intinya adalah menyangkut jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan apablia melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dll harus diajukan terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan seadil adilnya terhadap pendapat DPR kepadapenyalahgunaan Presiden / Wakil Presiden. Dalam hal ini DPR mengajukannya masalahnya ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya diserahkan kepada MPR untuk diambil langkah langkah selanjutnya dalam sidang istimewa.

Hubungan negara dan warga negara serta HAM menurut UUD 1945 dilihat dari sejarah bangsa Indonesia tentang kewarganegaraan pada Undang Undang Dasar 1945 sebagai mana pasal 26 ayat 1 menentukan bahwa Yang menjadi warga negara ialah orang orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang Undang sebagai warga negara, sedangkan ayat 2 menyebutkan bahwa Syarat syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang Undang . Mengacu pada pembahasan oleh Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, masalah hak asasi manusia Indonesia menjadi perdebatan sengit, ada yang mengusulkan agar hak asasi manusia dimasukkan kedalam ide tetapi ada juga yang menolaknya. Pada akhirnya antara pro dan kontra tentang hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD dilengkapi suatu kesepakatan yaitu masuk kedalam pasal pasal : 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Yang dimaksud kewajiban asasi adalah kewajiban setiap pribadi untuk berbuat agar eksistensi negara atau masyarakat dapat dipertahankan, sebaliknya negara memiliki kemampuan menjamin hak asasi warga negaranya.

Mengenai hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia itu sejak lahir terlihat dari uraian diatas mengenai hubungan antar negara dan warga negara masing masing memiliki hak dan kewajiban.C. MEMAHAMI DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945

Setelah ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dalam pelaksanaannya, Undang Undang Dasar 1945 mengalami masa berlaku dalam dua kurun waktu yaitu :

1. Kurun pertama sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.

2. Kurun waktu kedua sejak tanggal 5 Juli 1959 ( Dekrit Presiden ) sampai sekarang dan ini terbagi lagi menjadi ketiga masa yaitu : Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi.

Sedangkan antara akhir tahun 1949 sampai dengan tahun 1959 berlaku Konstitusi RIS dan UUDS 1945. Dalam kurun waktu pertama tersebut sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena pada masa tersebut seluruh potensi bangsa dan negara sedang tercurahkan kepada upaya untuk membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dimana kondisi pemerintah sedang diwarnai gejolak politik dan keamanan. Gejolak tersebut diantaranya terjadi pemberontakan dimana mana, dan terjadi agresi Belanda kedua.

Pada pelaksanaan UUD 1945 kurun waktu diatas mengenai kelembagaan negara seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 belum dapat dibentuk sebagaimana mestinya, sehingga sistem pemerintahanya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk sesuai dengan ketentuan pasal IV aturan peralihan, sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar.

Penyimpangan konstitusional yang sangat prisipil yang terjadi dalam kurun waktu ini adalah perubahan Sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat ( BPKNIP ) tanggal 11 November 1945 kemudian disetujui Presiden diumumkan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 isinya mengenai sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Sejak saat ini kekuasaan

pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet.

Perdana Menteri dan para menteri baik secara bersama sama atau sendiri sendiri bertanggung jawab kepada BPKNIP yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 jelas merupakan penyimpangan dari ketentuan UUD 1945.

Penyimpangan ini sangat mempengaruhi stabilitas politik maupun pemerintahan, dalam kondisi seperti ini kemudian berdiri Negara RIS, dimana Negara Indonesia merupakan bagian dari Negara RIS tersebut, secara de facto Negara RI memiliki kekuasaan hanya sebagian pulau Jawa dan Sumatera, pusat pemerintahan di Yogyakarta. Negara federal RIS tidak bertahan lama mulai tanggal 17 Agustus 1950 susunan negara federal RIS berubah menjadi susunan Negara Kesatuan RI.Tetapi menggunakan Undang Undang Dasar yang lain yaitu menggunakan UUD Sementara 1950, menurut UUDS sistem pemerintahan yang dianut adalah parlementer bukan sistem pemerintahan Presidensial, pertanggungjawaban para menteri itu juga kepada parlemen yaitu DPR. Kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat. Landasan pemikiran sistem pemerintahan itu didasarkan kepada Demokrasi Liberal yang dianut oleh negara negara barat sedangkan sistem Presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila yang berintikan kerakyatan dan Presiden bertanggung jawab kepada MPR.

UUD 1945 merupakan hukum dasar terpilih yang bersifat mengikat bagi pemerintah, lembaga negara, lembaga masyarakat dan setiap warga negra Indonesia, sehingga semua produk hukum seperti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, serta kebijaksanaan Pemerintah harus selalu berdasarkan dan bersumber kepada norma, aturan dan ketentuan yang diberlakukan oleh UUD 1945 disamping hukum dasar yang tertulis terdapat juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan aturan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara yang disebut Konvensi, dimana dalam pelaksannanya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Sejak dikeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang disebabkan oleh tidak terjaminnya stabilitas politik, keamanan maupun ekonomi, Konstituante (hasil Pemilu 1955) yang mempunyai tugas untuk membuat UUD pengganti UUDS 1950 gagal menyusun dan menetapkan Undang Undang Dasar. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengandung beberapa diktum yang sangat penting, yaitu :

a. Menetapkan pembubaran konstituante.

b. Menetapkan Undang Undang Dasar 1945 berlaku lagi.

c. Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan utusan dari daerah daerah dan golongan serta DPA sementara akan diselenggarakan sidang sesingkat singkatnya.

Masa antara tahun 1959 sampai 1965 ( Orde Lama ) lembaga lembaga negara belum dibentuk seperti ; MPR, DPR, DPA, dan Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana yang ditentukan oleh UUD 1945. Lembaga lembaga tersebut diatas sifatnya masih sementara dan fungsinya lembaga lembaga tersebut juga masih belum sesuai dengan UUD 1945 misalnya:

1. Presiden telah mengeluarkan produk produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang Undang ( dengan persetujuan DPR ) dalam bentuk penetapan Presiden tanpa persetujuan DPR.

2. MPRS melalui ketetapan MPR No. II/MPR/1963 mengangkat Presiden Soekarno seumur hidup disini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan masa jabatan Presiden 5 tahun dan sesudahnya dipilih kembali.

3. Hak budjet DPR tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR. Bahkan pada tahun 1960, karena DPR tidak menyetujui RAPBN yang diajukan oleh pemerintah maka, Presiden lalu membubarkan DPR.

4. Kekuasaan peradilan menjadi tidak bebas campur tangan pemerintah hal ini terlihat dalam Undang Undang No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dimana pasal 19 menyatakan bahwa Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal soal peradilan.

Beberapa akibat kasus penyimpangan UUD 1945 tersebut membawa buruknya keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan dibidang ekonomi. Keadaan demikian mencapai puncaknya pada pemberontakan G 30 S PKI yang gagal pada tahun 1965. Kurun waktu Orde Baru tahun 1966 sampai 1998 yang mempunyai tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena telah terbukti bahwa pemberontakan G 30 S yang didalangi oleh PKI maka rakyat menghendaki dan menuntut PKI dibubarkan. Namun pada waktu itu pimpinan negara tidak mau memenuhi tuntutan rakyat sehingga timbul situasi konflik antara rakyat satu pihak dan Presiden dilain pihak. Keadaan dibidang politik, ekonomi, dan keamanan semakin tidak terkendali, oleh karena itu rakyat dengan dipelopori oleh pemuda / mahasiswa menyampaikan tuntutannya yaitu Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yaitu :

1. Bubarkan PKI.

2. Bersihkan kabinet dari unsur unsur PKI.

3. Turunkan harga harga / perbaikan ekonomi.

Gerakan TRITURA semakin meningkat sehingga Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kepada Letnan Jenderal TNI Soeharto, dengan lahirnya SUPERSEMAR oleh rakyat dianggap sebagai lahirnya Orde Baru. Dengan berlandaskan pada Surat Perintah 11 Maret 1966, pengemban SUPERSEMAR pada tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan ormas ormasnya jadi dengan demikian tanggal 19 Maret 1966 dinyatakan sebagai titik awal Orde baru. Dalam masa ini telah dapat berhasil melaksanakan Undang Undang Dasar 1945 dalam hal pembentukan lembaga lembaga Negara dan lain lain, namun perkembangan lebih lanjut Orde Baru didalam melaksanakan kekuasaan negara / pemerintah, sejalan dengan proses yang dihadapi ternyata terjadi penyimpangan penyimpangan yang terlihat kepada pelaksanaan kekuasaan pemerintah mengarah otoriter. Dari pemerintah otoriter ini muncul terjadinya konflik horisontal maupun vertikal yang diakhiri oleh lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998, kemudian beralih kepada Pemerintah beraliran Reformasi.

UUD 1945 pada masa era globalisasi yang ditandai oleh reformasi berawal dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN kemudian disusul oleh Tap Tap MPR yang lain. Dari segi pengembangan hukum terlihat pada Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan. Sejak adanya perubahan / amandemen UUD 1945 yang pertama tersirat materi muatan konstitusi hanya diatur dalam UUD 1945 kemudian amandemen tersebut sampai perubahan keempat, secara lengkap proses amandemen pasal pasal dimaksud dapat diperhatikan pada lampiran. Didalam era reformasi ini Pancasila tetap dipertahankan sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai idiologi nasional yang merupakan cita cita dari tujuan negara. Didalam pengembangan lebih lanjut bahwa Pancasila sebagai paradigma yaitu merupakan pola pikir atau kerangka berpikir, disini menunjukkan bahwa pembukaan UUD 1945 memiliki peranan penting yang menjadi satu kesatuan bersama UUD 1945. Menyangkut perubahan / amandemen UUD 1945 dimaksud diantaranya adalah untuk menghadapi perkembangan yang begitu cepat terjadi didunia iniPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat

Secara etimologis istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philein yang atinya cinta dan sophos yang artinya hikmah atau kebijaksanaan. Jadi secara harfiah istilah filsafat mengandung makna cinta kebijaksanaan. Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya di bawah naungan filsafat. Namun demikian jikalau kita membahas pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka mencakup banyak bidang bahasan, antara lain tentang manusia, alam, pengetahuan, etika, logika, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul pula filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu, antara lain filsafat politik, sosial, hukum, bahasa, ilmu pengetahuan, agama, dan bidang-bidang ilmu lainnya.

Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam :

Pertama : Filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian :

1) Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu, misalnya rasionalisme, materialisme, pragmatisme, dan lain sebagainya.

2) Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan yang bersumber pada akal manusia.

Kedua : Filsafat sebagai suatu proses, yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan obyeknya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis, dan tidak lagi hanya merupakan suatu kumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni dan dipahami sebagai suatu nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat.

B. Pengertian Pancasila sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Suatu kesatuan bagian-bagian.

2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.

3) Saling berhubungan dan saling ketergantungan.

4) Keseluruhannya dimaksudkannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem).

5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.

Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Namun demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, yaitu setiap sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari Pancasila. Maka Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnya serta di antara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan.

C. Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal

Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan berbentuk piramidal. Pengertian matematis piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.

Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian maka di antara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lainnya sehingga Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Andaikata urur-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak maka di antara satu sila dengan sila lainnya tida ada sangkut pautnya, maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai asas kerohanian negara. Setiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya sama saja dengan tidak ada Pancasila.

Kesatuan sila-sila Pancasila yang memiliki susunan hierarkhis piramidal ini maka sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan serta berkeadilan sosial sehingga di dalam setiap sila senantiasa terkandung sila-sila lainnya.

Adapun rumusan Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan berbentuk Piramidal ialah sebagai berikut :

1. Sila pertama : Ketuhanan yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Sila keempat : kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta meliputi dan menjiwai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Sila kelima : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, sert kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

D. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat

Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat herarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk mengambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urur-urutan luas (kuantitas), dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhi dalam hal kuantitas, juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Secara filosofis Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.

1. Dasar Antropologis Sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja, melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis meliputi dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang berketuhanan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia. Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.

Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya.

Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan, dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebab, adapun negara adalah sebagai akibat.

2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila. Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia.

Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia. Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila dapat dirinci sebagai berikut :

Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja, namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius maka di antara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.

Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengatahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, yang rumusannya telah dikemukakan di atas. Dengan demikian maka susunan sila-sila Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu : pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila Pancasila. Isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau essensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan kongkrit. Kedua, isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus konkrit serta dinamis.

Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis, yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur : fisis, anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut : demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi, dan ilham.

Berdasarkan tingkatan tersebut di atas, maka Pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseptif indra merupakan alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris, maka Pancasila juga mengakui kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif, Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu sila persatuan Indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun sesuai dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia. 3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.

Max Scheler mengemukakan bahwa nilai yang ada tidak sama luhurnya dan tidak sama tingginya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Menurut tinggi rendahnya nilai dapat digolongkan menjadi empat tingkatan sebagai berikut : 1) Nilai-nilai kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan indra manusia, sesuatu yang mengenakkan dan tidak mengenakkan dalam kaitannya dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang atau menderita atau tidak enak. 2) Nilai-nilai kehidupan, yaitu dalam tingkatan ini ter-dapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan manusia, misalnya kesegaran jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum. 3) Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini antara lain nilai keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. 4) Nilai-nilai kerokhanian,yaitu dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

Pandangan dan tingkatan nilai menurut Notonagoro dibedakan menjadi tiga macam yaitu : 1) Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan. 3) Nilai-nilai kerokhanian , yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rokhani manusia yang dapat dibedakan atas empat tingkatan sebagai berikut : a) Nilai Kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal, rasio, budi atau cipta manusia. b) Nilai keindahan atau nilai estetis, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia. c) Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia. d) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak. Nilai religius ini berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan manusia dan nilai religius ini bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan yang Maha Esa.

Berdasarkan uraian mengenai nilai sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bersifat material saja, tetapi juga sesuatu yang bersifat nonmaterial.

Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkhis, di mana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

A. Pengertian Etika, Etika Politik dan Politik

1. Pengertian Etika

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoretis dan filsafat praksis. Kelompok pertama mem-pertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, dan lain sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praksis, karena pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya.

Etika termasuk kelompok filsafat praksis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri, dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.

Etika berkaitan dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya mem-bicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila dan tidak susila, baik dan buruk. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

2. Pengertian Etika Politik

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa etika dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas tentang kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya sendiri, dan etika sosial yang membahas kewajiban serta norma-norma moral yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan tertentu, misalnya etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan, etika pendidikan, etika seksual, dan termasuk juga etika politik yang menyangkut dimensi politis manusia.

Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

3. Pengertian Politik

Pengertian Politik berasal dari kosa kata Politics, yang memiliki makna ber-macam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decisionmaking) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies), yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distributions) dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, di-perluk