diajukan untuk memenuhi persyaratan memperolah gelar sarjana sosial...
TRANSCRIPT
UPAYA UNI EROPA DALAM MENYELESAIKAN PERSOALAN
PENDEPORTASIAN KAUM ROMA OLEH PERANCIS
TAHUN 2010-2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Afina Fitriani Rachmawati
1111113000099
PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
UPAYA UNI EROPA TERHADAP PENDEPORTASIAN
KAUM ROMA DI PERANCIS TAHUN 2010-2012
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Juni 2018
Afina Fitriani Rachmawati
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Denganini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Afina Fitriani Rachmawati
NIM : 1111113000099
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
UPAYA UNI EROPA TERHADAP PENDEPORTASIAN
KAUM ROMA DI PERANCIS TAHUN 2010-2012
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 09 Juli 2018
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
Menyetujui,
Pembimbing
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
iv
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
UPAYA UNI EROPA TERHADAP PENDEPORTASIAN
KAUM ROMA DI PERANCIS TAHUN 2010-2012
Oleh
Afina Fitriani Rachmawati
1111113000099
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
09 Juli 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 09 Juli 2018
ABST
KetuaSidang,
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
Penguji I,
Robi Sugara, M.Sc
NIP.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional,
FISIP UIN Jakarta
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
Sekretaris Sidang,
Eva Mushoffa, MHSPS
NIP.
Penguji II,
Febri Dirgantara, M.M
NIP.
v
ABSTRAK
Penelitian ini menguraikan upaya yang dilakukan Uni Eropa dalam
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Perancis dengan Kaum Roma,
kelompok minoritas yang berasal dari Rumania pada tahun 2010 hingga tahun
2012. Pemilihan periodesasi 2010 hingga 2012 karena pada tahun-tahun tersebut
kebijakan pendeportasian Kaum Roma diberlakukan hingga pada akhirnya
perubahan kebijakan oleh Perancis untuk menghapuskan klausul pendeportasian
Kaum Roma. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa apa saja langkah-langkah
yang diambil oleh Uni Eropa untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapai
Perancis dengan Kaum Roma. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis
kualitatif dengan sumber data sekunder berupa dokumen, buku, jurnal, surat kabar,
laporan serta artikel-artikel internet yang berkaitan dengan topik penelitian.
Penelitian ini menggunakan liberal institusional dengan konsep organisasi
internasional dan hak asasi manusia sebagai alat analisis. Penelitian ini
mengemukakan bahwa Uni Eropa telah mengambil langkah untuk menhentikan
diskriminasi terhadap Kaum Roma di Perancis. Adapun langkah yang ditempuh
Uni Eropa, yakni melakukan mediasi antara Perancis dan Rumania. Proses
mediasi ini berhasil mendorong Perancis untuk menghapus kebijakan
pendeportasian Kaum Roma tanpa menempuh proses hukum di Mahkamah Eropa.
Kata kunci: Uni Eropa, Kaum Roma, Perancis, Traktat Lisbon
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puja dan puji serta syukur hanya
kepada Allah Subhannahuwata‟ala, berkat nikmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam teriring kepada Rasulullah
Shalallahu „alaihi wasallam, khususnya telah menjadi inspirasi penulis selama
proses penyelesaian skripsi yang berjudul “upaya uni eropa terhadap
pendeportasian kaum roma di perancis tahun 2010-2012”. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana sosial pada Program
Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis dibantu dan didukung oleh berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua, Dr. Makmuri M.Si dan Rr. Soehardinah Rachmawati,
yang telah memberikan do‟a dan kasih sayang yang tidak ada hentinya
kepada penulis. Semoga Allah Subhanahu wa Ta‟ala selalu
memberikan kesehatan dan keberkahan di setiap langkah Bapak dan
Ibu. Serta adik penulis, Afita Fitriani Rachmawati, yang selalu
membawa suasana penuh dengan canda tawa. Juga tidak lupa suami
penulis, Muhammad Fadhil Khair yang selalu menjadi teman sharing
dikala suka maupun duka.
2. Papa Kemal, Mama Hartati dan Hakim yang telah menjadi keluarga
baru untuk Penulis dan selalu memberikan dukungan kepada penulis
dalam proses penyelesaian penelitian ini.
3. Bapak Ahmad Alfajri, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan yg terbaik
kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.
4. Bapak Adian Firnas, S.Ip, M.Si selaku Ketua program Studi Hubungan
Internasional dan Dosen Pembimbing Seminar Proposal serta seluruh
vii
dosen pengajar program studi Hubungan Internasional yang telah
berbagi ilmu kepada penulis semasa kuliah.
5. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M dan Bapak Robi Sugara, M.Sc
selaku dosen penguji skripsi.
6. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Shofi, Sekar, Novita, Suger,
Nadia dan Acha yang telah banyak membantu dalam segala hal yg
dibutuhkan oleh penulis.
7. Teman-teman HMI Komfisip, Hijri, Afdal Fitrah, Gerry Novandika,
Aco, Irfan, Bayu, Dara, Sopian, Dhony, Rahmat serta seluruh kanda,
yunda dan dinda-dinda yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Terima kasih untuk pengalaman berorganisasi yang penulis dapatkan
dari kalian semua.
8. Teman-teman HI 2011 yang tidak cukup jika disebutkan satu-persatu,
terimakasih untuk segala bantuannya dari awal mulai perkuliahan
hingga skripsi ini selesai.
9. Teman-teman KKN Ampera 2014 yang telah berbagi suka dan duka
bersama penulis selama sebulan di Pulau Untung Jawa.
10. Seluruh civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih untuk kesempatan dan
kerjasamanya selama masa studi dan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu, Penulis menerima setiap kritik, saran, masukan yang bersifat membangun dan
bermanfaat di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya dan studi Hubungan
Internasional.
Jakarta, 30 Juni 2018
Penulis,
Afina Fitriani Rachmawati
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................ 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................. 5
D. Tinjauan Pustaka.................................................................... 5
E. Kerangka Teori ...................................................................... 10
1. Organisasi Internasional ................................................. 12
2. Hak Asasi Manusia ........................................................ 13
F. Metode Penelitian .................................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 16
BAB II PENERAPAN TRAKTAT LISBON DI NEGARA-NEGARA
ANGGOTA UNI EROPA
A. Sejarah dan Perkembangan Uni Eropa .................................. 18
1. Pembentukkan Uni Eropa .............................................. 18
2. Institusi Uni Eropa ......................................................... 21
a. Badan Penting Uni Eropa .......................................... 21
b. Badan Eksternal Uni Eropa ....................................... 27
3. Penyelesaian Sengketa Regional Oleh Uni Eropa ......... 30
ix
B. Traktat Lisbon Menjadi Dasar Hukum Negara-negara Anggota Uni
Eropa ..................................................................................... 32
1. Imigrasi Dalam Traktat Lisbon ...................................... 36
BAB III PELANGGARAN TREATY OF LISBON OLEH PERANCIS
TERHADAP KAUM ROMA
A. Latar Belakang Kaum Roma………...................................... 42
B. Pelanggaran Konvensi Hak Asasi Manusia oleh Perancis .... 48
BAB IV ANALISA UPAYA UNI EROPA TERHADAP SIKAP
PERANCIS TERKAIT PELANGGARAN TREATY OF LISBON
A. Upaya Uni Eropa Untuk Menyelesaikan Sengketa ......... 55
B. Tantangan Uni Eropa dalam Menyelesaikan Konflik Etnis
Minoritas di Perancis ...................................................... 62
BAB V KESIMPULAN ..................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Negara Anggota Uni Eropa ....................................... 20
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gypsy People in Europe ........................................................43
xii
DAFTAR SINGKATAN
ECJ European Court Of Justice
EIP European Immigration Pact
EU European Union
HAM Hak Asasi Manusia
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
TEU Treaty of European Union
UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Uni Eropa atau European Union (EU) adalah organisasi internasional yang
beranggotakan negara-negara di Eropa yang memiliki tujuan untuk meningkatkan
integrasi ekonomi serta mempererat hubungan antar negara-negara anggota. Uni
Eropa juga merupakan forum yang membahas tentang penegakkan hak asasi
manusia, isu ekonomi dan isu politik serta meminimalisir konflik internal yang
terjadi di antara negara-negara anggota.1
Selain mempererat hubungan antar negara anggota, Uni Eropa juga
berusaha untuk memperkecil terjadinya diskriminasi antar warga negara anggota
Uni Eropa melalui kesepakatan Treaty Of Lisbon. Dalam Traktat Lisbon
membahas mengenai penghapusan batas internal suatu negara dan melakukan
kerjasama antar negara di kawasan Uni Eropa serta pembebasan perpindahan
barang, jasa, modal dan migrasi warga.2
Traktat Lisbon mengatur tentang pelarangan terkait perlakuan
diskriminasi sesama manusia berdasarkan agama, warna kulit, kewarganegaraan
dan strata sosial yang tercantum dalam Treaty on European Union Bab 1 Pasal 2
yang berbunyi sebagai berikut:
1 Central Intelligence Agency, “The World Factbook: European Union”, 4 April 2016; bag.
Introduction; tersedia di https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ee.html; diakses pada tanggal 11 April 2016 2 Jens-Peter Bonde, Consolidated reader-Friendly Edition of the Treaty on European Union (TEU)
and the Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) as amended by the Treaty of Lisbon (2007), (Denmark: Foundation for EU Democracy, 2008), 59-70.
2
The Union is founded on the values of respect for human dignity, freedom,
democracy, equality, the rule of law and respect for human rights,
including the rights of persons belonging to minorities. These values are
common to the Member States in a society in which pluralism, non-
discrimination, tolerance, justice, solidarity and equality between women
and men prevail.3
Traktat Lisbon merupakan hasil amandemen dari Treaty on European
Union yang ditandatangani di Lisbon, Portugal pada tanggal 13 Desember 2007
oleh 27 Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Perwakilan Negara Anggota
Uni Eropa. Traktat Lisbon mulai diberlakukan pada tanggal 1 Desember 2009 di
seluruh negara-negara anggota Uni Eropa.
Uni Eropa memiliki perhatian khusus terhadap hak asasi manusia terkait
suaka dan migrasi dan menjadikan salah satu aspek penting dalam kebijakan luar
negerinya sesuai yang tercantum dalam Traktat Lisbon.4 Dalam Traktat Lisbon
telah disinggung bahwa Uni Eropa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi
Manusia. Kaum minoritas yang menjadi perhatian dunia saat ini karena masih
menghadapi masalah diskriminasi dan pelanggaran HAM di negara-negara
anggota Uni Eropa adalah Etnis Gipsi.
Etnis Gipsi, atau nama universalnya adalah Kaum Roma, merupakan kaum
yang nomaden atau suka berpindah-pindah tempat. Sekitar 10 juta jiwa atau 80%
populasi Kaum Roma di Eropa tinggal di negara-negara anggota dan calon
anggota Uni Eropa dan salah satunya berada di Perancis yang mengalami
perlakuan diskriminasi dan dikucilkan karena cara hidupnya yang mengisolasi diri
3 The Treaty on The European Union, Title I: Common Provisions, Article 2, page 15.
4 Council Of The European Union, “Human Rights and Democracy in The World”, 10 Mei 2010;
tersedia di http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/EN/foraff/114330.pdf; diakses pada tanggal 10 April 2016
3
dan tidak mau berbaur dengan masyarakat menimbulkan kecurigaan oleh warga
setempat terhadap kaum Roma ini.5
Selain itu juga, kaum Roma hanya
diperbolehkan membangun tenda diluar dari perkampungan yang tidak
mendapatkan aliran listrik serta air.6
Pada tahun 2010, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, mengeluarkan
kebijakan untuk mendeportasi kaum Roma yang berada di dalam wilayah Perancis
kembali ke Rumania dan Bulgaria.7
Kaum Roma yang masuk ke Perancis
merupakan imigran yang datang dari Rumania dan Bulgaria. Bagi kaum Roma
yang bersedia dipulangkan ke Rumania dan Bulgaria akan diberikan uang sebesar
300 Euro oleh pemerintah Perancis.8 Pendeportasian kaum Roma berawal pada
dua peristiwa yang terjadi di Perancis yaitu terbunuhnya Luigi Duquenet, seorang
pria Roma berusia 22 tahun, yang menurut polisi ia menerobos pos pemeriksaan
polisi di wilayah Saint Aignan.9 Media juga melaporkan bahwa pemuda tersebut
telah melakukan perampokan di sebuah kasino,10
tetapi laporan yang didapat dari
keluarga Duquenet bahwa Duquenet melakukan penerobosan karena ia belum
5 Jack A. Goldstone, “Roma Rights, Roma Wrong”, Foreign Affairs, Vol. 81 No. 2, (March 2012).
hal. 146-162 6 Dena Ringold, Mitchell Alexander Orenstein, dan Erika Wilkens, Roma in an Expanding Europe:
Breaking the Poverty Cycle, (Washington D.C: The World Bank, 2005), 68. 7 Daniele de Bernardin, “Protesters deride French president’s crackdown on Gypsies and new
security tack”, FOXNEWS.com, 4 September 2010, bag. World; tersedia di http://www.foxnews.com/world/2010/09/04/protesters-deride-french-presidents-crackdown-gypsies-new-security-tack.html; diakses pada tanggal 17 April 2016. 8 Steven Erlanger, “Expulsion of Roma Raises Questions in France”, The New York Times, 19
Agustus 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/08/20/world/europe/20france.html?_r=0; diakses pada tanggal 17 April 2016. 9 Q&A: France Roma Expulsion, BBC News, 19 Oktober 2010, bag. Europe; diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-europe-11027288; pada 17 April 2016 10
Gavin Hewitt, “The Roma Repatriation”, BBC, 19 Agustus 2010; diakses dari http://www.bbc.co.uk/blogs/thereporters/gavinhewitt/2010/08/the_roma_repatriation.html; pada 12 April 2016
4
memiliki surat izin mengemudi dan takut jika dilakukan pemeriksaan oleh polisi
tersebut. Peristiwa tersebut membuat kaum Roma melakukan penyerangan
terhadap pos polisi sebagai bentuk protes atas meninggalnya Duquenet.11
Oleh
karena itu pemerintah Perancis mengatakan bahwa kamp kaum Roma tersebut
merupakan sumber kejahatan.12
Tindakan ini mengundang respon tegas dari Uni Eropa karena Perancis
dianggap telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan diskriminasi
kaum minoritas13
dengan merubuhkan 300 kamp14
dan pemerintah setempat
berencana untuk mendeportasi 10.000 kaum Roma ke negara asal sebelum mereka
datang ke Perancis yaitu Bulgaria dan Rumania pada tahun 2011.15
Sarkozy
membantah bahwa ia telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap
etnis minoritas yaitu kaum Roma. Ia menganggap Kaum Roma sebagai kelompok
kriminal di Perancis, bukan sebagai etnis minoritas.16
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji upaya Uni Eropa dalam
mengambil tindakan terhadap Perancis yang telah melanggar peraturan dasar Uni
Eropa yang ada di dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan
salah satu instrumen yang ada di dalam Traktat Lisbon untuk menjunjung tinggi
hak-hak kaum minoritas seperti kaum Roma. Pemilihan rentang waktu tersebut
11
Q&A: France Roma Expulsion, BBC News, Loc. cit 12
Jack A. Goldstone, Roma Rights, Roma Wrong. 13
Steven Erlanger, “Expulsion of Roma Raises Questions in France”. 14
Sinan Gokçen, “Factsheet: Roma Rights Record”, European Roma Rights Centre, 4 Oktober 2010; tersedia di http://www.errc.org/cms/upload/file/factsheet-4october2010.pdf; diakses pada tanggal 19 April 2016. 15
Bruce Crumley , “France Deports Gypsies: Courting the Xenophobes”, Time, 19 Agustus 2010; tersedia di http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2011848,00.html; diakses pada 19 April 2016 16
George Soros, “ The Plight of the Roma”, Euractiv, 8 Januari 2015; tersedia di http://www.euractiv.com/section/languages-culture/opinion/the-plight-of-the-roma/; diakses pada tanggal 12 April 2016
5
karena penulis melihat bahwa pada tahun 2010 ini pemerintah Perancis
mengeluarkan kebijakan khusus pelegalan terhadap pendeportasian kaum Roma
dari wilayah Perancis di masa pemerintahan Presiden Nicolas Sarkozy yang mana
merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ditetapkan oleh Uni
Eropa.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari pernyataan masalah di atas, timbul pertanyaan penelitian yang
menjadi dasar penelitian ini, yaitu apa upaya Uni Eropa dalam menyelesaikan
pendeportasian Kaum Roma oleh Perancis tahun 2010 hingga 2012?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan Uni Eropa dalam menangani
masalah terkait pelanggaran HAM yang terjadi di negara anggota
kawasannya.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memperkaya sudut pandang tentang HAM dan aturan-aturan yang berlaku di
kawasan Uni Eropa.
2. Mengetahui latar belakang langkah-langkah yang diambil Uni Eropa guna
menangani permasalahan di Perancis tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam meneliti respon Uni Eropa terhadap sikap Perancis yang telah
melanggar kesepakatan Traktat Lisbon terkait pendeportasian etnis minoritas
Kaum Roma di Perancis, penulis membaca beberapa tulisan terkait isu yang
6
serupa. Penulis menggunakan tulisan tersebut sebagai referensi dan pembanding
dalam penelitian ini. Pertama, skripsi mahasiswi Hubungan Internasional
Universitas Airlangga yang ditulis oleh Rizka Nur Rachmayani dengan judul
“Kepentingan Perancis Atas Masalah Non-Preference Immigration: Kasus
Penggusuran Etnis Roma Tahun 2010”.17
Kehadiran Kaum Roma sebagai imigran
di Perancis menimbulkan masalah karena dengan seringnya berpindah-pindah
tempat tinggal, kaum tersebut dianggap sebagai kaum yang sering melakukan
tindak kriminal. Berdasarkan penelitian tersebut, Rizka menganalisa mengapa
Perancis tetap melakukan penggusuran terhadap kaum Roma pada tahun 2010
padahal Perancis dan negara-negara Uni Eropa lainnya telah menyepakati Treaty
of Lisbon dan European Immigration Pact (EIP) yang mengatur tentang
kebebasan migrasi di Eropa.
Dalam penelitian tersebut, Rizka menggunakan teori migrasi, teori utility
value, konsep self interest dan konsep rasionalisme untuk mengetahui kepentingan
Perancis dibalik pengusiran kaum Roma. Setelah dilakukan sebuah analisis oleh
Rizka, ditemukan suatu kesimpulan awal atau hipotesis bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi Sarkozy dalam pembuatan kebijakan salah satunya
yaitu faktor ekonomi yang dapat berakibat pada krisis nasional karena banyaknya
imigran yang datang ke Perancis yang dapat menyebabkan imbas ekonomi bagi
Perancis. Faktor utility sosial yang melihat hubungan kontribusi kaum Roma
terhadap pendapatan dalam negeri Perancis serta adanya self intersest Presiden
Sarkozy dalam menjalankan kebijakan migrasi terhadap kaum minoritas tersebut. 17
Rizka Nur Rachmayani, Kepentingan Perancis Atas Masalah Non-Preference Immigration: Kasus Penggusuran Etnis Roma Tahun 2010, Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada, 2012.
7
Dalam skripsi yang ditulis oleh Rizka berfokus pada apa alasan Perancis
untuk tetap mendeportasi kaum Roma dibawah Traktat Lisbon yang telah
disepakati oleh Perancis. Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu
penulis berfokus pada respon apakah yang diambil oleh Uni Eropa terhadap sikap
Perancis yang melanggar Traktat Lisbon dalam kasus pendeportasian kaum Roma.
Kedua, skripsi mahasiswi Hubungan Internasional FISIPOL UGM yang
ditulis oleh Ganes Nirwina P. Sari yang berjudul “Personalitas Presiden Nicolas
Sarkozy dan Kebijakan Terhadap Kaum Imigran di Perancis”.18
Ganes
menganalisa tentang personalitas Presiden Nicolas Sarkozy karena Ganes
beranggapan bahwa personalitas seorang presiden dapat berpengaruh terhadap
hasil keputusan yang dibuat oleh presiden sebagai salah satu aktor pengambil
keputusan. Nicolas Sarkozy sebagai aktor utama dikondisikan sebagai pihak yang
berkemampuan membuat tiga sikap atas kebijakan suatu negara seperti kebijakan
yang mempertimbangkan respon dari masyarakat ataupun komunitas yang berada
di lingkungan sekitar sistem politiknya, sumber daya yang dimobilisasi hingga
diproses menjadi suatu kebijakan, dan mengaplikasikan instrumen serta prosedur
pada aktor lainnya dalam suatu proses pengambilan keputusan.
Dalam pendekatan level individu, ada faktor-faktor yang digunakan oleh
Ganes untuk mengkaji permasalahan yang akan ia teliti yaitu dari ideologi, nilai
dan norma dari seorang pemimpin. Selain itu, lingkungan politik yang cenderung
diikuti oleh seorang pemimpin dapat mempengaruhi gaya kepemimpinannya.
18
Ganes Nirwina Parapat Sari, Personalitas Presiden Nicolas Sarkozy Dan Kebijakan Terhadap Kaum Imigran di Perancis (2007-2012), [database on-line]; tersedia di http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=65158 diunduh pada 1 Juni 2016
8
Latar belakang yang meliputi keluarga, pendidikan bahkan lingkungan kerja juga
dapat berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang. Ganes berfokus
pada keputusan tentang kebijakan presiden Sarkozy terhadap pengetatan peraturan
tentang imigran di Perancis. Sarkozy dinilai terlalu sensitif dan diskriminatif
terhadap kaum imigran. Menurut Ganes, adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan seperti latar
belakang personal seperti status keluarga, orientasi politik dan lainnya.
Berdasarkan latar belakang dan kesimpulan yang sudah penulis baca,
Ganes berusaha menganalisa kebijakan terhadap imigran di Perancis oleh Presiden
Nicolas Sarkozy menggunakan faktor psikologi dari seorang Sarkozy. Berbeda
dengan penelitian yang penulis lakukan, penulis tidak membahas tentang adanya
pengaruh hubungan antara sifat keras Sarkozy terhadap kebijakan yang
ditetapkannya melainkan lebih fokus terhadap respon Uni Eropa terhadap sikap
Perancis yang telah melanggar kesepakatan Traktat Lisbon terkait pendeportasian
kaum Roma dari wilayah Perancis oleh Presiden Nicolas Sarkozy.
Ketiga, artikel ilmiah hasil penelitian mahasiswa S2 Hubungan
Internasional Universitas Jember yang ditulis oleh Fudzha Putri Jazilah. MM,
Djoko Susilo dan Linda Dwi Eriyanti dengan judul “Kepentingan Nicolas Sarkozy
Dalam Pembuatan Kebijakan Imigrasi di Perancis”.19
Perancis merupakan salah
satu negara di Eropa yang menjadi target banyaknya imigran yang mencari suaka.
Imigran yang datang ke Perancis banyak yang berasal dari Afrika Utara.
19
Fudzcha Putri Jazilah. MM, Djoko Susilo dan Linda Dwi Eriyanti, Kepentingan Nicolas Sarkozy Dalam Pembuatan Kebijakan Imigrasi di Perancis (2012), [database on-line]; tersedia di http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58828/Fudzcha%20Putri.pdf?sequence=1 diunduh pada 1 Juni 2016
9
Kedatangan imigran asal Afrika Utara dalam jumlah yang besar tersebut
menimbulkan masalah di Perancis karena memiliki latar belakang yang berbeda
dengan orang asli Perancis. Perancis ingin dilihat sebgaai negara yang maju, putih
dan kristen. Sedangkan para imigran yang datang dari Afrika Utara kebanyakan
muslim, hitam dan miskin.
Selain itu juga adanya peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh para
imigran karena merasa kurang puas dengan nasibnya. Kerusuhan yang menelan
banyak korban jiwa dan kerugian yang sangat besar, Nicolas Sarkozy yang pada
saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Perancis berinisiasi untuk
membuat sebuah kebijakan baru terkait imigrasi dengan tujuan menyeleksi
imigran-imigran dengan kualitas baik yang hanya boleh masuk ke dalam wilayah
Perancis. Pada awalnya kebijakan tersebut ditujukan untuk menjaga National
Security Perancis, tetapi jika di analisa lebih mendalam adanya andil kepentingan
pribadi seorang Nicolas Sarkozy didalamnya.
Sebagai aktor politik, Sarkozy mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian yang ia dapatkan dari kebijakan tersebut. Keuntungan yang ia dapat
adalah untuk memperbaiki citranya di mata masyarakat Perancis. Mengingat
tahun 2007 Sarkozy mencalonkan dirinya menjadi Presiden Perancis dengan
mengangkat keberhasilannya untuk mencegah bertambahnya imigran yang
berdatangan ke Perancis dan berhasil menyelamatkan perekonomian Perancis.
Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, penulis meneliti tentang
langkah yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap apa yang telah diperbuat oleh
Perancis sehingga melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama dan telah
10
menjadi dasar hukum yang berlaku di Uni Eropa dengan menggunakan konsep
Organisasi Internasional dan Konsep Sanksi.
E. Kerangka Teori
Untuk mengetahui bagaimana respon Uni Eropa terhadap pelanggaran
yang dilakukan Perancis terkait Traktat Lisbon, maka peneliti akan menggunakan
teori liberal institusional. Liberal institusional menekankan pentingnya organisasi
internasional karena organisasi internasional memiliki peranan besar sebagai
wadah pembentukan kerjasama antar negara berdaulat sehingga dapat
mewujudkan stabilitas dan perdamaian dunia.20
Kaum liberalis intitusional memfokuskan perhatiannya pada fungsi hukum
dan peran institusi internasional yang berpendapat bahwa hukum dan institusi
internasional mendorong penyesuaian dan kerjasama internasional. Institusi dpat
berupa organisasi-organisasi internasional formal yang mewakili negara-negara
tetapi juga aturan-aturan resmi, kesepakatan, dan konvensi-konvensi yang
memfasilitasi interaksi antar negara.
Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup
tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat
kompleks sehingga diperlukan pengaturan untuk mencapai tujuan bersama
melalui Organisasi Internasional sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi,
kepentingan dan pengaruh negara-negara anggota. Organisasi Internasional akan
menghimpun negara-negara di dunia dalam suatu sistem kerjasama yang
dilengkapi dengan organ-organ yang dapat mencegah atau menyelesaikan 20
Robert O. Keohanne dan Lisa L. Martin, “The Promise of Internasionalist Theory”, International Security, Vol. 20 No. 1, (Summer, 1995), hal. 40; tersedia di https://www.jstor.org/stable/2539214; diakses pada 6 Juni 2016
11
sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka. Dengan membentuk organisasi,
negara-negara akan berusaha mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama
dan menyangkut bidang kehidupan yang luas.
Stabilitas dunia internasional dapat tercipta melalui organisasi
internasional karena adanya kerjasama dalam menghadapi konflik bersama.21
Organisasi internasional juga dapat menjadi sebuah rezim untuk mengatur
tindakan-tindakan para negara-negara anggota melalui bidang-bidang tertentu.22
Lembaga internasional juga berguna untuk mendapatkan solusi guna
menghasilkan kerjasama untuk menghadapi konflik yang dihadapi bersama oleh
beberapa negara.23
Organisasi internasional juga dapat memajukan kerjasama
antar negara anggota dan dengan adanya kerjasama tersebut dapat mengikis rasa
ketidakpercayaan antar negara satu sama lain.24
Pembentukan organisasi internasional karena negara merasa bahwa
organisasi internasional memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi.25
Salah satu
fungsi organisasi internasional adalah untuk membantu dalam menyelesaikan
sengketa dan pengelolaan konflik seperti pelanggaran yang telah dilakukan oleh
Perancis. Netralitas organisasi internasional membuatnya dapat melakukan
mediasi saat adanya konflik ataupun pengambilan keputusan kebijakan tertentu.26
Netralitas terlihat saat Uni Eropa mengambil sikap terhadap konflik antara
21
Keohanne dan Martin, The Promise of Internasionalist Theory, hal. 44 22
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introdustion to International Relations: Theories and Approaches, Fifth Edition (Oxford: Oxford University Press, 2013), 192. 23
Keohanne dan Martin, The Promise of Internasionalist Theory, hal. 45 24
Jackson dan Sorensen, Introdustion to International Relations: Theories and Approaches, 197. 25
Kenneth W. Abbot dan Duncan Snidal, “Why State Act through Formal International Organization”, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 42, No. 1, (Februari, 1998), hal. 3-32; tersedia di http://www.jstor.org/stable/174551; diakses pada 6 Juni 2016 26
Abbot dan Snidal, Why State Act through Formal International Organization, hal. 19.
12
pemerintah Perancis dengan kaum Roma yang mengalami perlakuan diskriminasi.
Organisasi internasional dapat menekan adanya kemungkinan terjadinya konflik
antar negara ataupun konflik yang melibatkan negara anggotanya di luar batas
regionalnya serta dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut sebagai pihak
yang netral jika terjadi sebuah gesekan antara negara anggotanya.
1. Organisasi Internasional
Terbentuknya organisasi internasional karena adanya kebutuhan dan
kepentingan masyarakat antar bangsa yang membutuhkan wadah sebagai
alat untuk melaksanakan kerjasama internasional dan mencapai
kepentingannya. Sebagai sebuah organisasi, Organisasi Internasional harus
memiliki minimal tiga aspek penting yaitu aspek hukum, aspek kerjasama
dan aspek peranan.27
Seperti yang sudah dijelaskan dalam pernyataan masalah bahwa Uni
Eropa merupakan organisasi supranasional yang memiliki anggota
sebanyak hampir seluruh negara di kawasan Eropa yang memiliki peran
sebagai wadah untuk menampung aspirasi, kepentingan dan pengaruh
negara-negara anggota dan merealisasikan gagasan-gagasan yang
disalurkan oleh negara-negara anggota. Uni Eropa terbentuk untuk
mempererat hubungan antar negara di Eropa dan mempermudah negara-
negara anggota untuk bekerjasama menghadapi permasalahan-
permasalahan yang nantinya bisa terjadi dengan cara saling membantu satu
sama lain dalam bidang ekonomi, keamanan dan lainnya. Konsep
27
R. Soeprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 367
13
Organisasi Internasional juga menyebutkan bahwa organisasi internasional
menjadi pihak yang netral dalam mengambil keputusan jika ada konflik
yang terjadi di dalam kawasan organisasi tersebut antara negara anggota
dengan negara anggota lainnya atau negara anggota yang terlibat konflik
di luar batas regional tersebut seperti yang dilakukan Uni Eropa terhadap
Perancis terkait masalah pendeportasian Kaum Roma dari wilayah
Perancis.
Melalui konsep organisasi internasional, Uni Eropa yang bersifat netral
berhak menindaklanjuti sikap Perancis yang telah melanggar perjanjian
salah satunya dengan memberi sanksi terhadap perilaku Perancis. Hal
tersebut dikarenakan Perancis telah melanggar aturan yang tertulis dalam
Traktat Lisbon yang menjadi hukum dasar Uni Eropa dengan melakukan
pendeportasian dan diskriminasi terhadap kaum minoritas.
2. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang sudah dimiliki oleh
seseorang sejak lahir. Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh seseorang
memiliki banyak kategori seperti hak untuk hidup, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk bebas memilih agama
apapun serta hak mendapat perlindungan dan keamanan. Hak Asasi
Manusia juga dapat diartikan sebagai proteksi terhadap individu dalam
menghadapi masalah-masalah yang akan tejadi nanti di kehidupan
14
mereka serta individu tersebut dapat mengapresiasikan potensi mereka
secara bebas.28
Pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok
orang kepana satu orang atau kelompok. Kesepakatan yang tercantum
dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang diadopsi dibawah
Traktat Lisbon dan mulai diberlakukan pada tahun 1958 menjadi
patokan negara-negara Eropa akan larangan dan pentingnya
menjunjung hak-hak orang lain.29
Perlakuan tidak adil hingga bentuk pengucilan dan diskriminasi
terhadap seseorang ataupun suatu kelompok minoritas termasuk dalam
pelanggaran Konvensi Hak Manusia Eropa Pasal 14.30
Adapun enam
prinsip utama Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yaitu freedoms
(kebebasan), dignity (harga diri), justice (keadilan), equality
(kesetaraan) dan hak untuk mendapatkan kewarganegaraan.31
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai
kata-kata lisan, tulisan maupun gambaran dan situasi yang menjadi bagian
28
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia (terjemahan) (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), 32. 29
Dokumen S: Instrumen Regional Tentang Hak Asasi Manusia; tersedia di http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/S.11.Konvensi-Eropa-untuk-Perlindungan-Hak-Asasi-dan-Kebebasan-Fundamental-Manusia.pdf; diakses pada 7 Juni 2016 30
Dokumen S: Instrumen Regional Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 14. 31
Council of Europe, European Convention on Human Rights, 2000; tersedia di http://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf: diakses pada 7 juni 2016
15
permasalahan yang akan diteliti.32
Penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu
menitik beratkan pada prosedur logika yang berawal dari sebuah pengamatan
yang kemudian menghasilkan kesimpulan hipotesis yang bersifat umum. Dalam
hal ini konsep-konsep, pengertian-pengertian didasarkan pada pola-pola yang
ditemukan dalam data.33
Dalam metode kualitatif, penulis meneliti sikap dan respon yang perlu dan
sudah dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Perancis terkait pendeportasian tersebut.
Sumber dokumen sekunder berasal dari perpustakaan FISIP Universitas Islam
Jakarta, perpustakaan Universitas Indonesia dan CSIS Library Jakarta serta situs-
situs internet lain yang mendukung, seperti situs resmi berita internasional, serta
dari berbagai penelitian yang relevan dengan topik penelitian, antara lain buku,
jurnal dan penelitian-penelitian.
Diharapkan dengan adanya studi kepustakaan dan dokumen atau arsip dari
beberapa kementerian dapat membantu terkumpulnya sumber data sekunder yang
akan digunakan oleh penulis untuk menggabungkan dan mencari korelasi antara
kedua data tersebut serta menganalisa data-data tersebut menggunakan teori yang
sudah penulis jabarkan diatas. Sehingga penelitian ini dapat menuju kepada hasil
yang ingin dicapai sesuai dengan pertanyaan yang akan dijawab dalam rumusan
masalah yaitu respon Uni Eropa terhadap sikap Perancis terkait pelanggaran
Traktat Lisbon pada kasus pendeportasian Kaum Roma di Perancis.
32
John W. Cresswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach (California: Sage Publications Inc, 1994), hal.148 33
Bagong Suyanto, Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media, 2007), 166-168.
16
G. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TRANSFORMASI HUKUM UNI EROPA DI NEGARA-
NEGARA ANGGOTA UNI EROPA
Dalam bab dua akan menjelaskan mengenai sejarah dan
perkembangan Uni Eropa dimulai dari awal mula pembentukan Uni Eropa,
institusi-institusi di dalamnya hingga cara penyelesaian sengketa regional
yang dilakukan oleh Uni Eropa serta kebijakan imigrasi di dalam Traktat
Lisbon yang menjadi dasar hukum negara-negara anggota Uni Eropa.
BAB III PELANGGARAN TREATY OF LISBON OLEH PERANCIS
TERHADAP KAUM ROMA
Pada bab tiga ini akan menjelaskan tentang latar belakang Kaum
Roma sebagai kaum minoritas di Eropa, kebijakan pendeportasian Kaum
Roma yang dilakukan oleh Pemerintah Perancis pada tahun 2010 serta
pelanggaran konvensi hak asasi manusia oleh Perancis.
BAB IV ANALISA UPAYA UNI EROPA TERHADAP SIKAP
PERANCIS TERKAIT PELANGGARAN KESEPAKATAN
TREATY OF LISBON
Pada bab ini akan menganalisa upaya-upaya apa saja yang telah
dilakukan oleh Uni Eropa yang berperan sebagai institusi mediator melalui
17
pandangan liberal institusional dan juga menganalisa tentang perubahan
yang dilakukan Perancis pasca teguran yang dilakukan oleh Uni Eropa dan
mediasi yang dipimpin oleh Uni Eropa terkait kebijakan pendeportasian
Kaum Roma.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi tentang
kesimpulan dari penelitian ini dari bab I hingga bab IV.
18
BAB II
PENERAPAN TRAKTAT LISBON DI NEGARA-NEGARA
ANGGOTA UNI EROPA
A. Sejarah dan Perkembangan Uni Eropa
1. Pembentukan Uni Eropa
Pembentukan sebuah oganisasi berawal dari kesepakatan antar 3 negara
yang mendirikannya atau lebih, setelah itu organisasi internasional akan
melaksanakan tugas-tugasnya sesuai keputusan para negara-negara anggotanya
melalui Perjanjian Internasional.34
Organisasi Internasional memiliki tujuan untuk
menstabilkan mememelihara dan membangun perdamaian dan keamanan dengan
cara menghimpun negara-negara dalam suatu kerjasama untuk mencegah serta
menyelesaikan sengketa-sengketa diantara mereka.35
Dengan jumlah populasi
sebanyak 737.163.580 jiwa di Eropa, Uni Eropa telah membantu mengorganisir
sebagian dari penduduk negara Eropa. Uni Eropa yang berfungsi sebagai salah
satu organisasi internasional yang menaungi negara-negara Eropa telah
menghapus semua kontrol perbatasan antar anggota negara Uni Eropa seperti
pemeriksaan perpindahan barang dan warga negara, kecuali pemeriksaan terhadap
obat-obatan dan kejahatan lainnya yang kemungkinan akan terjadi di negara
tujuan. Produksi suatu barang di satu negara dapat dijual di negara anggota lain
tanpa dikenakan pajak. Semua pekerja seperti dokter, pengacara, pariwisata dan
34
Ade Maman Suherman SH, M.Sc, Organisasi Intenasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), . 35
Dr. Boer Mauna, Hukum Intenasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2 (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2005), 458.
19
lainnya dapat digunakan di seluruh negara anggota Uni Eropa, akibatnya biaya
tiket pesawat, internet bahkan panggilan telepon pun mengalami penurunan.36
Kerjasama ekonomi antar negara eropa pada awalnya terbentuk pada tahun
1958 dengan hanya beranggotaan 6 negara yaitu Belgia, Jerman, Perancis, Italia,
Luksemburg dan Belanda yang kemudian keenam negara tersebut dianggap
sebagai pendiri Uni Eropa.37
Pada tahun 1993, Uni Eropa melalui
penandatanganan Maastricht Treaty pada tanggal 7 Februari 1992 di Maastricht
juga menandai terbentuknya Economic and Monetary Union dan juga dimulainya
penerapan Euro secara serentak di 11 negara anggota Uni Eropa pada tahun
1999.38
Hingga tahun 2010, Uni Eropa telah memiliki 27 anggota negara Uni
Eropa.39
Negara-negara anggota Uni Eropa tetap memiliki kedaulatan masing-
masing dalam penentuan kebijakan luar negerinya karena Uni Eropa bukanlah
sebuah negara federal bagi negara anggotanya.
Berikut ini merupakan daftar ke-27 negara anggota Uni Eropa hingga saat
ini, diantaranya:
36
Kimberly Amadeo, “What Is the European Union? How It Works and Its History”, The Balance, 28 November 2017; tersedia di https://www.thebalance.com/what-is-the-european-union-how-it-works-and-history-3306356; diakses pada tanggal 29 Desember 2017 37
European Union, “The EU in brief”, 9 Oktober 2017; tersedia di https://europa.eu/european-union/about-eu/eu-in-brief_en; diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 38
Georgia Parliament, History of the European Union, tersedia di http://www.parliament.ge/files/1_901_108571_2.pdf; diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 39
European Union, “EU Member Countries in brief”, 17 April 2017, bag: About the EU; tersedia di https://europa.eu/european-union/about-eu/countries/member-countries_en; diakses tanggal 17 April 2017
20
Tabel 1. Daftar Negara Anggota Uni Eropa40
No State Capital City Member Eurozone
Schengen
Area
1 Austria Vienna 1 Jan 1995 1 Jan 1999 1 Dec 2007
2 Belgium Brussels 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Mar 1995
3 Bulgaria Sofia 1 Jan 2007 - -
4 Cyprus Nicosia 1 May 2004 1 Jan 2008 -
5 Czech Republic Prague 1 May 2004 - 21 Dec2007
6 Denmark Copenhagen 1 Jan 1973 - 26 Mar 2001
7 Estonia Tallinn 1 May 2004 1 Jan 2011 21 Dec 2007
8 Finland Helsinki 1 Jan 1995 1 Jan 1999 26 Mar 2001
9 France Paris 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Mar 1995
10 Germany Berlin 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Mar 1995
11 Greece Athens 1 Jan 1981 1 Jan 2001 1 Jan 2000
12 Hungary Budapest 1 May 2004 - 21 Dec 2007
13 Ireland Dublin 1 Jan 1973 1 Jan 1999 -
14 Italy Rome 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Oct 1997
15 Latvia Riga 1 May 2004 1 Jan 2014 21 Dec 2007
16 Lithuania Vilnius 1 May 2004 1 Jan 2015 21 Dec 2007
17 Luxembourg Luxembourg 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Mar 1995
18 Malta Valleta 1 May 2004 1 Jan 2008 21 Dec 2007
19 Netherlands Amsterdam 1 Jan 1958 1 Jan 1999 26 Mar 1995
20 Poland Warsaw 1 May 2004 - 21 Dec 2007
21 Portugal Lisbon 1 Jan 1986 1 Jan 1999 26 Mar 1995
22 Romania Bucharest 1 Jan 2007 - -
23 Slovakia Bratislava 1 May 2004 1 Jan 2009 21 Dec 2007
40
European Union, “EU member countries in brief”, loc. cit.
21
24 Slovenia Ljubljana 1 May 2004 1 Jan 2007 21 Dec 2007
25 Spain Madrid 1 Jan 1986 1 Jan 1999 26 Mar 1995
26 Sweden Stockholm 1 Jan 1995 - 25 Mar 2001
27 United Kingdom London 1 Jan 1973 - -
Tabel diatas menunjukkan bahwa Uni Eropa hingga tahun 2010 telah
memiliki anggota sebanyak 27 negara. Sedangkan pada tahun 2013, Kroasia
bergabung menjadi anggota Uni Eropa yang menjadikan Uni Eropa memiliki 28
anggota. Tabel diatas juga menunjukkan tahun bergabungnya negara-negara
anggota Uni Eropa dalam Eurozone dan Schengen Area.
2. Institusi Uni Eropa
Dalam badan utama Uni Eropa, terdapat institusi-institusi yang memiliki
perbedaan tujuan, tugas dan prioritas seperti :
a. Badan Penting Uni Eropa
Badan inti dalam Uni Eropa yang bertugas dalam pembuatan kebijakan
dan undang-undang adalah :
1.) Komisi Eropa (European Commission)41
Komisi Eropa merupakan satu dari tiga institusi utama di Uni
Eropa yang menjalankan pemerintahan Uni Eropa. Komisi Eropa
terdiri dari 1 Presiden dan 27 komisioner yang merupakan
perwakilan dari setiap negara anggota Uni Eropa yang dipilih
41
European External Action Service, “Sekilas Uni Eropa”, Januari 2015, hal. 6; tersedia di http://eeas.europa.eu/archives/delegations/indonesia/documents/more_info/pub_2015_euataglance_id.pdf; diakses pada tanggal 25 Oktober 2016
22
setiap lima tahun sekali. Presiden Komisi Eropa dipilih dan
disetujui oleh mayoritas anggota Parlemen Eropa. Sedangkan
pemilihan seorang komisioner dicalonkan oleh Pemerintahan
Nasional negara masing2 dan di diskusikan terlebih dahulu oleh
Presiden Terpilih Komisi Eropa. Seorang komisioner harus
mewakili dan mementingkan masyarakat Uni Eropa secara
keseluruhan tanpa pandang bulu. Fungsi dari Komisi Eropa yaitu
untuk membuat undang-undang Eropa yang setelah itu disetujui
oleh Dewan Uni Eropa dan Parlemen Eropa. Selain itu pula,
Parlemen Eropa juga mengatur pembelanjaan dana Uni Eropa dan
pelaksanaan kegiatan harian serta melakukan pengawasan bersama
Mahkamah Eropa terhadap negara-negara anggotanya agar
mentaati traktat dan undang-undang Eropa. Jika terjadi adanya
pelanggaran, Komisi Eropa berhak menindak dan bahkan
menuntutnya ke Mahkamah Eropa bila perlu. Tetapi Komisi Eropa
hanya bertindak sesuai apa yang diperlukan dalam mencapai tujuan
perjanjian Uni Eropa.42
2.) Dewan Uni Eropa (The Council of European Union)
Dewan Uni Eropa merupakan tempat bertemunya para wakil
negara yang diwakili oleh para Menteri dari setiap negara anggota
yang dikenal sebagai Environment Council untuk
mengkordinasikan kebijakan dan mengesahkan undang-undang
42
European Commission, Role of the European Commission [artikel online]; tersedia di https://ec.europa.eu/info/role-european-commission_en; diakses pada tanggal 9 Oktober 2017
23
serta memiliki peranan tinggi dalam pengambilan keputusan di Uni
Eropa bersama Parlemen Eropa.43
Dewan Uni Eropa juga
mengkordinasi negara-negara anggota Uni Eropa dalam bidang
ekonomi dan fiskal, pendidikan, kebudayaan, dan olahraga, serta
lapangan pekerjaan. Menteri yang dikirim dalam pertemuan
tersebut bukanlah merupakan anggota tetap, karena tiap tahunnya
negara anggota mengirimkan Menteri yang berbeda-beda sesuai
dengan bidang yang sedang dibahas. Selain itu pula, Dewan Eropa
juga mengatu pemasalahan yang ada kaitannya dengan kebijakan
luar negeri dan Keamanan Uni Eropa.44
3.) Parlemen Eropa (Parliament of Europe)
Dalam struktur Uni Eropa, Parlemen Eropa dipilih langsung
oleh masyarakat Uni Eropa tiap lima tahun sekali sebagai
perwakilan warga negara Uni Eropa dalam menyampaikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat.45
Parlemen Eropa memiliki
tanggung jawab dalam memberikan persetujuan terhadap
perundang-undangan Eropa salah satunya adalah anggaran tahunan
43
Perutusan Republik Indonesia untuk Masyarakat Eropa (PRI-ME), Tentang Uni Eropa: Lembaga-lembaga Uni Eropa; tersedia di http://www.indonesianmission-eu.org/website/page309611537200308257905731.asp; diakses pada 31 Oktober 2016 44
Council of the European Union, What does the Council of the EU do? [artikel online]; tersedia di http://www.consilium.europa.eu/en/council-eu/; diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 45
Dyan Kostermans, “Prosedur Co-decision Parlemen Eropa”, Deutsche Welle, 2 Oktober 2007; tersedia di http://www.dw.com/id/prosedur-co-decision-parlemen-eropa/a-2956214; diakses pada tanggal 5 Desember 2016
24
Uni Eropa bersama dengan Dewan Uni Eropa46
tetapi tidak berhak
untuk merumuskan undang-undang baru. Parlemen hanya
bertindak sebagai konsultan karena parlemen dipilih langsung oleh
masyarakat Uni Eropa sehingga kebijakan atau keputusan yang
diambil oleh Parlemen adalah untuk kepentingan masyarakat Uni
Eropa. Selain itu pula, Parlemen memiliki hak untuk memilih
Kepala Komisi Eropa47
dan membubarkan Komisi Eropa serta
mengangkat Ombudsman Eropa dan menerima petisi tentang
keluhan-keluhan masyarakat Uni Eropa terkait kinerja lembaga-
lembaga yang berada dibawah naungan Uni Eropa.48
4.) Mahkamah Eropa (The Court of Justice of the European Union)
Mahkamah Eropa sebagai mahkamah tertinggi di Uni Eropa
memiliki tugas untuk menangani permasalahan hukum yang terjadi
di Uni Eropa, tidak hanya antar negara anggota saja tetapi institusi-
institusi, individu dan kelompok profesi yang ada dalam kawasan
Uni Eropa. Mahkamah Eropa juga bertugas untuk mengontrol dan
memastikan penerapan traktat-traktat yang berlaku di Uni Eropa
46
Rita Calatozzolo, “The Budgetary Procedure”, Fact Sheet on the European Union, September 2016 [jurnal online]; tersedia di http://www.europarl.europa.eu/ftu/pdf/en/FTU_1.4.3.pdf; diakses pada tanggal 5 Desember 2016 47
European Parliament, EP after the Lisbon treaty: Bigger role in shaping europ [artikel online]; tersedia di http://www.europarl.europa.eu/aboutparliament/en/20150201PVL00008/The-Lisbon-Treaty; diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 48
Ottavio Marzocchi, “The Right of Petition”, Fact Sheet on the European Union, Oktober 2016 [jurnal online]; tersedia di http://www.europarl.europa.eu/ftu/pdf/en/FTU_2.1.4.pdf; diakses pada tanggal 5 Desember 2016
25
kepada seluruh negara anggota tanpa adanya pembedaan.49
Negara
anggota, individu atau sesama institusi Uni Eropa dapat
mengajukan tuntutan kepada lembaga-lembaga Uni Eropa jika
keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga Uni Eropa
bertentangan dengan traktat Uni Eropa dan keputusan yang tidak
sesuai dengan kewenangan lembaga tersebut bahkan lembaga yang
gagal dalam memenuhi kewajibannya juga dapat dituntut.
5.) Pengadilan Auditor (Court of Auditor)
Pengadilan Auditor merupakan lembaga yang memiliki peran
dalam pengawasan apakah dana yang tersedia untuk Uni Eropa
digunakan secara benar dan sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
Fungsi Pengadilan Auditor sebagai pengawas keuangan Uni Eropa
karena memiliki kekuatan investigasi yang kuat sehingga dapat
menyelidiki dokumen-dokumen dari setiap individu atau organisasi
yang bersangkutan dengan pendapatan dan pengeluaran keuangan
Uni Eropa. Setelah itu, lembaga audit harus mempersiapkan dan
melaporkan hasil audit tahunan ke Parlemen dan Dewan Uni Eropa.
Tetapi, pengadilan auditor tidak memiliki kewenangan untuk
mengadili pihak-pihak yang bersalah karena pengadilan auditor
merupakan badan audit independen. Pengadilan Auditor hanya dapat
membuat laporan pelanggaran tertulis dan menyerahkan laporan
tersebut pada pihak yang berhak untuk mengadilinya tergantung 49
Official Website of European Union, “Court of Justice of The European Union; What does CJEU do?”, Januari 2017; tersedia di https://europa.eu/european-union/about-eu/institutions-bodies/court-justice_en; diakses pada tanggal 24 Januari 2017
26
pelanggaran yang terjadi, seperti Komisi Eropa atau negara
anggota Uni Eropa yang bersangkutan.50
Terdapat pula Dewan Eropa yang merupakan forum pertemuan antara
28 Kepala Negara atau Pemerintahan Negara-negara anggota Uni Eropa,
Presiden Dewan Eropa, Presiden Komisi Eropa serta Perwakilan Tinggi Uni
Eropa urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan yang juga
diikutsertakan dalam pertemuan yang sebagaimana telah ditetapkan dalam
Pasal 4 Traktat Uni Eropa.51
Dewan Eropa juga merupakan otoritas politik
tertinggi di Eropa dan telah resmi menjadi sebuah lembaga berdasarkan
Traktat Lisbon yang diberlakukan mulai tanggal 1 Desember 2009.52
Dewan
Eropa juga diharuskan melakukan pertemuan langsung sebanyak dua kali
dalam setahun dibawah kepemimpinan Kepala Negara dan Pemerintahan
negara anggota yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Presiden Uni
Eropa. tugas dari Dewan Eropa adalah menetapkan arah Uni Eropa
kedepannya secara umum.
50
Carina Etta Siahaan, “Peran Uni Eropa Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Bagi Negara Anggota Dan Negara Non Anggota”, 2013, hal. 5; tersedia di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=110803&val=4131; diakses tanggal 25 Oktober 2016 51
European External Action Service, “Sekilas Uni Eropa”, Januari 2015, hal. 4; tersedia di http://eeas.europa.eu/archives/delegations/indonesia/documents/more_info/pub_2015_euataglance_id.pdf; diakses pada tanggal 25 Oktober 2016 52
Carina Etta Siahaan, “Peran Uni Eropa Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Bagi Negara Anggota Dan Negara Non Anggota”, 2013, hal. 4; tersedia di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=110803&val=4131; diakses tanggal 25 Oktober 2016
27
b. Badan Eksternal Uni Eropa.
Selain memiliki lembaga-lembaga yang bertugas untuk menangani hal-
hal yang berkaitan khusus yang bersifat internal, Uni Eropa juga memiliki
badan eksternal guna menangani hal-hal diluar kawasan Uni Eropa yaitu :
1.) Badan Konsultatif
Badan konsultatif dibagi menjadi dua komite yaitu :
a.) Komite Sosial dan Ekonomi, merupakan badan penasihat dan
perwakilan dari masyarakat sipil di eropa yang membawa
aspirasi dan memperjuangkan kepentingan dari kelompok
tenaga kerja, buruh, petani, konsumen serta organisasi
masyarakat sipil dari negara anggota untuk membantu
mengekspresikan pandangan mereka di tingkat Eropa dengan
menyampaikannya serta membela kepentingan mereka dalam
forum kebijakan dengan Parlemen Eropa, Dewan Uni Eropa
dan Komisi Eropa karena ekonomi, sosial dan kemasyarakatan
Eropa memiliki pengaruh dalam menjalankan kebijakan dan
undang-undang Eropa.53
b.) Komite Daerah, badan yang terbentuk pada tahun 1994
tersebut memiliki 350 anggota yang terdiri dari wakil-wakil
dari badan-badan regional dan lokal dari 28 negara anggota
Uni Eropa.54
Terbentuknya Komisi Daerah bertujuan untuk
53
European Economic and Social Committee, bag. About [artikel online]; tersedia di http://www.eesc.europa.eu/en/about; diakses pada 11 Oktober 2017 54
European Committee of the Regions, bag. About the CoR: Key facts [artikel online]; tersedia di http://cor.europa.eu/en/about/Pages/key-facts.aspx; diakses pada tanggal 15 Oktober 2017
28
membuat Negara-negara anggota Uni Eropa tetap menjalani
proses kerjasama, kekerabatan dan persatuan diantara
masyarakat negara-negara anggota Uni Eropa. Para wakil dari
negara masing-masing menyampaikan opini mereka tentang
pembuatan undang-undang Uni Eropa melalui forum Komite
Daerah karena Uni Eropa ingin dalam persetujuan
pengambilan keputusan harus sedekat mungkin dengan
kebutuhan warga negara.55
2.) Badan Keuangan
Selain lembaga-lembaga diatas, Uni Eropa juga memiliki
badan yang secara khusus menangani hal-hal yang berkaitan
dengan finansial yang bersifat eksternal yaitu:
a.) Bank Sentral Eropa (The European Central Bank)56
Adanya penerapan Euro sebagai mata uang bersama pada
tanggal 1 Juli 2002 di sebagian negara anggota Uni Eropa membuat
Bank Sentral Eropa memiliki pengaruh besar dalam penentuan dan
perkembangan kebijakan moneter pada negara-negara anggota Uni
Eropa yang menggunakan mata uang Euro sebagai nilai tukarnya.57
Bank Central Eropa merupakan pusat pengelolaan keuangan dari 19
negara anggota Uni Eropa yang masuk dalam kawasan Eurozone
55
European Committee of the Regions, bag. About the CoR: Key facts [artikel online]; tersedia di http://cor.europa.eu/en/about/Pages/key-facts.aspx; diakses pada tanggal 15 Oktober 2017 56
Hanspeter K. Scheller, The European Central Bank; History, Role and Functions, Second Revised Edition, (Germany: European Central Bank, 2006), hal. 125-126 57
Matthias von Hellfeld, “The introduction of the euro-January 1, 2002”, Deutsche Welle, 16 November 2009; tersedia di http://www.dw.com/en/the-introduction-of-the-euro-january-1-2002/a-4835039; diakses pada tanggal 17 Oktober 2017
29
atau negara-negara yang mengadopsi Euro sebagai mata uang
resminya. Oleh karena itu Bank Sentral Eropa harus selalu
memantau perkembangan harga agar tetap menjaga stabilitas Euro
dan mempertahankan daya jual beli dalam Euro untuk menghindari
kerugian akibat kenaikan inflasi atau kurangnya daya beli Euro.58
Bank Sentral Eropa bertanggung jawab atas penerapan kebijakan
moneter, mengurus segala kegiatan yang berhubungan dengan valuta
asing, mengelola cadangan mata uang asing di negara-negara
Eurozone dan juga mengelola devisa negara-negara kawasan Euro
serta operasi nilai tukar Euro agar kelancaran sistem pembayaran
dalam Bank Sentral Eropa tetap berjalan lancar.59
Adapun badan
yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan di Bank
Central Eropa yaitu Dewan Pemerintah yang terdiri dari 6 anggota
Dewan Eksekutif dan 19 perwakilan dari bank sentral nasional di
negara-negara Eurozone.60
b.) Bank Investasi Eropa
Selain Bank Central Eropa, Uni Eropa juga memiliki bank
kedua yaitu Bank Investasi Eropa. Berbeda dengan Bank Central
Eropa yang bertugas untuk mengelola dan memantau perkembangan
dan perputaran Euro dalam kawasan Uni Eropa, Bank Investasi
58
European Central Bank, bag: About [artikel online]; tersedia di http://www.ecb.europa.eu/ecb/html/index.en.html; diakses pada tanggal 17 Oktober 2017 59
European Central Bank, bag: who are our tasks? [artikel online]; tersedia di http://www.ecb.europa.eu/ecb/tasks/html/index.en.html; diakses pada tanggal 17 Oktober 2017 60
European Central Bank, [artikel online]; tersedia di http://www.ecb.europa.eu/ecb/orga/decisions/govc/html/index.en.html; diakses pada 17 Oktober 2017
30
Eropa merupakan peminjam dan juga penyedia peminjaman dana
bagi Uni Eropa guna menunjang kebutuhan proyek investasi
berkelanjutan yang berkontribusi dalam kebijakan Uni Eropa.
walaupun Bank Investasi Eropa bekerja dalam kawasan Eropa, tetapi
Bank Investasi Eropa menjadi investor terbesar di seluruh dunia.61
Adapun prioritas utama Bank Investasi Eropa dalam pembangunan
Eropa yaitu pada inovasi dan keahlian, pendanaan dalam usaha kecil,
iklim dan lingkungan hidup serta infrastruktur.62
3.) Penyelesaian Sengketa Regional Oleh Uni Eropa
Permasalahan yang sering melibatkan sebuah Organisasi Internasional
biasanya terjadi di dalam kawasan ataupun di luar kawasan organisasi
tersebut. Sengketa yang terjadi dalam kawasan tersebut biasanya melibatkan
antar negara anggota yang berselisih pendapat terkait keputusan-keputusan
yang dihasilkan oleh organisasi tersebut. Sedangkan permasalahan eksternal
biasanya melibatkan negara anggota dan negara non anggota organisasi
tersebut. Piagam PBB telah menetapkan peraturan yang memberikan
kewenangan terhadap organisasi regional untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi terhadap negara anggotanya.
Uni Eropa yang merupakan salah satu organisasi internasional besar di
dunia juga mengalami sengketa internal dan eksternal antar negara anggota
dan non anggota yang menjadi tugas utama Uni Eropa untuk
61
European Investment Bank, bag: The EU bank [ artikel online]; tersedia di http://www.eib.org/about/index.htm; diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 62
European Investment Bank, bag: Our Priorities [artikel online]; tersedia di http://www.eib.org/about/index.htm; diakses pada tanggal 18 Oktober 2017
31
menyelesaikannya. Salah satu peran Uni Eropa dalam menyelesaikan
sengketa yang terjadi adalah menjadi mediator dan menyediakan tempat
atau forum negosiasi bagi negara-negara anggota yang sedang dalam situasi
konflik ataupun yang berpotensi konflik. Dalam forum tersebut negara-
negara anggota dapat berkonsultasi dan sharing terkait langkah-langkah
yang akan diambil untuk memenuhi perdamaian bagi negaranya tanpa
melanggar hukum-hukum internasional yang ada. Uni Eropa juga berhak
menyelidiki konflik yang nantinya akan digunakan untuk merumuskan
sebuah resolusi untuk perdamaian.
Adapun cara yang dilakukan oleh Uni Eropa guna menyelesaikan atau
menanggulangi terjadinya konflik yang melibatkan negara anggotanya,
melalui:
1.) Jalur Alternatif63
Uni Eropa sebagai organisasi supranasional merancang sebuah
prosedur mediasi terhadap situasi konflik antara negara anggotanya.
Mediasi yang dilakukan oleh Uni Eropa guna meredam agar konflik
antar negara anggota tidak berujung pada kekerasan. Jika terdapat salah
satu negara anggota yang dianggap tidak melaksanakan kewajibannya
berdasarkan perjanjian tersebut, maka pemasalahannya dapat diajukan
kepada Komisi Eropa karena Komisi Eropa bertanggung jawab sebagai
mediator. Komisi Eropa akan memberikan beberapa saran dan opsi
terkait penyelesaian konflik tersebut kepada negara-negara yang
63
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 78
32
bersengketa dalam jangka waktu 3 bulan. Kerjasama negara anggota
yang berkonflik pun dibutuhkan dalam mediasi dengan cara
menyepakati saran yang diberikan oleh mediator.64
Jika ternyata
terdapat salah satu negara keberatan atas keputusan yang diberikan
Komisi Eropa, atau Komisi Eropa tidak dapat menghasilkan keputusan
dalam jangka waktu yg sudah ditentukan maka sengketa tersebut dapat
dibawa kepada jalur hukum.
2.) Jalur Hukum65
European Court of Justice merupakan forum debat antar-
kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang
dilakukan oleh negara-negara anggota dan lembaga komunitas dimana
para individu dapat melapor jika terjadi kinerja yang tidak sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan. Peran penting ECJ dalam
menjaga aturan hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian serta
keseimbangan antar anggota negaranya membuat ECJ berhak untuk
memutuskan permasalahan besar antar negara anggota ataupun
masarakatnya yang tidak bisa diselesaikan melalui jalur alternatif.
B. Traktat Lisbon Menjadi Dasar Hukum Negara-negara Anggota Uni
Eropa
Dalam kawasan Uni Eropa perlu adanya penerapan regulasi-regulasi
yang mengikat negara anggotanya karena melihat banyaknya anggota
64
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, hal. 78 65
Citizens Information, bag: Information [artikel online]; tersedia di http://www.citizensinformation.ie/en/government_in_ireland/european_government/eu_institutions/european_court_of_justice.html#la82be; diakses pada tanggal 28 Mei 2017
33
negara-negara besar yang memiliki potensi untuk mendominasi di wilayah
Eropa. Selain mewajibkan negara anggota untuk menerapkan hukum Uni
Eropa di negara masing-masing, perjanjian-perjanjian tersebut juga dibuat
untuk mendukung perkembangan kualitas lingkungan dan saling melindungi
antar warga negara Uni Eropa.66
Perangkat hukum di Uni Eropa wajib diterapkan dalam sistem hukum
nasional masing-masing negara anggota sebagai dasar negara tanpa perlu
diratifikasi kembali karena perjanjian-perjanjian tersebut adalah hasil dari
Perjanjian Uni Eropa sehingga negara anggota wajib untuk menegakkannya.
Uni Eropa telah banyak menghasilkan peraturan-peraturan hukum sejak
pertama kali terbentuk. Semakin banyaknya negara anggota yang bergabung
maka akan semakin rentan terjadinya masalah-masalah di dalamnya, salah
satunya dalam hal mengimplementasikan regulasi Uni Eropa yang harus
diterapkan secara sama rata.67
Kekuatan hukum nasional negara anggota
tidak dapat mengugurkan kewajiban negara anggota untuk mematuhi
apapun peraturan yang sudah ditetapkan dalam Hukum Uni Eropa.
Pembentukan Hukum Uni Eropa memiliki perjalanan yang panjang
untuk diratifikasi oleh seluruh negara anggota dan memiliki banyak revisi-
revisi di tiap poinnya sesuai dengan hasil musyawarah seluruh negara
anggota. Adapun perjanjian pertama pada saat pembentukan Uni Eropa
yaitu Treaty on European Union (TEU) yang mengubah Masyarakat Eropa
menjadi Uni Eropa yang ditandatangani pada 7 Februari 1992 dan mulai 66
Penelope Kent, Law of the European Union, (Harlow, United Kingdom: Pearson Education Limited, 2001), hal. 4 67
Penelope Kent, Law of the European Union, hal. 34
34
diberlakukan pada 1 November 1993. Setelah TEU, Dewan Eropa merevisi
perjanjian tersebut dan menghasilkan The Treaty of Amsterdam yang
disusun di Amsterdam pada 17 Juni 1997. Pada pertemuan tahun 2000 di
Nice, Dewan Eropa mengadopsi traktat baru yang diberlakukan mulai 1
Februari 2003 yaitu The Treaty of Nice. Adapun Traktat Konstitusi yang
ditandatangani pada tahun 2004 berisi tentang kepemilikan wewenang Uni
Eropa seperti sebuah negara. Tetapi Traktat tersebut gagal diratifikasi
karena banyaknya negara yag tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang
tercantum dalam perjanjian tersebut, dan akhirnya di bentuklah Traktat
Lisbon dan ditandatangani pada 13 Desember 2007. Pada awalnya, muncul
pro dan kontra terhadap Traktat Lisbon karena dinilai memiliki kemiripan
dengan Traktat Konstitusional yang gagal diratifikasi.68
Tetapi ada sebagian
dari mereka berpendapat bahwa Traktat Lisbon ini merupakan jalan tengah
bagi mereka yang setuju dan tidak setuju dengan isi dari Traktat
Konstitusional sebelumnya. Para pihak yang tidak setuju terhadap Traktat
Konstitusional beranggapan bahwa traktat tersebut terlalu memaksakan
dalam hal pengintegrasian Uni Eropa.69
Traktat Lisbon berfokus pada hak asasi manusia, perpindahan penduduk,
kejahatan internasional, meminimalisir pelanggaran-pelanggaran
68
CRS Report for Congress, “The European Union’s Reform Process: The Lisbon Treaty”, tersedia di https://digital.library.unt.edu/ark:/67531/metadc627052/m1/1/high_res_d/RS21618_2009Nov09.pdf diakses pada tanggal 28 Mei 2017 69
Giorgio Maganza, “The Lisbon Treaty: A Brief Outline”, Fordham International Law Journal, Volume 31, Issue 6, Article 2, 2007; tersedia di http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2124&context=ilj; diakses pada tanggal 28 Mei 2017
35
internasional yang akan melibatkan negara anggotanya, proses pengambilan
keputusan dan penyatuan suara Uni Eropa serta adanya transparansi dan
demokrasi. Transparansi dan demokrasi dapat dilihat dari semakin besarnya
pengaruh Parlemen Eropa dalam pembuatan kebijakan karena kebijakan-
kebijakan tersebut harus melalui persetujuan Parlemen Eropa dan Dewan
Eropa. Sedangkan legislasi nasional tiap negara memiliki hak untuk
menolak rancangan undang-undang yang bertentangan dengan keinginan
mereka. Selain Parlemen Eropa dan legislasi nasional negara anggota,
rakyat pun memiliki pengaruh besar dalam terbentuknya kebijakan-
kebijakan tersebut. Rakyat negara anggota dapat memberikan petisi terkait
pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah kepada
Komisi Eropa dan akan ditindak lanjuti oleh Komisi Eropa.70
Pembentukkan kebijakan-kebijakan yang akan diberlakukan dalam
kawasan Uni Eropa juga melalui proses pemungutan suara yang efisien
dalam Dewan Uni Eropa yang tidak mengharuskan adanya keputusan yang
bulat dalam sistem Qualified Major Voting (QMV) yaitu keputusan akan
tercapai jika telah disepakati oleh 55% suara dari seluruh negara anggota
(55% dari 28 anggota = 16 negara anggota) dan proposal didukung oleh
negara-negara anggota yang memiliki minimal 65% dari seluruh populasi di
Uni Eropa.71
70
AGE Platform Europe, “Introduction to the European Institutions and the European Union Policy-Making Processes of Relevance to Older People”, 3rd edition, March 2010; tersedia di http://www.age-platform.eu/images/stories/EN/CoverAGE/EN/brochure_eu_institutions_final-en.pdf; diakses pada tanggal 2 Juni 2017 71
European Parliament, “Changed rules for qualified majority voting in the Council of the EU”; tersedia di
36
1. Imigrasi Dalam Traktat Lisbon
Dalam kerjasama organisasi internasional, neoliberalis percaya bahwa
oganisasi internasional memiliki peran penting terciptanya kerjasama yang
baik karena adanya penerapan aturan-aturan di organisasi internasional
dalam bidang-bidang tertentu.72
Uni Eropa sebagai institusi internasional
telah mengatur kebijakan mengenai berbagai bidang di lingkup kawasan Uni
Eropa salah satunya kebijakan tentang migrasi yang dimuat dalam Traktat
Lisbon yang diratifikasi pada tahun 2007.73
Sebelum ditetapkannya Traktat Lisbon yang membahas mengenai
imigran, program Hague telah mengimplementasikan tujuannya seperti
membuka lapangan kerja untuk mengurangi jumlah pengangguran, sistem
bagi pengungsi umum, menghindari konflik dan kemiskinan serta upaya
membangun kerjasama antara negara asal dengan negara tujuan.74
Migrasi merupakan suatu pergerakan penduduk secara geografis atau
teritorial dengan berpindahnya tempat tinggal yaitu dari tempat asalnya ke
tempat tujuan. Ada dua jenis migrasi yaitu emigrasi internal dan imigrasi
internasional. Emigrasi merupakan perpindahan suatu penduduk dari tempat
asal ke tempat tujuannya ditinjau dari pandangan negara asalnya. Sedangkan
http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/ATAG/2014/545697/EPRS_ATA%282014%29545697_REV1_EN.pdf diakses pada tanggal 5 Agustus 2017 72
Robert Jackson and George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 154. 73
Treaty Of Lisbon, “Part Two: Non-discrimination and Citizenship of Union”, 2007, Article 21 number 1. 74
Joanne van Selm, “The Hague Progrram Reflects New European Relities”, Migation Policy Institute, 1 Januari 2005; tersedia di https://www.migrationpolicy.org/article/hague-program-reflects-new-european-realities; diakses pada 6 Agustus 2017
37
imigrasi adalah perpindahan suatu penduduk dari tempat asalnya ke tempat
tujuan ditinjau dari pandangan negara tujuannya.75
Perpindahan penduduk banyak didasari karena permasalahan internal
dalam suatu negara. Permasalahan yang biasa tejadi dalam suatu negara
seperti krisis kemanusiaan yang hampir tiap tahun memakan korban jiwa.
Berbagai motif yang melatari terjadinya krisis kemanusiaan seperti politis
ataupun ekonomi menyebabkan tidak seimbangnya hak dasar setiap warga
negara yang membuat warga negara merasa tidak aman di negaranya sendiri.
Masalah rezim pemerintah otoriter, terorisme, separatisme hingga
pembunuhan bahkan genosida menjadi masalah utama di negara-negara
yang lemah akan penegakan hak asasi manusia.76
Selain Hak Asasi Manusia yang memiliki tujuan untuk menghargai hak-
hak kaum minoritas77
, kebijakan terhadap perpindahan manusia, barang dan
jasa pun termuat dalam Traktat Lisbon. Perpindahan penduduk ke dalam
kawasan Eropa dibagi menjadi tiga jenis sesuai dengan kepentingan mereka,
yaitu:78
1. Imigran
Imigran merupakan warga negara yang berpindah tempat dengan
kemauannya sendiri tanpa ada urgensi apapun dan dalam jangka waktu yang
75
Said Rusli, Pengantar Ilmu Kependudukan, (Jakarta: LP3Es, 1981) 76
Adrian Edwards, “Global forced displacement hits record high”, UNHCR, 20 Juni 2016; tersedia di http://www.unhcr.org/news/latest/2016/6/5763b65a4/global-forced-displacement-hits-record-high.html; diakses pada 7 Agustus 2017 77
Council of Europe, “European Convention on Human Rights”, [database online]; tersedia di https://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf diakses pada 6 Agustus 2017 78
Alan Travis, “Migrants, refugees and asylum seekers: what’s the difference?”, The Guardian, 28 Agustus 2015; tersedia di https://www.theguardian.com/world/2015/aug/28/migrants-refugees-and-asylum-seekers-whats-the-difference; diakses pada 7 Agustus 2017
38
lama seperti berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Warga negara yang
berpindah tempat memiliki berbagai alasan seperti melanjutkan sekolah di
luar negeri atau ingin berkumpul dengan keluarga yang terlebih dahulu
sudah menetap di negara tujuan serta imigran dengan tujuan untuk mencari
pekerjaan yang lebih baik di negara tujuan.
Imigran biasanya sudah mendapatkan izin dari negara asal dan negara
tujuan dalam bentuk paspor dan visa sehingga statusnya jelas tetapi imigran
tetap memiliki hak yang berbeda dengan warga negara asli. Pemerintah
negara tujuan memperbolehkan para imigran untuk mengajukan
permohonan untuk berpindah kewaganegaraan menjadi penduduk tetap
dengan melengkapi syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah setempat.
Tetapi jika seorang imigran melanggar hukum yang berlaku di negara tujuan,
pemerintah berhak mendeportasi imigran tersebut ke negara asalnya.
2. Pencari Suaka
Pencari suaka adalah warga negara yang difasilitasi oleh United Nations
High Commisioner for Refugees (UNHCR) sebagai badan pengungsi dunia
untuk mendapat status yang jelas di negara tujuan serta memiliki izin resmi
yang menyatakan bahwa warga tersebut ingin mencari suaka di negara
tujuan. Dengan adanya fasilitas dari UNHCR dan izin resmi, maka para
pencari suaka tersebut dapat menikmati hak-hak nya seperti bebas mencari
pekerjaan dan lebih diterima di masyarakat sosial jika diterima oleh negara
tujuan.
3. Pengungsi
39
Berbeda dengan imigran dan pencari suaka, pengungsi merupakan
warga negara yang terpaksa berpindah ke negara lain dengan alasan
keamanan untuk dirinya sendiri. Biasanya warga negara yang mengungsi ke
negara lain berasal dari negara yang sedang berkonflik. Oleh karena itu
mereka berusaha untuk menyelamatkan diri bahkan terpaksa meninggalkan
harta bendanya dan berpisah dengan orang-orang terdekatnya.
Melalui Konvensi Pengungsi 1951, hak-hak pengungsi harus dilindungi
secara internasional. Negara yang didatangi oleh pengungsi harus
menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan oleh para
pengungsi seperti makanan, obat-obatan, tempat tinggal, dsb. Dalam
konvensi pengungsi juga dijelaskan bahwa dilaang memaksa seorang
pengungsi untuk kembali ke negara asalnya jika negara tersebut belum
secara resmi menyatakan bahwa konflik sudah berakhir dan kondisi sudah
aman.
Pada awalnya, migrasi penduduk ke Eropa memberikan keuntungan
bagi negara-negara Eropa karena membantu untuk meredakan isu
demogafi79
yang telah melanda Eropa yang menyebabkan Eropa kekurangan
tenaga kerja di lapangan. Munculnya isu demografi tersebut ditandai dengan
lebih sedikitnya jumlah penduduk di usia yg produktif dibanding penduduk
di usia tua. Isu demografi menjadi salah satu perhatian para petinggi Eropa
karena dampaknya dapat mempengaruhi berbagai sektor, sektor yang paling
79
Demografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kependudukan. Demografi menganalisis perkembangan kependudukan seperti ukuran, struktur dan distibusi penduduk serta perkembangan penduduk yang selalu berubah-ubah melalui angka kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk.
40
besar mengalami dampak tesebut yaitu sektor ekonomi. Namun karena
mudahnya keluar masuknya pendatang dari negara anggota lain, jumlah
imigran meningkat dengan pesat.80
Imigran yang datang biasanya berasal dari negara yang kondisi
perpolitikannya tidak stabil seperti Afghanistan, Suriah dan negara-negara
di Semenanjung Balkan.81
Meningkatnya jumlah imigran tersebut ditandai
oleh banyaknya jumlah pengungsi yang terlantar diberbagai penjuru negara
di Eropa. Para imigran datang melalui jalur yang berbeda-beda namun Laut
Mediterania menjadi jalur yang signifikan karena jalur tersebut merupakan
jalur utama para imigran untuk masuk ke kawasan Uni Eropa. oleh karena
itu Uni Eropa telah melakukan berbagai cara untuk mencegah
membeludaknya pengungsi yang masuk ke dalam kawasan Uni Eropa
seperti memperketat perbatasan menuju Eropa dengan cara meningkatkan
alokasi dana, mencegah adanya imigran ilegal, dan menetapkan kuota untuk
pencari suaka baru di Eropa yang bahkan menimbulkan pro dan kontra antar
anggota negaranya sendiri karena sebagian negara ada yang menerima dan
menolak adanya pencari suaka dari negara lain di negara mereka.82
80
European Commision, Demography Report 2010; Older, more numerous and diverse European, hal 13 81
European Asylum Support Office, “Annual Report on the Situation of Asylum in the European Union 2012”, [database online] Figure 13, hal 29; tersedia di https://www.easo.europa.eu/sites/default/files/EASO_AnnualReport%202012.pdf; diakses pada 6 Agustus 2017 82
Yeyen Rostiyani, “UE Susun Kuota Migran yang Baru”, Republika.com; tersedia di http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-koran/15/09/08/nucm8820-ue-susun-kuota-migran-yang-baru; diakses pada 6 Agustus 2017
41
BAB III
PELANGGARAN TREATY OF LISBON OLEH PERANCIS
TERHADAP KAUM ROMA
Permasalahan para pengungsi yang berpindah tempat dengan harapan untuk
lepas dari konflik yang melanda negaranya tidak selalu berjalan dengan lancar.
Selain hambatan yang dilalui saat proses masuk ke negara tujuan, terkadang para
pengungsi juga mengalami diskriminasi di tempat baru mereka oleh warga
setempat yang tidak terima adanya pengungsi di lingkungan tempat tinggal
mereka.
Diskriminasi merupakan suatu sikap yang dilakukan oleh pihak mayoritas
yang dominan secara tidak adil dan tidak bermoral terhadap seseorang atau
kelompok tertentu yang lemah atau biasa disebut pihak minoritas berdasarkan
karena perbedaan ras, agama, suku bangsa bahkan tingkatan sosial yang
menyebabkan pihak minoritas mengalami kerugian akibat perilaku tersebut.83
Diskriminasi dapat terjadi karena adanya prasangka dalam diri kita yang merasa
bahwa oang tersebut berbeda dengan kita. Kita sebagai makhluk sosial secara
alami memiliki keinginan untuk berkumpul dengan orang yang memiliki
kesamaan dengan kita. Prasangka-prasangka tersebut dapat menjadi semakin
parah dengan adanya stereotype tentang orang tersebut sehingga menimbulkan
pemikiran bahwa orang tersebut dan kelompoknya memiliki keburukan yang
sama. Dampak dari diskriminasi dapat menghilangkan hak-hak pihak minoritas
83
George A. Theodorson dan Achilles G. Theodorson, A Modern Disctionary of Sociology (London: Barnes & Noble Books, 1979), 115-116.
42
sebagai manusia dan tidak diakui oleh orang-orang sekitar.84
Kelompok minoritas
yang hingga saat ini masih mengalami perlakuan tidak adil adalah Kaum Gipsi
atau Kaum Roma.
A. Latar Belakang Kaum Roma
Kaum Roma atau yang biasa dikenal Kaum Gipsi memiliki banyak
sebutan yang berbeda-beda di tiap negara seperti Gypsy, Sinti, Wanderers,
Vagrants, Bohemians, Travellers, Zott, Luri, Nawar, Jats dan lainnya. Gipsi
sendiri berasal dari kata Adsincani, yang diambil dari kata dalam Bahasa
Yunani yaitu Atsinganoi dan kata tersebut telah diserap kedalam bahasa-
bahasa yang digunakan oleh negara-negara Eropa seperti Tsiganes
(Perancis), Czigan (Hungaria), Ciganos (Portugal), Gitano (Spanyol),
Zingari (Italia), Zigeuner (Jerman), dan sebagainya. Pada abad ke-11 era
bizantium terdapat tulisan yang membahas tentang macam-macam nama
Kaum Roma.85
Pada awal tahun 1900-an, masih ada yang berpendapat bahwa Kaum
Roma merupakan kaum yang berasal dari Mesir tetapi penelitian yang telah
dilakukan menemukan jawaban bahwa Kaum Roma berasal dari India.
84
Fulthoni, Renata Arianingtyas, Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Memahami Diskriminasi (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), 2009), hal. 5-6. 85
Karina Bates, “A Brief History of the Rom”, tersedia di https://www.sca.org/ti/articles/2002/issue144/rom.pdf; diakses pada tanggal 15 Juli 2018
43
Gambar I.Gypsy People in Europe86
Terlihat dari gambar diatas menunjukkan bahwa Kaum Roma
merupakan kelompok orang-orang minoritas yang menurut banyak orang
berasal dari India Utara karena kemiripan bahasa dan aksen berbicaranya
dengan masyarakat India.87
Kaum Roma telah mulai meninggalkan India
pada akhir abad ke-12.88
Menurut pakar biologi evolusi dari Pompeu Fabra
University di Barcelona, David Comas, penelitian genetik sudah beberapa
kali dilakukan dan hasilnya merujuk pada Kaum Roma berasal dari India,
tetapi masih belum jelas Kaum Roma berasal dari India bagian mana. Kaum
Roma berpindah ke balkan dan pada akhirnya menyebar di kawasan Eropa
86
The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2011/feb/25/truth-about-gypsy-traveller-life-women 87
Donald Kenrick, Gypsies: from the Ganges to the Thames (UK: University of Hertfordshire Press, 2004), hal. 3 88
Council of Europe, “Project Education of Roma Children in Europe: From India to Europe”, hal. 8; tersedia di http://www.romsintimemory.it/assets/files/conosciamo_rom_sinti/la_storia/1.0_india-europe_english-1.pdf; diakses pada 7 Agustus 2017
44
pada 1500 tahun yang lalu.89
Kaum ini memiliki ciri khas suka berpindah-
pindah tempat alias nomaden dan tinggal di dalam karavan. Mereka memilih
hidup di dalam karavan dengan alasan untuk mempermudah pada saat
mereka berpindah tempat karena mereka tidak pernah menetap disuatu
tempat dalam waktu yang lama.90
Kaum Roma yang memiliki kebiasaan
untuk berpindah-pindah tempat tinggal dan kebiasaan mengadopsi agama-
agama tergantung dari tempat tinggal yang mereka datangi. Oleh karena itu
Kaum Roma memiliki banyak perbedaan agama seperti Kristen, Katolik,
Kristen Orthodox bahkan Muslim. Kaum Roma juga melakukan ritual
membakar barang-barang peninggalan orang yang baru meninggal seperti
kebiasaan orang Hindu. Tetapi agama yang mendominasi di dalam
kelompok Kaum Roma adalah Kristen Orthodox.91
Pada akhir abad ke-15, para Kaum Roma diketahui sudah mulai
berpindah memasuki kawasan Eropa. Setelah sampai di Eropa, sebagian
besar populasi Kaum Roma yang dikenal dengan „Balkan Gypsies‟ menetap
di Balkan dan „Vlax Roma‟ yang memilih untuk menetap di Rumania yang
pada saat itu dikenal dengan nama Wallachia serta Kaum Roma yang
89
Sindya N. Bhanoo, “Genomic Study Traces Roma to Northern India”, The New Yor Times, 10 Desember 2012; tersedia di https://www.nytimes.com/2012/12/11/science/genomic-study-traces-roma-to-northern-india.html; diakses pada 7 Agustus 2017 90
IDNews, “Asal Muasal Kaum Gipsy”, 7 April 2017; tersedia di http://www.apakabardunia.com/2012/12/dari-mana-asal-muasal-orang-gypsy.html; diakses pada 7 Agustus 2017 91
Donald Kenrick, Historical Dictionaries of the Gypsies (Romanies), 2nd
Edition, (United States: Scarecrow Press, Inc, 2007), page. 211
45
lainnya melanjutkan perjalanannya ke negara-negara lain.92
. Total populasi
Kaum Roma yang berada di kawasan Eropa hingga tahun 2001 diperkirakan
mencapai 4 juta hingga 10 juta jiwa dengan presentase terbesar berada pada
Eropa Tengah.93
Kaum Roma merupakan kelompok minoritas terbesar di Eropa dengan
jumlah populasi yang saat ini diperkirakan mencapai 10 hingga 12 juta
jiwa.94
Mereka tidak memiliki kewarganegaraan dan bukanlah kaum
mayoritas di negara manapun.95
Cukup sulit untuk menentukan jumlah
populasi kaum Roma secara spesifik karena stigma negatif tentang mereka
yang tidak dapat dihilangkan membuat kaum Roma menutup diri dan sulit
berinteraksi. Beberapa negara yang kemungkinan memiliki jumlah populasi
kaum Roma lebih dari 5% secara keseluruhan yaitu Bulgaria, Hungaria,
Rumania, Serbia, Yugoslavia, dan Slovakia. Bahkan di Bulgaria, Rumania
dan Slovakia terdapat komunitas kaum Roma yang memiliki jumlah
populasi hampir 10% dari populasi umum.96
92
Bharti Morar, et al., “Mutation History of the Roma/Gypsies”, American Journal of Human Genetics, Volume 75, Issue 4, October 2004, hal. 597; tersedia di https://www.cell.com/ajhg/pdf/S0002-9297(07)62711-6.pdf; diakses pada 7 Agustus 2017 93
David Gresham, et al., “Origins and Divergence of the Roma (Gypsies)”, American Journal of Human Genetics, Volume 69, Issue 6 (Desember 2001): 1314; tersedia di https://www.cell.com/ajhg/pdf/S0002-9297(07)61261-0.pdf; diakses pada 7 Agustus 2017 94
European Commision, “Roma Integration in EU Countries”; tersedia di https://ec.europa.eu/info/policies/justice-and-fundamental-rights/combatting-discrimination/roma-and-eu/roma-integration-eu-countries_en; diakses pada 7 Agustus 2017 95
Adam M. Warnke, “Vagabonds, Tinkers and Travelers: Statelessness Among the East European Roma”, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 7, Issue 1, Article 13 (1999): 352; tersedia di https://www.repository.law.indiana.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1180&context=ijgls; diakses pada 7 Agustus 2017 96
Claude Cahn dan Prof. Elspeth Guild, “Recent Migration of Roma in Europe”, Organization for Security and Co-operation in Europe, 2nd edition (October 2010): 35; tersedia di https://www.osce.org/hcnm/78034?download=true; diakses pada 7 Agustus 2017
46
Uni Eropa sendiri telah mengembangkan undang-undang terkait
kewarganegaraan. Warga Uni Eropa memiliki dua hak yaitu sebagai hak
dasar dalam negaranya dan hak dalam kawasan Uni Eropa. Jika terdapat
penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan dalam suatu negara dan
negara tersebut bergabung dengan Uni Eropa, individu tersebut memiliki
kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraannya dan mendapatkan hak
dasar hukum.
Kaum Roma juga merupakan kelompok etnis minoritas termiskin di
Uni Eropa dibanding dengan kelompok lainnya. Dalam beberapa kasus,
tingkat kemiskinan kaum Roma lebih dari 10 kali dari kelompok-kelompok
lainnya.97
Menurut survei yang dilakukan, hampir 80% kaum Roma yang
berada di Bulgaria dan Rumania dalam sehari hanya hidup dengan biaya 4,3
dollar.98
Orang-orang Roma memiliki tingkat buta huruf yang tinggi dan
sulitnya mencari pekerjaan karena faktor diskriminasi ini lah yang
menyebabkan tinggi pula tingkat pengangguran Kaum Roma di Uni
Eropa.99
Kurangnya pendidikan yang diterima oleh kaum Roma disebabkan
karena banyaknya sekolah-sekolah yang memberikan perlakuan berbeda
terhadap anak-anak dari kelompok Roma.100
Dan bahkan di wilayah Eropa
Timur, anak-anak Roma diberikan kelas yang berbeda dengan anak-anak
lainnya yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi. Kelas yang
97
Dena Ringold, Roma in Expanding Europe, 2. 98
Dena Ringold, Roma in ExpandingEurope, bag: Overview 99
Helen O’Nions, Human Rights and the Legal Wrongs: the Roma in Europe (United States: ProQuest, 2013), 9. 100
Jack Greenberg, “Report on Roma Education Today: From Slavery to Segregation and Beyond”, Columbia Law Review, Vol. 110, No. 4 (Mei 2010): 928-929.
47
berisi anak-anak Roma memiliki standar pendidikan yang rendah bahkan
hampir tidak ada pendidikan ke tingkat lanjut.101
Selain rendahnya
pendidikan yang menyebabkan bertambahnya pengangguran, tingkat
harapan hidup kaum Roma pun semakin rendah ditambah tingginya tingkat
kematian bayi dibanding orang Eropa lainnya karena faktor tidak adilnya
dalam menerima pelayanan kesehatan.102
Oleh karena itu kaum Roma
memilih untuk memisahkan diri dan tinggal di tempat-tempat yang jauh
dibawah standard minimum layak huni.103
Sejak tahun 1999, Perancis banyak menerima imigran dari negara-
negara yang berada di Eropa Timur. Italia yang menjadi salah satu negara
dari Eropa Timur menjadi gerbang masuk para imigran yang ingin menuju
ke Perancis. Imigran-imigran yang berasal dari Afrika dan Timur Tengah
yang ingin menuju Perancis akan melewati Italia dan Laut Mediterania
karena letak geografis Perancis yang bersebelahan dengan dua kawasan
tersebut. Walaupun Perancis terkenal dengan keterbukaannya terhadap
imigran yang ingin memasuki negaranya, tetapi Perancis juga dikenal
sebagai negara yang memiliki tingkat diskriminasi yang tinggi terhadap
imigran.
Adanya imigran yang berasal dari Afrika Utara tersebut menjadi satu
permasalahan penting di Perancis karena menurut Institut Nasional d’Etudes
Demographiques jumlah imigran yang berasal dari Afrika Utara mencapai
101
Cahn, “Recent Migration of Roma in Europe”, 71. 102
Helen O’Nions, Human Rights and the Legal Wrongs: the Roma in Europe, 301. 103
European Union Agency For Fundamental Rights, “Poverty and Employment: the situation of Roma in 11 EU Member States”, 2014, hal. 3.
48
1,5 juta jiwa pada tahun 2005. Imigran yang memiliki latar belakang yang
berbeda dengan warga asli Perancis tersebut menimbulkan adanya
pengkotak-kotakan diantara masyarakat Perancis dan para imigran. Sulitnya
penyatuan antara warga negara Perancis dengan imigran tersebut karena
tidak semua warga Perancis menerima kedatangan imigran tersebut, hal itu
pula yang menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat Perancis
karena adanya kecemburuan sosial.104
B. Pelanggaran Konvensi Hak Asasi Manusia oleh Perancis
Diskriminasi yang timbul ditengah-tengah masyarakat Perancis sangat
terasa oleh kaum Roma. Kaum Roma tidak hanya mendapat perlakuan tidak
adil dari warga Perancis saja tetapi juga dari Pemerintah Perancis. Tindakan
Perancis tersebut sangat memprihatinkan karena kaum Roma merupakan
kelompok etnis minoritas paling rentan di Uni Eropa.105
Konflik mulai terjadi saat seorang pemuda berusia 22 tahun bernama
Luigi Duquenet yang berasal dari kelompok Etnis Roma melakukan
penerobosan terhadap pos pemeriksaan polisi dan dihentikan dengan
tembakan oleh polisi setempat yang tepat mengenai Duquenet yang
menyebabkan Duquenet meninggal dunia. Alasan Duquenet melakukan
penerobosan karena ia tidak memiliki surat izin mengemudi dan menghindar
104
Fudzcha Putri Jazilah. MM, Djoko Susilo dan Linda Dwi Eriyanti, “Kepentingan Nicolas Sarkozy Dalam Pembuatan Kebijakan Imigrasi di Perancis”, Universitas Jember, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa (2012): 1. 105
“Orang-orang ‘Roma’ Diusir Sarkozy”, Kompas.com, 20 Agustus 2010; tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2010/08/20/03242449/orang-orang.quotromaquot.diusir.sarkozy; diakses pada 7 Agustus 2017
49
dari pemeriksaan polisi.106
Kaum Roma pun melakukan aksi protes terkait
peristiwa penembakkan oleh oknum polisi terhadap salah satu orang dalam
kelompoknya.107
Setelah peristiwa tersebut, pada tahun 2010 Presiden Sarkozy
mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mendeportasi kaum Roma ke negara
asal mereka. Sarkozy melakukan penggusuran terhadap kamp-kamp tempat
tinggal kaum Roma.108
Pada pendeportasian pertama, Perancis berhasil
memulangkan 700 orang kaum Roma yang direncanakan akan selesai pada
akhir Agustus 2010 dan pada akhir 2010 akan dilakukan pembongkaran
sebanyak 600 kamp ilegal Roma di Perancis.109
Sebagian besar kaum Roma
yang tinggal di kamp-kamp tersebut merupakan imigran yang baru masuk
ke wilayah Perancis yang berasal dari Bulgaria dan Rumania dan belum
resmi menjadi warga tetap di Perancis.110
Perancis mengusir 10.000 imigran
Roma dari kamp-kamp yang berada di wilayah yang secara hukum tidak
boleh ditempati. Setiap orang dewasa yang bersedia untuk pergi
meninggalkan Perancis akan diberikan uang sebesar 300 Euro.111
Bahkan
pelanggaran HAM pun terjadi di tempat ibadah. Terdapat 13 orang Roma
yang sudah selama satu dekade tinggal di Perancis dan selalu berpindah-
pindah tempat karena tidak adanya izin tinggal di suatu tempat. Ke-13 oang
106
Q&A: France Roma Expulsion, BBC News, Loc. cit 107
Gavin Hewitt, “The Roma Repatriation”, Loc. cit. 108
Gavin Hewitt, “The Roma Repatriation”, Loc. cit 109
Bruce Crumley , “France Deports Gypsies: Courting the Xenophobes”, Time, 19 Agustus 2010; tersedia di http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2011848,00.html; diakses pada 9 Agustus 2017 110
BBC, “France Rounds up Hundreds of Roma”, BBC News, 12 Agustus 2010; tersedia di http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10955717; diakses pada 9 Agustus 2017 111
Crumley , “France Deports Gypsies: Courting the Xenophobes”, loc. cit.
50
Roma tersebut diusir dari dalam gereja St. Nicolas de St-Maur-de-Fosses
dan tidak diperbolehkan untuk menginap karena sang pastur telah
menandatangani perintah pengusiran kaum Roma.112
Kebijakan pendeportasian kaum Roma yang dimulai pada tahun 2010
tersebut telah melanggar peraturan Uni Eropa terkait Hak Asasi Manusia
yag meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, harga diri, keadilan dan
kesetaraan terhadap kaum minoritas. Dalam European Convention on
Human Rights, Perancis dengan jelas sudah melanggar Pasal 4 tentang non-
diskriminasi terkait diskriminasi terhadap kaum Roma berdasarkan ras,
warna kulit, dan keanggotaan dalam kelompok minoritas.113
Dan jika ada
kaum Roma yang merupakan imigran ilegal, Pemerintah Perancis harus
memeriksa dokumen setiap orang Roma dan tidak mendeportasi secara
keseluruhan.114
Kelompok Roma sangat dirugikan dalam menentukan
tempat tinggal bahkan otoritas pendidikan pun tidak adil dalam memberikan
pendidikan terhadap warga Roma.
Uni Eropa sebagai organisasi internasional yang memiliki banyak
negara anggota yang cukup diakui dan diperhitungkan di dunia dalam skala
ekonomi dan kedaulatannya, Uni Eropa membuat kesepakatan untuk
112
Steven Erlanger, “France: Roma Expelled From Church”, The New York Times, 5 November 2010; tersedia di https://www.nytimes.com/2010/11/06/world/europe/06briefs-ROMA.html?rref=collection%2Fbyline%2Fsteven-erlanger&action=click&contentCollection=undefined®ion=stream&module=stream_unit&version=search&contentPlacement=1&pgtype=collection; diakses pada 10 Desember 2017 113
European Convention on Human Rights, Article 14; tersedia di https://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf; diakses pada 10 Agustus 2017 114
Claire Suddath, “Who Are Gypsies, and Why is France Seporting Them?”, TIME, 26 Agustus 2010; tersedia di http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2013917,00.html; diakses pada 8 Desember 2017
51
mempermudah alur migrasi di negara-negara kawasan Eropa yang
dinamakan Schengen Agreement. Perjanjian Schengen merupakan perjanjian
teritorial yang ditandatangani pada tahun 1985 dan mulai diberlakukan pada
tahun 1990 tentang diperbolehkannya perpindahan warga Eropa dari satu
negara ke negara lainnya dalam kawasan Uni Eropa dan Negara-negara
yang berada di luar kawasan Uni Eropa yang menyepakati dan
memberlakukan perjanjian tersebut di negaranya disebut Schengen Area.
Melalui aksi diskriminatif tersebut, Perancis juga telah mendapatkan
teguran dari Robert Kushen selaku Direktur Eksekutif European Roma
Rights Centre (ERRC) melalui surat resmi yang ditujukan langsung kepada
Presiden Sarkozy.115
ERRC menghimbau Perancis untuk menarik kembali
kebijakan tersebut, menghentikan pengusiran terhadap kelompok-kelompok
tertentu tanpa adanya penyediaan tempat tinggal yang layak sebelumnya,
memberikan alasan pengusiran dan waktu tenggang selama satu bulan untuk
meninggalkan wilayah dan memberikan kesempatan kepada para imigran
untuk mengajukan banding.116
Presiden Sarkozy memberikan waktu 3 bulan
untuk menggusur 300 kamp atau pemukiman ilegal terutama pemukiman
kaum Roma.117
115
Letter from Robert Kushen to Nicolas Sarkozy; tersedia di http://www.errc.org/uploads/upload_en/file/france-sarkozy-evictions-expulsions-july-2010.pdf; diakses pada 9 Agustus 2017 116
Letter from Robert Kushen to Nicolas Sarkozy, loc. Cit. 117
Stephen Castle & Katrin Bennhold, “Dispute Grows over France’s Removal of Roma Camps”, New York Times, 16 September 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/09/17/world/europe/17union.html?scp=22&sq=roma&st=cse; diakses pada 9 Agustus 2017
52
Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Perancis, Presiden
Sarkozy membantah bahwa ia telah melanggar peraturan yang sudah
ditetapkan oleh Uni Eropa. Sarkozy berpendapat bahwa pendeportasiannya
tersebut berdasarkan atas relawan dari kaum Roma, ia menegaskan bahwa
pendeportasian tersebut tidak ada kaitannya dengan diskriminatif terhadap
kelompok-kelompok tertentu.118
Pendeportasian tersebut dilakukan terhadap
imigran yang melakukan aktivitas di wilayah Perancis secara ilegal.119
Warga yang melanggar hukum di Perancis atau terbukti melakukan
kejahatan akan langsung dideportasi ke negara asalnya. Selain itu, warga
Roma yang masih diperbolehkan untuk tinggal di Perancis diwajibkan untuk
mencari tempat tinggal yang baru tetapi tidak berlangsung lama karena
Pemerintah Perancis tetap akan mendeportasi mereka.120
Melalui kebijakan pendeportasian tersebut, Perancis berada di tengah-
tengah masalah karena telah memperlakukan kaum minoritas dengan tidak
layak.121
Tetapi Perancis tetap melakukan pendeportasian terhadap kaum
Roma walaupun mendapatkan kecaman keras melalui dalam negeri, Uni
Eropa bahkan PBB.122
United Nation Human Rights Council menyatakan
118
Doreen Carvajal, “France Vows to Continue Deporting Roma”, New York Times, 25 Agustus 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/08/26/world/europe/26iht-roma.html; diakses pada 9 Agustus 2017 119
Carvajal, “France Vows to Continue Deporting Roma”, loc. cit. 120
Ayu Purwaningsih, “Warga Etnis Roma Mulai Diusir dari Perancis”, DW.com, 13 Agustus 2010; tersdia di http://www.dw.com/id/warga-etnis-roma-mulai-diusir-dari-perancis/a-5908014; diakses pada 7 Agustus 2017 121
“EU: A Key Intervention in Roma Expulsions” Human Rights Watch, 14 September 2010; tersedia di https://www.hrw.org/news/2010/09/14/eu-key-intervention-roma-expulsions; diakses pada 9 Agustus 2017 122
Kim Willsher, “France’s deportation of Roma shown to be illegal in leaked memo, say critics”, The Guardian, 13 September 2010; tersedia di
53
keprihatinannya atas diskriminasi rasial yang meluas di Perancis. Bahkan
Paus Benediktus XVI juga menyampaikan kritikannya melalui Castel
Gandolfo terhadap kebijakan imigran yang dibuat oleh Sarkozy.123
Pihak
oposisi dan organisasi hak asasi manusia mengecam tindakan rasis dan
kasar yang dilakukan oleh Sarkozy terhadap kaum Roma yang selalu
menjadi target negatif di Eropa.124
Sarkozy juga dituding melakukan
penggusuran kaum Roma tersebut karena memiliki kepentingan pribadi
yaitu mencari dukungan dari pemilih sayap kanan yang setuju dengan
adanya kebijakan tersebut pada saat pemilihan Presiden Perancis yang akan
datang.125
https://www.theguardian.com/world/2010/sep/13/france-deportation-roma-illegal-memo; diakses pada 10 Desember 2017 123
Suddath, “Who Are Gypsies, and Why is France Deporting Them?”, loc. Cit. 124
Crumley , “France Deports Gypsies: Courting the Xenophobes”, loc. cit. 125
Steven Erlanger, “Expulsion of Roma Raises Questions in France”, New Yok Times, 19 Agustus 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/08/20/world/europe/20france.html; diakses pada 9 Agustus 2017
54
BAB IV
ANALISA UPAYA UNI EROPA TERHADAP SIKAP PERANCIS
TERKAIT PELANGGARAN TRAKTAT LISBON
Bab ini akan menganalisa tentang sikap atau respon yang akan dilakukan
oleh Uni Eropa terkait isu pendeportasian kaum minoritas Roma yang juga
merupakan masyarakat Uni Eropa di negara Perancis. Pada tahun 2010, saat masa
kepemimpinan Nicolas Sarkozy, Perancis mengeluarkan sebuah kebijakan
pendeportasian untuk kaum Roma. Sebagaimana diketahui bahwa imigran kaum
Roma yang masuk ke dalam Perancis merupakan warga yang tidak memiliki
kewarganegaraan dan Rumania menjadi negara sebelum kaum tersebut memasuki
kawasan Perancis. Perlakuan yang diterima oleh kaum Roma adalah salah satu
bentuk diskriminasi antar masyarakat Uni Eropa dan merupakan sebuah
pelanggaran HAM dimana Uni Eropa sangat menjunjung tinggi hak-hak di setiap
warga negaranya.
Analisa didasarkan pada perspektif liberal institusional dimana perspektif
tersebut memiliki kesimpulan bahwa cara menuju perdamaian dan kesejahteraan
dapat dicapai jika negara-negara memusatkan sumber-sumbernya dan bahkan jika
mungkin membagi sebagian kedaulatannya agar komunitas yang terintegrasi dapat
terbentuk, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan atau masalah-
masalah bersama di kawasan regional dapat diselesaikan.126
Uni Eropa sebagai
organisasi internasional juga dapat menjadi mediator bagi pihak-pihak yang
126
John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics, An introduction to international relations, 2
nd Edition (New York: Oxford University Press, 2001), 182-199.
55
bermasalah di dalam kawasan Uni Eropa. Seperti hal nya kasus pengusiran kaum
minoritas Roma dari negara Perancis, Uni Eropa dapat melakukan tindakan
kepada negara tersebut berdasarkan pelanggaran terhadap Konvensi Hak Asasi
Manusia.
A. Upaya Uni Eropa Untuk Menyelesaikan Sengketa
1. Teguran
Teguran yang disampaikan oleh Uni Eropa kepada Perancis terkait
pendeportasian kaum Roma tersebut merupakan salah satu upaya untuk
meredam peningkatan jumlah imigran yang diusir dari Perancis. Perancis
mengusir kaum Roma dari negaranya dan membuat sebuah kebijakan
pendeportasian kaum Roma berawal dari seseorang yang berasal dari kaum
Roma yang melakukan tindakan kriminal di dalam kawasan Perancis.
Menurut Uni Eropa, kaum Roma yang melakukan tindak kejahatan tersebut
merupakan oknum yang tidak bertanggung jawab. Uni Eropa berpendapat
bahwa kebijakan pendeportasian terhadap kaum Roma yang ditetapkan oleh
Perancis dengan alasan tersebut tidaklah adil karena tidak seluruh kaum
Roma melakukan tindak kriminal di wilayah Perancis.
Selain itu pula, kebijakan yang ditetapkan oleh Perancis sangat bertolak
belakang dengan peraturan dasar Uni Eropa yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Perancis yang merupakan warga negara Uni Eropa sudah
seharusnya menerapkan kebijakan Uni Eropa yang melarang adanya
tindakan diskriminasi terhadap warga negara Uni Eropa maupun non-
member. Dengan membelotnya Perancis dari peraturan dasar Uni Eropa
56
membuat negara-negara anggota lainnya bahkan negara-negara di belahan
dunia lainnya memandang rendah Perancis dan negara-negara anggota
lainnya dapat melaporkan tindakan Perancis tersebut ke Mahkamah Uni
Eropa untuk ditindaklanjuti.
2. Diplomasi Internal
Diplomasi internal merupakan cara yang dilakukan agar mencegah
adanya campur tangan langsung dari negara-negara besar dalam konflik
yang sedang terjadi dengan cara menyelesaikan persoalannya sendiri atau
dalam lingkup regional. Diplomasi internal juga memiliki tiga tujuan utama
yaitu mencegah atau menyelesaikan konflik antar negara atau konflik antara
pemerintah dengan kelompok-kelompok minoritas di suatu negara, untuk
memberikan solusi terhadap perselisihan yang terjadi di antara dua atau
lebih pihak agar tidak menjadi konflik terbuka dan meminimalisir
meluasnya sebuah masalah jika benar-benar terjadi konflik di dalam
kawasan regional.127
Dalam kasus ini, Uni Eropa yang mengecam tindakan Perancis yang
melanggar peraturan yang telah ditetapkan Uni Eropa pelanggaran hak asasi
manusia dengan mendiskriminasi dalam hal lingkungan sosial, pekerjaan,
kesehatan bahkan pendidikan berusaha untuk mencegah adanya campur
tangan negara-negara besar yang ingin mencapai kepentingan nasionalnya
melalui konflik internal yang terjadi antara negara anggota Uni Eropa
dengan melakukan diplomasi internal. Uni Eropa telah melakukan
127
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi: Antara Teori & Praktik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), 161-162.
57
peacemaking melalui diplomasi internal antara Perancis dengan kaum
minoritas Roma.128
a) Mediasi
Mediasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan
antar dua atau lebih pihak yang bersengketa agar tidak berujung pada
kekerasan atau meminimalisir kekerasan yang sudah terlanjur terjadi.129
Proses mediasi yang dilakukan oleh dua belah pihak yang bermasalah
membutuhkan pihak ketiga sebagai mediator. Mediator bisa dari individu,
negara ataupun organisasi internasional. Mediator berfungsi sebagai
pemimpin di dalam perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa. Oleh
karena itu mediator harus bersikap netral dan tidak memihak di salah satu
pihak yang bersengketa. Mediator juga dapat memberikan usul dan jalan
keluar berdasarkan asas hukum atau asas diluar hukum agar para pihak yang
bersengketa dapat berunding dan menyelesaikan sengketa dengan
menghasilkan sebuah keputusan antar dua belah pihak agar tidak merasa
terpaksa saat menerima usulan dari sang mediator.130
Keberhasilan sebuah proses mediasi tidak terlepas dari kepercayaan
kedua belah pihak yang bersengketa terhadap proses mediasi tersebut.
Fungsi mediator dapat menjadi sumber info bagi kedua pihak yang
membutuhkan tetapi mediator juga harus bisa menjaga kerahasiaan kedua
belah pihak yang bersengketa. Dengan menjadi sumber informasi bagi
128
BBC, “EU warns France of action over Roma”, BBC News, 29 September 2010; tersedia di https://www.bbc.com/news/world-europe-11437361; diakses pada 7 Juni 2018 129
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 78. 130
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: UI Press, 2006), 16.
58
kedua belah pihak, mediator dapat mengetahui informasi dari dua pihak
sekaligus. Dengan adanya informasi yang cukup, mediator harus berusaha
untuk memperhatikan kepentingan dari dua pihak yang bersengketa agar
tidak ada yang merasa dirugikan.
Mediator memiliki fungsi sebagai penghubung jika kedua pihak ingin
memmbuat perundingan. Selain berfungsi sebagai penghubung, mediator
juga harus bisa menghilangkan suasana tegang antara pihak yang
besengketa. Jika pihak yang besengketa telah melakukan pertemuan untuk
berunding, mediator dapat membawa kedua pihak untuk membuat
keputusan yang sama-sama tidak merugikan salah satu pihak. Seperti hal
nya Uni Eropa sebagai organisasi supranasional yang memiliki warga
negara yang tidak sedikit harus bisa menjadi mediator yang baik untuk
warga negaranya. Uni Eropa dapat memfasilitasi Perancis dan kaum Roma
untuk berunding agar dapa menyelesaikan permasalahan imigran tanpa
melalui cara-cara yang kasar.
Hak Asasi Manusia merupakan hal terpenting dalam keberlangsungan
hidup seseorang. Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang layak
seperti diakui oleh orang lain sebagai masyarakat yang baik, memiliki
pekerjaan yang tetap, mendapatkan pendidikan sesuai standar yang berlaku,
bebas memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing dan hidup rukun
dengan tetangga. Tak terkecuali kaum Roma. Kaum Roma yang bermigrasi
ke Perancis menginginkan kehidupan yang lebih baik. Pengusiran masal
suatu kelompok atau etnis tertentu merupakan pelanggaran dibawah hukum
59
yang berlaku di Uni Eropa131
. Kebijakan yang dikeluarkan pada masa
pemerintahan Nicolas Sarkozy tersebut telah melanggar hukum Uni Eropa
serta hukum hak asasi manusia karena pendeportasian tersebut menargetkan
kepada kelompok minoritas, bukan karena adanya kegiatan ilegal yang
dilakukan oleh kaum Roma.
Setelah tersebarnya surat mengenai rencana Sarkozy dari salah satu
media Perancis untuk mengkhususkan mengusir kaum Roma dari Perancis,
Uni Eropa pun mengecam tindakan yang dilakukan oleh Perancis terhadap
kaum Roma. Vivianne Reding selaku Komisaris Kehakiman Uni Eropa
menganggap bahwa aksi pendeportasian tersebut sebagai aib Uni Eropa.
Terkait isu pendeportasian tersebut, Uni Eropa telah mengajukan beberapa
pertanyaan mengenai kebijakan terhadap warga Roma.132
Reding yang
mengecam tindakan Perancis terhadap kaum Roma juga memberikan
pernyataan, seperti:
Nobody should face expulsion just for being Roma. Some of the
rhetoric that has been used in some member states in the past
weeks has been openly discriminatory and partly
inflammatory.133
I have been appalled by a situation which gave the impression
that people are being removed from a member state just because
they belong to certain ethnic minority. This is situation I had
131
Steven Erlanger, “Expulsion of Roma Raises Questions in France”, The New York Times, 19 Agustus 2010; tersedia di http://www.nytimes.com/2010/08/20/world/europe/20france.html; diakses pada 2 Februari 2018 132
VOA, “UE Selidiki Pengusiran Warga Gipsi oleh Perancis”, VOA, 29 September 2010; tersedia di https://www.voaindonesia.com/a/ue-selidiki-pengusiran-warga-gipsi-oleh-perancis-104029849/84293.html; diakses pada 4 Februari 2018 133
Ian Traynor, “France defends Roma Expulsions”, The Guardian, 31 Agustus 2010; tersedia di https://www.theguardian.com/world/2010/aug/31/france-defends-roma-expulsions; diakses pada 5 Februari 2018
60
thought Europe would not have to witness again after the
second world war.134
Seperti yang dijabarkan dalam pandangan liberal institusional bahwa
Uni Eropa sebagai organisasi internasional memiliki peran penting dalam
penyelesaian masalah antara Perancis dengan kaum Roma. Uni Eropa
bertanggung jawab sebagai mediator untuk meredakan ketegangan Perancis
dan kaum Roma. Dengan adanya Konvensi Eropa tentang Hak Asasi
Manusia tentang pelarangan perlakuan diskriminatif, Uni Eropa harus
berusaha untuk menyediakan wadah dan membuat kedua pihak yang
bersengketa agar percaya bahwa permasalahan pengusiran kaum Roma ini
dapat diselesaikan dengan bantuan campur tangan Uni Eropa.
3. Perubahan Sikap Perancis Pasca Ancaman dari Uni Eropa
Komisi Eropa telah memberikan waktu selama dua minggu terhitung
dari 29 September 2010 kepada Perancis untuk melaksanakan poin-poin
peraturan yang tercantum dalam Traktat Lisbon mengenai kebebasan
berpindah tempat. Uni Eropa memberikan peringatan kepada Perancis
dalam bentuk surat dari Komisi Eropa untuk membatalkan kebijakan terkait
pengusiran kaum Roma yang merupakan imigran minoritas di Perancis.
Komisi Eropa telah setuju untuk memberikan waktu hingga 15 Oktober
2010 kepada Perancis untuk menarik kembali kebijakan tersebut dan
memperbaiki sikap Perancis yang tidak patuh dengan hukum dasar Uni
Eropa dengan tidak menghargai hak-hak dasar kaum Roma sebagai manusia 134
Ian Traynor, “Roma deportations by France a disgrace, says EU”, The Guardian, 14 September 2010; tersedia di https://www.theguardian.com/world/2010/sep/14/roma-deportations-france-eu-disgrace; diakses pada 16 April 2018
61
yang seharusnya mendapatkan hak hidup dengan tenang sesuai dengan
peraturan Konvensi Hak Asasi Manusia sebagai warga negara Uni Eropa
dan kaum minoritas. Dan jika Perancis tidak mengindahkan utimatum
tersebut, permasalahan Perancis dan kaum Roma akan dibawa Pengadilan
Eropa.135
Uni Eropa juga menekankan kepada seluruh negara anggotanya
termasuk Perancis bahwa prosedur perlindungan harus tetap dilaksanakan
terhadap hak setiap warga negara untuk bepindah tempat walaupun otoritas
publik membatasinya agar warga negara terlindung dari keputusan yang
sewenang-wenang, diskriminatif dan tidak adil.
Uni Eropa telah memantau perkembangan Perancis selama beberapa
bulan terakhir terkait kebijakan Perancis terhadap kaum Roma. Setelah dua
minggu, Perancis membuat sebuah perkembangan positif terhadap
kebijakannya. Perancis telah menyerahkan dokumentasi lengkap yang berisi
draft legislatif dan data prosedur peraturan yang diperlukan dibawah
kebijakan EU’s Free Movement Directive ke dalam perundang-undangan
Perancis dan akan mulai diberlakukan pada awal 2011.
Dalam pertemuannya dengan menteri Perancis Eric Besson dan Piere
Lellouche, Viviane menerima jaminan politik bahwa pendeportasian yang
dilakukan Perancis tidak menargetkan kepada suatu kaum minoritas. Pihak
Perancis sepertinya telah sadar bahwa mereka tidak dapat bertahan dengan
kebijakannya lagi, oleh karena itu Perancis telah menandatangani surat baru
135
BBC, “Uni Eropa gugat Perancis soal Gipsi”, BBC News, 29 September 2010; tersedia di http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/09/100929_francegipsy; diakses pada 5 Juni 2018
62
yang membahas tentang penghilangan referensi terkait etnis-etnis tertentu.
Viviane berharap bahwa Perancis tidak hanya merubah kata-katanya saja
tetapi juga merubah sikapnya terhadap kaum Roma.136
B. Tantangan Uni Eropa dalam Menyelesaikan Konflik
Sebagai organisasi supranasional, Uni Eropa telah banyak terlibat dalam
penyelesaian sengketa yang melibatkan negara anggotanya. Seperti menurut
pandangan liberal institusional, Uni Eropa memiliki tanggung jawab besar
dan menjadi pusat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
Selain konflik diskriminasi etnis minoritas yang terjadi di Perancis,
Uni Eropa juga turun tangan dalam penyelesaian konflik Transnistria.
Konflik tersebut diakibatkan karena masalah antara Moldova dengan
Transnistria yang berujung pada kerusuhan. Kerusuhan yang terjadi antara
Moldova dengan Transnistria dapat berakibat pada keamanan wilayah
Eropa, oleh karena itu Uni Eropa sebagai organisasi internasional yang
menjunjung tinggi stabilitas negara-negara anggota maupun yang bukan
merupakan anggota ikut terlibat dalam penyelesaian sengketa antara
Moldova dengan Transnistria dengan harapan dapat menghentikan
kerusuhan yang sudah terjadi berkepanjangan.
Adapun Uni Eropa juga terlibat dalam konflik di Suriah, konflik di
Suriah telah memakan banyak korban dan telah melanggar hak-hak asasi
manusia. Uni Eropa yang menegakkan hak dasar setiap warga negaranya
136
Statement by Viviane Reding, MEMO/10/502, 19 Oktober 2010; tersedia di http://europa.eu/rapid/press-release_MEMO-10-502_en.htm; diakses pada tanggal 10 Juni 2018
63
untuk hidup juga membantu menyelesaikan konflik di Suriah yang
merupakan non-anggota Uni Eropa.
Keterlibatan Uni Eropa di setiap konflik memiliki tingkat kesulitan
yang berbeda. Kendala yang terjadi pada saat menyelesaikan permasalahan
antara kaum Roma dengan pemerintah Perancis adalah sulitnya mendata dan
memberikan bantuan kepada para imigran Roma yang berasal dari Rumania
dikarenakan jumlah yang tidak sedikit. Selain itu pula, Uni Eropa sebagai
organisasi internasional yang mengedepankan hak-hak warganya untuk
hidup tenang tanpa merasa dikucilkan juga bertanggung jawab untuk
mengubah cara pandang masyarakat Perancis terhadap kaum Roma yang
sudah terlanjur buruk di mata masyarakat Perancis bahkan Eropa.
Uni Eropa juga harus bisa berkoordinasi dengan pemerintah Perancis
untuk menyediakan tempat tinggal yang layak bagi imigran-imigran yang
membutuhkan dan memantau untuk memastikan tidak adanya diskriminasi
terhadap kelompok-kelompok minoritas di lingkungan rumah, sekolah dan
tempat kerja yang dapat berdampak besar terhadap kondisi ekonomi, sosial
maupun politik Uni Eropa.
64
BAB V
KESIMPULAN
Kaum Roma atau yang biasa disebut Kaum Gipsi merupakan kelompok
stateless yang berasal dari India yang jarang menetap di suatu tempat dengan
waktu yang cukup lama. Kaum Roma sering berpindah tempat atau nomaden
dengan mobil karavannya. Imigran Roma sudah mulai tersebar di kawasan Eropa
sejak 1500 tahun yang lalu. Selain sering berpindah tempat, kaum Roma juga
kaum yang tertutup dan tidak mudah untuk bersosialisasi. Sikapnya yang tertutup
membuat kaum Roma dikucilkan oleh warga setempat. Di Eropa salah satunya di
Perancis, kaum Roma terkenal sebagai kelompok yang dianggap memiliki sisi
negatif seperti banyaknya perampok dan pencuri yang berasal dari kaum Roma
hingga kedekatannya dengan hal-hal mistis yang membuat masyarakat sekitar
takut untuk bergaul dengan mereka.
Pada tahun 2010, Presiden Nicolas Sarkozy mengeluarkan sebuah
kebijakan untuk mendeportasi kaum Roma yang berada di Perancis kembali ke
Rumania, negara asal sebelum mereka datang ke Perancis. Adanya kebijakan
tersebut berawal dari terjadinya tindak kriminal yang dilakukan oleh seorang
pemuda yang berasal dari kaum Roma. Menurut liberal institusional, Uni Eropa
yang merupakan organisasi internasional memiliki fungsi sebagai wadah atau
mediator bagi negara-negara anggotanya yang berkonflik. Dikeluarkannya
kebijakan tersebut membuat Uni Eropa sebagai organisasi yang bertanggung
jawab atas Perancis dan Kaum Roma ikut terlibat karena Perancis telah dengan
jelas melakukan tindak kekerasan dan pengucilan terhadap Kaum Roma yang
65
termasuk dalam tindakan diskriminatif yang sangat ditentang dalam undang-
undang dasar Uni Eropa. Kepala Komisaris Kehakiman Uni Eropa, Viviane
Reding, mengecam keras tindakan Perancis yang mendeportasi Kaum Roma ke
negara asalnya. Reding berpendapat bahwa pelaku tindak kriminal merupakan
oknum, dan pendeportasian tersebut merupakan tindakan yang tidak adil. Selain
itu pula, kaum Roma juga memiliki hak setiap manusia untuk hidup tenang dan
mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan perlakuan baik telah tercantum
di salah satu instrumen dalam Traktat Lisbon yaitu Konvensi Hak Asasi Manusia.
Uni Eropa melakukan upaya agar Perancis menghentikan pendeportasian
tersebut dengan teguran hingga ancaman. Ancaman yang dilakukan oleh Uni
Eropa terhadap Perancis membuahkan hasil, setelah dua minggu Perancis menarik
kembali kebijakan tersebut dan menyerahkan peraturan-peraturan baru tentang
imigrasi yang tidak melanggar peraturan dasar Uni Eropa ke dalam perundang-
undangan Perancis dan akan diberlakukan mulai tahun 2011.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Buana, Mirza Satria, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung:
Nusamedia, 2007, hal. 78
Cresswell, John W., Research Design: Qualitative and Quantitative Approach,
California: Sage Publications Inc, 1994, hal.148
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia (terjemahan), Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1994, 32.
Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi: Antara Teori & Praktik, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2008, 161-162.
Fulthoni, Renata Arianingtyas, Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing,
Memahami Diskriminasi, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center
(ILRC), 2009, hal. 5-6.
Giumelli, Francesco, Coercing, Constraining and Signaling: Explaining UN and
EU Sanction after the Cold War, Colchester: ECPR Press, 2011, hal. 67.
Jackson, Robert and George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, 154.
Kenrick, Donald, Gypsies: from the Ganges to the Thames, UK: University of
Hertfordshire Press, 2004, hal. 3
Kent, Penelope, Law of the European Union, United Kingdom: Pearson Education
Limited, 2001, hal. 4
Mauna, Dr. Boer, Hukum Intenasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2005,
458.
O‟Nions, Helen, Human Rights and the Legal Wrongs: the Roma in Europe,
United States: ProQuest, 2013, 9.
Ringold, Dena, Mitchell Alexander Orenstein, dan Erika Wilkens, Roma in an
Expanding Europe: Breaking the Poverty Cycle, Washington D.C: The
World Bank, 2005, 68
Rudy, Teuku May, Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: Refika
Aditama, 1998, hal. 2.
xiv
Rusli, Said, Pengantar Ilmu Kependudukan, Jakarta: LP3Es, 1981
Scheller, Hanspeter K, The European Central Bank; History, Role and Functions,
Second Revised Edition, Germany: European Central Bank, 2006, hal. 125-
126.
Soeprapto, R, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 367
Suherman, Ade Maman, Organisasi Intenasional & Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2003.
Suwardi, Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press,
2006, 16.
Suyanto, Bagong, Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan
Jakarta: Kencana Media, 2007, 166-168.
Theodorson, George A., dan Achilles G. Theodorson, A Modern Disctionary of
Sociology, London: Barnes & Noble Books, 1979, 115-116.
Jurnal
Abbot, Kenneth W. , dan Duncan Snidal, “Why State Act through Formal
International Organization”, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 42,
No. 1, (Februari, 1998), hal. 3-32; tersedia di
http://www.jstor.org/stable/174551; diakses pada 6 Juni 2016
Cahn, Claude dan Prof. Elspeth Guild, “Recent Migration of Roma in Europe”,
Organization for Security and Co-operation in Europe, 2nd edition
(October 2010): 35; tersedia di
https://www.osce.org/hcnm/78034?download=true; diakses pada 7 Agustus
2017
Chayes, Abram dan Antonia Handler Chayes, “International Organization”, bag.
On Compliance, The MIT Press, Vol. 47, No. 2, (Spring, 1993), hal. 175-
205; tersedia di https://www.jstor.org/stable/2706888; diakses pada 6 Juni
2016
Galtung, Johan, “On The Effect of International Economic Sanction: With
Examples from The Case of Rhodesia”, World Politics, Vol. 19, Issue 3,
1967, hal 378-416
xv
Goldstone, Jack A., “Roma Rights, Roma Wrong”, Foreign Affairs, Vol. 81 No.
2, (March 2012). hal. 146-162
Greenberg, Jack, “Report on Roma Education Today: From Slavery to
Segregation and Beyond”, Columbia Law Review, Vol. 110, No. 4 (Mei
2010): 928-929
Gresham, David, et al., “Origins and Divergence of the Roma (Gypsies)”,
American Journal of Human Genetics, Volume 69, Issue 6 (Desember
2001): 1314; tersedia di https://www.cell.com/ajhg/pdf/S0002-
9297(07)61261-0.pdf; diakses pada 7 Agustus 2017
Keohanne, Robert O., dan Lisa L. Martin, “The Promise of Internasionalist
Theory”, International Security, Vol. 20 No. 1, (Summer, 1995), hal. 40;
tersedia di https://www.jstor.org/stable/2539214; diakses pada 6 Juni 2016
Maganza, Giorgio, “The Lisbon Treaty: A Brief Outline”, Fordham International
Law Journal, Volume 31, Issue 6, Article 2, 2007; tersedia di
http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2124&context=ilj;
diakses pada tanggal 28 Mei 2017
Morar, Bahrti, et al., “Mutation History of the Roma/Gypsies”, American Journal
of Human Genetics, Volume 75, Issue 4, October 2004, hal. 597; tersedia di
https://www.cell.com/ajhg/pdf/S0002-9297(07)62711-6.pdf; diakses pada 7
Agustus 2017
Renzi, Laura, “Roma People in Europe: A Long History of Discrimination”, 2010,
Somantri, Gumilar Rusliwa, “Memahami Metode Kualitatif”, Makara Sosial
Humaniora, 9 Desember 2005, hal. 58.
Warnke, Adam M., “Vagabonds, Tinkers and Travelers: Statelessness Among the
East European Roma”, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 7,
Issue 1, Article 13 (1999): 352; tersedia di
https://www.repository.law.indiana.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1180&c
ontext=ijgls; diakses pada 7 Agustus 2017
Website
AGE Platform Europe, “Introduction to the European Institutions and the
European Union Policy-Making Processes of Relevance to Older People”,
3rd edition, March 2010; tersedia di http://www.age-
platform.eu/images/stories/EN/CoverAGE/EN/brochure_eu_institutions_fin
al-en.pdf; diakses pada tanggal 2 Juni 2017
xvi
Amadeo, Kimberly, “What Is the European Union? How It Works and Its
History”, The Balance, 28 November 2017; tersedia di
https://www.thebalance.com/what-is-the-european-union-how-it-works-and-
history-3306356; diakses pada tanggal 29 Desember 2017
BBC, “EU warns France of action over Roma”, BBC News, 29 September 2010;
tersedia di https://www.bbc.com/news/world-europe-11437361; diakses
pada 7 Juni 2018
BBC, “France Rounds up Hundreds of Roma”, BBC News, 12 Agustus 2010;
tersedia di http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-10955717; diakses
pada 9 Agustus 2017.
BBC, “Uni Eropa gugat Perancis soal Gipsi”, BBC News, 29 September 2010;
tersedia di
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/09/100929_francegipsy; diakses
pada 5 Juni 2018
Bernardin, Daniele de, “Protesters deride French president‟s crackdown on
Gypsies and new security tack”, FOXNEWS.com, 4 September 2010, bag.
World; tersedia di http://www.foxnews.com/world/2010/09/04/protesters-
deride-french-presidents-crackdown-gypsies-new-security-tack.html;
diakses pada tanggal 17 April 2016.
Bhanoo, Sindya N., “Genomic Study Traces Roma to Northern India”, The New
Yor Times, 10 Desember 2012; tersedia di
https://www.nytimes.com/2012/12/11/science/genomic-study-traces-roma-
to-northern-india.html; diakses pada 7 Agustus 2017
Calatozzolo, Rita, “The Budgetary Procedure”, Fact Sheet on the European
Union, September 2016 [jurnal online]; tersedia di
http://www.europarl.europa.eu/ftu/pdf/en/FTU_1.4.3.pdf; diakses pada
tanggal 5 Desember 2016.
Carvajal, Doreen, “France Vows to Continue Deporting Roma”, New York Times,
25 Agustus 2010; tersedia di
http://www.nytimes.com/2010/08/26/world/europe/26iht-roma.html; diakses
pada 9 Agustus 2017
Castle, Stephen & Katrin Bennhold, “Dispute Grows over France‟s Removal of
Roma Camps”, New York Times, 16 September 2010; tersedia di
http://www.nytimes.com/2010/09/17/world/europe/17union.html?scp=22&s
q=roma&st=cse; diakses pada 9 Agustus 2017.
xvii
Council of Europe, European Convention on Human Rights, 2000; tersedia di
http://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf: diakses pada 7
juni 2016
Council Of The European Union, “Human Rights and Democracy in The World”,
10 Mei 2010; tersedia di
http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/EN/foraff/
114330.pdf; diakses pada tanggal 10 April 2016
CRS Report for Congress, “The European Union‟s Reform Process: The Lisbon
Treaty”, tersedia di
https://digital.library.unt.edu/ark:/67531/metadc627052/m1/1/high_res_d/R
S21618_2009Nov09.pdf diakses pada tanggal 28 Mei 2017
Cumley , Bruce, “France Deports Gypsies: Courting the Xenophobes”, Time, 19
Agustus 2010; tersedia di
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2011848,00.html; diakses
pada 19 April 2016
Dokumen S: Instrumen Regional Tentang Hak Asasi Manusia; tersedia di
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/S.11.Konvensi-
Eropa-untuk-Perlindungan-Hak-Asasi-dan-Kebebasan-Fundamental-
Manusia.pdf; diakses pada 7 Juni 2016
Erlanger, Steven, “Expulsion of Roma Raises Questions in France”, The New
York Times, 19 Agustus 2010; tersedia di
http://www.nytimes.com/2010/08/20/world/europe/20france.html?_r=0;
diakses pada tanggal 17 April 2016.
Erlanger, Steven, “France: Roma Expelled From Church”, The New York Times, 5
November 2010; tersedia di
https://www.nytimes.com/2010/11/06/world/europe/06briefs-
ROMA.html?rref=collection%2Fbyline%2Fsteven-
erlanger&action=click&contentCollection=undefined®ion=stream&mod
ule=stream_unit&version=search&contentPlacement=1&pgtype=collection;
diakses pada 10 Desember 2017
European Asylum Support Office, “Annual Report on the Situation of Asylum in
the European Union 2012”, [database online] Figure 13, hal 29; tersedia di
https://www.easo.europa.eu/sites/default/files/EASO_AnnualReport%20201
2.pdf; diakses pada 6 Agustus 2017
European Commision, “Roma Integration in EU Countries”; tersedia di
https://ec.europa.eu/info/policies/justice-and-fundamental-
rights/combatting-discrimination/roma-and-eu/roma-integration-eu-
countries_en; diakses pada 7 Agustus 2017.
xviii
European Convention on Human Rights, Article 14; tersedia di
https://www.echr.coe.int/Documents/Convention_ENG.pdf; diakses pada 10
Agustus 2017.
European Union Agency For Fundamental Rights, “Poverty and Employment: the
situation of Roma in 11 EU Member States”, 2014, hal. 3.
“EU: A Key Intervention in Roma Expulsions” Human Rights Watch, 14
September 2010; tersedia di https://www.hrw.org/news/2010/09/14/eu-key-
intervention-roma-expulsions; diakses pada 9 Agustus 2017
Fithri, Tresya Yuliana, “Rezim Visa Uni Eropa dan Schengen”, IDNPoland, 2
Mei 2015; tersedia di http://idnpoland.wixsite.com/idnpoland/single-
post/2015/05/02/Rezim-Visa-Uni-Eropa-dan-Schengen; diakses pada 8
Desember 2017
Georgia Parliament, History of the European Union, tersedia di
http://www.parliament.ge/files/1_901_108571_2.pdf; diakses pada tanggal
16 Oktober 2016
Gokçen, Sinan, “Factsheet: Roma Rights Record”, European Roma Rights Centre,
4 Oktober 2010; tersedia di http://www.errc.org/cms/upload/file/factsheet-
4october2010.pdf; diakses pada tanggal 19 April 2016
Hellfeld, Matthias von, “The introduction of the euro-January 1, 2002”, Deutsche
Welle, 16 November 2009; tersedia di http://www.dw.com/en/the-
introduction-of-the-euro-january-1-2002/a-4835039; diakses pada tanggal
17 Oktober 2017
Hewitt, Gavin, “The Roma Repatriation”, BBC, 19 Agustus 2010; diakses dari
http://www.bbc.co.uk/blogs/thereporters/gavinhewitt/2010/08/the_roma_rep
atriation.html; pada 12 April 2016
IDNews, “Asal Muasal Kaum Gipsy”, 7 April 2017; tersedia di
http://www.apakabardunia.com/2012/12/dari-mana-asal-muasal-orang-
gypsy.html; diakses pada 7 Agustus 2017
Jazilah, Fudzcha Putri, Djoko Susilo dan Linda Dwi Eriyanti, Kepentingan
Nicolas Sarkozy Dalam Pembuatan Kebijakan Imigrasi di Perancis (2012),
[database on-line]; tersedia di
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58828/Fudzcha%20
Putri.pdf?sequence=1 diunduh pada 1 Juni 2016
Kompas.com, “Orang-orang „Roma‟ Diusir Sarkozy”, Kompas.com, 20 Agustus
2010; tersedia di
xix
https://nasional.kompas.com/read/2010/08/20/03242449/orang-
orang.quotromaquot.diusir.sarkozy; diakses pada 7 Agustus 2017
Kostermans, Dyan, “Prosedur Co-decision Parlemen Eropa”, Deutsche Welle, 2
Oktober 2007; tersedia di http://www.dw.com/id/prosedur-co-decision-
parlemen-eropa/a-2956214; diakses pada tanggal 5 Desember 2016
Letter from Robert Kushen to Nicolas Sarkozy; tersedia di
http://www.errc.org/uploads/upload_en/file/france-sarkozy-evictions-
expulsions-july-2010.pdf; diakses pada 9 Agustus 2017.
Marzocchi, Ottavio, “The Right of Petition”, Fact Sheet on the European Union,
Oktober 2016 [jurnal online]; tersedia di
http://www.europarl.europa.eu/ftu/pdf/en/FTU_2.1.4.pdf; diakses pada
tanggal 5 Desember 2016.
Official Journal of the European Union, A New Settlement For The United
Kingdom Within The European Union [artikel online]; tersedia di http://eur-
lex.europa.eu/legal-
content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:52016XG0223(01)&from=EN; diakses
tanggal 17 April 2017
Purwaningsih, Ayu, “Warga Etnis Roma Mulai Diusir dari Perancis”, DW.com,
13 Agustus 2010; tersdia di http://www.dw.com/id/warga-etnis-roma-mulai-
diusir-dari-perancis/a-5908014; diakses pada 7 Agustus 2017
Q&A: France Roma Expulsion, BBC News, 19 Oktober 2010, bag. Europe;
diakses dari http://www.bbc.com/news/world-europe-11027288; pada 17
April 2016
Rachmayani, Rizka Nur, “Kepentingan Perancis Atas Masalah Non-Preference
Immigration: Kasus Penggusuran Etnis Roma Tahun 2010”, Hubungan
Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada, 2012.
Rostiyani, Yeyen, “UE Susun Kuota Migran yang Baru”, Republika.com;
tersedia di http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-
koran/15/09/08/nucm8820-ue-susun-kuota-migran-yang-baru; diakses pada
6 Agustus 2017
Sari, Ganes Nirwina Parapat, Personalitas Presiden Nicolas Sarkozy Dan
Kebijakan Terhadap Kaum Imigran di Perancis (2007-2012), [database on-
line]; tersedia di
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pene
litianDetail&act=view&typ=html&buku_id=65158 diunduh pada 1 Juni
2016
xx
Selm, Joanne van, “The Hague Progrram Reflects New European Relities”,
Migation Policy Institute, 1 Januari 2005; tersedia di
https://www.migrationpolicy.org/article/hague-program-reflects-new-
european-realities; diakses pada 6 Agustus 2017
Siahaan, Carina Etta, “Peran Uni Eropa Dalam Proses Penyelesaian Sengketa
Bagi Negara Anggota Dan Negara Non Anggota”, 2013, hal. 5; tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=110803&val=4131;
diakses tanggal 25 Oktober 2016
Soros, George, “ The Plight of the Roma”, Euractiv, 8 Januari 2015; tersedia di
http://www.euractiv.com/section/languages-culture/opinion/the-plight-of-
the-roma/; diakses pada tanggal 12 April 2016.
Statement by Viviane Reding, MEMO/10/502, 19 Oktober 2010; tersedia di
http://europa.eu/rapid/press-release_MEMO-10-502_en.htm; diakses pada
tanggal 10 Juni 2018.
Suddath, Claire, “Who Are Gypsies, and Why is France Seporting Them?”, TIME,
26 Agustus 2010; tersedia di
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2013917,00.html; diakses
pada 8 Desember 2017
Travis, Alan, “Migrants, refugees and asylum seekers: what‟s the difference?”,
The Guardian, 28 Agustus 2015; tersedia di
https://www.theguardian.com/world/2015/aug/28/migrants-refugees-and-
asylum-seekers-whats-the-difference; diakses pada 7 Agustus 2017.
Traynor, Ian, “France defends Roma Expulsions”, The Guardian, 31 Agustus
2010; tersedia di https://www.theguardian.com/world/2010/aug/31/france-
defends-roma-expulsions; diakses pada 5 Februari 2018.
Traynor, Ian, “Roma deportations by France a disgrace, says EU”, The Guardian,
14 September 2010; tersedia di
https://www.theguardian.com/world/2010/sep/14/roma-deportations-france-
eu-disgrace; diakses pada 16 April 2018
VOA, “UE Selidiki Pengusiran Warga Gipsi oleh Perancis”, VOA, 29 September
2010; tersedia di https://www.voaindonesia.com/a/ue-selidiki-pengusiran-
warga-gipsi-oleh-perancis-104029849/84293.html; diakses pada 4 Februari
2018.
Willsher, Kim, “France‟s deportation of Roma shown to be illegal in leaked
memo, say critics”, The Guardian, 13 September 2010; tersedia di
https://www.theguardian.com/world/2010/sep/13/france-deportation-roma-
illegal-memo; diakses pada 10 Desember 2017
xxi
xxii
Lampiran 1