diag n terpi tifoid

31
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID 1. Menjelaskan Demam Tifoid 1.1 Definisi Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam > 7 hari. Saluran cerna yang diserang adalah usus halus. Demam tifoid dan Paratypoid disebut juga enteric fever, tifus dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid namun biasanya lebih ringan. Tifoid adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonell paratyphi A, B, C yang dapat menular melalu oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontamnasi. 1.2 Epidemiologi Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994

Upload: agkawai

Post on 14-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

diagnss tifoid

TRANSCRIPT

IV

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID1. Menjelaskan Demam Tifoid1.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam > 7 hari. Saluran cerna yang diserang adalah usus halus. Demam tifoid dan Paratypoid disebut juga enteric fever, tifus dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid namun biasanya lebih ringan.

Tifoid adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonell paratyphi A, B, C yang dapat menular melalu oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontamnasi.1.2 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan terkait dengan sanitasi lingkungan.1.3 Etiologi

Tifoid disebabkan oleh Salmonella Typhi, sedangkan paratypoid disebabkan oleh Salmonella Paratyphi A, B dan C. Ada 2 sumber penularan yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien carrier demam tifoid.1.4 Patofisologi

Penularan S. Typhi dan S. Paratyphi A, B, dan C dapat ditularkan melalui berbagai cara yang dikenal dengan food, finger (jari, tangan, kuku), vomitus ( muntah ), Fly ( lalat ) dan feses. S.typhi masuk ke tubuh melalui melalui makanan dan air yang tercemar bakteri tersebut kemudian masuk ke lambung ( sebagian dimusnahkan oleh asam lambung ), kemudian sebagian masuk ke usus halus. Bakteri mengeluarkan endotoksin dan kelenjar limfoid plak peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi di jaringan limfoid in, kuman berkembang biak lalu masuk ke aliran darah dan sel retikuloendotelial. Sel sel retikuloendotelial kemudian melepas bakteri ke sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia lalu limpa, usus halus, dan kandung empedu semula disangka demam dan gejala toksemia pada typoid disebabkan oleh endotoksemia tapi berdasarkan penelitian. Ternyata endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam typoid. Endotoksemia hanya berperan pada proses inflamasi lokal pada usus halus. Endotoksin merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi demam.

Makanan yang terkontaminasi masuk melalu mulut lalu menuju lambung dan usus halus lalu di dalam usus halus jika respon imun humor mukosa kurang baik ( I9A ) menyebabkan Salmonella berkembang. Salmonella menembus sel epite lalu menuju lamina propia dan difagosit oleh makrofag (hidup di tubuh makrofag) lalu ke plak peyeri dan kelenjar getah betenih mesentrika lalu menuju duktus torasikus kemudian ke sirkulasi darah ( bakteremia 1 yang asimtomatik ) lalu ke sel-sel retikuloendotelial dan meninggalkan fagosit. Setelah meninggalkan fagosit lalu berkembang di sinusoid dan masuk ke peredaran darah ( bakteremia 2 yang menimbulkan gejala bahkan sampai demam ) lalu menyebar ke hati dan limfa .

Bila terjadi komplikasi pendarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina propia lalu masuk ke aliran limfe dan kelenjar limfemesentrial dan menuju masuk aliran darah melalui duktus torasikus. S. Typhi bersarang di plak peyeri, limpa, hati dan bagian lain sistem retikuloendotelial.

Kuman dalam peredaran darah I berlangsung sekitar 24- 72 jam belum termasuk gejala. Kuman dalam peredaran darah II berlangsung pada masa inkubasi 5-10 hari, dimana saat terjadi pelepasan endotoksin menyebar ke seluruh tubuh sehingga merangsang pelepasan zat pirogen dan leukosit sehingga terjadi demam.1.5 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi rata rata 7-14 hari. Minggu pertama demam remitten, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, anorexia, nyeri otot, diare / sulit BAB, suhu naik pada sore dan malam hari. Sedangkan minggu ke 2 demam tinggi terus menerus, bradikardia relatif, lidah kotor ditutupi selaput putih dan ujung, tepinya kemerahan, tremor, perut kembung, pembesaran hati dan limfa.

Demam tifoid berat yang memberikan pendarahan : kebocoran usus ( perforasi ), infeksi selaput usus ( peritonintis ), renjatan, bronkopnemoni dan kelainan otak ( ensefalopati dan meningitis ) minggu ke 2 dapat terjadi kesadaran menurun.Tanda dan Gejala Penyakit Demam Tifoid :

Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.

Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain ;

1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.

2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.

3. Mual berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hati dan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.

4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).

5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.

6. Pingsan, tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.

1.6 Pemeriksaan LaboratoriumA. Pemeriksaan Hematologi pada demam tifoidPemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

(1) Pemeriksaan darah tepiPemeriksaan hematologi sering ditemukan leukopenia dan dapat pula terjadi pada kadar leukosit normal/ leukositosis. Selain itu, dapat ditentukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endapan darah pada demam dapat meningkat, sedangkan hemoglobin menurun sehinngga hematokrit pun akan turun. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%). (2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kumanDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi

1. jumlah darah yang diambil

2. perbandingan volume darah dari media empedu; dan

3. waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

(3) uji serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :

1. uji Widal

2. tes TUBEX3. metode enzyme immunoassay (EIA)

4. metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan

5. pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

1. UJI WIDALUji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin. Tes ini dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhii. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella thypii dengan antibodi tubuh yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di Laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu:

Aglutinin O ( dari tubuh kuman )

Aglutinin H ( flagella kuman )

Aglutinin Vi ( simpai kuman )

Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam Tifoid. Semakin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan terinfeksi kuman Salmonella.Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam yang secara cepat berkembang dan mencapai puncaknya pada minggu ke-4.

Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal :

A. Faktor yang berhubungan dengan klien :

1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

3. Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu. B. Faktor-faktor Teknis1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain. 1. Tes Widal aglutinin serum meningkat dengan cepat selama minggu ke-2 dan ke-3 pada infeksi Salmonella. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari. Untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu di tes terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan:

2. Titer O yang tinggi atau kenikan titer O ( 1:160 ) menandakan adanya infeksi aktif.

3. Titer H yang tinggi atau kenaikan titer H ( 1:160 ) menandakan penderita itu pernah di vaksinasi atau pernah terinfeksi.

4. Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri. Hasil tes serologic untuk infeksi Salmonella harus diinterpretasikan secara hati-hati karena kemungkinan adanya antibody reaksi silang membatasi penggunaan serologi dalam diagnosis Infeksi Salmonella. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. 2. TES TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. 3. METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

5. PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

(4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. 24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

B. Pemeriksaan Mikrobiologi pada demam tifoidKULTUR DARAH

Hasil biakan darah yang positif menunjukkan Demam Tifoid, akan tetapi hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam Tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.

2. Volume darah yang kurang ( diperlukan 5 cc darah ). Bila darah yang dibiak terlalu sedikt maka hasil biakan negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu untuk melihat pertumbuhan kuman.3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien (aglutinin) yang menekan bakteremia hingga biakan darah negatif.

4. Saat pengambilan darah setelah minggu I pada saat aglutinin banyak jadi hasil biakan negatif.1.7 Farmakoterapi antibakteri pada demam tifoid Golongan antibiotik yang efektif terhadap demam tifoidA. KLORAMFENIKOL- Dosis untuk prang dewasa 4x 500mg/hari peroral atau sampai 7 hari bebas demam

- Antibiotik ini aktif terhadap banyak kuman GEM positif dan negatif kecuali Pseudomonas

- Penyuntikan kloramfennikol suksinat intramuskular tak dianjurkan

- Dengan penggunaan kloramfenikol, demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hariFarmakodinamik :

Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman

Menghambat enzim peptidil transferase yang berguna sebagai katalosator sehingga membentuk ikatan peptida [ada sintesis protein kuman

Bersifat bakteriastatik

Pada konsentrasi tinggi bakterisid terhadap terhadap kuman-kuman yang peka

Farmakokinetik :

Pemberian Oral

Kloramfenikol diserap dengan cepat sehingga puncak dalam darah (kadarnya) tercapai dalam 2 jam

Untuk anak, diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat

Masa paruh kloramfenikol 2-3 jam

60% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin

Dalam hati, kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukoronil transferase

80% - 90% kloramfenikol secara oral diekskresi melalui ginjal

Hanya 5% - 10% dalam bentuk aktif melalui ekskresi urin

Pemberian Parenteral

Digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol

Resistensi

Timbul agak lambat

Resistensi terhadap kloramfenikol ini dipindahkan antar kuman dengan perantara faktor R sehingga kuman yang tadinya pekat, lalu dapat membentuk enzim asetil transferase spesifik untuk merusak kloramfenikolKontra Indikasi Hanya digunakan untuk infeksi yang sudah jelas penyebabnya kecuali infeksi berat. Pemeriksaan hematologik berkala pada pemakaian yang lama. Pengawasan karena super infeksi dengan bakteri dan jamur. Keamanan pada wanita hamil dan menyusui belum diketahui dengan pasti. Penderita dengan gangguan ginjal, bayi prematur dan bayi baru lahir (< 2 minggu). Drugs interaction: obat-obatan dimetabolisme enzim mikrosom hati seperti dikumarol, fenitoin, tolbutamid dan fenobarbital

Efek Samping1. Reaksi Hematologik Terdapat dua bentuk reaksi:a. Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan.

b. Prognosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan.2. Reaksi Saluran Cerna Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.3.Syndrom GrayPada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB). 4. Reaksi NeurologisDepresi, bingung, delirium dan sakit kepala. Neuritis perifer atau neuropati optik dapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama5. Reaksi AlergiKemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.

Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam typhoid.

B. TIAMFENIKOL- Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada tifoid sama dengan kloramfenikol

- Demam pada tifoid turun setelah rata-rata 5 6 hari

- Dosis untuk orang dewasa 4 x 500mgC. Ko-TRIMOKSAZOL (kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol)- Efektivitasnya kurang lebih hampir sama dengan kloramfenikol

- Dosis untuk orang dewasa 2x 2 tablet/hari, digunakan 7 hari (80 mg trimetropim dan 400 mg sulfametoksazol)

- Demam akan turun kira-kira 5 6 hari

Farmakodinamik :

Mekanisme kerja

Berdasarka teori sequential blockade yaitu bila 2 obat bekerja terhadap 2 tempat berturut turut dari suatu proses enzim bakteri, maka efeknya adalah potensiasi. Proses enzim adalah sintesis protein (DNA/RNA) dari bahan PABA

Sulfametoksazol mengganggu proses no.1 dan 2 dengan jalan saingan substrat sedangkan trimetroprim mengganggu no.2 dan 3 dengan menghasilkan enzim yang mereduksi dihidro menjadi tetrahidrofolic acid. Akibatnya sintesis folinic acid dihentikan (yang merupakan bahan untuk sintesis purin dan DNA/RNA)

Farmakokinetik

Trimetropim di absorpsi lebih cepat dibandingkan sulfametoksazol

Kadar puncak trimetropim dalam darah setelah 2jam, sedangkan sulfametoksazol setelah 4 jam

Masa paruh, trimetropim 16jam dan sulfametoksazol 10 jam

Trimetropim cepat didistribusi ke jaringan dan lebih sedikit terikat protein plasma (adanya sulfametoksazol)

Ditemukan dalam otak, saraf, empedu (kadar tinggi)

65% trimetropim dan 25 50% sulfametoksazolD. CIPROFLOXACIN (golongan Quinolon)Indikasi:Untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen yang peka terhadap ciprofloxacin, antara lain pada : - Saluran kemih termasuk prostatitis. - Uretritis dan serpisitis gonore. - Saluran cerna, termasuk demam thyfoid dan parathyfoid. - Saluran nafas, kecuali pneumonia dan streptococus. - Kulit dan jaringan lunak. - Tulang dan sendi.Kontra Indikasi:- Penderita yang hipersensitivitas terhadap siprofloksasin dan derivat quinolone lainnya - Tidak dianjurkan pada wanita hamil atau menyusui, anak-anak pada masa

pertumbuhan, karena pemberian dalam waktu yang lama dapat menghambat pertumbuhan tulang rawan. - Hati-hati bila digunakan pada penderita usia lanjut - Pada penderita epilepsi dan penderita yang pernah mendapat gangguan SSP hanya digunakan bila manfaatnya lebih besar dibandingkan denag risiko efek sampingnya.

Komposisi : Ciprofloxacin 250 mg : Tiap tablet salut selaput mengandung Ciprofloxacin 250 mg Ciprofloxacin 500 mg : Tiap tablet salut selaput mengandung ciprofloxacin 500 mg.

Farmakologi : Ciprofloxacin (1-cyclopropyl-6-fluoro-1,4-dihydro-4-oxo-7-(-1-piperazinyl-3-quinolone carboxylic acid) merupakan salah satu obat sintetik derivat quinolone. mekanisme kerjanya adalah menghambat aktifitas DNA gyrase bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Ciprofloxacin diabsorbsi secara cepat dan baik melalui saluran cerna, bioavailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira 16-40% terikat pada protein plasma dan didistribusi ke berbagai jaringan serta cairan tubuh. metabolismenya dihati dan diekskresi terutama melalui urine.

Dosis : 1.Untuk infeksi saluran kemih : - Ringan sampai sedang : 2 x 250 mg sehari - Berat : 2 x 500 mg sehari - Untuk gonore akut cukup pemberian dosis tunggal 250 mg sehari 2.Untuk infeksi saluran cerna : - Ringan / sedang / berat : 2 x 250 mg sehari 3.Untuk infeksi saluran nafas, tulang dan sendi kulit dan jaringan lunak : - Ringan sampai sedang : 2 x 500 mg sehari - Berat : 2 x 750 mg sehari - Untuk mendapatkan kadar yang adekuat pada osteomielitis maka pemberian tidak boleh kurang dari2 x 750 mg sehari4.Untuk demam tifoid :

-Ringan sampai sedang: 2 x 500 mg sehari selama 6 hari5.Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal : - Bila bersihan kreatinin kurang dari 20 ml/menit maka dosis normal yang dianjurkan

harus diberikan sehari sekali atau dikurangi separuh bila diberikan 2 x sehari. - Lamanya pengobatan tergantung dari beratnya penyakit. Untuk infeksi akut selama 5-10 hari biasanya pengobatan selanjutnya paling sedikit 3 hari sesudah gejala klinik hilang. Peringatan dan perhatian : - Untuk menghindari terjadinya kristaluria maka tablet siprofloksasin harus ditelan

dengan cairan - Hati-hati pemberian pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal (lihat keterangan pada dosis ) - Pemakaian tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan

Efek samping : Efek samping siprofloksasin biasanya ringan dan jarang timbul antara lain: - Gangguan saluran cerna : Mual,muntah,diare dan sakit perut - Gangguan susunan saraf pusat : Sakit kepala,pusing,gelisah,insomnia dan euforia - Reaksi hipersensitivitas : Pruritus dan urtikaria - Peningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah mengalami

kerusakan hati.

E. Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan iala 50 -150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

F. Kortikosteroid

Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Penatalaksanaan pada pengidap tifoid (karier)

A. Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier

Tifoid karier ialah seseorang yang kotorannya (feses/urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman s.typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan.

B. Diagnosis tifoid karier

Ditemukannya kuman s.typhi pada biakan feses atau urin pada seseorang tanpa gejala klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid. Dinyatakan bukan sebagai tifoid karier jika setelah dilakukan biakan secara acak serial secara minimal 6 kali pemeriksaaan tidak ditemukan kuman s.typhi.

Selain itu, dari pemeriksaan serologi Vi ditemukan titer antibodi Vi sebesar 160.C. Penatalaksanaan tifoid karierA. Tanpa disertai kasus kolelitiasisPilihan terapi selama 3 bulan

1.Ampisilin 100mg/KgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari

2. Amoksisilin 100 mgmg/kg BB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari

3. Trimetopin sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari

B. Disertai kasus kolelitiasis

Kolesistektomi + regimen tersebut diatas selama 28 hari, disertai salah satu terapi dibawah ini:

1. Ciprofloxacin 750mg/2 kali/ hari

2. Norfloksasin 400mg/ 2 kali/ hari

1.7 Pencegahan

Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifocccid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.1.8 Komplikasi

A. Komplikasi intestinal

Perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik

B. Komplikasi ekstra intestinal

1. Komplikasi hematologik

Berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan protrombin time, koagulasi intravaskular diseminata (KID).

2. Hepatitis tifosa

Pembangkakan hati ringan hingga sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.Typhi dibanding S.paratyphi.3. Pankreatitis tifosa

Komplikasi yang jarang pada demam tifoid. Penatalaksanaannya sama seperti penanganan pankreatitis, antibiotik yang diberikan ialah antibiotik intravena, seperti seftriakson atau kuinolon

4. Miokarditis

Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman s.typhi. pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuleratau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik

5. Tifoid toksik

Gejala demam tifoid yang diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan/penurunan kesadaran akut (apatis, delirium, somnolen, supor, koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya.

Pengobatannya diberi kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.DAFTAR PUSTAKA1. Sherwood,L. Fisiologi kedokteran edisi 20. Jakarta:EGC. Sudoyo W, Aru, dkk. 2006.

2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV.Jakarta: FKUI.20063. Price, Sylvia A, Lorraine M.Wilson. Patofisiologi volume I.Jakarta:EGC. 2006.4. Guyton & Hall.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; Edisi II.EGC. 2007 5 .Dept. Farmakologi dan Terapeutik FKUI.. Farmakologi dan Terapi .Balai

Penerbit FKUI: Jakarta. 2008