lapkas tifoid

45
Laporan Kasus DEMAM TIFOID PEDIATRI Penyusun: Fauziah Budi 2007730052 Pembimbing : Dr. Novita Dewi, Sp. A

Upload: fauziahbudi18

Post on 24-Jul-2015

103 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPKAS tifoid

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

PEDIATRI

Penyusun:

Fauziah Budi

2007730052

Pembimbing : Dr. Novita Dewi, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2012

Page 2: LAPKAS tifoid

Kasus

IDENTITAS

Nama : An. M. F

Usia : 12 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Nama Orangtua: Tn.I

Agama : Islam

Alamat : Kp. Genjol Rt 07/01 Cakung timur, cawang, Jakarta timur

Tangal msk RS: 21 April 2012

Jam : 19.50 WIB

Kamar : Bangsal Al-Farizi No. 1

KU : Demam sejak + 5 hari SMRS

KT : Pusing (+), sakit tenggorokan (+)

RPS :

5 hari SMRS

Ibu mengatakan anak demam naik-turun. Menurut ibunya demam tidak terlalu

tinggi dan demam turun bila diberikan bodrexin, kembali demam 6 jam kemudian.

Menurut ibunya anak cenderung demam saat menuju sore dan terlihat tampak

lemas saat menuju sore. Mual dan muntah (-), pusing (+), BAB dan BAK normal,

Nyeri perut (-), batuk dan pilek (-), nyeri-nyeri badan (-).

3 hari SMRS

Anak tidak ada perubahan msh demam. Kemudian ibu membawanya ke klinik

dekat rumah menurut ibunya diberikan antibiotik dan obat penurun panas. Anak

sempat mencret 1x/hari kosistensinya lembek, ampas (+), lendir (-), darah(-), tdk

berbau asam. Anak mengeluh nyeri menelan sehingga nafsu makannya berkurang.

1 hari SMRS

Karena tidak ada perubahan setelah diberikan obat dari klinik ibu membawa

anaknya ke RS. Demam masih naik turun dan sempat mencret kembali 3x/hari

kosistensi lembek, ampas (+), lendir(-), darah(-) tdk berbau asam. Mual dan

muntah (-), nyeri perut (-), anak merasa lemas, pusing (+), nyeri menelan (+).

1

Page 3: LAPKAS tifoid

RPD : belum pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak ada

riwayat dirawat diRS seblmnya.

RPK :dirumah tidak ada yg mengalami gejala yg sama.

R.Pengobatan : Tidak memiliki alergi obat

R.Kehamilan Ibu :ANC teratur di bidan (> 4 kali), tidak sakit saat hamil

R.Kelahiran : Lahir normal sontan oleh bidan. BBL 3200 gr, PB

ibu lupa, bayi lahir langsung menangis

R.Makanan : Asi selama 6 bln

R.Imunisasi : BCG 1x

Hepatitis 3x

Polio 4x dan 1x disekolah

DPT 5x

Campak 2x

R. T.Kembang: usia 4 bln bisa tengkurap,usia 8 bln bisa duduk, usia 1

tahun pasien sudah bisa berjalan

Kesan : Perkembangan sesuai dengan umur

R.Alergi : tidak ada alergi makanan

R.Psikososial : anak sering jajan sembarangan disekolah

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

- Kesadaran : compos mentis

- Kesan sakit : tampak sakit sedang

Tanda Vital

- Suhu : 36,70 C

- Nadi : 74 x/menit

- Pernapasan : 88 x/menit

2

Page 4: LAPKAS tifoid

STATUS ANTROPOMETRI:

BB = 28 Kg

TB = 144 cm

BB/U = 28/47 x 100 % = 59,6%è gizi buruk

TB/U = 144/150 x 100 % =96 % è Gizi baik

STATUS GENERALISATA

Kepala

Bentuk : normochepal

Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterus -/-, edema palpebra (-/-),

mata cekung (-/-), air mata (+/+)

Hidung : pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), sekret (-/-),

darah (-/-)

Telinga : Normotia, sekret (-/-)

Mulut : bibir kering (+), lidah kotor (+), perdarahan gusi (-), faring

hiperemis (-/), T1/T1, stomatitis(+)

Leher :

Inspeksi : Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)

Palpasi : Pembesaran KGB (-)

Thorak :

Inspeksi

Dada : simetris kanan kiri

Retraksi : - / -

Palpasi

Vocal Fremitus : simetris kanan kiri

Dada tertinggal : - / -

Perkusi paru : tidak dilakukan

Auskultasi

Vesikuler : -/ -

Wheezing : -/-

Ronki : -/-

3

Page 5: LAPKAS tifoid

Jantung : BJ I dan II normal, murmur (-), gallops (-)

Abdomen :

Inspeksi : distensi abdomen (-), asites (-)

Auskultasi : bising usus (+) Normal

Palpasi : turgor kembali cepat

Perkusi : timpani

Ekstremitas :

atas bawah

Sianosis : -/- -/-

Akral dingin : -/- -/-

Udem : -/- -/-

petekie : -/- -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

HHTL

Uji Serologi Widal

pemeriksaan Hasil

LED 68 mm/jam

Hb 12 g/dl

Leukosit 8000/mm3

Ht 34,9

trombosit 257 ribu/mm3

4

Page 6: LAPKAS tifoid

RESUME

An. M.F, laki-laki, umur 12 tahun. KU Demam + 5hr SMRS naik turun, pusing

(+), Disfagia (+), mencret 3x/hr 1 hr SMRS. Sudah berobat seblmna namun tdk

ada perubahan. R.Psikososial memiliki kebiasaan jajan sembarangan.

Pada pemeriksaan fisik

TTV : S: 36,7 o C, N: 74 x/menit, RR:88X/mnt.

Mulut : Mukosa bibir kering, Lidah kotor (+), Stomatitis(+)

Pada Pemeriksaan penunjang

S. Typhosa H 1/80 S.paratyphosa AO 1/80

S.Typhosa O 1/320 S.Paratyphosa BO 1/160

ASESSMENT

DEMAM TIFOID

PENATALAKSANAAN

1. Pasien di rawat

2. IVFD asering 1660 cc/ 24 jam

Dengan evaluasi 6 jam

3. Kloramfenikol 4 x 375 mg

paracetamol 3 x 375 mg

FG Troches 5 x 1 tablet dihisap

3. Kebutuhan kalori 1680 kkal

makanan: bubur/makanan lunak tanpa serat

Edukasi

5

Page 7: LAPKAS tifoid

- Higiene pribadi dijaga dan diperhatikan

- Perhatikan kualitas makanan dan minuman

- Makanan dan minuman harus dimasak dengan benar

6

Page 8: LAPKAS tifoid

TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan

Tifus abdominalis atau demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik

akut. Demam ini disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonellae typhi yang

secara morfologi identik dengan Escherichia coli. Sinonim demam tifoid dan

demam paratifoid : Typhoid fever dan paratyphoid fever, Enteric fever, Typhus

dan paratyphus abdominalis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat

piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan

eosinofil.

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang

sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui

jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu

melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau

pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat

berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau

kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan

sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan

pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.

Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella

yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada

karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang

paling sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier

adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi

Salmonella typhi dalam feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun

7

Page 9: LAPKAS tifoid

umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering

menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian

dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke

feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.

II. Etiologi

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu

motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,

subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang

membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O

somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan

antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan

dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi

terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen

terhadap fagositosis. Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C.

III. Patogenesis

Setelah tertelan inokulum yang sesuai, S. typhi melintasi sawar lambung

mencapai usus halus. Infeksi manusia secara eksperimental dengan strain Quailes

telah menyatakan bahwa 103 kuman tidak dapat menyebabkan penyakit

simtomatik tetapi 105 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen relawan.

8

Page 10: LAPKAS tifoid

Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama

jika kuman menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh

fagosit mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel

sehingga menimbulkan penyakit.

Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan keadaan

pertahanan pejamu. Variasi masa inkubasi antara 3 sampai 60 hari telah

dilaporkan. Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk

difagositosis dalam keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor

mikroba yang menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas yang

diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah kendali genetik.

Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh

keseimbangan antara perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan

intraseluar penjamu yang didapat. Jika jumlah bakteri intraselular melampaui

ambang batas kritis, bakteremia sekunder dapat terjadi dan menimbulkan invasi

pada kelenjar empedu dan Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang

menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara

reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis

(kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan

Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan dapat ditemukan

pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam

jumlah yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin

liposakarida pada S. typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia dan gejala

9

Page 11: LAPKAS tifoid

sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap

endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan

dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

1. Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109)

masuk ke dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam

lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus halus Di usus halus,

kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang sudah

mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi)

Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan

mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus

thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan

bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali ke

dalam hati.

2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati

kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum

terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES kemudian masuk kembali ke

aliran darah menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

adalah disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada

patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses

10

Page 12: LAPKAS tifoid

inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan

endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh

leukosit pada jaringan yang meradang.

IV. Patofisiologi

Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem

retikuloendotelial yang menunjukkan diri terutama pada jaringan limfoid usus,

limpa, hati, dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid terletak di

antemesenterial pada dindingnya, dan dinamai Plaque Payeri.

Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang

bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada

11

Page 13: LAPKAS tifoid

permulaaan Plaque Payeri penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan

tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu

pertama infeksi terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada

di kolon sesuai dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan

tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan.

Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh

biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe

mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa

biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel

polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir

selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam

empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri dan

12

Page 14: LAPKAS tifoid

Penderita menjadi pembawa kuman.

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri.

Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila

sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya.

Parotitis dan orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada

dan kadang terjadi pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada

tifus abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran

miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia

relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v.

13

Page 15: LAPKAS tifoid

femoralis, v. safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi

Zenker berupa hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot.

Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m.rektus abdomis dan otot

paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita.

Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan

lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu

dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah

tibia, sternum, iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat

gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi

14

Page 16: LAPKAS tifoid

di sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel

polimorfonuklear dan eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.

V. Anamnesa Umum

Gambaran klinik tifus abdominalis

Keluhan :

- Nyeri kepala (frontal) 100%

- Kurang enak di perut ≥ 50%

- Nyeri tulang, persendian dan otot ≥ 50%

- BAB 50%

- Muntah 50%

Gejala :

- Demam 100%

- Nyeri tekan perut 75%

- Bronkitis 75%

- Toksik > 60%

- Letargik > 60%

- Lidah tifus (“kotor”) 40%

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang

mengakibatkan gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan

bradikardia. Demam ini khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti

naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala,

15

Page 17: LAPKAS tifoid

malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang

persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati).

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial,

misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok

gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan

penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat

sampai lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya

berlangsung empat minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise,

anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi

(Gambar 1-11 dan 1-12) dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya

terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada

rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga

ditemukan.

16

Page 18: LAPKAS tifoid

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan

penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan

pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan

berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita

mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu

ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa

membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan

suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis

dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini

dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga

kali.

17

Page 19: LAPKAS tifoid

VI. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm

terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot

tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang

berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat

hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi

perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien

berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).

Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

Bradikardia relatif.

Hepatosplenomegali.

Jantung membesar dan lunak.

Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang

menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens

muskuler akibat rangsangan peritoneum.

Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat

mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah

segar.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,

bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi

timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan

18

Page 20: LAPKAS tifoid

ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan

kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-12).

Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah

diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

VII. Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia

normokromik, leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah

sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,

walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam.

Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada

kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi.

Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif

pada minggu ketiga dan keempat.

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%

penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.

Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman.

Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih

banyak daripada wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk

basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang

diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.

fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik

19

Page 21: LAPKAS tifoid

demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena

ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap

meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang

lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan.

Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria

yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat

menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini

sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata.

Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit,

dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena

kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas

normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-

kadang dapat ditemukan leukositosis.

2. SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah

demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

3. Biakan darah.

Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak

menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah

tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

20

Page 22: LAPKAS tifoid

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c. Vaksinasi di masa lampau.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal.

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen

yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam

serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang

sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam

serum pada :

a. Pasien demam tifoid.

b. Orang yang pernah tertular Salmonella.

c. Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat

antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O

yang berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H

yang berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.

21

Page 23: LAPKAS tifoid

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen

Vi yang berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang

ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.

- Keadaan umum pasien.

- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

- Pengobatan dini dengan antibiotik.

- Penyakit-penyakit tertentu.

- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

- Reaksi anamnestik.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.

- Aglutinasi silang.

- Konsentrasi suspensi antigen.

- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

• Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid.

22

Page 24: LAPKAS tifoid

• Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai

nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.

• Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan

diagnosis demam tifoid.

• Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

• Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan

kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam

tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.

• Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab

demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung

antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi

yang sama pula.

5. Kultur Gall (Gall Culture)

VIII.Penyulit

Penyulit pada tifus abdominalis dapat dikelompokkan dalam penyulit yang

langsung akibat gangguan di sistem retikuloendotelial dan penyulit tak langsung

karena adanya bakteremia. Penyulit yang langsung berupa perdarahan dan

perforasi tukak di ileum, kolesistitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis

dan perdarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot

dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di

jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis

biasanya menyerang tibia, sternum, iga dan tulang belakang.

23

Page 25: LAPKAS tifoid

Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita, sedangkan

perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada

minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan resiko

tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang

rendah (< 2,5 gr%) yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak

memadai, banyak gerak, diet padat yang diberikan lebih dini, dan keadaan

penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik

kesadaran menurun dan bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia

merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.

Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau perforasi

usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam

hilang sama sekali. Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat antitifus perlu

diberikan secara tepat dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.

Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah tekanan

sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan

defens muskuler akibat rangsangan peritoneum. Diagnosis perforasi acap sukar

ditegakkan karena penderita sudah letargik dan somnolen. Perut yang kembung

dan tegang menyebabkan adanya rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan

usus sering tampil sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok

hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar. Indikasi

laparotomi didasarkan atas jumlah perdarahan. Pada perforasi akut, sebaliknya

keadaan pasien tampak baik, tanda klasik dari perforasi muncul bila ditekan, tetapi

keadaan umum pasien akan menurun dengan cepat. Pasien biasanya respon

24

Page 26: LAPKAS tifoid

terhadap pengobatan konservatif dibandingkan dengan operasi. Pengobatan yang

konservatif yaitu dengan kloramfenikol, aspirasi gastrik yang bersamaan dengan

cairan dan elektrolit. Jika perforasi intestin dioperasi, angka kematiannya akan

lebih tinggi.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,

bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.

Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.

Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi

menunjukkan tanda salib maut. Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara

bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik. Penyulit tak

langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada setiap organ. Infeksi fokal

ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis, v.safena maupun sinus otak,

juga berupa nefritis, orkitis, parotitis dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi

pneumonia yang mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya merupakan

lanjutan tromboflebitis di sinus otak.

25

Page 27: LAPKAS tifoid

IX. Diagnosis banding

1. TBC milier.

2. TBC paru.

3. Meningitis TBC

4. Efusi pleura.

5. Ricketsiosis (tifus).

IX. Diagnosis

Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala

klinik serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi

tanpa imunisasi sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif.

Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang,

sputum atau eksudat purulen positif.

a. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 – 3 minggu.

- Titer antibodi (aglutinin) O = 1 : 320 4 x (1 : 80)

- Titer antibodi (aglutinin) H = 1 : 640 4 x (1 : 160)

Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan

nyeri samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti salmonelosis

pada umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue, bronkitits

akut, influenza dan pneumonia.

26

Page 28: LAPKAS tifoid

X. Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma uremia

hemolitik

2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis

5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

encephalopaty, Sindrome Guillian – Barre, psikosis,

impairment of coordination, sindroma katatonia.

XI. Terapi Obat

Kloramfenikol yang merupakan standar emas

Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan

dalam dosis yang sesuai (3 sampai 4 g/hari pada orang dewasa atau 50 sampai

75 mg/kgBB per hari pada anak yang lebih muda). Obat diberikan per os

27

Page 29: LAPKAS tifoid

selama 2 minggu, dan dosis dapat dikurangi sampai 2 g/hari atau 30 mg/hari

jika pasien menjadi tidak demam, yang biasanya terjadi setelah hari kelima

pengobatan.

Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa

atau 100 mg/kg per hari pada anak).

Trimetoprim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan, dalam dua dosis

harian terbagi pada orang dewasa atau 185 mg/m2 luas permukaan tubuh per

hari dari komponen trimetoprim pada anak-anak).

4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang

berusia lebih dari 17 tahun.

Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun

trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang

tidak mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah

ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun

demikian, tidak ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya

dibandingkan dengan seftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada

kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal

pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang

dewasa atau 80 mg/kgBB sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan

daya gunanya (efikasi). Lagi pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang

berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada

orang dewasa atau anak-anak yang sedikit diberi seftriakson; namun, jumlah

pasien yang dilaporkan masih sedikit.

28

Page 30: LAPKAS tifoid

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama

telah meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok,

karena kemahiran plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim

kloramfenikol asetil transferase.

Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, seftiakson

atau 4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa

yang berusia lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk

anak-anak, sekurang-kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk

anak-anak yang lebih muda.

Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid

toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang

menurun secara bertahap (tapering - off) selama 5 hari : Deksametason 3

mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1 mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek

samping : dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

29

Page 31: LAPKAS tifoid

DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. Penularan Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : Bakti

Husada, 2000 : 556-557..

Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

Sulistia G,Ganiswarna.dkk. Farmakologi dan Terapi cetakan ke 4. Gaya Baru,

Jakarta.FKUI ,2006.

W. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit

FKUI, 2006: 1774-1779.

30