dawud-makalah sej peradaban islam-runtuhnya baghdad dan implikasinya thd persebaran islam di asia
TRANSCRIPT
RUNTUHNYA BAGHDAD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PERSEBARAN ISLAM DI ASIA
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Ahwan Mukarrom, M.A.
Disusun Oleh:
Mochammad Dawud
NIM. F 0 9 4 1 1 2 9 9
KONSENTRASI DAKWAH
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Panji-panji islam telah ditancapkan di tanah 1001 malam sejak masa kekhalifahan
Abu Bakar Al S}>iddiq. Kala itu, panglima Khalid bin al-Walid setelah menaklukkan
Yamamah kemudian diperintahkan Khalifah Abu Bakar Al S}>iddiq untuk mendakwahi
penduduk Irak kepada Islam.1 Pada masa khalifah selanjutnya, perluasan daerah Irak dan
wilayah Timur terus dilakukan. Melalui berbagai perang dan ekspansi akhirnya Islam benar-
benar bisa menguasai. Bahkan seiring dengan berjalannya waktu dan semakin besarnya
pengaruh islam ke berbagai penjuru dunia. Dinasti Amawiyah memusatkan pemerintahannya
di Damaskus. Sedangkan dinasti Abbasiyah menjadikan kota Baghdad sebagai pusat
pemerintahannya.
Islam mengalami zaman keemasannya ketika dinasti Abbasiyah berkuasa. Bahkan
pada saat khalifah Harun al Rasyid. Banyak lembaga-lembaga pendidikan didirikan. Baitul
Hikmah yang menjadi pusat pengkajian keilmuan berkembang pesat.2 Namun zaman
keemasan itu tidak berlangsung lama. Masa-masa kemunduran dimulai setelah khalifah
Harun al Rasyid mangkat.
Satu demi satu wilayah-wilayah yang dikuasai oleh dinasti Abbasiyah mulai merasa
tidak ada lagi hubungannya dengan pemerintahan di Baghdad. Mereka tidak merasakan
adanya manfaat lagi dengan mempertahankan dinasti Abbasiyah yang cara mempertahankan
kekuasaannya sudah tidak lagi mengedepankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik. Ada
yang menjadi pemerintahan sendiri/otonom, ada yang semi otonom bahkan ada yang
memerdekakan diri.
Meski kehancuran dinasti juga didukung faktor eksternal, namun faktor internal
sebenarnya sangat dominan. Ibnu Khaldun menyatakan, salah satu hambatan untuk mencapai
1 Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab Al Bidayah wan Nihayah. Terjemahan Abu Ihsan al Atsari (Jakarta:
Darul Haq, 2011), 147. 2 Yusuf Al Isy, Dinasti Abbasiyah. Terjemahan Arif Munandar (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007), 53
3
kekuasaaan adalah kemewahan hidup dan larut dalam kenikmatan.3 Sedangkan Philip K. Hitti
menyebutnya hampir sama dengan kondisi Imperium Romawi di Barat. Saat si sakit sudah
berada di ranjang kematiannya ketika perampok mendobrak pintu dan segera mengambil
bagian dari warisan imperium.3
3 Ibnu Khaldun, Mukaddimah terjemahan Masturi Irham dkk (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001) hal. 221.
3 Philip K. Hitti, History of The Arabs. Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT Serambi Ilmu, 2002),
616.
4
II. RUNTUHNYA BAGHDAD
A. Awal Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Masyarakat muslim pada awal pemerintahan Abbasiyah banyak berharap
perbaikan taraf hidup mereka, sehingga mereka bersatu-padu mendukung pergerakan
Abbasiyah sampai lahirnya dinasti baru ini. Tapi nyatanya imperium ini tidak
ubahnya seperti pemerintahan Bani Umayyah, yang berganti hanya namanya saja.
Baitul mal yang sejatinya didistribusikan untuk kepentingan masyarakat, hanya dapat
dinikmati oleh kalangan penguasa.4 Memang pada awalnya orang-orang non arab
telah diangkat untuk menduduki jabatan panglima-panglima tentara dan gubernur, tapi
akhirnya mereka harus pasrah dengan hidup menderita.
Baitul mal yang sarat dengan uang, bisa mengubah kepribadian
seseorang/khalifah, mereka terbuai dengan kehidupan mewah sehingga kurang
memperhatikan urusan negara. Bahkan seorang Wazir bisa menyogok seorang
Khalifah untuk jabatan yang sangat berpengaruh. Tujuannya adalah untuk
mengeksploitasi jabatannya dan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk
menghadapi masa-masa sulit di kemudian hari. Dengan berbagai kecurangan karena
jabatan dianggap sebagai kekayaan yang harus dibeli, dijual dan dieksploitasi untuk
kepentingan pribadi.5
Sistim monarki yang diberlakukan oleh para khalifah saat melanjutkan estafet
kepemimpinannya menjadi titik awal kemunduran Bani Abbasiyah. Meski pada masa
Khalifah Harun Al Rasyid Islam mengalami kegemilangan, namun al Rasyid juga ikut
melestarikan sistem pemerintahan Bani Umayyah yang menganut paham Monarki,
yaitu menunjuk puteranya sebagai pengganti sesudahnya. Bahkan apa yang dilakukan
oleh Al Rasyid agak aneh, tidak seperti biasanya Khalifah pendahulunya. Ia menunjuk
ketiga puteranya sekaligus sebagai putera mahkota (Al Amien, Al Ma’mun, Al
Mu’taman)6.
4 Abul A’la Al-Maududi, Khalifah Dan Kerajaan. Terj. Muhammad Al-Bakir (Bandung: Mizan, 1994), 253
5 Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Kesatu dan Kedua (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1999), hal. 198. 6 A.Syalabi. Sejarah Dan Kebudayaan Islam Terj. Muhammad Labib (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru), 107
5
Untuk menjaga kerukunan dan agar tidak terjadi bentrokan antar ketiga
puteranya, ia mengangkat Al Amien sebagai gubernur Syam dan Irak, sementara Al
Ma’mun diangkat sebagai gubernur Khurasan dan daerah utara sungai Say dan Hun
serta daerah timur, sedangkan Al Kosim dengan gelar Al Mu’taman diberi jabatan di
daerah al Jazirah dan daerah perbatasan yang berhadapan dengan Imperium Romawi.7
Ketiganya diminta untuk tidak saling intervensi antara yang satu dengan yang lain.
Setelah Al Rasyid meninggal, Al-Amien begitu cepat melanggar apa yang
telah digariskan oleh ayahnya dengan berkeinginan memecat kakaknya dari jabatan
sebagai putera mahkota. Tapi ternyata Al-Ma’mun berhasil melumpuhkan pergolakan
Al-Amien dan membunuhnya dalam pertempuran yang terjadi di kota Baghdad pada
bulan Muharram 198 H.8 Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan
kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga Irak dan sejumlah
propinsi lainnya.9
Al-Ma’mun terkenal dengan pemikiran ideologisnya, pemikiran-pemikirannya
lebih cenderung kepada paham Mu’tazilah. Hal ini membuat masyarakat resah dan
banyak memakan korban terutama Ahli Hadits yang sangat menentang teologi
Mu’tazilah. Mereka dipenjarakan. Tapi untuk menarik simpati masyarakat, khususnya
warga Syi’ah, Al-Ma’mun mengangkat Ali Ridha, imam ke delapan sebagai
pewarisnya. Kaum Syi’ah hanya sebagai elit spritual dan intelektual yang tidak
mampu memerintahkan rakyat untuk memberikan dukungan.10
Sepanjang imperium Abbasiyah yang sebagian dibangun berdasar upaya
identifikasi Islam dan sebagian berdasarkan identifikasi khalifah, maka hilangnya para
pendukung merupakan sebuah bencana politik yang amat besar. Meskipun khalifah
tetap sebagai pimpinan umat dan simbol bagi persatuan muslim, tetaplah terbuka
jurang pemisah antara negara dan komunitas keagamaan. Sejak saat itu, khalifah
menampakkan interest politik dan pemerintahan islam. Sementara para ulama dan sufi
merumuskan prinsip-prinsip keyakinan islam.
7 Ibrahim Al-Shuraiqi Al-Tarikh Al-Islami (tt: tp, 1971), 132.
8 Dr. Muhammad Al-Thayyib, Tarikh Al-Daulah Al-Abbasiyah Wa Hadlarotiha (Riyad, Jami’a Al-Imam
Muhammad bin Sa’ud, 1400 H), 21. 9 lra.M.Lapidus, Sejarah Sosial…., 194
10 Karen Armstrong, Islam: A Short History, terj. Ira Puspito Rini (Surabaya, Ikon Teralitera, 2004), 75. baca
juga Ira M. Lapidus, Sejarah….. hal 164.
6
Al Mu’tashim (ada yang menyebutnya juga al-Musta’shim)11
adalah khalifah
terakhir pada dinasti Abbasiyah. Ia sudah tidak banyak mendapatkan dukungan dari
rakyatnya. Turunnya wibawa khalifah diikuti dengan pemisahan beberapa wilayah
dalam dinasti Abbasiyah. Mereka ada yang menjadi otonom, semi otonom bahkan
secara terang-terangan menyatakan mendirikan dinasti tersendiri. Akibatnya,
perpecahan tidak bisa dihindarkan. Al Mu’tashim berupaya menumpas
pemberontakan-pemberontakan ini dengan pasukan bayarannya.
Namun peperangan sengit juga terjadi antara internal keluarga kerajaan.
Ribuan orang terbunuh akibat peristiwa Al Mansur melawan Abdullah bin Ali,
pamannya sendiri. Juga saat Al-Mu’tasim melawan Abbas bin Ma’mun. Konflik ini
sangat menghilangkan solidaritas keluarga dan mengundang campur tangan kekuatan
luar seperti orang Turki, Saljuk dan Buwaihi.
Al-Mu’tasim banyak mendatangkan prajurit baru yang sengaja didatangkan
dari Turki untuk menggantikan prajurit keturunan Arab dan Persia. Dengan harapan
mereka bisa bekerja maksimal untuk kepentingan negara. Namun apa yang dirasakan
malah sebaliknya. Walaupun prajurit Turki banyak berhasil menumpas
pemberontakan, tapi masalah yang ditimbulkan justru lebih besar. Pengaruh
keturunan Turki kian bertambah kuat dan bertindak mencampuri urusan pemerintahan
dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai. Khalifah tidak lagi menjalankan
tugasnya sebagaimana harusnya, melainkan hanya sekedar jadi simbol belaka.
Perpecahan semakin membesar, para gubernur (amir) yang berdomisili di
wilayah barat baghdad seperti Aghlabiyah, Idrisiyah, Fatimiyah, Umawiyah II,
Thuluniyah dan Hamdaniyah maupun yang berdomisili di timur Baghdad seperti
Thahiriyah, Shafariyah, Ghaznawiyah, Samaniyah mencoba untuk tidak taat lagi pada
khalifah pusat di Baghdad.
Hal ini diperparah dengan intrik yang dilakukan perdana menteri Ibnu Alqami.
Ia berhasil merayu pasukan Tartar untuk menyerang Baghdad. Ia kemudian
menyarankan khalifah Mu’tashim mengirim hadiah-hadiah yang berharga kepada
Hulagu Khan agar membatalkan rencana penyerbuannya ke Baghdad. Beberapa
11
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), 173.
7
pembantu dekat khalifah mengusulkan agar khalifah tidak perlu membawa barang-
barang mewah sebagai hadiah dan tidak perlu berlebih-lebihan menanggapi ancaman
Hulagu Khan. Khalifah Mu’tashim akhirnya menyetujui usulan yang kedua. Hal itu
didengar oleh Hulagu Khan. Hulagu Khan lantas berkirim surat dan meminta
pembantu yang mengusulkan pemberian hadiah yangtidak mewah tersebut. Surat itu
tidak digubris oleh khalifah Mu’tashim. Hulagu Khan semakin geram.12
Pada awal 1258 M, Hulagu Khan mengirimkan pasukan ke Baghdad sebagai
pasukan awal sebelum kedatangannya. Namun saat itu Baghdad dijaga ketat dan
pertahanan sudah disiapkan. Setelah beberapa lama terlibat pertempuran, al
Mu’tashim akhirnya ditangkap bersama al Qami, para penasehat khalifah serta para
keluarga khalifah. Mereka semua dibunuh bersamaan dengan pembantaian penduduk
kota Baghdad oleh Hulagu Khan.
Pada tahun itu pula 1258 M, gedung-gedung di Baghdad, mulai dari istana,
gedung pemerintah hingga madrasah-madrasah dibakar dan diratakan oleh Hulagu
Khan. Buku-buku karya intelektual muslim pada zaman keemasan dibakar dan
dibuang ke sungai Tigris. Sayyid Muhammad al Wakil menggambarkan pada saat itu
sungai Tigris airnya sampai berwarna hitam akibat lunturan tinta dari buku-buku yang
dibuang ke dalamnya.
Hulagu Khan tidak menyisakan apapun atas karya-karya ilmu pengetahuan
dinasti abbasiyah. Inilah yang kemudian menjadi persoalan umat islam hingga
sekarang.
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Kebesaran, keagungan, kemegahan dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat
pemerintahan Dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawa sungai Tigris, setelah
kota ini dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun
1258 M. Semua bangunan kota termasuk istana emas dihancurkan. Pasukan Mongol
juga meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku-
buku yang ada di dalamnya.
12
Muhammad Sayyid Al Wakil, Lahmatun Min Tarikhid Da’wah; Asbabudh-Dha’fi Fil Ummatil Islamiyyah.
Terjemahan Fadli Bachri (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998), 257.
8
Kota Baghdad sangat menarik bagi bangsa-bangsa yang ingin meluaskan
ekspansinya di wilayah Timur Tengah. Meski sudah dihancurkan oleh pasukan
Mongol, pada tahun 1400 M kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk. Tentara
Kerajaan Safawi juga pernah menyerang Baghdad pada tahun 1508 M.
W. Montgomery Watt menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan
kemunduran pada masa daulah Abbasiyah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah. Hal itu tidak didukung dengan
kemudahan komunikasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah yang ada di
daerah-daerah. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup
memaksa pengiriman pajak ke Baghdad. 13
Sementara, Badri Yatim menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan
kemunduran dinasti Abbasiyah, antara lain:
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada
masa dinasti Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti
Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa
ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyah sendiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
13
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1990), 165-166.
9
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar daripada yang
keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode
kemunduran, pendapatan negara menurun sehingga terjadi kemerosotan dalam bidang
ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode
Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentral sehingga
mengakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah,
Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah
mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal umat Islam. Perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian
pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salin sehingga
memunculkan kelemahan-kelemahan.
5. Serangan Bangsa Mongol
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam
menjadi lemah, khususnya serangan yang dilakukan oleh Hulagu Khan yang berhasil
membunuh khalifah terakhir dan membantai warga Baghdad.14
Ada pendapat lain yang menambahkan karena banyaknya wilayah-wilayah
yang dipimpin oleh para gubernur melepaskan diri dari pusat Baghdad dan
mendirikan dinasti-dinasti kecil secara mandiri. Ketidakjelasan sistim penggantian
khalifah serta munculnya gerakan-gerakan pemberontakan.15
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 80-85. 15
Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), 70-73
10
Meski secara garis besar ada dua faktor yang menyebabkan kemunduran
Dinasti Abbasiyah, yakni internal dan eksternal, namun Philip K. Hitti yakin faktor
internal-lah yang paling dominan dalam menyebabkan kemerosotan kekuasaan Bani
Abbasiyah.16
16
Philip K. Hitti, History of The Arabs, 617.
11
BAB III
DAMPAK RUNTUHNYA BAGHDAD
A. Di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat kedaulatan Abbasiyah yang berada di Baghdad bisa menjangkau berbagai
daerah yang ada dan memimpin daerah tersebut. Di bawah kekuasaan daulah Abbasiyah
Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, terutama pendidikan. Para pemimpin
daulah Abbasiyah lebih memikirkan bidang pendidikan daripada daulah Umayyah
sebelumnya yang lebih fokus pada bidang kemiliteran.
Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa kekhalifahan
Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan
di atas segalanya. Dia juga selalu memikirkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan
tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku
dari Yunani serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru. Filsafat
Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah Al Makmun terpengaruh dan mengambil
teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara. 17
Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tak
tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu
pengertahuan terhadap dunia.
Serangan Hulagu Khan di Baghdad tidak menyisakan apapun. Dalam konteks seperti
ini sudah barang tentu dunia pendidikan tidak mendapatkan tempat yang memadai. Segala
aspek yang menunjang berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan serba terbatas. Pada
masa seperti ini dunia Islam tidak dapat melahirkan pemikir-pemikir yang kritis. Lembaga-
lembaga perguruan tinggi sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu. Kebebasan mimbar dan akademik yang
menjadi roh atau jantung Islam satu per satu surut.17
Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan
menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam, terutama dalam bidang
17
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakata : Kencana Prenada Media Group, 2007), h, 172 17
Ibid, hal. 174.
12
intelektual dan material. Namun tidak demikian dengan bidang kehidupan batin dan
spiritual.18
Suasana gelap yang menyelimuti dunia Islam akibat benar-benar mencekam dan
memprihatinkan.pada saat bangsa Eropa sibuk melepaskan armada-armadanya untuk
mengarungi berbagai lautan untuk menjajah negara-negara Islam sekaligus dengan
menyebarkan ajaran injil. Pada saat itu pula daya intelektual generasi penerus tidak mampu
untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan
perkembangan zaman. Sebagian besar kaum muslimin justru tenggelam dalam tasawuf.19
Dengan runtuhnya kekuatan Islam di Baghdad dan bahkan di Cordova maka mulailah
kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam. Kehancuran total dihadapi kota-kota
pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan
Islam dan melemahnya pemikiran. Penyebabnya antara lain :
1. Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan umat yang frustasi menyebabkan
kembali pada Tuhan dalam arti bersatu dengan tuhan, sebagaimana duiajarkan oleh
para sufi. Di setiap Madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme, sehingga di
dalam Madrasah hanya ada ilmu-ilmu agama sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak
termasuk dalam pengajaran.
2. Sedikitnya kurikulum Islam
Pada Madrasah-madrasah, pengajaran umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan,
seperti ilmu-ilmu yang murni yaitu : Tafsir, Hadis, Fikih dan Ushul Fikih, Ilmu
Kalam, dan Teologi Islam sudah mulai tertinggal karena penyempitan kurikulum pada
masa itu. Pada beberapa Madrasah tertentu, Ilmu Kalam dicurigai, yang lebih di
fokuskan kepada ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan
juga materi yang ada banyak sedangkan waktu yang diberikan untuk mempelajarinya
hanya sedikit sehingga para pelajar tidak terlalu memahami suatu ilmu.
3. Tertutupnya pintu ijtihad
18
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 111. 19
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 177.
13
Dengan dikuranginya kebebsan berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan akal,
maka banyak para ahli tersebut hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya tanpa
menemukan pemecahan terbaru tentang hal-hal permasalahan yang sedang
berkembang dari hasil pemikiran mereka. Sehingga timbul pernyataan yang
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. 20
Kemunduran pendidikan Islam terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan
pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Materi pelajarannya seperti
dijelaskan Zuhairini yang dikutip oleh Syamsul Nizar, sangat sederhana. Materi yang
diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga
pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan.
Rasionalismepun kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal
semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam
mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian dan ijtihad tidak lagi
dikembangkan. 20
Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelek
yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama
terdahulu daripada berusaha melakukan temuan-temuan baru. Keterpesonaan terhadap
buah fikiran masa lampau membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah
ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan
keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian
syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan
pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-
kalimatnya secara semantik atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-
ucapan para ulama lain.
Antipati terhadap mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap
kurikulum. Jatuhnya paham mu’tazilah mengangkat posisi kaum konservatif menjadi
kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlussunnah sekaligus memperkokohnya, ulama-
20
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 190-191.
20 Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 ), h, 121
14
ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendikan. Karena
ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan
masalah hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan
fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena
itu mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan
Islam.21
Daya cipta lumpuh, yang timbul adalah daya imitasi dan kesenian
berakomodasi dengan situasi kondisi.22
Umat Islam banyak terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok politik, aliran-
aliran ilmu kalam dan filsafat Islam, golongan dan mazhab hukum fikih, jamaah-
jamaah sufi dan tarekat. Universitas Al Azhar yang didirikan abad X M jauh
ditinggalkan oleh Universitas Paris, Oxford dan Cambridge yang baru berdiri abad
XIII M. Universitas Islam Deobamd di India dan Universitas Zaitunah di Tunisia
tadak lagi dapat disebut universitas-universitas yang diharapkan oleh Al Qur’an.
Mata pelajaran seperti astronomi, físika, kimia, kedokteran, biologi, sosiologi,
ekonomi, politik sudah ditinggalkan karena dianggap bukan pelajaran agama, tapi
ilmu umum. Padahal Al Qur’an tidak pernah membedakan bahwa kelompok pertama
adalah ilmu agama dan kelompok kedua adalah ilmu umum. Seperti yang dikutip oleh
Chadijah Ismail mengatakan :
“Orang Islam yang dulu pernah pertama kali mendirikan rumah sakit dan telah
maju dalam bidang kedokteran, yang telah memberikan inspirasi bagi
pendirian rumah sakit di seluruh Eropa, Semarang jatuh ke dalam keadaan
yang menyangka percobaan kimia Perancis Francis semacam sihir.” 23
B. Bidang Agama
Di dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta di
kalangan umat. Dengan sikap hidup tersebut, kehidupan mereka sangat statis. Tidak
ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab
fikih lama dianggap sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti
serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
21
Ibid, hal. 123. 22
Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 59. 23
Ibid, hal. 61.
15
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan
yang berkembang diwarnai dengan kegiatan sufi. Madrasah pertama khusus untuk
sufi berada di Basrah. Kemudian di Iraq. Dan di beberapa kota lain. Ulama’ sufi yang
terkenal pada jaman itu adalah Sa’id bin Musayyad dan Ibrahim bin Adham.
Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah
di bawah bimbinganan otoritas guru-guru sufi. Selanjutya dikembangkan untuk
menuntun para murid, yang dikenal berikutnya dengan istilah tarekat.24
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman
yang dikutip oleh Syamsul Nizar :
” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam halaqah-halaqah dan zawiat-
zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal,
kurikulum akademis yang terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang
sufi”.25
Banyak umat yang tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju atau
mengatasi problem keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan
hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk itu mereka masuk ke tarekat-tarekat
sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
C. Persebaran Islam Pasca-Runtuhnya Baghdad
Serangan Hulagu Khan ke Baghdad akhirnya membuat bani Abbasiyah benar-
benar hancur. Semua itu membuat banyak orang – terutama tokoh-tokoh yang menonjol –
berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman.
Diantara orang yang hijrah dari Baghdad adalah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
Ilallah (berhijrah mencari ridha Allah). Sebab Al Muhajir – seperti tokoh-tokoh ahlul bait
yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan
penganiyaan. Meski demikian, banyak di antara tokoh Alawiyin (sebutan bagi keturunan
Nabi Muhammad SAW) berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke
dalam huru-hara. Mereka juga berupaya untuk tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan
politik. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik – menurut pandangan mereka –
24
Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hal. 54. 25
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 179
16
akan selalu berakhir dengan kegagalan. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa
Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus
menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan
pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad bin
Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan
Abbasiyah. Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya
agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus,
sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu
menghentikan perlawanannya.
Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus
gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup
aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan
kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman. Setibanya di negeri ini, Al Muhajir
tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah (ada juga yang menyebut
Adhabiyah, yaitu kelompok yang tidak suka terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib) yang
merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Setelah gagal berdialog dengan mereka
secara baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya
mendapat dukungan penduduk Jubail dan Wadi Dau'an yang bersimpati kepada Ahlulbait.
Mereka kemudian melakukan apa yang disebut sebagai “tugas suci”, yakni
menyebarkan agama Islam ke penjuru dunia. Mereka mengadakan tabligh-tabligh,
membangun perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid.
Alawiyin yang semula bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam
menghadapi Abadhiyun setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam melaksanakan suatu
kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi’i Al-Quraisyi.
Madzhab inilah yang kemudian disebut mazhab Syafi’i.
Islam kemudian berkembang melalui tarekat-tarekat dan disebarluaskan ke
seluruh penjuru Asia. Ketika dinasti Uthmani berkuasa, Sultan senantiasa mengandalkan
17
pasukan Jannesari dan tarekat-tarekat untuk bekerja sama dalam memperluas Islam. 26
Pengaruh tarekat-tarekat ini semakin kuat akibat politik ekspansinya yang tidak diikuti
dengan pembinaan wilayah taklukkannya. Ditambah dengan semakin melemahnya para
sultan. 27
Ilmu tasawuf semakin berkembang. Bahkan, agama Islam bisa meluas di Afrika,
pelosok Asia, Asia Kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang
berada di Lautan Hindia hingga ke Indonesia semuanya dibawa oleh propaganda-
propaganda Islam dari kaum tasawuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka yang sederhana,
kata-kata mereka yang mudah dipahami, kelakuannya yang sangat tekun ibadah,
semuanya lebih menarik daripada ribuan kata yang hanya teori adanya.28
26
Pasukan Jannesari adalah pasukan yang dibentuk pada masa dinasti Sultan Uthmani. Pasukan ini direkrut
dari penduduk Turki non-budak yang didanai oleh timar, sejenis dengan iqt}a’ di Timur Tengah, yakni
pendapatan pajak sebagai imbalan bagi tugas kemiliteran. Mereka juga dilengkapi dengan pasukan kavaleri
propinsial yang sebagian besar berasal dari kalangan budak. Pasukan Janessari banyak yang anggotanya juga
menjadi anggota tarekat Bektasyi. Oleh karena itu mereka juga dijuluki Angkatan Bersenjata Bektasyi. Lihat Ira
M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I dan II, terjemahan Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), hal. 488-489. 27
Bimas Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, terjemahan Karsidi Diningrat R. (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999), hal. 52. 28
Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah..., hal 55.
18
BAB IV
PENUTUP
1. Dinasti Abbasiyah adalah periode Islam yang mengalami kejayaan hingga puncak
keemasan. Hal itu ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Munculnya banyak pemikir dan intelektual Islam.
2. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah selain karena adanya serangan dari luar, namun yang
lebih dominan dalam hal ini adalah karena faktor-faktor internal. Diantaranya adalah
karena wilayah yang luas, kemerosotan ekonomi, gaya hidup para pejabat dan sistim
pergantian kekuasaan yang mendasarkan pada sisitim monarki.
3. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah di Baghdad menyebabkan mundurnya kejayaan Islam
di dunia Arab bahkan di dunia. Serangan yang dilakukan Hulagu Khan terhadap
Baghdad dan bumi hangus kota Baghdad beserta pembakaran dan pembuangan buku-
buku karya para pemikir dan terjemahan ilmu pengetahuan Yunani menyebabkan
tidak berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal itu terjadi sampai saat ini.
4. Pasca-runtuhnya Dinasti Abbasiyah, timbul kejumudan umat Islam. Umat Islam
banyak yang berkonsentrasi dan mengembangkan ilmu-ilmu tasawuf dan keagamaan.
Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan umum ditinggalkan. Umat Islam banyak
mengikuti pemikiran al Ghozali yang mendasarkan pada kesucian diri dan kepasrahan
kepada Tuhan. Sementara Barat yang pada saat itu mulai bangkit justru mengikuti
pola pikir Ibnu Rusyd yang mendorong kepada usaha manusia untuk maju.
5. Persebaran agama Islam tidak lagi dilakukan dengan armada pasukan perang atau
penaklukan daerah-daerah tertentu melalui perang semata. Namun juga melalui
melalui tarekat-tarekat kelompok sufi. Persebarannya melalui perdagangan, melalui
akulturasi budaya yang kesemuanya adalah jalan damai. Sehingga penetrasi Islam ke
daerah-daerah di Asia begitu terasa sebagai agama yang damai.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al Aziz S., Moh. Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang,
1998.
Armstrong, Karen, Islam: A Short History, terj. Ira Puspito Rini, Surabaya: Ikon Teralitera,
2004..
Asrohah, Hanum, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hitti, Philip K., History of The Arabs. Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT
Serambi Ilmu, 2002.
Ismail, Chadijah, Sejarah Pendidikan Islam,
Isy (al), Yusuf, Dinasti Abbasiyah. Terjemahan Arif Munandar, Jakarta: Pustaka Kautsar,
2007.
Katsir, Ibnu, Tartib wa Tahdzib Kitab Al Bidayah wan Nihayah Terjemahan Abu Ihsan al
Atsari, Jakarta: Darul Haq, 2011.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah terjemahan Masturi Irham dkk, Jakarta: Pustaka Al Kautsar,
2001.
Lapidus, Ira.M., Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Maududi (al), Abul A’la, Khalifah Dan Kerajaan. Terj. Muhammad Al-Bakir, Bandung:
Mizan, 1994.
Muhammad Al-Thayyib, Tarikh Al-Daulah Al-Abbasiyah Wa Hadlarotiha terjemahan,
Jakarta: Rajawali, 1999.
Nizar, Syamsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), 2007.
Nurhakim, Moh., Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press, 2004.
Shuraiqi (al), Ibrahim Al-Tarikh Al-Islami terjemahan....,
Syalabi, A.. Sejarah Dan Kebudayaan Islam Terj. Muhammad Labib, Jakarta: PT Pustaka
Al-Husna Baru, 1995.
Toprak, Bimas, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, terjemahan Karsidi Diningrat R.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Wakil (al), Muhammad Sayyid, Lahmatun Min Tarikhid Da’wah; Asbabudh-Dha’fi Fil
Ummatil Islamiyyah. Terjemahan Fadli Bachri, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998.
Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990.
Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
20
Tambahan dari Pak Akhwan
Pasca runtuhnya baghdad ada fenomena runtuhnya pintu ijtihad
Menurut iqbal memang disengaja oleh para ulama’. Ada fatwa yg menyatakan pintu ijtihad
ditutup. fatwa yg dikeluarkan, umat islam tidak perlu melakukan pemikiran/ijtihad baru.
Tujuannya sementara, agar ulama2 dan umat melakukan konsolidasi. Namun ternyata terlalu lama
sampai abad ke 13. Sampai sekarang akhirnya sulit melakukan ijtihad. (fatwa akhirnya bersifat
permanen).
Terjadi dominasi pendapat Ghozali perkara keagamaan, dinyatakan sudah tuntas, seolah2
persoalan fikih sudah selesai. Tidak ada mujtahid baru. Pendapat ttg filsafat manusia menyebabkan
pintu ijtihad tertutup.
Kaum alawiyin pasca runtuhnya Baghdad lari ke Timur, berdagang dan menyebarkan Islam.