daster p3

11
PERCOBAAN III UJI KETERATOGENIKAN A. TUJUAN Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji keteratogenikan suatu obat. B. DASAR TEORI Teratogenik adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari perubahan fisiologi dan biokimia. Umumnya, jika janin pada wanita hamil terkena efek teratogenik, akan muncul kecacatan atau yang paling parah kematian pada janin tersebut. Faktor yang menyebabkan kecacatan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Faktor Genetik Faktor genetik terdiri dari : a. Mutasi Adalah perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif. b. Aberasi Adalah perubahan pada susunan kromosom. Contoh cacat karena ini adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma 2. Faktor Lingkungan

Upload: fechlyes

Post on 14-Dec-2014

64 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

dasar teori

TRANSCRIPT

Page 1: daster p3

PERCOBAAN III

UJI KETERATOGENIKAN

A. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan manfaat uji

keteratogenikan suatu obat.

B. DASAR TEORI

Teratogenik adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari

perubahan fisiologi dan biokimia. Umumnya, jika janin pada wanita hamil terkena efek

teratogenik, akan muncul kecacatan atau yang paling parah kematian pada janin tersebut. Faktor

yang menyebabkan kecacatan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Faktor Genetik

Faktor genetik terdiri dari :

a. Mutasi

Adalah perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi menimbulkan alel

cacat, yang mungkin dominan atau resesif.

b. Aberasi

Adalah perubahan pada susunan kromosom. Contoh cacat karena ini adalah berbagai

macam penyakit turunan sindroma

2. Faktor Lingkungan

Kecacatan sejak lahir yang tidak diwariskan melainkan akibat dari faktor eksternal disebut

teratogen. Senyawa teratogen akan berefek teratogenik pada suatu organisme, bila diberikan

pada saat organogenesis. Apabila teratogen diberikan setelah terbentuknya sel jaringan,

sistem fisiologis dan sistem biokimia, maka efek teratogenik tidak akan terjadi.

Faktor lingkungan terdiri dari :

a. Infeksi

Infeksi dapat terjadi jika induk terkena infeksi, umumnya oleh virus. Contohnya

infeksi virus Rubella yang dapat menyebabkan bayi menderita katarak, mengalami

Page 2: daster p3

kelainan pada sistem pendengaran dan kelainan jantung bawaan dan juga kelainan

fisik lainnya.

b. Obat

Berbagai macam obat yang diminum ibu waktu hamil dapat menimbulkan cacat

pada janinnya. Misalnya Thalidomide yang menyebabkan kecacatan pada lebih dari

10 ribu bayi pada tahun 1950 dan awal 1960-an. Kecacatan yang terjadi diantaranya

lahir tanpa kaki, lengan dan tangan, cacat pada tulang belakang, bibir sumbing dan

kelainan pada telinga. Cacat lain mencakup kelainan jantung, ginjal, alat kelamin

serta kelainan sistem pencernaan.

c. Radiasi

Ibu hamil yang terpapar sinar-X baik sengaja sengaja maupun tidak sengaja, ada

yang melahirkan bayi cacat pada otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling

berhubungan erat dengan lahir cacat bayi di daerah bersangkutan.

d. Defisiensi

Defisiensi vitamin atau hormon pada ibu hamil dapat menimbulkan cacat pada

janin yang sedang dikandung.

Defisiensi CacatVitamin A MataVitamin B kompleks, C, D Tulang/rangkaTiroxin CretinismeSomatotropin Dwarfisme

e. Emosi

Emosi yang dikontrol oleh sistem hormon dapat menyebabkan sumbing atau

langit-langit celah jika terjadi pada minggu ke 7 sampai 10 kehamilan.

Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan khas. Tepatnya, adalah uji

ketoksikan suatu obat yang diberikan selama masa organogenesis suatu jenis hewan bunting. Uji

keteratogenikan pada percobaan bertujuan untuk melihat apakah suatu obat dapat menyebabkan

kecacatan pada hewan bunting dan apakah kecacatan tersebut berkerabat dengan dosis obat yang

diberikan. Dengan demikian, uji keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai landasan evaluasi

Page 3: daster p3

batas aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh wanita hamil, utamanya berkaitan dengan

cacat bawaan janin yang dikandungnya.

Tata cara dalam pelaksanaan uji keteratogenikan diantaranya :

1. Pemilihan hewan uji

Hewan uji yang digunakan, paling tidak terdiri dari dua jenis hewan, roden dan

nirroden. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pemilihan hewan uji ini, yakni berkaitan

dengan umur, berat badan, keperawanan, keteraturan daur estrus, periode laktasi pendek,

jumlah anak, dan kerentanan terhadap teratogen. Hal yang terakhir ini dapat diketahui

dengan cara memejani hewan bunting dengan senyawa uji yang dosisnya setara dengan

harga LD50nya. Bila kemudian, ditemukan kematian pada seluruh janin yang dikandungnya,

dapat dikatakan hewan tersebut peka terhadap teratogen. Berdasarkan kajian terhadap

berbagai laporan pelaksanaan uji kateratogenikan, hewan uji yang disarankan dapat dipilih

adalah mencit dan tikus ( roden ) dan kelinci ( nirroden ) yang masih perawan dan daur

estrusnya teratur.

2. Pengelompokan hewan uji

Hewan uji terpilih, setelah diadaptasikan dengan suasana laboratorium selama

satu minggu, kemudian dikelompokan sesuai dengan peringkat dosis yang diberikan,

ditambah satu atau dua kelompok control negative dan jika perlu satu kelompok control

positif. Masing – masing kelompok tersebut, paling tidak terdiri dari 20 – 30 ekor untuk

mencit dan tikus atau 12 ekor untuk kelinci. Perlu dicatat disini, hewan uji yang

dikelompokan tersebut, daur estrusnya telah diperiksa keteraturannya.

3. Pemeriksaan daur estrus

Pereriksaan daur estrus dilakukan dengan metode usap vagina yang dilakukan

pada hewan uji yang telah dikelompokan tadi. Pemeriksaan daur estrus dengan metode ini,

dapat dilakukan dengan membandingkan tipe sel epitel vaginanya.

Page 4: daster p3

Perbedaan Tahapan Siklus Estrus

Foto : blog.uin-malang.ac.id

Meski perubahan yang terjadi tidak sesignifikan di uterus dan cervix, dinding vagina juga

memperlihatkan perubahan-perubahan yang terjadi secara berkala (periodik). Pada fase folikuler

di dalam ovarium, estrogen merangsang epitel vagina aktif bermitosis dan mensintesis glikogen

sehingga lapisan mukosa vagina menjadi lebih tebal menjelang ovulasi dan lumen vagina banyak

mengandung glikogen. Penebalan epitel lapisan mukosa disertai dengan proses penandukan atau

kornifikasi dan kemudian mengelupas.

Dengan ditemukannya sel epitel menanduk pada preprat apus vagina, adalah indikator

terjadinya ovulasi. Menjelang ovulasi leukosit makin banyak menerobos lapisan mukosa vagian

kemudian ke lumen. Selama masa luteal pada ovarian dengan pengaruh hormon

progesterondapat menekan pertumbuhan sel epitel vagina.

Siklus estrus merupakan sederetan aktivitas seksual dari awal hingga akhir dan terus

berulang. Panjang waktu siklus estrus pada tikus putih (Rattus norvegicusL.) yaitu 4 sampai 5

hari. Siklus ini dibedakan dalam 2 tingkatan yaitu fase folikuler dan fase luteal. Fase folikuler

adalah pembentukan folikel sampai masak sedangkan fase luteal adalah setelah ovulasi sampai

ulangan berikutnya dimulai. Siklus estrus pada hewan berasal dari folokel graff ke korpus

luteum. Siklus estrus dapat dibedakan menjadi 4 fase, yaitu : 

1. Fase Proestrus

Ditandai dengan adanya sel-sel epitel normal. Terjadi pembentukan folikel sampai

tumbuh maksimum. Pertumbuahan folikel ini menghasilkan estrogen sehingga dinding

Page 5: daster p3

uterus menjadi lebih tebal dan halus serta lebih bergranula. Selain itu digetahkan cairan

yang agak pekat yang dinamakan cairan milk uteria. Struktur histologis epitel vagina

pada fase proestrus adalah sebagi berikut :

Berlapis banyak (10-13) 

Stratum korneum kornifikasi aktif.

Leukosit sedikit. 

Mitosis aktif. 

2. Fase Estrus

Fase ini ditandai dengan :

Adanya sel-sel epitel menanduk. 

Produksi estrogen akan bertambah dan terjadi ovulasi sehingga dinding mukosa

uterus akan menggembung dan mengandung sel-sel darah. 

Pada fase ini folikel matang dan terjadi ovulasi dan betina siap menerima sperma dari

jantan. Sel-sel epitel menanduk merupakan indikator terjadinya ovulasi. 

Menjelang ovulasi leukosit makin banyak menerobos lapisan mukosa vagina

kemudian ke lumen. Selama masa luteal pada ovarium dengan pengaruh hormon

progesteron dapat menekan pertumbuhan sel epitel vagina.

Struktur histologis epitel vagina pada fase estrus sebagai berikut :

Lapisan superficial berinti. 

Struktur korneum sedikit dan melepas leukosit di bawah epitel. 

Mitosis berkurang.

Leukosit tidak ada. 

3. Fase Diestrus

Pada fase diestrus ditandai dengan adanya sel epitel normal dan banyak leukosit.

4. Fase anestrus.

Fase anestrus merupakan fase istirahat jika tidak terjadi fertilisasi atau kehamilan.

Ditandai dengan sel epitel normal atau sel epitel biasa dan sel epitel menanduk. Dimana

lapisan epiteliumnya 4-7 dan terdapat leukosit pada lapisan luar.

Page 6: daster p3

4. Pengawinan dan penetapan masa bunting/organogenesis

Hewan uji yang memiliki daur estrus yang teratur, selanjutnya dikawinkan dengan

pejantan. Hewan yang sedang berada dalam fase proestrus pada pagi hari, sore harin

dimasukkan ke dalam satu kandang dengan pejantannya (jam 5 – 6 sore merupakan waktu

yang paling disenangi). Pagi hari berikutnya, si betina dipisahkan dari pejantan, dan

diperiksa apus vaginanya secaqra mikroskopis, seperti cara pemeriksaan daur estrus. Bila

dalam apus vagina terlihat adanya sperma, berarti telah terjadi perkawinan pada sore

sebelumnya.

Hari ke nol masa bunting hewan uji dihitung sejak ditemukannya sperma dalam

apus vagina. Bergantung pada hewan ujinya, selanjutnya masa organogenesis dan masa

kelahiran normal dapat ditetapkan dengan melihat tabel berikut ini,

Jenis hewan Masa bunting

( hari )

Masa organogenesis

( hari )

Mencit 19 6 – 15

Tikus 21 7 – 17

Kelinci 30 – 35 6 – 18

5. Pemberian dosis sediaan uji

Untuk uji keteratogenikan, dosis yang diberikan paling tidak terdiri dari tiga

peringkat dosis. Dosis teratogenik umumnya terletak antara dosis letal terhadap induk atau

semua janin dan dosis yang tidak menimbulkan efek teratogenik. Dosis teratogenik ini

kemungkinan setara dengan dosis subtoksik pada uji ketoksikan subkronis dengan hewan uji

yang sama. Dosis teratogenik juga dapat ditentukan dari harga LD50 induk (sering dijumpai

pada pengujian obat tradisional), dosis teratogenik dapat dicari secara tentative (missal 1x,

2x, 4x, dan seterusnya dosis terapi untuk manusia). Dari ketiga peringkat dosis, dosis

Page 7: daster p3

tertinggi yang digunakan tidak boleh memperlihatkan efek negative pada induknya, misal

sedasi. Dan dosis terendahnya, harus meliputi dosis terapi.

Jalur pemberian sediaan uji paling tidak harus meliputi jalir klinis manusia.

Peringkat dosis sediaan uji, diberikan dengan kekerapan sekali sehari, selama masa

organogenesis hewan uji terkait.

6. Pemeriksaan dan pengamatan

Masa pengamatan dimulai sejak diakhirinya masa bunting hewan uji, yakni 12 – 4

jam sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah sesar. Criteria pengamatan meliputi

biometrika janin, gros morfologi, histopatologi, dan kelainan kerangka.

Yang termasuk biometrika janin adalah angka kematian, angka resopsi, angka

cacat, berat plasenta, dan berat janin. Sedangkan gros morfologi adalah meliputi pengamatan

adanya cacat makroskopi (kalis mata) pada tubuh bayi. Yang diamati adalah kelengkapan

dan kelainan tangan, kaki, ekor, telinga, mata,bibir, celah langit, dan adanya kongesti.

Kemudian, yang termasuk histopatologi adalah pengamatan terhadap cacat

mikroskopis (seluler) pada aneka jaringan dan organ bayi. Untuk itu, secara acak dari

masing – masing induk diambil bayinya lalu diambil cuplikan organnya, dimasukkan dalam

formali 10% untuk membuat preparat histopatologi mengikuti cara pengecatan hematotoksin

– eosin.

Terakhir, yang termasuk kelainan rangka adalah meliputi pemeriksaan terhadap

system rangka tubuh (skeletal). Untuk itu beberapa bayi dipersiapkan untuk pembuatan

preparat skeletal mengikuti teknik pewarnaan alizarin’S. Pemeriksaan dilakukan dengan

kaca pembesar. Data yang dikumpulkan berupa purata penulangan sterum, vertebrata, dan

rusuk; prosentase janin yang mempunyai penulangan pada karpal dan tarsal; serta prosentase

kelainan rangka sumbu jabang bayi

7. Analisis dan evaluasi hasil

Setelah mendapat biometrika janin, buat table biometrikanya, dan analisis secara

statistic, dengan taraf kepercayaan 95%. Untuk perbedaan jumlah kematian dan cacat antar

Page 8: daster p3

kelompok serta data hispatologi dianalisis dengan chi2, untuk data kelainan skeletal

dianalisis dengan metode Mann-Whitney, dengan taraf kepercayaan 95%.