laporan resmi (daster).docx
TRANSCRIPT
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FT. INFEKSI & TUMOR
P2. PNEUMONIA
Dosen Pengampu : Sri Susilowati, MSi., Apt
Kelompok IF
Nida Khafiya ( 105010563 )
Feriana Tri Andriyani ( 105010565 )
Ali Imron ( 105010566 )
Halimatus S. Zein (105010567 )
LABORATORIUM FT. INFEKSI & TUMOR
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2013
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR
PERCOBAAN II
FARMAKOTERAPI PNEUMONIA
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi penatalaksanaan terapi pada penyakit
pneumonia.
II. DASAR TEORI
a. Definisi
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut,
biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit
tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan
sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun
partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik
terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).
b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah
patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).
Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia
(Jeremy, 2007)
c. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit. Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai
cara:
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).
d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia
Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:
1. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti
partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk
mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem
mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan
memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan
baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran
pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran
napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak
bekerja dengan baik.
2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan
Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila
jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman
ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan
mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit.
Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan
ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan,
sehingga tidak terjadi kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme
dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya
suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih
mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit.
Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk,
penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi,
1992).
f. Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat
dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien
yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk
penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat
jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup
tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang
sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian
diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di
Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian
mencapai 20-50% (Farmacia, 2006).
g. Klasifikasi Pneumonia
1. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP):
pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar
lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di
rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14
hari (Jeremy, 2007).
2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi
selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama
penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya.
Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan
menderita pneumonia (Supandi, 1992).
3. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain
setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat
pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan
refleks menelan (Jeremy, 2007).
4. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid,
kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri,
selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).
5. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada
fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).
h. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain
usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes
mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi
(misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi,
ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007;
Misnadirly, 2008).
i. Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas,
peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk biasanya
timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di
pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang
menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan
seringkali berbau busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil.
Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan
kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).
j. Diagnosis
Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai
keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007).
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaaan foto polos dada
perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan
patologi secara lebih akurat (Supandi, 1992).
k. Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 40 derajat C, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan
sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan
pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam,
diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007).
l. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah putih
(White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000-40.000/mm3, jika
disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat normal atau menurun (Supandi,
1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat
hingga 100/mm3
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara
infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat
intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering
memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.
m. Penatalaksanaan
1. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi
pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia
selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika
(Jeremy, 2007).
2. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2<
90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik.
Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu
(continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada
gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).
(Barlett, 2001)
Golongan Betalaktam
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.
A. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang
dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid
dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting
adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat
menjadi fatal (Elin, 2008).
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya
cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya
digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang
60%; plasma t½ nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun.
Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam
keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) (Tjay,
2007).
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki
spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara
lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak
diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t½
30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan
lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2
jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang
meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena
tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan
amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa
suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t½ nya 1-2
jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V.
Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya
sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis
untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin,
2008).
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih
lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan
t½ nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik.
Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase.
Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang
terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga
diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).
5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase).
Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan
penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten
terhadap amoksisilin (Tjay, 2007).
6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif,
termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis (Tjay, 2007).
Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia.
Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang
banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum
antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta
resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten
terhadap metisilin (Istiantoro, 2007; Elin, 2008).
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan.
Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui
saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin
umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa
sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson
mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan
meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar
tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar
sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus.
Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin
dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi
melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi
ginjal (Elin, 2008).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan
spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan
alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang
kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang
toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida
mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil.
Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S.
aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri
gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium
diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini
diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak
(Tjay, 2007; Elin, 2008). 2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol,
sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif
terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza,
E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan
sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan
memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Tjay, 2007;
Elin, 2008).
3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim,
sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan
dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain
penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih
luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay, 2007).
4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten
terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (Tjay, 2007).
Antibiotika Laktam Lainnya
1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman.
Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk
Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap
kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh
ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan
terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan
cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Tjay, 2007). Efek samping sama
dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat
tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Elin, 2008).
2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga
dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam
cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena
atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Elin, 2008).
Golongan Makrolida
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin,
roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian
oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah
metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui
empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008).
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri
perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat
penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan
ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak
sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin, 2008).
a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin,
sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin (Elin, 2008). Eritromisin
bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan
reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak
teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya
singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama
khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna
pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500
mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat
farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari
usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-
seluler. Azitromisin mempunyai t1/213 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1
atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat
perut kosong (Tjay, 2007).
Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora.
Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri
dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu
sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Tjay, 2007).
Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang
merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut.
Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin.
Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).
b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob,
kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum
diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol (Elin,
2008). Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal).
Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan
pada neonatus dan defisiensi imunologis (Tjay, 2007; Elin, 2008).
Golongan Fluorokuinolon
a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram-positif dan
sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma.
Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya
berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap
dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t½ nya rata-
rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui
ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping
umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa
mulut. Tetapi yang sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud
dalam bentuk anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008).
b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis.
Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob termasuk
Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran
pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah
jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada
enteris. Vankomisin mempunyai t½ nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui
kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama
dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya
dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi
parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008).
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang
resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap.
Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak
boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin
mempunyai t½ yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan
loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan
dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay, 2007; Elin, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Ana. (2006). Strategi Terapi Antibiotika Untuk Pneumonia. 26 (6): 6 www.farmacia.com
Asiam, M. (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Halaman
76.
Asinah. Mengenal Kota Medan. Tanggal Akses: 18 Desember 2011.
http://www.asinah.net/indonesia/medan-indonesian.html
Bartlett, J.G. (2001). Pedoman Terapi Penyakit Infeksi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal. 295-298.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley. P.C. (1998). Pharmaceutical Care Practice. New York.
Mc Graw-Hill.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dwiprahasto, I. Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional dan Implikasinya Dalam Sistem
Pelayanan Kesehatan. Bagian Farmakologi dan Terapi FK UGM. Tanggal Akses: 18
Desember 2011.
Faridawati, R. (1995). Penatalaksanaan Pneumonia Bakteri Pada Usia Lanjut. Cermin Dunia
Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 10.
FK UGM. Farmakoterapi Penggunaan Antimikroba. Tanggal Akses: 23 Juli 2011.
www.farklin.com
FK UGM. Interaksi Obat Dalam Klinik. Tanggal Akses: 25 Agustus 2011. www.farklin.com
Glavin, R.J. (2010). Drug Errors: Consequences, Mechanism, and Avoidance. British Journal
Anaesthesia. 105 (1): 76-82.
Jeremy, P.T. (2007). At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical
Series. Hal. 76-77.