daftar isi laporan penelitian laporan...

80
Laporan Penelitian Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 – Desember 2016 Ade Aria Nugraha, Reza Widianto Sudjud, Tatang Bisri ....................................................... 132–42 Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda Yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011-2016 Nadia Syifa, Lisda Amalia, Dewi Yulianti Bisri .................................................................... 143–50 Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol Riyadh Firdaus, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ............................................. 151–61 Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematoma karena Pijat Kepala pada Bayi Bambang E Subekti, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo .......................................................... 162–68 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan Bau Indah Aulyan Syah, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ........... 169–77 Penanganan Anestesi pada Ventriculo Periotaneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intravenrticular Dian Novitasari, Iwan Fuadi, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ...................... 178–86 Tinjauan Pustaka Pulih Sadar yang Tertunda Pascaanestesi Endah Permatasari, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo ......................................................... 186–94 Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Siti Chasnak Saleh, Tatang Bisri ...................................................... 195–204 Daftar Isi

Upload: duongthu

Post on 03-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

Laporan Penelitian

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 – Desember 2016Ade Aria Nugraha, Reza Widianto Sudjud, Tatang Bisri ....................................................... 132–42

Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda Yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011-2016Nadia Syifa, Lisda Amalia, Dewi Yulianti Bisri .................................................................... 143–50

Laporan Kasus

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi AlkoholRiyadh Firdaus, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ............................................. 151–61

Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematoma karena Pijat Kepala pada BayiBambang E Subekti, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo .......................................................... 162–68

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai KehamilanBau Indah Aulyan Syah, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ........... 169–77

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Periotaneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan IntravenrticularDian Novitasari, Iwan Fuadi, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata ...................... 178–86

Tinjauan Pustaka

Pulih Sadar yang Tertunda PascaanestesiEndah Permatasari, Diana C. Lalenoh, Sri Rahardjo ......................................................... 186–94

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical careIda Bagus Krisna Jaya Sutawan, Siti Chasnak Saleh, Tatang Bisri ...................................................... 195–204

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

132

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 – Desember 2016

Ade Aria Nugraha, Reza Widianto Sudjud, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tulang belakang mengalami peningkatan secara signifikan selama dekade terakhir. Posisi prone dibutuhkan sebagai akses pada operasi tulang belakang melalui pendekatan posterior. Operasi tulang belakang dengan posisi prone memiliki risiko terjadi cedera yang dapat menyebabkan morbiditas serius.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang dengan posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Subjek dan Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone dari bulan November 2015 sampai dengan bulan Desember 2016.Hasil: Hasil penelitian ini dari 99 subjek penelitian diperoleh 8 kasus (8,1%) cedera penekanan, 1 kasus (1%) cedera mata, dan 1 kasus (1%) cedera pada saraf tepi. Perubahan fisiologi dan efek penekanan akibat posisi prone serta keadaan selama operasi memengaruhi terjadinya morbiditas pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang.Simpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang akibat posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015 ─ Desember 2016 sebanyak 10 kasus (10%).

Kata kunci: Cedera mata, cedera penekanan,cedera saraf tepi, komplikasi, operasi tulang belakang, posisi prone

JNI 2017;6 (3): 132‒42

The Incidence of Patient’s Morbidity After Spinal Surgery with Prone Position in Dr. Hasan Sadikin General Hospital During November 2015 – December 2016

Abstract

Background and Objective: The rate of spine surgeries has increased significantly over the past decade. Prone position is required as an access to spinal surgery through the posterior approach. Spinal surgery with prone surgery poses a risk of injury that can lead to serious morbidity. The purpose of this study was to determine the number of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung Subjects and Methods: The methods of this research is descriptive observational with cross sectional design and subjects of this study is patient undergo spine surgery in prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015 ─ December 2016. Results: Results of this study had shown that among 99 subjects, 8 cases (8.1%) were diagnosed with pressure ulcer, 1 case (1%) with eye injury, and 1 case (1%) with peripheral nerve injury. The physiological changes in a prone position, pressure effect and conditions during surgery might lead to morbidity in patients undergoing spinal surgery.Conclusion: The conclusion of this study is the rate of postoperative morbidity of the spine due to prone position in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung period November 2015 – December 2016 as many as 10 cases (10%).

Key words: Complications, peripheral nerve injury, pressure ulcer, prone position, spine surgery, visual loss

JNI 2017;6 (3): 132‒42

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

133

I. Pendahuluan

Posisi prone digunakan dan dikembangkan sebagai kebutuhan akses dalam tindakan bedah. Posisi pasien pada operasi tulang belakang merupakan hal yang sangat penting untuk kondisi operasi yang optimal dan juga paparan lapangan operasi. Selama operasi tulang belakang, pasien berada pada posisi yang tidak fisiologis sehingga dapat menimbulkan komplikasi.1 Komplikasi yang terkait dengan posisi prone selama operasi tulang belakang memiliki potensi menyebabkan morbiditas pasien yang serius. Meskipun banyak dari komplikasi ini jarang terjadi, namun kemungkinan untuk terjadi morbiditas masih sangat luas dan mencakup kegagalan beberapa sistem organ. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah post operative visual loss (POVL) atau kehilangan penglihatan pascaoperasi, cedera saraf tepi dan komplikasi miokutaneus termasuk luka akibat penekanan dan sindrom kompartemen. Telah dilaporkan adanya kejadian kehilangan penglihatan setelah dilakukan operasi laminektomi dalam posisi prone di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dalam laporan kasus tersebut kejadian komplikasi pascabedah berupa kehilangan penglihatan disertai dengan ophtalmoplegi total akibat oklusi arteri retina sentralis, sindroma kompartemen orbita akut, dan pseudotumor tipe miositis pada pasien yang menjalani operasi laminektomi dalam anestesi umum. Hal ini merupakan laporan kasus pertama seorang penderita yang mengalami sindroma kompartemen iskemik orbital dengan oklusi arteri retina sentralis, ophtalmoplegi, dan pseudotumor tipe miositis pascabedah laminektomi dalam posisi prone yang terjadi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kejadian hipotensi selama operasi merupakan salah satu hal yang berperan dalam terjadinya komplikasi ini.2,3

Post operative visual loss (POVL) biasanya berupa kecacatan yang menetap dan jarang terjadi. Suatu penelitian retrospektif dari 60.695 pasien dilaporkan terdapat 34 kasus cedera pada mata dan hanya 1 kasus mengalami kebutaan, yaitu pada operasi dengan posisi prone. Penelitian lain menunjukkan dari 3.450 operasi tulang belakang terdapat 0,2% kasus mengalami kehilangan

penglihatan. Berdasarkan laporan klinis tahun 2003, 67% kasus POVL terjadi pada pasien dengan riwayat operasi dengan posisi prone. Pada sebagian besar kasus komplikasi ini terjadi berhubungan dengan operasi tulang belakang yang lama dengan posisi prone dalam anestesi umum. Penyebab paling sering terjadinya POVL setelah operasi tulang belakang adalah akibat neuropati optik iskemik posterior dan sumbatan dari arteri retinal sentralis.1

Ada beberapa mekanisme terjadinya cedera mata pada posisi prone. Mekanisme yang paling sering adalah pengaruh dari penekanan langsung oleh bantalan kepala terhadap isi orbita menyebabkan peningkatan tekanan intraokular yang berakibat iskemik dari retina serta hilangnya penglihatan. Mekanisme lain yaitu oksigenasi yang tidak adekuat dari saraf optikus menyebabkan iskemik. Beberapa individu dengan kelainan autoregulasi ataupun variasi anatomis memiliki resiko terjadinya iskemik dari saraf optikus tersebut. Oksigenasi dari saraf optikus tergantung dari perfusi yang adekuat terhadap komponen dari neuron tersebut. Komplikasi lain yang melibatkan gangguan mata akibat posisi prone antara lain supraorbital neuropraksia, ophtalmoplegia yang bersifat sementara ataupun menetap, trombosis sinus cavernosus, oklusi dari vena retina sentralis, glaukoma sudut tertutup, perdarahan subperiosteal orbita non traumatic, dislokasi lensa intraokular, maupun kemosis setelah operasi.4 ̶9

Perioperative peripheral nerve injury (PPNI) atau cedera saraf tepi perioperatif maupun POVL merupakan komplikasi yang jarang terjadi berhubungan dengan posisi prone selama operasi tulang belakang namun menimbulkan kecacatan yang bermakna bila hal tersebut terjadi. Angka kejadian komplikasi PPNI 0,03% sampai 0,1%. Suatu penelitian mencatat dari 50.000 tindakan operasi terdapat 72 kasus mengalami komplikasi cedera saraf tepi (0,14%) dengan 3 kasus merupakan operasi dengan posisi prone.1,10,11

Berbagai macam cedera dapat terjadi pada posisi prone sebagai akibat penekanan pada berbagai bagian tubuh. Cedera akibat penekanan ini dapat dibagi menjadi cedera akibat penekanan langsung ataupun akibat penekanan tidak langsung. Penekanan secara langsung merupakan

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 –

Desember 2016

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

134 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

penyebab tersering dari cedera yang terjadi pada posisi prone. Cedera ini terutama terjadi di daerah wajah, telinga, dada, genitalia, dan bagian tubuh lain. Namun, hanya beberapa kasus cedera yang dilaporkan akibat penekanan secara langsung sebagai komplikasi dari posisi prone. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh teknik yang baik dalam memposisikan pasien, jaringan yang resisten terhadap pengaruh penekanan, ataupun waktu operasi yang singkat untuk terjadi cedera akibat penekanan secara langsung. Pencegahan terhadap terjadinya komplikasi dari posisi prone pada operasi tulang belakang tergantung dari identifikasi pasien-pasien dengan risiko tinggi, posisi yang tepat, dan penanganan selama operasi yang optimal.1,12 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka morbiditas pascaoperasi tulang belakang dengan posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode November 2015 sampai Desember 2016

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan Cross sectional (potong lintang) mengenai kejadian morbiditas pasien operasi tulang belakang dengan posisi prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kriteria inklusi subjek penelitian ini adalah pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I dan II yang akan menjalani operasi elektif tulang belakang dalam posisi prone. Responden akan dieksklusikan apabila pasien mempunyai riwayat cedera saraf pusat sebelum operasi tulang belakang dan pasien dengan gangguan kehilangan penglihatan sebelum operasi tulang belakang. Pengambilan subjek penelitian dilakukan dengan total sampling. Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 99 pasien. Karakteristik umum pasien yang didata berupa usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, diagnosis penyakit yang menjalani operasi tulang belakang. Karakteristik operasi yang didata berupa lama operasi, jumlah perdarahan, jumlah cairan, jumlah tranfusi, tekanan darah, dan morbiditas yang terjadi. Karakteristik umum pasien dan karakteristik operasi pada semua pasien dan pada pasien yang mengalami

Tabel 1. Karakteristik Umum Pasien

Variabel N=99Usia (tahun) Mean±Std 43,79±16,95

Median 12,00 – 81,00 Range (min- max)

Jenis kelamin Laki-laki 39 (39,4%) Perempuan 60 (60,6%)

BMI (kg/m2) Mean±Std Median 23,06±3,11 Median 22,90 Range (min-max) 15,00–32,90

morbiditas dideskripsikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang menampilkan jumlah (n) dan persentase (%). Pengumpulan data secara keseluruhan dilakukan sejak disetujui oleh Komite Etik dengan periode penelitian antara bulan November 2015 hingga Desember 2016. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan aplikasi Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 21.0 for windows.

III. Hasil

Penelitian dilakukan terhadap 99 pasien yang menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone. Data yang diteliti meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan body mass index (BMI). Untuk usia rata-rata sebesar 43,79 ± 16,95 tahun. Jenis kelamin laki-laki sebanyak 39 orang atau sebesar 39,4% dan jenis kelamin perempuan sebanyak 60 orang atau sebesar 60,6% dengan BMI rata-rata sebesar 23,06 ± 3,11 kg/m2 (Tabel 1).

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan lama operasi rata-rata sebesar 243,93 ± 5 3,04 menit. Jumlah pendarahan selama operasi rata-rata sebesar 635,85 ± 201,97 cc. Jumlah cairan koloid yang diberikan selama operasi rata-rata sebesar 303,03 ± 274,95 cc dan jumlah cairan

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

135

Tabel 2 Karakteristik Operasi

Variabel N=99Lama Operasi (menit) Mean ± Std 243,93 ± 53,04 Median 220,00 Range (min- max) 180,00 – 420,00

Jumlah Pendarahan (cc) Mean ± Std 635,85 ± 201,97 Median 600,00 Range (min-max) 400,00 – 2100,00

Koloid (cc) Mean ± Std 303,03 ± 274,95 Median 500,00 Range (min-max) 0,00 –1000,00

Kristaloid (cc) Mean ± Std 1006,31 ± 200,265 Median 1000,00 Range (min-max) 600,00 – 1500,00

Transfusi (cc) Mean ± Std 117,37 ± 124,82 Median 180,00 Range (min-max) 0,00 – 380,00

MAP Terendah (mmHg) Mean ± Std 62,36 ± 7,41 Median 61,00 Range (min-max) 45,00 – 82,00

MAP Tertinggi (mmHg) Mean ± Std 98,76 ± 9,40 Median 100,00 Range (min-max) 79,00 – 123,00

Tabel 3 Gambaran Morbiditas

Variabel N=99Cedera Penekanan Derajat I 8 (8,08%) Derajat II 0 (0%) Derajat III 0 (0%) Derajat IV 0 (0%)

Cedera Mata Tidak buta (kemosis) 1 ( 1,01%) Buta 0 (0%)

Cedera Saraf Tepi Sensorik (pleksus brakhialis)

1 (1,01%)

Motorik 0 (0%)

Total Morbiditas 10 (10%)

kristaloid yang diberikan selama operasi rata-rata sebesar 1006,31 ± 200,27 cc. Transfusi yang diberikan selama operasi rata-rata sebesar 117,37 ± 124,82 cc. Hasil pengukuran tekanan darah selama operasi didapatkan data hasil MAP terendah rata-rata sebesar 62,36

Tabel 4. Gambaran Morbiditas Berdasarkan Karakteristik Umum PasienVariabel N=10Usia (tahun) Mean±Std 63,00±8,95 Median 63,500 Range (min-max) 42,00 – 75,00

Jenis Kelamin Laki-laki 5 (50,0%) Perempuan 5 (50,0%)

BMI (kg/m2) Mean ± Std 25,29 ± 4,00 Median 23,750 Range (min-max) 22,04 –32,90

Status Fisik ASA I 3 (30%) ASA II 7 (70%)

±7,41 mmHg, sedangkan MAP tertinggi rata-rata sebesar 98,76±9,40 mmHg (Tabel 2).Angka morbiditas yang terjadi setelah operasi

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang a kibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 –

Desember 2016

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 5 Gambaran Morbiditas Berdasarkan Karakteristik Operasi

Variabel Morbiditas (N=10)

Tanpa Morbiditas

(N=89)Lama operasi (menit) Mean ± Std 357,00 ±

60,38231,23 ± 33,84

Median 385,00 220,00 Range (min-max) 250 – 420,00 180,00 –

37,00

Jumlah Pendarahan (cc) Mean ± Std 705,00±14,14 628,08±

208,54 Median 725,00 600,00 Range (min- max)

550,00–900,00

400,00 – 2100,00

Koloid (cc) Mean ± Std 400,00 ±

316,23292,14 ± 269,77

Median 500,00 500,00 Range (min- max)

0,00–1000,00 0,00 – 1000,00

Kristaloid (cc) Mean ± Std 204,00±63,11 107,64 ±

126,47 Median 180,00 0,000 Range (min- max)

160,00 – 380,00

0,00 – 380,00

MAP Terendah (mmHg) Mean±Std 54,50±5,62 63,25±7,08 Median 55,00 63,00 Range (min- max)

45,00–65,00 45,00–82,00

BMI (kg/m2) Mean±Std 25,29±4,00 22,80± 2,91 Median 23,75 22,90 Range (min-max) 22,04 – 32,90 15,00– 30,50

Tabel 6 Gambaran Karakteristik Umum dan Operasi Pasien dengan Cedera Penekanan

Variabel Cedera Penekanan (N=8)

Tanpa Cedera Penekanan (N=91)

Usia (tahun) Mean±Std 63,00±10,14 42,10±16,41 Median 65,00 43,00 Range (min-max)

42,00 – 75,00 12,00 – 81,00

BMI (kg/m2) Mean±Std 25,97±4,24 22,79±2,88 Median 24,25 22,80 Range (min-max)

22,04 – 32,90 15,00 – 30,50

Lama Operasi (menit) Mean±Std 345,00±61,64 235,05±42,19 Median 375,00 220,00 Range (min-max)

250,00 – 400,00

180 – 420

tulang belakang dengan posisi prone pada penelitian ini adalah 10% yang terdiri dari cedera penekanan derajat 1 sebanyak 8 kasus, cedera mata kemosis 1 kasus, dan cedera saraf tepi 1. Dari penelitian ini diperoleh gambaran karakteristik umum pasien yang mengalami morbiditas setelah operasi tulang belakang dengan posisi prone berdasarkan usia, jenis kelamin, dan BMI. Untuk usia rata-rata sebesar 63,00±8,95 tahun, jenis kelamin laki-laki sebanyak 5 orang atau sebesar 50% dan jenis kelamin perempuan sebanyak 5 orang atau sebesar 50% dan BMI rata-rata sebesar 25,29 ± 4,00 kg/m2 (over weight). Status fisik pasien yang menjalani operasi tulang belakang terdiri dari ASA I sebanyak 3 orang (30%) dan ASA II sebanyak 7 orang (70%; Tabel 4).Berdasarkan lama operasi, jumlah perdarahan, pemberian cairan selama operasi serta BMI pasien yang mengalami morbiditas memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dibanding dengan pasien yang tidak mengalami morbiditas. Sedangkan untuk MAP terendah selama operasi

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

137

pasien yang mengalami morbiditas memiliki nilai rerata MAP lebih rendah dibanding dengan pasien yang tidak mengalami morbiditas (Tabel 5). Gambaran pasien yang mengalami cedera penekanan berdasarkan usia didapatkan rata-rata 63,00 ± 10,14 tahun dengan BMI rata-rata 25,97 ± 4,24 kg/m2 lebih besar dari pasien yang tidak mengalami cedera. Sedangkan berdasarkan lama operasi pasien yang mengalami morbiditas cedera penekanan rata-rata sekitar 345,00 ± 61,64 menit lebih lama dibanding dengan pasien yang tidak mengalami cedera (Tabel 6). Dari hasil penelitian diperoleh pasien yang mengalami cedera mata berupa kemosis berusia 64 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 1 orang dengan BMI sebesar 22,5 kg/m2. Berdasarkan lama operasi dan pemberian cairan kristaloid selama operasi, pasien yang mengalami morbiditas kemosis memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dibanding dengan pasien yang tidak mengalami morbiditas (Tabel 7). Gambaran pasien yang mengalami morbiditas cedera saraf tepi diperoleh data untuk usia yaitu 62 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 1 orang dengan BMI sebesar 22,7 kg/m2. Pasien yang mengalami morbiditas menjalani operasi lebih lama dibanding nilai rerata lama operasi pasien yang tidak mengalami morbiditas. Selama operasi pasien yang mengalami morbiditas memiliki nilai MAP terendah lebih kecil dibanding dengan rerata MAP terendah pasien yang tidak mengalami morbiditas (Tabel 8).

IV. Pembahasan

Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat 8 kasus cedera penekanan dari 99 subjek penelitian atau sekitar 8%. Cedera penekanan terjadi pada daerah wajah pada semua kasus yaitu di daerah yang terdapat penonjolan tulang antara lain pada dahi sebanyak 6 kasus dan dagu sebanyak 2 kasus. Lesi akibat cedera penekanan yang terjadi terbatas pada derajat 1 pada semua kasus. Kejadian cedera penekanan terjadi pada usia 42 tahun sampai 75 tahun.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian cedera penekanan lebih banyak terjadi pada

pasien yang menjalani operasi lebih dari 6 jam. Total 9 pasien yang menjalani operasi 6 jam atau lebih 6 diantaranya mengalami cedera penekanan. Berdasarkan nilai BMI, dari total 7 pasien yang memiliki BMI diatas 30 kg/m2 (overwight) hanya terdapat 2 kasus yang mengalami cedera penekanan. Menurut literatur bahwa lama operasi menjadi faktor utama terjadinya cedera penekanan dibanding dengan faktor lain seperti BMI. Iskemik jaringan dapat terjadi setelah 2 sampai 6 jam penekanan sedangkan nekrosis sendiri terjadi setelah 6 jam operasi, namun pada penelitian yang kami lakukan tidak terdapat nekrosis melainkan hanya cedera penekanan derajat 1. Hal ini kemungkinan karena banyak faktor yang memengaruhi terjadinya cedera penekanan termasuk diantaranya adalah BMI. Pada posisi prone penekanan terutama terjadi di daerah dahi, dagu, bahu, dada, pelvis, lutut, serta pergelangan kaki.2 Pada suatu penelitian di tahun 1999 menggambarkan insidensi terjadinya cedera penekanan sebanyak 8,5% dari 1128 operasi. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan usia lebih dari 60 tahun, penderita diabetes mellitus maupun penurunan fungsi ginjal, obesitas, serta lamanya operasi merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya cedera penekanan.2

Penelitian lain tentang cedera penekanan wajah pada operasi tulang belakang dengan posisi prone menunjukkan tentang penggunaan beberapa penyangga kepala dan pengaruhnya terhadap kejadian cedera penekanan. Penelitian pada 66 pasien dengan menggunakan 3 jenis penyangga kepala yaitu OSI foam positioner, prone view protective helmet, dan ROHO dry floatation device menunjukkan hasil terdapat 8 pasien yang menggunakan OSI foam positioner mengalami cedera penekanan derajat 1 dengan lama operasi lebih dari 2 jam dan 2 pasien mengalami cedera derajat 2. Pada penggunaan bantalan jenis ROHO dry floatation device serta prone view protective helmet tidak ditemukan cedera penekanan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan jenis penyangga kepala terhadap terjadinya cedera penekanan pada operasi tulang belakang dengan posisi prone. Pengaruh penekanan menyebabkan terhentinya

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 –

Desember 2016

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

138 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

sirkulasi, kerusakan jaringan akibat hipoksia, dan akhirnya mengalami nekrosis. Cedera penekanan berkembang dari adanya gangguan pada aliran darah lokal (iskemik) akibat pengaruh dari gaya tekan dan kekuatan geser. Cedera penekanan ditentukan oleh besarnya daya tekan, kekuatan geser, serta gesekan yang timbul terhadap permukaan kulit. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya cedera penekanan adalah selama operasi pasien tidak bergerak dan tidak merasakan rasa nyeri yang diakibatkan penekanan yang lama terhadap meja operasi. Gaya geser maupun gesekan juga dapat menyebabkan terjepitnya pembuluh darah yang akan menambah terjadinya iskemik maupun nekrosis jaringan. Gaya gesekan juga dapat menyebabkan terkelupasnya lapisan epidermis kulit.2

Berdasarkan usia didapatkan 6 kasus cedera penekanan dengan usia diatas 60 tahun. Usia tua merupakan faktor risiko untuk cedera penekanan. Pada usia tua jaringan kulit menjadi lebih rapuh, tipis, dan kurang elastis dibanding dengan usia muda. Hal ini sesuai teori bahwa usia diatas 60 tahun merupakan faktor risiko terjadi cedera penekanan. Penggunaan bantalan kepala juga turut memengaruhi terjadi cedera penekanan. Pada penelitian ini seluruh objek penelitian menggunakan bantalan kepala yang dibuat dari kain yang digulung membentuk seperti donut yang kemudian dilapisi oleh kasa. Permukaan kasar yang dibentuk oleh kassa juga turut memengaruhi cedera penekanan. Berdasarkan teori, cedera penekanan ditentukan oleh daya tekan, kekuatan geser, serta gesekan yang timbul terhadap permukaan kulit.2

Posisi prone juga diketahui memiliki resiko untuk terjadinya cedera pada mata (POVL). Ketika pasien diletakkan pada posisi prone, penekanan langsung pada mata harus dihindari karena dapat menyebabkan sumbatan pada arteri retina sentralis. Penggunaan bantalan kepala berbentuk tapal kuda telah dilaporkan berhubungan dengan terjadinya POVL. Posisi kepala menggunakan pin Mayfield menghindari penekanan langsung pada mata. Penggunaan bantalan kepala dengan proneview juga bisa menghindari penekanan mata. Proneview merupakan bantalan kepala

berbahan busa yang dibungkus plastik tanpa penekanan pada mata, hidung, maupun mulut. Penggunaan bingkai Wilson dilaporkan juga berkaitan dengan terjadinya POVL. Pada pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya POVL sebaiknya posisi kepala diletakkan lebih tinggi dari jantung, hal ini akan mengurangi hambatan pada aliran vena mata dan orbita sehingga mencegah terjadinya kenaikan tekanan intraokular maupun intraorbital. Posisi kepala juga harus diletakkan dalam posisi netral untuk mencegah fleksi, ekstensi, fleksi lateral, maupun rotasi yang berlebihan.13,14

Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat satu kasus kemosis yang disertai edema palpebra tanpa kebutaan mata pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone. Kejadian kemosis terjadi bilateral pada kedua mata. Pembengkakan konjungtiva merupakan kejadian yang sering ditemukan pada pasien yang menjalani operasi dengan posisi prone. Posisi kepala, banyaknya cairan yang diberikan selama operasi, serta lama operasi merupakan hal yang memengaruhi kejadian kemosis. Kejadian pembengkakan konjungtiva pascaoperasi dapat bersifat ringan ataupun asimtomatis namun juga dapat menimbulkan gejala berupa hiperemia, sensasi benda asing di mata, ataupun keluhan lain. Posisi kepala yang lebih rendah (head down) dari tubuh memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian kemosis pascaoperasi lumbar dengan posisi prone akibat peningkatan dari tekanan vena okular akibat pengaruh gravitasi. Sebagian besar kasus kemosis yang terjadi setelah operasi tulang belakang akan membaik secara spontan tanpa disertai dengan gejala sisa dan tidak berhubungan dengan kejadian hilangnya penglihatan sehingga kejadian ini sering diabaikan.9

Pada sebuah penelitian mengenai kemosis setelah operasi tulang belakang dengan posisi prone didapatkan pengaruh dari posisi kepala terhadap kejadian kemosis. Hasil penelitian itu menunjukkan dari 108 pasien didapatkan 74 kasus kemosis dengan posisi operasi kepala lebih rendah dari tubuh. Lama operasi kasus yang mengalami kemosis 209 menit dengan jumlah fluid balance 1.275 ± 769 cc dengan EBL 386 ± 349 cc.9

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

139

Kemosis konjungtiva yang merupakan suatu bentuk edema merupakan akibat hilangnya keseimbangan cairan antara ruang intravaskular dan ekstravaskular yang secara fisiologis dipertahankan oleh tekanan osmosis dan hidrostatis. Kejadian kemosis setelah operasi tulang belakang terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada daerah dependen yang berakibat pengumpulan cairan di vena terutama pada posisi kepala yang lebih rendah dari tubuh ataupun akibat penurunan aliran balik dari sistem vena. Penekanan di daerah periorbital dari bantalan penyangga kepala juga dapat menyebabkan kemosis akibat stasis dari sistem vena oleh karena sumbatan aliran vena maupun limfatik.9

Pada penelitian ini kasus kemosis yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengaruh dari penekanan di daerah periorbita, posisi kepala, lama operasi yang sekitar 6 jam, serta pemberian cairan koloid sebanyak 1.000 cc dan 2.250 cc cairan kristaloid dengan jumlah perdarahan kurang lebih 900 cc. Operasi yang lama akan semakin meningkatkan stasis dari sistem vena akibat penekanan periorbita terhadap penyangga kepala serta pemberian cairan terutama kristaloid yang banyak juga akan berakibat terjadinya ekstravasasi cairan ke daerah ekstravaskular yang akan diperberat oleh stasis vena. Faktor posisi kepala juga memegang peranan yang besar terhadap terjadinya kemosis akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada daerah dependen yang berakibat pengumpulan cairan di vena terutama pada posisi kepala yang lebih rendah dari tubuh ataupun akibat penurunan aliran balik dari sistem vena.9

Pada penelitian yang kami lakukan selama periode kurang lebih 1 tahun dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 99 kasus, tidak didapatkan adanya kejadian hilangnya penglihatan pascaoperasi. POVL merupakan cedera mata yang pernah dilaporkan setelah menjalani operasi non okular. Penyebab utama terjadinya POVL adalah ischemic optic neuropathy (ION). Peningkatan angka kejadian dari ION telah dilaporkan pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone namun penyebab pasti

ION masih belum dipahami sepenuhnya.5 Cedera saraf tepi perioperatif merupakan kejadian yang jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang harus diperhatikan karena dapat menyebabkan kecacatan. Pada penelitian yang kami lakukan terdapat 1 kasus (1%) cedera saraf tepi pada pleksus brakhialis. Seorang laki-laki usia 62 tahun yang menjalani operasi laminektomi dekompresi dan stabilisasi posterior dengan lama operasi berlangsung selama 390 menit dengan perdarahan 800 cc. Keluhan cedera pada pleksus brakhialis berupa hypesthesia pada bahu dan lengan kanan tanpa disertai keluhan motorik. Kemungkinan penyebab terjadinya keluhan hypesthesia pada pasien ini adalah posisi selama operasi yang menyebabkan terjadinya peregangan lengan kanan dengan posisi abduksi >90o selama 5 jam.

Pada suatu penelitian tentang cedera pleksus brakhialis setelah operasi tulang belakang dengan posisi prone didapatkan hasil 17 kasus cedera pleksus brakhialis dari 517 sampel penelitian (3,3%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan dari 17 pasien yang mengalami cedera pleksus brakhialis memiliki durasi operasi 3 sampai 11 jam dan posisi lengan pasien abduksi lebih dari 90o selama operasi.15 Penelitian lain menunjukkan hasil terdapat 4 kasus yang sudah dilaporkan mengenai terjadinya cedera pada pleksus brakhialis setelah menjalani operasi dengan posisi prone, dimana 1 kasus mengalami cedera pleksus brakhialis bilateral setelah menjalani operasi penggabungan tulang belakang dengan posisi prone dimana kedua lengan ekstensi. Dibandingkan dengan posisi supine, pada posisi prone lengan yang mengalami abduksi memiliki toleransi yang lebih baik. Perubahan pada SSEP maupun neuropati pleksus brakhialis pada posisi prone terjadi dimana lengan mengalami abduksi 90˚. Risiko terjadinya cedera pleksus brakhialis yaitu akibat tarikan oleh fleksi dan rotasi dari leher serta penekanan langsung terhadap caput humerus. Neuropati ulnar, cedera saraf aksilaris, radialis, serta musculocutaneus juga telah dilaporkan terjadi setelah operasi lumbal tulang belakang dengan posisi prone.16

Dari literatur dikatakan bahwa pasien yang

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang Akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 –

Desember 2016

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

140 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

menjalani operasi dengan posisi prone dengan posisi abduksi lebih dari 90o sering berhubungan dengan cedera pleksus brakhialis setelah operasi. Pada posisi ini peregangan dari pleksus brakhialis serta penekanan antara klavikula dan tulang costa pertama menjadi penyebab terjadinya defisit neurologis. Ekstensi dan rotasi eksternal dari lengan yang abduksi, rotasi dan fleksi lateral dari leher sering berhubungan dengan cedera pada pleksus brakhialis akibat posisi.15 Trauma langsung dapat menyebabkan gangguan dan kerusakan serabut saraf sehingga mempengaruhi fungsi serabut saraf tepi. Walaupun trauma langsung dapat menimbulkan PPNI, namun hal ini bukan merupakan penyebab utama terjadinya PPNI. Mekanisme utama terjadinya PPNI adalah iskemik dari serabut saraf. Perlambatan dari konduksi saraf akibat iskemik merupakan penanda terjadinya PPNI. Demielinisasi fokal dapat terjadi jika terdapat iskemik yang lama yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan akson yang menetap.17 Peregangan dari saraf tepi merupakan salah satu mekanisme utama terjadinya PPNI. Selama operasi tulang belakang dalam anestesi umum, pasien sering berada pada posisi yang dapat menyebabkan peregangan melebihi batas fisiologis. Peregangan yang berlebihan pada serabut saraf dapat menyebabkan kerusakan langsung serabut saraf tersebut melalui kerusakan dari akson dan vasa nervosum.15 Cedera saraf tepi dapat terjadi jika terjadi peregangan 5–15% melebihi batas fisiologis saat istirahat. Peregangan pada saraf tepi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraneural serta penekanan pada kapiler dan vena intraneural yang akan menyebabkan penurunan tekanan perfusi dari serabut saraf, aliran darah intraneural dan berakibat terjadinya iskemik. Penekanan pada saraf tepi merupakan mekanisme lain terjadinya PPNI. Penekanan saraf tepi akan menyebabkan kerusakan dari serabut saraf. Penekanan akan menyebabkan peningkatan dari tekanan intraneural maupun ekstraneural yang akan menyebabkan penurunan dari tekanan perfusi sehingga menyebabkan iskemik serta perlambatan dari konduksi serabut saraf. Perlambatan dari konduksi saraf akibat iskemik merupakan penanda terjadinya PPNI.

Demielinisasi fokal dapat terjadi jika terdapat iskemik yang lama yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan akson yang menetap.17

Pada suatu penelitian tentang saraf tepi pada hewan percobaan dikatakan bahwa cedera reperfusi setelah iskemik yang lama (3–7 jam) akan menyebabkan edema endoneurial, blok konduksi, kerusakan dari sawar darah saraf, edema intramielin serta demielinisasi. Iskemik saraf fokal merupakan mekanisme patologis utama terjadinya hiperestesia, degenerasi Wallerian serta cedera aksonal. Iskemik yang lama dapat menyebabkan cedera saraf tepi yang menetap. Adanya penyakit penyerta serta kondisi tertentu selama operasi dapat menjadi faktor risiko terjadi kejadian PPNI. Penyakit yang memengaruhi mikrovaskular, perbedaan anatomi, hipertensi, riwayat perokok, diabetes mellitus, operasi bedah saraf dan ortopedi berhubungan dengan terjadinya PPNI. Selain itu usia lanjut, hipovolemia, dehidrasi, hipotensi, hipoksia, gangguan elektrolit, maupun hipotermia merupaka kondisi yang berhubungan dengan PPNI.16

Kejadian cedera saraf akibat posisi yang tidak tepat selama operasi sekitar 0,14% dari semua pembedahan dan 38% mengenai pleksus brakhialis. Pleksus brakhialis berasal dari segmen C–5, C–6, C–7, C–8, dan T–1 dan mempersarafi seluruh otot ektremitas atas dengan pengecualian otot trapezius dan levator scapula. Secara anatomi seringnya terjadi cedera pada pleksus brakhialis berhubungan dengan panjangnya pleksus ini serta letaknya yang superfisial. Pleksus ini berjalan melewati 3 struktur tulang yang terfiksir yaitu klavikula, tulang costae, dan caput humerus. Kondisi ini menyebabkan mudah terjadi peregangan maupun penekanan pada pleksus brakhialis akibat posisi yang salah selama operasi. Pada pasien yang menjalani anestesi umum, pemberian pelumpuh otot akan menghilangkan atau mengurangi tonus otot sebagai perlindungan terhadap posisi yang salah.15

Perfusi jaringan pada saraf perifer tergantung dari tekanan perfusi. Tekanan perfusi adalah perbedaan antara tekanan arteri rata-rata dengan tekanan internal di dalam saraf. Hipotensi akut berhubungan dengan penurunan aliran darah

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

141

pada saraf tepi. Saraf tepi sendiri memiliki kemampuan yang rendah terhadap autoregulasi. Autoregulasi merupakan kemampuan intrinsik suatu organ untuk menjaga aliran darah yang tetap terhadap perubahan tekanan. Pada tekanan arteri rata-rata kurang dari 85 mmHg terjadi penurunan yang signifikan dari aliran darah ke saraf tepi. Saraf yang mengalami iskemik yang akut akan mengalami gangguan konduksi rangsangan baik secara fokal maupun menyeluruh dan dapat terlihat dalam 10 menit setelah terjadi iskemik. Pada penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami cedera saraf tepi menjalani operasi selama 390 menit.17 Mekanisme terpenting dari cedera saraf perifer adalah iskemik serabut saraf. Perlambatan hantaran saraf akibat iskemik merupakan pertanda cedera saraf tepi. Demielinisasi fokal dapat terjadi jika terdapat iskemik lokal yang lama yang akan berlanjut terjadinya kerusakan akson. Pada penelitian ini kemungkinan jenis cedera saraf tepi berupa suatu neurpraxia yaitu suatu gangguan sistem saraf tepi dengan hilangnya fungsi sensorik yang bersifat sementara berupa gangguan pada selubung mielin namun serabut saraf tetap intak.18

IV. Simpulan

Angka kejadian morbiditas pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dengan posisi operasi prone di RSHS periode November 2015 sampai Desember 2016 sebanyak 10 kasus (10%) dari total 99 sampel penelitian terdiri dari cedera penekanan derajat 1 sebanyak 8%, cedera mata berupa kemosis sebanyak 1% dan cedera saraf tepi berupa gangguan sensorik pada pleksus brakhialis sebanyak 1%. Saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan faktor risiko dan penyebab kejadian morbiditas pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dengan posisi prone.

Daftar Pustaka

1. Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. Anaesthesia in the prone position. Br J Anaesth. 2008;100(2):165–83.

2. DePasse M, Palumbo M, Haque M, Eberson C, Daniels A. Complications associated with prone positioning in elective spinal surgery. World Orthopedics 2015;6(3):351–9.

3. Sepviyanti F, Bisri DY, Bisri T. Visual loss after prone lumbar spine surgery. Jurnal Neuroanestesia Indonesia 2012;1(4):287–93.

4. Ho VTG, Newman NJ, Song S, Ksiazek, S, Roth S.Ischemic optic neuropathy following spine surgery. J Neurosurg Anesthesial 2005; 17; 38–44.

5. Kamming D, Clarke, S. Postoperative visual loss following prone spinal surgery (see comment). Br J Anaesth 2005; 95: 257–60.

6. Halfon MJ, Bonardo P, Valiensi S. Central retinal artery occlusion and ophtalmoplegia following spinal surgery. Br J Ophtalmol 2004; 88: 1350–52.

7. Kumar N, Jivan S, Topping N, Morrell AJ. Blindness and rectus muscle damage following spinal surgery. Am J Ophthalmol 2004; 138: 889–91.

8. Anand S, Mushin, AS. Cavernous sinus trombosis following prone position anaesthesia. Eye 2005; 19: 803–04.

9. Jeon YT, Park YO, Won Hwang, Lim YJ, Oh YS, Park HP. Effect of head position of postoperative chemosis after prone spinal surgery. J Neurosurg Anesthesiol 2007;19:1–4.

10. Weinstein JN, Lurie JD, Olson PR, Bronner KK, Fisher ES. United States trends and regional variations in lumbar spine surgery: 1992–2003. Spine (Phila Pa 1976). 2006;31:2707–14.

11. Welch MB, Brummet CM, Welch TD, Tremper KK, Shanks AM, Guglani P, Mashour GA. Perioperative peripheral nerve injuries: a retrospective study 380,680 case during a 10year period at a single institution. Anesthesiology 2009;111:490–7.

Angka Morbiditas Pascaoperasi Tulang Belakang Akibat Posisi Prone di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode November 2015 –

Desember 2016

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

142 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

12. Jain V, Bithal PK, Rath GP. Pressure sore on malar prominences by horseshoe headrest in prone position. Anaesth Intens Care 2007;35:304–5.

13. Lee LA, Roth S, Posner KL, Cheney FW, Caplan RA, Newman NJ, Domino KB. The American Society of Anesthesiologists Postoperative Visual Loss Registry: analysis of 93 spine surgery cases with postoperative visual loss. Anesthesiology 2006; 105: 652–69.

14. Warner ME. Patient Positioning and related injury. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Calahan MK, Stock MC, Ortega R, editor. Clinical Anesthesia. Edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins. 2013.hlm 814 ̶ 86.

15. Uribe JS, Kolla J, Omar H, Dakwar E, Abel N, Mangar D, Camporesi E. Brachial plexus

injury following spinal surgery. J Neurosurg Spine 2010; 13;552–8.

16. Winfree CJ, Kline DG. Intraoperative

positioning nerve injuries. Surg Neurol 2005; 63:5–18.

17. Kamel I, Barnette R. Positioning patients for spine surgery: Avoiding uncommon position-related complication. World Journal of Orthopedics 2014; 5(4):425–43.

18. Kamel IR, Drum ET, Koch SA. The use of somatosensory evoked potentials to determine the relationship between patient positioning and impending upper extremity nerve injury during spine surgery: a retrospective analysis. Anesth Analg 2006;102;1538–42.

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

143

Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011–2016

Nadia Syifa*), Lisda Amalia**), Dewi Yulianti Bisri***)

*)Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, **)Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Kerugian akibat stroke lebih berat pada penderita yang berusia lebih muda dibandingkan usia tua. Insidensi stroke dewasa muda terus meningkat di berbagai negara. Pencegahan yang tepat dapat dilakukan dengan melakukan studi epidemiologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi pasien stroke dewasa muda. Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan metode deskriptif. Data yang digunakan adalah resume rekam medis pasien stroke yang dirawat di bangsal neurologi Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin(RSHS) Bandung tahun 2011–2016. Data kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tipe stroke, demografi, dan faktor risiko.Hasil: Sampel yang didapatkan sejumlah 450 buah. Jumlah kasus stroke terbanyak berada pada kelompok umur 42–45 tahun (45,11%). Kejadian stroke iskemik (50,44%) lebih tinggi dibandingkan kejadian stroke perdarahan (49,56%). Kejadian pada perempuan (56,66%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (43,34%). Pendidikan terakhir penderita paling banyak adalah SMA (32,89%). Kelompok pekerjaan terbanyak adalah kelompok tidak bekerja (56,22%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (42,06%). Simpulan: Kejadian stroke dewasa muda di RSHS paling banyak terjadi pada kelompok usia 42-45 tahun, tipe stroke iskemik, jenis kelamin perempuan, pendidikan terakhir SMA, tidak bekerja, dan faktor risiko tertinggi adalah hipertensi.

Kata kunci: epidemiologi, dewasa muda, strokeJNI 2017;6 (3): 143‒50

Epidemiological Picture of Young Adult Stroke Patients treated in Neurology Ward of RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung 2011-2016 Period

Abstract

Background and Objectives: The stroke loss is higher in younger patients compared to the older patients. Stroke incidence is increasing year by year. Epidemiological study can be used as the basis of prevention and reduction of young adult stroke incidence. This study aims to determine the epidemiological picture of young adult stroke patientsSubjects and Method: This study is a quantitative study using descriptive method. The datas were taken from the resume of medical records of patients that are diagnosed as stroke and treated in the neurology ward Dr.Hasan Sadikin Hospital(RSHS) in 2011 - 2016. All samples were taken then classified by its age group, sex, stroke type, demographical characteristic and risk factor. Result: 452 samples were obtained. The highest number of cases are found in the 42-45 year old group (45,11%). Ischemic stroke (50,44%) cases are higher compared to the hemorrhagic stroke (49,56%). Stroke cases in women (56,66%) is higher than in men (43,34%). Most of the patient’s last education is high school (32,89%). Most of the patients who have stroke are unemployed (56,22%). The most risk factor is hypertension (42,06%). Conclusion: Stroke cases in RSHS happen to be higher in older age group, ischemic stroke type, women, high school as the last education, unemployment and the highest risk factor is hypertension.

Key words: epidemiology, stroke, young adultsJNI 2017;6 (3): 143‒50

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

144 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di dunia dan pertama di Asia, negara-negara Association of South East Asian Nations (ASEAN), dan Indonesia.1-3 Di Indonesia, stroke menyumbang 15,4% dari seluruh kematian.4 Selain merupakan penyebab tertinggi kematian, stroke juga merupakan penyebab disabilitas tertinggi di Indonesia.4,5

Angka kejadian stroke meningkat seiring bertambahnya umur. Hal ini menyebabkan angka kejadian pada penderita stroke dewasa usia muda lebih sedikit dibandingkan dewasa tua.5 Walaupun lebih jarang terjadi, data menunjukkan bahwa kejadian stroke pada dewasa muda terus meningkat di berbagai negara.6 Stroke dewasa muda menyebabkan kerugian yang lebih besar dibandingkan usia tua.7 Stroke yang terjadi pada usia lebih muda menyebabkan penderita menjadi cacat pada usia produktif.7 Sekitar setengah dari penderita stroke mendapatkan kecacatan fisik maupun kognitif yang menyebabkan penderita harus mendapatkan bantuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari yang normalnya bisa dilakukan sendiri.7 Keadaan ini menyebabkan penurunan pada kualitas hidup penderita, memberikan dampak praktis dan psikologis serta memberikan kerugian ekonomi terhadap penderita dan negara.7,8

Peningkatan kejadian stroke dewasa muda memberikan beban terhadap penderita maupun negara.7,8 Pencegahan sebaiknya dilakukan untuk menekan angka kejadian stroke dewasa muda.6 Studi epidemiologi dapat memberikan gambaran mengenai pola stroke dewasa muda sehingga langkah pencegahan dapat dilakukan dengan tepat. Pencegahan yang tepat diharapkan dapat menekan angka mortalitas dan morbiditas stroke dewasa muda. Belum terdapat banyak penelitian mengenai stroke dewasa muda, di Jawa Barat ataupun Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi penderita stroke usia dewasa muda di Jawa Barat dengan mengambil data dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS).

II. Subjek dan Metode

Penelitian dilakukan di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung dari April 2017–Mei 2017. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif dan menggunakan pendekatan cross-sectional. Populasi penelitian ini adalah penderita stroke di Jawa Barat sedangkan subjek penelitian ini adalah rekam medis pasien yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 2011–31 Desember 2016. Kriteria inklusi penelitian ini adalah umur 18–45 tahun dengan data rekam medis yang lengkap. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari resume rekam medis bangsal neurologi RSHS. Data diambil dengan terlebih dahulu membuat surat etik dan surat izin penelitian. Data yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diolah. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menghitung jumlah dan persentase. Variabel pada penelitian ini adalah usia, tipe stroke, demografi dan faktor risiko. Usia dikelompokkan menjadi 18-21, 22-25, 26-29 tahun, 30-33 tahun, 34-37 tahun, 38-41 tahun, 42-45 tahun. Tipe stroke terbagi menjadi stroke iskemik dan stroke perdarahan. Stroke iskemik terdiri dari stroke yang didiagnosis “stroke kardioemboli” dan “tromboemboli". Stroke perdarahan mencakup stroke dengan diagnosis “perdarahan intraserebral” dan “subarachnoid bleeding”. Demografi dikelompokkan menjadi jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pendidikan. Pengelompokkan pekerjaan dan riwayat pendidikan disesuaikan dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jenis pekerjaan pasien dikelompokkan menjadi 6 kelompok kerja: “Tidak bekerja”, “Pegawai”, “Wiraswasta”, “Petani”, “Buruh” dan “Lainnya”. Kelompok tidak bekerja merupakan pasien dengan data pekerjaan yang dituliskan “Tidak bekerja”, “Ibu Rumah Tangga”, atau dikosongkan. Jenis pekerjaan yang tidak termasuk pada kelompok tidak bekerja, pegawai, wiraswasta, petani, dan buruh dimasukkan ke kelompok “Lainnya”. Pendidikan terakhir terbagi menjadi 5 yaitu : “Tidak Sekolah”, “Tidak Tamat SD”, “SD”, “SMP”, “SMA”, “D1/D3/PT”. Faktor risiko

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

145

dikelompokkan menjadi merokok, dislipidemia, hipertensi, obesitas, kelainan jantung, kelainan pembuluh darah, dan kelainan darah. Faktor risiko dilihat dari diagnosis yang tercantum pada rekam medis. Kelainan jantung diantaranya adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung rematik, dan kelainan ritme jantung. Kelainan pembuluh darah diantaranya adalah malformasi arteri dan vena, dan aneurisme. Kelainan darah pada penelitian ini adalah trombositopenia, blood dyscrasia, hiperkoagulabilitas, polisitemia vera sekunder. Semua data akan dihitung secara keseluruhan yang kemudian akan dikelompokkan sesuai umur.

III. Hasil

Diperoleh 452 kasus stroke pasien berumur 18-45 tahun yang dirawat di bangsal neurologi RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Data yang lengkap sebanyak 450 kasus dan data yang tidak lengkap sebanyak 2. Data yang lengkap kemudian diolah dalam bentuk tabel dan grafik sedangkan data yang tidak lengkap tidak diolah. Tabel 1.1 menunjukkan persentase stroke berdasarkan tipe, demografi dan faktor risiko. Dari total 450 kasus, terdapat 227 kasus stroke iskemik (50,44%) dan 223 kasus stroke perdarahan (49,56%). Berdasarkan jenis kelamin, stroke dewasa muda lebih banyak terjadi pada pasien berjenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. Terdapat 255 kasus yang terjadi pada pasien berjenis kelamin perempuan (56,67%) dan 195 pasien yang berjenis kelamin laki-laki (43,33%). Kejadian stroke meningkat seiring meningkatnya kelompok usia. Jumlah stroke pada kelompok 18-21 tahun ada sebanyak 10 kasus (2,22%). Pada kelompok 22–25 tahun terdapat 14 kasus (3,11%). Sedangkan jumlah kasus pada kelompok 26–29 tahun sama dengan kelompok 22–25 tahun yaitu sebanyak 14 kasus (3,11%). Selanjutnya terjadi kenaikan jumlah kasus kembali. Pada kelompok 30-33 tahun terdapat 45 kasus (10%), kelompok 34–37 tahun terdapat 53 kasus (11,56%), kelompok 38-41 tahun terdapat 112 kasus (24,89%), dan kelompok 42–45 tahun terdapat 203 kasus (45,11%). Pendidikan terakhir penderita stroke dewasa muda paling tinggi adalah SMA/sederajat (24,67%) kemudian

Tabel 1.1 Distribusi Stroke Dewasa Muda

Variabel n (%)Tipe StrokeIskemik 227 50.44Perdarahan 223 49.56Jenis KelaminPerempuan 255 56.67 Laki-laki 195 43.33Kelompok Usia18-21 10 2.22 22-25 14 3.1126-29 14 3.1130-33 45 10.0034-37 52 24.8942-45 203 45.11PendidikanTidak Sekolah 63 14 Tidak tamat SD 17 3,78SD 96 21,3SMP 111 24,67SMA 148 32,89 D1/D3/PT 15 3,33PekerjaanTidak bekerja 253 56,22 Pegawai 53 11,78Wiraswasta 31 6,89 Petani/Nelayan/Buruh 3 0,67Buruh 42 9,33Faktor RisikoMerokok 62 8,07Dislipidemia 148 19,27Hipertensi 323 42,06Obesitas 7 0,91Diabetes Melitus 31 4,04Kelainan Jantung 105 13,67Kelainan Pembuluh Darah 58 7,55Kelainan Darah 34 4,43

diikuti dengan SMP (24,67%), SD (21,3%), tidak sekolah (14%), tidak tamat SD (3,78%) dan D1/D3/PT (3,33%). Sedangkan untuk pekerjaan, jenis pekerjaan terbanyak pada penderita stroke adalah kelompok tidak bekerja (56,22%), kemudian

Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011-2016

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

146 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

diikuti dengan lainnya (15,11%), pegawai (11,78%), buruh (9,33%), wiraswasta (6,89%), dan petani (0,67%). Faktor risiko paling tinggi pada penelitian ini adalah hipertensi (42,06%) kemudian diikuti dengan dislipidemia (19,37%), kelainan jantung (13,67%), merokok (8,07%), kelainan pembuluh darah (7,55%), kelainan darah (4,43%), diabetes mellitus (4,04%), dan paling rendah adalah obesitas (0,91%).

Grafik 1.1 memperlihatkan proporsi tipe stroke berdasarkan kelompok usia. dapat dilihat bahwa dari total 450 kasus, terdapat 227 kasus stroke iskemik (50,44%) dan 223 kasus stroke perdarahan (49,56%). Berdasarkan grafik tersebut, pada umur 18–21 tahun dan 22–25 tahun stroke

perdarahan lebih sering terjadi dibandingkan stroke iskemik. Pada umur 26–29 tahun kejadian stroke iskemik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke perdarahan. Kemudian pada umur 30–33 tahun stroke perdarahan kembali menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik. Namun pada umur kelompok umur diatas 33 tahun, kejadian stroke iskemik lebih banyak dibandingkan stroke perdarahan. Grafik 1.2 menunjukkan proporsi jenis kelamin berdasarkan kelompok usia. Pada kelompok usia 18–21 tahun, angka kejadian pada laki-laki lebih banyak dibandingkan pada perempuan. Namun pada kelompok usia selanjutnya, angka kejadian pada perempuan lebih banyak dibandingkan pada laki-laki.

Grafik 1.1 Distribusi Tipe Stroke Berdasarkan Kelompok Usia

Grafik 1.2 Distribusi Jenis Kelamin Berdasarkan Kelompok Usia

Grafik 1.3 Distribusi Faktor Risiko Berdasarkan Kelompok Usia

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

147

Grafik 1.3 menunjukkan proporsi faktor risiko pada kelompok usia. Pada kelompok usia 18–21 tahun, faktor risiko tertinggi adalah kelainan pembuluh darah (36%) Pada kelompok usia 22–25 tahun, faktor risiko tertinggi adalah hipertensi (22%), kelainan jantung (22%), dan kelainan pembuluh darah (22%). Pada kelompok usia 26-29 tahun, faktor risiko tertinggi adalah hipertensi (28%) dan kelainan jantung (28%). Pada kelompok usia selanjutnya, faktor risiko tertinggi adalah hipertensi. Pada kelompok usia 30–33 tahun , faktor risiko hipertensi sebesar 41%, 34–37 tahun sebesar 38%, 38–41 tahun sebesar 44%, dan pada 42–45 tahun sebesar 45%.

III. Pembahasan

Sesuai dengan data yang ditampilkan di tabel 1.1, stroke iskemik (50,44%) lebih banyak terjadi dibandingkan dengan stroke perdarahan (49,56%). Hal ini sejalan dengan penelitian di Makassar yang juga meneliti mengenai faktor risiko pasien stroke dewasa muda. Hasil penelitian di Makassar mendapatkan stroke non-hemoragik, yang disebut sebagai stroke iskemik (76,1%) pada penelitian ini, lebih tinggi dibandingkan stroke perdarahan (23,9%).9 Apabila dilihat dari grafik 1.2 pada kelompok usia 18–21 tahun dan 22–25 tahun stroke perdarahan lebih sering terjadi dibandingkan stroke iskemik. Pada kelompok usia 26–29 tahun, stroke perdarahan. Kemudian pada umur 30–33 tahun stroke perdarahan kembali menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik. Namun pada umur kelompok umur diatas 33 tahun, kejadian stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan stroke perdarahan. Tingginya stroke perdarahan pada usia awal, 18–21 tahun dan 22–25 tahun dapat dikaitkan dengan tingginya faktor risiko kelainan pembuluh darah pada kelompok usia tersebut. Pada grafik 1.3 dapat dilihat bahwa kelainan pembuluh darah menyumbang 36% faktor risiko dan pada kelompok usia 22–25 tahun menyumbang 22% faktor risiko. Kelainan pembuluh darah seperti malformasi arteri dan vena maupun aneurisma berkontribusi terhadap pecahnya pembuluh darah pada stroke perdarahan.10 Tingginya stroke iskemik pada usia 26–29 tahun dapat disebabkan tinggi faktor risiko

kelainan jantung. Kelainan jantung berkontribusi terhadap pembentukan stroke iskemik dengan menyebabkan pembentukan clots , platelet clumps, dan plaque, yang dapat berkembang menjadi trombus dan terlepas terbawa ke pembuluh darah dan menyumbat pembuluh darah.19 Kembali tingginya stroke perdarahan dibandingkan stroke iskemik pada kelompok usia 30–33 tahun dapat dikaitkan dengan turunnya persentase kelainan jantung dari kelompok usia sebelumnya. Pada kelompok usia sebelumnya kelainan jantung sebesar 28% dan pada kelompok 30–33 tahun kelainan jantung hanya 10%. Kelainan jantung berkontribusi terhadap pembentukkan stroke iskemik. Berkurangnya persentase kelainan jantung, faktor risiko yang hanya berkontribusi terhadap stroke iskemik berkurang. Tinggi stroke iskemik pada kelompok usia selanjutnya, 34–37 tahun, 38–41 tahun, dan 42–45 tahun dapat dikaitkan dengan meningkatnya persentase faktor risiko dislipidemia. Dislipidemia berkontribusi terhadap pembentukkan aterosklerosis yang merupakan salah satu mekanisme terjadinya stroke iskemik.10

Berdasarkan data yang diperoleh, kejadian stroke dewasa muda lebih tinggi pada perempuan (56,66%) dibandingkan pada laki-laki (43,34%). Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian di Makassar yang mendapati bahwa pada usia 18–40 tahun, kejadian stroke lebih tinggi pada laki-laki (54,3%) dibandingkan pada perempuan (45,7%).9 Pada grafik 1.2 dapat dilihat bahwa pada usia awal, 18–21 tahun, angka kejadian stroke lebih tinggi pada laki-laki kemudian pada kelompok selanjutnya, angka kejadian stroke lebih tinggi pada perempuan. Hal ini tidak sejalan dengan review artikel yang mengatakan bahwa pada usia 35-44 tahun angka kejadian stroke lebih tinggi pada laki-laki sedangkan pada usia dibawah 30 tahun angka kejadian stroke lebih tinggi pada perempuan.11 Namun di lain sisi, hasil yang didapatkan pada penelitian ini mirip dengan penelitian di Pakistan yang meneliti faktor risiko pasien stroke dewasa muda. Penelitian yang meneliti pasien stroke diatas 25 tahun di Pakistan mendapatkan kelompok 25–34 tahun dan 35–44 tahun stroke lebih sering terjadi pada wanita.12 Tingginya angka kejadian stroke pada perempuan

Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011-2016

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

148 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dapat disebabkan oleh pengonsumsian pil kontrasepsi.13 Penggunaan kontrasepsi dapat berkontribusi sebesar 3–22% terhadap terjadinya stroke pada wanita.14 Kontrasepsi berkontribusi terhadap stroke dengan menyebabkan perubahan pada sistem koagulasi dengan meningkatkan aktivitas thrombin dan faktor pembekuan darah serta menurunkan inhibitor koagulasi.15 Hormon pada kontrasepsi juga menyebabkan disfungsi endotel.15 Hal ini kemudian berkontribusi terhadap pembentukan kejadian tromboembolik.15 Namun data mengenai penggunaan pil KB tidak ada di penelitian ini.

Berdasarkan tabel 1.1 bahwa kejadian stroke secara konsisten naik seiring bertambahnya umur kecuali pada kelompok usia 22–25 tahun dan 26–29 tahun dimana jumlah kejadiannya sama. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Makassar dimana adanya kenaikan angka kejadian sering bertambahnya usia.9 Selain Makassar, penelitian ini juga sejalan dengan data yang didapatkan dari Helsinsky Young Adult Registry yang dilakukan di Finlandia menunjukkan bahwa adanya kenaikan kejadian stroke seiring bertambahnya usia.16

Pada penelitian ini, penderita stroke dewasa muda banyak yang memiliki pendidikan akhir SMA. Penelitian di Korea yang meneliti perbandingan epidemiologi stroke dewasa muda dan dewasa tua menunjukkan hal serupa. Penelitian di Korea mengklasifikasikan tingkat pendidikan akhir menjadi SD–SMA, D1-Sarjana, Tidak Sekolah, dan Tidak Diketahui. Angka tertinggi terletak pada kelompok pasien dengan tingkat pendidikan terakhir SD–SMA.17 Pada penelitian ini, apabila pasien dengan pendidikan SD, SMP, dan SMA disatukan maka akan menyumbang 78,86%. Hal ini menunjukkan kejadian stroke di Indonesia serupa dengan di Korea, stroke terjadi pada kelompok pasien berpendidikan rendah-menengah. Data pada tabel 1.1 menunjukkan kejadian stroke paling banyak terjadi pada kelompok tidak bekerja. Hal ini serupa dengan hasil penelitian di Korea.17 Penelitian di Jepang menemukan bahwa orang yang tidak bekerja memiliki risiko terkena stroke lebih tinggi dibandingkan orang yang bekerja.18 Orang yang

tidak bekerja dikatakan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk merokok, memiliki hipertensi dan diabetes, yang merupakan faktor risiko dari stroke.18 Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa faktor risiko tertinggi merupakan hipertensi (42,06%), diikuti dengan dislipidemia (19,27%) dan kelainan jantung (13,67%). Penelitian di Makassar juga menunjukkan hipertensi sebagai faktor risiko tertinggi.9 Tingginya faktor risiko hipertensi dapat dihubungkan dengan hubungan hipertensi dengan kedua jenis stroke, stroke iskemik maupun perdarahan. Hipertensi berkontribusi terhadap terjadinya stroke iskemik dengan menyebabkan proses degeneratif terhadap pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke emboli yang merupakan bagian dari stroke iskemik.19 Selain itu hipertensi juga dapat menyebabkan ruptur aneurisme sehingga menyebabkan stroke perdarahan.19 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dislipidemia berkontribusi pada stroke dengan pembentukan aterosklerosis yang merupakan salah satu mekanisme terjadinya stroke iskemik. Kontribusi kelainan jantung sudah dijelaskan pada segmen sebelumnya.

Pada grafik 1.3, didapati bahwa pada kelompok usia paling muda (18–21 tahun) faktor risiko yang dominan adalah kelainan pembuluh darah. Tingginya angka faktor risiko ini pada usia lebih muda dapat dikaitkan dengan kelainan kongenital. Kelainan pembuluh darah biasanya dikaitkan dengan malformasi arteri dan vena yang biasanya merupakan kelainan kongenital sehingga manifestasi stroke terjadi lebih awal. Kelainan pembuluh darah dapat menyebabkan stroke dengan beberapa mekanisme. Berdasarkan ukurannya, apabila dia besar, maka dia dapat menkompresi saraf tulang belakang.10 Perdarahan dapat terjadi pada orang yang memiliki kelainan pembuluh darah.10 Biasanya perdarahan terjadi pada orang yang memiliki lesi pembuluh darah, aliran darah yang tinggi, dan aneurisme.10 Sedangkan iskemia dapat terjadi akibat steal atau hipertensi pada vena.10 Darah akan cenderung mengalir ke vena sehingga darah pada arteri akan lebih sedikit dan jaringan parenkim akan kekurangan darah.10 Pada kelompok usia 22–25 tahun dan 26–29 tahun, faktor risiko tertinggi adalah kelainan pada jantung. Kelainan jantung

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

149

dapat menyebabkan stroke dengan kaitannya terhadap kardioemboli.13 Kelainan seperti kelainan katup jantung, fibrilasi atrial, penyakit jantung koroner, penyakit jantung rematik dapat berkontribusi terhadap pembentukan trombus. Apabila trombus lepas maka dia dapat mengalir menuju pembuluh darah otak dan menyebabkan penyumbatan sehingga terjadi keadaan iskemik.10,13 Pada kelompok usia 30 tahun keatas, faktor risiko yang mendominasi adalah hipertensi. Meningkatnya angka hipertensi seiring bertambahnya umur dikaitkan dengan perubahan struktural pada arteri, terutama dengan kekakuan arteri besar.20

IV. Simpulan

Kejadian stroke dewasa muda di RSHS paling banyak terjadi pada kelompok usia 42–45 tahun, tipe stroke iskemik, jenis kelamin wanita, pendidikan terakhir SMA, tidak bekerja, dan faktor risiko tertinggi adalah hipertensi, dislipidemia dan kelainan jantung. Pencegahan stroke dewasa muda pada RSHS dapat difokuskan pada tipe stroke, demografi, faktor risiko dengan prevalensi tinggi.

Daftar Pustaka

1. Parmar P, Sumaria S, Hashi S. Stroke: classification and diagnosis: The pharmaceutical journal; 2011.

2. Mukherjee D, Patil CG. Epidemiology and the global burden of stroke. World neurosurgery. 2011;76(6):S85–S90.

3. Hoy DG, Rao C, Hoa NP, Suhardi S, Lwin AMM. Stroke mortality variations in South East Asia: empirical evidence from the field. International Journal of Stroke. 2013;8(A100):21–7.

4. Yuwono S. Stroke dan penanganan terkini: apakah kecatatan permanen atau kematian akibat stroke dapat dicegah?: Kementrian Kesehatan RI; 2016.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia;

8 dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke: 2011. Tersedia dari: http://www.depkes.go.id/article/print/1703/8-dari-1000-orang-di-indonesia-terkena-stroke.html.

6. Béjot Y, Delpont B, Giroud M. Rising stroke incidence in young adults: more epidemiological evidence, more questions to be answered. Journal of the American Heart Association. 2016;5(5).

7. Morris R. The psychology of stroke in young adults: the roles of service provision and return to work. Stroke Research and Treatment. 2011;2011.

8. Di Carlo A. Human and economic burden of stroke. Age and ageing. 2009;38(1):4–5.

9. Burhanuddin M. Faktor risiko kejadian stroke pada dewasa awal (18-40 tahun) di kota Makassar tahun 2010-2012. Makassar: Hasannudin University; 2013.

10. Biller J. Stroke in children and young adults: Elsevier Health Sciences; 2009.

11. Griffiths D, Sturm J. Epidemiology and etiology of young stroke. Stroke research and treatment. 2011;2011.

12. Feroz MT, Ali LM, Saleem RM. Socio-demographic risk factors for hemorrhagic and ischemic stroke: a study in tertiary care hospital of Hyderabad. Pakistan Journal of Neurological Sciences (PJNS). 2016;11(1):24–9.

13. Katsnelson MJ, Della-Morte D, Rundek T. Stroke in young. Periodicum biologorum. 2012;114(3):347–53.

14. Lanzer P, Topol EJ. Pan vascular medicine: integrated clinical management: Springer; 2013.

15. Lima ACS, Martins LCG, Lopes MVdO, Araújo TLd, Lima FET, Aquino PdS, et al. Influence of hormonal contraceptives

Gambaran Epidemiologi Pasien Stroke Dewasa Muda yang Dirawat di Bangsal Neurologi RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Periode 2011-2016

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

150 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

and the occurrence of stroke: integrative review. Revista Brasileira de Enfermagem. 2017;70(3):647–55.

16. Seshadri S, Debette S. Risk factors for cerebrovascular disease and stroke: Oxford University Press; 2015.

17. Park W-B, Cho J-S, Shin S-D, Kong S-Y, Kim J-J, Lim Y-S, et al. Comparison of epidemiology, emergency care, and outcomes of acute ischemic stroke between young adults and elderly in Korean population: a multicenter observational study. Journal of Korean medical science. 2014;29(7):985-91.

18. Eshak ES, Honjo K, Iso H, Ikeda A, Inoue M, Sawada N, et al. Changes in the employment status and risk of stroke and stroke types. Stroke. 2017; 48(5): 1176-82

19. Caplan LR. Caplan's stroke: a clinical approach. Elsevier Health Sciences; 2009.

20. Pinto E. Blood pressure and ageing. Postgraduate medical journal. 2007; 83(976):109–14.

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

151

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Riyadh Firdaus*), Diana C. Lalenoh**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, RS Prof. Kandau Manado, ***)Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin-Bandung

Abstrak

Manajemen neuroanestesia untuk cedera kepala bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi otak, memfasilitasi pembedahan dan mencegah cedera otak sekunder. Bagi pasien cedera kepala yang mengalami toksisitas alkohol, diperlukan perhatian khusus dalam mengevaluasi dan menentukan dosis obat anestesia. Walaupun GCS dapat digunakan sebagai modalitas penilaian pasien dengan intoksikasi alkohol, penilaian menggunakan FOUR adalah alternatif yang lebih baik. FOUR lebih spesifik dalam menilai penurunan kesadaran bila ada defek neurologi, bahkan bagi pasien yang terintubasi. Selama pembiusan, dosis perlu diperhatikan karena konsumsi alkohol jangka panjang dapat meningkatkan kebutuhan dosis obat anestesia. Sebaliknya, intoksikasi alkohol memerlukan dosis obat induksi yang lebih kecil. Seorang laki-laki usia 38 tahun dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran pasca trauma kepala sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat konsumsi alkohol. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, ditegakkan diagnosis Hematom Epidural. Pasien menjalani kraniotomi evakuasi Hematom Epidural selama 4 jam. Pascaoperasi pasien tidak dilakukan ekstubasi dan dirawat di perawatan ICU selama 7 hari.

Kata kunci: Four skor, neuroanestesia, kraniotomi, evakuasi hematoma epidural, intoksikasi alkohol

JNI 2017;6 (3): 151‒161

Use of Four Score in Anesthesia Management for Epidural Hematoma Evacuation in Patient with Alcohol Intoxication

Abstract

Neuroanesthetic management for brain trauma aims to maintain optimal cerebral perfusion and facilitate surgery while preventing secondary brain injury. For patients with brain trauma under alcohol toxicity, careful monitoring is needed to assess and determine drug dosing. Although GCS is reliable for assessing conciousness in patients with alcohol intoxication, evaluation using FOUR is a reasonable alternative. FOUR is more spesific in identifying level of conciousness in neurologic defects, even in intubated condition. Throughout anesthesia, special attention should be given, as long term alcohol consumption may increase the dose needed for general anesthesia. However, a smaller dose of induction agent is needed in alcohol intoxication. We describe a case of a 38 years old male, who was admitted to emergency department with loss of conciousness following head trauma for 3 hours prior to admission. There was history of alcohol consumption. History and physical findings were consistent with epidural hematoma. Patient underwent craniotomy for epidural hematoma evacuation. The surgery took four hours. Post surgery, patient remained intubated and stayed in ICU for seven days.

Key words: Four score, neuroanesthesia, craniotomy, epidural hematoma evacuation, alcohol intoxication

JNI 2017;6 (3): 151‒161

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

152 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas pada pasien dewasa muda di negara berkembang. Meskipun sebagian besar kasus trauma kepala adalah trauma ringan, namun sekitar 10,9% kasus merupakan kasus trauma sedang atau berat dan mengakibatkan disabilitas yang signifikan terhadap pasien.1 Mayoritas trauma kepala disebabkan oleh terjatuh, kecelakaan kendaraan dan kekerasan.2

Konsumsi alkohol memiliki hubungan yang kuat dengan trauma, baik akibat kecelakaan atau kekerasan. Berdasarkan Insurance Institute for Highway Safety, alkohol berkontribusi sebanyak 50% dalam kasus kematian akibat trauma.3 Meskipun masih terdapat pro dan kontra terhadap efek toksisitas alkohol terhadap pasien dengan trauma kepala, disebutkan bahwa konsumsi alkohol berperan sebagai faktor risiko mortalitas pada pasien trauma kepala.4,5 Intoksikasi alkohol didefinisikan sebagai kebiasaan maladaptif yang signifikan mengenai cara konsumsi alkohol. Jumlah alkohol yang dikonsumsi dibutuhkan namun tidak cukup dalam mendiagnosa intoksikasi alkohol. Gejala klinis intoksikasi alkohol berupa bicara meracau, kurang koordinasi, nistagmus, gangguan berjalan, gangguan ingatan atau konsentrasi, stupor hingga koma.

Pasien trauma kepala ringan dengan intoksikasi alkohol memiliki risiko cedera intrakranial yang lebih tinggi, serta memiliki luaran yang lebih buruk dalam hal perbaikan kemampuan kognitif.6,7 Alkoholisme merupakan terminologi yang paling luas dalam mendefinisikan pasien dengan gangguan konsumsi alkohol. Alkoholisme dicirikan dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol konsumsi alkohol, preokupasi terhadap alkohol, penggunaan alkohol tanpa mempedulikan konsekuensi dan distorsi pemikiran. Trauma kepala merupakan kasus yang kompleks dan melibatkan proses multifaktorial sehingga dideskripsikan sebagai penyakit heterogen. Klasifikasi derajat cedera kepala ditentukan oleh tingkat kesadaran yang dinilai menggunakan skala Glasgow Coma Scale (GCS) setelah resusitasi.1,8 Faktor yang dapat mempengaruhi penilaian GCS adalah hipoksia,

hipotensi dan intoksikasi alkohol, sehingga penilaian GCS harus dilakukan setelah dilakukan resusitasi pada pasien dan penyebab reversibel pada pasien diatasi terlebih dahulu.1 Penilaian kesadaran pada pasien dengan toksisitas alkohol masih menjadi pro dan kontra, beberapa studi menyatakan bahwa konsentrasi alkohol dalam tubuh tidak mempengaruhi secara signifikan penilaian GCS, beberapa menyatakan efek alkohol mempengaruhi penilaian GCS sesuai besar konsentrasi alkohol tersebut.9,10

Skor lain yang tengah dikembangkan adalah skor Full Outline of Unresponsiveness (FOUR). Skor FOUR dibuat sebagai kompensasi dari penilaian GCS pasien yang sedang disedasi atau diintubasi. Skor FOUR merupakan skala yang telah divalidasi pada populasi pasien trauma kepala. Penilaian didasarkan pada 4 hal yaitu respons mata, respons motorik, refleks batang otak dan respirasi. Pada trauma kepala, jenis perdarahan yang paling sering terjadi adalah hematom subdural (sekitar 50% kasus) dan diikuti oleh hematom epidural (sekitar 3%).8 Pada hematom epidural terdapat beberapa gejala klinis yaitu sakit kepala, kebingungan, afasia, fotofobia hingga penurunan kesadaran. Pada kasus hematom epidural, sebanyak 47% terdapat “lucid interval” dan pasien tidak memiliki keluhan neurologis atau gejala klinis pada awalnya. Hal ini diikuti dengan penurunan klinis seperti muntah, letargi atau kejang. Tanda eksternal seperti fraktur tengkorak, laserasi, ekimosis, rhinorrhea atau otorrhea harus diobservasi. Fraktur tulang tengkorak terdapat pada 75–95% pasien dengan hematom epidural.11

Pasien dengan trauma kepala seringkali datang dengan indikasi dilakukannya tindakan operasi emergensi. Riwayat kejadian, waktu kejadian, mekanisme trauma dan cedera ekstrakranial lainnya harus dievaluasi dengan segera. Tujuan neuroanestesiologis adalah mencegah terjadinya cedera sekunder, memfasilitasi tindakan operasi segera dan menjaga kondisi yang optimal pasien selama tindakan.1 Termasuk peran anestesiolog adalah mengantisipasi faktor-faktor yang memperberat kondisi pasien trauma kepala, mempengaruhi penilaian terhadap kondisi pasien dan memiliki interaksi dengan tatalaksana

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

153

anestesi; antara lain masalah alkoholisme.

II. Kasus

AnamnesaPasien laki-laki, usia 38 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri di pinggir jalan akibat pukulan di bagian kepala. Pada pasien ditemukan perdarahan dari telinga. Tidak terdapat perdarahan atau keluar cairan dari hidung. Tidak diketahui adanya riwayat kejang atau muntah pada pasien. Diketahui oleh keluarga pasien bahwa pasien mabuk karena alkohol. Jumlah konsumsi alkohol terakhir tidak diketahui. Riwayat kebiasaan minum alkohol diakui oleh keluarga. Riwayat penyakit lain dan riwayat alergi pada pasien tidak diketahui.

Pemeriksaan FisikPada saat pasien diterima di IGD, didapatkan pasien tampak sakit berat dengan skor GCS E1M4V2. Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 82x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu 36,6oC, saturasi 95% pada udara kamar. Pada pemeriksaan mata, didapatkan pupil anisokor Ø5mm/Ø3mm, refleks cahaya positif lambat kanan/kiri. Skor Mallampati pada pasien tidak dapat dinilai, pada pemeriksaan jantung, paru dan abdomen tidak didapatkan kelainan atau jejas. Pada pasien tidak terdapat kejang selama di IGD. Diketahui berat badan pasien 58kg.

Pemeriksaan PenunjangPada pemeriksaan penunjang didapatkan beberapa data sebagai berikut:Hematologi lengkap: Hb 14,6 gr%, SGOT/SGPT 221/142 U/L, Trombosit 210 k/µL, Leukosit 8390 k/µL, Hematokrit 42,9 %, PT/aPTT : 1x/1,02x, GDS : 113mg/dl, Albumin : 4,5g/dl, Fungsi Hati: SGOT/SGPT 221/142 U/L, Fungsi Ginjal: Ur/Cr : 34 mg/dl/1,52 mg/dl, Elektrolit: Na 140 mmol/L, K 3,2 mmol/L, Cl 112 mmol/L.Pada rontgen dada tidak terdapat kelainan radiologis pada jantung dan paru, tidak terdapat gambaran fraktur pada costae. Pada rontgen servikal: Straight cervical, tidak terdapat fraktur pada corpus vertebrae yang tervisualisasi. Hasil USG Focused Assessment with Sonography

for Trauma (FAST) menunjukkan tidak ada cairan hepatorenal, splenorenal dan perivesika. Hasil EKG pada pasien yaitu gambaran ritme sinus (SR), axis normal, laju QRS 90x/menit. Pasien dilakukan CT Scan kepala tanpa kontras dan didapatkan hasil: Epidural hematom pada temporoparietal kanan dengan estimasi volume 124cc (ukuran 9,4x3x8,5 cm), terdapat subaraknoid hematom regio parietal bilateral, kontusio serebri lobus frontalis dan lobus temporalis kiri, gambaran edema serebri, herniasi subfalcine ke kiri ± 1 cm, hematosinus sfenoid sisi kiri, fraktur impresi parietal kanan serta fraktur

komplit dinding anterior sinus maksilaris kiri dan os zygoma kiri. Pasien dikonsultasikan kepada Departemen Ilmu Bedah Saraf dan direncanakan tindakan kraniotomi untuk evakuasi hematom.Pasien disimpulkan dengan status ASA III dengan penurunan kesadaran, hematom epidural, peningkatan SGOT/SGPT 221/142 (diduga karena alkoholisme) dan hipokalemia ringan 3.2 mEq/L.

Penatalaksanaan AnestesiPersiapan preoperatif dilakukan dengan pengamanan jalan napas, oksigenasi, pemasangan akses intravena pada pasien. Intubasi dilakukan di ruang resusitasi, difasilitasi dengan fentanyl 150 mcg, propofol 40 mg dan rocuronium 50 mg.

Gambar 1. CT Scan Kepala Tanpa Kontras Pasien(a). Hematoma Epidural. (b). Midline shift (c). Herniasi Subfalcine

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

154 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selama di IGD, pasien diberikan cairan kristaloid Ringer Asetat 1000cc. Pasien direncanakan untuk anestesi umum inhalasi dengan kombinasi intravena. Pasien dibawa ke ruang operasi dengan ventilasi mekanik menggunakan bagging manual. Hemodinamik pasien pada saat preinduksi: tekanan darah 122/76 mmHg, nadi 82 x/menit, SpO2 99%. Anestesi dimulai pada pukul 07.00 WIB dengan induksi menggunakan propofol 1 mg/kgBB dan ko-induksi dengan fentanyl 3 mcg/kgBB intravena. Pemeliharaan anestesi menggunakan kombinasi sevoflurane 0,5 MAC, fentanyl 2–3 mcg/kg/jam, vecuronium 1 mcg/kg/menit. Ventilasi mekanik pasien menggunakan mode ventilator VC 400/frekuensi 14/PEEP 5/FiO2 40%. Dilakukan pemasangan CVC pada pasien di proyeksi vena subklavia kiri. Operasi berlangsung selama 4 jam, dimulai pada pukul 07.30 hingga 11.30 WIB. Selama intraoperatif, kondisi pasien relatif stabil. Pada jam 08.00–09.00 terdapat perdarahan sebanyak 700cc dalam proses scalping dan kraniotomi. Dilakukan pemberian cairan kristaloid Ringer Asetat 500cc dan koloid 250cc. Tekanan darah sistolik berkisar antara 100–120mmHg, diastolik antara 70–85mmHg. Nadi pasien berkisar antara 70–85x/menit. CVP 8–10. Total perdarahan ± 1500cc. Total produksi urin pasien 1.7cc/KgBB/jam (± 400cc). Total cairan: cairan kristaloid 1500cc, cairan koloid 250cc dan transfusi PRC 171cc. Tindakan operasi selesai pada pukul 11.30 WIB dan pasien ditransport ke ICU tanpa dilakukan ekstubasi.

Saat di ICU, pasien bangun namun gelisah, GCS E2M5V tube. Hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah berkisar antara 110–130/70–85 mmHg, nadi 80–90 x/menit, SpO2 99%. Sedasi dengan midazolam 1mg/jam.

Pemeriksaan laboratorium pasien pascaoperasiHematologi lengkap: Hb 12.9 gr%, Trombosit 175 k/µL, Leukosit 6640 k/µL, Hematokrit 36.7 %, PT/aPTT: 1x/0.9x, GDS: 89mg/dl, Albumin: 3.24 g/dL, D-Dimer: 200 ng/ml, Ca: 8.1 mEq/L, Ca Ion: 1.15 mEq/L, Mg: 1.83 mEq/L, Fungsi Hati: SGOT/SGPT 24/17 U/L, Fungsi Ginjal: Ur/Cr: 44/0.50 mg/dl, Elektrolit: Na 138 mmol/L, K 4.52 mmol/L, Cl 101.9 mmol/L, AGD 7.32/45.3/228.3/-6.7/20.5/99.3, Mixed vein 7.22/52.0/51.0/-6.4/21.5/77.7.

Pasien dirawat di ICU selama 2 hari. Pasien dilakukan ekstubasi pada hari ketiga di ICU. Selama perawatan di ICU dan HCU, pasien diberikan fenitoin untuk mencegah kejang dengan dosis 3x100mg sejak hari perawatan kedua hingga keenam. Tidak terdapat kejang selama masa perawatan pasien., dipindahkan ke HCU Bedah Saraf dengan GCS E3M5V3 selama 4 hari dan selanjutnya rawat inap biasa selama 7 hari lalu pulang dalam kondisi umumnya berbaring, dapat duduk dan berjalan. Kontak mata baik, namun terkadang tidak adekuat dan suka melamun.

III. Pembahasan

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian dan disabilitas, maka dari itu dibutuhkan penanganan segera yang komprehensif pada pasien dengan trauma kepala. Fokus manajemen trauma kepala adalah menghindari cedera sekunder, mempertahankan tekanan perfusi serebral serta optimalisasi oksigenasi serebral. Terdapat 1–4% kasus hematom epidural pada kasus trauma kepala.11 Tindakan operatif yang dilakukan pada kasus trauma kepala membutuhkan pengelolaan anestesi yang berbeda sehingga dibutuhkan pengetahuan mengenai trauma kepala, peralatan monitor serta manajemen anestesia pada trauma kepala.

Grafik: Pemantau Tekanan Darah, Nadi dan SpO2

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

155

Patofisiologi Hematom EpiduralPatofisiologi trauma kepala melibatkan cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh kejadian trauma kepala yang memberikan dampak terhadap jaringan otak dan tulang yang disebabkan oleh akselerasi-deselerasi atau gaya rotasi. Cedera sekunder yang dapat terjadi pada trauma kepala adalah hematom, hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, eksitotoksisitas, toksisitas ion kalsium, infeksi hingga kejang.12

Penyebab cedera sekunder terlampir pada tabel 1. Tatalaksana hematom epidural dapat berupa konservatif atau operatif. Evakuasi hematom secara pembedahan disarankan pada hematom dengan volume yang mencapai 30mL tanpa

Penyebab SistemikHipoksemiaHiperkapniaHipotensi atau hipertensiHipo-osmolalitas atau hiperosmolalitasHiperglikemia atau hipoglikemiaDemam, menggigilPenyebab IntrakranialPeningkatan tekanan intrakranialKejangVasospasme serebral

Sumber: Youmans and Winn Neurological Surgery8

Tabel 1. Penyebab Cedera Sekunder pada Trauma Kepala

memperhatikan skor GCS pasien. Terapi konservatif dengan pemantauan bila volume hematom kurang dari 30mL dengan ketebalan kurang dari 15 mm, midline shift kurang dari 5mm dan skor GCS pasien lebih dari 8 tanpa defisit neurologis.13 Indikasi terapi pembedahan pada hematom epidural terlampir pada tabel 2.

Pengelompokan cedera primer dan sekunder pada trauma kepala merupakan hal yang penting dalam menentukan luaran pasien, karena berbeda dengan cedera primer, terjadinya cedera sekunder seringkali dapat dicegah. Hipoksia, hipotensi, hiper atau hipokapnia, hiper atau hipoglikemia telah terbukti dapat meningkatkan risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala.1

Manajemen Pasien Pra- Rumah SakitManajemen pasien pra-rumah sakit memiliki fokus pada hipotensi dan hipoksia. Telah terdapat banyak studi yang menghubungkan antara hipoksia dengan luaran yang buruk pada pasien dengan trauma kepala. Manajemen diberikan untuk membebaskan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Tatalaksana jalan napas menggunakan intubasi trakeal dapat dilakukan bila pasien tidak dapat menjaga jalan napas sendiri atau bila pasien membutuhkan target SpO > 90%.1 Pasien sesegera mungkin dibawa ke pusat yang memiliki CT-Scan. CT-Scan merupakan alat diagnostik utama untuk menilai cedera pada trauma kepala dan dengan diagnosa yang cepat maka komplikasi

Tabel 2. Manajemen Hematom EpiduralKondisi ManajemenHematom EpiduralVolume hematom > 30mL, tanpa memperhatikan skor GCS

Evakuasi dengan pembedahan

Volume hematom < 30mL, dan Manajemen konservatif dengan pemantauan intensif

Ketebalan < 15mm, dan Manajemen konservatif dengan pemantauan intensif

Midline shift < 5mm, dan Manajemen konservatif dengan pemantauan intensif

Skor GCS > 8 tanpa defisit neurologis Manajemen konservatif dengan pemantauan intensif

Sumber: Youmans and Winn. Neurogical Surgery13

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

156 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

cedera sekunder dapat dicegah sejak awal.

Manajemen Kegawatdaruratan di Ruang EmergensiResusitasi pasien dengan trauma kepala dilakukan sesuai dengan prioritas ATLS yaitu pendekatan ABCDE. Evaluasi neurologis pada umumnya dilakukan menggunakan skor GCS, respons pupil dan tanda-tanda lokal. Namun pada pasien dengan kondisi defek neurologis atau sudah terpasang intubasi, maka skor penilaian menggunakan

FOUR lebih spesifik dan menunjukkan kedalaman koma pada pasien karena terdapat faktor penilaian terhadap refleks batang otak dan pernapasan.14,15 Selain itu, respons membuka mata yang dinilai pada skor FOUR juga menilai pergerakan volunter yang dapat membedakan kondisi vegetatif dan gangguan kesadaran minor.15 Klasifikasi skor FOUR pada trauma kepala menjadi prediktor untuk luaran pasien. Hasil total FOUR yang rendah berhubungan dengan kematian dan disabilitas saat perawatan.

Tabel 3. Skor Glasgow Coma Scale (GCS)

Respon Mata Respon Verbal Respon Motorik4= Membuka mata spontan 5=Orientasi baik 6= Dapat mengikuti perintah3= Membuka mata terhadap suara / perintah

4= Bingung, disorientasi tempat dan waktu

5= Dapat melokalisir nyeri

2= Membuka mata terhadap rangsang nyeri

3= Kata-kata yang tidak sesuai 4= Fleksi normal menjauhi rangsang nyeri

1=Tidak ada respons membuka mata

2= Mengerang 3= Fleksi abnormal (dekortikasi)

1= Tidak ada respons verbal 2= Ekstensi abnormal (deserebrasi)1= Tidak ada respons motorik

Sumber: Goldman-Cecil Medicine2

Tabel 4. Penilaian Skor FOUR

Respon Mata Respon Motorik Reflek Batang Otak Respirasi4 = Mata terbuka, mengikuti atau berkedip terhadap perintah

4 = Dapat mengangkat jempol, membentuk kepalan atau tanda damai “peace sign”

4 =Terdapat refleks pupil dan kornea

4 = Bernapas normal

3 = Mata terbuka tapi tidak mengikuti perintah

3 = Dapat melokalisir nyeri 3 = Salah satu pupil melebar dan menetap

3= Pola napas Cheyne-stokes

2 = Mata tertutup namun terbuka pada rangsang suara

2 = Respons fleksi terhadap nyeri

2 = Refleks kornea atau pupil tidak ada

2 = Bernapas tidak teratur

1 = Mata tertutup namun terbuka pada rangsang nyeri

1 = Respons ekstensi 1 = Refleks kornea dan pupil tidak ada

1 = Pernapasan dipicu ventilator atau bernapas diatas laju ventilator

0= Mata tetap tertutup dengan rangsang nyeri

0 =Tidak ada respons terhadap nyeri atau

0 = Refleks pupil, kornea dan refleks batuk tidak ada

0 = apnea atau bernapas dengan ventilator

Sumber: Critical Care Managemet of Traumatic Brain Injury. Youmans and Winn Neurological Surgery12

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

157

Risiko kematian tinggi pada total skor FOUR 0–7, risiko sedang pada nilai 8–14 dan risiko rendah pada skor 15–16. Pada pasien dengan toksisitas alkohol, penilaian kesadaran masih dapat menggunakan GCS, karena penilaian tidak berbeda signifikan terhadap toksisitas alkohol. Kriteria penilaian GCS dan FOUR terlampir pada tabel 3 dan 4. Penilaian skor pada alkoholisme dapat dianalogikan seperti penilaian pasien dalam pengaruh sedasi. Intubasi trakea masih menjadi baku standar pada pasien dengan GCS ≤ 8.1 Setelah memastikan jalan napas aman, ventilasi

Tabel 5. Cara Pencegahan Cedera Sekunder

Sistem Tujuan ManajemenJalan Napas Intubasi trakeal bila GCS ≤ 8 atau tidak mampu mempertahankan jalan napasPernapasan Menghindari hipoksia, pertahankan SaO2 > 97%, PaO2 > 11 kPa (82mmHg),

pertahankan PaCO2 pada nilai 4,5-5.0 kPa. Hiperventilasi, nilai PaCO2 4.0 – 4.5 kPa (30-35mmHg) pada herniasi impending

Kardiovaskular Menghindari hipotensi, pertahankan MAP > 80mmHg, hindari penggantian cairan intravaskular menggunakan cairan hipotonik dan cairan mengandung glukosa. Penggunaan darah sesuai kebutuhan, agen vasopresor diberikan seperlunya untuk mempertahankan CPP

Otak Pemantauan ICP, hindari ICP >20 mmHg, pertahankan CPP >60 mmHg, pemberian analgesik dan sedasi yang adekuat, terapi hiperosmolar Na+ <155 mmol-1Posm <320 mosml-1, drainase cairan serebrospinal, tatalaksana kejang.Koma barbiturat, kraniektomi dekompresi, hipotermia dipertimbangkan untuk peningkatan ICP yang refrakter

Metabolik Pemantauan gula darah dengan targer 6-10mmol l-1, hindari hipertermia dan tromboprofilaksis DVT

Sumber: Dinsmore J, Traumatic Brain Injury: an Evidence-based Review of Management. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care and Pain1

Gambar 2. CT Scan pada Trauma Kepala(a) Hematoma Epidural. (b) Hematoma Subdural

harus diatur dengan tepat, normokapnia untuk menghindari hiper/hipokapnia.1,16 Resusitasi pasien dilakukan untuk memenuhi tujuan terapi yang diharapkan, sesuai yang terlampir pada tabel 5. Pencitraan Trauma KepalaPemeriksaan CT Scan disarankan pada semua pasien cedera kepala dengan skor GCS ≤ 14 atau dengan GCS 15 yang diikuti oleh paling tidak 1 faktor risiko. Faktor risiko tersebut adalah nyeri kepala hebat, muntah, mual, faktor usia (<4 tahun atau >65 tahun), amnesia, mekanisme trauma, defisit neurologis dan terapi antikoagulan.16 MRI kepala jarang dilakukan pada trauma kepala akut karena membutuhkan proses yang lebih lama dan kompleks, meskipun terdapat beberapa kasus perdarahan otak yang tidak terlihat di CT Scan sehingga membutuhkan deteksi dari MRI kepala.1,16,17 Terdapat 3 jenis perdarahan ekstraserebral yaitu Hematom Epidural, Hematom Subdural dan Perdarahan Subarakhnoid. Pada hematom epidural, lokasi paling sering terjadi adalah temporal dan parietal yang terjadi akibat gangguan arteri akibat fraktur. Manajemen hematom epidural dapat berupa konservatif atau pembedahan yang disesuaikan

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

158 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dengan volume hematoma, nilai GCS serta adanya defisit neurologis.16

Manajemen Anestesia pada Trauma KepalaManajemen anestesia pada trauma kepala memiliki beberapa tujuan yaitu, mempertahankan tekanan perfusi serebral, mengatasi peningkatan tekanan intrakranial, memfasilitasi tindakan operasi, mencegah terjadinya cedera sekunder, memberikan sedasi yang adekuat, menghindari hiper-hipoglikemia dan hipertermi.1,18 Pasien direncanakan anetesia umum dengan status ASA III dengan penurunan kesadaran, hematom epidural, peningkatan SGOT/SGPT 221/142 (diduga karena alkoholisme) dan hipokalemia ringan 3.2 mEq/L.Peningkatan enzim transaminase awalnya diduga karena alkoholisme namun setelah dilakukan tindakan, nilai enzim menjadi normal. Diduga peningkatan tersebut akibat reaksi trauma akut yang terjadi. Agen anestesia seperti propofol dan thiopental umum digunakan namun dapat menyebabkan hipotensi. Ketamine merupakan agen anestesia yang populer di antara kasus trauma tetapi efek terhadap tekanan intrakranial terbatas. Rocuronium atau succinylcholine dapat digunakan pada tindakan intubasi cepat, meskipun succinylcholine dapat membuat sedikit peningkatan tekanan intrakranial namun tidak signifikan. Sedasi adekuat dan relaksan otot dapat menurunkan cerebral metabolic oxygen requirement (CMRO2).

1,18 Agen anestesia seperti isoflurane, sevoflurane dan desflurane, dapat menurunkan CMRO2 yang akan menyebabkan vasodilatasi serebral, sehingga terjadi peningkatan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Namun, pada konsentrasi kurang dari 1 MAC, efek vasodilatasi ini minimal sehingga dapat digunakan pada konsentrasi yang rendah.18 Penggunaan obat-obatan neuromuskular direkomendasikan untuk menghindari batuk atau mengedan.1 Barbiturat intravena dapat menurunkan tekanan intrakranial namun hanya sedikit bukti bahwa Barbiturat meningkatkan luaran pasien.1 Pada konsumsi alkohol dalam jangka waktu yang lama, dibutuhkan peningkatan dosis anestesia umum. Dosis efektif dari propofol, thiopental dan opioid meningkat. Hal ini dapat berisiko pada instabilitas kardiovaskular pada

pasien dengan gagal jantung, kardiomiopati atau dalam kondisi dehidrasi. Pada pasien dengan alkoholisme kronik, agen anestesi inhalasi akan berkompetisi dengan etanol untuk berikatan pada neuronal gamma-aminobutyric acid (GABA) dan reseptor glycine.19 Pada interaksi agen anestesi intravena dengan intoksikasi alkohol akut, terjadi fenomena kebutuhan dosis induksi anestesi yang lebih rendah.20 Hal ini terangkum dalam tabel 6.

Pemantauan UmumParameter umum yang dipantau pada pasien trauma kepala adalah monitor EKG, saturasi oksigen, kapnografi, tekanan darah arteri, Central Venous Pressure (CVP), suhu, produksi urin, analisa gas darah dan elektrolit.7 Pada pasien dengan konsumsi alkohol, didapatkan bahwa terdapat relasi antara konsentrasi alkohol pada vena dengan BIS. Konsumsi alkohol dapat menurunkan nilai BIS. Ventilasi disesuaikan untuk memastikan oksigenasi dan pertukaran udara adekuat. Hiperventilasi saat ini tidak direkomendasikan pada tatalaksana trauma kepala karena dapat memperburuk hipoperfusi serebral dan mengakibatkan iskemia.1

Pengurangan PaCO2 akan membuat vasokonstriksi serebral, mengurangi volume darah serebral dan tekanan intrakranial. Hiperventilasi sedang hingga nilai PaCO2 berada pada nilai 4.0-4.5 kPa (30–33mmHg) dipertahankan pada kasus hipertensi intrakranial yang sulit diatasi. Hal ini dilakukan dengan pemantauan melalui saturasi vena jugular untuk memastikan oksigenasi ke otak berlangsung dengan adekuat. Target tekanan darah arteri pada pasien trauma kepala bervariasi antara setiap acuan. Brain Trauma Foundation (BTF) menyatakan bahwa target tekanan darah rerata adalah > 90 mmHg sedangkan Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI) memiliki target >80 mmHg.1

Pemantauan terhadap cairan pada pasien trauma kepala terutama karena perdarahan merupakan penyebab utama hipotensi pada kasus trauma kepala. Tatalaksana hipotensi adalah resusitasi cairan yang agresif dengan atau tanpa vasopresor.16 Pemantauan suhu pada pasien trauma kepala dilakukan untuk mempertahankan kondisi pasien pada hipotermia sedang. Hipotermia

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

159

sedang secara efektif dapat menurunkan tekanan intrakranial. Studi menyatakan bahwa suhu 32–35 oC dititrasi untuk menurunkan tekanan intrakranial < 20 mmHg.1 Manfaat hipotermia ini akan semakin besar ketika dipertahankan lebih dari 48 jam.18

Pemantauan Tekanan IntrakranialPada nyeri kepala berat, tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian, sehingga hipertensi intrakranial pascatrauma merupakan prediktor kuat mengenai prognosis pasien. Efek alkohol terhadap tekanan intrakranial masih dipertanyakan, studi menyatakan bahwa alkohol memiliki efek neuroprotektif yang dapat menurunkan tekanan intrakranial namun berpengaruh terhadap hipotensi pasien dengan trauma kepala.6 Hal lain yang dipantau saat intraoperatif adalah posisi pasien. Posisi pada saat tindakan umumnya disesuaikan dengan akses pembedahan, namun fleksi atau rotasi kepala serta posisi Trendelenberg dapat meningkatkan tekanan intrakranial pada pasien dengan masalah intrakranial.1 Pada pascaoperasi kraniotomi, sekitar 4–19% kemungkinan terjadi risiko kejang yang dapat disebabkan baik akibat kerusakan neuronal, peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan aliran darah serebral. Kondisi lain seperti asidosis metabolik, hipoglikemia, hipertermia, hiperkalemia dan hipoksia dapat memperburuk kondisi ini. Pencegahan kejang dinilai lebih baik dibandingkan menatalaksana kejang yang terjadi, sehingga pemberian fenitoin

secara oral atau parenteral disarankan dan terbukti menurunkan angka kejadian kejang pascaoperasi. Bila pasien tidak dapat mentoleransi fenitoin maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah Carbamazepine atau Fenobarbital. Fenitoin tidak direkomendasikan sebagai profilaksis rutin untuk pasien dengan alcohol withdrawal atau intoksikasi alkohol akut.

IV. Simpulan

Seorang laki-laki dibawa ke IGD dengan penurunan kesadaran akibat pukulan di kepala sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan riwayat konsumsi alkohol. Penilaian kesadaran di rumah sakit dilakukan dengan GCS yang masih reliabel pada pasien dengan intoksikasi alkohol. Namun demikian penilaian dengan FOUR dapat juga menjadi alternatif karena FOUR lebih spesifik menilai kesadaran pada kondisi adanya defek neurologis bahkan dengan kondisi terintubasi. Pasien dengan intoksikasi alkohol terbukti memiliki BIS yang lebih rendah dari normal sehingga dapat dianalogikan sebagai pasien dengan pengaruh sedasi atau dengan defek neurologis. Pada intoksikasi alkohol, peningkatan enzim transaminase perlu dicurigai berasal dari adanya alkoholisme yang ditunjang dengan adanya riwayat konsumsi alkohol kronik. Selama prosedur anestesia, perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan kebutuhan dosis anestesia umum, namun pada kasus intoksikasi alkohol terjadi fenomena kebutuhan dosis

Tabel 6. Interaksi Anestetika dengan Alkohol

Propofol Penurunan dosis dibutuhkan pada intoksikasi akutPenambahan dosis dibutuhkan pada alkoholisme kronis

Thiopental Penurunan dosis dibutuhkan pada intoksikasi akutBelum terdapat bukti untuk perubahan dosis pada alkoholisme kronis

Anestesi inhalasi Penurunan MAC pada intoksikasi alkohol akutPenurunan bersihan Halothane pada disfungsi hepar alkoholik

Opioid Menurunkan metabolism morfin, petidin dan fentanil pada alkoholisme kronis

Agen Neuromuscular- blocking

Perubahan farmakokinetik dengan peningkatan volume distribusi dan penurunan ikatan protein pada penyakit liver alkoholik

Sumber: Anaesthetic implications of acute and chronic alcohol abuse20

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

160 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

induksi anestesi yang lebih sedikit. Alkohol memiliki efek neuroprotektif namun berpengaruh terhadap hipotensi pada pasien dengan trauma kepala. Pemberian fenitoin pada pasien dengan alcohol withdrawal atau intoksikasi alkohol tidak direkomendasikan, kecuali sebelumnya pernah mendapatkan profilaksis kejang yang lain.

Daftar Pustaka

1. Dinsmore J. Traumatic brain injury: an evidence-based review of management. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care and Pain. Br J of Anaesth. 2013;13(6):189–95.

2. Ling GS. Goldman-Cecil Medicine: Traumatic Brain Injury and Spinal Cord Injury. 25th . ed. Elsevier;2016; 2365–9.

3. Lank MP, Kusin S. Emergency Medicine Clinical Essentials: Ethanol and Opioid Intoxication and Withdrawal. 2nd ed. Elsevier. 2013; 1314–22

4. Lange RT, Iverson GL, Brubacher JR, Franzen MD. Effect of blood alcohol level on Glasgow Coma Scale scores following traumatic brain injury. Brain Inj. 2010; 919–27

5. Lin HL, Lin TY, Soo KM, Chen CW, Kuo LC, Lin YK, et al. The effect of alcohol intoxication on mortality of blunt head injury. Hindawi Publishing Corp. 2014; 1–4.

6. Sharma D, Lam AM. Youmans and Winn Neurological Surgery. Neuroanesthesia: Preoperation Evaluation. 7th Ed. Elsevier. 2017; 122-3.

7. Rundhaug NP, Moen KG, Skandsen T, Mikalsen KS, Lund SB, Hara S, et al. Effect of blood alcohol concentration on Glasgow Coma Scale Score and relation to Computed Tomography findings. Journal of Neurosurgery. 2015; 211–8

8. Stuke L, Elliott A, Thal E, Diaz-Arrastia R, Gentilello L, Shafi S, et al. Effect of alcohol

on Glasgow Coma Scale in head injured patients. Annals of Surgery. 2007: 651–55

9. Souther SM. Ferri’s Clinical Advisor: Epidural Hematoma. Elsevier. 2017; 441–2.

10. Aisiku IP, Silvestri DM, Robertson CS. Youmans and Winn Neurological Surgery: Critical Care Management of Traumatic Brain Injury. 7th Edition. Elsevier. 2017; 2876–97.

11. Huang MC. Youmans and Winn Neurological Surgery: Surgical Management of Traumatic Brain Injury. 7th edition. Elsevier. 2017; 2910–21.

12. Jalali R, Rezaei M. A Comparison of Glasgow Coma Scale score with Full Outline of Unresponsiveness Scale to predict patient’s traumatic brain injury outcomes in Intensive Care Unit. Hindawi Publishing Corporation. 2014; 1–4.

13. Sepahvand E, Jalali R, Mirzaei M, Ebrahimzadeh F, Ahmadi M, Amraii E. Glasgow Coma Scale versus Full Outline UnResponsiveness Scale for prediction of outcomes in patients with traumatic brain injury in the Intensive Care Unit. Turk Neurogusrgery. 2016; 1–5.

14. Bodanapally UK, Sours C, Zhuo J, Shanmuganathan K. Imaging of Traumatic Brain Injury. Elsevier. 2015; 696–708.

15. Reichart R, Frank S. Intracerebral hemorrhage, indication for surgical treatment and surgical techniques. The Open Critical Care Medicine Journal. 2011; 68–71.

16. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. International Journal of Critical Illness and Injury Science. 2011; 5–10.

17. Chapman R, Plaat F. Alcohol and anaesthesia. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009; 10-3.

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

161

18. Adams C. Anaesthetic implications of acute and chronic alcohol abuse. S Africa J Anaesthesiol Analg. 2010; 42-9.

19. Acute Alcohol Intoxication and Bispectral Index Monitoring. Acta Anaesthesiol Scand.

2015; 1015–21.

20. Weiss N, Gilad R, Post KD. Youmans and Winn Neurological Surgery: Complications Avoidance in Neurosurgery. 7th. Ed. Elsevier. 2017; 125-41.

Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Pasien dengan Intoksikasi Alkohol

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

162

Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematomakarena Pijat Kepala pada Bayi

Bambang E Subekti*), Diana C. Lalenoh**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)

*)Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, RS Prof. Kandau Manado, ***)Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, RS Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin–Bandung

Abstrak

Cedera kepala pada bayi merupakan merupakan kejadian yang sering terjadi. Sejak bayi dapat tengkurap, berguling, merangkak bisa terjadi kepala bayi membentur dinding saat berganti posisi. Kebiasaan pijat bayi tradisional yang salah juga berisiko terjadinya cedera kepala. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, di samping otak bayi yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan menjadi problem khusus dalam neuroanestesi. Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas, morbiditas dan kecacatan yang tinggi, yang sangat berpengaruh pada perkembangannya. Seorang bayi laki-laki, 1 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah dipijat oleh dukun bayi tradisional. 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, bayi dipijat kemudian hari berikutnya demam, mual dan muntah, kejang dan kesadarannya menurun. Dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke Rumah Sakit Abdul Muluk. Pada pemeriksaan di dapat kondisi lemah, GCS 9, pupil isokor 2/2mm, reflek cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan didiagnosa cedera otak traumatik (GCS 9) dengan epidural hemorrhage (EDH). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematom dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.

Kata kunci: cedera kepala, anestesi pada bayi, anemia

JNI 2017;6 (3): 162‒68

Perioperative Management of Epidural Hematoma for a Head Massage in Infants

Abstract

Head injury in infants is a common occurence. Infancy can stomach, roll over, crawl could happen baby’s head againts the wall when changing position. Custom baby masssage traditional one is also at risk of head injury. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as infants who are experiencing brain development/growth particular problem in neuroanestesi In the event of trauma will cause mortality, morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of infants. A boy,1 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after a massage by masseur traditional. 3 days before entering the hospital, baby massage and then have fever, nausea and vomiting, seizures and decreased consciousness. The baby was brought to Puskesmas and refer to Abdul Muluk hospital. On examination 9 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +, hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an additional examination brain damage due to trauma (GCS 9) with epidural hemorraghe. Patient was managed with emergency hematoma evacuation under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles. Key words: head injury, anesthesia in infants, anemia

JNI 2017;6 (3): 162‒68

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

163

I. Pendahuluan

Cedera kepala pada bayi sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Hal ini disebabkan karena kerusakan yang serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik, kecerdasan dan emosional yang menyebabkan cacat jangka panjang. Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan pada remaja di atas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Adanya perbedaan anatomi fisiologi dan psikososial akan menjadi masalah khusus pada penanganan trauma pada bayi dan anak - anak khususnya trauma kepala baik penatalaksanaan sebelum, selama dan setelah operasi.1,2 Pijat bayi adalah terapi tertua yang dikenal manusia dan yang paling populer yang merupakan seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang dipraktekkan sejak berabad-abad silam. Pijat bayi selain membantu tumbuh kembang fisik dan emosi bayi juga dapat mempererat hubungan dengan bayi. Tetapi kesalahan dalam pemijatan terutama daerah kepala dan perut bisa berakibat fatal. Komplikasi cedera kepala pada bayi dan ileus obstruktif bisa terjadi.3 Dilaporkan di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta (2010–2015) terdapat 6 bayi yang meninggal dunia karena perdarahan otak akibat kesalahan pijat bayi. Sementara yang mengalami cerebral palsy atau terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf jauh lebih banyak.4 Sasaran dari penanganan pasien dengan trauma kepala adalah mengenal dan menangani secepatnya keadaan yang mengancam jiwa, dan mencegah atau meminimumkan terjadinya kerusakan otak sekunder (ABCDE neuroanestesi), 10-15% trauma kepala menyebabkan kematian anak sebesar 50%. Penanganan dalam hal ini bertujuan untuk membatasi berlanjutnya cedera primer dan mencegah atau meminimalkan cedera sekunder.5-7

II. Kasus

Anamnesa Seorang bayi laki-laki usia 1 bulan dikirim dari puskesmas, terlihat lemah, dengan penurunan kesadaran, dari alloanemnesa orang tua menyangkal riwayat trauma atau jatuh

sebelumnya, tetapi 3 sehari sebelumnya dipijat oleh dukun pijat tradisional di kampungnya. Anak mengalami demam, minum ASI berkurang, rewel, mengalami kejang 2 kali, muntah-muntah sehingga berobat ke puskesmas, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Abdul Muluk. Riwayat keluarga: ibu pasien, seorang perempuan berusia 21 tahun, pendidikan SD tidak tamat, ayahnya 24 tahun, pendidikan SMP tamat dengan pekerjaan sebagai buruh lepas (kuli bangunan), pasien adalah anak pertama, lahir spontan di bidan desa. Berat badan lahir 2.800 gram, panjang 50 cm, cukup bulan, riwayat kejang demam sebelumnya disangkal.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum lemah, menangis (merintih) bila dirangsang. BB 3,6 kg, GCS E2 M3 V4. Jalan napas bebas, napas spontan, frekwensi 28 x/menit, vesikuler (+), rhonki (–), wheezing (–), SaO2 = 98–99%, kepala: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (–), pupil isokor ki/ka = 2/2, refleks cahaya (+). Torak = gerakan dinding dada simetris, bunyi jantung I/II = normal, teratur, 136 x / menit, mur-mur (–). Abdomen = supel, hepar/lien = dbn, bunyi usus (+). Ekstremitas = edema (–), tidak tampak tanda-tanda fraktur, terutama di tulang panjang.

Pemeriksaan Penunjang Hb = 11,2 gr/dl, leukosit= 12.000 mm3, thrombosit = 221.00/mm3, CT= 2’, BT = 3’, Na = 136 mcg/l K = 3,7mcg/l . Foto thoraks = paru dan jantung dalam batas normal, tidak terdapat tanda-tanda fraktur kosta.

Pengelolaan Anestesi Persiapan Anestesi Penjelasan ke keluarga tentang rencana dan tujuan tindakan operasi, prognosa dan komplikasi yang mungkin terjadi, pembuatan izin operasi dan anestesi. Persiapan darah: PRC 1 kolf, kamar operasi, alat dan obat-obatan, ICU: alat monitoring, ventilator bila perlu. Penanganan anestesi pada bayi meliputi ABCDE neuroanestesi. Penilaian airway, pernafasan dan sirkulasi terhadap penderita ini dianggap baik dan layak untuk dilakukan tindakan. Pasien didorong ke kamar operasi dengan kepala lebih

Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematomakarena Pijat Kepala pada Bayi

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

164 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tinggi 150 dan oksigenisasi dipasang masker wajah (face mask) anak dengan flow 3-4 liter / menit, infus dipasang NaCl 0,9%. Sebelumnya pada meja operasi telah dipasang alas penghangat untuk mencegah hipotermi. Pasien dipindahkan ke meja operasi dengan hati-hati untuk mencegah bertambah meningkatnya ICP. Dipasang monitor NIBP, ECG, saturasi oksigen dan prekordial stetoskop, end tidal CO2, kateter urine. Diberikan preoksigenasi 100 %, kemudian diinduksi dengan propofol 7 mg, fentanyl 5 ug dan rocuronium 2 mg, setelah preoksigenisasi dilakukan pemasangan selang nasogastrik lewat hidung dan intubasi peroral dengan ETT no 3 dengan cuff dihubungkan dengan Jackson Ress. Pemeliharaan anestesi dengan oksigen, air dan sevoflurane 1- 1,5 %. Posisi pasien selama operasi adalah supine.

Durante OperasiHemodinamik relatif stabil, HR terlihat pada monitor ECG berkisar 130–140 x / menit, NIBP sistolik antara 60–80 mmHg dan diastolik sekitar 40–50 mmHg, monitor bunyi jantung dan nafas melalui stetroskop prekordial tetap dipasang, saturasi antara 98% - 99%, perdarahan selama operasi sekitar 40 cc. Cairan yang diberikan NaCl 0,9%, 80 cc dan PRC 50 cc melalui mikrodrip yang terhubung ke buret yang sudah berisi cairan infus dan selangnya dihangatkan dengan alat penghangat cairan. Operasi berlangsung lebih kurang 1,5 jam.

Gambar 1. CT –Scan Kesan Epidural Hematoma dengan Edema Cerebri

PascaoperasiPenderita ditransport ke PICU masih menggunakan ETT dengan bantuan ventilasi Jackson Reese. Hari pertama pascaoperasi dini: laju nafas 30 kali/menit, SpO2 100 %, suara nafas tambahan tidak dijumpai, tekanan darah 80/55 mmHg, laju nadi 130/menit, perfusi hangat, kesadaran belum bisa dinilai, Hb: 13,2 gr/dl, Ht: 32, Leukosit: 144.00/mm3, Trombosit 253000/mm3, Na: 134, K: 4,2, Cl: 106. Terapi: kepala ditinggikan 15o, infus NaCl 0,9 % 20 tetes/mnt (mikrodrip), antibiotik, anti pendarahan, sedasi dengan stesolid perrektal (diberikan akhir operasi), fenitoin 40 mg, novalgin 50 mg/ 8 jam. 6 jam pascaoperasi: nafas spontan, laju nafas

Grafik 1. Tekanan Darah Sistolik, Tekanan Darah Diastolik dan Saturasi

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

165

30 kali, tidak ada suara tambahan, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 136 kali/menit, SpO 99 %, GCS: E3M4Vx direncanakan ekstubasi.Hari kedua pascaoperasi: laju nafas 30 kali/menit, SpO2 99%, suara nafas tambahan tidak dijumpai, tekanan darah 80/50 mmHg, laju nadi 140/menit, perfusi hangat, tidak tampak anemis, GCS E4M4V5, direncanakan pindah ke ruangan.

III. Pembahasan

Adanya perbedaan anatomi, fisiologi, dan psikososial pada bayi dan anak, menyebabkan perbedaan dalam penanganan baik pada pemeriksaan, penegakan diagnosa, penggunaan alat-alat dan obat-obatan, sehingga menjadi suatu masalah khusus dalam neuroanestesi.1,5,7

Jaringan neural yang sedikit mengandung mielin yang menyebabkan jaringan saraf mudah rusak, pada anak lebih sering terjadi injury yang difus dan edema otak, sehingga peningkatan tekanan intrakranial lebih mudah terjadi. Dilihat dari segi fisiologi dan metabolisme: CMRO2, aliran darah otak dan autoregulasi serebral. CMRO2

Tabel 1. Pengukuran Pediatric GCS

Respon Membuka MataSpontan 4Dengan perintah 3Dengan rangsang nyeri 2Tidak ada respon 1Respon VerbalBisa diajak berbicara dengan normal 5Menangis gelisah 4Menangis terhadap rangsang nyeri 3Merintih terhadap rangsang nyeri 2Tidak ada respon 1Respon MotorikGerakan spontan normal 6Menghindar terhadap sentuhan 5Menghindar terhadap nyeri 4Fleksi abnormal 3Ektensi abnormal 2Tidak ada respon 1

15

Tabel 2 Beberapa Kriteria Penilaian pada Cedera Otak TraumatikaRingan Sedang BeratStruktur normal pada MRI

Struktur Normal atau abnormal

Struktur Normalpada MRI

LOC = 0-30 mnt

LOC >30menit & < 24jam

LOC>24 jam

AOC =< 24 jam

AOC > 24 jam dan tergantung kriteria yang lain

PTA = 0-1 hari PTA > 1 dan < 7 hari

PTA > 7 hari

Dikutip dari: Military health system coding guidelines.10

Dikutip dati BTF 2007, prehospital guidelines.9

pada anak 5,8 ml/100 gr jaringan/menit, lebih tinggi daripada dewasa 3,5 ml/100 gr jaringan/menit, sedangkan kebutuhan glukosa pada anak 6,8 ml/100 gr jaringan/mnt yang lebih tinggi dari perbandingan dewasa yaitu 5,5 ml/100 gr jaringan/menit, aliran darah otak berubah menurut umur pada anak 3 sampai 12 tahun. Aliran darah otak 100 ml/100 gr jaringan/menit lebih tinggi dari dewasa sekitar 53 ml/100 gr jaringan/menit, dari hal di atas pada anak lebih cepat terjadinya iskemik dan hiperemia jaringan otak.5

Disamping juga terdapat perbedaan dalam fisiologi respirasi dan sirkulasi pada bayi dan anak dibanding orang dewasa. Dalam hal perbedaan tersebut di atas maka pengelolaan trauma kepala pada bayi dan anak-anak haruslah kita mengikuti/menyesuaikan dengan hal-hal tersebut diatas, baik pada pemeriksaan atau penanganan sebelum, selama dan setelah operasi. Penilaian sebelum operasi sangat terbantu dengan pemeriksaan CT-scan sehingga dapat menilai kerusakan-kerusakan jaringan otak yang terjadi dan tanda-tanda peningkatan intrakranial. Penilaian neurologi untuk trauma menurut Jennet & Toasdale (1970) adalah memakai skala GCS, penilaiannya sama seperti orang dewasa, tetapi dimodifikasi sebagai Pediatric Glasgow Coma

Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematomakarena Pijat Kepala pada Bayi

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

166 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Scale (PGCS). 8

Interpretasi: Nilai GCS dalam kondisi normal adalah 15. Interpretasi diatas adalah: trauma ringan bila nilai GCS 13–15, trauma sedang bila nilai GCS 9-12 dan trauma berat bila nilai GCS ≤ 8. Beberapa kriteria yang berhubungan dengan trauma kepala adalah Loss of Conciousness (LOC), Alternation of Conciousness/Mental state (AOC), dan Post Traumatic Amnesia (PTA). Secara umum ICP yang tinggi berkorelasi dengan buruknya outcome, tetapi pada bayi karena fontanela yang belum menutup sempurna tindakan penurunan ICP dan pemasangan monitoring ICP pada trauma kepala berat berkurang kepentingannya. Beberapa alasan pemasangan alat monitor ICP adalah lesi massa traumatik dan pemeriksaan neurologi serial di bawah pengaruh sedasi dan blokade pelumpuh otot.11 Postulat Monroe Kelly bahwa rongga kepala merupakan komponen yang rigid, dimana didalamnya terdapat otak (80%), darah (10%) dan LCS (10%). Pada bayi yang suturanya belum menutup dapat dilihat dari peregangan fontanela atau pembesaran kepala. Perubahan volume yang kronis umumnya masih dapat dikompensasi, tapi tidak pada perubahan volume yang cepat. Fontanella anterior menutup antara bulan 2–4, fontanella posterior menutup pada bulan ke 7–19.7 Pengelolaan jalan napas merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan awal dari trauma kepala pada bayi, yang merupakan bagian dari ABCDE neuroanestesi. Evaluasi pertama kali dilakukan pada jalan napas. Tidak boleh ada sumbatan jalan napas, karena akan menyebabkan retensi pada CO2 sehingga terjadi hiperkarbi dan peningkatan CBF. Penurunan PaO2 sampai dibawah 50 mmHg, akan meningkatkan CBF secara drastis dan memperburuk kondisi pasien. Hiperventilasi hanya akan diberikan bila terjadi herniasi atau terjadinya perburukan neurologis.7,12

Pada kasus ini GCS pasien 9 dan airway baik, belum dibutuhkan intubasi.

Pada kasus ini pernapasan masih baik, tidak ada bunyi napas tambahan, obstruksi napas, tanda-tanda gagal napas atau penggunaan otot-otot bantuan pernapasan. Pascacedera otak traumatika, segera asupan oksigen akan menurun 13%–27%,

oleh karena itu diberikan bantuan oksigen melalui sungkup 3–4 l/jam, karena seringkali hipoksia prehospital memperburuk kondisi pasien. Intubasi dan pemberian bantuan napas akan diberikan pada GCS < 8 (cedera kepala berat) atau ada tanda-tanda gagal napas. Hipoksia harus dihindari, diawasi dan dikoreksi dengan cepat.8 Evaluasi terhadap cairan dan elektrolit melalui tekanan darah, denyut jantung, turgor dan jumlah urin cukup baik, ditemukan tanda dehidrasi ringan-sedang mengingat bayi ini sudah dua hari muntah-muntah. Pada pasien dengan gangguan pola makan, intake yang kurang, muntah yang sering dan penurunan kesadaran, maka hipotensi atau dehidrasi harus segera dikoreksi. Penelitian menunjukkan 18% pasien tiba di UGD dalam keadaan hipotensi, dengan tingkat mortalitas 61%. Diagnosa hipotensi ditegakkan bila tekanan darah <5% dari tekanan darah rata-rata usia tersebut. Pada usia > 2 tahun dapat menggunakan rumus: 70 mmHg + (2 x usia/tahun).7

Pilihan cairan pada pasien ini adalah kristaloid isotonik, NaCl 0,9%. Newfield berpendapat cukup diberikan normal saline (NaCl 0,9%) karena pada trauma sering diikuti peningkatan gula darah yang meningkatkan resiko kerusakan neuron.8 Beberapa ahli mengatakan diperbolehkan menggunakan dextrose 5% dalam cairan yang mengandung elektrolit, misalnya cairan yang mengandung glukosa 1–2,5%, sebanyak 2–5 mg/kg/menit.7 Walaupun hipoglikemia jarang terjadi pada anak dengan usia < 1 tahun, tapi harus dipertimbangkan pada anak-anak dengan puasa yang lama, ibu penderita dengan riwayat DM, BBLR, hipopituitarism, insufisiensi adrenal, adenoma pankreas dan hepatoma. Pada perkiraan perdarahan yang banyak, misalnya rekonstruksi kraniofasial, tumor, disarankan untuk memasang 2 jalur intravena.6,7 Pada pasien ini infus sudah terpasang dengan baik. Bila infus belum terpasang maka dapat dilakukan pemasangan infus setelah pasien dianestesi, tetapi harus hati-hati pada pemberian hiperventilasi inhalasi, karena berpengaruh terhadap CBF dan peningkatan ICP. Sedasi juga tidak diberikan karena telah terjadi penurunan kesadaran pada pasien. Sedasi bisa diberikan dengan pengawasan yang ketat yaitu pada penderita dengan TIK masih normal untuk

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

167

mengontrol kegelisahan, menghindari hipertensi dan ruptur pembuluh darah yang abnormal. 6,7,12

Suhu dipertahankan 37 o C dengan alas penghangat di meja operasi. Pada cedera otak traumatika hindari peningkatan temperatur, karena peningkatan temperatur akan meningkatkan CMRO2 dan menyebabkan kerusakan neuronal yang luas.Walaupun hipotermi dapat menurunkan CMRO2, tetapi pada bayi dan anak-anak masih harus dipertimbangkan karena kurangnya data penelitian.7 Monitor standar yang dipasang pada pasien ini adalah stetoskop prekordial, EKG, SaO2, EtCO2 dan non invasif BP, temperatur, kateter urin. Pada kasus cedera kepala berat dengan resiko perdarahan hebat dan resiko perubahan hemodinamik dan defisit neurologis yang cepat, maka dibutuhkan tambahan monitor seperti BP invasif, CVP, ECG, ICP dan SjO2.

11

Intubasi sadar harus dihindari karena berpengaruh terhadap stress hemodinamik yang akan peningkatan ICP. Obat anestesi dipilih yang mempunyai sifat proteksi otak. Pada induksi tujuan utama adalah mengendalikan jalan napas dan mengontrol ICP dengan menggunakan propofol 2–2,5 mg/kgBB, sulfas atropin 0,02 mg/kgBB, fentanyl 1–2 ug/kgBB, rocuronium bromida sebagai fasilitas relaksasi intubasi, dan pemeliharaan anestesi dengan oksigen, air dan sevoflurane. Walaupun ketamin lazim diberikan untuk induksi pada bayi dan anak tetapi induksi dengan ketamin dapat meningkatkan tekanan intra kranial karena itu tidak digunakan ketamin pada kasus ini. Penggunaan N2O dapat meningkatkan eksitasi dan stimulasi metabolisme serebral pada anak, karena itu dihindari terutama pada tight brain. Sevoflurane mempunyai efek sirkulasi serebral yang minimal, peningkatan ICP yang tidak signifikan dibandingkan dengan isoflurane, tetapi pengaruh terhadap efek tekanan perfusi lebih baik dari pada isoflurane dan desflurane. 6,7,12 Posisi operasi pada pasien ini supine, sehingga tidak terlalu menyulitkan anestesi, tapi bila dibutuhkan posisi telungkup (prone position), maka dibutuhkan observasi yang ketat pada pernapasan, karena peningkatan tekanan abdominal dan torakal dapat meningkatkan ICP. Obstruksi pada ETT akan meningkatkan

resiko retensi CO2, juga posisi leher yang tidak anatomis dapat mengganggu sirkulasi serebral.6,7 Operasi berlangsung 1,5 jam, perdarahan selama operasi sekitar 20 cc, dan darah yang dievakuasi sebanyak 20 cc. Diberikan tranfusi PRC 50 cc. Urine cukup 0,5 – 1 cc/jam. Hemodinamik selama operasi relatif stabil. Tidak ada reaksi tranfusi dan komplikasi lain. Pertimbangan ekstubasi pada penderita pasca operasi berdasarkan:7 prosedur operasi yang tidak komplek, normotermi pada akhir operasi, perubahan hemodinamik selama operasi minimal, operasi < 6 jam, normovolemi dan normotensi, tidak ada kelainan koagulasi, tidak ada trauma dan pembengkakan di muka, leher dan rongga mulut, bukan operasi fosa posterior, tidak ada edema serebri, status kesadaran preoperatif adekuat.

Pascaoperasi tidak segera diekstubasi karena pertimbangan kesadaran preoperasi (GCS 9) dan adanya edema serebri. Pasien dikirim ke PICU masih terintubasi dan terpasang oksigen dengan perantara Jackson Rees dan terpasang monitor saturasi. Hemodinamik sebelum transport stabil. Untuk sedasi post operasi diberikan stesolid perektal dan analgetik dengan novalgin 50 mg / 8 jam. Enam jam di PICU pasien sadar penuh dan terlihat gelisah karena ETTnya, hemodinamik yang stabil dan pernapasan yang adekuat sehingga dilakukan ekstubasi. Perawatan di PICU dengan monitoring ketat, bila ada tanda-tanda gangguan pernapasan, segera intubasi ulang. Pasien dipasang masker ventilasi 3–4 l/menit. Observasi pada hari kedua hemodinamik stabil, pernapasan yang adekuat, perfusi hangat, tidak tampak anemis, GCS E4M4V5, direncanakan pindah ke ruangan. Komplikasi yang mungkin timbul pada cedera otak traumatika, terutama pada bayi dan anak-anak adalah kejang, perdarahan berulang dan hidrosefalus.13

Pada pasien ini diberikan terapi obat anti kejang sesegera mungkin, karena tingginya frekwensi kejadian kejang pada anak, terutama pada kasus cedera kepala. Fenitoin diberikan 10 mg/kgBB/pada pemberian pertama. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5–20 mg/kg dan pemberian harus perlahan > 20 menit untuk menghindari efek vasodilatasi, aritmia sampai henti jantung.

Penatalaksanaan Perioperatif Epidural Hematomakarena Pijat Kepala pada Bayi

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

168 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selanjutnya diberikan dosis 5–7 mg/kgBB/hari.12

IV. Simpulan

Pijat bayi adalah terapi tertua dan populer yang dikenal manusia yang merupakan seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang dipraktekkan sejak dahulu. Tetapi kesalahan dalam pemijatan terutama daerah kepala dan perut bisa berakibat fatal. Pada kasus ini cedera otak traumatika karena pijatan yang salah pada kepala bayi sehingga menimbulkan komplikasi perdarahan otak. Penanganan anestesi pada cedera otak tramatika pada bayi mempunyai masalah khusus yang membutuhkan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi dan psikososial.

Daftar Pustaka

1. Gilder F, Turner JM. Principles of paediatric neuroanaesthesia. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, eds. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care, 1st ed. London: Greenwich Medial Media LTP; 2000, 227–38.

2. Vavilala MS, Chestnut R. Anesthesia considerations for pediatric neuroanesthesia. Dalam: Gupta AK, Gels AW, eds. Essential of Neuroanesthesia and Neurointensive Care, 1th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008,192–201

3. Dasuki, 2010, Data Pijat Bayi. http:// gooogle com diakses 11 sepetember 2016.

4. Nurindah S. Pijat Bayi Sembarangan. Ini Alasannya. diakses dari http:// joglosemar.co.edu/body. cfm?id=1123&ref=41& action=detail pada tanggal 11 September 2016.

5. Hobbs AJ, Stirt JA. Pediatric neuroanesthesia.

Dalam: Sperry RS, Stirt JA, Stone AJ, eds. Manual of Neuroanesthesia, 1st ed. Philadelphia: Pensyvania, 1989; 183–204

6. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadhelhia: Lippincot William & Wilkins; 2007, 256–77

7. Newfield P, Field LH, Hamid RKA. Pediatric neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed, Philadelphia: Mosby; 2001, 501–29

8. Blumenthal I. Shaken baby syndrome. Postgard Med J 2002; 78: 732–5.

9. Guidelines for prehospital management of TBI, 2nd ed, BTF; 2007.

10. Military health system coding guidelines. Department of defenses coding guidelines for TBI fact sheet. Diunduh 5 September 2016. tersedia dari: http://www.dcoe.health.mil/ForHealthPros/Resources.aspx.

11. Paiva WS, Scare MS, Amorim RLO. Traumatic brain injury and shaken baby syndrome. Acta Med Part 2011; 24: 805–8.

12. Bisri T. Pengelolaan perioperatif cedera

kepala pada anak. Dalam: Penanganan neuroanestesi dan critical care cedera otak traumatika, edisi ke 3. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012: 125–41.

13. Duhaime AC, Cristian CW, Ronke LB, Zimmerman RA. Non accidental head injury in infant, the “shaken baby syndrome”. N Engl J Med 1998; 328 (25): 1822–9.

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

169

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan

Bau Indah Aulyan Syah*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***), Siti Chasnak Saleh****)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah sakit Awal Bross Makassar, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Bali, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito, ****)Departemen Anestesiologi

dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Surabaya

Abstrak

Penanganan cedera kepala berat selalu bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi otak (TPO) dan mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien dengan kehamilan, janin juga harus dipantau. Hiperventilasi harus dihindari karena berefek buruk terhadap perfusi otak dan aliran darah plasenta. Seorang wanita, 25 tahun, 60 kg, 160 cm datang ke rumah sakit akibat trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas yang dialami kurang dari 1 jam sebelum masuk rumah sakit dengan GCS E4M6V4. Pasien dalam keadaan hamil G1P0A0 dengan usia kehamilan 28-30 minggu. Di unit gawat darurat terjadi penurunan kesadaran mendadak hingga GCS E1M5V1 sehingga dilakukan intubasi endotrakhea disusul dengan pemeriksaan CT Scan dengan hasil hematoma epidural dekstra dan hematoma subarachnoid disertai midline shift. Pasien kemudian menjalani operasi evakuasi hematoma epidural dengan anestesi umum kemudian di rawat di unit perawatan intensif dengan pipa endotrakhea masih dipertahankan. Denyut jantung janin (DJJ) masih terdengar dan dilakukan observasi ketat DJJ selama perawatan di ICU. Namun setelah beberapa hari di ICU, janin dinyatakan meninggal. Ringkasan: Pasien cedera kepala berat dengan hematoma epidural dan subarachnoid disertai kehamilan telah menjalani operasi anestesi umum dengan tetap memperhatikan pemeliharaan tekanan perfusi otak (TPO) dan mempertahankan kondisi janin dalam batas normal. Meskipun pada akhirnya janin tidak bisa diselamatkan akibat lamanya perawatan ibu dengan ventilator. Kata kunci: Cedera kepala berat, hematoma epidural, kehamilan

JNI 2017;6 (3): 169‒77

Anesthesia Management for Patients in Pregnancy with Severe Head Injury Due to Acute Epidural Hematoma

Abstract

Management of severe head injury cases, in any given situation, is targeted to maintain cerebral perfusion pressure (CPP), and preventing increase of intracranial pressure that possibly cause secondary brain injury. In a case of pregnancy, besides considering the maternal status, fetus condition is equally important to observe. Hyperventilation should be avoided due to its possible detrimental effect to both the brain perfusion and placental blood flow. A 25 year old female, 60 kg, 160 cm, was taken to the hospital due to head trauma caused by a traffic accident, roughly about an hour prior to hospitalization. GCS was E4M6V4. The patient was in her 28 – 30 week of pregnancy (G1P0A0). Sudden decrease in consciousness occurred and GCS lowered to E1M5V1. Endotracheal intubation was then prompted. Epidural haematoma subarachnoid haematoma with midline shift revealed in CT scan. The patient underwent epidural hematoma evacuation with general anesthesia then transferred to Intensive Care Unit (ICU) with ETT maintained. Fetal heart rate remains heard, followed with close monitoring of the fetal heart rate during treatment in the ICU. After 3 days in ICU, fetus died. Summary: A pregnant patient with severe head injury of epidural and subarachnoid bleeding, has undergone an operation with general anesthesia. The fetus was unfortunately cannot be saved due to the patient long ventilator treatment.

Key words: severe head injury, epidural hematoma, pregnancyJNI 2017;6 (3): 169‒77

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

170 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Pasien cedera otak traumatik (COT) hampir selalu menjalani anestesi umum untuk tujuan fasilitasi pembedahan, pemeriksaan radiologi, atau ventilasi mekanik termasuk pada wanita hamil. Beberapa obat-obat anestetik dan analgesik mempengaruhi otak, yang dalam keadaan tertentu justru berbahaya untuk otak sendiri. Pada cedera kepala, cedera terhadap otak disebabkan oleh trauma mekanik awal dengan akibat fraktur tulang kepala, kontusi otak, serta cedera vaskuler dan parenkim hingga menyebabkan perdarahan intrakranial dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Proses inflamasi serta edema akan memperparah peningkatan TIK dan akhirnya menurunkan tekanan perfusi otak (TPO). Meskipun derajat berat cedera primer merupakan faktor utama penentu luaran pasien dengan cedera kepala, namun cedera sekunder terhadap jaringan otak akibat gangguan fisiologi otak akan lebih memperburuk luaran pasien. Karena itu, anestesi untuk pasien cedera kepala harus melibatkan pencegahan cedera sekunder. Apabila pasien dengan kehamilan, selain memperhatikan status maternal, kondisi janin juga harus dipantau selama periode perioperatif. Tatalaksana anestesi jelas melibatkan kombinasi anestesi pada bedah saraf dan wanita hamil.1

I. Kasus

Seorang pasien perempuan, 25 tahun, berat badan 60 kg, tinggi badan 160 cm, datang ke rumah sakit akibat trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas yang dialami kurang dari 1 jam sebelum masuk rumah sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E4M6V5. Pasien dalam status hamil G1P0A0 dengan usia kehamilan 28-30 minggu. Sekitar 15 menit di unit gawat darurat terjadi penurunan kesadaran mendadak hingga skor GCS E1M5V1. Segera dilakukan intubasi endotrakheal dan pernapasan dikontrol dengan ventilasi mekanik.

Pemeriksaan FisisPasien dalam keadaan terintubasi dengan pipa endotrakhea (endotracheal tube/ETT) non-kinking No. 7,5, terfiksasi pada marker 21 cm Gambar 1. Hasil Rekaman Elektrokardiografi

di bibir, dan menerima tekanan ventilasi positif melalui Jackson Rees dengan oksigen 6-10 lpm. Riwayat menerima tunjangan napas dengan ventilasi mekanik mode SiMV di unit gawat darurat. Sebelum terintubasi, pada pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum GCS E1M5V1, pupil isokor, refleks cahaya langsung (+)/(+) dan refleks cahaya tidak langsung (+)/(+). Tekanan darah 180/90 mmHg dan laju jantung 65 kali per menit. Frekuensi napas 24 kali per menit, bunyi pernapasan paru kanan dan kiri bronkhovesikuler, tidak ada bunyi pernapasan tambahan. Peristaltik normal, tidak ditemukan jejas pada dada dan abdomen. Tidak ada fraktur pada ekstremitas. Ditemukan lebam di kaki.

Pemeriksaan PenunjangLaboratorium darah menunjukkan Hb 10,80 g/dl, leukosit 18,1 ribu/UL, trombosit 250 ribu/µL, hitung jenis eosinophil 0,191%, netrofil 81,3%, limfosit 13,5%, monosit 4,47%, PT 11,6 detik, APTT 35,0 detik, INR 0,9, SGOT 37 U/L, SGPT 12 U/L, ureum 18 mg/dL, kreatinin 0,9 mg/dL, dan GDS 119 mg/dL. Dari hasil pemeriksaan elektrokardiografi (Gambar 1) ditemukan aritmia dengan laju jantung 67–72 kali per menit. Pada hasil CT Scan (Gambar 2) ditemukan hematoma epidural dekstra akut (lesi hiperdens dengan ukuran kurang lebih 87,3 x 41,6 x 103 mm), midline shift ke kiri kurang lebih 14 mm, hematoma subaraknoid sinistra lobus temporalis sinistra akut, hematoma sinus sfenoidalis, fraktur

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

171

Prosedur evakuasi hematoma epidural dekstra berlangsung selama 90 menit, dengan cairan intraoperatif terdiri dari Ringerfundin 1200 cc. Tekanan arteri rerata (TAR) intraoperatif dalam kisaran 86–123 mmHg (Gambar 3). Total produksi urin 800 cc, dengan perdarahan 100 cc. Selama anestesi dan pembedahan denyut jantung janin dipantau dengan stetoskop Laennec dan ditemukan dalam batas normal. Pasca bedah pasien dirawat di ICU dengan ETT masih dipertahankan. Di ICU, pasien terventilator dengan mode PCMV, frekuensi napas 12 kali per menit, pressure control 7-8 mmHg, dan FiO2 60%, PEEP 5mmHg. Pasien di rawat di ICU selama 5 hari dan menerima ventilasi mekanik sampai hari ke-3. Janin dinyatakan meninggal pada hari ke-3 pascabedah. Pasien pulang dari rumah sakit dengan lama rawat selama 19 hari dengan kondisi luaran skor Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah 1 (pemulihan yang baik).

II. Pembahasan

Cedera kepala berat didefinisikan sebagai cedera kepala dengan GCS 3 sampai 8.2 Manajemen cedera kepala saat ini difokuskan pada koreksi cedera primer dan menghindari cedera sekunder. Elemen utama manajemen cedera kepala adalah resusitasi dini, stabilisasi hemodinamik, dan pembedahan darurat untuk evakuasi perdarahan, kontrol TIK, mempertahankan TPO, dan optimalisasi milieu fisiologi otak. Tatalaksana

Gambar 2. CT Scan Kepala

Gambar 3. Hasil Pemantauan Tekanan Darah dan Laju Jantung selama Periode Intraoperatif

temporoparietal dekstra, dan fraktur subgaleal parietal dekstra. Dari hasil pemeriksaan foto thoraks, paru-paru dan jantung dalam batas normal.

Pengelolaan AnestesiPasien posisi supine, diberikan fentanyl 50 µg dan propofol 50 mg. Setelah itu diberikan relaksan otot vekuronium 2,5 mg. Pemeliharaan anestesi dengan TIVA, propofol dan vekuronium kontinyu; oksigen : udara = 3 L/menit : 2 L/menit. Selama operasi diberikan tambahan fentanyl 50 µg intermitten tiap 30-45 menit. Ventilator diatur dengan tidal volume 360 cc, pernapasan 12 kali per menit, I : E = 1:2.

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

172 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

periode perioperatif yang segera sangat penting dalam manajemen cedera kepala karena meskipun telah dilakukan intervensi agresif terhadap hipoksemia, hipotensi, hiperkabia, hipoglikemia, dan hiperglikemia di unit gawat darurat sebagai bagian dari penanganan awal cedera otak traumatik, terkadang satu atau beberapa faktor komplikasi tersebut bisa saja masih menetap atau tidak terdeteksi saat pasien ditranspor ke kamar operasi. Selain itu periode perioperatif merupakan kesempatan untuk melanjutkan atau memperbaiki resusitasi yang sedang berlangsung dan untuk mengoreksi cedera sekunder yang bisa saja telah terjadi. Selain itu, anestesi dan pembedahan bisa menjadi predisposisi cedera sekunder baru, yang akhirnya memperparah luaran pasien. Karena cedera sekunder bisa dicegah dan ditangani, inisiasi intervensi dapat dimulai pada periode perioperatif untuk meningkatkan luaran pasien dengan cedera kepala. Manajemen perioperatif yang mencakup evaluasi yang cepat, resusitasi yang berkelanjutan (otak dan sistemik), intervensi pembedahan yang segera, pemantauan intensif, serta rencana anestesi.3

Pemeriksaan Awal dan ResusitasiPemeriksaan dan stabilisasi awal dilakukan segera setelah pasien tiba di unit gawat darurat. Tatalaksana lanjutan sebaiknya dilakukan saat pasien tiba di kamar operasi. Proses ini sebaiknya melibatkan evaluasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi; pemeriksaan status neurologi yang cepat dan cedera ekstrakranial yang berhubungan; evaluasi anemia, koagulopati, glikemia, serta ada tidaknya akses vaskuler yang adekuat. Informasi mengenai waktu dan mekanisme cedera juga akan bermanfaat. Pemeriksaan neurologi dilakukan melalui penilaian GCS, dan refleks cahaya. Cedera toraks, abdomen, spinal, dan tulang panjang bisa stabil atau bermasalah selama periode perioperatif, dan harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding kejadian baru suatu hipotensi, anemia, instabilitas hemodinamik, atau hipoksemia selama anestesi dan pembedahan.3 Pasien ini masuk rumah sakit dengan cedera kepala berat dengan GCS E1M5V1 dengan potensi obstruksi jalan napas. Demi menghindari cedera sekunder, intubasi ETT orotrakeal dan tunjangan ventilasi tekanan positif segera

dilakukan saat pasien masih di rawat di UGD.

Manajemen Jalan Napas Meskipun kebanyakan pasien tiba di kamar operasi telah terintubasi, namun sebagian pasien dengan hematoma ekstradural masih sadar dan bernapas spontan. Manajemen jalan napas cedera kepala terkadang dipersulit beberapa faktor, termasuk situasi urgensi (karena hipoksia yang telah ada atau memburuk), status servikal yang tidak jelas, status jalan napas yang tidak jelas (karena adanya darah, muntahan, atau debris di kavum oral, atau cedera laringofaringeal atau fraktur dasar tulang kepala/basis cranii), lambung penuh, hipertensi intrakranial, serta status volume yang tidak jelas. Semua pasien dengan cedera kepala yang memerlukan pembedahan darurat harus diasumsikan dengan lambung penuh, dan manajemen jalan napas harus dengan mengganggap adanya kemungkinan cedera medulla spinalis servikal.3 Pada pasien ini tidak dipasangi servikal kollar karena dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan tidak ditemukan tanda-tanda cedera medulla spinalis servikal.

TeknikPemilihan teknik intubasi trakea ditentukan oleh urgensi, pengalaman individu, sarana dan prasarana yang tersedia, dan umumnya dilakukan dengan teknik rapid sequence intubation dengan cricoid pressure, serta stabilisasi in-line. Instrumentasi jalan napas yang lebih baru seperti video laryngoscope akhir-akhir ini sangat popular digunakan pada pasien trauma dan sangat berguna untuk kasus kesulitan jalan napas. Intubasi nasal harus dihindari pada pasien dengan fraktur basis cranii, fraktur fasialis berat, atau diastesis perdarahan. Pada beberapa kasus, rencana cadangan harus siap karena bisa saja ditemukan intubasi sulit yang berisiko signifikan mengakibatkan hipertensi intrakranial hingga peningkatan volume darah otak karena hipoksemia dan hiperkarbia.4

Pemilihan farmakologi yang tepat penting untuk manajemen jalan napas. Sodium thiopental, etomidat, dan propofol menurunkan metabolisme oksigen otak (cerebral metabolic rate for oxygen/CMRO2) dan mencegah peningkatan TIK akibat

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

173

Tabel 1. Rekomendasi Pedoman untuk Manajemen Cedera Kepala BeratParameter RekomendasiTekanan Darah Memantau dan menghindari hipotensi (TDS < 90 mmHg) (level II)Oksigenasi Memantau dan menghindari hipoksia (PaO2 < 60 mmHg atau saturasi oksigen < 90%)

(level III)Hiperventilasi Hiperventilasi profilaksis (PaCO2 ≤ 25 mmHg) tidak direkomendasikan (level II)

Hiperventilasi direkomendasikan untuk menurunkan peningkatan TIK dalam jangka waktu singkat saja (level III)

Terapi Hiperosmolar Mannitol (0,25-1,0 g/kg) efektif untuk kontrol peningkatan TIK. Hipotensi sebaiknya dihindari (level II)Batasi pemberian mannitol sebelum pemantauan TIK dipasang pada pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan status neurologis progresif bukan akibat penyebab eksternal

TIK TIK sebaiknya selalu dipantau pada pasien dengan cedera kepala berat dan dengan CT Scan abnormal (level 1) dan pada pasien dengan CT Scan normal tapi disertai dengan satu atau lebih masalah berikut : usia > 40 tahun, motor posturing, tekanan darah sistolik <90 mmHg (level III)Terapi sebaiknya dimulai jika TIK > 20 mmHg (level II)

Suhu Hipotermia profilaksis tidak berhubungan signifikan dengan penurunan mortalitas (level III)Hipotermia kemungkinan besar dapat menurunkan mortalitas bila pendinginan (cooling) dipelihara lebih dari 48 jam (level III)Hindari CPP < 50 mmHg (level III)

Oksigenasi Otak Terapi saat saturasi oksigen vena jugularis <50% atau tekanan oksigen jaringan otak <15 mmHg (level III)

Steroid Pada pasien dengan cedera kepala berat atau sedang, metilprednisolon berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan kontraindikasinya (level I)

intubasi. Namun demikian, propofol dan tiopental bisa menyebabkan depresi kardiovaskuler dengan akibat hipotensi. Etomidat menawarkan keuntungan stabilitas hemodinamik selama induksi, namun bisa menyebabkan insufisiensi renal dengan akibat hipotensi tertunda. Pemilihan pelumpuh otot untuk rapid sequence induction adalah suksinilkolin dan rocuronium. Suksinilkolin bisa menyebabkan peningkatan TIK, namun signifikansi kliniknya masih dipertanyakan. Yang lebih penting dicegah adalah hipoksia dan hiperkarbia selama intervensi jalan napas yang cenderung lebih bisa menyebabkan peningkatan TIK yang signifikan secara klinik.3 Pasien ini diintubasi dengan fentanyl 100 mcg, propofol 70mg, lidokain 2% 60mg dan difasilitasi dengan pelumpuh otot vekuronium 5mg. Dosis yang diberikan adalah dosis terapeutik sesuai berat badan, bukan sekedar sedasi mengingat

tekanan darah pasien yang tinggi dan peningkatan TIK yang terjadi.

Manajemen AnestesiTarget utama manajemen anestesi untuk cedera kepala adalah untuk fasilitasi dekompressi yang segera, analgesia dan amnesia yang adekuat, menangani hipertensi intrakranial dan memelihara perfusi otak yang adekuat, memfasilitasi kondisi pembedahan yang adekuat, serta mencegah cedera sekunder, seperti hipoksemia, hiperkarbia, hipokarbia, hipoglikemia, dan hiperglikemia. Dekompressi dengan evakuasi hematoma epidural dilakukan dengan segera (6 jam setelah pasien masuk rumah sakit) demi mencegah edema otak berat.2, 5, 6

Teknik AnestesiAnestetik intravena, termasuk tiopental, propofol,

Dikutip dari Sharma D, etal.3

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

174 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan etomidat menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah otak (ADO), volume darah otak, CMRO2, dan TIK. Opioid tidak memiliki efek langsung terhadap hemodinamik saat ventilasi dikontrol. Semua zat anestetik inhalasi (isofluran, sevofluran, desfluran) menurunkan CMRO2 tapi dapat menyebabkan vasodilatasi otak, hingga menyebabkan peningkatan TIK. Namun demikian, pada minimum alveolar concentration (MAC) kurang dari 1, efek vasodilatasi otak minimal sehingga dapat digunakan dalam konsentrasi rendah untuk pasien dengan cedera kepala. Efek-efek zat anestetik terhadap luaran pasien cedera kepala telah banyak diteliti dengan hasil anestetik intravena dan inhalasi dapat digunakan namun dengan bijaksana.3 Pada wanita hamil, anestetik inhalasi yang paling sesuai adalah isofluran dan sevofluran.1 Yang penting, prinsip-prinsip manajemen anestesi sebaiknya mendekati panduan untuk manajemen cedera kepala berat (Tabel 1).3 Pada pasien ini, pemeliharaan anestesi dipilih dengan metode (Total IntraVenous Anesthesia (TIVA) mengingat adanya peningkatan TIK yang nyata disertai dengan jauhnya midline shift yang terjadi. Propofol kontinyu diberikan dengan dosis 6-10mg/KgBB/jam dengan vekuronium 1,5–2mg/jam.

VentilasiVentilasi sebaiknya diatur untuk memelihara oksigenasi yang adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dan normokarbia (PaCO2 35–45 mmHg). Pemantauan PaCO2 arteri direkomendasikan dan hiperkarbia-yang-disengaja (PaCO2 > 45 mmHg) akan meningkatkan ADO dengan akibat peningkatan TIK sebaiknya dihindari. Hiperventilasi sebaiknya digunakan secara bijaksana untuk kontrol TIK jangka pendek dan untuk fasilitasi paparan pembedahan selama kraniotomi. Hiperventilasi yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan vasokonstriksi dan mengarah ke iskemia otak. Normokarbia sebaiknya dicapai kembali sebelum dura ditutup. Sangat ideal memantau oksigenasi otak dan ADO selama hiperventilasi lama.5 Pada wanita hamil juga disarankan untuk mencegah hiperventilasi karena akan menurunkan aliran darah plasenta terutama bila PaCO2 <25 mmHg.1

Pada periode intraoperatif, biasanya ditetapkan dengan pemantauan oksimetri vena jugularis dan oksigenasi jaringan otak (PBTO2) atau pemantauan ADO (menggunakan ultrasonografi Doppler) selama perioda pascabedah.4

PemantauanSelain standar pemantauan/monitor anestesi, kateterisasi arteri direkomendasikan untuk memantau tekanan darah kontinyu, analisis gas darah, dan pengambilan sampel gula darah pada pasien yang memerlukan intervensi pembedahan. Kateterisasi vena sentral dapat berguna untuk resusitasi, namun dianjurkan untuk tidak menunda evakuasi hematoma dengan pembedahan hanya karena pemantauan invasif. Menurut panduan terbaru, pemantauan TIK direkomendasikan pada pasien dengan cedera kepala berat (GCS <9) dan hasil CT Scan yang abnormal (hematoma, kontuksi, edema, herniasi, atau kompressi sisterna basalis), dan pada pasien dengan cedera kepala berat dengan CT Scan normal namun disertai dua atau lebih kondisi berikut: usia lebih dari 40 tahun, motor posturing unilateral/bilateral, tekanan darah sistol <90 mmHg. Meskipun tidak ada kontraindikasi pemantauan TIK, namun dalam kasus ini tidak dilakukan karena alat yang tidak tersedia saat pasien di rawat di ICU. Penggunaan pemantauan multimodal selama periode pasca bedah dan di unit perawatan intensif pada pasien dengan cedera kepala semakin meningkat seiring waktu, dan pemantauan oksigenasi otak (global atau fokal) atau parameter ADO atau metabolisme akan membantu dalam pengambilan keputusan terapi yang tepat.3 karena keterbatasan biaya, pada pasien ini tidak dilakukan pemasangan CVC maupun arterial line.

Beberapa literatur merekomendasikan resusitasi cairan intravena untuk memelihara euvolemia dengan panduan kateter invasif (seperti CVC atau PCWP) atau metode non-invasif (seperti ekokardiogram atau pemantauan curah jantung non-invasif) untuk menilai status volume dan hemodinamik dengan metode statik (CVP) atau dinamik (stroke volume index variation). Bila CVP terpilih untuk memandu resusitasi, maka direkomendasikan terpelihara dalam batas 8-10 mmHg, dan bila dipandu PCWP, sebaiknya

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

175

terpelihara dalam batas 12–15 mmHg.2 Oksimetri vena jugularis sering digunakan dalam memeriksa keadekuatan oksigenasi otak global. Indikasinya umumnya sama dengan pemantauan TIK, dan saturasi vena jugularis < 50% menunjukkan bahwa pasien memerlukan perlunya optimalisasi ventilasi, perbaikan hemodinamik sistemik, atau menurunkan TIK. Pemantauan oksigen jaringan otak bermanfaat untuk mengidentifikasi area fokal suatu iskemia yang tidak dapat diketahui dari oksimetri vena jugularis. PO2 jaringan otak kurang dari 15 mmHg mengindikasikan suatu iskemia. Near infrared spectroscopy memiliki kelebihan dalam hal pemantauan oksigen otak yang lebih nyaman dan noninvasif di ICU. Ultrasonografi Doppler transcranial noninvasif, nonradioaktif, bedside monitor yang dapat memberikan informasi serebrovaskuler instan, termasuk perubahan kecepatan ADO, vasospasme otak, dan autoregulasi.3

Cairan Intravena, Manajemen Tekanan Darah, dan Penggunaan VasopressorHipotensi setelah cedera kepala jelas memperburuk luaran pasien. Karena itu, manajemen tekanan darah, termasuk pemilihan cairan dan vasopressor sangat penting. Pedoman untuk manajemen cedera kepala menganjurkan untuk menghindari hipotensi (TDS <90 mmHg) dan memelihara TPO antara 50–70 mmHg.2 Hipotensi selama kraniotomi juga berperan dalam luaran yang buruk dan sering terjadi saat dura dibuka. Hipotensi dekompressi ini harus diprediksi pada pasien dengan GCS rendah, tidak adanya sisterna mesensefalon pada CT Scan, dan dilatasi pupil bilateral. Selain itu, adanya lesi CT multipel, hematoma subdural, lesi pada CT dengan ketebalan maksimal sebaiknya diketahui oleh ahli anestesi untuk mengantisipasi dan siap menangani komplikasi masalah tersebut. Hipotensi perioperatif sebaiknya ditangani dengan secepat mungkin.4,7

Cairan isotonik tanpa glukosa yang hangat lebih dipilih sebagai cairan intravena untuk pasien dengan cedera kepala. Peranan koloid masih kontroversi. Penelitian (Saline vs Albumin Fluid Evaluation) SAFE menunjukkan bahwa resusitasi dengan albumin terkait dengan mortalitas yang lebih tinggi dan luaran neurologis 24 bulan yang

lebih buruk. Salin hipertonik bisa bermanfaat untuk resusitasi pasien dengan cedera kepala karena meningkatkan cairan intravaskuler dan menurunkan TIK.5 Namun ada penelitian yang menunjukkan bahwa dibandingkan dengan cairan isotonik pada pasien dengan cedera kepala yang hipotensi, tidak ada perbedaan dalam hal luaran neurologi 6–bulan.4, 8, 9 Data yang membandingkan penggunaan vasopressor pada pasien dengan cedera kepala masih terbatas dan menunjukkan bahwa efek norepinefrin dan dopamine terhadap kecepatan ADO, CMRO2 ditemukan sebanding, namun norepinefrin menghasilkan efek yang lebih terprediksi dan konsisten, sementara dopamin cenderung meningkatkan TIK.2 Penelitian lain dan lebih baru menunjukkan bahwa pasien hipotensi dengan cedera kepala berat yang menerima fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin mencapai peningkatan tekanan arteri rerata dan TPO yang maksimal dari baseline dengan penggunaan fenilefrin tanpa perbedaan TIK. Selama periode perioperatif pasien ini tidak menerima vasopressor.10

Terapi HiperosmolarMannitol merupakan terapi hiperosmolar yang paling banyak digunakan dan belum ada temuan yang membandingkan kelebihan satu zat dengan yang lainnya. Dosis mannitol yang direkomendasikan adalah 0,35–1 g/kgBB. Karena bersifat diuresis osmotik yang dapat menyebabkan hipovolemia dan hipotensi, maka hanya direkomendasikan pada pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan neurologi yang progresif bukan akibat penyebab eksternal. Pada pasien dengan cedera kepala berat dan TIK meningkat yang refrakter terhadap terapi mannitol, salin hipertonik 7,5% diberikan sebagai terapi pilihan kedua bisa menyebabkan peningkatan oksigenasi otak dan memperbaiki hemodinamik otak dan sistemik. Pada wanita hamil, mannitol bisa terakumulasi dalam janin sehingga menyebabkan hiperosmolaritas janin. Hal ini dapat menurunkan aliran urin dan produksi cairan paru janin, serta meningkatkan kadar natrium janin.1,5 Pada pasien ini tidak diberikan terapi mannitol.

Perawatan pascabedah

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

176 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Cara terbaik menjaga keselamatan janin adalah menjaga keselamatan maternal karena itu prioritas utama tetap stabilisasi maternal. Kehamilan harus selalu diduga pada setiap wanita yang mengalami cedera otak traumatik. Inisasi dan durasi pembedahan merupakan tantangan yang berat bagi ahli bedah dan ahli anestesi. Pada kehamilan lebih dari 24 minggu seperti pada kasus ini, pembedahan dapat menyebabkan hipotensi dan kelahiran preterm. Bedah darurat harus dilakukan dengan anestesi pilihan adalah anestesi umum. Pada kasus tertentu, crush induction dengan penekanan krikoid harus dilakukan demi mencegah regurgitasi dan aspirasi isi lambung. Semua obat anestesi harus diberikan secara hati-hati dengan memperhatikan risiko hipovolemia.14

Perawatan pascabedah di ICU dengan alat bantu napas hingga hari ketiga, disertai penggunaan sedatif, menyebabkan viabilitas janin terganggu. Pada hari ketiga, janin dinyatakan meninggal. Secara teori, pasien dengan hematoma epidural dapat segera pulih jika evakuasi hematoma segera dilakukan. Pada pasien ini, evakuasi hematoma dilakukan dalam waktu 6 jam pascatrauma, namun adanya edema otak, midline shift yang cukup besar, disertai hematoma subarakhnoid, mungkin berperan memperlambat pulih sadarnya pasien ini. Adanya tekanan psikologis pasien dan keluarga sedikit banyak turut berperan dalam mempengaruhi viabilitas janin pascatrauma, mengingat keluarga baru mengetahui bahwa pasien ini dalam keadaan hamil.

III. Simpulan

Anestesi umum dilakukan pada pasien dengan cedera kepala berat disertai kehamilan dengan tetap memelihara TPO dan mempertahankan kondisi janin dalam batas normal. Pascabedah, pasien dirawat di ICU dengan ventilator selama 3 hari. Di hari ketiga, janin dinyatakan meninggal. Pasien pulang di hari ke-19 dengan kondisi pulih baik. Daftar Pustaka

1. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg.

2008;107(1):193–200.

2. Haddad SH, Arabi YM. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scandinavian Jaournal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 2012;20(12):1-15.

3. Sharma D, Vavilala MS. Perioperative management of adult traumatic brain injury. Anesthesiology clinics. 2012;30(2):333-46.

4. Kou K, XY Hou, Sun J, Chu K. Current pre-hospital traumatic brain injury management in China. World journal of emergency medicine. 2014;5(4):245-54.

5. Mishra L, Rajkumar N, Hancock S. Current controversies in neuroanesthesia, head injury management and neuro critical care. Anesthesia, Critical Care & Pain. 2006;6(2):79–82.

6. Cooper D, Rosenfeld J, Murray L, Arabi Y, Davies A, D'Urso P, et al. Decompressive craniectomy in diffuse traumatic brain injury. N Engl J Med. 2011;364(16):1493–502.

7. Rusa R, Zornow M. Fluid management during craniotomy. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editors. Cottrell and Yound's Neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010, 147–58.

8. Strandvik G. Hypertonic saline in critical care: a review of the literature and guidelines for use in hypotensive state and raised intracranial pressure. Anaesthesia. 2009;64(9):990–1003.

9. Froelich M, Ni Q, Wess C, Ougorets I, Härtl R. Continuous hypertonic saline therapy and the occurrence of complications in neurocritically ill patients. Crit Care Med. 2009;37(4):1433–41.

10. Sookplung P, Siriussawakul A, Malakouti A, Sharma D, Wang J, Souter M, et al. Vasopressor use and effect on blood pressure

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

177

after severe adult traumatic brain injury. Neurocrit Care. 2011;15(1):46–54.

11. Carlson A, Schermer C, Lu S. Retrospective evaluation of anemia and transfusion in traumatic brain injury. J Trauma. 2006;61:567–71.

12. Salim A, Hadjizscharia P, Dubosc J, Brown C, Inaba K, Chan L, et al. Persistent hyperglycemia on patients with severe brain injury: an independent predictor of outcome. Am Surg. 2009;75:25–9.

13. Zafar S, Iqbal A, Farez M, Kamatkar S, Moya Md. Intensive insulin therapy in brain injury: a meta-analysis. J Neurotrauma. 2011;28(7):1307–17.

14. Satapathy MC, Mishra SS, Das S, Dhir MK. Emergency management strategy for pregnant head trauma victims e Case reports and review of literature. The Ind J of Neurotrauma. 2014;11: 45–8

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Cedera Kepala Berat akibat Hematoma Epidural Akut disertai Kehamilan

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

178

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Peritoneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intraventricular

Dian Novitasari*) , Iwan Fuadi**), Siti Chasnak Saleh***), Himendra Wargahadibrata**)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Budhi Asih, Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Perdarahan intraventrikular akibat perluasan perdarahan subarahnoid ke ruang intraventrikel atau akibat perdarahan intraserebral menyebabkan hidrosefalus merupakan prediktor independent prognosis yang buruk pada stroke hemoragik. Kondisi hidrosefalus dengan perdarahan intraventrikular membutuhkan Ventriculo Peritoneal (VP) Shunt segera untuk menghindari defisit neurologis permanen bahkan kematian. Pasien seorang laki-laki dewasa (56 tahun) dengan bb 75 kg, dengan hipertensi kronis dan penurunan kesadaran disertai hipertensi intrakranial dengan CT Scan menunjukkan adanya hidrosefalus disertai perdarahan intraventrikular luas. Dilakukan anestesi dengan kombinasi anestesia intravena menggunakan propofol, dexmedetomidine - sevofluran 1 MAC dapat menjadi pilihan dalam operasi bedah saraf. Tindakan VP Shunt segera pada pasien ini merupakan tindakan yang bersifat life saving dengan managemen anestesi yang baik memberikan outcome yang baik.

Kata kunci: Anestesia intravena, sevofluran, hidrosefalus, perdarahan intraventrikular, Ventriculo Peritoneal Shunt

JNI 2017;6 (3): 178–86

Anesthesia Management for Emergency Ventriculo Peritoneal Shunt ec Hydrocephalus with Intraventricular Hemorrhage

Abstract

Intraventricular hemorrhage due to the expansion of subarachnoid hemorrhage due to space intraventricular or intracerebral hemorrhage cause hydrocephalus is an independent predictor of poor prognosis in hemorrhagic stroke. Hydrocephalus condition with intraventricular hemorrhage requiring ventriculo peritoneal (VP) shunt immediately to avoid permanent neurological deficits and even death. In this case report will discuss the management of anaesthesia in emergency VP Shunt for a patient with chronic hypertension, history of loss of consciousness accompanied by intracranial hypertension and CT scan result showed the existence of intra-ventricular hemorrhage with hydrocephalus wide. The combination of intravenous anesthesia using propofol, dexmedetomidine - 1 MAC sevoflurane may be an option in the operation of neurosurgery. VP Shunt immediate action in these patients is an act that is life saving with good anesthetic management provides a good outcome.

Key words: intravenous anaesthesia, sevoflurane, hydrocephalus, Ventriculo Peritoneal Shunt, intraventricular hemorrhage

JNI 2017;6 (3): 178–86

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

179

I. Pendahuluan

Stroke hemoragik merupakan salah satu penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perdarahan intraventrikular merupakan prediktor independent morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Diperkirakan 45% perdarahan intras erebral spontan dan 25% pasien aneurisma yang mengalami perdarahan subarahnoid disertai perdarahan intraventrikular. Pasien di negara Amerika Serikat yang mengalami perdarahan inraserebral dan juga perdarahan intraventrikular memiliki resiko mortalitas 50-80%.1

Pasien hipertensi yang tidak terkontrol dapat mengalami stroke hemoragik dan perdarahan subarahnoid. Perdarahan subarahnoid yang meluas masuk ke dalam ruang ruang ventrikel otak bersama aliran cairan serebrospinal dapat mengganggu absorpsi dan resorpsi cairan serebrospinal. Gangguan absorpsi dan resorpsi cairan serebrospinal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang dapat fatal bila tidak mendapatkan penanganan segera.

II. Kasus

Laki laki usia 56 tahun dengan perkiraan berat badan 75 kg datang dengan keluhan lemas sisi tubuh kiri, sempoyongan, pusing, riwayat hipertensi lama yang tidak terkontrol, dirujuk dari Rumah Sakit Sari Asih Ciputat karena ruang rawat penuh dengan diagnosis CVD Hemorhagik, riwayat penurunan kesadaran. Saat masuk UGD kesadaran pasien compos mentis tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 102 x/menit, frekuensi napas 20x/menit. Pasien ini memiliki penyakit penyerta diabetes melitus dengan riwayat konsumsi alkohol. Pasien masuk ruang perawatan dengan dokter penanggungjawab neurologist dengan catatan konsul dokter spesialis bedah syaraf bila terjadi penurunan kesadaran 2 poin dari GCS akan dilakukan operasi cito. Pada hari ke-6 dalam perawatan kesadaran pasien cenderung menurun, pasien cenderung tidur dan bicara tidak nyambung, GCS 13 E3M6V4. Pasien dilakukan CT Scan kepala cito dan ditemukan perdarahan intrakranial, hidrosefalus dengan

perdarahan intraventrikular yang membutuhkan dilakukan operasi VP Shunt Cito.

Allo AnamnesaRiwayat operasi (-), Riwayat Alergi (-), gigi palsu (-)/goyang (-). Riwayat Penyakit Penyerta: Asma(-), DM (+), Hipertensi lama namun obat tidak rutin diminum, stroke sebelumnya (-), Sakit Jantung (-), Sakit Paru (-), Sakit kuning (-), Riwayat nyeri dada (-), pingsan (-), sesak (-), kejang (-), yang dirasakan badan lemas separuh sisi, bicara pelo (-) FCl tdk ada ggn bab/bak. Pasien sempat mengalami penurunan kesadaran (menurut catatan rujukan RS Sari Asih). Selama di ruangan pasien mengeluhkan pusing sakit kepala berputar, rasa kebas di sekitar mulut, mual (+), muntah (-) dan satu hari terakhir pasien cenderung tidur dan bicara tidak nyambung. Variasi TD sistolik 150-170 mmHg selama di ruang rawat. Selama dirawat di ruangan pasien mendapat antibiotik Ceftriaxon 2x1 gr, Manitol drip 3x 126 cc, Transamin 3x 500 mg iv, Omeprazole 1 x 20 mg iv, vit K 3 x 1 amp iv, IVFD Na Cl 0,9% 500 cc/12 jam, secara oral mendapat Valsartan 1 x 80 mg tab, Diazepam 1mg tab, Concor 1 x 2,5 mg.

Pemeriksaan FisikGCS E4M6V5 (15), TD 209/120 mmHG HR 83 x/mnt RR 18x/mnt SpO2 96% Mata Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, Pupil bulat isokor 3 mm/ 3mm RCL/TL +/+. Jantung/Paru dbn. Ekstrimitas 5555/5555, 5555/5555

Pemeriksaan PenunjangHba1c 7,8 (13 Sept 2016), EKG (11 Sept 2016 saat masuk) Sinus Takikardia HR 102x/mnt, tidak ditemukan ST depresi ataupun ST elevasi, Lab tanggal 16 Sept 2016, hematologi: Hb 12,4 g/dl, hct 41%, leukosit 15900/ul, trombosit 247000/ulFaal Hemostasis: BT/CT 2/10 (menit), PT/APTT 13,9 (14,3)/29,4 (33,2) (pasien/kontrol, kimia klinik Fx Hati: SGOT/PT 18/24, ureum/Creatinin 38/0,93 mg/dl, GDS 148 mg/dl, ro Thorak: gambaran BOOT Shape kesan hipertensive Heart, Disease

Pengelolaan AnestesiPasien berbaring di meja operasi yang sudah diatur posisi head up, dipasang monitor pulse

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Peritoneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intravenrtricular

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

180 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeliharaan AnestesiAnestesi sevofluran vol < 1% O2 1,5 lt N2O 0,3 lt. Mode of Ventilator Volume Control TV 8ml/kgbb, RR 12 x/menit, I E 1:2, End tidal CO2 26 mmHg, O2 2 lt/menit. Akses intravena terpasang 2 jalur, pada tangan kanan terpasang kanul 18 G terpasang ringerfundin (Balance Salt Solution) dan tangan kiri terpasang akses kanul 20 G yang tersambung dengan obat anestesi intravena. Diberikan mannitol 20 % (kemasan 50 gram mannitol dalam 250 cc) 0,5 gram/kgbb drip selama 20-30 menit yang dimulai saat operator melakukan insisi kulit kepala. Obat anestesi intravena yang diberikan propofol 50–100 mcg/kgbb/menit (3–6 mg/kgbb/jam) dan dexmedetomidine 0,4-0,5 micro/kgbb/menit dengan syringe pump. Vecuronium 0,01-0,015 mg/kgbb (1 mg) intravena diberikan setiap 30 menit. fentanyl diberikan ulang 25 microgram intravena (iv) saat dokter spesialis bedah saraf melakukan infitrasi lokal anestetik dan diberikan Fentanyl 50 micro iv sebelum dilakukan bor tengkorak dan 50 microgram fentanyl berikutnya saat usaha menembus kulit pemasangan kateter shunt ke peritoneum. Selama intraoperatif hemodinamik stabil. Saat jahit kulit menjelang operasi selesai diberikan analgetik dynastat 40 mg drip dalam NaCl 0,9% 100 cc. Sevofluran dihentikan setelah selesai operasi diberikan reversal pelumpuh otot dan propofol dihentikan setelah pasien dirapikan dan pindah ke brankar transportasi ICU.

Lama operasi 120 menit. Total fentanyl 250 microgram, vecuronium 11–12 mg, propofol total 30 cc (300 mg).

Pemeriksaan CT scan kepala: tampak hidrosefalus dan intraventrikuler hemorrhage luas.

oksimetri, EKG, dan tekanan darah non invasif. Dilakukan pengukuran dan pencatatan tanda vital pasien sebelum induksi anestesi.Tanda vital pasien TD 200/120 mmHg, laju nadi 100 x/menit, SpO2 98%. Disiapkan dexmedetomidine dimulai dengan 0,1 micro/kgbb dengan syringe pump tanpa didahului dengan loading dosis dan disiapkan pula propofol maintenance dalam syringe pump.

Preoksigenasi pasien dengan oksigen 100% 5 L/menit selama beberapa menit sembari dilakukan pemberian fentanyl 75 mcg intravena dilakukan pengukuran tekanan darah segera sembari mengamati respon klinis pasien. Tekanan darah menurun menjadi 180/100 mmHg, sevofluran dibuka perlahan hingga volume 1% dilanjutkan dengan propofol 1–1.5 mg/kgbb intravena diberikan secara perlahan, fentanyl 50 mcg iv dilakukan pengukuran ulang tekanan darah non invasiv Stat TD menjadi 140/80 mmHg, laju nadi 88x/menit. Diberikan pelumpuh otot vecuronium 0,08-0,1 mg/kgbb iv (7 mg). Ditunggu 3 menit dengan ventilasi kendali 12x/menit. Diberikan lidokain 100 mg intravena ditunggu 90 detik dilakukan intubasi dengan ETT no 7,5 Cuff (+) batas ujung bibir 20 cm. Tekanan darah pasca intubasi 138/80 mmHg, Laju Nadi 80 x/menit, SpO2 100%, kemudian dipasang kapnograp pada muara ett - breathing sirkuit.

Gambar Hemodinamik selama Pembiusan

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

181

Pengelolaan pasien PascabedahSetelah operasi selesai dengan terpasang pipa endotrakhea nomor 7,5 cuff (+), 20 cm ujung bibir, pernapasan kendali dibantu bagging 12 x/menit, oksigen 8 liter per menit pasien diantar ke ICU. Selama di ICU pasien diposisikan head up 30o, dilakukan monitoring kesadaran, tanda vital, kontrol gula darah. Selama tersambung

Tabel 1. ICH Score

Komponen ICH Score NilaiGCS Score3-4 25-12 113-15 0ICH Vol≥30 cm3 1< 30 cm3 0IVH +IVH - 1

0Infratentorial ICHYa 1Tidak 0Usia≥ 80 th 1< 80 th 0

Tabel 2. Sistem Graeb dan Le Roux IVH Grading SystemGraeb System dengan nilai skor maksimal 12Ventrikel LateralSetiap ventrikel lateral dinilai secara terpisahNilai 1 = darah trace/perdarahan minimalNilai 2 = < setengah ventrikel lateral terisi darahNilai 3 = > setengah ventrikel lateral terisi darahNilai 4 = ventrikel terisi darah dan ventrikulomegali +Ventrikel 3 dan 4Nilai 1 = darah (+) ukuran ventrikelNormalNilai 2 = darah (+) , pelebaran ventrikel (+)Le Roux System nilai max 16Setiap ventrikel dinilai secara terpisah Nilai 1: perdarahan intraventrikular traceNilai 2: < ½ ruang ventrikel terisi darahNilai 3: > ½ ruang ventrikel terisi darahNilai 4: seluruh ventrikel darah (+) dan ventrikulomegali +

dengan ventilator mode SIMV pasien dalam sedasi dexmedetomidine 0,2 micro/kgbb/jam dengan tujuan weaning ekstubasi segera. Setelah kriteria ekstubasi terpenuhi dilakukan ekstubasi. Pasien diekstubasi pada hari pertama ICU, dirawat selama dua hari kemudian dipindahkan ke ruangan rawat biasa.

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Peritoneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intraverticular

Dikutip dari: Hemphil JC.6

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

182 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

III. Pembahasan

Pada kasus ini pasien laki laki usia 56 tahun yang mengalami stroke dengan riwayat penurunan kesadaran saat di Rumah Sakit sebelumnya. Adanya keluhan sakit kepala yang amat sangat, disertai kelemahan sesisi tubuh. Pasien ini memiliki faktor resiko untuk terjadinya stroke hemoragik yaitu hipertensi yang tidak terkontrol, usia, dan riwayat konsumsi alkohol menjadikannya resiko juga kejadian rupture aneurysma dengan perdarahan subarahnoid. Stroke hemoragik pada kasus ini tidak disebabkan karena kejadian trauma, tidak ada riwayat jatuh, atau riwayat trauma kepala. Pada kasus ini kesulitan terjadi dalam hal penegakan diagnosis pasti ada tidaknya aneurisma. Kejadian stroke hemoragik pasien ini dapat berupa suatu perdarahan intrakranial spontan akibat hipertensi kronik yang tidak terkontrol atau dapat pula suatu ruptur aneurysma terjadi perdarahan subarahnoid yang meluas hingga perdarahan intraventrikular disertai hidrosefalus. Kesulitan diagnostik pasti aneurisma dikarenakan keterbatasan fasilitas tidak adanya CT angiography dan biaya. Meskipun demikian managemen neuroanestesia tetap dengan melakukan basic method untuk proteksi otak dan menghindari kejadian secondary brain injury. Tindakan pemasangan VP Shunt cito sudah tepat.

Prinsip anestesi pada bedah saraf adalah memberikan proteksi otak selama tindakan pembedahan. Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Secara garis besar proteksi otak dimulai dengan hal yang mendasar yaitu pengendalian jalan napas, adekuat oksigenasi, pencegahan hiperkarbia, pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial, pemeliharaan tekanan perfusi otak dan pengendalian kejang. Proteksi otak dapat dilakukan secara farmakologi, yaitu dengan obat obat yang diperkirakan mempunyai

efek proteksi otak. Cara lain adalah dengan hipotermia dan kombinasi farmakologi dengan hipotermia.

Pada perdarahan intrakranial akut seringkali ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang jauh lebih bermakna dibandingkan pada kasus stroke iskemik. Meskipun tekanan darah umumnya akan menurun secara spontan dalam beberapa hari setelah ICH, namun pada beberapa pasien tekanan darah yang tinggi ini cenderung menetap. Mekanisme patofisiologi yang menjelaskan hal ini kemungkinan adanya aktivasi stress sistem neuroendokrin (sistem syaraf simpatis axis renin-angiotensin atau sistem glukokortikoid) dan meningkatnya tekanan intra kranial. Hipertensi secara teoretis dapat memberi efek tekanan hidrostatik yang berkontribusi bagi perluasan hematom, peri hematom edema dan perdarahan kembali yang memberikan prognosis buruk ICH.3 Skor ICH merupakan penilaian prognostik untuk memprediksi mortalitas dalam 30 hari pada pasien dengan ICH spontan. Mortalitas meningkat seiring skor ICH. Pada kasus ini skor ICH pasien 1 point dengan angka mortalitas 13%. Namun pertimbangan lain menggunakan penilaian volume perdarahan intraventrikular menurut sistem Graeb dan Le Roux, yang pada kasus ini menunjukkan derajad keparahan yang luas nilai 8 hingga 12. Faktor penilaian dalam skor yaitu usia lanjut, volume hematoma yang besar, hidrosefalus berat, dan GCS yang rendah merupakan prediktor bermakna atas mortalitas 30 hari setelah kejadian perdarahan intrakranial spontan dengan perdarahan intraventrikular. Keluaran yang lebih baik hingga periode 6 bulan dapat terjadi pada pasien usia < 70 th, GCS 13–15 dan tidak ada hidrosefalus. Penilaian skor IVH dapat menjadi alat bantu prediktor mortalitas 30 hari pada pasien perdarahan intrakranial spontan dengan perdarahan intraventrikel yang reliabel.5

Pada kasus ini terjadi peningkatan tekanan darah yang menetap tinggi berkisar diatas 150 mmHg untuk tekanan darah sistolik, bahkan saat diterima di ruang terima kamar operasi tekanan darah mencapai 200/120 mmHg. Suatu kondisi yang kita kenal sebagai hipertensi intra kranial. Pada kondisi hipertensi intrakranial, tekanan darah

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

183

yang naik harus dikurangi secara hati hati sambil memikirkan potensi penyebab terkait mekanisme patofisiologi hipertensi intrakranial. Perlu pemahaman bahwa adanya peningkatan salah satu atau keempat kompartemen intrakranial (volume darah, volume cairan serebrospinal, kompartemen cairan, kompartemen seluler jaringan otak) akan meningkatkan volume intra kranial yang selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial yang berlanjut hingga melewati batas kompensasi akan menyebabkan terjadinya herniasi. Tubuh berusaha mempertahankan perfusi tekanan serebral salah satu mekanismenya adalah dengan MAP tinggi untuk melawan tekanan intrakranial berdasarkan rumus CPP = MAP – ICP. Maka pada kasus ini dilakukan pemberian agen anestesi intravena secara titrasi propofol 1 mg/kgbb secara perlahan dilanjutkan pemberian inhalasi sevofluran 1 vol% karena dikhawatirkan terjadi penurunan tekanan darah yang jauh dan berbahaya bagi tekanan perfusi serebral. Kasus perdarahan intraventrikular terjadi pada 45% pasien dengan perdarahan intra kranial spontan. Perdarahan intraventrikular paling sering bersifat sekunder terkait perdarahan karena hipertensi yang melibatkan daerah di thalamus dan ganglia basalis.3 Terdapat tiga mekanisme utama yang diyakini berkontribusi terhadap efek negatif morbiditas dan mortalitas perdarahan intraventrikular (IVH). Pertama, hidrosefalus obstruktif karena adanya gangguan sirkulasi cairan cerebrospinal (CSF) merupakan komplikasi perdarahan intraventrikel otak yang berat dan bersifat mengancam nyawa jika tidak ditangani. Adanya gangguan sirkulasi cairan serebrospinal keluar ruang subarakhnoid dan gangguan produksi cairan serebrospinal secara bertahap menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang diikuti penurunan aliran darah serebral global secara bertahap. Meskipun penempatan drainase ventrikel eksternal (EVD) mungkin pada awalnya dapat menurunkan ICP, kateter EVD seringkali tersumbat oleh gumpalan darah mengakibatkan kegagalan drainase CSF. Sebagai akibatnya, EVD perlu diganti, kadang-kadang berulang kali, karena obstruksi kateter. Kedua, di luar komplikasi hidrosefalus obstruktif

akut, IVH menyebabkan kerusakan pada struktur otak periventrikel sekitarnya, terutama batang otak. Penelitian pada hewan telah menunjukkan, cedera ini bisa dimediasi oleh peradangan yang disebabkan oleh darah dan produk pemecahan darah, atau dengan efek massa langsung dari gumpalan darah pada lapisan jaringan otak subependymal disertai penurunan aliran darah serebral lokal. Ketiga, peredaran produk pemecahan darah ke dalam ruang ventrikel CSF sering menyebabkan peradangan tambahan dan fibrosis dari Arachnoidea dan granulasi Pacchioni, menyebabkan gangguan resorpsi kembali cairan serebrospinal sehingga terjadi hidrosefalus komunikan. Pada akhirnya sekitar 30–60% dari pasien mengalami hidrosefalus komunikan permanen dan perlu operasi ventriculo-peritoneal (VP) shunt.2

Pemilihan Obat AnestesiPada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular akan tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya antara lain terhadap aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intra kranial, cairan serebrospinal, autoregulasi, respon terhadap CO2. Pada kasus ini dipilih obat anestesi intravena propofol, fentanyl, vecuronium, dexmedetomidine dan lidokain intravena.

PropofolWalaupun efek propofol terhadap tekanan perfusi otak disebabkan oleh efek yang menurunkan tekanan darah, telah ditunjukkan bahwa efek hemodinamik yang tidak menyenangkan tersebut dapat dicegah dengan menghindari efek konsentrasi puncak. Efek propofol terhadap metabolisme otak dan aliran darah otak sama seperti golongan barbiturat. Propofol menurunkan aliran darah otak sebanyak 30%, CMRO2 30%, dan tekanan intrakranial, tetapi tekanan perfusi otak juga menurun disebabkan oleh propofol mempunyai efek menurunkan tekanan darah yang hebat. Ravussine dkk menemukan bahwa walaupun tekanan cairan serebrospinal lumbal selama induksi dengan propofol menurun 32% dan tekanan darah sistemik menurun, tekanan perfusi otak dipertahankan di atas 70 mmHg. Seperti halnya hipnotik sedatif lain, depresi SSP

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Peritoneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intraverticular

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

184 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

terjadi bergantung pada dosis. Pada kasus ini pemberian dosis induksi propofol tidak langsung diberikan full dosis induksi propofol yaitu 2–2,5 mg/kgBB intravena, tetapi diberikan secara titrasi diberikan dosis propofol 1 mg/kgBB intravena dilanjutkan stat cek respon tekanan darah. Kemudian didalamkan dengan sevofluran volume 1% dan cek stat respon tekanan darah selanjutnya diberikan pelumpuh otot vecuronium dosis 0,1 mg/kgbb intravena. Propofol menurunkan CBF dan CMRO2 sesuai dengan dosisnya. Pada pasien bedah saraf yang hipovolemi, bila mendapat dosis besar propofol, dapat terjadi penurunan tekanan arteri rerata. Karena itu sebelum induksi dengan propofol, volume intravaskular harus dipulihkan atau dipakai obat induksi yang lain. Infus kontinu propofol dapat digunakan intraoperatif sebagai bagian dari teknik TIVA. Propofol juga digunakan sebagai substitusi anestetika inhalasi pada akhir anestesi umum untuk mempercepat bangun dari anestesi. Autoregulasi dan respon terhadap CO2 tetap dipertahankan selama pemberian propofol. Pada dinamika CSF tidak ada perubahan pada kecepatan pembentukan CSFdan tidak ada perubahan pada resistensi reabsorpsi CSF dengan efek tidak ada perubahan pada ICP. Propofol mempunyai efek serebral hemodinamik dan metabolik yang sama seperti barbiturat. Propofol berguna pada pasien yang mempunyai patologi intrakranial bila hipotensi dapat dicegah. Keuntungan pemberian propofol antara lain waktu paruhnya pendek, bangun dari anestesi cepat, sekalipun setelah pemberian yang lama. Hal ini memberikan kemudahan evaluasi neurologis pascabedah. SevofluranSevofluran adalah suatu obat anestesi inhalasi derivat methyl isoprophylether dengan kelarutan darah yang rendah (0,63) sehingga onsetnya cepat, pemulihan cepat, serta mudah mengatur kedalaman anestesi. Lebih cepatnya pemulihan dari Sevofluran dibandingkan isofluran akan mempercepat evaluasi neurologis pascabedah. Sevofluran mempunyai efek proteksi otak, serta paling kecil menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya. Sevofluran merupakan obat yang baik untuk neuroanestesia karena mampu

mempertahankan autoregulasi cerebral tetap intak hingga 1,5 MAC, pengaruh sevofluran terhadap tekanan intrakranial dan respon pada hipokapnia sama dengan isofluran, tidak menyebabkan aktivitas epileptiform seperti enfluran, tidak mengaktivasi sistem saraf simpatis manusia, tidak ada peningkatan denyut jantung seperti halnya isofluran, sensitifitas terhadap katekolamin tidak meningkat. Penelitian penelitian tentang efek sevofluran pada pembuluh darah serebral telah ditekankan pada efeknya terhadap reaktivitas CO2, autoregulasi serebral, diameter pembuluh darah, metabolisme serebral dan aliran darah otak. Kemampuan pembuluh darah otak untuk bereaksi terhadap perubahan PaCO2 penting untuk neuroanestesi yang aman. Refleks terhadap CO2 ini tetap dipertahankan pada dosis sevofluran hingga 1,3 MAC.

N2ODi RS kami tidak ada compressed air maka sebagai campuran O2 tetap diberikan N2O < 30%.

DexmedetomidineDexmedetomidine adalah suatu alfa-2 agonist yang selektif dan poten, secara klinis menunjukkan efek sedasi yang efektif, menghilangkan atau mengurangi kebutuhan analgetik lain, pasien sadar bila sistimulsi, tidak terbukti adanya depresi napas sehingga dapat diberikan tanpa diintubasi dan diventilasi, perubahan hemodinamik dapat diperkirakan. Dexmedetomidine dapat menurunkan aliran darah otak, mempertahankan reaktivitas terhadap CO2, autoregulasi pembuluh darah, vasokonstriksi serebral, mengurangi volume darah otak, menurunkan tekanan intrakranial akan tetapi CMRO2 tidak berubah. Secara keseluruhan penggunaan dexmedetomidine aman dan dapat ditolerir dengan baik.

IV. Simpulan

Kombinasi anestesia intravena menggunakan propofol, dexmedetomidine-sevofluran 1 MAC dapat menjadi pilihan dalam operasi bedah syaraf. Tindakan VP Shunt segera pada pasien ini merupakan tindakan yang bersifat life saving dengan manajemen anestesi yang baik

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

185

memberikan outcome yang baik.

Daftar Pustaka

1. Hinson HE, Hanley DF, Ziai WC. Management of intraventricular hemorrhage. Curr Neurol Newrosci Rep. 2010;10(2):73–82.

2. Staykov D, Bardutzky J, Huttner HB, Schwab S. Intraventricular fibrinolysis for intracerebral hemorrhage with severe ventricular involvement. Neurocritical Care. June 2010.

3. Morgenstern LB, J. Hemphill C III, Anderson C, Becker K, Broderick JP, Conolly ES, et al. Guidelines for the Management of spontaneous intracerebral Hemorrhage: a guideline for healthcare professionals. from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2010;41(9):2108–29.

4. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesia. Bandung: Olah Saga Citra Januari 2011.

5. Bu Y, Chen, M, Gao, T, Wang X, Li, X & Gao,F. Mechanisms of hydrocephalus after intraventricular haemorrhage in adults. Stroke and Vascular Neurology. 20161(1): 23–27.

6. Hemphilll JC, Bonovich DC, Besmertis L, Manley GT, Johnston SC. The ICH score: a simple, reliable grading scale for intracerebral hemorrhage. Stroke. 2001.32:891–7.

7. Morgan TC, Dawson J, Spengler D, Lees KR,

Aldrich C, Mishra NK, et al. The Modified Graeb Score. The Modified Graeb Score. Stroke. 2013;44:635–41.

8. Kallmes DF, Lanzino G, Dix JE, Dion JE, Do H, Woodcock RJ, et al. Patterns of hemorrhage with ruptured posterior inferior cerebellar artery aneurysms: CT findings in 44 cases. American Journal of Roentgenology 1997 169:(4): 1169–71.

9. Pong RP, Lam AM. Anesthetic management of Cerebral aneurysm surgery. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. 5th. ed. Mosby Elsevier: 2010.

10. Albin MS. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and neuroscience perspectives. USA: The McGraw-Hill.1997; 501

11. Hwang BY, Bruce SS, Appelboom G, Piazza MA, Carpenter AM, Gigante PR, et al. Evaluation of intraventricular hemorrhage. J Neurosurg 2011; Oktober 14.

12. Ahn SW, Hwang SK. Non-traumatic primary intraventricular hemorrhage. September 2010; 12 (3) 159–64.

13. Hallevi H, Albright KC, Aronowski J, Baretto Ad, Schild M, Khaya AM, et al. Intraventricular hemorrhage: Anatomic relationships and clinical implications. Neurology 2008:70 (11):848–52.

14. Abd-Elsayed AA, Wehby AS, Farag E. Anesthetic management of patients with intracranial aneurysms. The Ochsner Journal. 2014;(14):418–25.

Penanganan Anestesi pada Ventriculo Peritoneal Shunt Cito e.c Hidrocephalus dengan Perdarahan Intraverticular

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

186

Pulih Sadar Pascaanestesi yang Tertunda

Endah Permatasari*), Diana C. Lalenoh**), Sri Rahardjo***),Tatang Bisri****)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSU Kabupaten Tangerang,**)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RS Prof.R.D Kandou, Manado,*** Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit

Dr.Hasan Sadikin-Bandung

Abstrak

Dengan penggunaan obat-obatan anestesi dengan kerja singkat, umumnya pasien dapat segera dibangunkan pascaoperasi dan pembiusan. Namun dapat terjadi proses pulih sadar yang tertunda karena berbagai penyebab. Proses pulih sadar yang tertunda pascaanestesi masih merupakan suatu masalah bagi ahli bedah dan anestesi. Seharusnya pada akhir operasi dan pembiusan, pasien sudah kembali ke tingkat kesadaran penuh, mampu mempertahankan reflex jalan nafas dengan ventilasi yang adekuat dengan nyeri yang terkendali. Waktu proses pulih sadar pascaanestesi dapat bervariasi dan tergantung dari berbagai faktor risiko terkait kondisi pasien prapembedahan, jenis anestesi yang diberikan dan lama operasi. Pulih sadar pascaanestesi yang tertunda terutama disebabkan oleh medikasi dan obat-obatan anestesi pada waktu perioperatif. Penyebabnya multifaktor dan obat-obatan anestesi tidak selalu menjadi penyebab. Apabila faktor penyebab lain telah dapat disingkirkan maka wajib dipertimbangkan yang menjadi penyebab adalah kelaian intrakranial akut. Sembari mencari penyebab, tatalaksana awalnya adalah mempertahankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Walaupun proses pulih sadar yang tertunda pascaanestesi jarang ditemukan, mengenali gejala dan penyebab menjadi wajib untuk dapat dilakukan tatalaksana proses pulih sadar yang tertunda pascaanestesi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitasnya. Diagnosis yang akurat adalah kunci tatalaksana dan ahli anestesi memegang peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi anestesi ini.

Kata kunci: anestesi, pulih sadar yang tertunda, faktor risik

JNI 2017;6 (3): 187–95

Delayed Emergence from Anaesthesia

Abstract

The use of fast acting general anaesthetic agents leads to patients awaken quickly in the post operative period. However sometimes recovery is protracted and the list of possible causes in long. Delayed emergence from anaesthesia remains a major cause of concern both for anaesthesiologist and surgeon. Ideally, on completion of surgery and anaesthesia, the patient should be awake or easily arousable, protecting the airay, maintaining adequate ventilation and with their pain under control. The time taken to emerge to fully consciousness is affected by patient factors, anaesthetic factors, duration of surgery and painfull stimulation. The principal factor for delayed awakening from anaesthesia assumed to be the medications and anaesthestic agents used in the perioperatif period. Delayed emergene from anaesthesia is often multifactorial and anaesthetic agent may not always be the culprit. When other causes are excluded, the possibility acute intracranial event should be considered. While the specific cause is being sought , primary management is always support of airway, breathing and circulation. Although delayed emergence from general anesthesia is not uncommon, recognizing the cause and instituting timely treatment is imperative in condition where delayed therapy can increase morbidity and mortality. Accurate diagnosis is the key of management and anesthesiologist play a key role in the prevention of this anesthetic complication.

Key words: anaesthesia, delayed emergence, risk factorJNI 2017;6 (3): 186–94

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

187

I. Pendahuluan

Pulih sadar dari anestesi umum dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi tubuh dimana konduksi neuromuskular, refleks protektif jalan nafas dan kesadaran telah kembali setelah dihentikannya pemberian obat-obatan anestesi dan proses pembedahan juga telah selesai. Apabila dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat anestesi dihentikan, pasien masih tetap belum sadar penuh maka dapat dikatakan telah terjadi pulih sadar yang tertunda pascaanestesi.1 Pulih sadar dari anestesi merupakan suatu proses yang dapat menimbulkan tingkat stres fisiologis tinggi. Pulih sadar dari anestesi harusnya berlangsung secara mulus dan terkendali. Waktu yang dibutuhkan bisa berbeda-beda tergantung dari kondisi pasien, jenis anestesi yang diberikan dan lamanya tindakan pembedahan. Pada proses pulih sadar dari anestesi masalah yang bisa dihadapi adalah obstruksi jalan nafas, menggigil, agitasi, delirium, nyeri dan mual muntah . Setelah tindakan anestesi umum, pasien harus dapat kembali sadar dalam waktu 30–60 menit. Penyebab utama pulih sadar yang tertunda adalah sisa-sisa efek obat anestesi yang masih ada. Pulih sadar yang terganggu dapat timbul karena potensiasi efek obat-obat anestesi dengan medikasi yang diberikan sebelum operasi. Pulih sadar yang tertunda juga dapat terjadi pascaanestesi regional.1,2

Proses pulih sadar dari anestesi harus diawasi seksama dan kondisi pasien harus dinilai ulang sebelum pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Terdapat berbagai pedoman yang digunakan untuk memilah pasien-pasien pascaanestesi. Apabila kondisi pasien belum memenuhi pedoman atau kondisinya belum layak untuk dipindahkan ke ruangan maka pasien harus dilaporkan ke dokter anestesi selaku penanggungjawab. Masa pemulihan dari anestesi terdiri dari 3 fase. Masa pemulihan ini dapat berlangsung berhari-hari. Fase pertama (fase awal) berawal dari semenjak dihentikannya seluruh pemberian obat-obatan anestesi sampai dengan pada saat pasien telah pulih kembali refleks protektif jalan nafas dan tidak ada lagi blokade motorik dari obat-obatan anestesi. Yang masih dalam pengawasan anestesi terutama

adalah pada fase awal. Fase ini bisa terjadi ruang pemulihan kamar operasi atau ICU. Pada fase kedua (immediately recovery) berawal dari waktu pasien sudah memenuhi kriteria keluar dari ruang pemulihan dan harus diambil keputusan akan dipindahkan kemana selanjutnya pasien. Pada masa ini dilakukan persiapan untuk memindahkan pasien ke ruang perawatan. Fase ketiga (late recovery) meliputi waktu pemulihan kondisi fisik dan fisiologis. Masa ini bisa terjadi di ruang perawatan sampai dengan pasien kembali ke rumah. Proses ini bisa berlangsung sampai dengan 6 minggu.3,4 Menurut kamus Oxford pada kondisi sadar seorang individu harus mampu mengetahui identitasnya dan mengenali lingkungan sekitarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kata sadar terdapat tiga makna yang terkandung yaitu mengenali, tahu dan mengerti. Istilah koma berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu kondisi ketidaksadaran dimana sesorang tidak dapat dibangunkan. Suatu parameter yang sering digunakan untuk menilai kesadaran adalah Glasgow Coma Scale, yang terdiri dari komponen visual (E), verbal (V) dan pergerakan (M). Awalnya GCS dipakai untuk penilaian tingkat kesadaran pasien dengan cedera kepala. Dalam tabel 1 dijabarkan parameter penilaian Glasgow Coma Scale. Kondisi sadar penuh adalah GCS 15, yang berasal dari komponen E: 4, V: 5 dan M: 6. Dengan nilai paling rendah 3 dan tertinggi adalah 15. Dikatakan koma apabila nilai GCS dibawah 8.2,3

Proses pulih sadar yang tertunda merupakan salah satu kejadian yang tidak diharapkan dalam anestesi. Penyebabnya berbagai faktor. Bisa disebabkan oleh faktor pasien, masalah dalam pembedahan dan anestesi serta faktor obat-obatan. Faktor penyebab yang terkait anestesi bisa karena faktor farma kologis ataupun faktor nonfarmakologis. Faktor obat-obatan misalnya penggunaan berbagai obat anestesi dengan obat adjuvant yang bersifat saling sinergis dan berinteraksi. Yang termasuk faktor nonfarmakologis adalah hipotermia, hipotensi, hipoksia dan hipercapnia. Terkait dengan faktor farmakokinetik, farmakodinamik, context sensitive half-lives, jumlah obat yang diberikan dan interaksi obat. Faktor pasien misalnya usia

Pulih Sadar Pascaanestesi yang Tertunda

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

188 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

lanjut, jenis kelamin, obesitas, faktor genetik dan penyakit penyerta (disfungsi organ jantung, ginjal dan hepar) yang dapat meningkatkan potensi obat-obat anestesi yang diberikan. Faktor penyebab yang terkait pembedahan adalah lamanya operasi dan teknik anestesi yang dilakukan. Pulih sadar yang tertunda juga bisa terjadi pascaanestesi regional.1,3,4,5

Pulih sadar setelah anestesi inhalasi berbanding lurus dengan ventilasi alveolar dan berbanding terbalik dengan kelarutan obat dalam darah. Bila lama anestesi memanjang maka pulih sadar juga menjadi tergantung dengan uptake obat-obat anestesi di jaringan, konsentrasi obat dan lama pajanan terhadap obat obat anestesi. Hipoventilasi akan memperlambat pulih sadar pascaanestesi umum.2,4

Pulih sadar dari anestesi intravena dapat dijelaskan dalam farmakokinetik. Pulih sadar dari anestesi intravena terutama tergantung dari proses

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale Nilai

Buka mata Spontan 4Menurut perintah 3Terhadap rangsang nyeri

2

Tidak ada 1Respon verbal Sadar penuh 5

Bingung(confused) 4Kata-kata kacau (inappropriate)

3

Suara tidak jelas (incomprehensible)

2

Tidak ada 1Respon motorik Terhadap perintah 6

Terhadap rangsang nyeri

5

Fleksi normal terhadap nyeri

3

Ekstensi terhadap nyeri 2Tidak ada respons 1

Nilai tertinggi 15Nilai terendah 3

redistribusi dibandingkan proses metabolisme dan eliminasi waktu paruh. Makin banyak jumlah obat yang diberikan dapat terjadi efek kumulatif obat. Pada akhirnya usia lanjut, gangguan fungsi ginjal dan hepar dapat menyebabkan pulih sadar yang tertunda pascaanestesi. Penyebab utama pulih sadar yang tertunda adalah obat-obatan anestesi dan medikasi yang diberikan sebelum operasi. Penggunaan obat-obatan anestesi dengan masa kerja pendek seperti propofol dan remifentanyl akan dapat mencegah terjadinya pulih sadar yang tertunda pascaanestesi. Dengan penggunaan monitor Bispectral Index Scale (BIS) maka kedalaman anestesi dapat terpantau sehingga obat-obat anestesi lebih mudah dititrasi jumlah pemberiannya. Dikatakan dengan penggunaan monitor BIS akan dapat mengurangi jumlah total obat yang diberikan sehingga kejadian pulih sadar yang tertunda pascaanestesi dapat dihindari.2-4 Apabila tidak ditemukan penyebab pulih sadar yang tertunda maka akan dibutuhkan pemeriksaan neuroradiologis. Kegagalan pulih sadar pascaanestesi setelah tindakan pembedahan bedah syaraf dapat disebabkan karena teknik anestesi yang diberikan, cedera otak karena pembedahan, besarnya ukuran tumor dan obat-obatan yang diberikan sebelum operasi. Pulih sadar segera pasca pembedahan bedah saraf amat penting untuk dapat mendeteksi defisit neurologis pascaoperasi. Efek dari anestesi dapat menyebabkan suatu defisit neurologis terlambat diketahui karena gejala dan manifestasi klinis menjadi tidak dikenali. Risiko dapat terjadi obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia dan aspirasi pada pasien dengan pulih sadar yang tertunda. Pada situasi tersebut sangat penting untuk menjaga jalan nafas sampai dengan pasien sadar dan mampu mempertahankan jalan nafasnya.1,6,7 Penyebab neurologis dari pulih sadar yang tertunda pascaanestesi termasuk diantaranya adalah perdarahan intrakranial dan iskemia otak. Perdarahan intrakranial membutuhkan penanganan yang segera. Perdarahan intrakranial merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas setelah pembedahan jantung dan karotis. Mortalitas dapat terjadi karena diagnosis yang terlambat, edema serebral dan hipertensi intrakranial. Oleh karena itu tatalaksana segera dari pulih sadar yang tertunda pascaanestesi amat

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

189

penting untuk mencegah terjadinya mortalitas dan morbiditas.1,8

II. Penyebab Pulih Sadar yang Tertunda Pascaanestesi

Penyebab proses pulih sadar yang tertunda bisa disebabkan oleh karena faktor pasien, faktor obat, faktor pembedahan, faktor metabolik dan kelainan neurologis. Usia lanjut, kelainan ginjal dan kelainan hepar dapat menyebabkan pulih sadar pascaanestesi yang tertunda. Apabila ditemukan pulih sadar yang tertunda pascaanestesi maka harus ditelusuri dari faktor-faktor risiko di atas untuk dapat dilakukan tatalaksana. 2,4,6

Tabel 2. Faktor Risiko Penyebab Pulih Sadar yang TertundaFaktor pasien Faktor MetabolikUsia lanjut Hiperglikemia/

hipoglikemiaKelainan genetik Hypernatremia/

hiponatremiaBentuk tubuh HipotermiaKomorbiditas HipotiroidObstructive sleep apnea Gangguan fungsi

hepar/gangguan ginjal

Disfungsi kognitif Central anticholinergic syndrome

Riwayat kejang AsidosisStroke Gangguan koagulasiFaktor operasi Faktor obatLama anestesi dan pembedahan

Dosis obat

Penggunaan pelumpuh otot Adanya hipoksia/hipotensi intraoperasi

Penggunaan sedasi pada anestesi regional

Metabolisme obat

Pembedahan intrakranial Ekskresi obatTimbulnya emboli Interaksi obat

Toksisitas anestetik lokalKelebihan cairan

Pascaanestesi dengan anestesi inhalasi, proses pulih sadar terutama ditentukan oleh ventilasi alveolar dan berbanding terbalik dengan kelarutan obat dalam darah. Semakin lama waktu anestesi maka pulih sadar juga akan makin dipengaruhi oleh uptake obat di jaringan. Pulih sadar dari anestesi intravena terutama ditentukan oleh farmakokinetik. Pulih sadar dari kebanyakan anestesi intravena terjadi terutama karena proses redistribusi obat. Pemberian obat-obat premedikasi juga dapat mempegaruhi proses pulih sadar terutama bila lama kerja obat melebihi lama prosedur pembedahan.3,4,6

Pada usia lanjut akan terjadi peningkatan sensitifitas terhadap obat-obatan anestesi, golongan opioid dan benzodiazepine karena penurunan fungsi susunan syaraf pusat. Bisa disebabkan karena dosis yang berlebihan dan metabolisme obat yang menurun pada usia lanjut. Faktor ini menimbulkan efek residu obat. Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa kebutuhan akan golongan opioid dapat berkurang sampai dengan 50% pada anestesi intravena menggunakan propofol dan remifentanil dan pulih sadar lebih ditentukan oleh faktor usia dibandingkan berat badan. Penurunan volume distribusi, tingkat clearance obat dan ikatan protein akan menyebabkan kadar konsentrasi obat yang lebih tinggi dalam plasma. Pada pasien pediatrik karena luas permukaan tubuh yang lebih luas, risiko kehilangan panas dan terjadi hipotermi akan lebih besar. Bila ini terjadi akan memperlambat metabolisme dan pulih sadar pascaanestesi yang tertunda.1,3,8 Pulih sadar yang tertunda pascaanetesi bisa disebabkan oleh pemberian obat-obatan anestesi. Faktor obat yang dapat menyebabkan pulih bangun yang tertunda adalah efek residu pemberian obat sebelumnya, potensiasi dengan obat-obat anestesi dan interaksi obat. Pemberian obat golongan sedatif, anxiolytics dan transquilizers praoperasi akan berpotensiasi dengan obat-obat anestesi yang akan digunakan. Obat-obat yang diberikan selama anestesi juga akan bersifat sinergis dengan obat-obat yang bersifat sedatif di ruangan.6,7

Pasien dengan riwayat penyakit paru dan jantung akan memerlukan penyesuaian dosis obat-obat anestesi. Gangguan fungsi paru dapat Dikutip dari: Frost EA et al, 2014 .2

Pulih Sadar Pascaanestesi yang Tertunda

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

190 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

mengurangi kemampuan paru untuk melakukan eliminasi obat-obat anestesi inhalasi. Pada kondisi gagal nafas dapat terjadi peningkatan kadar CO2 yang dapat menimbulkan efek sedasi. Faktor risikonya adalah terdapatnya gangguan paru sebelumnya, pemberian opioid dosis tinggi, timbulnya obstruksi jalan nafas dan masih terdapat efek pelumpuh otot. Pada kondisi ini SpO2 akan terbaca normal walaupun kadar CO2 telah meningkat. Apabila terdapat monitor end tidal CO2 maka akan dapat terdeteksi atau dari pemeriksaan analisis gas darah. Gangguan fungsi jantung dan penurunan curah jantung dapat menyebabkan terjadinya gangguan pulih sadar pascaanestesi.1,5

Teknik anestesi yang dilakukan dan pilihan obat anestesi akan menentukan periode pulih sadar pascaanestesi. Pemulihan pascaanestesi dapat tertunda apabila gas anestesi dengan tingkat kelarutan tinggi dalam darah yang digunakan dan obat-obat anestesi intravena dengan masa kerja panjang yang digunakan. Makin rendah kelarutan dalam darah akan makin cepat obat anestesi inhalasi dikeluarkan. Sensitifitas susunan saraf pusat terhadap CO2 menurun seiring dengan pemberian opioid sehingga dapat terjadi depresi pernafasan dan hiperkapnia. Kedua hal ini dapat mempengaruhi proses eliminasi gas anestesi inhalasi. Pemberian obat pelumpuh otot yang berlebih atau efek pelumpuh otot yang masih ada akan menyerupai gejala penurunan kesadaran karena tidak timbulnya respon terhadap rangsang nyeri. Pada kelainan ginjal metabolit aktif dari morfin dan meperidin akan memperpanjang masa kerja obat Paduan golongan benzodiazepine dan obat obat anestesi akan bersifat sinergis. Kerja golongan benzodiazepine bersifat menekan sistem saraf pusat dan menyebabkan pulih anestesi yang tertunda. Kombinasi golongan benzodiazepin dan opioid dosis tinggi dapat menyebabkan depresi nafas dan hiperkapnia.1-4,6

Pulih sadar pascaanestesi dapat terganggu karena kelainan metabolik dan endokrin. Kelainan hipotiroid dapat menyebabkan penurunan metabolisme obat yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gangguan pulih sadar pascaanestesi. Kondisi hipoglikemia dan

hiperglikemia akan dapat menyebabkan tidak pulihnya kesadaran pascaanestesi. Kondisi hipoglikemia dapat ditemukan pada bayi baru lahir dan pasien dengan diabetes mellitus yang mendapat terapi obat anti diabetik oral atau insulin. Pada pasien dengan diabetes mellitus yang belum terkendali, bisa terjadi hiperglikemi yang mengarah ke ketoasidosis diabetik dan koma hiperglikemia non ketosis. Kelainan asam-basa juga dapat menyebabkan pulih sadar pascaanestesi yang tertunda. Kelainan asam basa bisa terjadi karena akibat tindakan pembedahan. Contoh pada operasi TUR-P dapat terjadi hiponatremia akibat pemberian cairan irigasi. Pada kondisi hipotermi dapat menyebabkan potensiasi efek depresi susunan saraf pusat karena terjadinya penurunan nilai MAC obat obat anestesi inhalasi. Efek obat pelumpuh otot dapat memanjang dan juga terjadi penurunan proses metabolisme obat.3,4,6 Pulih sadar yang tertunda juga dapat merupakan suatu komplikasi neurologis. Apabila terjadi hipoksia serebral maka pulih sadar pascaanestesi dapat tertunda. Hipoksia serebral dapat terjadi karena suatu proses perdarahan, hipotensi dan emboli. Tindakan pembedahan dengan risiko tinggi terjadinya defisit neurologis pascaoperasi antara lain karotidendarterektomi , bypass jantung-paru dan tindakan bedah saraf. Pulih sadar yang terlambat pascaanestesi bisa merupakan salah satu gejala iskemia otak. Apalagi bila intraoperatif terjadi suatu periode hipoksia seperti bronkospasme berat, hipotensi dan henti jantung. Koma yang terjadi selama periode intraoperatif biasanya akan sulit terdeteksi. Secara garis besar faktor risiko terjadinya pulih sadar pascaanestesi yang tertunda dapat dilihat pada tabel 2.1,2

III. Penyebab Neurologis Pulih Sadar yang Terganggu

Berbagai patologi dapat menyebabkan gangguan autoregulasi otak hingga menyebabkan pulih sadar yang tertunda pascaanestesi. Mekanisme penyebab yang tersering adalah terjadinya iskemia otak. Apabila terjadi hipoksemia intraoperatif dapat menyebabkan perfusi otak yang terganggu karena tekanan arteri rerata yang rendah (mean arterial pressure). Autoregulasi normal terjadi pada MAP antara 50–150 mmHg. Pada kondisi

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

191

ini aliran darah otak dipertahankan konstan. Perfusi otak harus selalu dapat dipertahankan. Di luar rentang ini perfusi otak akan terganggu. Jika melebihi batas ini aliran darah otak akan mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Pada otak yang telah mengalami gangguan autoregulasi, dapat timbul cedera karena hipercapnia, hipoksemia dan hipotensi. Pada periode hipotensi MAP bisa turun dibawah 50 mmHg, aliran darah otak akan sangat berkurang sehingga terjadi iskemia serebral. Obat-obat anestesi inhalasi juga dapat mengganggu autoregulasi. Berbagai keadaan dapat merubah rentang autoregulasi. Bisa bergeser ke kanan pada pasien dengan hipertensi kronis sehingga isekemia serebral sudah dapat terjadi pada tekanan darah yang dianggap nomal pada orang sehat. Stroke juga bisa terjadi durante operasi ataupun pascaoperasi. Faktor risikonya antara lain adalah riwayat hipertensi, merokok, diabetes dan obesitas. Stroke bisa terjadi pascaoperasi karotidendarterektomi atau pada operasi jantung.10-12 Dokter anestesi memiliki tanggung jawab besar karena dalam anestesi berbagai faktor akan mempengaruhi aliran darah otak, tekanan intrakranial dan metabolisme otak berada dalam kendalinya. Dokter anestesi juga bertanggung jawab untuk mampu mendeteksi dini komplikasi ini. Semakin awal diketahui akan makin cepat di tatalaksana sehingga dapat dicegah terjadinya morbiditas dan mortalitas.2,10

Pascaoperasi kraniotomi komplikasi yang paling ditakutkan adalah terjadinya hematoma serebral dan timbulnya edema serebri. Kondisi ini dapat terjadi karena hipoperfusi otak dan cedera otak. Cedera sekunder di otak dapat timbul karena hipoksia dan hipotensi. Setelah tindakan kraniotomi proses pulih sadar dapat dipengaruhi oleh teknik anestesi yang dilakukan, area otak yang mungkin cedera selama pembedahan, ukuran dari tumor dan obat-obatan yang dikonsumsi menjelang operasi. Pascaoperasi bedah saraf dapat terjadi penurunan kesadaran dan disfungsi neurologis karena terjadinya edema otak, kejang, perdarahan dan iskemia otak. Tindakan pembedahan (retraksi jaringan otak) pada kraniotomi dapat menyebabkan cedera jaringan otak dan menyebabkan pulih sadar yang tertunda pascaanestesi.3,5,13

IV. Evaluasi dan Manajemen Pulih Sadar yang Tertunda Pascaanestesi

Terapi dan tatalaksana tergantung faktor penyebabnya. Sebelumnya dipastikan bahwa semua gas anestesi inhalasi dan obat anestesi intravena telah dihentikan pemberiannya. Telusuri ulang riwayat pasien sebelumnya, tatalaksana anestesi yang telah dilakukan, obat-obatan yang telah diberikan dan waktu pemberian obat untuk mencari penyebab pulih sadar yang terganggu pascaanestesi. Dalam rekam medik anestesi akan terdapat informasi riwayat penyakit sebelumnya dan daftar obat-obatan dan cairan yang diberikan.2,3,6

Pada kondisi pulih sadar yang tertunda pascaanestesi wajib dilakukan pemantauan intensif. Dilakukan pemantauan parameter end tidal CO2, saturasi oksigen dan CVP. Nadi, tekanan darah, EKG dan kesadaran harus dipantau. Secara umum apabila ditemukan pulih sadar yang tertunda pascaanestesi maka langkah resusitasi awal yang harus dilakukan adalah mengamankan jalan nafas dan memastikan fungsi pernafasan masih adekuat. Apabila diperlukan maka kita lakukan intubasi. Oksigen wajib diberikan pada kondisi ini mencegah terjadinya hipoksia dan ventilasi positif dapat diberikan bila diperlukan sehingga tidak terjadi hipoventilasi ataupun hiperventilasi. Bila terdapat bradypnea maka kita periksa juga ukuran pupil. Nalokson dapat diberikan sebagai antidotum. Nalokson 40 µg IV dapat diulang tiap 2 menit sampai dosis maksimal 0,2 mg. Apabila dicurigai telah terjadi kelebihan dosis golongan obat benzodiazepine, diberikan antidotumnya flumazenil bila ada. Flumazenil 0,2 mg diberikan setiap 1 menit dengan dosis maksimal 1 mg. Tidak disemua tempat ada flumazenil dan apabila ada harganya cukup mahal. Hati-hati dengan pemberian flumazenil karena dapat menyebabkan aritmia, hipertensi dan kejang. Apabila ditemukan pernafasan yang belum adekuat karena efek obat pelumpuh otot maka singkirkan kemungkinan efek pelumpuh otot dengan melakukan pemeriksaan dengan train of four (TOF). Neostigmine 2.5 mg dapat diberikan sebagai penawar pelumpuh otot bila masih ada blokade motorik.1,2,6,7

Pulih Sadar Pascaanestesi yang Tertunda si

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

192 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Selama pemantauan di ruang ICU hendaknya dicegah terjadinya hipotermia, diberikan selimut penghangat dan suhu ruangan dijaga agar tetap tetap hangat. Suhu tubuh dijaga agar tetap berada di kisaran 37 oC. Selama di ICU dilakukan pengambilan darah untuk memeriksa kadar gula darah, pemeriksaan darah tepi, analisis gas darah dan elektrolit. Apabila ditemukan kelainan maka harus segera dilakukan tatalaksana. 2,6

Apabila kemungkinan penyebab dari faktor risiko pasien, obat, pembedahan dan metabolik telah disingkirkan namun tetap tidak ditemukan penyebab pulih sadar yang tertunda pascaanestesi, kemungkinan penyebab kelainan adalah kelainan serebral. Pemeriksaan neurologis menyeluruh wajib dilakukan (pupil, saraf-saraf kranial dan respon terhadap nyeri) dan pemeriksaan neuroradiologis (CT scan dan MRI) wajib dilakukan bila diperlukan. Konsultasi ke bagian terkait apabila ditemukan kegawatan segera yang memerlukan tindakan pembedahan. Kejadian stroke perioperatif umumnya jarang kecuali pasca tindakan pembedahan bedah saraf, jantung dan pembuluh darah. 5,10,11

V. Pulih Sadar Pascaneuroanestesi

Tujuan utama pulih sadar pascaneuroanestesi adalah mempertahankan homeostasis intrakranial dan ekstrakranial. Setelah pembedahan intrakranial pasien harus dalam kondisi kardiovaskular yang stabil dan membutuhkan pemantauan ketat fungsi pernafasan. Dalam tabel 3 akan disebutkan prakondisi yang harus dicapai dalam proses pulih sadar pascaneuroanestesi. Harus dicegah terjadinya batuk, hipertensi, nyeri dan obstruksi jalan nafas. Pasien dengan kesadaran yang baik dan kondisi hemodinamik yang stabil bila pembedahan intrakranial berlangsung aman dan lancar tanpa komplikasi dapat segera dibagungkan kembali pascaoperasi. Sebelum dilakukan ekstubasi pastikan pasien dalam kondisi normothermia dan sudah tidak ada lagi efek pelumpuh otot yang tersisa. Refleks perlindungan jalan nafas dapat terganggu apabila terjadi penurunan kesadaran dan nervus kranial terkena. Gejala yang pada umumnya ditemukan pascapembedahan intrakranial adalah penurunan tingkat kesadaran dari kondisi sebelumnya dan

Pulih sadar pascaneuroanestesi harus dapat dipertahankanKardiovaskular yang stabil, tidak ada gangguan aliran darah otak dan kenaikan tekanan intrakranialOksigenasi baik dan CO2 terkendaliKondisi cerebral metabolic rate of oxygen yang stabilNormothermiaHarus dihindari terjadinyaBatukMengedanKenaikan tekanan jalan nafas pada saat ekstubasiKetidaksesuaian pemberian ventilasi mekanik

Tabel 3. Pulih Sadar Pascaneuroanestesi14

Dikutip dari: Cottrell dan Patel’s.14

timbulnya defisit neurologis. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah timbulnya perdarahan. Umumnya dapat timbul sampai dengan enam jam pascaoperasi.14,15

Hipertensi yang tidak dapat dikendalikan saat pulih sadar dan pemulihan dianggap merupakan salah satu penyebab terjadinya perdarahan pascaoperasi bedah otak. Apabila tidak ada riwayat hipertensi sebelumnya, harus segera dilakukan upaya terapi hipertensi segera karena hipertensi dapat mencetuskan terjadinya perdarahan atau dapat memperburuk edema serebral yang sebelumnya sudah terjadi. Pada kondisi ini dapat diberikan obat golongan β blocker. Pasien dengan kelainan serebrovaskular dan kardiovaskular juga rentan terhadap ketidakstabilan hemodinamik, baik hipertensi ataupun hipotensi. Kedua hal ini dapat menyebabkan terjadinya iskemia jantung dan infark serebral.15

Dengan kemajuan neuroanestesi saat ini pulih sadar pascaanestesi setelah pembedahan intrakranial dapat segera dilakukan. Alasan utama dilakukannya adalah agar dapat segera dilakukan pemeriksaan neurologis pascaoperasi. Setelah pembedahan intrakranial harus dapat disingkirkan timbulnya komplikasi neurologis berupa timbulnya hematoma, herniasi dan iskemia otak. Hipoksia otak intraoperasi, perdarahan, emboli dan thrombosis dapat

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

193

menyebabkan pulih sadar yang tertunda yang pascaanestesi. Pada kondisi ini pulih sadar yang tertunda pascaanestesi akan menyebabkan defisit neuroligis menjadi lambat dikenali. Pasien dengan penurunan kesadaran pascapembedahan berisiko mengalami obstruksi jalan nafas, hipoksia, hipercapnia dan aspirasi. Pada kondisi ini dapat terjadi cedera otak sekunder yang membutuhkan penanganan intensif segera.8-10

Langkah selanjutnya bila terjadi komplikasi intrakranial tergantung dari jenis kelainan yang terjadi. Komplikasi neurologis pascapembedahan intrakranial dapat berupa delirium, pulih sadar yang tertunda dan tidak bangun pascaanestesi. Pasien pascapembedahan intrakranial yang tidak dapat segera pulih sadar kembali harus dipersiapkan kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan neuroradiologis segera.9,1

Savitz dan rekan melaporkan angka kejadian 4% terjadinya hematoma intrakranial dan perdarahan intrakranial setelah dilakukannya tindakan pembedahan pemasangan ventriculo-peritoneal shunt (VPS) Kemungkinan mekanisme penyebab perdarahan setelah tindakan pembedahan pemasangan ventriculo-peritoneal shunt adalah adanya gangguan perdarahan, dalam terapi antikoagulan, timbulnya disseminated intravascular coagulation intraoperasi dan timbul trauma pada saat kateter VPS dimasukan. Komplikasi perdarahan dapat segera diketahui apabila segera dilakukan CT-scan atau angiografi otak. Apabila pasien tidak dapat dibangunkan pascapembedahan pemasangan VPS wajib dilakukan pemeriksaan CT-scan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan intrakranial.9

Perdarahan intrakranial perioperatif dapat terjadi pascapembedahan jantung, otak dan arteri karotis. Apabila terjadi umumnya prognosisnya buruk. Faktor risikonya adalah adanya gangguan koagulasi praoperasi, operasi emergensi dan hipertensi pascaoperasi. Dalam suatu studi dilaporkan kejadian perdarahan intrakranial pascapembedahan vertebra servikal dan lumbal. Komplikasi perdarahan umumnya terjadi dalam 6 jam pertama. Hal ini menekankan pentingnya pengendalian hemodinamik pada fase awal

pascaanestesi. Hipertensi dapat terjadi sekunder karena timbulnya hipertensi intrakranial. Pada kondisi ini terapi agresif hipertensi akan menyebabkan penurunan tekanan arteri rerata (MAP) tiba-tiba yang akan menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak yang berujung pada iskemia otak. Bila ditemukan penurunan GCS pascaoperasi dari nilai sebelumnya harus dipikirkan kemungkinan timbulnya perdarahan otak. Lakukan pemeriksaan neuraradiologis segera. 10

Pascapembedahan spinal dapat terjadi perdarahan karena kebocoran cerebral fluid pressure karena kebocoran cairan serebrospinal. Penegakan diagnosis perdarahan intrakranial amat sulit ditegakkan apabila pasien masih dalam proses pembiusan. Tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial seperti sakit kepala hebat, mual dan muntah akan tidak tampak. Ukuran pupil dapat membesar atau mengecil secara abnormal. Namun perubahan ukuran pupil tidak dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kelainan intrakranial bila sebelumnya telah diberikan obat-obatan golongan antikolinergik. Kelainan neurologis pascapembedahan intrakranial dapat menjadi sulit dikenali. Bisa jadi salah satu manifestasi klinis yang muncul hanya pulih sadar yang tertunda pascaanestesi. Luaran setelah perdarahan intrakranial bisa buruk apabila kelainan ini terlambat untuk dideteksi.

Tingkat mortalitas pedarahan subdural akut (acute subdural hematoma) umumnya rendah bila dapat segera dilakukan evakuasi perdarahan dalam waktu 2 sampai 4 jam.10,16

Dengan adanya obat-obat anestesi kerja cepat pulih sadar dini pascaneuroanestesi sebenarnya bisa dilakukan. Wajib dilakukan pemantauan yang ketat pascaneuroanestesi. Perlu pertimbangan yang tepat pada kasus mana yang bisa segera dilakukan ekstubasi dan pulih sadar segera dan pada situasi sebaliknya. Kesalahan tatalaksana awal pada periode dini pascaoperasi akan dapat menyebabkan perburukan kondisi pascaoperasi dan peningkatan morbiditas-mortalitas. Pentingnya deteksi dini perdarahan pascaoperasi dan cegah tejadinya keterlambatan tatalaksana.10,13

Pulih Sadar Pascaanestesi yang Tertunda

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

194 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

VI. Simpulan

Pulih sadar yang terganggu pascaanestesi umumnya multi faktor penyebabnya dan belum tentu disebabkan hanya karena oleh obat-obatan anestesi. Apabila faktor risiko pasien, obat, pembedahan dan metabolik telah dapat disingkirkan, pikirkan kemungkinan penyebab kelainan adalah komplikasi neurologis. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter anestesi tidak hanya menidurkan namun juga harus mampu membangunkan kembali pasien pascaoperasi.

Daftar Pustaka

1. Singhal V, Prabhakar H. Delayed emergence. Dalam: Prabhakar H. ed. Complications in Neuroanestesi. London : Elsevier; 2016, 15–19.

2. Frost EA. Differential diagnosis of delayed awakening from general anestesi. A review. Middle East J Anaesthesiology. 2014;22:537–48.

3. Sinclair RCF, Faleiro RJ. Delayed recovery of

consciousness after anaesthesia. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.2006;6(3):1114–18.

4. Missal US, Joshi SA, Shaikh MM. Delayed recovery from anesthesia: A postgraduate educational review. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4864880.

5. Shaikh SI, Lakshmi RR. Delayed awakening after anaesthesia-A challenge for an anaesthesiologist. International Journal of Biomedical and Advance Research. 2014;05:352–54.

6. Sarangi S. Delayed awakening from anaesthesia. The Internet Journal of Anaesthesiology.2009;19(1):1–4.

7. Radhakrishnan J. Jesudasan S, Jacob R. Delayed awakening or emergence from anaesthesia. Update Anaesthesia. 2001;13:4–6.

8. Rao SM. Prolong coma. Journal of

Anaesthesiology Clinical Pharmacology. 2016;32(4): 523–24.

9. Deuri A, Goswarni D, Das J. Nonawakening general anaesthesia after ventriculo-peritoneal shunt surgery: An acute presentation of intracerebral haemorrhage. Indian J Anaesth. 2010; 54(6): 569–71.

10. Bruder N, Ravussin P. Recovery from anesthesia and postoperative extubation of neurosurgical patients: a review. Journal of Neurosurgical Anesthesiology. 1999;11(4): 282–93.

11. Schubert A, Mascha E, Bloomfied EL, Gupta MK. Effect of cranial surgery and brain tumor size on emergence from anesthesia. Anesthesiology. 1996;85(3): 513–21.

12. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi.Edisi ke-2, Bandung: Saga Olahcitra 2011; 6–14.

13. Jellish SW. Arousal from anesthesia after neurosurgical operations. Dalam: Bambrink AM, Kirch JR, eds. Essentials of Neurosurgical Anesthesia and Critical Care. Edisi 1. USA: Springer; 2012,409–17.

14. Bruder NJ, Ravussin P, Schoettker P. Supratentorial masses: anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE, Patel P, eds. Neuroanesthesia. Edisi 6.USA: Elsevier; 2017,190–204.

15. Gupta S. Recovery: General considerations. Dalam: Gupta Arun K, Summors AC,eds. Notes in neuroanesthesia and critical care. Edisi 1. London: Greenwich Medical Media LTD ;2001, 140–43.

16. Liao MF, Zhao YL, Wang XR, Luo AL, Chi XH. Delayed emergence due to intracranial hemorrhage after middle ear surgery: A case report. J Perioperative Science 2015; 2–4.

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

195

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care

Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan*), Siti Chasnak Saleh**), Tatang Bisri***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah, **)

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Airlangga RSUP Dr. Soetomo Surabaya ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Padjadjaran RSUP Dr.

Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Transcranial Doppler merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan ultrasonografi (USG) sehingga bersifat noninvasif dan mobile. Untuk dapat menggunakan TCD dengan baik maka diperlukan pemahaman mengenai doppler effect yang merupakan dasar perhitungan dari parameter TCD, acoustic window yang mana merupakan tempat dimana dilakukan isonasi sehingga menemukan arteri yang benar, anatomi dari arteri yang akan diisonasi dan tipe alat TCD yang digunakan untuk mengisonasi. Informasi mengenai keadaan sirkulasi darah otak menggunakan TCD didapatkan melalui parameter-parameter yang langsung dihitung oleh alat TCD diantaranya peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index dan resistence index. Selanjutnya ada juga informasi-informasi lainnya yang didapatkan dengan memasukkan parameter-parameter tersebut ke sebuah rumus, seperti misalnya mean flow velocity, tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak. Selain itu TCD juga dapat digunakan untuk menilai keutuhan autoregulasi, vasospasme, hiperemia, dan mati batang otak.

Kata kunci: Transcranial Doppler, acoustic window, mean flow velocity

JNI 2017;6 (3): 195–204

Basic Concept of Transcranial Doppler (TCD) for Neuroanesthesia and Critical Care

Abstract

Transcranial Doppler (TCD) is one of the applicable use of ultrasonograhy (USG), so it is noninvasif and mobile. To use TCD properly, the understanding of Doppler effect as the basic to calculate the parameters of TCD, acoustic window which are the place where to isonate to find the correct arterie, the anatomy of arteries that will be isonated and type of TCD device that will be used to isonated are needed. Information about cerebral circulation using TCD can be achieved from parameters that are directly calculated by the TCD device such as peak systolic velocity, end diastolic velocity, mean flow velocity, pulsatility index and resistence index. Furthermore, there are also informations that can be archived by putting up those parameters to a formula such as mean flow velocity, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. Beside that TCD also can be used to evaluate autoregulation, vasospasme, hypermia, and brain death. Key words: Transcranial Doppler (TCD), acoustic window, mean flow velocity

JNI 2017;6 (3): 195–204

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

196 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Sejalan dengan berkembangnya minat pada ahli anestesiologi terhadap penggunaan ultrasonografi (USG) dalam praktek sehari-hari, maka salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan secara praktis sehari -hari, terutama untuk seorang neuroanestesiologi adalah pemeriksaan transcranial doppler (TCD). TCD pertama kali diperkenalkan oleh Aaslid dkk pada tahun 1982.1,2

Sejak saat itu TCD semakin berkembang menjadi salah satu alat favorit untuk menilai sirkulasi serebral secara noninvasif. Walaupun memiliki keterbatasan, namun TCD cukup bermafaat dalam menginformasikan keadaan sirkulasi serebral pada pasien-pasien yang mengalami neuroinjuri dan mencegah trauma neurologis pada pasien-pasien yang beresiko mengalami iskemia serebri.

II. Prinsip Dasar TCD Ultrasonografi

Transcaranial doppler mengikuti prinsip dari doppler effect, yang menyatakan bahwa ketika gelombang suara (ditransmisikan oleh ultrasound) menyentuh objek yang bergerak (contohnya eritrosit) maka gelombang yang dipantulkan (gelombang yang diterima kembali oleh ultrasound) akan mengalami perubahan frekuensi.3 Perubahan frekuensi inilah yang disebut dengan doppler shift (ƒd) yang mana dapat dirumuskan sebagai berikut:3-5

ƒd = 2 x V x ƒ0 x cosθ/C

Pada rumus diatas, ƒ0 adalah frekuensi transmisi dari ultrasonografi, C adalah kecepatan suara pada jaringan lunak. Pada TCD kedua-duanya sifatnya konstant, dimana ƒ0 nilainya 2 MHz dan C nilainya 1540 ms-1.4 Oleh karena itu, menurut rumus diatas maka doppler shift tergantung dari kecepatan aliran darah (yang dipakai adalah kecepatan eritrosit) dan sudut dari insonasi probe TCD. Sehingga, jika sudut dari insonasi (cosθ) dapat dipertahankan konstant dangan mempertahankan probe pada posisinya maka kecepatan aliran eritrosit didalam darah akan berbanding lurus dengan doppler shift.1 Berdasarkan kalkulasi doppler shift inilah selanjutnya akan dibuat bentukan gelombang

Gambar 1. Perbedaan TCD dan TCCD, dan tempat melakukan insonasi.

dari kecepatan eritrosit sehingga didapatkan nilai peak systolic velocity (PSV), end diastolic velocity (EDV) dan yang terpenting adalah nilai mean flow velocity (MFV) karena secara fisiologi paling berkorelasi dengan aliran darah otak.1

Saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982, alat TCD ultrasound berupa single gate spectral TCD system. Selanjutnya pada tahun 2002, Mark Moehring memperkenalkan TCD power-motion mode (PMD), keuntungan dari model ini adalah kemampuannya untuk menampilkan intensitas dan arah dari aliran darah secara bersamaan, model inilah yang tetap dipakai sampai sekarang. Namun demikian PMD ini tidak dapat menampilkan gambar dari pembuluh darah. Jika ingin melihat gambaran pembuluh darah dan profil aliran darah secara bersamaan maka dapat digunakan sonography duplex yang sering disebut dengan TCCD (transcranial color-coded duplex). Pada TCCD jika warna pada USG adalah merah maka itu artinya aliran darahnya mengarah atau mendekati probe USG, jika warna pembuluh darahnya biru, itu artinya alirannya menjauh dari probe USG.6

Pada pemeriksaan TCD, penilaian aliran darah ke otak dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan membandingkannya terhadap kecepatan eritrosit didalam pembuluh darah arteri serebral basal di sirkulus willisi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan perbandingan yang relevan antara aliran darah otak dan kecepatan eritrosit tersebut,

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

197

maka ada dua hal yang harus tetap dijaga konstant yaitu sudut insonasinya dan diameter pembuluh darah dimana dilakukan pemeriksaan TCD. Sesuai dengan rumus diatas maka pada sudut 00, kecepatan yang diterima oleh probe USG akan sama persis dengan kecepatan sebenarnya karena nilai consine dari 0 adalah 1, sedangkan jika sudutnya 90o maka kecepatan dari eritrosit tidak dapat diukur karena nilai consine dari 90 adalah 0. Faktor keterbatasan anatomi dari kepala, pemeriksaan TCD pada middle cerebral arteri (MCA) hanya dapat dilakukan dengan sudut kurang dari 30o sehingga sehingga kecepatan eritrosit yang diterima oleh probe TCD kira-kira 87–100% dari kecepatan eritrosit yang sebenarnya.1 Selanjutnya jika posisi probe dapat dipertahankan sudutnya terhadap pembuluh darah maka perubahan pada kecepatan yang diterima oleh probe akan sama dengan perubahan kecepatan eritrosit yang sebenarnya.

Selain sudut dari insonasi, diameter dari pembuluh darah yang diperiksa juga sangat menentukan, karena kecepatan eritrosit akan mencerminkan aliran darah di pembuluh darah tertentu hanya jika diameter dari pembuluh darah tersebut tidak berubah secara significant selama pemeriksaan.1 Hal-hal yang selama ini dipercaya dapat mempengaruhi diameter pembuluh darah otak diantaranya adalah PaCO2, tekanan darah, obat-obat anestesi, dan obat-obat vasoaktif.

Namun demikian, ternyata basal cerebral artery sebagai pembuluh darah penghubung, secara angiografi dan melalui pengamatan langsung pada saat operasi tidak mengalami vasokontriksi maupun vasodilatasi pada saat terjadi perubahan resistensi pembuluh darah akibat perubahan PaCO2 dan perubahan tekanan darah.1 Obat-obat vasoaktif memiliki efek yang berbeda terhadap basal cerebral artery, dimana nitroprusid dan phenylephrin tidak memberikan perubahan diameter yang signifikan sedangkan nitrogliserin menyebabkan vasodilatasi yang signifikan jika diberikan pada volunter yang sehat. Mengenai pengaruh obat-obat anestesi, masih menjadi kontroversi, untuk obat-obatan intravena semuanya dianggap tidak mempengaruhi diameter basal cerebral artery. Namun untuk obat-obat anestesi inhalasi, sebagain besar jurnal namun tidak semuanya menganggap bahwa obat anestesi inhalasi tidak mempengaruhi diameter basal cerebral artery. Sampai saat ini yang dipercaya dapat mempengaruhi realibitas dari pemeriksaan TCD sebagai representasi dari aliran darah otak adalah adanya intrakranial patologi. Lesi intrakranial, peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan vasospasme serebral di identifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi akuransi dari pemeriksaan kecepatan aliran darah ke otak.1

Seperti yang disebutkan diatas, pemeriksaan TCD dilakukan pada basal cerebral artery pada

Arteri Acoustic Window Arah Aliran Darah MFVEICA Retromandibular Menjauhi probe 30 ± 9MCA Middle transtemporal (TT) Mendekati probe 55 ± 12ACA Middle transtemporal Menjauhi probe 50 ± 11PCA seg 1 Posterior transtemporal Mendekati probe 39 ± 10PCA seg 2 Posterior transtemporal Menjauhi probe 40 ± 10BA Suboccipital/transforaminal (TF) Menjauhi probe 41 ± 10VA Suboccipital Menjauhi probe 38 ± 10OA Transorbital (TO) Mendekati probe 21 ± 5Supraclinoid ICA Transorbital Menjauhi probe 41 ± 11Parasellar ICA Transorbital Mendekati probe 47 ± 14Extracranial Internal Carotid Arteri (ICA), Middle Cerebral Artery (MCA), Anterior Cerebral Artery (ACA), Posterior Cerebral Arteri (PCA), Basilar artery (BA), Vertebral artery (VA), Ophthalmic artery (OA), Supraclinoid ICA, Parasellar ICA

Tabel 1. Arteri, Acoustic Windows dan Nilai Normal MFV

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

198 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

sirkulus willisi, untuk itu maka probe harus diletakakan di daerah-daerah khusus di tulang kepala (bisa di daerah foramina atau tulang yang tipis) yang disebut dengan acoustic window. Ada empat acoustic windows yang dikenal dan masing-masing digunakan untuk mencari pembuluh darah yang berbeda dengan nilai normal yang berbeda, dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 1.2, 3, 6, 7

III. Parameter-Parameter pada Transcranial Doppler Ultrasonografi

Transcranial Doppler (TCD) menggunakan spectral analysis dan mempresentasikan tiga dimensi data doppler dalam format 2 dimensi.4 Waktu digambarkan pada garis horisontal, frequency shift (velocity) digambarkan pada garis vertical dan intensitas signal digambarkan sebagai perbedaan kecerahan atau perbedaan warna. Selanjutnya untuk menghitung flow velocity (FV) maka digunakan spectral envelope yang cocok dengan maksimum FV. Pada gambar 2 dapat dilihat spectral envelope yang digambarkan sebagai garis hitam, untuk MFV dan FV maksimal pada setiap siklus jantungnya.4 Namun demikian karena ratio dari noise dan signal yang rendah maka terkadang MFV sulit untuk dinilai. Oleh karena aliran darah di basal cerebral artery biasanya bersifat laminar, maka pada praktisnya, MFV sering digantikan dengan Vmax yang merupakan mean velocity dari FV maksimal. Selain itu nilai MFV juga dapat dihitung dengan rumus menggunakan nilai PSV (kotak warna biru) dan EDV (kotak warna kuning) yang didapatkan dari spectral envelope FV maksimal.3

MFV (FVmean) = (PSV + (EDV X 2)) / 3

Walaupun aliran darah ke otak relatif konstan, nilai normal dari MFV pada MCA mempunyai rentang yang cukup lebar, hal ini merefleksikan variabilitas dari diameter MCA pada setiap orang dan sudut insonasinya. Pada kondisi metabolisme otak, kadar CO2 dan O2 yang konstant, maka nilai normal dari MFV bervariasi dari 35–90 cm/dtk1, 4 atau 55 ± 12 cm/dtk.3 Nilai > 120 cm/menit adalah

Gambar 2. Gambaran spectral FV MCA pada TCD

cut off point untuk high flow velocity 1, 3, 4 dan < 35 cm/dtk adalah cut off point untuk low flow velocity.3 Nilai MFV yang tinggi kemungkinan menunjukan adanya stenosis, vasospasme atau aliran hiperdinamik sedangkan MFV rendah mungkin menunjukan hipotensi, penurunan aliran darah ke otak, peningkatan TIK atau adanya mati batang otak.3

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai MFV pada orang normal diantaranya adalah umur, jenis kelamin, kehamilan, PCO2, tekanan darah rata-rata (MAP) dan hematokrit. Pada saat lahir MFV adalah 24 cm/dtk, meningkat sampai 100 cm/dtk pada umur 4-6 tahun, selanjutnya menurun sampai 40 cm/menit pada dekade ke tujuh. Wanita memiliki nilai MFV lebih tinggi daripada pria. Kehamilan menyebabkan penurunan MFV pada trimester ke tiga. MFV meningkat pada saat PCO2 meningkat sedangkan MFV menurun pada saat hematokrit meningkat. MAP diluar autoregulasi juga akan mempengaruhi nilai MFV, dimana peningkatan MAP akan meningkatkan MFV.1, 3, 4

Nilai Flow velocity eritrosit pada pembuluh darah yang diinsonasi dipengaruhi oleh keadaan pembuluh darah ditempat dilakukan insonasi dan keadaan pembuluh darah sebelum dan sesudah tempat dilakukan insonasi. Jika pada pembuluh darah tempat dimana dilakukan insonasi mengalami pengecilan diameter maka MFV akan meningkat seperti pada saat terjadi stenosis ataupun vasospame pada pembuh darah tempat dimana dilakukan insonasi. Sedangkan jika pembuluh darah setelah tempat dimana dilakukan

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

199

insonasi mengalami penurunan diameter maka MFV ditempat dilakukan insonasi akan menurun. Seperti yang terlihat pada MFV MCA saat adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada saat terjadi peningkatan TIK maka pembuluh darah-pembuluh darah arteriol setelah basal cerebral artery akan mengalami penyempitan karena ditekan oleh jaringan otak, sehingga aliran darah ke otak akan turun, sehingga jika dilakukan insonasi pada MCA maka nilai MFV pada MCA akan menurun. Selain nilai flow velocity, parameter lain yang juga sering dicari pada pemeriksaan TCD adalah nilai pulsatility index (PI) dan resistance index (RI). Kedua parameter tersebut didapatkan dengan jalan menganalis waveform dari gambaran TCD dan sering digunakan untuk menilai resistensi cerebrovascular. PI pertama kali diungkapkan oleh Gosling dan King, menggambarkan bentuk maximal shift dari spectrum doppler dari PSV ke EDV pada setiap siklus jantung.1 PI tidak tergantung dengan sudut insonasi dan didapatkan dengan rumus:

PI = (PSV – EDV) / MFV

Sedangkan RI atau Pourcelot index didapatkan dari rumus:

RI = (PSV – EDV) / PSV

Nilai normal dari PI adalah 0,5 sampai 1 sedangkan nilai normal dari RI adalah <0,8.

IV. Evaluasi CO2 Cerebrovascular Reativity dan Autoregulasi Cerebral

Aliran darah ke otak pada keadaan normal dipengaruhi oleh PaCO2, yang sering disebut dengan cerebrovascular reaktivitas terhadap CO2. Dimana peningkatan atau penurunan 1 mmHg dari PaCO2 akan menyebabkan perubahan 2,5-3% dari aliran darah otak yang juga berbanding lurus dengan perubahan MFV.1 Seperti yang sudah disebutkan diatas, arteri basal cerebral tidak dipengaruhi atau dipengaruhi secara tidak bermakna oleh perubahan perubahan kadar PaCO2 didalam darah. Oleh karena itu pada saat dilakukan hiperventilasi yang diikuti oleh

Gambar 3. Autoregulasi test dengan TCD

Gambar 4. Pemeriksaan Autoregulasi Serebral dengan Transient Hyperemic Response Test

vasokontriksi dari cerebro vascular bed (akibat hipokarbia) maka jika dilakukan insonasi pada arteri basal cerebri akan ditemukan penurunan dari MFV yang berbanding lurus dengan perubahan tekanan PaCO2. Secara klinis pemeriksaan TCD dengan tujuan ini bermafaat untuk menilai cadangan cerebrovascular, seperti pada pasien dengan stenosis carotis ataupun cedera kepala yang dilakukan hiperventilasi. Selain itu, teknik ini juga bermafaat untuk menilai keutuhan cerebral vasoreactivity terhadap CO2 karena pengaruh anestesi dan obat vasoaktif.1

Selain dengan melakukan manual hiperventilasi atau hipoventilasi, metode lain yang juga dapat digunakan untuk menilai vasoreactivitas terhadap

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

200 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

CO2 adalah pemberian obat carbonic anhydrase inhibitor. Pemberian acetozolamide IV sebanyak 1 gram akan menyebabkan vasodilatasi yang diikuti oleh peningkatan MFV, metode ini biasanya dilakukan pada pasien-pasien dengan cadangan paru atau jantung yang menurun.1

Autoregulasi serebral secara noninvasif dapat di evaluasi dengan TCD. Hal ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu static autoregulasi dan dinamik autoregulasi. Pada dasarnya kedua methode memanipulasi tekanan darah sedemikan hingga efeknya dapat terlihat pada flow velocity yang mencerminkan aliran darah ke otak. Penilaian sebaiknya dilakukan secepat mungkin setelah tekanan darah dimanipulasi, hal ini untuk menghindari hal-hal lain yang juga mempengaruhi resistensi dari cerebrovascular bed, seperti kadar CO2 dalam darah, pengaruh susunan saraf otonom dan yang lainnya. Reaksi aliran darah otak terhadap perubahan tekanan perfusi otak, diawali dengan respon cepat yang sensitif terhadap goncangan perfusi otak (20 detik – 3 menit) dan selanjutnya diikuti oleh respon lambat terhadap perubahan rata-rata tekanan arteri.1

Penilaian static autoregulasi dilakukan dengan jalan memberikan phenylephine 0,01% intravena secara infus sampai terjadi kenaikan tekanan darah (MAP) 20 persen dari base line, sambil secara stimultan memantau flow velocity (FV). Selanjutnya data pemantauan MAP dan FV diolah untuk mendapatkan static rate of autoregulation (SRoR). Nilai SROR didapatkan dari persentase perubahan cerebro vascular resisten (CVR) dibagi dengan persentase perubahan MAP jika tidak ada peningkatan tekanan intrakranial (TIK), atau tekanan perfusi otak jika ada peningkatan TIK dan TIK dimonitoring. Nilai CVRe (CVR perkiraan) didapatkan dari rumus MBP(CPP)/FV. Jika didapatkan nilai SRoR 1 maka dianggap autoregulasi masih utuh dan dianggap mulai ada gangguan autoregulasi jika nilainya kurang dari 0,4.1, 4

Evaluasi dinamik autoregulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah penekanan arteri karotis (transient hyperemic response test), valsalva manoeuver, head up-

tilt, dan test leg-cuff.3 Pada prinsipnya semua test diatas dilakukan untuk memanipulasi tekanan darah secara mekanik (tanpa obat-obatan), dengan secara stimultan melihat efeknya pada FV. Dari semua teknik diatas yang paling tua adalah test leg-cuff, test ini pertama kali dilakukan oleh Aaslid pada tahun 1989. Pada test ini, tekanan darah berusaha diturunkan dengan jalan memasang cuff pada kedua atau satu tungkai, dan di inflasi 50 mmHg diatas tekanan sistolik selama 3 menit, kemudian di lepaskan untuk mencapai penurunan MAP kurang lebih 20 persen. Selanjutnya untuk mengetahui terjadi gangguan autoregulasi atau tidak maka yang dilihat adalah reaksi dari peningkatan FV, setelah sama-sama turun akibat penurunan mendadak dari tekanan darah. Jika pemulihan dari FV lebih cepat maka dikatakan autoregulasinya utuh, jika kembalinya berbarengan dengan kembalinya tekanan darah maka autoregulasi dikatakan rusak. Seperti gambar dibawah ini1, 4 garis putus-putus memperlihatkan autoregulasi yang masih utuh.

Selain test Leg-cuff, salah satu test yang paling sering digunakan untuk menilai autoregulasi serebral dengan TCD adalah transient hyperemic response test (THRT). Test ini dilakukan dengan jalan melakukan penekanan pada common arteri karotis ipsilateral selama 3–10 detik, pada saat dilakukan insonasi pada arteri MCA. Pada saat dilakukan penekanan maka FV di MCA ipsilateral terhadap arteri carotis yang ditekan akan mengalami penurunan, dan ketika tekanannya dilepas maka untuk sementara FV akan lebih tinggi dari pada baseline. Hal ini lah yang menandakan autoregulasi serebralnya masih normal, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini. Pada gambar diatas, F1 menunjukan FV dasar atau sebelum dilakukan penekanan pada common arteri carotis ipsilateral, F2 adalah pada saat dilakukan penekanan, dan F3 menunjukan adanya respon hiperemik transien. Bagaimana terjadinya transient hiperemik ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pada saat dilakukan penekanan pada arteri common karotis maka perfusi melalui arteri tersebut menurun yang menyebabkan penurunan FV pada MCA. Jika autoregulasi

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

201

serebralnya berfungsi dengan baik maka akan terjadi respon vasodilatasi pada cerebrovascular bed yang bertujuan untuk menjaga aliran darah ke otak tetap stabil. Pada saat tekanaan pada arterinya dilepas maka tiba-tiba perfusi yang awalnya turun mendadak kembali seperti baseline dan cerebrovascular bed nya belum sempat untuk vasokontriksi kembali ke ukuran semula, sehingga pada pemeriksaan TCD akan didapatkan peningkatan sementara dari FV pada MCA ipsilateral sampai nantinya cerebrovascular bed kembali ke diameter semula. THRT untuk menilai autoregulasi sering digunakan karena kemudahannya dan tidak memerlukan manipulasi dengan obat-obatan. Namun demikian THRT ini tidak disarankan untuk dilaksanakan pada pasien dengan kelainan di arteri karotis terutama stenosis karotis karena adanya resiko terjadinya embolisasi dari atheroma arteri karotis.1, 4

Walaupun evaluasi autoregulasi secara dinamik tidak menggunakan obat-obatan, namun tetap mempengaruhi tekanan perfusi ke otak, sehingga dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut jika diaplikasikan pada pasien-pasien yang sudah mengalami penurunan komplian otak. Oleh karena itu sekarang ini mulai dikembangkan evaluasi autoregulasi menggunakan fluktuasi spontan dari tekanan perfusi otak (TPO) yang disebabkan variasi gelombang pernafasan dan gelombang tekanan darah akibat nafas yang lambat dan dalam. Namun demikian untuk melaksanakan evaluasi ini diperlukan monitoring secara kontinyue dari TIK dan MAP untuk mendapatkan nilai TPO secara kontinyu dan juga pemeriksaan TCD yang kontinyu sehingga bisa mendapatkan nilai FV secara kontinyu. V. Penilaian Tekanan Intrakranial, Spasme dan Mati Batang Otak

Penilaian terhadap tekanan intrakranial tentunya paling baik, menggunakan alat monitoring yang dipasang langsung di intrakranial, namun demikian pemasangan alat pengukur tekanan intrakranial ini bersifat invasif dan juga tidak murah. Untuk kasus-kasus, dimana pemasangan monitoring invasif intrakranial dianggap berlebihan, namun pada pasien tersebut sudah

mulai ada gangguan komplian dari otak, seperti misalnya pada kasus cedera kepala ringan ataupun di rumah sakit-rumah sakit yang tidak tersedia alat monitoring intrakranial invasif, maka untuk dapat memperkirakan tekanan intrakranial pasien dapat digunakan TCD. TCD sebagai alat noninvasif untuk memperkirakan tekanaan intrakranial menggunakan parameter dari pulsating index (PI). Pada saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka MFV dan EDV akan menurun, yang menyebabkan nilai PI akan meningkat. Pada penelitian yang dilakukan pada 81 orang yang dimonitoring dengan pengukuran tekanan intrakranial invasif dan dilakukan pemeriksaan PI dengan TCD pada MCAnya, diturunkan rumus untuk memperkirakan tekanan intrakranial dalam satuan mmHg, menggunakan parameter PI adalah:3,8

TIK = (11,1 X PI) – 1,43

Nilai yang didapatkan dari rumus diatas, ± 4,2 mmHg (confiden interval 95%) 8 dari nilai aktual TIK yang diukur dengan pengukuran invasif. Untuk menentukan pasien dengan tekanan intrakranial > 20 mmHg, rumus diatas dapat digunakan dengan sensitivitas 89% dan specifisitas 92%.3 Artinya jika ada pasien dengan perhitungan rumus diatas, TIKnya > 20 mmHg, maka 92 % kemungkinanya pasien tersebut benar-benar memiliki TIK > 20 mmHg, sedangkan kalau semisalnya didapatkan bahwa nilai TIK

Gambar 5. Perbandingan nCPP dan Real Time CPP

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

202 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dengan rumus diatas < 20 mmHg maka 89% kemungkinannya bahwa pasien tersebut tidak memiliki TIK > 20 mmHg. Beberapa literature juga menyebutkan bahwa jika nilai PI > 1,5 menunjukan kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

Selain tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak yang sering disebut dengan cerebral perfusion pressure (CPP) juga dapat diperkirakan menggunakan parameter-parameter yang didapatkan dari pemeriksaan TCD. Memperkirakan tekanan perfusi serebral secara noninvasif ini pertama kali dilakukan oleh Aaslid, namun hasil yang didapatkan dari rumus yang dibuat oleh Aaslid memiliki perbedaan kurang lebih 25 mmHg dari rumus gold standard pemeriksaan CPP yaitu mean arterial pressure dikurangi TIK. Selanjutnya pada tahun 2000 dilakukan penelitian pada 25 orang pasien cedera kepala yang dimonitor dengan intraparenchym TIK monitoring dan arteri line untuk mengukur arterial blood pressure (ABP). Pada pasien-pasien tersebut dilakukan pemeriksaan TCD setiap harinya pada pembuluh darah MCA. Selanjutnya parameter-parameter yang didapatkan dari pemeriksaan TCD tersebut dimasukan kedalam rumus:9

nCPP (noninvasif CPP) = (ABP X (FVd/FVm))/14

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus diatas didapatkan nilai CPPe yang jika dibandingkan dengan nilai CPP dari rumus

Tabel 2. Nilai mFV dan LR untuk Meihat adanya Vasopasme pada MCA dan BA

Derajat Vasospasme MCA

mFV (cm/dtk)

LR

Ringan < 25% 120–149 3–6Sedang 25-50% 150–199 3–6Berat > 50% > 200 > 6Derajat Vasospasme BAMungkin vasospasme 70-80 2–2,49Sedang 25-50% > 85 2,5–2,99Berat >50% > 85 > 3

gold standard didapatkan perbedaan kurang dari 10 mmHg pada 89% pemeriksaan dan perbedaan kurang dari 13 mmHg pada 92% pemeriksaan.9 Selanjutnya jika dilakukan monitoring dengan rumus diatas secara kontinyu, maka perubahan real-time dari CPP juga dapat dideteksi, seperti yang terlihat pada gambar 5.1 Namun demikian, tetap harus diperhatikan bahwa nilai TIK dan CPP yang didapatkan dari TCD adalah nilai perkiraan oleh karena itu sebaiknya dipadukan dengan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya baik itu pemeriksaan fisik maupun penunjang seperti CT scan dan lainnya.10

Salah satu penggunaan TCD yang paling tua pada neurocritical care adalah untuk mengetahui adanya vasospasme, terutama pada pasien dengan perdarahan subarachnoid. Pemeriksaan gold standard untuk vasospasme adalah angiografi, namun pemeriksaan ini besifat invasif dan tidak cocok untuk monitoring dinamik. Berbeda dengan TCD, pemeriksaan ini bersifat non-invasif, portable dan dapat diakses secara dinamik sehingga efektif untuk menilai vasospasme dan memonitoring keefektifan dari terapi vasospasme yang sedang dilakukan. angiografi disarankan untuk dilakukan jika ada keraguan dari pemeriksaan TCD atau untuk melakukan terapi luminal balloon angioplasty pada vasospasme. TCD mengidentifikasikan vasospasme MCA dan Basiler arteri (BA) dengan sensitivity dan specificity yang tinggi. Pada sistemik review dari 26 penelitian yang membandingkan TCD

Gambar 6. Representasi Diagram dari Gambaran Aliran TCD pada Mati Batang Otak

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

203

dan angiografi menemukan bahwa mFV dari MCA > 120 cm/dtk memperlihatkan vasospasme > 25% dengan sensitivity 67% dan specificity 99%. Pada penelitian retrospektif yang melibatkan 101 pasien, nilai mFV dari MCA > 120 cm/dtk memperlihatkan vasospasme > 33% dengan sensitivity 88% dan spesificity 72%, dengan nilai negative predictive value (NPV) 94% untuk mFV < 120 cm/dtk. Pada penelitian yang sama didapatkan bahwa, mFV >200 cm/dtk menunjukan vasospasme > 33% dengan nilai specificity 98% dan sensitivity 27% dan positive predictive value (PPV) 87%. Oleh karena itu nilai mFV < 120 cm/dtk dan > 200 cm/dtk cukup akurat untuk memprediksi ada atau tidaknya vasospasme pada MCA.3

Selain mFV, untuk mendiagnosa vasospasme menggunakan TCD juga diperlukan pemeriksaan lindegaard ratio (LR). LR ini berfungsi untuk membedakan apakah peningkatan dari mFV itu disebabkan oleh vasospasme atau aliran hiperdinamik. Rumus dari LR adalah:

Lindegaard Ratio = mFV MCA/mFV extrakranial ICA

Nilai mFV extrakranial ICA adalah mFV yang diukur pada arteri carotis interna. Nilai LR< 3 mengindikasikan aliran hyperdinamik, sedangkan LR>3 mengindikasikan vasospasme.2 Modified LR adalah nilai yang didapatkan dari rumus:

Modified Lindegaard Ratio = mFV BA/mFV extrakranial VA

Rumus ini digunakan untuk membedakan vasospasme dan aliran dinamik pada arteri basilaris, dengan nilai > 2 untuk vasospasme dan < 2 untuk aliran hiperdinamik.3 Nilai mFV dan LR dari masing-masing arteri untuk menentukan vasospasme dapat dilihat pada tabel 2. Mati batang otak biasanya didiagnosa dengan pemeriksaan klinis dan observasi yang panjang. Namun, sebelum melakukan test-test yang sesuai dengan persyaratan untuk menegakkan mati batang otak, TCD dapat digunakan untuk melihat gambaran aliran darah ke otak yang mengisyaratkan kemungkinan seseorang sudah

mengalami mati batang otak. Walaupun TCD bukan merupakan pemeriksaan resmi untuk menyatakan mati batang otak, namun jika dilakukan maka akan memberikan sensitivitas 89% dan spesificitas 97% jika dibandingkan dengan angiografi sebagai gold standard. Selain itu jika dibandingkan dengan EEG maka TCD lebih praktis digunakan untuk mengkonfirmasi mati batang otak karena tidak terlalu terpengaruh oleh keadaan-keadaan pasien seperti: paralisis, cedera batang otak, pemberian sedasi, ataupun hipotermia. Gambaran khas yang ditunjukan oleh TCD adalah gambaran dengan menurunnya hingga hilangnya gambaran aliran diastolik, aliran diastolik yang reversal dan lonjakan liran sistolik (< 50 cm/dtk) yang singkat (< 200 mdtk).3, 4 Gambaran-gambaran TCD tersebut dapat dijelaskan pada gambaran skema dibawah ini. Pada gambar 6 dapat dilihat gelombang A adalah gelombang TCD normal, gelombang B – E adalah gelombang yang menunjukan adanya kemungkinan mati batang otak. Gelombang B adalah gelombang dengan diastolik velocity yang rendah, gelombang C adalah gelombang dengan velocity diastolik nol, gelombang D adalah reverse flow, dan gelombang E adalah lonjakan aliran sistolik yang singkat (short systolic spikes).4

VI. Simpulan

TCD adalah salah satu pilihan alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi aliran darah ke otak. Alat ini bersifat noninvasif dan mobilitasnya tinggi, namun penggunaannya sangat tergantung pada pengalaman operatornya. Hal-hal yang sebaiknya dimengerti sebelum melakukan pemeriksaan doppler adalah pengetahuan mengenai doppler effect, doppler shift, PSV, EDV, mFV, PI, RI, dan juga anatomi mengenai arteri basal serebral. Ada banyak hal yang dapat dinilai dari pemeriksaan TCD, diantaranya adalah pengukuran tekanan intrakranial, mengetahui ada tidaknya vasospasme, dan menilai kemungkinan terjadinya mati batang otak

Daftar Pustaka

1. Matta B, Czosnyka M. Transcranial

Konsep Dasar Transcranial Doppler (TCD) untuk Neurocritical care

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

204 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

doppler ultrasonography in anesthesia and neurosurgery. Dalam: Cottrell JE, Patel P, penyunting. Neuroanesthesia. edisi 6. United States of America: Elsevier; 2017. hlm. 131–42.

2. Allan PL. The carotid and vertebral arteries; transcranial colour doppler. Clinical Doppler Ultrasound: Expert Consult: Online. 2013:39.

3. Naqvi J, Yap KH, Ahmad G, Ghosh J. Transcranial doppler ultrasound: a review of the physical principles and major applications in critical care. International journal of vascular medicine. 2013;2013.

4. Moppett I, Mahajan R. Transcranial doppler ultrasonography in anaesthesia and intensive care. Br J. of Anaesth. 2004;93(5):710–24.

5. McDicken WN, Hoskins PR. Physics: principles, practice and artefacts. Clinical Doppler Ultrasound: Expert Consult: Online. 2013:1.

6. Bathala L, Mehndiratta MM, Sharma VK. Transcranial doppler: technique and common findings (Part 1). Annals of Indian Academy of Neurology. 2013;16(2):174.

7. Akif Topcuoglu M. Transcranial doppler ultrasound in neurovascular diseases: diagnostic and therapeutic aspects. Journal of neurochemistry. 2012;123(s2):39–51.

8. Bellner J, Romner B, Reinstrup P, Kristiansson K-A, Ryding E, Brandt L. Transcranial doppler sonography pulsatility index (PI) reflects intracranial pressure (ICP). Surgical neurology. 2004;62(1):45–51.

9. Schmidt E, Czosnyka M, Gooskens I, Piechnik S, Matta B, Whitfield P, dkk. Preliminary experience of the estimation of cerebral perfusion pressure using transcranial doppler ultrasonography. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2001;70(2):198–204.

10. Bouzat P, Oddo M, Payen J-F. Transcranial doppler after traumatic brain injury: is there a role? Current opinion in critical care. 2014;20(2):153–60.

Page 75: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

AAde Aria Nugraha, 132

BBambang Eko Subekti, 162Bau Indah Aulyan Syah, 169

DDewi Yulianti Bisri, 143Dian Novitasari, 178Diana C. Lalenoh, 151, 162

EEndah Permatasari, 186

HHimendra Wargahadibrata, 178

IIda Bagus Krisna Jaya Sutawan, 195Iwan Fuadi, 178I Putu Pramana Suarjaya, 169

LLisda Amalia, 143

NNadia Syifa, 143

RReza Widianto Sudjud, 132Riyadh Firdaus, 151

SSiti Chasnak Saleh, 169, 178, 195Sri Rahardjo, 151, 162, 169, 186

TTatang Bisri, 132, 151

Indeks Penulis

Page 76: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

AAnestesi, 186Anestesi pada Bayi, 162Anemia, 162Anestesia intravena, 178Acoustic window, 195

CCedera mata, 132Cedera penekanan, 132cedera saraf tepi, 132Cedera kepala, 162Cedera kepala berat, 169

DDewasa muda, 143

EEpidemiologi, 143Evakuasi hematoma epidural, 151

FFour skor, 151Faktor risik, 186

HHematoma epidural, 169Hidrosefalus, perdarahan intraventrikular, 178

IIntoksikasi alkohol, 151

KKehamilan, 169Komplikasi, 132Kraniotomi, 151

MMean flow velocity, 195

NNeuroanestesia, 151

OOperasi tulang belakang, 132

PPosisi, 132Pulih sadar yang tertunda, 186

Sstroke, 143sevofluran, 178

TTranscranial Doppler, 195

VVentriculo Peritoneal Shunt, 178

WWarfarin, 27

Indeks Subjek

Page 77: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Page 78: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 79: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA

(Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta)Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.SiUniversitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 80: Daftar Isi Laporan Penelitian Laporan Kasusinasnacc.org/images/vol6no03Oktober2017/Volume06Nomor03...Laporan Kasus Penggunaan FOUR Skor dalam Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten