d_902009006_bab ii

106
43 BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton, Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi, modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama, dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-

Upload: bayu-ika-mahendra

Post on 03-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • 43 43

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

    tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat

    oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang

    dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah

    melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan

    yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan

    umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan

    kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam

    bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton,

    Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga

    diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper,

    Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari

    proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya

    dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi

    kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi

    kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang

    diambil oleh pemerintah.

    Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal

    atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya

    modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal

    spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi,

    modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat

    diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan

    pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama,

    dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur

    disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan

    kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    44

    unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas

    jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital.

    Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima

    (PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep

    sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya

    pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima

    (PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika

    perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).

    Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan

    terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.

    A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik

    Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di

    kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan

    perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah,

    dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan

    publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian

    berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik,

    khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model

    yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep

    yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang

    melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata

    publik dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika

    dikaitkan dengan istilah privat. Istilah publik dapat dirunut

    dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani

    Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat sebagai res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons

  • 45

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    (2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat

    sebagai berikut.

    Publik Privat

    Polis Rumah tangga

    Kebebasan Keharusan (necessity) Pria Wanita

    Kesetaraan Kesenjangan

    Keabadiaan Kesementaraan

    Terbuka Tertutup

    Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam

    praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons

    2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut.

    Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat

    kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan

    publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk

    memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat

    adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana

    dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang

    publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan

    antara kekuasaan publik dan dunia privat.

    Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus

    mempromosikan kepentingan publik adalah dengan

    menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya

    kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di

    atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan

    individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik

    dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan

    politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik

    dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak

    mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini

    akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan

    ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur

    dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    46

    sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum

    dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan

    alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan

    kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam

    bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor

    publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan

    posisi dan peran negara di dalamnya.

    Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey,

    menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1)

    sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang

    lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam

    mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor

    publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki

    motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak

    memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas,

    (5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas

    kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang

    lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor

    publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan

    legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar

    untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor

    publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10)

    sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik

    minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.

    Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan

    finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi

    dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar

    adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong

    sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak

    mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi

    pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan

    strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien

    untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih

    didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya

  • 47

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7)

    manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang

    sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor

    publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik,

    dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005).

    Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak

    makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15)

    menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai

    label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan

    umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal

    spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,

    sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil (outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses. Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris

    adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan

    politik.

    Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda

    dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan

    keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh

    kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-

    cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12).

    Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan

    yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,

    kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu

    sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang

    untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo

    2007:13).

    Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai

    rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah

    untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi

    kehidupan penduduk negara secara substansial.

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    48

    Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti

    umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau

    sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan

    kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999)

    memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan

    tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti

    spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means) dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

    Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton

    sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti

    khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada

    ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok.

    Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward

    (dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang

    mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam

    mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan

    publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok

    secara keseluruhan.

    Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer

    and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat

    kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada

    suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk

    mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud

    tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang

    atau kelompok tertentu.

    Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu,

    yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas

    daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan

    publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak

    boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa

    komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan

  • 49

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang

    saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk

    memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan

    publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara

    (governance), mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana

    signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara.

    Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang

    kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara,

    sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti

    mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai.

    Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya

    mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola

    negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan

    kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara

    sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.

    Gambar 1. Dimensi Tugas Negara

    Sumber: Nugroho (2009:12)

    Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan

    hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan

    kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang

    kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada

    Memimpin

    Mengelola Mengendalikan

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    50

    kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso

    (2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan

    karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan

    negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah

    tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk

    memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh

    publik dapat tercapai.

    Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya

    dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga

    dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik

    berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya

    kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa

    dan pihak yang dikuasai.

    Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan

    publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani,

    sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya

    merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan

    melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha

    (2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

    masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah,

    dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.

    Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena

    pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain

    adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam

    hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia

    memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan.

    Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya,

    masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang

    dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali

    menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

  • 51

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik,

    ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi

    superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam

    mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di

    dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam

    posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya

    harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun

    2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima,

    merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota

    Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai

    pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh

    pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan

    adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan

    perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau

    merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka

    mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.

    Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL

    daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat

    dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu

    Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan

    Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan

    pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3

    tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang

    dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun

    2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta

    berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup

    sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang

    menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk

    meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum

    dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun

    2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.

    pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    52

    masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat.

    Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan

    adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini

    diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan

    terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk

    menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan

    PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan

    keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat

    usaha sesuai dengan izin penempatan.

    Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk

    memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan

    ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL

    berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b)

    pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku

    ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh

    peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan

    prasarana PKL.

    Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang

    dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan,

    kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha

    sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat

    dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam

    manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan

    permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan

    tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat

    pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda

    PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.

  • 53

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang

    hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah

    kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi

    administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai

    hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan

    lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal

    tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu

    kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.

    Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang

    kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh

    pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik

    kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang,

    pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah

    ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan

    PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan,

    sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL

    tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL.

    Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan

    PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi

    pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah

    lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang

    digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di

    dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban

    memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang

    dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan

    yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL

    terhadap Perda.

    Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan

    pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan

    kebijakan publik sebagai whatever government choose to do or not to do. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

    sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson (2000) pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    54

    kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih pemerintah

    untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

    Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah

    dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik

    dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk

    berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai

    penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-

    anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang

    sering diwujudkan dalam bentuk pajak.

    Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah

    melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat

    pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan

    mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka

    hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan

    atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan

    ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat

    (Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut,

    pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui

    kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik

    penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan

    oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga

    kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan

    senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki

    lima (PKL).

    Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson,

    bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas

    yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan

    dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling

    berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun

    Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat

    atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu,

    kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan

    dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang

  • 55

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut

    Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah

    tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

    lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus

    kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat

    dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau

    merealisasikan tujuan dan sasaran.

    Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah

    tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan

    Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi

    sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak

    mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah.

    Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan

    publik dapat diketahui ke mana arahnya.

    Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk

    administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak

    sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga

    memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi

    birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh

    sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan

    birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi

    dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada

    arena politik disebut politisi.

    Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai

    badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya

    berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan

    ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005)

    disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat

    dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah

    sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para

    politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik

    dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    56

    mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab

    terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun.

    Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu

    modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan

    menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam

    kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi

    diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah

    toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam

    pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau

    pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam perdagangan demokratik.

    Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide

    Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan

    disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons

    2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik

    diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.

    Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan

    politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu

    yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik

    bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa

    menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti

    kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan

    dan kebahagiaan (Anderson 2000).

    Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society, political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik

    di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan

    kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.

  • 57

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.

    Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi

    masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi,

    resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas

    lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan

    etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan

    diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem

    politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem

    perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan,

    perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres,

    Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari

    kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem

    politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan,

    kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan,

    keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran,

    kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.

    Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan

    F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau

    dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya,

    misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi

    sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan

    perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B

    menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan

    Institutions, Processes,

    Behaviors

    Social and Economic

    Conditions Public Policy

    Society Political System Public Policy

    A B

    C

    D

    E F

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    58

    pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik

    yang diambil.

    Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret

    bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan

    diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang

    ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi

    masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan,

    tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas

    hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan

    sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi

    oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

    Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum,

    sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural.

    Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik,

    pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan

    organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil

    oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang-

    Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun

    Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan,

    kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang

    menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik

    dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan

    suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru,

    partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai

    Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari

    partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan

    yang diambil oleh pemerintah.

    Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada

    pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik

    tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang

    dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih

    banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft

    Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak

  • 59

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak

    terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur

    kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang

    sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau

    pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya

    perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI)

    Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan

    pedagang kaki lima.

    Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan

    mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya,

    dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan

    ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya

    dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan

    manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang

    pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan

    ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk

    mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu

    merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk

    memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat

    menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud

    dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk

    mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui

    riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat

    memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan

    menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial

    mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan

    pemerintahan (Parsons 2005).

    John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005)

    meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam

    mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui

    perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan

    berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan,

    kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    60

    ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan

    pengambilan keputusan (Parsons 2005).

    Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa

    kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan

    sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan

    sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian

    proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil

    temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting

    untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang

    (Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah

    Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada

    problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat

    kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam

    kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti

    dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari

    belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah

    dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver.

    Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain

    merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari

    pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles

    Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan

    pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut

    termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses

    kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran

    input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model

    tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

  • 61

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Sumber: Parsons (2005:26)

    Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output

    Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan

    tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan

    model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga

    komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,

    dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output), berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi.

    Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,

    keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting) institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan

    relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka

    kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda

    pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka

    analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi

    kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan

    informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005).

    Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan

    langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005).

    Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori

    dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan

    rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    62

    Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan, diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan

    keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu

    politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik

    adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi.

    Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan

    institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang

    berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan

    pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.

    Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari

    sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam

    memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi,

    dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap

    analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial.

    Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan

    contoh dari model stagist untuk proses kebijakan.

    Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang

    bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian,

    membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan

    persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi

    Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku

    Organisasi.

    Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis

    kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya

    memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di

    antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek,

    Etzioni, dan Habermas.

    Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons

    2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan

    pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut

    Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa

    bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi

    pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.

  • 63

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin

    bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas

    politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat

    menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki

    kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang

    dihadapi.

    Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk

    meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan.

    Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada

    abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan

    untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di

    pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi

    janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang

    bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah

    dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk

    mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal

    apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting

    adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa

    dilaksanakan.

    Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang

    berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon

    mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan,

    memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan

    legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan,

    ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana

    diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan

    sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan

    Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga

    keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal,

    yakni pengetahuan adalah kekuasaan.

    Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai

    penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    64

    seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan

    pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan.

    Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon,

    karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar

    kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi

    mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib,

    religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika

    masyarakat mengutamakan pembelajaran.

    Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah

    Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005)

    terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level

    metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan

    Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta

    sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2)

    sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat

    pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah

    untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper

    (dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis

    berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada

    pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak

    gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi,

    nilai, teori, dan solusi.

    Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam

    kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut

    paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf

    dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan

    paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah

    satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan

    adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya

    promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005).

    Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang

  • 65

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia

    mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan

    objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk

    mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara

    ilmiah.

    Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat

    yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi

    dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi

    yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan

    mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan

    pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek,

    masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan

    tatanan spontan (Parsons 2005).

    Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih

    baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh

    pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis

    tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa

    pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan

    masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan

    dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah

    sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik

    harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan

    spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan

    tanpa campur tangan negara.

    Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan

    personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang

    untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila

    pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin

    bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli

    (Hayek dalam Parsons 2005)

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    66

    Pada era 1990-an berkembang paradigma komu-

    nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama

    paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan

    jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di

    satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak

    lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan

    masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.

    Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).

    Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini

    menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu

    perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara

    keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk

    mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi

    yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga,

    organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga,

    dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus

    mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan

    yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang

    pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu

    pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya

    fragmentasi masyarakat modern.

  • 67

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota

    Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya

    lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab

    kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan

    di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak

    cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL,

    tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing-

    masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi

    tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan

    aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya

    adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih

    karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan

    pemerintah kota Semarang.

    Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah

    berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh

    Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons

    2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam

    memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas

    dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep

    rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005)

    berpendapat bahwa daripada meninggalkan nalar sebagai

    informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang

    terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang

    terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk

    dalam komunikasi intersubjektif.

    Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama

    yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama

    mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan

    tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas

    dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami

    sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat

    kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas

    telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    68

    pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi

    teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya,

    ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar

    kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis,

    teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal,

    mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode

    analisis baru dan proses institusional baru yang dapat

    mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna

    merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.

    Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan

    model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun

    mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah

    dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis

    kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang

    rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye

    (2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu

    institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu

    model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial

    maksimum (Dye 2002:16).

    Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat

    menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang

    harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat

    konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep

    keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika

    biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2)

    di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya

  • 69

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar

    daripada biaya yang dikeluarkan.

    Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan

    harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan

    pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif

    kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi

    dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio

    antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif

    kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling

    efisien.

    Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan

    model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

    Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan

    Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan

    publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit

    politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat

    1.establishment of complete set of

    operational goals

    with weights

    3.preparation of complete set of

    alternative

    policies

    2.establishment of complete inventory of other values and of resources with

    weights

    4. preparation of complete set of predictions

    of benefits and costs for each

    alternative

    5.calculation of net

    expectation for each

    alternative

    6.comparison of net

    expectations and

    identification of

    alternatives with highest

    net

    expectation

    Output Pure

    rationality

    policy

    Input all

    resources

    needed for

    pure

    rationality

    process

    All data

    needed for

    pure

    rationality

    process

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    70

    bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan

    publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu

    (1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu

    memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan

    bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan

    tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3)

    kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh

    masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik

    daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan

    yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi

    dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita

    yang dikandung dalam kebijakan tersebut.

    Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau

    implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari

    perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak

    baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari

    politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa,

    tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan

    politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang

    melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat

    yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi

    kebijakan sebagai what happens after a bill becomes law, artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa

    yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi

    Undang-Undang.

    Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki

    dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut

    van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009),

    implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan

    oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta

    yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan

    dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai

    sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan

    yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh

  • 71

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas

    implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk

    suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa

    direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

    Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

    kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu

    kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat

    memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah

    ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi

    kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan

    programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut

    dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

    oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn,

    sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007)

    menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang

    akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini

    penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika

    tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.

    Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada

    pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen

    regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran

    pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan

    dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen

    UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal

    tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran

    pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari

    anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran

    pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

    penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah

    provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran

    pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak

    berjalan sebagaimana mestinya.

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    72

    Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan

    perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan

    perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang-

    Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-

    pasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85.

    Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang

    mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak,

    maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan

    undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69

    Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha,

    bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13

    hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang

    tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental

    dan sosial anak.

    Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan

    bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat

    diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka

    inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.

    Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan

    adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam

    kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991).

    Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga

    pilar, yaitu:

    (1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan

    kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk

    membuat program dapat berjalan,

    (2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi

    rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan

    dilaksanakan,

    (3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan,

    pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan

    program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).

  • 73

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan

    tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan

    pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan

    oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan,

    yaitu:

    (1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang

    dengan tanggung jawab menjalankan program harus

    mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar

    implementasi berjalan lancar,

    (2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran

    dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta

    rencana dan desain program,

    (3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan

    mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan

    rutinitas untuk mengatasi beban kerja,

    (4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau

    pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-

    kelompok target (Winarno 2007).

    Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah

    dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang

    berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh

    aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada

    lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-

    aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti

    departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut

    harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke

    dalam peraturan dan regulasi yang operasional.

    Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu

    menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana,

    dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan

    keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang

    makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi

    birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    74

    keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam

    praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam

    keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil

    suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan

    kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan

    publik.

    Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang

    nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002).

    Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat-

    pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai

    pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional,

    dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA) memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari

    sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

    di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan

    Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan

    terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian

    pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki

    komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL).

    Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan

    Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen

    dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan

    PKL.

    Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana

    kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator

    kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka

    lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan

    kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah

    tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang

    memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007)

    mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi

    kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.

  • 75

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan

    mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa

    suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan.

    Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus

    diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan.

    Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat

    antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh

    pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi

    yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat

    oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk

    mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007).

    Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya

    petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis,

    tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang

    jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat

    kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana

    program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini

    akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam-

    macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.

    Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi

    kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif,

    maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten.

    Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana

    kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan

    mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang

    keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak

    efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat

    dicapai.

    Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi

    yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan

    yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan

    program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang

    atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    76

    sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons

    2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki

    dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai

    kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana

    kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai

    kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho

    2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis

    kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan

    suatu kebijakan.

    (1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi-

    kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,

    (2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai

    konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif

    kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu,

    (3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai

    konsekueksi alternatif di masa mendatang,

    (4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang

    konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan

    alternatif kebijakan,

    (5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam

    memecahkan masalah.

    Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan

    masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi

    kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan

    harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik

    dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi

    kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:

    (1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif

    mencapai hasil yang diharapkan,

    (2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan

    untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,

  • 77

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    (3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat

    efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan

    yang menimbulkan masalah,

    (4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat

    kebijakan,

    (5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu

    kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau

    nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target

    kebijakan,

    (6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan

    tersebut tepat untuk suatu masyarakat.

    Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan

    kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh

    karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan

    (Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai

    suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil

    kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t, maka hasil

    O akan muncul pada t. Setiap hipotesis ini didasarkan pada

    pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga

    hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika

    hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.

    Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu

    kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan

    informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn

    2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam

    pandangan analis kebijakan, yaitu:

    1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan,

    apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai

    dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator

    dan pemerintah,

    2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah

    sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk

    kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    78

    3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang

    bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan

    sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah

    kebijakan dalam kurun waktu tertentu,

    4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi

    yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan

    publik dan program bisa berbeda.

    B. Tinjauan tentang Modal Sosial

    Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang,

    yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah

    konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya

    dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi

    yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu

    ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat

    atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field

    2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam

    Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk

    tujuan produktif (de Soto 2006).

    Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan

    meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah.

    Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat

    penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka

    panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital

    penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital

    manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan

    sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

    pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang

    relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau

    resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah

    kapital atau modal sosial.

    Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli

    ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione,

  • 79

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk

    pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan

    menulis tentang The Rural School Community Center. Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka,

    dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk

    menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu

    pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial,

    tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam

    melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil

    yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia,

    fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal

    sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari

    semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering

    digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah

    Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi

    ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut.

    1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial

    James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak

    memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman

    menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang

    pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat

    apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

    prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya

    adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang

    signifikan dalam menentukan prestasi anak.

    Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah

    swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010)

    melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi

    agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan

    lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid yang bersekolah di negeri. Organisasi keagamaan, menurut

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    80

    Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang

    masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas

    generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di

    dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-

    anak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada

    orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru.

    Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat

    menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi

    sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010).

    Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada

    masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada

    kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang

    kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan

    orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan

    sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas,

    melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubungan-

    hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan

    nilai-nilai bersama.

    Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik

    berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta

    norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah

    volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga

    maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar

    keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan

    modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman

    (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut.

    Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.

  • 81

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian

    Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi

    sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu

    bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et

    al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan

    individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut

    (Field 2010).

    Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang

    lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer.

    Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua

    perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar

    kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field

    2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang

    secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani

    kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan

    kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami

    masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu.

    Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana

    untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama.

    Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat

    bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara

    kerjasama (modal sosial) dengan individualisme.

    Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema

    tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan

    dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang

    pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang

    baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan

    harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan

    kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika

    pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima

    pengurangan hukuman.

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    82

    Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua

    akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa

    tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada

    pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat

    bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (free-rider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawan-

    karyawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi

    bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar

    pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional

    meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan

    terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus

    membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal

    ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki.

    Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakan-

    akan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi

    sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai

    keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas

    kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar, sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari

    Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang

    cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan

    kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah

    membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor,

    membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran

    informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-

    bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi calon-

    calon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman (dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual

    tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama

    dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai

    konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar

    kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial

    tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk

  • 83

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan

    dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

    Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial

    pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa

    para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama

    dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang

    sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk

    menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka

    tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh

    pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

    Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan

    organisasi lain yang mendukungnya.

    Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal

    sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan

    rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan

    berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan

    perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai

    tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan

    oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata,

    modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan

    struktur sosial.

    Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial

    tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu

    bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar

    tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam

    konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi

    sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena

    memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat

    alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial

    mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang

    menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    84

    2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional

    hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang

    si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah

    rasional.

    2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial

    Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone.

    Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain

    bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk

    mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri

    untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan

    adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk

    bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan

    reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak

    lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok

    keluarga atau sahabat.

    Masyarakat yang terus menerus menonton televisi

    menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian

    terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara

    dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja

    institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya

    hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat

    sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur

    sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada

    gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program

    pemerintah Italia bagian utara.

    Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi

    pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran

    yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan.

    Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan

  • 85

    BAB II

    KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

    PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

    institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi

    kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut

    Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction) berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang

    pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka,

    menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada pemerintah.

    Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami

    modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti

    kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan

    efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan

    terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial

    memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan

    meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik,

    mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran

    informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor,

    memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan

    bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan

    datang (Field 2010:50).

    Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan

    pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh

    gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi

    gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang

    terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital.

    Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh

    terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam

    mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam

    telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di

    Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini,

    Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang

  • Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    86

    bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Sebagaimana dilihat

    oleh de Tocqueville (dalam Field 2010:48), melalui asosiasi-

    asosiasi politik yang dimiliki oleh bangsa Amerika, warga

    Amerika terbiasa berkumpul dalam jumlah banyak, mereka

    berbicara dan mendengar satu sama lain, dan secara timbal balik

    bergerak untuk berbuat sesuatu. Kehidupan asosiasional ini

    merupakan landasan penting tatanan sosial dalam suatu sistem

    yang relatif terbuka. Tingginya tingkat keterlibatan warga

    mengajarkan orang bagaimana bekerjasama dalam kehidupan

    bermasyarakat.

    Pada tahun 1960-an, modal sosial Amerika semakin

    menurun dan Putnam menggambarkan Amerika pada masa itu

    sebagai telah terpecah satu sama lain dan terpisah dari

    komunitas. Bukti-bukti menurunnya modal sosial Amerika, di

    antaranya adalah persepsi orang Amerika tentang menurunnya

    kejujuran dan keterpercayaan, meningkatnya kecenderungan

    para pengemudi Amerika mengabaikan tanda berhenti di

    persimpangan jalan, dan tajamnya peningkatan laporan

    kejahatan. Putnam (2000) menunjukkan empat sebab utama

    dari merosotnya modal sosial di Amerika Serikat.

    Pertama, begitu banyaknya kesibukan dan besarnya tekanan yang diasosiasikan dengan keluarga dengan dua karir telah

    mengurangi jumlah waktu dan sumber-sumber lain yang

    khususnya dapat digunakan perempuan untuk terlibat dalam

    komunitasnya.

    Kedua, para penghuni kawasan luas metropolitan mengalami s