bab viii resistensi pkl dalam perspektif teori...

28
371 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai modal untuk melawan. Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens. Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan tindakan rasional bertujuan. A. Perspektif Teori Struktural Giddens Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas

Upload: vucong

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

371 371

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya

bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa

sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk

mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi

menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan

tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi

merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka

tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya

personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai

modal untuk melawan.

Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan

dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota

Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara

individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen

dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens.

Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan

dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu

akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau

resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan

tindakan rasional bertujuan.

A. Perspektif Teori Struktural Giddens

Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak

menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan

perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot

Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari

tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas

Page 2: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

372

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

ekonomi lainnya. Yang ingin dilihat adalah bagaimana tindakan

PKL sebagai agen dalam kerangka struktur sosial, sebagaimana

teori struktural yang dikembangkan oleh Giddens.

Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas,

tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur

sosial. Struktur sosial dimaksud adalah organisasi atau

paguyuban internal yang dimiliki PKL dan organisasi eksternal

yang menaungi aktivitas mereka, seperti PPKLS, LBH, dan lain-

lain. Dalam perspektif teori struktural Giddens, ditegaskan

pentingnya keseluruhan atau keutuhan sosial atas bagian-

bagian atau aktor individual (Giddens 2009; Giddens 2010;

Giddens 2011).

Tindakan PKL sebagai agen individual dapat dilihat dalam

kerangka struktur sosial dalam perspektif strukturalisme

Giddens. Itulah sebabnya, dapat dipahami bahwa aktivitas-

aktivitas sosial, menurut perspektif teori ini tidak dihadirkan

oleh para aktor sosial, melainkan diciptakan terus-menerus oleh

mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka

sebagai aktor. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, para agen

memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan

aktivitas-aktivitas tersebut.

Dalam pemahaman Giddens, tindakan manusia sebagai

agen, merupakan tindakan disengaja, yang memiliki alasan-

alasan atas aktivitas yang dilakukan dan jika diminta mampu

mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan tersebut. Semua

aktor sosial mengetahui tentang kondisi dan akibat dari apa

yang mereka kerjakan dalam kehidupan sehati-hari mereka

(Sztompka 2004).

Tindakan aktor, menurut Giddens, terjadi dalam arus

tindakan yang terus-menerus seperti halnya kesadaran

(cognition). Refleksi atas tindakan manusia ini tertanam dalam

monitoring terus-menerus dari tindakan manusia yang

diharapkan juga diperlihatkan kepada orang lain. Monitoring

Page 3: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

373

refleksif terhadap tindakan bergantung pada rasionalisasi dan

dipahami sebagai suatu proses daripada keadaan. Hal itu

inheren dalam kompetensi para agen.

Dalam teori strukturasi, tindakan bukan merupakan

gabungan perbuatan-perbuatan. Monitoring refleksif,

rasionalisasi, dan motivasi tindakan merupakan sederet proses

yang melekat. Seperti halnya monitoring refleksif dan motivasi

tindakan, rasionalisasi tindakan merujuk kepada kesengajaan

sebagai proses. Rasionalisasi tindakan adalah upaya yang

dilakukan oleh para aktor yang secara rutin mempertahankan

suatu pemahaman teoretis yang terus menerus tentang aktivitas

mereka (Giddens 2010:8). Rasionalisasi tindakan dalam

keanekaragaman keadaan interaksi merupakan basis utama bagi

orang lain dalam mengevaluasi kompetensi umum para aktor.

Dalam pandangan Giddens (2010), monitoring refleksif atas

tindakan merupakan satu unsur tetap dari tindakan sehari-hari

yang melibatkan tidak hanya perilaku si individu, tetapi juga

perilaku dari individu-individu lain. Para aktor atau agen akan

memonitor terus menerus arus aktivitas mereka dan berharap

orang lain juga melakukan hal sama terhadap aktivitas mereka

sendiri. Para aktor juga secara rutin memonitor aspek-aspek

sosial dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak.

Rasionalisasi tindakan para aktor dalam sistem tindakan

tidak dipahami sebagai alasan-alasan bagi suatu tindakan

tertentu, tetapi lebih pada kompetensi bahwa para aktor akan

mampu menjelaskan sebagian besar tindakannya jika diminta.

Visualisasi tentang rasionalisasi tindakan tersebut dapat dilihat

pada gambar berikut.

Page 4: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

374

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens

Dalam gambar di atas, monitoring refleksif dan rasionalisasi

tindakan memiliki perbedaan dilihat dari aspek motivasinya.

Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motivasi

mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya.

Namun demikian, motif tidak dibatasi langsung oleh

kesinambungan tindakan-tindakan seperti halnya monitoring

refleksif atau rasionalisasinya. Motivasi mengacu pada potensi

tindakan, bukan pada cara tindakan dilakukan terus menerus

oleh agen bersangkutan (Giddens 2010). Motif-motif cenderung

memiliki hubungan langsung dengan tindakan hanya dalam

keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang

terputus dari rutinitas. Kebanyakan perilaku agen sehari-hari

tidak didasarkan pada motivasi langsung.

Umumnya keberlangsungan kehidupan sehari-hari

mengalir dari suatu tindakan yang disengaja. Namun demikian,

ada juga tindakan yang memiliki konsekuensi yang tidak

disengaja. Konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja ini bisa

secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi

konsekuensi-konsekuensi tidak terkenali dari tindakan

selanjutnya. Agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan

maksud-maksud (Giddens 2010). Artinya, bahwa agar sebuah

perilaku dapat dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang

melakukan harus memiliki maksud untuk melakukan tindakan

tersebut. Jika tidak, maka perilaku tersebut hanya merupakan

Page 5: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

375

respon reaktif saja. Hal ini masuk akal, karena terdapat

sejumlah tindakan yang tidak bisa berlangsung kecuali jika si

agen memang berkeinginan untuk melakukan tindakan

tersebut. Misalnya konsep bunuh diri yang diintroduksi

Durkheim. Bunuh diri tidak dapat dikatakan terjadi, kecuali

apabila seseorang bermaksud untuk menimbulkan kematian

bagi dirinya.

Seseorang yang menyeberang jalan secara sembrono,

kemudian tertabrak mobil lalu meninggal, tidak bisa dikatakan

sebagai tindakan bunuh diri, karena kejadian tersebut adalah

kecelakaan meskipun diawali dari kesembronoan si korban. Ini

adalah kejadian kecelakaan atau accident, yakni sebagai sesuatu

yang menimpa orang yang celaka, bukan karena orang itu

sengaja melakukan supaya dirinya ditabrak mobil. Agar suatu

kejadian yang melibatkan manusia dapat dianggap sebagai

contoh agensi, maka perlu ada persyaratan bahwa apa yang

dilakukan oleh seseorang adalah disengaja berdasarkan

deskripsi, kendatipun agen keliru mengenai deskripsi tersebut.

Seseorang bisa melakukan sesuatu secara sengaja, meskipun

sesuatu itu tidak seperti yang diharapkan.

Jika seseorang dengan sengaja menumpahkan kopi karena ia

mengira kopi tersebut adalah teh, maka menumpahkan kopi

tersebut sejatinya merupakan tindakan orang tersebut

meskipun tidak dilakukan secara sengaja. Namun demikian,

menumpahkan sesuatu dapat dikatakan sebagai kekhilafan di

tengah-tengah tindakan seseorang yang hendak melakukan

sesuatu yang berbeda. Freud mengatakan bahwa hampir semua

perilaku khilaf seperti itu, memiliki motivasi tidak sadar

(Giddens 2010).

Tindakan merupakan suatu proses berkesinambungan, yaitu

suatu arus yang di dalamnya kemampuan introspeksi dan

mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi

pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan para aktor

Page 6: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

376

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dalam kehidupan mereka sehari-hari (Giddens 2010). Seseorang

acapkali melakukan banyak hal yang tidak ingin dilakukan,

tetapi hal itu tetap terjadi. Seseorang bisa saja melakukan

perbuatan yang tidak disengaja, meskipun hal itu tidak semata-

mata ia yang melakukannya.

Si A bermaksud iseng meletakkan secara tidak pas secangkir

kopi di atas lepek, sehingga B mengambil cangkir itu bisa

dipastikan akan tumpah. B benar-benar mengambil cangkir

tersebut dan tumpah karenanya. B tentu tidak sengaja

menumpahkan cangkir tadi, karena posisinya memang

dimungkinkan akan tumpah ketika diambil. Siapa yang

menumpahkan? Jelas B yang bertindak menumpahkan cangkir

tersebut, tetapi perbuatan A juga dipandang turut

mengakibatkan tumpahnya cangkir.

Semua tindakan manusia dapat dikelompokkan ke dalam

dua jenis tindakan, yaitu tindakan disengaja dan tindakan yang

tidak disengaja. Tindakan disengaja jelas maknanya, karena

dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Orang membeli

tiket pesawat Garuda untuk pergi ke Jakarta pada hari Senin,

karena ada urusan tertentu, merupakan contoh dari tindakan

disengaja. Apa arti melakukan sesuatu tindakan tidak disengaja?

Giddens (2010) memberikan contoh sederhana mengenai hal

ini. A menghidupkan lampu agar ruangan menjadi terang.

Ternyata di dalam ruangan tersebut ada seorang pencuri dan

ketahuan setelah lampu tersebut dihidupkan. Meskipun

tindakan menghidupkan lampu disengaja oleh A, tetapi

menghidupkan lampu yang memberitahukan keberadaan

seorang pencuri bukanlah tindakan disengaja.

Untuk mengetahui apakah suatu tindakan itu disengaja atau

tidak, Giddens (2010) menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan tindakan disengaja adalah upaya menyifati sebuah

tindakan yang diketahui atau diyakini oleh pelakunya akan

memiliki kualitas atau hasil tertentu dan pengetahuan itu

Page 7: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

377

dimanfaatkan si pelaku untuk memperoleh kualitas atau hasil

tertentu. Dari pengertian tindakan disengaja ini, maka perilaku

A menghidupkan lampu yang mengakibatkan si pencuri

ketahuan berada di ruangan tersebut, tergolong sebagai

tindakan tidak disengaja. Hal ini karena si pelaku tidak

mengetahui kalau pencuri ada di dalam ruangan. Apakah jika si

pencuri ketahuan lalu ditangkap polisi, merupakan konsekuensi

yang disengaja dari tindakan A?

Menurut konsep Giddens, segala hal yang menimpa si

pencuri setelah A menghidupkan lampu, termasuk

konsekuensi tidak disengaja dari tindakan menghidupkan

lampu karena A tidak mengetahui keberadaan si pencuri.

Semakin jauh rentang waktu konsekuensi-konsekuensi dari

konteks tindakan pertama, maka akan semakin kecil

kemungkinan konsekuensi-konsekuensi itu disengaja.

Anggapan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyai

aktor dan daya kuasa dia untuk memobilisasinya.

Kadangkala perilaku manusia bersifat irasional, tetapi

aktivitas yang irasional atau yang kelihatannya tahayul, bisa

saja dipandang rasional. Menurut Merton, hal ini terutama

terjadi pada aktivitas atau praktik-praktik yang sudah

berlangsung cukup lama. Jika ditemukan bahwa ada fungsi

laten di balik aktivitas atau praktik tertentu, seperangkat

konsekuensi yang tidak disengaja yang mengiringi atau

mempertahankan keterulangan aktivitas atau praktik tersebut,

dapat dipastikan praktik tersebut tidak irasional (Giddens

2010).

Sebagai contoh, sebuah upacara dapat memiliki fungsi

laten, berupa penguatan identitas kelompok dengan

memberikan kesempatan rutin kepada setiap anggota kelompok

yang tersebar untuk berkumpul dengan melakukan aktivitas

bersama. Aktivitas-aktivitas sosial kelompok mengadakan

upacara bersama ini, selain untuk mempertahankan identitas

Page 8: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

378

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

kelompok juga untuk menjaga kelangsungan hidup (survival)

mereka. Dalam konteks individu, relasi yang dibangun antara

anggota kelompok yang satu dengan lainnya, ditengarai ada

dorongan motivasional yang disengaja untuk memenuhi

kebutuhan sosial mereka.

Dalam relasinya dengan orang lain, aktor atau agen dalam

bertindak harus mampu menggunakan secara terus menerus

kekuasaan kausal, termasuk dalam memengaruhi kekuasaan

yang dijalankan oleh orang lain (Giddens 2010). Tindakan agen

tergantung pada kemampuannya untuk memengaruhi keadaan

atau peristiwa yang telah ada sebelumnya. Menurut Giddens

(2010:23), seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian

apabila ia kehilangan kemampuan untuk memengaruhi orang

lain. Kekuasaan agen dipahami dalam kaitannya dengan

maksud atau kehendak, yakni sebagai kemampuan untuk

mencapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan.

Dalam pandangan Parsons, kekuasaan merupakan sebuah

kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial.

Kekuasaan berbeda dengan sumber daya, dan sebagaimana

diungkapkan Giddens (2010) bahwa kekuasaan memang bukan

sumber daya. Sumber daya itu sendiri merupakan sarana untuk

menggunakan kekuasaan dalam sistem interaksi sosial. Dalam

sistem sosial, kekuasaan mengandaikan adanya rutinisasi relasi

kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor atau

kelompok dalam konteks interaksi sosial. Ketergantungan

dalam keadaan tertentu dapat menawarkan sumber daya yang

memberikan kemampuan kepada pengikut atau anggota

kekompok untuk memengaruhi ketua atau pimpinan

kelompok. Inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika

kendali dalam sistem sosial.

Page 9: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

379

B. Perspektif Teori Tindakan Weber

Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon

yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan

PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan

dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah

ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir

tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang (run and back),

dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka

melakukan aktivitas ekonomi sektor informal.

Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan,

Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan

respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk

yaitu dengan perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan

nonkekerasan.

Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan

dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan

bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu,

menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan

menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan

lapak PKL.

Perlawanan nonkekerasan (nonviolence resistance)

diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai,

berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet

atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti

Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan

kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan

tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi

dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi

atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi

aktivitas mereka.

Weber (dalam Habermas 2009) memperkenalkan makna

sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk

Page 10: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

380

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati.

Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif

maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor

melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori

tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan

teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau

intersubjektif.

Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak

dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak

dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang

aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas (2009), model

tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar

syarat bagi interaksi sosial terpenuhi. Pertama, suatu orientasi

ke arah perilaku subjek lain yang bertindak. Kedua, suatu relasi

refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang

bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu

tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh

seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut

menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga

dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa

Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan

dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan

publik lainnya (Kaplan 2010).

Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek,

yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai,

tindakan afektual, dan tindakan tradisional (den Doel 1988;

Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010).

Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapan-

harapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal

atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan

seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan,

serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional

berdasarkan keberhasilannya.

Page 11: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

381

Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan

sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan

mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan

terlepas dari apakah berhasil atau tidak.

Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui

kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan

senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan

seseorang.

Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa

pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan.

Wolfgang Schluchter (dalam Habermas 2009) menyarankan

bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi

menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi

Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan

ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi

nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai

dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang

mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan

aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan

rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari

makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam

tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan

adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam

tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan

pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan

Weber dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian

Jenis-jenis Tindakan menurut rasionalitas dari tertinggi hingga terendah

Makna Subjektif mencakupi elemen-elemen berikut.

Sarana Tujuan Nilai Konsekuensi

Rasionalitas bertujuan + + + + Rasionalitas bernilai + + + - Afektual + + - - Tradisional + - - -

Sumber: Habermas (2009)

Page 12: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

382

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi,

Weber (dalam Habermas 2009) menetapkan tindakan sosial

pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial

dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan

pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama,

stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi

kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas

interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim

validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk

melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara

normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang

didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku

tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi (Habermas

2009).

C. Perspektif Teori Tindakan Parsons

Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa

tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan

atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons (dalam

Habermas 2009) membedakan tindakan voluntaristik dan

konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip kata-

kata Weber, Parsons mengatakan, “setiap refleksi mendalam

tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang

dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan

kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur

teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan

sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan

sosial (Habermas 2009). Dalam model tindakan teleologis, aktor

dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan

tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai

untuk mencapainya.

Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan

yang ingin diwujudkan oleh sang aktor (Habermas 2009). Hal-

Page 13: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

383

hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan

sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari

penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma.

Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif.

Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi

tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi

tindakan.

Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua

implikasi.

Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor

memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa

aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif

berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori

tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik.

Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan

bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan

ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori

tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas.

Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi

merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (Kaplan 2010). Dalam

hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan

fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu

mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan

bertindak secara bertanggung jawab.

Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek

penting.

Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses

pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar

normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya

atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan.

Page 14: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

384

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan

menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya

dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai,

antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen

normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat

dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan,

norma dapat direalisasikan sepenuhnya.

Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan

sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons

menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor

hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan

norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons

mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang

mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung

dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor

yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan

dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai

seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif

(Habermas 2009).

Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari

perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut,

tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan

individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol

atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu

yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemen-

elemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu.

Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut

Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas

tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang

telah dikembangkan oleh Durkheim.

Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah

berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di

mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar

Page 15: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

385

perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor

memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi

suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu

tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam

bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang

otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons,

tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini

mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional.

Parsons (dalam Habermas 2009) mengakui bahwa tatanan sosial

kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan

individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap

memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan

kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam

sebuah tatanan sosial yang absah.

Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional

bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam

pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia

objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki

pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi

tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang

bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai.

Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat

ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang

tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons

menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional.

Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan

yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah

tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak (Habermas

2009). Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat,

norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah

berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau

berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan.

Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan

mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk

Page 16: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

386

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons

(dalam Habermas 2009) mengintroduksi juga konsep tindakan

strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya

berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya

relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri.

Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika

kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling

melengkapi dan saling menopang.

Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons (dalam

Habermas 2009) meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali

kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan.

Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes

akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang,

karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masing-

masing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor

lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan

tujuan mereka sendiri.

Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi

orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut

dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh

manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep

kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan.

Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk

memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir

berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang

ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan

kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak

(Habermas 2009).

Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi

berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa

kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak

sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut

Page 17: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

387

menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes

tentang kontrak kekuasaan.

Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan

menggunakan paksaan dan penipuan.

Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan

hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif.

Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan

suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah

manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap

manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka

memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang

dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya.

Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada

konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang

menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh

kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui

orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah

pada nilai-nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilai-

nilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang

berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan

yang mengintegrasikan nilai.

Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur

sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat

terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat

diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu

dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian

dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor

individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-

kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor

yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan

untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan

situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama

yang terstruktur secara kultural (Martono 2011:50).

Page 18: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

388

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik.

Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi

stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus

dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi

(A), goal attainment atau pencapaian tujuan (G), integration

atau integrasi (I), dan latent pattern maintenance atau

pemeliharaan pola-pola laten (L) (Kinloch 2005). Keempat

fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL.

Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara

menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan

lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan

fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam

fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan

dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut

juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus

mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang

menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan

fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam

memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan

kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah

pemeliharaan pola-pola laten.

D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional

Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai

tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda.

Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas

tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional

bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar

kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor

tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur

sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu

dengan lainnya.

Page 19: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

389

Pedagang kaki lima (PKL) resisten terhadap Pemkot

Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki

tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna

memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti

halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki

keberanian melawan pemerintah atau negara, tetapi

sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar

berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk

perlawanan tertentu (Alisjahbana 2006). Dukungan dari

PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL

melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka

dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk

memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi

keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka

dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten

terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten

dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan

Tindakan PKL disadari dan bertujuan

Resistensi PKL Kebijakan

Pemerintah yang

tidak akomodatif PKL Bertahan

Hidup (Survive)

Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya

Masyarakat

Page 20: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

390

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para

pedagang kaki lima (PKL) yang bersedia dipindah atau

direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa

PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap

dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak

bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari

penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat

PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika

digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk

ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman

(comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3)

komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, (4)

PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan

yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap

self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan

sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut

mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa

tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut,

(9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat

baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih

berada di lokasi semula.

Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL

Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk

kepentingan bertahan hidup (survive) atau paling tidak untuk

memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara

PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono

yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya

berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan,

terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan

sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada

seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara

ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di

mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui

di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar

Page 21: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

391

PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan,

Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai

PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga

kelangsungan hidupnya.

Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat

dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan

kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen

dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten

terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana

dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran

(kognitif) terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka

tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen

tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur

kehendak dan kebebasan (Moya 1990). Tindakan tersebut

merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja

dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL

yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan

beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL

memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun

siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol

PP kota Semarang.

PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak

patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot

Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan

rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul,

sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak

bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi

keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan,

karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan

ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah,

karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka

rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat

baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji

Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar

Page 22: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

392

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi

karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai

Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai

Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau

diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar:

“membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan

diperbolehkan berjualan di sini (tepi jalan)”. Hal ini juga diakui

pak Mul, “kalau harus membayar…saya siap pak…asal boleh

berdagang di sini”.

Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari

sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya

terlekat makna subjektif (Weber) atau bersifat individual.

Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk

berjualan sebagaimana diperlihatkan PKL Kokrosono

merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik

run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini

rasional bagi mereka.

Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat

menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL

tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar

Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang

berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang

layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal

itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada

pendiriannya, yaitu menertibkan, menggusur, dan

memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo.

Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami

dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber.

Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar

betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar,

tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus

berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan

mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu

Page 23: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

393

dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman (comfort zone)

ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh

bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL

bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi,

seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan

dan PKL Basudewo.

Adanya kesepakatan bersama (normatif) dari PKL untuk

tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan

Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL

bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif

ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan

menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor

Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang

membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh

terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot

Semarang.

Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam

konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip

dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional,

subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri

sendiri (self-interest). Parsons setuju dengan konsep tindakan

rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki

tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk

mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan

Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan

mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika

ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional

bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya

laku.

Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten

tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota

Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota

Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL

Page 24: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

394

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para

PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama

dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga

Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain.

Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena

kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan

tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula.

PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni

tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat

berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo

bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun

2011. PKL Kokrosono (liar) tidak pindah, tetap bertahan untuk

berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan

gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever

(2005) yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi

tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan

mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga

akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan

yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari

keberhasilan tindakan kolektif PKL.

Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana

mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan

memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil (bagi

ukuran PKL) seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo.

Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009

sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari

para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran.

Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan

berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan

tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP

dan Kepolisian.

Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya

dengan posisinya sebagai pedagang yang cenderung

Page 25: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

395

mengutamakan self-interest, tindakan para PKL juga dapat

dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni

oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang

dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim,

bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari

sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif

yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor.

Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para

PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap

bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari

Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun

ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei

2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk

tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang

berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan

didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum

(LBH) Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat

membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang

ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia

bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah

mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya

membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir

jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan

aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang

hak individual PKL.

Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL

Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut

bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh

paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak

dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus

ditanggung bersama. Rapat PKL dalam rangka

memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama,

telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama

tahun 2010-2011. Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo

Page 26: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

396

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat

menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial

sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo.

Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor

menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk

kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di

lokasi yang selama ini mereka tempati.

Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat

dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan

Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi

mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu

berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak

secara bertanggung jawab (Kaplan 2010). Pedagang kaki lima

(PKL) dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang

mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak

tamat SMA, dan bertindak untuk merealisasikan

kebutuhannya.

Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka

akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain

berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang

oleh ketentuan Peraturan Daerah. Mereka sudah

memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus

menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka

berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa

yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai

berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang

timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula,

yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila

mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola

aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan

didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang

layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung

jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah

kepadanya.

Page 27: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

BAB VIII

RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

397

E. Rangkuman

Kebijakan Pemkot Semarang merelokasi PKL dengan cara-

cara represif, direspon PKL dengan tindakan resisten. Resistensi

merupakan suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan

individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,

dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain

atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan

ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan

posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat

menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang

oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup

mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan

kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup

lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap

resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.

Faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau

melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1)

adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah

menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka

berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot

dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam

pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL

dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di

tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti

pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang

baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali

berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam

pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada

resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.

PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak

patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot

Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan

rasional, sebagaimana pandangan Giddens, karena apa yang

Page 28: BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/9/D_902009006_BAB VIII.pdf · bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

398

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

mereka lakukan telah disadari betul. Jika mereka tidak

melakukan perlawanan, mereka khawatir tidak bisa

melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya.

Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki

alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, misalnya

mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan

atau kekurangan pendapatan. Para PKL bertindak melawan

Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan

mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika

ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional

bertujuan, sebagaimana diintroduksi Weber dan Parsons,

karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku dan

pembelinya tidak lari ke tempat lain.

Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten

tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota

Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima kota

Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL

seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para

PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama

dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti LBH, Pattiro,

Organisasi Kemahasiswaan, dan lain-lain. Organisasi dan

jejaring yang dibangun PKL digunakan para PKL untuk

mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi

yang selama ini mereka gunakan untuk berdagang dan

melakukan aktivitas ekonomi lainnya.