bab vii penataan pkl di surakarta dan...

48
323 BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG Peraturan daerah (Perda) dan Peraturan walikota merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda, namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah yang membedakan bagaimana pemerintah kota mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima. Demikian pula, akan tampak dalam uraian berikut bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL), serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan masa depan pedagang kaki lima (PKL). A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan Semarang Hampir semua kepala daerah, bupati dan walikota di Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan, tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai

Upload: vodieu

Post on 05-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

323 323

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Peraturan daerah (Perda) dan Peraturan walikota

merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah

kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki

lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima

antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda,

namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah

yang membedakan bagaimana pemerintah kota

mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan

eksistensi pedagang kaki lima.

Demikian pula, akan tampak dalam uraian berikut

bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil

oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang

dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima.

Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang

dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL),

serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan

masa depan pedagang kaki lima (PKL).

A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan

Semarang

Hampir semua kepala daerah, bupati dan walikota di

Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima

(PKL) yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang

tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas

di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan,

tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor

pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis

lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai

Page 2: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

324

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dengan peruntukannya, karena ditempati PKL untuk berdagang

dan menjalankan usahanya. Akibatnya, lingkungan yang

ditempati PKL menjadi kumuh, bau, semrawut, sumpek, tidak

sedap dipandang mata, dan tidak jarang mengganggu arus lalu

lintas. Kenyamanan pengguna ruang publik, baik pejalan kaki

maupun pengemudi sepeda motor dan mobil menjadi terganggu

pula. Kondisi inilah yang menyebabkan bupati dan walikota

yang menghadapi masalah PKL, membuat kebijakan penataan

dan penertiban PKL, tidak terkecuali adalah walikota Surakarta

dan Semarang.

Surakarta memiliki tingkat kepadatan (density) yang cukup

tinggi, seperti halnya Semarang. Surakarta padat, karena

menjadi tempat persinggahan serta arus manusia dan kendaraan

yang menuju dari dan ke kota-kota sekitarnya, seperti

Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi, Wonogiri,

Pacitan, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Salatiga, dan Semarang.

Tidak seperti halnya di Semarang, jalan-jalan di Surakarta,

kecuali jalan Slamet Riyadi, merupakan jalur lalu lintas yang

sangat padat. Para pedagang dan jenis usaha sektor informal

lainnya, tumpah ruah menempati tepi jalan, berdesak-desakan

dengan toko-toko di sekitarnya. Mall-mall dan pasar swalayan,

seperti Grand Mall, Matahari, dan lain-lain, tidak luput pula

dari kerumunan para PKL yang ingin mencari rezeki dari

tempat keramaian.

Alun-alun kota Surakarta dan pasar Klewer juga padat

dijejali PKL, baik yang berdagang makanan dan minuman,

maupun yang menjual pakaian dan kerajinan. Kendaraan pun

bahkan sering kali padat merayap, sulit masuk dan ke luar dari

area alun-alun hingga pasar Klewer, karena tepi jalan di kanan

maupun kirinya, banyak dipakai oleh PKL untuk berdagang.

Bagi para wisatawan kuliner atau batik yang pernah singgah ke

pasar Klewer, pasti akan merasakan kesumpekan dan

ketidaknyamanan, akibat dari berjubelnya para pedagang yang

Page 3: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

325

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

meluber hingga menjorok ke bahu atau tengah jalan. Tetapi,

apakah mereka akan diusir atau digusur.

Demi keindahan kota dan kenyamanan warga kota, sudah

semestinya pemerintah layak mengusir mereka. Jika hanya

berpedoman pada Perda tentang PKL, sudah seharusnya PKL

ditertibkan, dilarang, dan digusur dari lokasi-lokasi tersebut,

karena menempati lokasi yang tidak sesuai dengan

peruntukannya. Namun hal lain yang harus menjadi

pertimbangan sebelum mengambil keputusan adalah masa

depan PKL. Pak Joko Widodo, walikota Surakarta, melihatnya

dari sisi lain, yaitu aspek kemanusiaan. “Rocker juga manusia”,

kata Candil, pentolan “Band Serius”. PKL juga manusia, bukan

barang atau patung yang dengan mudahnya dapat dipindah ke

sana kemari.

Dalam kaitan ini, pemerintah Surakarta menghadapi

dilema. Di satu sisi, para PKL yang beraktivitas di lahan-lahan

yang terlarang, sebagian terbesar adalah untuk mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari diri dan keluarganya. Pada sisi

lainnya, pemerintah ingin agar kota bersih, indah, tertib, rapi,

dan nyaman. Kebijakan menggusur PKL jelas akan berhadapan

dengan keterbatasan yang dimilikinya, yaitu terbatasnya

kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi

warga kota maupun pendatang. Untuk menata PKL, Pemkot

Surakarta mempertimbangkan semua hal, termasuk keinginan

memberdayakan PKL dalam rangka menghidupkan dan

mengembangkan ekonomi kerakyatan.

Penataan terhadap PKL di kota Surakarta dirasakan sangat

mendesak, karena beberapa alasan, yaitu (1) jumlah PKL

terlanjur menjamur dan tidak terkontrol, pada tahun 2006

tercatat ada 5.817 PKL, (2) banyaknya fasilitas umum ruang

publik yang digunakan oleh PKL, (3) kesemrawutan lalu lintas

di lokasi-lokasi kawasan PKL, (4) permasalahan sosial dan

ekonomi, (5) makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang

Page 4: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

326

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta (6)

keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan

penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL (Badan

Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Program penataan PKL ini juga merupakan realisasi dari

program prioritas walikota dan wakil walikota Surakarta, Ir. H.

Joko Widodo dan Fx. Hadi Rudyatmo, yang ingin

mengembalikan Surakarta sebagai kota yang bersih, sehat, rapi,

dan indah atau terkenal dengan motto “Surakarta Berseri”.

Dalam penataan PKL, pemerintah kota Surakarta menyadari

bahwa PKL merupakan bagian tak terpisahkan dari

perekonomian daerah. Penataan PKL ini oleh pemerintah kota,

dimaksudkan untuk memberikan kepastian usaha kepada para

PKL, sehingga diharapkan mereka dapat hidup dengan layak

dan perekonomian kerakyatan dapat tumbuh dan berkembang.

Ruang publik, yang semula digunakan oleh para PKL, setelah

penataan, diharapkan dapat dikembalikan peruntukannya

seperti semula, sehingga dapat diwujudkan tata ruang kota yang

harmonis.

Kebijakan penataan PKL di kota Surakarta secara garis besar

dilakukan dengan (1) membuat kawasan PKL dan (2) membuat

kantong-kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui

lima strategi.

Pertama, relokasi, yaitu memindahkan PKL apabila tidak

tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.

Kedua, shelter knock down, yaitu PKL dibuatkan shelter

jika di lokasi masih tersedia lahan.

Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL,

yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya

tersedia dan dioperasikan pada malam hari.

Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada

PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter

Page 5: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

327

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan

setiap saat.

Kelima, penertiban, yakni strategi paling akhir yang

diambil pemerintah kota Surakarta, apabila PKL tetap

membandel tidak mau mengikuti program penataan yang

direncanakan oleh pemerintah kota. Strategi ini diterapkan

untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun

hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.

Jumlah PKL di Surakarta yang terdata oleh Pemkot

sebanyak 5.817 orang pedagang (Badan Informasi dan

Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Secara sistematis dan

menggunakan skala prioritas, PKL sebanyak itu akan ditata

pemerintah. Dari 5.817 orang pedagang kaki lima tersebut,

yang sudah berhasil ditata dengan menggunakan pendekatan

atau strategi penataan PKL kota Surakarta ada 989 PKL. Mereka

adalah PKL yang beraktivitas di Monumen Banjarsari (Monjari)

yang kemudian direlokasi ke pasar Klitikan Notoharjo

Semanggi. Sebelum direlokasi, wilayah Monumen Banjarsari

sebagai area publik kumuh dan semrawut. Monumen Banjarsari

(Monjari) dahulu adalah tempat yang nyaman bagi warga

Surakarta untuk berolahraga atau beristirahat. Anak-anak yang

sekolahnya berdekatan dengan monumen juga sering

menggunakan tempat tersebut untuk berolahraga. Area

monumen yang asri sesungguhnya juga digunakan sebagai salah

satu paru-paru kota Surakarta, karena kehijauannya yang

terjaga dengan baik.

Pasca krisis 1998, banyak pedagang menempati area

monumen. Mereka mendirikan lapak dan berdagang di sana.

Lama kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan menurut

catatan pemerintah kota Surakarta, jumlahnya mencapai 989

PKL. Jenis barang-barang yang diperdagangkan di monumen

tersebut adalah alat dan perlengkapan mobil dan sepeda motor,

aki, ban, sandal dan sepatu, helm, aneka elektronik, alat

Page 6: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

328

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

pertanian, pakaian, handphone, alat bangunan, barang-barang

antik, las, cat, kaset/CD, barang-barang bekas, serta makanan

dan minuman.

Meskipun tergolong PKL liar, mereka memiliki sejumlah

kelompok atau paguyuban yang menjadi tempat mereka

bernaung dan memikirkan masa depan mereka. Paguyuban

tersebut di antaranya adalah paguyuban Masyarakat Mandiri,

Masyarakat Mandiri jalan Bali, Pengin Maju, Roda-2, PKL 2000,

PKL Sumber Urip, PKL Sumber Rejeki, PKL Guyub Rukun A,

PKL Guyub Rukun B, dan PKL non Paguyuban.

Desakan untuk mengembalikan monumen Banjarsari sesuai

peruntukannya datang dari berbagai kalangan masyarakat.

Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah kota Surakarta

menyediakan layanan hotline pesan singkat dengan cara

mengirim SMS ke Walikota melalui nomor 0817441111 dan ke

nomor Wakil Walikota 0817442222. Beberapa SMS yang

pernah terkirim ke Pemkot Surakarta di antaranya berbunyi

“Kami merindukan suasana seperti dahulu”, Mohon kepada bapak Walikota agar menata PKL Banjarsari”, Tempat yang dahulu indah kini jadi kumuh”, dan masih banyak SMS lainnya

yang sejenis (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot

Surakarta 2007).

Pertimbangan pemerintah kota Surakarta untuk

mengembalikan fungsi Monumen Banjarsari tidak hanya

karena adanya desakan dari warga masyarakat, tetapi juga

karena Monumen Banjarsari merupakan situs sejarah yang

harus dilestarikan dan kawasan monumen merupakan wilayah

resapan air dan ruang terbuka. Berbagai pertimbangan itulah

yang melatarbelakangi mengapa Pemerintah Kota Surakarta

memilih kebijakan untuk merelokasi PKL Monumen Banjarsari

ke tempat lain, tanpa mengorbankan kepentingan

kelangsungan usaha PKL. Relokasi yang dilakukan oleh Pemkot

Surakarta tidak dimaksudkan untuk meminggirkan para PKL,

Page 7: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

329

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

tetapi lebih kepada pemberian kepastian akan kelangsungan

usaha, sekaligus memberi rasa aman kepada para PKL.

Rencana Pemkot Surakarta merelokasi para PKL monumen

Banjarsari pada tahun 2005 sempat ditolak oleh sebagian PKL.

Mereka menolak rencana Pemkot, karena mereka ragu apakah

Pemkot mampu “membersihkan” kawasan Monumen

Banjarsari pasca relokasi. Demikian pula, para PKL juga

meragukan keberanian Pemkot untuk bertanggungjawab

mengenai kelangsungan usaha PKL di Semanggi pasca relokasi.

Kelompok PKL lainnya cenderung setuju jika Pemkot hanya

melakukan penataan atas masalah maraknya PKL di Monumen

Banjarsari, tidak dengan memindahkan mereka.

Meskipun ada ketidaksetujuan dan penentangan dari

sebagian PKL, Pemkot tetap berketetapan hati untuk

merelokasi mereka, meskipun ada sebagian PKL yang

mengancam akan turun ke jalan. Walikota Surakarta

menegaskan bahwa kebijakan relokasi tetap akan dijalankan,

karena Pemkot sudah berbuat banyak kepada PKL, sehingga

tidak alasan bagi PKL untuk menolak dipindahkan. Relokasi ini

sejatinya adalah untuk menjamin kepastian dan kelangsungan

usaha PKL. Seperti diungkapkan pak Walikota berikut ini.

Konsep relokasi PKL didasari pada pemikiran bahwa

PKL merupakan salah satu potensi ekonomi yang

dimiliki kota Surakarta, karena itu keberadaannya

tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan

hukum dan kepentingan seluruh warga kota

Surakarta…relokasi justru akan menjamin kepastian

dan kelangsungan usaha mereka” (Badan Informasi

dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Untuk mewujudkan rencana relokasi, Pemkot secara terus

menerus melakukan sosialisasi, tidak hanya terhadap para PKL,

tetapi juga kepada warga masyarakat lainnya. Walikota dan

Wakil Walikota tidak jarang turun ke lapangan untuk berdialog

Page 8: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

330

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

langsung dengan para PKL. Sosialisasi dan dialog juga dilakukan

dengan mengadakan pertemuan di Balaikota maupun di rumah

dinas walikota. Media lokal turut mendukung wacana relokasi

dengan menerbitkan berita tentang relokasi PKL Monumen

Banjarsari.

Dari upaya yng dilakukan oleh Pemkot Surakarta, akhirnya

seluruh PKL Monumen Banjarsari bersedia mendaftarkan diri

untuk direlokasi ke Semanggi sebelum akhir Januari tahun

2006. Bentuk kesediaan dan dukungan PKL Banjarsari terhadap

program relokasi, selain kesediaan mendaftar untuk direlokasi,

juga berupa spanduk yang dipasang di berbagai tempat dan

lokasi, misalnya spanduk bertuliskan “Seluruh PKL

Monumen’45 Banjarsari siap direlokasi ke Semanggi”, “Terima

kasih kepada Pemkot Surakarta yang telah memikirkan nasib

kami”, “Kami pro Relokasi”, “Terima kasih kepada Bapak

Jokowi dan Bapak Rudy yang telah memikirkan nasib dan

keluarga kami”, dan sejumlah spanduk lainnya.

Upaya relokasi PKL Banjarsari ke Sentra PKL yang baru,

yaitu Semanggi dilakukan secara sistematis dan terstruktur,

terlihat dari jadwal yang disusun oleh Pemkot Surakarta.

Jadwal relokasi itu adalah sebagai berikut.

Pertama, pendataan PKL pada bulan September 2005.

Kedua, desain teknis dan rancangan penempatan pedagang

atau zoning kios pada bulan Oktober 2005.

Ketiga, sosialisasi intern oleh Pemkot Surakarta kepada

PKL, bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga swadaya

masyarakat, tokoh masyarakat, dan media massa pada bulan

November 2005.

Keempat, persiapan dan pelaksanaan pembangunan

konstruksi pada bulan Januari-Mei 2006.

Page 9: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

331

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Kelima, pelaksanaan relokasi, yang meliputi persiapan para

PKL, pelaksanaan boyongan bersama, peresmian dan

pembukaan oleh walikota pada bulan Juni 2006.

Keenam, revitalisasi monumen, yakni persiapan, perataan

tanah, pekerjaan saluran, pemagaran, pavingisasi, pengaspalan

jalan, pekerjaan konstruksi sarana bermain anak, jalan setapak,

dan penyelesaian (finishing ) pada bulan Juni-Juli 2006.

Ketujuh, peresmian pemanfaatan kawasan Monumen”45

Banjarsari, diawali dengan upacara bendera dipimpin walikota

pada tanggal 17 Agustus 2006.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 44. Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi dilihat dari

depan

Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan kota

lainnya, Pemkot Surakarta sangat serius dalam mempersiapkan

lokasi baru bagi pedagang kaki lima yang direlokasi. Pemkot

telah menyiapkan lahan di Semanggi seluas 11.950 m² dan di

atas lahan itulah dibangun 1.018 kios dan sarana prasarana

lainnya, di antaranya adalah tempat parkir mobil, parkir sepeda

Page 10: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

332

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

motor, koridor, kantor pengelola, mushola, dan lavatory atau

kamar mandi dan toilet umum (Badan Informasi dan

Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Pemilihan lokasi Semanggi bukannya tanpa pertimbangan.

Lokasi Semanggi dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi

tersebut memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi, di

antaranya sarana transportasi lengkap, ada pusat kegiatan

sebagai pemacu pertumbuhan kawasan, seperti pasar besi, pasar

ayam, pasar klitikan, pasar rakyat, rumah toko, subterminal dan

bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel, restoran, rumah

sakit, dan tempat ibadah.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 45. Subterminal yang menunjang aktivitas ekonomi

PKL di Pasar Notoharjo

PKL yang dipindah diyakini tetap laku, karena citra usaha

PKL Monjari telah terbentuk dengan baik, harga barang lebih

murah dibandingkan dengan harga di toko-toko, sarana

angkutan yang memadai, seperti angkota, bis kota, dan bis antar

wilayah, sarana kawasan memadai, seperti jalan, subterminal,

Page 11: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

333

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

penunjuk arah dan pusat kegiatan lainnya, serta kenyamanan

pembeli pun lebih baik daripada ketika harus berdesak-desakan

membeli barang ketika masih di Monumen Banjarsari. Dalam

realitasnya, dagangan dan usaha PKL Monjari yang telah

berpindah di Semanggi laku dan diminati pembeli. Seperti

diungkapkan pak Marsudi (40 tahun), salah seorang penjual

pakaian berikut ini.

“awal pindah memang agak sepi pak…setelah 2 tahun

di sini, pembeli dan pelanggan mulai berdatangan. Kita

tidak kehilangan pelanggan pak, karena kita sudah

punya nomor kontak (handphone), sehingga ketika

kita pindah…mereka sudah kita beritahu…kapan

mereka butuh barang, mereka tinggal telepon…usaha

kita juga tidak mati, karena kita pindah bersama-

sama…istilahnya “bedol deso” pak…jadi ya pasar tetap

hidup” (wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April

2011).

Pedagang kaki lima yang pindah bersama-sama ke

Semanggi, menurut pak Marsudi banyak diantaranya yang

lulusan perguruan tinggi. “Mungkin faktor pendidikan inilah

yang turut memengaruhi mengapa kepindahan PKL ke

Semanggi berjalan mulus pak”, demikian ungkap pak Marsudi.

“Saya sendiri lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di

Semarang, jelek-jelek saya sarjana lho pak, meskipun pekerjaan

saya hanya berjualan pakaian” (wawancara dengan Marsudi,

Kamis, 28 April 2011).

Para pedagang kaki lima eks Monumen Banjarsari yang

telah pindah ke Semanggi memperoleh fasilitas dan perlakuan

yang baik dari pemerintah kota Surakarta. Untuk

memperlancar kepindahan ke Semanggi, utamanya untuk

mengangkut barang-barang dagangan dengan segala

perlengkapan dagang lainnya, Pemkot telah menyediakan 40

truk dengan 80 orang tenaga angkut (Badan Informasi dan

Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Kios yang ditempati PKL

Page 12: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

334

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

juga diberikan secara cuma-cuma, tidak ditarik bayaran sedikit

pun. Pembagian kios diserahkan kepada para pedagang atau

paguyuban, didampingi oleh jajaran pemerintah kota. Desain

atau tata letak kios juga disesuaikan dengan kebutuhan

pedagang, sehingga setiap pembeli bisa merasakan kenyamanan

dalam setiap transaksi.

Sebelum menjalankan usaha sebagai PKL, para pedagang

juga difasilitasi Pemkot dalam mengurus izin penempatan.

Mereka yang telah memenuhi persyaratan akan memperoleh

izin penempatan dengan diberi Surat Hak Penempatan dan

Kartu Pengenal, yang berlaku satu tahun. Surat hak atau surat

izin penempatan yang diberikan kepada PKL gratis. Hal ini

sesuai dengan amanat pasal 7 Perda Nomor Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang berbunyi “dalam

memberikan izin penempatan PKL, pemerintah daerah tidak

memungut biaya”.

Kemudahan yang diberikan Pemkot kepada PKL tidak

hanya masalah perizinan penempatan PKL, tetapi juga

pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda

Daftar Perusahaan (TDP), yang semuanya diberikan tanpa

ditarik bayaran. Dalam hal pengembangan usaha PKL di Pasar

Notoharjo Semanggi, Pemkot juga membantu pedagang kaki

lima dalam pemasaran produk. Upaya promosi dilakukan, baik

melalui media massa cetak dan elektronik, maupun melalui

pemasangan baliho, spanduk, dan penyelenggaraan kegiatan

khusus agar lokasi baru cepat dikenal.

Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan

pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta di bawah

kepemimpinan walikota Joko Widodo, telah melakukan

pendekatan budaya dalam menata PKL, utamanya PKL

Monumen Banjarsari. Relokasi atau boyongan dari Monumen

Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi dilakukan dalam

sebuah upacara kirab budaya, yang melibatkan unsur

Page 13: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

335

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

pemerintah kota Surakarta, anggota DPRD, beberapa elemen

masyarakat, dan para pedagang kaki lima. Prosesi kirab budaya

yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima (PKL)

dari kawasan Monumen Banjarsari menuju lokasi baru di

Semanggi Pasar Kliwon yang diberi nama baru Pasar Notoharjo

dilakukan pada tanggal 23 Juli 2006.

Pindahan atau “bedol deso” PKL Banjarsari ke Semanggi

terbilang langka, karena (1) jumlah PKL yang pindah secara

sukarela relatif banyak, yaitu 989 pedagang, (2) mereka pindah

secara bersama-sama, dan (3) peserta kirab berjalan kaki

menuju Semanggi dengan berpakaian adat Jawa, termasuk

walikota dan wakil walikota Surakarta. Kirab budaya juga

dimeriahkan oleh kehadiran kereta kuda, barisan prajurit dari

Keraton Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Kelompok

Sadar Wisata. Setelah melalui rute yang telah ditentukan,

peserta kirab disambut Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, di

pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Perhatian yang besar dari

pemerintah kota maupun pemerintah provinsi dan perasaan

“diuwongke” (diperlakukan secara manusiawi) inilah yang

menjadi kunci mengapa para pedagang kaki lima di Monumen

Banjarsari bersedia pindah ke Semanggi.

Relokasi PKL Monumen Banjarsari sebagai bagian dari

kebijakan penataan PKL di kota Surakarta boleh dibilang sukses

dan sudah 6 tahun ini para PKL menjalankan aktivitas

ekonominya di lokasi yang baru, yaitu Pasar Klitikan Notoharjo

Semanggi. Selain membangun pasar Notoharjo untuk pedagang

kaki lima Monumen Banjarsari, Pemkot Surakarta juga

membangun pasar Panggung Rejo dan Pucang Sawit. Sementara

itu, pedagang kaki lima lainnya, yang telah memiliki gerobak

disediakan Shelter, yaitu di Surakarta Square, DKT, Manahan,

Jebres, dan tempat lainnya. Kebijakan yang diambil Pemkot

Surakarta terhadap PKL, tidak hanya bersifat penataan, tetapi

juga pemberdayaan dan pembinaan.

Page 14: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

336

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan PKL, Pemkot

Surakarta telah memberikan pelatihan atau training kepada

pedagang kaki lima, seperti training tentang bagaimana

melayani pembeli, training penataan barang, dan training

manajemen (wawancara dengan Joko Widodo, Walikota

Surakarta, Kamis, 28 April 2011). Pemberdayaan yang

dilakukan oleh Pemkot Surakarta sesuai dengan arahan pasal 12

ayat (1) Perda nomor 3 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa

untuk pengembangan usaha PKL, Walikota berkewajiban

memberikan pemberdayaan, berupa (a) bimbingan dan

penyuluhan manajemen usaha, (b) pengembangan usaha

melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (c)

bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan

(d) peningkatan sarana dan prasarana PKL.

Ketika ditanya, mengapa pak Walikota berkenan

memberdayakan PKL? Berikut jawaban pak Joko Widodo, “PKL

adalah pedagang sektor informal dan mereka merupakan aset

ekonomi kota, sehingga harus diberdayakan” (wawancara

dengan Joko Widodo, Walikota Surakarta, Kamis, 28 April

2011). “Lagipula,” masih menurut pak Jokowi, panggilan

akrabnya, “pada tahun 2010, PKL bersama pasar memberikan

sumbangan yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah

(PAD), yaitu sebesar 19 milyar rupiah, sedangkan sektor

lainnya termasuk rendah, seperti terminal hanya 2,8 milyar

rupiah; restauran menyumbang 6 milyar rupiah, dan hotel

sumbangannya sebesar 9,8 milyar rupiah”. Keberhasilan

Pemkot Surakarta dalam menata PKL, utamanya PKL

Monumen Banjarsari sedikit banyak memberi dukungan

terhadap visi kota Surakarta sebagai kota budaya yang

bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan,

pariwisata, dan olahraga.

Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, maka

tidak heran jika Semarang menjadi tempat tujuan para migran

dari desa yang ingin mengubah nasib lebih baik dengan bekerja

Page 15: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

337

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

di kota. Tahun 2005, penduduk migran yang datang ke kota

Semarang mencapai angka 38.910 orang (RPJPD Kota Semarang

Tahun 2005-2025). Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi

peningkatan jumlah migran, yaitu tahun 2006 meningkat

menjadi 42.714 orang, tahun 2007 menjadi 43.151 orang, dan

tahun 2008 meningkat lagi menjadi 44.187 orang (Bappeda dan

BPS Kota Semarang 2010). Tahun 2009 merupakan tahun

penurunan jumlah migran di kota Semarang, yakni 35.518

orang, namun demikian jumlah tersebut tetap signifikan jika

dikaitkan dengan persoalan kesempatan kerja.

Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang

menyediakan berbagai fasilitas ekonomi dan sosial budaya,

yang memberi daya tarik tersendiri bagi para migran. Fasilitas

fisik, seperti hotel, mall, ritel, tempat-tempat hiburan, serta

restoran, kafe dan warung-warung makan, memberikan daya

tarik bagi migran untuk mencari pekerjaan. Demikian pula,

bangunan kota lama, seperti Gereja Blenduk, Lawang Sewu,

Tugu Muda, dan Kuil Sam Poo Kong, menarik para wisatawan

lokal maupun pendatang untuk berekreasi. Bangunan baru,

yaitu Anjungan Jawa Tengah yang ada di pantai Marina dan

Masjid Agung Jawa Tengah juga tidak pernah sepi dari

pengunjung, baik lokal Semarang maupun dari luar Semarang.

Industri dan pabrik-pabrik yang ada di kawasan dalam kota

Semarang maupun di sekitarnya, seperti pabrik tekstil, kayu

olahan, keramik, mebel, rokok, jamu, makanan, minuman, dan

lain-lain, menyediakan lapangan kerja yang mencukupi bagi

warga kota Semarang maupun para migran.

Para migran yang tidak tertampung bekerja di sektor formal

dapat mengais rezeki dari sektor informal dengan berdagang

atau menjalankan usaha di tempat-tempat keramaian yang

tersebar di 16 kecamatan. Mereka kebanyakan berdagang atau

menjalankan usaha di kota bawah, karena daerah padat

penduduk ada di wilayah kota bawah. Daerah padat penduduk

di kota bawah, tersebar di kecamatan Semarang Tengah,

Page 16: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

338

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Semarang Utara, Semarang Timur, Gayamsari, Genuk,

Pedurungan, Semarang, Candisari, Gajahmungkur, Semarang

Barat, dan Tugu. Kota bawah ini merupakan pusat kegiatan

pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan

kebudayaan.

Arus lalu lintas manusia yang ada di kota bawah menjadi

daya tarik bagi PKL. Tepi bantaran sungai, tepi jalan protokol

dan jalan umum lainnya, lingkungan pabrik, lingkungan

kantor, lingkungan pertokoan, lingkungan mall, lingkungan

pasar tradisional, trotoar, taman kota, lingkungan kampus

perguruan tinggi dan sekolah, dan tempat-tempat keramaian

lainnya, penuh dengan para pedagang kaki lima (PKL). Para

PKL ini sering menempati daerah atau area yang terlarang atau

dilarang oleh Perda nomor 11 tahun 2000.

PKL yang terorganisasi dengan baik telah ditata oleh

Pemkot Semarang, dengan ditempatkan pada lokasi yang tidak

mengganggu arus lalu lintas, misalnya PKL Kalisari yang

menjalankan usaha berdagang tanaman bunga dan PKL Barito

yang menjalankan usaha perdagangan barang-barang klitikan.

Para PKL yang berdagang barang-barang klitikan dan alat-alat

pertanian dan rumah tangga juga ditempatkan di sentra PKL

Kokrosono. PKL yang berdagang makanan dan minuman yang

semula berada di kawasan jalan Pahlawan, ditempatkan di

lokasi PKL jalan Menteri Soepeno. PKL-PKL terorganisasi

tersebut memperoleh perhatian yang memadai dari Pemkot,

baik dalam hal perizinan, permodalan, tempat usaha, gerobak

atau lapak, dan perlindungan.

Sementara itu, di luar PKL terorganisasi terdapat PKL

lainnya yang oleh pihak Pemkot disebut PKL liar. PKL jenis ini

menempati hampir di semua wilayah kecamatan yang ada di

kota Semarang. Mereka berdagang atau menjalankan usaha

tidak hanya pada pagi hingga siang hari, tetapi ada juga yang

berdagang dari sore hingga malam hari. Di antara para PKL liar

Page 17: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

339

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

tersebut adalah PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi yang

ada di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat,

yaitu PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono.

Kemacetan lalu lintas, kekotoran, kekumuhan, dan

kesemrawutan merupakan pandangan sehari-hari ketika para

pengguna jalan atau siapa pun yang melintasi jalan-jalan yang

padat PKL.

Di antara ketiga lokasi PKL yang menjadi objek penelitian

ini, lokasi PKL Kokrosono yang dipandang paling ramai,

semrawut, dan kumuh. Hal ini karena: (1) para PKL umumnya

menjajakan barang-barang bekas, berupa barang klitikan, (2)

mereka kebanyakan berjualan secara lesehan, menggelar barang

dagangan seperti apa adanya di tepi jalan, dan (3) jalan

Kokrosono lebarnya tidak lebih dari 6 meter, sehingga ketika

ditempati para PKL di sisi kanan dan kiri, akan makin sempit

dan mengganggu arus lalu lintas.

Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi

sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang telah lama

menjadi prioritas Kementerian Pekerjaan Umum, mulai

dikerjakan pada tahun 2009 dan diharapkan akan berakhir pada

tahun 2014. Proyek normalisasi sungai tentu saja memberikan

pengaruh terhadap keberadaan para PKL yang menjalankan

aktivitas ekonomi di sisi sungai. Pembangunan fisik sungai,

mulai dari pengerukan lumpur akibat dari sedimentasi sungai

yang sudah terlalu lama dan pembuatan talut, telah

menyingkirkan PKL yang menempati tepi sungai, baik mereka

yang ada di Sampangan, Basudewo, maupun Kokrosono.

Sebagai bagian dari pemerintah pusat, tentu saja

pemerintah kota Semarang mengambil sikap mendukung

proyek, sehingga diambil kebijakan relokasi bagi PKL yang

menempati wilayah tepi sungai. Apalagi rencana normalisasi

sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat juga sudah

dituangkan dalam RPJPD kota Semarang tahun 2005-2025,

Page 18: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

340

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

RPJMD kota Semarang tahun 2010-1015, dan RTRW kota

Semarang tahun 2011-2031.

Normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat

ditandai dengan aktivitas merapikan sungai, tidak hanya di

dalam dan di pinggir (DAS dan sempadan), tetapi juga menata

dan merapikan lingkungan di sisi kanan dan kiri sungai yang

ditempati para pedagang. PKL terkena dampaknya, tidak dapat

menjalankan aktivitas ekonomi dan harus keluar dari wilayah

tersebut. Relokasi ini diawali dengan tindakan penertiban yang

dilakukan oleh Pemkot Semarang. Tidak adanya komunikasi

yang efektif antara Pemkot dengan para PKL, penertiban yang

dilakukan oleh Pemkot menyebabkan terjadinya perlawanan

dari para PKL, terutama mereka yang menjalankan aktivitas di

Sampangan dan Basudewo. Demikian pula, tidak adanya

perencanaan yang komprehensif dari Pemkot, menyebabkan

perlawanan (resistensi) di kalangan para PKL.

Tidak seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota

Surakarta, strategi Pemkot Semarang dalam menata PKL lebih

diutamakan pada dua hal, yaitu penertiban (penggusuran) dan

relokasi. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya,

penertiban terhadap PKL dilakukan di hampir semua pelosok

kota yang terdapat pedagang sektor informal. Pedagang nasi,

pedagang makanan dan minuman, pedagang jajanan oleh-oleh

khas Semarangan, pedagang bunga, dan pedagang barang-

barang bekas yang berjualan di tepi sungai, di trotoir, di taman-

taman kota, dan tempat-tempat lain yang terlarang, pernah

mengalami penertiban dan penggusuran. Ada yang kapok, lalu

tidak berjualan lagi di tempat tersebut, tetapi banyak juga yang

kembali berjualan ketika mereka merasa aman dan tidak ada

tindakan penertiban dari aparat Satpol PP. Taktik “run and back” yang mereka gunakan, yaitu lari menyingkir dan kembali

lagi setelah kondisi aman.

Page 19: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

341

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Pemkot menertibkan para pedagang tersebut, lebih didasari

oleh kepentingan sepihak, yaitu menata kota agar tertib, asri,

indah, bersih, aman, dan nyaman. Hal ini dilakukan untuk

mengejar tujuan jangka pendek, yaitu dalam rangka meraih

penghargaan Adipura. Sementara itu, kepentingan pedagang,

untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tidak

begitu diperhatikan. Pendek kata, yang penting kota bersih,

tidak ada lagi PKL yang mengotorinya, demikian yang

dikehendaki Pemkot.

Selain tujuan jangka pendek di atas, kebijakan yang

ditempuh Pemkot Semarang dalam menata PKL tersebut juga

didasari oleh tujuan jangka panjang Pemkot untuk mewujudkan

Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa. Sesuai dengan

Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun

2010-2015, Pemkot Semarang ingin mewujudkan visi kota

Semarang, yaitu terwujudnya kota Semarang sebagai kota

Perdagangan dan Jasa yang berbudaya menuju Masyarakat

Sejahtera.

Visi kota Semarang ini sejalan dengan visi walikota

Semarang Soemarmo HS, yakni yang terkenal dengan sebutan

SETARA atau Semarang Kota Sejahtera. Waktunya Semarang

Setara, sebagaimana sering diucapkan walikota dalam berbagai

kesempatan, dimaksudkan untuk membangun motivasi dan

mengoptimalkan potensi kota Semarang, melalui komitmen

seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan

swasta) untuk bersama-sama membangun kota Semarang dan

mensejajarkannya dengan kota metropolitan lainnya.

Waktunya Semarang Setara juga dimaksudkan sebagai

momentum kebangkitan seluruh masyarakat kota Semarang

agar mampu menjadikan kota Semarang sejajar dengan kota-

kota metropolitan lainnya dalam segala aspek kehidupan, guna

mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Semarang

Page 20: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

342

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Kota Sejahtera merupakan sasaran akhir dari pembangunan

kota, terutama pada masa kepemimpinan Soemarmo HS.

Untuk mewujudkan visi kota Semarang, Pemkot Semarang

merumuskan misi sebagai berikut.

Pertama, mewujudkan sumberdaya manusia dan

masyarakat kota Semarang yang berkualitas.

Kedua, mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan

efisien, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta

menjunjung tinggi supremasi hukum.

Ketiga, mewujudkan kemandirian dan daya saing daerah.

Keempat, mewujudkan tata ruang wilayah dan

infrastruktur yang berkelanjutan.

Kelima, mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat.

Visi dan misi kota Semarang diwujudkan dengan

memprioritaskan program-program pembangunan dalam

bentuk Sapta Program, yang meliputi (1) program

penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran,

(2) program penanganan rob dan banjir, (3) program

peningkatan pelayanan publik, (4) program tata ruang dan

peningkatan infrastruktur, (5) program peningkatan kesetaraan

dan keadilan gender, (6) program peningkatan pelayanan

pendidikan, dan (7) program peningkatan pelayanan kesehatan

(http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content

&task=view&id=34&Itemid=53. diunduh pada hari Kamis, 8

September 2011).

Kebijakan Pemkot Semarang yang tidak komprehensif,

yang hanya bertumpu pada penertiban dan relokasi, serta

didukung oleh sikap petugas Satpol PP yang arogan, akhirnya

menimbulkan tingkat akseptabilitas yang rendah di kalangan

pedagang. Pada hampir semua tempat yang digusur, para

pedagang memperlihatkan reaksi yang hampir sama, yaitu

Page 21: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

343

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

menolak dan melawan. Penolakan dan perlawanan yang

dilakukan PKL memiliki motif yang sama, yaitu untuk

mempertahankan lokasi berdagang demi menyambung hidup.

Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana arogansi dari

petugas Satpol PP dan bagaimana reaksi dari pedagang kaki

lima yang digusur.

Sumber: Suara Merdeka Kamis, 14 Juli 2011

Gambar 46. Petugas Satpol PP sedang membongkar Lapak

PKL di Indraprasta Semarang

Pembongkaran empat bangunan PKL di Jalan

Kusumawardani Semarang pada tanggal 19 Mei 2011 misalnya,

menimbulkan perlawanan dari PKL (Suara Merdeka, Jumat, 20

Mei 2011). Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka tersebut,

proses pembongkaran bangunan sempat diwarnai kericuhan

dan para pedagang melakukan perlawanan karena mereka

merasa belum pernah mendapatkan teguran dan peringatan

sebelumnya. Pedagang kecil, seperti pedagang bakso, meskipun

sendirian, berani melawan dan menolak digusur ketika sedang

berjualan. Tipologi perlawanan yang dilakukan PKL, yaitu

membandel, bertahan di tempat atau tidak mau dipindah.

Page 22: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

344

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Sumber: Semarang Metro, 21 Juni 2011

Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat

Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang

Sikap membandel dari pedagang bakso di atas merupakan

salah satu contoh dari perlawanan “wong cilik” terhadap

kebijakan penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot.

Perlawanan yang hebat dan sistematis, terjadi di lokasi PKL

Sampangan dan Basudewo, karena bangunan dan lapak mereka

dibongkar oleh petugas Satpol PP. Bukan hanya itu yang

membuat mereka melawan. Tidak adanya kepastian relokasi

yang representatif, membuat mereka menolak dipindahkan dan

tetap bertahan di lokasi.

B. Keberhasilan Penataan PKL: Belajar dari Relokasi PKL

Monjari

Surakarta merupakan sedikit dari pemerintah daerah yang

memiliki kebijakan dan strategi dalam menata dan membina

pedagang kaki lima (PKL) tanpa adanya penentangan yang

berarti dari para PKL. Pemindahan pedagang kaki lima (PKL)

Page 23: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

345

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Monumen Banjarsari (Monjari) ke sentra PKL Notoharjo

merupakan contoh dari kebijakan relokasi yang bagus. Sejak

dilakukan boyongan pada tanggal 23 Juli 2006 ke lokasi PKL

Semanggi, praktis pemerintah kota Surakarta tidak menemui

hambatan berarti dalam penataan PKL.

Namun demikian, persoalan PKL di kota Surakarta tidak

berarti telah selesai, sebab jumlah PKL yang berhasil ditangani

baru 989 yakni mereka yang dahulu melakukan aktivitas

ekonomi di Monumen Banjarsari. Padahal sebagaimana

diketahui, jumlah PKL di Surakarta pada tahun 2006 yang lalu

saja sudah mencapai angka 5.817 pedagang. Mereka belum

semua tertangani dengan baik, namun pendekatan yang

ditempuh Pemkot Surakarta berpedoman pada Perda Nomor 3

Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima,

ditengarai dapat mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota

Surakarta, apalagi Pemkot Surakarta juga telah melakukan

banyak hal untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan

para PKL, yakni selain memperbaiki pasar yang dapat

menampung para PKL, juga membuat selter-selter dan

memberikan bantuan gerobak kepada PKl yang bersedia dibina

dan dikembangkan. Seperti halnya pemerintah kabupaten dan

pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta pun tidak segan-

segan melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang

melanggar Perda.

Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke pasar

Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari

penataan PKL di kota Surakarta. Bagi Walikota dan Wakil

Walikota Surakarta, keberhasilan penataan PKL Monumen

Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Surakarta telah

paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen

Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan

pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat

lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah

kota dan masyarakat memiliki tekat yang sama, yaitu ingin

Page 24: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

346

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

menjadikan kota Surakarta tetap BERSERI, yakni bersih, sehat,

rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang walikota yang

penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk

tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah,

termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi

keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan pak walikota kepada

rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan

secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut.

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset

ekonomi bagi kota Surakarta pak…dengan dididik dan

diberdayakan, mereka akan tumbuh menjadi

pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha

kaya yang memiliki mall-mall di Surakarta. Saya

sendiri tidak anti mall, juga tidak anti

pengusaha…tetapi kita harus cermat dalam

memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai

karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati”

(wawancara dengan Joko Widodo, walikota Surakarta,

Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati pak Jokowi, diduga

memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini.

Dalam kepemimpinan Asthabrata, pak Jokowi termasuk tipe

pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki

manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam

ajaran Asthabrata (Suratno 2006:79). Sebagai sang surya,

matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik

hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak

matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu

menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua

makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas

memberikan miliknya kepada orang lain (Suratno 2006:79).

Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang

halus, menunjukkan bahwa pak Jokowi orang yang tidak

arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, pak Jokowi adalah tipe

Page 25: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

347

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

walikota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya,

patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak “tega”

melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai

oleh masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga

memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,

yaitu “ngayomi” (memberi perlindungan), “ngayemi”( membuat

tenteram), dan “ngayani” (memberi kesejahteraan) atau dikenal

dengan prinsip 3N.

Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai pemimpin, sesuai

dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan

perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka

rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada

atau mempunyai harta berlebih.

Pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak

menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru

dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan

nyaman hidupnya. Pemimpin seperti ini, jika pergi akan

dirindukan bawahannya dan ketika ada di tengah-tengah

bawahannya, membuat bawahan merasa senang.

Pemimpin Jawa juga harus berjiwa “memberi”, memiliki

sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan akan sedih

hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan

kemiskinan. Apa pun akan dilakukan pemimpin untuk

menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya.

Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang “Njawani”,

karena mampu menterjemahkan prinsip 3N, dengan

memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Surakarta, khususnya

mereka yang berada pada lapisan menengah ke bawah.

Strategi komprehensif yang dilakukan oleh Pemkot

Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan,

terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang,

Page 26: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

348

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

bahkan mereka sangat antusias merespon kebijakan relokasi

yang ditentukan Pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar

Notoharjo Semanggi, merasa dirinya “diuwongke”

(dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo

Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang

tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon

kebijakan pak walikota, menjadi preseden yang bagus sekaligus

bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan

dalam penataan pedagang kaki lima.

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke

Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3

faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL

Monjari oleh Pemkot Surakarta.

Pertama, kepemimpinan Walikota Surakarta Joko Widodo

yang “Njawani”, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong

cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat

Surakarta, utamanya rakyat kecil.

Kedua, pendekatan kebudayaan (berbasis budaya Jawa)

dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang

dikehendaki walikota Surakarta juga merupakan keinginan

PKL, sehingga relokasi ke pasar Notoharjo tidak menemui

hambatan.

Ketiga, relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo berjalan

dengan baik, karena adanya blue print penataan PKL Surakarta,

mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pasca

relokasi.

Keberhasilan Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan

Walikota Joko Widodo dalam menata pedagang kaki lima,

membuat banyak pemimpin daerah kabupaten dan kota belajar

dari kisah sukses pak Jokowi. Bahkan delegasi negara tetangga,

yaitu Philipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand pernah

berkunjung ke Surakarta untuk belajar bagaimana pemerintah

Page 27: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

349

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

kota, terutama walikotanya dalam menata PKL tanpa

menimbulkan gejolak (Kompas, Kamis, 24 Juni 2010, halaman

22). Kondisi PKL pasca relokasi juga menjadi daya tarik bagi

pemimpin daerah dalam negeri maupun luar negeri yang

hendak belajar dalam menata dan membina PKL. Aktivitas

ekonomi yang berjalan baik di Pasar Notoharjo Semanggi,

didukung oleh fasilitas pasar dan kebersihan yang bagus,

memberikan nilai plus kepada kebijakan pemerintah kota

Surakarta, utamanya kebijakan pasca relokasi.

Tidak banyak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten

yang sukses dalam menata PKL pasca relokasi. Ambil contoh,

relokasi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) ke

sentra PKL Kokrosono, yang dilakukan Pemkot Semarang,

hingga kini masih menyisakan persoalan. Sentra PKL

Kokrosono yang menjadi tempat relokasi bagi PKL Sampangan,

Basudewo, dan Kokrosono liar terdapat gedung untuk relokasi

yang tidak dilengkapi kios yang dapat digunakan oleh PKL

untuk menjalankan usahanya.

Di tempat tersebut, kios harus dibuat sendiri dengan biaya

sendiri, sehingga standar kios tidak ada. Hal ini jelas

memberatkan dan menjadi salah satu alasan mengapa PKL yang

direlokasi tidak segera pindah ke sentra PKL Kokrosono. Kios

yang harus dibangun di lantai dua menjadi hambatan bagi PKL

yang berdagang nasi, membuka usaha bengkel, dan PKL yang

menjalankan usaha mebel. Pembeli yang enggan naik ke lantai

dua menjadi alasan pula mengapa cukup banyak PKL yang

tidak bersedia pindah menempati gedung yang sudah

disediakan pemerintah.

Tidak ada adanya standar bangunan kios dan tidak adanya

bantuan dana untuk membuat kios, menyebabkan para PKL

yang bersedia dipindah, membuat sendiri kiosnya dengan

bahan-bahan baku bekas, seperti papan kayu untuk ruang kios,

cat seadanya, dan lantai ada yang “dikeramik” dan ada pula

Page 28: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

350

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

yang dibiarkan polos dari lantai beton. Kios yang ditempati juga

dimanfaatkan untuk sembarang usaha dan aktivitas, seperti

pembuatan mebel, ternak ayam, warung minuman, kamar

tidur, dan lain-lain. Gambar di bawah ini adalah beberapa kios

PKL yang dibangun sendiri oleh pedagang di gedung PKL

Kokrosono blok H.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 48. Kios PKL Kokrosono yang harus dibuat sendiri

oleh PKL yang direlokasi

Tidak adanya perencanaan dan pengendalian yang bagus

dari Pemkot, membuat banyak kios yang diperjualbelikan oleh

PKL tanpa sepengetahuan Pemkot. Konflik antar PKL juga

tidak dapat dihindari, karena tidak adanya ketegasan dari

Pemkot. Kegiatan penataan kios di gedung G dan H dari 8

gedung berlantai dua yang disediakan untuk kepentingan PKL,

yang tidak dikontrol dengan baik oleh Pemkot, menyebabkan

terjadinya perebutan tempat antar PKL. Praktik jual beli kios

secara liar membuat kondisi PKL Kokrosono menjadi kian tak

terkendali. Adanya “free rider” dalam penempatan PKL yang

Page 29: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

351

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

dipindahkan dari tempat lain, membuat lokasi PKL Kokrosono

tidak nyaman untuk aktivitas ekonomi. Belum lagi tempat yang

kumuh dan kotor di sekeliling gedung PKL Kokrosono,

membuat pembeli tidak betah berlama-lama di Kokrosono.

Sikap lepas tangan dari pejabat Pemkot membuat para PKL

yang berada di Kokrosono bertindak seenaknya terutama dalam

menjualbelikan kios kepada orang lain. Jika dibandingkan

dengan sentra PKL di Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta,

lokasi PKL Kokrosono jauh dari ideal, karena tidak ada fasilitas

yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bagi PKL dalam

menjalankan aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Pasar

Notoharjo. Gambar berikut menunjukkan bahwa bangunan

PKL Kokrosono dan lingkungan fisik di sekitarnya tidak

terawat dan terkesan kumuh.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 49. Sentra PKL Kokrosono yang kumuh dan tidak

terawat

Keberhasilan walikota Surakarta dalam melakukan

penataan dan pembinaan PKL memberi inspirasi kepada

walikota Semarang yang baru, yaitu Soemarmo HS untuk

Page 30: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

352

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

memperindah dan mempercantik kota Semarang tanpa

menyakiti warga masyarakat miskin, khususnya pedagang kaki

lima. Itu pun dilakukan setelah memperoleh masukan dari

Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), LSM,

dan tokoh-tokoh masyarakat. Apa yang dilakukan walikota

Semarang tersebut juga berkaitan dengan “grand strategy”

Pemkot untuk mewujudkan kota Semarang sebagai pusat

perdagangan dan jasa sesuai dengan arahan Perda kota

Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kota Semarang

Tahun 2005-2025, Perda kota Semarang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) kota Semarang Tahun 2010-1015, dan Perda kota

Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah kota Semarang Tahun 2011-2031.

Berdasarkan Perda-perda tersebut, walikota sejak

kepemimpinannya pada tahun 2010 melakukan penataan fisik

kota Semarang. Daerah pusat kota, seperti area bundaran

Simpang Lima dan sekitarnya, jalan Pahlawan, jalan Menteri

Soepeno, jalan Pemuda, area Monumen Tugu Muda dan jalan-

jalan di sekitarnya ditata dengan apik, yang membuat ruang

publik di sekitarnya menjadi indah dan bersih.

Page 31: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

353

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 50. Ruas jalan Pahlawan yang telah ditata rapi oleh

Pemkot

Sejak itu, banyak warga masyarakat, utamanya anak-anak

muda berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat kota untuk

menikmati keindahan malam kota Semarang. Ada di antara

mereka yang sekedar bercengkerama, berbincang-bincang ke

sana kemari sekedar untuk melepaskan ketegangan karena lelah

beraktivitas pada pagi hingga sore hari. Ada pula yang

menyalurkan hobi, seperti berkumpulnya anggota geng motor

dan mobil, beradu ketangkasan bersepeda, bermain sepatu roda,

menari dan berdansa, serta banyak juga yang menyalurkan

hobinya dengan memfoto objek-objek menarik di Tugu Muda

maupun di jalan Pahlawan. Ruang publik yang berada di

bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Menteri

Soepeno, jalan Pemuda, dan Monumen Tugu Muda ramai

dipadati warga kota Semarang terutama pada hari Jumat hingga

Minggu malam.

Selain menata ruang publik menjadi lebih rapi, indah, dan

bersih, Pemkot Semarang juga membangun shelter yang

Page 32: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

354

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

diperuntukkan bagi pedagang kaki lima di sekitar bundaran

Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno. Shelter-shelter ini

diberikan secara gratis kepada para PKL yang sejak awal sudah

berdagang di sekitar bundaran Simpang Lima dan di tepi jalan

Pahlawan. Para PKL yang berjualan di tepi jalan Pahlawan pada

akhir tahun 2010 direlokasi ke sentra PKL di jalan Menteri

Soepeno, tepatnya di sekeliling Taman KB. Di lokasi PKL yang

baru ini, para PKL mendapatkan fasilitas shelter dan gerobak

gratis. Berkat kerjasama dengan PT. Coca-Cola, gerobak dapat

diberikan secara gratis kepada para pedagang. Gambar di bawah

ini memperlihatkan shelter yang disediakan Pemkot di jalan

Menteri Soepeno.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 51. Shelter yang disediakan Pemkot untuk PKL

jalan Menteri Soepeno

Oka (30 tahun) adalah salah seorang pedagang yang

memperoleh fasilitas sarana prasarana gratis dari pemerintah

kota Semarang. Semula ia berdagang di jalan Pahlawan

membantu pamannya. Sejak akhir tahun 2010 ia pindah di jalan

Menteri Soepeno, sesuai dengan kebijakan Pemkot Semarang

Page 33: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

355

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

yang merelokasi PKL yang berjualan di jalan Pahlawan ke

lokasi PKL jalan Menteri Soepeno.

Menurut penuturan Oka, semua fasilitas untuk berdagang,

yaitu tempat (shelter) dan gerobak disediakan gratis oleh

Pemkot. Selain itu, juga disediakan fasilitas air dan listrik.

“Sekarang enak pak, serba gratis…kita hanya bayar retribusi

untuk Dinas Pasar, yaitu Rp14.000,00, itu sudah termasuk air

dan listrik; sedangkan untuk paguyuban kita bayar Rp2.000,00”,

kata Oka. Ketika ditanya, berapa pendapatan per hari, dengan

agak malu-malu, ia menjawab: “ya tidak pasti pak…kalau

dirata-rata per hari hanya Rp50.000,00…sepi pak, tidak seperti

ketika berjualan di jalan Pahlawan, ramainya hanya hari Sabtu

dan Minggu” (Wawancara dengan Oka, Minggu, 9 Oktober

2011).

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 52. Mbak Oka dengan barang dagangannya

Di jalan Menteri Soepeno awalnya terdapat 48 shelter yang

ditempati PKL, yang diberikan kepada (1) PKL yang pada

Page 34: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

356

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

waktu pagi hari berjualan di sekitar Taman KB jalan Menteri

Soepeno dan (2) PKL Pahlawan yang dipindah ke jalan Menteri

Soepeno. Pada bulan November 2011 telah dibangun pula

shelter di lokasi yang biasa digunakan berdagang oleh pedagang

jagung bakar dan penjual helm. Bulan Desember, shelter tersebut telah ditempati oleh pedagang jagung bakar yang

berjualan pada malam hari. Di lokasi yang juga berada di jalan

Menteri Soepeno ini, dibangun 40 shelter meskipun tempatnya

tidak sebaik shelter yang berada di sekeliling Taman KB,

namun dapat digunakan para pedagang untuk tempat berjualan,

karena juga disediakan fasilitas perlistrikan.

Sementara itu, shelter di Bundaran Simpang Lima

jumlahnya ada 87 buah, yang diperuntukkan bagi PKL yang

dahulu berdagang di sekitar Bundaran Simpang Lima.

Kedelapan puluh tujuh shelter tersebut mengelilingi bundaran

Simpang Lima, yang berada di sisi barat, selatan, dan timur;

sedangkan sisi utara yang berada di depan hotel Ciputra tidak

disediakan shelter karena adanya keberatan dari pihak

manajemen hotel. Demikian pula, di depan masjid

Baiturrahman Semarang yang biasa digunakan oleh PKL untuk

berdagang, tidak dibuatkan shelter karena untuk menghormati

warga kota yang hendak sholat di masjid tersebut. Namun

demikian, meskipun tidak ada shelter yang dibangun, para

pedagang tetap nekat berjualan di depan masjid. Shelter yang

disediakan untuk pedagang merupakan bagian dari upaya

Pemkot Semarang untuk mempercantik Kota Semarang. Untuk

menyelesaikan shelter tersebut, Pemkot telah menghabiskan

anggaran sebesar Rp15 milyar.

Menurut penuturan walikota Semarang, Soemarmo HS,

anggaran tersebut digunakan untuk menata dan mempercantik

seluruh bundaran Simpang Lima, termasuk pembuatan shelter bagi PKL. Ketika ditanyakan mengapa Pemkot harus

mengeluarkan sedemikian banyak anggaran guna menata

bundaran Simpang Lima, walikota mengungkapkan bahwa,

Page 35: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

357

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

besaran anggaran untuk mempercantik Simpang Lima

didasarkan atas keberadaan Simpang Lima sebagai wajah utama

kota Semarang, bahkan Simpang Lima ini sudah menjadi ikon

kota sejak lama (Harian Semarang, Kamis, 26 Agustus 2010,

halaman 2).

Gambar di bawah ini merupakan salah satu shelter yang

dibuat di depan E-Plaza Semarang, yang berada di sebelah barat

bundaran Simpang Lima. Sejak awal tahun baru (2012), seluruh

shelter yang ada di sekeliling bundaran Simpang Lima sudah

digunakan pedagang makanan dan minuman untuk berjualan.

Sejak dioperasikan shelter-shelter tersebut, suasana malam

Simpang Lima makin ramai, karena di sekeliling bundaran

Simpang Lima, banyak dipadati para pedagang nasi dan

minuman serta pengunjung Simpang Lima yang ingin

menikmati suasana malam Simpang Lima sambil makan dan

minum.

Sumber: Dokumen Peribadi

Gambar 53. Shelter yang disediakan bagi PKL Simpang Lima

Page 36: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

358

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Secara selintas, kebijakan Pemkot Semarang ini sepertinya

memberikan manfaat bagi semua PKL yang ada di kota

Semarang. Sesungguhnya tidak seperti itu. Hanya PKL yang

terorganisasi dan yang mudah terjangkau oleh pemerintah kota

Semarang yang diberi perhatian secara memadai oleh Pemkot.

Kebijakan diskriminatif dalam penataan PKL ditunjukkan

Pemkot.

PKL yang terorganisasi dan dapat ditata, diberi fasilitas

untuk menjalankan usaha ekonomi, seperti dibuatkan shelter

dan dibantu gerobak untuk berdagang, sedangkan PKL liar

yang jumlahnya lebih banyak dari PKL terorganisasi dibiarkan

tanpa ada fasilitasi dan mereka rentan terkena penggusuran.

Pembuatan shelter di pinggir bundaran Simpang Lima pun

sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi,

pemerintah memang peduli kepada kehidupan wong cilik, yaitu

PKL, dengan memberikan tempat berdagang di pusat kota. Pada

sisi lain, bisa saja pembuatan shelter di pusat kota tersebut

untuk memberi kesan bahwa Pemkot Semarang peduli kepada

kehidupan dan nasib rakyat kecil, utamanya PKL. Padahal jika

ditilik secara mendalam, sikap diskriminatif Pemkot masih

tampak. PKL yang liar, sulit diatur, dan sulit dikendalikan,

seperti mereka yang beraktivitas ekonomi di Sampangan,

Basudewo, dan Kokrosono, tidak ditata dengan baik, bahkan

ada kesan dibiarkan, sehingga permasalahan PKL di kota

Semarang belum tuntas diselesaikan.

PKL liar yang berdagang dan menjalankan aktivitas

ekonomi tidak hanya yang berlokasi di Sampangan, Basudewo,

dan Kokrosono, yang ketiganya berada di tepi sungai Kaligarang

dan Banjir Kanal Barat. Masih banyak PKL liar yang menempati

lokasi-lokasi strategis, baik di pusat kota maupun di pinggir

kota, yang semuanya belum ditangani secara baik oleh Pemkot.

Ini semua adalah akibat dari tidak adanya pedoman penataan

dan pembinaan PKL yang komprehensif.

Page 37: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

359

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

C. Hambatan yang dihadapi Pemerintah

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah tentu

tidak semuanya dapat diterima masyarakat. Ada pihak yang pro

dan ada pula yang kontra terhadap kebijakan yang diambil.

Mereka yang pro atau setuju dengan kebijakan biasanya adalah

pihak yang diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dari

kebijakan yang telah diputuskan. Sementara itu, pihak yang

kontra, menolak, atau menentang kebijakan tersebut adalah

pihak yang tidak memperoleh keuntungan apa pun dari

kebijakan tersebut atau mereka berada pada pihak yang

dirugikan akibat dari kebijakan yang akan dan telah diambil.

Permasalahan PKL bukan persoalan yang mudah

dipecahkan. Banyak faktor yang melingkupinya. Tidak hanya

terkait dengan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor

formal, tetapi juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya,

seperti meningkatnya arus migrasi ke kota, bertambahnya

jumlah penduduk kota, makin sempitnya lahan kota karena

dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, bisnis, perbankan,

dan perdagangan, makin lengkapnya fasilitas kota, karakteristik

urban yang umumnya rendah pendidikan dan tak

berketerampilan, dan faktor lainnya, yang membuat kota

menjadi tempat menarik bagi migran atau urban yang hendak

mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Para migran dan urban yang tidak terserap oleh sektor

ekonomi formal, umumnya mencari rezeki dengan memasuki

sektor informal, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima.

Jenis usaha yang dipilih pun beraneka ragam, ada yang menjadi

pedagang makanan dan minuman, pedagang alat-alat pertanian

dan pertukangan, pedagang barang-barang bekas (klitikan),

pedagang pakaian, dan lain-lain.

Para PKL yang rata-rata modalnya sedikit ini, biasanya

mencari tempat yang ramai atau padat manusia. Tidak adanya

Page 38: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

360

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

tempat kosong yang khusus disediakan oleh Pemkot, membuat

mereka nekat menempati area terlarang, seperti tepi sungai,

trotoar, emperan toko, ruang dekat pasar tradisional maupun

modern, ruang dekat sekolah, ruang dekat perkantoran, dan

area lainnya yang mudah diakses pembeli. Anggaran yang

terlalu kecil sering menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten

dan kota di Jawa Tengah untuk melakukan penataan dan

pembinaan pedagang kaki lima.

Kota Surakarta dengan jumlah PKL lebih dari 5.000 orang

dan Semarang dengan jumlah PKL lebih dari 11.000 orang

mengalami kesulitan dalam menata dan menertibkan PKL. Data

jumlah PKL ini bisa saja berubah lebih tinggi, karena data

terbaru belum diperoleh. Selain itu, pertumbuhan dan

perkembangan yang cepat dari sektor ekonomi informal (PKL)

juga merupakan variabel yang dapat menambah data jumlah

PKL.

Keterbatasan lahan yang dimiliki pemerintah kota

merupakan kendala tersendiri, apalagi sebagian lahan harus

disediakan pemerintah untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang

tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain, selain untuk

kepentingan RTH. Sikap PKL yang sulit diatur juga menjadi

kendala bagi Pemkot untuk menata dan membina PKL. Hari ini

ditertibkan, mereka patuh tidak menempati area terlarang,

tetapi begitu tidak ada penertiban, mereka kembali lagi ke

tempat semula. Mirip film Tom and Jerry, petugas Satpol PP

sebagai Tom selalu mengejar-ngejar PKL sebagai Jerry. Mereka

tidak pernah akur, Tom dengan gigi taringnya menakut-nakuti

Jerry, tetapi Jerry yang cerdik tampaknya tidak pernah jera.

PKL tampaknya memang tidak pernah jera untuk

berdagang di tempat terlarang, meskipun acapkali Satpol PP

menertibkannya. Pemerintah kabupaten Grobogan misalnya,

mengakui kewalahan dalam mengatur pedagang kaki lima di

Purwodadi. Menurut Kabid Pengendalian Lingkungan BLH

Page 39: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

361

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Pemkab Grobogan, Endah Pamularsih, kegagalan kabupaten

Grobogan memperoleh Adipura, karena masih adanya kawasan

kumuh yang ditempati para PKL (Semarang Metro, Sabtu, 5

November 2011).

Kebanyakan pemerintah kabupaten atau kota melakukan

penataan PKL, salah satu tujuan terpenting adalah untuk

memperoleh penghargaan Adipura, sebuah penghargaan

prestisius bagi bupati atau walikota yang berhasil

memperolehnya. Untuk keperluan tersebut, tidak segan-segan

pemerintah menggusur PKL atau setidaknya mengarahkan PKL

agar tidak mengganggu persiapan dan pelaksanaan penilaian

Adipura. Pemkot Semarang biasanya meminta PKL untuk tidak

berdagang beberapa hari ketika tiba masa penilaian Adipura

dari pemerintah pusat.

Komunikasi yang kurang antara Pemkot dan PKL juga

menjadi penyebab sekaligus hambatan mengapa PKL sulit

ditata. Macetnya komunikasi antara kedua belah pihak,

menyebabkan munculnya perasaan saling curiga dan tidak

adanya kepercayaan satu dengan lainnya. Keberhasilan relokasi

PKL Monjari ke pasar Notoharjo Semanggi Surakarta

merupakan bukti dari berlangsungnya komunikasi yang intensif

antara Pemkot dengan PKL.

Komunikasi berlangsung baik ketika walikota beserta

wakilnya melepas baju kedinasan dan bersedia berbaur dengan

PKL, sehingga PKL menjadi impresif terhadap apa yang

dilakukan orang nomor satu dan nomor dua di Surakarta

tersebut. Perhatian yang besar dari pemimpin tersebut mampu

membuka kunci ketertutupan, kebandelan, dan kenekatan dari

PKL, sehingga para PKL akhirnya bersedia dipindah ke tempat

lain yang lebih baik kondisinya. Hal ini tidak terjadi di kota

Semarang.

Tidak adanya komunikasi dialogis antara Pemkot Semarang

dan PKL menjadikan PKL tidak mudah menerima kebijakan

Page 40: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

362

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Pemkot. Rapat-rapat yang diadakan PKL tidak pernah dihadiri

oleh pejabat kota Semarang. Kalau pun pernah, hanya

menjelang akhir perjuangan PKL Basudewo, wakil walikota

bersedia hadir, itu pun hanya sekali untuk menegosiasi PKL

agar mereka bersedia pindah ke sentra PKL Kokrosono. Pejabat

kota Semarang yang lebih mengedepankan gengsi kekuasaan,

membuat mereka tidak dengan mudah diterima di kalangan

para PKL. “Kalau diundang untuk membicarakan nasib kita,

mereka tidak pernah datang pak, mungkin gengsinya turun

kalau hadir di tengah orang miskin”, demikian ungkap pak

Achmad. Pedagang kaki lima (PKL) menjadi resisten ketika

mereka ditertibkan, apalagi penertiban dilakukan secara tidak

manusiawi.

Penertiban dan penggusuran sebagai bahasa kekuasaan

Pemkot menjadi pintu masuk bagi PKL untuk melakukan

perlawanan, apalagi dalam realitas kebijakan yang dikeluarkan

Pemkot, para PKL harus berada pada posisi harus mengalah,

kalah dan dikalahkan demi kepentingan yang lebih besar.

Mereka harus minggir dari jalanan atau tempat terlarang

lainnya, demi pembangunan yang lebih besar manfaatnya bagi

kota dan masyarakat.

Sikap bandel atau membangkang merupakan tipikal dari

sebagian PKL di kota Semarang. Sikap bandel dan

membangkang ini juga merupakan hambatan yang dihadapi

Pemkot dalam menata PKL. Para PKL pada saat “dirazia” akan

pergi dari lokasi, tetapi begitu kondisi sudah aman, mereka

akan kembali ke tempat semula. Ini terjadi tidak hanya di

Semarang, tetapi juga di daerah lainnya.

“Kami berkali-kali telah memperingatkan, tetapi tidak

diindahkan, terpaksa kami merazia mereka”, keluh

Daniel Sandanafu, Kabid pengendalian dan

Operasional Satpol PP Kota Semarang (Semarang

Metro, Kamis, 17 November 2011).

Page 41: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

363

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Kebandelan PKL juga dirasakan oleh Kepala Satpol PP

Kabupaten Grobogan, Daru Wisakti.

“Banyak PKL yang membandel meskipun sering kami

tertibkan, dan kali ini bagi yang melanggar akan kami

proses sampai Pengadilan atas pelanggaran Perda”,

tegas Daru (Semarang Metro, Sabtu, 5 November

2011).

Sikap bandel dan tidak disiplin dari PKL Semarang juga

ditunjukkan dari banyaknya PKL yang tidak memiliki Surat

Keputusan resmi dari Pemkot untuk izin berdagang. Mereka

yang sudah menempati lahan dan telah mendirikan bangunan

dan lapak tidak resmi, juga banyak di antaranya yang menjual

lahan kepada pihak lain.

“lahan bukan hak milik banyak yang dijual dan

dipindahtangankan kepada pihak lain…sebenarnya hal

ini dilarang dan bertentangan dengan ketentuan Perda

PKL, tetapi mereka tetap membandel…di Semarang

banyak PKL liar yang tidak memiliki SK resmi

sehingga sulit bagi kami untuk melakukan penataan

dan penertiban”, demikian keluh pak Azis, Ka.Sub.

Dinas Pasar Semarang (wawancara dengan pak Azis,

Rabu, 29 Februari 2012).

Dalam kaitan dengan sikap petugas Satpol PP, Siswono

(2009:94) dalam disertasinya berjudul Resistensi dan

Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan

Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman, dan

Aparat di Depok Jawa Barat, menemukan bahwa petugas Satpol

PP sesungguhnya tidak tega ketika akan menggusur PKL,

karena mereka membutuhkan tempat untuk mencari

penghidupan, tetapi karena harus taat pada tugas dan perintah

dari pimpinan, maka petugas Satpol PP mau tidak mau harus

menertibkan PKL. Ini artinya, bahwa petugas Satpol PP di

Depok dalam melaksanakan perintah sesungguhnya tidak

sepenuh hati.

Page 42: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

364

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara

petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya

memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang

kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku

petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan

preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar,

juga dengan dalih untuk dana keamanan.

D. Dampak Kebijakan Penataan PKL

Dalam kasus PKL Monjari, pemerintah kota Surakarta

termasuk berhasil dalam melakukan penataan PKL. Sebanyak

989 PKL bersedia dipindah setelah melalui serangkaian strategi

yang ditempuh pemerintah kota Surakarta, mulai dari kegiatan

sosialisasi, komunikasi, penyiapan lahan, pembangunan sarana

prasarana, hingga kirab budaya kepindahan para PKL ke Pasar

Notoharjo Semanggi Surakarta. Pendekatan budaya yang

diterapkan walikota Surakarta, Joko Widodo, membuat para

PKL menjadi “ewuh pakewuh” dan bersedia pindah tanpa ada

konflik.

Di tempat yang baru, yakni di Pasar Notoharjo, para PKL

dapat menjalankan usaha dagangnya tanpa ada rasa takut dan

was-was akan digusur petugas Satpol PP, karena di pasar ini

mereka berdagang sudah diberi izin untuk menjalankan usaha.

Fasilitas pasar yang memadai, mulai dari kios, area parkir,

sarana kebersihan, WC dan toilet, mushola, hingga terminal

angkutan kota, membuat mereka betah bekerja di tempat yang

baru. Mereka juga tidak kehilangan pelanggan dan pembeli,

karena pada saat pindah mereka sudah memiliki nomor ponsel

pelanggan, sehingga ketika pindah para pelanggan diberitahu

tentang kepindahan tersebut. Hubungan antara penjual dan

pembeli, utamanya dengan pelanggan hingga kini tetap

terpelihara.

Page 43: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

365

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

Pasar Notoharjo sebagai sentra PKL untuk barang-barang

klitikan tetap ramai dikunjungi pembeli, tidak hanya warga

dari Surakarta, tetapi juga dari daerah sekitarnya, seperti

pembeli dari Sukoharjo dan Karanganyar. Para PKL juga

merasakan dampak positif dari usahanya di Pasar Notoharjo dan

hingga kini pun usaha dagangnya masih tetap lancar, sehingga

kebutuhan ekonomi keluarga dapat dipenuhi. Gambar di bawah

ini menunjukkan bagaimana kondisi pedagang kaki lima (PKL)

yang berdagang di Pasar Klitikan Notoharjo, Semanggi,

Surakarta.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 54. Suasana di Pasar Klitikan Notoharjo Surakarta

Kebijakan penataan PKL di Surakarta mendapat sambutan

positif dari para PKL, salah satunya adalah karena Walikota

Surakarta beserta segenap jajarannya memberi layanan yang

sebaik-baiknya kepada para PKL. Mereka yang direlokasi ke

Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak ditarik iuran sedikit

pun. Semua urusan kepindahan, termasuk sarana transportasi

Page 44: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

366

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

untuk memindahkan barang-barang pedagang ditangani oleh

Pemkot. Pendek kata, PKL tinggal datang ke tempat yang baru

untuk berdagang. Sikap akomodatif yang ditunjukkan Pemkot

Surakarta memberikan suasana kondusif bagi kepindahan para

PKL.

Strategi penataan PKL yang komprehensif, dengan

melibatkan semua pihak, baik pemerintah provinsi Jawa

Tengah, jajaran pemerintah kota Surakarta, media massa,

tokoh-tokoh masyarakat Surakarta, hingga para pedagang kaki

lima yang akan dipindah, membuat para PKL merasa

“diuwongke” atau ditempatkan sebagai manusia yang harus

dihormati hak-haknya, sehingga mereka secara sukarela

bersedia dipindah.

Kebijakan yang diambil Pemkot Surakarta tersebut berbeda

dengan kebijakan penataan PKL yang diimplementasikan

Pemkot Semarang, utamanya dalam menata PKL Sampangan,

Basudewo dan Kokrosono. Pendekatan kekuasaan yang

diperagakan Pemkot Semarang memberikan dampak berupa

resistensi dari kalangan pedagang kaki lima. Penataan PKL di

kota Semarang tidak dilakukan secara komprehensif dengan

melibatkan seluruh komponen masyarakat kota Semarang. Jika

pemerintah kota Surakarta melibatkan aparat pemerintah,

seperti petugas Satpol PP, Dinas Pasar, kalangan DPRD, asosiasi

PKL, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, dan PKL;

sementara Pemkot Semarang tidak melakukannya.

Pelaksanaan kebijakan penataan PKL di Semarang

dilakukan secara sepihak, yakni dari Pemkot yang melibatkan

Dinas Pasar, Satpol PP dan pihak Kepolisian Resort kota

Semarang yang lebih banyak bersifat koersif, sehingga perilaku

mereka lebih didasarkan pada pengutamaan tugas (orientasi

pada tugas) ketimbang memperhatikan hubungan antar

manusia. Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila

penataan PKL mereka pahami sebagai upaya penertiban

Page 45: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

367

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono yang

dinilai membangkang dan melanggar Peraturan Daerah tentang

PKL. Bagi mereka, PKL yang melanggar ketentuan Perda harus

dihukum dan diberi sanksi, di antaranya dengan dipaksa pindah

dari lokasi berdagang.

PKL yang memiliki bangunan semi permanen dan lapak

mereka bongkar secara paksa dan sesuai ketentuan dan

kebijakan walikota, para PKL tersebut dipindahkan ke sentra

PKL Kokrosono yang kondisinya tidak memadai untuk

melaksanakan kegiatan ekonomi, karena yang ada hanya

bangunan, sedangkan kios tidak disiapkan oleh Pemkot.

Sempitnya bangunan, kios belum disiapkan, lingkungan yang

kumuh, menyebabkan banyak PKL yang tidak bersedia pindah

ke Kokrosono. PKL Sampangan misalnya, hingga tahun 2012

masih menjalankan aktivitas ekonomi di sisi selatan lokasi yang

telah dibongkar Satpol PP. Nasib PKL Basudewo lebih tragis.

Sebagian kecil bersedia pindah ke Kokrosono, sedangkan

sebagian besar lainnya tidak diketahui ke mana mereka

menjalankan aktivitas ekonomi. Bahkan masih ada beberapa

PKL yang nekat mencari rezeki di Basudewo, meskipun

aktivitas proyek masih berlangsung. Sementara itu, PKL

Kokrosono liar masih berdagang dan menjalankan aktivitas

ekonomi di lokasi semula, meskipun tempat mereka berdagang

digunakan sebagai lalu lintas truk-truk proyek dan

menempatkan material untuk proyek normalisasi sungai Banjir

Kanal Barat.

Para PKL sesungguhnya menyadari bahwa lokasi mereka

berdagang atau menjual jasa termasuk tempat terlarang, tidak

boleh dipakai untuk aktivitas ekonomi, tetapi karena tempat ini

cukup ramai dikunjungi pembeli, maka mereka tidak mau

beranjak dari lokasi meskipun banyak di antara mereka yang

sudah diberi kesempatan menempati lokasi resmi PKL di

Kokrosono yang tempatnya berada di sebelah utara rel kereta

api.

Page 46: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

368

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Pak Mustaqim, salah seorang PKL yang menjual peralatan

rumahtangga, pertanian, dan pertukangan, nekat berjualan di

tepi sungai Banjir Kanal Barat, karena menurut penuturannya,

lokasinya ramai. Bahkan pak Mustaqim yang sudah pergi haji

dua kali ini, bersedia membayar Rp10 juta asalkan diizinkan

tetap berjualan di tepi sungai tersebut. Lain dengan PKL

Sampangan dan Kokrosono yang tetap nekat berjualan di lokasi

semula, PKL Basudewo yang berdagang dan menjalankan

aktivitas ekonomi di tepi sungai Banjir Kanal Barat, akhirnya

menyerah dan bersedia dipindah ke lokasi PKL Kokrosono. Itu

pun hanya beberapa orang saja yang pindah, sedangkan

sebagian besar lainnya yang berprofesi sebagai pengrajin mebel

tidak diketahui lagi kemana mereka menjalankan aktivitas

ekonomi.

E. Rangkuman

Pada hampir semua kota dan kabupaten di Jawa Tengah

menghadapi persoalan PKL. Berkaitan dengan keberadaan PKL,

pemerintah Surakarta dan Semarang menghadapi persoalan

yang lebih rumit. Sebagai kota perdagangan dan jasa, Surakarta

dan Semarang menjadi tujuan para urban untuk mengais rezeki.

Mereka yang tidak tertampung di sektor formal, menceburkan

diri dalam aktivitas ekonomi di sektor informal, banyak di

antaranya yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL).

Keberadaan PKL inilah yang membuat pusing walikota di dua

kota tersebut. Penataan terhadap PKL merupakan suatu

keharusan bagi Pemkot untuk menata kota asri, indah, bersih,

dan nyaman, tetapi dengan tidak mematikan geliat sektor

informal, utamanya PKL.

Penataan terhadap PKL di kota Surakarta dirasakan sangat

mendesak, karena beberapa alasan, yaitu (1) jumlah PKL

terlanjur menjamur dan tidak terkontrol, di mana pada tahun

2006 tercatat ada 5.817 PKL, (2) banyaknya fasilitas umum

Page 47: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

369

BAB VII

PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG

ruang publik yang digunakan oleh PKL, (3) kesemrawutan lalu

lintas di lokasi-lokasi kawasan PKL, (4) permasalahan sosial dan

ekonomi, (5) makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang

terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta (6)

keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan

penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL. Kebijakan

penataan PKL di kota Surakarta secara garis besar dilakukan

dengan (1) membuat kawasan PKL dan (2) membuat kantong-

kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui lima

strategi.

Pertama, relokasi, yaitu memindahkan PKL apabila tidak

tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.

Kedua, shelter knock down, di mana PKL dibuatkan shelter

jika di lokasi masih tersedia lahan.

Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL,

yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya

tersedia dan dioperasikan pada malam hari.

Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada

PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter

dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan

setiap saat.

Kelima, penertiban, yakni strategi paling akhir yang

diambil pemerintah kota Surakarta, apabila PKL tetap

membandel tidak mau mengikuti program penataan yang

direncanakan oleh pemerintah kota. Strategi ini diterapkan

untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun

hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.

Tidak seperti halnya kebijakan yang diambil oleh Pemkot

Surakarta, Pemkot Semarang tidak memiliki pedoman dalam

menata PKL. Mereka hanya memfokuskan diri pada program

relokasi. Kalau pun ada program yang serupa dengan program

Pemkot Surakarta, seperti pembuatan shelter bagi PKL, itu pun

Page 48: BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/8/D_902009006_BAB VII.… · kota untuk mengatur, ... Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi,

370

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dilakukan setelah mereka belajar dari keberhasilan Pemkot

Surakarta dalam menata PKL, utamanya relokasi PKL

Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta.

Implementasi kebijakan penataan PKL di Surakarta dan

Semarang berbeda dalam empat hal.

Pertama, Pemkot Surakarta dalam melakukan penataan

PKL menggunakan buku pedoman yang disusun secara

komprehensif dengan melibatkan banyak unsur, sedangkan

Pemkot Semarang tidak memikiki buku pedoman dalam

penataan PKL.

Kedua, relokasi PKL di Surakarta berjalan lancar, karena

pendekatan yang ditempuh adalah pendekatan budaya dan

nonkekerasan, sementara itu pendekatan yang diambil Pemkot

Semarang berbasis kekuasaan dan cenderung berifat kekerasan.

Ketiga, Pemkot Surakarta tidak bertindak diskriminatif

terhadap PKL, sedangkan Pemkot Semarang berlaku

diskriminatif terhadap PKL.

Keempat, keberpihakan Pemkot Surakarta kepada PKL dan

kelompok masyarakat kecil lainnya lebih tinggi daripada

Pemkot Semarang yang lebih banyak berpihak kepada para

investor (kapitalis).