Download - D_902009006_BAB II
-
43 43
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan
tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat
oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang
dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah
melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan
umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam
bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton,
Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga
diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper,
Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari
proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya
dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi
kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi
kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang
diambil oleh pemerintah.
Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal
atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya
modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal
spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi,
modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat
diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan
pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama,
dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur
disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan
kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
44
unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas
jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital.
Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima
(PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep
sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya
pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima
(PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika
perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).
Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan
terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.
A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik
Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di
kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan
perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah,
dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan
publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian
berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik,
khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model
yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep
yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang
melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata
publik dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika
dikaitkan dengan istilah privat. Istilah publik dapat dirunut
dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani
Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat sebagai res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons
-
45
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat
sebagai berikut.
Publik Privat
Polis Rumah tangga
Kebebasan Keharusan (necessity) Pria Wanita
Kesetaraan Kesenjangan
Keabadiaan Kesementaraan
Terbuka Tertutup
Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam
praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons
2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut.
Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat
kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan
publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk
memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat
adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana
dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang
publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan
antara kekuasaan publik dan dunia privat.
Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus
mempromosikan kepentingan publik adalah dengan
menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya
kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di
atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan
individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik
dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan
politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik
dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak
mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini
akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan
ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur
dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
46
sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum
dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan
alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan
kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam
bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor
publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan
posisi dan peran negara di dalamnya.
Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey,
menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1)
sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang
lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam
mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor
publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki
motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak
memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas,
(5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas
kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang
lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor
publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan
legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar
untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor
publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10)
sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik
minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.
Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan
finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi
dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar
adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong
sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak
mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi
pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan
strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien
untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih
didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya
-
47
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7)
manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang
sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor
publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik,
dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005).
Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak
makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15)
menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai
label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan
umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal
spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,
sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil (outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses. Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris
adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan
politik.
Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda
dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh
kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-
cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12).
Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo
2007:13).
Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai
rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi
kehidupan penduduk negara secara substansial.
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
48
Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti
umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau
sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan
kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999)
memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan
tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti
spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means) dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton
sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti
khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada
ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok.
Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward
(dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang
mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam
mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan
publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok
secara keseluruhan.
Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer
and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat
kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada
suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud
tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang
atau kelompok tertentu.
Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu,
yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas
daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan
publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak
boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa
komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan
-
49
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang
saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk
memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan
publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara
(governance), mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana
signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara.
Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang
kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara,
sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti
mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai.
Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya
mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola
negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan
kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara
sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.
Gambar 1. Dimensi Tugas Negara
Sumber: Nugroho (2009:12)
Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan
hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan
kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang
kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada
Memimpin
Mengelola Mengendalikan
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
50
kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso
(2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan
karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan
negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah
tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk
memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh
publik dapat tercapai.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya
dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga
dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik
berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya
kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa
dan pihak yang dikuasai.
Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan
publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani,
sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya
merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan
melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha
(2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah,
dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.
Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena
pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain
adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam
hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia
memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan.
Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya,
masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang
dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali
menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
-
51
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik,
ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi
superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam
mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di
dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam
posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya
harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun
2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima,
merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota
Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai
pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh
pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan
adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan
perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau
merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka
mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.
Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL
daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat
dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu
Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan
pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3
tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang
dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun
2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta
berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup
sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang
menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum
dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun
2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.
pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
52
masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat.
Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan
adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini
diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan
terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk
menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan
PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan
keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat
usaha sesuai dengan izin penempatan.
Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk
memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan
ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL
berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b)
pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku
ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh
peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan
prasarana PKL.
Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang
dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan,
kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha
sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat
dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam
manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan
permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan
tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat
pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda
PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.
-
53
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang
hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah
kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi
administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai
hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan
lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal
tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu
kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.
Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang
kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik
kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang,
pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah
ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan
PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan,
sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL
tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL.
Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan
PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi
pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah
lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang
digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di
dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban
memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang
dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan
yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL
terhadap Perda.
Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan
pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan
kebijakan publik sebagai whatever government choose to do or not to do. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson (2000) pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
54
kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah
dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik
dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk
berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai
penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-
anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang
sering diwujudkan dalam bentuk pajak.
Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah
melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat
pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan
mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan
atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat
(Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut,
pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui
kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik
penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan
oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga
kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan
senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki
lima (PKL).
Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson,
bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas
yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling
berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun
Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat
atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu,
kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang
-
55
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut
Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah
tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus
kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau
merealisasikan tujuan dan sasaran.
Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah
tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan
Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi
sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak
mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah.
Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan
publik dapat diketahui ke mana arahnya.
Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk
administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak
sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga
memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi
birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh
sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan
birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi
dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada
arena politik disebut politisi.
Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai
badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya
berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan
ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005)
disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat
dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah
sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para
politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik
dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
56
mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab
terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun.
Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu
modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan
menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam
kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi
diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah
toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam
pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau
pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam perdagangan demokratik.
Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide
Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan
disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons
2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik
diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.
Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan
politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu
yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik
bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa
menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti
kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan (Anderson 2000).
Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society, political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik
di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan
kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.
-
57
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.
Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi
masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi,
resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas
lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan
etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan
diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem
politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem
perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan,
perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres,
Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari
kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem
politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan,
kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan,
keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran,
kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.
Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan
F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau
dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya,
misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi
sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan
perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B
menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan
Institutions, Processes,
Behaviors
Social and Economic
Conditions Public Policy
Society Political System Public Policy
A B
C
D
E F
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
58
pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik
yang diambil.
Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret
bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan
diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang
ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas
hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan
sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum,
sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural.
Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik,
pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan
organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil
oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun
Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan,
kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang
menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik
dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan
suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru,
partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai
Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari
partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan
yang diambil oleh pemerintah.
Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada
pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik
tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang
dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih
banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft
Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak
-
59
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak
terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur
kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang
sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau
pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya
perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI)
Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan
pedagang kaki lima.
Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya,
dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan
ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya
dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan
manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang
pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan
ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu
merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk
memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat
menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud
dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk
mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui
riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat
memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan
menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial
mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan
pemerintahan (Parsons 2005).
John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005)
meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam
mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui
perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan
berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan,
kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
60
ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan
pengambilan keputusan (Parsons 2005).
Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa
kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan
sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan
sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian
proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil
temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting
untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang
(Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah
Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada
problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat
kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam
kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti
dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari
belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah
dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver.
Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain
merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari
pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles
Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan
pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut
termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses
kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran
input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
-
61
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Parsons (2005:26)
Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan
tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan
model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga
komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,
dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output), berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi.
Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,
keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting) institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan
relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka
kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda
pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka
analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi
kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan
informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005).
Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan
langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005).
Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori
dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan
rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
62
Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan, diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan
keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu
politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik
adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi.
Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan
institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang
berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan
pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.
Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari
sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam
memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi,
dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap
analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial.
Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan
contoh dari model stagist untuk proses kebijakan.
Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang
bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian,
membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan
persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi
Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku
Organisasi.
Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis
kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya
memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di
antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek,
Etzioni, dan Habermas.
Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons
2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan
pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut
Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa
bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi
pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.
-
63
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin
bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas
politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat
menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki
kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang
dihadapi.
Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk
meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan.
Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada
abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan
untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di
pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi
janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang
bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah
dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk
mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal
apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting
adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa
dilaksanakan.
Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang
berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon
mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan,
memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan
legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan,
ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana
diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan
sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan
Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga
keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal,
yakni pengetahuan adalah kekuasaan.
Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai
penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
64
seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan
pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan.
Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon,
karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar
kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi
mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib,
religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika
masyarakat mengutamakan pembelajaran.
Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah
Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005)
terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level
metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan
Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta
sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2)
sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat
pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah
untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper
(dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis
berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada
pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak
gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi,
nilai, teori, dan solusi.
Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam
kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut
paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf
dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan
paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah
satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan
adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya
promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005).
Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang
-
65
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia
mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan
objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk
mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara
ilmiah.
Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat
yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi
dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi
yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan
mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan
pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek,
masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan
tatanan spontan (Parsons 2005).
Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih
baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh
pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis
tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa
pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan
masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan
dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah
sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik
harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan
spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan
tanpa campur tangan negara.
Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan
personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang
untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila
pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin
bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli
(Hayek dalam Parsons 2005)
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
66
Pada era 1990-an berkembang paradigma komu-
nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama
paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan
jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di
satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak
lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan
masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.
Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).
Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini
menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu
perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara
keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk
mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi
yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga,
organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga,
dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus
mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan
yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang
pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu
pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya
fragmentasi masyarakat modern.
-
67
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota
Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya
lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab
kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan
di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak
cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL,
tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing-
masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi
tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan
aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya
adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih
karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan
pemerintah kota Semarang.
Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah
berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh
Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons
2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam
memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas
dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep
rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005)
berpendapat bahwa daripada meninggalkan nalar sebagai
informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang
terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang
terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk
dalam komunikasi intersubjektif.
Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama
yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama
mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan
tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas
dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami
sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat
kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas
telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
68
pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi
teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya,
ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar
kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis,
teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal,
mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode
analisis baru dan proses institusional baru yang dapat
mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.
Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan
model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun
mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah
dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis
kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang
rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye
(2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu
institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu
model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial
maksimum (Dye 2002:16).
Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat
menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang
harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat
konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep
keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika
biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2)
di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya
-
69
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkan.
Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan
harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan
pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif
kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi
dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio
antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif
kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling
efisien.
Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan
model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan
Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan
publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit
politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat
1.establishment of complete set of
operational goals
with weights
3.preparation of complete set of
alternative
policies
2.establishment of complete inventory of other values and of resources with
weights
4. preparation of complete set of predictions
of benefits and costs for each
alternative
5.calculation of net
expectation for each
alternative
6.comparison of net
expectations and
identification of
alternatives with highest
net
expectation
Output Pure
rationality
policy
Input all
resources
needed for
pure
rationality
process
All data
needed for
pure
rationality
process
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
70
bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan
publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu
(1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu
memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan
bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan
tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3)
kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh
masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik
daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan
yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi
dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita
yang dikandung dalam kebijakan tersebut.
Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau
implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari
perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak
baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari
politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa,
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan
politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang
melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat
yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi
kebijakan sebagai what happens after a bill becomes law, artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa
yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi
Undang-Undang.
Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki
dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut
van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009),
implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta
yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai
sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan
yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh
-
71
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas
implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk
suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu
kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat
memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah
ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi
kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan
programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut
dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn,
sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007)
menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang
akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini
penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika
tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.
Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada
pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen
regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran
pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan
dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen
UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal
tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah
provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran
pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
72
Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan
perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan
perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-
pasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85.
Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak,
maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan
undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69
Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha,
bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13
hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang
tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental
dan sosial anak.
Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat
diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka
inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.
Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan
adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam
kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991).
Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga
pilar, yaitu:
(1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan
kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk
membuat program dapat berjalan,
(2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan
dilaksanakan,
(3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan,
pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan
program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).
-
73
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan
tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan
pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan
oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan,
yaitu:
(1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang
dengan tanggung jawab menjalankan program harus
mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar
implementasi berjalan lancar,
(2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran
dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta
rencana dan desain program,
(3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan
mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan
rutinitas untuk mengatasi beban kerja,
(4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau
pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-
kelompok target (Winarno 2007).
Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah
dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang
berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh
aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada
lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-
aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti
departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut
harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke
dalam peraturan dan regulasi yang operasional.
Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu
menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana,
dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan
keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang
makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi
birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
74
keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam
praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam
keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil
suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan
kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan
publik.
Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang
nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002).
Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat-
pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai
pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional,
dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA) memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari
sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan
Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan
terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian
pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki
komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL).
Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan
Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen
dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan
PKL.
Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana
kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator
kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah
tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang
memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007)
mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.
-
75
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan
mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa
suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan.
Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus
diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan.
Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat
antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh
pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi
yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat
oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007).
Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya
petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis,
tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang
jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat
kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana
program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini
akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam-
macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.
Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi
kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif,
maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten.
Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana
kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang
keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak
efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat
dicapai.
Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi
yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan
yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan
program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang
atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
76
sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons
2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki
dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai
kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana
kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai
kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho
2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis
kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan
suatu kebijakan.
(1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi-
kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,
(2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai
konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu,
(3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai
konsekueksi alternatif di masa mendatang,
(4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan
alternatif kebijakan,
(5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam
memecahkan masalah.
Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan
masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi
kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan
harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik
dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi
kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:
(1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil yang diharapkan,
(2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,
-
77
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
yang menimbulkan masalah,
(4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat
kebijakan,
(5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target
kebijakan,
(6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan
tersebut tepat untuk suatu masyarakat.
Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan
kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh
karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan
(Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai
suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil
kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t, maka hasil
O akan muncul pada t. Setiap hipotesis ini didasarkan pada
pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga
hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika
hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.
Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu
kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan
informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn
2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam
pandangan analis kebijakan, yaitu:
1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan,
apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai
dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator
dan pemerintah,
2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah
sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk
kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
78
3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang
bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan
sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah
kebijakan dalam kurun waktu tertentu,
4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi
yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan
publik dan program bisa berbeda.
B. Tinjauan tentang Modal Sosial
Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang,
yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah
konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya
dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi
yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu
ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat
atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field
2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam
Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk
tujuan produktif (de Soto 2006).
Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan
meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah.
Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka
panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital
penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital
manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan
sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang
relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau
resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah
kapital atau modal sosial.
Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli
ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione,
-
79
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk
pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan
menulis tentang The Rural School Community Center. Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka,
dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu
pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial,
tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam
melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil
yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia,
fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal
sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari
semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering
digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah
Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi
ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut.
1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial
James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak
memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman
menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang
pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat
apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya
adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menentukan prestasi anak.
Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah
swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010)
melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi
agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan
lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid yang bersekolah di negeri. Organisasi keagamaan, menurut
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
80
Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang
masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas
generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di
dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-
anak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada
orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru.
Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat
menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi
sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010).
Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada
masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada
kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang
kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan
orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan
sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas,
melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubungan-
hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan
nilai-nilai bersama.
Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik
berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta
norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah
volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga
maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar
keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan
modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman
(2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut.
Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.
-
81
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian
Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi
sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu
bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et
al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan
individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut
(Field 2010).
Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang
lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer.
Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua
perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar
kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field
2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang
secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani
kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan
kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami
masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu.
Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana
untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama.
Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat
bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara
kerjasama (modal sosial) dengan individualisme.
Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema
tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan
dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang
pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang
baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan
harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan
kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika
pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima
pengurangan hukuman.
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
82
Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua
akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa
tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada
pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat
bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (free-rider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawan-
karyawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi
bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar
pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional
meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan
terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus
membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal
ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki.
Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakan-
akan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi
sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai
keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas
kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar, sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari
Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang
cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan
kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah
membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor,
membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran
informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-
bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi calon-
calon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman (dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual
tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama
dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai
konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar
kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial
tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk
-
83
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan
dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain.
Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial
pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa
para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama
dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang
sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk
menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka
tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh
pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan
organisasi lain yang mendukungnya.
Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal
sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan
rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan
berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan
perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai
tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan
oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata,
modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan
struktur sosial.
Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial
tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu
bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar
tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam
konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi
sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena
memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat
alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial
mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang
menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
84
2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional
hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang
si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah
rasional.
2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial
Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone.
Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain
bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk
mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri
untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan
adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk
bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan
reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak
lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok
keluarga atau sahabat.
Masyarakat yang terus menerus menonton televisi
menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian
terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara
dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja
institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya
hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat
sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur
sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada
gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program
pemerintah Italia bagian utara.
Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi
pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran
yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan.
Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan
-
85
BAB II
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi
kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut
Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction) berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang
pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka,
menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada pemerintah.
Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami
modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan
efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial
memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan
meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik,
mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran
informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor,
memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan
bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan
datang (Field 2010:50).
Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan
pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh
gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi
gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang
terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital.
Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh
terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam
mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam
telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di
Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini,
Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang
-
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
86
bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Sebagaimana dilihat
oleh de Tocqueville (dalam Field 2010:48), melalui asosiasi-
asosiasi politik yang dimiliki oleh bangsa Amerika, warga
Amerika terbiasa berkumpul dalam jumlah banyak, mereka
berbicara dan mendengar satu sama lain, dan secara timbal balik
bergerak untuk berbuat sesuatu. Kehidupan asosiasional ini
merupakan landasan penting tatanan sosial dalam suatu sistem
yang relatif terbuka. Tingginya tingkat keterlibatan warga
mengajarkan orang bagaimana bekerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pada tahun 1960-an, modal sosial Amerika semakin
menurun dan Putnam menggambarkan Amerika pada masa itu
sebagai telah terpecah satu sama lain dan terpisah dari
komunitas. Bukti-bukti menurunnya modal sosial Amerika, di
antaranya adalah persepsi orang Amerika tentang menurunnya
kejujuran dan keterpercayaan, meningkatnya kecenderungan
para pengemudi Amerika mengabaikan tanda berhenti di
persimpangan jalan, dan tajamnya peningkatan laporan
kejahatan. Putnam (2000) menunjukkan empat sebab utama
dari merosotnya modal sosial di Amerika Serikat.
Pertama, begitu banyaknya kesibukan dan besarnya tekanan yang diasosiasikan dengan keluarga dengan dua karir telah
mengurangi jumlah waktu dan sumber-sumber lain yang
khususnya dapat digunakan perempuan untuk terlibat dalam
komunitasnya.
Kedua, para penghuni kawasan luas metropolitan mengalami s