croup
TRANSCRIPT
Sindrom Croup
BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Radang akut saluran pernapasan atas jauh lebih penting pada bayi dan anak kecil dibandingkan
pada anak yang lebih tua, karena jalan napas yang lebih kecil cenderung manghadapkan anak
kecil pada suatu keadaan penyempitan yang relatif lebih berat daripada yang ditimbulkan oleh
tingkat radang yang sama pada anak yang lebih tua (Orenstein, 2000).
Sebelum abad ke-20, semua penyakit yang serupa croup diperkirakan merupakan penyakit
difteria (Cherry, 2008). Croup adalah istilah umum yang meliputi kelompok heterogen keadaan
yang ralatif akut (kebanyakan infeksi) yang ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas
atau “croupy”, yang tidak atau dapat disertai dengan stridor inspiratoir, suara parau, dan tanda-
tanda kegawatan pernapasan yang disebabkan oleh berbagai tingkat obstruksi laring (Orenstein,
2000).
Infeksi tersebut pada bayi dan anak kecil jarang terbatas pada suatu daerah saluran pernapasan; biasanya mengenai sampai beberapa tingkat laring, takea, dan bronkus. Bila ada keterlibatan laring yang cukup dapat menimbulkan gejala, gambaran klinis dari bagian laring mungkin mengaburkan tanda-tanda dari trakea dan bronkus (Orenstein, 2000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan gejala akibat obstruksi
laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor inspirasi, batuk menggonggong, suara
parau, sampai gejala distres pernapasan (Oma dkk, 2005).
2.2 Epidemiologi
Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia diantara 6 bulan sampai 3 tahun, tetapi dapat juga
terjadi pada anak berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun. Dilaporkan, sindrom ini jarang terjadi pada orang
dewasa (Alberta Medical Association, 2008).
Insidensinya lebih tinggi 1,5 kali pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Cherry, 2008).
Dalam penelitian Alberta Medical Association, lebih dari 60% anak yang didiagnosis menderita croup
dengan gejala ringan, sekitar 4% dirawat di rumah sakit, dan kira-kira 1 dari 4.500 anak yang diintubasi
(sekitar 1 dari 170 anak yang dirawat di rumah sakit) (Alberta Medical Association, 2008).
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Gejala
Anak-anak yang menderita sindrom croup, secara luas dapat dikategorikan berdasarkan 4 derajat beratnya
gejala:
1). Ringan
Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar suara stridor saat istirahat, dan tidak
adanya retraksi sampai adanya retraksi ringan suprastrenal dan/atau interkostal.
2). Sedang Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, suara stidor saat istirahat yang dapat dengan mudah
didengar, dan retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat, tetapi tidak ada atau sedikit
gejala distres pernapasan atau agitasi.
3). Berat
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol dan –kadang-kadang –
stidor ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas, dan adanya gejala distres pernapasan dan
agitasi yang signifikan.
4). Kegagalan pernapasan terjadi segera
Batuk menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor saat istirahat (kadang-kadang sulit di
dengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargi atau penurunan kesadaran, dan jika
tanpa tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan.
(Alberta Medical Association, 2008)
2.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Definisi dan Klinis
Sindrom seluran pernapasan ini terdiri dari spasmodic croup, acute laryngotracheitis,
laryngotracheobronchitis (LTB), laryngotracheobroncho-pneumonitis (LTBP), dan laryngeal diptheria.
1). Spasmodic Croup
Penyakit yang ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari menunjukkan stridor
inspirasi; Cirinya, yaitu saat anak mau tidur tampak sehat atau menderita pilek ringan, tetapi
terbangun dengan batuk croup dan stridor. Berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas
yang ringan, adanya edema subglotis yang non-inflamasi.
Biasanya terjadi pada anak yang memiliki riwayat keluarga dengan croup atau
sebelumnya pernah menderita croup.
Manifestasi klinisnya berupa suara parau dan batuk menggonggong, tanpa disfagia,
stridor inspirasi derajat minimal-sedang. Pemeriksaan fisik diperoleh: tanpa demam, tanpa
faringitis, dengan epiglotis yang normal. Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis
pada foto anterior-posterior (AP).
Pada laboratorium darah diperoleh nilai hitung jenis leukosit dalam batas normal.
Etiologinya sama dengan etiologi dari laryngotracheitis.
(Cherry, 2008)
2). Acute Laryngotracheitis
Keadaan dimana terjadi proses inflamasi pada laring dan trakea. Dimana terdapat eritema dan
pembengkakan dinding lateral trakea, tepat dibawah pita suara. Biasanya terjadi pada anak yang
memiliki riwayat keluarga dengan croup. Pada awalnya berupa gejala pilek, seperti hidung
tersumbat, batuk dan coryza; demam muncul pada 24 jam pertama; dan dalam 12-48 jam dapat
muncul tanda dan gejala obstruksi saluran pernapasan atas.
Manifestasi klinis berupa suara parau dan batuk menggonggong, tanpa disfagia, stridor
inspirasi derajat minimal-berat; presentasi toksik yang minimal. Pemeriksaan fisik didapatkan
adanya demam sekitar 37,8 – 40,50C, dengan faringitis minimal serta epiglotis yang normal.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis pada foto anterior-posterior (AP).
Pada laboratorium darah diperoleh leukositosis ringan, dengan sel polimorfonuklear
sebanyak lebih dari 70%.
Umumnya disebabkan oleh virus Parainfluenza 1, Parainfluenza 3, virus Influenza A,
Respiratory syncytial virus, Measles, Adenovirus dan Rhinovirus.
(Cherry, 2008)
3). LTB (Laryngotracheobronchitis) dan LTBP (Laryngotracheobroncho-pneumonitis) [termasuk
bacterial tracheitis]
Peradangan pada laring, trakea, dan bronkus atau paru-paru; Berupa infiltrasi sel-sel radang pada dinding
trakea, ditambah timbulnya ulserasi, pseudomembran, dan mikroabses. Onsetnya serupa dengan
laryngotracheitis, tetapi gejalanya lebih berat. Progresifitasnya terjadi dalam 12 jam – 7 hari.
Manifestasi klinis berupa suara serak dan batuk menggonggong, tanpa disfagia, stridor
inspirasi derajat berat; presentasi toksik yang tipikal. Pada pemeriksaan fisik diperoleh hal yang
sama seperti pada acute laryngotracheitis, yaitu adanya demam sekitar 37,8 – 40,50C, dengan
faringitis minimal serta epiglotis yang normal. Gambaran radiologi berupa penyempitan dari
subglotis (seperti menara / steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak
yang ireguler pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral.
Secara laboratorium didapatkan kenaikan atau penurunan yang abnormal dari leukosit,
dengan jumlah netrofil > 70% dan adanya kenaikan dari persentase netrofil batang.
Dapat disebabkan oleh virus (Parainfluenza 1, 2, 3, Influenza A atau B), pada sebagian besar kasus
merupakan infeksi sekunder bakteri, terutama Staphylococcus aureus; bakteri lain termasuk
streptococcus grup A, Streptococcus pneumoninae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis.
(Cherry, 2008)
4). Laryngeal Diphtheria
Infeksi pada laring dan area lain dari saluran pernafasan berhubungan dengan Corynebacterium
diphtheriae, mengakibatkan timbulnya progresifitas dari obstruksi saluran nafas. Biasanya terjadi
pada individu dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap atau tidak adekuat. Onsetnya lebih
lambat, dengan jangka waktu 2 – 3 hari.
Manifestasi klinis berupa suara serak dan batuk menggonggong, biasanya ada disfagia, stridor inspirasi
derajat minimal-berat; dengan presentasi nontoksik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
demam, 37,8 – 38,50C, faringitis membranosa, epiglotis biasanya normal tetapi dapat pula
terselubungi membran. Gambaran radiologi tidak berguna.
Secara laboratorium, ditemukan leukositosis, dengan peningkatan persentasi dari netrofil batang.
(Cherry, 2008)
2.4 Riwayat Penyakit
Gejala-gejala croup dapat muncul dengan atau tanpa didahului gejala-gejala saluran napas atas seperti
batuk, pilek dan demam. Gejala croup seringnya timbul menjelang malam dan pada malam hari dengan
onset yang mendadak. Gejala-gejalanya termasuk:
batuk seperti suara anjing laut (menggonggong)
stridor inspirasi
suara parau
tanpa demam sampai demam yang sedang
Gejala croup ini mengakibatkan anak sering dibawa ke tempat pelayanan kesehatan dan secara signifikan
gejalanya berfluktuasi tergantung dari apakah anak dalam keadaan tenang atau gelisah (agitasi). Pada
sebagian besar anak, gejala cruop akan menghilang dalam 48 jam, tetapi sebagian kecil anak, gejala dapat
menetap sampai satu minggu.
(Alberta Medical Association, 2008)
2.5 Pemeriksaan Fisik
Para dokter harus selalu waspada pada kemungkinan timbulnya gejala serupa croup, oleh karena itu,
mengetahui riwayat penyakit dan temuan dari pemeriksaan fisik adalah penting. Kunci utama fokus
pemeriksaan yaitu:
Terdengarnya suara batuk seperti anjing laut
Suara sering kali parau
Variasi derajat dari stridor, terutama saat inspirasi
Variasi derajat retraksi dinding dada
Anak sering menjadi gelisah (agitasi)
Tidak adanya air liur
Gambaran non-toksik
Temuan lain yang diperoleh dari pemeriksaan fisik berupa:
Demam (sampai 400C)
Takikardia (dengan gejala obstruksi yang lebih berat)
Takipnea yang sedang (biasanya <>
Jika daerah supraglotis dapat dilihat, tampak gambaran yang normal
(Alberta Medical Association, 2008)
2.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis croup. Diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan presentasi klinis dan kombinasi dengan pemeriksaan riwayat penyakit yang
teliti serta pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan pemeriksaan laboratorium, hal ini dapat dibenarkan dan
harus ditunda saat pasien dalam distres pernapasan (Alberta Medical Association, 2008).
Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat penyakit yang tipikal yang berespon
terhadap pengobatan, tetapi bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP) dari jaringan lunak
leher dapat membantu dalam mengklarifikasi diagnosis pada anak dengan gejala serupa croup (Alberta
Medical Association, 2008).
Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah subglotis yang
menyempit serta daerah epiglotis yang normal (Kerby, 2003).
Pemeriksaan saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk anak-anak dengan croup derajat sedang
sampai berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat beratpun memiliki saturasi oksigen
yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.
Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin, khususnya selama periode
epidemik (Alberta Medical Association, 2008).
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Terapi suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang merasa khawatir dengan
penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit gawat darurat. Sehingga penting untuk
memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
Melembabkan Udara (Pengabutan)
Pada abad ke-20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan dasar dari manajemen croup,
tetapi sekarang ini efektivitasnya masih dipertanyakan. Rumah sakit saat ini menggunakan
peralatan penguapan untuk tujuan ini. Cara yang sederhana termasuk memaparkan anak pada
udara malam yang basah, atau memaparkan anak pada uap air yang panas (Wikipedia, 2008).
Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia (dimana saturasi Oksigen
dalam ruangan biasa < style="">Alberta Medical Association, 2008).
Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya sebagai gas dengan densitas
rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi udara pada penyempitan saluran
pernapasan (Alberta Medical Association, 2008).
2.7.2 Farmakoterapi
Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik pada anak dengan
croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak lebih nyaman dengan
menurunkan demam dan nyeri (Alberta Medical Association, 2008).
Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam menunjukkan keuntungan
pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang
rasional dalam penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup
(Alberta Medical Association, 2008).
Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan croup. Croup
sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara empiris terapi antibiotik
tidak rasional. Lagipula, jika terjadi super infeksi –paling sering bacterial tracheitis dan
pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian
antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional (Alberta Medical Association, 2008).
Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup berat, dapat mengurangi
kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres pernapasan dalam waktu
10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif
dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama
gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi (Alberta Medical
Association, 2008).
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin 1:1.000 memiliki efek
yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml epinephrine tartar
2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan berat
badan (Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara berulang. Pemberian
epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit perawatan intensif anak
(Alberta Medical Association, 2008).
Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan kortikosteroid
dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di
rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi
gejala pada anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat (Alberta Medical
Association, 2008).
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg
BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24
jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg BB
juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol, yang memberikan
kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien
(Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan dexamethasone oral, tetapi cara
pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga tidak secara rutin digunakan. Pada
pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian budesonide dan epinephrine secara
bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv daripada pemberian epinephrine saja. Pada pasien
dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk memberikan inhalasi steroid (Alberta
Medical Association, 2008).
Penatalaksanaan simdrom croup berdasarkan beratnya gejala terdapat pada lampiran 1.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul adalah:
Perlunya pemasangan intubasi pada sejumlah kecil pasien (<1%)
Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien croup
Henti kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak diterapi secara adekuat
Serta timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi dari croup yang jarang terjadi
(Alberta Medical Association, 2008).
2.9 Prognosis
Oleh karena pada umumnya penyebab sindrom croup adalah virus, maka sindroma ini dapat sembuh
dengan sendirinya, dan sangat jarang menyebabkan kematian akibat obstruksi saluran pernapasan total.
Gejalanya dapat berlangsung dalam 7 hari, tetapi puncaknya pada hari kedua dari perjalanan penyakit
(Wikipedia, 2008).