cpd

32
CEPHALOPELVIC DISPROPORTION A. PENDAHULUAN Persalinan yang normal didefinisikan sebagai kontraksi uterus yang menyebabkan terjadinya pembukaan yang progresif pada serviks disertai dengan pendataran. Namun dalam proses persalinan tak jarang ditemui adanya masalah khususnya persalinan pervaginam yang bias disebut sebagai persalinan abnormal. Oleh karena itu sejak dikenalnya persalinan abnormal maka penatalaksanaan alternatif pun banyak ditemui sebagai bentuk upaya meminimalisir risiko baik pada ibu maupun pada bayi. Distosia merupakan kesulitan pada persalinan atau kemajuan persalinan yang abnormal, Istilah lain yang sering digunakan pada kasus distosia antara lain persalinan disfungsional, kegagalan kemajuan persalinan (gagalnya serviks membuka dan mendatar), serta Cephalopelvic Disproportion (CPD). 1 B. DEFINISI Cephalopelvic Disproportion (CPD) atau disproporsi kepala panggul merupakan ketidaksesuaian antara ukuran rongga pelvis pada ibu hamil dan kepala janin yang menghalangi 1

Upload: idham-djamaluddin

Post on 27-Dec-2015

97 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cephalopelvic disproportion

TRANSCRIPT

Page 1: Cpd

CEPHALOPELVIC DISPROPORTION

A. PENDAHULUAN

Persalinan yang normal didefinisikan sebagai kontraksi uterus yang

menyebabkan terjadinya pembukaan yang progresif pada serviks disertai dengan

pendataran. Namun dalam proses persalinan tak jarang ditemui adanya masalah

khususnya persalinan pervaginam yang bias disebut sebagai persalinan abnormal.

Oleh karena itu sejak dikenalnya persalinan abnormal maka penatalaksanaan

alternatif pun banyak ditemui sebagai bentuk upaya meminimalisir risiko baik pada

ibu maupun pada bayi. Distosia merupakan kesulitan pada persalinan atau kemajuan

persalinan yang abnormal, Istilah lain yang sering digunakan pada kasus distosia

antara lain persalinan disfungsional, kegagalan kemajuan persalinan (gagalnya

serviks membuka dan mendatar), serta Cephalopelvic Disproportion (CPD).1

B. DEFINISI

Cephalopelvic Disproportion (CPD) atau disproporsi kepala panggul

merupakan ketidaksesuaian antara ukuran rongga pelvis pada ibu hamil dan kepala

janin yang menghalangi persalinan pervaginam. Kasus ini merupakan sesuatu yang

sulit didiagnosis dengan cepat.2 Seseorang dapat dicurigai menderita CPD atau

disproporsi kepala panggul apabila posisi kepala yang masih tinggi setelah memasuki

usia 39 minggu masa kehamilan, memanjangnya fase laten, kurang baiknya posisi

fetus pada serviks, kemajuan persalinan melambat yang berhubugan dengan

kontraksi uterus yang irregular dan melambat, ditemukannya molase. Namun molase

yang ringan bukan merupakan tanda CPD sehingga memungkinkan dilakukannya

persalinan normal. Caput juga bukanlah merupakan tanda pasti CPD namun hal

tersebut kemungkinan adanya molase yang tersembunyi, maka menegakkan diagnosis

CPD menjadi sulit. Diagnosis CPD dapat dibuat tanpa melalui persalinan percobaan

seperti pada kasus yang jarang terjadi yaitu hidrosefalus.3

1

Page 2: Cpd

C. KLASIFIKASI

Secara umum Cephalopelvic Disproportion (CPD) terbagi atas :

1. CPD Absolut. Tidak memungkinkan dilakukan persalinan normal

pervaginam bahkan jika mekanisme persalinan yang dilaksanakan sudah

tepat. Di Negara barat, keadaan ini jarang ditemui, namun terdapat

beberapa penyebab CPD absolut antara lain :

a. Hidrosefalus fetal

b. Kelainan pelvis kongenital (contoh: Robert’s atau Naegele’s

Pelvis) dimana salah satu atau kedua ruas os sacrum tidak ada

sehingga menyebabkan sempitnya pintu atas panggul.

c. Kerusakan struktur pelvis yang disebabkan kecelakaan lalu lintas

pada masa muda.

d. Distorsi pelvis akibat osteomalasia

2. CPD Relatif. Hali ini berarti bayi yang dikandung besar namun dapat

melalui rongga pelvis apabila dilakukan proses persalinan yang benar.

Namun jika, kepala janin defleksi atau gagal berputar pada mid-kavitas

dan tidak ada kemajuan persalinan, maka akan terjadi persalinan

abnormal. Definisi tersebut tidak termasuk perkiraan berat badan bayi atau

pengukuran rongga pelvis berdasarkan sinar X. CPD hanya dapat

didiagnosis setelah dilakukan persalinan percobaan. Hal ini berarti saat

dilakukan observasi persalinan, tidak ditemukan adanya kemajuan

persalinan bahkan dengan induksi menggunakan sintosinon.

Seorang wanita dicurigai menderita CPD apabila tingginya kurang

dari 5,2” (1,58 m). Wanita tersebut cenderung memiliki pelvis tipe

ginekoid tetapi sering juga memiliki bayi yang kecil. Pada bayi dengan

presentasi kepala telah ditemukan bukti bahwa pemeriksaan Pelvimetri

2

Page 3: Cpd

sinar X atau CT Scan dapat membantu penatalaksanaan CPD. Maka dapat

dilakukan persalinan percobaan pervaginam pada wanita tersebut.

Seluruh wanita dengan posisi kepala bayi yang tinggi harus menjalani

pemeriksaan ultrasound untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab

lain seperti plasenta previa, fibroid uterus, dan kista ovarium. Jadi saat

pemeriksaan kasus tersebut tidak ditemui maka dapat diduga salah satu

penyebabnya adalah CPD. 4

D. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan semua kasus persalinan dengan presentasi kepala, sebesar 8 -

11% mengalami komplikasi pada kala I. Distosia terjadi sebanyak 12% dari pada

seluruh wanita yang tidak memiliki riwayat persalinan Caesar. Distosia terjadi

sebanyak 60% pada wanita yang menjalani persalinan Caesar.1

E. ANATOMI

Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam setiap persalinan adalah jalan

lahir. Jalan lahir dibagi atas (a) bagian tulang, terdiri atas tulang panggul dengan

persendiannya (artikulasio) dan (b) bagian lunak terdiri atas otot-otot, jaringan-

jaringan, dan ligamen-ligamen.5

E.1. Tulang-tulang Panggul

Tulang-tulang panggul terdiri atas 3 buah tulang yaitu (1) os koksa 2 buah,

kiri dan kanan, (2) os sacrum, dan (3) os koksigis. Os koksa merupakan fusi dari

os ilium, os iskium dan os pubis. Tulang-tulang ini satu dengan yang lainnya

berhubungan dalam suatu persendian panggul. Di depan terdapat hubungan antara

kedua os pubis kanan dan kiri, disebut simfisis. Simfisis terdiri atas jaringan

fibrokartilago dan ligamnetum pubikum superior di bagian atas serta ligamentum

pubikum inferior di bagian bawah. Kedua ligamentum ini sering disebut

3

Page 4: Cpd

ligamentum arkuatum. Simfisis mempunyai tingkat pergerakan tertentu, yang

dalam masa kehamilan, tingkat pergerakan tersebut semakin mudah. 5

Di bagian belakang, terdapat artikulasio sakro-iliaka yang menghubungkan os

sacrum dengan os ilium. Di bawah terdapat artikulasio sakro-koksigea yang

menghubungkan os sacrum dengan os ilium. Di luar kehamilan artikulasio ini

hanya memungkinkan pergeseran sedikit, tetapi dalam kehamilan, persendian ini

mengalami relaksasi akibat perubahan hormonal, sehingga pada saat persalinan

dapat digeser lebih jauh dan lebih longgar. Secara fungsional, panggul terdiri atas

2 bagian yang disebut pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor adalah bagian

pelvis yang terletak di atas linea terminalis, disebut pula false pelvis. Bagian yang

terletak di bawah linea terminalis disebut pelvis minor atau true pelvis.5

Gambar 1. Pelvis mayor dan pelvis minor 6

Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai sumbu

melengkung ke depan (sumbu Carus). Bagian atas saluran ini berupa suatu bidang

datar,normal berbentuk hampir bulat, disebut pintu atas panggul (pelvic inlet). Bagian

bawah saluran ini disebut pintu bawah panggul (pelvic outlet). Di antara kedua pintu

ini terdapat ruang panggul (pelvic cavity). Ukuran ruang panggul dari atas ke bawah

tidak sama. Ruang panggul mempunyai ukuran yang paling luas di bawah pintu atas

4

Page 5: Cpd

panggul, kemudian menyempit di panggul tengah dan selanjutnya menjadi sedikit

lebih luas lagi di bagian bawah. 5

Gambar 2. Sumbu Panggul5

E.2. Pintu Atas Panggul

Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium

korpus vertebra sacral 1, line terminalis, dan pinggir atas simfisis. Terdapat 4

diameter pada pintu atas panggul, yaitu diameter anteroposterior, diameter

transversa, dan 2 diameter oblikua. 5

Panjang jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium kurang lebih 11 cm,

disebut konjugata versa. Jarak terjauh garis melintang pada pintu atas panggul

kurang lebih 12,5-13 cm, disebut diameter transversa. Bila ditarik garis dari

artikulasio sakro-iliaka ke titik persekutuan antara diameter transversa ke linea

terminalis, ditemukan diameter yang disebut diameter oblikua sepanjang kurang

lebih 13 cm. Jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontorium dikenal

sebagai konjugata diagonalis. Secara statistic diketahui bahwa konjugata vera

sama dengan konjugata diagonalis dikurangi 1,5 cm. Selain kedua konjugata ini,

dikenal pula konjugata obstetrika, yaitu jarak tengah dari simfisis bagian dalam ke

5

Page 6: Cpd

promontorium. Sebenarnya, konjugata obstetrika ini yang paling penting,

walaupun perbedaanya dengan konjugata vera sedikit sekali. 5

Gambar 3. Pintu atas panggul 5

E.3 Ruang Panggul (Pelvic Cavity)

Ruang panggul di bawah pintu atas panggul mempunyai ukuran yang paling

luas. Di panggul tengah terdapat penyempitan dalam ukuran melintang setinggi

kedua spina iskiadika. Jarak antara kedua spina ini (distansia interspinarum)

normal ±10 cm atau lebih sedikit. Karena di pintu atas panggul ukuran yang

terlebar adalah ukuran melintang, sedangkan ketika memasuki ruang panggul,

ukuran terlebar adalah diameter anteroposterior, maka saat janin lewat di ruang

panggul harus menyesuaikan diri dengan melakukan putaran paksi dalam. 5

Gambar 4. Ruang Panggul 5

6

Page 7: Cpd

E.3.1. Bidang Hodge

Bidang-bidang Hodge ini dipelajari untuk menentukan sampai di manakah

bagian terendah janin turun dalam panggul ketika proses persalinan.5

a. Bidang Hodge I merupakan bidang datar yang melalui bagian atas simfisis

dan promontorium. Bidang ini dibentuk pada lingkaran pintu atas panggul.

b. Bidang Hodge II merupakan bidang yang sejajar dengan Hodge I terletak

setinggi bagian bawah simfisis.

c. Bidang Hodge III merupakan bidang yang sejajar dengan bidang Hodge I

dan II terletak setinggi spina iskiadika kanan dan kiri.

d. Bidang Hodge IV merupakan bidang yang sejajar dengan bidang Hodge I,

II, dan III, terletek setinggi os koksigis.

E.4. Pintu Bawah Panggul

Pintu bawah panggul tersusun atas 2 bidang datar yang masing-masing

berbentuk segitiga yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara kedua buah tuber

os iskii dengan ujung os sacrum dan segitiga lainnya yang alasnya juga garis

antara kedua tuber oskii dengan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis

berbentuk lengkung ke bawah dan berupa sudut yang disebut arkus pubis.

Dalam keadaan normal besarnya sudut ini ± 90°. Bila lebih kecil dari 90°

maka kepala janin akan sulit dilahirkan karena memerlukan tempat lebih banyak

kearah dorsal (ke arah anus). Jarak antara kedua tuber os iskii (distansia tuberum)

juga merupakan ukuran pintu bawah panggul yang penting. Distansia tuberum

(diukur dari bagian dalam) adalah ± 10,5 cm. Bila lebih kecil, diameter sagitalis

posterior (jarak antara tengah-tengah distansia tuberum ke ujung sacrum) harus

cukup panjang agar bayi normal dapat dilahirkan. 5

7

Page 8: Cpd

Gambar 5. Pintu bawah panggul 6

E.5. Bagian Lunak Jalan Lahir

Pada kala II, segmen bawah uterus, serviks uteri, dan vagina ikut membentuk

jalan lahir. Di samping uterus dan vagina, otot-otot, jaringan ikat, dan ligamen-

ligamen yang berfungsi menyokong alat-alat urogenitalis mempengaruhi jalan

lahir dan lahirnya janin pada partus. Otot-otot yang menahan dasar panggul di

bagian luar adalah muskulus sfingter ani eksternus, muskulus bulbokavernosus

yang melingkari vagina, dan muskulus perinei transversus superfisialis. Di

bagian bawah ditemukan otot-otot yang melingkari uretra (muskulus sfingter

uretrae), otot-otot yang melingkari vagina bagian tengah dan anus, antara lain

muskulus iliokoksigeus, muskulus iskiokoksigeus, muskulus perinei trasnersus

profundus, dan muskulus koksigeus. Lebih ke dalam lagi, ditemukan otot-otot

dalam yang paling kuat, disebut diafragma pelvis, terutama muskulus levator ani

yang berfungsi menahan dasar panggul. Muskulus levator ani mempunyai

peranan yang penting dalam mekanisme putaran paksi dalam janin. Kemiringan

dan elastisitas otot ini membantu memudahkan putaran paksi dalam janin. 5

F. FISIOLOGI DAN MEKANISME NORMAL

Mekanisme persalinan yang utama yaitu engagement, desensus, fleksi,

putaran paksi dalam, ekstensi, putaran paksi luar, dan ekspulsi. Walaupun dibedakan

8

Page 9: Cpd

secara bertahap, proses persalinan tersebut biasanya terjadi bersamaan. Sebagai

contoh yaitu ketika proses engagement, fleksi dan desensus kepala juga berlangsung.6

F.1. Engagement

Mekanisme di mana diameter biparietal yang merupakan diameter

transversal terbesar dari kepala fetus memasuki pintu atas panggul disebut

sebagai engagement. Masuknya kepala janin ke pintu atas panggul terjadi pada

akhir masa kehamilan bahkan saat mendekati persalinan. Kepala berukuran

normal memasuki pintu atas panggul dengan sutura sagittalis dalam posisi

transversal atau oblik.6

F.2. Asinklitismus

Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan

sinklitismus, ialah bila arah sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu

atas panggul. Dapat pula kepala masuk dalam keadaan asinkitismus, yaitu arah

sumbu kepala janin miring dengan bidang pintu atas panggul. Asinklitismus

posterior menurut Nagele ialah apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip

ke depan dengan pintu atas panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut

Litzman ialah apabila keadaan merupakan kebalikan dari asinklitismus anterior. 5

F.3. Desensus

Mekanisme desensus merupakan syarat pertama terjadinya persalinan. Pada

nullipara, engagement merupakan tahap awal persalinan dan desensus mungkin

tidak terjadi hingga memasuki tahap persalinan berikutnya. Namun pada

multipara, desensus terjadi sesaat setelah engagement. Desensus terjadi karena

satu atau lebih dari empat faktor berikut: (1) tekanan oleh caairan amnion, (2)

tekanan langsung pada fundus, (3) tekanan oleh otot-otot abdominal dan (4)

usaha ekstensi dan meluruskan badan janin.6

F.4. Fleksi

Ketika kepala janin yang desensus kemudian mendapat tahanan, baik oleh

serviks, dinding pelvis ataupun dasar pelvis, fleksi kepala janin kemudian terjadi

secara normal. Dagu janin merapat kearah thoraks dan diameter oksipitofrontalis

9

Page 10: Cpd

yang panjang digantikan oleh diameter suboksipitobregmatikus yang lebih

pendek.6

F.5. Putaran Paksi Dalam

Akibat kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterin yang

disebabkan oleh his yang berulang-ulang, kepala mengadakan rotasi, yang

disebut putaran paksi dalam. Ubun-ubun kecil akan berputar ke arah depan,

sehingga di dasar pangguul, ubun-ubun kecil berada di bawah simfisis, kepala

kemudian mengadakan defleksi untuk dapat dilahirkan. 5

F.6. Ekstensi

Setelah putaran paksi dalam, kepala mengalami fleksi ringan, mencapai

vulva, kemudian terjadi ekstensi. Ketika kepala janin menekan dasar panggul,

ada dua faktor yang kemudian berperan. Faktor pertama, yaitu uterus yang

mempengaruhi dari arah posterior dan faktor yang kedua yaitu dasar panggul dan

simfisis yang berpengaruh dari arah anterior. Hasil akhirnya adalah pembukaan

vulva yang kemudian menyebabkan terjadinya ekstensi kepala, di mana oksiput

akan kontak langsung dengan sisi inferior simfisis pubis.6

F.7. Putaran Paksi Luar

Pada tiap his, vulva lebih membuka dan kepala janin makin tampak.

Perineum menjadi makin lebar dan tipis, anus membuka dinding rectum, dengan

kekuatan his bersama kekuatan mengedan, berturut-turut tampak bregma, dahi,

muka, dan akhirnya dagu. Sesudah kepala lahir, kepala segera mengadakan rotasi

yang disebut putaran paksi luar. Putaran paksi luar merupakan gerakan

mengembalikan posisi kepala ke posisi sebelum putaran paksi dalam terjadi agar

kedudukan kepala dengan punggung janin sesuai. 5

F.8. Ekspulsi

Segera setelah terjadinya putaran paksi luar, bahu anterior muncul dibawah

simfisis pubis, dan perineum mengalami distensi oleh bahu posterior. Setelah

lahirnya bahu, kemudian bertutut-turut lahir badan dan ekstremitas.5

10

Page 11: Cpd

G. PATOFISIOLOGI

Memanjangnya fase laten pada persalinan dapat disebabkan oleh sedasi yang

berlebihan atau memasuki masa persalinan yang lebih awal dengan serviks yang

masih tebal dan belum mendatar. Hal ini dapat disalah artikan karena adanya his awal

yang belum adekuat. Maka partus yang lama akan lebih mudah didiagnosis

menggunakan pedoman 3 P ( power, passanger, passage).1,7

P yang pertama adalah passanger yang dapat menyebabkan terjadinya partus

abnormal, hal ini disebabkan karena ukuran bayi yang besar (contoh: makrosomia)

atau yang disebabkan oleh malpresentasi. Masalah passanger yang mutlak yaitu

adanya hidrosefalus, bayi besar atau bayi dengan presentasi dahi sebaiknya tindakan

augmentasi dihindari. Disproporsi relatif juga sering disebabkan oleh derajat defleksi

yang berbeda atau asinklitismus atau presentasi kepala dengan diameter yang besar.

Kontraksi yang adekuat selama 6-8 jam dapat membantu koreksi asinklitismus dan

molase sehingga menyebabkan diameter kepala mengecil. Selain itu kontraksi yang

adekuat juga dapat menyebabkan pelebaran simfisis os pubis. Perubahan ini

kemudian akan membantu kemajuan persalinan. Pada kala II persalinan, gagalnya

penurunan bayi dengan munculnya caput atau molase namun dengan kontraksi yang

adekuat maka keadaan ini dapat diindikasikan disproporsi. Jika tidak ada kemajuan

persalinan begitupula dengan kontraksi yang spontan, maka dapat diberikan

augmentasi menggunakan oksitosin selama 1 jam. Jika kepala bayi memungkinkan

untuk dilahirkan dengan bantuan instrumen maka ibu diharapkan berusaha untuk

bersalin pervaginam. Namun tidak adanya penurunan mengindikasikan adanya

disproporsi. Apabila hal tersebut disebabkan oleh malposisi atau asinklitismus namun

posisi kepala bayi berada di station di bawah spina iliaka maka memungkinkan untuk

dilakukan persalinan dengan bantuan forsep atau ventouse. Hambatan pada kemajuan

persalinan pada kala I dan kala II apabila posisi bayi masih tinggi maka persalinan

harus dilakukan malaui operasi Sectio Caesar. 1,7

P yang kedua adalah passage yaitu ukuran pelvis yang terlalu kecil atau

sempit sehingga sulit dilalui oleh bayi. Baik bayi maupun ukuran pelvis dapat

11

Page 12: Cpd

menyebabkan terjadinya persalinan abnormal yang disebabkan oleh obstruksi

mekanik yang kemudian disebut sebagai distosia mekanik.1,7

Gynaecoid pelvis Platypelioid pelvis Android pelvis

Gambar 6. Perbedaan bentuk pelvis yang mempengaruhi proses persalinan7

P yang ke tiga adalah power atau kekuatan ibu. Walaupun kontraksi uterus

telah adekuat namun tidak dengan intensitasnya atau tidak adekuat. Namun dapat

juga terjadi gangguan pada uterus yang disebabkan oleh jaringan ikat pasca operasi,

jaringan fibroid, atau gangguan konduksi his lainnya. Namun apapun penyebabnya,

kegagalan kontraksi uterus dapat mengakibatkan gagalnya serviks mendatar dan

berdilatasi. Keadaan ini disebut sebagai distosia fungsional. Kontraksi uterus dapat

diukur dengan menggunakan kateter tekanan intra uterine (intra uterine pressure

catheter). Alat tersebut dapat membantu mengukur jumlah kontraktilitas uterus dalam

tiap kontraksi yang dihitung dalam Montevido units (MVUs). Kekuatan kontraksi

uterus dapat dianggap adekuat apabila melebihi 200MVUs dalam 10 menit kontraksi.

Gangguan kontraksi uterus dapat dinilai apabila pasien telah memasuki fase aktif dan

tidak ada perubahan pada serviks selama 2 jam atau lebih dengan kontraksi tidak

lebih dari 200 MVUs. Kontraksi uterus harus ditentukan adekuat atau tidak untuk

menentukan terjadinya kegagalan dilatasi atau pembukaan serviks. Apabila serviks

12

Page 13: Cpd

tidak membuka sebesar (<0,3cm/jam) atau dalam 6-8 jam setelah augmentasi dengan

oksitosin, maka penyebab kemajuan persalinan yang disebabkan masalah power

dapat disingkirkan dan dicari tahu apakah ada masalah pada passage atau passanger.

Diagnosis Cephalopelvic Disproportion biasanya ditentukan secara retrospektif

setelah dilakukan persalinan percobaan. Pada kala I persalinan, ditemukan gagalnya

serviks berdilatasi atau membuka meskipun kontraksi uterus baik, serta ditemukannya

caput dan molase. Perubahan pada kardiotokograf (KTG) dapat menjadi tanda adanya

kompresi pada kepala dan ditemukannya mekonium bisa pula menjadi tanda adanya

disproporsi. 1,7

H. TANDA DAN GEJALA

CPD terjadi jika kepala janin terlalu besar sehingga tidak dapat melewati

rongga pelvis ibu. Hal ini mungkin terjadi jika kepala bayi terlalu besar seperti pada

kasus-kasus hidrosefalus, atau jika rongga pelvis terlalu kecil atau mengalami

kelainan bentuk. Kelainan bentuk bisa disebabkan oleh riketsia pada masa kanak-

kanak atau gangguan ortopedik lainnya.6

Jika kelainan yang sangat jelas seperti kelainan bentuk akibat riketsia atau

trauma tidak ditemui, CPD hanya bisa didiagnosis pada saat proses persalinan

berlangsung. Kala I persalinan mungkin memanjang atau kepala janin gagal turun

pada pemeriksaan luar dan dalam. Molase, yakni proses di mana tulang tengkorak

janin saling tumpang tindih, dapat terjadi. Cara mengenali CPD dibahas lebih lanjut

pada bab diagnosis dan tata laksana.6

I. DIAGNOSIS

Pelvimetri Klinis

Pintu atas pelvis dibentuk oleh promontorium dan os sakrum di

posterior, linea terminalis di lateral, serta ramus pubis superior dan simfisis

pubis di anterior. Untuk mengetahui adanya kemungkinan panggul sempit,

diameter passage tersempit yang akan dilewati oleh kepala janin pada proses

13

Page 14: Cpd

persalinan harus diketahui. Diameter tersempit yang dimaksud adalah garis

terpendek yang menghubungkan antara promontorium dengan simfisis pubis,

atau disebut juga konjugata obstetrik. Pada praktek klinis, konjugata obstetrik

tidak dapat diukur secara langsung, tetapi dapat diperkirakan dengan

mengurangi 1,5-2 cm dari konjugata diagonalis. Konjugata diagonalis sendiri

dapat diketahui dengan melakukan pengukuran lagsung jarak dari batas bawah

simfisis hingga promontorium sakrum.6

Untuk melakukan pengukuran konjugata diagonalis, masukkan dua

jari dari tangan yang dominan ke dalam vagina. Pertama-tama nilai, apakah

koksigis dapat digerakkan atau tidak. Setelah itu, lakukan perabaan

permukaan anterior sakrum dari bawah ke atas, demikian pula kelengkungan

vertikal dan lateralnya. Pada pelvis normal, hanya tiga ruas sakrum terbawah

yang dapat teraba tanpa melakukan penekanan berlebihan pada perineum.

Selanjutnya, untuk mencapai promontorium sakrum, sendi siku

pemeriksa harus difleksikan kemudian perineum ditekan paksa dengan

menggunakan buku-buku jari ketiga dan keempat. Jari telunjuk dan jari tengah

di masukkan mengarah ke atas, sepanjang permukaan depan sakrum. Dengan

memasukkan pergelangan tangan cukup dalam, promontorium dapat disentuh

dengan jari tengah sebagai batas tulang yang menonjol. Dengan menjaga agar

jari tengah tetap menyentuh bagian sakrum yang paling menonjol, tangan

dominan dinaikkan hingga menyentuh arkus pubis. Bagian dari jari telunjuk

yang bersentuhan dengan arkus pubis kemudian ditandai, seperti pada gambar.

Jarak dari bagian yang ditandai tersebut dengan ujung jari tengah

merupakan konjugata diagonalis. Seperti telah disebutkan sebelumnya,

konjugata obstetri dapat diketahui dengan mengurangi jarak konjugata

diagonalis dengan 1,5-2 cm. Jika konjugata diagonalis lebih besar dari 11,5

cm, maka dapat diperkirakan bahwa pintu atas pelvis dapat dilalui oleh janin

berukuran normal.6

14

Page 15: Cpd

Gambar 6. Cara mengukur konjugata diagonalis (P = promontorium sakrum;

S = simfisis pubis)6

Selain pengukuran konjugata diagonalis, pengukuran klinis lain yang

memiliki arti penting adalah pengukuran diameter antara tuberositas

iskiadikum yang biasa disebut diameter biiskial, diameter intertuberosa, atau

diameter transversa pintu bawah panggul. Nilai yang dianggap normal adalah

8 cm.6

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG6

Pelvimetri Sinar X

Prognosis kelahiran pervaginam yang sukses tidak dapat dipastikan

hanya dengan pelvimetri sinar x karena ukuran rongga panggul hanya satu

dari beberapa faktor yang menentukan hasil akhir persalinan. Oleh karena itu,

pelvimetri sinar X hanya memberikan sedikit nilai klinis dalam tata laksana

persalinan dengan presentasi kepala.

15

Page 16: Cpd

Computed Tomographic (CT) Scan

Pelvimetri dengan CT scan memiliki beberapa keuntungan jika

dibandingkan dengan pelvimetri sinar X, mencakup paparan radiasi yang

lebih sedikit, lebih akurat dan lebih mudah dilakukan.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Keuntungan yang diperoleh dari pelvimetri MRI mencakup radiasi

lebih sedikit, ukuran yang diperoleh lebih tepat, gambaran fetus yang lengkap,

dan kemungkinan untuk dapat memeriksa adanya distosia akibat jaringan

lunak. Penggunaanynya pada saat ini dibatasi oleh permasalahan biaya yang

cukup mahal, waktu yang dibutuhkan, serta keterbatasan alat. Sporri et. al.

Pernah melakukan pemeriksaan MRI postpartum untuk melakukan

pengukuran pada tiap ketinggian pelvis serta USG intrapartum untuk

mengukur kepala janin. Dalam penelitian tersebut, Cephalopelvic

Disproportion (CPD) didefenisikan sebagai persalinan yang macet lebih dari 4

jam walaupun kontraksi uterus normal.

Gambar 7.

A. Foto x-ray tampak anterior. Diperlihatkan pengukuran pintu atas panggul dengan menggunakan penanda elektronik. Badan

janan tampak jelas.

B. Foto x-ray yampak lateral. Diperlihatkan pengukuran diameter anteroposterior pintu atas panggul dan midpelvis dengan

penanda elektronik.

C. CT-scan potongan aksial pada midpelvis. Ketinggian fovea kaput femoris diketahui dari foto x-ray karena berhubungan

dengan ketinggian spina iskiadika. Diameter interspinosa diukur dengan penanda elektronik.

Dosis radiasi total pada ketiga pemeriksaan adalah 250 mrad.6

K. PENATALAKSANAAN6

16

Page 17: Cpd

Metode penegakan diagnosis CPD seperti pelvimetri klinis pemeriksaan

penunjang lain tidak sepenuhnya akurat. Selain itu, ligamen-ligamen pada rongga

panggul wanita mengalami peregangan pada proses persalinan sehingga memberikan

ruang lebih untuk janin. Oleh karena itu, kebanyakan ahli menganjurkan “percobaan

persalinan” untuk kasus-kasus CPD relatif. Jika kurun waktu tertentu telah

terlampaui, atau terjadi tanda-tanda gawat janin dan persalinan macet, maka seksio

sesarea baru akan dilaksanakan. Di lain pihak, pada kasus CPD absolut, seksio

sesarea adalah pilihan tata laksana yang umum dilakukan.

Partus Percobaan

Pola Persalinan Abnormal, Kriteria Diagnosis, dan Tata Laksana

Kriteria Diagnosis

Pola Persalinan Nullipara multipara Tata laksana

umum

Tata laksana pada

keadaan tertentu

Fase Laten

Memanjang

>20 jam >14 jam Tirah baring Drips Oksitosin

atau seksio sesarea

jika diperlukan

Partus Lama

Dilatasi lama <1,2 cm/jam <1,5 cm/jam Terapi konservatif

dan suportif

Seksio sesarea

untuk CPDPenurunan lama <1,0/jam <2 cm/jam

Partus Macet

Fase deselerasi

memanjang

> 3 jam > 1 jam Oksitosin jika CPD

dapat disingkirkan

Istirahat jika ibu

lelah

Dilatasi macet

Penurunan macet >2 jam > 2 jam Seksio sesarea untuk

CPD

Seksio sesarea

Gagal turun >1 jam, tanpa

penurunan pada

fase deselerasi atau

kala dua

>1 jam

Tabel 1. Kriteria diagnosis Partus lama dan partus macet Cohen dan Friedman6

Seksio Sesarea6

17

Page 18: Cpd

Seksio sesarea adalah proses melahirkan fetus, plasenta dan selaput

ketuban melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus. Prosedur operasi ini

dindikasikan pada kasus-kasus CPD. Selain itu, indikasi-indikasi lain untuk

seksio sesarea adalah seksio riwayat sesarea sebelumnya, malposisi atau

malpresentasi, gawat janin, serta indikasi-indikasi lain.

Jika kepala janin tidak mengalami penurunan selama persalinan

sehingga tetap lebih tinggi dari station 0, prosedur operasi pervaginam seperti

penggunaan forseps tidak dapat dilakukan. Pada kasus-kasus seperti ini,

seksio sesarea harus dilakukan. CPD pada pintu atas panggul perlu dicurigai

pada ibu-ibu primigravida yang persalinannya sudah dimulai tetapi kepala

bayi tidak turun. CPD midpelvis dicurigai jika diameter anteroposterior

pendek, spina iskiadika menonjol, ligamen sekrospinosa pendek, atau janin

terlalu besar. CPD pada pintu bawah panggul biasanya ditegakkan jika

bantuan dengan forsep atau vakum gagal dilakukan.

Kebanyakan ahli opstetri melakukan insisi transversal (Pfannensteil)

pada dinding abdomen karena dehisensi dan hernia post operasi lebih jarang

dilaporkan. Selain itu, insisi transversal memberikan hasil kosmetik yang

lebih baik. Untuk kasus-kasus gawat janin, di mana pasien memiliki riwayat

operasi abdomen atau menyandang obesitas, insisi midline suprapubik lebih

sering dilakukan karena lebih cepat dan paparan untuk melahirkan janin dan

menghentikan perdarahan juga lebih baik. Jika terdapat bekas luka operasi

abdomen bagian bawah, ruang peritoneum sebaiknya ditembus di bagian atas

insisi sebelumnya untuk menghindari kandung kemih yang dapat tertarik ke

atas pada dinding abdomen pada waktu insisi sebelumnya menutup.

Sebelum insisi uterus dilakukan, bantalan laparotomi yang telah

dibasahi dengan larutan salin hangat diletakkan pada kedua sisi uterus untuk

mencegah tumpahan cairan amnion. Derajat dekstrorotasi yang terjadi juga

harus diperhatikan dengan melihat posisi ligamentum rotundum agar insisi

uterus tepat di tengah.

18

Page 19: Cpd

Plasenta yang ditemukan di bawah insisi uterus sebaiknya jangan

diinsisi karena dapat menyebabkan perdarahan janin yang membahayakan.

Jika plasenta tidak dapat dihindari, janin harus dilahirkan secepat mungkin

lalu tali pusar diklem untuk menghindari kehilangan darah terlalu banyak.

Bukti yang ada menunjukkan bahwa kehilangan darah dapat diminimalkan

dengan melakukan masase uterus agar terjadi pemisahan plasenta spontan.

Setelah janin dan plasenta lahir, ruang uterus dibersihkan untuk

menyingkirkan sisa-sisa jaringan.

Komplikasi paling sering yang dapat diakibatkan oleh seksio sesarea

adalah perdarahan postpartum, endometritis, dan infeksi. Pemberian antibiotik

profilaksis dan pemastian hemostasis yang adekuat sebelum luka ditutup dapat

membantu mencegah komplikasi-komplikasi tersebut. Faktor-faktor yang

paling berpengaruh pada penyembahan insisi uterus adalah hemostasis,

jumlah dan kualitas benang, serta ada tidaknya infeksi dan strangulasi

jaringan.

Dapat dikatakan bahwa komplikasi postoperasi akan lebih mungkin

terjadi jika durasi operasi lebih lama. Nyeri pada lokasi insisi pada persalinan

berikutnya dapat menandakan adanya dehisensi luka. Kurang lebih 50% dari

seluruh ruptur bekas operasi klasik terjadi tepat sebelum persalinan

berikutnya. Insidensi ruptur diperkirakan 4-9% pada bekas operasi klasik dan

0,7-1,5% pada bekas operasi dengan insisi transversal. Ruptur bekas operasi

klasik biasanya berakibat buruk, dengan penymbulan sebagian atau seluruh

janin dari rongga abdomen. Syok akibat perdarahan dalam biasanya muncul

sebagai tanda yang menonojol.

Ruptur bekas insisi transversal lebih jarang dan hampir selalu terjadi

pada fase aktif persalinan. Tanda-tanda yang paling umum (80%) adalah

perubahan pola denyut jantung janin. Tanda-tanda lain antara lain: perdarahan

per vaginam dan nyeri abdomen (khususnya pada lokasi insisi lama). Jika

ruptur uterus dicurigai, pasien harus dioperasi sesegera mungkin.6

19

Page 20: Cpd

20

Page 21: Cpd

DAFTAR PUSTAKA

1. Joy S. Abnormal Labor [online] , [cited on 2014, January 21st]. Available

from : http://www.emedicine.medscape.com

2. Paul D, Susan M. Dystocia and augmentation of labor. In : Current

clinical strategies gynaecology and obstetrics.New acog treatment

guidelines. 2004; 116-7.

3. Pickersgill A, Meskhi A, Paul S. Cephalopelvic disproportion. In: Key

questions in obstetrics and gynaecology. Second edition. Oxford,

Washington DC.Bios scientific publisher; 1998;123.

4. Hamilton D,Fairley. Abnormal labour. In: Lecture notes obstetrics and

gynaecolgy. Second edition. London. Blackwell publishing. 2004. 177.

5. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta. Bina pustaka sarwono

prawirohardjo. 2008. 188-314.

6. Gary C, John C, Kenneth J. Williams obstetrics. Twenty second edition.

Texas. Mc g raw hill. 2008.

7. Edmonds K.. Malpresentation, malposition, cephalopelvic disproportion

and obstetric procedures. In : Dewhurt’s textbook of obstetric and

gynaecology. Seventh edition. London. 2007; 213-26.

21