contoh lapsus psikiatri

Upload: gede-ariana

Post on 14-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

psikiatri

TRANSCRIPT

I

STATUS PSIKIATRII. IDENTITASNn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum bekerja, suku Jawa-Sunda, agama Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen Informatika, tinggal di Bekasi Timur bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya.

Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010 diantar oleh kedua orangtuanya.II. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Data diperoleh dari:

Autoanamnesis pada tanggal 24 Maret, 31 Maret, 8 April, 23 April, 6 Mei, 30 Mei dan 7 Juli 2010.

Alloanamnesis dengan:

1. Ayah pasien (Tn. A, 55 tahun, tidak bekerja, pendidikan terakhir Diploma 3 Akuntansi, suku Jawa, agama Islam, tinggal di Bekasi Timur) pada tanggal 24 Maret, 8 April dan 30 Mei 2010.

2. Ibu pasien (Ny. N, 52 tahun, bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM, pendidikan terakhir SMEA, suku Sunda, agama Islam, tinggal di Bekasi Timur) pada tanggal 24 Maret, 8 April, 6 Mei, 30 Mei dan 7 Juli 2010.3. Kakak perempuan pasien (Nn.I, 28 tahun, bekerja sebagai karyawati swasta, pendidikan terakhir Diploma 3, belum menikah) pada tanggal 30 Mei 2010.A. KELUHAN UTAMA

Takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain sejak 6 bulan sebelum datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM Jakarta.

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Kurang lebih enam bulan sebelum datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM, pasien merasa takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain yang baru pertama kali dikenalnya. Hal ini dialami pasien ketika ia harus berhadapan dengan staf Human Resource Department (HRD) di salah satu perusahaan di tempat ia melamar pekerjaan. Saat itu pasien merasa sangat ketakutan dan cemas bila ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Pasien merasa tidak percaya diri, merasa gagal sebelum melakukan wawancara, serta merasa takut untuk dinilai oleh orang lain. Pasien hanya menunduk selama wawancara berlangsung dan ia merasa tidak mampu menjawab segala pertanyaan yang diajukan. Kondisi ini membuat ia menjadi pusing, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut. Setelah wawancara tersebut, pasien keluar ruangan dan menangis. Pasien merasa kesal terhadap dirinya sendiri namun tidak tahu harus berbuat apa. Menurut pasien, perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul hanya pada situasi bila ia berhadapan dengan orang lain yang baru dikenalnya.

Lima bulan yang lalu pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di sebuah perusahaan asuransi di tempat kakak perempuannya bekerja. Pasien diharuskan berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon dan menawarkan produk asuransi tersebut kepada kliennya. Pasien merasa tidak sanggup melakukan pekerjaan tersebut. Ia merasa tidak percaya diri, takut tidak dapat menjawab pertanyaan klien, takut dinilai oleh orang lain dan takut gagal. Kondisi seperti ia menjadi pusing, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut juga dialaminya. Pasien merasa tidak nyaman dengan kondisinya ini sehingga baru 5 hari bekerja pasien mengundurkan diri.

Dua bulan yang lalu pasien tampak murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan. Selain itu juga pasien menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun. Hal ini berlangsung tidak setiap hari. Pasien akan merasa sedih bila mendapat tekanan dari ayahnya yang selalu mengejar-ngejar pasien untuk lebih giat melamar pekerjaan. Sebaliknya, untuk perasaan yang berlawanan dengan kesedihannya yaitu rasa senang yang berlebihan atau adanya peningkatan energi dan aktivitas tidak pernah dialami pasien.

Semakin hari pasien merasa semakin menderita dengan kondisinya ini karena ia selalu gagal dalam melakukan wawancara pekerjaan. Di satu sisi ia ingin segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, namun di sisi yang lain ia tidak mau lagi mencoba melamar pekerjaan karena takut berhadapan dengan orang lain. Pasien merasa bahwa dirinya hanya cocok bekerja di belakang meja dan hanya berhadapan dengan komputer saja tanpa harus berhadapan dengan orang lain.

Sebelum muncul gejala-gejala tersebut di atas, pasien tidak pernah mengalami trauma kepala ataupun sakit yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan zat psikoaktif yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Pasien hanya minum obat-obatan yang diresepkan oleh dokter saja. Pasien juga tidak pernah mengalami kejadian mendengar suara-suara bisikan di telinga atau melihat bayang-bayang dimana orang lain tidak pernah mengalaminya.Menurut ibunya, ia khawatir dan prihatin dengan kondisi pasien ini. Setelah kedua orangtua, kakak pasien dan pasien mendiskusikan bersama tentang kondisi pasien lalu diputuskan untuk membawa pasien berobat ke PJD RSCM agar keluhannya dapat berkurang atau hilang sama sekali.C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat gangguan psikiatri:Pasien belum pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya. Riwayat gangguan medis:Pasien sering mengalami gatal-gatal pada kulitnya. Pasien sering berobat ke poli kulit di RSCM dan didiagnosis prurigo simpleks. Namun tidak ada riwayat penyakit medis umum lainnya yang secara fisiologis dapat mengakibatkan gangguan jiwa. Riwayat penggunaan alkohol dan zat psikoaktif:

Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan zat-zat psikoaktif.D. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI

1. Masa prenatal dan perinatal:

Pasien terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Anak yang diharapkan oleh kedua orangtuanya. Pasien lahir cukup bulan, lahir spontan per vaginam ditolong oleh dokter, langsung menangis dengan berat badan lahir 2900 gram, tidak ada komplikasi selama proses persalinan. Saat mengandung pasien ibunya pernah mengalami kecelakaan lalu lintas namun tidak mengalami luka fisik atau trauma psikologis yang bermakna. Pasien mendapat ASI sampai usia 1 tahun dan mendapat imunisasi sesuai waktunya. 2. Masa kanak awal (0-3 tahun):

Sejak lahir pasien tinggal bersama dengan kedua orangtua dan kakak perempuannya di rumah yang mereka tempati sampai saat ini. Jarak usia antara pasien dengan kakaknya adalah 4 tahun. Pada waktu pasien berumur 2 tahun pasien mempunyai seorang adik laki-laki. Tidak ada sibling rivalry diantara pasien dan saudara-saudaranya. Usia 2 tahun pasien sudah diajarkan toilet training. Pasien adalah seorang anak yang penurut, tidak pernah rewel dan tidak pernah menyusahkan kedua orangtuanya. Pasien mulai dapat bicara pada usia 11 bulan dan berjalan pada usia 13 bulan. Secara keseluruhan tumbuh kembang pasien sesuai dengan usianya.

Sejak lahir pasien diasuh oleh pembantunya karena kedua orangtua pasien bekerja. Pasien sangat dekat dengan pembantunya tersebut. Pasien selalu mengikuti kemanapun pembantunya pergi dengan memegang ujung baju putih pembantunya tersebut. Bila pasien ditinggal pergi oleh pembantunya, ia akan menangis namun bila ditinggal kedua orangtuanya bekerja pasien tidak pernah menangis. Menurut ibunya, kelekatan pasien dengan pembantunya ini melebihi kelekatan pasien terhadap ibu kandungnya sendiri. Namun ibu pasien tidak keberatan dengan kondisi ini karena justru ibu pasien merasa terbantu dengan kehadiran pembantunya tersebut di rumahnya dalam urusan mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga.3. Masa kanak pertengahan (3-11 tahun):Usia 5 tahun pasien mulai bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Ia selalu diantar dan ditunggui oleh pembantunya. Hari pertama sekolah pasien sempat menangis karena takut dengan suasana baru namun hari-hari selanjutnya ia sudah berani untuk masuk sekolah.

Saat pasien masuk SD di usia 6 tahun, pembantu pasien pulang ke kampung halamannya dan tidak bekerja lagi di rumah pasien. Menurut orangtuanya, pasien sangat kehilangan dan menjadi sedih. Orangtua pasien memberikan baju putih kepada pasien sebagai pengganti sosok pembantu kesayangannya itu. Ujung baju putih tersebut dipegang terus oleh pasien sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika pembantunya masih bekerja di rumah pasien. Namun lambat laun pasien dapat melupakan kesedihannya karena ibu pasien selalu berusaha menemani pasien di saat pasien membutuhkannya.

Selama duduk di bangku SD, pasien kurang bergaul dan tidak memiliki banyak teman. Menurut orangtuanya, sebelum masuk SD pasien cukup lincah dan ceria. Mereka tidak mengerti apakah karena sejak kepergian pembantunya itu pasien menjadi pendiam, pemalu dan kurang percaya diri. Ia tidak akan menyapa lebih dulu orang yang baru dikenalnya. Setelah sekian lama barulah pasien akan berani menyapa dan mengajak bicara orang tersebut. Menurut pasien, ia merasa malu dan tidak percaya diri sehingga pasien hanya bermain dengan teman-teman akrabnya saja yang jumlahnya sedikit.

Prestasi selama di SD biasa saja. Nilai kelulusan SD kurang baik sehingga pasien tidak dapat diterima di SMP Negeri. Tidak ada kegiatan diluar sekolah yang diikuti pasien selain pramuka.

Menurut pasien dan kakaknya, apabila mereka bertengkar atau berebut mainan, ayah mereka akan marah sekali dan memukul mereka dengan tangan. Hal ini sering terjadi dan bagi mereka ayah merupakan sosok orangtua yang galak dan harus dituruti perintahnya (bersikap otoriter). Mereka sangat takut dengan ayah dan akan mengadu ke ibu bila mereka dimarahi atau dipukul oleh ayah.

Menurut pasien, sejak kecil ayahnya sering membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya. Ayah pasien menginginkan ia mencontoh kakaknya yang lebih pandai dan supel. Pasien diberi label oleh ayahnya sebagai anak yang pemalu, kurang percaya diri dan sulit bergaul. 4. Masa kanak akhir dan remaja:

Ketika duduk di bangku SMP, prestasi pasien sangat baik sehingga selalu masuk dalam peringkat 3 besar di kelasnya. Hal ini membuatnya lebih percaya diri dan mulai berani bergaul dengan teman-temannya. Pasien senang dapat membuat orangtuanya bangga akan prestasinya. Selain itu ia juga senang dapat memenuhi keinginan ayahnya agar ia dapat mencontoh kakaknya.

Pasien tidak pernah mengikuti les atau kursus pelajaran, hanya belajar sendiri atau belajar berkelompok bersama teman-temannya. Ayah pasien tidak percaya dengan bimbingan belajar diluar sekolah karena menurutnya belajar sendiri akan lebih baik hasilnya. Sepulang sekolah pasien tidak pernah keluar rumah. Ia membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan malam harinya belajar serta mengerjakan tugas-tugas sekolah. Pasien senang belajar dan ia belajar sendiri tanpa bimbingan dari kedua orangtuanya.

Ketika duduk di bangku SMU, prestasi pasien juga baik dan selalu masuk dalam peringkat 5 besar. Pada saat ujian akhir SMU, pasien berada dalam peringkat pertama di sekolahnya dan peringkat ke-11 se Bekasi. Pasien sangat senang dengan prestasinya ini karena dapat membuat kedua orangtua dan saudara-saudaranya bangga terhadap dirinya.

Setelah pasien dan saudara-saudaranya beranjak remaja, mereka sudah tidak pernah lagi bertengkar. Hubungan mereka baik dan sangat akrab. Pasien merasa sangat dekat dengan kakaknya. Mereka tidur bersama dalam satu kamar. Bila pasien memiliki suatu masalah, maka ia akan berbagi cerita dengan kakaknya selain dengan ibunya.

Bila dulu ketika SD pasien merasa tidak senang dibanding-bandingkan dengan kakaknya, saat ini pasien justru mengidolakan kakaknya dan ingin seperti kakaknya. Pasien ingin lebih percaya diri dan mudah bergaul.5. Masa dewasa:

a. Riwayat pendidikan:

Setelah lulus SMU pasien melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta jurusan manajemen informatika. Menurut ayahnya, untuk pemilihan sekolah anak-anaknya ia hanya menyarankan saja namun keputusan akhir tetap kepada anak-anaknya. Pergaulan pasien semasa kuliah cukup baik. Pasien memiliki beberapa teman, baik itu laki-laki maupun perempuan. Prestasi pasien selama di perguruan tinggi terhitung biasa saja, tidak sebaik ketika ia duduk di bangku SMP maupun SMU. Semasa sekolah pasien tidak pernah merasa takut dan cemas bila harus maju ke depan kelas bila disuruh oleh gurunya. Pasien merasa percaya diri karena ia yakin mampu mengerjakannya. Begitu juga ketika kuliah pasien tidak pernah tampil di depan kelas karena kegiatan perkuliahannya lebih banyak menghadapi computer.Ketika akhir semester (kurang lebih setahun yang lalu), pasien menghadapi ujian sidang terbuka dan gagal. Saat itu pasien pertama kali merasa tidak sanggup tampil di muka umum dan berhadapan dengan para penguji. Pasien merasa pusing, wajah terasa panas, berdebar-debar, gemetar, keringat dingin, dan sakit perut sehingga pasien tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Ketika menjalankan ujian sidang ulangan, pasien berusaha keras agar dapat menjalaninya dengan baik. Menurut pasien, ujian sidang yang pertama ia jalankan merupakan ujian mental baginya dan menjadi pemacu semangatnya untuk dapat berhasil. b. Riwayat pekerjaan:

Pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di salah satu perusahaan asuransi selama 5 hari karena pasien merasa tidak mampu menghadapi klien.Sampai saat ini pasien belum mendapatkan pekerjaan lagi karena pasien merasa takut dan cemas bila harus menjalankan wawancara pekerjaan.

c. Riwayat perkawinan:

Pasien belum menikah.

d. Riwayat agama:Pasien beragama Islam. Pasien rajin melaksanakan shalat lima waktu dan mengaji. Menurut pasien menjalankan shalat dan mengaji adalah kewajiban sebagai seorang muslim yang harus dijalankan. e. Riwayat psikoseksual:Ketika SMU pasien memiliki seorang teman laki-laki yang cukup dekat namun perasaan senang terhadap laki-laki itu hanya dipendam saja di dalam hati. Teman laki-lakinya itupun juga tidak pernah menyatakan apapun kepada pasien. Mereka berdua pernah makan bersama di sebuah restaurant dan peristiwa tersebut sangat berkesan bagi pasien hingga saat ini. Setelah lulus SMU mereka berpisah dan sudah tidak pernah berhubungan lagi. Pasien sempat merasa kehilangan namun tidak sampai membuatnya sedih.

Menurut pasien ia terbuka dengan kedua orangtua dan kakaknya tentang pergaulannya dengan laki-laki. Bila ia senang dan tertarik dengan seorang laki-laki maka ia akan menceritakannya kepada mereka. Orangtua pasien hanya mengarahkan pergaulan pasien namun masalah pendidikan seks tidak pernah diajarkan oleh kedua orangtuanya. Ketika pasien mengalami haid pertama kali pada usia 12 tahun, pasien merasa takut dan cemas. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya dan ibu pasien hanya menjelaskan bahwa haid adalah suatu hal alami yang dialami oleh seorang anak perempuan yang sudah akil balik dan tidak perlu dikhawatirkan. f. Aktivitas sosial:

Ayah pasien mengajak pasien untuk mengikuti kegiatan pencak silat Tiga Serangkai setiap seminggu sekali. Setelah setahun mengikutinya, pasien merasakan manfaat dari kegiatan ini yaitu menjadi sehat, untuk perlindungan diri, latihan pernafasan, serta dapat mengamalkan ajaran agama karena jurus-jurusnya menggunakan doa-doa Islam.

Menurut orangtuanya, dengan mengikuti kegiatan ini diharapkan pasien dapat memiliki banyak teman dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Ayahnya mengatakan bahwa setiap kali latihan pasien selalu membuntuti kemanapun ayahnya pergi. Ia akan merasa aman bila ada ayah disampingnya. Pasien tidak percaya diri bila harus memulai pertemanan dengan orang lain karena ia takut salah bicara dan takut dinilai.g. Riwayat hukum:Pasien tidak pernah melanggar hukum atau berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan hukum.E. RIWAYAT KELUARGA

55 th

52 th

28 th

Nn.E, 24 th 22 thKeterangan :

: Pria

: Wanita

: Pasien

: Tinggal satu rumah dengan pasien

: Sudah meninggal

: Mengalami gangguan jiwaAyah pasien adalah anak kedua dari 4 bersaudara yang terlahir dari keluarga militer. Kakek pasien seorang tentara yang mendidik anak-anaknya dengan tegas dan disiplin. Cara mendidik anak ini diterapkan pula oleh ayah pasien kepada anak-anaknya. Menurut pasien, walaupun ayahnya galak namun penuh perhatian terutama setelah pasien beranjak dewasa. Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi. Pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tenaga akuntansi di sebuah hotel di Jakarta pada tahun 2002 dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah pasien menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga. Ibu pasien adalah seorang yang lemah lembut dan sabar. Saat ini ibu pasien berusia 52 tahun. Bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM sejak tahun 1981, Ibu pasien merupakan anak keempat dari 6 bersaudara. Adik laki-laki dari ibu pasien mengalami gangguan jiwa sejak usia remaja (sudah mengalami gangguan jiwa sekitar 30 tahun, tampak sering bicara sendiri, tidak berkeluarga dan tidak memiliki pekerjaan).

Kakak pasien berusia 28 tahun, belum menikah dan saat ini bekerja sebagai karyawati swasta. Kakak pasien sudah berencana akan menikah namun belum dipastikan waktunya karena ia masih memikirkan kondisi ekonomi keluarga mereka. Adik pasien berusia 22 tahun, saat ini kuliah jurusan sains teknologi di salah satu perguruan tinggi swasta di Ciputat. F. SITUASI KEHIDUPAN SEKARANG

Saat ini pasien tinggal bersama kedua orangtua dan kakaknya di sebuah kompleks perumahan di daerah Bekasi Timur. Adiknya menempati rumah kosong milik pamannya di daerah Ciputat karena dekat dengan letak kampusnya.

Rumah ini merupakan rumah yang dimiliki orangtua pasien sejak pasien lahir, berukuran kurang lebih 90 meter persegi. Rumah tersebut terbagi menjadi teras kecil di depan rumah, ruang keluarga, tiga kamar tidur masing-masing berukuran kurang lebih 3x4 meter, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Ventilasi dan penerangan cukup. Jarak rumah pasien dengan tetangga berhimpitan di sisi kiri dan kanannya. Di depan rumah pasien terdapat sebuah jalan kecil beraspal yang hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil saja. Secara keseluruhan lingkungan sekitar rumah pasien cukup bersih dan tidak padat hunian.

Saat ini kakak dan ibu pasien yang menjadi penopang hidup mereka. Penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Untuk masalah kesehatan, mereka sangat terbantu dengan fasilitas Askes yang dimiliki ibu pasien sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Askes tersebut dapat digunakan untuk membiayai pengobatan pasien dan adiknya karena mereka masih dibawah usia 25 tahun. Selama ini pasien sering berobat ke poli kulit untuk mengobati penyakit gatal-gatal pada kulitnya dan semua obat-obatan yang cukup mahal itu ditanggung oleh Askes. Menurut ibunya, 2 tahun lagi pasien tidak dapat menggunakan lagi fasilitas Askes tersebut dan menjadi beban bagi mereka bila pasien memerlukan biaya pengobatan. G. PERSEPSI DAN HARAPAN KELUARGA

Orangtua pasien memahami bahwa ketakutan pasien dalam menghadapi orang lain yang baru dikenalnya merupakan hal yang tidak wajar. Mereka juga mengerti istilah fobia yang dialami pasien. Melihat kondisi pasien yang semakin parah membuat mereka segera membawanya berobat ke poli jiwa dewasa di RSCM.

Keluarga pasien ingin pasien segera sembuh dari fobianya tersebut. Keluarga juga berharap pasien segera mendapat pekerjaan untuk menunjang ekonomi keluarga karena selama ini kakak dan ibu pasien yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Ayah pasien berharap pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi kakaknya sebagai pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.

H. PERSEPSI DAN HARAPAN PASIEN

Pasien mengerti bahwa yang dialaminya saat ini adalah suatu penyakit yang disebut fobia. Ia sedang berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya bila berhadapan dengan orang lain, ingin lebih percaya diri, ingin segera sembuh dan ingin segera mendapatkan pekerjaan. III. STATUS MENTAL

Berdasarkan pemeriksaan tanggal 24 Maret 2010.

A. DESKRIPSI UMUM Penampilan:

Pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos berkerah warna merah, bercelana panjang hitam dan memakai sepatu. Perilaku dan aktivitas psikomotor:Pasien tampak menunduk dan cemas selama wawancara berlangsung. Pasien berkali-kali

meremas-remas tisu yang digenggamnya. Ketika sempat bertatapan mata dengan pemeriksa, pasien menangis. Sikap terhadap pemeriksa:

Kurang koperatif karena pasien tampak cemas, lebih banyak menangis dan belum mau mengungkapkan lebih lanjut tentang kecemasannya.B. PEMBICARAAN

Pasien bercerita dengan spontan, kurang lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas, suara bergetar. Isi pembicaraan sedikit.

C. MOOD DAN AFEK

Mood: cemas.

Afek: serasiD. PEMIKIRAN DAN PERSEPSI

Proses pikir: koheren.

Isi pikir: tidak ditemukan adanya delusi. Terdapat preokupasi tentang ketakutannya bila berhadapan dengan orang lain. Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi tidak ditemukan. E. SENSORIUM

Kesadaran: sadar penuh (kompos mentis), 3P (pertahanan, pengalihan, dan pemusatan) perhatian tidak terganggu. Orientasi:

Waktu: baik, pasien mengetahui hari, tanggal, bulan dan tahun saat pemeriksaan. Tempat: baik, pasien mengetahui tempat dimana dia berada saat pemeriksaan.

Orang: baik, pasien mengetahui nama kedua orangtuanya. Konsentrasi dan perhatian: baik, pasien dapat merespons pertanyaan-pertanyaan pemeriksa dan mendengar dengan seksama.

Kemampuan mengendalikan impuls: baik, selama wawancara pasien dapat duduk dengan tenang.Pemeriksaan pada pertemuan kedua: Daya Ingat (diperiksa pada pertemuan kedua): Jangka panjang: baik, pasien dapat menceritakan tentang masa kecilnya. Jangka pendek: baik, pasien dapat menceritakan kronologis kejadian sebelum datang ke PJD.

Jangka segera: baik, pasien dapat mengulangi segera nama tiga benda yang disebutkan lima menit sebelumnya.

Kemampuan membaca dan menulis: baik.

Kemampuan visuospasial: baik.

Pikiran abstrak: baik.

Inteligensi dan kemampuan informasi: baik, sesuai dengan taraf inteligensinya.

Kemampuan menolong diri sendiri: baik. Daya nilai dan tilikan :

Daya nilai sosial: baik. Uji daya nilai: baik. Tilikan: derajat 4. Penilaian realita: tidak terganggu. Taraf dapat dipercaya: dapat dipercaya.IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUTA. STATUS INTERNUS

Keadaan umum: baik

Status gizi: kesan baik. Tanda vital: dalam batas normal

Mata dan THT: dalam batas normal

Mulut dan gigi: dalam batas normal

Toraks: dalam batas normal Abdomen: dalam batas normal

Ekstremitas: dalam batas normal

B. STATUS NEUROLOGIS GCS: E4 M6 V5

Gejala rangsang selaput otak: negatif

Tanda-tanda efek samping ekstrapiramidal:

Tremor tangan: negatif

Akatisia: negatif

Cara berjalan: normal Keseimbangan: baik Rigiditas: negatif Motorik: kekuatan baik5555 5555

5555 5555

Sensorik: baik

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNATelah diperiksa seorang pasien Nn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum bekerja, suku Jawa-Sunda, agama Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen Informatika, tinggal di Bekasi Timur bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya. Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010 diantar oleh kedua orangtuanya dengan keluhan utama takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain sejak 6 bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan bahwa hal ini dialami pasien ketika ia harus berhadapan dengan staf Human Resource Department (HRD) di salah satu perusahaan tempat ia melamar pekerjaan. Saat itu pasien merasa sangat ketakutan dan cemas bila ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Ia merasa tidak percaya diri, merasa gagal sebelum melakukan wawancara, serta merasa takut untuk dinilai oleh orang lain. Kondisi ini membuat ia menjadi pusing, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut. Menurut pasien, perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul hanya pada situasi bila ia berhadapan dengan orang lain yang baru dikenalnya. Kejadian seperti ini terulang saat pasien bekerja di bagian telemarketing di sebuah perusahaan asuransi. Ia diharuskan berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon dan menawarkan produk asuransi tersebut kepada kliennya. Ia merasa tidak sanggup melakukannya dan merasa tidak nyaman dengan kondisinya ini sehingga baru 5 hari bekerja pasien mengundurkan diri.

Dua bulan yang lalu pasien tampak murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan, ia juga menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun. Hal ini berlangsung tidak setiap hari. Pasien akan merasa sedih bila mendapat tekanan dari ayahnya yang selalu mengejar-ngejar pasien untuk lebih giat melamar pekerjaan. Sebaliknya, untuk perasaan yang berlawanan dengan kesedihannya yaitu rasa senang yang berlebihan atau adanya peningkatan energi dan aktivitas tidak pernah dialami pasien. Sebelum muncul gejala-gejala tersebut di atas, pasien tidak pernah mengalami trauma kepala ataupun sakit yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan zat psikoaktif yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Pasien juga tidak pernah mengalami kejadian mendengar suara-suara bisikan di telinga atau melihat bayang-bayang dimana orang lain tidak pernah mengalaminya.

Sejak duduk di bangku SD hingga kini pasien kurang bergaul dan tidak memiliki banyak teman karena ia merasa malu, tidak percaya diri, takut salah bicara dan takut dinilai oleh orang lain. Sejak kecil ayahnya sering membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya. Ayah pasien menginginkan ia mencontoh kakaknya yang lebih pandai dan supel. Pasien diberi label oleh ayahnya sebagai anak yang pemalu, kurang percaya diri dan sulit bergaul.

Kehidupan ekonomi keluarga pasien saat ini ditopang oleh kakak dan ibu pasien. Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah pasien menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga dan ia berharap pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi kakaknya sebagai pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.

Dari status mental didapatkan bahwa pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos berkerah warna merah, bercelana panjang hitam dan memakai sepatu. Ia tampak menunduk dan cemas selama wawancara berlangsung. Pasien berkali-kali meremas-remas tisu yang digenggamnya. Ketika sempat bertatapan mata dengan pemeriksa, pasien menangis. Pasien kurang koperatif karena tampak cemas, lebih banyak menangis dan belum mau mengungkapkan lebih lanjut tentang kecemasannya. Pasien bercerita dengan spontan, kurang lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas, suara bergetar. Isi pembicaraannya sedikit. Moodnya cemas dengan afek yang serasi. Proses pikirnya koheren, dengan isi pikir terdapat preokupasi tentang ketakutannya bila berhadapan dengan orang lain. Tidak ditemukan adanya gangguan persepsi. Kesadaran pasien kompos mentis dengan 3P (pertahanan, pengalihan, dan pemusatan) perhatian tidak terganggu. Orientasi, konsentrasi, perhatian, kemampuan mengendalikan impuls, daya ingat, kemampuan visuospasial, pikiran abstrak, inteligensi dan kemampuan informasi, kemampuan menolong diri sendiri dan daya nilai baik, tilikan derajat 4. Status internus dan status neurologis dalam batas normal.

VI. FORMULASI DIAGNOSIS

Pada pasien ini ditemukan adanya pola perilaku atau psikologis yang secara klinis bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala yang menimbulkan penderitaan dan hendaya dalam berbagai fungsi psikososial dan pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami suatu gangguan jiwa.1Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit medis, pasien tidak pernah mengalami trauma kepala atau penyakit lainnya yang secara fisiologis dapat menimbulkan disfungsi otak sebelum menunjukkan gejala gangguan jiwa. Oleh karenanya, gangguan mental organik dapat disingkirkan (F00-09).1Pada pasien juga tidak didapatkan riwayat penggunaan zat psikoaktif sebelum timbul gejala penyakit yang menyebabkan perubahan fisiologis otak, sehingga kemungkinan adanya gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif juga dapat disingkirkan (F10-19).1Tidak didapatkannya gangguan dalam proses pikir dan penilaian realitas serta tilikan pasien yang cukup baik pada pasien ini menyebabkan ia tidak memenuhi kriteria gangguan psikotik, skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham menetap, sehingga kemungkinan mengalami gangguan ini dapat disingkirkan (F20-29).1Pada pasien ini juga tidak didapatkannya adanya gangguan mood berupa kesedihan yang mendalam ataupun kegembiraan yang berlebihan, sehingga kemungkinan adanya gangguan afektif juga dapat disingkirkan (F30-39)1. Pada pasien terdapat rasa takut pada situasi dimana pasien berhadapan dengan orang lain atau situasi baru yang dikenalnya. Hal ini sudah dialaminya sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu dan semakin lama pasien merasa semakin terganggu dengan ketakutannya ini. Jika pasien menghadapi keadaan ini maka pasien akan merasa cemas, pusing, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut sehingga ia merasa tidak nyaman dengan kondisi ini. Pasien menyadari bahwa ketakutannya ini berlebihan dan tidak beralasan. Selama ini pasien selalu menghindari situasi sosial tersebut. Sehingga aksis I ditegakkan diagnosis fobia sosial (F40.1).1Pasien merupakan individu yang merasa dirinya tidak mampu, tidak percaya diri, merasa lebih rendah dari orang lain, khawatir yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial, enggan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disukai. Pasien juga menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak. Maka pada aksis II dapat dikatakan pasien memiliki ciri kepribadian cemas menghindar.1Pada aksis III tidak ditemukan kelainan klinis yang bermakna.Pada aksis IV dapat diidentifikasi adanya masalah dengan pekerjaan dan hubungan dengan kelompok pendukung utama yaitu ayahnya.

Pada aksis V berdasarkan penilaian GAF (Global Assessment of Functioning Scale), saat ini pasien berada pada nilai 60 (gejala dan disabilitas sedang). Sedangkan GAF tertinggi dalam satu tahun terakhir adalah 90 (gejala minimal).1VII. FORMULASI PSIKODINAMIKMenurut orangtuanya, waktu kecil pasien merupakan anak yang cukup lincah dan ceria. Pola asuh ayah pasien yang keras mempengaruhi sense of autonomy pasien. Sejak usia sekolah (periode kanak pertengahan), ayahnya sering marah-marah bahkan memukul pasien bila pasien bertengkar atau berebutan mainan dengan saudara-saudaranya. Tekanan-tekanan dari ayahnya, dirinya yang sering dibanding-bandingkan dengan kemampuan kakaknya yang lebih darinya membuat pasien semakin tenggelam dalam rasa insecurenya sehingga membuat pasien menjadi tidak percaya diri dalam tindakan-tindakannya dan akhirnya yang muncul ke permukaan adalah sense of inferiority. Ia hanya bisa merasa nyaman jika ada ibunya yang dapat memberikan reassurance padanya.2 Pola asuh yang demikian ini terus berlangsung sampai pasien remaja. Ketika lulus SMU dengan prestasi yang dapat dibanggakan oleh kedua orangtua dan saudara-saudaranya, meningkatkan sedikit self-esteemnya. Namun ketika pasien telah lulus kuliah dan saatnya untuk mencari pekerjaan, ia menemukan kegagalan-kegagalan dalam melakukan wawancara. Tekanan-tekanan kembali muncul dari ayahnya yang membuat ia didominasi kembali oleh sense of inferiority. Baginya melamar pekerjaan berarti harus menghadapi wawancara, hal tersebut diprediksi pasien sebagai sesuatu yang dianggap membahayakan (danger). Integrasi egonya akan dirusak oleh ketegangan dan kecemasan emosional dari dalam yang akan dikristalisasi dalam bentuk fearful fantasies akhirnya fantasi-fantasi ini biasanya nirsadar dan sering infantil yang disimbolisasikan sebagai something external yaitu sesuatu yang ekuivalen dengan internal danger. Akhirnya pasien berpendapat tidak mau lagi melamar pekerjaan kemanapun (avoidance)3 karena ia merasa tidak nyaman yang memunculkan gejala-gejala otonom seperti berdebar-debar, keringat dingin.VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL Aksis I : Fobia sosial (F40.1)

Aksis II : Ciri kepribadian cemas menghindar Aksis III : Tidak ada diagnosis

Aksis IV : Masalah pekerjaan dan hubungannya dengan ayah. Aksis V : GAF HLPY 90

GAF current 60

IX. DAFTAR MASALAH1. Organobiologik: terdapat riwayat keluarga mengalami gangguan jiwa (paman pasien).

2. Psikologis:

rasa cemas dan takut bila berhadapan dengan orang lain atau situasi sosial yang baru

dikenalnya.

ciri kepribadian cemas menghindar.

3. Lingkungan dan psikososial: masalah pekerjaan

masalah dengan kelompok pendukung utama (ayah pasien).X. PROGNOSIS1. Hal yang meringankan prognosis: Tilikan pasien yang baik

Pasien memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh. Pasien disiplin dan koperatif dalam mengikuti program terapi.

2. Hal yang memperberat prognosis: masalah dengan kelompok pendukung utama (ayah pasien). ciri kepribadian cemas menghindar. terdapat riwayat keluarga mengalami gangguan jiwa.Quo ad vitam : bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonamXI. PENATALAKSANAANA. Farmakoterapi: Fluoxetin 1x10 mg ( seminggu kemudian dinaikkan menjadi 1x20 mg.

Clobazam 2x10 mg ( 2 minggu kemudian tappering off.B. Psikoterapi

1. Psikoedukasi: Memberikan informasi kepada orangtua pasien tentang gangguan yang dialami pasien serta penatalaksanaan yang akan diberikan sehingga proses terapi dapat berjalan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. 2. Psikoterapi suportif : Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Membantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya serta membantu untuk ventilasi.3. Terapi relaksasi

Terapi ini bertujuan melatih agar pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-otot tubuh dalam keadaan tegang dan rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu pasien juga dapat dilatih untuk latihan pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik nafas dalam hitungan satu kali dan membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat diulang berkali-kali sampai pasien merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan karena pada pasien ini dapat terjadi hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya muncul maka latihan pernafasan ini diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.

4. Terapi kognitif dan perilaku (CBT/Cognitive Behavior Therapy). Target behavior: Mengurangi pikiran-pikiran negatif (kognitif) Memperbaiki perilaku-perilaku yang tidak sesuai Membantu pasien menghadapi masalahnya.

CBT ini direncanakan selama 12 sesi, satu kali seminggu, satu jam setiap sesinya.4 Sesi 1-3: formulasi kasus, analisis perilaku dan persiapan kognitif untuk restrukturisasi, melibatkan manipulasi safety behavior dan atensi.Pada sesi pertama:

Pasien kurang koperatif dan menangis terus sehingga keterangan lebih banyak didapat melalui alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien.

Psikoedukasi kepada kedua orangtua pasien tentang rencana tatalaksana yang akan diberikan yaitu 12 sesi dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama. Kontrol ulang 1 minggu lagi.

Pada sesi ke-2:

Pasien sudah merasa lebih baik dibanding dengan pertemuan sebelumnya, tampak lebih berani menatap pemeriksa dan koperatif.

Menjelaskan kepada pasien tentang apa yang ia alami saat ini. Mempersiapkan pasien dalam terapi: menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan dan cara pendekatan terapi, membuat kontrak terapi. Bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus.

Formulasi kasus:Pasien merasa tidak percaya diri, takut bertemu dengan orang lain, takut dinilai oleh orang lain dan takut merasa gagal. Hal ini akan menimbulkan gejala somatik dan otonom seperti pusing, sakit perut, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-debar. Keluhan-keluhan ini membuat pasien menjadi cemas sehingga menyebabkan distres dan disabilitas bagi pasien dalam aktivitas sosialnya.

Bersama-sama dengan pasien menganalisis perilaku.Analisis perilaku:Stimulus: menjalani wawancara pekerjaan

Cognitive: pasien takut tidak dapat menjawab pertanyaan, takut dinilai Emotions: takut ( cemas

Physical: pusing, wajah terasa panas, berdebar-debar, berkeringat dingin, sakit perut.Cognitive: merasa gagal

Response: menghindari bertemu dengan orang lainConsequences: (-) ( tidak mau mencari pekerjaan(+) ( untuk sementara merasa nyaman Menerangkan kepada pasien hubungan antara Cognition Emotion Response. Menerangkan kepada pasien tentang respons fight or flight yang normal dialami oleh setiap orang bila menghadapi suatu kejadian yang menakutkan namun masalah tersebut harus dihadapi.

Mengajarkan teknik relaksasi.

Memberikan kepada pasien suatu Self-Monitoring Task yang dikerjakan di rumah, dibawa setiap kali kontrol dan akan didiskusikan bersama.

Meneruskan terapi psikofarmaka.

Pada sesi ke-3: Pasien menunjukkan Self-Monitoring Task yang sudah dikerjakannya. Menerangkan kepada pasien tentang model kognitif yang saat ini teridentifikasi. Meneruskan terapi psikofarmaka.Model kognitif yang teridentifikasi pada pasien ini adalah:4

Sesi 4-6: fokus pada kesinambungan behavioral experiments.Pada sesi ke-4: Pasien sudah berani mencoba melamar pekerjaan lagi dan sudah berhasil melakukan wawancara dengan agak percaya diri.

Pasien menunjukkan Self-Monitoring Task yang sudah dikerjakannya.

Meneruskan terapi psikofarmaka.

Pada sesi ke-5: Pasien senang karena sudah sanggup berhadapan dengan orang lain dan lebih percaya diri.

Meneruskan terapi psikofarmaka.Pada sesi ke-6: Pasien sudah berani menyapa orang lain lebih dahulu di berbagai tempat, misalnya di tempat latihan pencak silat, di dalam kendaraan umum.

Pertemuan terakhir antara terapis dan pasien baru sampai pada sesi ini.

Selanjutnya akan dilakukan sesi-sesi berikutnya hingga selesai.

Meneruskan terapi psikofarmaka. Sesi 7-9: berlanjut dengan metode pertalian ulang antara kognitif dan perilaku, serta memperkenalkan pada lingkungan diluar dirinya dan menerangkan bahwa tidak akan terjadi katastrofi sosial. Sesi 10-12: konsolidasi materi-materi yang sudah dipelajari, mencegah terjadinya relaps, dan melanjutkan tugas pada hal-hal yang masih tersisa, misalnya keyakinan negatif residual dan penghindaran.4Sesi ke-7 dan seterusnya akan diteruskan pada pertemuan-pertemuan berikutnya.XI. DISKUSISecara deskriptif, aksis I pada pasien ini adalah fobia sosial. Adanya riwayat pasien tampak murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan, menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun yang terjadi dua bulan yang lalu walaupun tidak berlangsung setiap hari..Hal ini menunjukkan adanya riwayat gejala-gejala depresi pada pasien. Keluhan-keluhan tadi sudah tidak ada pada pasien, namun perlu diperhatikan bahwa terdapat tendensi pasien ini akan mengalami depresi.

Menurut epidemiologi, fobia sosial lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Onset usia puncak pada usia belasan tahun, walaupun onset seringkali paling muda pada usia 5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun.5,6

Fobia sosial terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam kelompok yang relatif kecil (berlawanan dengan orang banyak), yang menjurus kepada penghindaran terhadap situasi sosial. Gambarannya dapat sangat jelas (misalnya hanya terbatas pada makan di tempat umum, atau berbicara di depan umum, atau menghadapi jenis kelamin lain), atau dapat pula kabur (diffuse), yang mencakup hampir semua situasi sosial di luar lingkungan keluarga. Pada berbagai latar belakang budaya tertentu, pandangan mata secara langsung dapat merupakan hal yang menegangkan. Fobia sosial biasanya disertai dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritikan. Dapat juga tercetus sebagai keluhan malu (muka merah), tangan gemetar, mual, ingin buang air kecil, dan kadang-kadang individu bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala sekunder dari ansietas ini merupakan masalah utamanya; dalam hal demikian gejalanya dapat berkembang menjadi serangan panik. Kecenderungan menghindar seringkali tampak jelas dan dalam keadaan ekstrem dapat menjurus ke isolasi sosial yang total.1

Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa kemungkinan adanya sifat pada beberapa anak yang ditandai oleh pola inhibisi perilaku yang konsisten. Sifat tersebut mungkin cukup sering pada anak-anak yang orangtuanya menderita gangguan panik dan mungkin berkembang menjadi pemalu yang parah saat anak tumbuh menjadi besar. Sekurangnya beberapa orang dengan fobia sosial mungkin mengalami inhibisi perilaku yang terlihat selama masa anak-anak. Kemungkinan berkaitan dengan sifat tersebut, yang diperkirakan didasarkan secara biologis. Terdapat data dengan dasar psikologis yang menyatakan bahwa individu dengan fobia sosial memiliki orangtua yang kurang mengasuh, lebih menolak, dan lebih overprotektif pada anak-anaknya dibandingkan orangtua lain. 5,6Menurut latar belakang dinamik dan perkembangan, fobia merupakan ketakutan patologis yang spesifik yang biasanya dimulai dengan serangan cemas. Fobia ini biasanya irasional dan tanpa dasar. Terkadang disebut sebagai normal neurosis of childhood yang umumnya terjadi selama periode oedipal conflict yaitu periode dimana seorang anak menjalani hubungan emosional yang kompleks dengan orangtuanya pada usia 4-5 tahun.2 Selama seseorang masih dapat menghindari situasi atau obyek eksternal, maka akan menjadi tersensitisasi dan akhirnya bebas dari ketegangan dan kecemasan.

Gejala yang muncul pada fobia dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. teknik untuk menghindari apapun yang dapat mencetuskan kecemasan, dan setiap usaha yang dilakukan pada setiap serangan kecemasan gagal untuk dihindari.

2. kecemasan yang dicetuskan oleh situasi atau obyek yang mengkonfrontasinya. Serangan panik dapat dan seringkali terjadi pada pasien dengan fobia sosial. Namun serangan paniknya sudah diprediksi, kecuali kemungkinan bagi beberapa serangan yang pertama. Pemaparan dengan stimulus fobik atau memprediksinya hampir selalu menyebabkan serangan panik pada orang yang rentan terhadap serangan panik (panic attack-prone person). Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya ketakutan yang irasional dan ego distonik terhadap situasi, aktivitas atau obyek tertentu. Pasien mampu untuk menggambarkan bagaimana mereka menghindari kontak dengan situasi fobik. Diagnosis banding untuk fobia sosial ini adalah gangguan depresi berat dimana pasien menghindari situasi sosial, gangguan kepribadian skizoid (tidak adanya minat dalam hal sosialisasi menyebabkan perilaku sosial menghindar), gangguan panik, agorafobia.Perjalanan penyakit dan prognosis bila terjadi pada usia remaja dapat mengganggu prestasi sekolahnya, dan bila terjadi pada usia dewasa dapat terganggu dengan pekerjaan serta kehidupan sosialnya.5,6Kecemasan yang terjadi pada pasien juga didukung oleh ciri kepribadiannya. Pasien merupakan individu yang merasa dirinya tidak mampu, tidak percaya diri, merasa lebih rendah dari orang lain, khawatir yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial, enggan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disukai. Pasien juga menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak. Maka pada aksis II dapat dikatakan pasien memiliki ciri kepribadian cemas menghindar.1 Tidak seperti pasien dengan ciri kepribadian skizoid, seseorang dengan ciri kepribadian cemas menghindar sesungguhnya merindukan hubungan interpersonal yang dekat namun mereka tidak berani untuk melakukannya. Individu tersebut akan menghindari suatu hubungan yang erat dan juga menghindari situasi sosial karena mereka takut akan dipermalukan yang terkait dengan kegagalan dan penolakan yang dapat menyebabkan luka di hati. Keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain ini mudah terlihat karena individu tersebut menjadi pemalu dan menjauhkan diri.Seseorang akan menjadi sosok yang pemalu dan sering menghindar karena berbagai alasan. Mereka mungkin memiliki predisposisi konstitusional untuk menghindari situasi yang membuatnya stres yang didasari adanya temperamen yang dibawanya sejak kecil yang akhirnya terelaborasi ke dalam ciri kepribadiannya secara keseluruhan (Gunderson, 1988). Beberapa penelitian menyatakan bahwa ciri orang yang pemalu merupakan genetic-constitutional namun memerlukan pengalaman lingkungan spesifik untuk berkembang menjadi ciri yang full-blown (Kagan et al. 1988). Rasa malu atau menghindar merupakan pertahanan melawan rasa malu, rasa terhina, penolakan dan kegagalan. Rasa malu dan self-exposure terkait erat. Apa yang individu hindari adalah ketakutan pada setiap situasi dimana ia harus mengungkapkan aspek-aspek dari dirinya yang membuatnya menjadi mudah rentan. Sementara rasa bersalah yang melibatkan pemikiran tentang hukuman untuk melanggar beberapa peraturan internal. Rasa malu ini terkait lebih kepada suatu kajian tentang dirinya yang inadekuat, yang tidak diukur sesuai dengan standard internal. Dalam arti ini, rasa bersalah lebih dekat kaitannya dengan superego pada model struktural, dimana rasa malu lebih dekat hubungannya dengan ego ideal.Individu dengan ciri kepribadian cemas menghindar merasa bahwa situasi sosial harus dihindari karena ia membiarkan ketidakadekuatannya yang akan ditampilkan kepada semua orang. Individu tersebut merasa malu tentang banyak aspek yang berbeda darinya, misalnya ia merasa sebagai individu yang lemah, tidak dapat bersaing, merasa cacat secara fisik atau kejiwaan, sebagai individu yang kotor dan menjijikkan, tidak dapat mengontrol fungsi tubuhnya (Wurmser, 1981).Rasa malu tidak dapat direduksi terkait dengan satu kejadian perkembangan saja pada kehidupan masa kecil individu, namun tampaknya berkembang dari berbagai pengalaman perkembangan yang berbeda pada setiap tahapan usianya (Nathanson, 1987).7Setelah menegakkan diagnosis pada pasien ini, hal berikut yang harus dipikirkan adalah penatalaksanaannya. Adapun penatalaksanaan pada pasien ini harus secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Pada pasien ditemukan gejala-gejala penghindaran situasi sosial yang memenuhi kriteria fobia sosial. Tendensi adanya depresi juga tampak pada pasien ini. Pada keadaan cemas saat menghadapi situasi sosial, faktor biologis cukup berperan dengan ditemukannya perubahan neurotransmiter serotonin di otak. Pelepasan serotonin memiliki efek ansiogenik dan ansiolitik, tergantung pada daerah otak depan yang terlibat dan subtipe reseptor yang diaktifkan. Sebagai contoh, efek ansiogenik dimediasi melalui reseptor serotonin tipe 2A (5-HT2A) sedangkan stimulasi reseptor serotonin tipe 1A (5-HT1A) merupakan ansiolitik dan bahkan dapat berhubungan dengan respon adaptif terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan. Reseptor 5-HT1A ditemukan di lapisan permukaan korteks, hipokampus, amigdala, dan raphe nucleus (terutama presinaptik). Fenotipe perilaku dari reseptor 5-HT1A yang meng-knock-out tikus meliputi peningkatan perilaku seperti kecemasan. Perilaku ini dimediasi oleh reseptor 5-HT1A postsinaptik di hipokampus, amigdala, dan korteks. 5,6 Dari literatur didapatkan bahwa SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor) merupakan terapi terpilih untuk gangguan ini. Dalam penelitian-penelitian yang menggunakan plasebo sebagai kontrol, SSRI memperlihatkan respons yang efektif dalam terapi pasien fobia sosial, yaitu 40-70% dibanding dengan 8-32% pada kelompok plasebo. Dosis yang diberikan sama dengan dosis sebagai antidepresan.8 Hal inilah yang menjadi dasar pemberian psikofarmaka fluoxetine kepada pasien ini. Fluoxetine merupakan golongan SSRI yang memiliki efek samping ke gastrointestinal paling kecil, dan karena memiliki waktu paruh yang panjang maka tidak menimbulkan efek withdrawal. Dosis terapeutik fluoxetine antara 20-60 mg/hari dengan waktu paruh 24 sampai 72 jam. Fluoxetine mulai memperlihatkan hasil sejak minggu ke 6-8 dan menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna sampai minggu ke-20.9

Pada pasien ini diberikan fluoxetine dengan dosis awal 10 mg/hari dan 1 minggu kemudian dinaikkan sesuai respon terapi menjadi 20 mg/hari, dengan alasan dosis tersebut adalah dosis terapeutik, dengan dosis terapeutik yang kecil maka efek samping ke gastrointestinal juga akan lebih kecil. Target pemberian farmakologik di maintenance selama 6 bulan sambil melihat perbaikan gejala.

Selain pemberian SSRI, pasien ini juga diberikan benzodiazepine dan yang dipilih adalah clobazam dengan dosis 2x10 mg. Pertimbangan pemberian clobazam 2x10 mg adalah karena fluoxetine memerlukan waktu sekitar 2 minggu untuk menimbulkan efek klinis yang bermakna sehingga di awal terapi dapat diberikan bersama dengan antiansietas untuk mengurangi keluhan kecemasan pada pasien. Clobazam akan di-tappering off setelah 2 minggu sehingga dosisnya menjadi 2x5 mg.10Terapi psikofarmaka bukanlah satu-satunya modalitas terapi pada pasien fobia sosial namun psikoterapi yang menjadi terapi utama. Pada pasien ini diberikan terapi kognitif dan perilaku atau Cognitive Behavior Therapy (CBT).Pasien dengan fobia sosial (dan fobia lainnya) terjadi berdasarkan learning theory. Menurut teori operant/instrumental conditioning dari Skinner, bahwa kecemasan itu merupakan drive yang memotivasi organisme untuk melakukan apapun yang dapat menyingkirkannya dari perasaan tidak nyaman. Dalam perjalanan perilakunya ini, organisme mempelajari bahwa aktivitas tertentu memungkinkannya untuk menghindari kecemasan yang dicetuskan oleh suatu stimulus. Bentuk-bentuk penghindaran tetap stabil untuk periode yang lama sebagai akibat dari reinforcement yang diterimanya dari kemampuannya untuk mengurangi kecemasan. Model ini dapat dipakai untuk fobia dimana penghindaran terhadap obyek atau situasi yang mencetuskan kecemasan sebagai bagian yang penting. Perilaku menghindar menjadi gejala yang menetap karena efektivitasnya dalam melindungi seseorang dari kecemasan fobik.5,6 Atas dasar teori tersebut maka pasien ini tepat untuk diberikan terapi kognitif dan perilaku. CBT pada fobia sosial terdiri dari beberapa pendekatan yaitu:1. Terapi manajemen kecemasan.

2. Latihan keterampilan sosial (social skills training)

3. Terapi pajanan (exposure treatment)

4. Terapi kombinasi, yang terdiri dari terapi kognitif dan pajanan.

CBT yang melibatkan restrukturisasi kognitif ditambah dengan pajanan lebih efektif dan memberikan efek terapi yang besar, dibandingkan dengan pajanan sendiri atau social skills training sendiri atau restrukturisasi kognitif sendiri.

Ketika memasuki situasi sosial yang mencetuskan kecemasan, keyakinan-keyakinan negatif teraktivasi dan orang-orang dengan fobia sosial akan memikirkan tentang kemampuan mereka untuk menciptakan kesan yang baik. Pemikiran ini bermanifestasi sebagai pikiran-pikiran otomatis negatif (negative automatic thoughts), misalnya bagaimana kalau saya gemetar?, Pikiran-pikiran otomatis negatif ini akan diikuti oleh pergeseran arah perhatian yang memengaruhi seseorang menjadi self-conscious dan fokus perhatiannya inward kepada gejala-gejala dan memberi kesan apa yang mereka pikirkan akan terlihat oleh orang lain.

Seseorang dengan kecemasan sosial mengambil kesimpulan bagaimana mereka terlihat oleh orang lain berasal dari dalam dan terjadi dalam bentuk keluhan fisik (gejala-gejala kecemasan). Citra diri biasanya merupakan suatu perspektif pengamat (observer perspective) yang artinya melihat diri sendiri seolah-olah dari titik pandang orang lain. Pada gambaran jenis ini, gejala-gejala kecemasan dan kekurangan diri terlihat sangat menyolok. Contohnya seorang pasien merasa takut wajahnya akan memerah ketika ia berbicara dengan atasannya, memiliki gambaran tentang dirinya bahwa seluruh wajahnya dari puncak dagu sampai akar rambutnya akan memerah seperti tomat matang. Pada kenyataannya, wajahnya hanya sedikit memerah di pipi dan tidak seperti yang ia bayangkan semula tentang citra dirinya. Gambaran pengamatan negatif (negative observer image) menguatkan penilaian negatif terhadap penampilan dan pikiran-pikiran negatif tentang evaluasi dirinya oleh orang lain.Selain dari negative self-processing adalah respons koping pasien yang mencoba untuk mencegah ancaman sosial dan ketakutan yang katastrofi. Perilaku ini yang disebut dengan safety behavior (perilaku aman). Misalnya menghindari kontak mata, sedikit bicara, menyembunyikan wajah, menggunakan pakaian berlapis-lapis untuk menyembunyikan keringat.

1. Safety behavior cenderung untuk meningkatkan atau menjaga self-consciousness. Hal ini menjadi masalah karena seseorang sedikit memperhatikan aspek luar dari lingkungan sosial yang dapat memberikan informasi tentang kemampuan untuk melawan pikiran-pikiran negatif.

2. Safety behavior dapat mendukung suatu bias pada interpretasi kejadian dimana katastrofi sosial yang tidak terjadi dapat ditambahkan untuk menggunakan safety behavior, dan bukan pada fakta bahwa katastrofi sosial tidak sebagai suatu katastrofi yang diprediksi.

3. Beberapa safety behavior mengintensifkan gejala-gejala somatik dan kognitif dari kecemasan. Misalnya bicara pelan, fokus pada satu suara dapat meningkatkan kemungkinan blocking dan pengalaman subyektif kesulitan bicara.

4. Safety behavior dapat mengontaminasi situasi sosial. Perilaku seperti menghindari kontak mata, menghindari membuka diri dan bicara sedikit pada situasi sosial dapat menuntun orang lain untuk berpikir bahwa seseorang dengan kecemasan sosial tidak menarik bagi mereka atau tidak bersahabat.

Konseptualisasi kasus pada pasien dengan fobia sosial adalah sebagai berikut:4

Contoh dari negative automatic thoughts adalah mereka akan lihat saya cemas, mereka akan berpikir saya bodoh, setiap orang akan memperhatikan, saya akan kalah. Contoh dari self-conscious adalah citra diri dengan tubuh kaku, wajah tegang, tangan gemetar, suara bergetar, seperti robot. Contoh dari safety behaviors adalah wajah atau tubuh yang rileks, berjalan secara santai, senyum, menghindari kontak mata, bicara pelan, sedikit bicara, mengajukan pertanyaan. Dan manifestasi ansietas yang muncul adalah sakit perut, mulut kering, tegang, panas, konsentrasi buruk.Selain CBT, pasien juga dapat diberikan terapi relaksasi yang bertujuan melatih agar pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-otot tubuh dalam keadaan tegang dan rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu pasien juga dapat dilatih untuk latihan pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik nafas dalam hitungan satu kali dan membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat diulang berkali-kali sampai pasien merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan karena pada pasien ini dapat terjadi hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya muncul maka latihan pernafasan ini diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.5,6PROTOKOL WAWANCARAPertemuan pertama:

Dokter (D): Selamat siang (tersenyum, sambil mengulurkan tangan mengajak pasien untuk

berjabat tangan). Mari silakan duduk (sambil mempersilakan pasien duduk). Pasien (P): (membalas jabatan tangan dokter sambil menundukkan kepala). Terimakasih dok

(pasien duduk).

D:Apa yang bisa saya bantu E?

P:(pasien hanya menundukkan kepala).

D:Dengan siapa E datang kemari? (sambil memperhatikan wajah pasien yang selalu

menunduk).

P:Sama papa dan mama (suaranya lirih dan masih tetap dengan wajah menunduk).

D:Hmm...E sepertinya kurang nyaman ya? (sambil menyentuh punggung tangan

pasien untuk memberikan rasa tenang/empati).

P:(diam saja, tetap menunduk sambil meremas-remas tisu yang digenggamnya).

D:E... disini tidak ada orang lain kecuali saya dan E, jadi apapun yang ingin E sampaikan

disini akan menjadi rahasia kita berdua, tidak akan ada orang lain yang tahu (dengan

suara lembut).

P:(menatap wajah terapis dan mulai terisak-isak).

D:Ada apa E?

P:(menangis semakin terisak-isak).

D:Hmm...sepertinya sekarang ini E sulit ya untuk menceritakannya...

P:(mengangguk).

D:Ya....ya...gak apa-apa E... (sambil menyentuh tangan E untuk kembali menenangkannya). Boleh saya bertemu dengan papa mama E?

P:Boleh dok (setelah agak tenang)... saya panggilkan ya dok (berjalan menuju ke pintu

keluar).

Wawancara dengan pasien berhenti dan selanjutnya alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien dan memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien serta rencana terapi.

Pertemuan kedua:

D:Selamat siang E (sambil tersenyum dan menyilakan pasien duduk).

P:Selamat siang dok (tersenyum kecil dan duduk di depan pasien).D:Apa kabar?

P:Baik dok (sambil tersenyum malu-malu dan menatap pasien).

D:Hari ini E tampaknya lebih ceria ya...

P:Alhamdulillah dok...saya sudah lebih nyaman...maaf ya dok minggu lalu saya nangis di

depan dokter...

D:Kemarin itu E kayaknya belum nyaman ya...

P:Ya dok (menunduk).

D:Hmm...apa E sering seperti itu setiap bertemu dengan orang yang baru E kenal?

P:Ya dok (menatap pasien sambil malu-malu).

D:Bisa E ceritakan seperti apa?

P:Dulu saya tidak seperti ini dok...

D:Terus?

P:Baru akhir-akhir ini aja dok, kira-kira setahun belakangan ini. Awalnya waktu saya ujian

sidang akhir, saya cemas dan takut sekali menghadapi penguji. Jadinya saya gak lulus, harus her deh.

D: Lalu?

P:Waktu her saya dikasih penguji yang baik-baik dan sabar dok, Alhamdulillah saya lulus.

Tapi nilai saya kurang bagus dok.

D:Apa yang E rasakan waktu itu?

P:Gak karuan dok. Kepala saya pusing, mukanya saya terasa panas, jantung berdebar-

debar, keringat dingin sampai sakit perut. Jadi gak bisa mikir dok.

D:Hmm... gak nyaman ya E?

P:Gak nyaman sekali dok...

D:Selain ujian sidang tadi, apa ada peristiwa lain yang membuat E merasakan hal seperti

tadi?

P:Ya dok...waktu saya melamar pekerjaan. (pasien menunduk lagi).

D:Bisa cerita lebih lanjut?P:Enam bulan lalu...saya kerja ikut kakak saya di perusahaan asuransi. Saya kerja di bagian

telemarketing. Saya harus menghubungi klien lewat telepon dan nawarin produk. Padahal cuma lewat telpon dok, tapi saya groginya minta ampun. Setiap kali nelpon saya langsung berdebar-debar, gemetar jadi bikin saya gak PD dok.

D:Apa yang E pikirkan waktu itu?

P:Saya takut gak bisa jawab pertanyaan klien, saya takut salah omong, saya takut dinilai

sama klien, saya ngerasa gak sanggup dok.

D:Hmm...begitu ya E...lalu?

P:Ya gitu deh dok....saya gak betah. Baru 5 hari kerja saya minta keluar aja.

D:Sekarang kerja dimana E?

P:Belum dok....saya udah coba ngelamar kerja dimana-mana tapi selalu gagal waktu

wawancara. Sama juga kayak waktu itu, saya selalu ngerasa gak sanggup ngadepin orang lain yang baru saya kenal dok.

D:Ya...ya...

P:Saya pingin cepat dapat kerja dok, tapi saya takut dan cemas kalau harus wawancara.

Dokter bisa bantu saya?

D:Begini E...(mulai memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien saat

ini, menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan dan cara pendekatan terapi, membuat kontrak terapi, bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus serta menganalisis perilaku pasien).

Jadi nanti di rumah E membuat PR seperti yang saya ajarkan tadi yaMinggu depan

datang kontrol lagi dan PRnya dibawa.

P:Insya Allah dok. Saya pingin cepat sembuh.

D:Bagus E.jangan lupa mempraktekkan teknik relaksasi kalau E merasa tidak nyaman ya.

P:Jadi minggu depan saya kesini lagi ya dok.dan obat ini saya minum juga ya

dokTerimakasih dok (tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan).

D:Ya betul E.sampai ketemu minggu depan ya(tersenyum sambil mengulurkan

tangan).

Pertemuan keempat:

P:Selamat siang dok (pasien memasuki ruang praktek dengan wajah ceria dan langsung

menghampiri meja dokter sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman).

D:Selamat siang E.....wah tampak ceria sekali dan bersemangat ya...

P:Ya dok....terimakasih ya dok atas bantuan dokter saya kemarin bisa wawancara

pekerjaan.D:Alhamdulillah....saya ikut senang mendengarnya E...bagaimana ceritanya E?P:Saya melamar di sebuah perusahaan farmasi dan satu lagi di prabrik garmen.... Awalnya

saya cemas, tapi saya pikir untuk apa ya....saya coba relaksasi, membantu sekali dok...

Saya pikir kalau ini gagal saya akan terus mencoba dok...ya itung-itung latihan wawancara ya dok (tertawa kecil).

D:(tersenyum)....jadi menurut E sudah ada kemajuan ya?

P:Banget dok. Ohya dok ini PR nya....(sambil menyerahkan buku PRnya).

D:Disini E nulis kalau sudah lebih PD dan optimis ya...kira-kira menurut E apa yang

membuat E bisa menjadi seperti itu?

P:Kayaknya kemarin saya kebanyakan pikiran negatifnya dok...gak ada gunanya ya dok

malah bikin saya gak nyaman. Pertemuan ketujuh:

P:Selamat siang dok...(menyapa dengan lebih percaya diri)

D:Selamat siang E, apa kabar?

P: Alhamdulillah dok....saya sudah jauh lebih baik.

D:(tersenyum)....kira-kira kalau diberi nilai dari 0 sampai 10, dibanding dengan pertama

kali E datang kesini dengan yang sekarang, kondisi E ada di nilai berapa?

P:Hmmm...kira-kira 7 dok. Udah lumayan kan dok (sambil tersenyum senang).

D:Oh....bagus itu...

P:Saya juga sudah berani menyapa orang lain lebih dulu dan ngajak ngobrol dok, tapi gak sering sih dok.

D:Baik sekali itu E....coba ceritakan...

P:Kalau saya naik kendaraan umum terus yang duduk disamping saya ibu-ibu atau perempuan saya coba-coba ajak ngobrol.

D:Seperti apa E contohnya?

P:Ya seperti yang dokter ajarkan.....Ya saya tanya mau kemana bu? Rumahnya dimana? Ya kayak gitu dok...Di tempat latihan pencak silat saya juga udah gak buntutin papa terus...udah mulai berani ngajak ngobrol yang lainnya dok....Papa saya senang banget dok...

D:Apa yang E rasakan saat itu?P:Malu masih ada sedikit tapi saya coba lawan dok...saya pikir ngapain harus malu ya... saya udah lebih PD lah dok...Saya juga sedikit-sedikit mulai berani natap mata orang yang saya ajak ngomong....tadi saya kesini juga sendiri dok, saya berani gak usah ditemenin mama lagi....

D:Bagus E....diteruskan ya...lama kelamaan E akan lebih bisa mengatasi kecemasan E ya...

P:Ya dok. Saya pingin cepat-cepat dapat kerjaan supaya bisa bantu mama dan kakak saya.

Kasihan dia mau nikah gak jadi-jadi karena saya belum kerja...

D:Ya...ya...

Sesi berikutnya dilanjutkan sesuai dengan kontrak terapi.KEPUSTAKAAN: 1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik 1993.2. Newton D.S, Newton P.M. Erik H. Erikson. In: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed. 7th. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 2000.3. Cameron N. Personality Development and Psychopathology, A Dynamic Approach. Yale University, USA; 1963.4. Bond F.W, Dryden W. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. London, UK: John Willey&Sons Ltd, 2002.5. Sadock B.J, Sadock V.A: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Comprehensive Textbook of Psychiatry; Ed. 8th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.

6. Kaplan H.I, Saddock B.J: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Synopsis of Psychiatry; Ed. 10th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.7. Gabbard G.O. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, Ed. 3rd. American Psychiatric Press, 2000.8. Schneier F.R, Luterek J.A, Heimberg R.G, Leonardo E. Social Phobia. In: Stein D.J. Clinical manual of anxiety disorders. Arlington: American Psychiatric Publishing Inc., 2004.9. Schatzberg A.F, Nemeroff C.B. Textbook of Psychopharmacology. Ed. 3rd. American Psychiatric Publishing. Arlington, 2004.10. Dubovsky S : Benzodiazepine Receptor Agonists and Antagonists: Biological Therapies in Kaplan & Saddocks Comprehensive Textbook of Psychiatry; Ed. 8th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005. Negative automatic thoughts

Situasi sosial dianggap berbahaya, (negative automatic thoughts):

bagaimana kalau saya menatap mata lawan bicara?

lawan bicara akan menganggap saya tidak mampu

mereka akan melihat saya tegang

bagaimana kalau saya tidak dapat berpikir untuk mengatakan sesuatu kepada lawan bicara saya?

Mengaktivasi asumsi pada pasien

Gejala-gejala somatik dan kognitif:

pusing

wajah terasa panas

berdebar-debar

keringat dingin

sakit perut

gemetar

Perilaku aman (safety behavior):

menghindari bertemu dengan orang lain

menghindari kontak mata

menghindari mencari pekerjaan

menghindari pergi ke luar rumah

sedikit bicara

menyembunyikan wajah/ menunduk

Situasi sosial:

takut dinilai oleh orang lain

takut gagal

takut tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya

takut dievaluasi/dinilai

Merasa dirinya sebagai obyek sosial

Anxiety

Safety behaviors

Self-conscious

Naskah National Board Examination-290710

Hal. 36