clinical science report tetanus

30
CLINICAL REPORT SESSION TETANUS Disusun Oleh : Egy Pratama Setiawan Andhika Yudi Hartono Nyimas Karina Hasanah Preceptor : Asep Saefulloh, dr, SpS BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AL-IHSAN 2013

Upload: karina-hasanah

Post on 05-Dec-2014

44 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Basic Science Tetanus

TRANSCRIPT

Page 1: Clinical Science Report Tetanus

CLINICAL REPORT SESSION

TETANUS

Disusun Oleh :

Egy Pratama Setiawan

Andhika Yudi Hartono

Nyimas Karina Hasanah

Preceptor :

Asep Saefulloh, dr, SpS

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AL-IHSAN

2013

Page 2: Clinical Science Report Tetanus

I. PENDAHULUAN

Tetanus merupakan suatu gangguan neurologis, dikarakteristikkan oleh adanya

peningkatan tonus otot dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin yang

dikeluarkan oleh Clostridium tetani.1,2 Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani “tetanos”

yang berarti “teregang”.1 Sifatnya akut dan seringkali fatal. Kekakuan otot biasanya

dimulai pada rahang (lock jaw), dan leher, kemudian menjadi umum.1

Deskripsi tentang tetanus telah dikenal sejak abad ke-5 sebelum masehi, yang

kemudian lebih jelas dideskripsikan oleh Hippocrates pada laporan kontemporernya

Aretaeus.1 Hipokrates telah mendeskripsikan tetanus sebagai penyakit dengan gejala

spasme lokal atau umum akibat luka dan mengamati bahwa pasien mati dalam empat

hari atau jika hidup pasien dapat sembuh sempurna. Spasme hampir selalu terjadi pada

otot-otot leher dan rahang (trismus) sedangkan otot rangka badan lebih spasme dibanding

otot ekstremitas. Awitan hampir selalu akut dan hampir semua pasien dapat mati. Pada

tahun 1886 Rosenbach menemukan kuman tetanus pada manusia , kemudian 1889

Kitasato telah berhasil mengisolasi kuman tetanus dari pasien tetanus dan bersama

dengan Nicolair mengidentifikasi kuman tersebut sebagai basilus. Faber tahun 1890 telah

membuktikan adanya toksin yang termolabil dan mereproduksi kuman dengan filtrat

biakan yang steril. Di Indonesia vaksin tetanus dibuat tahun 1914 di Bio Farma.1

Sejak tahun 1903, Morax dan Marie menyatakan teorinya bahwa migrasi toksin

tetanus menyebar ke sistem saraf melalui sisten saraf perifer, sifatnya naik pada aksis

lembar perineural. Studi moderen menunjukkan toksinnya juga disebarkan melalui darah

dan aliran limfe, yang memungkinkan terjadinya tetanus secara umum. Pada tahun 1884

Carle dan Ratton menyatakan menemukan pertama kali tetanus pada hewan.1

II. EPIDEMIOLOGI

Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia, namun paling sering pada daerah

populasi padat, daerah miskin, dan daerah dengan iklim yang hangat dan lembab.1,2

Prevalensi utama tetanus terjadi di India, Banglades, Pakistan, Asia Tenggara, Afrika,

Amerika Selatan.1

Faktor yang meningkatkan prevalensi tetranus diantaranya; kerentanan seseorang

terhadap luka fisik, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk mengatasi luka, kurangnya

program imunisasi.1

Page 3: Clinical Science Report Tetanus

Tetanus menyerang beragam rentang usia, namun pada negara berkembang,

kelompok nenonatus memiliki resiko tertinggi, sedangkan pada negara maju atua negara

barat, kelompok usia lanjut memiliki resiko tertinggi.1 Tetanus kebanyakan mengenai

orang yang tidak di imunisasi, atau orang yang telah di imunisasi yang gagal pemenuhan

dosis booster vaksinnya.1 Perbedaan jenis kelamin pada penderita tetanus bervariasi,

pada pria di USA lebih rendah insidensinya karena adanya vaksinasi militer, sedangkan

pada wanita usia kehamilan juga menurun insidensinya karena vaksinasi anti tetanus

neonatus.2

Organisme penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna

hewan dan manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi,

dengan ukuran luka besar maupun kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tetanus sering

melalui luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah operasi elektif, luka bakar,

luka tusuk, yang dalam, luka robek, otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan

binatang, aborsi dan kehamilan.

Di USA, insidensi tetanus telah berhasil diturunkan sejak pertengahan tahun

1940, sejalan dengan adanya imunisasi secara luas. Kasus yang ditemukan pada awal

tahun 1970 sebanyak 140 kasus per tahunnya menjadi 40 kasus per tahunnya pada tahun

2000 setelah adanya imunisasi.1 Secara internasional, pada tahun 1992 terhitung sekitar

578.000 bayi mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada awal tahun 1990-an

terhitung sekitar 360.000 kasus dengan angka kematian sekitar 140.000 pada tetanus no-

neonatorum.2 pada tahun 2000 berdasarkan data dari WHO, Stanfield dan Galazka

menghitung insidensi secara global kejadian tetanus didunia adalah 0,7 – 1 juta kasus

pertahun. Perkiraan insidensi tetanus secara global adalahn18 per 100.000 populasi per

tahun. Di negar berkembang tetanus lebih sering mengenai laki-laki daripada perempuan

dengan perbandingan 3:1 hingga 4:1.2

Mortalitas tetanus sebesar 45 %, dengan angka 6 % pada orang yang sudah

pernah divaksin dan 15 % pada orang yang belum pernah divaksin di USA.2

III. ETIOLOGI (Clostridium tetani )

Clostridium tetani merupakan kuman anaerob berbentuk batang gram (+) motil

yang memiliki bentuk spora serta memberikan gambaran drumstick atau squash racket.

Organisme ini berukuran 0,5-1,7 mikrometer X 1,8-2,1 mikrometer. Tidak berwarna,

oval, memiliki spora terminal.1

Page 4: Clinical Science Report Tetanus

Organisme ditemukan tersebar luas di lingkungan khususnya di tanah yang

terkontaminasi feses hewan; seperti kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, marmot,

dan ayam, dan terkadang feses manusia. Spora dapat bertahan di lingkungan luar selama

bertahun-tahun dan resisten terhadap desinfektan dan perebusan selama 20 menit, namun

dapat dibunuh dengan menggunakan iodin atau hidrogen peroksida. Spora akan aktif

kembali ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi

jaringan rendah.1

Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin (eksotoksin), yaitu tetanolisin

dan tetanospasmin yang berupa rantan polipeptida tunggal. Toksin ini dilepaskan oleh

bakteri pada keadaan anaerob kemudian menempel pada reseptor sel saraf yang

kemudian memblok pelepasan neurotransmitter. Kondisi yang cocok bagi Clostridium

tetani untuk melepas toksin adalah pada keadaan redoks rendah; trauma, nekrosis

jaringan, perdarahan, kondisi yang menunjukkan penurunan kadar okesigen jaringan.1

Potensi tetanolisin pada pasien tetanus belum jelas, pada keadaan yang sangat buruk

tetanolisin dapat merusak jaringan sehat disekitar luka yang terinfeksi, menurunkan

potensial reduksi-oksidasi dan memfasilitasi pertumbuhan organisme anaerob.

Tetanolisin dapat merusak membran sel dengan berbagai mekanisme seperti membentuk

"membrane channels" dan langsung merusak lapisan lemak (Bleck, 1991).

Tetanospasmin merupakan suatu "zinc metalloprotease" yaitu "single 1315-

amino acid polypeptide chain" dan 151 kd, dibentuk dalam sel vegetatif yang dikontrol

oleh plasmid. Informasi genetik molekul ini terletak pada suatu plasmid tunggal yang

besar. Clostridium tetani yang plasmidnya rusak tidak bersifat toksikogenik. Molekul

alamiah hanya sedikit atau tidak toksik, tetapi menjadi paten jika bergabung dengan

serine-458 melalui protease bakteri. Keadaan ini menghasilkan satu gugusan ("chain")

berat (lOOkD) dan satu gugusan ringan (50kD) yang dihubungkan dengan jembatan

disulfida. Jembatan ini dibutuhkan untuk aktivitas toksin. Gugusan-gugusan ini atau

variasi-variasi fragmennya diperkirakan mempengaruhi fase pertautan toksin, masuknya

toksin kedalam sel dan toksisitas. Epitop sel T menghasilkan respon imun terhadap

rangkaian daa paitikel asam amino dari bagian "amphipathic alpha-helical" molekul.

Fragmen C merupakan gugusan berat yang bertaut pada lysine-865 lebih kurang 50 kD

dari "carboxyc-terminal end", sedangkan fragmen B atau A-B adalah molekul gugusan

ringan yang masih bertaut pada "amino-terminal end" oleh jembatan disulfida.

Pengikatan dan masuknya tetanospasmin pada sel diperantarai oleh gugusan berat atau

fragmen Cnya, sedangkan gugusan ringan bertanggungjawab untuk menghambat

Page 5: Clinical Science Report Tetanus

pelepasan transmiter. Fragmen C juga bertanggungjawab terhadap transport transinaptik

toksin.1

IV. PATOGENESIS

C.tetani tidak termasuk organisme infasif, infeksi terjadi apabila terdapat luka

sehingga spora bakteri tersebut masuk. Spora berkembang menjadi organisme vegetatif

yang menghasilkan toksin melalui tiga cara, yaitu :

1. Jaringan yang nekrotik

2. Adanya garam kalsium

3. Adanya infeksi pyogenik yang menyebabkan suasana lingkungan menjadi potensial

redoks yang rendah (An-Aerob)

C.tetani menghasilkan menghasilkan tetanospasmin saat mengalami lysis.

Tetanospasmin merupakan suatu zinc metalloprotease, suatu substansi aminoacid

polypeptide chain yang dilepaskan di dalam luka. Toksin kemudian dapat menyebar

melalui otot yang terkena pada otot disekitarnya dan terikat pada ujung terminal motor

neuron, kemudian memasuki akson dan ditransport secara retrograde melalui inraneuronal.

Toksin ini bekerja pada system saraf termasuk motor endplate, medulla spinalis, otak, dan

system saraf simpatis. Selain itu toksin dapat menyebar melauli system peredaran darah

dan limfatik.

Pengaruh tetanospasmin terhadap saraf adalah penurunan pelepasan

neurotransmitter mayor yaitu Gamma Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, mekanisme

penghambatan neurotransmitter GABA dan glisin terdapat beberapa teori :

1. Pemecahan protein yang berfungsi pada pelepasan vesikel di dalam sinap yaitu

synaptobrevin

2. Terhambatnya aliran kalsium oleh toksin sehingga menghambat pelepasan

neurotransmitter

3. hipotesa gambale dan montal menyatakan setelah toksin masuk kedalam sel maka

menimbulkan passive calcium channel yang menyebabkan sel tetap berdepolarisasi

sehingga mencegah pelepasan transmitter.

Hal ini akan mengurangi fungsi inhibisi dan meningkatkan kecepatan cetusan

istirahat pada motor neuron yang bertanggung jawab pada terjadinya rigiditas otot.

Keadaan ini dikenal sebagai spasme tetanik, gejala awalditunjukkan pada saraf perifer

terpendek dengan gambaran distorsi wajah, kekauan punggung dan leher.

Page 6: Clinical Science Report Tetanus

Tetanus terlokalisir terjadi ketika toksin mempengaruhi saraf yang mensuplai

otot yang terkena. Sedangkan tetanus umum terjadi ketika toksin yang dilepaskan

menyebar melalui system peredaran darah dan limfatik terhadap banyak ujung-ujung saraf

terminal.

V. MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada

tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 134 hari setelah lahir rata-

rata 7 hari.

Berdasarkan pada temuan klinis, terdapat empat bentuk tetanus yang telah

dideskripsikan, yaitu :

1. Tetanus lokal. Yaitu bentuk tidak umum dimana pasien mengalami spasme tetani

pada daerah luka selama berminggu-minggu sebelum terjadinya gejala secara umum

2. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi biasanya menyertai

otitis media dimana C.tetani ditemukan sebagai flora pada telinga tengah, atau

menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini mengenai nervus kranialis khususnya

pada bagian wajah.

3. Tetanus umum merupakan bentuk yang sering terjadi. Gejala yang pertama muncul

adalah trismus atau lockjaw, kemudian diikuti kekakuan leher, kesulitan menelan,

dan rigiditas otot abdomen. Gejala lainnya adalah suhu tubuh meningkat 2-4 0C di

atas normal, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara

episodik.

Tetanus neonatorum merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru

lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan imunisasi pasif,

karena ibu yang tidak di imunisasi. Infeksi biasanya terjadi pada umbilicus yang dipotong

dengan peralatan yang tidak steril. Tetanus neonatus biasanya muncul secara keseluruhan

dan sifatnya fatal. Onsetnya pada 2 minggu pertama kehidupan setelah lahir, yang

biasanya dari ibu dengan sistem imunitas yang rendah terhadap tetanus. Gambaran khusus

yang terjadi adalah sulit makan, kekakuan, dan spasme.1

Page 7: Clinical Science Report Tetanus

Menurut Adams dan Victor (1997) gejala klinis tetanus dibagi atas :

• Tetanus lokal.

• Tetanus sefalik.

• Tetanus umum.

Tetanus lokal :

Merupakan tetanus yang paling ringan. Gejala awal berupa kekakuan, pengencangan

dan nyeri pada otot-otot disekitar luka diikuti dengan "twitching" dan spasme singkat.

Tetanus lokal terjadi terutama akibat luka pada lengan dan tangan atau pada otot-otot

abdominal atau paravertebral dan berhubungan dengan luka sesudah operas!. Pada perjalanan

penyakit yang lebih lanjut terjadi spasme terus-menerus involunter (disebut sebagai rigiditas)

dan kontraksi hipertonik atau spastisitas tetanik. Kontraksi hipertonik adalah kontraksi otot

terus-menems dan resisten terhadap pergerakan pasif. Manuver diagnostik yang dapat

dilakukan berupa membuka dan menutup tangan dengan respon terjadinya kontraksi tonik

yang gradual dan spasme otot , diikuti oleh penyebaran spasme pada kelompok otot

disekitarnya ("recruitment spasm"). Trismus ringan dapat terjadi pada tetanus lokal yang

ringan sekalipun dan ini dapat membantu menegakkan diagnosis. Gejala tetanus lokal dapat

menetap sampai beberapa minggu atau bulan dan dapat sembuh sempurna tanpa gejala sisa.

Tetanus sefalik

Merupakan bentuk tetanus akibat adanya luka pada wajah dan kepala. Periode

inkubasinya singkat, 1 sampai 2 hari. Otot-otot yang terkena (biasanya okuler dan fasial)

menjadi lemah atau paralisis. Walaupun demikian, jika terjadi spasme umum, otot yang

paralisis ini ikut berkontraksi. Kontraksi otot lidah dan tenggorokan mengakibatkan disartria,

disfonia dan disfagia. Gejala berupa trismus dan blefarospasme. Tetanus sefalik merupakan

bagian dari tetanus lokal, dapat menjadi tetanus umum dan pada keadaan ini banyak kasus

terbukti fatal.

Tetanus umum

Merupakan jenis tetanus tersering, dapat mulai sebagai tetanus lokal yang setelah

beberapa hari menjadi umum. Gejala yang dapat ditemukan antara lain :

1. Trismus.

2. Risus sardonikus.

Page 8: Clinical Science Report Tetanus

3. Rigiditas otot-otot rahang dan leher kemudian secara gradual ke otot-otot aksial

(opistotonus), spasme otot-otot abdomen dan anggota badan.

4. Spasme tonik otot-otot dapat terjadi spontan atau karena rangsangan.

5. Spasme otot-otot faring, laring dan otot-otot pernapasan merupakan ancaman terjadinya

gagal napas.

6. Kesadaran pasien tetap baik kecuali jika terjadi hipoksia serebral akibat gagal napas.

7. Peningkatan suhu tubuh biasanya terjadi oleh karena komplikasi infeksi.

8. Kematian biasanya terjadi oleh karena gagal napas akibat spasme berat, gagal jantung

akibat gangguan sirkulasi dan akibat kerja toksin tetanus pada saraf simpatis

(disotonomia).

Tetanus Neonatorum

Merupakan tetanus yang sangat berat dengan angka mortalitas yang sangat tinggi.

Didapat riwayat tindakan teknik obstetrik yang tidak steril dan kotor di mana potongan

umbilikus terkontaminasi dengan spora tetanus. Masa inkubasi bervariasi antara 1 hari

sampai 3-4 minggu. Pada umumnya gejala pertama timbul pada minggu pertama kehidupan

anak. Gejala dini berupa kesulitan menelan akibat kekakuan pada bibir, otot rahang serta

faring. Trismus jelas dengan sisi badan opistotonus berat, fleksi ekstremitas atas dengan

hiperekstensi anggota badan bawah. Kesulitan pernafasan diikuti sianosis. Kematian akibat

kegagalan pernafasan, hipoksia dan pneumonia baik akibat aspirasi maupun infeksi bakteri.

Gangguan otonom hampir selalu dijumpai dengan akibat kegagalan fungsi kardiorespirasi

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Status epileptikus

2. Abses peritonsilar

3. Abses dental

4. Sepsis

VII. KLASIFIKASI dan KRITERIA DIAGNOSTIK

Tetanus didiagnosis berdasarkan hasil temuan klinis, tidak terdapat uji

penunjang / laboratorium untuk diagnosis tetanus.

Tingkatan penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu kriteria/ derajat berat

ringannya suatu penyakit.

Page 9: Clinical Science Report Tetanus

Menurut Ablett’s, kriteria ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Tingkat I (Ringan) : Kasus tanpa dysfagia dan ganggguan respirasi

Tingkat II (Sedang) : Kasus dngan spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia) dan

gangguan respirasi.

Tingkat IIIa (Berat) : Kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat

Tingkat IIIb (Sangat Berat) : Sama dengan tingkat IIIa disertai adanya aktivitas simpatis

berlebihan (disotonomia).

Kemudian Udwandia (1994) telah memodifikasi kriteria ablett’s diatas serta membagi

penyakit tetanus kedalam empat tingkatan, yaitu :

I : trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertaia dengan kejang,

gangguan respirasi dengan sedikit atau tanpa gangguan menelan

II : trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang berlangsung

singkat disertai disfagia ringan dan takipnea > 30 – 35 x/ menit

III : trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang berlangsung lama.

Gangguan pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit, kadang apnea, disfagioa berat dan

takikardia > 120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan

menetap.

IV : gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai hipertensi

berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan bradikardia atau hipertensi

diastolik yang berat dan menetap (tekanan diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik

yang menetap (tekanan sistolik <90 mmHg). Dikenal juga dengan autonomic storm

Sedangkan Patel dan Joag juga membagi penyakit tetanus ini dalam lima tingkatan

dengan berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam lima kriteria, yaitu :

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang

Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit

Dengan berdasarkan lima kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus

sebagai berikut:

Tingkatan penyakit tetanus :

Page 10: Clinical Science Report Tetanus

Tingkat I : Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas o %

Tingkat II : Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7

hari

Hari dan onset lebih dari 2 hari, moirtalitas 10 %

Tingkat III : Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset

kurang dari 2 hari, mortalitas 32%

Tingkat IV : Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%

Tingkat V : Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah

tetanus neonatorum maupun puerpurium.

VIII. KOMPLIKASI TETANUS

Komplikasi dini tetanus biasanya berupa gangguan pernapasan dimana terjadi

ventilasi yang tidak adekuat. Keadaan ini terjadi oleh karena spasme laring atau spasme

otot-otot pernapasan yang tidak dapat diatasi sehingga terjadi apnu, hipoksia serebral dan

bila keadaan ini berlangsung lama akan merusak otak dan mengancam jiwa (Bleck 1991;

Udwadia, 1994).

Berikut ini akan dibahas beberapa komplikasi tetanus sebagai berikut:

1. Komplikasi respirasi

a. Hipoksia dan gagal napas.

Tetanus berat biasanya berhubungan dengan terjadinya hipoksia. Penurunan Pa

O2 sampai 70 mmHg sering ditemukan pada tetanus sedang. Takipnu yang terjadi pada

pasien-pasien ini menyebabkan hipokapnia meskipun volume tidal telah diturunkan secara

signifikan. Sering ditemukan gagal napas hipoksik tipe I yaitu hipoksia dengan alkalosis

respiratorik oleh karena hipokapnia. Pasien dengan spasme berat terus-menerus dan tidak

terkontrol dengan sedativa dan relaksan otot, dapat menderita hipoventilasi alveolar

dengan penurunan tajam PaO2 dan hiperkapnia disebut : Gagal napas tipe II. Hipoksia

pada gagal napas dapat dikoreksi dengan pemberian oksigen, tetapi keadaan hiperkapnia

tetap tidak dapat dikoreksi meskipun telah dilakukan pemberian oksigen. (Udwadia, 1994)

Komplikasi respirasi lainnya termasuk atelektasis, pneumonia aspirasi,

pneumonia, bronkopneumonia biasanya berhubungan dengan kesulitan mengeluarkan

sekret saluran napas bagian atas. Beberapa faktor penyebab kesulitan ini antara lain; sekret

oral dan faring biasanya meningkat pada pasien tetanus, pasien tidak dapat menelan atau

mengeluarkan sekret akibat spasme otot-otot faring, regurgitasi isi lambung dapat

Page 11: Clinical Science Report Tetanus

teraspirasi, kesulitan batuk dan ruang ventilasi menyempit akibat spasme otot-otot

pernapasan.

b. Spasme laring.

Keadaan ini sering terjadi pada tetanus dan merupakan komplikasi yang sangat

ditakuti. Spasme laring yang tidak dapat dikendalikan menyebabkan hipoksia, sianosis dan

kematian mendadak akibat hipoksia berat. Spasme laring dapat bersamaan atau mengikuti

bangkitan umum yang berakibat fatal.

c. Serangan apnu.

Serangan apnu dengan sianosis yang terjadi tanpa adanya spasme laring, dapat

tejadi pada pasien tetanus berat. Serangan apnu ini juga dapat terjadi tanpa didahului spasme

umum. Hipoksia berat yang terjadi dapat menghasilkan bradikardia berat dan henti jantung.

d. Bronkospasme.

Takipnu oleh karena bronkospasme biasanya terjadi pada tetanus sedang dan

berat. Keadaan ini terjadi akibat bertambahnya sekret saluran napas trakeobronkial sehingga

jalan napas menyempit.

e. "Adult respiratory Distress syndrome"

Merupakan komplikasi respirasi yang jarang ditemukan. Secara klinis ditandai

oleh episode "respiratory distress" berat dengan takipnu dan tidak berhubungan dengan

hipoksia, hiperkapnia, bronkospasme atau peningkatan sekresi pada cabang-cabang

trakeobronkial, juga tidak berhubungan dengan aspirasi atau atelektasis. Patogenesis keadaan

ini belum diketahui dengan jelas, diduga disebabkan adanya kontrol inhibisi pada pusat

pernapasan oleh toksin tetanus.

f. Paralisis diafragma.

Paralisis diafagma pada pasien tetanus dilaporkan oleh Focaccia dkk (1980) .

Keadaan ini memegang peranan penting dalam terjadinya hipoventilasi.

g. Komplikasi akibat penggunaan alat bantu ventilasi.

Komplikasi ini terjadi akibat trakeostomi dan penggunaan ventilator yang lama.

Problem iatrogenik ini dapat berupa infeksi paru, pneumotoraks, pneumomediastinum,

perdarahan akibat trakeostomi, emfisema kulit akibat trakeostomi, obstruksi kanul

trakeostomi dan stenosis/distal trakeomalasia (Udwadia, 1994; Harding-Golson dan Hanna,

1995).

Page 12: Clinical Science Report Tetanus

2. Komplikasi kardiovaskuler dan disotonomia

Komplikasi kardiovaskuler pada tetanus berat terutama disebabkan oleh

disotonomia Gejala berupa takikardia dapat sampai 170-180x/menit atau lebih dan menetap

dalam beberapa hari, hipotensi persisten, bradikardia, hipertensi labil vasokonstriksi perifer

dengan geiala seperti syok. Ketidakstabilan saraf otonom yang hebat dikenal sebagai

"autonomic storm" seperti yang telah dijelaskan terdahulu sangat fatal dengan akibat

kematian. Gangguan kardiovaskuler akibat disotonomia merupakan peringatan pendahuluan

akan terjadinya henti jantung ("cardiac arrest") dan kematian.

Komplikasi kardiovaskuler lain yang telah dilaporkan yaitu aritmia kordis seperti;

ekstrasistol, ventrikular takikardia yang timbul dalam waktu singkat, paroksismal atrial

takikardia dalam waktu singkat semuanya ini terjadi akibat hiperaktivitas saraf simpatis; dan

infark miokard.

Keadaan lain yang berhubungan dengan disotonomia yaitu :

•Hiperhidrosis, dapat menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit.

•Hipertermia (suhu rektal>41°C).

Menurut Oilman dan Newman (1992), neuron preoptik dan hipotalamus bertanggung jawab

terhadap regulasi suhu tubuh, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Hubungan

hipertermia akibat disotonomia pada pasien tetanus juga belum diketahui.

• Kadang ditemukan Sindrome Inadequate Antidiuretic Hormon (SIADH) oleh karena

keterlibatan hipotalamus tetapi mekanismenya belum diketahui.

• Penyebab kematian akibat komplikasi kardiovaskuler adalah henti jantung dengan akibat

mati mendadak/"sudden death".

Matt meiuladak selain pada disotonomia, dapat juga terjadi pada :

• Rangsangan tonus vagal yang menyebabkan bradiritmia dan henti jantung.

• Hipoksia berat.

• Hiperpireksia.

• Emboli paru yang luas.

• Hipokalemia,hiperkalemia atau gangguan pH darah arteri berat yang tidak diketahui.

• Infark miokard akut.

• Toksik miokarditis.

• Henti jantung tanpa sebab yang jelas.

Page 13: Clinical Science Report Tetanus

3. Komplikasi lainya.

a. Sepsis.

Beberapa istilah yang dipakai untuk menjelaskan keadaan pasien sepsis antara lain :

Bakteremia : Adanya bakteri hidup dalam darah yang dapat dibuktikan melalui kultur

darah positif.

Septikemia : Penyakit sistemik disebabkan oleh penyebaran mikroba atau toksinnya

melalui aliran darah.

"Systemic inflammatory response sjoidrome5' (SIRS) : Terdapat sedikitnya 2 keadaan

berikut ini ; Suhu badan (oral) >38° C atau < 36°C, pernapasan > 20x/menit atau Pa CO2

<32 mmHg, denyut nadi > 90x/m, leukosit >12000/ul atau <4000/ul.

Sepsis : SIRS yang telah dibuktikan atau dicurigai mikroba etiologinya.

Sepsis berat (Sindroma sepsis) : Sepsis dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,

hipoperfusi atau hipotensi seperti : asidosis metabolik, gangguan mental akut, oliguria

atau "adult respiratory distress syndrome".

Syok septik : Sepsis dengan hipotensi (sistolik <90mmHg atau 40 mmHg lebih rendah

dari tekanan darah biasanya /"baseline blood pressure", tanpa adanya penyebab lain) yang

tidak berespon terhadap resusitasi cairan, disertai disfungsi atau perfbsi abnormal seperti

pada sepsis berat (sindroma sepsis) tersebut diatas. (Bone, 1991; Eidelmandkk,

1996; Munford, 1998)

Komplikasi yang paling berat dan ditakuti dari tetanus adalah sepsis baik dengan atau

tanpa bakteriemia dengan sindroma sepsis yang berkembang cepat disertai "multi organ

failure". Sepsis oleh karena iatrogenik, kuman penyebabnya biasanya Klebsiela dan

Pseudomonas aeroginosa. Sumber potensial dari sepsis adalah luka trakeostomi, pemberian

cairan intravena, kateterisasi, kanul ventilator, alat pelembab udara (humidifier) dan

nebulizer.

b. Komplikasi ginjal.

Insufisiensi ginjal dapat terjadi oleh karena inteksi akibat penggunaan kateter, sepsis,

berhubungan dengan pemakaian aminoglikosid, faktor prerenal, mioglobinuria oleh karena

rabdomiolisis akibat spasme hebat, atau penyebab multi faktor.

c. Komplikasi hematologi.

Anemia ditemukan pada niinggu ke II atau III, leukositosis pada umumnya oleh

karena infeksi, trombositopenia dan DIG berhubungan dengan sepsis.

d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Page 14: Clinical Science Report Tetanus

Berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan akibat hiperhidrosis.

Gangguan elektrolit yang sering adalah hipokalemia dan hiponatrernia.

e. Komplikasi metabolik.

Hipoventilasi pada pasien dengan spasme berat yang diterapi secara konservatif dapat

meningkatkat asidosis respiratorik. Alkalosis respiratorik karena hipokapnia lebih sering

ditemukan. Asidosis metabolik berat dapat terjadi pada pasien dengan hipotensi. Hipokalemia

dapat menyebabkan alkalosis metabolik. Pasien tetanus berat dapat menderita gangguan

asam-basa yang bervariasi oleh karena banyak faktor.

f. Komplikasi pada kulit.

Dapat terjadi dekubitus dan tromboflebitis.

g. Fraktur.

Terutama tulang vertebra torakal 4-6, kadang-kadang vertebra lumbal dan

manubrium. Keadaan ini terjadi oleh karena spasme yang sangat kuat.

h. Komplikasi neurologis dan gejala sisa.

Dapat ditemukan neuropati perifer oleh karena terjadinya aksonopati pada saraf

perifer, kompresi saraf peroneus, kelumpuhan saraf laringeus, paralisis N VII perifer,

oftalmoplegia dan ptosis, gangguan kesadaran dan memori.

i. "Multiple organ failure".

Merupakan gabungan komplikasi respirasi, kardiovaskuler, sistem pencemaan,

disfungsi ginjal dll. Berdasarkan laporan klinis pasien yang menderita "multiple organ

failure" (MOF), dibuat definisi dari gagal organ ("organ failure") dan faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya keadaan gawat-darurat sebagai berikut (Baue, 1990) :

• MOF dapat merupakan suatu gangguan metabolik berat akibat sekunder dari trauma,

operasi atau keduanya.

• Seringkali adanya kesalahan klinis atau teknik tidak dapat diketahui dengan cepat.

• MOF merupakan akibat perkembangan sepsis dan sering bersamaan dengan peritonitis

atau proses inflamasi berat.MOF ditandai dengan adanya curah jantung yang rendah

dan problem sirkulasi.

• MOF ditandai dengan adanya keterbatasan ftingsi organ akibat penyakit utamanya

IX. PENATALAKSANAAN

Page 15: Clinical Science Report Tetanus

Beberapa hal yang perlu diketahui dalam penatalaksanaan tetanus : Perawatan

pada saat pasien baru masuk rumah sakit.

Setelah pasien masuk rumah sakit , sebaiknya dirawat pada ruang rawat

khusus pasien tetanus dengan peralatan "intensive care" yang memadai. Penanganan

jalan napas dilakukan pada pasien tetanus tingkat II,III dan IV. Pemasangan pipa

nasogastrik dilakukan setelah pemasangan pipa endotrakeal atau setelah trakeostomi.

Kateter Folley dipasang pada pasien tetanus berat. Pasien tetanus tidak pcrlu dirawat

pada ruang gelap, walaupun demikian cahaya yang terlalu terang sedapat mungkin

dihindari. Ruang rawat tetanus sebaiknya sejuk dengan ventilasi udara yang baik.

Stimulus taktil sangat mempengaruhi terjadinya spasme oleh karena itu sedapat mungkin

pasien tidak terlalu sering distimulasi.

Penggunaan antitoksin.

Penelitian oleh Cole dan Youngman (1969), pasien diberikan serum antitetanus

100.000 unit. Tetapi dosis ini diragukan oleh ahli lain. Udwadia (1994) memberikan

serum antitetanus 10.000 unit intravena, sebelum pemberian dilakukan uji kulit.

Srikiatkhachorn dan Hemachuda (1999) memakai serum antitetanus 10.000 sampai

100.000 unit. Pemberian HTIG (Human Tetanus Imunoglobulin) lebih baik dibanding

serum kuda karena tidak menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Dosis yang dianjurkan

adalah 3000-10000 unit internasional intravena atau intramuskuler (Walshe,1995). Blake

dkk menyatakan dosis 500 unit sama efektifhya dengan dosis yang lebih tinggi.

Penggunaan toksoid tetanus (imunisasi aktif)

Imunisasi aktif diberikan sesuai keadaan luka dan riwayat imunisasi

sebelumnya. Pada luka kecil/minor dan tidak terinfeksi serta tidak diketahui riwayat

imunisasinya, atau pada pasien dengan imunisasi adekuat tetapi telah lewat lebih dari 10

tahun, diberikan 0,5 ml antitetanus toksoid (ATT). Jika luka besar/mayor dan terinfeksi

dan riwayat imunisasi terakhir telah lewat 5 tahun, ATT harus diberikan (dosis sama

dengan pada luka minor) (Howie, 1988; Gardner dan Schafmer, 1993; Udwadia, 1994).

Penggunaan antibiotik.

Page 16: Clinical Science Report Tetanus

Udwadia (1994) menggunakan penisilin kristal 2 MU tiap 6 jam IV tiap 6 jam.

Jika pasien alergi terhadap penisilin, dapat digunakan tetrasiklin atau eritromisin. Gilroy

(1992) menganjurkan tetrasiklin 2 gr, dalam 4 kali pemberian perhari.. Ahmadsyah dan

Salim (1985) meneliti tentang efektivitas penggunaan prokain penisilin dibandingkan

dengan metronidasol pada pasien tetanus. Hasil yang didapatkan yaitu angka kematian

pasien dengan metronidasol lebih rendah dan bermakna secara staristik. Peneliti lain

mengemukakan bahwa penisilin dapat bekerja sinergis dengan tetanospasmin

menyebabkan spasme berat dan dapat mengurangi kerja benzodiazepin (Bleck, 1991).

Terapi konservatif (penggunaan sedativa dan "muscle relaxants")

Benzodiazepine.

Benzodiazepine merupakan GABAA agonis sehingga secara tidak langsung

bersifat antagonis dengan efek tetanospasmin pada sistem inhibisi. Diasepam merupakan

obat yang tersering dipakai, efektif dan tidak ada efek toksik pada sum-sum tulang, hati

dan ginjal (Pearse 1966). Obat ini mempunyai efek penenang, antikonvulsi dan "muscle

relaxant" yang paten dan sangat bermanfaat dalam terapi tetanus. Cara kerja diasepam

dengan mempertinggi inhibisi GABA-ergic melalui peningkatan afinitas dan efektivitas

transmiter pada reseptor GABA di susunan saraf pusat. Diasepam memiliki efek sentral

dan perifer. Kerja perifer diasepam berupa mengurangi refleks tendon dengan demikian

mengurangi spastisitas postural. Sedangkan efek sentralnya berupa mengurangi luasnya

refleks polisinaps terhadap sistem retikuler. Disamping diasepam, lorasepam juga dapat

digunakan terutama karena masa kerjanya yang panjang. Dosis yang dipakai dapat

sampai 500 mg (diasepam) dan 200 mg (lorasepam) perhari (Bleck, 1991; Udwadia,

1994). Dosis diasepam pada bayi dan anak yang efektif adalah lebih kurang 4,4

mg/kgBB/hari (Hendrickse, 1965).

Obat lain yang dipakai adalah chlorpromazine, phenobarbitone,

paraldehide dan mephenesin. Penggunaan baclofen intratekal.

Trakeostomi.

Page 17: Clinical Science Report Tetanus

Trakeostomi harus dilakukan pada pasien tetanus berat (tingkat III-IV), tetapi

berdasarkan pengalaman dapat dilakukan pada tetanus sedang (tingkat II) dengan tujuan

mencegah terjadinya gagal napas oleh karena spasme laring yang berkepanjangan

sehingga menyebabkan kematian. (Udwadia, 1994)

Penelitian Suparman dan Sjamsudin (1998), mendapatkan trakeostomi harus

dilakukan pada tetanus tingkat III (kriteria Patel-Joag). Penelitian ini mendapatkan

bahwa jika pasien tetanus tingkat III tidak dilakukan trakeostomi, angka kematian 100%

sedangkan jika dilakukan trakeostomi maka angka kematian hanya 9,7%.

Trakeostomi dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi oleh karena pasase

lendir dapat terkontrol sehingga resiko aspirasi berkurang. Demikian pula pada pasien

dengan sedasi berat harus dilakukan trakeostomi untuk memudahkan pemasangan

ventilator pada saat dibutuhkan.

Induksi paralisis dengan pemakaian ventilator.

Udwadia (1994) menggunakan protokol induksi paralisis dengan pemakaian

ventilator ("ventilatory support") pada bangsal khusus tetanus (tersedia ventilator dan

peralatan perawatan gangguan respirasi, staf medis yang berpengalaman dan tenaga

perawat khusus). Obat induksi paralisis yang digunakan merupakan suatu "curare like"

yaitu pancuronium 2-4 mg intravena. Obat ini memblokade sistem neuromuskular

sehingga terjadi paralisis otot global (termasuk otot-otot yang dipersarafi saraf kranialis)

sehingga pasien harus memakai ventilator. Pada tetanus berat pemberian pancuronium

biasanya setiap setengah sampai satu jam. Jika pasien sudah mulai membaik, dosis dan

frekuensi pemberiannya dikurangi kira-kira setiap 2,4 atau 6 jam atau lebih. Pemakaian

obat ini harus disertai pemantauan respirasi yang baik seperti Pa O2 harus diatas 70

mrnHG, Pa CO2 antara 35-40 rnmHg dll. Prinsip penatalaksanaan "ventilatory support"

yang harus diperhatikan sehingga membantu mempercepat penyembuhan pasien adalah

sebagai berikut :

• Mengoptimalkan pertukaran gas.

• Pernapasan spontan dibuat seminimal mungkin (pengaturan ventilator dengan baik,

menghilangkan hipoksia, asidosis, kecemasan dan keadaan lain yang merangsang

pernapasan)

• Mencegah komplikasi: Jalan napas harus dibersihkan dari sekret, pernapasan harus sinkron

dengan ventilator dan oksigenasi dan keadaan sirkulasi ( nadi, tekanan darah dan output urin)

Page 18: Clinical Science Report Tetanus

harus dimonitor. Ventilator harus sering diperiksa, suhu udara jalan napas harus dimonitor.

Alarm ventilator tidak boleh dimatikan. (Tan dan Oh, 1997)

Terapi standar pasien tetanus di bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Hasan Sadikin

Bandung adalah : (Gunawan dan Suparman, 1998)

Serum anti tetanus (ATS) 10.000 Unit intramuskular

Tetanus toksoid 0,5 cc intramuskular, diulang satu bulan kemudian.

Antibiotika : Metronidasole 3x500mg/hari, Tetrasiklin 2gram/hari. Antibiotika lain

sesuai kebutuhan.

Sedativa/"muscle relaxant" : Diasepam 10 mg intravena, sesuai kebutuhan.

Tindakan perawatan berupa : Pemasangan "uasogastric tube", trakeostomi,

perawatan luka dll

Pemeriksaan laboratorium : Hb, Leukosit, kimia darah, pemeriksaan urin, analisa gas

darah sesuai kebutuhan.

Indikasi masuk ICU jika spasme hebat tidak dapat teratasi dengan sedativa, untuk

pemakaian ventilator dan jika terjadi disotonomia. Pemberian medikamentosa untuk

mengatasi disotonomia sesuai dengan gejala yang timbul.

X. PROGNOSIS DAN MORTALITAS

Prognosis dan mortalis pasien tetanus tergantung dari beratnya gejala klinis

pasien. Saat ini penggunaan cara konvensional dengan sedativa dan obat relaksasi otot

diragukan kemampuannya dalam menurunkan angka kematian pasien tetanus.

Penggunaan cara induksi paralisis dan "ventilatory support" serta penanganan "intensive

care" terbukti menurunkan angka kematian pasien. Angka kematian tetanus bervariasi

antara 30-60%. Prognosis dan angka kematian ini tergantung dari beberapa faktor

yaitu : (Udwadia, 1994)

1. Masa inkubasi dan periode onset. Semakin cepat masa inkubasi dan periode onset,

emakin tinggi angka kematian pasien.

2. Beratnya gejala klinis. Semakin berat gejala klinis, angka kematian semakin tinggi.

3. Dua gejala klinis utama yang menentukan prognosis yaitu : Spasme dan disotonomia.

4. Usia. Prognosis buruk dan angka kematian tinggi pada neonatus dan usia lebih dari 50

tahun.

Page 19: Clinical Science Report Tetanus

5. Nutrisi buruk. Jika tetanus terjadi pada pasien dengan gisi buruk, prognosisnya jelek.

Penyembuhan tetanus akan lebih cepat dengan pemberian kalori sangat tinggi (3500-

4000 kalori/hari).

6. Strategi penatalaksanaan. Telah dikemukakan terdahulu bahwa penggunaan induksi

paralisis dan "ventilator support" terbukti dapat menurunkan angka kematian.