circle of information and development sekilas...

91
1 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 CID (Circle of Information and Development) adalah lembaga kajian nirlaba yang didirikan oleh Dompet Dhuafa Republika pada tanggal 22 Oktober 2007. Pembentukannya dilatarbelakangi gagasan tentang perlunya mengembangkan pemikiran mengenai potensi dan peran ZISWAF (Zakat, Infak-Sedekah, Wakaf) di Indonesia dalam konteks yang lebih luas, yaitu lebih berorientasi strategis dan pembangunan daripada sekedar karitatif. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pembelajaran yang terus menerus mengenai keterkaitan antara ZISWAF dan persoalan pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial dan ekonomi. Hasil kajian CID diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bersama untuk terus memperkuat upaya mengembangkan keberdayaan masyarakat dan menjadikan ZISWAF menjadi alternatif yang cukup menarik dalam menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan yang semakin berat dan kompleks. VISI Bertekad menjadi institusi kajian yang tangguh pada masalah ZISWAF dan pemberdayaan masyarakat dalam arti luas, yang mendorong terwujudnya masyarakat berdaya dengan bertumpu pada sumberdaya lokal melalui sistem yang berkeadilan. MISI 1. Melakukan kajian mengenai permasalahan sosial dan kemiskinan guna mengembangkan model-model pemberdayaan yang terencana, terukur, berefek luas dan jangka panjang, serta tepat pada akar permasalahan. 2. Melakukan riset dan studi kebijakan pada permasalahan ZISWAF untuk mengembangkan edukasi publik, penyempurnaan kebijakan dan implementasinya. 3. Mengembangkan wacana-wacana baru dalam pengelolaan ZISWAF, ikhtiar mencapai kemandirian masyarakat, serta pemikiran alternatif untuk mewujudkan sistem yang berkeadilan. FOKUS KAJIAN Riset dan kajian CID terfokus pada tema-tema pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dalam arti luas, serta ZISWAF dan keseluruhan aspek yang melingkupinya. PROGRAM Diskusi Strategis, K ajian k ebijak an dan regulasi ZISWAF, Riset/ Penelitian, Seminar dan Workshop, Edukasi Publik dan Advokasi, Penerbitan Jurnal, Pusat Informasi Zakat, dan Portal. SEKILAS CID isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM 1

Upload: vodien

Post on 17-Sep-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

1

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

CID (Circle of Information and Development) adalah lembaga kajiannirlaba yang didirikan oleh Dompet Dhuafa Republika pada tanggal 22Oktober 2007. Pembentukannya dilatarbelakangi gagasan tentangperlunya mengembangkan pemikiran mengenai potensi dan peranZISWAF (Zakat, Infak-Sedekah, Wakaf) di Indonesia dalam konteks yanglebih luas, yaitu lebih berorientasi strategis dan pembangunan daripadasekedar karitatif. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pembelajaranyang terus menerus mengenai keterkaitan antara ZISWAF dan persoalanpembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial dan ekonomi.

Hasil kajian CID diharapkan dapat menjadi media pembelajaranbersama untuk terus memperkuat upaya mengembangkan keberdayaanmasyarakat dan menjadikan ZISWAF menjadi alternatif yang cukupmenarik dalam menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan yangsemakin berat dan kompleks.

VISIBertekad menjadi institusi kajian yang tangguh pada masalah ZISWAF

dan pemberdayaan masyarakat dalam arti luas, yang mendorongterwujudnya masyarakat berdaya dengan bertumpu pada sumberdayalokal melalui sistem yang berkeadilan.

MISI1. Melakukan kajian mengenai permasalahan sosial dan kemiskinan

guna mengembangkan model-model pemberdayaan yangterencana, terukur, berefek luas dan jangka panjang, serta tepatpada akar permasalahan.

2. Melakukan riset dan studi kebijakan pada permasalahan ZISWAFuntuk mengembangkan edukasi publik, penyempurnaankebijakan dan implementasinya.

3. Mengembangkan wacana-wacana baru dalam pengelolaanZISWAF, ikhtiar mencapai kemandirian masyarakat, sertapemikiran alternatif untuk mewujudkan sistem yang berkeadilan.

FOKUS KAJIANRiset dan kajian CID terfokus pada tema-tema pemberdayaan

masyarakat dan pengentasan kemiskinan dalam arti luas, serta ZISWAFdan keseluruhan aspek yang melingkupinya.

PROGRAMDiskusi Strategis, Kajian kebijakan dan regulasi ZISWAF, Riset/

Penelitian, Seminar dan Workshop, Edukasi Publik dan Advokasi,Penerbitan Jurnal, Pusat Informasi Zakat, dan Portal.

SEK

ILA

S C

ID

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM1

Page 2: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

2

Jurnal Zakat & Empowering – diterbitkan oleh Circle of Information and Development(CID), setahun dua kali. Merupakan wahana pemikiran dan gagasan tentang zakat,pemberdayaan dan eliminasi kemiskinan terutama bagi praktisi dan pemikir zakat dan lembagakemanusiaan pada umumnya. Redaksi menerima gagasan dan kontribusi yang selaras dengankebutuhan/visi dan misi CID. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini sepenuhnya menjaditanggungjawab penulisnya.

Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab

Dewan Redaksi

Tim Redaksi

Dokumentasi

Alamat Redaksi

Portal

email

Nana Mintarti

Ismail A. Said, Ahmad Juwaini, YuliPujihardi, M. Arifin Purwakananta,Rini Suprihartanti, Kusnandar

Kuntarno Nur Aflah, Bot Pranadi

Djoko Sunggoro

Jl. Ir H Juanda No. 50 KomplekPerkantoran Ciputat Indah Permai C28-29 Ciputat Telp. 021-7416050Faks. 021-7416070

www.cid.or.id

[email protected]

SEK

ILA

S C

ID

:

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM2

Page 3: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

3

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

S ejak berlakunya UU No.38Tahun 1999 pengelolaan zakatdi Indonesia mengalami

perubahan yang cukup signifikan. Terutamadalam hal mendorong lahirnya organisasipengelola zakat baru, baik swasta maupunpemerintah. Forum Zakat (FOZ) mencatatsaat ini ada 421 organisasi pengelola zakat diIndonesia. Jumlah itu terdiri, 1 BAZNAS(Badan Amil Zakat Nasional), 18 LembagaAmil Zakat (LAZ) Nasional, 32 Badan AmilZakat (BAZ) Provinsi, lebih dari 300 BAZkabupaten / kota dan lebih dari 70 LAZ baiktingkat provinsi maupun tingkat kabupaten /kota.

Tetapi sangat disayangkan, banyaknyaorganisasi pengelola zakat ternyata belumdiantisipasi oleh Undang-Undang No.38tahun 1999. Akibatnya, meskipun banyaklembaga zakat namun penghimpunan danpenyaluran zakat masih belum efektif. Begitujuga dalam hal kordinasi dan pembagian tugasserta fungsi, antara satu dengan lainnya tidakada garis koordinasi yang jelas. AntaraPemerintah, Baznas, Laznas, Bazda, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Semualembaga zakat ingin menjadi pengelola,sementara yang berperan sebagai pengawasdan pembuat aturan kebijakan, tidak ada.Pemerintah sendiri tidak mampu memerankandirinya sebagai pengawas dan pembuatkebijakan.

Alasan inilah yang kemudian mendorongpemerintah untuk memperbaiki undang-undang ini dengan mengamandemen beberapapasal yang ada. Di dalam rancanganamandemennya disebutkan bahwapemerintah akan mengelola zakat dengansistem sentralisasi melalui Badan Amil Zakat

EDIT

OR

IALPerluas Partisipasi Publik

Dalam Pengelolaan Zakatyang dibentuk pemerintah di semua tingkatanpemerintahan. Sementara Lembaga AmilZakat milik masyarakat yang telah adanantinya akan berfungsi sebagai unitpengumpul zakat yang terintegrasi secarainstitusional dengan Badan Amil Zakat milikpemerintah.

Sebenarnya keinginan untuk mengelolazakat secara sentralisasi oleh pemerintah sudahsejak lama diusulkan. Bahkan keinginan itubukan hanya datang dari pemerintah namunjuga datang dari praktisi lembaga zakat (LAZ)yang dikelola masyarakat.

Antara pemerintah dan swasta sama-samaberpendapat bahwa dengan dikelola secarasentral oleh negara maka pengelolaan zakatdi Indonesia bisa terpadu dan berjalan denganbaik. Pemerintah akan dengan mudahmengusulkan dan mengeluarkan kebijakanyang pro perkembangan zakat. Baik dari segipenghimpunan maupun segi penyalurannya.Termasuk membuat kebijakan yang mengikatbagi muzaki agar mengeluarkan zakatnyasecara teratur, penyediaan datapenghimpunan dan penyaluran secarakomprehenship serta penyediaan datamustahik (warga tidak mampu) secara lengkapdan akurat.

Seperti itulah konsep yang ideal,sebagaimana yang dipraktekkan pada masaRasulullah. Akan tetapi kenyatannya sejakdahulu di Indonesia organisasi pengelola zakatyang dikelola pemerintah kurang dipercayamasyarakat. Apalagi sejak reformasi bergulir,kepercayaan terhadap pemerintah semakinmenurun. Oleh karenanya sentralisasipengelolaan zakat harus dilakukan secarabertahap. Melalui proses persiapan yangcukup matang. Bukan dilakukan dengan serta

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM3

Page 4: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

4

merta pada saat ini. Sebab dikhawatirkankepercayaan publik terhadap lembaga zakatnonpemerintah (yang dibentuk masyarakatsipil) yang sudah berjalan cukup baik justruakan menurun.

Bagi organisasi pengelola zakat, sebagaiinstitusi publik yang mengelola dana publik,kepercayaan publik menjadi faktor yang sangatpenting bagi keberlangsungan lembaga. BadanAmil Zakat (BAZ) sebagai institusi negaramaupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagaiorganisasi masyarakat berlomba-lombamerebut kepercayaan publik. Dalam kontekstersebut eksistensi masing-masing ditentukanoleh kenyataan hubungan antara negara-masyarakat. Saat birokrasi kuat, organisasipengelola zakat yang didirikan oleh pemerintahcenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasimengalami delegitimasi, ia pun melemahkarena lazimnya kepercayaan rakyatterhadapnya juga menurun.

Sementara kenyataan saat ini, tren globalmenempatkan masyarakat sipil sebagai sebuahkekuatan yang cukup signifikan dalamberbagai gerakan memerangi kemiskinan. Halini terbukti semakin tingginya kepercayaandonatur dan muzakki yang menitipkanzakatnya kepada lembaga zakat milik swastadibandingkan kepada badan amil zakat milikpemerintah. Penghimpunan dana-dana sosial(zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lain-lain)oleh lembaga zakat milik swasta terbuktijumlahnya lebih besar dibandingkan jumlahyang dihimpun oleh lembaga zakat milikpemerintah.

Nah, jika akhirnya zakat dikelola secarasentral oleh badan amil zakat milikpemerintah, tanpa persiapan yang matang,apakah nantinya bisa menjamin para donaturdan muzakki yang selama ini sudahmenitipkan dananya kepada lembagabentukan masyarakat sipil akan tetap maumenitipkan zakatnya kepada badan amil zakat? Tidak ada yang bisa menjamin bahwa hal ituakan terjadi. Oleh karenanya yang paling tepat

dilakukan saat ini adalah membagi peranantara pemerintah dan swasta dalampengelolaan zakat.

Pemerintah berperan membuat sistemperundang-undangan zakat yang dapatmenjamin agar seluruh fungsi administratifnegara dapat meningkatkan kesejahteraanumum maupun perseorangan melalui peranzakat. Pemerintah juga harus berperan sebagaipengawas bagi operasionalisasi lembaga amilzakat. Kedua fungsi ini dapat diperankan olehsebuah lembaga independen semacam komisinegara yang bertanggungjawab langsungkepada presiden. Sementara lembagapengelola zakat yang sudah mendapatkepercayaan publik diperkuat posisioningnyadengan diberi ruang gerak lebih luas lagi bagikemajuan lembaganya. Semangat seperti inilahyang cocok dengan tren global yang terjadi ditengah melebarnya partisipasi publik saat ini.Apalagi Indonesia sebagai negara yangberagama dan melindungi warganya untukmengamalkan ajaran dan kewajibanagamanya, tentu akan semakin mendorongsemangat civil society tumbuh dan kuat dinegara ini.

Dengan cara seperti ini maka zakat dapatdijadikan sebagai salah satu sarana potensialuntuk membantu pemerintah dalammendistribusikan kekayaan dan pemerataanpendapatan. Potensi zakat yang masih‘tersembunyi’ di Indonesia akan dapat tergalisecara optimal. Dan pada akhirnya dapatberimplikasi pada peningkatan taraf hidupmasyarakat miskin di Indonesia secaramenyeluruh. [z] :

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM4

Page 5: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

5

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

03 EDITORIAL

06 Zakat, Keadilan danKeseimbangan SosialAhmad Erani Yustika dan Jati Andrianto

16 Zakat Antar Bangsa Muslim:Menimbang Posisi Realistis Pemerintahdan Organisasi Masyarakat Sipil Asep Saefuddin Jahar

25 Peran Negara Dalam PengelolaanZakat: Perspektif NegaraKesejahteraan dan Praktek Negara-Negara TetanggaHeru Susetyo

37 LINTAS ELEMENMengapresiasi Bangkitnya Civil SocietyDalam Pengelolaan Zakat di Indonesia

42 Fenomena Unik Di BalikMenjamurnya Lembaga Amil Zakat(LAZ) Di Indonesia,Adiwarman A. Karim dan

A. Azhar Syarief

50 Membangun Koherensi AntarSektor: Filantropi Islam, AgendaOrganisasi Sektor Ketiga danMasyarakat Sipil Di IndonesiaHilman Latief

65 DOKUMENRingkasan Naskah Akademik RevisiUU Zakat

79 Pentingnya Penataan KelembagaanZakat Demi Perbaikan di MasaMendatangSahri Muhammad

90 TENTANG PENULIS

DA

FTA

R I

SI

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM5

Page 6: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

6

PendahuluanS eperti dipahami, kajian tentangpembangunan (ekonomi) selamaini didominasi oleh pandangan

yang sangat materialistik sehingga proses dantujuan pembangunan menjadi amatreduksionis. Sejak usai Perang Dunia II,pembangunan lebih banyak dilihat sebagaimasalah ekonomi, yakni persoalanmengidentifikasi dan mengkuantifikasikomposisi paket pertumbuhan ekonomi(Goulet, 1997:1160). Implikasinya,metodologi kajian pembangunan ekonomijuga didominasi oleh aliran “ekonomi positif”yang tidak saja bersifat normatif, tetapi jugamengabaikan kompleksitas aspek etis yangjustru berperan penting dalam mempengaruhiperilaku manusia. Hasilnya, persoalan-persoalan ekonomi yang hendak dipecahkanlewat serangkaian program pembangunanbukannya selesai, melainkan malah

menciptakan masalah baru yang tidak kalahserius, seperti kemelaratan, ketimpangan,pengangguran, kriminalitas, degradasilingkungan, dan masih banyak lainnya.

Secara lebih spesifik, dalam konteksIndonesia, hal itu salah satunya disebabkanoleh adanya ketidakseimbangan alokasi belanjapembangunan, di mana selain sebagian besardigunakan untuk biaya rutin, juga kurangtepatnya alokasi pembiayaan yang pro-poorgrowth. Pada aras yang berseberangan, hal itujuga dikarenakan sistem pajak belum menjadiinstrumen yang efektif dalam memasokpendapatan negara, sehingga pajak –walaupunsudah menyumbangkan mayoritas dalamstruktur pendapatan negara– tetapi tetap sajakurang maksimal dalam membiayai upayamemastikan pencapaian kesejahteraan umatmanusia. Lebih lanjut, sistem pajak yang adasaat ini juga turut mendonasikan ketimpangankesejahteraan. Logikanya, pada satu sisi yang

Zakat, Keadilan danKeseimbangan Sosial

AbstrakZakat pada era emasnya merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanyauntuk mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata, tetapi jugamerupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki yangtelah diberikan-Nya. Namun, dalam era modern saat ini, yang dikarenakan sistem pajaktelah menjadi instrumen fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat hanya menjadirepresentasi tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah SWT sekaligustidak jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat Islam. Risalah ini bertujuanmenganalisis secara mendalam bagaimana pemosisian yang tepat atas zakat dan pajakdalam perekonomian Indonesia. Lebih spesifik, bagaimana posisinya dalam konsepkebijakan fiskal di Indonesia, sehingga pada satu sisi nilai-nilai mulia dalam zakat dapatdiimplementasikan dan di sisi lain instrumen fiskal tetap dapat berjalan seperti biasanya.Hasilnya, pajak dan zakat dapat diimplementasikan secara bersamaan tanpa harus adasaling penegasian antara kedua instrumen tersebut.

Kata-kata kunci:Zakat, ekonomi Islam, kesejahteraan, instrumen fiskal

Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM6

Page 7: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

7

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

disebabkan struktur usaha besar di Indonesiahanya dikuasai oleh segelintir pihak dan di sisilain kewajiban pajak yang harus dibayarkantidak mencapai lima puluh persen dari segalapendapatan menyebabkan distribusipendapatan atas aktivitas ekonomi diIndonesia mengalir –melalui instrumenakuntansi– hanya kepada pihak tertentuterbatas saja.

Di luar itu, sebenarnya juga terdapatskema yang dulunya menjadi instrumen fiskalyang begitu berperan dalam mendistribusikankesejahteraan umat Islam sekaligus sebagaibentuk akuntabilitas seorang muslim kepadaAllah SWT atas limpahan rezeki-Nya.Namun, disebabkan berbagai transfomasiekonomi-politik di berbagai belahan duniamenyebabkan terjadinya pergeseran ataskonsep zakat, terutama dalamimplementasinya. Bahkan dalam konteksIndonesia kontemporer, zakat bagi sebagianbesar penduduk yang mayoritasnya umatmuslim hanya dimaknai sebagai zakat fitrah,sehingga berbagai keriuhan pembayaran zakatbegitu kentara hanya menjelang Hari Raya IdulFitri. Pada titik inilah, zakat lebih nampaksebagai ritual budaya periodik umat Islam daripada anjuran Tuhan dalam rangkamenyeimbangkan kesejahteraan umatmanusia.

Lebih dari itu, dalam perspektif eksekusizakat, nilai nomimal zakat fitrah yang ada saatini apabila dilihat secara parsial sangat rendah,sehingga tidak memberikan kontribusi besardalam upaya membagi kesejahteraan, di manasetiap penduduk miskin hanya mendapatkanhak sebesar 2,5 kg makanan pokok (dalamhal ini adalah beras). Tetapi, jika dilihat secarakeseluruhan, maka nilai agregat zakat fitrahsaja relatif besar. Sebagai gambaran,diprognosiskan jumlah umat Islam diIndonesia sebanyak 80% dari total penduduk.Dengan perkiraan ini, umat muslim yang wajibmembayar zakat fitrah sekitar 170 jutapenduduk.1 Sementara itu, dengan harga beras

sebesar Rp 6 ribu/kg menyebabkan kewajibanyang harus dibayarkan –bukan dalam bentukberas– sebesar Rp 15 ribu per-umat Islam(setelah dikalikan dengan 2,5 kg). Dengandemikian, secara keseluruhan zakat fitrah yangseharusnya dapat diunduh sebesar Rp 2,55triliun setiap tahunnya. Namun, disebabkanpengelolaan yang tidak bagus menyebabkanpotensi zakat fitrah yang besar ini habis dalamhitungan hari pada saat Hari Raya Idul Fitri.

Potensi ini belum digenapi dengan zakatlainnya. Bila semuanya dihitung sekaligus umatmuslim yang mampu (secara ekonomi) sadarakan keberadaan dirinya sebagai makhlukTuhan yang memiliki kewajiban kepadasesama, maka terdapat sumber pembiayaanyang besar di luar APBN (AnggaranPendapatan dan Belanja Negara) untukmeningkatkan taraf hidup masyarakat kelasekonomi bawah. Berpijak pada latar belakangdi atas, di mana intinya pada satu sisi pajaksebagai instrumen fiskal yang kurangmaksmimal dalam membiayai APBN dan disisi lain potensi besar zakat yang ada namunbelum dapat dimaksimalkan, maka risalah inimencoba memposisikan bagaimana duainstrumen, terutama zakat, dalam memastikandiperolehnya hak kebebasan dasar yang adildan sejahtera setiap umat manusia (termasuknon muslim).

Teologi, Keadilan, dan PasarSetiap berbicara mengenai konsep

yang bersumber dari agama, apapunagamanya, tidaklah mungkin lepas darikeberadaan “teologi”. Konsep teologi sendirisangat abstrak sehingga definisi apapun yangdisodorkan dipastikan akan menuaiperdebatan. Namun, Milbank (Oslington,2000:33) percaya bahwa teologi merupakan1 Diasumsikan bahwa total penduduk Indonesia sebanyak 250

juta jiwa, sehingga kuantitas umat Islam sebanyak 200 jutajiwa. Pada 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesiasebanyak 37,17 juta jiwa (BPS, 2008), sehingga yang wajibmembayar zakat fitrah hanya sekitar 170 juta jiwa (200 jutajiwa dikurangi 0,8 x 37,17 juta jiwa).

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM7

Page 8: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

8

pengetahuan sosial dan –bahkan– ratu dariilmu pengetahuan yang bisa mengelaborasipemahaman mengenai dirinya sendiri. Jikamakna itu direlasikan dengan ekonomi(theological economics), maka tidak berartiekonomi harus diturunkan dari teologi,melainkan ekonomi menjadi subyek dari kajianteologi (artinya, bisa diposisikan, direlatifkan,dan dikritisi oleh teologi). Salah satu perhatianpenting dari teologi adalah aspek keadilan.Keadilan menempati pilar terdepan setiap kaliteologi berbicara mengenai setiap hal, termasukpembangunan. Oleh karena itu, keadilanmenjadi alas terpenting untuk menguji apakahsebuah konsep pembangunan alternatifmemberikan jalan keluar atas aspek yangditinggalkan oleh konsep pembangunan yanglama ini.

Sampai saat ini konsep keadilan yangmapan dan sering dirujuk selalu mengacukepada teori keadilan John Rawls yangbertolak dari dua prinsip: (i) setiap orang harusmempunyai hak yang sama terhadap skemakebebasan dasar yang sejajar (equal basicliberties), yang sekaligus kompatibel denganskema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain;dan (ii) ketimpangan sosial dan ekonomi harusditangani sehingga keduanya: (a)diekspektasikan secara logis (reasonablyexpected) menguntungkan bagi setiap orang;dan (b) diharapkan posisi dan jabatan yangterbuka bagi seluruh pihak (Rawls, 1999:53).Prinsip-prinsip inilah yang kemudianmembawa Rawls pada sikap untuk meyakinibahwa sebetulnya keadilan (justice) itu tidaklain sebagai kepatutan / kepantasan (fairness).Pada titik ini, sebuah kebijakan yangmengandaikan adanya relasi antara aktor danstruktur dengan sendirinya akanmemunculkan ketidakadilan apabila isi darikebijakan tersebut mengandung unsurketidakpatutan (unfairness). Dalam kontekskebijakan ekonomi, bisa saja secara rasionalkebijakan tersebut logis (khususnya jika dilihatdari konfigurasi pemain dan struktur yang

memproduksinya), namun dari sisi keadilanmengandung hal-hal yang tidak patut. Atasnama nilai-nilai ini, yakni kepatutan, kebijakantersebut menurut Rawls dinyatakan cacatkarena bersifat tidak adil.

Berdasarkan pemikiran itulah, Rawls(dalam Keraf 1996:263-264) percaya bahwapasar bebas menimbulkan ketidakadilan. BagiRawls, ‘ketidakadilan paling jelas dari sistemkebebasan kodrati adalah bahwa sistem inimengizinkan pembagian kekayaan dipengaruhisecara tidak tepat oleh kondisi-kondisi (alamiahdan sosial yang kebetulan) ini, yang dari sudutpandang moral sedemikian sewenang-wenang.’Menurut Rawls, karena setiap orang masukke dalam pasar dengan bakat dan kemampuanalamiah yang berlainan, peluang sama yangdiberikan pasar tidak akan menguntungkansemua peserta. Bahkan, kalaupun kondisisosial yang kebetulan telah diperbaiki itumengandaikan kesempatan yang tidakberbeda bagi semua orang, tidak lalu berartibahwa pasar bebas dengan sendirinya akanmendistribusikan kekayaan ekonomi secarasama. Sebaliknya, terlepas dari perbaikankondisi sosial yang ada, pasar bebas akanmelahirkan kepincangan karena perbedaanbakat dan kemampuan alamiah antara satuorang dengan yang lainnya. Oleh karena itu,pasar justru merupakan pranata yang tidakadil. Di luar itu, pasar bukan hanyamengontrol, tapi juga dikontrol.

Sikap yang sama juga ditunjukkan olehMubyarto mengenai globalisasi (pasar bebas)tersebut. Menurutnya, kita harus bersikap‘antiglobalisasi’ karena dalam sifatnya yangsekarang, yang serakah dan imperialistik,globalisasi sangat merugikan perekonomiannegara-negara berkembang seperti Indonesia(Mubyarto, 2005:26). Faktanya, bukti-buktidi lapangan mendukung hal itu. Misalnya,sebagian besar penduduk di Afrika masihhidup terbelakang dan terjerat kemiskinan,sehingga terpaut jauh jaraknya dalam halkesiapan negara itu untuk melakukan

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM8

Page 9: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

9

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

persaingan ekonomi dengan negara-negaramaju lainnya. Data-data yang tersediamenampilkan bahwa di wilayah sub saharaAfrika hampir separuh penduduknya hidupdengan pendapatan di bawah US$ 1 per hari,tingkat buta huruf penduduk dewasamencapai 39%, angka usia hidup saat lahircuma 47 tahun, dan tingkat kematian bayimencapai 92 jiwa tiap 1000 kelahiran(IMF,2001:11). Sebaliknya, negara-negaramaju terus mengakumulasi kekayaan dankesejahteraan ekonomi karena tingkatkompetisi barang dan jasanya yang sangattinggi bila berhadapan dengan negaraberkembang.

Tentu saja bukan hanya soal ketidakadilandalam level internasional yang perlu dikritikdengan keras, tetapi juga ketimpangan dalamlevel domestik. Strategi pembangunan yanghanya memihak sektor industri/jasa danpelaku ekonomi skala besar, misalnya,merupakan realitas yang patut dijadikansasaran kritik. Salah satu publikasi yang ditulisoleh Mubyarto (1995:122-123) denganlantang berbicara ...”Bangsa Indonesia yangmerdeka mewarisi kondisi ekonomi dualistik dankapitalistik. Di satu pihak perekonomian rakyatlemah dan terbelakang, dan di pihak lain sektormodern yang kuat didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar asing terutama perusahaan-perusahaan milik Belanda”. Dengan kondisi itu,tidak ada cara lain yang bisa dilakukan kecualimemperkuat ekonomi rakyat. Menurutnya(Mubyarto, 1997:3), yang dimaksud denganekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomiyang berbasis pada kekuatan rakyat; sedangkanekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yangdilakukan oleh rakyat yang dengan secaraswadaya mengelola sumber daya apa saja yangdapat dikuasainya, dan ditujukan untukmemenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya.

Mempertemukan Ekonomi danIslam

Dari perspektif materialistik, antara

ekonomi dan agama (religion) tidak mungkinakan bertemu, karena di antara keduanyaterdapat dikotomi yang sangat tajam. Palingtidak dikotomi itu dapat dijabarkan dalamtiga pertentangan: antara fakta (facts) dan nilai(values), antara publik (public) dan privat(private), dan antara kepastian (certainty) danpengabaian (ignorance). Dalam setiap dikotomitersebut antara agama dan ekonomi terpisah.Seperti dimaklumi, ekonomi bekerjaberdasarkan fakta-fakta, sedangkan agamaberjalan perdasarkan opini, keyakinan, atauselera (taste). Ekonomi merupakan kajian yangmenghendaki perdebatan publik (publicdebate), sementara agama adalah urusanmasing-masing individu. Demikian juga,ekonomi berjalan berbasiskan pengetahuanyang pasti, sebaliknya agama bergerakberdasarkan epistomologi “keragu-raguan”(Oslington, 1997:36). Dengan melihatdeskripsi tersebut, pertanyaan yang layakdiajukan: apakah mungkin antara ekonomidan agama dikawinkan? Lebih menukik lagi,apakah mungkin mengkonseptualisasikanekonomi Islam di tengah eksistensi dikotomitersebut?

Di sini terdapat dua argumentasi untukmeyakinkan bahwa antara agama danekonomi dapat menyatu. Pertama, agama-agama yang ada (khususnya Islam) meyakinibahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan.Bukan itu saja, Tuhan juga merawat danmenjaga kehidupan sehingga secara etisotonomi individu (manusia) menjadi batal. Disini tidak dibenarkan pandangan yangmenyatakan bahwa setiap upaya dari manusiamerupakan satu-satunya penentu setiap hasilyang diperoleh. Pandangan ini di sampingsangat ambisius, juga mengabaikan faktabahwa interaksi antar manusia sering kali tidakdibangun berdasarkan kesengajaaan, tetapiberlangsung secara spontan dan serbakebetulan. Di sinilah peran sang “lain” itumuncul. Kedua, tanpa disadari telah adastruktur teologi (theological structure) dalam

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM9

Page 10: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

10

teori ekonomi. Pemikir-pemikir ekonomiterdahulu, seperti Adam Smith, RobertMalthus, Karl Marx, Alfred Marshal, LeonWalras, dan lain-lain secara impisit telahmemasukkan aspek teologi dalam teoriekonomi yang mereka kembangkan. Keduaargumentasi inilah yang menyebabkan antaraagama dan ekonomi bisa dipertemukan,sehingga di antara keduanya tidak lagi terdapathubungan yang dikotomis.

Dalam literatur ekonomi Islam jamakditemukan kajian yang membahas tentangkeunggulan-keunggulan ekonomi Islamdibandingkan dengan ekonomi konvensional(klasik/ neoklasik). Kebanyakan ilmuwanekonomi Islam selalu mengomparasikankebangkitan ilmu ekonomi Islam dengan ilmuekonomi konvesional yang terjadi di negara-negara maju. Padahal, seperti disadaribersama, negara-negara yang mayoritaspenduduknya Islam menempati negaraberkembang, bahkan negara miskin. Olehkarena itu, literatur-literatur yang disediakanoleh ilmuwan ekonomi Islam kurang memotretsecara lebih jauh realitas sesungguhnya,sekaligus belum memberikan pijakan yangcukup memadai bagi implementasi ekonomiIslam sendiri.2 Memang tidak dapat dipungkiribahwa hal tersebut bukan sesuatu yang kalisdari perhatian ilmuwan ekonomi Islam, tetapilebih dikarenakan terdapatnya argumentasibahwa ekonomi Islam merupakan ilmuekonomi yang tidak dibatasi oleh ruang danwaktu, sehingga tidak diperlukan spesialisasikajian untuk negara tertentu. Padahal banyakhal yang berbeda antara negara maju dengannegara berkembang (negara miskin).

Sungguh pun demikian, literatur-literaturekonomi Islam telah memberikan pijakanuntuk melakukan pembangunan teoriekonomi Islam secara lebih jauh. Sebenarnyasecara definitif tidak ada perbedaan antaraekonomi konvensional dengan ekonomi Islamdilihat dari aspek alokasi dan distribusi sumberdaya. Dalam ranah ekonomi konvensional,

alokasi dan distribusi yang dilakukan ditujukanuntuk memenuhi kebutuhan yang tidakterbatas dari sumber daya yang terbatas. Halini juga sama untuk ekonomi Islam (Chapra,2001:2). Namun, yang membedakan antaraekonomi Islam dengan ekonomi konvensionaladalah apabila ekonomi konvensional dalammengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya hanya diindikasikan dengan sesuatu yangterlihat (baca: materi), namun dalam ekonomiIslam bukan hanya terbatas pada satuindikator tersebut, tetapi pada materi dan nonmateri (spiritual). Selain itu, material danspiritual ini harus selalu berada pada posisiyang seimbang, sehingga nantinya alokasi dandistribusi sumber daya yang terbatas tersebutbisa mewujudkan kesejahteraan bagimasyarakat (Chapra, 2001:61). Pada titikinilah, materi bertujuan mewujudkankesejahteraan di dunia, sedangkan spiritualmerupakan panduan untuk mewujudkankesejahteraan di dunia dan di akhirat. Lebihlanjut, keseimbangan antara material danspiritual inilah yang oleh ilmuwan ekonomiIslam disebut sebagai prinsip ekonomi Islamdan digunakan sebagai pijakan pembahasandari teori ekonomi Islam.

Di luar itu, patokan yang utama selainkeadilan, ekonomi Islam yang dikembangkanharuslah memuat prinsip-prinsip moral,kemaslahatan bersama, kepercayaan, tidak adaeksploitasi, dan pemihakan yang lebih besarbagi kaum yang tersisih (miskin). Poin-poin inisebetulnya bukan hal yang baru, karenapemimpim semacam Mahatma Gandhi jugamemformulasikan konsep pembangunan(ekonomi) yang sejenis. Gandhi, yang bukan2 Sebagai contoh dari hal ini adalah praktek perbankan Islam

atau yang lebih jamak disebut sebagai perbankan syariah sertawacana (dan sebagian praktek) akuntansi syariah. Untukperbankan syariah, yang saat ini bisa dikatakan sebuah hasilnyata dari ekonomi Islam, dikarenakan tidak mendapatkan basisteori yang kokoh mengakibatkan implementasi perbankansyariah tidak sesuai dengan teori yang mendasarinya. Bahkanrealitas yang terjadi dalam beberapa tahun terakhirmemperlihatkan kaburnya perbedaan mendasar antaraperbankan syariah dengan perbankan konvensional, yaknidalam hal implementasi bagi hasil.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM10

Page 11: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

11

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

seorang ahli ekonomi maupun ahli etika,memformulasikan visi dan praktekpembangunan yang berfokus kepadakerjasama tanpa kekerasan antar masyarakat,bertanggung jawab dalam kepemilikan danadministrasi kesejahteraan, kegiatan produksiuntuk memenuhi kebutuhan masyarakat,pembangunan perdesaan, dan penyediaankebutuhan dasar (bukan keinginan) [Goulet,1997:1161-1162].

Oleh karena itu, secara moral tidakdibenarkan kegiatan produksi dan konsumsiyang sangat berlebihan (misalnya barang-barang mewah), sementara pada saat yangbersamaan sebagian besar masyarakat masihterbenam dalam kemiskinan. Demikian pula,bila praktek perbankan Islam masihmenempatkan agunan sebagai pertimbanganutama, maka secara prinsip hal itu belummengamalkan nilai-nilai Islam itu sendiri(tetapi Islam juga menolak praktek belaskasihan).

Peran Negara dalam IslamTerdapat beberapa pendapat dari

ilmuwan ekonomi Islam mengenai peran yangharus dimainkan oleh negara (Chapra,2001:74-77). Sebagian mengatakan bahwanegara harus memainkan peran yangmaksimal, baik secara langsung maupun tidaklangsung. Pengertian ini bukan berarti segalasesuatu yang menyangkut aktivitas ekonomi,misalnya distribusi atas kebutuhan sekunderdan tersier, harus dimainkan oleh negara.

Negara hanya berperan secara maksimalatas aktivitas ekonomi yang menyangkut hajathidup orang banyak. Satu landasan yang harusmenyertai peran yang demikian ini adalahprinsip keadilan, seperti telah dibahas padauraian sebelumnya. Dengan adanya prinsipkeadilan diharapkan perilaku-perilakumenyimpang yang berujung pada inefisiensiaktivitas ekonomi dapat diminimalisir, bahkandihilangkan. Lebih lanjut, sisi positif dari perannegara yang demikian adalah distribusi

pendapatan atas aktivitas ekonomi bisadiperoleh negara dan kemudian disalurkankembali kepada masyarakat dalam rangkameningkatkan kesejahteraan.

Pendapat berikutnya, seperti yangdiungkapkan oleh Ibnu Khaldun dan al-Dimasyqi, menyatakan negara tidak bolehberperan secara langsung terhadap aktivitasekonomi. Argumentasi normatifnya, dalamsejarah ekonomi Islam, negara (pemerintah)tidak pernah melakukan aktivitas ekonomiyang sangat jauh (Chapra, 2001:76).Sedangkan argumentasi ilmiahnya, dalamposisi yang seperti itu negara mempunyai peranganda, yakni sebagai regulator sekaliguseksekutor. Kondisi semacam ini walaupun telahdipandu oleh prinsip keadilan dan moral,akan rawan terhadap kemungkinan terjadinyakonflik kepentingan yang berujung inefisiensidan inefektivitas aktivitas ekonomi. Akhirnya,akan muncul pihak-pihak yang terlemparkankepentingannya akibat konflik kepentingantersebut. Hal ini jelas merupakan sumberkonflik yang lebih dalam, karena parapecundang tersebut akan mencari cara agarkepentingannya bisa terwujud. Denganpertimbangan tersebut, negara diharapkantidak ikut campur dalam kegiatan ekonomisecara massif.

Oleh karena itu, peran yang dikehendakioleh negara sebatas sebagai regulator,sedangkan aktivitas ekonomi secarakeseluruhan diserahkan ke pasar. Tentu saja,aktivitas ekonomi tersebut dipandu olehregulasi yang diproduksi oleh negara(pemerintah). Tetapi, anjuran ini masihmenyisakan satu soal, yakni masalah distribusikesejahteraan. Dengan menyerahkan kemekanisme pasar, negara tidak akanmemperoleh secara langsung distribusipendapatan atas aktivitas ekonomi, yangselanjutnya hasil distribusi yang diperolehtersebut tidak dapat disalurkan kepadamasyarakat. Tapi, hal ini akan sirna tatkalamekanisme pasar memberikan hasil maksimal

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM11

Page 12: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

12

kepada masyarakat, sehingga distribusikesejahteraan dapat langsung terealisasi lewatinstrumen pasar tersebut. Skema distribusikesejahtaraan seperti ini dianggap lebih efektifkarena dengan kondisi birokrasi yang masihjauh dari strandar menyebabkan porsidistribusi kesejahteraan yang seharusnyadisalurkan secara sengaja diambil olehbirokrasi sehingga tidak pernah sampai kepadamasyarakat.

Selain itu, masih terkait dengan perannegara, ekonomi Islam menghendakipenghilangan tanggung jawab pemerintahuntuk menyediakan jasa-jasa subsidi kepadasemua orang, baik itu kaya maupun miskin.Namun, ekonomi Islam menghendakipemberian jasa-jasa subsidi kepada merekayang belum mampu membantu diri merekasendiri dengan batasan bahwa jasa-jasa subdisitersebut benar-benar yang dibutuhkan dan disisi lain jasa-jasa subsidi itu dalam kapasitasyang bisa disediakan oleh negara (Chapra,2001:77). Pengertian ini sekali lagimemperkuat uraian yang telah dipaparkansebelumnya bahwa ekonomi Islam tidakmenghendaki belas kasihan secara berlebihandan terus-menerus kepada masyarakat miskin.Pada sisi yang lain, masyarakat miskin jugatidak diperbolehkan meminta bantuan secaraterus-menerus dengan berbagai dalih. Secarateoritis, hal ini dikarenakan bantuan yangterus-menerus, yang tidak disertai upayamenaikkan tingkat kemandirian masyarakatmiskin dalam rangka memenuhi kebutuhansehari-hari, sama halnya membiarkanmasyarakat miskin terus berada dalam kondisiketidakberdayaannya. Sedangkan pengertianyang kedua, ekonomi Islam menganggap peranminimal yang harus dimainkan oleh negaramerupakan sebuah mekanisme yang meyakinidampak tetesan ke bawah (trickle down effect).Hal ini dikarenakan dengan peniadaan subsidikepada masyarakat maka mekanisme pasaryang dikehendaki dalam ekonomi Islamdiyakini bisa memberikan nilai tambah secara

langsung kepada masyarakat, baik kaya danterutama miskin.

Secara sepintas peran negara yangdikehendaki oleh ilmu ekonomi Islam tersebutmirip dengan peran yang dikehendaki olehilmu ekonomi konvensional (klasik danneoklasik), di mana negara hanya memilikiperan minimal dalam menjalankan aktivitasekonomi. Selanjutnya, individu-individudalam asumsi ilmu ekonomi konvensionaltersebut diberikan kebebasan mutlak dalammelakukan aktivitas ekonomi tanpa adasebuah batasan dan tanggung jawab yangmenyertainya. Pada titik inilah perbedaanperan minimal negara yang dikehendaki olehilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomikonvensional mengemuka. Menurut Mehmet(1997:1205) dalam ilmu ekonomi Islamindividu-individu diberikan kebebasan dalammenjalankan aktivitas ekonomi, baik untukmemenuhi kebutuhannya sendiri maupundalam rangka mengakumulasi kekayaannya.Namun, akumulasi kekayaan ini bukan upayauntuk melanggengkan kekayaan individu tetapilebih sebagai tanggung jawab sosial yangmelekat atas pendapatan (di atas rata-rata)yang telah diperolehnya. Maksudnya, denganadanya akumulasi kekayaan tersebut akandapat digunakan sebagai instrumen untukmenawarkan tenaga kerja. Dengan demikian,terdapat relasi antara kebebasan individudengan tanggung jawab di masyarakat(individual-in-community).

Zakat dan KesejahteraanSeperti telah disinggung dalam uraian di

depan bahwa zakat dan pajak merupakan duainstrumen yang memiliki karakteristik yang bisadigunakan untuk meningkatkan dan membagikesejahteraan umat manusia secara lebihmerata dan adil. Sungguh pun demikian,dalam konteks saat ini (terutama di Indonesia)kedua instrumen tersebut tidak dapat salingmenegasikan. Artinya, sistem pajak sebagai alatfiskal negara tidak dapat digantikan secara

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM12

Page 13: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

13

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

mutlak oleh zakat. Di sisi yang berseberangan,zakat dengan nilai-nilai mulia agama tetapimasih abstrak tidak dapat menggantikan sistempajak. Oleh karena itu, kedua instrumen inidiposisikan secara legal dan legal terbatas.Maksudnya, pajak tetap diposisikan sepertisaat ini, yakni secara legal yang harus dipenuhioleh warga negara yang menurut ketentuanyang berlaku dan bagi wajib pajak yang lalaiatas kewajibannya dikenakan sanksi sesuaiaturan yang ada pula.

Sementara itu, dalam konteks zakat yangintinya bertujuan supaya potensi maksimalyang ada dapat digunakan secaraberkesinambungan dalam rangkameningkatan kesejahteraan, maka negara wajibmasuk untuk meregulasi pengelolaan zakat.Pada titik inilah terlihat bahwa kewajibanuntuk membayar zakat tetap menjadi tanggungjawab pribadi umat Islam dan negara tidakboleh memaksa umat muslim untukmembayar zakat. Pasalnya, urusan membayarzakat merupakan hubungan vertikal antaraumat manusia dengan Tuhannya, sehingganegara tidak berhak turut memaksanya.Sedangkan dalam konteks pengelolaan zakatmaksudnya adalah negara dengan peranregulator yang dapat dimainkannya harusmembuat serangkaian aturan main supayaterdapat otoritas legal yang berhak menarikzakat, menyalurkan zakat, membuat skemamaksimalisasi pengunaan zakat, danpemantauan maksimalisasi dana hasil zakat.

Pengertian tersebut membawa kepadapemahaman bahwa zakat (baik fitrah, mal,maupun yang lainnya) tidak boleh disalurkansecara langsung dalam bentuk uang tunaiataupun barang kebutuhan pokok lainnya(misalnya beras). Hal ini dikarenakan jika zakatdisalurkan dengan skema seperti itu, makazakat tak ubahnya hanya menjadi alat yangterus menenggelamkan manusia dalamkubangan kemiskinan. Dengan nilai nomimalyang tidak tidak terlalu besar pastimenyebabkan penggunaan atas zakat yang

diberikan kepada masyarakat miskin hanyadapat digunakan dalam jangka waktu yangpendek. Realitas ini pada akhirnya hanyamemastikan keamanan masyarakat miskinhanya dalam hitungan hari (bahkan bisahanya sampai satu hari), sehingga pascapenggunaan hasil zakat itu masyarakat miskintetap berada dalam keadaan subsisten. Kondisiini sebenarnya tidak dikehendaki oleh agama(dalam hal ini adalah Islam), karena nilai-nilaimulia agama pasti menghendakiketidaksejahteraan umat manusia (walaupunmasalah kaya dan miskin telah menjadi takdirseseorang) dapat diminimalisir, sehinggakebebasan kesejahteraan yang setara dapatdiakses sekaligus dinikmati oleh setiap manusia.Oleh karena itu, pengkonkretan atas nilai-nilaimulia agama yang abstrak mesti dilakukan olehnegara.

Lebih lanjut, dengan masuknya negaradalam pengelolaan zakat, terdapat empatregulasi formal umum yang bisa diintrodusiroleh negara. Regulasi tersebut lebih tepatdalam bentuk Undang-Undang (UU), karenaselain lebih mengikat juga disebabkan sampaisaat ini tidak ada payung hukum yangmengakomodasi pengeloaan zakat. Pertama,pihak-pihak yang mengelola zakat. Tidakjarang urusan pengelolaan zakatmemunculkan konflik horizontal sesama umatIslam, karena wilayah penarikan zakat yangselama ini menjadi domainnya diambil olehsesama pengelola zakat. Oleh karena itu,diperlukan otoritas legal yang mengkoordinirsecara nasional pengelolaan zakat. Tentunyaakan lebih tepat jika otoritas legal tersebutmerupakan lembaga independen di luarstruktur pemerintah. Hal ini terkait denganprofesionalisme pengeloaan zakat, karena jikaberada di dalam lingkaran struktur birokrasipemerintah pasti terkendala dengan berbagaiaturan yang sifatnya administratif, sehinggaesensi zakat mau tidak mau pasti lebih inferiordari urusan administrasinya.

Pada aras ini pulalah nampak bahwa

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM13

Page 14: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

14

pengelolaan zakat lebih fleksibel dari padapenarikan sekaligus alokasi dari sistem pajak.Sungguh pun demikian, pengelolaan zakattersebut harus mengakomodasi lembagapengelolaan zakat yang selama ini telah ada,sehingga pengelolaan zakat secara nasional inilebih memastikan terpolanya koordinasi danjustru tidak menimbulkan gesekan sosial. Selainitu, bagi wilayah-wilayah yang sebelumnya tidakada pengelolaan zakat sekarang harus dibikinada. Dengan demikian, maksimalisasi ataspenggunaan potensi besar zakat juga lebih besarpula. Di luar itu, biaya yang dikeluarkan untukmembayar amil juga harus ditentukan secarajelas dan tegas, sehingga para amil (yangakhirnya bisa pula menjadi profesiindependen) dalam menjalankan tugasnyatidak hanya dipandu oleh pahala saja.

Kedua, tata niaga zakat. Regulasi inibertujuan untuk memastikan bahwamekanisme penarikan, distribusi, danpenyampaian zakat dapat dilakukan tepatsasaran. Ketiga, skema penggunaan. Regulasiini intinya mengatur bahwa zakat tidak bolehdisalurkan secara langsung kepada masyarakatmiskin. Oleh karena itu, zakat tersebut harusdikekola secara efektif, sehingga bisa menjadimodal kerja produktif yang dapat difungsikanuntuk menghasilkan pendapatan rutinmasyarakat miskin. Dengan demikian, regulasiini mencoba mengkonkretkan nilai-nilai muliaagama yang bertujuan meningkatkankesejahteraan umat. Keempat, pendampingan.Masyarakat miskin dengan karakteristikketerampilan yang rendah dan tingkatpengetahuan yang tidak tinggi pulamenyebabkan pengelolaan atas zakat yangdiberikan tersebut jelas tidak maksimal. Olehkarena itu, menjadi aktifitas sia-sia ketikaseperangkat aturan main zakat yang telahdiformulasikan tetapi maksimalisasi ataspenggunaan zakat itu tidak ada. Denganadanya pendampingan ini diharapkanmasyarakat miskin yang sebelumnyamenganggur menjadi mendapatkan pekerjaan,

sehingga akhirnya punya penghasilan rutinyang berguna untuk meninggalkan pola hidupyang subsisten.

Catatan PenutupTerlepas dari takdir yang telah digariskan

oleh Tuhan kepada umat manusia,kesenjangan distribusi kesejahteraanmasyarakat (dalam tataran global, termasukdi Indonesia) merupakan hasil dari sistem yangdibangun oleh peradaban manusia. Olehkarena itu, mau tidak mau peradaban yangada selama ini harus turut menanggung dosaatas timbulnya ketidakseimbangan sosialtersebut. Pada sisi yang lain, nilai-nilai muliaagama dalam zakat, yang sejatinya memilikitujuan untuk meningkatkan martabat sosialmanusia, justru masih dianggap sebagai sesuatuyang sangat suci sehingga dibiarkan begitu sajatanpa ada tindak lanjut untuk memodifikasiskema tersebut. Dengan kenyataan ini, zakattidak dapat difungsikan sebagai instrumenagama dalam memeratakan ketimpangankesejahteraan, sedangkan di sisi lain tidakjarang justru menenggelamkan masyarakatdalam kubangan kemiskinan. Ini semuamenunjukkan bahwa zakat dan agama masihdimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dengandunia, sehingga ketika menjalankan kewajibanzakat yang terpikir hanya urusan kehidupansetelah ketiadaan (mati). Akhirnya, uraian-uraian di atas yang mencoba memberikanpijakan atas pemosisian zakat dan pajaksebagai instrumen fiskal negara diharapkanbenar-benar memberikan kontribusi dalamrangka meningkatkan derajat kesejahteraanmanusia. Dengan demikian, zakat bukan lagisekadar akuntabilitas manusia kepada AllahSWT atas limpahan rezeki yang diterimanya,tetapi juga sebagai instrumen keadilan yangbisa mewujudkan keseimbangan sosial.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM14

Page 15: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

15

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Badan Pusat Statistik. 2008

Chapra, M. Umer. 2001. The Future of Economics: AnIslamics Perspevtive. Landscape Baru PerekonomoianMasa Depan. Terjemahan. Shari’ah Economics andBanking Institute. Jakarta

IMF. 2001. Finance and Development. June

Goulet, Denis. 1997. Development Ethics: A NewDiscipline. International Journal of Social Economics.Vol. 24, No. 11: 1160-1171

IMF. 2001. Finance and Development. Vol. 38, No. 4

Kerah, A. Sonny. 1996. Pasar Bebas, Keadilan, danPeran Pemerintah: Telaah Atas Etika Politik EkonomiAdam Smith. Penerbit Kanisius.Yogyakarta

Mehmet, Ozay. 1997. Al-Ghazali on Social Justice:Guidelines for a New World Order From An EarlyMedieval Scholar. International Journal of SocialEconomics. Vol. 24. No. 11: 1203-1218

Mubyarto. 1995. Ekonomi dan Keadilan Sosial. AdityaMedia. Yogyakarta—————— 1997. Ekonomi Rakyat, Program IDT, danDemokrasi Ekonomi Indonesia. Aditya Media.Yogyakarta——————. 2005. Ekonomi Terjajah. Pustep UGM.Yogyakarta

Oslington, Paul. 2000. A Theological Economics.International Journal of Social Economics. Vol. 27, No.1: 32-44

Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Revised Edition.The Belknap Press of Harvard University Press.Cambridge – Massachusetts. USA

DA

FTA

R P

UST

AK

A

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM15

Page 16: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

16

PengantarA da dua model pengelolaanzakat. Pertama, zakat dikelolaoleh negara dalam sebuah

departemen. Kedua, zakat dikelola lembaganon-pemerintah (masyarakat sipil) atau semi-pemerintah dengan mengacu pada aturan yangditetapkan oleh negara.1 Model pertama,pengumpulan dan pendistribusian zakatditetapkan oleh kebijakan pemerintah denganmelihat pada kebutuhan masyarakat sehinggazakat mirip seperti pajak yang dilakukan padanegara-negara sekuler. Sistem pengelolaanzakat seperti ini bersifat langsung, artinya wargamasyarakat muslim berkewajiban membayarzakat dengan cara dipotong langsung dariharta yang dimilikinya.

Sementara pada model kedua,pengelolaan zakat dilakukan oleh masyarakatsipil dengan cara suka rela sedang negara hanyabersifat sebagai fasilitator atau regulator.Kedua model ini memiliki keunggulan dankelemahan. Kelemahan model pertama,

negara sangat dominan sedang rakyat tidakbanyak dilibatkan. Sedang model kedua,masyarakat sangat dominan danpengumpulan zakat pun bersifat suka relasehingga pendapatan zakat cenderung kecil.Kedua model ini sebaiknya dipadukan untukdipakai di Indonesia dengan cara melibatkanmasyarakat sipil dan negara. Cara ini dipakaikarena ada anggapan bahwa negara Indonesiabukanlah negara Islam sehingga negara tidakboleh ikut campur jauh pada urusan ibadahtermasuk zakat, sedangkan negara cukupsebagai fasilitator saja. Terlepas dariperdebatan ideologis dan politis masalah zakatdan negara, perlu dijelaskan di sini bagaimanamemerankan negara dan masyarakat sipildalam pengelolaan zakat.

Zakat Antar Bangsa Muslim:Menimbang Posisi Realistis Pemerintah dan

Organisasi Masyarakat SipilAsep Saefuddin Jahar

AbstrakPeran masyarakat sipil dan pemerintah dalam pengelolaan zakat dapat dilakukan secaraaktif dan koordinatif. Peran pemerintah berada pada pemberi legitimasi politik dan penyediadata dalam pengembangan zakat, sedang lembaga pengelola zakat masyarakat sipilbertindak sebagai eksekutif dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat. Hubungankeduanya dilakukan secara sinergi dan memiliki akses langsung satu sama lain baik secarakoordinatif maupun kontrol. Pada tataran praksis pada lembaga masyarakat sipil dibentukkoordinasi vertikal dan horizontal. Kordinasi vertikal dilakukan oleh lembaga holdingcompany dalam mengontrol penghimpunan dan penyaluran zakat di lembaga-lembagazakat, sedang koordinasi horizontal dimaksudkan untuk melakukan kerjasama antar lembaga-lembaga. Hubungan model ini mensintesakan keterlibatan negara dan masyarakat sipilsecara aktif. Model seperti ini dapat memperkuat fungsi organisasi masyarakat dan fungsipemerintah.

Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Kata kunci: Holding Company, vertical, horizontal, organisasi masyarakat sipil,pemerintah, civil society

1 Pengelolaan zakat seperti ini dilakukan di negara-negara Islamseperti Saudi Arabia, Pakistan, Kuwait, Bahrain dsb. Lihat SigridFaath (ed.), Islamische Stiftungen und WohltaetigeEinrichtungen mit entwicklungspolitischen Zielsetzungen inarabische Staaten (Hamburg: Deutches Orient-Institut, 2003).

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM16

Page 17: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

17

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Tulisan ini akan menguraikan bagaimanapengelolaan zakat dilakukan dengan baik olehnegara dan masyarakat sipil dalam konteksIndonesia.

Masa Awal IslamAgama dan negara dalam sejarah Islam

klasik menyatu dalam sistem negara, karenanabi, imam atau khalifah adalah pimpinannegara sekaligus urusan keagamaan.Keterlibatan negara secara langsung padasegala urusan juga dipengaruhi oleh populasimasyarakat yang masih sedikit dan kohesimasyarakat masih kuat dalam suku danagama. Dalam pengelolaan zakat, imam /khalifah dapat mudah mengontrol langsung.2

Mekanisme ini telah berlangsung sejak zamanNabi Muhammad SAW, sahabat hinggaDinasti Otsmani. Pada masa Rasulullah SAW,Muadz bin Jabal misalnya, bertugas mengelolazakat di daerah Yaman dan ia langsungmemungut zakat dari masyarakat muslimsecara langsung.3 Peran Muadz sebagairepresentasi negara memiliki otoritasmengumpulkan zakat untuk didistribusikankepada kelompok miskin sebagai perwujudankeadilan sosial. Kewenangan negara di sinimenjadi penentu keberlangsunganpengelolaan zakat. Ada alasan teologismendasari model perintah langsung padamasa itu : pertama, sebagai perintah agamadan kedua sebagai distribusi harta untukkeadilan. Ajaran zakat mempertegas adanyakepentingan ekonomi, yaitu memberikanmanfaat bagi si miskin di samping sebagaipelaksanaan ibadah. Peran strategis inimendorong negara untuk terlibat, karenanegara punya kewenangan untuk melindungirakyatnya dari monopoli danbertanggungjawab mewujudkan hidupsejahtera.

Fungsi kedua zakat adalah ibadah kepadaAllah dan perwujuan keadilan sosial dimaknaisebagai ajaran ibadah yang memiliki duadimensi, yakni ibadah mahdhah dan ibadah

ghayr mahdhah. Ibadah mahdhah berarti zakatmemiliki sistem tertentu yang baku sepertikomoditas, waktu dan jumlah tertentu yangharus dibayarkan. Karena itu, terutama bagikalangan literalis, aspek-aspek zakat lebihdititikberatkan pada unsur-unsur ini. Sedangghayr mahdhah, zakat memiliki fungsi sosial,yaitu perlindungan bagi fakir dan miskin.Artinya zakat berperan sebagai devisa negarayang dipungut dari para orang mampu(muzakki) untuk kepentingan orang-orangmiskin. Di sinilah zakat akan bersinggungandengan aspek-aspek sosial, ekonomi danpolitik. Karena itu ruang-ruang ini akanmelibatkan berbagai unsur masyarakat.

Bagaimana peran ini dilakukan dimasyarakat, ketika penyebaran Islam sudahmeliputi berbagai negara yang tidakberdasarkan pada Islam. Pada contoh kasuszaman Nabi Muhammad SAW atau sahabat,pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah. Hubungan pusat dandaerah hanya bersifat koordinatif, terutamadalam pengumpulan dan pendistribusianzakat. Muadz bin Jabal, misalnya, bertindaksebagai Gubernur Yaman, ia melakukanpemungutan dan pendistribusian zakat didaerahnya. Zakat saat itu berperan ganda,sebagai dakwah dan kewajiban setiap muslim.2 AlFitri, The Law of Zakat Management and Non-

Governmental Zakat Collectors in Iindonesia, “ in TheInternational Journal of Not-for-Profit Law, Vol. 8. (January,2006): 58.

3 M Shiddiq al-Jawi, Kejayaan Ekonomi pada Masa KhilafahIslamiyah dalam www.khilafah1924.org. Dalam haditsdiriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: “ Ketika NabiSAW hendak mengutus Muaz ke Yaman beliau bersabda, “sesungguhnya engkau Muadz akan mengunjungi suatu kaumdari Ahl al-Kitab di Yaman. Begitu kamu telah menjumpaimereka, hendakhlah kamu seru mereka untuk bersyahadatbahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnyaMuhammad adalah utusan Allah. Kemudian jika merekamentaati seruanmu itu, sampaikan kepada mereka bahwaAllah mewajibkan kamu supaya melakukan shalat lima waktudalam sehari semalam, jika mereka mentaati seruanmu, makakabari mereka bahwa Allah SWT juga mewajibkan zakatkepada mereka untuk kemudian diserahkan kepada fakirmiskin yang ada disekeliling mereka…” (HR. al-Bukhari,Muslim dan Nasa’i). Kuntarno Noor Aflah dan Mohd NasirTajang (Ed.), Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat,2006), hal. 6.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM17

Page 18: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

18

Dalam hal dakwah, zakat memberikanperlindungan kepada fakir miskin darimonopoli harta oleh orang kaya. Karena itunegara punya kepentingan untuk terlibatlangsung. Model pengelolaan zakat secaralangsung oleh negara seperti ini ideal, karenasosok Nabi Muhammad SAW dan Muadzmemiliki komitmen kuat, sehinggaakuntabilitas dan proses pendistribusian akanterkontrol. Pada sisi lain, populasi pendudukmasih memungkinkan peran langsung negaradalam pengelolaan zakat. Namun adapelajaran penting di sini yaitu hubungan pusat(Madinah) dan daerah (Yaman) berjalandengan baik, yaitu pemenuhan zakat bagi fakirmiskin dilakukan oleh daerah di mana zakatterkumpul, sebelum disebarkan pada wilayahlain dan pemerintah pusat tetap mengontrolproses pengelolaannya.4

Di Indonesia peran tunggal pemerintahdalam pengelolaan zakat akan berbeda dengankasus di atas, sebab sistem birokrasi dan goodgovernance masih lemah. Karena itu keterlibatanmasyarakat sangat dibutuhkan. Namunmelepaskan pengelolaan zakat pada organisasimasyarakat sipil pun akan berdampak negatif,karena setiap lembaga memiliki kecenderunganideologis, budaya dan kepentingan yangberagam. Karena itu, peran pemerintah danmasyarakat sipil dalam pengelolaan zakatadalah dua sisi dari satu mata uang yang tidakbisa dipisahkan. Negara memberikan legitimasipolitik dan penyedia sarana publik sedangmasyarakat sipil berperan sebagai pelaksanadan kontrol terhadap pelaksanaan zakat dimasyarakat.

Namun pertanyaannya bagaimana perankeduanya bisa bersinergi secara baik, terutamadalam pengelolaan dan pendayagunaan zakatsehingga mencapai tujuan zakat yaitu mencapaimasyarakat sejahtera? Pencarian peranseimbang dalam pengelolaan zakat antarapemerintah dan masyarakat sipil belum adatempat yang ideal. Dilihat dari perspektifpolitik, pemerintah terbentuk karena

kekuatan politik yang terdiri dari berbagaiunsur kepentingan-kepentingan politikkekuasaan sedang masyarakat sipil pada sisilain sangat heterogen dengan berbagai aliranideologi. Bila dalam masyarakat sipil ruangpublik menjadi faktor penting untukmelibatkan individu-individu bersamaandengan hak-haknya, bisakah zakatditempatkan pada ruang yang bebas sepertiini. Hal ini tentu menimbulkan sisi keunggulandan kelemahannya. Keunggulan dankelemahan itu akan dijelaskan dalam tulisanini.

Zakat dan NegaraPeran penting negara bagi sebagian para

ahli5 dihubungkan dengan perintah agamaseperti dijelaskan dalam Al Qur’an 9:103, dimana Nabi Muhammad SAW berperanpenting dalam pengelolaan zakat karenajabatannya sebagai pemimpin negara disamping sebagai Rasul. Perintah ayat inimenjelaskan peran aktif negara dalam zakatseperti bunyi ayat : “ambillah sedekah dariharta-harta mereka.” Di samping itu ayat lainmengelaborasi kelompok masyarakat yangberhak menerima zakat seperti dalam ayat 9:60, yaitu pembagian zakat disalurkan padakelompok penerima tertentu yang manapelaksanaannya dilakukan oleh lembaga atauinstitusi. Ayat ini memberikan pesan bahwapendistribusian zakat tidak bisa ditentukanoleh asumsi individu atau kelompok tertentusaja, tetapi memerlukan standar baku sesuaidengan tingkat kehidupan masyarakatsetempat. Dan negara dalam konteks ini punyaotoritas dan sumber data yang penting, sebabdidukung oleh departemen-departemen.Bahkan Kahf menyimpulkan bahwa ayat diatas mengindikasikan negara perlu terlibatlangsung dalam pengelolaan zakat denganmelibatkan masyarakat bukan dilaksanakan

4 Kuntarno Noor Aflah, Ibid. hal. 75 http://monzer.kahf. com/papers/English/zakah.pdf

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM18

Page 19: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

19

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

secara individual. Melepaskan negara daripengelolaan zakat, menurut Kahf, akanberesiko atas pentingnya zakat bagi masyarakat.

Dengan pengelolaan zakat oleh lembaga,orang kaya tidak merasa zakat yangdikeluarkannya sebagai kebaikan hati, tetapisebagai kewajiban dan fakir miskin tidakmerasa berhutang budi pada orang kayakarena menerima pembagian zakat. Karena ituzakat ditafsirkan juga sebagai distribusikekayaan di kalangan umat Islam untukmempersempit jurang pemisah antara orangkaya dengan orang miskin dan menghindaripenumpukan kekayaan di kalangan orangtertentu saja.6

Masalah yang muncul adalah bagaimanajika sistem pemerintahan negara itu tidakberasaskan Islam. Apakah negara perlu terlibatdalam pengelolaan zakat? Jika tujuan zakatadalah distribusi harta untuk keadilan dikalangan dhu’afa yang ujungnya untukmengentaskan kemiskinan, maka lembagakhusus adalah penting dalam pengelolaanzakat. Apabila negara tidak mempunyailembaga pengumpulan zakat sendiri, badan-badan hukum swasta di bawah pengawasanpemerintah dapat berperan sebagai pengelolazakat.7

Hubungan antara lembaga zakat yangdikelola sipil dan negara terletak pada perandan pelaksanaan kewajiban. Secara hukum,zakat perlu dikelola oleh sebuah lembagasehingga pelaksanaan zakat dapat terlaksanadengan baik. Jika negara tidak terlibat untukmengelola zakat, karena negara berdasar padasistem sekuler, maka lembaga volunteer ataumasyarakat sipil dapat melakukan perannya.8

Alasan ini disebabkan karena adanyakewajiban pelaksanaan zakat, dan bisadilakukan oleh lembaga apa pun.

Pengelolaan zakat di Indonesia berkaitanerat dengan peran masyarakat sipil dan negara(pemerintah). Peran seperti ini dapat dilakukankeduanya terkait dengan bagaimana kitamenempatkan masyarakat sipil dalam konteks

negara demokrasi. Bila masyarakat sipil ataucivil society dipersempit pada organisasipengelola zakat seperti LSM, ormas ataulembaga zakat tertentu, maka lembaga iniberperan dalam ruang publik di manaberbagai anggota masyarakat terlibat. Sebab,civil society itu sendiri mensintesakankepentingan individu dan negara dalam ruangpublik yang dapat menjadi terpeliharanyakepentingan individu dan tertibnya kehidupanumum. Jadi hubungan civil society dan negarabukan dipersempit antara hubungan lembaga-lembaga tertentu berhadapan dengan negara.Jean L Cohen dan Arato mengingatkan bahwacivil society perlu dibedakan denganmasyarakat politik dan masyarakat ekonomi.Kedua kelompok ini menurutnya akan terlibatlangsung dengan penguasa, terutama dalamkekuasaan dan produksi sumber-sumberekonomi.9

Jika organisasi masyarakat sipil dalampengeoloaan zakat ditempatkan dalamkonteks ini, berarti sinergi yang diperankanadalah publik secara aktif. Artinya, asosiasiatau organisasi itu muncul secara sukarela,mandiri, rasional dan partisipatif baik didalam wacana maupun praksis mengenaisegala hal yang berkaitan dengankemasyarakatan. Jika itu bisa dikembangkanmaka organisasi masyarakat sipil akanberperan sebagai kekuatan kritis reflektif(reflective forces) di dalam masyarakat.10

Kembali pada tujuan zakat, yaitumengurangi penguasaan modal di kelompoktertentu pengelolaan zakat dalam Islam sangat

6 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat danWakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 52.

7 Ibid 54-55.8 AlFitri, op cit. Hal 55-64. Juga lihat Mohammed Arif,

“Introduction” dalam Mohammed Ariff (Ed.) IsIam andThe Economic Development Development of SoutheastAsai: The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), 4.

9 Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk, Islam dan CivilSociety (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 6-7.

10 Lihat, Robert D. Putnam, Robert Leonardi, Raffaella YNanetti, Making Demokrasi Work: Civic Traditions inModern Italy (Princeton: Princeton University Press, 1993).

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM19

Page 20: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

20

beragam, mulai dari peran aktif Imam, negara,tokoh atau lembaga tertentu hinggapengelolaan secara sukarela dan musiman. Halini menjadi potret buram tentang zakat.Adakah contoh administrasi zakat yangberperan seperti pajak yang memiliki kekuatanuntuk memaksa dan memberikan kontribusilangsung pada masyarakat lemah dengandibarengi sistem good governance? Bila hal inidirunut, informasi yang penting adalah padamasa Islam klasik, di mana negara dipimpinlangsung oleh imam atau khalifah. Jika itudijadikan contoh, bagaimana diterapkan disuatu masyarakat yang plural?

Sejarah Zakat IndonesiaPengelolaan zakat di Indonesia mengalami

beberapa fase sejalan dengan perkembangansosial politik negara. Pengalaman itu dialamipada masa penjajahan, kemerdekaan danmasa reformasi. Kecuali masa reformasi,pengelolaan zakat pada masa penjajahan dankemerdekaan (orde baru dan orde lama)memberikan gambaran buram fungsi zakat diIndonesia. Antara komunitas muslim denganhasil zakat tidak memberikan gambaranseimbang. Artinya, pembayaran zakatmungkin masih bersifat individual sehinggatidak ada data jumlah muzakki. Atau zakatbelum dibayarkan secara baik oleh umatIslam. Dan jika pembayaran zakat pundilaksanakan, zakat hanya digunakan sebagaikaritas, berperan sebagai derma untukkepentingan sesaat. Dalam kasus ini, zakatbiasanya dibayar langsung pada orang tertentuyang ia sukai atau atas seruan tokohmasyarakat yang ada di wilayahnya. Tidak adadata akurat berapa zakat dapat dikumpulkan,karena zakat dianggap sebagai rutinitas danubudiyah saja. Dari satu tempat ke tempatlain, jumlah pengumpulan zakat sangatberagam karena mengikuti kesadaran dankeaktifan tokoh atau kyai.11 Pengumpulanzakat digunakan untuk kepentingan konsumtifatau bahkan disalurkan keluar dari ketentuan

zakat. Bahkan pada masa penjajahan zakatdiselewengkan oleh para penghulu.12

Pada masa penjajahan daerah Priangandikenal dengan pengelolaan zakatnya yangcukup baik. Keberhasilan pengumpulan zakatdi daerah ini karena keterlibatan kyai atautokoh agama. Namun dalam prakteknya,pengumpulan zakat yang dilakukan kyai hanyasebagai representasi penghulu,13 sebab semuahasil pengumpulan ini diserahkan padapenghulu dan sering tidak disalurkan padamasyarakat miskin.

Seperti yang dicatat oleh SnouckHurgronje, zakat didistribusikan kepada wongputihan (di Jawa) atau santri, atau lebai yangmasuk kategori fakir dan miskin. Di sini tidakada penjelasan siapa yang menentukan miskinatau standar kemiskininan sehingga ia ataumereka mendapatkan hak dari pengumpulanzakat. Dijelaskan bahwa pengulu, naib, petugasmasjid, guru agama, murid pesantren, penjagamakam, fakir miskin dan para amil mendapatbagian zakat. Negara pada masa itumelepaskan diri dari pengelolaan zakat, karenanegara khawatir dituduh terlalu ikut campurdalam urusan agama. Sebab itupenyelewengan atau pelanggaran dalam zakatdiselesaikan secara konvensional atau adat,tanpa melibatkan negara. Namun peranpenghulu masih dominan karena ia memilikikewenangan dalam pengumpulan zakat yanglebih bersifat “memaksa”, tetapi bukan untukmustahik tetapi untuk gajinya.14

Pada masa Orde Baru, kekhawatiranterhadap Islam ideologis memaksa pemerintahuntuk tidak terlibat dalam urusan zakat.Bahkan secara struktural pun, pemerintahtidak secara tegas memberikan dukungan legal

11 Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 22.12 Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Japanese

Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942 (Jakarta: INIS, 2001).

13 Kuntarno Noor Aflah, op cit hal 23.14 Ibid, hal 25; juga lihat Karel Steenbrink, Beberapa Aspek

Tentang Islam Abad ke-19 (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,1984), 228.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM20

Page 21: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

21

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

formal. Zakat sering dikumpulkan masihdengan cara konvensional dan musiman.Sehingga dana zakat tidak memberikandampak yang berarti. Di sinilah hubunganzakat (agama) dan negara masih saling curiga.Perlakuan pemerintah Orde Baru disebabkanoleh tekanan psikologis politik yang kuat,karena pengalaman politik persaingan antaranasionalis, sekuler dan Islam.15 Dan sejak tahun1968, Presiden Soeharto hanya memberikanruang pengelolaan zakat melalui KeputusanPresiden No.7/PRIN/10/1968.16 Aturan inimemberikan dorongan pada pemda-pemdadi daerah, seperti DKI Jakarta, KalimantanTimur, Sumatera Barat, Aceh, untukmendirikan lembaga zakat yang langsungdikontrol oleh pemerintah daerah.

Dengan dimulainya sistem demokrasi,tepatnya setelah turunnya Presiden Soehartopada tahun 1998, UU No.38 Tahun 1999tentang Pengelolaan Zakat, adalah awal dariterbukanya keterlibatan publik secara aktif.Peran lembaga zakat, bersama dengan strukturnegara telah menfasilitasi pengaturan zakatdengan lembaga-lembaga khusus yangdilindungi oleh UU. Sejak saat itulahpengelolaan zakat dapat dilakukan secaramasif dan terbuka baik oleh lembaga swasta(masyarakat sipil) maupun oleh pemerintah.Namun dengan berdirinya lembaga-lembagazakat, permasalahan kemudian ditemukandalam konteks sinergi dan mekansime kerjasama baik antar lembaga swasta ataupunpemerintah dan swasta.17 Lembaga zakat yangdibentuk oleh organisasi masyarakat sipilcenderung dominan dan independen.Pengelolaan zakat seperti ini masih lemah.Kelemahan itu ada pada sistem pengumpulanzakat dan pendistribusiannya. Pengumpulanzakat antar lembaga-lembaga zakatmenampilkan model persaingan, karenapembayaran zakat bersifat suka rela. Setiaplembaga zakat berlomba menarik muzakki.Dalam pendistribusiannya, lembaga zakatbersandar kepada program mandiri, dan

lemah dalam koordinasi dengan lembaga zakatlain. Karena itu, peran negara dan masyarakatsipil dalam pengelolaan zakat bisa dilakukansecara bersama-sama tanpa mengabaikanperan satu sama lain seperti telah dilakukanoleh negara-negara yang telah lama mengelolazakat secara masif.

Pengelolaan Zakat di NegaraIslam

Pengelolaan zakat di negara Islam ataumayoritas penduduk muslim bisa dijadikangambaran bagaimana lembaga negara ataumasyarakat sipil bekerja, terutama berkaitandengan optimalisasi peran zakat dalampeningkatan kesejahteraan masyarakat. DiSaudi Arabia, misalnya karena negara secarategas berdasar atas Islam pengelolaan zakatsejak tahun 1951 diatur dengan UU.18.Walaupun demikian, peran individu masihdiberi peluang besar untuk menyalurkanzakatnya sendiri secara langsung dengan batasmaksimal setengah dari total wajib zakat,sedang separuhnya diserahkan ke DepartemenKeuangan. Namun, bagi perusahaan zakatnyadisetorkan ke Departemen Keuangan.19 PeranDepartemen Keuangan sebagai lembaganegara, bekerja sama dengan DepartemenSosial yang bertugas menyalurkan zakatkepada mustahik bersinergi dengan baik.Sistem zakat, bagi warga Saudi, adalah samaseperti pajak, karena zakat adalah identikdengan pajak. Sedang warga non-Saudi,mereka terkena kewajiban pajak yang perludibayarkan. Untuk penentuan mustahik,negara memiliki standar baku yang dihasilkandari kajian mendalam oleh Departemen Sosialdan tenaga kerja. Di sinilah peran negara

15 Bahtiar Effendy, Islam and The State in Indonesia (Singapore:Institute of Southeast Asian Studies, 2003).

16 AlFitri, op cit., hal 61.17 Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 64-65.18 Royal Court No. 17/2/28/8634 tertanggal 29/6/1370H/

7/4/1951, berbunyi: “Zakat syar’i yang sesuai denganketentuan syari’at Islamiyyah diwajibkan kepada individu danperusahaan yang memiliki kewarganegaraan Saudi.”

19 Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 33-34.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM21

Page 22: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

22

menjadi penting, terutama dalam melihatprioritas kepentingan muzakki.20

Kelemahannya adalah peran negara terlaludominan sehingga keterlibatan masyaraka sipilbaik sebagai pengelola atau pengontroladministrasi zakat sangat lemah.

Berbeda dengan Saudi Arabia, Sudanmemilik pengalaman menarik, yaitu zakatdibayarkan secara sukarela sebelumdiundangkan pada tahun 1984. Kebutuhanuntuk membuat zakat ini ternyata tidaksemata-mata pada aspek perintah agama,tetapi karena hasil perolehan zakat dari tahunke tahun tidak signifikan. Kewajiban zakat diSudan hanya bagi mereka yang muslim baikyang berada di dalam maupun di luar negeri.Yang menarik dari contoh Sudan,penghimpunan zakat dilakukan satu atapdengan penghimpun pajak. Pada saatpendistribusian, Departemen Keuangan danperencanaan ekonomi nasional berperandalam pembagian zakat sesuai dengan fatwaMajelis Fatwa Nasional. Di sini peran negaracukup dominan dengan melibatkanmasyarakat dalam hal pengawasan. Sistempengelolaan zakat seperti ini nampaknya idealdi mana terjadi sinergi antara masyarakat dannegara. Dari sisi negara, ia memiliki prioritasprogram yang harus diselesaikan terutamadalam hal kepentingam fakir miskinberdampingan dengan masyarakat sipil yangberperan untuk mengontrol.

Di Pakistan, zakat dikelola secarasentralistik yaitu oleh lembaga Central ZakatFund (CZF) dipimpin secara kolektif oleh enambelas anggota, salah satunya adalah HakimAgung Pakistan. Namun unsur masyarakatsipil terlibat yaitu kelompok ulama. Lembagazakat ini berperan penting dalam menentukankebijakan dan pengawasan tentang zakat.Secara struktural hirarki pengolala zakat initersebar ke negara-negara provinsi hinggatingkat unit yang ada di daerah. Pemerintahmempunyai wewenang untuk menentukanpemotongan zakat bersamaan dengan

dimulainya awal Ramadhan. Pengumpulanzakat yang dilakukan dengan debit langsung21

dilakukan oleh lembaga keuangan seperti bankdan selajutnya disalurkan ke CZF. Dana zakatyang terhimpun dipisahkan dari accountperbendaharaan pemerintah danpengelolaannya dikelola secara langsung olehCZF. Jika dilihat dari struktur dan sistempengelolaan zakat, peran negara, karenaPakistan sebagai negara Islam, sangat dominan.

Beranjak dari peran penting keterlibatannegara dalam pengelolaan zakat, hubungannegara dan lembaga-lembaga non-pemerintahsangat penting. Hubungan keduanyadidasarkan pada aturan legal formal danoperasional dalam mewujudkan keadilansosial. Untuk mencapai tujuan zakat sebagaikeadilan sosial sistem hubungan negara danmasyarakat sipil perlu diterapkan secara jelasdalam kerangka good governance.

Masyarakat Sipil Versus NegaraZakat dalam sistem ekonomi, negara

berperan sebagai distribusi kapital bagimasyarakat, karena mekanisme dari zakatmengandung aspek distribusi, alokasi danstabilisator perekonomian.22 Pendistribusianzakat dari si muzakki ke mustahik, zakatberperan sebagai alat distribusi untukmeratakan pemilikan sumber daya ekonomi.Dengan distribusi kapital kemampuan dayabeli masyarakat akan memperkuat pergerakanproduksi dan konsumsi. Fungsi alokatif,sumber daya dari si kaya kepada si miskinmembantu kehidupan si miskin sehinggamendorong pertumbuhan ekonomi. Dengancara ini pertumbuhan ekonomi melaluipendapatan penduduk meningkat. Karena itu,penghasilan zakat dalam sistem ekonomimodern berperan bukan saja sebagai perintah

20 Ibid, hal 36.21 Pemotongan langsung dari tabungan, deposito, sertifikat

deposito, sertifikat investasi, obligasi pemerintah, sahamperusahaan dan polis asuransi. Lihat ibid, hal 42-43.

22 Djarot Setiawan, Optimalisasi Lembaga Zakat, Titik TemuZakat dan Pajak (Jakarta: Peduli Umat, 2001), 96-99.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM22

Page 23: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

23

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

agama, tetapi memiliki arti lebih luas yaitusebagai modal peningkatan pertumbuhan danlaju penggerak pembangunan. Jika demikian,maka zakat memerlukan sistem dan instrumenyang dapat mengatur pengelolaanya. Karenaitu, peran negara dan masyarakat menjadibagian yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam aspek mana keterlibatanpemerintah dan seperti apa bisa diperankanadalah sebuah mekanisme yang perludirumuskan secara konstruktif. Seperti contohdi atas, dua model sudah dipraktekkan.Pertama, pengelolaan zakat dilakukanlangsung oleh negara dalam pengelolaannyasedang masyarakat sipil kurang berperan aktifdalam pengelolaan zakat. Model ini memilikikeunggulan dan kelemahannya.Keunggulannya, negara punya kekuatanenforcement dan mengontrol pembayaran zakatoleh masyarakat sehingga penghasilan zakatbisa ditargetkan sesuai dengan working plan.Dalam pembayaran atau distribusi zakat,pemerintah bisa mengambil peran dalammenentukan kriteria kemiskinan atau secarageografis memiliki data komprehensif tentangitu sesuai dengan standar kehidupan saat itu.Karenanya, pembayaran yang diberikankepada para mustahik memenuhi standarkebutuhan yang nyata.23 Kelemahannyaadalah peran negara terlalu besar sehingga bisamenimbulkan penyimpangan-penyimpangankarena lemahnya kontrol dari masyarakat.

Kedua, pengelolaan zakat diperankan olehorganisasi masyarakat sipil. Di sini lembagamasyarakat memiliki otoritas mengumpulkanzakat dari warga, mengelolanya sesuai denganprogram-program yang dirancang. Karena cirikhas lembaga-lembaga masyarakat tumbuhdari latar belakang budaya dan ideologi yangberagam, program yang dirancang dalampengelolaan zaka akan mengikuti mekanismeini. Sebab itu, pengelolaan zakat oleh lembaganon-pemerintah cenderung bersifat parsial danlokal, karena lembaga-lembaga itu berada didaerah tertentu dan memiliki jaringan terbatas.

Pada saat yang sama, lembaga-lembagasemacam ini mengelola zakat sesuai denganprogram lembaganya, sehingga programantara satu lembaga dengan lembaga lainnyasering terjadi pengulangan atau bahkanbenturan. Dalam pengumpulan dana zakat,antar lembaga zakat cenderung lebih memakaipola bersaing dari pada kerjasama, karenasetiap lembaga zakat punya target dan programyang berbeda-beda. Di sinilah kelemahanmenonjol dari pengelolaan zakat dengan sistemini.

Dari perspektif ruang publik keterlibatanmasyarakat sipil (civil society) model ini memangideal, karena terjadi sintesa kebebasan antaranegara dan individu-individu. Namunkebebasan untuk ruang publik tidak cukupuntuk menjawab sebuah tujuan pengelolaanzakat, karena lembaga zakat bukan lembagasosial yang mengabdi pada kepentingan publikdengan ideologi kebebasan absolut. Sebabdalam pengelolaan zakat ada tujuan keadilansosial yang melayani publik, khususnya orang-orang miskin. Akumulasi dana zakat dapatmembantu si miskin bila skala prioritas,kerjasama dan data komprehensif dimilikiuntuk membuat program-programpendayagunaan dana zakat. Salah satu modelsinergi antara lembaga zakat dan koordinasidengan pemerintah, lembaga zakatmemerlukan sebuah lembaga utama (semacamholding company) yang bisa melakukankoordinasi dengan cabang atau rantingnya.Holding company dalam pengelolaan zakatbukan berarti penyeragaman, tetapi untukmenghilangkan persaingan dan memperkuatpendayagunaan zakat secara prioritas dansinergi. Model ini bisa memberikan kepastianpenghasilan zakat bagi lembaga-lembagacabang, karena sistem pendapatan dan biayasosialisasi menjadi tanggungan lembaga-

23 F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, in AnAnthology of Islamic Studies, vol. II (Montreal: McGillInstitute of Islamic Studies, 1996), 318.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM23

Page 24: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

24

lembaga zakat. Sistem ini juga akan mengurangiketimpangan pendapatan (aset) zakat antarsatu lembaga dengan lembaga lainnya.

Jika pengelolaan zakat dilakukan sepertiini, maka negara berperan sebagai fasilitatordan regulator yang aktif. Artinya, lembagazakat bisa bekerjasama dengan departemen-departemen untuk akses data muzakki danmustahik di daerah-daerah. Departemen-departemen yang bisa memfasilitasipengelolaan zakat adalah DepartemenPerdagangan, Departamen Keuangan,Departemen Koperasi dan Usaha Kecil danDepartemen Pengembangan DaerahTertinggal. Data-data dari departemen itu bisamenjadi peta kebutuhan untuk distribusi zakatdan potensi pendapatan zakat. Data muzakkidigunakan untuk mensosialisasikan programlembaga zakat sehingga pengumpulan zakatbisa dilakukan secara persuasif. Sedang datamustahik berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan strategis para mustahik di daerah-daerah penting dikumpulkan sehinggapendistribusian zakat dapat dilakukan denganskala prioritas baik dari sisi geografis dan waktu.

KesimpulanPengelolaan zakat memerlukan dua sinergi

yang bersimbiosis baik antar lembaga zakatmasyarakat sipil maupun antara lembaga zakatmasyarakat sipil dan pemerintah. Model yangpertama dapat dilakukan dengan memakaimodel holding company atau lembagakoordinator yang berwibawa dan punyaotoritas mengontrol pada lembaga-lembagazakat masyarakat sipil. Peran otoritas ini dapatdilakukan dengan melibatkan pengelola zakatmasyarakat sipil dan pemerintah. Kerjasamaantara pemerintah dan organisasi masyarakatsipil bisa digambarkan sebagai berikut:

1. Negara memberikan fasilitas legalformal dan penyedia data tentangkebutuhan dan potensi pengumpulanzakat. Pada saat yang sama,pemerintah juga memiliki kewenangan

untuk mengontrol pengelolaan zakatyang dilakukan organisasi masyarakatsipil.

2. Organisasi masyarakat sipil bekerjasama dengan departemen-departemennegara seperti departemen keuangan(pajak), departemen koperasi danusaha kecil dan lain sebagainya denganmemiliki legal formal yang diberikanoleh negara.

3. Dibentuk holding company untuklembaga pengelola zakat masyarakatsipil untuk mensinergikan proyeksidana zakat dan pendistribusiannya.

AlFitri, The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in Iindonesia, “ in TheInternational Journal of Not-for-Profit Law, Vol. 8. (January,2006) : 58.

Bahtiar Effendy, Islam and The State in Indonesia(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,2003).

Djarot Setiawan, Optimalisasi Lembaga Zakat, TItikTemu Zakat dan Pajak (Jakarta: Peduli Umat, 2001).

F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State,in An Anthology of Islamic Studies, vol. II (Montreal:McGill Institute of Islamic Studies, 1996).

Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk, Islam danCivil Society (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).http://monzer.kahf. Com/papers/English/zakah.pdf

Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Abadke-19 (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984).

Kuntarno Noor Aflah & Mohd Nasir Tajang ( Eds.),Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat, 2006).M Shiddiq al-Jawi, Kejayaan Ekonomi pada Masa KhilafahIslamiyah dalam www.khilafah1924.org.

Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires: TheJapanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration1882-1942 (Jakarta: INIS, 2001).

Mohammed Ariff, “Introduction,” dalamMohammed Ariff (Ed.) IsIam and The EconomicDevelopment Development of Southeast Asai: The IslamicVoluntary Sector in Southeast Asia (Singapore:Institute of Southeast Asian Studies, 1991).

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakatdan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988).

Robert D. Putnam, Robert Leonardi, Raffaella YNanetti, Making Demokrasi Work: Civic Traditions inModern Italy (Princeton: Princeton University Press,1993).

Sigrid Faath (ed.), Islamische Stiftungen und WohltaetigeEinrichtungen mit entwicklungspolitischen Zielsetzungen inarabische Staaten (Hamburg: Deutches Orient-Institut,2003).

SUM

BER

RU

JUK

AN

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM24

Page 25: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

25

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

PendahuluanInstitusionalisasi zakat oleh NegaraRepublik Indonesia antara lainmengemuka dari pidato Presiden

Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut iamengemukakan bahwa dirinya sebagai warganegara akan mengambil bagian dalam prosesnasional pengumpulan zakat danmenyerahkan laporan tahunan terhadappengumpul dan pendistribusinya. Pascapidato, lalu Presiden menginstruksikan kepadatiga pejabat tinggi negara untuk menyiapkanlangkah-langkah yang diperlukan untukpengumpulan zakat secara nasional. ArskalSalim menyebutkan bahwa langkah tersebutsebetulnya aneh karena sejatinya telah adaPeraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun1968 tentang zakat. Sebelum lahirnya PMANo. 4 tahun 1968 tentang zakat dan UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,pada abad ke-19 di Banten zakat fitrahsebagian besar dibayarkan masyarakat kepadaguru agama, atau pengajar Al Qur‘an di desa.

Di Jawa Timur, zakat maal dibayarkan dandikelola kyai dan ulama lainnya. Sementaraitu zakat fitrah dibayarkan kepada pejabaturusan keagamaan di tingkat desa sepertikhatib dan petugas masjid lainnya.1

Pada tahun 1893 Pemerintah HindiaBelanda (Nederland Indies) mengeluarkanregulasi untuk menghindari penyalahgunaanzakat dengan menunjuk petugas keagamaanseperti naib dan penghulu sebagai pengelolazakat. Lalu pada tahun 1905 pemerintahtersebut mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad6200) yang secara khusus melarang petugaspribumi (priyayi dan setingkatnya) untukmengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakanpemerintah Belanda itu adalah suatu upayauntuk membuat perbedaan yang nyata antaraurusan negara dan urusan masyarakat muslimdalam masalah keagamaan.2

Peran Negara DalamPengelolaan Zakat:

Heru Susetyo

Perspektif Negara Kesejahteraan dan PraktekNegara-Negara Tetangga

AbstractThe role of the state in managing zakat in Indonesia has always been questioned.Judging from colonial centuries to date, there has been no apparent roles nor provisionsevidenced that state entitled to such primary and dominant roles in managing zakat ofits own people. The proposed amendment of Law No. 38 year 1999 on Zakat (alms)which clearly surrender zakat management solely to state has raised public criticismlargely on which legal, philosophical, and sociological basis underlying such claims.Therefore, this paper intends to scrutinize the role of the state in managing zakatthrough islamic history and tradition, social welfare and welfare state, and neighboringcountries’ practices.

KKKKKey Words : ey Words : ey Words : ey Words : ey Words : peran negara, zakat, kesejahteraan

1 Arskal Salim, Zakat Administration in Politics of IndonesianNew Order, dalam Arskal Salim and Azyumardi Azra, ed. Shariaand Politics in Modern Indonesia (Singapore, ISEAS : 2003),hal. 182.

2 Ibid., hal. 183.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM25

Page 26: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

26

Pada masa pendudukan Jepang,pemerintah penjajahan menghidupkankembali institusi Majelis Islam A‘la Indonesia(MIAI), suatu federasi partai politik danorganisasi massa Islam yang telah hidupsebelum Perang Dunia II. Lembaga MIAIkemudian mengambil inisiatif untukmembangun baitul maal di Jawa pada tahun1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karenaMIAI dibubarkan pemerintah Jepang padaakhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masakemerdekaan dibentuklah KementerianAgama. Pada 8 Desember 1951, kementerianini mengeluarkan edaran bahwa kementerianini tidak berkehendak untuk mencampuriurusan pengumpulan dan pendistribusianzakatÿMisinya hanyalah mendorong oranguntuk membayar zakat dan mengawasi supayadistribusi zakat terselenggara sebagaimanamestinya.3

Sementara di Indonesia masalahpengelolaan zakat sampai sekarang belumtuntas. Padahal Indonesia telah memiliki UUNo. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat.Sebagian pihak menduga, justru UU inilahyang menghambat perkembangan zakat. Alih-alih terkoordinasi, setiap lembaga baik BadanAmil Zakat Nasional (Baznas), Badan AmilZakat (Baz) provinsi, kabupaten dan kota sertaLembaga Amil Zakat (LAZ), seluruhnyamemainkan peran dan fungsi serupa. Usulanbertahun-tahun tentang pembagian peranfungsi dan tugas tak tergubris sama sekali.4

Belum tuntas permasalahan yangditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999,kini telah lahir rancangan amandemen UUNo. 38 tahun 1999, di mana dalam draftrancangan pemerintah disebutkan bahwapengelolaan zakat, infak dan sedekahsepenuhnya dikelola oleh negara (sentralisasi)melalui Badan Amil Zakat yang dibentukpemerintah di semua tingkatan pemerintahan.Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yangtelah ada nantinya akan berfungsi hanyasebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi

secara institusional dengan Badan Amil Zakatmilik pemerintah.

Adanya rencana sentralisasi pengelolaanzakat ini akhirnya memunculkan pertanyaan,sejauh manakah Negara Indonesia berhakmelakukan intervensi dalam urusankeagamaan masyarakat seperti zakat ini? Gunamenjawab pertanyaan ini akan ditelusuri jatidiri Negara Indonesia dalam perspektif negarakesejahteraan dan perbandingan denganpraktek-praktek pengelolaan zakat di negaratetangga.

Pengelolaan Zakat Dalam TradisiIslam

Zakat adalah instrumen ilahiah yangdiwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWTberfirman dalam Surat At-taubah ayat 103“Ambillah zakat dari harta mereka dengan gunamembersihkan dan mensucikan mereka, danberdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amuitu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagimereka. Allah Maha Mendengar lagi MahaMengetahui.”

Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 adadelapan golongan yang berhak menerima zakatyaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hambasahaya, orang yang berhutang, orang-orangdalam perjalanan, dan para pejuang di jalanAllah (Ibnu Sabil).

Para fuqaha berbeda pendapat dalampembagian zakat terhadap delapan golongantersebut. Imam Al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa jika yangmembagikan zakat itu kepala negara atauwakilnya, gugurlah bagian amilin dan bagianitu hendaklah diserahkan kepada tujuhgolongan lainnya jika mereka itu ada semua.Jika golongan tersebut tidak lengkap, zakatdiberikan kepada golongan-golongan yangada saja. Tidak boleh meninggalkan salah satu

3 Ibid., hal. 184.4 Erie Sudewo, Kebijakan Perzakatan : Kita dan Negeri Tetangga,

dalam Politik ZISWAF Kumpulan Esai (Jakarta, CID dan UIPress : 2008), hal. 187.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM26

Page 27: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

27

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

golongan yang ada. Jika ada golongan yangtertinggal, bagiannya wajib diganti.5

Memang, apabila kepala pemerintahanmenghimpun semua zakat dari penduduksuatu negeri dan golongan yang delapanlengkap ada, setiap golongan berhak menuntuthak masing-masing sebagaimana telahditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib bagikepala negara membagi sama rata di antaramereka, sebagaimana tidak wajib zakat itusampai kepada mereka semua. Ia bahkan dapatmemberikan kepada sebagian golongan lebihbanyak dari yang lain. Boleh juga memberikepada yang satu, tetapi tidak kepada yanglainnya jika menurut pertimbangannya hal itusesuai dengan kepentingan Islam dan kaummuslimin.6

Siapa yang bertugas membagikan zakat?Biasanya Rasulullah SAW mengirimkanpetugas-petugasnya untuk mengumpulkanzakat dan membagi-bagikannya kepada paramustahik. Khalifah Abu Bakar dan Umar ibnKhattab juga melakukan hal yang sama, tidakada bedanya antara harta-harta yang jelasmaupun yang tersembunyi. Tatkala datangmasa pemerintahan Utsman ibn Affan,awalnya ia masih menempuh cara tersebut.Akan tetapi, waktu dilihatnya banyak hartayang tersembunyi, sedangkan untukmengumpulkannya itu sulit dan untukmenyelidikinya, menyusahkan pemilik-pemilikharta, maka pembayaran zakat itu diserahkankepada para pemilik harta itu sendiri.7

Para fuqaha telah sepakat bahwa yangbertindak membagikan zakat itu adalahpemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakatadalah dari hasil harta yang tersembunyi.Seandainya para pemilik sendiri yangmembagi-bagikan zakat itu (zakat harta merekayang tersembunyi) apakah itu lebih utama?Ataukah lebih baik mereka serahkan kepadakepala negara atau imam (petugas) yang akanmembagi-bagikannya? Menurut Imam Al-Syafi’i, lebih baik diserahkan kepada imam jikaimam itu ternyata adil. Menurut Imam

Hanbali, lebih utama jika dibagi-bagikansendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara,tidak ada halangannya. Adapun mengenaiharta yang jelas, menurut Malik dan ImamHanafi, imam dari kaum muslimin dan parapembesarlah (pemerintah) yang berhakmenagih dan memungut zakat. Pendapatgolongan Syafi’i serta pengikut-pengikutHanbali tentang harta-harta yang jelas ini samadengan pendapat mereka terhadap harta-harta yang tersembunyi.8

Maka, jelaslah bahwa zakat merupakansalah satu kewajiban yang telah disepakati olehpara ulama dan telah diketahui oleh semuaumat, sehingga ia termasuk salah satu hal yangmendasar dalam agama, yang mana jika adasalah seorang dari kaum muslimin yangmengingkari kewajibannya, maka dia telahkeluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaankafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam,maka dia dimaafkan disebabkan karenakejahilannya akan hukum.9

Adapun mereka yang tidakmengeluarkannya dengan tetap meyakini akankewajibannya, maka dia berdosa karenasikapnya tersebut, tetapi hal ini tidakmengeluarkannya dari Islam dan seoranghakim (penguasa) boleh mengambil zakattersebut dengan paksa beserta setengahhartanya sebagai hukuman atasperbuatannya. Jika suatu kaum menolakuntuk mengeluarkannya padahal merekatetap meyakini kewajibannya dan merekamemiliki kekuatan untuk melarang orangmemungutnya dari mereka, maka merekaharus diperangi hingga merekamengeluarkannya.10

Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan

5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1 (Jakarta, Pena Pundi Aksara: 2007), hal. 575.

6 Ibid., hal. 577.7 Ibid., hal. 582.8 Ibid.9 Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi. Panduan Fiqih Lengkap.

Jilid 2. (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir : 2005), hal. 92.10 Ibid., hal. 93.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM27

Page 28: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

28

bahwa zakat adalah salah satu landasan utamadalam terciptanya kedamaian dan keamanan,utamanya keamanan dari kemiskinan danpenyakit. Selanjutnya ia berpendapat bahwa“..Islam considers the entire community responsiblefor the food security of all its individuals…one ofthe categories to whom the revenue of zakah has tobe distributed consists of the mu`allafahqulubuhum who include non-Muslims 11

Pemikiran mutakhir terkait peran zakatdalam negara modern dikemukakan olehAidit Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalamnegara Islam modern ada empat sumberpendapatan negara antara lain adalah : (1)dana dari baitul maal; (2) pendapatan darisumber daya alam masyarakat; (3) pajak; dan(4) pinjaman.12 Dana dari baitul maal berasaldari sumber kekayaan khusus (special wealth)yaitu zakat, dan sumber kekayaan umum yaitufa’i, ushr, pajak, ghanimah, dan lain-lain sumberyang tidak dimiliki oleh individu dan diserahkankepada baitul maal.13

Peran Negara Dalam PerspektifNegara Kesejahteraan

Negara kesejahteraan adalah suatumasyarakat di mana pemerintahnyabertanggungjawab menjamin bahwa setiapwarga negaranya menerima pendapatanminimum dan mempunyai akses sebesarmungkin yang ia mampu raih untukmemenuhi kebutuhan hidupnya pada bidangperawatan kesehatan, perumahan,pendidikan dan layanan sosial personal.14

Menurut Isbandi Rukminto Adi, ada tigakunci utama dalam memahami negarakesejahteraan yaitu :15

1. Intervensi yang dilakukan oleh negara(dalam hal ini pihak pemerintah) dalammenjamin kesejahteraan warganya;

2. Kesejahteraan harus dikembangkanberdasarkan kebutuhan dasarmasyarakat;

3. Kesejahteraan adalah hak dari setiapwarga negara.

Ada tiga paradigma kesejahteraan sosial,antara lain : (1) paradigma residual; (2)paradigma institusional; dan (3) paradigmadevelopmental. Paradigma residual adalahpandangan tentang sistem kesejahteraan sosialyang dikembangkan hanyalah sistem terakhir(last resort) untuk membantu anggotamasyarakat. Ini adalah sistem kesejahteraansosial minimalis, di mana sistem ini barudifungsikan ketika sistem pasar (market system)ataupun sistem keluarga (family system) gagalmemenuhi kebutuhan individu. Aliran inisangat menekankan nilai-nilai individualismedan kemerdekaan individu, sehinggakesenjangan yang terjadi di masyarakat lebihdianggap sebagai konsekuensi logis dari adanyakebebasan individu untuk mendapatkan hasilyang terbaik dalam kehidupannya. Karenabantuan baru diberikan bila sistem pasar dankeluarga tidak bisa membantu anggotamasyarakat tersebut, maka dalam sistemkesejahteraan sosial dengan paradigma residualdiberlakukan sistem seleksi (means test) untukmenentukan apakah orang tersebut berhakmendapatkan bantuan.16

Paradigma institusional atau modelkesejahteraan institusional dikembangkanberdasarkan teori tentang masyarakat dannegara yang didasarkan pada nilai-nilaikonsensus (consensual value), tetapikonformitas dicapai melalui proses integrasisosial, bukan sekedar menonjolkan pada aspekpilihan individual saja. Dalam kaitan denganperan negara dalam penyediaan layanankesejahteraan pada masyarakatnya,

11 Ismail Lutfi Japakiya, Islam the Religion of Peace (Malaysia,Fajar Ulung : 2008), hal. 25.

12 Aidit Ghazali, Development An Islamic Pespective. (KualaLumpur, Pelanduk Publications : 1990), hal. 95 – 96.

13 Ghazali, ibid., hal. 47 – 48.14 Deacon (2002) sebagaimana dikutip oleh Isbandi Rukminto

Adi, Konsep dan Pokok Bahasan dalam Ilmu KesejahteraanSosial (Jakarta, UI Press : 2005), hal. 102.

15 Isbandi Rukminto Adi, Konsep dan Pokok Bahasan dalam IlmuKesejahteraan Sosial (Jakarta, UI Press : 2005), hal. 108.

16 Ibid.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM28

Page 29: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

29

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

paradigma ini melihat pemerintah harusbekerjasama dengan pihak swasta danorganisasi nirlaba dalam meningkatkan kualitaslayanan.17

Paradigma developmental, atau modelkesejahteraan developmental merupakankonsepsi tentang sistem kesejahteraan sosialyang mendasarkan pada nilai-nilai keadilansosial. Paradigma ini berdasarkan padaperspektif sosial demokrat (democratic socialistperspective). Disini peran pemerintah menjadilebih proaktif, dan merupakan antitesis dariperspektif residual yang lebih bersifat reaktif.18

Pendapat lain dikemukakan oleh Marslandyang mengusulkan agar membebaskankesejahteraan masyarakat dari negara danmempertimbangkan privatisasi di bidangkesejahteraan secara lebih serius, seperti apayang dilakukan di bidang industri. Marslandjuga menentang pandangan bahwa negaraharus menyediakan layanan pada warganyasejak mereka lahir hingga mereka meninggal dunia(state provision of cradle to grave).19

Holil Sulaiman menyebutkan bahwa diAmerika Serikat sejak tahun 1960-an sampaisekarang ada dua pandangan kuat yangbertentangan tentang kesejahteraan sosial,yaitu : pertama yang memandang bahwakegiatan kesejahteraan sosial hanya disediakanbila struktur sosial normal masyarakat tidakberfungsi. Penyedia utama kesejahteraan sosialadalah keluarga dan pasar ekonomi. Bilakedua sumber tersebut tidak berfungsi barukesejahteraan sosial tampil. Faham ini disebutfaham kesejahteraan sosial residual. Kedua,faham kesejahteraan institusional yang melihatkesejahteraan sosial sebagai fungsi legal danyang diterima serta dibutuhkan olehmasyarakat industri modern untuk melayaniindividu dan kelompok untuk memperbaikidan meningkatkan taraf kehidupannya dantaraf kesejahteraannya yang sebaik-baiknya.20

Negara kesejahteraan, pada dasarnya,mengacu pada peran negara yang aktif dalammengelola dan mengorganisasi perekonomian

yang di dalamnya mencakup tanggung jawabnegara untuk menjamin ketersediaanpelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkattertentu bagi warganya. Secara umum, suatunegara bisa digolongkan sebagai negarakesejahteraan jika mempunyai empat pilarutama, yaitu : (1) social citizenship; (2) fulldemocracy; (3) modern industrial relation system;(4) rights to education and the expansion of modernmass education systems.21

Negara kesejahteraan berusahamembebaskan warganya dari ketergantunganpada mekanisme pasar untuk mendapatkankesejahteraan (dekomodifikasi) denganmenjadikannya sebagai hak setiap warga yangdapat diperoleh melalui perangkat kebijakansosial yang disediakan oleh negara.22

Seperti yang awalnya diamati oleh Titmuss(1958) dan kemudian diperkuat oleh Esping-Andersen (1990), negara tidak selamanyamenjadi aktor utama dalam penyediaankesejahteraan. Esping-Andersenmentipologikan varian-varian rezimkesejahteraan atas rezim kesejahteraan liberal,sosial demokrat, dan konservatif. Terlihatbahwa peran negara dalam negarakesejahteraan paling kuat dijumpai pada rezimkesejahteraan sosial demokrat yang memilikitingkat demodifikasi tinggi serta ikatan haksosial yang universal.23

Berdasarkan tipologi rezim kesejahteraantersebut, Esping-Andersen (1999) membaginegara kesejahteraan ke dalam tiga bentukyaitu :24

Residual welfare state; yang meliputinegara seperti Australia, Kanada,

17 Ibid.18 Ibid.19 Isbandi Rukminto Adi, ibid., hal. 122.20 Holil Sulaiman, Dinamika dan Cita-Cita Kesejahteraan Sosial

di Negara Industri Maju (NIM), 1982, hal. 4.21 Esping-Andersen (1990, 1999) sebagaimana dikutip oleh

Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi NegaraKesejahteraan (Jakarta, Perkumpulan Prakarsa : 2007), hal. 9.

22 Ibid.23 Ibid., hal. 14.24 Ibid., hal. 15.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM29

Page 30: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

30

Selandia Baru, dan Amerika Serikat,dengan basis rezim kesejahteraanliberal dan dicirikan dengan jaminansosial yang terbatas pada kelompoktarget yang selektif serta dorongan yangkuat bagi pasar untuk menguruspelayanan publik.Universalist welfare state; yang meliputinegara seperti Denmark, Finlandia,Norwegia, Swedia, dan Belanda,dengan basis rezim kesejahteraan sosialdemokrat dan dicirikan dengancakupan jaminan sosial yang universaldan kelompok target yang luas sertatingkat dekomodifikasi yang ekstensif.Social insurance welfare state, yangmeliputi negara seperti Austria, Belgia,Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyoldengan basis rezim kesejahteraankonservatif dan dicirikan dengansistem jaminan sosial yangtersegmentasi serta peran pentingkeluarga sebagai penyedia pasokkesejahteraan.

Ajaran-ajaran agama telah memberikanbasis etis yang kuat bagi perkembangan konsepnegara kesejahteraan. Esping-Andersenmenengarai kuatnya pengaruh doktrin sosialKatolik dalam rezim kesejahteraan konservatif.Pengaruh ini bisa dilacak dari teks-teks ajaransosial gereja yang dikeluarkan sejak abadkesembilan belas. Rerum Novarum (Hal-halBaru) tentang Keadaan Kaum Buruh, yangmerupakan teks ensiklik Paus Leo XII padatahun 1891, merupakan teks yang dinilaimempunyai pengaruh besar bagiberkembangnya sistem jaminan sosial di Eropapada abad kedua puluh. Ia merupakanrespons gereja terhadap perkembangan sosialterkini yang terjadi setelah revolusi industri diEropa, khususnya terhadap menguatnyasosialisme dan kecenderungan pertentanganantar kelas sosial. Teks tersebut secara eksplisitjuga menunjukkan bagaimana negara harusberperan. Di antara butir-butir kebijakan

tersebut adalah :25

“...tugas utama para penguasa ialahmengerahkan seluruh sistem perundangan danlembaga-lembaga untuk memberikan bantuan padaumumnya maupun kepada golongan-golongankhas. Termasuk kepemimpinan negaramengusahakan agar struktur maupun fungsiadministratif negara meningkatkan kesejahteraanumum maupun perseorangan...karena itupemerintah harus bercampur tangan bilakepentingan umum atau kepentingan kelompokkhusus dirugikan atau terancam bahaya, asalmemang itulah satu-satunya jalan untuk mencegahatau menyingkirkan kejahatan...”.

Dalam hubungannya dengan social securityzakat adalah bagian dari instrumenketerjaminan sosial yang berasal dari institusiagama. Keterjaminan sosial (social security)adalah tindakan publik, termasuk yangdilakukan oleh masyarakat, untuk melindungikaum miskin dan lemah dari perubahan yangmerugikan dalam standar hidup, sehinggamereka memiliki standar hidup yang dapatditerima (The World Bank Research Observer,1991).26

Danny Pieters menyebutkan bahwaketerjaminan sosial adalah : the compilation ofbenefits in cash and in kind, including services,granted to some persons. The arrangement asgranting protection against the insecurity resultingfrom the risks related to the ascent of the industrialsociety and its development or, in short, againstsocial risk.”27

Instrumen yang terkait denganketerjaminan sosial adalah jaminan pekerjaandan pendapatan, serta beberapa instrumenkebijakan formal, seperti asistensi, asuransisosial dan tunjangan keluarga. Keterjaminansosial bukan untuk melindungi kaum kayatetapi untuk memberikan efek insentif. Dalamstudi ILO (International Labour

25 Ibid., hal. 16 – 17.26 Tim CRESCENT, Menuju Masyarakat Mandiri, hal. 18.27 Danny Pieters, Social Security : An Introduction to the Basic

Principles (Netherland, Kluwer Law International : 2006),hal. 2.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM30

Page 31: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

31

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Organization) 1984, digambarkan ada tigatahap evolusi keterjaminan sosial, yaitu :28

1. Sumbangan/derma dari kaum kayayang disediakan untuk para fakirmiskin, tetapi kondisi dan stigma kerasyang ditetapkan sering tidak dapatditerima.

2. Skema asuransi sosial dikembangkanberdasarkan suatu kewajiban premiyang diberikan pada peserta berupapensiun dan pembayaran masa sakit.

3. Konsep pencegahan dengan tujuanuntuk menjaga dan meningkatkankualitas hidup.

Pengelolaan Zakat Di Negara-Negara Tetangga

Pengelolaan zakat, infak, sedekah danwakaf di Singapura tak satupun dikelolaperorangan. Semua dikelola secara korporat.Jumlah muslim di Singapura sekitar 500 ribujiwa, alias 15% dari total penduduk. Pembayarzakat rutin berjumlah 170 ribu orang. Di luarzakat, dihimpun juga sedekah untukpendidikan madrasah dan pembangunanmasjid. Di samping melalui rekening bank,pembayaran dapat dilakukan di 28 masjid diseluruh Singapura. Tahun 2003, totalpenghimpunan zakat, infak dan sedekah (ZIS)berjumlah S$ 13 juta. Dari jumlah tersebutdisalurkan untuk semua mustahik sekitar S$12.3 juta. Tahun 2004 meningkat jadi S$ 14.5.juta. Dari laporan Majelis Ugama IslamSingapura (MUIS), hak amil tahun 2004tercatat S$ 1.5. juta, alias Rp 8.9 miliar.

Dari awal hingga pengelolaan itu sukses,pemerintah Singapura tak tergoda ikutcampur. Banyak pekerjaan yang harusdikerjakan pemerintah daripada ikut-ikutanmengurusi ZIS dan wakaf yang terbukti telahmampu dikelola warganya. Dana ZISmerupakan sumbangan warga muslim yanglangsung membantu menangani kemiskinandan kebodohan. Pemerintah Singapura pun

sadar bahwa sesuatu yang telah berjalan baiktak perlu diutak atik. Jika memangmanfaatnya besar dan tidak mengganggustabilitas negara, mengapa harus diatur lagidengan peraturan dan undang-undang. Carapandang pemerintah seperti inimemperlihatkan kualitasnya. Bahwa birokrasidi Singapura berjalan profesional dilandasikarakter entrepreneur yang kuat. Birokrasidemikian tak gegabah menghakimi danmenempatkan pihak yang berhasil mengelolaZIS dan wakaf sebagai pesaing.29

Selain minimnya campur tangan negara,komunitas muslim di Singapura telahmenjelmakan dirinya sebagai civil society yangaktif. Ismail Ibrahim dan Elinah Abdullahmengungkapkan sebagai berikut :30

The Malay / muslim community inSingapore has kept faith with the Singaporestate, with its promise of good education, equalopportunities based on merit and better livingconditions. Although faced with the prospectof economic, political and social difficulties inthe early 1960s, Malay/ Muslims who weregenerally located in the rural areas hasdemonstrated high level of communityactivism. This was evidenced by theproliferation of mutual help organization inthe area of communal life, education, religiouslearning, and social and welfare programmes.These traditional organizations such as thekhairat or mutual-help organizations, and themadrasah or religious schools were foundedon community ties and religious obligationsthat mobilized especially the better educatedand more successful members of thecommunity to improve its general well-being…in the areas of social and welfare

28 Tim CRESCENT, Ibid., hal. 19.29 Erie Sudewo, Kebijakan Perzakatan : Kita dan Negeri Tetangga,

dalam Politik ZISWAF Kumpulan Esai (Jakarta, CID dan UIPress : 2008), hal. 169.

30 Ismail Ibrahim and Elinah Abdullah, The Singapore Malay/Muslim Community : Civic Traditions in a Multiracial andMulticultural Society in Gillian Koh and Ooi Giok Ling,et.al.,State Society Relations in Singapore (Singapore, OxfordUniversity Press : 2000), hal. 54 – 55.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM31

Page 32: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

32

programmes, badan khairat were formed toassist the poor, orphans and the disadvantaged.

Sementara itu di Malaysia, dalam halzakat, pemerintah Malaysia ternyatamendukung penghimpunan zakat yangdilakukan oleh murni swasta. Posisipemerintah sendiri hanya fasilitator danpenanggung jawab. Menariknya lagi,pemerintah (saat itu di bawah PerdanaMenteri Mahathir Mohammad) takmenempatkan zakat sebagai komponenpenting dalam membasmi kemiskinan. Dalamwilayah penyelenggaraan, pengelolaan zakat diMalaysia ditempatkan dalam Majelis AgamaIslam (MAI). Koordinasi MAI ada dalamkementerian non departemen. Peran danfungsi menteri non departemen membuatlembaga strategis yang bertanggung jawablangsung pada Perdana Menteri. Darikementerian MAI ini, lahir terobosan yangamat inovatif yaitu Pusat Pungutan Zakat(PPZ) dan Tabung Haji (TH). Karena hanyaada di Malaysia, dua lembaga itu kini jadirujukan beberapa negara di luar Malaysia.31

Tabung Haji di Malaysia bahkan telahmenjadi bagian dari social security scheme dinegara tersebut “..in addition to the aboveschemes, there is also a Pilgramage Fund (TabungHaji) which has been set up to enableaccummulation of savings to enable MuslimMalaysians to go on Haj (pilgrimage), and a unittrust (ASD) for the Bumiputera community, whichprovides social security services for the members.”32

Pusat Pungutan Zakat (PPZ) resmiberoperasi pada 1 Januari 1991 di KualaLumpur. Namun ide dan gagasan PPZ telahdimulai sejak Mei 1989. Gagasan tersebut lahirdipantik oleh keresahan tak berkembangnyapengelolaan zakat di Malaysia. Penghimpunanzakat dan infak lemah. Sesuatu yang amatlumrah akibat kurangnya pegawai, sistem yanglemah dan kampanye sosialisasi zakat yang takpernah dilakukan. Dari sejumlah tujuan PPZ,ada dua hal yang menarik. Pertama, model inimenyenangkan pembayaran zakat. Kedua,

mengenalkan cara korporat dalam urusanmarketing dan teknologi berbasis komputer.Ternyata kiat-kiat marketing dan posisi PPZyang murni swasta, merangsang negeri-negeribagian lain di Malaysia mencontohnya. Kini,selain Wilayah Persekutuan di Kuala Lumpur,PPZ yang independen berdiri sendiri jugatumbuh di lima negeri yaitu Melaka, Pahang,Selangor, Pulau Pinang, dan Negeri Sembilan.Selebihnya, yakni delapan negeri yang lain,masih menggabungkan fungsi penghimpunandalam tubuh Baitul Maal (BM). Di Malaysiazakat tidak dikelola secara nasional (federal).Ke empat belas negara bagian (state) diMalaysia, masing-masing diberi hak mengelolazakatnya.33

Dalam hal pengelolaan zakat ini, adaempat kebijakan pemerintah Malaysia yangdapat dicatat. Pertama, pemerintah merestuistatus hukum dan posisi PPZ sebagaiperusahaan murni yang khusus menghimpundana zakat. Kedua, mengizinkan PPZmengambil 12.5% dari total kutipan zakatsetiap tahun, untuk membayar gaji pegawaidan biaya operasional. Ketiga, pemerintahmenetapkan zakat menjadi pengurang pajak.Dan keempat, pemerintahpunmenganggarkan dana guna membantukegiatan BM dalam membasmi kemiskinan.34

Peran Negara Dalam PengelolaanZakat Di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? ErieSudewo memandang bahwa masih adasebagian penduduk Indonesia yang tidakmeyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakatharus didasarkan pada keikhlasan. Tidakikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal diIndonesia. Fakir miskinnya banyak. Sementarasebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu

31 Ibid., hal. 171.32 Mukul G. Asher, Social Security in Malaysia and Singapore,

Practices, Issues and Reform Directions (Kualalumpur, ISISMalaysia : 1994) hal. 12.

33 Erie Sudewo, op.cit,. hal. 172.34 Ibid., hal. 178.

isi.pmd 8/20/2008, 11:03 AM32

Page 33: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

33

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

wajib. Padahal zakat bukan hanya wajib,namun telah ditetapkan sebagai salah saturukun Islam. Zakat tak bisa dikembalikankepada pribadi masing-masing. Fikih zakat takboleh dibiarkan mengambang. Tak bisa zakattergantung pada kebaikan hati dan moralmuzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, statusnyadari fikih individu diangkat menjadi fikihkemasyarakatan (ekonomi politik dan sosial).Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akanterhimpun besar. Cara lain agar zakatterhimpun besar adalah dengan menerapkanzakat mengurangi pajak. Ini kebijakan yanghanya negara yang dapat melakukan.Sementara masyarakat melalui berbagai ormasdan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedarmengadvokasi. Ada manfaat lain dengankebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni statusfikih individu zakat, dengan segera terdongkrakjadi fiqih kemasyarakatan.35

Dalam penghimpunan zakat, adaperbedaan metode yang berkembang diIndonesia dan Malaysia, Singapura, danBrunei Darussalam. Di negeri-negeri jiran ini,penghimpunan cenderung terkoordinasi danterarah. Tampak sekali pertumbuhannya darimasa ke masa. Singapura dan BruneiDarussalam tampaknya punya model serupa,sama-sama terkoordinasi di bawah majelisagama Islam. Sedang Malaysia punya duacorak berbeda. Ada yang menggunakan PPZkhusus untuk menghimpun zakat saja dan adajuga yang menggunakan BM (Baitul Maal)guna menghimpun sekaligusmendayagunakan.36

Sebaliknya, di Indonesia peran negaradalam pengelolaan zakat cenderung bersifattarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaanzakat. Kebijakan kesejahteraan sosial secaraumum juga bersifat demikian. Pada masapemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid(Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan duadepartemen yaitu Departemen Sosial (Depsos)dan Departemen Penerangan (Deppen). GuruBesar FISIP UI, Alwi Dahlan37, menyebutkan

bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarahRepublik Indonesia, dua dari 12 departemenyang sejak awal tercantum dalam AturanTambahan Undang-Undang Dasar 1945,tidak lagi terdapat dalam strukturpemerintahan.

Pembubaran departemen itumenimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra.Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudahtidak sesuai dengan semangat perkembanganzaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidakefisien, dan hanya memperberat bebananggaran negara. Pengendalian danpembinaan oleh Deppen (DepartemenPenerangan) seperti selama ini, misalnya,bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudahbertentangan dengan kemerdekaan pers.Suatu masyarakat yang demokratis, sepertiterlihat di negara maju, tidak memerlukandepartemen semacam itu. Masyarakat harusdiberdayakan agar mampu mengembangkanpendapat dan mencari informasinya sendiri,tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nadayang sama Depsos dikatakan tidak efektif,tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dandianggap hanya membagi santunan ataumengurus izin undian).38

Terkait dengan pembubaran DepartemenSosial (Depsos), Holil Sulaiman berpendapatbahwa masalah sosial tidak bisa diserahkanbegitu saja pada masyarakat. Harus adalembaga negara yang ikut menanganinya,seperti yang diamanatkan pasal 34 UUD1945. Sementara itu Sumintoberpendapat pembubaran Depsos itu samasaja dengan pelecehan profesi pekerja sosial.Sudah selayaknya pemerintah memikirkansuatu lembaga yang bersifat operasional untukmenggantikan Depsos.39

Berdasarkan paradigma kesejahteraan35 Ibid., hal. 185.36 Ibid., hal. 187.37 Alwi Dahlan, Implikasi Pembubaran Departemen

Penerangan, Senin, 1 November 1999.38 Ibid.39 "Gagal, Serah Terima Jabatan di Depsos”, artikel pada Harian

KOMPAS, 3 November 1999.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM33

Page 34: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

34

sosial, langkah pembubaran DepartemenSosial oleh pemerintahan Gus Durmenyiratkan bahwa ia memilih paradigmakesejahteraan sosial residual. Negara berperansecara minimalis. Negara berperan dalamkesejahteraan sosial masyarakat hanya ketikainstitusi-institusi lain seperti keluarga dan pasar(market system) mengalami kegagalan. Namunapakah negara Indonesia memang pantasmenganut paradigma kesejahteraan sosialresidual ?

Sejatinya, sejak awal pendirian Negara RI,tak jelas memilih pendekatan kesejahteraansosial yang mana. Maka, sulit juga untukmenyebut Negara RI sebagai negarakesejahteraan (welfare state).

Akan halnya pada Undang-Undang Dasar1945 amandemen 4 menyebutkan bahwa :

Pasal 23(A): Pajak dan pungutan lain yang

bersifat memaksa untuk keperluannegara diatur dengan undang-undang.

Pasal.34(1) Fakir miskin dan anak-anak

telantar dipelihara oleh negara.(2) Negara mengembangkan sistim

jaminan sosial bagi seluruh rakyatdan memberdayakan masyarakatyang lemah dan tidak mampusesuai dengan martabatkemanusiaan.

(3) Negara bertanggungjawab ataspenyediaan fasilitas pelayanankesehatan dan fasilitas pelayananumum yang layak.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenaipelaksanaan pasal ini diatur dalamundang-undang.

Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4UUD 45, zakat dapat diatur dengan Undang-Undang sejauh bersifat memaksa untukkeperluan negara. Masalahnya adalah apakahzakat termasuk kategori ‘pungutan lain yang

bersifat memaksa untuk keperluan negara?`,hal ini tentu akan menimbulkan debatberkepanjangan. Karena sesuai dengan suratAt-Taubah ayat 60, zakat dibagikan kepadadelapan golongan (asnaf). Apakah negaratermasuk delapan golongan, atau memilikiperan sebagai amil yang berwenangmengumpulkan dan membagikan zakatkepada delapan golongan?

Kemudian, terkait dengan Pasal 34amandemen 4 UUD 45 disebutkan pada ayat(2) bahwa negara mengembangkan sistemjaminan sosial bagi seluruh rakyat danmemberdayakan masyarakat yang lemah dantidak mampu sesuai dengan martabatkemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat,Undang-Undang Sistem Jaminan SosialNasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 takmenyebutkan zakat sebagai salah satukomponen jaminan sosial. Undang-Undangini hanya mengatur seputar jaminan sosialyang terkait dengan asuransi sosial sepertijaminan kesehatan, jaminan terhadapkecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminanpensiun dan jaminan terhadap kematian.

Sebaliknya, apabila zakat dianggap sebagaiinstrumen agama yang merupakan bagian dariibadah dari umat Islam, berlaku pasal-pasalsebagai berikut :

Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memelukagama dan beribadat menurut agamanya,memilih pendidikan dan pengajaran, memilihpekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilihtempat tinggal di wilayah negara, danmeninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal.29(1) Negara berdasar atas Ketuhanan

Yang Maha Esa.(2) Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untukmemeluk agamanya masing- masingdan untuk beribadat menurutagamanya dan kepercayaannya itu

Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut,pengumpulan dan penyaluran zakat harus

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM34

Page 35: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

35

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

dikembalikan kepada setiap orang dan setiaporang memiliki kebebasan untuk melakukanpengumpulan dan penyaluran zakat atas dasarkeyakinan ibadahnya.

Hal ini yang antara lain mendasari UUNo. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakatdi mana pemerintah mengelola zakat melaluiBadan Amil Zakat (Pasal 6), namun jugamembuka ruang bagi masyarakat untuk turutmengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat(pasal 7).

Francis Fukuyama (2005) dalam bukunyaState-Building : Governance and World Order inthe 21st Century, menunjukkan bahwapengurangan peran negara dalam hal-hal yangmemang merupakan fungsinya hanya akanmenimbulkan problematika baru. Bukanhanya memperparah kemiskinan dankesenjangan sosial, melainkan pula menyulutkonflik sosial dan perang sipil yang memintakorban jutaan jiwa. Artinya Fukuyamamengatakan bahwa negara harus diperkuat.Kesejahteraan menurut Fukuyama tidakmungkin tercapai tanpa hadirnya negara yangkuat, yang mampu menjalankan perannyasecara efektif. Begitu pula sebaliknya, negarayang kuat tidak akan bertahan lama jika tidakmampu menciptakan kesejahteraanwarganya.40

Pentingnya penguatan negara ini terutamasangat signifikan dalam konteks kebijakansosial. Negara adalah institusi yang palingabsah yang memiliki kewenangan menarikpajak dari rakyat, dan karenanya palingberkewajiban menyediakan pelayanan sosialdasar bagi warganya. Benar negara bukanlahsatu-satunya aktor yang dapatmenyelenggarakan pelayanan sosial.Masyarakat, dunia usaha dan bahkanlembaga-lembaga kemanusiaan internasionalmemiliki peran penting dalam penyelenggaraanpelayanan sosial. Namun, sebagai salah satubentuk kebijakan sosial dan public goods,pelayanan sosial tidak dapat dan tidak bolehdiserahkan begitu saja kepada masyarakat dan

pihak swasta. Oleh karena itu, dalam kontekskebijakan sosial yang berkeadilan, perannegara dan masyarakat tidak dalam posisi yangparadoksal melainkan dua posisi yangbersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen danperan negara dalam pelayanan sosialseharusnya diperkuat dan bukannyadiperlemah seperti diusulkan kaumneoliberalisme pemuja pasar bebas41.

Terkait dengan peran negara dalampengelolaan zakat, Muhammad HashimKamali menyebutkan bahwa :42 Islam proposesa welfare state as is evident from the overallemphasis in the Qur‘an and Sunna on helping thehelpless, the needy and the poor. As a pilla or thefaith, zakat is prescribed in the Qur‘an with thespecific purposes of ensuring necessary socialassistance. Satisfaction of the basic requirementsof those who are in need. Muslims, or other, is oneof the main purposes for which state revenues,whether from zakat or other taxes and charities,are to be expanded. The Prophet himself as headof state clearly indicated that the state iscommitted to this purpose.

Pendapat Francis Fukuyuma(sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto) danjuga Muhammad Hashim Kamali,menyiratkan bahwa peran negara dalamkesejahteraan sosial, termasuk dalampengelolaan zakat memang harus dominan.Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarahdari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan parakhalifah yang memang mengelola langsungzakat dari masyarakat.

Permasalahan kemudian adalah,Indonesia bukanlah negara Islam kendatipenduduknya mayoritas muslim yang bahkanberjumlah terbesar di dunia. Dasar negara

40 Edi Suharto, Islam dan Negara Kesejahteraan, makalahdisampaikan pada pengkaderan Ikatan MahasiswaMuhammadiyah, Jakarta 18 Januari 2008.

41 Ibid.42 Mohammad Hashim Kamali, The Islamic State and Its

Constitution in Sharia Law and the Modern Nation-State, abook based on the papers and discussion at Sisters in IslamFirst Symposium on the Modern Nation State and Islam,1994.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM35

Page 36: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

36

Indonesia juga bukanlah Islam kendatipemerintahannya mayoritas dipimpin olehumat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakahhukumnya wajib menyerahkan pengelolaanzakat sepenuhnya kepada penguasa / negara?Muhammad Rasyid Ridha menafsirkanbahwa ketika pemerintahannya adalahpemerintahan Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yangamanah maka pengelolaan zakat sepenuhnyaberada di tangan negara. Namun ketikapemerintahannya bukan pemerintahan Islamkendati pemimpin-pemimpinnya muslim makaketentuan tersebut tidak berlaku secaraotomatis.43

PenutupBerdasarkan uraian di atas, secara legal

dan konstitusional negara Indonesia tidakmemiliki kewenangan secara mutlak untukmengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 danberbagai macam perundang-undangan tidakmenyebutkan secara eksplisit bahwa negaraadalah satu-satunya penyelenggara zakat.

Secara praktek kesejahteraan sosial yangdilakukan Negara RI selama ini, tidak jugamenunjukkan bahwa Negara RI adalah negarakesejahteraan (welfare state) yang telahmelaksanakannya kewajibannya secara penuhuntuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnyaapakah dengan pendekatan institusionalataupun developmental.

Yang terjadi selama ini adalahketidakjelasan dan tarik ulur kebijakan danimplementasi kesejahteraan sosial. Maka,ketika ada upaya amandemen UU No. 38tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yangmeletakkan negara sebagai satu-satunyainstitusi yang berwenang mengelola zakat,maka sungguh tidak jelas apa pijakan filosofis,yuridis, maupun sosiologisnya.

Satu-satunya pijakan sentralisasipengelolaan zakat pada negara adalah praktekyang dicontohkan Rasulullah SAW dan parakhalifah yang mengumpulkan dan mengelola

zakat dalam kapasitas sebagai penguasa.Namun hal inipun tak dapat dijadikanpijakan utama, karena ada khalifah sepertiUtsman bin Affan yang mengelola zakat secarapartisipatif. Antara lain dengan memberikanpeluang pendistribusian zakat oleh paramuzakki langsung kepada para mustahik-nya.

Tambahan lagi, Indonesia bukanlahnegara Islam dan tidak berkonstitusi Islamkendati pemimpinnya mayoritas Islam, makasentralisasi zakat oleh negara tidak otomatisdapat dilakukan.

Jalan tengah yang baik, menurut penulis,adalah seperti apa yang dikemukakan oleh EdiSuharto, bahwa dalam konteks kebijakansosial yang berkeadilan, peran negara danmasyarakat tidak dalam posisi yang paradoksalmelainkan dua posisi yang bersinergi. Benar,bahwa peran negara dalam pelayanan sosialseharusnya diperkuat dan bukannyadiperlemah seperti diusulkan kaumneoliberalisme pemuja pasar bebas danbahwasanya negara adalah pengembankewajiban utama dalam pelayanan sosial,namun rakyat juga harus diberi ruang untukturut berpartisipasi dalam pelayanan sosial,apalagi ketika terbukti negara tak mampumengemban peran dan kewajiban tersebut.Terkait dengan pengelolaan zakat, modelpelayanan zakat ala Singapura dan Malaysiayang menyuguhkan kolaborasi yang cukupbaik antara negara dan masyarakat dapatmenjadi salah satu rujukan.

43 Sayyid Sabiq, op.cit.

:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM36

Page 37: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

37

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

D i era reformasi dan demokratisasiseperti sekarang ini peranmasyarakat sipil (civil society) dalam

pembangunan nasional semakin terlihat. Halini dibuktikan dengan semakin banyaknyaorganisasi masyarakat sipil yang tumbuh, besardan mendapat kepercayaan dari masyarakat.Seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),termasuk di dalamnya Lembaga Amil Zakat(LAZ).

Semangat mengumpulkan zakat, infak dansedekah masyarakat Indonesia bukan hanyaterlihat setelah terbitnya UU No.38 tahun1999, namun jauh sebelum UU itu lahir sudahada beberapa lembaga zakat masyarakat yangbergerak mengumpulkan zakat, seperti BaitulMaal Ummat Islam (Bamuis) BNI (berdiritahun 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah(YDSF) berdiri tahun 1987, Dompet Dhuafaberdiri tahun 1993.

Menurut Ketua Umum Forum Zakat(FOZ) Hamy Wahjunianto, sebagai organisasiyang berbasis masyarakat, lembaga zakatdengan kesadarannya sendiri telahmengumpulkan zakat, infak dan sedekah dariwarga kemudian mengelolanya sesuaiprogram-program yang dirancang. “Bukankahupaya yang dilakukan lembaga zakat inimerupakan partisipasi positif yang perludidukung?,” tandas Hamy menanggapi

LIN

TAS

ELEM

ENMengapresiasi BangkitnyaCivil Society

Dalam Pengelolaan Zakat diIndonesia

Ketika partisipasi masyarakat mulai meningkat, maka peran negara dalam mengaturkehidupan masyarakat harus dikurangi. Begitu juga dalam hal pengelolaan zakat. Padasaat kepercayaan masyarakat sudah tumbuh dengan baik kepada Lembaga Amil Zakat(LAZ), semestinya LAZ diberi ruang gerak yang lebih luas lagi. Jangan malah dibelenggu.

rencana pemerintah yang inginmenggabungkan keberadaan lembaga zakatswasta ke dalam lembaga zakat pemerintah.“Mereka (Bamuis BNI, YDSF, DD red) sudahlahir jauh sebelum UU PZ ini ada,” imbuhmantan Direktur Utama YDSF itu.

Ia menambahkan kepercayaan publikterhadap lembaga zakat yang dibentukmasyarakat atau sering disebut Lembaga AmilZakat (LAZ) jauh lebih kuat dibandingkanlembaga zakat yang dibentuk pemerintah atauyang sering disebut Badan Amil Zakat (BAZ).Hal tersebut dibuktikan denganpenghimpunan zakat, infak dan sedekah olehLAZ jauh lebih besar dibandingpenghimpunan oleh BAZ. Jumlah donaturdan muzakki di LAZ juga semakin jugasemakin banyak. “Nah, jika kemudian LAZdigabung dengan BAZ, apakah bisa menjaminpara donatur dan muzakki yang selama inimenyalurkan zakatnya ke LAZ tetap maumenyalurkan zakatnya,” tandas Hamy.

Dalam sistem ekonomi Islam, Hamymengakui zakat dapat berperan sebagaidistribusi kapital bagi masyarakat. Denganpendistribusian zakat dari muzakki kemustahik, berarti terjadi proses distribusiuntuk pemerataan sumber daya ekonomi.“Sumber daya dari muzaki kepada mustahikakan membantu kehidupan si miskin sehingga

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM37

Page 38: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

38

mendorong pertumbuhan ekonomi,”tambahnya. Dengan demikian, zakatmemerlukan sistem dan instrumen yang dapatmengatur pengelolaanya. Karena itu, Hamytidak menafikan peran negara dan masyarakatdalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah,dimana keduanya menjadi bagian yang tidakbisa dipisahkan.

“Agar fungsi tersebut dapat berjalandengan baik, caranya bukan lalumenggabungkan LAZ kepada BAZ pada waktusekarang ini. Tapi memberi ruang gerak yangleluasa kepada LAZ dulu. Sementara itu perludibentuk satu badan lagi yang berfungsi sebagailembaga regulator zakat, sama seperti fungsiBI (Bank Indonesia) dalam perbankannasional,” katanya sembari menambahkanuntuk penyatuan lembaga zakat memangpenting dilakukan, namun hal itu harusmelalui tahapan-tahapan terlebih dahulu danperlu menyiapkan infrastrukturnya. Setelahtahapan dilalui, baru penyatuan lembagazakat itu dilakukan. “Dalam arsitektur zakatIndonesia yang disusun FOZ, kira-kira tahun2018 hal itu baru bisa diwujudkan,”tambahnya.

Oleh karenanya, lanjut Hamy, ada hal yanglebih mendasar bagi pengelolaan zakat kedepan yang perlu disiapkan dibandingkanterburu-buru menggabungkan LAZ kepadaBAZ. Pertama, mendorong terbentuknyalembaga regulator dan pengawas, kedua,pentingnya membuat standarisasi mutulembaga zakat. Ketiga, membuat standarisasikeuangan zakat.

Senada dengan pendapat Hamydisampaikan oleh tim penyusun RUU ZakatKomisi VIII DPR RI, Rohani Budi Prihatin.Budi menegaskan kondisi yang paling ideal bagipengelolaan zakat di masa yang akan datangadalah mendorong pemerintah atau negaramenjadi regulator. “Peran regulator danpengawas tidak dimainkan oleh Depag, tapioleh Lembaga Pemerintah Non Departemen(LPND). Dan pemerintah sendiri jangan

sampai menjadi operator,” tandasnya.Sementara operator (penghimpun dan

pengelola zakat) dipegang oleh masyarakatatau civil society. Dengan pengaturan sepertiini berarti ada keleluasaan bagi lembaga zakatyang dibentuk masyarakat sipil, tapi harusdiingat bahwa dia harus bertanggung jawabdengan apa yang dia lakukan. “Lembaga zakatdiatur sedemikian rupa, diawasi seketatmungkin, dihukum seberat mungkin jika salahatau melanggar, bahkan harus dibubarkan jikamenyeleweng,” tegas Budi sembarimenyampaikan bahwa tim penyusun RUUZakat di Komisi VIII telah membuat beberapamodel simulasi. Tim menilai contoh simulaiyang paling ideal adalah seperti yangdisampaikan tadi.

Keberadaan lembaga zakat yang dibentukmasyarakat sipil diakui Budi sudah adasebelum UU No.38/99 lahir. Oleh karenanyatim menganggap tidak boleh meninggalkansejarah. “Kita tidak mungkin a historis,”ujarnya. Tapi nyatanya keberadaan BAZ(pemerintah) masih belum maksimal. Olehkarenanya Budi menegaskan kebangkitan civilsociety dalam pengelolaan zakat harus dihargaisetinggi-tingginya. “LAZ harus kitapertimbangkan betul keberadaannya, karenakeberadaan LAZ merupakan kebangkitan civilsociety di masyarakat kita,” imbuh Budimengingatkan bahwa sejak tahun 1980 mulaimuncul tren yang berkembang di masyarakatkita bahwa peran negara harus dikurangiseminimal mungkin bagi kehidupanbermasyarakat, ketika masyarakat sudah bisamengatur dirinya sendiri. “Kalau masyarakatsudah bisa mengatur dirinya sendiri kenapanegara masih ikut campur tanganmengaturnya,” tegas Budi

Hanya Menguatkan KeuanganNegara

Ada kelemahan yang ditemukan timpenyusun RUU Zakat Komisi VIII DPR RIketika LAZ dimerger ke BAZ. Salah satu

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM38

Page 39: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

39

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

kelemahan yang paling mendasar adalahmasalah dana zakat, infak dan sedekah yangdihimpun BAZ. “Jika zakat, infak dan sedekah(ZIS) dikumpulkan di BAZ, maka danatersebut akan menjadi bagian daripada APBN,berarti kita akan menguatkan keuangannegara,” urainya. Sementara kita tidak dapatmenyalurkan dana zakat yang terkumpul itusecara leluasa apabila BAZ itu menjadi bagiandari pemerintah.

Hal ini sesuai isi UU No.17 tahun 2003yang menyebutkan bahwa seluruh dana yangterkait dengan penerimaan uang maka harusmasuk ke dalam APBN (AnggaranPendapatan dan Belanja Negara). Dengandemikian apabila mengikuti pendapat inimaka tidak bisa leluasa memanfaatkan danazakat untuk program-program yang dirancanglembaga zakat. Karena tergantung pembagiandari pusat.

Di samping itu, kata Budi, jika LAZdimerger ke BAZ (artinya BAZ adalah bagiandari pemerintah) maka muncul kekhawatirandi lingkungan komisi VIII sendiri. Pertama,adanya kekhawatiran dari golongan nasionalis.Masih ada beberapa fraksi yang khawatirsekaligus menolak jika UU ini hanyadikhususkan bagi umat Islam saja. Kedua,adanya penolakan dari golongan yang phobiaterhadap masuknya institusi keagamaan kedalam sistem kenegaraan. Ketiga, penolakandari golongan yang mengatakan bahwainstitusi Islam tidak boleh masuk ke dalamsistem kenegaraan.

Memperhatikan kekhawatiran itu, timmengambil jalan tengah yakni mendorongoptimalisasi fungsi Baznas (Badan Amil ZakatNasional) dan Bazda (Badan Amil ZakatDaerah) menjadi pengawas dan regulator, atausemacam BI (Bank Indonesia)-nya. “Timmengusulkan ada lembaga pemerintah nondepartemen, namanya Badan KoordinasiPengelolaan Zakat (BKPZ),” kata Budi.Sementara Depag adalah bagian dari BKPZitu.

Ke depan, ketika kelembagaan zakat sudahmapan dan tertata dengan baik, Budimengakui penyatuan lembaga zakat adalahyang paling ideal. “Karena seperti itulah tujuanakhir kita bersama.” Namun ia mengingatkanbahwa jika tujuan akhir itu mau dicapaisekarang ini, maka keinginan itu terlalu dini.“Sama seperti usia kehamilan yang belumsampai sembilan bulan sudah disuruhmelahirkan. Jadi sebaiknya nanti sajalah kalausudah usianya mencapai sembilan bulan,” ujarBudi.

Pendapat berbeda disampaikan olehMukhtar Zarkasyi. Ketua tim amandemenUUPZ yang dibentuk Departemen Agama inimengatakan sejak awal pengelolaan zakat diIndonesia diarahkan hanya dikelola olehBadan Amil Zakat (BAZ / lembaga yangdibentuk pemerintah). Karena hal itu sejalandengan perintah Allah di dalam Surat AtTaubah ayat 103. “Tujuan agar zakat dikelolaoleh negara adalah agar pengumpulan,pendistribusian dan pendayagunaannyadapat berjalan dengan efektif, efisien dan dapatmewujudkan kesejahteraan sosail sebagaimanaamanat UUD 1945,” kata Mukhtar.

Jadi sebenarnya LAZ yang dikehendakioleh UU No.38 Tahun 1999 hanyalah LAZyang berasal dari ormas-ormasi Islam.“Sebenarnya lahirnya LAZ yang begitu banyakseperti sekarang ini tidak dikehendaki olehundang-undang. Kesalahan Menteri Agamajuga (waktu itu Said Agil Munawar, red) yangmalah mengukuhkan Laznas-Laznas,” imbuhMukhtar yang juga ketua tim penyusunan UUNo.38 tahun 1999.

Oleh karenanya sampai sekarang Mukhtartetap konsisten mempertahankanpendapatnya bahwa lahirnya puluhanlembaga amil zakat sebenarnya tidak sesuaisemangat awal disusunnya UU No.38 tahun1999.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM39

Page 40: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

40

Akomodir Unsur MasyarakatMukhtar juga membantah jika rencana

penyatuan LAZ ke dalam BAZ, sebagaimanayang disebutkan di dalam rancanganamandemen, berarti tidak mengakomodirketerlibatan masyarakat. “Tidak benar itu(tidak melibatkan unsur masyarakat, red).Justru kita akan mengajak komponenmasyarakat masuk ke dalam struktur BAZ,”bantah Mukhtar.

Apa yang diusulkan tim amandemenmenurut Mukhtar adalah sesuai denganperintah Allah agar mengangkat petugas zakatdi daerah-daerah yang dikuasainya.Sebagaimana perintah yang diberikan kepadaNabi. “Perintah Allah kepada Nabi bunyinyaseperti itu,” tandasnya. Kalau tidak adapenguasa atau pemerintah yang mengurusikepentingan umat, lanjut Mukhtar, barulahmasyarakat Islam setempat yang mengurusikepentingan mereka sendiri denganmengangkat petugas zakat di antara merekasendiri.

Rancangan amandemen UUPZ yangdisusun Depag bertujuan untuk menatapengelolaan zakat ke depan agar lebih baikdibandingkan sekarang. Masih lemahnyastruktur keorganisasian akan dapat diatasidengan penyatuan LAZ ke dalam BAZ.“Walaupun nantinya badan amil zakatdiangkat oleh pemerintah sesuai tingkatannyaakan tetapi dalam operasionalnya, semuaBadan Amil Zakat mempunyai hubunganhirarki,” terang Mukhtar. Begitu juga dalamhal menentukan komposisi pengurus BAZ.Bahwa Badan Amil Zakat terdiri unsurmasyarakat dan pemerintah yang memenuhipersyaratan tertentu.

Mukhtar mengajak umat Islam agar pascapenolakan pembentukan Bazis Nasional olehPresiden Soeharto pada tahun 1992 dankuatnya paham sekuler pada saat itu menjadipelajaran penting bagi umat Islam Indonesiasaat ini. Oleh karenanya ia mohon keikhlasanhati supaya bergabung bersama dalam wadah

tunggal pengelolaan zakat. “Saya mohonkeikhlasan umat Islam, mari bergabung dalamwadah tunggal Badan Amil Zakat yangdibentuk pemerintah, karena hal itulah yangsesuai perintah Allah,” pinta Mukhtar.

Dilandasi Niat BaikApa yang dikatakan Mukhtar didukung

oleh Direktur Pengembangan Zakat Depag,Nasrun Haroen. Ia berpendapat bahwapengelolaan zakat ke depan harus ditanganioleh pemerintah. Banyaknya lembaga zakatsaat ini membuat pemerintah sulit untukmelakukan pengawasan. Oleh karena itu harusdisatukan. Sebenarnya di dalam penyatuanlembaga zakat itu tidak ada niat lain kecualiniat baik melakukan penataan zakat secarabaik dan benar. “Ide ini (penyatuan, red)bertujuan agar penghimpunan danpengelolaan zakat di Indonesia bisa berjalanterpadu,” ujarnya sambil menyebutkanpengelolaan zakat saat ini terpencar-pencarakibatnya potensi zakat tidak kelihatan.

Lebih lanjut Nasrun menambahkanpraktek pengelolan zakat di negara yangpenduduknya mayoritas muslim zakatnyadikelola negara. “Di negara-negara Islam danmayoritas muslim seperti negara di TimurTengah, semua dikelola oleh negara,” kata dia.Sebab penanganan zakat oleh negara akandapat membantu masyarakat kurang mampusecara lebih baik.

Apabila zakat dikelola secara baik danterpadu, maka pemerintah juga mudahmembuat kebijakan dan peraturan terkaitzakat yang bertujuan untuk pengembanganzakat ke depan. Misalnya zakat pengurangpajak.

Punya Kelemahan dan KelebihanSementara Ketua Umum Baznas (Badan

Amil Zakat Nasional) Didin Hafidhuddinmendukung penataan zakat ke depan sepertiyang disampaikan Nasrun. Bahwa apa yangdilakukan pemerintah bertujuan baik. “Saya

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM40

Page 41: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

41

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

yakin penyatuan itu tujuannya baik,” ujarDidin. Namun idealnya ke depan pengelolaanzakat di Indonesia tetap harus mengakomodirkeberadaan BAZ dan LAZ. Sebab keduanyasama-sama mempunyai kelemahan dankelebihan.

“Dua-duanya mempunyai kelemahan dankelebihan. Keberadaan LAZ memunculkankesadaran masyarakat membayar zakatsemakin kuat. Sedangkan BAZ (pemerintah,red) juga mempunyai kekuatan yangmengikat,” terang Didin. Kalau seandainyazakat hanya dikelola oleh negara maka jugatidak baik karena masyarakat cenderung masabodoh.

Oleh karenanya Didin mengusulkan baikLAZ maupun BAZ keduanya bisa dipadukan.“Unsur negara penting, unsur masyarakat jugapenting,” tandasnya. Artinya di sini harus adapembagian peran antara pemerintah danmasyarakat. Pemerintah bertindak sebagaipengatur dan pengawas sekaligus juga memberiizin atas terbentuknya LAZ. Unsur pemerintahdirepresentasikan oleh Baznas. “Baznas bisadidorong memerankan peran seperti itu.Sekaligus dibiayai oleh negara,” imbuh Didin.

Didin menyampaikan bahwa niat untukmenyatukan lembaga zakat di Indonesia yangdigagas oleh tim amandemen tidak lain kecualiagar pengelolaan zakat bisa berhasil lebihtransparan dan lebih memudahkan. Begitu

juga konsep yang diusulkan oleh masyarakatatau oleh DPR juga sama-sama baik.“Keduanya saya kira sama baiknya,”. Sebabkonsep seperti itu sama-sama ingin supayakepercayaan masyarakat terhadap lembagazakat agar semakin kuat.

Oleh karena itu menurut Didin perluditarik benang hijau. “Bukan benang merah.Artinya harus dua-duanya dapat berperan.Keduanya harus saling memahami. Kalaumasing-masing berjalan sendiri-sendiri makatidak akan pernah ketemu,”. Dengan caraseperti itu Didin yakin tidak ada masalah yangmendasar lagi di kemudian hari.

Didin juga sepakat bahwa keberadaan LAZharus dibatasi. Jangan seperti sekarang ini. LAZbanyak dan berjalan sendiri-sendiri.“Semuanya berjalan sendiri-sendiri, makanyaharus disinergikan,” tegasnya. Wilayah garapanLAZ juga harus ditentukan jangan sampairebutan. Keberadaan Bazda juga harusdisatukan ke dalam satu komando dan satuhirarki. Bahkan akan lebih baik jika unsurmasyarakat juga dilibatkan di dalamkepengurusan Bazda.

Dengan cara demikian maka pengelolaanzakat ke depan akan lebih baik. Sehinggapotensi zakat yang besar akan tergali secaraoptimal. Sementara akan semakin banyakmasyarakat miskin yang kesejahteraannyasemakin meningkat. [z]

:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM41

Page 42: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

42

1. Pendahuluan

“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu membersihkan (darikekikiran dan cinta berlebihan kepada harta)

dan menyucikan (menyuburkan sifat-sifat kebaikandalam hati) mereka dan berdoalah untuk mereka.Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah MahaMendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. AtTaubah : 103)

Arti ayat di atas menjelaskan bahwa zakatitu diambil (dijemput) dari orang-orang yangberkewajiban untuk berzakat (muzakki) untukkemudian diberikan kepada mereka yangberhak menerimanya (mustahik).

Dalam khazanah hukum Islam, yangbertugas mengambil dan yang menjemputzakat adalah para petugas zakat (amil).Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam /pemerintah) untuk mengambil, menuliskan,menghitung, dan mencatat atas harta zakat

Fenomena Unik Di BalikMenjamurnya

Lembaga Amil Zakat (LAZ)Di Indonesia

Adiwarman A. Karim dan A. Azhar Syarief

AbstrakTulisan ini merupakan bentuk apresiasi atas menjamurnya institusi zakat di tanah air.Fenomena unik itu kami coba analisa melalui kajian dan analisis yang bersifat argumentatifyang ditunjang dengan studi literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan ini diawalidengan memberikan sedikit kilas balik sejarah amil zakat pada masa Rasulullah SAWserta tradisi pengelolaan zakat yang dilakukan masyarakat Indonesia sejak zamankemerdekaan hingga Orde Baru. Inti dari tulisan ini adalah kajian mengenai fenomenaunik yang mengakibatkan menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia dalambeberapa kurun waktu terakhir ini. Fenomena itu dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktorpendorong (push-factor) dan faktor penarik (pull-factor).

yang diambil dari para muzakki untukkemudian diberikan kepada yang berhakmenerimanya.

Amil zakat adalah profesi yang mulia,sebagaimana posisi nabi, ulama atau ulil amri(pemerintah). Karena profesi mulianya itu,Allah SWT mencantumkan namanya didalam Al Qur’an. Kemuliaan amil bukansekedar ia menjadi perpanjangan tangan dariAllah SWT untuk mengelola amanah orangberiman, namun amil juga menjadi mediatercapainya keharmonisan antara si kaya(muzakki) dengan si miskin (mustahik) denganmenjadi mediator bagi sirkulasi zakat darimuzakki kepada mustahik.

Harta yang dimiliki, pada hakikatnyaadalah milik Allah SWT. Allah-lah yangkemudian melimpahkan amanah kepada parapemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkanzakatnya. Di sinilah sikap amanah dipupuk,sebab seorang muslim dituntutmenyampaikan amanah kepada ahlinya. Sikapamanah, tidak hanya tumbuh dalam diriorang yang berzakat, tetapi juga pada para

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM42

Page 43: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

43

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

petugas atau amil zakat. Yakni dalam membagidan menyalurkan seluruh harta zakat kepadayang berhak. Dahulu, dalam hal operasionalzakat, Rasulullah SAW dan para sahabatnyamenerapkan seleksi ketat dalam memilih paraamil zakat. Kriteria sifat standar yang dipegangRasulullah SAW dan para sahabatnya,pertama adalah orang yang benar-benarmemiliki sifat amanah, mengerti permasalahandan kehidupannya mencukupi. RasulullahSAW bahkan memberi motivasi kepada paraamil zakat dalam sabdanya, “Amil sedekah(zakat) yang melakukan tugasnya dengan ikhlasdan semata karena Allah, ia laksana orang yangberperang di jalan Allah, sampai ia kembalilagi ke rumahnya.” (HR. Ahmad).

Pada masa Rasulullah SAW yang diangkatmenjadi amil zakat adalah Baginda Umar binKhattab ra. Rasulullah SAW juga pernahmempekerjakan seorang pemuda dari SukuAsad, yang bernama Ibnu Lutaibah untukmengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliaujuga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib keYaman untuk menjadi amil zakat. Selain Alibin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernahmengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang disamping bertugas sebagai da’i (mendakwahkanIslam secara umum), juga mempunyai tugaskhusus menjadi amil zakat.

Ketika Umar menjadi khalifah, beliaumengangkat Ibnus Sa’dy Al-Maliki sebagaipengumpul zakat. Hal ini diriwayatkan olehBusr bin Sa’ied dari Ibnus Sa’dy Al-Maliki,yang berkata, ‘’Umar pernah mengangkat akuuntuk mengurus zakat (amil). Ketika usaipekerjaanku dan aku laporkan kepadanya,maka dia kemudian mengirimi aku upah. Makaaku katakan, ‘Sungguh, aku melakukan tugasini karena Allah.’ Maka Umar berkata,‘Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu.Aku dulu juga pernah menjadi amil RasulullahSAW, dan beliau memberi upah untuk tugasitu. Ketika aku katakan kepada beliau sepertiyang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAWberkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak

kau pinta, maka makanlah dansedekahkanlah.’” (HR Al-Bukhari danMuslim).

Sejarah perjalanan profesi amil zakat telahditorehkan berabad-abad silam. Dan telahdicontohkan oleh Rasulullah SAW dan parasahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiranamil zakat telah digagas sejak 13 abad yangsilam. Saat Islam mulai masuk ke buminusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangitanah air yang membentang dari Aceh hinggaPapua. Setahap demi setahap masyarakat diberbagai daerah mulai mengenal, memahamidan akhirnya mempraktekkan Islam. Namundalam perjalanan yang telah melewati masaberabad-abad tersebut, praktek pengelolaanzakat masih dilakukan dengan sangatsederhana dan alamiah. Setelah melewati fasepengelolaan zakat secara individual, sebagaikaum muslimin di Indonesia menyadariperlunya peningkatan kualitas pengelolaanzakat. Masyarakat mulai merasakan perlunyalembaga pengelola zakat, infak dan sedekah.Dorongan untuk melembagakan pengelolaanzakat ini terus menguat. Keinginan yang kuatini mengkristal dengan disampaikannya saranoleh sebelas ulama tingkat nasional kepadaPresiden Soeharto pada tanggal 24 September1968.1

Pada saat itu, musyawarah sebelas ulamanasional di antaranya Prof. Dr. Hamka danKH Moh. Syukri Ghazali, mengeluarkanrekomendasi yang isinya antara lain ; perlunyapengelola zakat dengan sistem administrasi dantata usaha yang baik, sehingga bisadipertanggungjawabkan pengumpulan danpendayagunaanya kepada masyarakat.

Awal tahun 1968, pada “Seminar Zakat”yang diselenggarakan lembaga Research danWork Shop Fakultas Ekonomi UniversitasMuhammadiyah di Jakarta, untuk kalipertama Presiden Soeharto mengimbaumasyarakat untuk melaksanakan zakat secarakonkret.1 Sumber : www.dsniamanah.or.id

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM43

Page 44: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

44

Dalam pidatonya Presiden Soehartoberpesan, “Saya ingin memulai lagi bahwapengumpulan zakat secara besar-besaran yangsaya serukan itu, saya maksudkan sebagaiajakan seorang muslim untuk mengamalkansecara konkret ajaran-ajaran Islam bagikemajuan umat Islam khususnya danmasyarakat Indonesia pada umumnya (PemdaDKI, Pedoman 1992 :109).

Pada acara Isra’ Mi’raj di Istana Negara,26 Oktober 1968, Presiden menegaskankesediaannya menjadi amil tingkat nasional.Seruan tersebut disusul dengandikeluarkannya surat perintah Presiden No.07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober1968. Isinya, mengamanatkan kepada MayjenAlamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf. Drs.Azwar Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untukmembantu Presiden dalam proses administrasidan tata usaha penerimaan zakat secaranasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjutioleh Gubernur DKI Jakarta denganmendirikan Bazis DKI. Juga Bazis-Bazis daeraholeh kepala daerah masing-masing.2

Selanjutnya, untuk lebih menguatkan danmengembangkan keberadaan lembagapengelola zakat, akhirnya dikeluarkanInstruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun1989 tentang Pembinaan Zakat dan Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan denganKeputusan bersama Menteri Agama danMenteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun1991. Dan saat ini, payung tertinggi tersebuttercantum dalam UU No. 38/1999 tentangPengelolaan Zakat.

2. Fenomena Menjamurnya2. Fenomena Menjamurnya2. Fenomena Menjamurnya2. Fenomena Menjamurnya2. Fenomena MenjamurnyaLAZ Di IndonesiaLAZ Di IndonesiaLAZ Di IndonesiaLAZ Di IndonesiaLAZ Di Indonesia

Pengelolaan zakat di tanah air akhir-akhirini sebenarnya menyimpan benih penguatansistem sosial masyarakat menuju civil society.3

Ini diindikasikan dengan lahirnya LembagaAmil zakat (LAZ) dengan program-programkemanusiaan. Mereka hadir bukan sekedartrend ikut-ikutan atas sebuah euphoria,

namun ada cita-cita luhur atas fenomena itu.Semangat untuk memberikan yang terbaik

bagi masyarakat melalui program usahaproduktif, yang terbukti mampu melapangkanbeban masyarakat akibat himpitan ekonomi.Hal itu takkan mungkin terjadi tanpa adanyakebaikan dan kesadaran hati para muzakkiyang ditopang oleh amil yang profesional,amanah, dan akuntabel. Dalam pengelolaanzakat modern, amil memiliki posisi yang sangatpenting dalam mengemas program-programatau produk yang berdayaguna bagi mustahik.

2.1 Faktor Penarik (Pull Factor)A. Semangat Menyadarkan Umat

(Spirit of Consciousness)Salah satu keunikan LAZ di Indonesia saat

ini adalah para amil mau tidak mau harusmenjadi motor dalam penyadaran umat ataspenting dan perlunya berzakat. Hal ini tidaklahberlebihan, karena sebenarnya idealnyapenyadaran umat ini menjadi tugas negaramelalui ketetapan hukum negara (jika sistempemerintahannya mengadopsi sistempemerintahan Islam yang mewajibkan bagimasyarakatnya untuk berzakat), namun halitu tidak dilakukan di Indonesia karenaIndonesia bukanlah negara Islam yang bisamemaksa bahkan memerangi bagi mereka yangmembangkang karena tidak mau membayarzakat.

Oleh karena itu jika otoritas negara tidakdalam posisi untuk melakukannya, maka paraamil dan da’i yang memahami pentingnyaberzakat bagi pemberdayaan umat, harusmenjadi motor penggerak dalam penyadaranini. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa LAZyang ada di Indonesia dalam mempromosikanzakat, infak dan sedekah. Dalam sosialisasinya,para amil bukan sekedar mengingatkan akankewajiban berzakat sebagai suatu ketetapan

2 Aya Hasna, Tabloid Suara Islam, Edisi 08. sumber : www.suaraislam.com

3 Muchtar Sadili, Relevansi Zakat Terhadap Civil Society.Sumber: www.republika.co.id

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM44

Page 45: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

45

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

syariat yang harus dipatuhi, namun jugabanyak kebaikan–kebaikan bagi lain bagimereka yang mengeluarkan zakat, infak dansedekah dan orang yang menerimanya.

Berdasarkan survei PIRAC, bahwa tingkatkesadaran muzakki di Indonesia masihtergolong rendah, hanya 55%. Hal ini masihsangat kecil karena kesadaran itu belumtermasuk kemauan muzakki untuk membayarzakat. Dari 55% itu, yang mau membayarzakat tidak sampai 100%, tapi hanya 95,5%.4

Fenomena ini memang perlu menjadicatatan bagi para amil dan semua pihak yangpeduli akan zakat dalam menyadarkanmasyarakat. Umumnya di beberapa LAZ,biaya promosi zakat, infak dan sedekah diambildari dana infak dan sedekah atau sponsor.Kalaupun terpaksa harus mengambil porsidana zakat itupun tidak boleh melebihi 12,5%dari total zakat yang diterima (karena biayapromosi zakat dalam konteks ini masuk dalamtanggung jawab amil).

Fenomena ‘unik’ inilah yang terjadi dalampengembangan zakat di negeri kita. Meskipunpengembangannya terkadang harus bottom-up,namun dengan keikhlasan dan semangatmenyadarkan umat, membuat LAZ seakanpantang menyerah demi hadirnya civil societydi negeri ini.

B. Semangat Melayani SecaraProfesional (Spirit of ProfessionalServices)

Bayangkan bila seorang amil dapat bekerjasecara sangat profesional. Yang akan munculsetelah itu adalah timbulnya kepercayaanterhadap LAZ. Kepercayaan yang tinggiterhadap lembaga yang dikelola secaraprofesional pada gilirannya akan membuatgairah tersendiri dalam menyalurkan zakatbagi para muzakki. Efek jangka panjangnyaadalah kemampuan menghimpun potensizakat umat Islam yang luar biasa besar itu.Selanjutnya, bila zakat berhasil dikumpulkandengan baik, dan berhasil dikelola dengan

penuh amanah, maka persoalan klasik umatyang selama ini tak kunjung selesai, yaknihubungan harmonis si kaya dan si miskin akandapat dijawab dengan baik.

Saat ini, bayangan itu semakin mendekatikenyataan. Namun, sekali lagi, harapan luhuritu tak akan terjadi bila amil tidak memilikiprofesionalisme. Ada beberapa persyaratanLAZ dapat dikatakan profesional, yaitu : 5

1. Memiliki kompetensi formal2. Komitmen tinggi menekuni pekerjaan3. Meningkatkan diri melalui asosiasi4. Bersedia meningkatkan kompetensi5. Patuh pada etika profesi6. Memperoleh imbalan yang layak

Syarat profesionalisme di atas bukanlahsatu hal yang mutlak, namun itu bisa menjadiparameter akan profesionalisme LAZ itusendiri. Forum Zakat (FOZ) sendiri dalamkeputusan Munas-nya telah membuat kodeetik profesi amil zakat. Hal ini tentunyamemperketat penyaringan bagi pelakupengelola zakat. Belum lagi sarana pelatihanformal maupun non-formal yang menjamurdi beberapa daerah. Membuktikan bahwazakat merupakan potensi umat yang harusdigarap secara profesional.

Semangat melayani secara profesional initergambar dari kepuasan muzakki ataspelayanan yang diberikan beberapa amil zakat.Dengan transparansi pelaporan danpenyaluran yang tepat sasaran, serta program-program unik dalam pemberdayaanmasyarakat membuat muzakki merasa puasdan semakin gemar untuk berzakat. Meskipunsemangat profesionalisme crew zakat itu masihdidominasi oleh LAZ – LAZ besar, seperti

4 Survei “Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Berzakat”, akhir2007. sumber : PIRAC, survei dilakukan melibatkan 2000responden di 11 kota besar, diantaranya Medan, DKI Jakarta,Bandung, Semarang, Pontianak, dan Makasar.

5 M. Akhyar Adnan, Menuju Amil Zakat Profesional. Sumber:www.republika.co.id

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM45

Page 46: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

46

Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia,DPU-DT, YDSF, Al Azhar, dan LAZ besarlainnya.

Menjamurnya LAZ pada beberapa kurunwaktu terakhir ini, menunjukkan setiap pihakingin memberikan yang terbaik bagipengembangan masyarakat dengan carameningkatkan profesionalismenya denganberkaca pada LAZ – LAZ yang telah lebih dulusukses mengelola dana umat. Jika kinerja LAZ- LAZ besar itu bisa dipertahankan dandikembangkan, serta LAZ – LAZ yang lain bisamengikuti tingkat profesionalisme mereka,bukan tidak mungkin potensi zakat sebesar Rp20 triliun bisa tergarap secara maksimal.

C. Semangat Berinovasi MembantuMustahik (Spirit of Inovation)

Kemajuan sebuah lembaga akanbergantung pada inovasi. Ini juga berlaku padaLAZ. Tanpa inovasi, lembaga ini hanya akanberkutat pada pekerjaan yang sama dari waktuke waktu. Oleh karena itu, idealnya LAZmemiliki orang-orang yang inovatif dalammenemukan peluang sekecil apapun dalammemberdayakan masyarakat yangmembutuhkan.

Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyakmemiliki program-program unik dalammemikat hati muzakki. Program unik inilahyang membuat muzakki luluh hatinyamenyerahkan dananya kepada LAZ itu.Ambillah contoh Dompet Dhuafa denganWarung Ukhuwah-nya, DPU-DT denganMisykat-nya, Rumah Zakat Indonesia denganSuperQurban-nya, dan program unik laindari LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya.Hal itu semuanya berujung pada semangatLAZ dalam memberdayakan umat.

Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagaikeunikan tersendiri, karena tidak semua LAZdi negara-negara lain bisa berkreasi sedemikianrupa seperti halnya terjadi di Indonesia.Mungkin seandainya pemerintah turutcampur tangan terhadap seluruh pengelolaan

zakat, infak dan sedekah (ZIS), mungkininovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kitatidak seinovatif dan sekreatif saat ini.

D. Semangat MemberdayakanMasyarakat (Spirit of Empowering)

Yang patut disyukuri oleh kita saat iniadalah masih banyaknya orang-orang yangpeduli terhadap derita yang dialami olehlingkungan sekitar kita. Saking besarnyakepedulian itu, maka munculnya LAZ dibeberapa daerah, di masjid-masjid, bahkan dilembaga pemerintah / swasta bagaikancendawan yang tumbuh di musim hujan.

Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi. Berartinegeri ini telah membantah kalau nilai sosialmasyarakatnya telah luntur dan hilangkepedulian. Namun di sisi lain, menjamurnyaLAZ bisa menimbulkan inefisiensi pengelolaandan penyaluran dana zakat, infak dansedekah. Oleh karena itu, pentingnya fungsikoordinatif, konsultatif, dan informatif dalampenghimpunan dan penyaluran dana harusdilakukan oleh badan yang diakui oleh seluruhLAZ dan otoritas negara. Alhamdulillah UUNo. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakatmengatur fungsi ini melalui BAZ (Badan Amilzakat) yang ada di tiap-tiap tingkatan wilayah.

2.2. Faktor Pendorong (PushFactor)

A. Potensi Penghimpunan Dana ZakatYang Besar (Huge Market Potential)

PIRAC (Public Interest Research andAdvocacy Center) dalam rilis hasil surveinyamengatakan potensi dana zakat di Indonesia,yang populasinya sekitar 87 persen muslim,sangat besar hingga mencapai 9,09 triliunrupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64triliun dibanding tahun 2004 yang potensinyahanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda denganPIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensizakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun pertahun. Namun dari jumlah itu, yang tergalibaru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM46

Page 47: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

47

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

asumsi tahun 2006).Berapapun nilainya, yang pasti itu

bukanlah angka yang kecil. Jika semua danaitu bisa terkumpul dan dikelola oleh lembagayang profesional dalam skim penyaluran yangproduktif, maka bisa dibayangkan besarnyamanfaat yang diperoleh masyarakat kurangmampu agar bisa bangkit dariketerpurukannya. Yang mulanya sebagaimustahik dalam beberapa tahun mungkinsudah bisa menjadi muzakki.

Dibandingkan dengan negara lain,Indonesia memiliki keunikan sebagai negaradengan populasi muslim terbesar di dunia.Keunikan lainnya, budaya Indonesia dikenalsebagai budaya yang memiliki tenggang rasa,berjiwa sosial tinggi, dan peduli terhadapsesama.

B. Regulasi Yang Mulai Mendukung(Friendly Regulation)

Ketika kran reformasi bergulir, regulasimengenai pengelolaan zakat menemukanmomentumnya. Jika sebelumnya ketentuantentang pengelolaan zakat hanya diatur dengankeputusan dan instruksi menteri, akhirnyaberkat perjuangan para ulama dan praktisizakat, Indonesia memiliki payung hukum lebihtinggi dalam pengelolaan zakat yaitu UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,tepat pada tanggal 23 September 1999 di erakepemimpinan Presiden B.J. Habibie.

Beberapa poin penting UU ini diantaranya adalah terimplementasinya regulasizakat sebagai pengurang pajak, adanyastandarisasi profesi amil, serta kejelasan fungsikoordinasi antar pengelola zakat. Denganadanya payung hukum ini, niscaya akanmenjadi angin segar dalam pengembanganpengelolaan zakat ke depan.

C. Infrastruktur IT Yang Menunjang (ITInfrastructure)

Dalam penjabaran Rencana Strategis2005–2009, Direktorat Pemberdayaan Zakat

Departemen Agama telah berupayamelakukan program-program yang bersifatmendorong dan memfasilitasi pemberdayaanzakat. Salah satunya adalah denganmembangun sistem informasi zakat nasionalyang berbasis teknologi informasi sehinggadapat diketahui data base mustahik danmuzakki secara menyeluruh serta hasilpenghimpunan dan penyaluran zakat, infakdan sedekah dapat dimonitor setiap saat.6

LAZ – LAZ besar di Indonesia saat inimenjadi besar karena menggunakaninfrastruktur IT yang memadai. Semakincanggih mereka menggunakan infrastrukturteknologi informasi (IT), maka semakin efisienLAZ mengumpulkan dana dari para muzakkidan semakin mudah menyimpan datapenerima zakat, data wilayah penerima zakat,data wilayah binaan lembaga zakat (kalau ada),data lembaga yang mendapat dukungan daridana zakat, data wajib zakat, dan lain-lain.

Untuk funding zakat, saat ini beberapa LAZmenerapkan IT dalam operasionalnya antaralain muzakki dapat membayar zakat via SMS(short message service) melalui registrasi,muzakki bisa menghitung zakatnya via internet,muzakki dapat memperoleh informasimengenai laporan penggunaan dana zakatnyavia internet, dan lain-lain. Semua mudah dandapat diakses dalam genggaman tangan danrealtime-online.

Namun penerapan teknologi informasiuntuk zakat ini juga bukan tanpa kendala.Kendala yang biasa dihadapi dalam penerapanIT adalah pemborosan biaya dalammembangunnya, sulitnya edukasi sumber dayamanusianya, dan pada saat implementasinya.Ditambah lagi, belum semua instansi pahamakan IT apalagi sampai menerapkannya.Untuk menghindari itu semua, maka perludisusun Rencana Strategis IT atau SistemInformasi untuk keseluruhan lembaga zakat.

6 Sumber : www.bimasislam.depag.go.id

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM47

Page 48: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

48

Yang terpenting adalah LAZ bisabekerjasama dalam hal berbagi data (dalamkonteks penyaluran) dengan yang dimiliki olehLAZ–LAZ lain. Share data ini tujuannyaadalah agar “kerjasama zakat” dapat lebihmudah memetakan bagaimana polapenyebaran zakat yang adil untuk seluruhwilayah Indonesia. Dengan “kerjasama” ini,maka sudah saatnya LAZ bisa saling “virtuallyintegrated” dalam pemberdayaan zakat di erateknologi informasi7.

D. Tingkat Kesadaran Masyarakat YangMakin Meningkat (AwarenessIncreasing)

Menarik jika kita melihat kesadaranmasyarakat yang semakin meningkat terhadappentingnya berzakat. Survei PIRACmelaporkan tingkat kesadaran muzakkimeningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi55% di tahun 2007. Hal ini berarti dalamkurun waktu 3 tahun terjadi peningkatansebesar 5,2% kesadaran berzakat dalammasyarakat, jika 5,2% itu dikalikan denganpopulasi muzakki di Indonesia, maka terdapatlebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akanmenjadi warga sadar zakat. Sedangkan saatini, diperkirakan hanya ada sekitar 12 – 13juta muzakki yang membayar zakat via LAZ,berarti masih ada lebih dari separuh potensizakat yang belum tergarap oleh LAZ.

Fenomena meningkatnya kesadaranmasyarakat ini idealnya bisa memacu semangatpara amil zakat untuk bisa melakukantindakan konkret yang bisa memaksimalkanpenerimaan dan pengelolaan zakat, tentunyadengan melalui koordinasi Badan Amil ZakatNasional (Baznas) & DirektoratPemberdayaan Zakat DEPAG.

Baznas sendiri idealnya bisa meresponlangsung potensi ini denganmengkoordinasikan dan memetakan potensimuzakki yang tersebar di seluruh wilayah negeriini dengan berkoordinasi dengan pemerintahdaerah yang memiliki data base yang lebih valid

tentang keluarga-keluarga muslim yang layakdalam kategori muzakki. Tentunyapendekatan dakwah fardhiyah (personal) antarapetugas amil dengan muzakki harus lebihdigalakkan dalam mengajak calon muzakkiuntuk sadar berzakat.

4. KesimpulanIndonesia adalah negeri yang unik.

Keunikan inilah yang harus disadari olehbangsa ini. Salah satu ‘keunikan’ itu adalahpopulasi muslimnya terbesar di dunia, namunsayangnya potensi zakat sebagai solusi bagipengentasan kemiskinan rakyat belumterberdayakan. Keunikan itu bukan sekedarkeunikan yang bernada satire, tapi ini adalahpeluang besar yang harus dimanfaatkankomponen bangsa ini terhadap sebuah sistemyang digdaya secara konseptual.

Keberadaan LAZ yang pondasinya telahdipikirkan oleh para ulama negarawanterdahulu, merupakan mutiara yang perludiasah agar kembali menjadi cemerlang.Kecemerlangan itu takkan pernah hadir jikasemua komponen bekerja setengah hati untukmenjadikan LAZ sebagai motor penggerakpengentasan kemiskinan yang saat inimenjangkiti masyarakat kita.

Alhamdulillah, rasa syukur ini pantasterucap bukan berarti kita sudah berada padapuncak pengembangan zakat, namun patutlahkita bersyukur karena dalam kurun waktubeberapa terakhir ini LAZ telah menjadifenomena tersendiri terhadap kehidupanmasyarakat kita. Euphoria reformasi,fenomena booming-nya industri keuangansyariah, hingga terbitnya UU PengelolaanZakat telah berhasil mendorongpengembangan LAZ ke arah lebih profesional,transparan, akuntabel, dan terkoordinasi.Meskipun masih ada kekurangan di sana-siniyang perlu dievaluasi lagi, tapi sejauh ini sudahberjalan dengan lebih baik bila dibandingkan7 Hendratno, Urgensi Renstra TI/SI untuk Jaringan Lembaga

Zakat. Sumber : www.hudzaifah.or.id

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM48

Page 49: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

49

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Aya Hasna, Tabloid Suara Islam, Edisi 08.

Hendratno, Urgensi Renstra TI/SI untuk JaringanLembaga Zakat

M. Akhyar Adnan, Menuju Amil Zakat Profesional.

Muchtar Sadili, Relevansi Zakat Terhadap Civil Society.

www.bimasislam.depag.go.idwww.dsniamanah.or.idwww.hudzaifah.or.idwww.suara-islam.comwww.republika.co.id

di era sebelum reformasi.Tinggal bagaimana Baznas sebagai badan

tertinggi pengelolaan zakat tingkat nasionalmampu memaksimalkan perannya sebagaibagian dari amanat UU untuk menjalankanfungsi koordinatif, konsultatif, dan informatifbagi stakeholders zakat tanah air.

DA

FTA

R P

UST

AK

A

:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM49

Page 50: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

50

Membangun KoherensiAntar Sektor :

Filantropi Islam, Agenda Organisasi Sektor Ketigadan Masyarakat Sipil Di Indonesia

Hilman LatiefAbstrakArtikel ini mendiskusikan institusi filantropi Islam di Indonesia dalam perspektif organisasisektor ketiga serta isu-isu yang terkait dengan sektor tersebut. Di tengah tarik menarikkewenangan antara negara dan organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropiIslam di Indonesia, artikel ini menyoroti pentingnya mempertahankan dan memeliharamodal sosial yang sudah dimiliki masyarakat sebagai fondasi penguatan koherensimasyarakat sipil. Penulis menyimpulkan, otoritas negara dalam praktik filantropi Islam,sebagaimana pengalaman beberapa negara lain, tidak selalu berbanding lurus dengankeberhasilan negara tersebut dalam menyediakan sistem kesejahteraan sosial yangmemadai, apalagi bila potensi masyarakat sipil tercerabut dari akarnya. Di tengah‘persaingan’ antara institusi filantropi pemerintah dan swasta yang tetap harus dibangunsecara sehat, artikel ini juga merekomendasikan perlunya model kerjasama dan disseminasiprogram guna memperkuat kapasitas institusi filantropi di beberapa daerah lain di Indonesia.

Kata Kunci: Filantropi, Islam, Sektor Ketiga, Masyarakat Sipil, Indonesia.

PendahuluanC ukup sering kita dihadapkanpertanyaan lembaga manakah yangpaling otoritatif dan kredibel menjadi

penggerak filantropi Islam di Indonesia, danpada tingkatan manakah gerakan filantropiini dapat berperan lebih efektif, negara ataumasyarakat? Terhadap pertanyaan tersebutpenulis ingin mendiskusikan dua hal, yaitu:otoritas dan kredibilitas. Konsep ‘otoritas’banyak terkait dengan persoalan kebijakan,legalitas dan rekognisi dari sebuah lembagaformal seperti negara terhadap organisasi-organisasi filantropi yang ada di masyarakat.Sementara konsep ‘kredibilitas’ mencakupkapasitas organisasi, akuntabilitas, kompetensidan rekognisi dari stakeholders. Di Indonesia,seperti juga di beberapa negara yang lain yangberpenduduk mayoritas Muslim, konsepotoritas dan kredibilitas dalam pengelolaan

filantropi berbasis agama adalah persoalanyang paling sering muncul. Di Indonesia sendiriyang penduduknya mayoritas muslim namunsecara konstitusi tidak mengadopsi Islam secaraeksklusif sebagai dasar negara, gerakanfilantropi juga tengah menjadi perhatianbanyak pihak, antara lain pemerintah danorganisasi filantropi Islam –non pemerintahmaupun ‘quasi-pemerintah’– yang kini tengahbergelut meredefinisi wewenang institusimasing-masing.

Penulis akan menelaah masalah otoritasdan kredibilitas dalam pengorganisasianfilantropi Islam di Indonesia dalam kerangka‘isu-isu sektor ketiga’ yang di dalamnyadielaborasi peran organisasi-organisasimasyarakat sipil / OMS (Civil Society ResourceOrganizations) dan negara. Ada tiga aspek yangakan dibahas dalam tulisan ini, pertamamendiskusikan karakter organisasi sektor

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM50

Page 51: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

51

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

ketiga dalam kaitannya dengan sektor yanglain; kedua penulis akan menarik ke dalamdiskusi tentang modal sosial dan potensimasyarakat sipil dalam pengelolaan filantropiIslam; dan pada bagian berikutnya penulisingin melihat kemungkinan relasi yangdibangun antara institusi filantropi Islam nonpemerintah, ‘semi-pemerintah’ dan negara.

Nomenklatur organisasi umumnya dibagike dalam tiga sektor berbeda namun salingberkelindan. Sektor pertama diwakili organisasibernama negara atau pemerintah (stateagencies) yang bertanggung jawab untukmemberikan perlindungan terhadapmasyarakat melalui berbagai perangkat hukumdan kebijakan. Perangkat tersebut dibentuksebagai mekanisme untuk melindungimasyarakat dari segala jenis kesulitan politik,sosial maupun ekonomi. Adalah hak setiapindividu warga negara untuk mendapatkanmanfaat di wilayah publik (public sector), danadalah kewajiban sebuah negara untukmenyediakan dan menyelenggarakanperangkat tersebut. Sektor kedua adalahinstitusi-institusi swasta yang tujuannya tidaklain dari mengakumulasikan modal danmelakukan pengembangan unit-unit yangbersifat profit. Sesuai dengan wataknya,organisasi di sektor ini beroperasi murnimencari laba dan meningkatkan pendapatanprofit organisasi. Organisasi yang masuk dalamkategori ini antara lain firma atau perusahaanyang dikelola swasta baik dalam skala kecil,menengah maupun besar. Sektor ini disebutjuga private atau corporate sector. Sektor ketigadirepresentasikan oleh organisasi-organisasisosial atau organisasi non-profit. Organisasipada sektor ini bertujuan antara lain untukmemberikan pelayanan (service) ataskebutuhan dasar masyarakat danmenyediakan model pendampingan (advocacy)bagi masyarakat dengan didasarkan padasistem kemandirian (self-reliance). Organisasitipe ini juga berpartisipasi menyertaimasyarakat dalam menciptakan demokrasi

politik, sosial dan ekonomi, dan mendorongsektor pertama –atau bekerjasama dengansektor kedua– untuk melahirkan kebijakanyang pro rakyat. Basis sektor ini bersifatkerelawanan atau semi-kerelawanan dandimotivasi oleh sebuah tata nilai tertentudalam masyarakat (value driven) karena itudisebut juga ‘voluntary sector.’ Organisasi yangmasuk dalam kategori ini biasa disebutorganisasi sosial/masyarakat dan Non-Govermental Organizations (NGOs).

Sejatinya, ketiga jenis organisasi tersebutmemiliki tugas, wewenang dan wilayah garapyang berbeda. Namun faktanya, seiring dengankompleksitas kehidupan masyarakat, ketiganyasering dikontestasikan dalam suatu arena dimana mereka memiliki interest yang sama,misalnya dalam program pemberdayaanmasyarakat, pengentasan kemiskinan, danpemberantasan kebodohan. Pemerintah,swasta, maupun organisasi masyarakatmemiliki hak dan kewenangan untukberpartisipasi dalam memberikan solusiterhadap problem tersebut dengan cara,kewenangan, dan kapasitasnya masing-masing.Setiap negara memiliki kebijakan yang berbedaantara satu sama lain dalam memberikan‘porsi’ kewenangan kepada masing-masingsektor, bergantung kepada karakter ‘ideologi’negara tersebut. Indonesia sendiri memilikikarakter dan pengalaman sosial politik yangberbeda dengan negara-negara lain.

Organisasi dan Agenda SektorKetiga

Sektor ketiga atau voluntary sectormemiliki ciri dan peran yang bervariasi.Beberapa cirinya antara lain: (i) umumnyaberawal dari inisiatif masyarakat baik berasaldari tradisi lokal maupun inspirasi keagamaan;(ii) memiliki tujuan untuk melakukanpeningkatan kesejahteraan masyarakat danberorientasi pada pengembangan programpembangunan; (iii) mempunyai mekanismepenggalangan dana sendiri, bukan sepenuhnya

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM51

Page 52: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

52

berasal dari subsidi negara; (iv) dapat berbasiskerelawanan atau semi kerelawanan.Sementara itu, O’Regan, sebagaimana dikutipGemma Donnelly-Cox mendefinisikan peranorganisasi sektor ketiga sebagai berikut: (i)memberikan pelayanan, yang acap dilakukanmelalui bentuk kerjasama dengan negara; (ii)mengidentifikasi dan memformulasikebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat;(iii) memelihara dan mengubah sistem nilaidalam masyarakat; (iv) memediasi antaraindividu dan negara; (v) menyediakan ruangdan forum bagi individu-individu untukmembangun pranata sosial.1

Organisasi-organisasi yang memilikisebagian ciri dan peran di atas sering puladisebut organisasi nirlaba. Beberapa istilah lainyang sering digunakan dengan cukup baku dibeberapa negara adalah Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM/ LSPM) atau organisasisosial kemasyarakatan yang seringdisepadankan dengan Non-GovernmentalOrganizations (NGOs), Non Profit Organizations(NPOs), People’s Organizations (POs), PrivateVoluntary Organizations (PVOs), Civil SocietyResource Organizations (CSROs), CommunityDevelopment Associations (CDAs), Community-Based Organizations (CBOs), Endowed PrivateFoundations (EPFs), Religious Social Institutions(RSIs), dan sebagainya. Nomenklatur tersebutmuncul karena adanya perbedaan penekananpada masing-masing bentuk programorganisasi, namun secara umum memilikitujuan yang sama.

Persoalan di atas begitu luas cakupannya,sehingga tidak menutup adanya suatukerangka kerjasama antarsektor (cross-sectorprograms) sebagai upaya untuk mengeliminasi‘persaingan’ antarsektor. Organisasi sektorketiga juga memiliki peran perantara, yaitumenjadi jembatan antar sektor dalammerumuskan kepentingan bersama, sertamenjembatani kepentingan masyarakat umumdengan organisasi-organisasi di tiga sektortersebut. Karena peran intermediary yang

dimilikinya,2 keberhasilan organisasi sektorketiga dalam menyelesaikan agenda-agendasosial di atas di antaranya ditentukan oleh‘rekognisi sosial’ dan ‘legitimasi politik’ dariatas dan bawah, pemerintah dan masyarakat.Studi yang dilakukan Marilyn Taylor andDiane tentang organisasi sektor ketiga di Inggrissetidaknya memperkuat asumsi tersebut, “thethird sector organizations carrying social missionsthat somehow get revenues from the government,charity-based financial source, and internationaldonor, need rampant political and social legitimacyfrom government and society respectively.”3

Pernyataan tersebut tidak berartimengeliminasi ‘independensi’ organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sebaliknya, itumenegaskan bahwa pemerintah / negaraadalah aktor pendukung dan partner gerakansosial yang dipelopori organisasi masyarakatsipil (OMS). Di tingkat praktis, umpamanya,kerjasama organisasi masyarakat sipil denganpemerintah dapat dilakukan melalui ‘theprinciple of subsidiarity’,4 sementara kerjasamadengan sektor swasta dapat dilakukan denganberpegang pada model ‘symbiosis mutualism’.5

Pertanyaan yang muncul di benak kitaadalah: Mengapa saat ini bermunculan

1 Gemma Donnelly-Cox, Freda Donoghue, and Treasa Hayes,“Conceptualizing the Third Sector in Ireland, North andSouth,”Voluntas: International Journal of Voluntary andNonprofit Organizations Vol. 12, No. 3, September 2001, hlm.197.

2 Dalam perspektif NGOs di Indoensia, lihat umpamanyaElisabeth E. Sheper, Preventing Deadly Conflict in DividedSocieties in Asia: The Role of NGOs (Ph.D. Dissertation, theNetherlands: Amsterdam Univ., 2003), hlm. 79-80;Muhammad AS Hikam, “Non-Governmental Organizationand the Empowerment of Civil Society,” in Richard W. Bakeret all (eds.), Indonesia: The Challenge of Change (Singapore:ISEAS, 1999) hlm. 219-32.

3 Marilyn Taylor and Diane “Legitimacy and UK Third SectorOrganizations in the Policy Process,” Voluntas: InternationalJournal of Voluntary and Non-Profit Organizations, vol. 14,no. 3 (September 2004), hlm. 321-38.

4 Gemma Donnelly-Cox, Freda Donoghue, and Treasa Hayes,“Conceptualizing the Third Sector, hlm. 198.

5 Pengalaman institusi filantropi sebagai ‘perantara’ antaraperusahaan dan agenda sektor ketiga di Indonesia lihat, HamidAbidin (ed.), Sumbangan Sosial Perusahaan:Profil dan PolaDistribusinya di Indonesia, Survey 226 Perusahaan di 10 Kota(Jakarta: Piramedia, PIRAC & Ford Foundation, 2003).

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM52

Page 53: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

53

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

beragam jenis organisasi masyarakat sipil?Mengapa harus ada organisasi sektor ketiga?Sudah dimafhumi, sebuah gerakan sosial lahirtidak dari vacuum. Begitu pula denganorganisasi-organisasi yang dikategorikanvoluntary sector baik dalam bentuk LSMataupun ormas. Beberapa studi tentanggerakan sosial dan pembangunan (socialmovement and development) menunjukkanbahwa kemunculan OMS di antaranyadidorong oleh kondisi sosial, ekonomi danpolitik di mana negara / pemerintah tidakmampu, kurang berhasrat, lalai, tidak seriusatau banyak keterbatasan dalam menyiapkandan menerapkan program-programpembangunan. Kondisi semacam itu akhirnyamemicu tumbuhnya organisasi-organisasiindependen sebagai respons kolektifmasyarakat. Setidaknya terdapat tiga macambentuk organisasi-organisasi tersebut; (i) iadapat berorientasi pelayanan (service) denganmenyediakan bantuan dan asistensi jangkapendek. Contoh paling konkret dari ini adalahkelompok-kelompok masyarakat yangmenyelenggarakan pelayanan masyarakat(community service) seperti yang dikelola masjid,gereja, dan organisasi masyarakat lainnya; (ii)ia dapat berorientasi pembangunan(‘development NGOs’) yang tidak langsungbersentuhan dengan kebijakan pemerintanamun berusaha menjalankan programpengembangan masyarakat. Dalam organisasiini sustainabilitas program betul-betuldiperhatikan. Program-program organisasidirancang untuk memiliki dampak panjang.Contoh organisasi semacam ini adalah LSM-LSM yang menyediakan kredit mikro danpendampingan ekonomi, pendidikan ataukesehatan. Lembaga filantropi Islam modern,bisanya sudah memiliki ciri ini; (iii) dan yangterakhir adalah organisasi yang berorientasigerakan (‘movement NGOs’) yang lebih bersifatpolitis dan berusaha menggalang kesadaranmasyarakat untuk –misalnya– mendorongterciptanya demokrasi ekonomi, sosial dan

politik. Mereka bukan sekedar inginmemberikan ‘perangkat keras’ kepadamasyarakat bagaimana membangun hiduplebih baik, tetapi juga ‘perangkat lunak’bagaimana masyarakat bisa ‘memaksa’penguasa untuk mengeluarkan kebijakanpopulis. Ini misalnya dilakukan oleh lembaga-lembaga advokasi baik menyangkutlingkungan, hak asasi manusia, ataukemiskinan.6

Fenomena proliferasi organisasi seperti diatas tidak hanya terjadi di Indonesia sebagainegara ‘berkembang’ (‘developing countries’)atau ‘agak maju’ (‘less developed country’) yangkebetulan mayoritas penduduknya muslim,tetapi juga di negara-negara yang lain, sepertiMalaysia, Filipina, Thailand, India, Sri Lankadan beberapa negara lain di Timur Tengah(Libanon, Jordania, Iran Turki). Di EropaBarat dan Amerika Utara yang sering disebut-sebut ‘negara maju’ (developed countries),organisasi-organisasi sektor ketiga masihmemainkan peran cukup besar dalampenguatan masyarakat meskipun dengankapasitas dan corak yang berbeda dengan yangdialami di negara-negara berkembang. DiIndonesia sendiri, inisiatif masyarakat untukmelakukan pengorganisasian diri dalamrangka mengembangkan dan memberdayakandiri telah dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya dengan mendirikan institusi-institusi sosial, baik yang bergerak di bidangpendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial.Beberapa ormas keagamaan sejak awal abadkedua puluh telah memulai rintisan itu. Dikalangan masyarakat muslim, misalnya, telahmulai muncul organisasi-organisasi keagamaanyang menggarap sektor ketiga ini seperti

6 Untuk studi ini, lihat misalnya Bob Haniwinata, The Politicsof NGOs in Indonesia (London & New York: Rutledge Curzon,2003), hlm. 102-4; juga Phillip J. Eldridge, Non-GovernmentOrganizations and Democratic Participation in Indonesia(Oxford: Oxford Univ. Press, 1995), hlm. 36-8; dan KastoriusSinaga, NGOs in Indonesia: A Study of the Role of NonGovernmental Organizations in the Development Process(Verlag fur Entisklungspolitik: Saarbucken, 1995).

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM53

Page 54: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

54

Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad Al-Islamiyyah (1914), Persatuan Islam (1923) danNahdlatul Ulama (1926). Hal yang samaterjadi di kalangan komunitas agama lainnya.Organisasi sosial yang kini sering disebut-sebutsebagai OMS tersebut, bukan saja memberinafas dan darah baru bagi masyarakat untukterlibat dalam pembangunan di luar strukturpemerintahan, tetapi juga menjadi ‘alternatif’ketika kebutuhan masyarakat lebih besardaripada kapasitas yang dimiliki pemerintah.

Penulis melihat bahwa beberapa organisasisektor ketiga telah mengembangkan wilayahgarapnya menjadi lebih luas, meski belumsecara ‘utuh’ memasuki sektor kedua yanglebih bersifat profit. Kini, melalui inisiatifmasyarakat, umpamanya, ribuan sekolah,pesantren, klinik, rumah sakit, dan berbagaisentra ekonomi lainnya telah dioperasikansebagai bentuk evolusi sektor ketiga. Sebagiandari institusi itu ada yang masih menyajikan‘pelayanan’ (cost-centered), sementara sebagianlain mencoba mewujudkannya sebagai profit-centered di mana keuntungan atau laba yangmereka peroleh diinvestasikan kembali untuktujuan sosial, kesenian, dan kebudayaan.Secara umum, bisa kita lihat bahwa misipelayanan dan pendampingan masih menjadielan vital gerakan OMS. Memang, tidak sedikitkritik yang dilontarkan para pengamat bahwainstitusi sosial dan unit profit dari OMS telahmenjadi media penguatan kelompokmasyarakat tertentu saja. Institusi-institusiprofit tersebut, dalam beberapa kasus,menjadi ‘mainan’ dan perekat jaringan kelasmenengah semata di mana kelompok fakir danmiskin yang menjadi segmen awal mereka,hanya menjadi slogan.7 Namun yang jugaharus kita catat adalah bahwa dari kelompokkelas menengah (khususnya kaum profesionaldan terdidik) ini pula, gagasan dan kreasiprogram penguatan di sektor ketiga tetap bisalestari, salah satu contohnya adalahpenguatan institusi filantropi dan LSM.8

Modal Sosial dan FilantropiIslam: Potensi Masyarakat Sipil

Di Indonesia, seperti juga di negara-negaralain, agama menjadi modal sosial yang kuatdalam masyarakat sipil. Ia menjadi perekatindividu-individu dalam sebuah tata nilai yangdiartikulasikan secara kolektif. Agama dalamkonteks sosial dan politik tertentu jugamemberikan kontribusi dalam pembentukanmodal sosial. Sebagaimana keberhasilan prosespenguatan masyarakat sipil yang dipengaruhioleh ‘sikap’ negara, modal sosial berbasisagama pun cukup erat kaitannya dengannegara. Dalam situasi politik tertentu, modalsosial berbasis agama menjadi kuat, tetapisituasi politik yang lain, ia bisa ‘melemah’. Halini bisa dilihat dari hasil observasi ChristopherCandland di empat negara, yaitu Pakistan,Thailand, Sri Lanka, dan Indonesia yangmemiliki konfigurasi keagamaan penduduk‘serupa’, tetapi tidak sama dalammemposisikan agama dan negara.9 Di Pakistandan Indonesia mayoritas penduduknya

7 Lihat misalnya kritik Janine A. Clark tehadap peran dominatifkelas menengah dalam instiusi sosial keagamaan (Islam) danbagaimana sesungguhnya posisi masyarakat kecil (grassroots)diperlakukan. Calrk berkesimpulan bahwa institusi sosial yangada lebih banyak berperan sebagai perekat jaringan kelasmenengah ketimbang memberikan pelayan untuk kaum miskin.Islam, Charity, and Activism: Middle Class Network and SocialWelfare in Egypt, Jordan and Yemen (Bloomington &Indianapolis: Indiana University Press, 2004), hlm. 1-33.

8 Peningkatan jumlah organisasi keagamaan dan LSM secaradramatis mulai terlihat pada masa Orde Baru ketikapeningkatan ekonomi yang bermula pada awal tahun 1970anmengalami stagnasi dan ketidakpastian pada tahun 1980anseiring dengan tidak stabilnya harga minyak bumi.Ketidaksatbilan ini juga, dalam konteks Indonesia, telahmemberi inspirasi bagi sebagian kelompok kelas menengahuntuk tampil ke panggung sosial dna politik,mengkonsolidasikan potensi sosial dan politik mereka yangditandai dengan proliferasi organisasi sosial dan LSM. Lihatmisalnya Robert W. Hefner, “Markets and Justice for MuslimsIndonesians,” in Robert W. Hefner (ed.) Market Culture:Society and Values in the New Asian Capitalism (Singapore:ISEAS, 1998), hlm. 233; Mikaela Nyman, DemocratizingIndonesia: The Challenges of Civil Society in the Era ofReformasi (Denmark: NIAS Press, 2006), hlm. 93-98.

9 Lebih jauh lihat Christopher Candland, “Faith as Social Capital:Religion and Community Development in SoutheastAsia,”Policy Science 33 (2000), 356-8.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM54

Page 55: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

55

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

muslim, namun Islam menjadi ‘agama negara’di Pakistan, tetapi di Indonesia tidak demikian.Sementara itu, di Thailand dan Sri Lankamayoritas penduduknya menganutbuddhisme, tetapi buddhisme dijadikan ‘agamanegara’ di Thailand, dan tidak seperti itu diSri Lanka. Yang menarik dari analisisCandland selanjutnya adalah bahwa adanya‘civic religion’ dalam pengertian agama ‘formalnegara’,10 tidak selalu beiringan dengankeberhasilan program pembangunan berbasisagama (faith-based development) yang dipeloporiOMS. Dalam studi komparatifnya, iamenyimpulkan bahwa di Thailand danPakistan di mana kedua negara tersebutmenitikberatkan pada sebuah agama tertentu(a civic religion), hanya sedikit saja para aktivis,pimpinan LSM, atau kaum professional yangmeyakini bahwa organisasi keagamaan akansecara potensial efektif dalam pengembanganmasyarakat dan perubahan sosial. Hal itudisebabkan bahwa negara dipandang memilikijustifikasi, otoritas dan legitimasi keagamaansendiri untuk mengurusi program-programsosial mereka. Sementara di Indonesia dan SriLanka, ketika suatu agama tidak menjadi‘agama negara’, para aktivis dan penggerakprogram pengembangan komunitasmelaporkan bahwa organisasi-organisasikeagamaan cukup efektif dalampengembangan komunitas dan perubahansosial dan bahwa suatu keyakinan keagamaanmemberikan motivasi yang signifkan dalamaktivitas masyarakat.11

Sekarang, mari kita lihat situasi tersebutdalam konteks pengelolan filantropi berbasisagama di Indonesia. Sejak masa Orde Barusampai pasca reformasi, umat Islam Indonesiamengalami pasang surut dalammendefinisikan hubungan agama dan negara,termasuk dalam wacana dan praktik filantropiIslam. Sejak tahun 1970-an sampaipertengahan 1990-an, pemerintah belummenetapkan satu bentuk rekognisikonstitusional yang jelas. Presiden Soeharto,

secara implisit menginginkan bahwapengelolaan filantropi Islam berada di tanganmasyarakat dan zakat tidak menjadi bagiandari sistem kesejahteraan negara.12 Proses‘negosiasi’ politik itu berujung pada sebuahhasil. Di akhir rezim ini dan pada masapemerintahan Presiden B.J. Habibie, rekognisiyang lebih jelas mulai nampak, yaitu denganmunculnya Undang-Undang Nomor 38Tahun 1999, yang di antaranya menetapkaneksistensi Badan Amil Zakat (BAZ) yang ‘semipemerintah’. Meski demikian, sebagian besargerakan Islamic voluntary sector di Indonesiamasih berada di tangan masyarakat, dikelolaOMS, bukan oleh negara. Sampai batas ini,negara mencoba memperluas perannya darilembaga yang membuat aturan regulasi zakat,infak dan sedekah (ZIS) menjadi lembaga yang—meskipun belum secara eksklusif— dapat

10 Istilah ‘civic religion’ yang digunakan Candland ini memilikimakna lain dari istilah ‘civil religion’ yang digunakan Robert N.Bellah. Yang pertama merujuk kepada agama tertentu yangdijadikan sebagai agama resmi pemerintah, misalnya Islam diPakistan dan Malaysia atau Budha di Thailand; sementara yangkedua merujuk kepada dasar-dasar ajaran agama yang diadopsioleh sebuah negara dan menjadi anutan bersama masyarakattanpa merujuk kepada agama tertentu. Di Indonesia,umpamanya, ‘Pancasila’ dapat dikategorikan ‘civil religion’ danseluruh komunitas agama yang ada di negeri ini dapat merujukkepada Pancasila dalam menjalankan kehidupan sosial danpolitiknya.

11 Lebih jauh is menyimpulkan, “Evidence drawn from the casestudies of the religious associations in four countries, likewise,suggest that relation between religion and the state have astrong influence on the ability of faith-based NGOs togenerate social capital for community development. Seemingy,states that institute a civic religion negatively influence thedegree to which faith-based NGOs development organizationand people with religious convictions are involved in socialchange. Empat organisasi yang dijadikan studi oleh Candlandadalah 1) Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama), sebuahorganisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang jugapernah menjadi partai politik; 2) Jammat-i-Islami yangmerupakan gerakan keagamaan dan politik Islam terbesar diPakistan, The Lanka Jathika Sarvodaya Shramadana Sangamaya(gerakan masyarakat Sri Lanka untuk Kebangkitan Bersamamelalui Sumbangan Buruh) adalah salah satu organisasipengembangan komunitas terbesar di dunia; dan 4) The SantiAsok (Damai tanpa Penderitaan) adalah gerakan komunitaspenganut Budha yang sedang berkembang di Thailand.Christopher Candland, “Faith as Social Capital, hlm. 358.

12 Lihat detail studi Sirojudin Abbas, “The Stuggle forRecognition: Embracing the Islamic Welfare Effort in theIndonesian Welfare System,”Studia Islamika, Vol. 12, No. 1(2005), hlm. 33- 72.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM55

Page 56: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

56

memainkan peran praktis.13

Dari fenomena di atas, dapat kitaperbandingkan antara Indonesia dan Pakistan.Di Pakistan, Islam adalah agama negara. Zakatyang merupakan kewajiban keagamaan danbentuk solidaritas kaum muslim untuk kaumdhu’afa, juga dikelola oleh negara. Peraturantentang zakat dan ushr (pajak penghasilanpenggarapan tanah) tahun 1980 telahmemberikan wewenang kepada aparatpemerintah Pakistan untuk menarik uang2.5% dari dari deposit bank dan hasil usahamasyarakat. Di luar keberhasilannyamendapatkan uang zakat umat denganmudah, fenomena lain justru menunjukkansebaliknya. Dengan masih adanya poladistribusi zakat yang dianggap tidak tepatsasaran, masyarakat juga menunjukkanresistensinya terhadap peraturan negaratersebut, lebih-lebih ketika dana umat ituseringkali ‘dipolitisasi’ oleh komite lokal. Olehkarena itu, adalah fenomena yang lumrah, bilasesaat sebelum Ramadhan terjadi penarikantabungan secara besar-besaran olehmasyarakat (mass wihdrawals from private savingaccount) ketika deduksi zakat dilakukanpemerintah.14 Sementara di Indonesia yangjuga mayoritas muslim, kewajiban zakat masihdibayarkan dengan cara sukarela (voluntary)baik melalui Institusi filantropi Islam nonpemerintah (seperti LAZ) maupun semi-pemerintah (seperti BAZ).

Resistensi serupa juga sempat terjadi diIndonesia. Pada tahun 2005, terjadidemonstrasi yang dilakukan sekitar 4000orang guru dan dilanjutkan dengan aksi mogokmengajar oleh sekitar 1000 orang di antaramereka. Aksi tersebut merupakan satu bentukperlawanan terhadap kebijakan BupatiLombok Timur di Nusa Tenggara Barat yangakan memotong 2,5 persen gaji para gurusebagai zakat profesi. Beberapa mediamelaporkan bahwa para guru tersebuttidaklah menolak zakat, tetapi mereka tidakbisa menerima mekanisme yang diterapkan

pemerintah dalam menarik zakat dan ragudengan kemampuan pengelolaannya (TempoInteraktif , 01 Desember 2005). Kebijakantersebut juga dianggap lemah karena tidakmempertimbangkan secara lebih spesifik danjelas mengenai tingkatan, jabatan dan profesiorang yang wajib bayar zakat profesi di luarpajak.

Dalam konteks inilah kita bisamengungkap kembali apa yang sempatdisampaikan pada bagian awal artikel initentang ‘otoritas’ dan ‘kredibilitas’. Negara disatu sisi, seperti kasus Pakistan punya otoritasatau wewenang konsitusional untuk mengelolaZIS, mulai dari memungut sampaimeredistribusi ; tetapi di sisi yang lain,beberapa kalangan masyarakat meragukankapasitas yang dimiliki pemerintah dalammengelola dana umat seiring dengan kondisisosial dan politik di sekitar mereka. Memang,dalam diskursus keagamaan sering munculpula asumsi bahwa sebuah kewajibankeagamaan tidak terkait dengan masalahsenang atau tidak senang. Tetapi juga kita mustimelihat bahwa kekuatan dari masyarakat sipiljustru terletak pada partisipasi mereka, yangumumnya, bersifat kerelaan, bukan paksaan.Dalam situasi politik yang memberikan perannegara terlalu jauh dalam menyentuhprogram-program di sektor ketiga, modalsosial dalam masyarakat, termasuk faith-basedsocial capital sangat rentan tercerabut dariakarnya dan dapat berakibat pada rentannyakohesi sosial dalam masyarakat sipil.

Meskipun sebagian ulama berpendapatbahwa di negara yang mayoritas muslim, perannegara porsinya harus lebih besar dalampengelolaan filantropi Islam, namun pendapattersebut juga harus didasarkan pada argumen

13 Lihat lebih jauh tentang perubahan kebijakan pemerintah,dalam hal ini Departemen Agama dalam pengelolaan Zakatdalam Moch Nur Ichwan, Official Reform of Islam: State Islamand the Ministry of Religious Affairs in ContemporaryIndonesia, 1966-2004 (Dissertation, Leiden University, 2005),khususnya Bab 9 dan bab 12.

14 Christopher Candland, “Faith as Social Capital,” hlm. 359.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM56

Page 57: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

57

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

sejauh mana kemampuan negara itumembangun sistem kesejahteraan sosial.Secara alami, ketidakmampuan negaramenyediakan sistem keamanan sosial yangmemadai dapat menjadi alasan mengapamuncul organisasi-organisasi bervisikesejahteraan dan filantropi, meskipun negaratersebut adalah negara Islam. Keterlibatanbeberapa ordo sufisme di Sudan dalamgerakan filantropi juga menarik untukdijadikan kasus. Peran sosial Sufi Tijaniyahpimpinan Syekh Ibrahim Sidi yangmenyelenggarakan lembaga rehabilitasi sosialuntuk anak-anak jalanan di kota Darfur (yangdilanda konflik saudara), dan peran SufiQadiriyah pimpinan Syekh al-Haj HamadMuhammad al-Ja’ali yang menyediakan klinikpengobatan alternatif berbasis Islam, semakinmenguat karena dimotivasi oleh aspirasikeagamaan di satu sisi, dan disisi lainmerupakan buah dari kegagalan rezim Islamyang berkuasa dalam merespons dilema sosialdi negeri tersebut. Penerapan Syariah Islam(dalam konsitusi) di Sudan ternyata juga tidakserta merta membawa pada keadilan sosialyang merata.15 Studi yang lain tentang peransosial sufisme, menunjukkan bahwa ikatansosial dalam tradisi sufisme, juga menjadisemacam modal sosial yang mendorongkomunitas itu untuk melakukan perubahansosial. Konsep ‘persaudaraan’ (brotherhood)dalam tradisi Sufi Sanusiyah di Sahara,misalnya, telah menjadi semacam ‘symboliccapital’ yang itu kemudian diintegrasikandengan konsep kesalehan mereka di ranahsosial melalui kegiatan berbasiskesejahteraan.16

Meski demikian, mungkin masih timbuljuga pertanyaan lain, apakah masyarakat sipilmemiliki otoritas penuh untuk mengelolaorganisasi filantropi berbasis agama? Seberapabesarkah otoritas itu dan apa kapasitas yangdimilikinya? Pengalaman negara-negara Islamdari beberapa periode sejarah memang tidakmenunjukkan fakta yang monolitik. Adam

Sabra, dalam Poverty and Charity in MedievalIslam menjelaskan telah terjadi pergeseran didunia Islam dalam memposisiskan institusifilantropi Islam dan negara. Dari negarakepada institusi sosial, terutama semakinkentara pada periode Mamluk.17 Zakatmenjadi bagian dari kehidupan individuseseorang dan organisasi sosial terkait. Zakatmenjadi sistem kesejahteraan masyarakat diluar negara. Saudi Arabia, Mesir, Jordan,Sudan dan Pakistan adalah beberapa negarayang memasukkan zakat dalam sistemkesejahteraan sosial pemerintah. Malaysiaadalah negara yang memberikan porsi kepadanegara bagian untuk memobilisasi pelaksaanzakat. Namun, lagi-lagi persoalannya sangatkasuistik, ditentukan oleh kapasitas negaradalam menyediakan program kesejahteraan.Di Jordania yang mengadopsi sistem hukumIslam dan Perancis dalam konstitusinya, ZIStelah diletakkan sebagai bagian darikewenangan negara, namun kondisi sosial yangada juga memberikan ruang bagi organisasi-organisasi keagamaan berbasis filantropiuntuk tumbuh dan memberikan pelayankepada masyarakat dalam bidang pendidikandan kesehatan, seperti yang dipelopori olehkelompok Ikhwan al-Muslimin dan lain-lain.

Untuk negara-negara yang tidakmenjadikan Islam sebagai agama negara, sepertiIndonesia, persoalannya memang menjaditidak sederhana. Penulis ingin menekankan duahal saja tentang potensi masyarakat sipil di

15 Rudiger Seesman, “Sufi Leaders and Social Welfare: TwoExample from Contemporary Sudan,” dalam HolgerWeiss(ed), Social Welfare in Muslim Societies in Africa(Stockholm: Nordiska African Institute, 2002), hlm. 98-103.

16 Knut S. Vikor, “Sufism and Social Welfare in the Sahara,”dalam Holger Weiss, Social Welfare, hlm. 95-6.

17 Adam A. Sabra, Poverty and Charity in Medieval Islam: MamlukEgypt 1250-1517 (Cambridge: Cambridge, 2000), hlm. 40;baca juga Murad Cizakca yang lebih banyak mengulas konsepdan praktik wakaf dalam, A History of PhilanthropicFoundations: The Islamic World From the Seventh Centuryto the Present (Istanbul: Bogazici University Press, 2000); jugaRichard Van Leeuwen, Waqf and Urban Structure: The Caseof Ottoman Damascus (Leiden: Brill, 1999); dan Yaacov Lev,Charity, Endowments, and Charitable Institutions in MedievalIslam (Gainesville: University of Florida Press, 2005).

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM57

Page 58: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

58

Indonesia dalam konteks filantropi Islam,yaitu pada aspek kreativitas penggalangan danasosial, dan aspek inovasi programpelayanannya yang semua itu merupakanartikulasi dari modal sosial yang telah dipupukdalam waktu yang tidak pendek. Mengenai halyang pertama, OMS lebih atraktif dalampenggalangan dana umat, tidak hanya melaluipola normatif dan konvensional. Bila kitacermati dalam perspektif sektor ketiga,tentunya program-program penggalangandana umat tidak semata-mata dilakukan darideduksi deposit seseorang, tetapi jugamemanfaatkan rasa solidaritas, kepeduliaan,kebersamaan dan berbagai bentuk kohesi sosiallainnya. Dalam buku Pola dan StrategiPenggalangan Dana Sosial di Indonesia, tercerminbahwa organisasi-organisasi sektor ketiga,mulai dari yang berbentuk institusi filantropisampai LSM, memiliki aktivitas fundraising danprogram sosial yang bervariasi dan spesifik.Dompet Dhu’afa Republika, Yayasan DanaSosial Al-Falah, Dompet Sosial Ummul Qura,dan Yayasan Darut Tauhid adalah beberapalembaga filantropi Islam yang menggunakancara-cara yang lebih inovatif dalam melakukanpenggalangan dana sosial. Selain memilikistrategi marketing yang memadai, kampanyeyang cukup masif, dan sosialisasi yang meluas,OMS tersebut juga dapat menggunakanjaringan sosial di kalangan profesional denganoptimum. Sementara Yayasan ImdadMutadh’afin memanfaatkan aspek lain, yaitumenjual barang-barang bekas untuk kegiatansosial, seperti juga yang dilakukan SalvationArmy di Amerika. Beberapa institusi lainmencoba memadukan duniaentrepreneurship dengan filantropi, misalnyadalam lembaga filantropi berbasis Kristenseperti YAKKUM dan Yayasan BinaSwadaya.18 Variasi fundarising yang diinisiasiOMS juga telah memberikan peluang lebihbesar dalam pemanfaatan potensi dana umatuntuk kepentingan sosial. Selain dapatmemobilisasi ZIS, organisasi masyarakat sipil

tersebut mampu menggandeng berbagaiperusahaan (sektor kedua) untuk terlibatdalam meningkatkan potensi sektor ketiga.‘Keunggulan’ OMS di atas tidak hanya terletakpada kemampuan memobilisasi dana umatsecara mandiri dan berbasis kerelaan, tetapijuga kemampuan mengartikulasikan danatersebut untuk program-program yang spesifik,mulai yang bersifat ‘service’, seperti pelayan adhoc untuk membantu kaum miskin danterpinggirakan dan menyediakan pelayanankesehatan murah atau gratis, sampai yangbersifat memberdayakan dan produktif —stimulan usaha kecil, beasiswa, dan advokasilingkungan. Dari organisasi semacam ini pulamuncul institusi-institusi emergency relief sepertiPKPU atau Mer-C yang relatif punya karaktertersendiri.

Gerakan filantropi yang berbasiskerelawanan dan agama maupun non-agamamasih menjadi alternatif dalam prosespenguatan komunitas (mutual self-help).Masyarakat tidak hanya bersandar padapundak negara, tetapi mencoba melakukanmobilisasi sumberdaya dan potensi yangmereka miliki untuk memperkuat ‘civictradition’ melalui organisasi formal daninformal.19 Dalam buku yang berjudul TheIslamic Voluntary Sector in Southeast Asia yangdiedit oleh Mohamed Ariff, para penulismemasukan organisasi dan aktivitas filantropiIslam sebagai salah satu bentuk sektor ketiga.Pelaksanaan zakat, infak, sedekah dan wakafadalah manifestasinya. Dana tersebut berasaldari sumbangan wajib dan sukarela denganmotif agama. Muhammad Nejatullah Siddiqidalam pengatar buku tersebut menegaskanbahwa di beberapa negara Islam, dana umattersebut di kelola oleh negara, tetapi sebagian

18 Lebih jauh lihat Zaim Saidi, Hamid Abidin, Nurul Faizah (eds.),Pola Penggalangan Dana Sosial di Indonesia: PengalamanDelapan Belas Lembaga Sosial (Jakarta: Piramedia, Pirac danFord Foundation, 2003).

19 Nakamura Mitsuo, Sharon Sidique & Omar Farouk Najunid(eds.), Islam and Civil Society in Southest Asia (Singapore:ISEAS, 2001).

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM58

Page 59: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

59

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

lain seperti Indonesia dikelola pada mulanyaoleh masyarakat dan institusi ‘semi-pemerintah’. Dalam kaitan ini, keterlibatannegara terlalu jauh —dengan menepikan peranvoluntary organizations— tidak selaluberdampak positif.20

Organisasi Filantropi Islam danNegara: Kompetisi atauKooperasi?

Studi tentang filantropi Islam di Indonesiasudah banyak dilakukan kalangan akademisi,pengamat, maupun para aktivis LSM.Beberapa di antaranya memfokuskan padaperilaku berderma masyarakat Indonesia yangmencakup analisis tentang motif berderma,cara atau mekanisme berderma, modelpengelolaan derma, dan profil institusipengelola derma berikut program-programfundraising dan program distribusinya. Studi-studi yang ada, misalnya yang dilakukan olehPIRAC dan CSRC Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah, setidaknya menyimpulkanbeberapa hal:

Pertama, institusi pengelola derma yangdikelola oleh institusi non-pemerintah banyakyang masih belum beranjak dari program-program yang sifatnya ‘karitatif’ dan masihterbelenggu oleh mekanisme dan paradigmakonvensional. Sebagian dari institusi yang adamasih dianggap kurang lincah, jauh dariprogresif dan kurang memenuhi karakterfilantropi modern. Institusi ini biasanyaterdapat pada tingkatan grassroots yang belummendapat sentuhan filantropi modern. Ambilcontoh misalnya unit-unit pemungut zakat‘resmi’ maupun ‘tidak resmi’ yang dikelolamasjid-masjid perkampungan. Kedua, institusifilantropi non-pemerintah yang beruapa LAZ(Lembaga Amil Zakat) sudah mulaimenanamkan tradisi baru, menerapkanagenda dan program yang sudah mengadopsiprinsip pembangunan berkelanjutan,mengadopsi menajemen yang lebih terbukadan accountable, merumuskan pola distribusi

yang lebih tertata, serta telah membangunsistem fundraising dan program pemberdayaanyang lebih memikat, seperti halnya DompetDhua’afa Republika, Rumah Zakat Indonesia,PKPU, Yayasan Dana Sosial Al-Falah, dansebagainya. Ketiga, saat ini lembaga-lembagafilantropi yang berbentuk ‘quasi-state’ sudahdimanifestasikan dalam bentuk Badan AmilZakat (BAZ). Ia merupakan bentukan negaradan posisinya “semi-independen” dari strukturnegara. Beberapa BAZ menunjukkan prestasipenggalangan dana zakat yang luar bisa sepertiDKI Jakarta, tetapi di beberapa tempat lainartikulasinya dianggap belum sebesarpotensinya. Keempat, gerakan filantropi diatas ‘diikuti’ oleh berkembangnya tradisi barudalam OMS yang lebih ‘senior’ dari segi usia(Ormas Islam), seperti berdirinya LazisMuhammadiyah, Lazis Nahdlatul Ulama,Pusat Zakat Umat Persatuan Islam dansebagainya yang mengadopsi kebijakan danprogram institusi filantropi Islam modern(seperti lembaga jenis kedua di atas). Meskipunorganisasi-organisasi tersebut merupakan ‘cikalbakal’ organisasi masyarakat sipil modern diIndonesia, ekspansi mereka untuk membangunsistem filantropi yang lebih memadai, belumlama dilakukan. Kelima, sektor swasta jugamenunjukkan geliat yang sama di mana mulaibanyak dibentuk institusi filantropi baiksebagai bagian dari komitmen sosialperusahaan untuk menyisihkan hasilpendapatan kelembagaan mereka untukkegiatan sosial (Corporate Social Responsibility/CSR), maupun inisiatif para pengelola unitusaha mereka untuk memobilisasi gerakanzakat, infak dan sedekah (ZIS) di lingkungan

20 Siddiqi ketika mendiskusikan redistributive and allocative roledari organisasi di sektor ini menyatakan, the voluntary sectorcan play a major redistributive role by effecting a transfer ofresource from the rich to the poor more efficiently than thestate, as the cost of the transfer may be less and theidentification of the needy…maybe moreaccurate.“Muhammad Nejatullah Siddiqy, “The Role of theVoluntary Sector in Islam: A Conceptual Framework,” dalamMohamd Ariff, The Islamic Voluntary Sector in SoutheastAsia (Singapore: ISEAS, 1991), hlm. 13.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM59

Page 60: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

60

perusahaan.Saat ini, masih cukup banyak jenis-jenis

institusi filantropi seperti di atas beroperasi dimasyarakat. Mereka mengundang umat untuk‘menitipkan’ harta mereka gunadidistribusikan kepada yang dianggap berhaksesuai dengan tuntunan agama dan kebutuhansosial. Fenomena tersebut tentunyamerupakan satu hal yang positif, meskipun disisi yang lain juga masih mengundang banyakpertanyaan seperti yang dikemukakan padaawal tulisan ini. Bila memang masyarakatternyata sangat antusias untukmenyumbangkan sebagian harta merekasebagaimana hasil survey terakhir dari PIRAC(The Jakarta Post, 04/03/2008)21 lembagamanakah yang paling punya daya tarik bagimasyarakat untuk menitipkan sumbanganmereka. Pertanyaan lainnya dapat kita tujukankepada organisasi filantropi ‘semi-pemerintah’,seberapa efektif pula institusi tersebut dapatmengelola program filantropi Islam diIndonesia.

Pertanyaan yang terakhir ini penulissampaikan karena beberapa peristiwa yangdarinya kita dapat mengambil pelajaranbahwa selain otoritas, kredibilitas juga menjadipenting. Dulu kita mengenal apa yang disebutDana Abadi Umat (DAU), yang dikelolalangsung oleh —atau berada dalam birokrasi—institusi pemerintah, yaitu Departemen Agama(Depag). Visi yang dicanangkan untukmengelola dana umat tersebut cukupmeyakinkan, yaitu untuk meningkatkanpendidikan umat dan dakwah Islam. Dalamkonteks ini negara nampaknya mencobamengelola harta umat non pajak, dari ‘sisa-sisa’ operasional ibadah haji. Posisi danatersebut setali tiga uang dengan dana ‘non-budgeter’. Karena itu, sebagaimana dana ‘non-budgeter’ dalam departemen pemerintahanyang lain, DAU dan yang sejenisnya menjadirawan apabila dalam penggunaannya tidakdisertai dengan pengendalian dan pengawasanyang ketat. DAU, memang bukan langsung

bentuk ‘dana filantropi’ yang bersumber darimekanisme fundraising, tetapi berasal dari ‘sisahasil usaha’ pengelolaan jamaah haji. Namundemikian, ia tetap merupakan dana umat, danbukan dana negara yang bersumber dari pajak.Baik karena adanya pelbagai kepentinganpolitik, atau kesalahan prosedur yangmenyebabkan dana DAU disalurkan bukanpada peruntukannya, sempat menjadi kasushukum di pengadilan. Kasus ini menjadipelajaran bagaimana dana umat ketikaberada di tangan negara. Dalam kasus yanglain, barangkali menarik pula resistensi yangditujukan oleh masyarakat Lombok Timurterhadap kebijakan pemerintah daerah dalamperaturan tentang zakat.

Hemat penulis, seiring dengan gelombangOtonomi Daerah (Otda) dan termasuk didalamnya Perda-Perda (Peraturan Daerah)yang terkait dengan pelaksanaan keagamaanIslam, maka dua kasus di atas, dalam konteksfilantropi Islam, patut menjadi pertimbangan.Satu hal yang dapat kita lontarkan lagi adalahapakah dalam penyelenggaraan filantropiIslam di Indonesia wewenang negara beradapada tingkatan kebijakan dan regulator saja,ataukah berperan sebagai pelaksana praktisdi lapangan. Keputusan Menteri AgamaRebublik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,tiga jenis pengelola Zakat, yaitu Badan AmilZakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah,Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentukmasyarakat, dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ)yang merupakan kepanjangan dari BAZ ditingkatan pedesaan/kelurahan. Sementarapada Bab IV Lingkup KewenanganPengumpulan Zakat, pasal 25, tidak terlihatpembedaan kewenangan antara BAZ denganLAZ. Pasal tersebut hanya menjelaskan

21 Lihat juga hasil survei PIRAC sebelumnya dalam Andy AgungPrithatna dkk (ed.), Muslim Philanthropy: Potential andReality of Zakat in Indonesia (Jakarta: Piramedia, PIRAC andFord Foundation, 2005)

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM60

Page 61: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

61

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

kewenangan BAZ dari segi lingkup yang bersifatgeografis di tingkatan masing-masing(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, danKecamatan). Sehingga, seolah-olah yangmembedakan antara BAZ dan LAZ hanyalah‘siapa dibentuk oleh siapa’ tanpa penjelasankewenangan lebih jauh pada tingkatoperasional.

Mengenai dapat tidaknya BAZ yangmerupakan bentukan negara/ pemerintahdikategorikan sebagai bagian dari OMS/organisasi sektor ketiga dapat dilihat dari duasisi, struktural dan fungsional. Secarastruktural BAZ ‘ditarik’ ke dalam birokrasi.Terbukti pengurus teras atau ketua-ketua BAZdi berbagai tingkatan adalah aparatpemerintah. Di tingkat provinsi dipimpingubernur, di tingkat daerah Tk. II olehwalikota/bupati, dan seterusnya. Secarafungsional, ia menjalankan administrasipengelolaan ZIS yang diperoleh darimasyarakat melalui berbagai mekanismepenggalangan. Dilihat dari perspektif ini, BAZ,meskipun didirikan oleh negara, memangboleh jadi termasuk dalam kategori OMS bilamemenuhi beberapa syarat. Untuk bisadikategorikan OMS, BAZ harus otonom dariintervensi negara baik dari segi prosespengambilan keputusan, proses rekruitmenkepemimpinan, dan kemampuan mengontrolsumberdaya manajemennya. Selain itu, BAZjuga harus demokratis secara internal, tidakmenjadi alat kepentingan politik tertentu;memiliki akuntabilitas, mekanisme danprosedur yang jelas bagi para anggota dalammengontrol segala jenis keputusan dantindakan, dan BAZ juga harus memenuhipersyaratan lain, yaitu ‘open reqruitment’sehingga lagi-lagi tidak menjadi bagian darikelompok tertentu. 22

Cukup realistiskah ‘kompetisi’ antarapengelola zakat pemerintah dan OMSsementara keduanya mewakili dua sektorberbeda, yaitu sektor pertama dan sektorketiga? Dalam konteks ini, bukan lagi otoritas

yang bisa diperdebatkan, tetapi masalahkapasitas organisasi. Barangkali dapat kitacermati studi yang dilakukan CSRC-UINSyarif Hidayatullah, dalam Islam Philanthropy& Social Development in ContemporaryIndonesia. Dari beberapa penelitian dalambuku tersebut, penulis ingin menyimpulkandua hal: pertama, potensi yang dimiliki olehBAZ dan LAZ dalam melakukan penggalangandana memang sama-sama besar. Artinya,masyarakat memiliki pilihan kemanasumbangan mereka akan disalurkan. Hanyasaja, yang juga harus menjadi catatan kitaadalah bahwa BAZIS DKI Jakarta dan BAZISJawa Barat, yang ditelaah dalam bukutersebut, adalah dua institusi pengelola ZISsemi-pemerintah yang relatif lebih baikdibandingkan dengan ZIS di beberapa daerahlain.23 Kita belum mengetahui betul, danpenulis kira ini membutuhkan penelitianlanjutan, seberapa efektif BAZ serupa diprovinsi lain dan apakah struktur BAZ didaerah tingkat dua sampai PUZ di tingkatkecamatan sudah cukup efektif untukmelakukan program-programnya.

Hasil penelitian Amelia Fauzia & KarlinaH. barangkali dapat melengkapi proposisi diatas, yaitu bahwa telah terjadi pergeseranorientasi dalam masyarakat dalammenyalurkan harta mereka. Bisa kita ambilcontoh dua institusi yang cukup mengedepandari masing-masing institusi, yaitu Bazis DKIJakarta (semi-pemerintah) dan DompetDhua’fa Republika/DD (non-pemerintah).Pada tahun 1997 sampai tahun 1999, BazisDKI Jakarta mengumpulkan dana lebihbanyak dari DD, tetapi pada tahun 2000, DD

22 Lihat Goran Hyden, “Civil Society, Social Capital, andDevelopment“, hlm. 16-17.

23 Mengenai BAZ Jawa Barat, lihat Ridwan al-Makassary, “BAZJabar: Is Its Existence Under Threat?“, Islam Philanthropy &Social Development in Contemporary Indonesia (Jakarta:CRCS UIN yarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006),hlm. 61-81.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM61

Page 62: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

62

mampu menggalang dana jauh lebih banyakdari Bazis DKI Jakarta.24 Kedua, modelpengelolaan dana zakat antara kedua institusitersebut relatif berbeda, dan DD sebagaiLAZIS dipandang lebih inovatif dan populisdalam program-programnya karena didukungoleh kekuatan publikasi, sementara Bazis DKI,dalam konteks ini, masih harus banyakmelakukan improvisasi, terutama dalamberkomunikasi dengan publik maupunsosialisasi program-programnya.Perbandingan serupa bisa juga dilakukanantara Bazis Kotamadya Bandung danYayasan Darut Tauhid.

Kompetisi sehat antara institusi tersebut,dengan kapasitasnya masing-masing, menurutpandangan penulis, bukanlah suatu soal yangmendasar. Yang lebih penting adalahbagaimana prestasi dari dua institusi semacamitu mampu diadopsi oleh institusi lain yangberada di daerah-daerah strategis yang lain,sehingga kedua jenis institusi pengelola danaumat tersebut dapat berperan lebih besar.Menggalang dana umat sama beratnya denganmenjajakan sebuah produk. Untukmenjajakan produk yang baik, sebuah institusikadang harus berhadapan dengankompetitornya. Begitu pula dengan gerakanfilantropi Islam di Indonesia. Di tengah‘persaingan’ ketat antara BAZ dan LAZ, dan‘persaingan’ antara satu LAZ dengan LAZlainnya yang hingga kini masih berlangung,maka perlu dipikirkan, bagaimanakahmembangun sinergi antara BAZ dan LAZ, danbagaimana pula membuat pola kerjasamaantar-LAZ dalam mengembangkan sistempengelolaan harta ZIS yang berorientasipenguatan masyarakat sipil di Indonesia.Karena itu, revitalisasi FOZ (Forum Zakat)tidak bisa terabaikan lagi.25

PenutupPenulis ingin menekankan beberapa hal

dari gambaran di atas: Pertama, tumbuhnyaorganisasi sektor ketiga yang berorientasi pada

24 Untuk lebih detailnya lihat Amelia Fauziya, “BAZIS DKI Jakarta:Opportunities and Challenges for the Religious AlmsCollection Agency in Local Government,” dan KarlinaHermalita, “Managing Islamic Philanthropy with ModernManagement: The Experiences of Dompet Dhuafa“ dalamChaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy & SocialDevelopment in Contemporary Indonesia (Jakarta: CSRS UINSyarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006), hlm. 37-8dan 104; juga catatan beberapa penulis dalam Iqbal Setyarso& Sunaryo Adhiatmoko, Pemberdayaan Tak Pernah Berhenti:Catatan dan Refleksi Dompet Dhuafa (Jakarta: Khairul BayanPress, 2005), terutama bagian II dan III.

25 Lihat Hasil Musyawarah Kerja Nasional I Lembaga PengelolaZIS, Jakarta 07-90 Januari 1999.

peningkatan taraf hidup masyarakat yang lebihbaik dapat dijadikan sebagai salah satuindikator dari sebuah sistem sosial yang sehat.Artinya, telah tumbuh kesadaran dalammasayarakat untuk melakukan mobilisasipotensi sosial, kultural, politik dan finansialguna diinvestasikan dalam proses peningkataniklim sosial, ekonomi dan politik yang lebih dilingkungan mereka. Problem-problem sosialdan ekonomi di sebuah negara sepertiIndonesia relatif lebih berat, apalagi denganjumlah penduduk besar dan kondisi geografisyang luas. Karena itu, peran organisasi sektorketiga menjadi salah satu pilar programpembangunan selain yang dipelopori negara.Konsekuensi dari itu adalah bahwapemerintah atau negara, sebagai pemegangotoritas konstitusional dapat menjadi partnerorganisasi sektor ketiga dengan menciptakaniklim politik yang lebih kondusif, misalnyadengan mengeluarkan regulasi yangmendukung peningkatan kualitas organisasiyang ada.

Kedua, keterlibatan kaum muslim dalamgerakan filantropi di Indonesia lebih banyakdidasarkan pada kerelaan atau voluntarydengan memanfaatkan modal sosial yangtersedia. Kemunculan organisasi filantropisesungguhnya merupakan respons positifmasyarakat terhadap keterbatasan sistemkesejahteraan sosial (social welfare securitysystem) yang dicanangkan pemerintah. Masalahtingginya angka kemiskinan, belummenurunnya jumlah pengangguran, maraknya

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM62

Page 63: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

63

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

siswa putus sekolah dan tidak stabilnya kondisisosial dan ekonomi di Indonesia adalah isu-isu kongkret yang memperkuat kehadiranorganisasi-organisasi di sektor ketiga ini.Memang tidak seluruh organisasi filantropiIslam yang ada di Indonesia mampumembangun jaringan yang baik ataumembuat sistem yang akuntabel, tetapi modalsosial dan potensi mereka patutdipertahankan, diperbaiki dan diperkuat olehnegara.

Ketiga, dengan keterbatasan yang dimilikinegara, maka sejatinya negara memerankanfungsi regulator dan peran kontrol gunamengefektifkan pola sektor ketiga, dan bukan‘mengambilalih’ otoritas atau melemahkankapasitas OMS yang ada. Terlalu besar biayasosial yang harus dibayar oleh masyarakatketika peran filantrofis OMS diambil alihnegara, dan terlalu besar pula biayaoperasional untuk kerja distributif dan

alokatif yang dilakukan negara. Dalam kontekskebijakan, dapat dilihat beberapa alternatifdalam merumuskan peraturan perundangantentang zakat di masa yang akan datang. Selainkebijakan tersebut harus tetap mendukungeksistensi OMS yang ada, baik dalam bentukormas, LSM, ataupun institusi khususfilantropi, yang juga harus menjadipertimbangan adalah bagaimanakah rumusanmekanisme kontrol terhadap institusifilantropi tersebut, bagaimana membangunsistem yang efektif dalam menggairahkan zakattanpa harus mencerabut konsep voluntarydalam masyarakat, dan bagaimana pulapemerintah dapat mendorong gerakanfilantropi dalam segmen masyarakat yang lebihluas baik yang berbasis agama maupun non-agama. Sehingga, upaya membangun sistemkesejahteraan sosial yang lebih memadai dapatdipupuk dari atas (birokrasi) dan bawah(masyarakat).:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM63

Page 64: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

64

Abbas, Sirojudin. “The Stuggle for Recognition: Embracingthe Islamic Welfare Effort in the Indonesian Welfare System,”Studia Islamika, Vol. 12, No. 1 (2005)

Abidin, Hamid (ed.), Sumbangan Sosial Perusahaan:Profil danPola Distribusinya di Indonesia, Survey 226 Perusahaan di 10 Kota.Jakarta: Piramedia, PIRAC & Ford Foundation, 2003.

Candland, Christopher. “Faith as Social Capital: Religionand Community Development in Southeast Asia,” Policy Science33 (2000)

Cizakca, Murad. A History of Philanthropic Foundations: TheIslamic World From the Seventh Century to the Present. Istanbul:Bogazici University Press, 2000.

Clark, Janine A. Islam, Charity, and Activism: Middle ClassNetwork and Social Welfare in Egypt, Jordan and Yemen. Bloomington& Indianapolis: Indiana University Press, 2004.

Donnelly-Cox, Gemma et all, “Conceptualizing the ThirdSector in Ireland, North and South,” Voluntas: International Journalof Voluntary and Nonprofit Organizations Vol. 12, No. 3, (September2001)

Eldridge, Phillip J. Non-Government Organizations andDemocratic Participation in Indonesia. Oxford: Oxford Univ. Press,1995.

Fauziya, Amelia. “BAZIS DKI Jakarta: Opportunities andChallenges for the Religious Als Collection Agency in LocalGovernment,” dalam Chaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy& Social Development in Contemporary Indonesia. Jakarta: CRCS UINyarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006.

Franklin, Jane. “Social Capital: Policy and Politics,” SocialPolicy and Society 2: 4 (2003)

Haniwinata, Bob. The Politics of NGOs in Indonesia. London& New York: Rutledge Curzon, 2003.

Hasil Musyawarah Kerja Nasional I Lembaga PengelolaZIS, Jakarta 07-90 Januari 1999

Hefner, Robert W. (ed.) Market Culture: Society and Values inthe New Asian Capitalism. Singapore: ISEAS, 1998.

Hikam, Muhammad AS. “Non-Governmental Organizationand the Empowerment of Civil Society,” dalam Richard W. Bakeret all (eds.), Indonesia: The Challenge of Change. Singapore: ISEAS,1999.

Hyden, Goran. “Civil Society, Social Capital andDevelopment: Dissection of a Complex Discourse,” Studies inComparative International Development, Vol. 32. No. 1 (Spring1997)

Ichwan, Moch Nur. Official Reform of Islam: State Islam and theMinistry of Religious Affairs in Contemporary Indonesia, 1966-2004.Dissertation, Leiden University, 2005.

Leeuwen, Richard Van. Waqf and Urban Structure: The Case ofOttoman Damascus. Leiden: Brill, 1999.

Lev, Yaacov. Charity, Endowments, and Charitable Institutionsin Medieval Islam. Gainesville: University of Florida Press, 2005.

DA

FTA

R P

UST

AK

A Makassary, Ridwan al-. “BAZ Jabar: Is Its Existence UnderThreat?”, Islam Philanthropy & Social Development in ContemporaryIndonesia. Jakarta: CRCS UIN yarif Hidayatullah dan FordFoundation, 2006.

Hermalita, Karlina. “Managing Islamic Philanthropy withModern Management: The Experiences of Dompet Dhuafa”dalam Chaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy & SocialDevelopment in Contemporary Indonesia. Jakarta: CRCS UIN yarifHidayatullah dan Ford Foundation, 2006.

Malloch, Theodore Roosevelt. Social, Human and SpiritualCapital in Economic Development, Templeten Foundation, WorkingGroup of the Spiritual Capital Project, Harvard Univesity,October, 2003.

Nakamura Mitsuo dkk (eds), Islam and Civil Society in SouthestAsia. Singapore: ISEAS, 2001.

Nyman, Mikaela. Democratizing Indonesia: The Challenges of CivilSociety in the Era of Reformasi. Denmark: NIAS Press, 2006.

Prithatna, Andy Agung dkk (ed.), Muslim Philanthropy:Potential and Reality of Zakat in Indonesia. Jakarta: Piramedia, PIRACand Ford Foundation, 2005.

Sabra, Adam A. Poverty and Charity in Medieval Islam: MamlukEgypt 1250-1517. Cambridge: Cambridge, 2000.

Saidi, Zaim dkk (eds.), Pola Penggalangan Dana Sosial diIndonesia: Pengalaman Delapan Belas Lembaga Sosial. Jakarta:Piramedia, Pirac dan Ford Foundation, 2003.

Sheper, Elisabeth E. Preventing Deadly Conflict in DividedSocieties in Asia: The Role of NGOs. Ph.D. Dissertation, theNetherlands: Amsterdam University, 2003.

Seesman, Rudiger. “Sufi Leaders and Social Welfare: TwoExample from Contemporary Sudan,” dalam Holger Weiss(ed),Social Welfare in Muslim Societies in Africa. Stockholm: NordiskaAfrican Institute, 2002.

Setyarso, Iqbal & Adhiatmoko, Sunaryo. Pemberdayaan TakPernah Berhenti: Catatan dan Refleksi Dompet Dhuafa. Jakarta: KhairulBayan Press, 2005.

Siddiqy, Muhammad Nejatullah. “The Role of theVoluntary Sector in Islam: A Conceptual Framework,” dalamMohamd Ariff, The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia.Singapore: ISEAS, 1991.

Sinaga, Kastorius. NGOs in Indonesia: A Study of the Role of NonGovernmental Organizations in the Development Process. Verlag furEntisklungspolitik: Saarbucken, 1995.

Taylor, Marilyn and Diane “Legitimacy and UK Third SectorOrganizations in the Policy Process,” Voluntas: International Journalof Voluntary and Non-Profit Organizations, vol. 14, no. 3 (September2004)

Vikor, Knut S. “Sufism and Social Welfare in the Sahara,”dalam Holger Weiss (ed), Social Welfare in Muslim Societies in Africa.Stockholm: Nordiska African Institute, 2002.

:isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM64

Page 65: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

65

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

A. PendahuluanLatar BelakangP embukaan UUD 1945 alinea

keempat menyebutkan tujuanberdirinya Negara Repubik

Indonesia, yaitu untuk “MemajukanKesejahteraan Umum”. Bunyi pembukaan inijuga dikuatkan lagi oleh pasal 34 UUD 1945yang isinya “Rakyat Miskin dan anak terlantardipelihara oleh negara”. Namun kenyataannya,setelah 63 tahun Indonesia merdeka,kesejahteraan rakyat Indonesia masih belumoptimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil surveystatistik BPS (Badan Pusat Statistik) padaMaret 2006 sebesar 39,30 juta jiwa atau sekitar17, 75 % yang kemudian turun sebesar 2,13juta jiwa pada Maret 2007 menjadi 37,17 jutajiwa atau setara dengan 16,58 %. (BPS :2007). Angka ini, menurut LIPI (LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia), diperkirakanakan melonjak untuk tahun 2008 menjadi41,7 juta jiwa atau sebesar 21,92 %. Hal initerjadi akibat kenaikan harga Bahan BakarMinyak (BBM) pada Juni 2008.

Sebetulnya pemerintah telah melakukanlangkah-langkah penting untuk menekan lajukemiskinan. Beberapa program subsidi yangdisalurkan melalui Bantuan OperasionalSekolah (BOS), Asuransi Kesehatan untukRakyat Miskin (Askeskin), Jaring PengamanSosial (JPS) merupakan beberapa contohusaha pemerintah mengurangi kemiskinan dinegara ini. Namun usaha-usaha tersebutternyata belum menunjukkan hasil yangoptimal.

Islam telah menyediakan solusi untukmenghadapi masalah kemiskinan dan upayapeningkatan kesejahteraan rakyat, yaknimelalui ibadah zakat. Zakat dapat berfungsisebagai sumber pendanaan alternatif dansolusi utama bagi kemiskinan di Indonesia.Dengan sifat wajibnya, ditambah jumlahmuzakki yang diperkirakan lebih dari 60 jutajiwa, maka zakat merupakan potensi besar bagisumber pendanaan pengentasan kemiskinandi negara ini. Menurut perkiraan, potensi zakatsebagaimana hasil survey PBB UIN Jakarta,sebesar 19.3 triliun pertahun.

Perhatian pemerintah terhadappengelolaan zakat sudah terlihat sejak eraSoeharto sampai kepemimpinan B.J. Habibie.Bahkan di era B.J.Habibie, DPR melahirkanUU No.38 Tahun 1999 tentang PengelolaanZakat. Diikuti dengan Keputusan MenteriAgama RI No. 373 Tahun 2003 TentangPelaksanaanya.

Namun keberadaan peraturan ini ternyatabelum mampu menjawab permasalahan zakatsecara menyeluruh. Terbukti masih terjaditumpang tindih pengelolaan di masing-masingtingkatan, baik pusat, wilayah maupunkabupaten. Begitu juga belum adanyapemisahan antara fungsi operator, regulatordan pengawas, sehingga antara potensi yangbesar dengan realisasi penghimpunan masihjauh panggang dari api.

Dengan beberapa pertimbangan di atas,maka perlu peraturan perundang-undang yanglebih baik dan mampu menyentuhpermasalahan pengelolaan zakat yang

DO

KUM

ENRingkasan Naskah AkademikRevisi UU Zakat

Diusulkan oleh Circle of Information and Development (CID) Dompet DhuafaBekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam – Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM65

Page 66: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

66

menyeluruh.Dalam rangka itulah, Circle of

Information and Development (CID) DompetDhuafa bekerjasama dengan Lembaga KajianIslam dan Hukum Islam Fakultas HukumUniversitas Indonesia, menyusun NaskahAkademik (NA) Revisi UU Zakat sebagaiupaya melengkapi RUU Zakat yang saat inidiusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR).

PermasalahanDi dalam tulisan ini akan diklasifikasi

permasalahan-permasalahan zakat yang perludiperbaiki dan perlu dimasukkan di dalamRUU Zakat yang baru. Pertama, soalkelembagaan. Saat ini belum ada kejelasanfungsi siapa sebagai regulator, siapa sebagaipengawas dan siapa sebagai operator.Keberadan Baznas (Badan Amil ZakatNasional), Laznas (Lembaga Amil ZakatNasional), LAZ (Lembaga Amil Zakat) danBazda (Badan Amil Zakat Daerah) semuanyaingin mengelola zakat. Sementara siapa yangberfungsi sebagai regulator dan pengawasbelum ada.

Kedua, belum adanya strategic planningsecara nasional, baik penghimpunan maupunpendayagunaan. Akibatnya masih terjadi irisanwilayah penghimpunan. Satu wilayah bisamenjadi sasaran penghimpunan bagi beberapalembaga zakat. Hal ini juga menyebabkanpendistribusian zakat tidak merata.

Ketiga, soal mekanisme pelaporan. Sampaisekarang belum ada mekanisme pelaporanyang jelas bagi lembaga/ badan amil zakat.Keempat, soal hubungan zakat dengan pajak.UU No.38 disebutkan zakat sebagaiPengurang Penghasilan Kena Pajak (PPKP).Namun dalam prakteknya belum berjalandengan baik. Padahal jika zakat dapatdijadikan pengurang pajak, atau minimalsebagai pengurang pajak penghasilan makaakan dapat memberikan dampak yang sangatbaik dalam pemungutan zakat.

Kelima, mengenai sanksi. UU PengelolaanZakat yang ada baru mengatur sanksi bagipengelola zakat. Padahal harusnya sanksidiberikan juga kepada muzakki. Tujuannyauntuk mengingatkan terhadap kewajibanmuzakki yang tertunda.

Tujuan dan KegunaanNaskah Akademik disusun dalam rangka

memetakan konsep-konsep pemikiranUndang-Undang Zakat ditinjau dari aspekfilosofis, sosiologis-politis, yuridis, danekonomi. Isi pokoknya adalah gagasan-gagasankonkrit dan aplikatif tentang ruang lingkupdan materi muatan yang akan dituangkan didalam RUU Zakat. Naskah Akademik inidiharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Bahan dasar / acuan bagi penyusunanRUU Zakat yang baru ;

2. Bahan pembahasan dalam forumkonsultasi pengharmonisasian,pembulatan, dan pemantapan konsepRUU Zakat yang baru ;

3. Bahan dasar keterangan danpembahasan Dewan PerwakilanRakyat mengenai RUU Zakat yangbaru .

Metode PendekatanPenyusunan Naskah Akademik RUU Zakat

ini menggunakan pendekatan yuridis normatifyang bersifat kualitatif. Artinya, susunannyamengacu kepada norma-norma hukum yangterdapat dalam peraturan perundang-undangan. Perumusan norma-norma hukumyang digunakan sebagai acuan penyusunanRUU Zakat berdasarkan pada konstateringfakta-fakta filosofis, sosiologis, yuridis, danekonomi yang erat kaitannya pengelolaanzakat, serta menggunakan metode evaluasi(Prasetya Irawan : 2007).

Penyusunan ini bersifat deskriptif yangdidukung dengan pengumpulan data melaluiwawancara mendalam dengan berbagaiinforman dan penelusuran data sekunder.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM66

Page 67: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

67

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

B. Landasan PemikiranNaskah Akademik ini disusun berdasarkan

beberapa landasan, yaitu landasan filosofis,yuridis, sosiologis, ekonomi dan landasanspiritual.

• Landasan Filosofis Wacana mengenai kesejahteraan adalah

bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruhfase kehidupan manusia. Bahkan soalkesejahteraan juga telah digariskan di dalamkonstitusi setiap negara di dunia. Spicker(1995:82), misalnya, menyatakan bahwanegara kesejahteraan adalah “…stands for adeveloped ideal in which welfare is providedcomprehensively by the state to the best possiblestandards.” (Edi Suharto : 2006)

Pada awalnya, konsep negarakesejahteraan merupakan strategipembangunan kesejahteraan sosial yangmemberi peran lebih besar kepada negaradalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial(social security) secara terencana, melembagadan berkesinambungan. Namun padaperkembangan berikutnya terjadi perpaduanantara peran negara dan swasta (dunia usahadan LSM) baik dalam pembiayaan maupunpelaksanaan bentuk jaminan sosial danpelayanan sosial.

Hingga saat ini, negara kesejahteraanmasih dianut oleh negara maju danberkembang. Dilihat dari besarnya anggarannegara untuk jaminan sosial, seperti halnyapendekatan pembangunan lainnya, sistemnegara kesejahteraan tidaklah homogen danstatis. Ia beragam dan dinamis mengikutiperkembangan dan tuntutan peradaban.

Di sisi lain, pembangunan ekonomi jelassangat mempengaruhi tingkat kemakmuransuatu negara. Namun, pembangunanekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepadamekanisme pasar tidak akan secara otomatismembawa kesejahteraan kepada seluruhlapisan masyarakat. Pengalaman negara majudan berkembang membuktikan bahwa

meskipun mekanisme pasar mampumenghasilkan pertumbuhan ekonomi dankesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagalmenciptakan pemerataan pendapatan danmemberantas masalah sosial.

Orang miskin dan Penyandang MasalahKesejahteraan Sosial (PMKS) adalahkelompok yang sering tidak tersentuh olehstrategi pembangunan yang bertumpu padamekanisme pasar. Kelompok rentan ini,karena hambatan fisiknya (orang cacat),kulturalnya (suku terasing), maupunstrukturalnya (penganggur), tidak mampumerespon secepat perubahan sosial disekitarnya sehingga terpelanting ke pinggirdalam proses pembangunan yang tidak adil.

Padahal negara yang dikehendaki dalamPembukaan UUD 1945 adalah negara yangmelindungi segenap tumpah darah Indonesia.Sementara pembukaan UUD 1945 jugamenyatakan bahwa salah satu tujuan negaraadalah memajukan kesejahteraan umum.Dengan demikian pembangunankesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnyamengacu pada konsep negara kesejahteraan.Dasar negara Indonesia (sila kelima Pancasila)pun menekankan prinsip keadilan sosial dansecara eksplisit konstitusinya (Pasal 27 dan 34UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawabpemerintah dalam pembangunankesejahteraan sosial. Namun demikian, amanatkonstitusi tersebut belum dipraktekan secarakonsekuen. Penanganan masalah sosial masihbelum menyentuh persoalan mendasar.Program-program jaminan sosial masihbersifat parsial dan karitatif serta belumdidukung oleh kebijakan sosial yang mengikat.

Dalam konteks Indonesia, kemiskinantidak dapat dihapuskan hanya denganperlindungan sosial melalui bagi-bagi uangkepada masyarakat. Karenanya, perlindungansosial harus terintegrasi dengan strategipenanggulangan kemiskinan lainnya.Penerapan negara kesejahteraan juga tidak bisahanya dilakukan oleh satu departemen saja,

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM67

Page 68: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

68

misalnya Departemen Sosial, melainkan harusdilakukan secara sinergis sedikitnya olehDepartemen Sosial, Departemen PendidikanNasional, Departemen Kesehatan, termasukKementerian Perumahan Rakyat, bahkantermasuk juga Departemen Agama di manadi dalamnya terdapat direktorat zakat.

Pengelolaan zakat secara komprehensif danwell-managed merupakan solusi aternatifsebagai sumber pendanaan program-programkesejahteraan rakyat. Sebagaimanadisampaikan pada awal bagian ini, zakatmerupakan konsep filantropi wajib bagi umatIslam. Peruntukannya pun dikhususkan padapendayagunaan masyarakat miskin dankelompok yang membutuhkan, dengan tujuanakhir mengangkat derajat mereka darikemiskinan dan kesulitan ekonomi menujukemapanan hidup.

Di dalam konsep zakat, setiap muslimdibebankan kewajiban agar menyisihkansebagian kecil hartanya untuk disalurkankepada orang lain yang membutuhkan. Negaramemegang amanah pengaturan danpelaksanaan penyaluran dana zakat tersebut.Selain sebagai pemegang otoritas kekuasaan,negara sejatinya memang memiliki kewajibanuntuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.Namun, amanah negara sebagai pengatur danpelaksana penyaluran dana zakat tersebutbukan hanya boleh dilakukan pada negaraIslam, namun juga bisa dilakukan oleh negaradengan sistem hukum bukan Islam.

Pengaturan pengelolaan zakat yangdilakukan oleh negara melalui regulasi dankebijakan yang ada tidaklah bertentangandengan Pancasila. Namun pengelolaan zakatjustru merupakan implementasi dari isiPancasila dan UUD 1945.

• Landasan YuridisIndonesia adalah negara yang beragama.

Indonesia tidak pernah anti terhadap suatuajaran dan kewajiban yang harus dijalankanoleh umat beragama selama agama tersebut

mendapat pengakuan dari negara.Kedudukan agama, hukum dan negara inidapat kita temukan dengan jelas dalampembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Dasarinilah yang kemudian dipertegas dalam Pasal29 ayat (1) UUD 1945. Menurut ProfesorHazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29ayat (1) dapat ditafsirkan dengan tiga hal:(Sulaikin : 2006)

1) Semua hukum yang berlaku diIndonesia tidak boleh bertentangandengan kaidah-kaidah agama bagipemeluk agama di tanah air ini.

2) Negara wajib menjalankan syariatsemua agama yang berlaku diIndonesia, jika untuk menjalankansyariat itu memerlukan bantuankekuasaan negara.

3) Syariat atau kewajiban agama yangtidak memerlukan peran serta negaramerupakan kewajiban individu,misalnya puasa, shalat dan lainsebagainya.

Penafsiran ini memberikan ruang kepadaseluruh pemeluk agama yang diakui diIndonesia untuk dengan bebas melaksanakankewajiban sesuai dengan keyakinannya,namun tetap diselaraskan dengan hukumnasional. Artinya ketika kewajiban agamatersebut memerlukan peran negara dalampenyelenggaraannya, maka hal tersebut harusdiatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Halinilah yang terjadi pada pengelolaan zakat diIndonesia. Zakat adalah kewajiban bagi umatIslam yang telah memenuhi syarat sebagaimuzakki sebagai sarana distribusi harta kepadaorang lain. Dikarenakan dalampengelolaannya zakat melibatkan banyakpihak, maka negara memiliki otoritas untukmengatur pengelolaan zakat.

Berpijak dari pemahaman ini maka sudahselayaknya jika zakat diatur secara legal olehnegara. Strategisnya peranan zakat,menjadikan pengelolaan zakat di Indonesia

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM68

Page 69: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

69

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

tidak hanya sekedar perlindungan bagi umatIslam untuk menjalankan kewajibanagamanya, namun zakat juga diberdayakansebagai salah satu instrumen negara dalammenyejahterakan rakyatnya sesuai dengantujuan negara.

Bergulirnya era reformasi tahun 1998,ternyata ikut memberi warna bagiperkembangan pengelolaan zakat di Indonesia.Di era kepemimpinan B.J.Habibie Undang-Undang Pengelolaan Zakat No.38 Tahun1999 disahkan. Isi UU ini jauh lebih baikdibanding peraturan-peraturan yang adasebelumnya. Undang-undang ini mendorongtumbuhnya lembaga zakat baru selain lembagazakat yang sudah ada di pemerintah (BadanAmil Zakat / BAZ), baik di tingkat nasionalmaupun di tingkat daerah.

Meskipun demikian, UU. No. 38Tahun 1999 ini bukanlah tanpa kelemahan.Ada begitu banyak catatan yang harusdiperbaiki untuk meningkatkan peran zakat.Beberapa permasalahan yang terjadi saat inidinilai belum mampu dijawab oleh UU ini.Seperti belum adanya pemisahan fungsioperator, regulator dan pengawas. Begitu jugabelum adanya kejelasan hubungan antaralembaga zakat satu dengan lembaga zakatlainnya. Lembaga zakat yang ada saat inisemuanya berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya,potensi zakat yang besar masih belum bisatergali secara optimal.

Kelemahan lainnya UU No. 38 Tahun1999 ini juga tidak memiliki peraturanpelaksana. Undang-undang ini hanyamemberikan wewenang atribusi kepadaKeputusan Menteri mengenai susunanorganisasi dan tata kerja Badan Amil Zakat.Maka dikeluarkanlah Keputusan MenteriAgama Nomor 581 Tahun 1999 TentangPelaksanaan Undang-Undang Nomor 38Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat.Kemudian aturan yang bersifat lebih teknisdikeluarkan keputusan Direktur JenderalBimbingan Masyarakat Islam Nomor : D/291

Tahun 2000 Tentang Pedoman TeknisPengelolaan Zakat. Peraturan ini lalu dicabutdan diganti Kepmen Agama No. 373 Tahun2003. Munculnya Kepmen ini pun ternyatabelum bisa menjadi solusi bagi pengelolaanzakat.

Dari beberapa penjabaran di atas, makadapatlah ditarik kesimpulan bahwa secarayuridis kita membutuhkan peraturan zakatyang baru yang lebih relevan, aplikatif danmenyeluruh serta dapat menjawabpermasalahan zakat yang terjadi di lapangan.

• Landasan SosiologisMasyarakat Indonesia mengenal zakat sejak

Islam memasuki wilayah Indonesia. SebelumIndonesia dijajah oleh Belanda, terdapatbeberapa kesultanan yang mencapai kejayaanberkat dukungan dana intern dari umat Islam.Misalnya, Kesultanan di Aceh, Sumatra Barat,Banten, Mataram, Demak, Gowa, danTernate. Kesultanan-kesultanan tersebut telahtercatat keberhasilannya mendayagunakanpotensi umat dengan memperbaiki kualitasekonomi rakyat, antara lain dengan mengatursumber-sumber keuangan Islam sepertipendayagunaan zakat, pemeliharaan hartawakaf, wasiat, infak, dan shadaqah. Kegiatanpendidikan umat, gedung-gedung sekolah, sertanafkah guru pada umumnya ditunjang daridana tersebut. Bahkan beberapa kesultananmelakukan hubungan dengan luar negeridengan memanfaatkan dana tersebut. Jadidana yang bersumber dari umat cukupmemadai untuk membiayai kepentingan umatIslam (Abudin Nata : 1999).

Bahkan pada saat pemerintahan kolonialBelanda mulai datang dan mengadakan upaya-upaya penguasaan, zakat terutama dijadikansebagai sumber dana perjuangan. Kemudianpada saat Jepang berkuasa di Indonesia, padaawalnya mereka juga tidak memperhatikansumber-sumber keuangan Islam, tapi pada saatmereka menyadari betapa besar dana yangdapat terkumpul melalui sumber-sumber

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM69

Page 70: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

70

keuangan Islam, maka Opsir Kaigun(pimpinan Angkatan Laut Jepang) mendekatiIslam dengan cara merangkul pada ulama sertamenjanjikan tiga program dalam bidang sosialkeagamaan, salah satunya menyadarkanpengelolaan zakat pada negara ditingkatkanmelalui MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia).Pada tahun 1943 MIAI tersebut membangunkantor perbendaharaan Islam atau BaitulMaal di beberapa kota Jawa sebagai lembagayang akan mengumpulkan semua sumber-sumber keuangan Islam termasuk zakat, akantetapi pada saat dana telah terkumpul banyakternyata hasilnya tersebut sebagian digunakanoleh tentara Dai Nippon. Kemudian padatahun 1943 MIAI dibubarkan (Herry J : 1980).

Setelah masa kemerdekaan, denganadanya Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 34 UUD1945, serta dihubungkan lebih lanjut denganpotensi zakat yang sangat besar dalammeningkatkan perekonomian, maka perlupengelolaan zakat ini diatur dalam suatuperaturan perundang-undangan. Maka padatahun 1968 dikeluarkanlah Peraturan MenteriAgama No.5 Tahun 1968 yang mengaturmengenai pembentukan Badan Amil Zakatdan pembentukan Baitul Maal pada tingkatpusat, propinsi, dan kabupaten/kotamadya.Kemudian pengelolaan zakat di Indonesiamengalami perkembangan lebih lanjut dengandikeluarkannya Undang-Undang No.38Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat(UUPZ).

Pada tahun 1990-an, beberapaperusahaan dan masyarakat membentukBaitul Maal atau lembaga zakat yang bertugasmengelola dana ZIS (zakat, infaq dan sedekah)dari karyawan perusahaan yang bersangkutan,dari masyarakat seperti misalnya DompetDhu’afa Republika (DDR). Pada tahun 1997,DDR menggelar seminar zakat perusahaan diJakarta yang pesertanya lebih dari seratusorang, dan 70 % mewakili Baitul Maal lembagazakat dari berbagai perusahaan. Setelahberakhirnya seminar tersebut, atas keinginan

peserta, maka lahirlah suatu asosiasi yangmewadahi dan menjadi pusat informasi danperkembangan zakat bernama Forum Zakat(FOZ).

• Landasan EkonomiDi Negara Republik Indonesia keadilan

sosial bagi warga negaranya merupakan sesuatuyang dicita-citakan. Keadilan di Indonesia tidakhanya menyangkut keadilan ekonomi,melainkan keadilan dalam segala bidang sepertikeadilan hukum, politik dan sosial, karenamemang semuanya menyangkut kesejahteraansosial. Sebagai aspek yang mempengaruhikesejahteraan masyarakat, keadilan ekonomidan keadilan sosial keduanya erat berkaitan.Ekonomi yang kuat akan menunjangkesejahteraan sosial dan masyarakat juga akanmerasakan manfaat dari kekuatan ekonomiitu secara merata. Namun, keadilan dalamberbagai bidang masih jauh dari jangkauan,apalagi keadilan ekonomi. Berbagaiketimpangan telah terjadi di Indonesiatermasuk di bidang ekonomi.(UswatunHasanah : 2000). Sekitar 80% penerimaannegara dihimpun dari sektor pajak, daripenerimaan negara keseluruhan dibagi dalambelanja pemerintah pusat, belanja daerah,keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran,pembiayaan dalam negeri dan pinjaman luarnegeri. Secara eksplisit anggaran untuk rakyatmiskin belum menjadi prioritas bagipemerintah. Walaupun Departemen Sosialmenyediakan anggaran tersendiri, penyerapananggaran tidak cukup menjangkau banyaknyarakyat miskin yang ada.

Menyikapi permasalahan ini, zakat dapatdijadikan salah satu sarana potensial untukmembantu pemerintah dalam mendistribusikankekayaan dan memeratakan pendapatan, yangdapat berimplikasi pada peningkatan tarafhidup masyarakat. Setidaknya ada beberapapotensi ekonomi dalam zakat yang dapatdimanfaatkan dan dilaksanakan di Indonesia.Potensi tersebut meliputi :

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM70

Page 71: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

71

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

• Potensi Material Berdasarkan penelitian PIRAC (Public

Interest Research and Advocacy Center), potensizakat pada tahun 2007 meningkat dari potensizakat ada tahun 2004 yakni dari Rp. 4,45triliun menjadi sebesar Rp. 9,09 triliun. Dalamjumpa pers, Hamid Abidin, KoordinatorProgram PIRAC, menjelaskan bahwa surveiyang dilakukan PIRAC mengungkapan jumlahrata-rata zakat yang dibayarkan para muzakkimeningkat dari Rp. 416.000,- per orang pertahun pada tahun 2004 menjadi Rp.684.550,- per orang per tahun pada tahun2007.

Hamid Abidin juga menyatakan bahwatingkat kesadaran muzakki terhadap kewajibanmembayar zakat pun meningkat, dari 49, 8persen pada 2004 menjadi 55 persen pada2007 dan sebesar 95, 5 persen muzakki yangsadar akan kewajibannya terhadap zakatmengaku menunaikan ibadahnya itu. Namundana zakat tersebut sebagian besar belumterkordinir dengan baik, dan mayoritaspenyalurannya lewat masjid atau musholladengan cara-cara konvensional.

Pada tahun 2005 PBB UIN Jakarta jugamemperkirakan potensi zakat masyarakatIndonesia sebesar 19.3 triliun. Bahkan JamalDoa pernah menghitung potensi zakatmasyarakat Indonesia mencapai 85 triliun.

• Potensi SpiritualMenurut Al Ghazali dan Al Syatibi tujuan

syari’at Islam adalah untuk meningkatkankesejahteraan seluruh umat manusia, yangterletak pada perlindungan agama (din), jiwa(nafs), akal (aqal), keturunan (nasab), dankekayaan (mal) (Al Ghazali : 1937). Begitu jugaM.Umer Chapra. Ia mengatakan keimanandan kekayaan keduanya penting bagikesejahteraan manusia, karena keimananmembantu menimbulkan disiplin untukmencari dan membelanjakan harta, sehinggadimungkinkan akan berfungsi lebih efektif dan

otomatis dalam melindungi kepentingan sosial(Umer Chapra : 2004). Sebagai salah satuinstrumen dalam pranata Islam, potensi zakatyang besar tidak semata-mata hanya lahir daribesaran dana yang dibayarkan yang kemudiandisalurkan kepada kaum mustahik tapi jugakarena jenis-jenis harta yang dikenai zakat.

Yusuf Qardawi juga mengklasifikasikanjenis-jenis kekayaan yang dapat dikenaikewajiban zakat, meliputi binatang ternak,emas dan perak, kekayaan dagang, hasilpertanian, barang tambang dan hasil laut,pencarian dan profesi, investasi pabrik,gedung, saham dan obligasi serta atas hartalainnya.

C. RUANG LINGKUPKelembagaan ZakatPada dasarnya tidak ada struktur

organisasi pengelolaan zakat yang baku didunia ini. Masing-masing negara yang memilikikelembagaan zakat memiliki model yangberbeda-beda. Meskipun demikian, secaraumum pola pengelolaan itu bisa dikategorikanke dalam dua kelompok. Pertama adalahkelompok negara-negara yang mengelola zakatberdasarkan prinsip kesukarelaan, voluntarybasis. Negara-negara yang masuk dalamkategori ini umumnya adalah, negara-negarayang meski mayoritas penduduknya adalahpemeluk agama Islam tetapi hukum Islam tidakmenjadi landasan dasar negara danpemerintahannya, seperti di Malaysia, Mesir.Dan berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999tentang Pengelolaan Zakat, negara Indonesiatermasuk dalam gugus ini. Kedua, adalahkelompok negara-negara yang mengelola zakatberdasarkan prinsip kewajiban, compulsorybasis. (Abidin Salam : 1990).

Pada model ini, negara atau lembaga resmiyang ditunjuk untuk mengelola zakat dapatmemaksakan pembayaran zakat kepadamuzakki berdasarkan ketentuan undang-undang. Umumnya negara-negara yangmenerapkan sistem ini adalah negara yang

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM71

Page 72: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

72

memang menjadikan syariah Islam sebagaihukum dasar di negaranya seperti SaudiArabia dan Sudan. Dalam model yang keduaini, meski menerapkan sistem pembayaranwajib, namun bukan berarti pembayaranseluruh harta yang wajib dizakati berdasarkansyariah harus dibayarkan kepada pemerintahsebagaimana terjadi di masa kekhalifahan.Sistem pembayaran wajib hanya berlaku padaharta dzahir, sedangkan terhadap hartabathiniyah masih dilakukan secara sukarela,artinya para muzakki yang hendakmembayarkan zakat harta bathinnya bolehmemilih untuk membayarkan zakatnya kepadalembaga pemerintah atau membayarkannyasecara langsung secara pribadi maupun melaluilembaga-lembaga swasta.

Indonesia dengan Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakatmenggunakan sistem sukarela. Modelkelembagaan yang dianut adalah multilembaga yang tidak memisahkan fungsipengumpulan dan pendistribusian. Terdapatdua subyek pengelola zakat, yaitu pengelolazakat formal (pemerintah) dan non-formal(masyarakat). Lembaga formal pengelola zakatadalah Badan Amil Zakat (BAZ) yangdibentuk di tingkat nasional, provinsi,kabupaten/kota, dan kecamatan. UU No 38tahun 1999 juga memberikan kewenangankepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) untukmelakukan pengelolaan zakat.

Untuk mewujudkan OrganisasiPengelolaan Zakat (OPZ) yang memenuhikriteria yang ideal kita dapat mengambilpresedennya dari badan yang disebut dengan“KOMISI NEGARA”.

Keberadaan Komisi NegaraSesuai dengan definisi komisi negara

independen di atas, saat ini di Indonesia telahada 13 komisi negara independen (independentregulatory agencies) yang pembentukannyadidasarkan pada peraturan perundang-undangan. Komisi negara tersebut terdiri atas:

Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KomisiNasional Anti Kekerasan TerhadapPerempuan, Komisi Pengawas PersainganUsaha, Komisi Ombudsman Nasional, KomisiPenyiaran Indonesia, Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi (KPK), KomisiPerlindungan Anak, Komisi Kebenaran danRekonsiliasi, Dewan Pers, Dewan Pendidikan,Pusat Pelaporan & Analisis TransaksiKeuangan.

Sebelumnya juga ada Komisi PemeriksaKekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).Namun, setelah berdirinya KPK, keberadaanKPKPN ini kemudian dihapuskan. Meskikeputusan untuk membubarkan KPKPNtersebut cenderung kental dengan nuansa balasdendam anggota DPR yang merasa terganggudengan ’galaknya’ kerja KPKPN; namun, harusdiakui, penyatuan KPKPN ke dalam KPKadalah langkah efisiensi yang cukup tepat.

Selain komisi negara independen, adabeberapa lembaga lain, namun bertanggungjawab kepada presiden –atau merupakanbagian dari eksekutif– sehingga merupakankomisi negara eksekutif (executive branchagencies). Komisi atau lembaga negara itu,beserta dasar hukumnya, berada di bawahatau bertanggung jawab kepada Presiden ataumenteri.

Lembaga ini meliputi; Komisi HukumNasional Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan,Dewan Pembina Industri Strategis, DewanRiset Nasional, Dewan Buku Nasional, DewanMaritim Indonesia, Dewan EkonomiNasional, Dewan Pengembangan UsahaNasional, Komite Nasional KeselamatanTransportasi, Komite Antar DepartemenBidang Kehutanan Komite AkreditasiNasional, Komite Penilaian Independen,Komite Olahraga Nasional Indonesia, KomiteKebijakan Sektor Keuangan, Komite StandarNasional untuk Satuan Ukuran, Komite AksiNasional Penghapusan Bentuk-bentukPekerjaan Terburuk untuk Anak, Tim

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM72

Page 73: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

73

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan,Dewan Gula Nasional, Dewan KetahananPangan, Dewan Pengembangan KawasanTimur Indonesia, Dewan PertimbanganOtonomi Daerah, Dewan PertahananNasional, Badan Narkotika Nasional,Bakornas Penanggulangan Bencana &Pengungsi, Badan Pengembangan Kapet,Bakor Pengembangan TKI, Badan PengelolaGelora Bung Karno, Badan Pengelola KawasanKemayoran, Badan Rehabilitasi danRekonstruksi Wilayah dan KehidupanMasyarakat Propinsi NAD dan Kep. NiasSumatera Utara, Badan Nasional SertifikasiProfesi, Badan Pengatur Jalan Tol, BadanPendukung Pengembangan Sistem PenyediaanAir Minum, Lembaga Koordinasi danPengendalian Peningkatan Kesejahteraan SosialPenyandang Cacat, Lembaga Sensor Film,Korsil Kedokteran Indonesia, Badan PengelolaPuspiptek, Badan Pengembangan KehidupanBernegara, Dewan Penerbangan danAntariksa Nasional

Untuk pengaturan zakat, kamimengusulkan bentuk yang paling ideal saat iniadalah Komisi Negara. Melalui Undang-Undang Zakat yang baru nanti pembentukanlembaga negara non departemen sangatdibutuhkan. Bentuknya berupa BadanKoordinasi Pengelolaan Zakat / BKPZ).

Badan Koordinasi Pengelolaan ZakatBadan Koordinasi Pengelolaan Zakat

(BKPZ) ini nantinya berfungsi sebagai badanyang melakukan pengaturan dan pengawasansecara keseluruhan. Ia memiliki kewenangandelegatif untuk mengeluarkan regulasi-regulasitentang zakat. Baik berkaitan dengan nisabdan kadar zakat, penentuan kriteria mustahik,pengaturan pendistribusian dan lainsebagainya. Keberadaan BKPZ juga berperanmembuat pengaturan berkaitan dengan aspekpengumpulan, pencatatan, pelaporan danpendayagunaan zakat.

Dengan demikian secara rutin BKPZ akan

dapat mengeluarkan peraturan-peraturanbaru yang mengikat terhadap operasionalisasilembaga pengelola zakat. Seperti halnya peranBank Indonesia (BI). Secara periodik BankIndonesia dapat mengeluarkan peraturanbaik berupa Surat Edaran (SE), SuratKetetapan (SK) dan bentuk peraturan lainnya.Peraturan BI harus ditaati oleh bank, baikswasta maupun bank pemerintah.

Salah satu contoh negara yang memilikipengaturan zakat tersendiri adalah Pakistan.Melalui Ordonansi Zakat dan Ushr tahun1980 Pakistan mendirikan lembaga DewanSentral Zakat (Central Zakat Council/CZC)dan lembaga Administrasi Sentral Zakat(Central Zakat Administration). CZCmerupakan lembaga yang memilikikewenangan membentuk peraturan tertinggidan kebijakan tertinggi dalam hal zakat.Sedangkan CZA memiliki kewenangan untukmembuat peraturan pelaksanaan yang lebihmendetail mengenai pelaksanaan,pengumpulan, pendistribusian, pengelolaanzakat termasuk aturan audit, keuangan dansistem operasi zakat. Nah, nantinya BKPZdiharapkan memiliki kewenangan tersebutditambah kewenangan merumuskan kebijakantertinggi pengelolaan zakat.

Fungsi lainnya yang diharapkan ada padaBKPZ adalah pengawasan. BKPZ memastikanbahwa peraturan-peraturan yangdikeluarkannya berjalan dengan baik. BKPZmelakukan pengawasan atas pengelolaan zakatapakah pengelolaan sesuai dengan syariah danperaturan, apakah ia berjalan sesuai prinsip-prinsip keuangan, pencatatan, akuntabilitas,dan apakah berjalan dan dikelola secaraekonomis.

Dalam kaitannya dengan fungsipengaturan dan pengawasan, maka BKPZ-lahyang memiliki kewenangan memberikan izinatas Lembaga Amil Zakat (LAZ) yangmenjalankan fungsi pengelolaan zakat. BKPZyang menentukan syarat-syarat pendirian LAZ,standar operasional LAZ, sistem

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM73

Page 74: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

74

pertanggungjawaban publik LAZ. BKPZ tidakhanya menjadi regulator bagi operasi LAZtetapi juga pengawas LAZ. Dengan demikiankepercayaan publik, akuntabilitas, integritasdan profesionalitas pengelolaan zakat olehLAZ akan tetap terjaga.

Dengan demikian, di dalam paper ini kamimengusulkan keberadaan operator(penghimpun dan pengelola zakat) hanyadilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ).Sementara keberadaan Badan Amil Zakat(BAZ) yang sekarang ada, akan didorongsepenuhnya menjadi fungsi regulator danpengawas. Atau perwujudan dari BKPZ.

Nah, jika keberadaan BAZ, baik Baznasmaupun Bazda ingin tetap mengelola zakat,maka mereka harus merubah lembaganyamenjadi LAZ.

Struktur BKPZStruktur BKPZ menyesuaikan diri dengan

pembagian wilayah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah untukmengoptimalisasikan peranannya, denganbeberapa penyesuaian dilihat berdasarkanprinsip administrasi zakat yang efisien, efektifdan ekonomis. BKPZ terdiri dari BKPZNasional , BKPZ Propinsi dan BKPZKabupaten/Kota.

BKPZ Nasional merupakan Komisi Negarayang pembentukannya berdasarkan UU.Kemudian BKPZ Propinsi dibentuk olehBKPZ Nasional, di mana BKPZ Nasional jugamemiliki kewenangan untuk menentukanwilayah operasional BKPZ Propinsi. Dengandemikian sangat mungkin suatu BKPZPropinsi demi efisiensi sepanjang tugasnyadapat dilaksanakan secara efektif dapatmencakup lebih dari satu propinsi. AdapunBKPZ Kabupaten/Kota didirikan oleh BKPZPropinsi dengan kewenangan menentukanwilayah BKPZ Kabupaten/Kota.

BKPZ Nasional adalah lembaga satu-satunya yang berwenang mengeluarkanperaturan perundang-undangan di bawah

Undang-Undang yang mengatur mengenaipengelolaan zakat. Adapun BKPZ Propinsidan BKPZ Kabupaten/Kota hanya memilikikewenangan pengaturan yang sifatnyakebijakan dan berlaku hanya pada wilayahkewenangannya saja. Polapertanggungjawaban pada komisi ini adalahpola bertingkat. BKPZ Kabupaten/Kotabertanggungjawab kepada BKPZ Propinsi.BKPZ Propinsi bertanggungjawab kepadaBKPZ Nasional. BKPZ Nasionalbertanggungjawab kepada DPR RI.

BKPZ Kabupaten/Kota memilikikewenangan memberikan serta mencabut izinoperasional kepada BKPZ Kabupaten/Kota,dan melakukan pengawasan terhadappengelolaan zakat. BKPZ Kabupaten/Kotajuga memiliki kewenangan mengkoordinasikanLAZ-LAZ Kabupaten/Kota dalampengumpulan dan terutama pendistribusianzakat. Selain itu BKPZ Kabupaten/Kota jugamemiliki tugas edukasi masyarakat danmeningkatkan kesadaran masyarakat ataskewajiban membayar zakat.

BKPZ Propinsi memiliki kewenanganuntuk memberikan serta mencabut izinoperasional kepada LAZ Propinsi, danmelakukan pengawasan terhadap pengelolaanzakat di tingkat propinsi. BKPZ Propinsi jugamemiliki kewenangan mengkoordinasikanLAZ-LAZ Propinsi. Selain itu pembinaanBKPZ Kabupaten/Kota dan edukasimasyarakat juga menjadi tugas dari BKPZPropinsi.

BKPZ Nasional selain mempunyaikewenangan membentuk peraturanperundang-undangan juga memilikikewenangan menentukan kebijakan nasionalzakat, melakukan pengawasan kepada LAZ-LAZ Nasional, dan melakukan pembinaandan mengkoordinasikan BKPZ-BKPZPropinsi.

Untuk optimalisasi potensi zakat yang adadi Indonesia perlu ekspansi wilayah potensi.Salah satunya adalah pemberian insentif pajak

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM74

Page 75: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

75

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

di mana zakat dapat mengurangi pajaksebagaimana yang dilaksanakan di Malaysia.Oleh karenya diperlukan koordinasi yang baikantara Departemen Agama, DepartemenSosial dan Departemen Keuangan. Upayakoordinasi ini dapat diwujudkan denganmengisi komposisi SDM di BKPZ Nasional.Di BKPZ, masing-masing mewakilkan satuutusan departemen terkait sebagai anggotadalam komisi negara tersebut. Di samping jugatentunya ulama, cendikiawan, tokohmasyarakat, praktisi keuangan, akademisi dankomposisi lain yang bisa mendukung BKPZ.Peran serta masyarakat terutama praktisi yangberkecimpung di bidang perzakatan juga harusdiakomodir sebagai bentuk partisipasimasyarakat dalam perwujudan goodgovernance. Dengan demikian BKPZ Nasionalterdiri dari unsur pemerintah, ulama, danmasyarakat, dengan komposisi 3:6:4. BKPZNasional dibantu oleh sekretariat jenderaluntuk urusan administrasi perkantorannya.

Sedangkan BKPZ Propinsi, unsurpemerintah diwakili oleh Gubernur atauutusan Pemerintah Propinsi. Unsur ulama danmasyarakat dengan perbandingan 4:2.Adapun BKPZ Kabupaten/Kota terdiri dariBupati/Walikota atau utusannya ditambah2 wakil ulama dan 2 wakil masyarakat.Keseluruhan tingkatan dibantu olehSekretariat Jenderal masing-masing.

Hubungan Antara BKPZ dengan LAZAdministrasi pengelolaan zakat yang baik

membutuhkan pembagian peran dan fungsipengelolaan, pengawasan, koordinasi, danpengaturan serta pola hubungan antar subyek-subyek pengelola. Inilah salah satu kelemahanUU No. 38 tahun 1999. Termasuk juga tidakadanya pengawasan yang ketat baik kepadalembaga zakat pemerintah maupun swasta.Keberadaan Badan Pengawas yang ada di BAZselama ini hanya bersifat internal saja. Ia hanyamelakukan pengawasan yang sifatnya prefentif.Padahal pengelolaan zakat membutuhkan sifat

pengawasan yang tidak sekedar prefentif tetapijuga korektif. Dengan tidak optimalnya fungsipengawas yang ada di dalam struktur BAZ,maka keberadaan BKPZ sangat pentingdimunculkan.

Dengan struktur BKPZ dan LAZ makafungsi Pengaturan dan Pengawasan akandilakukan oleh BKPZ, sementara pengelolazakat diperankan oleh LAZ sesuai denganaturan yang telah ditetapkan oleh BKPZ.Hubungan antara keduanya dilakukanberdasarkan wilayah kewenangannya. LAZ-LAZ Kabupaten/Kota diawasi dandikoordinasikan oleh BKPZ Kabupaten/Kota.LAZ-LAZ Propinsi di bawah BKPZ Propinsidan LAZ-LAZ Nasional diawasi dandikoordinasikan oleh BKPZ Nasional.

Struktur pengelolaan zakat yang diusulkanini akan membentuk piramida organisasipengelola zakat. Struktur ini memungkinkantumbuhnya LAZ-LAZ di tingkat Kabupaten/Kota. Kemudian LAZ-LAZ Propinsi dalamproporsi yang lebih ramping, dan padapuncaknya adalah LAZ-LAZ Nasional. Kunciagar memastikan piramida ini dapat berjalanmaka perlu pengaturan persyaratanpembentukan pada masing-masing tingkatanoleh BKPZ Nasional. Salah satu tujaun daripengaturan semacam ini adalah untukmemastikan transformasi perilaku masyarakatyang masih menjalankan kewajiban zakatnyasecara tradisional dapat tetap berjalan denganbaik.

Pengumpulan, Pendistribusian,Pendayagunaan, dan Sanksi

• PengumpulanDalam pengumpulan zakat, peran LAZ

sangat penting. LAZ merupakan pelaksanautama pengumpulan zakat di tingkat nasional,provinsi, kabupaten/kota, bahkan luar negeri.Selain itu, LAZ dimungkinkan membentukunit-unit pengumpul zakat sebagai unitpembantu pelaksana pengumpulan zakat.Dengan demikian, nantinya akan ada lebih

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM75

Page 76: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

76

dari satu LAZ di Indonesia. Dengan demikianmuzakki memiliki keleluasaan dalam memilihlembaga amil mana yang akan dipercaya untukmengumpulkan dan menyalurkan danazakatnya. Sementara LAZ akan terpacu danberlomba berinovasi untuk menggaet muzakki.

Dari sisi muzakki juga akan sangatterbantu. Karena dengan banyaknya LAZakan memudahkan mereka menghitung hartayang hendak dizakati. Muzakki juga akanmenerima bukti pembayaran zakat denganmudah. Seperti mereka membayar pajak.Begitu selesai membayar pajak lalu merekamenerima bukti pembayarannya. Buktipembayaran tersebut nantinya akan dipakaisebagai bukti bahwa muzakki telahmelaksanakan kewajibannya melaksanakanzakat sehingga zakat tersebut bisa menjadiunsur pengurang pajak penghasilan.

• Pendistribusian dan PendayagunaanAgar dana zakat yang disalurkan dapat

berdayaguna dan berhasil guna makapemanfaatannya harus selektif. Sedapatmungkin digunakan untuk memenuhikebutuhan yang bersifat produktif tanpameninggalkan pemenuhan kebutuhankonsumtif. Hal lain yang perlu diperhatikanjuga adalah kebutuhan mustahik. Di beberapaayat di Alquran disebutkan bahwapembayaran zakat di utamakan untukmustahik yang ada di lingkungan muzakki.

Namun, pemerataan kebutuhan mustahikdi seluruh pelosok juga perlu diperhatikan.Untuk itu, pendistribusian danpendayagunaan zakat, termasuk harta selainzakat, dilakukan oleh LAZ denganmemperhatikan ; berdasarkan pada databaseyang ada di BKPZ, berdasarkan skala prioritaskebutuhan mustahik sesuai pedomanpendistribusian dan pendayagunaan zakatyang ditetapkan oleh BKPZ Nasional. Dalammengelola zakat, LAZ wajib mencatat datapengumpulan, pendistribusian, danpendayagunaan zakat dan harta selain zakat.

• PengawasanDalam struktur kelembagaan pengelolaan

zakat, fungsi pengawasan lembaga mutlakdiperlukan. Hal ini dilakukan guna menjagakewenangan yang diberikan kepada lembagapengelola zakat agar tidak merugikankepentingan publik. Dengan adanyapengawasan dan mekanisme kontrol yang jelas,penyimpangan hukum dan penyalahgunaankewenangan dapat dicegah atau setidaknyadireduksi.

Ada tiga aspek yang terkait denganmasalah pengawasan dan mekanisme kontrolsecara umum. Pertama adalah metodependekatan dalam pengawasan, kedua adalahpelaksana pengawasan, dan ketiga, obyek yangdiawasi. Metode pendekatan dalampengawasan dapat dilakukan secara preventif,detektif dan represif. Sementara pelaksanaanpengawasan dapat dibuat mekanisme kontrolyang proporsional dan obyektif, baik secarainternal lembaga maupun ekternal lembaga.Sedangkan obyek yang diawasi meliputi aspeksyariah, aspek keuangan dan aspek ekonomi.

Di samping aspek-aspek di atas,pengawasan juga penting dilakukan olehmasyarakat secara umum. Sebab peran sertamasyarakat dalam praktik penyelenggaraanpemerintahan demokrasi akan memperkuatposisi tawar rakyat. Peran serta masyarakatdalam praktik penyelenggaraanpemerintahan, demokrasi juga menempatkanpola hubungan yang bersifat permanen antarapihak pemerintah yang mendapat mandatrakyat untuk menjalankan pengelolaanpemerintahan negara dan daerah dan rakyatselaku pemilik kedaulatan sejati. Tuntutanuntuk mewujudkan good governancemerupakan keniscayaan seiring denganperkembangan demokrasi dan reformasi.

• SanksiDalam melaksanakan kewajiban, umat

Islam membutuhkan peran serta pemerintah.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM76

Page 77: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

77

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Zakat tidak akan pernah dapat terlaksanadengan baik, kecuali dengan adanya dukungandan peran pemerintah. Jika zakat telah secaralegal diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka implikasinyaadalah adanya kewajiban seluruh warga negarayang beragama Islam dan telah memenuhisyarat sebagai muzakki untuk mengeluarkanzakat. Dalam konteks ini, suatu hal yangmemaksa, apabila ditinggalkan akanmendapatkan konsekuensi secara hukum. Halinilah yang sering kita sebut dengan sanksi.Beberapa ahli hukum berpendapat bahwaadanya sifat memaksa dalam hukummenyebabkan sanksi menjadi bagian yang tidakterpisahkan dari penegakan hukum itu sendiri.Sebenarnya sanksi bukanlah suatu keharusan,itu sebabnya tidak seluruh peraturanmencantumkan adanya sanksi. Namun padakenyataannya peraturan yang tidak memuatsanksi amat mudah dilanggar dan justrumenjadi peraturan yang mandul.

Islam telah menggariskan konsepnyasendiri. Islam memandang bahwa pemberiansanksi merupakan bagian dari penegakansyariah, terutama ibadah zakat. RasulullahSAW pernah memberikan pelajaran pentingmengenai sanksi bagi muzakki yang tidakmembayar zakat. Suatu hari ada orang Baduiyang datang menghadap Rasulullah SAW danmenyampaikan perilaku petugas pemungutzakat yang berlaku kasar. Namun RasulullahSAW justru meminta orang tersebut untukmelayani petugas pemungut zakat tersebutdengan baik. Sejak saat itu petugas pemungutzakat yang ditugaskan selalu pulang denganmudah. Namun demikian tidak satu pun darimereka yang menarik denda dari para muzakkiyang lalai. Apabila muzakki tersebut ingkarzakat mereka hanya akan memaksa muzakkiuntuk mengeluarkan hartanya.

Ketentuan di atas menjadi landasanberpikir kita dalam menentukan sanksi yangtepat bagi muzakki yang tidak membayar zakat.Dalam konsep hukum Islam, hukuman bagi

muzakki yang tidak membayar zakat memangtidak ditentukan di dalam Al Qur’an danHadis. Al Qur’an dan Hadis hanyamemerintahkan penguasa untuk mengambilharta zakat, apabila muzakki tidak maudiambil zakatnya, maka ia akan dihukumlangsung oleh azab Allah. Muzakki tidak di-qisas melainkan hanya di-ta’zir. Hukumanta’zir diserahkan kewenangannya kepadapemerintah untuk memutuskan bentuk danjenisnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka sanksi yangakan diberikan harus dibedakan antara sanksibagi muzakki maupun amil, bahkan sanksi bagimustahik. Sanksi bagi mustahik diberikanapabila mustahik memberikan keteranganpalsu mengenai keadaan dirinya. Sedangkanpelanggaran bagi muzakki ada beberapamacam bentuknya, di antaranya, muzakkimemberikan keterangan yang salah kepadapetugas zakat, muzakki curang dalammelakukan penghitungan zakat, muzakki lalaidalam pembayaran zakat dan muzakki tidakmau bayar zakat.

Sedangkan bagi Lembaga Amil Zakat, adabeberapa pelanggaran yang mungkin terjadi.Pelanggaran ini di antaranya: Lembaga AmilZakat melakukan kesalahan dalampencatatan, Lembaga Amil Zakat melanggarprosedur atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, Lembaga Amil Zakatmelakukan penyelewengan dana zakat. Terkaitdengan hal ini maka sanksi yang diberikankepada Lembaga Amil Zakat yang mungkinantara lain : Bagi Lembaga Amil Zakat yangmelanggar prosedur ; diberikan suratperingatan, penurunan status LAZ,pembekuan LAZ, pencabutan izin danpembubaran LAZ

Sementara bagi Lembaga Amil Zakat yanglalai dalam pencatatan akan dikenakan denda,bagi Lembaga Amil Zakat yang melakukanpenyelewengan dana zakat dikategorikansebagai penggelapan dan akan diancampidana berupa denda/kurungan penjara.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM77

Page 78: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

78

Setelah membahas mengenai sanksi paraamil, muzakki dan mustahik, maka pertanyaanyang harus dijawab selanjutnya adalah siapakahyang berhak untuk memberikan sanksi.Apabila pelanggaran yang dilakukan adalahpelanggaran administratif dan sanksi yangdiberikan adalah sanksi administratif, makasanksi diberikan oleh BKPZ. Sedangkan untuksanksi pidana hanya dapat diberikan setelahadanya proses di pengadilan.

PenutupMemberi ruang gerak yang lebih luas bagi

partisipasi publik merupakan ciri negara yangmenjunjung tinggi civil society. Di dalam konsepcivil society terpancar semangat partisipatif darimasyarakat. Sementara peran negara harusdikurangi karena masyarakat telah mampu

mengatur dirinya sendiri. Melalui NaskahAkademik (academic paper) yang kami usulkanini, kami ingin berpartisipasi dalampenyusunan RUU Zakat yang baru. Maksuddan tujuan kami tidak lain kecuali turut sertaberpartisipasi dalam penataan kelembagaanzakat di tanah air ini. Karena kami yakin, ketikakelembagaan zakat dapat tertata dengan baikmaka potensi zakat yang besar akan dapattergali secara optimal.

Naskah Akademik merupakan sesuatuyang mutlak bagi penyusunan RUU(Rancanangan Undang-Undang). Olehkarenanya, dalam rangka mendukunglahirnya UU Zakat yang isinya pro terhadapaspirasi masyarakat, maka perlu kami dukungdengan membuat Naskah Akademik ini.Semoga bermanfaat.:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM78

Page 79: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

79

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

PendahuluanZ akat, infak, sedekah dan wakaf(ZISWAF) sebagai salah satu bentukperibadatan, memiliki pesan mulia

yakni mengedepankan nilai-nilai sosial danpembangunan ekonomi di samping pesan-pesan ritual. Pembangunan ekonomi yangdilakukan Nabi Muhammad SAW, tampakjelas berorientasi kerakyatan danmengedepankan tindakan agar peredaranharta dan kesejahteraan (hadd al kifayah) bisadinikmati oleh kaum aghniya (the have)maupun kaum miskin.

“Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikanAllah kepada Rasul-Nya yang berasal daripenduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam

perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredardi antara orang-orang kaya saja di antara kamu.Apa yang diberikan Rasul kepadamu makaterimalah itu. Dan apa yang dilarang bagimumaka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepadaAllah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al Hasyr : 7)

Ayat ini memiliki pesan yang sangat pentingterutama bagaimana harta benda yang dimilikiseseorang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pesan tersebut meliputi :

(1) Harta cenderung berputar di antaraorang kaya saja. Dalam ilmu ekonomi dikenaladanya “arus lingkar (circulation flow)” harta(Muhamad : 2006, hal. 89, Arsyad : 1999,hal. 3) sebagai berikut :

(a) Gerak pertama merupakan geraklingkar harta dalam rumah tangga produsen

Pentingnya PenataanKelembagaan Zakat

Demi Perbaikan di MasaMendatang

Sahri MuhammadAbstrakIbadah zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) bukan hanya membawa pesan ritualnamun juga memiliki pesan sosial dan pesan bagi pembangunan ekonomi. Sementarapembangunan ekonomi yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW adalah pembangunandengan sistem pemerataan. Sehingga hasilnya dapat dinikmati baik oleh golongan kayamaupun masyarakat miskin. Pesan ini sama seperti pesan yang terkandung di dalam konsepdemokrasi. Di mana “menafkahkan sebagian harta” untuk menunjang pembangunan dapatdilakukan oleh swasta maupun pemerintah. Kelembagaan dan tujuan pengelolaan ZISWAFadalah untuk mengupayakan masyarakat miskin agar mencapai tingkat hadd al kifayahsecara berkelanjutan. Paradigma penyaluran zakat, infak dan sedekah (ZIS) yang dicontohkanoleh Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Umar ra adalah menggunakan paradigma “peoplecentered”, yaitu pengumpulan dilakukan secara nasional atau regional, namun penyalurandilaksanakan secara lokal.

Kata kunci : hadd al kifayah, sistemik, kelembagaan, paradigma dan “people centered”.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM79

Page 80: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

80

/ pengusaha sebagai penyedia pekerjaan.Akumulasi keuntungan menjadikan “hartaberputar” di antara para pemilik modal.

(b) Gerak kedua merupakan geraklingkar harta dalam rumah tangga lembagakeuangan / bank sebagai penyedia modal.Akumulasi keuntungan dari bunga bank ataukeuntungan (bank syari’ah) menjadikan “hartaberputar” di antara pemilik modal bank.

(c) Gerak ketiga merupakan geraklingkar dalam rumah tangga negara sebagaipenyedia pelayanan publik. Akumulasi “kolampajak” menjadikan harta berputar di antara“para elite politik dan birokrasi negara”.

(2) Supaya harta tidak hanya berputardi antara orang kaya saja, maka menurut AlQur’an diperlukan langkah penerapan “fa’i”,atau bentuk lain, yaitu :

(a) Menafkahkan sebagian harta(perusahaan, bank dan negara) sebagaitanggung jawab sosial dalam bentuk corporatesocial responsibility (CSR) atau anggaran(RAPBN/RAPBD) untuk menanggulangikemiskinan.

(b) Menunaikan zakat sebagai tanggungjawab agama dan sosial-ekonomi untukmenyelesaikan permasalahan delapan asnaf(At Taubah : 60).

Dalam hubungannya denganpembangunan ekonomi ini Imam Al Layts ibnSa’ad (39 H – 175 H) berdarah Mesir al-Qibthi teman sejawat Imam Malik, tergolongimam fikih yang kaya, yang memberikan makanfakir miskin 300 orang perhari, memberikanfatwa tentang pembangunan dankesejahteraan sebagai berikut :

Siapapun tidak berhak menimbun hartakekayaan kecuali penghidupan masyarakat telahmencapai hadd al kifayah (batas kecukupan).Pertumbuhan ekonomi masyarakat perlu menjadiperhatian utama dari para penguasa. Parapenguasa dan para pejabat pemerintah memikulpertanggungjawaban di hadapan Allah SWT ataskewajiban mengupayakan terwujudnyapertumbuhan ekonomi mencapai taraf

penghidupan masyarakat yang dapat mencapaihadd al kifayah, yaitu terjaminnya beberapakebutuhan penting, seperti makanan, minuman,tempat tinggal yang layak, sarana angkutan sepertikeledai, onta dan kuda (sekarang mobil),pengetahuan yang menyelamatkan, kemampuanmembayar hutang dan semua sarana untukmewujudkan kehidupan yang tenang, tenteramdan terhormat. (Syarqawi, 2000)

Mekanisme zakat merupakan salah satuproses redistribusi untuk meraih tujuan haddal kifayah tersebut. Dalam surat At Taubah(9) : 60, dan 103 memberikan petunjuktentang arah pengumpulan dan penyaluranzakat, yaitu :

(1) Arah penyaluran zakat, At Taubah60 :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalahuntuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yangdibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah danorang-orang yang sedang bepergian, sebagaisesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah”.

(2) Arah pengumpulan zakat, AtTaubah 103 :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu mensucikan danmenyuburkan mereka, dam mendoakan untukmereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)ketenteraman jiwa bagi mereka”.

Surat At Taubah 103 menjelaskan bahwafungsi zakat yang utama adalah mensucikandan menyuburkan harta, yang mengandungmakna ibadah spiritual dan ibadah sosial-ekonomi (menyuburkan = pertumbuhanekonomi). Atas dasar prinsip tersebut, makaImam Ibn. Hazm, seorang imam fikih (384 H– 456 H) dari Andalus (Eropa) memfatwakantentang penanggulangan kemiskinan denganpendapatnya :

Tak ada suatu apapun yang membuat seorangmuslim terpaksa dalam makan makanan yangdiharamkan Allah seperti bangkai, darah dandaging babi. Seorang muslim tidak akan terpaksa

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM80

Page 81: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

81

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Nama

Imam Zaydibn Z’abidin

Imam Ja’farash-Shadiq

Imam AbuHanifah Persia

Imam MalikMadinah

Imam Al LaytsMesir

Imam M. AshSyafi’i

Imam Ahmadibn Hambal

Imam ibn Hazm(Andalus, Eropa)

Imam Al ‘Izz‘Izzudin

Umur (H)

80 H-122 H

180 H-148 H

80 H-150 H

93 H-180 H

39 H-175 H

149 H-204 H

384 H-456 H

755 H-660 H

Alqur’an

V

v

v

v

v

v

v

v

v

Sunnah

v

v

Haditsshahih

v

v

v

v

v

v

Ijma’

-

Utamanya ijma’Madinah

Ijma’ dan ra’yi

Jalan tengah Ijma’dan ra’y

Jalan tengahIjma’; dan ra’y

Ijma’ tidak mestiMadinah

v

Qiyas

VIstihsan, kemaslahatanumat

V

V

V

V

V

V

V

V

Akal

v

v (ra’yi)Istiqra’ danistinbath

v (Imam ar-ra’y)

v

ar ra’y

v

v

vAkal untukmemahami Alqur’andan Asunnah

v

Fakta

-1vekperimen

v

v

v-1

v

v-3

(2) (3)

Ilmu Pengetahuan

Landasan Berijtihad

makan makanan seperti itu, kecuali dia telahdicekik kelaparan. Jika ada seorang muslim dicekikkelaparan di kampung halamannya sendiri, makapenguasalah yang bertanggungjawab mengadakanmakanan baginya. Jika harta baitul maal tidakcukup untuk memberikan makan orang-orang yangkelaparan, maka penguasa harus mewajibkan hartakaum kaya untuk mencukupi kebutuhan kaum yangkelaparan. Apabila penguasa tidak mengambiltindakan semacam itu, maka ia berdosa. (Syarkawi: 2000).

Dengan demikian pengelolaanZISWAF menekankan dua hal, yaitu :

(1) Adanya lembaga zakat untukmengelola “redistribusi ekonomi”.

(2) Adanya paradigma pengelolaanuntuk meraih kesejahteraan hadd al kifayah.

Masalah kelembagaan amil di awalpertumbuhan peradaban Islam pada zamanNabi Muhammad SAW dan khulafa’ al-

rasyidin, terutama zaman Abu Bakar al-Shidiq, dapat ditelusuri dari beberapaketerangan hadits termasuk hadits yang isinyamemerintahkan Muadz ibn Jabal dan dialogMuadz dengan Nabi :

Nabi: Mu’adz, apa tindakanmu jikakepadamu diajukan sebuah kasus(perkara)?

Mu’adz: Akan aku putuskan berdasarkanKitab Allah (Alqur’an)!

Nabi: Jika kamu tidak dapatkan dalamAlqur’an?

Mu’adz: Akan aku putuskan menurut SunnahRasulullah!

Nabi: Jika tidak ada (juga)?Mu’adz: Aku akan berijtihad dengan

seksama!Sejarah ijtihad sepanjang peradaban

Islam abad pertengahan dapat diperhatikanpada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Review landasan metode ijtihad sembilan imam fikih dalam penetapan hukum syariat (Syarkawi, 2000)

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM81

Page 82: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

82

Keterangan :(1)Menurut Imam Ja’far Ash Shadiq dan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa hakikat ilmu adalah bersumber dari Alqur’an, As

Sunnah dan ilmu Pengetahuan alam dan sosial termasuk aljabar, ilmu fisika, kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya,termasuk ilmu ekonomi. Oleh karena itu untuk memperkuat kemampuan merumuskan fikihnya, maka kedua imam tersebutbelajar ilmu-ilmu umum.

(2)Menurut Imam Izzudin pada dasarnya perbedaan pendapat antara mazhab tidak ada, kecuali masalah furu’ (cabang) saja.(3)Dari kesembilan imam fikih, Imam Hazm dan Imam Izzudin terlibat langsung pada kegiatan pemerintahan. Imam Izzudin

bahkan ikut mempengaruhi kebijakan pajak, agar “pajak untuk usaha kecil dihapus, dan pajak bagi orang kaya dinaikkan”(hal. 694) (Syarkawi, 2000)

Khususnya di negara kita, kegiatanmengelola zakat untuk menanggulangikemiskinan, harus kita perhatikankelembagaan lain dengan tugas, misi dantanggung jawab serupa, yaitu :

(1) Lembaga perusahaan dengan danatransfer berupa CSR (corporate socialresponsibility);

(2) Lembaga keuangan juga dengan danatransfer berupa CSR.

(3) Lembaga negara dengan kebijakananggaran RAPBN/RAPBD.

Dengan demikian setiap kitamembicarakan “sistem pengelolaanzakat”, maka kita akan dihadapkanpada dua persoalan pokok, yaitu :

(1) Kelembagaan dan atau kolaborasiantar kelembagaan dengan misi serupa;

(2) Paradigma pengelolaan sebagai carapandang dan prinsip kerja yang akanmengarahkan lembaga amil zakatuntuk mencapai hadd al kifayah yangtelah digariskan dalam Sunnah Nabidan Alqur’an At Taubah : 60.

Pendekatan Sistem DalamPengelolaan ZISWAF

Pengelolaan ZISWAF terkait dengankebijakan pemerintah berarti kegiatanpengumpulan dan penyaluran untukmencapai tujuan sangat kompleks dan harusdidekati secara sistemik. Ada dua pendekatanyang digunakan untuk mendefinisikan sistem,yaitu :

(1) Pendekatan sistem yang menekankanpada prosedur mendefinisikan sistemadalah suatu jaringan kerja danprosedur yang saling berhubungan,berkumpul bersama-sama untukmelakukan kegiatan atau untukmenyelesaikan suatu sasaran tertentu.

(2) Pendekatan sistem yang lebihmenekankan pada komponenmendefinisikan sistem adalahsekumpulan dari elemen yangberinteraksi untuk mencapai tujuantertentu. Suatu sistem mempunyaimaksud tertentu yang sering disebutdengan tujuan (goal) atau sasaran(objective).

Gambar 1.1 adalah karakter atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh sistempengelolaan ZISWAF.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM82

Page 83: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

83

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Keterangan :(1) Batas sistem(2) Lingkungan luar sistem yang

berpengaruh : sistem politik, APBN/APBD,sistem upah, lembaga keuangan / bank,sumberdaya alam dan pemilik modal (CSR)

Dari Gambar 1.1 dapat dijelaskan sistempengelolaan ZISWAF sebagai berikut :

(1) Komponen sistem ; Suatu sistemmemiliki sejumlah komponen yang salingberinteraksi dan bekerja sama untukmembentuk satu kesatuan. Setiap komponenmempunyai sifat-sifat dari sistem untukmenjalankan suatu fungsi tertentu danmempengaruhi suatu proses sistem secarakeseluruhan.

(2) Batas sistem ; Batas sistemmerupakan daerah yang membatasi antarasatu sistem dengan sistem lainnya. Batas sistem

ini memungkinkan bagi suatu sistemdipandang sebagai satu kesatuan.

(3) Lingkungan luar sistem ; Lingkunganluar sistem merupakan segala sesuatu di luarbatas suatu sistem (CSR dan kebijakanpemerintah) yang mempengaruhi operasi lain.Lingkungan luar sistem bisa bersifatmenguntungkan dan juga merugikan sistem itusendiri.

(4) Penghubung sistem ; Penghubungsistem merupakan media penghubung antarasatu sub-sistem dengan sub-sistem lainnya.Melalui penghubung ini memungkinkansumber-sumber daya mengalir dari satu subsistem mengalir ke sub sistem lainnya dan jugasub sistem-sub sistem lainnya, dan juga subsistem-sub sistem tersebut dapat berintegrasimembentuk satu kesatuan.

(5) Masukan (Input) sistem ; Masukansistem adalah energi yang diberikan padasistem. Masukan bisa berupa perawatan dan

Gambar 1.1 Gambaran sistem pengelolaan ZISWAF dan lingkungannya

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM83

Page 84: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

84

masukan sinyal. Masukan perawatan adalahenergi yang dimasukkan supaya sistem tersebutdapat beroperasi. Masukan sinyal adalahenergi yang diproses untuk mendapatkankeluaran. Dalam sistem pengelolaan zakatsebagai input adalah ZISWAF dari Muzakkisesuai kondisi sumberdaya yang tersedia.

(6) Keluaran (Output) sistem ; Keluaranmerupakan hasil dari energi yang dioleh dandiklasifikasikan menjadi keluaran yangberguna. Keluaran dapat merupakanmasukan subsistem yang lain. Dalam sistempengelolaan ZISWAF sebagai keluaran adalahhasil pemecahan permasalahan kesejahteraanyang dihadapi delapan asnaf Mustahik.

(7) Pengelolaan sistem ; Suatu sistemmempunyai suatu proses pengelolaan yangakan mengubah masukan menjadi keluaran,mencakup : sistem dan prosedur, program,biaya dan penerimaan, juga termasukkebijakan pengelolaan untuk mencapaikeluaran yang paling optimum untukmencapai standar akreditasi.

(8) Sasaran sistem ; Setiap sistem punyatujuan atau objektif masing-masing. Jika sistemtidak punya sasaran, operasi pada sistem tidakada gunanya. Sasaran sistem sangatmenentukan masukan yang dibutuhkan sistemdan keluaran yang dihasilkan sistem. Suatusistem dikatakan berhasil jika mencapaisasaran atau tujuannya, yaitu memecahkanpermasalahan yang dapat meningkatkankesejahteraan mustahik.

Kelembagaan PengelolaanZISWAF

Bahasan tentang sistem pengelolaan zakatberkelanjutan, menggambarkan dua istilahterkait satu sama lain, yaitu : (1) “Kelembagaanpengelolaan zakat” dan (2) “Paradigmapengelolaan berkelanjutan”. Untuk maksudtersebut, berikut disajikan secara singkattentang variasi sistem dan kelembagaanpengelolaan zakat dunia Islam saat ini.

(a) Pertama

Dalam upaya untuk memecahkanpermasalahan yang dihadapi mustahik,khususnya sejak UU No. 38 Tahun 1999,sampai saat ini masih ada permasalahanmendasar berkenaan dengan kondisi danvariasi kelembagaan pengelolaan ZISWAF didunia Islam, seperti yang dinyatakan olehMufti dan Ridlo (2006) berkenaan denganbentuk pengelolaan zakat di negara-negaraIslam abad modern, keduanya ditunjukkanpada Tabel 1.2 (Aflah dan Tajang 2006, hal.54-55 dan 86-88).

(b) KeduaPersoalan keberlanjutan kelembagaan

pengelolaan ZISWAF memerlukan perhatianbukan hanya persoalan teknik pengumpulandan proses pengelolaan termasuk juga limadimensi keberlanjutan output kesejahteraanmustahik, yaitu:

(1) Keberlanjutan akidah (spiritualsustainability).

(2) Keberlanjutan pemanfaatansumberdaya lingkungan (ecologysustainability).

(3) Keberlanjutan sosial-ekonomi(socioeconomic sustainability).

(4) Keberlanjutan kemunitas/masyarakat (communitysustainability).

(5) Keberlanjutan kelembagaan(institutional sustainability).

Pendekatan pengelolaan bersifat sistemikmemandang kerja pengelolaan lebih luas, yaitumelihat : “(1) begitu banyak ragam pandanganpengelolaan ZISWAF, (2) begitu banyakpilihan sasaran mustahik yang diprioritaskan,dan (3) begitu banyak kesamaan kepentinganantar lembaga pengelolaan ZISWAF, APBN/APBD, peran swasta dan harapan muzakkisecara individu”. Dengan memahami peranlembaga terkait, maka langkah pemecahanpenanggulangan kemiskinan menjadi lebihkompleks.

Atas dasar uraian begitu banyak ragampandangan pengelolaan zakat di dunia Islam

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM84

Page 85: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

85

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

saat ini, maka kelembagaan pengelolaanZISWAF secara berkelanjutan ke depanadalah dengan mensinergikan tigakemungkinan pengelola ZISWAF, yaitu :

(1) Sistem muzakki, di mana para

muzakki melakukan sendiri untukmenyalurkan zakatnya kepada mustahik.

(2) Sistem pemerintah dengankewenangannya melakukan pengumpulan danpenyaluran ZISWAF.

Tabel 1.2 Perkembangan pengelolaan zakat di dunia Islam (Aflah dan Tajang, 2006)

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM85

Page 86: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

86

(3) Sistem Lembaga Amil Zakat (LAZ)secara lokal melakukan pengumpulan danpenyaluran zakat, infak, sedekah dan wakafuntuk kemaslahatan masyakarat lokal.

Paradigma Pengelolaan ZISWAFKetika pengelolaan zakat telah

berkembang, bukan saja dilakukan olehpemerintah tapi juga oleh swasta, makapemahaman bersama tentang “paradigmapengelolaan” menjadi sangat penting. Untukitu, mari kita perhatikan kisah yangdiceriterakan Abu Ubaid dalam sanadnya. Iaberkata :

“Tatkala Umar tertidur siang hari dibawah sebuah pohon, tiba-tiba seorangperempuan kampung datang kepada Umar,kebetulan orang-orang dapat melihatnya.Perempuan itu berkata kepadanya : “Saya iniseorang perempuan miskin dan anak sayabanyak. Saya dengar Amirul Mukmininmengutus Muhammad bin Maslamah menjadipengumpul dan pembagi zakat (sedekah),tetapi ia tidak memberi kepada kami. Sayamohon kepada Tuan agar menolong kami.Umar pun berteriak memanggil khadamnya,Yarfa’ dan disuruhnya memanggil Muhammadbin Maslamah. Berkata perempuan ini :“Biarlah saya pergi kepadanya, karena sayayang membutuhkannya”. Umar berkata :“Insya Allah ia akan melaksanakannya”.Kemudian Yarfa’ datang kepada Umarla lu berkata “Telah saya sampaikanpanggilanmu, kemudian Muhammad binMaslamah datang kepada Umar dan berkata: “Assalamualaikum wahai Amirul Mukminin”.Perempuan itu nampak kemalu-maluan.Kemudian Umar berkata : “Demi Allah sayatidak akan melalaikan orang-orang yang sayapilih di antara kalian. Apa yang hendakengkau katakan apabila Allah menanyakansoal ini kepadamu”. Selanjutnya Umar berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengutus NabiSAW kepada kita. Lalu kita benarkan dan kitaikuti. Nabi SAW telah melaksanakan segala

yang diperintahkan Allah. Ia telah memberikanzakat kepada mereka yang berhak daripadaorang-orang miskin. Setelah beliau wafat, laludigantikan oleh Abu Bakar sebagai Khalifah.Setelah itu Abu Bakar melakukan sunnahNabi SAW sampai dipanggil oleh Allah.Kemudian Allah jadikan aku sebagai Khalifah.Aku tidak akan membiarkan orang-orangyang aku pilih berbuat sekehendaknya. Bilaaku utus engkau, berikanlah kepadaperempuan itu zakat untuk setahun dan untuktahun-tahun berikutnya jika aku mengutusmu.Tapi saya tidak tahu apakah saya akanmengutusmu lagi atau tidak”. Lalu beliaumemanggil perempuan itu dan memberinyaseekor unta berikut tepung dan minyakkemudian berkata : “Ambillah ini semuasampai engkau bertemu dengan kami diKhaibar, tentu engkau dapat menemui kamidi sana, karena kami akan kesana”. Kemudianperempuan itu menemui Umar di Khaibardan memberinya lagi dua ekor unta, lalu iaberkata : “Ambillah ini sebagai bekalmusampai datang kepadamu Muhammad binMaslamah. Telah aku perintahkan kepadanyaagar ia memberikan atas hakmu untuk tahun-tahun berikutnya”. (Qardawi, Hukum Zakat,terjemahan, hal. 543, 1987)

Dari cerita diatas kita perhatikan prinsippengelolaan zakat sebagai berikut:

(1) Menggambarkan betapa seharusnyaperasaan dan tanggung jawab penguasa danpejabat negara terhadap warganya yangmiskin.

(2) Menggambarkan kesadaran wargaterhadap haknya untuk memperolehkehidupan yang layak (hadd al kifayah). Dalamhal ini, mustahik proaktif dan partisipatif sertamemiliki hak menuntut pada pengelola zakatyang harus dilindungi oleh pemerintah.

(3) Bagi pengelola zakat menyandang“paradigma pengelolaan”, yaitu harusbertindak seperti apa yang dipikirkan dandibutuhkan oleh mustahik. Inilah sebuahparadigma “human / people centered”.

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM86

Page 87: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

87

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

(4) Bahwa pelayanan penyaluran zakatharus teratur dan berkelanjutan (sustainable).

Paradigma “human centered” sangatpenting untuk kita perhatikan dengan caramembandingkannya dengan paradigma lain,yaitu : (1) paradigma pertumbuhan dan (2)paradigma kesejahteraan. Sebagaimanaditunjukkan pada Tabel 1.3.

Mengingat pengelolaan zakatmerupakan bagian tak terpisahkan daripembangunan sosial-ekonomi, makaparadigma pengelolaan zakat yang dapatdipilih bisa berbentuk sebagai berikut :

(1) Paradigma PertumbuhanParadigma pertumbuhan sering dipahami

sebagai production-oriented dengan karakteristik: (i) berorientasi pada peningkatan taraf hidupyang diukur dengan kenaikan nilai barang danjasa yang dihasilkan oleh masyarakat, (ii)konsentrasi pada pemilikan modal, (iii)dominasi pendekatan mekanisme pasar, (iv)optimalisasi pemanfaatan modal, dan (v)sistem perencaan dan operasional kegiatanbersifat sentralistik, misalnya di BAZNAS atauLAZ.

(2) Paradigma KesejahteraanParadigma ini sering dikenal menggunakan

strategi karitas. Dalam hubungan ini lembagaamil zakat menggunakan pendekatanpatronizing, orang tua asuh atau bahkanberperan sebagai “pelindung masyarakat

miskin” sehingga terbangun sebuah bentuk“ketergantungan” dengan birokrasi BAZ/LAZ. Kelemahan paradigma kesejahteraanadalah : (i) program kesejahteraan di desain,dibiayai dan dikelola secara sentralistik, (ii)mengandalkan pada organisasi BAZ/LAZyang tegar dan tidak lentur, canderung tidakmempunyai kemampuan untuk memberikan

pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkanmasyarakat miskin.

(3) Paradigma “People Centered”Paradigma ini memberikan peran

maksimal bagi individu masyarakat miskin.Sumber kekuatan paradigma “people centered”ini adalah daya kreatif masyarakat danaktualisasi yang optimal (Korten,Tjokrowinoto, 2002). Paradigma ini memberitempat yang penting bagi prakarsa dankeanekaragaman pemecahan masalah secaralokal. Paradigma ini sesuai dengan Hadits NabiSAW ketika menugaskan Mu’adz ke Yaman,dengan prinsip mengumpulkan zakat darimuzakki, kemudian disalurkan untukmustahik yang ada di tengah-tengah mereka,yaitu di lokasi pengumpulan.

Tabel 1.3 Perbandingan karakteristik tiga paradigma pembangunan ekonomi(Korten, 1984 dari Tjokrowinoto, 2002)

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM87

Page 88: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

88

Tabel 1.4 Program pengelolaan ZISWAF yang memberdayakan dan menciptakan ketergantungan(diadaptasi dari Tjokrowinoto, 2002, hal. 222)

aset/modal (hexagon aset), yaitu : (1) asetspiritual dan taqwa. (2) aset sumberdaya alam.(3) aset SDM. (4) aset finansial. (5) aset sosialdan (6) aset infrastruktur. Adapunkarakteristik pengelolaan program ZISWAFdengan paradigma “people/human centered”ditunjukkan pada Tabel 1.4.

SLA yang telah diadaptasikandengan Rukun Islam tersebut menjadi hexagonaset, merupakan salah satu pendekatanpemberdayaan untuk perbaikan kesejahteraanmasyarakat miskin dengan paradigma “peoplecentered” dengan prinsip kerja sebagai berikut,yaitu : (1) berpusat pada manusia; (2) fokus

Mengacu pada contoh yang dilakukan olehKhalifah Umar dan Hadits Nabi MuhammadSAW ketika menugaskan Mu’adz ke Yaman,maka paradigma pengelolaan zakat yang benaradalah menggunakan paradigma pengelolaandengan pendekatan “human centered”. Salahsatu pendekatan “human centered” dalampemberdayaan masyarakat miskin yang kitakenal saat ini adalah dengan pendekatan“Sustainable Livelihood Approach (SLA)”.

Sesuai dengan prinsip Islam, SLAperlu diadaptasikan dengan Rukun Islamdengan menambah aset ke enam, sehinggapentagon aset SLA secara Islami menjadi enam

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM88

Page 89: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

89

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

pada kemiskinan; (3) partisipatif; (4) sistemikdan menyeluruh; (5) sinergi dan kemitraan;(6) berkelanjutan; (7) dinamis; (8) keadilan,dan (9) berbasis HAM atas dasar takwakepada Allah SWT.

Kesimpulan Pengelolaan ZISWAFKe Depan

Berdasarkan uraian di atas, maka arahpenataan kelembagaan dan paradigmapengelolaan zakat secara berkelanjutan dapatdisimpulkan sebagai berikut :

(1) Pengelolaan zakat meliputi kegiatanpengumpulan, proses administrasi danpenyaluran. Kegiatan ini merupakan salahsatu bentuk kewajiban agama yangpelaksanaannya dikelola organisasi amilyang profesional, yang berdosa j ikaditinggalkan. Gerak lembaga terkaitdengan gerak pembangunan ekonomi.

(2) Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat dikelolaoleh pemerintah maupun swasta. Dalamkeadaan tertentu, penyalurannyadapat dilakukan oleh individu muzakkisecara langsung menyalurkannya untukMustahik.

(3) Mengacu sunnah Nabi Muhammad

SAW dan ijma’ sahabat, organisasipengumpulan dan prosespengadministrasiannya dapat dilakukansecara nasional maupun regional, namunpenyalurannya harus dilaksanakan olehamil tingkat daerah/lokal/desa. Paradigmapengelolaan, khususnya penyaluran zakatdilaksanakan dengan pendekatan “peoplecentered” dan memperhatikan paradigmapembangunan ekonomi, Mustahikberpartisipasi aktif dan tidak menciptakanbentuk “ketergantungan pada amil zakat”.Untuk keberlanjutan pengelolaan makapenguatan pemberdayaan mustahik(“people centered”) perlu didukung denganpenguatan LAZ/BAZ dan data basemuzakki-mustahik secara profesional, baiktingkat nasional maupun desa/RT.

(4) Upaya penanggulangan kemiskinan olehLAZ/BAZ perlu dikelola secara sinergisdan sistemik dengan memperhatikan danatau berkolaborasi dengan kelembagaanlain dengan program serupa, sepertiadanya penerapan corporate socialresponsibility (CSR) oleh swasta/LSM dankebijakan anggaran APBN/APBDuntuk program penanggulangankemiskinan oleh pemerintah.

1. Al-Qur’an.2. Aflah, Kuntarno Noor dan M. Nasir Tajang (2006) : Zakat dan

Peran Negara. Penerbit FOZ, Jakarta.3. Arsyad, Lincoln (1999) : Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta.4. Charter, Denny dan Irma Astrisari (2003) : Desain dan Aplikasi

GIS PT Elex Media Komputindo, Jakarta.5. Qardawi, M. Yusuf (1987) : Hukum Zakat, Litera Antar Nusa,

Jakarta (Terjemahan).6. Muhammad, Sahri (2006) : Mekanisme Zakat dan Permodalan

Masyarakat Miskin. Bahtera Press, Malang.7. Sudewo, Erie (2008) : Politik ZISWAF, Kumpulan Esei. Penerbit

DAFTAR PUSTAKA

CID, Dompet Dhuafa.8. Syarqawi, Abdurrahman (1999) : Riwayat Sembilan Imam Fiqih.

Terjemahan oleh Al Hamid Al Husaini, Penerbit PustakaHidayah, Bandung.

9. The Departement For International Development (DFID)(2002) : Sustainable Livelihood Sustainable DevelopmentDepartement. FAO.

10.Tjokrowinoto, Moelyarto (2002) : Pembangunan, Dilema danTantangan Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

11.Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an (1993) : Al-Qur’an dan Terjemahnya. CV. Gema Risalah Press, Bandung.

:

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM89

Page 90: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

90

Adiwarman Azwar Karim, adalahPresident Director Karim Business Consulting.Ikon ilmu ekonomi dan keuangan Islam ini,alumnus Institut Pertanian Bogor, UniversitasIndonesia, European University (Belgia) danBoston University (Amerika Serikat). Ia jugaVisiting Research Associate pada Oxford Centerfor Islamic Studies di Inggris. Di selaaktivitasnya dalam manajemen BankMuamalat Indonesia, ia menulis buku dankaryanya masuk dalam Lima Buku Terlarisdalam bidang perbankan Islam, EkonomiIslam dan Sejarah Ekonomi Islam. Telahmenulis lebih dari 50 artikel/makalah,termasuk yang dipresentasikannya dalamberbagai forum nasional dan internasionalantara lain International Conference on IslamicEconomics (ketiga, keempat dan kelima) yangdiselenggarakan IDB, The 76th AnnualConference of the International Western EconomicsAssociation. Saat ini ia salah seorang anggotaDewan Syariah Nasional, Dewan Syariahpada Bank Syariah Harta Insan Karimah,Dewan Pengawas Syariah pada Great EasternSyariah Insurance, Prudential Life Assurance,Bank Danamon Syariah, HSBC Syariah(Indonesia), Fortis Investments danperusahaan multilevel marketing UFO.

Ahmad Azhar Syarief, Securities Analysispada Karim Business Consulting, alumnusSekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Ahmad Erani Yustika, lahir di Ponorogo,22 Maret 1973. Menyelesaikan gelar sarjanadari Jurusan Ilmu Ekonomi dan StudiPembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi -Universitas Brawijaya, 1996. Setelah lulus aktifmempublikasikan tulisan diberbagai mediamassa, jurnal ilmiah, dan buku. Pada 2001menuntaskan studi post-graduate (MSc) dantahun 2005 menyelesaikan studi doktoral(Ph.D), semuanya di University of Göttingen(Georg-August-Universität Göttingen), Jerman,dengan spesialisasi Ekonomi Kelembagaan.Sejak 1997 bekerja sebagai dosen di FakultasEkonomi - Universitas Brawijaya dan saat ini

TEN

TAN

G P

ENU

LIS menjabat sebagai Ketua Program Studi

Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana FakultasEkonomi – Universitas Brawijaya. Di luar itu,mulai 2008 menjabat sebagai DirekturEksekutif INDEF (Institute for Development ofEconomics and Finance), Jakarta. Pada 2006terpilih sebagai Dosen Teladan I UniversitasBrawijaya dan 2007 terpilih sebagai penulisbuku paling produktif di Fakultas Ekonomi -Universitas Brawijaya.E-mail: [email protected]

Asep Saepudin Jahar, lahir di Pandeglang,16 Desember 1969. Santri Pesantren ModernGontor (1985-1989) ini menyelesaikanBachelor of Art (BA) di IAIN SyarifHidayatullah (1994), dan Master of Art (MA)dari McGill University, Montreal, Kanada(1997-1999). Doktor Arabistik undOrientalische Wissenschaft dari UniversitasLeipzig (2002-2005) ini, sejak 1996 adalahpengajar di Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah (sejak 1996). Di kampus yangsama, beberapa posisi pernah diembannya,antara lain: Sekretaris Pusat PengembanganSDM (1999-2001), Asisten pada Secretaryfor Local Project Implementing Unit (2000-2002) dan memimpin badan kerjasama danhubungan internasional pada ProgramPascasarjana (2006-2008) serta peneliti padaCENSIS/Center for the Study of Islam andSociety (sejak 2006). Ia aktif menulis artikelkeislaman untuk berbagai forum maupunjurnal ilmiah dalam dalan luar negeri, selainmelakukan berbagai riset yang diselenggarakanperguruan tinggi (dalam dan luar negeri)maupun pemerintah.E-mail: [email protected].

Heru Susetyo, Staf Pengajar tetap bidangstudi Hukum Masyarakat dan PembangunanFakultas Hukum Universitas IndonesiaDepok, Peneliti dan anggota Lembaga KajianIslam dan Hukum Islam FHUI, PemimpinRedaksi Jurnal Syariah FHUI. Mendapatkanmagister kesejahteraan sosial dari FISIP UI(2003) dan Master of Law dari Northwestern

isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM90

Page 91: Circle of Information and Development SEKILAS CIDimz.or.id/new/uploads/2011/01/Jurnal-IMZ-I-Diskursus-Manajemen... · Penanggungjawab Dewan Redaksi Tim Redaksi Dokumentasi Alamat

91

ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008

Law School, Chicago (2003). Saat ini tengahmenuntaskan studi PhD di Mahidol UniversityThailand dengan fokus penelitian padakebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia,Singapura, Malaysia, dan Thailand. E-mail:[email protected]

Hilman Latief, Dosen di JurusanMuamalah-Ekonomi dan Perbankan Islam,Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Iamenyelesaikan pendidikan kesarjanaannya diIAIN Sunan Kalijaga (1999), mendapat gelarMagister Agama dari Universitas GadjahMada (2002) dan Master of Arts dari WesternMichigan University (2005) melalui beasiswaFulbright. Saat ini penulis sedang mengikutiprogram Doktoral di Universitas Leidenmelalui beasiswa program Training IndonesianYoung Leaders dari Kementerian Luar NegeriBelanda, dan juga menjadi research fellow dithe International Institute for the Study ofIslam in the Modern World (ISIM, Leiden).Beberapa tulisannya tentang filantropi antaralain: Filantropi Islam dan IdeologiKesejahteran Muhammadiyah (Jakarta: PSAP,2008); “Kemandirian, Solidaritas Sosial danKerelawanan: Pemaknaan Filantropi dalamMasyarakat Minoritas Muslim, Kasus Australiadan Singapura” Al-Wasathiyyah, ICIP Volume2 Number 9 (2007); “Kemiskinan danKedermawanan: Memaknai IdeologiKesejahteraan”, Maarif, Vol. 2 No 1 (Januari2007); (2006) ‘Poverty and SocialResponsibility: The Prospect and Limits of theMuhammadiyah’s Charitable Institutions,’dalam Muslim Countries and Development:Achievement, Constraints and AlternativeSolution (Yogyakarta & KL: UMY and IIUM).

Jati Andrianto, lahir di Blitar, 5 September1984. Menamatkan pendidikan sarjana pada2008 di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi- Universitas Brawijaya. Mulai tahun 2006 aktifsebagai peneliti ekonomi di ECORIST (TheEconomic Reform Institute). Selain itu juga aktifmempublikasikan tulisan di media massa danjurnal ilmiah. Saat ini tengah menyiapkan

penerbitan buku tentang ekonomi politikprivatisasi sektor perbankan di Indonesia.Kontak bisa dikirim via email ke:[email protected]

Sahri Muhammad, lahir di Probolinggo,Jawa Timur, 23 Oktober 1943. Sarjana Mudadari Fakultas Kedokteran Hewan danPeternakan Jurusan Perikanan Laut UniversitasBrawijaya (1968), dan S1 Ilmu Perikanan diBogor (Afiliasi IPB Bogor, 1971), MagisterEkonomi Pertanian - Universitas Gajah MadaYogyakarta (1987), serta Doktor bidangEkonomi Pertanian - Institut Pertanian Bogor(2002). Pernah mendalami Ilmu Statistik(Institut Pertanian Bogor, 1975-1976). AktivisGerakan Koperasi sejak mahasiswa, danGerakan KUD (sejak 1973) ini, pada 1974secara otodidak menjadi pemerhati danpenulis kajian “sistem zakat” dan karyanyatersebar di berbagai media massa, selain aktifdalam forum diskusi publik tentangmekanisme zakat. Puluhan tulisannya tentangsistem zakat, disajikan dengan pendekatan ilmupengetahuan. Salah seorang pendiri LembagaZakat dan Infak (LAGZIS) Masjid RadenPatah Universitas Brawijaya Malang (1998)ini, mengembangkan LAGZIS sebagai dasarpengembangan konsep pendekatanmanajemen Era Otonomi Daerah. Tahun1995, bersama sejumlah rekannya membentukIndonesian Fisheries of Social-EconomicsResearch Network (IFSERN), memimpinnyasampai 1999. Mantan Dekan FakultasPerikanan Universitas Brawijaya (1992-1998)ini, pengajar dan memimpin BadanPertimbangan dan Pengembangan Penelitian -Program Pascasarjana Universitas Brawijaya(sejak 2004).

TEN

TAN

G P

ENU

LIS

:isi.pmd 8/20/2008, 11:04 AM91