chf

80
BAB I PENDAHULUAN Menurut data yang diperoleh hingga sekarang penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu (Sampurno, 1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara. Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus penyakit gagal jantung ini pada tahun 1997 adalah 248 kasus, kemudian melaju dengan pesat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi, tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan stres. Akibat lebih lanjut, jika penyakit jantung tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian. Congestive Heart Failur (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memopa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Pada penyakit jantung kongestif terjadi edema kaki yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan

Upload: denata-prabhasiwi

Post on 29-Nov-2015

44 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: chf

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut data yang diperoleh hingga sekarang penyakit jantung merupakan pembunuh

nomor satu (Sampurno, 1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung di dunia

adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia

kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara.

Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus penyakit gagal jantung ini

pada tahun 1997 adalah 248 kasus, kemudian melaju dengan pesat hingga mencapai puncak

pada tahun 2000 dengan 532 kasus.

Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi,

tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan stres.

Akibat lebih lanjut, jika penyakit jantung tidak ditangani dengan baik maka akan

mengakibatkan kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.

Congestive Heart Failur (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi

jantung sehingga jantung tidak mampu memopa darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume

diastolik secara abnormal. Pada penyakit jantung kongestif terjadi edema kaki yang

disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat

menyeluruh. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan venterikel kanan jantung memopakan darah

dengan baik sehingga darah terkumpul pada vena atau kapiler, sehingga menyebabakan

timbulnya edema pada bagian eksterimitas bawah yang disebabkan adanya bendungan balik

dari vena ke jantung (H. Syarifuddin, 2001).

Page 2: chf

BAB II

LAPORAN KASUS

Saudara sebagai dokter jaga UGD RS Trisakti. Datang seorang laki-laki 65 tahun dengan

keluhan sesak napas. Sesak terasa sejak 3 hari terakhir, makin lama semakin berat. Awalnya

sesak timbul bila pasien sedang beraktivitas fisik atau ketika malam sedang tidur. Saat ini

sesak timbul terus-menerus meskipun tidak melakukan apa-apa. Tidak bisa berbaring

terlentang karena sesak. Selain itu pasien juga mengeluh perut terasa penuh, napsu makan

berkurang.

Selama ini menderita hipertensi, pernah berobat dan diberi obat, tapi karena merasa tidak ada

keluhan obat hipertensi tidak diminum. Ibu pasien juga penderita hipertensi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan : TD 180/100mmHg, heart rate 110x/menit reguler,

frekuensi napas 30x/menit, ortopnoe, jugular vein 5 + 4 cm, thrill dan bruit pada a. carotis

tidak ada, ictus cordis ICS VI 2 jari lateral dari garis midklavikularis kiri, S1-S2 regular, S3

gallop (+), pansystolic murmur dengan punctum maximum di apex grade III/6, ronki basah

pada kedua paru terutama pada basal.

Hepatomegali (+), hepatojugular reflux (-), limpa tidak teraba, pulsasi aorta abdominalis tidak

kuat, edema ekstremitas (+).

Laboratorium klinik

Hb : 11g/dL

Leukosit : 8000

Ureum : 30mg/dL

Kreatinin : 1,2mg/dL

GDS : 110mg/dL

Page 3: chf

Kolesterol : 250mg/dL

HDL : 30mg/dL

LDL : 185mg/dL

Trigliserida : 200mg/dL

SGOT : 66mg/dL

SGPT : 50mg/dL

Kalium : 3,1

Natrium : 141

Klorida : 101

Echocardiogram : Dilatasi LA dan dilatasi LV. LVH (+). Gangguan fungsi sitolik dan

diastolik LV. Regurgitasi dari LV ke LA saat sistolik.

Page 4: chf

Pertolongan pertama yang anda lakukan dengan :

- Observasi tanda vital dan saturasi

- Memposisikan pasien dalam posisi duduk

- Memberikan oksigen sungkup non rebreathing 10L/menit

- ISDN 5mg sublingual sambil mempersiapkan ISDN drip IV (mulai 100mcg/menit, dititrasi

naik sesuai klinis dan tekanan darah)

- Furosemid IV 60mg iv bolus dilanjutkan dengan syring pump

Setelah stabil pasien dirawat di ICCU dan anda merencanakan tindakan serta terapi

selanjutnya

Page 5: chf

BAB III

PEMBAHASAN

A. Identitas

Nama : -

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : -

Pekerjaan : -

Status : -

B. Masalah

C. Daftar Masalah Dasar Masalah Hipotesis

Sesak Napas Keluhan pasien saat datang

PPOKGagal jantung

Sesak napas yang makin lama semakin

Anamnesis Gagal jantung

Page 6: chf

berat dan akhirnya berlangsung terus

menerus

PPOK

Perut terasa penuh Anamnesis Ada pembesaran organ yang menekan

lambungpenyakit

gastrointestinal

Napsu makan berkurang

Anamnesis Pembesaran organ yang menekan

lambungPenyakit

gastrointestinal

Hipertensi Anamnesis Penyakit jantungGagal ginjal

Hipertensi esensialPola hidup yang

kurang baik

Tekanan Darah 160/100

Pemeriksaan Fisik HipertensiGangguan ginjal

Heart rate 110x/menit Pemeriksaan fisik TakikardiGangguan jantung

Respiration Rate 30x/menit

Pemeriksaan Fisik TakipnoeGangguan paru-paruGangguan jantung

C. Anamnesis tambahan

Riwayat penyakit sekarang :

- Apakah disertai nyeri dada ?

- Apakah sesak berlangsung lama ?

- Jika terdapat nyeri, bagaimana rasa nyeri tersebut ?

Riwayat penyakit dahulu :

Page 7: chf

- Apakah dulu pernah mengalami hal yang sama ?

- Apakah selain hipertensi mempunyai riwayat penyakit yang lain ?

Riwayat kebiasaan :

- Apakah sering mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol ?

- Apakah pasien seorang perokok ?

- Apakah pasieng sering berolahraga ?

- Bagaimana pola makan pasien selama ini ?

Riwayat Pengobatan

- Obat apakah yg diberikan pada pasien ?

- Apakah ada obat selain obat hipertensi yang diberikan pada pasien ?

Riwayat keluarga

- Apakah selain ibu pasien ada juga yg menderita hipertensi ?

- Apakah di keluarga pasien ada yg mengalami hal yang sama ?

E. Pemeriksaan fisik

- TD: 180/100 mmHg (normal 120/80)

Meningkat, dapat terjadi pada penyempitan pembuluh darah (akibat konsumsi kolestrol

berlebihan)

- Heart Rate: 110x/menit, reguler (normal 60-100x/menit)

Terjadi peningkatan pada pasien ini, dapat disebabkan karena kesulitan dalam bernapas

(edema pada paru)

Page 8: chf

- Frekuensi napas: 30x/menit, orthopnoe (normal 16-20x/menit)

Meningkat, orthopnoe pada pasien ini dapat disebabkan oleh penumpukan cairan di paru-

paru.

- JVP: 5 + 4 cm

Elevasi JVP menandakan adanya hipertensi pada vena, sering terjadi pada penyakit gagal

jantung kanan.

- Tidak ada thrill dan bruit pada A. Carotis (normal= negatif)

Belum terjadi aneurisma pada A. Carotis.

- Ictus Cordis di ICS VI, 2 jari lateral dari garis midklavikularis kiri (normal ICS

V, 1 jari medial dari linea midklavikularis kiri)

Terjadi pergeseran ke arah lateral, menunjukan terjadi pembesaran jantung kanan.

- S1-S2 regular

- S3 gallop + (normal= negatif) Pansystolic

Terjadi karena pengosongan atrium yang tidak sempurna (ada darah yang tersisa di

atrium), sehingga darah dari V. Pulmonalis menerpa sisa darah yang ada di atrium kiri,

sehingga menghasilkan bunyi yang disebut S3 gallop.

- Murmur dengan punctum maximum di apeks grade III/6

Suara ini terjadi jika ventrikel memiliki tekanan lebih tinggi daripada atrium, sehingga

terjadi aliran balik, dapat terjadi pada mitral regurgitation atau tricuspid regurgitation.

- Ronki basah pada kedua paru terutama di basal

Page 9: chf

Ada penumpukan cairan pada daerah basal paru, dapat ditemukan pada Pneumonia,

COPD, atau gagal jantung

- Hepatomegali +

Terjadi pembengkakan hepar

- Hepatojugular Refluks –

- Limpa tidak teraba

- Pulsasi aorta abdominalis tidak kuat

- Edema ekstremitas +

F. Pemeriksaan penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium

Hb : 11 g% (N : 13-15%)

Leukosit : 8000 /ul (N : 5000-11000/µL)

Ureum : 30 mg/dl (N : 15-40 mg/dl)

Kreatinin : 1,2 mg/dl (N : 0,5- 1,5 mg/dl)

GDS : 110 mg/dl (N : <150 mg/dl)

Kolesterol : 250 mg/dl (N= <200 mg/dl)

LDL : 185 mg/dl (N= <100 mg/dl)

HDL : 30 mg/dl (N= >45 mg/dl)

Trigliserida : 175 mg/dl (N= <150 mg/dl)

Page 10: chf

Hasil laboratorium menunjukkan kenaikan kadar pada kolesterol total, LDL, dan

trigliserida serta penurunan kadar HDL. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor resiko dari

penyakit jantung.

Interpretasi hasil gambaran EKG

Pada hasil EKG ini menunjukkan adanya irama sinus adalah irama denyut jantung

yang pemacu dominannya adalah Nodu Sinoatrial. Irama sinus ini bisa dilihat di lead II, III,

AVF gelombang P diikuti oleh kompleks QRS.

Frekuensi adalah jumlah kemunculan komplek gelombang EKG dalam 1 menit. Ini

mempresentasikan Heart Rate (HR) yang merupakan jumlah denyut jantung per menit.

Frekuensi yang dihitung adalah repolarisasi ventrikel. Metode 2 untuk menghitung frekuensi

adalah 300/jumlah kotak besar = 300/3 = 100.

Ritme EKG pada kasus adalah regular hal ini bisa dilihat interval RR dan PP

konsisten.

Aksis listrik jantung adalah sudut yang dibentuk olrh Vektor Listrik terhadap garis

horizontal. Metode menilai aksis adalah melihat arah gelombang di lead 1 dan aVF. Pada

kasus didapatkan Lead I + yang artinya gelombang cenderung keatas atau panjang R > q+S.

Lead aVF – artinya gelombang cenderung ke bawah atau panjang R < q+S. Maka arah aksis

pada kasus adalah deviasi ke kiri.

Gelombang P menggambarkan depolarisasi atrium. gelombang P pada kasus adalah

normal. Hal ini bisa dilihat dari Gelombang P + kecuali di aVR dan V1, tinggi gelombang P

< 2.5 kotak kecil dan lebar gelombang P < 3 kotak kecil.

PR interval adalah mengukur waktu perjalanan depolarisasi dari atrium ke ventrikel.

Pada kasus PR interval 3-5 kotak kecil ini menandakan tidak terjadi AV blok (normal).

Gelombang Q lebar < 1 kotak kecil dan dalam < 2 kotak kecil = normal (tidak terjadi

infark Miokard).

Gelombang R di V4, V5, V6 > 27 kotak kecil hal ini menandakan terjadi Hipertrofi

Ventrikel Kiri.

Gelombang S tidak ada di V6 menandakan normal dan di V2 gelombang S dalam > 7

kotak besar hal ini menandakan Hipertrofi Ventrikel kiri.

Komplek QRS menggambarkan depolarisasi dan kontraksi ventrikel. Komplek QRS

1½ -3 kotak kecil = normal.

Page 11: chf

ST segmen menggambarkan repolarisasi ventrikel. ST segmen isoelektrik

Gelombang T inversi di V5, V6, I, avL menandakan Hipertrofi ventrikel kiri.

QT interval lebar < 2 kotak besar menandakan normal.

Kesimpulan hasil EKG pada kasus adalah irama sinus regular, deviasi ke kiri dengan adanya

Hipertrofi Ventrikel Kiri.

Interpretasi hasil foto thoraks

Foto thoraks diambi pada posisi postero anterior (PA) dengan inspirasi yang cukup.

Perlunya dilakukan penghitungan CTR (cardio thoracic ratio) untuk mengetahui ada

tidaknya cardiomegali. CTR merupakan perbandingan ukuran (diameter) jantung terbesar

dengan diameter thoraks terbesar, yaitu dengan cara membuat garis imajiner pada bagian

tengah jantung. Kemudian dari garis tersebut ditarik garis ke kiri sampai diameter terbesar

pada bagian jantung kiri lalu dilanjutkan dengan cara yang sama untuk jantung kanan.

Penjumlahan kedua hal di atas kemudian dibagi dengan diameter rongga thoraks terbesar lalu

kemudian dikalikan 100%. Jika hasil CTR menunjukkan nilai >50% maka menandakan

adanya cardiomegali (seperti pada kasus ini yang telah dilakukan penghitungan dengan skala,

hasilnya +/- 79,4%).

Pada foto thoraks ini juga ditemukan adanya hepatomegali dan gambaran oedem

pulmonal. Oedema paru ditunjukkan dengan adanya dilatasi pada vena pulmonalis, kemudian

warna agak putih disekitar paru.

Interpretasi hasil pemeriksaan echocardiogram

Pemeriksaan echocardiogram menunjukkan hasil yang cocok dengan gambaran EKG.

Dilatasi LA, dilatasi LV dan hipertrofi miokardium LV menunjukkan adanya gagal jantung

tipe konsentrik dan eksentrik. Ejection fraction (fungsi sistolik LV) dan fungsi diatolik LV

menurun. Gangguan relaksasi LV. Regurgitasi (aliran darah) dari LV ke LA saat sistolik yang

memperburuk oedem pulmonal.

Pemeriksaan laboratorium

1. Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi

atau inflamasipada saluran kemih

Page 12: chf

2. Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang

mengenai saluran kemih bagian atas

Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan ini bisa dilakukan salah satunya, yaitu :

1. Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran

kemih dan bisa juga menunjukan adanya bayangan buli buli yang penuh

resistensi urine

2. Pemeriksaan piv dapat menerangkan adanya kemungkinan kelainan pada

ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis

3. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUST, pemeriksaan ini

dilakukan untuk mengetahui adanya besar atau volum kelenjar prostat.

G. Diagnosis

Diagnosis Anatomi : Hipertrofi ventrikel kiri dan kanan

Diagnosis Etiologi : Hipertensi

Diagnosis Fungsional : NYHA kelas IV

Diagnosis Patofisiologi : Gagal jantung kongestif

I. Patofisiologi

Gagal jantung pada pasien ini kemungkinan di awali oleh hipertensi yang tidak

ditangani dengan adekuat, sebagaimana telah disebutkan dalam kasus pasien tidak

melanjutkan konsumsi obat hipertensinya. Sehingga hipertensi tidak tertangani dan makin

memburuk.

Page 13: chf

Dalam kondisi hipertensi, beban kerja jantung untuk memompa darah keluar menjadi

lebih besar sebagai efek kompensasi. Lambat laun, ventrikel kiri menjadi hipertrofi,

kardiomegali. Efek kompensasi ini tidak akan berlangsung selamanya. Bila telah memasuki

fase dekompensasi dimana otot jantung tidak mampu lagi untuk berkontraksi dengan

kekuatan yang sebagaimana mestinya, maka cardiac output makin sedikit dengan intensitas

cardiac input yang tetap. Inilah tahap pasien disebut mengalami gagal jantung kiri. Dimana

pada tahap ini, akan terjadi akumulasi darah dalam ventrikel kiri hingga memenuhi atrium

kiri, bahkan sampai ke paru-paru yang menyebabkan edema paru.

Di sisi lain, ventrikel yang tidak mampu memompa darah keluar dari jantung dengan

jumlah yang cukup, menyebabkan organ lain kekurangan nutrisi (oksigen) sehingga tubuh

mengaktifkan mekanisme kompensasi berupa peningkatang frekuensi pernapasan dan

frekuensi nadi dengan harapan semakin banyak oksigen yang masuk akan meningkatkan

pendistribusian oksigen dalam organ-organ tubuh pula. Namun nyatanya hal ini justru

menambah berat beban kerja jantung.

Lama kelamaan akan terjadi bendungan di jantung kanan yang menyebabkan

penigkatan tekanan atrium dan ventrikel kanan, dan akhirnya timbul bendungan pada sistem

vena diseluruh tubuh yg bermanifestasi pada beberapa hal seperti hepatomegali dan odema

perifer.

Page 14: chf

J. Komplikasi

a. Efusi pleura

Di hasilkan dari peningkatan tekanan kapiler. Transudasi cairan terjadi dari kapiler masuk ke dalam ruang pleura. Efusi pleura biasanya terjadi pada lobus bawah darah.

b. Aritmia

Pasien dengan gagal jntung kongestif mempunyai risiko untuk mengalami aritmia, biasanya disebabkan karena tachiaritmias ventrikuler yang akhirnya menyebabkan kematian mendadak.

c. Trombus ventrikuler kiri

Pada gagal jntung kongestif akut dan kronik, pembesaran ventrikel kiri dan penurunan kardiac output beradaptasi terhadap adanya pembentukan thrombus pada ventrikel kiri. Ketika thrombus terbentuk, maka mengurangi kontraktilitas dari ventrikel kiri, penurunan suplai oksigen dan lebih jauh gangguan perfusi. Pembentukan emboli dari thrombus dapat terjadi dan dapat disebabkan dari Cerebrivaskular accident (CVA)

Page 15: chf

d. Hepatomegali

Karena lobus hati mengalami kongestif dengan darah vena sehingga menyebabkan perubahan fungsi hati. Kematian sel hati, terjadi fibrosis dan akhirnya sirosis.

e. Kerusakan ginjal atau kegagalan

Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. Kerusakan ginjal akibat gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan.

f. Katup jantung bermasalah

Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang tepat melalui jantung, dapat menjadi rusak dari penumpukan darah dan cairan dari gagal jantung.

g. Serangan jantung dan stroke

Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung normal, itu lebih mungkin akan mengembangkan bekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke.

h. Penatalaksanaan

Pertolongan pertama

1. Observasi tanda vital dan saturasi.

2. Memposisikan pasien dalam posisi duduk.

3. Memberikan oksigen sungkup non rebreathing 10L/menit

4. ISDN 5 mg sublingual sambil mempersiapkan ISDN drip IV (mulai 10mcg/menit,

dititrasi naik sesuai klinis dan tekanan darah)

5. Furosemid IV 60mg iv bolus dilanjutkan dengan syring pump.

Terapi medikamentosa

Tujuan:

1. Putuskan system renin-angiotensin

2. Menurunkan pengaruh ADH

3. Menurunkan pengaruh simpatis.

Diantara terapinya adalah:

Page 16: chf

i. Restriksi (batasi) cairan

ii. Diet rendah garam

iii. Diuretic, dipilih golongan loop diuretic seperti tablet furosemid (Naclex dari Pharos)

sehari sekali dan jika terjadi retensi cairan yang persisten berikan 2 kali sehari. Jika

ada hipokalemi maka dapat dipilih golongan hemat kalium seperti spironolakton

(Aldactondari Soho) dengan dosis rendah (25-50 mg) selama 1 minggu. Ukurlah

secara berkala serum kreatinin dan elektrolit.

iv. Pemutus rantai renin-angiotensin, bisa digunakan ACE inhibitor seperti captopril

(Farmoten dari Fahrenheit) 6,25 mg 2 kali sehari atau lisinopril

(Interpril dari Interbat) 2,5 mg perhari (dosis inisial). Bisa juga diberikan ARB

seperti cendesartan (Blopress dariTakeda) dengan dosis awal 4 mg perhari.

Hendaknya tekanan darah dicek setelah 1 minggu pemberian obat pemutus rennin-

angiotensin.

v. Untuk mengurangi pengaruh simpatik dapat digunakan β-blocker seperti carvedilol

(Dilbloc dari Roche)  12,5 mg (1-2 hari) kemudian 25 mg. Obat ini berfungsi sebagai

non selektif  β-blocker, α-antagonis dan antioksidan. Hati-hati pada pasien dengan

riwayat asma bronchial, bradikardi dan A-V block derajat 2-3.

vi. Untuk meningkatkan kontraktilitas dapat digunakan digoxin

(Lanoxin dariGlaxoSmithKline) 0,25-0,75 mg perhari selama 1 minggu. Obat ini

memiliki pengaruh inotropik positif dan kronotropik negative. Sangat tidak dianjurkan

pada pasien dengan hipokalemia.

vii. Untuk vasodilatasi dapat dikombinasi hidralazin dan nitrat dengan tujuan menurunkan

afterload sehingga cardiac output menjadi optimal.

viii. Juga hindari stress psikologi pada pasien.

Berikut merupakan petunjuk terapi gagal jantung kronis sesuai NYHA.

Page 17: chf

Keterangan: ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, BB: β-blocker, ARB: Angiotensin Receptor Blocker

Page 18: chf

Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad bonam

Karena jika kita cepat dan efektif dalam penatalaksanaannya, angka kematian dan mortalitas dapat ditekan dan pasien dapat kembali normal dan segera sembuh.

Ad Fungtionam : Dubia ad Malam

Mengingat banyaknya target organ yang diserang dan terkena dampak dari hipertensi yang sudah lama terjadi, maka kemungkinan telah terjadi kerusakan banyak organ sehingga mengurangi fungsinya.

Ad Sanationam : Ad Malam

Faktor resiko seperti umur, gaya hidup dan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi sangat mempengaruhi kekambuhan penyakit ini sendiri.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Page 19: chf

JANTUNG

Definisi

Jantung pada dunia medis memiliki istilah cardio / kardio yang berasal dari

bahasa latin, cor. Dimana cor dalam bahasa latin memiliki arti : sebuah rongga.

Sebagaimana bentuk dari jantung yang memiliki rongga berotot yang memompa darah

lewat pembuluh darah dalam kontraksi berirama yang berulang dan berkonsistensi.

Dalam kedokteran istilah kardiak memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan

dengan jantung. Dalam bahasa Yunani, cardia sendiri digunakan untuk istilah jantung.

Jantung sendiri merupakan organ yang paling vital karena jantung merupakan

pusat dari sistem peredaran darah dalam tubuh. Bila terjadi gangguan pada jantung, akan

menyebabkan gangguan menyeluruh pada tubuh.1

Anatomi

Jantung memiliki bentuk jantung cenderung berkerucut tumpul. Terletak di

sebelah kiri bagian dada, di antara paru-paru, terlindungi oleh tulang rusuk. Dengan

ukuran kurang lebih sebesar kepalan tangan pemiliknya.

Pada bagian luar terdiri dari otot-otot yang saling berkontraksi. Otot-otot inilah

yang berperan penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri.

Bagian dalam jantung terdiri dari 4 buah rongga. Dan terbagi atas :

a) Serambi kanan dan serambi kiri yang dipisahkan oleh septum intratrial.

b) Bilik kanan dan bilik kiri yang dipisahkan oleh septum interventrikular.1

Page 20: chf

Histologi

Lapisan jantung terdiri dari:

Pericardium parietalis

Rongga pericadial, yang memisahkan pericardium parietalis dan perkardium viceralis

Pericaridum viceralis

Myokardium

Endokardium, yang merupakan bagian paling tebal dari lapisan otot jantung.

Page 21: chf

Pembuluh darah terdiri dari arteri, kapiler, dan vena. Masing-masing dari

pembuluh darah tersebut memiliki susunan dan lapisan selnya sendiri.

Pembuluh darah arteri terdiri dari: (dari lapisan terdalam)

1. Tunika interna yang terdiri dari lapisan endotelium, dan membran basalis

2. Tunika media yang terdiri dari otot halus dan external elastic lamina

3. Tunika externa

Pada pembuluh darah vena, sebagian besar lapisannya sama seperti pembuluh arteri. Lapisan-

lapisan tersebut antara lain :

1. Terdapat valvula dalam lumen vena, inilah perbedaan yang sangat mencolok

yang membedakan arteri dan vena. Valvula/katup ini berfungsi untuk

mencegah aliran balik vena.

2. Tunika interna yg hanya terdiri dari membran basalis.

3. Tunika media yang terdiri dari otot halus

4. Dan tunika extrena

Perbedaan lapisan inilah yang menyebabkan dinding vena lebih tipis dari dinding arteri.

Sedangkan pembuluh kapiler yang merupakan tempat peralihan dari arteri menjadi vena

hanya terdiri atas lapisan endotelium dan membran basalis.1

Page 22: chf

Fisiologi

Dalam sistem peredaran darah, selain memompa darah ke seluruh tubuh, jantung

juga memberi respon pada perubahan kadar oksigen dalam darah.sistem peredaran darah

pada manusia yang melibatkan aktivitas jantung merupakan sistem peredaran darah

rangkap. Hal ini dikarenakan, darah melewati jantung sebanyak dua kali. Adapun

peredaran darah tersebut dibagi menjadi dua, yaitu :

a) Peredaran darah kecil, dengan siklus darah dari jantung masuk ke paru-paru

dan kembali lagi ke jantung.

b) Perdaran darah besar, yaitu peredaran darah dengan siklus darah dari jantung

ke seluruh tubuh kemudian kembali lagi ke jantung.

Darah yang di pompa dari jantung ke paru-

paru mengandung banyak karbondioksida. Di

dalam paru-paru bagian alveolus terjadi pertukaran

antara karbon dioksida dengan oksigen yang

didapat dari proses respirasi. Setelah itu, darah

yang telah mengandung banyak oksigen masuk ke

jantung dan akan dipompakan keseluruh tubuh. Di

dalam organ-organ tubuh juga akan mengalami

pertukaran antara oksigen yang dibawa darah dan

karbondioksida hasil metabolisme organ. Darah yg

mengangkut karbondioksida itu akan diangkut

kembali menuju paru-paru. Seperti itulah siklus

normal peredaran darah dalam tubuh manusia.1

Sistem Penghantaran Impuls Jantung

Impuls jantung dimulai dari nodus SA(sinoatrial) yang terletak di dinding post

atrium kanan dekat muara vena kava sup, nodus ini diebut sebagai pemacu alami. Impuls

selanjutnya menyebar dari SA node ke system penghantaran khusus atrium dan otot

Page 23: chf

atrium yang disebut berkas bachman. Lalu mencapai AV node( atrioventrikular) yang

terletak diatas septum interventrikular. AV node merupakan jakur transmisi impuls dari

atrium ke ventrikel serta mempunyai fungsi lain yaitu menahan impuls selama 0,08-0,12

sekon guna memungkinkan pengisian ventrikel secara optimal.

Gelombang rangsangan listrik

selanjutnya menyebar ke berkas his,

suatu berkas serabut yang tebal yang

menjulur ke bawah dan kemudian

bercabang menjadi cabang ant yang

tipis dan post yang tebal. Cabang-

cabang ini akan berakhir pada suatu

jalinan serabut yang kompleks dikenal

sebagai system purkinje. System

purkinje ini menjalarkan impuls

dengan sangat cepat.

Susunan sel miokard diluar system ini juga memastikan penyebaran impuls secara

baik ke seluruh bagian jantung. Sel yang berdekatan dipisahkan oleh duktus interkalaris,

didalam diskus ini terdapat tempat dimana membaran intertisial saling berdekatan dan

dikenal sebagai neksus yang mempercepat transmisi rangsangan listrik dari sel ke sel,

mengaktifkan dan merangsang kontraksi sel-sel miokardial yang simultan.

Sistem penghantaran impuls jantung ini dapat dianalogikan seperti lokomotif.

Dimana lokomotif tercepatlah yang akan menjalankan aktivitas memacu Nodus SA dalam

keadaan normal mempunyai daya pacu 70-80 dpm dikenal sebagai pacemaker jantung

karena memiliki kecepatan outorimisitas yang tertinggi, jika SA node gagal maka AV

node yang mampu menghasilkan impuls 40-60 dpm akan mengambil alih perannya

sebagi pacu alami. Sedangkan berkas his dan system purkinje yang memiliki kecepatan

potensial aksi terkecil sebesar 20-40 dpm, akan mengambil alih posisi pacemaker bila,

AV node mengalami kerusakan.1

Page 24: chf

Pendarahan Jantung

Jantung mendapat darah dari arteria coronaria dextra dan sinistra, yang berasal

dari aorta ascenden tepat diatas valve aorta.

Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta berjalan ke depan di

antara truncus pulmonalis dan auricular dextra. Beranastomosis dengan arteri coronaria

sinistra di dalam sulcus interventricularis posterior. Cabang-cabang arteria coronaria

dextra mendarahi atrium dextra dan ventriculus dextra, serta sebagian dari atrium sinistra,

ventriculus sinistra, dan septum interventriculare.

Arteria coronaria sinistra, yang biasanya lebih besar dibanding dengan arteria

coronaria dextra, mendarahi sebagian besar jantung, termasuk sebagian besar atrium

sinistra, ventriculus sinistra, septum interventriculare. Arteria ini berasal dari pasterir kiri

sinus aortae aorta ascenden dan berjalan ke depan di antara truncus pulmonalis dan

auricular sinistra. Kemudian pembuluh ini berjalan di sulcus arterioventricularis dan

bercabang menjadi ramus interventricularis anterior dan ramus circumflexus.

Selain arteri yang telah dibahas sebelumnya, jantung juga memiliki vena-vena

yang membawa darah yg mengangkut karbondioksida ke organ paru-paru. vena yang

berada pada posterior jantung dan berjalan kearah sinistra adalah vena cordis magna yang

nantinya akan diteruskan menjadi vena interventricularis anterior. Sedangkan vena yang

berjalan kearah dextra akan bercabang menjadi dua, yaitu : vena cordis media atau

disebut juga vena interventricularis posterior (yang berjalan secara descenden) dan vena

cordis parva.1

Page 25: chf

Persarafan jantung

Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis.

Serabut-serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium dan ventrikel termasuk

pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis terutama memberikan persyarafan pada

nodus sino-atrial, atrioventrikuler dan serabut-serabut otot atrium, dapat pula menyebar

ke dalam ventrikel kiri.

Persyarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medula spinalis torakal atas,

yaitu torakal 3 sampai 6, sebelum mencapai jantung akan melalui pleksus kardialis

kemudian berakhir pada ganglion servikalis superior, medial atau inferior. Serabut post-

ganglionik akan menjadi saraf kardialis untuk masuk ke dalam jantung.

Persarafan parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medula oblongata, serabut-

serabutnya akan bergabung dengan derabut simpatis di dalam pleksus kardialis. Rangsang

simpatis akan dihantar oleh norepinefrin, sedangkan rangsang saraf parasimpatis akan

dihantar oleh asetikolin. Pada orang normal kerja otot ventrikel sedangkan parasimpatis

mengontrol irama jantung dan laju denyut jantung.2

Gagal Jantung Kongestif

a) Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam

jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau kemampuan

tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-

duanya.5

Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak

mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh

pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik vena (venous return) ke

jantung dalam keadaan normal.6

b) Etiologi

Page 26: chf

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit arteri

koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara

berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan

penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab terbanyak gagal

jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan penyebab penyakit jantung

hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat

berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya

rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor risiko independen

perkembangan gagal jantung.7

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal

jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak,

dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin

meningkat.

Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada

beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa

mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan

dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic, meningkatkan risiko terjadinya

infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang

menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal

jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.7

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh

penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun

penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional :

dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi

merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel

kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE,

dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit

keturunan (autosomal dominant) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai

adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang

asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik

Page 27: chf

obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance

ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi

diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati peripartum

menyebabkan gagal jantung akut.7,8

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama

terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral

dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal) sedangkan stenosis

aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).9

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan

dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal

jantung seringkali timbul bersamaan.9

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung

akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol

menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan

malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung.

Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat

menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9

c) Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai setelah

adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan otot jantung,

yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau

mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya

mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang

dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark

miokard akut (MI), atau memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien

dengan tekanan hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada

gagal ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati

genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu

penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab gagal jantung.

Page 28: chf

Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah

terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam

waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi

ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan

mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat

terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur

kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga

kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien

dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan

dari sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada

miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal

jantung dapat diterangkan pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index

event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan

menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan

termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada

jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik

sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme

kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel,

dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai

akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala

ke gagal jantung yang bergejala.

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung

Dikutip dari: Mann DL4

Page 29: chf

Mekanisme Neurohormonal

Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model

neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan suatu

molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan jantung dan

sirkulasi. 1,4,8

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor arterial dan

kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat. Akibatnya perubahan

keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya

kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan

terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior

juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran

sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar

2. 1.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun

maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan perfusi

arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif apabila

menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan

peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun

pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan

dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan ke

medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis.

Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini

akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta

vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1

Page 30: chf

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan darah,

tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi

jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem

adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi maladaptasi.1

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi

norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan dengan

“exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang

berlangsung lama.1

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium,

NE=norepinephrine.

Gambar 2.1 Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal

jantung.

Dikutip dari : Floras JS10

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin

aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium

Page 31: chf

terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi

simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular.

Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting

enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.

Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe

2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 2.2.

Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi

aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi,

inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 2.2 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Dikutip dari: Weber KT dkk.11

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan

sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan

berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada

jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan

pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi

aldosteron.1

Page 32: chf

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan

meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan

menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan

miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya

kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi

baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung.

Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres

oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1

C. Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen species

(ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari ketegangan

miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa

adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-

1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis

collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan

bioavailabilitas NO.1,5

D. Bradikinin

Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam pengaturan

tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1 dan B2. Sebagian

besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan

reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin

akan dipicu oleh ACE.1,5

E. Remodeling Ventrikel Kiri

Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan

progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan

langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari.

Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume

miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan

ventrikel kiri. 1,5 Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3.

Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan

rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang

tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan

Page 33: chf

tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan

pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban

jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan

tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi

pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan

hipertrofi eksentrik.1

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan

gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur kalsium

tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur ini akan

terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya

terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya

kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan

mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua

kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium dan mempengaruhi

pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan

kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian

jantung menurun.1,5

Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada

energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-eksitasi

merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma dengan

pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan troponin C.

Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan dalam memulai

proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang

akan menjaga potensial membran.1,5

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran

ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang terjadi akan

mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur membran sehingga

mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan

energi juga menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal

jantung.1,5

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal

jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal

Page 34: chf

jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel, peningkatan

permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis dapat

berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini

memperburuk gagal jantung.1,5

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap

hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ12

Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional NYHAmengklasifikasikan gagal

jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini

dapat dilihat pada tabel 1.1.

Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa

gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II, sementara

pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga

Page 35: chf

dapat dimasukan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA

tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang

sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara

stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas

dari status fungsionalnya.

Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA)

atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan

struktural dan kerusakan otot jantung.

Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan

aktivitas fisik.

Stage

A

Memiliki risiko tinggi

mengembangkan gagal jantung.

Tidak ditemukan kelainan struktural

atau fungsional, tidak terdapat

tanda/gejala.

Kelas

I

Aktivitas fisik tidak terganggu,

aktivitas yang umum dilakukan tidak

menyebabkan kelelahan, palpitasi,

atau sesak nafas.

Stage

B

Secara struktural terdapat kelainan

jantung yang dihubungkan dengan

gagal jantung, tapi tanpa

tanda/gejala gagal jantung.

Kelas

II

Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi

aktivitas fisik yang umum dilakukan

mengakibatkan kelelahan, palpitasi

atau sesak nafas.

Stage

C

Gagal jantung bergejala dengan

kelainan struktural jantung. Kelas

III

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi

aktivitas ringan menimbulkan rasa

lelah, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage

D

Secara struktural jantung telah

mengalami kelainan berat, gejala

gagal jantung terasa saat istirahat

Kelas

IV

Tidak dapat beraktivitas tanpa

menimbulkan keluhan. Saat istirahat

bergejala. Jika melakukan aktivitas

Page 36: chf

walau telah mendapatkan

pengobatan.

fisik, keluhan bertambah berat.

Dikutip dari: Mann DL4

d) TANDA DAN GEJALA GAGAL JANTUNG

Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik,

yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik

pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat

digali secara detail.1

ANAMNESA

Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.1,5

Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada

gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti

anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya

dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak

terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab

dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah

kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau

intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang

menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea.

Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah

kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan

diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya

gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.1

ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA

Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan

biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1

Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan

bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan

ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan

Page 37: chf

meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu

manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau

orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula

dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan

mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.1

Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang

umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi

1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi,

umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang

mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan

meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak

pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan

batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi

tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)

berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing

sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab

pulmoner wheezing lainnya.5

EDEMA PULMONER AKUT

Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat

meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya

fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat

berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat

bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi

secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan.5

RESPIRASI CHEYNE STOKES

Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal

jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah.

Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap

kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat.

Page 38: chf

Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan

mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea.

Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas

berat atau periode henti nafas sesaat.5

GEJALA LAINNYA

Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal.

Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan

kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari

dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat

mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan,

disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,

terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi

serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia.5

Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah

bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin

berkurang dengan pengobatan jantung.Error! Bookmark not defined. Pada tabel 1.2. dibawah ini

menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau orthopnea

dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut tidak

sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak memiliki

gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat

spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

Tabel 1.2 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien

yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306

pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.

Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas

(%)

Spesifitas

(%)

(+) Predictive

Value (%)

Anamnesa

Page 39: chf

Mudah sesak 66 52 23

Orthopnea 21 81 2

Nocturnal dyspnea 33 76 26

Riwayat bengkak 23 80 22

Pemeriksaan Fisik

Takikardi 7 99 6

Ronkhi 13 99 6

Edema 10 93 3

Ventricular gallop (S3) 31 95 61

Distensi Vena Jugularis 10 97 2

Thorax Foto (Chest X-Ray)

Cardiomegaly 62 67 32

Anamnesa 66 52 23

Mudah sesak 21 81 2

Orthopnea 33 76 26

Nocturnal dyspnea 23 80 22

Dikutip dari: Harlan WR dkk.13

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.

Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor

disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak

berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,

Page 40: chf

atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher

Rales paru

Kardiomegali pada hasil rontgen

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan

Hepatojugular reflux

Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan

gagal jantung

Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi ≥ 120x/menit

Dikutip dari: Mann DL4

Page 41: chf

e) Tata laksana

TERAPI NONFARMAKOLOGIS

PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan

dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional,

morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan

yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat

memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya

pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih. Topik-topik penting dan

perilaku perawatan mandiri yang perlu dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel 5.15

Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal

Jantung.

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi

gagal jantung

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan

tanda-tanda gagal

jantung

Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

Mencatat berat badan setiap hari

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai

anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat

digunakan

Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah

Page 42: chf

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan

membuat keputusan realistik

Dikutip dari: Dickstain dkk15

3.1.1 TERAPI FARMAKOLOGIS

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan

mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan

kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini

tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan

digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan

meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas.

Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan

sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung

membaik.1

ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITORS(ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran

terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan

gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki

fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit

untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien

yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang

rawat.Dosis awal ACEI dengan target pada tdosis dapat dilihat pada Tabel 6. KELAS

REKOMENDASI I, TINGKAT BUKTI A.

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

Page 43: chf

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

Riwayat adanya angioedema

Stenosis bilateral arteri renalis

Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L

Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)

Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan

secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

Tabel 6. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis

yang diinginkan

Page 44: chf

Dikutip dari: Dickstain dkk.15

Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :

Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI

adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis

kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan

nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non

steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan.

Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga

konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine

meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI

secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.

Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan

hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan

hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,

turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika

kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor

kimia darah secara erat.

Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini

seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika

mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen

hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi

asimtomatik tidak memerlukan intervensi.

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER(ARB)

Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB

direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap

simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali

telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi

ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan

gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).

Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.

Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif

Page 45: chf

pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB

mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat

perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus

dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14

Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien

dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.

Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang

tidak toleran terhadap ACEI.14

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%

Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun

sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara

cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.

β-bloker / PENGHAMBAT SEKAT-β

Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya

gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi

gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan

pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB

meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat

akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan

pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati

sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.

Page 46: chf

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.

Meningkatkan LVEF

Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien

dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.

Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika

diindikasikan).

Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).

Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada

pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik

dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan

dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi

BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontranindikasi).

AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan

pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,

metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan

supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.

Page 47: chf

Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum

pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB

(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien

degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat

perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih

(<50x/menit).

Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat

tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-

50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau

dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

DIURETIK

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan

gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B

Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan

gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.

Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan

biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus

disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang

cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.

Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun

harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia,

atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan

kreatinine dipanantau secara berkala.14

Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

Page 48: chf

Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko

hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.

Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan

bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.

Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk

antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan

diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis

aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena

efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.

Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan

klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat

dilihat pada tabel 7.

Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah

tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk

mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.

Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada

tabel 8.

Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-

tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat

jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien

ANTAGONIS ALDOSTERON

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan

gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi

yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%

Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

Page 49: chf

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan

dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

HYDRALIZIN & ISOSORBIDE DINITRAT

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat

digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB.

Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala

yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron

Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko

kematian.9Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B

Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas

Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B

Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi IIa,

Tingkat Bukti A

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis

adalah :

Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.

Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron

tidak dapat ditoleransi.

Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-

amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal

berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.

Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan

bila terdapat hipotensi simtomatik.

Page 50: chf

Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan

pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau

jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,

pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi

(kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak

membutuhkan intervensi.

Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –

pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan

teruskan H-ISDN.

GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)

Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn

untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF <

40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan

darah.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi

dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan

kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan

gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka

mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan

meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas

dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium

intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi

kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi

ventrikel kiri.

Menstimulasi baroreseptor jantung

Page 51: chf

Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan

penekanan sekresi renin dari ginjal.

Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal

tone.

Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan

saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)

yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan

antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat

dipertimbangkan.

ANTIKOAGULAN (ANTAGONIS VIT-K)

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien

gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa

adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan

dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas Rekomendasi I,

Tingkat Bukti A

Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang

terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemikKelas

Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Temuan yang perlu diingat :

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,

termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi

risiko stroke dengan 60-70%.

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi

antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,

seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.

Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada

mereka yang memiliki katup prostetik.

Page 52: chf

Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas

warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko

perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi

aspirin, dibandingkan warfarin.

f) Prognosis

Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel

seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi

progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah

mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal

jantung terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan. Variabel yang paling

sering ditemukan konsisesten sebagai faktor prediktor independen pada prognosis

gagal jantung dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Kondisi yang ditemukan berhubungan erat dengan prognosis buruk

pada gagal jantung

Demografik Klinis EKG Fungsional Laboratorik Imaging

Usia

Lanjut*

Hipotensi Takikardia,

Gelombang

Q

Penurunaa

n kapasitas

fungsional,

puncak VO2

yang

rendah*

Elevasi BNP /

NT pro-BNP*

Ejeksi

fraksi yang

rendah*

Penyebab

iskemia*

NYHA FC

III-IV*

QRS lebar Hiponatremi*

Riwayat

Resusitasi*

Riwayat

perawatan

karena

gagal

jantung*

Hipertrofi

ventrikel

kiri

Aritmia

ventrikular

kompleks

Peningkatan

Troponin

Peningkatan

aktivasi

biomarker

humoral

Page 53: chf

Komplians

buruk

Takikardia Toleransi

latihan yang

rendah

Atrial

Fibrilasi

Hasil yang

buruk pada

tes jalan 6

menit

Peningkatan

kreatinin /

BUN

Peningkatan

volume LV

Disfungsi

Ginjal

Rales pada

paru

Body Mass

Index yang

rendah

Tingginya

slope

VF/VCO2

Peningkatan

anemia

bilirubin

Cardiac

Index

rendah

,

hipeDiabetes

Stenosis

Aorta

Nafas

Periodik

(Chayne

Stokes)

Peningkatan

asam urat

Tekanan

pengisian

ventrikel

kiri tinggi

Anemia Pola

pengisian

mitral

restriktif,

hipertensi

pulmonal

COPD Kelainan

nafas saat

tidur

Fungsi

ventrikel

kanan yang

terganggu

Depresi

Page 54: chf

Dikutip dari : Mann DL dkk. 4

BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang berlangsung terus menerus bahkan pada saat istirahat dan tidur terlentang pasien masih merasa sesak. Kami berhipotesis dari gejala yg timbul dapat diakibatkan karena masalah paru dan organ diluar paru, namun setelah anamnesis lebih lanjut dan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan kami mendiagnosis bahwa pasien ini terkena gagal jantung kongestif. Untuk selanjutnya kami membuat prognosis nya lalu tata laksana berupa medika mentosa dan non medika mentosa.

Page 55: chf

DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,

Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.

Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.

2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono

HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264

3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian

Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h.

2-9.

4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,

editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill;

2008. p. 1443.

Page 56: chf

5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart

Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of

angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;

320:104-7.

8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive).

In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and

Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.

9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan

September 2007. P.85-93.

10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in

Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart

Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.

11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

12. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N

Engl J Med. 1999; 341:1276

13. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure in

coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133–138.

14. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type

natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002;

347:161-167.

15. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment

of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European

Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.