Download - chf
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut data yang diperoleh hingga sekarang penyakit jantung merupakan pembunuh
nomor satu (Sampurno, 1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung di dunia
adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia
kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara.
Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus penyakit gagal jantung ini
pada tahun 1997 adalah 248 kasus, kemudian melaju dengan pesat hingga mencapai puncak
pada tahun 2000 dengan 532 kasus.
Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi,
tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan stres.
Akibat lebih lanjut, jika penyakit jantung tidak ditangani dengan baik maka akan
mengakibatkan kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.
Congestive Heart Failur (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak mampu memopa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Pada penyakit jantung kongestif terjadi edema kaki yang
disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat
menyeluruh. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan venterikel kanan jantung memopakan darah
dengan baik sehingga darah terkumpul pada vena atau kapiler, sehingga menyebabakan
timbulnya edema pada bagian eksterimitas bawah yang disebabkan adanya bendungan balik
dari vena ke jantung (H. Syarifuddin, 2001).
BAB II
LAPORAN KASUS
Saudara sebagai dokter jaga UGD RS Trisakti. Datang seorang laki-laki 65 tahun dengan
keluhan sesak napas. Sesak terasa sejak 3 hari terakhir, makin lama semakin berat. Awalnya
sesak timbul bila pasien sedang beraktivitas fisik atau ketika malam sedang tidur. Saat ini
sesak timbul terus-menerus meskipun tidak melakukan apa-apa. Tidak bisa berbaring
terlentang karena sesak. Selain itu pasien juga mengeluh perut terasa penuh, napsu makan
berkurang.
Selama ini menderita hipertensi, pernah berobat dan diberi obat, tapi karena merasa tidak ada
keluhan obat hipertensi tidak diminum. Ibu pasien juga penderita hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : TD 180/100mmHg, heart rate 110x/menit reguler,
frekuensi napas 30x/menit, ortopnoe, jugular vein 5 + 4 cm, thrill dan bruit pada a. carotis
tidak ada, ictus cordis ICS VI 2 jari lateral dari garis midklavikularis kiri, S1-S2 regular, S3
gallop (+), pansystolic murmur dengan punctum maximum di apex grade III/6, ronki basah
pada kedua paru terutama pada basal.
Hepatomegali (+), hepatojugular reflux (-), limpa tidak teraba, pulsasi aorta abdominalis tidak
kuat, edema ekstremitas (+).
Laboratorium klinik
Hb : 11g/dL
Leukosit : 8000
Ureum : 30mg/dL
Kreatinin : 1,2mg/dL
GDS : 110mg/dL
Kolesterol : 250mg/dL
HDL : 30mg/dL
LDL : 185mg/dL
Trigliserida : 200mg/dL
SGOT : 66mg/dL
SGPT : 50mg/dL
Kalium : 3,1
Natrium : 141
Klorida : 101
Echocardiogram : Dilatasi LA dan dilatasi LV. LVH (+). Gangguan fungsi sitolik dan
diastolik LV. Regurgitasi dari LV ke LA saat sistolik.
Pertolongan pertama yang anda lakukan dengan :
- Observasi tanda vital dan saturasi
- Memposisikan pasien dalam posisi duduk
- Memberikan oksigen sungkup non rebreathing 10L/menit
- ISDN 5mg sublingual sambil mempersiapkan ISDN drip IV (mulai 100mcg/menit, dititrasi
naik sesuai klinis dan tekanan darah)
- Furosemid IV 60mg iv bolus dilanjutkan dengan syring pump
Setelah stabil pasien dirawat di ICCU dan anda merencanakan tindakan serta terapi
selanjutnya
BAB III
PEMBAHASAN
A. Identitas
Nama : -
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : -
Pekerjaan : -
Status : -
B. Masalah
C. Daftar Masalah Dasar Masalah Hipotesis
Sesak Napas Keluhan pasien saat datang
PPOKGagal jantung
Sesak napas yang makin lama semakin
Anamnesis Gagal jantung
berat dan akhirnya berlangsung terus
menerus
PPOK
Perut terasa penuh Anamnesis Ada pembesaran organ yang menekan
lambungpenyakit
gastrointestinal
Napsu makan berkurang
Anamnesis Pembesaran organ yang menekan
lambungPenyakit
gastrointestinal
Hipertensi Anamnesis Penyakit jantungGagal ginjal
Hipertensi esensialPola hidup yang
kurang baik
Tekanan Darah 160/100
Pemeriksaan Fisik HipertensiGangguan ginjal
Heart rate 110x/menit Pemeriksaan fisik TakikardiGangguan jantung
Respiration Rate 30x/menit
Pemeriksaan Fisik TakipnoeGangguan paru-paruGangguan jantung
C. Anamnesis tambahan
Riwayat penyakit sekarang :
- Apakah disertai nyeri dada ?
- Apakah sesak berlangsung lama ?
- Jika terdapat nyeri, bagaimana rasa nyeri tersebut ?
Riwayat penyakit dahulu :
- Apakah dulu pernah mengalami hal yang sama ?
- Apakah selain hipertensi mempunyai riwayat penyakit yang lain ?
Riwayat kebiasaan :
- Apakah sering mengkonsumsi makanan tinggi kolesterol ?
- Apakah pasien seorang perokok ?
- Apakah pasieng sering berolahraga ?
- Bagaimana pola makan pasien selama ini ?
Riwayat Pengobatan
- Obat apakah yg diberikan pada pasien ?
- Apakah ada obat selain obat hipertensi yang diberikan pada pasien ?
Riwayat keluarga
- Apakah selain ibu pasien ada juga yg menderita hipertensi ?
- Apakah di keluarga pasien ada yg mengalami hal yang sama ?
E. Pemeriksaan fisik
- TD: 180/100 mmHg (normal 120/80)
Meningkat, dapat terjadi pada penyempitan pembuluh darah (akibat konsumsi kolestrol
berlebihan)
- Heart Rate: 110x/menit, reguler (normal 60-100x/menit)
Terjadi peningkatan pada pasien ini, dapat disebabkan karena kesulitan dalam bernapas
(edema pada paru)
- Frekuensi napas: 30x/menit, orthopnoe (normal 16-20x/menit)
Meningkat, orthopnoe pada pasien ini dapat disebabkan oleh penumpukan cairan di paru-
paru.
- JVP: 5 + 4 cm
Elevasi JVP menandakan adanya hipertensi pada vena, sering terjadi pada penyakit gagal
jantung kanan.
- Tidak ada thrill dan bruit pada A. Carotis (normal= negatif)
Belum terjadi aneurisma pada A. Carotis.
- Ictus Cordis di ICS VI, 2 jari lateral dari garis midklavikularis kiri (normal ICS
V, 1 jari medial dari linea midklavikularis kiri)
Terjadi pergeseran ke arah lateral, menunjukan terjadi pembesaran jantung kanan.
- S1-S2 regular
- S3 gallop + (normal= negatif) Pansystolic
Terjadi karena pengosongan atrium yang tidak sempurna (ada darah yang tersisa di
atrium), sehingga darah dari V. Pulmonalis menerpa sisa darah yang ada di atrium kiri,
sehingga menghasilkan bunyi yang disebut S3 gallop.
- Murmur dengan punctum maximum di apeks grade III/6
Suara ini terjadi jika ventrikel memiliki tekanan lebih tinggi daripada atrium, sehingga
terjadi aliran balik, dapat terjadi pada mitral regurgitation atau tricuspid regurgitation.
- Ronki basah pada kedua paru terutama di basal
Ada penumpukan cairan pada daerah basal paru, dapat ditemukan pada Pneumonia,
COPD, atau gagal jantung
- Hepatomegali +
Terjadi pembengkakan hepar
- Hepatojugular Refluks –
- Limpa tidak teraba
- Pulsasi aorta abdominalis tidak kuat
- Edema ekstremitas +
F. Pemeriksaan penunjang
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium
Hb : 11 g% (N : 13-15%)
Leukosit : 8000 /ul (N : 5000-11000/µL)
Ureum : 30 mg/dl (N : 15-40 mg/dl)
Kreatinin : 1,2 mg/dl (N : 0,5- 1,5 mg/dl)
GDS : 110 mg/dl (N : <150 mg/dl)
Kolesterol : 250 mg/dl (N= <200 mg/dl)
LDL : 185 mg/dl (N= <100 mg/dl)
HDL : 30 mg/dl (N= >45 mg/dl)
Trigliserida : 175 mg/dl (N= <150 mg/dl)
Hasil laboratorium menunjukkan kenaikan kadar pada kolesterol total, LDL, dan
trigliserida serta penurunan kadar HDL. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor resiko dari
penyakit jantung.
Interpretasi hasil gambaran EKG
Pada hasil EKG ini menunjukkan adanya irama sinus adalah irama denyut jantung
yang pemacu dominannya adalah Nodu Sinoatrial. Irama sinus ini bisa dilihat di lead II, III,
AVF gelombang P diikuti oleh kompleks QRS.
Frekuensi adalah jumlah kemunculan komplek gelombang EKG dalam 1 menit. Ini
mempresentasikan Heart Rate (HR) yang merupakan jumlah denyut jantung per menit.
Frekuensi yang dihitung adalah repolarisasi ventrikel. Metode 2 untuk menghitung frekuensi
adalah 300/jumlah kotak besar = 300/3 = 100.
Ritme EKG pada kasus adalah regular hal ini bisa dilihat interval RR dan PP
konsisten.
Aksis listrik jantung adalah sudut yang dibentuk olrh Vektor Listrik terhadap garis
horizontal. Metode menilai aksis adalah melihat arah gelombang di lead 1 dan aVF. Pada
kasus didapatkan Lead I + yang artinya gelombang cenderung keatas atau panjang R > q+S.
Lead aVF – artinya gelombang cenderung ke bawah atau panjang R < q+S. Maka arah aksis
pada kasus adalah deviasi ke kiri.
Gelombang P menggambarkan depolarisasi atrium. gelombang P pada kasus adalah
normal. Hal ini bisa dilihat dari Gelombang P + kecuali di aVR dan V1, tinggi gelombang P
< 2.5 kotak kecil dan lebar gelombang P < 3 kotak kecil.
PR interval adalah mengukur waktu perjalanan depolarisasi dari atrium ke ventrikel.
Pada kasus PR interval 3-5 kotak kecil ini menandakan tidak terjadi AV blok (normal).
Gelombang Q lebar < 1 kotak kecil dan dalam < 2 kotak kecil = normal (tidak terjadi
infark Miokard).
Gelombang R di V4, V5, V6 > 27 kotak kecil hal ini menandakan terjadi Hipertrofi
Ventrikel Kiri.
Gelombang S tidak ada di V6 menandakan normal dan di V2 gelombang S dalam > 7
kotak besar hal ini menandakan Hipertrofi Ventrikel kiri.
Komplek QRS menggambarkan depolarisasi dan kontraksi ventrikel. Komplek QRS
1½ -3 kotak kecil = normal.
ST segmen menggambarkan repolarisasi ventrikel. ST segmen isoelektrik
Gelombang T inversi di V5, V6, I, avL menandakan Hipertrofi ventrikel kiri.
QT interval lebar < 2 kotak besar menandakan normal.
Kesimpulan hasil EKG pada kasus adalah irama sinus regular, deviasi ke kiri dengan adanya
Hipertrofi Ventrikel Kiri.
Interpretasi hasil foto thoraks
Foto thoraks diambi pada posisi postero anterior (PA) dengan inspirasi yang cukup.
Perlunya dilakukan penghitungan CTR (cardio thoracic ratio) untuk mengetahui ada
tidaknya cardiomegali. CTR merupakan perbandingan ukuran (diameter) jantung terbesar
dengan diameter thoraks terbesar, yaitu dengan cara membuat garis imajiner pada bagian
tengah jantung. Kemudian dari garis tersebut ditarik garis ke kiri sampai diameter terbesar
pada bagian jantung kiri lalu dilanjutkan dengan cara yang sama untuk jantung kanan.
Penjumlahan kedua hal di atas kemudian dibagi dengan diameter rongga thoraks terbesar lalu
kemudian dikalikan 100%. Jika hasil CTR menunjukkan nilai >50% maka menandakan
adanya cardiomegali (seperti pada kasus ini yang telah dilakukan penghitungan dengan skala,
hasilnya +/- 79,4%).
Pada foto thoraks ini juga ditemukan adanya hepatomegali dan gambaran oedem
pulmonal. Oedema paru ditunjukkan dengan adanya dilatasi pada vena pulmonalis, kemudian
warna agak putih disekitar paru.
Interpretasi hasil pemeriksaan echocardiogram
Pemeriksaan echocardiogram menunjukkan hasil yang cocok dengan gambaran EKG.
Dilatasi LA, dilatasi LV dan hipertrofi miokardium LV menunjukkan adanya gagal jantung
tipe konsentrik dan eksentrik. Ejection fraction (fungsi sistolik LV) dan fungsi diatolik LV
menurun. Gangguan relaksasi LV. Regurgitasi (aliran darah) dari LV ke LA saat sistolik yang
memperburuk oedem pulmonal.
Pemeriksaan laboratorium
1. Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasipada saluran kemih
2. Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas
Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan ini bisa dilakukan salah satunya, yaitu :
1. Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih dan bisa juga menunjukan adanya bayangan buli buli yang penuh
resistensi urine
2. Pemeriksaan piv dapat menerangkan adanya kemungkinan kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
3. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUST, pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui adanya besar atau volum kelenjar prostat.
G. Diagnosis
Diagnosis Anatomi : Hipertrofi ventrikel kiri dan kanan
Diagnosis Etiologi : Hipertensi
Diagnosis Fungsional : NYHA kelas IV
Diagnosis Patofisiologi : Gagal jantung kongestif
I. Patofisiologi
Gagal jantung pada pasien ini kemungkinan di awali oleh hipertensi yang tidak
ditangani dengan adekuat, sebagaimana telah disebutkan dalam kasus pasien tidak
melanjutkan konsumsi obat hipertensinya. Sehingga hipertensi tidak tertangani dan makin
memburuk.
Dalam kondisi hipertensi, beban kerja jantung untuk memompa darah keluar menjadi
lebih besar sebagai efek kompensasi. Lambat laun, ventrikel kiri menjadi hipertrofi,
kardiomegali. Efek kompensasi ini tidak akan berlangsung selamanya. Bila telah memasuki
fase dekompensasi dimana otot jantung tidak mampu lagi untuk berkontraksi dengan
kekuatan yang sebagaimana mestinya, maka cardiac output makin sedikit dengan intensitas
cardiac input yang tetap. Inilah tahap pasien disebut mengalami gagal jantung kiri. Dimana
pada tahap ini, akan terjadi akumulasi darah dalam ventrikel kiri hingga memenuhi atrium
kiri, bahkan sampai ke paru-paru yang menyebabkan edema paru.
Di sisi lain, ventrikel yang tidak mampu memompa darah keluar dari jantung dengan
jumlah yang cukup, menyebabkan organ lain kekurangan nutrisi (oksigen) sehingga tubuh
mengaktifkan mekanisme kompensasi berupa peningkatang frekuensi pernapasan dan
frekuensi nadi dengan harapan semakin banyak oksigen yang masuk akan meningkatkan
pendistribusian oksigen dalam organ-organ tubuh pula. Namun nyatanya hal ini justru
menambah berat beban kerja jantung.
Lama kelamaan akan terjadi bendungan di jantung kanan yang menyebabkan
penigkatan tekanan atrium dan ventrikel kanan, dan akhirnya timbul bendungan pada sistem
vena diseluruh tubuh yg bermanifestasi pada beberapa hal seperti hepatomegali dan odema
perifer.
J. Komplikasi
a. Efusi pleura
Di hasilkan dari peningkatan tekanan kapiler. Transudasi cairan terjadi dari kapiler masuk ke dalam ruang pleura. Efusi pleura biasanya terjadi pada lobus bawah darah.
b. Aritmia
Pasien dengan gagal jntung kongestif mempunyai risiko untuk mengalami aritmia, biasanya disebabkan karena tachiaritmias ventrikuler yang akhirnya menyebabkan kematian mendadak.
c. Trombus ventrikuler kiri
Pada gagal jntung kongestif akut dan kronik, pembesaran ventrikel kiri dan penurunan kardiac output beradaptasi terhadap adanya pembentukan thrombus pada ventrikel kiri. Ketika thrombus terbentuk, maka mengurangi kontraktilitas dari ventrikel kiri, penurunan suplai oksigen dan lebih jauh gangguan perfusi. Pembentukan emboli dari thrombus dapat terjadi dan dapat disebabkan dari Cerebrivaskular accident (CVA)
d. Hepatomegali
Karena lobus hati mengalami kongestif dengan darah vena sehingga menyebabkan perubahan fungsi hati. Kematian sel hati, terjadi fibrosis dan akhirnya sirosis.
e. Kerusakan ginjal atau kegagalan
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. Kerusakan ginjal akibat gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan.
f. Katup jantung bermasalah
Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang tepat melalui jantung, dapat menjadi rusak dari penumpukan darah dan cairan dari gagal jantung.
g. Serangan jantung dan stroke
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung normal, itu lebih mungkin akan mengembangkan bekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke.
h. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama
1. Observasi tanda vital dan saturasi.
2. Memposisikan pasien dalam posisi duduk.
3. Memberikan oksigen sungkup non rebreathing 10L/menit
4. ISDN 5 mg sublingual sambil mempersiapkan ISDN drip IV (mulai 10mcg/menit,
dititrasi naik sesuai klinis dan tekanan darah)
5. Furosemid IV 60mg iv bolus dilanjutkan dengan syring pump.
Terapi medikamentosa
Tujuan:
1. Putuskan system renin-angiotensin
2. Menurunkan pengaruh ADH
3. Menurunkan pengaruh simpatis.
Diantara terapinya adalah:
i. Restriksi (batasi) cairan
ii. Diet rendah garam
iii. Diuretic, dipilih golongan loop diuretic seperti tablet furosemid (Naclex dari Pharos)
sehari sekali dan jika terjadi retensi cairan yang persisten berikan 2 kali sehari. Jika
ada hipokalemi maka dapat dipilih golongan hemat kalium seperti spironolakton
(Aldactondari Soho) dengan dosis rendah (25-50 mg) selama 1 minggu. Ukurlah
secara berkala serum kreatinin dan elektrolit.
iv. Pemutus rantai renin-angiotensin, bisa digunakan ACE inhibitor seperti captopril
(Farmoten dari Fahrenheit) 6,25 mg 2 kali sehari atau lisinopril
(Interpril dari Interbat) 2,5 mg perhari (dosis inisial). Bisa juga diberikan ARB
seperti cendesartan (Blopress dariTakeda) dengan dosis awal 4 mg perhari.
Hendaknya tekanan darah dicek setelah 1 minggu pemberian obat pemutus rennin-
angiotensin.
v. Untuk mengurangi pengaruh simpatik dapat digunakan β-blocker seperti carvedilol
(Dilbloc dari Roche) 12,5 mg (1-2 hari) kemudian 25 mg. Obat ini berfungsi sebagai
non selektif β-blocker, α-antagonis dan antioksidan. Hati-hati pada pasien dengan
riwayat asma bronchial, bradikardi dan A-V block derajat 2-3.
vi. Untuk meningkatkan kontraktilitas dapat digunakan digoxin
(Lanoxin dariGlaxoSmithKline) 0,25-0,75 mg perhari selama 1 minggu. Obat ini
memiliki pengaruh inotropik positif dan kronotropik negative. Sangat tidak dianjurkan
pada pasien dengan hipokalemia.
vii. Untuk vasodilatasi dapat dikombinasi hidralazin dan nitrat dengan tujuan menurunkan
afterload sehingga cardiac output menjadi optimal.
viii. Juga hindari stress psikologi pada pasien.
Berikut merupakan petunjuk terapi gagal jantung kronis sesuai NYHA.
Keterangan: ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, BB: β-blocker, ARB: Angiotensin Receptor Blocker
Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Karena jika kita cepat dan efektif dalam penatalaksanaannya, angka kematian dan mortalitas dapat ditekan dan pasien dapat kembali normal dan segera sembuh.
Ad Fungtionam : Dubia ad Malam
Mengingat banyaknya target organ yang diserang dan terkena dampak dari hipertensi yang sudah lama terjadi, maka kemungkinan telah terjadi kerusakan banyak organ sehingga mengurangi fungsinya.
Ad Sanationam : Ad Malam
Faktor resiko seperti umur, gaya hidup dan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi sangat mempengaruhi kekambuhan penyakit ini sendiri.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
JANTUNG
Definisi
Jantung pada dunia medis memiliki istilah cardio / kardio yang berasal dari
bahasa latin, cor. Dimana cor dalam bahasa latin memiliki arti : sebuah rongga.
Sebagaimana bentuk dari jantung yang memiliki rongga berotot yang memompa darah
lewat pembuluh darah dalam kontraksi berirama yang berulang dan berkonsistensi.
Dalam kedokteran istilah kardiak memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan
dengan jantung. Dalam bahasa Yunani, cardia sendiri digunakan untuk istilah jantung.
Jantung sendiri merupakan organ yang paling vital karena jantung merupakan
pusat dari sistem peredaran darah dalam tubuh. Bila terjadi gangguan pada jantung, akan
menyebabkan gangguan menyeluruh pada tubuh.1
Anatomi
Jantung memiliki bentuk jantung cenderung berkerucut tumpul. Terletak di
sebelah kiri bagian dada, di antara paru-paru, terlindungi oleh tulang rusuk. Dengan
ukuran kurang lebih sebesar kepalan tangan pemiliknya.
Pada bagian luar terdiri dari otot-otot yang saling berkontraksi. Otot-otot inilah
yang berperan penting dalam memompa darah melalui pembuluh arteri.
Bagian dalam jantung terdiri dari 4 buah rongga. Dan terbagi atas :
a) Serambi kanan dan serambi kiri yang dipisahkan oleh septum intratrial.
b) Bilik kanan dan bilik kiri yang dipisahkan oleh septum interventrikular.1
Histologi
Lapisan jantung terdiri dari:
Pericardium parietalis
Rongga pericadial, yang memisahkan pericardium parietalis dan perkardium viceralis
Pericaridum viceralis
Myokardium
Endokardium, yang merupakan bagian paling tebal dari lapisan otot jantung.
Pembuluh darah terdiri dari arteri, kapiler, dan vena. Masing-masing dari
pembuluh darah tersebut memiliki susunan dan lapisan selnya sendiri.
Pembuluh darah arteri terdiri dari: (dari lapisan terdalam)
1. Tunika interna yang terdiri dari lapisan endotelium, dan membran basalis
2. Tunika media yang terdiri dari otot halus dan external elastic lamina
3. Tunika externa
Pada pembuluh darah vena, sebagian besar lapisannya sama seperti pembuluh arteri. Lapisan-
lapisan tersebut antara lain :
1. Terdapat valvula dalam lumen vena, inilah perbedaan yang sangat mencolok
yang membedakan arteri dan vena. Valvula/katup ini berfungsi untuk
mencegah aliran balik vena.
2. Tunika interna yg hanya terdiri dari membran basalis.
3. Tunika media yang terdiri dari otot halus
4. Dan tunika extrena
Perbedaan lapisan inilah yang menyebabkan dinding vena lebih tipis dari dinding arteri.
Sedangkan pembuluh kapiler yang merupakan tempat peralihan dari arteri menjadi vena
hanya terdiri atas lapisan endotelium dan membran basalis.1
Fisiologi
Dalam sistem peredaran darah, selain memompa darah ke seluruh tubuh, jantung
juga memberi respon pada perubahan kadar oksigen dalam darah.sistem peredaran darah
pada manusia yang melibatkan aktivitas jantung merupakan sistem peredaran darah
rangkap. Hal ini dikarenakan, darah melewati jantung sebanyak dua kali. Adapun
peredaran darah tersebut dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Peredaran darah kecil, dengan siklus darah dari jantung masuk ke paru-paru
dan kembali lagi ke jantung.
b) Perdaran darah besar, yaitu peredaran darah dengan siklus darah dari jantung
ke seluruh tubuh kemudian kembali lagi ke jantung.
Darah yang di pompa dari jantung ke paru-
paru mengandung banyak karbondioksida. Di
dalam paru-paru bagian alveolus terjadi pertukaran
antara karbon dioksida dengan oksigen yang
didapat dari proses respirasi. Setelah itu, darah
yang telah mengandung banyak oksigen masuk ke
jantung dan akan dipompakan keseluruh tubuh. Di
dalam organ-organ tubuh juga akan mengalami
pertukaran antara oksigen yang dibawa darah dan
karbondioksida hasil metabolisme organ. Darah yg
mengangkut karbondioksida itu akan diangkut
kembali menuju paru-paru. Seperti itulah siklus
normal peredaran darah dalam tubuh manusia.1
Sistem Penghantaran Impuls Jantung
Impuls jantung dimulai dari nodus SA(sinoatrial) yang terletak di dinding post
atrium kanan dekat muara vena kava sup, nodus ini diebut sebagai pemacu alami. Impuls
selanjutnya menyebar dari SA node ke system penghantaran khusus atrium dan otot
atrium yang disebut berkas bachman. Lalu mencapai AV node( atrioventrikular) yang
terletak diatas septum interventrikular. AV node merupakan jakur transmisi impuls dari
atrium ke ventrikel serta mempunyai fungsi lain yaitu menahan impuls selama 0,08-0,12
sekon guna memungkinkan pengisian ventrikel secara optimal.
Gelombang rangsangan listrik
selanjutnya menyebar ke berkas his,
suatu berkas serabut yang tebal yang
menjulur ke bawah dan kemudian
bercabang menjadi cabang ant yang
tipis dan post yang tebal. Cabang-
cabang ini akan berakhir pada suatu
jalinan serabut yang kompleks dikenal
sebagai system purkinje. System
purkinje ini menjalarkan impuls
dengan sangat cepat.
Susunan sel miokard diluar system ini juga memastikan penyebaran impuls secara
baik ke seluruh bagian jantung. Sel yang berdekatan dipisahkan oleh duktus interkalaris,
didalam diskus ini terdapat tempat dimana membaran intertisial saling berdekatan dan
dikenal sebagai neksus yang mempercepat transmisi rangsangan listrik dari sel ke sel,
mengaktifkan dan merangsang kontraksi sel-sel miokardial yang simultan.
Sistem penghantaran impuls jantung ini dapat dianalogikan seperti lokomotif.
Dimana lokomotif tercepatlah yang akan menjalankan aktivitas memacu Nodus SA dalam
keadaan normal mempunyai daya pacu 70-80 dpm dikenal sebagai pacemaker jantung
karena memiliki kecepatan outorimisitas yang tertinggi, jika SA node gagal maka AV
node yang mampu menghasilkan impuls 40-60 dpm akan mengambil alih perannya
sebagi pacu alami. Sedangkan berkas his dan system purkinje yang memiliki kecepatan
potensial aksi terkecil sebesar 20-40 dpm, akan mengambil alih posisi pacemaker bila,
AV node mengalami kerusakan.1
Pendarahan Jantung
Jantung mendapat darah dari arteria coronaria dextra dan sinistra, yang berasal
dari aorta ascenden tepat diatas valve aorta.
Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta berjalan ke depan di
antara truncus pulmonalis dan auricular dextra. Beranastomosis dengan arteri coronaria
sinistra di dalam sulcus interventricularis posterior. Cabang-cabang arteria coronaria
dextra mendarahi atrium dextra dan ventriculus dextra, serta sebagian dari atrium sinistra,
ventriculus sinistra, dan septum interventriculare.
Arteria coronaria sinistra, yang biasanya lebih besar dibanding dengan arteria
coronaria dextra, mendarahi sebagian besar jantung, termasuk sebagian besar atrium
sinistra, ventriculus sinistra, septum interventriculare. Arteria ini berasal dari pasterir kiri
sinus aortae aorta ascenden dan berjalan ke depan di antara truncus pulmonalis dan
auricular sinistra. Kemudian pembuluh ini berjalan di sulcus arterioventricularis dan
bercabang menjadi ramus interventricularis anterior dan ramus circumflexus.
Selain arteri yang telah dibahas sebelumnya, jantung juga memiliki vena-vena
yang membawa darah yg mengangkut karbondioksida ke organ paru-paru. vena yang
berada pada posterior jantung dan berjalan kearah sinistra adalah vena cordis magna yang
nantinya akan diteruskan menjadi vena interventricularis anterior. Sedangkan vena yang
berjalan kearah dextra akan bercabang menjadi dua, yaitu : vena cordis media atau
disebut juga vena interventricularis posterior (yang berjalan secara descenden) dan vena
cordis parva.1
Persarafan jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut-serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium dan ventrikel termasuk
pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis terutama memberikan persyarafan pada
nodus sino-atrial, atrioventrikuler dan serabut-serabut otot atrium, dapat pula menyebar
ke dalam ventrikel kiri.
Persyarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medula spinalis torakal atas,
yaitu torakal 3 sampai 6, sebelum mencapai jantung akan melalui pleksus kardialis
kemudian berakhir pada ganglion servikalis superior, medial atau inferior. Serabut post-
ganglionik akan menjadi saraf kardialis untuk masuk ke dalam jantung.
Persarafan parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medula oblongata, serabut-
serabutnya akan bergabung dengan derabut simpatis di dalam pleksus kardialis. Rangsang
simpatis akan dihantar oleh norepinefrin, sedangkan rangsang saraf parasimpatis akan
dihantar oleh asetikolin. Pada orang normal kerja otot ventrikel sedangkan parasimpatis
mengontrol irama jantung dan laju denyut jantung.2
Gagal Jantung Kongestif
a) Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam
jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau kemampuan
tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-
duanya.5
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak
mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik vena (venous return) ke
jantung dalam keadaan normal.6
b) Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan
penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab terbanyak gagal
jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan penyebab penyakit jantung
hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya
rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung.7
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal
jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak,
dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin
meningkat.
Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic, meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.7
Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh
penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun
penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional :
dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi
merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE,
dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit
keturunan (autosomal dominant) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang
asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati peripartum
menyebabkan gagal jantung akut.7,8
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral
dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).9
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan
dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan.9
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan
malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung.
Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9
c) Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai setelah
adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan otot jantung,
yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau
mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang
dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark
miokard akut (MI), atau memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien
dengan tekanan hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada
gagal ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati
genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu
penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab gagal jantung.
Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah
terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam
waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan
mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat
terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur
kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga
kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien
dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan
dari sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada
miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal
jantung dapat diterangkan pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index
event yang menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan
menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan
termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada
jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik
sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme
kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel,
dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai
akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala
ke gagal jantung yang bergejala.
Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung
Dikutip dari: Mann DL4
Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan suatu
molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan jantung dan
sirkulasi. 1,4,8
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor arterial dan
kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat. Akibatnya perubahan
keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya
kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan
terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior
juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran
sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar
2. 1.
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun
maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan perfusi
arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif apabila
menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan
peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan ke
medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis.
Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini
akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta
vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan darah,
tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi
jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem
adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi maladaptasi.1
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi
norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan dengan
“exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang
berlangsung lama.1
Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium,
NE=norepinephrine.
Gambar 2.1 Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal
jantung.
Dikutip dari : Floras JS10
B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin
aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular.
Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting
enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe
2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 2.2.
Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi
aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi,
inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1
Gambar 2.2 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Dikutip dari: Weber KT dkk.11
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan
sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan
berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada
jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan
pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi
aldosteron.1
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan
menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan
miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya
kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel endotel, disfungsi
baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung.
Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres
oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen species
(ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari ketegangan
miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa
adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-
1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis
collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan
bioavailabilitas NO.1,5
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam pengaturan
tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor B1 dan B2. Sebagian
besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan
reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin
akan dipicu oleh ACE.1,5
E. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan
langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari.
Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume
miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan
ventrikel kiri. 1,5 Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3.
Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan
rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang
tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan
tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan
pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban
jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan
tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan
hipertrofi eksentrik.1
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan
gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur kalsium
tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur ini akan
terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya
terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya
kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan
mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua
kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks kalsium dan mempengaruhi
pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan
kecepatan pengambilan kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian
jantung menurun.1,5
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung pada
energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses kontraksi-eksitasi
merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi membran plasma dengan
pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat berikatan dengan troponin C.
Saluran ion kalsium dan natrium pada membran plasma berperan dalam memulai
proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang
akan menjaga potensial membran.1,5
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran
ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang terjadi akan
mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur membran sehingga
mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan
energi juga menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal
jantung.1,5
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal
jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel, peningkatan
permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis dapat
berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini
memperburuk gagal jantung.1,5
Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap
hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ12
Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional NYHAmengklasifikasikan gagal
jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini
dapat dilihat pada tabel 1.1.
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa
gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II, sementara
pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga
dapat dimasukan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA
tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang
sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara
stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas
dari status fungsionalnya.
Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA)
atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan
struktural dan kerusakan otot jantung.
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan
aktivitas fisik.
Stage
A
Memiliki risiko tinggi
mengembangkan gagal jantung.
Tidak ditemukan kelainan struktural
atau fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.
Kelas
I
Aktivitas fisik tidak terganggu,
aktivitas yang umum dilakukan tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi,
atau sesak nafas.
Stage
B
Secara struktural terdapat kelainan
jantung yang dihubungkan dengan
gagal jantung, tapi tanpa
tanda/gejala gagal jantung.
Kelas
II
Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Tapi
aktivitas fisik yang umum dilakukan
mengakibatkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Stage
C
Gagal jantung bergejala dengan
kelainan struktural jantung. Kelas
III
Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Tapi
aktivitas ringan menimbulkan rasa
lelah, palpitasi, atau sesak nafas.
Stage
D
Secara struktural jantung telah
mengalami kelainan berat, gejala
gagal jantung terasa saat istirahat
Kelas
IV
Tidak dapat beraktivitas tanpa
menimbulkan keluhan. Saat istirahat
bergejala. Jika melakukan aktivitas
walau telah mendapatkan
pengobatan.
fisik, keluhan bertambah berat.
Dikutip dari: Mann DL4
d) TANDA DAN GEJALA GAGAL JANTUNG
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik,
yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik
pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat
digali secara detail.1
ANAMNESA
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.1,5
Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada
gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti
anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya
dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak
terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab
dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah
kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau
intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang
menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea.
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan
diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya
gagal jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.1
ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan
biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1
Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan
bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan
ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan
meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu
manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau
orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan
mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.1
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi
1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi,
umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang
mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan
meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak
pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan
batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi
tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)
berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing
sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab
pulmoner wheezing lainnya.5
EDEMA PULMONER AKUT
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya
fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat
berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat
bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi
secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan.5
RESPIRASI CHEYNE STOKES
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal
jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah.
Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap
kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat.
Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan
mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea.
Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas
berat atau periode henti nafas sesaat.5
GEJALA LAINNYA
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan
kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari
dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat
mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan,
disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,
terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi
serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia.5
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah
bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin
berkurang dengan pengobatan jantung.Error! Bookmark not defined. Pada tabel 1.2. dibawah ini
menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau orthopnea
dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut tidak
sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak memiliki
gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat sangat
spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.
Tabel 1.2 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien
yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306
pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.
Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas
(%)
Spesifitas
(%)
(+) Predictive
Value (%)
Anamnesa
Mudah sesak 66 52 23
Orthopnea 21 81 2
Nocturnal dyspnea 33 76 26
Riwayat bengkak 23 80 22
Pemeriksaan Fisik
Takikardi 7 99 6
Ronkhi 13 99 6
Edema 10 93 3
Ventricular gallop (S3) 31 95 61
Distensi Vena Jugularis 10 97 2
Thorax Foto (Chest X-Ray)
Cardiomegaly 62 67 32
Anamnesa 66 52 23
Mudah sesak 21 81 2
Orthopnea 33 76 26
Nocturnal dyspnea 23 80 22
Dikutip dari: Harlan WR dkk.13
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.
Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,
atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL4
e) Tata laksana
TERAPI NONFARMAKOLOGIS
PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan
dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional,
morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya
pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih. Topik-topik penting dan
perilaku perawatan mandiri yang perlu dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel 5.15
Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal
Jantung.
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi
gagal jantung
Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan
tanda-tanda gagal
jantung
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai
anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat
digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik
Dikutip dari: Dickstain dkk15
3.1.1 TERAPI FARMAKOLOGIS
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan
mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan
kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini
tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan
digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas.
Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan
sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung
membaik.1
ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITORS(ACEI)
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan
gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit
untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien
yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang
rawat.Dosis awal ACEI dengan target pada tdosis dapat dilihat pada Tabel 6. KELAS
REKOMENDASI I, TINGKAT BUKTI A.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI :
Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.
Tabel 6. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis
yang diinginkan
Dikutip dari: Dickstain dkk.15
Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :
Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI
adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis
kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan
nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non
steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan.
Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga
konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine
meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI
secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan
hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan
hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,
turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika
kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini
seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika
mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen
hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi
asimtomatik tidak memerlukan intervensi.
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER(ARB)
Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap
simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali
telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan
gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.
Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif
pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB
mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat
perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus
dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien
dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.
Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang
tidak toleran terhadap ACEI.14
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
Memulai pemberian ARB:
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara
cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.
β-bloker / PENGHAMBAT SEKAT-β
Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya
gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi
gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan
pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat
akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan
pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati
sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
LVEF < 40%
Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik
dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan
dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi
BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :
Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan
supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.
Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum
pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB
(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien
degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat
perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih
(<50x/menit).
Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat
tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-
50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau
dosis yang bisa ditoleransi maksimal.
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan
gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan
gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan
biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus
disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang
cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun
harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia,
atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan
kreatinine dipanantau secara berkala.14
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko
hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.
Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan
bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk
antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan
diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis
aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan
klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat
dilihat pada tabel 7.
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah
tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk
mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada
tabel 8.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-
tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat
jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien
ANTAGONIS ALDOSTERON
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi
yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
LVEF < 35%
Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
HYDRALIZIN & ISOSORBIDE DINITRAT
Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat
digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB.
Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala
yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron
Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko
kematian.9Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti A
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah :
Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-
amerika.
Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal
berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :
Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan
bila terdapat hipotensi simtomatik.
Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan
pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau
jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,
pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi
(kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak
membutuhkan intervensi.
Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –
pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan
teruskan H-ISDN.
GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn
untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF <
40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan
darah.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi
dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan
gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka
mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium
intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi
kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan
saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.
ANTIKOAGULAN (ANTAGONIS VIT-K)
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa
adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan
dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang
terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemikKelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi
risiko stroke dengan 60-70%.
Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada
mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko
perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi
aspirin, dibandingkan warfarin.
f) Prognosis
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel
seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi
progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah
mendadak atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal
jantung terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan. Variabel yang paling
sering ditemukan konsisesten sebagai faktor prediktor independen pada prognosis
gagal jantung dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Kondisi yang ditemukan berhubungan erat dengan prognosis buruk
pada gagal jantung
Demografik Klinis EKG Fungsional Laboratorik Imaging
Usia
Lanjut*
Hipotensi Takikardia,
Gelombang
Q
Penurunaa
n kapasitas
fungsional,
puncak VO2
yang
rendah*
Elevasi BNP /
NT pro-BNP*
Ejeksi
fraksi yang
rendah*
Penyebab
iskemia*
NYHA FC
III-IV*
QRS lebar Hiponatremi*
Riwayat
Resusitasi*
Riwayat
perawatan
karena
gagal
jantung*
Hipertrofi
ventrikel
kiri
Aritmia
ventrikular
kompleks
Peningkatan
Troponin
Peningkatan
aktivasi
biomarker
humoral
Komplians
buruk
Takikardia Toleransi
latihan yang
rendah
Atrial
Fibrilasi
Hasil yang
buruk pada
tes jalan 6
menit
Peningkatan
kreatinin /
BUN
Peningkatan
volume LV
Disfungsi
Ginjal
Rales pada
paru
Body Mass
Index yang
rendah
Tingginya
slope
VF/VCO2
Peningkatan
anemia
bilirubin
Cardiac
Index
rendah
,
hipeDiabetes
Stenosis
Aorta
Nafas
Periodik
(Chayne
Stokes)
Peningkatan
asam urat
Tekanan
pengisian
ventrikel
kiri tinggi
Anemia Pola
pengisian
mitral
restriktif,
hipertensi
pulmonal
COPD Kelainan
nafas saat
tidur
Fungsi
ventrikel
kanan yang
terganggu
Depresi
Dikutip dari : Mann DL dkk. 4
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang berlangsung terus menerus bahkan pada saat istirahat dan tidur terlentang pasien masih merasa sesak. Kami berhipotesis dari gejala yg timbul dapat diakibatkan karena masalah paru dan organ diluar paru, namun setelah anamnesis lebih lanjut dan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan kami mendiagnosis bahwa pasien ini terkena gagal jantung kongestif. Untuk selanjutnya kami membuat prognosis nya lalu tata laksana berupa medika mentosa dan non medika mentosa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono
HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264
3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h.
2-9.
4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill;
2008. p. 1443.
5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart
Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of
angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;
320:104-7.
8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive).
In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and
Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.
9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan
September 2007. P.85-93.
10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in
Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart
Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689
12. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N
Engl J Med. 1999; 341:1276
13. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure in
coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133–138.
14. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type
natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002;
347:161-167.
15. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European
Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.