chapter iii v

73
 BAB III TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN 1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Peraturan Pemerrntah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek juga dinyatakan bahwa “Pengelolaan (pekerjaan kefarmasian) apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi”. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, peran apoteker yang menyandang gelar sarjana farmasi, telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek. Dalam prakteknya, sebagian besar apoteker memberikan pelayanan kefarmsian dan pengelolaan apotek belum maksimal. Hal ini dikarenakan sebagian besar apoteker tidak setiap hari datang ke apotek tempatnya bekerja. 28  Keharusan apoteker untuk mengelola apotek setiap harinya sangat diperlukan guna memberikan pelayanan kefarmasian yang baik bagi konsumen. 28  Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010. 32 Universitas Sumatera Utara

Upload: astri-arri-febrianti

Post on 07-Jan-2016

20 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

chapter 3

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 1/73

 

BAB III

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAANKERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA

APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN

1.  Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek

Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang

Perubahan Peraturan Pemerrntah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek juga

dinyatakan bahwa “Pengelolaan (pekerjaan kefarmasian) apotek menjadi tugas dan

tanggung jawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi”.

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, peran apoteker yang

menyandang gelar sarjana farmasi, telah lulus pendidikan profesi dan telah

mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia

bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.

Dalam prakteknya, sebagian besar apoteker memberikan pelayanan

kefarmsian dan pengelolaan apotek belum maksimal. Hal ini dikarenakan sebagian

besar apoteker tidak setiap hari datang ke apotek tempatnya bekerja.28  Keharusan

apoteker untuk mengelola apotek setiap harinya sangat diperlukan guna memberikan

pelayanan kefarmasian yang baik bagi konsumen.

28 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010.

32

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 2/73

 

Tabel Kegiatan Pembelian dan Penjualan di Apotek Budi dan Apotek Navisa.

Sumber: Data Bulan Maret-April 2010.

Bagian

Apotek

PEMBELIAN(Item)

Maret April

PENJUALAN(Item)

Maret April

BUDI 400 400 380 395

NAVISA 450 450 420 450

Pada bagian pembelian, kedua apotek melakukan pemesanan obat kepada

distributor berdasarkan penjualan bulan sebelumnya, sedangkan pada bagian

penjualan, kedua apotek mengalami kenaikan penjualan obat, akan tetapi sisa obat

yang belum terjual akan disimpan pada bagian pergudangan untuk dijadikan stok

barang bulan selanjutnya.

Tabel Kegiatan Pelayanan Informasi di Apotek Budi dan Apotek Navisa.

No. Materi Pelayanan InformasiPada Konsumen

Jumlah KonsumenApotek Budi

Jumlah KonsumenApotek Navisa

1 Nama Obat 37 42

2. Khasiat Obat 56 68

3. Kontra Indikasi 0 2

4. Dosis Pemakaian Obat 38 39

5 Cara Pemakaian Obat 48 56

6 Waktu Pemakaian Obat 57 45

7. Waktu Pemakaian Obat 97 90

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 3/73

 

8. Lama Pemakaian 24 25

9. Yang harus dilakukan bilalupa

1 0

10. Obat Bebas Yang HarusDibatasi

0 0

11. Makanan/ Minuman YangHarus Dibatasi

9 13

12. Aktifitas Yang Harus Dibatasi 2 1

13. Cara Penyimpanan YangBenar

1 3

14. Cara Pembuangan Yang Benar 0 0

Jumlah total konsumen : 100 orang

Pada kegiatan konsumen, responden dengan jumlah 100 (seratus) orang yang

dilakukan melalui kuisioner membuat suatu perbandingan yang cukup. Hal ini berarti

aktivitas di kedua apotek tidak memiliki perbedaan yang jauh. Hal ini berdasarkan

kebiasaan para pihak yang telah memiliki pengalaman sebelum mendirikan apotek.

Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Budi.

Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang TidakDiberikan

Bagian

Bulan Langsung Tertunda StokHabis

PermintaanKonsumen

Maret 198 7 - 5

April 210 5 - 3

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 4/73

 

Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Navisa.

Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang TidakDiberikan

Bagian

Bulan Langsung Tertunda StokHabis

PermintaanKonsumen

Maret 207 8 - 7

April 212 4 - 4

Pada kegiatan pergudangan, jenis obat yang diberikan di kedua apotek

mengalami kenaikan pada bulan april dikarenakan adanya kenaikan pada kegiatan

penjualan, sedangkan yang tertunda, setelah keluar dari bagian gudang, konsumen

tidak jadi membeli. Item obat yang tidak diberikan pada konsumen dikarenakan

adanya obat resep yang tidak mampu dibayar konsumen sehingga apoteker mengganti

dengan obat yang murah tapi memliki dosis yang sama.

Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Budi

Kerusakan KehilanganHal

Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang

Maret - - - -

April - - - -

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 5/73

 

Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Navisa.

Kerusakan KehilanganHal

Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang

Maret - - - -

April 1 - - -

Pada kegiatan pembukuan, data yang dimaksud diatas sangat jarang terjadi

karena yang berwenang pada kegiatan tersebut selalu menata dengan baik

penyusunan dokumen, walaupun terkadang ada juga yang lepas dari pengamatan

dikarenakan begitu banyak konsumen yang datang ke apotek.

Berdasarkan hal itu apoteker harus mengusahakan terpenuhinya keperluan

konsumen dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan, sehingga apoteker sebagai

pengemban profesi harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

Apoteker yang mengelola apotek tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang

meliputi:29 

a. Membuat visi dan misi;

b. Membuat strategi, tujuan, sasaran dan program kerja;

c. Membuat dan menetapkan peraturan pada setiap fungsi kegiatan di apotek;

d. Membuat dan menentukan indikator  form record   pada setiap fungsi kegiatan di

apotek;

29 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 6/73

 

e. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SPO dan program kerja pada

setiap fungsi kegiatan di apotek;

Wewenang dan tanggung jawab apoteker meliputi:30 

a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan;

b. Menentukan sistem yang akan digunakan;

c. Mengawasi pelaksanaan SPO dan program kerja;

d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang diperoleh;

Apoteker juga bertanggung jawab terhadap pelayanan baik obat keras maupun

resep dengan memberikan jasa profesi terbaik termasuk informasi tentang cara

pemakaian obat, dosis obat dan konsultasi ke dokter penulis resep bila ada keraguan.

Untuk melaksanakan kegiatannya itu seorang apoteker dibantu oleh asisten apoteker.

Tugas dan Fungsi Apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1980 Tentang Apotek, adalah sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;

b. Sarana farmasi yang telah melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang

diperlukan masyarakat secara luas dan merata;

d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada

masyarakat;

30 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 7/73

 

Dalam hal pemberian informasi dan obat kepada konsumen, kehadiran

seorang apoteker merupakan sosok yang paling bertanggung jawab terhadap

terjaminnya keamanan pemakaian obat. Informasi-informasi penting tentang obat

merupakan hal yang mutlak yang harus dimengerti oleh konsumen. Kalau perlu

seorang apoteker memberikan waktu khusus untuk menerangkan secara lebih rinci

akibat berlanjut dan efek samping obat tersebut.

2.  Hak Dan Kewajiban Konsumen

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan secara jelas pengertian dari konsumen,

yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diharapkan

agar meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pelaku usaha

untuk melindungi kepentingan konsumen.

Kedudukan konsumen dan pelaku usaha yang tidak seimbang membuat

perlindungan konsumen sangat penting sebagai upaya penjamin kepastian hukum

kepada konsumen. Kerugian sering diterima oleh konsumen dalam memenuhi

kebutuhannya. Konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan/ atau

 jasa yang berkualitas sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 8/73

 

Oleh karena itu, konsumen memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Hak-hak konsumen terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen diantaranya adalah:

a. Hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/

atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/ atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang

digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila

barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 9/73

 

Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/ atau jasa dalam penggunaannya

mendapatkan kenyamanan, keamanan, maupun tidak membahayakan konsumen,

maka konsumen diberikan suatu hak yang sesuai dengan kemampuannya untuk

memilih barang dan/ atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan keterbukaan

informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terjadi sesuatu yang merugikan konsumen,

maka konsumen tersebut berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,

mendapatkan keadilan, kompensasi sampai ganti rugi.

Kewajiban konsumen terdapat pada Pasal 5 Undang-undang Perlindungan

Konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut;

Pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan

secara jelas pada label suatu produk. Namun, sering terjadi konsumen tidak membaca

peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan adanya kewajiban yang

terdapat pada undang-undang ini, memberikan konsekuensi kepada pelaku usaha

untuk tidak bertanggung jawab jika konsumen menderita kerugian akibat

mengabaikan kewajiban tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 10/73

 

3.  Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara

Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi

Konsumen.

Hubungan Hukum Antara Apotek dengan Pendiri Apotek

(Apoteker Dan Pemilik Sarana Apotek (Pengusaha))

Perjanjian kerjasama

Sumber: Hasil analisis bahan hukum primer

Hubungan tersebut diatas terjadi karena seorang pengusaha tidak akan dapat

mendirikan suatu usaha apotek tanpa adanya seorang apoteker. Hal ini dikarenakan

setiap pengusaha yang ingin mendirikan usaha apotek, wajib melampirkan surat izin

kerja seorang apoteker, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pengusaha serta

melampirkan surat rekomendasi dari ikatan apoteker indonesia.31  Berdasarkan hal

tersebut apoteker dan pemilik sarana apotek (pengusaha) mempunyai kedudukan

yang seimbang bila dilihat dari segi hukum perikatan.

31  Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia CabangMedan. tanggal 12 Mei 2010.

Apoteker

Pengusaha

Apotek

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 11/73

 

Dalam Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 Tahun

1981, berbunyi permohonan izin apotek yang sarana apotek dimiliki pihak lain

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Tahun 1981 ayat (2) Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 25 Tahun 1981 harus juga melampirkan akta perjanjian kerja sama

antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permohonan

pendirian izin apotek apabila sarana apotek dimiliki pemilik modal, maka harus

melampirkan akta perjanjian kerja sama. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut bentuk

perjanjian kerja sama antara apoteker dengan pemilik modal adalah secara tertulis.

Dengan adanya kedudukan yang seimbang tersebut maka suatu usaha apotek dapat

didirikan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana

apotek.

Dalam perjanjian kerjasama keduanya saling memasukkan modal, yaitu modal

sarana apotek yang terdiri dari bangunan apotek, perlengkapan apotek, perbekalan

kesehatan di bidang farmasi, dan modal berupa tenaga dan jasa yang dimasukkan oleh

seorang apoteker, sehingga pengelolaan apotek menjadi tanggung jawab seorang

apoteker.

Hubungan hukum antara apotek dengan para pihak tersebut di atas adalah

hubungan hukum yang terjadi dengan perjanjian. Penyelenggaraan apotek oleh

swasta dimungkinkan pu1a dilakukan sendiri oleh apoteker. Dalam hal ini bila

apoteker memiliki sarana untuk suatu pendirian apotek, maka apoteker dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 12/73

 

langsung mendirikan apotek. Kedudukan apoteker di sini selain sebagai tenaga

profesional pengelola apotek juga sebagai seorang pengusaha.

Perjanjian yang ditemukan dalam praktek pada dasarnya dilakukan

berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak

ini berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada

para pihak untuk mengadakan perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban

umum dan kesusilaan. Ini dapat diartikan boleh mengenyampingkan ketentuan-

ketentuan dalam buku III KUH Perdata, sehingga buku III KUH Perdata tersebut

merupakan hukum pelengkap. Sedangkan pengertian sah adalah telah memenuhi

syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:

a. 

Kata sepakat (persetujuan) para pihak yang saling mengikatkan dirinya;

b. 

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c.  Mengenai suatu hal (objek) tertentu;

d.  Karena suatu kausa yang sah;32 

Dipenuhinya keempat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang telah

disebutkan, belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih

ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian

tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat

sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah

32 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit , h. 136.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 13/73

 

kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya

paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga

masih ada kemungkinan batal.33 

Dua syarat yang pertama yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk membuat

suatu perikatan dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orangnya atau

subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir yaitu

mengenai suatu hal tertentu dan suatu kausa yang sah dinamakan syarat-syarat

obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dan pembuatan hukum

yang dilakukannya itu.34 

Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjian belum batal demi

hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian

tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang

tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi

perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat selama tidak dibatalkannya (oleh

hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.35 

Dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi

hukum. Artinya, semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian guna

33 R. Soetojo Prawirohami dan Marthalena Pohan,  Hukum Perikatan, Bma Ilmu, Surabaya,1984, h. 82

34 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke XII, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987, h. 17 35 R. Subekti, Op. Cit , h. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 14/73

 

melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar

untuk saling menuntut di depan hakim.

Yang dimaksud dengan sepakat atau persesuaian kehendak ialah kedua

subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal

yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki dari pihak yang

satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua pihak menghendaki sesuatu yang

sama secara timbal balik.

Dengan diperlakukannya kata sepakat antara kedua pihak berarti bahwa kedua

pihak haruslah mempunyai kebebasan dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain

yang mengakibatkan terjadinya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian

sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara kedua pihak.

Sepakat para pihak yang mengikat diri merupakan asas esensial dalam hukum

perjanjian.36  Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap untuk berbuat

menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya

adalah cakap menurut hukum.

Syarat ketiga bagi sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah

mengenai suatu hal (objek) tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas.

Syarat keempat adanya perjanjian adalah karena adanya suatu sebab yang sah.

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab. Yang dimaksud

dengan sebab bukanlah hubungan sebab yang mendorong para pihak untuk

36  Mariam Darus Badruzaman, KUH Perdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, h. 1038 

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 15/73

 

mengadakan perjanjian, karena yang menjadi motif dari seorang untuk mengadakan

perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum, akan tetapi isi maksud dari perjanjian.

Melalui syarat sebab dalam praktek maka ini merupakan upaya untuk

menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah

tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isinya tidak bertentangan dengan

Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika syarat-syarat dalam pasal

1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka:

a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;

b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa izin dan pihak lain,

kecuali ditegaskan dalam perjanjian;

c. Perjanjian yang telah disepakati harus dilaksanakan dengan baik;

d. Perjanjian mengikat para ahli waris para pihak, kecuali bila dinyatakan dalam

perjanjian;

e. Para pihak tidak saja terikat oleh apa yang tercantum secara tegas dalam isi

perjanjian tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Keempat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat

sahnya perjanjian, ini merupakan salah satu unsur yang mutlak harus ada agar terjadi

suatu perjanjian. Unsur ini dinamakan essentialia.

37

 

Unsur lain yang melekat pada perjanjian yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan

secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada

37  Kartini Mulyadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003. 

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 16/73

 

dalam perjanjian karena sudah merupakan pernbawaan atau melekat pada perjanjian,

misalnya pada perjanjian jual-beli obat, apoteker harus menjamin konsumen terhadap

cacat-cacat yang tersembunyi. Unsur ini disebut naturalia.38 

Yang ketiga adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam

perjanjian, unsur ini dinamakan accidentalia, misalnya mengenai tempat tinggal yang

dipilih.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga

Kesehatan bahwa tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten

apoteker. Selain tenaga kefarmasian seperti tersebut di atas yang bekerja/ mengelola

apotek juga dibantu tenaga-tenaga administrasi.

Suatu apotek tidaklah mungkin ditangani sendiri oleh seorang tenaga

apoteker. Apabila apoteker pengelola berhalangan melakukan tugasnya, maka

apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pendamping. Bilamana apoteker

pengelola dan pendamping berhalangan untuk suatu hal tertentu, maka apoteker

pengelola dapat menunjuk apoteker pengganti.

Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping maupun apoteker

pengganti dalam apotek, apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas

segala kegiatan tersebut. Selain apoteker pendamping dan pengganti di apotek,

apoteker pengelola juga dibantu tenaga farmasi lainnya yaitu asisten apoteker dan

analis farmasi. Keduanya melakukan kegiatan kefarmasian di apotek di bawah

pengawasan apoteker (pengelola, pendamping atau pengganti).

38  Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 17/73

 

Sebagai penjabaran atau implementasi dari pelaksanaan tanggung jawab

apoteker, maka pemilik sarana apotek memberikan kewenangan kepada apoteker

untuk mengelola suatu apotek. Penjabaran atau implementasi tersebut tertuang dalam

bentuk perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Apotek yang dikelola berdasarkan perjanjian kerjasama dan apotek yang

didirikan oleh apoteker pribadi, keduanya dikelola oleh apoteker dan sepenuhnya

menjadi tanggung jawab apoteker. Ada sekitar sembilan puluh persen apotek di

Indonesia berbentuk kedua jenis apotek ini.39 Di Kota Medan, kedua jenis apotek ini

ada sekitar lima ratus apotek dan sekitar sembilan puluh tiga persennya adalah apotek

yang didirikan berdasarkan perjanjian kerjasama.40  Kedua bentuk apotek ini tidak

 jelas hubungan antara apotek dengan apoteker sebagai pengelola apotek, apakah

apoteker bertindak untuk dan atas nama apotek ataukah bertindak untuk diri sendiri

sebagai apoteker dalam melakukan hubungan-hubungan hukum di apotek.

Hasil penelitian penulis, kedua bentuk apotek ini melakukan hubungan hukum

dengan pihak-pihak yang terkait, dimana apotek sebagai salah satu pihak dan apotek

sebagai person yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama apotek. Kedua

apotek bentuk ini tidak berbentuk badan hukum. Bilamana apotek sebagai salah satu

pihak dalam perjanjian, maka apotek harus memilih kedudukan sebagai subjek

hukum.

39 http://duakehidupan.otodidak.info/ ”Peran Apoteker di Apotek ”, 22 Maret 2010.40 Hasil penelitian di Kantor Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 20 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 18/73

 

Kedua bentuk apotek ini dapat menimbulkan masalah hukum sebab apotek

tersebut melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana

apotek tidak memiliki kedudukan sebagai subyek hukum untuk sahnya transaksi-

transaksi yang dilakukannya. Akan tetapi dalam prakteknya selama ini tidak

dipermasalahkan, namun tetap diterima oleh masyarakat.

Kedudukan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan

tenaga administrasi terhadap kedua bentuk apotek di atas adalah sebagai pegawai

apotek tersebut diangkat atau ditugaskan untuk bekerja berdasarkan

perjanjian kerja.41 Namun yang dapat menjadi persoalan hukum adalah dimana pihak

apotek diwakili oleh apoteker pengelola, sedangkan apotek itu sendiri tidak berbadan

hukum sehingga perjanjian kerja yang dibuat antara apotek dengan apoteker

pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan tenaga administrasi apakah sah

menurut hukum.

Untuk dapat menghindari dari persoalan-persoalan hukum yang dapat timbul,

maka seyogyanya peraturan mengenai apotek perlu dipertegas, khususnya

menyangkut kedudukan badan usaha apotek, apakah berbadan hukum atau tidak.

Bilamana apotek secara tegas berbadan hukum, maka kedudukan apoteker sebagai

pihak di dalam mengadakan hubungan-hubungan hukum tidak untuk dan atas nama

apotek, akan tetapi bertindak sendiri (apoteker) sebagai subyek hukum. Masing-

 41  Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang

Medan. tanggal 12 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 19/73

 

masing bentuk badan hukum dan tidak badan hukum suatu apotek mempunyai

konsekuensi hukum yang berbeda-beda, khususnya mengenai tanggung jawabnya.

Apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang mempunyai peranan

melakukan upaya pelaksanaan kesehatan melalui penyaluran obat dan informasi

kesehatan kepada konsumen secara nyata dan menyeluruh. Konsumen pada apotek

dapat kita bagi dua kelompok, antara lain:

a.  Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan menunjukkan

resep dari dokter;

b. 

Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan tidak

menunjukkan resep dari dokter. 42 

Barang-barang yang dapat disalurkan oleh apotek dengan syarat konsumen

harus menunjukkan resep dari dokter adalah obat-obatan yang tergolong obat keras,

alat kesehatan tertentu dan kosmetika tertentu. Sedangkan untuk barang lainnya,

dapat diperoeh konsumen tidak dengan resep dokter.

Bilamana dilihat dari sudut hubungan apotek dengan konsumen, maka apotek

berkedudukan sebagai penyedia dan penyalur obat di apotek, atau sebagai pihak yang

akan menyerahkan/ menyalurkan barang kepada konsumen yang disebut penjual.

Sedangkan pihak konsumen adalah pihak yang menerima barang atau pemakai atau

yang dinamakan pembeli.

Dalam ketentuan KUH Perdata ditegaskan bahwa jual beli suatu barang

dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat

42 Budi Harry Prima, O p. Cit , h. 39.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 20/73

 

tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya

belum dibayar.43

 

Pada apotek, pengalihan barang kepada pihak konsumen sangatlah penting

karena selain barang yang akan diserahkan juga yang sangat penting adalah

pemberian informasi tentang penggunaan barang. Hal ini harus mendapat perhatian

pada transakasi barang di apotek sebab ini sangat berhubungan dengan keselamatan

konsumen dalam penggunaan obat-obatan.

Persoalan-persoalan mengenai tidak jelasnya informasi penggunaan obat

kepada konsumen paling sering terjadi, khususnya konsumen yang sangat awam

dengan obat-obatan. Contoh kasus penulis kemukakan sebagai berikut, seorang

konsumen membeli vitamin ke apotek. Konsumen tersebut tidak menunjukkan resep,

sebab vitamin tersebut tergolong bebas (tanpa resep dokter). Vitamin tersebut

berbentuk kapsul yang bergula (kaplet) dan dikemas dalam botol plastik.44 

Agar kaplet tersebut tidak meleleh (cepat rusak) oleh pabrik (industri)

dilengkapi bahan pengering yang berbentuk kemasan kapsul dan ini sangat

menyerupai kaplet vitamin tersebut. Karena konsumen tidak mengerti dan tidak

mendapat penjelasan dari apotek tentang fungsi kapsul pengering tersebut, konsumen

awam juga mengkonsumsi kapsul pengering tersebut dengan anggapan bahwa kapsul

itu adalah bagian dari kapsul vitamin akibatnya konsumen mengalami rasa perih di

persendian.

43  lbid  44 Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, tanggal 12 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 21/73

 

Kasus ini adalah kasus dimana konsumen tidak mendapat penjelasan tentang

obat dari petugas di apotek. Ada juga terjadi kasus dimana pihak apotek memberikan

penjelasan (informasi) kepada konsumen, akan tetapi tidak jelas atau konsumen tidak

mengerti mengenai obat tersebut.

Contoh kasus sebagai berikut, seorang konsumen membeli obat ke apotek

dengan menunjukkan resep obat-obatan untuk penyakit ambaien dengan cara

penggunaan dimasukkan ke dalam dubur pemakai (pasien/ penderita). Karena kurang

 jelasnya penjelasan (informasi) dari petugas di apotek, khususnya tentang cara

penggunaan obat tersebut, konsumen mengunakan obat tersebut tidak memasukkan

obat tersebut ke dalam dubur, akan tetapi obat tersebut dimakan (ditelan)

sebagaimana lazimnya bagi si konsumen, akibatnya konsumen sulit untuk buang air

besar (karena ambaien) juga konsumen mengalami sakit perut.45 

Jual beli obat di apotek, antara apotek dengan konsumen, pihak penjual

(apotek) tidak hanya berkewajiban menyerahkan obat yang diperjualbelikan dan

menanggung kenikmatan dan ketentraman atas obat tersebut, menanggung cacat-

cacat yang tersembunyi.46 Akan tetapi pihak apotek berkewajiban pula memberikan

penjelasan (informasi) mengenai obat (barang) yang diperjualbelikan di apotek.

Jual beli obat di apotek, berbeda dengan jual beli pada umumnya. Karena obat

di apotek memerlukan penjelasan (informasi) agar tidak menimbulkan akibat-akibat

yang dapat mengancam keselamatan (nyawa) konsumen. Konsumen di apotek, selain

45 http://www.sasak.net/nasional/”Salah Minum Obat ”, 22 Maret 2010.46 Subekti, Op Cit, h.8.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 22/73

 

konsumen yang datang dengan menunjukkan resep dari dokter dan yang tidak

menunjukkan resep dokter, dapat pula dibagi dalam bagian konsumen langsung dan

konsumen tidak langsung.

Konsumen langsung adalah konsumen atau penderita sendiri sebagai pemakai

(pengguna) obat-obatan secara langsung yang berhubungan langsung dengan apotek.

Sedangkan konsumen tidak langsung adalah konsumen pemakai (pengguna) obat-

obatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan apotek, tetapi melalui orang

lain. Biasanya konsumen tidak dapat secara langsung berhubungan dengan apotek

karena konsumen sedang sakit.

Persoalan yang terjadi atau timbul adalah dalam hal konsumen yang tidak

secara langsung berhubungan dengan apotek. Kadang-kadang konsumen hanya

menyuruh sopir atau pembantu rumah tangga atau suruan tertentu. Kewajiban apotek

memberikan informasi telah dilakukan, akan tetapi orang suruan tersebut tidak

mengerti (memahami) informasi yang diberikan dari apotek, atau orang suruan salah

menyampaikan informasi kepada konsumen.

Persoalan tidak sampainya informasi kepada konsumen ini, dapat diatasi

apabila pihak konsumen lebih berhati-hati. Misalnya bila obat yang akan di konsumsi

tidak jelas cara penggunaannya (informasi dan suruan), maka konsumen dapat

menghubungi kembali pihak apotek.

Berdasarkan hubungan hukum (jual beli) antara apotek dengan konsumen

mengakibatkan adanya keterkaitan (hubungan hukum) antara konsumen dengan

pabrik obat (produsen). Hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 23/73

 

langsung maupun tidak langsung.47  Hubungan langsung dimaksudkan adalah

hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang terikat secara langsung

dengan perjanjian. Hubungan semacam ini tidak dikenal dalam penyaluran persediaan

farmasi kepada konsumen.

Hubungan tidak langsung antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang

tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak konsumen

dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang diinginkan tidak

berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki

hubungan perjanjian. Hubungan hukum yang melahirkan perikatan tidak selamanya

lahir hanya dengan perjanjian, akan tetapi juga karena undang-undang. Perikatan

yang lahir karena undang-undang dapat karena undang-undang saja maupun karena

perbuatan manusia.48 

Konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi suatu produk tertentu, tidak

perlu harus terikat perjanjian, untuk dapat menuntut ganti rugi tetapi dapat juga

menuntut dengan alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar hukum

(pasal 1365 KUH Perdata), dan dasar tanggung jawab produsen adalah tanggung

 jawab yang yang didasarkan pada adanya kesalahan produsen (pabrik).49 Contohnya

47 Sabir Alwi, Tanggung Gugat Apotek Sebagai Sarana Kesehatan di Indonesia, Disertasi,

Program Pasca Sarjana UNAIR, Surabaya, 2002, h. 179.48 Handi Raharjo , Op. Cit , h.1249 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit ., h. 1

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 24/73

 

dalam kasus pengaruh sampingan produk obat Chioroguine (Krug V. Sterling Drug,

Inc.50

 

Kasusnya, seseorang yang menderita cacat mata yang tidak dapat

disembuhkan sebagai pengaruh samping dan mengkonsumsi obat Chioroguine (nama

dagang Aralen, Triguin dan plaguenil) dibuat dalam satu perusahaan obat (pabrik).

Pihak konsumen menggugat produsen (pabrik) dan apotek, dengan dasar ia gagal

memberikan peringatan yang cukup kepada profesi kedokteran tentang pengaruh

samping obat Chioroguine. Keputusan hakim tingkat rendah dan banding adalah sama

yaitu membebaskan apotek terhadap pengggugat (konsumen) dan menghukum

produsen (pabrik) obat sebanyak $ 125.000 untuk konsumen yang cacat sebagai ganti

kerugian yang didasarkan atas kesalahan karena kelalaian produsen (pabrik)

memberikan peringatan yang cukup mengenai pengaruh samping obat Chioroguine.

Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, keberadaan undang-undang perlindungan konsumen

disamping melengkapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

dan KUH Perdata, juga melakukan perubahan mendasar bagi pelaksanaan tanggung

 jawab yang masih berorientasi pada unsur kesalahan dan pembuktian dibebankan

pada konsumen, maka berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen

berorientasi pada jaminan dan pembuktian oleh pelaku usaha Pasal 19 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

50 Sabir Alwi, O p Cit , h.181.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 25/73

 

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab

apoteker, meliputi:

a. 

Tanggung jawab gannti kerugian atas kerusakan

b.  Tanggung jawab gannti kerugian atas pencemaran

c.  Tanggung jawab gannti kerugian atas kerugian konsumen.

Menurut J.M. van Dunne, sehubungan dengan tanggung jawab mengenai

kerugian konsumen yang dilakukan terhadap orang lain dibedakan 3 (tiga) golongan

tanggung jawab.51 

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yang mengandung persamaan dengan

pasal 1365 KUH Perdata;

b. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian.

Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan bahwa tergugat cukup hati-

hati, ini tertuang dalarn pasal 1367 ayat (2) KUH Perdata;

c. Tanggung jawab berdasarkan risiko atau majikan bertanggung jawab kepada

bawahan.

Secara teoritis, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang

timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut

51  Janus Sidabalok,  Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006, h. 109. 

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 26/73

 

untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum yang

ada, maka dapat dibedakan:52

 

a.  Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya

wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hokum, tindakan yang kurang hati-

hati.

b.  Pertanggungjawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul

sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan

usahanya.

Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya

melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh

Negara. Jelasnya jika sorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu

menimbulkan kerugian baginya, konsumen dapat mengajukan tuntutan secara perdata

untuk mempertahankan haknya.

Apabila apotek atau pihak lain yang berhubungan dengan apotek, tidak

melakukan apa yang telah dijanjikannya, salah satu pihak lalai atau ingkar janji atau

salah satu pihak melanggar apa yang diperjanjikannya atau salah satu pihak

melakukan atau berbuat sesuai yang tidak boleh dilakukannya, maka pihak yang

merasa dirugikan dapat menuntut dan pihak yang melakukan pelanggaran perjanjian

atau ingkar janji tersebut bertanggung jawab hukum perdata. Dasar hukum yang

mengatur tanggung jawab dalam KUH Perdata yaitu pasal-pasal 1243, 1239,

1365,1367, 1370 dan 1371 KUH Perdata.

52 Janus Sidabalok, Op.Cit , h. 101

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 27/73

 

Dalam hukum perdata, kesalahan atau kelalaian antara lain:

a. Melakukan wanprestasi atau cedera janji (pasal 1239 dan 1243 KUH Perdata);

b. Melakukan perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad   (pasal 1365

KUH Perdata);

c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUH

Perdata);

d. Melakukan kelalaian dalam pekerjaan sebagai penanggung jawab suatu pekerjaan

tertentu (pasal 1367 KUH Perdata).53 

Pada dasarnya tanggung jawab di bidang kefarmasian dapat ditimbulkan

karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum, perbuatan yang mengakibatkan

mati karena kurang hati-hati atau dengan sengaja dan perbuatan yang mengakibatkan

cacat tubuh. Apabila salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi atau

ingkar janji (pasal 1239 KUH Perdata).

Dalam bahasa hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang

tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian. Ganti kerugian

yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya

kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban jaminan dalam

perjanjian, sehingga seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila:

a.  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

b.  Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

53  Soejono Soekanto ,Op. Cit , h. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 28/73

 

c.  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.54

 

Wanprestasi terjadi bilamana prestasi yang dijanjikan tidak dipenuhi oleh

salah satu pihak yang dirugikan dapat menuntut agar:

a.  Pemenuhan perjanjian;

b.  Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

c.  Ganti rugi saja;

d.  Pembatalan perjanjian;

e. 

Pembatalan disertai ganti rugi.55 

Dalam undang-undang kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak atas

ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan/

kefarmasian. Ganti rugi sebagaimana dimaksudkan tersebut dilaksanakan sesuai

dengan peraturan yang berlaku. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan upaya

untuk memberikan perlindungan bagi setiap konsumen atas suatu akibat yang timbul,

baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan/

kefarmasian.

Perlindungan hukum ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan

mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Yang dimaksud

54 Subekti, O p Cit , h. 4555  Ibid .

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 29/73

 

dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian

organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang.56

 

Apotek sebagai sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi

melakukan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui penyaluran obat

dan informasi kesehatan kepada masyarakat. Dengan tidak memberikan informasi

yang cukup kepada konsumen mengenai objek yang diperjualbelikan yang mungkin

dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen, maka pihak apotek

digolongkan sebagai pihak yang melakukan wanprestasi.

Contoh kasus dimana pihak apotek dapat digolongkan sebagai pihak yang

wanprestasi, pada tanggal 25 Juli 2001, diberitakan pada salah satu koran terkemuka

di Makassar yaitu seorang Ibu yang menderita penyakit jantung, membeli obat

dengan resep dokter di salah satu apotek. Setelah obat tersebut diminum, ibu tersebut

mengalami serangan jantung yang sangat parah (bukannya mengurangi rasa sakit

 jantungnya). Setelah diselidiki oleh dokter yang menangani, ternyata obat jantung

yang dibeli dari apotek tersebut telah kadaluarsa.57 

Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dan untuk menentukan ada atau

tidaknya kesalahan atau kelalaian apotek dalam pelayanan kesehatan hanya kalangan

profesi (apoteker) yang mampu melakukan, sedangkan konsumen tidak mempunyai

kemampuan yang cukup sehingga sulit memberi pembuktian tentang ada tidaknya

56 Penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan 57 http://www.pedomanrakyat.com/”Kasus Obat”, 23 Maret 2010. 

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 30/73

 

kesalahan atau kelalaian pelaksanaan pelayanan kesehatan bila diajukan ke

pengadilan.

Untuk kepentingan tersebut diperlukan adanya kepastian hukum bukanlah

terletak semata-mata pada batas-batas daya berlakunya hukum tersebut menurut

wilayah atau golongan masyarakat, tetapi terletak pada bagaimana para anggota

masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, bagaimana menyelesaikan

perselisihan-perselisihan yang terjadi, peranan lembaga yang memberikan bantuan

kepada anggota masyarakat, bagaimana peranan tadi terorganisasikan dan sampai

sejauh mana kewenangannya.

Keadilan sebagai salah satu tujuan hukum merupakan suatu keadaan yang

serasi atau seimbang yang membawa ketentraman dalam hati setiap orang apabila

diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Walaupun keadilan merupakan faktor

penting namun tidak selalu keadilan tersebut ada, sebab hukum dan keadilan

bertujuan menyelenggarakan ketertiban.

Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua faktor yang saling menentukan

dalam menjaga keserasian kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Terwujudnya

kesejahteraan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan perasaan tentram dan tertib

dalam masyarakat, akan tetapi ketertiban semata-mata dapat mengarah kepada

pengunaan kekuasaan tanpa batas. Ketertiban tersebut seyogyanya didasarkan pada

pengakuan martabat manusia sebagai warga masyarakat yang terwujud dalam

keadilan.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 31/73

 

Ketentuan pasal 1365 KUH perdata tidak memberi pengertian tentang

perbuatan melanggar hukum. Dalam sejarah perundang-undangan hukum perdata

pengertian hukum yang terdapat dalam pasal 1365 KUH perdata mengalami

perubahan dengan adanya keputusan Hoge Raad di Belanda tahun 1919 (arrest

Lindenboum-Cohen tahun 1919, Hoge Raad 31 Januari, Hoetink No. 110). Perbuatan

melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan

dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dengan baik

kesusilaan maupun sifat hati-hati sebagaimana patutnya berlaku dalam lalu lintas

perhubungan hukum dalam masyarakat.58 

Dalam perbuatan melanggar hukum syarat-syaratnya yang harus dipenuhi

untuk dapat diterapkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata adalah:

a. Harus ada perbuatan (berbuat/ tidak berbuat);

b. Perbuatan itu harus melanggar hukum (yang tidak hanya melanggar undang-

undang/ peraturan tertulis);

c. Ada kerugian;

d. Ada hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara perbuatan melanggar hukum

itu dengan kerugian yang diderita; dan

e. Adanya kesalahan.59 

58  Mariam Darus Badrulzaman, O p.Cit , h. 146-147.59 Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan-

 Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 53. 

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 32/73

 

Unsur perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang

lain, bahwa tidak seorangpun boleh merusak barang orang lain tanpa suatu

kewenangan. Kalau orang bertindak demikian, maka ia melanggar hak orang lain

sehingga dikategorikan sebagai melakukan perbuatan melanggar hukum.60 Walupun

demikian, melakukan pelanggaran hak orang lain secara serta merta bertanggung

 jawab atas kerugian yang timbul, karena diperlukan adanya kesalahan dari orang

yang bersangkutan.

Menurut ajaran atau teori kesalahan, kewajiban ada karena adanya kesalahan.

Kesalahan selalu ada meskipun dalam ketentuan unsur itu tidak ada, namun harus

dipersangkakan ada.61  Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan

melawan hukum, maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini

umumnya meliputi kesengajaan dan kurang hati-hati atau lalai.

Dalam kepustakaan hukum perdata Indonesia, kurang hati-hati masuk dalam

kesalahan pada perbuatan melawan hukum, sedangkan dalam kepustakaan di

Amerika Serikat, kurang hati-hati dibicarakan dalam topik tersendiri yang disebut

negligence.  Negligence  adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar

kelakuan yangn ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan konsumen

terhadap resiko yang tidak rasional.

62

 

Dihubungkan dengan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH

Perdata, maka negligence ini merupakan salah satu bagian dari padanya yaitu bagian

60 Janus Sidabalok, O p. Cit , h. 107.61  Ibid , h. 108.62  Ibid, h.109. 

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 33/73

 

yang mempersoalkan kurang hati-hati atau lalai. Untuk dapat menggunakan

negligence sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban, maka harus dipenuhi

syarat-syarat:

a. 

Adanya satu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan

sikap hati-hati yang normal.

b.  Yang harus dibuktikan adalah tergugat lalai dalam kewajiban memelihara

kepentingan orang lain.

c.  Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata dari kerugian yang timbul. 63 

Lemahnya kedudukan konsumen dalam hal membuktikan kesalahan ataupun

negligence  pelaku usaha karena tidak mempunyai pengetahuan dan sarana yang

memuaskan untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan di Amerika Serikat

menempuh cara lain untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yaitu

dengan menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability).

Di Indonesia konsep strict liability secara implisitdapat ditemukan dalam

Pasal 1367 dan Pasal 1368 KUH Perdata. Dengan mempergunakan konsep strict

liability, khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian yang

pada akhirnya memberikan perlindungan kepada konsumen, sebab konsumen yang

akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan haknya jika

dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih dibebani kewajiban

untuk membuktikan kesalahan apoteker.

63  Ibid, h.115. 

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 34/73

 

Berbeda dengan bentuk perbuatan melanggar hukum diatas, pelanggaran

terhadap kesusilaan, tidak banyak mendapat pembahasan. Berkaitan dengan

pelanggaran terhadap sikap hati-hati ini bahwa hukum tidak memperhatikan jika

ketidakhati-hatian itu berkaitan dengan adanya kewajiban untuk bertindak hati-hati,

dan pelanggaran terhadap kewajiban itu telah menimbulkan kerugian.

Dengan demikian, yang menjadi prinsip pokok tanggung jawab adalah bahwa

pihak tergugat berkewajiban untuk bertindak hati-hati, sedangkan pihak penggugat

harus membuktikan bahwa ia telah menderita kerugian akibat pelanggaran kewajiban

itu.64  Pengertiannya adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang

disebabkan perbuatan (melakukan dan membiarkan) yang melanggar norma oleh

pihak lain.65 

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua

bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda

seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang

dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada

dasarnya harus berpegang pada azas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat

mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya

tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh

64  Ibid .65

 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 35/73

 

mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata

perjanjian dilaksanakan secara baik tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.

Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang

sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan

kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan para pihak yang bersangkutan. Bloem

Bergen menyatakan bahwa “kalau kita berbicara tentang kerugian maka dapat

dipikirkan suatu pengertian yang konkrit dan subjektif, yaitu kerugian adalah

kerugian nyata yang diderita oleh yang dirugikan, dimana diperhitungkan situasi yang

konkrit dengan keadaan subyektif dari yang bersangkutan”. Selain itu kita juga dapat

memikirkan secara obyektif, dimana kita melepaskan diri seluruhnya atau sebagian

dari keadaan konkrit dan orang yang dirugikan dan menuju kearah yang normal. 66 

Disamping itu, Bloem Bergen berpendapat bahwa kerugian merupakan

pengertian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya, bukan

kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan hanya dari

barang tersebut atau biaya-biaya perbaikan.67 

Unsur kesalahan dalam pasal 1365 KUH Perdata ialah sipembuat/ pelaku pada

umumnya harus bertanggung jawab, karena ia menginsafi akibat dari

pembuatannya.

68

 

Menurut Purwahid Patrik, kesalahan memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu:69 

66 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 212.67  Ibid .68 Hermien Hadiati Koeswadji I , O p.Cit , h. 53.69 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 216.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 36/73

 

a. Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;

b. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;

(1). Dalam arti obyektif, sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;

(2). Dalam arti subyektif, sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;

c. Dapat dipertanggungjawabkan, debitur dalam keadaan cakap.

Pada dasarnya ada 2 (dua) pendapat yang memiliki kesamaan mengenai

kesalahan dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertama yang

menempatkan kesalahan secara berdampingan dengan perbuatan melanggar hukum,

 juga melihat bahwa unsur kesalahan tersebut menentukan tanggung jawab sipembuat

atas perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian. Pendapat kedua

yang menyatakan bahwa kesalahan merupakan bagian dari perbuatan melanggar

hukum, tetapi tetap mengalami adanya pemisahan yaitu, perbuatan melanggar hukum

terkait dengan perbuatan, sedangkan kesalahan terkait pada orangnya. Serta

memandang bahwa tanpa adanya kesalahan maka tidak ada perbuatan melanggar

hukum, sehingga tidak ada tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap

korban.

Dalam bidang hukum perdata, terdapat 3 (tiga) unsur tanggung jawab perdata,

yaitu:

1. Adanya kelalaian yang dapat dipersalahkan;

2. Adanya kerugian; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 37/73

 

3. Adanya hubungan kausal.70 

Perbuatan melanggar hukum di apotek dapat terjadi apabila apotek

menyalurkan obat-obatan yang tegolong keras, tidak berdasarkan resep dokter yang

ditunjukkan oleh konsumen. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berakibat fatal bagi

konsumen, apalagi obat-obatan tersebut tergolong obat psikotropika yang sangat

berbahaya bagi pemakainya.

Perbuatan melanggar hukum dapat pula terjadi di apotek bila mana pihak

apotek tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk penggunaan obat-obatan

bagi konsumen yang memungkinkan berakibat membahayakan bagi keselamatan jiwa

konsumen.71 

Untuk dapat menuntut tanggung jawab bagi apotek yang menyalurkan obat-

obatan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku yang merugikan konsumen hanya

dapat berhasil secara meyakinkan, apabila perkara tersebut terlebih dahulu diputuskan

oleh hakim pidana. Karena putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti

sempurna dalam perkara perdata.

Dalam menyalurkan obat-obatan kepada masyarakat, kesalahan atau kelalaian

apotek di bidang hukum perdata, meliputi pasal 1239, 1243, 1365, 1366 dan 1367

KUH Perdata. Dalam perkara perdata, pihak penggugatlah yang harus mengajukan

bukti-bukti.

70  Bahder Johan Nasution,  Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter , PT. AsdiMahasatya, Jakarta, 2005, h. 16. 

71 Bahder Johan Nasution, Op. Cit, h. 19.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 38/73

 

Bilamana terjadi pelanggaran dalam bidang kesehatan, harus diteliti apakah

pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran hukum atau etika profesi ataukah

kedua-duanya. Apabila merupakan pelanggaran hukum, maka untuk bidang hukum

perdata, dapat ditempuh melalui gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan. Dalam

kaitannya dengan apotek, bila mana ada pelanggaran yang disebabkan oleh kesalahan

atau kelalaian apotek, maka apotek dapat bertanggung jawab terhadap para pihak

yang merasa dirugikan.

Apotek dalam menjalankan pelayanan kepada konsumen terdapat 2 (dua) hal

yang esensial. Pertama, pada apotek dilakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan

kefarmasian dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker sesuai dengan keahlian dan

kewenangannya. Keahlian dan kewenangan tersebut diimplementasikan dalam bentuk

Surat Izin Apoteker (SIA) bagi apoteker dan Surat lzin Kerja (S1K) bagi asisten

apoteker.

Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian tersebut, tenaga kefarmasian di

apotek melakukan berbagai kegiatan mencakup pengadaan obat, penyimpanan obat,

pembuatan untuk persediaan dan obat sesuai dengan buku standar, pembuatan obat

dalam rangka memenuhi permintaan resep dokter, penyerahan obat dan informasi

yang harus disampaikan kepada konsumen pengguna obat.

Kedua, pekerjaan kefarmasian yang difokuskan pada penyerahan obat.

Penyerahan obat merupakan inti pembahasan tanggung jawab karena disini akan

memperlihatkan apotek dalam keadaan bergerak untuk melakukan hubungan hukum

dengan konsumen. Dalam menyerahkan obat kepada konsumen, apotek dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 39/73

 

menyerahkan obat yang berasal dan pabrik obat atau PBF dan atau obat yang dibuat

sendiri oleh apotek berdasarkan buku standar yang dianut (diikuti).

Buku standar tersebut ditegaskan oleh pasal 40 Undang-Undang Nomor 23

tahun 1992 Tentang Kesehatan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998

Tentang Pengawasan Sediaan Farmasi. Buku standar lainnya beraneka ragam seperti

Codex Medicamentorum Nederlandicum, Formularium Medicamentorum

Nederlandicum dan lain-lain. Dalam buku standar tersebut diuraikan berbagai

formula yang memuat berbagai sediaan obat, seperti obat batuk hitam, obat batuk

putih dan lain-lain.

Berbagai sediaan obat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Pertama, sediaan obat yang selalu harus dibuat baru. Dalam hubungan ini sediaan

obat hanya dapat diserahkan kepada konsumen yang dibuat saat itu. Kedua, sediaan

obat yang dapat dijadikan sediaan dalam bentuk kekuatan yang lebih. Sediaan obat ini

baru diberikan pada waktu akan diserahkan kepada konsumen.72  Kedua cara ini

dimaksudkan agar obat yang diserahkan selain memenuhi syarat teknis kefarmasian

 juga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki yaitu sesuai dengan kemanfaatan obat

yang bersangkutan.

Dan segi hukum yang penting bahwa adanya ketentuan yang mengikat bahwa

buku standar tersebut disahkan penggunaannya. Di sini terlihat baru Farmakope

Indonesia saja yang disahkan secara tegas, sedangkan buku lainnya tidak dinyatakan

secara tegas. Sebagaimana dikemukakan oleh Joint Commission on the Accreditation

72 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 40/73

 

of Healtheore Organitation, yang menguraikan 5 (lima) standar yang harus dipenuhi

dalam pelayanan kefarmasian: 73

 

Pertama, keberadaan staf (sumber daya manusia) yang menurut hukum

mempunyai keahlian dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

Kedua, dipenuhinya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam berbagai proses

pekerjaan kefarmasian mulai dari pengadaan sampai penyerahan. Ketiga, dapat

dipenuhi dan dilaksanakannya lingkup pekerjaan kefarmasian secara baik dan benar.

Keempat, memiliki kebijakan tertulis yang menyangkut standar yang digunakan dan

pencatatan setiap tindakan yang dilakukan dalam proses pengadaan, pembuatan dan

penyerahan obat. Kelima, dilakukannya hubungan secara harmonis dengan tenaga

kesehatan lainnya seperti dokter, perawat dan bidan dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian.

Bilamana apotek melakukan kesalahan dapat dimintai tanggung jawab melalui

wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Namun obat memiliki karakteristik

yang khas dimana terdapat kemungkinan risiko baru diketahui kemudian, walaupun

dalam proses pembuatan dan penyimpanan obat tidak terdapat unsur kesalahan.

Untuk menunjukkan rasa keadilan bagi konsumen maka risiko yang timbul kemudian

harus tetap dilindungi oleh hukum.

Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan tragedi thalidomide  yang pada saat

disalurkan ke konsumen tidak menjadi persoalan, tetapi kemudian mendatangkan

73 http://www.jointcommission.org/”Standar Pelayanan Kefarmasian”, 23 Maret 2010

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 41/73

 

bahaya bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat pada saat

kehamilan.74

 Dalam kaitan ini yang penting dari segi hukum adalah:

a. Informasi yang harus diberikan apotek terhadap obat yang disalurkan.

Informasi tersebut meliputi nama obat, tanggal pembuatan, buku standar yang

digunakan dan tanda tanda bila dinyatakan rusak. Dalam prakteknya informasi

hanya diberikan menyangkut nama obat tersebut.

b. Dalam hubungannya dengan risiko dalam penggunaan obat. Titik tolak risiko

disini harusnya dituangkan dalam informasi yang diberikan apotek. Informasi

tersebut meliputi identitas apotek yang menyalurkan, kegunaan obat tersebut dan

risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat tersebut atau tindakan yang

tidak boleh dilakukan oleh konsumen bila menggunakan obat tersebut.

Bertitik tolak dari apa yang diuraikan di atas maka dapat saja tanggung jawab

diterapkan pada apotek dalam hal terbatas pada produk obat yang dihasilkan. Dengan

demikian obat tersebut juga harus memenuhi standar keamanan, mutu dan

kemanfaatan yang berlaku pada setiap obat yang disalurkan.

Standar keamanan, mutu dan kemanfaatan bersifat universal, berlaku untuk

semua apotek, misalnya boorwater yang merupakan sediaan obat untuk cuci mata,

harus sama standar keamanan, mutu dan kemanfaatannya. Tidak boleh boorwater di

suatu apotek dijual dengan adanya endapan padahal dipersyaratkan tidak boleh ada

endapan.75 

74 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 123.75 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 42/73

 

Selain apa yang telah diuraikan di atas tanggung jawab mutlak dapat juga

diterapkan pada apotek yang melakukan penggantian obat yang tertera dalam resep

dokter tanpa persetujuan lebih dahulu dari penulis resep atau dokter. Dokter

rnempunyai hak untuk menentukan pilihan obat berdasarkan diagnosa dan terapi yang

dilakukan, namun dipihak lain kadangkala para kalangan farmasi juga menyatakan

penggantian obat merupakan hak yang dimiliki.

Padahal spesifikasi teknis berdasarkan daya larut, daya serap dalam tubuh

belum tentu sama untuk produk obat yang sejenis mengenai substansi yang

dikandung di dalamnya, oleh karena itu penggantian obat yang dilakukan apotek

dengan persetujuan konsumen tanpa persetujuan dokter penulis resep memberikan

dampak pada penerapan tanggung jawab mutlak pada apotek. Dalam hal ini dokter

sebagai pihak lain yang tidak turut bertanggung jawab karena obat yang diserahkan

apotek tidak sesuai yang tertera dalam resep.

Perlindungan terhadap bahaya penyalahgunaan obat zat adiktif, dan narkotika

terutama bagi generasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikan perhatian

khusus, juga pengawasan ketat terhadap obat. Disebutkan dalam undang-undang

kesehatan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi konsumen

diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan melalui

kegiatan peningkatan kesehatan.

Dalam rangka pembangunan kesehatan yang demikian kompleks dan luas,

dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan

untuk meningkatkan derajat kesehatan konsumen perlu ditingkatkan. Untuk itu

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 43/73

 

seyogyanya pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang

kesehatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas serta menata kembali

perundang-undangan bidang kesehatan dalam rangka membuat produk hukum yang

lebih memadai.

Produk-produk hukum di bidang kesehatan seharusnya memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

a. Mendukung adanya sarana pelayanan kesehatan, program dan kegiatan dalam

seluruh upaya kesehatan yang sudah atau akan dikembangkan, baik oleh

pemerintah maupun masyarakat termasuk swasta.

b. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan

perundang-undangan disektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.

c. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan dimasa

mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani.

d. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.

e. Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya kesehatan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

f. Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat memberikan perlindungan

hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.

g. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan

masyarakat termasuk swasta.

h. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 44/73

 

i. Memuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggaran dapat ditindak

sebagaimana mestinya.76

 

Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan dilakukan secara bersama

dengan serasi dan seimbang oleh pemerintah dan konsumen melalui upaya

peingkatan dan pelayanan kesehatan secara terpadu (terintegrasi) dengan upaya

penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan. Yang dimaksud dengan serasi dan

simbang disini adalah pelaksanaan pelayanan upaya kesehatan berdasarkan hak,

wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat

berdasarkan peraturan yang ada serta sesuai dengan kebutuhan dan waktu, pemerintah

dan konsumen bertanggung jawab dalam hal memelihara dan mempertinggi derajat

kesehatan masyarakat.

Apotek dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan kepada konsumen

harus mengutamakan kemakmuran, dengan demikian apotek mempunyai tugas dan

fungsi sosial sebagai sarana kesehatan terhadap konsumen. Apotek sebagai salah satu

sarana kesehatan diselenggarakan berdasarkan fungsi sosial.77  Tetapi di lain pihak

apotek harus dikelola sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup untuk

melaksanakan fungsinya dapat tetap berjalan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang apoteker dalam melaksanakan

perannya, tidak mustahil timbul sengketa antara peran yang satu dengan yang lainnya.

Misalnya peran apoteker sebagai tenaga yang profesional yang mengemban tugas

76 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.77  Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia

Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 45/73

 

untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya-upaya kesehatan dan disisi lain

apoteker sebagai seorang bisnis yang berorientasi pada keuntungan material yang

maksimal.

Perlu diakui bahwa orientasi profesi lebih banyak diarahkan ke konsumen,

sedangkan bisnis berorientasi pada keuntungan material yang maksimal. Pada profesi,

kepercayaan konsumen tertuju pada pemberian jasa, sedangkan pada bisnis, obat

(barang) yang diperjualbelikan menjadi tolok ukur.

Bilamana dilihat dari aspek obat, maka sikap yang berorientasi pada bisnis

semata-mata mungkin timbul apabila obat dianggap sebagai barang dagangan biasa.

Dalam hubungan dalam profesi apoteker, maka obat merupakan komponen yamg

penting dalam sistem farmasi.78 

Dalam keadaan demikian fungsi sosial apotek dapat menjadi kabur. Oleh

karena penyelenggaraan apotek yang padat modal dan kaya seyogyanya dan

merupakan keharusan untuk dikelola secara manajemen bisnis tanpa menghilangkan

misi kemanusiaan dan fungsi sosialnya. Dan hasil keuntungan yang diperoleh dan

pengolahan apotek tersebut hendaknya disisihkan sejumlah presentasi tertentu

sebagai dana pelayanan fungsi sosial apotek.

Jangan sampai hanya persoalan kecil sehingga nilai-nilai fungsi sosial

apoteknya menjadi kabur. Sebagai contoh kasus pada salah satu apotek, dimana

seorang ibu membeli obat dengan resep karena anaknya di rawat di ICU. Ibu anak

tersebut belum dapat mengambil obat di apotek karena kekurangan pembayaran Rp.

78 Soerjono Soekanto, O p Cit  h. 34

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 46/73

 

1000,- (seribu rupiah), ibu anak tersebut harus berkeliling mencari uang kekurangan,

dan anaknya dalam keadaan gawat di ruang ICU . Setelah beberapa jam barulah ibu

tersebut dapat menebus obat di apotek, namun setelah ibu anak tersebut sampai di

ruang ICU, anak tersebut telah meninggal dunia satu jam yang lalu.79 

Terlepas dari apakah penyebab meninggalnya si anak karena keterlambatan

obat yang dibeli di apotek, ataukah tidak disebabkan karena hal tersebut. Tetapi

dalam keadaan demikian diharapkan peranan sarana kesehatan sebagai fungsi sosial

tidak nampak dapat memberi bantuan kepada konsumen. Apakah dengan nilai Rp.

1000,- (seribu rupiah) tergolong sangat merugikan bagi apotek.

Berdasarkan penelitian penulis, harga obat di Indonesia tergolong mahal dan

tidak transparan, konsumen telah dirugikan akibat tidak transparan penetapan harga

obat yang dibeli. Selama ini konsumen berada dalam ketidakberdayaan hanya

membeli dan dianggap tidak perlu tahu. Padahal obat-obatan merupakan salah satu

kebutuhan azasi yang harus diperoleh secara murah dan dapat dijangkau oleh seluruh

lapisan masyarakat.

Saat ini apotek tak ubahnya usaha eceran (retail), yaitu membeli obat dari

Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan menjual obat secara eceran kepada konsumen.

Harga obat mahal, hal ini bisa karena rangkaian distribusi obat yang cukup panjang

hingga sampai ke konsumen. Tiap-tiap mata rantai distribusi mempunyai margin

keuntungan dan pajak yang cukup besar, serta adanya biaya promosi yang juga cukup

besar.

79 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 267.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 47/73

 

Menurut penulis, seharusnya yang dilakukan adalah pelayanan apotek profesi.

Apotek tidak menetapkan margin keuntungan (profit margin) atas obat, akan tetapi

telah ditentukan pemerintah (daftar harga obat yang berlaku Nasional) dan konsumen

hanya membayar jasa apotek sebagai mana layaknya pembayaran pemeriksaan

kesehatan kepada dokter. Dengan demikian apoteker bekerja sebagai tenaga

profesional.

Fungsi sosial apotek seyogyanya diartikan secara luas dan tidak diartikan

secara sempit dimana, apotek dipandang sebagai sarana kesehatan yang semata-mata

hanya dapat menyediakan obat-obatan. Akan tetapi fungsi sosial harus diartikan

seluas-luasnya yaitu keseluruhan kegiatan-kegiatan yang secara aktif dilakukan dalam

masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa membedakan

status sosialnya.

Setelah berlakunya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993

Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek yang merupakan

penjabaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

maka fungsi apotek tidak hanya sebagai penyalur obat saja, akan tetapi penyalur

perbekalan farmasi.

Kegiatan-kegiatan apotek mengalami perkembangan dalam masyarakat, tidak

hanya menyalurkan perbekalan farmasi dan pekerjaan kefarmasian (produksi) akan

tetapi apotek dituntut tugas dan tanggung jawab oleh konsumen dalam segala

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 48/73

 

rangkaian kegiatan-kegiatan upaya peningkatan kesehatan. Kegiatan-kegiatan yang

dirnaksud antara lain:

a. Pemberian informasi kesehatan kepada konsumen; artinya apotek (apoteker) ikutbertanggung jawab atas segala informasi kesehatan lainnya. Apotek berusahamengumpulkan dan memadukan informasi tentang obat dan menjelaskanpemahaman tentang dosis penggunaan obat-obatan termasuk metode pemberianobat, menasehati konsumen soal perlu kehati-hatian dalam penggunaan obat.Apotek dapat menghimpun dan memelihara informasi tentang semua obattermasuk obat tradisional (alternatif). Khususnya tentang obat-obatan yang barudiperkenalkan, menyediakan informasi yang diperlukan oleh profesi kesehatanlainnya. Apotek dapat berperan serta dalam kampanye upaya peningkatan

kesehatan konsumen, baik secara lokal maupun secara nasional khusunya atastopik-topik mengenai obat-obatan tradisional, penyalahgunaan alkohol,penyalahgunaan narkoba, bahaya merokok, larangan penggunaan obat selamamasa bamul atau topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatanlainnya misalnya penyakit diare, TBC, Lepra, infeksi HIV/AIDS dan keluargaberencana. Malahan apotek (apoteker) dapat diberi kewenangan mengunjungikonsumen untuk memberikan layanan informasi (konseling) kesehatan. Termasukpemberian penyuluhan-penyuluhan kesehatan kepada konsumen lebih luas lagitidak hanya berupa obat untuk manusia, tetapi juga termasuk hewan, alatkesehatan, kosmetika dan obat-obatan tradisional. Apotek (apoteker) tidak perlutinggal diam (menunggu) datangnya konsumen ke apotek, akan tetapi harus proaktif dalam upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan konsumen secaraoptimal.

b. Apotek (apoteker) harus dapat berperan sebagai tempat pendidikan dan penelitian,termasuk berperan serta membuat rancangan untuk memantau penggunaan obat,seperti proyek riset praktis serta memantau berbagal reaksi obat yang telahdigunakan oleh konsurnen. Apotek pendidikan merupakan kesinambungan prosespendidikan profesi apoteker, dimana ditempat itu dapat diperoleh pelatihandibidang ilmu dan keterampilan farmasi yang berstandar mutu prima. Apotekpendidikan selain unsur pelayanan dan unsur-unsur pendidikan dan penelitian

 juga terjadi diskusi antara mahasiswa dalam hal kasus peresepan yang tidak

rasional, studi epidemiologi obat dan penggunaannya. Hal ini sejalan apa yangdikehendaki dalam Undang-undang Kesehatan Nasional bahwa sarana kesehatandapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan sertapenelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangkesehatan.80 

80 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010. 

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 49/73

 

Suatu apotek tidak diharuskan berbadan usaha namun dalam prakteknya

(kenyataannya) seluruh apotek selalu dalam bentuk badan usaha. Hal ini karena

sebelum apotek berjalan (terbuka) diharuskan memiliki surat izin usaha.81 

Tata cara pendirian apotek, diawali dengan mengajukan surat permohonan

persetujuan lokasi kepada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan RI. Setempat,

dimana apotek direncanakan didirikan. Adapun yang harus mengajukan permohonan

tersebut adalah apoteker yang telah disumpah. Permohonan persetujuan lokasi apotek

tersebut dilengkapi dengan ijasah apoteker, denah lokasi dan surat keterangan

domisili kelurahan.

Selama menunggu keluarnya persetujuan lokasi, pemohon mempersiapkan,

antara lain, bangunan untuk tempat pengelolaan apotek, perlengkapan apotek yaitu

peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek, alat-alat

kantor yang dipersyaratkan dan tenaga (termasuk tenaga kefarmasian) yaitu asisten

apoteker dan apoteker pengganti.

Setelah perlengkapan apotek tersedia dan telah mendapatkan persetujuan

lokasi apotek dari Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia

setempat, maka apoteker dapat mengajukan surat permohonan izin apotek kepada

Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana rencana domisili

apotek didirikan. Surat permohonan tersebut dilengkapi atau dilampirkan dokumen

dan persyaratan kelengkapan apotek.

81  http://www.hukor.depkes.go.id/” Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 50/73

 

Selanjutnya Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia

setempat membuat surat perintah tugas kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan

(POM) untuk memeriksa /mengecek apotek yang direncanakan pada lokasi tersebut,

apakah telah sesuai yang dipersyaratkan. Berita Acara Pemeriksaan Balai

Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dikirim ke Kantor Wilayah Departemen

Kesehatan Republik Indonesia setempat.

Mengenai Surat lzin Usaha (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) tidak

merupakan persyaratan yang harus tersedia, akan tetapi dilampirkan disaat

mengajukan Surat Permohonan Izin mendirikan apotek. Namun dalam prakteknya

kelengkapan tersebut harus telah ada sebelum apotek tersebut beroperasi (terbuka).

Izin mendirikan apotek dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin mendirikan apotek

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana

domisili apotek yang akan didirikan atau dibuka. Setelah proses tersebut dilalui,

barulah izin pendirian apotek dikeluarkan.

Suatu apotek yang direncanakan akan didirikan harus memenuhi persyaratan

antara lain, harus ada apoteker, harus memiliki sarana (termasuk modal kekayaan)

yang terpisah dari modal pribadi (termasuk modal kekayaan), mempunyai tujuan

tertulis dan dibentuk suatu organisasi yang dipimpin oleh apoteker.82 

Menurut penulis langkah-langkah ini sesuai dengan pendirian badan usaha

yang berbadan hukum dimana apoteker sebagai tenaga profesional. Keahlian apoteker

82 http://www.hukor.depkes.go.id/” Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 51/73

 

merupakan modal (masukan) untuk suatu perusahaan dan pemilik modal/ sarana

sebagai pemasok modal untuk digunakan dalam usaha apotek.

Tata cara pemberian izin apotek tersebut di atas dalam prakteknya hanyalah

berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MenkesJPer/X/1993

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Adapun ketetapan yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang Apotek, tidak

mendapat perhatian walaupun peraturan pemerintah tersebut sampai saat mi masih

tetap berlaku.

Menurut penulis pendirian badan usaha apotek itu sangat diperlukan, sebab

dengan adanya badan usaha apotek berarti tercipta suatu wadah yang dapat

dipergunakan bagi profesi apoteker dan profesi kesehatan lainnya. Wadah (badan

usaha) ini pula dapat digunakan sebagai sarana dimana kalangan swasta (pengusaha)

ikut serta dalam pembangunan kesehatan.

Apabila badan usaha apotek berbentuk badan hukum, maka dapat memiliki

hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana layaknya seperti seorang manusia,

serta memiliki kekayaan sendiri dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

Gejala-gejala ini sangatlah penting untuk suatu apotek sehingga dapat dengan jelas

kedudukan tanggung jawab apotek.

Bilamana badan usaha apotek berbadan hukum maka transaksi-transaksi yang

dilakukan apotek selama ini, apotek tetap dianggap sebagai pihak, yang selama ini

telah berjalan dan diterima oleh konsumen. Apotek yang berbadan hukum,

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 52/73

 

kedudukan apoteker sebagai penanggung jawab pengelola apotek sebagaimana

layaknya pimpinan direksi pada perseroan terbatas.

Pada kenyataannya di lapangan perkembangan usaha apotek mengarah pada

usaha yang berbadan hukum, hal ini dapat dilihat dari:

a. Pada umumnya apotek memiliki harta kekayaan yang terpisah baik terhadap harta

kekayaan pemilik modal maupun harta kekayaan apoteker;

b. Pada umumnya apotek merupakan perkumpulan orang yang terorganisir dan

mempunyai pengurus;

c. Pada umumnya apotek diterima oleh masyarakat dan dapat bertindak sebagai

pihak dalam perjanjian (transaksi) yang dilakukannya;

d.  Apotek memiliki hak dan kewajiban-kewajiban sebagat sarana kesehatan;

e. Bila dilihat dan pengertian, tugas dan fungsi apotek dimana apotek tidak hanya

sebagai produsen dan distribusi obat, akan tetapi juga sebagai pemberi informasi

kesehatan dan sebagai tempat pendidikan, latihan dan penelitian.

Dengan badan usaha apotek yang jelas serta kedudukan apoteker yang jelas

pula, maka tanggung jawab apotek tidak menimbulkan masalah lagi. Hal ini

diharapkan adanya kepastian hukum sehingga terjamin kemudahan berusaha serta

pengawasan dalam penyelenggaraan apotek.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek menegaskan

bahwa pengelola apotek menjadi tugas dan tanggung jawab apoteker; tugas dan

tanggung jawab seorang apoteker dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung

 jawab seorang dokter.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 53/73

 

Menurut hemat penulis bahwa tugas dan tanggung jawab yang dimaksud

adalah tugas dan tanggung jawab keprofesian yaitu apoteker bertanggung jawab

dalam melaksanakan tugas keprofesiannya pada suatu apotek. Ini tidak dapat

ditafsirkan bahwa seluruh aktivitas apotek dan akibat hukum yang ditimbulkan di

apotek adalah menjadi tanggung jawab apoteker. Hal ini tidak memberikan rasa

keadilan bagi seorang apoteker.

Sebab bila suatu apotek mengalami keuntungan, maka akan dinikmati secara

bersama-sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek (modal), akan tetapi bila

apotek mengalami kerugian (harus memberikan ganti rugi/bertanggung jawab) maka

apotekerlah yang bertanggung jawab. Persoa1an ini timbul karena tidak jelas aturan

yang mengatur apotek.83 

Kedudukan apotek sudah tentu sebagai subyek hukum dalam suatu transaksi.

Suatu subyek hukum berarti pendukung hak dan kewajiban. Bilamana timbul akibat-

akibat hukum dari transaksi (perjanjian) jual beli tersebut tidaklah dapat dikatakan

bahwa apotek tersebut tidak mampu bertanggung jawab.84  Kebiasaan ini berjalan

terus dimana apotek diterima oleh masyarakat sebagai subyek hukum. Adapun

kedudukan apoteker dalam transaksi (perjanjian) jual beli tersebut, hanya sebagai

pihak yang mewakili apotek.

Dari transaksi (perjanjian) jual beli yang penulis teliti, apotek sebagai pihak

dan apoteker (staf lain di apotek) hanya sebagai pihak lain yang bertindak untuk, dan

83 Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan-

 Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 28 84 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h. 16

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 54/73

 

atas nama apotek. Sehingga tidak dapat lagi dikatakan bahwa apotek tidak

bertanggung jawab terhadap pihak yang merasa dirugikan.

Jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh apoteker pengelola

atau apoteker pendamping/pengganti atau asisten apoteker atau tenaga administrasi di

apotek yang dapat bertanggung jawab adalah apotek. Hal ini didasari dari kedudukan

tenaga kesehatan dan tenaga administrasi tersebut adalah mewakili atau atas nama

apotek dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum di apotek.

Dalam KUH Perdata ditegaskan bahwa majikan-majikan dan mereka yang

mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung

 jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-

bawahan mereka yang dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini

dipakainya.

Mengenai tanggung jawab apotek bagi mereka yang mewakili urusan-urusan

apotek (apoteker pengelola/pendamping/pengganti, asisten apoteker, analis farmasi

dan tenaga administrasi), apotek bertanggung jawab terhadap pihak-pihak yang

dirugikan untuk membayar ganti kerugian meskipun pihaknya (apotek) sama sekali

tidak terdapat sifat melanggar hukum atau kesalahan.85 

Dengan demikian tanggung jawab apotek terhadap mereka yang mewakili

urusan-urusan apotek (apoteker pengelola/pendamping/pengganti, asisten apoteker,

analis farmasi dan tenaga administrasi) berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata adalah sebagai berikut:

85 http://apotekkita.com/”Tanggung Jawab Apoteker”, 23 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 55/73

 

a. Berdasarkan pada hubungan apotek dengan mereka yang mewakili urusan-urusan

apotek.

b. Bergantung pada keadaan bahwa perbuatan-perbuatan hukum itu dilakukan dalam

pelaksanaan tugas di apotek.

c. Disyaratkan adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak yang

mewakili urusan-urusan apotek.

d. Tidak tergantung pada suatu pelanggaran norma atau kesalahan apotek. Pihak

yang dirugikan cukup berpegang pada bukti perbuatan melanggar hukum atau

kesalahan mereka yang mewakili urusan-urusan apotek.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 56/73

 

BAB IV

UPAYA HUKUM ANTARA PARA PIHAK JIKA TERJADI SENGKETADALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN

PEMILIK SARANA APOTEK

3.  Akibat Kegagalan Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker

Dengan Pemilik Sarana Apotek.

Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) yang dibuat secara sah akan

melahirkan perikatan yang mengikat para pihak dengan hak dan kewajiban yang

saling dipertukarkan. Lazimnya pelaksanaan prestasi tersebut menghapus perikatan

itu sendiri. Buku III BW dalam Bab IV tentang hapusnya perikatan, merinci sebab-

sebab hapusnya perikatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata.

Dalam praktek perancangan perjanjian, sering dijumpai ketentuan umum yang

berisi tentang substansi putusnya perikatan dengan judul ‘Pembatalan Perikatan” atau

“Pemutusan Perikatan”, yang dihubungkan dengan wanprestasinya salah satu pihak.

Pertanyaan yang patut diajukan, apakah istilah ‘pembatalan’ dan ‘pemutusan’

merupakan dua istilah yang mempunyai makna dan akibat hukum yang sama, atau

sebaliknya berbeda dalam makna dan akibat hukumnya. Untuk itu, analisis berikut ini

akan memperjelas pemahaman serta penggunaan kedua istilah tersebut.

a. Pembatalan Perjanjian

Dalam khasanah hukum perikatan yang dimaksud dengan pembatalan

perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu

hubungan perikatan itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian

maka eksistensi perikatan dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan

87

Universitas Sumatera Utara

Page 57: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 57/73

 

yang menghapus eksistensi perikatan selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya

perjanjian.

Pemahaman mengenai pembatalan perjanjian seharusnya dihubungkan dengan

tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian, tidak dipenuhinya unsur subyektif,

apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak atau karena

ketidakcakapan sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan tidak

dipenuhinya unsur obyektif, apabila terdapat perjanjian yang tidak memenuhi syarat

obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan,

sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dengan demikian pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan

perjanjian (penutupan perjanjian). Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah

pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan

perjanjian. Misalnya pemilik sarana apotek yang ingin melakukan perjanjian

kerjasama dengan apoteker tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Konsekuensi lanjutan dari efek atau daya kerja pembatalan apabila setelah

pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (mengembalikan apa

yang telah dipero1ehnya) maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan untuk

pengembalian barang miliknya.

Untuk itu perlu dibedakan pemahaman antara hapusnya perikatan karena

pembatalan dengan hapusnya perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1381 BW

(misal hapusnya perikatan karena pembayaran atau sebagai akibat pemenuhan

perikatan). Pada pembedaan disini, hapusnya perikatan karena pembatalan jelas

Universitas Sumatera Utara

Page 58: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 58/73

 

menghapus eksistensi perikatan, sedangkan hapusnya perikatan karena pembayaran

atau pemenuhan prestasi hanya menghapus perikatannya sendiri namun eksistensi

perikatannya tidak hapus.

b. Pemutusan Perjanjian

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan perjanjian dengan

pemutusan perjanjian, adalah terletak pada fase hubungan perikatannya. Pada

pembatalan perjanjian senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat

pembentukannya (fase pembentukan perjanjian), sedang pemutusan perjanjian pada

dasarnya mengakui keabsahan perikatan yang bersangkutan serta mengikatnya

kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah

sehingga mengakibatkan perikatan tersebut diputus (fase pelaksanaan perjanjian).

Pemutusan perjanjian merupakan akibat hukum lanjutan dari peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban para pihak. Peristiwa

tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban salah satu pihak

yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan perjanjian sehingga mengakibatkan

perjanjian tersebut diputus. Misalnya dalam jual beli obat yang dibatalkan, maka obat

dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila

pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang

sejenis atau senilai.

Pemutusan perjanjian sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban

merupakan salah satu upaya bagi kreditor untuk menegakkan hak perikatannya. Hal

ini dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 1267 BW, bahwa dalam hal terjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 59: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 59/73

 

wanprestasi oleh debitor maka kreditor dapat menuntut lain pemutusan perikatan

ditambah dengan ganti rugi.

Sehubungan dengan pembedaan pemahaman antara pembatalan dengan

pemutusan, maka perlu diajukan analisis terkait dengan penggunaan kedua istilah

tersebut, khususnya terkait syarat batal Pasal 1266 KUH Perdata.

Mengenai Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling

bertolak belakang, yaitu pertama pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH

Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat

dikesampingkan oleh para pihak dan pendapat kedua menyatakan bahwa Pasal 1266

KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi sehingga dapat

dikesampingkan oleh para pihak.

Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk

berhasilnya pemutusan perjanjian berdasarkan pendapat pertama, yaitu:

a. Harus ada persetujuan timbal balik;

b. Harus ada wanprestasi untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut

pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai;

c. Putusan hakim.

Pendapat kedua didasarkan pada argumentasi bahwa:

a. 

Pasal 1266 KUHPerdata terletak pada sistematika Buku III dengan

karakteristiknya yang bersifat mengatur.

b.  Para pihak dapat menetukan bahwa untuk pemutusan perikatan tidak diperlukan

bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan dalam perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 60/73

 

Berdasarkan dua pendapat yang berkembang mengenai klausul Pasal 1266

KUH Perdata, apabila dikaitkan dengan kepentingan para pihak tampaknya pendapat

kedua lebih mendekati nilai kepraktisannya (Pasal 1266 KUH Perdata disimpulkan

bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pihak lebih memilih alternatif terbaik

bagi perjanjian mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam

pelaksanaan perjanjian. Klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dianggap

 jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum.

4.  Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker

Dengan Pemilik Sarana Apotek

Para pihak dalam hubungannya senantiasa mengharapkan agar perjanjian

yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian,

dalam perjalanan waktu tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa diantara

mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak diharapkan. Sengketa pada

umumnya muncul sebagai akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan,

kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak. Sengketa muncul sebagai

akibat dari beberapa, antara lain:

a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi

partisipan sengketa. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan

adalah kompetisi yang bermuara pada satu pihak menang, yang lain kalah;

b.  Ambiquous Jurisdictions, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak)

saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya

 juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain;

Universitas Sumatera Utara

Page 61: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 61/73

 

c.  Intimacy, keterdekatan yang seringkali bermuara pada sengketa mendalam jika

perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Sengketa

berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yang

tidak memiliki pengalaman “kenal” satu sama lain;

d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan

diskriminasi yang sifatnya berseberangan.86 

Sengketa bisnis dalam perjanjian seringkali berawal dari kesalahan mendasar

dalam proses terbentuknya perikatan dengan berbagai faktor atau penyebabnya,

antara lain:

a. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul ketika

pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-

coba tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang akan menimpanya.

b. Ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya, ada sementara pelaku bisnis yang

sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa

meneliti lebih lanjut latar belakangnya.

c. Tidak adanya legal cover   yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini

menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam

melindungi aktffitas bisnis mereka.

Adakalanya para pihak bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis

karena hal itu dianggap sebagai bagian dari risiko bisnis. Persoalan terpenting bagi

para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi atau mencegah

86 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 275.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 62/73

 

kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu, umumnya dalam perjanjian, para

pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa dalam perjanjian mereka. Jika

pada akhirnya sengketa berkembang menjadi lebih kompleks maka upaya

penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak, yaitu:

a. Penyelesaian melalui jalur pengadilan.

b. Penyelesaian melalui jalur diluar pengadilan. 87 

Menurut Fisher dan Ury terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi

proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak dan status kekuasaan. Para

pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan

status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan serta dipertahankan.88 

Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan umumnya didasarkan pada:

a. Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, dimana untuk gugatan ini

harus didasarkan pada adanya hubungan perikatan di antara para pihak

(penggugat dan tergugat);

b. Adanya perbuatan melanggar hukum, dimana dalam gugatan berdasarkan

perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului adanya hubungan perikatan

diantara para pihak, namun yang paling utama adalah adanya perbuatan yang

merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan

kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kesalahannya.

87  Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia KotaMedan, tanggal 20 Mei 2010.

88 Agus Yudha Hernoko, op.cit ,, h. 278.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 63/73

 

Sudah menjadi pendapat umum, khususnya di Indonesia, mengenai tidak

efektif dan efisiennya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi

(pengadilan). Bahkan belakangan muncul kritik bahwa proses penyelesaian sengketa

melalui pengadilan tidak menjamin kepastian hukum, buang waktu dan mahal,

meskipun pada azasnya beracara di pengadilan itu “sederhana, cepat dan biaya

ringan”.

Bagi dunia usaha proses yang demikian jelas akan mengakibatkan kredibilitas

para pihak menjadi rendah serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Pengadilan

dipandang sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Dalam

praktenya, penyelesaian sengketa yang terjadi antara apoteker dengan pemilik sarana

apotek melalui jalur pengadilan sangat jarang dilakukan oleh pihak yang bersengketa.

Apabila apoteker dan pemilik sarana apotek memutuskan hubungan dalam

kerja sama sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian misalnya tiga tahun,

berakibat bagi pemilik sarana apotek adalah tidak adanya orang yang bertanggung

 jawab jika terjadi kesalahan terhadap obat yang diberikan pada konsumen apabila

terdapat kekeliruan, sehingga membawa dampak negatif dengan diajukan pemilik

sarana apotek ke Pengadilan, sehingga mengakibatkan pemilik sarana apotek

memperoleh sanksi pidana di samping itu akan mengalami kerugian material, karena

apotek dinyatakan tidak mampu memberikan pelayanan kepada konsumen, akibatnya

ditarik atau dicabut izinnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 64/73

 

Menurut Bachtiar, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sangat

lambat, biaya mahal. Dalam proses beracara di pengadilan, pihak yang bersengketa

biasanya diwakili oleh asosiasi atau organisasinya.89 

Basuki Rekso Wibowo mengemukakan bahwa paradigma beracara di

pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme berperkara

untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan

kesempatan dan kekuatan untuk saling mengalahkan. Dengan pergeseran paradigma

tersebut maka keadilan direduksi menjadi persoalan kalah dan menang.90 

Garry Goodpaster mengemukakan enam alasan utama mengapa para pihak

lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur pengadilan daripada

proses negosiasi, sebagai berikut:91 

a.  Refusal to deal, salah satu pihak menolak untuk bermusyawarah sementara pihak

yang lain tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa menyelesaikan sengketa

melalui proses selain itu;

b.  Negosiation failures, musyawarah yang berlangsung di antara para pihak

mengalami kegagalan karena beberapa hal misal kurangnya keahlian. Salah satu

pihak beranggapan bahwa penyelesaian melalui litigasi memberikan hasil yang

lebih memuaskan baginya;

89  Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia CabangMedan, tanggal 12 Mei 2010.

90  Ibid  91 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 283.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 65/73

 

c.  Zero-sum negotiation, para pihak melihat prospek penyelesaian sengketa melalui

musyaawrah akan menempatkan mereka pada situasi kemungkinan “kalah-

menang”. Melalui litigasi diharapkan akan memberikan posisi yang lebih kuat

untuk meminta sesuatu bahkan pembebanan biaya-biaya;

d. The litigator-negotiator’s role, pengacara yang pada prinsipnya bekerja pada

konteks area litigasi mungkin tidak berhasil melihat peluang penyelesaian melalui

musyawarah, dan oleh karena itu lebih menyarankan kepada kliennya untuk

menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi;

Dalam perspektif Indonesia, dimana masih banyak pengacara yang kurang

menguasai prinsip dan teknik bernegosiasi dengan baik, maka alasan yang

dikemukakan oleh Garry Goodpaster di atas dapat merugikan kepentingan klien dan

merusak citra profesi mereka. Dengan kemampuan dan teknik negosiasi yang lemah,

ujung-ujungnya mereka hanya mampu membangun retorika dalam bernegosiasi.92 

Dalam pembuktian sengketa perdata, meskipun telah ditetapkan metode beban

wajib bukti, batas minimal pembuktian, syarat formil dan materil maupun alat bukti

yang sah dipergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian

tidak pernah, bahkan tidak mungkin dihasilkan pembuktian yang sempurna dan logis

apalagi pasti. Bahkan pembuktian perkara menurut hukum pada prinsipnya selalu

92  Ibid  

Universitas Sumatera Utara

Page 66: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 66/73

 

mengandung ketidakpastian relatif, sehingga kebenaran yang dihasilkan dari sistem

pembuktian itu, pada dasarnya bersifat kebenaran nisbi atau relatif.93

 

Dalam kedudukan yang demikian, hakim wajib memberikan kesempatan yang

sama dengan cara meletakkan beban pembuktian yang berpedoman kepada beratnya

dalil yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian

rupa agar berlangsung seimbang, sehingga pihak yang dibebani kewajiban

pembuktian, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila dia mengajukan pembuktian.

Pemilik sarana apotek dapat bertanggung jawab keluar terhadap konsumen

yang dirugikan atas kesalahan obat yang diberikan oleh apoteker. Namun demikian,

apabila hal tersebut terjadi, maka berarti apoteker telah melakukan kesalahan yang

mengakibatkan kerugian pada pihak pemilik sarana apotek. Sehingga apoteker bisa

dikatakan telah melakukan wanprestasi, dengan demikian pemilik sarana apotek

dapat melakukan pengakhiran atau pemutusan atas perjanjian kerja sama yang telah

disepakati bersama. Jika pemutusan perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana

apotek tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka sedikitnya banyak nama

apoteker akan tercemar.

M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui

lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:

94

 

a. penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;

b. biaya mahal;

93 Shofie Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 44. 

94 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 160.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 67/73

 

c. peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum;

d. putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa;

e. kemampuan hakim bersifat generalis;

f. putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang

cukup rasional.

Seperti halnya dalam penyusunan perjanjian yang perlu menekankan konsep

win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan

penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif

dan efisien. Dalam penyelesaian sengketa diantara para pihak, maka penyelesaian

yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution, terutama melalui

Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi: negosiasi/ musyawarah,

mediasi dan arbitrase.95 

Pola ADR ini dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui

wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi. Selain itu ADR dipandang

sebagai pilihan terbaik karena:

a. bersifat informal;

b. penyelesaian secara kooperatif oleh para pihak yang bersengketa;

c. biaya murah;

d. penyelesaian cepat;

e. menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan;

f. penyelesaian secara kompromi;

95  Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

Page 68: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 68/73

 

g. hasil yang dicapai sama-sama menang;

h. hubungan semakin mesra;

i. tidak antagonistik serta tidak ada dendam;

 j. pemenuhan secara sukarela.96 

Menurut Goldberg, terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif,

yaitu:97 

a. mengurangi kemacetan di pengadilan;

b. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa;

c. memperlancar jalur keadilan;

d. memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang

menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Musyawarah sebagai salah satu alternatif utama penyelesaian sengketa

merupakan sarana bagi pihak-pihak untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa

keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan,

maupun pihak ketiga pengambil keputusan. Untuk itu agar penyelesaian sengketa

melalui musyawarah berjalan efektif, disyaratkan:98 

a. Para pihak bersedia bermusyawarah secara sukarela berdasarkan kesadaran yang

penuh;

b. Para pihak siap melakukan musyawarah;

c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan;

96 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 169.97  Ibid , h. 281.98  Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

Page 69: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 69/73

 

d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling

ketergantungan;

e. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.

Dalam kerangka perikatan yang win-win solution maka sejak awal pembuatan

perjanjian sampai dengan pelaksanaannya, serta apabila kemungkinan terjadi

sengketa di antara para pihak hendaknya senantiasa dihindari hal-hal yang dapat

merusak pola kemitraan yang terbingkai dalam perjanjian. Sehingga upaya

penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak juga diarahkan pada pola

penyelesaian win-win solution. 99 

Seorang pemilik sarana apotek dapat memutuskan perjanjian kerjasama

dengan apoteker, bila apoteker ternyata melakukan perjanjian kerjasama dengan

pemilik sarana apotek yang lain. Hal ini tidak boleh dilakukan seorang apoteker,

karena telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku.100 

Oleh karena itu musyawarah sebagai suatu proses yang utuh dan padu dalam

suatu perjanjian harus senantiasa mewarnai mulai tahap pra-perjanjian, pembuatan

perjanjian, serta pelaksanaan perjanjian, bahkan seandainya terjadi sengketa.

Dalam hal ini pemusyawarah harus mampu menyusun langkah, tahapan, gaya

maupun strategi untuk mampu menyelesaikan masalah yang timbul. Melalui

musyawarah diharapkan tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan

99  Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia KotaMedan, tanggal 20 Mei 2010.

100  Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 70: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 70/73

 

para pihak di antara para pihak, sehingga adanya hubungan yang win-win solution 

akan mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif.

Musyawarah sebagai bagian dari metode alternatif penyelesaian sengketa,

ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketa di

antara mereka. Adakalanya proses tersebut menghadapi fase kegagalan karena, antara

lain, tidak diterima, diabaikan atau ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada

pilihan penyelesaian melalui jalur litigasi.

Apabila terjadi sengketa, pada prinsipnya para pihak berupaya menempuh

mekanisme yang mampu memberikan hasil terbaik bagi mereka. Pola penyelesaian

dengan menggunakan mekanisme ADR maupun melalui pengadilan, keduanya tetap

merupakan manifestasi yang membagi beban pembuktian secara seimbang.

Dalam prakteknya, penyelesaian sengketa melalui  Alternative Dispute

 Resolution  (ADR) khususnya musyawarah/ negosiasi dan mediasi banyak dilakukan

oleh pihak yang bersengketa (apoteker dengan pemilik sarana apotek). Contoh kasus

yang banyak dijumpai adalah kasus mengenai pembayaran honorarium apoteker oleh

pemilik sarana apotek.101 

101  Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 71/73

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan

1.  Hak dan kewajiban timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak

ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Adanya pelaksanaan hak dan

kewajiban para pihak, akan menimbulkan perikatan diantara para pihak yang

membuat perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan

suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap

pelaksanakan isi dari perjanjian, misalnya perjanjian kerjasama antara apoteker

dengan pemilik sarana apotek. Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan

para pihak, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik

sarana apotek, menempatkan posisi para pihak dalam posisi seimbang. Hal ini

karena pihak pemilik sarana apotek tidak akan dapat mendirikan usaha apotek,

yang mana dalam pengelolaan apotek membutuhkan suatu keahlian tertentu yang

hanya dimiliki oleh apoteker.

2.  Dalam melakukan tanggung jawabnya, para pihak berpedoman pada peraturan

perundang-undangan dan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik

sarana apotek. Tanggung jawab pemilik sarana apotek hanyalah sebatas sebagai

penyedia sarana dan prasarana pendirian apotek sedangkan tanggung jawab

apotek sebagai pengelola dan pelayanan kefarmasian di apotek. Tanggung jawab

para pihak dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melawan hukum dan

102

Universitas Sumatera Utara

Page 72: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 72/73

 

perbuatan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Berdasarkan hal itu

para pihak, khususnya apoteker harus mengusahakan terpenuhinya keperluan

konsumen dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan, sehingga apoteker sebagai

pengemban profesi harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

3.  Akibat adanya kegagalan dari perjanjian kerjasama antara para pihak

menimbulkan dua hal yaitu pembatalan perjanjian dan pemutusan perjanjian.

Upaya hukum antara para pihak jika terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama

antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat terjadi melalui 2 (dua) cara

yaitu upaya hukum melalui jalur non litigasi dan upaya hukum melalui jalur

litigasi. Dalam penyusunan perjanjian yang perlu menekankan konsep win-win

solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian

yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan

efisien. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, maka

penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution,

terutama melalui  Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi:

negosiasi/ musyawarah, mediasi dan arbitrase. Apabila  Alternative Dispute

 Resolution (ADR), ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam

menyelesaikan sengketa di antara mereka. Adakalanya proses tersebut

menghadapi fase kegagalan karena, antara lain, tidak diterima, diabaikan atau

ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada pilihan penyelesaian melalui

 jalur litigasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: Chapter III V

7/17/2019 Chapter III V

http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 73/73

 

B.  Saran

1. 

Para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi hak dan kewajibannya dengan

iktikad baik. Untuk itu, para pihak sebaiknya dalam membuat perjanjian

kerjasama harus dihadapan seorang Notaris, demi menjamin keabsahan perjanjian

yang dibuat diantara para pihak.

2. Para pihak dalam menjalankan tanggung jawabnya harus memberikan pelayanan

dan informasi yang benar kepada konsumen agar tidak dikenakan sanksi atas

tindakannya.

5. 

Sebaiknya dalam menyelesaikan suatu sengketa yang timbul diantara para pihak

dengan melalui musyawarah dan menghindarkan untuk menempuh jalur hukum

melalui pengadilan. Akan tetapi, bila penyelesaian sengketa melalui musyawarah

tidak tercapai, maka harus menempuh penyelesaian sengketa melalui pengadilan.