chapter iii v
DESCRIPTION
chapter 3TRANSCRIPT
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 1/73
BAB III
TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAANKERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA
APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN
1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek
Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang
Perubahan Peraturan Pemerrntah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek juga
dinyatakan bahwa “Pengelolaan (pekerjaan kefarmasian) apotek menjadi tugas dan
tanggung jawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi”.
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, peran apoteker yang
menyandang gelar sarjana farmasi, telah lulus pendidikan profesi dan telah
mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia
bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.
Dalam prakteknya, sebagian besar apoteker memberikan pelayanan
kefarmsian dan pengelolaan apotek belum maksimal. Hal ini dikarenakan sebagian
besar apoteker tidak setiap hari datang ke apotek tempatnya bekerja.28 Keharusan
apoteker untuk mengelola apotek setiap harinya sangat diperlukan guna memberikan
pelayanan kefarmasian yang baik bagi konsumen.
28 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010.
32
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 2/73
Tabel Kegiatan Pembelian dan Penjualan di Apotek Budi dan Apotek Navisa.
Sumber: Data Bulan Maret-April 2010.
Bagian
Apotek
PEMBELIAN(Item)
Maret April
PENJUALAN(Item)
Maret April
BUDI 400 400 380 395
NAVISA 450 450 420 450
Pada bagian pembelian, kedua apotek melakukan pemesanan obat kepada
distributor berdasarkan penjualan bulan sebelumnya, sedangkan pada bagian
penjualan, kedua apotek mengalami kenaikan penjualan obat, akan tetapi sisa obat
yang belum terjual akan disimpan pada bagian pergudangan untuk dijadikan stok
barang bulan selanjutnya.
Tabel Kegiatan Pelayanan Informasi di Apotek Budi dan Apotek Navisa.
No. Materi Pelayanan InformasiPada Konsumen
Jumlah KonsumenApotek Budi
Jumlah KonsumenApotek Navisa
1 Nama Obat 37 42
2. Khasiat Obat 56 68
3. Kontra Indikasi 0 2
4. Dosis Pemakaian Obat 38 39
5 Cara Pemakaian Obat 48 56
6 Waktu Pemakaian Obat 57 45
7. Waktu Pemakaian Obat 97 90
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 3/73
8. Lama Pemakaian 24 25
9. Yang harus dilakukan bilalupa
1 0
10. Obat Bebas Yang HarusDibatasi
0 0
11. Makanan/ Minuman YangHarus Dibatasi
9 13
12. Aktifitas Yang Harus Dibatasi 2 1
13. Cara Penyimpanan YangBenar
1 3
14. Cara Pembuangan Yang Benar 0 0
Jumlah total konsumen : 100 orang
Pada kegiatan konsumen, responden dengan jumlah 100 (seratus) orang yang
dilakukan melalui kuisioner membuat suatu perbandingan yang cukup. Hal ini berarti
aktivitas di kedua apotek tidak memiliki perbedaan yang jauh. Hal ini berdasarkan
kebiasaan para pihak yang telah memiliki pengalaman sebelum mendirikan apotek.
Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Budi.
Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang TidakDiberikan
Bagian
Bulan Langsung Tertunda StokHabis
PermintaanKonsumen
Maret 198 7 - 5
April 210 5 - 3
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 4/73
Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Navisa.
Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang TidakDiberikan
Bagian
Bulan Langsung Tertunda StokHabis
PermintaanKonsumen
Maret 207 8 - 7
April 212 4 - 4
Pada kegiatan pergudangan, jenis obat yang diberikan di kedua apotek
mengalami kenaikan pada bulan april dikarenakan adanya kenaikan pada kegiatan
penjualan, sedangkan yang tertunda, setelah keluar dari bagian gudang, konsumen
tidak jadi membeli. Item obat yang tidak diberikan pada konsumen dikarenakan
adanya obat resep yang tidak mampu dibayar konsumen sehingga apoteker mengganti
dengan obat yang murah tapi memliki dosis yang sama.
Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Budi
Kerusakan KehilanganHal
Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang
Maret - - - -
April - - - -
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 5/73
Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Navisa.
Kerusakan KehilanganHal
Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang
Maret - - - -
April 1 - - -
Pada kegiatan pembukuan, data yang dimaksud diatas sangat jarang terjadi
karena yang berwenang pada kegiatan tersebut selalu menata dengan baik
penyusunan dokumen, walaupun terkadang ada juga yang lepas dari pengamatan
dikarenakan begitu banyak konsumen yang datang ke apotek.
Berdasarkan hal itu apoteker harus mengusahakan terpenuhinya keperluan
konsumen dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan, sehingga apoteker sebagai
pengemban profesi harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
Apoteker yang mengelola apotek tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang
meliputi:29
a. Membuat visi dan misi;
b. Membuat strategi, tujuan, sasaran dan program kerja;
c. Membuat dan menetapkan peraturan pada setiap fungsi kegiatan di apotek;
d. Membuat dan menentukan indikator form record pada setiap fungsi kegiatan di
apotek;
29 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 6/73
e. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SPO dan program kerja pada
setiap fungsi kegiatan di apotek;
Wewenang dan tanggung jawab apoteker meliputi:30
a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan;
b. Menentukan sistem yang akan digunakan;
c. Mengawasi pelaksanaan SPO dan program kerja;
d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang diperoleh;
Apoteker juga bertanggung jawab terhadap pelayanan baik obat keras maupun
resep dengan memberikan jasa profesi terbaik termasuk informasi tentang cara
pemakaian obat, dosis obat dan konsultasi ke dokter penulis resep bila ada keraguan.
Untuk melaksanakan kegiatannya itu seorang apoteker dibantu oleh asisten apoteker.
Tugas dan Fungsi Apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1980 Tentang Apotek, adalah sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
b. Sarana farmasi yang telah melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang
diperlukan masyarakat secara luas dan merata;
d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada
masyarakat;
30 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei2010
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 7/73
Dalam hal pemberian informasi dan obat kepada konsumen, kehadiran
seorang apoteker merupakan sosok yang paling bertanggung jawab terhadap
terjaminnya keamanan pemakaian obat. Informasi-informasi penting tentang obat
merupakan hal yang mutlak yang harus dimengerti oleh konsumen. Kalau perlu
seorang apoteker memberikan waktu khusus untuk menerangkan secara lebih rinci
akibat berlanjut dan efek samping obat tersebut.
2. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan secara jelas pengertian dari konsumen,
yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diharapkan
agar meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pelaku usaha
untuk melindungi kepentingan konsumen.
Kedudukan konsumen dan pelaku usaha yang tidak seimbang membuat
perlindungan konsumen sangat penting sebagai upaya penjamin kepastian hukum
kepada konsumen. Kerugian sering diterima oleh konsumen dalam memenuhi
kebutuhannya. Konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan/ atau
jasa yang berkualitas sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 8/73
Oleh karena itu, konsumen memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Hak-hak konsumen terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen diantaranya adalah:
a. Hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/
atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila
barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 9/73
Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/ atau jasa dalam penggunaannya
mendapatkan kenyamanan, keamanan, maupun tidak membahayakan konsumen,
maka konsumen diberikan suatu hak yang sesuai dengan kemampuannya untuk
memilih barang dan/ atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan keterbukaan
informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terjadi sesuatu yang merugikan konsumen,
maka konsumen tersebut berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,
mendapatkan keadilan, kompensasi sampai ganti rugi.
Kewajiban konsumen terdapat pada Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
Pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan
secara jelas pada label suatu produk. Namun, sering terjadi konsumen tidak membaca
peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan adanya kewajiban yang
terdapat pada undang-undang ini, memberikan konsekuensi kepada pelaku usaha
untuk tidak bertanggung jawab jika konsumen menderita kerugian akibat
mengabaikan kewajiban tersebut.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 10/73
3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara
Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi
Konsumen.
Hubungan Hukum Antara Apotek dengan Pendiri Apotek
(Apoteker Dan Pemilik Sarana Apotek (Pengusaha))
Perjanjian kerjasama
Sumber: Hasil analisis bahan hukum primer
Hubungan tersebut diatas terjadi karena seorang pengusaha tidak akan dapat
mendirikan suatu usaha apotek tanpa adanya seorang apoteker. Hal ini dikarenakan
setiap pengusaha yang ingin mendirikan usaha apotek, wajib melampirkan surat izin
kerja seorang apoteker, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pengusaha serta
melampirkan surat rekomendasi dari ikatan apoteker indonesia.31 Berdasarkan hal
tersebut apoteker dan pemilik sarana apotek (pengusaha) mempunyai kedudukan
yang seimbang bila dilihat dari segi hukum perikatan.
31 Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia CabangMedan. tanggal 12 Mei 2010.
Apoteker
Pengusaha
Apotek
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 11/73
Dalam Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 Tahun
1981, berbunyi permohonan izin apotek yang sarana apotek dimiliki pihak lain
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Tahun 1981 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 25 Tahun 1981 harus juga melampirkan akta perjanjian kerja sama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permohonan
pendirian izin apotek apabila sarana apotek dimiliki pemilik modal, maka harus
melampirkan akta perjanjian kerja sama. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut bentuk
perjanjian kerja sama antara apoteker dengan pemilik modal adalah secara tertulis.
Dengan adanya kedudukan yang seimbang tersebut maka suatu usaha apotek dapat
didirikan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana
apotek.
Dalam perjanjian kerjasama keduanya saling memasukkan modal, yaitu modal
sarana apotek yang terdiri dari bangunan apotek, perlengkapan apotek, perbekalan
kesehatan di bidang farmasi, dan modal berupa tenaga dan jasa yang dimasukkan oleh
seorang apoteker, sehingga pengelolaan apotek menjadi tanggung jawab seorang
apoteker.
Hubungan hukum antara apotek dengan para pihak tersebut di atas adalah
hubungan hukum yang terjadi dengan perjanjian. Penyelenggaraan apotek oleh
swasta dimungkinkan pu1a dilakukan sendiri oleh apoteker. Dalam hal ini bila
apoteker memiliki sarana untuk suatu pendirian apotek, maka apoteker dapat
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 12/73
langsung mendirikan apotek. Kedudukan apoteker di sini selain sebagai tenaga
profesional pengelola apotek juga sebagai seorang pengusaha.
Perjanjian yang ditemukan dalam praktek pada dasarnya dilakukan
berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak
ini berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
para pihak untuk mengadakan perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan. Ini dapat diartikan boleh mengenyampingkan ketentuan-
ketentuan dalam buku III KUH Perdata, sehingga buku III KUH Perdata tersebut
merupakan hukum pelengkap. Sedangkan pengertian sah adalah telah memenuhi
syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:
a.
Kata sepakat (persetujuan) para pihak yang saling mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Mengenai suatu hal (objek) tertentu;
d. Karena suatu kausa yang sah;32
Dipenuhinya keempat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang telah
disebutkan, belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih
ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian
tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah
32 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit , h. 136.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 13/73
kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya
paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga
masih ada kemungkinan batal.33
Dua syarat yang pertama yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk membuat
suatu perikatan dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir yaitu
mengenai suatu hal tertentu dan suatu kausa yang sah dinamakan syarat-syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dan pembuatan hukum
yang dilakukannya itu.34
Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjian belum batal demi
hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi
perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat selama tidak dibatalkannya (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.35
Dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya, semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian guna
33 R. Soetojo Prawirohami dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Bma Ilmu, Surabaya,1984, h. 82
34 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke XII, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987, h. 17 35 R. Subekti, Op. Cit , h. 20
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 14/73
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar
untuk saling menuntut di depan hakim.
Yang dimaksud dengan sepakat atau persesuaian kehendak ialah kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki dari pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua pihak menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik.
Dengan diperlakukannya kata sepakat antara kedua pihak berarti bahwa kedua
pihak haruslah mempunyai kebebasan dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain
yang mengakibatkan terjadinya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian
sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara kedua pihak.
Sepakat para pihak yang mengikat diri merupakan asas esensial dalam hukum
perjanjian.36 Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap untuk berbuat
menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum.
Syarat ketiga bagi sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah
mengenai suatu hal (objek) tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas.
Syarat keempat adanya perjanjian adalah karena adanya suatu sebab yang sah.
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab. Yang dimaksud
dengan sebab bukanlah hubungan sebab yang mendorong para pihak untuk
36 Mariam Darus Badruzaman, KUH Perdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, h. 1038
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 15/73
mengadakan perjanjian, karena yang menjadi motif dari seorang untuk mengadakan
perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum, akan tetapi isi maksud dari perjanjian.
Melalui syarat sebab dalam praktek maka ini merupakan upaya untuk
menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah
tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isinya tidak bertentangan dengan
Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika syarat-syarat dalam pasal
1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka:
a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa izin dan pihak lain,
kecuali ditegaskan dalam perjanjian;
c. Perjanjian yang telah disepakati harus dilaksanakan dengan baik;
d. Perjanjian mengikat para ahli waris para pihak, kecuali bila dinyatakan dalam
perjanjian;
e. Para pihak tidak saja terikat oleh apa yang tercantum secara tegas dalam isi
perjanjian tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Keempat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat
sahnya perjanjian, ini merupakan salah satu unsur yang mutlak harus ada agar terjadi
suatu perjanjian. Unsur ini dinamakan essentialia.
37
Unsur lain yang melekat pada perjanjian yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan
secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada
37 Kartini Mulyadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 16/73
dalam perjanjian karena sudah merupakan pernbawaan atau melekat pada perjanjian,
misalnya pada perjanjian jual-beli obat, apoteker harus menjamin konsumen terhadap
cacat-cacat yang tersembunyi. Unsur ini disebut naturalia.38
Yang ketiga adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam
perjanjian, unsur ini dinamakan accidentalia, misalnya mengenai tempat tinggal yang
dipilih.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan bahwa tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten
apoteker. Selain tenaga kefarmasian seperti tersebut di atas yang bekerja/ mengelola
apotek juga dibantu tenaga-tenaga administrasi.
Suatu apotek tidaklah mungkin ditangani sendiri oleh seorang tenaga
apoteker. Apabila apoteker pengelola berhalangan melakukan tugasnya, maka
apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pendamping. Bilamana apoteker
pengelola dan pendamping berhalangan untuk suatu hal tertentu, maka apoteker
pengelola dapat menunjuk apoteker pengganti.
Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping maupun apoteker
pengganti dalam apotek, apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas
segala kegiatan tersebut. Selain apoteker pendamping dan pengganti di apotek,
apoteker pengelola juga dibantu tenaga farmasi lainnya yaitu asisten apoteker dan
analis farmasi. Keduanya melakukan kegiatan kefarmasian di apotek di bawah
pengawasan apoteker (pengelola, pendamping atau pengganti).
38 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 17/73
Sebagai penjabaran atau implementasi dari pelaksanaan tanggung jawab
apoteker, maka pemilik sarana apotek memberikan kewenangan kepada apoteker
untuk mengelola suatu apotek. Penjabaran atau implementasi tersebut tertuang dalam
bentuk perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
Apotek yang dikelola berdasarkan perjanjian kerjasama dan apotek yang
didirikan oleh apoteker pribadi, keduanya dikelola oleh apoteker dan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab apoteker. Ada sekitar sembilan puluh persen apotek di
Indonesia berbentuk kedua jenis apotek ini.39 Di Kota Medan, kedua jenis apotek ini
ada sekitar lima ratus apotek dan sekitar sembilan puluh tiga persennya adalah apotek
yang didirikan berdasarkan perjanjian kerjasama.40 Kedua bentuk apotek ini tidak
jelas hubungan antara apotek dengan apoteker sebagai pengelola apotek, apakah
apoteker bertindak untuk dan atas nama apotek ataukah bertindak untuk diri sendiri
sebagai apoteker dalam melakukan hubungan-hubungan hukum di apotek.
Hasil penelitian penulis, kedua bentuk apotek ini melakukan hubungan hukum
dengan pihak-pihak yang terkait, dimana apotek sebagai salah satu pihak dan apotek
sebagai person yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama apotek. Kedua
apotek bentuk ini tidak berbentuk badan hukum. Bilamana apotek sebagai salah satu
pihak dalam perjanjian, maka apotek harus memilih kedudukan sebagai subjek
hukum.
39 http://duakehidupan.otodidak.info/ ”Peran Apoteker di Apotek ”, 22 Maret 2010.40 Hasil penelitian di Kantor Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 20 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 18/73
Kedua bentuk apotek ini dapat menimbulkan masalah hukum sebab apotek
tersebut melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana
apotek tidak memiliki kedudukan sebagai subyek hukum untuk sahnya transaksi-
transaksi yang dilakukannya. Akan tetapi dalam prakteknya selama ini tidak
dipermasalahkan, namun tetap diterima oleh masyarakat.
Kedudukan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan
tenaga administrasi terhadap kedua bentuk apotek di atas adalah sebagai pegawai
apotek tersebut diangkat atau ditugaskan untuk bekerja berdasarkan
perjanjian kerja.41 Namun yang dapat menjadi persoalan hukum adalah dimana pihak
apotek diwakili oleh apoteker pengelola, sedangkan apotek itu sendiri tidak berbadan
hukum sehingga perjanjian kerja yang dibuat antara apotek dengan apoteker
pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan tenaga administrasi apakah sah
menurut hukum.
Untuk dapat menghindari dari persoalan-persoalan hukum yang dapat timbul,
maka seyogyanya peraturan mengenai apotek perlu dipertegas, khususnya
menyangkut kedudukan badan usaha apotek, apakah berbadan hukum atau tidak.
Bilamana apotek secara tegas berbadan hukum, maka kedudukan apoteker sebagai
pihak di dalam mengadakan hubungan-hubungan hukum tidak untuk dan atas nama
apotek, akan tetapi bertindak sendiri (apoteker) sebagai subyek hukum. Masing-
41 Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang
Medan. tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 19/73
masing bentuk badan hukum dan tidak badan hukum suatu apotek mempunyai
konsekuensi hukum yang berbeda-beda, khususnya mengenai tanggung jawabnya.
Apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang mempunyai peranan
melakukan upaya pelaksanaan kesehatan melalui penyaluran obat dan informasi
kesehatan kepada konsumen secara nyata dan menyeluruh. Konsumen pada apotek
dapat kita bagi dua kelompok, antara lain:
a. Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan menunjukkan
resep dari dokter;
b.
Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan tidak
menunjukkan resep dari dokter. 42
Barang-barang yang dapat disalurkan oleh apotek dengan syarat konsumen
harus menunjukkan resep dari dokter adalah obat-obatan yang tergolong obat keras,
alat kesehatan tertentu dan kosmetika tertentu. Sedangkan untuk barang lainnya,
dapat diperoeh konsumen tidak dengan resep dokter.
Bilamana dilihat dari sudut hubungan apotek dengan konsumen, maka apotek
berkedudukan sebagai penyedia dan penyalur obat di apotek, atau sebagai pihak yang
akan menyerahkan/ menyalurkan barang kepada konsumen yang disebut penjual.
Sedangkan pihak konsumen adalah pihak yang menerima barang atau pemakai atau
yang dinamakan pembeli.
Dalam ketentuan KUH Perdata ditegaskan bahwa jual beli suatu barang
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat
42 Budi Harry Prima, O p. Cit , h. 39.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 20/73
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar.43
Pada apotek, pengalihan barang kepada pihak konsumen sangatlah penting
karena selain barang yang akan diserahkan juga yang sangat penting adalah
pemberian informasi tentang penggunaan barang. Hal ini harus mendapat perhatian
pada transakasi barang di apotek sebab ini sangat berhubungan dengan keselamatan
konsumen dalam penggunaan obat-obatan.
Persoalan-persoalan mengenai tidak jelasnya informasi penggunaan obat
kepada konsumen paling sering terjadi, khususnya konsumen yang sangat awam
dengan obat-obatan. Contoh kasus penulis kemukakan sebagai berikut, seorang
konsumen membeli vitamin ke apotek. Konsumen tersebut tidak menunjukkan resep,
sebab vitamin tersebut tergolong bebas (tanpa resep dokter). Vitamin tersebut
berbentuk kapsul yang bergula (kaplet) dan dikemas dalam botol plastik.44
Agar kaplet tersebut tidak meleleh (cepat rusak) oleh pabrik (industri)
dilengkapi bahan pengering yang berbentuk kemasan kapsul dan ini sangat
menyerupai kaplet vitamin tersebut. Karena konsumen tidak mengerti dan tidak
mendapat penjelasan dari apotek tentang fungsi kapsul pengering tersebut, konsumen
awam juga mengkonsumsi kapsul pengering tersebut dengan anggapan bahwa kapsul
itu adalah bagian dari kapsul vitamin akibatnya konsumen mengalami rasa perih di
persendian.
43 lbid 44 Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 21/73
Kasus ini adalah kasus dimana konsumen tidak mendapat penjelasan tentang
obat dari petugas di apotek. Ada juga terjadi kasus dimana pihak apotek memberikan
penjelasan (informasi) kepada konsumen, akan tetapi tidak jelas atau konsumen tidak
mengerti mengenai obat tersebut.
Contoh kasus sebagai berikut, seorang konsumen membeli obat ke apotek
dengan menunjukkan resep obat-obatan untuk penyakit ambaien dengan cara
penggunaan dimasukkan ke dalam dubur pemakai (pasien/ penderita). Karena kurang
jelasnya penjelasan (informasi) dari petugas di apotek, khususnya tentang cara
penggunaan obat tersebut, konsumen mengunakan obat tersebut tidak memasukkan
obat tersebut ke dalam dubur, akan tetapi obat tersebut dimakan (ditelan)
sebagaimana lazimnya bagi si konsumen, akibatnya konsumen sulit untuk buang air
besar (karena ambaien) juga konsumen mengalami sakit perut.45
Jual beli obat di apotek, antara apotek dengan konsumen, pihak penjual
(apotek) tidak hanya berkewajiban menyerahkan obat yang diperjualbelikan dan
menanggung kenikmatan dan ketentraman atas obat tersebut, menanggung cacat-
cacat yang tersembunyi.46 Akan tetapi pihak apotek berkewajiban pula memberikan
penjelasan (informasi) mengenai obat (barang) yang diperjualbelikan di apotek.
Jual beli obat di apotek, berbeda dengan jual beli pada umumnya. Karena obat
di apotek memerlukan penjelasan (informasi) agar tidak menimbulkan akibat-akibat
yang dapat mengancam keselamatan (nyawa) konsumen. Konsumen di apotek, selain
45 http://www.sasak.net/nasional/”Salah Minum Obat ”, 22 Maret 2010.46 Subekti, Op Cit, h.8.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 22/73
konsumen yang datang dengan menunjukkan resep dari dokter dan yang tidak
menunjukkan resep dokter, dapat pula dibagi dalam bagian konsumen langsung dan
konsumen tidak langsung.
Konsumen langsung adalah konsumen atau penderita sendiri sebagai pemakai
(pengguna) obat-obatan secara langsung yang berhubungan langsung dengan apotek.
Sedangkan konsumen tidak langsung adalah konsumen pemakai (pengguna) obat-
obatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan apotek, tetapi melalui orang
lain. Biasanya konsumen tidak dapat secara langsung berhubungan dengan apotek
karena konsumen sedang sakit.
Persoalan yang terjadi atau timbul adalah dalam hal konsumen yang tidak
secara langsung berhubungan dengan apotek. Kadang-kadang konsumen hanya
menyuruh sopir atau pembantu rumah tangga atau suruan tertentu. Kewajiban apotek
memberikan informasi telah dilakukan, akan tetapi orang suruan tersebut tidak
mengerti (memahami) informasi yang diberikan dari apotek, atau orang suruan salah
menyampaikan informasi kepada konsumen.
Persoalan tidak sampainya informasi kepada konsumen ini, dapat diatasi
apabila pihak konsumen lebih berhati-hati. Misalnya bila obat yang akan di konsumsi
tidak jelas cara penggunaannya (informasi dan suruan), maka konsumen dapat
menghubungi kembali pihak apotek.
Berdasarkan hubungan hukum (jual beli) antara apotek dengan konsumen
mengakibatkan adanya keterkaitan (hubungan hukum) antara konsumen dengan
pabrik obat (produsen). Hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen dapat
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 23/73
langsung maupun tidak langsung.47 Hubungan langsung dimaksudkan adalah
hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang terikat secara langsung
dengan perjanjian. Hubungan semacam ini tidak dikenal dalam penyaluran persediaan
farmasi kepada konsumen.
Hubungan tidak langsung antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang
tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak konsumen
dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang diinginkan tidak
berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki
hubungan perjanjian. Hubungan hukum yang melahirkan perikatan tidak selamanya
lahir hanya dengan perjanjian, akan tetapi juga karena undang-undang. Perikatan
yang lahir karena undang-undang dapat karena undang-undang saja maupun karena
perbuatan manusia.48
Konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi suatu produk tertentu, tidak
perlu harus terikat perjanjian, untuk dapat menuntut ganti rugi tetapi dapat juga
menuntut dengan alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar hukum
(pasal 1365 KUH Perdata), dan dasar tanggung jawab produsen adalah tanggung
jawab yang yang didasarkan pada adanya kesalahan produsen (pabrik).49 Contohnya
47 Sabir Alwi, Tanggung Gugat Apotek Sebagai Sarana Kesehatan di Indonesia, Disertasi,
Program Pasca Sarjana UNAIR, Surabaya, 2002, h. 179.48 Handi Raharjo , Op. Cit , h.1249 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit ., h. 1
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 24/73
dalam kasus pengaruh sampingan produk obat Chioroguine (Krug V. Sterling Drug,
Inc.50
Kasusnya, seseorang yang menderita cacat mata yang tidak dapat
disembuhkan sebagai pengaruh samping dan mengkonsumsi obat Chioroguine (nama
dagang Aralen, Triguin dan plaguenil) dibuat dalam satu perusahaan obat (pabrik).
Pihak konsumen menggugat produsen (pabrik) dan apotek, dengan dasar ia gagal
memberikan peringatan yang cukup kepada profesi kedokteran tentang pengaruh
samping obat Chioroguine. Keputusan hakim tingkat rendah dan banding adalah sama
yaitu membebaskan apotek terhadap pengggugat (konsumen) dan menghukum
produsen (pabrik) obat sebanyak $ 125.000 untuk konsumen yang cacat sebagai ganti
kerugian yang didasarkan atas kesalahan karena kelalaian produsen (pabrik)
memberikan peringatan yang cukup mengenai pengaruh samping obat Chioroguine.
Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, keberadaan undang-undang perlindungan konsumen
disamping melengkapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
dan KUH Perdata, juga melakukan perubahan mendasar bagi pelaksanaan tanggung
jawab yang masih berorientasi pada unsur kesalahan dan pembuktian dibebankan
pada konsumen, maka berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen
berorientasi pada jaminan dan pembuktian oleh pelaku usaha Pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
50 Sabir Alwi, O p Cit , h.181.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 25/73
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab
apoteker, meliputi:
a.
Tanggung jawab gannti kerugian atas kerusakan
b. Tanggung jawab gannti kerugian atas pencemaran
c. Tanggung jawab gannti kerugian atas kerugian konsumen.
Menurut J.M. van Dunne, sehubungan dengan tanggung jawab mengenai
kerugian konsumen yang dilakukan terhadap orang lain dibedakan 3 (tiga) golongan
tanggung jawab.51
a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yang mengandung persamaan dengan
pasal 1365 KUH Perdata;
b. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian.
Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan bahwa tergugat cukup hati-
hati, ini tertuang dalarn pasal 1367 ayat (2) KUH Perdata;
c. Tanggung jawab berdasarkan risiko atau majikan bertanggung jawab kepada
bawahan.
Secara teoritis, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut
51 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, h. 109.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 26/73
untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum yang
ada, maka dapat dibedakan:52
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya
wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hokum, tindakan yang kurang hati-
hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan
usahanya.
Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya
melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh
Negara. Jelasnya jika sorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu
menimbulkan kerugian baginya, konsumen dapat mengajukan tuntutan secara perdata
untuk mempertahankan haknya.
Apabila apotek atau pihak lain yang berhubungan dengan apotek, tidak
melakukan apa yang telah dijanjikannya, salah satu pihak lalai atau ingkar janji atau
salah satu pihak melanggar apa yang diperjanjikannya atau salah satu pihak
melakukan atau berbuat sesuai yang tidak boleh dilakukannya, maka pihak yang
merasa dirugikan dapat menuntut dan pihak yang melakukan pelanggaran perjanjian
atau ingkar janji tersebut bertanggung jawab hukum perdata. Dasar hukum yang
mengatur tanggung jawab dalam KUH Perdata yaitu pasal-pasal 1243, 1239,
1365,1367, 1370 dan 1371 KUH Perdata.
52 Janus Sidabalok, Op.Cit , h. 101
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 27/73
Dalam hukum perdata, kesalahan atau kelalaian antara lain:
a. Melakukan wanprestasi atau cedera janji (pasal 1239 dan 1243 KUH Perdata);
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad (pasal 1365
KUH Perdata);
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUH
Perdata);
d. Melakukan kelalaian dalam pekerjaan sebagai penanggung jawab suatu pekerjaan
tertentu (pasal 1367 KUH Perdata).53
Pada dasarnya tanggung jawab di bidang kefarmasian dapat ditimbulkan
karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum, perbuatan yang mengakibatkan
mati karena kurang hati-hati atau dengan sengaja dan perbuatan yang mengakibatkan
cacat tubuh. Apabila salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi atau
ingkar janji (pasal 1239 KUH Perdata).
Dalam bahasa hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang
tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian. Ganti kerugian
yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya
kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban jaminan dalam
perjanjian, sehingga seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
53 Soejono Soekanto ,Op. Cit , h. 8.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 28/73
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.54
Wanprestasi terjadi bilamana prestasi yang dijanjikan tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak yang dirugikan dapat menuntut agar:
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c. Ganti rugi saja;
d. Pembatalan perjanjian;
e.
Pembatalan disertai ganti rugi.55
Dalam undang-undang kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak atas
ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan/
kefarmasian. Ganti rugi sebagaimana dimaksudkan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan upaya
untuk memberikan perlindungan bagi setiap konsumen atas suatu akibat yang timbul,
baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan/
kefarmasian.
Perlindungan hukum ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan
mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Yang dimaksud
54 Subekti, O p Cit , h. 4555 Ibid .
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 29/73
dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian
organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang.56
Apotek sebagai sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi
melakukan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui penyaluran obat
dan informasi kesehatan kepada masyarakat. Dengan tidak memberikan informasi
yang cukup kepada konsumen mengenai objek yang diperjualbelikan yang mungkin
dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen, maka pihak apotek
digolongkan sebagai pihak yang melakukan wanprestasi.
Contoh kasus dimana pihak apotek dapat digolongkan sebagai pihak yang
wanprestasi, pada tanggal 25 Juli 2001, diberitakan pada salah satu koran terkemuka
di Makassar yaitu seorang Ibu yang menderita penyakit jantung, membeli obat
dengan resep dokter di salah satu apotek. Setelah obat tersebut diminum, ibu tersebut
mengalami serangan jantung yang sangat parah (bukannya mengurangi rasa sakit
jantungnya). Setelah diselidiki oleh dokter yang menangani, ternyata obat jantung
yang dibeli dari apotek tersebut telah kadaluarsa.57
Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dan untuk menentukan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian apotek dalam pelayanan kesehatan hanya kalangan
profesi (apoteker) yang mampu melakukan, sedangkan konsumen tidak mempunyai
kemampuan yang cukup sehingga sulit memberi pembuktian tentang ada tidaknya
56 Penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan 57 http://www.pedomanrakyat.com/”Kasus Obat”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 30/73
kesalahan atau kelalaian pelaksanaan pelayanan kesehatan bila diajukan ke
pengadilan.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan adanya kepastian hukum bukanlah
terletak semata-mata pada batas-batas daya berlakunya hukum tersebut menurut
wilayah atau golongan masyarakat, tetapi terletak pada bagaimana para anggota
masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, bagaimana menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi, peranan lembaga yang memberikan bantuan
kepada anggota masyarakat, bagaimana peranan tadi terorganisasikan dan sampai
sejauh mana kewenangannya.
Keadilan sebagai salah satu tujuan hukum merupakan suatu keadaan yang
serasi atau seimbang yang membawa ketentraman dalam hati setiap orang apabila
diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Walaupun keadilan merupakan faktor
penting namun tidak selalu keadilan tersebut ada, sebab hukum dan keadilan
bertujuan menyelenggarakan ketertiban.
Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua faktor yang saling menentukan
dalam menjaga keserasian kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Terwujudnya
kesejahteraan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan perasaan tentram dan tertib
dalam masyarakat, akan tetapi ketertiban semata-mata dapat mengarah kepada
pengunaan kekuasaan tanpa batas. Ketertiban tersebut seyogyanya didasarkan pada
pengakuan martabat manusia sebagai warga masyarakat yang terwujud dalam
keadilan.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 31/73
Ketentuan pasal 1365 KUH perdata tidak memberi pengertian tentang
perbuatan melanggar hukum. Dalam sejarah perundang-undangan hukum perdata
pengertian hukum yang terdapat dalam pasal 1365 KUH perdata mengalami
perubahan dengan adanya keputusan Hoge Raad di Belanda tahun 1919 (arrest
Lindenboum-Cohen tahun 1919, Hoge Raad 31 Januari, Hoetink No. 110). Perbuatan
melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dengan baik
kesusilaan maupun sifat hati-hati sebagaimana patutnya berlaku dalam lalu lintas
perhubungan hukum dalam masyarakat.58
Dalam perbuatan melanggar hukum syarat-syaratnya yang harus dipenuhi
untuk dapat diterapkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata adalah:
a. Harus ada perbuatan (berbuat/ tidak berbuat);
b. Perbuatan itu harus melanggar hukum (yang tidak hanya melanggar undang-
undang/ peraturan tertulis);
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara perbuatan melanggar hukum
itu dengan kerugian yang diderita; dan
e. Adanya kesalahan.59
58 Mariam Darus Badrulzaman, O p.Cit , h. 146-147.59 Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan-
Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 53.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 32/73
Unsur perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang
lain, bahwa tidak seorangpun boleh merusak barang orang lain tanpa suatu
kewenangan. Kalau orang bertindak demikian, maka ia melanggar hak orang lain
sehingga dikategorikan sebagai melakukan perbuatan melanggar hukum.60 Walupun
demikian, melakukan pelanggaran hak orang lain secara serta merta bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul, karena diperlukan adanya kesalahan dari orang
yang bersangkutan.
Menurut ajaran atau teori kesalahan, kewajiban ada karena adanya kesalahan.
Kesalahan selalu ada meskipun dalam ketentuan unsur itu tidak ada, namun harus
dipersangkakan ada.61 Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan
melawan hukum, maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini
umumnya meliputi kesengajaan dan kurang hati-hati atau lalai.
Dalam kepustakaan hukum perdata Indonesia, kurang hati-hati masuk dalam
kesalahan pada perbuatan melawan hukum, sedangkan dalam kepustakaan di
Amerika Serikat, kurang hati-hati dibicarakan dalam topik tersendiri yang disebut
negligence. Negligence adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar
kelakuan yangn ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan konsumen
terhadap resiko yang tidak rasional.
62
Dihubungkan dengan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, maka negligence ini merupakan salah satu bagian dari padanya yaitu bagian
60 Janus Sidabalok, O p. Cit , h. 107.61 Ibid , h. 108.62 Ibid, h.109.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 33/73
yang mempersoalkan kurang hati-hati atau lalai. Untuk dapat menggunakan
negligence sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban, maka harus dipenuhi
syarat-syarat:
a.
Adanya satu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan
sikap hati-hati yang normal.
b. Yang harus dibuktikan adalah tergugat lalai dalam kewajiban memelihara
kepentingan orang lain.
c. Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata dari kerugian yang timbul. 63
Lemahnya kedudukan konsumen dalam hal membuktikan kesalahan ataupun
negligence pelaku usaha karena tidak mempunyai pengetahuan dan sarana yang
memuaskan untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan di Amerika Serikat
menempuh cara lain untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yaitu
dengan menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
Di Indonesia konsep strict liability secara implisitdapat ditemukan dalam
Pasal 1367 dan Pasal 1368 KUH Perdata. Dengan mempergunakan konsep strict
liability, khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian yang
pada akhirnya memberikan perlindungan kepada konsumen, sebab konsumen yang
akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan haknya jika
dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih dibebani kewajiban
untuk membuktikan kesalahan apoteker.
63 Ibid, h.115.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 34/73
Berbeda dengan bentuk perbuatan melanggar hukum diatas, pelanggaran
terhadap kesusilaan, tidak banyak mendapat pembahasan. Berkaitan dengan
pelanggaran terhadap sikap hati-hati ini bahwa hukum tidak memperhatikan jika
ketidakhati-hatian itu berkaitan dengan adanya kewajiban untuk bertindak hati-hati,
dan pelanggaran terhadap kewajiban itu telah menimbulkan kerugian.
Dengan demikian, yang menjadi prinsip pokok tanggung jawab adalah bahwa
pihak tergugat berkewajiban untuk bertindak hati-hati, sedangkan pihak penggugat
harus membuktikan bahwa ia telah menderita kerugian akibat pelanggaran kewajiban
itu.64 Pengertiannya adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang
disebabkan perbuatan (melakukan dan membiarkan) yang melanggar norma oleh
pihak lain.65
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda
seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang
dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada
dasarnya harus berpegang pada azas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat
mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya
tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh
64 Ibid .65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 35/73
mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata
perjanjian dilaksanakan secara baik tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.
Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang
sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan
kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan para pihak yang bersangkutan. Bloem
Bergen menyatakan bahwa “kalau kita berbicara tentang kerugian maka dapat
dipikirkan suatu pengertian yang konkrit dan subjektif, yaitu kerugian adalah
kerugian nyata yang diderita oleh yang dirugikan, dimana diperhitungkan situasi yang
konkrit dengan keadaan subyektif dari yang bersangkutan”. Selain itu kita juga dapat
memikirkan secara obyektif, dimana kita melepaskan diri seluruhnya atau sebagian
dari keadaan konkrit dan orang yang dirugikan dan menuju kearah yang normal. 66
Disamping itu, Bloem Bergen berpendapat bahwa kerugian merupakan
pengertian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya, bukan
kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan hanya dari
barang tersebut atau biaya-biaya perbaikan.67
Unsur kesalahan dalam pasal 1365 KUH Perdata ialah sipembuat/ pelaku pada
umumnya harus bertanggung jawab, karena ia menginsafi akibat dari
pembuatannya.
68
Menurut Purwahid Patrik, kesalahan memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu:69
66 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 212.67 Ibid .68 Hermien Hadiati Koeswadji I , O p.Cit , h. 53.69 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 216.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 36/73
a. Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
b. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;
(1). Dalam arti obyektif, sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
(2). Dalam arti subyektif, sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;
c. Dapat dipertanggungjawabkan, debitur dalam keadaan cakap.
Pada dasarnya ada 2 (dua) pendapat yang memiliki kesamaan mengenai
kesalahan dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertama yang
menempatkan kesalahan secara berdampingan dengan perbuatan melanggar hukum,
juga melihat bahwa unsur kesalahan tersebut menentukan tanggung jawab sipembuat
atas perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian. Pendapat kedua
yang menyatakan bahwa kesalahan merupakan bagian dari perbuatan melanggar
hukum, tetapi tetap mengalami adanya pemisahan yaitu, perbuatan melanggar hukum
terkait dengan perbuatan, sedangkan kesalahan terkait pada orangnya. Serta
memandang bahwa tanpa adanya kesalahan maka tidak ada perbuatan melanggar
hukum, sehingga tidak ada tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap
korban.
Dalam bidang hukum perdata, terdapat 3 (tiga) unsur tanggung jawab perdata,
yaitu:
1. Adanya kelalaian yang dapat dipersalahkan;
2. Adanya kerugian; dan
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 37/73
3. Adanya hubungan kausal.70
Perbuatan melanggar hukum di apotek dapat terjadi apabila apotek
menyalurkan obat-obatan yang tegolong keras, tidak berdasarkan resep dokter yang
ditunjukkan oleh konsumen. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berakibat fatal bagi
konsumen, apalagi obat-obatan tersebut tergolong obat psikotropika yang sangat
berbahaya bagi pemakainya.
Perbuatan melanggar hukum dapat pula terjadi di apotek bila mana pihak
apotek tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk penggunaan obat-obatan
bagi konsumen yang memungkinkan berakibat membahayakan bagi keselamatan jiwa
konsumen.71
Untuk dapat menuntut tanggung jawab bagi apotek yang menyalurkan obat-
obatan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku yang merugikan konsumen hanya
dapat berhasil secara meyakinkan, apabila perkara tersebut terlebih dahulu diputuskan
oleh hakim pidana. Karena putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti
sempurna dalam perkara perdata.
Dalam menyalurkan obat-obatan kepada masyarakat, kesalahan atau kelalaian
apotek di bidang hukum perdata, meliputi pasal 1239, 1243, 1365, 1366 dan 1367
KUH Perdata. Dalam perkara perdata, pihak penggugatlah yang harus mengajukan
bukti-bukti.
70 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter , PT. AsdiMahasatya, Jakarta, 2005, h. 16.
71 Bahder Johan Nasution, Op. Cit, h. 19.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 38/73
Bilamana terjadi pelanggaran dalam bidang kesehatan, harus diteliti apakah
pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran hukum atau etika profesi ataukah
kedua-duanya. Apabila merupakan pelanggaran hukum, maka untuk bidang hukum
perdata, dapat ditempuh melalui gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan. Dalam
kaitannya dengan apotek, bila mana ada pelanggaran yang disebabkan oleh kesalahan
atau kelalaian apotek, maka apotek dapat bertanggung jawab terhadap para pihak
yang merasa dirugikan.
Apotek dalam menjalankan pelayanan kepada konsumen terdapat 2 (dua) hal
yang esensial. Pertama, pada apotek dilakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan
kefarmasian dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya. Keahlian dan kewenangan tersebut diimplementasikan dalam bentuk
Surat Izin Apoteker (SIA) bagi apoteker dan Surat lzin Kerja (S1K) bagi asisten
apoteker.
Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian tersebut, tenaga kefarmasian di
apotek melakukan berbagai kegiatan mencakup pengadaan obat, penyimpanan obat,
pembuatan untuk persediaan dan obat sesuai dengan buku standar, pembuatan obat
dalam rangka memenuhi permintaan resep dokter, penyerahan obat dan informasi
yang harus disampaikan kepada konsumen pengguna obat.
Kedua, pekerjaan kefarmasian yang difokuskan pada penyerahan obat.
Penyerahan obat merupakan inti pembahasan tanggung jawab karena disini akan
memperlihatkan apotek dalam keadaan bergerak untuk melakukan hubungan hukum
dengan konsumen. Dalam menyerahkan obat kepada konsumen, apotek dapat
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 39/73
menyerahkan obat yang berasal dan pabrik obat atau PBF dan atau obat yang dibuat
sendiri oleh apotek berdasarkan buku standar yang dianut (diikuti).
Buku standar tersebut ditegaskan oleh pasal 40 Undang-Undang Nomor 23
tahun 1992 Tentang Kesehatan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengawasan Sediaan Farmasi. Buku standar lainnya beraneka ragam seperti
Codex Medicamentorum Nederlandicum, Formularium Medicamentorum
Nederlandicum dan lain-lain. Dalam buku standar tersebut diuraikan berbagai
formula yang memuat berbagai sediaan obat, seperti obat batuk hitam, obat batuk
putih dan lain-lain.
Berbagai sediaan obat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Pertama, sediaan obat yang selalu harus dibuat baru. Dalam hubungan ini sediaan
obat hanya dapat diserahkan kepada konsumen yang dibuat saat itu. Kedua, sediaan
obat yang dapat dijadikan sediaan dalam bentuk kekuatan yang lebih. Sediaan obat ini
baru diberikan pada waktu akan diserahkan kepada konsumen.72 Kedua cara ini
dimaksudkan agar obat yang diserahkan selain memenuhi syarat teknis kefarmasian
juga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki yaitu sesuai dengan kemanfaatan obat
yang bersangkutan.
Dan segi hukum yang penting bahwa adanya ketentuan yang mengikat bahwa
buku standar tersebut disahkan penggunaannya. Di sini terlihat baru Farmakope
Indonesia saja yang disahkan secara tegas, sedangkan buku lainnya tidak dinyatakan
secara tegas. Sebagaimana dikemukakan oleh Joint Commission on the Accreditation
72 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 40/73
of Healtheore Organitation, yang menguraikan 5 (lima) standar yang harus dipenuhi
dalam pelayanan kefarmasian: 73
Pertama, keberadaan staf (sumber daya manusia) yang menurut hukum
mempunyai keahlian dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Kedua, dipenuhinya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam berbagai proses
pekerjaan kefarmasian mulai dari pengadaan sampai penyerahan. Ketiga, dapat
dipenuhi dan dilaksanakannya lingkup pekerjaan kefarmasian secara baik dan benar.
Keempat, memiliki kebijakan tertulis yang menyangkut standar yang digunakan dan
pencatatan setiap tindakan yang dilakukan dalam proses pengadaan, pembuatan dan
penyerahan obat. Kelima, dilakukannya hubungan secara harmonis dengan tenaga
kesehatan lainnya seperti dokter, perawat dan bidan dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian.
Bilamana apotek melakukan kesalahan dapat dimintai tanggung jawab melalui
wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Namun obat memiliki karakteristik
yang khas dimana terdapat kemungkinan risiko baru diketahui kemudian, walaupun
dalam proses pembuatan dan penyimpanan obat tidak terdapat unsur kesalahan.
Untuk menunjukkan rasa keadilan bagi konsumen maka risiko yang timbul kemudian
harus tetap dilindungi oleh hukum.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan tragedi thalidomide yang pada saat
disalurkan ke konsumen tidak menjadi persoalan, tetapi kemudian mendatangkan
73 http://www.jointcommission.org/”Standar Pelayanan Kefarmasian”, 23 Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 41/73
bahaya bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat pada saat
kehamilan.74
Dalam kaitan ini yang penting dari segi hukum adalah:
a. Informasi yang harus diberikan apotek terhadap obat yang disalurkan.
Informasi tersebut meliputi nama obat, tanggal pembuatan, buku standar yang
digunakan dan tanda tanda bila dinyatakan rusak. Dalam prakteknya informasi
hanya diberikan menyangkut nama obat tersebut.
b. Dalam hubungannya dengan risiko dalam penggunaan obat. Titik tolak risiko
disini harusnya dituangkan dalam informasi yang diberikan apotek. Informasi
tersebut meliputi identitas apotek yang menyalurkan, kegunaan obat tersebut dan
risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat tersebut atau tindakan yang
tidak boleh dilakukan oleh konsumen bila menggunakan obat tersebut.
Bertitik tolak dari apa yang diuraikan di atas maka dapat saja tanggung jawab
diterapkan pada apotek dalam hal terbatas pada produk obat yang dihasilkan. Dengan
demikian obat tersebut juga harus memenuhi standar keamanan, mutu dan
kemanfaatan yang berlaku pada setiap obat yang disalurkan.
Standar keamanan, mutu dan kemanfaatan bersifat universal, berlaku untuk
semua apotek, misalnya boorwater yang merupakan sediaan obat untuk cuci mata,
harus sama standar keamanan, mutu dan kemanfaatannya. Tidak boleh boorwater di
suatu apotek dijual dengan adanya endapan padahal dipersyaratkan tidak boleh ada
endapan.75
74 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 123.75 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 42/73
Selain apa yang telah diuraikan di atas tanggung jawab mutlak dapat juga
diterapkan pada apotek yang melakukan penggantian obat yang tertera dalam resep
dokter tanpa persetujuan lebih dahulu dari penulis resep atau dokter. Dokter
rnempunyai hak untuk menentukan pilihan obat berdasarkan diagnosa dan terapi yang
dilakukan, namun dipihak lain kadangkala para kalangan farmasi juga menyatakan
penggantian obat merupakan hak yang dimiliki.
Padahal spesifikasi teknis berdasarkan daya larut, daya serap dalam tubuh
belum tentu sama untuk produk obat yang sejenis mengenai substansi yang
dikandung di dalamnya, oleh karena itu penggantian obat yang dilakukan apotek
dengan persetujuan konsumen tanpa persetujuan dokter penulis resep memberikan
dampak pada penerapan tanggung jawab mutlak pada apotek. Dalam hal ini dokter
sebagai pihak lain yang tidak turut bertanggung jawab karena obat yang diserahkan
apotek tidak sesuai yang tertera dalam resep.
Perlindungan terhadap bahaya penyalahgunaan obat zat adiktif, dan narkotika
terutama bagi generasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikan perhatian
khusus, juga pengawasan ketat terhadap obat. Disebutkan dalam undang-undang
kesehatan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi konsumen
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan melalui
kegiatan peningkatan kesehatan.
Dalam rangka pembangunan kesehatan yang demikian kompleks dan luas,
dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan
untuk meningkatkan derajat kesehatan konsumen perlu ditingkatkan. Untuk itu
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 43/73
seyogyanya pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang
kesehatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas serta menata kembali
perundang-undangan bidang kesehatan dalam rangka membuat produk hukum yang
lebih memadai.
Produk-produk hukum di bidang kesehatan seharusnya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Mendukung adanya sarana pelayanan kesehatan, program dan kegiatan dalam
seluruh upaya kesehatan yang sudah atau akan dikembangkan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat termasuk swasta.
b. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan
perundang-undangan disektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.
c. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan dimasa
mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani.
d. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.
e. Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya kesehatan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
f. Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat memberikan perlindungan
hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.
g. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
masyarakat termasuk swasta.
h. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 44/73
i. Memuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggaran dapat ditindak
sebagaimana mestinya.76
Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan dilakukan secara bersama
dengan serasi dan seimbang oleh pemerintah dan konsumen melalui upaya
peingkatan dan pelayanan kesehatan secara terpadu (terintegrasi) dengan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan. Yang dimaksud dengan serasi dan
simbang disini adalah pelaksanaan pelayanan upaya kesehatan berdasarkan hak,
wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat
berdasarkan peraturan yang ada serta sesuai dengan kebutuhan dan waktu, pemerintah
dan konsumen bertanggung jawab dalam hal memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan masyarakat.
Apotek dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan kepada konsumen
harus mengutamakan kemakmuran, dengan demikian apotek mempunyai tugas dan
fungsi sosial sebagai sarana kesehatan terhadap konsumen. Apotek sebagai salah satu
sarana kesehatan diselenggarakan berdasarkan fungsi sosial.77 Tetapi di lain pihak
apotek harus dikelola sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup untuk
melaksanakan fungsinya dapat tetap berjalan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang apoteker dalam melaksanakan
perannya, tidak mustahil timbul sengketa antara peran yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya peran apoteker sebagai tenaga yang profesional yang mengemban tugas
76 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.77 Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia
Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 45/73
untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya-upaya kesehatan dan disisi lain
apoteker sebagai seorang bisnis yang berorientasi pada keuntungan material yang
maksimal.
Perlu diakui bahwa orientasi profesi lebih banyak diarahkan ke konsumen,
sedangkan bisnis berorientasi pada keuntungan material yang maksimal. Pada profesi,
kepercayaan konsumen tertuju pada pemberian jasa, sedangkan pada bisnis, obat
(barang) yang diperjualbelikan menjadi tolok ukur.
Bilamana dilihat dari aspek obat, maka sikap yang berorientasi pada bisnis
semata-mata mungkin timbul apabila obat dianggap sebagai barang dagangan biasa.
Dalam hubungan dalam profesi apoteker, maka obat merupakan komponen yamg
penting dalam sistem farmasi.78
Dalam keadaan demikian fungsi sosial apotek dapat menjadi kabur. Oleh
karena penyelenggaraan apotek yang padat modal dan kaya seyogyanya dan
merupakan keharusan untuk dikelola secara manajemen bisnis tanpa menghilangkan
misi kemanusiaan dan fungsi sosialnya. Dan hasil keuntungan yang diperoleh dan
pengolahan apotek tersebut hendaknya disisihkan sejumlah presentasi tertentu
sebagai dana pelayanan fungsi sosial apotek.
Jangan sampai hanya persoalan kecil sehingga nilai-nilai fungsi sosial
apoteknya menjadi kabur. Sebagai contoh kasus pada salah satu apotek, dimana
seorang ibu membeli obat dengan resep karena anaknya di rawat di ICU. Ibu anak
tersebut belum dapat mengambil obat di apotek karena kekurangan pembayaran Rp.
78 Soerjono Soekanto, O p Cit h. 34
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 46/73
1000,- (seribu rupiah), ibu anak tersebut harus berkeliling mencari uang kekurangan,
dan anaknya dalam keadaan gawat di ruang ICU . Setelah beberapa jam barulah ibu
tersebut dapat menebus obat di apotek, namun setelah ibu anak tersebut sampai di
ruang ICU, anak tersebut telah meninggal dunia satu jam yang lalu.79
Terlepas dari apakah penyebab meninggalnya si anak karena keterlambatan
obat yang dibeli di apotek, ataukah tidak disebabkan karena hal tersebut. Tetapi
dalam keadaan demikian diharapkan peranan sarana kesehatan sebagai fungsi sosial
tidak nampak dapat memberi bantuan kepada konsumen. Apakah dengan nilai Rp.
1000,- (seribu rupiah) tergolong sangat merugikan bagi apotek.
Berdasarkan penelitian penulis, harga obat di Indonesia tergolong mahal dan
tidak transparan, konsumen telah dirugikan akibat tidak transparan penetapan harga
obat yang dibeli. Selama ini konsumen berada dalam ketidakberdayaan hanya
membeli dan dianggap tidak perlu tahu. Padahal obat-obatan merupakan salah satu
kebutuhan azasi yang harus diperoleh secara murah dan dapat dijangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat.
Saat ini apotek tak ubahnya usaha eceran (retail), yaitu membeli obat dari
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan menjual obat secara eceran kepada konsumen.
Harga obat mahal, hal ini bisa karena rangkaian distribusi obat yang cukup panjang
hingga sampai ke konsumen. Tiap-tiap mata rantai distribusi mempunyai margin
keuntungan dan pajak yang cukup besar, serta adanya biaya promosi yang juga cukup
besar.
79 Sabir Alwi, O p.Cit , h. 267.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 47/73
Menurut penulis, seharusnya yang dilakukan adalah pelayanan apotek profesi.
Apotek tidak menetapkan margin keuntungan (profit margin) atas obat, akan tetapi
telah ditentukan pemerintah (daftar harga obat yang berlaku Nasional) dan konsumen
hanya membayar jasa apotek sebagai mana layaknya pembayaran pemeriksaan
kesehatan kepada dokter. Dengan demikian apoteker bekerja sebagai tenaga
profesional.
Fungsi sosial apotek seyogyanya diartikan secara luas dan tidak diartikan
secara sempit dimana, apotek dipandang sebagai sarana kesehatan yang semata-mata
hanya dapat menyediakan obat-obatan. Akan tetapi fungsi sosial harus diartikan
seluas-luasnya yaitu keseluruhan kegiatan-kegiatan yang secara aktif dilakukan dalam
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa membedakan
status sosialnya.
Setelah berlakunya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek yang merupakan
penjabaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
maka fungsi apotek tidak hanya sebagai penyalur obat saja, akan tetapi penyalur
perbekalan farmasi.
Kegiatan-kegiatan apotek mengalami perkembangan dalam masyarakat, tidak
hanya menyalurkan perbekalan farmasi dan pekerjaan kefarmasian (produksi) akan
tetapi apotek dituntut tugas dan tanggung jawab oleh konsumen dalam segala
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 48/73
rangkaian kegiatan-kegiatan upaya peningkatan kesehatan. Kegiatan-kegiatan yang
dirnaksud antara lain:
a. Pemberian informasi kesehatan kepada konsumen; artinya apotek (apoteker) ikutbertanggung jawab atas segala informasi kesehatan lainnya. Apotek berusahamengumpulkan dan memadukan informasi tentang obat dan menjelaskanpemahaman tentang dosis penggunaan obat-obatan termasuk metode pemberianobat, menasehati konsumen soal perlu kehati-hatian dalam penggunaan obat.Apotek dapat menghimpun dan memelihara informasi tentang semua obattermasuk obat tradisional (alternatif). Khususnya tentang obat-obatan yang barudiperkenalkan, menyediakan informasi yang diperlukan oleh profesi kesehatanlainnya. Apotek dapat berperan serta dalam kampanye upaya peningkatan
kesehatan konsumen, baik secara lokal maupun secara nasional khusunya atastopik-topik mengenai obat-obatan tradisional, penyalahgunaan alkohol,penyalahgunaan narkoba, bahaya merokok, larangan penggunaan obat selamamasa bamul atau topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatanlainnya misalnya penyakit diare, TBC, Lepra, infeksi HIV/AIDS dan keluargaberencana. Malahan apotek (apoteker) dapat diberi kewenangan mengunjungikonsumen untuk memberikan layanan informasi (konseling) kesehatan. Termasukpemberian penyuluhan-penyuluhan kesehatan kepada konsumen lebih luas lagitidak hanya berupa obat untuk manusia, tetapi juga termasuk hewan, alatkesehatan, kosmetika dan obat-obatan tradisional. Apotek (apoteker) tidak perlutinggal diam (menunggu) datangnya konsumen ke apotek, akan tetapi harus proaktif dalam upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan konsumen secaraoptimal.
b. Apotek (apoteker) harus dapat berperan sebagai tempat pendidikan dan penelitian,termasuk berperan serta membuat rancangan untuk memantau penggunaan obat,seperti proyek riset praktis serta memantau berbagal reaksi obat yang telahdigunakan oleh konsurnen. Apotek pendidikan merupakan kesinambungan prosespendidikan profesi apoteker, dimana ditempat itu dapat diperoleh pelatihandibidang ilmu dan keterampilan farmasi yang berstandar mutu prima. Apotekpendidikan selain unsur pelayanan dan unsur-unsur pendidikan dan penelitian
juga terjadi diskusi antara mahasiswa dalam hal kasus peresepan yang tidak
rasional, studi epidemiologi obat dan penggunaannya. Hal ini sejalan apa yangdikehendaki dalam Undang-undang Kesehatan Nasional bahwa sarana kesehatandapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan sertapenelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangkesehatan.80
80 Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 49/73
Suatu apotek tidak diharuskan berbadan usaha namun dalam prakteknya
(kenyataannya) seluruh apotek selalu dalam bentuk badan usaha. Hal ini karena
sebelum apotek berjalan (terbuka) diharuskan memiliki surat izin usaha.81
Tata cara pendirian apotek, diawali dengan mengajukan surat permohonan
persetujuan lokasi kepada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan RI. Setempat,
dimana apotek direncanakan didirikan. Adapun yang harus mengajukan permohonan
tersebut adalah apoteker yang telah disumpah. Permohonan persetujuan lokasi apotek
tersebut dilengkapi dengan ijasah apoteker, denah lokasi dan surat keterangan
domisili kelurahan.
Selama menunggu keluarnya persetujuan lokasi, pemohon mempersiapkan,
antara lain, bangunan untuk tempat pengelolaan apotek, perlengkapan apotek yaitu
peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek, alat-alat
kantor yang dipersyaratkan dan tenaga (termasuk tenaga kefarmasian) yaitu asisten
apoteker dan apoteker pengganti.
Setelah perlengkapan apotek tersedia dan telah mendapatkan persetujuan
lokasi apotek dari Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia
setempat, maka apoteker dapat mengajukan surat permohonan izin apotek kepada
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana rencana domisili
apotek didirikan. Surat permohonan tersebut dilengkapi atau dilampirkan dokumen
dan persyaratan kelengkapan apotek.
81 http://www.hukor.depkes.go.id/” Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 50/73
Selanjutnya Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia
setempat membuat surat perintah tugas kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(POM) untuk memeriksa /mengecek apotek yang direncanakan pada lokasi tersebut,
apakah telah sesuai yang dipersyaratkan. Berita Acara Pemeriksaan Balai
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dikirim ke Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Republik Indonesia setempat.
Mengenai Surat lzin Usaha (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) tidak
merupakan persyaratan yang harus tersedia, akan tetapi dilampirkan disaat
mengajukan Surat Permohonan Izin mendirikan apotek. Namun dalam prakteknya
kelengkapan tersebut harus telah ada sebelum apotek tersebut beroperasi (terbuka).
Izin mendirikan apotek dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin mendirikan apotek
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana
domisili apotek yang akan didirikan atau dibuka. Setelah proses tersebut dilalui,
barulah izin pendirian apotek dikeluarkan.
Suatu apotek yang direncanakan akan didirikan harus memenuhi persyaratan
antara lain, harus ada apoteker, harus memiliki sarana (termasuk modal kekayaan)
yang terpisah dari modal pribadi (termasuk modal kekayaan), mempunyai tujuan
tertulis dan dibentuk suatu organisasi yang dipimpin oleh apoteker.82
Menurut penulis langkah-langkah ini sesuai dengan pendirian badan usaha
yang berbadan hukum dimana apoteker sebagai tenaga profesional. Keahlian apoteker
82 http://www.hukor.depkes.go.id/” Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 51/73
merupakan modal (masukan) untuk suatu perusahaan dan pemilik modal/ sarana
sebagai pemasok modal untuk digunakan dalam usaha apotek.
Tata cara pemberian izin apotek tersebut di atas dalam prakteknya hanyalah
berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MenkesJPer/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Adapun ketetapan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang Apotek, tidak
mendapat perhatian walaupun peraturan pemerintah tersebut sampai saat mi masih
tetap berlaku.
Menurut penulis pendirian badan usaha apotek itu sangat diperlukan, sebab
dengan adanya badan usaha apotek berarti tercipta suatu wadah yang dapat
dipergunakan bagi profesi apoteker dan profesi kesehatan lainnya. Wadah (badan
usaha) ini pula dapat digunakan sebagai sarana dimana kalangan swasta (pengusaha)
ikut serta dalam pembangunan kesehatan.
Apabila badan usaha apotek berbentuk badan hukum, maka dapat memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana layaknya seperti seorang manusia,
serta memiliki kekayaan sendiri dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Gejala-gejala ini sangatlah penting untuk suatu apotek sehingga dapat dengan jelas
kedudukan tanggung jawab apotek.
Bilamana badan usaha apotek berbadan hukum maka transaksi-transaksi yang
dilakukan apotek selama ini, apotek tetap dianggap sebagai pihak, yang selama ini
telah berjalan dan diterima oleh konsumen. Apotek yang berbadan hukum,
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 52/73
kedudukan apoteker sebagai penanggung jawab pengelola apotek sebagaimana
layaknya pimpinan direksi pada perseroan terbatas.
Pada kenyataannya di lapangan perkembangan usaha apotek mengarah pada
usaha yang berbadan hukum, hal ini dapat dilihat dari:
a. Pada umumnya apotek memiliki harta kekayaan yang terpisah baik terhadap harta
kekayaan pemilik modal maupun harta kekayaan apoteker;
b. Pada umumnya apotek merupakan perkumpulan orang yang terorganisir dan
mempunyai pengurus;
c. Pada umumnya apotek diterima oleh masyarakat dan dapat bertindak sebagai
pihak dalam perjanjian (transaksi) yang dilakukannya;
d. Apotek memiliki hak dan kewajiban-kewajiban sebagat sarana kesehatan;
e. Bila dilihat dan pengertian, tugas dan fungsi apotek dimana apotek tidak hanya
sebagai produsen dan distribusi obat, akan tetapi juga sebagai pemberi informasi
kesehatan dan sebagai tempat pendidikan, latihan dan penelitian.
Dengan badan usaha apotek yang jelas serta kedudukan apoteker yang jelas
pula, maka tanggung jawab apotek tidak menimbulkan masalah lagi. Hal ini
diharapkan adanya kepastian hukum sehingga terjamin kemudahan berusaha serta
pengawasan dalam penyelenggaraan apotek.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek menegaskan
bahwa pengelola apotek menjadi tugas dan tanggung jawab apoteker; tugas dan
tanggung jawab seorang apoteker dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung
jawab seorang dokter.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 53/73
Menurut hemat penulis bahwa tugas dan tanggung jawab yang dimaksud
adalah tugas dan tanggung jawab keprofesian yaitu apoteker bertanggung jawab
dalam melaksanakan tugas keprofesiannya pada suatu apotek. Ini tidak dapat
ditafsirkan bahwa seluruh aktivitas apotek dan akibat hukum yang ditimbulkan di
apotek adalah menjadi tanggung jawab apoteker. Hal ini tidak memberikan rasa
keadilan bagi seorang apoteker.
Sebab bila suatu apotek mengalami keuntungan, maka akan dinikmati secara
bersama-sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek (modal), akan tetapi bila
apotek mengalami kerugian (harus memberikan ganti rugi/bertanggung jawab) maka
apotekerlah yang bertanggung jawab. Persoa1an ini timbul karena tidak jelas aturan
yang mengatur apotek.83
Kedudukan apotek sudah tentu sebagai subyek hukum dalam suatu transaksi.
Suatu subyek hukum berarti pendukung hak dan kewajiban. Bilamana timbul akibat-
akibat hukum dari transaksi (perjanjian) jual beli tersebut tidaklah dapat dikatakan
bahwa apotek tersebut tidak mampu bertanggung jawab.84 Kebiasaan ini berjalan
terus dimana apotek diterima oleh masyarakat sebagai subyek hukum. Adapun
kedudukan apoteker dalam transaksi (perjanjian) jual beli tersebut, hanya sebagai
pihak yang mewakili apotek.
Dari transaksi (perjanjian) jual beli yang penulis teliti, apotek sebagai pihak
dan apoteker (staf lain di apotek) hanya sebagai pihak lain yang bertindak untuk, dan
83 Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan-
Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 28 84 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h. 16
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 54/73
atas nama apotek. Sehingga tidak dapat lagi dikatakan bahwa apotek tidak
bertanggung jawab terhadap pihak yang merasa dirugikan.
Jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh apoteker pengelola
atau apoteker pendamping/pengganti atau asisten apoteker atau tenaga administrasi di
apotek yang dapat bertanggung jawab adalah apotek. Hal ini didasari dari kedudukan
tenaga kesehatan dan tenaga administrasi tersebut adalah mewakili atau atas nama
apotek dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum di apotek.
Dalam KUH Perdata ditegaskan bahwa majikan-majikan dan mereka yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung
jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-
bawahan mereka yang dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya.
Mengenai tanggung jawab apotek bagi mereka yang mewakili urusan-urusan
apotek (apoteker pengelola/pendamping/pengganti, asisten apoteker, analis farmasi
dan tenaga administrasi), apotek bertanggung jawab terhadap pihak-pihak yang
dirugikan untuk membayar ganti kerugian meskipun pihaknya (apotek) sama sekali
tidak terdapat sifat melanggar hukum atau kesalahan.85
Dengan demikian tanggung jawab apotek terhadap mereka yang mewakili
urusan-urusan apotek (apoteker pengelola/pendamping/pengganti, asisten apoteker,
analis farmasi dan tenaga administrasi) berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah sebagai berikut:
85 http://apotekkita.com/”Tanggung Jawab Apoteker”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 55/73
a. Berdasarkan pada hubungan apotek dengan mereka yang mewakili urusan-urusan
apotek.
b. Bergantung pada keadaan bahwa perbuatan-perbuatan hukum itu dilakukan dalam
pelaksanaan tugas di apotek.
c. Disyaratkan adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak yang
mewakili urusan-urusan apotek.
d. Tidak tergantung pada suatu pelanggaran norma atau kesalahan apotek. Pihak
yang dirugikan cukup berpegang pada bukti perbuatan melanggar hukum atau
kesalahan mereka yang mewakili urusan-urusan apotek.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 56/73
BAB IV
UPAYA HUKUM ANTARA PARA PIHAK JIKA TERJADI SENGKETADALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN
PEMILIK SARANA APOTEK
3. Akibat Kegagalan Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker
Dengan Pemilik Sarana Apotek.
Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) yang dibuat secara sah akan
melahirkan perikatan yang mengikat para pihak dengan hak dan kewajiban yang
saling dipertukarkan. Lazimnya pelaksanaan prestasi tersebut menghapus perikatan
itu sendiri. Buku III BW dalam Bab IV tentang hapusnya perikatan, merinci sebab-
sebab hapusnya perikatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata.
Dalam praktek perancangan perjanjian, sering dijumpai ketentuan umum yang
berisi tentang substansi putusnya perikatan dengan judul ‘Pembatalan Perikatan” atau
“Pemutusan Perikatan”, yang dihubungkan dengan wanprestasinya salah satu pihak.
Pertanyaan yang patut diajukan, apakah istilah ‘pembatalan’ dan ‘pemutusan’
merupakan dua istilah yang mempunyai makna dan akibat hukum yang sama, atau
sebaliknya berbeda dalam makna dan akibat hukumnya. Untuk itu, analisis berikut ini
akan memperjelas pemahaman serta penggunaan kedua istilah tersebut.
a. Pembatalan Perjanjian
Dalam khasanah hukum perikatan yang dimaksud dengan pembatalan
perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu
hubungan perikatan itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian
maka eksistensi perikatan dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan
87
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 57/73
yang menghapus eksistensi perikatan selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya
perjanjian.
Pemahaman mengenai pembatalan perjanjian seharusnya dihubungkan dengan
tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian, tidak dipenuhinya unsur subyektif,
apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak atau karena
ketidakcakapan sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan tidak
dipenuhinya unsur obyektif, apabila terdapat perjanjian yang tidak memenuhi syarat
obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan,
sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dengan demikian pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan
perjanjian (penutupan perjanjian). Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah
pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan
perjanjian. Misalnya pemilik sarana apotek yang ingin melakukan perjanjian
kerjasama dengan apoteker tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Konsekuensi lanjutan dari efek atau daya kerja pembatalan apabila setelah
pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (mengembalikan apa
yang telah dipero1ehnya) maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan untuk
pengembalian barang miliknya.
Untuk itu perlu dibedakan pemahaman antara hapusnya perikatan karena
pembatalan dengan hapusnya perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1381 BW
(misal hapusnya perikatan karena pembayaran atau sebagai akibat pemenuhan
perikatan). Pada pembedaan disini, hapusnya perikatan karena pembatalan jelas
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 58/73
menghapus eksistensi perikatan, sedangkan hapusnya perikatan karena pembayaran
atau pemenuhan prestasi hanya menghapus perikatannya sendiri namun eksistensi
perikatannya tidak hapus.
b. Pemutusan Perjanjian
Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan perjanjian dengan
pemutusan perjanjian, adalah terletak pada fase hubungan perikatannya. Pada
pembatalan perjanjian senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat
pembentukannya (fase pembentukan perjanjian), sedang pemutusan perjanjian pada
dasarnya mengakui keabsahan perikatan yang bersangkutan serta mengikatnya
kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah
sehingga mengakibatkan perikatan tersebut diputus (fase pelaksanaan perjanjian).
Pemutusan perjanjian merupakan akibat hukum lanjutan dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban para pihak. Peristiwa
tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban salah satu pihak
yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan perjanjian sehingga mengakibatkan
perjanjian tersebut diputus. Misalnya dalam jual beli obat yang dibatalkan, maka obat
dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila
pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang
sejenis atau senilai.
Pemutusan perjanjian sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban
merupakan salah satu upaya bagi kreditor untuk menegakkan hak perikatannya. Hal
ini dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 1267 BW, bahwa dalam hal terjadi
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 59/73
wanprestasi oleh debitor maka kreditor dapat menuntut lain pemutusan perikatan
ditambah dengan ganti rugi.
Sehubungan dengan pembedaan pemahaman antara pembatalan dengan
pemutusan, maka perlu diajukan analisis terkait dengan penggunaan kedua istilah
tersebut, khususnya terkait syarat batal Pasal 1266 KUH Perdata.
Mengenai Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling
bertolak belakang, yaitu pertama pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH
Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat
dikesampingkan oleh para pihak dan pendapat kedua menyatakan bahwa Pasal 1266
KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi sehingga dapat
dikesampingkan oleh para pihak.
Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk
berhasilnya pemutusan perjanjian berdasarkan pendapat pertama, yaitu:
a. Harus ada persetujuan timbal balik;
b. Harus ada wanprestasi untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut
pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai;
c. Putusan hakim.
Pendapat kedua didasarkan pada argumentasi bahwa:
a.
Pasal 1266 KUHPerdata terletak pada sistematika Buku III dengan
karakteristiknya yang bersifat mengatur.
b. Para pihak dapat menetukan bahwa untuk pemutusan perikatan tidak diperlukan
bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan dalam perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 60/73
Berdasarkan dua pendapat yang berkembang mengenai klausul Pasal 1266
KUH Perdata, apabila dikaitkan dengan kepentingan para pihak tampaknya pendapat
kedua lebih mendekati nilai kepraktisannya (Pasal 1266 KUH Perdata disimpulkan
bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pihak lebih memilih alternatif terbaik
bagi perjanjian mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam
pelaksanaan perjanjian. Klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dianggap
jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum.
4. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker
Dengan Pemilik Sarana Apotek
Para pihak dalam hubungannya senantiasa mengharapkan agar perjanjian
yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian,
dalam perjalanan waktu tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa diantara
mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak diharapkan. Sengketa pada
umumnya muncul sebagai akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan,
kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak. Sengketa muncul sebagai
akibat dari beberapa, antara lain:
a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi
partisipan sengketa. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan
adalah kompetisi yang bermuara pada satu pihak menang, yang lain kalah;
b. Ambiquous Jurisdictions, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak)
saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya
juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain;
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 61/73
c. Intimacy, keterdekatan yang seringkali bermuara pada sengketa mendalam jika
perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Sengketa
berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yang
tidak memiliki pengalaman “kenal” satu sama lain;
d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan
diskriminasi yang sifatnya berseberangan.86
Sengketa bisnis dalam perjanjian seringkali berawal dari kesalahan mendasar
dalam proses terbentuknya perikatan dengan berbagai faktor atau penyebabnya,
antara lain:
a. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul ketika
pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-
coba tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang akan menimpanya.
b. Ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya, ada sementara pelaku bisnis yang
sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa
meneliti lebih lanjut latar belakangnya.
c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini
menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam
melindungi aktffitas bisnis mereka.
Adakalanya para pihak bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis
karena hal itu dianggap sebagai bagian dari risiko bisnis. Persoalan terpenting bagi
para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi atau mencegah
86 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 275.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 62/73
kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu, umumnya dalam perjanjian, para
pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa dalam perjanjian mereka. Jika
pada akhirnya sengketa berkembang menjadi lebih kompleks maka upaya
penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak, yaitu:
a. Penyelesaian melalui jalur pengadilan.
b. Penyelesaian melalui jalur diluar pengadilan. 87
Menurut Fisher dan Ury terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak dan status kekuasaan. Para
pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan
status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan serta dipertahankan.88
Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan umumnya didasarkan pada:
a. Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, dimana untuk gugatan ini
harus didasarkan pada adanya hubungan perikatan di antara para pihak
(penggugat dan tergugat);
b. Adanya perbuatan melanggar hukum, dimana dalam gugatan berdasarkan
perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului adanya hubungan perikatan
diantara para pihak, namun yang paling utama adalah adanya perbuatan yang
merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kesalahannya.
87 Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia KotaMedan, tanggal 20 Mei 2010.
88 Agus Yudha Hernoko, op.cit ,, h. 278.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 63/73
Sudah menjadi pendapat umum, khususnya di Indonesia, mengenai tidak
efektif dan efisiennya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi
(pengadilan). Bahkan belakangan muncul kritik bahwa proses penyelesaian sengketa
melalui pengadilan tidak menjamin kepastian hukum, buang waktu dan mahal,
meskipun pada azasnya beracara di pengadilan itu “sederhana, cepat dan biaya
ringan”.
Bagi dunia usaha proses yang demikian jelas akan mengakibatkan kredibilitas
para pihak menjadi rendah serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Pengadilan
dipandang sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Dalam
praktenya, penyelesaian sengketa yang terjadi antara apoteker dengan pemilik sarana
apotek melalui jalur pengadilan sangat jarang dilakukan oleh pihak yang bersengketa.
Apabila apoteker dan pemilik sarana apotek memutuskan hubungan dalam
kerja sama sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian misalnya tiga tahun,
berakibat bagi pemilik sarana apotek adalah tidak adanya orang yang bertanggung
jawab jika terjadi kesalahan terhadap obat yang diberikan pada konsumen apabila
terdapat kekeliruan, sehingga membawa dampak negatif dengan diajukan pemilik
sarana apotek ke Pengadilan, sehingga mengakibatkan pemilik sarana apotek
memperoleh sanksi pidana di samping itu akan mengalami kerugian material, karena
apotek dinyatakan tidak mampu memberikan pelayanan kepada konsumen, akibatnya
ditarik atau dicabut izinnya.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 64/73
Menurut Bachtiar, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sangat
lambat, biaya mahal. Dalam proses beracara di pengadilan, pihak yang bersengketa
biasanya diwakili oleh asosiasi atau organisasinya.89
Basuki Rekso Wibowo mengemukakan bahwa paradigma beracara di
pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme berperkara
untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan
kesempatan dan kekuatan untuk saling mengalahkan. Dengan pergeseran paradigma
tersebut maka keadilan direduksi menjadi persoalan kalah dan menang.90
Garry Goodpaster mengemukakan enam alasan utama mengapa para pihak
lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur pengadilan daripada
proses negosiasi, sebagai berikut:91
a. Refusal to deal, salah satu pihak menolak untuk bermusyawarah sementara pihak
yang lain tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa menyelesaikan sengketa
melalui proses selain itu;
b. Negosiation failures, musyawarah yang berlangsung di antara para pihak
mengalami kegagalan karena beberapa hal misal kurangnya keahlian. Salah satu
pihak beranggapan bahwa penyelesaian melalui litigasi memberikan hasil yang
lebih memuaskan baginya;
89 Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia CabangMedan, tanggal 12 Mei 2010.
90 Ibid 91 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 283.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 65/73
c. Zero-sum negotiation, para pihak melihat prospek penyelesaian sengketa melalui
musyaawrah akan menempatkan mereka pada situasi kemungkinan “kalah-
menang”. Melalui litigasi diharapkan akan memberikan posisi yang lebih kuat
untuk meminta sesuatu bahkan pembebanan biaya-biaya;
d. The litigator-negotiator’s role, pengacara yang pada prinsipnya bekerja pada
konteks area litigasi mungkin tidak berhasil melihat peluang penyelesaian melalui
musyawarah, dan oleh karena itu lebih menyarankan kepada kliennya untuk
menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi;
Dalam perspektif Indonesia, dimana masih banyak pengacara yang kurang
menguasai prinsip dan teknik bernegosiasi dengan baik, maka alasan yang
dikemukakan oleh Garry Goodpaster di atas dapat merugikan kepentingan klien dan
merusak citra profesi mereka. Dengan kemampuan dan teknik negosiasi yang lemah,
ujung-ujungnya mereka hanya mampu membangun retorika dalam bernegosiasi.92
Dalam pembuktian sengketa perdata, meskipun telah ditetapkan metode beban
wajib bukti, batas minimal pembuktian, syarat formil dan materil maupun alat bukti
yang sah dipergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian
tidak pernah, bahkan tidak mungkin dihasilkan pembuktian yang sempurna dan logis
apalagi pasti. Bahkan pembuktian perkara menurut hukum pada prinsipnya selalu
92 Ibid
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 66/73
mengandung ketidakpastian relatif, sehingga kebenaran yang dihasilkan dari sistem
pembuktian itu, pada dasarnya bersifat kebenaran nisbi atau relatif.93
Dalam kedudukan yang demikian, hakim wajib memberikan kesempatan yang
sama dengan cara meletakkan beban pembuktian yang berpedoman kepada beratnya
dalil yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian
rupa agar berlangsung seimbang, sehingga pihak yang dibebani kewajiban
pembuktian, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila dia mengajukan pembuktian.
Pemilik sarana apotek dapat bertanggung jawab keluar terhadap konsumen
yang dirugikan atas kesalahan obat yang diberikan oleh apoteker. Namun demikian,
apabila hal tersebut terjadi, maka berarti apoteker telah melakukan kesalahan yang
mengakibatkan kerugian pada pihak pemilik sarana apotek. Sehingga apoteker bisa
dikatakan telah melakukan wanprestasi, dengan demikian pemilik sarana apotek
dapat melakukan pengakhiran atau pemutusan atas perjanjian kerja sama yang telah
disepakati bersama. Jika pemutusan perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana
apotek tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka sedikitnya banyak nama
apoteker akan tercemar.
M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui
lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:
94
a. penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;
b. biaya mahal;
93 Shofie Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 44.
94 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 160.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 67/73
c. peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum;
d. putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa;
e. kemampuan hakim bersifat generalis;
f. putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang
cukup rasional.
Seperti halnya dalam penyusunan perjanjian yang perlu menekankan konsep
win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan
penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif
dan efisien. Dalam penyelesaian sengketa diantara para pihak, maka penyelesaian
yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution, terutama melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi: negosiasi/ musyawarah,
mediasi dan arbitrase.95
Pola ADR ini dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui
wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi. Selain itu ADR dipandang
sebagai pilihan terbaik karena:
a. bersifat informal;
b. penyelesaian secara kooperatif oleh para pihak yang bersengketa;
c. biaya murah;
d. penyelesaian cepat;
e. menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan;
f. penyelesaian secara kompromi;
95 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 68/73
g. hasil yang dicapai sama-sama menang;
h. hubungan semakin mesra;
i. tidak antagonistik serta tidak ada dendam;
j. pemenuhan secara sukarela.96
Menurut Goldberg, terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif,
yaitu:97
a. mengurangi kemacetan di pengadilan;
b. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa;
c. memperlancar jalur keadilan;
d. memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Musyawarah sebagai salah satu alternatif utama penyelesaian sengketa
merupakan sarana bagi pihak-pihak untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa
keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan,
maupun pihak ketiga pengambil keputusan. Untuk itu agar penyelesaian sengketa
melalui musyawarah berjalan efektif, disyaratkan:98
a. Para pihak bersedia bermusyawarah secara sukarela berdasarkan kesadaran yang
penuh;
b. Para pihak siap melakukan musyawarah;
c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan;
96 Agus Yudha Hernoko, O p.Cit , h. 169.97 Ibid , h. 281.98 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 69/73
d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling
ketergantungan;
e. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.
Dalam kerangka perikatan yang win-win solution maka sejak awal pembuatan
perjanjian sampai dengan pelaksanaannya, serta apabila kemungkinan terjadi
sengketa di antara para pihak hendaknya senantiasa dihindari hal-hal yang dapat
merusak pola kemitraan yang terbingkai dalam perjanjian. Sehingga upaya
penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak juga diarahkan pada pola
penyelesaian win-win solution. 99
Seorang pemilik sarana apotek dapat memutuskan perjanjian kerjasama
dengan apoteker, bila apoteker ternyata melakukan perjanjian kerjasama dengan
pemilik sarana apotek yang lain. Hal ini tidak boleh dilakukan seorang apoteker,
karena telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku.100
Oleh karena itu musyawarah sebagai suatu proses yang utuh dan padu dalam
suatu perjanjian harus senantiasa mewarnai mulai tahap pra-perjanjian, pembuatan
perjanjian, serta pelaksanaan perjanjian, bahkan seandainya terjadi sengketa.
Dalam hal ini pemusyawarah harus mampu menyusun langkah, tahapan, gaya
maupun strategi untuk mampu menyelesaikan masalah yang timbul. Melalui
musyawarah diharapkan tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan
99 Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia KotaMedan, tanggal 20 Mei 2010.
100 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 70/73
para pihak di antara para pihak, sehingga adanya hubungan yang win-win solution
akan mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Musyawarah sebagai bagian dari metode alternatif penyelesaian sengketa,
ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketa di
antara mereka. Adakalanya proses tersebut menghadapi fase kegagalan karena, antara
lain, tidak diterima, diabaikan atau ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada
pilihan penyelesaian melalui jalur litigasi.
Apabila terjadi sengketa, pada prinsipnya para pihak berupaya menempuh
mekanisme yang mampu memberikan hasil terbaik bagi mereka. Pola penyelesaian
dengan menggunakan mekanisme ADR maupun melalui pengadilan, keduanya tetap
merupakan manifestasi yang membagi beban pembuktian secara seimbang.
Dalam prakteknya, penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute
Resolution (ADR) khususnya musyawarah/ negosiasi dan mediasi banyak dilakukan
oleh pihak yang bersengketa (apoteker dengan pemilik sarana apotek). Contoh kasus
yang banyak dijumpai adalah kasus mengenai pembayaran honorarium apoteker oleh
pemilik sarana apotek.101
101 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 71/73
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hak dan kewajiban timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak
ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Adanya pelaksanaan hak dan
kewajiban para pihak, akan menimbulkan perikatan diantara para pihak yang
membuat perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan
suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap
pelaksanakan isi dari perjanjian, misalnya perjanjian kerjasama antara apoteker
dengan pemilik sarana apotek. Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan
para pihak, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik
sarana apotek, menempatkan posisi para pihak dalam posisi seimbang. Hal ini
karena pihak pemilik sarana apotek tidak akan dapat mendirikan usaha apotek,
yang mana dalam pengelolaan apotek membutuhkan suatu keahlian tertentu yang
hanya dimiliki oleh apoteker.
2. Dalam melakukan tanggung jawabnya, para pihak berpedoman pada peraturan
perundang-undangan dan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik
sarana apotek. Tanggung jawab pemilik sarana apotek hanyalah sebatas sebagai
penyedia sarana dan prasarana pendirian apotek sedangkan tanggung jawab
apotek sebagai pengelola dan pelayanan kefarmasian di apotek. Tanggung jawab
para pihak dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melawan hukum dan
102
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 72/73
perbuatan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Berdasarkan hal itu
para pihak, khususnya apoteker harus mengusahakan terpenuhinya keperluan
konsumen dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan, sehingga apoteker sebagai
pengemban profesi harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
3. Akibat adanya kegagalan dari perjanjian kerjasama antara para pihak
menimbulkan dua hal yaitu pembatalan perjanjian dan pemutusan perjanjian.
Upaya hukum antara para pihak jika terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat terjadi melalui 2 (dua) cara
yaitu upaya hukum melalui jalur non litigasi dan upaya hukum melalui jalur
litigasi. Dalam penyusunan perjanjian yang perlu menekankan konsep win-win
solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian
yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan
efisien. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, maka
penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution,
terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi:
negosiasi/ musyawarah, mediasi dan arbitrase. Apabila Alternative Dispute
Resolution (ADR), ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam
menyelesaikan sengketa di antara mereka. Adakalanya proses tersebut
menghadapi fase kegagalan karena, antara lain, tidak diterima, diabaikan atau
ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada pilihan penyelesaian melalui
jalur litigasi.
Universitas Sumatera Utara
7/17/2019 Chapter III V
http://slidepdf.com/reader/full/chapter-iii-v-568d7cab30a37 73/73
B. Saran
1.
Para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi hak dan kewajibannya dengan
iktikad baik. Untuk itu, para pihak sebaiknya dalam membuat perjanjian
kerjasama harus dihadapan seorang Notaris, demi menjamin keabsahan perjanjian
yang dibuat diantara para pihak.
2. Para pihak dalam menjalankan tanggung jawabnya harus memberikan pelayanan
dan informasi yang benar kepada konsumen agar tidak dikenakan sanksi atas
tindakannya.
5.
Sebaiknya dalam menyelesaikan suatu sengketa yang timbul diantara para pihak
dengan melalui musyawarah dan menghindarkan untuk menempuh jalur hukum
melalui pengadilan. Akan tetapi, bila penyelesaian sengketa melalui musyawarah
tidak tercapai, maka harus menempuh penyelesaian sengketa melalui pengadilan.