chapter ii tbc paru

Upload: rara-muuztmuuztmuccu

Post on 03-Apr-2018

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    1/35

    BAB 2

    TINJ AUAN PUSTAKA

    2.1. Tuberculosis Paru

    2.1.1. Definisi

    Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

    Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua organ

    tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%) (Depkes,

    2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan yang

    menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru dengan

    pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan

    sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005).

    Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup.

    Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90%

    penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10%

    akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita

    TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi

    kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan

    TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam waktu yang lebih

    singkat (Green, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    2/35

    2.1.2. Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)

    Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium tuberculosis dapat dikenali

    karena berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,

    tahan terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam

    (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih

    tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob,

    lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA atau

    Mycobacterium tuberculosisdalam dahak orang yang sering batuk-batuk, maka orang

    tersebut di diagnosis sebagai penderita TB paru aktif dan memiliki potensi yang

    sangat berbahaya (Achmadi, 2011).

    Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau

    kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan

    sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap

    dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun-

    tahun (Achmadi, 2008).

    2.1.3. Sumber dan Cara Penularan Penyakit TB Paru

    Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita yang pemeriksaan

    dahaknya di bawah mikroskop ditemukan adanya bakteri Mycobacterium

    tuberculosis, yang di sebut dengan BTA (basil tahan asam). Makin tinggi derajat hasil

    pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan

    dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Namun tidak semua

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    3/35

    penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada

    pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada (Aditama, 2006).

    Penderita dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak,

    yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat

    menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang tercemar oleh

    Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita TB paru

    saat batuk. Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga

    berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh

    rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka penyakit TB

    paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru dalam keadaan

    tidur, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh menurun maka bakteri

    yang tidur akan bangun dan menimbulkan penyakit. Salah satu contoh ekstrim

    keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan menurunkan daya tahan tubuh secara

    drastis sehingga TB paru muncul. Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah

    menderita TB paru dibandingkan orang normal (Aditama, 2006).

    Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet (percikan

    dahak) ada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah droplet,

    sementara cahaya dan sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Droplet

    dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi

    jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Jadi penularan TB paru

    tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur (Depkes,

    2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    4/35

    Daya penularan dari seseorang penderita TB paru ditentukan oleh banyaknya

    bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Faktor yang memungkinkan seseorang

    terpapar bakteri TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lama

    menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat terpapar dengan

    droplet dan kerentanan terhadap penularan (Depkes, 2008).

    Bakteri Mycobacterium tuberculosissangat sensitif terhadap cahaya matahari.

    Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di lingkungan, dan

    kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya

    penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni dengan

    ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk kedalam rumah

    (Achmadi, 2008).

    2.1.4. Penularan Penyakit TB Paru di Dunia

    Pada tahun 1993, Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization)

    menyatakan TB paru sebagai kegawatdaruratanglobal (Global Health Emergency)

    dengan perkiraan sepertiga pendudukdunia terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium

    tuberculosis (Depkes, 2010).

    WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TB

    paru diseluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa.

    Dan hingga tahun 2009 angka penderita TB paru menjadi 9,4 juta jiwa. Dari jumlah

    tersebut, 1,8 juta jiwa meninggal (600.000 diantaranya adalah perempuan) naik dari

    angka kematian pada tahun 2007 yang berjumlah 1,77 jiwa. Setiap harinya terdapat

    4.930 orang meninggal disebakan oleh TB paru (Depkes, 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    5/35

    2.1.5. Penularan Penyakit TB Paru di Indonesia

    Laporan TB paru dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan

    Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina

    dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dan jumlah kematian sekitar 101.000

    jiwa per tahun. Di Indonesia jumlah kematian akibat penyakit tuberculosis terutama

    TB paru hingga tahun 2008 menurun hingga 88.113 jiwa dari jumlah kasus penularan

    TB paru yang berjumlah 534.439 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009 kasus penularan

    TB paru menurun mencapai jumlah 528.063 jiwa dan 236.029 untuk kasus TB paru

    BTA positif, akan tetapi angka kematian naik menjadi 91.368 jiwa. Sepertiga dari

    jumlah tersebut terdapat di sekitar Puskesmas, di pelayanan rumah sakit/klinik

    pemerintah dan swasta, praktik swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan

    kesehatan. Sedangkan prevalensi untuk semua kasus TBC diperkirakan sebanyak

    565.614 atau 244/100.000 penduduk. Angka kematian karena TB paru diperkirakan

    91.368 per tahun atau setiap hari ada 250 orang meninggal (Depkes, 2010).

    Tabel 2.1. Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian di Indonesia Tahun 1990dan 2009

    Tahun 1990 Tahun 2009

    Kasus TBC Pertahun

    Per100.000

    penduduk

    Perhari

    Pertahun

    Per100.000

    penduduk

    Perhari

    Insidensi semua

    jenis TBC 626.867 343 1.717 528.063 228 1.447Prevalensi semua

    jenis TBC809 443 2.218 565.641 244 1.150

    Insiden kasus baruTB paru posistif

    282.090 154 773 236.029 102 674

    Kematian 168.956 92 463 91.369 39 25Sumber: Global Report TBC WHO, 2010

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    6/35

    Akan tetapi usaha pemerintah dalam memberantas TBC di Indonesia harus

    terus berjalan. Saat ini pemerintah telah mencanangkan program pemeriksaan dan

    pengobatan TBC gratis bagi masyarakat kurang mampu di setiap Puskesmas di

    Indonesia. Akan tetapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah dirasakan kurang

    efektif. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat penderita TBC tidak

    mengetahui program tersebut.

    2.1.6. Gambaran Penyakit TB Paru di Kabupaten Deli Serdang Sumatera

    Utara

    Penemuan kasus TB paru di Kabupaten Deli Serdang tahun 2006 secara klinis

    adalah 14.987 kasus, 13.393 kasus pada tahun 2007, 13.221 kasus pada tahun 2008,

    13.318 kasus pada tahun 2009, pada tahun 2010 meningkat secara drastis yaitu

    sebanyak 16.295 kasus. Berdasarkan angka tersebut membuktikan bahwa masih

    tingginya kasus TB paru pada masyarakat di Kabupaten Deli Serdang (Dinkes

    Provinsi, 2011).

    2.1.7. Gejala Penyakit TB Paru

    Menurut Crofton (2002), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat

    digambarkan sebagai berikut:

    1. Permulaan SakitPertumbuhan TB paru sangat menahun sifatnya, tidak berangsur-angsur

    memburuk secara teratur, tetapi terjadi secara melompat-lompat. Serangan

    pertama menyerupai influenzae akan segera mereda dan keadaan akan pulih

    kembali. Berbulan-bulan kemudian akan timbul kembali serangan influenzae.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    7/35

    Tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil, serangan kedua bisa

    terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan seterusnya. Dikatakan sebagai

    multiplikasi 3 bulan. Serangan kedua akan bertahan lebih lama dari yang pertama

    sebelum orang sakit sembuh kembali. Pada serangan ketiga serangan sakit akan

    lebih lama dibandingkan serangan kedua. Sebaliknya masa tidak sakit menjadi

    lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Seterusnya masa aktif

    influenzae makin lama makin panjang, sedangkan masa bebas influenzae

    makin pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah sering

    mendapatkan serangan influenzae. Setiap kali mendapat serangan dengan suhu

    bisa mencapai 40C-41C.

    2. MalaisePeradangan ini bersifat sangat kronik akan di ikuti tanda-tanda malaise: anoreksia,

    badan makin kurus, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, demam subfebril yang

    diikuti oleh berkeringat malam dan sebagainya.

    3. BatukMycobacterium tuberculosismulai berkembang biak dalam jaringan paru. Selama

    bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk. Batuk

    pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk

    membuang produk-produk ekskresi dari peradangan keluar.

    4. Batuk Darah (hemoptoe)Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian

    pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan terjadi

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    8/35

    batuk darah ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Satu hal

    yang harus diingat adalah tidak semua batuk darah dengan disertai gambaran lesi

    di paru secara radiologis adalah TB paru. Batuk darah juga terjadi pada berbagai

    penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru dan

    lain-lain.

    5. Sakit/ Nyeri Dada6. Keringat Malam7. Demam8. Sesak Nafas, dll.

    Tidak semua penderita TB paru punya semua gejala diatas, kadang-kadang

    hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga sangat

    bervariasi (Aditama, 2006).

    Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada penyakit paru selain TB

    paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)

    dengan gejala tersebut diatas, harus di anggap suspek tuberculosis atau tersangka

    penderita TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

    langsung (Aditama, 2002).

    2.1.8. Risiko Menjadi Sakit TB Paru

    Risiko seseorang tertular oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk

    menjadi sakit TB paru di gambarkan oleh Depkes (2005), sebagai berikut:

    1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TBC akan menjadi sakit TB paru. DenganARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    9/35

    terinfeksi TB paru dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB paru

    setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah penderita TB paru BTA positif.

    2. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paruadalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan

    malnutrisi (gizi buruk).

    3. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadisakit TB paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan

    tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik,

    seperti tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

    bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

    jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB paru

    di masyarakat akan meningkat pula.

    2.1.9. Strategi Penemuan Penderita TB Paru

    Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

    penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan

    langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB paru. Penemuan dan

    penyembuhan penderita TB paru menular, secara bermakna akan dapat menurunkan

    kesakitan dan kematian akibat TB paru, penularan TB paru di masyarakat dan

    sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru yang paling efektif di

    masyarakat (Depkes, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    10/35

    Menurut Depkes (2008), strategi penemuan penderita TB paru biasanya dilakukan

    sebagai berikut:

    1. Penemuan penderita TB paru harus dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung

    dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,

    untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB paru. Cara ini

    bisa di kenal dengan istilahpassive promotive case finding (penemuan penderita

    secara pasif dengan promosi yang aktif).

    2. Pemeriksaan terhadap kontak penderita TB paru, terutama mereka yang BTApositif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

    3. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidakcost efektif.2.1.10. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

    Menurut Aditama (2006), pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan

    diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

    Pemeriksaan dahak dilakukan dengan cara sebagai berikut:

    1. Pengumpulan DahakSpesimen dahak dikumpulkan atau ditampung dalam pot dahak bermulut

    lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan

    tidak bocor yang telah diberi label atau nomor urut sediaan dahak. Pemeriksaan dahak

    untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang

    dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-

    Sewaktu (SPS), yaitu sebagai berikut:

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    11/35

    a. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang berkunjungpertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

    mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

    b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelahbangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

    c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkandahak pagi.

    2. Pemberian Nomor Identitas Sediaana. Kaca sediaan dipengang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik jari pada

    badan sediaan.

    b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada pot dahakdengan menggunakan spidol permanen atau pensil kaca.

    c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinantertukarnya sediaan.

    3. Pembuatan PreparatPilih bagian dahak yang kental, warna kuning kehijauan, ada pus, darah atau ada

    perkejuan. Ambil sedikit bagian tersebut dengan menggunakan ose yang

    sebelumnya dibakar dulu sampai pijar, kemudian didinginkan. Ratakan diatas

    kaca obyek dengan ukuran 2-3 cm. Hapusan sputum yang dibuat jangan terlalu

    tebal atau tipis. Keringkan dalam suhu kamar. Ose sebelum dibakar dicelupkan

    dulu kedalam botol berisi campuran alkohol 70% dan pasir dengan perbandingan

    2 : 1 dengan tujuan untuk melepaskan partikel yang melekat pada ose (untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    12/35

    mencegah terjadinya percikan atau aerosol pada waktu ose dibakar yang dapat

    menularkan bakteri tuberculosis). Rekatkan/ fiksasi dengan cara melakukan

    melewatkan preparat diatas lidah api dengan cepat sebanyak 3 kali selama 3-5

    detik. Setelah itu sediaan langsung diwarnai dengan pewarnaZiehl Neelsen.

    4. PembuatanZiehl NeelsenPada dasarnya prinsip pewarnaanMycobacteriumyang dinding selnya tahan asam

    karena mempunyai lapisan lemah atau lilin sehingga sukar ditembus cat. Oleh

    pengaruh phenol dan pemanasan maka lapisan lemak dapat ditembus cat basic

    fuchsin. Pada pengecatanZiehl Neelsen setelah BTA mengambil warna dari basic

    fuchshin kemudian dicuci dengan air mengalir, lapisan lilin yang terbuka pada

    waktu dipanaskan akan merapat kembali karena terjadi pendinginan pada waktu

    dicuci. Sewaktu dituang dengan asam sulfat dan alkohol 70% atau HCI alkohol,

    warna merah dari basic fuchsinpada BTA tidak akan dilepas/ luntur. Bakteri yang

    tidak tahan asam akan melepaskan warna merah, sehingga menjadi pucat atau

    tidak bewarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylien Blue BTA tidak

    mengambil warna biru dan tetap merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan asam

    akan mengambil warna biru dari Methylien Blue.

    5. Cara Pengecatan Basil Tahan AsamLetakkan sediaan diatas rak pewarna, kemudian tuang larutan Carbol Fuchsin

    sampai menutupi seluruh sediaan. Panasi sediaan secara hati-hati diatas api

    selama 3 menit sampai keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih. Biarkan

    selama 5 menit (dengan memakai pinset). Cuci dengan air mengalir, tuang HCL

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    13/35

    alkohol 3% (alcohol asam) sampai warna merah dari fuchsin hilang. Tunggu 2

    menit. Cuci dengan air mengalir, tuangkan larutan Methylen Blue 0,1% tunggu

    10-20 detik. Cuci dengan air mengalir, keringkan di rak pengering.

    6. Cara Melakukan Pemeriksaan dengan MikroskopSetelah preparat terwarnai dan kering, dilap bagian bawahnya dengan kertas

    tissue, kemudian sediaan ditetesi minyak imersi dengan 1 tetes diatas sediaan.

    Sediaan dibaca mikroskop dengan perbesaran kuat. Pemeriksaan dimulai dari

    ujung kiri dan digeser ke kanan kemudian digeser kembali ke kiri (pemeriksaan

    system benteng). Diperiksa 100 lapang pandang (kurang lebih 10 menit).

    Pembacaan dilakukan secara sistematika, dan setiap lapang pandang dilihat,

    bakteri Mycobacterium tuberculosis berwarna merah berbentuk batang lurus atau

    bengkok, terpisah, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang biru.

    7. Pelaporan HasilPembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan

    skala International Union Against Tuberculosis (IUAT) yaitu dalam 100 lapang

    pandang tidak ditemukan BTA disebut negatif, namun jika ditemukan :

    1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif2. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang ditemukan3. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +atau (1+)4. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++atau (2+)5. >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++atau (3+)

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    14/35

    Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit

    dan tingkat penularan penderita (Depkes, 2001 dalam Supriyadi, 2003).

    2.1.11. Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa

    Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau

    dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2

    dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif

    maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. J ika

    hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita TB

    paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB paru, maka

    pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes, 2005).

    Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

    penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan

    mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto toraks tidak

    selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

    overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

    penyakit TB paru (Chin, 2000).

    2.1.12. Pengendalian, Pencegahan dan Pengobatan TB Paru

    Pengendalian TB paru yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi

    penularan maupun infeksi. Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah

    penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau mengurangi

    faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan (Crofton, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    15/35

    Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara,

    yang utama adalah memberikan obat anti tuberculosis yang benar dan cukup, serta

    dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan

    dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya adalah

    mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan pengaturan

    rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga,

    mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan, batuk

    sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang. Dengan

    demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan (Jusuf, 2010).

    Menurut Depkes (2003), selain penyuluhan, pengobatan juga merupakan

    suatu hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit TB paru. Tujuan

    pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian,

    mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan. Salah satu komponen

    dalam DOTS adalah panduan pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan

    pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan

    seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) dan pemberian panduan OAT didasarkan

    klasifikasi TBC.

    Menurut Hudoyo (2008), mengobati penderita dengan TB paru cukup mudah,

    karena penyebab TB paru sudah jelas yaitu, bakteri Mycobacterium tuberculosis.

    Bakteri ini dapat di matikan dengan kombinasi beberapa obat yang sudah jelas

    manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis, untuk

    memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    16/35

    1. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat (Isoniasid,Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam jumlah cukup dan

    dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri (termasuk bakteri persisten)

    dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

    2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukandengan pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang

    Pengawas Menelan Obat (PMO).

    2.2. Perempuan dan TB Paru

    Berdasarkan catatan statistik mayoritas penderita TB paru adalah perempuan,

    tetapi hal ini memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, untuk sementara di

    duga jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko (Achmadi, 2008).

    Menurut Aditama (2006), di negara-negara maju angka kematian akibat TB

    paru pada kelompok umur 15-44 tahun ternyata lebih tinggi pada perempuan

    dibandingkan dengan laki-laki. WHO memperkirakan bahwa sedikitnya setahun ada

    satu juta perempuan yang meninggal akibat TB paru. Perlu di catat bahwa kematian

    ibu akibat kehamilan, persalinan dan masa nifas (yang dikenal dengan istilah

    kematian maternal) dalam satu tahun ada setengah juta orang. Tegasnya TB paru

    membunuh sedikitnya dua kali lebih banyak perempuan dari pada kematian akibat

    kehamilan/ persalinan. Artinya TB paru merupakan masalah kesehatan penting bagi

    kaum perempuan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    17/35

    Di Indonesia kasus baru TB paru hampir separuhnya perempuan, menyerang

    sebagian besar perempuan pada usianya yang paling produktif. Beberapa alasan para

    perempuan tidak di diagnosis sebagaimana mestinya atau tidak mendapat pengobatan

    yang adekuat, yaitu:

    1. Tidak ada waktu, karena kesibukannya mengurus keluarga2. Masalah biaya dan transportasi3. Perlunya teman laki-laki yang mendampingi untuk pergi ke fasilitas kesehatan4. Tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, sehingga keterbatasan informasi

    tentang gejala dan pengobatan TB paru

    5. Faktor sosial budaya yang menghambat perempuan untuk kontak dengan petugaskesehatan laki-laki (Aditama, 2006).

    2.3. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru

    Munurut Achmadi (2008), banyak faktor yang dapat memengaruhi kejadian

    penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain.

    Faktor yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru diantaranya adalah

    karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah, penghasilan keluarga dan upaya

    pengendalian penyakit terhadap diri sendiri.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    18/35

    2.3.1. Karakteristik Individu

    Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor risiko terhadap

    kejadian penyakit TB paru adalah:

    1. UmurVariabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Dari hasil

    penelitian yang di laksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang

    gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB paru aktif

    meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru tampaknya meningkat

    seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada

    usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus

    meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).

    2.3.2. Sanitasi Lingkungan Rumah

    Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup

    perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya

    (Notoatmodjo, 2011).

    Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.

    Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban,

    lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang

    ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen

    menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit

    sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi

    di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    19/35

    Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang

    menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga

    semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk

    kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan

    individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal yang sangat penting

    bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang

    kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit

    seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).

    1. Kepadatan Penghuni RumahCepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan oleh faktor

    kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal ini

    kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan

    terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit TB

    paru (Soemirat, 2009).

    Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah

    anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan hunian

    untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum per

    orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.

    Untuk perumahan sederhana minimum 9 m2 per orang. Untuk kamar tidur di perlukan

    minimum 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang kecuali untuk

    suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara tempat tidur satu dengan lainnya

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    20/35

    adalah 90 cm. Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit TB paru

    sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 1999).

    Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

    bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya

    akan menyababkanovercrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan

    kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu

    penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga

    yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai

    tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2003).

    Kepadatan merupakanpre-requisiteuntuk proses penularan penyakit, semakin

    padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin

    mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah merupakan variabel

    yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru (Supriyono, 2002).

    2. Lantai RumahLantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai

    rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan

    debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk

    mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20

    cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap

    terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel,

    semen dan keramik (Suyono, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    21/35

    Lantai rumah jenis tanah memiliki peran terhadap proses kejadian penyakit

    TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan

    kelembaban, dengan demikian viabilitas bakteri Mycobacterium tuberculosis di

    lingkungan juga sangat mempengaruhi (Achmadi, 2008).

    Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan

    perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis.

    Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering

    sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005).

    3. VentilasiMenurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang

    baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar

    memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan

    penghuninya.

    Ventilasi bermanfaat sebagai pergantian udara dalam rumah serta mengurangi

    kelembaban. Keringat manusia juga di kenal mempengaruhi kelembaban. Semakin

    banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi khususnya karena

    uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup di

    mana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi di banding di luar ruangan

    (Sarudji, 2010).

    Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara

    luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran. Menurut

    indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    22/35

    10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan

    adalah

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    23/35

    udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi bakteri Mycobacterium

    tuberculosis. Selain itu pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya

    kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik,

    dan kelembaban udara bertambah. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi

    media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen

    termasuk bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2002).

    4. PencahayaanRumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

    terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya

    yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang

    nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan

    berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam

    rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut

    Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :

    a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karenadapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil

    Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus

    mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya

    (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang

    terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela

    diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    24/35

    terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi,

    juga sebagai jalan masuk cahaya.

    Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar

    sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya

    jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya

    cahaya ilmiah juga diusahakan dengan genteng kaca.

    b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, sepertilampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan

    tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource).

    Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap

    kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosisdapat bertahan hidup

    pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun

    lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api,

    bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari

    mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali di bandingkan dengan rumah yang

    dimasuki sinar matahari (Fatimah, 2008).

    5. KelembabanKelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara.

    Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu

    udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah (Suryanto 2003).

    Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah.

    Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    25/35

    Mycobacterium tuberculosis. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi

    penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap

    penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan

    hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40%-70% dan buruk jika

    kurang dari 40% atau lebih dari 70% (Sarudji, 2010).

    Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak

    lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga

    kelembaban udaranya tinggi (Achmadi, 2008).

    Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan

    akan mambawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah merupakan media yang baik

    bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

    Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Seperti yang

    telah diuraikan oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium

    tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan

    dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri

    dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.

    6. SuhuSalah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam rumah adalah suhu.

    Di katakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18oC -30oC, dan suhu tersebut

    di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara. Bakteri

    Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran suhu 31oC -37oC.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    26/35

    Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah, dimana suhu yang

    panas tentu akan berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999, dalam Ayunah, 2008).

    2.3.3. Rumah Sehat dan Persyaratannya

    Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health

    Assosiation) harus memenuhi beberapa kriteria kesehatan antara lain memenuhi

    kebutuhan physiologis, psychologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah

    terjadinya kecelakaan (Chandra, 2006).

    Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.

    Menurut Permenkes No. 829/1999 rumah dikatakan sehat apabila memenuhi

    persyaratan empat hal pokok berikut:

    1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerakyang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

    2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti privacy yang cukup dan komunikasiyang baik antar penghuni rumah.

    3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi penyediaanair bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas dari vektor

    penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar matahari yang cukup,

    makanan dan minuman yang terlindung dari pencemaran serta pencahayaan dan

    penghawaan yang cukup.

    4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal daridalam maupun dari luar rumah.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    27/35

    2.4. Penghasilan Keluarga

    Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri Mycobacterium

    tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per kapita.

    Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit TB paru

    adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto, 2008).

    Menurut (WHO, 2003 dalam Suarni, 2009) juga menyebutkan 90% penderita

    TB paru di dunia menyerang kelompok dengan ekonomi lemah atau miskin.

    Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru

    merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka mereka menderita TB

    paru. Kondisi ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara

    langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi

    gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan

    kesehatan juga menurun.

    Masyarakat dengan tingkat penghasilan tinggi lebih mampu memanfaatkan

    pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan, sedangkan seorang dengan

    tingkat penghasilan lebih rendah kurang memanfaatkan palayanan kesehatan yang

    ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau

    untuk membeli yang lain. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga juga memicu

    peningkatan angka kurang gizi dikalangan masyarakat miskin yang akan berdampak

    terhadap daya tahan tubuh dan dengan mudah timbulnya penyakit TB paru.

    Keterbatasan biaya untuk berobat ke dokter atau ke Puskesmas, hal ini dapat

    menyebabkan penyakit yang diderita bertambah parah. Masyarakat dengan

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    28/35

    penghasilan yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan

    kesehatan yang baik, sehingga penyakit TB paru menjadi ancaman bagi mereka

    (Tjiptoherijanto, 2008).

    Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3 sampai 4

    bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara

    total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2008).

    2.5. Tingkat Pendidikan

    Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu

    terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih

    dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat

    (Notoatmodjo, 2011).

    Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok usia produktif

    dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan,

    pengetahuan tentang penyakit TB paru yang kurang, kesadaran untuk menjalani

    pengobatan secara teratur dan lengkap juga relatif rendah. Pengaruh lain dari tingkat

    pendidikan yang rendah tercermin dalam hal menjaga kesehatan dan kebersihan

    lingkungan yaitu perilaku dalam membuang dahak dan meludah di sembarang tempat

    (Suarni, 2009).

    Pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit

    TB paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pegetahuan seseorang di

    antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    29/35

    tentang penyakit TB paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang

    akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Suarni, 2009).

    2.6. Perilaku Kesehatan

    Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)

    terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

    kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).

    Menurut Notoatmodjo (2011), ada 4 pokok unsur perilaku kesehatan yaitu:

    1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusiaberespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi penyakit dan

    rasa sakit yang ada dalam dan luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang

    dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit

    dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan

    penyakit yaitu:

    a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (healthpromotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi, olahraga dan

    sebagainya.

    b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah responuntuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya perilaku untuk tidak

    menularkan penyakit kepada orang lain.

    c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seekingbehaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    30/35

    Misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan

    ke fasilitas-fasilitan kesehatan modern (Puskesmas, mantri, dokter praktik dan

    sebagainya) maupun ke fasilitas kesehatan tradisional.

    d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitationbehaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan

    kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.

    2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, yaitu respons seseorang terhadapsistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun

    tradisional.

    3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yaitu respons seseorangterhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

    4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour) adalahrespons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

    Menurut Maulana (2009), perilaku terhadap lingkungan kesehatan juga

    merupakan suatu upaya seseorang merespons lingkungan sebagai determinan agar

    tidak mempengaruhi kesehatannya.

    2.7. Perilaku dalam Upaya Pengendalian Penyakit TB Paru

    Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

    timbulya masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang penderita

    rata-rata dapat menularkan 2-3 orang anggota keluarganya. Namun demikian

    pengetahuan dan perilaku penderita dalam mencegah agar anggota keluarga tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    31/35

    tertular berpengaruh besar dalam kesembuhan dan pencegahan penyakit TB paru

    (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).

    Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam menularkan penyakit menular

    terutama perilaku yang tidak positif, sehingga lingkungan dapat berubah sedemikian

    rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan penyakit. Perilaku

    penderita TB paru BTA positif yang tidur bersama-sama dalam satu tempat tidur/

    kamar dengan istri, suami anak dan anggota keluarga lainnya dapat menularkan

    penyakit TB paru sebanyak 68%. Selama sakitnya penderita TB paru dengan sputum

    BTA positif bisa menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratus-ratus orang tetapi

    bisa juga hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan keadaan seimbang

    atau prevalensi tetap sama. Seorang penderita TB paru dengan BTA positif hanya

    perlu menulari 20 orang sehat, dan kemudian di antaranya satu orang akan menjadi

    pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama menjadi sembuh atau mati

    (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).

    2.7.1. Perilaku Hidup Sehat

    Menurut Entjang (2000), perilaku hidup sehat merupakan salah satu hal yang

    sangat penting dalam pengendalian penyakit TB paru. Berikut ini ada beberapa upaya

    pengendalian diri terhadap penyakit TB paru yang berkaitan dengan perilaku hidup

    sehat yaitu:

    1. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungana. Badan : mandi minimal dua kali sehari, gosok gigi, cuci tangan dan

    sebagainya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    32/35

    b. Rumah dan lingkungan : di sapu, membuang sampah, membuang kotoran danair limbah pada tempatnya, membuka jendela pada siang hari dan lain-lain.

    2. Makanan yang sehata. Makan makanan yang bersih, bebas dari penyakit, cukup kualitas maupun

    kuantitasnya dan bagi penderita TB paru untuk tidak makan dengan

    mengunakan piring atau gelas yang sama dengan keluarga yang lain.

    3. Cara hidup sehat dan teratura. Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur.b. Rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.c. Penderita tidak tidur satu kamar dengan keluarga lainnya terutama anak-anak.

    4. Meningkatkan daya tahan tubuha. Menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang berasal dari

    penderita maupun sumber-sumber yang lainnya.

    b. Menghindari pergaulan yang tidak baik.c. Membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan.d. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-makanan yang

    bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya sistem imun senantiasa

    terjaga dan kuat.

    e. Tidur dan istirahat yang cukup dan menghindari melakukan hal-hal yangdapat melemahkan sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh).

    f. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.g. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    33/35

    Menurut Chin (2000), selain hal-hal diatas ada beberapa langkah yang bisa

    dilakukan dalam pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara pencegahan

    penyebaran dan penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan

    kepada orang lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:

    a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.b. Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.c. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.d. Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, dan

    dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah. Meludah di tempat yang

    tarkena sinar matahari merupakan hal yang dianjurkan bagi penderita TB paru.

    e. Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri Mycobacteriumtuberculosisakan mati bila terkena sinar matahari.

    f. Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari masuk keruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya

    matahari yang cukup sehingga bakteri Mycobacterium tuberculosisdapat mati.

    g. Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB paru.

    2.8. Imunisasi BCG

    Pemberian imunisasi BCG pada penderita yang memiliki anak atau bayi

    merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penularan. Pemberian

    imunisasi BCG bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TBC

    dan sebagai upaya pencegahan dini (Ayunah, 2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    34/35

    2.9. Landasan Teori

    Mengacu dari tinjauan teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

    kejadian penyakit TB paru dan teori dari Achmadi (2008), tentang paradigma

    kesehatan lingkungan dengan teori simpulnya, terjadinya penyakit TB paru pada

    manusia dimulai dari bibit penyakit yang berasal dari sumbernya (Simpul 1) yaitu

    bakteri Mycobacterium tuberculosis selanjutnya media penularannya melalui media

    transmisi udara dalam rumah (Simpul 2) yang dipengaruhi faktor risiko lingkungan,

    bakteri Mycobacterium tuberculosis akan masuk ke dalam tubuh manusia (Simpul 3)

    yang rentan, hingga akhirnya dapat menyebabkan penyakit TB paru. Sedangkan

    faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB paru adalah pelayanan

    kesehatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka teori di bawah ini:

    Gambar 2.1. Kerangka TeoriSumber: Modifikasi Achmadi, 2008

    Sumber ManusiaMedia

    BakteriMycobacteriumTuberculosis

    PenderitaTB Paru:- BTA(+)- BTA (-)

    Dampak

    Udara dalamRumah

    - Umur-Tingkat

    Pendidikan- Upaya

    PencegahanPenyakit

    - UpayaPengendalianPenyakit

    Sarana Pelayanan Kesehatan

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/28/2019 Chapter II Tbc Paru

    35/35

    2.9. Kerangka Konsep

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 2.2. Kerangka K onsep

    Berdasarkan studi kepustakaan ada beberapa variabel yang di duga

    mempunyai hubungan kuat dengan kejadian penyakit TB paru. Dalam penelitian ini

    variabel independennya adalah sanitasi lingkungan rumah (kepadatan penghuni

    rumah, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu), penghasilan

    keluarga dan tingkat pendidikan serta upaya pengendalian penyakit (perilaku hidup

    sehat), sedangkan variabel dependennya adalah penderita TB paru di Puskesmas

    Muliorejo Kabupaten Deli Serdang.

    Kejadian PenyakitTB Paru

    BTA (+) BTA (-)

    - Penghasilan Keluarga-Tingkat Pendidikan

    Sanitasi Lingkungan Rumah:- Kepadatan Penghuni Rumah- Lantai Rumah- Ventilasi- Pencahayaan- Kelembaban- Suhu

    Upaya Pengendalian PenyakitTB Paru:

    - Perilaku hidup sehat