cdk 090 kongres ke vi perhimpunan rumah sakit seluruh indonesia (persi) dan hospital expo ke viii i

122

Upload: greenakses

Post on 14-Aug-2015

100 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

perhimpunan rumah sakit seluruh indonesia dan hospital expo ke delapan di Jakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i
Page 2: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Kongres Ke VI

Perhimpunan Rumah Sakit

Seluruh Indonesia

(PERSI)

dan

Hospital Expo Ke VII

I

Jakarta Hilton Convention Centre21 - 25 Nopember 1993

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No . 90, 1994 1

Page 3: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

CerminDunia Kedokteran

International Standard Serial Number: 0125 - 913X

REDAKSI KEHORMATANKETUA PENGARAHProf. Dr Ocn L.H.

KETUA PENYUNTINGDr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHARohalbani Robi

PELAKSANASriwidodo WS

TATA USAHASigit HardiantoroALAMAT REDAKSIMajalah Cermin Dunia KedokteranP.O. Box 3105 Jakarta 10002Tclp. 4892808Fax. 4893549, 4891502

NOMOR IJIN151/SK/DITJEN PPG/STT/1976Tanggal 3 Juli 1976

PENERBITGrup PT Kalbc Farma

PENCETAKPT Midas Surya Grafindo

- Prof. DR. Kusumanto SetyonegoroGuru Besar Ilmu Kedoktcran JiwaFakultas Kedoktcran Univcrsitas Indonesia,Jakarta

- Prof. Dr. R.P. SidabutarGuru Besar Ilmu Penyakit DalamSub Bagian Ginjal dan HipertensiBagian Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta

- Prof. Dr. Sudarto PringgoutomoGuru Bcsar IImu Patologi AnatomiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-darmoKepala Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta

- Prof.DR.B. ChandraGuru Bcsar Ilmu Pcnyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas Airlangga,Surabaya

- Prof. Dr. R. Budhi DarmojoGuru Besar Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Univcrsitas Diponegoro,Scmarang

- Drg. I. SadrachLembaga Penelitian Universitas Trisakti,Jakarta

- DR. Arini ScuawatiBagian FarmakologiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta

DEWAN REDAKSI

- DR. B. Setiawan Ph.D - Drs. Victor S. Ringoringo, SE, MSc.

- DR. Ranti Atmodjo - Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang mcmbahas bcrbagaiaspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penclitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untukditerbitkan oleh Cermin Dunia Kedoktcran; bila telah pernah dibahas ataudibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa lndonesia atau Inggris; bila menggunakanbahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa lndonesia yangberlaku. lstilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa lndonesiayang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia . Redaksi berhakmengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa lndonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa lndonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrakdalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrakberbahasa lnggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, Iebihdisukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis Iengkap, disertai keterangan Iembaga/fakultas/institut te mpatbekerjanya. Tabel/skema/grafik/i lustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direpruduksi , diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keteranganyang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai denganpemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam CummulatedIndex Mcdicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submittcdto Biomedical Joumals (Ann Intem Mcd 1979; 90 : 95-9). Contoh :Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. lst cd. Baltimore, London:William and Wilkins, 1984. Hal 174-9.Weinstein L., Swartz MN. Pathogenctic properties of invading microorganisms.Dalam: Sodeman WA Jr, Sodeman WA, cds. Pathologic physiology: Mccha-nisms of discascs. Philadclphia: WB Saundcrs, 1974 : 457-72.Sri Oemijati . Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. CerminDunia Kedokt. 1990; 64 : 7-10.Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,se butkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia KedokteranPO Box 3105Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahusecara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai denganamplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian empatkerja si Penulis.

Page 4: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

CerminDunia Kedokteran

International Standard Serial Number: 0125 - 913X

Daftar Isi :

5. Laporan Ketua Panitia6. Paparan Kenangan Dr. H. Amino Gondohutomo

Makalah Sidang Pleno dan Panel Diskusi7. Kebijaksanaan Pengembangan Rumah Sakit dalam Pembangunan Jangka

Panjang tahap II – Brotowasisto16. Tinjauan Perkembangan Perumahsakitan dalam PJPT II – Samsi Ja-

cobalis22. Current Issues and Future Trends in Health Care – Errol Pickering28. Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit – Brotowasisto34. Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan – Ascobat Gani41. Program Cost Containment di Rumah Sakit –Amal C. Sjaaf47. Ceramah Menteri Sosial Republik Indonesia50. Hubungan Rumah Sakit dan Pasien dipandang dari Sudut Hukum dan

Etika – Emma Suratman53. Etika Rumah Sakit dalam Perspektif UU no. 23/1992 – Kartono Mo-

hammad56. Beberapa Masalah dalam Hubungan Rumah Sakit dan Pasien–J. Guwandi61. Pengembangan Iptek PJPT II – Sudraji Sumapraja64. Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 18 tahun 198667. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 356/KMK.04/

198670. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 796/KMK.04/

199372. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak no. SE-19/PJ.23/198975. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak no. SE.03/PJ.431/199077. Strategic Planning and Marketing – James E. Waworoendeng85. Manfaat Alat Kedokteran Canggih dalam Pengembangan Iptek di Indo-

nesia – Karjadi Wirjoatmodjo90. The Role of Marketing in Determining the Technology Investment

Strategy of a Hospital – John Popper92. Rumah Sakit dan Asuransi Kesehatan – Suatu perbandingan – Sonja

Roesma97. Penyusunan Amdal Rumah Sakit dan Penatalaksanaannya – Komisi

Amdal Departemen Kesehatan Republik Indonesia103. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 51 tahun 1993 tentang

Analisis mengenai Dampak Lingkungan dan Penjelasannya117. Pelayanan Lanjut Usia – persiapan rumah sakit dalam mengantisipasi

kasus lanjut usia – H. Ahmad Sanoesi Tambunan121. Suplemen – Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam mewujudkan pe-

layanan kesehatan yang Islami bagi penderita lanjut usia di Rumah SakitIslam Jakarta

90. Edisi Khusus(I)

Kongres Ke VlPERSI

danHospital Expo

Ke Vll

Januari 1994

Karya Sriwidodo WS

Page 5: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Laporan Ketua Panitia Kongres PerhimpunanRumah Sakit Seluruh Indonesia ke VI

dan Hospital Expo ke VIIdi Jakarta Hilton Convention Centre

21 - 25 Nopember 1993

Assalamu'alaikum Warahmatullahi WabarakatuhPertama-tama mari kita panjatkan pujisyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas perkenanNya kita bersama-sama bisa menghadiri Kongres PerhimpunanRumah Sakit Seluruh Indonesia ke VI dan Hospital Expo ke VII di Jakarta HiltonConvention Centre.

Panitia mengucapkan selamat datang kepada para peserta Kongres dan HospitalExpo dari seluruh tanah air.

Saudara-saudara sekalian,Seperti sama-sama kita ketahui Pembangunan Jangka Panjang Tahap I telah kita lam-paui dengan baik, telah banyak yang bisa dicapai selama ini. Jelas bahwa PJPT II tidakbertambah ringan, karena selain mempertahankan hasil yang telah dicapai pada PJPT I,diperlukan berbagai upaya pengembangan baru yang inovatif untuk mengejar ketinggalankita dalam pembangunan kesehatan.

Sesuai dengan tema Meningkatkan peran RS dalam menyongsong PJPT IIperkenankanlah kami melaporkan beberapa hal mengenai penyelenggaraan Kongres danHospital Expo sebagai berikut :1) Sidang organisasi sebagai pertemuan tertinggi organisasi akan dihadiri oleh seluruhcabang PERSI yang ada dari seluruh tanah air (21 cabang).

Di dalam sidang akan dibahas masalah organisasi sehingga diharapkan organisasiPERSI akan menjadi semakin baik, mantap dan sempurna.

Sidang akan diakhiri dengan pemilihan ketua baru PERSI untuk periode 1993 - 1996.2) Seperti sama-sama kita ketahui rumah sakit memiliki kekhususan dalam manajemen-nya dan tidak jarang dihadapkan pada masalah-masalah yang kompleks, karena rumahsakit padat modal, padat ilmu dan teknologi serta padat karya.

Pada acara ilmiah kali ini kita pilihkan para pembicara yang terdiri dari pakar-pakarbertaraf internasional dan nasional. Kami berbahagia sekali bahwa pada kesempatan iniErrol Pickering Sekjen International Hospital Federation bisa hadir dan memberikanceramah mengenai kecenderungan rumah sakit di dunia.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Ke-sehatan, Menteri Sosial, Menteri Ristek, Menteri Lingkungan dan Bapak Dirjen maupunpara pakar di bidang perumah sakitan yang bersedia memberikan pada kita ceramah-ceramah untuk bekal kita memasuki PJPT II dan bagi kita semua.

Saudara-saudara sekalian,3) Kongres PERSI selalu diikuti oleh Hospital Expo, pameran peralatan rumah sakitterbesar di Indonesia. Terdapat sekitar 70 perusahaan yang akan ikut memamerkanperalatan-peralatan kedokteran canggih maupun peralatan-peralatan lain yang biasadipakai di rumah sakit. Peralatan-peralatan tersebut ada yang didatangkan khusus daripabrik-pabrik di luar negeri maupun perusahaan dalam negeri.

Diharapkan para peserta bisa melihat, bertanya, berdiskusi dengan perusahaan-perusahaan tersebut bisa juga memesan dan membeli secara langsung sehingga peralatandan teknologi yang dipakai oleh rumah sakit bisa sesuai, berhasil guna dan berdaya guna.4) Sebagai akhir dari Kongres akan diadakan Penataran Pasca Kongres di RS KankerDharmais dengan topik-topik yang ditawatkan :

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 5

Page 6: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

a) Manajemen keuangan.b) Manajemen pemasaran.c) Manajemen keperawatan.

Pembahasan dalam penataran ini berkisar pada pemecahan permasalahan yangterjadi di lapangan.

Akhirul kata, sekali lagi kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih ataskehadiran dan partisipasi saudara-saudara sekalian.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ketua Panitia

Dr. H.A.W. Budiarso, SKM, MBA.

Paparan Kenangan DR H Amino Gondohutomo(Amino Gondohutomo Memorial Lecture)

Pengurus Pusat PERSI memutuskan dalam Kongres ke-6 ini diadakan paparanpemikiran untuk mengenang sosok almarhum DR H. Amino Gondohutomo. Beliauadalah salah seorang tokoh yang telah memprakarsai kelahiran PERSI. Beliau pulalahyang kemudian bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain sangat giat dan dengan penuhdedikasi mengembangkan PERSI menjadi organisasi yang menyatukan semua rumahsakit di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta. Beliau pulalah yang telahmembuka jalan sehingga PERSI menjadi anggota Asian Hospital Federation dan In-ternational Hospital Federation.

Kiranya pantaslah nama beliau dibadikan dalam bentuk PAPARAN KENANGANseperti ini. Diharapkan kongres ke-6 ini nanti dapat menghasilkan keputusan yangmenetapkan PAPARAN KENANGAN DR H. AMINO GONDOHUTOMO sebagaitradisi baru dalam kegiatan tahunan kongres-kongres PERSI selanjutnya.

Saya merasa mendapat kehormatan besar menjadi pemapar pertama. Bagi sayapribadi hal ini mempunyai arti khusus. Almarhum adalah atasan saya dalam dinas diwaktu yang lalu. Saya mengenal pribadinya cukup dekat ketika bekerja sama denganbeliau sebagai Sekjen PERSI, ketika beliau menjabat sebagai ketua eksekutif.

Semoga arwah beliau mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah yangmaha penyayang.

Samsi Jacobalis

6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 7: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Artikel

KebijaksanaanPengembangan Rumah Sakit

dalam Pembangunan Jangka PanjangTahap II

Dr. Broto Wasisto, MPHDirektur Jenderal Pelayanan MedikDepartemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUANPembangunan Kesehatan bertujuan agar setiap penduduk

mampu hidup sehat sehingga dapat mewujudkan derajat ke-sehatan masyarakat yang optimal, yang merupakan salah satuunsur kesejahteraan umum dari tujuan Pembangunan Nasional.Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang Pertama merupa-kan bagian integral dari Pembangunan Nasional. PembangunanJangka Panjang Pertama yang meliputi jangka waktu 25 tahuntelah dilaksanakan sejak 1968 dengan pentahapan lima tahunan,yang dikenal dengan Pelita, dan yang kini telah memasuki tahunterakhir Pelita V.

Pelita I lebih menekankan pembangunan sarana kesehatan,Pelita 11 telah meningkat kepada pembangunan kesehatan,sedangkan sejak Pelita III strategi pembangunan kesehatan men-jadi lebih jelas dengan diterimanya pendekatan Primary HealthCare (PKMD). Upaya pelayanan kesehatan yang semula hanyaberupa upaya penyembuhan telah berkembang menjadi kesatu-an upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat, serta denganperan serta masyarakat yang meliputi upaya-upaya peningkatan,pencegahan, penyembuhan serta pemulihan secara menyeluruh,terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kese-hatan yang sangat luas dan rumit ini dirasakan perlu dikelolasecara berhasil guna dan berdaya guna. Untuk itu, pada tahun1982 telah diberlakukan Sistem Kesehatan Nasional (SKN),yang memberikan kejelasan arah dan tujuan pembangunan ke-sehatan.

SKN telah memuat rencana pembangunan kesehatansampai akhir Repelita VI. Pada saat itu, diharapkan bahwa kitaakan berada dalam tahap tinggal landas, yang sesuai denganKesehatan Bagi Semua pada Tahun 2000 yang dicanangkanWHO pada tahun 1978. Menjelang Pelita VI, kita juga akan

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta ,21 - 25 November 1993.

memasuki masa Pembangunan Jangka Panjang Kedua, yangpelaksanaannya perlu dipersiapkan bersama secara matang.Mengingat sumber daya yang dapat dimanfaatkan dalam pem-bangunan kesehatan sangat terbatas, perlu digali dan dikem-bangkan berbagai pola pemikiran serta kebijaksanaan-kebijak-sanaan yang baru, yang akan mampu mencari terobosan-tero-bosan baru untuk mengatasi keterbatasan tersebut dan sekaligusmempercepat laju pertumbuhan pembangunan kesehatan, se-laras dengan meningkatnya kesejahteraan, derajat kesehatan,serta tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan paripurnayang lebih bermutu dan terjangkau.

Walaupun derajat kesehatan penduduk telah membaik se-cara bermakna dalam 25 tahun terakhir, tetapi keadaannya ma-sih ketinggalan jika dibanding dengan negara-negara tetangga diASEAN. Hal ini tampak dari masih tingginya tingkat kematianbayi yakni sebesar 58/1000 kelahirar hidup pada tahun 1990,tingkat kematian ibu hamil/bersalin pada tahun 1986 sebesar4, 5/1000 kelahiran hidup.

Rendahnya anggaran sektor kesehatan serta prioritas untukmenurunkan angka kematian dan angka kesakitan di Indonesiamempunyai dampak terhadap anggaran sektor perumahsakitanyang sangat terbatas.

Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukanyang semula hanya melaksanakan upaya penyembuhan danpemulihan, dengan perubahan orientasi, nilai dan pemikiranyang berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu penge-tahuan dan sosial budaya juga melaksanakan upaya peningkatandan pencegahan secara terpadu. Upaya kesehatan di rumah sakitmempunyai sifat-sifat atau karakteristik tersendiri. Karakteristikini diakibatkan oleh karena rumah sakit merupakan organisasiyang unik dan kompleks. Kompleksitas atau karakteristik pela-

Cermin Dunia Kedokleran, Edisi Khusus No. 90, 1994 7

Page 8: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

yanan rumah sakit perlu diketahui dan dipahami oleh setiaporang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pem-binaan dan penyelenggaraan rumah sakit.

KECENDERUNGAN DETERMINAN KESEHATANDeterminan kesehatan atau faktor-faktor yang dapat ber-

pengaruh terhadap tingkat derajat kesehatan penduduk adalahfaktor-faktor sosial, ekonomi, demografi, Iingkungan dan upayakesehatan. Dari sekian banyak faktor yang dapat berpengaruhtadi, empat faktor pertama mempunyai peran yang lebih penting.Pada hakekatnya determinan kesehatan tersebut saling berkaitandan saling mempengaruhi.

Keadaan sosial masyarakat Indonesia terutama tingkat pen-didikannya akan terus membaik. Bila pada tahun 1980 hanya85% anak umur-sekolah (7 – 12 tahun) dapat memasuki sekolahdasar, maka pada tahun 1990 ia telah meningkat menjadi lebihdari 95%. Diduga bahwa pada tahun 2015 rata-rata tingkatpendidikan masyarakat Indonesia sudah mencapai SLTA,sedangkan buta huruf di kalangan wanita dewasa dapat dikatakantidak ada lagi. Tingkat pendidikan yang meningkat ini menye-babkan masyarakat Indonesia menjadi lebih berpengetahuandan lebih pandai memilih alternatif yang baik bagi dirinya sertalebih mudah menyerap informasi.

Walaupun tingkat pendidikan menjadi lebih baik, dikhawa-tirkan bahwa pada sebagian masyarakat akan timbul sikap hidupyang tak menguntungkan seperti misalnya kenakalan remaja,kecanduan obat, alkoholisme, merokok, permissiveness dan lainsebagainya. Keadaan ini dapat meluas dengan semakin tingginyatingkat urbanisasi yang tak seimbang dengan tingkat pertum-buhan ekonomi masyarakat tadi.

Keadaan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir telahsemakin membaik. Hal ini tidak lepas dari tersedianya sumber-daya alam yang melimpah, penduduk yang semakin mampumengolah dan mengelola sumberdaya alam tadi dan perkem-bangan teknologi serta kebijaksanaan pembangunan. Meskipunmengalami krisis pada tahun 1982 dan 1987, GNP dan penda-patan per kapita terus meningkat. Begitu pula pemerataan pen-dapatan semakin membaik walaupun dirasakan agak lambat.Pendapatan perkapita penduduk Indonesia akan meningkatmenjadi $ 1000 pada akhir Repelita VI dan $ 2500 pada akhirPJPT II.

Kecenderungan membaiknya keadaan ekonomi tadi akantetap berlangsung dalam 25 tahun mendatang. Krisis ekonomidunia masih dapat terjadi tetapi dampaknya terhadap Indonesiamungkin akan terbatas. Pada dekade 90-an ini, Indonesia akanmasuk dalam kelompok negara-negara industri baru (NIC).Timbulnya konglomerasi akan tetap berlangsung karena ke-adaan pasar dan kebijaksanaan ekonomi yang memungkinkan-nya. Namun demikian gerakan koperasi yang timbul dari bawahakan dapat semakin memperkuat ketahanan ekonomi masyara-kat strata menengah ke bawah. Harus diakui kantong-kantongkemiskinan masih akan dijumpai terutama di kota-kota dandaerah terpencil.

Perbaikan ekonomi yang menggembirakan tadi akan me-mungkinkan bangsa dan negara Indonesia memobilisasi lebih

banyak dana untuk upaya kesehatan. Penduduk akan semakinmampu membeli pelayanan yang tersedia terutama melalui sis-tim asuransi.

Jumlah penduduk dan struktur demografi sangat erat kaitan-nya dengan kesehatan karena ia akan mempengaruhi volumepelayanan dan pola pelayanan kesehatan. Dalam 30 tahun ter-akhir jumlah penduduk Indonesia meningkat sangat cepat yaknidari 97 juta pada tahun 1961, menjadi 118 juta pada tahun 1971,147,33 juta pada tahun 1980 dan 179,32 juta pada tahun 1990.Yang cukup menggembirakan adalah bahwa angka pertumbuh-an menurun dengan pesat yakni dari 2,31% pada dekade 70-anturun menjadi 1,9% pada dekade 80-an. Angka kematian yangmenurun lebih cepat dari angka kelahiran menyebabkan Indo-nesia mengalami ledakan penduduk antara tahun-tahun 60 – 80.

Dalam 25 tahun mendatang jumlah penduduk Indonesiamasih akan bertambah dengan tingkat pertumbuhan yang se-makin menurun. Pada tahun 2005 diduga jumlah pendudukIndonesia sekitar 223,18 juta dengan angka pertumbuhan yangakan mendekati 0%. Menurunnya angka kelahiran dan angkakematian serta mengecilnya jumlah anggota keluarga menye-babkan struktur umur penduduk Indonesia menjadi lebih tua;mereka yang berumur lebih dari 16 tahun jumlahnya akan lebihbanyak daripada yang berumur kurang dari 15 tahun. Persentasekelompok lanjut usia (>65 tahun) semakin lama semakin tinggi,sedangkan rata-rata harapan hidup waktu lahir pada tahun 2015akan lebih dari 70 tahun. Dengan demikian beban dan pola pe-layanan kesehatan akan sangat berubah.

Urbanisasi akan meningkat. Pada tahun 2000, sekitar 40%penduduk Indonesia tinggal di kota-kota dan pada tahun 2015meningkat sampai lebih dari 50%. Akan timbul kantong-kantongkumuh di banyak kota. Migrasi penduduk dari Jawa masih akanterjadi terutama menuju pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi danIrian. Migrasi keluar pulau Jawa masih lebih besar daripadaimigrasi, tetapi lebih dari 50% penduduk Indonesia masihtinggal di pulau Jawa yang kepadatannya mungkin akan men-capai 1000 per km 2 . Kota metropolitan dengan penduduk lebihdari l juta akan semakin banyak dan Jakarta akan menjadi megametropolitan.

Lingkungan hidup khusus lingkungan fisik mempunyai artipenting bagi kelangsungan keadaan kesehatan dan kesejahtera-an manusia. Persediaan air minum bersih seinakin tinggi ca-kupannya dalam 25 tahun mendatang. Sebagian besar pendudukyang hidup di kota-kota akan menikmati air minum yang lebihlayak, namun demikian di beberapa tempat air minum bersihmasih menjadi masalah. Pulau Jawa dapat mengalami kesulitanair minum bila pengelolaan sumber-sumber yang ada tidakcermat. Pemanfaatan jamban keluarga akan lebih meningkat.

Industrialisasi yang akan berkembang cepat pada masamendatang dapat menyebabkan timbulnya polusi udara, air,suara dan thermal. Polusi limbah rumah tangga terhadap airsungai akan tetap terjadi meskipun sudah diambil langkah-langkah program kali bersih. Pengelolaan sampah akan semakinbaik tetapi pengotoran kimiawi yang berasal dari insektisida,pupuk dan bahan lain dapat lebih sering terjadi.

Krisis energi yang terjadi menyebabkan Indonesia harus

8 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 9: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

mencari sumber energi alternatif. Pada dekade pertama tahun2000 Indonesia akan memiliki sebuah Pembangkit Tenaga Lis-trik Nuklir (PLTN). Walaupun PLTN sebenarnya sangat amannamun kewaspadaan akan bencana tetap akan harus dipersiap-kan. Ada kemungkinan PLTN akan bertambah lagi menjelangtahun 2015, begitu juga penggunaan zat-zat radioaktif akanmeningkat, baik untuk kebutuhan industri maupun kesehatan.

Bertambah baiknya komunikasi dan transportasi akanmempunyai dampak positif maupun negatif terhadap keadaankesehatan.

KECENDERUNGAN KEADAAN KESEHATANKeadaan kesehatan yang dimaksud di sini adalah status

kesehatan penduduk dan pelayanan kesehatan. Tinggi rendah-nya status kesehatan penduduk merupakan hasil pengaruh multi-faktorial dari determinan kesehatan dan faktor-faktor tersebutdapat berubah atau berkembang.

Pelayanan kesehatan di Indonesia dalam 20 tahun terakhirberkembang sangat pesat sehingga pada tahun 1990 telah ter-dapat 15.000 Puskesmas Pembantu, sekitar 6000 Puskesmas dan1500 RS swasta dan pemerintah. Sarana tersebut telah tersebarlebih merata sampai ke kabupaten, kecamatan dan desa-desa.Dan umumnya sarana-sarana ini telah dilengkapi dengan tenagadokter, dokter spesialis, dokter gigi, apoteker, paramedis pe-rawatan, paramedis non perawatan dan tenaga non medik. Ke-semuanya tadi telah dijalin dalam sistem rujukan timbal balikdari bawah ke atas.

Dalam 25 tahun mendatang jumlah dan jenis pelayanan ke-sehatan akan sangat berkembang karena jumlah populasi yangmeningkat, permintaan (demand) yang meninggi, transportasidan komunikasi yang mudah, berubahnya pola penyakit dan lainsebagainya. Pelayanan kuratif akan semakin menonjol karenapermintaan akan pelayanan preventif sudah menyatu (ter-integrasi) dalam kehidupan sehari-hari.

Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran sertaderasnya arus informasi menyebabkan timbulnya sofistikasipada banyak rumah sakit dan sarana pelayanan. Akan timbulfenomena seperti home-care, day-care, diagnostic center, danlain-lain. Rumah sakit yang spesialistik akan lebih banyakjumlahnya. Perkembangan ini dapat mengubah fungsi Puskes-mas menjadi consultative center, sedangkan Posyandu secaraalamiah akan berkurang. Puskesmas yang berada pada tempatdengan lingkungan sosial ekonomi yang sangat berkembang,dapat berubah menjadi rumah sakit.

Pelayanan kesehatan swasta akan Iebih banyak daripada pe-merintah menjelang tahun 2000 nanti, dan rumah sakit pemerin-tah akan cenderung menjadi swadana. Rumah sakit pemerintahakan tampil bersaing terhadap swasta dalam artian penampilanfisik, pelayanan (service) dan kualitas. Perlunya pelayanan yangbermutu dan persaingan yang ketat mengakibatkan rumah sakitharus dikelola oleh direktur-direktur yang profesional yang di-dukung oleh staf middle-management yang tangguh.

Ongkos-ongkos umum yang meningkat dan introduksiteknologi baru menyebabkan ongkos pelayanan kesehatan akansemakin mahal. Keadaan ini dapat mempercepat tumbuhnya

asuransi kesehatan. Namun demikian perlu diperhatikan pulabahwa asuransi kesehatan yang tidak dikelola dengan baik akanmendorong ongkos-ongkos pelayanan untuk meningkat pula.Tingkat employment-rate pada sektor formal yang meninggi danpendapatan per kapita yang semakin meningkat serta kesadaranakan perlunya jaminan yang pasti di masa mendatang akan me-numbuhkan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau lebihbanyak penduduk. Pada saatnya, asuransi kesehatan harus di-tetapkan menjadi suatu kewajiban.

Masalah pelayanan kesehatan yang dapat lebih rumit pada25 tahun mendatang adalah hal-hal yang berhubungan denganpelanggaran etik, malpractice serta tuntutan di pengadilan ter-hadap para dokter.

Berkembangnya pelayanan kesehatan akan diikuti oleh ber-kembangnya tenaga kesehatan yang jumlah dan jenisnya akanmeningkat dalam 25 tahun mendatang. Dokter dan perawat yangspesialistik, sarjana elektromedik, hospital pharmacist, clinicalepidemiologist, ahli industrial health, occupational health, danspesialisasi lainnya akan lebih banyak dibutuhkan. Tenaga ke-sehatan wanita akan melebihi pria sedangkan penyebarannyaakan cenderung mengelompok di kota-kota. Ketimpangandistribusi tenaga tetap akan terjadi sedangkan rasio tenaga ter-hadap populasi akan membaik.

Bila dilihat kualifikasi pendidikan, tenaga kesehatan lulus-an D3, S1 dan S2 jumlahnya akan lebih dominan pada masamendatang baik pada sarana pemerintah maupun swasta. Tenagafungsional pada rumah sakit pemerintah akan semakin banyakjumlah dan ragamnya, sedangkan golongan II dan III akanmerupakan kelompok yang paling besar jumlahnya. Kantoradministrasi kesehatan (Depkes, dan lain-lain) akan lebih banyakdiisi oleh tenaga fungsional yang profesional sedangkan tenagapendukung akan minimal jumlahnya. Desentralisasi kepadaDaerah Tingkat II akan lebih luas. Career planning tenagakesehatan menjadi lebih terbuka antara swasta dan pemerintahserta antara sektor yang satu dengan yang lainnya. Keadaan tadisemuanya menyebabkan berubahnya sistem pendidikan danlatihan tenaga serta sistem rekrutmen.

Teknologi kedokteran akan tetap meningkat kemajuannya,tetapi kemajuan dalam teknologi diagnostik akan jauh melebihikemajuan dalam teknologi terapeutik. Bioteknologi semakinberperan terutama dalam produksi vaksin, obat dan prosedurdiagnostik. Penggunaan obat juga cenderung meningkat baikjumlah maupun jenisnya. Obat-obatan baru untuk penyakit-penyakit menahun akan semakin banyak jenisnya. Penggunaananalgetika, vitamin dan obat adjuvan (penguat) akan terus me-ningkat, sedangkan penggunaan antibiotika relatif akan menu-run atau menetap sesudah tahun 2000. Namun demikian anti-biotika baru tetap akan bermunculan dan yang lama ditinggalkan.Bioteknologi akan meningkat peranannya dalam produksi obat-obatan. Kapasitas produksi obat jadi dan bahan baku obat Indo-nesia akan meningkat terus, sesuai dengan kemajuan ekonomisecara umum dan kenaikan permintaan akan obat-obatan. Mutuproduk akan bertambah baik dan kompetetif di dunia inter-nasional. Arus globalisasi ekonomi yang masuk Indonesia akanmenyebabkan harga obat-obatan akan tetap meningkat.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 90, 1994 9

Page 10: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Distribusi obat di Indonesia akan tetap bertambah baiksehingga cakupannya lebih merata. Konsumsi obat per kapitajuga akan meningkat karena pola penyakit yang berubah danmasyarakat yang lebih mampu membelinya. Dikhawatirkanpenjualan obat di pasar gelap akan bertambah begitu pula obattentengan dan selundupan. Dengan demikian incidence danintoksikasi dan efek samping obat dapat meningkat, karenanyadibutuhkan pusat informasi obat untuk mengatasi hal ini.

Obat-obat tradisional masih tetap akan dikonsumsi olehsebagian masyarakat Indonesia tetapi jumlahnya tak akanmeningkat dan relatif mungkin menurun. Kedokteran alternatifdapat timbul.

RUMAH SAKIT DI INDONESIABidang perumahsakitan di Indonesia diwarnai dengan pe-

layanan kesehatan yang sangat luas dan kompleks dengan ber-bagai jenis rumah sakit dan kepemilikannya.

Kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut rumah sakittermasuk di dalam upaya rujukan kesehatan dan rujukan medis.Rujukan kesehatan terutama berkaitan dengan upaya promotifdan preventif yang mencakup bantuan teknologi, sarana danoperasional. Sedangkan rujukan medik adalah rujukan pelayan-an terutama meliputi upaya kuratif dan rehabilitatif.

a) Keadaan PerumahsakitanPelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari berbagai

jenis pelayanan yaitu dari pelayanan yang sederhana sampaiyang canggih sesuai dengan kemampuan dan kelas rumah sakit.Di rumah sakit milik pemerintah ada pembagian klas yakni A, B,C, D yang mencerminkan fasilitas pelayanannya. Sedangkan dirumah sakit swasta ada pembagian pratama, madya dan utama.Tetapi pembagian klas tersebut hanya bisa mencerminkan fasi-litas pelayanan secara kasar, karena walaupun sama-sama ru-mah sakit klas C fasilitas pelayanannya bisa berbeda. Data yangmenggambarkan fasilitas pelayanan yang sesungguhnya di rumahsakit masih susah ditemui. Padahal dengan adanya data tersebutsangat membantu pengembangan konsep rujukan.

Perkembangan rumah sakit di Indonesia dari Pelita ke Pelitacukup menggembirakan dalam berbagai segi. Pada akhir Pelita Irumah sakit di Indonesia berjumlah 1.116 buah dengan 81.753tempat tidur, sedangkan pada tahun I Pelita V telah mencapai1.532 rumah sakit dengan 118.565 tempat tidur. Dengan demi-kian dalam kurun waktu tersebut jumlah rumah sakit meningkat± 37% dan tempat tidur meningkat 45%. Dari 1.532 rumah sakit756 di antaranya adalah rumah sakit umum dengan kepemilikan16 rumah sakit umum vertikal, 316 rumah sakit umum daerah,112 rumah sakit umum ABRI, 81 rumah sakit umum milikDepartemen lain dan 231 rumah sakit umum swasta. Jumlah rumah sakit umum meningkat 30%, dari 581 padaakhir Pelita I menjadi 756 pada awal Pelita V dengan tempat tidurmeningkat 44%, dari 63.643 pada akhir Pelita I menjadi 91.338pada awal Pelita V. Kenaikan jumlah rumah sakit umum ter-banyak adalah pada sektor swasta yaitu sebanyak 104%, dari 113pada akhir Pelita I menjadi 231 pada awal Pelita V, sedang padaakhir tahun 1990 menjadi 244. Hal ini menyebabkan pergeseran

yang cukup tajam pada perbandingan rumah sakit umum peme-rintah dan swasta. Prosentase rumah sakit umum swasta dari19,4% pada awal Pelita I menjadi 31,9% pada tahun 1990.

Jumlah rumah sakit umum pemerintah pada tahun 1990adalah 525 buah dengan 66.259 tempat tidur, sehingga rata-ratatempat tidur perrumah sakit umum pemerintah adalah 126 tem-pat tidur. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk makarasio tempat tidur terhadap jumlah penduduk membaik yaitu 1:1.579 pada akhir Pelita I menjadi 1 : 1.515 pada awal Pelita V.(Bandingkan pada tahun 1985: Malaysia 1 : 370, Singapura 1:247, USA 1 : 170, Jepang 1: 86).

Apabila kita melihat rasio tempat tidur terhadap pendudukberdasarkan wilayah terlihat perbaikan yang cukup besar untukwilayah Jawa-Bali yaitu 1 : 1.900 pada Pelita I menjadi 1 : 1.586pada awal Pelita V. Hal ini berbeda dengan wilayah luarJawa-Bali yang semula 1 : 200 pada akhir Pelita I menurunmenjadi 1 : 414 pada awal Pelita V.

Dalam bidang ketenagaan khususnya tenaga dokter rumahsakit umum Departemen Kesehatan dan Pemda terjadi pening-katan dari 5.951 pada akhir Pelita III menjadi 8.491 pada akhirPelita IV (kenaikan 43%). Dengan demikian rasio dokter ter-hadap tempat tidur membaik keadaannya dari 0.14 menjadi 0.18.Demikian pula dengan tenaga paramedis perawatan yangmeningkat dari 23.892 pada akhir Pelita III menjadi 29.018 padaakhir Pelita IV. Rasio paramedik perawatan terhadap tempattidur membaik dari 0.56 menjadi 0.63.

Bila kita melihat rasio tenaga yang bekerja pada rumahsakit kelas A, B, C dan D terutama tenaga medis terdapat ketim-pangan. Pada tahun 1988 rasio tenaga medis terhadap tempattidur pada rumah sakit pemerintah adalah 0.13 dengan rasiotenaga medis terhadap tempat tidur pada rumah sakit kelas Aadalah 0.70, kelas B 0.28, kelas C 0.09 dan kelas D 0.11. Se-dangkan rasio ini hanya 0.06 pada rumah sakit-rumah sakitswasta. Terlihat di sini kekurangan tenaga medis terutama padarumah sakit-rumah sakit swasta dan juga rumah sakit pemerintahkelas C.

Distribusi tenaga medis pada rumah sakit pemerintah ku-rang merata, 70% dokter bertugas di rumah sakit di wilayahJawa-Bali, dan sebaliknya 70% tenaga paramedis perawatanbertugas di luar Jawa-Bali.

b) Tingkat pemanfaatan dan mutu pelayananTingkat pemanfaatan rumah sakit (BOR) secara nasional

dari Pelita ke Pelita tidak menunjukkan kenaikan yang berarti.Hal ini disebabkan peningkatan jumlah tempat tidur rumah sakitsejajar dengan peningkatan jumlah penderita yang dirawat.

BOR rumah sakit umum yang pada Pelita I 54.1% justruturun menjadi 52.3% pada awal Pelita V, yang selanjutnya naikmenjadi 54.2% pada tahun 1990. Hal ini menunjukkan bahwapemanfaatan rumah sakit belum sebagaimana diharapkan, apalagibila dikaitkan dengan efisiensi dan efektifitasnya. Berdasarkankepemilikannya pada tahun 1990 BOR rumah sakit milik Depar-temen Kesehatan tertinggi, yaitu 65.8%, diikuti dengan RumahSakit Swasta 55.4%, rumah sakit Pemda 53.0%. Departemenlain 47.7% dan rumah sakit ABRI 42.1%. Sedangkan pada tahun

1 0 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 11: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

1988 Rumah sakit Dep.Kes dan Pemda BORnya mencapai57.6% dengan wilayah DKI mempunyai BOR tertinggi yaitu62.6%. Jawa-Bali 61.7% dan luar Jawa-Bali 48.6%; berdasarkankelas rumah sakit pada tahun 1989, ternyata rumah sakit kelas Amempunyai BOR tertinggi, yaitu 72.5%, selanjutnya kelas B60.6%, kelas C 57.7% dan kelas D masih rendah.

LOS rumah sakit DepKes dan Pemda rata-rata 6 hari; denganLOS rumah sakit di DKI terpanjang yaitu 7 hari, sedangkan untukdaerah lain 6 hari. LOS rumah sakit swasta rata-rata 6 hari denganLOS terendah 5 hari untuk wilayahJawa-Bali, sedangkan wilayahlain 6 hari. LOS rumah sakit kelas A tertinggi, yaitu 10 hari,selanjutnya rumah sakit kelas B 7 hari, dan rumah sakit kelas Cserta D sama yaitu 5 hari.

Jika dikaitkan antara BOR dan LOS wilayah DKI yangtinggi hal ini dimungkinkan karena adanya rumah sakit topreferral, yang pada umumnya merawat pasien rujukan.

c) PembiayaanPembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya rumah

sakit, berasal dari berbagai sumber yaitu :1) Pemerintah Pusat dan Daerah2) Badan Swasta3) Bantuan Luar Negeri4) Asuransi5) Masyarakat

Anggaran kesehatan yang bersumber dari pemerintah, daritahun ke tahun relatif tetap dan kecil jika dihitung prosentasenyadari seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Prosen-tase anggaran kesehatan terhadap anggaran pemerintah padatahun 1982/1983 hanya 3.4% dan tahun 1986/1987 3.3%.

Demikian pula prosentase pembiayaan kesehatan bersum-ber dari pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (GDP)sangat kecil dan cenderung tidak berubah selama kurun waktulima tahun (0.8% tahun 1982/83 dan 0.8% tahun 1986/87).

Anggaran kesehatan perkapita yang bersumber dari pe-merintah dari tahun 1982/83 sampai dengan 1986/87 naik dariRp. 3.198,90 pada tahun 1982/83 naik menjadi Rp. 4.300,70pada tahun 1986/87 atau sebesar 34.4%. Namun bila dihitungdengan harga tetap tahun 1983, ternyata anggaran pada tahun1982/83 dan 1986/87 tersebut relatif tetap. Prosentase pem-biayaan kesehatan di rumah sakit dari anggaran kesehatan me-nurun sesuai dengan perubahan-perubahan dalam pola peman-faatan dana, yang pada tahun 1982/1983 mencapai 32.8% danselanjutnya tahun 1983/1984 naik menjadi 36.3%, dengan per-ubahan pola pemanfaatan dana, menurun terus sehingga padatahun 1986/87 tinggal 30.8%.

Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah maka perluadanya penambahan dana dari pihak swasta, yang sejalan dengankeinginan pemerintah agar pihak swasta lebih aktif berperanserta dalam pembangunan bidang kesehatan, khususnya dalambidang perumahsakitan. Diharapkan peran serta swasta dalamperumahsakitan dapat meningkat, sehingga pada tahun 2000

jumlah rumah sakit/tempat tidur pemerintah dan swasta ber-imbang.

Penggunaan dana oleh masyarakat/swasta daiam upaya

kesehatan pada umumnya adalah untuk upaya kuratif. Di-perkirakan sekitar 97% dari seluruh biaya yang dikeluarkanadalah untuk pengobatan dan hanya 3% untuk pendidikan danlain-lain. Prosentase pembiayaan dari masyarakat/swasta untukpelayanan rumah sakit pada tahun 1985/86 cukup tinggi, yaitu37.9%, sedang pembelian obat-obatan tertinggi, yaitu 40.5%.Dapat diperkirakan di sini bahwa pembiayaan oleh masyarakat/swasta sebagian besar adalah untuk pelayanan rumah sakit ka -

rena sebagian pembelian obat-obatan juga merupakan akibat daripelayanan rumah sakit.

Selain dari pemerintah dan masyarakat, rumah sakit me-nerima biaya dari bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri inipada umumnya untuk pembiayaan investasi, akan tetapi akhir-akhir ini juga ada kecenderungan bantuan dalam biaya peme-liharaan dan operasional. Besarnya pembiayaan pelayanan RSUpemerintah yang berasal dari bantuan luar negeri dalam kurunwaktu 1982/83 – 1986/87 rata-rata 4.9%.

Berdasarkan uraian di atas maka nyatalah bahwa pelayananrumah sakit merupakan salah satu komponen yang paling banyakmenyerap biaya, yang meliputi biaya investasi, pemeliharaandan operasional, termasuk gaji dan upah. Jumlah alokasi danarumah sakit pada tahun 1985/86 adalah 34.1% dari seluruhbiaya, 27.7% berasal dari pemerintah dan 72.3% dari masyara-kat/swasta.

Besarnya alokasi tersebut belum dapat menjamin terlak-sananya pelayanan yang baik karena dana yang tersedia baru56.1 % dari biaya yang dibutuhkan. Dana pelayanan rumah sakitsebagian besar (79.3%) dimanfaatkan untuk pelayanan kuratif,sedangkan untuk pelayanan preventif hanya 6%. Dari alokasibiaya rumah sakit ternyata jumlah subsidi pemerintah cukupbesar.

Untuk dapat mengurangi jumlah subsidi tersebut dapat di-lakukan dengan dua pendekatan :a) menurunkan unit cost/biaya satuan Iayanan dengan me-ningkatkan pemanfaatan fasilitas yang saat ini masih rendah;b) meningkatkan tarif layanan rumah sakit yang disesuaikandengan kemampuan ekonomi masyarakat.

Sanpai saat ini masih banyak rumah sakit, khususnya rumahsakit pemerintah yang menerapkan sistem akuntansi secara cashbasis. Walaupun sistem ini mudah dalam pelaksanaannya namunbiaya sesungguhnya tidak dapat diketahui secara tepat. Untukmendapatkan informasi yang baik dan aktual dalam prosespengambilan keputusan, maka sistem akuntansi harus dilengkapidengan sistem akuntansi akrual. Sistem ini sudah dilaksanakanpada sebagian rumah sakit swasta, dan juga akan diterapkan padarumah sakit lembaga swadana.

Bilamana biaya satuan diketahui, maka tarip rumah sakityang sesuai dapat ditetapkan dengan tetap memperhatikan ke-mampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar. Denganmakin berkembangnya asuransi kesehatan maka biaya satuahnsangat diperlukan untuk negosiasi penetapan premi. Selain itu,untuk meningkatkan efisiensi perlu diketahui pusat-pusat biayaagar dapat dilaksanakan intervensi yang diperlukan. Perhitung-an biaya satuan saat ini sudah merupakan suatu keharusan,banyak rumah sakit swasta yang telah menetapkan tarip ber-

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 1 1

Page 12: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

dasarkan biaya satuan. Oleh karena itu diperlukan pengem-bangan manajemen keuangan rumah sakit yang baik.

TANTANGAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT DALAMPJPT II

Tantangan-tantangan penting dalam manajemen pelayananrumah sakit pada masa mendatang antara lain :

1) PembiayaanOngkos-ongkos pelayanan rumahsakit sudah pasti akan

meningkat karena : ongkos-ongkos umum untuk services (misallistrik, air dan lain-lain) akan meningkat, teknologi modernuntuk diagnostik dan terapetik lebih banyak digunakan; doktercenderung menggunakan prosedur-prosedur yang semakinbanyak untuk menangani penyakit-penyakit kronik, bayaranuntuk dokter dan perawat harus dinaikkan.

Keadaan tersebut mengharuskan manajemen rumah sakitdapat mengembangkan pelayanan yang efektif tetapi denganongkos yang realistik yakni ongkos yang sesuai dengan nilai darijasa dan barang yang diberikan kepada pasien ditambah denganprofit yang layak.

2) TenagaPada saat ini hampir semua rumah sakit pemerintah dan

swasta sangat kekurangan tenaga perawat. Selain jumlahnyakurang, mutunyapun sering dikeluhkan masyarakat. Jumlahlulusan perawat diduga mencukupi, tetapi formasi di rumahsakitpemerintah sangat terbatas karena ada kecenderungan mem-batasi pengangkatan pegawai negeri baru. Sebagian rumah sakitswasta tak mampu mengangkat perawat baru apabila dari lulus-an sekolah-sekolah perawat yang dianggap bermutu. Keadaandokter spesialis lebih kompleks lagi terutama pada rumah sakitswasta. Hampir semua rumah sakit swasta, kira-kira 80% daritenaga spesialisasi direkrut dari rumah sakit pemerintah sebagaitenaga paruh waktu (part time) dalam bentuk honorer atauvisiting-doctor atau on contract basis. Ini berarti, secara tidaklangsung rumah sakit swasta menikmati subsidi dari pemerintah.Dengan kecenderungan rumahsakit pemerintah akan diubahmenjadi RS unit swadana maka pada masa mendatang RS swastaharus lebih mandiri dalam merekrut tenaga dokter spesialis purnawaktu.

3) Teknologi kedokteranSebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

secaraumum, maka teknologi kedokteran pun berkembang sangatcepat dalam duapuluh tahun terakhir ini. Teknologi (termasukalat) kedokteran untuk diagnosis maupun terapi berkembangsangat cepat dan ditawarkan secara sangat intensif. Rumah sakitdihadapkan dengan suatu dilema apakah akan menggunakanteknologi baru yang ditawarkan dengan implikasi naiknya ong-kos pelayanan ataukah tetap menggunakan cara-cara konven-sional yang masih efektif dengan risiko akan kehilangan pangsapasar. Manajemen rumah sakit dituntut untuk pandai memilihalternatifdalam memanfaatkan teknologi yang ditawarkan. Suatukoordinasi antar rumah sakit perlu dikembangkan untuk meman-faatkan secara bersama teknologi tertentu. Dengan cara ini,

investasi yang ditanam dapat dimanfaatkan secara bersama denganoptimal.

4) Pengembangan pelayananPola penyakit dalam PJPT II secara berangsur-angsur akan

berubah begitu pula permintaan (demand) akan pelayanan kese-hatan. Masyarakat akan menuntut pelayanan yang lebih bermutudan efektif. Keadaan ini mengharuskan manajemen rumahsakitmulai memikirkan pola pelayanan yang perlu dikembangkanpada masa mendatang. Ada jenis-jenis pelayanan yang mungkinsecara berangsur-angsur harus diciutkan tetapi sebaliknya adajuga pelayanan-pelayanan yang perlu dikembangkan bahkanmungkin perlu ada pelayanan baru yang harus mulai ditampil-kan. Pembagian tempat-tempat perawatan menurut penyakitatau disiplin ilmu kedokteran perlu ditinjau lagi dan mungkinperlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian agar pemanfaatanrumah sakit menjadi lebih efisien. Dibutuhkan kemampuan darimanajemen rumah sakit untuk melihat masa depan guna mem-buat pembaharuan-pembaharuan dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit.

5) Permintaan masyarakatPada periode PJPT II rumah sakit akan dihadapkan kepada

masyarakat yang lebih terdidik dan lebih mampu membeli pela-yanan yang ditawarkan atau yang dibutuhkan. Masyarakatmengingini pelayanan yang mudah dan nyaman serta akhirnyamemberikan kepuasan dalam arti penyakit sembuh dalam waktuyang cepat dengan service yang baik. Untuk ini rumah sakit harusmemberikan informasi yang akurat dan tepat tentang serviceyang dapat diberikan kepada setiap pasien. Perlu dikembangkansuatu sistim pelayanan yang didasari pada QCT (quality, cost,time ofdelivery) yakni pelayanan dengan kualitas yang baik (Q)dan dengan ongkos yang dapat dipertanggung jawabkan (C) sertadiberikan pada waktu yang cepat dan tepat (T).

Keadaan tersebut perlu juga mendorong manajemenrumahsakit untuk memikirkan tentang kemungkinan perlu di-perpanjangnya lama buka poliklinik rumah sakit (termasukrumahsakit pemerintah) dan dikembangkannya sistem janji(appointment) menurut hari dan jam pelayanan, paling tidakuntuk service-service tertentu. Sistem appointment akan men-didik health providerdan health consumer menj adi lebih disiplindalam mematuhi waktu.

6) Hukum dan EtikDengan semakin majunya sebuah bangsa maka akan se-

makin tertib pula tata hukum di negara tersebut. Namun harusdiakui bahwa pada masyarakat yang sedang berubah, tidakjarang penerapan tata hukum yang baru dapat menimbulkanmasalah.

Pada bulan September 1992 Indonesia telah memberlaku-kan undang-undang baru dalam bidang kesehatan yakni UUNo. 23 tahun 1992. Tujuan UU tersebut adalah memberikankepastian hukum terhadap pembangunan dan pelayanan kese-hatan, perlindungan terhadap penerima pelayanan kesehatan danperlindungan terhadap pemberi pelayanan kesehatan. Dengandiberlakukannya UU tersebut tuntut-menuntut (lawsues) antara

12 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 90 1994

Page 13: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

pasien dengan rumah sakit atau dokter akan lebih sering terjadipada waktu-waktu mendatang. Untuk menghindari hal inimanajemen rumah sakit harus menyiapkan informasi-informasiumum tentang pelayanan rumah sakit. Begitu pula standar-standar dan prosedur-prosedur teknis dan administrasi harusdibuat secara tertulis mengikuti referensi resmi yang dikem-bangkan oleh pemerintah dan atau ikatan profesi. Perubahan-perubahan yang tengah terjadi akan dapat pula menimbulkanbenturan-benturan norma yang dapat mengakibatkan timbulnyapelanggaran-pelanggaran etik terutama pada rumah sakit-rumahsakit swasta. Suatu sistem untuk mencegah dan mengawasipelanggaran etik ini perlu diperketat oleh manajemen rumahsakit. Persaingan yang semakin ketat antar rumah sakit-rumahsakit, terutama di kota-kota besar, mengharuskan manajemenrumah sakit untuk memperbaiki rumahsakitnya masing-masingdisamping perlu ada koordinasi dan kerja sama antar rumahsakit.

7) Sistem Informasi ManajemenDalam pelaksanaan sehari-hari, manajemen tidak lain suatu

rangkaian pengambilan keputusan dengan mengikuti aturan mainyang sudah ditetapkan menuju suatu tujuan tertentu. Majumundurnya atau baik buruknya satu manajemen sangat dipe-ngaruhi oleh mutu pengambilan keputusan dan hal terakhir inisangat tergantung dari mutu informasi yang diperoleh dan ke-pandaian dari manajer untuk menggunakan informasi. Dengandemikian menjadi jelas bahwa bila rumah sakit menginginimanajemen yang baik sehingga dapat memberikan pelayananyang bermutu, ia harus mengembangkan cara pengumpulan datadan informasi yang akhirnya bisa memberi input kepadamanajemen untuk mengambil keputusan guna pembaikan pe-layanan. Sistem tersebut disebut sebagai : sistem informasimanajemen rumah sakit, semakin besar dan semakin komplekssebuah rumah sakit semakin perlu ia suatu sistem informasimanajemen yang komprehensif.

Ada empat informasi yang dianggap prioritas untuk dikum-pulkan dan dianalisis yakni : keuangan dan pembiayaan, tenaga,logistik (terutama obat) dan pelayanan (besarnya inpatient-outpa-tient). Semuanya ini harus dikaitkan secara integratif sehinggamempunyai makna bagi pengambilan keputusan manajemen.

KEBIJAKSANAAN PENGEMBANGAN RUMAH SAKITRumah Sakit merupakan bagian integral dari keseluruhan

sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui ren-cana pembangunan kesehatan sehingga pengembangan RumahSakit pada saat ini tidak lepas dari Kebijaksanaan PembangunanKesehatan yaitu harus sesuai dengan Garis-garis Besar HaluanNegara, Sistem Kesehatan Nasional dan Repelita bidang Kese-hatan serta peraturan dan perundang-undangan lain. Sedangkanarah dan kebi jaksanaan dari pembangunan telah ditetapkan dal amkebijaksanaan pokok pembangunan kesehatan seperti di bawahini.

KEBIJAKSANAAN POKOK PEMBANGUNAN KESE-HATAN

1) Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkankualitas sumber daya manusia serta kualitas kehidupan dan usiaharapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluargadan masyarakat, serta untuk mempertinggi kesadaran masya-rakat akan pentingnya hidup sehat. Perhatian khusus diberikanpada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, daerahkumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil dan kelom-pok masyarakat yang hidupnya terasing, daerah transmigrasi,serta daerah pemukiman baru.2) Pengelolaan kesehatan yang terpadu perlu lebih dikem-bangkan agar dapat lebih mendorong peran serta masyarakat,termasuk dunia usaha, dalam pembangunan kesehatan. Kualitaspelayanan kesehatan ditingkatkan dan jangkauan serta kemam-puannya diperluas agar masyarakat, terutama yang berpeng-hasilan rendah, dapat menikmati pelayanan yang berkualitasdengan terus memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan danteknologi kedokteran secara serasi dan bertanggung jawab.3) Pengadaan dan peningkatan sarana kesehatan perlu terusdikembangkan. Tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kese-hatan lainnya ditingkatkan kualitas dan kemampuannya sertapersebarannya terus diupayakan agar merata dan menjangkaumasyarakat di daerah terpencil. Penyediaan obat dan alat kese-hatan yang makin merata dengan harga yang terjangkau olehrakyat banyak ditingkatkan melalui pengembangan industriperalatan kesehatan dan industri farmasi yang makin maju danmandiri, yang didukung oleh industri bahan baku obat yangandal melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.4) Upaya perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkanantara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakitmenular, penyediaan lingkungan pemukiman, perbaikan gizi,penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan, serta pelayanankesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pe-nyalahgunaan obat, zat adiktif, dan narkotika, terutama bagigenerasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikanperhatian khusus; juga pengawasan ketat terhadap obat, ma-kanan dan minuman. Penelitian dan pengembangan kesehatanperlu terus dilanjutkan antara lain untuk meningkatkan kualitaspelayanan kesehatan.5) Pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun peranserta masyarakat harus mengindahkan prinsip kemanusiaan dankepatutan dengan memberikan perhatian khusus kepada fakirmiskin, anak-anak dan penduduk usia lanjut yang terlantar.Semua usaha untuk mewujudkan jaminan pemeliharaan kese-hatan masyarakat perlu dikembangkan dengan upaya mema-syarakatkan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat berdasar-kan prinsip gotong royong.6) Pengobatan tradisional yang secara medis dapat diper-tanggungjawabkan terus dibina dalam rangka perluasan danpemerataan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsaterus ditingkatkan dan didorong usaha pengembangannya me-lalui penggalian, penelitian, pengujian, dan pengembangan sertapenemuan obat-obatan, termasuk budidaya tanaman obat tra-disional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan.

Pengembangan rumah sakit sangat dipengaruhi oleh faktor-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.90, 1994 13

Page 14: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

faktor demografi, epidemiologi, sosial ekonomi, permintaanakan pelayanan, sistem pembiayaan dan kemajuan iptek. Ka-renanya, suatu kebijaksanaan dalam pengembangan rumah sakitharus memperhatikan kecenderungan faktor determinan di atas.Selain itu pengembangan rumah sakit juga tidak dapat lepas darikebijaksanaan pokok pembangunan kesehatan.

Dengan melihat kecenderungan determinan kesehatan,kecenderungan keadaan kesehatan, keadaan rumah sakit danhasil-hasil yang telah dicapai pada saat ini serta tantanganmanajemen rumah sakit pada PJPT II maka perlu ditetapkankebijaksanaan pengembangan rumah sakit dalam PJPT 11.

KEBUAKSANAAN PENGEMBANGAN RUMAH-SAKITDALAM PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAPII :

1) Pembangunan Rumah Sakit baru• Pembangunan rumah sakit baru dan penambahan tempattidur dari rumah sakit yang ada akan dijalankan terus sesuaidengan permintaan yang ada (mekanisme pasar). Penambahan-penambahan rumah sakit baru terutama dijalankan denganmemperhatikan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.• Pemerintah tetap bertanggung jawab terhadap pembangun-an rumah sakit di daerah-daerah yang kurang mampu gunamenjamin pemerataan untuk menikmati hasil-hasil pembangun-an.• Setiap pembangunan rumah akit baru harus didahului olehstudi kelayakan untuk menjamin tetap berjalannya rumah sakittadi pada masa-masa mendatang dan dipenuhinya kaidah sertastandar rumah sakit.• Jumlah rumah sakit di suatu tempat akan dikendalikandengan memperhatikan rasio tempat tidur terhadap pendudukdan sistem pembiayaan serta pricing policy (misal asuransi),pembangunan rumah sakit dilaksanakan dengan menyertakanperan serta masyarakat dan swasta yang semakin besar.

2) Pelayanan Rumah Sakit• Pelayanan rumah sakit harus mendukung pelayanan ke-sehatan dasar seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu danPosyandu. Dukungan ini dijalin dalam suatu sistem rujukanmedik dan rujukan kesehatan yang selaras dengan pembangunansistem pembiayaan melalui asuransi kesehatan/JPKM.• Rumah sakit dikelola secara efisien untuk menjamin me-ningkatnya mutu dan cakupan pelayanan yang akhirnya mem-punyai dampak nyata terhadap perbaikan derajat kesehatanmasyarakat. Untuk itu perlu diterapkan dan dijalankan pengguna-an standar pelayanan, dalam rangka peningkatan mutu danakreditasi rumah sakit disamping penggunaan obat secara ra-sional dengan memanfaatkan obat generik.• Menjalankan fungsi sosial yang tercermin dalam pelayananbagi mereka yang tak mampu, kegiatan pelayanan di luar rumahsakit, penyuluhan kesehatan, turut serta dalam sistem asuransikesehatan/JPKM, dan lain sebagainya.

3) Pembiayaan• Pembiayaan rumah sakit mengutamakan sumber-sumber

yang berasal dari masyarakat yang dimobilisasi melalui sistemasuransi/JOKM. Rumah sakit pemerintah secara berangsur-angsur dikembangkan menjadi unit swadana sedangkan sumberdana yang berasal dari pemerintah dan yang dimobilisasi dariswasta dan masyarakat harus digunakan secara efisien dan di-alokasikan secara cermat menurut prioritas dan masalah yangdihadapi.• Setiap orang yang menikmati pelayanan kesehatan di rumahsakit akan dikenai kewajiban membayar sesuai dengan nilai jasayang diterimanya. Untuk ini perlu dikembangkan sistem tarifberjenjang yang mendasarkan kepada pengeluaran yang ber-imbang dengan pemasukan (cost recovery), satuan biaya (unitcost) dan kemampuan daya beli masyarakat. Agar terjaminadanya pemerataan pelayanan, tarif dikembangkan dengan asassubsidi bersilang (cross subsidy) sehingga mereka yang takmampu tetap terlindungi dan dapat menikmati pelayanan kese-hatan yang dibutuhkan.

4) Peran Serta Masyarakat dan Swasta• Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan swastaperlu dikembangkan sistem yang insentif termasuk kemudahandalam perizinan, rumah sakit boleh didirikan oleh badan hukum(termasuk PMDN dan PMA) disamping oleh yayasan. Pemerin-tah akan tetap memberikan bantuan dan perlindungan terhadaprumah sakit.• Masyarakat dan swasta akan diberikan peran yang semakinbesar dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembanganrumah sakit. Pemerintah akan lebih banyak berperan dalammerumuskan kebijaksanaan (termasuk menetapkan standar-standar), pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan rumahsakit. Ikatan profesi akan membantu pemerintah dalam peru-musan kebijaksanaan dan pengawasan serta peningkatan mutupelayanan dan mutu tenaga kesehatan.

5) Ketenagaan• Penempatan dan penyebaran tenaga kesehatan yang bekerjadi rumah sakit akan terus ditingkatkan sehingga jumlah dansusunan tenaga kesehatan di rumah sakit mencapai standar yangsudah ditetapkan. Penempatan dokter spesialis akan ditingkat-kan dengan prioritas melengkapi rumah sakit kelas C di seluruhIndonesia sesuai dengan pemerataan penempatan tenaga.• Guna mengatasi kekurangan pelayanan spesialistik di tem-pat-tempat terpencil yang membutuhkan, dokter-dokter umumterpilih akan dilatih secara khusus dalam bidang spesialisasitertentu (semi spesialis).• Rumah sakit swasta diberikan kemudahan untuk memper-oleh dokter-dokter spesialis khususnya para dokter spesialisyang sudah menyelesaikan masa bakti ke-2. Secara berangsur-angsur rumah sakit swasta akan diberi bantuan agar mempunyaidokter dan dokter spesialis yang full time. Rumah sakit swastadiperkenankan mengirimkan dokter umumnya untuk mengikutipendidikan spesialisasi. Prioritas diberikan kepada rumah sakitdi periferi.

6) Manajemen• Rumah sakit secara berangsur-angsur harus dikelola dengan

14 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 15: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi pelayanan kesehatan,sebagai bentuk produksi jasa, dapat ditingkatkan mutunya. Da-lam kaitan ini, rumah sakit akan dilengkapi dengan perangkatorganisasi yang lebih sesuai sebagai institusi sosial-ekonomi.• Dengan semakin meningkatnya hubungan kerja dan se-makin beragamnya jenis pelayanan, perlu dikembangkan sisteminformasi manajemen rumah sakit yang menyangkut informasisumber daya, pelayanan dan kegiatan rumah sakit. Untuk inirumah sakit secara berangsur-angsur harus meningkatkan peng-olahan data secara elektronik (electronic data processing).• Staf manajemen rumah sakit perlu memperoleh pendidikandan latihan yang menunjang perubahan-perubahan sistem

manajemen rumah sakit menuju pembentukan career-planningdalam manajemen atau administrasi rumah sakit.

7) Teknologi Kedokteran• Pemanfaatan teknologi kedokteran akan digalakkan terusdalam rangka meningkatkan mutu pelayanan menuju perbaikanderajat kesehatan yang merupakan bagian dari kesejahteraanumum masyarakat. Teknologi kedokteran yang digunakan harusdisesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan yang ada dankemampuan pembiayaan pemerintah dan masyarakat.• Pemanfaatan teknologi kesehatan harus dikaitkan denganupaya mengefisiensikan kegiatan-kegiatan rumah sakit.

Kalender Kegiatan Ilmiah

March 19–20, 1994 – Instructional Course & Video-Urogynecology UpdateSingaporeInformation : Secretariat, Society for Continence (Singapore),

c/o Division of Urology, Department of Surgery,Toa Payoh Hospital, Toa Payoh Rise, Singapore1129.

April 29 – May 2, 1994 lst IFSSH Western Pacific Regional WorkshopHong KongInformation : Dr LK Hung, Secretary, lst IFSSH Western

Pacific Regional Workshop, Department ofOrthopaedics and Traumatology, Prince ofWales Hospital, Shatin, Hong Kong.

May 21–24, 1994 – 11th Regional Conference of DermatologySingaporeInformation : Secretariat,

1 lth Regional Conference of Dermatology,c/o Conference and Exhibition ManagementServices Pte Ltd, #09-43 World Trade Centre,Singapore 0409.

June 16-18, 1994 International Conference on Biomedical PeriodicalsBeijingInformation : c/o Dr Jiang Yongmao, International Conference

on Biomedical Periodicals, Chinese MedicalAssociation, 42 Dongsi Xidajie, Beijing 100710,China.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 15

Page 16: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

TinjauanPerkembangan Perumah-Sakitan

dalam PJPT 11Samsi Jacobalis

Jakarta

Paul Samuelson :"........ akhirnya harus kita sadari bahwa ekonomi bukanlah ilmueksakta, dan tidak ada di antara kita yang dapat melihat lebih jauh daripada dua tahunke muka" (Algemeen Dagblad, 17 April 1993).George R. Terry :"The future begins with the present; it is not an immense and suddenjump to a distant destination" (Bukunya : Principles of Management).

MEREKA MASA DEPANPendapat dua pakar di atas agaknya bertentangan satu de-

ngan yang lain. Jika bersandar pada pendapat Samuelson tidakada yang dapat memprakirakan bagaimana perkembanganekonomi Indonesia (dan searah dengan itu bagaimana perkem-bangan perumah-sakitan kita) nanti dalam PJPT II (1994–2019).Sebaliknya jika mengandal pada Terry, PJPT II bukanlah lon-catan mendadak ke sasaran yang jauh di depan. PJPT II adalahsinambung dengan PJPT I. PJPT II adalah era tinggal landas,setelah landasnya sendiri (PJPT I) cukup kokoh untuk menjaminkeselarriatan "penerbangan" selanjutnya. Artinya hari esok dalampembangunan adalah kelanjutan hari ini. Masa depan dibangunsehari demi sehari sejak masa lalu. Masa depan dapat direkaberdasarkan kenyataan hari ini dan hari-hari yang sudah dilewati.

Kita mencoba sepakat dengan Terry dengan membuatproyeksi tentang transisi kesehatan di masa depan bertolak daridata perkembangan selama PJPT I. Dari proyeksi itu dicoba di-buat tinjauan tentang kemungkinan perkembangan rumah sakitdalam PJPT II, sebagai rekaan respons terhadap tantanganmemenuhi kebutuhan kesehatan di waktu itu nanti.

Namun demikian disadari sepenuhnya proyeksi itu dapatmeleset sama sekali, karena seperti kata Samuelson (pemenanghadiah Nobel yang dianggap ahli ekonomi terbesar yang seka-

Makalah ini disajikan pada Kongres VI PERSI & Hospital Expo , Jakarta .21 — 25 November 1993.

16 Cermin Dunia Kedokteran . Edisi Khusus No. 90, 1994

rang masih hidup), tidak ada orang yang dapat melihat terlalujauh ke depan. Apalagi kebutuhan kesehatan masa depan itu di-pengaruhi oleh begitu banyak variabel yang sebagian besar tidakeksak sifatnya.

AKHIR PJPT I, IDAMAN DALAM PJPT IISelama 25 tahun terakhir Indonesia telah menikmati per-

tumbuhan ekonomi yang cukup kuat. Pembangunan kesehatansejalan dengan pertumbuhan ekonomi itu. Dalam naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 diikhtisarkan tentang penca-paian sektor kesehatan sebagai berikut :"Dalam PJPT I pelayan-

an kesehatan telah meningkat dan telah mampu menjangkauhampir seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan di bidangkesehatan serta keluarga berencana telah berhasil meningkatkanusia harapan hidup dan menekan laju pertumbuhan pendudukyang didukung oleh perumahan dan pemukiman yang layak".Ikhtisar yang dinyatakan hanya dalam beberapa kalimat itukedengarannya sederhana sekali. Padahal untuk mencapai itusangat besar modal manusia (human capital) dan sumberdayaIain yang sudah dikerahkan. Keberhasilan lain yang juga secaratidak langsung besar dampaknya pada status kesehatan bangsaadalah :– Kita sudah swasembada dalam kebutuhan paling pokok,

Page 17: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

yaitu pangan dan sandang.- Selama 25 tahun bangsa Indonesia sudah belajar dan ber-pengalaman membangun di segala bidang. Kurva belajar inisangat besar artinya sebagai modal untuk meneruskan pem-bangunan. Pengalaman ini meningkatkan harkat dan harga dirisebagai bangsa.

Beberapa bulan lagi kita akan mengawali PJPT II. Halkhusus dalam PJPT II adalah dijadikannya manusia lndonesiasebagai fokus pembangunan, baik sebagai insan maupun se-bagai sumberdaya untuk pembangunan itu sendiri, termasukpembangunan kesehatannya. Dengan pengembangan manusiayang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang mantap,diidamkan bangsa Indonesia akan menjadi maju dan mandiri.

Dalam PJPT II pembangunan sektor kesehatan dimasukkandalam kelompok pembangunan bidang kesejahteraan rakyat .pendidikan dan kebudayaan. Ini tepat sekali, karenamemangmasalah kesehatan bangsa pada dasarnya adalah masalah eko-nomi, sosial dan budaya, tidak semata-mata masalah mencegahdan mengobati penyakit. Memecahkan masalah kesehatan se-cara nasional adalah soal keluar dari lingkaran kemiskinan yangditandai oleh kurang makan, penyakit rakyat, lingkungan hidupyang tidak sehat, kebodohan dan jumlah anak yang terlalubanyak. Keadaan ideal yang diidamkan (menurut GBHN 1993)adalah : meningkatnya derajat kesehatan masyarakat serta me-ningkatnya mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yangharus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sertameningkatnya gizi dan membudayanya sikap hidup bersih dansehat, didukung dengan pembangunan perumahan danpemukiman yang layak.

Semua itu tidak sesederhana seperti yang dirumuskan diatas. Masih sangat besar modal manusia dan sumberdaya lainyang dibutuhkan untuk mendukungnya. Dalam arti luas banyakvariabel ekonomi, sosial dan budaya yang akan berpengaruhdalam mencapai idaman nasional itu. Dalam arti lebih sempitpencapaian idaman itu akan tergantung dari perkembangansistim ;layanan kesehatan nasional, termasuk perkembangan pe-rumah-sakitan. Perkembangan itu tergantung pada beberapafaktor utama :1. Perkembangan kebutuhan kesehatan bangsa (health need).2. Kemampuan sumberdaya untuk mendukung pemenuhankebutuhan itu (health recources).3. Kebijakan kesehatan nasional (health policy).

"Health policy" adalah kebijakan pemerintah yang hcrtuiu-an menyediakan dan menyampaikan layanan kesehatan yangbermutu kepada setiap warga negara tanpa membedakan ke-dudukan sosial dan kemampuan ekonominya.

Kebijakan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesehatandalam PJPT II sukar diperkirakan sekarang. Garis-garis ke-bijakan itu ditentukan 5 tahun sekali dalam GBHN dan dirincidalam Repelita, didasarkan pada perkembangan kebutuhan ke-sehatan dan perkembangan kemampuan sumberdaya untukmendukungnya waktu itu nanti. Yang mungkin dapat dipastikandari sekarang adalah bahwa pemerintah akan membuka

kesem-patanyang makin luas bagi swasta, termasuk seasta asing, untukherperan dalam industri kesehatan kita.

PERUBAHAN DALAM LINGKUNGAN LAYANAN KE-SEHATAN

Perkembangan kebutuhan kesehatan di masa depan diten-tukan oleh transformasi dan transisi dalam lingkungan layanankesehatan yang sudah berlangsung sejak dua dekade terakhir danakan berlanjut.

Di antara perubahan berlanjut yang akan besar dampaknyapada kebutuhan kesehatan kita dalam PJPT II adalah :• Transformasi ekonomi dan sosial• Transisi demografi• Transisi epidemiologi• Perkembangan ilmu dan teknologi• Perubahan dalam tatanan global.Dinamika perubahan dalam unsur-unsur tersebut di atas sudahberlangsung sejak bagian terakhir Repelita I, sejak ekonomi kitamulai ditata kembali dan diangkat dari tepi jurang keambrukan.

Transisi dan transformasi dalam unsur-unsur itu saling terkaitdan mempengaruhi satu terhadap yang lain. Hal-hal yang pokoktentang beberapa transisi itu akan ditinjau, dengan tujuan men-coba memprakirakan keadaan pada akhir transisi demografi danakhir transisi epidemiologi nanti, yaitu proyeksi tentang pen-duduk Indonesia dan pola penyakit serta status kesehatannyadalam PJPT II. Dari proyeksi keadaan itu akan diprakirakankebutuhan kesehatan kita sebagai bangsa waktu itu nanti. Dariprakiraan perkembangan kebutuhan itu akan dicoba diantisi-pasikan perkembangan perumah-sakitan kita.

TRANSFORMASI EKONOMI DAN SOSIALSebagai kelanjutan kegiatan pembangunan sebelumnya,

Indonesia diharapkan sudah menjadi negara industri dalam PJPTII. Di waktu itupun nanti titik berat pembangunan (masih) dile-takkan pada pembangunan bidang ekonomi, yang merupakanpenggerak utamapembangunan bidang-bidang lainnya, termasuksektor kesehatan.

Titik berat pada pembangunan ekonomi berarti transisi dariekonomi yang didominasi oleh pekerjaan di sektor pertanian kepekerjaan di sektor industri dan jasa akan berlanjut. Transisi iniakan lebih terpacu karena lahan bertani untuk petani peroranganakan semakin sempit, dan orang-orang muda akan semakinenggan meneruskan tradisi bertani. Mereka akan lebih tergiuroleh lapangan kerja di sektor industri dan jasa. Pendapatan daribertani umumnya kebih kecil dibandingkan dengan upah mem-buruh di pabrik atau proyek pembangunan. Dampak sosialnyaadalah berlanjutnya proses urbanisasi, yaitu persentase pen-duduk kota akan makin meningkat dibandingkan dengan persen-tase penduduk desa. Para ahli kependudukan memproyeksikandalam tahun 2020 lebih daripada separuh penduduk Indonesiatinggal di perkotaan, belum terhitung mereka yang tinggal dipedesaan tetapi pergi-pulang ke perkotaan (Ananta dan Sirait).

Industrialisasi dan urbanisasi besar dampaknya pada ling-kungan, yang pada gilirannya berarti meningkatnya masalahkesehatan dan potensi bertambahnya jumlah dan jenis penyakit.Kepadatan penduduk kota tentu mengakibatkan masalah ling-kungan hidup. Pemukiman padat menimbulkan masalah.Sampah dan limbah akan makin sukar untuk ditanggulangi. Air

Cermin Dunia Kedokteran,Misi KhususNo. 90, 1994 17

Page 18: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

bersih sebagai kebutuhan primer akan semakin kritis. Pengen-dalian penyakit yang dapat ditularkan harus semakin ketat.Masalah-masalah psiko-sosial sebagai akibat kepadatanpemukiman akan besar pula pengaruhnya pada kesehatan jiwabanyak orang. Demikian juga kasus kelainan kejiwaan akanmeningkat sebagai akibat ketegangan kehidupan kota yangsemakin kompetitif.

Narkotika dan ketergantungan obat akan pula menjadimasalah global yang makin sukar dikendalikan. Diperkirakanakan meningkat juga masalah sosio-medik yang terkait denganalkoholisme yang tahun-tahun terakhir makin tampak di per-mukaan, terutama di antara orang-orang muda.

Di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan akantetap tinggi (6 – 6,5% s/d tahun 2000) akan makin meningkatkanderajat kesejahteraan masyarakat, sekalipun tidak merata. Go-longan yang sejahtera akan makin berubah gaya hidup dan polabudayanya. Sistem nilai mereka akan sangat berubah. Tingkatpendidikan masyarakat akan makin meningkat. Informasi akansemakin global. Transformasi dan mobilisasi semakin mudah.Telekomunikasi makin lancar, sehingga jarak geografis makinmenjadi tidak penting. Menteri Ketua Bappenas Ginanjar Karta-sasmita yakin setelah dua Pelita pertama PJPT 11 tidak akan adalagi rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan (Suara Pem-baruan, 20 September 1993).

Semua itu akan berakibat kebutuhan dan tuntutan secaraumum akan makin meningkat, juga terhadap layanan kesehatan.Harga pemeliharaan kesehatan (atau harga mengobati penyakit)akan semakin mahal. Harga itu bukan ditentukan oleh biayapemeliharaan kesehatan an sich, melainkan juga oleh biaya-biaya lain di luar kebutuhan kesehatan dalam arti sesungguhnya:Dapat dibandingkan dengan penentuan harga untuk menginap dihotel berbintang tiga dengan di hotel berbintang lima. Kegiatanyang dilakukan di 2 hotel itu adalah sama, yaitu menumpangtidur, tetapi harga tidur di 2 tempat itu jauh berbeda. Untukmasyarakat yang semakin sejahtera tingkat hidupnya, hargapemeliharaan kesehatan akan semakin meningkat karena di-tambah dengan tuntutan kemudahan dan kenyamanan. Semuaitu diperkirakan akan mengakibatkan polarisasi yang semakintajam dalam sistem layanan kesehatan; layanan untuk golonganmampu akan semakin berbeda dengan layanan untuk masyarakatgolongan bawah. Akan terjadi apa yang dinamakan two tiershealth care system. Kesenjangan yang terlalu jauh antara 2 kelaslayanan kesehatan itu perlu dicegah sejak jauh-jauh; dampaksosial dan politiknya akan dapat merunyamkan.

TRANSISI DEMOGRAFISituasi kependudukan di Indonesia (dan hampir di semua

negara berkembang) sedang mengalami perubahan secara dra-matis, secara kuantitatif maupun kualitatif. Angka kematian bayi(IMR) dan angka kematian ibu (MMR) sangat menurun. Harapanhidup waktu lahir sudah jauh meningkat. Dari aspek kuantitatifsasaran yang ingin dicapai dalam PJPT 11 tentulah zero-growthatau minimal growth, entah dalam tahun berapa dan pada jumlahpenduduk berapa juta. Sebelum itu tercapai jumlah pendudukIndonesia akan tetap bertambah tiap tahun dengan angka jutaan,

sekalipun angka pertambahan penduduk suatu waktu nanti sudahdapat ditekan sampai di bawah satu persen.

Dari aspek kualitatif hal yang dapat dipastikan akan terjadiadalah bahwa penduduk Indonesia akan semakin menua, karenaakan semakin panjangnya usia harapan hidup pada waktu lahirdan meningkatnya mutu kehidupan.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indo-nesia memproyeksikan penduduk Indonesia dalam tahun 2015akan berstruktur sebagai berikut :Jumlah 245 388 204Usia s/d 19 th 79 028 429 = 32.21%Usia 60 s/d 75+ 24 446 290 = 9.97%

Angka-angka yang diproyeksikan di atas menunjukkanbahwa pada akhir PJPT II nanti diperkirakan :• Penduduk Indonesia akan menjadi hampir 1/4 milyar• 1 di antara setiap 3 orang adalah balita sampai remaja (belumproduktif)• 1 di antara setiap 10 orang adalah berusia lanjut (tidakproduktif lagi dan cenderung tidak sehat). Kelompok ini akanmeruipakan beban sosial dan beban ekonomi yang tidak kecilartinya. Tuntutan kelompok ini akan sumberdaya untuk layanankesehatan akan cukup besar.(Angka-angka di atas berasal dari penghitungan Ananta danArifin: Projection of Indonesian Population 1990–2020).

TRANSISI EPIDEMIOLOGIDalam PJPT II pola penyakit diperkirakan sudah beralih

kepada pola penyakit masyarakat sejahtera : penyakit kardio-vaskuler, kanker, korban kecelakaan lalu limtas, stroke, penyakitdegeneratif dan usia lanjut, alkoholisme, ketergantungan obat,risiko karena pekerjaan. Para ahli memperkirakan sekitar tahun2000 episenter ledakan epidemi penyakit AIDS akan berada diAsia, yang bukan hanya akan merupakan masalah kesehatan,namun juga masalah sosial dan ekonomi yang berat. Sukar di-ramalkan bagaimana dampak pemanasan global dan kerusakanekologi lainnya terhadap kesehatan manusia nanti.

PERKEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGIPerkembangan ilmu kedokteran sangat cepat. Dikatakan

orang sekitar 60% dari tingkat perkembangan saat ini telahterjadi dalam 2–3 dekade terakhir, termasuk tindakan-tindakanheroik seperti transplantasi jantung dan organ-organ vital lain.Semua itu dimungkinkan karena didukung oleh perkembanganteknologi yang juga sangat menakjubkan.

Teknologi kedokteran adalah himpunan pengetahuan, ke-terampilan dan prosedur melakukan tindakan medis. Sebenarnyaalat hanyalah salah satu aspek saja dari pengertian teknologisecara luas itu. Namun saat ini teknologi diidentikkan orangdengan alat untuk diagnosis dan terapi, malahan akhir-akhir inicenderung lebih disempitkan lagi dalam pengertian alat bertekno -

logi tinggi (hi-tech).Sikap umum terhadap teknologi dalam bidang medis saat

ini masih bermuka dua. Di satu pihak ingin dimiliki dan dikuasaiuntuk mengejar ketertinggalan, di pihak lain masih besar ke-curigaan terhadapnya. Terutama karena masih sangat tingginya

18 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 19: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

investasi untuk itu dan kekuatiran kemungkinan terjadinya be-berapa dampak negatif, antara lain penyalah-gunaan teknologi(technology abuse). Dalam banyak negara memang terbuktibahwa teknologi tinggi adalah salah satu penyebab makinmelonjaknya biaya layanan kesehatan.

Teknologi tentu akan makin berkembang dan canggih.Namun dalam PJPT II diharapkan sudah tercapai secara wajarkeseimbangan antara kebutuhan dan pemanfaatan teknologi se-cara tepat. Dengan health policy yang tepat saat itu nanti diha-rapkan teknologi akan menentukan tingkat layanan kesehatanyang dapat diberikan secara optimal, teknologi akan menjadilebih efektif-biaya. Di samping itu kecanggihan teknologi ke-dokteran akan membuat asuhan medis menjadi lebih aman danIebih menyenangkan bagi pasien. Sekarang pun orang sudahmembuat antisipasi bahwa 70% dari pembedahan yang sekarangdilakukan di rumah sakit, berkat dukungan teknologi dalamwaktu tidak terlalu lama lagi akan lazim dikerjakan tanpa pasienperlu dirawat. Ini berarti efisiensi dan kemudahan bagi pasien,serta kebutuhan tempat tidur rumah sakit akan berkurang.

Ilmu kedokteran akan semakin maju, didukung oleh per-kembangan biologi molekuler, bioteknologi, rekayasa genetik,pengertian yang lebih mendalam tentang ensim, hormon danlain-lain. Dalam PJPT II banyak penyakit diperkirakan sudahdapat dideteksi sebelum gejala paling dini terasa. Ini akan berartilebih lagi pergeseran perhatian pada upaya prevensi. Kanker pundiharapkan sudah akan dapat dicegah dengan imunisasi , danpengobatannya akan menjadi lebih efektif. Berbagai penyakityang sampai sekarang dianggap tidak dapat disembuhkan (se-perti beberapa penyakit turunan, gangguan sistem immun, cysticfibrosis) berkat teknologi terapi gen akan dapat dicegah dandiatasi. Semua itu akan mengakibatkan hidup manusia dapatdiperpanjang. Konsekuensi lain adalah biaya sosial untuk layan-an kesehatan juga akan meningkat.

Hal-hal yang terkait dengan perkembangan ilmu dan tekno-logi di atas akan besar dampaknya terhadap kebutuhan dan profilrumah sakit dalam PJPT II. Hospitalisasi terutama hanya untukkasus-kasus gawat darurat, kasus yang memerlukan tindakan"berat" seperti transplantasi organ, penyakit menahun dan pe-nyakit karena usia lanjut.

Diharapkan dalam PJPT II Indonesia tidak lagi hanya se-. bagai konsumen ilmu dan teknologi kedokteran yang diimpordari negara lain. Dengan pengembangan sumberdaya manusiadan peningkatan kemampuan penelitian Indonesia sudah akanlebih mandiri.

PERUBAHAN TATANAN GLOBALDunia akan menjadi semakin sempit. Batas-batas negara

akan semakin tidak ada artinya dalam lalu lintas uang, barangdan jasa, termasuk jasa kesehatan. Budaya dan gaya hidupdengan segala dampak positif dan negatifnya menjadi global,berkat keterbukaan informasi yang tidak mungkin dibendungdengan cara apapun. Jika kecenderungan seperti sekarang akanberlanjut seluruh dunia akan menjadi satu pasar bebas yangdikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional raksasa.Ungkapan global village atau global supermarket akan benar .

benar menjadi kenyataan.Salah satu ciri utama daripada pasar bebas demikian adalah

persaingan yang keras untuk memperebutkan konsumen. Indo-nesia yang nanti akan berpenduduk seperempat milyar, dengantingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan terus kuat, akanmerupakan pasar yang sangat diincar, termasuk oleh bisniskesehatan transnasional dengan jaringan global. Jaringan pe-rumah-sakitan mereka akan menancapkan cabang atau satelitnyadi negara kita. Dalam kaitan ini perlu dikaji secara teliti saranWorld Bank dalam laporannya tahun 1993 : harus ada persainganbebas dalam layanan kesehatan dan jangka ada proteksi untukindustri kesehatan domestik terhadap kompetisi internasionalRupanya Bank Dunia yang didominasi oleh negara-negara kayaini benar-benar berorientasi pasar bebas, yang dalam banyak halberarti bebas bagi yang kuat, kematian bagi yang lemah ! Itusemua jika tatanan global dikaji hanya dari pendekatan sosial-ekonomi dan bisnis secara sederhana. Di samping itu masihbanyak variabel lain yang dapat sangat besar pengaruhnya,namun sukar diantisipasikan sekarang. Semua rekaan di atastidak ada nilainya sama sekali jika terjadi kejutan-kejutan hebatdalam tatanan global (dan juga tatanan nasional atau regional)yang menyangkut perimbangan kekuatan senjata, gangguanstabilitas dan keamanan, pergeseran kekuatan politik nasionaldan internasional, krisis ekonomi dan keuangan, perang, desin-tegrasi suatu blok kekuatan atau suatu negara adikuasa. Ingat :dua puluh tahun yang lalu tidak ada yang berpikir salah satu blokadikuasa dapat runtuh berkeping-keping.

Perlu juga diikuti dengan seksama perkembangan Cinasebagai negara adikuasa baru, dengan segala dampaknya ter-hadap kita, juga terhadap industri kesehatan dan perumah-sakit-an.

PENINGKATAN KEBUTUHAN KESEHATAN DALAMPJPT II

Transisi kesehatan karena dinamika dalam unsur-unsurlingkungan kesehatan seperti dipaparkan di atas akan meng-akibatkan peningkatan kebutuhan kesehatan dalam PJPT II. Pe-menuhan kebutuhan yang meningkat itu harus dapat didukungoleh keberhasilan pembangunan ekonomi, sosial dan budayayang berlanjut (sustainable development). Ini antara lain harusberarti keberhasilan mengentas rakyat paling bawah ke atas gariskemiskinan dengan menyediakan lapangan kerja yang layak,meningkatkan mutu gizi, meningkatkan pendidikan minimal,memperbaiki lingkungan hidup, memperbaiki pemukiman danperumahan, membudayakan gaya hidup sehat, membudayakankeluarga berencana. Hal-hal itu adalah sarana dasar untukhidup sehat.

Dalam arti lebih sempit pemenuhan kebutuhan itu akanberarti :1. Peningkatan volume layanan karena jumlah manusia yangdilayani akan bertambah dengan sekitar 50 juta orang.2. Peningkatan mutu layanan disesuaikan dengan tuntutanobyektif (transisi demografi dan epidemiologi, perkembanganilmu dan teknologi, persaingan) dan tuntutan subyektif (karenapeningkatan pendidikan, kesejahteraan, gaya hidup, sistem nilai

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 1 9

Page 20: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

masyarakat).Memenuhi semua kebutuhan tadi dalam PJPT II (atau kapan

saja) pada dasarnya adalah masalah penyediaan sumberdaya(sumberdaya manusia, sarana, dana, teknologi, dan lain-lain)yang memadai. Pembiayaan layanan kesehatan di masa yangakan datang mau tidak mau harus menjadi beban bersamaantara pemerintah dan swasta menurut komposisi bauran(public-private mix) yang disesuaikan dengan perkembangankeadaan nanti. Melihat kecenderungan privatisasi yang seka-rang terjadi secara global, besar kemungkinan dalam PJPT IIperan serta swasta dalam pembiayaan kesehatan akan menjadilebih besar lagi ketimbang peran pemerintah. Untuk mengurangibeban anggaran pemerintah bagi layanan kesehatan, pemerintahperlu menyesuaikan kebijakan kesehatannya. Yang mungkindilakukan antara lain adalah mengurangi secara drastis peran-nya sebagai penyelenggara rumah sakit. Seperti diketahui sam-pai sekarang sekitar 60% anggaran belanja pemerintah untukkesehatan terserap oleh subsektor rumah sakit. Ini tidak meng-herankan karena rumah sakit adalah konsentrasi tenaga ahli danteknologi yang mahal. Oleh karena itu sebaiknya pemerintahmengurangi jumlah rumah sakit yang dimiliki dan dioperasikan-nya sendiri. Rumah sakit yang dibiayai atau disubsidi olehpemerintah sebaiknya hanya tinggal rumah sakit pendidikan danpenelitian, rumah sakit khusus tertentu dan rumah sakit untukmasyarakat tidak mampu. Rumah sakit jenis lain seyogyanyadiserahkan kepada swasta penyelenggaraannya. Pemerintahjangan sampai menjadi pesaing bagi swasta dalam penyelengga-raan rumah sakit. Orang-orang pemerintah hendaknya meng-hilangkan paradigma bahwa "swasta mau enaknya saja, peme-rintah kebagian yang tidak enak". Untuk "yang tidak enak itu"masyarakat (termasuk sektor swasta) ikut membiayai melaluipajak dan iuran langsung maupun tidak langsung yang lain.Pemerintah hendaknya membatasi diri hanya dalam menjalan-kan fungsi legislasi, perizinan, akreditasi, pengawasan dan pengen-dalian. Regulasi hendaknya tidak kaku dan keras, namun pe-rumah-sakitan tidak juga boleh sampai dilepaskan seluruhnyapada mekanisme pasar bebas. Harus ada regulasi terbatas atauregulated deregulation.

Di samping itu pemerintah sebaliknya terutama menyedi-akan layanan kesehatan primer yang semakin bermutu melaluiPuskesmas. Layanan Puskesmas tidak boleh lagi cuma-cuma,tapi sudah harus ditetapkan user fee untuk jasa yang dinikmatimasyarakat. Puskesmas diselenggarakan sebagai unit swadanayang disubsidi pemerintah. Dana pemerintah yang dapat dialih-kan dari anggaran untuk penyelenggaraan rumah sakit ditambahdengan dana dari user fee hendaknya dapat meningkatkan ke-mampuan layanan kuantitatif dan kualitatif oleh Puskesmas.Dengan demikian keterjangkauan, pemerataan, dan mutu layan-an kesehatan primer akan makin terjamin.

Penghimpunan dana masyarakat dan sektor swasta untuklayanan kesehatan akan sangat bertumpu pada sistem JaminanPemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM, managed care)seperti yang didefinisikan dalam Undang-undang no. 23 tahun1992, yaitu penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang pari-purna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang

berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pem-biayaan yang dilaksanakan secara praupaya. Kecenderunganbadan penyelenggara JKPM dimonopoli oleh satu badan usahasaja hendaknya dicegah.

RINGKASANTelah disampaikan tinjauan tentang kemungkinan perkem-

bangan sistem layanan kesehatan, termasuk rumah sakit, dalamPJPT II. Tinjauan perkembangan adalah perkiraan strategicresponse yang mungkin terjadi didasarkan pada proyeksi kebu-tuhan kesehatan waktu itu nanti. Dengan asumsi dan analisisyang terutama bersifat kualitatif (yang tentu saja mungkin sajameleset sama sekali), diperkirakan perkembangan perumah-sakitan akan ke arah :• Peran pemerintah sebagai pemilik dan penyelenggara rumahsakit akan berkurang. Pemerintah dapat bekerja sama atau ber-patungan dengan swasta (termasuk swasta asing) untuk investasirumah sakit.• Pemerintah terutama membiayai atau mengsubsidi rumahsakit pendidikan, rumah sakit khusus tertentu dan rumah sakituntuk masyarakat kurang mampu.• Pemerintah terutama mengsubsidi atau membiayai penyelenggaraan Puskesmas yang akan menjadi makin bermutu. Dengandemikian pemerataan dan keterjangkauan layanan kesehatanakan terjamin. Puskesmas dijadikan unit swadana.• Sektor swasta (termasuk swasta asing) akan lebih berperandalam penyelenggaraan rumah sakit untuk tujuan pelayanan danrujukan. Fungsi layanan rumah sakit akan berubah, terutamauntuk layanan kasus gawat darurat, rujukan diagnostik dan tin-dakan teknologi tinggi, perawatan intensif, perawatan penyakitmenahun dan penyakit usia lanjut.• Persaingan akan meningkat, bukan hanya antara rumahsakit (di dalam dan di luar negeri) tapi juga dengan hospitalswithout beds, diagnostic centers, treatment centers, nursinghomes, dan lain-lain. Sebagai akibat persaingan akan terjadikonglomerasi rumah sakit (hospital chains) atau bentuk usahalain yang lebih menjanjikan efisiensi dan efektifitas.• Dana untuk penyelenggaraan kesehatan akan berasal darigabungan:

Anggaran pemerintahDana masyarakat (pajak, user fee)Investasi modal swasta (PMDN, PMA)

— Sistem-sistem JKPM (managed care) yang masih harusdikembangkan.

KEPUSTAKAAN

1. Ananta A, Sirait H. Transisi Demografi, Transisi Kesehatan dan Pem-bangunan Ekonomi, Lembaga Demografi FEUI, Jakarta, 1992.

2. Ananta A, Antm bN. Projection of lndonesian Population, LembagaDemografi FEUI Population Series No. 2, Jakarta, 1991.

3. Black M. An Emerging Crisis: AIDS in Asia, Indonesian Observer, 25 Sept1993.

4. Gani A. Alternatif Pembagian Peran antara Pemerintah dan Swasta dalamPembangunan Kesehatan, Semiloka Peranan Pemerintah dan Swasta dalamPembangunan Kesehatan Menghadapi PJPT 11, Ciloto, 7—8 Mei 1993.

5. Lewis MA. User Fees in Public Hospitals : Comparison of Three Country

2 0 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 21: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Case Studies, World Bank, 1993.6. Marzolf J. Comparison of lndonesian and United States Health Care

Financing Reforms, lnternational Science and Technology lnstitute, Jakarta,1993.

7. Newbrander W et al. Hospital Economics and Financing in DevelopingCountries, WHO, Geneva, 1992.

8. Said Amin Tabish. Healthcare Finance and Economics, World Hospitals,Vol 29, No 2, 1993.

9. Sukirman. Beberapa pokok pikiran dalam pembangunan sumberdayamanusia dalam PJPT 11 dan Repelita V1, One day Seminar on Innovationsin the Financing of the Health Sector Perspective on PJPT 11, Jakarta, 22October 1993.

10. Djisman S. Medium-term trends in the lndonesian Economy and Impli-cated upon the Health Sector, One Day Seminar on lnnovations in theFinancing of the Health Sector Perspective on PJPT 11, Jakarta, 22 October1993.

11. Tangcharoensatien V. Health Transition, its impact on Health SectorFinancing in Thailand, Health Planning Division, Ministry of PublicHealth, Bangkok, 1993.

12. Tjiptoherijanto P. lndonesia Economic : Present and Near Future, FEUI,Jakarta, 1993.

13. Garis-garis Besar Haluan Negara, 1993.14. Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.15. World Bank Report 1993.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.90, 1994 21

Page 22: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Current lssues and Future Trendsin Health Care

Errol PickeringDirector General, International Hospital Federation

INTRODUCTIONIt is a pleasure to bring greetings to our Indonesian colleagu-

es from the 21 members of the Council of Management of theInternational Hospital Federation, which in turn represents 21nations. The federation has members in all five continents and in90 nations. I, therefore, have the great privilege of seeing andhearing of health services developments around the world. Today,I will review some of the important trends and ideas I seeemerging in health services delivery. I have identified 8 trendswhich I wish to describe. While I will identify them as trends 1to 8, I don't wish to imply that one is any more significant thanthe other.

TREND 1 — CONTROLLED COMPETITIONThroughout the history of health care organisation, there

has been a debate about the role of government versus privateinitiative in health care provision. Until recently the UnitedStates and the United Kingdom have been at opposite ends of thisspectrum. Britain has had a government dominated health servicewhilst in the United Sates private initiative has been the drivingforce. It may be of interest then to reflect on one of the outcomesof these approaches. The United States spends presently 13% ofits Gross National Product on health care. In the UnitedKingdom that figure is only half of that, 6.5%. If one considersthe difference in the per capita income of citizens of the UnitedStates and the United Kingdom, you can see what a dramaticdifference there is. However, in both countries there is majorchange under way. The United States has found that competitionwhich is promoted by a system based on private initiative hasresulted in, inter aliaa) Service duplication

Presented at the Vlth Congress of the lndonesian Hospitals Association&Hospital Expo, Jakarta 21 — 25 November 1993

b) Over supply of high technologyc) Poor community health systems and status andd) Denial of access based on ability to pay of 37 millionAmericans.

In the last few weeks I have been in the United Statesdiscussing the US President's proposed reforms with myAmerican colleagues. It is too early to say what will be theultimate outcome of the reform movement in health care in theUS but some elements of the President's package will clearlyremain intact. Firstly, for the first time 100% of the Americanpopulation will have access to health care irrespective of theirability to pay. Secondly, employers both in large industries andin small businesses will be forced to carry health insurance fortheir staff and families and thirdly, that health care financing willbe organised on a state level through insurance alliances in eachstate. The final essential of President Clinton's programme isthat there be community-wide managed care systems at the locallevel. This will in turn lead to a system of controlled competitionof purchasing and providing care.

The United Kingdom has already moved to controlledcompetition through its internal market approach. This involveshospitals and other health care facilities competing for govern-ment funds to provide local services. The system has now beenin operation for some two years and the impact of the reforms arebecoming evident.

Firstly, there has been improved productivity in hospital andhealth services. This has had the impact of reducing usage of bigcity teaching hospitals. This is likely to result in the near futurein the closure of some of London's great, world famous hospitals.Another hoped for impact of the government was that therewould be a reduction in waiting lists for elective surgery. The

22 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 23: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

results in fact have been mixed. The overall analysis suggeststhat there has been no real benefit in this context. The other un-expected outcome has been that increase in productivity hasbrought with it rapid patient throughput which has meant thathospitals have often spent their elective surgery budgets withinthe first half of the year and have no funds remaining to continuetheir elective surgery for the remainder of the year.

It is of concern to me that many countries are beginning tocopy the UK model. New Zealand has completely moved to thismodel and Sweden is in the midst of its implementation andmany countries are about to adopt the system. My concern is thatall the evidence on the system is not yet in. Governments shouldbe more cautious about adopting such radical reforms.

TREND 2 – RE-DEFINING QUALITYQuality has become a central focus for nations in organising

their health services. This is because poor quality health care isa waste of resources. Our communities are also becoming bettereducated and so demand a better quality of health care. It used tobe that health service providers thought of quality as a lesserpriority but now it is one of the major driving porces of health caredelivery.

We can see this move focusing on quality in the expansionof accreditation systems throughout many countries. Existingaccreditation systems are also becoming more sophisticated. Inthe United States the Joint Commission on Accreditation ofHospitals and Health Facilities has spent many millions of dollarson identifying patient care outcomes as a means of measuringstandards of health care.

Around the world we see hospitals adopting continuousquality improvement and Total Quality Management Systems asapart of the central core of their management. That is, their totalorganisational structure and their information systems are beingre-designed to focus on quality.

One of the interesting developments in this regard is theincreasing use by American hospitals of what have been calledStandard Treatment Protocols. These protocols set out what isnecessary to be done for each diagnosis at each phase of care andidentifying what diagnostic and treatment services are requiredand how the patient's treatment should be scheduled.

The British approach has been different; they have focusedtheir standards on attempting to determine the patient's perspec-tive on quality and service. We can see from the listing whichfollows that the British definition of quality is quite different tothat of the United States (see attachment 1). This concept of thepatient's charter of rights is a personal initiative of the Britishprime minister, Mr. Major. This charter of rights has beendistributed widely through hospitals and thecommunity and eachpatient has access to the patient's charter booklet which sets outwhat they may expect of the health service provider. The listingswhich follow provide more detail of the patient's charter inBritain (see attachments 2 & 3) .

Another approach that governments are using to definequality in health services is to look at the health status of thecommunity. In particular they are setting targets for preventable

diseases and health promotional activities. So for example,governments or regions are setting targets for reductions ininfectious diseases of various kinds and in coronary disease etc.

In some way it can be seen that there is a re-definition ofquality which expands the focus from the clinical level to thepatient level and to the community level.

TREND 3 – MANAGING WITH DATASome years ago I visited Cuba to examine their health

system. They have a very advanced system of community healthmapping. That is, that they are able to identify morbidity not onlyin every community but in every house in their cities. They thenuse this information to get a basis for the organisation of theirhealth services and for developing priorities.

In the United States there are sophisticated community-oriented information systems being developed with the use of

Attachment 1British Patient's Charter Rights

National Standards

1. Respect for privacy, dignity and religious and cultural beliefs.2. Arrangements to ensure everyone, including people with special needs, can

use services.3. lnformation to relatives and friends.4. Waiting time for an ambulance service.5. Waiting time for initial assessment in accident and emergency departments.6. Waiting time in outpatient clinics.7. Cancellation of operations.8. A named qualified nurse, midwife or health visitor responsible for each

patient.9. Discharge of patients from hospital.

Attachment 2British Patient's Charter Rights

Existing

1. To receive health care on the basis of clinical needs regardless of ability topay.

2. To be registered with a GP.3. To receive emergency medical care at any time, through your GP or the

emergency ambulance service and hospital accident and emergency depart-ments.

4. To be referred to a consultant, acceptable to you, when your GP thinks itnecessary, and to be referred for a second opinion if you and your GP agreethis is desirable.

5. To be given a clear explanation of any treatment proposed, including anyrisks and any alternatives, before you decide whether you will agree to thetreatment.

6. To have access to your health records, and to know that those working for theNHS are under a legal duty to deep their contents confidential.

7. To choose whether or not you wish to take part in medical research or medicalstudcnt training.

Attachment 3British Patient's Charter Rights

New

1. To be given detailed information on local health services, including qualitystandards and maximum waiting times.

2. To be guarantecd admission for treatment by a specific date no later than twoyears from the day when your consultant places you on a waiting list.

3. To have any complaint about NHS services — whoever provides them —investigated and to receive a full and prompt written reply from the chiefexecutive or general manager.

Cermin Dunia Kedokteran,Edisi KhususNo. 90, 1994 23

Page 24: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Attachment 4Appendix A. Sample Surgical Clinical Path-DRG 104: Valve Procedure with Catheterization

CriticalOccurances

Preadmit:Tele Unit

Tele UnitlCath

ORDay

POD 1 POD 2 POD 3 POD 4 POD 5 POD 6 POD 7

LOS Day 0 LOS Day 1 LOS Day 2 LOS Day 3 LOS Day 4 LOS Day 5 LOS Day 6 LOS Day 7 LOS Day 8 LOS Day 9

Consults

Tests

Treatments(includesneeds)

Activity

Diet

Discharge

Teaching

SSHomenursingDietician

ECG. CXR.Labs.

Client listshome needsOld recordsto unit

UP

NPO 6 hrsbeforeprocedure

Assesshomesupporthealth habitscopingability

CathBooklet

Pre-op Labs

IVSheathremoval

BR —> UP

NPO p MN

Pre-op

Tcachingand tour

Post-opECG, CXR,labs, VS,Neurochecks

MonitorVentilator

Artline/CVPNGT. pacerChest tubes

, IV

FoleySkin Care/incisionI & O/wt

Analgesics

Turn q 4 hr.ROM

NPO

RespiratoryTherapy

D/C 2-4L 02 NC

D/CD/C

D/C

Dangie X 2

Liquid diet

Begin post-optcaching

CardiacrehabCNS

DiabeticCardiac

DC ECG

02 pm1.5./C&D8

D/C boxD/CHL (Changesite)DC CentralLines

Anti-conguiartis

Ambulatetid

Cardiac Dietor diet as athome-fluidrestriction(DC when atpre-op wt)

DC CXR

D/C 02

D/C wires

DCI + O if atpre-op wt.

D/C labsexcept PTcontinue

D/C

tid andad lib

D/C

Physicianorder onchart for DCmg nereds

TransferrecordDiscuss D/Cplans

I

GXTscheduled

Predischargeorders,scripts, medsheet onchart

Complete

Doneprior 9a

D/C before12 Noon

Reviewmeds,activitylevel , S&Sto report,diet, labs,appts.

2 4 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No . 90, 1994

Page 25: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

computers these link hospitals to community health services, tolocal GPs; One example is in San Diego where half the populationis covered through this network of information.

The most obvious example, of course, of managing healthservices through the use of data is that of "DRGS" (DiagnosisRelated Groups). This system means that hospitals are reim-bursed on the basis of the average cost of dealing with a particulardiagnosis. This system which began in the United States about adecade ago has now reached Australia, Spain, Sweden and Iunderstand parts of Asia. However, DRGS have now beenextended, as indicated early, to standard protocols but further tothe concept of developing patient critical paths for dealing withaparticular diagnosis. The attached appendix (i.e. attachments4 & 5) gives an indication of what is involved. You can see notonly what will occur in each phase of care but when each phaseofcare will take place. You can see, from the chart setting out the"cardiac path" for the treatment of three types of surgery, thepotential cost saving implications of using these systems. I thinkwe will hear much more of this new concept.

TREND 4 – COMMUNITY ORIENTATIONAustralia has been a leader for many years in orienting its

health services to the community. Many of its hospitals havebeen carrying out community outreach programmes for morethan a decade. Many European countries also have a regionalbasis for their health service delivery which puts an emphasis oncare at the community level. Sometimes this extends beyondhealth care workers, for example in Sweden that postmen havebeen given a responsibility to ensure that the house-bound elderlyin the community are "okay".

Concepts of health promotion have also been with us for atleast two decades. It must be reported, however, that the resultsof these programmes have been, in large part, disappointing.Hospitals are still filled with the problems associated withlifestyle. Research I think is beginning to show us that what wemustdo in regard to influencing of lifestyles is to start withhealthpromotion programmes for our children. In this context I havebeen delighted to find outMickeyMouse is coming to our aid inthat the Disney Corporation is beginning to produce healthpromotion materials for children around the world.

Another aspects of community orientation of health servicesis our growing research base on health care screening economics.It has now been cleariy shown that cervical cancer, colon cancer,breast cancer, hypertension and hypercholesterolemia are alltargets for cost beneficial national screening programmes.

The World Health Organisation has long recognised that thehealth of a country is not primarily related to the nation's healthservices. The health of the citizens of a country of course relatesto the standard, or the environment, transport, education, welfareand housing. This can all be distilled into one word –"poverty".I think we in health services often forget the need to coordinatewith our colleagues in other sectors to help to improve the healthstatus of our peoples.

TREND 5 – RATIONINGThe Paris-based organisation – OECD, the Organisation for

Economic Cooperation and Development, estimates that hos-pital cost inflation is primarily caused by medical technologydevelopments. The study which demonstrated this is now a fewyears old but it can be said that it is known that investment in bio-medical research has increased to 4 billion dollars a year. It isestimated that through new bio-genetic techniques that some fourthousand previously unmanageable diseases will become treat-able. Health care economists around the world are recognisingthe likely impact of these great leaps of medical science andputting them into the context of an already cash-starved healthsystems. Are we then heading into a period of rationing of healthcare?

Let's examine the situation a little more deeply. We can seethat while bio-genetics has as potential for increasing costs it islikely that new vaccines will become available through thistechnology and therefore reduce infectious disease. Presentlypharmaceutical products account for some 40% of a reduction ofmobility in our communities and therefore there is the increasedpotential for further reduction as medical research proceeds alsoin terms of techniques, we already know that day surgery anddiagnostic approaches have reduced costs.

Further we can see that most nations are now setting upnational programmes of technology assessments to ensure theappropriate introduction of high technology on a rational basis.

Attachment 5Figure 4. CardiacPath'"' —Paticnt and Financial Outcomes Comparison

Pre-CardiacPath Post-CardiacPathProcedure

Avcragc Total Avcragc % Averagc Total Avcragc %Charges * LOS Mortality Charges * LOS Mortality

Valve Surgcry( DRG 104-105) $54,017 13.4 10.2 $4O,122 10,6 4.3

CABG Surgcry( DRG 106-107) $37,648 11.1 2.7 $33,913 9.9 2.7

PTCA

(DRG 112)$17,566 3.8 0.9 $15,738 2.4 0.7

* Includes anethesia fees

.Source : Borgess Medical Center , Kalamazoo , Michigan

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 25

Page 26: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Another interesting dimension of this question is that ofappropriate utilization of resources; we can see from the attacheddata (attachment 6), emanating from the Rand Corporation inLos Angeles, that we have far to go in eliminating waste. Randhave also identified the impact of the health financing system onthe utilization of services. You can see from their data oncaesarian sections what this impact is. The following chartdemonstrates the phenomenon (attachment 7).

In summary I think we can say that much can be done toreduce costs and pressures on services in health care but it is mypersonal view that rationing will have to come. The Britishresearch on "qualies" has clearly demonstrated that healthservices can be delivered on a more rational basis by allocatingresources relating to the quality of life expected followingparticular medical procedures. That is, for example, any rationalhealth system would lower the priority of fund allocation to by-pass surgery because of its rather doubtful long-term benefits yetit would increase resources allocated to say, hip replacementbecause of the profound improvement of the quality of life of thereciopient of this particular procedure. You will be aware, I'msure that the State of Oregon in the United States has developedthis "quality" system into an operational programme which hasjust cleared the courts and is to be put in place in that state forMedicare patients. It would seem to me that it is a model whichwe must all examine in a future where health care rationing seemsimminent.

Attachment 6Hospital Wastage (Rand Corporation Studies)

1 in 4 hospital days unnecessary.1 in 4 clinical procedures unnecessary.2 out of 5 medications unnecessary.

Attachment 7Financial Disincentives

Caesarian Sections US Data

RateIn government hospitals 21%In voluntary not-for-profit hospitals 23%In for-profit hospitals 31%

TREND 6– FOCUSING ON PATIENTSWe in hospitals and health care have always put emphasis on

patient care but experiments are going on in health servicedelivery facing a renewed examination of a health service froma patient's point of view. For example in the United States thereare several hospitals which have been restructured to becomewhat are called "patient-focused hospitals". This involves thedecentralisation of many of the allied health professionalservices so that they actually operate at ward level. That is ineach ward there will be a physiotherapist, a laboratory techno-logist, a pharmacist, a social worker etc. This means that a truepatient care team is developed at ward level.

The result of this restructuring has been shown to, not onlyimprove the patient's perspective of care, in that they truly obtainthe sense of being cared for by a small team of professionals, but

also cost savings have been demonstrated, ranging to as much as5% of operating costs.

There are also developments concerning staff training. Thatis there is a belief that a multi-skilled staff a more effective wayof dealing with patients. That is, there is a new level of professio-nal which can carry out many of the basic professional functions.This multi-skilling has also occurred at the low level of em-ployee, whereby for example the ward cleaner takes on a broaderfunction of food delivery to the patients and messages around thehospital as well as providing a patient comforting role.

There is also a world wide trend to educate the patientconcerning their condition and their health in general; there isalso a trend to sharing information with the patient particularlythe patient's records. In many countries it is now the law thatthe record belongs to the patient and they have access to it at alltimes.

The other dimension of patient focusing is in regard tomedical ethics where it is now recognised that questions concern-ing the patient's fate or that of their family must be discussed withthem and that the patient and his family take a major role in thedecision-making concerning further medical procedures. Themost obvious example of this is Euthanasia in the Netherlands.

Another new patient-directed development is that of thenon-smoking hospital. Many us hospitals are now totally non-smoking, that is neither patients nor staff may smoke in thebuildings or in the immediate surroundings of the hospital. Thisidea is also spreading internationally and is evident now in partsof Australia and in Britain and is gaining hold as a concepteverywhere.

TREND 7– DEPRIVATION AND DISASTERAmong all of the exciting developments in health care there

is also a dark side and that of course is so evident in Africa andin the former Yugoslavia. In Africa of course the problem isdeprivation. I was.staggered to read recently that the healthbudget for some African countries is as little as 50 Americancents per person per annum. This means that they have nopossibility of importing drugs or equipment and as a result theirpharmacies remain empty and their professionals helpless.

In Yugoslavia we have seen the grotesque sight of hospitalsbeing targeted as military objectives. Many hospitals have beendestroyed and health service professionals have been killed andtortured. The Geneva Convention whereby hospitals aresanctuaries of peace, has not held up in this horrible civil war.

TREND 8– HEALTH SERVICE RESEARCH BASEPOLICY

One of the truly hopeful signs of health services develop-ment around the world in the establishment of National HealthService Research Institutes. These research institutes canprovide information on the health of the country and the impactof its health service systems through their research activities.That is for the first time countries are obtaining facts to basetheir health policy on rather than what has been in the past purelyideology or supposition.

26 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 27: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

This development is long overdue particularly when wemake comparisons with industry where they spend very substan-tial proportions of their budget on research and development; insome industries this is as high as 30% of their input whereas inhealth care we tend to spend nothing or very little. The establish-ment of these Health Service Research Institutes and the use ofdata can result in rational health policy development. This meansthat health policy can be developed based on the following flowchart (attachment 8).

CONTEMPLATIONSIndonesia has been one of the success stories of health status

improvement over recent years. Indeed it is true to say that youhave much to show the world in regard to how to rapidly improvethe health status of a nation. Can I then say that whilst all of thetrends I've outlined today are of great interest, all countries needto carefully assess new trends before they take action to imple-ment them. My advice would be to keep in touch with the worldthrough reading and attendance at conferences but to digest theinformation carefully. Ask yourself whether what you've justread or heard relates to a problem in your country and whether the

Attachment 8Rational Health Policy Development

Community health status data↓

Health morbidity geographic and social data↓

Present resource allocation information

Planned policy initiative↓

Community and professional feedback↓

Pilot initiative↓

Evaluation of impact

Policy amendment, abandonment or implementation

problem is one which requires a priority solution. In short todevelop Indonesian solutions to Indonesian problems.

Thank you for the honour of being invited to speak at yourconference and may I wish the rest of your deliberations well.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 27

Page 28: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Peningkatan Mutu PelayananRumah Sakit

Dr Broto Wasisto, MPHDirektur Jenderal Pelayanan MedikDepartemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUANPembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama yang akan

berakhir dengan berakhirnya Repelita V ini, telah menunjukkanhasil yang menggembirakan. Keadaan sosial-ekonomi dan pen-didikan 'masyarakat semakin tinggi sehingga orientasi sistemnilaipun telah berubah. Masyarakat semakin menginginkanpelayanan umum lebih baik, termasuk pula pelayanan kesehat-an. Tuntutan dan harapan masyarakat akan pelayanan kesehatanyang bermutu semakin terasa. Namun disadari ada perbedaanpersepsi mutu antara konsumen dan provider. Konsumenmengartikan pelayanan yang bermutu apabila pelayanan ter-sebut ramah, nyaman dan menyenangkan sedangkan providermengartikan mutu apabila pelayanan sesuai dengan standar.Perbedaan persepsi tersebut sering mengakibatkan keluhan akanpelayanan.

Selain persepsi yang berbeda, istilahpun sering menjaditopik yang menarik untuk diperdebatkan. Banyak istilah yangdipakai dalam program mutu ini seperti antara lain program

menjaga mutu, program pengawasan mutu, program peningkat-an mutu, manajemen mutu, peningkatan mutu berkesinam-bungan, dan lain sebagainya. Walaupun banyak istilah yangdigunakan namun pada dasarnya program peningkatan mutuadalah "keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensifdanintegratif yang memperbaiki struktur, proses dan outcome daripelayanan kesehatan yang dilakukan secara obyektif, sistema-tik dan berlanjut serta memantau dan menilai mutu dan ke-wajaran pelayanan, dan memecahkan masalah-masalah yangterungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di rumahsakit berdaya guna dan berhasil guna." Oleh karena tujuan akhiradalah meningkatkan mutu pelayanan maka Departemen Ke-sehatan telah menetapkan istilah untuk program mutu adalah

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta ,21 - 25 November 1993 .

program peningkatan mutu pelayanan.

Makalah ini akan membahas manajemen mutu dengansistematika sebagai berikut : Pendahuluan, Sejarah perbaikanmutu, Mutu Pelayanan RS, Perbaikan Mutu Pelayanan Kese-hatan di Indonesia.

SEJARAH PERKEMBANGANUpaya peningkatan mutu pelayanan, sebenarnya bukanlah

yang baru. Sekitar 20 abad sebelum Masehi pada zamanHammurabi dari Babilon telah dikenal upaya-upaya peningkatanmutu pelayanan, demikian pula pada zaman Hippocrates sekitar25 abad sebelum Masehi. Di Inggris, Florence Nightingale(1820— 1910) melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatanterutama pelayanan keperawatan. Di Amerika Serikat, Ameri-can Medical Association (1876) mulai melakukan pembenahanpendidikan dokter, dimanahasil penelitian Carnegie Foundation(Flexner Report) yang dipublikasikan pada tahun 1910, diikutidengan ditutupnya beberapa fakultas kedokteran yang tidakmemenuhi syarat.

Sebelum tahun 1950, program peni ngkatan mutu pada umum-nya berupa penyusunan standar tenaga, pelayanan atau sarana.Pada tahun 1912 Joint Committee for Consideration of Stan-dardization of Visiting Nurse menyusun standar ketenagaanperawat sedangkan Kongres Ahli Bedah Amerika Utaramenyusun standar pelayanan bedah pada tahun 1915. Setelah itupada tahun 1917 telah disusun standar minimum staf inedikrumah sakit, tahun 1918 standar minimum saranaRS, tahun 1946di Amerika Serikat dikeluarkan Hill Burton Act yang mengaturtata laksana perluasan (termasuk biaya) rumah sakit.

Setelah tahun 1950 sampai tahun 1970, program peningkatan

28 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 29: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

mutu semakin aktif diselenggarakan. Hal tersebut terlihat dengandibentuknya Joint Commision on the Acreditation of Hospitalpada tahun 1950, dimana pada tahun 1952 komisi ini telahberhasil menyusun standar pelayanan terutama tentang tindakanpembedahan. Dengan telah disusunnya standar tersebut makapada tahun 1953 dilakukan akreditasi rumah sakit. Upaya lainnyadalam peningkatan mutu pelayanan adalah dilakukan medicalaudit (1956), utilization review (1960) dan peer review (1970).

Perkembangan program peningkatan mutu semakin pesatsetelah tahun 1970. Hal tersebut karena adanya pengaruh dariprogram yang sama yang diterapkan pada sektor industri dandimotori terutama oleh negara Jepang. Program yang berkem-bang setelah tahun 1970 adalah diperkenalkan ProfessionalStandard Review Organization di Amerika pada tahun 1972.Kemudian tahun 1975 mulai diperkenalkan cost containment.Diagnostic Related Group System, kegiatan outcome audit danrisk management. Tahun 1976 infection control standard, tahun1979 quality assurance standard dan tahun 1983 peer revieworganization. Setelah tahun 1983 mulai diperkenalkan qualityimprovement program, continuous quality improvement pro-gramdan total quality management, yang prinsip-prinsip dasar-nya sebenarnya tidaklah berbeda dengan program peningkatanmutu pelayanan rumah sakit.

Apabila di luar negeri program peningkatan mutu dimulaisebelum tahun 1950, maka di Indonesia langkah awal yangsangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan DepartemenKesehatan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan adalahpenetapan kelas rumah sakit pemerintah melalui SK Menkes No.033Birhup/1972. Pada awalnya ditetapkan kriteria dari masing-masing kelas yang kemudian berkembang menjadi standar-standar. Untuk rumah sakit swasta telah dikeluarkan KeputusanMenteri Kesehatan No. 806b/Menkes/SK/XII/1987 , yangselain menetapkan kelas rumah sakit, juga dilengkapi denganstandar berdasarkan kemampuan pelayanan.

Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baikmenyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untukmasing-masing kelas rumah sakit. Selain itu Departemen Kese-hatan juga mengeluarkan berbagai pedoman (guidance) untukmeningkatkan penampilan rumah sakit. Pada tahun 1984 De-partemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai indikatoruntuk mengukur dan mengevaluasi penampilan rumah sakit pe-merintah kelas C dan rumah sakit swasta yang setara yaitu dalamrangka Hari Kesehatan Nasional. Indikator ini setiap dua tahunditinjau kembali dan disempurnakan. Untuk tahun 1991 telahdilengkapi dengan indikator kebersihan dan ketertiban rumahsakit dan yang dievaluasi kelas B, C, D, dan rumah sakit swastasetara. Program peningkatan mutu yang lainnya adalah pe-menuhan standar ketenagaan yaitu dengan mengirim dokterempat spesialis dasar untuk rumah sakit kelas C, mengadakanpelatihan dan bimbingan teknis petugas rumah sakit.

Selain hal di atas secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakittelah mengadakan monitoring dan evaluasi pelayanan rumahsakit. Ada yang melakukan penilaian mutu berdasarkan derajatkepuasan pasien, penilaian mutu berdasarkan penilaian perilakudan penampilan kerja perawat, penilaian melalui infeksi noso-

komial, penggunaan obat secara rasional dan yang akhir-akhirini mulai berkembang di rumah sakit adalah penerapan guguskendali mutu dan manajemen mutu terpadu.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa ke-sadaran untuk meningkatkan mutu sudah cukup meluas walau-pun dalam penerapannya sering ada perbedaan. Untuk itu agarada persamaan persepsi maka Departemen Kesehatan telahmengeluarkan buku pedoman program peningkatan mutu pela-yanan yang kemudian dilanjutkan dengan pengadaan pelatihanpeningkatan mutu.

ANALISIS SITUASI MUTU PELAYANAN RUMAHSAKIT

a) Gambaran umum rumah sakitPada tahun 1990 terdapat 938 rumah sakit umum dengan

108.133 jumlah tempat tidur. Dari jumlah rumah sakit tersebut36% adalah rumah sakit swasta, 44,4% rumah sakit pemerintah,11,9% rumah sakit ABRI dan 7,7% rumah sakit milik BUMN.Dibandingkan 10 tahun sebelumnya, keadaan tersebut merupa-kan perbaikan yang bermakna.

b) TenagaDalam rangka peningkatan mutu pelayanan rumah sakit

maka dilakukan penyebaran dokter 4 spesialis dasar ke rumahsakit-rumah sakit pemerintah khususnya rumah sakit umum dikabupaten dan kotamadya. Namun disadari sampai saat inibanyak rumah sakit masih kekurangan tenaga medik demikianpula untuk tenaga paramedik. Permasalahan umum mengenaitenaga adalah jumlah dan mutu yang tak memenuhi serta dis-tribusi yang tidak merata.

Tenaga yang merisaukan jumlahnya adalah tenaga para-medis. Pada tahun 1990 secara umum dokter yang bekerja disarana-sarana pelayanan kesehatan jumlahnya sudah cukupmemadai, hanya distribusinya masih timpang. Hampir 70%dokter bertugas di pulau Jawa-Bali dan 23% di DKI. Tenagaperawat penyebarannya lebih baik: DKI 17,5% dan Jawa-Bali58%. Keadaan tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap-mutu pelayanan yang diberikan.

Dari pengkajian diagnosis rumah sakit oleh HSF Usaidsecara umum dapat dikemukakan bahwa rumah sakit kelas A danB memiliki tenaga paramedik perawatan dan non medik yangcukup jumlahnya sedangkan tenaga medik nampaknya ber-lebihan. Di rumah sakit kelas C dan D pada umumnya keku-rangan tenaga untuk semua katagori, namun standar kepega-waian yang digunakan sekarang masih perlu dievaluasi kembalidan komposisi tenaga medik masih kurang serasi. Temuan lain-nya adalah banyaknya tenaga dokter rumah sakit pemerintahyang bekerja sebagai tenaga parttimerdi rumah sakit swasta danbanyaknya tenaga honorer di semua rumah sakit. Hal ini tentu-nya juga akan mempengaruhi mutu pelayanan.

Mutu pelayanan tak terlepas dari mutu keperawatan, dimana masih banyak permasalahan yang dijumpai. Sampai saatini belum ada standarisasi tenaga perawat yang sesuai denganperan dan fungsinya. Upaya peningkatan kemampuan dan ketram-pilan tenaga perawat melalui pelatihan-pelatihan belum mampu

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 2 9

Page 30: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

mengatasi kesenjangan antara tuntutan peningkatan mutu pe-layanan keperawatan dan kemajuan IPTEK kesehatan/ke-perawatan. Pengembangan karier tenaga perawat ke arah pro-fesionalisme, melalui penyelenggaraan pendidikan berjenjangbelum terarah jelas. Tanpa melalui pendidikan berkelanjutan,pengembangan profesionalisme sulit diwujudkan.

Pemahaman terhadap budaya melayani dirasakan masihkurang, hal tersebut terlihat dalam melakukan tugasnya perawatkadang-kadang kurang tanggap dan kurang ramah. Selain ituuraian tugas, peran dan fungsi setiap katagori perawat berdasar-kan jenjang pendidikan belum ditetapkan secara jelas dan kuali-fikasi tenaga perawat untuk jenjang dan jenis keperawatantertentumasih perlu ditetapkan. Kesemuanya itu tentunya akan mem-pengaruhi mutu pelayanan khususnya mutu asuhan keperawatandi RS. Managerial skill dan technical skillperawat masih kurang.Keadaan tersebut sering menjadi keluhan khalayak ramai.

c) DanaBeberapa masalah yang dihadapi dalam pembiayaan kese-

hatan antara lain : keterbatasan biaya, penggunaan biaya yangkurang efisien dan distribusi yang kurang merata. Bila di-bandingkan Produk Domestik Bruto (PDB), maka total biayakesehatan secara relatif menunjukkan kecenderungan menurun.Untuk kurun waktu lima tahun (1982–1987) persentase biayakesehatan terhadap PDB berturut-turut adalah 2,78%, 2,48%,2,23%, 2,39% dan 2,51%. Angka tersebut belum pernah men-capai 3% PDB, apalagi mencapai 5% PDB seperti direkomen-dasikan oleh WHO. Di Thailand pengeluaran untuk kesehatanmencapai 5,1% GNP (1985), RRC mengeluarkan 3,1% (1985),Korea 4,3% (1986) dan Philipina 2,4% (1985).

Bila dirinci lebih jauh mengenai anggaran pemerintah, makaanggaran yang dialokasikan oleh Departemen Kesehatan untukrumah sakit hanya sekitar 45%, dan hampir 95% di antaranyauntuk kegiatan kuratif.

Sistem pembayaran di rumah sakit kebanyakan masih feefor service dan out of pocket, sedangkan pembayaran melaluisistem asuransi masih terbatas. Keseluruhan pendapatan rumahsakit pemerintah (revenue) harus disetor kepada kas negara padahari yang sama. Akhir-akhir ini beberapa RS Pemerintah telahditingkatkan menjadi RS Unit Swadana yang berarti RS dapatmenggunakan langsung pendapatnya.

Biaya rumah sakit pemerintah dapat berasal dari berbagaisumber yang disalurkan pemerintah, melalui jalur yang cukupbanyak dan terpecah-pecah. Keadaan ini mencerminkan ku-rangnya koordinasi dan integrasi dalam perencanaan dan pe-laksanaan. Akibatnya penggunaannya menjadi kurang efisien.Di samping itu terjadi pula ketidak seimbangan antara biayapembangunan dan biaya operasional dan pemeliharaan. Kenaik-an anggaran pembangunan tidak selalu disertai dengan kenaikanyang memadai dari anggaran operasional dan pemeliharaan.Biaya operasional dan pemeliharaan pada RS Pemerintah hanyadialokasikan sebesar 50%. Subsidi pemerintah untuk rumah sakitpemerintah sangat besar karena tarif yang terlalu rendah.

Adanya kendala dana tadi akhirnya akan mempengaruhiupaya peningkatan mutu pelayanan. Rumah sakit pemerintah

sangat sulit dapat memelihara sarana fisik dan kegiatan-kegiat-annya. Dengan konversi beberapa rumah sakit menjadi unitswadana maka kendala-kendala di atas untuk sebagian dapatdikurangi.

d) FasilitasGedung rumah sakit pemerintah maupun swasta kebanyak-

an dirancang tidak tuntas dan banyak yang belum mengikutikaidah-kaidah rumah sakit, seperti zoning yang baik, flow ofpatients yang efisien dan etis, pembuangan limbah, erosi, danlain sebagainya. Selain itu, lingkungan rumah sakit banyak yangmasih kotor terutama di rumah sakit pemerintah. Hal ini menu-runkan citra pelayanan pada banyak rumah sakit. Diharapkansecara bertahap citra ini akan menjadi lebih baik.

Alat-alat di rumah sakit sangat bervariasi. Perbaikan sosialekonomi dan kemajuan iptek kedokteran akan mempengaruhiperkembangan rumah sakit seperti misalnya penyediaan fasilitasdan alat di rumah sakit.

Dengan berkembangnya iptek kedokteran, maka banyakditemukan alat-alat canggih. Walaupun alat canggih tersebutdapat meningkatkan mutu pelayanan, namun banyak masalahyang dihadapi dengan banyaknya alat canggih yang ada misalnyabiaya kesehatan yang dapat meningkat. Selain itu, diperlukantenaga yang profesional untuk dapat menerapkan teknologi ter-sebut. Alat canggih, macam dan jenisnya sangat banyak. Depar-temen Kesehatan mencoba menginventarisir alat-alat canggihdan didapatkan data sementara (tahun 1990) bahwa alat canggihlebih banyak di rumah sakit swasta dari pada rumah sakit pe-merintah. Sebagai contoh di rumah sakit pemerintah MRI = 1,CT scan = 5 dan ESWL = 1, sedangkan di rumah sakit swastaMRI = 2, CT scan = 10, ESWL = 9. Ternyata utilisasi (peman-faatan) alat-alat canggih tersebut masih cukup rendah (35%).

Hasil rangkuman pengkajian diagnosis rumah sakit yangdibiayai oleh Usaid mendapatkan data bahwa pada umumnyarumah sakit telah memiliki perangkat kemampuan maupunpengetahuan teknis untuk memberikan pelayanan kesehatansesuai dengan kelasnya, meskipun perangkat di rumah sakittersebut masih sederhana.

Pelayanan dengan menggunakan alat-alat kadang-kadangterganggu, sebab-sebab gangguan adalah :• Pemeliharaan sarana tidak memadai, di antara rumah sakityang dikaji, tidak satupun yang melaksanakan preventivemaintenance.• Keterpaduan antara tenaga dan peralatan kurang serasi.• Alat pembantu seperti reagensia tidak tersedia pada waktu-nya.

Pengkajian ini juga menemukan bahwa kemampuanmanajemen sangat menentukan mutu pelayanan yang dicer-minkan dari lama tunggu untuk memperoleh pelayanan. Con-tohnya ialah lama perawatan pra-bedah di rumah sakit kelas Bditemukan berkisar antara 5,8 dan 9,4 hari. Lama perawatan pra-bedah ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara pelayananpenunjang seperti laboratorium, radiologi, ruang rawat dan ruangbedah.

Selain itu, pengkajian diagnosis rumah sakit juga men-

30 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 31: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

dapatkan data bahwa kelengkapan catatan medik masih terbatassekali. Misalnya catatan mengenai penyakit terdahulu yangpernah diderita dan working diagnosis sering tidak ada. Telahdicoba untuk menilai mutu pelayanan terhadap penyakit-penya-kit tertentu (tracer conditions). Upaya ini tidak berhasil karenatidak lengkapnya catatan medik.

Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwamutu catatan medik belum memadai untuk dapat digunakansebagai alat penilai mutu pelayanan medik di rumah sakit.

e) PemanfaatanPemanfaatan rumah sakit masih rendah. Hal ini ditunjuk-

kan dengan angka tingkat pemanfaatan tempat tidur yang masihrendah, yakni secara keseluruhan di bawah 55%, baik untukrumah sakit pemerintah maupun swasta. Lima tahun terakhirpemanfaatan tempat tidur (BOR) rumah sakit pemerintah se-kitar 57%, swasta 54%, sedangkan ABRI dan Departemen lainsangat rendah yaitu 45-50%. Menurut hasil penelitian BankDunia di Indonesia (1988) menunjukkan bahwa salah satu pe-nyebab rendahnya pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakatdisebabkan mutu pelayanan yang rendah. Khususnya bilamanahal ini dikaitkan dengan ketenagaan yang tersedia dan pelayananspesialistik yang ada.

Data menunjukkan bahwa rumah sakit yang memberikanpelayanan bedah angka pemanfaatannya 42% lebih tinggi jikadibandingkan dengan rumah sakit yang tingkatannya samatetapi tidak memberikan pelayanan bedah. Penempatan seorangdokter ahli dapat meningkatkan angka pemanfaatan sebesar83%. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa mutu pelayanan yangrendah merupakan faktor yang menonjol penyebab rendahnyatingkat pemanfaatan rumah sakit di Indonesia.

Penempatan seorang dokter spesialis dan penyediaan fasili-tas bedah di rumah sakit kabupaten dapat meningkatkan secarabermakna mutu dan juga kuantitas pelayanan. Total biaya dapatmeningkat tetapi satuan biaya dapat menjadi rendah oleh karenapemanfaatan meningkat.

Selama kurun waktu lima Pelita LOS dan NDR mengalamipenurunan. Pada akhir Pelita I LOS =10 dan NDR = 50 dan padatahun I Pelita V LOS = 6 dan NDR = 21. Dengan semakinrendahnya LOS dan NDR dapat diartikan bahwa mutu pelayan-an di rumah sakit (diukur dengan output) bertambah baik.

Pada tahun 1985, di beberapa tempat telah dilakukanevaluasi pemanfaatan rumah sakit oleh penduduk dan didapatkanangka hari rawat penduduk per tahun adalah 80 hari rawatper 100penduduk. Sebagai perbandingan di Sri Langka adalah 161 harirawat, di China 476 hari rawat, dan di Inggris 2000 hari rawat per1000 penduduk. Rendahnya pemanfaatan rumah sakit di banyaktempat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kemampuanmembayar dari masyarakat, sikap dan perilaku penduduk, mutupelayanan rumah sakit, sikap dan perilaku petugas rumah sakitdan lain sebagainya.

Pada pengkajian diagnosis rumah sakit ditemukan bahwa diJawa Timur dan Bali tingkat kepuasan terhadap dokter di antarapenderita asuransi kesehatan lebih rendah dibanding tingkatkepuasan penderita non peserta asuransi kesehatan. Sedangkan

di Sumatera Barat ditemukan bahwa penilaian masyarakat ter-hadap citra rumah sakit pemerintah lebih rendah dibandingdengan rumah sakit swasta. Kesemuanya ini tentunya mem-pengaruhi pemanfaatan rumah sakit.

f) PeraturanBeberapa peraturan menyebabkan pula terj adinya inefisiensi

dalam pengelolaan biaya-biaya yang ada. Sebagai contoh per-aturan ICW mengharuskan agar semua penerimaan dari fasilitaskesehatan milik pemerintah disetorkan ke kas negara dan kemu-dian akan dikembalikan lagi ke fasilitas termaksud dalam bentukanggaran rutin pemerintah pada tahun berikutnya. Cara inimemakan waktu dan birokrasi yang cukup rumit. Belum lagibiaya yang akan diterima kembali kadang-kadang jumlahnyalebih kecil dari yang disetorkan, di samping jadwal waktunyaterlambat. Begitu pula anggaran yang sampai ke RS Pemerintahhanya boleh digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang sudahsangat dirinci. Akibatnya penggunaan anggaran menjadi sangatkaku.

PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KESEHATANPeningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan ke-

seluruhan upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integratifmemantau dan menilai mutu pelayanan kesehatan, memecahkanmasalah-masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya, se-hingga mutu pelayanan kesehatan diharapkan akan lebih baik.

Tinggi rendahnya mutu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor :1) Sumber daya rumah sakit, termasuk antara lain tenaga,pembiayaan, sarana dan teknologi yang digunakan.2) Interaksi kegiatan yang digerakkan melalui proses dan pro-sedur tertentu dengan memanfaatkan sumber daya yang adauntuk menghasilkan jasa atau pelayanan.

Berhasil tidaknya peningkatan mutu sangat tergantung darimonitoring faktor-faktor di atas dan juga umpan balik dari hasil-hasil pelayanan yang dihasilkan untuk perbaikan lebih lanjutterhadap faktor-faktor dalam butir 1 dan 2. Dengan demikiannampak bahwa peningkatan mutu merupakan proses yang kom-pleks yang pada akhirnya menyangkut managemen rumah sakitsecara keseluruhan.

Adanya berbagai aspek dan faktor yang terkait dan berperandalam menentukan mutu pelayanan maka definisi yang tepattentang mutu sangat sukar. Karena itu ada beraneka definisi yangdikemukakan dalam kepustakaan, tergantung dari sudut pende-katan mana yang dipilihnya. Joint Commision on Accreditationof Healthcare Organizations mendefinisikan mutu pelayanankesehatan adalah dipenuhinya standar profesi yang baik dalampelayanan medik dan terwujudnya hasil akhir (outcome) sepertiyang selayaknyadiharapkan yang menyangkut : perawatan pasien,diagnosis, prosedur atau tindakan dan pemecahan masalahklinis. Dari definisi tersebut jelas kemudian untuk mengukurmutu diperlukan standar, kriteria dan indikator. Ada perbedaanyang relatif di antara ketiganya dalam arti konsep, namun se-ringkali dalam praktek istilah-istilah itu dipakai secara berbauruntuk maksud yang sama. Indikator tak lain adalah ukuran atau

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 3 1

Page 32: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Ia suatuvariabel yang digunakan untuk bisa melihat perubahan. Indika-tor yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik, sedangkankriteria adalah spesifikasi dari indikator dan standar adalahspesifikasi yang eksak dan kwantitatif daripada kriteria,

Dengan akan berakhirnya Repelita V, dimana kita akanmemasuki tahap tinggal landas pembangunan, salah satu pra-kondisi yang harus dipenuhi adalah meningkatnya mutu pelayan-an kesehatan sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Peningkatanmutu pelayanan merupakan prioritas, terutama di Rumah sakitKelas C.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan tersebut, DepartemenKesehatan semenjak Pelita I hingga sekarang, telah melaksana-kan upaya peningkatan mutu pelayanan secara bertahap. Upayatersebut dilaksanakan melalui pembangunan sarana, prasarana,pengadaan peralatan dan ketenagaan serta perangkat lunak lain-nya, sejalan dengan pembangunan rumah sakit pada umumnya.

Namun demikian, disadari pula masih banyak kendala yangdihadapi, terutama yang berkaitan denhgan standar kebutuhandan tuntutan sistem pelayanan yang masih belum selaras denganperkembangan iptek kedokteran yang semakin pesat dimanapelayanan spesialistik dan sub spesialistik cenderung semakinberkembang.

Mengingat masih adanya kendala dalam peningkatan mutupelayanan kesehatan khususnya pelayanan rumah sakit makadalam rangkapeningkatan mutu pelayanan kesehatan diperlukanperumusan tujuan, sasaran, program dan strategi di rumah sakit.

1) TujuanUmum

Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui program pe-ningkatan mutu pelayanan secara efektif dan efisien agar ter-capainya derajat kesehatan yang optimal.Khusus

Tercapainya peningkatan mutu pelayanan kesehatan secaraefektif dan efisien melalui :– Optimasi tenaga, sarana dan prasarana.– Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi danstandar pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh danterpadu sesuai dengan kebutuhan pasien.– Pemanfaatan teknologi, hasil penelitian dan pengembang-an pelayanan kesehatan.

2) SasaranSasaran utama dalam peningkatan mutu pelayanan kesehat-

an adalah secara umum tercapainya derajat kesehatan masya-rakat yang setinggi-tingginya melalui pelayanan kesehatan.

Secara khusus, sasarannya adalah :– Menurunkan angka kematian– Menurunkan angka kesakitan (re admission rateuntuk rumahsakit)

Menurunkan angka kecacatanPenggunaan obat secara rasionalMeningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayananEfisiensi penggunaan tempat tidur, dan lain-lain.

3) StrategiUntuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya

rumah sakit maka disusunlah sebagai berikut :1) Rumah sakit harus memahami dan menghayati konsep dasardan prinsip mutu pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkanoleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik sehingga dapatmenyusun upaya peningkatan mutu di masing-masing rumahsakit.2) Memberi prioritas kepada peningkatan sumber daya manusiadi rumah sakit termasuk di dalamnya meningkatkan kesejahtera-an karyawan, memberikan imbalan yang layak, program kesela-matan dan kesehatan kerja, program diklat, dan sebagainya.3) Menciptakan budaya mutu di rumah sakit. Termasuk di da-lamnya menyusun program mutu rumah sakit, menyusun temayang akan dipakai sebagai pedoman, memilih pendekatan yangdipakai (quality assurance, GKM, TQM, dan lain-lain). Kemu-dian juga menetapkan mekanisme monitoring dan evaluasi.4) Intervensi pada 9 bidang pelayanan.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi manajemen dan mutupelayanan serta meningkatkan cost recovery rumah sakit,maka pada tahun 1989 Departemen Kesehatan telah mengada-kan survei diagnosis di rumah sakit kelas B, C, D dan swasta yangterletak di tiga propinsi yaitu Bali, Sumatera Barat dan JawaTimur. Berdasarkan hasil survei, untuk meningkatkan mutu pe-layanan rumah sakit perlu dilakukan intervensi pada 9 pelayan-an yaitu :

penyempurnaan rekam medispenyempurnaan sistem informasi manajemenpenyempurnaan sistem akuntansipenyempurnaan sistem pembiayaan

– penyempurnaan konsep pola penetapan tarif– penyusunan standar pelayanan rumah sakit– penyusunan standar pelayanan farmasi– penyempurnaan organisasi rumah sakit– penyempurnaan peraturan dan perundangan

Sembilan intervensi ini telah mulai dilaksanakan di rumahsakit terutama yang dikonversi menjadi unit swadana.

4) Langkah-langkah kegiatana) Di tingkat nasional1) Perizinan• Sesuai dengan PP No. 1/1988 dan Permenkes No. 385/1988tentang pelaksanaan masa bakti dan izin praktek bagi dokter dandokter gigi, tenaga medis dalam melaksanakan tugas harusmempunyai Surat Penugasan (SP) dan Surat Izin Praktek (SIP).SP ini merupakan pengganti dari SID.• Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 ten-tang Kesehatan, setiap sarana kesehatan baik milik pemerintahmaupun swasta harus mempunyai izin. Pelanggaran dari keten-tuan tersebut akan mendapat sangsi bisa berupa kurungan ataudenda sebesar 15 juta rupiah.2) Ketenagaan• Pemberian ijasah bagi dokter yang baru lulus dan brevetkeahlian kepada dokter spesialis yang telah lulus merupakansalah satu program menjaga mutu. Sedangkan untuk dokter

32 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No . 90, 1994

Page 33: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

lulusan luar negeri harus melakukan adaptasi dulu dan untukdokter dari Fakultas Kedokteran swasta harus ikut ujian negaradulu sebelum dapat ijasah. Sedangkan sertifikat diberikan ke-pada tenaga medis dan paramedis yang telah selesai mengikutipenataran, seminar dan latihan-latihan lainnya. Semuanya tadidapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan dari berbagaimacam tenaga kesehatan.• Mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk tenaga medismaupun paramedis perawatan dan non perawatan. Pendidikandan pelatihan tersebut meliputi managerial skill dan technicalskill. Misalnya : HMT, PKMRS, infeksi nosokomial, medicaUsurgical ICCU, PICU, UGD, koroner, cancer unit, perawatanortopedi, ASI, hematologi, dialisis, teknik kamar bedah, danlain-lain.• Untuk meningkatkan mutu pelayanan maka penempatandokter spesialis 4 dasar di RSU kelas C lebih ditingkatkan. Jugadilakukan penempatan tenaga dokter spesialis radiologi, pato-Iogi klinik, patologi anatomi dan forensik, anestesi dan tenagaapoteker. Selain itu dokter spesialis mata, THT, saraf, gigi ortotikprostetik, rehabilitasi medik ditempatkan untuk melengkapi RSUkelas C, disertai dengan tenaga paramedik perawatan dan para-medik non perawatan sesuai dengan kebutuhan.3) Sarana, Prasarana, Peralatan dan Penampilan• Rumah sakit Pemerintah dilengkapi dengan sarana, pra-sarana dan peralatan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya: per-alatan mata dan THT untuk RS Kelas C.• Untuk meningkatkan mutu penampilan rumah sakit makasetiap memperingati Hari Kesehatan Nasional diadakan lombapenilaian penampilan rumah sakit Pemerintah maupun rumahsakit swasta. Dalam tahun anggaran 1991/1992 lomba tersebutditambah dengan lomba Gerakan Rumah Sakit Bersih.4) Pembiayaan• Untuk meningkatkan citra rumah sakit Pemerintah makarumah sakit Pemerintah mendapat biaya operasional dan peme-liharaan rumah sakit (OPRS).• Untuk mengatasi keterbatasan biaya operasional maka se-cara bertahap rumah sakit pemerintah akan dikonversikan men-jadi unit swadana. Rumah sakit unit swadana akan diberi ke-wenangan mengelola penerimaan fungsionalnya sehinggadiharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatannya.5) Program-program• Penggunaan obat secara rasional

Dalam rangka meningkatkan mutu pengobatan maka obatyang ada harus digunakan secara rasional. Untuk itu ada ke-wajiban penggunaan obat generik di sarana kesehatan peme-rintah. Juga ditetapkan adanya Komite Farmasi dan Terapi, for-mularium rumah sakit, dan lain-lain. Selain itu dilakukan pulapenelitian ulang manfaat obat yang beredar.• Standarisasi

Telah disusun standar pelayanan rumah sakit yang meru-pakan integrasi dari standar pelayanan medik dan terapi, standar

ketenagaan, standar sarana, prasarana dan keperawatan.Setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta secara ber-

tahap diharapkan dapat menerapkan standar dan kriteria tersebut.Standar pelayanan rumah sakit merupakan langkah awal daripelaksanaan akreditasi.• Klasifikasi

Telah disusun standar penetapan kelas rumah sakit baikuntuk rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta.Dengan adanya klasifikasi rumah sakit ini diharapkan dapatmeningkatkan mutu rujukan pelayanan secara berjenjang.• Akreditasi

Untuk meningkatkan mutu pelayanan telah dipersiapkanstandar dalam rangka akreditasi rumah sakit dan dipersiapkaninstrumen dan uji coba. Direncanakan rumah sakit yang akandikonversikan ke dalam unit swadana harus melalui akreditasiterlebih dahulu atau setidak-tidaknya menggunakan dasar-dasarakreditasi.b) Di tingkat sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit)1) Program Quality Assurance/Quality Improvement

Pada umumnya yang telah dilaksanakan adalah casereview, menilai atau me-review mutu dan kelayakan pemberianpelayanan kepada pasien. Kegiatan ini terutama telah dilakukandi rumah sakit pendidikan. Misalnya review kasus bedah, reviewpenggunaan obat, dan lain-lain.2) Manajemen Mutu Terpadu (TQM)

TQM merupakan suatu sistem manajemen yang melibat-kan seluruh lapisan organisasi dalam mengendalikan danmeningkatkan mutu secara terpadu. Falsafah dasar TQM adalahperbaikan terus menerus. Perbaikan terus menerus akan terjadikalau setiap orang melakukan usaha secara terus menerus dalammemecahkan masalah yang timbul. Walaupun manajemen mututerpadu tersebut Iebih cocok untuk perusahaan manufaktur, na-mun ada rumah sakit yang pernah melaksanakan TQM ini.3) Gugus Kendali Mutu (GKM)

Merupakan salah satu bentuk penerapan falsafah dasarmanajemen mutu terpadu yaitu melakukan perbaikan terusmenerus. Namun berlainan dengan TQM, dalam GKM masalahyang dibahas adalah masalah-masalah yang dihadapi sehari-haridalam bekerja di tingkat pelaksana atau operator. Kegiatan GKMini telah dilaksanakan di beberapa rumah sakit yang akan dikon-versikan menjadi rumah sakit unit swadana yaitu RS Pasar Rebo,RS Tegalyoso, dan lain-lain. .4) Program-program khusus

Program khusus ini dilaksanakan di rumah sakit sesuaidengan kebutuhannya. Misalnya : Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya telah melaksanakan pengendalian infeksi nosokomial,RS Husada melaksanakan pengukuran derajat kepuasan pasien.5) Pengembangan standar profesi

Penyusunan dan evaluasi terus menerus standar profesi dirumah sakit.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 33

Page 34: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Aspek EkonomiPelayanan Kesehatan

Ascobat GaniFakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUANSelamaini dimensi ekonomi dalamperencanaan, manajemen

dan evaluasi pelayanan kesehatan jarang atau sedikit sekalimendapat perhatian. Perubahan mendasar terjadi selamadua dekade terakhir, yaitu ketika sektor kesehatan menghadapi ke-nyataan bahwa sumberdaya yang tersedia (khususnya dana)semakin hari jumlahnya semakin jauh dari mencukupi.

Keterbatasan sumberdaya tersebut mendorong masuknyadisiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen danevaluasi sektor kesehatan. Ilmu ekonomi sendiri pada dasarnyaadalah ilmu tentang pilihan, yaitu pilihan tentang komoditi apayang perlu diproduksi (kebutuhan manusia), bagaimana mem-produksinya, bagaimana distribusinya, dan bagaimana kon-sumsinya serta berapa besar manfaatnya, yaitu dalam rangkaketerbatasan sumberdaya.

Ekonomi kesehatan jugamenyangkutpertanyaan-pertanyaantersebut, yaitu : (1) pelayanan kesehatan apa yang perlu dipro-duksi, (2) berapa besar biaya produksinya, (3) bagaimana mobili-tasi dana kesehatan (siapa yang membayar dan berapa besar), (4)bagaimana utilisasi pelayanan kesehatan (siapa yangmenggunakan dan berapa banyak) dan (5) berapa besar manfaat(benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut.

Makalah ini khusus menyoroti aspekproduksi dan konsumsipelayanan kesehatan, khususnya pelayanan rumah sakit. Olehkarena sektor kesehatan mempunyai ciri khusus yang menon-jol, banyak asumsi-asumsi yang lazim dipergunakan dalamtelaah ekonomi tidak berlaku untuk sektor kesehatan. Olehsebab itu, dalam bagian pertama dibahas tentang ciri-ciri khusustersebut. Ciri-ciri khusus inilah yang membuat aplikasi ilmuekonomi pada sektor kesehatan muncul sebagai sub-disiplinilmu baru.

Dalam bagian ke dua disampaikan aspek produksi (supply)dan konsumsi (demand) pelayanan kesehatan (khususnya RS),yang merupakan inti pokok makalah ini.

Makalah ini disajikan pada Kongres VI PERSI & Hospital Expo , Jakarta,21 — 25 November 1993.

CIRI SEKTOR KESEHATANSeperti dikemukakan di atas, aplikasi ilmu ekonomi pada

sektor kesehatan perlu memperhatikan sifat atau ciri khusussektor kesehatan. Sifat atau ciri khusus tersebut, seperti akandiuraikan berikut ini, menyebabkan asumsi-asumsi tertentu dalamilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apa-bila diaplikasikan untuk sektor kesehatan. Ciri khusus tersebutadalah sebagai berikut :1) Kejadian penyakit tidak terduga

Berbeda dengan pengetahuan orang tentang kebutuhannyaakan berbagai komoditi ekonomi seperti makanan, pakaian,rumah, dan lain-lain, umumnya orang tidak banyak bisa men-duga tentang penyakit apa yang akan dialaminya di masa yangakan datang. Oleh. sebab itu juga tidak diketahui secara pastipelayanan kesehatan apa yang ia butuhkan. Adanya ketidakpastian (uncertainty) ini berarti seseorang menghadapi suaturisiko (risk) akan sakit dan oleh karenanya juga risiko harusmengeluarkan biaya pengobatan. Kesadaran akan adanya risikoinilah yang mendorong orang untuk mau secara bersama-samamenanggungnya, yaitu dalam suatu bentuk asuransi.

2) Consumer ignoranceCiri yang sangat khusus adalah besarnya ketergantungan

konsumer pada penyedia (provider) pelayanan kesehatan. Inidisebabkan karena umumnya konsumer tersebut tidak tahu ba-nyak tentang jenis pemeriksaan dan pengobatan yang diper-lukannya. Providerlah (profesional) yang menentukan jenis danvolume pelayanan yang perlu dikonsumsi (jadi juga dibayar)oleh konsumer. Seringkali keputusan p;rofesional tersebut samasekali lepas dari pertimbangan biaya dan kemampuan membayarsi pasien.

3) Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hakPara politisi dan pakar ilmu sosial termasuk ekonom dan

34 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 35: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

profesional kesehatan berpendapat bahwa makan, pakaian,tempat tinggal dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasarmanusia yang harus senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, ter-lepas dari kemampuan seseorang untuk membayarnya. Inimenyebabkan distribusi pelayanan kesehatan sering sekalidilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasarkemampuan membayar (demand).

Ini menyebabkan issu pemerataan (equity) sangat menonjoldalam penyediaan pelayanan kesehatan. Kebijaksanaan danprogram untuk menyesuaikan tarif pelayanan kesehatan sepertisekarang ramai dilakukan, senantiasa mempertimbangkanimplikasinya terhadap issu equity tersebut. Misalnya, dalampentarifan RS berkembang pemikiran perlunya cross subsidyuntuk pemerataan. Demikian pula, kebijaksanaan subsidi adalahdalam rangka menjamin hak tersebut, yaitu bagi penduduk yangtidak mampu.

4. EksternalitasCiri khusus lainnya adalah efek eksternal yang ada dalam

penggunaan pelayanan kesehatan. Seperti diketahui, efek eks-temal adalah dampak (positif atau negatif) yang dialami oranglain sebagai akibat perbuatan seseorang. Sebagai misal, immu-nisasi yang dilakukan seseorang untuk mencegah penyakitmenularjuga akan memberi manfaat kepada masyarakat banyak.Bahkan manfaat yang diterima orang banyak tersebut secarakumulatif jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya untukimmunisasi individu bersangkutan.

Dalam ekonomi dikatakan bahwa social marginal benefityang diperoleh dari immunisasi j auh lebih besar dari pada privatemarginal benefit bagi individu tersebut. Itulah sebabnya,menurut perhitungan ekonomi, pemerintah perlu menjaminagar program-program semacam immunisasi betul-betul dapatterlaksana, oleh karena bisa terjadi keadaan demand seseorang(dalam arti kemauan membayar) tidak tinggi dibandingkan dengandemand untuk pelayanan kuratif yang tidak mempunyai efekeksternal.

Memang efek eksternal tersebut bervariasi antar berbagaijenis pelayanan kesehatan. Pelayanan yang tergolong pen-cegahan umumnya mempunyai eksternalitas besar, sehingga di-golongkan sebagai "komoditi masyazakat" atau public good.Sedangkan pelayanan kuratif, lebih-lebih pelayanan yang ber-tujuan kosmetika, eksternalitasnya umumnya kecil. Pelayananini sering disebut sebagai private good.

Ada pendapat yang mengatakan bahawa pelayanan ke-sehatan yang bersifatpublic goodseyogyanya mendapat subsidiataubahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sebaliknyapelayanan kesehatan yang tergolong sebagai private goodhendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunaannyaatau oleh pihak swasta.

5) Motif non-profitWalaupun dalam praktek ada industri kesehatan yang

memperoleh untung, seperti misalnya rumah sakit tertentumilik swasta, secara ideal memperoleh untung maksimum(profit maximization) bukanlah tujuan utama pelayanan kese-

hatan. Pendapat umum yang secara tradisional dianut adalah"orang tidak layak mengambil keuntungan dari penyakit oranglain". Memang umumnya pelayanan kesehatan pada mulanyadiselenggarakan dengan motif sosial, misalnya dalam bentukYayasan. Namun sekarang ini terjadi perubahan orientasi, ter-utama setelah pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektorkesehatan sebagai peluang investasi yang menguntungkan.

6) Padat karyaOtomatisasi ternyata tidak membuat pelayanan kesehatan

semakin bebas dari input tenaga manusia. Kecenderungan spe-sialisasi dan superspesialisasi menyebabkan komponen tenagadalam pelayanan kesehatan semakin besar, seperti misalnyapelayanan RS. Analisis biaya RS misalnya menunjukkan bahwakomponen tenaga tersebut bisa mencapai antara 40-60% darikeseluruhan biaya. Ini berarti bahwa sektor kesehatan adalahsektor yang bersifat padat karya.

7) Mix outputsCirilain adalahbanyaknya ragam "komoditi" yang dihasilkan

daari berbagai program kesehatan. Yang dikonsumsi oleh pasienadalah satu paket pelayanan: sejumlah pemeriksaan diagnosis,perawatan, terapi dan nasihat kesehatan. Paket tersebut ber-variasi antar individu dan sangat tergantung pada jenis penyakit.Keadaan ini menyebabkan analisis demand terhadap pelayanankesehatan menjadi kompleks. Di samping pelayanan kesehatan,upaya kesehatan bisa juga menghasilkan output lain, yaitu hasil-hasil penelitian serta pendidikan dan latihan tenaga kesehatan.

8) Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasiDalam jangka pendek, upaya kesehatan terlihat sebagai

sektor yang konsumptif, tidak memberikan return on investmentsecaza jelas. Oleh sebab itu, sering kali sektor kesehatan ada padaurutan bawah dalam skala prioritas pembangunan, terutamakalau titik berat pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi.

Namun kalau orientasi pembangunan pada akhirnya adalahpembangunan manusia, maka pembangunan sektor kesehatansesungguhnya adalah suatu investasi, paling tidak untuk jangkapanj ang. Untuk jangka pendek pun, kalau penduduk employed diusaha produktif, pembangunan kesehatan jelas memberikan re-turn on investment yang dapat diukur.

9). Restriksi berkompetisiCiri khusus selanjutnya adalah pembatasan praktek kom-

petisi. Ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanankesehatan tidak bisa sesempurna mekanisme pasar untuk komoditilain. Dalam mekanisme pasar (intervensi pemerintah kecil),wujud kompetisi adalah kegiatan pemasaran (promosi, iklan,dll.). Dalam sektor kesehatan tidak pernah terdengar adanyapromosi discount atau bonus atau "banting harga" dalam pela-yanan kesehatan.

EKONOMI PELAYANAN KESEHATAN

Aspek Produksi (Supply)

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 3 5

Page 36: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Ada beberapa issu pokok yang menonjol akhir-akhir inisehubungan dengan produksi atau supply pelayanan kesehatan,khususnya rumah sakit. Berikut ini disampaikan perkembangansituasi penyediaan pelayanan kesehatan (supply) pelayanankesehatan yang tidak lepas dari perkembangan kebijaksanaan dibidang ekonomi.1) Situasi sejak kebijaksanaan penyesuaian ekonomi

Selama dua dekade yang lalu terjadi perbaikan derajat kese-hatan yang sangat mengesankan di Indonesia. Angka kematianbayi, yang pada akhir tahun 1960'an adalah 132/1000, turunmenjadi 71/1000 pada tahun 1985 dan kini diperkirakan telahturun lagi sampai 56/1000. Perbaikan tersebut tidak terlepas darikeberhasilan Indonesia memperluas jangkauan pelayanan kese-hatan sampai ke pedesaan, yaitu melalui Puskesmas dan Pus-kesmas Pembantu, di samping berbagai program kesehatanmasyarakat seperti imunisasi, pemberantasan malaria, kesehatanlingkungan, penyuluhan kesehatan dan lain-lain. Bahkan sejak1983, gerakan masyarakat dalam menyelenggarakan Posyandumempercepat naiknya cakupan program-program pencegahanpenyakit. Perluasan jangkauan ini sangat menonjol semasaboomminyak pada tahun 1970 sampai awal tahun 1980'an.

Namun sejak turunnya harga minyak pada tahun 1982 danmeningkatnya beban hutang, alokasi anggaran pemerintah untukkesehatan menjadi semakin ketat. Anggaran pusat untuk kese-hatan turun sebesar 45% antara 1982/83 sampai 1987/88. Inisangat besar dampaknya terhadap program kesehatan pemerin-tah, karena memang peranan anggaran pusat cukup dominan,yaitu rata-rata 59.6% dibandingkan dengan peranan propinsi(19.4%) dan Dati II (15.4%), dan peranan BLN sebesar 5.6%.

Di sini masyarakat, juga tidak terjadi peningkatan yangberarti. Secara nominal, pengeluaran masyarakat untuk kese-hatan pada tahun 1982/83 adalah Rp. 8.072/kapita/tahun, naikmenjadi Rp. 10.085/kapita/tahun dan akhirnya naik lagi menjadisekitar Rp. 19.000/kapita/tahun pada tahun 1992. Namun kalaudihitung menurut harga konstan, kenaikan tersebut hampir tidakberarti.

Dampak krisis ekonomi terhadap sektor kesehatan, ter-masuk industri pelayanan kesehatan, terjadi karena adanyastrategi yang dianut banyak negara berkembang untuk mengu-rangi peranan pemerintah dalam memberikan subsidi untuksektor sosial, seperti pendidikan dan kesehatan.

Bentuk operasional pertama kebijaksanaan tersebut adalahpenyesuaian tarif pelayanan, atau users fee, guna meningkatkancost recovery rate pelayanan. Dengan cara ini diharapkan bebanpemerintah untuk memberikan subsidi berkurang, sehinggaancaman defisit neraca neraca pembayaran juga bisa dikurangi.Bentuk operasional kedua adalah memberi peluang dan men-dorong pihak swasta untuk turut serta dalam penyediaan danpembiayaan pelayanan kesehatan. Seperti nanti dijelaskan, pihakswasta pada umumnya tertarik pada pelayanan kesehatan yangmenjamin kesinambungan usahanya. Artinya, swasta akanmemilih jenis pelayanan yang memungkinkan diperolehnyapemasukan paling tidak sama dengan biaya, atau kalau bisa lebihdari biaya yang dikeluarkan. Jelas bahwa jenis pelayanan kese-hatan primer tidak memberi peluang banyak untuk maksud

tersebut.Bagaimana gambaran perkembangan industri pelayanan

kesehatan selama periode adjustment policy tersebut ?

2) Perkembangan sarana pelayanan kesehatanIndustri pelayanan kesehatan di Indoensia ditandai oleh

dominasi pemerintah sebagai penyedia pelayanan kesehatanprimer (Puskesmas dan Puskesmas Pembantu) serta kombinasiseimbang antara pemerintah dan swasta untuk pelayanan kese-hatan sekunder (RS).

Sampai tahun 1988 tercatat 5549 Puskesmas dan 12913Puskesmas Pembantu yang sudah didirikan oleh pemerintah. Inimenunjukkan bahwa untuk pelayanan primer, terutama di pede-saan, peran pemerintah memang sangat dominan. Untuk RSsituasi pada tahun 1985 menunjukkan bahwa dari total 683 RSyang ada di Indonesia, 313 (45.8%) adalah RS pemerintah dansisanya sebanyak 370 (54.2%) adalah milik swasta. Dari segijumlah tempat tidur, dari total 95.450 TT, ada sebanyak 43.140TT (45.25%) yang disediakan oleh pemerintah dan sisanya se-banyak 52.310 TT (54.75%) disediakan oleh fihak swasta.

Keadaan tahun 1985 tersebut sudah menunjukkan bahwafihak swasta memang lebih tertarik melakukan investasi di bi-dang pelayanan RS. Di bidang pelayanan primer, pihak swastaakan sulit bersaing karena subsidi yang diberikan oleh pemerin-tah untuk pelayanan primer tersebut sangat tinggi. Sebagai con-toh, biaya satuan pengobatan rawat jalan di Puskesmas adalahRp 1700, sedangkan tarif yang dikenakan kepada pasien hanyaRp 300 sampai Rp 500.

Dalam Tabel 1 disajikan data perkembangan jumlahRS, jumlah TT dan Ratio TT/100.000 penduduk untuk seluruhIndonesia dan untuk masing-masing propinsi. Data tersebutmencakup waktu dari tahun 1984 sampai 1988.

Dari data tersebut dapat dihitung bahwa selama kurun waktutersebut jumlah RS bertambah rata-rata sebesar 3.2%/ tahun.akan tetapi pertambahan jumlah TT hanya mencapai 1.9%ltahun. Pertumbuhan jumlah TT ini boleh dikatakan sama denganlaju pertumbuhan penduduk, yakni 1.9%/ tahun. Maka dapatdimengerti bahwa ratio TT 100.000 penduduk selama kurunwaktu tersebut hampir tidak berubah, yakni antara 66-67 TTI100.000 penduduk.

3) Pergeseran peran pemerintah dan swastaDalam industri pelayanan kesehatan, ada dua peran pokok

yang dapat dilakukan oleh semua fihak, baik pemerintah mau-pun swasta, yaitu (1) peran dalam menyelenggarakan pelayanankesehatan dan (2) peran dalam menyelenggarakan pembiayaankesehatan. Hal tersebut dapat digambar dalam matriks sebagaiberikut:

Pelaksana programdan Pelayanan

Pembiayaan

Pemerintah Swasta

PemerintahSwasta

AC

BD

3 6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 37: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Tabel 1. Jumlah Rumah Sakit, Tempat Tidur dan Ratio TT/100.000 Penduduk Menurut Propinsi di Indonesia,1984 -1988.

Jumlah Rumah Sakit Jumlah Tempat Tidur Ratio TT/100.000 Penduduk

Propinsi 1984 1985 1986 1987 1988 1984 1985 1986 1987 1988 1984 1985 1986 1987 1988

1. Aceh 19 19 19 19 19 1485 1508 1600 1600 1612 50.9 50.3 52 50.4 50.22. SumatraUtara 129 130 130 129 132 12247 12193 11080 11141 11022 132.7 129.1 114.6 112.7 108.83. SumatraBarat 57 62 62 66 59 2939 3160 3338 3504 3431 79.3 83.6 86.7 89.3 88.24. Riau 30 34 34 39 37 1302 1487 1528 1566 1600 53.3 59.2 59.1 59.1 56.95. Jambi 21 21 21 21 21 918 965 1005 999 893 54.3 55.1 55.2 52.9 50.46. SumatraSelatan 37 37 37 37 55 4162 4071 3940 4152 4391 79.1 75.1 70.5 72.1 74.87. Bengkulu 7 7 7 7 7 307 354 364 394 394 33.8 37.4 36.9 38.4 36.88. Lampung 30 28 28 31 31 1780 1814 1811 1885 1892 30.8 29.8 28.2 27.8 27.79. DKIJaya 169 188 188 203 214 13592 14162 14643 15196 15644 179.2 179.9 179.4 179.5 179.8

10. JawaBarat 113 119 119 143 144 11039 11231 11950 12546 12876 36.3 36.1 37.5 38.5 38.911. JawaTengah 193 199 199 223 225 15232 15451 15660 16066 16523 56.4 56.4 56.4 57.1 59.112. DI.Yogyakarta 35 37 37 38 42 3018 3137 3217 3337 3493 105.3 108.5 110.4 113.6 114.413. JawaTimur 158 157 157 160 166 16671 16988 17236 17384 17609 54.1 54.3 54.5 54.3 54.114. Bali 22 22 22 22 25 2214 2156 2207 2278 2361 84.1 80.7 81.5 82.9 85.215. NTB 14 14 14 14 14 762 786 816 783 843 25.6 25.8 25.5 24.7 26.616. -NTT 25 25 25 25 25 1537 1579 1600 1682 1756 52.5 52.7 52.5 54.3 53.517. KalimantanBarat 23 25 25 26 26 1992 1974 1988 1980 2010 73.4 71.2 70.3 68.7 66.1

18, KalimantanTengah 14 14 14 14 13 552 477 533 534 524 50.7 40.5 46.1 44.7 42.619. KalimantanSelatan 25 25 25 25 24 1369 1422 1585 1592 1644 61.1 62.2 68.1 67.1 68.2

20. KalimantanTimur 22 22 22 24 25 1828 1865 1950 1944 2032 120.2 116.3 115.3 109.1 118.121. Sulut 31 33 33 32 31 3171 3103 3035 2914 2902 137.3 103.9 126.1 118.8 118.922. Sulteng 14 14 14 17 17 749 951 992 1090 1149 50.1 61.4 61.8 65.6 69.223. Sulsel 73 73 73 78 79 5455 5387 5465 5639 5726 84.3 81.9 81.9 83.4 82.224. Sultra 12 13 13 13 13 575 659 624 680 715 54.2 60.4 55.6 58.9 57.725. Maluku 20 21 21 21 21 1404 1460 1433 1584 1646 89.1 90.3 86.4 93.1 94.626. IrianJaya 23 23 23 23 24 1545 11539 1470 1521 1539 118.9 115.5 107.8 109.1 101.927. Timor Timur 5 5 5 5 10 464 439 386 335 510 82.6 72.2 62.4 53.3 75.1

Indonesia 1312 1367 1367 1456 1499 108307 110318 111456 114318 116757 67.2 66.8 66.1 66.7 66.7

Sumber : Ditjen, Yanmedik, Depkes R1.

Yang termasuk dalam kategori (A) dalam matriks tersebutmisalnya adalah RS, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, pro-gram-program kesehatan masyarakatan yang baik pembiaya-annya maupun penyelenggaranya adalah fihak pemerintah.

Peranan swasta bisa berbentuk penyediaan pelayanan yangbiayanya ditanggung oleh pemerintah. Misalnya adalah pela-yanan-pelayanan yang dikontrakkan kepada fihak swasta, seperticleaning service, pemeliharaan alat dan lain-lain, yang tergolongkategori (B) dalam matriks di atas.

Selanjutnya, pelayanan atau pelaksanaan upaya kesehatandapatdilakukan oleh pemerintah sedangkan biayanyadari swasta,yaitu kategori (C). Contohnya adalah pembayaran langsung olehpasien di fasilitas Pemerintah, pengoperasian pavilun swasta diRS Pemerintah, atau pelayanan kesehatan untuk peserata asu-tansi kesehatan swasta oleh fasilitas pemerintah.

Akhirnya ada pula kategori (D), yaitu baik pembiayaanmaupun pelayanan kesehatan dilakukan oleh swasta. Contohnyaadalah pembayaran oleh pasien atau perusahaan swasta kepadafasilitas swasta (RS, laboratorium klinik, praktek dokter danbidan, rumah bersalin, dan lain-lain. Pembiayaan tersebut bisajuga dilakukan oleh sebuah asuransi kesehatan.swasta.

Dari matriks tersebut dapat dilihat bahwa pergeseran peranantara pemerintah dan swata dapat terjadi dalam berbagaikemungkinan. Nampaknya dalam tahun-tahun mendatang, baikpemerintah maupun swasta akan melakukan eksplorasi

kemungkinan-kemungkinan yang paling menarik, sesuai denganmotivasi masing-masing.4) Inflasi biaya

Elemen biaya RS secara garis besar dibagi dalam (1) biayaoperasionaldan pemeliharaan dan (2) biaya investasi. Tabel 2dan Tabel 3 menyajikan daftar elemen biaya tersebut, berikutcontoh hasilnya dari sebuah RS-X.

Angka biaya investasi yang disampaikan pada Tabel 3adalah nilai sekarang (present value) biaya investasi untuk satutahun (annualized fixed cost), di mana harga beli, tahun beli,masa pakai dan laju inflasi dihitung.

Angka-angka untuk RS tersebut adalah tipikal; untuk RS diIndonesia, seperti juga ditemukan pada banyak RS lain. Tampakbahwa perbandingan antara biaya investasi tahunan denganbiaya operasional dan pemeliharaan 1:8.7 (atau 224.500.000banding Rp. 1.962.397.013). (Tabel 2 dan 3)Tabel 2 . Biaya Investasi Tahunan, RS-X

Gedung 140.776.067 62.70%Alat Non-medis 8.736.149 3.89%Alat Medis + Penujang Medis 74.999.566 33.41%

224.511.782 100.00%

Dalam kelompok biaya operasional dan pemeliharaan,tampak bahwa biaya personil dan biaya obat merupakan kompo-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No . 90, 1994 37

Page 38: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Tabel 3. Biaya Operasional dan Pemeliharaan RS-X

Klasifkasi Besar Biaya Persen

Personalia 1.121.579.133 57.15Farmasi 401.248.348 20.45G i z i 91.366.384 4.66Gedung Lingkungan 93.543.580 4.77Administrasi 68.572.485 3.49Lab. Klinik 46.084.529 2.35Rontgen 33.555.639 1.71U m u m 30.051.650 1.53Tranfusi Darah 25.407.050 1.29Rumah Tangga 24.854.400 1.27Lab. Patologi Anatomi 10.246.500 0.52EKG 716.160 0.04Lain-lain 15.171.115 0.77

Total 1.962.397.013 100.0

nen biaya terbesar (masing-masing sebesar 57.15% dan 20,45%

atau keduanya sudah mencakup 77.60% dari keseluruhan biaya).Angka ini juga menunjukkan bahwa industri RS memangbersifat padat karya.

Yang unik dalam hal biaya kesehatan adalah laju inflasinyayang sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada inflasi ekonomisecara keseluruhan. Di USA, inflasi tersebut mencapai 18%pertahun, yaitu 3 sampai 4 kali laju inflasi ekonomi. Di Indone-sia, diperkirakan laju inflasi tersebut mencapai 12 sampai 14%,

yaitu sekitar 2 kali laju inflasi ekonomi. Banyak faktor yangmenyebabkan inflasi tinggi tersebut. Antara lain adalahmeningkatkan demand sejalan dengan pertambahan jumlahpenduduk dan kenaikan pendapatan serta pendidikan. Di sam-ping itu perkembangan teknologi canggih dan penggunaan fasili-tas non medis dalam pelayanan RS juga merupakan faktorpendorong inflasi.

5) Pentarifan dan cost recoveryUmumnya tarif RS pemerintah di Indonesia sangat rendah.

Bahkan tarif tersebut masih lebih rendah dari pada biaya satuanoperasional dan pemeliharaan (biaya satuan tanpa biaya in-vestasi).

Studi biaya operasional dan pemeliharaan pada 12 RSpemerintah yang dilakukan oleh Unit Analisis KebijaksanaanDepkes RI menunjukkan bahwa biaya satuan operasional danpemeliharaan (tanpa biaya investasi) untuk Rawat Nginapkelas III rata-rata berkisar antara Rp. 4.000 - Rp. 8.000. Sedang-kan tarif yang berlaku adalah antara Rp. 2.000 sampai Rp. 3.000.

Tarif rendah tersebut juga terdapat pada beberapa RSswasta, yang tarifnya ditentukan melalui PeraturanDaerah (Perda)di daerah RS tersebut berada. Pada Tabel 4 dan Tabel 5 di-sampaikan angka-angka yang menunjukkan biaya satuan, tarifdan cost recovery rate rawat jalan di RS tersebut adalah118%. Namun ini bukan berarti pelayanan rawat jalan secarakeseluruhan memberikan profit, karena adanya surplus ataudefisit ditentukan oleh tingkat penggunaan masing-masing po-liklinik tersebut.

Untuk rawat nginap, ternyata cost recovery ratenya lebihkecil dari 100% (rata-rata sekitar 89%). Dengan perkataan lain,

Tabel 4. Biaya Satuan, Tarlf dan Cost Recovery Rawat Jalan , RS-X

Unit Unit Unit Cost RecoveryCost Cost Cost Tarif %

Nama Unit Opera-sional

Inves-tasi

Total (Rp) Thd. OP Th. Tot

Poli Umum 1920 231 2151 1500 78.13 69.74PoliMata 1845 198 2043 2500 135.50 122.37Poli THT 722 99 821 2500 346.26 304.51Poli Kulit 929 178 1107 2500 269.11 225.84Poli Jiwa 9618 894 10512 2500 25.99 23.78Poli Anak 1598 146 1744 2500 156.45 143.35Poli P. Dalam 13276 1149 14425 2500 18.83 17.33Poli Jantung 3766 1001 4767 2500 66.38 52.44Poli Gigi Mulut 1661 494 2155 2500 150.51 116.01Poli Syarat 2994 507 3501 2500 83.50 71.41Poli Orthopedi 2050 298 2348 2500 121.95 106.47Poli Bedah 1570 196 1766 2500 159.24 141.56Poli Kebidanan& KB

1269 110 1379 2500 197.01 181.29

Poli Kandungan 3117 166 3283 2500 80.21 76.15

Rata-rata ->

134.93 118.02

Tabel 5. Biaya Satuan, Tarif dan Cost Recovery Rawat Nginap, RS-X

Cost RecoveryUC UC UC Tarif %

Nama Unit Opera- Inves- Total (Rp) Thd. OP Th. Totsional tasi

R. Post Partum 8265 1884 10149 10000 120.99 98.53Ruang Bayi 17941 691 19632 7500 41.80 40.25Anak Kelas 11 20202 2531 22733 25000 123.75 109.97Anak Kls . 111 13532 1048 14580 6000 44.34 41.15

. a & b3000 15.43 14.46

Obgyn Kls. 11 27698 12285 39983 25000 90.26 62.53Obgyn Kls. 111 19557 1195 20752 6000 30.68 28.91Bedah Kls. 11 17926 2275 20201 25000 139.46 123.72Bedah Kls. 111 8539 444 8983 6000 70.27 66.79a & b 3000 35.13 33.40

3000 35.13 33.40P. Dlm. Kls. 11 13907 1888 1-5795 25000 179.77 158.28P. Dlm Kls. 111 10709 709 11418 6000 56.03 52.55a & b 3000 28.01 26.27VIP/Kls. I Utama 25540 7022 32562 75000 293.66 230.33Kelas I/b 20868 1946 22814 60000 287.52 263.00ICU/ICCU 42930 5824 48754 75000 174.70 153.83Kmr. Partus I 55136 3581 58717 75000 136.03 127.73

II 60000 108.82 102.19 IIIa 30000 54.41 51.09 IIIb 10000 18.14 17.03

Rata- 102.49 89.96rata

tarif rawat nginap di RS tersebut lebih rendah daripada biayasatuannya.

Rendahnya tarif tersebut, yang berarti adanya subsidi bagipengguna pelayanan kesehatan, menimbulkan beberapa per-masalahan. Pertama, karenamasyarakatyang lebih mampu umum-nya lebih memiliki akses ke RS tersebut, maka merekalah yanglebih potensil menikmati subsidi dibandingkan dengan ma-

38 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 39: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

syarakat yang kurang mampu, yang bertempat tinggal umumnyadi luar kota.

Kedua, pihak penyelenggara Asuransi Kesehatan atauBadan Pengelola Sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatanakan me"maksa" RS bersangkutan untuk menggunakan tarifyang rendah tersebut. Diketahui bahwa peserta asuransi ataujaminan pemeliharaan kesehatan secara umum adalah ke-lompok yang tingkat sosial-ekonominya sudah lebih baik.Diketahui pula bahwa tingkat penggunaan pelayanan kesehatanoleh peserta asuransi atau jaminan pemeliharaan kesehatan ada-lah lebih tinggi. Dengan demikian, terjadi pula fenomenapenggunaan subsidi oleh kelompok yang lebih mampu.

ASPEK KONSUMSI (DEMAND)1) Gambaran umum penggunaan RS

Data Susenas 1990 memungkinkan analisis tentang polapenggunaan RS oleh penduduk Indonesia. Hasil analisis tersebutdisampaikan pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Pola Rawat Nginap, Kota dan Desa, 1990

Urban Rural Total

Tempat Tidur Jml. % Jml. % Jml. %

RS Pemerintah 371.884 49 510.359 36 882.2432 41RS Swasta 262.446 34 204.530 15 466.976 22Puskesmas 56.899 7 417.421 30 474.320 22Rumah Petugas 69.666 9 275.671 20 345.337 16Total 760. 895 100 1.407.981 100 2.168.876 100

Penduduk 535.541.655 123.230.414 176.772.069% 1.4 1.1 1.2

Sumber : Ridwan Malik. Unit AKEK, Depkes RI

Angka dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa bila pendapatanpendudukmembaik, seperti misalnya terjadi di kota dibandingkandi desa, masyarakat kemudian cenderung menggunakan fasilitaspelayanan swasta. Ini terlihat misalnya dari angka bahwa 34%penduduk kota yang pernah dirawat memilih RS swasta, di-bandingkan dengan hanya 15% di pedesaan.

2) Dampak pertumbuhan GNPImplisit dari uraian butir 1 di atas adalah kesimpulan bahwa

efektivitas dan kesinambungan investasi pelayanan kesehatanoleh swasta (khususnya rumah sakit), sangat dipengaruhi olehadanya demand masyarakat, yang ditentukan oleh tingkat pen-dapatannya. Ada beberapa skenario yang bisa diproyeksikanuntuk masa yang akan datang.

Skenario pertama, pertumbuhan GNP tidak diikuti denganproses pemerataan pendapatan secara cepat. Situasi sekarang,ada 15% (sekitar 27 juta) penduduk hidup di bawah garis ke-miskinan. Kalau batasnya dinaikkan menjadi Rp. 1000 di kotadan Rp. 700 di desa, maka ada sekitar 70 juta penduduk yangsebetulnya berada di sekitar garis kemiskinan tersebut. Kalau .distribusi pendapatan ini tidak cepat berubah, maka pangsapasar bagi pelayanan RS swasta akan terbatas di kota-kotabesar. Tampaknya inilah yang sedang terjadi selama 5 - 10

tahun terakhir, di mana terjadi (juga sedang terjadi) pemba-ngunan rumah sakit mewah di kota-kota besar seperti Jakarta,Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan lain-lain. Dalamskenario ini, kejenuhan pasar nampaknya tidak lama akan terjadi.Dengan perkataan lain, pihak investor swasta akan sangat ber-saing satu sama lain.

Skenario kedua, pemerataan pendapatan akan mengalamipercepatan. Katakanlah segmen 70 juta penduduk yang berada disekitar garis kemiskinan dan yang ada di bawah garis kemis-kinan, akan berkurang sebanyak 50% dari keadaan sekarangselama 5 - 10 tahun mendatang. Keadaan ini akan memacuperkembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat(JPKM), karena makin banyak penduduk bekerja di sektor for-mal dan makin banyak pula penduduk yang mampu dan maumembayar premi JPKM. Kalau ini terjadi, maka investor dibidang perumah sakitan akan mempunyai posisi berbeda. JPKMakan muncul sebagai sosok kekuatan baru dalam transaksi-transaksi penawaran danpermintaan pelayanan kesehatan. JPKMmisalnya akan datang dengan standar prosedur dan standar mutupelayanan, sekaligus standar harga. Provider pelayanan kese-hatan tidak lagi berhadapan dengan individu (yang umumnyaignorant dan dalam posisi lemah di hadapan profesional), akantetapi provider tersebut akan berhadapan dengan JPKM yang"menguasai" sistem pembiayaan. Di sisi lain, berkembangnyaJPKM dan asuransi kesehatan sebetulnya memberikan semacamassurance bagi industri pelayanan kesehatan, yaitu jaminanpembayaran jasa pelayanan. Jadi perkembangan tersebut,walaupun akan menghambat perkembangan swasta ke arahindustri kesehatan yang bersifat profit maximization, jugaakan menjga kelangsungan hidup investasi swasta tersebut.

Skenario ke tiga, yang sebetulnya bisa inklusif baik dalamskenario pertama maupun kedua, adalah terjadinya prosestransisi epidemiologis yang lebih cepat mengikuti peningkatanpendapatan penduduk. Transisi tersebut akan menghasilkanbertambahnya kebutuhan (need) terhadap pelayanan RS. Sta-tistik RS menunjukkan makin banyaknya kasus-kasus kardio-vaskuler, diabetes, renal failure, dan lain-lain yang dirawat.Dalam skenario ini tidak berlebihan kalau juga disebut tentangkemungkinan meledaknya wabah AIDS. Pengalaman Thailandpatut ditelaah, bagaimana sekarang ini tempat tidur RS milikpemerintah sampai tingkat kabupaten sebagian besar dihuni olehpenderita AIDS. Kalau hal yang sama terjadi di Indonesia,gambaran seperti di Thailand bukan tidak mungkin akan terlihatjuga di Indonesia.

3) Konsumsi pelayanan alat canggihSehubungan dengan aspek konsumsi pelayanan kesehatan,

menarikuntuk disampaikan issu penggunaan alat-alatkedokterancanggih. Ada asumsi yang menyatakan bahwa investasi alatcanggih tersebut memang diperlukan karena makin banyaknyapenyakit-penyakit degeneratif dan kardiovaskuler yang memangmemerlukan teknologi tinggi. Perkembangan dan aplikasi per-alatan medis tersebut memang berlangsung sangat cepat, lebih-lebih alat elektromedik yang semakin efektif dengan presisitinggi karena memanfaatkan sistem komputer. Dari kacamata

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 39

Page 40: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

ekonomi pelayanan kesehatan, issu pokoknya adalah :1) apakah suatu alat lebih cost effective dibandingkan alatterdahulu lain yang sudah ada,2) khusus untuk alat diagnostik, apakah hasil diagnosis diikutidengan tersedianya teknologi atau kemampuan pengobatan,3) apakah tersedia cukup demand untuk menjamin operasio-nalisasi alat tersebut serta menjamin pengembalian modal in-vestasi plus keuntungan.

Studi tentangpemanfaatan alat kedokteran canggih di Jakartayang dilakukan oleh Unit Analisis Kebijaksanaan dan EkonomiKesehatanDepkes RI pada tahun 1991 yang lalu menunjukkanbahwa sebagian besar alat yang diteliti yang berada di beberapaRS besar di Jakarta ternyata mempunyai idle capacity sangatbesar.Tabel 7. Kapasitas terpakai beberapa alat canggih, Jakarta, 1991

Kapasitas terpakaiJenis alat (%)

1. Hemodialisis 96.32. Bronchoscopy 33.23. Gastroscopy 31.54. MRI 20.75. Body CT Scan 61.56. Head CT Scan 18.57. Lithotriptor 50.58. Biochemical analyzer 46.49. USG 53.6

10. Endoscopy 67.9

Sumber :Tafal, Z: Studi Pemanfaatan Alat Kedokteran Canggih, 1991.

Keadaan penggunaan yang rendah membawa dampak besarterhadap sistem pembiayaan fasilitas bersangkutan. Karena biayainvestasi alat tersebut mahal, maka annualized fixed cost (pres-ent value biaya investasi tahunan) secara keseluruhan akan naik.Dalam keadaan demikian RS bersangkutan menghadapi tekananuntuk menaikkan revenue. Kondisi ini bisa mendorong kebijak-sanaan pelayanan yang tidak profesional, misalnya (1) menaik-kan tarif penggunaan alat setinggi-tingginya yang akan sangatmemberatkan pasien dan (2) memperlonggar indikasi profesimedis yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, keadaan inibisa menyebabkan meningkatnya unnecessary procedures. Se-lanjutnya, studi tersebut j uga mengungkapkan bahwa pengadaanalat canggih di suatu RS lebih banyak didasarkan pada pertim-bangan profesional daripada pertimbangan ekonomis.

Sehubungan dengan temuan tersebut, maka ada beberapakebijaksanaan atau langkah penting yang pelu dilakukan di masayang akan datang, yaitu sebagai berikut :1) Pelaksanaan utilization review (UR) secara berkala terhadap

alat-alat canggih dan mahal, yang dapat dikoordinir sendiri olehotoritas perumahsakitan, misalnya oleh organisasi perhimpunanRS.2) Pelaksanaan studi kelayakan, termasuk kelayakan eko-nomis, sebelum suatu alat canggih mahal diadakan oleh sebuahRS. Termasuk dalam studi kelayakan ini adalah Break EvenAnalysis, yang antara lain akan mengungkapkan berapa tahundiperlukan untuk mencapai titik Break Even tersebut, apakahwaktu tersebut terlalu lama sehingga alat yang bersangkutanmenjadi obsolete, karena suku cadangnya tidak lagi ada di pasar.3) Cost effectiveness analysis suatu alat canggih yang mahaldibandingkan dengan alat lama yang bertujuan atau berfungsisama. Ini hendaknya dilakukan oleh suatu badan penelirian,bukan oleh RS. Hasilnya bermanfaat sebagai dasar pengaturanpembelian alat canggih tertentu oleh suatu RS.

PENUTUPDalam makalah ini telah disampaikan secara ringkas ten-

tang (1) ciri khusus sektor kesehatan, (2) produksi atau supplypelayanan kesehatan, khususnya RS dan (3) konsumsi ataudemand terhadap pelayanan RS.

Dari segi supply dan demand, nampak bahwa laju pertam-bahan penyediaan pelayanan RS tertinggal dibanding denganlaju pertambahan penduduk serta peningkatan kebutuhan akanpelayanan RS (akibat transisi epidemiologis, perbaikan tingkatpendapatan dan ekonomi). Keadaan ini akan lebih memacu lajuinflasi, yaitu karena demand melebihi supply.

Khusus tentang alat-alat canggih di RS, sebuah studi terbatasmenunjukkan bahwa investasi alat-alat tersebut secara ekonomisumumnya tidak efisien. Inipun akan mendorong terj adinya inflasibiaya yang lebih tinggi.

KEPUSTAKAAN

1. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia, 1992. Pusat Data Kesehatan. Jakarta,1993.

2. G. Ascobat. Ekonomi Kesehatan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.Proceeding Semiloka "Penggunaan Ilmu Ekonomi di bidang KesehatanMasyarakat", Pertemuan Tahunan PPEKI, Jakarta 7 - 8 Nopember 1990.

3. G. Ascobat. Ekonoimi Kesehatan. Lokakarya Ekonomi Kesehatan. UnitAnalisa Kebijaksanaan Depkes RI, Cimacan, Oktober 1989.

4. G. Ascobat. Pendekatan Ekonomi Makro dan Mikro Pelayanan Kesehatan.Seminar Ekonomi Kesehatan. FKM-UI. Jakarta Agustus 1993.

5. Jacobs, The Economics of Health and Medical Care. Univ. Park. Press.Baltimore, 1980.

6. Klarman E. The Economics of Health. Columbia Univ. Press. N.Y, 1965.7. Malik R. Pola Pencarian Pelayanan dan Pengeluaran Masyarakat untuk

Kesehatan Berdasarkan Susenas 1990. Badan Litbang Depkes, September1992.

8. Tafal Z. et al : Studi Pemanfaatan Alat Kedokteran Canggih. Unit AnalisisKebijaksanaan Depkes RI, Jakarta, 1991.

40 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 41: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Program Cost Containmentdi Rumah Sakit

Tanggapan dalam MengantisipasiPerkembangan Teknologi Kesehatan di lndonesia

Amal C. SjaafBagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta

LATAR BELAKANGRumah sakit sebagai salah satu mata rantai pelayanan dalam

Sistim Kesehatan Nasional di Indonesia akhir-akhir ini menun-jukkan pertumbuhan yang cukup bermakna. Dalam kurun waktu15 tahun ini (akhir Pelita I sampai awal Pelita V) angka pertum-buhan rumah sakit umum dan khusus adalah 37% atau rata-rata2,1% per tahun (dari 1.116 menjadi 1.533 RS). Sedangkan angkapertumbuhan tempat tidur di rumah sakit menunjukkan pertum-buhan yang lebih tinggi yaitu 45% dalam 15 tahun atau 2,5% pertahun (dazi 81.753 TT menjadi 118.565 TT).

Rumah sakit umum sendiri, yang jumlahnya relatif samabesar dengan rumah sakit khusus, menunjukkan pertumbuhansekitar 30% selama kurun waktu tersebut (dari 581 RSU menjadi756 RSU). Sedangkan jumlah tempat tidurnya menampilkanpertumbuhan sekitar 44% dalam waktu yang sama yaitu dari63.643 TT menjadi 81.888 TT. Ini menampilkan bahwa walau-pun jumlah RSU dan RS Khusus hampir sama, tetapi jumlahtempat tidur RSU adalah sekitar 78% dari seluruh rumah sakityang ada.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah jumlah rumahsakit umum swasta pada kurun waktu 15 tahun menampilkanangka pertumbuhan sekitar 104% (dari 113 menjadi 231 rumahsakit). Angka ini, pada akhir tahun 1990 ternyata bertambahmenjadi sebesar 244 rumah sakit swasta di Indonesia. Daripertumbuhan ini berarti jumlah rumah sakit umum swasta yangpada akhir Pelita I hanya sekitar 19% dari seluruh RSU, padaakhir 1990 tumbuh menjadi sekitar 32% dari seluruh RSU diIndonesia.

Sesuai dengan sifat layanan kesehatan di rumah sakit yangterutama diarahkan pada jenjang layanan kesehatan sekunder

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta,21 — 25 November 1993.

dan tersier maka dapat dipahami bahwa rumah sakit secara relatifakan ada di daerah urban dan semi-urban. Sebagai contoh, padaawal Pelita V hampir 9% dari RSU di Indonesia berada di Jakartayaitu sebanyak 71 RSU. Jumlah ini kemudian meningkat pesatdengan tingkat pertumbuhan sekitar 11,8% per tahun sehinggapada tahun 1991 terdapat 86 RSU di Jakarta.

Ditinjau dari jumlah tempat tidur yang sebanyak 11.591maka dapat dikatakan bahwa sekitar 12,7% dari seluruh tempattidur RSU di negeri ini berada di Jakarta. Tetapi, dengan angkapertumbuhan tempat tidur RSU per tahun sebesar 0,96% makadapat dilihat bahwa di Jakarta terjadi kecenderungan tumbuhnyaRSU dengan jumlah tempat tidur 50–100 buah per RS, di bawahrata-rata nasional yang sekitar 125–150 tempat tidur per RS.Mengacu kepada angka pertumbuhan keadaan di daerah urbanatau semi-urban lainnya di Indonesia tersebut maka dapatdikatakan bahwa tingkat kompetisi antar RSU terutama swasta didaerah urban akan cukup tinggi. Dengan tingkat kompetisi yangtinggi adalah wajar bagi setiap rumah sakit untuk melakukansegala upaya yang diperlukan dalam mempertahankan keber-

adaannya.

KOMPETISI DAN ECONOMIES OF SCALE LAYANANDI RUMAH SAKIT

Dalam situasi kompetisi yang ketat, tidak dapat disangkalbahwa peranan pembiayaan dalam menyediakan layanan dirumah sakit menjadi sangat penting. Hanya rumah sakit yangdapat menyediakan layanan yang bermutu dengan pembiayaanyang relatif rendah dapat unggul dapatkompetisi ketat tersebut.Untuk itu maka perlu diketahui beberapa faktor yangdiasumsi-kan terkait erat dengan biaya layanan rumah sakit.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 4 1

Page 42: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Secara spesifik, Feldstein (1983) menggambarkanhubung-an antara biaya rata-rata layanan di rumah sakit dengan faktor-faktor tertentu sebagai berikut :

BRL = f (TT, FL, JP, M, DP, PU, E, P, L)di mana :BRL = biaya rata-rata layanan yang dapat diukur dengan biaya

per hari rawat atau biaya per admisiTT = jumlah tempat tidur terpasangJP = jenis penderita menurut klasifikasi diagnosisM = mutu layanan yang dapat diukur dengan tindakan dan/

atau pemeriksaan penunjang yang dilakukanDP = derajat beratnya penyakit yang dapat diukur dengan

jumlah operasi yang dilakukanPU = penyesuaian rumah sakit berdasarkan upah yang diberi-

kan kepada tenaga RSE = tingkat efisiensi layananp = program pendidikan yang dilakukan di RSL = faktor lain seperti jumlah penderita rawat jalan, dan

lain-lain.Dengan memanfaatkan model ini, melalui analisis regresi ganda,diharapkan dapat ditentukan faktor-faktor yang berpengaruhpada biaya rata-rata layanan rumah sakit di suatu daerah.

Lebih jauh dikatakan bahwa hubungan antara faktor-faktortersebut dengan biaya rumah sakit secara teoritis dapat digam-barkan dengan bentuk kurva U. Sebagai contoh, rumah sakitdengan jumlah tempat tidur sedikit akan memiliki biaya rata-ratalayanan lebih tinggi daripada rumah sakit yang memiliki tempattidur lebih banyak. Tetapi, biaya ini akan meningkat lagi padarumah sakit yang memiliki tempat tidur yang paling banyak.Dikatakan bahwa hal ini sebagian terjadi karena pengaruh biayatetap (fixed cost) dalam kegiatan layanan. Hubungan tersebutdapat dilihat pada Gambar 1 .

Gambar 1. Hubungan Jumlah Tempat Tidur dengan Biaya Rata-rataLayanan di Rumah Sakit

Dari bentuk kurva U di atas maka dapat dikatakan bahwaeconomies of scale terjadi pada rumah sakit dengan jumlahtempat tidur yang paling besar tetapi dengan biaya rata-ratalayanan yang paling kecil. Untuk rumah sakit yang memilikitempat tidur sedikit dengan biaya tinggi dan yang memilikibanyak tempat tidur dengan biaya yang juga tinggi dikatakan

42 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

telah mengalami diseconomies ofscale. Dikaitkan dengan situasikompetisi yang ketat maka jelas hanya rumah sakit denganeconomies ofscaleyang akan tetap bertahan hidup. Atau dengankata lain, bila suatu rumah sakit mengalami diseconomies ofscale tetapi masih tetap ingin hidup maka ia harus berusahamelakukan upaya pembenahan pembiayaannya (cost contain-ment).

Tetapi, perlu juga diperhatikan bahwa rumah sakit selalumemberikan jenis pelayanan yang tidak sama walaupun merekaklasifikasinya sama. Misalnya, sebuah rumah sakit umum de-ngan rumah sakit umum lainnya akan berbeda jenis layanan yangdiberikan oleh karena jenis penderita yang dilayani juga tidaksama. Adanya perbedaan ini memungkinkan rumah sakit denganjumlah tempat tidur yang akan menampilkan biaya rata-ratalayanan yang berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwaeconomies of scale dari rumah sakit dengan jumlah tempat tiduryang sama dapat berbeda tergantung dari faktor-faktor lain, diantaranya jenis penderita yang dilayani (Gambar 2).

Gambar 2. Variasi Hubungan Jumlah Tempat Tidur dengan Biaya Rata-rata Layanan di Rumah Sakit

Dari bahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pema-haman terhadap terjadinya economies dan diseconomies of scale

padarumah sakitharus dilihatdalamlingkup yang relatif majemuk.Artinya, apabila hasil analisis biaya rata-rata layanan rumah sa-kit dilakukan untuk menentukan faktor yang akan diintervensiuntuk cost containment maka hal ini harus dilakukan dengancukup cermat. . Tanpa memperhatikan kemajemukan faktor-faktor tersebut bukannya tidak mungkin intervensi yang di-lakukan tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.

Memperhatikan faktor-faktor dengan cermat, sukar untukditolak adanya asumsi bahwa hampir pada semuanya akan terkaitlangsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan teknologikesehatan. Sebagai contoh, makin banyak jumlah tempat tiduryang terpakai akan terkait dengan makin meningkatnya peman-faatan kamar bedah maupun penunjang medik seperti radiologi,laboratorium, dan lain-lain. Makin majemuk jenis penyakit yangdierita maka makin tinggi pula pemeriksaan penunjang yangdibutuhkan maupun kecanggihan tindakan invasifnya.Kesemuanya ini akan mengarahkan rumah sakit untuk me-

Page 43: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

lengkapi dirinya dengan teknologi kesehatan yang dibutuhkan.Dorongan yang terjadi seperti ini tidak jarang membawa

rumah sakit ke arah pengertian yang kurang menguntungkan.Yaitu, tanpa adanya teknologi canggih seperti ini maka merekaakan tertinggal dalam kompetisi yang ketat dalam menyediakanpelayanan yang ber"mutu" bagi masyarakat. Lebih jauh, hal initanoa disadari dapat mendorong rumah sakit untuk memaksakandirinyamenjadi "pusat unggulan" agar tetap dapat bertahan. Padagilirannya, akan dapat dipahami bahwa biaya untuk "bertahan"tadi sebetulnya sudah melebihi kemampuan untuk bertahan itusendiri. Misalnya, hal terakhirdapat terjadi karenafaktortersediaatau tidak tersedianya tenaga ahli yang akan menggunakan alatcanggih tertentu.

Sebagai ilustrasi, Joskow (1981) mengatakan bahwa sekitar60% biaya rumah sakit dihabiskan untuk mengadakan masukanatau input yang dibutuhkan bagi pelaksanaan kegiatan. Daribiaya untuk input ini ternyata sekitaz 75% dihabiskan untukkegiatan yang dikaitkan dengan peningkatan jumlah, kualitasdan lingkup jenis layanan. Apabila disepakati bahwa ketiga halterakhir ini sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan teknologikesehatan maka dapat disebutkan bahwa biaya yang dihabiskanuntuk pemanfaatan tadi cukup bermakna bagi layanan di rumahsakit.

Di lain pihak, sukar pula dibantah bahwa dorongan akanpengadaan dan pemanfaatan teknologi kesehatan yang canggihini merupakan daya tarik khusus. Daya tarik ini memiliki efekganda yaitu daya tarik ekonomi bagi para administrator rumahsakit dan daya tarik peningkatan kualitas bagi tenaga profesimedik. Di samping itu ada faktor lainnya yang juga terkaitdengan hal di atas yaitu faktor peningkatan sosio-ekonomimasyarakat yang dikaitkan dengan peningkatan demand ter-hadap pemeriksaan dengan alat canggih. Dan tentunya, jugasangat erat kaitannya dengan proses inovasi, difusi, inkorporasi,utilisasi luas serta pengabdian teknologi yang sangat diwarnaioleh interes produsen alat-alat tersebut.

Memahami bahasan di atas, dengan tanpa mengabaikanperanan faktor lain dalam upaya cost containment, bahasanberikut ini akan dibatasi pada aspek pembiayaan teknologi ke-sehatan dan penyediaan tenaga ahli penggunanya. Walaupundemikian, agar pemahaman tersebut dapat dilakukan secaramenyeluruh, pembahasan tentang cost containment di rumahsakit perlu didahului dengan bahasan terhadap beberapa aspekpenting di dalamnya.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KESEHATAN CANG-GIH DAN COST CONTAINMENT DI RUMAH SAKIT

Kalau disimak secara teliti dapat dilihat bahwa produsenteknologi kesehatan canggih sebenarnya merupakan produsenutama dari teknologi militer. Masuknya dunia ke era pasca pe-rang dingin agaknya sukar untuk ditolak oleh produsen tersebutuntuk tidak menekan produksi teknologi militernya. Diversifi-kasi yang relatif mudah dan tidak memerlukan biaya yang terlalutinggi adalah dengan memfokuskan produksi mereka padaperkembangan teknologi canggih di bidang kesehatan. Dengandemikian akan mudah dipahami bahwa pada era mendatang

secara global akan terjadi perkembangan teknologi canggih ke-sehatan yang relatif lebih cepat dari masa sebelumnya. Inovasi-inovasi "baru" akan cepat bermunculan walaupun "baru" di siniharus lebih banyak diartikan sebagai "penambahan yang nonesensial tetapi peningkatan kemudahan fungsional".

Untuk Indonesia yang secara murni masih jauh dari keikutsertaan dalam tahapan inovasi perkembangan teknologi kese-hatan canggih, hal ini perlu diantisipasi dengan hati-hati. Ketidakikut sertaan dalam tahapan ini jelas akan menempatkan kitadalam posisi hanya sebagai penerima dan pemakai teknologicanggih ini. Ditambah dengan cepatnya perubahan produksi kegenerasi berikutnya dan disertai dengan teknik percepatan ta-hapan difusi oleh produsen, jelas akan menempatkan kita dalamkedudukan sebagai bagian dari percepatan tahapan difusi itusendiri. Ironisnya, karena adanya faktor prestise dan nilai tambahekonomi di sini maka tidak jarang yang tumbuh adalah kebang-gaan yang harus dibayar cukup mahal. Kalau dilanjutkan makajelas pembiayaan ini akan dibebankan kepadamasyarakatpeman-faat teknologi tanpa disertai dengan kesadaran yang cukup akanmanfaatnya.

Sebenarnya tahapan difusi ini secara alamiah akan terham-bat prosesnya apabila dana untuk pembiayaan pemanfaatanteknologi juga terbatas. Dengan kata lain, tahapan berikutnyayaitu inkorporasi teknologi baru harus dapat diantisipasi untukdikembangkan secara seksama. Secara spesifik, apabila carapembiayaan pemanfaatan tidak dapat ditentukan dengan tingkatkepastian yang tinggi, misalnya dengan cara pembiayaan out ofpocket maka proses ini akan terjadi lambat. Pengembangan carapendanaan pelayanan kesehatan baik yang disubsidi oleh peme-rintah atau murni oleh swasta apabila dilakukan tidak denganseksama dan tepat guna jelas akan mendorong penerimaan danpemanfaatan teknologi ke arah yang merugikan seluruh masya-rakat. Dapat diasumsikan di sini kesalahan antisipasi dalam ta-hapan inkorporasi ini bukannya tidak mungkin akan meng-akibatkan biaya pelayanan kesehatan akan meningkat tajamseperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Antisipasi yang kurang tepat terhadap perkembangan tek-nologi kesehatan pada tahapan difusi dan inkorporasi di atasakibatnya akan diikuti oleh tahapan utilisasi yang juga tidaktepat. Salahnya antisipasi pada dua tahapan sebelumnya akanmengakibatkan "banjirnya" teknologi canggih di rumah sakitmasa datang tanpa dapat dicegah. Dikaitkan dengan biaya yangtelah dikeluarkan oleh rumah sakit dan cepatnya tingkat perkem-bangan yang terjadi maka wajar akan terjadi tingkat pemanfaat-an yang juga tinggi. Ironisnya, tingginya tingkat pemanfaatan(over utilization) tadi sukar untuk dapat disebutkan sesuai de-ngan tingkat kebutuhan pemeriksaan itu sendiri.

Keadaan ini akan lebih diperburuk lagi apabila teknologiyang dimanfaatkan tadi belum dipastikan derajat keamananpenggunaannya di Indonesia. Hal ini terjadi karena evaluasiteknis umumnya dilakukan di negara produsen pada tahapaninovasi dan dengan tingkat reliabilitas yang relatif rendah. Perluditambahkan di sini, adalah sukar bagi kita untuk menentukankorelasi antara hasil evaluasi badan pengawas di negara pro-dusen dengan tingkat kepatuhan penggunaan teknologi tersebut

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 43

Page 44: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

di luar negara produsen.Pada tahapan akhir, pengabaian yang perlu diantisipasi akan

terjadi di Indonesia adalah karena cepatnya perkembangan danmudahnya pengadaan teknologi terutama di kota besar makabesar kemungkinan akan terjadi dumping dari teknologi lama.Dumping ini akan terjadi relatif cepat dari kota besar ke tempatyang relatif jauh dari pusat pengembangan iptek kesehatan danpusatpengembangan ekonomi. Apabila hal ini terjadi setidaknyaharus diantisipasi tiga hal pokok yaitu :a) Kekurangan relatif dari tenaga pelaksana yang pada giliran-nya akan menyebabkan pemanfaatan teknologi yang kurang atautidak tepat,b) Peningkatan pembiayaan layanan rumah sakit secara ke-seluruhan akibat adanya pemanfaatan pada butir a. di atas, danc) Karena jauh dari pusat pengembangan ekonomi perlu di-antisipasi akan terjadinya subsidi pemerintah terhadap pelayan-an dengan pemanfaatan teknologi tadi.

Berikutnya, hal yang perlu diantisipasi secara cermat adalahyang dikaitkan dengan cepatnya pertumbuhan inovasi di negaraindustri dan waktu yang diperlukan untuk didifusikan ke Indo-nesia. Pada umumnya perkembangan teknologi canggih dansetiap suku cadang penggantinya (spare parts) setidaknyadisiapkan untuk produksi selama 5 tahun. Di beberapa negaraindustri secara resmi pemerintah menetapkan waktu produksiteknologi canggih ini guna menghindari hilangnya perangkatpengganti pada saat teknologi tadi habis masa hidupnya.

Untuk negara berkembang dapat dipahami rentang waktuseperti ini akan menjadi lebih sempit. Akibatnya, kebutuhanakan suku cadang untuk penggantian yang dibutuhkan agar da-pat terus berfungsi jelas akan terancam. Sehubungan dengan halini perlu diantisipasi akan terjadi dua hal pokok :a) Pemanfaatan teknologi akan terhenti sementara oleh karenaperangkat pengganti yang dibutuhkan perlu disediakan darinegara produsen,b) Bila masa hidup alat sudah selesai dan perangkat penggantitidak tersedia lagi akan terjadi kanibalisme dari teknologi ter-sebut.

Apapun yang terjadi dampaknya sudah jelas yaitu terjadi-nya peningkatan biaya pemanfaatan teknologi canggih tersebutdan beban ini akan ditanggung oleh masyarakat luas baik yangmemanfaatkannya maupun yang tidak memanfaatkannya.

Menyimak siklus hidup teknologi kesehatan canggih sepertidiuraikan di atas maka secara mendasar efektifitas upaya costcontainment harus dilakukan pada aspek demand terhadap la-yanan dan aspek supply dari layanan kesehatan di rumah sakit.Pada aspek demand, yang erat kaitannya dengan tahapan inkor-porasi dalam siklus hidup teknologi kesehatan canggih, makayang perlu diamati adalah bagaimana perilaku masyarakat ter-hadap pemanfaatan teknologi tadi dikaitkan dengan tersedianyapembiayaan dari pihak ke tiga (asuransi kesehatan).

Umumnya yang dilakukan adalah dengan menerapkanmekanisme pembiayaan layanan yang sebagian ditanggung olehpenderita. Artinya, dalam menerima suatu layanan di rumahsakit dan tidak seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pihak keIII (perusahaan dan/atau asuransi), sebagian harus dibayar oleh

penderita. Dengan cara ini diharapkan penderita akan mengu-rangi demand terhadap layanan yang sebetulnya tidak diperlu-kan. Adanya pengurangan demand seperti ini akan jelas mengu-rangi biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit.

Dari aspek supply tampaknya bentuk upaya yang dapatdilakukan cukup beragam dan majemuk yang secara sederhanadapat dibagi dalam :a) Upaya Pengawasan Langsung Jangka Pendek yang men-cakup kegiatan-kegiatan:

Penetapan pagu anggaranPerampingan jumlah sumber daya manusiaPengawasan terhadap remunerasi sumber daya manusiaPengawasan terhadap pola tarifPengawasan terhadap jumlah layanan tertentuEfek dari pelaksanaan upaya ini terhadappemanfaatan tekno-

logi kesehatan canggih relatif akan lebih tampak pada tarif yangrelatif bersaing sebagai akibat dari terjadinya economies of scalepemanfaatan teknologi tersebut.b) Upaya Pengawasan Tidak Langsung Jangka Pendek yangmencakup kegiatan-kegiatan :• Pembenahan skala nilai relatif dari produksi teknologi ke-sehatan yang ada pada saat ini• Pembuatan daftar positif dan negatif dari produk teknologikesehatan canggih• Pembatasan terhadap promosi teknologi kesehatan canggihkepada calon pemakai• Penyampaian daftar harga teknologi kesehatan canggihkepada calon pemakai• Pembuatan profil kegiatan dokter secara berkala terhadapteknologi kesehatan yang ada pada saat ini

Efek dari kegiatan ini jelas lebih diarahkan untuk mencegahterjadinya dua hal pokok: pengadaan teknologi yang tidak priori-tas dan kemungkinan akan terjadinya pemanfaatan yang ber-lebihan.c) Upaya Pengawasan Langsung Jangka Menengah yangmencakup kegiatan-kegiatan :• Pengawasan terhadap pembangunan dan pengembanganfisik• Pengawasan terhadap pengadaan alat kesehatan canggih• Pengawasan dan insentif bagi kegiatan inovasid) Upaya Pengawasan Langsung Jangka Panjang yang men-cakup kegiatan-kegiatan:• Pengawasan terhadap jumlah mahasiswa baru kedokteran• Pengawasan terhadap jumlah peserta program spesialisasi

Adanya kegiatan butir c. dan d. di atas akan mengarahkanrumah sakit untuk dengan teliti membuat perencanaan tentangpengadaan teknologi kesehatan canggih dengan melakukan per-hitungan cermat terhadap tenaga ahli yang dibutuhkan untukmenggunakannya.

Mengacu kepada uraian di atas maka jelas terlihat bahwaupaya cost containment yang dilakukan pada faktor teknologikesehatan dan tenaga ahli pemakainya dapat menampilkan hasildalam waktu singkat dan juga lama. Dalam rentang waktusingkat hal ini dibutuhkan agar rumah sakit dapat bertahan hidupdalam kompetisi yang relatif ketat. Dalam rentang waktu me-

44 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 45: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

nengah dan lama di mana diperlukan perencanaan yang cermatdan matang maka hasilnya akan menempatkan rumah sakit yangbersangkutan sebagai pimpinan dalam kompetisi yang ada.

Kalau uraian sebelumnya kelihatannya didasari atas aspekrentang waktu pelaksanaan maka ditinjau dari aspek komponenpelaksanaan upaya cost containment dapat diuraikan dalamtahapan sebagai berikut :a) Pengurangan Biaya Operasional :

Pada tahapan ini pengamatan adalah terhadap pengeluaranyang dilakukan untuk membiayai kegiatan layanan. Adanyapengeluaran yang dianggap terlalu besar akan secara langsungditindak lanjuti dengan melakukan pengurangan/reduksi ter-hadapnya. Tindakan ini akan menunjukkan manfaat langsungdan segera sehingga dapat dikelompokkan dalam tindakanjangka pendek langsung.b) Pembenahan Biaya Operasional :

Dalam lingkup yang diamati dan ditindak lanjuti adalahadanya peningkatan pengeluaran operasional yang dijaga untuktidak melebihi pertumbuhan inflasi pada kurun waktu yangsama. Salah satu komponen pengeluaran yang cukup besar baiknilai nominal maupun pertumbuhannya adalah biaya tenagakerja. Apabila hal ini dapat disubstitusi oleh alat/cara lain yangrelatif lebih murah maka hasilnya diharapkan akan timbulsegera. Karena itu, tahapan ini sebenarnya dapat dikelompokkanke dalam tindakan jangka pendek langsung dan tidak langsung.c) Pengawasan Biaya Penggantian Teknologi :

Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti teknologiseharusnya benar-benar dikeluarkan untuk penggantian alat barubukan hanyamake-up dari yang lama. Pengertian make-updi siniharus dilihat dalam arti teknologi baru yang tidak sepenuhnyabaru dan dalam arti teknologi lama dengan perangkat tambahantertentu. Lebih jauh, perlu juga diwaspadai adanya efek dumpingteknologi seperti dibahas sebelumnya. Dalam klasifikasi ber-dasarkan rentang waktu, upaya ini jelas termasuk dalam upayalangsung jangka menengah.d) Penghindaran terhadap Biaya yang tidak perlu :

Dalam batasan tertentu dapat diambil sebagai contoh yaitutentang pendidikan atau pelatihan sumber daya manusia yangdiadakan dengan dalih pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi. Peningkatan seperti ini dalam pengertian yang kurangmenguntungkan adalah dapat meningkatkandemand tenaga ahliyang sudah dilatih untuk mengadakan suatu alat kesehatancanggih.

KESIMPULAN DAN SARANDari bahasan yang mengacu kepada aspek rentang waktu

dan komponen pelaksanaan upaya cost containment di atasmaka dapat disimpulkan bahwa :a) Proses perencanaan komprehensif mencakup aspek supplydan demand terhadap pengadaan teknologi kesehatan canggihmerupakan upaya pokok dalam menghindari pembiayaan yangtinggi dari pemanfaatan teknologi yang dimaksud.b) Dalam melakukan perencanaan di atas, hal yang perlu diper-hatikan adalah adanya akibat pengadaan teknologi kesehatancanggih terhadap peningkatan biaya tetap (fixed cost) yang akan

mempengaruhi terjadinya economies atau diseconomies of scaledari rumah sakit yang bersangkutan.c) Terjadinya economies of scale suatu rumah sakit dikaitkandengan pengadaan dan pemanfaatan teknologi kesehatan secaratepat akan membuat kedudukan yang mantap bagi suatu rumahsakit dalam situasi kompetitif yang ada.d) Untuk menghindari terjadinya diseconomies of scale akibatpengadaan dan pemanfaatan teknologi kesehatan canggih perludilakukan upaya cost containment secara berkala dengan pene-kanan pada efisiensi komponen biaya tetap.e) Upaya efisiensi komponen biaya tetap pengadaan teknologiyang dibutuhkan berdasarkan perencanaan matang sejauhmungkin dapat ditransformasikan ke biaya tidak tetap (variablecost) misalnya dengan cara bagi hasil.f) Dalam hal pengeluaran biaya tetap yang terkait denganpendidikan dan pelatihan tenaga ahli perlu dikembangkan kerja-sama yang saling menguntungkan bagi setiap pihak. Komponenbiaya tetap seperti ini sewajarnya dikompensasikan denganmekanisme ikatan kerja bagi tenaga ahli dengan memperhati-kan pengembangan jenjang karirnya.g) Dalam skala luas, pihak pemerintah, PERSI dan ikatanprofesi kesehatan secara bersama harus mengembangkan regu-lasi dan/atau kesepatan formal tentang pengawasan perkem-bangan teknologi kesehatan yang dibutuhkan bagi peningkatankualitas layanan bagi masyarakat.h) Pihak yang samadiharapkandapat mengembangkanlangkah-langkah pokok upaya cost containment pemanfaatan teknologikesehatan canggih secara nasional dan menyerahkan tetapimengarahkan pelaksanaannya di setiap daerah disesuaikan de-ngan situasi dan kondisi daerah masing-masing.

Apabila hal-hal di atas terutama butir g. dan h. tidak diper-hatikan dan disertai dengan belum dikembangkannya regulasitentang pembiayaan oleh pihak ke tiga terhadap pemanfaatanteknologi ini maka dapat diasumsikan akan terjadi dua halpenting yaitu :• Kompetisi layanan yang tidak sehat (termasuk dalam aspekketenagaan) dan cenderung mengganggu mutu layanan yangdiberikan dikaitkan dengan efisiensi biaya, dan• Pelonjakan biaya layanan kesehatan di rumah sakit secaramenyeluruh yang akan melebihi lonjakan biaya yang terjadisecara umum.

Kedua fenomena di atas jelas harus sekuat mungkin diupaya-kan untuk tidak terjadi karena bukannya tidak mungkin akanmenghasilkan keadaan di mana masyarakat yang tidak mampuakan semakin jauh dazi jangkauan layanan kesehatan rumah sakitdan yang dapat menjangkaupun dikhawatirkan akan menerimakualitas layanan yang relatif kurang baik.

KEPUSTAKAAN

1. Broto Wasisto. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan di Bidang Pe-rumahsakitan dalam PJPT 11, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, De-partemen Kesehatan, 1993.

2. Cleverly WO. Essentials of Health Care Finance. Aspen System Corpora-tion, Rockville, Maryland, 1986.

3. Cleverly WO. Handbook of Health Care Accounting and Finance. AspenSystem Corporation, Rockville, Maryland, 1983.

Cermin Duniu Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 45

Page 46: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

4. WHO. Economic Support for National Health For A11 Strategies. Geneva:World Health Organization, 1988.

5. Feldstein PJ. Health Care Economics. Second ed. New York: John Wileyand Sons, 1983.

6. Joskow PL. Controlling Hospital Costs; the Role of Government Regu-lation. Cambridge: Massachusetts: MIT Press, 1981.

7. Mansfield E. Microeconomics, Theory and Application. Shorter FourthEd. New York: W.W. Norton & Co., 1982.

8. Miller R LeRoy. Intermediate Microeconomics; Theory-Issues-Applica-tions, 2nd ed. New York: McGraw-Hill Inc., 1982.

9. Sjaaf AC. Antisipasi Investasi Terhadap Perkembangan Teknologi Kese-

hatan Dalam Dasawarsa 90-an, akan diterbitkan dalam Jurnal AdministrasiRumah Sakit, Vol 1. No. 2, Oktober/Desember 1993.

10. Sobak SJ. Cost Containment • Challenge to the Health Care Industry,unpublished, 1993.

11. Steinwald B, Sloan F. Regulatory Approaches to Hospital Cost Contain-ment; a Synthetic of the Empirical Evidence, in A New Approach to theEconomics of Health Care, edited by Mancur Olson, the American Enter-prise Institute, 1981.

12. Thakur M et al. Cost Containment in Small Hospitals: Targeting Strategiesbeyod this Decade, Hospital and Health Services Administration. May/June, 1986.

46 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 47: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

CeramahMenteri Sosial Republik Indonesia

pada Kongres Nasional VlPerhimpunan Rumah Sakit Seluruh

Indonesiadi Jakarta, 23 Nopember 1993

Assallamu'alaikum Warokhmatullohi Wabarokatuh.Yth. Sdr. Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh

Indonesia;Sdr. Moderator; Peserta Kongres Nasional VI PERSI; dan

Hadirin yang berbahagia.Pertama-tama marilah kita bersama mengucapkan puji

syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas per-kenan dan ridla-Nya hari ini kita dapat berkumpul di sini, untukmembahas Peranan Departemen Sosial dalam Penanganan PasienTidak Mampu di Rumah Sakit.

Sebelum membahas masalahnya, perkenankan saya me-nyampaikan selamat ber-Kongres Nasional VI, kepada seluruhpeserta Kongres, dan selamat datang di Jakarta, khususnya bagipara peserta Kongres yang datang dari luar Jakarta.

Kemudian, perkenankan saya mengucapkan terima kasihdan merasa bahagia, karena mendapat kesempatan untuk mem-bahas peranan Departemen Sosial dalam penanganan pasientidak mampu di rumah sakit.

Saya katakan terimakasih dan bahagia, karena DepartemenSosial merasa mendapat perhatian dan dapat berbagi rasa tentangpenanganan masalah orang tidak mampu. Saya katakan berbagirasa, karena tugas pokok Departemen Sosial memang padadasarnya menangani orang yang tidak mampu, kaitannya denganmasalah keberfungsian sosial dari orang-orang, kelompok, danmasyarakat. Mereka itu biasanya dicakup dengan sebutan fakirmiskin, anak terlantar, korban bencana, lanjut usia terlantar, anaknakal, anak bekas korban penyalahgunaan obat dan narkotika,penyandang cacat, tuna susila, tuna sosial dan sebagainya. Pe -

nyandang masalah yang dilayani tersebut semuanya dalamkeadaan tidak mampu.

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo , Jakarta .21- 25 November 1993.

Mereka memperoleh pelayanan sebagian melalui panti-panti sosial yang ada dan sebagian dalam bentuk tidak melaluipanti, atau pelayanan non panti. Sekedar untuk memperolehgambaran masalahnya, dapat dilihat dari jumlah panti pemerin-tah (baca Departemen Sosial) yang ada. Panti Cacat 36 buah;Panti Tuna Susila 23 buah; Panti Anak Nakal/bekas korbannarkotika 12 buah; Panti Gelandangan dan Pengemis 6 buah;Lingkungan Pondok Sosial 10 buah; Panti Pengasuhan Anak 19buah; Panti Lanjut Usia 46 buah; jumlah berbagai jenis pantitersebut belum meliputi yang ditangani oleh Pemerintah Daerahdan Swasta, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada yang sayakemukakan tersebut. Sebagai suatu misal, Panti PengasuhanAnak yang dikelola oleh Pemerintah hanya 19 buah, yang dike-lola swasta.903; belum jenis panti lainnya.

Di sini sebenarnya saya hanya akan memberikan gambaran,bahwa seluruh pelayanan yang diberikanoleh Departemen Sosialtanpa dipungut imbalan biaya. Apabila pelayanan sosial yangdiberikan oleh Departemen Sosial dibandingkan dengan jumlahpenyandang masalah yang harus dilayani, sama sekali tidakseimbang. Jumlah penyandang masalah yang harus dilayanijumlahnya jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan ke-mampuan pelayanan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Departemen Sosialmengundang peran serta masyarakat. Tidak sedikit organisasi-organisasi sosial masyarakat yang berperan aktif memberikanpelayanan kepada masyarakat. Peran serta mereka ada yangberupa tenaga, seperti pekerja sosial sukarela; pikiran berwujudsaran-saran; keuangan; bahkan tidak sedikit yang berwujudpelayanan langsung, seperti panti-panti, dan sebagainya. Me-mang penanganan masalah sosial tidak akan mampu ditangani

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No . 90, 1994 47

Page 48: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

oleh Pemerintah sendiri; penanganannya harus bersama-samadengan masyarakat.

Hadirin sekalian,Dari uraian tersebut sebenarnya saya hanya akan berbagi

rasa dengan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Kitasama-sama memberikan pelayanan kepada orang yang men-derita. Rumah sakit memberikan pelayanan kepada orang yangpada dasarnya menderita sakit fisik, sedangkan DepartemenSosial memberikan pelayanan kepada penderita sakit sosial.Orang yang sakit fisik yang ditangani oleh rumah sakit, sebagianada yang tidak mampu, sebagian besar banyak yang mampu;sedangkan yang ditangani Departemen Sosial, semuanya yangtidak mampu dan terlantar. Kini, saya dihadapkan pada per-tanyaan "Peranan Departemen Sosial dalam Penanganan PasienTidak Mampu di Rumah Sakit". Permasalahan ini tentunya tidakakan dapat saya jawab sendiri; melainkan saya akan mengajakpihah Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia untuk men-cari jawaban yang sebaik-baiknya.

Sosial kerjakan untuk turut memikirkan masalahnya.Dari ketentuan yang saya kutip tadi, satu di antaranya ada-

lah pelayanan Rumah Sakit diberikan secara terpadu, dan di-mungkinkan adanya tenaga non medik yang dipekerjakan diRumah Sakit.

Saya kira untuk menangani masalah pasien tidak mampu,mungkin Rumah Sakit dapat mempekerjakan Pekerja Sosial.Profesi Pekerja Sosial dalam perkembangan spesialisasinya adaPekerja Sosial Medik. Mungkin mereka tidak sekedar dapatmembantu bagaimana menangani pasien tidak mampu, melain-kan menangani pasien yang mampu pun pada saatnya tentu di-butuhkan. Sebab pada dasarnya, begitu seseorang menderitasakit, sakit apa pun, sebenarnya penderita tersebut termasukpenyandang masalah sosial. Namun kebiasaan penanganan se-perti itu di Indonesia masih belum berkembang. Mungkin apa-bila hal itu dapat diuji cobakan, akan ada manfaatnya.

Dari kepustakaan dan pengalaman yang dilaporkan, suatucontoh kasus yang dilaksanakan oleh salah satu rumah sakitumum di Amerika, dapat saya angkat sebagai suatu model pen-dekatan interdisipliner, yang sejalan dengan apa yang tersiratdalam ketentuan mengenai Rumah Sakit tersebut. Kalau sayakemukakan hal ini, saya mohon jangan buruk sangka, mengirasaya berkiblat ke luar negeri, anggap saja contoh tersebut me-rupakan salah satu yang kebetulan saya ketahui.

Rumah Sakit Umum Beth Israel di Boston, Massachusetts,mempunyai 450 tempat tidur, memberikan pelayanan yangmeliputi batas geografis yang tak terbatas di rumah sakit saja,penderita dari segala lapisan pendapatan, suku, warna kulit danagama. Sekaligus rumah sakit ini memberikan kemudahanmenjadi rumah sakit Fakultas Kedokteran Harvard (HarvardMedical School) untuk training pasca sarjana bagi berbagaispesialisasi ilmu, antara lain internis, kedokteran umum, bedah,ahli diet, gigi, gizi, laboratorium teknis dan berafiliasi dengansekolah tinggi perawat dan sekolah tinggi pekerjaan sosialSimmons College dan Smith College.

Dengan demikian memudahkan mgmberikan pelayanan se-cara interdisipliner dengan memperkenalkan pelayanan melaluitotal treatment team. Tujuan yang ingin dicapai adalah pe-ningkatan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi pasiennya,dan penduduk di wilayah yang seluas-luasnya, yang dapat di-capai melalui program pelayanan "obat jalan", pelayanan dirumah, di klinik-klinik yang tersebar di banyak daerah, yangdapat dicapai penduduk dan mudah dikendalikan oleh rumahsakit dan sebagainya. Hal itu dimungkinkan karena berbagaidisiplin terlibatkan, termasuk profesi pekerjaan sosial.

Prinsip pencegahan/pengobatan (preventive medicine),mengobati penyakit dengan mencari sumber sebabnya dapat di-laksanakan, dan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapatdicapai oleh masyarakat seluas-Iuasnya melalui total treatmentteam tersebut.

Sekiranya hal itu dapat dipikirkan, Departemen Sosial dapatmemberikan bantuan tenaga Pekerja Sosial yang diperlukan.Saya yakin, pada tahap awal, apabila hal itu diuji cobakan, tentutidak akan dapat sekaligus memuaskan. Secara bertahap kitaperbaiki bersama untuk mengembangkan total treatment, yang

Hadirin sekalian,Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (No. 159 b/

MEN.KES/PER/IU1988), pelayanan di Rumah Sakit berupa Pe-layanan Rawat Jalan, Pelayanan Rawat Nginap, dan PelayananGawat Darurat, mencakup pelayanan medik dan penunjangmedik.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas Rumah Sakit melak-sanakan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kegiatanpenyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan danjiwa yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkat-an (promotif) dan pencegahan (preventif) serta melaksanakanrujukan.

Sementara itu, dikatakan pula bahwa setiap Rumah Sakitmempunyai kategori ketenagaan yang terdiri dari tenaga medik,paramedik, perawat, paramedik non perawat, dan tenaga nonmedik.

Selanjutnya mengenai fungsi sosial Rumah Sakit, diten-tukan bahwa setiap Rumah Sakit harus melaksanakan fungsisosialnya dengan antara lain menyediakan fasilitas untuk me-rawat penderita yang tidak/kurang mampu. Bagi Rumah SakitPemerintah sekurang-kurangnya 75% dari kapasitas tempattidur yang tersedia; sedangkan bagi Rumah Sakit Swasta se-kurang-kurangnya 25% dari kapasitas tempat tidur yang ter-sedia.

Saya sangat mendukung pada ketentuan mengenai fungsisosial Rumah Sakit tersebut. Hal itu menunjukkan benar-benarbahwa perhatian Pemerintah sangat besar kepada rakyatnya,khususnya yang masih membutuhkan uluran tangan. Sementaraangka kemiskinan adalah ± 15%; fasilitas untuk golongan yangtidak mampu tersedia ± 75% bagi Rumah Sakit Pemerintah dan25% bagi Rumah Sakit Swasta dari kapasitas tempat tidur yangtersedia.

Saya tidak tahu sejauh mana ketentuan itu dapat dilaksana-.kan, namun yang jelas kini pertanyaan dilemparkan kepada De-partemen Sosial. Persoalannya kini apa yang bisa Departemen

48 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 49: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

interdisipliner, dan atau terpadu itu.Konsep yang saya kemukakan tersebut, saya yakin, telah

dipahami oleh seluruh Peserta Kongres. Sebab kerja team bagitenaga-tenaga kesehatan sudah merupakan barang biasa, hanyajangkauan pelibatan profesi lain masih belum meluas.

Hadirin sekalian,Apa yang saya ungkapkan tadi, baru apa yang bisa saya

pikirkan, sebab Departemen Sosial, sekarang ini dapat meng-adakan, mengangkat, dan menetapkan Pekerja Sosial profesionalyang diperlukan. Rupanya bantuan semacam itu, dapat dijadikanlandasan awal untuk Departemen Sosial dapat berperan dalammenangani pasien tidak mampu.

Selanjutnya perlu saya lemparkan juga, apabila masalah-nya dapat dianggap mendesak, perlu kiranya pihak PersatuanRumah Sakit Seluruh Indonesia bekerja sama dengan Depar-temen Sosial, membahas masalahnya lebih mendalam, gunamendapatkan konsep-konsep pemikiran penyelesaian. Mung-kinkah kita mengembangkan semacam asuransi sosial bagipasientidak mampu, atau bentuk-bentuk lain dukungan untuk danasehat bagi yang tidak mampu.

Hal tersebut saya tawarkan untuk kita pecahkan bersama,agar pengabdian kita kepada pasien yang tidak mampu dapatkita laksanakan sebaik-baiknya.

Mengapa saya tidak dengan serta merta menjawab tentangperanan Departemen Sosial dalam menangani pasien tidak mampu

di Rumah Sakit, dengan kesanggupan membayar semua biayayang ada. Sebab, di samping dana untuk itu tidak tersedia, sayajuga khawatir akan memperkecil fungsi sosial Rumah Sakit.Memang keberadaan Rumah Sakit, sesuai dengan peraturanyang ada adalah untuk orang yang menderita sakit, termasukorang yang tidak mampu.

Hadirin sekalian,Demikianlah sekedar arahan saya tentang Peranan Depar-

temen Sosial menangani pasien tidak mampu di Rumah Sakit,Saya yakin, saudara-saudara telah memahami dengan jelas,bahwa peranan yang saya ungkapkan tidak jelas. Namun dapatkita perjelas bersama-sama, apabila diperlukan, waktu tersedia,kemauan dan kemampuan diarahkan untuk itu. Kesemuanyamembutuhkan kerja sama, dan kerja sama membutuhkan ke-relaan.

Akhirnya semoga uraian singkat tersebut bermanfaat ada-nya, dan selamat bekerja, dengan harapan semoga KongresNasional VI Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia berhasildan membuahkan manfaat seperti yang kita harapkan.

Terimakasih.Wassallamu'alaikum Warokhmatullohi Wabarokatuh.

Menteri Sosial R.I.

Dra. Inten Soeweno

Wisdom will add years to your life

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 49

Page 50: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Hubungan Rumah Sakitdengan Pasien Dipandang dari Sudut

Hukum dan EtikaNy. H. Emma Suratman, SH

Ketua Pengurus Pusat PERHUKI, Jakarta

PENDAHULUANSesuai dengan apa yang digariskan dalasm Sistem Kese-

hatan Nasional (SKN), maka pembangunan kesehatan ditujukanpada tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiappenduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakatyang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dariTujuan Nasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan kese-hatan tersebut berbagai upaya harus diselenggarakan yangmeliputi upaya preventif (pencegahan), promotif (peningkatan),kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan). Kesemuaupaya ini harus dilaksanakan secara terpadu serasi dan berke-sinambungan.

Saat ini penyelenggara berbagai upaya tersebut telah secarategas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992tentang Kesehatan. Salah satu unsur penyelenggaraan upayakesehatan tersebut adalah Sarana Kesehatah. Rumah Sakit se-bagai sarana kesehatan memegang peranan penting untukmeningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun kadang-kadang usaha mulia rumah sakit ini dapat membawa malapetakayang pada akhirnya akan berurusan dengan meja hijau. Salahsatu aspek yang penting dalam kaitan ini adalah hubunganpasien dengan Rumah Sakit dengan penekanan pada aspek etikdan hukum.

RUMAH SAKIT SEBAGAI SARANA KESEHATANDalam Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan

Bab I Ketentuan Umum, diberi batasan mengenai sarana kese-hatan yaitu :"Sarana kesehatan adalah tempat untuk menye-lenggarakan upaya kesehatan". Sedangkan dalam Bab VI BagianKetiga Pasal 56 dikatakan bahwa Sarana kesehatan meliputi

Makalah ini disajikan pada Kongres VI PERSI & Hospital Expo, Jakarta,21— 25 November 1993.

balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakitumum,rumah sakit khusus dan seterusnya. Dengan demikian rumahsakit adalah tempat untuk menyelenggarakan salah satu upayakesehatan yaitu upaya pelayanan kesehatan (health services).

Dalam pasal 58 dinyatakan pula bahwa sarana kesehatantertentu harus berbentuk badan hukum antara lain rumah sakit.Ini berarti bahwa rumah sakit tidak dapat diselenggarakan olehorang perorangan (individu, natuurlijk persoon), tetapi harusdiselenggarakan oleh suatu badan hukum (rechts persoon) yangdapat berupa perkumpulan, yayasan atau perseroan terbatas.Jelas disini bahwa rumah sakit tidak dapat diselenggarakan olehsebuah firma atau perseroan komanditer karena keduanyabukanlah badan hukuin.

Dalam kenyataannya ada perbedaan pendapat mengenaiyayasan, apakah yayasan suatu badan hukum atau bukan, karenamemang pengaturan mengenai yayasan berupa peraturan per-undang-undangan belum ada. Tetapi ada suatu yurisprudensiyang menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum.

DalamKetentuan Peralihan dari Undang-undang Nomor 23/1992 dinyatakan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diundangkan-nya Undang-Undang ini, semua sarana kesehatan tertentu yangbelum berbentuk badan hukum harus menyesuaikan statusnyamenjadi badan hukum.

ETIKA RUMAH SAKIT (HOSPITAL ETHICS)Dalam menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan ter-

dapat ikatan antara berbagai fihak yaitu pasien, dokter dan rumahsakit yang kesemuanya diatur hak dan kewajibannya. Dalammakalah ini hanya akan dibicarakan hubungan antara duafihak saja yaitu pasien dan rumah sakit.

50 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 51: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Hubungan antara pasien dan rumah sakit diatur oleh duamacam norma yaitu norma etika dan norma hukum. Norma etikarumah sakit telah diatur dalam Keputusan MenteriKesehatan No.924/Menkes/SK/XII/1986 yang menyatakan berlakunya KodeEtik Rumah Sakit Indonesia. Dalam Etik Rumah Sakit Indonesia(PERSI) antara lain dinyatakan bahwa :1) Pancasila merupakan asas Etik Rumah Sakit Indonesia2) Rumah Sakit mengutamakan misi kemanusiaan berdasar-kan Ketuhanan Yang Maha Esa.3) Rumah Sakit telah berkembang menjadi unit sosio eko-nomis yang makin kompleks dan oleh karena itu perlu dikelolasecara profesional hingga dapat menjalankan tugasnya denganbaik.4) RumahSakitmembinahubungan kerjainterdan antarrumahsakit dengan didasarkan rasa kebersamaan.Keempat butir aturan ini dijabarkan lebih lanjut dalam butir-butir yang lebih rinci.

Dalam penjabaran sehubungan Kode Etik Rumah SakitIndonesia terdapat suatu kejanggalan ditinjau dari segi ilmuhukum, jika ditinjau arti dari kata "Etika" itu sendiri. Menurutliteratur terdapat beberapa definisi atau batasan mengenai Etika.1) Drs. H. Hasbullah Bakry, SH memberi definisi Etika sebagaiberikut :"Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baikdan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatanmanusia sejauh yang dapat diketahui akal fikiran".2) Kamus Umum Bahasa Indonesia memberi definisi sebagaiberikut :"Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yangburuk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)".

Selanjutnya dikatakan bahwa :"Etika mengandung nilaimengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan ataumasyarakat".3) Ensiklopedi Indonesia (hal 973) menyatakan :"Ei i ka adalahil mu tentang kesusilaan (moral) yang menentukan bagaimanapatutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik danapa yang buruk : segala ucapan atau tindakan harus senantiasaberdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang peri keadaan hidupdalam arti kata seluas-Iuasnya."4) Kamus Bahasa Inggris Webster's Dictionary memberi de-finisi sebagai berikut :• "Ethics is the science that treats of the principles of humanmorals and duty : moral philosophy".• The moral system of an individual, group etc".• "Character or the ideals of character manifested by a race orpeople".

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa etikaberhubungan erat dengan moral, dengan perbedaan antara baikdan buruk. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa etika me-nyangkut suatu kelompok tertentu.

HUKUM RUMAH SAKIT (HOSPITAL LAW)Hukum Rumah Sakit adalah sebagian dari hukum kesehatan

(health law) yang merupakan pula bagian dari hukum padaumumnya.1) Van Apeldoorn menyatakan bahwa tidak mungkin mem-berikan definisi yang tepat tentang hukum mengingat banyak

aspek yang tercakup di dalamnya.2) Dr. E. Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam HukumIndonesia memberi definisi sebagai berikut :"Hukum adalahhimpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-la-rangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat danseharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan olehkarena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkantindakan dari fihak pemerintah (penguasa) masyarakat tersebut".Dari definisi tersebut jelaslah bahwa hukum bermaksudmengatur tata tertib dalam masyarakat dan memberikan ke-damaian antara anggota masyarakat tersebut (handhaving vanrust en orde); dan untuk menjamin bahwa setiap anggota masya-rakat mentaati petunjukhidup tersebut, kaidah hukum dilengkapidengan unsur yang memaksa (dwang element) yang lazim dise-but sanksi. Hukum dalam hal ini berbeda dengan etika; etikahanya mengikat suatu kelompok orang saja, sedangkan hukummerupakan suatu norma yang mengikat seluruh masyarakat(algemeen bindend) dan mengatur seluruh masyarakat (alge-meen regelend).

PERBEDAAN ETIKA DAN HUKUMJika kita simak uraian di atas tentang Etika Rumah Sakit dan

Hukum Rumah Sakit maka terdapat beberapa perbedaan,meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu besar. Memang antaraEtika dan Hukum tidak dapat dipisahkan meskipun keduanyadapat dibedakan (Ethiek en recht zijn niet te scheiden, maar welte ondercheiden). Jadi meskipun terdapat perbedaan antarakeduanya, dalam keadaan sehari-hari ada kalanya tidak nyata.Perbedaan yang jelas antara keduanya terlihat pada unsur sanksi.

Dalam pelanggaran Etika maka sanksi diberikan oleh ke-lompok itu sendiri atas dasar pelanggaran moral (kesusilaan)atau dignity (harga diri). Sanksi ini ditetapkan oleh kelompok itusendiri dan penegakannya juga dilaksanakan oleh kelompok itusendiri. Pada pelanggaran hukum maka sanksi diberikan olehfihak penguasa dan sanksi ini dapat berupa sanksi administratif,sanksi perdata (ganti rugi) atau sanksi pidana (denda atau penjara/kurungan).

Oleh karena antara kedua hal ini tidak ada perbedaan yangjelas, maka berlakunya Kode Etik sebaiknya tidak diatur dengansuatu Keputusan Pemerintah karena penetapan berlakunya suatuKode Etik dengan suatu Keputusan Penguasa akan mengubahKode Etik tersebut menjadi Hukum Positif yang algemeen bin-dend dan algemeen regelend tadi.

HUBUNGAN RUMAH SAKIT DAN PASIENSebagaimana telah disebutkan di atas, rumah sakit adalah

sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepadamasyarakat, khususnya pasien. Rumah sakit memberikan pe-layanan kesehatan kepada pasien memerlukan tenaga kesehatanyang bertugas memberikan pelayanan kesehatan sesuai denganprofesinya. Dalam memberikan pelayanan kesehatan/mediskepada pasien, baik rumah sakit maupun tenaga kesehatan/medis harus memperhatikan norma etika dan hukum yang ber-laku. Bagi rumah sakit berlaku Kode Etik Rumah Sakit Indonesia(ERSI) sedangkan bagi para dokter dan dokter gigi berlaku

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 51

Page 52: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

KODEKI dan Kode Etik Dokter Gigi Indonesia.Kalau kita amati hubungan rumah sakit dan pasien, maka

terlihat bahwa hubungan tersebut dikategorikan dalam sautuPerikatan (Verbintennis) Sebagaimana diatur dalam Kitab Un-dang-Undang Hukum Perdata. Perikatan antara rumah sakit danpasien merupakan suatu therapeutiek kontrakt atau kontrakterapeutik di mana rumah sakit mempunyai kewajiban me-nyembuhkan pasien dan pasien berkewajiban membayar biayapelayanan tersebut. Dengan demikian, jika ada salah satu pihakyang melakukan wanprestatie atau ingkar janji, maka pihaklainnya dapat menuntut lawannya ke depan pengailan. Jikawanprestatie tersebut berupa kerugian yang maka diajukantuntutan ganti rugi ke Pengadilan Perdata. Jika kerugian ter-sebut berupa cacat atau kematian, dan diduga ada unsur kriminal(sengaja atau karena kelalaian menyebabkan mati atau cederapada orang lain), maka pasien dapat mengadukan hal tersebutkepada pihak yang berwajib untuk diajukan ke depan PengadilanPidana.

Dalam hal pelanggaran Etika, maka sebenarnya agak sukarmenentukan wanprestatie terhadap kontrak terapeutik tersebutkarena pelanggaran etika menyangkut moral yang agak sukardijadikan obyek tuntutan di depan pengadilan.

Dalam hal tuntutan ganti rugi, tuntutan dapat ditujukankepada tenaga kesehatan yang menyebabkan kerugian bagipasien dan dapat pula diajukan kepada rumah sakit. Sedangkandalam tuntutan pidana harus dilihat pada siapa kesalahan tersebutdapat dituduhkan, pada tenaga kesehatan yang melanggar ataupada rumah sakit. Karena obyek Peradilan Pidana adalah orang,maka dalam hal ini tuntutan ditujukan kepada Direksi, karenarumah sakit merupakan Badan Hukum. Jika pelanggaran hukum

dilakukan tenaga kesehatan, misalnya seorang ahli bedahmeninggalkan gunting dalam perut pasien, maka yang dituntutadalah ahli bedah tersebut. Tetapi jika pada operasi, listrik matiatau tabung oksigen meledak, jelas itu adalah tanggung jawabrumah sakit, dalam hal ini Direksi.

PENUTUPDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat per-

bedaan antara Etika dan Hukum, meskipun antara keduanyatidak dapat dipisahkan.

Kode Etik profesi ataupun rumah sakit berlaku di kalanganprofesi yang bersangkutan dan tidak perlu dikukuhkan dengansuatu keputusan dari pihak penguasa. Dengan adanya keputusandari pihak pemerintah, maka Kode Etik akan berubah menjadiHukum Positif dengan segala sanksinya.

Pelanggaran terhadap hukum positif, menyebabkan seseorangdapat dikenakan sanksi, baik administratif, perdata maupunpidana, sedangkan pelanggaran terhadap Kode Etik adalah suatupelanggaran terhadap moral dan dignity yang harus dinilai olehkelompok atau profesi itu sendiri.

Untuk menegakkan etika rumah sakit pada tiap-tiap rumahsakit telah dibentuk Panitia Etika Rumah Sakit yang harusmenegakkan etika dalam rumah sakit yang bersangkutan. Meng-ingatbahwa dalam keadaan sehari-hari lebih banyak terjadi kasuspelanggaran hukum, maka sebaiknya Panitia Etika Rumah Sakitdiganti menjadi Panitia Etika dan Hukum Rumah Sakit sehinggadapat menangani baik pelanggaran etika maupun pelanggaranhukum.

we triumph without glory when we conquer without danger

52 Cermin Duniu Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 53: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Etika Rumah Sakitdalam Perspektif UU Nomor 23/1992

Kartono MohamadIkatan Dokter Indonesia, Jakarta

Pelayanan kuratif, betapapun juga, memenuhi kriteria (memi-liki eksternalitas) untuk dapat digolongkan sebagai private com-modity. Dan selama ini pun baik dokter maupun masyarakatmemperlakukan pelayanan kuratif sebagai private commodity.Pasien bersedia menunggu untuk dilayani dan bersedia mem-bayar untuk mendapatkan pelayanan kuratif, baik yang diberikanoleh dukun maupun dokter. Keengganan kita untuk melihatpelayanan kuratif sebagai private commodity hanyalah karenakata "komoditi" memberikan konotasi adanya unsur dagang,sedangkan anggapan yang berlaku di masyarakat menghendakiagar dokter menjauhkan diri dari berdagang dalam memberikanpelayanan kepada pasien. Kata "komoditi" dalam hal ini adalahistilah dalam ilmu ekonomi, dan tidak perlu dikaitkan denganmasalah dagang. Artinya, kalau ada dokter yang mau mem-berikan pelayanan kuratif tanpa dibayar tentu boleh-boleh saja.

Karena pelayanan kuratif adalah suatu private commodity,maka penyedia pelayanan kuratif akan berhadapan denganmasalah tentang bagaimana memberikan pelayanan yangdapat memuaskan konsumen (dalam hal ini : pasien), dan dalammembuka tempat pelayanan akan selalu memperhitungkanaspek need dan demand. Maka perhitungan bisnis, betapapun(diakui atau tidak) juga sudah masuk dalam pikiran para penyediapelayanan jasa kuratif.

Rumah sakit adalah sebuah institusi penyedia jasa pe-layanan kuratif yang kompleks dan perlu dikelola secara pro-fesional (baik yang for profit maupun yang non-profit).Pengertian pengelolaan profesional di sini mencakup pula per-hitungan aspek ekonomi dan bisnis, meskipun itu rumah sakitpemerintah. Perhitungan tentang kelaikan suatu rencana dipan-dang dari segi cost and benefit pada rumah sakit pemerintahjustru harus lebih ketat karena rumah sakit pemerintah

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospilal Expo, Jakarla,21 - 25 November 1993.

menggunakan uang negara (rakyat). Bahkan sejak sebelum pro-gram swadana pun rumah sakit pemerintah seharusnya sudahdikelola secara business, terutama rumah sakit daerah yangdibebani untuk membantu target Pendapatan Asli Daerah(PAD). Kembali di sini ada keengganan menggunakan kata"bisnis" karena beranggapan bahwa "bisnis" identik denganberdagang, dan pelayanan kuratif tidak seharusnya diperda-gangkan.

Karena betapa pun juga rumah sakit adalah lembaga bisnis,maka etika rumah sakit pun lebih didasari oleh etika bisnis danharus dibedakan dari etika profesi kedokteran. Etika bisnis,menurut Thiroux', berkaitan dengan menegakkan dan menjagahubungan baikdi antarapengusaha, pegawainya, dan konsumen.Demikian juga seharusnya etika bisnis rumah sakit, ditujukanuntuk menegakkan dan menjaga hubungan baik antara peng-usaha (pemilik) rumah sakit, staf yang bekerja di sana, sertakonsumen (khususnya pasien) yang menggunakan atau mem-beli jasa pelayanan rumah sakit tersebut. Di sini tersirat bahwadalam etika bisnis pun (termasuk bisnis rumah sakit) dituntutadanya sikap jujur. Jujur terhadap konsumen (pasien) dalammemberikan pelayanan, jujur dalam melakukan pemasaranuntuk mencari klien, dan jujur dalam bersaing. Kita perhatikanbeberapa pasal etika rumah sakit di Amerika Serikat2 , misal-nya :1) Recognizing that the care of the sick is their first responsi-bility and a sacred trust, hospitals must at all times strive toprovide the best possible care and treatment to all in need ofhospitalization2) Hospitals should be fair, honest, and impartial in all theirbusiness relationship . . . .

Kalau di Indonesia tampaknya terjadi kerancuan dalam

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 53

Page 54: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

masalah etika rumah sakit, hal itu terjadi antara lain karena adakeengganan untuk melihat rumah sakit sebagai suatu institusibisnis. Masalah ini berawal dari sejarah perkembangan perumahsakitan di Indonesia. Perkembangan rumah sakit di Indonesiadimulai oleh VOC (rumah sakit perusahaan untuk melayanikaryawan VOC), lalu rumah sakit militer, rumah sakit perke-bunan, dan rumah sakit milik zending atau missie, yang memangtidak menampilkan perilaku for profit. Tetapi tidak berartibahwa semua itu tidak dilandasi oleh perhitungan ekonomis.Perkembangan ini menanamkan anggapan bahwa rumah sakitmemang suatu lembaga yang bersifat non profit, terutama jikaditambahi dengan persepsi bahwa orang sakit adalah orangyang perlu pertolongan dan perlu dikasihani.

Kemudian dalam tahap berikut rumah sakit di Indonesiadikembangkan oleh pemerintah, perkumpulan keagamaan,perkumpulan sosial, dan dokter. Ciri perlaku for profit mulaitampak di sini, terutama pada rumah sakit yang dikembangkanoleh beberapa perkumpulan sosial dan dokter. Tetapi karenasudah tertanam anggapan bahwa rumah sakit harus lembaga nonprofit, maka semua mengelak dari mengakui bahwa merekasebenarnya sudah mencari keuntungan finansial. Bahkan pe-merintah pun mencoba mengelak mengakui kenyataan itu, yangtercermin dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalamPermenkes 920/1986, baik yang lama maupun yang diperba-harui. Hal ini pula yang membuat etika rumah sakit di Indonesiabelum bersedia mengakui kenyataan-kenyataan dari perkem-bangan tersebut.

Sejarah perumah sakitan di Indonesia juga memunculkanrumah sakit yang dimiliki oleh dokter, baik pribadi maupunkolektif. Rumah sakit semacam ini sebagian lagi memang me-rupakan usaha patungan di antara para dokter. Dari rumah sakityang dimiliki oleh dokter ini, terutama, muncul hubungandokter dengan rumah sakit yang tidak tegas. Dokter bekerja disebuah rumah sakit berdasarkan atas hubungan kenal, dan seringdidasari perjanjian lisan. Maka etika rumah sakit dalam hu-bungannya dengan karyawan serta personil yang bekerja di sanapun tidak jelas. Dalam etika rumah sakit di Amerika Serikat adapasal yang berbunyi :3) Hospitals should maintain and promote harmonious rela-tionship within the organization to ensure the proper environ-ment for the considerate and successful care and treatment ofpatient.

Dalam perilaku mencari untung beberapa rumah sakit diIndonesia malah terjadi hal-hal yang lebih tidak etis, yaituketika :1) Dokter tidak dapat membedakan posisinya antara sebagaipemberi jasa pelayanan medik (yang berlandaskan pada etikaprofesi), sebagai pemilik (pemegang saham) rumah sakit, dan

' sebagai manajer rumah sakit. Yang sering dimenangkan adalahdirinya sebagai pemegang saham, sehingga pelayanan ditujukanuntuk memperbesar keuntungan finansial semata-mata, sertacenderung memanfaatkan ketidak tahuan pasien.2) Manajer pemasaran atau keuangan, atau pemilik rumahsakit, yang bukan dokter cenderung mendorong dokter agar

melanggar kode etik profesinya dan mengutamakan mencaripendapatan yang setinggi-tingginya bagi rumah sakit.

Ambivalensi pemerintah (melalui Permenkes 920-nya), danambivalensi para pengelola rumah sakit (yang malu menyebutdirinya institusi bisnis) membuat semua itu tidak dikendalikanbaik oleh etika PERSI maupun oleh peraturan pemerintah. Padaakhirnya yang menjadi korban adalah pasien (konsumen).

Dalam kaitan seperti itu kita melihat bahwa UU no. 23/1992tentang kesehatan cenderung hendak melindungi pasien sebagaikonsumen jasa pelayanan medis. Dalam undang-undang tersebutkita lihat ada :1) Ancaman untuk dokter yang melakukan "tindakan mediktertentu" (abortus) tanpa indikasi yang jelas (Pasa115).2) Ketentuan yang mengharuskan agarpelayanan medik tertentulainnya (kehamilan di luar cara alami, pasal 161; transplantasiorgan, pasal 33 dan 34; bedah plastik, pasal 37) hanya bolehdilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang.3) Pengamanan makanan dan minuman (Pasal 21), dan obat(Pasal 40 dan 41).4) Pengamanan kegiatan penelitian dengan menggunakanmanusia (Pasal 40 dan 41).5) Keharusan bagi penyedia pelayanan medik untuk menghor-mati hak pasien (Pasal 53).

Pasal-pasal tersebut masih memerlukan peraturan pelak-sanaan yang lebih jelas, termasuk rincian tentang hak-hak pasien.New Hampshire, AS, misalnya mengeluarkan apa yang merekasebut sebagai Patients Bill of Rights yang isinya( 3 )1) Pasien mempunyai hak untuk mendapat pelayanan yanglayak dan terhormat.2) Pasien berhak mendapat informasi yang jelas tentang per-kembangan penyakitnya.3) Pasien berhak mendapat informasi yang memadai tentanghal-hal yang akan ia hadapi selama di rumah sakit.4) Pasien berhak , mengetahui nama dan kualifikasi tenagakesehatan yang akan memberikan pelayanan kepadanya.5) Pasien berhak mengetahui rekam medis tentang dirinya, danmendapat penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang.6) Pasien berhak mencari pendapat kedua atau menolak peng-obatan yang akan dilakukan terhadap dirinya.7) Pasien berhak dihormati privacy-nya yang mencakup jugakonfidensialitas diagnosis, tindakan, dan hal-hal lain tentangdirinya.8) Pasien berhak meminta agar segala komunikasi dancatatan tentang pelayanan dirinya dirahasiakan, sejauh dibo-lehkan oleh undang-undang.9) Pasien berhak mendapat informasi yang memadai dan jelasjika ia harus dipindahkan dari ruangan semula atau dipindahkanke rumah sakit lain.10) Pasien berhak mengetahui jika dirinya hendak dimasukkandalam obyek penelitian.11) Pasien berhak untuk mengharapkan bahwa pelayananlanjutan kepadanya akan tetap diberikan.12) Pasien berhak mengetahui rincian dan jumlah tagihanterhadap perawatannya, meskipun bukan ia sendiri yang

54 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 55: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

membayar biaya tersebut.13)Pasien berhak mengetahui peraturan yang berlaku di rumahsakit tersebut.14)Pasien berhak untuk mengadukan keluhannya jika ia merasabahwa hak-haknya telah dilanggar.

Jadi pada dasarnya kita melihat bahwa undang-undangtersebut lebih banyak diarahkan untuk melindungi pasien danmasyarakat pemakai jasa pelayanan medik pada umumnya.Meskipun demikian, seharusnya pihak pengelola rumah sakittidak menunggu sampai peraturan pelaksanaan keluar, jika benar-benar mereka memang beritikad untuk berperilaku etis. Juga adahal-hal lain yang masih perlu diatur dalam etika perumah sakitanyang sebaiknya dibicarakan di dalam kongres PERSI.

Hal-hal yang masih perlu diatur dalam etikaperumah sakitandan tidak perlu diatur dengan peraturan perundang-undanganformal antara lain adalah :1) Etika persaingan

Dalam kehidupan berbisnis, adanya persaingan tidak dapatdihindari dan tidak pula dapat dipungkiri. Bahkan rumah sakitpemerintah pun tidak jarang melihat kehadiran rumah sakitswasta sebagai pesaing. Etika persaingan yang perlu diperhati-kan adalah :a) Tidak boleh saling memburuk-burukkan pesaing, apalagimelarang pasien untuk memilih rumah sakit lain.b) Harus menghargai hak hidup sesama rumah sakit.c) Rumah sakit pemerintah tidak boleh menggunakan kekua-

saan dan wewenang yang melekat pada instansi pemerintahuntuk menjegal pertumbuhan rumah sakit swasta.2) Etika pemasaran atau promosi.

Promosi atau pemasaran rumah sakit harus dianggap se-bagai suatu yang wajar. Tetapi dalam melakukan pemasaran, adahal-hal yang perlu diperhatikan :a) Tidak boleh meremehkan atau menjelekkan rumah sakitlain.b) Memberikaninformasiyangjujurdan tidakberlebih-lebihan.c) Tidak menjanjikan sesuatu yang tidak mungkin diberikan.d) Memberi kesempatan kepada pasien atau calon pasienuntuk bertanya dan dijawab dengan sejujur-jujurnya.e) Menghormati hak pasien untuk memilih rumah sakit yangmanapun juga.

3) Etika untuk menjaga mutu pelayanannya, yang harus ter-cermin dalam sistem manajemennya.

Rumah Sakit yang berusaha untuk menjaga mutu pela-yanannya akan membentuk panitia-panitia yang dapat dijadikanalat pemantau mutu oleh pimpinannya.Panitia-panitia itu adalah :a) Panitia Kredensialb) Panitia Etikac) Panitia Jaringand) Panitia lnfeksi Nosokomiale) Panitia Kematianf) Panitia Farmasi dan Terapi

Rumah sakit yang membentuk panitia-panitia tersebut danbersungguh-sungguh memanfaatkan panitia-panitia itu untukmenjaga dan meningkatkan mutu pelayannya, adalah rumahsakit yang memahami etika bisnis.

Ketiga hal di atas sulit untuk dijadikan peraturan perundang-undangan, tetapi penting untuk dijaga agar tidak menyimpang.Di sinilah PERSI kemudian perlu mengaturnya dalam Kode EtikRumah Sakit, dan mengawasinya agar dilaksanakan.

Ada satu hal lagi yang seharusnya ditetapkan dengan pera-turan pemerintah, yaitu tentang peranan atau fungsi sosial rumahsakit. Pada waktu yang lalu, untuk menutupi kenyataan bahwarumah sakit memang harus dikelola secara business like dandapat mencari keuntungan, peranan atau fungsi sosial sebuahrumah sakit ditafsirkan sebagai fungsi charitative rumah sakit,yaitu menetapkan agar 25% tempat tidur disediakan untuk orangmiskin. Seharusnya, terutama untuk masa yang akan datang,peranan sosial rumah sakit haruslah ditafsirkan secara lebih luasdan ditujukan untuk menampilkan peranan rumah sakit (swasta)dalam pembangunan bangsa. Seharusnya peranan (fungsi)sosial rumah sakit harus dijabarkan sebagai keharusan rumahsakit untuk menjalankan : (1) fungsi pelayanan, (2) fungsipendidikan, dan (3) fungsi penelitian. Penjabaran seperti itu akanmendorong rumah sakit memperhatikan mutu pelayanan, sertameningkatkan kemampuan sumber daya manusia lndonesia.Kalau ada rumah sakit swasta yang akan melakukan fungsicharitative, hal itu dapat dijadikan sebagai nilai "plus" dalamproses akreditasi, atau dapat diberi insentif dalam perpajakan.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 55

Page 56: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Beberapa Masalah dalamHubungan Rumah Sakit dan Pasien

J. Guwandi, SHJakarta

Marketplace medicine will become a medicine in the service of the rich and powerful,while the poor and weak watch and pray.

Allen Verhey in "MORAL MEDICINE"

PENDAHULUAN

Rumah Sakit makin bertambah kompleks. Berbagai di-siplin dan profesi kini bernaung di bawah satu atap. Mulanyahanya bidang Kedokteran dan Keperawatan saja yang me-megang peran utama di rumah sakit. Kini ia dimasuki puladisiplin hukum, ekonomi dan manajemen, psikologi, sosiologidan berbagai bidang lainnya.

Dalam satu dekade ini tampaknya falsafah, pandangandan fungsi rumah sakit telah mengalami perubahan yangdrastis. Faktor yang masih tetap adalah subjeknya, ialah sangmanusia sebagai pasien. Namun sifat hubungan antara Ru-mah Sakit – Pasien turut berubah pula. Kalau dahulu pem-berian pelayanan rumah sakit melalui profesi kedokteranlebih bersifat paternalistik, kini hubungan antara rumah sakit –pasien menjadi hubungan yang seakan-akan bersifat zakelijkantara pemberi jasa pelayanan medis (perumahsakitan) danpenerimanya (health provider - health receiver). Atau jika di-tinjau dari segi ekonomi: antara penjual dan pembeli (jasa ke-sehatan).

Arnold S. Relman, seorang dokter menulis: As economicspressures on hospitals grow and hospital managers are en-couraged or forced to act like businessman concerned pri-marily with profit margins, more and more patients will bedenied access to urgently needed care simply because theycannot pay for it".(1)Kalau sudah berbicara tentang jual-

Makalah ini disajikan pada Kongres VI PERSI & Hospital Expo, Jakarta,21 — 25 November 1993.

beli, maka sifatnyapun sudah berlainan, sudah berwarna da-gang. Masing-masing pihak sudah mempunyai hak dan ke-wajiban. Wajib saling memberikan prestasi. Jika salah satupihak tidak memberikan prestasinya, maka menurut hukumperdata ia dikatakan telah ingkar janji alias melakukan wan-prestasi. Namun di bidang pemberian pelayanan medik halini merupakan masalah pelik, karena sifatnya unik, berlainan.Wanprestasi pada pihak dokter tidak dengan begitu saja da-pat terlihat dan dibuktikan. Karena bukankah rumah sakit(dokter) hanya berusaha sedapat mungkin untuk menyembuh-kan penyakitnya (inspanningsverbintenis) dan tidak menjaminakan hasil (resultaats-verbintenis).

Kini rumah sakit tidak saja padat tenaga kerja, padat sa-rana, padat ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga saratberbagai nilai dan etika, seperti:– Etika Rumah Sakit,– Etika Kedokteran,– Etika Keperawatan.– Etika Kebidanan,– Etika Farmasi,– Etika Biomedik,– Etika Profesi Hukum,

Etika Bisnis (?), dan lain-lain.Kesemua bentuk etika ini saling berjalinan satu sama lain,

namun juga bisa saling berhadapan dan berbenturan.

56 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 57: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Sebagai antisipasi terhadap perubahan situasi dan kon-disi, maka dalam tahun 1993 ini tampaknya ada dua bentuketika mengalami penyesuaian. Sewaktu makalah ini dibuat,terdengar berita, bahwa terhadap Etika Kedokteran sedang di-lakukan evaluasi. Etika Rumah Sakit bahkan mengalamipenggantian secara menyeluruh yang diusulkan 21-23 Nopem-ber 1992. Konsep baru ini telah disetujui untuk disahkan didalam Kongres PERSI ke VI 1993 sekarang ini.

Kini Rumah Sakit sedang dalam masa transisi. Globali-sasi yang diikuti dengan erosi moral dan perubahan nilai-nilai (values) telah mendesak rumah sakit untuk mencari"wajah dan bentuk" baru yang sesuai dengan permintaan za-man. Kini selain rumah sakit yang bersifat IPSM, diperboleh-kan pula bentuk PT yang tentunya tujuannya adalah for profit.Dengan demikian, maka tolok ukur yang lama pun harusturut berubah pula. Termasuk Etika Rumah Sakitnya yangharus ada penyesuaian.

Dalam menghadapi masalah ini, PERSI sebagai wadahtunggal rumah sakit di Indonesia dan sebagai mitra Peme-rintah di bidang kesehatan seyogyanya diberi peranan yanglebih besar menjelang PJPT-II. Diberikan wewenang dantanggungjawab terhadap perkembangan di bidang perumah-sakitan.

Di samping itu hukumnya pun sudah jauh ketinggalan.Materi pembuatan hukum yang menyangkut perumah sakitanterdapat pada dua sistem hukum yang berbeda, yaitu: sistemAnglo Saxon dan Eropa Kontinental. Namun menurut hematsaya hal ini tidak merupakan kendala bagi perkembangan Hu-kum Kedokteran Indonesia, termasuk Hukum di bidang pe-rumahsakitan. Yang beda terletak pada sistemnya, cara meng-adilinya, bukan materinya. Materi hukum dari kedua sistim,baik dari Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental, dapat di-ambil dan disaring dengan falsafah Pancasila kita. Sistimnyatidak usah dihiraukan. Materinya yang cocok diambil danyang tidak sesuai ditinggalkan atau disesuaikan dengansituasi dan kondisi. Hal ini tidak begitu sukar untuk dilak-sanakan, karena disiplin kedokteran berasal dari satu sum-ber yang sama, Hippocrates. Patut disayangkan bahwa belumada yang mengadakan studi komparatif di antara kedua sistimhukum ini di bidang Hukum Kedokteran. Sistim Anglo Saxonyang memakai peradilan juri yang berdasarkan Common law,pembentukan peraturan hukumnya dapat dikatakan paraleldengan apa yang dinamakan penemuan hukum di negarayang memakai sistem kontinental. Hakim dari negara yangmenganut sistem kontinental yang sistim hukumnya menguta-makan kondifikasi, peraturan hukumnya pun ada juga yangpembentukannya melalui keputusan pengadilan (Paul Schol-ten: rechtsvinding).

Literatur dan yudisprudensi di luar negeri mengenai Hu-kum Kedokteran sudah banyak diterbitkan. Kita dapat lang-sung mengambil hikmah dan pelajaran yang sangat berhargadari pengalaman mereka yang telah dibayarnya dengan ma-hal. Dalam kaitan ini ingin saya mengutip ucapan Prof.Sluyters dari negeri Belanda yang mengatakan bahwa: "Hu-

kum mengenai tanggungjawab medik negeri Belanda tidakbisa berkembang tanpa perbandingan hukum. Negeri Belandaterlampau kecil untuk dapat membentuk dengan tenaga sen-diri suatu kepustakaan dan hukum yurisprudensi di dalambidang tanggungjawab hukum ini yang cukup luas, bervariasi,terperinci dan mendalam. Perbandingan hukum sangat pen-ting karena akan memberikan kesempatan untuk mengejarketinggalan kita terhadap negara besar lainnya dan membuatlompatan jauh ke depan. Kita bisa menghindari kesalahan-kesalahan yang telah dibuat di luar negeri dan mengambilalih pemecahan persolaan yang baik. Bagi saya hukum negaralain yang mengatur tentang tanggungjawab hukum di bidangmedik adalah penting dipelajari dan sangat bermanfaat danberharga untuk hukum medik negeri Belanda" ( 2)

(Het Nederlandse medische aansprakelijkheidsrecht kan zonder rechts-vergelijking niet tot bloei komen. Nederland is eenvoudingweg te kleinvoor het genereren op eigen kracht van een litteratuur en

jurisprudenti-erechtover dit onderdeel van het aansprake lijkheidcrecht, die voldoendeomvangrijk, gevarieerd, gedetailleerd en diepgaand is. Die voor onsdringed noodzakelijke rechtsvergelijking geeft ons de gelegenheid eenachterstand ten opzichte van enkele grote ianden in te lopen en hier endaar om te zeeten in een voorsprong. Wij kunnen trachlen de buiten-landse fouten te vermijden en de geode oplossingen over te neme. Voormij in elk geval bleek de studie van elk onderdeel van het Nederlandsemedische aansprakelijkheidsrecht kennis van het vreemde recht nuttig enwaardevol).

PEMBAHASAN

Agak sukar untuk memilah-milah segi Etik dan Hukum,karena kedua segi berjalinan satu sama lain (untuk memin-jam istilah Roscam Abbing: intertwined and interconnected).Yang bersifat murni Etik paling-paling adalah yang menyang-kut sopan-santun yang tolok-ukumya dapat diambil dariukuran etik, tata-cara beradab yang umum terdapat di dalammasyarakat. Misalnya adalah tidak etis untuk menjelek-jelek-kan atau mendiskreditkan rumah sakit lain, atau mengkam-binghitamkan rumah sakit lain, padahal kelalaiannya adalahdi rumah sakit sendiri.

Di atas telah dikemukakan bahwa terdapat berbagai etikdi rumah sakit. Sesuai dengan judul makalah, maka dalamkontek ini yang ditinjau adalah buhunghan rumah sakit –pasien dari sudut Kode Etik Rumah Sakit yang baru.

Di dalam Bab III tentang Kewajiban Rumah Sakit ter-hadap Pasien di antaranya disebutkan bahwa:

Rumah sakit harus mengutamakan kepentingan pasien

Hal ini bcrarti bahwa kepentingan pasien di rumah sakitharus didahulukan dari kepentingan lainnya. Yang palingsukar adalah apabila kepentingan (baca: pengobatan) pasienberbenturan dengan kepentingan finansial rumah sakit. Ba-gaimana jika pasien tidak mampu lagi membayar biaya rumahsakit dan dokter dan belum sembuh, sedangkan ia tidak adaasuransinya? Atau masuk asuransi, tetapi yang di cover olehasuransi hanya sebahagian, schingga sisanya harus ditanggungsendiri olch pasien? Dokter yang menangani pasicn mcng-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 57

Page 58: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

hadapi dilema apabila ia mendapat "pesan sponsor" dari pihakmanajemen/pemilik.

Urusan administrasi dan keuangan terpaksa menjadi biro-kratis dan seringkali kurang "berperikemanusiaan", demi efi-siensi rumah sakit secara keseluruhan. (3) Luis Bohigas padatahun 1989 pemah menulis, bahwa................ Thus, the medicaldirector faces a dilemma, either he "betrays" his medical o-rigin (if he decides to follow the management policy) or he isconsidered weak (if he doesn't undertake the restrictive po-licy)"

Di dalam kasus semacam tampak dua disiplin yang ber-lawanan satu sama lain. Disiplin ekonomi dan menajemenyang berbicara dengan bahasa: money, efficiency, cost effec-tiveness, cost containment, input - process - outcome, profitmargin, dan sebagainya. Sedangkan bio-etik dan disiplin ke-dokteran menggeluti istilah-istilah: life-saving, death, emer-gency, patient's autonomy, beneficence, justice, fidelity, truth-telling, non-maleficence, dan lain sebagainya dokter sebagaihealth provider dan pasien health receiver terjepit di antarakedua pola pengertian tersebut.

Bagaimana kalau di dalam satu kasus harus mengadakanpilihan, yang mana harus dipilih? Salah satu pandangan adalahdari Keith Wrenn yang mengatakan bahwa: Hospital adminis-trators, admission clerks, or business managers should nothave the final say in determining who gets health care, becausethe less fortunate will always suffer" (5)

Rumah Sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien

Hak asasi manusia (HAM) yang . menjadi pasien rumahsakit harus diindahkan. Di Amerika telah diterbitkan suatuHospital Patient's Charter. Di dalamnya dicantumkan hakatas informasi. Hak atas informasi pasien merupakan halyang harus diperhatikan oleh rumah sakit. Memang informedconsent merupakan barang impor dari Amerika yang masihbelum begitu dihayati maknanya. Namun menjelang PJPT-II,Persetujuan Tindakan Medik sebagaimana sudah diatur didalam Permenkes No. 585 tahun 1989 secara berangsur-angsurharus diterapkan. Apalagi sekarang sudah dicantumkan jugadi dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pen-jelasan pasal 53 ayat 2.

Masalah lain adalah menyangkut Rahasia Kedokteran(baca: pasien) yang harus disimpan dan tidak boleh diungkap-kan kepada pihak lain tanpa izin pasien; yang dalam praktekmasih belum disadari sepenuhnya. Ini sudah berlaku uni-versal dan dijelaskan dalam yuriprudensi berbagai negaradi dalam pertimbangan hakim. Permintaan keterangan medis,misalnya dari pihak asuransi harus ada Surat Pernyataan Per-setujuan tertulis dari pasien atau keluarga terdekatnya. Surattersebut diserahkan kepada rumah sakit untuk disimpan didalam berkas Rekam Medis sebagai alat bukti jika ada tun-tutan kelak. Tentu timbul pertanyaan: mengapa pihak asuransitidak dapat secara langsung meminta informasi medik darirumah sakit, sedangkan perusahaan asuransi itu permintaan-

nya juga dilakukan misalnya oleh seorang dokter? Bukankahantara teman sejawat tidak ada rahasia? Mungkin hal iniharus di clear kan, karena setiap kali dokter yang merawat-nya direpotkan dengan hal-hal semacam ini yang sebenarnyaterletak di bidang administratif dan hukum. Sebenarnya de-ngan mudah masalah ini dapat diselesaikan asalkan pihak-pihak yang berkepentingan sudah mengetahui hukumnya danmau mengerti serta mentaatinya. Harus diketahui bahwa se-waktu pasien dan pihak asuransi mengadakan perjanjian,pihak rumah sakit sama sekali tidak tahu-menahu. Makaantara rumah sakit dan pihak asuransi sama sekali tidak adakaitan secara langsung. Sesudah pasien masuk rumah sakitdan dirawat, baru timbul hubungan antara rumah sakit -pasien, namun tidak dengan pihak asuransi (Lain halnyaAstek, Jasa Raharja yang memang sudah ada perjanjian de-ngan rumah sakit sebelumnya).

Selain itu pemberian keterangan kepada pihak asuransitersebut tidak termasuk perjanjian terapetik rumah sakit (dok-ter) – pasien, sehingga dapat dikenakan honor terpisah.

Persoalan lain adalah yang menyangkut Rekam Medis.Masih belum disadari bahwa berkas ini merupakan alat buktiyang kuat dan sangat penting. Mengapa? Kazena bukti yangutama di dalam perkara tuntutan malpraktek medik yang dapatdipertanggungjawabkan dan diterima di depan Pengadilanadalah catatan-catatan yang telah ditulis di dalam RekamMedis tersebut (yang asli dan tidak ditambah/dicoret/diganti/diubah, dsb). Namun tulisan itu harus dapat dibaca dan dapatmemberi gambaran secara kronologis mengenai apa-apa sajayang telah dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga kese-hatan lainnya selama pasien dirawat. Banyak tulisan dokterpada Rekam Medis tersebut tak terbaca. Ada juga yang tidaklengkap menulis. Berapa menitkah harus dikorbankan untukmenulis suatu catatan? Kalau sudah ada tuntutan malpraktekmedik, barulah terasa betapa pentingnya catatan tersebutyang tadinya dianggap hal-hal sepele. Dari pihak perawattampak sudah banyak kemajuan dan memberi catatan leng-kap tentang pasien yang di bawah perawatannya.

Di Jerman oleh Bundesgerichtshof (Mahkamah Agung)bahkan telah dikembangkan suatu ajaran bahwa kepadadokter dan rumah sakit dibebankan suatu wajib dokumentasi.Penelantaran dari kewajiban membawa akibat bahwa bebanpembuktian (onus, burden of proof) menjadi terbalik. Jikatadinya sebagaimana biasa beban untuk membuktikan terletakpada yang menggugat (pasien), kini dalam kasus malpraktekmedik yang rekam medisnya tidak terbaca, rumah sakit/dok-ternyalah yang harus membuktikan ketidaksalahannya/ketidak.lalaiannya ( 2 ).

Gemala Hatta di dalam Rakernas Pormiki I telah me-ngutip Leslie Ann Fox: ". ... a physician can protect him-self from the appearence of negligence by the care anddiligence with which he writes his notes . . .

(6) Seorang

dokter dapat membuktikan dirinya dari kesan telah berlakulalai atau teliti dalam memberikan pelayanan dengan catatan-catatan yang telah ditulisnya.

58 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 59: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Di atas telah dikatakan bahwa antara Etik dan Hukumsukar dipisah-pisahkan. Hanya bisa diadakan pembedaan (on-derscheiden), tetapi tidak bisa dipisahkan (scheiden). De-mikian pula antara rumah sakit dan doktemya. Beberapacontoh:1) Rumah Sakit (dokter) menahan-nahan pasien VIP yangsebenarnya sudah dapat dipulangkan, sekedar untuk meme-nuhi ruangan yang kosong, memperpanjang length of stay.

Memang sukar dibuktikan, namun jika sampai terlampaulama pasien pun akan bertanya-tanya di dalam hati: sakit apasaya sebenamya sehingga harus dirawat sedemikian lama.Bahkan cenderung untuk mendapat penyakit iatrogenik darirumah sakit sehingga jadi berkepanjangan dan bisa dijadikandasar tuntutan.

Sesudah keluar dari rumah sakit ia akan menceritakanpengalaman pahitnya dengan dokter tersebut. Nama rumahsakit sedikit banyak pun akan tercemar.2) Atas dasar "indikasi medik" terhadap pasien yang mampudilakukan berbagai pemeriksaan (mahal) yang sebenarnyatidak perlu atau tak ada gunanya, sekedar untuk pengem-balian kredit Bank sehingga terjadi overuse dari peralatanmahal. Atau sebaliknya pasien yang harus diperiksa denganalat tersebut untuk dapat diketahui persis penyakitnya tidakdilakukan, karena tidak mampu membayar (undertreatment),atau tidak menerimanya dengan berbagai dalih. Dan pasienyang dianggap tebal kantongnya di-pingpong lebih dahuluke beberapa spesialis supaya lebih "yakin" akan penyakitnya.Tampaknya pandangan klinis (klinische blik) sementara dok-ter sudah ada yang memudar, sehingga lebih tergantung ke-pada peralatan penunjang medik. Sebenarnya hasil penunjangmedik seharusnya adalah sekedar untuk meyakinkan kebe-naran dugaan diagnosisnya.3) Pasien yang sebenarnya harus dirujuk ke spesialis/bagianlain masih ditahan-tahan sehingga penyakitnya bertambahparah. Misalnya: pasien yang fungsi ginjalnya sudah minim(gagal ginjal) yang kadar ureumnya sudah di atas 200 dankreatininnya sudah jauh melebihi angka 7, tetapi masih be-lum dirujuk untuk hemodialisis. Bahkan masih dicoba-cobadengan obat diuretik.4) Dokt.cr spcsialis on call yang pada waktu malam tidakmau datang, tetapi tidak melepaskan pasiennya. Besoknyapasien meninggal, tetapi sang dokter masih tetap menulishonornya walaupun belum pemah melihatnya, apalagi me-meriksanya. Bisa terkena KUH Pidana tentang Penipuan.5) Bagian Administrasi Rumah Sakit yang tidak memper-bolehkan pasien pulang karena tidak bisa melunasi biayarumah sakit/dokter, walaupun sudah diperbolehkan pulangoleh dokter. Bisa terkena KUH Pidana pasal 333 tentangPenyanderaan yang tidak sah (onrechtmatige vrijheidsberoving).6) Pasien gawat-darurat yang belum stabilized, tetapi dikirimke rumah sakit lain karena tidak bisa membayar uang muka.Jika sampai meninggal di jalan, rumah sakit bisa dipersalah-kan karena melakukan patient 's dumping.

Di dalam literatur dibedakan dua bentuk interhospitaltransfer (pasien gawat darurat yang belum stabil dan wanitayag sedang mau melahirkan), yang bisa mengakibatkantransfer associated death (7):a) Atas dasar alasan medis (karena kekurangan sarana, per-

alatan yang diperlukan atau tidak adanya tenaga spesialis-nya (medical reasons),

b) Atas dasar pertimbangan finansial (butir 6 di atas), (eco-nomic reasons).

7) Tidak menerima pasien yang dalam keadaan terminaluntuk menekan mortaliry rate dan memelihara nama baikrumah sakit atau pasien demikian cepat-cepat dipindahkandengan berbagai dalih ke rumah sakit lain.8) Menahan pasien dan tidak merujuk ke rumah sakit lain,walaupun alat diagnosis yang diperlukan untuk mendeteksipenyakitnya tidak dipunyai (CT Scan) dan tidak ada tenagadokter spesialisnya. Hal ini bisa menjadi kasus hukum kalausampai mengakibatkan matinya sang pasien. Di dalam yuris-prudensi hukum kedokteran penuntutannya didasarkan ataslack of diagnostic information and the failure to refer toanother hospital.9) Masalah etik yang pelik bisa timbul di ruang ICU apabilamisalnya alat ventilator yang tersedia, semuanya sedang di-pasang pada pasien, termasuk pasien yang sudah tak ada ha-rapan pulih kembali. Bagaimana jika kemudian diperlukanuntuk pasien lain yang masih banyak harapan?10) Pasien dengan multiple sclerosis yang sebelumnya sudahbeberapa kali menyatakan minta diakhiri hidupnya saja.Bagaimana pertimbangan etis di Indonesia tentang: NCO(Nursing Care Only), DNR (Do Not Rescuscitate) order?Kode Etik mana yang menilai dan memutuskan: Kode EtikKedokteran atau Kode Etik Rumah Sakit?11) Apakah suatu usaha pengobatan yang sudah tak bisamenolong lagi (Prof. Leenen: zinlose medische behandeling)boleh dihentikan atau harus diteruskan? Menurut Leenenseorang dokter tidak usah mulai memberikan suatu terapiatau meneruskan suatu terapi, jika dilihat dari segi medis,tidak akan ada gunanya (Een arts dient derhalve niet met eentherapie te beginnen noch deze voort te zetten, indien er,medisch gezien, geen resultaat van te verwachten valt).12) Masalah yang menyangkut Euthanasia dan Kematian:• Tidak mulai memberikan life support treatment pada

pasien in faust,• Bilamana pemberian life support treatment tersebut boleh

dihentikan? (bandingkan butir no. 11 di atas)• Penghentian atas dasar finansial atau pulang paksa apa-

kah tidak merupakan pseudo-euthanasia?• Arti ordinary and extra-ordinary means yang dengan

perkembangan pesat iptek kedokteran menjadi pengertianyang samar. Pernah dari pihak agama Katholik menge-mukakan perumusan lain: treatment which is disproporti-nately burdensome, or futile, is not obligatory (9). Bagai-mana pendirian kita dalam masalah ini?

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 5 9

Page 60: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

KEPUSTAKAAN

1. Relman AS. What are hospitals for? Economic Considerations inEmergency Care. N. Engl. J. Med 1985; 312 (6) : 372.

2. Sluyters B. De aansprakelijkheid van Arts en Ziekenhuis. PreadviesNederlandse Vereniging voor Rechtsvergelijking, Kluwer, Deventer,1984. p 60.

3. Al Purwa Hadiwardoyo. Etika Medis. Pustaka Filsafat, Penerbit Kani-sius, 1989, p 54.

4. Bohigas L. et. al. Who Runs the Hospital? Hospital Management Inter-national, 1989.

5. Wrenn K. No Insurance, No Admission. N. Engl. J.Med. 1985; 312 (6).

6. Gemala Hatta. Peranan Rekam Medis dalam tanggung gugat praktekprofesional Tenaga Kesehatan. Seminar Sehari dan Rakemas I PORMIKI,BLKM Cilandak, 7-8 Agustus 1993.

7. Kellennann AL. Interhospital patient transfer. N. Engl. J. Med. 1988;319(10):643.

8. Leenen HJJ. Rechten van Mensen in de Gezondheidszorg. Brussel:Samson Uitgeverij Alphen aan den Rijn, 1978. p. 239.

9. Skegg PDG. Law, Ethics, an Medicine. Pada footnote membanding-kan "Sacred Congregation of the Doctrine of Faith, " Iura et Bona (De-claration on Euthanasia), 1980), 72 Acta Apostolicae Sedits 542-52Clarendon Press, Oxford (1984). p. 147.

60 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 61: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Pengembangan IPTEK PJPT-11

Prof Dr Sudraji SumaprajaStaf Ahli Menristek Bidang IPTEK Kedokteran, Jakarta

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada sayauntuk menyampaikan beberapa kebijaksanaan Kantor MenteriNegara Riset dan Teknologi tentang Pengembangan IPTEKPJPT-II, kepada para peserta Kongres PERSI VI dan HospitalExpo VII yang saya hormati.

Sebentar lagi kita akan memasuki Rencana PembangunanLima Tahun (REPELITA) VI, yang merupakan REPELITA per-tama dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT-II),dimana pembangunan nasional Indonesia akan mulai tinggallandas dengan kekuatan sendiri, yang akan mengantarkan bangsaIndonesia menuju masyarakat yang maju, sejahtera, adil danmakmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Bangsa Indonesia telah bertekad untuk secara sistematis, tahapdemi tahap, mentransformasikan diri menjadi bangsa yangmodern, yaitu bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan danteknologi (IPTEK) untuk memenuhi keperluan-keperluan dasar-nya sendiri, menyediakan prasarana ekonominya sendiri, sertamenghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kualitas hidup-nya sendiri yang semakin meningkat. Dalam tahap-tahap inilah,tumpuan pembangunan nasional akan beralih dari pemanfaatansumber daya alam (SDA) ke pemanfaatan sumber daya yangselalu terbaharukan, yaitu sumber daya manusia (SDM) Indo-nesia. Oleh karena itulah, konsep inti pengembangan IPTEKadalah pembangunan manusia lndonesia itu sendiri.

Pembangunan Nasional, dimana kita semua terlibat di da-lamnya, adalah pembangunan bangsa. Bangsa di sini memilikiarti yang lebih luas dari pada hanya kemerdekaan politik. Didalamnya tersirat kemandirian ekonomi, kemampuan memper-tahankan budayanya, dan keberhasilan mempertahankan ke-satuan nasionalnya sendiri: Indonesia. Oleh karena itulah, ke-mampuan pengembangan IPTEK menjadi sangat penting. Tanpa

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & H ospital Expo, Jakarta,21 - 25 November 1993.

kemampuan itu, pemilikan sumber daya alam yang berlimpahsekalipun tidak ada artinya. Lain halnya kalau IPTEK dapatdikuasai, sumberdaya alam yang langka sekalipun bukan me-rupakan hambatan. Contohnya, Jepang dan Korea yang sumberdaya alamnya langka, dapat menjadi negara industri maju karenakemampuan membangun IPTEK-nya. Oleh karena itu sekalilagi: pembangunan sumberdaya manusia adalah konsep intipengembangan IPTEK Indonesia.

Ada lima prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam me-nerapkan IPTEK untuk pembangunan bangsa.

Prinsip pertama, perlu diselenggarakan pendidikan danlatihan di berbagai bidang IPTEK yang gayut untuk pemba-ngunan bangsa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Prinsip ke dua, perlu dikembangkan konsep yang jelas danrealistis serta dilaksanakan secara konsekuen, tentang masya-rakat yang ingin dibangun, dan teknologi yang akan dipakaiuntuk mewujudkannya. Teknologi-teknologi itu tidak harus yangpaling sederhana, dapat juga yang paling canggih yang ada didunia. Yang penting adalah kegunaannya untuk memecahkanmasalah-masalah yang nyata di dalam negeri.

Prinsip ke tiga, kalau teknologi yang diperlukan itu belumada di Indonesia, maka teknologi itu harus dialihkan dari negaramaju, diterapkan dan dikembangkan di Indonesia, untuk me-mecahkan masalah-masalah yang nyata kita hadapi. Karena,teknologi itu tidak dapat dimengerti kalau dikembangkan secaraabstrak.

Prinsip ke empat, untuk dapat menjadi bangsa yang di-hormati oleh bangsa lain kita harus bertekad untuk mampumemecahkan masalah-masalah kita sendiri, dan tidak selalumengandalkan impor IPTEK buatan luar negeri.

Prinsip ke lima, sudah barang tentu pada awalnya setiap

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 61

Page 62: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

negara harus melindungi pengembangan IPTEK nasionalnya,sampai ia mampu bersaing di dunia internasional, tetapi tidakuntuk waktu yang terlampau lama.

Karena inti pembangunan nasional pada hakekatnya adalahpembangunan potensi manusia lndonesia, maka sesungguhnyakita sedang berhadapan dengan upaya mengubah mentalitasbangsa menjadi bangsa yang menghayati dan menerapkan nilai-nilai negara industri maju, yang rata-rata lebih produktif danlebih efisien.

GBHN 1993 telah mengamanatkan bahwa IPTEK merupa-kan salah satu asas pembangunan nasional. Kualitas manusiaIndonesia dan masyarakat Indonesia serta penguasaannya ter-hadap IPTEK merupakan satu kesatuan sebagai faktor dominandalam pembangunan nasional. Selanjutnya IPTEK telah ditetap-kan sebagai bidang pembangunan nasional. Dengan demikian,IPTEK semakin berperan untuk mencapai tujuan pembangunannasional yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat yangsetinggi-tingginya.

Tetapi, manusia tidak dengan sendirinya dapat menjadipembawa IPTEK. Ia harus terlebih dahulu menempuh prosesnilai tambah, yaitu proses untuk memperoleh dan menyempur-nakan kemampuannya secara terus menerus. Proses nilaitambah itu ditempuh dalam dua tahap: (1) proses persiapan; dan(2) proses penyempurnaan.

Proses persiapan yang lebih dikenal dengan proses pendidik-an dimulai sejak prasekolah dan mungkin berakhir di perguruantinggi; sedangkan proses penyempurnaan dimulai sejak ia be-kerja. Untuk proses persiapan ini diperlukan sistem pendidikanyang rasional dan efektif; sedangkan untuk proses penyempur-naan diperlukan wahana-wahana transformasi teknologi danindustri, dimana putra-putri bangsa yang terbaik mendapat ke-sempatan untuk menyempurnakan dirinya, merealisasikan po-tensinya untuk berproduksi, dan kemudian menjadi unggul da-lam bidangnya. IPTEK yang diperoleh melalui pendidikan barumerupakan landasan untuk dapat berkembang menjadi manusiayang mampu dalam bidangnya; sedangkan kemampuan untukmenerapkan dan mengintegrasikan teknologi, dan mengelolapenerapan dan pengintegrasian teknologi itu tidak cukup hanyadiperoleh dari pendidikan melalui observasi, seminar ataumembuat satu-dua produk lantas berhenti.

Kemampuan yang bermutu tinggi dan lestari hanya akan di-peroleh melalui wahana-wahana yang melakukan proses nilaitambah terus-menerus untuk menghasilkan barang dan jasa yanglebih bermutu, lebih bersaing harganya dan lebih tepat waktupenyampaiannya. Oleh karena itulah, kita tidak boleh main-main dengan proses pendidikan, dan juga tidak boleh main-mainmemilih wahana tempat manusia lndonesia menyem-purnakan dirinya menjadi manusia yang unggul.

Secara konsepsional, terdapat dua unsur strategi penerapanIPTEK untuk transformasi teknologi dan industri suatu negarasedang berkembang: pertama, pentahapannya; dan ke dua,wahana-wahananya.

Proses transformasi masyarakat Indonesia menjadi ma-syarakat yang maju teknologi dan industrinya dapat dipikirkanterdiri dari empat tahap transformasi teknologi dan industri yang

bertumpang-tindih. Tiga yang pertama gayut untuk negara yangsedang berkembang seperti Indonesia, sedangkan tahap keempatmerupakan tahap kunci bagi negara-negara yang ingin memper-tahankan keunggulan teknologinya, yang telah sama-sama kitasiapkan dalam menyongsong tinggal landas di tahun 1994.

Tahap pertama, dan yang paling mendasar adalah tahappenggunaan teknologi-teknologi yang ada di dunia untuk proses-proses nilai tambah dalam rangka memproduksi barang-barangyang sudah ada di pasaran. Jalan pintas yang paling masuk akaladalah melakukan mengalihkan teknologi-teknologi dari luarnegeri untuk memproduksi barang-barang tersebut di dalamnegeri.

Tahap ke dua, adalah integrasi teknologi-teknologi yangsudah ada ke dalam desain dan produksi barang-barang yangbaru sama sekali, artinya yang belum ada di pasaran. Pada tahapini dikembangkan desain dan cetak biru. Dengan demikian adaunsur baru di sini, yaitu unsur penciptaan.

Tahap ke tiga, adalah tahap pengembangan teknologi itusendiri. Teknologi yang sudah ada dikembangkan lebih lanjut;dan teknologi-teknologi baru pun dikembangkan, yang ke-semuanya itu untuk merancang produk-produk masa depan.

Tahap ke empat, Perusahaan-perusahaan atau negara-negara yang sedang melaksanakan tahap ketiga itu seringkalidihadapkan kepada kurangnya teori untuk mengembangkanteknologi baru, yang memerlukan penelitian dasar untuk men-jawabnya, dan untuk mempertahankan keberhasilan sertakeunggulan yang telah dicapainya.

Karena kita memulai transformasi teknologi dan industri itudengan sumber dana dan daya yang terbatas, maka kita haruspandai-pandai membuat prioritas, wahana-wahana industri manayang perlu dikembangkan lebih dulu. Berdasarkan kondisi, ke-mampuan, daya dukung dan daya tampung yang ada, dan mem-perhatikan pula pertimbangan-pertimbangan geografik, politikdan strategi, maka telah diputuskan untuk memprioritaskanpengembangan sembilan wahana industri sebagai berikut :1) Industri angkutan udara2) Industri angkutan laut3) Industri angkutan darat4) Industri telekomunikasi5) Industri energi6) Industri rekayasa7) Industri alat dan mesin pertanian8) Industri pertahanan-keamanan, dan9) Industri pendukung lainnya.

Dengan berkembangnya delapan wahana industri pertamatersebut di atas, maka wahana kesembilan pun akan turut berkem-bang melalui tarikan dan dorongan melewati berbagai kaitannya,seperti industri kesehatan, kedokteran, perpmah-sakitan, pen-didikan, pariwisata, dan lain-lain.

Selain strategi transformasi teknologi dan industri sepertidiuraikan di atas, Dewan Riset Nasional (DRN) telah merumus-kan Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PUNASRISTEK), yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam limabidang utama Matriks Nasional Riset dan Teknologi, sebagaiberikut :

62 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 63: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

I. Kebutuhan Dasar Manusia (Butsarman)II. Sumber Daya Alam, Energi dan Lingkungan HidupIII. IndustriIV. Pertahanan dan KeamananV. Sosial, Hukum, Ekonomi, Budaya, Falsafah dan Perundang-Undangan

Selain itu, DRN telah merumuskan pula PUNAS RISTEKPELITA VI yang mengacu kepada GBHN 1993, memberikanarah pengembangan IPTEK, dan menjadi acuan untuk meng-ajukan dan menyaring usulan kegiatan IPTEK, yang ditampilkandalam delapan program sebagai berikut :A. Sub Sektor Teknik Produksi dan Teknologi1. Program Teknik Produksi2. Program TeknologiB. Sub Sektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Ilmu Penge-tahuan Dasar3. Program Ilmu Pengetahuan Terapan4. Program Ilmu Pengetahuan DasarC. Sub Sektor Kelembagaan, Prasarana dan Sarana IPTEK5. Program Pembinaan Kelembagaan IPTEK6. Program Pengembangan Prasarana dan Sarana IPTEKD. Sub Sektor Informasi dan Statistik7. Program Pengembangan Sistem Informasi8. Program Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik.

Setiap tahun DRN akan menilai kembali PUNAS RISTEKitu untuk lebih disempurnakan dan disesuaikan dengan per-ubahan pembangunan dan perkembangan IPTEK, yang didugaakan bergerak sangat pesat.

Dalam penyusunan PUNAS RISTEK, DRN telah memberipenekanan prioritas yang berlainan, sesuai dengan keperluanpemanfaatan, pengembangan dan penguasaan IPTEK bagipembangunan nasional. Hal tersebut digambarkan denganmenempatkan tanda prioritas (+) pada program yang ber-sangkutan.

Pemerintah juga telah berketetapan bahwa IPTEK yangdiperlukan untuk pembangunan nasional, yang sudah dikem-bangkan di negara-negara maju, dan pada garis besarnya berlakujuga untuk Indonesia, sejauh mungkin dimanfaatkan. Peman-faatannya dilakukan melalui empat tahap pengalihan IPTEKseperti telah diuraikan sebelumnya. Dalam rangka kebijaksanaaninilah Indonesia telah menandatangani perjanjian kerjasamaIPTEK dengan berbagai negara maju seperti Amerika Serikat,Jerman, Perancis, Jepang, Belanda dan Inggris, dan denganbadan-badan internasional.

Bagaimana kalau IPTEK yang kita perlukan itu belumdikembangkan di negara-negara maju?

Dalam hal itu bangsa Indonesia harus mengerahkan se-bagian dari dana dan dayanya untuk memperoleh IPTEK yangdiperlukan itu. Dalam hal perumahsakitan, memang banyakmasalah yang khas Indonesia, yang tidak mungkin dikaji daritemuan-temuan di luar negeri. Hanya yang tidak boleh dilupakanadalah, riset yang akan dilakukan sendiri itu harus pragmatisuntuk memecahkan masalah-masalah nasional yang nyata.

Program Utama RISTEK PELITA VIBidang Kebutuhan dasar Manusia (BUTSARMAN)

Program-programUtama TP Tek. IPT IPD Lem Sar. Inf. Sta.

Program UtamaKesehatanSubprogramUtama MasalahKedokteranlKesehatanPenyakit menular +++ ++ ++ + ++ ++ + +Penyakit degeneratif +++ + ++ + + +Penyakit keganasan +++ + ++ + +Penyakitgangguanjiwa +++ + ++ + +Kecelakaan ++ ++ ++ + +Gizi salah +++ ++ ++ + + + + +Subprogram UtamaKeilmuanBiologi molekuler + ++ ++ +++ +++ ++ ++Reproduksi manusia + ++ +++ + +++ ++ ++Genetika + ++ +++ + +++ ++ ++Pengobatantradisional + + ++ +++ +++ ++ ++Subprogram UtamaKomponen Pelayan-an Kedokteran/KesehatanKebijaksanaan ++ + +Alat-alat +++ ++ +Obat-obatan +++ ++ +Proses/metodapelaksanaan pelayan-an kedokteran/kesehatan +++ ++ ++

Keterangan :TP : Program Teknik ProduksiTek : Program TeknologiIPT : Program Ilmu Pengetahuan TerapanIPD : Program Ilmu Pengetahuan DasarLem : Program Pembinaan Kelembagaan IPTEKSar : Program Pengembangan Prasarana dan Sarana IPTEKInf : Program Pengembangan Sistem InformasiSta : Program Penyempurnaan dan Pengembangan StatistikPrioritas tertinggi ditandai oleh +++ (tiga notasi plus)

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 63

Page 64: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIANOMOR 18 TAHUN 1986

TENTANGPAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERHUTANGATAS IMPOR DAN PENYERAHAN BARANG KENA

PAJAK DAN JASA KENA PAJAK TERTENTUYANG DITANGGUNG OLEH PEMERINTAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa untuk lebih menunjang pelaksanaan pembangunan nasionaldan meningkatkan program pembangunan di bidang kesejahteraanrakyat dan pertahanan-keamanan, dipandang perlu meninjau kem-bali Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1985 tentang PajakPertambahan Nilai Yang Terhitung Atas Penyerahan dan ImporBarang Kena Pajak Tertentu Yang Ditanggung Oleh Pemerintah(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 30), dan menyesuaikannyadengan kebutuhan dalam rangka pelaksanaan program-prograntersebut di atas;

Mengingat 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasil-

an Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas BarangMewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, TambahanLembaran Negara Nomor 3264);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang Penetapan Per-aturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undangPajak Pertambahan Nilai 1984 menjadi Undang-undang(Lembaran Negara Tahun 1984 nomor 47, Tambahan LembaranNegara Nomor 3280);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1985 Penetapan MulaiBerlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 3);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksana-an Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 LembaranNegara Tahun 1985 Nomor 28, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3287);

MEMUTUSKAN :

Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1985tentang Pajak Pertambahan Nilai Yang Terhitung Atas Penyerahandan Impor Barang Kena Pajak Tertentu Yang Ditanggung OlehPemerintah (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 30).

64 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 65: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK WDONESIA TENTANGPAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERHUTANG ATASIMPOR DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DANJASA KENA PAJAK TERTENTU YANG DITANGGUNG OLEHPEMERINTAH.

Pasal 1

Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang atas impor Barang KenaPajak tertentu ditanggung oleh Pemerintah, yaitu :

1. Bahan baku untuk pembuatan uang kertas, uang logam, bendameterai, pita cukai, dan pita (sticker) Pajak Pertambahan Nilaiyang dilakukan oleh Pemerintah atas badan usaha yang di-tunjuk oleh Pemerintah atas badan usaha yang ditunjuk olehPemerintah;

2. Uang kertas, uang logam, dan traveller's cheque;3. Makanan ternak dan unggas dan/atau bahan baku untuk pem-

buatan makan temak dan unggas;4. Emas batangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk

oleh Menteri Perdagangan;5. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, di bawah air dan di

udara, kendaraan lapis baja, dan kendaraan angkutan khususlain untuk keperluan ABRI yang belum dibuat di dalam negeri;

6. Buku-buku ilmu pengetahuan yang belum diterbitkan di dalamnegeri, serta tidak untuk diperdagangkan;

7. Alat perlengkapan kedokteran dan perawatan kesehatan yangdigunakan langsung untuk keperluan Rumah Sakit Umummilik Pemerintah maupun swasta yang belum diproduksi didalam negeri serta tidak untuk diperdagangkan;

8. Alat kontrasepsi untuk keperluan Program Keluarga BerencanaNasional;

9. Mesin, peralatan, perangkat lunak, dan bahan baku yang belumdapat diproduksi di dalam negeri yang dilakukan oleh danuntuk keperluan badan usaha milik negara sebagaimana di-maksud dalam Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden RepublikIndonesia Nomor 59 Tahun 1983 tentang Pembentukan DewanPembina dan Pengelola Industri-industri Strategis dan IndustriHankam;

10. Barang Kena Pajak yang bersifat strategis untuk keperluanpembangunan nasional yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Pasal 2

Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang atas penyerahan BarangKena Pajak tertentu ditanggung oleh Pemerintah, yaitu :1. Uang kertas, uang logam, benda meterai, pita cukai, dan pita

(sticker) Pajak Pertambahan Nilai yang dicetak oleh PerumPERURI;

2. Rumah Murah, Rumah Sederhana, Pondok Boro, AsramaMahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasan-nya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengarpendapat Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat;

3. Emas batangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjukoleh Menteri Keuangan;

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 65

Page 66: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

4. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, di bawah air, dan diudara, kendaraan lapis baja serta kendaraan angkutan khususlain untuk keperluan ABRI;

5. Makanan ternak dan unggas;6. Air bersih yang disalurkan melalui pipa;7. Alat kontrasepsi untuk keperluan Program Keluarga Berencana

Nasional.

Pasal 3

Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang atas penyerahan JasaKena Pajak dari Kontraktor kepada Perum Perumnas untuk pem-borongan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2,ditanggung oleh Pemerintah.

Pasal 4

Ketentuan teknis yang diperlukan bagi pelaksanaan lebih lanjutKeputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganKeputusan Presiden ini dengan menempatkannya dalam LembaranNegara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 9 Mei 1986PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakartapada tanggal 9 Mei 1986MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1986 NOMOR 33

Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro HukumPerundang-undangan

Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

66 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 67: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Lampiran II surat DJPNomor : S-068/PJ.22/1986Tgl. : 20 Mei 1986

MENTERI KEUANGAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGANREPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 356/KMK.04/1986

TENTANG

PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAKPENGHASILAN ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN

DENGAN PEKERJAAN DARI TENAGA AHLIATAU PERSEKUTUAN TENAGA AHLI

SEBAGAI WAJIB PAJAK DALAM NEGERIBERUPA HONORARIUM ATAU PEMBAYARAN LAIN

SEBAGAI IMBALAN ATAS JASA PROFESIYANG DILAKUKAN DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa untuk pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilansehubungan dengan pekerjaan dari tenaga ahli atau persekutuantenaga ahli berupa honorarium atau pembayaran lain sebagaiimbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia, perlu diaturlebih lanjut pelaksanaannya;

b. bahwa perkiraan penghasilan netto sebagaimana ditentukandalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 655/KMK.04/1984perlu disempurnakan;

c. bahwa berhubung dengan itu perlu ditetapkan KeputusanMenteri Keuangan sebagai pengganti Keputusan MenteriKeuangan RI Nomor 655/KMK.04/1984;

Mengingat 1. Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (LembaranNegara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3236);

2. Pasal 33 Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 1985(Lembaaran Negara Tahun 1985 Nomor 63, Tambahan Lem-baran Negara Nomor 3309);

MEMUTUSKAN

Dengan mencabut:Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 655/KMK.04/1984 tentang

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 6 7

Page 68: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Pelaksanaan pemotongan PPH atas penghasilan sehubungan denganpekerjaan dari tenaga ahli atau persekutuaan tenaga ahli sebagaiWajib Pajak dalam negeri berupa honorarium atau pembayaran lainsebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia;

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDO-NESIA TENTANG PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAKPENGHASILAN ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGANDENGAN PEKERJAAN DARI TENAGA AHLI ATAUPERSEKUTUAN TENAGA AHLI SEBAGAI WAJIB PAJAKDALAM NEGERI BERUPA HONORARIUM ATAU PEM-BAYARAN LAIN SEBAGAI IMBALAN ATAS JASA PROFESIYANG DILAKUKAN DI INDONESIA.

Pasal 1(1) Dalam pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan atas peng-

hasilan Sehubungan dengan pekerjaan dari tenaga ahli ataupersekutuaan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeriberupa honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atasjasa profesi yang dilakukan di Indonesia, diterapkan tariflapisan terendah sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak penghasilan1984;

(2) Tarif lapisan terendah sebesar 15% (lima belas persen) se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterangkan atas perkiraanpenghasilan netto dari masing-masing tenaga ahli sebagaiberikut:

Nomor Jenis tenaga ahli Persentase daripenghasilan bruto

1. Pengacara/advokat/penasehatahli hukum lainnya

60

2. Akuntan 603. Arsitek 504. Dokter 405. Konsultan 606. Notaris 607. Tenaga ahli pemberi jasa

porofesi lainnya50

(3) Apabila penghasilan berupa honorarium atau pembayaran lainsebagai imbalan atas jasa profesi tersebut pada ayat (1) di-bayarkan sudah merupakan jumlah netto, yaitu telah ada pe-ngurangan sehubungan biaya untuk memberikan jasa tersebut,maka tarif lapisan terendah sebesar 15%, langsung diterapkanatas honorarium atau pembayaran lain tersebut.

(4) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), (2) dan (3) merupakan pembayaran pendahuluan dari PPhyang terhutang oleh tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahliatas tahun dilaksanakannya pemotongan tersebut.

6 8 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 69: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Pasal 2

Pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur JenderalPajak.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumumanKeputusan ini dengan penempatannya dalam Berita NegaraRepublik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 10 Mei 1986

MENTERI KEUANGAN

RADIUS PRAWIRO

Kalender Kegiatan llmiah

August 16—18, 1994 — 7th ASEAN Congress of Plastic and Reconstructive SurgeryBangkokInformation : Congress Secretariat,

Dept of Plastic Surgery, Siriraj Hospital,Bangkok 10700, Thailand.

October 9—14, 1994 — 20th International Congress of the International Academyof Pathology & llth World Congress of Academic andEnvironmental PathologyHong KongInformation : Congress Coordinator,

Department of Anatomical and Cellular Patho-logy, The Chinese University of Hong Kong,Room 38019, 1/F, Prince of Wales Hospital,Shatin, Hong Kong.

November 6—1 1, 1994 — 9th Asian Australasian Congress of AnaesthesiologistBangkokInformation : Secretariat 9th AACA,

Department of Anaesthesiology,Ramathibodi Hospital, 270 Rama VI Road,Bangkok 10400, Thailand.

November 26—30, 1994 — 10th ASEAN Congress of Cardiology, BangkokInformation : Secretariat, Dr Y Sahasakul,

Division of Cardiology,Department of Medicine, Siriraj Hospital,Bangkok 10700, Thailand.

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 6 9

Page 70: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

PERATURAN-PERATURAN

MENTERI KEUANGAN

SALINANKEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 796/KMK.04/1993

TENTANG

PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNANATAS RUMAH SAKIT SWASTA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi rumahsakit swasta dalam melakukan fungsi sosial sesuai dengankebutuhan masyarakat akan pelayanan dan jasa-jasa kesehatantelah berkembang sebagai institusi yang juga bersifat ekonomisdengan menitik-beratkan pada upaya mencari keuntungan;

b. bahwa walaupun terdapat pergeseran status dan fungsi rumahsakit swasta dimaksud, fungsi sosial rumah sakit swasta tetapmelekat sebagai institusi yang memberikan jasa pelayanankesehatan, sehingga turus menunjang program kesehatannasional;

c. bahwa sehubungan dengan butir a dan b, atas bumi dan/ataubangunan yang dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh RumahSakit Swasta tersebut dapat dikenakan Pajak Bumi danBangunan (PBB) pada junlah tertentu atas pajak terutangdengan memperhatikan fungsi sosial rumah sakit tersebut;

d. bahwa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dimaksud atasRumah Sakit Swasta tersebut perlu diatur dengan KeputusanMenteri Keuangan Republik Indonesia;

Mengingat 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KetentuanUmum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun1983 Nomor 49, Tambahan Lembagaran Negara Nomor 3262);

2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumidan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100);

4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 158/KMK.04/1991 tanggal 13 Pebruari 1991 tentang PemberianPengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIATENTANG PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNANATAS RUMAH SAKIT.

70 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 71: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Rumah Sakit Swasta dalam keputusan ini adalahRumah Sakit Swasta IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) yang:a. 25% dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu;b. Sisa Hasil Usaha (SHU) digunakan untuk reinvestasi Rumah Sakit dalam

rangka pengembangan Rumah Sakit dan tidak digunakan untuk Investasi diluar Rumah Sakit.

(2) Atas bumi dan/atau bangunagan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan olehRumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakanPajak Bumi dan Bangunan sebesar 50% dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunanyang seharusnya terhutang.

Pasal 2

Runah Sakit Swasta Pemodal yang bukan merupakan Rumah Sakit Swasta IPSMsebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan didirikan oleh suatu badan yang berbentukPerseroan Terbatas, dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai denganketentuan yang berlaku.

Pasal 3

Atas Bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh RumahSakit Swasta tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatansecara langsung yang terletak di luar lingkungan Rumah Sakit, tetap dikenakanPajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 4

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan Pajak Bumi danBangunan, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 158/KMK.04/1991 tanggal 13 Februari 1991 tentang Pemberian Pengurangan PajakBumi dan Bangunan (PBB)

Pasal 5

Pelaksanaan teknis keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun pajak 1993Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman keputusan ini

dalam berita negara Republik Indonesia.

SALINAN sesuai dengan aslinyaKEPALA BIRO UMUM

u.b.KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN

ttd.

Ny. HERTATI MULATSIHNIP. 110016245

Ditetapkan di :JAKARTAPada tanggal : 20 Agustus 1993

MENTERI KEUANGAN

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 71

Page 72: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

NOMOR : SE-19/PJ.23/1989SIFATLAMPIRAN :PERIHAL : Pemotongan PPh Pasal 21

atas honorarium dokter yangpraktek di rumah sakit.(SERI PPh Pasal 21-38)

Jakarta, 3 April 1989

Kepada Yth.1. Para Kepala Kantor Wilayah

DJP.2. Para Kepala Inspeksi Pajak

diSELURUH INDONESIA

Berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan rumah sakitsebagai pemotong pajak PPh Pasal 21 di seluruh Indonesia danhasil pembicaraan antara Direktorat Jenderal Pajak denganPengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta Pengurus PusatPerhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), bersamaini diberikan penegasan mengenai pedoman pemotongan PPhPasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakitsebagai berikut:1. Di rumah sakit pada umumnya terdapat tenaga dokter yang

berdasarkan status hubungan kerjanya dapat dibagi dalam 4golongan, yakni:a. Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan

rumah sakit.b. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer

rumah sakit.c. Dokter tamu, yakni dokter yang merawat atau menitip-

kan pasiennya untuk di rawat di rumah sakit.d. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai

tempat prakteknya .2. Penghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 1 adalah

sebagai berikut:a. Dokter yang menjabat sebagaimana pengurus atau pim-

pinan rumah sakit menerima atau memperoleh penghasilanyang berasal dari rumah sakit tersebut berupa gaji,tunjangan-tunjangan, honorarium, serta imbalan lain.

b. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer darirumah sakit menerima atau memperoleh penghasilanberupa gaji, tunjangan-tunjangan honorarium, sertaimbalan lain.

c. Dokter tamu menerima atau memperoleh penghasilanberupa honorarium dari rumah sakit sebagai imbalan atasjasa yang diberikannya, yang berasal dari pasien dandibayarkan melalui rumah sakit.

d. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagaitempat prakteknva menerima atau memoerolehpenghasilansebagai imbalan atas jasa dokter yang dibayar oleh pasien,baik yang diterima secara langsung maupun melalui kasrumah sakit.

3. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 Jo.Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-41/PJ/1988tanggal 28 April 1988 (Buku Petunjuk), maka pelaksanaan

72 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 73: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter pada butir 1adalah sebagai berikut:a. Atas penghasilan dokter yang menjabat sebagai pengurus

atau pimpinan rumah sakit, dipotong PPh Pasal 21 olehrumah sakit tersebut sesuai dengan ketentuan pemotonganPPh Pasal 21 untuk penghasilan pegawai tetap denganditerapkan tarip Pasal 17 atas Penghasilan Kena Pajak(PKP). Penghasilan bruto diperoleh dengan cara men-jumlahkan seluruh penghasilan, baik berupa gaji, tunjanganmaupun honorarium serta imbalan lain yang dibayar olehrumah sakit kepada dokter tersebut.

b. Atas penghasilan dokter sebagai pegawai tetap darirumah sakit dipotong PPh Pasal 21 oleh rumah sakit ter-sebut sesuai dengan ketentuan pada butir 3.a. Sedangkanapabila dokter tersebut statusnya masih pegawai honorer,maka ia hanya berhak memperoleh potongan PTKP tetapitidak berhak mendapat potongan biaya jabatan dankepadanya diterapkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) BukuPetunjuk.

c. Atas penghasilan berupa honorarium yang diterima doktertamu, dipotong PPh Pasal 21 oleh pihak rumah sakitsebesar:15% x 40% x Penghasilan bruto berupa honorarium.

Yang dimaksud dengan penghasilan bruto berupa hono-rarium adalah jumlah imbalan jasa dokter dari pasienyang dirawatnya di rumah sakit tersebut, sebelum dipotongatau dikurangi dengan potongan-potongan oleh rumahsakit.Untuk lebih jelasnya bersama ini diberikan contoh pe-rincian biaya perawatan dari rumah sakit sebagai berikut:

Jenis biaya Sebesar

1. Biaya perawatan (sewa kamar) Rp. 630.000,-2. Radiologi Rp. 21.000,-3. Laboratorium Rp. 19.700,-4. Anesthesi Rp. 15.980,-5. Biaya obat Rp. 24.025,-6. Telepon/lnterlokal Rp. 1.700;7. Jasa dokter Rp. 150.000,-8. Biaya administrasi Rp. 14.620,-

Jumlah biaya Rp. 877.025,-

Dari jumlah jasa dokter sebesar Rp. 150.000,- tersebut,rumah sakit akan memotong pungutan rumah sakit (bagianrumah sakit) sebesar 15% s/d 20%, tergantung persetujuanantara dokter dengan rumah sakit tersebut. PPh Pasal 21atas honorarium dokter yang harus dipotong oleh rumahsakit adalah sebagai berikut:

15% x 40% x Rp 150.000,- = Rp. 9.000,-Dalam hubungan ini berdasrkan kesempatan antaraDirektorat Jenderal Pajak dengan Pengurus Pusat Persi,jasa dokter wajib dibayarkan melalui rumah sakit.

d. Atas penghasilan berupa imbalan jasa dokter dari pasienyang diterima langsung oleh dokter yang menyewa

Cermin Duniu Kedoklerun, Edisi Khusus No. 90, 1994 73

Page 74: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

ruangan di rumah sakit untuk tempat prakteknya rumahsakit tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21.Namun dalam hal pasien membayar jasa dokter melaluikas rumah sakit dan rumah sakit tersebut memotongpungutan rumah sakit, maka atas imbalan jasa Dokter yangdibayarkan kepada dokter tersebut berlaku ketentuansebagaimana tersebut pada butir 3.c.

4. Perlu ditegaskan bahwa rumah sakit dan Yayasan PengelolaRumah sakit wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 ataspenghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 2sesuai ketentuan sebagaimana tersebut pada butir 3. Fihakrumah sakit bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaanpemotongan tersebut.

5. Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi(Formulir 1770) dari dokter dilaksanakan sebagai berikut:a. Penghasilan bruto berupa honorarium dari rumah sakit

(dalam contoh pada butir 4c. sebesar Rp. 150.000,-) di-gabungkan atau dijumlahkan dengan penerimaan brutodari pekerjaan bebas, yakni penerimaan bruto daripraktek dirumah atau ditempat praktek lainnya.

b. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut padabutir 5.a, yakni jumlah seluruh penerimaan bruto daripekerjaan bebas, berjumlah kurang dari Rp. 120.000,- se-tahun, maka dokter tersebut berhak dan boleh memilihmenggunakan Norma Penghitungan penghasilan netto.Besarnya Norma Penghitungan penghasilan netto untukdokter adalah 40% penghasilan bruto. Untuk maksud inidokter tersebut diwajibkan memberitahukan kepada KIPselambat-lambatnya pada akhir bulan Maret dari tahunpajak yang bersangkutan.

c. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut padabutir 5.a, yakni jumlah seluruh penerimaan bruto daripekerjaan bebas telah mencapai jumlah Rp. 120.000.000,-atau lebih setahun, maka dokter tersebut tidak diperkenan-kan untuk menggunakan Norma. Berdasarkan ketentuanPasal 13 UU No. 7 Tahun 1983, ia diwajibkan me-nyelenggarakan pembukuan, penghitungan penghasilannyadidasarkan pada keadaan yang sebenarnya sesuai denganpembukuan yang diselenggarakannya.

d. Dalam hal dokter tersebut belum memiliki NPWP, makakepadanya supaya segera diberikan NPWP agar ia segeramengisi SPT Tahunan.

6. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka dengan inikami nyatakan bahwa Surat Edaran terdahulu yang mengaturmengenai hal yang sama yang tidak sesuai dengan SuratEdaran ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan pe-motongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktekdi rumah sakit ini berlaku sejak tanggal dikeluarkannya SuratEdaran ini.

Demikian, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.Tembusan : Kepada Yth. DIREKTUR JENDERAL PAJAK1. Bapak Menteri Muda Keuangan RI 3. Sdr. Ketua Umum IDI.

(sebagai laporan) 4. Sdr. Ketua Umum PERSI. Drs. MAR'IE MUHAMMAD2. Sdr. Sekretaris DJP/Para Direktur/ 5. Arsip. NIP. 060031307

Bintek/Staf Ahli DJP74 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 75: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

NOMOR : SE .03/PJ .431/1990 Jakarta, 9 Pebruari 1990SIFATLAMPIRAN : Kepada Yth.:PERIHAL : Pemotongan PPh Pasal 21 dan 1. Sdr. Para Kepala Kantor

Pasal 26 atas HonorariumDokter dan Dosen PerguruanTinggi Swasta.

2.Pelayanan PajakSdr. Para Kepala UnitPemeriksaan dan PenyidikanPajakdi

Seluruh Indonesia

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh beberapa KantorPelayanan Pajak, ternyata bahwa belum semua BendaharawanRumah Sakit yang membayar honorarium kepada para dokter danBendaharawan Perguruan Tinggi Swasta yang membayar hono-rarium kepada para dosen/pengajar/penceramah memotong danmenyetor PPh Pasal 21 dan 26 sesuai dengan ketentuan yangberlaku.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini kami tegaskankembali bahwa pemotongan PPh. Pasal 21 dan Pasal 26 atas pem-bayaran honorarium kepada dokter dan dosen/pengajar/penceramahadalah dilakukan sebagai berikut:1. Pembayaran honorarium dokter yang praktek di Rumah Sakit

dipotong PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang diaturdalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-19/PJ.23/1989 tanggal 3 April 1989.

2. Pembayaran honorarium kepada dokter dan dosen/pengajar/penceramah sebagai pegawai tetap atau tenaga lepas (dalam artibekerja lebih 26 hari atau honorarium dibayar secara bulanan)dipotong PPh. Pasal 21 menurut tarif Pasal 17 Undang-undangPajak Penghasilan 1984 dari Penghasilan Kena Pajak, sesuaidengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Buku Petunjuk PemotonganPPh Pasal 21 dan Pasal 26 tahun• 1988 dan selanjutnya.

3. Pembayaran honorarium dokter sebagai tenaga ahli dimaksuddalam Pasal 5 ayat (1) huruf e ke 1 Buku Petunjuk PemotonganPPh Pasal 21 dan Pasal 26 tahun 1988 dan selanjutnya, di-potong PPh Pasal 21 sebesar 15% dari perkiraan penghasilannetto (40% dari penghasilan bruto) atau penghasilan netto(dalam hal honorarium diterima bersih) sesuai dengan ke-tentuan Pasal 11 ayat (3) Buku Petunjuk Pemotongan tersebut.

4. Pembayaran honorarium oleh Yayasan Perguruan Tinggi Swastakepada Dosen selaku pengajar, penceramah dan sebagainyayang bukan merupakan pegawai tetap dari Yayasan PerguruanTinggi Swasta yang bersangkutan wajib dipotong PPh Pasal 21menurut tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984dari penghasilan bruto, sesuai dengan ketentuan Pasal 11ayat (4) Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 danPasal 26tahun 1988 dan selanjutnya.

5. Apabila dokter dan dosen/pengajar/penceramah yang menerimahonorarium tersebut di atas merupakan Wajib Pajak Per-seorangan Luar Negeri maka dikenakan PPh Pasal 26 sebesar20% dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan Pasal 14

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 75

Page 76: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Buku Petunjuk pemotongan PPh Pasal 21 dan PasaI 26 tahun1988 dan selanjutnya, atau dalam hal ada tax-treaty makasesuai dengan ketentuan yang berlaku.Demikian untuk diketahui dan kepada Saudara diminta untuk

melakukan pengawasan agar pemotongan PPh Pasal 212 dan Pasal26 atas pembayaran honorarium dokter oleh Rumah Sakit danpembayaran honorarium dosen/pengajar/penceramah olehPerguruan Tinggi Swasta dilakukan sesuai dengan ketentuan yangberlaku tersebut di atas.

Tembusan kepada Yth. DIREKTUR JENDERAL PAJAK1. Bapak Direktur Jenderal Pajak DITREKTUR PAJAK PENGHASILAN

(sebagai laporan)2. Sdr. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;3. Para Direktur/Kepala Pusat Direktorat Jenderal Pajak;4. Para Kanwil DJP di seluruh Indonesia; Drs. WAHONO5. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan. NIP. 060008997

Nothing can bring you peace but yourse f(Qalph Waldo Emerson)

76 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 77: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Strategic Planning and Marketing

James E. WawoeroendengJames E. Wawoeroendeng & Associates, Loma Linda, California, USA

Today, as the hospitals' environment become more complex,increasing number of organizations are developing strategicplans. Changes brought by Indonesia's policy objective of de-velopment through industrialization, manufacturing and thepush for export-oriented industries are creating new demandsand expectations for the nation's hospitals. These changes, thedynamics of health care, the need to improve the delivery ofhealth services, and the need to contain rising health care costs,arguc for effective responses from hospitals. The formulation ofresponses is an outcome associated with strategic planning andmarketing. Adjusting the positions of organizations to fit thechanges in the environment is a function of strategic manage-ment.

This paper is a review of some of the approaches US hospitalmanagement have used in responding to the rapid changesbrought by intense competition and prospective payment system.Given there are differences between Indonesia's and UnitedState's health care systems, to a great extent, however, there areparallels and similarities between the two. In my opinion it is amatter of degree. Subsequently, broad efforts and trends in theUS to control cost and improve accessibility have indirect impli-cations to Indonesia as these are goals both countries share. Tothis end, it is hoped that this paper will contribute positively to thediscussions and debates on how we could perfect the nation'sdelivery system and meet its goal, that of, providing the besthealth care possible, within reason.

STRATEGIC PLANNING DEFINEDStrategic planning is an activity that supports strategic

management, Inherent in the concept is the idea that an organi-zation can best serve its overall purpose when there is a grand•design or a prethought scheme to develop and manage the

Presented at the Vlth Congress of the Indonesian Hospitals Association &Hospital Expo. Jakarta 21 — 25 November 1993

organization.The concept may be described as matching organizational

resources and capabilities with environmental changes, threatsand opportunities. Strategic planning is a formal, ongoingprocess of developing, evaluating and implementing goalsselected from key alternatives to guide actions and decision-making. The process is comprehensive in that it involves con-sideration of the interrelatedness of problems and issues, andseeks to understand the full implications or likely consequencesof proposed actions in advance of making decisions. Strategicplanning as a prerequisite to action is imperative.

Plans, the outcome of strategic planning process, are ablueprint for operating decisions. Key features in a effective planare as follows :• Plans should strive for higher level of achievement.• Plans should be based on a through assessment of thecommunity needs, organizational capabilities, and the conditionsin the external environment.• Plans should be comprehensive in scope and developed withthe broadest participation of key players.• Plans should be realistic, action-oriented, and continuallyevaluated as important changes occur.

There are at least two dimensions of strategic management:the process of strategic planning and the content (programs andstructures) of strategic activity. While there is not a singleuniversal model on the sequence and process of planning, theessential elements of a generic strategic planning process includethe following:• Defining the organization's mission.• Assessing strategically important information, such as;Trends – economic, industry, demographic shiftsResources – internal strengths and weaknesses

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 77

Page 78: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Competition – competitors' profiles, competitive positionMarket – needs and gaps, depth of service, perceptions,• Identifying major or high impact issuesMajor opportunities, major threats and major shifts• Formulating goals and objectives• Selecting a grand strategy.

MARKETING ORIENTATION AND REALIGNMENTImproving management's ability to assess and be responsive

to the needs of the market constituencies is one of the majorpurpose of strategic planning. The development of a market planlinks strategic planning to the external environment. The marketsituation is analyzed with an interest on identifying and definingneeds on existing and future programs and or services, anddetermining the capability of the hospital resource base torespond to the dynamic and changing environment.

As the markets of hospitals change, as health service needs,preferences, and attitudes shift and change, and as competitionand technology intensify, hospitals must evaluate and realign themix of services, products and programs offered. Such realign-ment with market conditions obviously must be done consistentwith the hospital's chosen mission, capabilities and limitations.

RealignmentRealigning a hospital's direction in response to market

changes is the responsibility of hospital directors. The rangeof alternative strategies considered and eventually chosen isinfluenced by among others, the outcome of a portfolio analysis,the organization's position and service within the organizationlife cycle and marketplace life cycle, the managerial style of thehospital director, the organization's tendency to adapt towardchanges described in such terms as defensive, prospective andreactive. Prospector organizations are those that, from time totime, redefine its directions to capitalize on opportunities to meetthe market needs. In contrast, reactor organizations are those thatanalyze changes, tend to be passive and seems to be lacking asense of direction.

Most Favorable PositionGenerally, hospital directors are empowered to make changes

that reorient the hospital's direction in ways that are thought toimprove its performance and chance of survival or growth. Thisperspective derives from two closely held traditions in organiza-tion theory, the first of which stresses the idea that under normsof rational behavior of key members of the organization, energywill be exerted to align the institution vis-a-vis the environmentand market so that it will be in the most favorable positionpossible. Thus a purposeful scanning of the environment; a hard-headed assessment of the forces impinging on the hospital, anda calculation of risks and benefits for hospital innovation are keyactions that would be expected of hospital directors. The secondtradition is derived from the strategic management perspectivepositing that directors not only react to changing market andenvironmental forces but also anticipate and help shape theseforces via aggressive strategic change.

Portfolio AnalysisThe importance of portfolio analysis to strategy choice and

marketing has to do with the degree to which decision-makersrecognize the high growth, high income programs from the lowgrowth, low income programs. The Boston Consulting Group iscredited for devising a matrix that assist management to examinethe entire hospital portfolio of services. This type of analysis is aneffort to avoid mistakes such as: promoting or focusing onunprofitable lines, overlooking promising or potential services,concentrating on product lines or programs that may offer atrac-tion but whose relative size is too small to merit attention.

Product Lines ManagementProduct management, a market-oriented approach, facili-

tates strategic planning by focusing on strategic issues programby program. As some program cut across departmental boundarylines and involve multidisciplinary teams, breaking up the hospi-tal into distinct market-oriented programs allows management todefine each program by such criteria as cost, target, segmentationof market, its stage in the marketplace life cycle, and the man-power required. Product management looks at the product line asa competitive entity. Two disciplines are helpful in developingproduct line management, cost accounting and marketing. Trueproduct lines have their focus on the marketplace. Their value liesin establishing groups that are identifiable and manageable asseparate businesses within the hospital. Some important featuresto consider in developing product lines are as follows:

Be identifiable to the market by programlproduct lineBe recognized as a unique or special programHave an identifiable marketBe an administratively manageable unitEstablish a reputation for excellenceAim to have complete diagnostic and therapeutic supports in

terms of equipment and personnel.• Practice state-of-the art medicine and remain current withprogress.• Be involved in research and education.

The objective behind the product line management is tocreate something unique and different (differentiation). Twoexamples of product line application: HUMANA*, a for-profithealthcare corporation created what it calls regional Centers ofExcellence strategically located among their 90-hospitals net-work. Practicing state-of-the-art medicine, these referral andconsultation centers provide the highest quality of caze in a givenclinical specialty and serve as distinguishing centerpiece of theirnetwork. Another application in the spectrum of product linemanagement is an approach used by Republic Health Corpora-tion of Dallas, Texas by branding their products or services.Republic has identified 10 "product lines" as follows(1 ) :• "Gift of Sight" – cataract surgery• "Step Lively" – podiatric services• "You're Becoming" – cosmetic surgery• "Call Me" – alcoholism treatment• "Sound Sense" – hearing examinations• " Impotency Solutions" – urology service

78 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 79: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

• "View" – women's health problems• " Miracle Moments" – obstetrics• "ReNew" – cocaine addiction treatment• "Reach" – adolescent psychiatric treatment

The examples serve to illustrate the need of differentiatingprograms and services so to be distinguished from competitors'.Hospitals compete in two distinguishable levels of the market:price-based competition, or non-price competition. Naturally,there are only three major themes from which hospitals developstrategic responses:• Differentiating hospital products from the competitors.• Identifying and focusing on segments of the market, by age,diagnosis, geographic location, income level, etc.• Pursuing aggressive cost management and compete on cost.

STRATEGIESThere are a number of patterns to describe the long-run

strategic thrusts of hospitals. The following summary are genericgrand strategies applicable for health care organizations con-sidered common: expansion of the product line or area, servicespecialization or niche, vertical or horicontal integration, jointventure, diversification, and retrenchment.

Expansion of the Product Line• A strategy to increase or maintain market share.• Developing new product lines, Pediatric Cardiovascular,Oncology, etc.• Selling of underused capacity, (dietary, housekeeping,laundry, EDS).• Establishing freestanding ambulatory service, diagnosticdepartement, dialysis.

Service Specialization• A strategy to focus and serve a particular segment of themarket; differentiation.• Service to age group,. diagnosis group, socioeconomicclass, or geographic area.• Specialization in Pediatric, Rehabilitation, Prenatal Care,Oncology, Burn Unit, Sport Medicine, Geriatric Care, Mammo-graphy.

Integration, Service Vertical Integration & Horizontal• Establishing organizational arrangements that provide arange of services.• A strategy to retain patients within the system or chain byproviding more services. Pre-admission services and post-discharge care. Post discharge care: skilled-nursing 'care, long-term care, home care.• Non-clinical integration include entering businesses thatsupply/manufacture hospital products or services (pharmaceuti-cals, prosthesis, linen, IV).• A strategy to control the use of supplies and resources usedby hospitals.• Voluntary merger of two entities providing same or related

service, products.• Geographically dispersed, or geographically proximate.• A strategy to achieve economies of scale, avoid duplication,increase availability of skills and talents in management andclinical applications, increased access to capital, and lower costof capital.• A strategy to achieve stability as risks are reduced.

Joint Venture• Similar to horizontal integration, except autonomy isretained.• A strategy to shared opportunities and risks; mutual benefitsand risks.• May be used to integrate forward, backward, diversity orexpand service.• Hospital and Physician groups joint ventures, common andrelevant (PHO, physician-hospital-organization).

Diversification• Entering into related or unrelated businesses: real estate,shopping centers, restaurants, medical plaza or medical officebuildings.• A strategy to spread risks or maximize earnings throughinvestment opportunities.• A strategy to protect against the risks of uncertainties.• A strategy to improve cash flow.

Retrenchment• Downsizing, divestment, eliminating unprofitable servicesor reducing in order to survive.• A strategy to prevent insolvency by reprioritizing fundsallocation.

STRUCTURE AND PROGRAMSThere are two main strategic variables at the disposal of

hospital management that may be altered to meet changes in theenvironment: organizational structure or organizational pro-grams. These are the variables and the focus of strategic planningwhen reviewing and analyzing the mazket. The structures andprograms reviewed in this paper have to be viewed in the contextof the prevailing conditions in the United States, and they are:• growing trend of prospective payment system• decreasing reimbursement from third party payors• continued high health care costs• accelerated competition• tighter profit margins• decreasing inpatient census• large excess capacity, overbedded• intense consumer pressures and expectations for change• growing pressures from business community• labor shortage in professional and technical categories• new delivery systems, HMOs, PPOs, IPAs• increasing ambulatory services• declining average length of stay (ALOS)• increase in investor-owned corporations• growing participation in alliances, chains

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 79

Page 80: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

• increased regulationsConsequently, What are the measures hospitals undertake

in order to survive in this increasingly hostile climate; How dothey position their organizations in a way that ensure continuedgrowth and survival, and How do they adapt to the changes? Howshould hospitals orient their strategies? The following I submitare some of the answers in terms of organizational structures andprograms.

1. Medical Staff RelationsMedical Staff are the single most critical factor in a fiercely

competitive climate. They serve as gatekeepers for a hospital'sflow of patients. Without incorporating physicians into the stra-tegic plans of hospitals, it is unlikely that hospitals will developa foundation for responding adequately to competition. From thehospital's perspective it is highly important to attract and retainthe best qualified medical staff. Physicians are the key ingredientin maintaining a desired census. Some measures used to enlistphysicians loyalty and cooperation:• adequate and or reasonable compensation• assistance in new equipment financing• participation in the development of strategic planning• participation in joint ventures with the hospital• hospital-physician alliance, partnership, joint owners ofhospitals business units• professional development allowances: continuing educa-tion, journals, national/overseas programs observation trips• hospital allowances for: club memberships, home loans foodor meals, housing and transportation.• funds for research and development.

The two main strategies employed in dealing with themedical staff as shown in the preceding list are, the extension offinancial and non-financial benefits, and incorporating physi-cians as partners and/or owners of hospital or hospital's businessunits. Key advantages of the partnerships are as follows:• shared risks and shared profits• higher motivation to control costs• improved capability of the partnership to offer diverseservices

Much is at stake if a hospital is unable to obtain and retaincompetent medical staff, or enlist their cooperation in the hos-pital's expansion program or cost reduction program, all of whichinvolve physicians. Acute care hospital is physician-intensive,and without acute care, the hospital is just another clinic. Hospitalexecutives must gain the support and cooperation of physiciansin order to continue a viable hospital operation.

2. Hospital-Physicians Joint VenturesBy engaging in joint ventures with those who control access

to patients, principally physicians, hospitals can lock in theirexisting patient base (market share) and possibly increase it by(1) giving the physicians a financial stake in the operation ofcertain lines of business, such as ambulatory surgery centers, and(2) tying into potential new sources of patients. Hospitals hopethat engaging in join ventures will enable them to be moreeffective competitors in the marketplace by enabling them to

offer a broader range of services and in more markets. To do sohospitals are better off to collaborate with physicians rather thanbe in opposition or competition with them.

The area where joint ventures have been formed include theestablishment and operation of urgent care centers, ambulatorysurgery centers, medical office buildings, skilled nursing facili-ties, independent laboratories, home health care agencies, theacquisition and operation of major medical equipment such asCT scanner, MRI, and lithothripters. The joint ventures may beany of the following three forms:• Contractual Agreement.

A form of alliance with the physicians, ensuring their partici-pation and mutual sharing of benefits and risks, for specifiedpurpose(s) and or a specified period.• Corporation.

Incorporation limit the liability of both parties to the extentof their investment. Physicians gain liability protection. Controlrest with a new entity and separate board of directors representedby both parties.• Limited Partnership.

Hospital often is the general partner thus exposed to risks,physicians as limited partners are precluded from sharing in themanagement.

The real value of joint ventures is when both hospitals andphysicians recognize that there are overlapping values andbenefits to be gained if both parties join their resources togetherand accept that they are better off joined than separate.

3. DiversificationTo compete effectively hospitals have to implement

measures to control operations and attain high operationalefficiency. The other option is to maximize revenue by engagingin or entering promising markets. In rural hospitals where fundsare scarce and there is no excess of hospital beds, diversificationmay be an inappropriate strategy. Some reasons given for diver-sification:• The hospital diversify its program in order to capture a largershare of all patients served in a community, by offering newservices to unserved market segment.• The hospital strive to become the sole source of a medicaltechnology, such as diagnostic imaging equipment or MRI.• The hospital seek feeders or satellite facilities to function assources of referrals.• The hospital seek to protect its exposure by entering intoprofitable ventures, related or unrelated to its core business.

A survey conducted by "HOSPITALS" as published in theJanuary 5, 1989 issue, rank most successful hospitals' ventures asfollows:

1. Freestanding outpatient diagnosis2. Inpatient rehabilitation3. Freestanding outpatient surgery4. Industrial medicine5. Women's medicine6. Psychiatric outpatient services7. Home health8. Substance abuse

80 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 81: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

9. Cardiac rehabilitation10. Nursing facility11. Preferred Provider Organization12. Intermediate care13. Obstetrics14. Pediatrics15. HMO16. Trauma center17. Satellite urgent care18. Retirement housing19. Wellness/health promotion

Many hospitals experienced failures with diversificationprojects because they are undercapitalized, had conducted poorplanning, lack the entrepreneurial managerial skills, and lackingthe required support from physicians. The following criteria areimportant when a hospital considers diversification:• Rate of Return Project generates positive cash flow• Mission Venture is compatible with mission• Community Projects improves service to the community• Market share Hospital gain market share• Patients Hospital gain new referrals• Autonomy/ Hospital are in control

control• Patient care Interest in quality is an important factor• Physicians Possess the education and skills• Support Approved by key participants• Interests No conflict ofinterests withMDs/board

Caveats for hospitals already diversifying into programs orservices in their community: First, to recognize as soon aspossible when demand for a program is declining. Hospitalsshould not wait too long to discontinue the line or sell it, second,be financially ready to handle any temporary downturns forextended period of time.

An important source for diversification is the creative useand development of hospital's hidden and under-utilized assets.Converting these into new profit centers, is the challenge formanagement. Examples of those hidden assets could be asdiverse as:• Excess capacity or off-hours of plant and equipment• In-house support services• Proprietary software (developed in-house)• Real estate, medical plaza• Vendor relationships, endorsement for royalty• Reputation and image, acceptance• Technical expertise and technology

A number of viable structural methods may be employed tofacilitate diversification. Diversification does not have to includeformal alliance with another health care organizations throughmerger, consolidation or combination. Diversification impliesthat the hospital is rearranging its programs and services. Pro-spectively, diversification's real value is revenue maximization,defensively, it is a means of protecting the hospital from the risksof uncertainties.

4. Outpatient Care and Referral Networks

Outpatient revenues currently account for about 25% ofcommunity hospital's revenue. There are predictions that by year2000 the percentage will increase to 50%. This major change inhealth care delivery presents US hospitals with one of the mostdifficult strategic planning issues today. The number of hospitalsdecreased 5 percent from 1980 to 1990, while the number offreestanding ambulatory centers increased 57 percent from 19,516to 45,510( 2) .

To shift to ambulatory care, in several cases, is to placethe hospital in direct competition with physicians. However, inorder to remain viable in the emerging delivery model, hospitalsmust capture a significant share of the growing outpatient busi-ness. This effort require physicians involvement, capital invest-ment in facilities, equipment and information systems to supportgrowing ambulatory care demands.

In the evolving opportunities for outpatient care and referral,at least four types of strategies can be adopted :• Inpatient-oriented, specialty ambulatory care services• Comprehensive primary ambulatory care services• Ancillary ambulatory care services that are part of overalldiversification• Joint ventures with physician group that may expand thecurrent level of patient referrals.

SurgicentersThe growth of ambulatory surgery has been due to advances

in medical science such as the use of anesthesia in a precisemanner. New technologies that offer greater precision in meas-uring blood gases and that permit a patient to be anesthetized justsufficiently for the procedure are expanding the number ofoperations that can be done on an outpatient basis. Third partypayers are reluctant to pay inpatient stays associated with surgi-cal procedures that can be performed on an outpatient basis.Selected categories of surgicenter procedures :OB/Gyn - - gynecological surgery, laparoscopy/tubal ligationOrthopedics - - orthopedic surgery, arthroscopyENT - - myringotomy, tonsillectomy or adenoidectomyDermatologyPlastic surgery

Urgent Care Centers - - Freestanding Emergency FacilitiesIn many cases, hospitals emergency room have been used by

patients for nonemergency cases.To meet these needs,hospitalshave opened up Urgent Care Centers, a cross between a phy-sician's office and an emergency room, complete with laboratoryand radiology facilities. Minors sugeries can be performed insome centers. Urgent care centers owned and operated by phy-sicians are a threat to hospitals as these tend to draw patient awayfrom hospitals.

Freestanding Dialysis CentersAt one time kidney dialysis was an extremely expensive

procedure and could be performed only in a hospital setting. Withsignificant technological advances, most dialyses can now be

Cermin Duniu Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 8 1

Page 82: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

performed on an outpatient basies, further eroding traditionalsource of inpatient revenue. As more physician Group Practicesprovide comprehensive outpatient services by doing more ofwhat traditionally are inpatient functions, hospitals responsescould be either to let the physicians be joined owners with thehospitals or, concentrate and focus on hospital core functions.

Wellness ProgramsThis strategy is used to approach the health conscious

members of the population. These programs may include hyper-tension screening, medical evaluation, alcohol and drug reha-bilitation, injury prevention, etc. Studies have shown that the realbenefits of wellness programs appears to be the positive com-murity image that it fosters.

5. Multihospital SystemsSome hospitals have turned to multi-institutional alliances

in an effort to stem the adverse influence of prospective paymentand competition. Indications are that these multhihospital sys-tems will continue to expand as regulations and competitionincreases. System affiliation was designed to provide the follow-ing benefits :• increased access to capital markets• reduction in duplication of services, increase in efficiency• economies of scale• access to management expertise• increased personnel benefits• improved patient access through geographical integration ofvarious levels of care• improvement in quality through increased volume of ser-vices for specialized personnel• increased volume due to increased number of services

Formerly it was possible to classify hospital cooperativearrangements in two classes. First, alliances that bring inde-pendent organizations together to share and cooperatie in solvingproblems, second, independent organizations together combinesunder a common organizational framework. The concept hasnow a spectrum of formats that begins with one that is highlyinformal to highly formal :

Consortia on planning or education, professional associa-tions, shared or cooperative services, formal contractual asso-ciations, contract management, leasing, corporate ownershipwith separate management, complete ownership, completeownership with large-scale system.

Shared ServicesSharing involves two or more organizations joining together

to produce and/or use the same sercive for the member institu-tions. This ranges from the joint use of computers, laundry, andlaboratories to purchasing and specialized clinical facilities.Sharing of MRI and CT scanners are good examples of thismodel.Consortia

Consortia hospitals, often including medical schools, arememberhsip organizations with full time staff devoted to joint

planning and programming. Agreements usually include criteriafor the size of investment which can be made by individualmember institutions without efforts to plan the program jointlyand/or share each major clinical service. This will help to limitmajor investment to fewer institutions and to improve utilization.patterns and thus may help to ensure efficient and qualityservices. Hospitals join consortia because they find it difficultto survive as independent units. The more important benefitsinclude reduced environmental uncertainty and complexityand improved access to resources, which is achieved throughlinkages with both the consortium management and other affili-ated hospitals.Mergers

Mergers by acquisition are when two entities merged tobecome one. Two organizations are integrated into one singlelegal body with one sole corporate board. Merger is a strategy forcapturing a larger market share by integrating vertically orhorizontally, or as a menas of providing more comprehensiveservices.

Contract ManagementFor agreed fees contract management companies provide

specialized services ranging from hospital management, house-keeping services, laundry, emergency room staffing, pharmacy,laboratory, food services to contracting hospitals. More oftenthan not, contract management companies can deliver their ser-vices more efficiently and cheaper. Hospitals benefit from re-duced salary, retirement and benefit expenses. Mariott Ma-nagement Services, one of the largest contract managementcompany, is a large hotel restaurantcorporation which diversiinto the hospital industry business. Being large and highlycapitalized, their expertise in food distribution and productionresult in high operating and cost efficiency. Con tracts are typically based on a fee or a fee bonuses. Increasingly, howcvcrfees will be based on capitated rates based on patient days or thenumber of enrolees. A survey published by Modern Health careAugust 30, 1993 issue growing trend for this mode of service asevidenced by the reveals increased number of contracts :

1992 1991

Food Service 1,936 1,833Hospital-based Emergency 1,547 1,476Housekeeping 1,462 1,639Clinical, diagnostic equipment 812 726Laundry 662 593Pharmacy 566 545Cardiology Services 421 404Rehabilitation/physical therapy 352 302Psychiatric 223 214Respiratory Therapy 155 168Home Care 147 152Materials Management 82 75

6. Investor-owned Multihospital SystemsInvestor-owned systems are growing in terms of hospitals

and hospital beds at the rate of 100% a year. This growth has been

82 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 83: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

achieved largely through the acquisition of independentinvestor-owned hospitals. Investor-owned systems are constructing andacquiring freestanding nursing homes and psychiatric hospitalsat a rate more than three times that for community hospitals. Thefinancial performance of investor-owned system has been im-pressive. A report by the Insitution of Medicine, Washingtonstates that a dollar invested in an investor-owned system hasreturned nearly 40 percent more in earnings than the averagefor other industries in recent years. The major advantage ofsystems is their ability to finance capital purchases. Empiricalevidences indicates strong preference for system by capitalmarkets. Diversification into nonhospital markets provides addi-tional financial stability to systems; separate lines of businessoffer the potential of offsetting cash flow demands during thedownturn of the hospital's business cyle.

Investor-owned hospitals shows they provide care cheaperor equal to non-profit institutions. On top of this, having stabi-lized or reduced costs, investor-owned systems pay taxes. Thetrend shows growing trend of investor-owned hospitals 10.3percent per year. Major benefits offered by this model are :.economic benefits, planning and organizational benefits, per-sonnel management.

Economic Benefits1) Access to Capital

The financial institutions, banks and nonbanks provide morefavorable borrowing conditions to systems than to independenthospitals. Multi-institutions (both tax-exempt orinvestor-owned)are perceived as more stable therefore less risky because of theirlarger revenue, asset and equity bases. Systems are better able tospread risks among its units or member hospitals. Furthermore,investor-owned systems may raise capital through the issuanceof stock which means the cost of funds are low. In the US capitalmarket, $1 in equity may raise $15 or $20. As a result sharehold-ers equity in the largest four investor-owned multihospital sys-tems quadrupled during 1977 to 1981, from an aggregate of $461million to $1,832 billion.2) lncreased Efficiency and Economics of Scale

Systems realize savings through mass purchasing. Systemsuses capital facilities and equipment more efficiently throughsharing and specialization. System uses highly skilled and highlyexperience personnel than independent hospitals. They paybetter compensation therefore attract skilled professionals. Sys-tem hospitals use fewer staff per bed than other systems.3) System Diversification

Profit from health and nonhealth lines of business providesa source of internal fund for financing new capitaLacquisitions.Diversification into non-hospital markets provides additionalfinancial stability.

In summary, the obvious economic benefits of multi insti-tutional arrangements may be the following :• Abilityto afford specialized management talent• Standardization of supplies and equipment• Volume purchasing• Sufficient breadth and diversity to attract capital

• Lower levels of average case cost• Lower ALOS-tighter control of medical practice patterns• Higher rates but not high labor costs• Higher outputs

7. Government-owned Hospitals*Public hospitals in the US, burdened with the care of indi-

gent, suffered from poor management and inadequate funds.Constrained by the peculiar nature of public hospitals, they arelimited in their options in such areas as diversification, jointventures and so forth. These prohibitions consequently limitthe flexibility of public hospitals to participate financiallywith physicians or others in lucrative alternate delivery methodssuch as ambulatory surgical centers, urgent care centers, anddiagnostic imaging centers. Public hospitals also face particu-lary acute problems in raising sufficient capital to make the re-novations and plant improvements necessary to furnish an ac-ceptable level of care, to meet accreditat vn standards, and toattract the increasingly important private pay patients. They lackthe flexibility enjoyed by private facilities in raising funds. Theyare frequently forced to compete for funds with other equallyimportant government social programs.

Recognizing the need for greater flexibility on the part ofpublic hospitals, many statelegislatures have amended pertinentstatutes to provide latitude for the disposition, lease, contractmanaged of public hospitals. Acquisiton of public hospitalsthrough lease or contract management can be attractive, both forthe government entity and for the acquiring entity. Major advan-tages for the government entity :• Management contracts or lease by multi-hospital bring thebenefits of resource-strong organizations such as highly skilledprofessionals, economies of scale, and known organizationdevelopment experience.• Contractual agreement/lease reduce the politics present inthe management of government-controlled instituions.• Contracts/lease arrangements establish ahead of time theannual costs - - facilitating precise government budgeting.

Important consideration when considering the lease, con-tract or sale of public hospitals. At a minumum, the terms oftransaction must include the following itens :• Protection of the constituents, of the solemn public interests,(Continues obligation to provide indigent care; details of thelevel of staffing, breadth of service, hours of operation, rates, etc)• Assumption of labor, liability and pension and employeebenefits.• Compliance with disclosure laws.• Clear accountability line to the governing authority.

8. Rural Hospitals*Rural hospitals in the US are in crisis. Their problems

include inadequate funding, shortages of health care professio-nals, facility deterioration, and high administrative turnover.From 1980 to 1990, 330 rural hospitals were closed due tofinancial stress. Major theme in their strategic response has to dowith networking or affiliation with larger organizations. A study

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 83

Page 84: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

done in 1988 showed the following strategic activities engagedby rural hospitals :Multi-hospital system affiliation 34%Consortium affiliation 30%PPO affiliation 27%HMO affiliation 22%Corporate restructuring 20%Ambulatory Service 17%Downsizing 15%

PLANNING AHEADExpecting the worst, hospitals in the US are stepping up

planning. Two main forces are rearranging hospital system in theUnited States : President Bill Clinton's proposed managed com-petiton and prospective payment system. A survey published byhospitals & health networks of October 5, 1993 indicate thefollowing hospital planning activities :Managed care planning 76%Expense reduction 74%Physician/hospital; organization 69%Affiliation with another hospital 62%Medical Staff development 59%Job- reengineeri ng 53%Strategic planning 55%Merger activity 15%

These planning activities indicate that in order to redefinethe US imperfect health care system two trends will emerge :• Increased used of competition to enhance market effi-ciency. The use managed care models (PPOs, HMOs, IPAs)which compete on price, to screen out excesses and inefficienthospitals.

• Facilitate integration— Integrating providers through, affiliation, and networking toshare and widen the risks and costs among many, and achieveeconomies of scale resulting in lower costs.— Integrating hospitals and physicians and provide incentiveto contain hospital costs jointly through prospective paymentsystem or capitation.

The race is on now in the United States for large-scalemergers, integration among medical groups and integration be-tween institutions. These realignment are in search of lowercosts and higher operating efficiency for the same high level ofcare. The changes are forcing organizations to be innovative andflexible in their organizational structures and program offerings.

CONCLUSIONToday, health care organizations are intently concentrating

on strategy formulation as the focal point of strategic planning.There is greater interest in the output of strategic planning -strategies - as opposed to the process. Selecting a strategy with aview of defining a destiny - is the challenge hospital managementmust face with. In the final analysis, doing the right thing at theright moment at the right place is what strategic management isall about.

As Indonesia moves into the rank of the newly industriali-zed countries (NICs), commensureable responses from hospitalsshall be evaluated for their appropriateness, effectiveness andcost efficiency. Strategic planning is a tool among many stra-tegic planning I submit, may be the most effective tool availablefor the hospital management to span the entire horizon, and selectthe most fit organisational structure and program and redeftne itsdestiny.

REFERENCES

1. Folger JC, Preston Coe, E. Product Management for Hospitals. AHA.2. AHA. Frustee, April 1993.

84 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 85: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Manfaat Alat Kedokteran Canggihdalam Pengembangan IPTEK

di IndonesiaBerbagai Upaya untuk Meningkatkan Efektivitas

Pengembangan Pemilihan dan PenggunaanAlat Kedokteran Canggih

Karjadi WirjoatmodjoRumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Surabaya

Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita(Sumpah dokter).

1. PENDAHULUANLandasan dan tujuan profesi dokter – seperti yang dinyata-

kan pada salah satu butir lafal sumpah dokter – tidak pernahberubah yaitu "Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatanpenderita ".

Dalam melaksanakan tugasnya sudah biasa doktermenggunakan teknologi, salah satu bentuk teknologi itu adalahalat. Pada dasawarsa akhir-akhir ini banyak dikembangkan dandigunakan Alat Kedokteran Canggih (AKC). AKC mempunyaibeberapa ciri. Harganya biasanya mahal, adanya terbatas.Mempunyai dampak tidak saja pada bidang kesehatan tetapijuga pada ekonomi (biaya), sosial, etik dan hukum.

Karena ciri-ciri AKC tersebut timbul perbedaan pendapattentang AKC ini. Perbedaan pendapat itu meliputi berbagai bi-dang, salah satu di antaranya adalah cara penggunaannya agardidapat manfaat yang sebesar-besarnya dan dihindari atau di-kurangi dampak negatipnya.

Makalah ini mencoba untuk menguraikan dan mengajukansaran bagaimana meningkatkan efektivitas pemilihan dan peng-gunaan AKC.

II. AKC SEBAGAI SARANA

A) Tujuan profesi dokterLandasan dan tujuan profesi dokter pada tingkat yang umum

dinyatakan dalam salah satu butir lafal sumpah dokter: "Saya

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta ,21 — 25 November 1993.

akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita ". Untukitu dilakukan upaya-upaya preventif, promotif.kuratif dan re-habilitatif. Dalam upaya itu digunakan teknologi, salah satunyaadalah AKC.

Apabila dijabarkan lebih rinci maka tujuan profesi dokter ituadalah : - menghilangkan atau mengurangi ancaman terhadap ke- langsungan hidup.

- mencegah atau mengurangi kecacadan.- mempertahankan kehidupan yang berkualitas baik (offer

years of life of good quality).Idealnya tujuan tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut ke

tingkat yang dapat diukur dengan objektif. Jika itu dapat dilaku-kan maka penggunaan AKC dapat dinilai dalam arti apakahtujuan itu dapat dicapai. Pada waktu ini ukuran yang lazimdipakai walaupun tidak sempurna adalah angka kematian (di-ukur dari arah lain adalah survival rate) dan angka kesakitan.

B) Manfaat dan Masalah1) Pengertian dan jenis teknologi

Ada berbagai pengertian dan pembagian teknologi. Padamakalah ini digunakan pengertian dan pembagian sebagaiberikut : Teknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan atautemuan dalam praktek sehari-hari untuk memenuhi kebutuhanmasyarakat.

Bentuk teknologi dapat berupa perangkat keras (alat, sarana)

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 855

Page 86: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

perangkat lunak (cara, teknik, metoda, prosedur) bahkan ada jugayang memasukkan jenis ketenagaan (brain ware).

Di dalam bidang kesehatan, teknologi dapat berupa perang-kat keras seperti Alat Kedokteran Canggih, obat; dapat berupaperangkat lunak seperti prosedur medik atau prosedur bedah.

Pembagian lain dalam teknologi kesehatan adalah teknologiuntuk primary care (biasa digunakan dokter umum) teknologiuntuk secondary care (biasa dipakai para dokter spesialis) danteknologi untuk tertiary care (biasa dipakai para dokter superspesialis). Demikian juga dapat dibedakan teknologi untuk pen-cegahan dan teknologi untuk pengobatan/penyembuhan.

Dari uraian di atas jelas bahwa AKC adalah salah satu daribentuk teknologi.2) Dampak AKC/Teknologi Canggih

Penggunaan AKC mempunyai dampak yang luas yang dapatpositip atau negatip :

dampak di bidang kesehatandampak di bidang ekonomidampak di bidang sosialdampak di bidang etika dan hukum.Dampak di bidang kesehatan dapat berupa manfaat/kesem-

buhan (effectiveness), penyulit/bahaya (safety), dan biaya.Dampak di bidang ekonomi secara makro dapat berupa ke-

naikan pada anggaran/biaya kesehatan.Dampak di bidang sosial adalah antara lain pengaruh AKC

pada perilaku dokter dan perilaku masyarakat. Para dokter dapatmengalami "ketergantungan" pada AKC. Masyarakat dapatmenuntut atau menolak adanya AKC.

Dampak di bidang hukum dan etika berupa ketidak pastianatau ketidak siapan seperti pada masalah bayi tabung, penentu-an kematian.3) Contoh konkrit

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh konkritkasus-kasus individual dalam bidang kesehatan untuk dapat le-bih memahami manfaat dan masalah penggunaan AKC/tekno-logi canggih.• Seorang ibu hamil pertama mengalami keterlambatan 3 haridari hari perkiraan persalinan. Dilakukan non stress test untukmengetahui keadaan bayinya. Hasil, tampaknya bayi mulai ke-sulitan untuk mendapat oksigen ditandai dengan nadi 180/menit.Uri (placenta) mulai mundur fungsinya. Dilakukan bedah cesar,bayi dilahirkan hidup dan sehat.• Seorang dewasa muda aktif bekerja, beberapa kali pingsan.Pada pemeriksaan didapat gangguan pada pacu jantungnya (SickSinus Syndrome). Dipasang alat pacu jantung internal. Hasil,orang tersebut sembuh, sehat dan dapat bekerja produktif.• Seorang dewasa muda jatuh dari sepeda motor. Pada pe-meriksaan dengan CT Scan didapat perdarahan otak (perdarahanepidural). Dilakukan . pembedahan otak. Hasil, orang tersebutembuh, sehat dan hidup produktif.

• Seorang anak umur 8 bulan, demam, kejang-kejang, muntahdan aspirasi berat, tidak sadar. Dipasang alat napas (respirator).Pada pemeriksaan lebih lanjut ternyata sudah terjadi kerusakanotak berat dan mati batang otak. Setelah diberi penjelasan orangtua menolak saran agar respiratornya dilepas.

Pernapasan buatan dilakukan terus sampai lebih kurang 1,5tahun sampai respirator tersebut rusak total.

Hasilnya penderita berkepanjangan bagi pasien dan ke-luarganya, dan kerugian bagi pasien lain yang membutuhkanrespirator.• Di suatu Rumah Sakit dipasang CT Scan.

Pada suatu hari ada kecelakaan dengan ruda paksa kepala.Pada pemeriksaan CT Scan terdapat perdarahan kepala yangperlu segera dioperasi. Namun karena di rumah sakit tersebuttidak ada staf dokter spesialis bedah saraf, operasi tidak dapatsegera dilakukan.

Kesimpulan: adanya AKC saja tidak cukup apabila tidakdilengkapi dengan tim kesehatan yang diperlukan.• Di satu rumah sakit dibeli alat rontgen angiograf yang dapatmemeriksa pembuluh darah koroner. Namun karena jumlahpasien sedikit dan belum ada dokter spesialis bedah jantung,penggunaan alat tersebut sangat sedikit dan pasien-pasien takdapat diberi terapi/tindakan sampai tuntas.• Di rumah sakit itu banyak pasien wanita, ada dokter spesialisradiologi, dokter spesialis bedah umum yang dengan alat rontgenuntuk mamografi dapat menemukan tahap dini kanker payudaradan sekaligus melakukan pembedahan.

Kesimpulan: pengadaan AKC harusnya disesuaikan dengankebutuhan pasien dan kemampuan rumah sakit.• Di satu rumah sakit ada alat ESWL (pemecah batu ginjal)yang ternyata tidak banyak dipakai. Direktur Rumah Sakit ter-sebut menceritakan bahwa mula-mula ESWL itu pemakaiannyabaik (optimal). Tetapi kemudian banyak rumah sakit sekitarmembeli ESWL. Di samping itu dokter spesialis urologi yangdulu memakai ESWL itu pindah ke rumah sakit lain.

Kesimpulan: apabila pengadaan AKC antar rumah sakittidak ditata investasi AKC itu dapat merugikan.

Contoh-contoh konkrit di atas yang diambil dari keadaan riilmenunjukkan bahwa AKC dapat membawa manfaat tetapi jugadapat menimbulkan masalah.4) Pihak yang berkepentingan

Banyak pihak berkepentingan untuk pengadaan AKC. Hal-hal yang dapat mempengaruhi pengadaan AKC itu antara lain:media cetak/elektronik, dokter, pasien, rumah sakit, masyarakat,investor, industri AKC dan lain-lain.

Motivasi pengadaan AKC dapat positip semata-mata untukmenolong pasien. Tetapi motivasi dapat juga negatip sepertistatus simbol untuk dokter spesialis, alat bersaing untuk rumahsakit, keuntungan untuk investor atau industri AKC.

Hasil dari kekuatan tersebut di atas menyebabkan adanyaAKC dan penggunaannya dapat berbeda antara berbagai negara;sebagai contoh :– Bypass pembuluh koroner (CABG) di Amerika dilakukan6 x lebih sering dari pada di Inggris (UK) walaupun angkakejadian penyakit jantung koroner di kedua negara itu lebihkurang sama.– Jumlah alat CT Scan per 1.000.000 penduduk di Inggris(UK) hanya 1/6 dari jumlah di USA.– Diperkirakan bahwa di Amerika dikeluarkan biaya 100milyar dolar US per tahun untuk penggunaan AKC atau tekno-

8 6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 87: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

logi canggih yang sebenarnya tidak diperlukan.5) Kriteria pemilihan AKC/teknologi canggih

Mengingat masalah-masalah yang dapat timbul seperti diatas maka untuk mendapat manfaat yang sebesar-besarnya danmengurangi masalah sehingga sekecil-kecilnya, upaya untukmenata pemilihan dan penggunaan AKC/teknologi canggih sudahdicoba di negara-negara maju. Misalnya WHO Wilayah Eropamembuat kebijakan bahwa sebelum tahun 1990 semua negaraanggota sudah harus mempunyai mekanisme yang formal untukmelakukan penilaian yang sistimatik yang berkaitan denganefektivitasnya, efisiensi, keamanan, penerimaan (acceptability)dengan memperhatikan kebijakan kesehatan nasional dan ken-dala yang ada, juga penilaian sistimatik yang berkaitan denganpenggunaan AKC/teknologi canggih secara tepat (appropriateuse).

III. LANGKAH-LANGKAH UNTUK MENINGKATKANMANFAAT DAN MENGURANGI MASALAH PADAPENGGUNAAN AKC/TEKNOLOGI CANGGIH

1) Perbandingan pengembangan AKC/teknologi canggihdengan pengembangan obat

Langkah-langkah pengembangan obat jauh lebih sistimatikdibandingkan dengan pengembangan AKC/teknologi canggihmungkin karena sudah lebih lama terjadi atau karena lebihsederhana.

Bagan sederhana proses pengembangan obat-obat adalahsebagai berikut :A) Tahap percobaan binatang.1) Percobaan efektivitas2) Percobaan keracunan jangka pendek3) Percobaan keracunan jangka panjang4) Percobaan teratogenicity (menimbulkan cacad)5) Percobaan carcinogenicity (menimbulkan kanker).B) Tahap penelitian pada manusia1) Fase I pada orang sehat.2) Fase II pada orang sakit tertentu3) Fase III pada pasien umum tertentu dengan RCT (Ran-domized Clinical Trial)4) Fase IV penelitian pasca pemasaran, pemakaian pada pa-sien umum secara lebih luas.

Pada tiap fase itu apabila terdapat hasil-hasil/gejala-gejala yang merugikan, penelitian dapat dihentikan atau obatdapat ditarik dari pasaran. Proses yang sistimatik semacam itupada AKC/teknologi canggih belum ada.

2) Pengukuran hasil (outcome assessment) pada AKC/teknologi canggihSebagaimana diuraikan di atas tujuan umum dari penggunaan

AKC/teknologi canggih adalah :a) mengurangi atau meniadakan ancaman terhadap kelang-sungan hidup (remove the threat of death).b) mengurangi kecacadan (reduce disability).c) memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik (offeryearof life of good quality):

Harapan yang ada adalah tercapainya ketiga tujuan ter-sebut. Namun yang dapat diukur adalah yang pertama denganmenghitung angka kelangsungan hidup (survival rate) atauangka kematian (death rate); padahal apa artinya hidup apabilacacad atau kualitasnya tidak baik.

Kesulitan yang dihadapi antara lain :merumuskan tolok ukur yang objektif dan mudah dinilai.sukar melakukan randomized clinical trial seperti pada obat.sedikitnya data yang ada untuk dianalisis.Upaya untuk pengukuran hasil ada namun belum cukup dan

belum sistimatik. Contoh dari upaya semacam itu adalah TheEuropean Coronary Surgery Group (1979–1982) yang berusahamenilai hasil jangka pendek dan jangka panjang operasi.

Dapat disimpulkan ada beberapa pola hasil untuk golonganpasien tertentu. Contoh pada bypasskoroner (CABS) dinyatakanbahwa pada kelompok pasien tertentu (selected group of pa-tients) peluangnya 90% untuk perbaikan dalam latihan tanpanyeri (pain-free exercise).

Pada CTscan dinyatakan hanya pada kelompok pasien yangterbatas ada kemungkinan manfaat dalam arti perbaikan hasil(there are only limited group of patients likely to benefit in termsof improved outcome).

Pada penggunaan AKC/teknologi canggih ada pola 4 tahapyang mirip dengan daur hidup satu produk (product life cycle)yaitu tahap-tahap permulaan, pertumbuhan, kejenuhan, kemu-dian penurunan.

Masalah umum pada penggunaan AKC/teknologi canggihadalah menemukan indikasi yang tepat dalam arti kondisi pasienyang tepat untuk AKC/teknologi canggih tersebut dalam katalain bagaimana menggunakan AKC/teknologi canggih secararasional.

3) Pengalaman dan pemikiran upaya penataanDari uraian di atas jelas bahwa agar didapat manfaat yang

sebesar-besarnya dan masalah yang sekecil-kecilnya AKC danteknologicanggih perlu ditata. Namun tampaknya cara penataanyang efektif dan efisien belum ditemukan.a) Pendekatan pengaturan

Di bawah ini diberi contoh apa yang telah dilakukan diAmerika. Upaya-upaya ini berbentuk pembuatan undang-un-dang, peraturan-peraturan atau badan-badan yang bertujuanuntuk menata AKC/teknologi canggih :1972 — Office of Technology Assesment dari Kongres Amerika.1974 — Professional Standards Review Organization (PSRO)

—Utilization Review Committees (URC)—Certificate of Need Law— Health Planning and Resource Development Act

1975 Health Care Program dari NIH (National Institute of Health)1976 — The Medical Devices Law

— Bureau of Quality Assurance—Bureau of Health Insurance

1978 — National Center for Health Care Technology.Peraturan dan badan-badan tersebut tampaknya masih be-

lum memberikan hasil yang memuaskan.b) Pendekatan kesepakatan

NIH mengadakan Consensus Development Program; hasilyang pertama tahun 1977. Program ini masih berjalan walaupunada yang meragukan keberhasilannya; program ini bahkan meluas

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 87

Page 88: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

perangkat lunak (cara, teknik, metoda, prosedur) bahkan ada jugayang memasukkan jenis ketenagaan (brain ware).

Di dalam bidang kesehatan, teknologi dapat berupa perang-kat keras seperti Alat Kedokteran Canggih, obat; dapat berupaperangkat lunak seperti prosedur medik atau prosedur bedah.

Pembagian lain dalam teknologi kesehatan adalah teknologiuntuk primary care (biasa digunakan dokter umum) teknologiuntuk secondary care (biasa dipakai para dokter spesialis) danteknologi untuk tertiary care (biasa dipakai para dokter superspesialis). Demikian juga dapat dibedakan teknologi untuk pen-cegahan dan teknologi untuk pengobatan/penyembuhan.

Dari uraian di atas jelas bahwa AKC adalah salah satu daribentuk teknologi.2) Dampak AKC/Teknologi Canggih

Penggunaan AKC mempunyai dampak yang luas yang dapatpositip atau negatip :

dampak di bidang kesehatandampak di bidang ekonomidampak di bidang sosialdampak di bidang etika dan hukum.Dampak di bidang kesehatan dapat berupa manfaat/kesem-

buhan (effectiveness), penyulit/bahaya (safety), dan biaya.Dampak di bidang ekonomi secara makro dapat berupa ke-

naikan pada anggaran/biaya kesehatan.Dampak di bidang sosial adalah antara lain pengaruh AKC

pada perilaku dokter dan perilaku masyarakat. Para dokter dapatmengalami "ketergantungan" pada AKC. Masyarakat dapatmenuntut atau menolak adanya AKC.

Dampak di bidang hukum dan etika berupa ketidak pastianatau ketidak siapan seperti pada masalah bayi tabung, penentu-an kematian.3) Contoh konkrit

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh konkritkasus-kasus individual dalam bidang kesehatan untuk dapat le-bih memahami manfaat dan masalah penggunaan AKC/tekno-logi canggih.• Seorang ibu hamil pertama mengalami keterlambatan 3 haridari hari perkiraan persalinan. Dilakukan non stress test untukmengetahui keadaan bayinya. Hasil, tampaknya bayi mulai ke-sulitan untuk mendapat oksigen ditandai dengan nadi 180/menit.Uri (placenta) mulai mundur fungsinya. Dilakukan bedah cesar,bayi dilahirkan hidup dan sehat.• Seorang dewasa muda aktif bekerja, beberapa kali pingsan.Pada pemeriksaan didapat gangguan pada pacu jantungnya (SickSinus Syndrome). Dipasang alat pacu jantung internal. Hasil,orang tersebut sembuh, sehat dan dapat bekerja produktif.• Seorang dewasa muda jatuh dari sepeda motor. Pada pe-meriksaan dengan CT Scan didapat perdarahan otak (perdarahanepidural). Dilakukan . pembedahan otak. Hasil, orang tersebut

sembuh, sehat dan hidup produktif.• Seorang anak umur 8 bulan, demam, kejang-kejang, muntah dan aspirasi berat, tidak sadar. Dipasang alat napas (respirator). Pada pemeriksaan lebih lanjut ternyata sudah terjadi kerusakan otak berat dan mati batang otak. Setelah diberi penjelasan orang tua menolak saran agar respiratornya dilepas.

Pernapasan buatan dilakukan terus sampai lebih kurang 1,5tahun sampai respirator tersebut rusak total.

Hasilnya penderita berkepanjangan bagi pasien dan ke-luarganya, dan kerugian bagi pasien lain yang membutuhkanrespirator.• Di suatu Rumah Sakit dipasang CT Scan.

Pada suatu hari ada kecelakaan dengan ruda paksa kepala.Pada pemeriksaan CT Scan terdapat perdarahan kepala yangperlu segera dioperasi. Namun karena di rumah sakit tersebuttidak ada staf dokter spesialis bedah saraf, operasi tidak dapatsegera dilakukan.

Kesimpulan: adanya AKC saja tidak cukup apabila tidakdilengkapi dengan tim kesehatan yang diperlukan.• Di satu rumah sakit dibeli alat rontgen angiograf yang dapatmemeriksa pembuluh darah koroner. Namun karena jumlahpasien sedikit dan belum ada dokter spesialis bedah jantung,penggunaan alat tersebut sangat sedikit dan pasien-pasien takdapat diberi terapi/tindakan sampai tuntas.• Di rumah sakit itu banyak pasien wanita, ada dokter spesialisradiologi, dokter spesialis bedah umum yang dengan alat rontgenuntuk mamografi dapat menemukan tahap dini kanker payudaradan sekaligus melakukan pembedahan.

Kesimpulan: pengadaan AKC harusnya disesuaikan dengankebutuhan pasien dan kemampuan rumah sakit.• Di satu rumah sakit ada alat ESWL (pemecah batu ginjal)yang ternyata tidak banyak dipakai. Direktur Rumah Sakit ter-sebut menceritakan bahwa mula-mula ESWL itu pemakaiannyabaik (optimal). Tetapi kemudian banyak rumah sakit sekitarmembeli ESWL. Di samping itu dokter spesialis urologi yangdulu memakai ESWL itu pindah ke rumah sakit lain.

Kesimpulan: apabila pengadaan AKC antar rumah sakittidak ditata investasi AKC itu dapat merugikan.

Contoh-contoh konkrit di atas yang diambil dari keadaan riilmenunjukkan bahwa AKC dapat membawa manfaat tetapi jugadapat menimbulkan masalah.4) Pihak yang berkepentingan

Banyak pihak berkepentingan untuk pengadaan AKC. Hal-hal yang dapat mempengaruhi pengadaan AKC itu antara lain:media cetak/elektronik, dokter, pasien, rumah sakit, masyarakat,investor, industri AKC dan lain-lain.

Motivasi pengadaan AKC dapat positip semata-mata untukmenolong pasien. Tetapi motivasi dapat juga negatip sepertistatus simbol untuk dokter spesialis, alat bersaing untuk rumahsakit, keuntungan untuk investor atau industri AKC.

Hasil dari kekuatan tersebut di atas menyebabkan adanyaAKC dan penggunaannya dapat berbeda antara berbagai negara;sebagai contoh :– Bypass pembuluh koroner (CABG) di Amerika dilakukan6 x lebih sering dari pada di Inggris (UK) walaupun angkakejadian penyakit jantung koroner di kedua negara itu lebihkurang sama.– Jumlah alat CT Scan per 1.000.000 penduduk di Inggris(UK) hanya 1/6 dari jumlah di USA.– Diperkirakan bahwa di Amerika dikeluarkan biaya 100milyar dolar US per tahun untuk penggunaan AKC atau tekno-

8 6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 89: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

pemeriksaan sebagai gold standard dikembangkan teknologiyang lebih murah dan lebih sederhana.2) Pengembangan ketrampilan klinis

Jika AKC digunakan sebagai "substitusi" pemeriksaanklinik yang kan terjadi adalah ketergantungan pada AKC.

Jika AKC digunakan sebagai alat verifikasi untuk mengecekkeluhan dan gejala klinis maka untuk penyakit-penyakit terten-tu dapat dirumuskan diagnosis klinik yang mempunyai positivepredictive value yang tinggi.

e) Perkembangan pada masa yang akan datangDari segi metoda model yang diuraikan pada butir III/3g

dapat secara bertahap dikembangkan.Hal lain yang perlu diupayakan adalah agar komunikasi

terbuka antara profesi dokter dengan berbagai pihak di masya-rakat lebih diperluas. Ini perlu mengingat AKC/teknologicanggih sering mempunyai dampak di luar kesehatan sepertibidang sosial, ekonomi, hukum dan etik.

Dengan demikian akan terjadi keserasian dan kesepakatanantara kelompok profesi dokter dengan kelompok-kelompoklain dan masyarakat.

V. RINGKASAN DAN PENUTUP1) AKC/teknologi kedokteran canggih (TKC) dapat mempu-

nyai dampak yang luas di luar bidang kesehatan seperti bidangsosial, ekonomi, hukum dan etika.2) Selain membawa manfaat AKC/TKC dapat juga menim-bulkan masalah.3) Perlu dipelajari penataan AKC/TKC dari negara-negaralain dan diterapkan metoda-metoda yang ternyata berhasil se-bagai contoh program pengembangan konsensus.4) Perlu dikembangkan jaringan informasi tentang AKC/TKC5) Penggunaan AKC/TKC perlu diarahkan untuk pengem-bangan AKC/TKC di Indonesia.6) Komunikasi yang terbuka dengan masyarakat perlu lebihdikembangkan sehingga akan terjadi kesamaan persepsi yangmemudahkan timbulnya kesepakatan dan dicegah timbulnyakonflik-konflik yang merugikan.

KEPUSTAKAAN1. Karjadi Wirjoatmodjo, Tantangan pada dunia kedokteran pada era pem-

bangunan jangka panjang II. Anestesiologi sebagai contoh pengkajian. Pi-dato pengukuhan 1991.

2. Jennett B. High Technology Medicine : benefits and burdens. Oxford, NewYork : Oxford Medical Publ. 1988.

3. Research Policies For Health For Al1. WHO Regional Office For Europe,1988.

4. Priority Research For Health For A11. WHO Regional Office For Europe,1988.

5. Berger Son. What your doctor did not learn in medical school. New York:Avon, 1988.

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 89

Page 90: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

The Role of Marketing in Determiningthe Technology of a Hospital

John Popper

BACKGROUNDAmongst the more difficult decisions a hospital administra-

tor has to grapple with is that of defining the investment strategythat the hospital should pursue. Once entered upon, it is not easyto change emphasis or direction without significant financialpenalty.

This decision is in large part decided by defining the typeand level of clinical services that a hospital elects to offer to thecommunity that it is servicing. For example, if oncology serviceswere to be offered then once the primary decision has been madethe investment strategy becomes self determining. A basic tech-nology configuration would be two linear accelerators plus asimulator, radiotherapy unit, cobalt unit and ancillary chemo-therapy facilities. The investment requirement though high at set-up stage has a low recurrent capital requirement in terms ofupgrade demands allied to long life expectancy of the equipment.A life expectancy that is measured in terms of ten years or better.The strategy involving say cardiac diagnostic services are equallypotentially capital intensive but the working life of the equipmentis much shorter and the requirement for upgrades more frequent.Cardiac equipment normally has a working life of some six toeight years in total before replacement, not upgrade,willbecomenecessary.

A consequence of the investment strategy adopted is that itwill define the type of clinician that the hospital attracts, andretains, and the level of specialisation that it pursues.

Presented at the Vlth Congress of the Indonesian Hospitals Association &Hospital Expo, Jakarta 21 — 25 November 1993

MARKETING AND ITS ROLE IN DEFINING THEINVESTMENT STRATEGY

In marketing terms there are basically three strategies thatare followed by hospitals, namely :• Undifferentiated• Niche• Market leader

These three strategies can be expressed in graphical formrelative to return on investment. Clearly the best financial returnsare to be achieved by adopting either a market leader approach orin filling aniche opportunity with a particular clinical service orsuite of services.

Earlier this year I surveyed thirteen private hospitaIs here inJakarta and found that in fact virtually all were pursuing anundifferentiated strategy. Where investment in specialised tech-nology had been made, it was upon the request of a particulardoctor rather than in terms of a clearly thought through strategylinking clinical service development with market needs. Theconsequence was a very high level of under utilisation of equip-ment and subsequent lack of return on investment. Lithotripsyunits servicing two or three patients a week, cardiac catheterisa-tion laboratories performing twenty angiograms a month, theselevels of utilisation are not only not commercially viable theyreflect a poor understanding of the cost of capital and the notionof opportunity cost of capital. Money invested in these capitalintensive, low utilisation technologies offer no payback to the

90 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 91: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

investors and deny access to this money to other potentiallyviable projects that would yield a return on investment.

In discussing with hospital administrators how these invest-ment decisions were made it was clear that market demand andpayback analyses were not performed with any discipline butrather the decisions tended to be made based on intuion and blindfaith.

Marketing frameworks encourage consideration of two majoraspects that should underpin any investment considerations.They are those of target market demand e.g.• Is there a market for the service under consideration?• If so, is the demand of sufficient level to be economic?• If the answer appears yes, is that demand sustainable?

Affirmative answer to these questions still should not lead toan investment in the proposed technology yet though. The secondsituation analysis needs to also be undertaken, that of considera-tion of competitor positioning. It is a truism that if you can see anopportunity in the marketplace so can a competitor. This beingthe case :• What are the responses of a competitor likely to be?• Are they also investing in similar technologies, or contem-plating doing so?• If so, is the market big enough for two or more players, or,can your facility gain a sustainable competitive advantage rela-tive to the proposed technology?• Apart from market, demand considerations are there anyother issues such as restriction of the number of clinicians ortechnicians associated with operating the technology? Is this alimiting resource?• What are the lead times involved for a competitor follow youinto the market?• If your hospital entered the market with the proposed servicewould it make it nonviable for a competitor to set up in compe-tition?

These sorts of considerations need to be individuallyanswered. They are built around the concept of a core compe-tence, that is to say those things that a hospital does that gives ita sustainable competitive advantage over a competitor. Thoseone, two, or three areas of clinical service that your hospital isable to offer at a level of excellence that is not readily imitated bya competitor.A core competence should :• Be difficult for competitors to imitate, especially if it is basedon a combination of corporate culture and technologies• Be focussed on meeting a perceived need by the hospital'scustomers namely the doctors, patients, visitors and staff

• Be a basis for potential, or actual, business acquisitionTo assist in these sorts of analyses a number of different

frameworks are useful.To formulate considerations about whether or not a potential

investment in a new service is likely to be attractive Porter'sIndustry Attractiveness Model is very useful to guide analysis.This is a very comprehensive framework and leads to wideranging considerations about the potential marketplace and itsstructure.

The model has as its core the need to predict the degree ofrivalry a business could be predicted to experience. In order toassess the threat of rivalry issues that impact on the attractivenessof an opportunity are considered such as threat of entry into themarketplace, threat of substitution of the service or product andconsideration of the relative roles of suppliers and customers inimpacting on the business.

Once an investment strategy has been defined and embarkedupon marketing concepts also help to define how a hospitalshould position itself relative to competitors.

Ansoffs product/market grip offers a useful frameworkfrom which to consider existing products and markets andpotential new ones. By using this model it helps focus a hospital'smarketing efforts and place them in a context that investors andstaff can understand.

A third model that is of particular value in terms of develop-ing responses to market opportunities considers the attractive-ness of that market relative to its strategic value to the hospital.By performing this type of strategic value analysis it helps ahospital administrator to determine their marketing initiatives.

SUMMARYThe intention of each hospital should be to develop two or

three distinctive clinical competencies that give it a sustainablecompetitive advantage over other facilities and from which it cantherefore achieve economies of scale for those clinical services.It is through economies of scale that technology becomes viableand thus allows a hospital to build profitability.

Marketing concepts allow a clear framework to be applied tothe decision making process in an objective and rational mannerin determining which technologies a hospital should invest in.

Once investment has occurred, marketing models helpdefine how to position and develop a hospital's clinical productsand how to respond to changes in competitor behaviour. Indeed,systematically applied these frameworks offer considerablepredictive capabilities for the astute administrator.

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 9 1

Page 92: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Rumah Sakit dan Asuransi KesehatanSuatu Perbandingan

Sonja RoesmaDirektur Utama PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia

Pada dasarnya lahir dan berkembangnya asuransi kesehatandi BUMN miliki Departemen Kesehatan adalah dalam mengikutiperkembangan industri kesehatan. Dibentuk sebagai Badan Pe-nyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) padatahun 1968 untuk menangani pengobatan pegawai dan keluar-ganya yang tidak dapat lagi ditanggulangi oleh APBN makadengan KEPRES ditetapkan bahwa pegawai negeri harusmembayar premium sebesar 2% dari gaji pokoknya. Pada tahun1984 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ber-Iaku tidak memungkinkan lagi keberadaan "Badan " di luar strukturDepartemen maka BPDPK dirubah menjadi suatu PerusahaanUmum di lingkungan Departemen Kesehatan yaitu Perum HusadaBhakti. Di samping itu dengan berubah status menjadi BUMNmemudahkan dalam pengolahan dana guna mengembangkanserta meningkatkan pelayanan. Pada tahun 1992 Perum HusadaBhakti berubah menjadi PT (Persero) Asuransi Kesehatan In-donesia.

Dalam masa tersebut fungsi rumah sakit mengalami per-ubahan, yang dulu bersifat sosial dan samaritan yang dikem-bangkan lembaga keagamaan seperti Misi dan Muhammadiah,sekarang telah menjadi lembaga sosioekonomi bahkan menjadiprofit centers. Perkembangan dan peranan rumah sakit semakinpesat terutama di daerah perkotaan. Sumbangannya pada pe-ningkatan dan pemulihan kesehatan tidak dapat dibntah, se-baliknya biaya pelayanannya semakin meningkat dan imper-sonal. Hanya Rumah Sakit Pemerintah sesuai dengan misinyamasih menjalankan fungsi sosialnya dengan tarip yang relatifmurah.

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta,21 — 25 November 1993.

Setiap tahun sekitar 9% peserta Askes yang mengunjungiPuskesmas dirujuk ke Rumah Sakit, namun biaya pelayanankesehatan Askes meningkat 17% per tahun. Dalam memudah-kan administrasi dikenal berbagai bentuk pembiayaan sepertisistim anggaran (budget system), kapitasi dan sistem paket disamping bentuk tradisional fee for service. Di luar negeri jugatelah dikembangkan DRG (Diagnostic Related Group).

Asuransi Kesehatan jika diselenggarakan secara luasdapat menjadi subsistem pembiayaan kesehatan, dan akanmengurangi beban Pemerintah sehingga dapat mengalihkanperhatiannya ke kesehatan masyarakat.

Dalam menangani asuransi kesehatan di Rumah Sakitditemukan berbagai masalah. PT Askes telah menerapkan prin-sip asuransi kesehatan di Rumah Sakit ditemukan berbagaimasalah. PT Askes telah menerapkan prinsip asuransi danakuntansinya masih menggunakan cash basis, terutama diRumah Sakit Pemerintah. Masalah prinsip lainnya adalah masalahmutu, antara lain belum tersedia dan belum dilaksanakannyaSOP pelayanan kesehatan di sebagian besar rumah sakit,penggunaan obat yang tidak rasional, hari rawat (LOS) yangterpalu panjang, serta adanya moral hazard. Suatu penelitian diUSA mememukan bahwa 30% dari pembiayaan kesehatan ada-lah adalah waste, duplication, fraud and abuse.

Melalui PERSI PT Askes mengharapkan kerja sama denganrumah sakit dalam mencapai tujuan akhir bersama yaitu pe-ningkatan kesehatan masyarakat Indonesia dengan peningkatanEtika, QualityAssurance, dan pengendalian bersama, sertaefisien-si dan efektifitas agar tercapai pelayanan kesehatan yang me-

92 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 93: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

muaskan bagi peserta serta akan memberikan keuntunganekonomis, baik bagi rumah sakit maupun bagi PT Askes.

PEMBIAYAAN KESEHATANMasalah yang dihadapi hampir semua negara di dunia saat

ini adalah meningkatnya pembiayaan kesehatan. Ada tiga faktayang terjadi secara universal yaitu :• Masyarakat mengetahui bahwa untuk memperoleh kese-hatan ia harus membayar, namun bagi dirinya berlaku prinsipekonomi : yang bersangkutan ingin membayar serendah mungkin,kalau perlu menggunakan surat miskin tetapi mendapat pela-yanan kesehatan yang optimal. Seandainya ia masuk asuransikesehatan keinginannya adalah kebebasan berobat ke mana sajadan dibiayai untuk apa saja.• Pemerintah telah berusaha agar seluruh masyarakat dapatmemperoleh pelayanan yang dilakukan dengan memberi aksespada Puskesmas dan Posyandu serta Rumah Sakit yang dapatdibiayai melalui Dana Sehat (tingkat Puskesmas) dan sampaiRumah Sakit tipe A melalui Jaminan Pemeliharaan KesehatanMasyarakat/JPKM (UU No. 23/92). Namun biaya pemeliharaankesehatan di rumah sakit terus meningkat sehingga tidak ter-jangkau oleh mayoritas penduduk apalagi bagi 15% pendudukdesa tertinggal.• Baik pemerintah, maupun perusahaan atau keluargaseyogyanya tidak dibebani dengan pembiayaan kesehatan yangtinggi yang terjadi akibat tarif pelayanan spesialistis yangsemakin tinggi, serta penggunaan teknologi canggih yangberlebihan. Investasi rumah sakit swasta yang mahal denganharapan ROI nya kembali secepat mungkin, menyebabkan pasienyang berada di posisi lemah terpaksa membayar berapapuntarif yang dikemukakan.

Merupakan fakta pula bahwa walaupun biaya kesehatanmeningkat tidak berarti bahwa kesehatanya meningkat, bahkandiobservasi bahwa tingkat kesehatannya hampir tidak berubah.Menurut Human Development Report 1993 (UNDP) urutankemajuan negara berkembang, Indonesia tertera sebagai nomor108 berdasarkan HDI (Human Development Index) yang meli-puti angka harapan hidup, GNP/Income Per Kapita dan aksaraorang dewasa.

Negara ASEAN lain lebih baik kedudukannya sepertiPhilipina no. 92, Thailand no. 74, Malaysia no. 57, Singa-pore no. 43 dan Brunai Darussalam no. 44. Patut dikemu-kakan bahwa negara yang rakyatnya paling baik kesejahtera-annya berdasarkan HDI adalah Jepang no. 1, Canada no. 2,USA no. 6 dan Australia no. 7. Jika diperhatikan makasemua negara tersebut menjalankan asuransi kesehatan sosial,kecuali USA.

Peningkatan kesehatan yang diukur dengan penurunanangka kematian ternyata bukan oleh pengobatan tetapi terutamadisebabkan oleh faktor seperti gizi, sanitasi, air bersih danrumah sehat serta pendidikan. Angka kematian kasar di In-donesia telah menurun dari 18,7 (1971), menjadi 9,1 (1985) danuntuk periode 1985 - 1990 adalah 7,9 dan menurun menjadi 7,5di periode 1990 - 1995. Angka kematian bayi telah turun dari 142promil (1971), ke 112 (1980) lalu ke 71 (1985) dan menjadi 65per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991. Angka harapan

hidup telah meningkat dari 45 tahun untuk laki-laki dan 48 tahununtuk wanita pada tahun 1971 menjadi 62,9 tahun untuk laki-lakidan 66,7 tahun untuk wanita pada tahun 1990.

Di Amerika Serikat angka harapan hidup pada tahun 1950adalah 68 tahun dan tahun 1990 menjadi 76 tahun (Jelang 79tahun). Angka kematian bayi tahun 1959 adalah 29,2 menurunpada tahun 1980 yaitu 12,6 dan 9,1 pada tahun 1990.

Pembiayaan kesehatan terus meningkat bukan saja di negaramaju tetapi juga di negara sedang berkembang termasuk jugaIndonesia. Di Indonesia pembiayaan kesehatan per kapita pertahun adalah Rp. 11.267.92.- pada tahun 1982 menjadiRp. 24.000 tahun 1990. Biaya kesehatan merupakan2,5%GNP. Bila dibandingkan dengan negara lain angka ini lebihrendah. Biaya kesehatan per kapita pada tahun 1990 di Ma-laysia adalah US $ 67.00, Thailand US $ 73.00 di AmerikaSerikat angka ini adalah US $ 1,630.00 pada tahun 1980menjadi US $ 2,566.00 pada tahun 1990. B iaya kesehatanini merupakan 9,2% GNP tahun 1980 dan 12,2% GNP padatahun 1990. Pembiayaan kesehatan terus menaik menjadi 14%GNP pada tahun 1992. Biaya kesehatan per kapita per tahunJepang adalah US $ 515.00 pada tahun 1980 naik menjadiUS $ 1,145.00 pada tahun 1990, ini merupakan 6,4% GNPtahun 1980 dan 6,5% GNP pada tahun 1990.

BIAYA PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKITKecenderungan naiknya biaya pelayanan kesehatan dise-

babkan berbagai hal, antara lain teknologi canggih di rumah sakityang berlebihan, perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi(yang sebagian besar dapat dicegah) ke penyakit kardiovaskulerdan penyakit khronis lainnya serta peningkatan kasus-kasuskatastrofik, di samping adanya faktor inflasi serta sistem pem-biayaan pelayanan kesehatan yang kurang mendukung.

Pada tahun 1991 pembiayaan kesehatan USA mencapai US$ 752 milyard (kira-kira Rp. 1,5 trilyun). Semua sadar bahwabiaya ini merupakan suatu yang berlebihan tetapi tidak menge-tahui berapa persen yang sia-sia. Kenaikan yang sangat drama-tis terjadi di rumah sakit yaitu rata-rata biaya kamar per hari tahun1980 adalah US $ 127.00 menjadi US $ 297.00 tahun 1990, rata-rata biaya perawatan per hari adalah US $ 245.00 (1980) menjadiUS $ 687.00 (1990) dan rata-rata biaya per kasus adalah US $1.851.00 (1980) menjadi US $ 4,947.00 (1990). Biaya rumahsakit merupakan 30,4% dari seluruh biaya pada tahun 1990 yaitu43,7% dimana dalam kurun waktu '76-90' terjadi peningkatanprogram managed care yaitu program pemeliharaan kesehatahyang mengkaitkan sistim pembiayaan (prepaid & cost contain-ment) dengan sistim pelayanan (pengendalian mutu).

Tahun 1986 di Indonesia 78% dari total pembiayaan kese-hatan digunakan untuk pengobatan, biaya rumah sakit meru-pakan 60% dari seluruh biaya kesehatan (pemerintah 27%,swasta/masyarakat 37%), pembelian obat-obatan yaitu 30%dari seluruh biaya kesehatan pemerintah 18% dan swastalma-syarakat 40%) di mana kita mengetahui bahwa sebagian besarbiaya obat-obatan ini merupakan penggunaan obat di rumahsakit. Dari biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat/swasta 92% adalah untuk pengobatan, sedangkan sektor peme-rintah hanya 45% untuk pengobatan.

CerminDuniaKedokteran, Edisi Khusus No.90, 199493

Page 94: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Dari seluruh pembiayaan pelayanan kesehatan PT ASKEStahun 1992, 45,29% merupakan biaya rumah sakit, obat pela-yanan kesehatan di rumah sakit adalah 29,05%; berarti 84,24%dari anggaran pelayanan kesehatan PT ASKES dipergunakanuntuk pelayanan di rumah sakit (pengobatan). PT ASKES me-rupakan suatu perusahaan asuransi kesehatan dengan penggunaanbiaya pelayanan sangat tinggi dengan rata-rata biaya pelayanankesehatanan menyerap 88% dari iuran.

Berdasarkan penelitian Rand Coprporation di Californiasepertujuh sampai sepertiga dari beberapa jenis operasi sebe-narnya tidak perlu dilakukan. Seperempat (1 juta) bayi dilahirkandengan caesar yang diragukan keuntungannya baik bagi ibumaupun bagi bayi. Di Amerika dilakukan 600.000 histerektomiper tahun, kemungkinan untuk mengalami operasi ini 6 kali lebihbesar dari wanita Norwegia, yang memakan biaya lebih dari US$ 5 milyar. Hal yang sama ditemukan pula untuk diagnostic test.CT Scan telah meningkat dari 300.000 (1980) menjadi 1,5 juta(1991).

Di Indonesia diyakini hal ini terjadi pula, penempatan danpenyebbaran alat canggih telah meningkatkan biaya pelayanankesehatan secara bermakna. PT ASKES telah meningkatkanpelayanan hemodialisis dari penggunaan 14 fasilitas HD di 4propinsi tahun 1989 menjadi 23 fasilitas HD di 12 propinsi tahun1990; hal ini telah meningkatkan kasushaemodialisis dari 8.802tahun 1989 menjadi 32.826 tahun 1990 dengan biaya Rp. 0,97milyar tahun 1989 menjadi Rp. 4,25 milyar tahun 1990 danmencapai biaya Rp. 7,65 milyar tahun 1992.

Penyakit jantung yang telah menjadi penyakit nomer 1,termasuk di Indonesia juga menjadi sasaran operasi terutamabypass. Di Amerika bypass telah meningkat 2800% sejak tahun1970 yang jauh lebih tinggi dari negara lain. PT. ASKES telahmembiayai pelayanan jantung dari Rp. 0,31 milyar pada tahun1988 menjadi Rp. 3,8 milyar pada tahun 1992. Namun KaiserPermanente, asuransi kesehatan yang menjalankan managedcare (JPKM) mengemukakan bahwa jumlah operasi bypasssedikit, tanpa mengurangi kesehatan pesertanya tetapi lebihmenekankan pada kontrol hipertensi, kadar cholesterol darah,dan upaya preventif lainnya.

Sistem pembiayaan rumah sakit yang berlaku umum diIndonesia adalah secara tradisional yaitu fee for service. Penga-laman di Amerika menunjukkan bahwa pembiayaan denganmenggunakan sistem fee for service tanpa pengendalian telahmengakibatkan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan secaracepat, sehingga pada dekade 70 an dikembangkan sistem pem-biayaan pelayanan kesehatan dengan cara prepaid (capitation &budgetsystem) disertai pengendalian biaya melalui cost contaim-ment. Di samping itu mutu pelayanan tetap dijaga melalui pro-gram quality assurance dan utilization review.

PT. ASKES sejak tahun 1988 (Perum Husada Bhakti) telahmulai memperkenalkan sistem pembiayaan secara kapitasi untukpelayanan kesehatan dasar. Untuk pembiayaan pelayanan rumahsakit telah diperkenalkan pembayaran paket per hari rawat, paketpelayanan, dan budget disamping pembiayaan paket per harirawat, paket pelayanan,dan budget di samping pembiayaan se-carafee for service. Sistem pembiayaan ini terus disempurnakan

guna mencapai kemudahan administrasi pembiyaaan pelayanankesehatan persertanya melalui "Kapitasi Total" pada beberapadaerah. Sejalan dengan perubahan sistem pembiayaan PT. ASKESjuga memperkenalkan program pengendalian mutu antara laindengan menyusun daftar obat (DPHO) yang didasarkan DaftarObat Esensial Nasional. Pada saat ini sudah pula dikembangkankerj asama dengan rumah sakit dalam program quality assurance.Upaya kerjasama ini perlu ditingkatkan untuk menyamakanpersepsi dan meningkatkan pelayanan.

Pada saat ini BOR rumah sakit milik Depkes 65,8%, diikutidengan rumah sakit swasta 55,4%, rumah sakit Pemda 53,0%,Departemen lain 47,7% dan rumah sakit ABRI 42,1%. Melihatpotensi yang ada pada PT. ASKES perlu dihitung berapa %penggunaan rumah sakit oleh peserta ASKES dan berapa danayang diperoleh setiap rumah sakit per bulan dari ASKES. LOSrata-rata untuk RS kelas A yaitu 10 hari, kelas B 7 hari, kelas Cdan 5 hari, sedangkan untuk pasien ASKES, LOS tahun 1992rata-rata untuk RS ABRI 11,3 hari, RS Swasta 7,3 hari dan RSKhusus 22,1 hari. Di Amerika LOS RS umum tahun 1990 rata-rata adalah 6,4 hari, untuk laki-laki diatas 65 tahun rata-rata 8,3hari dan wanita 8,9 hari. Pada akhir-akhir ini terlihat kenaikanpada pasien rawat jalan dan atau one day care. Penurunan LOSsangat berarti dalam pembiayaan pelayanan kesehatan yangtentunya biaya ini dapat dipergunakan untuk kenaikan tarif perhari dan biaya pelayanan lainnya.

Peningkatan biaya pelayanan rumah sakit dapat pula dise-babkan karena meningkatnya biaya/jasa tenaga profesional, ter-utama dokter spesialis. Dokter dan perusahaan obat sekarangbanyak yang memperoleh untung dari profesinya. Pada tahun1991 income rata-rata dokter di USA adalah US $ 139,000.00,spesialis memperoleh antara US $ 280,000.000 - 450,000.00 pertahun. Seluruh income dokter mencapai US $ 74 milyar dalamtahun 1992.

Di Indonesia angka income ini tidak diketahui, walaupundiketahui terdapat perbedaan yang mencolok.

Pada suatu survey yang dilakukan untuk Johnson Founda-tion di USA, responden diminta pendapatannya secara berurutantentang penyebab utama peningkatan biaya kesehatan. Hasilnyaadalah sebagai berikut :– 67% rakus dan cari untung (greed and profits)– 64% tuntutan karena mal practice– 61% sia-sia dan inefisiensi (waste & ineffeciency).

ASURANSI KESEHATAN / JPKMSaat ini ada 3 undang-undang yang erat kaitannya dengan

penyelenggaraan asuransi kesehatan yaitu UU No. 2 Th 1992tentang Usaha Asuransi, UU No. 3 Th. 1992 tentang JaminanSosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan UU No. 23 Th 1992tentang Kesehatan yang di dalamnya tercakup pula programJaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Pemerintah telahmenerbitkan beberapa PP yang No. 73/92 tentang penyelengga-raan Usaha Asuransi, PP No. 14/93 tentang penyelenggaraanJAMSOSTEK, dan PP No. 69/91 tentang penyelenggaraanPemeliharaan Kesehatan PNS, PP, Veteran dan Perintis Ke-merdekaan serta Perluasan Kepesertaan ASKES. Kita me-

94 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 95: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

nyadari bahwa semua peraturan perundang-undangan inidimaksudkan agar perekembangan industri kesehatan termasukperkembangan asuransi kesehatan tidak salah arah, sehinggatujuan pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan dapattercapai.

Pengaruh globalisasi; perkembangan teknologi kedokteran;peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan akibat perubahanpola penyakit dari penyakit infeksi, ke penyakit kardiovaskular,penyakit degeneratif dan penyakit khronis lainnya; bertambah-nya kelompok "lansia" (dari 16.000.000 jiwa atau 8,7% pen-duduk pada tahun 1990 menjadi 22.000.000 jiwa atau 10,4%penduduk pada tahun 2000) serta terjadi pergeseran jumlahpenduduk di daerah perkotaan dari 30% saat ini menjadi 40%pada akhir Pelita VI. Berkurangnya subsidi pemerintah terhadappelayanan kesehatan (terutama pengobatan), disamping ter-jadinyaperubahan kulturmasyarakat dari extended familymenjadinucleus family, kesemuanya ini menyebabkan meningkatnyakebutuhan masyarakat terhadap asuransi kesehatan. Sebaliknyahal ini didukung oleh meningkatnya kemampuan masyarakatdalam membiayai pelayanan kesehatan akibat peningkatan in-come per kapita dari US $ 650.00 saat ini menjadi US $ 1,000.00pada akhir Pelita VI, serta adanya peraturan perundang-undang-an yang mengharuskan pengusaha memberi bantuan pemelihara-an kesehatan bagi karyawannya.

Cakupan asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh PTASKES telah berkembang dengan mencakup masyarakat umum,sesuai dengan PP No. 69 tahun 1991. Berbeda dengan programpemeliharaan kesehatan yang selama ini diselenggarakan den-gan kepesertaan bersifat wajib, untuk kelompok ini kepesertaan-nya bersifat sukarela, bagi kelompok ini perhitungan presmidikaitkan dengan paket pelayanan (benefit package).PT. ASKES sebagai salah satu BUMN di lingkungan Departe-men Kesehatan mempunyai peserta 4,5 juta, beserta keluar-ganya menjadi 14 juta jiwa. Selama 5 tahun terakhir kenaikanpeserta ASKES berkisar antara 5% setiap tahun. Hal ini sejalandengan kenaikan jumlah pegawai negeri sipil, penerima pensiunABRI dan Veteran. Adanya rencana pemerintah dalam mem-perketat penerimaan pegawai negeri tidak akan banyak mempen-garuhi peningkatan jumlah peserta ASKES meningat telah dimu-lainya program perluasan kepesertaan ASKES kemasyarakatanumum sejak tahun 1992.

Akhir-akhir ini bisnis asuransi kesehatan tampak meningkatbukan saja yang diselenggarakan oleh BUMN, tetapi juga olehbadan swasta konsekuensinya adalah bahwa kerjasama antarabadan penyelenggara asuransi kesehatan dengan pihak penye-lenggara kesehatan (terutama rumah sakit) baik dalam uapayameningkat mutu pelayanan maupun dalam pengendalian biayaperlu dibina secara baik. Melalui kerja sama ini dapat puladiciptakan standar pelayanan atas dasar standar profesi dankemudahan-kemudahan prossedur. Untunglah tidak lama lagiakan terbit PP tentang JKPKM, Keppres tentang standar pela-yanan kesehatan bagi peserta ASKES dan SKB, tentang tarippelayanan kesehatan di rumah sakit yang akan sangat men-dukung operasionalnya. Keberhasilan kerja sama ini akan ber-dampak masyarakat pengguna pelayanan kesehatan lainnya,

yang ada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraanseluruh masyarakat.

Dengan berkembangnya kepesertaan ASKES diharapkanmakin dapat ditingkatkan pemanfaatan aspek kegotong ro-yongan di samping peningkatan efektifitas dan efisiensi. Halini tentunya tidak lepas dari peningkatan profesionalisme danmanajemennya.

UPAYA PREVENTIF LEBIH PRODUKT1FDalam menjalankan JPKM, Askes berbeda dengan asuransi

kesehatan lainnya, juga melakukan kegiatan promotif dan pre-ventif. Bahwa pencegahan itu lebih baik dari pengobatan ter-nyata juga lebih murah.

Upaya untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi biayasebenarnya sejalan, hal mana telah terbukti dari sejarah ke-dokteran. Pada awalnya peningkatan kesehatan masyarakat yangbesar bukanlah hasil dari berbagai operasi atau teknologi baru,melainkan dari perkembangan sosial yang mengakibatkanmanusia atau masyarakat mencegah penyakit.

John & Sonja Mc Kinlay (sosiolog) menunjukkan bahwa90% kemajuan kesehatan masyarakat Amerika terjadi pada per-tengahan abad pertama, di mana penyakit tbc, typhus dan campaktelah dapat dikendalikan sebelum obat-obatan dan vaksinditemukan. Menurut mereka penurunan angka kematian antaratahun 1900 dan 1974 hanya 4% disebabkan oleh upaya ke -

dokteran.Kematian akibat penyakit jantung telah turun secara drama-

tis. Hasil studi menunjukkan bahwa hal ini tercapai bukanlahkarena pengobatan tetapi lebih banyak karena perubahan dalamgaya hidup. Dokter Lee Goldman seorang kardiolog pada tahun1988 telah mengadakan penelitian tentang penyebab menurun-nya penyakit jantung, ternyata lebih dari 50% karena tidakmerokok dan menurunkan cholesterol, 20% karena obat jantungdan hipertensi, dan 3,5% karena operasi bypass. Khasiat olahraga tidak. dikemukakan, yang jelas adalah upaya termahalmempunyai efek paling kecil.

Pap smears ternyata sangat mengurangi prevalensi kankeruterus (sampai 50%), vaksin hepatitis menghindari seseorangdari Ca hepar dan vaksin-vaksin lainnya seperti untuk campak,diphteri pertusis dan tetanus tentu sangat menguntungkan dalammenekan biaya dan meningkatkan kesehatan. AIDS pun dapatdicegah, sehingga akan sangat menghemat biaya. Pada hakekat-nya hampir 70% penyakit yang diperiksakan pada dokter dapatdicegah.

KESIMPULANTelah dibahas beberapa permasalahan pembiayaan kese-

hatan umumnya dan khususnya pembiayaan kesehatan di rumahsakit. Berkembangnya industri rumah sakit telah dapatmeningkatkan upaya pelayanan kesehatan terutama upayapenyembuhan. Peningkatan pelayanan rumah sakit dengan pen-ingkatan penggunaan alat-alat canggih menyebabakan biayapelayanan rumah sakit tidak terjangkau oleh sebagain masya-rakat Indonesia apalagi masyarakat di desa tertinggal. Terjadinyabeberapa tindakan malpratice sebenarnya dapat dicegah dengan

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 95

Page 96: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

menjalankan etik kedokteran secara benar.Bersamaan dengan itu usaha asuransi telah pula berkem-

bang dengan pesat dengan termasuk usaha asuransi kesehatan.Sistem asuransi yang dianggap dapat menghindari peningkatanbiaya pelayanan pembiayaan kesehatan secara cepat adalahmengkaitkan sistem pembiayaan kesehatan dengan sistem pela-yanan kesehatan di rumah sakit bila menjalankan programJPKM yaitu pembiayaan prepaid dengan cost containment di-sertai pengendalian mutu melalui upaya quality assurancedan utilization reviews. Untuk itu diperlukan kerja samaantara penyelenggara asuransi kesehatan/JPKM dengan rumahsakit.

PT. ASKES sebagai salah satu BUMN yang diserahi tugasmenyelenggarakan asuransi kesehatan mempunyai misi yangmulai untuk meningkatkan kesehatan pesertanya. PT. ASKEShanya akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik denganbantuan PERSI. Melalui PERSI akan dapat dibina kerjasamadalam program peningkatan mutu pelayanan (quality assurance

termasuk pelaksanaan etik kedokteran) dan menyempurnakansistem pembiayaan yang mendukung pelayanan kesehatan dirumah sakit.

KEPUSTAKAAN1. Departemen Kesehatan. Rancangan 7 Rencana Pembangunan Kesehatan

jangka Panjang Tahap II (1994/1995 - 2018/2019), Jakarta, 1992.2. Departemen Kesehatan. Dukungan Penelitian dalam Pelaksanaan Program

Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit, Repelita VI, Jakarta, 1993.3. Drape W H. Human Development Report 1993, UNDP, New York: 1993.4. Gani, A : Pembiayaan Rumah Sakit dan Prospek Perkembangan Asuransi

Kesehatan selama PJPT II, Jakarta, 1993.5. Hardjoprawiro H. Peta Kesehatan Masyarakat dan Propek PJPT II, Jakarta,

1993.6. Preston L T. World Development Report, Washington D.C: 1993.7. PT. ASKES. Laporan Manajemen 1992, Jakarta, 1993.8. PT. ASKES. Statistik PT Asuransi Kesehatan Indonesia 1987-1992, Jakarta,

1993.9. U.S. Departement of Health and Human Service : Health United States and

Prevention Profile, Maryland: 1992.10. Wright J W. The Universal Almanc, Kansas City: 1992.

What sunshine is to ftowers, smiles are to humanity

96 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 97: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

PenyusunanAMDAL (Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan) Rumah Sakitdan Penatalaksanaannya

Komisi AMDALDepartemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUANUntuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejah-

teraannya, manusia secara sadar melakukan berbagai aktifitasmulai dari yang sederhana sampai kompleks yang pada dasarnyadapat dikatakan mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamdan lingkungan. Hakekat lingkungan pada mulanya perubahanpada lingkungan oleh kegiatan manusia masih berada di dalamkemampuan alam untuk memulihkan diri secara alamiah. Dalampada itu kebutuhan akan sumber daya tersebut semakin mening-kat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk serta me-ningkatnya kebutuhan.

Sejalan dengan hal tersebut perubahan lingkungan yangterjadi seringkali masih dapat ditenggang (tidak) atau kurangdipedulikan oleh masyarakat karena tidak secara jelas menim-bulkan kerugian yang berarti. Akan tetapi kemudian perubahantersebut semakin membesar, mengganggu daya dukung ling-kungan sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakatdalam meningkatkan kualitas hidupnya, dan bahkan kualitashidup itu dapat menurun. Di sinilah kemudian disadari perlunyadilakukan pertimbangan-pertimbangan yang seksama tentangrisiko/gangguan lingkungan terhadap suatu rencana kegiatan,sehingga dapat diambil keputusan yang paling baik terhadapkegiatan tersebut sebelum dilaksanakan atau dilanjutkan.

Proses pengambilan keputusan terhadap rencana kegiatan dimasa lalu terutama didasarkan pada kelayakan dari segi teknisdan ekonomis serta mungkin dari segi politis saja; sedang dam-paknya terhadap lingkungan hidup sangat jarang dipertimbang-kan. Apabila hal tersebut dipertimbangkan biasanya hanyadikaitkan dengan analisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis)di mana variabel-variabel yang tergolong variabel ekonomidicoba untuk dihitung nilai moneternya. Akibat analisis yang

Makalah ini disajikan pada Kongres Vl PERSI & Hospital Expo, Jakarta,21 — 25 November 1993.

terbatas tersebut tidak jarang dijumpai adanya dampak berba-haya yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang direncanakan,yang tidak/belum dapat diperkirakan sebelumnya. Tidak jarangpula dampak tersebut berakibat mengurangi manfaat/keuntung-an yang diperkirakan sebelumnya.

Bertolak dari keadaan tersebut, kemudian timbul upayauntuk menelaah aktifitas yang telah dan akan dilakukan untukmengetahui dampak apa yang mungkin merugikan kegiatantersebut, kemudian dicari usaha untuk menghindari timbulnyadampak negatif. Pemikiran inilah yang mendasari perlunya studitentang dampak lingkungan suatu kegiatan yang kemudian di-kenal dengan Analisis Dampak Lingkungan (EnvironmentalImpact Assessment). Analisis Dampak Lingkungan diperlukanuntuk menjamin agar tujuan aktifitas manusia, yaitu kesejahtera-an hidup dapat tercapai tanpa merusak lingkungan. Dengandimasukkannya AMDAL ke dalam proses perencanaan suatukegiatan maka pengambil keputusan akan memperoleh pan-dangan yang lebih luas dan mendalam mengenai aspek kegiatantersebut sehingga dapat diambil keputusan yang optimal dari ber-bagai alternatif yang tersedia. Jadi AMDAL merupakan salahsatu alat bagi pengambilan keputusan untuk mempertimbangkanakibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kegiatan terhadaplingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk menang-gulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Secara nasional bagi semua kegiatan pemerintah telahmenetapkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 tentangAMDAL sebagai pengganti dari PP 29 tahun 1986 tentangAMDAL. Berdasarkan PP 29 tahun 1986 Menteri Kesehatantelah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/MENKES/PER/X/1990 tentang AMDAL Rumah Sakit yangtentunya harus disesuaikan dengan PP AMDAL yang baru.

Cennin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 97

Page 98: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Peraturan Menteri Kesehatan No.512/MENKES/PER/X/1990 tentang AMDAL Rumah Sakit di samping menetapkanpedoman teknis penyusunan AMDAL Rumah Sakit juga me-netapkan penatalaksanaan AMDAL Rumah Sakit. Pedomanteknis tersebut menetapkan sistematik dan isi laporan AMDALRumah Sakit yang harus diikuti oleh setiap penyusun AMDALRumah Sakit. Namun dalam uraian makalah ini akan disampai-kan langkah-langkah penyusunan AMDAL secara umum, de-ngan memperhatikan ketentuan mengenai AMDAL yang di-tuangkan dalam PP 51 tahun 1993. Di samping itu diuraikantentang penatalaksanaan penyusunan dan penilaian AMDALRumah Sakit yang meliputi organisasi (Komisi AMDAL) dantatacara penyampaian dokumen AMDAL Rumah Sakit untukpenilaiannya. Bagi kegiatan wajib SEMDAL yang belum mem-buat SEMDAL akan diuraikan beberapa ketentuan yang akandiberlakukan dalam waktu dekat ini.

PENGERTIAN DAN MANFAAT AMDAL

1) PengertianAMDAL adalah salah satu studi yang mengidentifikasi,

memprediksi, menginterpretasi dan mengkomunikasikan pe-ngaruh dari suatu kegiatan manusia terhadap lingkungan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dikenalistilah Analisis mengenai Dampak Lingkungan yang disingkatdengan AMDAL yang berarti hasil studi mengenai dampakpenting suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkung-an hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.Di samping pengertian tersebut, dewasa ini dikenal pengertian :a) AMDAL Kegiatan Terpadu/Multi Sektor yaitu hasil studimengenai dampak penting kegiatan yang terpadu yang diren-canakan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan ham-paran ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satuinstansi yang bertanggung jawab.b) AMDAL Kawasan yaitu hasil studi dampak penting suatukegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalamsatu kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut kewenang-an satu instansi yang bertanggung jawab.c) AMDAL Regional yaitu hasil studi dampak penting suatukegiatan yang' direncanakan terhadap lingkungan hidup dalamsatu kesatuan hamparan ekosistem zona rencana pengembanganwilayah sesuai rencana umum tata ruang daerah dan melibatkankewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab.

Bagi kegiatan yang diragukan dampak pentingnya, dilakukanproses penapisan untuk memastikan apakah kegiatan tersebutberdampak penting atau tidak. Bagi rencana kegiatan yang tidakada dampak pentingnya, dalam rangka menunjang pembangun-an yang berwawasan lingkungan diharuskan melakukan upayapengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan ling-kimgan (UPL).

AMDAL merupakan keseluruhan proses yang meliputipenyusunan berturut-turut :a) Kerangka Acuan bagi penyusunan Analisis DampakLingkungan (KA-ANDAL).b) Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL).

c) Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL).d) Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

Jadi pengertian AMDAL di sini dapat berarti proses studidan dapat pula berarti hasil studi.

Dengan ditetapkannya PP 51 tahun 1993 tentang AMDAL,tidak terdapat lagi ketentuan tentang AMDAL bagi kegiatanyang sudah berjalan yang dikenal dengan SEMDAL. Namundemikian bagi kegiatan bidang kesehatan yang semula dite-tapkan wajib SEMDAL tapi hingga saat ini belum membuatSEMDAL, Departemen Kesehatan akan mengeluarkan keten-tuan khusus yang mewajibkan pembuatan standard operatingprocedure pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang di-tuangkan dalam rencana teknis pengelolaan lingkungan danrencana teknis pemantauan lingkungan, sebagai pengganti ke-wajiban pembuatan SEMDAL.

Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yangdiakibatkan oleh suatu kegiatan. Pada mulanya dampak ling-kungan digambarkan sebagai adanya benturan antara dua ke-pentingan yaitu kepentingan antara perlunya pelaksanaan ke-giatan dan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkunganyang baik. Benturan kepentingan tersebut hanyalah mencer-minkan adanya dampak yang merugikan (negatif) saja. Dalamperkembangannya kemudian, yang dianalisis bukan hanyadampak negatifnya saja tapi juga dampak positif suatu kegiatandengan bobot analisis yang sama. Sedangkan dampak pentingadalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang di-akibatkan oleh suatu kegiatan. Berkenaan dengan dampak ling-kungan suatu kegiatan ada dua hal pokok yang perlu dipahamiyaitu :a) Dampak setiap kegiatan bersifat khas dan unik (sitespecific), artinya dampak lingkungan suatu kegiatan hanya ber-laku untuk ekosistem tertentu dan kelompok sosial tertentu yangmenghuni ruang dan waktu tertentu. Asumsi ini berangkat darisuatu pengertian bahwa AMDAL hanya terfokus pada ruangtertentu dan kurun waktu tertentu yang dihipotesakan terkenadampak suatu kegiatan. Implikasi dari asumsi ini adalah walau-pun jenis kegiatannya sama, dampak yang ditimbulkan akanberbeda bila berada di ruang yang berbeda.b) Dampak suatu kegiatan bersifat kompleks. Asumsi iniberangkat dari pengertian bahwa, setiap komponen lingkungansatu sama lain saling terkait. Perubahan atau tekanan yangdialami oleh satu komponen lingkungan akan mempengaruhikomponen lainnya. Hubungan sebab akibat ini semakin sulitditelusuri apabila dampak yang ditimbulkan pada suatu kom-ponen bersifat kumulatif dan baru tampak setelah kurun waktuyang cukup lama. Implikasi hal ini adalah bahwa studi AMDALharus dilakukan secara lintas disiplin sesuai dengan karakteristikdampak yang ditimbulkan. Jadi diperlukan spesialis yangmengkaji masing-masing disiplin dari aspek yang terkait danahli analisis sistim yang mengintegrasikan hasil kajian paraspesialis dalam kesatuan analisis.

2) Manfaat AMDALTelah disebutkan terdahulu bahwa AMDAL diperlukan

bagi proses pengambilan keputusan suatu kegiatan. Ini berarti

98 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 99: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

bahwa dokumen AMDAL merupakan salah satu bahan per-timbangan, untuk menetapkan apakah suatu kegiatan itumemungkinkan untuk dilaksanakan ditinjau dari sudut kepen-tingan kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian makaAMDAL bermanfaat untuk :a) Mengetahui adanya dampak suatu rencana kegiatan ter-hadap kualitas lingkungan hidup yang melampaui ambang batasyang telah ditetapkan ataupun yang tidak dapat ditolerir sertamembahayakan kesehatan dan keselamatan manusia.b) Mengetahui adanya dampak suatu rencana kegiatan ter-hadap kegiatan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan.c) Memberikan masukan bagi studi kelayakan teknis dan ke-layakan ekonomi sehingga dapat dilakukan optimasi, terutamadalam rangka mengendalikan dampak negatif dan mengem-bangkan dampak positifnya.d) Memberikan informasi sejauh mana keadaan lingkungandapat menunjang perwujudan suatu rencana kegiatan, terutamainformasi tentang sumber daya yang diperlukan bagi kegiatantersebut, seperti energi, tenaga manusia, sarana dan prasaranaangkutan dan sebagainya.e) Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan berdasarkanhasil pendugaan dan evaluasi dampak lingkungan yang dilaku-kan dalam proses penyusunan AMDAL.f) Pelaksanaan pemantauan lingkungan yang diperlukan bagipenilaian ataupun pengawasan pelaksana pengelolaan lingkung-an.

LANGKAH-LANGKAH DALAM STUDI AMDALSesuai dengan definisi lingkungan yang berlaku di Indo-

nesia (Undang-undang No. 4 Tahun 1982) komponen lingkung-an yang ditelaah dalam studi AMDAL bagi suatu kegiatanmeliputi komponen lingkungan fisik kimia, komponen ling-kungan hayati dan komponen sosial ekonomi dan sosial budaya.

Secara umum langkah-langkah pelaksanaan studi AMDALsecara berurutan dapat digambarkan pada diagram alir sebagaiberikut (Diagram 1) :

Diagram 1. Diagram Alir Studi AMDAL

Langkah-langkah yang digambarkan dalam diagram ter-sebut tidak menggambarkan bentuk dokumen yang akan

dihasilkan seperti yang dimaksud dalam pengertian AMDALmenurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993. Langkah-langkah yang selanjutnya akan diuraikan di bawah ini lebihmenjelaskan urutan pekerjaan studi AMDAL sejak persiapanstudi sampai langkah dari studi AMDAL yaitu evaluasi dampaklingkungan dan alternatif pengelolaannya.

1) Langkah pertamaPersiapan meliputi :

a) Pembentukan Tim Penyusun.b) Pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan AMDAL, pedoman-pedoman, baku mutulingkungan, rencana kegiatan yang akan dikaji.c) Pengenalan keadaan umum lokasi kegiatan (pra survai).d) Penentuan ruang lingkup studi (scoping).e) Penyusunan rencana kerja/usulan teknis.

2) Langkah kedua :Pengumpulan dan penyusunan informasi mengenai kegiat-

an yang akan dikaji (pemerian kegiatan), sekurang-kurangnyamemuat :a) Nama dan alamat pemrakarsa kegiatan.b) Status, jenis, tujuan, dan kegunaan kegiatan.c) Lokasi kegiatan.d) Hasil (output) dan umur kegiatan.e) Uraian kegiatan mulai dari fase persiapan sampai operasi.f) Perkiraan biaya.g) Rencana operasional atau alur proses kegiatan.h) Rincian mengenai limbah kegiatan.i) Uraian tentang sistim pengelolaan limbah.

3) Langkah ketiga :Penentuan rona lingkungan awal dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan fisik, bio-logis, dan sosial di wilayah yang diperkirakan terkena dampakkegiatan, meliputi kegiatan :a) Menetapkan komponenlingkungan yang akan dikaji.b) Menetapkan metodologi pengukuran setiap komponenlingkungan termasuk sampling system dan sampling site-nya.c) Menyusun daftar isian dan panduan-panduannya.d) Menetapkan cara pengolahan dan analisa data.e) Persiapan peralatan dan bahan-bahan.f) Pelaksanaan pengukuran/penelitian di lapangan dan analisisdi laboratorium.g) Pengolahan, analisis dan penyusunan hasil.

4) Langkah keempat :a) Identifikasi dampak yaitu mengidentifikasi komponenlingkungan yang mungkin terkena dampak rencana kegiatan/komponen kegiatan.b) Pendugaan dampak lingkungan yaitu memproyeksikanperubahan komponen lingkungan yang mungkin terjadi akibatdilaksanakannya rencana kegiatan.

5) Langkah kelima :Evaluasi dampak lingkungan dan alternatif pengelolaannya,

meliputi :

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 9 9

Page 100: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

a) Penentuan hubungan sebab akibat antara komponen ren-cana kegiatan dan komponen lingkungan dengan dampak yangmungkin ditimbulkan.b) Uraian alternatif pengelolaan dampak lingkungan.

Dari langkah-langkah tersebut kemudian disusun laporanhasil studi yang berbentuk beberapa dokumen yang meliputi :KA ANDAL, ANDAL, serta RKL/RPL.

LAPORAN HASIL STUDI AMDALBerdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993, la-

poran hasil studi AMDAL harus disusun dalam bentuk dokumensebagai berikut :– Kerangka Acuan ANDAL (KA-ANDAL)– Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)– Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)– Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

SISTIMATIKA LAPORANBerikut ini akan diuraikan secara singkat butir-butir yang

harus tercantum dalam setiap dokumen dan beberapa hal pentingyang harus ada pada setiap dokumen.

a) Kerangka Acuan ANDALSesuai dengan pedoman teknis Kerangka Acuan ANDAL

harus disusun dengan sistimatika sebagai berikut :1) Peendahuluan2) Tujuan studi3) Ruang lingkup studi4) Metodologi5) Tim studi ANDAL6) Biaya7) Waktu pelaksanaan8) Daftar pustaka.

b) Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)Sesuai dengan pedoman teknis secara sistimatis dokumen

ANDAL rumah sakit harus memuat uraian tentang :Ringkasan:1) Pendahuluan2) Dasar pembangunan rumah sakit3) Rencana rumah sakit4) Rona lingkungan hidup awal5) Perkiraan dampak penting6) Evaluasi dampak penting7) Kepustakaan8) Lampiran

Laporan hasil studi ANDAL harus disusun berdasarkanKerangka Acuan yang telah ditetapkan oleh Komisi.

Untuk hal-hal yang bersifat sangat rahasia dan tidak mungkindiungkapkan dalam laporan misalnya menyangkut rahasia yangdipatenkan harus diberikan catatan tersendiri dan hal ini dituang-kan dalam ringkasan ANDAL.

c) Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan RencanaPemantauan Lingkungan (RPL)

Sesuai dengan pedoman teknis RKL dan RPL harus disusun

dengan sistimatika sebagai berikut :RKL :1) Identitas pemrakarsa2) Uraian kegiatan3) Tujuan, kegunaan, ruang lingkup, dan pendekatan penge-lolaan lingkungan4) Rencana pengelolaan lingkungan5) Kepustakaan.RPL:1) Identitas pemrakarsa2) Uraian kegiatan3) Tujuan, kegunaan, dan alternatif pemantauan lingkungan4) Uraian rencana pemantauan lingkungan5) Kepustakaan.

Uraian yang disajikan dalam laporan RKL dan RPL harusdapat mengungkap secara jelas tentang apa, bagaimana, dimana,siapa, dan kapan pengelolaan dan pemantauan lingkungan akandilakukan. Perlu diingat bahwa dokumen RKL dan RPL ter-masuk dokumen yuridis yang menjadi pegangan semua pihakyang terlibat dalam pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, danpengawasan pelaksanaan RKL dan RPL.

PENATALAKSANAAN AMDAL RUMAH SAKIT

1) OrganisasiSesuai dengan PP 51 tahun 1993, satuan kerja yang ber-

tanggung jawab dalam penatalaksanaan AMDAL adalah KomisiAMDAL Bidang Kesehatan yang berstatus pusat (perijinan ataupemilikannya) adalah Komisi AMDAL Pusat Departemen Ke-sehatan yang pembentukannya ditetapkan dalam KeputusanMenteri Kesehatan No. 041/MENKES/SK/I/1989 , dan telahdiperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.

280/MENKES/SK/I/1993 . Dalam rangka pelaksanaan PP 51tahun 1993 keanggotaan Komisi AMDAL Departemen Kesehat-an akan ditambah dengan wakil-wakil dari Badan PertanahanNasional dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalammelaksanakan tugasnya Komisi AMDAL Departemen Kese-hatan melakukan hubungan kerja dengan instansi yang ber-tanggung jawab dalam Rumah Sakit dalam hal ini DirektoratJenderal Pelayanan Medik. Hubungan kerja tersebut lebihlanjut akan diuraikan dalam tata cara penyampaian dokumenAMDAL Rumah Sakit.

Komisi AMDAL Departemen Kesehatan diketuai olehDirektur Jenderal PPM & PLP dengan pertimbangan bahwaurusan pengelolaan lingkungan secara fungsional menjaditanggung jawab Direktur Jenderal PPM & PLP. Adapun anggotaKomisi AMDAL Departemen Kesehatan terdiri dari pejabat dilingkungan unit utama Departemen Kesehatan yang tugaspokoknya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan maupunberkaitan dengan kegiatan bidang kesehatan yang wajib AMDAL.Para pejabat tersebut terdiri dari :1) Kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan (sebagai WakilKetua Komisi)2) Kepala Pusat Data Kesehatan (sebagai Sekretaris Komisi)3) Kepala Direktorat Penyehatan Lingkungan Pemukiman

100 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 101: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

4) Kepala Direktorat Penyehatan Air5) Kepala Direktorat Pemberantasan Bersumber Binatang6) Kepala Direktorat Pengawasan Obat dan Bahan Berbahaya7) Kepala Direktorat Pengawasan Obat8) Kepala Direktorat Pengawasan Obat Tradisional9) Kepala Direktorat Instalasi Medik10) Kepala Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan11) Kepala Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta12) Kepala Direktorat Bina Peranserta Masyarakat13) Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Dep.Kes.14) Kepala Pusat Laboratorium Kesehatan15) Wakil dari Departemen Dalam Negeri16) Wakil dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan/Kan-tor Menteri Negara KLH17) Wakil dari Badan Pertanahan Nasional18) Wakil dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Adapun tugas Komisi AMDAL Departemen Kesehatanadalah :a) Menyusun Pedoman Teknis Pembuatan AMDAL.b) Menetapkan Kerangka Acuan bagi pembuatan ANDAL.c) Menilai ANDAL.d) Menilai RKL dan RPL.e) Memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan ber-dasarkan hasil penilaian AMDAL.f) Membantu menyelesaikan diterbitkannya surat keputusantentang AMDAL.g) Memberikan bimbingan kepada Komisi Daerah.h) Menilai rencana teknis pengelolaan lingkungan dan rencanateknis pemantauan lingkungan.

Untuk membantu pelaksanaan penilaian AMDAL, KomisiAMDAL dibantu oleh Tim Teknis AMDAL yang anggotanyaterdiri dari tenaga-tenaga yang berkualifikasi AMDAL B yangberasal dari unit kerja di lingkungan Departemen Kesehatanyang terkait dengan AMDAL.

2) Tata Cara Penyampaian Dokumen AMDAL RumahSakit1) Dokumen Kerangka Acuan (KA)1.1. Dokumen KA ANDAL disampaikan oleh pemrakarsa ke-pada Komisi AMDAL Departemen Kesehatan.1.2. Komisi AMDAL setelah membahas Kerangka Acuan ter-sebut memberikan tanggapan dan komentar tertulis terhadap KAtersebut dan menyampaikannya kembali kepada pemrakarsaselambat-lambatnya 12 hari seiak dokumen tersebut diterimaoleh Komisi AMDAL.2) Dokumen ANDAL, RKL dan RPL2.1. ANDAL, RKL dan RPL diajukan sekaligus oleh pemrakarsakepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik.2.2. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik memberikan buktipenerimaan dokumen-dokumen tersebut kepada pemrakarsadengan mencantumkan tanggal penerimaan.2.3. Dokumen tersebut diteruskan kepada Komisi AMDALDepartemen Kesehatan untuk kemudian dilakukan pembahasandan penilaian.2.4. Berdasarkan hasil penilaian Komisi terhadap dokumen -

dokumen tersebut, Direktur Jenderal Yanmed menetapkan ke-putusan tentang dokumen tersebut selambat-lambatnya 45 harisejak tanggal pengajuan.2.4.1. Apabila keputusan tersebut berupa penolakan karenadokumen-dokumen tersebut dinilai belum memenuhi persya-ratan maka dokumen tersebut harus diajukan kembali kepadaDirjen Yanmed, dan selambat-lambatnya 30 hari sejak peng-ajuan kembali harus sudah dikeluarkan keputusan atas dokumen-dokumen tersebut berdasarkan hasil penilaian Komisi AMDAL.2.4.2. Apabila hasil penilaian menyimpulkan bahwa dampaknegatif tidak dapat ditanggulangi berdasarkan IPTEK dan biayapenanggulangan dampak negatif lebih besar dibandingkan de-ngan hasil dampak positifnya, maka Dirjen Yanmed memutus-kan menolak rencana kegiatan rumah sakit.2.4.3. Pengajuan keberatan atas keputusan seperti pada 2.4.2dapat disampaikan kepada Menteri Kesehatan dengan tembusankepada Bapedal selambat-lambatnya 14 hari sejak diterimanyakeputusan penolakan.2.4.4. Menteri Kesehatan akan memberikan keputusan terhadappengajuan keberatan tersebut setelah mendapat pertimbangandari Bapedal selambat-lambatnya 30 hari sejak diterima peng-ajuan tersebut dan keputusan ini merupakan keputusan terakhir.

Diagram alir penyampaian dokumen AMDAL terlampir(Diagram 2) .

Diagram 2. Alur Pemrosesan Dokumen AMDAL Rumah Sakit

Cermin Duniu Kedokteran , Edisi Khusus No . 90, 1994 101

Page 102: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

No. Materi PP 29/1986 PP 51/1993

1. Kegiatan WajibAMDAL(Penapisan)

Pasal 2 ayat (2) :Ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan LPND yangmembidangi........dst

Pasal 2 ayat (3) :Ditetapkan Menteri LH/Kepala BAPEDALsetelah mendengar danmemperhatikan sarandan pendapat instansiyang bertanggung jawab.

Pasal 2 ayat (4) :Penapisan kegiatanditinjau secara berkalasekurang-kurangnyasekali dalam 5 (lima)tahun.

2. Kaitan antaraAMDAL denganPerizinan

Pasal 5 :Keputusan tentangpemberian izin terhadaprencana kegiatan olehinstansi yang berwenangdi bidang perizinanhanya dapat diberikansetelah adanya keputusanpersetujuan atas RKURPL

Pasal 5:Pemberianizinusahadankegiatan oleh instansiyang berwenang untukjenis kegiatan sebagai-mana dimaksud dalamPasal 2 hanya dapatdiberikan setelah adanyapelaksanaan rencanapengelolaan lingkungandan rencana pemantauanlingkungan yang telahdisetujui oleh instansiyang bertanggung jawab.

3. Kedudukan danAMDAL

Pasal 6:ayat (1) : AMDALmerupakan komponenstudi kelayakan rencanakegiatan

Pasal 6:ayat (1) : AMDAL me-rupakan bagian kegiatanstudi kelayakan rencanausaha dan kegiatanayat (2) : Hasil studiAMDAL digunakan se-bagai bahan perencanaanpembangunan wilayah.

4. Lama waktu pe-nilaian AMDAL(Putusanpersetujuan)

Pasal 10 : PIL = 30 hariPasal 12 : KA = 30 hariPasal 16 : ANDAL =90 hariPasal 19 : RKL = 30 hariPasal 20 : RPL = 30 hari

o PIL dihilangkanPasal 7 :– KA hanya perlu

tanggapan tertulis darikomisi

– Batas waktu tanggap-an tertulis KA sejakditerima oleh Komisiadalah 12 hari

Pasal 10 :Batas waktu penetapanANDAL, RKL/RPLsejak diterima olehKomisi adalah 45 hari.

5. AMDAL – Pasal 12:Kegiatan – Bagi kegiatan yangTerpadu saling terkait, berada

dalam satu ekosistemdan dimiliki oleh satupemrakarsaPedoman teknis,penilaian danpersetujuan olehinstansi yang ditugasimengendalikandampak lingkunganKomisi AMDALTerpadu merupakankomisi gabunganyang ditetapkan oleh

102 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90,1994

6. AMDAL –

Menteri LH/KepalaBAPEDAL.

Pasal13:Kawasan – Bagi kegiatan yang

7. AMDAL –

berada dalamkawasan sesuai per-aturan perundangan

– Pedoman teknis,penilaian danpersetujuan olehinstansi yangbertanggung jawab.

Pasal 14:Regional AMDAL regional akan

8. Kadaluwarsa Pasal21:

diatur lebih lanjutdengan KeputusanMenteri LH/KepalaBAPEDAL.Pasal15:

9.

persetujuanAMDAL

Komisi :

Kadaluwarsa, apabiladalam 5(lima) tahunrencana kegiatan tidakdilaksanakanPasal 23

Kadaluwarsa, apabiladalam 3 (tiga) tahunrencana kegiatan tidakdilaksanakan.Hanya ada 2 (dua)

– Komisi Pusat Komisi :– Komisi Daerah – Komisi AMDAL

10. Pembinaan Pasal 30 :

Pusat – Komisi AMDAL

DaerahPasal 17 & 18 : (tetap)Keanggotaan komisi di-tambahkan unsur BPN,BKPM sebagai anggotatetap dan LSM sebagaianggota tidak tetap.Lisensi dihilangkan

11. Pengawasan

Kualifikasi penyusunAMDAL dengan pem-berian lisensi ... dst.

Pasal 31 , 32, & 33

Pasal 20 :Pendidikan, pelatihan,penelitian, danpengembangan AMDALdiselenggarakan dengankoordinasi BAPEDAL.Pasal 22 – 25– Setiap rencana usaha/

kegiatan wajibdiumumkan olehinstansi yangbertanggung jawabDokumen AMDALbersifat terbuka untukumurn

– Peransertamasyarakatdalam bentuk sarandan pemikiran (lisanatau tertulis) kepadaKomisi sebelumdokumen AMDALdisetujuiBAPEDAL meng-gunakan dokumenAMDAL sebagaibahan penguji hasilpemantauanBAPEDAL dapatmelakukan koordinasidalam pengawasan.

Page 103: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 51 Tahun 1993

tentangAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.,

Menimbang :a) bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai upaya sadar danberencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untukmeningkatkan mutu hidup, perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha atau kegiatan;b) bahwa setiap usaha atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkunan hidup yang perludianalisa sejak awal perencanaannya, sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangandampak positif dapat dipersiapkan sedini mungkin;c) bahwa analisis mengenai dampak Iingkungan diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentangpelaksanaan rencana usaha atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup;d) bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungansebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 16 Undang-undang Nommor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuanPokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selama ini berlaku perlu disempurnakan sesuai dengan berbagaiperkembangan baru yang terjadi;e) bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu mengatur penyempurnaan tersebut dalam PeraturanPemerintah;

Mengingat :1) Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

MEMUTUSKAN:Dengan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Ling-kungan (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 42);

Menetapkan :PEATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAKLINGKUNGAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :1) Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, penga-

wasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup;2) Analisis mengenai dampak lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau

kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan;3) Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil studi mengenai dampak

penting usaha atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuanhamparan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab;4) Analisis mengenai dampak lingkungan kawasan adalah hasil studi mengenai dampak penting usaha atau

kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem danmenyangkut kewenangan satu instansi yang bertanggung jawab;5) Analisis mengenai dampak lingkungan regional adalah hasil studi mengenai dampak penting usaha atau

kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona rencanapengembangan wilayah sesuai dengan rencana umum tata ruang daerah dan melibatkan kewenangan lebih darisatu instansi yang bertanggung jawab;6) Kerangka acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan yang merupakan hasil pe-

lingkupan;7) Pelingkungan adalah proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan dampak penting;8) Analisis dampak lingkungan adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu

rencana usaha atau kegiatan;

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 103

Page 104: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

9) Dampak penting adalah perubahan Iingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usahaatau kegiatan;10) Rencana pengelolaan lingkungan adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak pentingterhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha atau kegiatan;11) Rencana pemantauan lingkungan adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponenlingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat dari rencana usaha atau kegiatan;12) Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha ataukegiatan yang akan dilaksanakan;13) Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan tentangpelaksanakan rencana usaha atau kegiatan, dengan pengertian bahwa kewenangan berada pada Menteri atauPimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan danpada Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 untuk usaha atau kegiatan yang berada di bawah wewenangnya;14) Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup dan mengendalikan dampak ling-kungan;15) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang mempunyai tugas pokokmembantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upayapencegahan pencemaran, dan kerusakan lingkungan, penanggulangan dampak penting dan pemulihan kuali-tias lingkungan;16) Komisi analisis mengenai dampak lingkungan adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri/menteri atauPimpinan Lembaga pemerintah Non Departemen di tingkat pusat, dan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat1, yang bertugas membantu pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan di dalam proses pengambilankeputusan.

Pasal 2

(1) Usaha atau kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup meli-puti :a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, kerusakan, dan kemerosotansumberdaya alam dalam pemanfaatannya;d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya;e) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alamdan atau perlindungan cagar budaya;f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;h) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan;i) kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan mempengaruhi pertahanan negara.(2) Menteri menetapkan jenis usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendengardan memperhatikan saran dan pendapat instansi yang bertanggung jawab.(3) Bagi jenis usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disusun analisis dampaklingkungan.(4) Penapisan rencana usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (3) ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Dampak penting suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup ditentukan oleh :a) jumlah manusia yang akan terkena dampak;b) luas wilayah persebaran dampak;c) lamanya dampak berlangsung;d) intensitas dampak;e) banyakanya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;f) sifat kumulatif dampak;g) berbalik atau tidak berbaliknya dampak.(2) Pedoman mengenai ukuran dampak penting sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) ditetapkan olehinstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 4

(1) Analisis dampak lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) tidak perlu dibuat bagirencana usaha atau kegiatan yang langsung dilaksanakan untuk menanggulangi suatu keadaan darurat.(2) Menteri dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatanyang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu kcadaan darurat setelah mendengar saran-saran dariinstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 5

Pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang membidangi jenis usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud

104 Cermin Dunia Kedokteran . Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 105: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan danRencana Pemantauan Lingkungan yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 6

(1) Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha ataukegiatan.(2) Hasil analisis mengenai dampak lingkungan digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunanwilayah.

BAB IITATA LAKSANABagian PertamaKerangka Acuan

Pasal 7

(1) Pemrakarsa yang mempunyai rencana usaha atau kegiatan sebagaimana disebut dalam Pasal 2, wajibmenyusun kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan.(2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh pemrakarsa kepada komisianalisis mengenai dampak lingkungan yang bersangkutan.(3) apabila dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya kerangkaacuan tersebut komisi analisis mengenai dampak lingkungan tidak memberikan tanggapan tertulis, kerangkaacuan tersebut sah digunakan sebagai dasar penyusunan analisis dampak lingkunan atas kekuatan PeraturanPemerintah ini.(4) Kerangka acuan disusun oleh pemrakarsa berdasarkan pedoman umum atau pedoman teknis.(5) Pedoman umum tentang penyusunan kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkanoleh Menteri.(6) Pedoman teknis tentang penyusunan kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkanoleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yangbersangkutan.

Bagian KeduaAnalisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan

Rencana Pemantauan Lingkungan

Pasal 8

(1) Analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkunagan, dan rencana pemantauan lingkungandiajukan sekaligus oleh pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab.(2) Instansi yang bertanggung jawab memeberikan bukti penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud dalamayat (1) kepada pemrakarsa dengan mencantumkan tanggal penerimaan.(3) Pedoman umum penyusunan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencanapemantauan lingkungan ditetapkan oleh Menteri.(4) Pedoman teknis penyusunan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencanapemantauan lingkungan ditetapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan non departemen yangmembidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan berdasarkan pedoman umum sebagaimana dimaksuddalam ayat (3).

Pasal 9

(1) Penilaian dokumen analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana peman-tauan lingkungan oleh komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 19ayat (1) dilakukan secara bersamaan.(2) Apabila dokumen analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencanapengelolaanlingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan dinilai belum memenuhi persyaratan dalam pedoman teknis,pemrakarsa wajib memperbaiki sesuai petunjuk komisi analisis mengenai dampak lingkungan yang ber-tanggung jawab.(3) Berdasarkan hasil penilaian komisi analisis mengenai dampak lingkungan atas dokumen analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan yang diajukan pemrakarsa,instansi yang bertanggung jawab menetapkan keputusan terhadap analisis dampak lingkungan, rencanapengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.

Pasal 10

(1) Keputusan atas analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauanlingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) diberikan oleh instansi yang bertanggung jawabselambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan,rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan.

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1 994 105

Page 106: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

(2) Apabila keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa penolakan karena dinilai belummemenuhi pedoman teknis analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana peman-tauan lingkungan, maka keputusan atas perbaikan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan ling-kungan, dan rencana pemantauan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan,rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) instansi yang bertanggungjawab belum memberikan keputusan, maka terhadap analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaanlingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan tersebut dinyatakan diberikan persetujuan atas kekuatanPeraturan Pemerintah ini.

Pasal 11

(1) Apabila analisis dampak lingkungan menyimpulkan bahwa dampak negatif tidak dapat ditanggulangiberdasarkan ilmu dan teknologi atau biaya penanggulangan dampak negatif lebih besar dibandingkan denganhasil dampak positifnya, maka instansi yang bertanggung jawab memutuskan menolak rencana usaha ataukegiatan yang bersangkutan.(2) Terhadap keputusan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemrakarsa dapat mengajukankeberatan kepada pejabat yang lebih tinggi dari instansi yang bertanggung jawab dengan menyampaikantembusannya kepada instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan penolakan.(3) Pejabat yang lebih tinggi dari instansi yang bertanggung jawab memberi keputusan atas pernyataankeberatan pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah mendapat pertimbangan instansi yangditugasi mengendalikan dampak lingkungan.(4) Keputusan sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejakditerimanya pemyataan keberatan dan merupakan keputusan terakhir.

Pasal 12(1) Bagi rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dilakukan analisis mengenai dampak lingkunganterpadu.(2) Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektordilaksanakan oleh komisi analisis mengenai dampak lingkungan terpadu dari instansi yang ditugasi meng-endalikan dampak lingkungan.(3) Komisi sebagaimana tersebut dalam ayat (2) merupakan komisi gabungan yang keanggotaannya terdiridari wakil-wakil instansi dan lembaga terkait tingkat pusat dan daerah, serta lembaga swadaya masyarakat danpihak lain yang dianggap perlu, dan ditetapkan oleh Menteri.(4) Pedoman teknis penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan usaha atau kegiatan terpadu di-tetapkan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, dengan memperhatikan pedomanteknis yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.(5) Persetujuan atas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 13

(1) Penetapan kriteria tentang rencana usaha atau kegiatan, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenisyang berada dalam satu kawasan yang berada di bawah kewenangan satu instansi yang bertanggung jawabditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab tersebut.(2) Pedoman teknis penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan bagi rencana usaha atau kegiatanseperti tersebut dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.(3) Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi rencana usaha atau kegiatan seperti tersebut dalamayat (1), dilaksanakan oleh komisi analisis mengenai dampak lingkungan dari instansi yang bertanggung jawab.(4) Persetujuan atas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan kawasan ditetapkan oleh menteri atauPimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 14Ketentuan tentang pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan tentang usaha atau kegiatan yangdirencanakan dalam satu zona rencana pengembangan wilayah, ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri denganmemperhatikan saran dan pendapat instansi yang bertanggung jawab.

Bagian KetigaKadaluwarsa dan Gugurnya Keputusan Persetujuan Analiais Dampak Lingkungan,

Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan

Pasal 15

(l) Keputusan persetujuan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencanapemantauan lingkungan dinyatakan kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencanausaha atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya keputusantersebut.

106 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 107: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

(2) Apabila analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan ling-kungan dinyatakan kadaluarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usahaatau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan kepada instansi yangbertanggung jawab.(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) instnasi yang bertanggung jawab memu-tuskan :a) Analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan yangpernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan kembali; ataub) Analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan wajibdiperbaharui.

Pasal 16

(1) Apabila terjadi perubahan lingkungan yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lainsebelum dan pada waktu rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan, keputusan persetujuan analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan dinyatakan gugur ataskekuatan Peraturan Pemerintah ini.(2) Instansi yang bertanggung jawab, setelah berkonsultasi dengan instansi yang ditugasi mengendalikandampak lingkungan, menetapkan telah terjadinya perubahan lingkungan yang sangat mendasar sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) di lokasi semula yang disetujui dan menjadi dasar pembuatan analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan berdasarkan rona ling-kungan baru tersebut menurut tata laksana sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.(3) Kriteria tentang perubahan lingkungan yang sangat mendasar ditetapkan menteri dan atau Pimpinanlembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab setelah berkonsultasi dengan instansi yangditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Bagian KeempatKomisi

Pasal 17

(1) Menteri atau Pimpinan lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi usaha atau kegiatanyang bersangkutan membentuk komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat yang terdiri dari anggotatetap dan anggota tidak tetap.(2) Anggota tetap terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen yang bersangkutan, wakil yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, wakil yang ditunjuk olehinstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, wakil yang ditunjuk oleh Badan KoordinasiPenanaman Modal, wakil yang ditunjuk oleh Badan Pertahanan Nasional dan para ahli dalam bidang yangberkaitan, sedangkan anggota tidak tetap diangkat dari unsur departemen dan atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berkepentingan, lembaga swadaya masyarakat, serta anggota lain yang dipandang perlu.(3) Komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertugas :a) menyusun pedoman teknis pembuatan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang meliputipembuatan kerangka acuan analiais dampak lingkungan, analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaanlingkungan dan rencana pemantauan lingkungan;b) menanggapi dokumen kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan;c) menilai dokumen analisis dampak lingkungan;d) menilai dokumen rencana pengelolaan lingkungan;e) menilkai dokumen rencana pemantauan lingkungan;f) membantu penyelesaian diterbitkannyakeputusan tentang dokumen analisis dampak lingkungan,rencanapengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan;(g) melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemenyang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan .(4) Dalam pelaksanakan tugasnya komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat dapat dibantu oleh timteknis yang bertugas menilai dokumen-dokumen analisis mengenai dampak lingkungan.(5) Pedoman mengenai susunan keanggotan dan tata kerja komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusatsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 18

(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 membentuk komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerahyang terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap.(2) Anggota tetap terdiri dari unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, instansi yang membidangilingkungan hidup di daerah, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, Badan Pertahanan Nasional didaerah, instansi pemerintah yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan di daerah dan pusat studilingkungan hidup di daerah, Badan Pertahanan Nasional di daerah, instansi pemerintah yang ditugasi meng-endalikan dampak lingkungan di daerah dan pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi di daerah yangbersangkutan, sedangkan anggota tidak tetap diangkat dari unsur instansi pemerintah yang membina sektor

Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994 107

Page 108: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

yang bersangkutan di daerah, lembaga swadaya masyarakat, serta anggota lain yang dipandang perlu.(3) Komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertugas :a) menanggapi dokumen kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak Iingkungan;b) menilai dokumen analisis dampak lingkungan;c) menilai dokumen rencana pengelolaan lingkungan;d) menilai dokumen rencana pemantauan lingkungan;e) membantu penyelesaian diterbitkannya surat keputusan tentang analisis dampak lingkungan, rencanapengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan;f) melaksanakan tugas lain yang ditentukan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1.(4) Dalam melaksanakan tugasnya komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah dapat dibantu olehti m teknis yang bertugas menilai dokumen-dokumen analisis mengenai dampak lingkungan.(5) Pedoman mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja komisi analisis mengenai dampak lingkungandaerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 19Dalam melaksanakan tugasnya, komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat dan komisi analisismengenai dampak lingkungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18, wajib memperhati-kan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang,kepentingan pertahanan keamanan nasional, dan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.

BAB IIIPEMBINAAN

Pasal 20

Pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan untukmenunjang pembangunan yang berkesinambungan diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yangditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 21

Usaha atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang menimbulkan dampak penting serta bantuan pemerintah dibidang analisis mengenai dampak lingkungan, ditetapkan lebih lanjutoleh Menteri setelah memperhatikan sarandan pendapat instansi yang bertanggung jawab.

BAB IVPENGAWASAN

Pasal 22

(1) Setiap rencana usahaatau kegiatan yang perlu dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungannyawajibdiumumkan oleh instansi yang bertanggung jawab.(2) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dari setiap rencana usaha atau kegiatan serta keputusanmengenai persetujuannya bersifat terbuka untuk umum.(3) Sifat keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk peran serta masya-rakat dengan mengemukakan saran dan pemikirannya secara lisan dan atau tertulis kepada komisi analisismengenai dampak lingkungan pusat atau komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah sebagaimanandimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 sebelum keputusan persetujuan analisis mengenai dampak lingkunganterhadap rencana usaha atau kegiatan ditetapkan.

Pasal 23

Bagi rencana usaha atau kegiatan yang menyangkut rahasia negara ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 22 tidak berlaku.

Pasal 24

Salinan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan rencana usaha atau kegiatan serta salinan keputusanatas persetujuan dokumen tersebut disampaikan oleh instansi yang bertanggung jawab.a) di tingkat pusat kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, instansi terkait yangberkepentingan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat 11 yangbersangkutan; ataub) di tingkat daerah kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan instansi terkaityang berkepentingan.

Pasal 25

(1) lnstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan menggunakan dokumen analisis mengenaidampak lingkungan sebagai bahan pcnguji terhadap;

108 Cermin Dunia Kedokteran , Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 109: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

a) laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi hasilnya yang dilakukan oleh pemrakarsa sesuai denganrencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan;b) laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi hasilnya yang dilakukan oleh instansi terkait yang berkepen-tingan sesuai dengan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan;c) laporan pengawasan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkunganyang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab.(2) Hasil pengujian sebagaimnana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh instansi yang ditugasimengendalikan dampak lingkungan kepada menteri atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen dangubemur kepala daerah tingkat I yang bersangkutan.(3) Dalam melaksanakan pengawasan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dalatmelakukan koordinasi sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

BAB VPEMBIAYAAN

Pasal 26

Biaya pelaksanaan kegiatan komisi pusat dan komisi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan Pasal18 dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 27

(1) Biaya untuk menyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari biayausaha atau kegiatan yang direncanakan dan dibebankan pada pemrakarsa.(2) Biaya pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan dibebankan pada anggaran pelaksanaanusaha atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 28Biaya pemantauan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauanlingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa menjadi tanggung jawab instansi pemerintah yang bersangkutan.

BAB VIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penem-patannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 23 Oktober 1993PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakartapada tanggal 23 Oktober 1993MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1993 NOMOR 84

Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIS KABINET Rl Kepala Biro Hukum

dan Perundang-undanganub,

Kepala Bagian PenelitianPerundang-undangan 1

Lambock V. Nahattands, S.H.

Cermin Duniu Kedokleran, Edisi Khusus No. 90, 1994 109

Page 110: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Penjelasan atasPeraturan Pemerintah Republik lndonesia

Nomor 51 Tahun 1993tentang

Analisis Mengenai Dampak LingkunganUMUM

Pembangunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan danmutu hidup rakyat. Proses pelaksanaan pembangunan di satu pihak menghadapi permasalahan jumlah pendu-duk yang besar dengan tingkat pertambahan yang tinggi, tetapi di lain pihak ketersediaan sumberdaya alamterbatas. Kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk yang meningkat dapat mengakibatkan tekanan terha-dap sumberdaya alam. Pendayagunaan sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hiduprakyat harus disertai dengan upaya untuk melestarikan kemarnpuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbangguna menunjang pembangunan yang berkesinambungan, dan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu danmenyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Dengan demikian, pem-bangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat tersebut, baik generasi sekarang maupungenerasi mendatang, adalah pembangunan berwawasan lingkungan.

Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alamsecara bijaksana merupakan tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan ini, sejakawal perencanaan usaha atau kegiatan sudah diperkirakan perubahan rona Iingkungan akibat pembentukansuatu kondisi lingkungan yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang timbul sebagaiakibat diselenggarakannya usaha atau kegiatan pembangunan. Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap rencana yangdiperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenaidampak lingkungan.

Dampak penting menurut penjelasan Pasal 16 tersebut ditentukan antara lain oleh :a) jumlah manusia yang akan terkena dampak;b) luas wilayah persebaran dampak;c) lamanya dampak berlangsung;d) intensitas dampak;e) banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak;t) sifat kumulatif dampak tersebut;g) berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak.

Berdasarkan hal tersebut di atas perlu pengaturan lebih lanjut mengenai usaha atau kegiatan yang akanmenimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.

Dengan dimasukkannya analisis mengenai dampak lingkungan ke dalam proses perencanaan suatu usahaatau kegiatan, maka pengambil keputusan akan memperoleh pandangan yang lebih luas dan mendalammengenai berbagai aspek usaha atau kegiatan tersebut, sehingga dapat diambil keputusan yang optimal dariberbagai altematif yang tersedia. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan salah satu alat bagipengambil keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu rencana usahaatau kegiatan terhadap lingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatifdan mengembangkan dampak positif.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Yang dimaksud dengan "analisis mengenai dampak lingkungan" dalam angka 2 sebagaimana tercantum

dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelola-an Lingkungan Hidup adalah keseluruhan proses yang meliputi penyusunan secara berturut-turut :a) kerangka acuan bagi penyusunan analisis dampak lingkungan;b) analisis dampak lingkungan;c) rencana pengelolaan lingkungan;d) rencana pemantauan lingkungan;Yang dimaksud dengan "analisis mengenai dampak lingkungan usahaatau kegiatan terpadu/multisektor" dalamangka 3 adalah keseluruhan proses yang meliputi penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan bagiberbagai usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang secara berturut-turut meliputi :

110 Cermin Dunia Kednkterun, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 111: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

a) kerangka acuan bagi penyusunan analisis dampak lingkungan;b) analisis dampak lingkungan;c) rencana pengelolaan lingkungan;d) rencana pemantauan lingkungan.Kriteria usaha atau kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan terpadu/multisektor meliputi :a) berbagai jenis usaha atau kegiatan yang analisis mengenai dampak lingkungannya menjadi kewenanganberbagai instansi teknis yang membidanginya;b) berbagai usaha atau kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan, danproses produksinya;c) Usaha atau kegiatan tersebut berada dalam satu ekosistem yang sama;d) Usaha atau kegiatan tersebut dapat berada di bawah satu pengelola atau lebih.Yang dimaksud dengan analisis mengenai dampak lingkungan kawasan dalam angka 4 adalah keseluruhanproses yang meliputi penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan bagi berbagai usaha atau kegiatan yangsejenis danlatau yang tidak sejenis yang menjadi kewenangan satu instansi yang bertanggung jawab berturut-turut meliputi :a) kerangka acuan bagi penyusunan analisis dampak lingkungan;b) analisis dampak lingkungan;c) rencana pengelolaan lingkungan;d) rencana pemantauan lingkungan.Kriteria usaha atau kegiatan tersebut di atas meliputi :a) berbagai jenis usaha atau kegiatan yang analisis mengenai dampak lingkungannya menjadi kewenangansatu sektor yang membidanginya;b) berbagai usaha atau kegiatan tersebut ada dan/atau tidak ada keterkaitannya satu sama lain dalam halperencanaan, pengelolaan, dan proses produksinya;c) usaha atau kegiatan tersebut berada dalam satu ekosistem yang sama;d) usaha atau kegiatan tersebut dapat menjadi kewenangan satu pengelola atau lebih.Yang dimaksud dengan analisis mengenai dampak lingkungan regional dalam angka 5 adalah keseluruhanproses yang meliputi penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan bagi berbagai usaha atau kegiatan yangsaling terkait antara satu dengan yang lainnya yang menjadi kewenangan lebih dari satu instansi yang ber-tanggung jawab berturut-turut meliputi :a) kerangka acuan bagi penyusunan analisis dampak lingkungan;b) analisis dampak lingkungan;c) rencana pengelolaan lingkungan;d) rencana pemantauan lingkungan.Kriteria usaha atau kegiatan tersebut di atas meliputi :a) berbagai jenis usaha atau kegiatan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya;b) masing-masing usaha atau kegiatan tersebut menjadi kewenangan lebih dari satu instansi yang ber-tanggung jawab;c) usaha atau kegiatan tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa;d) usaha atau kegiatan tersebut terletak dalam satu zona rencana pengembangan wilayah sesuai denganrencana umum tata ruang daerah;e) usaha atau kegiatan tersebut dapat terletak di lebih dari satu kesatuan hamparan ekosistem.Yang dimaksud dengan "kerangka acuan" dalam angka 6 adalah ruang lingkup studi rencana usaha atau kegiatanyang telah disepakati antara komisi dengan pemrakarsa untuk dilaksanakan di dalam studi analisis dampaklingkungan.Yang dimaksud dengan hal-hal penting dalam angka 7 adalah berbagai aspek usaha atau kegiatan dan parame-ter lingkungan yang dianggap penting untuk dikaji.Yang dimaksud dengan "analisis dampak lingkungan" dalam angka 8 adalah dokumen hasil penelaahan secaramendalam dampak penting.Yang dimaksud dengan " rencana pengelolaan lingkungan" dalam angka 10 adalah dokumen upaya penanganandampak lingkungan dari hasil studi analisis dampak lingkungan.Yangdimaksud dengan "rencana pemantauan lingkungan" dalam angka 11 adalah dokumen upayapemantauandampak lingkungan dari hasil rencana pengelolaan lingkungan berdasarkan analisis dampak lingkungan untukmengawasi tingkat ketaatan pada pelaksanaan.Yang dimaksud dengan "orang " dalam angka 12 adalah seorang, kelompok orang, atau badan hukum. "Badan"meliputi badan pemerintah dan badan usaha milik negara.

Pasal 2Ayat (1)Usaha atau kegiatan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan usaha atau kegiatan yang berdasarkan peng-alaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampakpenting terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian penyebutan jenis usaha atau kegiatan tersebut tidakbersifat limitatif dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebut-an tersebut bersifat alternatif, sebagai contoh seperti usaha atau kegiatan :a) pembuatan jalan, bendungan, jalan kereta api dan pembukaan hutan;b) kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan;c) pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikutidengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya;d) kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan atau cara hidupmasyarakat setempat;

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 11 1

Page 112: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

e) kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam, ataupencemaran benda cagar budaya;f) introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat menimbul-kan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupanhewan yang telah ada;g) penggunaan bahan hayati dan nonhayati mencakup pula pengertian pengubahan;h) penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatip terhadap kesehatan.Ayat (2)Menteri atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang ber-sangkutan memberikan masukan kepada Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup/Kepala instansiyang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, berupa daftar jenis usaha atau kegiatan masing-masingsektor yang berpotensi menimbulkan dampak penting. Dengan mempertimbangkan masukan tadi Menteri yangditugasi mengelola lingkungan hidup/Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan ke-mudian menetapkan jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampaklingkungan untuk masing-masing sektor.Bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak ada dampak pentingnya, dan atau secara teknologi sudah dapatdikelola dampak pentingnya tidak termasuk dalam kategori ini. Dalam menunjang pembangunan yang ber-wawasan lingkungan tetap diharuskan melakukan upaya pengelolaan lingkungan (UKL), dan upaya peman-tauan lingkungan (UPL) sesuai dengan yang ditetapkan di dalam syarat-syarat perizinannya menurut peratur-an yang berlaku. Misalnya dapat berupa syarat tambahan seperti yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1)Ordonansi Gangguan (S. 1926-226) seperti yang telah diubah dan ditambah dengan S. 1927-499, S. 1940-14dan 450.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Penapisan usaha atau kegiatan yang telah ditetapkan oleh Menteri atau sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),ditinjau untuk penyempurnaannya sekurang-kurangnya satu kali dalam 5(Iima) tahun apabila dipandang perlu.

Pasal 3Ayat (1)Faktor yang menentukan adanya dampak penting dalam ayat ini ditetapkan berdasarkan tingkat pengetahuanyang ada. Faktor ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehinggatidak bersifat limitatif.Ayat (2)Untuk menetapkan ukuran mengenai dampak penting faktor (a) sampai dengan (g) sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan mengadakan konsultasi denganMenteri dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yangbersangkutan.

Pasal 4Ayat (1)Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan yang kondisi yang sedemikian rupa, sehinggamengharuskan dilaksanakannya tindakan segera yang mengandung risiko terhadap lingkungan hidup demikepentingan umum.Ayat (2)Penetapan adanya keadaan darurat harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dansaran-saran yang dimaksudkan tersebut adalah berupa masukan secara tertulis dari instansi yang ditugasimengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 5Keputusan atas pelaksanaan yang baik terhadap rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauanlingkungan merupakan prasyarat dalam pemberian izin suatu usaha atau kegiatan bagi rencana usaha ataukegiatan yang ditetapkan wajib analisis mengenai dampak lingkungan. Izin dimaksud adalah izin usaha tetapbagi usaha atau kegiatan industri sebelum kegiatan produksi komersialnya dilaksanakan, hak kuasa pertam-bangan (KP) bagi usaha atau kegiatan di bidang pertambangan, dan hak pengusahaan hutan (HPH) untuk bidangkehutanan dan izin-izin lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6Ayat (1)Studi kelayakan pada umumnya meliputi analisis dari aspek teknis dan dari aspek ekonomis finansial. Denganadanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, maka studi kelayakan bagi usaha atau kegiatan yangmempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup meliputi komponen analisis teknis, analisis ekonomisfinansial, dan analisis mengenai dampak lingkungan.Ayat (2)Karena analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari studi kelayakan pada ekosistem tertentu,maka hasil analisis mengenai dampak lingkungan tersebut sangat penting untuk dijadikan sebagai masukandalam perencanaan pembangunan wilayah.

Pasal 7Ayat (1)Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan merupakan pegangan yang diperlukan untukmeningkatkan efisiensi dan efektifitas proses penyusunan analisis dampak lingkungan.

11 2 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 113: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Kerangka acuan terutama memuat hal-hal yang berdasarkan pelingkupan aspek usaha atau kegiatan yangmenimbulkan dampak penting dan parameter lingkungan yang akan terkena dampak penting.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Tanggapan tertulis diberikan oleh komisi analisis mengenai dampak lingkungan instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa rencana usaha atau kegiatan bilamana kerangka acuan tersebut dinilai masih belummemenuhi Pedoman Teknis yang telah ditetapkan. Apabila tanggapan tertulis belum diberikan dalam jangkawaktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari, maka KA (Kerangka Acuan) dianggap sah sebagai dasarpenyusunan analisis dampak lingkungan atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini.Ayat (4)Pedoman Umum penyusunan kerangka acuan digunakan bilamana Pedoman Teknis penyusunan kerangkaacuan untuk usaha atau kegiatan di sektor yang bersangkutan belum ditetapkan.Ayat (5)Cukup jelas.Ayat (6)Cukup jelas.

Pasal 8Ayat (1)Perlunya dokumen analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauanlingkungan diajukan secara bersamaan disamping membantu penyusun menganalisis dokumen secara terpadudan menyeluruh sebagai satu kesatuan, juga dapat menghemat waktu, dan biaya penyusunan dokumen analisismengenai dampak lingkungan.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan untuk memperoleh keseragaman di dalam penyusunan analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.Ayat (4)Kegiatan setiap sektor berbeda sehingga diperlukan Pedoman Teknis untuk menampung sifat khas usaha ataukegiatan yang bersangkutan.Pedoman Teknis ditetapkan oleh Menteri dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yangmembidangi kegiatan yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri yang ditugasi mengelolalingkungan hidup/Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 9Ayat (1)Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu dan biaya di dalam penilaian dokumen analisis dampak ling-kungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 10Ayat (1)Jangka waktu selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan tersebut tidak termasuk harilibur.Ayat (2)Dalam hal instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan berupa penolakan atas analisis dampaklingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan, maka instansi tersebutmemberikan petunjuk tentang penyempurnaannya. Apabila setelah dilakukan perbaikan atau penyempurnaanterhadap studi analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan ling-kungan yang ditolak tersebut, kemudian diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab dalam waktu 30(tiga puluh) hari kerja ternyata belum mendapat jawabannya, maka berlaku ketentuan seperti tersebut dalam ayat(3).Ayat (3)Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tetap perlu memperhatikan hasil penilaian komisi analisismengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18.

Pasal 11Ayat (1)Dalam kegiatan tertentu dampak negatif masih dapat ditanggulangi berdasarkan ilmu dan teknologi. Namunterdapat pula kemungkinan bahwa dampak negatif tersebut tidak dapat ditanggulangi berdasarkan ilmu danteknologi, sehingga rencana usaha atau kegiatan tersebut harus ditolak dengan memberikan alasan pe-nolakannya.Ayat (2)Apabila pernyataan keberatan atas keputusan penolakan diajukan melewati jangka waktu 14 (empat belas)hari, maka keberatan yang diajukan pemrakarsa tersebut ditolak.

Cermin Dunia Kedokterun, Edisi Khusus No. 90, 1994 11 3

Page 114: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Ayat (3)Pejabat yang lebih tinggi bagi Menteri atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang dimaksuddalam ayat ini adalah Presiden. Untuk kegiatan yang merupakan wewenang Gubernur Kepala Daerah Tingkat1, pejabat yang lebih tinggi dimaksud adalah :a) Menteri atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi kegiatan yang ber-sangkutan, bagi kegiatan sektoral.b) Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, bagi kegiatan penanaman modal asing dan penanamanmodal dalam negeri.Pertimbangan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan diperlukan dalam rangka keterpadu-an dengan kebijaksanaan nasional secara menyeluruh maupun kebijaksanaan sektoral dalam pengendaliandampak lingkungan.Ayat (4)Keputusan ini merupakan keputusan "akhir", artinya terhadap keputusan tersebut tidak dapat lagi diajukankeberatan.

Pasal 12Ayat (1)Bagi rencana usaha atau kegiatan yang memenuhi kriteria analisis mengenai dampak lingkungan usaha ataukegiatan terpadu/multisektor sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 butir 3 dan penjelasannya, pemrakarsamelakukan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan terpadu.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Pihak lain yang dianggap perlu dapat ditunjuk dari ahli atau wakil masyarakat yang akan terkena dampak.Ayat (4)Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperoleh keseragaman dalam penyusunan analisis mengenaidampak lingkungan usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 13Ayat (1)Kawasan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kawasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undanganyang berlaku, seperti antara lain :– Kawasan Industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri;– Kawasan Pariwisata sesuai Undang-undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Ayat (1)Sejalan dengan cepatnya pengembangan pembangunan wilayah, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun ke-mungkinan besar telah terjadi perubahan rona Iingkungan, sehingga rona lingkungan yang semula dipakaisebagai dasar penyusunan analisis dampak lingkungan tidak cocok lagi digunakan untuk memprakirakandampak lingkungan rencana usaha atau kegiatan yang bersangkutan.Ayat (2)Dalam hal ini, keputusan persetujuan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencanapemantauan lingkungan yang telah diberikan tersebut perlu ditinjau kembali.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 16Ayat (1)Perubahan lingkungan yang sangat mendasar adalah perubahan yang mempengaruhi secara positif atau negatifpengelolaan lingkungan hidup, sehingga mempermudah atau mempersulit tercapainya tujuan pengelolaantersebut.Perubahan yang disebabkan oleh peristiwa alam atau tindakan untuk mengatasi keadaan darurat tidak termasukdalam pengertian ini.Terjadinya perubahan lingkungan secara mendasar berarti hilangnya rona lingkungan awal yang menjadi dasarpenyusunan analisis dampak lingkungan. Keadaan ini menimbulkan konsekuensi gugurnya keputusan persetuju-an analisis dampak lingkungan tersebut.Ayat (2)Pemrakarsa menyusun ulang dokumen analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, danrencana pemantauan lingkungan berdasarkan rona lingkungan yang baru.

114 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No . 90, 1994

Page 115: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Ayat (3)Pengertian berkonsultasi di sini adalah melakukan pembahasan bersama.

Pasal 17Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Pengangkatan para ahli yang dipandang perlu sebagai anggota tetap komisi analisis mengenai dampak

ling-kungan pusat adalah untuk memantapkan bobot penilaian dokumen analisis mengenai dampak lingkungan.Duduknya wakil yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri dan wakil yang ditunjuk instansi yang ditugasi me-ngendalikan dampak lingkungan dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan pengelolaan lingkungan hidupsecara lintas sektoral baik di pusat, maupun di daerah.Pengangkatan unsur departemen atau lembaga pemerintah non departemen yang bersangkutan dimaksudkanuntuk menjamin kepentingan sektor yang berkaitan langsung dengan rencana usaha atau kegiatan yangbersangkutan.Sedangkan kehadiran lembaga swadaya masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan tentang aspirasimasyarakat yang terkena dampak akibat usaha atau kegiatan tersebut.Ayat (3)Komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat menilai dan menetapkan dokumen-dokumen analisismengenai dampak lingkungan dari rencana usaha atau kegiatan yang dibiayai :a) oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejauh mengenai usaha atau kegiatan instansi yangbersangkutan.b) oleh swasta, yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat.Komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat melaksanakan pula tugas yang ditentukan Menteri atauPimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan,sejauh berkaitan langsung dengan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf (a) sampai denganhuruf (g).Hasil penilaian komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat terhadap dokumen analisis mengenaidampak lingkungan dijadikan dasar bagi Menteri dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yangbertanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 18Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi sebagai anggota tetap komisi daerahadalah untuk memantapkan bobot keilmuan dalam penilaian analisis mengenai dampak lingkungan. Adanyawakil yang ditunjuk dari instansi yang membidangi lingkungan hidup di daerah, Badan Perencanaan Pem-bangunan Daerah, Badan Pertanahan Nasional di daerah dan instansi yang ditugasi mengendalikan dampaklingkungan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup secara lintassektor yang ada di daerah.Pengangkatan unsur instansi pemerintah pembina sektor yang bersangkutan di daerah dimaksudkan untukmenjamin kepentingan sektor yang berkaitan langsung dengan rencana usaha atau kegiatan yang bersangkut-an.Sedangkan kehadiran lembaga swadaya masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan tentang aspirasimasyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha atau kegiatan tersebut.Ayat (3)Komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah menilai dan menetapkan dokumen-dokumen analisismengenai dampak lingkungan dari rencana usaha dan kegiatan yang dibiayai :a) oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;b) oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, apabila penyelenggaraan rencana usaha atau kegiatantersebut diserahkan kepada daerah;c) oleh swasta, yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat daerah.Komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah melaksanakan pula tugas lain yang ditentukan olehGubernur Kepala Daerah Tingkat 1, yang berkaitan langsung dengan tugas sebagaimana dimaksud dalam hu-ruf (a) sampai dengan huruf (f) ayat ini.Hasil penilaian komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah terhadap dokumen analisis mengenaidampak lingkungan dijadikan dasar oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 dalam proses pengambilan ke-putusan.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 19Keterpaduan merupakan ciri utama pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dalam menilai anbalisis mengenaidampak lingkungan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup serta pengembangan wilayah dan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 11 5

Page 116: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

pembangunan daerah perlu terkait dengan serasi Pasal 20 Pelaksanaan pendidikan, latihan dan penelitian dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan dapat pula dilakukan oleh usaha swasta atas prakarsa warga masyarakat dengan mengacu pada kurikulum yang ditetapkan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Pengumuman rencana usaha atau kegiatan yang antara lin dapat melalui media massa dan/atau papan pengumuman pada instansi yang bertanggung jawab dimaksudkan agar masyarakat dapat mengajukan saran dan pemikirannya. Pengajuan saran dan pemikiran tersebut kepada komisi analisis mengenai dampak lingkungan pusat dan komisi analisis mengenai dampak lingkungan daerah merupakan peran serta setiap orang dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ayat (2) Yang dimaksud dengan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang dapat memperoleh keterangan dan/atau salinan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan serta keputusan mengenai ketiga hal itu. Dokumen-dokumen tersebut tersedia pada instansi yang bertanggung jawab. Ayat (3) Masyarakat yang berkepentingan selalu perlu didorong dan diberikan kesempatan untuk memberikan masukan mengenai rencana usaha aau kegiatan tersebut kepada komisi analisis mengenai dampak lingkungan yang bersangkutan agar keputusan komisi tersebut sedapat mungkin menampung aspirasi masyarakat yang berkepentingan tersebut, sebelum dokumen analisis dampak lingkungan disetujui. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ketentuan ini dimaksudkan pula untuk memberikan pelayanan dan kemudahan informasi mengenai pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan. Di samping itu dapat pula dimanfaatkan untuk mengembangkan jaringan informasi pusat dan daerah. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Maksud dikirimkannya hasil pengujian kepada Menteri atau Pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan adalah agar dapat dipergunakan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan. Hasil pengujian tersebut disertai saran tindakan yang perlu dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab. Ayat (3) Tindakan tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat di antaranya berupa penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan kepentingan antar sektor di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Biaya yang dimaksudkan dalam pasal ni merupakan bagian dari biaya studi kelayakan. Ayat (2) Hasil rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan menetapkan perlunya pemrakarsa menyaediakan biaya untuk melalukan upaya-upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat mengikat, khususnya pada kegiatan di dalambatas wilayah proyeknya, sedangkan untuk biaya pemantauan di luar batas proyek \merupakan tanggung jawab pemerintah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 Pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa. Untuk melakukan aktifitas tersebut pemerintah menyediakan anggaran biaya melalui anggaran biaya instansinya. Pasal 29 Cukup jelas.

Page 117: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Pelayanan Penderita Lanjut Usia Persiapan Rumah Sakit

dalam Mengantisipasi Kasus Lanjut Usia

Dr. B. Ahmad Sanosal Tambunan Direktur Rumah Sakit Islam, Jakarta

PENDAHULUAN

Mulai bulan April 1994 nanti kita memasuki tahun pertama rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Tantangan pembangunan tahap ini berada dari tantangan yang dihadapi pada pembangunan jangka panjang tahap I. Perbedaan ini terasa pula dalam pembangunan di bidang kesehatan.

Berkat kemjuan yang dicapai dalam pembangunan jangka panjang pertama, tampak adanya penurunan angka kematian kasar, kematian bayi dan balita serta ada peningkatan umur harapan hidup. Angka gangguan gizi menurun pula dengan sangat bermakna. Kemajuan tersebut menimbulkan perubahan struktur penduduk dan pola penyakit. Jumlah mausia mengantisipasi besarnya masalah penyakit-penyakit yang kebanyakan diderita oleh oleh kelompok berusia lanjut ini, marilah kita kaji kecendrungan perkembangan jumlah kelompok usia lanjut di Indonesia M. Alwi Dahlan mengemukakan bahwa:

1) Seseorang disebut sebagai usia lanjut bila telah berumur 60 tahun atau lebih. Bila didasarkan usia pensiun maka usia lanjut adalah 65 tahun ke atas.

2) Sensus penduduk menunjukkan peningkatan jumlah penduduk sebagai berikut:

a. Usia 65 tahun : tahun 1971 sebesar 2,98 juta (2,5%) meningkat menjadi 6,96 juta (3,88%) pada tahun 1990. Menurut perkiraan Bank Dunia keompok ini akan menjadi 4,33% pada tahun 1995; 4,775 pada tahun 2000 dan 5,57% pada tahun 2010 serta 7,08% dalam tahun 2020.

b. Untuk usia 55 tahun ke atas, terjadi kenaikan dari 8,9% atau 16,1 juta pada tahun 1990 menjadi 10,7% atau 18,67 juta pada tahun 2000.

c. Kelompok usia 60+ mengalami kenaikan dari 6,9% (7,38 % juta) menjadi 7,4% atau 15,4 juta orang.

3) Dalam profil kualitatif, dikemukakan bahwa kemajuan kesehatan yang menyebabkan penurunan angka

kesakitan, peningkatan kebugaran, bertambah panjangnya umur, perubahan gaya hidup, serta pengembangan compression morbidity mempunyai potensi meningkatkan produktivitas kelompok lanjut usia.

Dari apa yang dikemukakan di atas, bidang pembangunan kesehatan mempunyai peluang untuk menjadikan kelompok usia lanjut ini hidup produktif dan menjadi manusia berkualitas sebagai sumberdaya yang penting bagi pembangunan lebih lanjut, terutama didukung oleh makin tingginya jumlah mereka yang mempunyai pendidikan yang baik.

Penelitian yang talh dilakukan tehadap kesehatan sekelompok usia lanjut, menunjukkan bahwa beberapa penyakit seperti kanker, diabetes melitus, CVD, penyakit jantung koroner, oeteoporosis, banyak diderita oleh kelompok ini. Penyakit-penyakit ini umumnya tidak dapat hanya ditangani oleh pelayanan kesehatan dasra seperti yang dilakukan di Puskesmas/Balkesmas, tetapi memerlukan penanganan spesialistis dan perawatapn inap yang terdapat di rumah sakit. Oleh karena itu, peran rumah sakit untuk saat ini dan masa mendatang makin penting. Orientasi pelayanan rumahs aikt tidak hanya pada pelayanan kuratif saja, tetapi lebih luas daripada itu, mulai dari pelayanan promotif, kuratif sampai pada rehabilitatif yang dilakukan secara terprogram dan terpadu.

Untuk dapat melaksanakan pendekatan ini, rumah sakit harus melakukan koordinasi dengan bersbagai organisasi/instansi lainnya. Hal in didasarkan pada pemikiran bahwa beberapa penyakit yang diderita kelompok lanjut usia ini pada hakikatnya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya dapat dicegah timbulnya gangguan yang lebih cbesar tehadap kesehatan kelompok lansia; contoh penyakit diabetes melitus yang dipengaruhi oleh gaya hidup, demikian pula hipertensi. Hal-hal ini dapat dicegah sejak usia muda.

Dengan mengkaji hal-hal yang telah dikemukakan terdahulu, sudah sepantasnya kalau rumah sakit mempersiapkan diri untuk menerima kelompok lanjut usia afar dapat dilayani sebagaimana mestinya. KECENDRUNGAN KESEHATAN DI MASA YANG AKAN DATANG DAN PERAN RUMAH SAKIT

Page 118: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Kurun waktu pembangunan jangka panjang tahap kedua mempunyai ciri yang berbeda dari PJPT I. Struktur penduduk berubah; yang semula menunjukkan jumlah besar di kelompok usia bawah lima tahun, pada kurun waktu ini menjadi terbalik; jumlah kelompok usia lanjut makin besar. Kelompok sosial masyarakt juga berubah. Susunan keluarga yang berupa extended family menjdai nuclear family. Gaya hidup juga berubah dan makin meningkatnya kesejahteraan dan majunya teknologi, khususnya teknologi komunikasi. Dengan beralihnya kehidupan agraris ke kehidupan industrial, berubah pula tata kehidupan keluarga. banyak suami dan istri bekerja dan anak-anak yang ditinggalkan di rumah bersama pengasuh atau diditpkan ke tempat penitipan anak. Pola hidup ketiga generasi mulai ditinggalkna. Dan ini akan menimbulkan masalah bagi kehidupan kelompok usia lanjut ataupun kelompok anak dan remaja.

Hal-hal tersebut berpengaruh pada pola penyakit. Sebagaimana telah disebutkan pada babpendahuluan, pada kurun waktu PJPT III akan makin menonjol penyakit non infeksi dan penyakit degeneratif, penyakit-penyakit semula yang akan muncul penyakit-penyakit yang umumnya diderita oleh kelompok usia lanjut, gangguan jiwa akan akan semakin menonjol pula. Gaya hidup yang kurang aktifitas fisik, pola makan yang makin menggemari fast food yang menyebabkan kurangnya intake gizi seimbang membantu timbulnya penyakit-penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi dan lain-lainnya.

Berubahnya pola penyakit pada kurun waktu yang akan datang menyebabkan meningkatnya kebutuhan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit akan makin mampu dalam mendeteksi penyakit dan penyebabnya maupun perjalanan penyakit., demikian pula dengan upaya penyembuhan dan rehabilitasi yang diperlukan. Hal ini dimungkinkan karena tersedianya sarana teknologi canggih. Oleh karena itu peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dalam sistem rujukan medik makin penting makna keberadaannya dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Penyakit yang diderita kelompok usia lanjut pada hakikatnya beragam jenisnya. Oleh karena itu persiapan rumah sakit dalam penanganan kasus lanjut usia perlu diarahkan untuk dapat menampung kebutuhan itu.

Mengkaji keadaan yang akan datang sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam mempersiapkan pelayanan kepada kelompok lanjut usia rumah sakit bukanlah merupakan salah satu nya institusi yang dibutuhkan. Upaya yang bersifat promotif, preventif dan kuratif serta rehabilitatif perlu dilakukan melalui berbagai saluran pelayanan.

Upaya promotif dilakukan sejak dini yakni sejak manusia berusia muda. upaya ini berupa penyuluhan dan praktek pencegahan terjadinya gangguan kesehatan a.l. gaya hidup sehat yang menyangkut pembagian waktu kerja/kegiatan fisik dan istirahat yang seimbang, olahraga kesehatan, kebiasaan makan atau pola makan yang baik (ditinjau dari segi waktu, kandungan gizi seimbang dalam menu sehari, dan kuantitas makanan). Sikap dan perilaku hidup menimbulkan ketenangan

lahir dan perilaku hidup yang menimbulkan ketenangan lahir dan batin, a.l. iman, takwa dan ikhlas, hobby yang baik, dan lain-lain.

Upaya preventif khusus a.l. pelaksanaan imunisasi dan upaya spesifik lainnya seperti olahraga khusus bagi manula untuk mencegah atau mengurangi intensitas osteoporosis.

Upaya kuratif dan rehabilitatif meliputi kegiatan diagnostik, terapeutik, dan rehabilitasi. Untuk diagnostik dan terapeutik dilaksanakan oleh rumah sakit sedangkan rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit dan di luar rumah sakit.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, makin banyak masalah kesehatan/kedokteran yang dapat diatasi. Penggunaan alat-alat canggih di satu pihak dan lahirnya spesialisasi/subspesialissasi kedokteran membantu fungsi tersebut. Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang mampu melaksanakan fungsi tersebut.

Dengan gambran tersebut di atas, sangat jelas peranan rumah sakit dalam mengentisipasi perubahan pola penyakit di masa mendatang. PERSIAPAN RUMAH SAKIT DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PELAYANAN KASUS LANJUT USIA

Tujuan persiapan rumah sakit dalam mneghadapi tantangan pelayanan bagi kasus lanjut usia adalah kesembuhan penderita lanjut usia dari penyakit yang dideritanya dan menjaga serta meningkatkan produktifitas kehidupannya. Bila penderita tidak dapat sembuh total, paling tidak hanya ia dapat melakukan tugas pemeliharaan dirinya sendiri sehingga tidak terlalu tergantung pada orang lain. Sedangkan untuk mereka yang meninggal, saat-saat akan meninggal menerima bimbingan rohani sehingga menghadapi maut secara tenang dan iman sesuai kepercayaan agama masing-masing.

Sasaran tersebut hanyalah dapat dicapai bila rumah sakit telah mempersiapkan diri untuk melakukan pelayanan paripurna yang didasari pada wawasan pendekatan manusia seutuhnya yaitu bahwa setiap manusia selain terdiri dari aspek jasmani, juga memiliki aspek mental/spiritual dans osial. Dalam wawasan in, diakui adanya sosok manusia itu sendiri, selain itu diakui pula hubungan manusia itu dengan khaliknya dan hubungan manusia denganlingkungannya.

Hasil penelitian terhadap kelompok lansia

Meningkatnya status kesehatan masyarakat selain ditunjukkan oleh menurunnya angka kematian dan kesakitan, membaiknya status gizi juga ditunjukkan oleh meningkatnya angka harapan hidup.

Page 119: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Tabel 1. Estimasi angka harapan hidup di Indonesia tahun 1967-1990.

Tahun Laki-laki(tahun)

Perempuan(tahun)

Laki-lakidan perempuan

(tahun)

1967 42,20 47,17 45,731976 50,64 53,69 52,211986 58,06 61,54 59,801990 59,59 63,28 61,49

Tabel 2. Perbandingan usia harapan hidup dengan negara lain

Negara Usia harapan hidup

JepangSingapuraMalaysiaPhilipinaThailandIndonesia

78,3 tahun73,5 tahun69,5 tahun63,5 tahun65 tahun61,5 tahun

Keterangan : Sumber Profil Kesehatan Indonesia 1992.

Estimasi angka harapan hidup menunjukkan adanya pe-ningkatan dari 45,73 pada tahun 1967 menjadi berturut-turut52,21/tahun 1976, 59,80/tahun 1986 dan 61,49/tahun 1990.Peningkatan angka harapan hidup terjadi pada kedua jenis kelamin,walaupun pada wanita ternyata lebih tinggi dari pada laki-laki.Banyaknya wanita yang berusia lanjut pada dekade tahun 1990akan membawa dampak terhadap pola pelayanan kesehatan dimasa-masa yang akan datang.

Penelitian terhadap kelompok lanjut usia menunjukkanbahwa pada usia lanjut terjadi secara umum penurunan vitalitasdan kemandiriannya. Kerentaan sosial meningkat baik fisikmaupun mentalnya. Tampak pula gejala non spesifik sepertimenurunnya indera rasa sakit, menurunnya reaksi termal, confu-sion (apathy leading characteristics), kehilangan nafsu makan,perubahan reaksi terhadap obat, serta inkontinesia urine; padahalgejala-gejala ini merupakan gejala penting dari adanya kelainankesehatan tertentu. Oleh karena itu perlu diwaspadai gejala-gejala nonspesifik ini agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

PENYAKIT PADA KELOMPOK LANJUT USIAWalaupun hasil SKRT terbaru 1990 belum ada tetapi me-

nurut hasil SKRT 1980 dan SKRT 1986 menunjukkan angkakesakitan untuk masing-masing penyakit sebesar 11,5% dan8,3%; angka kesakitan untuk semua umur menurut SKRT 1980adalah 25,7% sedangkan pada SKRT 1986 angka kesakitan padasemua umur turun menjadi 15,1%.

Lima penyakit terbanyak yang diderita adalah( 3 ) :1. Penyakit pembuluh darah 15,6%2. Gangguan muskuloskeletal 14,5%3. TBC 13,8%4. Bronkhitis 12,1%5. Infeksi saluran nafas akut 10,2%

Penyakit yang biasanya diderita oleh kelompok lanjut usiaadalah a.l. : penyakit degeneratif kronik, penyakit kardiosere-brovaskular, penyakit sendi, penyakit saluran urogenital, pe-

nyakit saraf, serta penyakit endokrin. Gambaran statistik penya-kit yang diderita kelompok lanjut usia di rumah sakit adalahsbb :— 40% penyakit kardio serebrovaskular— 25% kanker— 15% non spesifik— 5% trauma— 15% lain-lain.

Data di atas menunjukkan bahwa pendekatan paripurnayang meliputi kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabi-litatif sangat perlu diterapkan secara terpadu dan berkesi-nambungan.

PERSIAPAN RS UNTUK MENGHADAPI TANTANGANPELAYANAN KELOMPOK LANJUT USIA

Rincian penduduk Indonesia menurut golongan umur (dalam%) dan jenis kelamin tergambar dalam piramida pendudukanhasil sensus tahun 1971, 1980 dan tahun 1990, menunjukkanciri-ciri yang menarik. Pertama, struktur umur penduduk Indo-nesia masih tergolong "muda" artinya proporsi penduduk yangberumur di bawah 15 tahun masih tinggi walaupun secara ber-angsur mulai menurun, yaitu 43,97% pada tahun 1971 menjadi40,9% dan 36,49% pada tahun 1980 dan 1990. Kedua, proporsipenduduk usia lanjut (> 55 tahun) semakin bertambah yaitu6,4% pada tahun 1971 menjadi 7,8% pada tahun 1980 dan9,2% pada tahun 1990, sedangkan proporsi anak di bawahlima tahun terlihat menurun yaitu 16,1% pada tahun 1970 men-jadi 14,4% pada tahun 1989 dan 11,7% pada tahun 1990. Saatini diperkirakan pada sekitar 16.650.000 penduduk usia > 55tahun. Ketiga,perbandingan laki-laki dan perempuan meningkatdari 97,2% tahun 1971 menjadi 98,8% pada tahun 1980 dan99,5% pada tahun 1990.

Jumlah kelompok lanjut usia yang akan makin meningkat,sasaran pelayanan bagi kelompok lanjut usia oleh rumah sakit,serta data penelitian yang menyajikan fakta tentang kelompoklanjut usia, menjadi pendorong bagi rumah sakit untuk memner-siapkan diri.

Persiapan ini perlu dilakukan dalam bidang-bidang beri-kut :1) Sumber Daya Manusia

Pengembangan sumber daya manusia yang terpenting ada-lah :a) Tersedianya dokter yang menguasai pengetahuan dan carapenatalaksanaan kasus manusia lanjut usia, karena akan mem-bantu pengenalan penyakit dan sebab-sebabnya serta penatala-ksanaannya secara tepat dan cepat.

Gerontologi sebagai disiplin ilmu kedokteran yang mengkajimasalah lansia telah berkembang. Maka alangkah baiknya bilarumah sakit dapat memiliki tenaga dokter yang telah mendalamicabang ilmu ini. Bila belum ada, maka para dokter khususnyayang mempunyai peluang menangani kasus-kasus lanjut usiaperlu memahami data/karakteristik kelompok ini sehinggamempunyai kewaspadaan yang tinggi dalam menegakkan diag-nosis dan dalam melakukan pantauan terhadap efektivitaspengobatan.

Cennin Dunia Kedokterun, Edisi Khusus No. 90, 1994 119

Page 120: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

b) Tersedianya tenaga paramedis yang memahami karakteris-tik kelompok lanjut usia sehingga mempunyai kewaspadaanyang tinggi akan gejala yang menyimpang akibat perubahanfisio-bio-fisiologik serta mental/spiritual dan sosial penderitalanjut usia. Pelayanan yang sabar namun profesional diperlukanoleh kelompok lanjut usia.c) Tersedianya tenaga lain yang terkait yang juga memahamihal-hal yang bersangkutan tentang kelompok lanjut usia, agarpelayanan yang disediakan sesuai dengan yang diharapkan.Sebagai contoh : tenaga gizi. Orang tua di satu pihak memerlukanintake gizi yang tinggi, namun di lain pihak terjadi penurunannafsu makan, maka pemantauan apakah makanan yang dihi-dangkan dimakan habis oleh penderita menjadi sangat pentingartinya.

Pelaksanaan tugas secara terpadu antara berbagai jenis te-naga tersebut di atas akan membantu kelancaran, efektivitas danefisiensi pelayanan bagi kelompok lanjut usia.

Aspek mental, sosial dan spiritual pada lanjut usia perlutersedianya tenaga yang dapat melayani aspek ini seperti tenagapekerja sosial, pembina rohani dan ahli jiwa (psikolog/psikiater).

2) Penyediaan sarana diagnostik dan terapeutikSarana diagnostik yang dapat mendeteksi kelainan secara

tepat dan cepat, agar dapat dilakukan tindakan yang diperlukansecara cepat dan tepat pula sangat diperlukan. Dalam kaitan inipenerapan alat canggih untuk diagnostik dan terapeutik kiranyadiperlukan. Namun demikian hendaknya pemanfaatan alat-alatcanggih ini berdasarkan indikasi medis yang kuat sehingga tidakmembebani ekonomi pasien/keluarganya.

3) Prasarana/sarana non medisTelah dikemukan bahwa kelompok lanjut usia mengalami

kemunduran dalam tingkat kemandiriannya, mungkin karenaadanya handikap fisik. Oleh karena itu, perlu ada penyesuaiansarana fisik untuk membantu agar mereka tidak sangat tergan-tung pada orang lain. khususnya dalam membantu dirinyamelakukan pekerjaan hidup sehari-hari (makan, minum, ke be-lakang, dan lain-lainnya).

Di negara-negara maju, pelayanan kelompok lanjut usiadilakukan dalam ruangan khusus, bahkan rumah sakit khusus danperkampungan khusus. Tentunya hal ini sangat ideal. Adanyafasilitas tersebut di atas, diarahkan untuk memberi lingkungankehidupan yang nyaman dan sesuai bagi kelompok lanjut usia.Keadaan ini masih sulit dikembangkan saat ini; oleh karenaitu, perlu dipikirkan cara lain yakni mempersiapkan SDMuntuk lebih siap menerima kelompok lanjut usia sebagaimanaadanya.

4) Menjalin hubungan dengan instansi/organisasi lainTujuannya adalah untuk menciptakan suasana yang sesuai

bagi kelompok lanjut usia, baik berupa rujukan keahlian maupundalam menghimpun dana untuk membantu proses penyembuhandan rehabilitasi penderita.

Upaya ini juga sangat bermanfaat bagi pemantauan keadaanpenderita pasca perawatan.

KESIMPULANTelah dicoba menyusun pemikiran tentang Pelayanan Pen-

derita Lanjut Usia : persiapan rumah sakit dalam mengantisipasikasus lanjut usia. Hal ini berdasarkan fakta bahwa denganmeningkatnya status kesehatan dalam satu dasawarsa terakhirmaka umur harapan hidup meningkat dengan tajam.

Pada tahun 1976, laki-laki 50, 64 tahun meningkat menjadi59,59 pada tahun 1990. Wanita pada tahun 1976, 53, 69 tahunmenjadi 63,28 tahun pada tahun 1990. Jumlah penduduk yangberusia > 55 tahun pada tahun 1980 hanya 9,2% pada tahun 1990menjadi 11,7% berarti pada tahun 1990 ada sekitar 16.650.000penduduk berusia > 55 tahun. Pola penyakit juga bergeser dariinfeksi saluran nafas menjadi penyakit-penyakit pembuluh darah(kardio- serebrovaskular), dan gangguan muskuloskeletal se-hingga pengelola rumah sakit dan sarana kesehatan lain harustanggal terhadap estimasi untuk golongan usia lanjut ini.

Tantangan pelayanan bagi kelompok lanjut usia telahdihadapai dan merupakan fakta. Maka marilah kita bersama-sama menyambutnya dengan rencana dan langkah nyata untukkepentingan pembangunan bangsa dan negara kita,Indonesia.Marilah kita wujudkan motto WHO : Add life to years bukan Addyears to life. Berilah makna hidup selalu sekalipun pada usiayang telah lanjut. Karena hidup yang bermakna akan men-datangkan keutungan pada diri sendiri dan masyarakat ling-kungan.

KEPUSTAKAAN

1. Naskah Iengkap Kursus Geriatri, FKUI - Dutch Foundation, Jakarta 9-11November 1992.

2. Makalah-makalah yang disajikan pada Simposium Tantangan dan PeluangUsia Lanjut Tahun 2000. Peringatan Hari Lanjut Usia lntemasional, BKKKSDKI Jakarta, 13 Oktober 1992.

3. Profil Kesehatan Indonesia 1992, Departemen Kesehatan R.I., Pusat DataKesehatan Jakarta, 1992.

4. Peningkatan Kualitas Hidup Lansia, Jaringan Epidemiologi Nasional. PusatPenelitian Kesehatan LPUI, Lembaga Demografi FEUI, Jakarta 15 Oktober1993.

5. Japan Aging Research Center, Tokyo 102, Japan.6. New Horizons in Aging Science, Proc. Fourth Asia/Ocenia Regional

Congress of Gerontology, Japan, 1992.

120 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994

Page 121: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

Suplemen :Usaha-usaha yang Dapat Dilakukan dalam

Mewujudkan Pelayanan Kesehatan yang lslami BagiPenderita Lanjut Usia di Rumah Sakit lslam Jakarta

PENDAHULUANQ. S: As-Syuara ayat 80 :"Dan bila aku sakit D1A (ALLAH) lah yang akanmenyembuhkanku ".Motto ini terpampang di depan bagian pendaftaran Rumah Sakit Islam Jakarta,dan motto ini menjadi motto utama pada semua RS Islam yang dimiliki olehyayasanlorganisasi Muhammadiyah.

RS Islam Jakarta didirikan pada 23 Juni 1971, merupakan amal usahaMuhammadiyah di bidang kesehatan. Misi dari Rumah Sakit ini adalah memberi-kan pelayanan kesehatan yang profesional dan Islami serta berpihak pada kaumdhu'afa, serta menjadikan rumah sakit sebagai sarana ibadah kepada AllahS.W.T.Sejak tahun 1989 RS Islam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur danSurat Keputusan dari direktur RS swasta dan khusus telah dinyatakan sebagai RSSwasta Tipe Utama.

Dalam usianya yang ke-22 bulan Juli yang lalu RS Islam Jakarta saat initelah mempunyai 495 TT dengan BOR rata-rata 75%; sebagai ujud nyata dariprogram sosial pemerintah di bidang Rumah Sakit maka penyediaan TT di RSIslam sebagai berikut : Kelas VIP 1,6%, Kelas Utama 3,3%, Kelas 114,4%, KelasII 32,4%, Kelas III 48,3%; jumlah pasien rawat jalan rata-rata 310 pasien/hariyang berobat ke 17 poliklinik. Dari jumlah tersebut Poliklinik Penyakit Dalammendapat kunjungan yang tertinggi; sayang sekali tidak terdapat data umur yangberobat di masing-masing poliklinik.

Penyakit yang terbanyak yang diderita dari bagian rawat jalan adalah :1. Febris, 2. Infeksi saluran napas, 3. Infeksi saluran pencernaan, 4. Infeksi lain.Sedangkan dari bagian rawat inap adalah Oktober 1991-1992 : 1. Typhoid fever,2. Commotio Cerebri, 3. Diabetes Mellitus, 4. lnfeksi saluran napas, 5. Infeksilain .

NILAI-NILAI ISLAM SEBUAH RUMAH SAKIT1) Niat atau misi waktu mendirikan2) Pemilikan aset3) Penampilan :

3.1.1. Mushola3.1.2. Kemudahan pasien beribadah3.1.3. Sistem kamar kecil3.1.4. Motto/hiasan dinding

3.2 Karyawan :3.2.1. Kostum3.2.2. Akhlak3.2.3. Penampilan/Hospitality

4) Manajemen :4.1. Keuangan :4.1.1. Auditability dan accountability4.1.2. Azas keterbukaan4.1.3. Amanah4.2. Kepegawaian :4.2.1. Musyawarah4.2.2. Kebijakan/hikmah4.2.3. Kejelasan hak dan kewajiban4.2.4. Kepemimpinan4.3. Modal :4.3.1. Pemeliharaan4.3.2. Amanah4.3.3. Tidak boros/hemat

4.3.4. Efisien4.4. Sistem :4.4.1. Terbuka4.4.2. Adil4.4.3. Lugas4.4.4. Disepakati4.4.5. Orientasi misi4.5. Struktur :4.5.1. Adanyalembaga/eselon khusus yangdibinaterus-menerus masalah

kelslaman4.5.2. Lembaga khusus Studi Islam4.5.3. Memberi kemungkinan pengemban lahan seperti diisyaratkan oleh

studi Islam5) Berpihak kepada kaun Dhu afa :

5.1. Tarif terjangkau5.2. Penekanan pada pencegahan

6) Berfungsi sosial :61.1 Mengutamankan cakupan6.2. Mengupayakan program kesehatan masyarakat

7) Mengemban fungsi dawah8) Keilmuan/profesionalitas sebagai ciri Islam :

8.1. Pengembangan tekhnis/spesialisasi8.2. Penjabaran tekhnis dalam praktek8.3. Mempraktekkan hukum syara dalam perawatan, khususnya hubung-

an pria/wanita8.4. Memadukan syara dengan tata laksana teknis.

RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA1) Surat Al Isra 23 (17:23) :"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supayakamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibubapakmu dengan sebaik-baiknya ... berarti ada atensi khusus kepada golonganLansia.2) Mengacu kepada ayat Allah pada Qur'an surat Ali Imron ayat 159 :"Makadisebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkandiri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagimereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertawakal kepada-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orangyang mendapat petunjuk". Dalam melakukan pelayanan kepada pasien semuajajaran petugas RS Islam Jakarta diwajibkan untuk berlaku lemah lembut, sopandan berdedikasi tinggi dalam melayani pasien.

Pasien-pasien baik pasien lansia dan pasien yang lain dilayani di 17poliklinik yang disediakan yang dilengkapi dengan alat-alat canggih antara lainCT. Scan, USG, ESWL dan sebagainya. Namun hingga saat ini RS Islam Jakartabelum mempunyai klinik khusus untuk pasien usia lanjut.

RAWAT INAP DI RS ISLAM JAKARTABagi pasien-pasien yang perlu mendapat perawatan di RS lslam Jakarta

maka akan dilakukan asuhan keperawatan bagi pasien-pasien sebagaimana dirumah sakit lain; yang membedakan adalah sclain perawatanjasmani/fisik medisjuga perawatan rohani dan perawatan dari petugas sosial. Petugas rohani akanmemberi tuntunan rohani lslam bagi pasien-pasien yang menjelang operasi dan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994 12 1

Page 122: Cdk 090 Kongres Ke Vi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dan Hospital Expo Ke Viii i

pasien-pasien yang akan melahirkan. Jadi secara lengkap RS lslam Jakartamelakukan sekaligus perawatan medis, perawatan rohani, perawatan sosial. Danbagi pasien-pasien yang dalam keadaan sakaratul maut akan dilakukan pelayanankhusus tersendiri yaitu pelayanan khusnul khatimah.

PROGRAM PERAWATAN KHUSNUL KHATIMAH (DYING CARE)BAGI PASIEN RAWAT INAP DI RS ISLAM JAKARTA

Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat : 102 "Wahai orang-orang yangberiman !, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenaz-benar taqwa, dan janganlahkamu sekali-kali mati, melainkan dalam beragama Islam (berserah diri)".

Rumah Sakit Islam Jakarta yang didirikan pada tahun 1971 mempunyaitujuan antara lain memberi pelayanan kesehatan yang Islami, mulai dari saatpasien datang ke rumah sakit, dirawat sampai pulang baik dalam keadaan sembuhmaupun dalam keadaan meninggal. Saat penting dalam tahap kehidupan manusiaadalah akhir hayatnya, semua orang Islam mengharapkan bahwa pada akhirhayatnya akan berakhir secara khusnul khotimah.

Pelayanan khas dari rumah sakit Islam adalah di samping pelayanankesehatan secara medis, diberi pelayanan/bimbingan rohani kepada pasien padawaktu dirawat. Adalah menjadi beban moral bagi petugas di bagian BimbinganRohani Pasien untuk memberi bimbingan bagi pasien maupun keluarganya agarpada saat sakaratul maut pasien tetap berada pada kondisi keimanan yang mantap,iklhas sehingga padawaktu menghadap Illahi pasien dalam keadaan berserah dirijauh dari rasa su'udhan kepada Allah SWT.

Pasien yang dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta sebagian besar beragamaIslam maka sudah sewajarnyalah biroh mempunyai tugas penting, dalam pembi-naan pelayanan pasien yang dirawat. Pada beberapa kasus pasien datang denganpenyakit yang belum ada obatnya misalnya kanker, atau datang dalam keadaanterminal state, di mana pengobatan secara medis hanya dimaksudkan sebagaipengobatan simptomatis saja dan untuk memperpanjang umur. Tidak jarangkarena keadaannya itu pasien atau keluarganya menyalahkan petugas mediskarena tidak ada kemajuan pengobatan. Dalam keadaan seperti itu mental(rohani) pasien dapat terguncang dan mudah sekali terjerumus dalam hal-halyang berbau syirik, misalnya mempercayai bahwa penyakitnya merupakan"kiriman dari orang yang membencinya". Kondisi kejiwaan yang seperti inilahyang harus kita selamatkan, kita luruskan agar aqidah si sakit tidak menyelewengdi saat akhir hayatnya.

Di dalam ajaran Islam sebelum ajal datang dianjurkan untuk membuatwasiat. Pesan-pesan yang dirawat di RS Islam Jakarta dengan keadaan yangsudah terminal state fidak selalu mengetahui hal tersebut, kadang-kadang keluargapasien tidak tahu dan tidak mampu untuk menyampaikan kepada pasien dimaksud.Padahal ini merupakan sesuatu yang penting agar tidak menimbulkan hal-halyang tidak diinginkan sepeninggal si pasien kelak.

Rumah Sakit Islam Jakarta atau Rumah Sakit lslam lain haruslah mempu-nyai suatu ciri khas untuk menangani pasien-pasien dengan kondisi tersebut diatas dengan cara pasien khusnul khotimah.

Tujuan :Umum : Mengupayakan agar pasien meninggal secara "khusnul khotimah".Khusus : Memberi perawatan terpadu secara Islami terhadap pasien-pasien dalam

stadium terminal dan pasien-pasien tanpa harapan (hopless).

Sasaran:

Pasien-pasien yang dirawat di Rumah Sakit IslamJakartadengan persetuju-an keluarganya untukdirawat secara khusnul khotimah. Pasien dipilih dari pasiendengan kriteria :– Pasien kanker dalam stadium terminal– Pasien dengan penyakit lain tanpa harapan, misalnya : pasien AIDS,jantung berat, gagal ginjal berat dan lain-lain, yang kriterianya akan ditentukanbersama dengan team medis.

Penatalaksanaan Perawatan :Diperlukan satu ruangan khusus, terpisah dengan ruang perawatan lain,

atau agak jauh dengan ruang perawatan lain, 3 atau 4 kamar yang agak luas, Setiapkamar untuk satu pasien, dilengkapi dengan kamar mandi, untuk kamar mandikeluarga yang menunggu, dan cukup ruang untuk sholat, atau menggelar tikaruntuk keluarganya yang ingin membacakan Qur'an, menuntun talkin dan se-bagainya. Ruang dilengkapi dengan sound system untuk memperdengarkanbacaan ayat-ayat suci Al Qur'an, adzan serta pada waktu ada siaran sentral. Letakruangan di tempat yang tidak terlalu bising, tenang dan teduh, bersih, nyaman dantidak terkesan angker.

Perawatan :Perawatan secara medis : tetap diberikan sesuai dengan instruksi dokter,

asuhan keperawatan sama seperti pasien lain.Psikiater harus dipilih. Psikiater adalah untuk menjaga kestabilan jiwa

pasien sekaligus menenangkan dan memberi pengertian kepada keluarganyauntuk berbuat sesuatu yang akan lebih menentramkan si pasien. Psikiaterlahyang memahami kondisi kejiawaan si pasien pada saat tersebut. Juga kondisikejiwaan keluarganyaharus dipersiapkan untuk menghadapi saat-saat perpisahanyang selama-lamanya dengan keluarga yang dicintainya.

Perawatan oleh Ahli Agama/Pembimbing RohaniBersamaan dengan perawatan oleh psikiater, Biroh harus berfungsi secara

aktif mendukung perawatan dokterpsikiater,Biroh bertugas memberi tuntunansesuai dengan petunjuk agama baik bagi pasien, maupun bagi keluarganya.Binroh diharapkan berhasil menyadarkan pasien, bahwa akhir hidupnya segeratiba, dan membawa pasien pada ajaran agama antara lain untuk menuliskanwasiat, atau berwasiat dengan baik kepada yang akan ditinggalkan, sertamenjauhkan pasien dari perilaku syirik dan su'udhon pada akhir hayatnya.

Kepada keluarganya lebih dahulu harus disadarkan akan kondisi si sakit,dan diberi tuntunan secara agama, bagaimana menghadapi pasien yang sedangdalam sakaratul maut, dan melepaskan kepergian orang (saudara) yang dicin-tainya dengan cara yang ma'ruf sesuai dengan tuntunan agama.

Biroh memberikan tuntunan tata-cara menTalkin, tata cara mengurus danmerawat jenazah serta tata cara mensholat-kan jenazah juga menguburkannya,serta memberi tuntunan dalam tata cara pembagian warisan.

122 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 90, 1994