cdk 025 uji klinik

63

Upload: revliee

Post on 07-Jun-2015

3.091 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 025 Uji Klinik
cdk_djuni
Page 2: Cdk 025 Uji Klinik

No.25, 1982CerminDunia Kedokteran

International Standard Serial Number : 0125—913X

Majalah triwulanditerbitkan oleh :Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma dandipersembahkan secara cuma-cuma.

2 EDITORIAL

ARTIKEL

3 PRINSIP DASAR UJI KLINIK8 FASE - FASE DALAM UJI KLINIK

10 PENGGUNAAN DAN PENGGUNASALAHAN STATISTIKDALAM PERCOBAAN KLINIK

22 TITIK LEMAH DALAM PERCOBAAN KLINIK27 UJI KLINIK MULTI - CENTER31 MASALAH UJI KLINIK OBAT-OBATAN PADA ANAK34 UJI KLINIK DALAM NEFROLOGI-HIPERTENSI : Praktek dan

kesulitannya.36 KESULITAN PERCOBAAN KLINIK DALAM ILMU PSIKIATRI39 PERCOBAAN PADA MANUSIA DAN ETIKA KEDOKTERAN

42 SURVEI EPIDEMIOLOGIK45 PHARMACO-CHEMISTRY : A new dicipline49 AIHA : ASPEK SEROLOGI DAN TERAPI

57 RESENSI BUKU : Sari Ilmu Penyakit Mata; Kedaruratan danKegawatan Medik; Obesitas; Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik.

58 CATATAN SINGKAT

59 HUMOR ILMU KEDOKTERAN

60 ABSTRAK-ABSTRAK

SEJARAH KEDOKTERAN55 KISAH RAUWOLFIA

Page 3: Cdk 025 Uji Klinik

Sekitar separuh dari penelitian-penelitian yang dimuat dalam majalah-majalah terkenal di duniamenggunasalahkan statistik, demikian dikutip Dr. Arini Setiawati dalam tulisannya pada nomorini. Mungkin sedikit mengagetkan kita, tetapi sekaligus ini juga membuka mata kita mengenaisulitnya melakukan penelitian kedokteran secara benar. Itu pun baru satu aspek dari penelitian,segi statistiknya, belum aspek lainnya. Dengan harapan mengembangkan kualitas serta kuantitaspenelitian kedokteran di Indonesia, nomor CDK kali ini menyorot uji klinik secara khusus.

dr. Armen Muchtar mengawali nomor ini dengan membahas Prinsip Dasar Uji Klinik. Prinsip-prinsip dasar ini harus dipahami benar-benar. Melakukan uji klinik secara sembarangan berartimembuang biaya besar, memboroskan waktu, membahayakan subyek manusia dalam uji klinikitu, serta hasilnya menyesatkan dokter-dokter lain yang mempercayai hasil uji tsb, sehingga akhir-nya dapat membahayakan banyak orang.

Artikel berikutnya diajukan oleh Dr. Arini Setiawati, membahas Penggunaan dan Pengguna-salahan Statistik dalam Percobaan klinik. Statistik memegang peranan yang sangat penting dalamuji klinik, dalam stadium perencanaan maupun penyelesaian. Maka agar suatu uji klinik efisien danefektif, metoda statistik perlu dimengerti sebaik-baiknya.Dalam pendidikan pada fakultas kedok-teran, mata pelajaran statistik terutama diberikan pada tingkat awal sekali dalam pendidikannya.Maka tidak sedikit dokter yang telah lupa sama sekali mengenai cara-cara menggunakan metodastatistik dalam mempraktekkan uji klinik. Artikel ini dimaksudkan untuk menyegarkan, sekali-gus memperdalam pengetahuan kita akan penggunaan statistik dalam uji klinik.

Kemudian dr. Bambang Suharto dari R & D Kalbe Farma membahas titik lemah-titik lemahdalam percobaan klinik. Kelemahan-kelemahan itu dapat ditelusuri dari (1) latar helakang danpermasalahan yang mendorong dilakukannya percobaan klinik itu, (2) tujuannya, (3) perencana-annya , (4) pengorganisasiannya, (5) koordinasi pelaksanaan percohaan tsb, (6) pengendalianpelaksanaan, serta (7) penilaian (evaluasi) hasil percobaan klinik itu. Kelemahan-kelemahan ituperlu diketahui sejak awal perencanaan suatu uji klinik, karena sekali uji klinik telah dimulai,kelemahan tsb. sering tak dapat diperbaiki.

Uji klinik sering memerlukan banyak penderita scbagai subyek percobaannya. Maka untukmenyingkat waktu, kadang kala dilakukan uji klinik multi-center. Ini dihahas oleh dr. IwanDarmansjah. Karena pelaksanaannya melihatkan banyak orang, maka masalah organisasi sangatmenonjol. Dikatakan sebenarnya suatu uji klinik multi-center lebih sedikit menggunakan pengeta-huan klinik daripada organisasi.

Kemudian dr. Su tan Assin membahas masalah uji klinik obat-obatan pada anak, dr. RP Sidabu-tar membahas uji klinik dalam nefrologi & hipertensi. Dan Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro & dr.Yul Iskandar membicarakan kesulitan percobaan klinik dalam ilmu psikiatri. Pembicaraan dalamnomor ini diakhiri dengan masalah etika dalam percobaan pada manusia, yang terutama bertujuanmelindungi subyek-subyek penelitian yang perlu dilindungi, seperti anak-anak, wanita hamil,penderita gangguan jiwa, serta masyarakat yang terbelakang.

Di samping pembahasan uji klinik, diturunkan juga artikel-artikel menarik tentang Survei Epide-mikologik, Farmako-kimia, AIHA, serta kisah mengenai rauwolfia, obat kuno yang masih kitapergunakan itu. Semoga bermanfaat.

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 4: Cdk 025 Uji Klinik

artikel

Prinsip Dasar Uji Klinikdr. Armen Muchtar

Bagian Farmakologi Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia, Jakarta.

PENGANTARUji klinik yang direncanakan dengan cermat pada sejumlah

penderita guna menentukan nilai terapeutik obat atau carapengobatan lainnya merupakan salah satu ciri dan langkahmaju dalam perkembangan Ilmu Kedokteran Modern dewa-sa ini. Pengujian ini berusaha menjembatani hasil penelitianyang diperoleh dalam laboratorium dengan penggunaanobat dalam praktek.

Uji klinik tidak mudah dikerjakan karena memerlukankeahlian dan ketrampilan, menelan banyak biaya, menyitabanyak waktu dan mengandung bahaya bagi penderita. Baha-ya ini dapat timbul sewaktu penderita terikut dalam pene-litian atau terjadi dalam praktek karena pengobatan penderitadidasarkan atas kesimpulan hasil-hasil uji klinik yang tidakbenar. Dengan demikian berarti mutu ilmiah dan efisiensiuji klinik merupakan hal yang pokok.

YANG DIMAKSUD DENGAN UJI KLINIKDalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan ada dua

buah tulisan yang dianggap merupakan laporan uji klinikpertama kali.

Ambroise Pare (1510 — 1590), seorang dokter ahli bedahmiliter, dalam suatu pertempuran melaporkan sebagai berikut:".................... at lenght may oil lacked and I was constrainedto apply in its place a digestive made .of yolks of eggs, oilroses, and turpentine. That night I could not sleep at my ease,fearing that by lack of cauterization I would find the woundedupon which I had not used the said oil dead from the poison.I raised myself early to visit them, when beyond my hopeI found those to whom I had applied the digestive medicamentfeeling but little pain, their wound neither swollen nor in-flamed, and having slept through the night. The others towhom I had applied the boiling oil were feverish with muchpain and swelling about their wounds. Then I determinednever again to burn this so cruelly the poor wounded byarquebuses "(1 ).

James Lind (1716 — 1794), karena merasa ngeri ataskematian tiga perempat awak kapal Anson yang pulang menge-lilingi dunia, merencanakan suatu uji klinik komparatif pengo-batan scorbut. Pada tanggal 20 Mei 1747, dia melaporkan :" I took twelve patients in the scurvy on board the Salisburyat sea. The cases were as similar as I could have them .........

they lay together in one place...................and had one dietcommon to them all.To two of them was given a quart of cider a day, to two anelixir of vitriol, to two vinegar, to two oranges and lemons,and the remaining two "an electuary recommended by anhospital surgeon". The most sudden and Visible good effectswere perceived from the use of the oranges and lemons, oneof those who had taken them being at the end six days fitfor duty " (1)

Dari kedua laporan "uji klinik " yang sudah tua ini, sesung-guhnya dapat ditarik kesimpulan uji klinik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :• merupakan penelitian yang bersifat prospektif dan ex-

perimental•

bertujuan menyembuhkan penderita• merupakan penelitian komparatif/harus ada pembanding.

Perkembangan baru dalam ilmu kedokteran modern menam-bahkan perlunya syarat-syarat berikut yang harus dipenuhi,yaitu :• uji klinik harus bebas dari segala bias• analisa data harus dikerjakan menurut metode statistik.Berikut ini akan diuraikan secara singkat dasar-dasar pemi-kiran bagi perlunya ciri dan persyaratan diatas dalam ujiklinik.

MERUPAKAN PENELITIAN PROSPEKTIF DAN EXPE-

RIMENTALPenelitian prospektif—experimental harus dibedakan

dari penelitian retrospektif dan survey. Prospektif berartisetiap subjek/penderita yang terikut dalam penelitian diikutikedepan sesuai dengan perjalanan waktu, mulai dari diberi-kannya pengobatan sampai timbulnya respons. Sebaliknyapenelitian dinyatakan bersifat retrospektif bila perjalananklinik penyakit penderita ditelusuri kebelakang, mulai darirespons sampai pada saat mulai diberikan pengobatan ataustimulus lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 3

Page 5: Cdk 025 Uji Klinik

Suatu penelitian dinyatakan bersifat experimental bilaobat/stimulus yang diterima penderita sengaja direncanakandan ditentukan sendiri oleh peneliti. Sebaliknya dalam suatusurvey jenis pengobatan/stimulus yang diterima penderitaadalah bersifat "rutin" berdasarkan ketrampilan dan penge-tahuan yang dimiliki dokter pada saat itu.Fungsi peneliti pada survey adalah pasif, yaitu hanya menga-mati respons yang timbul (2).

Karena uji klinik bersifat prospektif-experimental, makapersiapan yang cermat dapat dilakukan, dan biasanya ditu-angkan dalam bentuk protokol yang lengkap. Kemudianprotokol uji klinik itu perlu diuji dan disempurnakan melaluipenelitian pendahuluan (pilot study). Dalam penelitian penda-huluan dapat ditentukan ketepatan pemilihan penderita,kelancaran wawancara, ketepatan pengukuran respons pende-rita dan kerja sama antar peneliti. Disamping itu dari pene-litian pendahuluan dapat diramalkan jumlah penderita yangdapat diikutkan dalam penelitian. Hukum Lasagna menya-takan bahwa jumlah subjek yang dapat diikutkan adalahsepersepuluh dari jumlah penderita yang sehari-hari keli-hatan di klinik untuk penyakit yang hendak diteliti (3).Seandainya jumlah penderita yang diharapkan tidak mencu-kupi, maka penelitian multiklinik perlu dipertimbangkan.

BERTUJUAN MENYEMBUHKAN PENDERITA.Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan tercatat

bahwa experimentasi pada manusia tidak selalu bertujuanuntuk penyembuhan. Pada zaman Romawi kuno misalnya,penguasa dan dokter mencobakan zat racun dan sekaligusmeneliti khasiat antidot pada narapidana atau tawanan perang.Dalam era Kedokteran Modern , kengerian akan experimentasiyang dilakukan oleh Nazi terhadap orang Yahudi telah men-dorong lahirnya Kode Nuremberg, yang kemudian disempur-nakan menjadi Deklarasi Helsinki (4). Dalam deklarasi ituantara lain dinyatakan :— experimentasi klinis harus memenuhi prinsip-prinsip moral

dan ilmu pengetahuan, dan hanya boleh dikerjakan ataudiawasi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian.

—manfaat yang hendak diperoleh penderita harus jauhmelebihi risiko yang terkandung.

— penderita harus diberitahu tentang seluk beluk peneli-tian yang hendak dijalani, dan ia harus babas untuk meno-lak atau menerima keikutsertaannya dalam penelitian itu.

— setiap saat penderita boleh menarik diri atau penelitiharus segera menghentikan penelitian bila timbul gejalagejala yang mengancam kesehatan dan jiwa penderita.Bertitik tolak dari Deklarasi Helsinki, seorang peneliti

yang menerima atau ikut menyelenggarakan uji klinik dapatdianggap tidak etis bila ia tidak mampu memenuhi persya-ratan-persyaratan moral dan ilmiah. Peneliti yang mendahu-lukan kepentingan pribadi dari kepentingan penderita atautidak menjaga mutu ilmiah penelitian adalah peneliti yangkurang etis.

HARUS ADA PEMBANDINGPembanding atau kelola adalah kelompok subjek/penderitayang mempunyai kondisi kesehatan/penyakit dan perlakuan

yang sepadan dengan kelompok experimentasi, kecuali dalamhal obat yang hendak diteliti manfaatnya. Sudah dimaklumibahwa respons penderita terhadap pengobatan bukan sajaberasal dari obat yang hendak diberikan, tetapi dapat pulaberasal dari tindakan lain yang diberikan bersama obat.Disamping itu respons penderita ditentukan pula oleh kepa-rahan penyakit serta kondisi lainnya yang menyertai penya-kit penderita. Istirahat ditempat tidur, diet, nasihat dokterdan perawat, fisioterapi dan kepatuhan ikut pula menentukanrespons penderita terhadap pengobatan. Untuk menentukanberapa besar sesungguhnya peranan obat dalam usaha pe-nyembuhan penderita, maka dalam suatu uji klinik harusada kelompok kelola yang dalam segala hal menyamai kelom-pok experimentasi, kecuali dalam hal obat yang diteliti.Sehingga bila dalam analisa data ditemui adanya perbedaanrespons yang nyata antara kedua kelompok, dengan yakindapat dinyatakan bahwa perbedaan respons yang timbuladalah karena perbedaan obat yang diberikan.

Pengobatan— istirahat, diet— psikoterapi, fisioterapi— kepatuhan— obat obatan

Jenis pengobatan mana yang berperananmenyembuhkan penyakit penderita ?

Sebagai pembanding terhadap obat yang diteliti biasanyakelompok kelola menerima obat lain (obat standard) atauplacebo. Kegunaan placebo dalam uji klinik terutama adalahuntuk memisahkan "placebo effect" dari efek obat yangsesungguhnya (5).

Dalam uji klinik dibedakan dua macam bentuk kelolayaitu kelola yang bersamaan waktunya ( concurrent ) dankelola historik, tetapi yang dianggap memenuhi standar ilmiahadalah kelola "concurrent". Kelola historik hanya dapatdibenarkan pada uji klinik terhadap penyakit-penyakit yangselama ini belum ada obat yang efektif, kasus-kasus penyakityang jarang dijumpai, atau pada pengukuran efek farmakologikpada uji klinik fase I dan II. Berdasarkan perjalanan klinisdan tujuan pengobatan maka pengikutsertaan kelompokkelola ke dalam uji klinik dapat dilakukan secara paralel,menyilang dan sekuensial.Dengan adanya kelompok pembanding dalam uji klinik, makadapat diketahui pengobatan mana yang lebih efektif danlebih aman, sehingga kemajuan dalam pengobatan yang rasi-onal dapat terjamin perkembangannya.

HARUS BEBAS DARI BIASBias adalah tiap proses pada setiap tahap penentuan sikap

dan pendapat yang cendrung memberikan hasil dan kesim-pulan yang secara sistematik berbeda dari yang sebenarnya.Dalam setiap studi analitik ada beberapa tahap kegiatanyang harus dilalui, dimana pada setiap tahap ada berbagaiprosedur yang dapat menjadi sumber bias (6).

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 6: Cdk 025 Uji Klinik

Uji klinik adalah salah satu bentuk studi analitik yang diang-gap paling sempurna rancangannya, tetapi dapat memberikandua bentuk bias yang tidak dimiliki oleh jenis studi analitiklainnya, yaitu kemungkinan timbulnya bias sewaktu alokasipenderita kedalam kelompok-kelompok experimental dankelola, dan sewaktu mengukur dan membandingkan efek obat.

Kemungkinan timbulnya bias sewaktu alokasi penderitadapat diatasi dengan cara melakukan alokasi secara acak (ran-domized allocation).Alokasi teracak merupakan prosedur yangmenjamin setiap subjek mempunyai peluang ( "chance" ) yangsama besarnya untuk dapat masuk kedalam setiap kelompokpengobatan yang ada dalam uji klinik. Jaminan ini hanya dapatdiberikan bila untuk prosedur alokasi penderita ini digunakan"random tabel". Sedangkan prosedur lain misalnya alokasipenderita secara sistemik atau bergantian, kocokan angka,atau lambungan uang logam dianggap tidak bebas dari bias,memakan waktu, atau hanya bermanfaat untuk alokasi tera-cak yang sederhana. Karena alokasi secara acak membebaskanpeneliti dari bias, maka biasanya akan didapat kelompokexperimental dan kelola yang mempunyai data dasar ( "base-line data") yang seimbang. Data dasar dalam kelompok ex-perimental dan kelola dinyatakan seimbang bila analisa sta-tistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermaknaantara data dari kedua kelompok.

Bila dalam suatu uji klinik disimpulkan bahwa satu obatlebih baik dari yang lainnya, maka hal ini mungkin timbulkarena, a) kelompok experimental dan kelola tidak mempu-nyai data dasar yang sama (tidak seimbang), b) obat yangdiselidiki lebih superior dari obat standar atau placebo, c) ada-nya perbedaan yang kecil dari efek obat yang berubah menja-di nyata karena efek obat yang satu diperkuat oleh faktor-faktor dalam kelompok yang menguntungkan. Faktor a dan cini adalah merupakan bias yang hanya dapat disingkirkandengan alokasi teracak.

Kemungkinan timbulnya bias sewaktu mengukur efekobat atau respons penderita dapat dihindari dengan cara mela-kukan observasi atau pengukuran dalam keadaan tersamarganda (double—blind). Pada keadaan ini penderita dan pene-liti yang memberi obat sama-sama tidak dapat membedakanobat manakah yang mereka minum, apakah obat yang hendakditeliti ataukah obat standar/placebo. Supaya kedua jenisobat tersebut betul-betul tidak dapat dibedakan oleh pen-derita dan peneliti, maka bentuk, ukuran, rasa dan bau,cara dan frekuensi pemberian obat harus dibuat sama, mi-salnya dengan jalan memasukkan obat yang bersangkutankedalam "wafer capsules".Disamping itu jenis tindakan lain yang diterima kedua kelom-pok penderita harus sama kualitas dan kuantitasnya. Dengancara ini bias yang berasal dari perasaan entusiasme terhadapobat baru, atau skeptis karena efek samping salah satu obat,dapat ditiadakan pengaruhnya terhadap penilaian efek obatatau respons penderita. Suasana tersamar selama penelitiandapat terungkap bila timbul efek samping atau efek lainyang khas untuk satu macam obat. Bila diduga keadaan inidapat terjadi selama penelitian, maka disamping penelitiyang menangani penderita harus ada peneliti lain yang khu-sus menilai respons penderita saja.

ANALISA DATA SECARA STATISTIKPenggunaan metoda statistik dalam pengumpulan dan

pengolahan data uji klinik bertujuan untuk menentukanapakah perbedaan atau persamaan hasil pengobatan pada ke-lompok experimental dan kelompok kelola terjadi karenaperanan faktor-faktor kebetulan ("chance factor"), obatatau prognosis.

Peranan faktor kebetulan dalam menimbulkan persamaanatau perbedaan hasil pengobatan antara kelompok expertmental dan kelola tidak dapat disingkirkan sama sekali, tetapikemungkinan peranannya dapat diperkecil dengan menyertakan jumlah sampel yang cukup untuk setiap kelompok. Metode statistik yang digunakan untuk menentukan jumlahsampel yang mencukupi adalah dengan terlebih dahulu mene-tapkan taraf kemaknaan statistik dan klinis dari perbedaanhasil pengobatan antara kelompok experimental dengankelompok kelola.Taraf kemaknaan statistik dalam analisa data dihubungkandengan simbul alfa dan beta, dimana alfa menyatakan besarnyakemungkinan (probability) dari hasil uji klinik tersebut ber-sifat positif semu ("false positive"), sedangkan beta menya-takan besarnya kemungkinan hasil uji klinik ini bersifatnegatif semu ("false negative"). Bila alfa dinyatakan samadengan 0,05 , berarti selalu ada kemungkinan 1 dalam 20uji klinik yang serupa yang perbedaan hasil pengobatan antarakelompok experimental dan kelola timbul secara kebetulandan bukannya karena obat. Bila beta dinyatakan sama dengan0,1 berarti selalu ada kemungkinan I dalam 10 uji klinikyang serupa yang kebetulan tidak memperlihatkan perbe-

Tabel I : Analogi antara konklusi diagnostik denganpemikiran statistik

JALAN PIKIRAN DIAGNOSTIK

Hasiltes diagnostik

Penyakit yang sesungguhnya

ADA TIDAK ADA

Positif

Negatif

diagnosis benar(sensitivitas =1 — beta)

diagnosis salah(negatif semu =beta)

diagnosis salah(positif semu = alfa)

diagnosis benar(spesifisitas =1 — alfa)

JALAN PIKIRAN STATISTIK

Hasil Perbedaan yang sesungguhnya

analisa data ADA TIDAK ADA

Ada perbedaan yangbermakna , tolak H.

Tidak ada perbeda-an yang bermakna,terima Ho

Tidak keliru(probability =1 — beta)

kekeliruan jenisII/negatif semu(probability= beta)

kekeliruan jenis I/positif semu(probability = alfa)

tidak keliru(probability = 1 — alfa)

Ho = hipotesa nol.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 5

Page 7: Cdk 025 Uji Klinik

daan hasil pengobatan yang bermakna antara kelompok ex-perimental dan kelola, padahal dalam 9 uji klinik lain yangserupa perbedaan yang bermakna itu selalu dijumpai.Pengertian positif semu dan negatif semu dari uji klinik akanlebih mudah difahami bila uji klinik dianggap analog de-ngan tes diagnostik (7). Suatu test diagnostik dinyatakanpositif semu bila tes menunjukkan hasil yang positif, tetapipenyakit yang sesungguhnya tidak ada. Misalnya hasil peme-riksaan sputum menunjukkan adanya sel-sel ganas, tetapipemeriksaan lebih lanjut (dengan foto- dan biopsi) tidak me-nunjukkan adanya kanker paru. Bila dalam tes diagnostikini besarnya hasil positif semu adalah alfa = 0,05 , makanilai 1—alfa (= 0,95) mencerminkan spesifisitas dari testdiagnostik yang bersangkutan.Dengan menganggap beta sama dengan nilai negatif semudalam tes diagnostik, maka dengan jalan pikiran yang samadengan diatas, nilai 1 — beta mencerminkan sensitivitas darites diagnostik.(Lihat Tabel I). Dengan demikian, sesungguh-nya uji klinik adalah suatu alat ukur yang digunakan untukmenilai manfaat pengobatan, yang sensitivitas dan spesifi-sitasnya ditentukan oleh besar sampel. Makin besar jumlahsampel makin spesifik dan makin sensitif hasil yang diperli-hatkan oleh uji klinik yang bersangkutan, dan berarti pulamakin kecil peranan faktor kebetulan dalam mempengaruhihasil uji klinik. Besar sampel yang memadai untuk suatu ujiklinik adalah :

n = besar sampel perkelompok; . perbedaan hasil pengobatan yangdiduga secara klinis bermakna.Zα,β = nilai yang didapatkan pada tabel distribusi normal sesuai de-ngan α dan βp1 = proporsi kesembuhan dengan obat I; p 2 = proporsi kesembuhandengan obat II, p = 1/2 (p1 + p2).

Biasanya jumlah sampel yang diperlukan untuk suatu ujiklinik sudah tersedia dalam bentuk tabel (8).

Ada atau tidaknya peranan faktor prognostik dalam mem-pengaruhi hasil pengobatan dapat ditentukan bila si penelititidak lupa mengelompokkan penderita atas beberapa sub-kelompok berdasarkan tingkat prognosis penyakit yang sama,dan kemudian melakukan analisa statistik atas data yangberasal dari subkelompok yang sama, masing-masing darikelompok experimental dan kelola. Suatu hasil uji klinikmungkin saja memberikan perbedaan yang bermakna antarakelompok eksperimental dengan kelompok kelola, tetapiperbedaan yang bermakna itu tidak terlihat bila hasil pengo-batan dibandingkan dalam subkelompok yang sama tingkatprognostiknya. Misalnya, adalah hasil uji klinik dibawah ini.(Lihat Tabel II).

Dalam contoh uji klinik ini sekaligus juga terlihat bahwapenderita dalam kelompok obat A dan B tidak sebandingdimana dalam kelompok A tercakup lebih banyak penderitayang penyakitnya berat, sedangkan pada kelompok B terca-kup lebih banyak penderita yang lebih ringan penyakitnya.Hasil pengobatan total memberi kesan obat B lebih baikdaripada obat A. Sebaliknya suatu uji klinik yang memberikanhasil pengobatan yang sama pada kelompok experimentaldan kelola, dapat mengungkapkan perbedaan hasil yang ber-makna bila dibandingkan dalam tingkat prognostik yang sama.Lihat hasil analisa uji klinik dibawah ini. (Lihat Tabel III).

Dalam contoh uji klinik ini terlihat bahwa ada perbedaanhasil kesembuhan antara placebo, obat A dan obat B, padatingkat prognosa yang sama.

Dari uraian diatas dapat diringkaskan bahwa dalam ujiklinik, analisa statistik diperlukan untuk : menilai kesebandingan ("comparability ") antara kelompok

experimental dangan kelompok kelola.

TABEL II : Perbedaan hasil kesembuhan karena penderita kelompok A & B tidak sebanding

OBAT A OBAT B

jumlah pasien sembuh jumlah pasien sembuh

Penyakit ringan 30 24(80%) 70 56(80%)(prognosa baik)Penyakit berat 70 14(20%) 30 6(20%)(prognosa buruk)

Total 100 38(38%) 100 62(62%)

TABEL III : Hasil total pengobatan sama, namun ada perbedaan hasil pada tingkatprognostik yang sama

PLACEBO OBAT A OBAT B

jumlah pasien sembuh jumlah pasien sembuh jumlah pasien sembuh

Prognosa baik 50 35(70%) 50 45(90%) 50 25(50%)

Prognosa jelek 50 15(30%) 50 5(10%) 50 25(50%)

Total 100 50(50%) 100 50(50%) 100 50(50%)

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 8: Cdk 025 Uji Klinik

• menilai apakah ada perbedaan hasil pengobatan yang ber-makna antara kelompok experimental dengan kelompokkelola

• menilai peranan faktor prognostik terhadap hasil pengo-batan.

PENUTUPUji klinik yang telah selesai dikerjakan biasanya diberi-

takan atau dibacakan dalam majalah atau pertemuan ilmiah.Seorang peneliti harus bersifat jujur dan cermat, dimana iaharus meninjau kembali secara kritis pekerjaan yang telahdilakukannya, dan berusaha menghindari interpretasi yangberlebihan dari hasil uji klinik yang telah dikerjakannya.Hanya dia yang sesungguhnya mengetahui kualitas dan keter-batasan data yang diperoleh. Seringkali seorang peneliti tidakmengindahkan masalah "drop outs", tidak mencatat dantidak menganalisa data efek samping, keliru dalam memilihparameter (variable) yang sesuai, salah menggunakan tesstatistik yang sesuai, dan lain sebagainya.

Di Indonesia pemberitaan tentang hasil uji klinik ini cukupbanyak, dan telah dilakukan pengamatan terhadap persya-ratan yang harus dipenuhi dalam mengerjakan uji klinik.Ternyata sedikit sekali dari uji klinik tersebut yang memenuhipersyaratan (9). Kekurangan utama yang terlihat adalah ujiklinik tersebut tidak mempunyai kelola, alokasi randomtidak dikerjakan, jumlah sampel tidak memadai, dan tidakada analisa statistik. Hasil-hasil uji klinik seperti ini tentusaja mudah memberikan kesimpulan yang menyesatkan.Agaknya kebanyakan dari uji klinik yang ada di Indonesiadigolongkan sebagai "promotional trial" atau merupakan"testimonial report" yang disponsori perusahaan farmasi,sehingga seringkali mengabaikan persyaratan ilmiah yangharus dipenuhi. Seharusnya seorang peneliti sanggup membuatrancangan percobaan sendiri, dan berani menolak rancanganpercobaan yang disodorkan sponsor bila dianggap kurangbermutu.

Dr. D. L. Sackket (6) telah menghitung bahwa dalam me-laksanakan penelitian klinik yang bersifat analitik ada 56 je-bakan yang dapat menjadi sumber bias.Sumber kesalahan ke-banyakan terjadi pada fase-fase perencanaan dan pelaksanaan,dimana kesalahan ini tidak dapat diperbaiki lagi setelah ujiklinik selesai dilaksanakan.

Banyaknya kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi pada studianalitik.

Melihat begitu banyaknya jebakan-jebakan yang dapat men-jadi sumber kekeliruan, dan mengingat masih rendahnya mutuuji klinik di Indonesia, maka seorang peneliti harus berusahamemperbaiki sikap, meningkatkan ilmu serta ketrampilandalam penyelenggaraan uji klinik.

Uji klinik adalah sesuatu yang mudah diucapkan tetapimemerlukan pengorganisasian yang rumit dan harus ditanganisecara cermat oleh peneliti ahli.

KEPUSTAKAAN

1. Bull JP. The historical development of clinical therapeutic trials.J Chronic Dis. 1959; 10: 218 -248.

2. Feinstein AR. Statistics versus science in the design of experiments.Clin Pharmacol Ther. 1970; 11: 282 — 292.

3. Gore SM. Assessing Clinical Trials, First step. Brit Med J. 1981;282: 1605 — 1607.

4. Goldstein A, Aronow L, Kalman JM. Principles of Drug ActionThe Basis of Pharmacology. Dalam chapter 14. Drug Evaluationin Man, 779—832. Wiley Int. Ed. , 1974.

5. Goodman LS, Gilman A. The Pharmacological Basis of Therapeutics,5 th edition, Mc. Milian, New York, 1975.

6. Sackett DL. Bias in analytic research. J Chronic Dis 1979; 32 :51—63.

7. Feinstein AR. Clinical biostatistics XXXIV. The other side ofstatistical significance : alpha, beta, delta, and the calculation ofsample side. Clin Pharmacol Ther. 1975; 18: 491 — 504.

8. Rumke CL. Uncertainty as to the acceptance or rejection of theprsence of an effect in relation to the number of observations inan experiment. Triangle 1968; 8: 284 — 289.

9. Muchtar A, Syamsudin U, Sardjono SO, Setiawan B. Assessmentof Clinical Trial Reports. Report Cases from University of IndonesiaSchool of Medicine. The 2nd Asian/Western Pasific Regional Meet-ing of Pharmacologists, Yogyakarta, Indonesia June 1979.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 7

Page 9: Cdk 025 Uji Klinik

Fase-fase dalam Uji Klinik

Suatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng-kuantifikasikantingkat manfaat dan risiko suatu obat baru. Setiap zat yangaktif untuk terapi pasti mengandung sejumlah risiko akibataktivitasnya dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Dalamperkembangan penelitian klinik, mula-mula kita praktistidak mengetahui sama sekali seluk beluk suatu obat. Makatujuan penelitian adalah memperoleh pengetahuan lengkaptentang obat itu, kalau mungkin. Dan ini memakan waktuyang lama sekali. Ini dapat digambarkan sbb. (Lihat Gambar 1)

Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek manu-sia. Pengaruh-pengaruh suatu obat-baru diselidiki pada hewanpercobaan. Begitu obat mulai dicoba pada manusia, dimulailahsuatu uji klinik, uji klinik fase I.

Penelitian Fase IPada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah diteliti

sifat-sifat farmakologik suatu obat baru. Namun sulitnya tidaksemua sifat farmakologik yang terlihat pada hewan juga terli-hat pada manusia. Misalnya Litchfield (1962) menunjukkanbahwa dari 89 pengaruh obat yang berbeda-beda, 33 hanyaterlihat pada manusia.

Jadi tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifatfarmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksi-mum. Dalam prakteknya, pertama-tama harus diperoleh datafarmakokinetik yang sederhana, misalnya waktu paruh dan"volume of distribution," disamping efek-efek farmakodina-mik lainnya. Penelitian yang lebih rumit boleh ditinggalkanuntuk fase berikutnya.

Fase ini menggunakan subyek manusia sukarelawan yangsehat. Namun demikian, hubungan antara fase I dan pra-klinikerat. Hasil-hasil penelitian di sini dapat merangsang penelitianbaru pada hewan

Karena selalu ada bahaya pada percobaan pertama, sebaik-nya percobaan dilakukan di rumah sakit, yang siap menanggu-langi bahaya efek samping yang mungkin timbul.

Sukarelawan biasanya diambil dari karyawan industrifarmasi yang ingin mengembangkan obat itu (biasanya denganimbalan uang). Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatasjumlahnya. Bagaimana bila dipakai mahasiswa kedokteran?Banyak fakultas kedokteran di luar negeri yang melarangmahasiswanya menjadi sukarelawan di fakultasnya sendiri,karena mahasiswa tidak berada dalam posisi yang enak untukmenolak permintaan dosennya. Menjadi sukarelawan di fakul-tas lain diperbolehkan.

Penelitian fase II

Tujuan utama dari percobaan-percobaan di sini ialah menelitiapakah suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih) indika-si klinik. Fase ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertamakali digunakan sebagai subyek dan bukan sukarelawan sehat.

Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa - kontrol(uncontrolled). Dulu penelitian begini sering dikecam, namunsebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak informasiberharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukupmemadai agar perkiraan perbandingan keuntungan : kerugiandapat diketahui seawal mungkin. Dapat diperoleh pula infor-masi tentang efek samping serta perkiraan manfaat klinikdalam hubungannya dengan konsentrasi obat dalam cairantubuh dan jaringan-jaringan (farmakokinetik). Eliminasiobat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase I)harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakitmungkin eliminasi obat berbeda akibat perubahan fungsitubuh (farmakodinamika)

Pengetahuan leng-kap tentang penga-ruh obat pada ma-nusia

Tak ada pengetahu-an tentang pengaruhobat pada manusia

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 10: Cdk 025 Uji Klinik

Penelitian yang cermat pada tahap awal ini kadang kaladapat menunjukkan adanya indikasi baru. Penemuan ini dapatterjadi pada setiap tahap penelitian (termasuk fase IV akhir)dan kemungkinan ini harus selalu diingat.

Penelitian awal ini biasanya cukup arnan karena dimulaidengan obat yang meskipun baru, tapi dengan dosis yang kecildan dosis tunggal, pada beberapa orang pasien yang dimonitordengan ketat. Penambahan dosis, penambahan frekuensipemberian, dan penambahan populasi pasien hanya dilakukanbila penelitian awal ini memberi hasil yang baik.

Penelitian fase III

Keputusan untuk memasuki fase III diambil bila parapeneliti yakin bahwa rasio manfaat : risiko obat baru itu dapatditerima. Karena itu pemberian secara lebih meluas obat baruitu dapat dibenarkan, dengan jumlah pasien yang lebih banyakdan supervisi yang kurang ketat. Perubahan dari fase II ke faseIII ini berlangsung berangsur-angsur: supervisi pasien pada awalfase III sama ketatnya dengan fase II. Sementara keyakinanmeningkat dan lebih banyak pasien yang terlibat, supervisidengan sendirinya makin berkurang. Tapi harus dijaga jugaagar pasien tidak dalam bahaya. Ketatnya supervisi ini tidakhanya tergantung pada perkembangan tahap penelitian, tapijuga pada sifat obat yang diuji. Sementara fase III berlangsung,berbagai jenis disain penelitian dapat diujikan.

Pada akhir uji klinik seharusnya seorang dokter telah dapatmenggunakan suatu obat baru dengan cukup kompeten sampaimanfaat maksimumnya. Untuk ini dia harus dapat menimbangsecara tepat perbandingan keuntungan dan kerugian/risikopenggunaan obat itu pada berbagai kasus. Pada akhir fase IIIharus telah ada bukti-bukti tentang indikasi-indikasi dan dosisobat, juga tentang keamanannya untuk penggunaan jangkapanjang bila ada indikasi untuk itu. Untuk menjawab perta-nyaan-pertanyaan : Apakah obat berakumulasi dalam tubuh?Apakah toksisitas meningkat dengan penggunaan jangkapanjang? insidensi dan tingkat beratnya efek samping harusdimonitor dengan cermat.

Penelitian fase IV

Dapat dikatakan bahwa fase IV mencakup semua penelitianyang dilakukan setelah obat baru mendapat izin untuk pema-sarannya.

Menurut pendapat saya, dokter membunuh orangsebanyak kita jenderal jenderal.

Napoleon Bonaparte

Biasanya dokter itu seperti anggur, terbaik bila telah tua.Thomas Fuller

Penelitian pra-pemasaran masih meninggalkan beberapapertanyaan penting yang belum terjawab. Sebagai contoh,toksisitas suatu zat tak mungkin dinilai secara tepat dalamfase-fase sebelumnya bila insidensi agranulositosis adalah 1 :20.000. Namun demikian penting diketahui apakah efektersebut memang ada. Ada beberapa kekurangan dalam fase IIdan III, yaitu terutama :* Jumlah pasien terbatas* Lama pemberian obat terbatas* Populasi pasien terbatas

Oleh sebab itu penelitian fase IV harus di-disain untuk me-ngungkapkan :

- Efek samping akibat penggunaan kronik- Manfaat obat dalam penggunaan jangka panjang.- Data-data komparatif lainnya dalam penggunaan jangka

panjang.- Non-responder- Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru.- Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat- Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara berlebihan

atau kesalahan dalam penggunaannya.Interaksi obat dan kompatibilitasnya dengan zat-zat lainkarena :1. Metabolisme mungkin meningkat atau menurun2. Perubahan pH urin mungkin mengubah ekskresi obat3. Mungkin ada sekresi tubuler aktif4. Mungkin ada hambatan pada absorpsi dalam usus.5. Perubahan motilitas usus mungkin terjadi6. Interferensi farmakologik, misalnya pada ujung saraf,

dapat terjadi.Jadi, ada sejumlah alasan untuk membenarkan dilakukannyapenelitian fase IV; alasan yang tak ada hubungannya denganmotivasi komersial, meskipun tak dapat dipungkiri bahwahasil-hasil penelitian itu sering dipakai untuk menunjangpemasaran. EN.

KEPUSTAKAANGood CS. Principles and Practice of clinical trials, Edinburgh : Chur-chill Livingstone, 1976.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 9

Page 11: Cdk 025 Uji Klinik

Penggunaan dan Penggunasalahan Statistikdalam Percobaan Klinik

Dr. Arini SetiawatiBagian Farmakologi, Fakultas kedokteran,Universitas Indonesia, Jakarta.

PENDAHULUANStatistik memegang peranan yang sangat penting dalam perco-baan klinik, yakni dalam stadium perencanaan maupun dalamstadium penyelesaian. Dalam stadium perencanaan, kontribusistatistik adalah dalam menentukan jumlah sample, cara rando-misasi, cara pengumpulan data agar dapat dianalisa dan dalampemilihan tes statistik yang akan digunakan. Kontribusi sta-tistik dalam stadium penyelesaian adalah dalam analisa dataserta presentasi dan interpretasi hasilnya (1).

Penggunasalahan statistik merupakan hal yang sering ter-jadi. Para kritikus makalah kedokteran telah menemukannyapada kira-kira separuh dari artikel-artikel yang menggunakanmetode statistik dan dimuat dalam majalah-majalah kedok-teran yang terkemuka di dunia seperti British Medical Journal(BMJ), Circulation, Circulation Research, Annuals of Medi-cine, New England Journal of Medicine (NEJM), AmericanJournal of Medicine, Archives of Internal Medicine dll (Lihat

Table 1). Hal ini disebabkan karena tidak banyak penelitidi bidang kedokteran yang telah memperoleh pendidikanformal dalam biostatistik, kebanyakan mungkin hanya mem-peroleh penataran statistik yang minimal. Disamping itu peme-riksaan statistik oleh staf editor pada kebanyakan jurnal bu-kan merupakan prosedur yang formal ( 2,6 ). Mungkin di anta-ra staf editor tidak ada yang menguasai statistik, dan naskahyang dikirimkan secara rutin kepada ahli biostatistik untukdiperiksa hanyalah naskah-naskah yang penuh dengan penje-lasan-penjelasan statistik karena salah seorang penulisnyaahli statistik, sehingga seringkali tidak memerlukan pemerik-saan statistik. Naskah-naskah yang hanya menyebutkan bebe-rapa nilai p (probabilitas) dan tidak memberikan penjelasan-penjelasan statistik yang diperlukan adalah naskah-naskahyang paling memerlukan pemeriksaan statistik. Tetapi justrunaskah-naskah ini tidak dikirimkan kepada ahli biostatistiksehingga luput dari pemeriksaan statistik (4).

Tabel 1. Contoh penggunasalahan statistik dalam majalah-majalah kedokteran yang terkemuka

Majalah kedokteran yang disurveiJumlah makalah yang disurvei Jumlah makalah tanpa statistik dan

dengan penggunasalahan statistikKeputusan

Jenis Periode

Circulation

Circul - Res.

BMJ

10 jenis :

—Ann Med—NEJM—Amer J Med— Arch Int Med—J Clin Invest— dll

5 jenis :—BMJ—JAMA—NEJM—Lancet—Canad Med

Assoc J

Juli - Desember1977

Januari - Juni1977

Januari - Maret1976

Januari - Maret1964

Januari - Juni1973

142(total)

79(total)

77(total)

295(sampelacak)

1165(total)

39% - tanpa statistik27% - t - tes yang tidak benar

25% - tanpa statistik46% - t - tes yang tidak benar

19% - tanpa statistik42% - statistik dengan sedikitnya

satu kesalahan47% - metode statistik

tidak benar

65% - tanpa statistik35%-757 prosedur statistik,

20% diantaranya tidakdikenal

Glantz,1980 (2)

Glantz,1980 (2)

Gore,1977 (3)

Schor & Karten,1966 (4)

Feinstein1974 (5)

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 12: Cdk 025 Uji Klinik

Tabel 2.. Besar sampel acak yang diperlukan untuk masing-masing dari2 kelompok pengobatan dalam suatu percobaan klinik (a = 0,05 dan ß=0,05)

Persentase kesembuhan dengan obat II ** Persentasekesembuhan

30 40 50 60 70 80 9010 20 100 dengan obat I

53 26 17 12 9 7 – – – – 0270 83 42 26 18 13 9 7 – 10

402 111 53 31 20 14 9 – 20494 128 58 32 20 13 – 30

539 134 58 31 18 7 40539 128 53 26 9 50

494 111 42 12 60402 83 17 70

270 26 8053 90

* Dikutip dari Rumke CL (11). Uncertainty as to the acceptanceor rejection of the presence of an effect in relation to the numberof observations in an experiment. Triangle 1968 ; 8 ( 7) : 288.

** Bila

a

= 0,01 dan β = 0,01, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 2.Bila

a

= 0,01 dan β = 0,05, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 1,5.Bila

a

= 0,05 dan β = 0,10, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 0,8.

A B C

Gambar 1.Besar sampel yang diperlukan dalam suatu percobaan klinik yang membandingkan2 pengobatan, dimana Cl dan C2 adalah persentase kesembuhan dengan obat I dan obat II, C2– Cl = perbedaan persentase kesembuhan dengan obat II dan obat I, N = besar sampel yang di-perlukan untuk masing- masing kelompok pengobatan I dan II.

A. = 0,05 dan

B. = 0,05 dan

C. = 0,05 dan

β = 0,50= 0,25

β = 0,10(Dikutip dari Boag JW, Haybittle JL, Fowler JF, Emery EW. The number of patients required ina clinical trial. Brit J Radiol. 1971; 44 : 123).

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 11

ααα

α

α

αβ

Page 13: Cdk 025 Uji Klinik

Akhir-akhir ini beberapa jurnal telah menyadari perlunyamemperbaiki kualitas statistik dalam makalah-makalah yangdimuat dalam jurnalnya. Untuk melaksanakan hal ini, ahlibiostatistik akan memeriksa aspek statistik dari semua naskahyang akan dimuat dalam jurnalnya (7 -9).BESAR SAMPLEBesar sample yang diperlukan untuk suatu percobaan klinikdapat dihitung dengan rumus (10) yang dicantumkan dalammakalah dr. Armen ( lihat halaman 3 ), atau dapat dilihatdari tabel (Tabel 2), grafik (Gambar 1) atau monogram(Gambar 2).

Arti dan telah dijelaskan dalam makalah dr Armen.Hanya kepentingan dan interpretasinya mungkin masih perlusedikit penjelasan. Nilai = 0,05 berasal dari kebiasaan RA Fisher yang kemudian diikuti oleh seluruh dunia statistiksebagai nilai yang biasanya dipilih (14). Tetapi peneliti ataueditor boleh saja memilih nilai yang lain, seperti 0,01 atau0,001. Bila dari perhitungan diperoleh nilai P> , maka kitamengambil kesimpulan bahwa keadaan yang teramati antarahasil pengobatan I dan hasil pengobatan II secara statistiktidak bermakna ("not significant"). Kesimpulan tersebut be-nar. Kesimpulan yang salah adalah bahwa perbedaan tadi ti-dak berarti ("insignificant")sehingga kita menerima hipotesisnol. Dengan menyimpulkan bahwa perbedaan tadi tidak ber-makna, berarti kita gagal untuk menolak hipotesis nol, tetapibukan berarti bahwa kita menerima hipotesis nol! Untuk me-nerima hipotesis nol, masih diperlukan perhitungan , yaknikemungkinan membuat kesalahan negatif semu, yaitu kesa-lahan menyimpulkan tidak ada perbedaan bila sesungguhnyaperbedaan itu ada. Inilah yang disebut kesalahan tipe II,dan kemungkinannya dinyatakan dengan besarnya nilai ,yakni kemungkinan kegagalan untuk menemukan perbedaanyang ada. Besarnya nilai yang diterima untuk percobaanklinik biasanya berkisar antara 0,05 — 0,20 (13,15).

Dengan memperhitungkan untuk menentukan jumlahsampel, misalnya diambil nilai = 0,10, maka terdapat 90%(1 — ) kemungkinan untuk menemukan perbedaan hasilpengobatan bila memang ada, pada tingkat kemaknaan = .Bila ternyata diperoleh nilai P > , kita dapat menerima hipo-tesis nol (bahwa tidak ada perbedaan hasil pengobatan ataubahwa perbedaannya tidak berarti) dengan kepercayaanyang cukup besar karena kemungkinan kesalahannya sudahdiperhitungkan = 10% ( ).

Dalam rumus untuk perhitungan besar sample, terlihat fak-tor Z dan Z . Bila tidak ikut diperhitungkan, Z = 0, makajumlah sample yang dibutuhkan menjadi jauh lebih kecil.Dalam hal ini = 0,50, berarti bahwa kemungkinan untukmenemukan perbedaan yang sesungguhnya ada, hanya 50%.Bila nilai > 0,50%, maka Z negatif sehingga jumlah sampleyang dibutuhkan lebih kecil lagi. Jadi jelaslah bahwa makinkecil jumlah sampel makin besar risiko untuk tidak menemu-kan perbedaan yang ada, atau dengan perkataan lain makinkecil kemungkinan untuk dapat menemukan perbedaan yangsesungguhnya ada. Kesimpulan yang sama juga dapat ditarikdari tabel (Table 2), grafik (Gambar 1) maupun monogram(Gambar 2) yang digunakan untuk perhitungan jumlah sample.

Makin kecil nilai-nilai dan , makin tinggi specificitas(1 — ) dan sensitivitas (1 — ) percobaan klinik dalam mencari

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Gambar 2. Monogram untuk menentukan besar sampel yang diperlukandalam suatu percobaan klinik yang membandingkan 2 pengobatan,dimana parameter yang diukur merupakan skala interval, d = perbedaanhasil pengobatan I dan II, SD = standar deviasi dari hasil pengobatan I(biasanya sudah diketahui dari penelitian-penelitian sebelumnya ataudari penelitian pendahulu), N = besar sampel yang diperlukan untukkedua kelompok pengobatan (merupakan titik potong antara yangmenghubungkan s/SD dan 1 — dengan garis ).(Dikutip dari Altman DG [ 13 ]. Statistics and ethics in clinical research.III. How large a sample. Brit Med J 1980; 281 : 1337.)

ada/tidaknya perbedaan hasil pengobatan antara 2 obatyang dibandingkan, tetapi makin besar jumlah sampel yangdibutuhkan. Karena itu dalam praktek, nilai-nilai dan disesuaikan dengan (i) jumlah pasien yang sesungguhnyadapat diperolah untuk percobaan klinik tersebut, dan (ii) be-sarnya dana yang tersedia untuk percobaan klinik tersebut (10).

Dari uraian diatas jelaslah bahwa besar sampel yang diper-lukan harus diperhitungkan terlebih dahulu sewaktu menren-canakan suatu percobaan klinik. Faktor-faktor yang diper-lukan untuk perhitungan besar sampel tersebut, seperti nilai-nilai dan yang dipilih, perkiraan nilai-nilai pr, A ataud/SD, harus dilaporkan sewaktu hasilnya dipublikasi. Tetapirupanya perhitungan besar sampel ini jarang sekali dilakukan.Di antara 172 "randomized control trials" yang dimuatdalam New England Journal of Medicine dan Lancet daritahun 1973 s/d 1976, tidak ada satupun yang menyebutkanperkiraan besar sampel yang dibutuhkan sebelum trial dimulai,dan juga tidak ada satupun yang menetapkan besarnya perbe-daan yang akan diterimanya sebagai perbedaan yang berartidalam klinik (16). Jelaslah bahwa dalam kebanyakan trialtersebut perhitungan-perhitungan demikian tidak dilakukan.

Tidak dilakukannya perhitungan jumlah sampel yang dibu-tuhkan sering kali mengakibatkan sampel yang diambil terlalu

α β

α

β

α

αα

αα

α

αα

α

α

α

β

β

ββ

β

β

βββ

β

β β

ββ

β

β

β

Page 14: Cdk 025 Uji Klinik

sedikit jumlahnya. Telah disebutkan bahwa sampel yang ter-lalu kecil meningkatkan risiko untuk tidak menemukanperbedaan-perbedaan yang sesungguhnya ada. Hal ini jelasterlihat dari hasil suatu survei mengenai 71 "randomized con-trol trials" yang memberikan hasil "negatif" dan berasal dari20 jenis jurnal tetapi terutama dari Lancet, NEJM dan JAMAselama periode tahun 1960 — 1977 (kebanyakan dari tahun1970 — 1977). Bila 25% dianggap sebagai perbedaan (antarapengobatan dan kontrol) yang bermakna secara klinik dandipilih nilai = 0,05, maka dari besar sampel yang digunakan,nilai dapat dihitung. Ternyata daai 71 trial tersebut, hanya4 yang mempunyai nilai 0,10. Ini berarti bahwa diantara71 trial dengan hasil "negatif" tersebut, hanya 4 yang mem-punyai jumlah sampel yang cukup sehingga hasil negatif untukmenemukan perbedaan 25% tadi cukup dapat dipercaya(kemungkinan kesalahannya 10%). Bila perbedaan diambil50% dan nilai = 0,05, maka dari 71 trial tersebut ada 21 de-ngan nilai 0,10. Bial untuk setiap trial dihitung 90%"confidence interval" dari perbedaan antara pengobatan dankontrol, ternyata pada 57 trial (80%) interval tersebut men-cakup perbedaan 25%, dan pada 34 trial (49%) mencakupperbedaan 50%; semua ini termasuk yang mempunyai nilai > 0,10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara 67 trial dengan nilai (risiko untuk tidak menemukanperbedaan 25%) > 10%, 57 trial (85%) mempunyai potensiuntuk menemukan perbedaan 25% tersebut tetapi gagal akibatjumlah sample terlalu kecil. Demikian juga dengan 50 trialdengan nilai (risiko untuk tidak menemukan perbedaan50%) > 10%, 34 trial (68%) mempunyai potensi untuk mene-mukan perbedaan 50% tersebut tetapi gagal akibat jumlahsampelnya terlalu kecil. Sebagaimana telah disebutkan, jum-lah sampel yang terlalu kecil umumnya disebabkan karenatidak dilakukan perkiraan jumlah sampel yang dibutuhkansebelum trial dimulai. Ternyata memang hanya satu diantara71 makalah tersebut diatas yang menyebutkan bahwa dan dipertimbangkan sebelum trial dimulai, dan hanya pada14 makalah disebutkan perlunya jumlah sampel yang lebihbesar.

Dari survei tersebut diatas jelaslah bahwa untuk semuatrial dengan hasil negatif, dalam laporannya perlu dicantum-kan "confidence interval" dari perbedaan yang diamatinya.(17,18). Letak dan lebarnya confidence interval ini dapatmemberikan gambaran tentang kemungkinan adanya perbe-daan dan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk dapat mene-mukan perbedaan tersebut (15). Dengan demikian trial-trialdengan hasil negatif tidak dibuang begitu saja, tetapi masihdapat dilihat kemungkinannya bahwa hasil negatif tersebutsemu. Sayangnya para editor majalah-majalah kedokterantidak mengharuskan para penulis makalah untuk melaporkan"confidence interval" dalam trial-trial dengan hasil negatif(Rose, 1980). Tampaknya hanya satu jurnal, yakni BritishJournal of Surgery, yang mengharuskan "confidence interval"dicantumkan dalam makalah-makalah hasil trial yang akandimuatnya (17). Disamping itu masih ada masalah etik. Mela-kukan suatu trial yang kecil kemungkinannya untuk menda-patkan hasil negatif, misalnya untuk dapat menemukan suatuefek pengobatan, jelas tidak etis, apalagi bila prosedur trialmenimbulkan risiko dan rasa tidak enak pada pasien (13,19).

RANDOMISASIProses randomisasi dalam uji klinik digunakan untuk alokasipenderita kedalam kelompok-kelompok yang sebanding(1,20). Penggunaan lain dari proses randomisasi adalah untukmemilih sampel dari populasi, dengan maksud untuk memper-oleh sampel yang representatif (21). Dalam uji klinik, sampelpenderita tidak pernah dipilih secara random dari populasipenderita yang memenuhi persyaratan trial dan bersedia ikutserta dalam trial tersebut, melainkan diambil semuanya sampaitercapai jumlah yang dikehendaki. Dengan demikian sampeluji klinik sebenarnya tidak mewakili populasi penderita de-ngan penyakit yang sama, melainkan mewakili diri merekasendiri (20). Dasar penggunaan tes statistik adalah untukdapat mengekstrapolasikan hasil yang diperolah pada sampelkepada populasinya. Itulah sebabnya untuk menggunakan tesstatistik disyaratkan pemilihan sampel yang dapat mewakilipopulasinya, yakni sampel yang dipilih secara random daripopulasinya. Akibatnya, hasil suatu uji klinik hanya dapatdigunakan/diekstrapolasikan pada penderita-penderita yangkondisinya persis sama dengan kondisi penderita-penderitayang diobati dalam trial tersebut (20).Dengan demikian kon-disi masing-masing penderita dalam trial harus dijelaskan beser-ta hasil pengobatan masing-masing. Hal ini dapat dilaksanakandengan membagi penderita dalam strata (subkelompok-subkelompok) prognostik, seperti misalnya prognosis baik,prognosis sedang ("fair") dan prognosis buruk. Bila strati-fikasi ini dapat ditetapkan sebelum trial dimulai, randomisasidilakukan dalam setiap stratum, sehingga akan diperolehkelompok-kelompok pengobatan yang komposisi prognostik-nyabenar-benar sebanding. Bila prestratifikasi tersebut tidakdapat dijalankan, randomisasi dilakukan secara keseluruhan,dan stratifikasi dilakukan belakangan. Meskipun komposisiprognostik dari kelompok-kelompok pengobatan benar-benarsebanding, hasil pengobatan harus dianalisa dalam masing-masing stratum (22). Hasil pengobatan dari masing-masing stra-tum inilah yang dapat diekstrapolasikan pada penderita-penderita prognosis yang sama.

Dalam kebanyakan uji klinik, sampel tidak digunakanuntuk memperkirakan parameter populasi (dengan meng-ekstrapolasikan hasil yang diperoleh pada sampel), melainkanuntuk membandingkan 2 atau lebih jenis pengobatan (21).Si peneliti jarang peduli akan parameter populasinya yanghipotetik dan biasanya hanya memperhatikan hasil pada sam-pelnya. Karena itu dalam pemilihan sampel harus diperolehkelompok-kelompok pengobatan yang sebanding, sehinggabila diperoleh hasil yang berbeda, perbedaan tersebut bukandisebabkan oleh perbedaan dalam komposisi kelompok melain-kan disebabkan oleh perbedaan dalam pengobatan atau olehfaktor kebetulan. Besarnya kemungkinan (probabilitas) bahwaperbedaan tersebut akibat faktor kebetulan dapat diperhi-tungkan dengan tes statistik yang sesuai. Besarnya risiko yangkita bersedia tanggung untuk membuat kekeliruan denganmenerima faktor kebetulan sebagai perbedaan yang sebenar-nya, kita tetapkan sebagai nilai (biasanya0,05). Bilakemung-kinan perbedaan tadi akibat faktor kebetulan (dari perhi-tungan statistik) lebih kecil dari risiko yang kita bersediatanggung, dikatakan bahwa perbedaan tersebut bermakna seca-ra statistik. Jadi kebanyakan tes statistik hanya boleh digu-

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 1 3

α

α

α

ββ

β

ββ

β

β

α

Page 15: Cdk 025 Uji Klinik

nakan untuk membendingkan hasil dari 2 . atau lebih jenispengobatan, bila kelompok-kelompok pengobatannya se-banding, terutama dalam komposisi prognostiknya. Sebagaikekecualian adalah berbagai tes permutasi, atau disebut jugates randomisasi, yang tidak memerlukan persyaratan terse-but (22). Untuk memperoleh kelompok-kelompok pengobatanyang sebanding, maka alokasi penderita harus dilakukansecara tidak "bias", yakni dilakukan secara random (20).Hal ini berlaku terutama untuk disain perbandingan kelompok(group comparison), yakni disain yang paling sering digunakandalam uji klinik. Untuk disain menyilang ("cross-over"),alokasi random juga diperlukan karena urutan atau waktupemberian obat mungkin juga mempengaruhi hasilnya. Untukdisain pasangan serasi ("matched—pair"), alokasi random initentu saja tidak diperlukan, tetapi disain ini jarang sekalidilakukan karena kesulitan dalam pelaksanaannya.

Kesalahan yang sering kali dilakukan sehubungan denganrandomisasi ini ialah bahwa peneliti hanya menyatakan "alo-kasi penderita dalam kelompok-kelompok pengobatan dila-kukan secara random", tanpa memberikan penjelasan tentangcara yang dipilih dan bagaimana melaksanakannya (3). Selainitu masih banyak percobaan klinik yang dilaksanakan tanpadilakukan randomisasi. Jarang dibenarkan untuk tidak mela-kukan randomisasi, dalam hal ini perlu diberikan penjelasantentang alasan-alasan mengapa dilakukan alokasi non-random,untuk menunjukkan pada para pembacanya bahwa alokasiyang bias tidak terjadi (3).

PENGUMPULAN DATA

Setelah randomisasi, penderita telah resmi diikutsertakan da-lam trial. Sekali diikutsertakan dalam trial, penderita harusdi "follow up" dengan ketat, baik penderita yang mendapatpengobatan baru maupun penderita yang mendapat plasebo/kontrol. Bila setelah randomisasi ternyata diagnosis penderitasalah, penderita tersebut di "drop" dan tidak diperhitungkandalam analisa statistik karena memang tidak memenuhi kri-teria pemilihan penderita. Penderita yang tidak kembaliuntuk "follow up" harus dihubungi (via telpon, surat menyu-rat, atau bila perlu dengan kunjungan rumah) untuk menge-tahui nasibnya. Hal ini juga berlaku bagi penderita yang pindahke luar negeri yang di "drop" dan diperhitungan statistikberlaku sampai saat penderita tersebut berangkat (23).

Penderita-penderita yang menyimpang dari protokol trial,seperti penderita-penderita yang menolak untuk meneruskanpartisipasinya dalam trial, yang tidak mematuhi keterituan-ketentuan trial, yang pengobatannya dihentikan atau dialihkandari pengobatan yang satu ke pengobatan yang lain dalam trialtersebut atau ke pengobatan yang lain sama sekali (diluartrial), atau yang melakukan penyimpangan apapun juga,harus tetap dimasukkan dalam perhitungan statistik sampaiakhir trial (tidak boleh hanya sampai saat penyimpanganterjadi) (23). Menyajikan hasil antara penderita-penderita yangmematuhi protokol saja yang dapat dilakukan, tetapi tidakdapat dilakukan perbandingan dengan menggunakan tes sta-tistik, karena materi penderitanya tidak lagi merupakan sampelacak yang menjadi syarat digunakannyai tes statistik. Disam-ping itu dalam mengeluarkan penderita-penderita yang me-nyimpang dari protokol trial, mungkin masuk faktor bias.

Jadi untuk dapat membandingkan secara statistik, harus diper-hitungkan data dari semua penderita, termasuk penderita-penderita yang menyimpang dari protokol trial, yang dalamperhitungan statistik tetap dimasukkan dalam kelompokdimana mereka dialokasikan secara random pada awal trial.Trial demikian membandingkan "policy" pengobatan yangberbeda (23).

Pelanggaran terhadap prinsip tersebut di atas, seperti yangterjadi pada studi Anturane untuk mencegah "sudden death"setelah infark miokard (24), dimana penderita-penderita yangtidak memakan obatnya selama 7 hari dikeluarkan dari analisastatistik, menjadi salah satu alasan yang menyebabkan studitersebut diragukan validitasnya sehingga ditolak oleh FDA (25).Paul Meier, ahli statistik pada University of Chicago menga-takan bahwa : "Kebanyakan trial lainnya, dan semua trialyang dilakukan oleh NHLBI (National Heart, Lung, andBlood Institute di Amerika) tetap memperhitungkan pen-derita-penderita yang tidak mematuhi aturan pengobatannya"(25). Salah satu contoh adalah trial yang membandingkanpengobatan antara 2 jenis beta-blocker untuk infark miokardyang "suspected" (26), dimana penderita-penderita yangdihentikan pengobatannya karena alasan efek samping, tetapdiperhitungkan dalam analisa statistiknya.

Kesalahan lain yang sering dilakukan peneliti dalam prosespengumpulan data adalah membuang hasil observasi yang tam-paknya jauh berbeda dari data lainnya. Dalam hal ini hasilobservasi tersebut harus diperiksa kembali untuk melihatapakah ada kesalahan pencatatan. Bila ternyata tidak adabukti salah catat, dan nilai tersebut memang mungkin makatidak boleh dikeluarkan dari analisa statistik. Janganlahsekali-kali membuang nilai-nilai demikian hanya atas dasarbahwa nilai tersebut merupakan angka terbesar atau ter-kecil (27).

Kesalahan lain lagi dalam pengumpulan data adalah keal-paan mencatat data, kesalahan pencatatan dB yang biasanyatidak banyak sehingga tidak banyak mempengaruhi hasilnya.Disamping itu masih ada data yang tidak dapat dicatat karenanilainya berada dibawah sensitivitas alat ukur yang digunakan(misalnya kadar obat dalam plasma), atau karena penelitiantelah dihentikan sebelum peristiwa yang harus dicatat terjadi(misalnya kematian). Dalam hal ini mungkin datanya perludianalisa secara non-parametrik (27).

Kesalahan-kesalahan dalam pengumpulan data sering kaliakibat kegagalan pada stadium pencernaan dalam memperki-rakan masalah-masalah yang akan timbul dalam pelaksana-annya. Karena itu untuk trial-trial yang besar perlu dilakukansuatu percobaan pendahuluan untuk dapat menemukan keku-rangan-kekurangan yang utama. Karena kita tidak dapat me-ramalkan gejala-gejalanya yang mungkin relevan, maka pentingsekali untuk melakukan randomisasi dan berpegang teguhpadanya (27).

ANALISA DATAAda 3 jenis data berdasarkan skala pengukurannya, yakni

skala nominal atau klasifikasi (misalnya mati/tidak - mati,sembuh/tidak sembuh, berhasil/gagal, jenis-jenis golongandarah dll), skala ordinal atau ''ranked" (misalnya sakit sekali-sakit—sakit sedikit—tidak sakit, yang dapat diberi skor 3+, 2+,

1 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 16: Cdk 025 Uji Klinik

1+, dan 0) dan skala interval atau numerik (misalnya nilai Hb,nilai tekanan darah,-nilai kadar kolesterol dll). Jenis data inimenentukan prosedur statistik yang akan digunakan.

1. Nilai Sentral dan DispersiDispersi atau variasi data dalam penelitian kedokteran paling

sering dinyatakan sebagai SD ("standard deviation") atauSEM ("standard error of the mean") (5,28), tetapi rupanyapengertian akan SD dan SEM ini masih belum difahami sepe-nuhnya (2,28,29,30).

SD dan SEM hanya dapat digunakan untuk data numerikdan tidak boleh digunakan untuk data yang berupa skor(kecuali bila nilai skor merupakan fungsi linier sehingga me-nyerupai nilai interval). SD menunjukkan variabilitas daridata yang diperoleh, sedangkan SEM menunjukkan presisidari nilai rata-rata sampel terhadap nilai rata-rata yang sesung-guhnya (nilai rata-rata dari populasi). Pada umumnya penelitiharus memberikan gambaran tentang data yang diperolehnya.Untuk maksud ini peneliti harus melaporkan nilai rata-rata danSD. Nilai rata-rata ± 2 SD menunjukkan "range" yang meli-puti 95% dari data, dengan batas-batas yang sama jauh darinilai rata-rata. Gambaran data demikian tentu saja hanyaberlaku bila datanya mempunyai distribusi yang kurang lebihnormal. Bila distribusi data menyimpang jauh dari normal(dapat diperkirakan misalnya dari nilai median yang jauhberbeda dari nilai rata-rata, atau dari nilai 2 SD yang jauhlebih besar dari nilai rata-rata sehingga batas bawah dari rangedata bernilai negatif suatu hal yang tidak mungkin), SD tidakdapat menggambarkan penyebaran data. Dalam hal ini untukmemberikan gambaran tentang datanya, peneliti harus mela-porkan nilai median dan nilai persentil (10% dan 90% atau5% dan 95% untuk sampel yang lebih besar). Nilai persentilini sekarang banyak dianjurkan untuk menggambarkan penye-baran data karena dianggap lebih realistik, tidak tergantungpada asumsi tentang distribusi data, dan dapat digunakan jugauntuk data ordinal. Penyebaran data dapat juga dinyatakandalam "range" tetapi nilai-nilainya sangat tergantung padanilai-nilai ekstrim atau nilai-nilai yang menyimpang sehingga

kurang renresentatif.Meskipun SEM dihitung dari SD (SEM =

n = jumlah sampel), tetapi SEM sama sekali tidak menggam-barkan penyebaran data melainkan menunjukkan besarnya pe-nyimpangan nilai rata-rata sampel dari nilai rata-rata yang se-sungguhnya. Dengan demikian SEM ini diperlukan dalam per-hitungan-perhitungan tes-tes statistik dan perhitungan "con-fidence interval". Nilai rata-rata ± 2 SEM menunjukkan"range" dimana kita pe-rcaya 95% terletak nilai-nilai rata-ratayang sesungguhnya, "range" ini disebut juga "95% confi-dence interval". Berbeda dengan "range" nilai rata-rata ± 2 SD,yang hanya berlaku untuk menggambarkan data bila distri-busi datanya kurang lebih normal, "range" nilai rata-rata± 2 SEM tetap berlaku untuk memperkirakan letak sesung-guhnya meskipun distribusi datanya tidak normal (30,31).

Sejalan dengan paling seringnya SD dan SEM digunakanuntuk menyatakan dispersi, dapat diperkirakan (meskipuntidak disebutkan) bahwa nilai sentral paling sering dinyatakansebagai nilai rata-rata ("mean"). Analog dengan SD dan SEM,nilai rata-rata hanya boleh digunakan untuk data numerik

dan tidak boleh untuk data skor kecuali bila nilai skornyamerupakan fungsi linier. Untuk data ordinal, nilai sentraldapat dinyatakan sebagai median atau "mode "

, sedangkan un-tuk data nominal hanya dapat digunakan "mode" (32).

Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam penggunaanmaupun presentasi nilai sentral atau dispersi adalah :a) Nilai rata-rata digunakan untuk menghitung nilai sentral

dari data berupa skor yang bukan merupakan fungsi linier.b) SD digunakan untuk menyatakan variabilitas data yang dis-

tribusinya menyimpang jauh dari normal.c) SEM dinyatakan sebagai indeks dispersi data.d) Data dituliskan misalnya : "tekanan darah distolik 150

± 20 mmHg" tanpa menyebutkan apa yang dimaksudkan.Nilai 150 dapat diperkirakan nilai rata-rata, tetapi nilai20 dapat berarti SD, atau SEM, atau 2 SD, atau 2 SEM dll.Untuk rnenghindarkan kesalahpahaman mengenai penger-

tian SD dan SEM, Bunce dkk (28) mengusulkan agar selalumelaporkan SD (bersama nilai rata-rata dan jumlah sampel )untuk menggambarkan variabilitas data pasien, dan bilaSEM dilaporkan agar dinyatakan bahwa SEM ini tidak meng-gambarkan variabilitas data pasien.

2. Tes StatistikPemilihan tes statistik dalam uji klinik didasarkan atas:

(a) jenis skala pengukuran : nominal, ordinal atau numerik.(b) jumlah kelompok/jenis pengobatan : 2 atau lebih.(c) kelompok berkaitan ("related") atau tidak ("inde-

pendent").(b) dan (c) tergantung pada disain uji klinik :— perbandingan kelompok ("group comparison")— disain menyilang ("cross-over design")— pasangan serasi ("matched pairs")

"randomized block design"— "Latin square design"

(d) besar sampel

Jenis-jenis tes statistik yang digunakan dalam uji klinik sertasyarat-syarat penggunaannya dapat dilihat pada Table 3.

Kesalahan yang terjadi umumnya adalah kesalahan dalampemilihan tes statistik yang tepat karena kebanyakan penelititidak mengetahui/memperhatikan syarat-syarat penggunaan-nya, serta tidak menyadari akibat-akibatnya. Kebanyakanpeneliti (termasuk para editor! )juga tidak menyadari bahwates statistik tidak selalu diperlukan. Analisa statistik dimaksudkan untuk membantu presentasi dan interpretasi data.informasi terletak didalam datanya sendiri. Bila percobaandirencanakan dengan baik, biasanya interpretasi datanyajelas. Bila demikian halnya, analisa statistik (meskipun tesstatistiknya tepat) tidak diperlukan karena tidak menambahsesuatu yang berarti pada presentasinya. Manfaat statistikyang sesungguhnya terletak bukan pada analisanya tetapipada perencanaannya (38).

Selain itu sering terjadi pada penulis makalah hanya menulis nilai p (probabilitas), tanpa menyebutkan tes statist ik apayang digunakannya. Feinstein (5) menunjukkan bahwa dari389 makalah kedokteran yang menggunakan tes statistik.128 (33%) diantaranya tidak menyebutkan tes statistik apayang digunakannya, sehingga pembaca harus memperkirakansendiri dari presentasi datanya.

dimana

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 1 5

Page 17: Cdk 025 Uji Klinik

Tabel 3. Berbagai tes statistik yang digunakan dalam uji klinik serta syarat-syarat penggunaannya,disamping syarat bahwa alokasipenderita ke dalam kelompok-kelompok pengobatan harus dilakukan secara random (31 - 37).

JUMLAH KELOMPOK/JENIS PENGOBATAN

Jenis Skala 2 Kelompok/Jenis Pengobatan > 2 (m) Kelompok/Jenis Pengobatan

Tidak Berkaitan Berkaitan Tidak Berkaitan BerkaitanPengukuran ("Independent" ) ("Related") ("Independent") ("Related" )

NOMINAL Tes X 2 (tabel 2 x 2) Tes McNemar (Tabel 2 x 2) Tes X2 (tabel m x k) Tes CochranN = total jumlah sampel. - data : frekuensi dalam ka- = tes X 2 yang berkaitan - data : frekuensi dalam - data : nilai nominal

tagori nominal ("Paired x2 test") kategori nominal - n jumlah sampel perE = "Expected value" - N > 40 = "Paired alternatives" - semua E 1 dan E <5 kelompok) tidak terlalu ke-

n1 dan n2 = jumlah - gunakan koreksi Yates - data : frekuensi dalam hanya pada 20 % kotak cil (Cochran tidak menye-- bila N 100 dan semua katagorei nominal - tanpa koreksi Yates but beberapa minimal).sampel masing

E 10 boleh tanpa korek- masing kelompok.si Yates. - E 5

n = jumlah sampel perkelompok Tes X2 (tabel 2 x k) - gunakan koreksi Yates

p = proporsi/persentase - data : idemSD = deviasi standar -semua E 1 dan E < 5

hanya pada <20 % kotaktanpa koreksi Yates

ORDINAL

INTERVAL -NUMERIK

Disain Uji Klinik

Tes eksak Fisher (tabel 2 x 2)

- data : idem-N<20- N 20-40 dan E <5

Perbedaan proporsi- data : proporsi/persentase- n l dan n 2 masing-masing

> 30.- dengan/tanpa koreksi Yates- p gabungan/masing-masing

Tes Kolmogorov-Smirnov( tabel 2 x k )- data : frekuensi dalam ka-

tegori ordinal- N kecil maupun besarTes Mann - Whitney

- data : nilai skor- N kecil maupun besar

Tes t- data : nilai numerik yang

distribusinya kuranglebih normal

- n l dan n 2 masing-masing 30

Varians l dan varians2 ti-dak berbeda bermakna

- SD gabunganTes Z

- data : idem- n l dan n 2 masing-masing

>30- SD masing-masing

* Perbandingan kelompok

Tes " Sign "- data : nilai skor- N kecil maupun besar

Tes Wilocxon- data : nilal skor-- N kecil maupun besar

Tes t yang berkaitan("Paired t test ")- data : nilai numerik yang

distribusinya kurang lebihnormal

- n kecil maupun besar

* Pasangan serasi* Disain menyilang

Tes Kruskal - Wallis- data : nilai skor- N kecil maupun besar

Analisa Varians- data : nilai numerik yang

distribusinya kurang lebihnormal.

- varians per kelompok tidakberbeda bermakna.

* Perbandingan kelompok

Tes Friedman- data : nilai skor- N kecil maupun besar

Analisa Varians- data : nilai numerik yang

distribusinya kurang lebihnormal.

- varians per kelompok tidakberbeda bermakna

* " Randomized block design"* "Latin Square design"

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

≥≥

≥≤

Page 18: Cdk 025 Uji Klinik

Dalam makalah ini hanya akan dibahas kesalahan-kesalahanyang sering kali menyertai penggunaan tes t dan tes x2 , yakni2 tes statistik yang paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian kedokteran (5).

2.1 Tes t (dari Student). Ini adalah tes statistik yang palingpopuler dalam penelitian kedokteran (5). Syarat-syarat peng-gunaannya dapat dilihat dalam Tabel 3. Kesalahan-kesalahanyang biasanya dibuat serta akibat-akibatnya ialah :• (a) Alokasi penderita tidak dilakukan secara random. Bila

alokasi random benar-benar diperlukan (seperti pada per-bandingan kelompok) tetapi tidak dilakukan, maka akanmasuk faktor "bias" dan diperoleh kelompok-kelompokpengobatan yang tidak sebanding, sehingga bila diperoleh

hasil yang berbeda, perbedaan tersebut mungkin disebab-kan oleh kelompoknya yang berbeda dan bukan olehpengobatannya.

• (b) Distribusi data tidak normal. Dalam praktek tidak adadata yang benar-benar normal, dan meskipun beberapajauh data menyimpang dari distribusi normal dapat diuji,misalnya dengan menggunakan kertas probabilitas normal(31),atau lebih sederhana dengan melihat perbedaan antaranilai rata-rata dan median, atau dengan melihat "scatterdiagram" dari datanya (3) tetapi dalam praktek penelitilebih sering hanya menggunakan pertimbangannya saja (39).Bila distribusi data menyimpang jauh dari normal, harusdilakukan transformasi ke bentuk logaritmanya, yang se-ring kali menghasilkan distribusi yang mendekati normal(3).

• (c) Tes digunakan untuk nilai skor yang bukan merupakanfungsi linier.Untuk ini tes t tidak boleh digunakan sama sekali.

• (d) Varians kedua kelompok berbeda bermakna (diujidengan tes F). Bila diperoleh hasil yang berbeda, perbe-daan tersebut mungkin akibat variansnya yang berbeda danbukan karena nilai rata-ratanya (yakni pengobatannya)yang berbeda. Dalam hal ini tidak boleh digunakan SDgabungan, tetapi harus SD masing-masing, dan df-nya ha-rus dikurangi (3,31).

• (e) Tes digunakan untuk data yang berpasangan (berka-itan). Dalam hal ini harus digunakan tes t yang berkaitan("paired t test") karena tes t yang biasa (tes t untuk 2sampel) kurang sensitif untuk menemukan perbedaanpada data yang berpasangan.

• (f) Tes t digunakan untuk membandingkan lebih dari2 kelompok, misalnya beberapa kelompok pengobatan

yang berbeda atau beberapa kelompok respons pada waktuyang berbeda. Dalam hal ini harus digunakan analisa vari-ans, karena bila tes t digunakan untuk membandingkankelompok-kelompok tersebut sepasang-sepasang, makanilai p (probabilitas) yang besarnya kira-kira = penjum-lahan nilai p dari tiap pasangan kelompok. Misalnya bilates t digunakan untuk membandingkan 3 kelompok pengo-batan (misalnya A,B, dan C), maka ada 3 tes t yang dapatdilakukan (antara A dengan B, B dengan C, dan A denganC). Bila dalam hal ini dilaporkan bahwa ada perbedaandengan nilai p < 0,05, maka nilai p yang sebenarnya kira-kira = 3 x 0,05 = 0,15 (tepatnya 0,13) (2).

Dalam trial suatu pengobatan baru, etik merupakan salahsatu pertimbangan utama; dimana harus diusahakan agar pen-derita yang mendapat pengobatan yang inferior seminimalmungkin jumlahnya maupun lamanya pengobatan. Hal iniseringkali menyebabkan peneliti tergoda untuk menganalisadatanya berulang-ulang sebelum jumlah sampel yang telahdiperhitungkan tercapai, dan menghentikan trialnya padasaat hasilnya memberikan perbedaan dengan p < 0,05. Tin-dakan ini tidak benar karena dari trial dengan jumlah sampelyang telah ditentukan lebih dahulu, hasil trial direncanakanhanya untuk dianalisa satu kali, yakni setelah jumlah sampeltercapai. Bila dianalisa lebih dari satu kali, maka probabilitasuntuk mencapai nilai (batas kemaknaan) tidak lagi = 0,05,tapi makin meningkat dengan makin seringnya tes statistikdilakukan (Lihat Table 4) (40).

Dari Table 4 dapat dilihat bahwa nilai yang 5% bila tesstatistik dilakukan satu kali setelah jumlah sampel tercapai,akan meningkat menjadi 19,3% bila tes tersebut diulang un-tuk ke-10 kalinya.

Sebaliknya, peneliti yang ingin menganalisa datanya lebihdari satu kali sehingga dapat menghentikan trialnya lebihawal, dapat menggunakan Table 5 dimana tercantum analogi (batas kemaknaan) untuk lebih dari satu kali analisa diban-dingkan dengan nilai a untuk satu kali analisa (40). Jadi, Ta-bel 5 menunjukkan bahwa peneliti yang sebelum trial dimulaitelah memutuskan untuk menganalisa datanya secara statistiksebanyak 5 kali, harus mencapai nilai p <= 0,0159 pada salahsatu dari ke-5 tes yang dilakukan agar hasilnya benar-benarbermakna pada p < 0,05. Yang penting di sini adalah berapakali data akan dianalisa dan berapa nilai nya telah ditetap-kan sebelum trial dimulai. Bila kedua hal tersebut belum dipu-tuskan, peneliti kadang-kadang tergoda untuk setiap saatmelakukan analisa statistik, sedangkan makin sering dia mela-kukan analisa statistik makin kecil nilai p yang harus diperolehuntuk mencapai kemaknaan.

Tabel 4 .Probabilitas untuk mencapai nilai (batas kemaknaan) setelah suatu tes statistik diulang n ka-li, bila tidak ada perbedaan efek antara kedua pengobatan (dinyatakan dalam %) * (40%).

Nilai(Batas Kemaknaan)

Jumlah Pengulangan Tes Statistik (n)

(%) 1 2 3 4 5 10 25 50 200

1 1 1,8 2,4 2,9 3,3 4,7 7,0 8,8 12,65 5 8,3 10,7 12,6 14,2 19,3 26,6 32,0 42,4

10 10 16,0 20,2 23,4 26,0 34,2 44,9 52,4 65,2

* Dikutip dari McPherson K. Statistics : the problem of examining accumulating data more than once. N Engl J Med. 1974; 290:502.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 17

α

α

α

α

α

Page 19: Cdk 025 Uji Klinik

Tabel 5. Nilai (batas kemaknaan) yang diperlukan untuk mencapai nilai yang sebenamya, bila tes statistik diulang n kali (dinyatakan dalam %) *(40).

Nilai Jumlah Pengulangan Tes Statistik (n)

Sebenamya1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 100(%)

1 1 0,56 0,41 0,33 0,28 0,25 0,23 0,21 0,20 0,19 0,15 0,13 0,06

5 5 2,96 2,21 1,83 1,59 1,42 1,30 1,20 1,13 1,07 0,86. 0,75 0,32

10 10 6,01 4,62 3,85 3,37 3,04 2,80 2,60 2,45 2,32 1,88 1,66 0,72

* Dikutip dari McPherson K. Statistics : the problem of examining accumulating data more than once. N Engl J Med. 1974 ; 290 : 502.

2.2. Tes X 2 . Tes ini menempati urutan kedua dalam popula-ritasnya di kalangan para peneliti kedokteran (5). Syarat-syarat penggunaannya tercantum dalam Tabel 3. Kesalahan-kesalahan yang sering kali dilakukan pada penggunaan tweini adalah :• (a) Alokasi penderita ke dalam kelompok-kelompok pengo-

batan tidak dilakukan secara random. Bila diperoleh hasilpengobatan yang berbeda, mungkin akibat perbedaan dalamkelompoknya dan bukan akibat pengobatannya (Lihatketerangan pada 2.1a).

• (b) Tes digunakan pada penelitian dengan jumlah sampel(N) dan/atau "Ekspected value" (E) yang terlalu kecil.Dalam hal ini, untuk tabel 2 x 2 harus digunakan tes eksakFisher (Lihat Tabel 3 untuk batas-batas N dan E). Untuktabel 2 x k, nilai E dapat diperbesar dengan menggabungkankategori-kategori yang berdampingan, asalkan penggabung-an tersebut tidak menyebabkan data menjadi tidak berguna.Hal ini dapat dihindarkan dengan perencanaan jumlah sam-pel yang cukup untuk masing-masing kategori (35). Dalamperhitungan X2, nilai E menjadi penyebut, sehingga nilai Eyang terlalu kecil akan memperbesar nilai X2 dan dengandemikian akan memperbesar kemungkinan membuat kesa-lahan positif semu (menyatakan ada perbedaan, bila sebe-narnya tidak ada).

• (c) Koreksi Yates tidak digunakan bila seharusnya diguna-kan. Koreksi Yates harus digunakan pada tes x2 tabel 2 x 2yang tidak berkaitan maupun yang berkaitan, kecuali bilaN >= 100 dan semua E >= 10 boleh tanpa koreksi Yates(lihat Tabel 3). Koreksi Yates memperkecil nilai-nilai x 2

sehingga memperkecil kemungkinan membuat kesalahanpositif semu pada sampel-sampel yang relatif kecil.

• (d) Tes x 2 yang tidak berkaitan digunakan untuk data yangberpasangan. Dalam hal ini harus digunakan tes x 2 yangberkaitan karena tes x2 yang tidak berkaitan kurang sensi-tif untuk menemukan perbedaan pada kata yang berpa-sangan.

• Tes x 2 digunakan untuk data ordinal (frekuensi dalam kate-gori ordinal). Untuk ini lebih baik digunakan tes Kolmo-gorov - Smirnov.

3. Korelasi dan regresiMeskipun korelasi dan regresi cukup sering digunakan un-

tuk menyatakan asosiasi dalam penelitian kedokteran (5), te-tapi rupanya perbedaan keduanya masih belum jelas bagibanyak peneliti (41).

Koefisien korelasi(r), menunjukkan derajat hubungan linierantara 2 variabel numerik. Syarat penggunaannya adalah bah-wa variabel tersebut mempunyai distribusi kurang lebih nor-mal, sehingga "scatter diagram"nya kira-kira berbentuk elips.Bila tidak demikian halnya, tes kemaknaan dari r tidak valid.

Regresi menunjukkan ketergantungan dari satu vanabelpada satu/lebih variabel lain. Pada regresi linier kita hitung per-samaan garis lurus yang menghubungkan variabel yang "de-pendent" (y) terhadap variabel yang "independent " (x).Syarat penggunaannya adalah bahwa variabel y mempunyaidistribusi yang kurang lebih normal dengan varians yang samauntuk tiap harga x. Penyimpangan dari kondisi ini biasanyadapat dilihat dari "scatter plot" nya. Persamaan garis regresidapat digunakan untuk memperkirakan nilai variabel y darinilai variabel x.

Kesalahan-kesalahan pada penggunaan korelasi adalah (41) :• (a) Koefisien korelasi r dihitung untuk variabel yang distri-businya meyimpang jauh dari normal. Dalam hal ini harus dila-kukan transformasi data , misalnya salah satu variabel dijadi-kan bentuk logaritmanya, yang biasanya akan meyebabkandistribusi menjadi kurang lebih normal. Bila tidak, dihitung rs(koefisien korelasi "rank" dari Spearman) yang tidak memerlu-kan distribusi yang mormal.• (b) Tanpa "melihat scatter diagram" datanya, koefisienkorelasi tidak berarti apa-apa karena r dapat rendah semu bilahubungan antara kedua variabel berupa garis lengkung, atau rdapat tinggi semu bila ada beberapa olservasi yang sangat me-nyimpang dari kebanyakan dara lainnya.• (c) Korelasi digunakan untuk menghubungkan berbagaikelompok subyek yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda,maka akan diperoleh r yang tinggi semu karena misalnya ke-lompok 1 mempunyai nilai-nilai yang rata-tara tinggi untukkedua variabel, sedangkan kelompok 2 mempunyai nilai-nilai yang rata-rata rendah untuk kedua variabel.• (d) Korelasi sering kali digunakan secara berlebihan, mung-kin karena mudahnya menghitung koefisien korelasi. Seha-rusnya korelasi digunakan terutama untuk merintis peneli-tian selanjutnya.• (e) Korelasi digunakan untuk membandingkan 2 metodepengukuran atau 2 jenis alat ukur. Dalam hal ini seharusnyadigunakan tes t yang berkaitan.

Penggunasalahan persamaan regresi adalah (41) :(a) Persamaan regresi digunakan untuk memperkirakan nilai

y dari nilai-nilai x diluar batas-batas dari aslinya (mela-kukan ekstrapolasi).

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

α

Page 20: Cdk 025 Uji Klinik

(b) Menghitung persamaan regresi linier untuk data yangberupa garis lengkung.

(c) Menggunakan regresi sederhana untuk berbagai sub-kelompok yang heterogen.Dalam hal ini seharusnya digunakan analisa kovarians.

(d) Persamaan regresi y terhadap x digunakan untuk mem-perkirakan nilai x dari nilai y (kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu).

Kebanyakan penggunasalahan tersebut diatas mungkin tidakterlihat dalam makalah bila " scatter plot " datanya tidakdiberikan.

Data yang dianalisa pada prinsipnya adalah data yang dapatmenjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelum trialdimulai. Trial didisain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaantersebut, maka analisa data harus dilakukan sesuai dengan hi-potesis dan disain trial aslinya. Data tambahan yang ditemukansecara kebetulan tidak menjawab pertanyaan tetapi justru me-nimbulkan pertanyaan baru, sehingga menjadi petunjuk un-tuk penelitian lebih lanjut (38,41).

PRESENTASI HASIL1. Grafik

Grafik dimaksudkan untuk memberikan efek visual, karenaitu skalanya tidak boleh ditransformasikan karena akan mem-beri efek visual yang berbeda sehingga menimbulkan interpre-tasi yang berlainan. Kecuali bila hendak dilakukan analisaterhadap data yang telah ditransformasi misalnya menjadibentuk logaritmanya, maka data lebih baik digambarkan da-lam bentuk "scatter diagram" dengan skala logaritma untukmenunjukkan bahwa data yang telah ditransformasi tersebutmemenuhi syarat distribusi normal (30).

2. "Scatter Diagram"Untuk data yang sederhana, gambaran data dalam bentuk

"scatter diagram" sangat membantu pembaca dalam mengeva-luasi analisa yang dilakukan. Titik-titik yang berimpit harusdiperhatikan. Bila terdapat berbagai sub-kelompok, makaharus ditunjukkan dengan simbol yang berbeda-beda, agardapat dievaluasi tepat tidaknya melakukan analisa data secarakeseluruhan atau untuk masing-masing sub-kelompok secaraterpisah (30).

Menggambarkan "scatter diagram" bukan berarti harusmenghitung koefisien korelasi dan menggambarkan garis regre-si, karena belum tentu salah satu atau keduanya relevanatau dapat dilakukan (memenuhi syarat-syarat pengguna-annya) (30).

3. Garis RegresiPersamaan garis regresi barulah ada gunanya dihitung dan

regresinya digambarkan bila hubungan antara kedua varia-belnya cukup kuat, yakni bila koefisien korelasinya bermakna(30,32).

Bila persamaan garis regresi (y = a + bx) diberikan, maka ha-rus diberikan juga "standard error" dari "slope" (SEb), jumlahobservasi, dan SD "residual" ("residual mean square"). SEbmemberikan gambaran tentang kemaknaan "slope". SD "re-sidual" menunjukkan variabilitas dari perbedaan antara nilaiobservasi dan nilai yang diperkirakan dari garis regresi, dengandemikian menunjukkan berapa dekat garis regresi dari datanya.

Garis regresi tidak boleh digambarkan melewati "range" data-nya, karena diluar "range" datanya belum tentu garis regresitersebut berlaku (30).

4. Garis SEM ("error bar")Garis SEM merupakan cara yang populer untuk menggam-

barkan nilai rata-rata ± SEM secara visual. Garis SEM ini, seper-ti halnya dengan SEM sendiri, tidak dapat digunakan untukmenunjukkan kemaknaan perbedaan nilai rata-ratanya karena :(a) Garis SEM, seperti halnya dengan SEM dari masing-ma-

masing-masing nilai rata-rata, hanya berguna untuk menun-jukkan presisi nilai rata-rata, dari kelompok-kelompok yangtidak berkaitan, tetapi tidak berguna untuk kelompok-kelompok yang berpasangan, yang kemaknaan perbedaan-nya tidak dihitung dari masing-masing SEM tersebut.

(b) Garis SEM yang tidak "overlap" belum tentu menunjuk-kan bahwa perbedaan nilai rata-ratanya bermakna. Hanyagaris SEM yang "overlap" yang pasti menunjukkan bahwaperbedaan niali rata-ratanya tidak bermakna. Karena itukemaknaan perbedaan nilai rata-rata harus dilaporkantersendiri, atau bila hendak digambarkan secara visual, garisSEM tersebut diganti dengan garis "confidence interval"

(30).

5. Angka-angkaAngka-angka untuk nilai rata-rata, SD, SEM dll biasanya cu-

kup diberikan dalam 3 digit, terutama untuk tabel, agarterlihat lebih jelas.

Pada prinsipnya, dalam presentasi hasil harus jelas dise-butkan :— apa satuannya (mmHg, SEM, mg, ug/ml dll)— apa yang dimaksud (SD, SEM, 2 SD, 2 SEM dll)— tes statistik yang digunakan— informasi minimal yang diperlukan agar pembaca dapatmelakukan perhitungan statistik yang digunakan, misalnya ni-lai rata-rata, SD, jumlah observasi dll (38).

INTERPRETASI DATABerbagai jenis kesalahan yang telah disebutkan sebelumnya

dapat menimbulkan hasil yang salah dan akibatnya interpre-tasi/konklusi yang salah. Disini akan dibicarakan kesalahan-kesalahan yang khusus terdapat pada interpretasi datanyasendiri.1. Bermakna dan tidak bermakna

Arti interpretasi ini telah dijelaskan dalam pembicaraan"Besar Sampel", dan juga telah disinggung dalam "Randomi-sasi". Dari keterangan-keterangan tersebut jelaslah bahwainterpretasi tersebut berdasarkan probabilitas atau kemung-kinan, bukannya kepastian. Makin kecil nilai p, makin kecil ke-mungkinan bahwa hipotesis nol (Ho), yang menyatakan tidakada perbedaan antara kedua pengobatan, adalah benar. Tetapiberapapun kecilnya nilai p, kemungkinan bahwa Ho benar sela-lu ada. Sebab itu tidak semua hasil yang dinyatakan bermaknaadalah benar. Karena batas kemaknaan 0,05 berarti 1 diantara20 kali trial yang sama akan memberikan hasil yang bermaknameskipun sebenarnya tidak ada perbedaan antara kedua pe-ngobatan yang dibandingkan. Demikian juga tidak semua hasilyang dinyatakan tidak bermakna berarti hasilnya tidak adaatau tidak penting. Karena hasil yang tidak bermakna hanya .

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 19

Page 21: Cdk 025 Uji Klinik

berarti bahwa hasilnya tidak cukup kuat untuk menolak hipo-tesis nol. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel yangterlalu kecil (lihat pembahasan pada "Besar Sampel"). Dalamhal-hal demikian, hasil yang tidak bermakna tersebut seba-iknya dianggap sebagai tidak konklusif, dan diperlukan pe-ngumpulan data lebih lanjut.

Karena anggapan yang salah bahwa hasil yang tidak ber-makna berarti hasilnya tidak ada atau tidak penting, makabanyak peneliti tidak suka melaporkan trial dengan hasilyang tidak bermakna, dan cenderung untuk hanya melapor-kan hasil-hasil yang bermakna. Hal ini dapat menyebabkansuatu obat yang sebenarnya tidak berguna dianggap berguna,berdasarkan adanya beberapa publikasi yang menunjukkanhasil yang bermakna, serta karena tidak adanya/jarangnyapublikasi yang menunjukkan hasil yang tidak bermakna, mes-kipun sebenarnya banyak trial mengenai obat tersebut telahdilakukan dengan hasil negatif tetapi trial-trial tersebut tidak/sedikit sekali yang dipublikasi. Telah disebutkan bahwa mes-kipun suatu obat tidak berguna, ada kemungkinan 1 kalidalam 20 kali trial akan memberikan hasil yang bermakna.Karena itu sangat dianjurkan untuk mempublikasi trial-trialdengan hasil negatif ( p > 0,05 ) dan untuk mengulang trial-trial yang sama serta melaporkan hasilnya (38).

2. Korelasi dan Hubungan KausalAdanya korelasi tidak otomatis menunjukkan adanya

hubungan kausal. Banyak contoh menunjukkan adanya kore-lasi antara 2 variabel tanpa adanya hubungan kausal, misalnyabila kedua variabel tersebut mempunyai penyebab yang sama,sebagai contoh adalah berkurangnya nafsu makan dan sukar-nya tidur pada perokok. Seringkali dilupakan bahwa tidak adates statistik yang dapat menguji adanya hubungan kausal ;tes statistik yang ada hanya dapat menguji adanya korelasi.Tapi kenyataannya, Schoolman (38) menemukan pada 72(36%) diantara 202 makalah penelitian kedokteran yang dimu-at dalam Journal of Laboratory and Clinical Medicine selama1 tahun, penggunaan beberapa tes statistik yang menyimpul-kan kemungkinan adanya hubungan kausal.

3. PrediksiDalam pembahasan tentang "Randomisasi" telah disebut-

kan bahwa sampel dalam uji klinik mewakili diri mereka sen-diri dan bahwa hasil pengobatan dalam trial hanya dapatdigunakan untuk melakukan prediksi pada penderita-pende-rita dengan kondisi yang persis sama dengan penderita-pende-rita dalam trial. Demikian juga dengan persamaan regresihanya dapat digunakan untuk prediksi pada penderita-pende-rita dengan kondisi yang persis sama dengan penderita-pende-rita yang digunakan untuk membuat persamaan regresi ter-sebut (18).

4. Kemaknaan Statistik vs Kemaknaan KlinikKemaknaan statistik tidak identik dengan kemaknaan

klinik. Kemaknaan statistik barulah ada artinya bila disertaidengan kemaknaan klinik. Karena itulah dalam perencanaansuatu uji klinik harus ditentukan lebih dulu berapa besar per-bedaan yang dianggap berarti secara klinik antara obat lamadengan obat baru yang akan diuji. Setelah batas kemaknaanklinik ditetapkan, barulah dihitung besar sampel yang diper-

lukan untuk dapat mencapai kemaknaan klinik tersebut secarastatistik, yakni dengan memperhitungkan juga batas-bataskemaknaan statistik yakni nilai-nilai dan . Cara perhitunganbesar sampel ini telah dibahas dalam bab "Besar Sampel " .Dengan demikian bila kemudian diperoleh hasil yang perbe-daannya bermakna secara statistik, perbedaan tersebut jugabermakna secara klinik.

5. Kesimpulan yang tidak didukung oleh DataGore (3) menemukan pada 5 (85) diantara 62 makalah

penelitian kedokteran yang dimuat dalam British MedicalJournal selama 3 bulan (Januari s/d Maret 1976), kesimpulan/pernyataan yang tidak didukung oleh datanya, kesimpulandemikian tentunya tidak valid.

PENUTUPPenggunasalahan statistik dapat menimbulkan kesimpulan

dan jawaban yang salah atas permasalahan yang diteliti.Dengan demikian penelitian tersebut tidak berguna sehinggatidak etis untuk dilakukan karena (18,42) :(a) menggunasalahkan penderita dengan menimbulkan risiko

dan rasa tidak enak tanpa ada gunanya.(b) menghamburkan berbagai sumber, termasuk waktu peneli-

tian, secara sia-sia.(c) publikasi dari hasil/kesimpulan yang salah dapat menye-

satkan praktek kedokteran dan penelitian selanjutnya.

KEPUSTAKAAN

1. Breslow N. Perspectives on the statistician's role in cooperativeclinical research. Cancer 1978; 41 : 326—332.

2. Glantz SA. Biostatistics : How to detect , correct and prevent errorsin the medical literatur. Circulation 1980; 61 : 1—7.

3. Gore SM, Jones 16, Rytter EC. Misuse of statical methods : cri-tical assessment of articals in BMJ from January to March 1976.Brit Med J 1977; i : 85—87.

4. Schor S, Karten J. Statistical evaluation of medical journal manu-scripts. JAMA 1966; 45 : 1123—1128.

5. Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXV A survey of the statis-tical prosedures in general medical journals. Clin Pharmacol Ther1974; 15 : 97—107.

6. Altman DG. Statistics and etics in medical research : VIII Improv-ing the quality of statistics in medical journal. Brit Med J 1981;282 : 44—47.

7. Shuster JJ, Brnion J, Moxley, J et al. Stastical review process : Re-commended procedures for Biomedical research articles. JAMA1976; 235 : 334—5.

8. Rosen MR, Hoffman. BF. Statisticals, biomedical Scientist, andcirculation Research. Ciro Res 1978; 42 : 739.

9. Rennie D. Vive la diffence ( P< 0,05). N. Engl J Med 1978:299:

828-9.10. Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXXIV The other side of sta-

tistical significance : alpha, beta. delta and the calculation of samplesize. Clin Pharmacol Ther 1975; 18 (4),491—505.

11.Rumke CL. Uncertainty as to the accoptance or rejection of thepresence of an affect in relation to the number of observations in anexperiment. Triangle 1968; 8 (7) : 284—9.

12.Boag JW, Haybittle JL, Fowler JF, Emery EW. The number ofpatients required in clinical trial. Brit J Radiol-1971; 44 122—125.

13. Altman DG. Statistics and ethics in medical research : III Howlarge a sample ? Brit Med J 1980; 28J : 1336—1338.

14.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXXII Biologic dependency,'hypothesis testing' , unilateral probabilities, and other assues inscientific direetion vs statistical duplexity. Clin Pharmacol Ther1975; 17 : 449—513.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

α β

Page 22: Cdk 025 Uji Klinik

15.Freiman JA, Chalmers TC, Smith H Jr, Kuebles RR. The importanceof beta, the type II error and sample size in the design and inter-pretation of the randomized control trial. N Engl J Med 1978;299: 690-694.

16.Ambros A, Chalmers TC, Smith H, Schroeder B, Freiman JA,Shareck EP. Deficiencies of randomized control trials. Clin Res1978; 26 : 280 A. Dalam : Kepust no 14.

17.Anonim. Interprating clinical trials. Brit Med J 1978; ii : 1318.18.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : VII Inter-

preting result. Brit Med J 1980; 281 : 1612—4.19.Newell DJ. Type II errors and ethics. Brit Med J 1978; IV : 1789.20.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXIII The role of randomi-

zation in sampling, testing, allocation, and credulous idolatry(Part 3). Clin Pharmacol Ther 1973; 14 (6) : 1035—1051.

21.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXII The role of randomiza-tion in sampling, testing, allocation, and credulous idolatry (Part 1).Clin Pharmacol Ther 1973; 14 (4) : 601-615.

22.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXIII The role of randomiza-tion in sampling, testing, allocation, and credual idolatry (Part 2).Clin Pharmacol Ther 1973;14 (5) : 898—915.

23.Peto R, Rike MC, Armitoge P, Breslow NE, Cox DR, Howard SV,Mantel N, McPherson K, Peto J, Smith PG. Design and analysis ofrandomized clinical trials requiring prlonged observation of eachpatient: 1. Introduction and design. Brit J Cancer 1976; 34 :585-612.

24.The Anturane Reinfarction Trial Research Group. Sulfinpyrasonein the prevention of sudden death after myocardial infarction.N Engl J Med 1980; 302: 250—256.

25. Kolata GB. FDA says no to Anturane. Scince 1980;208:1130—1132.26.Wilcox RG, Roland JM, Banks DC, Hampton JR, Mitchell JRA.

Randomized trial comparing propranolol with a enolol in immediatetreatment of suspected myocardial infarction. Brit Med J 1980;280 : 885-888.

27.Altman DG. Statistics and ethics in medieal research : collectingand screening data. Brit Med J 1980; 281 : 1399-1401.

28.Bunce H, Hokanson JA, Weiss GB. Avoiding ambiguity whenreporting variability in biomedical data (editorials). Amer J Med1980; 69 : 8-9.

29.Gardner JM. Understanding and presenting variation. Lancet 1975;i : 230-231.

30.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : VI Presen-tation of results. Brit Med J 1980; 281 : 1542—1544.

31.Dixon WJ, Massey FJ Jr. Introduction to statistical Analysis. NewYork McGrawhill, 1969.

32.Meddis R. Statistical Handbook for Non-statisticians. London :McGraw-Hill, 1975.

33.Colguhoun D. Lectures on.Biostatistics. London : Oxford UniversityPress, 1971.

34.Swinscow TDV. Statistics at Square One- British Medical Asso-ciation, London, 1976.

35. Siegel S. Nonparametric Statistics : For the Behavioral Sciences.Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, 1956.

36.Talogo RW. Statistik nonparametrik. Dalam : Naskah LengkapPenataran Farmakologi Klinik, Suherman SK & Syamsudin HU(editor), Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI, 1980; hal. 134—146.

37.Basuki B. Membandingkan proporsi dan "mean". Dalam : Metodo-logi Penelitian Bidang Kedokteran, Tjokronegoro A & Purwanto SL(editor), Jakarta : Komisi Pengembangan Riset dan PerpustakaanFKUI, 1979; hal 178—183.

38.Schoolman HM, Becktel JM, Best WR, Johnson AF. Statistics inmedical research : Principles versus praetices. J Lap Clin Med 1968;71 (3) : 357—367.

39.Anonim. Statistical errors. Brit Med J 1977; i : 66.40.McPherson K. Statistics and ethics in medical research : collecting

data more than once. N Engl J Med 1974; 290 (9) : 501—502.41.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : V Analysing

data. Brit Med J 1980; 281 : 1473—1475.42.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : I Misuse of

statistics in unethical. Brit Med J 1980; 281 : 1182—1184.

MELATIH KERA SEBAGAI PEMBANTU PARA CACAT JASMANI

Sejenis kera kecil, yang sering terlihat sebagai pemungut uang dari pemain-pema-in organ putar di pinggir-pinggir jalan di luar negeri, dalam waktu yang tak lama lagiakan memainkan peranan yang lebih penting sebagai pembantu beribu-ribu orang lum-puh yang terdapat di dunia ini.

Jenis kera ini, capuchin (Cebus capucinus), yang berasal dari Amerika Tengahdan Selatan, terbukti memiliki ketrampilan, kecerdasan dan loyalitas seperti anjing-an-jing penuntun para tunanetra, bahkan melebihinya.

Kera-kera ini dapat membuka lemari es, membuka atau menutup pintu dengankunci, bahkan dapat dilatih sampai dapat mengambil piringan hitam dari album danmemasangnya di atas alat pemutarnya.

Keuntungan dibanding dengan anjing penuntun ialah biaya yang harus dikeluar-kan untuk melatih kera ini kurang lebih sama besar, tetapi kera ini dapat hidup lebihkurang 30 tahun dalam pemeliharaan (lebih kurang 3 X umur anjing).

Sesungguhnya beberapa jenis kera di Indonesia juga sudah dapat dilatih untukmaksud-maksud tertentu, seperti beruk pemetik kelapa dan sebagai penari dalam rong-geng monyet.

Apakah kera-kera Indonesia tidak dapat juga dimanfaatkan untuk tugas yang le-bih mulia?

International Exchange News Winter 1980 — 1981.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 2 1

Page 23: Cdk 025 Uji Klinik

Titik Lemah dalam Percobaan Klinikdr Bambang SuhartoManager R & D, PT Kalbe Farma, Jakarta.

Percobaan klinik adalah percobaan yang melibatkan manusia(sehat - sakit) sebagai objek, dalam usaha mencari jawaban ataspertanyaan-pertanyaan tentang kegunaan atau bahaya suatuobat, alat ataupun cara untuk pencegahan, diagnosa, terapiataupun rehabilitasi suatu penyakit ataupun gangguan kesehat-an lainnya.

Tujuan penyajian makalah ini adalah menginventarisasikelemahan yang sering terjadi dalam percobaan klinik yangdapat menyebabkan kegagalan percobaan klinik tsb. Suatupercobaan klinik dapat dianggap gagal bila :• Tidak berhasil mencapai tujuan percobaan klinik yang telah

tercantum dalam protokol yang baik.• Tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tentang

permasalahan percobaan klinik tsb.• Penyakit penderita yang diikutsertakan dalam percobaan

klinik itu umumnya jadi lebih parah. Ini seharusnya sudahdapat diramalkan dari percobaan pra-klinik.

• Penderita mati karena intoxikasi obat yang sedang diujisekalipun segalanya telah menuruti protokol.

Di Indonesia, percobaan klinik pra-pemasaran belum pernahdilakukan (Percobaan klinik fase I, II dan III). Mungkin barubeberapa tahun lagi percobaan klinik pra-pemasaran akan dila-kukan di sini, tergantung pada sarana dan kemampuan personilyang ada. Yang lebih mudah dilaksanakan dahulu adalah faseIlI untuk obat-obat yang telah melewati fase I dan II di luarnegeri.

Percobaan klinik yang telah dilakukan di negara kita, semuatermasuk pasca - pemasaran, dalam arti di luar negeri obat tsb.telah dinilai dan boleh dipasarkan di negara yang bersangkut-an. Jadi percobaan klinik yang dilakukan di negara kita umum-nya pada saat ini bukanlah untuk memperoleh nomor registra-si, tetapi sekedar menyakinkan dan memberikan pengalamanpada dokter dalam menggunakan obat tsb. bagi pasien-pasien-nya. Percobaan klinik semacam ini biasanya banyak kelemah-an-kelemahannya, sering tidak memakai pembanding, proto-kolnya kurang baik, pelaksanaan sering menyimpang dariprotokol, dsb.

Percobaan Klinik dalam Pengembangan Obat Baru

Dalam pengembangan obat baru, tahap percobaan klinik barudikerjakan bila percobaan pra-klinik pada hewan telah selesaidengan kesimpulan : obat yang sedang diteliti memiliki perim-bangan positif perihal khasiat dan keamanannya sehingga patutdilanjutkan penelitiannya pada manusia.

Percobaan klinik fase I, II dan III tujuannya harus jelasagar data yang terkumpul benar-benar mantap dan dapatmenjawab pertanyaan-pertanyaan tentang farmako-dinamika,toxikologi (khasiat & keamanan) dan farmako - kinetika(absorpsi, distribusi, biotransformati, dan exkresi) pada orangsehat dan penderita. Data tersebut mutlak dibutuhkan sebelumsuatu obat diizinkan untuk dipasarkan. Setelah obat dipasar-kan sebenarnya masih perlu percobaan klinik fase IV, pasca -pemasaran, karena justru setelah digunakan secara luas, fre-kuensi atau persentasi tentang efektivitas dan keamanan obatitu dapat diketahui secara lebih tepat. Mungkin muncul khasiatbaru ataupun efek samping baru yang belum diketahui dalamfase percobaan klinik sebelumnya.

Secara garis besar kelemahan-kelemahan suatu percobaanklinik dapat ditelusuri dari :

1. Latar belakang dan pemasalahan yang mendorongdilakukannya percobaan klinik tsb.

2. Tujuan percobaan klinik 3. Perencanaan percobaaan klinik4. Pengorganisasian percobaan klinik -5. Koordinasi pelaksanaan percobaan klinik6. Pengendalian (kontrol) pelaksanaan percobaan klinik7. Penilaian (evaluasi) hasil percobaan klinik

1. LATAR BELAKANG PERCOBAAN KLINIK

Latar belakang percobaan klinik perlu dikemukakan berdasar-kan atas data ilmiah untuk memberikan sandaran yang kuatbagi percobaan klinik itu sendiri. Hal-hal yang patut diajukanadalah :

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 24: Cdk 025 Uji Klinik

— Frekuensi kejadian atau penyakit tsb. yang akan ditanggu-langi dalam masyarakat.

— Akibat lanjut yang dapat terjadi bila tidak ditanggulangi— Hasil studi praklinik dan klinik berikut kepustakaan ilmiah

yang menunjang.— Permasalahannya sekarang apa.Tanpa adanya latar belakang yang kuat dan permasalahanyang jelas sukar dipahami mengapa percobaan klinik ituperlu dilakukan dengan mengorbankan biaya yang cukupbesar dan mempertaruhkan keselamatan sekian banyakmanusia, apalagi bila misalnya dari hasil studi pra-kliniktelah dapat diramalkan bahwa obat yang akan ditest itu tidaklebih superior daripada obat yang telah ada dipasar.

2. TUJUAN PERCOBAAN KLINIK

Tujuan percobaan klinik yang akan dilakukan harus jelas danspesifik, sebaiknya secara tepat dikemukakan dalam satu ataudua kalimat saja, tak perlu panjang lebar dan berbelit-belit.Berikut ini adalah beberapa contoh tujuan, percobaan klinikyang kurang jelas dan tidak spesifik :• Menentukan efektivitas terapi hipertensi dengan obat X• Mengetahui mekanisme kerja efek samping obat X terhadap

susunan saraf pusat.• Menetapkan keamanan penggunaan obat X pada orang

dewasa.Peneliti harus mengetahui bidang cakup permasalahan danhendaknya menyadari bahwa tak mungkin menjawab terlalubanyak pertanyaan sekaligus, apalagi dengan pelbagai saranayang terbatas.

3. PERENCANAAN PERCOBAAN KLINIK

Kunci keberhasilan percobaan klinik sebagian besar terletakpada perencanaannya, dan seluruh perincian seluk-belukrencana percobaan klinik tercantum dalam protokol. Protokolyang tidak lengkap hanya akan menghasilkan data yang taklengkap dan meragukan, sehingga dapat menjurus pada kesim-pulan yang salah dan membahayakan penderita.

Beda pendapat perihal efektivitas anti-koagulan dalamterapi infark miokard akut amat mungkin disebabkan olehketidaksempurnaan protokol dalam hal seleksi penderita yangdiikutsertakan dalam percobaan klinik itu. Berikut ini adalahcontoh hal-hal pokok yang harus tercantum dalam suatuprotokol percobaan klinik :

1. Judul penelitian2. Latar belakang dan permasalahan3. Tujuan Percobaan Klinik (umum dan khusus)4. Populasi Percobaan Klinik :

* Seleksi penderita* Kelompok pembanding

5. Pengecualian penderita6. Disain Percobaan Klinik (cara penyamaran, cara

pengelompokan, dsb.)6. Rencana dosis dan pemberian obat

7..Parameter untuk menilai respons dan efek samping obat

8. .Pengembalian obat dan sebab-sebabnya 9. Drop - out10. Evaluasi hasil (tabel-tabel, kurva dan cara statistik yang

akan digunakan)11. Persetujuan subjek (voluntir sehat atau penderita)12. Formulir laporan kasus

Hal lain penunjang Percobaan Klinik :

• Daftar alat dan jumlahnya yang tersedia di laboratoriumdan akan digunakan dalam percobaan klinik tsb.

• Daftar personil :— tugas/peranan tiap personil— kualifikasi personil— pengalaman dan publikasi personil

Protokol yang sama sekali tidak lengkap ternyata masihterjadi, sekalipun di USA, seperti contoh di bawah ini yangpernah disampaikan pada FDA :

Study Design :Open evaluation of Drug X in the treatment of myoclonic andakinetic seizure disorders in children that are refractory to recentlyavailable agents.

Patient Selection :An indefinite number of patients will be treated with the drug.

Clinical Record :Comprehensive clinical and laboratory reports will be furnishedby the company.

Populasi Percobaan Kilnik

Seperti halnya dengan penelitian-penelitian lain, batasanpopulasi percobaan klinik harus jelas, menyangkut jenispenyakit, umur, sex, berat badan, lokasi, ras, jumlah, dsb.Ini penting karena hasil suatu percobaan klinik, hanya akandapat menjawab pertanyaan dalam ruang lingkup populasiitu saja, dan tidak dengan sendirinya dapat berlaku untuksegala macam populasi. Tambahan lagi yang dapat dijawabadalah hanya yang sebelumnya sudah direncanakan (yangtercantum dalam protokol percobaan klinik itu). Bila perlu,stratifikasi populasi harus dilakukan untuk meningkatkankecermatan penelitian.

Dalam suatu percobaan klinik adanya pembanding mutlakdiperlukan untuk memperoleh kebenaran. Pembanding seha-rusnya menjalani perlakuan yang persis sama dan serentakbersama kelompok yang diuji. Pembanding ini seringkalidilupakan atau tidak mengalami perlakuan yang sama danserentak dengan kelompok yang diuji; sehingga hasil percobaanklinik itu sendiri jadi tidak bernilai ilmiah, karena kita tetapdihadapkan pada keraguan. Untuk meningkatkan kecermatanpercobaan klinik selain ada kelompok pembanding, percobaanklinik tsb. sebaiknya dilakukan secara acak tersamar ganda(Random and double blind).

Memang dalam setiap percobaan ataupun penelitian,"Controlled trial " selalu lebih baik daripada "uncontrolledtrial" . Yang penting dalam hal ini ialah secara cermat harusdapat dibandingkan antara dua tindakan : diberi obat dantidak diberi obat; atau diberi obat A dan diberi obat B. Bahwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 23

Page 25: Cdk 025 Uji Klinik

"controlled group" diambilkan dari suatu "prospective trial"ataukah "retrospective trial" tidak masalah selama semuavariable yang dapat mempengaruhi hasil percobaan dapatdikendalikan.

Kegagalan dalam menetapkan faktor yang harus dikendali-kan tentu dapat mengakibatkan penyimpangan hasil kompara-si. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak sekaliusaha mengkomparasi percobaan prospektif dengan hasilretrospektif, baik yang hanya berupa pengalaman biasa yangtidak disusun secara sistimatik terencana, maupun suatu studiretrospektif yang terencana dan amat sistematik. Contohbahan-bahan retrospektif yang amat berguna untuk studikomparatif adalah medical record penderita di Rumah Sakit.Untuk meningkatkan kecermatan dan sistematika agar tercapaimanfaat studi retrospektif yang maksimal dapat saja digunakankomputer misalnya.

Formulir Laporan Kasus Klinik.— Merupakan laporan pelaksanaan protokol— Isinya tentu saja harus sesuai protokol—Hal yang diamati, skala pengukuran, tes laboratorium,

waktu dan jadwal pengukuran dsb. semua harus sesuaiprotokol .

— Tambahan pengamatan baru sebenarnya tidak perlu lagiapalagi bila "sekedar ingin tahu" dan tak ada dasar ilmiahatau administratif yang kuat.

Dari satu ke lain kasus, laporan ini harus seragam. Penyimpang-an dari protokol dapat berakibat kesulitan besar keseluruhanpercobaan kilnik.

Persyaratan dari segi Hukum.Penelitian klinik untuk obat baru diatur oleh DepKes yangpasti dasarnya tak akan berbeda dengan peraturan FDA diUSA, karena tujuannya sama yaitu melindungi keselamatanpenderita dan masyarakat. Hal-hal yang menyangkut segihukum tentu juga harus tercantum dalam formulir laporankasus tsb. Ini mencakup semua kelompok termasuk kelompokpembanding, meliputi umur, kelamin, penyakit dengan tingkatkeparahannya, obat lain yang sedang atau pernah diperolehsebelumnya, efek samping yang pernah dialami dsb.

Disain dan Biostatistik.Ini adalah jantungnya percobaan klinik. Membuat disain danmemilih perhitungan statistik suatu percobaan klinik adalahseperti membuat disain suatu bangunan, perlu jelas dahulu :— tujuan penggunaan bangunan tsb. (untuk pabrik : pabrik

apa? untuk RS : RS apa? untuk sekolah : sekolah apa?untuk laboratorium kimia : lab kimia apa? dsb.)

— bagian esensial & non esensial apa yang harus ada?— daya tampung optimal— kwalitas bahan yang ingin dipakai & alat-alat apa yang

direncanakan ada di sana.— daya tahan yang diharapkan

perlengkapan yang diinginkan—bahan apa yang akan disimpan dalam bangunan itu— urutan proses kegiatan dalam bangunan itu—keadaan lingkungannya

— sumber-sumber yang ada (kualitas &kuantitas)— masukan dan keluaran/buangan yang diperhatikan sesuai

dengan ciri & sifat masing-masing bahan.Hal-hal esensial yang harus terpenuhi bila bangunan itu selesaijuga harus dijelaskan, misalnya :

• harus memenuhi syarat kesehatan bagi yang tinggal ataubekerja dalam bungunan itu ataupun bagi lingkungannya.

• harus dapat berfungsi dengan baik sesuai tujuan semula,untuk masa kini dan masa mendatang untuk kurun waktuyang telah ditentukan sebelumnya.

• memiliki nilai arsitektur/seni/model yang telah ditentukansebelumnya.

Ini semua tentu saja harus direncanakan meliputi tempat, alat,manusia dan dananya. Tentu saja ada variasi dalam kualitasdan kuantitas dari satu kelain bangunan. Nah, demikian pulahalnya dengan percobaan klinik.

Jumlah dan jenis variable dapat ditentukan sekehendakhati, asalkan direncanakan sebelumnya — sama halnya denganjumlah dan macam fasilitas yang diinginkan untuk suatubangunan. Semakin banyak pertanyaan yang ingin dijawabdalam suatu percobaan klinik, semakin banyak pula variabelyang harus diamati dan semakin banyak sarana dan dana yangdibutuhkan.

Dimanakah peranan ahli biostatistik dalam suatu percobaanklinik? Ahli biostatistik harus terlibat dari sejak awal sampaitahap terakhir percobaan klinik, dari tahap perencanaan,pembuatan protokol sampai evaluasi hasil; analog denganperanan "quality & quantity surveyor & controler" dalamproyek bangunan.Dalam percobaan klinik beberapa hal memang analog, sepertimisalnya :

• Alat-alat percobaan untuk studi farmakodinamika (khasiat& keamanan) jelas berbeda dengan alat studi farmakokine-tika, demikian pula halnya dengan alat untuk studi toxiko-logi.

• Kualitas alat yang tersedia juga bermacam-macam, bervaria-si dari yang murah sampai yang mahal, dari yang tidakcermat sampai yang amat cermat, dari yang mudah rusaksampai yang awet dsb. Demikian pula halnya mengenaivariasi kualitas bahan-bahan lain.

• Urutan kegiatan dalam percobaan klinik harus disusunsedemikian rupa sehingga melancarkan pengerjaan misal-nya : kriteria seleksi penderita harus dijelaskan dahulusebelum kita melakukan pemberian obat yang akan ditest.

Pembahasan terperinci tentang titik lemah dalam disain danbiostatistik percobaan klinik dicakup dalam makalah Dr. AriniSetiawati.

Kualifikasi pelaksana Percobaan Klinik.Kualitas dan kuantitas pengetahuan dan pengalaman pelaksanapercobaan klinik amat menentukan kualitas percobaan klinik -dan hasilnya.

Untuk percobaan klinik fase I yang ingin ditentukan adalahaktivitas biologik dan kinetika obat yang sedang diuji padamanusia sehat.

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 26: Cdk 025 Uji Klinik

Fase II awal bertujuan menentukan potensi kegunaan danbatasan dosis obat tsb. pada penderita. Dalam fase ini juga dila-kukan review perihal kemungkinan toksisitas lain obat itu padahewan dan melakukan percobaan khusus misalnya efeknyaterhadap sistim reproduksi, sebelum melangkah lebih lanjutke fase percobaan klinik selanjutnya. Fase II akhir bertujuanmenentukan bentuk dan besarnya dosis yang tepat untuktiap indikasi beserta penelitian yang lebih mendalam perihalbiotransformasi obat itu atau pengaruhnya terhadap metabo-lisme tubuh.

Pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk me-mimpin dan melakukan Fase I,11 awal dan II akhir adalah :

Fisiologi dan Farmakologi komparatif pada hewan percoba-an.

— Fisiologi dan Farmakologi pada manusia Patologi, patofisiologi dan farmakologi klinik

— Melakukan penelitian yang baik pada manusiaTugas itu biasanya dipikul oleh seorang ahli farmakologiklinik

Fase III bertujuan mempelajari khasiat dan keamanan obatitu pada jumlah populasi penderita yang lebih besar. Dalamfase ini dicoba diketahui perkiraan kejadian efek sampingyang sering terjadi serta berapa tinggi efektifitas obat ituterhadap indikasi-indikasi yang telah ditetapkan. Percobaanklinik Fase III ini sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialisdi klinik yang berpengalaman dalam merencanakan, melaku-kan dan menilai percobaan klinik yang baik.

Berikut ini adalah daftar bidang keahlian yang perlu diikutsertakan dalam team percobaan klinik :

1. Ahli Farmakologi Klinik2. Ahli Biostatistik3. Ahli Patofisiologi4. Ahli Patologi Klinik atau Kimia Klinik5. Ahli Biokimia6. Ahli Bidang-bidang Klinik yang sesuai dengan arah

indikasi penggunaan obat yang akan dites (Kardiolog,Neurolog, Psikiater, Opthahnolog, dsb.)

Mereka ini perlu duduk bersama merundingkan dan merenca-nakan segala sesuatunya yang relevan dengan percobaan klinikyang ingin dilakukan. Tentu saja kemampuan dan kesediaanmenyisihkan waktu yang tepat, sesuai jadwal yang disepakatibersama merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi demisuksesnya percobaan klinik itu.

yang pada akhirnya dapat menggagalkan percobaan klinikitu sendiri.Sebaiknya ketua team dipilih berdasarkan :(a) Fase Percobaan Klinik yang akan digarap. Ini erat berhu-

bungan dengan titik berat permasalahan yang dihadapi.Misalnya pada fase I titik berat masalahnya terletak padafarmakologi dan ini masa peralihan dari fase percobaanpada hewan ke percobaan pada manusia, manusia sehatbelum pada manusia sakit. Jadi sebaiknya fase ini dike-tuai oleh seorang ahli farmakologi klinik.Fase III, titik berat masalah lebih pada klinik, mengetahuiderajat efektivitas dan keamanan obat yang dites padapopulasi penderita yang lebih besar. Jadi fase ini sebaik-nya dipimpin oleh seorang dokter spesialis tertentu dalambidang klinik yang relevan dengan indikasi penggunaanobat tsb.

(b) Kemampuan manajemen percobaan klinik yang baik, amatdibutuhkan, mencakup seluruh aspek manajemen mulaidari Planning, Organizing, Coordinating, Control danEvaluation.

(c) Memiliki ciri kepemimpinan yang baik, misalnya :• Tidak selalu merasa bahwa dirinyalah yang paling

benar• Tidak meremehkan peranan anggota team,bagaimanapun

sederhananya pekerjaan dia, dsb.(d) Berpandangan luas meliputi bidang ldinik dan praklinik.

5. PENGENDALIAN PERCOBAAN KLINIK.

Dalam pengendalian selalu perlu diperiksa/dilihat lagi apakahpelaksanaan percobaan klinik arahnya menyimpang dari tujuanatau tidak. Apakah tiap anggota team benar-benar melaksana-kan tugasnya sesuai jadwal waktu yang tercantum dalamprotokol; bila tidak, mengapa dan bagaimana mengatasi masa-itu.

Peranan umpan balik amat penting dalam keseluruhanmanajemen percobaan klinik. Ini mencakup banyak aspekyang menuntut kecepatan dan ketepatan informasi, baik aspekmanusia, manajemen, material, machine (alat) metode,ataupun money (dana).

Sistem informasi timbal balik vertikal dan horizontal harusditata dan direncanakan dengan baik agar percobaan kliniktidak gagal.

4. ORGANISASI DAN KOORDINASI PERCOBAAN KLINIKSeperti halnya dengan organisasi lain, team percobaan

klinik hanyalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan.Agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal, cepat, danbermutu tinggi maka anggota organisasi itu terdiri dari spesi-alis-spesialis yang memang ahli dan berpengalaman dalambidangnya masing-masing. Dalam organisasi percobaan klinikkedudukan seseorang ahli, tidak lebih rendah ataupun leibhtinggi dari ahli . yang lain. Jadi janganlah beranggapan bahwaketua team percobaan klinik itu dianggap lebih pandai danlebih penting dengan ahli yang lain. Anggapan semacam itudapat mengganggu kelancaran kerja team percobaan klinik,

6. PENILAIAN (EVALUASI) HASIL PERCOBAAN KLINIKSebaiknya semua variabel yang ingin diukur dalam suatupercobaan disusun dan dicantumkan dalam suatu daftarbersama dengan metoda pengamatan, alat yang akan diguna-kan, jadwal waktu pengamatan variabel-variabel tsb.

Parameter hendaknya dipilih yang spesifik dan selektifmengukur apa yang ingin diukur, merupakan akibat atau hasillangsung dari proses, keadaan atau penyakit yang sedang diuji.Umumnya semakin jauh hubungan antara gejala dan kausa,semakin tidak spesifik gejala itu dan semakin tidak telitipercobaan klinik tsb. Sedapat mungkin harus diusahakan agarparameter itu objektif, tidak subjektif. Bila perlu dilakukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 25

Page 27: Cdk 025 Uji Klinik

penilaian bertingkat tetapi kriterianya harus jelas dan semua-nya harus tercantum dalam protokol. Usahakanlah pula agarpengamatan dan penilaian hasil dilakukan oleh satu oranguntuk mengurangi variasi penilaian antara satu kelain penilai-an.

Janganlah menggunakan metoda pengukuran yang belumterbukti kebenarannya, atau belum memberikan hasil yangkonsisten untuk suatu hal yang tidak berubah.

Selalu harus diuji apakah hasil akhir percobaan klinikbenar-benar sudah menjawab secara memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan dalam penyusun-an protokol. Bila belum, dimana kekurangannya.

Peninjauan menyeluruh oleh semua anggota team perludiadakan untuk menyempurnakan hasil, kadang-kadangdiperlukan orang dari luar team itu untuk memberikan kritiktentang percobaan klinik tsb.

7. PENGERTIAN ISTILAH DAN PENYELESAIAN LAPOR-AN.

Dari sejak awal sebelum percobaan klinik dimulai, pengertiansetiap istilah penting yang menyangkut percobaan klinik itu

harus disamakan dahulu. Sulit dibayangkan betapa kacaunyapembicaraan percobaan klinik itu bila masing-masing anggotateam mempunyai pengertian yang berbeda-beda tentang

istilah-istilah pokok dalam percobaan klinik itu sendiri.Seandainya telah mulai berjalan dan informasi vertikal

ataupun horizontal antara bagian dalam organisasi percobaanklinik itu telah mulai sibuk, maka akan terasa sekali kebutuh-

an pengisian kartu laporan yang benar. Kesalahan pengetikankata dan angka potential dapat mengacaukan evaluasi hasil.Pengetikan laporan hendaknya dilakukan oleh orang yangtepat, yang tidak hanya mementingkan kecepatan, tetapijuga kecermatan diutamakan. Demikian pula halnya denganpengetikan laporan akhir bila percobaan klinik telah selesai,kejelasan ketelitian dan kecermatan tetap dibutuhkan; karenamemang percobaan klinik sendiri bertujuan menjelaskan halyang tidak jelas dan bukan mengaburkan hal yang sudah tidakjelas itu.

PENUTUPSekalipun Indonesia pada saat ini belum mampu menciptakansenyawa kimia baru yang dapat digunakan untuk pencegahan,diagnosa, terapi ataupun rehabilitasi penyakit tetapi saatnyatelah tiba untuk kita mempelajari cara-cara melakukan perco-baan klinik yang baik dan benar. Untuk itu maka pengalamannegara-negara maju baik yang positif maupun yang ,negatifpatut dikaji agar kita dapat menghemat waktu dan biaya dalammencapai keadaan yang lebih baik.

KEPUSTAKAAN1. Martin EW (Ed.) Hazards of Medication. Philadelphia — Toronto :

JB Lippincott Co.2. Mc Mahon FG (Ed.). Principles and Technique of Human Research

and Therapeutics. A series of Monographs — Vol. IV. New York :Futura Pub. Inc, 1974.

3. Cranberg L. Do retrospective controls make clinical trials inhe-rently fallacious ? Brit Med J. 1979; 2 : 1265 — 1266.

SEBAB — SEBAB KEMATIAN PARA AHLI ANESTESI

Dengan makin sering dan makin banyak dipergunakanya gas-gas pembius yangberunsur fluor, maka timbul dugaan bahwa gas-gas ini merupakan faktor pengganggukesehatan khususnya bagi para ahli anestesi.

Oleh Dr. Linde dkk. dari Northwestern University USA telah dibandingkansebab-sebab dan angka-angka kematian para ahli anestesi diantara tahun 1930 s/d 1946dengan sebab-sebab dan angka-angka yang sama setelah tahun-tahun itu.

Angka kematian diantara tahun 1930 — 1946 kurang lebih sama dengan angkakematian diantara tahun 1947 — 1956, akan tetapi lebih besar dari angka kematiandari tahun 1957 — 4971.

Sebab kematian utama para ahli anestesi ialah penyakit kardio-vaskuler dantumor ganas.

Dari jenis tumor ganas, tumor yang berasal dari traktus digestivus merupakanyang paling sering ditemukan sedangkan tumor-tumor dari traktus respiratorius justrupaling sedikit !!.

Hasil-hasil penelitian ini memberi kesan bahwa gas-gas pembius berunsur fluoryang mulai dipergunakan sejak tahun 1950—an mungkin tidak membahayakan kese-hatan.

OLHNTIS, Medicine & Biology, Aug. 11, 1981

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 28: Cdk 025 Uji Klinik

Uji Klinik Multi-Centerdr.Iwan DarmansjahBagian FarmakologiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PENDAHULUAN

Uji klinik adalah suatu cara menguji secara experimen,mengenai keampuhan suatu pengobatan pada kohort penderitadengan maksud mendapatkan hasil bukti ilmiah tentang man-faat dan kerugian dari pada metode pengobatan yang diguna-kan. Dalam melakukan percobaan ini selalu dikerjakan per-bandingan antara dua atau lebih cara pengobatan. Sehinggapada akhir uji klinik kita dapat mengetahui status pengobatantertentu untuk dipakai sebagai dasar pertimbangan dalammengambil kebijakan pengobatan penderita selanjutnya. Carapendekatan mengobati penderita seperti ini adalah yang ter-baik, dan cara ini perlu menggantikan cara-cara yang lamayang didasarkan semata-mata atas pengalaman dan empiritanpa diuji kebenarannya (1).

Percobaan seperti diatas biasanya dikerjakan oleh satu ataulebih penyelidik dalam satu center, rumah sakit atau klinikatau tempat praktek dokter. Lokasi yang tunggal ini dapatlebih menjamin uniformitas dalam menerapkan kriteria untukseleksi dan evaluasi penderita, yang merupakan syarat pentingdalam menegakkan mutu uji klinik yang baik.

Namun bila diperlukan jumlah penderita yang banyakuntuk memenuhi syarat uji klinik dan lagi untuk memper-singkat waktu penyelidikan, maka dapat digunakan lebihdari satu center. Uji klinik jenis ini disebut Uji Klinik Multi—Center (UKM). Jumlah penderita yang diperlukan untuksuatu uji klinik sehingga memenuhi syarat telah dikemukakanoleh Clark & Downie (2).

ORGANISASIKarena dalam UKM diikutsertakan banyak penyelidik

maka perlu dibentuk suatu organisasi kecil untuk mengaturjalannya penyelidikan. Tujuan terpenting dari organisasiini ialah untuk menjaga supaya semua kriteria penilaiandilakukan se-uniform mungkin. Suatu UKM dipimpin olehsuatu coordinating center yang biasanya terpisah dari centerklinik, dan mempunyai tugas merencanakan, mengkoordinasidan mengontrol seluruh UKM.Selain itu ia harus menerima,memproses, dan menganalisa data yang masuk dari center-center yang berpartisipasi, serta bertanggung jawab dalampublikasi makalah yang dihasilkan. Coordinating center iniharus diketuai oleh satu orang yang menentukan mengenaisegala kebijakan, yang tentunya dapat dibantu oleh orang-orang lain dalam pekerjaannya. Selain itu pembantu-pembantu

diatas perlu mengadakan hubungan dengan center-centerklinik dan karena itu perlu memiliki pengetahuan cukupuntuk dapat memberikan bimbingan dan kepemimpinan.Dalam melakukan uji klinik sering sesuatu yang sudah dipu-tuskan perlu diubah karena kondisi lapangan lain sekali de-ngan apa yang telah direncanakan. Hal ini terutama terjadipada UKM dan ini memerlukan kebijakan yang menyeluruh,diikuti oleh center-center yang lain.

Anggota coordinating center dalam bentuk yang sederhanadapat terdiri dari 1 — 2 orang namun dalam uji klinik yangbesar dan lama perlu diikutsertakan 4 — 8 orang. Siapasaja yang mengerti mengenai seluk beluk uji klinik dapatduduk dalam coordinating center ini, tetapi biasanya menyang-kut keahlian seperti drug—epidemiologi, farmakologi (klinik),klinik dan statistik (tidak disebut dalam urutan pentingnyadisiplin). Harus dijaga supaya coordinating center ini tidakterlalu banyak orang sehingga kehilangan efisiensi dan kese-ragaman dalam berfikir.

Mereka yang bertanggung jawab dalam pelayanan pasiendidalam center (klinik) juga diikutsertakan sebagai tenagaeksekutif dan membentuk semacam sub—panitya dari co-ordinating center.

Suatu advisory committee bisa melengkapi struktur organi-sasi ini dan berguna untuk menanggapi jalannya trial darisegi-segi lain yang belum terpikirkan, namun tidak mempunyaihak untuk mengubah jalannya trial. Gambar 1 memperli-hatkan suatu contoh struktur organisasi suatu UKM yangsederhana.

Gambar 1 : Contoh struktur organisasi suatu UKM

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 27

Page 29: Cdk 025 Uji Klinik

Bila sponsor yang membiayai UKM ini mempunyai ahlinyamaka sebaiknya tidak dimasukkan dalam Coordinating Center,namun dalam Advisory Committee. Hal ini untuk mencegahtanggapan terhadap credibility dari hasil UKM tersebut.

Didalam UKM yang telah diadakan untuk menguji keam-puhan obat-obat antidiare (3,4) telah ditempuh organisasiyang sederhana dengan hanya 2 orang di dalam CoordinatingCenter. Sedangkan Sub—Panitya tidak ada. Koordinatormempunyai hubungan langsung dengan para penyelidikdalam 16 — 120 center klinik. Semakin sederhana hubunganorganisasi memang semakin praktis dalam pelaksanaannya.Namun pengalaman menunjukkan bahwa koordinator benar-benar harus berfungsi sebagai pembimbing dan penghubung.Tidak hanya pada permulaan uji klinik, tetapi sewaktu-waktuperlu diadakan pertemuan bersama dengan penanggung jawabdi center klinik untuk menilai dan mendiskusikan seluruhkegiatan. Suatu organisasi yang baik akan menjamin keberha-silan UKM dan tanpa adanya kerja sama seperti diatas tidakmungkin UKM dapat dipercayai hasilnya.

Kerja sama seperti ini menjadi lebih sulit bila berbagaicenter klinik letaknya berjauhan dan sering malahan di negara-negara lain. Dua jalan dapat ditempuh untuk mengatasi ini,yaitu dengan mengadakan pertemuan berkala dan/atau pembu-atan protokol tertulis yang ketat.

Organisasi seperti digambarkan diatas tidak selalu harusdiikuti secara mutlak, karena jenis uji klinik tentu berbeda-beda dan karena itu bisa ditempuh modifikasi lain.

LAIN PERBEDAAN

Prosedur, protokol dan pelaksanaan suatu UKM sebenarnyapada prinsip sama dengan suatu uji klinik biasa. Namun selainperbedaan dalam organisasi yang telah dikemukakan, adabeberapa hal yang perlu kita perhatikan.1. Objektif

Berhubung dengan banyaknya center klinik yang ikutserta, objektif dari penelitian perlu lebih jelas dirumuskanhitam atas putih. Walaupun tujuan suatu uji klinik biasanyajelas dan tidak sulit —misalnya membandingkan efektivitassuatu pengobatan dengan yang lain— namun selain ini selalumasih ada tujuan-tujuan sekunder. Misalnya, efek sampingmerupakan sesuatu yang perlu sekali dinilai, karena walaupunefektivitas pengobatan<sangat berhasil, pertimbangan benefit-risk ratio selalu adalah penilaian terakhir.

Bila suatu skedule pengobatan sangat ruwet, harus dinilaiapakah ketidakpatuhan penderita tidak merupakan sesuatuyang akan memberi hasil berlainan jika nanti akan dipakaidalam pengobatan rutin (dalam suatu uji klinik akan terciptasuasana penyelenggaraan yang lebih baik).

Penilaian dari hal-hal seperti diatas perlu sekali diadakandan karena itu sebelum uji klinik dimulai sudah harus diru-muskan dan kemudian diperhitungkan dalam membuat kartustatus penderita. Hal-hal ini mempakan sebab mengapa tujuansuatu UKM harus jelas dijabarkan.

2. Alasan untukmembuat UKMSuatu UKM yang dikerjakan dengan baik memerlukan

biaya yang besar. Karena itu seorang penyelidik harus mem-pertimbangkan dengan masak sekali, alasan-alasan apa yangmenyebabkan ia melakukan suatu UKM. Sebagian besar dari

UKM yang dikerjakan di Indonesia menurut perkiraan, berasaldari inisiatif produsen guna menunjang pemasaran produk-sinya. Tidak ada pelanggaran etik dalam mengerjakan ujiklinik semacam ini, namun hasil yang diperoleh harus mengan-dung kebenaran. Banyak uji klinik, single - dan multi - cen-tered, telah menyalahi prinsip ini sehingga menjerumuskansejawat yang tidak kritis menilai hasilnya. (5)

Banyak alasan bisa diambil untuk memulai suatu UKM.Seorang bisa saja berpendapat bahwa suatu pengobatan ter-tentu perlu dibuktikan apakah efektif dan superior terhadapsuatu pengobatan lain. Dibawah ini terdapat alasan-alasan yangberguna dalam pertimbangan kita mengadakan suatu UKM.a) Penyakit menyangkut masyarakat luas. (Antihypertensive

study)b) Kondisi penyakit atau reaksi obat berbeda-beda dalam

masyarakat. (asetilasi INH)c) Penyakit berat, terutama yang belum established pengobat-

annya perlu dicari pengobatan yang terbaik, bila ada.(karsinoma)

d) Penyakit yang mempunyai dampak besar terhadap masalahkesehatan masyarakat. (diare)

e) Adanya keraguan efektivitas suatu pengobatan tertentu,karena efek penyembuhan tidak dramatis dan sulit terlihat.(hepatitis akut & kronik)

f) Pembuktian efektivitas jamu -g) Memastikan efektivitas suatu obat untuk suatu indikasi

lain (Beta—Blockers untuk hipertensi)h) Kecurigaan bahwa efek obat mempunyai hasil lain pada

kohort-kohort penduduk tertentu. (acceptability Depo —provera)

i) Efektivitas obat tidak jauh berbeda dengan plasebo.(diarenon—spesifik)

Dengan mengambil alasan yang baik untuk mengadakanUKM, maka penyelidik menjamin kemanfaatan dari uji klinikdan tidak semata-mata untuk kepentingan produsen obat.

3. Perencanaan UKM

Merencanakan suatu UKM lebih sulit dari pada uji klinikyang dilakukan dalam satu center. Hambatan dalam pelaksa-naan sangat besar dan terjadi dalam bidang apa saja. Dalamsuatu trial yang kami lakukan untuk mengetahui kadar kotri-moksasol pada penderita typhoid, terjadi hal yang anehdimana kadar kotrimoksasol tidak menentu, kadang-kadangtinggi sebelum obat diberi dan rendah setelah obat diberikan.Setelah diusut, ternyata perawat tidak mematuhi jam jampemberian obat dan pengambilan darah, walaupun semua telahdiinstruksikan (dan diberi insentif ). Ini menandakan bahwapegawai paramedis perlu sekali dikhususkan bila akan diikut-sertakan claim suatu uji klinik, dilatih dan diberi pengertianmengenai pentingnya kepatuhan.

Prosedur dan formulir isian harus dibuat sebaik mungkin,tetapi keruwetan harus dihindarkan dan kelebihan informasiyang tidak akan dipakai harus dibuang. Banyak penyelidiktidak merencanakan protokol dengan baik, dan sering mema-sukkan data yang tidak relevan dengan objektif, tetapi denganalasan "siapa tahu akan dipakai nanti", dimasukkan dalamformulir isian. Hal ini menambah beban penyelidik denganakibat kurang cermatnya pelaksanaan.

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 30: Cdk 025 Uji Klinik

4. Pemilihan penderita dan kriteria penyembuhanSuatu uji klinik memerlukan penderita-penderita tertentu

untuk dinilai keberhasilan pengobatan tertentu. Namunbila penderita yang diobati tidak seragam sakitnya, bisa ter-dapat kesalahan dalam mengambil konklusi. Spesifikasi yangcermat dari penyakit yang akan diselidiki perlu sekali diru-muskan dan disetujui bersama. Hal-hal seperti umur, kelamin,lama penyakit, berat penyakit, penyakit yang menyertai,pengobatan yang telah diterima (pada penyakit kronis), harusditentukan dalam seleksi penderita dan kriteria ini tidak bolehsampai disalahartikan (ambiguous) oleh para sejawat dalamcenter-center klinik.

Juga kriteria penyembuhan harus jelas sehingga semuacenter mempunyai satu tolok ukur, karena apa yang dianggapsembuh oleh seorang penyelidik mungkin tidak dianggapnyademikian oleh sejawat lain.

5. Pemilihan centerCenter harus dipilih sedemikian rupa supaya tidak saja

peneliti ada ditempat, tetapi jumlah penderita yang akandiselidiki mencukupi. Bila jenis penderita yang diingini tidaktersedia cukup, maka waktu penyelenggaraan akan diperpan-jang dengan segala konsekuensinya.

Kadang-kadang suatu center tidak perlu terletak dalamsuatu rumah sakit yang besar, bila kita hendak menyelidikitentang hipertensi, diare, influenza dan lain-lain penyakityang memang pertama-tama akan dilayani oleh puskesmasatau dokter umum. Seorang penderita hipertensi yang sudahlama menderita dan diobati di rumah sakit, mungkin mempu-nyai ciri-ciri lain dari pada penderita yang datang berobatke puskesmas. lnilah alasan mengapa puskesmas atau praktekdokter umum adalah tempat yang baik sekali untuk UKMseperti diatas (6, 3). Selain itu penyakit yang diselidiki adalahyang mencerminkan keadaan sebenarnya.

Selain center klinik, suatu UKM memerlukan juga fasilitasuntuk membuat foto rontgen, pemeriksaan laboratorium,pemeriksaan kardiogram, pembuatan sediaan patologi, dansebagainya. Bila mungkin semua pemeriksaan seperti ini dila-kukan di satu tempat. Maksudnya tentu untuk menjagauniformitas prosedur dan penilaiannya. Penilaian kardiogramsebaiknya tidak dikerjakan oleh dokter yang juga memeriksaklinis penderitanya, tetapi oleh seorang lain guna mengurangibias.

6. Kode obatKarena double—blind, controlled, randomized clinical trial

adalah yang paling baik untuk menjamin hasil penelitian, makaobat yang dipakai termasuk plasebo, harus dibuat dalam ben-tuk dan warna yang sama. Ini dapat dikerjakan di pabrik obat,tetapi jika tidak ada persoalan dalam bioavailability, semuaobat dapat dimasukkan dalam kapsul oleh hospital pharmacy.

Untuk menjaga supaya jumlah penderita dalam tiap kelom-pok perlakuan tidak terlalu banyak berbeda, maka sebaiknyadilakukan block-randomization (7). Hal ini dikerjakansebagai berikut :• Bagilah penderita dalam beberapa block atau kelompok

yang sama besarnya.• Tetapkanlah perlakuan pengobatan sedemikian supaya

dalam tiap block penderita terdapat jenis pengobatan yang

sama banyaknya dalam segala kemungkinan.Contoh

Misalkan terdapat 2 jenis pengobatan A dan B untuk 24penderita. Dengan menggunakan block randomization kitadapat membagi 24 penderita ini dalam 6 block dari 4 pen-derita. Enam kelompok penderita ini diberi pengobatan se-bagai berikut:

1 2 3 4 5 6

A B A B A BA B B A B AB A A B B AB A B A A B

Kemudian 6 kelompok ini diacak untuk menemukan urutanpengobatan menurut datangnya penderita di klinik. Rando-misasi ini misalnya memberikan hasil sebagai berikut : 2, 6,4, 3, 1, 5.Maka penderita 1 — 24 mendapat pengobatan sebagai berikut :

Penderita No. 1 2 3 4 5 6 7 8

Pengobatan B B A A B A A B

Block 2 6

Penderita No. 9 10 11 12 13 14 15 16

Pengobatan B A B A A B A B

Block 4 3

Penderita No. 17 18 19 20 21 22 23 24

Pengobatan A A B B A B B A

Block 1 5

Dengan demikian setiap penderita yang datang sudah dapatdiberi jenis pengobatan A atau B dengan menjamin randomi-sasi yang baik . Sedangkan tidak akan dikhawatirkan bahwapengobatan A akan jauh lebih banyak dari pada pengobatan B,karena setelah setiap 4 penderita, perlakuan A atau B adalahsama. Dalam UKM block—randomization ini dapat dikerjakanuntuk tiap center.

Tiap penderita sudah harus disediakan obat yang akan diuji,dengan disertai nomor kode, sebanyak jumlah penderita.Kunci dari nomor kode ini disimpan oleh penanggung jawabdalam coordinating center dalam suatu amplop tertutup,dan hanya boleh dibuka sesudah pendataan penderita selesaiatau dalam kasus darurat.

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATABila jumlah penderita masih dalam batas-batas 100—300,

maka pengumpulan data belum merupakan beban yang berat.Sebaiknya semua data dikumpulkan sedikit demi sedikitdan diolah sekalian, dan jangan menunggu sampai seluruhtrial selesai. Bila digunakan komputer—dewasa ini di Indonesiabisa diperoleh "Microprocessors " untuk kira-kira Rp. 5 juta —Rp. 11 juta — maka data dapat langsung dimasukkan dandisortir olehnya. Walaupun demikian anggota CoordinatingCenter perlu melihat status satu per satu untuk memperolehimpresi tentang variasi data yang ada.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 29

Page 31: Cdk 025 Uji Klinik

Untuk pengolahan data selanjutnya pembaca dipersilahkanmelihat makalah Dr. Arini Setiawati.

Draft akhir yang akan dipublikasi sebaiknya diperlihatkansedikitnya pada para penanggung jawab di tiap center untukdiperoleh komentar dan kemudian diolah kembali dalammakalah final.

PENUTUPDalam karangan pendek ini belum dijelaskan segala detail

mengenai UKM. Sebagai tambahan dapat dipelajari tulisan-tulisan lain dalam nomor ini, serta rujukan, oleh karenadalam prinsip suatu UKM tidak banyak berbeda dengan ujiklinik satu center. Namun birokrasi suatu UKM lebih banyak,sehingga dapat dikatakan bahwa suatu UKM lebih sedikitmenggunakan pengetahuan klinik dari pada organisasi. Menu-rut Johnson (6) : "It is probably not an exageration to saythat a trial is one-tenth medicine and nine-tenths bureaucracy";apalagi suatu UKM.

Akhirul kata biarlah Johnson meneruskan pendapatnya :"Clinical trials are not for the faint—hearted. They demandof the persons organising them a rare combination of qualities.Enthusiasm, energy, a sense of purpose, clinical acumen,perspicacity,* organisational skills, the ability to get on withpeople, and familiarity with statistical techniques, are merelybasic requirements. It is also useful to have some of the

* "Wisdom and understanding in dealing with people or with facts"

qualities of an economist, a politician and a slave master.A finely developed sense of optimism is essential, and theability to work miracles (even minor ones) helps."

KEPUSTAKAAN

1. Darmansjah I. Evaluasi Ilmiah hasil pengobatan. Med Hosp. 1981 ;54: 2 – 4.

2.Clark C J, Downie CC. A Method for the rapid determination of thenumber of patients to include in a controlled Clinical Trial. Lancet1966; ii: 1357 – 1358.

3.Muchtar, A. Darmansjah I . Treatment of Non specific Diarrheawith Enteridex ®. A comparative study amongst General Practi-tioners. MKI. 1981; 31, 3 – 8.

4.Wilmana F, Suyatna D, Darmansjah I. A double-blind, placebocontrolled trial on acute non–specific diarrhea. Asian J of ClinSc (in press).

5.Muchtar A dkk.An assessment of Drug Trial Reports.(unpublished).6.Murphy J E. Clinical Trials in General Practice. Dalam : Clinical

Trials, editors : Johnson & Johnson. Blackwell Scientific Public1977.

7.Zelen M. The Randomization and Stratification of Patients toClinical Trials. J Chron Dis 1974; 27: 365 – 375.

RUJUKAN8.Friedman LM, Furberg CD, DeMetz DL. Fundamentals of clinical

trials. John Wright, 1981.9.Controlled Clinical Trials, Design and Methods. Official Journal

of the Society for Clinical Trials. 1981, Vol. 1, Number 4.l0.Importance of Experimental Design and Biostatistics. Ed: F. Gil-

bert McMahon, Futura publishing Company, 1974.

TAHUKAH ANDA ?

Beginilah peta angka kematian bayidi Asia Tenggara.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 32: Cdk 025 Uji Klinik

Masalah Uji Klinik Obat-Obatan Pada Anakdr. M. Sutan Assin

Bagian Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

Memang uji klinik obat-obatan pada anak dan janin enggandilakukan. Shirkey menyebutnya "the therapeutic orphans",suatu golongan manusia yang dalam segi obat-obatan tidakcukup mendapat perhatian. Masih terlalu banyak obat-obatandipasarkan oleh pabrik-pabrik obat yang produsennya tidakatau kurang tahu penggunaannya pada anak-anak dan wanitahamil, sehingga untuk menghindarkannya mereka memakaifilsafah burung onta dengan melarangnya untuk golonganpenderita ini. Tidak jarang kita menemukan pada pamfletobat-obatan tulisan-tulisan seperti : " ...............tidak dianjurkanuntuk anak-anak " atau "............tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah umur 2 tahun " atau ".................penggunaanuntuk bayi baru lahir tidak dianjurkan " atau " ........... hanyauntuk orang dewasa " dsb, dsb, tetapi hampir semuanyatanpa data yang jelas.

Rupanya produsen obat lebih cenderung untuk melarangatau membatasi penggunaan suatu obat pada anak dan ibuhamil daripada menghadapi suatu risiko yang tak terduga,karena tiadanya data uji klinik. Tetapi mengapa ada keeng-ganan untuk melakukan uji klinik pada anak-anak ? Ternyatabanyak faktor-faktor yang menyulitkan suatu uji klinik padaanak. Marilah kita membahas beberapa faktor penyulit ini :

A. Faktor orang tua.Pada umumnya orang tua menentang kalau anaknya diikut-sertakan dalam suatu uji klinik. Dan, kalaupun bersedia, mere-ka mengharapkan suatu imbalan yang menarik, karena mera-sa dirugikan. Lebih-lebih kalau anaknya masih kecil. Ber-beda dengan orang dewasa, sukarelawan hampir tidak ada.

B. Faktor anak.Selain adanya perbedaan antara orang dewasa dan anak ("Achild is not an adult in pocket size"), juga terdapat perbe-daan antara kelompok umur. Biasanya kita membaginya sbb. :1. Janin. Bayi masih dalam kandungan dan 100 % masih ter-

gantung pada ibunya.2. Bayi baru lahir (Neonatus) : sejak lahir sampai umur 28 hari3. Masa bayi (Infant) : 1 bulan sampai 12 bulan.4. Balita (Toddler) : 1 — 5 tahun.5. Anak sekolah : 6 — 13 tahun.6. Remaja (Puber) : 11 — 18 tahun.

Tiap kelompok umur mempunyai kekhususan tersendiri.Di sini hanya akan disebut beberapa contoh : Perbedaan cairan badan total : prematur 86 %; bayi 70 %;

"The adult may be safely treated as a child;The converse can lead to disaster"

Sir Lancelot Barrington — Ward.

Setiap dokter sewaktu memberikan obat atau resep padapenderita, akan bertanya pada diri sendiri :

1. Tepatkah obat ini ?2. Akan efektifkah obat ini ?3. Tepatkah dosisnya ?4. Berapa lama perlu diberikan ?5. Apakah akan ada efek samping ?6. Bagaimana pengaruh obat ini terhadap pertumbuhan

dan perkembangan si penderita kelak ?7. Apakah ada pilihan lain ?8. Apakah akan mempengaruhi kekebalan alaminya (na-

tural immunity) ?Seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis,senantiasa akan berhadapan dengan masalah-masalah ini.Apalagi kalau mengobati seorang anak, tidak jarang seorangdokter menjadi ragu-ragu, karena tidak selalu dapat menjawabpertanyaan-pertanyaan di atas dengan tepat.

Di mana sebenarnya letak kesulitan-kesulitan dalam terapiseorang anak ? Faktor-faktornya banyak, tetapi pada da-sarnya perlu disadari bahwa anak itu selalu dalam proses per-tumbuhan dan perkembangan dan dalam proses ini selaluakan terjadi perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Te-tapi juga akan ada hambatan-hambatan yang dapat meng-ganggu keseimbangan kesehatan si anak, baik karena faktor-faktor lingkungan ataupun penyakit-penyakit. Dengan mem-berikan obat kita bertujuan dan berusaha mengembalikankeseimbangan itu, supaya proses tumbuh kembang akan da-pat berlangsung secara optimal, agar kelak si anak itu menjadiseorang dewasa yang optimal pula. Tetapi sebaliknya kitamengetahui, bahwa obat itu sendiri, kalau penggunaannya ti-dak tepat, akan dapat mengganggu fungsi-fungsi dalam badan.

Jadi obat itu di satu pihak kita perlukan untuk terapi, te-tapi di lain pihak kita takuti karena sifat racunnya. Oleh ka-rena itu tiap obat perlu mengalami uji klinik yang teliti sebe-lum digunakan pada manusia, lebih-lebih pada anak dan ibuhamil. Masih segar diingatan kita bagaimana akibat kelalaiandalam hal ini, yaitu lahirnya bayi-bayi cacat karena obat thali-domide. Atau bagaimana tetrasiklin merobah warna gigi padaanak-anak yang baru diketahui bertahun-tahun kemudian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 3 1

Page 33: Cdk 025 Uji Klinik

remaja 55 %. Cairan ekstra-selular : prematur 50 %; bayi30 %; dewasa 20 %.

• Kadar lemak : prematur 1 %; neonatus normal 15 %.• Blood-brain barrier ; makin muda makin peka, umpa-

manya untuk barbiturat, morphine dll.• Metabolisme hepar : fungsi pada neonatus masih rendah,

contoh : khloramfenikol bisa menyebabkan "gray babies".• Ekskresi ginjal : pada neonatus masih rendah, suatu hal

yang sangat penting pada ekskresi obat-obatan.• Pengaruh hormon kelamin (sex hormones) : pada remaja

normal, pada bayi dan anak abnormal.• Prevalensi suatu kelompok umur untuk suatu penyakit um-

pamanya : Rubeola, yang sangat berbahaya untuk janinmuda.

Di samping perbedaan antara kelompok umur, juga ada per-bedaan lain yang penting seperti :• Keadaan gizi : kurus, normal, sangat gemuk.• Tinggi badan : pendek, normal, tinggi.• Kecerdasan dan ketrampilan.• Perilaku (attitude).• Lingkungan.• Ada atau tidak adanya cacat bawaan, a.l. inborn errors

of metabolism, coeliac disease, malabsorpsi, defisiensiG—6PD dsb.

C. Faktor Obat.1. Indikasi pemberian obat. Hanya diagnosis yang tepat

merupakan indikasi untuk pemberian suatu obat.2. Pilihan jenis obat. Penentuan dalam memilih jenis obat

tergantung pada :• Diagnosis.• Ringan beratnya penyakit.• Daya racun dan efek samping dari obat.• Penerimaan oleh si anak.• Daya guna obat itu dalam jangka waktu tertentu.• Pengaruh obat terhadap tumbuh kembang dan imuni-

tas anak.3. Saat dan lamanya pemberian obat.4 .Dosis obat. Selama manusia minum obat, penentuan

dosis pada anak-anak merupakan masalah yang tiada akhirnya,karena adanya keadaan-keadaan yang berbeda seperti umur,berat badan, tinggi badan, keadaan gizi, berat ringannya pe-nyakit dsb. Berbagai macam formula dicari dan diciptakan,tetapi ternyata tidak ada satupun yang sempurna. Disiniakan diberikan beberapa contoh :• Dosis berdasarkan berat badan. Cara ini paling populer

di Indonesia, tetapi ketepatannya mulai diragukan, lebih-lebih untuk bayi-bayi. Perhitungan menurut berat badanmenghasilkan suatu ketimpangan antara dosis anak dandosis dewasa, sehingga kurang jelas yang mana menjadikriteria.

• Dosis berdasarkan umur. Karena proses tumbuh kembanganak itu tidak sama pada anak-anak dalam kelompokumur yang sama, maka ketepatan dosis atas dasar umurjuga diragukan.

• Dosis berdasarkan luas badan (body — surface). Pada saatini dianggap yang paling tepat karena ketimpangan antaradosis anak dan dosis dewasa lebih kecil. Untuk perhi -

tungan dipakai Nomogram West.• Dosis menurut formula Pincus Catzell, yaitu : Persentase

dari dosis dewasa,umpama : bayi baru lahir 12½ %; 1 -12bulan 15 — 25 %; 1 — 5 tahun 25 — 40 %; 5 — 12 tahun50 — 75 % dsb. Cara ini sangat praktis, tetapi kelemah-annya sama seperti pada yang berdasarkan umur.

• Dosis berdasarkan formula formula lain seperti formula

Karena proses tumbuh kembang ini, maka senantiasa terjadiperubahan-perubahan dalam metabolisme dan bentuk badan.Bagaimana pengaruhnya terhadap biotransformasi obat-obatkarenanya belumlah jelas. Maka dalam penentuan dosis, ma-sih perlu diperhitungkan faktor-faktor lain seperti :• Anak gemuk, karena lemak tidak berperan pada meta-

bolisme.• Dehidrasi atau hypovolemic shock; konsentrasi obat dalam

darah lebih tinggi.• Oedema; konsentrasi obat lebih rendah.• Fungsi hati dan ginjal.• Adanya kelainan genetik : G—6—PD, porphyria dll.• Pengaruh preparat hormon, seperti anabolik dan hormon

kelamin yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak.5. Cara pemberian obat. Pilihan cara pemberian obat

— parenteral, enteral, anal, atau topikal — sangat tergantungpada keadaan penderita, ketrampilan orang tua yang mem-berikannya, rasa obat, selera atau daya terima anak dan seleradokter yang mengobatinya.

D. Faktor lingkungan1. Keadaan sosio -ekonomi penderita. Anak dalam keadaan

sakit gawat tidak mempunyai alternatif dalam terapi. Obatyang terbaik, terkuat dan sering termahal perlu digunakan.Tetapi kalau penyakitnya ringan atau sedang, pengobatandapat disesuaikan dengan daya belinya.

2. Agama, adat istiadat, kebiasaan hidup dapat mempe-ngaruhi pemberian obat. Orang yang hidup di desa atau dikota mempunyai ciri-ciri yang berbeda.

3. Rawat jalan atau rawat menginap di klinik atau rumahsakit. Kalau rawat jalan ketepatan pemberian obat tidak se-lalu dapat diandalkan, lebih-lebih pada yang berpendidikanrendah.

4. Etik kedokteran merupakan suatu unsur yang pentingdalam pengobatan. Pemerintah dan masyarakat menghendakiadanya norma-norma, juga untuk uji klinik.

E. Efek plaseboDisamping efek farmakologik, obat juga mempunyai efekplasebo yang berlatar belakang kepercayaan pada dokter danobat tertentu. Efek plasebo ini dapat berguna pada pengo-batan, tetapi juga dapat disalahgunakan. Obat tradisionalmempunyai efek plasebo yang kuat.

Jadi kalau dilihat berapa banyak faktor-faktor yang ber-peran dalam pengobatan anak, maka tidaklah heran, kalau

Clark x dosis dewasa ); Formula Young :

x dosis dewasa ( n = umur ); metode Gaubius dll.

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 34: Cdk 025 Uji Klinik

melakukan suatu uji klinik obat-obatan pada anak tidaklahmudah. Memang pengalaman kami di RSCM demikianlah.Lebih mudah melakukan uji klinik pada penderita yang dira-wat daripada yang berobat jalan, karena yang dirawat lebihmudah dikontrol secara teliti dan dapat dilakukan tanpabanyak kesulitan penolakan dari penderita atau orang tuanya.Tetapi kondisi penderita yang dirawat tentu tidak sama,maka hasil penelitian tetap masih bisa dipersoalkan. Suatupenelitian pada anak yang berobat jalan mengalami kesu-karan, karena enggan kembali secara teratur, kecuali kalaumotivasinya kuat.

Bahwa uji klinik obat-obatan pada anak itu sangat panting,kita sadari semua untuk menghilangkan "Therapeutic orphans"itu. Bagaimanapun juga, janganlah anak itu menjadi korbandari obat yang digunakan secara "trial—and-error":

KEPUSTAKAAN

1. Catzell P. The Paediatric Prescriber. Oxford : Blackwell ScientificPublications, 1974.

2. Nelson W E. Texbook of Pediatrics. Philadelphia : WB Saunders Co,1975.

3. Shirkey HC. Pediatric Therapy. Saint Louis : CV Mosby Co, 1972.

pelayanan kesehatan primer : Pelajaran dari masa lalu

Salah satu tugas pertama dari setiap departemen kesehatanyang ingin menerapkan strategi nasional untuk "Kesehatanbagi Semua" ialah meninjau kembali bagaimana cara me-reorganisasi sistem kesehatan agar ini didasarkan pada pelayan-an kesehatan primer. Bertahun-tahun yll. daerah ini adalahtempat lahirnya pola yang jelas bagi puskesmas, yang waktuitu merupakan sumber harapan. Apa yang terjadi dengan idetsb ? Mengapa kini terjadi krisis kepercayaan padanya ? Danpelajaran apa dapat kita timba dari apa yang telah terjadi ?

Puskesmas-puskesmas ini, meskipun namanya puskesmas,memusatkan perhatian pada pemberian pelayanan mediksetempat selain usaha KB. Hanya terbatas saja mereka me-nangani kesehatan masyarakat.Dan bag -aimanabentuk pelayan-an medik yang mereka berikan ? Dengarkan beberapa abstrakdari Laporan Institut Manajemen dalam salah satu negarabesar di kawasan ini :

......puskesmas-puskesmas itu, yang tidak mempunyai fasilitas diag-nostik, diharapkan memberikan pengobatan untuk penyakit-pe-nyakit yang biasa. Kasus-kasus yang memerlukan diagnosis seharus-nya dirujuk ke rumah sakit terdekat. Budget untuk obat-obatandan supply lain untuk setiap unit lapangan adalah demikian kecil.Pemberian obat-obatan itu dilakukan oleh dokter yang cukup"qualified".

Ya, itulah yang dikatakannya : "dokter yang cukup qua-lified" ! Saya lanjutkan :

Karena kebanyakan perusahan farmasi melakukan strategi pemasa-

ran yang agresif, dokter-dokter itu senang memberi resep obatspesiality.

Kebetulan, laporan itu selanjutnya menyatakan bahwa dari126 obat yang direncanakan sampai pada unit-unit lapangan,hanya 70 yang benar-benar sampai, dan setelah ditinjaubenar-benar, ternyata hanya 30 yang diperlukan.

Bagaimana anda mengharapkan masyarakat mempercayaisistem kesehatan dalam suasana demikian ? — dan saya perlumenambahkan bahwa laporan itu sengaja menyajikan gambar-an yang "menggembirakan" dari puskesmas rata-rata di negaratsb. Bagaimana anda mengharapkan mereka memperhatikanpetunjuk-petunjuk tentang kesehatan mereka, betapapunbaik maksud anda, yang tidak mengenai sasaran dari pers-pektif mereka, karena tidak cukup memperhatikan diarebayi-bayi mereka, air yang mereka minum, makanan yang me-reka makan, rumah tempat mereka tinggal atau tiadanyarumah, dan lingkungan tak sehat yang sudah nasibnya menyer-tai mereka. Dan obat yang mereka perlukan bila merekasakitpun tak ada.

Maka mereka mem "by-pass" puskesmas-puskesmas tsb,pergi ke rumah sakit sebagai pasien berobat jalan ...................Demikian lingkaran setan ini berputar tanpa menangani masa-lah kesehatan utama mereka.

Half dan Mahler. Sambutan pada WHO Regional Committee for South-East Asia. WHO chronicle 1981 ; 35 (6) : 208 - 212.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 33

Page 35: Cdk 025 Uji Klinik

Uji Klinik dalam Nefrologi-Hipertensi:Praktek dan Kesulitannya

R. P. SidabutarSub Bagian Ginjal/Hipertensi, Bagian IlmuPenyakit Dalam, Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

PENDAHULUANDari seorang dokter si sakit mengharapkan suatu obat atautindakan yang dapat membebaskannya dari keluhan penya-kitnya. Bila si sakit tidak memperolehnya dia akan kecewa.Demikian pula sang dokter akan menjadi kecewa bila menya-dari tidak ada obat atau tindakan yang dapat ia lakukanmenghilangkan penyakit atau mengurangi keluhan si sakit.Dalam keadaan demikian beberapa hal dapat terjadi. Perta-ma sang dokter akan pasrah saja; kedua, dia akan memberisesuatu yang sebenarnya ia tidak yakin akan manfaatnya;dan ketiga, timbul itikad untuk mencoba sesuatu yang nan-tinya dapat memberi hasil yang diharapkan.

Untuk memperoleh keyakinan tentang manfaat obatyang telah dipergunakan untuk sesuatu penyakit di tempatlain, dengan kondisi yang berbeda ia ingin pula "mencoba"nya dahulu sebelum mendapat keyakinan dan bila perludengan penyesuaian seperlunya.

Penyakit ginjal umumnya potensial berbahaya, ditambahlagi dengan kenyataan bahwa banyak yang resisten terhadappengobatan. Banyak penyakit ginjal yang untuk masa yangsangat lama hanya diobati simtomatik. Untunglah pada masasekarang ini kemajuan dalam pengetahuan patofisiologi danbidang pembuatan obat mengurangi hal ini. Dari semua obat-obat yang muncul tidak seluruhnya aman dan tidak semu-anya pula mempunyai efek terapetik yang nyata. Orangklinik harus mengetahui mana yang efektif, mana yang tidakdan mana yang relatif aman, mana yang tidak. Kesimpulanseperti itu tak dapat ditarik berdasarkan teori saja maupundari eksperimen farmakologik. Banyak penyakit ginjal dantentunya hipertensi esensial, memberikan perburukan sesu-dah periode yang panjang, sehingga sesuatu obat yang memangberkhasiat, misalnya menurunkan tekanan darah, belumtentu mempunyai akibat yang nyata menguntungkan dalamjangka panjang.

KEBUTUHANPermasalahan seperti diuraikan diatas tidak selalu membu-tuhkan uji klinik formal, barangkali observasi klinik yangcermat akan memberikan petunjuk yang memadai. Misalnyatidak perlu membuktikan lagi melalui uji klinik bahwa dia-lisis akan berakibat baik dan menghindarkan maut padagagal ginjal akut. Demikian pula bahwa furosemid lebih

efektif dari diuretik merkuri dalam menghilangkan udematak perlu dibuktikan melalui uji klinik.Sesuatu uji klinik terkontrol dibutuhkan bila :1. Tanpa uji klinik yang baik sukar dinilai sesuatu faktor

kebetulan atau khasiat obat.2. Besar kegunaan obat perlu dinilai kuantitatif.3. Terjadinya efek samping dan komplikasi perlu diukur.Kesulitan yang dapat menghalangi suatu uji klinik yang baik,timbul karena jumlah orang sakit yang sedikit. Walaupundemikian uji klinik terkontrol dan random harus diusaha-kan untuk perbandingan yang tepat.

TUJUAN UJI KLINIKNiat untuk melakukan sesuatu uji klinik pada umumnyadidasari dua alasan,(i) Uji klinik memungkinkan menguji sesuatu hipotesa me-

ngenai etiologi,(ii) Memberikan jawaban yang bermanfaat untuk operasional

misalnya apakah sesuatu penyakit harus diobati denganobat tertentu dan cara tertentu.

Bila azatioprin ternyata memperlambat progresi glomerulo-nefritis proliferatif, ini menyokong kemungkinan faktor"alergi" dalam patogenesisnya. Dalam hal kedua, permasa-lahan bukanlah apakah suatu cara atau obat berkhasiat, te-tapi berapa besarkah keuntungan yang diperoleh, dibanding-kan dengan kerugian yang timbul. Keuntungan dan kerugianini harus dinyatakan kuantitatif. Dalam uji klinik penyakitginjal, yang pada umumnya menahun dan progresinya ber-beda dan bahkan tidak mempunyai akselerasi yang berpolatertentu, maka dengan sendirinya penilaian keuntungandan kerugian ini menjadi sulit dan membutuhkan suatu masauji yang lama. Tidak jarang dalam nefrologi hasil yang baikatau menguntungkan dalam jangka pendek, tidak mengun-tungkan bahkan merugikan dalam jangka panjang. Sebagaicontoh dapat dikemukakan suatu uji klinik pengobatansindrom nefrotik dengan prednison oleh Black, Rose& Brewer (1).

RANCANGANBerbagai rancangan uji klinik dapat dipilih. Yang palingefisien secara statistik adalah uji bersilang (cross-over trial).

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 36: Cdk 025 Uji Klinik

Uji seperti ini walaupun ideal sudah jelas sukar diterapkanpada banyak penyakit nefrologik. Uji bersilang yang mem-pergunakan penderita sendiri sebagai kontrol, dapat diper-gunakan dalam uji klinik obat anti—hipertensi. Yang diana-lisa adalah perbedaan antara dua periode pada penderitayang sama, periode pengobatan dan periode tanpa pengobatan.Rancangan ini mempunyai keterbatasan yaitu (2) :• Keadaan penyakit harus stabil selama periode uji dan

respons terhadap pengobatan tidak lambat (segera).• Efek pengobatan harus reversibel dan dihindarkan kelan-

jutan efek pengobatan pada periode tanpa obat.Pembatasan ini khususnya dalam penyakit ginjal, mengaki-batkan lebih sering dipilih uji dengan kelompok kontrolterpisah. Biasanya satu saja kelompok diobati, tetapi bilajumlah penderita memungkinkan beberapa kelompok diobati,dapat dibandingkan dengan satu kelompok kontrol. Kelompokdiobati ini dapat menerima pengobatan yang sama atau tidaksama dengan kelompok diobati pertama. Dalam hal samamaka dosis obat misalnya dapat diubah demikian juga lamaperiode diobati dapat dirubah.

Rancangan lain yang efisien misalnya adalah rancanganfaktoral. Penderita dibagi empat kelompok ( O, A, B, AB )kelompok O merupakan kontrol, A mendapat pengobatanpertama, B mendapat pengobatan kedua dan AB mendapatpengobatan pertama dan kedua. Analisis pengobatan pertamadiperoleh dengan membandingkan kelompok O + B terhadapkelompok A +AB dan efek B membandingkan O + A terha-dap B + AB. Disamping itu masih dapat diperoleh analisisdari perbandingan terhadap AB. Tentu saja ada pembatasanrancangan ini yaitu :(i) Semua penderita harus sesuai dengan kedua pengobatan,(ii) Harus memungkinkan memberi kedua pengobatan seka-ligus.Rancangan seperti ini dapat dilakukan pada pengobatanhipertensi tetapi sukar pada penyakit ginjal menahun seperiglomemlonefritis.

Berapa jumlah orang sakit yang dibutuhkan ? Pertanyaanini sering diabaikan sehingga dapat terjadi uji klinik menjadi

tak ada hasilnya karena jumlah yang terlalu sedikit atauterlalu banyak penderita yang disertakan padahal sebenar-nya tidak perlu.

PERMASALAHAN ETIK.Suatu uji klinik yang terancang baik, harus dapat di pertang-gungjawabkan secara etik. Hampir semua keputusan mengo-bati si sakit merupakan eksperimen. Beda pengobatan dalamuji klinik dan diluar uji klinik adalah : pada uji klinik eks -

perimen dilakukan menurut rencana dan mengarah ke suatukesimpulan yang logik, sedangkan diluar uji klinik hampirsebaliknya. Keamanan penderita terletak terutama padahati nurani pelaksana uji klinik yaitu menjaga keselamatanpenderita yang telah memberikan kepercayaan dan harapanpadanya (3).

Pada dasarnya dua keadaan dapat menjadi dasar apakahsesuatu uji klinik dapat dilaksanakan mengingat hal tersebutdiatas. Pertama apabila dua cara pengobatan yang akan diuji,dinyatakan secara tersendiri memberikan hasil yang hampirsama. Kedua, suatu cara pengobatan baru akan diuji apabiladiharapkan hasil yang lebih baik daripada cara pengobatanyang telah ada sebelumnya. Didalam protokol selalu harusdicantumkan suatu pokok yang menyatakan bahwa pelak-sana uji klinik akan mengubah pengobatan yang direncanakanbila hal-hal tertentu timbul yang dapat merugikan penderita.Pengobatan yang memberi harapan seharusnya dapat diterus-kan setelah masa uji klinik berakhir. Khusus dalam penyakitginjal dan hipertensi, yang sering membutuhkan pengobatanyang lama dan bahkan seumur hidup pokok ini tak bolehdilupakan.Sudah jelas tidak bertanggungjawab bila cara pengobatanyang disimpulkan baik atau lebih unggul, setelah masa ujiklinik tidak dilanjutkan pada penderita yang bersangkutan.

Uji klinik di bidang nefrologi dan hipertensi di Indonesiacukup berkembang secara kuantitatif, tetapi harus dinilailebih hati-hati apakah uji klinik yang bertambah banyakitu dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif. Keba-nyakan uji klinik dalam bidang ini sebenarnya merupakanpengalaman klinik dan mungkin sekali memang itulah yangdibutuhkan serta yang mungkin dilaksanakan, akan tetapikadang-kadang tanpa disadari diberi penamaan uji klinik.Uji klinik mengenai obat tradisional perlu mendapat perha-tian, untuk memberi keyakinan yang berdasar kepada pro-fesi kedokteran untuk mengatakan secara lebih tegas "ya"atau "tidak" pada cara pengobatan yang bersangkutan. Terlalusering kita melihat penggunaan pengobatan ini dilakukantanpa dasar dan keyakinan yang sebenarnya dibutuhkan se-belum menggunakannya.

KEPUSTAKAAN1. Black DAK, Rose G, Brewder DB. Controlled trial of prednisone

in adult patients with nephrotic syndrome. Brit Med J. 1970; 3:4212. Rose GA. Therapeutic trials and renal disease, in: Renal Disease,

3rd ed. Black D. Oxford London Edinburgh Melbourne : BlackwellScientific Publications, 1972, 841.

3. Smith R N. Ethical aspects of drug evaluation, in : Clinical trials,first Ed. Johnson NF & Johnson S. Oxford, London EdinburghMelbourne : Blackwell Scientific Publications, 1977, 162.

"Tiadakah harapan," si sakit bertanya,Dokter itu diam menggelengkan kepala,Dan mohon diri dengan sedih hati,Entah bagaimana rekeningnya esok hari

John Gay

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 3 5

Page 37: Cdk 025 Uji Klinik

Kesulitan Percobaan Klinik dalam Ilmu Psikiatri(PENGALAMAN PERCOBAAN KLINIK SELAMA 1961 — 1981 )

Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro dan dr. YuI IskandarDirektorat Kesehatan JiwaDit. Jan. Pelayanan Kesehatan Dep. Kes. RI.

PENDAHULUANPemakaian obat di bidang psikiatri sebenarnya belum cukuplama. Chlorpromazine dan imipramine baru dikenal sebagaiobat anti-psikotik dan anti—depresan pada awal tahun—50—an.

Percobaan klinik di Indonesia dengan obat-obat yang di-pakai di bidang psikiatri sebenarnya telah dimulai awal tahun1960 di bagian psikiatri FKUI (waktu itu penulis senior (KS)menjabat kepala bagian psikiatri), walaupun hal tersebutsebenarnya masih merupakan barang baru. Percobaan klinikdengan kontrol yang baik baru pertama kali dilakukan olehKenning, Richardson dan Tucher pada tahun 1961. Begitupula Friedman, Nowbray dan Hamilton baru pada tahun 1961melakukan penelitian dengan Instrument Hamilton RatingScale (1960) yang dapat diterima secara universal. Penelitianklinis yang sistematik di Indonesia dan dipublikasikan secaraluas baru dilakukan tahun 1968.

Tabel 1 : Obat-obat yang telah dilakukan percobaan Klinik.

Obat Tahun Obat Tahun1). Fluphenazine 1968 9). Sulfiride 19742). Thioridazine 1969 10). Clozapine 19743). Trifluperazine 1969 11). Oxazepam 19764). Levomepromazine 1970 12). Perazine 19765). Haloperidol 1971 13). Prazepam 19776). Thiopropazate 1972 14). Clobazam 19787). Ro :5 — 3350 1972 15). Nomifensine 19798). Temazeman 1974 16). Propizepine 1981

Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya dilakukanpenulis senior dengan bantuan beberapa kolega lain. Padaumumnya mereka tidak pernah mengalami formal traininguntuk clinical trial ataupun clinical (psycho) pharmacology.Oleh sebab itu penulis senior pada th 1976 memerintahkanpada penulis junior (Y I) untuk belajar dalam bidang clinical(psycho) pharmacology di Universitas New South Wales dibawah pimpinan Prof. Wade di Australia selama 1 tahun(1976 — 1977).

Dalam hal ini pengalaman-pengalaman yang telah dibuat,baik yang baik maupun yang buruk, dengan kondisi yang adapada saat yang lampau maupun pada saat ini dapatlah dipakaisebagai pelajaran dalam menyusun metodologi penelitianklinik khususnya untuk obat-obat yang dipakai di bidangpsikiatri.

PROBLEMA DESIGN (DESIGN OF PROBLEM)Dalam menentukan design dari clinical trial maka ada bebe-rapa hal yang perlu diperhatikan.

a). Seleksi dari pasienPada penelitian yang telah dilakukan, untuk obat anti-psikotikdipilih kasus . skizofrenia, untuk anti-anxietas dipilih kasusneurosa dan untuk anti-depresan dipilih kasus depresi. Dalampenelitian-penelitian tersebut ada beberapa kategori yangbiasanya berlaku umum yaitu :

— Pasien yang diperiksa laki-laki dan wanita— Umur 20 — 65 th— Tidak terdapat gejala penyakit fisik— Tidak terdapat riwayat kejang—Tidak hamil— Tidak sedang menyusui— Tidak retardasi mental

Pada umumnya penelitian obat-obat di bidang psikiatri adalahuntuk orang dewasa. Tidak diindikasikan untuk anak-anakdan untuk orang tua. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwapada pengobatan penderita gangguan jiwa perbedaan antarawanita dan laki-laki tidak ada; disamping itu harus dihindaripenderita gangguan jiwa yang disebabkan sebab-sebab organik(ketuaan, epilepsi, atau retardasi mental) dan dihindari pulakemungkinan terjadinya efek teratogenik atau terjadinya gang-guan pada anak melalui air susu ibu. Di bidang psikiatri tidakada kriteria diagnostik yang secara universal dapat diterima.Penelitian yang telah dilakukan biasanya mengambil ICD.(PPDGJ ) * sebagai kriteria diagnostik. Untuk penderitadepresi diambil beberapa patokan tambahan selain dariPPDGJ, yaitu bahwa yang dimaksud depresi ialah suatugangguan yang terus menerus dari mood yang ditunjukkandengan adanya kesedihan yang jelas terlihat oleh pemeriksadan merupakan gambaran yang umum dari penyakitnya.Selain gangguan afektif tersebut harus ada gejala tambahanlagi dari salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini : penye-salan diri, hypochondriasis, retardasi atau agitasi. Dari kese-luruhan gangguan jiwa maka hanya pada penderita depresi

* I.C.D. = International Clasiffication of Disease Ed. VIII (WHO, 1965)PPDGJ = Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indone-

sia ed. ke I, 1973.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 38: Cdk 025 Uji Klinik

yang dapat dibuat kriteria yang universal, sedangkan untukskizofrenia dan neurosa agak sulit. Selain itu pada penderitadepresi dapat dibuat skala intensitas penyakit, dari yang beratsampai yang ringan (secara kuantitatif) akan tetapi bagi pen-derita skizofrenia dan neurosa hal itu belum mungkin hinggapenilaian biasanya semi-kuantitatif.

b). Kontrol dalam TrialPenelitian klinis dapat dibagi atas beberapa phase sepertiyang pernah disarankan oleh FDA.

Phase I, adalah suatu penelitian permulaan, dimana obatpada pertama kali diajukan pada manusia, terutama padanormal voluntir, dengan tujuan utama adalah menentukantoxisitas, dosis kira-kira, dan faktor-faktor lainnya yang teru-tama untuk menentukan keamanan dari obat tersebut. Jum-lah pasien pada penelitian ini berkisar antara 20 — 80 orang.

Phase II, merupakan phase yang paling penting karena pa-da phase ini diuji baik efektivitasnya maupun keamanan rela-tif dari obat tersebut. Pada phase ini penelitian harus dilaku-kan dengan kontrol yang ketat. Kontrol tersebut dapat berupaobat standar yang telah ada, atau dapat pula dipakai plasebo.

Pada Phase III, dapat dilakukan penelitian baik denganclinical trial yang terkontrol, maupun tidak. Phase III inidikerjakan setelah efikasi dari obat telah ditemukan dan diten-tukan pada phase II. Penelitian terutama bertujuan untukmendapatkan data-data tambahan baik mengenai efektivitas,maupun efek samping pada jumlah pasien yang lebih besar,serta dosis obat pada populasi yang berbeda.

Phase IV, yang dinamakan post-marketing clinical, trial,terutama bertujuan melanjutkan penelitian pada phase III,menunjukkan insidensi dari efek samping, serta mungkinpula dilakukan penelitian mencari efek farmakologik yangkhusus. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh pe-nulis pada umumnya berkisar pada phase III, dan phase IV.Penelitian pada phase I dan II, akan dikembangkan olehDirektorat Kesehatan Jiwa, dengan membangun suatu bangsalkhusus untuk penelitian, dengan tenaga-tenaga yang telahterlatih dan terdidik.

Pada penelitian sebelum ini penelitian yang bersifat terkon-trol belum dapat dilakukan oleh sebab :1. Tenaga peneliti pada umumnya disibukkan oleh tugas-

tugas lain, seperti mengajar, public service dll.2. Instrument penelitian yang standar, dimana sensitivitas,

reliabilitas dan validitasnya yang telah diselidiki belum ada.Suatu clinical trial yang terkontrol baik, akan tetapi denganinstrument yang buruk tidak akan menghasilkan peneli-tian yang baik.

3. Tujuan penelitian bukanlah menentukan efektivitas obat,karena hal tersebut telah dibuktikan di negara lain. Dupli-kasi penelitian yang demikian hanya membuang waktudan tenaga. Tujuan penelitian pada waktu itu hanyalahmenentukan dosis yang tepat pada penderita di Indonesia,dan pula melihat kemungkinan adanya toxisitas dan efeksniping.

c). RandomizationUntuk mengurangi bias pada penelitian klinik, dimana kontroldipergunakan maka perlu pemilihan pasien secara random.Seperti telah dikemukakan penelitian-penelitian yang telah

dilakukan randomization dari pasien tidak mungkin diker- jakan, karena kuantifikasi (misalnya seriously ill, moderately ill, dan mild) dari pasien sulit dikerjakan dan pasien yangdatang untuk berobat yang memenuhi kriteria pun sangatsedikit. Untuk mendapat populasi dari satu macam penelitiandiperlukan waktu 6 — 12 bulan. Disamping itu karena hanyaada satu macam cara pengobatan, maka dengan sendirinyarandomization tidak dilakukan.

d). Blind designUntuk penelitian obat-obatan maka adanya blind design meru-pakan hal yang ideal. Dalam hal ini, dapat pasiennya yangtidak mengetahui obatnya (single blind) atau dokter (evalua-tor) dan pasien yang tak mengetahui obat yang diberikan(double blind). Blind design ini sebenarnya penting untukmencegah bias dari pemeriksa maupun pasien dalam menge-valuasi obat. Karena faktor subjektif pemeriksa akan mempe-ngaruhi sekali hasil dari tiap-tiap penelitian terutama pene-litian di bidang psikiatri.Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnyatidak memakai blind design, akan tetapi walaupun demikianbias yang terjadi karena faktor subjektif pemeriksa dikurangidengan memakai evaluator yang lebih dari 2 orang, dengandemikian diperkirakan bahwa bias yang bersifat menggan-tungkan hasil obat akan dikompensasi oleh bias yang ber-sifat merugikan.

EVALUASI HASILPada penelitian klinik dengan obat-obat di bidang kedokteranpada umumnya evaluasi hasil tidak terlalu sulit. Pengobatanmalaria misalnya dapat dinilai berdasarkan hilangnya gejalaklinik ( panas turun ), atau hilangnya/tidak terdapat lagi pa-rasit. Pengobatan dengan anti-hipertensi dapat dilihat darimenurunnya tekanan darah. Sedangkan pengobatan denganobat anti diabetes, dapat diperlihatkan dengan menjadi nor-malnya kadar gula darah. Evaluasi hasil pengobatan padapenderita gangguan jiwa lebih sulit.

Biasanya evaluasi hasil dibicarakan dengan para penelitidan dibuat suatu kriteria yang dapat diterima oleh semuapihak. Pada umumnya hasil evaluasi merupakan suatu skalasemikuantitatif yang dinilai berdasarkan pola-pola tertentu.Walaupun penilaian agak subjektif akan tetapi telah dibuatpegangan pokok. Skala ini misalnya untuk evaluasi global :

+++ (+3) : Excellent improvement++ (+2) : Good improvement

+ (+1) : Fair improvement0 ( 0) : No improvement

Kebanyakan target symptom Mang baiksubjektif maupun objektifKebanyakan target symptom berkurangBeberapa target symptom mengurangTidak ada perubahan

Kriteria improvement, berubah-ubah dari waktu ke waktu,dapat merupakan suatu parameter dipulangkannya pasienatau apakah dia dapat bekerja kembali sebagaimana biasa.

Misalnya :+++ (+3) :

++ (+2) :+ (+1) :0 (+0) :

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 37

Page 39: Cdk 025 Uji Klinik

Antara tahun 1966 — 1976, evaluasi hasil terutama ,secaraglobal, hal ini disebabkan karena sibuknya para peneliti, ka-rena harus mengerjakan tugas-tugas lain, seperti public servicedan pendidikan. Pada penelitian setelah 1976, telah ada kema-juan yaitu hasil-hasil penelitian tidak hanya secara global.akan tetapi juga telah secara mendetail dikemukakan.

Penelitian dengan anti-psikotik selain memakai evaluasiyang global juga hasil-hasil dengan memakai BPRS *) dinilai.Untuk anti-anxietas dipakai HRS **) for anxiety dan untukanti-depresan dipakai HRS for depression.

Penelitian yang memakai instrument yang lebih sensitifdan lebih objektif ini serta defmisi dari pasien yang lebihketat, menyebabkan jumlah pasien pada penelitian menjadilebih sedikit.

EFEK SAMPINGWalaupun efek samping merupakan bidang perhatian yangpaling panting pada penelitian klinik di Indonesia, akan tetapisebenarnya bidang ini yang paling sulit diselidiki. Penderitaskizofrenia tidak akan banyak mengeluh walupun terdapatbanyak gangguan efek samping, seperti tremor, rigiditas dll.Sebaliknya penderita neurosa, terutama yang menderitahipochondria sangat sensitif sekali terhadap perubahan. Alirandarah yang sedikit cepat akan menyebabkan dia merasa ber-debar-debar dengan hebat. Sering mengeluh sakit kepala, enekdan muntah, yang barangkali bukan oleh pengaruh obat. Pen-derita depresi lebih sulit lagi, karena banyak gejala depresiseperti mulut kering, sakit kepala dB. yang mirip dengan pe-ngaruh obat. Secara ideal memang kita bisa membuat daftarefek samping yang panjang dan menjelimet, akan tetapipada prakteknya sukar sekali dilakukan dan akan banyaksekali membuang waktu. Dengan demikian efek samping yangdiperiksa pada clinical trial adalah toxisitas obat tersebut,apakah fatal atau tidak.Pada umumnya obat-obat yang telah dilakukan trial olehpenulis, toleransinya baik. Kemudian dilihat apakah ada gejala-gejala yang hebat tapi tak berbahaya seperti gejala extrapira-midal dB. Baru kemudian dicatat keluhan-keluhan subjektifdari pasien setelah menerima obat. Dengan demikian gejalaefek samping yang dilaporkan adalah semua gejala yang dike-luhkan setelah meminum obat, baik disebabkan oleh obatmaupun oleh sebab lain.

ANALISA STATISTIKDalam setiap penelitian maka design dan analisa statistikmerupakan 2 pokok penelitian yang menunjukkan baik atauburuknya percobaan. Akan tetapi seperti dikemukakan dalamtulisan-tulisan diatas pada beberapa penelitian tidak dapatdibuat analisa statistiknya. Baru pada penelitian-penelitianyang terakhir dibuat analisa statistik secara sederhana, yaitumelihat perubahan gejala sebelum dan sesudah pengobatan.Hal ini baru dapat dilakukan setelah instrument-instrumentpenelitian lebih teliti dilakukan.

•) BPRS : Brief Psychiatric Rating Scale••) HRS : Hamilton Rating Scale

PENUTUP

Penelitian klinik di bidang psikiatri merupakan bidang yangpaling banyak tantangannya dan kesulitannya. Kriteria seleksidari pasien untuk orang Indonesia masih harus dilakukan.Instrument-instrument penelitian, seperti rating scale, tidakdengan mudah diadaptasikan di Indonesia. Tenaga-tenagakhusus yang terlatih baik dari paramedis dan tenaga medismasih kurang. Dengan kesulitan-kesulitan yang demikianmaka penelitian yang baik dengan kontrol dan design yang

baik serta analisa statistik masih merupakan suatu langkahyang harus dikerjakan. Dalam hubungan ini Direktorat Kese-hatan Jiwa berusaha keras, untuk mewujudkan suatu fasilitasdimana penelitian klinik dapat dilakukan dengan lege-artis,dengan harapan agar dimasa mendatang apresiasi ilmiah danfinansil terhadap usaha penelitian dan percobaan klinik dalambidang ilmu psikiatri akan makin meningkat.

KEPUSTAKAAN

1. Hamilton M.J Neurol Neurodrug Psychiat 1960; 23 p 56—62.2. Kenning et al . Canad Psychiat Ass J 1960; 5 p 60 — 64.3. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1969; 2/II,4. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1969; 3/II.5. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; 4/V.6. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; I/V.7. Kusumanto Setyonegbro et al. Jiwa, 1972; 3/V.8. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; 2/V.9. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1975; 1/VIII.

10. Kusumanto Setyonegoro et al, Jiwa, 1975; 2/VIII.11. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1975; 4/VIII.12. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1977; 3/IX.13. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1977; 3/X.14. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1978; I/XI.15. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1978; 2/XI.16. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1981; 1 /XN.17. Salan R, Gardjito. Jiwa. 1971; 2/N.

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 40: Cdk 025 Uji Klinik

Percobaan pada Manusiadan Etika Kedokteran

Prinsip-prinsip utama dalam riset biomedik yang menyangkutmanusia tercantum dalam Deklarasi Helsinki-nya World Me-dical Association, yang kemudian direvisi oleh Sidang Kedok-teran Dunia (World Medical Assembly) di Tokyo pada tahun1975. Akan tetapi, penerapannya tidaklah sederhana. Perkem-bangan riset kedokteran, terutama ke negara-negara berkem-bang, menimbulkan kebutuhan suatu penelitian mengenaibagaimana cara menerapkan prinsip Helsinki dengan memper-timbangkan provisi hukum dan pengaturan administratif untukmeyakinkan bahwa hak azasi manusia dan kesejahteraan sub-yek penelitian cukup terlindungi.

Penelitian semacam itu mula-mula dilakukan tahun 1976oleh the Council for International Organizations of MedicalSciences (CIOMS), diikuti oleh proyek gabungan WHO/CIOMSawal tahun 1978. Hasil-hasilnya dikukuhkan pada Konpe-rensi Meja Bundar CIOMS ke XV di Manila (13—16 Septem-ber 1981) dan pada pertemuan WHO Global Advisory Com-mittee on Medical Research di Geneva pada tanggal 12—15Oktober 1981.

Di negara-negara berkembang terdapat masalah-masalahkhusus. Dari kuestioner yang dikirimkan kepada 45 jawatankesehatan nasional dan 91 fakultas kedokteran di negara-negara berkembang, didapatkan kesan adanya kerbedaan yangbesar dalam pendekatan nasional terhadap peninjauan etika(ethical review) dalam riset yang menyangkut manusia. Mes-kipun sampai taraf tententu perbedaan itu mencerminkanperbedaan struktur konstitusi dan administrasi pada masing-masing negara, namun kebanyakan peninjauan diserahkan padamasing-masing peneliti dan bukan pada "komite yang inde-penden yang ditunjuk secara khusus" seperti dianjurkan olehdeklarasi Helsinki.

Penelitian tadi mengungkapkan 4 pertanyaan utama yangsejauh ini belum terjawab sepenuhnya, yaitu.:■ konsep dan validitas informed consent■ masalah etika dalam riset pada masyarakat (community

based)■ prosedur pengawasan etika untuk riset biomedik yang me-

nyangkut subyek manusia■ perlindungan subyek yang diteliti.Terhadap empat pertanyaan ini, dianjurkan respons demikian.

Informed ConsentDeldarasi Helsinki menegaskan kembali doktrin informedconsent (izin pasien setelah menerima informasi secukupnya).

Disamping itu dianjurkan bahwa dalam hal inkompetensihukum, informed consent harus diperoleh dari wali yangberwenang sesuai denan perundang-undangan nasional. Bila ke-tidakmampuan fisik atau mental tidak memungkinkan pembe-rian informed consent, atau bila subyek seorang anak kecil,izin diminta dari keluarga yang bertanggungjawab, sesuaidengan undang-undang nasional.

Yang menjadi masalah ialah beberapa kelompok masya-rakat belum terbiasa dengan konsep dan teknik kedokteraneksperimental. Individu-individu anggota masyarakat tsbmungkin belum memiliki kesadaran sepenuhnya akan impli-kasi keikutsertaannya dalam suatu riset, sehingga tak dapatmemberi informed consent yang memadai. Maka bila adakebutuhan untuk melakukan riset terhadap penyakit-penyakityang menyebabkan banyak mortalitas, morbiditas, atauinkapasitas dalam masyarakat itu, dianjurkan agar keputusandari individu untuk ikut atau tidak ikut diminta melalui peran-taraan pemimpin masyarakat yang dipercaya. Harus dijelaskanbahwa keikutsertaan itu benar-benar sukarela dan bahwasetiap subyek bebas menarik diri dari percobaan setiap saat.

Cara memperoleh informed consent dari anak-anak danorang berpenyakit jiwa atau terbelakang juga menimbulkanmasalah. Belum ada kesepakatan mengenai umur yang me-nurut hukum masih dianggap anak-anak, tetapi dianggap cu-kup mampu menentukan bagi dirinya sendiri untuk ikutserta dalam riset. Tapi orang yang telah mencapai usia wajibmiliter atau telah diperbolehkan ikut pemilu harus dianggapmampu memberi informed consent, Bagaimanapun juga seba-iknya diusahakan kerjasama sukarela dari si anak, dan lebihbaik lagi kalau ada juga izin dari orang tua atau walinya.

Riset pada MasyarakatSuatu riset mungkin dilakukan terhadap seluruh masyarakat,misalnya pengolahan air minum, riset tentang pelayanan kese-hatan, pengujian insektisida, pengujian obat profilaktik atauvaksin baru dsb. Selain. itu, meskipun tidak secara khususditujukan untuk meningkatkan kesehatan, usaha-usaha lainseperti manipulasi lingkungan dapat secara tak langsung mem-pengaruhi kesehatan manusia.

Dalam banyak hal tidaklah praktis untuk memperolehinformed consent dari semua individu yang terlibat. Makapeneliti baru boleh memulai risetnya setelah mengadakan pe-nilaian secermat-cermatnya, setelah memperoleh nasihatteknik dari pihak-pihak yang kompeten, dan mendapat izin

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 39

Page 41: Cdk 025 Uji Klinik

dari badan wakil masyarakat yang independen yang ditugas-kan melindungi kepentingan bersama.

Prosedur Peninjauan Etika (ethical review)Sekitar 20 tahun terakhir ini dalam banyak negara cara utamauntuk menjalankan peninjauan etika pada usulan riset bio-medik ialah melalui komite peninjau etika atau majelis penin-jau institutional, yang didirikan pada tingkat lokal, institusionalatau regional. Keanggotaannya terdiri dari peneliti-penelitiyang independen dengan tambahan anggota awam. Badan-badan itu dikuasakan untuk meneliti semua usulan risetbiomedik, baik terapetik maupun non-terapetik, yang berman-faat bagi subyek pasien maupun yang tak ada manfaatnyabagi subyek sukarelawan yang sehat. Yang ditinjau termasukjuga usulan riset mengenai obat profilaktik atau vaksin baru.

Peninjauan secara prospektif yang independen dan adil ituharus disesuaikan dengan masing-masing negara agar cocokdengan sistem eksekutif atau administrasi nasional,denganmemperhatikan tingkat sentralisasi atau desentralisasi riset.Tapi komite di daerah/perifer (pada tingkat lembaga atauregional) biasanya lebih banyak mengetahui dan memahamifaktor-faktor lokal, maka lebih baik daripada badan di pusatuntuk menilai aspek dari penelitian dan memonitor perkem-bangannya.

Apapun prosedur yang diambil, peninjauan etika tadiharus didasarkan pada protokol yang cermat, yang mencan-tumkan pernyataan yang jelas mengenai tujuan penelitian,deskripsi yang saksama dari semua intervensi yang diusulkan,rencana statistik, dan kriteria untuk menentukan pemasukanatau penarikan diri subyek secara individual.

Masalah yang berulang kali timbul ialah sejauh mana ko-mite peninjau etika tadi harus mempertimbangkan aspekilmiah dan etika dari suatu usulan. Tidaklah mungkin mem-beri suatu garis batas yang jelas antara peninjauan ilmiah danpeninjauan etika. Sebagai prinsip umum, komite seharusnyatidak mempersoalkan metoda ilmiah yang diusulkan, tapimeninjau disain ilmiah/statistik dari usulan yang diserahkanpadanya.

Adanya anggota awam dalam komite dapat berguna ka-rena kadang-kadang ada aspek etika dari penelitian yang tidaksegera disadari oleh klinikus. Anggota awam tadi boleh jadiseorang pengacara, kaum alim ulama, pemimpin masyarakat,atau anggota profesi kesehatan lainnya. Sebaiknya anggota-komite terdiri dari pria dan wanita. Karena tanggung jawabetik akhirnya harus dipikul oleh si peneliti, para mahasiswakedokteran harus diberi pengertian dan kesadaran mengenaimasalah ini selama masa pendidikan dan latihannya.

Perlindungan terhadap Subyek dalam RisetPersyaratan untuk peninjauan harus ketat untuk usulan-usulan riset yang melibatkan anak-anak, wanita hamil/menyu-sui, orang yang tak waras ingatan atau terbelakang, anggotaanggota masyarakat yang tidak biasa dengan konsep klinikmodern (masyarakat yang terbelakang), serta setiap risetinvasif yang non-terapetik.

Mengenai anak-anak, ada suatu aksioma, yaitu anak-anaktak boleh menjadi subyek riset yang dapat sama baiknya dija-lankan pada orang dewasa. Namun jelaslah keikutsertaan mere-ka tidak dapat dielakkan dalam riset tentang penyakit anak

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

atau keadaan-keadaan yang mudah mengenai anak. Sejalandengan itu, orang yang tak waras ingatannya atau terbela-kang tidak boleh menjadi subyek riset yang sama baiknya dija-lankan pada orang dewasa yang waras. Tapi jelaslah mere-kalah satu-satunya subyek untuk penelitian mengenai sebab-sebab dan pengobatan gangguan kejiwaan.

Wanita hamil dan menyusui tak boleh menjadi subyek risetnon-terapetik, kecuali bila dimaksudkan untuk membikinjelas masalah-masalah kehamilan dan menyusui. Riset tera-petik hanya boleh dilakukan bila bertujuan meningkatkankesehatan ibu, meningkatkan viabilitas (kemampuan hidup)fetus, membantu perkembangan kesehatan bayi, atau mem-bantu kemampuan ibu memberi makan bayinya.

Dalam konperensi Manila ditunjukkan bahwa anggota-anggota dari masyarakat yang terbelakang mungkin percayabahwa setiap riset yang dilakukan terhadap mereka pastimembawa manfaat bagi mereka. Harapan-harapan itu mungkinakhirnya tidak terkabul. Maka dalam peninjauan etik dalamusulan demikian harus dipertimbangkan benar-benar manfaatapa yang akan diperoleh masyarakat tsb. Ini untuk mencegahkekecewaan mereka sehingga menimbulkan sikap yang takmenguntungkan bagi penelitian.

Mengenai masyarakat yang terbelakang, riset tak bolehdibatalkan hanya karena alasan keterbelakangan masyarakattsb. Sebaliknya, tidaklah etis menggunakan masyarakat yangterbelakang itu untuk riset yang tidak akan membawa manfaatbagi mereka, yang dapat dilakukan pada subyek sehat dalammasyarakat lain.

Dalam hal percobaan obat profilaktik dan vaksin baru ter-hadap manusia, sebelum dimulai harus ada penilaian ilmiahyang cermat mengenai keamanannya. Hal ini sering ditekan-kan dalam konperensi Manila. Juga ditekankan perlunyanegara-negara mengembangkan kebijakan (policy) riset nasio-nal, perundang-undangan dan pedoman pelaksanaan untuktujuan itu.

Bila riset disponsori dari luar, artinya dilakukan di suatunegara, tapi direncanakan, dibiayai, dan kadang-kadang dilak-sanakan sebagian atau seluruhnya, oleh badan intemasionalatau lembaga dari negara lain, ada dua syarat yang harus dipe-nuhi. Usulan riset harus dimintakan peninjauan etiknyaoleh lembaga yang merencanakan sendiri, dan disamping itu,penguasa negara tempat riset dilakukan harus meneliti apakahriset itu memenuhi persyaratan etika negara itu sendiri.

WHO Chronicle 1981; 35 : 212—215

Untuk surat menyurat, gunakan alamat :Redaksi Cermin Dunia KedokteranP.O. Box 3105 — Jakarta

Page 42: Cdk 025 Uji Klinik

Declaration of HelsinkiRecommendations guiding medical doctors in biomedical research involving human subjects

Adopted by the Eighteenth World Medical Assem-bly, Helsinki, Finland, 1964, and revised by theTwenty-ninth World Medical Assembly; Tokyo,Japan, 1975

IntroductionIt is the mission of the medical doctor to safe-

guard the health of the people. His or her knowled-ge and conscience are dedicated to the fulfilmentof this mission.

The Declaration of Geneva of the World MedicalAssociation binds the doctor with the words,"The health of my patient will be my first conside-ration", and the International Code of MedicalEthics declares that, "Any act or advice whichcould weaken physical or mental resistance of ahuman being may be used only in his interest."

The purpose of biopredical research involvinghuman subjects must be to improve diagnostic,therapeutic and prophylactic procedures and theunderstanding of the etiology and pathogenesisof disease.

In current medical practice most diagnostic,therapeutic or prophylactic procedures involvehazards. This applies a fortiori to biomedical re-search.

Medical progress is based on research whichultimately must rest in part on experimentationinvolving human subjects.

In the field of biomedical research a fundamentaldistinction must be recognized between medicalresearch in which the aim is essentially diagnosticor therapeutic for a patient, and medical research,the essential object of which is purely scientificand without direct diagnostic or therapeutic valueto the person subjected to the research.

Special caution must be exercised in the conductof research which may affect the environment,and the welfare of animals used for research mustbe respected.

Because it is essential that the results of labora-tory experiments be applied to human beings tofurther scientific knowledge and to help sufferinghumanity, the World Medical Association hasprepared the following recomendations as a guide toevery doctor in biomedical research involvinghuman subjects. They should be kept under reviewin the future. It must be stressed that the standardsas drafted are only a guide to physicians all overthe world. Doctors are not relieved from criminal,civil and ethical responsibilities under the laws oftheir own countries.

I. Basic principles1. Biomedical research involving human subjectsmust conform to generally accepted scientificprinciples and should be based on adequately per-formed laboratory and animal experimentationand on a thorough knowledge of the scientificliterature.2. The design and performance of eachexperimen-tal procedure involving human subjects shouldbe dearly formulated in an experimental protocolwhich should be transmitted to a specially appointed

independent committee for consideration, comment '

and guidance.3. Biomedical research involving human subjectsshould be conducted only by scientifically qualifiedpersons and under the supervision of a clinicallycompetent medical person. The responsibilityfor the human subject must always rest with a me-dically qualified person and never rest on the sub-ject of the research, even though the subject hasgiven his or her consent.4. Biomedical research involving human subjectscannot legitimately be carried out unless the impor-tance of the objective is in proportion to the inhe-rent risk to the subject.5. Every biomedical research project involvinghuman subjects should be preceded by carefulassessment of predictable risks in comparisonwith foreseeable benefits to the subject or toothers. Concern for the interest of the subjectmust always prevail over the interests of scienceand society.6. The right of the research subject to safeguardhis or her integrity must always be respected. Everyprecaution should be taken to respect the privacyof the subject and to minimize the impact ofthe study on the subject's physical and mentalintegrity and on the personality of the subject.7. Doctors should abstain from engaging in researchprojects involving human subjects unless they aresatisfied that the hazards involved are believedto be predictable. Doctors should cease anyinvestigation if the hazards are found to outweighthe potential benefits.8. In publication of the results of his or her re-search, the doctor is obliged to preserve the accura-cy of the results. Reports on experimentation notin accordance with the principles laid down in thisDeclaration should not be accepted for publication.9. In any research on human beings, each potentialsubject must be adequately informed of the aims,methods, anticipated benefits and potential hazardsof the study and the discomfort it may entail.He or she should be informed that he or she is atliberty to abstain from participation in the studyand that he or she is free to withdraw his or herconsent to participation at any time. The doctorshould then obtain the subject's freely-given in-formed consent, preferably in writing.10. When obtaining informed consent for the re-search project the doctor should be particularlycautious if the subject is in a dependent re-lationship to him or her or may consentunder duress. In that case the informed consentshould be obtained by a doctor who is not engagedin the investigation and who is completely indepen-dent of this official relationship.11. In the case of legal incompetence informedconsent should be obtained from the legal guardian

in accordance with national legislation.Wherephysi-cal or mental incapacity makes it impossible toobtain informed consent, or when the subject isa minor, permission from the responsible relativereplaces that of the subject in accordance withnational legislation.12. The research protocol should always containa statement of the ethical considerations involvedand should indicate that the principles enunciatedin the present Declaration are complied with.

11. Medical research combined with professional care(clinical research)

I. In the treatment of the sick person, the doctormust be free to use a new diagnostic and thera-peutic measure, if in his or her judgement it offershope of saving life, reestablishing health or allevi-ating suffering.2. The potential benefits, hazards and discomfortof a new method should be weighed against theadvantages of the best current diagnostic and thera-peutic methods.3. In any medical study, every patient—includingthose of a control group, if any—should be assuredof the best proven diagnostic and therapeuticmethod.4. The refusal of the patient to participate in astudy must never interfere with the doctor-patientrelationship.5. If the doctor considers it essential not to obtaininformed consent, the specific reasons for thisproposal should be stated in the experimentalprotocol for transmission to the independentcommittee (1, 2).6. The doctor can combine medical research withprofessional care, the objective being the acquisi-tion of new medical knowledge, only to the extentthat medical research is justified by its potentialdiagnostic or therapeutic value for the patient.

Ill. Non-therapeutic biomedical research involvinghuman subjects (non-clinical biomedical research)

1.1n the purely scientific application of medicalresearch carried out on a human being, it is the dutyof the doctor to remain the protector of the lifeand health of that person on whom biomedicalresearch is being carried out.2. The subjects should be volunteers—either heal-thy persons or patients for whom the experimentaldesign is not related to the patient's illness.3. The investigator or the investigating teardiscontinue the research if in his/her or their judge-ment it may, if continued, be harmful to the indivi-dual.4. In research on man, the interest of science andsociety should never take precedence over conside-rations related to the well-being of the subject.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 4 1

Page 43: Cdk 025 Uji Klinik

Survei Epidemiologikdr. H. R. Widodo Talogo, MPHBagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu KedokteranPencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta.

PENDAHULUANMenurut "International Epidemiological Association" (1)

epidemiologi ialah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yangberpengaruh kepada frekuensi dan penyebaran penyakit padapenduduk. Sedangkan survei menurut Abramson (2) dinyata-kan sebagai suatu penelitian yang mengumpulkan informasisecara sistematik. Oleh karena itu survei epidemiologik jang-kauannya mungkin satu penderita, beberapa penderita, le-tusan suatu jenis penyakit (= wabah), satu daerah tertentubeserta penduduknya yang diselidiki selama jangka waktutertentu (3). Hal tersebut di atas dibahas lebih lanjut padauraian berikut.1. SURVEI EPIDEMIOLOGIK SATU PENDERITA (KASUS)

Hal ini lazim dilakukan pada penderita penyakit yangsangat menular, misalnya penderita penyakit karantina ataupenyakit yang tercakup dalam suatu sistem pengamatan(= "survellance system").Contoh. Di rumah Sakit dirawat seorang anak yang menderitademam berdarah, maka oleh Dinas P3M diusut tempat tinggalanak tersebut. Kemudian diselidiki kemungkinan penularandemam berdarah di rumah anak tersebut. Bila ternyata vektordemam berdarah ditemukan sangat banyak di rumah anak itu,dapat dilakukan penyemprotan serta pembasmian tempatperindukan vektor tersebut. Penduduk di sekitarnya diamatiterhadap timbulnya penderita baru.2. SURVEI EPIDEMIOLOGIK BEBERAPA PENDERITA

Hal ini sering dilakukan bila beberapa penderita penyakityang tidak lazim timbul di suatu daerah.Contoh. Di sebuah rumah sakit di Jakarta timbul beberapapenderita penyakit malaria, sedangkan orang tersebut tidakpernah keluar kota Jakarta, sesudah diusut lebih lanjut, ter-nyata orang itu memperoleh transfusi darah yang mengan-dung parasit malaria.3. SURVEI LETUSAN SUATU JENIS PENYAKIT (WABAH)

Definisi wabah atau epidemi memang beraneka ragam dantidak mudah diberikan. Mungkin epidemi dapat dinyatakansebagai "keadaan darurat kesehatan masyarakat " , dan surveiepidemiologik yang dilakukan pada wabah itu ialah sebagaiberikut :(a) Konfirmasi diagnosa penyakit itu (klinik dan lab.).(b) Menetapkan prevalensi dan insidensi penyakit yang berke-

lebihan (dibandingkan dengan keadaan normal atau sebe-lumnya).

(c) Penderita dipelajari atas dasar : who, where, when (siapa,dimana dan kapan). Variabel yang ditanyakan : Umur,jenis kelamin, pekerjaan, golongan etnik (ras).

(d) Penerangan tentang penyakit diberikan kepada masya-rakat dan pihak yang berkepentingan.

(e) Kartu survei epidemiologik yang standard dipakai dalamsurvei ini yang bertujuan menetapkan sumber sebab tim-bulnya wabah dan mencari orang lain yang sudah terjang-kit penyakit tersebut (kontak).Hasil analisa survei itu akan menghasilkan tindakan pen-cegahan di masa depan.

4. SURVEI PENDUDUK DALAM DAERAH TERTENTUBaik pada survei dengan dan tanpa kelola, penyelidik

mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada pendudukatau masyarakat. Pertanyaan itu mungkin dapat berupa(i) Wawancara, (ii) Kuesioner, (iii) Pemeriksaan medik ataulaboratorium, dan (iv) Peninjauan kartu sakit atau kartukesehatan (=" records " ).Contoh :Wawancara"Bagaimana pendapat bapak tentang pendidikan seksual untukanak remaja?"( CATAT JAWABAN ITU KATA DEMI KATA).

Kuesioner"Apakah bapak memiliki barang kesejahteraan sebagai berikut?"– Radio – Sepeda – Mesin Jahit– Stereo-system – Sepeda motor/Scooter – Rice-cooker– Televisi – Mobil – Lemari es– AC.Pemeriksaan Laboratorium dan klinikKolesterol darah :...................................................................Tekanan darah : . . . / . . . . mmHg (sistolik/diastolik).Kartu KesehatanJenis Kelamin :.......................................Berat Badan : ................Tinggi Badan :.........................................

Sebelum survei dilaksanakan, perlu diperhatikan langkahberikut:(1) Tujuan survei(2) Kapan survei dilaksanakan(3) Cara survei yang dipakai(4) Susunan pertanyaan untuk survei(5) Penduduk dan sampel yang diperiksa(6) Kelola (="kontrol")

(f)

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 44: Cdk 025 Uji Klinik

Contoh : Survei bertujuan menetapkan jumlah penderitaDiabetes mellitus pada orang dewasa berumur 30 tahun ke atasdalam hubungannyan dengan berat badan lahir. Survei dilak-sanakan pada musim panas, bulan April—Juli. Cara survei :pemeriksaan laboratorium dan wawancara. Jumlah pertanyaanyang diajukan 20 buah. Penduduk Jakarta yang diperiksadan sampel ialah sebesar 3000 orang. Tidak ada kelola padasurvei ini.Kemudian dikenal berbagai jenis survei penduduk :(1) Survei tanpa kelola

(a) survei deskriptif sederhana(b) survei prevalensi (cross-sectional survey).(c) survei longitudinal (incidence survey).

(2) Survei dengan kelola(a) survei deskriptif kompleks(b) studi kohort = Studi Etiologi(c) studi kasus-kelola

• Survei deskriptif sederhana ialah survei penderita penya-kit sejenis yang dibandingkan dengan ciri-ciri asal penduduk.Contoh : Survei keputihan pada peserta KB berbagai golonganmasyarakat dan cara KB yang dipakai. Survei diare pada anakBalita berbagai golongan sosial-ekonomi masyarakat.

• Survei prevalensi ialah survei penduduk yang singkat,misalnya 1 — 3 minggu.Contoh : Survei penduduk dengan keluhan TBC paru dansputum BTA positif. Survei pemakaian antibiotika padapenduduk berdasarkan resep dokter.

• Survei longitudinal ialah survei penduduk dalam waktuyang lama : 5 — 15 tahun dan sebenarnya terdiri atas surveiprevalensi yang diulang-ulang;Contoh : Survei kematian bayi dan sebab kematian. Surveiprevalensi dilakukan berulang yaitu tiap awal tahun danpertengahan tahun.

Ketiga survei tersebut di atas tidak sama tujuannya. Surveideskriptif sederhana bertujuan, untuk mempersiapkan studideskriptif yang lebih kompleks atau studi etiologi. Studiprevalensi bertujuan menetapkan beban penduduk akibatpenyakit serta distribusi penyakit; mempelajari sebab penya-kit, mencari penderita yang belum didiagnosis, membanding-kan beberapa penyakit bersama-sama. Survei longitudinalbertujuan menetapkan insidensi penyakit, dan menetapkanperkembangan alamiah penyakit.

• Survei deskriptif kompleks ialah survei penduduk denganinstrumen yang kompleks. Oleh karena berbagai golonganmasyarakat tercakup di dalamnya, maka salah satu golongandapat dijadikan kelola.Contoh : Survei deskriptif kompleks tentang filariasis diP. Buru.

• Studi kohort ialah survei penduduk yang terpapar danyang tidak terpapar.Contoh : Studi kohort golongan masyarakat yang makantempe dan oncom dengan golongan masyarakat yang tidakmakan tempe dan oncom terhadap karsinoma hati dan atausirosis hepatis.

• Studi kasus-kelola ialah survei penduduk yang menderitapenyakit tertentu dan yang tidak menderita penyakit itu.Contoh : Studi .kasus-kelola orang yang sakit karsinoma hepatisdan orang tanpa karsinoma hepatis terhadap kontak dengan

virus hepatitis.Pada survei penduduk ada beberapa masalah pokok yaitu(i) masalah medik, (ii) masalah etik, (iii) masalah ekonomiatau biaya.MASALAH MEDIK

(A) Kapan seseorang menderita suatu penyakit. Empatpendekatan dapat dicoba:(1) Pendekatan statistik, bila data itu numerik atau intervalmaka data di atas nilai rata-rata + 2 deviasi standard dianggapabnormal.(2) Pendekatan klinik, bila pada seseorang tampak gejalatertentu.(3) Pendekatan prognostik, bila pada seseorang ditemukangejala yang memberikan prognosis buruk, walaupun orangitu sekarang tampak sehat.(4) Pendekatan operasional, bila seseorang masih dapat dio-bati dengan hasil baik.

(B) Kualitas peneriksaan pada survei sangat penting dandikenal pertama-tama kualitas cara pemeriksaan ( = validity=

sensitivity dan specificity). Kemudian dikenal variabilitaspada subyek dan dokter. Pada dokter selalu ada kemungkinankesalahan secara "random" dan ada kesalahan antar dokter.Masalah pokok ialah kesalahan antar dokter seperti padacontoh pemeriksaan tekanan darah ini :

dokter A dokter Bpenderita 1 160 / 90 140 / 80penderita 2 170 / 100 140 / 90

MASALAH ETIKPada tiap-tiap studi bila penduduk mengalami sesuatu tindakanyang dapat merugikannya, maka timbul masalah etik. Dalamhal ini perlu diperhatikan :(1) subyek harus tahu, bila ikut suatu studi mengenai akibat

studi tersebut dan memberikan persetujuannya;(2) Studi harus ditinjau komisi etik dan ditetapkan peri-

zinannya;(3) Studi yang validity rendah dibatalkan (tidak berguna).Contoh : Pada studi perilaku seksual dijamin kerahasiaansubyek. Pada survei filariasis, ditinjau aktbat sampingan tesprovokasi.MASALAH EKONOMIBesar sampel menjadi masalah survei, apalagi bila prevalensipenyakit sangat rendah. Sering penyelidik kecewa, karenasesudah melakukan suatu survei epidemiologik. hanya dite-mukan 2 — 3 penderita. Dibedakan 2 cara untuk menetapkansampel :(1) berdasarkan data ordinal pada penduduk atau prevalensi.(2) berdasarkan data numerik/interval pada penduduk atau

nilai rata-rata.

Pada survei penduduk masalah lain pula ialah cara pengambilansampel. Cara yang lazim dipakai ialah : (1) Random samplingatau simple random sampling, (2) Stratified random sampling,(3) Systematic sampling, (4) Cluster sampling, (5) Multistagesampling.Hal lain yang perlu diperhatikan pula pada survei pendudukialah variabel (= ciri yang diperiksa atau diukur). Biasanya dibe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 43

Page 45: Cdk 025 Uji Klinik

dakan variabel universil yang selalu diikutsertakan pada semuasurvei yaitu :

Jenis kelamin EtnikUmur AgamaJumlah kelahiran Status kawinSosial ekonomi/pekerjaan/pendidikanIndex kepadatan keluargaTempat tinggal/kota/pedesaanPenduduk asli/pendatang

Kemudian dapat ditambah variable yang diperlukan secarakhusus untuk tujuan survei tersebut Misalnya pada surveidiabetes mellitus : kadar glukosa darah, kadar glukosa urin,jumlah kalori yang dimakan sehari dan seterusnya. Kadang-kadang bariabel itu kompleks dan perlu diuraikan menjadibeberapa komponen, misalnya gambaran EKG menjadi polaQ dan QS, pola S—T dan seterusnya.Tiap-tiap variabel kemu-dian diberi definisi dan skala pengukurannya.Contoh : Kepuasan seksual. Jawaban ibu terhadap pertanyaankhusus di klinik K.B.Skala : 1. sangat puas

2. puas3. agak puas4. kurang puas5. tidak puas6. sama sekali tidak puas

Pada ad. 1 dapat dipakai rumus SE =

p = prevalenceN = besar sampelMisalnya penyakit X prevalence rate diduga 30% dan pada sur-vei diinginkan SE sebesar 2.5% saja, maka menurut rumus :

Pada ad. 2. dapat dipakai rumus SE m = ,

s = deviasi standardN = besar sampelMisalnya deviasi standard hemoglobin diduga 3 gram% dan pa-da survei diinginkan SE sebesar 0.1%, maka menurut rumus :

KESIMPULANDalam uraian tersebut di atas telah dibahas berbagai bentuk

survei epidemiologik serta kegunaannya. Salah satu hal yangperlu diperhatikan ialah cara interpretasi yang perlu diberikankepada data yang dihasilkan. Sebab biasanya hal itu tidakmudah atau seperti kata Voltaire dalam Dictionnaire Phi-losophique : "Common sense is not so common". Seringpenyelidik tertarik oleh pendapat sendiri, sehingga menga-baikan keanehan pada data yang diperolehnya atau lebihtepat penyelidik terjerumus dalam sindroma "The Self-ful-filling Prophecy". Oleh karena itu sikap obyektif terhadapdata hasil penyelidikan sangat penting dan perlu diingatkankata-kata Einstein. "Dalam dunia modern dewasa ini mene-mukan sesuatu yang baru sama sekali tidaklah mudah".

KEPUSTAKAAN1. Lowe CR, Kostrzenski (ed). Epidemiology. A guide to teaching

methods. Geneva : The International Epidemiological Association &the World Health Organization, 1971.

2. Abramson JH. Survey methods in Community Medicine. Edinburgh:Churchill Livingstone, 1979.

3. Zhdanov V. Epidemiology. Moscow : Foreign Languges PublishingHouse.

4. Aryatmo Tjokronegoro, Purwanto SL. (ed). Metodologi PenelitianBidang Kedokteran. Jakarta : Komisi pengembangan Riset danPerpustakaan, Fak Kedokt Univ Indonesia, 1979.

5. Barker DJP, Rose G. Epidemiology in Medical Practice. Edinburgh :Chruchill Livingstone, 1979.

6. Hanlon JJ. Public Health. Administration and Practice. Sixth ed.,Saint Louis : C.V. Mosby company, 1974.

Kamillosan ® baik untuk ibu, aman bagi bayiMencegah fisure dan rhagaden dari niple, sehingga ibu-ibuterhindar dari Mastitis pada masa Iaktasi.Komposisi : Setiap 100 g salep mengandung :

Camomile dry extract 400 mgEssential oil 20 mgChamazulene 0,4 mgBisabolol 7 mg

Indikasi : Keadaan iritasi kulit seperti pada : luka-lukaparut, Iuka lecet, luka sayat, luka bakar, ter-kena sinar matahari yang terlalu terik, iradiasisinar X, ultra violet, eksema, dermatitis, pruri-tus (terutama pada kulit yang kering), abses,bisul, rhinitis, herpes labialis, perawatan danperlindungan kulit bayi, perawatan putingbuah dada semasa kehamilan dan Iaktasi.

Kemasan : Tube 10 g , botol 10 cc dan 30 cc

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 46: Cdk 025 Uji Klinik

PHARMACO-CHEMISTRY: a New DiciplineProf. H. TimmermanVrije Universiteit, Dept. Pharmacochemistry, AMSTERDAM.

Ever since there are people in the world there have beendiseases and medicaments. The first medicaments were pri-marely used for combat of pain, later more precise productscome along.

The eldest medicinal products are of natural origin, mainlyfrom plants (e. g. rhubarb); isolation (originally of mixtures)was done by pharmacists. In the nineteenth century thesynthesis of analogues of isolated natural products startedto come in use. Gradually parts of the task of the pharmacist(synthesis) was taken over by chemists, making a cooperationbetween the disciplines.necessary. At that time pharmaceuticalindustries started to become (partly) research based.

At the same time (± 1900) the idea that biological res-ponses due to chemical agents are caused by an interactionbetween these agents and an active site (receptor) becamemore and more accepted (Ehrlich). It is very important thatparallel to this new development, pharmacology maturedinto a science.

In our century the development of new drugs reachedits peak after the second world war, with the introductionof many drugs which are still in use now. In this essay I wouldlike to describe briefly the "classical' way of doing pharma-ceutical research as it was done in its golden age (1945—1970)and to depict modern research programmes, in which biologi-cal and chemical disciplines are strongly integrated.

Pharmaceutical research in the recent past.Already in the 19th century some scientists (e.g. Brownand Fraser) advocated the relation between chemical structureand biological activity. They made little progress for tworeasons. The chemical structures at that time were ill defined(mainly two dimensional structures), as were the biologicaleffects (reached by different mechanisms, interactions withdifferent active sites). Activity was attributed to certain partsof the molecules (therapogenic groups), but in 1937 Clarkwrote still : "Relations between chemical constitution ofdrugs and pharmacological actions have been examined soextensively that we have a fairly clear idea of the extend ofour ignorance". The Dutch pharmacologist De Jong howeverdenied such a relation absolutely as he could not understandthe same grow activity caused by either Mg 2+ or d-tubocura-rine; his misbelief was of course caused by the misunder-standing that the muscle relaxation seen after d-tubocurarine

or Mg 2+ should be due to an interaction with one and thesame active site, which of course is not true.

2 Cl Mg++

It is conceivable that in the time that the state of deve-lopment had reached this level only, new medicaments couldbe found solely by synthesizing large numbers of analogousmolecules (generic series), which had to be screened afterwardsby the pharmacologists. When leads (a certain activity ina certain class of compounds) were detected, an optimalactivity was aimed at by further synthesis. Another waywas to investigate large numbers of bacterial brothes in searchfor new antibiotics.

In the already mentioned golden age period new, veryactive agents were developed in this way. A group of spe-cialized chemists (mainly organic chemists) from that time oncalled "medicinal chemists", produced large numbers ofcompounds. The pharmacologists screened the compoundsand established the desired possibly beneficial properties(or other !). In a rather short period of time it proved tobe possible to find medicaments for most, if not all, of thediseases of which a fair understanding of the underlyingcause was known. The amount of luck in finding new mole-cules remained high however; a lot of products came in usebecause of biological properties completely different fromthose actually expected (e. g. diphenylhydantoin, the pheno-tiazines, several sedatives, the antidiabetic sulphonamides).

For several reasons (e. g. the severe unexpected problemswith thalidomide) gradually more and more research becamenecessary before a product could be given to men : toxicology(later on including e. g. teratology, research after carcinogenicor mutagenic effects), metabolism of the compounds andits pharmacokinetic properties had to be established etc.This happened in the late sixties.

tubocurarine

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 45

Page 47: Cdk 025 Uji Klinik

Modern pharmaceutical researchThe increased requirements (= costs for the developer) causeda sharp drop in the introduction of new molecules in medicalpractice. Other reasons for this drop are the higher thresholdsused by the authorities (safety, is there a need?) and the,related to the above, saturation of the market (for mostdiseases a product was available).

In the seventies we can indicate three developments whichare meant to make successful research in this field possible.• More fundamental research into the cause of diseases andphysiological mechanism and the mechanism of action ofpharmaca.• Advanced studies into the Structure Activity Relationships,done in a quantitative way with the aid of modern techniques(computer), the development of QSAR.• The integration of the several disciplines involved : chemi-cal (analytical, synthetic, physical and theoretical) and biolo-gical (pharmacology including toxicology, immunology,microbiology etc.). For the biological disciplines the mole-cular approach is used. For the new field the term pharmaco-chemistry comes in use.

In the next paragraphs I will expatiate on the three deve-lopments in a reversed order.

Modern pharmacochemistryThe complexity of pharmaceutical research makes an inte-grated approach a must. In the following scheme I haveindicated how this should be arranged for.

It should be clear that in such a set up only the selectionof a new molecule can be reached, but it does not involvethe more or less routine investigations needed for the deve-lopment of a marketable product.

The important difference with the old fashioned way isthe integration between the disciplines as well as the possi-bility offered to start a project on basis of for instance toxi-cological findings. The scientists working in the field shouldhave a training which allows for working in integrated researchteams. The pharmacologist should be able to speak with andlisten to the synthetic chemist a. s. o.

It is beyond the scope of this essay to mention manyexamples of recent successes on the basis of an integratedresearch program. I just give a few.

— The new benzodiazepines have not been synthesizedfor obtaining a molecule with higher activity but on basisof studies into the relationship between the structure and thepharmacokinetic profile e. g. in order to get drugs with ashort biological half life.

— Understanding of the S. A. R. of the carcinogenic pro-perties of the naphthalene derivatives made it possible to usea safe way for the synthesis of 2—aminonaphthalene—6,8—disulfonic acid (di Na—salt) used in the dye industry.This is depictured in the next scheme.(N.B. Pharmacochemistry does concern the investigationin general of molecules with a certain biological property,not restricting itself to pharmaceuticals !)

A : dangerous routeB : safe route

— For topical use of drug (e. g. skin, lungs) moleculescan be designed and have been synthesized that are activelocally, but become inactivated e. g. by hydrolysis as soonas they reach the general circulation; steroids for use in derma-tology or for treatment of asthma by aerosols are successfuldue to their biological instability.

— Understanding of the metabolic pathway can make itmeaningful to prepare compounds that cannot follow thatpathway if the metabolite is inactive or toxic; in case the me-tabolite is active the metabolite might be the wanted molecule.The wellknown anthelmintic levamisole is an example of aproduct being originally an active metabolite only.

New QSAR techniquesAs already mentioned one has tried to find Structure

Activity Relationships (SAR) since long; the main reasons notto find them but in qualitative way have also been explained.Conditions to find SAR are :a) the biological parameter should be the true reflection of

the pharmacon—receptor interaction;b) the compounds investigated should therefore belong to

a pharmacologically congeneric series.It should be not too difficult to obey both conditions, especial-ly when for the biological experiments isolated systems (e. q.isolated organs, even better cells or cultures of microorganisms)are used. Experiments have never been very productive how-ever, which has, in my opinion, been caused by the fact

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 48: Cdk 025 Uji Klinik

that interactions between pharmacon—receptor are ruledby several, molecular properties of the pharmacon : one candifferentiate between ionic interactions, Vander Waals forces,hydrophobic interaction hydrogen bonds and electron-transfercomplexes. Keeping this in mind it is obvious that the relationbetween structure and activity but for some exemptions,always is determined by several parameters; the human mindhowever is limited in its possibilities to detect on its ownrelationships between more than 2 — 3 properties.

When the computer was introduced in the modern labo-ratories new possibilities were offered. In the late sixtiesit was Hansch who reached successes with so—called multipleregression analysis with the aid of a computer. In its simpliestform the end result of such an analysis as a statistical re-lation as

log BR =aX+bY+cZ................. +din which BR is a biological response in for instance the formof a minimal active concentration.

a, b, c, ..................and d are constants andX, Y, Z are parameters for the individual members of aseries.

Parameters for the description of a series of molecules mightbe molecular properties such as lipophilicity or constants forsubstituents such as the Hammet constant. Generally spokenwe can use parameters for structural (size, orientation), forelectronic, or for lipophilic properties of the molecule orthe subtituent.The quality of the relation is expressed by the so—calledregression coefficient which denotes the percentage of va-riance explained by the regression equation; the missing part(from 100) giving a good indication of the inaccuracy causedby the experiment.

— The multiple regression analysis technique can be usedtherefore to find the optimal activity in a series. But as theusefulness of a compound is not determined by the wantedactivity per se, but also by e. g. toxic potentials, more ad-vanced approaches, using not one biological property, bute. g. the difference between two properties, are need andused therefore.

Next to the multiple regression analysis other techniquesbecome important. These are e. g. pattern recognition, clusteranalysis, receptor mapping and computer graphics (makingthe structure of a compound —from calculations— visibleon a screen and allowing to view the influence of subtituentsimmediately).

In industrial laboratories —in universities the cooperationbetween ' different institutes is not always easily achieved—the use of these modern techniques are more or less commonnowadays.

Fundamental research in pathophysiology.Even for laboratories which have established integrated

research teams with access to the sophisticated techniquesit is difficult to find better (not "more active" only !) mole-cules, when starting from existing possibilities. It does notmake much sense to try to produce better anti—ulcer medi-caments on the basis of atropine-like properties or a new

ampicillin-like product with slightly more than ampicillinwith a little lower dosage :

For new medicaments we should obtain more informationon causes of diseases. (It is not surprising that for diseaseswe know the cause very precisely, the infections, we havealmost perfect agents). Another possibility might be a betterunderstanding of phusiological systems.

One can say that as soon as more of the cause of a certaindisease becomes know, new therapeutic agents will be deve-loped. An example is the use of 1—dopa for supplying dopa-mine to parkinson patients soon after the role of dopamineas neurotransmitter became understood. Another exampleof making use of new information is to be found in —lac-tamase inhibitors. The penicillin resistent infections due tobacteria originally sensitive to the agents can be treatedsuccessfully by the use of a penicillin combined with anenzyme inhibitor. The loss of sensitivity has —most often—been caused by the development of strain containing a —lac-tamase, which opens the —lactam ring of the penicillin

molecule, inactivating it as a bactericidal compound. Peni-cillin—like molecules of a suitable structure inactivate theenzyme by a chemical reaction after the enzyme has beenreacting with the enzyme e. g. due to alkylation (see scheme).Product C inactivates the enzyme by means of a chemicalreaction.

This type of products, is known as "suicidal enzyme inhi-bitors" of which principle more and more use is made. Therecent combination of amoxycillin and the lactamase inhi-bitor clavulonic acid seems to be a very active bactericidalprinciple.

Examples of new products following better understandingof physiological processes are the so—called Histamine—2(H—2) blockers (after the existence of a second type ofhistamine receptor became known), the selective 13—blockers(after the differentiation of this class of receptors was esta-blished) and the antihypertensive angiotensine coverting-enzyme inhibitors (after more become known about the roleof the renin—angiotensin system for the control of bloodpressure).

Sometimes the developments take a reverse way. Notlong ago a so—called benzodiazepine receptor has been esta-,

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 47

β

ββ

Page 49: Cdk 025 Uji Klinik

blished, being a receptor for which no natural agonist was(is) known. Very recently some natural occuring compounds,e. g. —carboline derivatives, proved to have a high affinityfor these receptors. It is conceivable that on basis of thesefindings principally new medicaments are to be obtained.Another examples, a bit less recent, is that on the opioid recep-tors, found many years after the introduction of the mor-phines, for which neuropeptides are established as beingnatural substrate now.

Other approaches in pharmaceutical researchNext to the above mentioned approaches there is another

way that might lead to really new drugs. In many societiesor cultures there is well spread use of products of traditionalmedicine; sometimes these products are used against affec-tions for which no rational therapy is available. Moreover exam-ples are available of traditional products that proved to containvery useful compounds; the best known one is formed bythe heart glycosides from digitalis. As tradition seldom comesinto being without sense, it is almost necessary to start arational program for the investigations of such traditionalproducts.

When setting up such a program however one should neverdo so in carrying out the investigations in not the mostrational way, thinking this not being necessary for this typeof mixtures. No, these products should be handled withtechniques as advanced as possible. One has to isolate theactive principle, to establish the activity on a molecularlevel after having elucidated the chemical structure; theresults of such programs, if activity is found and the activeprinciple has been isolated can be used as lead for a projectto be carried out in a way as described above.The richness of the traditional products as source for newpharmaceutical products might be underestimated.

Teaching in pharmacochemistryMost of the scientists working in pharmaceutical research

institutes obtained their training either in a chemical or ina biological oriented discipline. Indeed, despite of its name,the university is not known for having established a gooddeal of integration in the teaching programme in the chemico-biological field. For the future such integrated programmeshave to be established, just because the society is asking for it.

The Vrije Universiteit of Amsterdam has already a depart-ment for the training of pharmacochemists. In the curri-culum which leads to the degree "doctorandus" in pharmaco-chemistry courses are given in synthetic and physical chemis-try and structure elucidation, (molecular) pharmacologyand toxicology, pharmacokinetics and metabolism of phar-maca, S. A. R. techniques. The students entering the courses,which last 2—2—5 years and include ± 15 months laboratorytraining must have obtained the "candidaats" degree in che-mistry or pharmacy (2—5—3 years). It is my personal opinionthat this type of an integrated curriculum should be stimulated.

ConclusionPharmacochemistry is the new branch of science aimed atgetting a better understanding of mechanism of action ofpharmaca (not only pharmaceutical products) and to obtainbetter products (by which in no way more active productsonly are meant). This new discipline is characterized by anintegrated approach from the site of biology and chemistry.Training programmes in this sense have been set up or shouldhave been set up.

Better products might be obtained from a more preciseunderstanding of (patho) physiological processes and makinguse of the possibilities offered by modern techniques forstudying the relationships between structure and activity.Next to this, tradional products should be used as a sourcefor finding new principles.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

β

Page 50: Cdk 025 Uji Klinik

AIHA: Aspek Serologi dan Terapi

dr. Putrasatia IrawanLembaga Pusat Transfusi Darah— Palang Merah Indonesia, Jakarta

Pada tahun 1946, Boorman, Dodd dan Loutit, jugs Loutit &Mollison melaporkan bahwa eritrosit para penderita acquiredhemolytic anemia dapat bereaksi dengan antiglobulin serum.Kemudian Dacie menemukan bahwa eritrosit para penderitaAIHA (Auto—Immune—Hemolytic—Anemia) reaksinya tidaksama kuat dengan antiglobulin serum. Bila ditambah sedikitgamma globulin ke dalam antiglobulin serum, maka dapatmenekan reaksi terhadap eritrosit dari AIHA type hangat(Warm AIHA), tetapi tidak mempengaruhi reaksi terhadaperitrosit dari AIHA type dingin (cold agglutinin syndrome).

Oleh karena itu dapat diketahui, auto-antibody yang me-lekat (sensitized) pada sel "AIHA type dingin" bukan gammaglobulin, kemudian ditemukan bahwa sebetulnya hanyakomplemen yang melekat pada sel AIHA type dingin tsb.Komplemen yang paling sering ditemukan ialah C3d, satubagian dari C3, maka bila Direct Antiglobulin Test (DAT) po-sitif dengan polyspecific antiglobulin serum harus diteruskanreaksinya dengan anti-IgG dan anti-C3 (yang mengandungC3d) untuk mendapatkan kesan pertama apakah itu zat antidari AIHA type yang hangat atau yang dingin.

Diagnosa untuk AIHA selain dari serologi, juga didasarkan :1. Harus dicocokkan dengan keadaan klinik, karena Direct

Antiglobulin Test yang positif belum tentu pasti hemo-lytic anemia.

2. Pemeriksaan DAT dimulai dengan poly—specific anti-globulin serum dan diteruskan dengan mono-specific anti-IgG dan anti-C3 . Sebanyak 50% auto antibody type hangatpositif dengan anti-IgG dan anti-C3, sedangkan 30% hanyapositif dengan anti-IgG dan 20% hanya positif dengananti-C3. Sementara itu antibody type dingin hanya positifdengan anti-C3.Paroxysmal cold haemoglobulinuria yang disebabkan zatanti-IgG yang melekat dengan komplemen, hanya positifdengan anti-C3, negatif dengan anti-IgG.

3. Titer agglutinasi dari type yang dingin bisa sangat tinggi,pada 4° C (1000) bahkan bisa bereaksi pada 30° C, dapatdigolongkan AIHA type dingin atau cold agglutinin syn-drome.

4. Melalui screening zat anti dalam serum pasien pada suhu20° C dan 37° C terhadap eritrosit normal dan eritrosityang telah dikupas oleh enzyme kemudian dilihat reaksi/lysis, agglutinasi atau non reaktif, dapat membedakanauto antibody type hangat atau type dingin.

AIHA dapat dibagi menjadi 2 kelompok :A. AIHA type hangat (warm AIHA)

1. Primer (idiopatik)2. Sekunder (Lymphoma, SLE, infections, carcinoma, dll)

B. AIHA type dingin (cold agglutinin syndrome)1. Primer (idiopatik)2. Sekunder (syphilis)

Dalam pemeriksaan serologi untuk mendapatkan diagnosayang tidak keliru, beberapa pertanyaan dibawah ini harusjelas terjawab.

I. Apakah sel darah merah pasien telah dilekat oleh protein?Hal ini dapat dijawab dengan dilakukannya DAT dengan poly-specific atau broad-spectrum antiglobulin.Auto-antibody juga seperti allo-antibody, sama-sama termasukgolongan Gamma-globullin. Coombs serum tsb dibuat darikelinci yang telah disuntik human gamma-globulin. Sifatdari anti-human-gamma globulin ini dapat dikelompokkanpoly-specific yang Broad spectrum dan mono-specific, misal-nya anti-IgG, anti-IgM, anti-IgA dan anti-C3.IgM antibody dapat langsung agglutinasi sel dalam saline,malah ada juga yang lysis. IgG antibody tidak -bisa langsungagglutinasi sel dalam saline tetapi sempat melekat selatau bisa juga langsung agglutinasi dengan sel yang telah diku-pas dengan enzyme (enzyme treated cell).Sel yang telah dilekat, bila ditambah anti-globulin serum,baru terjadi agglutinasi.Anti-IgG (anti-gamma-globulin serum) reaksi dengan heavychain (bagian FC fragment)-nya IgG molekulgamma globulinyang melekat pada sel, dengan demikian terjadilah agglutinasi.Polypeptide chains adalah unit struktur IgG dari immuno-globulin. Struktur yang terdiri dari 2 heavy chains dan 2 lightchains bentuknya seperti letter T waktu bebas (Gambar I)dan bisa berubah jadi letter Y waktu mengikat dengan antigendan pada waktu itu terbukalah tempat untuk mengaktifkankomplemen (Gambar 2).Bila IgG melekul ini dikupas dengan enzyme papain, dapatdipecah jadi 2 potong Fab fragment yang terdiri dari 1 lightchain dan 1/2 H chain dan 1 potong Fc fragment yang terdiridari 2 buah "1/2H chain" (Gambar 3). Ujungnya Fab yangterdiri dari 1/4H chain dan 1/2 light chain, mempunyai sifatspecificity antibody untuk mengikat antigen, dinamakanVariable region, sisanya disebut constant region yang menen-tukan macam-macam immunoglobulin IgG, IgA, IgE dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 49

cdk_djuni
cdk_djuni
cdk_djuni
cdk_djuni
cdk_djuni
cdk_djuni
cdk_djuni
Page 51: Cdk 025 Uji Klinik

subclassnya IgG1, IgG2, IgG3, 1gG4, dan IgA1 serta IgA2.Fc fragment dari sebagian constant region itu mempunyaitempat respon untuk komplemen dan tempat hubungandengan macrophage dalam limpa (Gambar I).Di situlah komplemen mengikat antibody dan sel yang telahdilekat oleh zat anti akan dirusak oleh macrophage dalamlimpa di tempat hubungannya tersebut.

Zat anti type hangat biasanya dari IgG1 dan IgG3. SemuaIgG3 me-lysis sel. Bila hasil DAT tsb positif, berarti mungkinmenderita AIHA. Tetapi bukan setiap DAT yang positifdikarenakan AIHA, bisa juga morbus haemolyticus neona-torum (HDN), reaksi transfusi yang lambat atau hemolyticanemia yang disebabkan obat-obatan (drugs induced immunehemolytic anemia).Sebaliknya biarpun DAT negatif bila syndrome dari klinikjelas mendukung AIHA, tetap tidak lepas dari AIHA.

II. Protein jenis apa yang melekat pada sel darah merah ?Setelah DAT positif dengan poly-specific antiglobulin serum,anti-IgG dan anti-C3 dapat membedakan protein tsb, termasukgamma globulin atau non gamma globulin (komplemen).Dalam kasus-kasus tertentu bila perlu juga dipakai anti-IgAdan anti-IgM.

IgG FOLLOWING BINDING TO ANTIGEN

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

III. Apakah ada zat anti yang bebas (free antibody) dalamserum penderita ?

Bila ada, tergolong agglutinine "complete" atau "incomplete"dan apakah sifatnya hemolytic ? Pada suhu berapa zat antitsb beraksi paling baik ? Dan apa pula specificitynya ?Pertanyaan ini akan dapat jawabannya dengan teknis yangbiasa dipakai oleh Bank Darah. Serum penderita yang asli danyang telah diasamkan dengan 0,2 N HC1 , sehingga pH nyadiantara 6,5 — 6,8 dan serum yang diasamkan itu lalu ditam-bah komplemen yang diasamkan pula. Ketiga macam serumpenderita tsb ditest dengan sel panel yang normal dan selpanel yang telah dikupas dengan enzyme masing-masing dalamsuhu 20° C dan 37° C. Dari hasil lysis, agglutinasi atau tiadareaksi, akan dapat disimpulkan zat anti type hangat atautype dingin (Lihat Tabel 1 & 2).

Bila antibody type hangat yang ditemukan, specificitytest harus dilakukan dari eluate dan serum. Biasanya karenasel darah merah telah dilekat oleh auto-antibody dalam serum:

TABEL 1. HASIL SCREENING SERUM PENDERITAZAT ANTI DARI TYPE HANGAT YANG TYPIKAL

S AS AS+AC

20 °C sel normallysis 0 0 0agglutinasi 0 0 0

20° C sel yang dikupas dengan enzymelysis 0 0 0agglutinasi 1+ 1+ 1+

37 ° C sel normallysis 0 0 0agglutinasi 0 0 0ind irect A.T. 2+ 2+ 2+

37 °C sel yang dikupas dengan enzymelysis + 1+ 2+agglutinasi 3+ 3+ 3+

S = Serum PasienAS = Serum pasien yang diasamkan dengan 1/10 vol 0—2 N HCl

menjadi pH 6,5—6,8AS + AC = Serum pasien tambah serum segar yang diasamkan.

Complement activation site

1/2

Page 52: Cdk 025 Uji Klinik

TABEL 2. HASIL SCREENING SERUM PENDERITA—ZAT ANTIDARI AIHA TYPE DINGIN (COLD AGGLUTININESYNDROME) YANG TYPIKAL

S AS AS+AC

200 C sel normallysis 1+ 1+ 3+agglutinasi 4+ 4+ 4+

20 °C sel yang telah dikupas dengan enzymelysis 2+ 3+ 4+agglutinasi 4+ 4+ X

37 °C sel normallysis 0 0 0agglutinasi 0 0 0Indirect AT 0 0 0

37 0C sel yang telah dikupas dengan enzymelysis 0 0 0agglutinasi 0 0

X = tidak dapat dicatat karena semua sel telah lysis.

Sebaliknya bila masih terdapat banyak free antibody dalamserum, ini menunjukkan antibodynya banyak dan titernyatinggi sekali, prognosisnya tentu turut gawat. Eluate dan serumsama-sama ditest dengan sel panel maka dapat diketahuiapakah ada juga alloantibody disamping auto antibody. Bilaserum dan eluate dititer dengan sel cde/cde, cDE/cDE dancDe/cDe, dapat diketahui pula specificitynya.

Bila cold antibody yang ditemukan, serum penderita diti-ter dengan sel orang dewasa, sel talipusat dari bayi pada suhu4° C, 25° C, 30° C dan 37° C, maka dapat diketahui specifi-city IgM antibody dalam Ii system. Titer dari cold agglutininsyndrome pada 4° C umumnya lebih dari 1000, ada yang men-capai 500.000 dan bisa reaksi pada suhu 32° C. Bila ditambah30% albumin malah bisa bereaksi pada suhu 37°C.Kalau sel darah merah penderita dikupas dengan enzyme,hampir semua kasus hemolyse pada 20° C. Anti pr juga salahsatu specificity dalam cold antibody yang jarang ditemukan;pr antigen mudah dirusak oleh enzyme dan tidak akan terjadireaksi dengan anti pr. Sedangkan anti I malah bereaksi lebihkeras dengan sel yang telah dikupas dengan enzyme. Paroxys-mal cold hemoglobulin uria yang juga dikelompokkan dalamAIHA type dingin amat jarang. Specificitynya IgG anti Pdapat dibuktikan dengan biphasic Donath Landsteiner test.

IV. Apa keistimewaan daripada eluate antibody ini ?Bila DAT hanya positif dengan anti-C3 berarti komplemen-lahyang ada pada sel dan tak ditemukan antibody. Bila DATpositif dengan anti-IgG berarti ada IgG molecule yang lekatpada sel. Maka eluate dari sel tsb akan bereaksi dengan nor-mal cells.Specificity dari antibody tsb bisa juga ditetapkan bila ditestdengan sel panel. Bila DAT positif dengan anti-IgG tetapitidak terlihat reaksi dengan sel normal dalam eluate, dapatdiduga keras karena Drugs Induce Immunohemolytic Anemia.

CARA PENGAMBILAN SAMPLE DARAH UNTUK PENE-LITIAN AIHA

Biasanya serum diambil dari darah beku dalam suhu 37° Cdan sel darah merah diambil dalam EDTA untuk keperluangolongan darah. DAT dan eluate, dari pengambilan dalantspuit sampai pemutaran disentrifugasi dan pemisahan seldarah merah, harus dilakukan dalam suhu 37° C pula.

PENETAPAN GOLONGAN DARAH ABO DAN RH FACTORTidak jarang dialami kesukaran untuk menetapkan golo-

ngan darah dari penderita AIHA. Pemanasan dan pencuciansel dalam 37°C tidak selalu dapat melepaskan zat anti yangmelekat pada sel, ada yang perlu dipanaskan 45°C selama5 — 30 menit ada juga yang sampai 50°C selama 3 — 10 menit,baru berhasil menetapkan golongan darahnya setelah zatanti dilepas dari sel. Tetapi pemanasan 56°C dapat melemah-kan antigen dalam Rh system. Bila tidak dengan prosedur tsbbanyak golongan darah dari penderita AIHA diperkirakan AB.

Baik pada AIHA type hangat maupun AIHA type dingin,tidak ada darah donor yang kompatible, dengan kata lain tidakada darah yang cocok untuk penderita AIHA ini.

TERAPITerapi dengan steroid dapat menekan zat anti sehingga seldarah merah penderita tidak lagi banyak dilekat oleh zat anti.Dalam satu minggu Hb sudah mulai perlahan-lahan bertambah.Dosis permulaan sebaiknya 60 — 80 mg tiap hari pada orangdewasa dan dengan demikian 80% penderita akan mengalamiperbaikan. Rusaknya sel darah merah mengurang dengancepat. Kemajuan dalam data-data hematologi cukup jelas,hanya dalam satu minggu. Bila respons terapi ini tetap kecilsesudah 3 minggu dapat dikatakan gagal. Pengalaman klinisimenunjukkan dosis yang lebih besar ( 1,5 mg /kg/hari)tidak membawa efek yang lebih baik.

Biasanya perbaikan dan kemajuan simptom lebih cepatdaripada respons hematologi, tetapi bila kortikosteroid dengandosis yang lebih tinggi akan terjadi efek samping. Untuk ituperlu menurunkan dosis sedikit demi sedikit secara bertahap.Menurut pengalaman para klinisi, dosis pertama sebaiknyaditeruskan sampai 3 minggu. Kemudian dosis tsb diturunkan10 atau 15 mg dalam satu hari setiap minggu, sampai dosisnyamencapai 30 mg per hari. Lalu dikurangi lagi 5 mg dalam satuhari setiap satu atau dua minggu sampai dosis itu tinggal15 mg per hari. Dan diteruskan lagi pengurangan 2,5 mg tiapdua minggu.Maka satu periode terapi paling sedikit 3 sampai4 bulan. Bila dosis maintenance korticosteroid lebih dari15 mg per hari untuk mempertahankan hematokrit di atas30, perlu dipertimbangkan splenectomy atau obat-obatimmunosuppressive.

KEPUSTAKAAN1. Lawrence Petg, George Garratty. Acquired Immune Hemolytic

Anemia.2. Peter D Issit, Charla H Issitt. Applied Blood Group Serology.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 51

0

±

Page 53: Cdk 025 Uji Klinik

PERKEMBANGAN

Sindroma Disuria-Piuria

Biasanya dokter segera mencurigai diagnosis "cystitisbakterial" pada wanita yang menderita disuria dan seringkencing, tapi tak ada tanda-tanda infeksi traktus urinariusbagian atas. Namun demikian penelitian menunjukkan bahwa30 - 50% wanita yang berobat dengan keluhan tsb. biakanurinnya tidak positif berdasarkan kriteria tradisional : isolasipatogen yang dicurigai, dalam biakan murni, dengan konsen-trasi > 10 5 bakteri per ml urin pada spesimen yang diambilsecara bersih. Ada peneliti yang menerangkan bahwa disuriamungkin akibat infeksi vagina, bukan infeksi traktus urina-rius. Tapi meskipun vaginitis telah disingkirkan, masih banyakwanita simtomatik yang biakan urinnya negatif. Pasien-pasientsb. biasanya diberi nasihat, "tak ada yang berbahaya, takapa-apa." Lalu para peneliti mencurigai ada sesuatu yang takbenar — mungkin infeksi yang terbatas pada uretra — dandiperkenalkanlah istilah "sindroma uretra" bagi pasien-pasientsb. Apa penyebab sindroma ini ? Dapatkah diagnosis di-tegakkan berdasarkan penemuan positif dan bukan cumasecara "per exclusionem" ? Apa implikasinya bagi terapi ?

Stamm dkk. dari Seattle, Amerika Serikat, memberikanbeberapa jawaban menarik terhadap pertanyaan-pertanyaanitu. Sumbangan berharga pertama yang ditemukan merekaialah : banyak pasien (46%) menderita infeksi bakterial meski-pun biakan urin mereka negatif. Dengan mengambil urin lewataspirasi suprapublik, ditemukan bahwa wanita-wanita dengansindroma uretra sering menderita bakteriuria, namun kurangdari 10 5 . Pasien-pasien ini menunjukkan gejala-gejala klinikyang sama seperti pasien dengan > 105 bakteri, dan organis-menya sama : terbanyak E. coli, kadang kala coliform lainnyadan Staphylococcus saprophyticus. Tampaknya tak masukakal bahwa radang hanya terbatas pada uretra, karena sering-nya hematuria dan nyeri suprapublik menunjukkan peradang-an kandung kencing.

Penemuan adanya infeksi bakteri dengan konsentrasi-rendah ini memaksa kita meninjau kembali definisi tradisionalmengenai biakan urin "positif' pada wanita simtomatik.Tidak banyak yang ingat bahwa batas konsentrasi > 10 5

bakteri per ml urin didasarkan pada penyelidikan pada wanitaasimtomatik. Sejak awal mula para peneliti yang merintisperhitungan kuantitatif bakteri itu telah mengetahui bahwawanita simtomatik kadang-kadang konsentrasi bakterinyarendah. Jadi, penemuan Stamm dkk. itu bukan bertentangandengan pendapat para peneliti perintis itu dan bahkan mem-buktikan bahwa biakan < 10 5 bakteri tak boleh diabaikanpada wanita simtomatik.

Sumbangan kedua dari peneliti Seattle itu ialah pembuktian/penemuan bahwa Chlamydia trachomatis adalah salah satukuman penyebab pada, pasien-pasien itu, seperti pada non-gonococcal urethritis (NGU) pada pria. Seperti infeksi bakteri,infeksi Chlamydia biasanya disertai piuria. Sebelas dari 59pasien dengan biakan "negatif" (19%) mempunyai infeksichlamydia, 10 dari 11 ini menderita piuria. C. trachomatisdapat ditularkan secara seksual dan kepekaannya terhadapobat antimikroba agak berbeda dengan bakteri coliform.Jadi mungkin ada gunanya membedakan infeksi chlamydiadari infeksi bakterial.

Pada penelitian itu ada 21 pasien (36%) tanpa piuria dimana tak ditemukan penyebab infeksi walaupun telah diselidi-ki dengan cermat. N. gonorrhoeae, kendati tak ditemukandalam penelitian ini, mungkin punya peran penting padakelompok populasi lain. Pada pasien dengan disuria yangmembandel, dengan biakan steril, harus dipikirkan kemungkin-an diagnosis "cystitis interstitial"; penyakit yang tak dike-tahui penyebabnya ini dapat didiagnosis dengan cystoscopy.Peranan bakteri lain serta virus pada penelitian Seattle inimasih bersifat spekulatif, tapi cukup menarik bahwa 2 pasienpada kelompok "tanpa infeksi " itu menderita herpes simplexgenitalis.

Jadi, para peneliti Seattle menemukan bahwa wanitadengan disuria dan sering kencing tapi tanpa gejala klinikpyelonephritis dapat dibagi menjadi 4 kelompok : 3 kelompokdengan infeksi yang secara potensial dapat diobati (dengan> 10 5 bakteri [ "cystitis" ] , mereka yang dengan < 105

bakteri, dan mereka yang menderita infeksi chlamydia) dansatu kelompok lain yaitu yang penyebabnya tidak diketahui.

Masih perlu diselidiki apakah pasien dengan < 10 5 bakteriatau dengan infeksi chlamydia perlu diobati dengan anti-mikroba, dan apakah pasien yang penyebabnya tak diketahuitak perlu diobati dengan antimikroba. Sementara menunggupenyelidikan-penyelidikan itu, lebih baik diambil sikap di atas.

Bagaimana dokter dapat menggunakan penemuan-penemu-an itu dalam diagnosis dan terapi ? Riwayat penyakit lebihpanting daripada pemeriksaan fisik. Semua pasien disuriaharus ditanyai dengan jelas ada tidaknya gejala "keputihan"atau iritasi vagina. Menurut penelitian Komaroff, "disuriaeksternal" (nyeri terasa pada labia 'vagina yang meradang bilaarus kencing melewatinya) menunjukkan infeksi vagina, dan"disuria internal" (nyeri dirasakan di dalam) menunjukkaninfeksi traktus urinarius. Dokter harus bertanya apakahpartner seksual menderita urethral discharge atau disuria; bilademikian biakan untuk GO baik dilakukan dan infeksi chlamy-dia perlu dipikirkan. Menurut penelitian Seattle, partnerseksual yang baru dan gejala yang lebih lama tampaknya me-

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 54: Cdk 025 Uji Klinik

nunjukkan infeksi chlamydia, sedang riwayat hematuria dangejala yang datang tiba-tiba menunjukkan infeksi bakterikonsentrasi-rendah.

Penemuan Stamm dkk. ini juga menunjukkan bahwaurinalisis penting sekali. Infeksi yang dapat diobati ditemukanpada 95 pasien disuria & piuria, tapi jarang ditemukan padamereka yang tidak menderita piuria. Maka pasien dengansindroma disuria & piuria mungkin perlu segera mendapatpengobatan antimikroba. Peneliti Seattle ini melakukanurinalisis dengan menaruh urin yang belum di-centrifuge padakamar hitung hemositometer. Metoda ini dapat menghindar-kan kelambatan akibat proses pemusingan (centrifugation) danmemberi ukuran piuria yang lebih dapat dipercaya daripadapemeriksaan biasa pada sedimen urin yang telah di-centrifuge.Ruginya : kesempatan mencari silinder dan bakteri padasedimen hilang.

Apa peranan biakan urin pada pasien itu ? Kini pembedaan"cystitis" dan "sindroma uretra", yang didasarkan pada biakanurin, kurang penting. Tapi hasil tes kepekaan pada biakan itupenting sekali bagi beberapa pasien yang tak mempan terhadapantimikroba. Yang diberikan segera setelah diagnosis klinikditegakkan.

Sebelum hasil biakan diketahui,dianjurkan pemberian terapitetrasiklin dan sulfonamida. Obat-obat ini biasanya manjuruntuk patogen bakteri pada umumnya dan juga untuk chlamy-dia. Manfaat ampisilin terhadap chlamydia masih belum pasti.

Dengan hasil-hasil penelitian itu kini dokter-dokter dapatmemberi pelayanan yang lebih rasional pada berjuta-jutawanita yang menderita penyakit ini setiap tahun.

N Eng J Med 1980 ; 303 : 452 - 453.

Depresi & Kecemasan :Perlukah dibedakan ?

Pada hakekatnya, sifat gangguan afektif kronik yang ringanbelum berubah selama 200 tahun belakangan ini tapi penge-lolaannya sudah berubah. Gejala-gejala demikian dianggapmerupakan tanggung jawab psikiater, meskipun sebagian besarditemui dan diobati oleh dokter umum. Tak banyak yangberani mengatakan bahwa psikiatri telah berhasil mengambilalih tugas ini. Kategorisasi resmi kini penuh dengan kontro-versi. Kecemasan, depresi dan keluhan-keluhan psikosomatikmerupakan kelompok utama tetapi klasifikasi yang seragambelum ada; salah satu yang paling banyak digunakan, me-nyerahkan pada penginterview untuk memutuskan apakahdalam keadaan campuran yang terpenting kecemasan ataukahdepresi. Pengobatannya bahkan lebih kontroversil dan meliputisegala hal dari "encounter group" sampai kepada pengobatanfisik. Karena keadaan ini banyak dijumpai, timbul desakankomersil untuk mengadakan pasar-pasar baru untuk obat-obatpsikotropik, dan bila kita menengok farmakope terbukti halini benar-benar tercapai. Obat-obat untuk mengobati kecemas-

an-dan-depresi banyak tersedia, dapat berupa senyawa ter-sendiri atau obat kombinasi, dan menjadi obat-obat yangpaling banyak ditulis dalam resep. Pada hakekatnya obatkombinasi tersebut menunjukkan bahwa industri obat-obatanmenganggap kecemasan dan depresi merupakan fenomenacampuran, bukan sendiri-sendiri. Obat campuran itu kebanyak-an terdiri dari obat anti-depresi dan anti-kecemasan dan,walaupun sering dicela oleh ahli farmakologi, penggunaanobat-obat itu kian meluas. Pemisahan kecemasan dari depresidapat dibenarkan bila ada bukti nyata bahwa terapi obat akanberbeda-beda hasilnya tergantung diagnosisnya. Hasil daribeberapa penyelidikan mendukung pendapat bahwa keadaancemas cocok diobati dengan obat anti-kecemasan dan keadaandepresi cocok dengan obat anti-depresi; tetapi juga menjadinyata obat anti depresi juga mengurangi kecemasan, terlepasdari sifat anti depresinya. Penelitian ini sekarang dibahaslebih lanjut dengan cara membandingkan obat anti-depresi(amitriptyline) dan obat anti-kecemasan (diazepam) padapasien-pasien yang mengalami gejala-gejala afektif campurantersebut. Dr. Eve Johnstone dkk. secara random membagipasien-pasien neurotik yang menunjukkan gejala kecemasandan depresi dalam kelompok-kelompok yang diobati denganamitriptyline, diazepam, gabungan kedua obat tersebut danplasebo selama 4 minggu. Amitriptyline (dengan dosis 100 —150 mg sehari) menghasilkan perbaikan yang jelas lebih bagusdaripada obat-obat lainnya, dan apakah kecemasan atau depre-si yang merupakan gejala utama nampaknya tidak mempenga-ruhi respons obat itu. Johnstone dkk. juga mencatat bahwasemua kelompok dengan cepat membaik dan secara umumpengaruh obat sedikit sekali; ini merupakan senjata bagimereka yang berpendapat bahwa obat-obatan sedikit gunanyapada pengelolaan pasien-pasien tersebut. Dokter Johnstonedkk. menyatakan "tidak perlu memisahkan pasien-pasien yangmengalami kecemasan dari pasien depresi neurotik karenapembedaan diagnosis ini tidak mempunyai implikasi pada carapengobatan maupun hasilnya". Jadi apakah dokter yang meng-hadapi pasien-pasien demikian tidak perlu lagi membuat diag-nosis dan tinggal memberi amitriptyline ? Ada beberapa alasanyang menunjukkan bahwa kesimpulan itu sudah terlalu jauh.Peneliti-peneliti lain telah menemukan hasil yang berbedaantara keadaan cemas dan keadaan depresi, dan respons ter-hadap amitriptyline pada pasien-pasien depresi dapat berbedabila kecemasan dan gejala-gejala lain diperhitungkan. Pasien-pasien Johnstone tidak didiagnosis dengan cara resmi sebelumdiobati, meskipun mereka dinilai gejala-gejala cemas dandepresinya.

Bila penyelidikan-penyelidikan lain juga menunjukkanhasil yang sama, banyak sekali implikasinya bagi pengelolaankelainan-kelainan neurotik. Perlu kita ketahui apakah mem-baiknya penderita anxietas dengan amitriptyline semata-matakarena akibat sifat sedatif, dan apakah diagnosis yang lebihsistematik yang melibatkan kepribadian seseorang sebelumnyaakan mempengaruhi hasilnya. Dalam keadaan yang tidakmenentu ini kita hanya dapat menyimpulkan bahwa pembeda-an kecemasan dan depresi masih belum dapat dipastikan ber-guna atau tidaknya.

Lancet 1980; 2:897

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 53

Page 55: Cdk 025 Uji Klinik

Hepatitis Kronik Aktif

Hepatitis kronik aktif didefinisikan sebagai peradanganpada hati yang berlangsung tanpa perbaikan selama sekurang-nya 6 bulan, dengan gambaran histologi infiltrasi sel bulat padatraktus portal dan bercak-bercak nekrosis sedang atau beratdari sel-sel hati menjangkau keluar sampai parenkhim. Meskitelah dikenal pada awal tahun 1950-an, pengertian mengenaipatogenesis dan perjalanan alamiahnya masih memakan waktulama. Dikenal subgroup-subgroup dengan mekanisme peng-rusakan yang berlainan, dan ini mempunyai implikasi pentinguntuk pengobatan.

Ada dua penyebab utama hepatitis kronik aktif, yaituinfeksi kronik dengan virus hepatitis-B dan penyakit autoimun.Keduanya berbeda distribusi geografiknya, rasio seks, petun-juk serum, prognosis dan pengobatannya. Infeksi virus hepa-titis -B adalah penyebab tersering hepatitis kronik aktif diTimur Tengah dan Asia, di mana karier kronik lebih banyakdaripada di Eropa, lelaki lebih banyak dari wanita. Virushepatitis-B biasanya dideteksi dengan menemukan HBsAgdalam serum, namun pada beberapa kasus kadar antigen virustadi mungkin terlalu kecil sehingga tidak terdeteksi denganmetoda yang ada dewasa ini. Dalam keadaan ini antigen virusdapat diidentifikasi dalam sel-sel hati dengan cara-cara imuno-logik, dan biasanya didapatkan titer serum yang tinggi dariantibodi terhadap core antigen (Anti—HBc).

Sebaliknya, hepatitis aktif jenis autoimun lebih seringdidapatkan pada wanita dan kerap kali mempengaruhi sistemlain, dan dikaitkan dengan sindroma sicca, artralgia, penyakittiroid, anemia hemolitik, penyakit usus inflamatorik, danasidosis renal tubular. Antibodi otot polos dan antinuklirsecara karateristik ditemukan dalam serum, dan biasanyatingkat hipergamaglobulinemia lebih besar daripada padapasien-pasien dengan infeksi virus kronik.

Prognosis pasien hepatitis kronik aktif yang membawaHBsAg tidak pasti : ada yang menyatakan lebih baik, ada yangmenyatakan dalam jangka panjang lebih jelek . dibandingkandengan jenis autoimun. Yang nyata ialah bahwa penyakit inisering berkembang perlahan-lahan menjadi sirosis. Pengobatanjenis autoimun telah dipastikan dalam 3 percobaan terkontrolprospektif. Semuanya menunjukkan bahwa pengobatandengan kortikosteroid (dengan atau tanpa azathioprin) banyakmengurangi kematian dalam fase aktif awal dari penyakit ini.Keuntungan pengobatan ini baru-baru ini telah dikonfirmasidengan follow-up jangka panjang pasien - pasien pada RoyalFree Hospital. Sebaliknya, pada pasien dengan penyakit viruspenggunaan kortikosteroid mungkin tidak mempengaruhikeberhasilan; bahkan imunosupresi mungkin mempermudahreplikasi virus dan meningkatkan infektivitas pasien. Namundemikian, hasil-hasil percobaan terkontrol yang formal masihharus ditunggu. Pendekatan yang lebih logis mungkin denganmencoba membasmi virus dengan meningkatkan mekanismeimun tubuh atau dengan menggunakan obat anti-virus yangefektif; pada masa ini interferon memberi harapan terbesar.

Laporan -laporan baru-baru ini menyorot kesulitan mem-bedakan hepatitis aktif kronik dari penyakit Wilson — pem-bedaan yang amat vital karena kedua penyakit itu berbeda

terapinya dan karena tersedia terapi yang efektif dan spesifik.Pasien dengan penyakit Wilson mungkin tidak menunjukkangejala khas seperti cincing Kayser-Fleischer dan perubahan-perubahan neurologik

Obat-obat dapat juga menyebabkan kerusakan hati kronikmaupun aktif. Hepatitis kronik aktif pernah dilaporkan terjadisetelah pemberian laksatif oksifenisatin, metildopa dan INH.Beberapa laporan menyalahkan ekpose berulang terhadaphalotan dan pengobatan dengan dantrolen. Belakangan inibeberapa kasus hepatitis kronik aktif dihubungkan denganpemakaian nitrofurantoin jangka panjang. Pengenalan obatpenyebab itu sangatlah penting, karena penarikan obat biasa-nya menghentikan perkembangan penyakit. Obat mungkinbukan penyebab yang penting dari hepatitis kronik di Inggris(di mana oksifenisatin tidak beredar), namun para dokterharus waspada terhadap kemungkinan ini.

Alkoholisme dapat juga disertai dengan penyakit hatidengan gambaran histologi hepatitis kronik aktif. Perubahanhistologik khas penyakit hati alkoholik kadang kala hanyasedikit atau sama sekali tak terlihat. Mungkin alkohol merusakhati pada kasus-kasus itu dengan mencetuskan respons imunabnormal.

Beberapa pasien dengan penyakit hati yang berhubungandengan defisiensi alfa-l-antitripsin menunjukkan gambaranhepatitis kronik aktif yang nyata pada biopsi hati. Tandapenyakit ini ialah adanya globul alfa -l-antitripsin dalam selhati, namun ini bisa meleset kecuali kalau dipergunakanpewarnaan yang tepat. Sirosis bilier primer adalah . keadaan lainyang kadang kala sulit dibedakan dari hepatitis kronik aktifkarena gambaran klinik, biokimia, serologik, dan morfologikantara kedua penyakit ini ada persamaannya. Tapi pasiendengan hepatitis kronik aktif biasanya dapat dikenal karenarespons mereka yang baik terhadap kortikosteroid.

Kini tinggal pasien -pasien dengan hepatitis kronik aktifyang penyebabnya sampai kini belum diketahui. Tidak adabukti untuk menyalahkan virus hepatitis-A, tapi penyelidikan-penyelidikan menunjukkan kemungkinan adanya virus non-Anon-B. Hepatitis akibat virus ini ditemukan secara sporadikdan dewasa ini merupakan penyebab terbanyak kasus-kasushepatitis post transfusi. Tanda yang khas ialah penyakit inienteng atau asimtomatik dan karena kebanyakan pasien tidakikterik keadaan ini sering lewat tanpa diketahui. Namun demi-kian follow-up jangka panjang menunjukkan bahwa 25 sampai50% pasien- pasien itu tes faal hatinya masih abnormal sesudahsatu tahun; biopsi hati pada banyak pasien ini menunjukkanhepatitis kronik aktif, beberapa dengan sirosis. Tes untukautoantibodi negatif. Kelainan biokimiawi cenderung untukhilang sendiri tanpa pengobatan, tapi apakah akan terjadikerusakan hati menetap atau progresif masih belum pasti:penyelidikan follow-up dengan biopsi hati masih ditunggu.Belum ada percobaan pengobatan yang telah selesai, sehinggaperanan kortikosteroid belum diketahui. Tes yang sensitifuntuk virus hepatitis non-A non-B serta antibodinya masihsedang dikembangkan. Ini nanti akan mencegah hepatitispost transfusi dan menunjukkan sampai di mana virus ini ber-tanggung jawab atas hepatitis kronik aktif dan sirosis.

Br Med J 1980 ; 281 : 258—9

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 56: Cdk 025 Uji Klinik

SeJarah Kedokteran

Kisah Rauwolfia

Alkaloid rauwolfia punya riwayat yang menarik. Sejarah pe-ngembangannya di India akan memperkenalkan kita dengankeajaiban serta potensi-potensi bahan obat yang kuno ini.Catatan-catatan kuno di India menggambarkan sejumlah be-sar tanaman obat yang dipergunakan untuk meringankanpenderitaan manusia, di samping untuk praktek okultisme.Survei secara cepat dalam Ayurveda (sistem kedokteran India)menunjukkan bahwa sebagian besar preparat tanaman tsb.digunakan dalam kombinasi (kadang-kadang suatu resepmengandung 25 — 50 obat atau lebih) dan obat biasanyaharus mengalami berbagai proses — pengeringan, penggi-lingan, dididihkan, disaring dsb. Oleh karena itu sulit dike-tahui tanaman mana yang berguna untuk penyakit tertentudan interaksi apa yang terjadi (menguntungkan atau meru-gikan) antara berbagai tanaman obat tsb. dalam proses-prosesitu. Inilah salah satu sebab (mungkin) mengapa dari farmakopeIndia yang mengandung sekitar 2000 macam obat, hanya rau-wolfia yang diakui statusnya dalam percaturan internasional.

Menurut dongeng, 8000 tahun yll orang-orang bijaksana dinegara itu, setelah berkonsultasi di kaki gunung Himalaya,mengirimkan wakil mereka Bharadwaja untuk pergi ke DewaIndra guna mempelajari ilmu pengobatan. Bharadwaja berhasilmempelajarinya dan menurunkan ilmunya pada Atreya, yangkemudian sebagai "bapak ilmu kedokteran India". Atreyamendirikan sekolah kedokteran di Taxila dan menulis banyaktulisan mengenai subyek tsb. Dalam perkembangan selanjut-nya, Charaka mengumpulkan dan merevisi tulisan-tulisan itu.Bukunya sendiri, Charaka Samhita (600 sebelum Masehi),adalah karya yang komprehensif dan monumental, meliputiberbagai bidang ilmu kedokteran, dan telah diterjemahkanke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Arab dan Cina.Pada masa itu juga hiduplah Sushruta, ahli bedah yang ter-kenal itu. Dia menulis buku Sushruta Samhita. Kedua bukukuno itu melukiskan penggunaan rauwolfia (dikenal dengannama Sarpagandha atau dengan nama lain) untuk berbagaipenyakit seperti gigitan ular, sengatan serangga dan kalajeng-king, epilepsi, demam, malaria, dan juga untuk penyakitgila. Jadi, tampaknya rauwolfia telah dikenal selama beribu-ribu tahun dalam ilmu kedokteran India.

Pada abad-abad pertengahan (masa post Budhis) rauwolfiahilang tak diketahui jejaknya. Dalam masa itu India diserbuoleh bangsa Yunani, Mogul, Portugis, Perancis, dan Inggris,yang masing-masing membawa sistem kedokterannya sendiri.

Ini mengakibatkan kemerosotan kedokteran Hindu. Selamamasa itu penyimpanan catatan-catatan kedokteran tidakdiperhatikan dan kitab-kitab Ayurveda yang ada banyakyang rusak atau hilang. Sekolah-sekolah kedokteran India yangpernah jaya itu mulai ditinggalkan orang dan hanya ada se-dikit dokter India yang qualified yang bekerja sebagai doktermenjadi dongeng rakyat dan tabib palsu bermunculan. Sangat-lah mungkin bahwa karena identifikasi yang tidak cermat,banyak tumbuhan lain yang disangka sebagai rauwolfia dandipakai untuk mengobati berbagai jenis penyakit, dari keke-ruhan kornea sampai eksema. Namun demikian beberapa pu-blikasi asli mengenai ilmu kedokteran India masih juga diha-silkan, mungkin melalui contoh yang diberikan oleh beberapapenguasa Hindu yang tertinggal (misalnya, Bhoja-Prabandha,tahun 980). Untunglah pada bagian akhir dari masa tsb. ba-nyak orang asing, ahli botani, dan dokter-dokter mengunjungiIndia. Maka rauwolfia tetap hidup dalam memoir dan tulisan-tulisan mereka yang dipublikasikan dari abad 15 dan seterus-nya. Aktivitas ini meningkat dengan mendadak pada abadke 18 dan 19, dimana rauwolfia banyak disebut-sebut dalamberbagai farmakope, farmakografi, dan atlas-atlas yang diter-bitkan pada masa itu, terutama oleh penulis Barat.

Karena menyadari pentingnya tumbuhan obat India dansadar akan kenyataan bahwa kehidupan sistem kedokteranBarat di India tergantung banyak pada kerjasamanya dengansistem kedokteran setempat, pemerintah Inggris di India

Charaka, dokter India yang termasyhur.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 55

Page 57: Cdk 025 Uji Klinik

mengorganisasi sejumlah komite, badan peneliti, dan pameranuntuk mendiskusikan masalah kedokteran pada akhir abad19 dan awal abad 20. Nadkarni, Kirtikar, Basu dan Chopradi sini patut dicatat karena sumbangan mereka dalam menyu-sun kompendium yang lengkap mengenai tumbuhan obatIndia, dalam kerja sama dengan penulis Inggris. Naskah ilmiahkhusus mengenai rauwolfia mulai muncul dalam majalah-majalah India pada tahun 1931. Masih merupakan teka-tekimengapa dari begitu banyak tumbuhan yang dicatat, hanyarauwoltia yang dipilih peneliti India untuk dianalisa secaracermat. Mungkin mereka terkesan oleh Gracia ab Hortoyang pada tahun 1563 menggambarkan rauwolfia sebagai"obat India yang paling terkemuka dan patut dipuji"

Cuplikan dari Charaka Samhita menggambarkan penggunaan rauwolfiauntuk berbagai penyakit seperti demam, malaria, epilepsi dsb).

Pengaruh besar lainnya berasal dari tabib Hakim AzmalKhan, yang mempraktekkan sistem kedokteran Yunani—Ayur-veda. Dia sering menggunakan rauwolfia untuk pasiennya dankemudian mendirikan Institut Penelitian untuk KedokteranYunani—Ayurveda di Delhi. Dia mendapat penghargaan yangselayaknya pada tahun 1931 ketika alkaloid pertama yangdiperoleh dari rauwolfia oleh peneliti - peneliti di institut itudinamakan ajmaline, menurut namanya.

Ahli botani Perancis, Plumier memberi nama rauwolfiapada abad 17, sebagai penghargaan terhadap Leonard Rauwolf,

dokter dan ahli botani Jerman yang mengunjungi India danmenulis tentang tumbuhan itu pada tahun 1582. Namuntumbuhan itu dikenal dengan 15 nama botani yang berbeda-beda (dalam bahasa Inggris) sampai tahun 1890-an. Diskusimengenai ejaan yang benar dari rauwolfia (pakai w atau vsetelah u) terus berlangsung sampai tahun 1950. Pada masa itutumbuhan tsb. disebut dengan sekitar 75 nama dalam bahasaSanskrit, Hindi dan bahasa-bahasa India lainnya. Tumbuhanitu dipakai untuk mengobati tak kurang dari 30 macampenyakit di berbagai daerah di India. Belakangan diketahuibahwa kadar alkaloid dalam tumbuhan tsb. berbeda-bedadari musim ke musim, dari tempat satu ke tempat lain.

Pada tahun 1931 Sen dan Bose di Calcutta menulis tentangekstraksi dua alkaloid dari akar tumbuhan itu dan manfaatnyabagi pasien yang gila dan hipertensi. Juga pada tahun 1931,Siddiqui dan Siddiqui dari Delhi menerbitkan hasil peneli-tian analitiknya yang komprehensif mengenai akar rauwolfia.Mereka melaporkan keberhasilannya mengisolasi 5 alkaloid(ajmaline, ajmalinine, ajmalicine, serpentine, dan serpenti-nine). Antara tahun 1931 dan 1939 mereka menganalisaakar-akar yang diperoleh dari berbagai tempat yang berbeda,dan meneliti lebih jauh tentang struktur kimia, komposisidan reaktivitas berbagai alkaloid tsb., dan menemukan bebe-rapa alkaloid lagi.

Farmakologi rauwolfia digambarkan oleh Chopra dkk.di Calcutta. Antara tahun 1933—34 mereka menunjukkan bah-wa beberapa alkaloid dalam tumbuhan itu punya sifat anti-hipertensif yang kuat (bekerja melalui pembuluh darah periferdan pusat vasomotor) dan bahwa ada sesuatu dalam ekstrakkasar tsb yang punya daya sedatif yang kuat (sesuatu yang laindaripada alkaloid-alkaloid yang telah ditemukan pada masaitu). Vakil, ahli kardiologi dari Bombay, menulis tentang pe-ngaruh rauwolfia serpentina dalam British Heart Journaltahun 1949. Dari seri 50 pasien yang ditelitinya disimpulkanbahwa peranan rauwolfia dalam penanggulangan hipertensitak perlu diragukan lagi.

Alangkah baiknya bila nanti pada suatu saat 1999 tumbuh-an obat India lainnya mendapat perhatian yang sama besar

TIPS, 1980; Dec. viii — x

seperti rauwolfia.

Berhati-hatilah terhadap dokter yang muda dan tukang cukur tua.

Benjamin Franklin

Corpus valet sed aegrotat crumena (Badan sehat namun kocek sakit)

GD Erasmus

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Page 58: Cdk 025 Uji Klinik

SARI ILMU PENYAKIT MATAOleh : Sidarta Ryas dkk. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI,1981. 238 halaman.Sesuai dengan judulnya, buku ini merupakan sari atau ring-kasan dari ilmu penyakit mata. Namun pembahasan yang sing-kat itu diimbangi dengan luasnya bahan yang dibicarakan.Penulis telah berusaha memasukkan sebanyak mungkin judulpenyakit mata (182 buah), dari yang banyak ditemukan sam-pai yang jarang terlihat seperti sindroma Marfan, sindromaMarchesani dsb.

Penyusunan buku ini berdasarkan organ jaringan mata yangterkena, dan dibagi dalam 12 bab : (i) refraksi, (ii) palpebra-adneksa, (iii) konjungtiva-sklera, (iv) kornea. (v) uvea-pupil,(vi) lensa, (vii) retina-badan kaca, (viii) saraf optik, (ix) glau-koma, (x) orbita, (xi) strabismus, (xii) kelainan sistemik.

Walaupun buku ini dimaksudkan untuk konsumsi segalagolongan dari mahasiswa sampai ahli penyakit mata, tampak-nya yang akan banyak mengambil manfaat darinya ialah maha-siswa dan dokter umum. Oleh sebab itu ada baiknya bilakelainan-kelainan yang banyak dijumpai mereka dibahassecara lebih mendalam, misalnya masalah refraksi, pembedaanberbagai konjungtivitis dsb. Defisiensi vitamin A banyak di-jumpai di daerah-daerah, maka foto-foto kelainan ini adabaiknya dicantumkan dalam edisi mendatang.

Dicetak diatas kerta HVS tebal, dengan mutu cetakan yangbagus, buku ini juga dihiasi dengan 30 foto berwarna yangsangat ilustratif.

KEDARURATAN DAN KEGAWATAN MEDIKEditor : Dr. Arjatmo Tjokronegoro, Dr. AH Markum. Jakarta,Fakultas Kedokteran UI, 1981. 170 halaman.Buku ini merupakan kumpulan naskah simposium yang dise-lenggarakan pada tanggal 28 Nopember 1981.

13 masalaah dibahas dalam buku ini, yaitu (i) resusitasikardiopulmonal dan serebral pada orang dewasa, (ii) resusitasikardiopulmonal dan serebral pada anak, (iii) koma, (iv) edemaotak, (v) pengobatan trauma kapitis, (vi) hiperpireksia, (vii)status konvulsif, (viii) kedaruratan kardiosirkulasi, (ix) dengueshock syndrome, (x) gambaran klinis payah jantung padabayi dan anak serta penatalaksanaannya, (xi) status asmatik,(xii) kegawatan pernapasan pada anak, (xiii) gawat daruratperut non-bedah.

Dapat dikatakan bahwa masalah yang dibahas dalam bukuini umumnya dibahas secara mendalam dan sangat berguna

bagi para dokter, baik dalam praktek umum maupun di ru-mah sakit, di daerah terpencil maupun dikota besar. Beberapacontoh tindakan yang sangat perlu segera dilakukan (yangmungkin belum diketahui oleh beberapa teman sejawat didaerah) ialah :■ Berikan 50 — 100 ml larutan glukosa 20 — 40 % pada

setiap penderita koma, bila penyebabnya belum diketahui.Ini mengingat hipoglikemia merupakan salah satu penyebabkoma yang dapat diobati.

■ Keampuhan diazepam untuk status konvulsif kini tak perludipersoalkan lagi. Tapi pemberian pada bayi yang kejangpemberian sering sulit. Cara pemberian yang sederhana,mudah dan efektif ialah per rektum. Dosisnya 5 mg untukberat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk yanglebih dari 10 kg.

■ Pada status asmatikus sering diperlukan ekspektoran.Yang termurah dan terbaik ialah air. Maka perlu dipasanginfus pada pasien.

Satu hal yang dapat mengiritasi sebagian dokter ialah disisip-kannya banyak iklan obat-obatan dalam buku ini, suatu halyang tidak begitu lazim dalam dunia perbukuan. Tapi secarauraum dapat dikatakan bahwa buku ini pantas dimiliki olehsetiap dokter.

OBESITASEditor : Dr. Arjatmo Tjokronegoro. Jakarta : Fakultas Kedok-teran UI, 1981. 73 halaman.Buku ini merupakan kumpulan naskah lengkap dari Simpo-sium Obesitas tanggal 6 Juhi 1981. Tujuh aspek dibahas dalamsimposium tsb: (1) mekanisme dan patofisiologi obesitas,(2) ketidakseimbangan energi dan obesitas, (3) pengaturandiet, (4) obesitas pada anak, (5) obesitas pada orang dewasa,(6) obat anti-obesitas, dan (7) aspek psikosomatik obesitas.

Dr. DB Lubis, salah seorang pembicara, menyatakan,"Yang mengherankan pula ialah bahwa 'pengobatan' terhadapobesitas sebetulnya nampak mudah dan sederhana : mengu-rangi makanan atau menambah gerakan fisik .............Tetapikenyataannya ialah bahwa banyak orang yang gemuk tidakmempunyai ketahanan untuk melaksanakan itu secara disi-plin dan konsekuen".

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa simposium ini sebe-narnya membahas masalah yang sederhana tapi sulit. Seder-hana, karena terbukti orang yang kekurangan makanan (ta-hanan kamp konsentrasi Nazi misalnya) tak mungkin gemuk.Namun sulit, karena terbukti tidak banyak orang yang berhasilmengatasi obesitasnya. Maka dokter-dokter yang tertarikdengan masalah ini ada baiknya membaca buku ini, untukmemahami persoalannya secara lebih mendalam. Itu saja.

PENATALAKSANAAN KEGAWATAN PEDIATRIKEditor : Rusepno Hassan dkk. Jakarta : Fakultas KedokteranUI, 1981, 160 halaman.Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 5 tahunberdirinya ICU Bagian Anak RS Cipto Mangunkusumo.Sesuai dengan misinya, terutama buku ini ditujukan bagidokter yang berminat atau bekerja di ICU. Namun ada jugabab yang berguna untuk dokter umum atau pun mahasiswa,seperti cara penanggulangan shock dan hiperpireksia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 57

Page 59: Cdk 025 Uji Klinik

Catatan singkat

Telah lama diketahui bahwa gejala-gejala premens-truasi dapat tetap ada setelah histerektomi. Adanyauterus dan berlangsungnya menstruasi tidak diper-lukan untuk timbulnya gejala -gejala itu. Peneliti-peneliti dari Inggris berpendapat bahwa gejala itulebih banyak disebabkan oleh faktor hormonal dari-pada faktor psikologik

Brit J Obstet Gynaecol 1981; 88: 530—6

Ada yang menganjurkan agar penderita akne men-jalani diet rendah—lemak rendah—gula. Meskipunsecara individual penderita-penderita itu tidak banyakmenunjukkan perbaikan dengan diet itu, penelitianepidemiologik memberi petunjuk bahwa anjurandiet itu benar.

Arch Dermatol 1981; 117: 193—5

Pasien - pasien hiperlipidemia yang memakan 1 kg.kacang setiap bulan kadar kholesterol serumnyaturun dengan 16%, demikian hasil penyelidikan diSichuan Medical College. (Apakah tidak lebih baikpasien -pasien kita anjurkan banyak makan kacangdaripada obat-obat penurun kholesterol ?)

Chinese Med .J 1981; 94(7) : 455

Umumnya diakui bahwa penggunaan ikat - pinggangpengaman akan menurunkan mortalitas dan morbi-ditas akibat kecelakaan lalu-lintas. Namun MenteriPerhubungan Inggris, Norman Fowler, membuatkejutan : ia menentang rancangan peraturan yangmengharuskan penggunaan ikat - pinggang pengaman

Brit Med J 1981; 283: 443

Penelitian pada tikus-tikus menunjukkan bahwatikus yang dibutakan matanya akan berusia lebihpanjang . Mungkin ini adalah akibat pengaruh kelenjarpineal. Pada manusia kebutaan umumnya dianggapmemperpendek umur, tapi ini mungkin akibat penya-kit yang menyebabkan kebutaan itu seperti diabetesdsb. Bila faktor - faktor itu diperhitungkan, tampaknyadata untuk tikus dan untuk manusia sama saja.(Rupanya menutup mata —untuk berdoa, berkonsen-trasi, atau tidur— menyehatkan badan)

J Chronic Dis 1981; 34: 427—9

Kini diketahui ada indikasi baru untuk histerektomi :bila seorang wanita ingin menjadi penjinak singa!Ternyata singa cenderung menyerang wanita yangsedang menstruasi.

Med J Austr 1981; 2 : 209

Kecurangan ada di mana-mana, juga di Jepang. Untuktahun 1978 diperkirakan dokter dan dokter-gigi diJepang menipu pihak asuransi kesehatan sejumlahI milyar Yen ( US $ 4,38 juta ). Caranya a. l . meng-klaim mengobati pasien yang telah meninggal, mengu-bah rekening obat dari miligram menjadi gram, dsb.

Modern Asia, Oct 1982, 31

Almarhum Franz Ingelfinger, bekas editor New Eng-land Journal of Medicine, pernah membuat perhitung-an ini : setiap tahun masyarakat Amerika memakanlebih dari 20.000 juta tablet aspirin, yang menyebab-kan 10 juta liter darah masuk ke lubang WC.

Gut 1980; 21 : 602—6

Untuk mencegah dengkur sewaktu tidur, gunakanresep lama : buat kantong pada punggung piyama,isilah dengan kelereng, dan jahitlah kantong itu.Si pemakai piyama akan sulit tidur telentang dandengkurnya akan menghilang.

JAMA 1981; 245: 1729—30

Tahukah anda berapa jumlah majalah biomedik didunia ini ? Ternyata tak kurang dari 84.000 jenis

Untuk screening biasanya visus 6/6 atau 20/20 diambilsebagai patokan visus normal, meskipun ada (terma-suk WHO) yang mengambil angka 20/70. Sebenarnyauntuk visus 20/20 diperlukan tidak lebih dari 44 %saluran saraf foveokortikal sedang untuk 20/70 per-lu tak lebih dari 5 %. lndividu yang benar-benar nor-mal punya tajam penglihatan yang jauh lebih baik da-ri 20/20.

Brain 1980; 103:639

5 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 25. 1982

Page 60: Cdk 025 Uji Klinik

ADIL TIDAK ?

Tugas medical representative —atau lebih dikenal dengan istilah detailer— memanglumayan berat, apalagi kalau harus menghadapi "ulah" sementara dokter yang kadang-kadang memang memusingkan.Ketika memperkenalkan obat "kanamycin injection" seorang detailer pernah"kena batunya";+ Untuk GO, dokter, kita berikan 2 gram. 1 gram di kiri dan 1 gram lagi di kanan.—Wah, kok aneh. Ini tidak adil.+ Kenapa aneh dokter.—Kalau GO (gonorhoe) kan yang bersalah yang "tengah", kenapa yang kiri dan

kanan yang disuntik. Harusnya yang tengah dong !

dr. Tjandra Yoga AditamaPuskesmas Kecamatan Bukit Batu Kab. Bengkalis — Riau.

PASIEN ORTODONTIK

Seorang anak diantarkan ayahnya ke tempat praktek saya. "Dok. anak saya ini se-jak SD sampai SMP tidak pernah dipanggil namanya, tetapi teman-temannya me-manggilnya Tuju. Maka kami minta tolong untuk mengundurkan gigi-gigi anak sayayang mrongos (tonggos) ini."

Berhubung saya tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan si ayah tadi, sayamenanyakan apa hubungan antara nama anak itu dengan keadaan giginya. Sambilmenundukkan kepala dengan agak malu-malu si anak menjawab, "Teman-temanmemanggil saya si Tuju karena untu saya maju." (untu = gigi).

Saya jadi kasihan, tetapi tidak dapat menahan ketawa. Akhirnya seluruh ruangantertawa semua.

drg. Haryono X DKT, Salatiga

PENOLONGPengalaman ini saya alami pada suatu pagi ketika sedang berjalan di suatu jalan-terbuka di tingkat empat gedung sebuah rumah sakit. Dengan tenang saya berjalan,tapi tiba-tiba seorang gadis yang juga berjalan searah menyekap erat-erat tangan saya.Saya menjadi makin tak mengerti karena pegangannya makin erat dan langkahnyaditegap-tegapkan, tapi jelas kelihatan gontai. Sampai di ujung lift baru tanganku dile-paskan." Mas maaf, saya tadi pusing dan gemetaran melihat kebawah ". Saya baru tahugara-gara vertigo saya jadi " penolong darurat ". Lumayan !

SRI

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982 59

Page 61: Cdk 025 Uji Klinik

ABSTRAK - ABSTRAK

TETRASIKLIN DALAM TULANG-TULANG ANTIK

Antibiotika tetrasiklin mulai dipergunakan di dalam ilmu kedokteran modern sejaktahun 1950. Mengherankan sekali, bahwa antibiotika ini dapat ditemukan di dalamtulang-tulang suku Nubia (Sudan) yang hidup antara tahun 350 s/d 550 sebelumMasehi di dataran sungai Nil.

Oleh peneliti-peneliti dari Universitas Massachusetts dan Henry Ford Hospital,USA antibiotika ini ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan tulang-tulang kunomelalui mikroskop fluorescensi di bawah penyinaran cahaya ultraviolet.

Menurut para peneliti tadi, antibiotika ini berasal dari suatu jenis bakteri, Strepto-myces, yang tumbuh pada gandum, barley dan millet yang disimpan didalam tempat-tempat penimbunan yang terbuat dari lumpur. Dan Streptomyces yang merupakan60 — 70% dari bakteri-bakteri yang terdapat dalam tanah di Nubia (Sudan) ini memangpenghasil alamiah tetrasiklin.

Penemuan ini dapat menerangkan angka infeksi yang rendah dan resistensi terhadapantibiotik tertentu pada beberapa golongan penduduk yang hidup dijaman dahulu.

OLHInternational Exchange News, Spring 81

ANTIBIOTIKA YANG MURAH : MADU

Untuk mempercepat penyembuhan luka dengan cara yang sederhana, efektif, danmurah, gunakan madu — kata PJ Armon. Dia pertama kali mendengar khasiat maduini dari seorang desa di Inggris tahun 1966. Setelah itu telah dicobanya berulangkali dengan hasil yang memuaskan. Cavanagh dkk (1970) pernah juga mencoba meng-gunakan madu untuk pengobatan luka setelah pembedahan radikal pada karsinomavulva. Luka-luka itu ternyata secara bakteriologik menjadi steril dalam 3 — 6 haridan sembuh dengan cepat. Komplikasinya coma dehidrasi jaringan sekitarnya, yangdengan mudah dapat diatasi dengan kompres cairan garam faali. Pengobatan dengancara ini dikatakan lebih efektif daripada penggunaan antibiotika yang mahal-mahal.Dalam percobaan in-vitro madu memang berkhasiat bakterisidal terhadap banyakmacam bakteri, termasuk Streptococcus beta-hemolytious, Staphylococcus coagulasepositif, Proteus mirabilis, E coli. dan Candida albicans.

Madu juga telah digunakan untuk pengobatan luka-luka yang terinfeksi padakasus-kasus obstetri-ginekologi 4 tahun ini dengan hasil yang memuaskan.

Tapi diingatkan, prinsip-prinsip ilmu bedah tak boleh dilupakan. Toilet luka perludilakukan dan semua kantong-kantong nanah mesti dibuka. Setelah semua itu dila-kukan, pengolesan madu akan mempercepat proses penyembuhan.

PJ Armon. Tropical Doctor 1980; 10:91

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

cdk_djuni
Page 62: Cdk 025 Uji Klinik

RALAT : Penggunaan dan Penggunasalahan Statistik dalam Percobaan Klinik.Oleh : Dr Arini Setiawati

Karena kesalahan teknis, hasil setting (proof) naskah ini "lolos" dari bagian koreksi sehingga banyaksalah cetak yang sangat mengganggu, untuk itu Redaksi mohon maaf.

Halaman

10

Kolom Baris ke (dari Tercetak Seharusnyaatas/bawah)

3 (bawah) Annuals Annals10 Tabel 1, kolom 5 1 (atas) Keputusan Kepustakaan11 Ket. Gambar 1 2 (atas) dna dan11 - „ - 2 (atas) obat II, C2 Obat II,11 - „ - 3 (atas) — C1 = perbedaan C2 — C1 = perbedaan12 Kiri 10 (atas) monogram nomogram12 Kiri 19 (atas) keadaan perbedaan12 Kiri 10 (bawah) 13 `I 0,50% Q ~ 0,5012 Kiri 4 (bawah) monogram nomogram12 Ket. Gambar 2 1 (atas) Monogram Nomogram12 6 (atas) pendahulu), pendahuluan),12 4 (bawah) antara yang antara garis yang12 3 (bawah) s/SD d/SD13 Kiri 18 (atas) Bial Bila13 Kiri 3 (bawah) negatif positif13 Kanan 3 (atas) kelompok-kelompok kelompok-kelompok pengobat-

yang sebanding an/kontrol, dengan maksudmemperoleh kelompok-untuk

13 Kanankelompok yang seban ding

22 (bawah) penderita prognosis penderita dengan prognosis14 Kiri 1 (atas) membendingkan membandingkan14 Kiri 18 (bawah) ke luar negeri yang di ke luar kota. Hanya penderita

"drop" dan diperhitung- yang pindah ke luar negeri yangkan di "drop" dan sta-statistik perhitungan

14 Kiritistik

6 (bawah) saja yang dapat dilakukan saja dapat dilakukan,14 Kanan 9 (bawah) gejala-gejalanya segala-galanya15 Kid 27 (atas) bernilai negatif suatu hal bernilai negatif — suatu hal15 Kiri 7 (bawah) letak sesung- letak nilai rata-rata yang sesung-15 Kanan 12 (atas) distolik sistolik15 Kanan 7 (bawah) terjadi pada penulis terjadi penulis16 Tabel 3, kolom 1 3 (bawah) Interval - Interval =16 Tabel 3, kolom 2 5 (atas) tagori nominal tegori nominal16 antara 6 dan 7 — N 20—40 dan semua E / 5

(atas)16 14 (atas) pada < 20% kotak pada <= 20% kotak16 - „ - 19 (atas) dan E < 5 dan ada E < 516 Tabel 3, kolom 3 8 (atas) katagori kategori16 Tabel 3, kolom 5 8 (atas) beberapa minimal) berapa minimalnya)17 Kiri 18 (atas) meskipun beberapa meskipun berapa17 Kanan 5 (atas) yang besarnya yang sebenarnya17 Kanan 13 (bawah) a (bates kemaknaan) nilai IX (batas kemaknaan)

- „ -

- „ -

- „ -- „ -- „ -

Page 63: Cdk 025 Uji Klinik

Sambungan

Halaman

17

Kolom

Ket. Tabel 4

Baris ke (dari Tercetak Seharusnyaatas/bawah)

2 (atas) dalam %)*(40%) dalam %)*17 Tabel 4, kolom 1 1 (atas) Nilai Nilai IX18 Ket. Tabel 5 1 (atas) nilai yang sebenarnya nilai a yang sebenarnya18 Tabel 5, kolom 1 1 (atas) Nilai Nilai Ct18 - „ - 2 (atas) Sebenarnya sebenarnya18 Kiri 4 (atas) twe tea18 Kiri 10 (bawah) pada kata yang pada kata yang18 Kanan 3 (atas) wa variabel wa kedua variabel18 Kanan 6 (atas) vanabel variabel18 Kanan 19 (atas) saru satu18 Kanan 21 (atas) rs rs18 Kanan 24 (atas) "melihat scatter diagram" melihat "scatter diagram"18 Kanan 27 (atas) olservasi observasi18 Kanan 28 (atas) dara data18 Kanan 30 (atas) mempuiurai mempunyai18 Kanan 2 (bawah) dart aslinya data aslinya19 Kiri 22 (bawah) diperhatikan diperlihatkan19 Kiri 10 (bawah) regresinya digambarkan garis regresinya digambarkan19 Kanan 18 (atas) perbedaan niali perbedaan nffai19 Kanan antara 26 dan 27 satu spasi dua spasi

(atas)19 Kanan 29 (atas) (mmHg,SEM,mg,ug/ml dll) (mmHg,mg,ug/ml dB)20 Kanan 9 (atas) 5(85) 5(8%)20 Kanan 13 (atas) tentunya tentu saja20 Kanan 22 (atas) tian, secara ti, secara20 Kepust. No 3 Jones 16 Jones IG20 — „ — No 4 JAMA 1966;45: JAMA 1966;195:20 — „ — No 7 Stastical Statistical

JAMA 197235:334-5. JAMA 1976;235:534-5.20 — „ — No 8 Ciro Res 1978; Circ Res 1978;20 — „ — No 9 Vive la diffence Vive la difference21 — „ — No 19 1978; IV:1789. 1978; iv:1789.21 — „ — No 20 XXIII The role XXIV , The role21 — „ — No 25 Scince 1980 ; Science 1980;21 — „ — No 33 Colguhoun D. Colquhoun D.21 — „ — No 38 J Lap Clin Med J Lab Clin Med21 — „ — No 40 Statistics and ethics Statistics : the problem

in medical research: collec- of examining accumulating

21 — „ — No 42ting data more than once. data more than once.statistics in unethical statistics is unethical

,