cdk magazine 212

62
• ISSN: 0125-913X • CDK-212/ vol. 41 no. 1 • Januari 2014 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx LAPORAN KASUS Tumor Phyllodes TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Imunologi Pnemonia pada Pasien Geriatri BERITA TERKINI Efikasi dan Keamanan Pregabalin untuk Mengatasi Neuropati Perifer Akibat Oxaliplatin dan Paclitaxel 14 14 40 40 48 48 Akreditasi IDI Diagnosis dan Tata Laksana Vertigo pada Sindrom Stroke 7 7 Continuing Continuing Medical Medical Education Education Artikel CME Artikel CME

Upload: roni

Post on 18-Jan-2016

175 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

medical

TRANSCRIPT

• ISSN: 0125-913X • CDK-212/ vol. 41 no. 1 • Januari 2014 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

LAPORAN KASUS Tumor Phyllodes

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Imunologi Pnemonia pada

Pasien Geriatri

BERITA TERKINI Efi kasi dan Keamanan Pregabalin untuk

Mengatasi Neuropati Perifer Akibat

Oxaliplatin dan Paclitaxel

1414 4040 4848

Akreditasi IDI

Diagnosis dan Tata Laksana Vertigo pada Sindrom Stroke

77

Continuing Continuing Medical Medical EducationEducation

Artikel CMEArtikel CME

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

DAFTAR ISI

3

ISSN: 0125-913X

http://www.kalbemed.com/CDK.aspx

Susunan Redaksi

Alamat Redaksi

Gedung KALBE

Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4

Cempaka Putih, Jakarta 10510

Tlp: 021-420 8171

Fax: 021-4287 3685

E-mail: [email protected]

http://twitter.com/CDKMagazine

Nomor Ijin

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

Penerbit

Kalbe Farma

Pencetak

PT. Dian Rakyat

Ketua Pengarahdr. Boenjamin Setiawan, PhD

Pemimpin Umumdr. Kupiya Timbul Wahyudi

Ketua PenyuntingDr. dr. Budi Riyanto W., SpS

Dewan Redaksidr. Karta Sadana, MSc, SpOkdr. Artatidr. Esther Kristiningrumdr. Dedyanto Henkydr. Yoska Yasahardjadr. Albertus Agung Mahode

Tata UsahaDodi Sumarna

5 EDITORIAL

ARTIKEL

7 Diagnosis dan Tata Laksana Vertigo pada Sindrom Stroke

Darwin Amir

14 Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri

Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan

19 Gagal Jantung pada Geriatri

Ervinaria Uly Imaligy

25 Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan Faktor Risiko

Gangguan Fungsi Kognitif

Budi Riyanto Wreksoatmodjo

33 Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Pendekatan Diagnosis dan

Penatalaksanaan

Michael Setiawan

37 Deteksi Helicobacter pylori pada Anak Menggunakan Teknik PCR dan

Kultur Feses

Wayan Sulaksmana, Sukardi, Abdul Razak, Zainul Mutaqqin

40 Tumor Phyllodes

Azamris

43 Audit Kualitatif Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik

Disertai Insufi siensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus

Hadiki Habib

BERITA TERKINI

48 Efi kasi dan Keamanan Pregabalin untuk Mengatasi Neuropati Perifer

Akibat Oxaliplatin dan Paclitaxel

50 Guildeline ACG Baru untuk Diagnosis dan Penanganan GERD

52 Switching dari Clozapine ke Zotepine pada Pasien Skizofrenia

54 Efek Perlindungan Anestesi Inhalasi Xenon Terhadap Jantung

57 Keunggulan Larutan Sodium Pyruvate

59 S-1 untuk Kanker Pankreas Metastatik atau Stadium Lanjut

61 Anestesi Lokal Secara Epidural vs Kontinu pada Pembedahan Kolorektal

63 ACHIDO: Kombinasi Clopidogrel plus Atorvastatin Dosis Tinggi

Meningkatkan Efek Anti-Platelet Clopidogrel

66 Carbapenem dan Tigecycline Masih Aktif Untuk Enterobacteriaceae dan

A. Baumannii di Amerika Latin

68 Ascorbic Acid Intravena Dosis Tinggi Untuk Luka Bakar

70 Praktis

73 Opini

76 Agenda

77 Indeks

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 20144

CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek

kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil

penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke

Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan

di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya

diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

PANDUAN UMUM

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia,

hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman

Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus

Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa

Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah

berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New

Roman ukuran 12.

ABSTRAK DAN KATA KUNCI

Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1

(satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format

introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika

tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris

untuk naskah tersebut.

NAMA DAN INSTITUSI PENULIS

Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/

fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.

TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN

Tabel/grafi k/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan

terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan

pada tabel/grafi k/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai

pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;

bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.

Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih

banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan

sekunder.

Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:

JURNAL

• Standar

1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J

Med. 2002;347:284-7.

2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human

brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.

BMJ. 2008; 36(7646):701-4.

3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation

of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.

Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.

• Organisasi sebagai Penulis

1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.

2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in

levodopatreated patients with Parkinson disease and motor fl uctuations: the

PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.

• Tanpa Nama Penulis

Pelvic fl oor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.

• Volume dengan Suplemen

Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with short-

and long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan.

Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.

• Edisi dengan Suplemen

Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12

Suppl 7):S6-12.

• Jurnal Elektronik

Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between

perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the

Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/

index.php/ejap/article/view/71/100.

BUKU

• Penulis/Editor Tunggal

1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;

2003.

2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken

(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.

• Lebih dari Satu Penulis/Editor

1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):

Thomson Delmar Learning; 2005.

2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.

New York: McGraw-Hill; 2002.

• Edisi dengan Volume

Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical

hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

• Bab dalam Buku

Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee

AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed.

Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.

PROSIDING KONFERENSI

Harnden P, Joff e JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell

Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.

MAKALAH KONFERENSI

Christensen S, Oppacher F. An analysis of Koza’s computational eff ort statistic for genetic

programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic

programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic

Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.

PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:

Redaksi CDK

Jl. Letjen Suprapto Kav. 4

Cempaka Putih, Jakarta 10510

E-mail: [email protected]

Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685

Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak

mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan

dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah

diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih

luas.

Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,

mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan

tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

PANDUAN UNTUK PENULIS

5CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI Efek Pemberian PN Asam Amino

Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

TINJAUAN PUSTAKA Pencitraan Diagnostik Fistula

Trakeoesofagus

TEKNIK Blok Saraf Perifer

894 919 938

Akreditasi IDI

Principles of Drug Use in the Elderly

887

Continuing Medical Education

Artikel CME

Sejawat pasti pernah menangani kasus vertigo, baik di klinik maupun di rumah sakit, bahkan mungkin di UGD (unit gawat darurat) karena keluhan ini merupakan salah satu yang paling sering, mencakup 3 – 5% kunjungan ke rumah sakit dan seperempatnya melalui UGD. Meskipun keluhan ini kelihatannya ringan, tetapi dapat merupakan gejala awal dari penyakit susunan saraf pusat yang lebih serius. Karena itu, langkah diagnostik awal yang tepat sangat diperlukan. Bahasan mengenai vertigo secara menyeluruh dapat Sejawat ikuti pada edisi ini dengan harapan dapat menyegarkan kembali pengetahuan demi penanganan pasien yang lebih tepat dan cepat.

Beberapa masalah geriatri ikut melengkapi bahasan, antara lain masalah pneumonia pada geriatri, masalah yang serius mengingat pneumonia merupakan salah satu ‘pembunuh’ utama di kalangan orang tua, disambung dengan bahasan mengenai gagal jantung. Di samping itu, yang tidak kurang pentingnya adalah mengenali faktor-faktor risiko gangguan fungsi kognitif di kalangan lanjut usia.

Seperti biasa, dilengkapi dengan berita terkini, selamat membaca.

Redaksi

Editorial

Segenap Redaksi CDK mengucapkan

SELAMAT HARI RAYA NATAL 25 Desember 2013

&

SELAMAT TAHUN BARU 1 Januari 2014

REDAKSI KEHORMATAN

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 20146

Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFKBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH Puslitkes Unika Atma Jaya

Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGKInstitut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTIDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K) Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K) Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.

Kariadi, Semarang

Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKNDepartemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFKBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAISub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas In donesia/RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,

Jakarta

Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Indonesia, Jakarta

dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.

Soetomo, Surabaya

dr. Hendro Susilo, SpS (K) Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

RS Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,

Jakarta

Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan

Kita, Jakarta

dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHAKetua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Indonesia (PP PERKI), Jakarta

dr. Savitri Sayogo, SpGKDepartemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201414

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah

kesehatan utama pada geriatri. Proses

penuaan sistem organ (di antaranya sistem

respirasi, sistem imun, sistem pencernaan)

dan faktor komorbid banyak berperan

pada peningkatan frekuensi dan keparahan

pneumonia pasien geriatri. Karakteristik

dominan pneumonia pada pasien geriatri

adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu

jatuh dan bingung, sedangkan gejala klasik

pneumonia sering tidak didapatkan.1-5

Kelompok geriatri adalah semua orang yang

berusia 60 tahun atau lebih (WHO)6; yang

dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang

yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.7

Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia

Alamat korespondensi email: [email protected]

masuk dalam lima besar penyebab kematian

terkait infeksi.8,9 Angka kejadian tahunan

pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan

mencapai 25–44 kasus per 1000 penduduk.1

Di Semarang, pasien geriatri yang menjalani

rawat inap karena pneumonia sebanyak

16,6%.4

Sejumlah faktor meningkatkan risiko infeksi

pada pasien geriatri; interaksi antara faktor-

faktor risiko berupa komorbiditas, imunitas

yang melemah dan faktor usia sangat

kompleks.10 Perubahan anatomi fi siologi

akibat proses penuaan memberi konsekuensi

penting terhadap cadangan fungsional paru,

kemampuan untuk mengatasi penurunan

komplians paru dan peningkatan resistensi

saluran napas terhadap infeksi.1 Sekali

mikroorganisme patogen berada di alveolus,

akan dilepaskan mediator pro infl amasi

dan respons infl amasi terpicu sehingga

menimbulkan manifestasi klinis.3

DEFINISI

Pneumonia didefi nisikan sebagai suatu

peradangan paru yang disebabkan oleh

mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak

termasuk Mycobacterium tuberculosis.11

EPIDEMIOLOGI

Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia

masuk dalam lima besar penyebab kematian

terkait infeksi3,8. Angka kejadian tahunan

pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan

mencapai 25 – 44 kasus per 1000 penduduk1.

Angka rawat inap pasien geriatri mencapai

hampir lima kali lebih besar daripada pasien

dewasa muda12. Studi retrospektif di

Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri

Rizki Maulidya Putri*, Helmia Hasan***PPDS Ilmu Penyakit Dalam, **Staf Pengajar

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

ABSTRACT

Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi

klinisnya yang khas. Perubahan status imunologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru,

kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Saat timus mengalami

involusi karena pengaruh usia, terjadi penurunan produksi sel T naif, perubahan fungsi sel T memori, pergeseran profi l sitokin dari Th1 ke Th2.

Pada imunitas humoral terjadi penurunan jumlah sel B dan reseptornya, penurunan formasi germinal center, disfungsi generasi dari limfosit B

primer, gangguan produksi sel B memori, peningkatan autoantibodi. Manajemen penting pada pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan

pertimbangan perawatan di ICU, serta pencegahan episode ulangan.

Kata kunci: geriatri, imunologi, pneumonia

ABSTRAK

Pneumonia becomes one of the major health problems in the elderly. A characteristic of pneumonia in geriatric patients is its typical clinical

presentation. Immunological status changes due to the aging process to give an important consequence of the pulmonary functional reserve,

ability to cope with decreased lung compliance and increased airway resistance to infection. Thymus involution due to aging decreases naïve

T cells production, changes memory T cell function, shifts the cytokine profi le from Th1 to Th2. In humoral immunity, there are decrease of B

cells and its receptors, decrease of germinal center formation, dysfunctional generation of primary B lymphocytes, impaired memory B cell

production, and increase of autoantibodies. Management includes antibiotic therapy and considerations for ICU treatment, and prevention of

further infection. Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan. Immunologic Aspects of Pneumonia in Geriatrics.

Key words: geriatric, immunology, pneumonia

15CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

RSUP Dr. Kariadi Semarang melaporkan

bahwa 16,6% pasien geriatri dirawat dengan

diagnosis pneumonia, masih di bawah angka

kasus tuberkulosis pada geriatri.4

PATOFISIOLOGI

Pertambahan usia, ditambah dengan faktor

lingkungan, menyebabkan perubahan

anatomi – fi siologi tubuh. Pada tingkat awal,

mungkin merupakan homeostasis normal,

kemudian berkelanjutan dan mengarah

pada reaksi adaptasi yang merupakan proses

homeostasis abnormal. Tahap paling akhir

terjadi kematian sel. Salah satu sistem organ

yang mengalami perubahan anatomi –

fi siologi adalah sistem pernapasan.4

Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi

pneumonia karena adanya gangguan refl eks

muntah, melemahnya imunitas, gangguan

respons pengaturan suhu dan berbagai

derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan

sistem saraf pusat dan refl eks muntah juga

turut berperan mengakibatkan pneumonia

aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner

secara langsung mempengaruhi penurunan

fungsi jantung dan paru.13

Gangguan respons pengaturan suhu terkait

proses penuaan meliputi gangguan respons

simpatoneural - vasomotor yang terjadi

bersama gangguan produksi panas tubuh

dan gangguan persepsi suhu.14 Selain itu suhu

basal tubuh pada lanjut usia lebih rendah

dibanding pada dewasa muda.15

Sistem imunitas humoral tergantung pada

keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri

memiliki banyak gangguan sistemik yang

dapat mengganggu fungsi limfosit B

sehingga menurunkan produksi antibodi.

Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi

infeksi mikroorganisme patogen yang

merupakan penyebab umum pneumonia

bakterial.13 Sekali mikroorganisme patogen

berada di alveolus, mediator proinfl amasi

akan dilepaskan dan respons infl amasi terpicu

sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3

RESPONS IMUN PADA PNEUMONIA

Respons imun terhadap infeksi bakteri

Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan

berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya

pada sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran

napas dan saluran cerna. Penyakit yang

ditimbulkan oleh bakteri ekstraseluler dapat

berupa infl amasi yang menimbulkan destruksi

jaringan di tempat infeksi dengan membentuk

radang supuratif.17

Komponen imunitas alami yang utama

terhadap bakteri ekstraseluler adalah

komplemen, fagosit dan respons infl amasi.

Bakteri yang mengekspresikan manosa

pada permukaannya, dapat diikat lektin

yang homolog dengan C1q, sehingga

mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin,

meningkatkan opsonisasi dan fagositosis.

Produk dari aktivasi komplemen berperan

dalam mengerahkan dan mengaktifkan

leukosit. Fagosit yang teraktivasi melepaskan

sitokin yang menginduksi infi ltrasi leukosit

ke tempat infeksi, menginduksi panas dan

sintesis acute phase protein.17

Antibodi merupakan komponen imunitas

humoral utama terhadap bakteri ekstraseluler

yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba

dan menetralkan toksinnya melalui berbagai

mekanisme. Sel T helper (Th) 2 memproduksi

sitokin yang merangsang respons sel B,

aktivasi makrofag dan infl amasi.17

Respons imun terhadap infeksi jamur

Resistensi alamiah terhadap jamur patogen

tergantung fagosit. Neutrofi l merupakan sel

paling efektif, terutama terhadap kandida

dan aspergilus. Jamur merangsang produksi

sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor

necrosing factor-α (TNF-α) yang meningkatkan

ekspresi molekul adhesi di endotel setempat

sehingga meningkatkan infi ltrasi neutrofi l

ke tempat infeksi. Makrofag merupakan

pertahanan pertama terhadap spora jamur

yang terhirup dengan membentuk granuloma

melalui aktivasi Th1. Natural killer cell (sel NK)

diaktivasi oleh TNF dan interferon-γ (IFN-γ)

untuk melepaskan granul yang mengandung

sitolisin yang dapat membunuh jamur.17

Sawar fi sik kulit dan membran mukosa,

faktor kimiawi dalam serum dan sekresi

kulit berperan dalam imunitas alami. Efektor

utamanya adalah neutrofi l dan makrofag.

Neutrofi l diduga melepas bahan fungisidal

seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan

enzim lisosom.17

PERUBAHAN SISTEM IMUN DALAM

MEKANISME PERTAHANAN PARU PADA

GERIATRI

Studi pada subjek manusia sehat

menyimpulkan bahwa penambahan

usia membawa perubahan penting pada

respons imun alami dan adaptif, disebut

immunosenescence. Konsekuensi klinis

immunosenescence meliputi peningkatan

kerentanan terhadap infeksi, keganasan

dan penyakit autoimun, penurunan

respons vaksinasi serta gangguan proses

penyembuhan luka pada pasien geriatric.18

Immunosenescence karena deregulasi

imunitas adalah proses yang sangat kompleks

dan perlu dipahami dengan baik. Proses

penuaan normal ditentukan secara genetik,

namun faktor eksternal dapat mempengaruhi

immunosenescence. Sistem imunitas tubuh

pada dewasa tua adalah hasil proses renovasi

berkelanjutan. Stres oksidatif diyakini menjadi

faktor utama percepatan penuaan melalui

peningkatan kecepatan pemendekan telomer

karena kerusakan DNA. Kerusakan tersebut

berupa kegagalan aktivitas enzim telomerase

untuk menambahkan urutan telomer ulangan

sampai akhir kromosom.19

Dampak proses penuaan terhadap

imunitas alami

Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan

dengan usia lanjut dapat diamati dari

perubahan-perubahan pada imunitas alami

dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah

elemen kunci respons imun terdiri dari

beberapa komponen seluler seperti makrofag,

sel NK dan neutrofi l yang menjadi pertahanan

lini pertama terhadap invasi mikroba patogen.

Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan

usia. Walaupun produksinya meningkat

pada pasien geriatri, kemampuan makrofag

mensekresi TNF yang merupakan sitokin pro-

infl amasi utama telah berkurang.19

Studi pada manusia sehat telah menunjukkan

penurunan fungsi ekspresi toll-like receptors

(TLRs) yang terkait usia, mengakibatkan

penurunan produksi sitokin pro-infl amasi

dan kemokin serta deregulasi sistem imunitas

adaptif. Modulasi sistem imunitas alami, baik

dengan ligan TLRs atau produk aktivasi TLRs,

dapat meningkatkan ketahanan terhadap

penyakit, meningkatkan respons imun dan

meningkatkan efektivitas vaksinasi pada

orang tua.19,20

Proses penuaan meredam sel stroma

sumsum tulang untuk menyekresi (IL-7).

Interleukin-7 merupakan sitokin penting

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201416

TINJAUAN PUSTAKA

ketebalan lapisan lipid berupa berkurangnya

cairan plasma membran sel T dibanding pada

dewasa muda, mengakibatkan aktivasi sel T

terhambat.21

Dewasa tua mengalami penurunan kadar

tirosin kinase yang penting untuk stimulasi

sel T. Untuk membangun respons imun

yang adekuat, T cell receptor (TCR) harus

dijaga keberadaannya secara terus-menerus

pada populasi klon sel T yang beragam.

Keragaman TCR masih terjaga baik hingga

usia 60-65 tahun, meskipun telah terjadi

penurunan output timus; keragaman ini

sangat berkurang pada usia 75-80 tahun,

mengakibatkan rendahnya respons imun

dalam menghadapi infeksi dan vaksinasi.

Penurunan keragaman TCR naif berkaitan

dengan menurunnya kemampuan orang tua

untuk merespons antigen baru.19

Selain itu, pada pasien geriatri sekitar 10%

sel T mengekspresikan penanda penuaan

CD57, yaitu penanda terjadinya pemendekan

telomere pada setiap replikasi DNA (replication

senescence marker).19,22

Perubahan imunitas humoral pada

pasien geriatri

Sel induk hematopoetik menghasilkan

semua komponen seluler sistem kekebalan

tubuh, yaitu limfoid dan mieloid. Penurunan

kompartemen hematopoietik sumsum tulang

sejalan usia tidak mempengaruhi jumlah dan

kapasitas proliferasi sel induk hematopoesis.

Melalui proses maturasi normal, terjadi

pengelompokan tahap sel menjadi pro-B dan

pra-B. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh

penurunan respons dalam pengembangan

sel B ke IL-7, penurunan rekombinasi V-DJ atau

rekombinasi somatik gen imunoglobulin (Ig),

penurunan ekspresi rantai ringan pengganti

λ5 dan penurunan aktivitas faktor transkripsi

E12 dan E47 yang menghasilkan perubahan

ekspresi rantai Ig berat.19

Kemampuan sel-sel sumsum tulang stroma

individu dewasa tua untuk mendukung

ekspansi sel B berkurang karena penurunan

produksi IL-7. Jumlah sel B perifer juga

berubah sesuai pertambahan usia, namun

masih diperdebatkan; beberapa melaporkan

adanya peningkatan signifi kan sel B perifer,

yang lain menemukan penurunan dramatis

sel CD27+. Diseksi subset sel B baru-baru ini

mengungkapkan terjadi sedikit peningkatan

dalam mengembangkan limfosit. Interaksi

antara TLRs dan patogen menstimulasi sekresi

berbagai peptida antibakteri dan memicu

respons infl amasi melalui sekresi sitokin dan

kemokin. Ligan TLRs juga dapat meningkatkan

produksi IL-2. Akibat proses penuaan tersebut,

efi kasi kemotaksis dan kegiatan fagositik

neutrofi l menurun, mengurangi kemampuan

makrofag dan neutrofi l untuk menghilangkan

mikroba dan menghancurkan sel-sel

kanker.19,20

Proliferasi sel NK terutama terjadi di sumsum

tulang dari sel-sel progenitor yang sama

dengan limfosit T; kemampuan fungsional

penuh sel NK diperoleh setelah menjalani

proses pematangan serial sebelum dilepaskan

ke dalam sirkulasi. Kelangsungan hidup sel NK

dewasa bergantung pada sitokin, yaitu IL-15

melalui faktor anti-apoptosis Bcl-2. Sel NK juga

berperan dalam interaksi antara respons imun

alami dan adaptif.19,20 Tingkat produksi sel NK

turun menjadi setengahnya pada orang tua

karena gangguan respons IL-2. Pengurangan

fungsi dan dinamika sel NK yang dimediasi

aktivitas sitotoksik secara klinis relevan bila

dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi

dan kematian pasien geriatri.19,20

Perlindungan sawar fi sik kulit-mukosa

terhadap mikroba yang tidak efektif,

termasuk kerusakan sistem imunitas lokal di

rongga mulut dan gusi, sistem kemih serta

gastrointestinal pada pasien geriatri adalah

tanda melemahnya imunitas alami.19

Penurunan imunitas diperantarai-sel

terkait usia

Produksi dan pemeliharaan beragam sel T

perifer sangat penting untuk fungsi normal

sistem kekebalan tubuh. Pada orang tua,

terjadi penurunan integritas keragaman

dan fungsional dari kedua subset sel T, yaitu

CD4+ dan CD8+, yang berkontribusi dalam

penurunan kemampuan merespons reinfeksi

secara adekuat. Perubahan CMI terkait usia

sangat tergantung pada fungsi timus.19 Saat

penuaan, timus mengalami involusi progresif

sehingga output sel-sel baru berkurang

signifi kan sejak usia 40 tahun. Perubahan

morfologi dan fungsional berupa perluasan

ruang perivaskular (adiposit, limfosit perifer,

stroma) menyebabkan pergeseran rasio

ruang epitel timus yang sesungguhnya

dengan ruang perivaskular; ruang epitel

timus menyusut hingga <10% dari jaringan

timus total pada usia 70 tahun.19 Timus baru

akan berhenti menghasilkan sel T di sekitar

usia 105 tahun. Atrofi timus dan penurunan

timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi

oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor

penghambat leukemia (LIF) dan oncostatin M

(OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam

timopoisis untuk menjamin kelangsungan

hidup sel dengan mempertahankan protein

anti-apoptosis Bcl-2 secara signifi kan

menurun.19

Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan

reseptor leptin dan progenitor sel T yang

bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat

perlindungan terhadap bakteri endotoksin

yang mengawali proses atrofi . Sedangkan sel T

yang menua mengakibatkan produksi sitokin

timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-β, OSM

dan LIF yang berperan merangsang fase dini

hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan

sebagai sitokin timosupresi. Selain usia, atrofi

timus dapat disebabkan karena kemoterapi,

radiasi pra transplantasi, syok septik, dan stres

akut.19

Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan

penurunan sel T naif pada output timus

(CD45RA+, CD28+, CD26L) dan penurunan

konsentrasi dalam darah perifer dan kelenjar

getah bening selama masa penuaan.

Akibatnya, terjadi pergeseran rasio sel T

memori naif di perifer untuk mempertahankan

homeostasis sel T perifer. Sel memori Th1 pada

pasien geriatri menghasilkan lebih sedikit

IL-2 dibanding dewasa muda, sedangkan sel

memori Th2 menghasilkan jauh lebih sedikit

IL-4 dan IL-5.19

Penurunan CD4+ pada pasien geriatri juga

menurunkan CD40L, suatu ligan ko-stimulan

penting untuk interaksi antasa sel T dan sel

B, akibat defi siensi IL-2. Interaksi sel T – sel B

secara signifi kan berperan pada penurunan

respons humoral terkait usia. Kemotaksis dan

fagositosis dapat terganggu pada orang tua.

Sel dendritik dewasa muda dan tua dilaporkan

sama baiknya dalam merangsang CD8+, tetapi

pada dewasa tua gagal merangsang CD4+

akibat perubahan jalur sinyal transduksi.19

Peningkatan kadar kolesterol yang umum

terjadi pada dewasa tua juga berperan

terhadap penurunan kemampuan T-cell

signaling akibat pengaruh usia. Kolesterol

tinggi diketahui dapat mempengaruhi

17CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

kecenderungan dapat bertahan rendah. Pada

pasien sangat tua dengan pneumonia tanpa

komorbiditas signifi kan, ICU dapat menjadi

pilihan, tetapi hanya setelah pertimbangan

hati-hati dari semua aspek, khususnya hak

autonomi pasien.1

Gangguan fungsi hati dan ginjal

Pasien geriatri mempunyai beberapa

gangguan fungsi organ akibat proses penuaan

dan berbagai komorbiditas. Dokter wajib

memperhatikan dosis obat yang diberikan

dan interaksinya dengan obat lain.23

Pencegahan episode pneumonia

berulang

Pencegahan kekambuhan dapat dilakukan

dengan mencegah aspirasi; dengan

memposisikan kepala pada sudut 45 derajat

ketika makan dan menerima makanan bubur.

Vaksinasi infl uenza dan pneumokokus terbukti

bermanfaat mencegah pneumonia pada

geriatri. Selain itu, pasien dianjurkan untuk

berhenti merokok.23

RINGKASAN

Pneumonia merupakan salah satu masalah

kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik

dominan pneumonia pada pasien geriatri

adalah presentasi klinisnya yang khas. Pada

pasien geriatri terjadi banyak perubahan

akibat proses penuaan dan faktor komorbid.

Perubahan tersebut terdiri dari perubahan

anatomi, fi siologi dan imunologi. Imunitas

alami adalah elemen kunci respons imun

terdiri dari beberapa komponen seluler yang

menjadi pertahanan lini pertama terhadap

invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut

menurun sejalan usia. Kemampuan makrofag

dan neutrofi l untuk menghilangkan mikroba

berkurang, tidak dapat menghancurkan sel-

sel kanker; penurunan fungsi dan dinamika

sel NK dapat dikaitkan dengan peningkatan

risiko infeksi dan kematian pasien geriatri.

Manajemen penting pasien geriatri meliputi

terapi antibiotik dan perawatan di ICU,

waspadai penggunaan polifarmasi terhadap

gangguan sistem organ dan pencegahan

episode ulangan.

sel memori CD27+, ditambah peningkatan

signifi kan sel memori tanpa energi pada

down-regulation CD27 (CD27-) yang mengisi

ruang imunologi B pada orang tua. Reservoir

sel B naif mungkin menjadi salah satu faktor

yang berperan dalam menjaga pertahanan

melawan infeksi baru. Hilangnya sel B naif

merupakan ciri immunosenescence.19

Kualitas respons imun humoral menurun

sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan

respons antibodi yang lebih rendah dan

penurunan produksi antibodi berafi nitas

tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia

menurunkan aktivasi sel B dan membuat

defek pada afi nitas reseptor dan sinyal

permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu

secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal

dan menghasilkan antibodi berafi nitas rendah

akibat penurunan pelepasan IL-2 dan IL-4.19

Sel B progenitor mengalami maturasi dan

diferensiasi dalam jaringan limfoid sekunder,

seperti limpa dan kelenjar getah bening.

Organ ini menyediakan struktur yang

sangat terorganisir untuk sel T dan sel B

dalam berinteraksi dengan satu sama lain

dan dengan antigen presenting cell (APC),

sel dendritik serta makrofag. Pengurangan

korteks limfosit seluler dan pusat germinal

karena pengaruh usia serta peningkatan

jaringan adiposa menurunkan kemampuan

menyediakan lingkungan yang tepat untuk

kelangsungan respons imun.19

Didapatkan peningkatan frekuensi sel B,

peningkatan CD4+ memori, peningkatan

ekspresi penanda penuaan p16INK4a pada sel

B dan CD8+, disertai penurunan jumlah sel Tδ,

CD4+ naif, CD8+, dan IgM yang memproduksi

sel B dalam kelenjar getah bening pasien

geriatri. Penempatan sel B imatur ke organ

limfoid sekunder telah terbukti menurunkan

kelangsungan hidup sel B, sehingga

mengurangi kemungkinan antigen akan

dikenali oleh sel B spesifi k antigen dan

mungkin juga mengurangi timbunan sel B

naif. Hal ini menyebabkan hilangnya sel B naif

dan peningkatan sel memori pada dewasa

tua sehingga meredam kemampuan untuk

merespons antigen baru.19

Proses penuaan diduga berperan pada

pergeseran profi l sitokin dari Th1 ke Th2

sebagai respons terhadap rangsangan

kekebalan tubuh. Kelebihan produksi

sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan

autoimun yang dimediasi sel B dengan

meningkatkan produksi antibodi autoreaktif.

Sel B naif folikuler yang menurun karena usia

dapat diaktifkan kembali berkaitan dengan

berkurangnya toleransi imun atau hilangnya

integritas jaringan yang mengarah pada

penyimpangan respons autoimun.19

Dengan penurunan imunitas humoral,

produksi antibodi berafi nitas tinggi menjadi

rendah sehingga melemahkan respons

antibodi pasien geriatri.19

PENATALAKSANAAN PASIEN GERIATRI

DENGAN PNEUMONIA

Terapi antibiotik dan perawatan di ICU

Peranan antibiotik pada kasus end-of-life

pneumonia untuk memperbesar peluang

hidup masih belum jelas. Dalam sebuah

penelitian observasional, kematian terkait

pneumonia meningkat jika tanpa terapi

antibiotik. Namun, penelitian ini juga

menunjukkan bahwa penyakit ringan dengan

prognosis lebih baik cenderung merespons

terapi antibiotik lebih baik dibandingkan

dengan penyakit yang lebih parah.24 Studi lain

menunjukkan peningkatan ketahanan hidup

pasien Alzheimer yang diberi tambahan terapi

antibiotik dibandingkan perawatan paliatif

saja.25 Angka ketahanan hidup pasien geriatri

dengan end-of-life pneumonia tidak dapat

diperpanjang hanya dengan terapi antibiotik

saja.1

Namun usia saja tidak boleh digunakan

sebagai kriteria untuk pertimbangan

perawatan di ICU (intensive care unit), pasien

pneumonia dan penyakit terminal tentu tidak

serta merta dirawat di ICU. Demikian pula,

secara umum, pasien dengan komorbiditas

signifi kan tidak harus dirawat di ICU bila

DAFTAR PUSTAKA

1. Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24.

2. Pink K, Hope-Gill B. Nonobstructive lung disease and thoracic tumors. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed.

Saunders Elsevier, 2010; 50: 376-84.

3. Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 126: 1531-45.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201418

TINJAUAN PUSTAKA

4. Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi 4. Balai Penerbit FK UI, 2009; 466-73.

5. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly, clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care Med

1997: 156: 1908-1914.

6. Pejčić T, Đorđević I, Stanković I, Borovac DN, Petković TR. Prognostic mortality factors of community-acquired pneumonia in the elderly. Acta Facultatis Medicae Naissensis 2011: 28(2):

71-76.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut.

8. Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep 2005; 53(15): 1-48.

9. Loeb M. Pneumonia in older persons. Clinical Infectious Diseases 2003; 37: 1335-39.

10. High KP. Infection in elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 124: 1507-15.

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.

12. Kaplan V, Angus DC, Griffi n MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and

outcome in the United States. Am. J. Respir. Crit Care Med 2002; 165(6): 766-772.

13. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.

14. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory diff erences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279: R349-R354.

15. Rosen S, Koretz B, Reuben DB. Presentation of disease in old age. In: Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 34: 205-210.

16. Sharma G, Goodwin J. Eff ect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging 2006; I(3): 253-260.

17. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449.

18. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Eff ect on airway infl ammation. J Allergy Clin Immunol 2010; 691-99.

19. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing 2010; 7: 7.

20. Meyer KC. Aging. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 433-39.

21. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan, 2012; 1: 6.

22. Lee M, Shin MS, Kang I. T-cell biology in aging, with a focus on lung disease. J Gerontol A Bio Sci Med Sci, 2012; 67A(3): 254-263.

23. Marrie TJ. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical Infectious Disease 2000; 31: 1066-78.

24. Van der Steen JT, Ooms ME, van der Wal G, Ribbe MW. Pneumonia: the demented patient’s best friend? Discomfort after starting or withholding antibiotic treatment. J Am Geriatr Soc

2002; 50: 1681-88.

25. Morrison RS, Siu AL. Survival in end-stage dementia following acute illness. JAMA 2000; 284: 47-52.

26. Kaplan V, Angus DC, Griffi n MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: ageand sex-related patterns of care and

outcome in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 766–72.

27. Chelluri L, Grenvik A, Silverman M. Intensive care for critically ill elderly: mortality, costs, and quality of life. Review of the literature. Arch Intern Med 1995; 155: 1013–22.

19CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Di Asia, saat ini terjadi perkembangan

ekonomi secara cepat, kemajuan industri,

urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti

peningkatan konsumsi kalori, lemak dan

garam; peningkatan konsumsi rokok; dan

penurunan aktivitas. Keadaan ini disertai

dengan peningkatan insiden obesitas,

hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit

vaskular yang berujung pada peningkatan

insiden gagal jantung.1

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari

seluruh penyakit jantung dan merupakan

masalah kesehatan dunia.1 Gagal jantung

merupakan salah satu penyakit kardiovaskul-

er yang menjadi masalah serius di Amerika.

American Heart Association (AHA) tahun 2004

melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika Serikat

menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan

Medicare USA paling banyak mengeluarkan

biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal

jantung (ACC/AHA 2005).2 Di Indonesia, data

Departemen Kesehatan tahun 2008 menun-

jukan pasien yang dirawat dengan diagnosis

gagal jantung mencapai 14.449.3

Gagal jantung erat kaitannya dengan

penurunan kualitas hidup dan mortalitas

tinggi, serta dapat mengakibatkan

ketidakmampuan fi sik secara kronik sehingga

menjadi beban ekonomi yang tinggi.4

GAGAL JANTUNG

Defi nisi

Gagal jantung merupakan sindrom kompleks

dengan tampilan gejala khas: sesak saat

istirahat atau saat aktivitas, kelelahan, serta

tanda retensi cairan seperti kongesti paru

atau edema pergelangan kaki, tanda khas:

takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura,

peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali

serta bukti objektif kelainan struktural atau

fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali,

bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada

ekokardiografi , peningkatan natriuretic

peptide. Pada gagal jantung, jantung tidak

dapat menghantarkan curah jantung yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik

tubuh.5

Klasifi kasi

Klasifi kasi berdasarkan abnormalitas struktural

jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala

berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

tertera pada tabel 1.5,6

Tabel 1 Klasifi kasi gagal jantung

Klasifi kasi gagal jantung menurut ACC / AHA Tingkatan berdasarkan gejala dan aktivitas fi sik

Stadium A

Memiliki risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung.

Tidak terdapat ganguan struktural atau fungsional jantung,

tidak terdapat tanda atau gejala

Kelas I

Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fi sik. Aktivitas

fi sik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau

sesak nafas

Stadium B

Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang

berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak

terdapat tanda atau gejala

Kelas II

Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan

saat istirahat, namun aktivitas fi sik sehari-hari menimbulkan

kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

Stadium C

Gagal jantung asimptomatis yang berhubungan dengan

penyakit struktural jantung yang mendasari

Kelas III

Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan

saat istirahat, tetapi aktivitas fi sik ringan menyebabkan

kelelahan, palpitasi atau sesak

Stadium D

Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal

jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun

sudah mendapat terapi medis maksimal

Kelas IV

Tidak dapat melakukan aktivitas fi sik tanpa keluhan. Terdapat

gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan

aktivitas

ACC: American College of Cardiology, AHA: American Heart Association, NYHA: New York Heart Association

ABSTRAK

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung; prevalensinya meningkat sesuai usia. Penyebab gagal jantung pada lanjut

usia lebih multifaktorial dan sering disertai dengan gejala yang tak khas. Tatalaksana meliputi cara non farmakologis berupa edukasi, diet, latihan

fi sik dan dukungan keluarga ditambah dengan cara medikamentosa untuk mencegah remodeling dan mengurangi gejala.

Kata kunci: gagal jantung, remodeling, geriatri

ABSTRACT

Heart failure is an end-stage for all heart diseases, its prevalence increases as population gets older. The causes among elderly are multifactorial,

and often without typical signs and symptoms. The management consists of non pharmacological measures i.e education, diet and physical

exercise, and medication to prevent remodelling and to alleviate symptoms. Ervinaria Uly Imaligy. Heart Failure in Geriatrics.

Key words: heart failure, remodeling, geriatrics

Gagal Jantung pada Geriatri

Ervinaria Uly ImaligyDokter Umum Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha,

Bandung, Indonesia

Alamat korespondensi email: [email protected]

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201420

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa istilah dalam gagal jantung8:

1. Gagal jantung sistolik dan diastolik

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang

tindih, tidak dapat dibedakan berdasarkan

pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG;

hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan

kontraksi jantung memompa sehingga curah

jantung turun dan menyebabkan kelemahan,

fatigue, kemampuan aktivitas fi sik menurun

dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung

diastolik adalah gangguan relaksasi dan

gangguan pengisian ventrikel; didefi nisikan

sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi

lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan

pemeriksaan Doppler-ekokardiografi .

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output HF disebabkan oleh hipertensi,

kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan

perikard. High Output HF ditemukan pada

penurunan resistensi vascular sistemik seperti

hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fi stula

A-V, beri-beri dan penyakit Paget.

3. Gagal Jantung Akut dan Kronik

Contoh klasik gagal jantung akut adalah

robekan daun katup secara tiba-tiba akibat

endokarditis, trauma atau infark miokard

luas. Curah jantung yang turun tiba-tiba

menyebabkan penurunan tekanan darah

tanpa disertai edema perifer.

Contoh gagal jantung kronis adalah

pada kardiomiopati dilatasi atau kelainan

multivalvular yang terjadi perlahan-lahan.

Kongesti perifer sangat menyolok, namun

tekanan darah masih terpelihara dengan baik

4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung

Kiri

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel,

meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan

paru menyebabkan pasien sesak napas dan

ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika

kelainannya melemahkan ventrikel kanan

seperti pada hipertensi pulmonal primer

/ sekunder, tromboemboli paru kronik

sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang

menyebabkan edema perifer, hepatomegali

dan distensi vena jugularis.

Epidemiologi

Prevalensi gagal jantung pada seluruh

populasi berkisar antara 2 sampai 30% dan

yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh

populasi. Angka ini cenderung mengikuti

pola eksponensial seiring usia, sehingga

pada orang tua (70-80 tahun) menjadi 10-

20%.3 Meskipun insidens relatif gagal jantung

lebih rendah pada perempuan, perempuan

berkontribusi pada setidaknya setengah kasus

gagal jantung karena angka harapan hidup

mereka lebih tinggi. Di Amerika, prevalensi

gagal jantung pada usia 50 tahun ialah sebesar

1%, pada usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di

Inggris, prevalensi gagal jantung pada usia

60-70 tahun sebesar 5% dan mencapai 20%

pada usia 80 tahun, situasi yang sama terjadi

di Italia dan Portugal. Di Cina, prevalensi gagal

jantung pada usia 60 tahun ke atas sebesar

0,9%.2 Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus

baru gagal jantung muncul setiap tahunnya

di seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagal

jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun

sejak diagnosis ditegakkan.4

Etiologi

Penyebab umum gagal jantung adalah

rusaknya atau berkurangnya massa otot

jantung karena iskemi akut atau kronik,

peningkatan resistensi vaskuler karena

hipertensi, atau karena takiaritmia (misalnya

fi brilasi atrial). Pada dasarnya semua kondisi

yang menyebabkan perubahan struktur

ataupun fungsi ventrikel kiri merupakan

predisposisi untuk gagal jantung. Penyakit

jantung koroner merupakan penyebab

terbanyak (60-75%), diikuti penyakit katup

(10%) dan kardiomiopati (10%). Dewasa ini

studi epidemiologi menunjukkan bahwa

sekitar setengah pasien gagal jantung

memiliki fraksi ejeksi (ejection fraction, EF)

ventrikel kiri yang baik (EF 40-50%), sehingga

tidak lagi dipikirkan bahwa gagal jantung

secara primer terjadi akibat penurunan fraksi

ejeksi ventikel kiri.4

Patofi siologi

Beberapa mekanisme yang mempengaruhi

progresivitas gagal jantung, antara lain

mekanisme neurohomonal yang meliputi

aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem

renin-angiotensin dan perubahan vaskuler

perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang

semuanya berperan mempertahankan

homeostasis.7

Aktivasi sistem saraf simpatis

Penurunan curah jantung pada gagal jantung

akan mengaktifkan serangkaian mekanisme

adaptasi untuk mempertahankan homeostasis

kardiovaskuler, mekanisme ini merupakan

adaptasi yang penting segera setelah terjadi

penurunan curah jantung.

Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi

bersamaan dengan berkurangnya tonus

parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi

penurunan inhibisi refl eks baroreseptor

arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini

berfungsi menurunkan tekanan darah. Di sisi

lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor

perifer nonbarorefl eks dan metaboreseptor

otot., akibatnya meningkatkan tonus simpatis

dan pengurangan tonus parasimpatis

dengan hasil akhir penurunan denyut

jantung dan peningkatan resistensi vaskuler

perifer. Karena tonus simpatis meningkat,

akan terjadi peningkatan kadar norepinefrin,

neurotransmiter adrenergik yang poten,

di sirkulasi seiring berkurangnya ambilan-

kembali norepinefrin dari ujung saraf.

Meskipun demikian, pada gagal jantung

stadium lanjut akan terjadi penurunan

norepinefrin miokard karena mekanisme yang

masih belum diketahui.

Peningkatan aktivasi reseptor simpatis

β-adrenergik meningkatkan denyut jantung

dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat

peningkatan curah jantung. Peningkatan

aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor

α-adrenergik miokard yang menyebabkan

inotropik positif dan vasokonstriksi arteri

perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan

kontraksi dan relaksasi serta mempertahankan

tekanan darah, hal ini justru menyebabkan

kebutuhan energi miokard akan bertambah

sehingga memperburuk iskemi saat distribusi

oksigen terbatas. Penambahan arus adrenergik

dari sistem saraf pusat akan menyebabkan

ventricular tachycardia atau sudden cardiac

death.

Di sisi lain, peningkatan tonus simpatis renal

menyebabkan vasokonstriksi sehingga

aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan

peningkatan reabsorpsi Natrium dan air di

tubular ginjal. Selain itu, terjadi pula pelepasan

arginin vasopressin (AVP) dari hipofi sis

posterior untuk mengurangi ekskresi air yang

akan memperburuk vasokonstriksi perifer.

Angiotensin II juga menstimulasi pusat haus

di otak dan menyebabkan pelepasan AVP dan

aldosteron, yang keduanya menyebabkan

disregulasi homeostasis garam dan air.7

21CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Pada pasien gagal jantung, terjadi pula

peningkatan PGE2 dan PGI

2, serta pelepasan

atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain

natriuretic peptide (BNP). Dalam kondisi

fi siologis, keduanya dilepaskan saat terjadi

regangan miokard dan peningkatan asupan

Natrium. Setelah dilepas, keduanya berperan

meningkatkan ekskresi air dan garam serta

menghambat pelepasan renin-aldosteron,

atau dengan kata lain sebagai “counter-

regulatory”. Meskipun demikian, makin parah

derajat gagal jantung, efek ANP dan BNP

terhadap ginjal makin berkurang.6,7

Aktivasi sistem renin-angiotensin (renin-

angiotensin system, RAS)

Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis,

aktivasi sistem renin-angiotensin terjadi

setelah selang waktu yang lebih lama.

Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung

meliputi hipoperfusi renal, penurunan fi ltrasi

Natrium ketika mencapai makula densa, dan

peningkatan stimulasi simpatik di ginjal yang

berakibat pelepasan renin dari apparatus

jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan

dengan angiotensinogen yang disintesis di hati

untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin

converting enzyme (ACE) berikatan dengan

angiotensin I membentuk angiotensin II.

Sebanyak 90% aktivitas ACE terjadi di jaringan

dan 10% sisanya pada interstitial jantung dan

pembuluh darah.

Angiotensin II akan meningkatkan efeknya

setelah berikatan dengan reseptor AT1

dan AT2. AT

1 banyak berlokasi pada saraf

miokard sementara AT2 pada fi broblas dan

interstitial. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan

vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi

aldosteron, dan pelepasan katekolamin;

sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan

vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel,

natriuresis dan pelepasan bradikinin.

Angiotensin II berperan mempertahankan

homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek.

Meskipun demikian, ekspresi berlebihan

angiotensin II menyebabkan fi brosis pada hati,

ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga

dapat memperburuk aktivasi neurohormonal

dengan meningkatkan pelepasan

norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain

itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk

memproduksi aldosteron yang juga berperan

dalam mempertahankan homeostasis jangka

pendek dengan mempengaruhi reabsorpsi

Natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun

demikian, ekspresi aldosteron berlebihan

menyebabkan hipertrofi dan fi brosis

vaskuler serta miokard yang menyebabkan

berkurangnya compliance vaskuler dan

meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron

berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel

endotel, disfungsi baroreseptor, serta inhibisi

ambilan norepinefrin, yang semuanya akan

memperburuk gagal jantung.7

Perubahan neurohormonal vaskuler

perifer

Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi

kompleks antara sistem saraf otonom dengan

mekanisme autoregulasi lokal yang bertujuan

mempertahankan suplai darah ke otak dan

jantung, sementara mengurangi suplai ke

kulit, otot rangka, organ splanknik dan ginjal;

semua itu akibat pelepasan norepinefrin

sebagai vasokonstriktor yang poten, natriuretic

peptides, NO, bradikinin, PGI2 serta PGE

2.

Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis

ini bertujuan mempertahankan tekanan

arteri, sementara stimulasi simpatik pada

vena menyebabkan peningkatan tonus vena

untuk mempertahankan venous return dan

pengisian ventrikel untuk mempertahankan

hukum Starling. Seharusnya pada keadaan

normal, pelepasan NO terus-menerus akan

menyebabkan “counter-response” yakni

vasodilatasi, namun hal ini tidak terjadi pada

gagal jantung stadium lanjut.7

Remodeling ventrikel kiri

Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan

miosit jantung, yakni berkurangnya

kontraktilitas otot jantung, berkurangnya

miofi lamen miosit jantung, perubahan

protein sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal

β-adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan

mediator-mediator radang seperti TNF-α dan

IL-1 saat terjadi kerusakan pada jantung, yang

berperan dalam perburukan gagal jantung.

Hipertrofi miosit jantung karena peningkatan

tekanan sistolik dinding ventrikel

menyebabkan penambahan sarkomer paralel

dan peningkatan ukuran miosit sehingga

menyebabkan penebalan dinding ventrikel

kiri (pressure overload menyebabkan hipertrofi

konsentrik).

Pada volume overload, peningkatan tekanan

diastolik menyebabkan peningkatan panjang

miosit dan penambahan jumlah sarkomer

serial (hipertrofi eksentrik).7,8

Pada gagal jantung terjadi mekanisme

kompensasi Frank Starling. Gagal jantung

yang disebabkan oleh penurunan fungsi

ventrikel kiri menyebabkan isi sekuncup

(stroke volume) menurun dibandingkan

jantung normal. Penurunan isi sekuncup

menyebabkan pengosongan ventrikel

menjadi tidak adekuat; akhirnya volume

darah yang terakumulasi di ventrikel

selama fase diastolik menjadi lebih

banyak dibandingkan keadaan normal.

Mekanisme Frank-Starling menyebabkan

peningkatan peregangan miofiber

sehingga dapat menginduksi isi sekuncup

pada kontraksi berikutnya, sehingga

dapat membantu pengosongan ventrikel

kiri dan meningkatkan curah jantung

(cardiac output). Kompensasi ini memiliki

keterbatasan. Pada kasus gagal jantung berat

dengan depresi kontraktilitas, curah jantung

akan menurun, lalu terjadi peningkatan end-

diastolic volume dan end-diastolic pressure

(yang akan ditransmisikan secara retrograd

ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler)

sehingga dapat menyebabkan kongesti

pulmoner dan edema.6

Penegakan Diagnosis5

Pemeriksaan EKG 12 sadapan sangat

dianjurkan. Kepentingan utama EKG adalah

untuk menilai irama jantung, menentukan

keberadaan hipertrofi ventrikel kiri atau

riwayat infark miokard (ada atau tidak adanya

Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan

kemungkinan disfungsi diastolik ventrikel

kiri.5,7

Pemeriksaan foto toraks memberikan informasi

ukuran dan bentuk jantung serta keadaan

vaskularisasi paru, yang memungkinkan

penilaian kongesti. Foto toraks juga dapat

mengidentifi kasi penyebab nonkardiak

sepeerti kelainan paru atau toraks.

Modalitas diagnostik lain yang dapat

digunakan antara lain angiografi koroner, MRI,

dan CT-scan.4

Penegakan diagnosis gagal jantung dalam

praktik dokter umum adalah dengan kriteria

Framingham, membutuhkan keberadaan dua

kriteria mayor atau 1 kriteria mayor disertai

dua kriteria minor (Tabel 3).8

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201422

TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 3 Kriteria mayor dan minor gagal jantung

(Framingham)

Kriteria mayor Kriteria minor

Paroxysmal nocturnal • dyspnea

Peningkatan tekanan • vena jugular

Ronki• Kardiomegali pada • pemeriksaan radiologi

toraks

Edema pulmoner akut• Gallop S3• Peningkatan tekanan • vena pusat (>16 cmH

2O

pada atrium kanan)

Hepatojugular refl ux• Penurunan berat • badan >4,5 kg dalam

5 hari sebagai respons

terhadap terapi

Edema pergelangan • kaki bilateral

Batuk nokturnal• Dyspnea on ordinary • exertion

Hepatomegali• Efusi pleural• Penurunan kapasitas • vital hingga sepertiga

dari maksimum (yang

pernah tercatat)

Takikardia (detak • jantung >120 kali/

menit)

GAGAL JANTUNG PADA GERIATRI

Patofi siologi

Disfungsi diastolik yang relatif tidak umum

pada dewasa muda, didapat pada 50%

kasus gagal jantung pada orang tua dan

umum terjadi pada perempuan. Pada

disfungsi diastolik, relaksasi miokard yang

berkepanjangan dan peningkatan kekakuan

(yang menurunkan tingkat pengisian dan

volume) meningkatkan tekanan diastolik

ventrikel kiri dan mengurangi isi sekuncup

saat istirahat dan selama bekerja. Akibatnya,

terjadi gagal jantung, bahkan ketika fungsi

sistolik (yang ditunjukkan oleh fraksi ejeksi)

normal atau mendekati normal.

Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan

struktur jantung dan sistem kardiovaskular

merendahkan ambang rangsang untuk gagal

jantung. Kolagen interstisial dalam miokardium

meningkat, miokardium menegang, dan

relaksasi miokard menjadi lebih panjang.

Perubahan ini menyebabkan penurunan

signifi kan fungsi diastolik ventrikel kiri, bahkan

pada orang tua sehat. Penurunan fungsi

sistolik juga terjadi seiring bertambahnya usia.

Selain itu, terjadi penurunan pada miokard

dan respons vaskular terhadap stimulasi beta

adrenergik yang akan merusak kemampuan

respons sistem kardiovaskular terhadap

peningkatan kebutuhan kerja.9 Perubahan ini

menurunkan kapasitas kerja puncak secara

signifi kan (sekitar 8% per dekade setelah umur

30) dan curah jantung pada puncak latihan

berkurang lebih bermakna. Dengan demikian,

pasien lanjut usia lebih rentan terkena gagal

jantung sebagai respons terhadap stres

atau kelainan sistemik. Stresor termasuk

infeksi (paling sering pneumonia), hipotiroid,

hipertiroidi, anemia, iskemia miokard, hipoxia,

hipotermia, hipertermia, gagal ginjal, obat-

obatan, (termasuk NSAID [nonsteroidal

antiinfl ammatory drug], penyekat beta [beta

blocker], dan penyekat kanal kalsium [calcium

channel blocker]).9

Etiologi dan Faktor Pencetus

Pada umumnya, etiologi gagal jantung pada

orang tua sama seperti yang terjadi pada

dewasa muda, tetapi lebih multifaktorial

(tabel 4).5

Tabel 4 Gagal jantung pada pasien usia tua

Penyakit Arteri Koroner

Infark Miokard Akut• Kardiomiopati Iskemik •

Penyakit Jantung Hipertensi

Kardiomiopati Hipertensi Hipertrofi •

Penyakit Jantung Katup

Kalsifi kasi Stenosis Aorta• Regurgitasi Mitral• Stenosis Mitral• Insufi siensi Aorta• Malfungsi Katup Prostesa •

Kardiomiopati

Dilatasi ( Noniskemik )• Hipertrofi • Restriktif •

Endokarditis Infeksi

Miokarditis

Penyakit Perikardial

High Output Heart Failure

Anemia Kronik• Defi siensi Tiamin• Hipertiroid• Arteriovenous Shunting•

Age-related Diastolic Dysfunction

Skema 1 Langkah diagnostik gagal jantung

Manifestasi klinis gagal jantung (tabel 2)5:

Tabel 2 Manifestasi klinis gagal jantung

Tampilan Klinis Gejala Tanda

Edema perifer / kongesti Sesak nafas, kelelahan, mudah

penat, anoreksia

Edema perifer, peningkatan JVP, edema paru,

hepatomegali, asites, bendungan cairan, kakeksia

Edema paru Sesak nafas yang sangat berat

saat istirahat

Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi

paru, takikardia, takipnea

Syok kardiogenik Penurunan kesadaran, lemah,

akral perifer dingin

Perfusi perifer yang buruk, tekanan darah sistolik <

90 mmHg, anuria atau oliguria

Tekanan darah yang sangat

tinggi (gagal jantung hipertensi)

Sesak nafas Peningkatan tekanan darah, penebalan dinding

ventrikel kiri, ejeksi fraksi masih baik

Gagal Jantung kanan Sesak nafas, mudah lelah Tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan

JVP, edema perifer, hepatomegali, asites

Skema 1 memperlihatkan langkah diagnostik

gagal jantung.

23CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Pada orang tua, penyakit jantung iskemik

dengan infark miokard merupakan penyebab

paling sering kardiomiopati dilatasi.

Kardiomiopati hipertrofi hipertensi sering

bermanifestasi disfungsi diastolik berat dan

dapat menghambat outfl ow tract ventrikel

kiri. High output heart failure tidak biasa

ditemukan pada orang tua; penyebab paling

sering high output heart failure ialah anemia

kronik, hipertiroid, defi siensi tiamin dan shunt

arteriovena. Walaupun fungsi sistolik masih

normal pada orang tua, gagal jantung dapat

terjadi karena disfungsi diastolik yang terkait

dengan bertambahnya usia.

Selain etiologi, penting untuk mengidentifi kasi

faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi

akut atau subakut. Faktor pencetus paling

sering pada dua per tiga kasus gagal jantung

ialah noncompliance pengobatan dan atau

diet. Iskemi miokard atau infark, aritmia seperti

takikardi ventrikel, atrial fi brilasi atau fl utter

dan blok atrioventrikular umumnya menjadi

faktor pencetus pada orang tua. Pada pasien

hipertensi, kontrol tekanan darah inadekuat

merupakan penyebab umum perburukan

keadaan gagal jantung.15

Orang tua memiliki kompensasi kardiovaskular

yang tidak baik sehingga gagal jantung dapat

dicetuskan oleh keadaan nonkardiak misalnya

gangguan respirasi akut seperti pneumonia,

emboli pulmonEr atau eksaserbasi penyakit

paru obstruksi kronik.

Manifestasi Klinis

Sama seperti dewasa muda, manifestasi

klinis paling sering pada orang tua ialah sulit

bernafas, orthopnoe, edema, fatigue dan

intoleransi kerja. Akan tetapi, terutama pada

usia 80 tahun ke atas dapat ditemukan atypical

symptomatology yaitu simptom tidak khas,

sehingga gagal jantung pada orang tua sering

over atau underdiagnosed. Gejala sulit bernafas

dan orthopnoe menjadi manifestasi gagal

jantung dengan penyakit yang mendasari

berupa penyakit paru kronik, pneumonia atau

emboli pulmoner.

Pemeriksaan fi sik pada orang tua dapat

nonspesifi k atau tidak khas. Tanda klasik

gagal jantung antara lain ronkhi paru,

peningkatan tekanan vena jugularis, refl uks

abdominojugular, gallop S3 dan pitting edema

ekstremitas bawah. Tetapi ronkhi paru pada

orang tua dapat menjadi tanda penyakit paru

kronik, pneumonia atau atelektasis. Edema

perifer dapat disebabkan oleh insufi siensi

vena, penyakit ginjal atau obat seperti

penghambat kanal kalsium. Pasien usia tua

dapat memiliki pemeriksaan fi sik normal.

Pernafasan Cheyne – Stokes dapat menjadi

satu-satunya tanda dugaan gagal jantung.

Tabel 5 berikut mencantumkan manifestasi

gagal jantung pada orang tua.15

Tabel 5 Manifestasi atipikal gagal jantung pada orang tua

Keluhan sistemik nonspesifi k

Malaise• Letih• Penurunan aktivitas fi sik•

Simptom Neurologi

Bingung • Iritabilitas• Gangguan tidur•

Gangguan Gastrointestinal

Rasa tidak nyaman pada perut• Anoreksia• Mual• Diare•

TATA LAKSANA

Tujuan utama penatalaksanaan gagal

jantung pada orang tua ialah untuk

mengembalikan kualitas hidup, mengurangi

frekuensi eksaserbasi gagal jantung dan

memperpanjang hidup. Tujuan sekunder

ialah memaksimalkan kemandirian serta

kapasitas kerja dan mengurangi biaya

perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi

harus mencakup penanggulangan etiologi

dan faktor pencetus, terapi nonfarmakologi

(nonmedikamentosa) dan farmakologi

(medikamentosa).

Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa)

antara lain dapat berupa15:

a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan

gagal jantung

b. Manajemen diet, yaitu mengurangi

jumlah garam, menurunkan berat badan bila

dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak,

asupan kalori adekuat

c. Latihan fi sik. Penelitian menunjukkan

bahwa pembatasan aktivitas fi sik yang

berlebihan akan menurunkan fungsi

kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan

fi sik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas

fungsional dan kualitas hidup pasien gagal

jantung

d. Dukungan keluarga untuk selalu

memperhatikan dan merawat pasien gagal

jantung di usia tua sangat penting dan

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Prinsip dasar terapi farmakologi

medikamentosa gagal jantung adalah

mencegah remodelling progresif miokardium

serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi

dengan cara menurunkan preload (aliran

darah balik ke jantung), afterload (tahanan

yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan

memperbaiki kontraktilitas miokardium.

Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian

golongan obat diuretik, ACE-inhibitor,

penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen

inotropik positif, penghambat kanal kalsium,

antikoagulan, dan obat antiaritmia.11,12,15

ACE inhibitor

Obat ini menghambat konversi angiotensin

I menjadi angiotensin II. Efek terhadap

gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi

mekanisme penting ialah inhibisi parsial jalur

renin-angiotensin-aldosteron dan mengurangi

aktivitas simpatetik menghasilkan vasodilatasi,

natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE

inhibitor berguna mengurangi sesak nafas dan

mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal

jantung. Obat ini sebaiknya dimulai dengan

dosis kecil pada orang tua dan dinaikkan

bertahap sesuai dengan fungsi ginjal. Pada

umumnya pemberian dosis pada orang tua

ialah setengah dosis pasien muda.12,13

Efek samping obat ini ialah batuk kering

yang dimediasi bradikinin; terkait dosis

dan dapat responsif dengan penurunan

dosis. Dapat juga terjadi hipotensi berat

pada pasien yang mengalami penurunan

volume cairan akibat diuretik terutama pada

geriatri yang kontrol baroreseptornya sudah

mengalami kerusakan. Kadar natrium darah

harus dipantau teratur saat memulai atau

menaikkan dosis ACE inhibitor dan juga jika

memakai kombinasi dengan diuretik hemat

kalium seperti spironolakton karena dapat

terjadi hiperkalemia.

Obat golongan ini menjadi lini pertama

pengobatan gagal jantung dan menentukan

prognosis Hanya sedikit data penggunaan

ACE inhibitor pada pasien di atas 75 tahun

akan tetapi berbagai studi telah membuktikan

ACE inhibitor mengurangi morbiditas dan

mortalitas pasien gagal jantung.12-14

Diuretik

Diuretik merupakan obat utama mengatasi

gagal jantung akut yang selalu disertai

kelebihan cairan yang bermanifestasi

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201424

TINJAUAN PUSTAKA

sebagai edema perifer. Diuretik dengan

cepat menghilangkan sesak napas dan

meningkatkan kemampuan melakukan

aktivitas fi sik. Diuretik mengurangi retensi air

dan garam sehingga mengurangi volume

cairan ekstraseluler, arus balik vena dan preload.

Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik

kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40

mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis

yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal

harus sering dipantau. Setelah euvolemia

tercapai dosis harus segera diturunkan

sampai dosis minimal yang diperlukan untuk

mempertahankan euvolemia.14

Pada pasien geriatri, deplesi volume dan

hipotensi harus diperhatikan karena fungsi

baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh

karena itu diuretik tidak boleh diberikan

pada gagal jantung asimptomatik maupun

tidak ada overload cairan.11,13 Diuretik kuat

tidak mengurangi mortalitas gagal jantung,

penggunaan diuretik harus dikombinasi

dengan ACE inhibitor.11

Digoksin

Digoksin memiliki efek inotropik positif

dengan menahan Ca2+ intrasel sehingga

kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat

ini juga memiliki efek mengurangi aktivasi

saraf simpatis sehingga dapat mengurangi

denyut jantung pada pasien fi brilasi atrium.

Efek toksik digoksin jarang, tetapi dapat terjadi

pada pasien geriatri dengan penurunan

fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin

tidak menurunkan mortalitas sehingga tidak

lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi

dapat memperbaiki gejala dan mengurangi

rawat inap akibat memburuknya gagal

jantung.14 Pada pasien geriatri, dosis digoksin

harus diturunkan dan harus dipantau kadarnya

dalam darah.14

Penyekat beta

Pemberian penyekat beta pada gagal jantung

sistolik akan mengurangi kejadian iskemi

miokard, mengurangi stimulasi sel-sel jantung

dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi

risiko aritmia jantung dan dengan demikian

mengurangi risiko kematian mendadak.

Obat ini juga menghambat pelepasan

renin sehingga menghambat aktivasi

sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)

akibatnya terjadi penurunan hipertrofi

miokard, apoptosis dan fi brosis miokard

dan remodeling miokard, sehingga progresi

gagal jantung akan terhambat dan dengan

demikian menghambat perburukan kondisi

klinis.

Metoprolol, bisoprolol dan carvedilol

bermanfaat menurunkan progresi klinis,

hospitalisasi dan mortalitas pasien gagal

jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III)

stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat

ini juga diindikasikan untuk gagal jantung

dengan etiologi iskemik maupun noniskemik.

Pemberiannya dapat dikombinasi dengan

ACE inhibitor dan diuretik.14

PROGNOSIS

Angka harapan hidup pada penderita gagal

jantung di usia lanjut sebesar <35% dalam

lima tahun. Pada pasien yang dirawat dengan

gagal jantung, angka harapan hidup satu

tahun dapat kurang dari 50%. Pada sebuah

studi retrospektif laki-laki usia tua (rata-

rata 89 tahun) yang dirawat di rumah sakit

dalam jangka lama, mortalitas satu tahun

sebesar 87%. Prognosis akan memburuk

dengan meningkatnya klas fungsional NYHA.

Berbagai keadaan medis (tekanan darah,

faktor komorbid, status fungsional), keadaan

sosial (penikahan, status sosial) dan psikososial

(depresi dan kesehatan jiwa) memiliki efek

signifi kan terhadap harapan hidup.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Dumitru, I. Heart Failure. eMedicine. [Online] Nov 24, 2009. [Cited: January 14, 2010.] http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview.

2. Wang S. Multifactor Heart Failure in Elderly: a proposal for cooperative research. Journal of Geriatric Cardiology. 2006: 3; 197– 8.

3. Statistik Rumah Sakit di Indonesia Seri 3: Morbiditas / Mortalitas. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2009.

4. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2005,

pp.

5. Dickstein K, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Europian Society of Cardiology.2008: 29;2388-442.

6. Shah RV, Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS [edt.]. Pathophysiology of Heart Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. P 225-51.

7. Mann DL. Pathophysiology of heart failure In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP [edt.]. Braunwald Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8thed. USA: Elsevier Saunders.

Philadelphia. 2007.

8. Panggabean MM. Gagal jantung. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S, [edt]. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI; 2007. h. 1513-4.

9. Beers MH. Heart Failure. Merck Manual of Geriatric. USA: Whitehouse Station. 2006.p 900-11.

10. Arnold M, Miller F. Congestive Heart Failure in the Elderly. Division of Cardiology University of Western Ontario. 2005. Available at: http://www.ccs.ca/download/consensus_conference/

consensus_conference_archives/2002_05.pdf [ January, 14th 2010 ].

11. Stevenson LW. Design of therapy for advanced heart failure. The European Journal of Heart Failure 2005;7:323-31.

12. Jones EF. Drug Therapy of Heart Failure in Elderly. In: Woodward M et al [edt.]. Geriatric Therapeutics. Available at: http://jppr.shpa.org.au/lib/pdf/gt/harvey200109.pdf [January, 14th

2010].

13. Hanon O et al. Consensus of the French Society of Gerontology and Geriatrics and the French Society of Cardiology for the management of coronary artery disease in older adults.

Archives of Cardiovascular Disease 2009:102:829-45.

14. Setiawati A, Nafrialdi. Obat Gagal Jantung dalam Gunawan SG,dkk. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2007. Hlm: 299–313.

15. Rich MW. Heart Failure. In: Halter JB et al [edt.]. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6thed. USA: McGraw Hill Companies. 2009. p. 931-49.

25CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi:

Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Pengaruh Social

Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut

Usia di Jakarta. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, 2013.

LATAR BELAKANG

Saat ini, penduduk dunia diperkirakan

berjumlah sekitar 7 milyar, meningkat dari

sekitar 6.5 milyar di tahun 2006. Peningkatan

jumlah penduduk tersebut diikuti dengan

peningkatan jumlah penduduk berusia 60

tahun ke atas; antara tahun 1970 sampai

tahun 2025, jumlah mereka diperkirakan akan

meningkat 223% atau bertambah sekitar

694 juta jiwa. Di tahun 2025 akan terdapat

sekitar 1.2 milyar penduduk dunia berusia

60 tahun ke atas, yang akan menjadi 2 milyar

di tahun 2050; 80% di antaranya tinggal

di negara-negara berkembang, termasuk

Indonesia.1 Jumlah lanjut usia di Indonesia

diperkirakan 18.575.000 jiwa;2 angka tersebut

sekitar 7% dari jumlah seluruh penduduk

yang diperkirakan sebesar 234.181.400 jiwa.

Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan

terus meningkat mencapai 11.34% di tahun

2020.3

Salah satu masalah utama para lanjut

usia adalah kemunduran fungsi kognitif.

Kemunduran fungsi kognitif tersebut

selanjutnya mempengaruhi pola interaksi

mereka dengan lingkungan tempat tinggal,

dengan anggota keluarga lain, juga pola

aktivitas sosialnya,4 sehingga akan menambah

beban keluarga, lingkungan dan masyarakat.

Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa

mudah-lupa (forgetfulness) yaitu bentuk

gangguan kognitif yang paling ringan;

gangguan ini diperkirakan dikeluhkan

oleh 39% lanjut usia berusia 50-59 tahun,

meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia

lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang

masih bisa berfungsi normal kendati mulai

sulit mengingat kembali informasi yang

telah dipelajari; tidak jarang ditemukan pada

orang setengah baya.5 Jika penduduk berusia

lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah

7% dari seluruh penduduk, maka keluhan

mudah-lupa tersebut diderita oleh setidaknya

3% populasi di Indonesia. Mudah-lupa ini

bisa berlanjut menjadi Gangguan Kognitif

Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI)

sampai ke Demensia sebagai bentuk klinis

yang paling berat. Demensia adalah suatu

kemunduran intelektual berat dan progresif

yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan,

dan aktivitas harian seseorang.6 Penyakit

Alzheimer (AD) merupakan penyebab yang

paling sering, ditemukan pada 50-60%

pasien demensia; penderitanya diperkirakan

berjumlah 35.6 juta di seluruh dunia (2010),

yang akan meningkat mencapai 65.7 juta di

tahun 2030 dan menjadi 115.4 juta di tahun

2050;7 sehingga di antara penduduk usia

lanjut dunia yang mencapai 1.2 milyar di

tahun 2025,8 penyakit Alzheimer diidap oleh

setidaknya 5% populasi. Penyebab demensia

lainnya meliputi gangguan vaskuler (10-30%),

alkoholik, gangguan metabolik, infeksi otak,

trauma otak, anoksi dan lain-lain.9

BEBAN PELAYANAN LANJUT USIA

Beberapa studi di negara maju menunjukkan

bahwa peningkatan penduduk lanjut

usia akan meningkatkan kebutuhan dan

pembiayaan berkaitan dengan kebutuhan

mereka, termasuk kebutuhan pelayanan

kesehatan dan biaya yang berkaitan dengan

pelayanan sosial dan masyarakat.10 Data

Bank Dunia menunjukkan bahwa seiring

ABSTRAK

Meningkatnya jumlah lanjut usia di dunia membawa beberapa masalah kesehatan masyarakat, antara lain yang dikaitkan dengan kemunduran

fungsi kognitif. Kemunduran fungsi kognitif tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, baik yang tidak bisa dihindari, seperti usia dan

gender, juga beberapa kondisi fi sik atau penyakit yang dapat dikendalikan. Pemahaman atas faktor-faktor risiko tersebut dapat membantu

mengurangi risiko kemunduran fungsi kognitif.

Kata kunci: lanjut usia, kondisi fi sik, kemunduran fungsi kognitif

ABSTRACT

The increase of old age population brings additional burden to community, particularly problems due to cognitive decline. Cognitive decline is

infl uenced by many risk factors; some risk factors are inherent such as aging and gender, but many conditions and diseases can be controlled.

The understanding about these risk factors can help reduces the risk of cognitive decline. Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Some Physical

Conditions and Diseases as Risk Factors for Cognitive Decline.

Key words: old age, physical condition, cognitive decline

Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan Faktor Risiko Gangguan Fungsi Kognitif

Budi Riyanto WreksoatmodjoBagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta, Indonesia

Alamat korespondensi email: [email protected]

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201426

TINJAUAN PUSTAKA

dengan meningkatnya pendapatan negara,

biaya perawatan demensia akan meningkat

terutama di bidang asuhan informal berupa

pelayanan pengasuhan dan bantuan

pengawasan aktivitas para lanjut usia (tabel

1).

Peningkatan biaya tersebut juga terlihat

jika dihitung berdasarkan biaya perorang

penderita demensia; terutama di bidang

pelayanan sosial dan informal (tabel 2). Yang

termasuk dalam informal care ialah bantuan

untuk aktivitas pribadi sehari-hari seperti

mandi, berpakaian, makan, dan bantuan

untuk bepergian, mengurus keuangan dan

sebagainya yang dilakukan oleh keluarga

tanpa dibayar (unpaid care provided by family

and others). Secara umum dapat dikatakan

bahwa makin tinggi pendapatan rata-rata

suatu negara, biaya pelayanan para lanjut usia

akan makin meningkat, terutama di sektor

pelayanan sosial dan informal.

Mengingat besarnya masalah dan beban

masyarakat akibat gangguan kognitif lanjut

usia, upaya pencegahan akan menghasilkan

dampak besar terhadap penghematan

sumberdaya masyarakat. Upaya tersebut

antara lain dapat melalui pengenalan faktor

risiko yang dapat dicegah. Faktor-faktor risiko

penurunan fungsi kognitif tersebut bisa

berasal dari faktor genetik (gen APOE, PS),

usia, faktor penyakit/kondisi kesehatan seperti

hipertensi, DM, defi siensi, maupun faktor

lingkungan tempat tinggal.11

Selanjutnya akan dibahas beberapa kondisi

fi sik dan penyakit yang merupakan faktor

risiko gangguan kognitif.

FAKTOR RISIKO GANGGUAN KOGNITIF

1. USIA

Dapat dipahami jika angka kejadian demensia

meningkat sesuai dengan pertambahan

usia; peningkatannya sekitar dua kali lipat

setiap pertambahan usia 5 tahun.12 Suatu

meta analisis menghasilkan angka insidensi

demensia sedang-berat di AS sebesar 2.4, 5.0,

10.5, 17.7 dan 27.5 per 1000 person-years pada

kelompok usia berturut-turut 65-69, 70-74, 75-

79, 80-84 dan 85-89 tahun. Untuk demensia

Alzheimer, angkanya berturut-turut 1.6, 3.5,

7.8, 14.8 dan 26.0 per 1000 person-years. Angka

tersebut akan dua-tiga kali lipat jika kasus-kasus

ringan juga dihitung.13 Penelitian LEILA75+ di

Jerman menghasilkan annual incidence rate

demensia antara 45.8–47.4 per 1000 person-

years.14 Studi EURODEM dari 8 negara Eropa

menghasilkan prevalensi demensia mulai

dari 0.4% pada pria dan perempuan usia 60-

64 tahun sampai 22.1% pada pria dan 30.8%

pada wanita berusia lebih dari 90 tahun.7

2. GENDER

Tidak terdapat perbedaan insidensi demensia

akibat semua penyebab antara laki-laki dan

perempuan.13 Beberapa studi besar tidak

menemukan perbedaan insiden demensia

Alzheimer maupun demensia vaskuler

di kalangan laki-laki dan perempuan.15-6

Meskipun demikian, dua meta analisis

menyimpulkan bahwa perempuan lebih

cenderung menderita demensia Alzheimer,

khususnya di usia sangat lanjut. Asosiasi ini

menetap sekalipun dikoreksi mengingat

perempuan mempunyai harapan hidup lebih

panjang.12,17 Sebaliknya laki-laki cenderung

lebih berisiko menderita demensia vaskuler

dibandingkan perempuan, terutama di usia

lebih muda.12 Hal ini dapat karena ada faktor

risiko seperti penyakit kardiovaskuler yang

lebih sering dijumpai di kalangan laki-laki.

3. RAS

Beberapa studi di AS menunjukkan bahwa

insiden demensia dan Alzheimer kira-kira dua

kali lebih tinggi di kalangan Afrika-amerika

dan Hispanik dibandingkan dengan kulit-

putih.18-19 Prevalensi demensia dan Alzhemier

agaknya lebih rendah di negara-negara

Asia dibandingkan dengan di AS,12,20 selain

itu prevelensi demensia di kalangan orang

Jepang di Jepang lebih rendah daripada

di kalangan Jepang-Amerika yang tinggal

di Hawaii.21 Penelitian di Singapura yang

sebagian besar penduduknya etnis Cina,

mendapatkan prevalensi demensia sebesar

1.26%, etnis Melayu dua kali lebih berisiko

Alzheimer dibandingkan dengan etnis

Cina, sedangkan etnis India dua kali lebih

berisiko Alzheimer dan demensia vaskuler

dibandingkan dengan etnis Cina.22 Perbedaan

ini dapat lebih dipengaruhi oleh faktor

lingkungan daripada oleh faktor genetik;

diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari

faktor utama penyebab perbedaan tersebut.13

4. GENETIK

Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyakit

genetis heterogen; dikaitkan dengan satu

susceptibility (risk) gene dan tiga determinative

(disease) genes.23 Susceptibility (risk) gene yang

diketahui ialah alel apolipoprotein Eε4 (APOE

ε4) di khromosom 19 pada q13.2.24 meskipun

Tabel 1 Biaya Perawatan Lanjut Usia di Berbagai Negara (billionUS$)7

Tabel 2 Biaya perawatan penderita demensia di Negara-negara berdasarkan klasifi kasi Bank Dunia (US$)7

Ket.: Indonesia tergolong dalam kelompok lower middle income countries dengan GNP US$ 2050 (2009) (http://data.

worldbank.org/country/Indonesia).

27CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

adanya alel tersebut di individu asimtomatik

tidak memprediksi AD di kemudian hari.25 Ada

satu jenis penyakit Alzheimer early-onset yang

sangat jarang; jenis yang diturunkan secara

autosomal dominan ini dikaitkan dengan

mutasi di khromosom 1 (gen presenilin 2

–PS2) atau di khromosom 14 (gen presenilin

1 – PS1), atau lebih jarang lagi, di khromosom

21.23

5. TEKANAN DARAH

Tekanan darah tinggi di usia pertengahan

dikaitkan dengan mild cognitive impairment26

dan peningkatan risiko demensia;27 sebaliknya

hipertensi di usia lanjut diasosiasikan dengan

penurunan risiko demensia.28 Selain itu

telah diamati bahwa tekanan darah mulai

turun sekitar 3 tahun sebelum demensia

didiagnosis29 dan terus menurun pada

penderita AD.30 Dari data ini bisa ditafsirkan

bahwa tekanan darah tinggi di usia

pertengahan meningkatkan risiko demensia

di kemudian hari, sedangkan rendahnya

tekanan darah di usia lanjut dikaitkan dengan

proses penuaan dan neuropatologi yang

menyertainya.31 Perbedaan risiko tersebut

dapat karena tingginya tekanan sistolik

di usia pertengahan akan meningkatkan

risiko aterosklerosis,32 meningkatkan

jumlah lesi iskemik substansia alba,33 juga

meningkatkan jumlah plak neuritik dan

tangles di neokorteks dan hipokampus34

serta meningkatkan atrofi hipokampus dan

amigdala.35 Masing-masing kelainan tersebut

dapat berpengaruh negatif terhadap

fungsi kognitif. Sebaliknya, rendahnya

tekanan darah dapat diasosiasikan

dengan peningkatan risiko gangguan

kognitif dan demensia karena perubahan

neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.36

6. PAYAH JANTUNG

Payah jantung di kalangan usia lanjut dikaitkan

dengan gangguan kognitif; skor MMSE lebih

rendah dikaitkan dengan disfungsi ventrikel

kiri yang lebih berat;37 selain itu di kalangan

usia lanjut berpenyakit jantung, mereka

yang menderita payah jantung mempunyai

fungsi kognitif lebih rendah.38 Riwayat payah

jantung dikaitkan dengan peningkatan risiko

demensia, termasuk demensia Alzheimer39

dan CIND (cognitive impairment no dementia).40

Kaitan ini bisa disebabkan oleh adanya

faktor risiko bersama seperti aterosklerosis,

hipertensi, diabetes melitus,41 atau karena

hipoperfusi serebral.42

7. ARITMI JANTUNG

Kejadian fi brilasi atrium dikaitkan dengan

gangguan fungsi kognitif maupun demensia,

terutama di kalangan perempuan dan usia

<75 tahun;43 fi brilasi atrium permanen pada

usia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE

yang lebih rendah, mungkin disebabkan

oleh lesi iskemik akibat mikroemboli; tetapi

fi brilasi atrium sering disertai dengan payah

jantung yang menurunkan cardiac output

dan penyakit lain seperti diabetes melitus

yang juga merupakan faktor risiko gangguan

kognitif.44

8. DIABETES MELITUS

Diabetes melitus di usia pertengahan

meningkatkan risiko mild cognitive

impairment,45 semua jenis demensia46-8 dan

demensia vaskuler,49 meskipun penemuan

Curb dkk (1999) tidak menyokong.50

Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa

peningkatan risiko dipengaruhi oleh onset

yang lebih dini, lama dan beratnya diabetes.51

Manfaat kontrol gula darah terhadap risiko

demensia masih belum dapat dipastikan.

Studi observasional mendapatkan para

diabetik yang diobati lebih sedikit yang turun

fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang

tidak diobati.52

Mekanisme hubungan diabetes melitus

dengan demensia belum diketahui pasti;

agaknya melibatkan beberapa proses yang

saling berkaitan: proses vaskular, metabolik

dan proses oksidatif/infl amasi.53 Diabetes

menyebabkan gangguan sistem pembuluh

darah, termasuk di otak; gangguan ini bisa

menyebabkan iskemi menghasilkan lesi

subkortikal di substansia alba, silent infarcts,

dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering

dan berat di kalangan penderita diabetes.54

Diabetes lebih dikaitkan dengan risiko

demensia vaskuler dibandingkan dengan

demensia Alzheimer.55 Metabolisme Abeta56

dan tau-protein57 yang membentuk plak

dan kekusutan neuron di otak juga dapat

dipengaruhi oleh kadar insulin.

9. KADAR LIPID DAN KOLESTEROL

Kaitan kolesterol dengan demensia telah

banyak diteliti, tetapi hasilnya masih belum

konsisten. Serupa dengan tekanan darah,

kadar kolesterol tinggi di usia pertengahan

dihubungkan dengan peningkatan risiko

gangguan kognitif,58-9 peningkatan risiko

demensia46,60 dan peningkatan risiko penyakit

Alzheimer;61 sedangkan kadar kolesterol

tinggi di usia lanjut tidak berpengaruh62 atau

bahkan diasosiasikan dengan penurunan

risiko demensia.63 Penelitian menunjukkan

bahwa kadar kolesterol mulai turun sebelum

timbul gejala demensia; penurunan lebih

besar antara usia pertengahan dan usia lanjut

dikaitkan dengan lebih beratnya gangguan

kognitif di usia lanjut.64 Tingginya kadar HDL

kolesterol di usia pertengahan diasosiasikan

dengan nilai neuropsikometrik yang lebih

baik, sedangkan kadar trigliserida tidak

berpengaruh.65 Mungkin terdapat hubungan

nonlinear antara fungsi kognitif dengan

kadar kholesterol66 atau perbedaan kekuatan

asosiasi pada usia yang berbeda.67

Peranan kolesterol dalam patologi demensia

bisa berkaitan dengan alel APOEe4.

Dibandingkan dengan alel e2 dan e3, e4

dihubungkan dengan transpor dan clearance

kolesterol yang lebih buruk68 yang bisa

meningkatkan kadar kolesterol di usia lanjut.

Tingginya kadar kolesterol bisa menyebabkan

aterosklerosis yang mengurangi aliran darah

ke otak dan mempercepat neurodegenerasi69

melalui pengaruhnya terhadap metabolisme

beta amiloid (Abeta), protein pembentuk plak

yang ditemukan berlebihan di otak pasien

Alzheimer.70

Penurunan risiko demensia di kalangan

lanjut usia dengan kolesterol tinggi mungkin

berhubungan dengan peran kolesterol pada

plastisitas neuron71 atau sifat antioksidan

oksisterolnya,72 atau pada perlindungannya

terhadap general wasting dan hilangnya

massa tubuh yang dikaitkan dengan

demensia Alzheimer.73 Studi potonglintang

menunjukkan rendahnya penggunaan statin

di kalangan demensia dibandingkan dengan

di kalangan nondemensia, tetapi hasil ini

dapat disebabkan oleh perbedaan pola

preskripsi.74

10. FUNGSI TIROID

Perubahan fungsi tiroid merupakan bagian

dari perubahan yang umum diamati pada

usia lanjut.75 Hipertiroid subklinis diasosiasikan

dengan penurunan fungsi kognitif;76 tetapi

peranan disfungsi tiroid subklinis terhadap

status fungsional para usia lanjut masih

diperdebatkan.77 Mekanisme hubungan

tersebut masih belum diketahui,76 dapat

melalui mekanisme autoimunitas mengingat

kelainan tiroid autoimun juga lebih sering

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201428

TINJAUAN PUSTAKA

B12.88 Analisis Cochrane juga menyimpulkan

bahwa suplementasi B12, dibandingkan

dengan plasebo, tidak meningkatkan fungsi

kognitif di kalangan demensia yang kadar B12

serumnya rendah.89 Juga, studi sistematik atas

14 penelitian suplementasi folat, B6 dan B12

tidak menghasilkan efek menguntungkan

di kalangan lanjut usia normal90 maupun

di kalangan yang sudah terganggu fungsi

luhurnya.86,90 Studi lanjutan hendaknya

menggunakan populasi yang lebih jelas

diagnosisnya dan menggunakan pengukuran

yang baku; selain itu juga dapat diperkuat

dengan studi pencitraan.90 Studi defi siensi B12

di usia muda hanya melaporkan komplikasi

jangka pendek seperti neuropati dan sklerosis

medula.91

Mengingat radikal bebas dan kerusakan

oksidatif juga diduga berperan pada kelainan

otak yang berhubungan dengan usia,92-3

asupan antioksidan (misalnya vitamin C dan E)

diharapkan bisa mengurangi risiko gangguan

kognitif dan demensia; tetapi laporannya

masih saling bertentangan. Vitamin C dan

E dari diet dan suplemen diasosiasikan

dengan penurunan risiko AD;94-5 konsumsi

buah dan sayuran di usia pertengahan juga

menurunkan risiko AD dan demensia.31

Tetapi ada studi yang tidak menemukan

asosiasi antara penggunaan zat antioksidan

di usia pertengahan96 maupun di usia lanjut97

dengan kejadian demensia. Asupan lebih

tinggi polifenol dari sari buah dan sayuran98

dan fl avonoid dari buah, sayuran, anggur

merah dan teh99 diasosiasikan dengan

penurunan risiko demensia dan Alzheimer.

Coklat dan kakao juga mengandung

fl avonoid tinggi telah terbukti memperbaiki

kesehatan kardiovaskuler melalui mekanisme

menurunkan tekanan darah,100-1 meningkatkan

sensitivitas insulin,101 menurunkan LDL

dan kolesterol,100-2 menurunkan reaktivitas

platelet,102 memperbaiki fungsi endotel103

dan menurunkan infl amasi102-3 yang potensiil

mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi

kognitif.

Mekanisme perlindungan antioksidan

terhadap penurunan kognitif dan demensia

dapat berupa: 1) meningkatkan cadangan

otak, 2) mengurangi kejadian penyakit

serebrovaskuler, 3) mengurangi stres oksidatif

dan infl amasi yang berkontribusi pada proses

penuaan dan proses patologi yang dikaitkan

dengan demensia.93

12.2. Makronutrien

Makronutrien yang dikaitkan dengan

demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara

asupan lemak di usia pertengahan berasal dari

olesan roti dan susu dengan risiko demensia

dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian;104

asupan moderat (dibandingkan dengan

asupan rendah) lemak total dan lemak takjenuh

(misal mentega, margarin) diasosiasikan

dengan penurunan risiko demensia dan AD,

sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari

olesan roti diasosiasikan dengan peningkatan

risiko.31

Orang yang mengkonsumsi ikan sedikitnya

1 kali/minggu 60% lebih kurang berisiko

menderita Alzheimer dibandingkan

dengan mereka yang tak pernah/jarang

mengkonsumsi ikan.97 Satu studi acak

terkontrol atas pengaruh minyak ikan

(sumber asam lemak tak jenuh termasuk

EPA dan DHA) terhadap fungsi kognitif tidak

menghasilkan efek pada usia lanjut, tetapi

ada sedikit efek untuk beberapa aspek atensi

di antara APOEe4 carrier dan pria.105

Peranan lemak pada fungsi kognitif dan de-

mensia diduga melalui kolesterol, sedangkan

studi di tikus menunjukkan kemungkinan pe-

ranannya dalam deposisi amiloid.106

Konsumsi kafein lebih tinggi dilaporkan

mengurangi risiko penurunan kognitif

di kalangan perempuan,107 menurunkan

risiko demensia;108 juga dikaitkan dengan

penurunan risiko demensia Alzheimer pada

studi retrospektif yang mengukur konsumsi

kafein selama 20 tahun sebelum penilaian.109

Efek menguntungkan kafein mungkin melalui

mekanisme penurunan produksi Abeta110

atau dengan meningkatkan kadar protein

otak yang penting dalam proses mengingat

dan belajar seperti BDNF.111

12.3. Pola diet

Efek diet terhadap kognisi ialah secara

keseluruhan dan interaksi antar zat nutrien

atau pola diet – tidak berasal dari masing-

masing nutrien dan/atau suplemen secara

tersendiri.112 Salah satu pola diet yang

diasosiasikan dengan penurunan risiko

AD ialah diet Mediterania yang kaya buah,

sayuran, wholegrain dan ikan.113

13. ALKOHOL

Kebanyakan studi terdahulu terpusat

dijumpai di kalangan penderita Alzheimer.78

Selain itu peningkatan kadar hormon tiroid

cenderung meningkatkan stres oksidatif79 dan

mencetuskan apoptosis yang dapat merusak

dan menyebabkan kematian neuron.80

11. OBESITAS

Mengingat obesitas erat hubungannya

dengan hipertensi, kolesterol tinggi, dan

diabetes melitus, beberapa studi mencoba

mencari hubungannya dengan demensia.

Hasilnya tidak konsisten - studi pada kelompok

usia pertengahan umumnya menunjukkan

peningkatan risiko;46,81 sebaliknya, studi di

usia lanjut menunjukkan penurunan risiko

AD.82 Mungkin ada situasi lain dengan asosiasi

nonlinear – adipositas di usia pertengahan

meningkatkan risiko, kemudian terdapat

perubahan patofi siologi berkaitan dengan

demensia yang (juga) menurunkan indeks

massa tubuh.

Mekanisme yang paling jelas ialah melalui

peningkatan risiko hipertensi, diabetes dan

hiperkolesterolemi;83 tetapi perbaikan faktor-

faktor tersebut ternyata tidak mengurangi

asiosiasinya,46 menandakan kemungkinan

obesitas secara independen berisiko

demensia. Mekanismenya bisa akibat efek

jaringan adiposa yang mensekresi beberapa

sitokin, hormon dan faktor pertumbuhan yang

menembus sawar darah otak83 mengingat

jaringan adiposa diketahui merupakan

jaringan endokrin aktif.84 Disregulasi hormon

leptin bersamaan dengan proses penuaan

dapat secara langsung mempengaruhi

degenerasi Alzheimer dengan meningkatkan

deposisi Abeta di jaringan otak.85

12. NUTRISI

12.1. Mikronutrien

Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat

mengurangi risiko gangguan kognitif dan

demensia karena mengurangi peningkatan

kadar homosistein plasma, homosistein

diketahui dapat menyebabkan perubahan

patologi melalui mekanisme vaskuler dan

neurotoksik langsung.86 Suplementasi

B12 hanya menguntungkan kalangan

defi siensi B12, yang lebih sering ditemukan

di kelompok lanjut usia karena gangguan

absorbsi akibat kondisi gastrik dan masalah

pencernaan lain.87 Tetapi Kwok dkk (2008)

mendapatkan bahwa suplementasi B12

selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi

kognitif di kalangan demensia yang defi siensi

29CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

pada efek negatif konsumsi alkohol

berlebihan; tetapi konsumsi alkohol ringan

dan moderat – dibandingkan dengan

abstinensi dan konsumsi alkohol berat –

dapat menguntungkan kesehatan kognitif,

termasuk lebih kecilnya penurunan beberapa

domain kognitif.114 Suatu meta analisis atas

asosiasi prospektif penggunaan alkohol

dengan penurunan kognitif dan demensia

(termasuk Alzheimer dan demensia vaskuler)

menyimpulkan bahwa konsumsi ringan

sampai moderat diasosiasikan dengan

penurunan risiko demensia; risiko demensia

vaskuler dan penurunan kognitif juga

menurun tetapi tidak bermakna.115 Studi

konsumsi alkohol di usia pertengahan juga

menunjukkan efek protektif konsumsi alkohol

moderat. Lebih lanjut, ditemukan hubungan

U-shape dan modifi kasi efek oleh ApoEe4 alel

di populasi Finlandia selama 23 tahun follow

up.116 Mehlig dkk (2008) melaporkan bahwa

konsumsi anggur (wine) yang lebih sering,

tetapi bukan spirit dan bir, di usia pertengahan

dikaitkan dengan insiden demensia yang

lebih rendah 34 tahun kemudian di kalangan

perempuan Swedia. Studi ini117 dan lainnya118

mendapatkan bahwa keuntungan konsumsi

alkohol moderat lebih besar atau terbatas di

kalangan perempuan, tetapi studi lain tidak

menemukan hal tersebut.119

Berlawanan dengan efek buruknya pada

pemakaian akut dan kronis, konsumsi alkohol

moderat agaknya menguntungkan kesehatan.

Mekanismenya mungkin melalui penurunan

beberapa faktor risiko kardiovaskuler120 seperti

meningkatkan HDL kolesterol, memperbaiki

sensitivitas insulin dan menurunkan reaksi

infl amasi, tekanan darah, faktor pembekuan

darah, homosistein plasma, hiperintensitas

massa alba dan infark subklinis. Mekanisme

potensial lainnya termasuk meningkatnya

pergaulan sosial121 yang dapat meningkatkan

cadangan otak, efek antioksidan dan fl avonoid

antiamiloidogenik yang terkandung dalam

anggur merah122 dan upregulasi asetilkholin

hipokampus.123

14. MEROKOK

Studi awal hubungan merokok dengan risiko

demensia menunjukkan efek protektif, tetapi

studi longitudinal mendapatkan bahwa

efek tersebut disebabkan oleh survivor

bias124 - lebih sedikit kalangan perokok yang

mencapai usia berisiko demensia. Pada studi

atas pria Jepang-Amerika, risiko gangguan

kognitif lebih besar di kalangan perokok

dan mantan perokok dibandingkan dengan

yang tak pernah merokok,125 dan risiko AD

lebih besar di kalangan perokok sedang

dan berat dibandingkan dengan perokok

ringan.126 Metaanalisis asosiasi merokok

dengan demensia dan penurunan kognitif

di studi prospektif lain menunjukkan bahwa

perokok aktif meningkat risiko demensia dan

penurunan kognitifnya dibandingkan dengan

yang tak pernah merokok; perbedaan risiko

tidak pernah merokok dan mantan perokok

masih belum jelas karena masalah variasi di

antara studi.67

Asupan nikotin – zat adiktif utama dalam

rokok – dapat menguntungkan fungsi

kognitif, terutama atensi, belajar dan daya

ingat (memori) dengan memfasilitasi

pelepasan asetilkholin, glutamat, dopamin,

norepinefrin, serotonin dan GABA,127 tetapi

terpapar asap tembakau jangka panjang

terbukti meningkatkan risiko gangguan

kognitif dan demensia di kemudian hari,

termasuk peningkatan infark otak silent,

intensitas massa alba, kematian neuron dan

atrofi subkortikal. Merokok juga menurunkan

kadar antioksidan penangkap radikal bebas

dalam sirkulasi, meningkatkan respons

infl amasi dan mengarah ke aterosklerosis

yang mempengaruhi permeabilitas

sawar darah-otak, aliran darah otak dan

metabolisme otak.128 Merokok juga langsung

mempengaruhi patologi demensia dengan

meningkatkan jumlah plak.126

15. TRAUMA

Trauma kepala secara langsung mencederai

struktur dan fungsi otak, dan dapat meng-

akibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan

tingkah laku.129 Studi kohort mendapatkan

bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala

meningkatkan risiko penurunan fungsi

kognitif,130 risiko demensia dan AD131

sesuai dengan beratnya cedera.131-2 Riwayat

cedera kepala disertai kesadaran menurun

meningkatkan risiko AD 10 kali lipat, sedang-

kan jika tanpa penurunan kesadaran risikonya

3 kali lipat;131 selain itu mulatimbul Alzheimer

lebih dini jika ada riwayat hilang kesadaran

lebih dari 5 menit.133 Sebuah studi kasus-

kontrol juga menunjukkan risiko Alzheimer

meningkat dalam 10 tahun pertama setelah

cedera kepala.134 Mekanismenya dianggap me-

lalui kerusakan sawar darah-otak, peningkat-

an stres oksidatif dan hilangnya neuron.135

RINGKASAN

Makin besarnya jumlah lanjut usia di dunia

membawa beberapa masalah kesehatan

masyarakat, terutama yang dikaitkan dengan

kemunduran fungsi kognitif.

Kemunduran fungsi kognitif dilatarbelakangi

oleh berbagai faktor risiko, baik yang tak

bisa dihindari seperti usia dan gender, juga

beberapa kondisi fi sik atau penyakit; kondisi

– kondisi ini perlu diperbaiki agar dapat

mengurangi beban masyarakat maupun

keluarga akibat gangguan fungsi kognitif.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Active Ageing: a policy framework. WHO, Geneva, 2002.

2. BPS. Statistik Indonesia 2009. Jakarta. 2009,

3. Komisi Nasional Lanjut Usia. Profi l Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta: Komnas Lansia, 2010.

4. Boedhi-Darmojo, R, Gerontologi Sosial. Dalam: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 4. Martono HH, Pranarka K. (eds). Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. pp. 14-34.

5. Kusumoputro S, Sidiarto L. Otak menua dan Alzhemier stadium ringan. Neurona 2001; 18(3): 4-8.

6. Assosiasi Alzheimer Indonesia Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. ed. 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, Jakarta. 2003,

7. Alzheimer’s Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive Summary. London, 2010

8. WHO. Active Ageing: a policy framework. Geneva:WHO, 2002.

9. Dahlan P. Defi nisi dan diagnosa banding sindrom demensia. Permasalahan Kontinuum Forgetfulness–Demensia (Alzhemier). Perdossi, Jakarta. 1999,

10. Rahardjo TBW, Hartono T, Dewi VP, Hoogervorst E, Arifi n EN. Facing the geriatric wave in Indonesia. Financial conditions and social support. Dalam Arifi n EN, Ananta A. (eds.) Older Persons

in Southeast Asia. An Emerging Asset, ISEAS, Singapore. 2009,

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201430

TINJAUAN PUSTAKA

11. Patterson C, Feightner JW, Garcia A, Hsiung GY, MacKnight C, Sadovnick AD. Diagnosis and treatment of dementia: 1. risk assessment and primary prevention of Alzheimer disease. CMAJ

2008; 178(5): 548-56.

12. Jorm AF, Jolley D. The incidence of dementia: A Meta-Analysis. Neurology 1998; 51(3): 728-33.

13. Yaff ee K, Barnes DE. Epidemiology and Risk Factors. The Behavioral Neurology of Dementia. Cambridge Medicine, Cambridge, 2009

14. Riedel-Heller SG, Busse A, Aurich C, Matschinger H, Angermeyer MC. Incidence of dementia according to DSM-III-R and ICD-10: Results of the Leipzig Longitudinal Study of the Aged

(LEILA75+), Part 2. Br. J. Psychiatr. 2001;179: 255-260.

15. Rocca WA, Cha RH, Waring SC, Kokmen E. Incidence of dementia and Alzheimer‘s disease. A reanalysis of data from Rochester, Minnesota, 1975-1984. Am J Epidemiol. 1998; 148(1): 51-

62.

16. Hébert R, Brayne C, Spiegelhalter D. Factors associated with functional decline and improvement in a very elderly community-dwelling population. Am J Epidemiol.1999; 150(5): 501-

10.

17. Gao S, Hendrie HC, Hall KS, Hui S. The relationships between age, sex, and the incidence of dementia and Alzheimer disease: a meta-analysis. Arch Gen Psychiatry 1998;55(9): 809-15.

18. Folstein MF, Bassett SS, Anthony JC, Romanoski AJ, Nestadt GR. Dementia: Case ascertainment in a community survey. J Gerontol. 1991;46(4): 132-8.

19. Tang MX, Cross P, Andrews H, et al. Incidence of AD in African-Americans, Caribbean Hispanics, and Caucasians in Northern Manhattan. Neurology, 2001; 56(1): 49--56.

20. Manly JJ, Jacobs DM, Mayeux R. Alzheimer disease among diff erent ethnic and racial groups. Dalam: Miller BL, Boeve, BF (eds.). The Behavioral Neurology of Dementia, Cambridge Univer-

sity Press. 2009.

21. White L, Petrovitch H, Ross GW, et al. Prevalence of dementia in older Japanese-American men in Hawaii: The Honolulu-Asia Aging Study. JAMA. 1996; 276(12): 955-60.

22. Sahadevan S, Saw SM, Gao W, et al. Ethnic diff erences in Singapore’s dementia prevalence: the stroke, Parkinson’s disease, epilepsy, and dementia in Singapore study. J Am Geriatr Soc.

2008;56(11): 2061–8.

23. Post SG, Whitehouse PJ (eds.). Genetic testing for Alzheimer disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press, 1998, pp. 37-64

24. Barber R, Gholkar A, Scheltens P, Ballard C, McKeith IG, Morris CM, O‘Brien JT. Apolipoprotein E ε4 allele, temporal lobe atrophy, and white matter lesion in late-life dementia. Arch.Neurol.

1999; 56(8): 961-5.

25. Roses AD A New Paradigm for clinical evaluation of dementia: Alzheimer disease and Apolipoprotein e genotypes. Dalam: Post SG, Whitehouse, PJ (eds.) Genetic testing for Alzheimer

disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press,1998,pp. 37-64

26. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life

Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.

27. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaff e K. Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life. Neurology.2005; 64(2): 277-81.

28. Guo Z, Viitanen M, Fratiglioni L, Winblad B. Low blood pressure and dementia in elderly people: The Kungsholmen Project. BMJ 1996;312(7034): 805-8.

29. Qiu C, Winblad B, Fratiglioni L The age-dependent relation of blood pressure to cognitive function and dementia. Lancet Neurol. 2005; 4(8): 487-99.

30. Hanon O, Latour F, Seux ML, Lenoir H, Forette F, Rigaud AS, REAL.FR Group. Evolution of blood pressure in patients with Alzheimer‘s disease: a one year survey of a French cohort (REAL.

FR). J Nutr Health Aging 2005;9(2): 106-111

31. HughesTF, Ganguli M. Modifi able midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev,. 2009; 5(2):73–92.

32. Padwal R, Straus SE, McAlister FA. Cardiovascular risk factors and their eff ects on the decision to treat hypertension: evidence based review. BMJ 2001;322(7292): 977–80.

33. Havlik RJ, Foley DJ, Sayer B, Masaki K, White L, Launer LJ. Variability in midlife systolic blood pressure is related to late-life brain white matter lesions: The Honolulu-Asia aging study. Stroke

2002; 33(1): 26-30.

34. Petrovitch H, White LR, Izmirilian G, et al.‘Midlife blood pressure and neuritic plaques, neurofi brillary tangles, and brain weight at death: the HAAS. Honolulu-Asia aging study. Neurobiol

Aging. 2000;21(1): 57-62.

35. den Heijer T, Launer LJ, Prins ND et al. Association between blood pressure, white matter lesions, and atrophy of the medial temporal lobe. Neurology 2005; 64(2): 263-7.

36. Aliev G, Smith MA, Obrenovich ME, de la Torre JC, Perry G. Role of vascular hypoperfusion-induced oxidative stress and mitochondria failure in the pathogenesis of Alzheimer disease.

Neurotox Res. 2003; 5(7): 491-504.

37. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS. Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007;2(2):

209–18.

38. Trojano L, Antonelli, Incalzi R, Acanfora D, Picone C, Mecocci P, Rengo F & Congestive Heart Failure Italian Study Investigators. Cognitive impairment: a key feature of congestive heart

failure in the elderly. J Neurol. 2003;250(12):1456-63.

39. Qiu C, Winblad B, Marengoni A, Klarin I, Fastbom J, Fratiglioni L Heart failure and risk of dementia and Alzheimer disease: a population-based cohort study. Arch Intern Med. 2006;166(9):

1003-8.

40. Di Carlo A, Baldereschi M, Amaducci L, Maggi S, Grigoletto F, Scarlato G, Inzitari D. Cognitive impairment without dementia in older people: prevalence, vascular risk factors, impact on

disability. The Italian Longitudinal Study on Aging. J Am Geriatr Soc. 2000;48(7): 775-82.

41. Cukierman T, Gerstein HC, Williamson JD. Cognitive decline and dementia in diabetes--systematic overview of prospective observational studies. Diabetologia 2005; 48(12): 2460-9.

42. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS.Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007; 2(2):

209–18.

43. Ott A, Breteler MM, de Bruyne MC, van Harskamp F, Grobbee DE, Hofman A. Atrial fi brillation and dementia in a population-based study. The Rotterdam Study. Stroke 1997;(28) 2: 316-21.

44. Wozakowska-Kapłon B, Opolski G, Kosior D, et al. Cognitive disorders in elderly patients with permanent atrial fi brillation. Kardiol Pol 2009;67(5): 487-93.

45. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of diabetes to mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2007;64(4): 570-5.

46. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaff e K.‘Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life., Neurology.2005; 64(2): 277-81.

47. Xu W, Qiu C, Gatz M, Pedersen NL, Johansson B, Fratiglioni L. Mid- and late-life diabetes in relation to the risk of dementia a population-based twin study. Diabetes 2009; 58(1): 71–7.

48. Schnaider-Beeri M, Goldbourt U, Silverman JM, et al. Diabetes mellitus in midlife and the risk of dementia three decades later. Neurology. 2004; 63(10): 1902--7.

31CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

49. Yamada M, Kasagi F, Sasaki H, Masunari N, Mimori Y, Suzuki G. Association between dementia and midlife risk factors: the radiation eff ects research foundation adult gealth study’ JAGS

2009;51(3): 410-414.

50. Curb JD, Rodriguez BL, Abbott RD, et al.‘Longitudinal association of vascular and alzheimer‘s dementias, diabetes, and glucose tolerance. Neurology 1999; 52(5): 971-5.

51. Roberts RO, Geda YE, Knopman DS, et al. ‘Association of duration and severity of diabetes mellitus with mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2008; 65(8):1066-73.

52. Wu JH, Haan MN, Liang J, Ghosh D, Gonzalez HM, Herman WH. Impact of antidiabetic medications on physical and cognitive functioning of older mexican americans with diabetes mel-

litus: a population-based cohort study. Ann Epidemiol. 2003;13(5): 369-76.

53. Haan MN. Therapy insight: Type 2 diabetes mellitus and the risk of late-onset alzheimer‘s disease. Nat Clin Pract Neurol. 2006; 2(3): 159--66.

54. Manschot SM, Biessels GJ, de Valk H, et al & Diabetic Encephalopathy Study Group. Metabolic and vascular determinants of impaired cognitive performance and abnormalities on brain

magnetic resonance imaging in patients with type 2 diabetes. Diabetologia 2007;50(11): 2388–2397.

55. Hassing LB, Johansson B, Nilsson SE, Berg S, Pedersen NL, Gatz M, McClearn G. Diabetes mellitus is a risk factor for vascular dementia, but not for Alzheimer‘s disease: a population-based

study of the oldest old. Int Psychogeriatr. 2002 Sep;14(3):239-48.

56. Gasparini L, Netzer WJ, Greengard P, Xu H. Does insulin dysfunction play a role in Alzheimer‘s disease? Trends Pharmacol Sci. 2002;23(6): 288-93.

57. de la Monte SM, Wands JR.Review of insulin and insulin-like growth factor expression, signaling, and malfunction in the central nervous system: relevance to Alzheimer‘s disease. J Al-

zheimers Dis. 2005; 7(1): 45-61.

58. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Midlife vascular risk factors and alzheimer‘s disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ 2001;322(7300): 1447–51.

59. Solomon A, Kåreholt I, Ngandu T, et al. Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007; 68(10): 751-6.

60. Panza F, D‘Introno A, Colacicco AM, et al. Lipid metabolism in cognitive decline and dementia., Brain Res Rev. 2006; 51(2): 275-92.

61. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life

Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.

62. Tan ZS, Seshadri S, Beiser A et al. Plasma total cholesterol level as a risk factor for alzheimer disease.the Framingham study. Arch Intern Med. 2003; 163(9): 1053-57.

63. Mielke MM, Zand, PP, Sjögren M, et al. High total cholesterol levels in late life associated with a reduced risk of dementia. Neuroepidemiology. 2000; 19(3): 141-8.

64. Solomon A, Kåreholt I, Ngandu T, et al.Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007;68(10): 751-6.

65. Postiglione A, Cortese C, Fischetti A et al. Plasma lipids and geriatric assessment in a very aged population of south Italy., Atherosclerosis.1989; 80(1): 63-8.

66. Zhang MY, Katzman R, Salmon D, et al. The prevalence of dementia and Alzheimer‘s disease in Shanghai, China: impact of age, gender, and education. Ann Neurol. 1990;27(4): 428-37.

67. Anstey KJ, von Sanden C, Salim A, O‘Kearney R. Smoking as a risk factor for dementia and cognitive decline: A meta-analysis of prospective studies. Am J Epidemiol. 2007;166(4): 367–78.

68. Mahley RW. Apolipoprotein E: Cholesterol transport protein with expanding role in cell biology. Science 1988; 240(4852): 622-30.

69. Launer LJ, White LR, Petrovitch H, Ross GW, Curb JD. Cholesterol and Neuropathologic Markers of AD: A Population-Based Autopsy Study. Neurology.2001;57(8): 1447-52.

70. Simons M, Keller P, De Strooper B, Beyreuther K, Dotti CG, Simons K.Cholesterol depletion inhibits the generation of b-amyloid in hippocampal neurons. Proc. Natl. Acad. Sci USA 1998;

95(11):. 6460–64.

71. Pfrieger FW. Cholesterol homeostasis and function in neurons of the central nervous system. Cell Mol Life Sci. 2003;60(6): 1158--71.

72. Smith LL.Another cholesterol hypothesis: cholesterol as antioxidant. Free Radic Biol Med. 1991;11(1): 47-61.

73. Nourhashémi F, Vellas B. Weight loss as a predictor of dementia and alzheimer’s disease? Expert Rev Neurotherapeutics, 2008;(5): 691-3.

74. Rodriguez EG, Dodge HH, Birzescu MA, Stoehr GP, Ganguli M. Use of lipid-lowering drugs in older adults with and without dementia: a community-based epidemiological study. J Am

Geriatr Soc.2002;50(11): 1852-6.

75. Mariotti S, Franceschi C, Cossarizza A, Pinchera A.The aging thyroid. Endocr Rev. 1995;16(6): 686-715.

76. Ceresini G, Lauretani F, Maggio M, Ceda GP, Morganti S, Usberti E, dkk. Thyroid function abnormailties and cognitive impairment in elderly people: results of the InChianti study. J.

Am.Geriatr.Soc. 2009;57(1):89-93

77. SurksMI, Ortiz E, Daniels GH, et al. Subclinical thyroid disease scientifi c reviewand guidelines for diagnosis and management. JAMA 2004; 291(2): 228-238.

78. Lopez OL, Rabin BS, Huff FJ, Rezek D, Reinmuth OM. Serum autoantibodies in patients with Alzheimer‘s disease and vascular dementia and in nondemented control subjects. Stroke

1992;23(8): 1078-1083.

79. Videla LA, Sir T, Wolff C. Increased lipid peroxidation in hyperthyroid patients: suppression by propylthiouracil treatment. Free Radic Res Commun. 1988; 5(1): 1-10.

80. Chan RS, Huey ED, Maecker HL et al.Endocrine modulators of necrotic neuron death. Brain Pathol. 1996;6(4): 481-91.

81. Kivipelto M, Ngandu T, Fratiglioni L, et al. Obesity and vascular risk factors at midlife and the risk of dementia and Alzheimer disease. Arch Neurol. 2005;62(10):1556-60.

82. Sturman MT, de Leon CF, Bienias JL, Morris MC, Wilson RS, Evans DA. Body mass index and cognitive decline in a biracial community population. Neurology. 2008; 70(5): 360-7.

83. Gustafson D, Rothenberg E, Blennow K, Steen B, Skoog I.An 18-year follow-up of overweight and risk of Alzheimer disease. Arch Intern Med. 2003;163(3): 1524-8.

84. Gustafson D. Adiposity indices and dementia. Lancet Neurol. 2006;5(8): 713-20.

85. Fewlass DC, Noboa K, Pi-Sunyer FX, et al. Obesity-related leptin regulates Alzheimer’s abeta. The FASEB J. 2004;18(15): 1870-8

86. Aisen PS, Schneider LS, Sano M, et al.High-dose B vitamin supplementation and cognitive decline in alzheimer disease a randomized controlled trial. JAMA2008;300(15): 1774-83.

87. Carmel R. Cobalamin, the stomach, and aging. Am J Clin Nutr. 1997; 66(4): 750-9.

88. Kwok T, Lee J, Lam L, Woo J. Vitamin B(12) supplementation did not improve cognition but reduced delirium in demented patients with vitamin B(12) defi ciency. Arch Gerontol Geriatr.

2008; 46(3): 273-82.

89. Malouf R, Areosa Sastre A.Vitamin B12 for cognition. Cochrane Database Syst Rev. 2003, vol. 3.

90. Balk EM, Raman G, Tatsioni A, Chung M, Lau J,Rosenberg IH, Vitamin B6, B12, and folic acid supplementation and cognitive function. a systematic review of randomized trials. Arch Intern

Med. 2007;167(1): 21-30.

91. Maamar M, Tazi-Mezalek Z, Harmouche H, Ammouri W, Zahlane M, Adnaoui M, Aouni M, Mohattane A, Maaouni A. Neurological manifestations of vitamin B12 defi ciency: a retrospective

study of 26 cases]. Rev Med Interne. 2006 Jun;27(6):442-7. Epub 2006 Feb 28. French.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201432

TINJAUAN PUSTAKA

92. Peila R, White LR, Masaki K, Petrovitch H, Launer LJ. Reducing the risk of dementia: effi cacy of long-term treatment of hypertension stroke. 2006;37 (5): 1165-70.

93. Behl C. Alzheimer‘s disease and oxidative stress: implications for novel therapeutic approaches. Prog Neurobiol. 1999; 57(3): 301-23.

94. Engelhart MJ, Geerlings MI et al. Dietary Intake of Antioxidants and Risk of Alzheimer Disease’, JAMA 2002; 287(4): 3223-9.

95. Zandi PP, Anthony JC, Khachaturian AS, et al.Reduced risk of Alzheimer disease in users of antioxidant vitamin supplements: The Cache County Study. Arch Neurol. 2004; 61(1): 82-8.

96. Laurin D, Masaki KH, Foley DJ, White LR, Launer LJ. Midlife dietary intake of antioxidants and risk of late-life incident dementia. The Honolulu-Asia aging study’, Am J Epidemiol. 2004;159(10):

959–67.

97. Morris MC, Evans DA, Bienias JL, et al. Dietary intake of antioxidant nutrients and the risk of incident Alzheimer disease in a biracial community study. JAMA 2002;287(24): 3230-7.

98. Dai Q, Borenstein AR, Wu Y, Jackson JC, Larson EB. Fruit and vegetable juices and Alzheimer’s disease: the Kame project. Am J Med. 2006;119(9): 751–9.

99. Commenges D, Scotet V, Renaud S, et al. Intake of fl avonoids and risk of dementia. Eur. J. Epidemiol 2000; 16, (4): 357-63.

100. Allen, RR, Carson, L, Kwik-Uribe, C, Evans, EM & Erdman, JW Jr. 2008, ‘Daily Consumption of A Dark Chocolate Containing Flavanols and Added Sterol Esters Aff ects Cardiovascular Risk

Factors in A Normotensive Population with Elevated Cholesterol’, J. Nutr., vol. 138, no. 4, pp. 725–31.

101. Grassi D, Desideri G, Necozione S et al. Blood pressure is reduced and insulin sensitivity increased in glucose-intolerant, hypertensive subjects after 15 days of consuming high-polyphenol

dark chocolate. J. Nutr. 2008;138(9): 1671–1676.

102. Hamed MS, Gambert S, Bliden KP, et al. Dark chocolate eff ect on platelet activity, C-reactive protein and lipid profi le: A pilot study. South Med J. 2008;101(12): 1203-8.

103. Balzer J, Rassaf T, Heiss C, et al. Sustained benefi ts in vascular function through fl avanol-containing cocoa in medicated diabetic patients a double-masked, randomized, controlled trial. J

Am Coll Cardiol. 2008;51(22):2141-9.

104. Laitinen MH, Ngandu T, Rovio S, et al. Fat intake at midlife and risk of dementia and Alzheimer‘s disease: A population-based. Dement Geriatr Cogn Disord.2006;22(1): 99-107.

105. van de Rest O, Geleijnse JM, Kok FJ, et al.Eff ect of fi sh oil on cognitive performance in older subjects: a randomized, controlled trial. Neurology 2008; 71(6): 430--8.

106. Sparks DL, Scheff SW, Hunsaker JC 3rd, Liu H, Landers T, Gross DR. Induction of Alzheimer-like beta-amyloid immunoreactivity in the brains of rabbits with dietary cholesterol. Exp Neurol.

1994;126(1): 88-94.

107. Ritchie K, Carrière, I, de Mendonca, A, et al. The neuroprotective eff ects of caff eine: a prospective population study (the Three City Study). Neurology, 2007; 69(6): 536-45.

108. Lindsay J, Laurin D, Verreault R, et al.‘Risk factors for Alzheimer’s disease: a prospective analysis from the Canadian Study of Health and Aging. Am J Epidemiol. 2002;156(5): 445–53.

109. Maia L, de Mendonça A. Does caff eine intake protect from Alzheimer‘s disease? Eur J Neurol. 2002; 9(4): 377-82.

110. Arendash GW, Mori T, Cao C, et al. Caff eine reverses cognitive impairment and decreases brain amyloid-β levels in aged Alzheimer’s disease mice. J. Alzheimer’s Dis. 2009;17(3):661–80.

111. Costa MS, Botton PH, Mioranzza S, etal.Caff eine improves adult mice performance in the object recognition task and increases BDNF and TrkB independent on phospho-CREB immuno-

content in the hippocampus. Neurochem Int.2008; 53(3-4): 89-94.

112. Luchsinger JA, Mayeux R.Dietary factors and Alzheimer‘s disease. Lancet Neurol. 2004; 3(10): 579-87.

113. Scarmeas N, Stern Y, Tang MX, Mayeux R, Luchsinger JA. Mediterranean diet and risk for Alzheimer‘s disease. Ann Neurol. 2006; 59(6): 912-21.

114. Ganguli M, Vander Bilt J, Saxton JA, Shen C, Dodge HH.Alcohol consumption and cognitive function in late life: a longitudinal community study. Neurology. 2005;65(8): 1210-7.

115. Peters R, Peters J, Warner J, Beckett N, Bulpitt C.Alcohol, dementia and cognitive decline in the elderly: A systematic review. Age and Ageing 2008; 37(5): 505–12.

116. Anttila T, Helkala EL, Viitanen M, et al. Alcohol drinking in middle age and subsequent risk of mild cognitive impairment and dementia in old age: a prospective population based study.,

BMJ, 2004; 329(7465): 539.

117. Mehlig K, Skoog I, Guo X, Schütze M, et al.Alcoholic beverages and incidence of dementia: 34-year follow-up of the prospective population study of women in Goteborg. Am J Epidemiol..

2008;167(6): 684–91.

118. Mukamal KJ, Kuller LH, Fitzpatrick AL, Longstreth WT Jr, Mittleman MA, Siscovick DS. Prospective study of alcohol consumption and risk of dementia in older adults. JAMA. 2003;289(1):

1405-13.

119. Bond GE, Burr RL, McCurry SM, Rice MM, Borenstein AR, Larson EB. Alcohol and cognitive performance: a longitudinal study of older Japanese Americans, The Kame Project. Int Psycho-

geriatr. 2005; 17(4): 653-68.

120. Agarwal DP.Cardioprotective eff ects of light-moderate consumption of alcohol: A review of putative mechanism. Alcohol and Alcoholism. 2002;37(5): 409-15.

121. Baum-Baicker C. The psychological benefi ts of moderate alcohol consumption: A review of the literature. Drug Alcohol Depend. 1985;15(4): 305-22.

122. Marambaud P, Zhao H, Davies P.Resveratrol promotes clearance of Alzheimer’s disease amyloid- peptides. J. Biol. Chem. 2005;280(45): 37377–82.

123. McIntosh C, Chick J. Alcohol and the nervous system., J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75(3): 16-21.

124. Hernán MA, Alonso A, Logroscino G.Cigarrette smoking and dementia. potential selection bias in the elderly. Epidemiol. 2008; 19(3).

125. Galanis DJ, Petrovitch H, Launer LJ, Harris TB, Foley DJ, White LR. Smoking history in middle age and subsequent cognitive performance in elderly Japanese-american men the Honolulu-

Asia Aging Study. Am J Epidemiol. 19971;45(6): 507-15.

126. Tyas SL, White LR, Petrovitch H et al. Mid-life smoking and late-life dementia: the Honolulu-Asia Aging Study’, Neurobiol Aging. 2003;24(4): 589-96.

127. Rezvani AH, Levin ED.Cognitive eff ects of nicotine. Biol Psychiatry. 2001; 49(3): 258-67.

128. Swan GE, Lessov-Schlaggar CN. The eff ects of tobacco smoke and nicotine on cognition and the brain. Neuropsychol Rev., 2007;17(3): 259-73.

129. Schmidt RH, Grady MS.Loss of forebrain cholinergic neurons following fl uid-percussion injury: implications for cognitive impairment in closed head injury. J Neurosurg. 1995;83(3): 496-

502.

130. Luukinen H, Viramo P, Koski K, Laippala P, Kivelä SL. Head injuries and cognitive decline among older adults: A population-based study. Neurology.1999;52 (3): 557-62

131. Guo Z, Cupples LA, Kurz A, et al Head injury and the risk of AD in the MIRAGE study. Neurology 2000; 54(6): 1316-23.

132. Plassman BL, Havlik RJ, Steff ens DC, et al. Documented head injury in early adulthood and risk of Alzheimer‘s disease and other dementias. Neurology. 2000; 55(8): 1158--66.

133. Schofi eld PW, Tang M, Marder K, et al.Alzheimer‘s disease after remote head injury: an incidence study. J Neurol Neurosurg Psychiatr, 1997; 62 (1): 119-24.

134. van Duijn CM, Tanja TA, Haaxma R, et al.. Head trauma and the risk of Alzheimer‘s disease. Am J Epidemiol., 1992;135(7): 775-82.

135. Lye TC, Shores EA. Traumatic brain injury as a risk factor for Alzheimer‘s disease: A review. Neuropsychol Rev. 2000;10(2): 115-29.

33CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

adalah gangguan sistem saraf akibat kanker

yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun

metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup

gangguan yang sangat luas, dapat mengenai

sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah

satu jenis PNS di antaranya adalah limbic

encephalitis.

Ditemukannya antibodi terhadap antigen

onkoneural menciptakan pemahaman

baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir

ini ditemukan antibodi yang menyerang

antigen pada membran reseptor atau kanal

ion (antigen permukaan sel), antibodi ini

memegang peranan dalam patofi siologi PNS.

Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen

onkoneural intraseluler positif sering dapat

ditemukan tumor penyebabnya, sedangkan

pada kasus dengan antibodi terhadap antigen

permukaan sel positif tidak selalu ditemukan

tumor penyebabnya.1,2

DEFINISI

Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

didefi nisikan sebagai efek jauh kanker yang

bukan disebabkan langsung oleh tumor

atau metastasisnya, ataupun oleh infeksi,

dan gangguan metabolik. PNS mencakup

gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem

saraf perifer1,4. Pada PNS terdapat istilah

sindrom klasik yang merupakan sindrom

neurologis yang sering berhubungan dengan

kanker (tabel 1).

Limbic Encephalitis (LE) adalah proses infl amasi

yang melibatkan hipokampus, amigdala,

dan korteks orbitofrontal.5,6 Gangguan ini

biasanya menimbulkan kumpulan gejala

berupa gangguan psikiatrik, gangguan

memori, kejang dan akhirnya diikuti dengan

gangguan sistem saraf otonom yang dapat

membutuhkan life support di ICU dan bisa

mengakibatkan kematian.5,6 LE merupakan

ABSTRAK

Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan

dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam

beberapa dekade ini sudah diidentifi kasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen

intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic

resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori

jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena

dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih

baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.

Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan

ABSTRACT

Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,

caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups

of antibodies associated with PLE have been identifi ed, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface

antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) fi ndings, and diff erent response

to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.

Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.

Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and

respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management

Approaches.

Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management

Alamat korespondensi email: [email protected]

Paraneoplastic Limbic Encephalitis:Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan

Michael SetiawanBagian Neurologi RS Pluit, RSPI Puri Indah, Jakarta, Indonesia

Tabel 1 Paraneoplastic neurological syndromes klasik

Sindrom sistem saraf pusat

Limbic Encephalitis

Encephalomyelitis

Subacute Cerebellar Degeneration

Opsoclonus myoclonus

Sindrom sistem saraf perifer

Subacute sensory neuronopathy

Chronic gastrointestinal pseudo-obstruction

Sindrom neuromuscular junction dan otot

Lambert-Eaton myasthenic syndromes

Dermatomyositis

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201434

TINJAUAN PUSTAKA

entitas tersendiri yang termasuk dalam

paraneoplastic neurological syndromes (PNS).

Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.

Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat

dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu

yang disebabkan oleh gangguan otoimun

dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada

makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan

oleh gangguan otoimun dan merupakan

bagian dari PNS.

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM

LIMBIK

Sistem limbik mencakup beberapa struktur,

yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,

corpus mamilare, forniks dan girus cinguli

(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan

pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf

otonom.2,7

SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI

PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama

dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun

1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya

dapat mengenai sistem saraf kaudal dari

ganglia basal. Defi nisi Paraneoplastic Limbic

Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8

tahun kemudian yang melaporkan dua kasus

pria berusia antara 50-60 tahun menderita

depresi dan iritabilitas selama beberapa

minggu, diikuti hilangnya memori jangka

pendek yang makin progresif. Memori

jangka panjang, judgement, dan reasoning

tidak terganggu. Gejala lain adalah kejang,

menandakan gangguan fokal otak. Dari hasil

otopsi dijumpai lymphocytic perivascular

cuffi ng dan infi ltrasi pada beberapa bagian

otak, terutama lobus temporal mesial.1,2

Insidensi PNS yang dilaporkan sangat

bervariasi, dan berasal dari pusat-pusat

rujukan. Bentuk PNS yang sering dijumpai

yaitu paraneoplastic sensory neuropathy

diperkirakan 3-7 kasus per 1000 diagnosis

kanker. Sedangkan paraneoplastic encephalitis

insidensinya sekitar 3 per 1000 diagnosis

kanker.2

Tumor Yang Berhubungan dengan PNS

Pada PNS, 50% sampai 80% pasien sudah

menunjukkan gejala neurologis sebelum

diagnosis tumor ditegakkan. Tumor yang

berhubungan dengan PNS adalah kanker

paru-paru (60%) terutama small cell lung

cancer (SCLC). Sekitar 20% ditemukan pada

tumor germ cell. Sisanya berhubungan dengan

kanker payudara, thymoma, limfoma Hodgkin

dan teratoma. 1,2

Tumor yang berhubungan dengan

paraneoplastic limbic encephalitis adalah SCLC

(anti Hu, Anti CRMP5, anti-amphiphysin), tumor

testis (anti-Ma2), thymoma (anti-CRMP5), dan

kanker payudara (anti-amphiphysin).

PATOFISIOLOGI

Para ahli imunologi tumor memperkenalkan

nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan

antibodi yang mentarget antigen pada

jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak

tahun 1980-an sudah beberapa antibodi

onkoneural ditemukan dan merupakan

biomarker untuk sindrom paraneoplastik

klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan

kejang lobus temporalis berhubungan

dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.

Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar

60% pasien dengan paraneoplastic LE.

Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,

anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.

Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu

juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat

di luar sistem limbik.

Pada beberapa tahun belakangan ini banyak

pasien LE yang dianggap seronegatif

ternyata memiliki antibodi terhadap antigen

permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus

ensefalitis dengan antibodi voltage-gated

potasssium channel (VGKC) complex, antibodi

N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),

antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan

antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))

receptor.1,2

Identifi kasi antibodi baru ini (antibodi yang

berhubungan dengan permukaan sel)

menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan

radiologis yang berbeda dengan LE klasik.

Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya

lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi

pemulihan sempurna dengan pengobatan

imunomodulasi.1,2

Secara umum antibodi terhadap antigen

intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,

dll) berhubungan dengan tumor ganas,

menyebabkan infi ltrasi sel T sitotoksik

yang prominen pada otak, dan respons

pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan

antibodi terhadap antigen permukaan sel

(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)

pada umumnya berkaitan dengan prognosis

yang lebih baik dibandingkan dengan

yang memiliki antibodi terhadap protein

intraseluler.1,2

Mekanisme patofi siologi utama adalah

adanya respons imun oleh kanker yang

kemudian bereaksi silang dengan jaringan Gambar 1 Sistem limbik7

35CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan electroencephalography (EEG)

tidak banyak membantu diagnosis LE. EEG

dibutuhkan untuk mendeteksi adanya

cetusan epileptik pada lobus temporalis, atau

menunjukkan aktivitas gelombang lambat

difus. EEG juga berguna untuk membedakan

antara epilepsi parsial kompleks dengan

confusional state.1,2

Gambar 2 MRI FLAIR pasien dengan LE dan antibodi

NMDAR positif. Peningkatan intensitas sinyal terlihat pada

lobus temporal medial dan hipokampus bilateral2

saraf, meskipun sampai saat ini patofi siologi

LE masih belum diketahui sempurna. Belum

diketahui pasti apakah antibodi onkoneural

PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum

atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut

antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu

biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan

dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan

kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat

dideteksi di LCS.2

Pada beberapa penelitian, daerah-daerah

tertentu di otak, misalnya hipokampus

dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan

terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan

patologi saraf memperlihatkan hilangnya

neuron di daerah tertentu dengan infi ltrasi

peradangan oleh sel T helper CD4+ dan

sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+

sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan

antibodi dalam patogensis LE berasal dari

fakta bahwa antigen yang ditarget oleh

antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan

daerah spesifi k otak yang terkena. Bukti-bukti

ini mendukung peran mediasi oleh gangguan

sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10

GEJALA KLINIS

Karakteristik yang menonjol pada LE adalah

onset subakut atau akut gangguan memori

jangka pendek, dan kejang. Pasien sering

memperlihatkan gejala psikiatrik yang

bervariasi tergantung sindrom masing-

masing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,

kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan

gejala neurologis dan temuan lainnya dapat

membedakan sindrom LE yang satu dengan

yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis

diperkirakan menjadi penyebab manifestasi

psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12

KLASIFIKASI LE BERDASARKAN

ANTIBODI

Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat

dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik

terhadap protein intraseluler dan antibodi

terhadap antigen permukaan sel.1,2

1. Antibodi onkoneural klasik

• Anti-Hu

• Anti-Ma2

• Anti-CRMP5

• Anti-Amphiphysin

• Anti-Ri

2. Antibodi permukaan sel

• Anti-VGKC complex

• Anti-NMDA receptor

• Anti-AMPA receptor

• Anti-GABA-b receptor.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu

dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.

Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel

serum atau liquor serebrospinal (LCS).

Antibodi yang berbeda kadang-kadang

memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien

tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat

ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik

secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya

memperlihatkan gambaran infl amasi

(pleiositosis, kadar protein meningkat,

oligoclonal band).8,14

Gambaran magnetic resonance imaging

(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas

signal T2 di lobus temporalis. Gambaran

ini berhubungan dengan adanya infi ltrat

peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada

fase akut penyakit dijumpai peningkatan

intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fl uid attenuated

inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada

pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron

emission tomography (FDG-PET) dapat

dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat

adanya perubahan pada MRI.1

Tabel 2 Antibodi onkoneural: Manifestasi psikiatrik dan neurologis1

Antibodi

Onkoneural

Manifestasi psikiatrik Temuan Neurologis MRI Pengobatan

Hu Hilangnya memori

jangka pendek, bingung,

menyerupai “Wernicke-

Korsakov”

Kejang Perubahan lobus temporal

mesial, manifestasi ekstra

limbik

Imunomodulasi, steroid,

terapi siklofosfamid

Ma2 Hilangnya memori jangka

pendek, bingung jarang

terjadi, reaksi panik, “nervous

breakdown”, gangguan

obsesif-kompulsif

Keterlibatan batang otak,

disfungsi hipotalamus,

sindrom diensefalik,

disregulasi tidur (mengantuk

berlebihan di siang hari)

Perubahan lobus temporal

mesial

Perbaikan dan stabilisasi

klinis dapat terjadi setelah

pengobatan tumor

CV2/CRMP5 Gangguan kognitif, mania,

gangguan obsesif-kompulsif,

depresi, perubahan

kepribadian

Gejala ekstrapiramidal

chorea, apraksia, neuropati

optik, gangguan mengecap

dan menghidu

Perubahan dapat terjadi Tidak jelas

Anti-

amphiphysin

Hilangnya memori

jangka pendek, bingung,

menyerupai Wernicke-

Korsakov

Mioklonus, rigiditas, Stiff

person syndrome

Tidak jelas

Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14

Antibodi Manifestasi psikiatrik Temuan neurologis MRI Pengobatan

NMDA Psikosis, ansietas, bizarre,

delusi, paranoid, catatonic

state

Penurunan kesadaran, kejang,

hipoventilasi, gangguan

autonom, diskinesia,

gangguan gerak

Kurang lebih 50% tidak

dijumpai kelainan spesifi k,

50% lainnya dijumpai

perubahan non spesifi k

ringan dan transien

Pengobatan tumor atau

imunoterapi

AMPA Hilangnya memori, bingung,

agitasi

Sebagian dijumpai

peningkatan signal FLAIR di

lobus temporal medial

Pengobatan tumor atau

imunoterapi, kemungkinan

relaps

GABA (b) Psikosis, halusinasi, bingung Kejang Gambaran proses ensefalitis

pada lobus temporalis

(jumlah kasus sedikit)

Pengobatan tumor atau

imunoterapi

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201436

TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15

A. Kriteria Gultekin dkk

Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.

1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.

2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.

3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defi sit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.

4. Sedikitnya salah satu dari:

a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran infl amasi

b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2

c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG

B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork

Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.

1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.

2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.

3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.

4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi

paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).

Tabel 5 Diagnosis diferensial limbic encephalitis2

Infeksi

Ensefalitis virus Herpes Simpleks

Neurosifi lis

Progressive multifocal leucoencephalopathy

Rabies

Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Gangguan Metabolik

Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)

Sindrom Wernicke-Korsakoff

Ensefalopati Hashimoto

Gangguan Autoimun Sistemik

Sjogren syndrome

Systemic lupus erythematosus

Sindrom antifosfolipid

Keganasan

Limfoma

Glioma

Gliomatosis serebri

Gangguan Degeneratif

Penyakit Alzheimer

Demensia Lewy-body

Demensia frontotemporal

Gangguan lainnya

Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior

Vaskulitis susunan saraf pusat

Epilepsi lobus temporalis

Status epileptikus non konvulsif

Transient global amnesia

Acute demyelinating encephalomyelitis

Posterior reversible encephalopathy syndrome

Intoksikasi (alkohol, litium)

Alcohol withdrawal syndrome

Gangguan psikiatrik

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Untuk menegakkan diagnosis LE terdapat

beberapa kriteria (tabel 4), dan perlu

disingkirkan penyebab lain ensefalitis, misalnya

infeksi virus neurotropik, penggunaan obat

psikotropik, gangguan toksik dan metabolik

lainnya (tabel 5).

PENATALAKSANAAN

Prinsip dasar pengobatan adalah reseksi tumor

atau terapi onkologi. Pada pasien sindrom

paraneoplastik, terapi pada tumornya akan

memperbaiki atau menstabilkan gejala klinis.

Bila ditemukan antibodi onkoneural, sesegera

mungkin dilakukan pemeriksaan penapisan

(screening) tumor yang menyeluruh. Pasien

dengan antibodi onkoneural intraseluler,

biasanya tidak memberikan respons dengan

imunoterapi, hanya terapi tumor yang dapat

menstabilkan gejala klinis. Pasien dengan

antibodi permukaan sel biasanya memberi

respons baik dengan terapi imunosupresif

atau imunomodulasi (tabel 6). Beberapa terapi

lain yang dianggap relevan adalah rituximab,

siklofosfamid dan azathioprine. Terapi

simtomatik dibutuhkan untuk pengobatan

kejang dan gejala psikiatrik.2

Tabel 6 Imunoterapi limbic encephalitis2

Fase akut

Lini pertama

Kortikosteroid dosis tinggi

Intravenous Immunoglobulins (IVIg)

Plasma exchange

Lini kedua

Rituximab

Siklofosfamid

Terapi rumatan

Steroid

Azathioprine

Mycophenolate

SIMPULAN

Paraneoplastic LE merupakan bagian dari

PNS dengan patofi siologi gangguan sistem

imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan

pemeriksaan antibodi untuk menegakkan

diagnosis dan memulai pengobatan,

sehingga dapat memperbaiki keadaan

pasien, memperpendek lama perawatan,

dan memaksimalkan keluaran. Masih

dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat

membuat panduan pengobatan yang baik.

Antibodi yang sudah teridentifi kasi mungkin

masih merupakan fenomena gunung es,

membutuhkan penelitian lanjutan untuk

identifi kasi antibodi permukaan sel lainnya.

Peneliti diharapkan dapat memberikan

gambaran klinis yang komprehensif untuk

antibodi terkait. Dengan pendekatan ini

para klinisi akan terbantu dalam mengenali

sindrom klinis LE dan membuat keputusan

rasional dalam pemeriksaan antibodi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.

2. Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Infl ammation 2013: 1-9.

3. Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.

4. Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.

5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic fi ndings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.

2003;78(11):1363-8.

6. Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Diff erential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases • 2013;4(3):135-8.

7. Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.

8. Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fi leadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_

neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.

9. Vemuri C. Paraneoplastic Neurological Syndromes. http://ppt.server4.org/p/paraneoplastic-neurological-syndromes---amrita-institute-of-w349-ppt.ppt. diunduh Oktober 2013.

10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292–305.

11 Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.

12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.

13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 424–34.

14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.

15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.

33CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

adalah gangguan sistem saraf akibat kanker

yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun

metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup

gangguan yang sangat luas, dapat mengenai

sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah

satu jenis PNS di antaranya adalah limbic

encephalitis.

Ditemukannya antibodi terhadap antigen

onkoneural menciptakan pemahaman

baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir

ini ditemukan antibodi yang menyerang

antigen pada membran reseptor atau kanal

ion (antigen permukaan sel), antibodi ini

memegang peranan dalam patofi siologi PNS.

Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen

onkoneural intraseluler positif sering dapat

ditemukan tumor penyebabnya, sedangkan

pada kasus dengan antibodi terhadap antigen

permukaan sel positif tidak selalu ditemukan

tumor penyebabnya.1,2

DEFINISI

Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

didefi nisikan sebagai efek jauh kanker yang

bukan disebabkan langsung oleh tumor

atau metastasisnya, ataupun oleh infeksi,

dan gangguan metabolik. PNS mencakup

gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem

saraf perifer1,4. Pada PNS terdapat istilah

sindrom klasik yang merupakan sindrom

neurologis yang sering berhubungan dengan

kanker (tabel 1).

Limbic Encephalitis (LE) adalah proses infl amasi

yang melibatkan hipokampus, amigdala,

dan korteks orbitofrontal.5,6 Gangguan ini

biasanya menimbulkan kumpulan gejala

berupa gangguan psikiatrik, gangguan

memori, kejang dan akhirnya diikuti dengan

gangguan sistem saraf otonom yang dapat

membutuhkan life support di ICU dan bisa

mengakibatkan kematian.5,6 LE merupakan

ABSTRAK

Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan

dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam

beberapa dekade ini sudah diidentifi kasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen

intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic

resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori

jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena

dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih

baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.

Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan

ABSTRACT

Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,

caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups

of antibodies associated with PLE have been identifi ed, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface

antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) fi ndings, and diff erent response

to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.

Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.

Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and

respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management

Approaches.

Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management

Alamat korespondensi email: [email protected]

Paraneoplastic Limbic Encephalitis:Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan

Michael SetiawanBagian Neurologi RS Pluit, RSPI Puri Indah, Jakarta, Indonesia

Tabel 1 Paraneoplastic neurological syndromes klasik

Sindrom sistem saraf pusat

Limbic Encephalitis

Encephalomyelitis

Subacute Cerebellar Degeneration

Opsoclonus myoclonus

Sindrom sistem saraf perifer

Subacute sensory neuronopathy

Chronic gastrointestinal pseudo-obstruction

Sindrom neuromuscular junction dan otot

Lambert-Eaton myasthenic syndromes

Dermatomyositis

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201434

TINJAUAN PUSTAKA

entitas tersendiri yang termasuk dalam

paraneoplastic neurological syndromes (PNS).

Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.

Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat

dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu

yang disebabkan oleh gangguan otoimun

dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada

makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan

oleh gangguan otoimun dan merupakan

bagian dari PNS.

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM

LIMBIK

Sistem limbik mencakup beberapa struktur,

yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,

corpus mamilare, forniks dan girus cinguli

(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan

pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf

otonom.2,7

SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI

PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama

dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun

1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya

dapat mengenai sistem saraf kaudal dari

ganglia basal. Defi nisi Paraneoplastic Limbic

Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8

tahun kemudian yang melaporkan dua kasus

pria berusia antara 50-60 tahun menderita

depresi dan iritabilitas selama beberapa

minggu, diikuti hilangnya memori jangka

pendek yang makin progresif. Memori

jangka panjang, judgement, dan reasoning

tidak terganggu. Gejala lain adalah kejang,

menandakan gangguan fokal otak. Dari hasil

otopsi dijumpai lymphocytic perivascular

cuffi ng dan infi ltrasi pada beberapa bagian

otak, terutama lobus temporal mesial.1,2

Insidensi PNS yang dilaporkan sangat

bervariasi, dan berasal dari pusat-pusat

rujukan. Bentuk PNS yang sering dijumpai

yaitu paraneoplastic sensory neuropathy

diperkirakan 3-7 kasus per 1000 diagnosis

kanker. Sedangkan paraneoplastic encephalitis

insidensinya sekitar 3 per 1000 diagnosis

kanker.2

Tumor Yang Berhubungan dengan PNS

Pada PNS, 50% sampai 80% pasien sudah

menunjukkan gejala neurologis sebelum

diagnosis tumor ditegakkan. Tumor yang

berhubungan dengan PNS adalah kanker

paru-paru (60%) terutama small cell lung

cancer (SCLC). Sekitar 20% ditemukan pada

tumor germ cell. Sisanya berhubungan dengan

kanker payudara, thymoma, limfoma Hodgkin

dan teratoma. 1,2

Tumor yang berhubungan dengan

paraneoplastic limbic encephalitis adalah SCLC

(anti Hu, Anti CRMP5, anti-amphiphysin), tumor

testis (anti-Ma2), thymoma (anti-CRMP5), dan

kanker payudara (anti-amphiphysin).

PATOFISIOLOGI

Para ahli imunologi tumor memperkenalkan

nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan

antibodi yang mentarget antigen pada

jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak

tahun 1980-an sudah beberapa antibodi

onkoneural ditemukan dan merupakan

biomarker untuk sindrom paraneoplastik

klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan

kejang lobus temporalis berhubungan

dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.

Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar

60% pasien dengan paraneoplastic LE.

Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,

anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.

Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu

juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat

di luar sistem limbik.

Pada beberapa tahun belakangan ini banyak

pasien LE yang dianggap seronegatif

ternyata memiliki antibodi terhadap antigen

permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus

ensefalitis dengan antibodi voltage-gated

potasssium channel (VGKC) complex, antibodi

N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),

antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan

antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))

receptor.1,2

Identifi kasi antibodi baru ini (antibodi yang

berhubungan dengan permukaan sel)

menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan

radiologis yang berbeda dengan LE klasik.

Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya

lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi

pemulihan sempurna dengan pengobatan

imunomodulasi.1,2

Secara umum antibodi terhadap antigen

intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,

dll) berhubungan dengan tumor ganas,

menyebabkan infi ltrasi sel T sitotoksik

yang prominen pada otak, dan respons

pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan

antibodi terhadap antigen permukaan sel

(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)

pada umumnya berkaitan dengan prognosis

yang lebih baik dibandingkan dengan

yang memiliki antibodi terhadap protein

intraseluler.1,2

Mekanisme patofi siologi utama adalah

adanya respons imun oleh kanker yang

kemudian bereaksi silang dengan jaringan Gambar 1 Sistem limbik7

35CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan electroencephalography (EEG)

tidak banyak membantu diagnosis LE. EEG

dibutuhkan untuk mendeteksi adanya

cetusan epileptik pada lobus temporalis, atau

menunjukkan aktivitas gelombang lambat

difus. EEG juga berguna untuk membedakan

antara epilepsi parsial kompleks dengan

confusional state.1,2

Gambar 2 MRI FLAIR pasien dengan LE dan antibodi

NMDAR positif. Peningkatan intensitas sinyal terlihat pada

lobus temporal medial dan hipokampus bilateral2

saraf, meskipun sampai saat ini patofi siologi

LE masih belum diketahui sempurna. Belum

diketahui pasti apakah antibodi onkoneural

PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum

atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut

antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu

biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan

dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan

kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat

dideteksi di LCS.2

Pada beberapa penelitian, daerah-daerah

tertentu di otak, misalnya hipokampus

dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan

terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan

patologi saraf memperlihatkan hilangnya

neuron di daerah tertentu dengan infi ltrasi

peradangan oleh sel T helper CD4+ dan

sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+

sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan

antibodi dalam patogensis LE berasal dari

fakta bahwa antigen yang ditarget oleh

antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan

daerah spesifi k otak yang terkena. Bukti-bukti

ini mendukung peran mediasi oleh gangguan

sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10

GEJALA KLINIS

Karakteristik yang menonjol pada LE adalah

onset subakut atau akut gangguan memori

jangka pendek, dan kejang. Pasien sering

memperlihatkan gejala psikiatrik yang

bervariasi tergantung sindrom masing-

masing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,

kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan

gejala neurologis dan temuan lainnya dapat

membedakan sindrom LE yang satu dengan

yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis

diperkirakan menjadi penyebab manifestasi

psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12

KLASIFIKASI LE BERDASARKAN

ANTIBODI

Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat

dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik

terhadap protein intraseluler dan antibodi

terhadap antigen permukaan sel.1,2

1. Antibodi onkoneural klasik

• Anti-Hu

• Anti-Ma2

• Anti-CRMP5

• Anti-Amphiphysin

• Anti-Ri

2. Antibodi permukaan sel

• Anti-VGKC complex

• Anti-NMDA receptor

• Anti-AMPA receptor

• Anti-GABA-b receptor.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu

dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.

Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel

serum atau liquor serebrospinal (LCS).

Antibodi yang berbeda kadang-kadang

memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien

tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat

ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik

secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya

memperlihatkan gambaran infl amasi

(pleiositosis, kadar protein meningkat,

oligoclonal band).8,14

Gambaran magnetic resonance imaging

(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas

signal T2 di lobus temporalis. Gambaran

ini berhubungan dengan adanya infi ltrat

peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada

fase akut penyakit dijumpai peningkatan

intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fl uid attenuated

inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada

pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron

emission tomography (FDG-PET) dapat

dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat

adanya perubahan pada MRI.1

Tabel 2 Antibodi onkoneural: Manifestasi psikiatrik dan neurologis1

Antibodi

Onkoneural

Manifestasi psikiatrik Temuan Neurologis MRI Pengobatan

Hu Hilangnya memori

jangka pendek, bingung,

menyerupai “Wernicke-

Korsakov”

Kejang Perubahan lobus temporal

mesial, manifestasi ekstra

limbik

Imunomodulasi, steroid,

terapi siklofosfamid

Ma2 Hilangnya memori jangka

pendek, bingung jarang

terjadi, reaksi panik, “nervous

breakdown”, gangguan

obsesif-kompulsif

Keterlibatan batang otak,

disfungsi hipotalamus,

sindrom diensefalik,

disregulasi tidur (mengantuk

berlebihan di siang hari)

Perubahan lobus temporal

mesial

Perbaikan dan stabilisasi

klinis dapat terjadi setelah

pengobatan tumor

CV2/CRMP5 Gangguan kognitif, mania,

gangguan obsesif-kompulsif,

depresi, perubahan

kepribadian

Gejala ekstrapiramidal

chorea, apraksia, neuropati

optik, gangguan mengecap

dan menghidu

Perubahan dapat terjadi Tidak jelas

Anti-

amphiphysin

Hilangnya memori

jangka pendek, bingung,

menyerupai Wernicke-

Korsakov

Mioklonus, rigiditas, Stiff

person syndrome

Tidak jelas

Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14

Antibodi Manifestasi psikiatrik Temuan neurologis MRI Pengobatan

NMDA Psikosis, ansietas, bizarre,

delusi, paranoid, catatonic

state

Penurunan kesadaran, kejang,

hipoventilasi, gangguan

autonom, diskinesia,

gangguan gerak

Kurang lebih 50% tidak

dijumpai kelainan spesifi k,

50% lainnya dijumpai

perubahan non spesifi k

ringan dan transien

Pengobatan tumor atau

imunoterapi

AMPA Hilangnya memori, bingung,

agitasi

Sebagian dijumpai

peningkatan signal FLAIR di

lobus temporal medial

Pengobatan tumor atau

imunoterapi, kemungkinan

relaps

GABA (b) Psikosis, halusinasi, bingung Kejang Gambaran proses ensefalitis

pada lobus temporalis

(jumlah kasus sedikit)

Pengobatan tumor atau

imunoterapi

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 201436

TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15

A. Kriteria Gultekin dkk

Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.

1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.

2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.

3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defi sit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.

4. Sedikitnya salah satu dari:

a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran infl amasi

b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2

c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG

B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork

Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.

1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.

2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.

3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.

4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi

paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).

Tabel 5 Diagnosis diferensial limbic encephalitis2

Infeksi

Ensefalitis virus Herpes Simpleks

Neurosifi lis

Progressive multifocal leucoencephalopathy

Rabies

Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Gangguan Metabolik

Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)

Sindrom Wernicke-Korsakoff

Ensefalopati Hashimoto

Gangguan Autoimun Sistemik

Sjogren syndrome

Systemic lupus erythematosus

Sindrom antifosfolipid

Keganasan

Limfoma

Glioma

Gliomatosis serebri

Gangguan Degeneratif

Penyakit Alzheimer

Demensia Lewy-body

Demensia frontotemporal

Gangguan lainnya

Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior

Vaskulitis susunan saraf pusat

Epilepsi lobus temporalis

Status epileptikus non konvulsif

Transient global amnesia

Acute demyelinating encephalomyelitis

Posterior reversible encephalopathy syndrome

Intoksikasi (alkohol, litium)

Alcohol withdrawal syndrome

Gangguan psikiatrik

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Untuk menegakkan diagnosis LE terdapat

beberapa kriteria (tabel 4), dan perlu

disingkirkan penyebab lain ensefalitis, misalnya

infeksi virus neurotropik, penggunaan obat

psikotropik, gangguan toksik dan metabolik

lainnya (tabel 5).

PENATALAKSANAAN

Prinsip dasar pengobatan adalah reseksi tumor

atau terapi onkologi. Pada pasien sindrom

paraneoplastik, terapi pada tumornya akan

memperbaiki atau menstabilkan gejala klinis.

Bila ditemukan antibodi onkoneural, sesegera

mungkin dilakukan pemeriksaan penapisan

(screening) tumor yang menyeluruh. Pasien

dengan antibodi onkoneural intraseluler,

biasanya tidak memberikan respons dengan

imunoterapi, hanya terapi tumor yang dapat

menstabilkan gejala klinis. Pasien dengan

antibodi permukaan sel biasanya memberi

respons baik dengan terapi imunosupresif

atau imunomodulasi (tabel 6). Beberapa terapi

lain yang dianggap relevan adalah rituximab,

siklofosfamid dan azathioprine. Terapi

simtomatik dibutuhkan untuk pengobatan

kejang dan gejala psikiatrik.2

Tabel 6 Imunoterapi limbic encephalitis2

Fase akut

Lini pertama

Kortikosteroid dosis tinggi

Intravenous Immunoglobulins (IVIg)

Plasma exchange

Lini kedua

Rituximab

Siklofosfamid

Terapi rumatan

Steroid

Azathioprine

Mycophenolate

SIMPULAN

Paraneoplastic LE merupakan bagian dari

PNS dengan patofi siologi gangguan sistem

imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan

pemeriksaan antibodi untuk menegakkan

diagnosis dan memulai pengobatan,

sehingga dapat memperbaiki keadaan

pasien, memperpendek lama perawatan,

dan memaksimalkan keluaran. Masih

dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat

membuat panduan pengobatan yang baik.

Antibodi yang sudah teridentifi kasi mungkin

masih merupakan fenomena gunung es,

membutuhkan penelitian lanjutan untuk

identifi kasi antibodi permukaan sel lainnya.

Peneliti diharapkan dapat memberikan

gambaran klinis yang komprehensif untuk

antibodi terkait. Dengan pendekatan ini

para klinisi akan terbantu dalam mengenali

sindrom klinis LE dan membuat keputusan

rasional dalam pemeriksaan antibodi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.

2. Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Infl ammation 2013: 1-9.

3. Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.

4. Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.

5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic fi ndings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.

2003;78(11):1363-8.

6. Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Diff erential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases • 2013;4(3):135-8.

7. Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.

8. Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fi leadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_

neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.

9. Vemuri C. Paraneoplastic Neurological Syndromes. http://ppt.server4.org/p/paraneoplastic-neurological-syndromes---amrita-institute-of-w349-ppt.ppt. diunduh Oktober 2013.

10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292–305.

11 Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.

12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.

13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 424–34.

14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.

15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.

37

HASIL PENELITIAN

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LATAR BELAKANG

Helicobacter pylori adalah kuman gram positif

berbentuk spiral atau batang bengkok yang

hidup di mukosa lambung manusia. Kuman

ini diketahui sebagai penyebab utama

penyakit gastroduodenal seperti gastritis

kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, dan

karsinoma lambung di kemudian hari. 2 Infeksi

Helicobacter pylori merupakan infeksi yang

umum terjadi di seluruh dunia. Prevalensi

H. pylori di negara berkembang dilaporkan

lebih tinggi dibandingkan di negara maju dan

sudah dimulai pada anak-anak dan bahkan

pada bayi usia 6 bulan. Diperkirakan 80% anak

di bawah usia 10 tahun di negara berkembang

terinfeksi H. pylori.1

Penelitian hubungan manifestasi klinis dan

infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak

yang dilakukan pada orang dewasa. Beberapa

data menunjukkan bahwa infeksi H. pylori

pada anak sebagian besar asimtomatis atau

menunjukkan gejala gastrointestinal tidak

spesifi k; beberapa peneliti menghubungkan

infeksi H. pylori dengan gejala klinis sakit

berulang. Gejala klinis yang dianggap sebagai

alarm infeksi H. pylori pada anak adalah

malabsorpsi dengan penurunan berat badan,

gangguan pertumbuhan, anemia defi siensi

besi, diare berulang, dan malnutrisi.3

Sebagaimana penyakit infeksi bakteri pada

umumnya, diagnosis keberadaan kuman H.

pylori penting untuk pengobatan. Beberapa

jenis pemeriksaan telah dikembangkan

untuk maksud tersebut, antara lain kultur

biopsi lambung, rapid urease test, tes

immunoserologi (deteksi antibodi dan

antigen).4 Akhir-akhir ini sejalan dengan

perkembangan biologi molekuler, terdapat

pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

yang bisa dilakukan baik pada spesimen

biopsi lambung, saliva, dental plaque, maupun

feces.5,9,14

Keberadaan H. pylori pada lambung anak

telah lama diketahui dan dikaitkan dengan

timbulnya gastritis antrum maupun ulkus

duodenum.6,10-1 Namun, karena tindakan

endoskopi pada anak sangat jarang dan tidak

mudah dilakukan, diperlukan cara diagnosis

lain yang bersifat non-invasif. Keberadaan

H. pylori pada feces telah lama dilaporkan

namun sampai sekarang masih merupakan

kontroversi berkaitan dengan viabilitasnya.

Sementara itu deteksi serologi pada pasien

anak di RSUP NTB diperoleh hasil 20-49%

positif antibodi terhadap H. pylori.7,8,12

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Deteksi Helicobacter pylori pada Anak Menggunakan Teknik PCR dan Kultur Feses

Wayan Sulaksmana*, Sukardi*, Abdul Razak*, Zainul Mutaqqin***Sub Divisi Gastro-Hepatologi SMF Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/RSUP Nusa Tenggara Barat

**Unit Riset Biomedik RSUP Nusa Tenggara Barat, Undonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Manifestasi klinis infeksi H. pylori pada anak tidak spesifi k. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

endoskopik. Pada anak pemeriksaan endoskopi memerlukan ketrampilan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan H.

pylori berdasarkan kultur dan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) primer glmM (UreC) pada feses anak yang dirawat di RSUP Mataram-

NTB dengan diagnosis awal diare. Hasil: Dari November 2011-April 2012 diperoleh 35 spesimen feses anak diare yang memenuhi syarat. H.pylori

positif pada 9 pasien (25,71%), 3 (16,6%) berusia 0-1 tahun. Kultur feses positif pada 3 (8.57%) kasus. Simpulan: H. pylori dapat dideteksi dengan

metode kultur bakteriologi dan PCR. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar pada populasi anak normal atau dengan gejala

gastrointestinal.

Kata kunci: Helicobacter pylori, kultur feses, PCR

ABSTRACT

Background: Clinical manifestations of Helicobacter pylori (H. pylori) infection in children are not specifi c, and diagnosis through endoscopic

examination in children needs special skills. This study aims to determine H. pylori by culture and PCR primers glmM (UreC) in the feces of

children diagnosed as diarrhea treated at the Department of Pediatrics, Mataram University, West Nusa Tenggara. Result: From November 2011-

April 2012, 35 specimens have been obtained, Nine was positive for H. pylori (25.71%) 3 were from patients aged 0-1 years (16.6%). H. pylori was

positive in 3 (8.57%) stool culture and PCR was positive in 9 (25.71%) patients. Conclusion: H. pylori infection can be detected by bacteriological

culture and PCR. Detection of Helicobacter pylori in Children Using PCR Technique and Stool Cultures. Wayan Sulaksmana, Sukardi,

Abdul Razak, Zainul Mutaqqin.

Key words: Helicobacter pylori, feces culture, PCR

Alamat korespondensi email: [email protected]

38

HASIL PENELITIAN

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

keberadaan H. pylori berdasarkan kultur dan

PCR feces pada pasien anak dengan diagnosis

awal diare. Penelitian ini belum pernah

dilakukan di Indonesia, oleh karena itu sangat

penting dilakukan guna menentukan teknik

diagnostik yang tepat terhadap infeksi H.

pylori pada anak.

BAHAN DAN CARA

Pengumpulan spesimen feses

Spesimen berupa feses diperoleh dari pasien

anak dengan diagnosis diare yang dirawat di

ruang Dahlia RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Spesimen diambil dengan menggunakan

kontainer plastik yang dilengkapi dengan stik

pengambil feses dengan volume minimal 5

ml.

Kultur Bakteriologik

Karena feses mengandung empedu yang

dapat mematikan H. pylori, maka perlakuan

awal sebelum penanaman menjadi sangat

penting. Pada penelitian ini digunakan teknik

sentrifugal untuk memisahkan H. pylori dari

komponen feses.8

Kultur H. pylori menggunakan media Trypticase

Soy Agar yang ditambahi darah 10%, suplemen

Dent dan Skirrow 2 mL/500mL media dan

suplemen isovitalex atau vitox 10ml/500ml.

Inkubasi dilakukan dalam inkubator CO2 yang

memberikan suasana mikroaerofi lik dengan

konsentrasi O2 5%, CO

2 10%, dan N

2 85% selama

2 x 24 jam suhu 37oC. Koloni yang diduga H.

pylori selanjutnya diperiksa secara mikroskopik

dengan pengecatan Gram, uji biokimiawi dan

dikonfi rmasi menggunakan pemeriksaan PCR

untuk gen spesifi k H. pylori.13

Ekstraksi DNA

DNA diekstrak dari feses menggunakan

reagen High Pure PCR Template Preparation

Kit (Roche, #11796828001). Mula-mula bahan

feses diambil menggunakan lidi kapas atau

cotton bud dan dilarutkan dalam 200uL

buff er lisis dan 25 uL proteinase K. Kemudian

divortex dan diinkubasi pada 56oC selama 15

menit. Setelah ditambahi 250uL alkohol dan

diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar,

larutan dipindah ke spin column, diputar

6800g selama 1 menit. Collection tube pada

spin column diganti baru sambil ditambahkan

wash buff er dan diputar 6800g selama 1

menit. Setelah collection tube diganti dengan

recovery tube, dimasukkan 50uL akuades dan

selanjutnya diputar 12000g selama 1 menit.

DNA akhirnya tertampung dalam recovery

tube dan siap digunakan sebagai template

pada proses PCR.

Amplifi kasi DNA

Untuk mendeteksi DNA dan gen glmM (dulu

disebut UreC) dengan cagA digunakan

sepasang primer dengan urutan basa sebagai

berikut 9:

glmM1 5’-

AAGCTTTTAGGGGTGTTAGGGGTTT-3’

glmM2 5’-AAGCTTACTTTCTAACACTAACGC-3’

Urutan primer tersebut diambil dari Lu et

al (1999) dengan ukuran panjang produk

amplifi kasi sekitar 294bp. PCR dilakukan

dengan menggunakan kit reagen FastStartPCR

Master (Roche 04710436001) dalam volume

reaksi 50uL yang terdiri atas buff er PCR,MgCl2

25mM, dNTP mix, primer 2,5 pmol, TaqPol

0,25U dan 5 uL DNA template. Proses

amplifi kasi dilakukan dalam mesin iCycler

(Biorad,USA) dengan kondisi denaturasi 94oC

selama 3 menit masing-masing sebanyak

35 siklus. Produk PCR kemudian dianalisa

menggunakan GelDoc Imaging System

(Biorad, USA).

HASIL

Selama periode bulan November 2011 hingga

akhir April 2012 diperoleh 35 spesimen

feses yang memenuhi syarat penelitian ini.

Prevalensi H.pylori berdasarkan distribusi

umur ditampilkan pada tabel 1, sedangkan

persentase H.pylori pada feses berdasarkan

kultur dan PCR dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1 Prevalensi H. pylori berdasarkan ditribusi umur

Kelompok Umur Hp+ Hp- Total

0-12 3 (16,66%) 15 (83,33%) 18

13-24 4 (33,33%) 8 (66,66%) 12

>24 2 (40%) 3 (60%) 5

Total 9 12 35

Tabel 2 Persentase H. pylori pada feses berdasarkan kultur

dan PCR

Metode Jumlah Persentase

Kultur (+) 3/35 8,57%

PCR (+) 9/35 25, 71%

Gambar 1 Morfologi H. pylori yang diisolasi dari feces diamati menggunakan pewarnaan Gram (1000x)

Gambar 2 Pita DNA hasil amplifi kasi gen glmM H. pylori pada spesimen feses

39

HASIL PENELITIAN

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PEMBAHASAN

Gejala klinis infeksi H. pylori pada populasi

anak masih belum diketahui pasti, termasuk

hubungan antara nyeri perut berulang

dengan adanya infeksi H. pylori. Sebuah studi

menunjukkan bahwa 85% anak-anak terinfeksi

H. pylori mempunyai kelainan gambaran

histologik, walau tidak tampak ulkus atau

nodul15. Studi epidemiologik menunjukkan

di negara berkembang kebanyakan anak-

anak sejak awal telah menderita infeksi akut

H. pylori. Pada penelitian ini ditemukan infeksi

H. pylori positif pada 9(25,71%) anak, 3(16,,6%)

pada anak usia 0 – 1 tahun.

Kultur H. pylori pada feses anak dan pasien

diare dewasa di Gambia, Afrika,13 menunjukkan

bahwa fi siologi saluran cerna pada masa

awal pertumbuhan sangat mendukung

proses penularan fekal-oral. Ukuran saluran

cerna yang relatif pendek dan adanya infeksi

akut yang menyebabkan hypochlorhydria,

memungkinkan terbawanya H. pylori melewati

usus besar yang selanjutnya diekskresikan

bersama feses.

Pada penelitian ini, dari 35 spesimen feses yang

diperiksa, sebanyak 3 spesimen atau 8,57%

kultur H. pylori positif dan 9 spesimen (25,71%)

PCR H. pylori positif. Hal ini menunjukkan bahwa

pemeriksaan laboratorium infeksi H. pylori dapat

dari specimen feses, meski kaitannya dengan

patogenesis diare belum diketahui. Hasil

tersebut juga sesuai dengan teori mengenai

rute penularan H. pylori secara fekal-anal.

SIMPULAN

Infeksi Helicobacter pylori merupakan salah

satu penyakit infeksi yang banyak dilaporkan

di dunia, bahkan sudah dimulai pada usia

muda. Keberadaan H. pylori pada feses dapat

dideteksi dengan metode kultur bakteriologi

dan PCR.

DAFTAR PUSTAKA

1. Subagyo B. Diagnosis Dan Tatalaksana Helicobacter pylori pada Anak. Dalam: Naskah Lengkap KONAS III Badan Kordinasi Gatroenterologi Anak Indonesia(BKGAI): 6-8 Desember, 2007:

Surabaya; 2007.h.7-14.

2. Megraud F. Epidemiology of Helicobacter pylori infection. In: Rathbone BJ, Heatley RV, eds. Helicobacter pylori and gastrointestinal disease. Oxford: Blackwell Scientifi c; 1992. pp. 107–23.

3. Hegar B. Infeksi Helicobacter pylori pada anak, J. Sari pediatric 2000;2(2):82-8.

4. Lage AP, E Godfroid, A Fauconnier, et al,. Diagnosis of Helicobacter pylori infection by PCR: comparison with other invasive techniques and detection of cagA gene in gastric biopsy

specimens. J Clin Microbiol. 1995 ; 33: 2752-6.

5. Dore MP, Osato MS, Malaty HM, Graham DY. Characterization of a culture method to recover Helicobacter pylori from the feces of infected patients. Helicobacter. 2000 Sep;5(3):165-8.

6. Hill R, Pearman J, Worthy P, Caruso V, Goodwin S, Blincow E. Campylobacter pyloridis and gastritis in children. Lancet. 1986;1:387. [PubMed]

7. Sumarsidi D, Gunawan S, Sumoharjo S, Muttaqin Z. et al Helicobacter pylori infection among kindergarten children in Mataram J. Gastroenterol. Hepatol., 2000;15(12): H1-H2(1).

8. Thomas J. Culture Helicobacter pylori from faeces, In Lee A, Megraud F. eds.: Helicobacter pylori: techniques for clinical diagnosis and basic research, Tokyo: WB. Saunders, 1996 pp. 206-

11.

9. Lu JJ, Perng CL, Shyu RY et al Comparison of fi ve methods for detection of Helicobacter pylori DNA in gastric tissue. J. Clin. Microbiol. 1999: 772-4.

10. Cadranel S, Goossens H, De Boeck M, Malengreau A, Rodesch P, Butzler JP. Campylobacter pyloridis in children. Lancet. 1986;1:735–6. [PubMed]

11. Drumm B, Sherman P, Cutz E, Karmail M. Association of Campylobacter pylori on the gastric mucosa with antral gastritis in children. N Engl J Med. 1987;316:1557–61. [PubMed]

12. Weaver LT, Shepherd AJ, Doherty CP. Helicobacter pylori in the faeces? An Internat. J.Med. 92 (7): 361-364.

13. Thomas JE, Gibson G, Darboe M, Dale A, Weaver LT. Isolation of Helicobacter pylori from human faeces. Lancet 1992; 340:1094–5.

14. Kabir, S. Detection of Helicobacter pylori in feces by Culture, PCR and Enzyme Immunoassay. J. Clin. Microbiol. 2001;50:1021-9.

15. Hegar B, Muzalkadin Helicobacter pylori infectionin Children with Recurrent Abdominal Pain. Indon. J. Gastroenterol., Hepatol. and Digestive Endoscopy 2001;2(2):1-4.

40

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PENDAHULUAN

Tumor phyllodes adalah neoplasma

fi broepitelial yang jarang ditemukan.

Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari

seluruh tumor payudara, sedangkan frekuensi

lesi maligna bervariasi sekitar 5-30%. Tumor

phyllodes dikemukakan pertama kali oleh

Johannes Muller dengan nama cystosarcoma

phyllodes pada tahun 1838, untuk menunjukkan

tumor yang makroskopik menyerupai daging

dengan gambaran leafl ike pada potongan

melintang; juga disebut giant fi broadenoma,

cellular intracanalicular fi broadenoma dan

beberapa nama lain. Penyebutan sarcoma

dianggap kurang tepat, karena phyllodes tidak

selalu bersifat ganas. Saat ini penamaan yang

dipakai adalah menurut WHO (1982) yaitu

tumor phyllodes. Etiologi tumor phyllodes

masih belum jelas apakah dari fi broadenoma

yang sudah ada sebelumnya atau de novo.1-3

KARAKTERISTIK TUMOR

Gambaran Makroskopik

Sebagian besar tumor phyllodes berupa massa

berbentuk bulat sampai oval, multinodular,

tanpa kapsul yang jelas. Ukuran bervariasi

dari 1-40 cm. Sebagian besar tumor berwarna

abu-abu-putih dan menonjol dari jaringan

payudara sekitar. Pada tumor berukuran besar

dapat terjadi nekrosis dengan perdarahan.

Sebagian besar tumor tipe benign dapat

menyerupai fi broadenoma.4 Banyak peneliti

menemukan tumor berukuran kurang dari

5 cm, oleh karena itu diagnosis tidak dapat

ditegakkan hanya berdasarkan ukuran. Celah-

celah yang memanjang (leaf-like appearance)

pada penampang merupakan tanda khas

tumor phyllodes, kadang-kadang tampak

daerah nekrotik, perdarahan, dan degenerasi

kistik.5

Gambaran Mikroskopik

Tumor phyllodes memiliki gambaran

histopatologi yang luas, dari gambaran

menyerupai fi broadenoma hingga bentuk

sarcoma. Seperti fi broadenoma, gambaran

phyllodes berupa campuran stroma dan

epitel.4

Norris dan Taylor mengemukakan bahwa

kriteria histopatologi yang berguna untuk

memprediksi risiko menjadi ganas meliputi

pertumbuhan stroma berlebihan, nuclear

pleiomorphism, kecepatan mitosis tinggi,

dan mengalami infi ltrasi. Penelitian lain juga

menunjukkan tingkat nekrosis yang tinggi

dan peningkatan vaskularisasi pada tumor.

Tumor dipastikan maligna jika komponen

stroma didominasi sarkoma. Sekitar 10-40%

tumor jenis ini memiliki risiko rekurensi lokal

dan menyebar secara sistemik.1,4

Beberapa penelitian menemukan adanya

mutasi tumor suppresor gene p53 pada tumor

phyllodes. Stromal immunoreactivity p53

terbukti meningkat pada tumor phyllodes

ganas sehingga dapat digunakan untuk

membedakannya dari fi broadenoma. Sawyer

EJ dkk mendapatkan bahwa overekspresi

c-myc dapat memicu proliferasi stroma pada

tumor phyllodes, sedangkan overekspresi

c-kit menyebabkan pertumbuhan dan

perkembangan tumor.5

Tumor Phyllodes

AzamrisDepartemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,

RS M. Djamil, Padang, Indonesia

ABSTRAK

Tumor phyllodes merupakan keganasan payudara yang jarang ditemukan. Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari seluruh tumor payudara.

Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya berupa benjolan unilateral yang dapat diraba, tunggal, tidak nyeri. Terapi utama adalah pembedahan

komplit. Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan masih kontroversial. Dilaporkan 8 kasus tumor phyllodes di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang

selama 2011-2012. Enam kasus (75%) varian jinak dan dua kasus (25%) varian borderline. Telah dilakukan terapi defi nitif pada tujuh pasien, satu

pasien meninggal sebelum mendapat terapi defi nitif.

Kata kunci: tumor phyllodes, keganasan payudara, terapi defi nitif

ABSTRACT

Phyllodes tumor is a rare breast malignancy. The incidence is only about 0.3-0.9% of all breast tumors. Clinical manifestations consist of unilateral

single palpable lump not accompanied by pain. Surgery is the main therapeutic modality. The role of radiotherapy and adjuvant chemotherapy

are still controversial. Eight cases of phyllodes tumors was reported at Dr.M.Djamil Padang Hospital in 2011-2012. Six cases were benign variants

and two cases were borderline variants. Defi nitive therapy has been performed in seven patients, one patient died before it was performed.

Azamris. Phyllodes Tumor.

Key words: phyllodes tumor, breast malignancy, defi nitive therapy

Alamat korespondensi email: [email protected]

41

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

KLASIFIKASI

Pada tahun 1981, WHO mengadopsi

penamaan tumor phyllodes dan membaginya

menjadi tipe benign, borderline, dan malignant

berdasarkan karakteristik stroma. Karakteristik

tersebut berupa derajat atipikal selular stroma,

aktivitas mitosis per-10 lapang pandang besar,

ada tidaknya overgrowth stroma, dan batas

tumor yang infi ltratif atau batas tumor yang

tegas. Tumor phyllodes tipe benign memiliki

atipikal seluler ringan sampai sedang,

dengan peningkatan sel-sel stroma. Rasio

mitosis tinggi (10 atau lebih mitosis dalam 10

lapang pandang besar), adanya infi ltrasi, dan

overgrowth stroma. Overgrowth stroma telah

dihubungkan dengan aktivitas metastasis,

yang tidak terdapat pada tipe benign dan

borderline. 3,6

INSIDENS

Tumor phyllodes merupakan jenis tumor

payudara yang jarang, insidensnya 0,3-0,5%

dari total tumor payudara. Penelitian pada

8.567 pasien tumor payudara pada tahun

1969 sampai 1993 hanya menemukan

31 kasus tumor Phyllodes (0,37%). Secara

keseluruhan 2,1 kasus per satu juta wanita,

sangat jarang pada laki-laki. Sebagian besar

kasus tumor Phyllodes terjadi pada dekade

ke-4, jarang pada remaja, dapat terjadi pada

semua umur. Tumor biasanya jinak namun

dapat terjadi rekurensi lokal dan terkadang

dapat menyebar secara sistemik; jarang

bilateral (baik sinkronous atau metakronous).

Faktor risikonya belum jelas, mutasi p53

meningkatkan risiko tumor phyllodes.3-5

Gambar 2 Distribusi umur pasien tumor phyllodes4

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya

unilateral, tunggal, tidak nyeri, dengan

benjolan yang dapat teraba. Tumor tiba-

tiba muncul dan terus membesar, atau

berupa benjolan yang awalnya menetap

lalu bertambah besar dalam beberapa bulan

terakhir. Pada pemeriksaan fi sik payudara,

tumor phyllodes berupa benjolan lunak dan

bulat, mirip fi broadenoma, namun berukuran

besar (>2-3 cm).3,4 Tumor dapat terlihat jelas

jika cepat membesar. Pembesaran cepat tidak

selalu mengindikasikan sifat ganas. Terlihat

mengilat dengan permukaan kulit seperti

teregang disertai pelebaran vena permukaan

kulit. Pada kasus-kasus yang tidak tertangani

baik, dapat terjadi luka borok kulit akibat

iskemi jaringan. Walaupun perubahan kulit

seperti layaknya pada tumor payudara selalu

menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi

T4), namun tidak pada tumor phyllodes; borok

pada kulit dapat terjadi pada jenis lesi jinak,

borderline ataupun ganas. Retraksi puting

tidak umum terjadi. Ulserasi mengindikasikan

nekrosis jaringan akibat penekanan tumor

yang besar.3,4

Metastasis dapat ditemukan bersamaan

atau hingga 12 tahun kemudian. Metastasis

dapat menyebar secara hematogen, ke paru-

paru (66%), tulang (28%), otak (9%) dan lebih

jarang ke hati dan jantung.8 Dapat disertai

pembesaran limfonodi regional, walaupun

tanpa sel tumor.1 Tidak banyak literatur yang

melaporkan metastasis limfonodi. Treves

hanya melaporkan 1 kasus metastasis ke

limfonodi aksila dari 33 kasus; dari 94 pasien

yang diteliti Norris dan Taylor, 16 pasien

mengalami pembesaran limfonodi, namun

hanya 1 kasus yang terbukti secara histologi

mengalami metastasis. Reinfus menemukan

11 kasus pembesaran limfonodi dari

55 kasus, namun hanya 1 kasus yang

menunjukkan metastasis. Minkowitz juga

melaporkan satu kasus dengan metastasis

kelenjar aksila.1,3

Mamografi abnormal dijumpai pada

75% kasus, sering menyerupai gambaran

fi broadenoma. Ultrasonografi menunjukkan

massa homogen solid disertai internal echo

dan berdinding tipis.6

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tumor phyllodes masih

diperdebatkan dan tidak sama pada semua

kasus. Terapi utama adalah pembedahan

komplet dengan batas adekuat. Banyak

peneliti menganjurkan batas eksisi 1 cm

sebagai reseksi yang baik. Rekurensi berkaitan

dengan margin eksisi dan tidak berkaitan

dengan grade dan ukuran tumor. Eksisi

luas pada tumor kecil atau mastektomi

simpel umumnya menunjukkan hasil

memuaskan. Eksisi otot-otot pektoral perlu

dipertimbangkan jika telah terjadi infi ltrasi.4

Mastektomi dengan rekonstruksi payudara

dapat menjadi pilihan pada tumor berukuran

besar. 7

Tumor phyllodes, sama halnya dengan

sarkoma jaringan lunak, jarang menyebabkan

metastasis ke kelenjar getah bening (KGB).

Sebagian besar penelitian menunjukkan

bahwa diseksi KGB aksila tidak rutin dilakukan,

mengingat jarangnya infi ltrasi ke KGB aksila.

Norris dan Taylor menganjurkan mastektomi

dengan diseksi KGB aksila bagian bawah jika

terdapat pembesaran KGB, tumor ukuran >4

cm, biopsi menunjukkan jenis tumor agresif

(infi ltrasi kapsul, kecepatan mitosis tinggi, dan

derajat selular atipikal tinggi). Jika terindikasi

ada keterlibatan KGB secara klinis atau pada

Gambar 1 Klasifi kasi tumor phyllodes4

42

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

pemeriksaan imaging, dapat dilakukan biopsi

jarum dengan panduan USG. Jika hasilnya

negatif, dapat dipertimbangkan biopsi

sentinel limfonodi.1,4

Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan

masih kontroversial, namun penggunaan

radioterapi dan kemoterapi pada sarkoma

mengindikasikan bahwa keduanya dapat

digunakan pada tumor phyllodes. Radioterapi

adjuvan dapat bermanfaat pada tipe maligna.

Kemoterapi golongan antrasiklin, ifosfamid,

sisplatin, dan etoposid jarang digunakan.

Belum banyak penelitian mengenai

penggunaan terapi hormonal, seperti

tamoksifen. Sensitivitas hormonal pada tumor

phyllodes juga belum teridentifi kasi dengan

baik. Secara garis besar, terapi sistemik tumor

phyllodes tidak berbeda dengan terapi pada

sarkoma.1,4,6,7

REKURENSI

Rekurensi lokal dapat terjadi pada 28-50%

kasus. Faktor yang paling berperan dalam

terjadinya rekurensi adalah batas bebas reseksi

tumor yang kurang dari 1-2 cm. Umur pasien,

tipe pembedahan, peningkatan aktivitas

mitosis dan aktivitas jaringan stroma yang

berlebihan juga dianggap sebagai faktor-

faktor yang mempengaruhi risiko rekurensi

lokal. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa

ukuran tumor, pertumbuhan jaringan stroma

yang berlebihan dan batas bebas tumor <1

cm sebagai faktor risiko terjadinya rekurensi

lokal.7

INSIDENS

Selama dua tahun (2011-2012), ditemukan 8

kasus tumor phyllodes di RSUP dr.M.Djamil

Padang. Pasien umumnya datang dengan

ukuran tumor cukup besar atau bertukak.

Pasien paling muda berumur 25 tahun dan

paling tua berumur 49 tahun. Sebagian

besar kasus (6 pasien - 75%) menunjukkan

varian jinak, 2 kasus lainnya menunjukkan

varian borderline. Dua kasus varian borderline

tersebut sudah bermetastasis ke paru; satu

pasien meninggal dunia sebelum diberikan

terapi defi nitif. Pada 7 kasus, telah dilakukan

terapi defi nitif mastektomi modifi kasi. Pada

kasus metastasis paru, diberikan kemoterapi

adjuvan.

Dari 8 pasien tersebut, 3 pasien berdomisili

di kecamatan Alahan Panjang, juga memiliki

profesi sama, yaitu petani. Perlu diteliti

apakah lokasi tempat tinggal, profesi petani

yang identik dengan pemakaian pestisida

berhubungan signifi kan dengan kejadian

tumor phyllodes; atau masyarakat daerah

tersebut memiliki predisposisi genetik tumor

payudara. Fakta ini perlu diteliti lebih lanjut.

SIMPULAN

Tumor phyllodes adalah neoplasma

fi broepitelial yang jarang dijumpai. Gejala

klinis tumor phyllodes cukup beragam, dapat

menyerupai fi broadenoma. Tumor phyllodes

berdasarkan aktivitas stromanya terbagi

menjadi jenis benign, borderline, dan malignant.

Pembedahan merupakan modalitas terapi

utama; belum banyak penelitian tentang

penggunaan radioterapi, kemoterapi, dan

terapi hormon pada tumor phyllodes.

Tabel 1 Kasus tumor phyllodes di RS Dr. M. Djamil 2011-2012

No Umur Alamat Diagnosis Tindakan

1. 25 tahun Alahan Panjang Tumor phyllodes varian jinak Mastektomi radikal

modifi kasi (MRM)

2. 40 tahun Padang Tumor phyllodes varian jinak M.R.M

3. 43 tahun Padang Tumor phyllodes varian jinak M.R.M

4. 45 tahun Lunang Silaut

Pesisir Selatan

Tumor phyllodes D (residif ) varian jinak M.R.M

5. 27 tahun Teluk Anjalai

Alahan Panjang

Tumor phyllodes kanan varian jinak

Post MRM

M.R.M

6. 49 tahun Danau Kembar

Alahan Panjang

Tumor phyllodes kanan varian borderline dengan

metastasis paru

Meninggal dunia

Tidak ditindak

7. 32 tahun Barangin Sawahlunto Tumor phyllodes kanan varian jinak

Pasca-MRM

M.R.M

8. 30 tahun Batang Merangin

Kerinci

Tumor phyllodes kanan varian borderline dengan

metastasis paru

Kemoterapi

DAFTAR PUSTAKA

1. Agrawal PP, Mohanta PK, Singh K, Bahadur AK. Cystosarcoma phyllodes with lymph node metastasis. Community Oncology. 2006;3:44-6.

2. Akin M, Irkorucu O, Koksal H, Gonul II, Gultekin S, Kurukahvecioglu O, et al. Phyllodes tumor of the breast: A case series. Bratisl Lek Listy. 2010;111:271-4.

3. Flynn LW, Borgen PI. Phyllodes tumor: About this rare cancer. Community Oncology. 2006;3:46-8.

4. Calhoun KE, et al. Phyllodes tumors. In: Harris JR, Lippman ME, Morrow M, Osborne CK, editors. Diseases of the breast. 4th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2009. p. 781-92.

5. Juanita, Sungowati NK. Malignant phyllodes tumour of the breast. Indon J Med Sci. 2008;1:101-4.

6. Bal A, Gunggor B, Polat AK, Simsek T. Recurrent phyllodes tumor of the breast with malignant transformation during pregnancy. J Breast Health. 2012;8:45-7.

Gambar 3 Pasien tumor phyllodes kanan varian borderline dengan metastasis paru

43

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Audit Kualitatif Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik Disertai Insufi siensi Adrenal

Sekunder: Laporan Kasus

Hadiki HabibDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Dilaporkan kasus gangren diabetes disertai dengan insufi sensi adrenal sekunder. Fokus laporan kasus ini adalah pemilihan antibiotik selama

perawatan. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssen. Terdapat tiga evaluasi antibiotik yang

digunakan yaitu ampicillin-sulbactam dengan skor Gyssen 1, cefotaxim dan klindamisin dengan skor Gyssen IVA, dan levofl oxacin dengan skor

Gyssen 1.

Kata kunci: Gyssen, antibiotik, gangren diabetik

ABSTRACT

A case of diabetic gangrene concurrent with secondary adrenal insuffi ciency was reported. This case report will focus on antibiotic management.

The use of antibiotic will be evaluated qualitatively by Gyssen scheme. Three evaluations of antibiotic use was done, ampicillin-sulbactam

with Gyssen score 1, cefotaxim and clyndamicin with Gyssen score IVA, and levofl oxacin with Gyssen score 1. Hadiki Habib. Audit Kualitatif

Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik Disertai Insufi siensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus.

Key words: Gyssen, antibiotics, diabetic gangrene

Alamat korespondensi email: [email protected]

PENDAHULUAN

Resistensi antibiotik telah menjadi krisis global

terutama di negara-negara berkembang.

Penelitian Hadi di Indonesia tahun 2008

melaporkan tingkat pemakaian antibiotik

yang tinggi untuk pasien-pasien rawat

inap (84 %) dan hanya 21% dari peresepan

tersebut yang dinilai tepat, 42% pemberian

antibiotik sebenarnya tidak diperlukan dan

15 % tidak tepat dalam hal pemilihan jenis

antibiotik, dosis, dan lama pemberian.1

Penyebab lain meningkatnya resistensi adalah

penggunaan antibiotik tanpa peresepan. Di

Surabaya banyak antibiotik dijual bebas di

warung-warung nonapotik, yaitu amoxicillin,

chloramphenicol, ciprofl oxacin, cotrimoxazole,

dan tetracycline.2

Dampak resistensi ini adalah makin sulit

mengatasi infeksi dengan antibiotik standar

dan membutuhkan antibiotik khusus yang

mahal.

Untuk mengurangi perilaku pemberian

antibiotik yang tidak tepat, selain memperbaiki

kebijakan penjualan antibiotik, diperlukan

peningkatan kepatuhan dokter terhadap

panduan pemberian antibiotik Kombinasi

antara klinis pasien seperti lokasi infeksi, tingkat

keparahan infeksi, penyakit lain yang diderita

(keganasan, diabetes, imunokompromais,

gangguan hati dan ginjal), data pola kuman,

panduan terapi dan biaya yang dibutuhkan

harus dipertimbangkan untuk memilih

antibiotik yang tepat. Penelitian Frei (2010)

menunjukkan bahwa pemberian antibiotik

meskipun empiris, apabila tetap berpegang

pada panduan akan meningkatkan angka

keselamatan pasien-pasien pneumonia yang

dirawat di ruang rawat intensif.3

Untuk mengkampanyekan pemberian

antibiotik yang tepat, laporan kasus ini akan

membahas metode audit kualitatif pemberian

antibiotik untuk pasien diabetes mellitus

dengan insufi siensi sekunder yang menderita

gangren diabetes diikuti selulitis cruris.

Kasus ini sebagai contoh evaluasi kualitatif

pemberian antibiotik. Alur Gyssen digunakan

untuk mengevaluasi setiap keputusan

pemberian antibiotik.

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki usia 45 tahun datang dengan

keluhan utama jari kaki kanan luka dan

menghitam yang memberat sejak 1 minggu

sebelum masuk rumah sakit

Satu minggu sebelum masuk rumah sakit jari

kaki kanan pasien tertimpa besi dan berdarah,

lalu diikat dengan karet, sehingga luka

menghitam dan meluas. Pasien kemudian ke

klinik, diberi obat namun tidak ada perbaikan,

luka makin menghitam, berbau dan berair.

Pasien demam naik turun, dan akhirnya

diantar ke rumah sakit. Pasien diketahui

kencing manis sejak 1 tahun, tidak pernah

kontrol teratur.

Pasien bekerja sebagai buruh pabrik kontrak,

sejak tahun 1990 rutin mengkonsumsi obat

dexamethasone satu kali sehari, alasannya

44

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

agar badan tetap segar dan bekerja semangat,

sejak 6 bulan terakhir mulai tidak rutin karena

dilarang istri, namun pasien masih makan

obat tersebut sekali-sekali bila badan merasa

tidak enak. Tiga hari sebelum dirawat pasien

masih mengkonsumsi dexamethasone.

Pemeriksaan fi sik saat masuk: tampak sakit

sedang, kompos mentis, nadi 90x/menit,

tekanan darah 100/70 mmHg, respirasi 20x/

menit, suhu 38 C.Pemeriksaan fi sik thorak

dan jantung dalam batas normal. tampak

striae kemerahan di abdomen. Tampak jari

ke III dan IV kaki kanan eritem dan nekrotik

sampai ke 1/3 dorsum pedis, dasar luka

subkutan, terdapat jaringan nekrotik dan

tanda-tanda sistemik respons infl amasi.

Ankle Brachial Index kaki kanan 0.92 dan kaki

kiri 1. Pemeriksaan tungkai kiri menunjukkan

ulkus dasar otot di dekat lutut ukuran 3x3 cm

dan dalamnya 2 cm, tidak dijumpai pus dan

jaringan nekrotik.

Pada pemeriksaan chest x ray tidak dijumpai

infi ltrat paru dan tidak ada kardiomegali, EKG

dalam batas normal, dan hasil x ray pedis

dekstra tidak tampak osteomielitis tulang-

tulang pedis dekstra. Dijumpai leukositosis

(14600/mm3). Gula darah saat masuk 250 g/

dl, HbA1c 9.6 %.

Diagnosis adalah gangren diabetes pedis

dekstra. Pasien mendapat terapi cairan, insulin

kerja cepat intravena dan antibiotik ampicillin-

sulbactam 3x1.5 g. Debridement serta amputasi

digiti III dan IV pedis dekstra dilakukan pada

hari pertama. Hasil kultur pus menunjukkan

kuman Staphylococcus aureus yang sensitif

terhadap ampisilin-sulbactam, lincomicin,

cephalotin, cefotaxim, amoksilin-clavulanat,

ceftriaxone, cefoperazone, piperacillin-

tazobactam, cefoperazone-sulbactam,

Hari perawatan ke 10 luka post amputasi dan

ulkus di tungkai kiri di skin graft dan antibiotik

dilanjutkan dengan ampicillin-sulbactam

4x1.5 g. Pasien tidak demam dan leukositosis

berkurang (10780/mm3). Pasca skin graft luka

di kaki kanan mengering, tidak dijumpai pus,

hasil skin graft menempel 95 % di kaki, tidak

ada bengkak dan nyeri di kaki kanan, gula

darah terkontrol dengan insulin basal dan

premeal.

Hari perawatan ke 16 pasien kembali demam

naik turun, dijumpai kemerahan di kulit

tungkai kiri bawah, skin graft ulkus di tungkai

kiri lisis, sehingga jaringan dibersihkan dan

dibuang, dijumpai leukositosis (11830/

mm3) dan procalcitonin 0.12 U/L. Diagnosis

selulitis kruris sinistra., Antibiotik diganti

menjadi cefotaxim 3x1 g dan clindamicin

3x300 mg. Hari perawatan ke 26 bengkak

di kruris kiri membaik. Hasil kultur pus dari

ulkus di kruris kiri tidak tumbuh bakteri,

dijumpai Candida albicans jumlah sedikit dan

dianggap kontaminan, namun di kruris kanan

muncul indurasi multipel berisi pus, tepi

kemerahan, pasien masih demam naik turun.

Leukosit 17560/mm3, procalcitonin 0.35 U/L.

Ditambahkan antibiotik levofl oxacin 1x750

mg, cefotaxim dan clindamicin diteruskan

sampai total 14 hari, selanjutnya diteruskan

dengan levofl oxacin tunggal. Hasil kultur pus

dari indurasi di kruris kanan steril, dan kultur

darah steril. Hasil pemeriksaan kortisol serum

pagi 0.918 (normal: 6.2-19.4). Pasien dianggap

mengalami insufi siensi adrenal sekunder

akibat putus steroid setelah pemakaian rutin

jangka panjang, diberi terapi pengganti

prednison 5 mg pagi hari dan 2.5 mg sore

hari.

Hari perawatan ke 36 luka dan bengkak di

cruris kanan membaik, tidak demam, leukosit

turun menjadi 11620/mm3 dan procalcitonin

0.06 U/L, levofl oxacin dihentikan dan pasien

berobat jalan. Selama perawatan gula darah

pasien terkontrol dengan insulin rapid acting

3x 6 IU perawatan luka dilakukan 1-2 kali

sehari.

DISKUSI

Kaki diabetes

Infeksi kaki diabetes sering dijumpai pada

penderita diabetes dengan prevalensi 25 %4,

merupakan penyebab tersering penderita

diabetes masuk rumah sakit dan menjadi

alasan utama amputasi tungkai4. Komplikasi

ulkus dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas.

Diagnosis infeksi kaki diabetik ditegakkan

berdasarkan gambaran klinis dan keluhan.

Kultur untuk mengetahui etiologi infeksi dapat

membantu menentukan antibiotik yang

sensitif. Spesimen untuk kultur harus diambil

setelah debridement luka untuk mencegah

kontaminasi.

Setelah perawatan hari ke-26, pasien

mengalami infeksi baru dan timbul gejala

lemah terus-menerus, kadar kortisol serum

pagi pasien sangat rendah, mengonfi rmasi

kondisi insufi siensi adrenal sekunder akibat

putus steroid setelah pemakaian jangka

panjang. Karena ada infeksi baru dan

kadar kortisol rendah, diberikan substitusi

steroid berupa prednison 7.5 mg/hari untuk

mencegah krisis adrenal.5

Pemberian antibiotik yang adekuat merupakan

bagian dari manajemen kaki diabetik yang

lebih komprehensif meliputi kontrol vaskular,

kontrol infeksi, kontrol metabolik, kontrol luka,

kontrol tekanan mekanis dan kontrol edukasi

serta rehabilitasi.6

Alur Gyssen7

Evaluasi pemakaian antibiotik secara umum

dapat dilakukan secara kuantitatif dan

kualitatif. Untuk evaluasi kualitas pemberian

antibiotik ada banyak parameter yang dipakai

seperti ketepatan dosis, ketepatan interval

pemberian, rute pemberian, monitoring kadar

obat dalam plasma, monitoring reaksi alergi,

evaluasi harga, dan lain-lain.

Penilaian kualitatif memungkinkan kita

mengetahui apakah antibiotik yang diberikan

sudah tepat, dilakukan dengan analisis

mendalam terhadap rekam medis, disebut

juga audit praktis. Penilaian kualitatif jarang

dilakukan karena minimnya standarisasi,

metodologi yang sulit, dan membutuhkan

sumber daya manusia.8 Meskipun demikian,

pembahasan pemberian antibiotik secara

kualitatif dapat mendorong dokter agar lebih

taat pada panduan dan mengikuti edukasi

pemakaian antibiotik. Alur Gyssen adalah

salah satu algoritma yang digunakan untuk

audit kualitatif pemberian antibiotik.

Untuk evaluasi menyeluruh, beberapa

pertanyaan panduan harus ditanyakan

secara lengkap agar tidak ada parameter

penting yang terlewat. Setiap pertanyaan

diklasifi kasikan ke dalam tiap algoritma dan

evaluasi berlangsung serial dari pertanyaan

pertama sampai pertanyaan terakhir.

Peresepan dapat tidak tepat dalam beberapa

kategori secara bersamaan. Selama proses

evaluasi, algoritma dibaca dari atas ke

bawah untuk mengevaluasi tiap parameter

yang memandu dokter untuk menentukan

antibiotik yang tepat (skema 1). Ada 12 tahap

pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum

memberikan antibiotik, yaitu:

45

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

1. Data apakah sudah lengkap, yaitu data

klinis dan laboratoris yang cukup untuk

menegakkan diagnosis infeksi dan diikuti

dengan hasil kultur mikroorganisme

• Tidak: audit dihentikan pada kategori VI

• Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya

2. Indikasi antibiotik apakah sesuai, mengapa

jenis antibiotik itu yang diberikan

• Tidak: audit dihentikan pada kategori V

• Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya

3. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih

efektif

• Ya: audit dihentikan pada kategori IVa

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

4. Ada alternatif antibiotik lain yang kurang

toksik

• Ya: audit dihentikan pada kategori IVb

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

5. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih

murah

• Ya: audit dihentikan pada kategori IVc

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

6. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih

sempit spektrumnya

• Ya: audit dihentikan pada kategori IVd

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

7. Durasi pemberian antibiotik terlalu

panjang

• Ya: audit dihentikan pada kategori IIIa

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

8. Durasi pemberian antibiotik terlalu

singkat

• Ya: audit dihentikan pada kategori IIIb

• Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya

9. Dosis antibiotik yang diberikan apakah

sudah tepat

• Tidak: audit dihentikan pada kategori IIa

• Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya

10. Apakah interval pemberian antibiotik

sudah tepat

• Tidak: audit dihentikan pada kategori IIb

• Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya

11. Apakah rute pemberian antibiotik sudah

tepat

• Tidak: audit dihentikan pada kategori IIc

• Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya

12. Apakah waktu pemberian sudah sesuai

• Tidak: audit dihentikan pada kategori I

• Ya: pemakaian antibitok sudah tepat

Tiap poin dalam alur Gyssen dinilai bertahap

(dari poin pertama sampai poin ke 12) apabila

berhasil menjawab satu poin dilanjutkan ke

poin berikutnya, makin banyak poin yang

berhasil dijawab makin baik pilihan antibiotik

tersebut.

Penelitian tahun 2010 di Swiss yang

melakukan evaluasi kualitatif dengan alur

Gyssen menemukan dari 1.577 pasien, 700

mendapat antibiotik (44,4%) dengan total

1270 peresepan antibiotik. Ada 958 (75,4%)

peresepan untuk tujuan terapi dan 312

(24,6%) untuk profi laksis, 37% terapi, dan

16,6% profi laksis tidak tepat. Pemberian

antibiotik untuk pengobatan yang tidak tepat

berupa tidak ada indikasi (17,5%), pemilihan

antibiotik tidak tepat (7,6%), cara pemberian

obat tidak tepat (9,3%), dan pemilihan jenis

antibiotik berbeda dengan panduan baku

(8%). Sementara itu, pemberian antibiotik

untuk profi laksis tidak tepat dalam hal tidak

ada indikasi (9%), pemilihan jenis antibiotik

tidak tepat (1%) durasi pemberian terlalu lama

dan cara pemberian tidak tepat guna lainnya

(6,7%).8

Gyssen 1. Ampicillin-sulbactam

Langkah pertama evaluasi antibiotik

ampicillin-sulbactam adalah mengevaluasi

apakah data sudah cukup lengkap sehingga

antibiotik layak diberikan. Pasien datang

dengan sumber infeksi yang jelas yaitu luka

di kaki kanan yang membusuk, ditandai

dengan respons sistemik seperti demam

naik turun dan luka yang membengkak

dan kemerahan. Pasien punya penyakit

yang mendasarinya yaitu diabetes mellitus.

Pemeriksaan penunjang menunjukkan

leukositosis dan pemeriksaan rontgen pedis

tidak menunjukkan adanya osteomielitis.

Pemeriksaan kultur pus dari luka di kaki

menunjukkan kuman S. auerus yang sensitif

terhadap ampicillin-sulbactam, lincomicin,

cephalotin, cefotaxim, amoxicillin-

clavulanate, ceftriaxone, cefoperazone,

piperacillin-tazobactam, cefoperazone-

sulbactam.

Data yang ada dianggap cukup untuk

menegakkan diagnosis sepsis akibat infeksi

kaki diabetik sehingga antibiotik layak

diberikan.

Indikasi pemberian antibiotik ditentukan

pertama dengan menilai perjalanan penyakit.

(1) Pasien mengalami infeksi di luar rumah

sakit dan belum pernah mendapat terapi

antibiotik sebelumnya, (2) Infeksi kaki pasien

dianggap derajat sedang-berat berdasarkan

pemeriksaan fi sik.

Untuk kaki diabetik dengan infeksi, pemberian

antibiotik inisial bersifat empiris, namun harus

diikuti dengan pemeriksaan kultur dan tes

sensitivitas untuk mempersempit spektrum

antibiotik. Intervensi bedah dibutuhkan jika

pus banyak atau infeksi terus meluas meskipun

telah diberi antibiotik. Tindakan bedah antara

lain insisi dan drainase, debridement jaringan

nekrotik, membuang semua benda asing

dalam luka, revaskularisasi arteri, dan bila

perlu, amputasi. 9 Ada beberapa penelitian

yang membantu menentukan antibiotik

empiris yang tepat untuk nfeksi kaki diabetes.

Panduan Cleveland Clinic dan American

Family Physician menyebutkan S. aureus

adalah kuman tersering ulkus diabetes, infeksi

kronik polimikrobial, sedangkan infeksi akut

dan belum pernah diobati dengan antibiotik

disebabkan oleh monopatogen, biasanya

coccus gram positif. 9

Untuk infeksi polimikrobial penelitian di rumah

sakit pendidikan Malaysia menunjukkan

bahwa dari 194 pasien kaki diabetes yang

diambil sampel pusnya, kuman terbanyak

bakteri gram negatif (52%) terdiri atas Proteus

spp (28%), P. aeruginosa (25%), Klebsiella

pneumoniae (15%), dan Escherichia coli (9%).

Bakteri gram positif sejumlah 45% terdiri atas

Staphylococcus aureus (44%), Streptococcus

group B (25%), dan Enterococcus (9%). 10

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa

beberapa kuman anerob biasa didapati pada

infeksi kaki diabetes: dari 102 sampel pus,

terdapat kuman anaerob Peptostreptococcus

spp (46%) dan Bacteroides fragilis (19%).

Resistensi antibiotik dijumpai terhadap

clindamycin 18%, metronidazole 1%,

dan imipenem 2%.11 Penelitian lain yang

mengumpulkan bahan pus dari 433 pasien,

menemukan 427 kultur positif, 83,8%

polimikrobial, 48% hanya tumbuh anaerob,

dan 43,7% mengandung kuman aerob

dan anaerob, 1,3% hanya mengandung

kuman anaerob. Jenis kuman yang paling

banyak ditemukan adalah Staphylococcus

aureus sensitif oxacillin (14,3%),

Staphylococcus aureus resisten oxacillin

(4,4%), Staphylococcus koagulase negatif,

(15,3%), Streptococcus (15,5%), Enterococcus

spp (13,5%), Corynebacterium spp (10,1%),

Enterobactericeae (12,8%), dan Pseudomonas

aeruginosa (3,5%). Bakteri anaerob yang

tumbuh adalah coccus gram positif (45,3%),

Prevotella spp (13,6%), Porphyromonas

(11,3%), dan Bacteroides fragilis (10,2%).12

46

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Di Indonesia, penyebab tersering infeksi pada

kaki diabetes rawat jalan adalah Pseudomonas,

yang sensitif terhadap ceftriaxone dan

cefotaxim.13

Berdasarkan panduan pemberian terapi empirik

dan data dasar pola kuman pada kaki diabetes,

dipilih ampicillin sulbactam 4 x 1,5 g sebagai

antibiotik empirik. Obat ini diberikan saat

pasien di UGD, sebelum dilakukan debridement.

Pengambilan sampel pus dilakukan setelah

debridement untuk mengurangi risiko

sampel tercampur kontaminan. Hasil kultur

menunjukkan kuman S. aureus yang sensitif

terhadap ampicillin-sulbactam sehingga

obat ini diteruskan. Tidak ada pilihan obat

lain dengan spektrum lebih sempit dan tidak

dibutuhkan antibiotik untuk kuman anerob

karena telah ada komponen sulbactam.

Ada beberapa pilihan antibiotik lain yang

secara empiris dapat diberikan berdasarkan

guideline yaitu imipenem-cilastatin, namun dari

segi farmakoekonomi ampicillin-sulbactam

lebih cost-eff ective. Penelitian terhadap 90

penderita kaki diabetes menunjukkan tidak

ada perbedaan antara pengobatan ampicillin-

sulbactam dibandingkan imipenem cilastatin

dari segi keberhasilan klinis, efek samping,

lama pemberian, dan lama perawatan di

rumah sakit, sementara itu biaya pengobatan

ampicillin-sulbactam lebih murah bermakna

dibandingkan imipenem-cilastatin.14,15

Ampicillin-sulbactam dan imipenem cilastatin

memiliki angka keberhasilan 80% mengatasi

infeksi akibat kaki diabetik, namun imipenem

cilastatin membutuhkan biaya yang lebih

besar sekitar 2.924 dolar (pada tahun 1994).16

Antibiotik khusus tidak berbeda efektivitasnya

dibandingkan ampicillin-sulbactam; ke-

sembuhan klinis kelompok linezolid dan

ampicillin-sulbactam tidak berbeda bermakna,

efek samping linezolid lebih banyak.17

Dosis pemberian 4 x 1,5 g sesuai dengan cara

yang berlaku, tanpa perlu penyesuaian dosis

karena pasien tidak mengalami gangguan

hati dan ginjal. Pada awalnya diberikan

dengan dosis 3 x 1,5 g yang sebenarnya tidak

tepat; setelah debridement, dosis diperbaiki

menjadi 4 x 1,5 g. Obat ini diberikan selama

14 hari sesuai batasan lama pemberian

antibiotik. Saat itu, antibiotik tidak diganti

oral karena selama pemberian antibiotik,

pasien mengalami dua kali tindakan operasi

(debridement dan amputasi digiti III dan

IV serta pemasangan skin graft). Obat ini

diberikan awal saat pasien di UGD sehingga

dianggap saat pemberian tepat mengingat

beratnya luka dan kondisi tubuh pasien yang

luluh imun (immunocompromised).

Penilaian alur Gyssen untuk antibiotik yang

pertama adalah 1.

Gyssen 2. Cefotaxim dan Clindamicin

Setelah hari perawatan ke-14, pasien kembali

mengalami demam naik turun, disertai

bengkak di tungkai kiri, saat itu dijumpai juga

ulkus di tungkai kiri tidak mengering, hasil

kultur swab dari ulkus di tungkai kiri steril,

pasien kembali mengalami leukositosis dan

kadar procalcitonin meningkat. Berdasarkan

data ini, pasien dianggap mengalami infeksi

baru yaitu selulitis kruris sinistra dan antibiotik

diganti menjadi cefotaxim dan clindamicin.

Selulitis biasanya disebabkan oleh kuman gram

positif dan jarang menimbulkan bakteremia,

pada penelitian 272 pasien selulitis, hanya 4%

yang hasil kultur darahnya dijumpai patogen.

Selulitis gram negatif dapat timbul pada

pasien luluh imun.15

Diagnosis infeksi baru ditegakkan padahal

saat itu sedang dalam pengobatan ampicillin-

sulbactam. Karena infeksi baru ini muncul

setelah pasien mendapat terapi antibiotik

dan terjadi di rumah sakit, diduga ada kuman

baru yang berperan dan berasal dari rumah

sakit, hal ini dapat terjadi karena pasien

immunokompromais. Dipilih antibiotik

yang spektrumnya dominan mengatasi

kuman gram negatif karena meskipun telah

mendapat terapi untuk gram positif namun

infeksi baru tetap muncul. Diberikan cefotaxim

dan antibiotik anaerob yang dapat masuk ke

jaringan, yaitu clindamicin.

Penelitian menunjukkan kombinasi antibiotik

untuk gram negatif dan anaerob yang baik

adalah ceftriaxone-metronidazole. Kombinasi

ini memiliki efektivitas yang sama namun

biaya lebih murah dibandingkan ticarcillin-

clavulanate.19 Alternatif lain untuk cefotaxim

adalah ciprofl oxacin oral dosis 2 x 750 mg.15

Cefotaxim 3 x 1 gram per hari diberikan

secara intravena karena dijumpai tanda-tanda

infl amasi sistemik dan clindamycin diberikan

per oral karena tidak ada sediaan intravena

dengan dosis 3 x 300 mg/hari. Antibiotik

diberikan selama 14 hari.

Berdasarkan pola kuman di RSCM tahun 2010,

kuman gram negatif yang banyak didapat dari

sampel pus adalah Acinetobacter, Klebsiella

pneumonia, Pseudomonas, dan E. coli.18 Data

ini hanya menunjukkan jenis kuman yang

didapat, tetapi tidak dapat disimpulkan apakah

kuman tersebut berasal dari komunitas atau

nosokomial.

Berdasarkan data di atas, alur Gyssen antibiotik

cefotaxim dan clyndamcin adalah IVA,

karena ada pilihan antibiotik lain yang lebih

efektif, yaitu ceftriaxone-metronidazole atau

levofl oxacin.

Gyssen 3. Levofl oxacin

Lefofl oxacin diberikan karena tidak ada

perbaikan klinis dan timbul ulkus baru disertai

selulitis di tungkai kanan. Demam masih ada,

masih dijumpai leukositosis dan peningkatan

kadar procalcitonin. Hasil kultur swab ulkus di

tungkai kanan tidak tumbuh kuman, hanya

tumbuh Candida spp yang dianggap sebagai

kontaminan karena jumlahnya tidak banyak.

Kuinolon memiliki distribusi luas ke jaringan

tubuh dan merupakan antibiotik yang poten

untuk infeksi bakteri gram negatif, kuinolon

golongan baru seperti moxifl oxacin memiliki

aktivitas terhadap kuman anaerob yang lebih

baik dibandingkan dengan levofl oxacin.20

Levofl oxacin adalah fl uoroquinolone dengan

bioavailabilitas tinggi dan waktu paruh

panjang, memiliki spektrum antimikroba luas,

meliputi Enterobacter dan gram positif, serta

penetrasinya baik ke jaringan lunak. Penelitian

ini menunjukkan pemberian levofl oxacin

oral 500 mg per hari mampu memberikan

konsentrasi antibiotik yang cukup ke jaringan

terinfeksi, tidak berbeda dengan penelitian

Chow dkk yang memberikan levofl oxacin 1 x

750 mg.21,22

Pada pasien ini, levofl oxacin diberikan selama

10 hari intravena, data awal dianggap cukup

karena ada infeksi klinis, didukung hasil

laboratorium yang sesuai dengan infeksi.

Indikasi pemberian adalah adanya infeksi

jaringan lunak yang tidak respons dengan

antibiotik sebelumnya, efi kasi yang sesuai

untuk infeksi di jaringan lunak. Dibandingkan

jenis antibiotik lain seperti meropenem,

levofl oxacin tidak lebih toksik dan harganya

lebih terjangkau.

47

LAPORAN KASUS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Antibiotik diberikan selama 10 hari sesuai

dengan perbaikan klinis pasien, dilakukan

secara intravena karena ingin mencapai

kadar optimum dalam darah dengan cepat.

Kadar optimum ingin cepat dicapai karena

pasien mengalami infeksi disertai insufi siensi

adrenal sekunder, apabila penanganan infeksi

tidak adekuat maka dapat memicu terjadinya

krisis adrenal. Alur Gyssen untuk pemberian

levofl oxacin adalah 1.

KELEMAHAN

Pelaksanaan audit kualitatif membutuhkan

waktu, sumber daya manusia dan biaya. Namun

dampaknya diharapkan mampu mendorong

klinisi untuk lebih bijaksana dalam mengguna-

kan antibiotik. Audit kualitatif dilakukan di akhir

pengobatan dengan berpegang pada rekam

medis, apabila rekam medis tidak mencatat

jalannya pengobatan dengan lengkap, maka

penilaian akan sulit dilakukan.

Beberapa data pendukung terapi sulit didapat

misalnya data kultur kuman. Tidak semua

infeksi bisa menghasilkan hasil kultur kuman

positif, terkait dengan lokasi infeksi, pemberian

antibiotik sebelumnya, tidak adekuatnya

pengambilan sampel, dan lain-lain.

SIMPULAN

Audit kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi

apakah antibiotik yang diberikan untuk suatu

masalah pasien tepat atau tidak. Alur Gyssen

adalah salah satu metode audit kualitatif

pemberian antibiotik. Penerapan alur Gyssen

diharapkan dapat meningkatkan pemberian

antibiotik yang tepat.

Dalam laporan kasus ini, skor Gyssen untuk

pemberian ampicillin-sulbactam adalah 1,

skor Gyssen untuk pemberian cefotaxim dan

klindamisin adalah 4A, dan skor Gyssen untuk

pemberian levofl oxacin adalah 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadi U Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Huis In’t Veld D et al. Audit of antibiotik prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology

and Infection, Vol14, No7, July 2008: 698–707.

2. Hadi U van den Broek P, Kolopaking EP, Zairina N, Gardjito W, Gyssens IC. Cross-Sectional Study of Availability and Pharmaceutical Quality of Antbiotics Requested With or Without Prescrip-

tion (Over The Counter) in Surabaya, Indonesia. BMC Infectious Diease.2010. 10; 203.

3. Frei CR, Attridge RT, Mortensen EM, Restrepo MI, Yu Y, Oramasionwu CU et al. Guideline-concordant antibiotic use and survival among patients with community-acquired pneumonia

admitted to the intensive care unit. Clin Ther. 2010 Feb;32(2):293-9.

4. Richard J, Sotto A, Lavigne J. New insights in diabetic foot infection. World J Diabetes 2011 February 15; 2(2): 24-32.

5. Hahner S, Loeffl er M, Bleicken B, Drechsler C, Milovanovic D, Fassnacht M, et al. Epidemiology of Adrenal Crisis in Chronic Adrenal Insuffi ciency: The Need for New Prevention Strategies.

Europ J Endocrinol. 2010; 162; 597-602.

6. Waspadji S. Management of diabetic foot: fi nding uncomplicated solution of complicated problems. In Nelwan RHH, Zulkarnain I, Widodo J, Pohan HT, Setiawan B, Suhendro, Nainggolan

L, Santoso WJ (eds). Abstract Book 12th Jakarta Antimicrobial Update 2011.pgs 12-4.

7. Gyssens IC. Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. In Gould IM, Van Der Meer JWM (eds). Antibiotik Policies: Theory And Practice.Kluwer Academic Publishers.

New York 2005. pgs 197-202.

8. Cusini A, Rampini SK, Bansal V, Ledergerber B, Kuster SP, et al. (2010) Diff erent Patterns of Inappropriate Antimicrobial Use in Surgical and Medical Units at a Tertiary Care Hospital in Swit-

zerland: A Prevalence Survey. PLoS ONE 5(11): e14011. doi:10.1371/journal.pone.0014011.

9. Amstrong DG. Lipsky BA. Diabetic Foot Infections: Stepwise Medical AnD Surgical Management. Int Wound J. 2004; 1; 2; 123-32.

10. Raja NS. Microbiology of diabetic foot infections in a teaching hospital in Malaysia: a retrospective study of 194 cases. J Microbiol Immunol Infect. 2007 Feb;40(1):39-44.

11. Lily SY, Kwang LL, Susan CSY, Tan TY. Anaerobic Culture of Diabetic Foot Infection: Organism And Antimicrobial Susceptibilities. Ann Acad Med Singapore. 2008; 37: 936-9.

12. Citron DM, Goldstein EJC, Merriam CV, Lipsky BA, Abramson BA. Bacteriology of Moderate-to-Severe Diabetic Foot Infections And In Vitro Activity of Antimicrobial Agents. J Clin Microbiol

2007. Vol 45;No 9.pgs 2819-28.

13. Santoso M, Yuliana M, Mujono W, Kusdiantomo. Pattern of Diabetic Foot at Koja Regional General Hospital Jakarta from 1999-2004. Acta Med Indones. J Intern Med. 2005. Vol.37. No 4. pgs

187-9.

14. McKinnon PS, Paladino JA, Grayson ML, Gibbons GW, Karchmer AW. Cos-Eff ectiveness of Ampicillin-Sulbactam Versus Imipenem-Cilastatin in The Treatment of Limb-Threatening Foot

Infections In Diabetic Patients. Clin Infec Disease. 1997. 24; 57-63.

15. Swartz MN. Cellulitis. N Eng J Med. 2004; 350; 904-12.

16. Chow I, Lemos EV, Einarson TR. Management and prevention of diabetic foot ulcers and infections: a health economic review. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-35.

17. Lipsky BA, Itani K, Norden C. Treating Foot Infections in Diabetic Patients: A Randomized, Multicenter, Open-Label Trial of Linezolid Versus Ampicillin-Sulbactam/Amoxycillin-Clavulanate.

18. Loho T, Astrawinata DAW. Peta bakteri dan kepekaan terhadap antibiotic Rumah Sakit Umum Pusat Ciptomangunkusumo. Jakarta Januari-Juni 2010. RSUPNCM. Jakarta.2010 hlm 107-

22.

19. Clay PG Graham MR, Lindsey CC, Lamp KC, Freeman C, Glaros A. Clincal Effi cacy, Tolerability, And Cost Savings Associated with the use of Open Label Metronidazole Plus Ceftriaxone Once

Daily Compared With Ticarcillin-Clavulanate Every Six Hours As Empiric Treatment For Diabetic Lower Extremities Infections in Older Males. Am J Geriatr Pharmacother.2004. 2; 3; 181-9.

20. Edmiston CE Krepel CJ, Seabrook GR, Somberg LR, Nakeeb A, Cambria RA, Tet al. In Vitro Activities of Moxifl oxacin against 900 Aerobic and Anaerobic Surgical Isolates from Patients with

Intra-Abdominal and Diabetic Foot Infections. Antimicrob Agent Chemoter.2004; 48; 3; 1012-6.

21. Oberdofer K, Swoboda S, Hamann A, Baertsch U, Kusterer K, Born B et al. Tissue and serum levofl oxacin concentrations in diabetic foot infection patients. J Antimicrob Chemother. (2004)

54, 836–9.

22. Anderson VR, Perry CM. Levofl oxacin: a review of its use as a high-dose, short-course treatment for bacterial infection. Drugs. 2008;68(4):535-65.

48

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Penanganan penyakit kanker meliputi

operasi, kemoterapi, terapi radiasi, dan

perawatan paliatif.

Di antara obat yang digunakan untuk

kemoterapi adalah oxaliplatin dan paclitaxel.

Hanya saja penggunaan kedua obat

kemoterapi ini bukanlah tanpa efek samping;

salah satu yang paling sering dikeluhkan

adalah nyeri neuropati.3,4

Saat ini dicoba diberikan obat-obat untuk

mengatasi nyeri neuropati ini. Tetapi tidak

semua obat yang biasa digunakan untuk

mengatasi nyeri neuropati, dapat dimanfaatkan

untuk mengatasi nyeri neuropati akibat obat

kemoterapi; kebanyakan dokter lebih berhati-

hati karena ditakutkan muncul interaksi yang

merugikan saat obat ini diberikan bersama.

Salah satu obat yang sudah terbukti efektif

mengatasi nyeri neuropati adalah pregabalin.

Obat ini sudah terbukti efektif dan aman saat

diberikan pada pasien kanker yang juga

mendapatkan obat kemoterapi. Selain itu,

obat ini juga tidak berinteraksi dengan obat-

obat kemoterapi yang diberikan.

Salah satu penelitian efektivitas dan

keamanan pregabalin adalah penelitian

Nihei dkk. Pada penelitian ini, mereka

membandingkan 27 pasien nyeri neuropati

akibat oxaliplatin (L-OHP) dan 28 pasien

nyeri neuropati akibat paclitaxel (PTX)

yang mendapatkan pregabalin dengan

20 pasien L-OHP dan 25 pasien PTX yang

mendapatkan obat lain selain pregabalin5.

Didapatkan bahwa penurunan rasa nyeri

neuropati lebih baik pada pasien yang

mendapat pregabalin dibandingkan pasien

tanpa pregabalin. Di kalangan pasien L-OHP,

40,7% merespon terhadap pregabalin

dibandingkan hanya 10% yang merespon

terhadap pengobatan non pregabalin. Hal

serupa juga ditemukan pada kelompok yang

mendapat PTX, pada kelompok pregabalin

28,6% merespon obat ini, sedangkan pada

kelompok non-pregabalin, hanya 12%

pasien yang merespon pengobatan. Sekitar

28-37% pasien merasakan efek samping

pregabalin, yang paling sering adalah

pusing dan mengantuk.5

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa

pregabalin terbukti efektif dan aman dalam

mengurangi derajat keparahan nyeri

neuropati akibat pemberian L-OHP dan PTX.5

� (YJR)

Efi kasi dan Keamanan Pregabalin untuk Mengatasi Neuropati Perifer Akibat Oxaliplatin dan Paclitaxel

REFERENSI:

1. Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011 Mar 4;144(5):646–74.

2. UK CR. What cancer is [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 28]. Available from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/what-is-cancer/cells/what-cancer-is

3. Ruiz-Medina J, Baulies A, Bura SA, Valverde O. Paclitaxel-induced neuropathic pain is age dependent and devolves on glial response. Eur J Pain Lond Engl. 2013 Jan;17(1):75–85.

4. Saif MW, Syrigos K, Kaley K, Isufi I. Role of pregabalin in treatment of oxaliplatin-induced sensory neuropathy. Anticancer Res. 2010 Jul;30(7):2927–33.

5. Nihei S, Sato J, Kashiwaba M, Itabashi T, Kudo K, Takahashi K. [Effi cacy and safety of pregabalin for oxaliplatin- and paclitaxel-induced peripheral neuropathy]. Gan To Kagaku Ryoho. 2013

Sep;40(9):1189–93.

50

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

American College of Gastroenterology baru

saja mempublikasikan guideline baru

untuk mendiagnosis dan menangani

gastroesophageal refl ux disease (GERD).

Beberapa rekomendasi berbeda dari guideline

ACG 2005 yang lalu. Highlight terhadap 6

topik baru dalam guideline ini:

1. Penurunan berat badan, sebagai

tambahan elevasi posisi kepala saat

tidur (untuk pasien dengan gejala GERD

nokturnal) merupakan modifi kasi gaya hidup

yang efektif untuk pasien GERD. Menghindari

makanan yang diduga memicu refl uks tidak

rutin disarankan untuk kebanyakan pasien

GERD.

2. Screening rutin dan penanganan infeksi

H. pylori tidak direkomendasikan karena

tidak ada bukti cukup bahwa pemeriksaan

dan peanganan H. pylori akan memengaruhi

gejala GERD. Pemeriksaan H. pylori tidak

direkomendasikan karena dikuatirkan pasien

dengan infeksi H. Pylori yang diberi terapi

proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang

mungkin memiliki gastritis atrofi .

3. Guideline baru ini tetap tidak menyarankan

biopsi rutin di bagian distal esofagus untuk

mendiagnosis GERD. Eosinophilic esophagitis

(EoE) sudah lebih umum sejak guideline

2005, khususnya pada pasien dengan GERD

dan disfagia atau pada pasien dengan GERD

refrakter. Karena itu sebaiknya dilakukan

biopsi di bagian distal dan tengah esofagus

jika diduga terdapat EoE.

4. Sejak guideline terakhir, terdapat

kekhawatiran keamanan jangka panjang

PPI. Tampaknya tidak ada peningkatan risiko

osteoporosis, kecuali pada pasien dengan

faktor risiko lain untuk fraktur panggul.

Tampaknya juga tidak ada peningkatan

risiko kardiovaskuler pada pasien PPI yang

juga diberi clopidogrel. Terapi PPI tampaknya

bukan merupakan faktor risiko infeksi

Clostridium diffi cile.

5. GERD dapat dipertimbangkan sebagai

ko-faktor untuk pasien dengan gejala extra-

esofageal, meliputi batuk, laringitis, dan

asma. PPI dapat dipertimbangkan untuk

dicoba pada pasien yang juga memiliki gejala

GERD tipikal, tetapi pengawasan refl uks

harus dipertimbangkan sebelum mencoba

pemberian PPI pada pasien tanpa gejala

GERD. Evaluasi penyebab non-GERD harus

dilakukan pada semua pasien.

6. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan

sebagai terapi GERD. Pasien obesitas dengan

GERD sebaiknya dipertimbangkan untuk

dioperasi gastric bypass untuk perawatan

gejala heartburn.

Secara keseluruhan, guideline ini mencakup

9 rekomendasi untuk menegakkan diagnosis

GERD, 13 rekomendasi untuk penanganan

GERD, 6 poin mengenai pilihan operasi

GERD, dan 5 risiko potensial terkait PPI, 7

poin mencakup presentasi extra-esophageal

GERD, 6 rekomendasi penanganan GERD

refrakter dengan PPI, dan 8 catatan mengenai

komplikasi GERD.

Guideline dan justifi kasinya dipublikasi

dalam edisi online The American Journal of

Gastroenterology pada 19 Februari 2013.

Simpulannya, terdapat 6 topik baru dalam

guideline ACG 2013 ini tampaknya PPI tidak ter-

kait dengan peningkatan risiko osteoporosis,

peningkatan risiko kardiovaskuler pada

pasien PPI yang juga diberi clopidogrel, dan

peningkatan risiko infeksi Clostridium diffi cile.

� (AGN)

Guildeline ACG Baru untuk Diagnosis dan Penanganan GERD

REFERENSI:

Boggs W. New guidelines for diagnosis and management of GERD. Medscape [Internet] 2013 [Cited 2013 March 15]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780737.

52

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Switching dari Clozapine ke Zotepine pada Pasien Skizofrenia

Skizofrenia merupakan penyakit jiwa

kronis kambuhan yang prevalensinya

di seluruh dunia pada semua golongan

usia adalah sekitar 1%, tanpa memandang

budaya, kelas sosial, dan ras. Skizofrenia

ditandai dengan gejala positif, seperti

halusinasi dan delusi, serta gejala negatif,

seperti ketidakpekaan emosi dan penarikan

diri. Seperempat dari mereka yang mengalami

episode skizofrenia berhasil pulih dan penyakit

tidak kambuh. Dua puluh lima persen lainnya

tetap mengidap penyakit yang tak-kunjung

sembuh. Sisanya, separuh dari penyandang

skizofrenia, terdiagnosis mengidap penyakit

kambuhan, tetapi dengan pemulihan

bermakna dari gejala-gejala positif dalam

jangka waktu yang lama. Obat-obat yang

ada saat ini efektif dalam meredakan gejala

positif, tetapi gejala negatif masih sulit diobati.

Lagipula, terapi medikamentosa terkait

dengan efek samping, apalagi keseluruhan

biaya pengobatan dan dampaknya terhadap

pasien, kariernya, dan komunitasnya dapat

dikatakan cukup besar.

Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi

antipsikotik tipikal (generasi pertama, mis.

chlorpromazine, haloperidol) dan antipsikotik

atipikal (generasi kedua, mis. amisulpiride,

olanzapine, clozapine, risperidone). Keduanya

merupakan pilar utama penatalaksanaan

pasien dengan skizofrenia. Zotepine tergolong

antipsikotik atipikal dan kelompok atipikal

ini dipandang memiliki efek samping yang

berbeda dengan jenis atipikal; utamanya

golongan atipikal dianggap mempunyai

kecenderungan yang lebih rendah untuk

menimbulkan gangguan pergerakan.

Selama ini, clozapine dianggap sebagai

antipsikotik paling efektif untuk pasien

dengan skizofrenia yang sulit diobati;

sayangnya, terlapor banyak efek samping. Bila

timbul efek samping, para klinisi umumnya

bergegas melakukan pergantian (switching)

dari clozapine ke antipsikotik lain mengingat

adanya risiko kambuhnya atau memburuknya

psikosis, meskipun studi empiris terbatas.

Menurut sebuah penelitian terkini di Jepang,

zotepine, antipsikotik atipikal dengan profi l

farmakologis mirip clozapine, diketahui

merupakan obat yang efektif bagi penyandang

skizofrenia yang sulit diobati.

Penelitian berdurasi 12 minggu ini

merupakan studi prospektif acak rater-

blind pertama yang menginvestigasi efi kasi

dan tolerabilitas switching dari clozapine

ke zotepine. Lima puluh sembilan pasien

skizofrenia—yang telah menggunakan

clozapine selama sekurang-kurangnya 6

bulan dengan skor Clinical Global Impression-

Severity minimal 3—dialokasikan secara acak

ke dalam kelompok zotepine dan clozapine.

Pada akhir penelitian, sebanyak 52 pasien

(88%) berhasil menyelesaikannya.

Mean fi nal (SD [standard deviation]) dosis

zotepine dan clozapine adalah 397,1 (75,7)

dan 377,1 (62,5) mg/hari. Paisen di kelompok

zotepine memperlihatkan kenaikan bermakna

pada Brief Psychiatric Rating Scale (mean [SD]

4,7 (8,7) vs -1,3 (6,3); p=0,005), lebih banyak

efek samping umum sebagaimana terungkap

lewat Udvalg for Kliniske Undersogelser Rating

Scale (mean [SD] 1,74 (3,9) vs -0,2 (2,8); p=0,039),

lebih banyak efek samping ekstrapiramidal

seperti yang terlihat lewat Simpson and

Angus Scale (mean [SD] 1,29 (3,5) vs 0,17

(2,1); p=0,022), peningkatan penggunaan

propranolol (37,1% vs 0%, p<0,0001) dan

antikolinergik (25,7% vs 0%, p=0,008), dan

kenaikan kadar prolaktin (29,6 vs -3,8 ng/mL,

p <0,0005), dibandingkan dengan kelompok

clozapine.

Simpulannya, meskipun zotepine terbukti

efektif untuk pasien skizofrenia yang sulit

diobati, memperhatikan hasil studi ini,

switching dari terapi clozapine ke zotepine dapat

dilakukan untuk mencegah kekambuhan atau

perburukan psikosis, tetapi harus dilakukan

dengan hati-hati. � (AAM)

REFERENSI:

1. Lin CC, Chiu HJ, Chen JY, Liou YJ, Wang YC, Chen TT, et al. Switching from clozapine to zotepine in patients with schizophrenia: a 12-week prospective, randomized, rater blind, and parallel

study. J Clin Psychopharmacol. 2013;33(2):211-4.

2. DeSilva P, Fenton M, Rathbone J. Zotepine for schizophrenia [Internet]. 2012 [cited 2013 Jul 5]. Available from: http://summaries.cochrane.org/CD001948/zotepine-for-schizophrenia.

54

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Xenon (Xe), merupakan golongan gas

mulia (noble gas) yang memiliki sifat

inert, ternyata memiliki efek biologis.

Efek narkotik pada manusia pertama kali

ditemukan pada tahun 1951 oleh Cullen dan

Gross. Studi menunjukkan Xe tidak memiliki

efek toksik dan teratogenik, selain itu relatif

stabil di udara dan karena solubilitas yang

rendah di dalam darah (blood/gas distribution

coeffi cient 0,115) Xe memiliki efek induksi

dan recovery yang cepat. MAC dari Xe, yang

diukur berdasarkan potensi anestesi suatu

agen, pertama kali ditentukan sebesar 71%

dan pada saat ini diasumsikan sebesar 63%.

Pada saat ini, data studi acak dengan kontrol

Efek Perlindungan Anestesi Inhalasi Xenon Terhadap Jantung

penggunaan Xe sebagai anestesi inhalasi pada

pasien sehat yang menjalani pembedahan

elektif telah tersedia, akan tetapi penggunaan

pada pasien kategori high-risk ASA III-IV belum

ada. Selain itu, harga Xe yang mahal juga

membatasi penggunaan Xe secara umum

sebagai anestesi inhalasi.

Beberapa tahun terakhir, studi Xe ditujukan

khususnya terhadap efek proteksi terhadap

organ dan juga efek terhadap hemodinamik

selama penggunaan Xe sebagai agen anestesi

inhalasi. Studi penggunaan Xe in vivo terhadap

jantung tikus menunjukkan efek perlindungan

jantung dengan cara meningkatkan

pharmacological preconditioning dini jantung,

sehingga mengaktivasi PKC-ε dan target

turunan dari p38 MAPK. Studi in vivo lain

menunjukkan bahwa Xe preconditioning

lambat (Xe-LPC) tidak menyebabkan

peningkatan ekspresi COX-2 pada mRNA dan

protein. Efek perlindungan terhadap jantung

ini dapat memberikan keuntungan seperti HR

(heart rate) yang lebih rendah dan tekanan

arteri yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan gas anestesi volatile dan IV anestesi.

Pasien coronary artery disease (CAD) memiliki

risiko komplikasi intraoperatif seperti hipotensi

dan takikardi, sehingga meningkatkan risiko

gangguan jantung. Pemilihan jenis anestesi

pada pasien CAD yang akan menjalani

pembedahan non-cardiac perlu diperhatikan.

Pemilihan jenis anestesi yang baik adalah agen

anestesi yang memiliki efek hemodinamik

yang minimal dan juga efek perlindungan

terhadap jantung. Sebuah studi acak

dilakukan untuk menilai perbandingan efek

dari pemberian gas anestesi Xe atau propofol

pada 40 pasien CAD ASA III-IV yang akan

menjalani pembedahan elektif non-cardiac.

Pasien secara acak dibagi menjadi 2 kelompok,

yaitu Xe-opioid dan propofol-opioid. Opioid

yang digunakan adalah remifentanil dengan

dosis 0,3 μg/kgBB/min (pre-oxygenation) dan

pemeliharaan secara infus kontinu dengan

dosis 0,05 μg/kgBB/min. Kelompok Xe diberi

gas anestesi Xe untuk pemeliharaan dengan

konsetrasi 65 (5)% dan untuk kelompok

propofol diberikan dosis 5 (0,5) mg/kgBB/jam.

Induksi anestesi dilakukan dengan pemberian

etomidate, golongan IV anestesi, dengan dosis

0,2 mg/kgBB dan cisatracurium 0,1 mg/kgBB

IV.

Hasil studi tersebut:

1. Skor BIS kedua kelompok dapat

disesuaikan berdasarkan rentang nilai yang

direkomendasikan (40-60), akan tetapi secara

umum skor BIS lebih rendah bermakna pada

kelompok Xe jika dibandingkan dengan

kelompok propofol (p<0,001).

2. HR secara bermakna lebih rendah pada

kelompok Xe jika dibandingkan dengan

kelompok propofol (p<0,001).

3. MAP (mean arterial pressure) secara

bermakna lebih tinggi pada kelompok Xe

jika dibandingkan dengan kelompok propofol

(p<0,02).

4. Terjadi perbaikan TEI (lebih dikenal dengan

myocardial performance index) yang lebih baik

55

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

REFERENSI:

1. Weber NC, Frässdorf J, Ratajczak C, Grueber Y, Schlack W, Hollmann MW, et al. Xenon induces late cardiac preconditioning in vivo: a role for cyclooxygenase 2? Anesth Analg.

2008;107(6):1807-13.

2. Derwall M, Coburn M, Rex S, Hein M, Rossaint R, Fries M. Xenon: recent developments and future perspectives. Minerva Anestesiol. 2009;75(1-2):37-45.

3. Baumert JH, Hein M, Hecker KE, Satlow S, Neef P, Rossaint R. Xenon or propofol anaesthesia for patients at cardiovascular risk in non-cardiac surgery. Br J Anaesth. 2008;100(5):605-11.

4. Weber NC, Toma O, Wolter JI, Obal D, Müllenheim J, Preckel B, et al. The noble gas xenon induces pharmacological preconditioning in the rat heart in vivo via induction of PKC-epsilon

and p38 MAPK. Br J Pharmacol. 2005;144(1):123-32.

5. Stoppe C, Fahlenkamp AV, Rex S, Veeck NC, Gozdowsky SC, Schälte G, et al. Feasibility and safety of xenon compared with sevofl urane anaesthesia in coronary surgical patients: a

randomized controlled pilot study. Br J Anaesth 2013.

pada kelompok Xe jika dibandingkan dengan

kelompok propofol (p=0,01).

5. Peningkatan fungsi LV (left ventricular)

lebih baik secara bermakna pada kelompok Xe

jika dibandingkan dengan kelompok propofol

(p<0,05).

6. Efek samping yang berhubungan

dengan HR dan MAP sebanding antara kedua

kelompok, akan tetapi kejadian PONV secara

bermakna lebih tinggi pada kelompok Xe jika

dibandingkan dengan kelompok propofol

(p<0,01).

7. Tidak terdapat tanda iskemik miokardial

akut perioperatif pada kedua kelompok, yang

dinilai berdasarkan Tei index (TOE), ECG, dan

pelepasan troponin T.

Simpulannya, anestesi pemeliharaan dengan

gas inhalasi Xe memberikan efek MAP yang

lebih tinggi tanpa gangguan fungsi jantung

jika dibandingkan dengan propofol pada

pasien CAD yang menjalani pembedahan

non-cardiac. Hasil ECG juga menunjukkan

fungsi LV yang lebih baik pada penggunaan

gas Xe.

Penggunaan anestesi inhalasi yang umum

digunakan pada pembedahan jantung karena

memiliki perubahan efek hemodinamik

minimal adalah anestesi inhalasi sevofl urane.

Sebuah studi pilot terbaru membandingkan

efek penggunaan gas anestesi sevofl urane

atau Xe pada pasien yang menjalani CABG

(coronary artery bypass grafting). Sejumlah 30

pasien yang menjalani CABG elektif dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok Xe (45-

50 vol%) atau kelompok SEVO (1-1,4 vol%).

Hasil studi pilot terbaru ini menyimpulkan

kejadian efek samping kedua kelompok

sebanding (p>0,05). Sehingga simpulan studi

ini adalah balanced xenon anaesthesia aman

dan dapat digunakan dengan efektif jika

dibandingkan dengan kelompok sevofl urane

pada pasien yang akan menjalani CABG. �

(MAJ)

57

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Pyruvate, anion dari pyruvic acid, me-

rupakan produk akhir glikolisis, di mana

glukosa dikonversi menjadi pyruvate

dengan menghasilkan ATP. Dalam mitokon-

dria organisme aerob, pyruvate dikonversi

menjadi acetyl coenzyme A, yang kemudian

dioksidasi secara lengkap menghasilkan CO2.

Jika oksigen tidak tersedia dalam jumlah cu-

kup, pyruvate dimetabolisme menjadi lactate.

Dalam organisme anaerob seperti ragi, pyru-

vate dikonversi menjadi ethanol. Dalam gluko-

neogenesis, pyruvate dikonversi menjadi glu-

kosa. Nasib metabolik lain dari pyruvate adalah

dikonversi menjadi alanine dengan transami-

nasi dan oxaloacetate dengan karboksilasi.

Pyruvate merupakan suatu substrat energi

yang mempunyai efek inotropik dan

antioksidan. Dalam suatu modek syok

hemoragik, larutan sodium pyruvate 1,7%

diinfuskan setelah 60 menit periode syok

menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih

baik dibanding NaCl 0,9%, 90% hewan yang

mendapat sodium pyruvate hidup 50 menit

setelah resusitasi, sedangkan yang mendapat

NaCl 0,9% hanya 30%.

Larutan sodium pyruvate hipertonik juga telah

diajukan sebagai cairan resusitasi dalam terapi

syok hemoragik karena mempunyai efek

antiinfl amasi dan antioksidan.

Suatu studi dilakukan untuk membandingkan

2 larutan pyruvate untuk resusitasi dan meneliti

mekanisme kerjanya pada tikus selama

syok hemoragik. Efek infus sodium pyruvate

hipertonik volume rendah dibandingkan

dengan Ringer’s ethyl pyruvate volume tinggi

pada parameter hemodinamik, kaskade

infl amasi, dan regulasi stres dan protein yang

terkait apoptosis dalam hati.

Dalam studi tersebut, tikus dibuat perdarahan

arteri (40 mmHg) selama 60 menit diikuti

dengan resusitasi larutan sodium chloride

isotonik, saline hipertonik, larutan RL, Ringer’s

ethyl pyruvate, atau sodium pyruvate hipertonik

selama 60 menit. Kemudian dipantau

parameter hemodinamik dan biokimia dalam

darah secara terus-menerus. Kemudian,

Keunggulan Larutan Sodium Pyruvate

REFERENSI:

1. Sharma P, Mongan PD. Hypertonic sodium pyruvate solution is more eff ective than Ringer’s ethyl pyruvate in the treatment of hemorrhagic shock. Shock. 2010;33(5):532-40. doi: 10.1097/

SHK.0b013e3181cc02b3.

2. Sodium pyruvate solution [Internet]. [cited 2013 March 28]. Available from : www.sigmaaldrich.com/etc/medialib/docs/.../1/.../s8636pis.pdf

3. Slovin PN, Huang CJ, Cade JR, Wood CE, Orbach P, Skimming JW et al. Sodium pyruvate is better than sodium chloride as a resuscitation solution in a rodent model of profound

hemorrhagic shock. [Internet]. 2001 [cited 2013 March 28]. Available from : https://www.healthtap.com/#publications/83867-sodium-pyruvate-is-better-than-sodium-chloride-as-a-

resuscitation-solution-in-a-rodent-model-of-profound-hemorrhagic-shock

sampel hati diambil untuk menilai petanda

infl amasi dan antiinfl amasi serta mediator

stres oksidatif, injuri hati, dan ekspresi protein

sinyal apoptosis.

Dalam perbandingan dengan Ringer’s

ethyl pyruvate, pemberian sodium pyruvate

hipertonik setelah perdarahan mengurangi

injury hati yang dikaitkan dengan peningkatan

kadar sitokin infl amasi serum dan jaringan,

mediator infl amasi seperti NOS dan serta

cyclooxygenase 2, peroksidase lemak, dan

adenosine triphosphate hepatoseluler yang

lebih tinggi. Kejadian apoptosis seluler yang

dikaitkan dengan aktivasi caspase-3 dan

poly(ADPribose)polymerase cleavage juga

menurun dengan sodum pyruvate.

Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa

resusitasi dengan sodium pyruvate hipertonik

volume rendah menawarkan perlindungan

yang bermakna terhadap infl amasi dan

stres oksidatif serta mencegah injury hati

dibandingkan dengan Ringer’s ethyl pyruvate

volume besar. � (EKM)

59

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Gemcitabine merupakan terapi standar

untuk kanker pankreas stadium lanjut.

Regimen lain yaitu FOLFIRINOX tetapi

berkaitan dengan toksisitas yang membatasi

pemberiannya pada pasien dengan

status performans yang baik. Baru-baru ini

dipublikasikan mengenai S-1 untuk kanker

pankreas stadium lanjut.

Fluoropyrimidine oral, S-1 menunjukkan out-

come yang baik, pada pemberian tunggal

atau kombinasi pada studi fase II pada pasien

kanker pankreas metastatik. Kemudian dilaku-

kan studi fase III (GEST: Gemcitabine and S-1

Trial) yang membandingkan S-1 saja (80, 100,

atau 120 mg/hari tergantung BSA hari 1-28,

setiap 42 hari), gemcitabine saja (1.000 mg/m2

hari 1, 8, 15, setiap 28 hari) dan gemcitabine

(1.000 mg/m2 hari 1 & 8) plus S-1 (60, 80, atau

100 mg/hari tergantung BSA hari 1-14) setiap

21 hari, pada pasien dengan kanker pankreas

metastatik dan stadium lokal lanjut.

Berikut adalah hasilnya: (n= 834)

Parameter Gemcitabine S-1 Gemcitabine/S-1

Median OS (bulan) 8,8 9,7 10,1

Median PFS (bulan) 4,1 3,8 5,7

S-1 noninferior dibandingkan gemcitabine

saja dalam hal OS (HR 0.96; 97,5% CI 0,78–

1,18; p < 0,001). Gemcitabine/S-1 tidak

menunjukkan perbaikan bermakna dalam hal

OS dibandingkan gemcitabine saja (HR, 0,88;

97,5% CI, 0,71–1,08; p= 0,15).

S-1 noninferior dibandingkan gemcitabine saja

dalam hal PFS (HR 1,09; 97,5% CI 0,90–1,33;

p= 0,02). Gemcitabine/S-1 memperbaiki PFS

secara bermakna dibandingkan gemcitabine

saja (HR 0,66; 97,5% CI 0,54–0,81; p < 0,001).

ORR lebih tinggi pada kelompok yang

mendapat S-1 (21%; p= 0,02) dan yang

mendapat gemcitabine/S-1 (29,3%; p < 0,001)

dibandingkan gemcitabine saja (13,3%).

Toksisitas yang dijumpai:

• Gemcitabine saja berkaitan dengan

leukopenia, neutropenia, trombositopenia,

peningkatan AST dan ALT derajat ≥ 3 yang

lebih tinggi dibandingkan S-1.

S-1 berkaitan dengan diare derajat ≥ 3 yang

lebih tinggi dibandingkan gemcitabine.

• Gemcitabine/S-1 berkaitan dengan

leukopenia, neutropenia, trombositopenia,

ruam, diare, muntah, dan stomatitis derajat ≥

3 yang lebih tinggi dibandingkan gemcitabine

saja.

Disimpulkan bahwa S-1 noninferior

dibandingkan gemcitabine pada pasien

dengan kanker pankreas metastatik atau

stadium lokal lanjut. � (HLI)

S-1 untuk Kanker Pankreas Metastatik atau Stadium Lanjut

REFERENSI:

1. Ueno H, Ioka T, Ikeda M, Ohkawa S, Yanagimoto H, Boku N, et al. Randomized phase III study of gemcitabine plus S-1, S-1 alone, or gemcitabine alone in patients with locally advanced

and metastatic pancreatic cancer in Japan and Taiwan: GEST study. J Clin Oncol. 2013 doi: 10.1200/JCO.2012.43.3680.

2. S-1 noninferior to gemcitabine in advanced pancreatic cancer. Practice Update [Internet]. 2013 Apr 11 [cited 2013 Apr 27]. Available from: http://www.practiceupdate.com/Explore/

JournalScan/?id=3540.

61

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Anestesi Lokal Secara Epidural vs Kontinu pada Pembedahan Kolorektal

REFERENSI:

1. Jouve P, Bazin JE, Petit A, Minville V, Gerard A, Buc E, et al. Epidural versus continuous preperitoneal analgesia during fast-track open colorectal surgery: A randomized controlled trial.

Anesthesiology 2013;118(3):622-30.

2. Grass JA. The role of epidural anesthesia and analgesia in postoperative outcome. Anesthesiol Clin North America 2000;18(2):407-28.

3. Wu CL, Cohen SR, Richman JM, Rowlingson AJ, Courpas GE, Cheung K, et al. Effi cacy of postoperative patient-controlled and continuous infusion epidural analgesia versus intravenous

patient-controlled analgesia with opioids: A meta-analysis. Anesthesiology 2005;103(5):1179-88.

Pembedahan kolorektal dapat me-

nimbulkan nyeri pascaoperasi dengan

derajat berat dan berkepanjangan

sehingga dapat mengganggu mobilisasi.

Nyeri pascaoperasi dapat memperpanjang ke-

tidakmampuan bergerak, ileus pascaoperasi,

gangguan tidur, serta dapat memperpanjang

LOS (length of hospital stay). Terapi nyeri pasca-

operasi yang adekuat dapat mempercepat

mobilisasi/pergerakan, sehingga dinyatakan

penting dan menjadi standar program pe-

mulihan cepat pascaoperasi di hampir seluruh

RS.

Analgesik epidural (EA) thoraks pada

pembedahan intra-abdominal telah

terbukti dapat memberikan efek analgesia

pascaoperasi yang adekuat dibandingkan

dengan pemberian opioid secara

infus (parenteral). Pemberian EA juga

menunjukkan dapat mengurangi stres

pascaoperasi, ileus, dan meningkatkan QOL

(quality of life) perioperatif, serta outcome

klinis pascaoperasi kolorektal. Oleh karena

itu, EA sering diperhitungkan menjadi salah

satu komponen penting dalam prosedur

multimodal tatalaksana nyeri pascaoperasi

intra-abdominal. Akan tetapi, EA memerlukan

partisipasi tenaga kerja medis yang intensif

dan monitoring secara berkala.

Di sisi lain, CWI (continuous wound infi ltration)

dikatakan lebih mudah dan lebih cost-

eff ective dibandingkan dengan EA. CWI

dengan anestesi lokal dilakukan dengan

menempatkan beberapa kateter pada

ruang preperitoneal dan beberapa studi

menunjukkan CWI anestesi lokal ini dapat

meningkatkan kesembuhan lebih cepat

jika dibandingkan dengan golongan opioid

sistemik. CWI disebutkan dapat menjadi

alternatif pemberian EA, akan tetapi

pemberian CWI secara tunggal mungkin

tidak adekuat untuk mencegah kebutuhan

penggunaan opioid pascaoperasi.

Sebuah studi acak dan tersamar ganda

membandingkan pemberian analgesik

dengan anestesi lokal metode EA atau CWI

pada pasien yang akan menjalani pembedahan

elektif kolorektal. Sejumlah 50 pasien yang

akan menjalani pembedahan kolorektal secara

acak dibagi menjadi 2 kelompok dan diberi

anestesi lokal secara bolus (ropivacaine 5 mL

0,375%) atau CWI (ropivacaine 10 mL 0,2%).

Seluruh pasien menjalani operasi dengan

anestesi umum propofol dan analgesia

preemptive 1 g paracetamol IV, 20 mg nefopam,

dan antiemetik 8 mg dexamethasone, dan

1 mg droperidol 10 menit sebelum operasi

selesai.

Berikut hasil studi tersebut:

1. Nyeri pascaoperasi secara bermakna lebih

rendah pada kelompok EA jika dibandingkan

dengan kelompok CWI pada 3 hari pertama

pascaoperasi (p<0,05).

2. Nyeri pascaoperasi sebanding antara

kedua kelompok pada >3 hari pascaoperasi

(p>0,05).

3. Nyeri akibat mobilisasi secara bermakna

lebih rendah pada kelompok EA jika

dibandingkan dengan kelompok CWI 24 jam

pascaoperasi (p<0,001).

4. Waktu yang diperlukan untuk mencapai

diet normal dan fungsi saluran cerna secara

bermakna lebih cepat pada kelompok EA

jika dibandingkan dengan kelompok CWI

(p<0,01).

5. Kebutuhan NGT dan ondansetron

sebanding antara kedua kelompok (p>0,05).

6. LOS secara bermakna lebih cepat pada

kelompok EA jika dibandingkan dengan

kelompok CWI (p<0,05).

Simpulannya, jika dibandingkan dengan CWI,

tatalaksana analgesik pascaoperasi dengan

anestesi lokal via EA memiliki perbaikan nyeri

pascaoperasi dan kesembuhan yang lebih

baik dan juga menurunkan LOS pada pasien

pascaoperasi kolorektal. � (MAJ)

63

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Pemberian atorvastatin dosis tinggi dapat

meningkatkan efek terapi clopidogrel

pada pasien PJK (penyakit jantung

koroner) stabil. Simpulan ini merupakan hasil

penelitian Dr. Dominick J. Angiolillo dkk. dari

University of Florida, Jacksonville, Amerika

Serikat. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan

dalam JACC Cardiovascular Interventions edisi

bulan Februari 2013.

HTPR (High on-treatment platelet reactivity)

selama ini dianggap sebagai salah satu faktor

risiko kejadian iskemik berulang, terutama

pada pasien-pasien yang akan menjalani

PCI (percutaneous coronary intervention).

Pemberian clopidogrel dosis ganda dapat

menjadi salah satu pilihan terapi dalam

mengatasi HTPR ini.

Manfaat obat-obat golongan statin

(3-hydroxy-3-methyl glutaryl coenzyme A

reductase inhibitors) pada pasien-pasien

penelitian yang dilakukan sebelumnya,

namun ada beberapa penelitian yang tidak

mendukung efek sinergistik ini.

Penelitian oleh Dr Domonick adalah penelitian

acak, yang meneliti apakah pemberian

atorvastatin dosis tinggi dapat meningkatkan

aktivitas clopidogrel dosis ganda. Dalam

penelitian ini, pasien yang akan menjalani

PCI (percutaneous coronary intervention)

elektif, menerima terapi clopidogrel seminggu

sebelum prosedur. Dari 209 pasien yang

menjalani penyapihan (screened) sebelum

PCI, 90 pasien (43%) memiliki HTPR setelah

dilakukan pemeriksaaan VerifyNow P2Y12.

Batasan untuk HTPR adalah 235 PRU (platelet

reaction units).

Sejumlah 78 pasien secara acak diterapi

dengan 150 mg clopidogrel sehari atau 150

mg clopidogrel plus 80 mg atorvastatin.

Karakterisitik klinik dan biologik, serta temuan

angiografi k pada baseline tidak berbeda

antar kelompok kohort. Semua pasien dalam

penelitian ini belum pernah diterapi dengan

statin. Dari kedua kelompok terapi, 38 pasien

dari masing-masing kelompok menyelesaikan

terapi selama 30 hari penelitian. (Satu

pasien dalam kelompok terapi clopidiogrel

plus atorvastatin drop-out karena intoleran

terhadap atorvastatin dan 1 dari kelompok

pembanding karena intoleransi clopidogrel).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa

reaktivitas platelet menurun bermakna

dibandingkan baseline pada kedua kelompok

penelitian setelah hari ke-10 dan ke-30 terapi.

Pada hari ke-30, pasien yang diberi terapi

atorvastatin mengalami penurunan kadar PRU

lebih rendah secara bermakna dibandingkan

dengan terapi clopidogrel saja (188 vs 223 PRU

p<0,01, primary endpoint), dan juga kejadian

HTPR yang lebih rendah (16% vs. 42%, p<

0,01).

Pada hari ke-10, lebih banyak pasien dalam

kelompok terapi clopidogrel plus atorvastatin

yang menjadi responder optimal (kriteria

ACHIDO: Kombinasi Clopidogrel plus Atorvastatin Dosis Tinggi Meningkatkan Efek Anti-Platelet

Clopidogrel

risiko tinggi telah diketahui dengan baik,

dan pemberiannya pada pasien-pasien PJK

sebagai terapi prevensi sekunder sangat

direkomendasikan oleh para ahli. Manfaat

pemberian statin ini didasari oleh cara kerja

statin, yang melampaui cara kerjanya dalam

menurunkan kadar lemak darah, di antaranya

adalah efek anti-trombotik. Kenyataannya,

obat golongan statin dapat menghambat

ADP (adenosine diphosphate) dan agregrasi

platelet pada pasien sehat dan PJK. Apakah

pemberian atorvastatin bersamaan dengan

clopidogrel dosis ganda dapat mengatasi

HTPR atau dapat menurunkan reaktivitas

platelet masih belum diketahui dengan pasti.

HTPR merupakan masalah yang umum terjadi

pada pasien-pasien dengan respons lemah

terhadap terapi clopidogrel. Dr Dominick

menjelaskan bahwa pemberian dosis tinggi

clopidogrel dan atorvastatin secara bersamaan

dapat menimbulkan efek sinergistik. Efek

sinergistik ini telah terpantau dari penelitian-

64

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

REFERENSI:

1. Davidson MH. Clinical signifi cance of statin pleiotropic eff ects: hypothesesversus evidence. Circulation 2005;111:2280 –1.

2. Barker CM, Murray SS, Teirstein PS, Kandzari DE, Topol EJ, Price MJ. Pilot study of the antiplatelet eff ect of increased clopidogrel maintenance dosing and its relationship to CYP2C19

genotype in patients with high on-treatment reactivity. J Am Coll Cardiol Intv. 2010;3:1001–7.

3. Leoncini M, Toso M, Maioli M, Angiolillo DJ, Giusti B, PHD, Marcucci R, et al. High-Dose Atorvastatin on the Pharmacodynamic Eff ects of Double-Dose Clopidogrel in Patients Undergoing

Percutaneous Coronary Interventions. Am Coll Cardiol Intv. 2013;6:169 –79.

4. Piorkowski M, Weikert U, Schwimmbeck PL, Martus P, Schultheiss HP, Rauch U. ADP induced platelet degranulation in healthy individuals is reduced by clopidogrel after pretreatment with

atorvastatin. Thromb Haemost 2004;92:614 –20.

Gambar 1 Status respons pasien terhadap terapi pada hari ke-10 (T-1) dan ke-30 (T-2). Nilai PRU (P2Y12 reaction units) >=235

(HTPR, high on-treatment platelet reactivity) ditandai dengan merah dan PRU<235 ditandai dengan warna biru. Garis yang

menyambung memperlihatkan pasien dengan reaktivitas yang stabil antara T-1 dan T-2. Panah memperlihatkan pasien yang

reaktivitasnya berubah antara T-1 dan T-2. Pada baseline semua pasien memiliki PRU >=235

penurunan kadar PRU <235), dengan

perbandingan kelompok clopidogrel plus

atorvastatin vs kelompok clopidogrel saja 74%

vs. 63% (p=0,1), yang kemudian bermakna

secara statistik pada hari ke-30 (84% vs. 58%,

p<0,02).

Kedua kelompok penelitian tidak berbeda

dalam hal kejadian periprosedural infark

miokard atau rerata nilai CK-MB. Tidak ada

komplikasi lain yang dilaporkan.

Pemberian clopidogrel dosis ganda plus

atorvastatin dosis tinggi dapat menurunkan

reaktivitas platelet secara bermakna, dengan

kata lain dapat diberikan pada pasien-

pasien yang mengalami masalah HTPR.

Para ahli dalam penelitian ini memang tidak

menyarankan para tenaga kesehatan untuk

menggunakan dosis tinggi seperti dalam

penelitian ini, namun pemberian clopidogrel

dosis ganda dan atorvastatin dosis tinggi dapat

direkomendasikan pada situasi-situasi khusus

HTPR atau bila dosis clopidogrel optimal gagal

memberikan respons yang dikehendaki.

Penelitian ini merupakan penelitian

farmakodinamik tanpa outcome klinik, namun

memperlihatkan bagaimana cara mengurangi

HTPR (High-on-treatment platelet reactivity).

Dalam komentarnya, Dr. Matthew J. Price dari

Scripps Translational Science Institute in La Jolla,

California mengatakan bahwa penelitian ini

merupakan penelitian farmakodinamik yang

sangat menarik, salah satu kelemahannya

adalah desain penelitian yang terbatas karena

dilakukan hanya di satu fasilitas kesehatan.

Simpulannya, pemberian clopidogrel dosis

ganda plus atorvastatin dosis tinggi dapat

menurunkan reaktivitas platelet secara

bermakna, dengan kata lain dapat diberikan

pada pasien-pasien yang mengalami masalah

HTPR (High on-treatment platelet reactivity). �

(YYA)

66

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

REFERENSI:

Fernández-Canigia L, Dowzicky MJ. Susceptibility of important Gram-negative pathogens to tigecycline and other antibiotics in Latin America between 2004 and 2010. Ann Clin Microbiol

Antimicrob. 2012;11(29).

Tabel Sensitivitas bakteri di Amerika Latin terhadap antibiotik

Organisms/antimicrobialMIC* (mg/L) Percentage

N 50 90 Range S** I*** R***non-ESBL E. coli

Amikacin 2711 2 8 ≤0.5 to ≥128 97.2 1.2 1.7

Imipenem 485 0.25 0.5 ≤0.06 to ≥32 98.6 0.6 0.8

Meropenem 2226 ≤0.06 0.12 ≤0.06 to ≥32 98.6 0.4 1

Tigecycline 2711 0.25 0.5 ≤0.008 to ≥32 99.7 0.2 <0.1c

ESBL E. coli

Amikacin 870 4 32 ≤0.5 to ≥128 89.7 5.1 5.3

Imipenem 143 0.25 0.5 ≤0.06 to 8 97.9 0.7 1.4

Meropenem 727 ≤0.06 0.12 ≤0.06 to ≥32 96.4 1.2 2.3

Tigecycline 870 0.25 0.5 ≤0.008 to 4 99.8 0.2 0

Non-ESBL K. pneumoniae

Amikacin 1917 2 8 ≤0.5 to ≥128 93.4 1.8 4.8

Imipenem 275 0.5 0.5 ≤0.06 to ≥32 98.9 0 1.1

Meropenem 1642 ≤0.06 0.25 ≤0.06 to ≥32 94.6 1 4.4

Tigecycline 1917 0.5 1 ≤0.008 to ≥32 96.9 2.3 0.8

ESBL K. pneumoniae

Amikacin 1045 8 ≥128 ≤0.5 to ≥128 71.2 8.3 20.5

Imipenem 199 0.5 1 ≤0.06 to 16 96 2.5 1.5

Meropenem 846 ≤0.06 2 ≤0.06 to ≥32 89 2.4 8.6

Tigecycline 1045 0.5 2 0.03 to 16 93.7 4.9 1.4

Enterobacter spp.

Amikacin 2804 2 32 ≤0.5 to ≥128 89.2 4.4 6.5

Imipenem 493 0.5 1 ≤0.06 to ≥32 95.9 2.6 1.4

Meropenem 2311 ≤0.06 0.5 ≤0.06 to ≥32 94.3 1.9 3.8

Tigecycline 2804 0.5 2 ≤0.008 to ≥32 96 3.5 0.5

H. infl uenzae

Imipenem 217 0.5 1 ≤0.06 to 4 100 — —

Meropenem 691 ≤0.06 0.12 ≤0.06 to 0.5 100 — —

Tigecycline 908 0.12 0.25 ≤0.008 to 0.5 98.8 — —

A. baumannii

Amikacin 1806 64 ≥128 ≤0.5 to ≥128 30.4 12 57.6

Imipenem 307 2 ≥32 ≤0.06 to ≥32 62.5 3.9 33.6

Meropenem 1499 ≥32 ≥32 ≤0.06 to ≥32 33.9 5.5 60.6

Minocycline 1806 ≤ 0.5 8 ≤0.5 to ≥32 89.4 4.6 6

Tigecycline 1806 0.5 2 ≤0.008 to ≥32 — — —

P. aeruginosa

Amikacin 2734 4 ≥128 ≤0.5 to ≥128 71.8 8.1 20

Imipenem 461 1 16 0.12 to ≥32 66.8 15 18.2

Meropenem 2273 2 ≥32 ≤0.06 to ≥32 64.2 9.6 26.2

Tigecycline 2734 8 ≥32 ≤0.008 to ≥32 — — —

Catatan: MIC*: Minimum inhibitory concentration; **S: Sensitive; ***I: Intermediate; R***: Resistant

Carbapenem dan Tigecycline Masih Aktif Untuk Enterobacteriaceae dan A. Baumannii

di Amerika Latin

Studi terbaru menunjukkan bahwa

carbapenem dan tigecycline tetap aktif

untuk bakteri Enterobacteriaceae and A.

baumannii di Amerika Latin. Studi Tigecycline

Evaluation and Surveillance Trial (TEST)

adalah studi survei global yang mempelajari

sensitivitas antibiotik tigecycline dan produk

pembandingnya secara global, regional, dan

juga per negara. Studi ini mempelajari data

dari isolat Gram negatif yang dikumpulkan

dari pusat-pusat penelitian di 60 negara pada

periode 2004 – 2010.

Regio Amerika Latin sedang menghadapi

tantangan signifi kan berupa tingginya

resistensi antibiotik pada bakteri-bakteri

Gram negatif termasuk E. coli dan Klebsiella

spp., Acinetobacter spp. nonfermentatif, dan

Pseudomonas aeruginosa. Dalam tahun-

tahun belakangan ini, terdapat peningkatan

jenis dan frekuensi ESBL yang dihasilkan

Enterobacteriaceae dan enzim carbapenemases.

Dalam kasus bakteri bacilli Gram negatif non-

fermentatif yang resisten terhadap berbagai

obat, pilihan perawatan menjadi makin

terbatas, atau tidak ada pilihan sama sekali.

Laporan studi ini merupakan satu bagian dari

studi TEST yang khusus melaporkan mengenai

sensitivitas bakteri Gram negatif di 12 Negara

Amerika Latin.

Isolat bakteri dites di setiap pusat

menggunakan metode broth microdilution

seperti dideskripsikan oleh Clinical Laboratory

Standards Institute (CLSI). Suseptibilitas

ditentukan menggunakan kriteria interpretasi

CLSI. Untuk tigecycline, kriteria yang digunakan

adalah kriteria FDA. Total 16.232 isolat dianalisis.

Suseptibilitas E.coli yang menghasilkan non-

extended-spectrum β-lactamase dan extended-

spectrum β-lactamase (ESBL) terhadap

imipenem, meropenem dan tigecycline lebih

dari 95%. Suseptibilitas terhadap amikacin juga

>95% untuk E. coli yang non ESBL. 24,3% dari

E. coli adalah penghasil ESBL, dengan rentang

11,2% (58/519) di Kolombia sampai 40,3%

(31/77) di Honduras. Lebih dari 90% Klebsiella

pneumoniae non-ESBL sensitif terhadap

tigecycline, carbapenem, dan amikacin.

35,3% K. pneumoniae adalah penghasil ESBL,

dengan rentang mulai dari 17,2% (36/209) di

Venezuela sampai 73,3% (55/75) di Honduras,

di mana hanya imipenem dan tigecycline yang

mempertahankan sensitivitas > 90%. Lebih

dari 90% Klebsiella oxytoca, Enterobacter spp.,

dan Serratia marcescens sensitif terhadap

amikacin, carbapenem, dan tigecycline.

Sensitivitas paling tinggi terhadap

Acinetobacter baumannii terlihat pada

minocycline (89,4%) dan imipenem (62,5%),

sementara 95,8% isolat A.baumannii memiliki

MIC ≤2 μg/mL untuk tigecycline.

Simpulannya, di dalam studi ini, carbapenem

dan tigecycline masih tetap aktif terhadap En-

terobacteriaceae dan A. baumannii; akan tetapi

terdapat laporan adanya isolat yang tidak sen-

sitif/resisten terhadap carbapenem di semua

negara, termasuk di dalam studi ini. � (AGN)

68

BERITA TERKINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

REFERENSI:

1. Kahn SA, Beers RJ, Lentz CW. Resuscitation after severe burn injury using high-dose ascorbic acid: a retrospective review. J Burn Care Res. 2011;32(1):110-7. doi: 10.1097/

BCR.0b013e318204b336.

2. Tanaka H, Matsuda T, Miyagantani Y, Yukioka T, Matsuda H, Shimazaki S. Reduction of resuscitation fl uid volumes in severely burned patients using ascorbic acid administration: a

randomized, prospective study. Arch Surg. 2000;135(3):326-31.

Studi resusitasi pada pasien luka bakar

dengan ascorbic acid IV dosis tinggi

telah dilaporkan di Jepang pada tahun

2000. Terapi ascorbic acid dosis tinggi (66

mg/kg/jam) menurunkan peroksidasi lemak,

kebutuhan cairan resusitasi, dan edema pada

pasien luka bakar berat. Selain itu, pasien lebih

sedikit mengalami kelainan pernapasan dan

berkurang kebutuhan untuk ventilasi mekanik.

Studi tersebut dilakukan secara acak pada 37

pasien dengan luka bakar >30% TBSA (total

body surface area) yang dirawat di RS dalam

2 jam setelah luka bakar yang dibagi menjadi

kelompok ascorbic acid dan kelompok kontrol.

Resusitasi cairan dilakukan menggunakan

larutan RL.

Pada kelompok ascorbic acid (n=19, luas

luka bakar rata-rata 63% TBSA), ascorbic acid

diinfuskan selama 24 jam pertama studi.

Pada kelompok kontrol (n=18, luas luka bakar

rata-rata 53% TBSA), tidak diberi ascorbic

acid. Kemudian dibandingkan parameter

hemodinamik dan pernapasan, peroksidasi

lemak, dan keseimbangan cairan selama 96

jam setelah injuri.

Hasilnya menunjukkan bahwa parameter

hemodinamik dan jumlah urin sama

antara kedua kelompok. Total cairan yang

diinfuskan selama 24 jam rata-rata 5,2 mL/

kg pada kelompok kontrol vs 3,0 mL/kg pada

kelompok ascorbic acid per % luka bakar

(p<0,01). Pada 24 jam pertama, penambahan

berat badan rata-rata 17,8% pada kelompok

kontrol vs 9,2% pada kelompok ascorbic acid.

Kandungan air rata-rata 6,1 mL/g berat kering

pada kelompok kontrol vs 1,7 mL/g berat

kering pada kelompok ascorbic acid (p<0,01).

Retensi cairan dalam 24 jam kedua juga secara

bermakna lebih rendah pada kelompok

ascorbic acid. Pada kelompok kontrol, rasio

PaO2 (tekanan parsial oksigen di arteri):FiO2

(fraksi oksigen yang diekspirasi) setelah luka

bakar lebih rendah dibanding kelompok

ascorbic acid (p<0,01). Lama ventilasi mekanik

rata-rata 21,3 hari pada kelompok kontrol

vs 12,1 mL/kg pada kelompok ascorbic acid

(p<0,05). Kadar malondialdehyde lebih rendah

pada kelompok ascorbic acid pada 18, 24, dan

36 jam setelah injuri (p<0,05).

Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa

ascorbic acid dosis tinggi selama 24 jam

pertama setelah luka bakar secara bermakna

menurunkan kebutuhan volume cairan

resusitasi, penambahan berat badan, dan

edema luka, serta menurunkan derajat

disfungsi pernapasan.

Namun beberapa pusat luka bakar masih

kuatir akan meningkatkan risiko gagal ginjal.

Oleh karena itu dilakukan suatu review

retrospektif dari 33 pasien dengan luas luka

bakar >20% TBSA antara 2007 – 2009 yang

dibawa ke RS dalam waktu <10 jam. Pasien

diberi larutan RL (n=16) atau larutan RL plus

ascorbic acid 66 mg/kg/jam (n=17). Kedua

kelompok diresusitasi dengan formula

Parkland untuk mempertahankan stabilitas

hemodinamik dan jumlah urin yang adekuat

(>0,5 mL/kg/jam).

Hasilnya menunjukkan bahwa kebutuhan

cairan dalam 24 jam pertama rata-rata 5,3

mL/kg/jam untuk kelompok ascorbic acid dan

7,1 mL/kg/jam untuk kelompok RL (p<0,05).

Jumlah urin rata-rata 1,5 mL/kg/jam untuk

kelompok ascorbic acid dan 1 mL/kg/jam

untuk kelompok RL (p<0,05). Vasopresor

diperlukan pada 4 pasien kelompok ascorbic

acid dan 9 pasien pada kelompok RL (p=0,07).

Kelompok ascorbic acid memerlukan

vasopresor untuk mempertahankan tekanan

arteri rata-rata selama rata-rata 6 jam, tetapi

kelompok RL memerlukan vasopresor selama

11 jam (p=0,2). Tidak ada perbedaan dalam

rasio PaO2: FIO2, tekanan ekspirasi akhir

positif, frekuensi pneumonia, gagal ginjal

atau injuri inhalasi. Kelompok ascorbic acid

mempunyai 4 moratlitas dan kelompok RL 3

mortalitas (p=1).

Dari hasil studi disimpulkan bahwa ascorbic

acid dosis tinggi dikaitkan dengan penurunan

kebutuhan cairan dan peningkatan jumlah

urin selama resusitasi setelah luka bakar. Hal

ini menunjukkan bahwa ascorbic acid dosis

tinggi dapat digunakan dengan aman tanpa

peningkatan risiko gagal ginjal, meskipun

tetap memerlukan studi prospektif lebih

lanjut yang dilakukan secara acak dengan

skala besar. � (EKM)

Ascorbic Acid Intravena Dosis Tinggi Untuk Luka Bakar

70

PRAKTIS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PENDAHULUAN

Walaupun telah banyak kemajuan diagnostik

dan intervensi terapeutik, infeksi hampir

menjadi bagian tak terpisahkan dengan

perawatan intensif Infeksi pada pasien

kritis merupakan tantangan karena dapat

mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.

Sekarang, infeksi fungal invasif menjadi

problem mayor dalam ruang intensif di negara

berkembang dan negara maju1. Infeksi fungal

invasif sebelumnya dianggap jarang terjadi

pada ruang intensif, namun seiring dengan

peningkatan penggunaan antibiotik spektrum

luas dan peningkatan pengetahuan tentang

infeksi fungal, angka insiden meningkat.

Infeksi candida invasif merupakan infeksi

fungal invasif tersering, meliputi 70-90%

infeksi fungal invasif. Candida menduduki

peringkat ke-4 penyebab infeksi nosokomial

dalam darah di Amerika Serikat, insiden

infeksi candida invasif bervariasi antara 0,5-1,4

per 10.000 pasien di rumah sakit dan antara 2

dan 6,9 per 1000 pasien ruang intensif.2 Pada

penelitian AURORA 2012, didapatkan infeksi

candida invasif merupakan penyebab infeksi

fungal invasif tersering (87,6%).3 Penelitian di

Italia, mendapatkan insiden infeksi candida

invasif 10,08 per 1000 pasien yang dirawat di

ruang intensif.4

Infeksi candida invasif dihubungkan dengan

morbiditas yang signifi kan ditandai dengan

lama perawatan ruang intensif dan rumah

sakit antara satu dan beberapa minggu.5,6

Total mortalitas pasien dengan infeksi candida

invasif tinggi: 42,6% pada penelitian EPIC II,7

35,2% di minggu ke-12 pada penelitian PATH,8

37,9% pada penelitian ECMM,9 dan 53,4%

pada yang dirawat bukan di ruang intensif

vs 85,9% pada yang dirawat di ruang intensif

pada penelitian SCOPE di Brazil.10

Terapi antifungal dini diperlukan untuk

mengontrol dan dapat menurunkan

morbiditas infeksi candida invasif2. Tetapi

diagnosis dini infeksi candida invasif masih

terhambat dan kriteria untuk memulai

terapi empiris antifungal masih belum

jelas. Diagnosis infeksi candida invasif

menggunakan kultur darah membutuhkan

waktu lama, sensitivitasnya rendah dan tanda

radiologis sering muncul terlambat. Deteksi

antigen seperti galactomannan, antibodi anti

mycelium, deteksi mannan membutuhkan

waktu dan biaya yang tidak sedikit11. Panduan

IDSA merekomendasikan bahwa terapi

antifungal empiris harus dipertimbangkan

pada pasien kritis dengan faktor risiko infeksi

candida invasif dan penyebab demam yang

tidak diketahui; namun faktor risiko infeksi

candida telah banyak diteliti dan sangat

banyak, dan kebanyakan pasien ruang intensif

terpapar dengan faktor-faktor risiko tersebut.

Penggunaan antifungal berlebihan dapat

meningkatkan biaya kesehatan dan bahaya

resistensi. 2

Untuk memastikan terapi antifungal

secara tepat dan untuk menghindari terapi

antifungal yang tidak perlu, para peneliti

mengembangkan beberapa prediksi klinis

untuk mengidentifi kasi pasien ruang intensif

yang berisiko tinggi candidiasis dan pasien

yang harus diberi terapi antifungal empiris,

namun prediksi klinis ini mempunyai

spesifi sitas tinggi dengan sensitivitas rendah,

tidak memiliki validasi prospektif, dan

penggunaannya rumit.2

Pada tahun 2006 sebuah grup peneliti

Spanyol menggunakan data dari proyek

Estudio de Prevalencia de Candidiasis untuk

mengindentifi kasi 4 prediktor infeksi candida

invasif yang telah terbukti. Berdasarkan

4 prediktor tersebut, disusun suatu skor

bernama Candida Score.12 Pada tahun

2009, grup peneliti yang sama melakukan

penelitian yang menunjukkan adanya asosiasi

linier yang signifi kan antara peningkatan nilai

candida score dengan angka insiden infeksi

Peranan Candida Score untuk Deteksi Infeksi Fungal Invasif di Ruang Intensif

Edwin Nugroho NjotoGleneagles Diagnostic Center, Surabaya, Indonesia

ABSTRAK

Diagnosis dini penting untuk mengontrol infeksi candida invasif pada pasien ruang intensif dan memperbaiki prognosis. Candida score dapat

membantu dokter mengidentifi kasi pasien yang akan mendapat manfaat dari pemberian antifungal dini dan pasien yang hampir tidak mungkin

terinfeksi candida invasif.

Kata kunci:

ABSTRACT

Early diagnosis is important to control invasive candida infection in the intensive care patients and to improve prognosis. Candida score can

help to identify who will benefi t from early antifungal therapy and who is unlikely to get invasive candida infection. Edwin Nugroho Njoto.

Candida Score for Invasive Fungal Infection Detection in Intensive Care.

Key words:

Alamat korespondensi email: [email protected]

71

PRAKTIS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

ROUNDED CANDIDA SCORE= 1 x

(nutrisi parenteral total) + 1 x (pasca

pembedahan) + 1 x (kolonisasi candida

spesies multifokal) + 2 x (sepsis berat).

Angka insiden infeksi candida invasif adalah

2,3% pada pasien dengan skor di bawah 3,

8.5% pada pasien dengan skor 3, 16,8% pada

pasien dengan skor 4, 23,6% pada pasien

dengan skor 5 (95% CI 1.06-3.54). Mereka

menyimpulkan bahwa infeksi candida invasif

hampir tidak mungkin terjadi pada pasien

dengan rounded candida score di bawah 3.13

Penelitian Leroy et al pada 94 pasien sepsis

berat dan syok septik di 5 ruang intensif di

Perancis selama Januari 2010 sampai dengan

Maret 2011 mendapatkan insiden infeksi

candida invasif 0% pada pasien dengan

skor 2 atau 3, 17,6% pada pasien dengan

skor 4 dan 50% pada pasien dengan skor 5

(p<0,0001). Suatu korelasi linier dan signifi kan

dengan peningkatan candida score dan tidak

didapatkan candidiasis invasif pada pasien

dengan skor di bawah 3.2,4

SIMPULAN

Ada relevansi klinis candida score untuk

mengidentifi kasi pasien di ruang intensif yang

akan mendapatkan manfaat terapi antifungal

dini dan pasien yang hampir tidak mungkin

terinfeksi candidiasis invasif.

Semua variabel mendapat nilai 1 jika terdapat

dan nilai 0 jika tidak terdapat. 12

Tabel 1 Sensitivitas dan spesifi sitas candida score12

Nilai Cutoff Sensitivitas False positive

1,055 0,983 0,653

1,509 0,949 0,495

1,963 0,898 0,426

2,069 0,831 0,312

2,074 0,814 0,301

2,528 0,814 0,259

2,982 0,780 0,231

3,026 0,610 0,132

3,093 0,593 0,130

3,547 0,525 0,092

4,001 0,492 0,077

Berdasarkan tabel 1 disimpulkan candida score

>2,5 dapat secara akurat mengidentifi kasi

pasien berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi

candida invasif dengan sensitivitas 81% dan

spesifi sitas 74%.2,12

Pada tahun 2009 Leon et al melakukan

penelitian pada 1107 pasien dewasa non

neutropenik ruang intensif pada 36 ruang

intensif medical-bedah di Spanyol, Perancis

dan Argentina yang masuk antara April 2006

dan Juni 2007. Mereka menggunakan rounded

candida score dengan rumus sebagai berikut:

(semua variabel diberi nilai 1 jika terdapat dan

nilai 0 jika tidak terdapat: 13

candida invasif. Skor ini sangat berguna untuk

menstratifi kasi faktor risiko infeksi candida

yang telah terbukti, mengidentifi kasi pasien

yang akan mendapat manfaat dari terapi

antifungal dini dan pasien yang tidak mungkin

terinfeksi candida invasif.13

Berikut akan dibahas tentang candida score.

CANDIDA SCORE

Pada tahun 2006 Leon dkk. melaporkan

penelitian kohort observasional multicenter

pada 1669 pasien dewasa ruang intensif yang

dirawat di 73 ruang intensif medikal-bedah

di Spanyol antara Mei 1998 sampai dengan

Januari 1999. Mereka mengidentifi kasi 4 faktor

independen yang berhubungan dengan

risiko lebih tinggi terjadinya infeksi candida

yang telah terbukti, yaitu: pasca pembedahan

(odd ratio [OR] 2.71, 95% indeks kepercayaan

[CI] 1.45-5.06), kolonisasi candida spesies

multifokal (OR 3,04, 95%CI 1,45-6,39), nutrisi

parenteral total (OR 2.48, 95%CI 1.16-5.31),

dan sepsis berat (OR 7.68, 95%CI 4.14-14.22).

Suatu skor dibuat berdasarkan 4 faktor

independen tersebut yaitu: 12

CANDIDA SCORE = 0,908 x (nutrisi

parenteral total) + 0,997 x (pasca

pembedahan) + 1,112 x (kolonisasi

candida spesies multifokal) + 2,038 x

(sepsis berat).

DAFTAR PUSTAKA

1. Bajwa SJ, Kulshrestha A. Review article. Fungal infection in Intensive Care Unit: challenges in diagnosis and management. India Ann Med Health Sci Res. 2013; 3 issue 2. http://www.amhsr.org.

2. Leroy G, et al. Evaluation of “candida score” in critically ill patients: a prospective, multicenter, observational, cohort study. France. Ann. Intensive Care 2011;1:50. http://www.

annalsofi ntensivecare.com/content/1/1/50.

3. Montagna MT, et al. Epidemiology of invasive fungal infection in the intensive care unit: results of a multicenter Italian survey (AURORA Project). Italy Infection 2013; 41:645-53.

4. Tortorano AM, Dho G, Prigitano A, et al. Invasive fungal infections in the intensive care unit: a multicentre, prospective, observational study in Italy (2006-2008). Mycoses, 2012;55:73-9.

5. Leroy O, et al: Epidemiology, management, and risk factors for death of invasive candida infection in critical care: a multicenter, prospective, observational study in France (2005-2006).

Crit Care Med 2009;37:1612-8.

6. Bougnoux ME, Kac G, Aegerter P, d’Enfert C, Fagon JY. Candidemia and candidiuria in critically ill patients admitted to intensive care units in France: incidence, molecular diversity,

management, outcome. Intensive Care Med 2008; 34:292-9.

7. Kett DH, Azoulay E, Echeverria PM, Vincent JL: Candida bloodstream infections in intensive care units: analysis of the extended prevalence of infection in intensive care unit study. Crit Care

Med 2011;39:665-70.

8. Horn DL, Neofytos D, Anaisse EJ, Fishman JA, Steinbach WJ, Olyaei AJ, et al: Epidemiology and outcome of candidemia in 2019 patients: data from the prospective antifungal therapy

alliance registry.

9. Tortorano AM, Kibbler C, Peman J, Bernhardt H, Klingspor L, Grillot R: Candidaemia in Europe: epidemiology and resistance. Int J Antimicrob Agents 2006; 27:359-366.

10. Marra AR, Camargo LF, Pignatari AC, Sukiennik T, Behar PR, Medeiros EA, et al. Nosocomial bloodstream infections in Brazilian hospitals: analysis of 2563 cases from a prospective

nationwide surveillance study. J Clin Microbiol 2011; 49:1866-71.

11. Estrella M.C, et al. Update on the epidemiology and diagnosis of invasive fungal infection. Elsevier. Spain. Internat.J.Antimicrobial Agents 2008;32 suppl 2:S143-7.

12. Leon C, Ruiz-santana S., Saavedra P, Almirante B, nolla-salas J, Varez-Lerma F,et al. A bedside scoring system (“candida score”) for early antifungal treatment in nonneutropenic critically ill

patients with candida colonozation Crit Care Med. 2006; 34(3):730-7.

13. Leon C, et al. Usefulness of the “candida score” for discriminating between candida colonization and invasive candidiasis in non-neutropenic critically ill patients: a prospective multicenter

study. Crit Care Med. 2009; 37(5):1624-1633. Spain.

73

OPINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PENDAHULUAN

SLE merupakan kompleks penyakit yang

mempengaruhi banyak sistem organ

(multipel). Penyakit tersebut dominan

menyerang etnis tertentu dan perempuan

dibandingkan laki-laki dengan rasio 10:1.

Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui.1

Patogenesis SLE sangat kompleks melibatkan

kelainan imun multipel termasuk fungsi

abnormal sel B yang terus menerus

membentuk antibodi dan membentuk sel

T yang autoreaktif.1 Di samping itu terjadi

pula pembersihan abnormal kompleks imun

berakibat penumpukan dalam jaringan,

aktivasi komplemen dan apoptosis sel

cacat yang menyebabkan penumpukan

autoantigen yang potensial. Hasil akhir proses

di atas adalah induksi radang dan gagal organ

termasuk ginjal, jantung, kulit dan sistem

saraf.1

Pengobatan imunosupresif merupakan

pengobatan utama bagi SLE berat dan telah

terbukti efektif mengurangi beberapa gejala

sisa SLE termasuk penyakit ginjal stadium

akhir namun tidak terbukti memperbaiki

morbiditas dan mortalitas. Di samping itu

pengobatan tersebut dapat meningkatkan

risiko infeksi serius, toksik terhadap jaringan

dan organ di luar sistem imun.2

Obat harus efektif dan aman dengan

memperhatikan tahapan patofi siologi

perkembangan autoimun, respons imun

abnormal yang terus menerus dan kerusakan

jaringan akibat imunitas yang dibutuhkan

untuk mengenal dan menentukan sasaran

sangat spesifi k.2

Imunosupresi dengan target sel B

Sebagian besar sel B terlibat dalam

patogenesis SLE sebagai sumber

autoantibodi, sebagai antigen-presenting

cells (APC), sebagai pemrakarsa serta

pengatur radang melalui sekresi sitokin.

Sel B merupakan target pengobatan

imunosupresi termasuk anti-CD20

monoclonal antibody (rituximab) dan anti-B

lymphocyte stimulator (BLyS).3

Anti-CD20 Antibody

Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B

pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap

CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada

awal perkembangan limfosit B. Pemberian

rituximab akan mengurangi limfosit B positif

CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi

dengan sel B asli yang tidak terpapar antigen.3

Efek samping rituximab yang paling sering:

reaksi transfusi (30–35%), neutropenia (8%),

dan produksi human antichimeric antibodies

(9%). Kasus fatal yang jarang terjadi termasuk

progressive multifocal leukoencephalopathy

yang disebabkan polyomavirus JC.3

Monoclonal anti-CD20 antibodies yang

baru termasuk ocrelizumab, merupakan

recombinant humanized monoclonal anti-CD20

antibody telah dicoba pada SLE ekstrarenal

dan nefritis lupus.3

Anti-CD22 Antibodies - Epratuzumab

Fungsi epratuzumab adalah untuk mengatur

fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya.

Dalam penelitian obat tersebut digunakan

Target Terapi Imunosupresan pada Lupus Eritematosus Sistemik

Ni Ketut Donna Prisilia, Pande Ketut Kurniari, Gede Kambayana Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

Alamat korespondensi email: [email protected]

ABSTRAK

Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) merupakan suatu kompleks penyakit melibatkan kelainan imun yang multipel

meliputi fungsi abnormal sel B dan sel T, pembersihan abnormal kompleks imun berakibat penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen

dan apoptosis sel cacat menyebabkan penumpukan autoantigen yang potensial. Akibatnya terjadi induksi radang, gagal organ seperti pada

ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Terapi SLE berat antara lain imunosupresi dengan target sel B, sel T, menghambat sitokin, dan menghambat

komplemen berfungsi menekan sistem imun (imunosupresif ), efektif mengurangi gejala sisa SLE namun dapat meningkatkan risiko infeksi

serius.

Kata kunci: SLE, imunosupresif, sel B, sel T, sitokin, komplemen

ABSTRACT

Sytemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex of diseases involving multiple immune abnormality with abnormal cell T and cell B functions,

abnormal immune complex clearance resulting accumulation in the tissue, complement activation and apoptosis of defective cell which

caused potential autoantigen accumulation. The consequences are induction of infl ammation, failure of organs such as kidney, heart, skin

and nervous system. Immunosuppressive therapy targeted to B cell, T cell, the cytokines and complement is eff ective to reduce sequelae

but increase the risk of serious infection. Ni Ketut Donna Prisilia, Pande Ketut Kurniari, Gede Kambayana. Target of Immunosupresive

Therapy in Systemic Lupus Erythematosus.

Keywords: SLE, immunosuppressive, B cells, T cells, cytokine, complement

74

OPINI

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Anti-IL-10

IL-10 diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat

sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada SLE

meningkat dan dihubungkan dengan

aktifi tas penyakit. Pemberian anti IL-10 akan

menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan

menghambat terjadinya proteinuria dan

glomerulonefritis.3

Anti-IL-15

IL-15 terutama diproduksi oleh makrofag dan

ditemukan meningkat pada 40% penderita

SLE, namun peningkatan tersebut tidak

berhubungan dengan aktivitas penyakit.

Obat anti IL-15 sedang dicoba untuk penyakit

autoimun lain.3

Anti-IL-18

IL-18 merupakan sitokin proinfl amasi yang

erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai

penelitian menemukan peningkatan kadar

serum IL-18 pada penderita SLE yang

dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai saat

ini penghambat IL-18 belum digunakan pada

SLE manusia.3

Imunosupresan menghambat komplemen

Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur dan

lebih dari 30 protein terlibat secara langsung

atau tidak langsung memperantarai efek

komplemen. Sistem komplemen mempunyai

efek proteksi terhadap SLE sedangkan pada

keadaan defi siensi komponen jalur klasik

dihubungkan dengan peningkatan risiko

SLE. Deposisi kompleks imun menyebabkan

sistem komplemen aktif dan meningkatkan

respons radang.3

Ada dua penghambat komplemen yaitu TP10

dan eculizumab yang walaupun belum ada

penelitian klinik, mungkin dapat digunakan

sebagai pengobatan SLE.3

SIMPULAN

Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan

untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan

pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan

memperbaiki hasil induksi remisi. Manifestasi

tertentu SLE seperti penyakit kulit yang

refrakter dan nefritis berhasil diatasi dengan

baik dengan antagonis TNF-α dan anti IL-6.

untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil

baik dan aman serta mengurangi kebutuhan

dosis kortikosteroid.3

B-Lymphocyte Tolerogens - Abetimus

(LJP-394)

Obat ini merupakan tolerogen terhadap sel B

yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus

telah diteliti pada manusia baik penderita

lupus non renal maupun lupus nefritis.

Tolerogen lain, yaitu TV-4710 (Edratide),

merupakan peptida yang disusun oleh 19

asam amino.

BLyS Blockers

B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator

(BLyS) yang juga disebut B-cell activation

factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci

dalam aktivasi dan diferensiasi sel B sehingga

dapat digunakan sebagai target yang baik

untuk intervensi SLE. Penghambatan BLyS

akan mengurangi sel B dan bermakna

meningkatkan aktivasi imun.3

Contoh obat ini belimumab merupakan

human monoclonal antibody yang berikatan

dengan BLyS sehingga menghambat

aktivitas biologinya. FDA (Food And Drug

Administration) Amerika Serikat telah

menyetujui obat tersebut untuk pengobatan

SLE.3 Penghambat BlyS lain atacicept (TACI-Ig)

merupakan soluble transmembrane activator

dan calcium-modulator dan cyclophilin ligand

interactor (TACI) receptor, yang mengikat

BAFF. Obat ini ditoleransi baik oleh penderita

SLE.3

Imunosupresi dengan target sel T

Aktivasi sel T membutuhkan interaksi

rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada

sel T sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80

dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen

Precenting Cell). Abatacept dapat menghambat

interaksi tersebut.3

Suatu antibodi monoklonal efalizumab

dapat langsung menghambat CD11a yang

berperan penting untuk aktivasi, reaktivasi,

ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit.

Dengan demikian pemberian obat ini dapat

mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.3

Imunosupresi yang menghambat sitokin

Sitokin yang berperan pada proses radang,

yang selanjutnya akan menyebabkan

kerusakan jaringan dan organ, termasuk

tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interferon

alpha/gamma (IFN-α/γ) dan interleukin (IL)

1, 6, 10, 15, dan 18. Sitokin-sitokin tersebut

potensial sebagai target pengobatan untuk

mengurangi radang kronis pada SLE.3

Anti-TNF-α

TNF-α pada SLE dapat meningkatkan

apoptosis dan berpengaruh bermakna pada

aktifi tas sel B, sel T dan sel detritus. Selain

itu anti TNF-α menghambat pembentukan

autoantibodi termasuk antinuclear, anti-dsDNA

dan anti cardiolipin. Ada beberapa preparat

anti TNF-α yang tersedia termasuk infl iximab,

adalimumab, golimumab, certolizumab pegol

dan etanercept.3

Anti-IFN-α/γ

IFN-α berperan bermakna pada patogenesis

SLE dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit

dan komplikasi ginjal. Obat anti INF-α termasuk

sifalimumab (MEDI-545) dan rontalizumab

serta obat anti INF-γ (AMG 811) merupakan

obat yang aman serta ditoleransi penderita

SLE.3

Anti-IL-1

Pada SLE, kadar serum TNF dan anti-dsDNA

antibody meningkatkan kadar serum IL-1,

peningkatan kadar IL-1 dihubungkan dengan

aktifi tas penyakit dan kadar rendah antagonis

reseptor IL-1 dihubungkan dengan nefritis

lupus.3

Anakinra menetralkan aktivitas biologi IL-1;

obat ini aman pada penderita SLE dan efektif

memperbaiki artritis.3

Anti-IL-6

IL-6 menginduksi diferensiasi sel B menjadi

sel plasma, sekresi antibodi dan hiperaktif,

di samping itu juga mendorong proliferasi

sel T, diferensiasi cytotoxic T-cell dan radang

lokal. Ekspresi IL-6 pada nefritis lupus tinggi

sehingga digunakan anti IL-6 (tocilizumab).

Neutropeni merupakan efek samping yang

sering terjadi pada pemberian tocilizumab.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Krishnan S, Chowdhury B, Juang Y-T, Tsokos GC. Overview of the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p. 55-63.

2. Kyttaris VC, Tsokos GC. New Treatments in Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p.516-23.

3. Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. Biological therapy in systemic lupus erythematosus. Int J Rheumatol. 2012;2012:578-641.

76

AGENDA

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

15th European Congress of Trauma and Emergency Surgery & 2nd World Trauma

Congress 2014

Tanggal : 24-27 Mei 2014

Tempat : Frankfurt Congress Center, Frankfurt, Germany

Sekretariat : European Society for Trauma and Emergency

Surgery

Telp/Fax : +43 1 58804 0 / +43 1 58804 185

Email : ectes2014 (at) mondial-congress.com

URL : www.ectes2014.org

19th European Congress Of Physical & Rehabilitation Medicine 2014

Tanggal : 26-31 Mei 2014

Tempat : Palais Du Pharo, Marseille, France

Sekretariat : European Society of Physical and Rehabilitation

Medicine

Telp/Fax : +33 (0)4 96 15 12 50 / + 33 (0)4 96 15 12 51

URL : www.esprm2014.com

21st European Congress on Obesity

Tanggal : 28-31 Mei 2014

Tempat : National Palace of Culture, Sofi a, Bulgaria

Sekretariat : European Association for the Study of Obesity

Telp/Fax : +44 20 8973 2506

Email : [email protected]

URL : eco2014.easo.org

12th International Congress of the European Society of Pediatric Otorhinolaryngology

Tanggal : 31 Mei-3 Juni 2014

Tempat : Dublin Convention Centre, Dublin, Ireland

Sekretariat : European Society of Pediatric Otorhinolaryngology

Email : [email protected]

URL : www.espodublin.com

International Conference on Emergency Medicine 2014

Tanggal : 10-14 Juni 2014

Tempat : Hong Kong Convention And Exhibition Centre,

Hong Kong

Sekretariat : Hong Kong College of Emergency Medicine

Telp/Fax : (852) 3151 8900 / (852) 2590 0099

Email : [email protected]

URL : www.icem2014.org

20th ASEAN Federation of Cardiology Congress

Tanggal : 12-15 Juni 2014

Tempat : Kuala Lumpur Convention Centre, Kuala Lumpur,

Malaysia

Sekretariat : National Heart Association of Malaysia

Telp/Fax : +603 7955 6608 / +603 7956 6608

URL : www.nham-conference.com

Joint Meeting of the European Society of Hypertension (ESH) and International Society of

Hypertension (ISH) 2014

Tanggal : 13-16 Juni 2014

Tempat : Megaron Athens International Conference Centre,

Athens, Greece

Sekretariat : European Society of Hypertension & International

Society of Hypertension

Telp/Fax : +39 06 330531 / +39 06 33053229

Email : [email protected]

URL : www.hypertension2014.org

29th World Congress of Neuropsychopharmacology

Tanggal : 22-26 Juni 2014

Tempat : Vancouver Convention Centre, Vancouver, Canada

Sekretariat : International College of

Neuropsychopharmacology

Telp/Fax : 49-40-670 88 20 / +49-40-670 32 83

Email : [email protected]

URL : www.cinp2014.com

AGENDA KEGIATAN ILMIAH

77

INDEKS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

INDEKS PENULIS

A

Abdul Razak 37

Azamris 40

B

Budi Riyanto Wreksoatmodjo 25

D

Darwin Amir 7

E

Edwin Nugroho Njoto 70

Ervinaria Uly Imaligy 19

G

Gede Kambayana 73

H

Hadiki Habib 43

Helmia Hasan 14

M

Michael Setiawan 33

N

Ni Ketut Donna Prisilia 73

P

Pande Ketut Kurniari 73

R

Rizki Maulidya Putri 14

S

Sukardi 37

W

Wayan Sulaksmana 37

Z

Zainul Mutaqqin 37

78

INDEKS

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

INDEKS SUBJEKB

benign paroxysmal positional

vertigo, lihat BPPV

BPPV, 9, 10

C

candida score, 70

D

demensia, 25

dizziness, 7

G

gagal jantung, 22, 22s, 22t

manifestasi klinis, 22

pada geriatri, 22

kriteria Framingham, 22t

gangren diabetik, 43

geriatri, 14

Gyssen, 43

alur, 43

skor, 43

H

Helicobacter pylori, 37

I

imunitas, 16

humoral, 16

diperantarai sel, 16

imunologi, 14

imunosenescence, 17

infeksi fungal invasif, 70

insufi siensi vertebrobasiler, 7

K

kemunduran, 25

fungsi kognitif, 25

intelektual, 25

kultur feses, 37

L

lymphocytic perivascular cuffi ng, 34

M

mastektomi, 41

N

neoplasma fi broepitelial, 40

nistagmus, 9

horizontal, 11

rotasional, 11

O

oncostatin M, 16

P

parabeoplastic sensory neuropathy, 34

paraneoplastic limbic encephalitis, 33

paraneoplastic neurological

syndromes, 33

PCR, 37

penyakit Alzheimer, 25

perdarahan subaraknoid, 9

pneumonia, 14

R

respons imun, 15

respons imun,

pada pneumonia, 15

terhadap infeksi bakteri, 15

terhadap infeksi jamur, 15

S

sindrom pontin superior lateral, 10

sindrom stroke, 7

sistem limbik, 34

stroke iskemik, 7

vertebrobasiler, 7

T

TIA, 7

timopoiesis, 16

toll-like receptors, 15

transient ischemic attack, lihat TIA

tumor phyllodes, 40

V

vertebrobasiler, 7

insufi siensi, 7

stroke iskemik, 7

vertigo, 7, 9

sentral, 9

perifer, 9