cdk 140 bunga rampai penyakit dalam

58

Upload: revliee

Post on 12-Jun-2015

2.270 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam
Page 2: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

2003

http. www.kalbe.co.id/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

1Bunga Ram

Penyakit Da

KM dk

40. pai

lam

Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary

Artikel

5. Pola Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus tipe II pada Lansia di RSUP Manado – Bambang Singgih, Edward Jim, Karel Pandelaki

8. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat – Suharmiati

14. Gambaran Histologi Kelenjar Pankreas Tikus Putih akibat Infus Daging Buah Pare (Momordica charantia L.) – M. Wien Winarno, Diah Sundari

Karya Sriwidodo WS 18. Hepatitis Virus G – Candra Wibowo 20. Sindrom Hepatorenal – Sudung O. Pardede 29. Farmakoterapi Terkini Hepatitis Virus Kronik – Candra Wibowo

eterangan Gambar Sampul: omordica charantia L. (Pare)

ipercaya dapat menurunkan adar gula darah

34. Osteoporosis akibat Glukokortikoid – Harsinen Sanusi

41. Mencegah Penyakit Degeneratif dengan Suplemen Makanan –

Kusnindar Atmosukarto, Mitri Rahmawati 50. Kapsul 51. Produk Baru 52. Kegiatan Ilmiah 54. Informasi Produk 56. RPPIK

Page 3: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Beberapa masalah di bidang penyakit dalam merupakan topik bahas-an edisi ini; antara lain masalah diabetes melitus dan kemungkinan pengobatannya dengan buah pare, juga beberapa perkembangan terakhir dalam hal hepatitis.

Beberapa artikel mengenai peranan suplemen makanan dan mineral juga melengkapi edisi ini, semoga dapat menambah wawasan sejawat sekalian,

Selamat membaca,

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 2

Page 4: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

2003

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 3

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno

SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort

Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA Sriwidodo WS.

TATA USAHA Dodi Sumarna

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : [email protected] : http://www.kalbe.co.id/cdk NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar SoebiantoZahir MSc.

http://www.kalbe.co.id/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari ke-mungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pe-munculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.

London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

English Summary PROFILE OF CHRONIC COMPLI-CATIONS IN ELDERLY DIABETES MELLITUS PATIENTS AT MANADO GENERAL HOSPITAL B. Singgih, E. Jim, K. Pandelaki Department of Internal Medicine, Sam Ratulangi University / Manado General Hospital, Manado, North Sulawesi, Indonesia

Background : A good control

of blood sugar may decrease risks for heart complication, neuro-pathy, retinopathy and nephro-pathy in elderly diabetes mellitus patients and prolong survival.

The aim of this study is to obtain features of chronic DM complications among elderly visitors of the Endocrinology Clinic at Manado General Hospital.

Methods : Descriptive pros-pective cross-sectional study on 166 DM elderly patients during May 2002.

Results : The population were 75 males (45,18 %) and 91 females (54,82 %). There were 14 patients (8,43 %) without compli-cations, 55 patients (33,13 %) had 1 complication, 58 (34,94 %) had 2 complications, 30 (18,07 %) had 3 complications and 4 com-plications was found in 9 patients (5,42 %). 14 patients (25,30%) had neuropathy, 24 patients (14,46%) had retinopathy and neuropathy, 16 patients (9,6%) had neuro-pathy, retinopathy and nephropa-thy. 31 patients (18,67%) had documented evidence of heart complication, 41 patients(24,70%) had documented evidence of nephropathy, 51 patients (30,72%) had documented evidence of

retinopathy, 122 patients (73,49%) had documented evidence of neuropathy.

Conclusion : 91,57 % patients suffer from diabetes mellitus com-plications.

Cermin Dunia Kedokt. 2003; 140:5-7

bs, ej, kp HEPATORENAL SYNDROME Sudung O. Pardede Department of Child Health, Faculty of Medicine University of Indonesia, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia

Hepatorenal syndrome is a syndrome that occurs in patients with chronic liver disease, ad-vanced hepatic failure, and portal hypertension; characterized by impaired renal function and the absence of significant histological abnormalities in the kidney and of other known causes of renal failure. Hepatorenal syndrome is caused by renal vasoconstriction and occurs in the setting of mark-ed alteration in splanchnic and systemic hemodynamics and neurohumoral systems, namely sinusoidal portal hypertension, peri-pheral arteriolar vasodilatation, increased plasma volume, activa-tion of renin-angiotensin and symphatetic nervous system, and hypersecretion of antidiuretic hor-mone. The diagnosis of hepato-renal syndrome is based on the criteria of The International Ascites Club. Hepatorenal syndrome usually follows a progressive course, may appear in close temporal relationship with compli-cations, such as gastrointestinal

hemorrhage or bacterial infec-tions, that may act as precipating factors. The treatment of hepato-renal syndrome consisted of standard therapy, vasodilators, vasoconstrictors, peritoneovenous shunt, portosystemic shunt, and dialysis. Liver transplantation is the definitive treatment. Hepatorenal syndrome has poor prognosis.

Cermin Dunia Kedokt. 2003; 140: 20-8 sop

PHARMACOTHERAPY OF CHRONIC VIRAL HEPATITIS Candra Wibowo Resident, Department of Internal Medicine, Sam Ratulangi University/ Manado General Hospital, Manado, North Sulawesi, Indonesia

Pharmacotherapy of chronic viral hepatitis is still a major prob-lem in most part of the world. There isn’t yet an ideal therapy, since there is still no specific medication with satisfactory results. Pharmacotherapy of chronic viral hepatitis is focused on hepatitis B, C and D virus, which are the most common cause of chronic viral hepatitis and their complications. The use of IFN alone or in combination with ribavirin is cur-rently preferred for chronic viral hepatitis, and lamivudine for chro-nic hepatitxis B virus. Combination pharmacotherapy is promising for the management of chronic viral hepatitis in the future.

Cermin Dunia Kedokt. 2003; 140:29-33 cwo

Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 4

Page 6: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

HASIL PENELITIAN

Pola Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus Tipe II

pada Lansia di RSUP Manado

Bambang Singgih, Edward Jim, Karel Pandelaki

Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ Rumah Sakit Umum Pusat Manado, Manado

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi. Kelainan ini akibat gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas atau gangguan produksi, gangguan pengambilan glukosa darah oleh sel otot dan sel hati, atau produksi glukosa berlebihan dari hati.1,2 Klasifikasi DM yaitu diabetes mellitus tergantung insulin (tipe I), diabetes mellitus tidak tergantung insulin (tipe II), diabetes tipe lain, dan diabetes gestasional.1,2

Komplikasi yang mungkin terjadi dapat dibedakan atas komplikasi akut dan kronik. Komplikasi kronik dapat terjadi pada target organ mata, ginjal, jantung, saraf;2,3 komplikasi ini umumnya timbul pada usia tua akibat periode hiperglikemik yang lama dan (mungkin) tanpa gejala.2

Komplikasi pada mata ditandai dengan retinopati diabeti-kum, sedangkan gangguan saraf ditandai dengan adanya kese-mutan dan berkurangnya sensibilitas (neuropati diabetikum). Pada ginjal akan terjadi proteinuria tanpa sebab lain, yang bila dibiarkan akan menjadi gagal ginjal kronik.2,3,4

Diabetes mellitus dapat pula menimbulkan penyakit jantung koroner, kardiomiopati diabetikum dan aterosklerosis arteri koroner maupun perifer.2,3 Serangan silent infarct juga dapat terjadi, yang bisa fatal.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran komplikasi kronik DM tipe II pada pasien lansia yang berobat di poliklinik endokrin RSUP Manado. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara deskriptif prospektif cross sectional pada pasien DM tipe II lansia yang kontrol di poliklinik Endokrin – Metabolik RSUP Manado selama bulan Mei 2002. Pemeriksaan mata dilakukan oleh dokter spesialis mata, pemeriksaan saraf dilakukan oleh dokter spesialis saraf, pemeriksaan jantung dilakukan dengan ECG, dan pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan dengan cara laboratorium.. Kriteria Inklusi :

Semua pasien DM tipe II lansia.

Kriteria Eksklusi : - Pasien DM tipe I - Pasien dengan riwayat hipertensi primer.

HASIL

Dari pasien usia 60 tahun atau lebih yang berobat di poliklinik Endokrin RSUP Manado selama bulan Mei 2002, didapatkan 166 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien pria 75 orang (45,18%) dan wanita 91 orang (54,82%) dengan rentang umur antara 60 – 82 tahun (tabel 1). Tabel 1. Distribusi pasien DM tipe II lansia di poliklinik Endokrin RSUP

Manado

Jumlah Persentase Pria 75 45,18 Wanita 91 54,82 Total 166 100

Survai juga mencatat komplikasi organ yang terjadi; pasien

yang belum menderita komplikasi retinopati, neuropati, nefropati, maupun jantung adalah 14 orang (8,43%). Pasien dengan 1 komplikasi pada target organ sebanyak 55 pasien (33,13%), 2 komplikasi sebanyak 58 pasien (34,94%), 3 kom-plikasi sebanyak 30 pasien (18,70%), sedangkan 4 komplikasi sebanyak 9 pasien (5,42%) (tabel 2). Tabel 2. Jumlah pasien dengan komplikasi

Jumlah Persentase Tak ada 14 8,43 1 komplikasi 55 33,13 2 komplikasi 58 34,94 3 komplikasi 30 18,70 4 komplikasi 9 5,42 Total 166 100

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 5

Page 7: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Neuropati 122 pasien (73,49%), retinopati 51 pasien (30,72%), nefropati 41 pasien (22,70%), jantung 31 pasien (18,67%). Tabel 3. Jumlah pasien dengan komplikasi pada target organ

Neuropati adalah merupakan komplikasi yang paling banyak ditemukan dengan gejala parestesi, kehilangan sensasi, dan hipotensi ortostatik. Kelainan jantung ditandai dengan iskemi dan infark; kardiomiopati tak dapat didiagnosis karena penelitian ini tak menggunakan echocardiografi; pada mata ditandai dengan retinopati diabetikum. Urinalisis dan peme-riksaan kreatinin plasma dilakukan untuk diagnosis nefropati. Tabel 4. Pasien dengan 1 komplikasi organ

Komplikasi Jumlah Persentase Jantung 5 3,01 Nefropati 5 3,01 Retinopati 3 1,82 Neuropati 42 25,30 Total 55 33,13

Komplikasi 2 target organ adalah yang terutama dialami,

dan yang paling sering adalah neuropati dan retinopati, diikuti oleh nefropati dan neuropati. Tabel 5. Pasien dengan 2 komplikasi organ

Komplikasi Persentase Jumlah Jantung – Nefropati 1,82 3 Jantung – Retinopati 0 0 Jantung – Neuropati 5,42 9 Nefropati – Retinopati 1,82 3 Nefropati – Neuropati 11,45 19 Retinopati– Neuropati 14,46 24 34,94 58

Pasien yang mengalami komplikasi 3 target organ cukup

banyak yaitu 30 orang (18,07%) dari 166 pasien, yang paling banyak adalah nefropati, retinopati, neuropati yaitu 16 pasien (53,33%). Tabel 6. Pasien dengan 3 komplikasi organ

Komplikasi Jumlah Persentase Jantung – Nefropati – Retinopati 2 1,20 Jantung - Nefropati – Neuropati 9 5,42 Jantung – Retinopati – Neuropati 3 1,81 Nefropati – Retinopati – Neuropati 16 9,60 30 18,70

PEMBAHASAN

Pada pasien diabetes mellitus tipe II, pemeriksaan kese-hatan rutin penting karena penemuan dini berbagai komplikasi DM dan pengawasan kadar gula darah agar selalu optimal,

akan menurunkan risiko penyulit dan memperpanjang harapan hidup.2,3,9

Komplikasi kronik akibat DM akan meningkatkan angka kematian dan kesakitan; dapat dibagi menjadi 2 yaitu kom-plikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular dibagi menjadi komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Kom-plikasi makrovaskular adalah penyakit jantung koroner, cere-brovascular disease, gangguan pembuluh darah perifer. Komplikasi mikrovaskular adalah retinopati, neuropati, nefro-pati. Komplikasi non vaskular misalnya : gangguan fungsi seksual, gastroparesis, dan gangguan pada kulit. 2,4 Peningkatan risiko terjadinya komplikasi ini berhubungan dengan hiper-glikemi jangka lama; biasanya terjadi pada dekade kedua setelah melalui masa asimtomatik. 2,4

Komplikasi Jumlah Persentase Jantung 31 18,67 Nefropati 41 24,70 Retinopati 51 30,72 Neuropati 122 73,49

Komplikasi neuropati umumnya terjadi pada 50% pen-derita DM tipe II dengan gejala yang bermacam – macam, misalnya parestesi, hipotensi ortostatik, anestesi, nyeri pada ujung jari tangan maupun kaki. 2

Penelitian Hammond dan Aoki 9 menghasilkan data 30% pasien dengan neuropati, 16% pasien dengan retinopati, 28 % pasien dengan nefropati. Pada penelitian ini neuropati didapat-kan pada 122 (73,49%) dari 166 pasien, terbanyak dibanding-kan komplikasi retinopati, nefropati, dan jantung (Tabel 3)

Nefropati diabetikum adalah komplikasi mikrovaskular akibat hiperglikemi kronik. Proteinuria merupakan tanda penurunan fungsi ginjal yang ireversibel; timbul setelah pasien mengalami masa hiperglikemik tanpa gejala dalam waktu lama. 2,4,12 Setelah terjadi nefropati, angka kesakitan dan kematian akan meningkat. Penelitian Mattcok dkk6 menunjukkan 10% pasien yang proteinuria, meninggal dalam 3 – 4 tahun disebab-kan serangan jantung dan stroke. Adanya proteinuria juga merupakan tanda akan timbulnya komplikasi di organ selain ginjal, misal jantung dan otak.6,7 Pada penelitian ini nefropati ada pada 41 pasien (24,70%), sebagian besar (36 dari 41 pasien) sudah menderita komplikasi lain selain ginjal (Tabel 2,3,4,5,6).

Hiperglikemi dalam waktu lama akan menimbulkan retino-pati; yang jika progresif akan menimbulkan gangguan peng-lihatan bahkan kebutaan.2,3 Penelitian Rand4 mendapatkan bahwa lebih dari 60% penderita akan terkena retinopati dalam 10 tahun dan mendekati 100% dalam 15 tahun. Retinopati diabetikum merupakan komplikasi mikrovaskular pada DM, diklasifikasi menjadi dua yaitu proliferasi dan non proliferasi. Non proliferasi biasanya timbul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua keadaan hiperglikemi, sedang proli-ferasi adalah kelanjutan dari non proliferasi; kebutaan disebab-kan oleh hilangnya sel retina karena iskemi.2,4 Terjadinya retinopati tergantung dari lamanya menderita DM dan kadar gula darah.2 Pada penelitian ini, pasien dengan retinopati se-banyak 51 orang (30,72%) (Tabel 3).

Komplikasi pada jantung terjadi karena aterosklerosis pembuluh darah koroner. Serangan infark tanpa rasa sakit dada (silent infarct) sering terjadi pada pasien DM. Peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat komplikasi jantung me-rupakan campuran dari faktor – faktor risiko.2,4 Faktor itu adalah peningkatan kolesterol / trigliserida akibat DM, ateros-klerosis pada DM, nefropati, hipertensi, kardiomiopati DM dll.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 6

Page 8: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Mattock dkk 6 mendapatkan hasil 14 dari 141 pasien dengan proteinuria meninggal karena penyakit jantung (infark, thrombosis koroner). Pada penelitian ini 31 pasien (18,67%) menderita gangguan jantung, dan 26 di antaranya menderita komplikasi lain di luar gangguan jantung (Tabel 2 - 6). KESIMPULAN

Pada sebagian besar pasien DM tipe II lansia yaitu 91,57% sudah ditemukan komplikasi.

KEPUSTAKAAN 1. Darmono. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam: Soeparman

(ed). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1996 : 550 – 596.

2. Powers AC. Diabetes mellitus. In Braunwald E et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th ed. New York : Mc Graw Hill, 2001: 2109-37.

3. FitzGerald MG. Diabetes. In Brocklehusrt JC (ed). Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 2nd ed. New York : Churchill Livingstone, 1978 : 495-509.

4. Eisenbarth GS. Diabetes mellitus. In Becker KL, Bilezikian JP, Bremner WJ et al (eds). Principles and Practice of Endocrinology and Metabolism, 2nd ed. Philadelphia : JB Lipincott Co, 1995 : 1202-303.

5. Gerritsen J, Dekker JM, Ten Voonde BJ et al. Impaired autonomic junction is associated with increased mortality, especially in subjects with diabetes, hypertension or a history of cardiovascular disease. Diabetes Care 2001; 24 : 1793-7.

6. Mattock MB, Morrish NJ, Viberti G et al. Prospective study of micro-albuminuria as predictor of mortality in NIDDM. Diabetes 1992 ; 41: 736-41.

7. Phillipou G, Philips P J. Variability of urinary albumin excretion in patients with microalbuminuria. Diabetes Care 1994 ; 17 : 425-7.

8. Hanefeld M, Fischer S, Schmechel H. Diabetes intervention study: multi intervention trial in newly diagnosed NIDDM. Diabetes Care 1991 ; 14 : 308-17.

9. Hammond GS, Aoki TT. Measurement of health status in diabetic patients. Diabetes Care 1992 ; 15 : 469-74.

10. Roglic G, Metelko Z. Effect of war on glycemic control in type II diabetic patients. Diabetes Care 1993 ; 16 : 806-7.

11. Sundkuist G, Lilja B. Autonomic neuropathy predict deterioration in glomerular filtration rate in patients with NIDDM. Diabetes Care 1993; 16 : 773-7.

12. Klein R, Klein BE, Moss SE. Incidence of gross proteinuria in older onset diabetes. Diabetes 1993 ; 42 : 381-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 7

Page 9: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus

Tumbuhan Obat

Suharmiati

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Surabaya

PENDAHULUAN

Masa transisi demografi akibat keberhasilan upaya me-nurunkan angka kematian, dapat menimbulkan transisi epide-miologis, dimana pola penyakit bergeser dari infeksi akut ke penyakit degeneratif yang menahun. Salah satu diantaranya yang berkaitan erat dengan penyakit metabolisme dan cen-derung akan mengalami peningkatan sebagai dampak adanya pergeseran perilaku pola konsumsi gizi makanan adalah diebetes mellitus.

Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat me-nahun alias kronis, dan penderitanya dari semua lapisan umur serta tidak membedakan orang kaya ataupun miskin. Dalam keadaan tak terkendali penyakit ini ditandai oleh trias 3 P yaitu: poliuri, polidipsi dan polifagi. Secara klinis diabetes mellitus dibedakan menjadi Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI) dan Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) (Suryohudoyo, 1996).

Penyebab Diabetes Mellitus adalah aktivitas insulin yang tak memadai baik karena sekresi insulin yang berkurang (DMTI) atau karena adanya resistensi insulin pada jaringan-jaringan yang peka insulin (DMTTI).

Akhir-akhir ini pada sebagian penderita DMTTI yang disebut MODY (maturity onset diabetes of the young), selain terdapatnya resistensi insulin juga ditemukan pula cacat (defect) pada sekresi insulin. Namun pada MODY sekresi insulin masih dapat ditingkatkan dengan pemberian obat hipo-glikemik oral (OHO), sedangkan pada DMTI kekurangan insulin hanya dapat diatasi dengan pemberian insulin eksogen.

Beberapa cara mengendalikan hiperglikemia pada diabetes mellitus adalah sebagai berikut (Tjokroprawiro, 1996): melalui tractus gastro-intestinalis, sekresi insulin, menekan produksi glukosa hepar, meningkatkan ambilan glukosa di perifer (ter-gantung/tidak tergantung adanya insulin).

Pada uji farmakologi/bioaktivitas pada hewan percobaan , keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pan-kreaktomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induk-tor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai tiga hari. Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel β dari pulau Langerhans dalam pankreas yang mensekresi hormon insulin.

OBAT ANTI DIABETES MELLITUS YANG BERASAL DARI TUMBUHAN OBAT

Tumbuhan obat terbukti merupakan salah satu sumber bagi bahan baku obat anti diabetes mellitus karena diantara tumbuhan tersebut memiliki senyawa-senyawa yang berkhasiat sebagai anti diabetes mellitus. Senyawa anti diabetes mellitus yang berasal dari tumbuhan obat diantaranya christinin A, xanthone, bellidifolin, thysanolacton, TAP (suatu polisakarida asam dari tanaman Tremella aurantia) dll. (Tabel 1) serta masih banyak lagi yang masih dalam tahap pengujian. Diantara 250.000 spesies tumbuhan obat di seluruh dunia diperkirakan banyak yang mengandung senyawa anti diabetes mellitus yang belum diketemukan. Untuk mendapatkan obat anti diabetes mellitus dari tumbuhan diperlukan suatu cara-cara pengujian yang memadai mulai dari uji pre skrining, uji skrining dan berakhir pada uji klinik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 8

Page 10: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Tabel 1. Daftar nama tumbuhan obat beserta metode pengujian bioaktivitas anti Diabetes Mellitus

No. Nama Tanaman Nama Daerah Familia Kandungan Bagian yang

digunakan Metode Hasil Percobaan Sumber Pustaka

1. Momordica charantia

Pare / Paria

Cucurbitaceae albuminoid, karbohidrat, zat warna

daging buah, biji & seluruh tanaman 1 Efek hipoglikemik

positip (+) Ali et al, 1993

2. Juniper communis L. - Cupressaceae flavonoid, kumarin, antron zat pahit & minyak atsiri

buah (berries) 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Sanchez de Medina et al, 1994

3. Zizyphus spina-christi

Bidara cina

Rhamnaceae christinin-A Daun 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Glombitza et al, 1994

4. Swertia japonica - Gentianaceae xanthones, bellidifolin, methylbellidifolin, swerti anin, methylswertianin, 1-Hydroxy-3,7-dimethoxyxanthone

seluruh tanaman

1 Efek hipoglikemik positip (+)

Basnet et al, 1994

5. Allium cepa Bawang merah

Liliaceae SMCS (S-methylcysteinesulphoxide

umbi 3 Efek hipoglikemik positip (+)

Kumari & Augusti, 1995

6. Allium sativum bawang putih

Liliaceae SACS (S-allyl cysteinesulphoxide

umbi 3 Efek hipoglikemik positip (+)

Sheela, et al 1995

7. Trigonella foenum graecum

Kelabet Papilionaceae alkaloida, trigonelin, kolin, M. atsiri, lendir, diosgenin

biji 1 Efek hipoglikemik positip (+)

Ali et al, 1995

8. Tremella aurantia - Tremellaceae TAP (an acidic polysaccharide buah 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Kiho et al, 1995

9. Salacia macrosperma

- Hippocrataceae Quinone compounds Akar 3 Efek hipoglikemik positip (+)

Venkateswarlu et al, 1993

10. Aralia elata - Araliaceae clatoside E, clatoside F, dan oleanolic acid glycoside (8 macam)

kulit akar 1 Efek hipoglikemik

positip (+)

Yoshikawa et al, 1996

11. Anemarrhena asphodeloides Bunge

- Liliaceae Seishin-kanro-to (SK) rimpang 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Miura et al, 1997

12. Rehmania glutinosa Liboschictz

- Scrophulariaceae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

13. Cimifuga simplex Wormskjord

- Ranunculaceae Seishin-kanro-to (SK) rimpang 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Miura et al, 1997

14. Saposhnikovia divaricata Schischkin

- Umbelliferae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik

positip (+).

Miura et al, 1997

15. Prunus persica Batsch

- Rosaceae Seishin-kanro-to (SK) biji 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

16. Prunus armeniaca Linne

- Rosaceae Seishin-kanro-to (SK) biji 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

17. Glycyrrhiza uralensis Fisher

- Leguminosae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Miura et al, 1997

18. Sinomenium acutum Rehder et Wilson

- Menispermaceae Seishin-kanro-to (SK) rimpang 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Miura et al, 1997

19. Angelica acutiloba Kitagawa

- Umbelliferae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik positip (+)

Miura et al, 1997

20. Bupleum falcatum Linne

- Umbelliferae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

21. Notopterygium sp. Ting.

- Umbelliferae Seishin-kanro-to (SK) rimpang 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

22. Scutellaria baicalensis Geogi

- Labiatae Seishin-kanro-to (SK) akar 2 Efek hipoglikemik positip (+).

Miura et al, 1997

23. Croton cajucara Benth

- Euphorbiaceae trans-dehydrocrotonin (t-DTCN)

batang 3 Efek hipoglikemik positip (+).

Farias et al, 1997

24. Paeonia lactilora Pall.

- Ranunculaceae Paeoniflorin dan 8- Debenzoylpaeoniflorin (glukosida)

akar 1 Efek hipoglikemik

positip (+).

Hsu et al, 1997

25. Myrcia multiflora DC

- Myrtaceae aldose reductase dan α-Glucosidase

daun 3 Efek hipoglikemik positip (+).

Yoshikawa et al, 1998

26. Aesculus hippocastaman

- - triterpen oligoglycosides biji 1 Efek hipoglikemik positip (+)

Yoshikawa et al, 1998

27. Polygala senega var. latifolia

- - triterpen oligoglycosides akar 1 Efek hipoglikemik positip (+).

Yoshikawa et al, 1998

28. Beta vulgaris - - triterpen oligoglycosides akar 1 Efek hipoglikemik positip (+)

Yoshikawa et al, 1998

29. Gymmema sylvestre - - triterpen oligoglycosides daun 1 Efek hipoglikemik positip (+).

Yoshikawa et al, 1998

30. Kochia scoparia - - triterpen oligoglycosides buah 1 Efek hipoglikemik positip (+)

Yoshikawa et al, 1998

Keterangan: Metode 1 : Uji Streptozotocin I Metode 2 : Uji Streptozotocin II Metode 3 : Uji Aloksan

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 9

Page 11: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN TENTANG UJI BIOAKTIVITAS ANTI DIABETES MELLITUS 1. Toleransi Glukose

Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon. Pada kondisi kadar glukosa darah normal (80-100 mg %), hati ternyata merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Pada ke-adaan pasca aborsi, kadar glukosa darah pada manusia ber-variasi antara 80-100 mg %, sedangkan pada kondisi puasa, kadarnya menurun menjadi sekitar 60-70 mg %. Dalam keada-an normal kadar glukosa darah terkontrol pada batas-batas tersebut.

Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa yang dapat di-tunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian glukosa. Diabetes mellitus ditandai dengan berkurangnya tole-ransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak. 2. Aloksan

Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Efek diabeto-geniknya bersifat antagonis dengan glutathion yang bereaksi dengan gugus SH nya.

Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan yang selektif belum diketahui dengan jelas. Beberapa hipotesis ten-tang mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain: pem-bentukan khelat terhadap Zn, interferensi dengan enzim-enzim sel β serta deaminasi dan dekarboksilasi asam amino. Perusa-kan sel β pankreas secara selektif oleh aloksan belum banyak diketahui. Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mito-khondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel. 3. Tolbutamid

Senyawa tolbutamid dapat menurunkan kadar glukosa darah karena mampu merangsang sekresi insulin. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara berikatan dengan membran sel, maka permeabilitas membran terhadap ion kalsium menjadi menurun, terjadi depolarisasi dari sel dan ion kalsium me-masuki sel, selanjutnya terjadilah sekresi insulin. Aktivitas hipoglikemiknya ditunjukkan pada 6-12 jam setelah pemberian. 4. Uji Kadar Glukosa Darah

Glukosa darah dapat ditentukan dengan berbagai cara baik secara kimiawi maupun secara enzimatik. Prisip penentuannya didasari pada kemampuan glukosa untuk mereduksi ion an-organik seperti Cu2+ atau Fe(CN)63-. Penentuan glukosa secara reaksi reduksi kurang spesifik dibanding cara enzimatik, ter-utama bila dalam darah terdapat bahan yang dapat mereduksi misalnya kreatinin, asam urat dan gula-gula lain selain glukosa

(manosa, galaktosa dan laktosa) yang akan memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi daripada kadar glukosa yang sebenarnya. Sebagai pedoman dapat diperkirakan bahwa hasil penentuan glukosa secara reduksi akan memberikan hasil 3,6 - 10,8 mg % lebih tinggi daripada cara enzimatik. Perbedaan ini akan lebih besar lagi bila terdapat peningkatan kreatinin dan asam urat. METODE UJI DIABETES 1. Metode Uji Diabetes Streptozotocin I A. Prinsip metode

Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang di-beri suntikan streptozotocin secara intraperitonial. Untuk men-stimulasi Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM) diguna-kan dosis 65 mg/kg berat badan, dengan binatang percobaan tikus (umur 3-4 bulan). Sedangkan untuk Non Insulin Diabetes Mellitus digunakan dosis 90 mg/kg berat badan, dengan bina-tang percobaan anak anjing (umur 48 jam).

B. Bahan dan alat

Sediaan uji berupa larutan/suspensi ekstrak (250 mg/2 ml air) untuk semua ekstrak, kecuali ekstrak yang bebas saponin (150 mg/2 ml air) dengan atau tanpa glukosa, Streptozotocin, glukosa, anestesi ringan, jarum suntik dan alat sentrifuse.

C. Prosedur

Ada beberapa tahap eksperimen (4 tahap): a. Toleransi glukosa secara oral

Latar belakang penelitian ini adalah perbedaan beban glu-kosa oral (1,25-4,0 g per kg berat badan) dan bermacam-macam waktu pengambilan sampel (0-90 menit, dengan interval 15 menit). b. Efek pada kadar gula puasa

Ekstrak dari beberapa bagian dari tanaman yang berbeda, secara terperinci ada pada tabel, di mana ekstrak diberikan pada malam hari pada tikus puasa pada menit ke 0, contoh darah digambarkan pada 0, 60 dan 120 menit. Sebagai kontrol hanya diberikan 2 ml air. Tikus-tikus dijaga untuk tidak makan selama periode yang ditetapkan. c. Efek pada kadar glukosa darah ketika ekstrak diberikan secara simultan dengan glukosa.

Ekstrak dengan atau tanpa glukosa diberikan malam hari pada tikus puasa pada menit ke 0, dan contoh darah dilukiskan pada menit ke 0, 15 dan 45. Kelompok kontrol hanya diberi 2 ml larutan glukosa. d. Efek kadar glukosa darah ketika ekstrak diberikan 45 menit sebelum beban glukosa

Ekstrak diberikan semalam pada tikus puasa pada menit ke 0 dan beban glukosa diberikan pada menit ke 45. Kadar glukosa darah digambarkan pada menit ke 45, 60 dan 90.

Untuk standarisasi kurva toleransi glukosa oral pada pene-litian binatang percobaan, ditemukan bahwa beban glukosa 2,5g/kg BB menghasilkan level glukosa darah tertinggi. Periode waktu dan beban glukosa yang disebutkan di atas dipilih untuk mengamati efek dari ekstrak pada tingkat glukosa darah pada tikus yang diberi gula.

Sampel darah dikumpulkan dengan cara memotong ekor

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 10

Page 12: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

binatang percobaan dengan anestesi ringan. Serum dipisahkan dengan cara sentrifuse dan kadar glukosa dalam serum diamati pada hari yang sama dengan metoda GOD-PAP dengan cara mengukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer (DU-70, Beckman) pada panjang gelombang 510 nm. Kurva standar untuk glukosa digambarkan paralel untuk setiap eks-perimen dan nilai glukosa darah dihitung dari hasil tersebut di atas.

2. Metode Uji Streptozotocin II A. Prinsip metode

Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang diberi suntikan streptozotocin secara intraperitonial. Untuk menstimulasi digunakan dosis 60mg/kg berat badan, dengan binatang percobaan mencit betina Webstar (180-200g)

B. Prosedur

Ada dua aktivitas yaitu aktivitas pada binatang dengan glukosa normal dan aktivitas antidiabetik Aktivitas 1: Aktivitas pada binatang dengan glukosa normal

Pada aktivitas ini ada 4 metode yaitu: a. Metode glukose oksidase oksigen

Metode ini digunakan untuk determinasi kadar glukose. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa Dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX (residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), diet standar (Panlab A 04) dengan kom-posisi protein 17,0%, lipida 3,0%, karbohidrat 58,7%, selulose 4,3%, mineral 5%, moisture 12%, dengan nilai 2900 kal/kg). Disamping itu juga digunakan sodium pentobarbitone (20 mg/kg BB), glibenklamid, air suling dan alat yang digunakan berupa oesophageal catheter. Prosedurnya adalah sebagai berikut:

Binatang yang telah dipuasakan semalam (diet standar Panlab A.04), diberi dekoktum Juniper dengan dosis yang berbeda (vol. 2 ml) dengan menggunakan ‘oesophageal catheter’. Kemudian dianestesi dengan Sodium pentobarbitone (20mg/kg BB). Sampel darah dikumpulkan dari jugular vein (urat merih), segera setelah dianestesi (90 - 150 menit kemu-dian). Sebagai kontrol binatang percobaan diberi air suling, dan glibenklamid (3 mg/kg BB) digunakan sebagai reference. Metode Glukose oksidase-oksigen (dibentuk pada Beckman Glucose Analyzer II) digunakan untuk determinasi kadar glukose, dengan satuan mg/dl.

b. Metode perfusi usus

Metode perfusi usus digunakan untuk meneliti efek dekoktum pada absorbsi glukosa pada usus tikus yang telah dipuasakan. Bahan dan alat yang digunakan berupa sediaan uji dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX (residu kering 2,75 ± 0,01 g/ 100 ml), sodium pentobarbiton (20 mg/kg), larutan perfusi terdiri dari (g/l): 7,37 NaCl, 0,20 KCI, 0,065 NaH2PO4. 6H2O, 1,02 CaCl2, 0,6 NaHCO3, dan 54,0 glukosa, pada pH 7,5. Alat yang digunakan adalah jarum dan alat suntik, termometer dan stop watch. Prosedurnya adalah sebagai berikut:

Tikus dipuasakan selama 36 jam dan dianestesi dengan Sodium pentobarbiton (20 mg/kg). Dekoktum ditambahkan pada larutan perfusi untuk mendapatkan konsentrasi 5 mg/ml. Jadi sejumlah ekstrak Juniper pada perfusi usus setara dengan dosis 250 mg/kg. Sistem diatur pada temperatur konstan yaitu 37°C, dan angka perfusi adalah 0,5 ml//menit. Waktu perfusi adalah 30 menit. Hasil dinyatakan sebagai persentase dari ab-sorbsi glukosa, dihitung dari jumlah glukosa dalam larutan sebelum dan sesudah perfusi. c. Metode sediaan diafragma tikus

Metode sediaan diafragma tikus digunakan untuk meneliti pemakaian glukosa periferal. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, me-nurut FE IX (residu kering 2,75 ± 0,01 g/ 100 ml), larutan nutrisi disiapkan dengan formula: 125 ml 1,3% NaHCO3 , diisi selama 3 menit dengan karbogen, kemudian ditambahkan 750 ml larutan salin. Larutan salin terdiri dari (g/1): 9,50 NaCl, 0,40 Kcl, 0,30 CaCl2, 0,35 NaHCO3, 0,35 MgSO4. 7H2O dan 0,20 KH2PO4. Ditambahkan glukosa untuk memperoleh konsentrasi akhir 300 mg/dl dan alat yang digunakan adalah inkubator. Prosedurnya adalah sebagai berikut:

Sediaan diafragma tikus yang dibuat dari tikus yang dipuasakan selama 36 jam untuk dibunuh. Diafragma dibagi menjadi 2 bagian, kemudian diinkubasi menurut tehnik Vallance-Owen pada suhu 37°C, dengan oksigenasi konstan selama 90 menit, dan dikocok 90 kali permenit., diisi selama 3 menit dengan karbogen, kemudian ditambahkan 750 ml larutan salin. Larutan yang dihasilkan dibiarkan selama 10 menit, dan segera digunakan. Hasil dinyatakan sebagai pemberian glukosa per 10 mg diafragma kering (dengan cara mengurangi kon-sentrasi glukosa sesudah dan sebelum inkubasi). Berat kering ditentukan sesudah pengeringan bahan pada suhu 105°C selama 120 menit. Angka absolut yang diperoleh digunakan untuk menghitung penambahan persentase pemberian glukosa ketika hemidiafragma diinkubasi (ada atau tidaknya kontrol) dengan penambahan (10, 10, 10 mg/ml) dekoktum. d. Metode Kolagenase (Wortington, 169U/mg)

Metode kolagenase digunakan untuk meneliti aksi pan-kreatik. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX (residu kering 2,75 ± 0,01 g/ 100 ml), Larutan buffer bikarbonat Krebs-Hanseleit yang dimodifikasi yang berisi 2,7 mmol/l glukosa (basal), supplemen dengan 0,5% bovin albumin dan kese-imbangan suatu cairan yang terdiri dari 95% O2 dan 5% CO2. Alat yang digunakan adalah inkubator, dan radio immuno assay (RIA).

Prosedurnya adalah sebagai berikut: Pankreatic islets diisolasi dengan menggunakan metode

kolagenase (Wortington, 169U/mg), dan diinkubasi seperti di-terangkan sebelumnya. Media yang digunakan untuk inkubasi adalah buffer bikarbonat Krebs-Hanseleit yang dimodifikasi yang berisi 2,7 mmol/l glukosa (basal), supplemen dengan 0,5% bovin albumin dan keseimbangan suatu cairan yang terdiri dari 95% O2 dan 5% CO2.

Pelepasan insulin ditentukan dengan Radio Immunoassay sebelum dan sesudah inkubasi dari islets dengan bertambahnya konsentrasi dekoktum (0,2 , 0,4 dan 0,8 mg/ml), dan hasil di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 11

Page 13: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

nyatakan dalam ng/ml. Aktivitas 2: Aktivitas antidiabetik

Pada aktivitas ini ada beberapa metode yaitu: a. Metode uji streptozotosin

Metode ini digunakan untuk meneliti aktivitas anti dia-betic. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE !X (residu kering 2,75 ± 0,01 g/ 100 ml), streptozotocin, larutan buffer sitrat (0,05M Sodium sitrat pada pH=4,5), glibenklamid dan air suling dengan alat jarum dan alat suntik.

Prosedurnya adalah sebagai berikut: Binatang percobaan dengan diabetik diperoleh dengan

pemberian streptozotocin (60 mg/kg) secara intraperitonial, yang sebelumnya dilarutkan dalam buffer sitrat (0,05M Sodium sitrat pada pH=4.5). Binatang-binatang ini dipertahankan di-bawah pengawasan selama 48 jam, periode waktu dialokasikan untuk binatang menerima keadaan diabetic, dan kemudian diberikan dekoktum Juniper secara per oral (1,25 mg total berries/kg) sehari selama 24 hari. Dua kelompok yang lain, yaitu kelompok kontrol dan standar masing-masing diberi air suling dan glibenklamid (1 mg/kg). Berat tikus diukur 3 kali seminggu. Tikus-tikus dipuasakan semalam dan dibunuh pada hari ke-24 dari perlakuan dan pankreas diekstraksi, dan ditim-bang untuk menetukan isi insulin. Sampel darah dipakai untuk menentukan glicemic level. b. Metode isi insulin pankreas

Metode isi insulin pankreas ditentukan seperti sebelumnya (a). Pankreas dihomogenkan dalam Potter-Evelhjeim glass dengan 10 ml larutan segar dengan 75 ml etanol, 1,5 ml 12N HCI, dan 23,5 ml air suling. Untuk menghomogenkan dikocok sebanyak 72 kali permenit, selama 16 jam pada 4°C, kemudian disentrifuse pada 500 g selama 30 menit. Supernatan yang diperoleh ini disimpan pada suhu -20°C, sampai insulin level ini ditentukan dengan radioimmuniassay. Insulin content dinyatakan dalam nanogram insulin per miligram jaringan pankreas. 3. Metode Uji Aloksan A. Prinsip metode

Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang dengan diberi suntikan aloksan monohidrat secara sub kutan. Binatang percobaan tikus jantan albino (Sprague-Dawley strain) dengan berat 130-150 gram. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah dibanding-kan terhadap hewan percobaan positif diabet (kontrol positif).

B. Bahan dan alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa SMCS (250 mg/kg), dengan dosis terkecil 200 mg/kg, Aloksan monohidrat, glibenklamid, insulin dan normal salin. Alat yang digunakan adalah jarum dan alat suntik.

C. Prosedur

Tikus jantan albino diinduksi dengan aloksan monohidrat secara subkutan. Setelah 2 minggu, tikus-tikus dengan kadar gula darah puasa antara 200-2550 mg/100 ml dipilih dan dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok 6 ekor. Berat badan dan

intensitas gula pada urin (glycosuria) dan kadar gula darah puasa ditentukan sebelum eksperimen. Pengaruh dosis tunggal secara per oral SMCS (250 mg/kg) dan perlakuan jangka panjang dengan dosis yang lebih kecil (200 mg/kg) yang diteliti dibandingkan dengan pengaruh dosis standar glibenklamid dan insulin (40 units/ml). Darah dikumpulkan dari vena mata dari tikus untuk perkiraan glukosa dan dari ekor tikus untuk serum insulin. Kelompok I, sebagai kontrol hanya diberikan normal salin. Kelompok II, diberi SCMS yang dilarutkan dalam normal salin (250 mg/kg BB). Kelompok III, diberi glibenklamid yang dilarutkan ke dalam normal salin (2mg/kg BB). Dan sebagai kelompok IV, diinjeksi dengan insulin secara subkutan (5 unit/kg BB).

Gula darah ditentukan setelah 4 jam. Serum insulin di-tentukan pada kelompok yang lain setelah waktu 4 jam. Setelah satu minggu, dilakukan tes toleransi glukosa setelah pemberian obat. Waktu 1,5 jam diperbolehkan untuk absorbsi obat dan kemudian pemberian glukosa secara per oral (3g/kg BB) dalam larutan diberikan kepada masing-masing kelompok. Selanjut-nya glukosa darah ditentukan dengan interval waktu 30 menit untuk 2,5 jam. Tes selanjutnya diberikan obat yang diuji yaitu SCMS (200 mg/kg BB/hari), glibenklamid (200 Mg/kg/hari) dan insulin (5 unit/kg/hari) untuk 45 hari. Pada hari terakhir perlakuan berat badan, kadar glukosa darah puasa, glukosa urin, dan tes toleransi glukosa dianalisa seperti sebelumnya. Kurva toleransi glukosa digambarkan untuk tiap-tiap kelompok.

PENUTUP

Telah diuraikan tentang pengujian bioaktivitas anti dia-betes mellitus yang berasal dari tumbuhan obat. Pada uji farmakologi/bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreaktomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral, tetapi yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat me-nimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai tiga hari. Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel β dari pulau Langerhans dalam pankreas yang mensekresi hormon insulin.

KEPUSTAKAAN

1. Ali L et al. Studies on Hypoglycemic Effects of Fruit Pulp, Seed, and Whole Plant of Momordica charantia on Normal and Diabetic Model Rats. Planta Medica, 1992; 59 (5) : 408-12.

2. Ali L et al. Characterization of the Hypoglycemic Effects of Trigonella foenum graecum Seed. Planta Medica, 1995; 61 (4) : 358-60.

3. Basnet P et al. Bellidifolin: A Potent Hypoglycemic Agent in Streptozotocin (STZ)-Induced Diabetic Rats from Swertia japonica. Planta Medica, 1994; 60 (6) : 507-11.

4. Farias RAF et al. Hypoglycemic Effect of trans-Dehydrocrotonin, a NorClerodane Diterpene from Croton cajucara. Planta Medica, 1993; 63 (6) : 558-60.

5. Glombitza KW et al. Hypoglycemic and Antihyperglycemic Effects of Zizyphus spina-christi in Rats. Planta Medica, 1993; 60 (3) : 244-7.

6. Kato A and Miura T. Hypoglycemic Action of the Rhizomes of Polygonatum officinale in Normal and Diabetic Mice. Planta Medica, 1993; 60 (3) : 201-3.

7. Kiho T et al. Polysaccharides in Fungi. XXXXV. Anti Diabetic Activity

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 12

Page 14: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

of an Acidic Polysaccharide from the Fruiting Bodies of Tremella aurantia. Biol. Pharm. Bull., 1995; 18 (12) : 1627-9.

8. Kim DH et al. Metabolism of Kalopanaxsaponin B and H by Human Intestinal Bacteria and Antidiabetic Activity of Their Metabolites. Biol. Pharm. Bull., 1998; 21 (4) : 360-5.

9. Kumari K, Augusti KT. Antidiabetic Effects of S-Methylcysteine Sulphoxide on Alloxan Diabetes. Planta Medica, 1993; 61 (1) : 72-5.

10. Miura T et al. Antidiabetic Effect of Seishin-kanro-to in KK-Ay Mice. Planta Medica, 1997; 63 (4) : 320-5.

11. Sanchez de Medina F et al. Hypoglycemic Activity of Juniper “Berries”. Planta Medica, 1993; 60 (3) : 197-200.

12. Sheela CG ; Kumari K, Augusti KT. Anti-Diabetic Effects of Onion and Garlic Sulfoxide Amino Acids in Rats. Planta Medica, 1995; 61 (4) : 356-7.

13. Suryohudoyo P, Purnomo SU. Dasar Molekuler Diabetes Mellitus (DM), Naskah Lengkap Surabaya Diabetes Update-I, 1996; 71.

14. Tjokroprawiro A. Acarbose. Clinical Use in Patients with Diabetes Mellitus, Naskah Lengkap Surabaya Diabetes Update-I, 1996; 56 .

15. Venkateswarlu V et al. Antidiabetic Activity of Roots of Salacia macrosperma. Planta Medica, 1993; 59 : 391-3.

16. Yoshikawa M et al. Bioactive Saponins and Glycosides VII. On the Hypoglycemic Principles from the Root Cortex of Aralia elata SEEM : Structure Related Hypoglycemic Activity of Oleanolic Acid Oligoglyco-side. Chem. Pharm. Bull., 1996; 44 (10) : 1923-7.

17. Yoshikawa M et al. Antidiabetic Principles of Natural Medicines. II. Aldose Reductase and a - Glucosidase Inhibitors from Brazilian Natural Medicine, the Leaves of Myrcia multiora DC (Myrtaceae) : Structures of Myrciacitrins I and II and Myrciaphenones A and B. Chem. Pharm. Bull., 1998; 46 (1) : 113-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 13

Page 15: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

HASIL PENELITIAN

Gambaran Histologi Kelenjar Pankreas

Akibat Pemberian Infus Daging Buah Pare (Momordica charantia L.) pada Tikus Putih

M. Wien Winarno, Dian Sundari

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian gambaran histologi kelenjar pankreas akibat pemberian infus daging buah pare (Momordica charantia L.) pada tikus putih. Bahan uji diberikan secara oral 1 kali sehari selama 30 hari dengan dosis 625 mg, 1250 mg, 2500 mg, 5000 mg/kg bb, dan sebagai pembanding digunakan akuades. Pengamatan me-liputi bobot badan hewan, berat basah kelenjar pankreas, dan perubahan morfologi sel-sel didalam pulau pulau Langerhans.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infus buah pare pada semua dosis tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap bobot badan dan berat kelenjar pankreas (P>0.05). Gambaran jaringan eksokrin di sekitar pulau Langerhans dan morfologi sel-sel di dalam pulau Langerhans terlihat normal. Sehingga dapat di-simpulkan pemberian daging buah pare tidak merusak kelenjar pankreas.

PENDAHULUAN

Buah pare (Momordica charantia L.), selain dikenal sebagai sayuran, juga digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati batuk, cacingan, malaria, mual dan penambah nafsu makan.(1) Di India digunakan sebagai anti diabetik, rematik, penyakit hati, dan gangguan pada limpa(2), Sedangkan di Jepang digunakan sebagai obat pencahar, dan obat cacing(3). Di Indonesia, saat ini tanaman tersebut banyak juga digunakan oleh masyarakat sebagai anti diabetik.

Daging buah mengandung momordisin, momordin, asam trikosanat, asam resinat dan sterol. Ekstrak alkohol 99% daging buah pare mengandung senyawa glikosida triterpen kukurbitasin dan senyawa momordisasin. Beberapa hasil pe-nelitian menyimpulkan perasan buah pare, dapat menurunkan kadar gukosa darah(2,3).

Sebagai obat untuk menurunkan kadar gula darah (anti diabetik), tentunya penggunaannya dalam jangka waktu yang lama dan gambaran histologi dari kenjar pankreasnya belum diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian toksisitas subkronik untuk melihat gambaran histopatogik dari kelenjar pankreas.

Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui apakah infus daging buah pare dapat mengakibatkan kerusakan pada kelen-jar pankreas.

Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah toksisitas subkronik infus daging buah pare terhadap kelenjar pankreas. BAHAN DAN CARA KERJA a. Bahan dan Alat penelitian

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 14

Page 16: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Bahan − 40 ekor tikus putih galur Wistar jenis kelamin jantan

dengan bobot badan 180-200 gram. − buah pare − akuades − NaCl fisiologis − buffer formalin − pewarnaan HE − Alat − sonde lambung − gelas objek dan gelas tutup − mikroskop cahaya − timbangan analitik b. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 10 ulangan, untuk melihat toksisitas subkronik pemberian infus daging buah pare terhadap kelenjar pankreas. c. Cara kerja 1. Pembuatan infus daging buah pare

Pengolahan bahan tanaman buah pare dengan cara di-keringkan dengan sinar matahari dan dalam lemari pengering dengan suhu kurang dari 50° C dari mendapatkan bobot kering yang konstan. Bahan digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan Mesh 48, serbuk daging buah pare dibuat infus sesuai Farmakope Indonesia(4). 2. Penelitian toksisitas subkronik kelenjar pankreas.

Empat puluh ekor tikus putih jantan bobot badan 180-200 Gram diaklitimasi, dan diobservasi untuk melihat kondisi hewan. Kemudian dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor sebagai berikut : − Kelompok infus buah pare dosis 625 mg/kg bobot badan. − Kelompok infus buah pare dosis 1250 mg/kg bobot badan. − Kelompok infus buah pare dosis 2500 mg/kg bobot badan. − Kelompok infus buah pare dosis 5000 mg/kg bobot badan. − Kelompok kontrol (menggunakan akuades).

Bahan obat diberikan secara oral dengan lama pemberian selama 30 hari (WHO, 1993). Pada hari ke-31 hewan dimati-kan, didekapitasi dan diambil kelenjar pankreasnya. Kelenjar difiksasi dengan larutan buffer formalin 10%, kemudian dibuat sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

Parameter yang diamati : − Bobot badan hewan − Berat basah kelenjar pankreas. − Gambaran histopatologik kelenjar pankreas (5) HASIL 1. Pengaruh infus buah pare terhadap bobot badan

Untuk mengetahui pengaruh pemberian infus daging buah pare terhadap bobot badan tikus putih setelah pemberian 30 hari dilakukan dengan cara mengurangi bobot akhir dengan bobot awal, sehingga didapatkan pertambahan bobot badan (Gambar 1).

32 32.6228.87 27.62

38.37

05

1015202530354045

1 2 3 4 5

Dosis

Perta

mba

han

bera

t

Keterangan : Dosis 1 = 625 mg/kg bb.; Dosis 2 = 1250 mg/kg bb Dosis 3 = 2500 mg/kg bb.; Dosis 4 = 5000 mg/kg bb. dan D5 = Akuades. Gambar 1. Rata-rata pertambahan bobot badan (dalam gram)

Rata-rata pertambahan bobot badan, terlihat perbedaan antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol (Gambar 1). Pertambahan bobot terbesar terjadi pada pemberian akuades, diikuti pemberian dosis 1250 mg, 625 mg 1250 mg dan 5000 mg/kg bb. Tetapi Setelah dilakukan uji statistik menggunakan anova tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan. (P>0.05) (Tabel 1). Tabel 1. Analisa varian satu arah

F-tabel Sumber keseragaman df JK KT F-hit

5% 1% Perlakuan k-1 Galat k (n-1) Total

4 35 39

559,1 2284,5 2843,6

139,77 65,75

2,14 2,64 3,83

Keterangan : F tabel > F hitung Tabel 2. Rata-rata berat kelenjar pankreas (dalam mg)

Ulangan

Dosis 625 mg/kg

bobot badan

Dosis 1250 mg/ kg bobot badan

Dosis 2500 mg/kg bobot badan

Dosis 5000 mg/ kg bobot badan

Akuades

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

53 62 62 74 74 44 107 55

79 77 75 64 85 75 68 66

38 68 73 54 36 43 96 46

85 80 66 63 72 70 60 56

44

117 55 31 69 75 45 54

Rata-rata 66,37a 73,62 a 56,75 a 69,00 a 61.25 a

Keterangan : huruf yang sama, pada kolom yang berbeda tidak berbeda nyata (P>0,05). 2. Pengaruh infus buah pare terhadap berat kelenjar pankreas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 15

Page 17: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Untuk mengetahui pengaruh pemberian infus daging buah pare terhadap berat kelenjar prostat tikus putih setelah pem-berian 30 hari dilakukan penimbangan organ tersebut.

Rata-rata berat kelenjar pankreas, terlihat perbedaan berat antara kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontro (Tabel 2) memperlihatkan dosis 2500 mg/kg berat kelenjar lebih ringan diikuti dosis akuades,625 mg, 5000 mg, dan 1250 mg/kg bb.

Setelah dilakukan uji statistik menggunakan anova tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kelompok per-lakuan. (P>0.05) (Tabel 3). Tabel 3. Analisa varian satu arah

F-tabel Sumber keseragaman df JK KT F-hit

5% 1% Pelakuan k-1 Galat k (n-1) Total

4 35 39

1388,5 11602,5 12991,6

347,1 331,50

1.04 2,64 3,83

Keterangan : F tabel > F hitung 3. Pengaruh infus buah pare terhadap histopatologi kelenjar pankreas.

Pengaruh pemberian infus daging buah pare terhadap sel kelenjar pakreas tikus putih setelah pemberian 30 hari, dilaku-kan pengamatan terhadap jaringan eksokrin disekitar pulau Langerhans dan morfologi sel-sel yang terdapat didalam pulau Langerhans terutama sel β.

Hasil pengamatan memperlihatkan pada semua bahan yang diuji terutama pemberian dosis 5000 mg/kg bb. jaringan eksokrin disekitar pulau Langerhans nampak normal. Demiki-an juga Sel-sel didalam pulau Langerhans tidak terlihat meng-alami perubahan (normal). Sel-sel yang terlihat baik bentuk dan ukuran lebih kurang sama. Inti bundar dan vesikuler dengan sitoplasma terlihat proporsional teradap besar inti (Gambar).

Sel-sel didalam pulau Langerhans terutama sel β dengan pewarnaan HE tidak dapat dibedakan dengan sel yang lain, hanya dapat dibedakan dari letaknya yaitu ditengah-tengah pulau Langerhans. PEMBAHASAN

Pengaruh infus buah pare sampai dengan pemberian 5000 mg/kg bb tidak berpengaruh terhadap bobot badan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan uji tidak toksik dan mem-pengaruhi organ tubuh, sehingga tidak mempengaruhi meta-bolisme tubuh. Penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahjoedi B. (1987), menyatakan bahwa pem-berian infus buah pare dosis 2000 mg/kg bb. yang diberikan selama 3 bulan tidak mempengaruhi organ dalam hewan per-cobaan. Memang hasil percobaan belum dapat diterapkan pada manusia, tetapi paling tidak dengan percobaan ini dapat dilihat atau ditemukan indikasi kearah akibat negatif.

Pengaruh terhadap berat kelenjar pankreas sampai dengan pemberian dosis terbesar 5000 mg/kg bb. tidak berpengaruh

atau tidak menyebabkan membesar atau mengecilnya kelenjar tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian infus daging buah pare sampai dengan dosis 5000 mg/kg bb. tidak menyebabkan efek toksik terutama terhadap kelenjar pankreas.

Pulau Langerhans di kelenjar pankreas merupakan kum-pulan sel ovoid yang tersebar diseluruh pankreas. Di dalam pulau tersebut terdapat beberapa jenis sel berdasarkan sifat pewarnaan dan morfologinya. Ada lebih kurang 4 jenis sel yaitu. Sel α, β, δ, dan sel f. Sel β jumlahnya terbanyak di dalam kelenjar pankreas hampir 60-75%. Sel β merupakan sumber insulin. Insulin bekerja pada keadaan atau kadar glukosa yang tinggi dan sifatnya menurunkan kadar glukosa yang tinggi menjadi normal. Kelainan fungsi sel-sel β dapat menyebabkan penyakit Diabetes melitus. Hiperplasia atau adanya neoplasia dari sel β dapat mengakibatkan sindroma hiperinsulinisme yang ditandai dengan adanya hipogli-kemia(8,9).

Gambaran histologi dari kelenjar pankreas akibat pemberi-an infus daging buah pare, sel-sel didalam pulau Langerhans tidak terlihat mengalami perubahan (normal). Sel-sel β didalam pulau Langerhans dengan teknik pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) sulit dibedakan dengan sel-sel yag lain. Junquira, LC dan J Carneiro (1992), mengatakan untuk melihat sel-sel β sebaiknya menggunakan teknik pewarnaan victoria-blue. Dengan pewarnaan tersebut sitoplasma mem-punyai granula yang seragam berwarna biru, sedang untuk sel-sel α sito-plasmanya terlihat granula bula yang yang tidak seragam berwarna kemerahan . KESIMPULAN

Pada pemberian infus daging buah pare (Momordica charantia L.) dosis 625 mg,1250 mg, 2500 mg dan 5000 mg/kg bobot badan, jaringan eksokrin di sekitar pulau Langerhans dan morfologi sel-sel di dalam pulau Langerhans tidak mengalami perubahan; sehingga dapat disimpulkan bah-wa pemberian daging buah pare tidak toksik terhadap kelenjar pankreas.

KEPUSTAKAAN 1. Mardisiswojo Sudarman, Harsono Rajakmangunsudarso. Cabe Puyang

Warisan nenek Moyang 2. Balai Pustaka Jakarta, 1987. 2. Dixit VP, Khana P, Bhargava SK. Effect of Momordica charantia L.

Fruit Extract on the Testiscular function of Dog. J.Med. Plants Res. 1978; 34: 280.

3. Okabe H. et al. Studies on the Constituents of Momordica charantia L. Isolation and Characterization of Momordicaside A and B, Clycosides of a Pentahydroxy Cucurbitane Triterpen. Chem. Pharm. Bull. 1980; 28: 2753.

4. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia II, 1984. 5. Arthur W. Ham, David HC. Histology. Eighth Edition. JB Lippincote

Company USA, 1979. 6. WHO. Research Guidelines for Evaluating The Safety and Efficacy of

Herbal Medicines. WHO Regional Office for the Western Pacific Manila, 1993.

7. Wahjoedi B. dkk. Toksisitas sub kronik buah pare (Momordica charantia L.) pada tikus putih. Buletin Penelitian Kesehatan 1987 Vol. 15 No. 2: 51-5.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 16

Page 18: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

8. WF Ganong. Buku ajar Fisiologi Kedokteran (terjemahan). Ed. 14. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1992.

9. Bowman WC, MJ Rand. Texbook of Pharmacology. Black-well Scientific Publications, Oxford, London, Edinburg, Melbourne : 1980.

10. Junquira LC, Carneiro J. Histologi Dasar. (Basic Histology). Edisi 3. Diterjemahkan oleh Adjidarma. Penerbit EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1992.

Keterangan : PL = pulau Langerhans D = duktus interlobularis SA = sel asiner K = kapiler darah Gambar 2. Gambaran kelenjar pankreas tikus putih (pembesaran 100x)

dosis 5000 mg/kg bb.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 17

Page 19: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Hepatitis Virus G

Candra Wibowo

Residen Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ Rumah Sakit Umum Pusat Manado, Manado

PENDAHULUAN

Virus hepatitis G (VHG) diperkirakan bertanggungjawab atas hepatitis virus non A-E pada manusia, setelah beberapa peneliti berhasil mengisolasi virus hepatitis GB-C (VHGB-C) dari seorang ahli bedah berinisial GB pada seekor tamarin. Ternyata, di samping VHGB-C juga ditemukan dua jenis mole-kul RNA pada tamarin (tidak pada manusia) yang mengalami fase akut hepatitis virus G; yang kemudian dikenal sebagai virus hepatitis GB-A dan GB-B.1-3 Pada penelitian lebih lanjut, ditemukan susunan genom VHG berkaitan erat dengan VHGB-C; terdapat 85% persamaan susunan sekuens genom antara VHG dan VHGB-C, dan 95% persamaan sekuens asam amino kedua virus tersebut, sehingga disimpulkan bahwa kedua virus ini merupakan virus yang sejenis dengan genotip yang ber-beda.2-4

Tinjauan pustaka ini membahas perkembangan terakhir HVG, mengingat angka kekerapan HVG sebenarnya cukup bermakna namun kurang mendapat perhatian. EPIDEMIOLOGI

Hampir di seluruh bagian dunia didapatkan infeksi VHG dengan angka kekerapan yang bervariasi. Ada kecenderungan peningkatan angka kejadian pada kelompok penyalahgunaan obat melalui suntikan (intravenous drug abuse), pekerja / pe-langgan seks komersial, tenaga medis / paramedis, pasien hemodialisis rutin, pasien hemofilia / thalasemia dan dari ibu ke janin karena penularan HVG dapat terjadi melalui kontak seksual, parenteral ataupun transplasenta.4-8

Virus hepatitis G dapat dijumpai dalam serum seseorang tanpa disertai infeksi virus hepatitis lainnya, namun 10-15% muncul sebagai koinfeksi atau superinfeksi virus hepatitis C (VHC) dan 5-15% pada infeksi virus hepatitis B (VHB). Menurut Widjaja, prevalensi HVG di Indonesia pada pasien hepatitis kronis dengan anti HCV positif di Jakarta adalah 12%, sedangkan pada pasien hemodialisis rutin 6% dan pendonor darah (populasi umum) 2%; hal ini tidak jauh berbeda dengan Italia (1,5%), China dan Spanyol 3%, serta Jerman 5% pada populasi umum.2,3

VIROLOGI Virus hepatitis G masuk famili virus flaviviridae yang

terdiri dari molekul RNA single stranded dan memiliki 9.500 nukleotida. Dua puluh lima persen VHG memiliki persamaan asam amino dengan VHC, sehingga sifat kronisitasnya cukup menonjol pada infeksi manusia. Virus ini cukup unik di antara flaviviridae, karena tidak menyandi suatu protein yang menye-rupai inti, core like protein atau yang letaknya dekat ujung amino dari poliprotein virus. Isolat VHG segregasi menjadi subtipe, yang selanjutnya dianalisis secara filogenetik sekuens-sekuensnya menunjukkan keberadaan subtipe utama dan dinamakan 1a, 1b dan 2a, 2b.3,9

GAMBARAN KLINIS

Seperti hepatitis virus lain, HVG ditandai dengan pe-ningkatan serum aminotransferase setelah minggu pertama masa inkubasi, namun Hwang dkk. mendeteksi peningkatan minimal aminotransferase setelah 10 minggu dan bertahan selama 6 bulan.3,4,10

Manifestasi klinis HVG akut, pada umumnya lebih ringan dibandingkan infeksi VHC, dan sering asimtomatik. Gejala prodromal yang sering ditemukan berupa malaise, nyeri otot dan kepala serta dispepsia; tidak ada yang berat apalagi ful-minan. Pada pemeriksaan laboratorik ditemukan peningkatan kadar aminotransferase kurang dari 230 U/l tanpa disertai hiperbilirubinemia. Sebagian besar pasien HVG memiliki viremia dalam jangka waktu yang lama; viremia menetap pada pasien dialisis rutin dapat berlangsung sampai 11 tahun dan pada pasien yang mendapatkan transfusi darah 8-17 tahun tanpa disertai peningkatan kadar aminotransferase maupun tanda-tanda penyakit hati yang aktif, karena sifat VHG yang dapat menyebabkan hepatitis virus kronik (sekitar 29%).3,5,10

Sampai saat ini, sulit menentukan HVG kronik karena per-jalanan penyakit HVG sebagian besar bersama dengan infeksi VHB dan VHC. Penentuan pengaruh VHG terhadap berat ringannya infeksi virus hepatitis lain sangat penting; atau VHG hanya sebagai innocent bystander virus (virus penyerta yang tidak berpengaruh).5,10,11

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 18

Page 20: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Beberapa penelitian mendapatkan peran VHG yang lemah terhadap kejadian hepatitis kronik dalam koinfeksi/superinfeksi dengan VHB maupun VHC, karena tidak ditemukan perbedaan bermakna pada gejala klinis, laboratoris maupun perjalanan penyakit antara pasien HVB/HVC dengan infeksi VHG dan tanpa infeksi VHG. Sedangkan penelitian tentang VHG sebagai penyebab sirosis hati ataupun karsinoma hepatoseluler masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut dan seksama.10-12

Respon imun yang ditimbulkan oleh VHG tidak konsisten; sehingga sampai saat ini belum ada pemeriksaan serologi yang mampu mendeteksi anti virus hepatitis G (anti VHG). Virus hepatitis G telah berhasil diisolasi dari serum pasien hepatitis non A-E dengan metode reversed transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), namun dalam deteksi genom virus masih sangat terbatas; akibat kegagalan reaksi dengan beberapa strain varian VHG, orang yang terinfeksi VHG tidak terdeteksi. Tacke dkk7 mengembangkan metode pemeriksaan antibodi terhadap protein VHG, di mana respon imun humoral terhadap protein E2 dihubungkan dengan hilangnya VHG dalam tubuh; oleh karena itu antibodi spesifik terhadap E2 (anti E2) dipakai sebagai petunjuk kesembuhan HVG. Tribl B dkk8 menemukan 16 orang dari 119 pasien yang menjalani dialisis kronik me-miliki VHG-C/VHG-RNA positif dan 24 orang mempunyai antibodi antiE-2 positif, tetapi VHG-C/VHG-RNA negatif; disimpulkan bahwa pada mereka yang pernah terpapar VHG ditemukan antibodi anti E-2 sedangkan pada yang sedang terinfeksi VHG ditemukan VHG-C/VHG-RNA.3,7,8,13-14

PENCEGAHAN

Sejak dipakainya serologi HBs Ag dan anti-HCV sebagai penyaring donor darah, angka kejadian hepatitis post transfusi menurun pesat. Uji saring terhadap HVB maupun HVC ter-nyata tidak mampu menurunkan angka kejadian dan angka kekerapan HVG; meskipun diketahui bahwa sekitar 10-15% infeksi VHG bersama dengan VHB atau VHC. Sebuah peneliti-an menunjukkan bahwa pemeriksaan uji saring HBs Ag dan anti HCV tidak menurunkan risiko infeksi VHG, meskipun memperlihatkan beberapa resipien darah sudah terinfeksi VHC dan VHG sebelum transfusi dilakukan; sehingga perlu uji saring terhadap VHG secara tersendiri.13,14

PENGELOLAAN

Pengelolaan HVG akut sama dengan hepatitis virus akut lainnya, yaitu istirahat total dengan diet rendah lemak dan tinggi protein serta kalori yang cukup. Mengingat infeksi VHG kronik lebih sering bersamaan dengan VHB ataupun VHC; ternyata pemberian interferon untuk VHB atau VHC mampu menghilangkan keberadaan VHG. Pemberian IFN α sebesar 5 juta unit setiap hari atau 10 juta unit 3 kali seminggu selama minimal 6 bulan dapat menekan replikasi VHG, namun hampir semua kasus kambuh setelah IFN α dihentikan. Mengingat sedikitnya hasil penelitian yang ada saat ini serta sedang ber-langsungnya beberapa penelitian tentang HVG, maka rekomen-

dasi farmakoterapi yang rasional untuk HVG belum dikeluar-kan. Preparat hepatoprotektor (seperti schizadrine, curcuma, fructus, ginseng, dll.) dapat dipakai mengingat beberapa pene-litian pendahuluan menunjukkan preparat tersebut memiliki kerja proteksi terhadap sel dan fungsi hati.15,16

PENUTUP

Keberadaan VHG tidak dapat disangkal sering bersama dengan VHB maupun VHC, dan terutama dijumpai pada orang-orang yang memiliki riwayat kontak produk darah secara rutin dan lama. Perjalanan penyakit HVG sendiri belum diketahui secara pasti, demikian pula stadium akhir kronisitas-nya. Penggunaan farmakoterapi yang rasional pada HVG masih memerlukan banyak penelitian di masa yang akan datang guna meningkatkan kualitas hidup pasien HVG.

KEPUSTAKAAN 1. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Chronic hepatitis. In Braunwald E, Fauci

AS, Kasner DL, et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th ed. McGraw Hill, New York, 2001, pp 1742-52.

2. Lin HJ. Hepatitis G. N Engl J Med 1997; 336 : 747-54. 3. Widjaja S. Perkembangan mutakhir virus hepatitis G. Maj Kedokt Indon

2000; 47 : 440-4. 4. Pramoolsinsap C. Hepatitis G virus. Med Progr 1998; 25 : 23-8. 5. Thomas DL, Nakatsuji Y, Shih JW, et al. Persistent and clinical

significance of hepatitis G virus infection in injecting drug users. J Infect Dis 1997; 176 : 586-92.

6. Chopra S. Current status of hepatitis G virus infection. In Burton D Ross (eds). Update CD ROM, 2002, 10.1.

7. Tacke M, Kiyosawa K, Stark K, et al. Detection of antibody to hepatitis G virus envelope protein. Lancet 1997; 349 : 319-20.

8. Tribl B, Oesterreicher C, Pohanka E, et al. GBV-C/HGV in hemodialysis patients : anti-E2 antibodies and GBV-C/HGV-RNA in serum and peri-pheral blood mononuclear cells. Kidney Int 1998; 53 : 212-6.

9. Yeo EAT, Matsumoto A, Hisada M, et al. Effect of hepatitis G infection on progression in HIV patients with hemophillia. Ann Intern Med 2000; 132 : 958-63.

10. Alter MJ, Gallagher M, Morris TT, et al. Acute non A-E hepatitis in the United States and the role of hepatitis G virus infection. N Engl J Med 1997; 336 : 741-6.

11. Lefrere JJ, Roudot-Toraval F, Roland-Jabert L, et al. Carriage of GBV-C/HGV RNA is associated with a slower immunologic, virologic and clinical progression of HIV disease coinfected person. J Infect Dis 1999; 179; 893-9.

12. Xiang J, Wunchmann S, Diekema DJ, et al. Effects of infection with GB virus C on survival among HIV patients. N Engl J Med 2001; 345 : 708-12.

13. Tillman HL, Heiken H, Knapik Botor A, et al. Infection with GC virus C and reduced mortality among HIV infected patients. N Engl J Med 2001; 345 : 715-21.

14. Yashima TL, Favorov MO, Khudyakov YE, et al. Detection of hepatitis G virus RNA:clinical characteristics of acute HGV infection. J Infect Dis 1997; 175;1302-7.

15. DiBisceglie AM, Hoofnagle JH. Management of chronic viral hepatitis. In Bacon BR, DiBisceglie AM (eds). Liver Disease Diagnosis and Management. Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, pp 98-106.

16. Nurjanah .Therapy for chronic viral hepatitis. J Gastroenterol Hepatol 2001;2:28-35.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 19

Page 21: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sindrom Hepatorenal

Sudung O. Pardede

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Sindrom hepatorenal (SHR) adalah terjadinya gagal ginjal pada penyakit hati kronis, gagal hati tahap lanjut, dan hipertensi portal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal tanpa kelainan patologis pada ginjal atau gagal ginjal lain yang diketahui sebabnya. Sindrom hepatorenal terjadi akibat vasokonstriksi ginjal sehingga terjadi perubahan hemodinamik sistemik dan splanhnik, kelainan sistem neurohumoral seperti hipertensi portal, vasodilatasi arteriol perifer, peningkatan volume plasma, aktivasi sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis, dan hipersekresi hormon anti-diuretik.

Diagnosis sindrom hepatorenal biasanya berdasarkan kriteria The International Ascites Club. Sindrom hepatorenal biasanya progresif yang dapat dicetuskan oleh perdarahan saluran cerna dan infeksi bakterial. Dalam tatalaksana SHR, selain terapi umum, dapat diberikan vasodilator, vasokonstriktor, pirau peritoneovenous, pirau portosistemik, dan dialisis. Transplantasi hati merupakan terapi definitif. Prognosis sindrom hepatorenal umumnya buruk.

PENDAHULUAN

Sindrom hepato-renal (SHR) adalah keadaan terjadinya gagal ginjal pada penderita penyakit hati yang berat, baik akut maupun kronik, tanpa disertai kelainan patologis ginjal. Untuk mendiagnosis SHR, penyebab lain gagal ginjal yang dapat terjadi pada penyakit hati seperti hipovolemia, nefrotoksisitas obat, sepsis, dan glomerulonefritis harus disingkirkan terlebih dahulu. SHR ditandai dengan penurunan fungsi ginjal, kelainan sirkulasi, dan kelainan aktivitas sistem vasoaktif endogen.1-4

SHR dapat terjadi berdasarkan teori underfill dan overflow. Berbagai mediator seperti nitric oxide, prostaglandin, trombok-san, leukotrien, endotoksin, dan lain-lain telah diketahui turut berperan dalam patogenesis SHR; juga beberapa hormon seperti hormon antidiuretik dan glukagon. Meskipun sebagian besar patogenesis SHR telah diketahui, pengobatannya belum memuaskan. Secara umum, tatalaksana SHR terdiri dari terapi suportif seperti terapi cairan, penghentian obat nefrotoksik, dan mengatasi infeksi. Selain itu diperlukan optimalisasi homeostasis ginjal, terapi bedah dan transplantasi hati. Ber-bagai obat telah dicoba dalam tatalaksana SHR seperti orni-

pressin dan dopamin, dan midodrine dan octreotide.1-3. Angka kejadian

SHR sangat jarang ditemukan dan belum ada data yang jelas mengenai angka kejadiannya. Pada anak, SHR lebih jarang ditemukan, mungkin karena jarangnya sirosis hepatis pada anak.1,3 Pada penelitian terhadap anak dengan gagal hati berat yang dirujuk ke Universitas Pittsburgh, SHR didiagnosis pada 12 di antara 294 (4,1%) dan pada 7 di antara 133 (5,3%) anak yang menjalani transplantasi hati.4 Dengan meningkatnya kesadaran dokter terhadap penyakit ini, maka mungkin pe-nyakit ini akan makin sering ditemukan.1,3

Patogenesis SHR

Patogenesis SHR bersifat multifaktorial. Ada tiga faktor yang dominan dalam terjadinya SHR yaitu: 1. Perubahan hemodinamik yang menyebabkan penurunan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure). 2. Stimulasi sistem saraf simpatis. 3. Meningkatnya sintesis mediator vasoaktif humoral dan ginjal. Peranan masing-masing mediator ini berbeda pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 20

Page 22: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

setiap pasien, juga pada SHR akut dan kronik.1,2 PERUBAHAN HEMODINAMIK

Pada penyakit hati berat dengan asites yang merupakan risiko tinggi terjadinya SHR, dapat terjadi kelainan hemo-dinamik atau kelainan ginjal sebelum terjadi SHR.1,2,4 Kelainan hemodinamik dapat berupa peningkatan curah jantung, vaso-dilatasi arteriol yang menyebabkan penurunan resistensi vasku-lar sistemik, hipotensi arterial, dan peningkatan resistensi vaskular ginjal karena vasokonstriksi arteri renalis yang diikuti dengan penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glome-rulus (LFG). Retensi cairan terjadi karena berkurangnya volu-me intravaskular akibat aktivasi sodium retaining hormonal system seperti sistem saraf simpatis dan sistem renin angio-tensin aldosteron (SRAA). Retensi natrium terjadi sekunder sebagai respons terhadap aktivasi sistem saraf simpatis, SRAA, dan lain-lain. Keadaan ini disebut dengan teori underfill.1,2,4,5

Berdasarkan teori overflow, terjadi reabsorbsi natrium dan air, serta peningkatan aktivitas saraf simpatis ginjal yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal. Kelainan primer adalah retensi natrium karena meningkatnya reabsorbsi natrium dalam ginjal. Retensi natrium menyebabkan volume intravaskular meningkat yang akan masuk ke dalam rongga ekstravaskular dan menyebabkan asites dan edema.4,5 Retensi natrium merupa-kan kelainan fungsi ginjal paling dini dan yang paling sering ditemukan. Pada kebanyakan pasien sirosis hepatis, retensi natrium telah terjadi pada LFG yang masih normal karena meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal. Retensi natrium mungkin juga terjadi akibat aktivitas SRAA dan sistem saraf simpatis.1,2,4,5

Retensi air timbul setelah retensi natrium karena ketidak-mampuan ginjal mengekskresi air sehingga menyebabkan pe-ningkatan cairan tubuh dan hiponatremia dilusional. Gangguan ekskresi air terjadi karena meningkatnya kadar vasopresin, menurunnya sintesis prostaglandin ginjal, menurunnya jumlah filtrat ke ansa Henle karena peningkatan absorbsi natrium di tubulus proksimal dan penurunan LFG.4

Vasokonstriksi ginjal terjadi belakangan dan menyebabkan penurunan aliran darah ginjal dan LFG tanpa disertai kelainan anatomis ginjal yang bermakna. Terjadinya vasokonstriksi ginjal dimediasi oleh sistem renin angiotensin, prostaglandin ginjal, tromboksan, endotelin, sistem saraf simpatis, dan nitric oxide.1,2,4

Selain teori di atas, dikenal juga teori vasodilatasi perifer yang mungkin terjadi karena hipertensi portal dan vasodilatasi arteri splanhnik. Baroreseptor arteri menerima dilatasi arteri sebagai penurunan volume darah arteri efektif dan memberikan respons dengan menaikkan curah jantung, menurunkan resis-tensi perifer dan aktivasi vasokonstriktor dan sodium retaining hormonal system.1,2,4,5

Beberapa zat atau mediator yang berperan dalam perubah-an hemodinamik: a. Nitric oxide

Nitric oxide disintesis oleh sel endotel dan sel otot polos vaskular, dibentuk dari L- arginin menjadi L-sitrulin dan nitric oxide dengan bantuan enzim nitric oxide synthetase. Nitric oxide merupakan vasodilatator sistemik yang poten dan bersifat

antagonis terhadap efek vasokonstriktor angiotensin II dan endotelin I.1,2,4

b. Glukagon Pada SHR, glukagon plasma akan meningkat dan me-

nyebabkan desensitisasi sirkulasi mesenterik terhadap katekola-min dan angiotensin II yang mengakibatkan vasodilatasi. Glukagon juga meningkatkan c-AMP intraselular yang bekerja secara sinergistik dengan endotoksin untuk menginduksi nitric oxide syntethase dan mengakibatkan pengeluaran nitric oxide oleh sel otot polos vaskular.1 c. Prostaglandin dan eikosanoid lainnya

Prostaglandin ginjal berperan mempertahankan fungsi ginjal pada keadaan peningkatan kadar renin, angiotensin, norepinefrin, atau vasopresin plasma seperti pada dehidrasi, syok, dan penyakit hati dekompensasi. Prostaglandin mem-punyai efek protektif pada sirkulasi ginjal melalui vasodilatasi arteri, sebagai modulasi efek tubular arginin vasopresin (AVP) dengan meningkatkan kadar PGE2 melalui efek antagonis AVP pada tubulus koligens, dan membantu pemeliharaan ekskresi air bebas, PGE2 dan PGI2 (prostasiklin) adalah vasodilator ginjal.

Pada SHR terdapat defisiensi prostaglandin ginjal dan prostaglandin endoperoksidase sintetase di tubulus koligens medula, tetapi defisiensi ini tidak terdapat pada pasien gagal hati tanpa gagal ginjal.1,2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada SHR terdapat penurunan ekskresi PGE2 dan 6-keto PGF1 alfa (metabolit PGI2) melalui urin. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan sintesis prostaglandin ginjal merupakan faktor pe-nyebab terjadinya SHR. Kadar PGI2 juga meningkat pada SHR(1). d. Potassium channel

ATP-sensitive potassium channel dapat menyebabkan vasodilatasi karena hiperpolarisasi sel otot polos vaskular. Aktivator yang paling penting adalah hipoksia jaringan, prostasiklin, dan nitric oxide.1 e. Endotoksemia

Endotoksin diproduksi di lumen usus, memasuki sirkulasi sistemik melalui pirau portosistemik dan merangsang produksi nitric oxide. Endotoksin merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten tetapi dapat menyebabkan vasodilatasi sirkulasi lainnya.4 Pada penyakit hati dekompensasi atau SHR, kadar endotoksin biasanya meningkat karena peningkatan translokasi bakteremia atau pirau portosistemik. 1f. Sistem renin-angiotensin-aldosteron

Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) distimulasi pada 80% sirosis hepatis dan SHR dan menyebabkan pe-ningkatan aktivitas renin dan aldosteron plasma. Pengeluaran renin diatur melalui mekanisme: penurunan perfusi ginjal, menurunnya sensasi terhadap konsentrasi NaCl di makula densa, dan stimulasi sistem saraf simpatis melalui adrenoseptor beta-1 di aparatus jukstaglomerulus. Peningkatan kadar angio-tensin II akan melindungi fungsi ginjal melalui mekanisme vasokonstriksi umum dan vasokonstriksi selektif arteriol eferen glomerulus. Angiotensin II menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, dan secara langsung menghambat absorbsi natrium di tubulus, serta dapat memperbaiki LFG.1,2,4 Pe-ningkatan aldosteron terjadi karena meningkatnya produksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 21

Page 23: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

renin oleh ginjal dan bukan karena menurunnya katabolisme aldosteron. Aldosteron akan meningkatkan absorbsi natrium di tubulus koligens. Aktivasi SRAA akan membantu mem-pertahankan tekanan darah pada penyakit hati berat. Pemberian inhibitor angiotensin converting enzyme atau antagonis reseptor angiotensin (saralasin) akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik dan resistensi vaskular sistemik pada pasien sirosis hepatis dengan asites.4 g. Hormon antidiuretik

Hormon antidiuretik (ADH) atau arginin vasopresin (AVP) akan menyebabkan vasokonstriksi melalui reseptor V1 dan retensi air melalui reseptor V2 di duktus koligens medula. Sekresi AVP juga dipengaruhi oleh perubahan tekanan darah dan peningkatan osmolalitas serum akan menyebabkan pe-ningkatan kadar AVP. Pada sirosis hepatis dekompensasi dan SHR, kadar AVP meningkat, akan menyebabkan vasokons-riksi ginjal serta menurunkan aliran darah ginjal dan LFG.4 h. Peptida natriuretik atrial

Atrial natriuretic peptide (Peptida natriuretik atrial - PNA) dilepaskan ke sirkulasi sebagai respons terhadap distensi atrial atau peningkatan kadar vasoaktif seperti AVP, angiotensin II, dan endotelin. PNA menyebabkan vasodilatasi arteriol aferen dan vasokonstriksi arteriol eferen yang mengakibatkan pening-katan LFG. Pada sirosis hepatis dekompensasi dan SHR terdapat peningkatan PNA.4i. Calcitonin gene related peptide

Calcitonin gene related peptide (CGRP) merupakan vasodilator poten yang memediasi vasodilatasi pembuluh darah mesenterik dan bertindak sebagai vasodilator arteri renal. CGRP terdapat di susunan saraf, pembuluh darah, sistem endokrin, serabut saraf perivaskular dalam hati, pembuluh darah mesenterik, dan ginjal. Pada SHR kadar CGRP me-ningkat. Belum jelas apakah CGRP merupakan mediator SHR atau meningkatnya CGRP pada sirosis terjadi akibat penurun-an klirens hati.4,6 j. Sistem kinin kalikrein ginjal, sitokin, dan adenosin

Aktivasi kinin melalui enzim kalikrein akan menyebabkan vasodilatasi ginjal dan meningkatkan aliran darah ginjal. Kinin juga menghambat absorbsi natrium di tubulus ginjal. Aktivitas sistem kinin dapat dinilai dengan mengukur ekskresi kalikrein urin yang menggambarkan produksi kalikrein ginjal. Pada SHR, terdapat penurunan ekskresi kalikrein yang berarti pro-duksi kalikrein ginjal menurun dan berperan dalam terjadinya gagal ginjal.4 Bradikinin menurun mungkin akibat disfungsi hati tetapi hubungannya dengan SHR belum jelas.3

Adenosin akan menyebabkan vasodilatasi splanhnik dan vasokonstriksi renal. Pada SHR terdapat peningkatan beberapa sitokin dalam sirkulasi seperti tumor necrosis factor dan inter-leukin-6 yang berperan penting dalam induksi nitric oxide syntethase.1,2

STIMULASI SISTEM SARAF SIMPATIS Pada penyakit hati, kadar katekolamin plasma merupakan

indeks prognostik kelangsungan hidup ginjal. Pada sirosis hepatis dan SHR, terjadi stimulasi sistem saraf simpatis. Pada SHR peningkatan norepinefrin disebabkan oleh sekresi yang meningkat di vascular beds ginjal dan splanhnik. Aksis sim-patis dapat distimulasi melalui tiga mekanisme yaitu:

a. Melalui reseptor tekanan (pressure receptor) sebagai res-pons terhadap hipotensi di arkus aorta dan glomus karotikus, serta reseptor volume (volume receptor) sebagai respons terhadap hipovolemia di atrium.

b. Melalui baroreseptor hepar yang tidak tergantung volume (nonvolume dependent)

c. Sekunder terhadap perubahan metabolik seperti respons terhadap hipoglikemia. Peningkatan tekanan intrahepatik berhubungan dengan

peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis eferen renal. Efek predominan perangsangan sistem saraf simpatis ginjal adalah vasokonstriksi arteriol aferen ginjal (adrenoreseptor-α) dengan penurunan aliran plasma ginjal dan LFG serta retensi natrium. Hal ini dapat mengaktifkan sekresi renin (reseptor β) yang selanjutnya menyebabkan retensi natrium. Pemberian bloker-β akan menginduksi berbagai respons pada sirosis hati, tetapi tidak dapat diberikan pada SHR. Blokade adrenergik-α akan menginduksi hipotensi arterial, dan memperburuk perfusi ginjal. Sebaliknya, pemberian norepinefrin biasanya menye-babkan perbaikan fungsi ginjal pada SHR yang kemungkinan terjadi sekunder akibat perbaikan hemodinamik sistemik.1 SINTESIS MEDIATOR HUMORAL DAN VASOAKTIF GINJAL

Pada SHR terdapat peningkatan sintesis mediator vasoaktif yang menyebabkan kontraksi sel mesangial, serta penurunan koefisien ultrafiltrasi kapiler glomerulus (Kf) dan fraksi filtrasi. Beberapa mediator tersebut antara lain: a. Endotelin

Endotelin adalah peptida asam amino 21 yang terutama disintesis oleh sel endotel dan mengakibatkan kontraksi otot polos vaskular. Di ginjal, efek utama endotelin adalah vaso-konstriksi yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan LFG, serta merupakan agonis poten dari kontraksi sel mesangial. Pada SHR dan penyakit hati dekompensasi, kon-sentrasi endotelin-1 akan meningkat dan berkorelasi dengan klirens kreatinin. Penyebab peningkatan endotelin plasma belum diketahui dengan pasti.1,4 b. Leukotrien sisteinil

Leukotrien C4 dan D4 diproduksi oleh sel inflamasi seri mieloid dan merupakan vasokonstriksi ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi sel mesangial. Sintesisnya distimulasi oleh endotoksemia, aktivasi komplemen, atau oleh beberapa sitokin. Pemberian leukotrien C4 intravena menyebabkan pe-ningkatan resistensi vaskular ginjal, penurunan aliran darah ginjal dan LFG. Pada SHR, sintesis leukotrien sisteinil sistemik dan ginjal meningkat. Leukotrien E4 seperti N-asetil leukotrien E4 dalam urin sangat meningkat.1,4 c. Tromboksan A2

Tromboksan A-2 adalah vasokonstriktor ginjal. Produksi tromboksan A2 dirangsang oleh iskemi ginjal yang menye-babkan vasokonstriksi dan kontraksi sel mesangial. Peningkat-an kadar prostaglandin dan tromboksan A2 sejalan dengan koreksi klirens kreatinin pada pasien SHR dibandingkan dengan pada pasien dengan gagal hati berat. Inhibisi sintesis tromboksan A2 dengan dazoxiben tidak mempengaruhi fungsi ginjal.1,2,4

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 22

Page 24: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

PATOFISIOLOGI Hipoperfusi ginjal terjadi akibat vasokonstriksi ginjal yang

merupakan tanda utama SHR. Pada SHR ada dua teori yang dikemukakan untuk menjelaskan hipoperfusi ginjal: Teori pertama adalah: hipoperfusi ginjal berhubungan dengan hati yang sakit tanpa ada hubungan dengan gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung ginjal hati, yaitu penyakit hati dapat menginduksi vasokonstriksi ginjal yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan hati dapat mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua adalah: hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubah-an sistem hemodinamik yang merupakan hipotesis vasodilatasi arteri. Menurut teori ini, underfilling sirkulasi arteri menyebab-kan hipoperfusi ginjal, bukan sebagai konsekuensi penurunan volume intravaskular tetapi karena vasodilatasi arteriol yang hebat yang terjadi pada sirkulasi splanhnik.1,2,4

Selain vasokonstriksi pembuluh darah ginjal, terjadi juga gangguan hemodinamik ekstrarenal berupa tahanan vaskular sistemik yang menurun dan hipotensi arterial (Bataller dkk.,1998). Pada sirosis hepatis tanpa SHR terdapat vaso-dilatasi sistemik sedangkan pada sirosis hepatis dengan SHR terdapat vasokonstriksi perifer. Keadaan ini membuktikan bahwa pada SHR terdapat penumpukan darah splanhnik yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal. Pemberian vaso-presin yang menyebabkan vasokonstriksi splanhnik terbukti dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan LFG. Vasokons-triksi ginjal mungkin berhubungan dengan peningkatan pro-duksi tromboksan-A2 (suatu vasokonstriktor) dan penurunan prostaglandin-2 (suatu metabolit dilatasi).7

Secara garis besar, ada dua faktor yang berperan pada patofisiologi SHR yaitu vasokonstriktor dan vasodilator. Faktor vasokonstriktor : Sistem renin angiotensin dan sistem saraf simpatis merupakan mediator vasokonstriktor ginjal pada SHR. Pada sirosis hepatis dan SHR terdapat peningkatan AVP, endotelin, eikosanoid, adenosin, dan endotoksin yang menyebabkan aktivitas sistem vasokonstriktor meningkat, aliran darah ginjal dan LFG menurun. Endotelin meningkat mungkin disebabkan meningkatnya produksi peptida dalam hati atau sirkulasi splanhnik.1,2,4 Faktor vasodilator : Pada sirosis hepatis dan SHR terdapat peningkatan vasodilator ginjal seperti prostaglandin, nitric oxide, dan peptida natriuretic (PNA, peptida natriuretic brain, urodilatin). Prostaglandin dapat mengimbangi efek yang timbul karena peningkatan kadar vasokonstriktor terhadap fungsi ginjal. Pemberian prostaglandin akan menurunkan aliran darah ginjal dan LFG. Prostaglandin dapat mempertahankan aliran urin dan ekskresi natrium pada peningkatan konsentrasi ADH, renin, dan aldosteron dalam urin. Pemberian inhibitor sintetase prostaglandin pada sirosis hepatis dekompensasi akan me-nurunkan pengeluaran urin dan ekskresi garam. Blokade pada reseptor peptida natriuretik A dan B dengan antagonis selektif HS-142-1 dapat menginduksi vasokonstriktor ginjal tanpa perubahan pada hemodinamik sistemik, menimbulkan dugaan bahwa peptida ini berperan dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis hepatis.1,2,4

Beberapa zat tertentu dapat mencetuskan SHR. Bilirubin conjugated dan garam empedu dapat mencetuskan kerusakan

anoksik terhadap ginjal. Endotoksin merupakan vasokonstriktor yang mengaktivasi sistem renin angiotensin dan menyebabkan kadar renin dan angiotensin II plasma meningkat.

Peningkatan tonus simpatis terjadi karena meningkatnya tekanan intrahepatik dan penurunan volume darah arteri efektif. Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan stimulasi saraf ginjal dan pelepasan renin yang menyebabkan penurunan aliran plasma ginjal dan LFG, serta meningkatnya retensi natrium baik secara langsung maupun melalui peningkatan aktivitas angiotensin II.3

Pada arteriografi renal selektif dan 113Xe washout studies terbukti bahwa kelainan pada SHR adalah kelainan fungsi ginjal. Pada pemeriksaan patologi anatomi dapat ditemukan kelainan berupa glomerulosklerosis dan glomerulonefritis membranoproliferatif.8 Penyebab vasokonstriksi kortikal ginjal pada SHR belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori menyebutkan bahwa vasokonstriksi terjadi sekunder karena penurunan volume plasma ekstrarenal. Ginjal akan meningkat-kan pengeluaran renin dan produksi angiotensin II, menye-babkan penurunan LFG yang mengakibatkan gagal ginjal oligurik. Pada SHR terdapat perubahan hemodinamik sistemik dan regional. Pada sirosis hepatis tanpa SHR, terdapat vaso-dilatasi sistemik sedangkan pada SHR terdapat vasokonstriksi perifer yang menunjukkan bahwa pada SHR terdapat pe-numpukan darah splanhnik yang menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Hal ini diperkuat hasil penelitian yang melaporkan bahwa pemberian 8-ornitin vasopresin yaitu suatu vasokonstriktor splanhnik menyebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan LFG pada pasien sirosis hepatis dengan gang-guan fungsi ginjal.

SHR dapat terjadi karena ketidakseimbangan produksi vasodilatator dan vasokonstriktor lokal. Sintesis vasodilator prostaglandin PGE2 dan PGI2 oleh ginjal akan meningkat pada sirosis hepatis tetapi akan menurun secara bermakna jika sirosis hepatis disertai SHR. Pada SHR vasokonstriksi dapat disebab-kan oleh penurunan produksi prostaglandin. Bukti ketidakse-imbangan vasokonstriksi dan vasodilatasi ginjal diperkuat oleh penelitian tentang pemberian tromboksan A2 (TxA2) yaitu suatu vasokonstriktor kuat pada SHR. Pada sirosis hepatis dengan SHR, terdapat peningkatan tromboksan B2 urin yaitu bentuk inaktif TxA2, serta penurunan PGE2 urin jika dibandingkan dengan sirosis hepatis tanpa SHR. Dengan demikian, SHR dapat disebabkan oleh peningkatan produksi vasokontriktor TxB2 atau penurunan vasodilator PGE2 atau ketidakseimbangan keduanya.1,2,4

FAKTOR PREDIKTOR SHR

Beberapa faktor prediktor terjadinya SHR pada sirosis hepatis nonazotemik adalah: asites, tidak ada hepatomegali, gizi buruk, LFG menurun, kreatinin dan ureum serum mening-kat, hiponatremia, hiperkalemia, retensi natrium atau ekskresi natrium urin yang rendah, osmolalitas plasma yang rendah, osmolalitas urin yang tinggi, aktivitas renin plasma yang meningkat, hipotensi arterial, klirens air bebas yang rendah peningkatan norepinefrin plasma, dan terdapatnya varises esofagus.2,4,9 Di antara faktor prediksi ini, faktor prediksi yang paling utama terjadinya SHR adalah tidak terdapatnya hepato-

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 23

Page 25: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

megali, status gizi buruk, dan varises esophagus. Fungsi hati dan penyebab sirosis hepatis tidak mempunyai nilai dalam memprediksi terjadinya SHR.9

Menurut Gines dkk (1993), kemungkinan terjadinya SHR pada sirosis hepatis nonazotemik dengan asites adalah 24% (56/234), 18% terjadi dalam 1 tahun dan 39% dalam 5 tahun,9 sedangkan menurut Bataller dkk. (1998), kemungkinan terjadi-nya SHR adalah 20% dalam tahun pertama dan 40% dalam 5 tahun.2 Pada 50% (28/56) pasien SHR, didapatkan faktor pencetus berupa infeksi bakteri berat pada 16 kasus (8 sepsis, 7 peritonitis bakterial spontan, 1 pneumonia), perdarahan saluran cerna pada 10 kasus, parasentesis dengan pemberian albumin intravena 2 kasus, dan tidak satu pasien pun yang mengalami renjatan sebelum terjadinya SHR. Pada 28 kasus (50%), tidak terdapat faktor pencetus sebelum terjadinya SHR. Perbaikan fungsi ginjal selama pemantauan didapatkan pada 2 kasus yang keduanya mendapat parasentesis dengan pemberian albumin intravena. Pada 54 pasien lainnya, SHR berlangsung dengan progresif. 9

GAMBARAN KLINIS

SHR dapat terjadi pada penyakit hepatoselular yang berat dan pada ikterus minimal dengan disfungsi hati. Pada sebagian besar sirosis hepatis yang datang ke rumah sakit belum terdapat gagal ginjal akut. Diagnosis SHR biasanya ditegakkan setelah pasien dirawat di rumah sakit. Awitan gagal ginjal tidak jelas dan dapat dicetuskan oleh perdarahan saluran cerna, pemberian diuretik yang agresif, dan parasentesis abdominal.

SHR ditandai dengan gagal ginjal progresif cepat pada pasien dengan ikterus, hepatosplenomegali, hipertensi portal, hipoalbuminemia, dan asites. Hipotensi biasanya terjadi pada stadium terminal. Pada sebagian besar pasien, kadar natrium, kalium, dan albumin di bawah normal. 3,10 Kreatinin dan ureum meningkat perlahan-lahan dalam beberapa hari sampai bebe-rapa minggu tetapi peningkatannya tidak setinggi seperti pada gagal ginjal. Dapat terjadi hipokalemia karena kehilangan kalium melalui saluran cerna akibat muntah dan diare atau karena pemberian diuretik. Hiponatremia terjadi karena pe-nurunan klirens air bebas.

Fungsi tubulus umumnya normal dan natrium urin biasa-nya < 10 mEq/l, namun pada beberapa kasus dilaporkan natrium urin > 10 mEq/l. Karena kemampuan konsentrasi urin pada SHR tidak terganggu, maka umumnya osmolalitas urin lebih tinggi daripada osmolalitas plasma, fraksi ekskresi natrium < 1%, osmolalitas urin/plasma > 1, rasio kreatinin urin /plasma >10, dan ekskresi kalium meningkat. Protein urin harus < 500 mg/hari dan sedimen urin normal atau hampir normal. Pada SHR biasanya tidak ada kerusakan glomerulus dan tubulus yang bermakna dan tidak terdapat hematuria dan pro-teinuria. Jika terdapat hematuria dan atau proteinuria maka diagnosis SHR perlu dipertimbangkan lagi karena kemung-kinan besar keadaan ini merupakan kelainan glomerulus.2,6,11

Sebagian besar pasien SHR meninggal dalam waktu 3 minggu sejak awitan azotemia dan pasien jarang hidup dalam beberapa bulan dengan azotemia, meskipun ada laporan ter-jadinya penyembuhan.10

Secara klinis, SHR dapat juga dibagi menjadi SHR tipe I

(SHR akut) dan SHR tipe II (SHR kronik).

SHR tipe I Pada SHR tipe I atau SHR akut pasien biasanya tampak

sakit berat disertai anuria, oliguria, hiponatremia, hiperkalemia, ikterus, ensefalopati, dan koagulopatia. Sering terdapat pada pasien hepatitis alkoholik dan gagal hati fulminan. Biasanya pasien dirawat dengan kadar kreatinin serum yang masih nor-mal dan gagal ginjal terjadi selama perawatan. Peningkatan ureum dan kreatinin terjadi dengan cepat dalam waktu 1-14 hari.4

Kurang lebih 50% SHR tipe I akan terjadi spontan tanpa faktor pencetus, dan pada 50% lagi biasanya disertai faktor pencetus seperti infeksi bakteri, perdarahan saluran cerna, para-sentesis tanpa pemberian plasma expander, pemberian diuretik, perburukan fungsi hati, dan operasi besar.2 Sekitar 15% sirosis hepatis dengan peritonitis bakterialis spontan akan menjadi SHR tipe I. SHR juga terjadi pada 10-15% pasien sirosis hepa-tis dengan asites yang menjalani terapi parasentesis tanpa pemberian plasma expander, dan penurunan fungsi ginjal terjadi karena disfungsi sirkulasi setelah parasentesis.1,2,7 SHR akut mempunyai prognosis yang buruk dengan median survival time kurang dari 2 minggu.4 SHR tipe II

SHR tipe II atau SHR kronik adalah SHR dengan gagal ginjal yang progresif perlahan-lahan dengan peningkatan ureum dan kreatinin terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. SHR kronik biasanya dihubungkan dengan penyakit hati tahap lanjut tetapi relatif stabil seperti penyakit hati kronik karena hepatitis B, hepatitis C, dan sirosis bilier primer. Kadang-kadang SHR kronik memberikan respons tem-porer terhadap penambahan volume cairan. Survival time lebih lama dari SHR akut tetapi lebih singkat dibandingkan dengan pasien asites tanpa gagal ginjal.4

SHR kronik ditandai dengan gagal ginjal oliguria, hipo-natremia, kadar natrium urin yang rendah, biasanya ditandai dengan asites yang resisten terhadap diuretik, dan terdapat ikterik ringan.1,2 Pengukuran serial kadar natrium urin dan osmolalitas urin dapat digunakan untuk membedakan SHR dari nekrosis tubular akut (NTA) karena kadar natrium urin akan naik dan osmolalitas urin biasanya sama dengan osmolalitas plasma.2,4,7

DIAGNOSIS

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang spesifik untuk mendiagnosis SHR. Biasanya SHR didiagnosis dengan mengevaluasi LFG dan menyingkirkan penyebab gagal ginjal prerenal, glomerulonefritis, nekrosis tubular akut, dan nefro-toksisitas karena obat. Adanya proteinuria bermakna dan atau kelainan ginjal akan mengarah ke penyakit ginjal lain.1,2,4

Pada tahun 1978, di Sassari, Italia, diajukan kriteria diagnostik SHR yang terdiri dari kriteria mayor dan kriteria minor, tetapi pada tahun 1994, di Chicago, The International Ascites Club menyempurnakan kriteria di atas dengan kriteria baru. Dalam mendiagnosis SHR, semua kriteria mayor harus ada sedangkan kriteria tambahan tidak harus terpenuhi

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 24

Page 26: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

semuanya. Kriteria mayor terdiri dari: 1. penyakit hati akut atau

kronik dengan gagal hati lanjut atau hipertensi portal; 2. penurunan LFG yang ditandai dengan peningkatan kreatinin serum > 1,5 mg/dl atau klirens kreatinin < 40 ml/menit; 3. tidak ada penyebab gagal ginjal yang lain seperti syok, infeksi bakterial, pemberian obat nefrotoksik, kehilangan cairan me-lalui saluran cerna (muntah atau diare), dan kehilangan cairan melalui ginjal; 4. tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan penghentian diuretik, perbaikan volume plasma atau dengan pemberian cairan NaCl isotonik; 5. proteinuria < 500 mg/dl dan dengan pemeriksaan ultrasonografi tidak terlihat uropati obs-truktif atau penyakit parenkim ginjal.

Kriteria tambahan adalah oliguria, natrium urin < 10 mEq/l, osmolalitas urin > osmolalitas plasma, sel darah merah urin < 50 per lapangan pandang besar, dan konsentrasi Na serum < 130 mEq/l.11

Diagnosis SHR harus dipertimbangkan pada setiap pasien sirosis hepatis yang disertai gagal ginjal oligurik atau non oli-gurik, tetapi perlu diingat bahwa gagal ginjal akut dapat terjadi pada penyakit hati kronik akibat NTA, azotemia prerenal, dan SHR.6 Diagnosis banding

Beberapa penyakit yang dapat menyerupai SHR antara lain: 1. Nekrosis tubular akut

Nekrosis tubular akut (NTA) relatif sering terjadi pada sirosis hepatis dengan asites, hipotensi, sepsis, dan nefrotoksik karena obat seperti aminoglikosida terutama jika obat ini dikombinasi dengan sefotaksim. Pada NTA biasanya sedimen urin memperlihatkan silinder granular dan ekskresi natrium urin > 10 mEq/l. Enzim urin seperti gamma glutamiltrans-peptidase, leusin aminopeptidase, dan β-2 mikroglobulin dapat digunakan untuk membedakan NTA dengan SHR.4 2. Gagal ginjal karena obat

Beberapa obat seperti antiinflamasi non steroid, antibiotik, zat kontras intravena, dan diuretik dapat mencetuskan gagal ginjal. Obat antiinflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, piroksikam, indometasin akan menghambat sintesis prostaglan-din, menyebabkan vasokonstriksi arterial dan penurunan aliran darah ginjal dan LFG.4 3. Glomerulopati

Glomerulopati karena penyakit kompleks imun (seperti krioglobbulinemia) dan nefropati IgA dapat menyerupai SHR 4. Azotemia prerenal

Pada SHR terdapat penurunan volume vaskular dan vasokonstriksi ginjal yang ditandai dengan natrium serum yang rendah, osmolalitas urin yang meningkat, rasio osmolalitas urin/plasma yang meningkat, dan rasio kreatinin urin/plasma yang tinggi. Gambaran laboratorium dalam darah dan urin sama dengan azotemia prerenal. Keadaan ini berbeda dengan NTA yang ditandai dengan meningkatnya natrium dalam urin (>30 mEq/L), osmolalitas urin sama dengan plasma, rasio osmolalitas urin : plasma yang rendah, dan rasio kreatinin urin : plasma yang rendah (< 20 : 1).4,5,11

Pemberian plasma expander seperti salin normal atau

koloid dapat digunakan sebagai uji diagnostik untuk menying-kirkan gagal ginjal prerenal.3 Pada gagal ginjal prerenal, penurunan LFG akan kembali normal dengan pemberian plasma expander dan ini tidak terjadi pada SHR.3,4,5,11

TATALAKSANA

Tatalaksana SHR bertujuan untuk mengatasi masalah yang masih reversibel dan dapat diobati (misalnya hipovolemia) serta terapi suportif untuk regenerasi hati (pada penyakit hati akut), sedangkan tatalaksana definitif adalah transplantasi hati. Menurut Dictant dan Gonwa (1993), tata laksana SHR terdiri dari tatalaksana umum, optimalisasi homeostasis ginjal, terapi suportif ginjal, terapi bedah dan transplantasi hati.12

Pada sirosis hepatis, insufisiensi ginjal biasanya terjadi sekunder karena hipovolemia (karena pemberian diuretik dan perdarahan saluran cerna), obat anti inflamasi nonsteroid, dan sepsis.2,4,5,12 Tatalaksana yang paling penting pada SHR adalah mencegah dan menangani keadaan yang dapat mencetuskan terjadinya SHR mengingat saat ini tidak ada terapi yang efektif. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, demeclocycline hydrochloride, dan obat nefrotoksik seperti aminoglikosida harus dihindari pada pasien gagal hati. Dehidrasi, perdarahan saluran cerna, dan septikemia harus ditatalaksana dengan adekuat untuk menurunkan risiko terjadinya SHR. Pemberian diuretik harus hati-hati untuk mencegah defisit cairan intra-vaskular. Loop diuretic seperti muzolimin menyebabkan diuresis lebih perlahan dan efek kehilangan kalium yang lebih rendah, dan aktivitas stimulasi renin yang lebih rendah.3,7 Pemberian antibiotik untuk mencegah peritonitis bakterialis pada sirosis hepatis risiko tinggi dapat menurunkan insidens SHR. Gagal ginjal akut ditatalaksana sebagaimana gagal ginjal akut pada umumnya. 2,4,5,6,12

Beberapa tindakan lain sudah dicoba seperti lumbar symphatectomy, penambahan volume plasma dan ex vivo baboon liver perfusion tetapi hasilnya tidak memuaskan.4 Head-out water immersion dapat memperbaiki diuresis dan perfusi ginjal tetapi pelaksanaannya tidak praktis untuk pemakaian jangka lama. Plasma exchange dilaporkan tidak efektif.4,5

Meskipun parasentesis abdominal perlu dihindari pada pasien dengan asites yang tegang, penelitian membuktikan bahwa tindakan tersebut dapat menjadi aman jika dilakukan bersamaan dengan pemberian albumin intravena.2,5,6,12 Drainase cairan asites dengan parasentesis dapat memperbaiki hemo-dinamik ginjal dan fungsi ginjal melalui penurunan tekanan vena renalis. Namun demikian, parasentesis abdominal hanya menyebabkan perbaikan sesaat, tidak dalam jangka panjang.4,6

Dalam tatalaksana SHR, perlu perhatian terhadap pening-katan produksi sitokin yang mungkin sebagai konsekuensi endotoksin dalam sirkulasi atau stres oksidan. Peningkatan konsentrasi F2-isoprostanes pada SHR mengindikasikan adanya peningkatan peroksidasi lipid dan menyebabkan stres oksidan. Oxidant-stress-dependent pathways terbukti berperan pada ekspresi gen dari berbagai sitokin pada SHR. Saat ini perhatian lebih dipusatkan pada terapi suportif untuk mencapai keadaan yang optimal atau transplantasi hati.12 1. Vasodilator ginjal

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 25

Page 27: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Vasodilator ginjal bertujuan menurunkan tahanan vaskular intrarenal. Beberapa telah digunakan dalam tatalaksana SHR seperti prostaglandin A1 atau E1, misoprostol (analog PGE1), alpha adrenergic blockers, beta adrenergic agonist, asetilkolin, dan papaverin.4 Pemberian vasodilatator prostaglandin PGE1 dan PGA1

(3,6,7) dan misoprostol (bentuk sintetik PGE2) tidak selalu diikuti perbaikan fungsi ginjal pada SHR.2

Upaya memaksimalkan aliran darah ke ginjal dapat dilaku-kan dengan pemberian dopamin, optimalisasi tekanan darah, dan modulasi Kf. Optimalisasi rerata tekanan arteri sangat penting dan tekanan darah yang diinginkan tergantung pada usia anak. Modulasi Kf diduga dapat memperbaiki aliran darah ke ginjal, tetapi belum ada penelitian tentang efek antagonis setiap faktor (endotelin dan leukotrin) yang mempengaruhi modulasi Kf.12

Pemberian antagonis spesifik reseptor endotelin A

(BQ123) dapat memperbaiki fungsi ginjal pada SHR.2 Infus dopamin dosis rendah yang berfungsi untuk menginduksi vasodilatasi ginjal dapat memperbaiki aliran darah ke ginjal, tetapi ada laporan yang menyebutkan bahwa pada sirosis hati dengan atau tanpa SHR, dopamin tidak menyebabkan perbaikan LFG. Holt dkk (1998) melaporkan bahwa pemberian N-asetil sistein pada SHR dapat memperbaiki fungsi ginjal.13 Hadengue dkk. (1998) memberikan terlipressin selama 2 hari pada SHR dan tampak peningkatan klirens kreatinin, diuresis yang meningkat tanpa mempengaruhi kadar natrium. Kadar renin dan aldosteron plasma menurun secara bermakna, tetapi kadar ANP tidak terpengaruh.14 Ornipressin yang diberikan bersama dopamin bermanfaat dalam tata laksana SHR terutama sebelum transplantasi hati.15 Glipresin atau oktapresin akan menginduksi perubahan sirkulasi hiperdinamik, menurunkan angiotensin dan katekolamin plasma, serta menyebabkan diu-resis dan natriuresis.12. Vasokonstriktor

Hipoperfusi ginjal pada SHR berhubungan dengan underfilling sirkulasi arterial sehingga vasokonstriktor dapat memperbaiki perfusi ginjal dengan meningkatkan tahanan vaskular sistemik dan penekanan aktivitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor seperti norepinefrin, meta-raminol, angiotensin II, ornipressin, dan aprotinin pada SHR akan menginduksi vasokonstriksi arterial yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri dan tahanan vaskular sistemik serta menurunkan indeks kardiak.

Infus vasopresin, desmopresin, dan norepinefrin dapat memberikan hasil yang memuaskan. Ornipresin yaitu analog vasopresin yang merupakan vasokonstriktor splanhnik poten dapat memperbaiki sirkulasi hiperdinamik, meningkatkan LFG dan ekskresi natrium urin, namun dapat menimbulkan vaso-konstriksi sistemik yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik. Mekanisme kerja diduga melalui vasokonstriksi sirkulasi splanhnik. Aprotinin akan memperbaiki natriuresis dengan cara menghambat sistem kalikrein-kinin yang menimbulkan vaso-konstriksi sirkulasi splanhnik dan peningkatan aliran darah ginjal.4,16

Kombinasi vasokonstriktor seperti ornipressin dan nore-pinefrin dengan vasodilatasi ginjal seperti dopamin dan prostasiklin dilaporkan tidak dapat memperbaiki fungsi ginjal.

Pada SHR, kombinasi ornipressin dan albumin dapat mem-perbaiki fungsi ginjal, memperbaiki perubahan hemodinamik, serta menormalkan aktivitas berlebih renin-angiotensin, sistem saraf simpatis, dan peningkatan PNA.1,2 Pemberian midodrine dan octreotide yang merupakan vasokonstriktor dapat meng-hambat pelepasan vasodilator endogen, dan terbukti efektif dan aman untuk tatalaksana SHR 17 Uriz dkk (2000) melaporkan bahwa terlipressin (analog vasopressin) yang diberikan ber-sama infus albumin ternyata efektif dan aman. Terdapat perbaikan sirkulasi dengan meningkatnya rerata tahanan arteri dan penurunan aktivitas sistem vasokonstriktor berupa pe-nurunan aktivitas renin dan norepinefrin plasma, dan kreatinin serum juga menurun.16 3. Pirau peritoneovenous

Dengan pemasangan pirau peritoneovenous maka terdapat aliran terus menerus cairan asites dari kavum peritoneum ke dalam sirkulasi sistemik yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan volume intravaskular. Efek hemodinamik pirau peritoneovenous ini akan menekan aktivitas sistem vasokons-triktor, meningkatkan ekskresi natrium, memperbaiki LFG dan aliran darah ginjal. Pirau peritoneovenous dapat memperbaiki tekanan vena sentral dan volume intravaskular tetapi tidak banyak manfaatnya dalam jangka lama. Pirau peritoneovenous dapat menstabilkan fungsi ginjal tetapi tidak dapat memperpan-jang hidup pasien SHR. Pirau peritoneovenous tidak dapat digunakan sebagai terapi standard pada SHR.2,5,6,12

Belakangan ini, pirau peritoneal-sistemik terutama peritoneo-jugular LeVeen shunt dan Denver shunt mulai mendapat perhatian. Penurunan tekanan intrabdominal disertai peningkatan volume darah sentral yang terjadi akibat pirau akan memperbaiki hemodinamik, curah jantung, perfusi ginjal, LFG, diuresis, dan ekskresi natrium yang menyebabkan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron serum menurun, namun prosedur ini masih diikuti mortalitas yang tinggi akibat infeksi dan koagulopati.3,4 4. Pirau portosistemik

Pirau portosistemik bukanlah terapi standar pada SHR karena morbiditas dan mortalitas prosedur bedah yang masih tinggi. Para ahli telah mengembangkan teknik dekompresi portal non bedah transjugular intrahepatic portasystemic shunt (TIPS) yaitu pemasangan stent antara vena hepatik dengan vena porta bagian intrahepatik melalui pendekatan transjugular. Dengan TIPS, mortalitas bedah berkurang dan komplikasi yang paling sering adalah ensefalopati hepatis dan obstruksi oleh stent. TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal dengan mening-katkan LFG,2 menurunkan kreatinin dan ureum serum, me-ningkatkan eksresi natrium urin, menurunkan aldosteron plasma, dan menurunkan kadar norepinefrin, sedangkan endotelin tidak berubah.4,12,18. TIPS dapat menurunkan aktivitas renin angiotensin dan SSS, namun efikasi TIPS ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut.18,19 Brensing dkk. (2000) melaporkan bahwa TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal dalam jangka lama dan sebagian besar pasien SHR yang belum ditrans-plantasi. dapat tetap hidup.20

5. Dialisis Terapi suportif terhadap ginjal dilakukan jika mungkin

terjadi penyembuhan hati atau kemungkinan transplantasi hati,

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 26

Page 28: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

karena jika tidak maka terapi suportif terhadap ginjal hanyalah memperlambat kematian. Berbagai terapi dapat dilakukan se-perti dialisis peritoneal, hemodialisis, atau hemofiltrasi.7,12 Hemodialisis dan dialisis peritoneal dilakukan untuk mengganti fungsi ginjal sambil menunggu perbaikan penyakit hati atau transplantasi hati.2,4,12 Hemodialisis dapat mengatasi ketidakse-imbangan air dan elektrolit, namun tidak dapat menyembuhkan SHR. Gonwa dkk (1991,) melakukan hemodialisis terhadap 11 anak yang menderita SHR sebelum transplantasi hati.21 Dialisis yang lama tidak banyak pengaruhnya terhadap SHR karena tidak dapat mengurangi atau menghambat perjalanan gagal hati atau gagal ginjal.5 Wood dkk (1987) melaporkan 4 pasien dengan penyakit hati stadium akhir menjalani dialisis dan 3 di antaranya tetap hidup sampai dilakukan tindakan transplantasi hati.22 Pada SHR biasanya terdapat hipotensi sehingga dapat dilakukan tindakan continuous arteriovenous hemofiltration atau continuous arteriovenous ultrafiltration dengan hasil yang cukup baik pada anak.6 6. Transplantasi hati

Transplantasi hati dan terapi spesifik yang dapat memulihkan fungsi hati harus dipertimbangkan pada semua pasien SHR. Transplantasi hati merupakan terapi standar SHR karena dapat dengan cepat memperbaiki penyakit hati dan fungsi ginjal.2,4 Tanpa transplantasi hati, mortalitas SHR sangat tinggi yaitu sebesar 80-90%. Transplantasi hati dapat mem-berikan hasil yang baik tetapi dapat juga terjadi kelainan glomerulus dan gagal ginjal karena efek nefrotoksik siklosporin dan FK056.2,7

Pada satu penelitian dilaporkan bahwa pada 407 pasien non SHR, LFG menurun dari 94,1 ml/menit menjadi 59,8 ml/menit dan 56,7 ml/menit pada 1 tahun dan 4 tahun setelah transplantasi; sedangkan pada 34 pasien SHR, LFG meningkat dari 14,1 ml/menit menjadi 44 ml/menit dan 45,6 ml/menit pada 1 tahun dan 4 tahun setelah transplantasi. LFG tetap lebih rendah secara bermakna pada pasien SHR sampai 4 tahun setelah transplantasi.12

PROGNOSIS

Prognosis SHR buruk dan umumnya fatal dengan morta-litas antara 80-90% yang bergantung pada etiologinya. Biasa-nya pasien SHR akan meninggal dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Kematian biasanya bukan hanya karena gagal ginjal melainkan karena gagal organ multipel,3,4,6,9,19 tetapi tidak diketahui keadaan mana yang lebih berperan.9

Kurang lebih 75% pasien meninggal dalam waktu 3 minggu dan 90% dalam waktu 8 minggu dengan mean survival biasa-nya 10-14 hari.1. Gines dkk. (1993) melaporkan bahwa mean survival time setelah didiagnosis SHR adalah 1,7 minggu. SHR tanpa faktor pencetus mempunyai survival time yang lebih lama (2,6 minggu) daripada SHR dengan faktor pencetus (1,3 minggu).9 Kelangsungan hidup atau perbaikan fungsi ginjal umumnya bergantung pada efektivitas regenerasi hepar atau transplantasi hati.1

Kelangsungan hidup pada SHR tipe II biasanya lebih lama dan sekitar 4-10% pasien dapat mengalami pemulihan fungsi ginjal.4 Guevara dkk (1998) melaporkan 3 pasien SHR yang tetap hidup lebih dari 3 bulan setelah pemasangan TIPS dengan

rerata survival 4,72 bulan (0,3-17 bulan).18 Kelainan pada SHR dapat reversibel setelah transplantasi hati ortotopik atau jika penyakit hati primer dapat diobati.21 Jika sembuh, biasanya terjadi karena perbaikan penyakit hati dan bukan karena penyembuhan primer SHR.6 Gines dkk., (1993) melaporkan perbaikan fungsi ginjal pada 2 di antara 56 kasus (3,5%) SHR. Faktor lain yang juga berperan dalam kematian adalah per-darahan saluran cerna, infeksi bakteri, dan karsinoma hepato-selular.9

KESIMPULAN

SHR merupakan sindrom gagal ginjal fungsional akibat penyakit hati stadium akhir. SHR terjadi akibat penurunan tekanan perfusi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis ginjal, dan produksi berbagai mediator yang menyebabkan kontraksi mesangial, penurunan fraksi filtrasi, dan vasokonstriksi ginjal. SHR harus dibedakan dengan penyebab lain gagal ginjal. SHR ditatalaksana dengan menghindari faktor pencetus (seperti diuretik, perdarahan saluran cerna, obat antiinflamasi non-steroid), dan pemberian terapi suportif (pressure support dan antibiotik). Terapi suportif ginjal diberikan jika ada kemung-kinan pemulihan fungsi hati atau transplantasi hati.

KEPUSTAKAAN 1. Van Rocy G, Moore K. The hepatorenal syndrome. Pediatr Nephrol

1996;10: 100-7 2. Bataller R, Sort P, Gines P, Arroyo V. Hepatorenal syndrome:

Definition, pathophysiology, clinical features and management. Kidney Internat 1998; 53; Suppl 66: S47-S53.

3. Chan JCM, Alon U, Oken DC. The hepatorenal syndrome. Dalam: Edelmann CM, penyunting, Pediatric Kidney Disease, edisi ke-2, Boston: Little, Brown, 1992; h. 1932-3.

4. Pyne J, Morgan TM. Hepatorenal syndrome. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB. Penyunting, Handbook of Liver Disease, Toronto: Churchill Livingstone, 1998: 167-83.

5. Hand MM, Alexander SR, Harmon WE. Hepatorenal syndrome. Dalam: Martin TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric nephrology, edisi ke-4, Baltimore:Lippincott Williams & Wilkins, 1999: h. 1136-7.

6. Hardy SC, Kleinman RE. Hepatorenal syndrome. Dalam: Suchy FJ, penyunting, Liver disease in children, St Louis:Mosby Year Book, 1994; h. 238-41.

7. Shepherd R. Complications and management of chronic liver disease. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary system in children. ed. ke-1, Oxford.: Blackwell Science, 1999. h.189-207.

8. Crawford DHG, Endre ZH, Alexsen RA, dkk. Universal occurence of glomerular abnormalities in patients receiving liver transplantation. Am J Kidney Dis 1992; 19: 339-44.

9. Gines A, Escorsell A, Gines dkk. Incidence, predictive factors, and prognosis of the hepatorenal syndrome in cirrhosis with ascites. Gastroenterology 1993; 105: 229-36.

10. Epstein M. Hepatorenal syndrome. Dalam: Schiff L dan Schiff ER, Penyunting. Diseases of the liver, edisi ke-17, Philadelphia: JB Lippincott, 1993; h. 1027-30.

11. Arroyo V, Gines P, Gerbes AL, dkk. Definition and diagnostic criteria of refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Hepatology 1996; 23: 164-76.

12. Dictant DA, Gonwa TA. The kidney in liver transplantation. J Am Soc Nephrol 1993; 4: 129-36.

13. Holt S, Goodier D, Marley R, Patch D, Burroughs A, Fernando B, dkk. Improvement in renal function in hepatorenal syndrome with N-acetylcysteine. Lancet 1999; 353: 294-5.

14. Hadengue A, Gadano A, Moreau R, Giostra E, Durand F, Valla D, dkk. Beneficial effects of the 2-days administration of terlipressin in patients with cirrhosis and hepatorenal syndrome. J Hepatol 1998; 29: 565-70.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 27

Page 29: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

15. Gulberg V, Bilzer M, Gerbes AL. Long-term therapy and retreatment of hepatorenal syndrome type 1 with ornipressin and dopamine. Hepato-logy 1999;30: 870-5.

16. Uriz J, Gines P, Cardenas A, Sort P, Jimenez W, Salmeron JM dkk. Terlipressin plus albumin infusion: an effective and safe therapy of hepatorenal syndrome. J Hepatol 2000; 33: 43-8.

17. Angeli P, Volpin R, Gerunda G, Craighero R, Roner P, Merenda R, dkk. Reversal of type 1 hepatorenal syndrome with administration of midodrine and octreotide. Hepatology 1999; 29: 1690-7.

18. Guevara M, Gines P, Bandi JC, Gilabert R, Sort P, Jimenez W, dkk. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt in hepatorenal syndrome: effects on renal function and vasoactive systems. Hepatology 1998; 28: 416-22.

19. Wong F. Blendis L. Pathophysiology and treatment of hepatorenal syndrome. Gastroenterologist 1998; 6: 122-35.

20. Brensing KA, Textor J, Perz J, Schiedermaier P, Raab P, Strunk K, dkk. Long term outcome after transjugular intrahepatic portosystemic stent-shunt in non-transplant cirrhosis with hepatorenal syndrome: a phase II study. Gut 2000; 47: 299-5.

21. Gonwa TA, Morris CA, Goldstein RM, Husberg BS, Klinthalm CM. Long-term survival and renal function following liver transplantation in patients with and without hepatorenal syndrome - experience in 300 patients. Transplantation 1991; 51: 428-30.

22. Wood RP, Ellis D, Starzl TE. The reversal of the hepato-renal syndrome in four pediatric patients following successful orthotopic lever trans-plantation. Ann Surg 1987; 205: 415-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 28

Page 30: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Farmakoterapi Terkini Hepatitis Virus Kronik

Candra Wibowo

Residen Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ RSUP Manado, Manado

ABSTRAK

Farmakoterapi hepatitis virus kronik masih merupakan masalah di sebagian besar belahan dunia. Terapi ideal belum ada, karena belum ditemukan obat spesifik yang memberi hasil memuaskan. Farmakoterapi hepatitis virus kronik difokuskan pada hepatitis virus B,C dan D, karena virus tersebut paling sering menyebabkan hepatitis virus kronik dengan segala komplikasinya. Penggunaan IFN secara tunggal maupun kombinasi dengan ribavirin, saat ini merupakan terapi utama untuk hepatitis virus kronik, di samping lamivudin yang digunakan pada hepatitis virus B kronik. Farmako-terapi kombinasi merupakan solusi yang menjanjikan bagi pengelolaan hepatitis virus kronik di masa depan.

PENDAHULUAN

Hepatitis virus kronik adalah penyakit hati nekroinflamasi dengan perjalanan penyakit lebih dari 6 bulan, bersifat lambat progresif dan disebabkan oleh virus hepatitis B, C, D dan G. Hepatitis virus kronik merupakan penyebab utama sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler dengan segala penyulitnya di seluruh dunia.1-3

Virus hepatitis B (VHB) menginfeksi sekitar 400 juta penduduk dunia; 5-20% penduduk Asia Tenggara, Afrika dan Cina mengidap hepatitis virus B (HVB) kronik dan seper-tiganya menjadi sirosis hati atau karsinoma hepatoseluler dengan berbagai komplikasinya, meskipun program vaksinasi terus berjalan.4,5 Angka prevalensi di Indonesia sekitar 10%, dan 5-10% dari semua kasus HVB menjadi kronik.6,7 Di samping itu, terdapat sekitar 170 juta manusia di dunia terinfeksi virus hepatitis C (VHC) dengan angka prevalensi 3% dan di Indonesia 1- 2,4%. Hanya 15% penderita hepatitis virus C (HVC) dapat sembuh spontan, 85% berkembang menjadi kronik.8,9 Virus hepatitis D (VHD) merupakan virus RNA yang tidak sempurna dan selalu membutuhkan keberadaan VHB. Perjalanan hepatitis virus D (HVD) kronik menyebabkan 70% kasus berkembang menjadi sirosis; untungnya insidensi dan prevalensinya rendah, yaitu 4% dan 6%.2,3 Sedangkan virus hepatitis G (VHG) muncul sebagai koinfeksi pada 5-15% HVB

dan 10-15% HVC. Prevalensi HVG di Jakarta 2%10. Virus ini menyebabkan hepatitis kronis pada sekitar 29% karena 25-30% asam aminonya sama dengan asam amino VHC; meskipun demikian sampai sekarang VHG belum banyak dipahami dan masih terus dipelajari di berbagai laboratorium penelitian.2,3,10

Pemberian farmakoterapi yang rasional pada hepatitis virus kronik ditujukan untuk mengeliminasi atau paling tidak menekan kepadatan virus sampai batas tak terdeteksi; sehingga dapat menghentikan/menghambat laju progresivitas penyakit dan komplikasinya serta meningkatkan kualitas hidup pasien.1-

3,5,9

Dalam tinjauan kepustakaan ini diuraikan farmakoterapi rasional pada hepatitis virus kronik, dengan harapan dapat diterapkan dan memberikan hasil yang memuaskan. FARMAKOTERAPI HVB KRONIK

Sampai saat ini, farmakoterapi HVB kronik belum cukup memuaskan; karena masih rendahnya angka kesembuh-an dan tingginya angka kekambuhan. Meskipun demikian, farmakoterapi yang rasional mampu meningkatkan survival rate, kualitas hidup dan memperbaiki prognosis.2,3,5,9

Pengobatan HVB kronik tergantung pada status replikasi virus, oleh sebab itu farmakoterapi tidak diberikan pada HVB kronik asimtomatik dan karier non-replikasi.2-5

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 29

Page 31: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Core Working Party11 menganjurkan penggunaan inter-feron α (IFNα) atau lamivudin sebagai farmakoterapi yang rasional sesuai indikasinya. Thymosin α1 dan antiviral lainnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut walaupun penelitian-penelitian yang sudah selesai memberikan hasil yang cukup menggembirakan.2,3,11

Keberhasilan pengobatan hepatitis virus kronik dinyatakan sebagai end of treatment viral response, yaitu tidak terdetek-sinya DNA VHB pada akhir program pengobatan dan sustained viral response, yaitu tidak terdapatnya DNA VHB setelah 6 bulan pengobatan selesai.2-4,12

Interferon α

Interferon α sebenarnya diproduksi tubuh dan dipakai sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap antigen karena memiliki sifat antiviral, antiproliferasi dan juga sebagai imuno-modulator. Cara kerja IFN α adalah mencegah penetrasi virus dengan cara mengikat virus yang berada di luar sel, meng-ganggu sintesis messenger RNA, proses translasi protein virus dan merangsang fosfodiesterase yang mampu menghambat transfer RNA, sehingga proses polimerisasi peptida virus tidak akan terjadi serta produksi virion terganggu. Selain itu, IFN α juga menekan adenylate oligomer (pengaktif endoribo- nuklea-se sel laten) sehingga sel yang terinfeksi dan RNA virus akan rusak. Efek lain adalah merangsang ekspresi Human Leukocyte Antigen kelas I pada permukaan membran hepatosit yang membantu meningkatkan efek lisis limfosit T sitotoksik.1-3,13,14

Indikasi pemberian IFN α adalah HVB kronik fase repli-kasi aktif yang ditandai dengan terdeteksinya HBe Ag, DNA VHB dan kadar aminotransferase 2-5 kali nilai nor- mal serta biopsi hati menunjukkan nekroinflamasi (tidak mutlak dilaku-kan); sedangkan kontraindikasinya meliputi usia > 60 tahun, terdapat / riwayat gangguan psikiatri / depresi berat, kehamilan, epilepsi, diabetes melitus / hipertensi / penyakit kardiovaskuler yang tidak terkontrol, penyakit otoimun, penurunan sistem imun, netropenia (<1.500/mm3), trombositopenia (< 100.000/ mm3), dekompensasi hati dan pasca transplantasi serta keadaan umum yang buruk. Dosis IFN α 5 juta unit setiap hari atau 10 juta unit 3 kali seminggu secara subkutan selama 4-6 bulan. Meskipun IFN α diberikan pada fase replikasi aktif, hanya 33-40% yang memperoleh sustained viral response yang ditandai dengan menghilangnya DNA VHB dan terdeteksinya anti HBe serta perbaikan struktur histologi hati yang nyata.4-6,13 Faktor-faktor yang mempengaruhi respon pengobatan selain fase replikasi aktif dan proses nekroinflamasi hati, yaitu sistem imunitas, saat pemberian IFN setelah diagnosis ditegakkan, kadar DNA VHB dalam tubuh, jenis kelamin serta jenis penularan VHB yang didapat.2-4 Penelitian-penelitian me-nyimpulkan, bahwa pemberian IFN α yang dilakukan tidak pada fase replikasi aktif, diberikan setelah 1 tahun diagnosis ditegakkan, kandungan virus > 200 pg/ml, status imun yang rendah dan atau penularan yang terjadi sewaktu perinatal, hanya memberikan respon pengobatan kurang dari 5%, sedangkan pemberian ulang IFN α pada kasus kambuh tidak memperbaiki respon pengobatan.4-6

Pengobatan IFN α sebaiknya dievaluasi secara berke-sinambungan. Kadar aminotransferase, HBs Ag, HBe Ag, anti

HBe diperiksa setiap 4 minggu dan DNA VHB setiap 3 bulan selama pengobatan, serta 6 bulan setelah pengobatan selesai. 2-6

Efek samping yang sering timbul adalah flu-like symptoms, depresi, netropenia dan trombositopenia; sedangkan efek samping lain jarang terjadi, seperti hipersensitivitas, berat badan turun, diare, alopesia, susah konsentrasi, gangguan tidur, delirium, koma, kejang, tuli, perdarahan retina, menarik diri dari lingkungan, keinginan bunuh diri, infeksi sekunder, sindrom nefrotik, aritmia, gagal jantung, eksaserbasi akut penyakit hati.1-6

Analog Nukleosida Lamivudin

Lamivudin adalah suatu enantiomer 3’ thiacytidine yang merupakan analog nukleosida dengan aktivitas antiviral yang poten terhadap VHB. Lamivudin menghambat sintesis DNA dengan cara mengganggu kerja enzim reverse transcriptase sehingga selain menghentikan replikasi dan membunuh virus dengan jalan menghambat metabolisme, juga mencegah terben-tuknya pregenom baru yang dapat menginfeksi hepatosit sehat. Preparat ini tidak mempengaruhi mitokondria sel, sehingga toksisitasnya paling rendah di antara analog nukleosida lain. Lamivudin diabsorbsi secara baik di usus serta diekskresikan sebagian besar melalui ginjal; oleh karena itu perlu penyesuai-an dosis pada kasus dengan bersihan kreatinin < 50 ml/menit, sedangkan sirosis hati dengan dekom pensasi tidak mem-butuhkan penyesuaian dosis.1-3,6,15

Core Working Party11 menganjurkan pemberian lamivudin oral 100 mg sekali sehari selama 12 bulan. Angka serokonversi mencapai 65% dengan perbaikan histologi hati yang nyata jika diberikan pada pasien dengan kadar aminotransferase > 5 kali nilai normal, dan angka sustained viral response 72%. Pada aminotransferase 2-5 kali nilai normal serokonversi hanya 25%; namun jika diperpanjang sampai 3 tahun, maka serokon-versinya mencapai 65%.11,15,16

Indikasi pemberian lamivudin adalah HVB kronik fase replikasi aktif yang ditandai dengan terdeteksinya HBeAg dan DNA HVB, kadar aminotransferase > 2 kali nilai normal, biopsi hati menunjukkan nekroinflamasi, gagal dengan peng-obatan IFN α, pasien immunocompromised, precore mutant, sirosis hati dekompensasi atau pasca transplantasi hati. Kontra-indikasinya tidak ada, hanya perlu hati-hati terhadap mutan YMDD pada pemberian lamivudin jangka panjang (>3 tahun).6,11,15,17

Hasil penelitian lamivudin menunjukkan, bahwa dosis yang sama mampu menekan replikasi VHB pada pasien immunocompromised dan pasien HVB kronik strain precore mutant dengan sustained viral response 60%; sedangkan IFN tidak.15,17,18, Pemberian lamivudin pada pasien dekompensasi hati menghasilkan perbaikan yang nyata secara klinis, serologi maupun histologi dengan sustained viral response mencapai 40% sehingga dapat menunda kebutuhan transplantasi.7,19-21 Selain itu, lamivudin juga dipakai sebagai obat yang diberikan sebelum dan setelah transplantasi hati, karena mampu menurunkan angka reinfeksi pada hati yang dicangkok-kan.11,19,21 Pada kasus mutasi YMDD, dianjurkan lamivudin terus diberikan karena ternyata masih mampu menekan repli-kasi semua VHB wildtype dan sebagian virus yang mengalami

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 30

Page 32: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

YMDD. Hal ini ditunjukkan dengan didapatkannya perbaikan klinis, kadar aminotransferase, serologi dan histologi pasien-pasien mutasi YMDD yang terus mendapat lamivu-din.11,15,17,22,23

Keberhasilan lamivudin dinilai dengan memeriksa kadar aminotransferase, HBs Ag, HBe Ag, anti HBe setiap 4 minggu dan DNA HVB setiap 3 bulan selama pengobatan serta 6 bulan setelah pengobatan selesai. 5,6,11,15

Efek samping lamivudin sangat minimal, banyak peneliti tidak mendapatkannya;berupa rasa lelah, sakit kepala ringan, mulut kering, mual, kembung, sendi ngilu dan kadang-kadang diare.5,6,11,15

Lobukavir

Lobukavir merupakan analog guanosin yang mampu menekan replikasi VHB secara bermakna dengan dosis 200 mg sekali sehari selama 12 minggu. Angka sustained viral response mencapai 60% dengan efek samping ringan, seperti anoreksia, pusing atau nyeri perut. Namun penelitian klinis saat ini dihentikan karena ditemukannya kejadian keganasan pada semua tikus percobaan yang diberi lobukavir jangka pan-jang.4,5,11

Famsiklovir

Famsiklovir merupakan analog asiklik guanin yang meng-hambat polimerisasi DNA HVB. Pada penelitian pendahuluan, famsiklovir 500 mg 3 kali sehari selama 12 minggu mampu menekan replikasi VHB; namun efektivitas dan efikasinya lebih rendah dibandingkan dengan lamivudin, sehingga kurang menarik untuk diteliti lebih lanjut dibandingkan dengan analog nukleosida yang lain.4,5,11

Adefovir

Adefovir dipivoksil adalah analog adenosin yang dapat menekan replikasi DNA VHB dengan sustained viral response 70% pada pemberian 30 mg sekali sehari selama 24 minggu. Preparat ini mudah diabsorbsi dengan efek samping ringan seperti mual, nyeri kepala, pusing, nyeri perut atau diare. Tidak didapatkan mutasi virus selama penelitian klinis; bahkan VHB yang resisten terhadap lamivudin maupun famsiklovir dapat dieliminasi dengan adefovir. Saat ini sedang dilakukan peneliti-an secara intensif berskala besar terhadap adefovir di-pivoksil.4,5,11

Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat digunakan pada peningkatan kadar aminotransferase < 2 kali nilai normal.Pada penelitian, priming prednisolon sebelum pemberian IFNα menunjukkan angka serokonversi 36%. Dosis prednisolon dimulai 60 mg/hari, diturunkan 20 mg tiap 2 minggu; kemudian IFN α diberikan setelah 2 minggu pasien bebas prednisolon.24,25

Imunomodulator

Beberapa imunomodulator seperti interleukin-2, inter-leukin-12, levamisol, vaksinasi DNA dan vaksinasi pre S/S sedang dalam penelitian pendahuluan untuk pengobatan HVB kronik. Vaksinasi pre S/S 20 µg intramuskuler sekali sebulan selama 3 bulan berturut-turut memberikan sustained viral

response 20%. Thymosin α1 telah menunjukkan efikasinya dalam beberapa penelitian pendahuluan sebagai imunomudu-lator yang mampu meningkatkan respon Th1. Sustained viral response yang diperoleh dengan dosis 1,6 mg 2 kali seminggu selama 6 bulan mencapai 40%.1-4,11,26

Obat Tradisional

Obat tradisional/obat Cina tradisional dari daun dan tum-buhan (schizadrine, curcuma, ginseng, dll.) dikatakan memiliki efek antiviral, imunomodulator dan hepato- protektor, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk direkomendasikan.11

Kombinasi

Farmakoterapi kombinasi akan menjadi pilihan utama pada pengelolaan HVB kronik di masa depan. Kombinasi yang rasional terdiri dari preparat antiviral analog nukleosida yang mampu menekan kepadatan virus, imunomodulator dan imuni-sasi yang dapat merangsang respon sel Th serta limfosit T sitotoksik untuk mengeliminasi sisa-sisa virus intraseluler.3-5,11

Pada penelitian multisenter di Amerika dan Eropa,kombinasi IFN α dengan lamivudin tidak memperlihatkan keunggulan pada kasus baru, kambuh dan gagal INFα.4,5,11,27 Dua penelitian yang dilakukan dengan priming lamivudin 8 minggu, kemudian diteruskan dengan penambahan IFN α selama 4-6 bulan me-nunjukkan serokonversi 29% lebih tinggi dibandingkan hanya dengan pemberian IFN α atau lamivudin tunggal. Namun, penelitian lebih lanjut masih diperlukan sebelum merekomen-dasikannya.27

FARMAKOTERAPI HVC KRONIK

Konsep farmakoterapi HVC kronik sekarang adalah sedini dan seagresif mungkin serta kombinasi sehingga tak ada kesempatan untuk mutasi; mengingat monoterapi IFN standar selama ini tidak memuaskan. Terapi diberikan pada fase aktif yang ditandai dengan peningkatan aminotransferase dan atau tanda inflamasi pada biopsi hati.8,9,12,28,29

Interferon α

Pemakaian IFN α pada HVC kronik untuk menurunkan produksi virion, induksi anti virus pada sel hati yang belum terinfeksi, meningkatkan respon imun dengan cara mengaktif-kan makrofag, sel natural killer, dan sel T sitotoksik, mening-katkan sintesis sitokin dan merangsang ekspresi Human Leukocyte Antigen kelas I pada permukaan membran hepatosit. Monoterapi IFN α ditujukan pada terapi induksi HVC kronik fase aktif dan kasus dengan kontraindikasi ribavirin. Kontra-indikasi pemberian IFN α sama seperti yang dibahas pada farmakoterapi HVB kronik dengan IFN α.9,12,30

Terapi induksi HVC kronis membutuhkan IFN α dosis tinggi untuk menurunkan kepadatan VHC secara efektif. Pe-nelitian Lam dkk.31 menyimpulkan, bahwa pemberian IFN α 10 juta unit subkutan setiap hari selama 14 hari dan dilanjutkan dengan dosis 3 juta unit 3 kali seminggu selama 12 bulan dapat menurunkan kadar RNA VHC sampai 97,4%. Core Working Party11 dan European Association of Study for the Liver30

menganjurkan pemberian IFN α 5 juta unit setiap hari selama 4-6 minggu pertama sebagai terapi induksi, kemudian dilanjut-

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 31

Page 33: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

kan dengan dosis 3 juta unit 3 kali seminggu selama 12 bulan dengan atau tanpa ribavirin (terutama untuk genotip 1 dan 4).

Monoterapi IFN α untuk kasus dengan kontraindikasi ribavirin, diberikan dengan dosis 5-10 juta unit 3 kali seminggu selama 6-12 bulan, atau 3 juta unit 3 kali seminggu selama 12-24 bulan, atau 3-5 juta unit setiap hari sampai RNA VHC negatif dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 kali seminggu selama 6-12 bulan.8,12,28-30 Pilihan lain adalah pegylated IFN α yang merupakan produk baru IFN α dengan masa paruh panjang (40 jam), sehingga dapat menekan replikasi VHC terus-menerus. Preparat ini diberikan 180 µg setiap minggu subkutan selama 12 bulan, namun masih dalam penelitian untuk direkomen-dasikan sebagai farmakoterapi HVC kronik. Penelitian yang telah selesai menunjukkan sustained viral response-nya 45%, jauh lebih baik dibandingkan dengan IFN α biasa.11,30,32,33

Keberhasilan pengobatan IFN α dievaluasi dengan pemeriksaan kadar aminotrans ferase dan RNA VHC yang dilakukan pada bulan ke-3.Jika hasil aminotransferase normal atau RNA VHC negatif, pengobatan diteruskan sampai 12 bulan; sebaliknya bila amino- transferase tetap dan RNA VHC masih positif, sebaiknya pengobatan dihentikan atau diubah karena kemungkinan terjadinya sustained viral response sangat rendah.9,12,28-30

Ribavirin Ribavirin adalah analog guanosin yang menggangu sintesis RNA, sehingga pembentukan RNA dan replikasi VHC terhambat. Obat ini mampu menurunkan kadar aminotrans-ferase tetapi daya antiviralnya sangat rendah, sehingga tidak dianjurkan sebagai monoterapi HVC kronik. Indikasi ribavirin adalah HVC kronik dan harus dikombinasikan dengan IFN α; sedangkan kontraindikasinya meliputi gagal ginjal, anemia, kehamilan, penyakit kardiovaskular tak terkontrol, hipertensi tak terkontrol, atau usia > 60 tahun. Dosis ribavirin sesuai dengan berat badan; untuk berat badan > 75 kg - 1.200 mg se-hari, 55-75 kg - 1.000 mg sehari dan < 55 kg - 800 mg sehari secara oral. Efek samping yang sering timbul adalah hemolisis, dispepsia, insomnia dan nyeri kepala.28,29,34

Kortikosteroid

Kortikosteroid sudah dibuktikan dalam beberapa penelitian tidak berguna dalam pengelolaan HVC kronik.28,29,35

Obat Tradisional

Obat tradisional/obat Cina tradisional dari daun dan tum-buhan (schizandrin, curcuma, ginseng, dll.) dikatakan memiliki efek antiviral, imunomodulator dan hepato- protektor, namun perlu penelitian lanjut untuk direkomendasikan. 28-30

Kombinasi

Sejak tahun 1999, farmakoterapi rasional HVC kronik mengalami perubahan yang cukup mendasar.28,29 Core Working Party11 dan European Association of Study for the Liver30

menganjurkan kombinasi IFN α dan ribavirin sebagai pilihan pertama pengobatan HVC kronik.Tidak seperti sebelumnya, dimana IFNα dipakai sebagai monoterapi dan bila tidak ada respon, baru dikombinasi dengan ribavirin. Latar belakang

pemilihan kombinasi adalah sifat VHC yang sangat mudah mengadakan mutasi, sehingga sistem imun tubuh tak mampu mengikutinya dan akibatnya pada suatu saat seorang pasien HVC kronik dapat mengandung berbagai macam genom VHC yang berbeda. Fenomena ini disebut quasi-species. Farmako-terapi kombinasi terbukti meningkatkan angka sustained viral response. Pada kasus baru, sustained viral response men-capai sekitar 40%, 2 kali lebih tinggi dibandingkan monoterapi IFN α. Pada kasus kambuh dengan IFN α, 38% di antaranya mencapai sustained viral response setelah diberi kombinasi dengan ribavirin. Sedangkan kasus-kasus non responsif (genotip 1 dan 4), angka sustained viral response nya hanya 28%.36-38 Penelitian dengan memperpanjang masa pengobatan sampai 48 minggu pada genotip 1 dan 4 (non responsif) memberikan angka sustained viral response 2 kali lebih tinggi sedangkan pada genotip 2 dan 3 (responsif) tidak didapatkan peningkatan yang bermakna jika dibandingkan dengan peng-obatan selama 24 minggu.37

Indikasi farmakoterapi kombinasi IFN α dan ribavirin adalah HVC kronik dengan peningkatan kadar aminotrans-ferase, sirosis hati terkompensasi, dan atau ditemukannya gambaran hepatitis kronik pada biopsi hati; baik pada kasus baru, kambuhan maupun non responsif. Kontraindikasinya meliputi terdapat / riwayat gangguan psikiatri,depresi berat, kehamilan, serangan kejang, diabetes melitus / hipertensi / penyakit kardiovaskuler yang tak terkontrol, penyakit otoimun, sirosis hati dekompensasi, usia > 60 tahun, gagal ginjal, hemoglobin < 12 g/dl, lekosit < 1.500/mm3 dan trombosit < 100.000/mm3.12,28-31

Dosis kombinasi yang dianjurkan yaitu, IFN α 3 juta unit 3 kali seminggu subkutan, ribavirin 800-1.200 mg sehari per oral dengan lama pengobatan tergantung genotipnya. Genotip 1 (dengan jumlah virus < 2 juta/ml), 2 dan 3 selama 6 bulan; sedang kan genotip 1 dengan jumlah virus > 2 juta/ml dan genotip 4 selama 12 bulan. 9,12,28-30

Perkembangan farmakoterapi HVC kronik masa depan bertumpu pada farmakoterapi kombinasi.9,12,28,29 Pegylated IFN α 180 µg sekali seminggu (subkutan) menjanjikan sustained viral response yang cukup tinggi (70%) pada pasien baru, jika dikombinasi dengan ribavirin selama 12 bulan.32,33 Beberapa preparat yang sedang dalam penelitian adalah penghambat protease, helikase, polimerase RNA serta penghambat replikasi virus seperti penghambat sistem retikuloendotelial virus, anti-sense oligonucleotide dan ribozim (suatu enzim penghancur molekul virus RNA).9,12,28-30

FARMAKOTERAPI HVD KRONIK

Pada penelitian VHD memiliki respon terhadap IFN α lebih rendah dibandingkan VHB. Meskipun IFN α diberikan 5 juta unit setiap hari atau 10 juta unit 3 kali seminggu selama minimal 12 bulan, angka kekambuhannya masih cukup tinggi setelah IFN α dihentikan. Mengingat keberadaan virus ini selalu bersamaan dengan VHB maka IFN α yang diberikan selain menghambat replikasi VHB juga VHD. Belum ada anti-viral lain sebagai farmakoterapi rasional untuk HVD sampai saat ini.3,5,11

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 32

Page 34: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

FARMAKOTERAPI HVG KRONIK Pemberian IFN α sebesar 5 juta unit setiap hari atau 10

juta unit 3 kali seminggu selama minimal 6 bulan mampu menekan replikasi VHG, namun hampir semua kasus meng-alami kekambuhan setelah IFN α dihentikan. Mengingat se-dikitnya hasil penelitian yang ada saat ini serta sedang ber-langsungnya beberapa penelitian tentang HVG, maka reko-mendasi farmakoterapi yang rasional untuk HVG belum dikeluarkan.3,5,10,11

KEPUSTAKAAN

1. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Chronic hepatitis. In Braunwald E, Fauci AS, Kasner DL, et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medi-cine. 15th ed. McGraw Hill, New York 2001, pp 1742-52.

2. DiBisceglie AM, Hoofnagle JH. Management of chronic viral hepatitis. In Bacon BR, DiBisceglie AM (Eds). Liver Disease Diagnosis and Management. Churchill Li vingstone, Philadelphia 2000, pp 98-106.

3. Nurjanah .Therapy for chronic viral hepatitis.J Gastroenterol Hepatol 2001;2:28-35.

4. Guan R, Merican I, Amarapukar D, et al. Chronic hepatitis B infection : manage ment practices in Asia. Med Progress 2001; 28 : 25-9.

5. Malik AH, Lee WM. Chronic hepatitis B virus infection : treatment stategies for the next millennium. Ann Intern Med 2000; 132 : 723-31.

6. Sulaiman A. Petunjuk praktis penggunaan lamivudin pada infeksi hepatitis B. Dalam Setiati S, Bawazier LA, Atmakusuma D, dkk. (eds). Current Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan Penerbit-an, Jakarta 2000, hal 63-6.

7. Lesmana LA. Terapi lamivudin pada sirosis hati dekompensasi yang disebabkan hepatitis B. Dalam Setiati S, Bawazier LA, Atmakusuma D, dkk.(eds). Current Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan Penerbitan, Jakarta 2000, hal 67-70.

8. Sulaiman A. Terapi standar mutakhir hepatitis C kronik. Dalam Setiati S, Bawazier LA, Atmakusuma D, dkk. (eds). Current Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan Penerbitan, Jakarta 2000, hal 47-52.

9. Lesmana LA. A change of strategy in the therapy of chronic hepatitis C. Acta Med Indonesiana 2001; 33 : 35-9.

10. Widjaja S. Perkembangan mutakhir virus hepatitis G. Maj Ked Indon 2000; 47 : 440-4.

11. Core Working Party. Consensus statements on the prevention and management of hepatitis B and hepatitis C in the Asia-Pasific region. J Gastroenterol Hepatol 2000 ; 15 : 825-41.

12. Setiawan PB. Up date on hepatitis C : focus on new treatment strategy. Dalam Tjokropraworo A, Pranawa, Yogiantoro M, Setiawan PB, Adi S (eds). Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVI. Penerbit FK Unair, Surabaya 2001, hal 171-88.

13. Papatheodoridis GV, Manesis E, Hadziyannis SJ. The long-term outcome of interferon α treated and untreated patients with HBe Ag negative chronic hepatitis B.J Hepatol 2001; 34 : 306-13.

14. Kao JH, Wu NH, Chen PJ, Lai MY, Chen DS. Hepatitis B genotypes and the respon to interferon therapy. J Hepatol 2001; 34 : 998-1002.

15. Leung N. Lamivudine for chronic hepatitis. Med Progr 2001; 28: 43-8. 16. Santautonio T, Mazzola M, Iacovazzi T, et al. Long term follow-up of

patients with anti HBe/HBV DNA positive chronic hepatitis B treated for 12 months with lamivudine. J Hepatol 2000; 32 : 300-6.

17. Leung N. Long term ( 3 years ) clinical data with lamivudine. In Clinical Experience with Antiviral in Hepatitis B: Therapeutic Update. Moore Communication, New York 1999, pp 116-23.

18. Tassopoulos NC, Volpes R, Pastore G, et al. Efficacy of lamivudine in patients with HBe antigen negative/HBV DNA positive ( precore mutant ) chronic hepatitis B. Hepatol 1999; 29 : 889-96.

19. Villenueve JP, Condreay LD, Willem B, et al. Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from hepatitis B. Hepatol 2000; 31 : 207-10.

20. Kapoor D, Guptan RC, Wakil SM, et al. Beneficial effects of lamivudine in hepatitis B virus-related decompensated cirrhosis. J Hepatol 2000; 33 : 308-12.

21. Fontana R, Hann HW, Wright T, et al. Lamivudine treatment for chronic hepatitis B liver transplant candidates. Gastroenterol 2000;118 : 1226-30.

22. Atkins M, Hunt CM, Brown N. Clinical significance of YMDD mutant hepatitis B virus in a large cohort of lamivudine treated hepatitis B. J Hepatol 1999; 28 : 319-25.

23. Tatulli I, Francavilla R, Rizzo G, et al. Lamivudine and α interferon in combination long term for precore mutant chronic hepatitis B. J Hepatol 2001; 35 : 805-10.

24. Itoh Y, Okanoue T, Sakamoto S. The effects of prednisolone and interferon on serum MCS-F consentrations in chronic hepatitis B. J Hepatol 1997; 26 : 244-52.

25. Yeh CT, Sheen IS. Prednisolone modulates the therapeutic effect of IFN to eliminate preferentially the hepatitis B virus precore stop mutant. J Hepatol 2000; 32 : 829-36.

26. Pol S, Nalpas B, Driss F, et al. Efficacy and limitation of a specific immunotherapy in chronic hepatitis B. J Hepatol 2001; 34 : 917-21.

27. Barbaro G, Zechini R, Pellicelli A, et al. Long-term efficacy of IFN and lamivudin in combination compared to lamivudine monotherapy. J Hepatol 2001; 35 : 406-11.

28. Davis GL. Treatment of chronic hepatitis C. Br Med J 2001; 323: 1141-2. 29. Agarwal K, Jones DE. Treatment of hepatitis C infection. Br Med J 1999;

139:450-4 30. Rodes J, Sherlock S, Benhamou JP. European association of study

for the liver international consensus conference on hepatitis C. J Hepatol 1999; 30 : 956-61.

31. Lam NP, Gretch DR, Pitrack DL, Leyden T. Dose dependent acute reduction of genotype 1 hepatitis C virus with α IFN. J Hepatol 1996; 22 : 172-6.

32. Heathreote EJ, Shiffman ML, Cooksley GE, et al. Peginterferon α-2a in patients with chronic hepatitis C and cirrhosis. N Engl J Med 2000; 343 : 1672-80.

33. Zeuzem S, Feinman SV, Rasenacle J, et al. Peginterferon α-2a in patients with chronic hepatitis C. N Engl J Med 2000; 343 : 1666-72.

34. Kjaengard LL, Krogsgaard K, Gluud Christian. Interferon α with or without ribavirin for chronic hepatitis C: review of randomised trials. Br Med J 2001: 323: 1151-5

35. Guilera M, Forns X, Torras X, et al. Pre-treatment with prednisolone does not improve the efficacy of subsequent α interferon therapy in chronic hepatitis C. J Hepatol 2000; 33 : 135-41.

36. Fabrizi F, Locatelli F. Combination of interferon α and ribavirin the treatment of hepatitis C implications for the clinical. J Hepatol 1999; 32 : 2079-81.

37. Davis GL, Esteban-Mar R, Rustgi V, et al. Interferon α-2b alone or in combination with ribavirin treatment of relapse of chronic hepatitis C. N Eng J Med 1999; 339 : 1493-9.

38. Ballobuono A, Mondazzi L, Tempini S, et al. Early addition of ribavirin to interferon in chronic hepatitis C not responsive to interferon monotherapy. J Hepatol 2000 ; 33; 463-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 33

Page 35: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Osteoporosis Akibat Glukokortikoid

Harsinen Sanusi

Subbagian Endokrinologi, Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/Rumah Sakit Perjan Dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar, Indonesia

ABSTRAK

Osteoporosis akibat glukokortikoid(OAG) makin banyak ditemukan karena makin banyaknya pemakaian glukokortikoid jangka lama untuk pengobatan berbagai penyakit kronis seperti asma bronkial, penyakit paru obstruktif menahun, penyakit inflamasi, penyakit endokrin, keganasan dan posttransplantasi.

OAG merupakan penyebab terbanyak osteoporosis sekunder dan nomor tiga setelah postmenopause dan usia lanjut yang merupakan penyebab osteoporosis primer. Osteoporosis akibat glukokortikoid (GK) 50% akan mengalami fraktur setelah 1 tahun dan pengeroposan lebih banyak di daerah trabekula sehingga lebih banyak ditemukan di vertebra dibandingkan dengan di lengan bawah atau femur bagian proksimal. Patofisiologi OAG didasarkan atas meningkatnya resorpsi tulang dan menurunnya pembentukan tulang melalui beberapa mekanisme antara lain supresi fungsi osteoblas, kenaikan resorpsi osteoklas, gangguan absorpsi kalsium di usus, ekskresi kalsium meningkat (hiperparatiroidisme), ekskresi estrogen meningkat dan miopati.

Tata cara diagnostik OAG sama dengan diagnostik osteoporosis umumnya kecuali pada OAG terdapat riwayat memakai glukokortikoid jangka lama. Diagnosis didasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan biokimiawi, biopsi tulang dan peme-riksaan pencitraan. Pemeriksaan BMD dengan alat DEXA merupakan gold standard untuk diagnosis osteoporosis.

Pencegahan OAG adalah meminimalkan dosis GK (prednison<7,5 mg perhari), memilih jenis GK, pemberian kalsium dan vitamin D yang cukup, latihan jasmani, mengatasi faktor risiko. Semua pasien yang diberi GK jangka lama (lebih 3 bulan) diperiksa BMDnya sebelum terapi dimulai, demikian juga pada pasien dengan risiko tinggi.

Terapi sulih hormon (TSH) bermanfaat mencegah dan mengobati OAG pada wanita postmenopause, juga pada pria dengan hipogonadisme.

Obat golongan bisfosfonat, khususnya alendronat dan risedronat menunjukkan perbaikan klinis maupun BMD pada uji klinis sehingga dapat dianggap sebagai obat untuk pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Bisfosfonat diberikan apabila sudah ditemukan osteoporosis atau fraktur. Golongan alendronat dan risedronat merupakan disfosfonat yang poten untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis termasuk OAG. Etidronat tidak dianjurkan untuk osteoporosis ,demikian juga clodronat tidak diakui; sedang pemberian kalsitonin untuk OAG masih kontroversial.

Diutarakan juga pedoman pencegahan dan pengobatan OAG menurut rekomendasi American College of Rheumatology 2001.

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir perhatian terhadap osteo-porosis makin meningkat terutama akibat makin meningkatnya

harapan hidup yang menyebabkan manula makin banyak di-sertai banyaknya pemakaian obat-obat berjangka lama yang berefek samping osteoporosis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 34

Page 36: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Sampai saat ini osteoporosis primer masih menduduki tempat utama karena lebih banyak ditemukan dibanding dengan osteoporosis sekunder.

Proses ketuaan pada wanita menopause dan usia lanjut merupakan contoh dari osteoporosis primer, sebaliknya osteo-porosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebab-nya seperti penyakit endokrin antara lain akromegali, sindrom Cushing, hiperparatiroidisme, diabetes melitus tipe 1. Penyebab lain adalah proses keganasan seperti mieloma multipel dan akibat pemberian obat glukokortikoid (GK) jangka panjang.1

Osteoporosis adalah efek samping yang umumnya serius pada pengobatan GK jangka lama1; osteoporosis akibat GK (OAG) merupakan terbanyak ketiga setelah osteoporosis post menopause dan usia lanjut. Pengobatan GK jangka lama banyak digunakan karena menurunkan morbiditas dan morta-litas berbagai penyakit inflamasi kronik seperti asthma bronkiale persisten, penyakit paru obstruktif menahun, reuma-toid arthritis, penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, inflammatory bowel disease, keganasan dan post transplantasi organ.2 Dengan demikian pemakaian GK meluas sebagai obat antiinflamasi dan sebagai obat imunosupresi.1,2,3,4

Risiko pemberian GK jangka lama sangat tergantung dengan dosis perhari, lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan dosis kumulatif total dari GK.1,2 Pengobatan GK jangka lama akan menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit, metabolisme karbohidrat, protein dan lemak termasuk gluko-neogenesis, gangguan penyembuhan luka, Cushingoid, katarak, pengecilan otot dan hilangnya massa tulang yang dapat mengakibatkan fraktur.3 Pada pasien yang mendapat GK jangka lama 50% mengalami fraktur atraumatik selama periode 1 tahun pertama pemberian GK. Bone loss lebih cepat timbul pada bulan pertama setelah pemberian GK.1 Pemberian prednison 6 mg perhari meningkatkan risiko bone loss dan fraktur, terutama dalam 6 bulan pertama.2,5

GK dapat mengubah arsitektur dan integritas tulang. Massa tulang menurun terutama di daerah vertebra, lengan bawah, femur bagian proksimal; ; pengeroposan lebih menonjol di daerah trabekula daripada daerah kortikal sehingga lebih mudah terlihat di daerah vertebra.6 Hilangnya massa tulang bervariasi antara 10-40% tergantung tempat, dosis, dan lama-nya pengobatan dan jenis GK yang dipakai dan penyakit yang diobati.6 Fraktur panggul/pangkal paha lebih sering dibanding dari vertebra. 6

Penelitian menunjukkan banyak pasien yang mendapat GK tidak mendapat pengobatan pencegahan osteoporosis, karena tidak adanya informasi tentang manfaat dan pentingnya pen-cegahan dalam strategi pengobatan. PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pem-bentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. Mekanisme bone loss pada pengobatan GK jangka lama adalah akibat penurunan pembentukan tulang dan me-ningkatnya resorpsi tulang. Pembentukan tulang menurun akibat penekanan fungsi osteoblas dan kadang-kadang me-nyebabkan hormon-mediated activity osteoclast yang ditandai dengan penekanan langsung pada fungsi osteoblas. 5

Berbagai mekanisme yang menyebabkan osteoporosis akibat pemberian GK jangka lama adalah :1

1. Supresi fungsi osteoblas yang secara potensial meningkat-kan apoptosis osteoblas. 2. Peningkatan resorpsi osteoklas akibat stimulasi resorpsi tulang 3. Gangguan absorpsi kalsium di usus. 4. Peningkatan ekskresi kalsium di urine dan induksi oleh hiperparatiroidisme sekunder 5. Induksi miopati yang menyebabkan risiko mudah jatuh.

Supresi osteoblas menyebabkan penurunan sintesis matriks tulang sehingga pembentukan tulang menurun.6 Kadar serum osteocalcin menurun bersama-sama dengan fungsi osteoblas dalam 1 minggu pengobatan. Kenaikan resorpsi tulang dapat dilihat dengan analisis histomorfometrik spesimen biopsi tulang yang memperlihatkan peningkatan resorpsi trabekula dan meningkatnya ekskresi hidroksiprolin dan menurunnya osteokalsin yang merupakan marker biokimiawi untuk pem-bentukan tulang. Glukokortikoid menekan proliferasi osteoblas untuk melekat pada matriks tulang; sintesis kolagen dan non kolagen juga dihambat. Sebaliknya meningkatnya resorpsi tulang pada pasien yang mendapat GK jangka lama diakibatkan oleh hiperpartatiroidisme sekunder.5,6 Manifestasi kenaikan kadar hormon paratiroid adalah menurunnya kadar kalsitonin yang dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid sehingga efek pe-nekanan osteoklas menurun, resorpsi tulang meningkat. Di samping itu pemberian GK akan menyebabkan absorbsi kalsium di usus menurun.

Patogenesis OAG pada wanita dan pria diperkirakan sama dan umumnya hasil pengobatan pada OAG wanita tidak berbeda dengan pada pria.8

Glukokortikoid dapat menyebabkan penekanan produksi hormon seks baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui penekanan produksi endogen hormon oleh hipofisis atau pada produksi androgen di kelenjar adrenal. Menurunnya produksi luteinizing hormone menyebabkan produksi estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testis me-nurun. Dalam suatu penelitian ditemukan penurunan kadar estron estradiol, dehidroepiandrosteron, androstedion dan pro-gesteron pada wanita dan pria yang mendapat GK jangka lama. Defisiensi hormon-hormon anabolik ini akan menyebabkan resorpsi tulang makin meningkat12,17 sehingga memegang peran penting timbulnya OAG.

Pemberian GK jangka lama juga menyebabkan miopati dan kelemahan otot karena hilangnya kekuatan normal tulang yang disebabkan oleh rangsang kontraksi otot yang melekat pada tulang.12

Hilangnya massa tulang pada penderita yang mendapat GK disebabkan oleh penurunan pembentukan tulang akibat pene-kanan langsung fungsi osteoblas dan peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan aktivasi hormon paratiroid dan aktivasi osteoklas.3,5 Di samping itu pemberian GK dapat menyebabkan malabsorbsi kalsium dan meningkatkan ekskresi kalsium di urine menyebabkan kenaikan hormon paratiroid yang me-rangsang resorpsi tulang.3,5,8 (Skema 1).

Saat ini diketahui bahwa perubahan tulang yang terjadi pada OAG adalah akibat langsung GK pada sel tulang berupa

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 35

Page 37: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

penurunan osteoblastogenesis bersama-sama kenaikan apop-tosis dari osateoblas matur dan osteosit. Penurunan osteo-blastogenesis diikuti oleh kenaikan adipogenesis.8

Pada usia lanjut atau postmenopause sangat sulit mem-bedakan osteoporosis yang terjadi akibat proses osteoporosis primer atau akibat GK.9

DIAGNOSTIK Gambaran klinis

Osteoporosis umumnya tidak mempunyai gejala (silent disease) dan baru bergejala bila ada fraktur. Pemberian GK jangka panjang menyebabkan kehilangan massa tulang yang biasanya menonjol setelah 3-6 bulan pengobatan yang me-nyebabkan risiko fraktur.4

Manifestasi nyeri yang ditemukan tergantung lokasi osteo-porosis atau fraktur. Fraktur vertebra lumbal menyebabkan nyeri pinggang yang bertambah bila digerakkan atau dengan pembebanan, kadang-kadang disertai perasaan kembung dengan konstipasi. Sebaliknya jika osteoporosis terjadi di daerah vertebra torakal maka pada stadium lanjut dapat disertai deformitas kifosis karena fraktur wedge atau baji, juga me-nyebabkan penurunan tinggi badan, sulit bernapas dan pneumonia. Fraktur sering terjadi pada vertebra torakal VII ke bawah sampai vertebra lumbal. Fraktur biasanya spontan atau dengan trauma minimal misalnya setelah batuk atau meng-angkat barang

Fraktur tulang panggul lebih sering ditemukan pada wanita berupa keluhan tidak bisa berjalan disertai rasa nyeri terus menerus.

Pasien OAG dengan penurunan Bone Mineral Density (BMD), 30-50% akan mengalami fraktur vertebra. Derajat hilangnya massa tulang berhubungan dengan dosis dan lama-nya pemberian GK.8 Biasanya daerah yang mengalami ganggu-an awal adalah daerah trabekula dibanding daerah kortikal; akibatnya daerah yang sering mengalami osteoporosis adalah tulang belakang dibanding dengan tulang panjang.8

Setelah pemberian GK dimulai segera akan terjadi bone loss diikuti fase penurunan BMD yang lebih perlahan tetapi berkelanjutan, tetapi belum memberi keluhan.8 Pada keadaan ini pemeriksaan biokimia sangat bermanfaat yaitu kadar osteo-kalsin dan fosfatase alkali yang menurun sedang kadar deoksi-piridinolin masih normal.8

Wanita postmenopause yang mendapat GK mempunyai risiko lebih cepat mengalami osteoporosis; demikian juga dengan laki-laki. Di Amerika Serikat ditemukan 20% osteo-porosis pada laki-laki. Pemeriksaan biokimia

Pemeriksaan biokimia merupakan uji saring untuk me-nentukan massa tulang maupun kecepatan bone loss terutama pada pasien yang diduga mengalami osteo-porosis.10,11

Pemeriksaan biokimia lebih banyak digunakan sebagai parameter untuk memantau hasil pengobatan; dapat juga untuk mengukur bone turn over(derajat/proses pengeroposan). • Pemeriksaan untuk menentukan gangguan pembentukan tulang adalah:

− Fosfatase alkali khas tulang (bone specific alkaline phosphatase), − Osteokalsin, − Prokolagen tipe 1 propeptide • Pemeriksaan untuk menentukan gangguan resorpsi tulang adalah:10,11 − Hidroksiprolin − Hidrokslisin glikosid, Piridinolin − N-telopeptide crosslink − Tartrate-resistant acid phosphatase.

Pemeriksaan osteokalsin serum dan deoksipiridinolin crosslink urine merupakan piranti uji saring yang sangat baik untuk menentukan adanya gangguan keseimbangan bone turnover. 10,11

Mengingat pemeriksaan biokimiawi cukup mahal maka pemeriksaan gangguan pembentukan tulang cukup dengan tes fosfatase alkali sedangkan pemeriksaan untuk gangguan resorpsi tulang cukup dengan tes hidroksiprolin.10

Parameter biokimiawi merupakan indikator yang sensitif untuk menentukan perubahan bone turnover, jadi sangat ber-manfaat untuk pemantauan pengobatan; pada pengobatan osteoporosis dengan antiresorpsi seperti golongan bisfosfonat, pemeriksaan awal dan ulangan 4-6 bulan kemudian lebih ber-manfaat untuk mengetahui hasil pengobatan dibanding densito-metri.10 Biopsi tulang

Pemeriksaan biopsi tulang hampir tidak dikerjakan lagi pada karena kemajuan teknik pencitraan.10,12 Biopsi tulang dilakukan pada tulang sternum atau krista iliaka, bersifat invasif.

Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai osteoklas, osteoblas, ketebalan trabekula dan kualitas minerali-sasi tulang.13

Pencitraan

Pencitraan untuk mendeteksi osteoporosis meliputi: 1. Pemeriksaan radiologis konvensionil 2. Pemeriksaan quantitative Computed Tomography(qCT) 3. MRI 4. Ultrasonografi 5. X- ray absorptiometry

Pemeriksaan radiologik tidak dapat memberi gambaran dinamis resorpsi dan pembentukan tulang yang dapat menun-jukkan derajat kecepatan kehilangan tulang.12

Pemeriksaan radiologik merupakan pemeriksaan dasar yang dapat memperlihatkan gambaran radiolusensi meningkat, namun tidak sensitif karena osteoporosis baru dapat terdeteksi apabila penurunan massa tulang mencapai 50% atau lebih.13 Selain itu interpretasi sangat tergantung pada kualitas hasil foto dan radiolog yang membacanya.13Pemeriksaan CT dapat me-nentukan absorpsi jaringan dengan kalsifikasi yang berbeda-beda.13

Pemeriksaan x-ray absorptiometry merupakan pemeriksa-an pencitraan yang paling banyak dipakai untuk diagnosis osteoporosis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan single x-ray absorptiometry (SXA) dan dual energy x-ray absorptio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 36

Page 38: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

metry (DEXA). Pemeriksaan DEXA merupakan gold standard untuk diagnosis osteoporosis.12

Densitas mineral tulang atau bone mineral density dapat diukur secara periodik dengan DEXA.9 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pengobatan osteoporosis akibat GK tidak berbeda dengan pengobatan osteoporosis umumnya, namun yang paling perlu diperhatikan adalah tindakan pencegahan pada mereka yang mendapat GK jangka lama.

Tindakan pencegahan osteoporosis sangat kurang dilak-sanakan pada pemberian GK jangka lama. Dari satu penelitian di Inggris ternyata hanya 6% dokter memberikan obat profilaksis osteoporosis pada mereka yang menerima GK jangka lama. Peneliti lainnya menemukan 14 %.7 Sebaliknya penelitian di Amerika Serikat menemukan 58% pasien me-nerima profilaksis osteoporosis.

Tidak kurang pentingnya adalah menentukan atau meng-evaluasi status tulang semua penderita sebelum mendapat GK jangka lama antara lain identifikasi faktor risiko, kemampuan otot, pemeriksaan laboratorium seperti tes urine kalsium se-lama 24 jam.1 Usaha mengurangi faktor risiko seperti meng-hentikan merokok, membatasi komsumsi alkohol, olahraga teratur sebaiknya dipatuhi.1

Walaupun mekanisme osteoporosis pada pemberian GK jangka lama sudah banyak diketahui, namun kesanggupan mencegah dan mengobati OAG masih terbatas.6 Untuk mengurangi proses demineralisasi OAG berbagai strategi dipertimbangkan, antara lain pemakaian GK inhalasi atau glucocorticoid sparing agents seperti leukotriene, cromolin, nedocromil, dan salmeterol. Demikian juga pemakaian obat anti inflamasi seperti methotrexate, gold salts, IV Ig. Walaupun GK inhalasi kurang berisiko osteoporosis namun dengan dosis yang lebih tinggi juga berisiko bone loss.2 Pemberian jangka lama dengan dosis lebih 7,5 mg perhari menyebabkan gangguan yang cukup besar pada tulang.2 Pemberian GK peroral seminimal mungkin (prednison <7,5 mg perhari) dapat mencegah osteoporosis, jika diperlukan dosis lebih besar dapat dipertimbangkan pemberian GK secara inhalasi.16

Pemberian GK secara selang seling tidak mencegah risiko osteoporosis.9 Pemberian obat antiresorpsi seperti bisfosfonat oral atau parenteral sangat efektif dalam pengobatan osteo-porosis.9

Berbagai obat pencegah osteoporosis pada pasien yang mendapat GK seperti kalsium bersama vit D, diuretik thiazide, kalsitriol, kalsitonin, bisfosfonat, dapat meningkatkan risiko hiperkalsemia.6 Peneliti lain tidak menemukan efek samping pada pasien yang mendapat profilaktik.18

Kalsium dan vitamin D

Pencegahan OAG paling banyak dilakukan dengan pem-berian kalsium 1000-1500 mg perhari dengan suplemen vitamin D 400–800 IU perhari dikombinasi dengan TSH dan aktifitas fisik.4,15

Penelitian Sambrook dkk. selama 1 tahun menemukan efek preventif kalsitriol dengan dosis rata-rata 0,6 ug perhari di-tambah 1000 mg kalsium pada pasien yang mendapat peng-obatan GK, hanya mencegah bone loss daerah vertebra lumbal,

tetapi tidak untuk leher femoris atau radius bagian distal.17 Suplementasi vitamin D2 (25-(OH)D 40 mikrogram per-

hari dikombinasi dengan 500 mg kalsium pada uji klinis dengan plasebo meningkatkan densitas tulang radius secara bermakna.11.15 Hal yang sama diperlihatkan penelitian uji klinis acak terkontrol pada pasien rematik yang mendapat kortiko-steroid jangka panjang, menunjukkan bahwa kombinasi vitamin D2 40 mikrogram perhari dengan 1000 mg kalsium karbonat ternyata meningkatkan densitas tulang radius di-banding plasebo.11,15

Pada pasien yang mendapat GK jangka panjang pen-cegahan OAG dapat dengan memberikan kalsium 1500 mg perhari dan vitamin D 800 IU perhari sesuai anjuran American College of Rheumatology.8 Penelitian tentang kalsium dan vitamin D pada OAG masih terbatas; obat ini lebih efektif bila diberikan bersama-sama dengan obat antiresorpsi raloxifene suatu selective ER modulator, meningkatkan bone mass dan menurunkan risiko fraktur vertebra pada wanita menopause namun hanya sedikit diketahui pengaruhnya pada OAG.8,11

Pemberian kalsium dan suplemen vit D tidak menyebab-kan bone loss pada pasien osteoporosis.2 Hal ini disokong oleh penelitian selama 2 tahun pada pasien arthritis reumatoid yang mendapat GK jangka lama yaitu prednison dosis rata-rata 5,5 mg perhari yang mendapat kalsium dan suplemen vitamin D menunjukkan BMD meningkat secara signifikan dibanding dengan plasebo.5 Namun sebagian peneliti belum sependapat dengan mengetengahkan bahwa kalsium dan vitami D belum memperlihatkan efek positif dalam mencegah OAG.5 Pem-berian kalsium dan vitamin D pada pasien yang mendapat GK jangka lama dengan dosis tinggi (prednison 18 mg perhari) tidak dapat mencegah bone loss, untuk hal tersebut diperlukan obat tambahan untuk mencegah osteoporosis.5 Bahaya pem-berian vitamin D dan kalsium harus diperhitungkan pula yaitu hiperkalsiuri sehingga pasien yang mendapat vitamin D sebaik-nya secara teratur memeriksa kadar kalsium dalam urine.5 ObatAntiresorpsi

Sampai saat ini telah dikenal obat antiresorpsi antara lain: hormon (terapi sulih hormon), bisfosfonat, kalsitonin dan obat anabolik kesemuanya dipakai untuk mencegah dan mengobati OAG. Terapi sulih hormon

Pemberian GK jangka lama dapat menyebabkan hipogona-disme akibat penekanan sekresi Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang tampak pada wanita premenopause dengan adanya keluhan amenore; juga pada laki-laki. Pada keadaan ini pemberian TSH sangat bermanfaat mencegah OAG.

Salah satu penelitian pada pasien artritis reumatoid yang mendapat prednison jangka panjang dan plasebo dibandingkan dengan kelompok pasien yang mendapat TSH; menunjukkan BMD vertebra lumbal pada kelompok dengan TSH meningkat secara signifikan (3-4%) dibanding dengan kelompok plasebo, namun tidak berbeda pada pemeriksaan BMD kolum femoris.15

Terapi sulih hormon ternyata juga dapat mencegah hilang-nya massa tulang dan meningkatkan densitas tulang.7 Pada laki-laki pemberian GK jangka lama dapat pula menyebabkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 37

Page 39: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

osteoporosis. Tercatat 88% pasien laki-laki yang mendapat GK jangka lama mempunyai kadar testosteron rendah yang ber-peran dalam proses OAG.2 Pada laki-laki pemberian hormon testosteron sebagai TSH pada pasien yang mempunyai kadar testosteron rendah menyebabkan kenaikan densitas tulang.7

Penelitian skala kecil menunjukkan pemberian testosteron 250 mg perbulan dosis tunggal selama 12 bulan berturut-turut meningkatkan BMD vertebra lumbal meningkat 5%, hidroksi-prolin dan alkali fosfatase menurun.

Pemakaian TSH jangka lama ternyata dapat memberi efek samping kanker payudara, perdarahan pervaginam atau kanker rahim yang dapat meningkat sampai 81 % dalam 3 tahun pemberian TSH.2 Selain itu baru-baru ini terbukti pemberian TSH tidak memberi efek kardioprotektif dan terbukti pula adanya kenaikan secara bermakna insidens tromboemboli pada pemakai TSH.2

Baru-baru ini ditemukan selective estrogen receptor modulators yang disingkat SERMs yaitu raloxifene ternyata dapat mencegah osteoporosis postmenopause.

Pemberian raloxifene memperlihatkan kenaikan BMD pada daerah vertebra lumbal sebesar 2% setelah 24 bulan terapi dan telah diterima di Amerika Serikat untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis postmenopause; namun tidak ditemu-kan data manfaat raloxifene pada pasien OAG.2 Bisfosfonat

Hasil 5 uji klinis skala besar menunjukkan bahwa bisfosfonat yaitu etidronat, alendronat, dan risedronat efektif untuk pencegahan maupun pengobatan OAG.11,12 Ditemukan kenaikan BMD yang sangat bermakna terutama di daerah vertebra lumbal yang mana sering terkena pada OAG.7,11,12 Semua bisfosfonat menekan resorpsi tulang dengan osteoclast-mediated bone resorption. tetapi di antara mereka mempunyai perbedaan potensi. Clodronat tidak diakui sebagai pengobatan osteoporosis baik osteoporosis primer maupun sekunder.2,11

Pemberian etidronat misalnya di Amerika Serikat dipakai dalam klinik untuk pengobatan penyakit Paget, dan bukan untuk osteoporosis. Etidronat dapat mencegah OAG terbukti dari hasil uji klinik pasien reumatologi yang mendapat GK berupa prednison 10-23 mg perhari diberi etidronat intermitten selama 3 bulan. Kelompok etidronat meningkat BMDnya 0,3-0,6 % pada vertebra lumbal sedang kelompok plasebo menurun dari 2,79% sebelum penelitian menjadi 3,23% setelah peneliti-an. Walaupun demikian peneliti lain masih meragukan efek etidronat dalam mengobati dan mencegah OAG.5,11

Alendronat merupaka preparat bisfosfonat yang poten untuk prevensi dan pengobatan osteoporosis postmenopause, penyakit Paget dan pengobatan OAG.2

Studi manfaat alendronat sebagai pencegah osteoporosis pada pasien yang mendapat GK jangka lama telah dilakukan terhadap 477 pasien laki-laki dan wanita, 17-83 tahun dengan alendronat 10 mg perhari selama 48 minggu. Hasil penelitian membuktikan alendronat meningkatkan BMD daerah vertebra lumbal.14 Terdapat kenaikan 2,9% dibanding sebelum peneliti-an dan 3,3% bila dibandingkan dengan plasebo. Fraktur vertebra hanya ditemukan 0,7% pada alendronat sedang pada plasebo 6,8% setelah 2 tahun.11 Demikian pula pada daerah trokhanter maupun kolum femoris.11,14 Tidak ditemukan efek

samping yang berarti selama penelitian.11.14

Manfaat risedronat diteliti oleh Cohen dkk.yang merupa-kan penelitian multisenter, dengan kontrol plasebo yang melibatkan 224 pasien laki-laki dan wanita yang diterapi dengan GK jangka lama, diberi residronat selama 1 bulan masing-masing 2,5 mg perhari dan 5 mg perhari. Hasil peneliti-an menunjukkan tidak ada perbedaan BMD sebelum dan setelah terapi risedronat dosis 2,5 mg perhari maupun dosis 5 mg perhari sedang kelompok plasebo BMD turun secara signifikan.3 Efek terapi yang signifikan dilihat pada BMD di daerah vertebra lumbal, leher femoris, trokhanter setelah 12 bulan terapi dengan 5 mg risedronat pada wanita post-menopause maupun laki-laki.3,11

Hal sama diteliti oleh Eastell dkk pada wanita post-menopause dengan reumatoid artritis yang mendapat risedro-nat, menemukan hasil yang bermakna. 4,14

Indikasi pemberian bisfosfonat ialah pada OAG baik premenopause maupun postmenopause yang mendapat TSH dan laki-laki yang mendapat GK jangka lama .11

Pemberian bisfosfonat dapat dikombinasi dengan kalsium dan vitamin D yaitu : 1. Pada pasien yang baru mulai pengobatan dengan GK jangka lama untuk mencegah bone loss. 2. Pasien yang mendapat GK sudah mengalami osteoporosis yang diketahui dengan pemeriksaan BMD. 3. Penderita sudah fraktur dengan terapi TSH atau gagal dengan TSH.11

Bisfosfonat tidak hanya mencegah bone loss dan atau meningkatkan BMD akan tetapi juga mencegah apoptosis osteosit dan osteoblas dan menurunkan fraktur pada vertebra.11

Kalsitonin

Kalsitonin telah diakui dan direkomndasikan sebagai poli-petid penekan osteoklas untuk pencegahan bone loss pada pasien yang baru memulai GK jangka lama.2,11 Efek obat ini dalam hal menurunkan fraktur pada osteoporosis belum pasti;2 dalam suatu uji kecil menunjukkan perbaikan dibanding dengan pengobatan kalsium. Namun peneliti lain masih me-ragukannya dan belum ada informasi tentang manfaat peng-obatan kalsitonin pernasal pada OAG.2,6,11

Efek proteksi akan meningkat pada pemberian kalsitonin salmon 400 IU perhari intranasal.17 Pada tahun ke dua tanpa obat ternyata tidak ditemukan hilangnya massa tulang lumbal pada kelompok yang sebelumnya diterapi dengan kalsitonin plus kalsitriol dan kalsium.17

Efek samping kalsitonin dapat berupa nausea dan reaksi alergi lainnya seperti asma yang tidak terkontrol..

Luengo dkk. memperlihatkan efek kalsitonin nasal pada penderita asma bronkial yang mendapat prednison jangka lama dengan dosis 10 mg perhari. Didapatkan peningkatan BMD pada vertebra lumbal sebesar 2,8% selama 2 tahun pe-nelitian, dibandingkan dengan kelompok pasien yang mene-rima kalsium saja BMDnya justru menurun 7,8%. dikutip dari 5 ,11

Peneliti lainnya menemukan perbaikan BMD pada pasien sarkoidosis yang mendapat GK jangka lama. Kalsitonin ter-nyata mencegah bone loss pada 1 tahun pertama; hasilnya lebih bermakna apabila pada kelompok kalsitonin ditambahkan kalsium dan vitamin D, namun ternyata tidak ada perbedaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 38

Page 40: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

hasil akhir kelompok pasien yang mendapat kalsium dan kalsitriol saja dibanding dengan kelompok yang mendapat kalsium, kalsitriol dan kalsitonin.11,15

Kalsitonin tidak menurunkan risiko fraktur vertebra pada pemeriksaan radiologis. sehingga kalsitonin hanya dipakai se-bagai pilihan kedua untuk pengobatan pasien yang mempunyai BMD rendah pada pengobatan GK jangka lama dan hanya diberikan pada pasien yang ada kontra indikasi dengan bis-fosfonat .11

Obat anabolik

Obat anabolik merangsang pembentukan tulang. Fluoride 50 mg perhari telah dievaluasi selama 2 tahun dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang mendapat GK (prednison 15-22 mg perhari).11 Pada kelompok fluoride BMRnya meningkat 2,2 % dibanding kelompok plasebo yang justru menurun 3,0%. Namun tidak ada perbedaan dalam hal fraktur di luar vertebra. Dengan demikian fluroride tidak dipakai untuk mencegah fraktur pada pasien yang mendapat GK jangka lama.11

Beberapa obat anabolik lain seperti PTH masih kontro-versial, demikian juga nandrolone decanoate walaupun me-ningkatkan BMD tetapi belum ada data yang menunjang.11

Petunjuk Pencegahan dan Pengobatan OAG menurut American College of Rheumatology 200111

Pasien yang baru mulai mendapat pengobatan prednison (glukokortikoid lain yang setara prednison) ≥ 5 mg perhari untuk jangka lama yaitu 3 bulan atau lebih: • Perbaiki pola hidup terhadap faktor risiko osteoporosis antara lain menghindari atau menghentikan merokok, kurangi minum alkohol, latihan jasmani. • Mulai pengobatan suplemen kalsium dan vitamin D. • Bisfosfonat (hati-hati pada wanita pre-menopause).

Pasien yang sudah mendapat pengobatan prednison (glukokortikoid setara prednison) > 5 mg perhari dalam jangka lama : • Perbaiki pola hidup terhadap faktor risiko osteoporosis dengan menghindari merokok dan minuman keras. • Latihan jasmani. • Mulai pengobatan suplementasi kalsium dan vitamin D. • Terapi sulih hormon bila ada indikasi defisiensi atau indikasi klinis. • Bila BMD dengan pemeriksaan DEXA tidak normal misalnya T-score di bawah -1, berikan terapi bisfosfonat. • Pengobatan dengan kalsitonin sebagai pilihan kedua apa-bila ada kontra indikasi bisfosfonat atau tidak dapat ditolerir.

• Bila BMD masih normal, follow-up dan pemeriksaan BMD ulangan setiap 1 atau 2 kali pertahun.

KEPUSTAKAAN 1. Lindsay R, Cosman F. Osteoporosis. In: Braunwald, Fauci, Kasper,

Hauser, Longo, Jameson. (Eds) Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: MacGraw-Hill Med Publ. Div. 2000; vol 2 ,15th: ed. 2226-37.

2. Goldstein ME, Fallon JJ, Harning R. Chronic glucocorticoid therapy induced osteoporosis. Patients with Obstructive Lung Disease. Chest 1999;116:1733-49.

3. Cohen S,Levy ML, Keller M, Boling E, Emkey RD,Greenwald M. Risedronate therapy prevents corticosteroid-induced bone loss. Arhritis & Rheumatism 1999; 42:2309-18.

4. Eastell R,Devogelaer JP, Peel NFA, et al. Prevention of bone loss with Risedronate in Glucocorticoid – treated Rheumatoid arhritis patients. Osteoporosis Int.2000; 11:331-7.

5. Biskobing DM. COPD and osteoporosis. Chest 2002; 121:609-20. 6. Meunier PJ. Is steroid–induced osteoporosis preventable? N.Engl J Med

1993; 328:1781-82. 7. Yood RA, Harrold LR, Fish L. Prevention of glucorticoid–induced

osteoporosis . Experience in managed care setting. Arch Intern Med.2001; 161,1322-7.

8. Canalis E, Giustina A. Glucocorticoid-induced osteoporosis: Summary of a workshop. J Clin Endocrinol Metab.2001; 86(12):5681-5.

9. Williams GH, Dluhy RG. Nonspecific clinical use of adrenal steroids. In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson. (Eds) Harrison’s Principles of internal medicine. New York: MacGraw-Hill Medical Publ. Div vol. 2 15th ed. 2000; 2103-05.

10. Wijaya A. Parameter biokimiawi untuk Uji saring dan pemantauan osteoporosis . Forum diagnosticum. 1995; 6:6-11.

11. American College Rheumatology Ad Hoc committee on Glucocorticoid-induced osteoporosis. Recommendations for prevention and treatment of Glucocorticoid-induced osteoporosis. Arhritis & Rheumatism 2001;44:1496-503.

12. Hendromartono. Glucorticoid-induced osteoporosis and bone density. In: Endkrinologi klinik IV. Johan S. Masjhur, Sri Hartini KS. Kariadi (eds). Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Bandung. 2002; V1-V25.

13. Chairuddin Rasyad. Osteoporoisis : Masalah dan penanggulangannya. Buku Naskah lengkap Konas IV Perkeni Makassar 1997; 101-115.

14. Saag KG, Emkey R, Schnitzer TJ, et al. Alendronate for the prevention and treatment of glucocorticoid induced osteoporosis. N Engl J Med 1998; 339 : 292-9.

15. American College of Rheumatology. Task force on osteoporosis Guidlelines. Treatment of steroid –induced osteoporosis. Arthritis Rheum 1996; 39 : 1291-1301.

16. Wong CA,Walsh LJ, Smith JP et al. Inhaled corticosteroid use and bone-mineral density in patients with asthma. Lancet 2000; 355: 1399-402.

17. Sambrook P, Birmingham J, Kelly P, et al. Prevention of corticosteroid osteoporosis- a comparison of calcium, calcitriol and calcitonin. N Engl J Med 1993; 328 : 1747-52.

18. Reginster JH, Kuntz D, Verdickt W, et al. Prophylactic use alfacalcidol in corticosteroid-induced osteoporosis. Osteoporosis Int 1999; 9: 75-81.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 39

Page 41: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Gambar 1. Skema Patogenesis OAG

Hipofisis; LH

Androgen,Estrogen, Testis,Ovarium- Adrenal

Osteokalsin, PGF II,GF,TGFß

Resorpsi Tulang

Pembentukan Tulang

Absorpsi

Vit .D3

Hiper kalsiuria

OSTEOPOROSIS

Miopati

PTH Kalsitonin

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 40

Page 42: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Mencegah Penyakit Degeneratif

dengan Makanan

Kusnindar Atmosukarto*, Mitri Rahmawati**

* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Respati Indonesia, Jakarta ** Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN 1. Proses Penuaan

Kerusakan akibat oksidasi terhadap DNA genetik sel, me-numpuk bersama usia dan merupakan penyebab utama proses menua dan juga penyakit-penyakit degeneratif sewaktu menua, termasuk kanker, penyakit pembuluh darah dan jantung, kemerosotan sistem kekebalan dan disfungsi otak serta sistem saraf, misalnya penyakit Parkinson, penyakit Lou Gehrig dan perubahan-perubahan pembuluh darah otak yang kita kenal sebagai “kepikunan”. Berita yang menakjubkan ialah, bahwa mutasi-mutasi DNA yang menumpuk bersama usia, sebagian besar dapat dihentikan dengan memakan antioksidan yang tepat yang ditemukan dalam makanan, dengan demikian meng-hambat proses kemerosotan dalam banyak segi (Dr. Bruce N, 1993)(1).

Banyak perubahan tubuh yang berkaitan dengan proses penuaan. Bersama dengan usia, tubuh mengalami berbagai per-ubahan biokimiawi yang secara keliru telah diterima sebagai akibat-akibat tak terelakkan proses penuaan. Padahal sebetul-nya perubahan-perubahan itu merupakan tanda-tanda ke-merosotan dan penyakit yang dapat dibalikkan, terkadang dengan suatu dosis secukupnya zat-zat hara yang lazim. Misal-nya sewaktu menua, tubuh cenderung menghasilkan lebih banyak bahan di dalam darah yang disebut hemosistein, yang menyebabkan darah lebih mudah menggumpal, sehingga me-nimbulkan serangan jantung. Banyak pasien jantung mem-punyai kadar-kadar kolesterol normal tetapi mempunyai kadar hemosistein yang tinggi. Anehnya, asam folat yang banyak terdapat dalam makanan seperti bayam, dan dosis vitamin B6, dengan cepat menurunkan kadar hemosistein, sehingga yang sebagian dapat menghapus ‘faktor menua’. Dengan demikian secara logis menghapus ancaman penyakit jantung (Tufts University)(1).

Banyak peneliti beranggapan, bahwa di dalam DNA ter-letak penyebab utama proses penuaan dan ada suatu cara untuk memperlambatnya. Suatu penelitian imunologi menemukan, tambahan dosis wajar delapan belas vitamin dan mineral yang lazim secara dramatis meningkatkan fungsi kekebalan dan

memangkas penyakit-penyakit infeksi. (Ranjit K. Chandra, Memorial University of Newfoundland)(1).

Dengan penemuan-penemuan baru dan berbagai penelitian yang dapat menghambat proses penuaan sel kita akan menjadi panjang umur dan awet muda. 2. Radikal-radikal bebas penyebab penuaan Teori radikal bebas

Teori baru yang banyak mendapatkan dukungan untuk menjelaskan perubahan proses penuaan ialah teori radikal bebas yaitu : Proses penuaan berlangsung ketika sel-sel secara par-manen dirusak oleh serangan terus-menerus dari sejumlah partikel kimia yang disebut “radikal-radikal bebas”. Secara sederhana, kerusakan sel itu menumpuk selama bertahun-tahun, sampai jumlahnya mencapai titik yang tak mungkin dibalikkan timbul penyakit-penyakit yang terjadi bersamaan pada akhir kehidupan sampai akhir hayatnya. Hal ini disebabkan, usaha yang gagal dari setiap sel untuk tetap hidup dan berfungsi secara wajar, berhadapan dengan zat kimiawi yang meng-hancurkan tersebut.

Teori radikal bebas tentang penuaan, disusul berbagai penelitian, bukan saja mengenai proses penuaan itu sendiri, me-lainkan tentang penyakit-penyakit akibat proses penuaan seperti kanker, jantung, artritis semuanya tampaknya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu radikal-radikal bebas. Kita berada pada tahap, dimana “resiko kematian terpenting bagi setiap orang pada umur 28 tahun atau lebih adalah radikal bebas” (Dr. Denham Harman, MD, Ph D, Univ. of Nebraska, 1954)(1). Radikal bebas banyak terdapat di udara dan makanan

Radikal bebas adalah sekelompok elemen yang bersifat tidak stabil, reaktif, dan merusak sel-sel hidup (sitotoksik), me-nurunkan kinerja zat-zat dalam tumbuh seperti enzim dan hormon serta merusak pembuluh darah dan kulit. Kerusakan tersebut menyebabkan kulit menebal, kaku, tidak elastis, keriput, pucat dan kering. Selain pajanan sinar matahari, ter-dapat faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya radikal bebas, antara lain: sinar matahari, zat kimia, zat pengawet,

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 41

Page 43: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

pewarna, dan pelezat makanan, polusi udara, makanan tinggi kalori dan karbohidrat, pengobatan dengan sinar ultra violet jangka panjang(2).

Radikal bebas adalah sebuah molekul yang telah kehilang-an satu elektron, yang mengorbit berpasangan. Untuk me-ngembalikan keseimbangan, radikal bebas tersebut mencari sebuah elektron dari molekul didekatnya atau melepaskan satu elektron yang tak punya pasangan. Dengan demikian ia men-ciptakan kehancuran molekul didekatnya tadi. Bila menimpa DNA, terutama pada mitokondria di dalam sel-sel, radikal itu menyebabkan mutasi-mutasi yang dapat memacu sel-sel ber-laku secara menyimpang. Lama kelamaan kerusakan karena radikal ini bebas membuat tubuh menua dan penyakitan(1).

Proses ini dapat dicegah oleh antioksidan secara sederhana, antioksidan adalah bahan kimia yang dapat memberikan sebuah elektron yang diperlukan radikal bebas, tanpa menjadikan dirinya berbahaya. Dengan demikian antioksidan, menghenti-kan serangan radikal bebas sehingga degenerasi dihambat atau proses penuaan diperlambat. 3. Antioksidan

Bila radikal bebas adalah elemen perusak sel-sel tubuh, maka secara kimiawi antioksidan dirancang untuk menawarkan radikal bebas yang merusak tadi. Antioksidan-antioksidan me-lakukan ini dengan menghentikan pembentukannya, memadam-kannya, dan memperbaiki kerusakan. Misalnya, lebih dari 1 triliun molekul oksigen masuk ke setiap sel setiap harinya, sambil menimbulkan kurang lebih seratus ribu cidera atau hantaman radikal bebas terhadap gen atau DNA sel (Bruce Ames, University of California di Berkeley)(1). Untungnya enzim-enzim antioksidan tubuh, segera memperbaiki gen-gen itu, sambil menghapuskan 99-99,9% kerusakan tersebut. Ke-burukannya ialah bahwa hal tersebut masih menyisakan seribu luka baru setiap hari yang belum diperbaiki, dan kerusakan ini terus menerus menumpuk. Kumpulan kerusakan sel akibat perbaikan yang tidak sempurna inilah yang menjadi penyebab proses menua, jatuh sakit dan meninggal. Pemberian anti-oksidan yang tepat dan cukup, dapat menyempurnakan per-baikan sel-sel tersebut sehingga proses penuaan dihambat. Jenis antioksidan yang diperlukan itu dapat berupa vitamin, mineral dan lain sebagainya. 4. Bagaimana menghentikan kerusakan sel-sel, dalam proses penuaan

Sekarang telah jelas, bahwa antioksidan dapat menghenti-kan, menghambat, atau memperbaiki serangan radikal bebas yang mempercepat penuaan. Masuk akal, bila kita memasukkan antioksidan-antiokdisan yang cukup dan tepat untuk melin-dungi membran-membran sel-sel lemak, protein dan DNA genetis, di dalam batas-batas yang tak berbahaya. Apa yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas, sehingga radikal bebas dikendalikan untuk tidak meng-hancurkan sel-sel tubuh, yang berakibat kematian. HUBUNGAN SUPLEMEN MAKANAN DENGAN PE-NYAKIT DEGENERATIF

Berikut ini disajikan hasil penelitian tentang peranan 10

suplemen makanan utama yang dapat menunda atau membalik-kan proses penuaan. Suplemen tersebut mencakup Vitamin B, Vitamin E, Vitamin C, Beta Karoten, Khromium, Selenium Kalsium, Zinc, Magnesium dan Vitamin Q. 1. Vitamin B

Vitamin B barang kali merupakan satu-satunya zat hara paling penting yang mempengaruhi proses penuaan, menurut Dr. Robert Russell dari Tufts University(1), Dr. John Linderboun dari Columbia Presbyterian Medical Center, me-nyatakan kekurangan vitamin B12 menyebabkan perkembang-an amat lambat, sering mempengaruhi seluruh otak serta sistem saraf dan bukan bagian lain.

Asam folat yang terdapat pada sayuran hijau dan tanaman polong-polongan disebut juga dolasin, sangat berperan dalam proses anti tua, mencegah kemerosotan fungsi mental dan menghentikan kanker, yang lebih penting lagi dapat menye-lamatkan kerusakan arteri yang memicu serangan jantung dan stroke.

Vitamin B tersebut di atas terutama asam folat, me-rangsang enzim-enzim untuk metabolisme homosistein yang mencegah penyumbatan arteri. Menurut penelitian Tuft University (1995) pada 1041 pria dan wanita berumur 67-96 tahun, orang yang mempunyai kadar homosistein tinggi me-miliki risiko penyempitan arteri karotis, 2x lebih tinggi dari yang rendah. Di antara ketiga vitamin B, asam folat memiliki pengaruh paling tinggi, diikuti B6 dan B 12. 2. Vitamin E

Peran vitamin E dalam proses penuaan adalah melawan aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi, sebagian besar karena kolesterol LDL. Jika oksidasi LDL tak terjadi, kolesterol LDL melekat di dinding arteri, sebagai langkah awal terbentuknya plak dan penyumbatan arteri.

Suatu penelitian oleh Ishwaral Jialal dari University of Texas South - Western medical center di Dallas, menemukan bahwa 800 IU vitamin E setiap hari selama tiga bulan, telah memangkas oksidasi kolesterol LDL, dengan demikian men-cegah timbulnya kerusakan arteri dan timbulnya penyakit jantung sebesar 40%. Setidaknya diperlukan 400 IU vitamin E per hari. 3. Vitamin C • Melawan kanker

Vitamin C merupakan salah satu bentuk vaksinasi me-lawan kanker, terutama kanker-kanker lambung, esofagus, pankreas, rongga mulut dan kemungkinan mulut rahim, rektum dan payudara. Makan buah-buahan dan sayur-sayuran lima porsi sehari yang mengandung 200-300 mg vitamin C, cukup untuk menghambat kanker. Tetapi untuk melawan kanker Dr. Block menelan 2000-3000 mg vitamin C setiap hari(1). - Menyelamatkan arteri

Mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah sedang, dapat mendorong naiknya kolesterol HDL yang menghambat pe-nyumbatan arteri, mengurangi LDL, menurunkan tekanan darah, memperkuat dinding-dinding pembuluh darah, membuat darah lebih encer. Orang yang mendapatkan vitamin C kurang dari yang terdapat pada sebuah jeruk setiap hari, rata-rata

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 42

Page 44: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

tekanan darah sistoliknya 11 mm/Hg lebih tinggi; selain itu vitamin C menyebabkan arteri-arteri tetap muda, bersih dan lentur. - Meningkatkan kekebalan

Vitamin C 5000 mg setiap hari akan meningkatkan produksi limfosit dan vitamin C 10000 mg sehari akan meningkatkan limfosit itu lebih lanjut. Vitamin C bekerja seperti antibiotika yang memerangi virus-virus. Lebih lanjut vitamin C meningkatkan kekebalan dengan meningkatkan kadar antioksidan glutation di dalam tubuh, zat yang penting agar sistem kekebalan bekerja sebagaimana mestinya. Lima ratus mg vitamin C setiap hari akan menaikkan glutation dalam sel-sel darah merah sebesar 50%, namun menelan vitamin C hanya sepertiga dari RDA selama 9 minggu akan menyebabkan kadar glutation merosot 50%. - Membalikkan proses penuaan

Vitamin C meremajakan sel darah putih secara kimiawi pada manusia usia lanjut; 120 mg vitamin C setiap hari, mampu menaikkan kadar sel-sel darah putih pada manusia rata-rata umur 76 tahun setara dengan kadar rata-rata 35 tahun, dalam waktu 2 minggu. - Memperbaiki sperma dan mengembalikan kesuburan pria

Dalam suatu pengujian di University of California di Berkeley, ditemukan kerusakan akibat radikal bebas terhadap bahan genetik DNA berlangsung 2x lipat pada sel-sel sperma kaum pria yang dibatasi jatah vitamin C nya hanya 5 mg sehari (setara satu sendok teh air jeruk). Ketika kaum pria itu kembali ke diet harian dengan 60 mg atau 250 mg vitamin C, kerusakan spermanya menurun dalam waktu 1 bulan. - Mencegah penyakit asma dan bronchitis kronis

Orang yang makan makanan dengan kandungan vitamin C 300 mg sehari, kemungkinan menderita asma atau bronkitis kronis hanya 70% dibandingkan dengan mereka yang memakan kurang lebih 100 mg (Dr. Joel Schartz, US. Environmental Protection Agency). Selanjutnya vitamin C menolong mencegah leukosit, sel-sel darah merah, agar tidak menumpuk ke dinding-dinding pembuluh darah. - Melawan penyakit gusi

Penyakit periodontal - gusi berdarah, sariawan, lebih umum pada orang-orang yang kadar vitamin C dalam darahnya rendah (Penelitian di Finlandia). - Mencegah katarak

Menurut penelitian di Kanada, korban katarak hanya 30% bagi mereka yang telah menelan tambahan vitamin C, di-bandingkan dengan mereka yang tidak menelan tambahan vitamin C(1). 4. Beta Karoten - Merangsang kekebalan

Dalam suatu penelitian terhadap 60 pria dan wanita usia lanjut (rata-rata umur 56 tahun), mereka yang menelan beta karoten 30-60 mg/hari selama 2 bulan memiliki sel-sel pem-bunuh alami lebih banyak, sel-sel T penolong lebih banyak serta limfosit yang lebih aktif. Sel-sel kekebalan semacam itu menolong, melindungi tubuh terhadap kanker serta infeksi virus dan bakteri (Ronal R Watson, University of Arizona).

Dr. Simin Meydani dari Tufts University, menemukan bahwa sel-sel pembunuh alami itu, penting terutama untuk melawan kanker. Kajian di Johns Hopkins University me-nemukan orang-orang yang kadar beta karotennya rendah resikonya 4x lebih besar untuk menderita salah satu jenis kanker yang mematikan akibat merokok. - Mencegah serangan jantung

Studi Harvand University pada 90000 perawat wanita yang menelan beta karoten lebih dari 11000 IU setiap hari, menurun-kan risiko penyakit jantung 22%, dibandingkan mereka yang menelan 3800 IU setiap harinya.

Pemakan beta karoten yang besar tersebut kejadian strok-nya menurun 37%. Dari penelitian skala besar di Eropa me-nunjukkan bahwa menelan beta karoten dalam jumlah amat kecil berisiko serangan jantung sebesar 260% jika dibanding-kan yang makan beta karoten paling banyak. Antioksidan Vitamin E, Vitamin C, Beta Karoten

Studi Harvard University terhadap 87000 perawat wanita menemukan yang memperoleh sejumlah besar vitamin E (lebih 200µ/hari), risiko menderita kardiovaskuler menurun 34%. Beta karoten dalam jumlah tinggi, menurunkan risiko kardio-vaskuler 22%. Masukan vitamin C yang besar menurunkan risiko 20%, pada wanita yang mendapatkan ketiga antioksidan tersebut, risiko kardiovaskuler merosot hampir 50%. Hal yang sama berlaku untuk stroke, risikonya turun 54%. Ketiga anti-oksidan tersebut berkeja bersama-sama untuk menghambat oksidasi kolesterol LDL yang menjurus pada pembentukan plak di arteri-arteri(1). 5. Khromium (Cr) - Menurunkan gula darah

Peran khromium dalam menghambat proses penuaan ialah pengaruhnya terhadap hormon insulin di dalam darah. Ke-kurangan Khromium melemahnya daya kerja insulin sehingga berisiko meningkatkan kadar gula darah.

Setiap orang membutuhkan sekurang-kurangnya 200 mikrogram per hari. 6. Selenium (Se)

Selenium merupakan zat kemopreventif yang ampuh (Donald C Lisk, Cornell University) : selenium menghambat berbagai jenis tumor hingga 100%.

Penelitian Will Taylor dari University of Georgia terhadap penderita AIDS, menyatakan selenium dapat menolong me-lawan virus dan memperpanjang masa hidup penderita AIDS.

Lebih lanjut selenium merupakan antioksidan yang penting bagi pembentukan : peroksidase glutation, salah satu enzim sangat penting dalam tubuh yang menetralisir radikal-radikal bebas, terutama yang menyerang molekul-molekul lemak(1,3). Penelitian di RRC menunjukkan, penyakit jantung (kardio-miopati) endemis dapat diturunkan angka kesakitannya secara dramatis dengan Na2SeO3 (Luo K, 1976)(3). Kadar selenium darah dibawah 45mg/l, meningkatkan risiko relatif terkena kanker 3,1 kali, setelah variasi konsumsi tembakau, serum kolesterol dan 4 faktor lain diperhitungkan (Salonen et al, 1984)(3).

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 43

Page 45: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

7. Kalsium (Ca) Penelitian Harvard tahun 1993 pada 3270 wanita sehat (di

atas 80 tahun, menyatakan pemberian kalsium 1200 miligram setiap hari ditambah 800 IU vitamin D-3 (Kolekalsiferol) selama 18 bulan, dapat menurunkan kejadian patah tulang panggul sebesar 43%, patah tulang pergelangan lengan dan pelvis 32%, lebih rendah dari pada wanita yang tak mendapat-kan tambahan mineral tersebut. Hal ini berarti kalsium dapat memperpanjang umur, sebab 20% dari wanita tanpa tambahan meninggal karena patah tulang(1).

Menurunkan patah panggul dengan 20% akan menghemat kurang lebih 2 miliar dolar setahun untuk membiayai perawatan kesehatan (Dr. Robert Heaney, Creighton University).

Tablet-tablet kalsium dapat menurunkan tekanan darah tinggi rata-rata 5-7 mm/Hg (sistolik) dan 3-4 mm/Hg (diastolik) terutama untuk usia lanjut. (David A. Mc. Carson, Md, Gregon Health Sciences University).

Penelitian Margo A Denke, University of Texas South Western Medical Center, menyatakan peningkatan masukan kalsium dari 410 mg/hari menjadi 2200 mg/hari, dapat me-nurunkan kolesterol LDL sebesar 11%(1). 8. Zinc (Zn)

Peranan Zinc dalam proses penuaan berkaitan dengan enzim-enzim yang tergantung Zn. Zn berperan dalam sintesis protein baru, menjaga batas nitrogen tubuh, regulasi ekspresi genetik(3). Enzim-enzim yang dipengaruhi oleh kecukupan Zn, antara lain DNA, RNA polimerase yang tersangkut dalam sintesa asam nukleat dan protein, alkohol dehydrogenase dalam metabolisme alkohol dan pigmen penglihatan, carbonic an-hydrase dalam keseimbangan asam-basa dan pernapasan, delta aminolevulinic acid dehydratase dalam sintesis porfirin, superoksida dismutase dalam menetralisasi superoksida yang dapat merusak jaringan, alkali fosfatase yang membebaskan gugus fosfat (Prasad AS/ 1967, Halsted JA, et. al/1974)(3).

Peran Zn tidak hanya enzimatis, tetapi juga secara nonenzimatis (Chow CK, 1979)(3), misal produksi lipid dalam fraksi mikrosom hepar dapat dihambat dengan memberikan dosis tinggi Zn (Chvapil M. Aronson AL, et.al./1974)(3). Peran lain Zn dalam produksi dan sekresi hormon-hormon trofik hipofise (Prasad AS, 1967)(3).

Dr. Nicola dari Italian National Centre on Aging di Ancona, menyatakan bahwa Zinc menyebabkan kelenjar timus aktif lagi. Dengan demikian memperoleh kembali sistem ke-kebalan yang dimiliki pada waktu umur 40 tahun(1). 9. Magnesium (Mg)

Sekitar 50% mg dalam tubuh terikat dalam tulang (Berlow R/1982, Mudge GH/1980)(3), hanya 1% berada di luar sel dan sisanya di dalam sel, kadar normal plasma antara 1,6-2,1 Mcg. Kira-kira 55% berupa ion bebas, sisanya terikat pada protein. Mg dalam sel, plasma dan tulang kurang berkaitan erat (Berlow R 1982). Pada defisiensi, Mg serum dapat rendah sekali, sedang Mg dalam tulang normal (Wacker WEC, 1958)(3).

Peran penting Mg adalah pada reaksi-reaksi yang me-nyangkut transfer gugus fosfat (WHO/1973, Wecker WEC/ 1958, Mudge GF/1980)(3), yang menyangkut ATP maupun nukleotida lainnya (Wecker WEC, Mudge)(3), mengatur pe-

lepasan asetilkolin dan potensial end-plate (berantagonis dengan kalsium), mengurangi pemasukan kalsium oleh otot skelet dan mungkin juga otot polos arteri (Altura BT, Altura M, 1983)(3), stabilisasi struktur makromolekul seperti DNA, RNA (Barlow R/1982, WHO/1973) replikasi DNA dan pembentukan molekul-molekul komplek untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, hormon dan protein (Mervyn L 1980)(3), dan masih banyak peran Mg yang lain yang berkaitan dengan ribosom, partikel mitra sel, Ca, antitrombosis, enzim(3). - Menyelamatkan jantung

Mitokondria, pabrik energi dalam sel makin dirusak karena tiadanya Mg yang memadai. Kerusakan atas mitokondria sel ini dianggap penyebab nomer satu proses penuaan.

Kekurangan asupan Mg, menyebabkan mudah terserang sakit jantung, menurut kurang lebih 20 studi di seluruh dunia (Ronald J Elin, MD). Magnesium menolong mencegah peng-gumpalan darah di arteri.

Penelitian oleh Erasmus University Medical School di Rotterdam, pada para wanita tengah baya dan berusia lanjut yang menderita tekanan darah tinggi ringan dan sedang, mem-berikan tambahan Mg 485 mg/hari selama 6 bulan menurunkan tekanan darah sistolik 2,7 mm/Hg, distolik turun 3,4 mm/Hg. - Mencegah dan memperbaiki diabetes

Studi-studi baru menemukan bahwa kebanyakan penderita diabetes sering memiliki kadar Mg yang rendah dalam sel-sel dan darah mereka.

Robert K. Rude, MD, dari University of Southern California memilih tambahan 300-400 mg sehari lebih disukai dalam bentuk magnesium khlorida untuk memperbaiki ke-kurangan-kekurangan diabetes. Kekurangan Mg. Kekurangan Mg menyebabkan lebih rawan terhadap resistensi insulin. Dalam suatu penelitian pada orang-orang yang sehat, resistensi insulin 25% lebih besar pada diet yang kurang Mg. - Membuat tulang tetap kuat

Menurut Mildred S. Sceling, MD, lektor Nutrisi pada University of North Carolina menyatakan, kadar Mg yang rendah cenderung disertai kadar vitamin D yang rendah, yang dibutuhkan untuk metabolisme tulang. - Memperpanjang umur

Sebuah studi selama 10 tahun terhadap 2.182 pria di Wales, menemukan bahwa mereka dengan diet berkadar Mg rendah, mempunyai risiko mati mendadak akibat serangan jantung sebanyak 1,5x lebih besar dibandingkan dengan mereka yang makan Mg sepertiga lebih banyak(1). 10. Vitamin Q

Vitamin Q atau Koenzim Q-10 atau Ubiquinol-10, terkenal sebagai salah satu antioksidan baru untuk menunda proses penuaan dan mencegah atau mengobati penyakit-penyakit yang berkaitan dengan usia lanjut yaitu penyakit jantung.

Vitamin Q adalah enzim, merupakan bahan alami yang dihasilkan oleh tubuh, zat ini ditemukan pula pada makanan tertentu, terutama makanan laut dan sekarang sudah dibuat secara sintetis menjadi suatu zat makanan tambahan untuk kesehatan. - Cara kerja Koenzim Q-10

Koenzim Q-10 serupa dengan vitamin E, melindungi molekul-molekul lemak agar tak teroksidasi radikal-radikal

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 44

Page 46: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

bebas. Koenzim Q-10 memantapkan membran-membran sel. Sejumlah ahli menyatakan bahwa manfaat terbesar diperlihat-kan dalam mitokondria di mana oksigen dibakar untuk mem-beri tenaga bagi sel hidup.

Mudah dipahami mengapa koenzim Q-10 serta anti-oksidan-antioksidan lainnya berperan penting mencegah proses penuaan. Koenzim Q-10 terkonsentrasi pada sel-sel otot jantung yang membutuhkan sejumlah besar energi agar mampu berdenyut sekitar 100.000 kali perharinya. - Peran koenzim Q-10 dalam proses penuaan

Menurut Balz Frei dari Boston University, koenzim Q-10 mencegah oksidasi kolesterol LDL secara lebih efisien dari pada vitamin E atau betakaroten, tetapi koenzim Q-10 itu habis dengan cepat selama proses oksidasi.

Ringkasan berbagai hasil penelitian tentang hubungan penyakit-penyakit degeneratif dengan 10 antioksidan tersebut di atas, disajikan dalam tabel 1 s/d tabel 5.

Untuk mengetahui makanan apa yang banyak mengandung antioksidan-antioksidan utama tersebut, disajikan daftar makan-an pada Tabel 6. Tabel 1. Berbagai hasil penetian, hubungan antara Vitamin B dengan

penyakit-penyakit degeneratif.

No. Peneliti, Instansi, Tahun Penelitian dan Hasilnya

1. Dr. John Lindebaum, Prof. Ilmu Kedokteran pada Columbia Presbyterian Medical Center, New York Robert Russell,

Penelitian pada 400 orang usia lanjut : - Pada mereka yang diberi vitamin B 12

rata-rata 6 mikrogram/hr, menderita gangguan neurologi sebesar 12%, sedang yang tak diberi tambahan vitamin B 12 menderita gangguan neurologi sebesar 40%.

- Yang tak menelan tambahan vitamin B 12, memiliki risiko 3,5 kali lebih besar menderita gangguan neurologi (“kepikunan semu”, demensia, hilangnya keseimbangan, gangguan psikiatri lain).

2. Robert Russell, US. Departement of Agricultural Human Nutrition Research Center on Aging, Tufts University

Penelitian pada penduduk usia lanjut (> 60 th), terjadi gangguan neurologi sebesar - 24% pada kelompok umur 60-69 th - 30% pada kelompok umur 70-79 th - 40% pada kelompok umur lebih 80 th

3. Tufts University (1995)

Penelitian pada 1041 wanita usia 67-96 th - Orang-orang yang mempunyak kadar

homosistein tinggi dalam darah, memiliki resiko penyempitan arteri leher dua kali lebih besar, dibandingkan yang kadar homosisteinnya rendah

- Dosis rendah vitamin B, dengan cepat menghilangkan homosistein

- Dari tiga jenis vitamin B, asam folat paling besar khasiatnya, diikuti vitamin B6 dan vitamin B 12

- Menelan asam folat kurang dari 350 mikrogram/hr, cenderung mengalami kadar homosistein dalam darah yang tinggi

- Yang menelan 200 mikrogram/hr, risiko kadar homosistein tinggi 6 kali lebih besar dibandingkan yang menelan asam folat 400 mikrogram/hr

4. Charles Butterworth, Jr, MD, University of Birmingham

- Tanpa asam folat, kromosom-kromosom sel lebih gampang putus pada titik-titik “rawan” hal ini memungkinkan virus menyelip ke dalam bahan genetik sel yang sehat dan menimbulkan kerusakan DNA, yang mendahului timbulnya kanker

5. University of Alabama

Penelitian pada wanita yang terinfeksi. Human papilloma virus - Mereka yang memiliki kadar rendah

asam folat dalam sel-sel darah merah di mulut rahimnya, memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk menumbuhkan perubahan-perubahan pra-kanker yang menjurus pada kanker, bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar asam folat tinggi.

6. Harvard University Penelitian pada 16.000 wanita dan 9.500 pria - Mereka yang paling banyak

mendapatkan asam folat, insidensi polip paling rendah (pertumbuhan pra-kanker) di usus besarnya.

- Mereka yang menelan asam folat + 700 mikrogram/hr, risiko terkena polip dua pertiga dari pada yang menelan 166 mikrogram/hr

7. Dr. E.H. Reynolds, King’s College School of Medicine and Density, London

Penelitian pada orang-orang lanjut usia - Mereka yang mengalami kadar asam

folat rendah, berisiko mengidap gangguan mental terutama demensia, sebesar 3 x lebih besar. Demikian pula angka yang lebih rendah dalam bidang ingatan dan kemampuan berpikir abatrak

- Asam folat 400 mikrogram/hr, menghilangkan depresi, pada mereka yang mengalami gangguan ini

Sumber : (1) PEMBAHASAN

Secara singkat, istilah gizi (Nutrisi) adalah berbagai proses dalam tubuh makhluk hidup untuk menerima bahan-bahan dan menggunakan bahan-bahan tersebut, menghasilkan pelbagai aktifitas penting dalam tubuh. Nutrien ialah zat yang dicerna, diserap dan digunakan untuk kelangsung faal tubuh. Diet ada-lah memberikan semua nutrien dalam jumlah yang memadai. Status gizi dimaksudkan status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penilaian status gizi adalah pengukuran didasarkan pada data antro-pometrik serta biokimiawi dan riwayat diet(6).

Telah diketahui bahwa fungsi berbagai nutrien dalam tubuh antara lain hidrat arang menghasilkan panas dan energi, protein untuk pembentukan dan perbaikan jaringan, lemak untuk memberikan panas dan energi dan sebagian untuk mem-bangun jaringan. Selanjutnya mineral dan vitamin sangat pen-ting dalam pengaturan berbagai proses dalam tubuh. Mineral turut membangun beberapa jaringan tubuh(6).

Dari berbagai penelitian yang dikemukakan dalam hubung-an suplemen makanan dengan penyakit degeneratif, meliputi hubungan antara antioksidan yang terdiri dari nutrien vitamin dan mineral dihubungkan dengan berbagai penyakit karena diet tidak seimbang dari vitamin dan mineral. Diet yang tidak seimbang tersebut terbukti berkaitan dengan berbagai

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 45

Page 47: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Tabel 2. Berbagai hasil penelitian, hubungan antara Vitamin E dengan penyakit-penyakit degeneratif.

No. Peneliti, Instansi, Tahun Penelitian dan Hasilnya

1. Ishwarlal Jialal, University of Texas South Wertern Medical Center, Dallas

- Dibutuhkan sekurang-kurangnya 400 iu vitamin E/hr untuk cegah cholesterol LDL agar tidak teroksidasi

- Menelan 8.000 iu/hr, selama 3 bulan, memangkas oksidasi cholesterol LDL

2. Harvard University

Penelitian terhadap 87.000 perawat - Mereka yang menelan 100-250 iu vitamin

E/hr selama lebih 2 tahun, insiden penyakit jantung berat adalah 41% lebih rendah daripada yang tidak menelan Vitamin E

- Risiko stroke 29% lebih rendah, penurunan angka kematian sebesar 13%

Penelitian pada 40.000 pria setengah baya : - Mereka yang menelan lebih dari 100 iu

vitamin E/hr selama lebih 2 tahun, penurunan risiko kardiovaskuler sebanyak 37%

3. Meir J. Stampfer, MD, Eric B. Rinn, ScD., Harvard University

- Perlu tambahan Vitamin E dari makanan sehari-hari lebih 250 iu/hr, untuk menekan serangan jantung

4. University of Mississippi

Penelitian pada binatang pereobaan (monyet)- Vitamin E membersihkan plak pada arteri-

arteri sebesar ±60% 5. Howard N. Hodis

University of Southern California, School of Medicine

Penelitian pada pria setengah baya yang mengalami operasi pintas koroner - Yang menelan Vitamin E > 100 iu/hr

(bersama obat lain), setelah 2 tahun, penyempitan arteri menurun, dibandingkan yang menelan <100 iu/hr

- Yang menelan Vitamin E, angiogram-angiogram (gambar sinar X) memberikan gambaran plak pada arteri mengecil

6. Dr. Simin Meydani, Ahli imunologi nutrisi, pada University Tufts

Penelitian pada orang-orang berusia di atas 60 tahun - Pemberian dosis 400 atau 800 iu/hr. Memulihkan kekebalan mereka “hampir

setingkat dengan orang muda” - Vitamin E menolong membran-membran

sel-sel kekebalan terhadap radikal bebas 7. Peneliti/Lembaga

Kanker Nasional Finlandia

Penelitian pada 35.000 kaum wanita di Iowa Finlandia, berumur di bawah 65 tahun : - Yang menelan Vitamin E paling banyak,

peluang menderita kanker usus besar turun sebanyak 68%

- Kadar Vitamin E yang rendah dalam darah, 50% lebih mudah terkena segala macam kanker

Sumber : (1) penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, artritis, penyumbatan pembuluh darah, katarak, penurunan kekebalan, kanker, diabetes dan kepikunan. 1. Dosis suplemen makanan sehari

Dari hasil penelitian berbagai negara diketahui, dengan suplemen makanan vitamin dan mineral yang cukup dosisnya, dapat berpengaruh terhadap pencegahan dan penyembuhan/ menghambat penyakit-penyakit degeneratif. 1. Asam folat (vitamin B) : 400 mikrogram/hari 2. Vitamin E : 400-800 iu/hari 3. Vitamin C : 300-5.000 mg/hari 4. Betakaroten : 3.800-11.000 iu/hari

5. Chromium (Cr) : 200 mikrogram/hari 6. Magnesium (Mg) : 200 mikrogram/hari 7. Selenium (Se) : 50-200 mikrogram/hari 8. Kalsium (Ca) : 500-1.500 mg/hari Tabel 3. Berbagai hasil penelitian, hubungan antara Vitamin C dengan

penyakit-penyakit degeneratif.

No. Peneliti, Instansi, Tahun Penelitian dan Hasilnya

1. Morton A. Klein, James E. Enstrom, Ph. D, dari UCLA

Analisis data tentang masukan diet pada 11.000 penduduk Amerika - Menelan + 300 mg Vitamin C/hr

(separuhnya dalam bentuk suplemen), dapat memperpanjang umur seorang pria hingga 6 tahun

- Kematian karena penyakit kardiovaskuler turun lebih dari 40% pada pria pengguna Vitamin C

2. Emanuel Cheraskin, MD, National Cancer Institute

- Praktis tak ada orang yang cukup mendapatkan Vitamin C

- Menelan Vitamin C 5.000 mg/hr, meningkatkan produksi limfosit, dan menelan 10.000 mg akan meningkatkan produksi lomfosit lebih lanjut

- Vitamin C bekerja seperti antibiotika, memerangi virus-virus

- Meningkatkan kekebalan dengan meningkatkan antioksidan glutation dalam tubuh.

Menelan 500 mg Vitamin C/hr, menaikkan glutation dalam sel-sel darah merah sebesar 50%

3. University of California, di Berkeley

Penelitian pada sperma kaum pria - Kerusakan akibat radikal bebas pada bahan

genetik DNA berlangsung dua kali lipat pada sel-sel sperma kaum pria yang menelan

Vitamin C hanya 5 mg/hr (setara air jeruk 1 sendok teh)

- Diet 60 mg atau 250 mg Vitamin C/hr, dapat menurunkan kerusakan DNA pada spermanya, dalam waktu 1 bulan

4. Dr. Joel Schwartz, U.S Environmental Protection Agency

Penelitian terhadap 9.000 orang dewasa - Memakan makanan dengan kandungan

Vitamin C 300 mg/hr, risiko menderita asma atau bronchitis hanya 70% dibandingkan dengan yang menelan Vitamin C 100 mg/hr

- Vitamin C mencegah leukosit, sel-sel darah merah agar tak menggumpal dan menempel ke dinding pembuluh darah. (Suatu ciri khas emfisema dan ateroskelrosis)

Sumber : (1) 9. Seng (Zn) : 15-30 mg/hari 10. Koenzim Q-10 : 30 mg/hari

Dosis tersebut sebagian besar lebih tinggi dari RDA. Dosis dianggap berlebihan untuk masing-masing nutrien adalah : vitamin E=3.200 iu (ditandai pusing-pusing), vitamin C=10.000 mg/hari, betakaroten=90 mg (± 150.000 iu) per hari, asam folat=5.000-10.000 mikrogram/hari, khromium=400-1.000 mikrogram/hari, Magnesium >600 mg/hari (dengan gejala diare), Koenzim Q-10 tak diketahui batas terlalu lebih, Kalsium >600 mg (dengan gejala diare) dan Zn >50 mg dan selenium >2.500 mikrogram sehari (gejala rambut rontok).

Masih banyak lagi vitamin dan mineral yang diperlukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 46

Page 48: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

dalam proses faal tubuh seperti fosfor, besi, yodium, sulfur, natrium, klor, fluor, tembaga, yodium, kobalt, mangan, bebe-rapa jenis vitamin B, dan lain-lain, namun tidak dibahas disini dan sebagian dianggap dapat dipenuhi kebutuhannya dari makanan sehari-hari. 2. Fakta status gizi di masyarakat Dari berbagai penelitian didapatkan data bahwa status gizi/ gizi seimbang untuk masing-masing nutrien sebagai berikut : Diperkirakan 50% masyarakat di Amerika tidak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan setiap harinya. Masyarakat 25% kekurangan vitamin C, yang berusia lanjut mencapai 68%. Dan umur 60 tahun atau lebih, kekurangan vitamin E, C dan betakaroten, yang berarti berisiko menderita penyakit de-generatif.

Pada kasus homosistein sebagai penyebab penyumbatan pembuluh darah, 67% kasus menderita kekurangan satu jenis atau lebih dari vitamin. Penduduk pada umur 28 tahun, meng-alami kekurangan krom 50% yang akan mengakibatkan men-derita diabetes pada pertengahan umur.

Berdasarkan hasil penelitian pada penduduk, didapatkan keadaan kekurangan kromium 90%, magnesium 70%, kalsium 50%, seng 50%. Sedangkan pada umur lansia, didapatkan ke-kurangan selenium sebanyak 24%. Hal ini menunjukkan bahwa diet yang tidak seimbang telah menjadi masalah di dalam masyarakat, yang akan berdampak terjadinya penyakit-penyakit degeneratif. Tabel 4. Berbagai hasil penetian, hubungan antara Betakaroten dengan

penyakit-penyakit degeneratif.

No. Peneliti, Instansi, Tahun Penelitian dan Hasilnya

1. Dr. Jo Ann Hanson, Harvard University

Penelitian terhadap 90.000 perawat wanita - Menelan betakaroten lebih dari 11.000

iu/hr, menurunkan risiko penyakit jantung mereka sebesar 22%, dibandingkan dengan yang menelan 3.800 iu/hr

- Risiko terkena stroke turun 37% 2. Ronal R. Watson,

University of Arizona

Penelitian pada 60 pria dan wanita usia lanjut (rata-rata 56 tahun) - Menelan betakaroten 30-60 mg/hr selama 2

bulan, mentiliki sel-sel pembunuh yang lebih banyak, serta limfosit lebih aktif. Sel-sel tersebut melindingi tubuh terhadap kanker, infeksi virus dan bakteri

3. Dr. Simin Meydani, Tufts University

Penelitian pada para dokter Harvard University - Mereka yang menelan betakaroten 50

mg/hr, meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dan sel darah mereka. Sel-sel ini penting terutama untuk melawan kanker

4. Para peneliti dari Harvard University

Penelitian terhadap 87.000 perawat wanita - Mereka yang memperoleh Vitamin E 200

iu/hr, risiko kardiovaskuler berat merosot 34%

- Masukan betakaroten dalam jumlah tinggi, memangkas risiko penyakit jantung 22%

- Masukan Vitamin C dalam jumlah besar mengurangi peluang tersebut di atas 20%

Tetapi mereka yang memperoleh jumlah terbanyak dari ketiga antioksidan, risiko terkena penyakit jantung merosot 50%

Sumber : (1)

Tabel 5. Hasil penelitian, hubungan Cr, Ca, Zn, Sc, Mg dan Koenzim Q-10 dengan penyakit degeneratif.

No. Peneliti, Instansi, Tahun Penelitian dan Hasilnya

1. Gary Evans, Ph.D. Minnesota State University.

Penelitian pada kaum wanita pasca menopause - Kadar insulin yang tinggi menghambat

produksi DHEA (Dehidroepiandrosterone) suatu hormon anti tua yang sangat penting

- Kadar DHEA turun + 10% setelah berhenti menelan 200 mikrogram khromium/hr selama 4-6 bulan

2. Roberts P Heany, Creighton University (1988)

Penelitian-penelitian pada wanita lanjut usia - Kalsium bermanfaat untuk membangun

massa tulang dan mencegah penyusutan tulang atau kerapuhan tulang

3. Dr. Nicola Fabris, National Center on Aging, di Ancona

Peneliti/uji coba pada tikus-tikus tua - Dosis rendah Zinc setiap hari, memulihkan

fungsi kelenjar timus menghasilkan timulin, hormon penting yang merangsang produksi sel-sel T

- Memulihkan efisiensi timus, berarti memperoleh kembali sistem kekebalan yang dimiliki pada masa muda

4. Dr. Donald C. Lisk, Cornell University

Penelitian pada binatang-binatang percobaan - Selenium menghambat berbagai jenis

tumor hingga 100% 5. Jery L, Nadler, MD

City of Hope Medical Center, California

- Magnesium menghambat lepasnya tromboksan, suatu zat yang membuat platelet yang lebih lengket dan gampang membentuk gumpalan

- Mencegah naiknya tekanan darah, stroke dan serangan jantung

6. Steven Coles, MD, Ph.D, California Insitute of Technology

Penelitian pada tikus-tikus percobaan - Umur rata-rata tikus yang diberi koenzim

Q-10, 2 bulan lebih lama dari pada tikus yang tidak diberi koenzim Q-10

Sumber : 1,4,6 Tabel 6. Daftar makanan yang banyak mengandung vitamin atau mineral

utama No. Vitamin/Mineral Makanan 1. Vitamin B

Vitamin B6 Vitamin B 12 Asam folat

Hati, ginjal, jantung, daging, ikan, keju Kacang polong, bayam, sayuran hijau

2. Vitamin E Minyak nabati (kedelai, bunga matahari, jagung), kacang-kacangan, padi-padian, sayuran

3. Vitamin C Cabai manis, jeruk, pepaya, sawi, tomat 4. Betakaroten Ubi jalar, wortel, bayam, lobak, waluh,

lamtorogung 5. Khromium Ragi bir, hati, udang, padi-padian, jamur,

kerang hijau 6. Kalsium Susu, kubis hijau, brokoli, tahu, sarden,

teri, ebi, bayam, katu 7. Zinc Kerang (tiram), daging, padi-padian, kacang-

kacangan 8. Selenium Padi-padian, biji bunga matahari, daging,

ikan laut, kacang-kacangan 9. Magnesium Padi-padian, kacang-kacangan, biji-bijian,

sayuran, polong-polongan, bekatul 10. Koenzim Q-10 Ikan, daging, kedelai, kacang tanah

Sumber : 1,2,3,6

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 47

Page 49: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

3. Berbagai penyakit karena diet tidak seimbang Dari berbagai penelitian tersebut di atas didapatkan

dampak ketidakseimbangan diet yang terjadi ialah penyakit- penyakit degeneratif. Penyakit jantung

Penyakit jantung ada hubungannya dengan ketidakcukupan makanan sehari-hari yang mengandung vitamin E, C, Beta-karoten, asam folat, chromium, magnesium, koenzim Q-10. Artritis

Artritis berkaitan dengan karena kekurangan masukan vitamin E dan selenium, dalam makanan sehari-hari. Penyumbatan pernbuluh darah

Penyumbatan pembuluh darah dapat dikaitkan dengan homosistein sebagai penyebab penggumpalan darah, karena kekurangan vitamin E, C, B, koenzim Q-10, chromium, asam folat dan kalsium, yang dapat sebagai penyakit penyakit jantung dan stroke. Katarak

Yang banyak berperan dalam terjadinya katarak ialah kekurangan vitamin E dan C dalam makanan sehari-hari. Penurunan kekebalan

Dari berbagai penelitian ternyata kekurangan vitamin C, betakaroten, chromium dan seng (Zn) berkaitan dengan ter-jadinya menurunnya kekebalan. Kanker

Berbagai radikal bebas yang masuk dalam tubuh sebagai penyebab kanker, berhubungan erat dengan kecukupan masuk-an vitamin E, betakaroten, vitamin C, asam folat, kalsium dan selenium untuk terjadinya atau perkembangan kanker dalam tubuh. Diabetes

Terjadinya diabetes ada hubungannya dengan diet yang tidak seimbang dari nutrien khromium, magnesium dan vitamin E. Diet tak seimbang dari khromium telah terjadi sejak rata-rata orang berumur 28 tahun (hanya kecukupan 50%), yang akan menyebabkan menderita diabetes pada umur pertengahan. Kepikunan

Gejala-gejala psikiatris termasuk kehilangan ingatan, depresi dan dimensia yang banyak terjadi pada lanjut usia, ada hubungannya dengan diet tak seimbang dari vitamin E, B 12, asam folat dan koenzim Q-10.

Sesuai dengan teori radikal bebas terjadinya penyakit degeneratif karena kerusakan sel-sel setiap hari yang tak dapat diperbaiki oleh antioksidan (nutrien) sebesar 0,01% akan menumpuk dan menjadi penyebab dari akhir kehidupan, berupa penyakit degenerafif. Proses penuaan ini dapat dihambat dengan diet seimbang.

Penyakit-penyakit degeneratif ini di Indonesia telah men-jadi penyebab utama kematian sejak tahun 1992, penyakit sistem sirkulasi menjadi penyebab kematian No. 1. Pada tahun 1986 penyebab kematian No. l ialah diare(7) kejadian ini mungkin karena terjadinya ketidakseimbangan diet vitamin dan mineral, seperti yang terjadi di luar negeri. 4. Awet muda karena suplemen makanan

Awet muda yang berarti panjang umur, dibuktikan dari dua contoh penelitian berikut. Penelitian pada tikus percobaan,

pemberian krom dapat memperpanjang lamanya hidup setahun lebih lama (1/3 umur rata-rata) daripada kelompok tikus yang tidak diberi suplemen makanan krom, yang berarti pada umur rata-rata manusia 75 tahun akan menjadi umur rata-rata 102 tahun (27 tahun lebih lama) (Gary Evans, Ph.D)(1).

Suatu studi pada 2182 pria selama 10 tahun menunjukkan, penderita jantung dengan status gizi rendah magnesium, mati mendadak sebab serangan jantung, satu setengah kali lebih besar daripada yang mendapatkan tambahan magnesium 30 mg/hari.

Dari penelitian-penelitian 10 antioksidan, gizi seimbang akan dapat menyebabkan awet muda/panjang umur baik bagi orang sehat maupun yang telah menderita salah satu atau lebih penderita degeneratif.

Prof. Linus Pauling, Ph.D menyatakan kita dapat me-nambah umur 2-18 tahun, dengan menelan 3.200 - 12.000 mg vitamin C/hari. Meskipun ia meninggal karena kanker, ia yakin bahwa vitamin-vitamin dan meniral yang ia telan telah me-nunda awal kanker itu selama ± 20 tahun, hingga dapat men-capai umur 93 tahun(1).

Telah diketahui bahwa dengan mencukupi kebutuhan satu antioksidan (mineral) chromium setiap harinya kita telah memperpanjang umur 1/3 dari rata-rata umur. Maka kita dapat memenuhi kebutuhan tubuh 10 vitamin dan mineral tersebut setiap harinya, kita akan dapat memperpanjang umur yang lebih lama lagi. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Makanan yang seimbang

Untuk mencapai diet seimbang yang mencakup seluruh kebutuhan nutrien belum pasti dapat dipenuhi dari makanan sehari-hari, maka suplemen makanan vitamin dan mineral di-perlukan untuk melengkapi kecukupan baik dalam jumlah, jenis nutrisi maupun kontiniutasnya. 2. Terapi diet penyakit degeneratif

Bila anda telah mengalami menderita penyakit degeneratif, terapi diet vitamin dan mineral yang sesuai dengan penyakit yang diderita, dapat menghambat penyakit. Terapi diet vitamin E, C, betakaroten, asam folat, khromium, magnesium, dan koenzim Q-10 untuk penyakit jantung, vitamin E dan selenium untuk artritis; vitamin E, C, B, koenzim Q-10 khromium, asam folat dan kalsium untuk penyumbatan pembuluh darah; vitamin E, betakaroten, C, asam folat, kalsium dan selenium untuk kanker; vitamin E, khromium dan magnesium untuk diabetes. 3. Makan-makanan sehari-hari, dengan banyak sayuran dan buah, untuk mencakupi kebutuhan vitamin, dan mineral. Laksanakan 13 prinsip dasar gizi seimbang oleh Departemen Kesehatan yang mencakup antara lain, keanekaragaman makan-an, kecukupan energi, karbohidrat setengah dari kebutuhan energi, batasi konsumsi lemak dam minyak 1/4 kecukupan energi, biasakan makan pagi, minum air bersih yang cukup, kegiatan fisik yang teratur, hindari makanan yang membahaya-kan kesehatan. 4. Upaya memperpanjang umur

Dengan mencukupi vitamin dan mineral utama, asam folat, vitamin E, C, betakaroten, mineral Cr, Mg, Se, Zn dan vitamin Q-10 dalam makanan sehari-hari, memungkinkan memper-

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 48

Page 50: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

panjang umur lebih dari 30 tahun dari umur rata-rata orang ndonesia.

C, vitamin B, E, betakaroten, khromium, magnesium, kalsium, Seng. Hal ini mendukung meningkatnya angka kematian pe-nyakit degeneratif. Fakta menunjukkan bahwa penyakit-penyakit degeneratif

menjadi penyebab utama kematian di Indonesia dan kematian karena penyakit infeksi mulai menurun. Karena kekurangan satu jenis atau lebih dari 10 jenis vitamin dan mineral tersebut di atas, anda akan berisiko mendapatkan penyakit-penyakit jantung, artritis, penyumbatan pembuluh darah/tekanan darah, katarak, penurunan kekebalan, kanker, diabetes dam kepikunan, dalam waktu yang lebih dini.

KEPUSTAKAAN 1. Jean Carper. Stop Aging. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1997. 2. Maya Devita L. dkk. Simposium Tampil Menawan dengan Peremajaan

Kulit, RSPAD, Jakarta 2000. 3. Willie Japaris, Rachmad. Elemen Renik dan Pengaruhnya terhadap

Kesehatan, EGC, Jakarta, 1988. 5. Angka kematian penyakit degeneratif Mengingat kecenderungan angka kematian karena penyakit

degeneratif menunjukkan peningkatan, maka upaya penurunan dengan program diet seimbang perlu digalakkan. Untuk me-ningkatkan kesehatan pribadi, makanlah suplemen makanan 5 vitamin dan 5 mineral tersebut di atas. Fakta menunjukkan, sta-tus gizi dalam masyarakat sebagian besar kekurangan vitamin

4. Suhardjo, Clara M, Kusharto. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi, Kanisius, Yogyakarta, 1992.

5. Benny K. Kodyat. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta 1995.

6. Mary E Beck. Ilmu Gizi dan Diet, Essentia Medica, Yogyakarta 2000. 7. Meliala, AM. Profil Kesehatan Indonesia 1994, Departemen Kesehatan

RI. Pusat Data Kesehatan, Jakarta 1994.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE AGUSTUS-OKTOBER 2003 Waktu Kegiatan Ilmiah Tempat dan Sekretariat

9 - 10 KONAS PKWI V : Symposium on Maritime Medicine in Tropical Countries

Hotel Ritzy, Manado Website: www.apths.com Telp: 021-4532202 Fax : 021-4535833

9 - 11 KONAS PETRI IX : Penanggulangan Penyakit Infeksi Menuju Indonesia Sehat

Hotel Ritzy, Manado E-mail : [email protected] Web-site : www.papdisulut.org/petri Telp: 0431-841581, 841582 Fax : 0431 – 841582

20 - 21 Pertemuan Ilmiah HIV/AIDS ( PERIL HIV/AIDS )

Hotel Sahid Jakarta E-Mail : [email protected] Web-site:www.infeksi.com Telp: 021 – 6401412 Fax : 021 - 6401412

22 - 25 10th International Symposium on Shock and Critical Care

Jakarta Convention Center, Jakarta E-mail:[email protected] Web-site:www.shockandcriticalcare2003.org Telp: 021-5684085 ext. 1242 Fax : 021-56961530

AGUSTUS

23 - 24 1st National Symposium on Vascular Medicine

Gran Melia Hotel, Jakarta Telp: 021-5684085-93 ext 1426 Fax : 021-5684130

2 - 5 8th Asia Pacific Association of Societies of Pathologists Congress 2003

Discovery Kartika Plaza, Bali E-mail: [email protected] Telp: (62-21)319 07911 Fax : (62-21) 319 07911

11 - 13 The 15th Weekend Course on Cardiology Hotel Shangri-La Hotel, Jakarta Telp: 021-568 4093 ext 1554 Fax : 021-560 8902

18 - 20 The 5th Int. Meeting on Respiratory Care Ind. (Respina IV)

Jakarta Convention Center, Jakarta Email : [email protected] Telp: 021-4786 4646 Fax : 021-4786 6543

19 - 21 Temu Ilmiah Reumatologi 2003: ASEAN Meeting on Gout and Hyperuricemia

Hotel Sahid Jaya, Jakarta Email: [email protected] Telp: 021-330166 Fax : 021-336736

20 - 21 Forum Diabetes Nasional I : Diabetes dan Aterosklerosis

Hotel Sanur Beach - Denpasar E-mail : [email protected] , [email protected] Telp: 0361 – 235982 Fax : 0361 - 235982

SEPTEMBER

29 - 30 Biennial Meeting of ISGO Year 2003 & Diagnostic Assessment of Ovarian Cancer

Hotel Mulia, Jakarta Telp : 021-391 4806 Fax : 021-391 4806

3 - 5 The 15th National Brain and Heart Symposium & XIIIth Post International Atherosclerosis Society Symposium (IAS)

Sahid Jaya Hotel Jakarta Email: [email protected], [email protected] Telp: 021-392 9913, 334 636, 453 2202 Fax : 021-316 1467, 453 5833

4 - 5 Surabaya Diabetes Update XIII Horel J.W. Marriot Surabaya Telp : 031-5501625 Fax : 031-5012775

8 - 11 17th Asia Pacific Cancer ConferenceDiscovery Kartika Plaza Hotel, Bali Email:[email protected] Telp: (62)(21)392 88 29 Fax : (62)(21)392 88 29, 315 41 75

10 - 12 Dutch Foundation for Postgraduate Medical Course on Cardiology : From Basic to Cinical Practice and Future Implementation

Hyatt Regency, Surabaya E-mail: [email protected] Web-site:www.geocities.com/rudyatmoko/DF.htmlTelp: +62 31 5031752 Fax : +62 31 5997378

OKTOBER

12 - 16 Kongres Nasional Perhati Grand Bali Beach, Bali Email:[email protected],[email protected], [email protected] : 021-335088, 3914154 Fax : 021-3914154, 392144

Informasi Terkini, Detail dan Lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id Medical >> Calender of Event >> Complete

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 49

Page 51: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Kapsul

PENGARUH DIET

TERHADAP RISIKO KANKER Jenis Kanker : Faktor risiko : Faktor protektif : Faktor risiko lain :

Rongga mulut, faring, esofagus

Alkohol, minuman sangat panas Obesitas (adenoca. esofagus) Ikan asin (ca. nasofaring)

Mungkin – buah dan sayuran Merokok

Lambung Mungkin – garam dan makanan yang diasin

Mungkin – buah dan sayuran Infeksi H. pylori

Kolo-rektum Obesitas Mungkin – daging merah yang

diproses

Mungkin – buah dan sayuran makanan tinggi-serat

Gaya hidup ‘sedentary’

Hati Konsumsi alkohol tinggi Makanan tercemar aflatoksin

Belum diketahui Hepatitis virus

Pankreas Belum diketahui Belum diketahui Merokok Larings Alkohol Belum diketahui Merokok Paru Belum diketahui Mungkin – buah dan sayuran Merokok Payudara Obesitas setelah menopause

Alkohol Belum diketahui Faktor hormonal dan

reproduktif Endometrium Obesitas Belum diketahui Paritas rendah Serviks Belum diketahui Belum diketahui Human papillomavirus Prostat Belum diketahui Belum diketahui Belum diketahui Ginjal Obesitas Belum diketahui Belum diketahui

Lancet 2002; 360: 861-68 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 50

Page 52: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Produk Baru

Metrix®

Komposisi : Glimepiride 2 mg dan 3 mg Mekanisme Kerja : Pankreas : meningkatkan sekresi insulin dari sel β pankreas. Ekstra Pankreas : meningkatkan sensitivitas insulin pada sel target di perifer. Indikasi : Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM) Dosis : Ditentukan oleh kadar gula darah yang diinginkan, dimulai dari dosis terendah yang cukup untuk mencapai kontrol metabolik yang diinginkan. Dosis awal 1 mg dan dapat ditingkatkan menjadi 2 mg – 3 mg – 4 mg dengan dosis maksimal 8 mg/hari. Kontra indikasi : • Hipersensitif terhadap obat tersebut • Ketoasidosis Diabetes • Wanita hamil atau wanita menyusui. Efek samping : Gangguan saluran cerna (muntah, nyeri pada saluran cerna dan diare), gangguan kulit (gatal, ruam kulit), hiponatremia, pandangan kabur dan per-ubahan nilai hematologist (leukopenia, agranulositosis, trombositopenia, ane-mia dan pansitopenia). Peringatan dan perhatian : • Hati-hati bila diberikan pada pasien yang terkena penyakit lain seperti :

demam, trauma, infeksi atau pembedahan. • Kontrol rutin terhadap kadar gula darah. Interaksi obat : 1. ACE inhibitor, allopurinol, anabolic steroid dan hormon seks pria,

chloramphenicol, turunan coumarin, cyclophosphamide, disopyramide, fenfluramine, fenyramidol, fibrate, fluoxetine, guanethidine, ifosfamide, MAO inhibitor, miconazole, paraaminosalicylic acid, pentoxifylline (dosis tinggi parenteral), phenylbutazone, azapropazone, oxyphenbuta-zone, probenecid, golongan quinolon, salicylate, sulfinpyrazone, sulfona-mide, tetracycline, tritoqualine, trofosfamide dapat menimbulkan hipogli-kemia bila digunakan bersama glimepiride.

2. Acetazolamide, barbiturate, corticosteroid, diazoxide, diuretik, epi-nephrine (adrenaline) dan obat simpatomimetik lainnya, glucagon, lak-satif, asam nikotinat (dalam dosis tinggi), hormon estrogen dan proges-teron, phenothiazine, phenitoin, rifampicin, hormon tiroid dapat me-lemahkan efek glimepiride dalam menurunkan kadar gula darah.

3. Antagonis reseptor H2, clonidin, reserpin, coumarin dapat meningkatkan atau melemahkan efek glimepiride.

4. Obat-obat simpatolitik seperti beta blocker, clonidin, guanethidine dan reserpin dapat menyebabkan tanda-tanda pengaturan adrenergik terhadap hipoglikemia mungkin berkurang atau tidak sama sekali.

Kemasan : Metrix® 2 mg Box, 2 Blister@ 15 tablet Reg. No. DKL0311636210B1 Metrix® 3 mg Box, 2 Blister @ 15 tablet Reg. No. DKL0311636210C1

Forres®

Komposisi : Tiap tablet salut mengandung Eperisone HCl 50 mg Farmakologi : • Mempunyai efek pelemas otot dan vasodilator yang berkaitan dengan cara kerja obat tersebut pada SSP dan otot polos pembuluh darah. • Bekerja di SSP, terutama pada sumsum tulang belakang, dengan cara merelaksasi otot rangka yang hipertonik melalui penghambatan refleks spinal dan menurunkan sensitivitas muscle spindle melalui pengurangan pelepasan gamma motorneuron. • Mempunyai efek vasodilator yang akan meningkatkan sirkulasi. • Memiliki sifat sebagai analgesik dan mampu menghambat refleks nyeri. Oleh karena itu Forres® efektif di berbagai tempat dalam memutuskan siklus miotonia. Indikasi : Pengobatan simptomatik pada kondisi-kondisi yang disertai dengan spasme muskuloskeletal. Dosis dan cara pemberian : Untuk dewasa diberikan 3 tablet peroral sehari dalam dosis terbagi 3, diberikan setelah makan. Dosis dapat disesuaikan dengan umur pasien dan beratnya gejala. Peringatan dan perhatian : • Dapat mengakibatkan lesu, pusing atau mengantuk, oleh karena itu sebaiknya pasien tidak mengendarai kendaraan bermotor atau mengoperasikan mesin. • Hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati. • Keamanan pada wanita hamil, menyusui dan pada anak belum terbukti. Interaksi obat : Gangguan akomodasi mata dilaporkan terjadi jika diberikan bersama Methocarbamol dan Tolperisone HCl. Efek samping : Efek samping yang timbul biasanya jarang terjadi seperti: ruam kulit, tidak bisa tidur, nyeri kepala, mengantuk, dan kekakuan pada lengan dan tungkai, gangguan pada saluran cerna, anuresis, inkontinensia nokturnal, gangguan fungsi hati dan ginjal, kelainan sel darah merah dan hemoglobin. Kadang terjadi lesu, pusing atau sakit kepala dan pengurangan kekuatan otot juga kemerahan pada wajah dan berkeringat. Kemasan : Forres®, box berisi 5 strip @ 10 tablet salut selaput @ 50 mg. No. Reg.: DKL0211635217A1.

Pardoz®

Komposisi : Levodopa 100 mg dan Benserazide 25 mg. Indikasi : Penyakit Parkinson dan gejala-gejala Parkinsonisme. Dosis : 3 x 2 tablet/hari, dan disesuaikan dengan kebutuhan individu. Kemasan : Pardoz® dalam box berisi 5 strip @ 10 tablet. Harga : HNA Pardoz® Rp. 175.000,-/box.

Marketing Office:

PT. KALBE FARMA Tbk Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510

PO Box 3105 JAK, Jakarta Indonesia Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680

Website : http://www.kalbe.co.id Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-123, Senin – Jumat (07.00-15.30)

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 51

Page 53: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Kegiatan Ilmiah

Laporan lengkap dari simposium di bawah ini, bisa diakses di

http://www.kalbe.co.id >> News/Articles >> Seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simpo-

sium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada home-page Kalbe Farma. The 1st National Symposium on Heart Brain Interaction, Yogyakarta, 27 Feb. – 1 Maret 2003

Dua puluh sampai 30 persen pasien stroke akan mengalami demensia, demikian dikatakan Dr. Salim Haris dalam salah satu simposium pada acara The First National Symposium On Heart Brain Interaction. Per-temuan yang diadakan di hotel Melia Purosani Yogyakarta pada tanggal 27 Februari sampai tanggal 1 Maret 2003 ini sebagian besar membahas mengenai keterkaitan antara penyakit pada sistem kardiovaskuler dengan sistem saraf.

Quo Vadis Penyakit Dalam : Suatu Renungan di Awal Abad ke-21, Aula FK UI, 11 Maret 2003

Pada periode 1993-2000 terjadi perubahan yang cukup memprihatin-kan bagi ilmu penyakit dalam terutama di negara-negara maju. Pada masa itu penyakit dalam mengalami masa suram yang disebut dalam taraf twilight, artinya tinggal menunggu saatnya bubar. Hal ini disebabkan karena menjamurnya dengan sangat pesat subspesialisasi –subspesialisasi. Akibatnya tidak ada atau sedikit sekali yang ingin menjadi internis. Per-nyataan ini disampaikan Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD-KE mengawali kuliahnya pada acara kuliah guru besar di Aula FKUI, 11 Maret 2003. 8th Oncology International Conference, Swiss 12-15 Maret 2003

Konferensi internasional mengenai kanker yang ke delapan, kali ini diselenggarakan di St Gallen, Switzerland. Dengan tema Primary Therapy of Early Breast Cancer, konferensi tersebut berlangsung sejak tanggal 12 hingga 15 Maret 2003. Event tersebut dihadiri oleh sekitar 2.500 dokter dari pelbagai disiplin ilmu khususnya yang berhubungan dengan kanker seperti clinical oncologist yaitu dari dokter ahli bedah, medical and radio-logy, ginekologist, patologist, epidemiologist, dll.

Acara tersebut menghasilkan beberapa konsensus internasional di bidang onkologi.

Focus on Glaukoma, Jakarta Eye Center, Sabtu 15 Maret 2003

Berbeda dengan di negara Barat, insidens Primary Angle Closure Glaucoma (PACG) lebih tinggi daripada Primary Open Angle Glaucoma di Indonesia. Demikian dituturkan dr Edi S Affandi, ahli mata yang men-dalami glaukoma dari FKUI dalam salah satu seminar di Jakarta Eye Center, Sabtu 15 Maret 2003 lalu. Menkes Luncurkan Program Pemeriksaan Kadar Gula Darah Untuk Sejuta Orang, Jakarta 15 Maret 2003

Kegiatan Pekan Diabetes yang diawali dengan peluncuran Program Pemeriksaan Kadar Gula Darah untuk Sejuta Orang diresmikan oleh Menteri Kesehatan Dr. Achmad Suyudi hari Sabtu 15 Maret 2003 lalu di hotel Gran Melia, Jakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu dari rangkai-an kegiatan yang dilakukan DEPKES RI dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010. Pelatihan dan Sertifikasi Dokter Kesehatan Kerja, Jakarta 17-27 Maret 2003

Di sela waktu yang sibuk, sebaiknya dokter menggunakan internet seefisien dan efektif mungkin. Untuk itulah, menurut dr Erik Tapan, peng-gunaan Portal Kedokteran sangat dianjurkan. Berbicara di depan lebih dari 30 dokter yang mengikuti Pelatihan dan Sertifikasi Dokter Kesehatan

Kerja selama 10 hari tersebut, dr Erik dengan makalahnya yang bertopik Internet dan Dokter Kesehatan Kerja, selama kurang lebih 1,5 jam mem-presentasikan contoh-contoh website yang bisa dijadikan acuan para dokter untuk mulai berinternet. Kursus Evaluasi Obat, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 18-21 Maret 2003

Kekeliruan data yang di-submit oleh registration officer suatu per-usahaan farmasi, merupakan kesalahan yang sering ditemukan. Oleh kare-na itu diperlukan suatu arahan yang jelas mengenai kelengkapan dokumen dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk registrasi suatu obat. Demikian salah satu hal yang diangkat dalam acara kursus evaluasi obat yang diselenggarakan oleh bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokter-an Universitas Gajah Mada, 18 sampai 21 Maret 2003 lalu. Simposium Kontrasepsi Oral Update, Jakarta Sabtu 22 Maret 2003

Ternyata dengan perkembangan teknologi kedokteran khususnya dalam bidang pengobatan penyakit kebidanan, obat yang dahulu diguna-kan untuk menjarangkan kehamilan (KB) bisa digunakan untuk penyakit-penyakit lain. Hal itu terungkap dalam Simposium Kontrasepsi Oral Update yang berlangsung belum lama ini di Jakarta. Simposium yang di-selenggarakan oleh Persatuan Asisten Obstetri dan Ginekologi FKUI ter-sebut membahas topik-topik terkini di bidang kontrasepsi hormonal. Stress dan Upaya Penanggulangan, Gedung Bursa Efek Jakarta, 27 Maret 2003

Hati-hati bila pola tidur Anda dalam beberapa waktu ini berubah seperti mudah terbangun pada malam hari dan sulit tidur kembali, karena kemungkinan Anda sedang mengalami salah satu gejala depresi. Hal ter-sebut dikemukakan oleh dr. Richard Budiman, SpKJ pada acara temu ahli 'Stress dan Upaya Penanggulangan' di gedung Bursa Efek Jakarta beberapa waktu lalu.

Pertemuan Ilmiah ke-4 Kedokteran Fetomaternal dan Workshop Ultrasound di Medan, 26-29 Maret 2003 (Breaking News)

Kalbe Farma menyemarakkan acara Pertemuan Ilmiah ke-4 Ke-dokteran Fetomaternal dan Workshop Ultrasound di Medan dalam bentuk stand, akses internet langsung, pembagian CDK dan Hospitality Lounge.

Breast Cancer Awareness Campaign, Jakarta, 28-29 Maret 2003 (Breaking News)

Jumlah penderita kanker payudara di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak. Dan sebagian besar penderita yang datang memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan sudah berada dalam stadium lanjut. Hal ini disampaikan oleh dr. Tan Mahatis ,SpB mengawali sambutannya pada simposium Breast Cancer Awareness Campaign yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center. Simposium TB Paru, Medan 29-30 Maret 2003 (Breaking News)

Bertempat di Convention Hall Hotel Danau Toba Internasional Medan, selama 2 hari diselenggarakan Simposium Paru yang membahas mengenai tuberkulosa dan PPOK. Informasi yang diperoleh dari Ketua Panitia mengatakan bahwa penyelenggaraan simposium paru kali ini dimaksudkan untuk menanggulangi masalah tuberkulosa kronis dan PPOK di tengah masyarakat. Kalbe Farma turut berpartisipasi dalam simposium ini, dan Redaksi Website Kalbe Farma melaporkan langsung dari tempat penyelenggaraannya.

Simposium Hematologi Onkologi Medik IX FKUI/RSCM-RS Kanker Dharmais, Hotel Ambara Jakarta, 5 April 2003

Pemberian paclitaxel dan asam zoledronat akan menghambat per-tumbuhan sel dan meningkatkan proses apoptosis osteoklas. Selain itu

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 52

Page 54: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

pada keadaan hiperkalsemia pemberian clodronat dan turunannya bersama dengan rehidrasi dan pemberian natrium diuretic akan mempercepat proses normokalsemia pada kasus metastasis tulang. Hal ini disampaikan oleh Dr. Nugroho Prayogo, SpPD KHOM pada Simposium Hematologi Onkologi Medik IX FKUI/RSCM-RS Kanker Dharmais yang diselenggarakan di Hotel Ambara, Jakarta 5 April 2003.

Seminar SARS, RS. Siloam Gleaneagles - Lippo Karawaci, 5 April 2003

Pengetahuan yang memadai dan benar tentang wabah baru ini memang sangat dibutuhkan, terutama untuk kalangan umum. Informasi yang salah bisa jadi menyesatkan masyarakat dan menimbulkan kepanikan tersendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kewaspadaan bisa ditingkat-kan untuk makin mempersempit perluasan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) ini. Untuk itulah diadakan Seminar Sehari Tentang SARS yang mengambil tempat di RS. Siloam Gleaneagles - Lippo Karawaci, 5 April silam.

KPPIK FKUI, Hotel Borobudur, Jakarta 11-13 April 2003

Sebenarnya kegiatan sejenis Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) dari FKUI sudah dilaksanakan sejak tahun 1968. Demikian dikatakan Ketua PKB/CME FKUI dr Menaldi Rasmin, Sp P(K) FCCP, saat memberikan sambutan pada acara pembukaan KPPIK FKUI 2003 di Hotel Borobudur Jakarta, 11 April 2003. Acara yang dilaksanakan selama 3 hari dan diikuti oleh sekitar 400 dokter, dibuka oleh Dekan FKUI, Prof dr Ali Sulaiman PhD, SpPD-KGEH.

Simposium Patogenesis dan Penatalaksanaan Kegawatan pada Infeksi Virus SARS, Jakarta 17 April 2003

Personal Hygiene adalah faktor yang paling penting untuk pencegah-an SARS, demikian diungkapkan dokter dari MSH, Robert S Bernstein, pada Simposium yang diadakan oleh RS Persahabatan dan PDPI Cabang Jakarta. Simposium yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta dihadiri oleh sekitar 300 dokter yang berminat. Penggunaan masker di tempat-tempat umum, lanjut dokter yang lancar berbahasa Indonesia tersebut ada-lah berlebihan. Selain dr Bernstein, para pakar Indonesia yang turut menyumbangkan ilmunya adalah dr Tjandra Y Aditama, dr Pratiwi Sudharmono, dr Guntur Hermawan, dr Priyanti dan dr Menaldi Rasmin.

Cardiovascular Respiratory Immunolgy : From Pathogenesis to Clinical Application, Jakarta, 18-19 April 2003

Sehubungan dengan makin meningkatnya perkembangan-perkem-bangan baru di bidang kedokteran, khususnya kardiologi, pulmonologi, dan alergi-imunologi, maka untuk membagi informasi terbaru dalam bidang-bidang tersebut diadakanlah acara ini, jelas dr.Asril Bahar, SpPD-KP, KGer pada pembukaan simposium Cardiovascular Respiratory Immunology : From Pathogenesis to Clinical Application di Hotel Sahid Jaya, 18-19 April 2003 lalu. KONAS VI PERKENI dan KONKER VI PERSADIA, Hotel Tiara Medan, 20-23 April 2003 (Breaking News)

KONAS VI PERKENI (Kongres Nasional VI Perkumpulan En-dokrinologi Indonesia) dan KONKER VI PERSADIA (Konferensi Kerja VI Persatuan Diabetes Indonesia) tahun ini diselenggarakan di Hotel Tiara Medan, mulai hari Senin tanggal 21 hingga 23 April 2003. Seminar kali ini mengambil tema. Biomolecular Approach In Clinical Endocrinology.

International Symposium on SARS Outbreak, Taipei, 20-21 April 2003

Pada tanggal 20-21 April 2003 lalu, untuk pertama kalinya simpo-sium internasional tentang SARS diselenggarakan. Mengambil tempat di Taipei, Taiwan, acara yang digelar sehubungan merebaknya kasus wabah Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) ini melibatkan peserta yang meliputi 12 negara. Banyak hal yang dibahas dalam simposium tersebut, di antaranya mengenai penyebab, epidemiologi, ekonomi, pencegahan, infek-si nosokomial, aspek klinik, serta penyebaran lokal dan internasional dari SARS.

12th Annual Scientific Meeting of The Indonesian Heart Association (ASMIHA), Jakarta, 24-26 April 2003

12th Annual Scientific Meeting of The Indonesian Heart Association (ASMIHA) dan 6th Interventional Cardiology diadakan di Hotel Borobudur Jakarta, tanggal 24-26 April 2003. Acara tahunan yang dise-lenggarakan PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) ini bertema : "A Decade of Progress in Cardiovascular Medicines", diketuai oleh dr. Muhammad Munawar, FACC, FESC. Diper-kirakan lebih dari 900 peserta -yang sebagian besar adalah dokter- hadir pada acara ini.

4th Jakarta Antimicrobial Update 2003, Jakarta, 26-27 April 2003

Simposium yang dihadiri oleh sekitar 2.500 dokter umum dari pel-bagai daerah seluruh Indonesia, dibuka oleh Ketua Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI yang diwakili oleh dokter Nelwan. Menurut Ketua Sub-bagian Penyakit Tropik dan Infeksi FKUI/RSCM tersebut, pertemuan ini dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan penyakit infeksi, pengobat-an dan pencegahannya. Meskipun teknologi obat-obat sudah sedemikian maju, namun ternyata perkembangan penyakit tak kalah ketinggalannya. Jika tahun lalu, sewaktu JADE digelar, sedang heboh-hebohnya virus chikungunya, sekarang virus SARS pun menjadi perhatian dunia termasuk perhatian para medis kedokteran.

PIN I PB PAPDI, Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta, 2-4 Mei 2003

Acara PIN I PB PAPDI tahun ini terselenggara atas kerjasama PB PAPDI Pusat dengan PB PAPDI Cabang Yogyakarta. Pertemuan yang mengambil topik "Therapeutic Up Date and Workshop in Internal Medicine" ini berlangsung tanggal 2-4 Mei 2003 bertempat di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta. Acara yang dihadiri sekitar 350-400 peserta dari berbagai daerah ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para dokter spesialis penyakit dalam di seluruh Indonesia dalam rangka menyongsong era globalisasi.

Seminar Nasional Autisme Indonesia, Jakarta 3-4 Mei 2003

Menurut Ketua Panitia Seminar Nasional Autisme Indonesia, dr Rudy Sutadi SpA, MARS, ada sekitar 2.800 peserta yang berkumpul pada acara yang dilaksanakan selama dua hari di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Seribu sembilan ratus di antaranya adalah dokter baik dokter umum maupun spesialis lainnya seperti dokter anak, kebidanan, penyakit syaraf, psikiatri, mikrobiologi, farmakologi, dll.). Selain itu seminar ini juga di-ikuti oleh dokter gigi, psikolog, terapis (dari pelbagai bidang terapi), orangtua dari penyandang autisme, guru, pemerhati, dlsbnya. Selain seminar diadakan juga simposium (untuk awam). Keseluruhan acara tersebut membawakan kurang lebih 60 makalah yang dipresentasikan secara simultan dan paralel sekaligus pada 5 ruangan di Hotel Sahid Jaya Jakarta selama 2 hari.

Televideo Konferensi SARS, World Bank Office Jakarta, 7 Mei 2003

Pada tanggal 7 Mei 2003, bersama dengan para pakar dari pelbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Vietnam, Filipina dan Hongkong, bertempat di Kantor Bank Dunia, Jakarta, 45 peserta dari Indonesia mengikuti Televideo Konferensi mengenai SARS & Global Health Scares. Acara ini terlaksana atas kerjasama Unit Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB/CME) FKUI, Global Development Learning Network (GDLN) UI, serta beberapa sponsor seperti RS Mitra International, dll. Tampak hadir peserta dari pelbagai rumah sakit di Jakarta, Mass Media (Cermin Dunia Kedokteran), dan perusahaan pe-nerbangan / turisme. The 3rd Jakarta Nephrology and Hypertension Course, Jakarta, 9-10 Mei 2003

Menjaga kesehatan itu tidaklah murah, tetapi lebih mahal jika jatuh sakit. Demikian suatu ungkapan Guru Besar dari FK Unair Surabaya, dr HR Moh. Yogiantoro, SpPD-KGH pada saat membawakan presentasi berjudul Strategi Obat Antihipertensi pada Penyakit Ginjal. Kursus yang berlangsung selama 2 hari dan diakhiri dengan Simposium Hipertensi pada hari ketiga, diikuti tidak hanya dokter-dokter dari Jakarta melainkan dari luar Jakarta seperti Bali, Makasar, Manado, Papua, dll.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 53

Page 55: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Simposium Perkembangan Baru Kemoterapi pada Kanker Gineko-logi, Jakarta, 9 Mei 2003

Kanker endometrium memiliki prognosis yang baik karena umumnya pada stadium dini telah dapat terdeteksi dengan keluhan yang spesifik. Keluhan ini dapat berupa perdarahan postmenopause yang membawa penderita melakukan pemeriksaan lebih awal. Begitu yang disampaikan oleh Dr. Nugroho Kampono, SpOG, K. Onk pada salah satu sesi acara 'Simposium Perkembangan Baru Kemoterapi pada Kanker Ginekologi' di Hotel Borobudur Jakarta tanggal 9 Mei 2003 lalu.

Australian Association of Neurologist- Annual Scientific Meeting 2003, Sydney , 12-16 Mei 2003

Penurunan tekanan darah sistole sebanyak 10 mmHg ternyata mampu menurunkan risiko stroke sebesar 20-24%, sementara penurunan tekanan distole sebanyak 5 mmHg menurunkan risiko sebesar 33%. Demikian salah satu hal yang disampaikan pada simposium yang berlangsung di Sydney Convention Centre, Australia.

International Symposium on Pharmacokinetics / Pharmacodynamics, Bali, 16-18 Mei 2003

Kongres Antibiotics 2003, yang mengambil tema 'International Symposium on Pharmacokinetics/Pharmacodynamics', diselenggarakan selama 3 hari dari tanggal 16-18 Mei 2003, di Hotel Nusa Indah - Sheraton, Nusa Dua, Bali. Banyak topik yang menjadi sorotan dalam acara yang bertaraf internasional ini. Di antaranya adalah laporan tentang resistensi antibiotik di berbagai negara, farmakodinamik beberapa antibiotik seperti Teicoplanin terhadap kuman-kuman yang telah resisten, farmakokinetik antibiotik golongan-golongan molekuler, serta laporan resistensi yang terjadi di RS Persahabatan dan RS Harapan Kita. Seminar Penatalaksanaan SARS, Jakarta, 24 Mei 2003

Pada daerah yang termasuk daerah terinfeksi (infected area), pasien kasus kemungkinan severe acute respiratory syndrome (SARS) tidak boleh mendonorkan darahnya selama tiga bulan setelah sembuh total. Sedangkan untuk kasus tersangka SARS jangka waktunya adalah satu bulan, dan individu yang memiliki kontak erat dengan kasus SARS selama

tiga minggu. Hal ini terjawab dalam forum diskusi salah satu sesi Seminar Penatalaksanaan SARS di Hotel Le Meridien Jakarta tanggal 24 Mei 2003 lalu. 156th Annual Meeting of the American Psychiatric Association, Moscone - San Fransisco, 17-22 Mei 2003

Alzheimer merupakan penyakit yang memerlukan biaya sebesar 90 -100 juta dollar untuk penanggulangannya. Meskipun penelitian yang di-lakukan pada penyakit ini sudah cukup banyak, tetapi masih banyak misteri yang belum bisa diungkap dan belum ada pengobatan yang benar-benar efektif untuk menyembuhkan. Hal ini disampaikan oleh Dr. Constantine Lyketsos pada kongres 156th Annual Meeting of the American Psychiatric Association, yang diselenggarakan di gedung pertemuan Moscone, San Fransisco, USA, tanggal 17-22 Mei 2003 lalu.

Temu Ilmiah Geriatri 2003, Jakarta, 24-25 Mei 2003

Pasien berusia lebih dari 60 tahun merupakan pasien geriatri. Mereka yang tergolong ke dalam pasien itu umumnya mengidap lebih dari satu jenis penyakit, bisa dua sampai empat penyakit. Oleh karena itu, pengobatan penyakit pun menuntut keterampilan yang lebih dari seorang dokter. Hal ini disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia Cabang Jakarta (Pergemi Jaya), dr Lukman Hakim, SpPD, KKV- KGer, saat membuka acara Temu Ilmiah Geriatri 2003 yang diadakan di Hotel Sahid Jaya Jakarta, tanggal 24-25 Mei lalu.

Muktamar II AIPKI, Jakarta, 23-25 Mei 2003

Perbandingan jumlah dokter dengan masyarakat yang membutuhkan di negara maju adalah 1:200. Indonesia menargetkan rasio tersebut men-jadi 1:2.000, namun yang masih tercapai untuk saat ini yakni 1:5.000. Untuk mencapai target itu masih jauh sehingga masih dibutuhkan dokter-dokter baru. Sedangkan di daerah-daerah yang tidak mempunyai dokter, keterbatasan tenaga dokter itu membuat dokter tidak bisa bekerja di seluruh tempat, khususnya di daerah-daerah yang tidak mendukung. Demi-kian sekilas yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Prof dr Ali Sulaiman PhD dalam Muktamar II AIPKI di Jakarta, tanggal 22-25 Mei 2003 lalu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 54

Page 56: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Informasi Produk

Hepasil® Menurunkan Enzim Hati dan Meningkatkan Respon Imun

pada Penderita Hepatitis Virus Kronik Penyakit hati kronik masih menjadi masalah besar pada banyak

negara di dunia ini, termasuk juga di Indonesia. Berbagai faktor dapat berperan sebagai penyebab hepatitis kronik, seperti virus hepatitis, kon-sumsi alkohol, obat-obatan, penyakit hati bawaan maupun perlemakan hati yang tidak disebabkan alcohol.

Dari berbagai penyebab hepatitis kronik, yang cukup penting di-antaranya adalah virus hepatitis B dan C. Virus hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi 2 miliar manusia di dunia, dan lebih dari 300 juta peduduk dunia menderita infeksi kronik. Di Indonesia prevalensi HbsAg positif berkisar antara 3,5% sampai dengan 9,1%, atau rata-rata 5,5%. Di beberapa tempat bahkan dilaporkan angka yang sangat tinggi, yaitu mencapai 17%. Hepatitis C saat ini masih berada di tempat kedua sebagai penyebab hepatitis virus kronik di Indonesia, dengan prevalensi 2,1% .

Di Indonesia, hanya sebagian kecil penderita hepatitis B dan C yang bisa menjalani pengobatan, karena biaya pengobatan yang tidak terjangkau dan ketatnya syarat pengobatan. Untuk pengobatan hepatitis B dapat di-berikan lamivudine per-oral atau interferon injeksi. Sedangkan untuk hepatitis C biasanya diberikan kombinasi interferon injeksi dan ribavirin peroral. Pasien harus memenuhi beberapa kriteria sebelum mendapat pengobatan. Misalnya syarat untuk hepatitis B kronik yang akan mendapat terapi lamivudine adalah peningkatan SGPT > 2 kali batas normal dan HBV DNA positif untuk. Sedangkan syarat terapi interferon dan ribavirin adalah: peningkatan SGOT dan SGPT, HCV RNA positif, tidak ada masalah kejiwaan, tiroid, anemia dan beberapa keadaan lain yang bisa memburuk karena pemberian interferon. Selain itu, genotipe virus, disiplin dan keteraturan dalam menjalani pengobatan, kesiapan untuk menerima efek samping pengobatan juga mempengaruhi keberhasilan terapi. Data di Poliklinik Hepatologi RSCM sepanjang tahun 2001, dari 62 penderita hepatitis C yang berkunjung hanya 2 orang yang memenuhi syarat dan sanggup menjalani terapi interferon.

Masalah berikutnya yang harus dihadapi adalah kegagalan peng-obatan. Terapi interferon selama 6-12 bulan pada hepatitis B dengan kenaikan SGPT lebih dari 3 x batas normal hanya memberikan kesembuh-an sekitar 30-40% atau lebih rendah dari kelompok dengan kenaikan SGPT 1,3-3 x batas normal. Pemberian Lamivudine 100 mg perhari se-lama 1 tahun hanya menghasilkan serokonversi 65% (SGPT sebelum te-rapi > 5x batas normal), 25% (SGPT sebelum terapi >2-5 x batas normal), dan turun menjadi 5% jika SGPT sebelum terapi <2x batas normal.

Pengobatan hepatitis C juga belum memberikan hasil yang memuas-kan. Pada awalnya interferon merupakan satu-satunya pilihan dengan keberhasilan terapi (sustained virological responses) antara 6-16%. Se-lanjutnya monoterapi dengan interferon mulai ditinggalkan. Kesembuhan yang dicapai meningkat, yaitu 33-41%, namun jelas belum memenuhi kriteria sempurna, karena setelah pengobatan masih ada kelompok yang tetap mengidap virus Hepatitis C.

Kegagalan terapi dan besarnya kelompok yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan obat anti virus membuat para ahli tertarik untuk menggunakan apa yang selama ini disebut sebagai terapi alternatif (com-plementary and alternative medicine = CAM). Preparat herbal yang paling sering dipakai untuk penyakit hati adalah Sylimarin.

Saat ini PT. Kalbe Farma Tbk. telah memasarkan Hepasil® suatu hepatoprotektor dengan komposisi: Echinacea 150 mg, Sylibum marianum extrac sicc (setara dengan 35 mg Sylimarin), Curcuma xanthorrhizae extrac sicc (setara dengan 20 mg Oleum xanthorrizae), dan Curcuma extrac sicc soluble 10 mg.

Sylimarin berasal dari ekstrak Sylibum marianum (milk thistle). Sylimarin mempunyai aktivitas sebagai anti oksidan (pembersih radikal bebas) serta memiliki kemampuan anti fibrosis melalui mekanisme yang belum diketahui. Bahkan disebutkan bahwa potensi anti oksidan Sylimarin 10 kali lebih kuat dibandingkan vitamin E. Sylimarin juga mempunyai sifat menghambat peroksidasi lipid di dalam membran sel, melindungi sel Kupfer dan merangsang RNA untuk meningkatkan sintesa sel hati. Sylimarin terbukti menurunkan kadar enzim SGPT dan SGOT pada pen-derita hepatitis virus.

Curcuma xanthorrhizae atau lebih dikenal sebagai temulawak me-miliki efek antiseptik, merangsang sekresi empedu dan berkhasiat sebagai anti hepatotoksik.

Echinacea dikenal sebagai fitofarmaka yang mempunyai kemam-puan imunostimulan.

Dari sebuah penelitian yang dilakukan di Bagian Hepatologi FKUI RSCM, pada pasien hepatitis B dan C yang mendapat Hepasil® 3 x 1 kapsul selama 12 minggu, diperoleh hasil: 1. Penurunanan kadar enzim transaminase.

Nilai rata-rata enzim transaminase yang pada awalnya lebih dari 2,5 kali batas atas normal menurun secara bermakna dengan cepat pada minggu kedua dan selanjutnya mendekati kadar normal pada minggu ke-empat atau minggu ke-enam. Tabel 1. Penurunan kadar SGOT dan SGPT awal vs akhir, pasien

hepatitis B dan C yang mendapat Hepasil selama 12 minggu.

Nilai rata-rata SGOT Nilai rata-rata SGPT

Awal terapi Akhir terapi Awal terapi Akhir terapi Hepasil 91,2 ± 66,52 33,6 ± 20,09 92,4 ± 60,29 35,9 ± 28,88

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

SGPTSGOT

Grafik 1. Penurunan kadar SGOT dan SGPT pasien hepatitis B dan C

yang mendapat Hepasil selama 12 minggu. Kesimpulan : (paired t-test) - SGPT awal vs akhir p < 0,001 - SGOT awal vs akhir p < 0,001

Sumber:

Disarikan dari makalah “Efek Echinaceae pada Respons Imun Penderita Hepatitis Virus Kronik” yang disampaikan oleh Prof. Dr. Nurul Akbar, SpPD. KGEH. Dalam PIN PAPDI ke-1, Jokjakarta, Mei 2003.

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 55

Page 57: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

2. Peningkatan kadar rata-rata sel T dan sel NK pada pasien yang mendapat Hepasil® seperti tampak pada tabel di bawah ini:

Terjadinya peningkatan kadar rata-rata sel T dan sel NK pada akhir pengobatan Hepasil menunjukkan bahwa Hepasil® meningkatkan respon imunologi pada penderita hepatitis walaupun peningkatan tersebut tidak berbeda bermakna secara statistik.

Dari data di atas dapat disimpulkan, bahwa Hepasil® dapat menurun-kan kadar rata-rata SGOT dan SGPT (bermakna) serta dapat meningkat-kan sel T dan sel NK (tidak berbeda bermakna) sehingga Hepasil® sebagai suatu hepatoprotektor merupakan salah satu alternatif yang dapat diberikan pada penderita hepatitis B dan C kronik, khususnya bagi penderita Indonesia yang menghadapi kendala untuk mendapatkan obat anti virus dengan harga terjangkau. Tabel 2. Peningkatan kadar sel T dan sel NK, awal vs akhir pasien

hepatitis B dan C yang mendapat Hepasil selama 12 minggu.

Nilai rata-rata sel T Nilai rata-rata sel NK Awal terapi Akhir terapi Awal terapi Akhir terapi

Hepasil 1211,8 ± 387,78

1257,7 ± 403,05 369,5 ± 179,93 402,5 ± 294,95

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

A B

Sel Nk AwalSel Nk AkhirSel T AwalSel T Akhir

1211,81257,7

368,5 402,5

Grafik 2. Peningkatan kadar sel T dan sel NK pasien hepatitis B dan C

yang mendapat Hepasil selama 12 minggu Kesimpulan : (paired t-test) - (A) Sel T awal vs akhir p = 0,46 - (B) Sel NK awal vs akhir p = 0,54

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 56

Page 58: Cdk 140 Bunga Rampai Penyakit Dalam

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Penelitian di Manado menunjukkan bahwa komplikasi DM

tersering ialah : a) Kardiomiopati b) Nefropati c) Retinopati d) Neuropati e) Hipertensi

2. Gejala berikut dapat merupakan tanda neuropati DM, kecuali : a) Hipotensi ortostatik b) Kebutaan c) Parestesi d) Nyeri e) Paresis

3. Virus hepatitis G merupakan virus : a) DNA single stranded b) DNA double stranded c) RNA single stranded d) RNA double stranded e) Prion

4. Gejala klinis yang tidak sesuai dengan infeksi HVG : a) Akut dan berat (fulminan) b) Nyeri otot c) Peningkatan kadar enzim hepar d) Dispepsia e) Nyeri kepala

5. Faktor yang berperan dalam timbulnya sindrom hepato-renal : a) Penurunan tekanan arteriil rata-rata b) Vasokonstriksi pembuluh darah ginjal c) Mediator / zat vasoaktif d) Retensi Na e) Semua benar

6. Sel pembentuk tulang disebut : a) Osteosit b) Osteoblas c) Osteoklas d) Osteokalsin e) Osteoporosis

7. Pengobatan osteoporosis menggunakan zat berikut, kecuali: a) Vitamin B b) Vitamin D c) Kalsium d) Magnesium e) Kalsitonin

8. Yang diduga mempengaruhi kerja pankreas dan pengatur-an gula darah : a) Seng (Zn) b) Besi (Fe) c) Kalsium (Ca) d) Khromium (Cr) e) Kalium (K)

JAWABAN RPPIK :

1. D 2. B 3. C 4. A 5. E 6. B 7. A 8. D

Cermin Dunia Kedokteran No. 140, 2003 57