cdk 066 imunisasi (ii)

61

Upload: alifah-rahmatika

Post on 02-Jan-2016

154 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 066 Imunisasi (II)
Page 2: Cdk 066 Imunisasi (II)

Daftar Isi : 2. Editorial

4. English Abstract Artikel :

5. Imunisasi Poli dan Permasalahannya – Eko Rahardjo 10. Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan

Program Imunisasi di Indonesia – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi

15. Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia, Pemeriksaan Rct-40 Marker Virus Polio Tipe 1 – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono

18. Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur – M. Faried K, Hanny Roespandi, Sri Prihartini

22. Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus – Muljati Prijanto 26. Typhoid Vaccines – Nathaniel F. Pierce 28. Gambaran Zat Anti IgG AntiFHA dan Anti Pt pada Bayi setelah Imunisasi

dan pada Anak-anak Penderita Pertusis – Muljati Prijanto, Rini Pangas- tuti, Siti Mariani S

31. Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan – Usman Suwandi 34. Efektivitas Imunisasi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit

PD3I di Indonesia – Kusnindar Atmosukarto

38. Masalah Gangguan Asam Basa dan Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi – A.A.Bgs.Ngr.Nuartha

46. Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia Tahun 1983 – Reflinas Rosfein

50. Uveitis Toxoplasmika - Suhardjo 53. Frekuensi Mikobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru di Sumatera

Barat – Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak

55. Informasi Obat : Intal – Arini Setiawati

57. Humor Ilmu Kedokteran 58. Abstrak - abstrak. 60. RPPIK.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

No.66 Imunisasi (II)

Page 3: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 2

Edisi Cermin Dunia Kedokteran untuk tahun 1991 dibuka dengan lanjutan pembahasan mengenai Imunisasi sebagai salah satu upaya mencapai Health for All by the year 2000 seperti yang telah dicanangkan oleh WHO beberapa waktu yang lalu.

Beberapa pembahasan mengenai imunisasi polio diikuti dengan beberapa artikel yang meneliti efektivitas imunisasi di lapangan, dilihat dari perubahan angka kejadian penyakit-penyakit yang dapat dilindungi oleh imunisasi; selain itu teknologi pengembangan vaksin baaru juga tidak ketinggalan untuk dibahas.

Artikel tambahan yang juga penting ialah pembahasan mengenai masalah gangguan asam-basa;sesuatu yang kelihatannya rumit dan kadang-kadang ku- rang dipahami oleh para klinisi.

Selamat Tahun Baru 1991, semoga tahun ini membawa keberhasilan bagi para sejawat sekalian.

Redaksi

Page 4: Cdk 066 Imunisasi (II)

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Prof.Dr.Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

PENANGGUNG JAWAB/ PIMPINAN UMUM Dr Oen L.H

PEMIMPIN REDAKSI Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Dr Hari Tanudjaja PELAKSANA Sriwidodo

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo – DR. B. Setiawan

– Drs. Oka Wangsaputra

– DR. Ranti Atmodjo

– DR. Arini Setiawati

– Drs. Victor Siringoringo

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Page 5: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 4

English Abstract

ASSESSMENT ON POTENCY OF SABIN TYPE ORAL-POLIO-VAC-CINE USED IN AN EXPANDED PROGRAMON IMMUNIZATION IN INDONESIA Djoko Yuwono, Gendrowahyu-hono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi.

Research Centre of Communi- cable Disease, Health Research and Development Board, Depart-mentofHealth, Republic of Indo-nesia, Jakarta.

An assessment bn the potency of Sabin type oral-polio-vaccine used in an Expanded Program, on Immunization was carried out in order to detect possible titre re-duction. Samples of vaccines were obtained from Puskesmas, districts, regions, provinces and from the central storage.

From 1983 - 1986, measure-ments were performed on samples randomly taken from 14 provinces, 17 regions, 32 Pus-kesmas/districts and from the central storage at the Department of Health in Jakarta.Samples were assessed according to the ma- cro method using primary mon-key-kidney-cells culture by count-ing the TCID50.

The results showed that in 1983, the titre of 4,3% of the polio vac-cines In districts storages and 4,6% of the polio vaccine in the cen- tral storage were below the stan-dard limit, while in 1986, the titre of all polio vaccines obtained from different sources were well above the standard limit

Cermin Dunia Kedokt. 1991;66:10-4 brw/olh

TYPHOID VACCINES Nathaniel F. Pierce Research Coordinator, Diarrhea/ Diseases Control Program, World Health Organization, Geneve.

Typhoid fever remains a pro- blem in most developing coun-tries. Among different ap-proaches, immunization is one of the efforts in controlling the di-sease.

Three approaches to immuni-zation against typhoid fever were studied: (1) classical typhoid vaccine obtained from killed whole cell, used parenterally; (2) oral vaccine based on attenu- ated live S. typhi; (3) parenteral vaccine composed of purified Vi capsular polysaccharide.

Each of the vaccines was proven to be effective; however, each has its limitations.

Cermin Dun/a Kedokt. 1991; 66:26-7 brw/olh

IgG ANTI FHA AND ANTI PT PRO-FILES IN IMMUNIZED BABIES AND IN POST-PERTUSSIS CHILDREN Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S. Research Centre on Communi-cable Diseases, Health Research and DevelopmentBoard, Depart-ment of Health, Republic of Indo-nesia, Jakarta.

A preliminary study was car-ried out to compare titres of IgG anti FHA, IgG anti PT and aglut-tinin in healthy babies who had received full DPI immunization and in children after pertussis in-fection.

The groups consisted of 10 healthy 2-3 months old babies and 19 children after pertussis infection. IgG anti FHA and IgG anti PT were measured using the ELISA method and anti agglutinin was determined by the microag-glutination method.

This study showed that the titre of IgG anti FHA were higher in the post-pertussis group. The titre of IgG anti PT increased after each immunization; the percentages of babies with positive IgG anti PT were respectively 40%, 50% and 100% after the first, second and third DPT immunization, while only 50% of the pertussis infected chil-dren had the antibody.

Further investigations are still in progress in order to obtain a more complete picture on the immu- nity against pertussis.

Cermin Dunia Kedokt. 1991; 66:28-30 brw/olh

Page 6: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 5

Imunisasi Polio dan Permasalahannya

Eko Rahardjo Pusat PenelitianPenyakitMenular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan imuni-

sasi polio ke dalam Pengembangan Program Imunisasi (PPI) a t e lebih dikenal sebagai EPI (Expanded Programme on Immunization), dari tahun ke tahun kasus poliomielitis di seluruh dunia berkurang. Laporan dari WHO menyebutkan bahwa tahun 1981-1983, di 123 negara dari 6 wilayah WHO, kasus poliomielitis berkurang dari 33.919 kasus (1981) men-jadi 25.464 kasus (1983) ' . Pada ulang tahunnya yang ke 35 (1983), WHO mencanangkan suatu motto yaitu "sehat bagi semuanya pada tahun 2000" (health for all by the year 2000), hal ini tentu berarti pula hilangnya poliomielitis; menghilang-kan poliomielitis pada tahun 2000 telah disebutkan di dalam dekiarasi Talloires2.

Program imunisasi polio di Indonesia dimulai sejak tahun 1980. Walaupun cakupan imunisasi polio tahun 1981—1983 masih rendah, yaitu 0,8% imunisasi lengkap (dosis 3 kali) padsa tahun 1981 dan 6% pada tahun 1983, namun menurut laporan WHO, kasus poliomielitis menurun dad 941 (1981) menjadi 57 (1983) ' . Penghapusan poliomielitis di Indonesia pada akhir abad ke 20 tergantung pada peningkatan cakupan imunisasi polio, peningkatan perbaikan sanitasi lingkungan dan peningkatan gizi keluarga. Hal-hal tersebut bisa terlaksana bila didukung antara lain oleh kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan serta perluasan pelayanan kesehatan. Dukungan instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, Depar-temen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh masya-rakat sangatlah diperlukan. Namun yang paling penting adalah kesadaran dan peran serta masyarakat. CAKUPAN IMUNISASI POLIO

Pada awal program imunisasi polio (1980), cakupannya masjh sedemikian rendah yaitu sekitar 47.000 anak (0,9%) untuk dosis 1 kali, 32.000 (0,6%) untuk dosis 2 kali dan 11.000 anak (0,2%) untuk dosis 3 kali3. Sampai akhir tahun

1986 jumlah anak yang mendapatkan vaksinasi polio dosis 1 kali 3.312.000 atau 64% dari seluruh anak usia vaksinasi, sedangkan yang mendapat 2 dan 3 kali dosis masing-masing 2.723.000 serta 2.303.000 atau 52% dan 46%3.

Target cakupan imunisasi polio sampai akhir PELITA IV adalah 65% dari seluruh anak usia vaksinasi. Gambar 1 mem-perlihatkan cakupan imunisasi polio dari tahun 1980 sampai tahun 1986. Kenaikan cakupan dari tahun 1981 sampai tahun 1986 secara keseluruhan untuk dosis 1 kali adalah 63,1% dengan rincian kenaikan 1,1% (1981), 6% (1982), 8%(1983), 2% (1984), 27% (1985) dan 19% (1986). Kenaikan cakupan imunisasi dosis 2 kali selama 6 tahun mencapai 51,4%. Per-sentase kenaikan untuk tahun 1981 adalah 0,4%, 4% tahun 1982, 4% tahun 1983, 7% tahun 1984, 17% tahun 1985 dan 19% tahun 1986. Kenaikan cakupan imunisasi lengkap selama 6 tahun ada 45,8% dengan rincian tiap tahun 0,6% (1981), 2,2%-(1982), 3% (1983), 4% (1984), 14% (1985) dan 22% (1986). Gambar 1. Cakupan imunisasi polio tahun 1980-1986.

Page 7: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 6

Keberhasilan peningkatan cakupan imunisasi adalah cermin dari hasil kerjasama vertikal dan intersektoral yang baik. Jajaran Departemen Kesehatan dari tingkat pusat sampai kabupaten-kabupaten di seluruh Indonesia, didukung oleh 5.553 puskesmas dan sekitar 200.000 posyandu, bekerja sama dengan jajaran Departemen Dalam Negeri dari tingkat pusat sampai tingkat pemerintahan desa. Cakupan imunisasi polio lengkap tertinggi dicapai oleh Propinsi Bengkulu yaitu 70% dan kenaikan cakupan imunisasi polio lengkap Propinsi Jambi naik 52% (6% pada tahun 1985 menjadi 5'8% pada tahun 1986)3

Peranan Departemen Penerangan dan media massa juga sangat membantu peningkatan cakupan imunisasi. Beberapa surat kabar dan majalah menyediakan rubrik khusus kesehat- an yang kadang-kadang memuat artikel tentang imunisasi.

Selain itu organisasi kemasyarakatan PKK tidak diragukan lagi peranannya dalam mendukung program imunisasi. Peng-hargaan UNICEF kepada team penggerak PKK dikenal se-bagai Maurice Pate 88 baru-baru Mi., merupakan pengakuan internasional atas peranan PKK dalam mendorong peningkat-an kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia.

Tanpa mengurangi penghargaan atas usaha instansi-instansi, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh in-formal dalam meningkatkan cakupan imunisasi, sebetulnya cakupan imunisasi lengkap 46% (polio) masih di bawah cakup-an rata-rata di seluruh dunia yaitu 55%4 namun pencapaian Indonesia ini masih di atas rata-rata pencapaian regional Asia Tenggara (pernbagian wilayah menurut WHO) yang hanya meliputi 41%.

Di antara 3 negara anggota ASEAN yang berpenduduk banyak (Indonesia, Filipina, Thailand), ternyata Indonesia sampai akhir tahun 1986 paling rendah persentase cakupan imunisasinya, sedangkan Filipina dan Thailand pada tahun yang sama sudah mencapai 55% dan 69%4'5. Walaupun begitu jumlah anak-anak Indonesia yang divaksinasi masih lebih banyak daripada jumlah anak gabungan ke 5 negara anggota ASEAN lainnya yang divaksinasi.

Pada Gambar 2 diperlihatkan perbandingan persentase cakupan vaksinasi polio lengkap antara Indonesia dan Thailand selama 7 tahun (1980—1986). Di sin terlihat vaksinasi polio lengkap di Indonesia pada tahun 1980 masih amat rendah (0,2%) sedangkan di Thailand pada waktu bersamaan sudah mencapai sekitar 18%.

Pada tahun 1986, anak-anak yang divaksinasi sudah 46% dari seluruh anak usia vaksinasi (naik 45,8%) dan di Thailand juga naik menjadi 69% lebih (naik 41%). Rupanya tidak hanya Indonesia saja yang ay if menaikkan cakupan imunisasi namun juga Thailand terbukti selama 7 tahun program imunisasi kenaikan cakupan imunisasi Indonesia dan Thailand hampir sebanding.

Cakupan imunisasi rendah sekali pada awal program imu-nisasi polio, karena menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 1980 belum satupun puskesmas di Indonesia yang melaksanakan imunisasi antigen viral, pada tahun 1981 baru sekitar 3% serta pada tahun .1983 hanya 8% puskesmas yang rnampu rnelaksanakan vaksinasi antigen viral. Pada akhir 1986 sudah 96% dad 5.553 puskesmas melakukan vaksinasi antigen viral dan diharapkan pada akhir tahun 1988 sudah semua puskesmas3 .

Gambar 2. Perbandingan hasil cakupan .imunisasi polio lengkap antara Thailand dan Indonesia tahun 1980 -1986 .

PENGARUH IMUNISASI TERHADAP KASUS POLIO-MIELITIS

Kasus poliomielitis di Indonesia menurut WHO, tahun 1981 sampai tahun 1983 bertuput-turut dijumpai 941 (1981), 218 (1982) dan 57 kasus (1983)1. Sedangkan menurut Depar-temen Kesehatan, kasus poliomielitis dari tahun 1981 sampai tahun 1986 adalah sebanyak 160 (1981), 88 (1982), 102 (1983), 86 (1984), 76 (1985) dan 32 (1986)3. Perbedaan data yang disajikan oleh WHO dan Departemen Kesehatan ini menunjukkan belum sempurnanya sistim pelaporan rumah sakit sentinel3 , namun baik dari laporan WHO maupun Depar-temen Kesehatan kasus poliomielitis menunjukkan ke-cenderungan menurun. Terlihat ada perbandingan terbalik antara cakupan vaksinasi polio dengan kasus poliomielitis; makin tinggi cakupan vaksinasi polio makin sedikit kasus poliomielitis. Pengamatan dari 2 negara (Columbia dan Mexico) juga menunjuklan hal yang sama5. Di negara-negara yang termasuk dalam regional Eropa cakupan imunisasi polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%, dari 831 juta. lebih penduduk4 (tahun 1983), kasus poliomielitis tahun 1981 hanya 376, tahun 1982, 366 kasus dan tahun.1983 dijumpai 217 kasus, dari 217 kasus itu 165 di antaranya ditemukan di Turki dan 25 ditemukan di Spanyol, sedang di negara Eropa lainnya hanya sekitar 0—8 kasusl. Cakupan imunisasi polio di Turki tahun 1986 baru 45%4.

Walaupun cakupan imunisasi lengkap di Indonesia pada tahun 1983 baru 6%, namun angka kesakitan sudah di bawah 60 orang. Di Filipina dan Thailand walaupun angka cakupan imunisasi lengkap pada tahun 1986 sudah melampaui Indo-nesia, namun angka kesakitan di Filipina' dan Thailand tahun 1983 lebih tinggi, masing-masing 349 dan 143 kasus, padahal cakupan di Thailand pada tahun yang sama sudah lebih dari. 40%1,3,4 Jumlah penderita poliomielitis di Indonesia yang dilaporkan adalah yang berasal dari rumah sakit sentinel. Jumlah kasus poliomielitis di masyarakat sendiri jauh lebih banyak; menurut perkiraan Departemen Kesehatan, pada tahun 1983 jumlah kasus poliomielitis ada 8.600, angka ke-matian sekitar 860 (l0%)3. Perkiraan kasus poliomielitis

Page 8: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 7

tahun 1985—1986 dan 1986—1987 bila tanpa intervensi imunisasi ada 9.000 dan 9.5003 .

Pada Tabel 1 tertera perkiraan poliomielitis bila tanpa imunisasi dan bila diimunisasi untuk tahun 1985—1986 dan tahun 1986—1987. Perkiraan masih banyaknya angka ke-sakitan dan kematian, mungkin karena cakupan imunisasi polio masih rendah (46%).

Tabel 1. Perkiraan jumlah angka kesakitan dan kematian poliomie-litis yang dapat dicegah dengan imunisasi3.

Intervensi Program Imunisasi Keadaan bila tanpa imunisasi Berhasil dicegah Masih terjadi Tahun

Sakit Mati Sakit Mati Sakit Mati

1985— 9000 900 2700 300 6300 600 1986 1986— 9500 950 4300 400 5200 550 1987

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kota Raya Bombay (1982—1987), menunjukkan bahwa dengan cakupan rata-rata sekitar 40% selama 6 tahun, angka kesakitan poliomielitis juga tidak berkurang banyak, rata-rata sekitar 1.000/tahun6. WABAH POLIOMIELITIS SETELAH PPI

Laporan terakhir epidemi poliomielitis sebelum Pengem-bangan Program Imunisasi (PPI) polio, terjadi di Bali Selatan pada tahun 1977'. Cakupan imunisasi polio yang rendah (0,2%) pada awal program imunisasi polio, menyebabkan terjadinya wabaOtliberbagai tempat di Indonesia. Tahun 1981 terjadi wabah di Trenggalek dan Jombang di Jawa Timur dan di Buleleng, Bali. Tingkat serangan (Attack Rate = AR) di Trenggalek, 9/100.000 penduduk dan di Buleleng, 7/100.000 penduduk°, rata-rata tingkat serangan secara nasional adalah 5,6/100.000 penduduk3.

Wabah dengan tingkat serangan yang amat tinggi, terjadi di lokasi pemukiman transmigrasi dan sekitarnya di Kecamatan Nimbora, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya. Tingkat serangan yang terjadi adalah 1,86/100 penduduk7. Daerah ini kemudian divaksinasi masal sehingga meluasnya wabah bisa dicegah9. Antibodi yang terbentuk pada anak-anak vaksines di daerah wabah ini cukup untuk menangkal infeksi virus berikutnya, namun imunitas terhadap ke 3 tipe virus polio tidak sama9. Hal ini dapat dimaklumi, karena kemanjuran (efficacy) vaksin polio dosis lengkap di Indonesia diperkirakan sekitar 80%3. Kemanjuran vaksin polio dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu : 1) Faktor adanya interferensi sesama anggota entero-virus di alam, dan 2) Faktor sifat fisik vaksin yang termo-labil'°.

Kejadian epidemi poliomielitis di daerah yang sudah di-vaksinasi dilaporkan juga di Marathwada, Negara Bagian Maharastra, India tahun 1986; jumlah penderita 1.089 anak, tingkat serangan 11,3/100.000, tingkat kematian, (Mortality Rate = MR) 8,7%11 ..Suatu hal yang sangat memprihatinkan adalah bahwa 44,7% dari seluruh penderita telah mendapat vaksinasi polio lengkap atau sebagian. Di Indonesia cakupan imunisasi polio lengkap 45%, kemanjuran vaksin diperkirakan 80%4,6. Di Indonesia, wabah yang agak besar terjadi di Pemukiman Transmigrasi, Kecamatan Tinanggea, Kendari, Sulawesi Tenggara, di tahun 1985—1986. Cakupan imunisasi

46% di Indonesia •dan 45% di India tahun 1986, ternyata belum menjamin berkurangnya kasus poliomielitis.

Peningkatan cakupan imunisasi memang harus digalakkan, supaya pads -akhir tahur>f 1990 cakupan imunisasi polio bisa 80%, seperti yang telah ditargetkan. FAKTOR PENGHAMBAT TIMBULNYA IMUNITAS

Sebagaimana telah dinyatakan, kemanjuran vaksin polio sangat dipengaruhi dua faktor utama, yaitu faktor adanya interferensi sesama anggota enterovirus dan faktor sifat fisik vaksin yang termolabil10 Faktor interferensi sesama anggota enterovirus

Penelitian-penelitian di negara maju sudah membuktikan adanya interferensi- antara sesama anggota grup entero-virus12,13. Anggota grup enterovirus ialah virus polio, virus coxsackie, virus ECHO dan enterovirus baru14. Tidak hanya enterovirus yang saling mengadakan interferensi, namun sesama virus polio galur vaksin juga ada interferensi.

Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di Purwakarta, Jawa Barat, menunjukkan bahwa pembentukan antibodi terhadap polio secara alami pada anak-anak usia baduta dihambat oleh enterovirus lainnya15. Hambatan pembentuk-an antibodi pada vaksines bisa juga terjadi. Di Bombay, India, walaupun cakupan imunisasi polio lengkap sudah 45% (1987) namun tingkat serangan poliomielitis masih tinggi, sekitar 10/100.000 penduduk6. WHO menunjuk kegagalan hasil imunisasi ini karena buruknya sanitasi dan rendahnya sosio-ekonomi masyarakat.6 Sanitasi yang buruk menyebabkan enterovirus tersebar luas di masyarakat dan pada gilirannya menghambat pembentukan antibodi terhadap polio pada vaksines. Faktor sifat fisik vaksin yang termolabil

Vaksin polio oral adalah vaksin yang berasal dari virus yang masih hidup tetapi dilemahkan; perlakuan dengan ke-naikan suhu sedikit saja akan bisa mematikan virus polio. Bila tiap mililiter vaksin mengandung kurang dari 105 (100.000) virus, seperti apa yang ditentukan WHO, vaksin tidak poten lagi dan bila diberikan kepada vaksines, tidak akan timbul imunitas.

Penelitian oleh Joko Yuwono dick. menunjukkan bahwa pada suhu 25°C (sama dengan suhu kamar ber AC), dalam waktu kurang dari 4 hari, vaksin sudah tidak poten lagi. Pada 10°C, vaksin hanya poten sampai hari ke 2010. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara potensi vaksin dengan perlaku-an suhu. Di sini terlihat bila vaksin disimpan dalam lemari pendingin (5°C), bukan pada ruang pembuatan es, potensi vaksin akan hilang setelah 1 bulan penyimpanan. Berdasarkan peninjauan di 4apangan, La Force meragukan sistim rantai dingin (cold chain) di Indonesia7. Sering terputusnya aliran listrik,'mahalnya harga minyak di daerah terpencil, kelalaian petugas menjaga lampu minyak pada lemari pendingin non listrik, merupakan kendala-kendala kemantapan rantai dingin. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI

Bila pada tahun 2000 nanti poliomielitis paralitika, meni- ngitis dan ensefalitis yang disebabkan oleh virus polio bisa dibasmi, apakah kedudukannya tidak digantikan oleh anggota enterovirus lainnya, karena enterovirus lain juga berpotensi sebagai penyebab paralisis, meningitis maupun ensefalitis. Tabel 2 memperlihatkan anggota-anggota enterovirus yang

Page 9: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 8

Gambar 3. Kurva rata-rata titer vaksin polio pada berbagai tingkat suhu dan lama waktu penyimpanan

berpotensi sebagai,penyebab penyakit saraf. Kelumpuhan (paralisis bisa disebabkan oleh 7 tipe virus

coxsackie grup A, semua virus coxsackie grup B, 13 tipe virus ECHO dan 2 tipe enterovirus baru (enterovirus tipe 70, 71). Ensefalitis bisa juga disebabkan oleh virus, coxsackie grup A dan grup B, masing-masing 5 tipe, virus ECHO se-banyak 12 tipe dan enterovirus 71 tipe.

Di negara-negara Eropa, pencapaian cakupan imunisasi polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%4, di Uni Soviet yang penduduknya 270 juga lebih (1983), pada taltun 1981 hanya dijumpai 3 kasus poliomielitisl. Di Hongaria pada tahun yang sama hanya dijumpai 1 kasus sajal. Walaupun demikian di Hongaria pada tahun 1978 terjadi wabah meni-ngitis dan ensefalitis yang kadang-kadang fatal. Jumlah pen-derita mencapai 1000 anak dan penyebabnya diidentifisir sebagai enterovirus non polio14. Tabel 2. Penyakit syaraf yang berhubungan dengan virus coxsackie,

virus ECHO dan enterovirus 6 9 - 7 1 . Penyakit atau Gejala Klinis

Tipe virus

Meningitis (radang selaput otak) Paralisis (kelumpuhan)

Ensefalitis (radang otak)

Ataksia (gangguan keseimbangan gerak)

virus coxsackie A l - 1 1 , 14, 16, 17, 18, 22 virus coxsackie B 1 - 6 virus ECHO 1-7, 9, 11-23, 25, 27, 30, 31, 33 virus coxsackie A4, 6, 7, 9, 11, 14, 21 virus coxsackie B 1 - 6 virus ECHO 1-4, 6, 7, 9,11,14, 16, 19, 30 enterovirus 70, 71 virus coxsackie A2, 5 - 7 , 9 virus coxsackie B 1 - 3 , 5 , 6 / virus ECHO 2-4, 6, 7, 9, 11, 14, 17-19, 25 enterovirus 71 virus coxsackie A4, 7, 9 virus ECHO 9

Sumber : 11. Di negara bagian Maharastra, India., dad 342 penderita

yang. diperiksa ternyata 34 (10%) disebabkan oleh entero-

virusn,16 Survai poliomielitis di Kota Raya Bombay tahun 1985, menemukan bahwa penderita paralisis yang disebabkan oleh enterovirus non polio pads anak-anak yang diimunisasi, lebih tinggi daripada anak-anak penderita paralisis non polio yang tidak diimunisasit'.

Berdasarkan laporan dari Hongaria dan India tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa enterovirus non polio ber- potensi sebagai penyebab meningitis, ensefalitis dan paralisis. Enterovirus non polio lebih banyak menyebabkan kelumpuhan pada anak yang diimunisasi daripada oleh virus polio.

Di Indonesia laporan enterovirus sebagai penyebab paralisis sampai saat ini belum pernah dicatat.

KESIMPULAN

Cakupan imunisasi polio lengkap sekitar 45% dari anak-anak usia vaksinasi, ternyata belum menjamin ketiadaan wabah maupun kasus-kasus poliomielitis, namun hanya mengurangi jumlah kasus poliomielitis saja. Bila cakupan imunisasi lengkap ditingkatkan sampai paling sedikit 90%, diharapkan kasus poliomielitis berkurang drastis sebagaimana di negara-negara maju.

Peningkatan cakupan imunisasi seyogyanya diimbangi dengan perbaikan sanitasi lingkungan, perbaikan gizi keluarga, perbaikan tingkat sosioekonomi masyarakat.

Rantai dingin dari pusat sampai tingkat puskesmas perlu ditingkatkan lagi. Hal yang perlu diperhatikan adalah ke-sinambungan aliran listrik, suhu penyimpanan dan ketelitian petugas penjaga lemari pendingin. Perlu dipikirkan penyediaan generator cadangan dan penyediaan bahan bakar cadangan yang cukup.

Perkembangan hubungan antara keberadaan enterovirus dengan peningkatan kasus-kasus penyakit saraf perlu diamati. Pada gilirannya perlu dievaluasi apakah enterovirus sudah me-rupakan masalah kesehatan atau belum.

KEPUSTAKAAN 1. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis in

1983. Wkly Epidemiol Rec 1985; 60 (23) : 1 7 3 - 7 . 2. WHO. Global eradication of poliomyelitis by the year 2000. Wkly

Epidemiol Rec 1988; 63 (22) : 1 6 1 - 2 . 3. Pemantauan program imunisasi tahun 1986/1987 (cakupan dan

mutu pelayanan serta harapan) Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI., Jakarta, 1987.

4. WHO. Expanded Programme on.Immunization. Global status report. Wkly Epidemiol Rec 1987; 62 (33 ) : 2 4 1 - 3 .

5. WHO. Poliomyelitis in 1985. Part II and Control of diarrhoeal diseaes and Expanded Programme on Immunization. Wkly Epide-miol Rec 1987; 62 (38) : 2 8 1 - 5 .

6. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis surveillance and vaccine efficacy. Wkly Epidemiol Rec 1988; 63 (33) : 2 4 9 - 5 1 .

7. La Force FMc. Polio in Indonesia. Report of USAID Consultant. 1981.

8. Titi Indijati S. The situation analysis of poliomyelitis in Indonesia, 1 971 - 198 2 . Directorate of Epidemiology and Immunization, Directorate General of Communicable Disease Control and Envi-ronmental Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia, 1984; pp. 1 3 - 3 5 .

9. Eko R, Gendro W, Mulyono A, Suharyono W. Survai ulang wabah poliomielitis di lokasi transmigrasi Kecamatan Nimboro, Kabu-paten Jayapura, Irian Jaya (1985). Makalah dibawakan pada Per-temuan Ilmiah Penyakit Menular, Pusat Penelitian Penyakit Me-nular, Badan LitBang Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I.,

7

6

4

3 0 4 Hari

12

25°C Sumber : 10.

16 20 24 28 30

Page 10: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 9

Jakarta, 21—24 Maret 1988. 10. Joko Y. Suharyono W, Suhana N. Pengaruh temperatur dan

waktu penyimpanan terhadap potensi vaksin polio oral trivalen (Sabine type). Bul Penelit Kesehat. 1985; 13 (2) : 56—60.

11. Mandke VB, Dave Kh, Dama Bm, Bansal MP, Patankar. Polio-myelitis in Marathwada, Maharastra State, India. Vir Inf Exc Newslett. 1986; 3 (3) : 54.

12. Amos AM, Sabin AS. Characteristics of poliomyelitis and other enteric viruses recovered in tissue culture from healthy American children. Proc Soc Exp Biol Med. 1959; 87 : 655.

13. Hale JH, Doraisingham M, Kunagaratnam K, Leong KW, Monteiro ES. Large scale use of Sabin type 2 attenuated polio virus vaccine in Singapore during type 1 poliomyelitis epidemic. BMJ. 1959;

1 : 1541. 14. Melnick JL. Enteroviruses. in : Evans AS (ad) : Viral infections

of humans. Epidemiology and control. 2nd edition. New York, London. Plenum Medical Book Company, 1984 : p. 187, 223.

15. Gendro W, Suharyono W. Preliminary study of enteroviruses infections among children in Purwakarta, West Java, Indonesia. Bul Penelit Kesehat 1981; 2 : 14—17.

16. Bansal MP, Muzumdar RD, Borkas MS, Ambulgekar R, Mandke VB. An outbreak of paralytic poliomyelitis in and around Aura-ngabad, Maharastra, India. Vir Īnf Eitc Newslett 1986; 3 (3) : 54-55.

17. Mandke VB, Salgaonkar SD, Pavar RM, Dave KH. Surveilance of poliomyelitis in Bombay, 1985. Vir Inf Exc Newslett. 1987; 1 (4) : 18-19.

Kalender Kegiatan Ilmiah

10-15 Februari 1991 — 13th Asian and Oceanic Congress of Obstetrics and Gyne-cology Central Plaza Hotel, Bangkok, Thailand. Secr. : Prof. Kamheang Chaturachinda Dept of Obstetrics and Gynekology Ramathibodi Hospital Bangkok 10400, THAILAND

20-23 Februari 1991— 2nd Congress Asia Pacific Assn of Soc of Pathologists

Manila, PHILIPPINES Secr.: Philippines Soc of Pathologists, Inc. 114 Malakas Street, Diliman Quezon City 1103, PHILIPPINES

10-13 Maret 1991 — 8th Congress of Asian Surgical Assn.

Fukuoka, JAPAN Secr.: Dr. F Nakayama

Dept of Surgery 1, Faculty of Medicine, Kyushu Uni-versity Fukuoka 812, JAPAN

11 Maret 1991 — Simposium Pengobatan Pencegahan Asma Masa Kini Bagi Masyarakat U m u m , RRI studio Bandung, Bandung, INDONESIA

Secr.: Lab. UPF llmu Penyakit Daiam FK Unpad/RS Hasan Sadikin Perkumpulan Asma Bandung Bandung, INDONESIA

15-17 Maret 1991 — 3rd Asian-Pacific Symposium on Cardiac Rehabilitation Hyatt Regency, SINGAPORE Secr.: Felicia Teng

Academyof Medicine, Singapore College of Medicine Building 16 College Road, # 01-01 SINGAPORE 0316

Page 11: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 10

Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan

Program Imunisasi di Indonesia Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK Pengamatan potensi vaksin polio oral trivalen (tipe Sabin) yang dipakai dalam

program PPI di Indonesia telah dilakukan untuk mengetahui besarnya penurunan titer vaksin di tingkat Puskesmas, kecamatan, kabupaten, propinsi dan di tempat penyimpanan vaksin Dit. Jen. P2M PLP, Jakarta.

Selama periode tahun 1983 sampai tahun 1986 telah diperiksa titer virus vaksin polio yang dikumpulkan secara acak sederhana dari 14 propinsi, 17 kabupaten, 32 Puskesmas/kecamatan dan di pusat penyimpanan vaksin di Jakarta. Pemeriksaan titer virus vaksin dilakukan dengan metoda uji makro pada biakan jaringan ginjal kera primer (PMK sel) dengan menghitung TCID50

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada tahun 1983 telah ditemukan 4,3% dan 4,6% vaksin polio yang tidak memenuhi syarat, dalam tahun 1984 telah ditemu-kan 4,3% vaksin polio dari tingkat propinsi yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan selama tahun 1986 tidak ditemukan lagi adanya vaksin polio yang tidak memenuhi syarat baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi maupun pada pusat penyimpan-an vaksin.

PENDAHULUAN Sampai saat ini telah dapat dibuktikan bahwa imunisasi

tealh dapat menurunkan angka kematian bayi di negara kita menjadi 80 tiap 1000 kelahiran hidup, yang dalam Pelita V nanti diharapkan menjadi 40 tiap 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian program PPI (Pengembangan Program Imunisasi) akan merupakan program yang mendapat prioritas utama "dalam program pemerintah di bidang kesehatan sampai paling tidak pada Pelita ke V1 .

Untuk menunjang keberhasilan program PPI tersebut sangat penting untuk melakukan evaluasi atau pengamatan terhadap program yang bersangkutan; pengamatan potensi vaksin polio merupakan salah satu faktor penunjang program PPI tersebut, dan hasilnya akan menjadi masukan yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan program; terlebih lagi vaksin virus diketahui bersifat thermosensitif, sehingga kerusakan vaksin akibat perubahan temperatur sangat mungkin terjadi, mengingat negara kita merupakan negara kepulauan yang ter-letak di daerah tropik.

Penelitian yang dilakukan oleh Setiady dkk., (1981) menunjukkan bahwa kondisi fasilitas alat pendingin untuk

Dibacakan dalam Seminar Penyakit Menular. Puslit Penyakit Menular

Badan Litbang Kesehatan Jakarta, Maret 1988. tempat penyimpanan vaksin di tingkat kecamatan belum menunjang keberhasilan program PPI2. Akan tetapi pemantau-an potensi vaksin pertusis yang dilakukan oleh Ditjen P2M PLP ternyata memberikan indikasi bahwa semenjak tahun 1983 sampai tahun 1986 potensi vaksin pertusis yang ber- asal dari berbagai daerah propinsi 80%.- 90% mutunya cukup baik dan mantapl. Keadaan ini secara garis besar dan tidak langsung merupakan suatu indikasi bahwa fasilitas sistem pendingin untuk tempat penyimpanan vaksin dari tingkat Puskesmas sampat ke tingkat propinsi akan mampu menunjang keberhasilan program PPI, apabila kondisi seperti ini dapat terus dipertahankan.

Pengamatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran potensi vaksin polio oral yang dipergunakan dalam program PPI sebagai masukan bagi pelaksana program agar dapat me-lākukan perbaikan-perbaikan sepeflunya demi keberhasilan program PPI, khususnya terhadap imunisasi polio.

BAHAN DAN CARA KERJA Sampel yang diperiksa adalah vaksin polio oral trivalen

(mengandung virus polio tipe 1, tipe 2 dan tipe 3). Dalam

Page 12: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 11

pengamatan ini didapati adanya dua jenis vaksin yang ternyata mengandung strain virus yang serupa (strain Sabin). Jenis vaksin pertama dikemas oleh Perum Bio Farma, Bandung, yang vaksin aslinya didatangkan dari luar negeri, sedangkan jenis vaksin kedua adalah vaksin polio oral yang dibuat oleh Smith Kline & French, ., Belgia; vaksin ini adalah sumbangan dari Unicef.

Pengamatan dilakukan dari tahun 1983 sampai tahun 1986. Total sebanyak 248 sampel vaksin telah diperiksa selama pengamatan tersebut. Masing-masing sebanyak 102 dari tingkat puskesmas, 45 sampel dari kabupaten, 44 sampel dari tingkat propinsi, sedangkan 57 sampel lainnya berasal dari pusat penyimpanan vaksin DitJen P2M PLP di Jakarta. Pengambilan sampel di tempat penyimpanan vaksin dilakukan secara acak sederhana, sebanyak 3 sampel dikumpulkan di setiap lokasi dan dibawa dalam thermos berisi es (4° — 10°C) dengan pesawat udara ke Puslit Penyakit Menular di Jakarta. Di laboratorium vaksin segera disimpan pada suhu -20°C sampai diperiksa potensinya.

Pemeriksaan potensi vaksin dilakukan dengan meng-encerkan vaksin secara serial dari konsentrasi 10-t sampai dengan 10-7 dalam pelarut yang berupa medium Eagle's MEM yang dilengkapi dengan 2% serum anak sapi, 0,15% NaHCO3, 1-glutamin 0,3%, antibiotik 100 ug/ml. Pengukur-an titer virus dilakukan dengan menghitnng TCID50 secara uji makro dengan menggunakan sel (kultur jaringan) ginjal kera primer (sel PMK). Pengamatan dilakukan selama 5 hari setelah inokulasi, pengeraman dilakukan pada suhu 37°C. Penghitungan titer virus dilakukan dengan metoda Karber3.

HASIL Selama tahun 1983, 6 propinsi yang diamati terdiri dari

11 kabupaten dan 23 kecamatan/puskesmas; telah diperiksa 69 sampal vaksin dari tingkat kecamatan, 15 sampel dari kabupaten, 18 sampel dari propinsi dan sebanyak 43 sampel dad pusat penyimpanan vaksin di P2M PLP, semuanya ber-jumlah 145 sampel. Dari 145 sampel tersebut masing-masing terdiri dari 4 nomor batch dari propinsi, 4 nomor batch yang sama berasal dari kabupaten, sebanyak 9 nomor batch lain berasal dari kecamatan dan 12 nomor batch berasal dari tempat penyimpanan vaksin di pusat.

Hasil pemeriksaan titer virus menunjukkan adanya 3 nomor batch vaksin yang memiliki titer rendah yang berasal dari puskesmas, yaitu batch nomor 283A2; 382A dan 482A2. Demikian pula 2 nomor batch vaksin yang berasal dari pusat penyimpanan vaksin juga telah mengalami penurunan titer virusnya, yaitu batch nomor 283A2 dan 383A1. Dalam peng-amatan tahun ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan vaksin sebesar 4,3% di tingkat~kecamatan/puskesmas, sedang-kan pada pusat penyimpanan vaksin terjadi kerusakan sebesar 4,6%; secara keseluruhan pada tahun 1983 ditemukan ke-rusakan sebesar 3,4% dari vaksin yang telah diperiksa.

Selama tahun 1984, telah diterima 74 sampel vaksin yang berasal dari 7 propinsi masing-masing terdiri dari 4 kabupaten dan 3 kecamatan. Jumlah sampel sebesar 23 sampel dari propinsi, 26 sampel berasal dari kabupaten dan 15 sampel berasal dari kecamatan, sedangkan sisanya 15 sampel berasal dari pusat penyimpanan vaksin. Pemeriksaan titer virus vaksin renunjukkan adanya vaksin yang memiliki titer di bawah

Tabel 1. Jumlah sampel vaksin polio oral yang diamati dan persentase kerusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalanya dalam tahun 1983.

Tabel 1a. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke-

rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asanya tahun 1984.

Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)

DKI Jaya 5 Jakarta Utara 5 Tg. Priok 5 P2M Koja 5 PLP 10 Penjaringan 5

Kal. Tim 1 Banjarmasin 10 Kai. Bar 1 Pontianak 4 Jawa Barat 3 Bekasi 2 Yogya 5 Irian Jaya 5 Lampung 3 Jumlah 23 26 15 10

Kerusakan 1 (4,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

105,0/dosis yaitu nomor batch 184A2 yang berasal dari pro-pinsi Lampung. Dalam periode ini dapat dikemukakan bahwa terdapat kerusakan vaksin yang berasal dari propinsi sebesar 4,3%.

Dalam tahun 1986, telah dapat dikumpulkan 29 sampel vaksin yang berasal dad 1 daerah propinsi, 2 kabupaten dan 6 daerah kecamatan, yang masing-masing terdiri dari 1 nomor

Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)

Kalimantan Timur Bali 1

NTB 2 Jawa Barat Sumatera Selatan 5 Bengkulu 5

Klungkung 1 Gianyar 1

Lombok Barat 2

Palembang 1 Bengkulu 2 Pontianak 3 Pekalongan 1 Kudus 1 Sragen 1 Kebumen 1 Klaten 1

Lempake 1

Badung 1 Denpasar 1 Sukawati 1 Denpasar Barat 1 Benda 1 Singapadu 1

Psi Kaliki 2

Bon Baru 2 Ratu Agung 3

Wiradesa 1 Kr Malang 1 Klaten 1 Binangun 1 Nusa Wungu 1 Mersi 1 Sidoarjo 5 Jabon 5 Candi 5 Gresik 5 Kebo Mas 5 Driyorejo 5 Kayumanis 3

P2M PLP 43

Jumlah 18 15 69 43

Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (4,3%) 2 (4,6%)

Page 13: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 12

Tabel lb. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke-rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalnya tahun 1986.

Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)

Yogyakarta 3 Medan 3

Bekasi 1

Ular Karang 3 Sentosa Baru 3 Pasar Merah 3 Batu Enam 3 Prapat 3 Simalungun 3

P2M PLP 4

Jumlah 3 4 18 4

Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tabel 2. Jumlah vaksin, nomor batch dan keadaan vaksin berdasarkan tingkatan daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.

Kecamatan Kabupaten Propinsi Pusat Total

1983: Lokasi 23 11 6 1 41Nomor batch 9 4 4 12 29Jumlah vaksin 69 15 18 43 145 Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 95,4% 97,8%

1984:

Lokasi 3 4 7 1 15 Nomor batch 1 4 6 2 13 Jumlah vaksin 15 26 23 10 74 Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 100% 98,9%

1986:

Lokasi 6 2 1 1 10 Nomor batch 2 2 1 3 8 Jumlah vaksin 18 4 5 4 31 Mutu vaksin 100% 100% 100% 100% 100%

batch, 2 nomor batch masing-masing berasal dari kabupaten dan kecamatan serta 3 nomor batch lain berasal dari pusat penyimpanan vaksin. Hasil pemeriksaan titer virus menunjuk-kan tidak satupun nomor batch vaksin yang diperiksa me-nunjukkan titer virus yang tidak memenuhi syarat, bahkan ter-nyata memiliki titer virus yang cukup tinggi, rata-rata men-capai 107,0 /ml.

Dapat ditambahkan pula bahwa dalam pengamatan ini temyata ditemukan adanya dua jenis vaksin polio yang ber-asal dart pabrik yang berbeda, tapi keduanya mengandung strain virus yang serupa (strain Sabin). Kedua jenis vaksin tersebut adalah produksi Perum Bio Farma di Bandung dan produksi Smith Kline & French di Belgia, yang ternvata keduanya mengandung titer virus polio tipe 1 sebesar 106,0/ml; Polio tipe 2 sebesar 105,0/ml dan Polio tipe 3 sebesar l05,0/ml.

PEMBAHASAN Imunisasi polio di negara berkembang yang terletak di

kawasan tropik benua Asia, Amerika Latin dan Afrika meng-alami hambatan antara lain adanya interferensi sesama entero-virus di alam, sehingga imunisasi polio perlu diberikan tiga

Gambar 1. Perbandingan kurva persentase kumulatif potensi vaksin polio oral; persentase kumulatif perbaikan faktor penunjang operasional dan persentase kumulatif cakupan imunisasi polio (3 dosis) dalam program PPI di Indonesia sejak tahun 1983-1986.

kali dosis dengan jarak waktu pemberian antara 6 — 8 minggu. Untuk melakukan imunisasi secara demikian di negara-negara tersebut diperlukan suatu sistem rantai dingin (cold chain) untuk mempertahankan vaksin agar dapat berfungsi dengan baik3. Kondisi sistem pendingin ini perlu dipantau melalui pemeriksaan potensi vaksin polio secara berkesinambungan. Demikian pula halnya di Indonesia, pemantauan potensi vaksin polio yang dipakai dalam program PPI mutlak me-rupakan penunjang bagi berhasilnya program PPIdi Indonesia.

Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Dit Jen P2M PLP mengenai Pemantauan Program Imunisasi dapat diketahui bahwa cakupan imunisasi polio (3 dosis) dari tahun 1983 sampai tahun 1986 ternyata telah dapat ditingkatkan terus dari sekitar 8% menjadi 45%, sedangkan dalam tahun 1988 ditargetkan akan mencapai 65%. Untuk mencapai target tersebut sudah barang tentu diperlukan suatu akselerasi melalui .perbaikan berbagai faktor penunjangnya, Faktor penunjang tersebut antara lain adalah : penyediaan vaksin, fasilitas sistem pendingin dari tingkat propinsi sampai ke tingkat kecamatan; tidak dapat diabaikan pula adanya tenaga juru imunisasi yang terampil. Untuk mencapai target cakupan sebesar 65% dalam akhir Pelita IV ini, maka telah dilakukan peningkatan dana terutama untuk kebutuhan faktor pe- nunjang operasional, menjadi dua kali lipat4, ditambah lagi dengan adanya sumbangan vaksin yang berasal dari swasta, misalnya Rotary Club dan Unicef; dengan tersedianya dana yang cukup, maka pencapaian target cakupan sebesar 65% pada akhir Pelita IV sangat mungkin dapat dicapai.

I

Page 14: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 13

Gambar 2. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan nomor batch vaksin yang diperiksa dalam tahun 1983-1986 .

Gambar 3. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan tingkat daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.

Dalam pengamatan ini dapat dikemukakan walaupun

baru 14 propinsi yang telah diamati, namun telah mencakup 50% jumlah propinsi yang ada. Hasilnya ternyata dapat me- nunjukkan adanya perkembangan yang cukup berarti dalam tahun-tahun yang diamati; misalnya dalam tahun 1983 telah ditemukan kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat

Puskesmas.Demikian pula terdapat kerusakan sebesar 4,6% pada tempat penyimpanan vaksin di Ditjen P2M PLP dalam tahun yang sama. Hal ini jelas merupakan bukti masih adanya ruang dingin yang belum berfungsi dan kemungkinan adanya petugas yang kurang cermat dalam melaksanakan tugasnya. Dalam periode tahun 1984 ternyata masih ditemukan pula adanya kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat propinsi, yaitu di propinsi Lampung. Selanjutnya sejak tahun 1986 sudah tidak ditemukan lagi adanya kerusakan vaksin baik di tingkat propinsi ataupun tingkat kecamantan. Yang

Page 15: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 14

meyakinkan adalah didapatinya titer virus vaksin yang cukup mantap dan dapat dipertahankan, yaitu rata-rata sebesar 107,0 /ml.

Berpedoman pada hasil. pengamatan ini maka dapat diharapkan bahwa cakupan imunisasi polio sebesar 65% pada akhir Pelita IV dapat dieapai dengan catatan imunisasi dilakukan dengan menggunakan vaksin yang memiliki potensi yang dapat dipertanggungjawabkan apabila sistem rantai dingin seperti ini dapat ditingkatkan atau paling tidak.dapat terus dipertahankan.

KESIMPULAN Dari pengamatan ini kiranya dapat dikemukakan bahwa

dengan perbaikan sarana penunjang operasional maka potensi vaksin polio yang dipakai dalam program PPI di Indonesia dapat tetap dijaga dan dipertahankan mutunya, sehingga target cakupan imunisasi yang telah ditentukan sebesar 65% pada akhir Pelita ke IV akan tercapai dengan menggunakan vaksin polio yang dapat dipertanggungjawabkan potensinya.

KEPUSTAKAAN 1. Pemantauan Program Imunisasi Tabun 1986/1987 (Cakupan imuni-

sasi dan mutu pelayanan serta harapan). Dit Jen P2M PLP. Dep. Kes. RI. Jakarta.

2. Setiady IF, Gunowiseso, Noto Abiprodjo, Tarantola D. Program Imunisasi di Indonesia, Masalah dan Prospek Pengembangannya. DirJen P3M DepKes RI. 1981. p. 14 — 6.

3. Sabin AB. Poliomyelitis in the Tropics; increasing incidences and prospect for control. Trop. Geogr. Med. 1963; 15 : 38.

4. Gunawan S. Kebijaksanaan dan Hambatan dalam Pelaksanaan Pengembangan Program Imunisasi. Dalam: Laporan Simposium Memasyarakatkan Imunisasi dalam Rangka Penurunan Mortalitas Bayi dan Anak. Eds : A Djohari dkk. Jakarta, FKMUI, 1985; p. 35—53.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Gunowiseso,

Kepala Subdit Imunisasi Dit Jen P2M PLP yang telah memberikan bantuan dalam penyediaan vaksin polio untuk penelitian. Demikian pula kepada Dr. Iskak Koiman yang- telah memberikan ijin pelaksana- an penelitian ini. Juga kepada perorangan ataupun instansi lain yang belum disebutkan di sini, atas segala bantuan dan kerjasamanya se- hingga penelitian ini terlaksana, penulis mengucapkan terimakasih.

Page 16: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 15

Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia,

Pemeriksaan fact-40 Marker Virus Polio Tipe 1 Djoko Yuwono dan Gendrowahyuhono

Pusat Penelitian Pen yakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.L, Jakarta

ABSTRAK Untuk mengetahui sifat keganasan beberapa galur virus polio yang telah diisolasi

dari beberapa daerah, telah dilakukan pengujian rct-40 marker dengan cara meng-hitung (infektivitas) virus polio tipe 1 pada perlakuan temperatur 40°C dalam biakan sel ginjal kera primer dengan cara makro.

Sejumlah 27 hasil isolasi virus dari masyarakat sehat dan 8 isolasi dari kasus tersangka poliomielitis telah diidentifikasi dengan uji netralisasi terhadap pool anti-serum enterovirus. Pengujian rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1 hasil isolasi di masyarakat dan dari kasus polio ternyata menemukan 3 (tiga) galur ganas virus polio tipe 1, sedangkan pemeriksaan rct-40 marker pada vaksin polio menunjukkan basil rct-40 negatif untuk semua nomor batch vaksin yang diuji.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara galur ganas dan jinak virus polio tipe 1 baik yang ada di masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio-mielitis.

PENDAHULUAN Pengetahuan tentang sifat kinetik virus menjadi sangat

penting kejak para ahli mulai menggunakan virus hidup untuk pembuatan vaksin. Dengan mempelajari sifat kinetiknya, akan diketahui sifat biologi dan fisik dari suatu tipe virus baik per-samaan ataupun perbedaannya; selain itu dapat pula diketahui tipe virus secara intra tipik yang merupakan penyebab pada saat epidemik ataupun non epidemik1,2 ; demikian pula tipe virus yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan yang tidak3,4. Dengan pemeriksaan rct-40 marker dapat diketahui sifat ke-ganasan virus polio secara in vitro, sehingga dapat diketahui apakah suatu galur ganas atau jinak.

Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan untuk mencari hubungan antara sifat kinetik virus polio tipe 1 yang berhasil diisolasi dari orang sehat dan dari kasus-kasus tersangka poliomielitis. Dari hasil penelitian didapat indikasi bahwa virus polio tipe 1 merupakan virus yang dominan di masyarakat dan diketahui paling virulen yang dapat menyebab-kan kelumpuhan, oleh karena itu pemeriksaan dititik beratkan pada pemeriksaan rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1.

Dibacakan pada Kongres Nasional Biologi Ke VI Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Otkober 1987.

BAHAN DAN CARA KERJA Sampel

Sampel dikumpulkan dari masyarakat daerah perkotaan dengan sanitasi baik dan daerah perkotaan dengan lingkungan buruk. Sedangkan kasus-kasus tersangka poliomielitis berasal dari beberapa daerah yang dikirim ke PuslitPenyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan Jakarta. Spesimen berupa tinja atau usapan rektal, dibawa dalam medium Hank's BSS, dengan pelengkap antibiotik (penisilin-streptomisin) 500 ug/ml. Dibawa dalam thermos yang diisi dengan CO2 kering. Isolasi dan identifikasi virus

Isolasi virus dilakukan dengan menggunakan biakan sel ginjal kera primer (Maccaca Sp.), secarā macro assay. Inokulum 0,2 ml/tabung, inkubasi pada suhu 37°C dengan kemiringan tabung 5-8° . Inkubasi selama 7 hari, observasi terbentuknya efek sitopatik. Subkultur ulangan dilakukan bagi yang positif untuk mempertinggi kadar virus. Isolasi disimpan pada suhu minus 20°C sampai dilakukan identifikasi.

Identifikasi dilakukan dengan uji netralisasi dengan anti polio pool serum dengan mencampurkan 100 TCID50 virus

Page 17: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 16

dari 20 unit antiserum dengan volume sama. Campuran virus- serum diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam untuk mem- berikan reaksi serum-virus secara optimal. Inokulasi pada tabung berisi biakan sel ginjal kera, inokulum 0,1 ml tiap tabung, dua tabung untuk setiap campuran serum-virus. Pengamatan terbentuknya efek sitopatik sel ginjal kera di-lakukan sampai hari ke 7. Tidak terbentuknya efek sitopatik pada biakan sel menunjukkan adanya virus yang dimaksud. Pemeriksaan rat-40 marker

Pengujian rct-40 marker dilakukan dengan menghitung infektivitas virus polio (TCIL 0) pada biakan sel ginjal kera dengan perlakuan temperatur 37°C dan 40°C pada inkubator dan penangas air (waterbath), perubahan temperatur ± 1°C. Inokulum 0,1 ml tiap tabung, pengamatan efek sitopatik dilakukan sampai hari ke 7. Penghitungan TCID50 dilakukan dengan cara Karber5 dan penilaian rct-40 marker dilakukan berdasarkan ketentuan Benyesh-Melnick4. HASIL

Selama ini telah dapat dikumpulkan 12 basil isolasi virus polio balk dari survai di masyarakat ataupun di rumah sakit, yaitu dari kasus-kasus tersangka poliomielitis. Hasil iden-tifikasi menunjukkan bahwa dari 27 basil isolasi virus di masyarakat ternyata hanya 1 virus polio tipe 1 dan 5 virus polio tipe 3 yang diisolasi dari daerah perkotaan dengan lingkungan balk dan lingkungan buruk. Dari kasus tersangka poliomielitis yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit di beberapa daerah ternyata dapat diidentifikasi 3 virus polio tipe 1 dari Jakarta, 1 virus polio tipe 1 dari Manado dan masing-masing 1 virus polio tipe 2 dan virus polio tipe 3 dari Kalimantan Tengah (Tabe l 1 dan Tabel 2).

Hasil pemeriksaan rct-40 marker ternyata dari tiga strain virus yang diperiksa hasilnya rct-40 positif (tabel 3). Untuk melengkapi penelitian ini telah dilakukan pengujian rct-40 marker pada 8 nomor batch vaksin polio yang dipakai untuk imunisasi polio di Indonesia dan hasilnya ternyata semuanya rct-40 negatif (tabel 4) . Tabel 1. Hasil identifikasi isolasi virus entero pada masyarakat di

daerah perkotaan dengan sanitasi buruk (Tanjung Priok) dan sanitasi bask (Kebayoran Baru).

Jenis virus entero Tg. Priok Kebayoran Baru

Polio tipe 1 0 1tipe2 0 0

tipe 3 3 1 Coxsaclae B 1 1 0

B2 1 0B3 1 0B4 0 0B5 0B6 0 0

ECHO 3 0 0 4 0 05 2 07 8 39 0 0

11 0 027 1 0

Jumlah * 17 5

Keterangan: * : 5 hasil isolasi tidak diketahui jenisnya.

Tabel 2. Hasil isolasi virus pada kasus-kasus tersangka poliomielitis yang dapat diperiksa di Puslit Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan.

No. strain Asal spesimen Jenis virus

111/82 DKI Jakarta Polio tipe 1 275/82 DKI Jakarta Polio tipe 1284/82 DKI Jakarta Polio tipe 1235/82 DI Yogyakarta Polio tipe 1137/82 Manado Polio tipe 1 004/82 Kalimantan Tengah Polio tipe 20014/82 Kalimantan Tengah Polio tipe 3

Tabel 3. Hasil pemeriksaan rct-40 marker. terhadap isolasi virus dari masyarakat dan kasus-kasus poliomielitis.

No. strain Asal Tipe virus 37°C 40°C rct-40 235/81 Tg. Priok Polio 3 6,8 * ND

65/81 Tg. Priok Polio 3 6,0 ND185/81 Tg. Priok Polio 3 6,5 ND262/81 Kebayoran Polio 1 6,8 5,0 +200/81 Kebayoran Polio 3 6,3 ND111/82 DKI Jakarta Polio 1 7,0 5,0 +284/82 DKI Jakarta Polio 1 6,8 ND235/82 DI Yogyakarta Polio 1 7,0 ND137/82 Manado Polio 1 7,0 5,25 +014/82 Kal Teng Polio 3 6,8 NDMahoney Tokyo, NIH. Polio 1 6,0 4,5 +

Keterangan: ND : Tidak diperiksa * : Titer virus : 106,8. Tabel 4. Hasil pengujian rct-40 marker vaksin polio yang dipakai

dalam imunisasi polio di Indonesia. No. batch Titer awal 37°C 40°C rct-40

183 B1 7,0* 6,75 1 - 281 Al 6,8 6,75 1 -382 A 6,0 6,5 1 -283 Al 6,75 6,5 1 -282 Al 7,0 6,5 1 -283 A2 7,0 6,3 1 -383 Al 7,0 6,0 1 -383 B 7,0 6,8 1 -Mahoney (1) 6,0 6,0 4,3 +MEF (2) 6,8 6,5 4,8 + Saukett (3) 6,5 6,5 4,8 +

Keterangan: Titer virus : 107,0.

PEMBAHASAN Penelitian di Uganda dapat menunjukkan adanya enam

varian antigen yang -berbeda, masing-masing antigen tersebut ternyata merupakan antigen yang dominan pada suatu periode tertentu2. Akan tetapi lebih lanjut tidak dapat ditunjukkan adanya hubungan antara strain yang dominan di saat wabah dan non wabah, tambahan pula jugs tidak dapat dibuktikan adanya hubungan antara strain yang diisolasi dari kasus polio-mielitis dengan ada tidaknya kelumpuhan2.

Hasil pengujian ini ternyata dapat menunjukkan adanya strain ganas (rct-40 positif) secara in-vitro pada masyarakat, selain itu dua basil isolasi virus berasal dari kasus polio ter-nyata keduanya rct-40 positif pula. Masalahnya sekarang apakah terdapat hubungan intratipik antara antigen tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dilakukan pengujian

Page 18: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 17

Gambar 1. Penyebaran virus entero pada masyarakat di daerah Ke- bayoran dan Tanjung Priok, pada tahun 1981.

Gambar 2. Penurunan titer virus polio tipe 1 pada temperatur 37oC dan 40oC dibandingkan terhadap strain ganas Mahoney (virus polio tipe 1).

intratipik serodiferensi'asi (Mc Bride test). Pada penelitian ini juga belum dapat ditunjukkan adanya strain vaksin (atte-nuated strain) pada masyarakat, akan tetapi mengingat imuni- sasi polio telah dilakukan sejak lama, maka sudah pasti strain vaksin banyak terdapat di masyarakat.

Lebih lanjut hasil pengujian rct-40 marker pada kasus polio terryata menunjukkan adanya infeksi strain ganas pada penderita. Pengujian rct-40 marker terhadap hasil isolasi virus dari kasus polio perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terj di infeksi virus oleh strain yang berasal dari vaksin polio. Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat penting sekali artinya karena hasil pemeriksaan rct-40 marker ter-hadap vaksin polio yang dipakai untuk imunisasi polio ter-nyata semuanya negatif.

KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini hanyalah suatu penelitian pendahuluan;

masih banyak hasil isolasi virus yang harus diuji sifat rct-40 merkernya, sehingga dapat diketahui distribusi virus polio, baik galur ganas ataupun galur jinak, baik yang berasal dari masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio, baik pada saat terjadi wabah ataupun saat non wabah. Yang dapat disimpulkan hanyalah. bahwa galur ganas virus polio tipe 1 terdapat di masyarakat maupun kasus-kasus poliomyelitis. Selain itu tampaknya terdapat kecenderungan bahwa virus polio tipe 1 merupakan tipe virus yang dominan di beberapa daerah. Demikian pula perbedaan intratipik masih harus di-teliti untuk mengetahui hubungan antara galur yang dominan.

KEPUSTAKAAN

1. Menube GMR. Outbreak of type 1 paralytic poliomyelitis in Kam-pala City and the surrounding Mango (East and West Buganda) district of Uganda during 1969. East Afr Med J 1972; 49 : 1012-9.

2. Balayan MS, Domok I, Fayinka OA, Soneji AD. Some character-istics of poliovirus strains isolated in Uganda between 1966 and 1971. Bull WHO 1976; 53 : 339-45.

3. Benyesh-Melnick M, Melnick X. The use of in vitro markers and neurovirulence test of genetic changes in attenuated poliovirus multiplying in the human alimentary tract. In: Poliovirus Live Vaccines, First International Conference on Live Poliovirus Vac-cines, Washington DC. 1959. Pan American Sanitary Bureau, 1959. p. 179-202. (Scientific Publication No. 44).

4. McBride WD. Antigenic analysis of Polioviruses by kinetic studies of serum neutralization. Virology 1959; 7 : 45-58.

5. Grist NR, Ross CAC, Bell EJ, Stott EJ. Diagnostic Methods in Clinical Virology. Oxford : Blackwell Scientific Publication, 1966.

A book is a success when people who haven’t read it pretend they have.

Page 19: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 18

Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur

M. Faried K*, Hanny Roespandi**, Sri Prihartini*** *Staf Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

**Kasi Epidemiologi Kanwil Depkes Prop. Jatim. ***Kasi Imunisasi DinKesDa Prop. Dati I Jatim.

PENDAHULUAN Imunisasi terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) dapat menyelamatkan berjuta-juta anak dari kematian setiap tahunnya. Imunisasi TT pada ibu hamil juga mempunyai andil dalam penyelamatan bayi baru lahir.

Pada saat ini kita telah sampai pada akhir Pelita V dan segera memasuki era tinggal landas. Pemerintah telah sepakat untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) pada akhir tahun 1990, yaitu pelayanan imunisasi dengan seluruh antigen (BCG—DPT—Polio dan Campak) di seluruh Puskesmas dengan cakupan minimum 90% pada kontak pertama (BCG dan DPT—1) dan minimum 80% untuk imunisasi lengkap (DPT 3, Polio 3 dan Campak). Cakupan ini harus dipertahan-kan setiap tahun agar sasaran strategis Pelita V tercapai. Pada akhir Pelita V, Departemen Kesehatan telah menuntukan sasaran strategis wilayah bebas Polio untuk Jawa — Bali dan Sumatra serta bebas Tetanus Neonatorum di Jawa dan Bali.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa hal mengenai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) di Jawa Timur. PD3I di RSUD Dr Soetomo Surabaya1,2

Data Pencatatan—Pelaporan Seksi Penyakit Tropik dan Menular Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, dan Unit Rehabili-tasi Medik RSUD Dr Soetomo (untuk kasus Polio) ditampil-kan pada tabel 1.

Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah penderita cen-derung menurun sejak tahun 1982, sebaliknya angka ke-matian penderita tidak/belum menunjukkan perubahan nyata. Data tersebut di atas mengingatkan kita bahwa imu-nisasi terhadap penyakit difteri masih perlu ditingkatkan kacena agaknya lebih sulit menekan angka kematiannya.

Data penyakit batuk rejan di RSUD Dr Soetomo tidak tercatat. Penderita- baru dirawat -di RS bilamana disertai penyulit berat seperti bronkhopnemoni. Diagnosis yang

Tabel 1. Jumlah penderita difteri (1970—1989) Lab/UPF I. Kes. Anak, RSUD Dr Soetomo, Surabaya.

Tahun Jumlah Meninggal CFR %

1970 234 10 4.31971 394 26 6.61972 372 44 11.81973 400 39 9.71974 466 34 7 . 31975 495 46 9.31976 405 28 6.91977 505 28 5.51978 568 34 6.01979 689 38 5.51980 500 21 4.21981 411 17 4.11982 570 29 5.11983 482 33 6.81984 359 14 3.91985 290 15 6.21986 223 10 4.51987 203 15 7.41988 171 8 4.71989 125 5 4.0

Keterangan: Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular

terekam tentunya adalah penyakit penyulitnya, sedang diagnosa pertussisnya tidak.

Jumlah penderita Tetanus (anak dan neonatorum) juga. cenderung berkurang. Walaupun angka cakupan imunisasi TT2 kepada Ibu Hamil masih sekitar 44% dan Calon Pengantin Wanita 22% dalam tahun 1989/1990, kecenderungan pe-nurunan jumlah penderita Tetanus Neonatorum tampak lebih mengesankan daripada Tetanus Anak. Penurunan jumlah penderita Tetanus menunjukkan kecenderungan yang mirip dengan penderita Difteri.

Page 20: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 19

Tabel 2. Jumlah penderita Tetanus, 1970 - 1989, Lab/UPF I. Kes.. Anak. Dr. Soetomo, Surabaya.

Tahun Jumlah Meninggal CFR %

1970 78 9 11.51971 96 10 10.41972 109 17 15.61973 128 14 10.91974 125 23 18.41975 92 19 20.61976 146 24 16.41977 146 31 21.21978 140 28 20.21979 113 20 17.71980 164 16 9.71981 143 11 7.71982 124 15 12.11983 123 13 10.61984 79 6 7.61985 99 17 17.21986 62 10 16.11987 58 5 8.61988 49 - -1989 45 2 4.4

Keterangan; Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular

Tabel 3. Jumlah penderita Tetanus Neonatorum, 1970 - 1989 Lab/UPF I. Kes. Anak, Dr Soetomo, Surabaya.

Tahun Jumlah Meninggal CFR %

1970 48 27 56.2 1971 52 24 46.11972 58 37 63.81973' 66 49 74.21974 60 30 50.01975 61 29 47.51976 52 22 42.31977 51 27 52.91978 38 23 60.51979 47 21 44.71980 41 16 39.01981 37 19 51.31982 24 13 54.21983 32 17 53.11984 20 8 40.01985 22 9 40.91986 18 6 33.31987 11 4 36.41988 8 5 62.51989 7 2 28.7

Keterangan : Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.

Program PPI baru mencakup imunisasi campak pada tahun 1982/1983. Data menunjukkan peningkatan cakupan dari tahun ke tahun, namun penurunan jumlah penderita tidak/ belum jelas terlihat dalam tabel di atas. Hasil pelaksanaan imunisasi mendapatkan angka 57% (1988/1989, Tabel 6), berarti PPI harus meningkatkan cakupan sebesar 23% lagi guna mencapai cakupan yang ditargetkan pada akhir tahun 1990. Upaya yang dilaksanakan memberikan harapan bahwa target tersebut dapat dicapai bila kita melihat hasil survai akupan tahun 1989 yang menunjukkan angka 82%. (Tabel 8).

Tabel 4. Jumlah penderita Campak, 1970 – 1989, Lab/UPF I. Kes. Anak. Dr. Soetomo, Surabaya.

Tahun Jumlah Meninggal CFR %

1970 72 9 12.51971 68 13 19.11972 94 23 24.51973 205 53 25.81974 84 20 23.81975 98 19 19.41976 226 41 18.11977 233 35 15.01978 243 47 19.31979 '258 45 17.4 1980 394 33 8.4 1981 326 43 13.21982 322 20 6.21983 233 32 13.71984 272 32 12.91985 146 15 10.31986 299 15 5.01987 163 11 6.71988 114 2 1.71989 126 6 4.8

Keterangan ; Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.

Tabel 5. Jumlah penderita Polio, 1984 - 1989, RSUD Dr Soetomo, Surabaya.

Tahun Surabaya Luar Surabaya Jumlah

1984 29 55 84 1985 37 41 78 1986 36 65 101 1987 34 44 78 1988 19 27 46 1989 24 39 63

Sumber : Laporan Unit Rehabilitasi Medik

Tabel 6. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur. 1985/1986 - 1988/1989.

Realisasi Kumulatif Jenis Vaksinasi

85/86 86/87 87/88 88/89

Indonesia 88/89

BCG 63 61 65 70 81DPT 1 63 61 65 71 82DPT3 40 46 53 65 71Polio 3 40 47 54 66 73Campak 40 43 48 57 64TT1 IH 31 33 33 34 45TT2 IH 21 24 25 29 37

Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989.

Umumnya penderita Polio lebih banyak datang dari luar Surabaya (60%). Jumlah penderita laki-laki lebih besar dari-pada perempuan (57.6 : 42.4). Penyakit Polio paling banyak menyerang anak anak kelompok usia 6 -23 bulan, kemudian 2 - 6 tahun. Sebagian besar penderita datang berobat dalam stadium konvalesens (40.3%) dan stadium rehabilitasi (33.9%). Dan 387 penderita yang berobat ke Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr Soetomo, sekitar 5.9% pemah mendapat imunisasi

Page 21: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 20

Polio. PPI di Jawa Timur3,4

Menurut catatan, program imunisasi di Jawa Timur telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 untuk membasmi pe-nyakit cacar. Kemudian, setelah penderita penyakit cacar terakhir di Jawa Timur ditemukan pada tahun 1969, dimulai-lah imunisasi gabungan Cacar—BCG pada tahun 1972 (vaksi-nasi cacar dihentikan pada pertengahan 1986). Tahun 1976/ 1977 PPI di Jawa Timur dimulai pada dua kecamatan yang selanjutnya dikembangkan secara bertahap, dan PPI pada saat itu memberikan imunisasi BCG—DPT—TT dan Cacar.

Pada tahun 1981/1982 imunisasi Polio dimasukkan dalam PPI dan imunisasi Campak dimulai secara bertahap sejak tahun 1982/1983. Tahun 1983/1984 diberikan imunisasi DT di Sekolah Dasar menggantikan imunisasi ulangan BCG, sedangkan imunisasi TT di sekolah diberikan satu tahun kemudian. Imunisasi TT pada Wanita Usia Subur (WUS)—ibu non hamil mulai dilaksanakan pada tahun 1983/1984. Memasuki tahun 1987/1988 terdapat perubahan yaitu imunisasi TT pada WUS dibatasi hanya pada ibu hamil dan Calon Pengantin Wanita (CPW), sedangkan imunisasi TT pada anak sekolah dibatasi pada murid wanita saja. Pengembangan yang terjadi kemudian adalah "pelonggaran" indikasi kontra dan terakhir adalah upaya PPI Perkotaan.

Realisasi cakupan imunisasi dari tahun ke tahun (1985/ 1986 — 1988/1989) ditampilkan secara singkat pada tabel 6.

label 6 menyatakan adanya peningkatan cakupan dari tahun ke tahun. Akan tetapi hasil cakupan untuk semua jenis antigen dalam tahun 1988/1989 masih di bawah angka nasional, apalagi terhadap propinsi Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tabel 7. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur.

Angka Drop-outs selama periode (dalam %) Jenis vaksin

84/85 85/86 86/87 87/88 88/89

DPT 1—3 59 38 25 18 8 Polio 1—3 62 38 24 17 7 DPT 1— Polio 3 — — — 16 7 TT 1 — TT 2 40 33 27 23 14

Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989

Dari tabel di atas-dapat dilihat bahwa peningkatan cakupan (kuantitas) dibarengi juga dengan pengurangan angka drop- outs (kualitas).

Evaluasi PPI di Jawa Timur5,6 Sampai saat ini telah dua kali dilakukan survai cakupan

guna menentukan coverage rate. Survai pertama dilakukan dalam bulan Nopember 1986 dalam rangka midterm evalua-tion, dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari unsur WHO, Depkes, FK Unair, kelompok PICK dan wakil Bangdes. Survai kedua dilakukan dalam bulan September 1989 oleh Depkes derigan dana DIP Suplemen/OECF 1989/1990.

Sasaran yang diperiksa adalah bayi/anak usia 12—23 bulan pada saat pelaksanaan survai dengan asumsi bahwa pada umur tersebut anak telah mendapatkan vaksinasi lengkap BCG, DPT,

Polio dan Campak. Hasil kedua survai tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 8. Hasil survai cakupan imunisasi tahun 1986 dan 1989 di

Jawa Timurl .

Antigen 1986 1988/892 (dalam %)

1989

BAYI: DPT 1 79 74 92

2 72 69 913 60 68 86

Polio 1 78 74 922 72 70 913 59 69 86

Campak 55 59 82BCG 78 74 91Scar BCG 67 — 80

IBU:

TT 1 59 35 59TT 2/TT ulang 46 30 52

Keterangan: Sumber : 1. Berita Epidemiologi Jawa Timur

2. “Pemantauan Program Imunisasi tahun 1988/1989" Ditjen PPM & PLP Depkes RI.

Attack Rate dan Vaccine Efficacy7 Tiap edisi Berita Epidemiologi Jawa Timur, hampir selalu

memberitakan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit-penyakit penyebab KLB bermacam-macam, tetapi yang sering disebut adalah Diare—DBD—Carnpak—Difteri—Keracunan dan lain-lain. Peristiwa KLB terjadi menyebar pada Daerah Tingkat II Jawa Timur.

Banyak hal dapat dipelajari dari peristiwa KLB, antara lain jumlah kecamatan terjangkit, macam penyakitpenyebab KLB, jumlah penderita—kematian—proporsi kelompok umur yang sakit dan lain-lain.

Dalam makalah ini akan dibahas KLB Campak yang di-laporkan terjadi di desa Sekaran, kecamatan Jatirogo, kabu-paten Tuban, tanggal 1 Januari — 23 Maret 1989.

Dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah se-luruh penduduk desa, didapatkan data sebagai berikut: Dari desa yang berpenduduk 2.806 jiwa, jumlah seluruh penderita dalam kurun waktu KLB adalah 458 dengan 10 kematian; (Attack Rate — 16.3% dan Case Fatality Rate — 2 .2%) Case Fatality Rate rata-rata (nasional) untuk 1987 adalah 5.6% (Subdit Surveilens Ditjen PPM & PLP). KLB menyerang anak usia 0 — 14 tahun, tak ditemukan penderita usia > 15 tahun dan + 90% < 10 tahun. Proporsi terbesar pada kelompok usia 5 — 9 tahun (48.3%), kemudian kelompok usia Balita (0 - 4 tahun) 40% dengan AR masing-masing kelompok 713% dan 54.4%. Tidak terdapat kasus di desa tetangga. Di antara 183 penderita Balita hanya 5 penderita yang telah mendapat imunisasi Campak. Melalui tabel berikut ini dihitung vaccine efficacy campak. (Tabel 9)

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh angka Vaccine Efficacy (VEJ sebesar 83.9%; berarti cukup efektif atau dengan perkataan lain perlindungan yang diberikan/diakibat-kan imunisasi cukup bermakna (nilai efektif 80 — 95%).

Faktor-faktor yang mempengamhi timbulnya KLB ter-sebut antara lain adalah rendahnya cakupan imunisasi campak

Page 22: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 21

Tabel 9. Distribusi penderita Campak (Balita) menurut status vaksi-nasi di Desa Sekaran, Maret 1989.

Status imunisasi

Sakit Campak

Tidak sakit Iumlah Attack Rate %

+ —

5 178

45 108

50 286

10.0 62.2

Jumlah 183 153 336 54.5

Keterangan: Sumber : Berita Epidemiologi Jatim, Juni 1989.

setempat (kecuali untuk tahun 1986/1987 sebesar 56.9%, rata-rata cakupan adalah < 7% per tahun). Letak desa ber-jarak 13.5 km dari Puskesmas dan melewati kawasan hutan, dan sejak tahun 1985 tidak penult ditemukan kasus campak. Walaupun tersedia Pos Kesehatan dan Posyandu, hari buka Pos Kesehatan setempat hanya 2 kali seminggu, sedangkan Posyandu sebulan sekali dan secara bergiliran didatangi tenaga Puskesmas sekali sebulan. Faktor-faktor tersebut ditunjang pula dengan faktor kurangnya pemanfaatan Pos Kesehatan atau Posyandu yang tersedia.

PENUTUP Dengan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa Jawa

Timur telah berupaya keras mengejar "persen tambahan" guna mencapai target UCI. Survai cakupan imunisasi 1989 membuktikan hasil upaya tersebut (label 8). Akan tetapi hasil tersebut perlu dibuktikan dengan analisa laporan Realisasi Pelaksanaan Imunisasi rutin.

Faktor penyuluhan masih memprihatinkan dan terobosan-terobosan sosial menjadi lebih penting. Dorongan utama ada-lah mobilisasi sosial yaitu keterlibatan semua untuk mem-berikan informasi dan mendukung para orangtua dalam memanfaatkan pelayanan-pelayanan imunisasi. Unicef, WHO dan Unesco telah menerbitkan buku Facts for Life8 yang

berisi pesan-pesan pengetahuan perawatan anak bagi setiap keluarga. Pesan-pesan ini perlu disebarluaskan.

Walaupun telah terdapat peningkatan status imunisasi Ibu Hamil (Bumil) yang mendapat TT2/TT ulangan dari 46% dalam tahun 1986 menjadi 52% dalam tahun 1989 (Tabel 8) hasil ini masih jauh dad target yang ditetapkan guna pem-berantasan Tetanus Neonatorum.

Survai cakupan tahun 1986 mendapatkan data bahwa tempat mendapatkan imunisasi terbesar adalah di Posyandu (60%), kemudian berturut-turut di Puskesmas (28%), Rumah Sakit (2%) dan Praktek Swasta (1%). Di samping mengupaya-kan peningkatan peran serta para Ahli Kebidanan, perlu di-upayakan peningkatan pemanfaatan Posyandu khususnya pelayanan ANC (Ante Natal Care).

KEPUSTAKAAN

1. Pencatatan dan Pelaporan Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga — RSUD Dr Soetomo, Surabaya.

2. Pencatatan dan Pelaporan Unit Rehabilitasi Medik, RSUD Dr Soetomo, Surabaya.

3. Hendro Tjahjono Pengalaman Pelaksanaan Program Imunisasi di Jawa Timur. Simposium Imunisasi, Fakultas Kedokteran, Ikatan Dokter Anak Cabang Jawa Timur, DinKesDa Prop Dati I Jatim. Surabaya, Juni 1987.

4. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timtir. Edisi-edisi tahun 1986 — 1990.

5. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1987.

6. Berita Epideriologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1990.

7. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Edisi Juni, 1990.

8. UNICEF — WHO UNESCO. The Facts for Life. 1989.

Page 23: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 22

Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus

Muljati Prijanto Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas pe-

nyakit menular adalah dengan meningkatkan kekebalan i$dividu terhadap penyakit menular dengan pemberian imuni-sasi. Seperti diketahui Program Pengembangan Imunisasi (PPI) merupakan program kesehatan yang penting berupa pem-berian imunisasi terhadap enam penyakit yaitu difteri, pertu-sis, tetanus, tuberkulosis, polio dan Dampak. Sasaran program pada Pelita V adalah pencapaian cakupan imunisasi minimum 80% untuk semua antigen dan dapat dipertahankan secara terus menerus. Dampak penurunan angka kesakitan dan ke-matian, terutama untuk penyaicit polio memungkinkan untuk menentukan strategi wilayah bebas polio untuk Jawa, Bali dan Sumatra.

Vaksin yang akan digunakan hams memenuhi persyaratan dan melalui pengawasan kualitas yang ditetapkan WHO. Per-syaratan yang hams dipenuhi antara lain adalah :

1) Vaksin harus poten agar dapat menimbulkan kekebalan yang dapat melindungi terhadap penyakit yang bersangkutan-an.

2) Vaksin hams aman digunakan, artinya tidak menimbulkan reaksi samping yang tidak diinginkan, yang akan dapat meng-hilangkan kepercayaan masyarakat terhadap program.

3) Vaksin yang digunakan hams disimpan dalam suhu yang memenuhi syarat sampai saat digunakan, agar potensi vaksin dapat dipertahankan. Penyimpanan vaksin pada suhu dingin sejak diproduksi sampai saat digunakan dinamakan rantai dingin.

Tulisan ini akan membahas pengawasan kualitas dan per-kembangan vaksin virus secara umum dan vaksin virus yang digunākan dalam program imunisasi di Indonsia.

ANTIGEN PROTEKTIF DAN VAKSIN Seperti diketahui antigen adalah substansi dari bermacam-

macam bentuk kimia yang mampu merangsang sistem imun untuk menimbulkan. respon spesifik yang ditujukan terhadap substansi yang merangsangnya dan bukan terhadap substansi lain. Antigen memiliki imunogenisitas yaitu kemampuan untuk memberi rangsangan pada molekulnya yang disebut determin- an antigenik. Antigen yang memiliki kemampuan mengadakan reaksi spesifik dengan zat anti disebut imunogen.

Berbagai persyaratan antigen yang baik antara lain adalah : • Memiliki berat molekul yang besar. Makin besar berat mole-kulnya makin tinggi sifat keantigenannya. • Bersifat asing. Makin asing makin baik. • Sifat menginduksi zat anti. Makin larut makin cepat in-duksinya.

Sel dari mikroorganisme patogen, balk bakteri ataupun virus mengandung bermacam-macam substansi antigenik yang dapat menginduksi terbentuknya zat anti. Namun tidak semua bagian dari mikroorganisme ada hubungannya dengan infeksi dan pencegahannya. Selalu hanya ada 1 atau 2 antigen yang dianggap relevan terhadap patogenisitas yang antagonis. dengan zat anti. Antigen yang berkelakuan seperti ini dalam infeksi disebut antigen protektif.l Secara umum antigen protektif adalah substansi antigen yang merupakan struktur permukaan dari mikroorganisme patogen dan menempati posisi yang mem-buat interaksi dengan sel hospes melalui kontak pertama dengannya.

Konsep antigen protektif mempunyai implikasi penting dalam pengembangan dan produksi vaksin. Apakah dibuat dari toksin bakteri, sel bakteri atau sel virus, vaksin harus me-ngandung antigen protektif bia akan digunakan untuk men-cegah infeksi dengan maksud mengontrol penyebaran wabah. Antigen protektif tidak hanya untuk imunisasi parenteral

Page 24: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 23

yang menginduksi terbentuknya IgM dan IgG tetapi juga. dapat menimbulkan imunitas lokal dengan menginduksi anti-bodi sekretorik yang terdiri dari molekul dimer IgA.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON TERHADAP PEMBERIAN VAKSIN.

Telah diketahui ada beberapa variabel yang mempengaruhi pembentukan zat anti setelah pemberian imunisasi, yaitu : • potensi vaksin yang diberikan • ādanya efektivitas ajuvan • jumlah dosis yang diberikan — tinggi pada inactivated

vaccine • jadwal pemberian yang tepat, termasuk usia pada saat

pemberian imunisasi • cara pemberian • jenis antigen — vaksin yang dilemahkan atau dimatikan

VAKSIN VIRUS Vaksin virus dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :

1) Vaksin live attenuated. Vaksin jenis ini dibuat dari virus yang telah dilemahkan.

Vaksin ini mempunyai kelbūlan karena menyerupai infeksi alami dalant hal pembentukan zat anti yang ditimbulkannya. Virus membelah dalam hospes dan merangsang pembentukan zat anti yang l e b l lama dan menginduksi zat anti pada jalan masuk infeksi.

Ada dua macam cara pemberian imunisasi dengan vaksin ini yaitu melalu suntikan atau melalui jalan infeksinya misalnya dengan penyemprotan intranasal atau secara oral.

Vaksin jenis ini memiliki beberapa kelemahan,3 yaitu : Adanya risiko bahwa virus akan kembali menjadi lebih

virulen selama pembelahan dalam tubuh manusia. Walaupun hal ini telah terbukti tidak menimbulkan masalah dalam pe-laksanaan namun pemantauan tetap diperlukan. • Adanyakontaminan tidak dikenal yang secara laten meng-infeksl sel yang digunakan dalam produksi yang mungkin masuk ke dalam vaksin. Hal ini dapat diatasi dengan peng-gunaan sel human diploid. • Masalah umur vaksin yang terbatas; dapat diatasi dengan penambahan stabilizer virus seperti IM MgC12 untuk vaksin polio.

Walaupun secara teori dinyatakan bahwa tanggap kebal vaksin ini lemah atau dapat terjadi gangguan bila dua atau lebih antigen diberikan pada saat yang bersamaan, namun pada kenyataannya vaksin aman dan efektif. Contoh jenis vaksin ini adalah vaksin polio oral (OPV), campak, influensa, rabies, rubella. 2) Vaksin inactivated (killed).

Vaksin ini dibuat dari seluruh partikel virus yang dimatikan. Sebagai contoh adalah vaksin polio (IPV). Vaksin ini diberikan melalui suntikan.

Terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan vaksin ini ialah3 . • Dalam proses produksi diperlukan ketelitian yang tinggi untuk membuat vaksin yang bebas dari virus virulen yang

mungkin tertinggal dalam vaksin pada waktu mematikannya. • Imunitas yang ditimbulkannya singkat, sehingga perlu di-berikan imunisasi ulangan (booster). Hal ini tidak hanya me-nambah beban operasional, namun dapat menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya efek dari protein asing yang ada dalam vaksin (hipersensitivitas). • Beberapa vaksin dapat menginduksi terbentuknya hiper-sensitivitas terhadap infeksi oleh virus liar. • Karena diberikan melalui suntikan maka tidak terbentuk kekebalan lokal.

Cara penyimpanan vaksin virus pada umumnya pada suhu - 2 0 0 C, dan tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung. Vaksin dalam bentuk kering, bia telah diilarutkan harus segera digunakan, pelarut pada saat digunakan harus dalam keadaan dingin agar vaksin tidak rusak.

PENGAWASAN KUALITAS VAKSIN VIRUS.

Pengawasan kualitas vaksin dilakukan oleh pembuat vaksin selama proses produksi dan terhadap produk akhir, juga oleh lembaga yang berwenang di suatū negara (National Control Authority) terhadap produk akhir. Hasil uji kualitas dinyata- kan pada sertifikat pemeriksaan yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut di atas.

Dalam hal ini akan dibahas pemeriksaan yang terpenting terhadap produk akhir, yaitu pemeriksaan potensi dan safety, namun tidak berarti bahwa pemeriksaan lain tidak dilakukan.

Pemeriksaan potensi. Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur infektivitas

virus dengan membandingkannya terhadap standar yang telah diketahui titer atau unitnya. Pemeriksaan potensi dibeda-kan antara vaksin yang dlemahkan atau vaksin virus hidup dengan vaksin inactivated.

Pemeriksaan potensi dilakukan pada bulk dalam proses produksi dan pada produk akhir. A. Vaksin live attenuated' .

Berdasarkan statistik dan karakteristiknya dibedkan dua tipe : 1) Quantal response assay

Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan, hewan per-cobaan (mencit), atau telur berembrio, dengan melihat tanda infeksi atau luka karakteristik yang ditimbulkan oleh virus yang diinokulasikan. Pada biakan jaringan digunakan indikator CPE.

Dosis respon yang paling tepat adalah respon 50% yaitu dosis efektif 50% (ED 50). ED50 kemudian disebut dengan Tissue Culture Infected Dose 50% (TICD 50) atau Cell Culture Infective Dose 50% (CCID 50). Potensi dihitung dengan cara Spearman Karber, Reed Muench atau Probit Analisis.

Sebagai contoh pemeriksaan yang menggunakan biakan jaringan adalah vaksin polio OPV dan vaksin campak. Vaksih yang diperiksa pada mencit ialah vaksin Yellow fever dan yang diperiksa pada telur berembrio adalah vaksin influenza. 2) Enumeration assay

Page 25: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 24

Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan (vaksin polio OPV, campak, yellow fever, rubella), pada kelinci (vaksin smallpox) dan pada telur berembrio (vaksin smallpox) Cara- nya dengan menginokulasikan sejumlah enceran virus pada biakan jaringan, hewan, atau telur berembrio yang kemudian akan membentuk fokus infeksi yang jumlahnya dapat di-hitung. Potensi vaksin adalah titer suspensi virus dengan meng-hitung jumlah fokus atau plaque dari pengenceran tertentu. Satuan yang dipakai adalah FFU (Focus Forming Unit) atau PFU (Plaque Forming Unit). B. Vaksin virus "inactivated" ("killed vaccines ")6 .

Dasar pemeriksaannya adalah mengukur jumlah antigen imunogenik yang dikandungnya.

Pemeriksaan ini dapat dibedakan dalam dua cara yaitu. : 1) Cara in vivo

Tes dilakukan pada hewan. Sebagai contoh adalah vaksin rabies yang diperiksa dengan menggunakan mencit.

Dasar pemeriksaan adalah dengan mengukur resistensi hewan yang telah diimunisasi terhadap infeksi virus atau menggunakan titer zat anti sebagai kriteria potensi. Caranya yaitu : mula-mula beberapa kelompok hewan diimunisasi dengan beberapa macam pengenceran vaksin, setelah jangka waktu tertentu diberi suntikan virus hidup dengan dosis tertentu (di challenge). Contoh lain adalah vaksin polio yang pemeriksaannya menggunakan mencit dengan mengukur respon zat anti rata-rata dari titer netralisasinya. 2) Cara in vitro.

Cara ini digunakan untuk mengukur potensi vaksin dalam proses produksi. Sebagai contoh dengan cara gel difusi pada vaksin polio (IPV), cara fiksasi komplemen (IPV), ELISA (IPV, vaksin rabies), RIA (vaksin hepatitis B) dan dengan imuno elektroforesis pada vaksin influenza.

Dasar pemeriksaan adalah reaksi antigen antibodi pada pe-ngenceran 50%. Uji keamanan ("safety")

Bila seluruh partikel virus digunakan, vaksin tersebut tidak saja mengandung antigen protein tetapi juga beberapa sub-stansi lain yang toksik dan mungkin dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan bila masuk ke dalam tubuh manusia. Uji keamanan pada pembuatan vaksin virus sangat ketat dan dilakukan sejak tahap awal dari produksi, pemeriksaan ke-amanan pada proses produksi dilakukan terhadap bulk dan pada produk akhir. Pada beberapa vaksin dilakukan pula pe-meriksaan neurovirulensi. Pemeriksaan ini diakukan dengan menggunakan mencit dan inarmut° untuk mengetahui ada tidaknya komponen toksik atau infected agent lain yang mungkin masih ada dalam vaksin. Caranya yaitu dengan me-nyuntikkan vaksin pada kelompok hewan mencit secara intra-serebral atau marmut secara peritoneal. Hewan-hewan tersebut selanjutnya diamati selama 21 hari pada mencit, dan 42 hari pada marmut terhadap adanya kematian atau gejala tertentu. Bila ada hewan yang mati sebelum 24 jam atau sakit, maka harus dilakukan autopsi dan diuji terhadap adanya infeksi virus bai(C secara makroskopis maupun dan dengan melakukan sub-inokulasi pada sedikitnya 5 ekor hewan lain dan diamati

seperti pads uji sebelumnya. Produk memenuhi syarat bila sedikitnya 80% dari hewan yang diinokulasi tetap sehat dan tidak menunjukkan adanya infeksi selama pengamatan sedang- kan pada marmut tidak terdapat infeksi dari Mycobacterium tuberculosis7 8

VAKSIN VIRUS YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM IMUNISASI. Vaksin polio.

Terdapat dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine (OPV). Penggunaan vaksin polio dalam program imunisasi harus mempertimbang-kan epidemiologi dari polio yang berbeda di setiap negara. Misalnya negara-negara maju seperti Swedia, Belanda, Finlan-dia, menggunakan IPV, sedangkan di negara berkembang ter-masuk Indonesia menggunakan OPV. 1) Vaksin polio "inactivated" (IPV).

Vaksin IPV menggunakan strain Salk yang ditanam pada biakan ginjal kera. Imunisasi diberikan 4 kali antara umur 1-2 tahun dan ulangan diberikan pada umur 2—3 tahun. Vaksin yang dimatikan ini memacu pembentukan circulating neutralizing antibody yang dipercaya efektif dalam mencegah penyebaran virus polio dalam tubuh, jadi melindungi sistem saraf pusat dari serangan virus.

Vaksin tidak boleh diberikan pada orang dengan penyakit immunodifisiensi dan orang yang sedang mendapat pengobatan immunosupresi. Walaupun seseorang telah diberi imunisasi yang membentuk zat anti humoral, namun virus liar masih mungkin dapat berkembang dalam tubuhnya.

Saat ini masih dikembangkan vaksin dengan cara baru dengan tujuan menurunkan jumlah dosis yang diberikan.

2) Vaksin polio oral (OPV). Vaksin dibuat dari strain Sabin tipe 1,2 dan 3 yang ditanam

pada biakan ginjal kera atau sel human diploid. Vaksin yang mengandung virus hidup yang dilemahkan sekarang ditumbuh-kan pada sel human diploid. Vaksin dapat stabil dengan pe-nambahan stabilisator 1 M MgC12, sehingga dapat disimpan untuk 1 tahun pada suhu 40 C atau selama 1 bulan pada suhu kamar tanpa kehilangan potensinya.4 Namun vaksin tanpa stabilisator harus disimpan pada suhu beku (—20° C), sampai saatnya digunakan.

Vaksin polio dikatakan memenuhi persyaratan berpotensi baik bila setiap dosisnya mengandung virus polio tipe 1 sedikit-nya 106 InfectiousUnit, tipe 2—10s IU dan tipe 3 mengandung 105'5 IU.° Walaupun virus polio tipe 2 dan 3 dapat mengalami mutasi selama multiplikasi pada anak yang divaksinasi, namun sangat jarang terjadi pada resipien atau orang kontak. Hal ini pernah dilaporkan di Jepang . Vaksinasi pada semua anggota keluarga dimaksudkan untuk menghilangkan kasus kontak.

Pada pemberian vaksin ini terbentuk pula sekret IgA yang dapat memberikan perlindungan terhadap adanya reinfeksi.

Beberapa faktor di daerah tropis yang dapat mempengaruhi hasil imunisasi adalah :

Pengaruh entero virus prevalen lain yang ada di dalam salur-

Page 26: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 25

an pencernaan. • Kekurangan protein. • Adanya penghambat dalam saliva yang mungkin meng-hambat multiplikasi virus.

Vaksin campak Dikenal adanya dua macam vaksin campak, yaitu : 1) Vaksin campak inaktif ("killed vaccine")

Vaksin ini dibuat dari virus campak strain Edmonston B yang ditanam pada biakan jaringan vibroblas ayam.2 Vaksin jenis ini tidak disukai dan sekarang tidak diproduksi lagi (tahun 1961—1968) karena setelah imunisasi dasar maupun ulangan zat anti terhadap campak cepat sekali menurun, dan vaksin menimbulkan demam 101° F pada 83% dan menimbul-kan bercak makula pada 38—50% anak yang diimunisasi (dikutip dari 2). 2. Vaksin campak "attenuated".

Vaksin jenis ini dibuat dari virus strain Schwartz, Moraten yang sudah sangat dilemahkan (further attenuated). Vaksin inilah yang pada saat ini digunakan secara luas untuk me-nanggulangi penyakit campak. Vaksin campak memenuhi syarat untuk digunakan bila mengandung virus 102 TCID 50.7

Umur optimum untuk pemberian imunisasi campak ber- beda antar negara. Di beberapa negara maju immunisasi diberikan pada usia 12 bulan atau lebih. Di negara berkembang beberapa studi menunjukkan bahwa umur optimum untuk pemberian imunisasi campak adalah kira-kira 9 bulan.9 Saat pemberian imunisasi hendaknya merupakan kompromi antara risiko terkena infeksi dan saat zat anti maternal menghilang.2

Di Indonsia digunakan vaksin yang dibuat dari virus strain Schwartz yang diberikan pada bayi usia 9—12 bulan. Vaksin ini cukup aman dan efektif. Imunisasi ulang tidak diperlukan bila vaksin diberikan pada saat yang tepat.

Vaksin campak tergolong vaksin yang tidak stabil, bila terkena cahaya atau disimpan pada suhu yang tidak tepat akan cepat sekali rusak. Tetapi saat ini telah berhasil diproduksi vaksin campak yang lebih stabil. Virus vaksin campak sangat mudah diinaktivasi oleh alcohol, eter, detergen. Untuk itu harus diusahakan agar tidak kontak dengan bahan-bahan ter-sebut. 2

PROSPEK MASA MENDATANG. Beberapa pendekatan baru dalam pengembangan vaksin

virus yang memberikan harapan adalah :4 5

1) Pemberian vaksin secara lokal. Pendekatan ini telah drlakukan dengan sukses dalam pe-

ngembangan vaksin rubella pada tahun 1960. Intranasal aerosol vaksin telah dikembangkan pula terutama

untuk penyakit saluran pemafasan yang disebabkan oleh virus, dimaksudkan untuk merangsang terbentuknya zat anti lokal. 2) Vaksin attenuated baru.

Vaksin virus. hidup varicella yang telah dikembangkan di Jepang sekarang sedang menjalani tes internasional.

Vaksin lain yang sedang dikembangkan termasuk rotaviral

gastroenteritis, hepatitis A, dan vaksin DHF. 3) Purified vaccine.

Pembuatnya dengan tujuan menghilangkan protein non viral sehingga dapat mengurangi kemungkinan reaksi samping yang berat. Vaksin jenis ini dapat diberikan dengan konsentrasi lebih tinggi dan meningkatkan jumlah antigen. 4) Vaksin "sub unit".

Komponen sub viral diperoleh dengan memecah virion. Vaksin ini hanya mengandung protektif antigen raja, 5) Melemahkan virus dengan manipulasi genetis.

Manipulasi genetis digunakan untuk menghasilkan re-kombinan atau mutan, misalnya mutan yang sensitif terhadap temperatur seperti halnya virus hidup. Penggunaan virus vacci-nia sebagai vektor untuk mengclone immunizing agent dari virus lain merupakan perkembangan yang penting.

Kemungkinan memindahkan gen imunogen dari beberapa virus agar dapat dilakukan satu macam imunisasi yang dapat melindungi terhadap beberapa macam penyakit.

Oral adenovirus dapat pula digunakan sebagai alternatif vektor. 6) Vaksin DNA rekombinan.

Telah dikembangkan pembuatan vaksin hepatitis B dengan menggunakan ragi. Penggunaan continue cell line (CCL) untuk menghasilkan antigen dalam jumlah besar. 7) Vaksin sintetis.

Polipeptid sebagai antigen aktif disintesis untuk hepatitis B, influensa, virus polio dan telah dapat menimbulkan neutrali- -sing antibody pada hewan. Cara ini sedang diselidiki.

Walaupun peptid sintetik merupakan antigen yang lemah, namun mencari ajuvan yang aman dan poten sedang dilaku- kan di beberapa laboratorium. Kemungkinan memproduksi antigen sintetik untuk imunisasi pada manusia masih di- teliti.

KEPUSTAKAAN

1. Fukumi H. The vaccination. Theory and practice. International Med Foundation of Japan, Tokyo, Japan. 1975, p.3—I5, 91—111.

2. Mardiadipura I L D. Campak. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya. Nasution M S (ed.) Perum Bio Farms Bandung. 1987. bal. 145—153.

3. Melnick J L. Advantages and disadvantages of killed and live polio- myelitis vaccines. Bull WHO 1978; 56 (1) : 21—38.

4. Melnick J L. Virus vaccines : an overview. Dreesman G R, J G Bronson, R C Kennedy. eds. High-technology Route to Virus Vaccines. Am Soc for Microbiology, Washington DC. 1985; p.1—14.

5. Oya A. Present status and future prospects of vaccine development. Asian Med J 1989: 32 (5); 246—251.

6. Rijk Institut voor Volksgezondheid en Milieuhygiene. Vaccine control course. p. 61-67.

7. WHO manual of details of tests required on fmal vaccines used in the WHO Expanded Programme of Immunization. 1982; p. 112—120.

8. WHO ECBS. Draft requirements for poliomyelitis vaccine (oral). 1989. Req for Biol Subst No 7, revised 1989; p. 1—39.

9. WHO. Expanded Programme of Immunization. Measles Immuniza-tion. 1979. Wkly Epidem Rec; 54 : 337.

Page 27: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 26

Typhoid Vaccines

Nathaniel F. Pierce

Research Coordinator, Diarrhoeal Diseases Control Programme, World Health Organization, Geneva

INTRODUCTION

Typhoid fever remains a problem in most developing countries. Although accurate data on its incidence are not gene-rally available, it is known to occur predominantly among children and young adults, aged 3 - 20 years. Where careful surveillance has been performed, usually during vaccine trials, disease incidence has varied widely. For example, rates of 49, 100 - 250 and 1700 per 100,000 persons per year have been recorded among school-age children in Alexandria, Egypt; San-tiago, Chile; and Plaju, Sumatra; respectively. In the latter site, approximately 20 percent of children will develop typhoid fever proven by blood culture during the 12-year period between 3 and 14 years of age.

The predominance of typhoid fever among young children, with a steadily declining incidence as age increases, argues strongly that active immunity is naturally acquired in endemic areas. This provides support for efforts to develop safe and effec-tive vaccines as one means of controlling typhoid fever, the others being the provision of safe water supply, safe sewage disposal and the interruption of transmission via contaminated food.

Three approaches to immunization against typhoid fever have been studied : (1) classical killed whole cell parenteral; (2) olāl vaccine based on attenuated live S. typhi; and (3) parenteral vaccine composed of purified Vi capsular polysaccharide. Each vaccine has been shown to be effective. The relative advantages and limitations of these vaccines are summarized in Table 1. The vaccines are considered in greatertietail below.

PARENTERAL WHOLE-CELL VACCINE

This may be considered the "classical" typhoid' vaccine. It is composed of killed S. -typhi, the method of inactivation being either heat plus phenol or treatment with acetone; the

Table 1. Typhoid Vaccines

Type Advantages Limitations

1. Killed whole-cell parenteral vaccine

2. Live oral Ty21a vaccine

3. Purified M antigen parenteralvaccine

- Inexpensive - Moderately effective (especially acetone- killed vaccine)

- No side effects - Moderately effective

- Relatively inexpensive, - Effective after a single dose

- Few side effects, none severe

- Cold chain not required

- Two doses required - Frequent side effects,

sometimes severe

- Three or four doses required - Relatively costly - Least effective in young

children, especially where incidence is very high

- Cold chain required

- Duration of efficacy and efficacy in very young

children not yet determined

heat/phenol vaccine is most easily prepared and is most widely available. The efficacy of these vaccines has been compared during the 1960s in studies in Guyana, Poland, USSR and Yugos-lavia. These revealed that the heat/phenol vaccine evoked 47 - 77 percent protection, and the acetone-killed vaccine 79 - 93 percent protection, for up to 7 years. These studies confirmed the efficacy of this type of vaccine, especially of the acetone-killed preparation (although in other studies it has yielded substan- tially less protection).

Nevertheless, these vaccines are not widely used for public health purposes because : (1) the acetone-killed vaccine is not easily produced; and (2) both cause substantial side effects. In Tonga, for example, 13% of persons given the acetone-killed vaccine were unable to work for at least 1 day following immuni-zation and some had to stay in bed due to fever, chills and malaise. The frequent, and sometimes severe side effects of

Page 28: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 27

the parenteral whole cell vaccine are the major barrier to its being used more widely.

LIVE ORAL VACCINES

The Tylla live oral typhoid vaccine consists of lyophilized bacteria (109 cfu per dose) that have been mutagenized with nitrosoguanidine. The vaccine strain is unable to multiply in human tissues due, in part, to the lack of the enzyme galac-tose-1 epimerase. As a result it colonizes the bowel only briefly and causes no side effects. Trials of this vaccine have been carried out in Alexandria, Egypt; Santiago, Chile; and Plaju, Sumatra. These have shown that vaccine efficacy depends upon the number of doses given and the formulation used. In Santiago, for example, 3 doses of lyophilized bacteria given in a plain gelatin capsule accompanied by 2 capsules containing sodium bicarbonate (to neutralize gastric acid) caused only 28 percent protection during a follow-up period of 33 months. Better results were obtained with bacteria given in enteric-coated capsules. that resisted opening in the stomach but dissolved in the duodenum. Table 2 shows that the degree of protection by Ty2la vaccine and its duration improved as the number of doses was increased, 3 doses causing an average of 69% protection for at feast 4. years. However, less encouraging results have been.obtained to date in Plaju, Sumatra (Table 3). In that study, which.is still underway, preliminary results show only 37% pro-tection after 3 doses of vaccine in enteric capsules. Protection was somewhat higher (48%) using vaccine that was reconstituted in a citrate buffer solution before being swallowed. With both vaccines, however, protection was lowest in the 7 - 14 year, sChool age group. The poorer performance of encapsulated vaccine in Sumatra than Chile is unexplained, but may be related to the approximately 10-fold higher attack rate observed in Suma-tra. These results suggest that the Ty2la vaccine, even in the more

Table 2. Efficacy of Ty2la vaccine in enteric-coated capsules Santiago, Chile

Number of doses Observation

period (months) % Efficacy

1 0 - 2 3 2 2 2 0 - 2 3 5 9

2 4 - 4 7 1 1 3 0 - 4 7 6 9

Table 3. Efficacy of Ty2la Vaccine, Plgjn, Sumatra (15 months follow-up)

% Protection Age in Years

Enteric capsule* L i q u i d vaccine*

3 - 6 5 8 6 8 7 - 1 4 1 6 3 3 1 5 - 4 4 5 8 5 5 3 - 4 4 3 7 4 8

effective liquid formulation, may not be sufficiently protective under contidions of extremely high disease incidence to be a practical public health tool. The vaccine may be more useful where attack rates are lower.

Other candidate live oral typhoid vaccines are being deve-loped but have not yet been tested for efficacy. These are mutants, created by gene deletion, that are unable to synthesize essential aromatic amino acids. Aro-mutants have proven effective as vaccines for certain Salmonellae that cause disease in domestic animals, giving hope that they may also be safe and effective in humans. Whatever their efficacy, however, it seems likely that they would be relatively expensive (as is also Ty2la), require multiple doses and be dependent upon a cold chain. Some strains of this type may be available for efficacy-testing in the near future.

VI POLYSACCHARIDE VACCINE

The most recently developed typhoid vaccine consists of purified Vi capsular polysaccharide. A highly purified form of this material has been shown to cause seroconversion in 90% of western adults after a single parenteral injection and to produce very few side effects, mostly transient tenderness at the injection side; none was serious. Moreover, two studies have shown the vaccine to be effective in populations with a very high incidence of typhoid fever. A trial in South Africa among children aged 5 - 15 years revealed 64% protection against typhoid fever for at least 21 months following immunization; similar results were obtained in Nepal. This vaccine produces maximal immune responses after a single injection, is relatively inexpensive and is very stable. It is possible that conjugation of the polysaccharide to a protein "carrier" would improve its immu-nogenicity, especially when 2 doses are given, but this would also increase its cost. Efforts to develop a protein conjugated version of the Vi vaccine are underway. Research on the duration of protection evoked by the unconjugated vaccine is also con-tinuing. CONCLUSION

Further research is required to define a vaccine that is widely suitable for public health use in control of typhoid fever. The challenge appears to be greatest with regard to immu-nization of children aged 7 - 14 years in areas where the in-cidence of typhoid fever is very high. At present, the most pro-mising approaches to immunization of such high-risk children appear to be : (1) parenteral Vi vaccine, possibly conjugated to a carrier protein; and (2) Aro-mutants of S. yphi for use as live oral vaccines. The parenteral killed typhoid vaccine (especially the acetone-killed vaccine) is useful for individuals such as travellers and the military, but is not likely to be widely accepted for public health use. The live oral vaccine Ty2la, appears to be useful in populations with a moderate incidence of typhoid fever, especially when multiple doses of the recently developed liquid formulation are used.

Page 29: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 28

Gambaran Zat Anti IgG Anti FHA dan Anti PT pada Bayi setelah Imunisasi dan

pada Anak-anak Penderita Pertusis Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S.

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Bordetella pertussis memiliki 3 komponen aktif yang bersifat antigen protektif, ialah filamentous haemoglutinin (FHA), pertusis toksin (PT), dan aglutinogen.

Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui gambaran zat IgG anti-FHA, anti-PT serta aglutinin dalam proses pembentukan kekebalan pada bayi setelah mendapat imunisasi DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis.

Kelompok studi terdiri dari anak-anak penderita pertusis dan bayi umur 2—3 bulan yang telah mendapat imunisasi DPT 3 kali masing-masing sebanyak 10 orang. Kadar zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT diukur dengan cara ELISA sedangkan titer zat anti aglutinin diukur dengan cara mikroaglutinasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zat anti IgG anti-FHA positif ditemukan pada seluruh penderita pertusis maupun bayi yang diimunisasi DPT, namun kadarnya lebih tinggi pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah pemberian imunisasi ke 2 dan. 3. Persentase bayi yang memiliki zat anti IgG anti-PT positif setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3 masing-masing adalah 40%, 50% dan 100%, sedangkan pada penderita pertusis 50%. Peningkatan persentase bayi dengan titer protektif terjadi pula pada zat anti aglutinin.

Penelitian ini masih akan dilanjutkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dari imunitas terhadap pertusis.

PENDAHULUAN Bordetella pertussis adalah kuman penyebab penyakit

batuk rejan, yang merupakan penyakit toxin mediated yang dimulai oleh kuman B. pertussis yang berlokasi pada silia dari deretan sel epitel saluran pernafasan. Bakteri hanya melekat dan memperbanyak din pada silia dan tidak menyerang jaringan termasuk darah. Di situ bakteri melepaskan eksotoksin yang mengakibatkan hampir semua gejala penyakit dan menyebabkan kekebalan jangka panjang.

Kuman ini tersusun dari bermacam-macam komponen yang memiliki aktivitas biologis, tetapi belum semua dapat dikarak-terisasi dengan baik. Komponen yang paling aktif sebagai antigen protektif adalah filamentous haemaglutinin (FHA) dan toksin pertusis (PT) yang telah dibuktikan dengan studi proteksi pada hewan. Dan kedua komponen tersebut telah dibuat vaksin pertusis aseluler.2 Selain itu terdapat Heat Labile Agglutinogen,

terutama aglutinogen 2 dan 3.3 FHA adalah protein yang ber-tanggung jawab untuk perlekatan bakteri pada sel epitel trakhea.4 PT adalah protein eksotoksin yang mempunyai bermacam-macam aktivitas, oleh karenanya disebut juga dengan berbagai nama yaitu : Lymphocytosis Promoting Factor (LPF), Histamin SensitizingFactor(HSF), Islet ActivatingProtein (IAP) atau Pertus-sigen. Selain itu PT mempunyai aktivitas haemaglutinasi, tetapi tidak sama dengan FHA dan mempunyai aktivitas sebagai ajuvan terutama meningkatkan produksi zat anti IgE.2

Aglutinogen berasal dari fimbria yang menonjol dari per-mukaan sel. Genus Bordetella dikenal mempunyai 12 _agluti-nogen yang secara serotipe berbeda. Tipe 1—6 yang umum terdapat pada B. pertussis.

Kekebalan terhadap penyakit batuk rejan yang diperoleh setelah pemberian imunisasi relatif pendek waktunya, namun lama kekebalan dapat diperpanjang dengan adanya booster

Page 30: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 29

secara alami dalam populasi di mama B. pertussis prevalen. Sebaliknya imunitas yang diperoleh setelah sakit dapat bertahan lama.

Antibodi anti-FHA memegang sebagian peran dalam per-lindungan terhadap infeksi pertusis bila ada antibodi anti-PT. Antibodi anti-PT dan anti-FHA sangat penting sebagai anti perlekatan, sedangkan zat anti aglutinin diduga berperan men-cegah penyebaran bakteri pada pennukaan trakhea pada tahap awal dari infeksi pertusis.4 Kadar zat antiaglutinin dalam sera telah lama digunakan sebagai indeks untuk statu,s kekebalan ter-

hadap pertusis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran zat

anti IgG, anti-FHA dan anti-PT serta aglutinin dalam proses pembentukan kekebalan pada bayi setelah pemberian imunisasi DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis.

Penelitian ini merupakan pendahuluan yang masih akan dilanjutkan.

BAHAN DAN CARA Kelompok studi terdiri dari bayi umur 2—3 bulan yang telah

mendapat imunisasi DPT 3 kali sebanyak 10 orang dan anak-anak umur 3—12 tahun yang tengah menderita pertusis sebanyak 10 orang dari daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) pertusis di Kabupaten Kerinci, Jambi. Kelompok bayi diambil darahnya 1 bulan setelah imunisasi DPT ke 1,2 dan 3, sedangkan anak- anak penderita pertusis diambil darahnya pada saat lama sakit yang berbeda-beda.

Pengambilan darah : Pads kelompok bayi darah diambil dari ujung jari tangan dengan menggunakan pipet kapiler sebanyak 0,1 ml, sedangkan pada kelompok penderita pertusis diambil dari vena sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya sera dipisahkan dan di-simpan pads suhu -200.0 sampai saat dilakukanitya pemeriksa-an.

Pemeriksaan zat anti : Pengukuran zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT dilakukan dengan cara ELISA, 5 sedangkan kadar zat anti aglutinin diukur dengan menggunakan cara mikroaglu- tinasi. 6

Antigen : Untuk pemeriksaan ELISA digunakan antigen yaitu FHA dan PT yang telah dimurnikan, yang mengandung 200 ug PN/ml. Antigen diterima dari The Research Foundation for Microbial Diseases, Osaka University, Kanonji, Jepang. Sedangkan untuk pemeriksaan mikroaglutinasi digunakan anti-gen yang dibuat dari B. pertussis strain 18-323.

Referen sera : pada pemeriksaan ELISA digunakan referen NH-13 yang berasal dari The National Institute of Health, Tokyo, Jepang. Referen mengandung anti-FHA 260 EU/mil ampul dan anti-PT 170 EU/ml/ampuL Antisera untuk pe-meriksaan mikroaglutinasi adalah anti Tohama Rabbit sera yang dibuat dari B. pertussis strain Tohama.

HASIL Kadar rat anti IgG anti-FHA dan anti-PT dan kadar aglutinin

yang terbentuk pada bayi setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3 plaupun pada anak-anak penderita pertusis dapat dilihat pada tabel 1.

Zit anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok bayi yang mendapat imunisasi DPT 1, walaupun pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah imunisasi

Tabel I. Persentase dan kadar rata-rata zat anti IgG anti-FHA, anti-PT dan zat anti aglutinin pada 2 kelompok studi.

IgG anti-FHA IgG anti-PT Aglutinin Kelompok Jumlah

n +(%)

GM (EU/ml)

+ (%)

GM (EU/ml)

Titer≥80GM

Bayi setelah DPT 1 10 100 3,75 40 1,4 0 1 : 10 DPT 2 10 100 3,79 50 2,57 50 1 : 67,27DPT 3 10 100 5,05 100 3,35 70 1 :105,5

Penderita 10 100 9,08 50 4,06 40 -

DPT 1, maupun pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah imunisasi DPT 2 dan 3, dengan kadar rata- rata meningkat dari 3,75 EU/ml setelah imunisasi DPT 1 menjadi masing-masing 3,79 EU/ml dan 5,05 EU/ml setelah imunisasi DPT ke 2 dan 3. Kadar rata-rata zat anti terhadap FHA pada anak-anak penderita pertusis adalah 9,08 EU/ml.

Persentase zat anti IgG anti-PT positif pada bayi setelah imunisasi DPT ke 1 adalah 40% meningkat menjadi 50% setelah imunisasi ke 2 dan selanjutnya menjadi 100% setelah pemberian imunisasi ke 3. Kadar rata-rata (GM) meningkat dari 1,4 EU/ml setelah imunisasi ke 1 (masing-masing) menjadi 2,57 EU/ml dan 3,35 EU/ml setelah imunisasi DPT ke 2 dan 3. Sedangkan pada kelompok anak-anak penderita pertusis hanya 50% saja yang memiliki kadar zat anti IgG anti-PT positif dengan kadar rata-rata 4,06 EU/ml.

Persentase kadar zat anti aglutinin protektif dengan titer 1 : 80 atau lebih masing-masing adalah 0%, 50% dan 70% setelah pemberian imunisasi DPT ke 1, 2 dan 3 dengan titer rata-rata sebesar 1 : 10, 1 : 67,27 dan 1 : 105,56. Sedangkan pada kelompok anak penderita pertusis persentasenya hanya 40%. Namun bila dihitung titer positif (1 : 10 atau lebih) persentasenya adalah 100%. Rēndahnya persentase ini karena lama sakit dari penderita berbeda-beda dan pada sebagian besar anak pembentukan zat anti baru tetjadi pada tahap awal.

Penyebaran kadar zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT pada penderita pertusis dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar I. Kadar Zat Anti IgG pada Penderita Pertussis

Page 31: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 30

PEMBAHASAN

Zat anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok baik bayi setelah imunisasi maupun anak-anak penderita pertu-sis. Pada penelitian Sato (1985)' dilaporkan bahwa titer zat anti IgG terhadap FHA lebih tinggi setelah mendapat imunisasi dengan vaksin DPT aseluler bila dibandingkan dengan titer yang didapat karena infeksi. Winsnes dkk (1985)7 menemukan bahwa titer rata-rata zat anti terhadap FHA IgM, IgG dan IgAmencapai puncak masing-masing antara minggu ke 2 dan 3, minggu ke 5 dan minggu ke 7.

Zat anti FHA tidak selalu sama ditemukan pada penderita pertusis dalam fase konvalesen, menunjukkan bahwa zat anti ter-sebut kurang penting untuk penyembuhan dan perlindungan jangka panjang terhadap adanya infeksi ulang dari kuman pertu-sis (Nagel, 1985 dan Winsnes dkk, 1985),7 Granstorm (1982, dikutip dari 7) melaporkan bahwa penurunan yang cepat atau hilangnya zat anti FHA pada pengamatan berlanjut hasil pe-meriksaan biakan kuman dari penderita pertusis, menunjukkan bahwa zat anti ini tidak penting untuk imunitas jangka panjang.

Titer rata-rata zat anti terhadap FHA pada sera konvalesen kira-kira 10 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan sera orang-orang yang divaksinasi, terhadap semua zat anti IgM dan IgG. Menurut Winsnes zat anti ini mungkin memegang peran pada proteksi jangka pendek, dan dapat diharapkan tidak ada korelasi antara kadar zat anti FHA dengan lamanya gejala timbul pada waktu sakit (Viljanen 1985, dikutip dari 7).

Zat anti IgG terhadap PTsetelah imunisasi 1 hanya ditemukan pada 50% dari bayi. Hal ini mungkin disebabkan karena imuni-sasi diberikan pada usia 2—3 bulan di mana bayi masih memiliki zat anti dari ibu. Pada penelitian ini kadar zat anti dari plasenta tidak diperiksa sehingga belum dapat dibuktikan. Menurut Winsnes7 pemberian imunisasi pada usia dini menyebabkan penekanan pada respon anti PT IgG karena adanya efek peng-hambat dari zat anti yang berasal dari ibunya.

Aoyama8 membandingkan kadar zat anti terhadap PT dan FHA dari 13 orang anak penderita pertusis fase konvalesen yang berumur di bawah 2 tahun dengan kelompok bayi umur antara 3—23 bulan yang diimunisasi dengan vaksin DPT aseluler 2-3 dosis dengan interval 1 bulan. Hasil penelitian ini menunjuk-kan bahwa kadar zat anti terhadap PT akibat pemberian imuni-sasi vaksin DPT aseluler sama atau lebih besar dibandingkan dengan kadarnya pada kelompok penderita pertusis, sedangkan kadar zat anti terhadap FHA berbeda nyata lebih tinggi pada ke-lompok yang diimunisasi dari pada kadar zat anti tersebut pada kelompok penderita pertusis.

Menurut Kimura dan Granstōrm (dikutip dari 1) pembentuk-an zat anti terhadap PT dan FHA mencapai puncaknya antara 6-10 minggu setelah serangan pertusis. Dengan demikian hasil

penelitian Aoyama menunjukkan bahwa zat anti pada kelompok bayi 4 minggu setelah imunisasi dasar sebanding dengan pada penderita pertusis pada fase konvalesen. Disimpulkan bahwa pemberian imunisasi vaksin DPT aseluler memberikan respon imun yang lebih baik bila dibandingkan dengan zat.anti PT dan FHA yang terbentuk karena infeksi pertusis.

mengingat dalam penelitian ini jumlah sampel pada ke-lompok bayi yang mendapat imunisasi DPT sangat kecil, maka hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Kadar zat anti terhadap FHA dan PT pada .kelompok anak-anak penderita pertusis penyebarannya masing-masing antara 2—19, 98 EU/ml dan antara 0,96—6,26 EU/ml, sedangkan pada penelitian Aoyama penyebaran kadar zat anti yang sama dari penderita pada fase konvalesen adalah antara 0—10 EU/ml dan 2—50 EU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penderita belum berada pada fase konvalesen.

KESIMPULAN

• Terbentuknya zat anti IgG terhadap FHA lebih awal dari zat anti IgG terhadap PT. • Proteksi jangka panjang dari zat anti IgG terhadap PT diper- oleh secara baik setelah pemberian imunisasi DPT (vaksin seluler) 3 dosis. • Pada penderita pertusis zat anti IgG terhadap PT belum ter-bentuk pada semua anak, karena fase lama sakit yang berbeda. • Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang imunitas terhadap pe-nyakit batuk rejan.

KEPUSTAKAAN

1. Pitman M. The concept of pertusis as a toxin mediated diseases. Pediatr Infect Diseases 1984;,3 (5) : 467-86.

2. Oda M, Higurasi M. Development of acellular pertussis vaccine in Japan. Acta Pediatr Jap 1988; 30 : 136-42.

3. Robinson A, . Ashworth LAE Cellular and defined component vaccines against pertussis 1988. Pathogenesis and Immunity in Pertussis. Wardlaw AE, and Parton R (eds). New York : John Wiley & Sons Ltd, p. 399-413.

4. Tuomanen E. Adherence of Bordetella pertussis to human cilia. Implication for diseases prevention and therapy. Microbiology 1986. Loretta Leive at al. Amer Soc for Microbiol, New York. 1986; p. 59-64.

5. WHO. Proposed methods for the quality control of acellular pertussis vaccine. Second draft 1985; p. 15-18.

6. Manclark CR. Microaglutination procedure for Bordetel/a pertussis anti-bodies. 1980.

7. Winsnes R. Serological responses to pertusis. 1988. Idem 3 : 283-300. 8. Aoyama T, Hagiwara S, Murase Y, Kato T, Iwata T. Adverse reaction and

antibody response to acellular pertussis vaccines J Pediatr 1986; 109 : 925-930.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Y. Sato yang telah mem-

berikan antisera referen, sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

A psychiatrist gets paid for asking a man the question his wife asks for nothing.

Page 32: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 31

Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan

Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN Vaccine dan vaccination diambil dari kata Vaccinia, yaitu

virus DNA yang termasuk grup Poxvirus sebagai penyebab cowpox. Virus Vaccinia ini populer karena dapat dibuat vaksin untuk imunisasi terhadap penyakit smallpox. Kemudian ber-kembang vaksin-vaksin lain yang mampu memberikan imunitas pain manusia dan hewan terhadap berbagai penyakit infeksi.

Pembuatan vaksin biasanya memerlukan organisme hidup seperti toksin bakteri atau immune sera dalam jumlah besar. Pertumbuhan bakteri biasanya dilakukan pada media cair dalam bejaria fermentor. Media ditetapkan secara kimia dan kondisi pembiakan diatur dengan tepat, seperti temperatur, pH, oksigen dan sebagainya. Untuk pembuatan vaksin virus, pertumbuhan dapat dilakukan dalam host atau biakan sel hidup. Vaksin smallpox dapat dibiakkan pada dermis anak sapi domba, kerbau atau yang lain. Vaksin influenza dan yellow fever dapat dibiakkan pada fertile hen's eggs. Beberapa virus dapat ditumbuhkan pada biakan sel. Biasanya sel disiap-kan dari monkey kidney, chick embryo atau human diploid cells.

Inaktivasi atau detoksifikasi vaksin bakteri dapat dilakukan dengan pemanasan atau desinfektan, misalnya formalin untuk inaktivasi Bordetella pertusis sebagai whooping-cough vaccine, dapat juga untuk detoksifikasi toksin Corynebacterium diph-theriae dan Clostridium tetani sebagai vaksin diphtheria dan tetanus. Phenol juga digunakan inaktivasi Vibrio cholerae dan Salmonella typhi sebagai vaksin kholera dan tifoid.

Cara pembuatan vaksin konvensionil ini kurang efektif baik untuk vaksin subunit, vaksin hidup yang dilemahkan atau vaksin yang dimatikan, sulit untuk membuat vaksin penyakit yang tidak dapat dibiakkan in vitro dan sulit membuat vaksin dalam jumlah besar. Kemudian para ahli mulai melihat tekno-logi rekayasa genetika yang telah berhasil memproduksi

protein asing dengan bakteri terutama Escherichia coli untuk diterapkan pada pembuatan vaksin dengan pemikiran bahwa fraksinasi bahan genetika organisme penyebab penyakit dan cloning gen tersebut ke dalam organisme lab (bakteri atau virus) memungkinkan untuk mempelajari komponen-komponen organisme secara terpisah. Dalam aplikasinya virus vaccinia menjadi salah satu vektor antigen asing dan sekarang menjadi vektor yang paling populer untuk pembuatan vaksin. Gen dari organisme penyebab penyakit seperti hepatitis B, herpes simplex, influenza dan malaria telah dapat di clone ke dalam vaccinia. Bila vaccinia rekombinan ini digunakan untuk vaksinasi kelinci, antibodi terhadap antigen asing tersebut berhasil diproduksi.

REKAYASA GENETIKA VIRUS VACCINIA. Aplikasi virus hidup untuk imunisasi sudah berjalan ber-

tahun-tahun.di berbagai negara.Vaksin bakteri dan virus hidup yang dilemahkan berhasil memacu cell-mediated and humored immune response pada host yang diinokulasi. Manfaat vaksin hidup telah banyak dibuktikan oleh beberapa vaksin yang sangat penting bagi manusia dan binatang seperti vaccinia virus, yellow fever virus, poliomyelitis virus, measles virus, rubella virus, Mycobacterium dan sebagainya. Namun cara pembuatan vaksin ini tidak dapat diterapkan untuk semua organisme patogenik. Para ahli terus mengembangkan cara-cara baru untuk mendapatkan vaksin baru.

Keberhasilari penemuan gen encoding antigen virus asing seperti influenza, hepatitis B, dan keberhasilan memasukkan ke dalam rangkaian DNAvirus vaccinia serta kenyataan bahwa sifat antogenik tersebut dapat diekspresikan pada sel yang diinfeksi, telah memperbesar harapan membuat vaksin hidup dengan rekombinan DNA. Telah dilaporkan, binatang per-cobaan yang diinokulasi dengan vaksin virus vaccinia rekombi-

Page 33: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 32

nan, kemudian dapat mengembangkan imunitas tidak hanya terhadap virus vaccinia tetapi juga organisme asal gen tersebut diambil. Hasil ini memberikan dorongan yang berharga, se-hingga berhasil memperoleh antigen hemaglutinin atau nukleo-protein dari virus influenza dan dapat diekspresikan pada per-mukaan sel target melalui vektor vaccinia.

Pada prinsipnya vektor vaccinia rekombinan dapat diguna-kan untuk imunisasi manusia terhadap berbagai antigen sumber penyakit. Virus vaccinia terpilih menjadi salah satu vektor penghasil vaksin rekombinan hidup karena dibanding- kan dengan beberapa virus yang menginfeksi manusia, virus ini mempunyai karakteristik yang memungkinkan untuk mani- pulasi gennya dan mampu mengekspresikan berbagai antigen asing. Beberapa sifat virus vaccinia yang menguntungkan antara lain, vaccinia merupakan virus DNA, manipulasi gene-tika dapat dilakukan dengan relatif mudah, mempunyai genome yang mampu menerima berbagai DNA asing, mudah ditumbuhkan, mudah dimumikan dan mempunyai range host yang lebar bail pada manusia dan binatang.

Untuk menghasilkan virus vaccinia rekombinan, pertama-tama perlu mengisolasi dan mengidentifikasi gen pengkode antigen yang mempunyai respon imunologis terhadap patogen yang dikehendaki. Kemudian gen tersebut di clone pada rangkaian DNA vektor. Misalnya respon imunologis terhadap infēksi hepatitis B dapat ditimbulkan dari surface antigen (SAg). Rangkaian DNA (gen) virus hepatitis B pengkode SAg, diisolasi dan di clone pada vektor vaccinia. Virus vaccinia re-kombinan ini kemudian dapat dibiakkan secara in vitro untuk pembuatan vaksin. Tentu saja vaksin ini sebelum digunakan harus diuji terlebih dahulu kemampuan antigeniknya pada binatang percobaan dan pengujian lainnya. Inokulasi vaccinia rekombinan ke dalam binatang percobaan akan memacu respon imunitas terhadap organisme sumber penyakit asal gen tersebut diambil.

Pada prinsipnya rekombinasi gen asing ke dalam rangkaian DNA vaccinia meliputi beberapa tahap : 1) Cloning rangkaian DNA vaccinia yang tidak mengandung informasi penting untuk replikasi ke dalam plasmid bakteri. 2) Gen pengkode antigen asing misalnya HBSAg, dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dalam plasmid, sehingga DNA asing ini akan diapit DNA vaccinia. 3) Plasmid yang mengandung DNA asing dan vaccinia di-masukkan ke dalam sel yang telah diinfeksi dengan vaccinia dalarh bentuk Ca phosphate DNA Co-precipitate. 4) Rekombinasi antara vaccinia pengapit gen asing dan DNA homolog salami replikasi DNA virus menyebabkan masuknya DNA asing ke tempat spesifik. 5) Virus infeksi dilepaskan dari sel berupa campuran virus vaccinia yang tidak mengandung gen asing dan yang me-ngandung gen asing. 6) Virus 'vaccinia rekombinan diseleksi, dimurnikan dan di-tumbuhkan untuk pembuatan vaksin secara in vitro. PENERAPAN VACCINIA REKOMBINAN.

Vaksin vaccinia rekombinan dilaporkan sudah memasuki

berbagai stadium pengujian pada binatang percobaan dan di-pelajari kelayakannya serta keamanannya. Untuk mempelajari kelayakan, keamanan, efikasi dan efektivitas vaksin ini, para ahli telah mencoba membuat vaccinia rekombinan dari ber-bagai antigen penyakit seperti, herpes simplex virus glyco-protein, influenza virus hemaglutinin, Hepatitis B virus surface antigen, rabies virus glycoprotein dan sebagainya. Inokulasi vaksin rekombinan ini telah berhasil memacu produksi anti-bodi yang bereaksi terhadap antigen dan mampu menetral- lisir infektivitas virus.

Vaccinia rekombinan pengekspresi Hemaglutinin virus influenza.

Hemaglutinin virus influenza terletak pada permukaan partikel virus influenza dan pada permukaan membran sel yang terinfeksi. Hemaglutinin dianggap sebagai antigen influenza. Antibodi terhadap hemaglutinin dapat menetralisir infektivitas virus influenza dan adanya antibodi ini menghambat aglutinasi eritrosit oleh hemaglutinin influenza.

Bagian RNA influenza pengkode hemaglutinin disiapkan sebagai cDNA dan dimasukkan ke dalam virus vaccinia. Rekombinan ini mampu mensintesis hemaglutinin influenza dengan sifat identik dengan hemaglutinin yang disintesis oleh virus influenza sendiri.

Bila virus vaccinia rekombinan ini diinokulasikan ke binatang, akan memacu produksi antibodi yang bereaksi dengan hemaglutinin influenza asli, menetralkan infektivitas virus influenza dan menghambat aglutinasi eritrosit. Dan di-laporkan, binatang yang diimunisasi dengan vaccinia rekom-binan ini memperlihatkan resistensi terhadap virus influenza hidup secara intranasal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Hepatitis B Virus Surface Antigen.

HBSAg dianggap sebagai antigen hepatitis B, dan ternyata HBSAg yang diperoleh dari plasma orang terinfeksi merupa-kan imunogen yang menimbulkan kekebalan. Vaccinia rekom-binan pengekspresi HBSAg dilaporkan telah dapat dibuat. Sel-sel yang diinfeksi dengan virus rekombinan ini mensekresi-kan bahan HBSAg yang bereaksi dengan anti-HBSAg; hasil sintesis ini ternyata tak dapat dibedakan dengan HBSAg asli. Bila binatang diinokulasi dengan uaccinia rekombinan ini se-cara intravena atau intraderma, maka binatang tersebut mem-produksi anti-HBSAg. Simpanse yang divaksinasi dengan virus ini memperlihatkan proteksi terhadap virus hepatitis B.

Vaccinia rekombinan pengekspresi antigen malaria. Organisme penyebab malaria mempunyai tiga fase dalam

siklus hidupnya dan vaccinia rekombinan telah berhasil dibuat. Binatang yang diinokulasi virus ini memproduksi antibodi yang sesuai.

Karena perbedaan stadium dalam siklus hidup organisme ini, maka masing-masing mempunyai antigen spesifik. Kekebal-an terhadap yang satu, tidak akan melindungi manusia ter-hadap dua stadia lainnya, sehingga vaksinasi optimal memerlu-kan beberapa antigen yang diperoleh dari setiap stadium. Dengan vaksin vaccinia, beberapa gen mungkin dapat dimasuk-

Page 34: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 33

kan dan dapat diekspresikan pada vaksin vaccinia tunggal. Vaccinia rekombinan pengekspresi Rabies Virus Glycoprotein.

cDNA glikoprotein telah dapat dimasukkan ke dalam rangkaian DNA vaccinia dan mampu mengekspresikan antigen virus rabies. Kelinci dan mencit yang diinokulasi vaksin ini mampu menginduksi keluarnya antibodi yang sesuai. Binatang lab yang divaksinasi dengan virus rekombinan ini memper-lihatkan reaksi imunitas terhadap beberapa strain rabies intraserebral. Vaccinia rekombinan pengekspresi Lymphadenopathy-associated virus.

LAV sebagai organisme penyebab AIDS merupakan re-trovirus grup Lentivirus dan mempunyai antigen pada per-mukaannya, yaitu protein. Dilaporkan DNA pengkode env telah berhasil dimasukkan ke rangkaian DNA vaccinia dan protein env yang dihasilkan memperlihatkan reaksi terhadap sera penderita AIDS.

PENUTUP. Proteksi melawan infeksi berbagai organisme patogenik

ditentukan oleh sistem imunologis host. Respon kekebalan terdiri dari dua macam yaitu antibody response dan cellular immune response. Cellular immune response mempunyai peranan tidak kalah penting dibanding antibodi dalam me- macu timbulnya kekebalan. Vaksin hidup merupakan cara yang paling efektif untuk merangsang kedua respon imuno-logis tersebut.

Vaksin hidup yang dibuat secara konvensionil mempunyai beberapa keterbatasan, misalnya kesulitan produksi dalam jumlah besar. Walaupun beberapa vaksin bakteri tidak terlalu menimbulkan masalah, tetapi vaksin virus dalam pembiak-kannya memerlukan kondisi sangat kompleks. Beberapa virus harus ditumbuhkan pada biakan sel, embrio telur yang di-buahi atau di dalam binatang. Kondisi ini jelas menjadi pem-batas. Di samping itu cara konvensionil tidak memungkinkan membuat vaksin dari organisme yang tidak dapat dibiakkan secara in vitro.

Untuk mengatasi masalah tersebut, vaksin vaccinia rekom binan kelihatannya mampu menutupi kekurangan tersebut Virus vaccinia bila digunakan untuk imunisasi binatang mampu menghasilkan antigen asing pada host dengan cara mirip infeksi alarni, sehingga maupun merangsang kekebalan, baik antibody response mampu cellular immune response. Selain efikasinya menimbulkan respon kekebalan, keuntungan vaksin ini juga dalam stabilitas dan kemudahannya.

Gen yang dimasukkan ke dalam rangkaian DNA virus vaccinia memungkinkan menghasilkan vaksin untuk penyakit yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit pada manusia dan binatang. Selain itu vaksin vaccinia dapat dibuat menjadi vaksin polivalen yang mengandung beberapa antigen patogenik yang berbeda. Sehingga mungkin dibuat satu vaksin yang dapat menghasilkan lebih dari satu antigen.

KEPUSTAKAAN

1) Allison AC. Vaccine Technology : Developmental strategies. Biotechnology (Oct) 1987 : 1038 - 4 0 .

2) Brown F. Peptides as the next generation of Foot and Mouth Disease Vaccines. Biotechnology 1985; 3 : 4 4 5 -8 .

3) Kieny MP. et al. Aids virus env protein expressed from a recom-binant vaccinia virus. Biotechnology 1986; 4 : 7 9 0 - 4 .

4) Panicolli DL. Development of live recombinant vaccines using genetically engineered Vaccinia Virus. World Biotech Rep 1984; 2 : 357–66.

5) Paoletti E et al. A modern approach to live vaccines : Recom-binant Poxviruses. Biotechnology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 155–64.

6) Ratafia M. Worldwide opportunities in genetically engineered vaccines, Biotechnol 1987; 5 : 1154–8 .

7) Rowlands DJ. Vaccines – the synthetic antigen approach. Biotech-nology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p. 138–54.

8) Sheffield F. Manufacture of immunological products and their quality control. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scien-tific Publ 1977 : p. 232–52.

9) Sutton P. Application of biotechnology in healthcare – a review. Biotechnol. 85 : 373–9.

10) Woodrow GC. New generation vaccines. World Biotech Rep 1985; 3 : 167–78.

Page 35: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 34

Efektivitas Imunis.asi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit PD3I

di Indonesia

Kusnindar Atmosukarto Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RJ., Jakarta

ABSTRAK Dari pengumpulan data sekunder dapat diketahui bahwa jutaan anak-anak di dunia

meninggal dunia akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) setiap tahun. Program imunisasi di Indonsia, di samping upaya kesehatan lainnya, dapat menurunkan angka kematian bayi dari 107 permil menjadi 71 permil dalam kurun waktu 1980-1985. Angka kematian kasar (Crude /Death Rate) turun dari 12,1 menjadi 7,0 per seribu penduduk. Pengaruh cakupan imunisasi campak terhadaa penurunan angka kema-tian umur 1—14 tahun cukup berarti dengan koefisien kontingensi sebesar 0,4 pada taraf nyata 0,01. Upaya imunisasi masih merupakan upaya yang efektif untuk menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian kasar, karena 28,5% penyebab kematian bayi di antaranya karena tetanus 19,7%, difteri dan campak 8,1%, batuk rejan 0,53% dan TB 0,4%.

Keberhasilan program imunisasi diperkirakan dapat menurunkan angka kematian dari 7,0 menjadi 5,5 per 1000 penduduk.

PENDAHULUAN

Latar belakang Program imunisasi di Indonsia dimulai sejak tahun 1956

dengan melaksanakan vaksinasi cacar di Puiau Jawa, hingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula vaksinasi Toxoid Tetanus untuk Ibu Hamil (1974). Vaksinasi DPT dimulai tahun 1976, vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengem-bangan Program Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun 1977. Vaksinasi Polio dan Campak mulai dikembangkan pada tahun 1980, sehingga pada tahun 1982 program imunisasi telah mencakup 6 jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio dan Campak. Target Pelita IV ialah cakupan 65% imunisasi lengkap atas semua bayi.

Sasaran penting dalam Pelita V ialah : (1). tercapainya Uni-versal Child Immunization (UCI) atau imunisasi untuk semua

anak, (2). Mepertahankan apa yang telah dicapai pada tahun 1990 dan meningkatkan cakupan DPT I 90% dan imunisasi lengkap 80% di masing-masing propinsi dan diharapkan sampai kecamatano)

Tujuan pengkajian Pengkajian. dilakukan untuk mengetahui efektivitas program

imunisasi terhadap penurunan prevalensi penyakit-penyakit yang bersangkutan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit ter-sebut.

Pengumpulan data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa hasil-

hasil penelitian mengenai penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi serta data cakupan imunisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan R.I.

Page 36: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 35

Pemanfaatan basil pengkajian Hasil pengkajian dapat digunakan sebagai masukan untuk

pertimbangan perbaikan dalam pelaksanaan progrām imunisasi dan memberikan gambaran efektivitas imunisasi untuk me-nurunkan angka kematian.

GAMBARAN MASALAH PENYAKIT PD3I(4,5) Jutaan anak-anak meninggal dunia akibat penyakit yang se-

benarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit tersebut ialah: Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Tuberkulosis.

1) Campak (Measles)

Penyakit campak merupakan pembunuh No. 1 di antara 6 penyakit (PD3I) yang disebabkan oleh virus. Dipērkirakan di negara yang sedang berkembang terdapat 67 juta kasus tiap tahun dan 2 juta di antaranya meninggal. Dalam tahun 1983 dilaporkan kasus sebanyak 3,1 juta dari 148 negara.

Campak menular melalui kontak perorangan dengan pen-derita. Penderita dapat menularkan penyakit sebelum dan se-sudah timbulnya ruam (bercak-bercak merah pada kulit). Gejala awal penyakit berlangsung 3 – 7 hari berupa kulit berwarna merah dan terasa dingin, mata berair, hidung beringus, batuk, tak enak badan dan demarntinggi, diikutidengan gejala spesifik campak berupa vesikel putih keabu-abuan, dikelilingi warna merah (Kpplik spots). Komplikasi terjadi pada± 30% penderita meliputi infeksi telinga, pneumonia,, dime, dan ensefalitis.

Diperkirakan hanya ± 41% anak balita di dunia yang men-dapatkan imunisasi campak.

2) Difteri

Difteri disebabkan oleh C. diphteriae, sering timbul di negara dengan keadaan kesehatan lingkungan tidak baik; jarang timbul di negara-negara industri. Dalam tahun 1983 dilaporkan 46.800 kasus di 160 negara,kira-kira 10% diantaranya meninggal dunia.

Penderita dapat menulari orang lain melalui kontak per-orangan.setelah sakit selama 4 minggu atau lebih. Gejala me-. liputi demam, tak enak badan dan sakit tenggorokan. Basil difteri di tenggorokan mengeluarkan toksin yang dapat berakibat fatal bagi jantung dan susunan saraf.

Imunisasi lengkap DPT pada bayi di dunia, mencapai ± 47%.

3) Batuk rejan (Pertussis)

Pertusis disebabkan oleh B. pertussis. Diperkirakan kasus pertusis sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari 600;000 orang; namun hanya 1,1 juta penderita dilaporkan dari 163 negara dalam tahun 1983. Hampir 80% anak-anak yang tidak diimunisasi menderita sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. Kematian `karena pertusis, 50% terjadi pada bayi (umur < 1 tahun).

Pertusis ditularkan melalui kontak dari orang ke orang, dan penderita dapat menularkan penyakit sejak timbulnya gejala awal."Masa inkubasi penyakit 6 – 12 hari. Gejala awal pertusis menyerupai influensa, yakni pilek, bersin-bersin, batuk dan demam (stadium catarrhalis) kemudian diikuti stadium spas-modik dan konvalesen.

4) Tetanus Tetanus neonatorum disebabkan oleh pemotongan tali pusat

dengan alat yang tak steril, atau menutupinya dengan bahan-bahan seperti abu, lumpur sehingga terinfeksi dengan bakteri tetanus.

Kasus tetanus di dunia diperkirakan mengenai 800.000 bayi yang ban' lahir setiap tahun. Dalam tahun 1983 dilaporkan 10.000 tetanus neonatorum dari 74 negara. Hampir 100% bayi yang menderita tetanus neonatorum, meninggal dunia.

Penyakit tetanus ditandai dengan kejang-kejang yang ber-kembang ke seluruh wbuh. Saat ini hanya ± 14% ibu hamil di dunia ini yang mendapatkan imunisasi TT dua dosis.

Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang telah mendapatkan vak-sinasi tetanus toxoid (IT) pada waktu hamil, akan mendapatkan kekebalan selama 12 minggu dari sejak ia dilahirkan.

5) Poliomyelitis

PenyakitPolio disebabkan oleh virus yang dibedakan menjadi 3 jenis, yakni virus 1, 2 dan 3. Diperkirakan 275.000 anak-anak di negaja-negara sedang berkembang menderita polio paralitik setiap tahun sebelum mencapai usia 3 tahun. Polio merupakan penyebab utama kelumpuhan di dunia. Pada tahun 1983 di-laporkan 36.400 kasus dari 170 negara.

Polio dapat menular melalui kontak langsung atau makanan dan minuman yang terkontaminasifaeces. Penderita dapat men-jadi carrier dan dapat menularkan ke orang lain 3 minggu sejak ia terinfeksi. Masa inkubasi polio paralitik berkisar antara 7 -14 hari. Gejala polio meliputi antara lain : demam, talc enak badan, sakit tenggorokan, mual-mual, diare, sakit kepala, leher kaku, sakit otot di anggota badan dan punggung dan paralisis. Satu dari 200 penderita akan mengalami paralisis.

Imunisasi diberikan secara oral dengan vaksin polio OPV. Hanya + 48 % anak-anak di dunia mendapatkan imunisasi lengkap.

6) Tuberkulosis

Hampir semua merupakan TB. paru, meskipun dapat me-nyerang organ tubuh lain (tulang dan sendi,ginjal).

Tuberkulosis menyebabkan penderitaan + 10 juta korbannya setiap tahun, 2 juta di antaranya adalah anak-anak balita. Lebih dari 60.000 kasus menderita meningitis. Anak yang menderita TB meningitis meskipun diobati + 50% akan meninggal dan bila tak diobati 100% meninggal. Tanpa pengobatan, penderita TB paru akan menjadi sumber penularan seumur hidup.

Gejala TB pant meliputi demam yang tak tinggi, batuk, darah dalam dahak, sakit dada, keringat waktu malam dan berat badan menurun.

Satu dosis vaksin BCG dapat melindungi masa kanak-kanak terhadap TB. Imunsasi BCG perlu diberikan kepada bayi setelah lahir. Kira-kira 46% anak-anak di dunia telah diimunisasi BCG. Di negara sedang berkembang cakupan imunisasi mencapai + 39% dan di Eropa ± 70%.

HASIL

Cakupan Imunisasi Polio Nasional 1980-1988, menunjukkan bahwa dimulai dari ± 2% pada tahun 1981, meningkat setiap

Page 37: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 36

tahun hingga mencapai lebih dad 80% pada tahun 1988 untuk Polio 1 dan lebih dari 70% untuk Polio 2 dan 3. Cakupan Imunisasi Campak berturut-turut 2% pada tahun 1982, 6% (1983),11% (1984), 26% (1985), 45% (1986), 57% (1987), dan 64% pada tahun 1988. Cakupan TT 1 dan 2 pada ibu hamil pada tahun 1980 sebesar + 12% dan + 8% menjadi + 37% dan + 22% pada tahun 1985, dan mencapai + 42% untuk TI' 1 dan + 35% untuk TT 2 pada tahun 1988.(6)

Untuk memberikan gambaran efektivitas cakupan immnisasi terhadap penurunan kejadian penyakit PD3I, dikemukakan kejadian penyakit Campak dan difteri di 7 propinsi menurut suatu hasil survai kesehatan rumah tangga tahun 1985 (Tabel.1) dan cakupan imunisasi campak dan DPT 3 di 7 propinsi tersebut dalam tahun yang sama (Tabel 2). Data mengenai proporsi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut golong-an umur dalam tahun 1980 dan 1985, dikemukakan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 1. Kelompok diagnosis Penyakit Difteri dan Campak berdasarkan keluhan per 100.000 penduduk dl 7 Propinsi. Tahun 1986.

Penderita difterl dan Campak Propinsi

Jumlah Penduduk disurvai

Jumlah orang

Per 100.000 penduduk

Bali 38.069 38 99,82Bengkulu 41.357 92 222,45DI Yogyakarta 41.750 4 9,58 Sulut 41.793 24 57,43 N T B 42.987 21 48,85 KalBar 43.944 39 88,75 Maluku 41.134 66 159,97

Keterangan : Sumber :S K R T 1986.

Tabel 2. Cakupan Imunisasi DPI' dan Campak di 7 propinsi. Tahun1986.

Cakupan imunisasi (96) Propinsi

Jumlah Penduduk disurvai

DPT Campak

Bali 69.121 58,5 51,2Bengkulu 33.952 46,4 50,1 D.I. Yogyakarta 74.742 48,1 47,6 Sulawesi Utara 81.382 36,8 33,8 NTB 107.471 11,4 33,1 KalBar 93.634 11,7 6,5 Maluku 62.529 7,8 4,9

Keterangan : Sumber : Ditjen P3M & PLP Dep. Kes. R.I. & SKRT 1985.

Proporsi kematian dari penyakit PD3I terhadap seluruh pe-nyebab kematian dapat dilihat dalam Tabel 5, yakni 15,9% dalam tahun 1980 dan 22,1% dalam tahun 1985, sedangkan diagnosis penyakit penyebab kematian pada bayi disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa pada tahun 1980, 21,8% kematian bayi disebabkan oleh Tetanus, Difteri dan Campak, Meningitis menyebabkan 7,5% kematian bayi, 5% di

antaranya kemungkinan besar disebabkan oleh meningitis tu-berkulosis.

Untuk memberikan gambaran hubungan antara cakupan imu-nisasi dengan angka kematian, disajikan tabel cakupan imunisasi campak di 7 propinsi dikaitkan dengan angka kematian menurut golongan umur di propinsi tersebut dalam tahun 1985/1986 (Tabel 6). Masih banyak variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi angka kematian antara lain status gizi, pola upaya pelayanan kesehatan penderita, social budaya, lingkungan dan lain-lain.

Tabel 3. Proporsi beberapa jenis penyakit menurut golongan umur di Indonesia. Tahun 1985.

Keterangan : • Tidak ada data. Sumber : Survai Kesehatan Rumah Tangga (L. Ratna Budiarso,1986)

Survai di Propinsi : DJ. Yogyakarta, Bali, Sulu:, Bengkulu, Kalbar, Maluku dan NTB.

P E M B A H A S A N D A N K E S I M P U L A N

Cakupan program imunisasi telah mencapai rata-rata 59,3% di 7 propinsi, dan padawilayah yang sama di 7 propinsi tersebut dalam kurun waktu 5 tahun dari 1980-1985, IMR menurun dari 107 per seribu menjadi 71,6 per seribu.

Dari tahun 1980 sampai tahun 1985, penderita tuberkulosis menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada golongan umur yang lebh tinggi. Sebaliknya kasus penyakit Difteri, Batuk Rejan dan Campak cenderung menurun pada kelompok umur yang lebih tinggi, meningkit pada umur Balita; sehingga cakupan imunisasi pada kelompok ini perlu ditingkatkan.

Proporsi penyakit PD3I ialah 6,45% dari seluruh penyakit pada tahun 1980 menjadi:6,32% dalam,tahun 1985. Sedangkan proporsi kem atian disebabkan oleh PD3I ialah 21,4% dari seluruh kematian bayi dalam tahun 1980, menjadi 28,5%'dalam tahun 1985. Kenaikan disebabkan oleh kematian bayi akibat Campak.

Di Indonesia, PD3I masih menjadi masalah kesehatan. Pe-

nyakit PD3I menjadi penyebab kematian ± 23,12% dari seluruh kematian, diikuti oleh diare (12,84%), penyakit jantung dan pembuluh darah (9,75%). Oleh karena itu program imunisasi masih merupakan upaya yang paling.efektif untuk menurunkan angka kematian,baik Angka Kemtian Bayi (1MR) maupun Angka

Golongan Umur (%)

Tahun Penyakit

1 1-4 5-14 15-54 > 54

Jumlah

Tuberkulosis 0,1 0,6 1,3 6,8 13,8 5,1 Difteri, pertusis,

Campak 4,1 2,4 2,1 0,1 0,0 1,2 Polio* - - - - - - Tetanus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Penyakit lain 95,8 97,0 96,6 93,1 86,2 93,7

Jumlah 100 100 100 100 100 100

Page 38: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 37

Tabel 4. Proporsi penyakit PS3I menurut golongan umur di Indonesia. Tahun 1980

<1 th 1-4 th 5-44 th 15-24 th 25-34 th 35-44 th 45-54 th > 54 th Jumlah Penyakit

n % n % n % n % n % n % n % n % n %

Campak 29 4,71 96 3,7 41 1,7 2 0,16 - - - - - - - - 168 1,18Tb. paru 5 0,81 27 1,0

535 1,45 38 3,11 54 3,62 130 7,31 161 9,51 251 11,7 701 4,94

Tb. lain - - 4 0,15

4 0,17 6 0,49 5 0,34 - - 7 0,41 5 0,23 31 0,21Pertusis 2 0,33 3 0,1

25 0,81 - - - - 1 0,06 - - - - 10 0,07

Difteri - - 3 0,32

2 0,08 - - - - - - - - - - 5 0,04Tetanus - - - - - - - - - - - - - - - - - -Polio - - - - - - - - - - - - - - - - - -Lain 579 94,15 24

30 94,61

2327 95,79 1175 96,24 1433 96,04 1648 92,63 1525 90,08 1890 88,07 13278 93,55

Jumlah 615 100 2563 100 2414 100 1221 100 1492 100 1779 100 1693 100 2146 100 14193 100

Keterangan : Sumber : Dr. Ratna L. Budiarso, MSc, Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Data Statistik.

Tabel 5. Proporsi kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi di Indonesia. Tahun 1980 & 1986.

Persentase dari seluruh kematian Penyakit Tahun 1980 Tahun 1986

Tuberkulosis 8,4 8,6Campak 0,3 6,7 Tetanus 6,5 6,0 Difteri 0,7 0,4 Batuk rejan - 0,4 Polio - -Penyakit lain-lain 84,1 77,9

Jumlah : 100,0 100,0

Keterangan : Sumber : SKRT (L. Ratna B udiarso dkk,1986).

akan dapat diturunkan dari 71 menjadi + 51 per seribu kelahiran, hidup.

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Program Imunisasi. Jakarta, April 1989.

2. L Ratna Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Litban Kesehatan Departemen Kesehatan RL 1986.

3. Ditjen PPM & PLP, Departemen KesehatAan RL Pemantauan Program Imunisasi tahun 1988/1989.

4. WHO. Imunization, a chance for every child. Geneva: WHO 1987. 5. Abdoerrac'hman dkk. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran UniversitasIndonesia. FKUI, 1968. 6. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pemantauan Program

Jmunisasi,1988/1989. 7. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pelaksanaan Imunisasi.

Modul lātihan petugas imunisasi modul 8. 1989. 8. Ratna L. Budiarso. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980. Data

Tabel 6. Kematian menurut golongan umur dan beberapa tingkat cakupan imunisasi campak di 7 Propinsi. Tabun 1985/1986.

Ball Bengkulu D I Y Sulut N T B KalBar Maluku Cakupan Imunisasi

51% 50,1% 41,6% 33,8% 33,1% 6,5% 4,9% Jumlah

Umur n 96 n % n % n % n % n % n % n %

< 1 th 47 27,1 92 76,0 20 27,0 49 52,2 170 120,9 112 72,9 81 66,0 571 71,8 1 - 4 th 9 2,6 87 18,0 6 2,0 15 3,8 68 13,7 81 15,2 58 11,4 324 10,6 5 - 9 th 1 0,2 24 4,0 1 0,3 8 1,4 19 3,0 19 2,8 17 2,7 89 2,3 10 - 1 4 th 1 0,2 4 0,7 0 0,0 8 1,4 10 1,6 9 1,5 3 0,5 35 0,9 > 15 th 139 21,8 111 20,6 135 20,1 153 23,1 162 19,5 162 27,7 152 23,7 1036 22,3

Jumlah 165 4,0 197 5,1 233 5,6 337 8,2 383 8,7 311 7,2 429 10,0 2055 7,0

Keterangan : Sumber : SKRT 1986 (2) dan Ditjen PPM & PLP Dep. Kes. RI.

Kematian Kasar (CDR) karena 28,5% IMR disebabkan karena penyakit PD3I. Angka kematian kasar pada tahun 1985 ialah 7,0 per seribu penduduk(2), sedangkan angka kematian bayi (AKB)

Statistik DepartemenKesehatan RI. Badan LitbangKesehatan Puslit Ekologi Kesehatan, Jakarta, 1980.

9) Nasution MS. dkk. Vaccine Production and Immunization Progamme in South East Asia resent status and prospects. SEAMIC Workshop, Tokyo. 1986.

10) Sujana. Metoda Statistik. Bandung: Taraito 1982.

Page 39: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 38

Masalah Gangguan Asam Basel dan. Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi

A.A. Bgs. Ngr. Nuartha Laboratorium/UPF Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSU Wangaya,

Denpasar, Bali

''A little neglect may breed mischief' (Benjamin Franklin)

PENDAHULUAN Sel-sel tubuh dapat hidup sehat dan aman di lingkungan

.yang mempunyai pH antara 7,35 dan 7,45. Bilamana terpaksa, sel-sel masih dapat hidup dalam lingkungan yang mempunyai pH 6,8 sampai 7,8. Oleh karena sempitnya batas-batas ter- sebut, maka usaha kompensasi dari tubuh sangat penting. Apa-bila tidak berhasil, akan terjadi dekompensasi dan harus di-lakukan tindakan koreksi.

pH darah dalam keadaan fisiologis terletak antara 7,35— 7,45 (rata-rata 7,4). pH darah vena dan arteri berbeda sekitar 0,021-4 . pH likuor serebrospinal terletak di antara 7,31—7,375. pH cairan ekstraseluler (CES): 7,4 + 0,05, dan pH cairan intra-seluler (CIS): 6,8—7,0. Jadi pH darah dan likuor serebrospinal (LSS) mencerminkan suatu pH CES3,5,6

PANDANGAN UMUM Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbang-

kan H+ (hydrogen-ion donor), sedangkan suatu cairan bersifat basa bila sanggup menerima H+ (hydrogen-ion acceptor)1,3,7. Keseimbangan asam-basa cairan tubuh (CES maupun CIS) ditentukan oleh konsentrasi H+1,8

Asam Basa + H+

Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam atau kekurangan basa, sedangkan keadaan alkalosis (baseosis) ter-jadi apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa1,4,9

Yang penting dalam masalah keseimbangan asam-basa adalah mempertahankan konsentrasi H+ dalam CES. Konsen-trasi H+ intrasel yang walaupun tidak identik dengan konsen-trasi CES, sangat tergantung pada konsentrasi H`CES. Karena sel-sel sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kon-sentrasi H+, maka mekanisme yang mengatur susunan CES sangat penting10

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+, antara lain7,10,11

a) Pengeluaran CO2 /H2 CO3 oleh paru-paru. CO2 yang dibentuk oleh metabolisme jaringan, sebagian

besar mengalami hidrasi- menjadi H2CO3 ; pembebanan H+

total dari sumber ini lebih dari 12500 mEq/hari. Sebagian besar CO2 diekskresi melalui paru-paru, hanya sedikit H+

dari sumber yang diekskresi oleh ginjal. b) Pengeluaran asam/basa oleh ginjal dan usus.

Misalnya: kehilangan asam karena muntah-muntah, ke-gagalan ginjal untuk mengekskresi beban asam yang normal dalam tubuh. Dari hasil metabolisme, sebanyak 30—50 mEq H+ harus dikeluarkan oleh ginjal setiap hari. c) Penambahan secara endogen yang tidak fisiologis.

Misalnya pada ketosis diabetes (asam asetoasetat dan beta hidroksobutirat). d) Penambahan secara endogen dari hasil metabolisme yang fisiologis, misalnya: pembentukan asarn laktat sebagai hasil kerja otot pada latihan yang berat. e) Pembentukan asam dalam jumlah besar oleh sel-sel lambung (fisiologis). f) Pemberian asam/basa secara eksogen melalui makanan.

Misalnya: makan garam yang mengandung asam, seperti NH4Cl dan CaC12 yang menambah HCI tubuh.

Buah-buahan adalah sumber utama alkali sehari-hari. Mereka mengandung garam-garam Na+ dan K+ dari asam-asam organik lernah; anion-anion garam ini dimetabolisme menjadi CO2 dan meninggalkan NaHCO3 dan KHCO3 dalarn tubuh. Garam-garam pembentuk alkali ini kadang-kadang dimakan dalam jumlah besar.

Kadar H+ dinyatakan dengan kesatuan pH (rumusnya: pH = —log kadar H+). Kadar H+ dalam cairan tubuh adalah 0,00004 mEq/L (10-7,4g/L). Sehingga pH nya menjadi. —log 10-7,4 = 7,4. Secara teknis, asidosis adalah bila pH arteri di bawah 7,4, dan alkalosis bila pHnya di atas 7,4; pH di bawah 7,25 atau di atas 7,55 hampir selalu memerlukan terapi3,10. Untuk mengaturnya, diperlukan suatu mekanisme buffer, pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paru-paru, pengeluaran

Page 40: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 39

urin yang bersifat asam atau basa1,6 Apabila terdapat ketidak seimbangan asam-basa, maka

mekanisme tubuh untuk melakukan koreksi secara berturut-turut adalah sebagai berikut : Mekanisme buffer.

Terdiri dari : 1) buffer hemoglobin HHb H+ + Hb― 2) buffer protein Hprot H+ + Prot― 3) buffer fosfat H2PO4 H+ + HPO4

― 4) buffer bikarbonat H2CO3 H+ + HCO3

― Posisi H2 CO3 adalah unik, karena ia diubah menjadi H2O

dan CO2, dan CO2 kemudian diekskresi melalui paru-paru. Konsentrasi bikarbonat terutama diatur oleh ginjal, dan PCO2 terutama diatur oleh paru-paru10.

Untuk keperluan klinik, buffer bikarbonat adalah yang terpenting, karena dapat dideteksi melalui pemeriksaan labo- ratorium; selain itu buffer lain akan turut berubah sebanding dengan perubahan sistem buffer bikarbonat/asam karbonat3.

Jadi pH terutama diatur oleh sistem buffer bikarbonat/ asam karbonat dan dapat ditentukan dari persamaan Hen- derson—Hasselbach1,3,10.

Perbandingan normal HCO3 —/H2 CO3 adalah 20/1 dan pK adalah 6,1. Karena H2 CO3 = 0,03 x PCO2 , maka pada PCO2 yang normal (40 mmHg) akan didapatkan kadar HCO3

— yang normal adalah 24 mEq/L8,9,11,12

Melalui paru-paru. Kompensasi oleh sistem pernafasan adalah mengeluarkan

atau menahan CO2. PCO2 dalam keadaan normal diatur dalam batas-batas tertentu oleh ventilasi paru-paru.

Kadār H2 CO3 dalam plasma seimbang dengan CO2 yang terlarut, dan jumlah CO2 yang terlarut diatur oleh pernasan9.

Apabila H+ ditambahkan ke dalam darah, maka HCO3— akan

menurun karena lebih banyak H2CO3 yang dibentuk. Bila H2CO3 ekstra ini tidak diubah menjadi CO2 yang diekskresi-kan melalui paru-paru, konsentrasi H2CO3 akan meningkat, pH akan turun. H+ yang meningkat ini akan merangsang per-nafasan. Akan tetapi penurunan PCO2 , sehingga sebagian H2CO3 tambahan dibuat dan pH tidak terlalu menurun9,10.

Pada hiperventilasi, CO2 lebih banyak dikeluarkan, kon-sentrasi H+ akan turun, dan terjadi alkalosis respiratorik.

Pada hipoventilasi, CO2 akan terkumpul, kadar H2CO3 naik, maka konsentrasi H+ akan meningkat, terjadi asidosis respiratorik l,6.

Bila terdapat asidosis metabolik primer, PCO2 akan turun maka sekunder akan terjadi alkalosis respiratorik. Bila ter- dapat alkalosis metabolik primer, pCO2 akan naik, maka se- kunder akan terjadi asidosis respiratorik1,3,4.

Jenis .pernafasan yang terjadi ditentukan oleh reseptor perifer (sinus karotikus dan arkus aorta) serta pH plasma, dan pusat pernafasan serta pH likuor serebrospinal8 . Melalui ginjal. 5) Terdapat tiga reaksi penting pada cairan tubulus untuk membuang reaksi H+ dengan HCO3

― membentuk CO2 dan H2O, dengan HPO4

― membentuk H2PO4―, dan dengan NH3 membentuk NH4

―. Konsentrasi bikarbonat plasma diatur oleh tubulus ginjal

melalui tiga proses utama, yaitu : 1) Bikarbonat yang difiltrasi akan direabsorpsi sebagian besar pada tubulus proksimal, untuk mencegah kehilangan bikar- bonat yang berlebihan dalam urin. 2) Ion hidrogen diekskresi sebagai asam yang dapat difiltrasi untuk membentuk kembali bikarbonat. 3) Ginjal juga mengekskresi ion hidrogen dalam bentuk ion ammonium oleh proses menghasilkan kembali bikarbonat yang mula-mula dipergunakan untuk pembentukan ion hidro- gen. Pengurangan volume, peningkatan pCO2 dan hipokalemia semuanya akan meningkatkan reabsorpsi HCO3

― tubulus3,10 Asidosis sering terjadi pada penyakit ginjal kronik akibat

kegagalan mengekskresikan asam yang dihasilkan dari pen- cemaran dan metabolisme8,10.

Meknisme melalui ginjal berlangsung agak lambat (tidak seperti pada paru-paru), efektif pada gangguan keseimbangan asam-basa kronik. Dengan membuang urin yang asam, maka basa akan ditahan, sehingga asidosis akan dikompensasi. Se- baliknya dengan membuag urin yang bersifat basa, alkalosis akan dicegah11. (Gambar 1.) KESEIMBANGAN ASAM—BASA SEREBRAL.

Meskipun mencerminkan pH CES, pH likuor srebrosphinal dalam keadaan normal lebih rendah dari pH darah. pH likuor serebrospinal (LSS) yang diperoleh dari pungsi lumbal lebih rendah dari yang diperoleh melalui pungsi subroksipital/sis- ternal. Demikian juga pH LSS pada keadaan asidosis dan al- kalis metabolik tidak sesuai dengan pH darah5 .

Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui sawar darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada LSS dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan konsentrasi bikarbonat yang sulit melintasi sawar darah otak (blood-brain barrier). Satu-satunya sistem yang dapat bekerja di lingkung- an susunan saraf pusat ialah buffer bikarbonat.

Mekanisme transportasi bikarbonat di sini belum jelas. Tetapi telah diketahui, bahwa perubahan akut konsentrasi bikarbonat plasma tidak akan mempengaruhi konsentrasi bikarbonat LSS dalam waktu kurang dari 1 jam, sedangkan perubahan CO2 plasma hampir selalu mengganggu pCO2 LSS secara langsung10. Sehingga pH LSS akan dapat mengikuti pH darah pada keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik, tetapi akan lambat mengikuti pH darah pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik5,10. Jadi untuk menilai keseimbang-

Page 41: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 40

Gambar 1.

an asam-basa serebral. pemeriksaan pH LSS memegang pe-ranan penting5.

Di samping itu, proses biokimiawi serebral regional juga mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan kadar CO2 yang tinggi seperti misalnya pada hipekapnia, terjadi vasodilatasi dan peningkatan cerebral blood flow (CBF) karena tahanan serebrovaskuler yang menurun. Vaso-dilatasi maksimal terjadi pada pCO2 (PaCO2) lebih dari 80 mmHg. Setiap mmHg peningkatan atau penurunan pCO2 akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan CBF se-banyak 4%. Sedangkan dalam lingkungan dengan kadar CO2 yang rendah seperti misalnya pada hipokapnia selama hiper-ventilasi, terjadi vasokonstriksi dan CBF akan menurun. Pada PaCO2 20—25 mmHg, CBF akan turun sekitar 40%.

Di samping pengaruh CO2, juga diketahui adanya pe-ngaruh O2 terhadap CBF. Tekanan O2 yang rendah, seperti misalnya pada keadaan hipoksia atau anoksia akan menim-bulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Vasodilatasi maksimal terjadi pada pO2 kurang dari 25 mmHg. Sedang- kan tekanan O2 yang meningkat akan mengakibatkan vaso-konstriksi dan berkurangnya CBF.

Konsentrasi ion hidrogen juga mempunyai pengaruh ter-hadap CBF. Pada keadaan asidosis, akan terjadi vasodilatasi dan peningkatan CBF; sedangkan pada keadaan alkalosis, akan terjadi vasokonstriksi dan penurunan CBF. Asam laktat yang dihasilkan melalui metabolisme anaerob di daerah otak yang mengalami hipoksia berat akan mengakibatkan vaso-dilatasi, bahkan bila hebat dapat terjadi vasoparalisis5,13-15. ASIDOSIS DAN ALKALOSIS RESPIRATORIK.

Asidosis karena ventilasi yang berkurang (hipoventilasi) dan sebagai akibatnya tekanan CO2 darah naik dinamakan

asidosis respiratorik. Alkalosis karena hiperventilasi dan pe-nurunan tekanan CO2 darah dinamakan alkalosis respiratorik. Oleh karena sistem respiratorik secara cepat dapat mengubah pH darah, maka sistem ini sering dikerahkan untuk membuat penyesuaian segera terhadap perubahan pH yang sering di-timbulkan oleh sebab-sebab metabolisme daripada sebab-sebab respiratorik. Penyesuaian kembali pH oleh sistem respiratorik berlangsung cepat, tetapi tidak sempurna. Se-baliknya, mekanisme ginjal dapat menyesuaikan kembali pH secara sempurna, tetapi kerjanya lambat9.

1) Asidosis respiratorik. Disebabkan oleh peningkatan reaktif asam karbonat di-

bandingkan dengan bikarbonat. Keadaan ini dapat terjadi pada setiap penyakit yang mengganggu pernafasan, misalnya: bronkiolitis, pneumonia, emfisema, fibrosis pulmonum, ke-gagalan kongesti, edema pulmonum, COPD (penyakit paru obstruktif kronik), obstruksi saluran pernafasan, adult res-piratory distress syndrome, gangguan neuromuskuler (mis. sindrom Guillain-Barre, tetanus, miastenia gravis, poliomie-litis), atau depresi SSP/pusat pemafasan (mis. dosis obat yang berlebihan, lesi struktural). Respirator yang tidak ber-fungsi dengan baik dapat pula membantu menimbulkan asidosis respiratorik.

Asidosis respiratorik itu akan mengakibatkan asidosis di LSS. Keadaan ini akan .merusak sawar darah otak dan mengakibatkan edema otak.

2) Alkalosis respiratorik. Terjadi bila terdapat penurunan I'raksi asam karbonat

tanpa perubahan bikarbonat. Ini dapat timbul pada hiper-ventilasi, bisa terjadi dengari sendirinya maupun yang di-paksa. Sebagai contoh adalah: hiperventilasi histerik, ansietas,

Page 42: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 41

penyakit SSP yang mempengaruhi sistem pernafasan (mis. ensefalitis), hipoksia, penyakit paru-paru restriktif, berada di tempat yang tinggi, keracunan salisilat, penyakit hati (koma hepatikum), atau pemakaian respirator yang tidak tepat. ASIDOSIS DAN ALKALOSIS METABOLIK.

Gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh perubahan kadar bikarbonat darah dapat dikatakan berasal dari metabolisme. Kekurangan bikarbonatt tanpa perubahan H2 CO3 akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kelebihan bikarbonat tanpa perubahan H2CO3 akan me-nimbulkan alkalosis metabolik.

Sebagai penyesuaian konsentrasi asam karbonat, dalam hal yang pertama adalah pembuangan lebih banyak CO2 (hiper-ventilasi) dan dalam hal yang ke dua adalah retensi CO2 (hipovenlilasi). Kadar CO2 plasma jelas lebih rendah dari normal pada asidosis metabolik dan lebih tinggi dari normal pada alkalosis metabolik9. 1) Asidosis metaboltic.

Disebabkan oleh penurunan fraksi bikarbonat, tanpa per-ubahan maupun dengan perubahan , yang relatif kecil pada fraksi asam karbonat. Keadaan ini dapat terjadi pada., diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan ketosis, kelainan ginjal, keracunan garam-asam (acid salt), kehilangan cairan usus yang berlebihan (terutama pada usus halus bagian bawah dan kolon, seperti misalnya diare atau kolitis), alkoholisme, ke-laparan, obat-obatan (asetazolamid, amfoterisin B, koles- tiramin, salisilat, isoniazid, paraldehid), asidosis laktat.

Penyebab asidosis laktat paling sering ialah hipoksia jaring-an yang dapat terjadi pada syok (mis. syok kardiogenik atau syok septik) dan hipoksemia berat. Produksi laktat yang ber-lebihan juga terjadi pada diabetes melitus yang tidak ter-kendali, pemberian fenformin (terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal), minum alkohol berlebihan, gagal ginjal kronik, gagal hati berat, infeksi bakteri berat (sepsis), pankrea-titis, toksemia gravidarum, dan leukemia.

Dari hash laboratorium, terlihat pH darah arteri sering di bawah 7,0, anion gap lebih dari 16 mEq/L, bikarbonat plasma dan pCO2 sangat rendah, laktat darah sekitar 5—35 mmol/L, piruvat meningkat sampai 0,2—1,5 mmol/L, lactate-pyruvate ratio diantara 12 dan 200.

2) Alkalosis metabolik. Disebabkan oleh peningkatan fraksi bikarbonat, tanpa per-

ubahan maupun dengan perubahan yang relatif kecil pada fraksi asam karbonat. Kelebihan alkali dapat menyebabkan alkalosis, misalnya makan alkali berlebihan pada penderita ulkus peptikum. Jenis alkalosis ini lebih sering terjadi sebagai akibat obstruksi usus tinggi (misalnya stenosis pilorus), mun-tah-muntah yang lama dengan pengeluaran isi lambung yang asam atau setelah pembuangan secara berlebihan cairan lam-bung yang mengandung asam hidroklorida (misalnya pada pe-nyedotan cairan lambung).

Biasanya penyebab alkalosis ini adalah kekurangan klorida yang disebabkan oleh kehilangan cairan lambung yang me-ngandung sedikit natrium tetapi banyak klorida (yaitu sebagai asam hidroklorida). Ion klorida yang hilang kemudian diganti dengan bikarbonat. Jenis alkalosis metabolik ini lebih tepat

disebut alkalosis hipokloremik. Defisiensi kalium juga sering dikaitkan dengan timbulnya alkalosis hipokloremik, karena tidak adanya H+ untuk ditukar dengan Na+ dari lumen tubuli ginjal.

Pernafasan akan menjadi lambat, dangkal, dan urin mung kin menjadi alkali, tetapi biasanya karena disertai kekurangar Na' dan K' akan memberi reaksi asam walaupun bikarbonat darah meningkat. Alkalosis metabolik yang biasanya diketemu- kan dalam klinik hampir selalu disertai oleh defisiensi kalium.

Penyebab alkalosis metabolik pada penderita dengan dis- fungsi otak, antara lain adalah hipovolemia, gangguan elek- trolit tubuh, atau karena produksi bikarbonat yang berlebih- an sebagai hasil metabolisme sitrat setelah pemberian transfusi darah masif17. Gambar 2.

GANGGUAN ASAM-BASA CAMPURAN. Petunjuk adanya gangguan asam-basa campuran adalah ber-

dasarkan hasil pemeriksaan gas darah serial. Nilai PCO2 dan bikarbonat bergerak dalam arah berlawanan, PCO2 meningkat dan bikarbonat menurun, atau sebaliknya. Ini selalu menun- jukkan adanya suatu gangguan campuran. Sebagai petunjuk akan adanya gangguan asam-basa campuran dapat juga diguna- kan nomogram di bawah ini. Bila data asam-basa terdapat di luar salah satu pita kemaknaan, penderita dianggap mem- punyai gangguan asam-basa campuran16. 1) Asidosis metabolik dan asidosis respiratorik.

Ini menunjukkan kegagalan kardiopulmoner yang berat, dan secara klasik dijumpai pada keadaan resusitasi kardio- pulmoner. 2) Asidosis metabolikdan alkalosis respiratorik.

Dijumpai pada keracunan salisilat berat, syok septik, atau sindrom hepatorenal. Karena kedua gangguan asam-basa cenderung menghambat satu sama lain, maka gangguan kon-

Page 43: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 42

Tabel 1. pH pCO2 HCO3

— BE Asidosis metabolik.

- tak terkompensasi ↓ N

↓ ↓- kompensasi sebagian

- kompensasi penuh ↓ N

↓ ↓

↓ ↓

↓ ↓

Alkalosis metabolik. - tak terkompensasi ↑ N ↑ ↑ - kompensasi sebagian ↑ ↑ ↑ ↑- kompensasi penuh N ↑ ↑ ↑

Asidosis respiratorik. - tak terkompensasi

↓ ↑ N N

- kompensasi sebagian ↓ ↑ ↑ ↑ - kompensasi penuh N ↑ ↑ ↑

Alkalosis respiratorik. - tak terkompensasi ↑

↓ N N

- kompensasi sebagian ↑ ↓ ↓ ↓- kompensasi penuh N ↓ ↓ ↓

Nilai Normal : pH darah : 7,35-7,45 CO total : 24-29 mEq/L pCO2 : 35-45 mmHg Buffer base (BB): 45-50 mEq/L pO2 : 85-95 mmHg HCO3- : 21-25 mEq/L Natrium : 135-145 mEq/L BE: ―2,5―+2.5 mEq/L Kalium : 3,6-4,5 mEq/L Klorida : 98-109 mEq/L

sentrasi ion hidrogen biasanya ringan. 3) Alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik.

Dijumpai pada penderita penyakit hati lanjut (yang dapat menyebabkan hiperventilasi) dan muntah-muntah atau diterapi secara agresip dengan diuretika. 4) Alkalosis metabolik, alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik.

Yang disebut gangguan tripel ini sebenarnya cukup sering dijumpai pada pasien alkoholik yang telah muntah-muntah, mengalami ketoasidosis alkoholik, dan mengalami hiper-ventilasi karena penghentian pemberian alkohol dan/atau disertli adanya penyakit' hati berat. Superimposisi asidosis metabolik pada suatu alkalosis metabolik hanya dapat di- kenali melalui pemakaian konsep anion yang berlebihan. Dianggap bahwa dengan adanya asidosis metabolik, anion gap akan meningkat, dan setiap mEq anion yang menumpuk akan menurunkan bikarbonat plasma 1 mEq/L. Oleh karena itu, anion yang berlebihan (yaitu anion gap yang terukur minus 12 mEq/L) bila ditambahkan pada bikarbonat serum yang. diukur harus memberikan nilai yang mendekati bikar-bonat serum normal. Jika anion yang berlebihan ditambah dengan nilai bikarbonat serum yang diukur memberikan nilai bikarbonat serum yang tinggi abnormal, maka alkalosis metabolik harus telah mendahului permulaan asidoss meta-bolik. Analisis penderita alkoholik yang berhenti minum alkohol dan sebelumnya muntah-muntah, biasanya akan dapat mendeteksi adanya gangguan asam-basa tripel6,16 (Nomogram).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

Dalam mekanisme kompensasi, ukuran lebih atau kurang-nya asam/basa dalarn darah diukur oleh BE (base excess). Base excess ialah jumlah mEq asam kuat atau basa kuat yang dapat ditambahkan ke dalam satu liter darah untuk tercapainya nilai nol pada keadaan bikarbonat standar yang normal yaitu

Nomogram asam-basa. H+ darah arteri (mmol/L)

22,9 mEq/L. Besarnya BE dapat diukur secara 'Astrup' atau secara tidak langsung dari nomogran Siggaard-Andersen. Harga normal BE : —2,5 s/d +2,5 mEq/L1,6,7,10 .

Parameter-parameter laboratorium yang penting dalam penanganan gangguan asam-basa ialah 1) Penentuan elektrolit serum.

Nilai bikarbonat serum yang abnormal sering menjadi pe-tunjuk pertama bahwa ada suatu gangguan asam-basa. Di samping itu, nilai untuk natrium, klorida dan bikarbonat harus diketahui untuk menghitung anion gap, nilai yang sangat penting untuk menangani setiap gangguan asam-basa.

Anion gap = (Na+) - (CI― + HC03― ) = 12 + 4 mEq/L

Anion gap yang lebih besar dari 18 mEq/L biasanya selalu me-nunjukkan asidosis metabolik primer2,16. 2) Kalium serum.

Secara klasik, nilai kalium serum meningkat pada keadaan asidosis metabolik meskipun tidak konsisten. Sebaliknya, apabila orang tersebut asidemik dan hipokalemik, hpokalemia yang dalam akan terjadi setalah terapi dengan alkali16. 3) Penentuan gas darah arteri.

Dalam penentuan gas-gas darah, lebih disukai contoh yang diperoleh dari darah arteri (+ 2,5 ml), meskipun darah vena yang mengalir dengan bebas (tanpa pemasangan manset) dapat juga dipergunakan untuk penentuan pH. Alat suntik supaya dilumasi dengan sodium heparin 1% ± 0,15 - 0,20 ml yang bekerja sebagai antikoagulan dan untuk mencegah kebocoran udara 3,11,16

HC03― tidak dapat diukur; yang diukur biasanya adalah

pH. pCO2 dapat diukur langsung dengan elektrode pCO2, secara tidak langsung dengan rnetode interpolasi (Astrup)

Page 44: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 43

atau dibaca pada nomogram standar1,7.Karena pH meter lebih mudah didapat dari pada elektrode pC02, maka pH dan C02 total lah yang sering diukur. CO2 total adalah jumlah C02 yang dibebaskan dari plasma atau serum pada pemberian asam. Ia merupakan jumlah CO2 dalam darah yang terdapat dapat segala bentuk, yaitu HC03

― , H2 C03 dan C02 yang larut dalam darah7.

CO2 total = HCO3― + H2CO3 + CO2 (dalam larutan)

H2CO3 + CO2 (dalam larutan) = α PCO2 = 0,0301 . PCO2 CO2 total = (HCO3

―) + (0,0301.PCO2) HCO3

― = CO2 total ― (0,0301.PCO2) α(=0,0301) ialah derajat disosiasi dari pada H2CO3. Dari sini kemudian dihitung PCO2 dengan menggunakan

bentuk khusus dari persamaan Henderseon-Hasselbalch(HH)18:

Jadi : 19,95 . (0,0301 . PCO2) = (26)―(0,0301 . PCO2) 19,95 . (0,0301 . PCO2) + (0,0301 . PCO2) = 26

0,6306 . PCO2 = 26

H2CO3 = 0,0301 . 41,2 = 1,24 mEq/L HCO3

—= 26 ―1,24 = 24,76 mEq/L Di samping itu, HCO3

― dapat juga dicari pada nomogran Siggard-Andersen1,7,8.

Dalam keadaan normal (pH 7,4 dan PCO2 40 mmHg), jumlah buffer base tergantung pada kadar Hb. Rumus untuk mendapatkan BB (buffer base) ialah :

41,6 + 0,42. kadar Hb (dalam gram/100 ml) BB = 41,6 + 0,42. 14 = 47,48 mEq/L

Untuk praktisnya, gangguan keseimbangan asam-basa dapat ditentukan antara lain sebagai berikut a) Asidosis metabolik.

pC02 harus turun 1 - 1,5 kali penurunan HCO3—

b) Alkalosis metabolik. pC02 harus meningkat 0,5 - 1 kali peningkatan HCO3

— . c) Asidosis respiratorik akut.

HCO3— harus meningkat, namun tidak lebih dari 30 mEq/L.

d) Asidosis respiratorik kronik. HCO3

— harus meningkat sebanyak 4 mEq/L untuk setiap 10 mmHg peningkatan pC02. e) Alkalosis respiratorik akut.

HCO3—harus turun sekitar 2,5 mEq/L untuk setiap 10

mmHg penurunan pC02, namun biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/L. f) Alkalosis respiratorik kronik.

HC03 harus turun paling sedikit sama banyak dengan yang akut, dan biasanya tidak lebih rendah dari 1.2 - 14 mEq/L.

TERAPI. 1) Asidosis respiratorik.

Tergantung kausa, terapi selalu ditujukan untuk mem- perbaiki ventilasi. Hal ini misalnya dapat terjadi akibat sumbat-an jalan nafas, atelektasis, atau alveoli terisi cairan sehingga terjadi gangguan pertukaran gas O2 dan C02

10,11

Pemakaian NaHC03 tidak efektif bilamana ventilasi ter-ganggu, karena pembufferan yang efektif memerlukan pe-ngeluaran CO2

16. Alkali jarang diberikan, kecuali jika ada asidosis metabolik yang berat. Pemakaian alkali justru dapat merugikan, karena pH yang rendah merupakan stimulus untuk terjadinya ventilasi pada hiperkapnia. kronik11. Bilamana pC02 lebih besar dari 60 mmHg, dapat menyebabkan vaso-dilatasi serebral dengan edema otak, gangguan sensorium dan asidosis10,11. Pada pC02 65 mmHg atau lebih besar justru terjadi depresi terhadap pusat pernafasan. Asidosis cairan otak akan mengurangi perfusi pada daerah otak yang iskemik (cerebral steal)13,14

Kekurangan kalium dan klorida juga sering disebabkan karena alkalosis metabolik yang menumpangi asidosis respi-ratorik kronik, sehingga perlu dikoreksi dengan pemberian KC116

Penderita dengan pCO2 lebih dari 50 mmHg (kronis), mungkin akan menderita hipoventilasi berat, meningkatnya pCO2, narkosis CO2, dan kematian jika diberi O2 konsentrasi tinggi. Keadaan buruk ini terjadi bilamana respon sentrum meduler terhadap CO2 sudah begitu jelek, sehingga ventilasi hanya dapat terjadi sebagai respon terhadap stimulus hipoksia. Hilangnya stimulus hipoksia akibat pemberian O2 akan dapat menimbulkan apnea, karena itu O2 harus diberikan dalam konsentrasi paling rendah yang masih efektif10,11

Terapi oksigen diperlukan jika terjadi hipoksia yang me-ngancam kehidupan penderita. Biasanya terapi dimulai dengan pemberian 24% O2 (tergantung cara pemberiannya, dengan kanula atau kateter hidung akan dapat dicapai konsentrasi O2 antara 24 - 28% dengan kecepatan 1 - 2 liter/menit). Jika pO2 masih belum mencukupi dan narkosis CO2 belum terjadi, konsentrasi O2 dapat dinaikkan sampai 28%. Sebelumnya di-lakukan pemeriksaan ulang gas darah, misalnya setelah 2 jam. Sedikit demi sedikit konsentrasi O2 dinaikkan sampai tercapai pO 2 yang mencukupi (dengan kanula, kecepatan 8 liter/menit akan memberi konsentrasi sekitar 40%; dengan topeng oksigen, akan memberi konsentrasi sebesar 50 - 60% pada kecepatan 6 liter/menit). Setiap penderita dengan gangguan respirasi dengan pC02 belum diketahui, hanya boleh diberi O2 dengan konsentrasi rendah (24%) sampai gas darah arteri dapat di-ukur1 1 , 1 8 . Pemberian konsentrasi O2 inspirasi lebih dari 60% (FIO2 lebih dari 60%) jarang dilakukan, karena dapat terjadi toksisitas O2 (kerusakan parenkim paru-paru)10,11,16. Peng-hentian pemberian O2 akan dapat menyebabkan pO2 me-nurun dengan cepat, terutama pada penderita dengan ke-naikan pCO2 yang agak tinggi2,11,16

Apabila terapi 02 konservatif tidak dapat mempertahan-kan kadar gas darah, perlu diberi ventilasi secara mekanis. Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk memperbaiki oksigensi dan ventilasi alveoler. Tergantung keperluannya, ventilasi

Page 45: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 44

ini dapat dijalankan secara manual atau dengan mesin. Pada penderita dalam keadaan apnea atau hampir apnea, ventilasi yang memadai harus segera dikerjakan dengan topeng dan kantong resusitasi yang dijalankan dengan tangan. Pemberian O2 kecepatan tinggi diberikan melalui kantong. Perfusi darah dinilai dan ditangani dengan tindakan yang sesuai (closed chest massage), cairan iv, dan lain-lain). Setelah mendapat ventilasi O2 yang cukup dan aliran darah telah diperbaiki, baru dipasang pipa endotrakeal yang disambung dengan ventilator. Umumnya intubasi endotrakeal tidak boleh lebih dari 48 - 72 jam. Jika nampaknya akan diperlukan intubasi untuk waktu lama, trakeotomia elektif harus diperjakan pada hari-hari pertama. Trakeotomia sebagai suatu prosedur darurat hanya dilakukan pada obstruksi akut saluran nafas bagian atas (misalnya akibat benda asing, trauma, atau peradangan hebat) dimaiia terjadi kegagalan untuk memasukkan pipa endotrakeal11,16. 2) Alkalosis respiratoric.

Terapi ditujukan pada gangguan yang mendasari, biasanya alkalosis itu sondiri tidak memerlukan pengobatan. Tetani atau sinkope karena hiperventilasi akut dapat disembuhkan dengan bernafas dalam kantong plastik yang tujuannya untuk menaikkan pCO2 dalam udara pernafasan (rebreathing)4,14.

Jika hiperventilasi . dengan mendadak diakhiri (seperti pada penyesuaian kembali alat respirator mekanik), dapat terjadi asidosis (kenalkan pCO2 yang disertai penurunan HCO3

―Meskipun ginjal yang normal akan segera mem-perbaiki komposisi buffer, namun pemberian alkali mungkin diperlukan untuk perbaikan yang lebih cepat. Bila timbul hiperventilasi yang terus menerus (misalnya pada penyakit SSP atau asidosis intraserebral paradoks), dianjurkan untuk memakai suatu alat pernafasan yang berisi CO2 dengan kon-sentrasi ± 5%. Pada asidosis intraserebral paradoks, pH perifer telah normal, sedangkan pH dalam jaringan otak lebih lambat berubahnya. Ini akan memacu terjadinya hiperventilasi dan menyebabkan penurunan pCO2 atau mempertahankannya pada tingkat sebelumnya yang rendah2,5,11,16. 3) Asidosis metabolic.

HC03― yang diperlukan = 0,3 x BB (kg) x Base Excess

mEq. Karena penilaian yang benar-bendr tepat terhadap ke-

kurangan bikarbonat sukar ditentukan, maka Na-bikarbonat yang mula-mula diberikan hanya 50% dari kekurangan yang terhitung, sedangkan 50% sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan2,11. Misalnya larutan Na-bikarbonat yang dipergunakan adalah 7% (Meylon), maka jumlah pemberian adalah sebagai berikut :

(Untuk laruran Na-bikarbonat 8,4%, 1 ml = 1 mEq)

Kerugian terapi alkali adalah dapat menimbulkan hiper-osmolaritas atau rebound alkalosis terutama pada asidosis dengan anion kap yang besar2,16. Bila diperlukan bikarbonat dalam jumlah besar, dapat diberikan misalnya 3 ampul NaHC03 dalam 850 ml DSW dan diinfuskan secara cepat16. Setengah dari kekurangan yang terhitung dapat diganti dalam

3 – 4 jam jika tidak ada kegagalan jantung kongestif berat. Perbaikan asidosis tanpa perbaikan kekurangan kalium,

akan dapat menimbulkan manifestasi hipokalemia yang fatal (karena masuknya kalium ke dalam sel): Walaupun demikian, penggantian kalium jangan dilakukan sebelum asidosis ter-atasi sebagian dan sebelum turunnya kadar- kalium serum dapat dibuktikan1l. Jika terjadi hipokalemia, diberikan KC1 20 - 40 mEq/L ke dalam cairan infus dengan kecepatan tidak lebih dari 10 mEq/jam. Jangan diberikan lebih dari 100 - 200 mEq/hari, meskipun untuk ini akan diperlukan waktu beberapa hari guna mengisi kekurangan tersebut. Jika hipokalemia sangat berat (kurang dari 2 mEq/L), kalium dapat diberikan dengan kecepatan hingga 40 mEq/jam dan dalam konsentrisi sampai 60 mEq/L. EKG harus terus di-pantau. Setelah pemberian 50 - 100 mEq yang pertama, kadar KCl serum perlu diperiksa kembali. Dalam keaadaan kritis, sebaiknya KCl diberikan dalam larutan salin (jika tidak ada kontra-indikasi) daripada larutan dekstrosa-air, karena infus dengan cairan yang mengandung glukosa dapat me-nyebabkan kadar kalium dalam serum lebih menurun lagi11,16 Kalium yang diperlukan = 0,4 X BB (Kg) X (Kalium yang di

inginkan - Kalium terukur) mEq. Hendaknya berhati-hati sekali bila penderita asidosis meta-

bolik berat diberi pernafasan. buatan dengan respirator yang dapat menghalangi mekanisme kompensasi hiperventilasi, karena dapat terjadi asidosis berat yang bersifat fatal11.

Pengobatan asidosis laktat umumnya tidak memuaskan, dan lebih dari 90% penderita meninggal. Tindakan-tindakan suportif harus segera dilaksanakan, hipoksia jaringan ditang-gulangi, dan Na-bikarbonat diberikan secara perenteral dalam dosis besar. Dapat dicoba dengan dialisis (misalnya hemo-dialisis) untuk mengeluarkan laktat yang berlebihan2,11,16.

4) Alkalosis metabolic. Alkalosis metabolik dapat menyebabkan kadar bikarbonat

dalam likuor serebrospinal meninggi yang menyebabkan depresi pernafasan sentral dan hipoksemia. Pemberian O2 pada keadaan ini dapat menghentikan sama sekali rangsang nafas yang tergantung pada hipoksemia tadi10,17.

Terapi ditujukan pada keadaan-keadaan yang mendasari- nya. Jika terdapat hipovolemia, dapat diperbaiki misalnya dengan pemberian cairan salin isotonik. Kekurangan kalium diganti dengan KCI. Pemberian asam (misalnya NH4C1 atau HCl) secara oral atau• perenteral bare diberikan jika terjadi alkalosis yang sangat berat2,11,17.

Asam,yang diperlukan = 0,3 X,BB (Kg) X BE mEq Pemberian asetazolamid pada keadaan ini tidak dianjurkan,

karena dapat menimbulkan asidosis intrakranial17. Bila di-perlukan, asetazolamid diberikan secara hati-hati (dalam dosis 250 - 500 mg tiap 6 jam) mentitrasi bikarbonat serum ke bawah16.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN. Telah dibahas beberapa masalah mengenai gangguan asam-

basa dan beberapa pandangan di bidang neurologi. Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbang-

kan H', sedangkan cairan bersifat basa bila sanggup menerima H+. Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam

Page 46: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 45

atau kekurangan basa, sedangkan keadaan alkaalosis terjadi apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa.

Untuk mengatur keseimbangan asam-basa, diperlukan mekanisme buffer, pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paru- paru, dan pengeluaran urin yang bersifat asam atau basa.

Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas pada sawar darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada likuor sere- brospinal dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan pada buffer bikarbonat.

KEPUSTAKAAN

1. Astrup P, Andersen DS, Jorgensen K, et al. The acid-base meta- bolism, a new approach. Lancet 1960;1 :1035-9.

2. Collins RD. Illustrated Manual of Fluid and Electrolyte Disorders. 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott, 1983 :41-59.

3. Jonosepoetro M. Acid-Base Balance. Beberapa Petunjuk Dasaar. Surabaya : Bagian Patologi Klinik FK Unair, 1974.

4. Kasim YA. Pengobatan air dan elektrolit. Diajukan pada Simpo- sium Terapi Cairan dan Elektrolit pada Penderita Gawat, Jakarta, 1981.

5. Fishman RA. Cerebrospinal fluid in Diseases of the Nervous System. Philadelphia : WB Saunders, 1980 :223-30.

6. Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus-kasus Bedah. Surabaya : Unair, 1982 : 17-25.

7. Wirjoatmadja K. Beberapa masalah dasar dalam keseimbangan assam-basa. Diajukan pada Simposium Sekitar Masalah Perawatan

intensif, Denpasar, 1978. 8. Welt LG. Acidosis and alkalosis. Dalam : Wintrobe MM, Thorn GW,

Adam RD, et al, eds Harrison’s Principle of Internal Medi- cine, 7th ed. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, 1974 : 1356-66.

9. Harper HA. Review of Physiological Chemistry. 15th ed. Los Altos:Lange, 1975 : 220-8.

10. Ganong WF. Review of Medical Physiology. 11th ed. Los Altos: Lange, 1983 : 590-7.

11. Northrup R, Asdie AH, Santoso B. Pedoman Pengobatan. Yogya- karta : Essentia Medica, 1979 : 31-49.

12. Welt LG. Agent affecting volume and composition of body fluids. Dalam: Goodman LS, Gilman A, eds. The Pharmacological Basis of Therapeutics.4th ed. London:Collier-Macmillan, 1970:788-94.

13. Campkin Tv, Turner JM. Neurosurgical Anaesthesia and Intensive Care. London : Butterworths, 1980 : 3-16.

14. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. 3rd ed. New York Mac- millian, 1979 :543-5.

15. Reivich M. Physiology of the cerebral circulation. Dalam Gol- densohn ES, Appel SH, eds. Scientific Approaches to Clinical Neurology. Volume 1.Philadelphia : lea & Febiger, 1977 : 728-48.

16. Naughton JL. Fluid and electrolyte disorders. Dalam: Watt HD, ed. Handbook of Medical Treatment. 7th ed. Greenbrae : Jones, 1983 :50-7.

17. Muhardi, Suntoro A, Majid A. Resusitasi otak : Dasar-dasar peng- obatan intensif disfungsi otak berat dan akut. Diajukan pada Simposium Koma, Jakarta, 1983.

18. Clarkson AR. Management of disorders of acid-base balance, Medical Progress 1976;3 :73-9.

Page 47: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 46

Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit

di Indonesia Tahun 1983

Reflinar Rosfein Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN

Dengan meningkatnya harapan hidup (life expectancy) dan menurunnya kematian akibat penyakit menular, dapat di-perkirakan bahwa penyakit kanker dan penyakit penyakit tidak menular lainnya akan meningkat. Dalam Survai Ke-sehatan Rumah Tangga yang diselenggarakan Badan Peneliti-an dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, RI ditemukan bahwa 1,4% dari semua kematian pada tahun 1972 disebabkan kanker, angka tersebut meningkat menjadi 3,4% dan pada tahun 1986 menjadi 4,3%1.

Masalah kanker dewasa ini makin menarik perhatian dengan bertambah banyaknya jumlah kasus yang dikenal akibat ber-bagai kemajuan yang dicapai di bidang ilmu dan teknologi, khususnya kedokteran; kemajuan dalam caracara diagnostik dan terapi telah menunjukkan bahwa penyakit kanker tidak selalu berakhir dengan kematian, di antaranya kanker kulit.

Kanker kulit merupakan kanker yang mudah dideteksi, karena mudah diamati. Sedikit sekali dari kanker ini yang bermetastasis atau berakhir dengan kematian (Dunn et al. 1965). Di negeri Belanda angka mortalitas tumor kulit hanya mencapai 1% dari mortalitas kanker total2.

Frekuensi relatif kanker kulit tinggi pada populasi-populasi di daerah subtropik yang berpigmen kulit sedikit (Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan) dan hampir semua tumor kulit lebih banyak ditemukan pada golongan kulit putih daripada kulit berwarna. Pada akhir abad XIX diajukan pendapat bahwa pajanan (exposure) yang sering dan berkepanjangan terhadap sinar matahari menyebabkan timbulnya kanker kulit terutama pada bagian tubuh yang tidak tertutup. Terlebih lagi hal tersebut akhir-akhir ini dikaitkan dengan makin menipisnya lapisan ozon akibat penggunaan zat khlorofluorokarbon sehingga intensitas sinar ultraviolet menjadi lebih tinggi.

Di Indonesia tingginya frekuensi kanker kulit dinyatakan oleh Vos pada tahun 19323. Angka-angka mengenai kanker kulit di Indonesia yang dipublikasikan menunjukkan bahwa frekuensinya masih cukup menonjol. Di Bagian Patologi

Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (1973—1979), kanker kulit menduduki urutan pertama dari lima kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,2%) pada wanita4. Pada tahun (1977-1981) kanker kulit di Bagian Patologi, Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin menduduki urutan pertama (12,8%) dari lima kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,1%) dari lima kanker terbanyak pada wanitas. Pada umumnya kanker kulit dari tahun 1973 - 1981 menduduki-urutan pertama sampai ke lima di tiap-tiap Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia. Ini berlaku bagi pria mau-pun wanita.

Dalam upaya mendapatkan data kanker yang lebih lengkap guna menyempurnakan pencatatan kanker telah dilakukan registrasi kanker pathology-based yang dikoordinir oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pe-ngembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Dalam makalah ini dilaporkan hasil registrasi khusus mengenai kanker kulit. Diharapkan bahwa data ini dapat memberikan gambaran mengenai besarnya masalah kanker kulit di Indonesia pada tahun 1983.

BAHAN DAN CARA KERJA

Untuk keperluan tersebut dibuat formulir yang disesuaikan dengan petunjuk dari WHO (IARC). Data diambil dari Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit.

Data bagian tersebut dianggap dapat dipercaya diagnosisnya serta laboratoriumnya lebih terkoordinasi. Pelaksanaan regis- trasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Walaupun demikian sebenarnya data tersebut belum mencerminkan keseluruhan pola kanker dalam masya-rakat. Incidence rate tidak dapat dihitung dari registrasi ini namun frekuensi relatif atau minimum incidence rate masih dapat diketahui.

Data dari tahun 1983 yang dicatat dalam formulir yang

Page 48: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 47

telah disediakan mencakup: nomor registrasi, jenis kelamin, umur, golongan etnik, lokasi kanker, diagnosis dan sifat penyebaran. Klasifikasi jenis jenis kanker berdasarkan lokasi disesuaikan dengan klasifikasi dari WHO, yaitu International Classification of Disease, 9th Revision, tetapi dengan kode terdiri dari 3 angka (3 digit) pertama saja. Nama lokasi di-singkat. seperti yang digunakan dalam seri Cancer Incidence in Five Continents dan Cancer Occurrence in Developing Countries.

HASIL Tabel 1. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi

Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut ICD 173 revisi 9.

No. Lab. P.A. F.K. Rumah Sakit

Kota Jumlah Kanker

Kanker Kulit

Persentase

1. Unsrat Manado 205 28 13,72. Unhas Uj. Pandang 418 53 12,73. Udayana Bali 484 42 8,7 4. Darma Usada Solo 245 17 6,95. Unair Surabaya 437 33 7,56. Unibraw Malang 504 43 8,57. Unpad Bandung 1392 106 7,6 8. RSPP Jakarta 110 6 5,49. RSGS Jakarta 355 27 7,6

10. Sebelas Maret Solo 364 21 5,811. Undip Semarang 234 18 7,712. UGM Yogyakarta 660 69 10,413. USU Medan 190 8 4,214. Unsri Palembang 382 16 4,2 15. Unand Padang 370 39 10,5

Jumlah 6350 526 8,3

Pada tabel 1 terlihat bahwa frekuensi kanker kulit merupa-kan 8,3% dari seluruh jenis kanker pada pria dan wanita. Persentase tertiriggi terlihat di Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Samratulangi Manado (13,7%), Universitas Hasa-nuddin Ujung Pandang (12,7%), Universitas Andalas Padang (10;5%), Universitas Udayana, Bali (8,7%), Universitas Brawi-jaya Malang (8,5%). Persentase rendah di Pusat Patologi Anatomi' Universitas Sriwijaya Palembang dan Universitas Sumatera Utara Medan masing-masing (4,2%), Rumah Sakit Pertamina Pusat (5,4%) dan Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Sebelas Maret (5,8%).

Pada tabel 2 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit pada pria adalah 11,1% dari seluruh jenis kanker pada pria. Persentase tinggi terdapat pada laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasa-nuddin Ujung Pandang (19,4%), Universitas Samratulangi Manado (16,4%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (12,8%), Universitas Brawijaya Malang (12,6%). Persentase rendah ter-dapat pada Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta (1,8%), Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Uni-versitas Sriwijaya Palembang (3,8%) dan Universitas Sumatera Utara Medan (4,4%).

Pada tabel 3 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit pada wanita adalah 6,7% dari seluruh jenis kanker pada wanita. Persentase tinggi terdapat pada Laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Samratu-langi Manado (12,1%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Rumah Sakit Pertamina Pusat masing-masing (9,2%), Uni-

versitas Hasanuddin Ujung Pandang (8,7%) dan Universitas Andalas Padang (8,5%). Persentase rendah terdapat pada Laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Ke-dokteran Universitas Sriwijaya Palembang (3,0%), Universitas Sumatera Utara Medan (4,0%), Rumah Sakit Darma Usaha Solo (4,9%) dan Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta (5,3%).

Tabel 2. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada Pria menurut ICD 173 revisi 9.

No. Lab. P.A. F.K.Rumah Sakit

Kota JumlahKanker

KankerKulit

Persentase

1. Unsrat Manado 73 12 16,4 2. Unhas Uj. Pandang 155 30 19,43. Udayana Bali 225 22 9,84. Darma Usada Solo 81 9 11,15. Unair Surabaya 151 17 11,26. Unibraw Malang 166 21 12,67. Unpad Bandung 479 54 11,38. RSPP Jakarta 56 1 1,89. RSGS Jakarta 149 16 10,7

10. Sebelas Maret Solo 116 7 6,011. Undip Semarang 63 7 11,112. UGM Yogyakarta 235 30 12,813. USU Medan 90 4 4,414. Unsri Palembang 234 9 3,815. Unand Padang 236 19 8,1

Jumlah 2321 258 11,1

Tabel 3. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada Wanita menurut ICD 173 revisi 9.

No. Lab. P.A. F.K. Rumah Sakit

Kota JumlahKanker

Kanker Kulit

Persentase

1. Unsrat Manado 132 16 12,12. Unhas Uj. Pandang 263 23 8,73. Udayana Bali 259 20 7,7

4 . Darma Usada Solo 164 8 4,95. Unair Surabaya 286 16 5,66 . Unibraw Malang 338 22 6,57. Unpad Bandung 913 52 5,78 . RSPP Jakarta 54 5 9,29 . RSGS Jakarta 206 11 5,3

10. Sebelas Maret Solo 248 14 5,611. Undip Semarang 171 11 6,412. UGM Yogyakarta 425 39 9,213. USU Medan 100 4 4,014. Unsri Palembang 234 7 3,015. Unand Padang 236 20 8,5

Jumlah 4029 268 6,7

Pada tabel 4 terlihat bahwa kanker kulit pada pria banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64 tahun.

Pada tabel 5 terlihat bahwa kanker kulit pada wanita ba-nyak ditemukan pada usia 40 - 64 tahun.

Pada tabel 6 terlihat bahwa sex ratio antara pria dan wanita 1 : 0,96.

PEMBAHASAN

Penderita kanker kulit pada pria dan wanita adalah 8,3% dari seluruh penderita kanker jenis lain. Jika dilihat pada

Page 49: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 48

Tabel 4. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pada Pria di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun.

No. Lab. P.A. F.K./

Rumah Sakit

Kota T 0- 5- 1 0 - 15- 2 0 - 2 5 - 30- 35- 4 0 - 4 5 - 50- 55- 60- 6 5 - 70- 75- 80- 85- Jml

1. Unsrat Manado 1 1 1 2 3 1 2 1 122. Unhas Uj. Pandang 2 1 1 3 5 9 2 3 1 2 1 30 3. Udayana Bali 1 1 2 4 2 1 1 1 3 3 2 22 4. Darma Usaha Solo 1 2 4 2 9 5. Unair Surabaya 1 1 1 2 5 4 2 1 17 6. Unibraw Malang 2 8 1 8 2 21 7 . Unpad Bandung 1 5 8 5 4 6 9 7 4 2 2 1 54 8 . RSPP Jakarta 1 1 9 . RSGS Jakarta 2 3 3 2 1 1 2 2 16

10. Sebelas Maret Solo 1 2 2 1 1 7 11. Undip Semarang 1 1 3 1 1 7 12. UGM Yogyakarta 1 1 1 4 1 8 2 3 5 1 1 30 13. USU Medan 1 1 1 1 4 14. Unsri Palembang 2 1 1 1 2 1 1 9 15. Unand Padang 1 1 1 4 2 4 1 2 1 19

Jumlah 6 - 2 2 4 4 6 14 26 21 46 29 39 22 17 6 11 2 258

Tabel 5. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pads Wanita di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun.

No. Lab. P.A. F.K./ Rumah Sakit

Kota T 0- 5- 10- 15- 20- 25- 30- 35- 4 0 - 4 5 - 50- 55- 60- 65- 70- 75- 80- 85- Jml

1. Unsrat Manado 1 1 2 1 4 3 1 1 1 1 16 2. Unhas Uj. Pandang 1 1 2 2 5 3 3 4 2 23 3. Udahaya Bali 2 1 1 4 1 6 1 2 2 20 4. Darma Usada Solo 1 1 1 1 1 2 1 8 5. Unair Surabaya 1 1 1 1 3 2 2 3 1 16 6. Unibraw Malang 1 1 1 4 1 3 4 6 1 22 7. Unpad Bandung 1 2 3 2 5 3 9 6 12 3 3 1 2 52 8. RSPP Jakarta 1 1 1 2 5 9 . RSGS Jakarta 1 1 3 1 1 1 1 2 11 10. Sebelas Maret Solo 1 1 2 7 1 1 1 14 11. Undip Semarang 3 2 2 2 2 11 12. UGM Yogyakarta 1 2 1 2 1 1 3 8 4 6 1 1 1 1 39 13. USU Medan 1 1 1 4 14. Unsri Palembang

11 3 2 1 7

15. Unand Padang 1 1 1 1 3 2 4 1 1 3 1 20 Jumlah 9 1 2 5 2 6 5 9 14 31 23 47 25 43 13 22 4 5 2 268

Tabel 6. Perbandingan Penderita kanker kulit menurut jenis Kelamin (pria/wanita) di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Ke- dokteran dan Rumah Sakit tahun 1983.

No. 1

Lab. P.A. F.K./ Rumah Sakit

Kota Pria Wanita Sex Ratio

1. Unsrat Manado 12 16 0,75 2. Unhas Uj. Pandang 30 23 1,3 3. Udayapa Bali 22 . 20 1,1 . 4. Darma Usada Solo 9 8 1,1 5. Unair Surabaya 17 16 1,06 6. Unibraw Malang 21 22 0,95 7. Unpad Bandung 54 52 1,04 8. RSPP Jakarta 1 5 0,2 9. RSGS Jakarta 16 11 1,4

10. Sebelas Maret Solo 7 14 0,5 11. Undip Semarang 7 1 1 0,6 12. UGM Yogyakarta 30 39 0,77 13. USU Medan 4 4 1,0 14. Unsri Palembang 9 7 1,3 15. Unand Padang 19 20 0,95

Jumlah 258 268 0,96

tiap-tiap laboratorium Patologi Anatomi dan Rumah Sakit, kanker kulit paling tinggi pada laboratorium Patologi Anatomi Universitas Samratulangi Manado (13,7%), urutan ke dua ter-banyak pada Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (10,7%). Pada penelitian terdahulu kanker kulit pria banyak ditemu- kan di Manado, Ujung Pandang dan Universitas Andalas Padang (10,5%). Dilihat dari hasil penelitian ini tidak banyak terdapat perbedaan dengan hasil penelitian terdahulu (2.1).

Dilihat dari penyebaran umur, kanker kulit pada pria maupun wanita banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64 tahun, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu (35 - 75 tahun). Jumlah terbanyak pada umur 50 - 64 tahun, juga tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu.

Tingginya frekuensi relatif kanker kulit di Pusat Patologi Anatomi Unsrat Manado, Pusat Patologi Anatomi Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, dan Pusat Patologi Anatomi Universitas Andalas Padang, mungkin disebabkan karena daerah ini letaknya lebih dekat ke garis katulistiwa; kemung-kinan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, sejalan dengan

Page 50: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 49

program nasional lima tahun penanggulangan kanker Dep. Kes. R.I., melalui antara lain penelitian epidemiologi deskriptif dan analitik. Kasus kanker kulit termasuk jenis kanker dengan frekuensi kejadian merata di hampir semua daerah, maka perlu diteliti lebih lanjut perihal faktor-faktor yang menyebabkan kanker kulit di Indonesia.

Dan penemuan studi epidemiologi dan kepustakaan, faktor-faktor yang diduga berperan pada kanker kulit adalah : radiasi sinar ultra violet yang lama, gangguan penyembuhan DNA yang rusak karena sinar ultra ' violet, riwayat radiasi dengan sinar rontgen, kontak dengan bahan toksik di. tempat kerja, arsen (yang dahulu sering dipakai), orang-orang yang berkulit putih dan lain-lain. Penelitian-penelitian lebih lanjut diharap-kan dapat memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor etiologik ini.

KEPUSTAKAAN

1. Ratna Budiarso dkk. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. R.I.

Jakarta. 2. Van Dongen JA. Proses-proses ganas dan pra-gams di kulit (363 -

383). Onkologi. A. Zwaveling, RJ van Zonneveld, A. Schaberg. (Red). Jakarta : PN Balai Pustaka; 1985.

3. Sudarto Pringgoutomo. Beberapa aspek epidemiologik Tumor Ganas Kulit non melanoma di Laboratorium tahun 1989.

4. Lusida LF dkk, (1977); I Wayan Gin (1982). Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Unair (1973 - 1979).

5. Cahyono Kaelan dkk. Bagian Patologi FK Unhas (1977 - 1981). 6. Tambayong EH. Bagian Patologi FK Unsrat (1977 - 1981). 7. Tambunan, Gani B, Manurung. Bagian Patologi FK USU (1977 -

1981). 8. Scotto Josep H, Fraumeni JR. Cancer Epidemiology and Prevention,

Shotteinfeld and Fraumeni. WB Saunders Company. 1982.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepadas Kepala Pusat Penelitian

Penyakit Tidak Menular yang telah merintis penelitian kanker Patho-logy based dan para dokter ahli Patologi Anatomi yang telah membantu pengumpulan data yang sangat berharga, sehingga penelitian terlaksana.

Juga kepada rekan-rekan yang telah membantu memberikan saran-saran dan tanggapan, saya ucapkan banyak terima kasih.

Page 51: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 50

Uveitis Toxoplasmika

Suhardjo Laboratorium Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada

UPF Penyakit Mata RSVP Dr Sardjito, Yogyakarta

ABSTRACT

Until recently the causes of uveitis is still difficult to determine. One of the cause of posterior uveitis is toxoplasmosis. Some of toxoplasmic posterior uveitis can extend to the anterior segment, resulting panuveitis or uveitis. The pathogenesis of uveitis is a phenomena of hypersensitivity against Toxoplasma gondii antigen and necrotic tissues reaction caused by destructive effect of this protozoa.

Two cases of toxoplasmic uveitis extended from posterior uveitis was reported. Thefirst patient showedpseudocoloboma in the chorioretinal region. One of them was associated by vitreous opacity. The diagnosis of toxoplasmic uveitis, need serologic test as a diagnostic support. Corticosteroid and toxoplasmostatic drug therapy gave a good result although the visual prognosis in these cases were relatively poor.

Key Words : toxoplasmic uveitis - hypersensitivity reaction - chorioretinal lesion - vitreous opacity - visual prognosis.

PENGANTAR Uveitis toxoplasmika merupakan salah satu pengejawantahan

infeksi Toxoplasma gondii pads mats. Kelainan ini ditandai dengan adanya radang granulomatosa, walaupun tidak selalu di-jumpai adanya invasi protozoa di segmen depan mata.1 Uveitis pada umumnya merupakan persoalan yang kompleks, meng-ingat penyebabnya tidak selalu dapat ditemutunjukkan. Hal ini mengingat beberapa teknik pemeriksaan penunjang yang biasa-nya mampu diterapkan pads jaringan lain, tidak selalu dapat dikerjakan untuk diagnosis uveitis.

Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intrasel, mampu hidup di semua sel manusia kecuali eritrosit. Penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa toxoplasmosis sebenamya banyak terjadi, tetapi umumnya asimptomatik dan tidak diketahui.2 Selain menimbulkan uveitis, toxoplasmosis mampu mengakibatkan terjadinya periplebitis, trombosis vena sentralis, katarak kongenital, kebutaan cerebral tan paresis saraf III. 3 4 5 Henderly dkk. (1987) melaporkan bahwa penyebab utama uveitis posterior adalah toxoplasmosis, sedang penyebab utama uveitis anterior maupun panuveitis adalah tidak di-

ketahui.6 Bahkan sebelumnya, Baohua (1983) menyatakan bahwa lebih dari 75% kasus uveitis endogen tidak ditemukan penyebabnya.7

Kasus-kasus yang acapkali ditemukan adalah retinokoroiditis toxoplasmika, sedangkan kasus uveitis toxoplasmika masih jarang dilaporkan. Barangkali hal ini berkaitan dengan jumlah kasus uveitis yang relatif jarang. Uveitis sendiri tidak termasuk 10 penyakit mata utama di Indonesia.8

Maksud dan tujuan penulisan ini adalah untuk. menyaji-kan dua kasus uveitis toxoplasmika dengan beberapa gejala klinis maupun laboratorik yang spesifik, yang memang relatif jarang dilaporkan.

LAPORAN KASUS 1) Seorang wanita, umur 18 tahun, pekerjaan karyawati apotik, datang di poli mata RSVP Dr Sardjito pada tangga1 10-1-1986. Penderita dikirim dokter mata dengan diagnosis mata kiri siklitis, mengeluh mats kiri kabur, merah, sedikit berair, tidak mengeluh pusing. Penyakit ini dirasakan baru yang pertama kali.

Hasil pemeriksaan mata didapatkan mata kanan normal,

Page 52: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 51

visas 6/6 E. Visus mata kiri 1/60 tidak dapat dikoreksi, persepsi warna baik, uji Ishihara terdapat gangguan komparasi warna. Secara biomikroskopik didapatkan injeksi perikornea ringan, keratic precipitates besar-besar terutama di regio bawah, flare (+), pigmen iris sedikit di bilik depan mata, kekeruhan derajat 2 pada badan kaca terutama di depan makulopapiler. Pemeriksaan oftalmoskopik mendapatkan media agak keruh, papil batas tegas, pembuluh darah kesan normal, tampak gambaran pseudokolo-boma sebesar 1½ diameter papil meluas dari makula ke arah nasal yang dibatasi oleh eksudat dan daerah retina yang sembab serta area hiperpigmentasi.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 12,6 g%, jumlah lekosit 8300/mmk, laju endap darah 25/50 mm, hemogram menunjukkan eosinofil 4%, limfosit 21%, segmen 75%, faktor reumatoid negatif. Hasil uji aglutinasi lateks untuk anitibodi toxoplasma (IgG) positif untuk titer 1/1024.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Sangat mungkin proses tersebut berawal sebagai retinokoroiditis toxoplasmika. Dilaku-kan pengobatan dengan daraprim 3 x 1 tablet pada hari per-tama, dilanjutkan dengan 1 x 1 pada hari kedua sampai 1 bulan, selain itu juga diberikan trisulfa 3 x 2 tablet, deksametason 2 x 1 mg diberikan selama 1 minggu. Asam folat diberikan 3 x I tablet selama pemberian toxoplasmostatika. Pengobatan lokal yang diberikan midriatika, dan kortikosteroid lokal.

Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kiri 2/60 tidak dapat dikoreksi, segmen depan mata tenang, kekeruhan pads badan kaca tidak dijumpai; tampak gambaran retina dengan pseudokoloboma yang dibatasi oleh area hiperpimentasi, kesan tidak dijumpai perluasan lesi. Terdapat defek sektoral hampir 1 kuadran pads pemeriksaan lapang pandang.

2) Seorang laki-laki umur 25 tahun, pekerjaan buruh tani, asal Bantul, nomor CM 069307, pada tanggal 18-11-1986 telah datang di poli mata RSUP Dr Sardjito dengan keluhan sejak 2 minggu mata kanan merah, berair dan sakit, disertai peng-lihatan sangat kabur. Sebelumnya, penderita telah berobat ke dokter mata dan mendapatkan antibiotik, kortikosteroid lokal maupun per oral namun dirasakan belum ada perbaikan.

Hasil pemeriksaan mata didapatkan, visus mata kanan 1/300, proyeksi sinar dan persepsi warna baik. Secara biomikroskopik didapatkan palpebra spasme ringan, injeksi perisiliar, kornea di-jumpai keratic precipitates besar-besar, tampak eksudat (hipo-pion) di bilik depan mata setinggi 1,5 mm, pigmen iris (+), flare (+ +), pupil bulat sentral dengan penampang 2,0 mm. Terdapat kekeruhan badan kaca derajat 4, fundus tidak dapat dinilai. Visus mata kiri 6/6 E, segmen depan dan belakang mata tidak ditemukan kelainan. Tekanan bola mata keduanya dalam batas normal. Penderita dianjurkan untuk rawat nginap.

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 15,2 g%, jumlah lekosit 4900, hemogram eosinofil 2%, segmen 44%, limfosit 51%, dan monosit 1%; laju endap darah 5/12 mm (jam I/II). Titer IgG untuk toxoplasma positif untuk 1/1024. Pemeriksaan fisik lainnya meliputi limfonodi leher, jantung, paru dan hati tidak dijumpai kelainan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Pengobatan yang diberi-kan sulfas atropin tetes mata 1%, kortikosteroid topikal maupun oral, Fansidar® 3 x I tablet hari pertama dan dilanjutkan 1 x 1

tablet sampai 1 bulan. Sulfadiazin 4 x 500 mg, asam folat 3 x 10 mg diberikan sampai 1 bulan. Setelah hipopion meng-hilang, penderita diperbolehkan rawat jalan.

Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kanan ½/60 tak dapat dikoreksi, segmen depan mats tenang, badan kaca masih keruh derajat antara 3 - 4, fundus membayang merah. Mata kiri tidak ditemukan kelainan. Karena masih ada kekeruh-an badan kaca, maka dilakukan pemeriksaan titer IgG untuk toxoplasma ulang. Didapatkan hasil titer IgG positifuntuk 1/128. Diputuskan pemberian Fansidar® diperpanjang 1 bulan lagi. Hasil pemeriksaan 1 bulan kemudian, temyata tidak menjumpai perbaikan yang berarti. Pengobatan dengan toxoplasmostatika dihentikan, dan diberikan Catarlent® tetes mata. Penderita tidak pemah kontrol lagi di RSUP Dr Sardjito.

Perlu pula dilaporkan di sini bahwa beberapa fenomena periterapi berupa efek samping obat tidak dijumpai. Hal ini memang perlu diperhatikan, mengingat sering pemberian obat-obat derivat sulfonamida dalam jangka lama sering menimbul-kan keluhan.

PEMBAHASAN Diagnosis uveitis toxoplasmika pada kedua kasus tersebut

ditegakkan atas dasar gambaran klinis dengan uveitis granuloma-tosa, yang diperkuat dengan pemeriksaan serologik untuk toxo-plasmosis. Reaksi vaskuleryang ringan, keraticprecipitates besar-besar dan adanya kekeruhan badan kaca, merupakan gejala spesifik uveitis granulomatosa.9 Adanya retinokoroiditis yang meluas dari makula ke nasal merupakan petunjuk bahwa lesi tersebut disebabkan oleh toxoplasmosis. Daerah makula me-rupakan salah satu predileksi toxoplasmosis.10 Gambaran klinis yang mirip pada kasus 1 pernah dilaporkan oleh Chartey & Brockhurst (1980).11

Kekeruhan badan kaca derajat 4 yang disertai gambaran uveitis anterior granulomatosa pertanda bahwa kedua segmen uvea terkena proses radang. Schlaegel (1981) berpendapat bahwa, jika kedua segmen uvea(anterior & posterior) terkena radang maka kemungkinan pertama penyebabnya adalah toxo-plasmosis.1 Hal ini diperkuat oleh tingginya titer antibodi serum untuk Toxoplasma gondii.

Uveitis anterior biasa terjadi pads penderita dengan retino-koroiditis toxoplasmika, terutama pads kasus jenis kambuhan.12 Dalam hal ini, Toxoplasma gondii sendiri tidak pernah terlihat pada iris maupun badan siliar. Penyebab uveitis anterior tersebut adalah sebagai jawaban dari reaksi antigen yang berasal dari fokus infeksi toxoplasmosis.1 Lesi retinokoroid yang spesifik pada kasus kedua memang tidak mampu terdeteksi, karena fundus tidak tampak dengan pemeriksaan oftalmoskopik.

Gangguan lapangan pandang terjadi pada kasus pertama, berupa skotoma hampir sentra) disertai dengan efek sektoral hampir 1 kuadran. Martin dkk. (1980) melaporkan adanya defek lapangan pandang pada 34 kasus toxoplasmosis dengan lesi peri-papiler. Defek lapangan pandang tersebut berkaitan dengan terjadinya lesi atropi pada daerah peripapiler, atau terputusnya lapisan serabut saraf pada retina.3

Untuk membedakan apakah pads kasus pertama merupakan toxoplasmosis kongemital atau toxoplasmosis perolehan adalah tidak mudah. Penderita tersebut selalu menyangkal bahwa gangguan penglihatan telah terjadi sejak lama. Namun jika di

Page 53: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 52

lihat bahwa lesi terletak di makula, maka kemungkinan besar hal itu merupakan predisposisi untuk teijadinya toxoplasmosis kongenital dibanding toxoplasmosis perolehan. Dalam hal ini Heiman (1970) membuat hipotesis bahwa makula merupakan end artery pada mudigah.10

Diagnostik serologik toxoplasmosis paling tepat adalah pe-meriksaan imunologik yang mampu mendeteksi titer antibodi IgM dan IgG sekaligus. Dalam kasus ini hanya diperiksa titer antibodi IgG dengan cara latex agglutination test. Ternyata titernya cukup tinggi, sehingga pemeriksaan ulangan hanya di-lakukan pada waktu pascapengobatan, untuk menilai hasil guna pengobatan. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pada darah tepi, mendapat kesan adanya eosinofilia; barangkali hal ini ada kaitannya dengan infeksi Toxoplasma gondii, seperti halnya pada infeksi parasit lainnya.

Kedua penderita yang dilaporkan ini mengaku merupakan serangan yang pertama, berdasarkan umur serangan pertama, Friedman & Knox (1969) melaporkan bahwa retinokoroiditis toxoplasmika terutama pada umur 10 - 20 tahun dan diikuti oleh dekade ketiga, dan dengan umur rerata 25,3 tahun.12 Dalam hal ini timbul dugaan apakah pada umur-umur tersebut terjadi suatu kerawanan dalam sistem kekebalan.

Pengobatan untuk uveitis toxoplasmika pada prinsipnya adalah pemberian kortikosteroid dengan kombinasi anti toxo-plasma. Frenkel (1971) menduga bahwa proses radang 90% di-sebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat ruptur kista yang berisi takizoit; hanya 10% yang diakibatkan oleh proliferasi takizoit yang berakhir dengan nekrosis. Dengan demikian priori-tas pertama untuk pengobatan adalah menekan reaksi hiper-sensitivitas. Namun juga hares diperhatikan terhadap efek

samping, terutama dalam hal menjaga terjadinya gangguan imunitas.13

Schlaegel (1969) menyatakan bahwa kortikosteroid tak akan diberikan jika tanpa disertai antimikroba yang spesifk.1 Peng-obatan uveitis toxoplasmika sebenarnya mirip dengan uveitis non spesifik, meliputi midriatika, steroid lokal guna mengurangi keratic precipitates, dan disertai pengobatan spesifik. Pemberian kortikosteroid juga diberikan secara sistemik. Brockhurst (1966) menganjurkan pemberian prednison dosis tinggi, misalnya 40 - 80 mg tiap hari;14 dalam hal ini perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan gangguan imunitas. Pengobatan spesifik 7. dapat menggunakan pirimetamin, klindamisin, sulfonamid, dan dapat menggunakan pirimetamin, klindamisin, sulfonamid dan spiramisin. Obat-obat pirimetamin dan. sulfonamid mempunyai efek samping mengurangi ketersediaan hayati asam folinat, sehinga dapat mengakibatkan terjadinya trombositopeni maupun anemi megaloblastik. Jika dalam pemeriksaan angka trombosit sudah di bawah 100.000, perlu pengurangan dosis pirimetamin maupun sulfonamid. 8. efek samping mengurangi ketersediaan hayati asam folinat, sehing

Selain keadaan klinis penderita yang perlu diikuti selama pe- ngobatan, pemeriksaan serologik sebagai tolok ukur keberhasil-an pengobatan juga mutlak hares dilakukan. Penurunan titer toxoplasmin menunjukkan prognosis yang menggembirakan. Penghentian pemberian toxoplasmostatika tidak perlu sampai titer IgG untuk toxoplasma menjadi negatif. Vaughan dan Asbury (1980) menganjurkan pemberian terapi spesifik sampai 4 minggu. 9 Jika terdapat kontra indikasi pemberian pirimetamin, . misalnya pada kehamilan, maka dapat diganti dengan spira- misin.

Kekambuhan dapat teijadi pada uveitis toxoplasmika, walau-pun pengobatan secara spesifik telah dilakukan. Barangkali hal ini berkaitan dengan sifat obat spesifik, yang umumnya bersifat toxoplasmotika. Bila teijadi kekambuhan, maka perlu dilakukan fotokoagulasi.15 Kedua penderita ini rupanya memiliki reaksi yang baik terhadap pengobatan, terutama pads kasus pertama. Hasil pengobatan untuk kasus kedua belum sesuai yang di-harapkan, walaupun reaksi radang pada segmen depan mata sudah menghilang.

Beberapa penyulit uveitis toxoplasmika yang pernah dijumpai antara lain transient glaucoma, degenerasi makula kistik, irido-siklitis kronik, katarak, ablasi retina, dan keratopati pita. 12 Pe-nyulit tersebut temyata juga dijumpai pada kasus 1, berupa degenerasi makula kistik. Penyulit pads kasus kedua berupa ke-keruhan badan kaca.

PENUTUP Setiap kasus uveitis anterior granulomatosa perlu diperiksa

lebih seksama sebab kemungkinan besar pada segmen belakang mata juga terjadi proses radang. Guna mendapatkan diagnosis penyebab, pemeriksaan serologik untuk toxoplasmosis; ter-utama jika tidak dijumpai kelainan fundus yang spesifik untuk toxoplasmosis. Toxoplasmosis sering teljadi pads penderita dengan gangguan sistem kekebalan, dengan demikian jangan dilupakan untuk memeriksa fundus pads penderita AIDS.

KEPUSTAKAAN 1. Schlaegel TF. Toxoplasmosis dalam TD Duane, EA Jaeger (eds.) Clinical

Ophthalmology Vol. 4 : Diseases of the Uvea, Cambrigde Harper & Row Publ. 1981; pp. 51 : 3-6.

2. Leong AS, Wang F, Thomas V, Ong TH. Acquired toxoplasmosis in Malaysia, South East Asian J Trop Med Pub Health 1976; 7 : 10-5

3. Martin WG., Brown GC., Perrish RIC, Kimbal R., Naidoff MA., Benson WE., Oculars toxoplasmosis and visual defects, Am J Ophthalmol 1980; 90:25-9.

4. Mc Colm AA. The prevalence of Toxoplama gondii in meat animals and cats in Central Scotland, Ann Trop Med Parasitol, 1981; 75 : 157-62.

5. Wilson WB., Sharpe JA., Deck JHN., Cerebral blindness and oculomotor nerve palsies in toxoplasmosis, Am J Ophthalmol 1980; 89 : 714-8.

6. Henderly DE., Genstler AJ., Smith RE., Rao NA., Changing patterns of uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 103 : 131-6.

7. Baohua F. Endogenous uveitis of the Cantonese. Proc. 9th Congress,of APAO, Hong Kong, 1983.

8. Hamurwono GB., Upaya kesehatan mate dan penurunan kebutaan di Indonesia. Dalam : Gunawan, Basarodin KM., M Ghozi dan Hartono (eds.) Kumpulan Makalah Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta, 1984; hal. 144-9.

9. Vaughan D., Asbury T. General Ophtahltnology, 9th. ed. Lange Med. Publ., Marusen Asia (Pte) Ltd., Singapore, 1980.

10. Heiman K The development of the blood vessels of the macular choroid, Klin Monatsbl Augenheilkd, 1970; 157: 636-41

11. Ghartey KN., Brockhurst RJ., Photocoagulation of active toxoplasmic retinochoroiditis, Am J Ophthalmol, 1980; 89: 858-64.

12. Friedman CT., Knox DL., Variations in recurrent active toxoplasmic retinochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1980; 81:481-5.

13. Frenkel JK, Toxoplasmosis : Mechanisms of infection, laboratory diag-nosis, and management, Curr Top Pathol, 1971; 54 : 28-75.

14. Brockhurst RJ., Toxoplasmosis : management. Dalam SJ Kiinura, WM Caygill : Retinal Diseases, Philadelphia, Lea & Febiger, 1966; pp: 289-91.

15. Spalter HF., Prophylactic photocoagulation of recurrent toxoplasmic reti-nochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1966; 75 : 21-8.

16. Gordon DM., The treatment of toxoplasmic uveitis, Int Ophthalmol Clin, 1970; 10 : 639-44.

Page 54: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 53

Frekuensi Miobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru

di Sumatera Barat

Misnadiarly dan Cyrus. H. Simanjuntak Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.

ABSTRAK

Penelitian mikobakteria atipik dilakukan di Sumatra Barat dengan cara pemeriksaan dan penelitian sputum dari 162 orang penderita tersangka tbc. Sputum diperiksa secara mikroskopis (BTA) dan pembiakan memakai media Lowenstein - Jensen dan Kudoh serta identifikasi biokimia dari kuman yang tumbuh di Puslit Penyakit Menular Badan Litbangkes Jakarta.

Ditemukan 13 mikobakteria atipik terdiri dari spesies M. simiae (3), M. kansasii (2), M. phlei (2), M. fortuitum (4) dan M. smegmatis (2),'di samping 8 M. tuberculosis. Dengan cukup tingginya (8,0%) frekuensi pada orang-orang sakit ini, mikobakteria atipik di lingkungan Sumbar cukup banyak dan perlu pemantauan atau penelitian atas ke-mungkinan adanya reservoir yang terkontariminasi misalnya kolam renang, berbagai satwa dan tumbuhan.

PENDAHULUAN

Basil tahan asam di luar Mycobacterium tuberculosis yang di-sebut mikobakteria atipik, dulu dianggap memberi perlindungan terhadappenyakit tbc. Tetapi di India Selatan ternyata vaksinasi BCG mengalami kegagalan karena tidak memberi perlindungan seperti yang diharapkan. Diduga hal ini disebabkan tingginya frekuensi mikobakteria atipik di daerah tersebut.(1) Mikobakteria atipik biasa ditemukan di sekitar lingkungan, di air, tanah, makanan, tumbuhan dan satwa, pada orang-orang sehat, juga pada, orang yang sakit paru-paru termasuk penderitaa tbc.(2) Penularan terjadi melalui makanan minuman yang terkonta-minasi, masuk melalui orofaring, inokulasi perkutan (kulit) dan mukosa.(3j

Berdasarkan informasi di atas, tampaknya mikobakteria atipik masih merupakan masalah karena di satu pihak atipik perlu karena dapat memberi perlindungan terhadap penyakit tbc, sedangkan di lain pihak atipik menimbulkan penyakit dan perlu diberantas dengan antibiotika yang khusus karena lebih resisten terhadap obat-obatan dibandingkan dengan Mycobacterium tuber-culosis.(5) Mikobakteria atipik ini ada yang patogen, saprofit bahkan apatogen pada manusia. (2)

Tujuan makalah ini untuk memberikan informasi tentang

Dibacakan pada Seminar Ilmiah dan Kongres Biologi IX, Padang 10-12-1989

mikobakteria atipik di Sumatera Barat.

BAHAN DAN CARA KERJA

Spesimen yang berupa dahak (sputum) penderita tersangka tuberkulosis dikumpullcan oleh petugas Puskesmas daerah Sumbar untuk dikirim ke laboratorium Pusat Penelitian Penyakit Menular Batlan Litbang Kesehatan RI. Jakarta.

Sesampainya spesimen di tempat pemeriksaan, dilakukan pembuatan sediaan apus untuk BTA dan dilanjutkan dengan pemrosesan dahak untuk dibiak. Sputum diolah dengan meng-gunakan NaOH 4% dan Trisodium fosfat (TSP) 10%, dan untuk pembiakan digunakan media Kudoh dan Lowenstein Jensen (L-J) masing-masing diinkubasi pada suhu 30°C-37°C.

Setiap biakan yang tumbuh dengan cara NaOH maupun cara TSP, dicatat warn, struktur koloni dan waktu mulai tumbuh; . kultur dianggap negatif bila tidak ada pertumbuhan setelah dibiak selama 56 hari. Kemudian dilakukan pewarnaan BTA terhadap koloni yang tumbuh dari masing-masing pembenihan. Untuk setiap yang positif, dilanjutkan dengan test biokimia (Reaksi Merah Netral, Katalase, Peroksidase, Urease,,' Nitrat, Hidrolisa Tween dan Niasin), dan pertumbuhan pada media tertentu (agar Mc Conkey, agar Nutrien) untuk menentukan. spesies mikobakteria yang tumbuh.

Page 55: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 54

HASIL DAN DISKUSI Dari 162 sputum penderita tersangka the yang diterima,

berhasil tumbuh 21 (12,9%) biakan (+) BTA yang terdiri dari 13 (8,0%) M. atipik dan 8 (4,9%) M. tuberculosis(Tabel. 1). Se-dangkan persentase kuman atipik dan kuman the 21 biakan (+) BTA adalah 61,9% atipik dan 38,1% tbc (Tabel 2). Dari 13 yang atipik ini ditemukan 5 spesies yang terdiri dari 3 (23,01%) M.simiae, 2 (15,4%) M. kansasii, 2 (15,4%) M. phlei, 4 (30,7%) M. fortuitum dan 2 (15,4%) M. smegmatis. Tabel 1.Jumlab kuman atipik dan kuman tbc dari 21 sputum yang berhasil tumbuh

dari spesimen penderita tersangka tbc yang dikumpulkan dari daerah Sumbar.

Jumlah spesimen yang dikumpulkan/ diperiksa.

Jumlah yang tumbuh (biakan +BTA)

Jumlah atipik

(+)

Jumlah t b c (+)

162 21(12,9%) 13(8,0%) 0(4,9%)

Tabe1 2. Jenis Mikobakterium yang depot diisolasi Jenis Mikobakterium Jumlah

M. tuberkulosis 8(38,1%) M. atipik 13(61,9%)

M simiae (I) 3(23.07%) M. kansasii (I) 2(15,4%) M. phlei (IV) 2(15,4%) M. fortuitum (IV) 4(30.7%) M. smegmatis(IV) 2(15,4%)

Keterangan : () - grup Runyon

Ditinjau dari grup Runyon maka mikobakteria atipik yang di-temukan termasuk grup I (fotokromogen) dan grup IV (rapid grower), sedangkan grup II (skotokromogen) dan grup III (non-fotokromogen) tidak ditemukan. Di antara ke empat golongan ini, grup I dan III yang paling sering menimbulkan penyakit pada paru-paru manusia(4). Grup II kadang-kadang juga dapat mengenai paru-paru, selain kelenjar limfe servikal serta kulit, sedangkan grup IV yang merupakan pencemar yang sangat umum pada air, kolam renang, ikan dan serangga yang umumnya menyerang kulit.

Kemungkinan grup IV yang ditemukan merupakan hasil pencemaran dan makanan. Laporan Krisnomurti(3) me-nyatakan, limfadenitis tuberkulosa dapat disebabkan oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kuman ini, atau berasal dari organ atau jaringan lain dari penderita, misalnya dari paru-paru, tulang dsb; atau sebaliknya kuman dari limfa-denitis menyebar atau pindah ke paru-paru, lalu keluar melalui dahak. M. kansasii, M. scrofulaceum, M. intraeellulare relatif sering menyebabkan infeksi limfadenitis servikal maupun infeksi paru kronik, tempat masuknya melalui mukosa, orofaring, inokulasi

perkutan (kulit). Berdasarkan hal di atas perlu kiranya pemantau- an berkala dari kolam-kolam renang terhadap kuman-kuman tersebut.

Hasil penelitian ini yang menemukan mikobakteria atipik 8,0% adalah cukup tinggi dari yang pernah ditemukan di Indonesia. Sujudi menemukan 3,7% di Jakarta(5), dan Siman-juntak CH, dkk. 6.,7% di Jakarta.(1) Penemuan di atas lebih rendahdaripada yang ditemukan Misnadiarly di Semarang-24% dan di Surabaya-11,5%. (6) Bila dibandingkan dengan atipik yang ditemukan luar negeri, hasil penelitian mikobakteria atipik di Sumbar ini terletak di antara Kanada (4,0%) dan Rumania (13,6%). Perbedaan-perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan geografi, dan juga cara indentifikasi karena spesies mikobakteria yang ditemukan tumbuh dipengaruhi oleh cara pembiakan kuman dan peralatan tempat kuman tersebut dibiak.(6)

Bila ditinjau dari segi patogenitas atipik pads manusia, maka mikobakteria atipik yang ditemukan pads penelitian ini yaitu M. simiae, M kansasii, M. fortuitum, M. smegmatis, sebagian besar tergolong patogen, kecuali M. phlei yang bersifat saprofit. Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia adalah M. kansasii, M. marinum, M. simiae, M. scrofulaceum dan M. szulgai, M. intracellulare, M. ulcerans, M. xenopi, M fortuitum dan M. chelonei. (2)

Mengingat infeksi atipik ini tertular melalui kulit dan makanan minuman yang tercemar, maka kebersihan lingkungan perlu mendapatkan perhatian antara lain upaya seperti pemantauan secara berkala terhadap kemungkinan adanya kuman-kuman ini pada reservoir air minum sebelum didistribuskan ke rumah- rumah pelanggan dan tempat-tempat pemotongan hewan.

Dapat disimpulkan bahwa atypical mycobacteria, adalah hal yang juga perlu diperhatikan dalam pembangunan yang ber-wawasan lingkungan, karena beberapa atipik menyebabkan ke-kebalan terhadap tbc dalam tingkat yang berbeda-beda (7) Karena frekuensi mikobakterium atipik di Sumbar cukup tinggi, ke-mungkinan efektivitas BCG agak kurang, maka dianjurkan pen-jagaan diri terhadap kemungkinan infeksi tbc lebih ditingkatkan di samping meningkatkan gizi, menghindari stres.

KEPUSTAKAAN 1. Simanjuntak CH, Misnadiarly, Hasibuan MA., Iskak Koiman, Erwin Peeto-

sutan, Halim Danusantoso. Mycobacterium tuberculosis dan frekwensi mycobacterium atypical di Jakarta dan hubungannya dengan vaksinasi BCG. Kongres dan Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran Indonesia di Surabaya. 1983. hal. 141-52.

2. Rosihan Anwar. Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia, Maj. Kedokt. Indon. 1986. 36 (7) : 356-63.

3. Krisnomurti S dkk. Isolasi kuman tuberkulosa pads kasus-kasus radang kelenjar, Simposium Tuberkulosa Masa Kini, 23 September 1978.

4. Amirullah R. Mikobakteriasis Paru, Cermin Dunia Kedokteran 1982; 24 26-9.

5. Sujudi dkk. Frekwensi mycobacterium atipik yang diasingkan dari berbagai jenis bahan pemeriksaan penderita tersangka tuberkulosis selama 6 tahun (1963-1968). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 19: 311-5.

6. Misnadiarly. Mikobakteria atipikal pads penderita the di Padang, Semarang dan Surabaya, Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45 : 28-30.

7. Ten Dam HG. dkk. Present knowledge of immunization against tuber-culosis Bull. WHO 1976. 54.3 : 3516-60.

Page 56: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 55

Informasi Obat

Intal®

1. APA ITU INTAL Intal® adalah obat asma yang mengandung kromolin atau

(di)natrium kromoglikat. Intal®tersedia dalam bentuk inhaler aerosol untuk 112 inha-

lasi yang mengandung 5 mg kromolin/inhalasi. 2. APA INDIKASI INTAL

Intal®diindikasikan sebagai obat tahap pertama dalam terapi maintenance asma ringan sampai sedang.

Intal® dimaksudkan untuk terapi maintenance diberikan secara teratur, dan tidak untuk mengatasi serangan akut. Oleh karena itu, pads terapi dengan Intal®, B2 agonis inhalasi harus tetap diberikan sebagai persediaan untuk digunakan sewaktu-waktu ada serangan akut. 3. KAPAN INTAL MULAI DIGUNAKAN

Intal®digunakan pads saat tempi maintenance mulai diper-lukan, yaitu bila serangan asma telah menjadi cukup sering (telah meningkat menjadi sekali sebulan sampai sekali seminggu), sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya gejala tersebut; tidak hanya sekedar mengatasinya dengan B2 agonis inhalasi setiap muncul serangan.

Oleh karena Intal® adalah obat yang luar biasa man, maka cocok sebagai obat tahap pertama untuk terapi maintenance asma. 4. PADA JENIS PENDERITA MANA INTAL DIGUNA-

KAN Anak-anak memberikan respons yang lebih baik dibanding-

kan dengan orang dewasa, tetapi perbedaannya tidak bermakna. Demikian juga dewasa muda cenderung untuk memberikan res-pons yang lebih baik dibanding orang tua, karena pada usia yang lebih lanjut, lebih sering terdapat komponen obstruksi yang ireversibel (misalnya pads bronkitis kronik).

Asma ekstrinsik memberikan respons yang lebih baik di-banding asma intrinsik, tetapi perbedaannya juga tidak ber-makna.

5. BERAPA DOSIS INTAL YANG DIANJURKAN Dosis awal Intal®4 x 2 inhalasi sehari. Setelah 6 minggu atau

lebih, yakni setelah diperoleh perbaikan klinik yang bermakna, mungkin dosis dapat dikurangi menjadi 3 x 2 inhalasi, kemudian 2 x 2 inhalasi, tergantung perbaikan yang dicapai.

Perbaikan klinik biasanya disertai dengan berkurangnya penggunaan B2 agonis atau obat lainnya. 6. BERAPA LAMA INTAL MULAI BEKERJA

Perbaikan klinik (berkurangnya gejala-gejala asma dan per-baikan fungsi paru) sudah mulai terlihat dalam 1 - 2 minggu pengobatan, tetapi perbaikan yang bermakna baru terjadi setelah 6 minggu pengobatan atau lebih.

Oleh karena mula kerja yang lambat inilah, maka Intal®tidak dapat diberikan sendiri pada awal terapinya, tapi hares bersama bronkodilator. 7. DAPATKAH INTAL DITAMBAHKAN PADA REGI-

MEN TERAPI YANG SUDAH ADA Ya; Intal® dapat ditambahkan pads regimen terapi yang

sudah ada, dan biasanya setelah waktu tertentu akan meng-hasilkan peningkatan efek terapi, sehingga penggunaan obat- obat asma yang lain seperti teofilin, steroid yang lebih toksik dari Intal®lambat laun dapat dikurangi atau dihentikan. Intal® dapat mengurangi penggunaan steroid, tetapi efek ini lemah dan memerlukan waktu yang lama.

Adanya interaksi antara Intal®dengan obat lain belum pernah dilaporkan. 8. BAGAIMANA CARA KERJA INTAL

Intal®bekerja sebagai anti inflamasi yang spesifik pada jalan napas. Hendaknya diingat bahwa secara patologik, asmabronkial (eksttinsik/alergik maupun intrinsik/nonalergik) ditandai oleh inflamasi bronkus yang kronik. Oleh karena Intal®lebih efektif untuk mencegah terjadinya/memburuknya inflamasi daripada mengurangi inflamasi kronik yang sudah terjadi, maka peng-obatan dengan Intal® sebaiknya dimulai pads tahap yang dini.

Page 57: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 56

9. TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI DENGAN IN- TAL Intal®responder hanya 60 - 80% dengan rata-rata 70%. Ini

berarti tidak semua penderita asma ringan sampai sedang (lihat indikasi Intal®) responsif pada pemberian Intal®, sedangkan untuk asma yang berat, Intal®kurang/tidak efektif. 10. FAKTOR YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK

MERAMALKAN RESPONS TERHADAP INTAL Tidak ada satupun faktor yang cukup baik untuk digunakan

sebagai prediktor respons terhadap Intal®. Meskipun asma yang parah kurang responsif dibanding asma

yang ringan sampai sedang, asma ekstrinsik sedikit lebih respon- sif dibanding asma intrinsik, anak sedikit lebih responsif dari-pada orang dewasa, dan dewasa muda sedikit lebih responsif daripada gang tua (lihat No. 4), akan tetapi untuk seseorang penderita tidak dapat dipastikan akan responsif atau tidak, se-belum obat ini dicobakan terlebih dahulu.

Non-responder tidak memberikan respons sama sekali dalam 2 minggu pertama atau menunjukkan respons yang meragukan sampai 4 minggu pertama (anal dosisnya cukup). Dalam hal ini, kromolin dihentikan dan diganti dengan obat lain. Bila masih ragu mengenai dosisnya, tingkatkan dulu dosisnya dua kali lipat, dan lihat respons 2 minggu kemudian. 11. EFEK SAMPING YANG TELAH DILAPORKAN

PADA PENGGUNAAN INTAL

Penggunaan yang luas selama 20 tahun menunjukkan bahwa efek samping obat ini ringan dan selintas seperti mual, pusing, dermatitis (rash, urtikaria), dan miositis, yang kejadiannya sa-ngat jarang dan semuanya membaik setelah kromolin dihentikan.

Iritasi tenggorok atau batuk selintas dapat terjadi pada penggunaan sediaan bubuk dengan spinhaler, tapi tidak dengan sediaan-iarutan (aerosol) yang dijual di Indonesia.

Meskipun sangat jarang, anafilaksis atau bronkospasme akut dapat juga terjadi sebagai reaksi sensitivitas terhadap kromolin. Bila ini terjadi, obat harus segera dihentikan. 12. KONTRAINDIKASI ATAU PERINGATAN KHUSUS

UNTUK INTAL Kontraindikasi yang spesifik tidak ada.

Penggunaan kromolin pads wanita hamil tampaknya cukup aman karena tidak ada laporan mengenai efek samping pada ibu ataupun anaknya, sedangkan kejadian kelainan kongenital pada 296 wanita hanya 1.35%, lebih rendah dari kejadian yang spon-tan (2 - 3%). Akan tetapi, secara umum semua obat sedapat mungkin dihindarkan penggunaannya pada kehamilan, terutama selama periode organogenesis. 13. PERHATIAN KHUSUS PADA PENGGUNAAN IN-

TAL Intal® hanya berguna bila dapat mencapai paru-paru dalam

jumlah yang cukup. Ini berarti bahwa Intal® harus diberikan pada jalan napas yang terbuka.

Bila terdapat penyempitan bronkus, bronkodilator harus di-berikan selama 2 minggu pertama terapi dengan kromolin. Bila terdapat obstruksi berat yang tidak dapat diatasi dengan bronko-dilator, perlu ditambahkan prednison jangka pendek sampai obstruksi dapat diatasi, sebelum terapi dengan kromolin dimulai.

14. APAKAH INTAL DAPAT MENCEGAH EIA (EXERCISE-INDUCED ASTHMA)

Intal®sangat efektif untuk mencegah bronkokonstriksi akut akibat exercise atau alergen yang sudah diketahui.

Dalam hal ini efek Intal®maksimal bila diberikan 15 menit sebelum exercise atau 30.menit sebelum alergen spesifik ter-sebut.

15. KEUNTUNGANINTAL DIBANDINGKAN BRONKO-DILATOR (B2 AGONIS, TEOFILIN) UNTUK TERAPI MAINTENANCE ASMA

Ada 2 keuntungan, yakni

a) Dalam hal keamanan : Intal®luarbiasa aman, sehingga lebih aman dibanding bronkodilator, terutama teofilin. b) Dalam hal cara kerja : Intal®memperbaiki perjalanan penya-kit, yakni dengan mencegah/mensupresi reaksi inflamasi di bronkus, yang merupakan kelainan yang mendasan penyakit asma,.sehingga dengan demikian mengurangi keparahan penya-kit. Sedangkan bronkodilator hanya mensupresi gejala bronkokonstriksi tanpa mempengaruhi perjalanan penyakit, se-hingga reaksi inflamasi di bronkus akan berlanjut terus, dan dengan demikian keparahan penyakit akan terus meningkat.

ASI

A man will never change his mind if he has no mind to change

Page 58: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 57

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

SALAM BUAT TANTE

Ketika Didi sakit, dia diantarkan oleh Tantenya ke dokter. Setelah se- lesai diperiksa, Didi ditanyai oleh tantenya. Tante : Tadi pak Dokter bilang apa ? Didi : Salam buat Tante. Tante : . . . . . . ?!

Harry Yogyakarta

POLIKLINIK

A : “Bila satu ayah dua ibu, apa na- manya ?”

B : “Poligami” A : “Bila dua ayah tapi satu ibu, apa

namnya ?” B : “Poliandri” A : “Bila banyak ayah dan banyak ibu?” B : “Poliklinik”

Yuddy Bandung

SATU SATU

Waktu melihat temannya merokok sambil berlari, Achmat menanyakan mengapa berbuat demikian;maka jawab temannya:“Katanya orang merokok satu batang umurnya akan berkurang tiga menit, sedang berlari kan olah raga, membuat orang sehat berarti umur menjadi bertambah panjang......!”

Juvelin Jakarta

BULU PANJANG Seorang pasien dengan bulu panjang di sekujur tubuhnya masuk ke ruang praktek

dokter dan mengeluh : “Dokter, saya merasa seperti monyet saya”. Setelah memeriksa pasiennya, dokter menulis resep dan menyuruh pasien makan

obat tiga kali sehari. “Bagaimana saya dapat mengetahui kalau obat ini bekerja efektif ?” tanya si

pasien. “Saudara nanti akan merasa seperti orang” ,jawab dokter.

R.Setiabudy Jakarta

SOK AKURAT Seorang anak lulusan SMA yang bercita-cita menjadi mahasiswa kedokteran ber-

obat pada sebuah poliklinik. Seperti biasanya petugas mencatat status pasien, untuk itu disuruhnya anak itu menimbang badan. Maka anak tersebut buka alas kaki, kemudian baju, kaos dalam, celana panjang, dan tinggal celana dalam. Dan lucunya semua baju yang dilepas masih dipegangnya. Petugas : Lho, kenapa mesti begini ? Pasien : Mengindari kesalahan, biar lebih akurat.

Petugas : Lha itu ! (Petugas menunjuk tangan pasien).. Hasyimi Jakarta

TUKANG TAMBAL BAN Saat-saat pengobatan di RS Jiwa.

Dokter : “Paijo, apa cita-citamu?” Paijo : “Jadi presiden, Dok”. Dokter : “Masa ?” Paijo : “Jangan mengejek, Pak Dokter. Kakek saya yang namanya Bus menjadi

presiden Amerika. Bulik saya Kori menjadi presiden Philipina !” Dokter : “Cukup. Bila menjadi presiden apa yang akan kau kerjakan ?” Paijo : “Menambal ban, Dok”.

Yon Bandung

CIRI Dua orang mahasiswa kedokteran berbincang-bincang mengenai ekonomi kesehatan.

A. “Apa ciri-ciri negara yang tingkat pengelolaan kesehatan sudah maju?” B: “Kalau biaya kesehatan dapat ditekan dan angka kematian bayi rendah!” A: “Wah, itu sudah kuno!” B: “Lalu, yang modern bagaimana?” A: “Kalau negara itu sudah mengekspor dokter dan tinggal mengimpor vaksin saja !”

Hardi C. Yogyakarta

Page 59: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 58

ABSTRAK ANTIDEPRESAN UNTUK BULIMIA

Fluoxetin - suatu antidepresan - telah disetujui penggunaannya untuk mengatasi bulimia nervosa; dalam studi yang menggunakan dosis 60-80 mg/hari, obat ini terbukti menghilang-kan sama sekali gejala bulimia nervosa pada 7 orang, membawa perbaikan pada 2 orang dan satu orang lainnya mengalami kegagalan.

Scrip 1990; 1541 : 24

Brw VAKSIN BARU

Perkembangan bioteknologi diha-rapkan dapat menghasilkan vaksin-vaksin baru: Dalam 5 tahun:

Vaksin bakteri H. influenzae B, Strep. pneumoniae, N. meningitidis, S. typhii, V cholerae.

Vaksin virus Influenza A dan B, hepatitis A, Herpes simplex, Para-influenza, rabies, respiratory syncitial virus dan rotavirus. Dalam 10 tahun:

Vaksin bakteri E. coil, M. leprae, Streptokokus grup A dan B.

Vaksin virus HIV, Japanese B encephalitis.

BMJ 1990; 301 :137 Hk

MENGANGGUR MENINGKATKAN MORTALITAS

Penelitian prospektif atas mortalitas di Finlandia selma tahun 1981 - 1985 menunjukkan bahwa di kalangan pria 30-54 tahun, pengangguran dapat me-rupakan faktor independen yang me-ningkatkan angka mortalitas secara ke-seluruhan; mortalitas total di kalangan penganggur 1,93 kali lebih tinggi dari-pada di kalangan para pekerja.

Peningkatan mortalitas tersebut ter-utama ditemukan akibat insiden atau kekerasan (2,51 kali lebih tinggi) dan oleh akibat kardiovaskuler (1,54 kali). Efek ini makin bermakna sesuai dengan makin lamanya masa menganggur.

BMJ 1990; 301: 407-11 Hk

MANFAAT DIET PADA OBESITAS

Tindakan menurunkan beratbadan melalui diet pada orang-orang ke-gemukan (obese) ternyata merangsang aktivitas lipoprotein lipase, sehingga dapat meningkatkan proses penimbun-an lipid dalam tubuh dan makin me-nyulitkan usaha penurunan berat badan.

N Engl J Med 1990; 322: 1051- 9 Hk

PATOGENESIS PENYAKIT ALZHE-IMER

Suatu hipotesis baru mengenai ter-jadinya penyakit Alzheimer telah di-ajukan oleh para peneliti dari Athena Neurosciences dan Eli Lilly.

Dalam artikelnya yang dimuat dalam Science edisi Juni 1990, me-reka menyatakan telah menemukan amiloid-beta-peptid, suatu pecahan dari amyloid precursor protein (APP) yang banyak ditemukan di dalam jaringan otak. Pada keadaan normal, APP dimetabolisir oleh enzim APP secretase secara sempurna dalam rang-kaian amiloid-peptida.

Para peneliti tersebut menduga bahwa pemecahan APP yang tak sempurna ini dapat merupakan pe-nyebab timbulnya penyakit Alzheimer.

Scrip 1990; 1529: 27 brw

KAPTOPRIL UNTUK ATEROSKLE-ROSIS

Dr. Gunnar Aberg - peneliti dari Bristol-Myers-Squibb - melaporkan bahwa kaptopril - suatu penyekat ACE - dapat memperlambat laju aterosklerosis.

Pada penelitiannya atas kera yang diberi diet tinggi kolesterol, pemberi-an kaptopril 25-50 mg. dua kali sehari selama 6 bulan telah secara bermakna menghambat meluasnya lesi arterial; efek ini terutama terlihat pada pembuluh koroner. Selain itu pemberian kaptopril tidak mempe-ngaruhi kadar serum kolesterol, HDL ataupun trigliserida.

Efek antisklerosis ini mungkin akibat adanya efek anti proliferasi sel, inhibisi oksidasi LDL atau pe-musnahan radikal bebas oleh gugus sulfhidril yang ada pada kaptopril.

Scrip 1990; 1530: 25 brw

Liputan Imunisasi

Liputan imunisasi (dalam %)•pada anak usia < 1 tahun (Juli 1989) Negara BCG DPT 3 Polio 3 Campak Tetanus 2 (ibu hamil)

India 72 74 63 45 61 Cina 98 95 96 95 -Nigeria 53 42 42 42 16Bangladesh 26 16 16 13 12Brazil 67 54 89 60 62Ethiopia 28 16 16 13 7Meksiko 72 60 95 70 42Gambia 98 83 89 81 85

Lancet 1990;335 : 775 Brw

* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkap – dalam jumlah terbatas – dapat diminta melalui alamat redaksi.

Page 60: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 59

ABSTRAKMENINGGAL DI MANA ?

Para penderita kanker terminal di Inggris telah diminta pendapatnya ten-tang keinginannya mengenai tempat perawatan dan kematian mereka.

Dari 98 pasien, 70 meninggal selama penelitian dilakukan, dan 59 di antara-nya menyatakan tempat kematian yang diinginkan. Ternyata 34 (58%) ingin meninggal di rumah, 12 (20%) di rumah sakit, 12 (20%) di panti dan 1 (2%) di tempat lain.

Rumah sendiri merupakan tempat perawatan yang diinginkan oleh 17 (94%) pasien yang meninggal di rumah, sedangkan di antara 32 pasien yang meninggal di rumah sakit, 22 (69%) sebenarnya lebih suka meninggal di tempat lain.

Seandainya keadaan memungkin-kan, 67% (41) pasien lebih suka me-ninggal di rumah, 16% (10) pasien lebih suka meninggal di rumah sakit dan 15% (9) di panti perawatan.

BMJ 1989;301 : 415-7 Hk

KALIUM UNTUK HIPERTENSI Para peneliti di India mencoba efek

pemberian kalium dan magnesium pada penderita hipertensi ringan (diasto- lik≤110 mmHg). Tigapuluhtujuh pasien dewasa mendapatkan plasebo, atau 60 mmol kalium perhari, atau ditambah lagi dengan 20 mmol magnesium per-hari.

Temyata kalium menurunkan tekan-an sistolik dan diastolik secara ber-makna (p≤p,001) dan juga meriurunkan kolesterol darah (p≤0,005); meskipun demikian, penambahan magnesium ter-nyata tidak memperbaiki respons.

BMJ 1990; 301: 521-3 Hk

VASOKONSTRIKSI PADA MIGREN Penelitian yang dilakukan atas 25

pasien unilateral menunjukkan bahwa

pada saat serangan, diameter lumen a. temporalis superfisialis lebih besar di sisi nyeri; sedangkan yang di sisi tidak nyeri serta a. radialis di kedua sisi justru mengecil diameternya, bila dibanding-kan dengan pada saat di luar serangan.

Ini menandakan bahwa vasokons-triksi umum yang terjadi tidak meli-batkan a temporalis di sisi nyeri; hal ini diduga akibat adanya respons vaso-dilatasi lokal.

Lancet 1990; 336 - 837-9 Brw

ASPIRIN UNTUK INFARK MIO-KARD

Aspirin 75 mg/hard dan/atau heparin iv selama 5 hard telah dibandingkan efektivitasnya pada 796 pasien dengan unstable angina dan non-Q-wave myo-card infarction.

Ternyata pemberian aspirin saja cukup untuk mengurangi risiko infark miokard dan kematian, sedangkan pe-nambahan heparin terutama berguna path lima hari pertama. Meskipun demikian pemberian heparin saja ter-nyata tidak menurunkan angka kejadian infark miokard atau kematian di ke-mudian.hari.

Para peneliti tersebut menyimpul-kan bahwa 75 mg. aspirin perhari menurunkan risiko infark miokard se-besar 50% pada tiga bulan setelah epi- sode unstable angina pada pria, sedangkan penambahan heparin mungkin efektif terutama pada masa dini tanpa penambahan risiko perda-rahan.

Lancet 1990; 336 : 827-30 Brw

PENGARUH BETA KAROTEN TERHADAP KANKER

Beta karoten telah dikaitkan dengan penurunan risiko kanker pada manusia; dan pads percobaan binatang telah menunjukkan aktivitas proteksi terhadap proses karsinogenesis.

Untuk melihat pengaruhnya atas manusia, 1805 pasien yang telah men-derita kanker kulit non melanoma diberi 50 mg. beta karoten/hari atau plasebo selama 5 tahun. Kadar karoten plasma terbukti jauh lebih tinggi pada kelom-pok terapi (3021 nmol/1) dibandingkan dengan kelompok kontrol (345 nmol/1).

Setelah 5 tahun, ternyata tidak di-dapatkan perbedaan dalam hal kejadian kanker kulit non-melanoma (relative rate 1.05, confidence interval 0.91-1.22). Selanjutnya diketahui bahwa angka kejadian kanker non-melanoma di an-tara kedua kelompok itu juga tidak ber-beda bermakna.

N Engl J Med 1990; 323:789-95

Hk

ISOTRETINOIN UNTUK TUMOR KEPALA DAN LEHER

Para peneliti telah menyelidiki pe-ngaruh isotretinoin terhadap tumor di kepala dan leher. Seratus tiga pasien yang telah bebas dari kanker sel skuamosa di daerah lacing, faring dan rongga mulut, diberi isotretinoin 50-100 mg/m2 permukaan tubuh/hari, atau plasebo selama 12 bulan.

Pada akhir penelitian, tidak didapat-kan perbedaan bermakna dalam hal rekurensi kanker primer; meskipun demikian, setelah 32 bulan terlihat bahwa kelompok isotretinoin menderita lebih sedikit tumor primer yang lain. Hanya 2 pasien (4%) pada kelompok isotretinoin menderita tumor primer yang kedua, dibandingkan dengan 12 (24%) di ka-langan kelompok plasebo. Dan 14 kasus tersebut, 13 (92%) terjadi di daerah kepala, leher, esofagus dan paru.

Efek samping selama penggunaan isotretinoin yang utama ialah kulit ke-ring; efek samping lainnya yang tercatat ialah cheilitis, konjungtivitis dan hiper-tngliseridemi.

NEngl JMed 1990; 323:795-801 Hk

Page 61: Cdk 066 Imunisasi (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991 60

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Efektivitas imunisasi polio tidak dipengaruhi oleh : a) Jenis vaksin. b) Cara penyimpnana vaksin. c) Saniatsi lingkungan. d) Infeksi enterovirus lain. e) Semua salah.

2. Program Pengembangan Imunisasi tidak mencakup penya- kit : a) Hepatitis. b) Campak. c) Tuberkulosis. d) Tetanus. e) Difteri.

3. Kelemahan killed vaccine tidak termasuk hal-hal di bawah ini : a) Risiko adanya virus virulen. b) Memerlukan booster. c) Diberikan per oral. d) Risiko hipersensitivitas. e) Semua termasuk.

4. Pembentukan zat anti setelah imunisasi tidak dipengaruhi oleh : a) Saat pemberian. b) Dosis. c) Cara pemberian. d) Jenis vaksin. e) Semua mempengaruhi.

5. Hal yang tidak termasuk persyaratan WHO mengenai vaksin yang baik : a) Poten. b) Aman. c) Tidak mengandung virus. d) Bersifat asing. e) Tidak menimbulkan reaksi samping.

6. Vaksinasi polio sebaiknya dilakukan sebagai berikut, ke- cuali : a) Diberikan sebelum usia 2 tahun. b) Dapat diberikan dalam dua dosis.

c) Diberikan pada bulan September sampai Maret. d) Diberikan secara suntikan. e) Kualitas vaksin yang baik.

7. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+ ialah sebagai berikut, kecuali : a) Produksi asam lambung. b) Latihan otot yang berat. c) Muntah. d) Hiperventilasi. e) Tanpa kecuali.

8. Parameter penting dalam penanganan gangguan asam-baasa adalah sebagai berikut, kecuali : a) Nilai bikarbonat. b) Nilai kalium. c) Nilai natrium. d) Nilai Hb. e) pH darah.

9. Vaksin dapat berasala dari bahan di bawah ini, kecuali :

a. Kuman yang dilemahkan. b. Kuman yang dimatikan. c. Eksotoksin kuman. d. Endotoksin kuman. e. Tanpa kecuali.

10. Hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan program imunisasi adalah sebagai berikut, kecuali : a. Luasnya daerah cakupan. b. Terbatasnya tenaga juru imunisasi. c. Masalah rantai dingin. d. Pemberian vaksin yang harus diulang. e. Tanpa kecuali