case.docx

Upload: aghniajolanda

Post on 07-Jan-2016

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHiperbilirubin adalah keadaan konsentrasi bilirubin dalam serum meningkat dari nilai normal, keadaan ini merupakan kejadian yang umum pada neonatus sehingga neonatus berwarna kuning.1 Hiperbilirubin diklasifikasikan menjadi 2, yakni hiperbilirubin fisiologis dan patologis.2Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti produksi yang berlebihan terutama dapat diakibatkan oleh inkompatibilitas ABO dan Rh, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan transportasi dan gangguan dalam ekskresi.3Hiperbilirubin akibat produksi berlebih dapat diakibatkan oleh keadaan inkompatibilitas ABO, kondisi ini terjadi karena ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan bayi. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi antibodi dan antigen antara darah bayi dengan antibodi dari ibu. Antibodi ini terbentuk setelah tubuh terpajan ke antigen-antigen yang banyak terdapat di alam yang memiliki kemiripan struktur dan spesifisitas dengan antigen sel darah merah.4 Inkompatibilitas ABO akan meningkatkan konsentrasi bilirubin indirek serum yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.5

Oleh karena kejadian ini membahayakan bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi bila berada pada kondisi kern icterik sehingga butuh penanganan yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai penyakit ini dalam sebuah case report.

1.2 Batasan MasalahBatasan masalah case report ini adalah hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO.

1.3 Tujuan PenulisanTujuan penulisan case report ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi, tatalaksana dari hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO.

1.4 Metode PenulisanMetode penulisan case report ini adalah dengan membandingkan teori yang didapatkan dari berbagai literatur dengan pasien yang didiagnosis hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO di bangsal anak RSUP Dr. M. Djamil Padang.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hiperbilirubinemia Hiperbilirubin adalah keadaan konsentrasi bilirubin dalam serum meningkat dari nilai normal, keadaan ini merupakan kejadian yang umum pada neonatus sehingga neonatus berwarna kuning. Muncul akibat akumulasi dari bilirubin indirek pada bayi dapat bersifat neurotoxic. Kuning pada neonatus biasanya akan diobservasi selama 1 minggu pada 60% bayi aterm dan 80% pada bayi preterm.. Hiperbilirubin direk dapat menjadi indikasi adanya masalah serius pada hati atau penyakit sistemik. 1Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan5. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani.

Gambar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani Sumber : http://www.juliathomson.co.uk/guidelines/other-guidelines/neonatal- jaundice/bhutanis-nomogram

Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.6 Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86mol/L).7 Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.

2.2 Klasifikasi2Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis. 2.2.1 Ikterus fisiologiIkterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut : 1. Timbul pada hari kedua dan ketiga 2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan. 3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari. 4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. 5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. 6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis. 2.2.2 Ikterus PatologisIkterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

2.3 Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi: a) Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.c) Gangguan transportasiBilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.d) Gangguan dalam eksresiGangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.3

2.4 Patofisiologi Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.8 Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.8 Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.10 2.5 Manifestasi klinis Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl.5 Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning- kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.1 Gambaran klinis ikterus fisiologis:a) Tampak pada hari 2 atau 3b) Bayi tampak sehat (normal) c) Kadar bilirubin total 15mg/dld) Menghilang paling lambat 10-14 hari e) Tak ada faktor resiko Gambaran klinik ikterus patologis: a) Timbul pada umur 12 mg/dl pada aterm dan 10-14 mg/dl pada pretermd) Menghilang lebih dari 2 minggue) Ada faktor resikof) Fraksi bilirubin direk >2mg/dl1

2.6 Diagnosis 2.6.1 Anamnesis a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal) b. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasic. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya d. Riwayat inkompatibilitas darah e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.7 2.6.2 Pemeriksaan fisik Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.7 Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.5

Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi Media Aesculapius FK UI.2007.Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.7 2.6.3 Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi- bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.7

Tabel 2.2 Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya.

2.7 Penatalaksanaan Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut: a) Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi. b) Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar. c) Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini d) Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air. e) Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.5Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20mg% 2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam 3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung 4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat 2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.9 Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut: 1) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi. 2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi. 3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal. 4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh. 5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam. 6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam. 7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

2.8 Komplikasi Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.2.9 Hiperbilirubinemia et causa Inkompatibilitas ABO2.9.1 Inkompatibilitas ABOInkompatibilitas ABO adalah ketidak sesuaian golongan darah antara ibu dan bayi. Inkompatibilitas ABO dapat meyebabkan reaksi isoimun berupa hemolisis yang terjadi apabila antibodi anti-A dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O, A, atau B dapat melewati plasenta dan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin. 2.9.2Sistem Golongan Darah ABOSistem ABO ditemukan pada tahun 1900 oleh Karl Landsteiner. Antigen-antigen utamanya disebut A dan B, antibodi utamanya adalah anti-A dan anti-B. Adanya antibodi ini serta spesifitasnya tidak ditentukan secara genetis. Antibodi ini terbentuk setelah tubuh terpajan ke antigen-antigen yang banyak terdapat di alam yang memiliki kemiripan struktur dan spesifisitas dengan antigen sel darah merah.

Berikut pada tabel 2.1 adalah klasifikasi golongan darah ABO oleh Karl Landsteiner. Tabel 2.1 Sistem golongan darah ABOGolongan DarahAntigenAntibodi alamiah

O-anti-A + anti-B

AAanti-B

BBanti-A

ABA + B-

2.9.3Penyakit Hemolitik Pada Inkompatibilitas ABO (ABO-HDN)Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang merupakan faktor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia.4 2.9.3.1Diagnosis Hemolitik Akibat Inkompatibilitas ABO Diagnosis hemolitik akibat inkompatibilitas ABO pada bayi baru lahir ditegakkan apabila terdapat keadaan hemolisis yang diindikasikan dengan:- Ikterus yang dengan early onset yang signifikan. - Bayi baru lahir dengan golongan darah A, B, AB dari ibu dengan golongan darah ibu O. - Terdapat satu atau lebih kriteria hemolitik (tanpa penyebab hemolisis dan anemia yang lain) antara lain: menurunnya hemoglobin dan hematokrit, meningkatnya bilirubin indirek >0,5-1 mg/dL/jam, pada hapusan darah tepi terdapat retikulositosis >7% dan sferositosis, tes coombs positif.11

2.9.3.2Patofisiologi Hemolitik pada inkompatibilitas ABO termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe II. Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Ibu dengan golongan darah A atau B antibodi alami yang dimilikinya berupa antibodi kelas IgM yang tidak dapat menembus plasenta. Sedangkan pada ibu dengan golongan darah O antibodi alaminya didominasi oleh antibodi kelas IgG yang dapat menembus plasenta. Antibodi anti-A dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O yang dapat melewati plasenta akan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin. Antibodi tersebut akan menyelimuti sel darah merah dan akan dilisiskan oleh enzim lysosomal yang diproduksi makrofag dan natural killer lymphocytes.12

2.9.4 Tatalaksana Hiperbilirubin et causa inkompatibilitas ABOPenatalaksanaan inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan dalam bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.

Transfusi tukar Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)3. mengurangi kadar serum bilirubin4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibuYang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari kelebihan kaliumb. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cellsd. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cellsf. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi 90 menitg. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37Ci. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.

Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1GOLONGAN DARAH IBU

OABAB

GOLONGANDARAHBAYIOOOO

AOAOA

BOOBB

ABABAB

Gambar 3. Transfusi tukar pada Rh atau ABO inkompatibilitasTransfusi intra uterin : Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Namun harus menjadi perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin sangat besar sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 2634 dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus.

Transfusi albumin Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.Fototerapi Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal. Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum (panjang gelombang 430-490nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2. Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.13

BAB 3STUDI KASUS

Seorang pasien laki-laki umur 10 hari dirawat di perinatologi dengan diagnosa hiperbilirubinemia et causa suspect inkompatibilitas ABO.Keadaan Umum Tampak Kuning sejak usia + 6 jamRiwayat Penyakit Sekarang Bayi lahir spontan, BBL 3000 gram, PBL 49 cm, ditolong dokter, cukup bulan, langsung menangis, ibu baik, ketuban pecah 24 jam, sisa ketuban jernih, A/s 7/8 (partus luar) Tampak kuning sejak usia + 6 jam, awalnya kuning terlihat di wajah, lama kelamaan kuning bertambah hingga kaki. Demam disangkal, sesak nafas tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak ada Merintih tidak ada, sesak nafas tidak ada, kebiruan tidak ada Bayi kurang mau menyusu sejak usia 2 hari, saat ini anak menyusu + 6-8x/hari dengan lama 10-15 menit/ kali. Injeksi vitamin K telah diberikan. Buang air kecil ada, mekonium sudah keluar Riwayat ibu demam saat hamil dan menjelang persalinan tidak ada. Riwayat ibu menderita keputihan dan nyeri saat BAK tidak ada. Ibu golongan darah O, ayah golongan darah B, coomb test negatif Pasien kiriman dari RS swasta di Bukittinggi dengan keterangan ikterik neonatorum grade IV dan telah dilakukan fototerapi selama 24 jam. Telah dilakukan coomb test dengan hasil negatif dan telah dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil : Bilirubin total 23,1 dl/L Bilirubin Indirek 22,8 dl/L Bilirubin direk 0,5 dl/L Riwayat persalinan : Persalinan I : tahun 2006, laki-laki, lahir spontan, BBL 3200 gram PBL 51, anak kuning saat usia 1 hari dan dilakukan fototerapi dan transfusi dan telah dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil bilirubin total 23,2, bilirubin direk 0,5 Persalinan II : 2009, laki-laki, lahir spontan, BBL 3500 gran, PBL 50, anak kuning saat usia 1 hari dan dilakukan fototerapi.Pemeriksaan FisikKeadaan : kurang aktifBerat Badan : 2600 gramFrekuensi Jantung : 130 xFrekuensi Nafas : 48 xSianosis : Tidak adaIkterus : AdaSuhu : 36,70CKepala: Ubun-ubun besar 1,5 x 1,5 cm, Ubun-ubun kecil 0,5 x 0,5 cm, jejas tidak adaMata: konjungtiva tidak pucat, sklera ikterikTelinga: tidak ada kelainanHidung: Nafas cuping hidung tidak adaMulut: Sianosis sirkumoral tidak adaLeher : Tidak ada kelainanThorakBentuk: normochest, simetrisJantung: irama teratur, bising tidak adaParu: Bronkovesikular, rhonki -/-, wheezing -/-Abdomen: Permukaan datar, kondisi lemas, hati -, limpa S0, tali pusat layuUmbilikus: hipereremis tidak adaGenitalia: kelainan tidak ada, testis desensus testisEkstremitas: Akral hangat, perfusi baikKulit: teraba hangat, kramer grade IVAnus : AdaTulang : Tidak ada kelainanReflek Neonatal: Moro +, Rooting +, Isap +, Pegang +UkuranLingkar kepala: 33 cmLingkar dada: 31 cmLingkar perut : 30 cmPanjang lengan : 18 cmPanjang kaki : 20 cmKepala-simpisis: 26 cmSimpisis kaki : 23 cm

Neonatus : Cukup BulanPenyakit: - Hiperbilirubinemia e.c. susp inkompatibilitas ABO dd/ e.c. suspc early onset sepsisResume : NBBLC 3000 gram, PBL 49 cmLahir SpontanIbu KPD 24 jam, sisa ketuban jernihA/S 7/8 (partus luar)TM : 39,40 minggu ( Sesuai masa kehamilan )Jejas peralinan tidak adaKelainan kongenital tidak adaRencana Terapi: Rawat Perinatologi ASI OD IVFD Pgi 4 tts/menit (mikro) Comb test ulang untuk konfirmasi Pemeriksaan darah : AGD, Bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk, protein, albumin, globulin, kultur darah

Pemeriksaan LaboratoriumHb: 12,1 mg/dlLeukosit: 13.310/mm3Diff. Count: 0 / 2 / 0 / 70 / 27 / 1Trombosit: 277.000Retikulosit: 11,2 %Bilirubin total : 28,41 mg/dlBilirubin Indirek : 27,09 mg/dlBilirubin Direk : 1,32 mg/dl

Keadaan saat iniTelah dilakukan :1. Fototerapi selama 24 jam, dilanjutkan dengan transfusi tukar dengan WE Golongan darah O Rh + 2x225 ml (masuk 330 cc) dengan teknik isovolumentrik.2. Farmakoterapi : Ampicilin surbactam 2x125 mg IV Gentamisin 1x12mg IV

Subjective : Kuning membayang pada wajah, demam tidak ada, kejang tidak ada, sesak nafas tidak ada, muntah tidak ada, intake masuk, BAK dan BAB biasaObjective :Cukup aktif, HR: 130x/, RR: 40x/, T: 370CMata : konjungtiva tidak anemia, sklera tidak ikterikThorak : Cor dan Pulmo tidak ada kelainanAbdomen : Distensi tidak ada, Bising usus positif normalEkstremitas : akral hangat, perfusi baikAssesment : Hemodinamik stabil. MRSA + (berdasarkan hasil kultur darah)Planning: Vancomisin 90 mg dilanjutkan dengan 45 mgAzitromisin 22 mg p.o

BAB 4DISKUSI

Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 10 hari dirawat di perinatologi di RSUP Dr. M. Djamil Padang, datang pada tanggal 13 Mei 2015 dengan keluhan utama kuning sejak usia +6 jam, kuning awalnya terlihat di wajah, lama kelamaan kuning bertambah hingga ke kaki. Pasien kiriman dari RS Swasta di Bukittinggi dengan keterangan ikterik neonatorum grade IV dan telah dilakukan fototerapi selama 24 jam tetapi kuning tidak hilang.Berdasarkan keluhan utama pasien, dapat dilihat bahwa timbulnya kuning pada anak berada pada umur < 2 hari, hal ini mengindikasikan bahwa jenis kuning yang dialami pasien dapat dikatakan jenis kuning / hiperbilirubinemia yang patologis, karena hiperbilirubinemia jenis fisiologis terjadi pada anak yang berumur 2 atau 3 hari. Sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut penyebab munculnya kuning pada pasien yang berumur < 2 hari. Pasien juga sudah dilakukan fototerapi selama 24 jam tetapi tidak mengalami perbaikan, hal ini menunjukkan bahwa kuning yang muncul tidak dapat ditatalaksana dengan fototerapi, dimana pada kuning yang fisiologis akan mengalami perbaikan dengan fototerapi karena akan terjadi perubahan bilirubin indirek dalam tubuh menjadi bilirubin direk akibat sinar dalam fototerapi. Tidak adanya perubahan ini dapat dikarenakan produksi dari bilirubin yang terus menerus sehingga tubuh pasien tidak dapat mengkompensasi perubahan bilirubin indirek dalam tubuh menjadi direk. Sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut penyebab kuning atau hiperbilirubin yang tidak dapat dikompensasi oleh pasien.Dalam anamnesis diketahui bahwa riwayat persalinan ibu sebelumnya juga terjadi hal yang sama. Pada persalinan pertama anak kuning pada usia 1 hari dan membutuhkan tranfusi dalam penanganan kuning. Persalinan kedua anak juga kuning pada usia 1 hari dan dilakukan fototerapi. Diketahui bahwa golongan darah ibu O dan golongan darah ayah B dan golongan darah anak B.Hal ini memberikan petunjuk bahwa adanya permasalahan yang terjadi, sehingga 2 anak sebelumnya juga mengalami kuning yang patologis. Terdapat beberapa penyebab sehingga hal ini terjadi seperti inkompatibilitas ABO atau inkompatibilitas Rh. Dengan diketahui golongan darah ibu O dan golongan darah ayah B, kemungkinan kuning patologis disebabkan oleh inkompatibilitas ABO semakin besar, karena ibu dengan golongan darah O memiliki anti-A dan anti-B, sehingga antibodi pada ibu akan mensensitisasi antigen pada anak yang bergolongan darah B. Untuk memastikan hal ini perlu dilakukan test coomb. Tes ini sudah dilakukan di RS yang merujuk pasien, tetapi perlu dilakukan lagi untuk konfirmasi.Berdasarkan hasil ini, pasien diberikan terapi berdasarkan hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas ABO. Terapi yang diberikan kepada pasien adalah terapi lanjutan apabila terapi dengan fototerapi tidak berhasil, yakni transfusi tukar. Tranfusi tukar dilakukan dengan teknik isovolumentrik menggunakan darah WE golongan O Rh + sebanyak 330 cc. Terapi ini dilakukan untuk mengurangi antibodi yang ada dalam tubuh anak sehingga produksi bilirubin akibat antibodi yang mensensitisasi antigen dalam sel darah ini dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Terapi farmakologi juga diberikan seperti ampicilin surbactam 2x125 mg IV dan Gentamisin 1x12 mg IV, hal ini diberikan karena profilaks terjadinya infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carlo W. 2007. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Nelson Textbook of Pediatrics 18th. Philadelphia: WBSaunders 2. Arief ZR. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha medika.3. Hassan,R. 2005. Ilmu Kesehatan Anak jilid 3. Jakarta: Infomedika 4. Dharmayani D. 2009. Profil Uji Antiglobulin Dierk, Titer Immunoglobulin G anti A dan Anti-B, serta penyakit hemolitik pada neonatus cukup bulan dengan inkompatibilitas ABO. Thesis Child Health. Universitas Indonesia5. Mansjoer A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi III. Media Aesculapius FK UI.6. Sukadi A. 2008. Hiperbilirubinemia Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.7. Etika R, Harianto A. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Continuing education: ilmu kesehatan anak.8. Sacher, Ronald A, Richard A. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium edisi 11. Alih bahasa: Brahm U. EGC: Jakarta9. Cloherty JP, Eichenwald EC. 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins.10. Murray RK, et al. 2009. Biokimia Harper edisi 27. Jakarta : EGC11. Heydarian F. 2012. ABO Hemolytic Dissease Leading to Hyperbilirubinemia in Term Newborns: Value of Immunohematological Tests. Iranian Journal of Neonatology Vol. 3 No 2. Mashhad University of Medical Sciences, Iran. 12. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 13. Kosim Ms, Ari Y, Rizalya D. 2008. Buku ajar Neonatologi edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.28