pembhsn case.docx
TRANSCRIPT
Latar belakangEnsefalitis, merupakan suatu peradangan parenkim otak, muncul sebagai disfungsi
neuropsikologi difus dan / atau fokal. terutama melibatkan otak, meskipun meninges sering
terlibat (meningoencephalitis).
Dari perspektif epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun
pada evaluasi klinis keduanya bisa hadir bersamaan, dengan tanda-tanda dan gejala peradangan
meningeal, seperti fotofobia, sakit kepala, atau kaku kuduk. Hal ini juga berbeda dari cerebritis.
Cerebritis merupakan pembentukan abses dan menunjukkan adanya infeksi bakteri yang sangat
merusak jaringan otak. ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan kerusakan
parenkim yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat.
Meskipun gangguan bakteri, jamur, dan autoimun dapat menghasilkan ensefalitis, sebagian
besar kasus berasal dari virus. Insiden ensefalitis 1 kasus per 200.000 populasi di Amerika
Serikat, virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab paling umum.
Herpes simpleks ensefalitis (HSE), terjadi secara sporadis pada orang dewasa sehat dan
immuno-compromised, juga ditemui pada neonatus yang terinfeksi saat lahir pada ibu yang
melahirkan pervaginam dan memiliki tingkat mortalitas tinggi jika tidak dirawat. Identifikasi
cepat dan pengobatan segera HSE dapat menyelamatkan nyawa pasien. Dari sudut pandang
risiko-manfaat, direkomendasikan memulai pengobatan dengan asiklovir pada setiap pasien
dengan presentasi sugestif dari ensefalitis virus.
1
DefinisiEncephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya merupakan
suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis, penyakit degeneratif
kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak
yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu dari dua
mekanisme yaitu :
(1) Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau
(2) Sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-mediated
response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari setelah
munculnya manifestasi ekstraneural.
Seringkali, terdapat agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus
terjadi melalui jalur hematogen atau neuronal. Ensefalitis yang sering terjadi adalah ensefalitis
yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan kutu yang terinfeksi virus. Virus berasal dari,
Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga Togavirus. Jenis ensefalitis yang paling umum terjadi di
Amerika Serikat adalah La Crosse virus, dan St Louis virus. Seringkali, penyebab ensefalitis ini
menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi dan diferensiasi berasal dari
pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya terbatas pada sejumlah patogen diidentifikasi. 1,2
Virus West Nile adalah menjadi penyebab utama ensefalitis, disebabkan oleh arbovirus dari
keluarga Flaviviridae. Nyamuk dan migrasi burung merupakan peantara dalam penyebaran
infeksi virus ini. Nyamuk menggigit manusia dan manusia adalah dead-end host bagi virus.
Sebagian besar manusia tidak menularkan infeksi ini. Sekitar 1 infeksi bergejala berkembang
untuk setiap 120-160 orang tanpa gejala. Namun pada orang dewasa beresiko terkena penyakit
bergejala. Hal ini telah menjadi masalah kesehatan publik yang lebih besar, mengingat bahwa
penyebaran terjadi karena migrasi burung. Kasus pertama diidentifikasi di New York City pada
tahun 1999, dengan kasus tambahan yang diidentifikasi dalam tahun-tahun berikutnya di seluruh
Amerika Serikat.
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan rabies adalah dua contoh,
di mana penularan masing-masing terjadi melalui kontak langsung dan gigitan mamalia. Dalam
kasus ensefalitis herpes, terdapat bukti reaktivasi virus dan transmisi intraneuronal sehingga
menyebabkan ensefalitis.3
2
EtiologiAdapun etiologi dari ensefalitis ini bermacam-macam, seperti disebutkan sebagai berikut 4
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada
neonatus menimbulkan kematian.
Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat
pada CMV congenital
Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera
Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome beberapa hari gejala spesifik,
seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut, yang diikuti dengan
gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum
pada presentasi. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki ruam makulopapular dan
komplikasi parah, seperti fulminant coma, transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-
3
like illness), atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan pada
ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf
termasuk berubah status mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat
membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi virus West Nile,
tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk demam, malaise, nyeri periokular,
limfadenopati, dan mialgia. Selain itu terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk
makulopapular, ruam eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis. 1,2
PatofisiologiPortal masuk virus sangat spesifik. Banyak virus yang ditularkan oleh manusia, meskipun
sebagian besar kasus HSE dianggap reaktivasi HSV dormant di ganglia trigeminal. Nyamuk atau
kutu dan virus rabies ditransfer melalui gigitan hewan yang terinfeksi atau terpapar darah hewan.
Secara umum, virus bereplikasi di luar SSP dan masuk ke SSP baik oleh penyebaran hematogen
atau dengan perjalanan sepanjang jalur saraf (misalnya, virus rabies, HSV, VZV). Etiologi
infeksi lambat, seperti yang terlihat pada subacute scleroting panencephalitis terkait campak
(SSPE) dan progressive multifocal leukoencephalopathy (PML), masih kurang dipahami.
Setelah melintasi sawar darah-otak, virus memasuki sel-sel saraf, dengan gangguan fungsi sel,
perivaskular, perdarahan, dan respon inflamasi difus yang tidak proporsional dari substansia
nigra terhadap substansia alba. Tropisme daerah yang terkait dengan virus tertentu adalah karena
reseptor membran sel neuron ditemukan hanya dalam porsi tertentu dari otak, dengan fokus
patologi yang lebih intens di bidang ini. Sebuah contoh klasik adalah kecenderungan untuk HSV
terjadi pada lobus temporal inferior dan medial.
Berbeda dengan virus yang menyerang substansia grisea langsung, ensefalitis akut dan
postinfectious encephalomyelitis difusa (PIE), paling sering karena infeksi campak dan
berhubungan dengan virus Epstein-Barr (EBV) dan infeksi CMV.
KlasifikasiSesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: 3
1. Ensefalitis virus sporadic
4
a. Virus yang bersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV),
Herpes Zoster, mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang
ditularkan melalui gigitan tupai dan tikus.
2. Ensefalitis virus epidemic
a. Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus
ECHO, serta golongan virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi
a. Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus
yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi yang sama.
Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim gugur, mencerminkan
adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis yang disebabkan karena virus
arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas wilayah yang ditentukan oleh batas vektor
nyamuk serta prevalensi binatang reservoar alamiah. Kasus-kasus enesefalitis yang sporadis
dapat terjadi setiap musim, pertimbangan epidemiologis yang harus ditinjau ulang dalam usaha
mencari agen penyebab meliputi wilayah geografis, iklim, pemaparan oleh binatang, air,
manusia, dan bahan makanan, tanah, manusia, dan faktor-faktor hospes.
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup, 20-40%
mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Riwayat penyakitPresentasi klinis tentu saja dapat menjadi variabel nyata. tingkat keparahan presentasi berkorelasi
dengan prognosis. Riwayat gigitan nyamuk atau kutu, paparan kotoran tikus atau paparan
kelelawar di ruang tertutup harus dicari. Menyadari gigitan hewan mamalia tertentu berhubungan
dengan rabies dan pengobatan antirabies sangat penting.
Fase prodromal virus biasanya beberapa hari dan terdiri dari demam, sakit kepala mual, dan
muntah, lesu, dan mialgia. Fase prodromal tertentu dalam ensefalitis disebabkan oleh virus
varicella-zoster (VZV), Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV), virus campak, termasuk
ruam, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pembesaran parotis.
Presentasi klasik adalah ensefalopati dengan gejala neurologis fokal atau difus, termasuk yang
berikut:
5
• Perilaku dan perubahan kepribadian, dengan penurunan tingkat kesadaran
• Nyeri Leher, kekakuan
• Fotofobia
• Letargi
• kejang fokal atau umum (60% anak dengan CE)
• keadaan amnestik atau kebingungan akut
• Flaccid paralysis (10% dari pasien dengan WNE)
Dengan catatan, sakit kepala tidak selalu ditemukan
Gejala infeksi virus herpes simpleks (HSV) pada neonatus (umur 1-45 hr) mungkin termasuk lesi
lokal kulit, mata, atau lesi mulut pada tahap dini ensefalitis. iritabilitas, kejang, dan nafsu makan
berkurang terus berkembang dalam perjalanan penyakit, dan shock adalah temuan yang
terlambat.
Herpes simpleks ensefalitis (HSE) pada anak yang lebih tua dan orang dewasa tidak biasanya
terkait dengan erupsi aktif herpes dan ditandai oleh gejala onset akut yang lebih berat dari
ensefalitis pada awal perjalanan penyakit.
ensefalopati toxoplasma terdapat pada 40% dari pasien HIV-positif dengan gejala neurologis
sakit kepala subakut, temuan dan, sering terdapat keluhan fokal neurologis.
Meskipun gangguan bakteri, jamur, dan autoimun dapat menghasilkan ensefalitis, sebagian besar
kasus adalah virus. Dengan demikian, selain darah lengkap dan urin, studi spesifik dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi agen infeksi yang menyebabkan radang otak.
DiagnosisDiagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak.
Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah:
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit
peningkatan protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
6
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4
minggu secara terpisah.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal
serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap
penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah
endemik dan lain-lain
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan
sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
Gangguan kesadaran
Hemiparesis
Tonus otot meninggi
Reflek patologis positif
Reflek fiisiologis meningkat
Klonus
Gangguan nervus kranialis
Ataksia
c. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan
memberikan respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya
cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu
tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna
(Nelson, 1992). Kadar protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai
360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55 mg% yang
disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif.
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus dilakukan. Pungsi lumbal
harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan kardiovaskular atau tanda-tanda tekanan
intrakranial meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC,
diferensial, kadar protein dan glukosa, dan gram stain. Pada encephalitis menunjukkan
7
pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar glukosa normal. Peningkatan
eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV. Extreme peningkatan protein dan rendahnya
kadar glukosa menunjukan infeksi tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis
meningeal. Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri, jamur, virus, dan
mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk mendiagnosis enterovirus dan HSV karena
lebih sensitif dan lebih cepat dari biakan virus. Leukositosis adalah umum ditemukan. Kultur
darah positif pada 90% kasus.
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi komponen ensefalitis. EEG
adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang lambat, walaupun perubahan fokal
mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan
otak difus parenkim atau kelainan fokal.
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma pneumoniae, cat-scratch
disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM serum atau CSF untuk infeksi virus West Nile
tersedia, tetapi reaktivitas silang dengan flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi.
pengujian serologi tambahan untuk patogen kurang umum harus dilakukan seperti yang
ditunjukkan oleh perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain pengujian serologi, sampel CSF
dan tinja dan usap nasofaring harus diperoleh untuk biakan virus. Dalam kebanyakan kasus
ensefalitis virus, virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan pengujian ekstensif
dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih belum ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab ensefalitis, terutama
pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak mungkin cocok untuk pasien dengan
ensefalopati berat yang tidak menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. HSV,
rabies ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit dan kuru) dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin
penting untuk mengidentifikasi arbovirus dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi jamur,
dan penyakit non-menular, terutama primer SSP vasculopathies atau keganasan. 1,4,6
Tes Darah dan Urine
Hitung darah lengkap (TDL) dengan diferensial harus dilakukan, meskipun temuan sering dalam
kisaran normal.
8
Tingkat glukosa serum harus ditentukan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia
dibandingkan dengan nilai glukosa cairan cerebrospinal (CSF). Hasil serum yang rendah
ditemukan pada pasien kekurangan gizi, sementara pasien diabetes mungkin hadir dengan kadar
glukosa tinggi yang kompatibel dengan komplikasi atau keadaan hiperosmolar ketoasidosis
diabetes.
Tingkat nitrogen urea (BUN) dan kreatinin darah sangat membantu untuk menilai status hidrasi,
dan tes fungsi hati harus dilakukan untuk menilai disfungsi organ atau kebutuhan untuk
menyesuaikan regimen dosis terapi antimikroba.
pungsi lumbal (LP) harus dilakukan pada semua pasien yang diduga memiliki ensefalitis virus.
jumlah trombosit dan profil koagulasi diindikasikan pada pasien pengguna alkohol kronis,
memiliki penyakit hati, dan mereka yang diduga disseminated intravascular coagulation (DIC).
Pasien mungkin memerlukan trombosit atau plasma beku segar (FFP) sebelum LP.
Studi Agen Infeksi
lesi mencurigakan Herpes simplex virus (HSV). kultur Viral dari CSF, termasuk HSV, sebaiknya
dilakukan, Kultur darah untuk bakteri patogen harus diperoleh.
Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging, dan Elektroensefalografi
CT scan kepala dengan dan tanpa agen kontras harus dilakukan di hampir semua pasien dengan
ensefalitis. Hal ini harus dilakukan sebelum LP jika ada temuan keluhan fokal, atau tanda-tanda
untuk mencari bukti peningkatan tekanan intrakranial (ICP), hidrosefalus obstruktif, atau efek
massa akibat infeksi fokal otak. CT scan Kepala juga membantu menggambarkan pendarahan
otak atau infark sebagai penyebab keadaan encephalopathic. Magnetic resonance imaging (MRI)
lebih sensitif daripada CT scan dalam menunjukkan kelainan otak sebelumnya dan perjalanan
penyakit.
Pada HSE, MRI dapat menunjukkan beberapa intensitas sinyal fokal T2 yang meningkat pada
lobus temporal medial dan frontal substansia nigra. CT Kepala biasanya menunjukkan edema
atau perdarahan petechial di wilayah yang sama.
9
Pada toksoplasmosis, CT kontras biasanya mengungkapkan beberapa nodular atau lesi berbentuk
cincin. Karena lesi mungkin terlewatkan tanpa kontras, MRI harus dilakukan pada pasien dengan
kontraindikasi penggunaan bahan kontras.
Pada HSE, electroencephalography (EEG) sering mendokumentasikan karakteristik paroksismal
lateral epileptiform debit (PLEDs), bahkan sebelum perubahan neuroradiography. PLEDs positif
pada 80% kasus, namun, kehadiran PLEDs tidak patognomonik untuk HSE.
Analisis Cairan serebrospinal
Tes diagnostik yang paling penting di gawat darurat (ED) untuk menyingkirkan meningitis
bakteri adalah pewarnaan Gram dan, jika tersedia, polymerase chain reaction (PCR) dari CSF
pada pasien dengan dicurigai ensefalitis HSV. PCR untuk HSV DNA 100% spesifik dan 75-98%
sensitif dalam 25-45 jam pertama. Tipe 1 dan 2 bereaksi, tapi tidak ada reaktivitas silang dengan
virus herpes lainnya. Diperdebatkan, serangkaian PCR kuantitatif mendokumentasikan
penurunan viral load dengan pengobatan asiklovir sangat mendukung diagnosis HSV, dan
menghindari kebutuhan untuk biopsi otak.
10
Tabel 1.Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
pada beberapa gangguan sistem saraf pusat
11
12
Kondisi Tekanan Leukosit (/μL) Protein
(mg/dL)
Glukosa
(mg/dL)
Keterangan
Normal 50-180 mm
H2O
<4; 60-70%
limfosit,
30-40% monosit,
1-3% neutrofil
20-45 >50 atau
75% glukosa
darah
bakteri Biasanya
meningkat
100-60,000 +;
biasanya
beberapa ribu;
PMNs
mendominasi
100-500 Terdepresi
apabila
dibandingkan
dengan
glukosa
darah;
biasanya <40
Organisme
dapat dilihat
pada Gram
stain dan
kultur
bakterial yang
sedang
menjalani
pengobatan
Normal atau
meningkat
1-10,000;
didominasi PMNs
tetapi
mononuklear sel
biasa mungkin
mendominasi
Apabila
pengobatan
sebelumnya telah
lama dilakukan
>100 Terdepresi
atau normal
Organisme
normal dapat
dilihat;
pretreatment
dapat
menyebabkan
CSF steril
Tuberculous Biasanya
meningkat:
dapat sedikit
meningkat
karena
bendungan
cairan
serebrospinal
pada tahap
tertentu
10-500; PMNs
mendominasi
pada awalnya
namun kemudian
limfosit dan
monosit
mendominasi
pada akhirnya
100-500;
lebih
tinggi
khususnya
saat
terjadi
blok
cairan
serebrospi
nal
<50 usual;
menurun
khususnya
apabila
pengobatan
tidak adekuat
Bakteri tahan
asam
mungkin
dapat terlihat
pada
pemeriksaan
usap CSF;
Fungal Biasanya
meningkat
25-500; PMNs
mendominasi
pada awalnya
namun kemudian
monosit
mendominasi
20-500 <50;
menurun
khususnya
apabila
pengobatan
tidak adekuat
Budding
yeast dapat
terlihat
Biopsi otak
Meskipun fitur histologis tidak spesifik, biopsi otak merupakan standar kriteria karena
sensitivitasnya 96% dan spesifisitas 100%.
Kehadiran badan Negri di hipokampus dan otak kecil adalah patognomonik rabies, seperti juga
HSV tipe A Cowdry inklusi dengan nekrosis hemoragik di lobus temporal dan orbitofrontal.
PenatalaksanaanPerawatan Bagian Gawat Darurat
Tujuan pengobatan untuk pasien akut adalah pemberian dosis pertama asiklovir, dengan atau
tanpa antibiotik atau steroid, secepat mungkin. Standar untuk meningitis bakteri akut adalah
memulai pengobatan dalam waktu 30 menit kedatangan. Pertimbangkan untuk menerapkan
protokol triase UGD untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk HSE.
Kumpulkan sampel laboratorium dan kultur darah sebelum memulai terapi IV. Bahkan pada
kasus tanpa komplikasi ensefalitis, pihak yang paling merekomendasikan studi neuroimaging
(misalnya, magnetik resonance imaging [MRI] atau, jika itu tidak tersedia, kepala kontras
ditingkatkan computed tomography [CT] scan) tusukan beforelumbar (LP).
Pengelolaan hidrosefalus dan tekanan intrakranial meningkat
Pada pasien dengan hidrosefalus dan tekanan intrakranial meningkat (ICP), langkah-langkah
umum termasuk pengelolaan demam dan nyeri, batuk, pencegahan kejang dan hipotensi
sistemik.
Pada pasien dinyatakan stabil, mengangkat kepala dan pemantauan status neurologis biasanya
cukup. Ketika manuver lebih agresif ditunjukkan, penggunaan awal diuresis (misalnya furosemid
20 mg IV, manitol 1 g / kg IV) mungkin bermanfaat, asalkan volume peredaran darah
terlindungi. Deksametason 10 mg IV setiap 6 jam membantu dalam mengelola edema sekitar
lesi. Hiperventilasi (tekanan CO2 arteri [PaCO2] 30 mm Hg) dapat menyebabkan penurunan
tidak proporsional dalam aliran darah serebral (CBF), tetapi digunakan untuk mengontrol
peningkatan ICP pada suatu keadaan darurat.
pemantauan Intraventricular ICP masih kontroversial. Beberapa pihak percaya bahwa edema
fokal berbahaya dengan gradien tekanan antara lobus temporal dan ruang subtentorial biasanya
13
tidak terdeteksi oleh monitor dan bahwa kegagalan deteksi dapat menyebabkan rasa aman palsu.
Bahkan, penempatan monitor berpotensi dapat memperburuk gradien tekanan.
Pasien dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai menghilangnya gejala-gejala
neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi organ dengan
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang
dikerjakan sebagai berikut:
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia
serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena
dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12
jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan
dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam
untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis
bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan
untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir
intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi
toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi
kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek,
maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan
untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang
14
terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah
dinilai secara objektif.
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan
Pengobatan komplikasi sistemik
Cari dan obati komplikasi sistemik (misalnya, hipotensi atau syok, hipoksemia, hiponatremia,
dan eksaserbasi penyakit kronis), khususnya di ensefalitis herpes simplex (HSE), virus Japanese
Encephalitis (JE).
Pengobatan empiris dari HSV dan VZV meningoencephalitis ensefalitis
pengobatan Empiris darurat dewasa untuk virus herpes simpleks meningoencephalitis (HSV) dan
varicella-zoster virus (VZV) ensefalitis terdiri dari asiklovir 10 mg / kg q8h (diinfuskan selama 1
jam) untuk 14-21 hari. Berikan asiklovir 10-15 mg / kg IV setiap 8 jam untuk HSV neonatal,
ensefalitis HSV pada populasi anak, berikan asiklovir 10 mg / kg IV setiap 8 jam.
Pada pasien HIV-positif, pertimbangkan foskarnet, mengingat peningkatan kejadian asiklovir
resisten HSV dan herpes zoster (HZV).
Komplikasi dan PrognosisGejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat dapat
mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem
kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus
maupun gangguan mental sering terjadi Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus,
epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat.
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan.
Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.8
15
Prognosis tergantung pada virulensi dari virus dan status kesehatan pasien. Usia ekstrem (<1 y
atau> 55 tahun), status immune-compromised, dan yang kondisi neurologis yang sudah ada
sebelumnya berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
HSE yang tidak diobati memiliki mortalitas 50-75%, dan hampir semua korban yang tidak
diobati atau terlambat pengobatan memiliki deficit motorik dan mental jangka panjang. Angka
kematian rata-rata HSE diobati 20%, dan hasil neurologis berkorelasi dengan cacat neurologis
hadir pada saat dosis pertama agen antivirus asiklovir atau sebanding. Sekitar 40% dari korban
memiliki ketidakmampuan belajar ringan hingga berat, gangguan memori, kelainan
neuropsikiatri, epilepsi, defisit pengendalian motorik, dan disartria.
Ensefalitis rabies hampir 100% fatal, meskipun korban jarang dilaporkan dalam literatur medis.
Ensefalitis Herpes simpleks Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat
mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi
pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali.
Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau
apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes
genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari
manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula
adrenalis.
16
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi
reaktivitasi dari infeksi yang latent. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks berdiam didalam
jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang
bangkit.
Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang pernah disebut
diatas, yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat terjadi
secara iatrogenik atau sewaktu berpergian ke tempat-tempat yang tinggi letaknya.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark iskemik
dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Didalam nukleus sel saraf
terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes simpleks.
Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis
primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah
progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah.
Kemudian timbul “acute organic brain syndrome’ yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum
koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik dapat timbul sejak
permulaan penyakit. Pada fungsi lumbal ditemukan pleiositosis limpositer dengan eritrosit.
Ada 2 type dari herpes simplex virus (HSV) infections HSV type 1 (HSV-1) menyebabkan cold
sores ( menyerupai jagung atau gandum semacam tetes) atau fever blisters di sekitar mulut. HSV
type 2 (HSV-2) menyebabkan genital herpes. HSV 1 adalah sangat penting menyebabkan
ensefalitis sporadic yang fatal di united states tetapi ini juga sangat jarang kira-kira 2 kasus
terjadi tiap juta orang setiap tahunnya.
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) disebabkan oleh virus herpes simpleks dan merupakan
ensefalitis yang paling sering menimbulkan kematian. Angka kematian 70% bila tidak diobati.
Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada diagnosis dini dan waktu
memulai pengobatan. Virus herpes simpleks tipe I umumnya ditemukan pada anak, sedangkan
tipe II banyak ditemukan pada neonatus.
Asiklovir harus diberikan sesegera mungkin walaupun hanya secara empirik, bila ada dugaan
ensefalitis herpes simpleks berdasarkan penampilan klinis dan gambaran laboratorium. Asiklovir
memiliki toksisitas minimal.
Manifestasi Klinis
17
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Fase prodromal menyerupai
influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis. Empat puluh persen kasus datang
dalam keadaan komat atau semi-koma. Manifestasi klinis juga dapat menyerupai meningitis
aseptik
Manifestasi klinis tidak spesifik, karena itu diperlukan ketrampilan klinis yang tinggi. Umumnya
dipertimbangkan EHS bila dijumpai demam, kejang fokal, dan tanda neurologis seperti
hemiparesis dengan penurunan kesadaran yang progresif.
Pemeriksaan laboratorium
Gambaran daerah tepi tidak spesifik
Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan jumlah sel meningklat (90%) yang berkisar
antara 10-1000 sel/mm3. awalnya sel polimorfonuklear dominan, tetapi kemudian
berubah menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat sampai 50-2000 mg/l dan
glukosa dapat normal atau menurun. Cairan likuor dapat berwarna merah pada 80%
penderita.
EEG memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu periodic lateralizing epileptiform
discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal
Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik,
mirip gambaran disfungsi umum otak
CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis,
kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal
T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua
hari setelah munculnya gejala
PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat.
PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap
positif selama dua minggu atau lebih.
18
Penatalaksanaan
asiklovir 30mg/kgBB IV menjadi drug of choice pada infeksi herpes simplex. Bekerja dengan
menginhibisi aktivitas HSV-1 dan HSV-2. Mortalitas sebelum ditemukannya asiklovir adalah
60-70% dan setelahnya 30%
Prognosis
Ensefalitis herpes simplex yang tidak diterapi akan menjadi progresif dan fatal dalam 7-14 hari.
Pada tahun 1977 peneliti menemukan sekitar 70% mortalitas pada pasien yang tidak diterapi, dan
defisit neurologis berat bagi penderita yang bertahan hidup.
Mortalitas dari penderita yang diterapi adalah 19%. Sequale bergantung pada umur pasien, dan
status neurologis pada saat diagnosis. Pasien yang koma saat diagnosis memiliki prognosis yang
buruk tidak bergantung pada umurnya. Pasien <30 tahun memiliki prognosis yang lebih baik.
Morbiditas penderita yang diterapi dengan asiklovir adalah :
- 38% tanpa defisit neurologis
- 9% defisit sedang
- 53% defisit berat
19
Memori anterograd sering mengalami defisit pasca herpes simpleks ensefalitis. Memori
retrograde, kemampuan berbahasa juga dapat terganggu.1
20
ANALISA KASUS
Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS. Pasien tidak sadar bila
dipanggil, tampak gelisah, dan tidak membuka mata. Sebelumnya pasien tiba-tiba diam dan
kejang saat berebut permainan dengan adiknya. Kejang berlangsung ± 5 menit. Kejang terjadi
seluruh tubuh. Tangan dan kaki pasien kaku, mata melirik ke atas dan gigi mencengkeram.
Setelahnya pasien tidak sadar dan dibawa keluarga ke IGD. 2 minggu sebelumnya pasien terjatuh
saat bermain sepeda dan terbentur pada bagian belakang kepala. Namun pasien tidak pingsan,
tidak muntah dan pusing pasca kejadian. Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada ketiak
yang muncul tiba-tiba. Benjolan berwarna sama dengan kulit dan tidak nyeri. Ibu pasien
membawa pasien ke tukang urut dan benjolan menghilang setelahnya. 2 hari sebelumnya pasien
mengeluhkan nyeri pada gigi atas. Pasien tidak pernah dibawa untuk kontrol ke dokter gigi dan
memiliki higienitas mulut yang kurang baik. Pasien menyangkal demam dan berkeringat pada
malam hari, serta batuk dalam jangka waktu lama. Penurunan berat badan disangkal. Nafsu
makan pasien baik, dan sakit saluran pernafasan dalam 1 bulan terakhir disangkal.
Objektif
Pada pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan kesadaran sopor, frekuensi nadi 90 kali permenit,
nafas 24 kali permenit. Status generalis dalam batas normal.
Status neurologis,
GCS E3M5V2,
reflex fisiologis keempat ekstremitas (++),
reflex patologis brudzinski (+).
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk (-), laseque (-), brudzinski I dan II (-).
Hasil pemeriksaan Laboratorium tgl 3/7/2012
Hemoglobin 11.6
Leukosit 29.97
Trombosit 631
Hematokrit 35
21
PO2 163.6
GDS 218
CT scan kepala tanpa kontras 3/7/2012
Suspek SDH di fossa posterior dextra dan di bagian tengah
LCS 6/7/2012
Glukosa 71 mg/dl
Protein 185 mg/dl
None (+)
Pandi (+)
Jumlah sel 49 /ul
Mono 30%
Poli 70%
Makroskopis warna merah
GDS 84 mg/dl
DISKUSI
Diagnosis ensefalitis pada pasien dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan pada pasien. Pada pasien ini tidak didapatkan
keluhan demam yang mana demam merupakan salah satu keluhan atau gejala pada ensefalitis.
Namun demam merupakan keluhan subyektif bagi pasien karena pasien sendiri tidak mengukur
suhu badan menggunakan thermometer.
Pada pasien ini didapatkan kejang yang berlangsung 5 menit dengan tangan dan kaki
seperti kaku, mata mendelik ke atas dan setelah kejang pasien seperti mengantuk dan tidak sadar.
Ini dapat didiagnosis sebagai ensefalitis karena pasien kejang dengan adanya penurunan
kesadaran setelah kejang. Pada pasien ini juga didapatkan reflex patologis (babinski +), hal ini
menunjukkan adanya penyakit di UMN yaitu ensefalitis.
22
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis menunjang terjadinya
infeksi pada pasien, namun leukosit yang kembali normal dalam 1 hari pasca pemberian terapi
dan demam yang tidak khas membuat ragu penyakit ini disebabkan oleh bakteri, maka untuk
memastikan dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi.
Hasil pemeriksaan LCS didapatkan cairan berwarna merah. glukosa normal (70 mg/dl),
protein meningkat (185 mg/dl), None positif, Pandi positif, jumlah sel meningkat sedikit (49
ul/l), mono lebih rendah (30) berbanding Poli 70. GDS saat lumbal punksi adalah 84 mg/dl.
Hasil LCS dapat didiagnosis kemungkinan ensefalitis et causa herpes simpleks karena
LCS cairan berwarna merah, cairan LCS yang berwarna merah dapat ditemukan pada 80%
pasien dengan HSE, glukosa normal (maka dapat menolak kemungkinan akibat infeksi bakteri),
protein meningkat, None dan Pandi positif, jumlah sel meningkat dan dominasi poli berbanding
mono, dapat menandakan infeksi akut viral.
Prognosis pasien ini secara vital dan fungsionam adalah bonam karena pasien tidak
memiliki gangguan organ dan perkembangan pasien membaik tanpa deficit neurologis pasca
dirawat di rumah sakit, namun secara sanationam ensefalitis akibat herpes simpleks menurut
penelitian memiliki sequelae yang tinggi serta deficit neurologis yang cukup berat. Ensefalitis
herpes simplex yang tidak diterapi akan menjadi progresif dan fatal dalam 7-14 hari. Pada tahun
1977 peneliti menemukan sekitar 70% mortalitas pada pasien yang tidak diterapi, dan defisit
neurologis berat bagi penderita yang bertahan hidup. Mortalitas dari penderita yang diterapi
adalah 19%. Sequale bergantung pada umur pasien, dan status neurologis pada saat diagnosis.
Pasien yang koma saat diagnosis memiliki prognosis yang buruk tidak bergantung pada
umurnya. Pasien <30 tahun memiliki prognosis yang lebih baik. Morbiditas penderita yang
diterapi dengan asiklovir adalah :
- 38% tanpa defisit neurologis
- 9% defisit sedang
- 53% defisit berat
Memori anterograd sering mengalami defisit pasca herpes simpleks ensefalitis. Memori
retrograde, kemampuan berbahasa juga dapat terganggu
23
Daftar Pustaka
1. Encephalitis. Diunduh dari emedicine.net, juli 2012
2. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania, 2006
3. Greenberg David A, Aminoff Michael J. Simon Roger P. Stroke. Clinical Neurology
Lange. Ed 2nd. Appleton & Lange: Connecticut, 2004
4. Ropper A.H, Robert H.B. Adams and victor’s principles of neurology 8th ed. McGraw-
Hill, 2005
5. Mumenthaler M., Mattle H. Fundamentals of neurology 1st ed. Thieme, Stuttgart, 2006
24