case- sdh berulang

30
PRESENTASI KASUS HEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG PADA LANSIA Pembimbing: dr. Julintari Indriyani, Sp.S Oleh: Melissa Mauli Sibarani (030.10.176) KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI 1

Upload: malika-jamal

Post on 17-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

sdh

TRANSCRIPT

Page 1: Case- SDH Berulang

PRESENTASI KASUS

HEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG

PADA LANSIA

Pembimbing:

dr. Julintari Indriyani, Sp.S

Oleh:

Melissa Mauli Sibarani (030.10.176)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAFRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

5 JANUARI – 7 FEBRUARI 2015

1

Page 2: Case- SDH Berulang

LEMBAR PENGESAHAN

HEMATOMA SUBDURAL KRONIS BERULANG

Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode 5 Januari – 7 Februari 2015

Oleh:

1. Nama : Melissa Mauli Sibarani

NIM : 030.10.176

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,

Jakarta, 26 Januari 2015

dr. Julintari Indriyani, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

2

Page 3: Case- SDH Berulang

PENDAHULUAN

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk

akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat

dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas

langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang mengalami efusi ke ruang subdural

akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi

tersebut merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit

kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.1

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang

mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural paling

sering terjadi akibat trauma kapitis dengan insidensi sebanyak 75%, dan lebih sering terjadi pada

laki-laki dibandingkan dengan wanita. Adapun penyebab lain di antaranya trauma pada leher

karena guncangan pada badan, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam

ruangan subdural, gangguan pembekuan darah, keganasan, atau pun perdarahan dari tumor

intracranial. Orang tua lebih rentan mengalami perdarahan dikarenakan pembuluh darah lebih

rapuh.

Hematoma subdural yang terjadi pada lansia menimbulkan kesulitan dalam penegakkan

diagnosis dan terapi. Hematoma subdural akut, di mana gejala klinis muncul dalam waktu

kurang dari 72 jam, biasanya terjadi pada usia muda. Sedangkan hematoma subdural kronis,

biasanya sering terjadi pada usia lanjut dengan insiden tertinggi pada usia 60-70 tahun, di mana

gejala klinis baru muncul lebih dari 20 hari.2 Insiden terjadinya hematoma subdural kronik

diperkirakan 1 dari 100.0000 populasi per tahun dan meningkat menjadi 7 dari 100.000 pada

populasi dengan usia 70-79 tahun.3 Secara signifikan, hematoma subdural kronis adalah

penyebab reversibel dari demensia.4

Angka kejadian hematoma subdural lebih banyak yang sifatnya unilateral (85%)

dibandingkan dengan bilateral. Hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi pada bayi akibat

atrofi otak dan shaken baby syndrome.4

3

Page 4: Case- SDH Berulang

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 75 tahun

Alamat : Jl. Pisangan baru timur No. 11, Matraman.

Agama : Islam

Pekerjaan : -

Status Pernikahan : Duda

Pendidikan Terakhir : -

Tanggal Datang ke RS : 6 Januari 2015

Nomor CM : 957860

II. Anamnesis

(Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan anak pasien di Poli Neurologi pada

hari Selasa, 6 Januari 2015 pukul 12.45)

Keluhan Utama : Nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi dengan hematoma

subdural bilateral pada bulan Mei 2014

Keluhan tambahan : Lemah pada tungkai bawah pasca operasi

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli neurologi RSUD Budhi Asih pada tanggal 6 Januari 2015 untuk kontrol

post operasi kepala di Rumah Sakit Persahabatan dengan diagnosis hematoma subdural bilateral

pada bulan Mei 2014. Keluhan saat ini adalah nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca

operasi. Selain itu keluhan tambahan berupa lemah pada kedua tungkai bawah.

Pertama kali pasien datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan kaku seluruh badan

sejak bulan April 2014

4

Page 5: Case- SDH Berulang

Awalnya pasien terjatuh ke saluran air di depan rumahnya saat sedang berjemur di pagi hari.

Kejadian tersebut terjadi bulan Maret 2014. Pasien terjatuh dan kepala sebelah kiri terbentur

aspal. Tidak ada penurunan kesadaran pada saat itu. Pasien segera dilarikan ke puskesmas

terdekat. Di puskesmas tersebut, pasien hanya dijahit pada bagian luka di kepalanya. Lalu pasien

disuruh pulang, tanpa diperiksa foto kepala. Berselang beberapa minggu setelah itu, pasien

kembali jatuh untuk kedua kalinya di kamar mandi. Tidak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi

karena saat itu pasien sendirian dan baru diketahui saat pasien jatuh terduduk di lantai. Tidak

ditemukan adanya jejas/ luka di kepala akibat jatuh yang kedua kali tersebut. Tidak ada keluhan

pada saat itu seperti penurunan kesadaran, muntah, maupun gangguan gerak. Dua bulan

kemudian, yaitu bulan Mei 2014, pasien mulai mengeluhkan nyeri berdenyut pada seluruh

kepala, lemas pada seluruh bagian tubuh, terutama kedua tungkai bawah. Pasien mulai sulit

diajak berkomunikasi (sulit nyambung) dan sering menjawab pertanyaan dengan mengulang

kalimat/kata terakhir dari sipenanya. Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan dan

dilakukan foto kepala. Ditemukan adanya gambaran hematoma subdural bilateral di daerah

frontoparietal. Lalu diputuskan untuk dilakukan operasi di rumah sakit tersebut. Keadaan klinis

sesudah operasi membaik, nyeri kepala berkurang, tidak ada mual maupun muntah. Sesudah

operasi hingga saat ini, pasien hanya dibaringkan di tempat tidur dan mobilisasi menggunakan

kursi roda. Pasien sering mengompol dan BAB di tempat tidur, sehingga pasien menggunakan

pampers. Kemudian pada bulan November 2014, pasien mulai mengeluhkan kaki kiri sulit

diluruskan dan lutut kiri terasa kaku.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien diketahui menderita darah tinggi dan penyakit jantung, yang baru diketahui sejak pasien

memeriksakan dirinya pada bulan Mei 2014

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus per hari sejak usia muda (bekerja). Pasien tidak

suka minum kopi dan tidak suka makan-makanan yang berlemak.

5

Page 6: Case- SDH Berulang

III. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 160/90 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Suhu : 36,3 oC

Pernafasaan : 18 x/menit

Kepala

Ekspresi wajah : Tampak wajah asimetris

Rambut : Hitam keputihan

Bentuk : Normocephali

Mata

Konjungtiva : anemis (-/-)

Sklera : ikterik (-/-)

Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia

Pupil : bulat isokor 3mm/3mm

Telinga

Tidak dilakukan

Mulut

6

Page 7: Case- SDH Berulang

Bibir : Sianosis (-), luka (-), simetris.

Leher

Trakhea terletak ditengah

Tidak teraba benjolan/KGB yang membesar

Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar

Thoraks

Bentuk : Simetris

Paru – Paru

Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi Kiri Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Kanan Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Vocal fremitus dan pergerakan

napas simetris

Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi Kiri - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

Kanan - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

7

Page 8: Case- SDH Berulang

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Tidak dilakukan

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).

Abdomen

Inspeksi : Datar, simetris, smiling umbilicus (-)

Palpasi : Dinding perut supel, tidak ada nyeri tekan pada epigastrium.

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : Bising usus (+) normal

STATUS NEUROLOGIS

A. Keadaan Umum : Compos mentis

B. Gerakan Abnormal : -

C. Leher : sikap baik, gerak terbatas

D. Tanda Rangsang Meningeal

Tidak dilakukan

E. Nervus Kranialis

N.I ( Olfaktorius)

Subjektif Tidak Dilakukan

8

Page 9: Case- SDH Berulang

N. II ( Optikus )

Tajam penglihatan (visus

bedside)

Normal Normal

Lapang penglihatan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Melihat warna Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Ukuran Isokor, D 3mm Isokor, D 3mm

Fundus Okuli Tidak dilakukan

N.III, IV, VI ( Okulomotorik, Trochlearis, Abduscen )

Nistagmus - -

Pergerakan bola mata Baik ke

6 arah

Baik ke

6 arah

Kedudukan bola mata Ortofori

a

Ortoforia

Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung + +

Diplopia - -

N.V (Trigeminus)

Membuka mulut + +

Menggerakan Rahang + +

Oftalmikus + +

Maxillaris + +

9

Page 10: Case- SDH Berulang

Mandibularis + +

N. VII ( Fasialis )

Perasaan lidah ( 2/3 anterior ) Tidak Dilakukan

Motorik Oksipitofrontalis Baik Baik

Motorik orbikularis okuli Baik Baik

Motorik orbikularis oris Paresis Baik

N.VIII ( Vestibulokoklearis )

Tes pendengaran Tidak dilakukan

Tes keseimbangan Tidak dilakukan

N. IX,X ( Vagus )

Perasaan Lidah ( 1/3 belakang ) Tidak Dilakukan

Refleks Menelan Baik

Refleks Muntah Tidak Dilakukan

N.XI (Assesorius)

Mengangkat bahu Baik

Menoleh Baik

10

Page 11: Case- SDH Berulang

N.XII ( Hipoglosus )

Pergerakan Lidah Baik

Disatria Tidak

F. Sistem Motorik Tubuh

Kanan Kiri

Ekstremitas Atas

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Spastik Normal

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot 4433 4444

Kanan Kiri

Ekstremitas Bawah

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Spastik Spastik

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot 4433 4444

Pada pasien ini ditemukan adanya hemiparesis dupleks

11

Page 12: Case- SDH Berulang

G. Refleks

H. Gerakan

Involunter:

Tidak ada

I. Tes Sensorik

(sentuhan )

sulit dinilai

J. Fungsi

Autonom

Miksi

: baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

K. Keseimbangan dan koordinasi

12

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Bisep + +

Trisep + +

Patela + +

Achiles + +

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks Patologis

Babinski

Chaddok

-

-

-

-

Oppenheim

Gordon

-

-

-

-

Klonus - -

Hoffman Tromer - -

Page 13: Case- SDH Berulang

Hasil

Tes disdiadokinesis Tidak dilakukan

Tes tunjuk hidung dan jari Tidak dilakukan

Tes tunjuk jari kanan dan kiri Tidak dilakukan

Tes romberg Tidak dilakukan

Tes tandem gait Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar HDL direk dan kadar ureum. Sedangkan pemeriksaan lain dalam batas normal.

Foto Thoraks AP tanggal 20 Mei 2014

13

Page 14: Case- SDH Berulang

Kesan : LVH & Elongatio et atherosclerosis aortae. Pulmo, pleura, sinus, dan

diafragma dalam batas normal

Hasil CT-Scan non kontras (20 Mei 2014) Pre operasi

14

Page 15: Case- SDH Berulang

Kesan: Sesuai hematoma kronik pada subdural frontoparietal bilateral disertai

lesi iskemik basal ganglia kedua sisi dan korona radiata kiri

IV. Resume

Seorang pasien laki-laki usia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih untuk

kontrol post operasi kepala atas indikasi hematoma subdural kronis frontoparietal

pada bulan Mei 2014. Keluhan saat ini masih terdapat nyeri kepala dan sulit

berkomunikasi, selain itu terdapat keluhan lemas terutama pada kedua tungkai bawah.

Pasien menjalani operasi kepala di RS Persahabatan karena sakit kepala berkelanjutan

setelah jatuh pada bulan Maret 2014 sebanyak 2 kali yang hanya berselang beberapa

15

Page 16: Case- SDH Berulang

minggu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesan paresis n. VII dekstra, hemiparesis

dupleks, spastik pada tangan kanan, kaki kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang

berupa CT Scan yang dilakukan sebelum operasi menunjukkan adanya hematoma

subdural bilateral frontoparietal. Saat pasien dianamnesis, pasien sudah kontrol ketiga

kalinya di poli saraf RSUD Budhi Asih. Kontrol pertama dilakukan tanggal 24

Desember 2014 dan diberikan obat anti hipertensi, obat neuro protector, vitamin B,

dan obat penghilang nyeri. Terapi tersebut dilanjutkan pada kontrol kedua pada

tanggal 25 Desember 2014, dan kontrol terakhir pada tanggal 6 Januari 2015, keluhan

nyeri kepala pasien sudah berkurang, sehingga pasien hanya diberikan obat anti

hipertensi dan obat neuro protector saja.

V. Diagnosis

Diagnosis kerja :

Diagnosis klinis : Cephalgia, Hipertensi, Hemiparesis dekstra, paresis n.VII

dektra

Diagnosis topis : Subdural hematoma

Diagnosis etiologi : Trauma Kapitis

Diagnosis patologi : Hemoragik

VI. Penatalaksanaan

Terapi medika mentosa :

Amlodipin 1 X 10 mg

Piracetam 2 X 1200

Mecobalamine 2 X 500 mg

Natrium diklofenac 25 mg + Diazepam 1 mg 2X1

VII. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

16

Page 17: Case- SDH Berulang

ANALISA KASUS

Seorang pasien laki-laki berusia 75 tahun datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih setelah

menjalani operasi kepala dengan diagnosis subdural hematoma bilateral. Pasien datang dengan

keluhan nyeri kepala dan sulit berkomunikasi pasca operasi. Selain itu pasien juga merasakan

kelemahan pada kedua tungkai bawah serta kaki sebelah kiri kaku dan sulit diluruskan.

17

Page 18: Case- SDH Berulang

Hematoma subdural yang dialami pasien merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.

Insidensi terjadinya sebesar 1/ 100.000 kasus per tahun dan meningkat menjadi 7/100.000 kasus

per tahun pada usia di atas 70 tahun. Prevalensi terjadinya lebih banyak pada laki-laki dibanding

pada perempuan terkait dengan resiko trauma.5

Penyebab tersering terjadinya subdural hematoma adalah trauma (75%) dan sisanya

merupakan perdarahan spontan (25%) yang biasanya terkait dengan konsumsi obat-obat

antikoagulan dan antiplatelet.6 Pada kasus ini, penyebab terjadinya subdural hematoma adalah

karena trauma kapitis. Seperti disebutkan sebelumnya, orangtua dengan usia >70 tahun lebih

rentan mengalami hematoma subdural dikarenakan pembuluh darahnya lebih rapuh. Perdarahan

yang terjadi pada hematoma subdural terletak antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan

dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di

permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena

otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam

keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa

vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater.7

Pada pasien ini terjadi trauma berulang, yang pertama pasien terjatuh dengan kepala kiri

terbentur aspal, lalu beberapa minggu kemudian, pasien terjatuh kembali di kamar mandi, namun

tidak diketahui dengan jelas kronologisnya. Sehingga subdural hematoma yang terjadi pada

pasien ini kemungkinan besar adalah subdural hematoma berulang.

Mekanisme trauma dapat berupa rudapaksa kepala yang dapat menyebabkan cedera pada

otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan

densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang

tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara

otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater.

Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat

pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada

rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena

kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas

jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan

jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang

berlawanan (countre coup). Diduga countre coup  terjadi karena gelombang tekanan dari sisi

18

Page 19: Case- SDH Berulang

benturan (sisicoup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi

countre coup  ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul

kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada

setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan

otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam

tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis,

frontalis dan oksipitalis.8-9

Pada pasien ini, riwayat trauma kepala pertama yang kemungkinan menjadi penyebab

terjadinya hematoma subdural ini, sehingga kemungkinan hematoma subdural bilateral pun tidak

dapat disingkirkan.

Subdural hematoma yang terjadi pada pasien ini digolongkan ke dalam subdural hematoma

kronik, karena muncul gejalanya lebih dari 14 hari. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa

muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma

yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural

apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Hal tersebut

diakibatkan karena pada penderita usia lanjut, otak telah mengalami atropi. Hal ini menyebabkan

penyusutan massa parenkim otak dan jarak antara otak dan selaput pembungkus otak menjadi

renggang. Sehingga goncangan kecil mampu menyebabkan robekan bridging vein dan terjadi

perdarahan yang berlangsung perlahan.

Timbulnya gejala pada pasien dengan subdural hematoma kronik umumnya tertunda

beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama

merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat

dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi

oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke

dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran

hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau

pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.10

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia

lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya

ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan

MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.11

19

Page 20: Case- SDH Berulang

Adapun manifestasi klinis yang muncul pada pasien tergantung letak dari kerusakan bagian

otak tertentu. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks

serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera

menentukan jenis kelainan yang terjadi. Adapun gejala yang muncul pada pasien ini di antara

lain: Nyeri kepala, timbul akibat adanya proses desak ruang oleh hematom yang terbentuk.

Lemas pada keempat ekstremitas, terutama kedua tungkai bawah akibat adanya penekanan pada

korteks serebri area motorik yaitu lobus presentralis. Lemas dijumpai pada keempat ekstremitas

sesuai dengan penekanan yang dijumpai baik dari sisi kiri maupun kanan dari hematoma

subdural. Selain itu pada hasil CT Scan juga didapatkan lesi iskemik pada kedua basal ganglia

dan korona radiata kiri. Di mana lesi pada korteks serebri menimbulkan gejala hemiparesis

kontralateral. Seperti pada pasien ini, didapatkan sisi kanan lebih lemah dan lebih spastik. Hal

tersebut menandakan gangguan yang terjadi bersifat lebih kronis dibandingkan sisi yang lain.

Dengan demikian, paresis yang terjadi pada pasien ini adalah hemiparesis dupleks, di mana

kekuatan otot antara kiri dan kanan berbeda dan terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan. Di

samping itu, semenjak operasi, pasien memang hanya dibaringkan di tempat tidur, dan mobilisasi

menggunakan kursi roda. Pasien jarang dan malas berlatih sendiri. Hal itu juga yang dapat

menyebabkan sendi pasien ini mulai kaku dan sulit digerakkan. Sedangkan kehilangan

kemampuan berkomunikasi diakibatkan oleh penekanan pada lobus frontalis kiri di mana pada

sisi kiri hemisfer terdapat area broca dan wernicke yang merupakan pusat bicara seseorang.

Dari gambar CT Scan pasien ini pun tampak air fluid level yang lebih dominan di daerah

kiri dibandingkan dengan sisi kanan. Air fluid level menggambarkan adanya perbedaan densitas

pada lesi, yaitu gambaran hiperdens dan hipodens, menunjukkan gambaran hematoma subdural

yang kronis. Gambaran CT Scan pada pasien dengan subdural kronis menggambarkan lesi

hipodens. Namun pada pasien ini terdapat gambaran hipodens dan hiperdens. Hal tersebut bisa

mengindikasikan adanya hematoma subdural yang berulang ataupun dapat pula menunjukkan

ada sebagian hematoma yang sudah diserap/ mengalami reorganisasi.12

Pada perdarahan subdural kronis , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama

kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan

dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi

hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan

20

Page 21: Case- SDH Berulang

arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.

Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.

Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan

volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang

menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari

ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor

serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50

tahun.

Pada pasien ini prognosis terhadap penyakitnya adalah dubia ad bonam dikarenakan

tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena

sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi

parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai

sekitar 50 %.13

Pada pasien ini disarankan untuk dilakukan CT Scan ulang untuk melihat progresivitas

proses absorpsi yang sudah berlangsung. SDH kronis dapat terus berkembang karena terjadinya

perdarahan ulang (rebleeding) dan tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis

sebagai akibat dari darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang

tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan SDH.

Hal-hal ini akan menyebabkan SDH tersebut terus berkembang. Kadang-kadang kompensasi

otak yang atrofi cukup baik sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala. Oleh karena itu,

meskipun gejala klinis pasien ini membaik, ataupun nyeri kepala berkurang sesudah operasi,

tidak menutup kemungkinan terjadinya rebleeding SDH atau SDH berulang.14

DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrodiningrat, A. G. Memahami Fakta Fakta pada Perdarahan Subdural   Akut.

Majalah Kedokteran Nusantara. FK USU: Medan. 2006; 39 (3):297- 306.

2. Traynelis VC. Chronic Subdural Hematoma in the Elderly. Clin Geriatr Med. 1991;7

(3): 583-93

21

Page 22: Case- SDH Berulang

3. Chen JCT, Levy ML. Causes, Epidemiology, and Risk Factors of Chronic Subdural

Hematoma. Neuro Surg Clin N Am 2000; 11(3): 399-406.

4. Pary R, Tobias CR, Lipman S. Dementia: What to do. South Med J. 1990; 83 (10):

1182-9

5. Ernestus RI, Beldzinski P, Lanfermann H, Klug N. Chronic Subdural Hematoma:

Surgical Treatment and Outcome in 104 patiens. Surg Neurol 1997; 48(3): 220-5

6. Sambasivan M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience with 2300

cases. Surg Neurol 1997; 47(5): 418-22

7. Biros MH, Heegaard WG. Head injury. In: Marx JA, ed. Rosen’s Emergency

Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier;

2009:chap 38.

8. Tom S, Koyfman A, Radwine Z, Krause R, Talavera F.Subdural Hematoma in

Emergency Medicine, Medscape Reference,2011

9. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press. 2005

10. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical

Care. Guidelines for the management of severe head injury. J

Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.[Medline].

11. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J. Surgical management of acute subdural

hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24; discussion Si-iv.

12. Cameron MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases. J Neurol

Neurosurg Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9.[Medline]

13. Indonesian Neurological Association. Advanced Neurology Life Support. 2005.

14. Iskandar J. Cedera Kepala: Memahami aspek-aspek penting dalam pengelolaan

penderita. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. 2004

22