case onko fikry1
DESCRIPTION
ghcuyguovuoTRANSCRIPT
Striktur Urethra Pars Posterior
1. LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi
Nama : Tn SB
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin :Laki laki
Status : Belum Menikah
Bangsa : Indonesia
MRS : 15 September 2014
No. RM : 687239
1.2 Autoanamnesis
Keluhan Utama:
Buang air kecil melalui kateter di dinding perut bagian bawah
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Dialami sejak 6 tahun yang lalu setelah menjalani operasi di Rumah sakit Queen
Elizabeth Malaysia akibat kecelakaan kerja. Pasien ditimpa kayu dengan diameter dan
panjang seperti tiang tembok dan mengenai pinggang pasien. Saat ini buang air kecil
lancar melalui kateter suprapubik. Pasien mengeluh buang air kecil kadang berwarna
keruh. Pasien tiak pernah kecing berpasir. Semenjak kecelakaan kerja, pasien tidak
pernah lagi buang air kecil melalui ujung penis. Saat ini pasien tidak mengeluhkan
nyeri pinggang dan tidak pernah mengeluh demam. Setiap 2 minggu pasien
mengganti kateter suprapubik
1
1.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 8 September 2014)
Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 84x/menit
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,8 ºC
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Keadaan Gizi : Cukup
Regio Kepala
Mata : konjungtiva kedua mata tidak anemis, sklera tidak ikterus.
Hidung : tidak tampak kelainan
Bibir : tidak tampak sianosis
Regio Leher
Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna sama dengan daerah kulit sekitar
Palpasi : tidak teraba massa tumor, nyeri tekan (-)
Regio Thoraks
Inspeksi :tampak payudara kiri dan kanan tidak simetris
Palpasi :stem fremitus paru kanan sama dengan kiri
Perkusi :sonor pada kedua hemithoraks, pekak hemithoraks kanan setinggi ICS
2
Auskultasi :suara napas vesikuler pada kedua hemithoraks, menurun pada
hemithoraks kiri setinggi ICS V.
Regio Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : massa tumor (-) , nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Regio Costovertebra Dextra:
Inspeksi: Alignment tulang baik, warna kulit sama seperti sekitar, tidak ada edema,
tidak ada hematom
Palpasi: Ballotement ginjal tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,
Perkusi: Nyeri ketok tidak ada,
Regio Costovertebra Dextra:
Inspeksi: Alignment tulang baik, warna kulit sama seperti sekitar, tidak ada edema,
tidak ada hematom
Palpasi: Ballotement ginjal tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,
Perkusi: Nyeri ketok tidak ada,
Regio Subrapubik :
Inspeksi: Tampak terpasang kateter foley suprapubik no 20F, Buli-buli kesan tudak
bulging. Tampak luka pekas operai ukuran 3 cm. Warna kulit sama
dengan sekitar
Palpasi : Nyeri tekan ada, tidak teraba massa tumor.
Perkusi: Nyeri ketok tidak ada
Regio genitalia Externa :
3
- Penis
Inspeksi: Tampak penis telah disirkumsisi, ostium urethra Externa tampak berada di
ujung penis, tidak ada hematom, warna kulit lebih gelap dari sekitarnya
Palpasi: tidak ada massa tumor, nyeri tekan tiddak ada
- Scrotum
Inspeksi : Warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak tampak hematom
Palpasi : Teraba 2 buah penis di dalam kantong scrotum ukuran sama besar, massa
tumor tidak ada
- Perineum
Inspeksi: Warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak tampak edema, tidak tampak
hematom
Palpasi: Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada
- Rectal Toucher
Spingter ani mencekik, mukosa licin, ampulla berisi feses, tidak teraba
penonjolan prostat ke arah rectum. Nyeri ada.
Handscoen : Feses ada, darah tidak ada, lendir tidak ada
• Ekstremitas
Inspeksi : edema pretibial (-/-)
Palpasi : akral hangat
Foto Klinis:
4
Diagnosis kerja: Striktur Urethra Post cystostomi, Vesicolithiasis
Pemeriksaan Penunjang
HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
WBC 12.32 4.00 – 10.0 [103/uL]
RBC 3.23 4.00 – 6.00 [106/uL]
HGB 8.7 12.0 – 16.0 [g/dL]
HCT 28.3 37.0 – 48.0 [%]
PLT 394 150 – 400 [103/uL]
BT 3’00 1-7 Menit
CT 8’00 4-10 Menit
PT 12.4 control 10,0 10-14 Detik
APTT 26.9 control 22,2 22-30 Detik
GDS 103 140 mg/dl
Ur 37 10-50 Mg/dl
Cr 0,90 L(<1,3) P(<1,1) Mg/dl
SGOT 25 <38 U/L
SGPT 11 <41 U/L
Natrium 146 136-145 mmol/l
Kalium 4.3 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 109 97-111 mmol/l
Foto thorax
5
Corakan bronkhovaskuler dalam batas normal
Tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua lapangan paru
Cor CTI dalam batas normal , aorta normal
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
Kesan :Tidak ada kelainan radiologik pada foto thorax ini
USG Abdomen
Hepar: tidak membesar, permukaan reguler, ujung tajam, echo parenkim dalam batas
normal, tidak tampak sol, sistem vaskuler dan bilier tidak dilatasi
Gb: dinding tidak menebal, mukosa reguler tidak nampak echo batu maupun mass
Lien: tidak membesar echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak sol
Pankreas : bentuk dan ukuran dalam batas normal, tidak tampak sol, duktus
pankreatikus tidak dilatasi
Kedua ginjal : ukuran dan kontur dalam batas normal. kontur dan echo cortex/sinus
dalam batas normal. Tidak tampak dilatasi pcs. Tidak tampak echo batu maupun sol.
Vesica urinaria : mukosa reguler dan menebal, tampak echo batu di dalamnya dengan
ukuran 2,91cm. tampak echo balon kateter didalamnya
Tidak tampak pembesaran pada aorta abdominalis
Kesan : -Vesicolithiasis
-Cystitis
6
Foto Pelvis /Panggul AP
Alignment pelvis baik, tidak tampak dislokasi
Tampak fraktur lama pada ramus inferior os pubis bilateral tampak pula fusi pada os
simphisis pubis
Tampak bayangan radioopak berbatas tegas pada rongga pelvis
Mineralisasi tulang baik
Kedua sacroiliaca joint baik
Jaringan lunak sekitarnya baik
Kesan : - Vesicholith
Old Fracture ramus inferior os pubis bilateral dan fusi pada os simphisis pubis
Urethtrocystography
7
Kontras iodium 20cc dimasukkan melalui ostium urethra external
Dengan fluoroscopy tampak kontras memasuki urethra pars anterior dan terhambat
pada urethra pars posterior. Tidak tampak kontras memasuki buli buli
Kontras Iodium sebanyak 70cc dimasukkan melalui kateter yang terpasang pada
cystostomy
Dengan fluoroscopy tampak kontras memasuki buli-buli tidak tampak peduh namun
mengalami refluks ke ureter hingga ke ginjal dextra dengan gambaran pelvicocaliceal
system tidak melebar
Mukosa filling effect dan additional shadaow paa buli-buli tidak dapat dinilai
Kesan: - Striktur urethtra pars posterior
- Vesikoureteral Reflux dextra grade II-III
- Vesicolith
Diagnosa Akhir: Striktur Urethra Pars Posterior
TINJAUAN PUSTAKA
8
a. Pendahuluan
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena adanya
perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra
wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau
terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko lain yang diketahui berperan
dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah terpapar penyakit menular seksual,
ras orang Afrika, berusia diatas 55 tahun, dan tinggal di daerah perkotaan.4 Striktur dapat
terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang paling sering pada orang dewasa
adalah di bagian pars bulbosa-membranasea, sementara pada pars prostatika lebih sering
mengenai anak-anak.5
b. Etiologi
Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman
gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma yang dapat
menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangannya (straddle
injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan bedah
selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur sitoskopi.1,3 Striktur
kongenital sangat jarang terjadi. Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak
adekuat antara ureta anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun
peradangan.6 6
c. Patomekanisme
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan
fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh
ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga
menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya hambatan, aliran urine
mencari jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra.
Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan
menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa membentuk fistula
uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko terbentuknya
batu buli-buli juga meningkat, timbul gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal. Derajat
penyempitan lumen uretra dibagi menjadi 3 tingkatan. Termasuk tingkat ringan
9
jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen, tingkat sedang jika
terdapat oklusi mencapai ½ lumen uretra, dan tingkat berat oklusi lebih dari ½
diameter lumen uretra.
d. Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab
retensi urine tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus
mengejan untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala
tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urine secara
menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus
ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan
perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi,
perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar nanah.1,5
Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi kita perhatikan
meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di sekitar penis, skrotum
perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut sepanjang
uretra anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk mengeluarkan
nanah di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir diagnosis lain
seperti pembesaran prostat.1
Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara
obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing dibagi
dengan lama proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika
kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi. Namun
pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding
Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis.
Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur. Penggunaan
ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan
parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang
akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan panjang
striktur secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi. Pemeriksaan yang
lebih maju adalah dengan memakai uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera
10
fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat
penyebab, letak, dan karakter striktur secara langsung.1,3,7 Pencitraan menggunakan
magneting resonance imaging bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur
secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini
belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang digunakan.
Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap rutin dikerjakan untuk
melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan diagnosis lain
e. PENANGANAN STRIKTUR URETRA
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya
sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,
panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Contohnya, jika pasien datang dengan
retensi urine akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine
dari buli-buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli
dan dinding perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk
mengeluarkan nanah dan berikan antibiotika.1 Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa
dimana terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis,
maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di daerah
tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih tetap dilakukan,
walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan kekambuhan. Hasil sebuah studi
mengindikasikan 80% striktur yang ditangani dengan internal uretrostomi mengalami
kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien
yang sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan untuk
terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan obstruksi
sekunder.6,7 Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Dapat dilakukan pada pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan.
Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau busi logam
dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit.1
Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena itu mengindikasikan
terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan striktur baru yang
lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan terapi menjadi rendah
dan sering terjadi kekambuhan.6
11
2. Uretrotomi interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan
tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi
menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur
total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual
menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche.1 Tujuan uretrotomi
interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di tempat
yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum
kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil.
Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka
striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini
cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%.6
Selain timbulnya striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah
pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan,
sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.4
3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur.
Stent biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis
stent yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok
untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya
digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun
stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang
sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury dengan
spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80%
dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah
perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.6
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun
masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik
bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan
sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif minimal dan lebih efisien daripada
uretrotomi.2 Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan
12
jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis dan
substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur
kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari
jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa
dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok
jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin,
atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau
jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah
pasien untuk dapat bertahan.
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat
keparahan striktur Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan
inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien
dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa
digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder
epithelial graft, dan rectal mucosal graft. Dari semua graft diatas yang paling
disukai adalah buccal mucosal graft atau jaringan mukosa bibir, karena
jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadp infeksi, dan
banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga
cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi.2 Angka kesuksesan sangat
tinggi mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan
chordee bisa terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.6 5. Prosedur
rekonstruksi multiple Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran
uretra di perineum. Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai
panjang uretra, bisa karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik
substitusi tidak bisa dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif
sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan
operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih
banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien
kontra indikasi terhadap teknik lain.6
Karena rentannya kekambuhan dan komplikasi pasca operasi, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan para ahli medis agar operasi
berjalan baik. Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang striktur
13
dan derajat fibrosis yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti
yang disebutkan di atas. Analisis urine dan kultur harus dikerjakan
sebelum operasi, karena urine harus steril saat kita melakukan intervensi,
untuk mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus ditanyakan.
Saat operasi, menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong
jaringan konektif antara sfingter dan uretra berguna dalam mencegah
kontinesia dan gangguan ereksi pasca operasi. Eksisi seluruh jaringan
parut, mencegah mobilisasi uretra yang berlebih, dan drainase urine
sebelum operasi adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan angka kesuksesan terapi.5 Antibiotik diberikan pada pasien
yang dicurigai mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan
sesuai dengan hasil tes kepekaan. Jika hasil kepekaan steril, maka dapat
diberikan antibiotik profilaksis seperti ampicillin atau cephalosporin.
Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-operatif pasien striktur
uretra dapat dilihat pada bagan berikut.
14
Kepala
Mata : konjungtiva kedua mata tidak anemis, sklera tidak ikterus.
Hidung : tidak tampak kelainan
Bibir : tidak tampak sianosis
Leher
Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna sama dengan daerah kulit sekitar
Palpasi : tidak teraba massa tumor, nyeri tekan (-)
Thoraks
Inspeksi :tampak payudara kiri dan kanan tidak simetris
Palpasi :stem fremitus paru kanan sama dengan kiri
Perkusi :sonor pada kedua hemithoraks, pekak hemithoraks kanan setinggi ICS
Auskultasi :suara napas vesikuler pada kedua hemithoraks, menurun pada
hemithoraks kiri setinggi ICS V.
Regio Mamma sinistra
Inspeksi : tidak tampak benjolan, warna kulit sama dengan sekitar, tidak
tampak ulkus, tidak tampak gambaran peau d’orange di sekitar
papil, retraksi (-).
Palpasi : tidak teraba massa, permukaan rata, tidak ada nyeri tekan, ,
discharge (-).
Regio Mamma Dextra
Inspeksi : tampak tumor pada daerah kuadran tengah payudara sebesar
bola tennis, dengan permukaan berbenjol-benjol, berbatas tegas,
warna kehitaman, peau de orange (-), dimpling (+), nodul satelit
(+), nipple discharge (-), retraksi papil (+) dan terdapat ulkus di
bagian tengahnya, dasar kotor (+), perdarahan aktif (-), pus (+),
jaringan nekrotik (+), bentuk bulat, tepi ireguler berwarna
kemerahan, indurasi (+).
18
Palpasi : teraba tumor dengan ukuran 8 x 6 x 3 cm pada kuadran
sentralis, permukaan berbenjol-benjol, terfiksir (+), nyeri tekan
(-), konsistensi padat keras, batas jelas, terdapat ulkus
ditengahnya. Ulkus dengan diameter 4 x 3 cm dengan
kedalaman 2 cm.
Regio Axilla Dextra
Inspeksi : tampak massa tumor sebesar bola pingpong , warna kulit sama
dengan sekitar
Palpasi : teraba massa tumor ukuran 3 x 2 x 2 cm, konsistensi padat
keras, terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan (-), batas jelas.
Regio Axilla Sinistra
Inspeksi : tidak tampak benjolan
Palpasi : tidak teraba massa
Regio Supraklavikula Dextra
Inspeksi : tidak tampak benjolan
Palpasi : tidak teraba massa
Regio Supraklavikula Sinistra
Inspeksi : tidak tampak benjolan
Palpasi : tidak teraba massa
Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
19
Palpasi : massa tumor (-) , nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
• Ekstremitas
Inspeksi : edema pretibial (-/-)
Palpasi : akral hangat
Foto Klinis
1.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (17-09-2014)
HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
WBC 12.32 4.00 – 10.0 [103/uL]
RBC 3.23 4.00 – 6.00 [106/uL]
HGB 8.7 12.0 – 16.0 [g/dL]
HCT 28.3 37.0 – 48.0 [%]
PLT 394 150 – 400 [103/uL]
BT 3’00 1-7 Menit 20
CT 8’00 4-10 Menit
PT 12.4 control 10,0 10-14 Detik
APTT 26.9 control 22,2 22-30 Detik
GDS 103 140 mg/dl
Ur 37 10-50 Mg/dl
Cr 0,90 L(<1,3) P(<1,1) Mg/dl
SGOT 25 <38 U/L
SGPT 11 <41 U/L
Natrium 146 136-145 mmol/l
Kalium 4.3 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 109 97-111 mmol/l
Hasil FNA (27/6/2014) :
Sediaan apusan terdiri dari kelompok-kelompok sel epitel yang cukup seluler dengan
inti sedikit atipik, pleomorfik, kromatin inti sebagian tampak kasar, kohesi pada
umumnya masih baik tetap struktur mioepitel sudah tidak tampak. Dengan latar
belakang eritrosit.
Kesan : Adenocarcinoma mammae
CT-Scan Thoracx
21
Massa isodens batas tegas ireguler, ukuran 6.9 x 5.5 cm) pada extrothoracal anterior
yang mendekstruksi tulang sekitar tapi tidak tampak menginfiltrasi intrathoracal
Mutiple lesi noduler yang tersebar pada kedua lapangan paru
Tampak pembesaran KGB pada parahilar kiri dan subcarina kanan
Cor dan pembuluh darah besar dalam batas normal
Kalsifikasi pada aorta decenden
Trachea dan main bronchus dalam batas normal
Hepar, GB, Lien dan pancreas dalam batas normal, tidak tampak metastasis
Kesan
Massa extrathoracal yang mendekstruksi tulang sekitar disertai dengan tumor
metastasis ke paru
Limfadenopati pada para hilar kiri dan subcarina kanan
1.5 Resume
22
Seorang wanita, 56 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan utam luka pada
payudara kanan. Dialami sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya hanya
berupa ditemukan secara tidak sengaja sebesar kelereng sejak 2 tahun yang lalu, dengan
cepat membesar dan akhirnya dalam 3 bulan terakhir membentuk luka. Luka disertai rasa
nyeri dan berbau. Berat badan dirasakan menurun dalam 5 bulan terakhir sebanyak
kurang lebih 8 kg. Nafsu makan dirasakan menurun.
Riwayat menarche tidak diketahui. Riwayat haid teratur. Saat ini pasien telah
menopause sejak usia 50 tahun. Menikah pada usia 20 tahun, tidak memiliki anak. Ada
keluarga yang menderita kanker payudara yaitu kakak kandung pasien.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, gizi cukup, compos mentis.
Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 84 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 36,8 C .
Status lokalis regio mamma dextra pada inspeksi tampak tumor pada daerah tengah payudara
sebesar bola tennis, dengan permukaan berbenjol-benjol, berbatas tegas, warna kehitaman,
dimpling (+), nodul satelit (+), retraksi papil (+) dan terdapat ulkus di bagian tengahnya,
dasar kotor (+), pus (+), jaringan nekrotik (+), bentuk bulat, tepi ireguler dengan warna
kemerahan, indurasi (+), pada palpasi teraba tumor dengan ukuran 8 x 6 x 3 cm pada kuadran
sentralis, permukaan berbenjol-benjol, terfiksir (+),konsistensi padat keras, batas jelas,
terdapat ulkus ditengahnya. Ulkus dengan diameter 4 x 3 cm dengan kedalaman 2 cm. Pada
inspeksi regio Axilla Dextra tampak massa tumor sebesar bola pingpong , warna kulit sama
dengan sekitar. Pada palpasi, teraba massa tumor ukuran 3 x 2 x 2 cm, konsistensi padat
keras, terfiksir, permukaan rata, nyeri tekan (-), batas jelas.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan anemia, dari hasil
pemeriksaan sitologi fine needle aspiration di dapatkan kesan adenocarcinoma mammae.
Hasil patologi anatomi dengan biopsy insisi di dapatkan kesan invasive ductal carcinoma
mammae. Untuk pemeriksaan radiologi pada foto thorax X-ray di dapatkan kesan tumor
metastasis paru kemudian dilakukan pemeriksaan MSCT Thorax dengan kesan Massa
extrathoracal yang mendekstruksi tulang sekitar disertai dengan tumor metastasis ke paru
dan limfadenopati pada para hilar kiri dan subcarina kanan.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan
darah rutin, kimia darah, pemeriksaan sitologi FNA serta pemeriksaan foto thorax dan
23
MSCT Scan Thorax maka pasien ini di diagnosis dengan Ulcus Tumor Mammae Dextra,
cT4cN2M1 (metastase paru) , Karnofsky 70%.
1.6 Diagnosis Kerja
- Ulcus Tumor Mammae Dekstra Suspek Malignant
1.7 Stadium
- CT4cN2aM1 (metastase paru)
- Stadium IV
1.8 Status Penampilan
- Karnofsky 70%
1.9 Rencana Terapi
Biopsi Insisi
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma mamma adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel parenkim payudara.
Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas berasal
dari parenchyma.1
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan dari WHO, tahun 2004 diperkirakan 519.000 wanita meninggal
karena kanker payudara dan dari angka itu, 69% kematian terjadi di negara berkembang.
Pada tahun 2008, American Cancer Society (ACS) memperkirakan telah terjadi hampir 1,4
juta kasus kanker payudara invasif baru di dunia.
Pada tahun 2002 di Amerika Serikat terjadi 101,1 kasus per 100.000 wanita. Eropa
Utara, Amerika Utara merupakan area dengan insiden tertinggi, Eropa Selatan, Amerika
Selatan merupakan area insiden sedang, Asia, Afrika adalah area dengan insiden rendah. Di
24
China, khususnya di Shanghai pada tahun 1972 insiden karsinoma mamma adalah
17/100.000, meningkat menjadi 38.2/100.000 pada tahun 2000.
Di Indonesia , insiden kanker payudara dalam 5 tahun terakhir cukup tinggi yaitu
sekitar 32% dari total jumlah kasus kanker. Data Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta pada tahun 2005 jumlah kasus kanker payudara adalah 2821 kasus,
tahun 2006 sebanyak 5141 kasus dan pada tahun 2007 sebanyak 6380 kasus. Data RSUD dr
Wahidin Sudirohusodo, Makassar, tercatat pada tahun 2009 mencapai 376 kasus, pada tahun
2010 mencapai 617 kasus dan terakhir pada tahun 2011 mencapai 439 kasus. 2,3,4
2.3 Anatomi Payudara
Payudara dewasa normalnya terletak di hemithoraks kanan dan kiri dengan dasarnya
terletak dari kira-kira iga 2-6 atau 3-7. Bagian medial payudara mencapai pinggir sternum
dan di lateral sejajar garis aksilaris anterior. Payudara meluas ke atas melalui suatu ekor
aksila berbentuk piramid. Payudara terletak di atas lapisan fascia otot pektoralis mayor pada
dua pertiga superomedial dan otot seratus anterior pada sepertiga lateral bawah. 4
Sentrum dari kelenjar mammae adalah papilla mamae, sekelilingnya terdapat lingkaran
aerola mamae. Areola mamae memiliki banyak tonjolan kelenjar areolar, waktu menyusui
dapat menghasilkan sebum yang melicinkan papilla mamae. Payudara terdiri dari berbagai
struktur yaitu parenkim epitelial, jaringan lemak, pembuluh darah, saraf, dan saluran getah
bening serta otot dan fascia. Parenkim epitelial dibentuk oleh kurang lebih 15-20 lobus.
Masing – masing lobus dialiri oleh sistem duktus dari sinus laktiferous terbuka pada putting
susu, dan masing-masing sinus menerima suatu duktus lobulus dengan diameter sekitar 2 mm
. Di dalam lobus terdapat 40 atau lebih lobulus. Satu lobulus mempunyai diameter 2–3 mm.
Masing-masing lobulus mengandung 10 sampai 100 alveoli (acini) yang merupakan unit
dasar sekretori. Payudara dibungkus oleh fascia pektoralis superfisialis yang bagian anterior
dan posteriornya dihubungkan oleh ligamentum Cooper sebagai penyangga.2,4,6
25Gambar 1. Anotomi Payudara
a. Vaskularisasi Payudara
Arteri
Payudara mendapat perdarahan dari:
1. Cabang-cabang perforantes a. mammaria interna yang memperdarahi tepi
medial glandula mammae
2. Rami pektoralis a. thorakoakromialis yang memperdarahi glandula mammae
bagian dalam (deep surface)
3. A. thorakalis lateralis (a. mammaria eksterna) yang memperdarahi bagian
lateral payudara
Pembuluh darah lain yang juga penting artinya meskipun tidak memperdarahi
glandula mammae adalah a. thorakodorsalis. Pada tindakan radikal mastektomi
perdarahan yang terjadi akibat putusnya arteri ini sulit dikontrol sehingga daerah
ini dinamakan “the bloody angle”.
Vena
Pada daerah payudara terdapat tiga grup vena yaitu:
1. Cabang cabang perforantes v. mammaria interna
2.Cabang-cabang v. aksilaris
b. v. thorako-akromialis
c. v. thorako-dorsalis
d. v. thorako lateralis
3. Vena-vena kecil yang bermuara pada v.interkostalis
Vena interkostalis bermuara pada v. vertebralis kemudian bermuara pada v.
azygos (melalui vena-vena ini metastase dapat langsung terjadi di paru).
26
b. Persarafan Payudara
Kulit payudara dipersarafi oleh cabang pleksus servikalis dan n. interkostalis
sedangkan jaringan glandula mammae sendiri dipersarafi oleh sistem simpatis.
Persarafan sensoris di bagian superior dan lateral berasal dari nervus supraklavikular
(C3 dan C4) dari cabang lateral nervus interkostal torasik (3–4 ). Bagian medial
payudara dipersarafi oleh cabang anterior nervus interkostal torasik. Kuadran lateral
atas payudara dipersarafi terutama oleh nervus interkostobrakialis ( C8 dan T1 ).
c. Sistem Limfatik Payudara
a. Pembuluh getah bening
1. Pembuluh getah bening aksila
2. Pembuluh getah bening mamaria intena
3. Pembuluh getah bening di daerah tepi medial kuadran medial bawah payudara
b. Kelenjar getah bening aksila
Terdapat beberapa grup kelenjar getah bening aksila:
1. Kelenjar getah bening mammaria eksterna.Grup ini dibagi dalam dua kelompok,
yaitu, kelompok superior setinggi interkostal II-III dan kelompok inferior setinggi
interkostal IV-VI
2. Kelenjar getah bening skapula
3. Kelenjar getah bening sentral (central nodes)
Kelenjar getah bening ini merupakan kelenjar aksila yang terbesar dan terbanyak
jumlahnya, terletak di dalam jaringan lemak di pusat ketiak. Beberapa di antaranya
terletak sangat superfisial di bawah kulit dan fascia kira-kira pada pertengahan lipat
ketiak sehingga relatif paling mudah diraba.
Pentingnya memperhatikan letak dari muskulus pektoralis minor secara tepat saat
diseksi jaringan aksilaris harus ditekankan. Diseksi kelenjar aksilaris level I
dimaksudkan untuk menghancurkan jaringan lateral hingga batas lateral dari
muskulus pektoralis minor, diseksi level II dimaksudkan untuk membuang jaringan
diantara batas medial dan lateral otot, dan diseksi jaringan level III diindikasikan
untuk diseksi jaringan medial hingga tepi medial otot. Sebagian besar ahli bedah
27
Gambar 2. Vaskularisasi Payudara
hanya mendiseksi level I dan level II. Untuk melakukan diseksi level III, ahli bedah
umumnya membagi muskulus pektoralis minor.
2.4 Faktor Resiko
Etiologi Ca mammae masih belum diketahui secara pasti, namun penyebabnya sangat
mungkin multi faktorial yang saling mempengaruhi satu sama lain, antara lain:
a. Usia
Kanker payudara dijumpai pada meningkat tajam hingga usia sekitar 50 tahun
(30,35%). Setelah usia 50 tahun frekuensinya tetap meningkat tapi perlahan.
Perbedaan insiden berdasarkan usia ini diinterpretasikan sebagai efek dari hormon
ovarium pada perkembangan penyakit.2,3,4
b. Jenis kelamin
Angka kejadian kanker payudara pada laki-laki hanya 1 %. Kanker payudara
100 kali lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Alasan utamanya
adalah karena pada wanita, sel-sel pada payudara lebih sering terekspose oleh
hormon-hormon estrogen dan progesteron yang mempengaruhi peertumuhan sel-
sel pada payudara.9
c. Menstruasi
Menarche pada usia dini dan menopause yang terlambat dapat meningkatkan
risiko kanker payudara. Menarche sebelum usia 12 tahun mempunyai risiko kanker
payudara 20% lebih besar dari menarche setelah usia 15 tahun. Risiko kanker
payudara berkurang sekitar setengahnya jika menopause terjadi sebelum usia 45
28
Gambar 3.Kelenjar Limfe Payudara
tahun dibandingkan jika menopause terjadi setelah usia 55 tahun. 2,3,6 Hal ini
mungkin disebabkan karena eksposure hormon estrogen dan progesterone yang
berkepanjangan yang mempengaruhi pertumbuhan sel-sel payudara.9
d. Reproduksi
Status reproduksi juga mempengaruhi risiko terkena kanker payudara. Wanita
yang tidak pernah melahirkan (nullipara) atau yang pertama kali melahirkan anak
pada usia lebih dari 31 tahun mempunyai risiko tiga hingga empat kali lebih besar
dibandingkan perempuan yang melahirkan anak pertamanya sebelum berusia 18
tahun. Wanita yang mempunyai banyak anak (multipara) diasosiasikan dengan
berkurangnya risiko kanker payudara. Menyusui lebih lama juga dianggap dapat
menurunkan risiko kanker payudara.2,4,6
e. Diet
Wanita-wanita dari negara Barat mempunyai risiko terkena kanker payudara
enam kali lebih tinggi dibandingkan wanita-wanita Asia dan negara berkembang
lainnya. Risiko ini akan berubah jika penduduk dari negara berisiko rendah migrasi
ke negara berisiko tinggi dan mengadaptasi pola makan di negara tersebut.
Meskipun demikian pengaruh diet pada insiden kanker payudara tampaknya terjadi
pada usia muda seperti anak-anak dan remaja. Tidak ada data yang membuktikan
bahwa perubahan pola makan dari diet tinggi lemak ke diet rendah lemak pada usia
pertengahan dan tua dapat menurunkan risiko kanker payudara.2,4,6
f. Riwayat keluarga
Risiko kanker payudara meningkat kira-kira dua kali pada anak perempuan
yang ibunya menderita kanker dan pada wanita yang saudara perempuannya
menderita kanker. Kanker familial ini cenderung terjadi pada usia lebih muda dan
bilateral. Peningkatan risiko sebagian besar disebabkan oleh pewarisan gen-gen
yang mempredisposisi kanker payudara. Pada keluarga berisiko tinggi, dengan
empat atau lebih anggota keluarga terkena kanker payudara, 33% di antaranya
mengalami mutasi BRCA-1. Suatu studi populasi menemukan mutasi BRCA-1
pada 12 dari 193 wanita (6,2%) yang terkena kanker payudara sebelum usia 35
tahun dan pada 15 dari 208 wanita (7,2%) dengan riwayat kanker payudara pada
anggota keluarga tingkat pertama (first-degree relatives). Kanker payudara familial
29
juga sering berhubungan dengan keganasan pada organ lain seperti colon, ovarium
dan uterus.2,4,6
g. Hormon
Hormon seks mempengaruhi proliferasi sel-sel dan jaringan payudara serta
meningkatkan karsinogenesis payudara pada hewan percobaan, namun bukti-bukti
epidemiologisnya pada manusia masih merupakan konflik. Mungkin hal ini
disebabkan oleh kesulitan dalam pengukurannya. Sebuah studi populasi pada
wanita postmenopause yang berasal dari negara berisiko tinggi menunjukkan level
serum oestradiol rata-rata sekitar 20% lebih tinggi daripada wanita-wanita yang
berasal dari negara berisiko rendah. Studi case-control lain menunjukkan wanita
dengan kanker payudara mempunyai level progesterone yang lebih tinggi dari
kelompok kontrol pada analisis yang terbatas pada saat ovulasi.
Prolactin adalah mitogen dalam jaringan payudara dan merupakan hormon
yang penting untuk perkembangan tumor payudara pada hewan percobaan tapi
perannya pada kanker payudara manusia belum jelas. Meskipun demikian terdapat
bukti-bukti yang meyakinkan bahwa level prolaktin dipengaruhi oleh sejumlah
even yang juga mempengaruhi risiko kanker payudara. Selain hormon seks
endogen, hormon seks eksogen seperti terapi pengganti hormon dan kontrasepsi
oral juga dianggap berpengaruh terhadap risiko kanker payudara.
Terapi pengganti hormon meningkatkan risiko kanker payudara pada orang-
orang yang baru atau sedang menggunakan (dalam jangka waktu lima tahun).
Risiko meningkat sekitar 2% untuk setiap satu tahun penggunaan. Kontrasepsi oral
juga dikatakan dapat meningkatkan risiko bila digunakan jangka panjang. Pada
penelitian terbukti kontrasepsi oral hanya sedikit meningkatkan risiko kanker
payudara yaitu sebesar 1,24% pada orang yang sedang menggunakan dan sebesar
1,16% pada orang yang telah berhenti menggunakan 1-4 tahun sebelumnya.2,4,6
j. Radiasi
Pada hewan percobaan terbukti adanya peranan sinar radiasi sebagai faktor
penyebab kanker payudara. Dari penelitian epidemiologi setelah ledakan bom atom
30
atau penelitian pada orang setelah pajanan sinar rontgen, peranan sinar ionisasi
sebagai faktor penyebab pada manusia lebih jelas.2
2.5 Metastasis Kanker Payudara
Metastasis kanker payudara dapat terjadi melalui dua jalan:
a. Metastasis melalui sistem vena
Melalui sistem vena kanker payudara dapat bermetastasis ke paru-paru, vertebra,
dan organ-organ lain. V. mammaria interna merupakan jalan utama metastasis
kanker payudara ke paru-paru melalui sistem vena sedangkan metastasis ke
vertebra terjadi melalui vena-vena kecil yang bermuara ke v.interkostalis yang
selanjutnya bermuara ke dalam v. vertebralis.
b. Metastasis melalui sistem limfe
Metastasis melalui sistem limfe pertama kali akan mengenai KGB regional
terutama KGB aksila. KGB sentral (central nodes) merupakan KGB aksila yang
paling sering (90%) terkena metastasis sedangkan KGB mammaria eksterna
adalah yang paling jarang terkena. Kanker payudara juga dapat bermetastasis ke
31
Gambar 4. Metastasis Kanke Mamae
KGB aksila kontralateral tapi jalannya masih belum jelas, diduga melalui deep
lymphatic fascial plexus di bawah payudara kontralateral melalui kolateral
limfatik. Jalur ini menjelaskan mengapa bisa terjadi metastasis ke kelenjar aksila
kontralateral tanpa metastasis ke payudara kontralateral.
Metastasis ke KGB supraklavikula dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Penyebaran langsung yaitu melalui kelenjar subklavikula tanpa
melalui sentinel nodes. Penyebaran tidak langsung melalui sentinel nodes yang
terletak di sekitar grand central limfatik terminus yang menyebabkan stasis
aliran limfe sehingga terjadi aliran balik menuju ke KGB supraklavikula.
Metastasis ke hepar selain melalui sistem vena dapat juga terjadi melalui sistem
limfe. Keadaan ini dapat terjadi bila tumor primer terletak di tepi medial bagian
bawah payudara dan terjadi metastasis ke kelenjar preperikardial. Selanjutnya
terjadi stasis aliran limfe yang berakibat adanya aliran balik limfe ke hepar.
2.6 Staging Ca Mammae
TNM Staging
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terbukti adanya tumor
Tis Carcinoma in situ : Ca intraductal, Ca lobular in situ, atau Paget’s disease pada
nipple tanpa tumor
T1 Ukuran terbesar tumor 2 cm
T1a Ukuran terbesar tumor 0,5 cm
T1b Ukuran terbesar tumor 0,5 cm tetapi tidak melebihi 1 cm
T1c Ukuran terbesar tumor 1 cm tetapi tidak melebihi 2 cm
T2 Ukuran terbesar tumor 2 cm tetapi tidak melebihi 5 cm
T3 Ukuran terbesar tumor 5 cm
T4 Tumor dengan ukuran berapapun dengan ekstensi langsung terhadap
dinding dada atau kulit
T4a Ekstensi ke dinding dada
T4b Edema (termasuk Peau d’orange) atau ulserasi kulit mammae atau
satelit KGB kulit teraba pada mammae yang sama
T4c T4a dan T4b
T4d Inflamatory carcinoma
32
KGB Regional (N)
Nx KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke KGB
N1 Metastasis ke KGB axillaris ipsilateral, dapat digerakan
N2 Metastasis ke KGB axillaris ipsilateral, melekat terhadap KGB atau struktur lain
N2a : Metastasis pada kgb aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke struktur
lain
N2b :Metastasis hanya pada kgb mamaria interna ipsilateral secara klinis dan tidak
terdapat metastasis pada kgb aksila
N3 : Metastasis pad kgb infraklavikular ipsilateral degan atau tanpa metastasis kgb aksila
atau klinis terdapat metastasis pada kgb mamaria interna ipsilateral klinis dan
metastasis pada kgb aksila atau metastasis pad kgb supraklavikula ipsilateral dengan
atau tanpa metastasis pada kgb aksila/mamaria interna
N3a :Metastasis ke kgb infraklavikular ipsilateral
N3b :Metastasis ke kgb mamaria interna dan kgb aksila
N3c :Metastasis ke kgb supraklavikular
Metastasis jauh (M)
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat diperkirakan
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh (metastasis ke KGB supraclavicular ipsilateral)
Stage Grouping
Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1 N0 M0
Stage IIA T0
T1
T2
N1
N1*
N0
M0
M0
M0
Stage IIB T2
T3
N1
N0
M0
M0
Stage IIIA T0
T1
T2
N2
N2
N2
M0
M0
M0
33
T3
T3
N1
N2
M0
M0
Stage IIIB T4
T berapapun
N berapapun
N3
M0
M0
Stage IV T berapapun N berapapun M1
Histopatologic grade
GX: Grade cannot be assessed
G1: Well-differentiated
G2: Moderately differentiated
G3: Poorly differentiated
G4: Undifferentiated
(Harris J.R, Lippman M.E, Morrow M, Osborne K, 2000., Morris J.P, Wood W.C,
2000).
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita dapat berupa: adanya benjolan pada payudara; rasa
nyeri; keluar cairan dari puting susu; retraksi puting susu; adanya ekzema di sekitar
areola; keluhan kulit berupa dimpling, venektasi, ulserasi atau adanya peau
d’orange; adanya benjolan di ketiak; edema lengan dan tanda metastasis jauh
misalnya nyeri tulang (vertebrae, femur), rasa penuh di ulu hati, batuk, sesak, dan
sakit kepala hebat.2,3,6,8
Benjolan payudara dapat dideteksi pada 90% pasien dengan kanker payudara
dan merupakan tanda yang paling umum. Benjolan kanker cenderung soliter,
unilateral, padat, keras, ireguler, tidak dapat digerakkan (nonmobile), cepat
membesar dan tidak nyeri. Cairan yang keluar secara spontan dari puting susu
(nipple discharge) adalah tanda kedua yang paling umum dari kanker payudara.
Karakter nipple discharge dapat membantu menegakkan diagnosis. Cairan seperti
susu menandakan galaktore, cairan purulen disebabkan oleh infeksi, dan cairan
multiwarna atau lengket menandakan ektasia duktus (comedomastitis). Cairan
34
serous, serosanguinus, berdarah atau seperti air mungkin menandakan papiloma
(80%) atau karsinoma intraduktal (20%).6
Selain itu juga perlu ditanyakan mengenai pengaruh siklus menstruasi terhadap
keluhan tumor; menstruasi pertama pada usia berapa; bila sudah menopause, pada
usia berapa; usia saat pertama kali melahirkan anak; menyusui atau tidak; riwayat
kanker payudara atau kanker lainnya dalam keluarga; riwayat pemakaian obat-obat
hormonal; riwayat operasi tumor payudara atau tumor ginekologik; dan riwayat
radiasi di daerah dada. Faktor-faktor risiko ini perlu ditanyakan agar dokter dapat
mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan mamografi pada penderita yang
berisiko tinggi, dan bagi pasien agar lebih waspada dan rutin melakukan
pemeriksaan payudara sendiri. Keluhan pasien di organ lain yang berhubungan
dengan metastasis perlu ditanyakan seperti batuk, sesak, rasa penuh di ulu hati, nyeri
tulang, dan sakit kepala hebat. Tanda-tanda umum tentang nafsu makan dan
penurunan berat badan juga perlu ditanyakan.2,3
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, selain tanda vital perlu juga diperiksa performance
status penderita. Karena payudara dipengaruhi oleh faktor hormonal antara lain
estrogen dan progesteron maka sebaiknya pemeriksaan payudara dilakukan saat
pengaruh hormon ini seminimal mungkin, yaitu setelah lebih kurang satu minggu
dari hari pertama menstruasi. Dengan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti,
ketepatan pemeriksaan untuk kanker payudara secara klinis cukup tinggi.
Teknik pemeriksaan2,4,10
Penderita diperiksa dengan badan bagian atas terbuka
1. Posisi tegak (duduk)
Lengan penderita jatuh bebas di samping tubuh, pemeriksa berdiri di depan
dalam posisi yang lebih kurang sama tinggi. Pada inspeksi dilihat simetri
payudara kiri dan kanan; perubahan kulit berupa peau d’orange, kemerahan,
dimpling, edema, ulserasi dan nodul satelit; kelainan puting susu seperti retraksi,
erosi, krusta dan adanya discharge.
35
2. Posisi berbaring
Penderita berbaring dan diusahakan agar payudara jatuh tersebar rata di atas
lapangan dada, jika perlu bahu atau punggung diganjal dengan bantal kecil
terutama pada penderita yang payudaranya besar. Palpasi dilakukan dengan
mempergunakan falang distal dan falang medial jari II, III dan IV yang
dikerjakan secara sistematis mulai dari kranial setinggi iga kedua sampai ke distal
setinggi iga keenam, juga dilakukan pemeriksaan daerah sentral subareolar dan
papil. Palpasi juga dapat dilakukan dari tepi ke sentral (sentrifugal) berakhir di
daerah papil. Terakhir diadakan pemeriksaan kalau ada cairan keluar dengan
menekan daerah sekitar papil. Pemeriksaan dengan rabaan halus akan lebih teliti
daripada dengan rabaan kuat karena rabaan halus akan dapat membedakan
kepadatan massa payudara.
Pada pemeriksaan ini ditentukan lokasi tumor berdasarkan kuadran
payudara (lateral atas, lateral bawah, medial atas, medial bawah, dan daerah
sentral), ukuran tumor (diameter terbesar), konsistensi, permukaan, bentuk dan
batas-batas tumor, jumlah tumor serta mobilitasnya terhadap jaringan sekitar
payudara, kulit, m.pektoralis dan dinding dada.
a. Pemeriksaan kelenjar getah bening regional
1. Aksila
Sebaiknya dalam posisi duduk karena dalam posisi ini fossa aksila jatuh ke
bawah sehingga mudah untuk diperiksa dan lebih banyak yang dapat dicapai.
Pada pemeriksaan aksila kanan tangan kanan penderita diletakkan atau dijatuhkan
lemas di tangan/bahu kanan pemeriksa dan aksila diperiksa dengan tangan kiri
pemeriksa. Diraba kelompok KGB mammari eksterna di bagian anterior dan di
bawah tepi m.pektoralis aksila; KGB subskapularis di posterior aksila; KGB
sentral di bagian pusat aksila; dan KGB apikal di ujung atas fossa aksilaris. Pada
perabaan ditentukan ukuran, konsistensi, jumlah, apakah terfiksasi satu sama lain
atau ke jaringan sekitarnya.
2. Supra dan infraklavikula serta leher utama, bagian bawah dipalpasi dengan
cermat dan teliti. Selain payudara dan KGB, organ lain yang ikut diperiksa adalah
paru, tulang, hepar, dan otak untuk mencari metastase jauh.
36
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis karsinoma
mamma. Pemeriksaan penunjang disini dibagi 4 yaitu pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan patologi anatomi dan pemeriksaan penanda
tumor.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia darah dilakukan sesuai dengan
perkiraan metastasis misalnya alkali fosfatase dan liver function tests untuk
metastasis ke hepar atau kadar kalsium dan fosfor untuk metastase tulang.2,3,
b. Pemeriksaan radiologi
1. Mammografi merupakan suatu pemeriksaan dengan soft tissue
technic yang dapat mendeteksi 85% kanker payudara. Meskipun 15%
kanker payudara tidak bisa divisualisasikan dengan mammografi, 45%
kanker payudara dapat dilihat pada mammografi sebelum mereka dapat
diraba. Adanya proses keganasan akan memberikan tanda–tanda primer dan
sekunder. Tanda primer berupa fibrosis reaktif, comet sign,
mikrokalsifikasi, deposit kalsium baik dalam pola mulberrry atau
curvilinear, dan distorsi duktus mamaria. Tanda-tanda sekunder berupa
bertambahnya vaskularisasi, adanya bridge of tumor dan jaringan
fibroglanduler tidak teratur. Mammografi sangat baik digunakan untuk
diagnosis dini dan skrining, hanya saja untuk skrining harganya mahal
sehingga dianjurkan penggunaan yang selektif yaitu untuk wanita-wanita
dengan risiko tinggi. Sensitifitas mammografi sekitar 75% dan
spesifisitasnya hampir 90%.6
2. Ultrasonografi berguna terutama untuk membedakan lesi padat
atau kistik juga untuk memandu FNAB dan core-needle biopsy.
Mammografi dan USG payudara dilakukan pada tumor yang berukuran <
3cm.
3. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, bone scanning dan/atau
bone survey, USG abdomen, dan CT scan dilakukan untuk mencari
metastasis jauh. Pemeriksaan yang direkomendasikan oleh PERABOI
37
adalah foto thoraks dan USG abdomen sedangkan bone scanning dan/atau
bone survey (bila sitologi dan/atau klinis sangat mencurigakan pada lesi >
5cm) dan CT scan dilakukan atas indikasi. Metastasis di parenkim paru
pada foto rontgen memperlihatkan gambaran coin lesion yang multipel
dengan ukuran yang bermacam-macam. Metastasis dapat pula mengenai
pleura yang akan menimbulkan efusi pleura. Metastasis ke tulang vertebra
akan terlihat pada foto rontgen sebagai gambaran osteolitik/destruksi yang
dapat menyebabkan fraktur patologis.2,3
c. Pemeriksaan patologi anatomi
1. Pemeriksaan sitopatologi dilakukan dengan FNAB (fine needle aspiration
biopsy). Sensitivitasnya dalam mendiagnosis keganasan dilaporkan sebesar
90-95% bila tepat cara pengambilan dan diekspertise oleh ahlinya.2,3
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan (gold standard). Pemeriksaan histologi
jaringan merupakan cara untuk menegakkan diagnosis pasti kanker
payudara. Bahan pemeriksaan dapat diambil melalui biopsi eksisional
(untuk ukuran tumor < 3cm) atau biopsi insisional (untuk tumor operabel
dengan ukuran > 3cm sebelum operasi definitif dan untuk tumor yang
inoperabel) yang kemudian diperiksa potong beku atau PA. Untuk biopsi
kelainan yang tidak dapat diraba seperti temuan pada mammografi dapat
dilakukan ultrasound atau stereotactic core biopsy yaitu pungsi dengan
jarum besar yang akan menghasilkan suatu silinder jaringan yang cukup
untuk pemeriksaan termasuk teknik biokimia.2,3,6
d. Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker) dan imunohistokimia
Pemeriksaan kadar CEA dan CA 27.29 (CA 15-3) mungkin berguna
untuk memantau respon terhadap terapi pada penyakit yang sudah lanjut.
Pemeriksaan imunohistokimia seperti ER, PR, c-erb-2 (HER-2 neu),
cathepsin-D, dan p53 bersifat situasional.6
2.8 Terapi
a. Modalitas terapi
Untuk kanker payudara terdapat beberapa modalitas terapi yang bisa dipilih:
1. Operasi 2,3,,7
38
Terdapat beberapa jenis operasi untuk terapi yaitu radical mastectomy,
modified radical mastectomy, simple mastectomy, BCS (breast conserving
surgery), dan BCT (breast conversing teraphy)
Pada mastektomi radikal merupakan jenis operasi pertama yang digunakan.
Masektomi radikal dilakukan pengangkatan payudara dengan sebagian besar
kulitnya, m.pektoralis mayor, m.pektoralis minor, dan semua kelenjar ketiak
sekaligus.
Setelah tahun 60-an mastektomi radikal mulai digantikan oleh mastektomi
radikal yang telah dimodifikasi oleh Patey. Pada mastektomi radikal
modifikasi ini m.pektoralis mayor dipertahankan sehingga suplai
persarafannya tidak terganggu dan efek kosmetik pada dinding dada yang
terjadi bila dilakukan mastektomi radikal dapat dikurangi. M.pektoralis minor
dapat pula dipertahankan, atau diangkat, atau diretraksi untuk mendapatkan
akses ke aksila. Bukti-bukti menunjukkan tidak ada perbedaan pada tingkat
rekurensi lokal dan survival antara mastektomi radikal dan mastektomi radikal
modifikasi.
Pada mastektomi simpel dilakukan pengangkatan payudara saja tanpa
mengangkat limfonodus atau otot. Pembesaran KGB aksila diterapi dengan
radioterapi. Metode ini dipopulerkan oleh MacWhirter di Inggris. Bila
dilakukan pengangkatan payudara pertimbangkan kemungkinan rekonstruksi
mammae dengan implantasi prostesis atau cangkok flap muskulokutan.
Rekonstruksi ini dapat dilakukan sekaligus dengan bedah kuratif atau beberapa
waktu setelah radioterapi atau kemoterapi adjuvan. Bila hal ini tidak dapat
dilakukan usahakan prostesis eksterna.
Jenis tindakan lainnya ialah dengan breast conversing therapy (BCS),
merupakan tindakan untuk kanker mamae. Dengan tujuan mempertahankan
payudara. BCS meliputi pengangkatan tumor dengan beberapa jenis antara lain
lumpektomi, kuadranektomi, atau eksisi segmental ditambah dengan
pengangkatan kelenjar getah bening aksilla.
Sekarang, biasanya dilakukan pembedahan kuratif dengan mempertahankan
payudara yang disebut dengan breast conserving therapy (BCT). BCT 39
merupakan satu paket yang terdiri dari tiga tindakan yaitu pengangkatan tumor
(lumpektomi luas atau tumorektomi atau segmentektomi atau kuadrantektomi)
ditambah diseksi kelenjar aksila dan radioterapi pada sisa payudara tersebut,
atau dengan kata lain BCS diikuti dengan radioterapi. Penyinaran diperlukan
untuk mencegah kambuhnya tumor di payudara dari jaringan tumor yang
tertinggal atau dari sarang tumor lain (karsinoma multisentrik). BCT secara
kosmetik lebih baik dari mastektomi bahkan yang telah direkonstruksi
sekalipun. Tapi diseksi aksila disini lebih sulit dikerjakan karena otot-otot
pektoral tetap intact dan jaringan payudara masih ada sehingga pembukaan
lapangan operasi aksila terhambat.
Indikasi BC T :
T: 3 cm (stadium I atau II)
Pasien ingin mempertahankan payudaranya
Syarat BC T :
Keinginan penderita setelah dilakukan informed consent
Penderita dapat melakukan kontrol rutin setelah pengobatan
Tumor terletak tidak sentral
Perbandingan ukuran tumor dan volume payudara cukup baik untuk
kosmetik pasca BCT
Mammografi tidak memperlihatkan mikrokalsifikasi atau tanda keganasan
lain yang difus (luas)
Tumor tidak multipel
Belum pernah terapi radiasi di dada
Tidak menderita SLE atau penyakit kolagen
Terdapat sarana radioterapi yang memadai (megavolt)
2. Radiasi 2,3,6,7
Radioterapi untuk kanker payudara dapat diberikan sebagai terapi primer,
adjuvan atau paliatif. Radioterapi kuratif tunggal tidak begitu efektif tetapi
radioterapi adjuvan cukup bermanfaat. Radioterapi paliatif dapat dilakukan
dengan hasil baik untuk waktu terbatas bila tumor sudah tidak operabel.
40
Radioterapi adjuvant diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut:
Setelah tindakan operasi terbatas (BCS)
Tepi sayatan dekat (T ≥ T2) atau tidak bebas tumor
Tumor sentral atau medial
KGB (+) dengan ekstensi ekstra kapsuler
3. Kemoterapi 2,3,6,7
Kemoterapi merupakan salah satu terapi sistemik yang dapat digunakan
sebagai terapi adjuvan atau paliatif. Kemoterapi adjuvan dapat diberikan pada
pasien pascamastektomi yang pada pemeriksaan histopatologik ditemukan
metastasis di sebuah atau beberapa kelenjar. Kemoterapi juga dapat diberikan
sebelum pembedahan pada kanker payudara yang besar namun masih operabel
pada stadium lokal lanjut. Berdasarkan penelitian kemoterapi yang disebut
kemoterapi neo adjuvan ini dapat mengecilkan ukuran tumor sehingga
memudahkan pembedahan. Kemoterapi paliatif dapat diberikan pada pasien yang
telah menderita metastasis sistemik.
4. Hormonal 2,3,6,7
Dasar dari pemberian terapi hormonal adalah fakta bahwa 30-40% kanker
payudara adalah hormon dependen. Terapi ini semakin berkembang dengan
ditemukannya reseptor estrogen dan progesteron. Kanker payudara dengan
reseptor estrogen dan progesteron yang merespons positif terapi hormonal
mencapai 77%. Terapi hormonal merupakan terapi utama stadium IV di samping
kemoterapi karena kedua-duanya merupakan terapi sistemik. Terapi hormonal
biasanya diberikan sebelum kemoterapi karena efek terapinya lebih lama dan efek
sampingnya lebih sedikit.
Sebelum pemberian terapi hormonal dilakukan uji reseptor (estrogen
receptor/ER positif atau progesteron receptor/PR positif) dan dipertimbangkan
status hormonal penderita (premenopause, 1-5 tahun menopause, dan
pascamenopause). Setelah itu dapat ditentukan apakah terapi hormonal akan
diberikan secara additif atau ablatif. Terapi additif berupa pemberian obat-obatan
(antiestrogen, aromatase inhibitor, megestrol acetate dan androgen atau estrogen)
41
dilakukan pada pasien pascamenopause. Yang tergolong antiestrogen adalah
tamoxifen citrate, toremifene, dan raloxifene tapi raloxifene lebih banyak
digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Aromatase inhibitor seperti
anastrozole dan letrozole menghambat konversi androgen menjadi estrogen.
Terapi ablatif berupa ovarektomi bilateral, dilakukan bila tanpa pemeriksaan
reseptor, pada wanita premenopause dan wanita yang sudah 1-5 tahun menopause
dengan ER (+) dan pada penyakit yang bersifat slow growing dan intermediate
growing.
5. Imunologik
Sekitar 15-25% tumor payudara menunjukkan adanya protein pemicu
pertumbuhan atau HER-2 secara berlebihan dan untuk pasien seperti ini,
trastuzumab, antibodi yang secara khusus dirancang untuk menyerang HER-2 dan
menghambat pertumbuhan tumor, bisa menjadi pilihan terapi. Pasien sebaiknya
juga menjalani tes HER-2 untuk menentukan kelayakan terapi dengan
trastuzumab.
b. Pilihan terapi berdasarkan stadium 2
Pada stadium I, II, dan III awal (stadium operabel) sifat pengobatan adalah
kuratif dengan pembedahan sebagai terapi primer, terapi lainnya hanya bersifat
adjuvan. Semakin cepat dilakukan pembedahan semakin tinggi kurasinya.
Sedangkan untuk stadium III akhir dan IV sifat pengobatannya adalah paliatif yaitu
terutama untuk mengurangi penderitaan pasien dan memperbaiki kualitas hidup.
1. Kanker payudara stadium 0
Dilakukan BCS atau mastektomi simpel. Terapi definitif pada T0
tergantung pada pemeriksaan blok parafin, lokasinya didasarkan pada hasil
pemeriksaan imaging.
2. Kanker payudara stadium dini/operabel
Dilakukan BCS (harus memenuhi syarat) atau mastektomi radikal
modifikasi atau mastektomi radikal dengan atau tanpa terapi adjuvan. Terapi
adjuvan diberikan berdasarkan ada atau tidaknya metastase ke kelenjar getah
bening aksila, reseptor estrogen atau reseptor progesteron, dan usia premenopause
atau postmenopause atau usia tua.
42
Tabel 1. Terapi adjuvan pada node negative (KGB histopatologi negatif)
Status menopause Reseptor hormonal Risiko tinggi
Premenopause ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Ke + Tam / Ov
Ke
Postmenopause ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Tam + Kemo
Ke
Usia tua ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Tam + Kemo
Ke
Tabel 2. Terapi adjuvan pada node positive (KGB histopatologi positif)
Status menopause Reseptor hormonal Risiko tinggi
Premenopause ER (+) / PR (+)
ER (-) / PR (-)
Ke + Tam / Ov
Ke
Postmenopause ER (+) / PR (+)
ER (-) dan / PR (-)
Ke + Tam
Ke
Usia tua ER (+) / PR (+)
ER (-) dan PR (-)
Tam + Kemo
Ke
3. Kanker payudara lokal lanjut/ locally advanced
a. Operable locally advanced43
Mastektomi simpel/MRM + radiasi kuratif + kemoterapi adjuvant + terapi
hormonal
b. Inoperable locally advanced
- Radiasi kuratif + kemoterapi + terapi hormonal
- Radiasi + operasi + kemoterapi + terapi hormonal
- Kemoterapi neoadjuvan + operasi + kemoterapi + radiasi + hormonal
terapi
4. Kanker payudara lanjut metastase jauh
Terapi primer pada stadium IV adalah terapi sistemik yaitu terapi hormonal
dan kemoterapi. Terapi lokoregional seperti radiasi dan pembedahan hanya
dilakukan bila perlu. Radiasi kadang diperlukan untuk paliasi pada daerah-daerah
tulang weight bearing yang mengandung metastase atau pada tumor bed yang
berdarah, difus, dan berbau yang mengganggu sekitarnya.
2.9 Prognosis
5-year survival rate untuk stadium I yaitu 94%, untuk stadium IIa yaitu 85%, untuk
stadium IIb yaitu 70%, sedangkan untuk stadium IIIa yaitu 52%, stadium IIIb yaitu 48% dan
untuk stadium IV yaitu 18% (Schwartz’s, 2006)
44
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Breast cancer : Prevention and Control .2009. Available
from : www.who.int.
2. Ramli, Muchlis. Kanker Payudara. Soelarto Reksoprodjo dkk (editor). Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah. Edisi Pertama. Binarupa Aksara. 1995. Hlm: 342-364.
3. Albar, Zafiral Azdi dkk (editor). Protokol PERABOI 2003. PERABOI. Jakarta. Edisi
Pertama. 2004. Hlm: 2-15.
4. Asrul. Hubungan antara Besar Tumor dan Tipe Histologi Kanker Payudara dengan
Adanya Metastase pada Kelenjar Getah Bening Aksila. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003. Available from: http://www.usu.ac.id.
5. De Jong, Wim . Buku Ajar Ilmu Bedah . EGC. Jakarta. Edisi Pertama . 2005 . Hlm : 387-
402.
6. Manuaba, Tjakra W. Payudara. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (editor). Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi Kedua. EGC. 2004. Hlm: 387-402.
7. Haskell, Charles M. and Dennis A. Casciato. Breast Cancer. Dennis A. Casciato and
Berry B. Lowitz (editors). Manual on Clinical Oncology. Lippincott Williams and
Wilkins. Philadelphia. 2000. Page: 11.
8. Souhami, Robert L. Et al (editors). Oxford Textbook of Oncology. 2nd Ed. Oxford Press.
Page: 110-116
9. American Cancer Society . Detailed Guide : Breast Cancer . 2009. Available from :
www.acs.org.
10. Makhoul, Issam. Breast Cancer: Overview. 2006 Available from:
http://www.emedicine.com.
11. Toward Optimized Practice (TOP) Program. Guideline for the Early Detection of Breast
Cancer. Available from: http://www.albertadoctors.org.
45