case mg

34
MYASTENIA GRAVIS PADA PRIA BERUSIA 57 TAHUN KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH Pembimbing: dr. Julintari Indriyani, SpS. Oleh: Ageng Budiananti (030.09.002) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 1

Upload: shella-pratiwi

Post on 25-Dec-2015

63 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

MG

TRANSCRIPT

Page 1: Case MG

MYASTENIA GRAVIS PADA PRIA BERUSIA 57

TAHUN

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Pembimbing:

dr. Julintari Indriyani, SpS.

Oleh:

Ageng Budiananti (030.09.002)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

FEBRUARI 2014

1

Page 2: Case MG

LEMBAR PENGESAHAN

MYASTENIA GRAVIS PADA PRIA BERUSIA 57 TAHUN

Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Syaraf

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode 13 Januari – 15 Februari 2014

Oleh:

1. Nama :Ageng Budiananti

NIM : 030.09.002

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,

Jakarta, Februari 2014

dr. Julintari Indriyani, SpS.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

2

Page 3: Case MG

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat-Nya sehingga saya dapat

menyelesaikan case dengan judul “MYASTENIA GRAVIS PADA PRIA BERUSIA 57

TAHUN”. Case ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Syaraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.

Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing,

dr. Julintari Indriyani, SpS. yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian

case ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam penyusunan case

sehingga menjadi lebih baik.

Saya menyadari bahwa dalam kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis

sehingga penulisan case ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat

terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan case ini.

Saya berharap agar case ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan bagi pihak yang memerlukan, khususnya bagi kami sendiri.

Jakarta, Februari 2014

Penulis

3

Page 4: Case MG

BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan dimana antibody

dibentuk untuk melawan reseptor postsinaptik asetilkolin nikotinik (Ach) pada taut

neuromuscular dari otot skeletal. Myasthenia Gravis (MG) ditemukan diantara dua dari satu

juta di Amerika Serikat. Prevalensi dari MG di Amerika Serikat berkisar antara 0.5 sampai

14.2 kasus per 100.000 orang. Sekitar 14-20% pasien akan mengalami krisis myasthenia.

Tiga perempat dari pasien tersebut biasanya mengalami krisis pertama dalam dua tahun

setelah penegakkan diagnosis.

Di UK (United Kingdom), prevalensi dari MG sekitar 15 kasus per 100.000 populasi. Di

Kroasia, 10 per 100.000. Di Sardinia, Italia, prevalensi meningkat dari 0.75 per 100.000 pada

tahun 1958 menjadi 4.5 kasus per 100.000 pada tahun 1986.

MG dapat terjadi pada usia berapapun. Insiden pada wanita meningkat pada decade ketiga,

dimana pada pria meningkat pada usia decade keenam atau ketujuh. Usia rata-rata dari onset

pada wanita adalah 28 tahun dan pada pria 42 tahun. Onset MG pada usia muda sedikit lebih

banyak ditemukan pada orang Asia daripada ras lainnya. Secara keseluruhan, perbandingan

MG pada wanita:pria adalah sebesar 3:2.

Transient neonatal MG terjadi pada bayi dengan Ibu dengan Myasthenia Gravis yang

memiliki antibody anti-AChR dengan transfer IgG via plasenta. Hanya sekitar 10-20% bayi

yang lahir dari Ibu dengan MG yang mengalami MG neonatal. Hal ini disebabkan karena

adanya efek proteksi dari alfa-fetoprotein yang menghambat ikatan antara antibody anti-

AChR dengan AChR. Level serum AChR yang tinggi pada Ibu dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya MG neonatal; oleh karena itu, menurunkan titer serum maternal pada

periode antenatal dengan plasmaferesis bisa menjadi berguna.1

4

Page 5: Case MG

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 57 tahun

Alamat : Jl. Manggarai Selatan, Jakarta

Agama : Islam

Pekerjaan : Pekerja di bagian Instalasi Listrik

Status Pernikahan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SMA

Tanggal Datang ke RS : 28 Januari 2014

Nomor CM : 88 93 56

II. Anamnesis

(Dilakukan secara autoanamnesis di Poli Neurologi pada hari Selasa, 28 Januari 2013

pukul 12.45)

Keluhan Utama : tidak ada keluhan, pasien datang untuk menyerahkan hasil

EMG dan kontrol pasca-rawat

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Poli Neurologi untuk kontrol setelah sebelumnya dirawat di Lantai

9 Barat RSUD Budhi Asih dan untuk menyerahkan hasil EMG yang dilakukan di

RSCM. Saat ini, keluhan yang masih dirasakan pasien adalah kesulitan untuk

membuka kedua kelopak matanya, keluhan ini dirasakan sejak bulan Agustus 2013,

dan dirasakan bergantian, terkadang kelopak mata yang sulit terbuka dirasakan di

sebelah kanan, setelah beberapa lama atau setelah kelopak mata kanan

diistirahatkan, kelopak mata kanan dapat terbuka dan keluhan berpindah pada

kelopak mata kiri yang setelah beberapa waktu akan hilang dan kembali dirasakan

pada sisi kanan. Tidak ada gangguan pada penglihatan pasien seperti penglihatan

buram ataupun penglihatan ganda, kecuali pasien merasa lebih silau dari biasanya

setiap kali melihat cahaya lampu ataupun matahari. Pasien merasa berbicara

5

Page 6: Case MG

menjadi cadel atau pelo tetapi bibirnya tidak mencong yang dirasakan sejak bulan

Desember 2013. Bicara pelo dirasakan semakin berat apabila pasien berbicara

cukup panjang dan lama. Selain itu didapat juga keluhan nyeri kepala seperti

berdenyut. Intensitas nyeri kepala tidak dirasakan semakin memburuk, tidak

bertambah apabila batuk atau mengejan dan pasien tidak pernah muntah secara tiba-

tiba. Tidak ada penurunan berat badan yang signifikan. Saat ini, tidak ada keluhan

seperti lemas pada tangan dan kaki, pasien dapat berjalan dengan baik, kekuatan

kedua sisi alat gerak dirasa sama dan tidak merasa lemah saat memegang suatu

benda. Keluhan sesak nafas dan kesulitan menelan karena tidak bisa mengunyah

yang membuat pasien dirawat pada bulan Desember 2013 saat ini tidak lagi

dirasakan.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol dengan obat Captopril yang

diminum secara oral 3 x 25 mg/hari. Riwayat diabetes mellitus disangkal. Pasien

memiliki riwayat kolesterol tinggi (hiperkolesterolemia) dan riwayat asma yang saat

ini tidak pernah kambuh. Pasien pernah didiagnosis penyakit stroke pada bulan

Desember 2013 dan dirawat di RSUD Budhi Asih. Selain itu, pasien juga dikatakan

memiliki penyakit jantung saat datang ke Poli Jantung beberapa waktu sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus, riwayat stroke ataupun keluhan

yang serupa seperti yang dialami pasien sekarang pada keluarga pasien.

Faktor Risiko:

Pasien merokok pada saat usia muda kurang lebih satu bungkus perhari dan

sekarang sudah berhenti.

Alergi:

Riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat disangkal oleh pasien.

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Tanda Vital:

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Laju pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36,60C

Status Generalis:

6

Page 7: Case MG

Kepala : Normosefali

o Mata : Sklera ikterik -/- Konjungtiva anemis -/-

Tampak ptosis pada kedua mata

Hematom palpebrae -/-

o Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)

Deviasi septum (-)

o Mulut : Tidak tampak pucat

Mukosa faring hiperemis (-)

Arkus faring simetris +/+

Uvula tampak di tengah

Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP tampak dbn, dan kelenjar

tiroid tidak teraba membesar

Thorax : Gerakan nafas simetris

SN vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

BJ I-II regular murmur (-) gallop (-)

Abdomen : Tampak datar

Bising usus (+) Nyeri tekan (-) Teraba supel

Ekstremitas : Atas : Hangat +/+ Oedem -/-

Bawah : Hangat +/+ Oedem -/-

Status Neurologis:

Kesadaran:

o Kualitatif : Compos mentis

Pupil: Isokor Ɵ 2mm

RCL +/+

RCTL +/+

Nystagmus (-)

Doll’s Eyes: (-)

Gaze parese / Deviation conjugate -/-

Tanda Rangsang Meningeal: tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks Fisiologis:

o Biceps : +/+

o Triceps : +/+

o Patella : +/+

7

Page 8: Case MG

Refleks Patologis:

o Babinsky : -/-

o Oppenheim : -/-

o Chaddock : -/-

o Hoffmann Trommer: -/-

Pemeriksaan N. Cranialis:

o N. III, IV, VI : N. III; Ptosis bilateral

o N. VII : Baik

o N. IX, X : Baik

o N. XI : Baik

o N. XII : Baik

Pemeriksaan Sensorik: Terkesan baik

Pemeriksaan Motorik: 5555 5555

5555 5555

IV. Pemeriksaan Penunjang

Elektromyografi (RSCM, 10 Januari 2014)

8

Page 9: Case MG

9

Page 10: Case MG

Hasil Interpretasi:

Pemeriksaan Repetitive Nerve Stimulation pada:

o N. Facialis : Tampak decrement <10% amplitude CMAP

o N. Ulnaris : Tampak decrement >10% amplitude CMAP pada

stimulasi 10Hz post-exercise

o N. Accesorius : Tampak decrement >10% amplitude CMAP pada

stimulasi 7 dan 10Hz serta 1’ post-exercise dengan stimulasi 3Hz.

Kesimpulan:

Tes Harvey Masland saat ini POSITIF.

V. Resume:

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan pada tanggal 28 Januari 2013, pasien merasa

sulit membuka kedua matanya. Terkadang kelopak mata yang sulit terbuka dirasakan di

sebelah kanan, setelah beberapa lama atau setelah kelopak mata kanan diistirahatkan,

kelopak mata kanan dapat terbuka dan keluhan berpindah pada kelopak mata kiri yang

setelah beberapa waktu akan hilang dan kembali dirasakan pada sisi kanan. Pasien juga

merasa lebih silau dari biasanya setiap kali melihat cahaya lampu ataupun matahari .

Pasien merasa berbicara menjadi cadel atau pelo tanpa disertai bibir mencong yang

dirasakan sejak bulan Desember 2013. Bicara pelo dirasakan semakin berat apabila

pasien berbicara cukup panjang dan lama. Dari pemeriksaan fisik nervus cranialis (N.

III) didapatkan ptosis pada kedua mata. Dari pemeriksaan EMG, didapatkan tes Harvey

Masland saat ini positif.

10

Page 11: Case MG

Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit pasien sejak pertama kali pasien datang ke

Poli Mata pada tanggal 23 Agustus 2013, pasien mengeluhkan kedua mata sulit dibuka,

saat pagi masih bisa dibuka makin sore makin tertutup. Sebelumnya tidak pernah

seperti ini dan didiagnosis dengan Ptosis ODS susp. MG, lalu dikonsultasikan ke

bagian Neurologi. Pasien tidak datang ke Poli Neurologi pada kunjungan berikutnya,

dan kembali ke Poli Mata pada tanggal 26 Agustus 2013 dengan keluhan yang sama

yang dirasakan sejak kurang lebih dua bulan sebelum datang ke Poli Mata. Pasien

didiagnosis Ptosis ODS dengan diagnosis banding MG.

Pasien juga rutin datang ke Poli Jantung karena adanya riwayat darah tinggi dan HHD

(Hypertensive Heart Disease) serta obesitas dan diberikan obat Captopril 3 x 25mg, dan

Bisoprolol 1 x 0,5mg.

Pada tanggal 2 Desember 2013 pukul 21.35 WIB, pasien datang ke IGD RSUD Budhi

Asih dengan keluhan pelo sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga

mengeluhkan selalu tersedak setiap kali makan dan minum. Tekanan darah pasien saat

datang 165/110 mmHg, lalu diberikan Nifedipin 10gr secara oral, lalu dari bagian

Neurologi pasien diberikan terapi Asering/12 jam, Takelin 1gr/12 jam, dan Captopril 3

x 25mg. Pasien dirawat di ruang rawat inap lantai 9 barat dengan diagnosis CVD

stroke, dan saat dilakukan anamnesis di ruangan, keluhan utama pasien adalah bicara

pelo sejak 3 hari SMRS. Dua hari sebelumnya pasien periksa ke dokter karena batuk

berdahak, diberi obat tapi dirasa makin memburuk dengan dahak seperti busa berwarna

putih. Pasien sulit makan karena muntah tiap kali makan. Senin sore pasien batuk-batuk

lalu mulai bicara pelo. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos

mentis, keseluruhan status neurologis normal, kecuali pada pemeriksaan motorik

didapatkan hemiparese kiri, dimana nilai kekuatan otot ekstremitas sisi kiri 5 dan sisi

kanan 4. Pasien didiagnosis dengan CVD stroke suspek hemoragik dengan hipertensi

grade II dan PPOK.

Pasien dirawat di ruangan selama 6 hari. Pada lima hari perawatan, pasien

mengeluhkan sesak dan dikonsultasikan dengan bagian Paru, yang kemudian

didiagnosis dengan PPOK eksaserbasi. Pada dua hari pertama perawatan, pasien

didapatkan demam. Selama perawatan, pada pemeriksaan neurologis, terdapat parese

N. IX dan N. X kanan, dysarthria, hemiparese kanan yang membaik setelah hari

keempat. Pada pasien dilakukan pemasangan NGT karena kesulitan menelan, pada hari

ketiga, cairan NGT didapatkan hitam. Selama perawatan, pasien menerima terapi

sebagai berikut; Asering/ 12 jam, injeksi Takelin 1gr/12 jam, Captopril 3 x 25mg,

11

Page 12: Case MG

Mersitopril 12gr drip, injeksi Pansoprazol 1 x 1 amp, dan Propepsa syrup 3 x 1 sdm.

Pasien juga menerima terapi dari bagian Paru, yaitu inhalasi Combivent 4x/hari,

Flexotide 2x/hari, injeksi Bisolvon 3x1, Fosmycin 2x2gr, Aminophylin 1x100, dan

Teo/Salb 3x1.

VI. Diagnosis:

- Diagnosis Kerja:

Diagnosis klinis : Hipertensi gr. I, Ptosis ODS, Dysarthria

Diagnosis topis : neuromuscular junction

Diagnosis etiologi : Myastenia Gravis

Diagnosis patologi : Autoimun

- Diagnosis Banding:

Polimyositis

Sindroma Miastenia Lambert-Eaton

Botulisme

VII. Penatalaksanaan:

- Vitamin Neurotropik (Bio ATP®) 3x1

- Prydostigmine bromide (Mestinon®) 3x1

VIII. Prognosis:

- Ad vitam : dubia ad bonam

- Ad fungsionam : dubia ad bonam

- Ad sanationam : dubia ad malam

Riwayat Perjalanan Penyakit

3-12-2013 /Lt.

9 Barat

Sesak (+)

Kesadaran: CM

TD: 170/100 mmHg RR: 20x/m

N: 105 x/menit Suhu: 37,60C

Pupil isokor RCL +/+ RCTL +/+

TRM (-)

N. Cranialis: baik, disarthria

CVD stroke

susp.

Hemoragik

Asering + Takelin

1gr/12 jam

Captopril 3x25 mg

Mersitopril 12 gr

drip 2 jam

12

Page 13: Case MG

Motorik: 5 4

5 4

Sensorik: baik

R. Fisiologis -/-

R. Patologis -/-

4-12-2013 /Lt.

9 Barat

Sesak (+), NGT hitam

Kesadaran: CM

TD: 150/90 mmHg RR: 20x/m

N: 106 x/menit Suhu: 37,80C

Pupil isokor RCL +/+ RCTL +/+

TRM (-)

N. Cranialis: baik, disarthria,

parese N. IX & X kanan

Motorik: 5 5 5 4 4 4

5 5 5 4 4 4

Sensorik: baik

R. Fisiologis -/-

R. Patologis -/-

CVD stroke

hemoragik

Asering + Takelin

1gr/12 jam

Captopril 3x25 mg

Mersitopril 12 gr

drip 2 jam

Pansoprazole inj.

1xI amp

Propepsa 4 x cI

5-12-2013 /Lt.

9 Barat

Sesak (+)

Kesadaran: CM

TD: 150/100 mmHg RR: 20x

N: 80 x Suhu: 36,60C

Pupil isokor RCL +/+ RCTL +/+

TRM (-)

N. Cranialis: baik, disarthria

(perbaikan), parese N. IX & X

kanan (perbaikan)

Motorik: 5 4

5 4

Sensorik: baik

R. Fisiologis -/-

R. Patologis -/-

CVD stroke Asering + Takelin

1gr/12 jam

Captopril 3x25 mg

Mersitopril 12 gr

drip 2 jam

Pansoprazole inj.

1xI amp

Propepsa 4 x cI

6-12-2013 /Lt. Sesak (+), dahak bisa dikeluarkan CVD stroke Asering + Takelin

13

Page 14: Case MG

9 Barat Kesadaran: CM

TD: 140/100 mmHg

N: 86 x/menit

Pupil isokor RCL +/+ RCTL +/+

TRM (-)

Motorik: 5 4

4 4 Hemiparese kanan

Sensorik: baik

R. Fisiologis: Biceps +/+

R. Patologis: Babinsky -/-

Hasil CT-scan:

Infark Cerebri

(+)

1gr/12 jam

Captopril 3x25 mg

Mersitopril 12 gr

drip 2 jam

Pansoprazole inj.

1xI amp

Propepsa 4 x cI

7-12-2013 /Lt.

9 Barat

Sesak berkurang

Kesadaran: CM

TD: 160/100 mmHg (Tensi/24

jam: 140/90; 140/100; 140/90

mmHg) RR: 16x

N: 84 x/menit Suhu: 36,80C

Pupil isokor RCL +/+ RCTL +/+

TRM (-)

N. Cranialis: baik, disarthria (-)

Motorik: 5 5

5 5

Sensorik: baik

R. Fisiologis: Biceps +/+

Triceps +/+

R. Patologis: Babinsky -/-

Chaddock -/-

CVD stroke

iskemik

PPOK

Asering + Takelin

1gr/12 jam

Captopril 3x25 mg

Mersitopril 2 x

1200mg (oral)

Pansoprazole inj.

1xI amp

Propepsa 4 x cI

Neurologi boleh

rawat jalan

11-12-13 /Poli

Neurologi

Pusing berdenyut (-), 3 bulan ini

mata sudah mulai menutup.

Bangun tidur mata masih terbuka

lebar, setelah aktivitas mata

menutup. Pasien pasca rawat

dengan diagnosis CVD stroke

iskemik (FR: Htn)

Susp. MG

Rencana EMG

Mestinon 3x1

Bio ATP 3x1

14

Page 15: Case MG

TD: 90/60 mmHg

Kesan CM, Motorik baik, Ptosis

bilateral

Hasil Pemeriksaan Penunjang Selama Perawatan:

- Laboratorium (2-12-2013):

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,6 g/dL 11,7-15,5

Hematokrit 44 % 35-47

Leukosit 12,7 ribu/uL 3,6-11

Trombosit 360 ribu/uL 150-440

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah 27 mg/dL 13-43

Kreatinin Darah 1,02 mg/dL <1,1

GULA DARAH

Gula Darah

Sewaktu

116 mg/dL <110

ELEKTROLIT DARAH

Natrium (Darah) 146 mmol/L 135-155

15

Page 16: Case MG

Kalium (Darah) 3,8 mmol/L 3,60-5,50

Klorida (Darah) 107 mmol/L 95-108

FUNGSI HEPAR

SGOT 39

SGPT 56

- Laboratorium (3-12-2013):

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Kolesterol total 205 mg/dL <200

Trigliserida 132 mg/dL <160

HDL Direk 48 mg/dL >40

Kolesterol LDL 130 mg/dL <100

Asam urat 4,1 mg/dL <5,7

GD jam 06.00 119 mg/dL <110

GD jam 09.00 100 mg/dL <110

- CT-scan (3-12-2013):

Atrofi cerebri. Tidak tampak midline shift. Pons dan cerebellum baik.

- EKG (3-12-2013)

16

Page 17: Case MG

Sinus takikardi: 126 bpm

Kompleks prematur supraventrikular

- Hasil Konsultasi Spesialis Paru (3-12-2013)

Diagnosis Kerja : Obs. Dyspnoe ec suspek PPOK

Ikhtisar Klinik : Mohon konsul dan penatalaksanaan TS. BTK.

Penemuan : Batuk berdahak (+), riwayat merokok (+). PF ves +/+ rh -/-

wh -/-

Diagnosis : PPOK eksaserbasi

Nasehat : Inhalasi Combivent 4x/hari, Flexotide 2x/hari

Bisolvon 3x1

Fosmycin 2x2gr

Aminophylin 1x100

Teo/Salb 3x1

17

Page 18: Case MG

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Dari data yang didapatkan melalui anamnesis, pasien merupakan seorang laki-laki berusia

berkisar antara dekade kelima dan keenam, yaitu 57 tahun, dimana myasthenia gravis banyak

ditemukan pada perkiraan usia tersebut pada laki-laki. Sedangkan pada wanita, penyakit ini

lebih sering timbul pada usia dekade kedua dan ketiga. Akan tetapi, usia bukan merupakan

faktor risiko utama penyebab myasthenia gravis, karena penyakit ini ditemukan hampir

secara merata baik pada usia dewasa, tua, maupun muda, seperti pada bayi yang baru lahir

tanpa ditemukan adanya kelainan genetic dalam keluarga. Selain itu, myasthenia gravis juga

lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Pasien pertama kali datang ke RSUD Budhi Asih pada tanggal 23 Agustus 2013 ke Poliklinik

Mata dengan keluhan sulit membuka kedua mata yang kian dirasa semakin berat. Pada

pemeriksaan visus, didapatkan ketajaman penglihatan pasien memang menurun tetapi hal

tersebut tidak disebutkan menjadi keluhan yang baru saja dialami dan mengganggu aktivitas

pasien. Kesulitan membuka kedua kelopak mata yang semakin berat pada sore hari ini dapat

mengarahkan kepada beberapa kemungkinan letak dari lesi, seperti pada pusat atau

persyarafan yaitu nervus cranialis III (Nervus Okulomotorius), pada taut neuromuscular, dan

pada Musculus Levator Palpebrae Superior. Dari keluhan ini didapatkan bahwa penyebab

18

Page 19: Case MG

dari gangguan yang paling memungkinkan adalah pada taut neuromuscular antara N.

Okulomotorius dengan motor end plate pada M. Levator Palpebrae Superior, karena apabila

kerusakan terjadi pada N. III, maka seharusnya fungsi dari nervus cranialis ini seperti

pergerakan bola mata akan ikut terganggu sehingga terjadi penglihatan ganda. Selain itu,

kelainan pada otot seperti infiltrasi lipid pada daerah orbital (pada exophtalmic

ophtalmoplegia) yang menyebabkan terjadinya eksoftalmus karena timbunan lemak juga

sehingga terjadi kesulitan untuk membuka kelopak mata juga tidak ditemukan.

Selanjutnya pasien datang ke Poli Jantung dan didiagnosis dengan Hypertensive Heart

Disease/ HHD lalu diberikan obat-obatan antihipertensi. Hipertensi merupakan salah satu

faktor risiko dari stroke.

Lalu pada tanggal 2 Desember 2013, pasien kembali datang ke IGD karena tidak bisa

menelan dan bicara menjadi pelo. Bicara pelo (dysarthria) dan tidak dapat menelan (dysfagia)

dapat disebabkan karena adanya gangguan dari persyarafan yang mempengaruhi otot-otot

untuk bicara (N. XII) ataupun untuk menelan (N. X), pada taut neuromuscular, maupun pada

otot-otot lidah untuk berbicara maupun menelan tersebut sendiri. Pada pemeriksaan selama

pasien masuk ke IGD hingga selama perawatan, tidak disebutkan adanya mulut yang

mencong, hanya saja pasien menjadi cadel dan adanya kesulitan menelan. Pasien memiliki

tekanan darah tinggi (165/100 mmHg) saat diperiksa. Dari keluhan dan hasil pemeriksaan

fisik, pasien didiagnosa dengan CVD stroke. Stroke merupakan suatu sindrom yang

disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak dengan awitan akut, disertai manifestasi

klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat dari tumor, trauma ataupun infeksi

susunan saraf pusat. Faktor risiko dari stroke diantaranya adalah usia, jenis kelamin, genetic,

hipertensi, merokok, diabetes mellitus, penyakit jantung, dislipidemia, serta obesitas.2 Pasien

sendiri memiliki beberapa faktor risiko stroke, seperti hipertensi, obesitas, rokok,

dislipidemia dan hypertensive heart disease. Pada pemeriksaan fisik selama pasien dirawat

dengan diagnosis CVD stroke suspek hemoragik, didapatkan hemiparesis sinistra dari

pemeriksaan motorik yang menunjukkan kekuatan otot ekstremitas sisi kanan dinilai 5 dan

sisi kiri 4. Selain itu, pada pemeriksaan nervus cranialis, didapatkan adanya parese N. IX dan

X kanan dan dysarthria. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadi lesi pada batang

otak yang menunjukkan hemiparese atau hemiplegia alternans, yaitu kelemahan pada satu sisi

dari ekstremitas yang berlawanan dengan kelemahan pada sisi yang dipersarafi oleh nervus

cranialis tertentu. Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan letak lesinya,

yaitu stroke kortikal dan stroke batang otak. Akan tetapi pada kasus ini tidak terdapat lesi dari

N. Cranialis lain seperti N. VII dan N. XII. Pada pasien terdapat dua kemungkinan stroke

19

Page 20: Case MG

yang terjadi, yaitu stroke kortikal dengan pseudobulbar palsy (suatu sindroma dysarthria,

disfagia dan hiperefleks dari reflex muntah dan respons emosional labil yang disebabkan oleh

lesi batang otak UMN bilateral yang berlawanan dengan bulbar palsy dimana kelainannya

merupakan LMN berkaitan dengan nervus cranialis)3 atau stroke batang otak karena adanya

gejala-gejala seperti kesulitan menelan yang dapat ditemukan pada kelainan reflex batang

otak N. IX dan N. X.

Pada pemeriksaan penunjang juga didapatkan adanya leukositosis reaktif pada saat masuk

IGD yaitu setinggi 12700 dan hiperglikemia reaktif yaitu setinggi 116, yang menunjukkan

adanya tanda inflamasi akut yang dapat disebabkan oleh gangguan peredaran darah ataupun

infeksi, karena suhu pasien selama beberapa hari awal subfebris (37,60C dan 37,80C). Pasien

menerima terapi medikamentosa untuk menurunkan tekanan darah yaitu dengan pemberian

antihipertensi seperti Captopril 3x25mg secara oral dan Mersitopril 12gr secara parenteral.

Pasien juga menerima terapi berupa neuroprotektor, yaitu Takelin 1gr/ 12 jam. Pada hari

kedua perawatan, tampak cairan kehitaman pada NGT yang terpasang, hal ini menunjukkan

terjadinya stress ulcer pada lambung yang dapat disebabkan oleh hipertensi, sehingga pasien

diberikan Pansoprazole dan Propepsa, sebagai protector dari mukosa lambung. Pasien juga

mengeluhkan sesak dengan batuk berdahak yang tidak disertai dengan adanya rhonki ataupun

wheezing. Untuk sesak, dapat ditimbulkan oleh beberapa kausa, diantaranya kelainan pada

paru, jantung, ataupun kelainan diluar kedua organ tersebut, yaitu kelainan pada otot-otot

yang mengatur pernafasan, misalnya pada diafragma atau otot-otot intercostalis. Apabila

terdapat kelainan pada otot, maka yang dapat menjadi kemungkinan penyebabnya adalah

kelainan pada inervasi dari otot pernafasan, taut neuromuscular, ataupun kelainan pada otot

tersebut sendiri. Akan tetapi, setelah dikonsultasikan dengan bagian paru, PPOK (Penyakit

Paru Obstruktif Kronik) yang dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok pasien dan

selanjutnya diberikan penatalaksanaan sesuai dari bagian paru.

Setelah enam hari, tampak perbaikan dari pasien, dysarthria disebutkan (-) pada pemeriksaan

fisik, pasien dapat menelan dan fungsi motorik keempat ekstremitas tampak baik. Hasil CT-

scan menunjukkan tidak ada lesi hipodens maupun hiperdens, kecuali tampak atrofi cerebri.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang selama rawat inap, pasien didiagnosis

dengan CVD stroke iskemik dan PPOK.

Pada tanggal 11 Desember 2013, pasien datang kembali untuk control di Poli Neurologi.

Didapatkan dari anamnesis bahwa mata pasien sudah sulit membuka selama tiga bulan. Saat

baru bangun tidur, mata dapat terbuka lebar lalu kemudian menutup setelah beraktivitas.

Didapatkan fungsi motorik keempat ekstremitas pasien baik dan kesan ptosis bilateral. Hal ini

20

Page 21: Case MG

dapat disebabkan oleh adanya lesi pada syaraf yang menginervasi M. Levator Palpebrae,

yaitu N. Facialis (N. VII), taut neuromuscular, maupun pada M. Levator Palpebrae. Tetapi

apabila dilihat dari keluhan bahwa mata semakin menutup setelah beraktivitas, dan sudah

dirasakan sejak pasien pertama kali datang ke Poli Mata tanggal 23 Agustus 2013, dapat

disimpulkan bahwa ptosis yang dialami pasien bersifat fluktuatif. Pada tanggal 28 Januari

2014, pasien masih mengeluhkan hal yang sama, juga disertai dengan keluhan bahwa pasien

merasa silau apabila melihat cahaya lampu atau matahari tidak seperti biasanya, yang dapat

disebabkan karena adanya kelainan pada reseptor cahaya pada retina atau menurunnya

kemampuan pupil untuk mengatur banyak cahaya yang masuk ke retina dengan kontraksi

pupil/ miosis. Kedua keluhan ini dapat menunjukkan adanya kemungkinan kelemahan dari

otot-otot yang dipersyarafi oleh N. III tanpa disertai keluhan kelemahan fungsi otot lain yang

sama-sama dipersyarafi N. III, maka kemungkinan kelainan terdapat pada taut neuromuscular

antara N. III dengan M. Levator Palpebrae dan M. Konstriktor Pupil. Pada tangga; 10 Januari

2014, pada pasien dilakukan pemeriksaan EMG yang menunjukkan hasil Tes Harvey

Masland (+). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan, diagnosis

yang dapat dipertimbangkan salah satunya adalah Myastenia Gravis (MG).

Myastenia gravis merupakan gangguan neuromuscular yang ditandai dengan adanya

kelemahan dari otot skeletal. Dasar dari kelainan ini adalah menurunnya jumlah dari reseptor

asetilkolin pada taut neuromuscular karena adanya antibody (serangan autoimun). Pada taut

neuromuscular, asetilkolin dihasilkan pada terminal dari syaraf motorik dan disimpan di

dalam vesikel. Ketika potensial aksi sampai di ujung dari syaraf motorik, maka akan terjadi

pelepasan asetilkolin dari 150 – 200 vesikel dan bergabung dengan reseptornya yang berada

pada lipatan postsinaptik. Ketika Ach dilepaskan dan bergabung dengan AChR, maka akan

terjadi pembukaan kanal dan terjadi depolarisasi pada end-plate dari otot. Jika depolarisasi

cukup untuk terjadinya potensial aksi, maka selanjutnya akan memicu terjadinya kontraksi

otot. Proses ini kemudian akan diakhiri dengan adanya hidrolisis dari ACh oleh

asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat pada lipatan postsinaptik dan dengan adanya difusi

dari ACh dari reseptornya. Kegagalan dari transmisi pada banyak taut neuromuscular

mengakibatkan kelemahan dari kontraksi otot. Jumlah ACh yang dilepaskan per impuls

biasanya akan berkurang pada aktivitas yang berulang. Hal ini menjelaskan mengapa pada

MG terjadi adanya kontraksi yang makin berkurang dari otot setelah pemakaian berulang-

ulang. Gejala cardinal dari MG adalah kelemahan dan kelelahan otot. Kelemahan akan

semakin meningkat selama penggunaan berulang dan dapat membaik setelah beristirahat atau

tidur. Eksaserbasi dari MG dapat terjadi, biasanya pada beberapa tahun pertama dari onset.

21

Page 22: Case MG

Infeksi yang tidak berhubungan atau adanya gangguan sistemik dapat meningkatkan

kelemahan myastenic dan mempresipitasi myasthenic crisis. Distribusi dari pola kelemahan

otot memiliki karakteristik tersendiri. Otot-otot cranial, biasanya kelopak mata dan otot-otot

ekstraokular sering terkait pada MG stadium awal, dan diplopia, dan ptosis sering dijumpai

sebagai keluhan awal. Selanjutnya kelemahan facial mengakibatkan adanya ekspresi

“menggertak” ketika pasien tersenyum. Kelemahan untuk mengunyah sangat terlihat setelah

beberapa waktu karena kelemahan palatum, lidah, dan faring. Akan terjadi gangguan

berbicara karena adanya kelemahan dari palatum atau dysarthria karena adanya kelemahan

pada otot lidah. Kelemahan ekstremitas biasanya proksimal dan asimetris. Apabila kelemahan

pada respirasi semakin meningkat, maka dapat terjadi krisis.4

Myastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi empat grup, yaitu:

- Ocular Myasthenia: otot yang terlibat adalah otot-otot ekstraokular dan kelopak

mata, yang kemudian akan menjadi myasthenia general setelah 18 bulan.

- Mild Generalized Myasthenia: dapat diawali dengan ocular myasthenia yang juga

disertai dengan kelemahan dari otot-otot facial, mastikasi, dan ekstremitas

proksimal dan dapat menjadi general dalam periode 18 bulan.

- Severe Generalized Myasthenia: terdapat juga kelemahan dari otot bulbar dan

ekstremitas sehingga terjadi keterbatasan untuk beraktivitas.

- Crisis: myasthenia gravis dengan gagal nafas. Onsetnya mendadak dan dipicu oleh

infeksi. Dapat berawal dari ISPA yang kemudian menjadi bronchitis berat dan

peneumonia.5

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis MG adalah dengan Tes

Edrofonium (inhibitor AChE), elektromiografi/ EMG dan stimulasi syaraf repetitive, dan

biopsy otot untuk melihat apakah terdapat proses miopati dengan gambaran klinik seperti

myasthenia, seperti polimyositis. Diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan adalah

polimyositis, Myasthenic Syndrome (Lambert-Eaton Syndrome), Botulisme, dan

Pseudobulbar palsy.

Penatalaksanaan untuk myasthenia gravis dapat dibagi menjadi penatalaksanaan simtomatik,

penatalaksanaan imunosupresif, dan penatalaksanaan krisis myasthenia. Pada

penatalaksanaan simtomatik, diberikan inhibitor kolinesterase (AChE), yang dapat digunakan

diantaranya adalah pyridostigmine bromide (hingga 600mg/hari secara oral dengan dosis

yang disesuaikan dengan gejala), ambenonium (5-25 mg 3-4 kali sehari secara oral dengan

dosis maksimum 200 mg/hari), dan neostigmine (hingga 150 mg/hari). Penatalaksanaan

22

Page 23: Case MG

imunosupresif dapat dilakukan dengan thymektomi (pada pasien yang penyebabnya dipicu

dari keganasan pada thymoma) atau secara medikamentosa dengan pemberian kortikosteroid

yang merupakan lini pertama pengobatan imunosupresif pada MG, imunosupresif nonsteroid

seperti azathrioprine dan siklosporin, dan penatalaksanaan jangka pendek yaitu dengan

pemberian IVIG (intravenous immunoglobulin) atau plasmafaresis yang dapat digunakan

pada krisis myasthenia, sedangkan penatalaksanaan krisis myasthenia dapat dilakukan dengan

bantuan ventilator, monitor dari fungsi pernafasan dan gejala bulbar. Ketika pasien di-

intubasi, maka penatalaksanaan dengan antikolinesterase harus dihentikan karena dapat

memicu terjadinya sekresi berlebihan, dan pemberian kortikosteroid dapat memperpanjang

masa krisis dengan adanya eksaserbasi kelemahan atau meningkatkan predisposisi terhadap

infeksi. Beberapa obat-obatan juga dapat memperburuk MG, seperti antibiotic (terutama

golongan aminoglikosida), beta blocker, Ca channel blocker, chloroquine, kuinidin, kuinin,

fenotiasin, prokainamid, dan lain-lain.6

Daftar Pustaka

1. Shah A. K., Lorenzo N. Medscape. Myasthenia Gravis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a0156. Accessed on

January 31st, 2014.

2. Dewanto G., Suwono W. J., Riyanto B., Turana J. Panduan Praktis Diagnosis dan

Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC: 2009. P. 24-6.

3. Weerakkody Y., Stanislavsky A. Radiopaedia.org. Pseudobulbar Palsy. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a0156. Accessed on:

February 3rd, 2014.

4. Hauser S. L., Josephson S. A., English J. D., Engstrom J. W. Harrison’s Neurology in

Clinical Medicine. Drachman D. B., Myasthenia Gravis and Other Diseases Of The

Neuromuscular Junction. New York: The Mc-Graw Hill: 2006. P 527-30.

5. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: Mc-Graw Hill: 2000. P. 641-4.

6. Brust. J. C. M. Current Diagnosis and Treatment Neurology. 2nd ed. Patterson S. K.,

Kaufmann P., Sosinsky M. S. Myasthenia Gravis & Other Disorders od the

Neuromuscular Junction. New York: Mc-Graw Hill: 2012. P. 351-4.

23