case interna

19
LAPORAN KASUS SEORANG PENDERITA ANEMIA BERAT DENGAN HIPERSPLENISME Di susun oleh : Nama : Carolina Bonsapia, S.Ked Nim : 200852012 PEMBIMBING : dr.Elisjabet S Rumbino, Sp.PD

Upload: atha-samansa-momot-lagu

Post on 10-Dec-2015

235 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

laporan kasus interna

TRANSCRIPT

Page 1: Case Interna

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA ANEMIA BERAT DENGAN HIPERSPLENISME

Di susun oleh :

Nama : Carolina Bonsapia, S.Ked

Nim : 200852012

PEMBIMBING :

dr.Elisjabet S Rumbino, Sp.PD

SMF PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2014

Page 2: Case Interna

SEORANG PENDERITA ANEMIA BERAT DENGAN HIPERSPLENISME

Carolina Bonsapia

S. Elisjabet Rumbino

KASUS

Seorang perempuan Nn.N.C, 13 tahun, suku jawa, pendidikan SMP, tinggal di ujung

karang Arso Timur datang ke RSU Dok II tanggal 9 februari 2014 dengan keluhan utama badan

terasa lemas.

ANAMNESIS

Keluhan Utama: Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang : 4 hari SMRS pasien mengeluh badan lemas , nyeri kepala, demam

(tidak ada), sesak (tidak ada), pasien tampak pucat, mual dan muntah-muntah. Pasien mengaku

muntah-muntah akibat minum obat Darplex , muntah 1x di rumah. Makan dan Minum menurun,

BAB/BAK baik, kemudian Pasien di bawa ke Puskesmas dan dari Puskesmas pasien di Rujuk

ke Rumah Sakit di Swakarsa. Di Rumah Sakit pasien di tangani dengan pemberian cairan

kemudian di Cek Darah Lengkap. Dari hasilnya diketahui Hbnya rendah kemudian pasien di

rujuk ke RSUD Dok II.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sering terkena Malaria Tertiana sejak umur 1 tahun.

Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien menderita penyakit yang sama.

PEMERIKSAAN FISIK

Pasien tampak lemas, kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/40 mmHg, nadi

96x per menit teratur, pengisisan cukup, pernapasan 22x per menit, temperatur aksila 37°C.

Pada pemeriksaan kepala tampak adanya konjungtiva anemis, sklera ikterus, pembesaran

kelenjar getah bening tidak ada,oral candidiasis tidak ada, tidak tampak adanya sianosis dan

dispneu. Pada pemeriksaan dada tidak didapatkan spider nevi, pada auskultasi didapatkan suara

jantung S1 dan S2 tunggal, murmur tidak ada, gallop tidak ada. Pada pemeriksaan paru

didapatkan suara nafas vesikuler , tidak didapatkan ronki, whezzing dan suara tambahan.

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus ,tidak didapatkan nyeri tekan

epigastrium, hati membesar dua jari di bawah lengkung iga, limpa membesar schufner 6-7,

Page 3: Case Interna

dan tidak didapatkan asites. Ekstremitas didapatkan akral hangat, tidak didapatkan eritema

palmaris dan edema.

HASIL LABORATORIUM

Hari pertama MRS di RSU Dok II Jayapura ( 9 februari 2014)

Hb : 4,2 gr/dL, Leu : 3900/mm3, DDR Negatif.

Diagnosa saat masuk UGD : Anemia Berat + Susp.Hepatitis

Terapi saat masuk UGD : IVFD RL 500 cc + Neurobion 1 ampul / 12 jam, Inj.Antrain 3x1 amp

(IV).

PERJALANAN PENYAKIT

Pada hari pertama perawatan (10-2-2014), pasien merasa pusing dan lemas serta batuk,

nafsu makan kurang, BAK warna seperti teh tua, GCS 456, TD 80/40 mmHg, nadi 96 x/menit

teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,9°C. Hepar 2 jari bac, lien S6-7.

Diagnosa : Anemia berat + Hepatosplenomegali.

Pasien direncanakan pemeriksaaan Hapusan Darah Tepi, Feritin, Retikulosit count, DL, Diff

Count, RFT, LFT, dan FL. DDR saat demam.

Terapi : Cairan : Infus RL ditambah Neurobion 1 amp per 12 jam, antrain 3x1 ampul (iv). Pro.

Transfusi PRC 1 Kantong.

Pada hari kedua perawatan (11-2-2014), tidak ada keluhan,makan sudah baik dan BAK

sudah tidak berwarna seperti teh tua. GCS 456, TD 110/70 mmHg, nadi 95 x/mnt teratur,

pernafasan 24 x/menit, temperatur aksila 37C°. Hepar 2 jari bac, lien S6-7. Hasil laboratorium Hb

: 3,8 gr/dL, Leukosit : 2,7 ribu/uL, Eritrosit : 1,6 juta/uL, Trombosit : 124 ribu/uL, HCT : 13%,

MCV : 81 fL, MCH : 24 pg, MCHC : 30 g/dL, Retikulosit : 11 ,8%, LED : 75-128 mm/jam,

Ureum : 26 mg/dL, Kreatinin : 0,6 mg/dL. SGOT : 46 u/L, SGPT : 18 u/L. HDT : Eritrosit sangat

anisitosis dan poikilositosis, Leukosit : kesan jumlah menurun, morfologi normal. Trombosit :

kesan jumlah menurun, morfologi normal. Pemeriksaan DDR Negatif.

Diagnosa : Anemia berat + Splenomegali.

Terapi : infus RL ditambah Neurobion 1 amp per 12 jam, antrain 3x1 ampul (iv) k/p.

Page 4: Case Interna

Pada hari ketiga perawatan (12-2-2014), tidak ada keluhan, makan sudah baik, dan BAK

sudah berwarna kuning muda. GCS 456, TD : 100/50 mmHg, nadi 60x/mnt teratur, pernafasan

18x per menit, temperatur aksila 36°C. Hepar 2 jari bac, lien S8.

Diagnosa : Anemia Berat + Hipersplenisme.

Pasien direncanakan : cek DDR bila demam. Pro Transfusi PRC 150 cc.

Terapi : infus RL ditambah Neurobion 1 amp per 12 jam, antrain 3x1 ampul (iv) k/p. Diet TKTP.

Pada hari keempat perawatan (13-2-2014), tidak ada keluhan, makan sudah baik, dan

BAK sudah berwarna kuning muda, GCS 456, TD:100/60 mmHg, nadi 65x/mnt teratur,

pernafasan 20x/mnt, temperature aksila 36,3°C. Hepar 2 jari bac, lien S8. Hasil laboratorium :

Hb : 6,7 gr/dL, Leukosit : 2,1 ribu/uL, Eritrosit : 2,60 juta/uL, Trombosit : 5 ribu/uL, HCT:

19,2%, MCV : 74 µ m3, MCH : 25,8 pg , MCHC : 34,9 g/dL.

Diagnosa : Anemia berat + Hipersplenisme.

Pasien direncanakan : cek DDR bila demam.

Terapi : infus RL ditambah Neurobion 1 amp per 12 jam, Venofer 1x1 ampul (iv).

Pada hari kelima perawatan (14-2-2014), tidak ada keluhan, makan sudah baik, dan

BAK sudah berwarna kuning muda, GCS 456, TD:100/80 mmHg, nadi 70x/mnt teratur,

pernafasan 26x/mnt, temperature aksila 36,8°C. Hepar 2 jari bac, lien S8.

Diagnosa : Anemia berat + Hipersplenisme.

Pasien direncanakan Transfusi PRC 150 cc.

Terapi : infus NaCl 0,9% (asnet) , Venofer 1x1 ampul (iv).

Pada hari keenam perawatan (15-2-2014), tidak ada keluhan, makan sudah baik, dan

BAK sudah berwarna kuning muda, GCS 456, TD:100/80 mmHg, nadi 60x/mnt teratur,

pernafasan 24x/mnt, temperatur aksila 36,5°C. Hepar 2 jari bac, lien S8. Hasil laboratorium :

Hb : 8,6 gr/dL, Leukosit : 3,26 ribu/uL, Eritrosit : 3,17 juta/uL, Trombosit : 61 ribu/uL, HCT :

28,8%, MCV : 90,9 µ m3 , MCH : 27,1 pg , MCHC : 29,9 g/dL.

Diagnosa : Hipersplenisme.

Terapi : infus NaCl 0,9% (asnet) , Venofer 1x1 ampul (iv).

Pada hari ke-7 perawatan (17-2-2014), penderita dipulangkan.

Page 5: Case Interna

PEMBAHASAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering di jumpai di klinik di seluruh dunia,

di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di Negara berkembang.

Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility). Anemia secara fungsional

di definisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat

memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

Berdasarkan kriteria anemia menurut WHO yaitu laki-laki dewasa < 13 g/dL, wanita dewasa

tidak hamil < 12 g/dL, wanita hamil < 11 g/dL. Beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan

tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up

anemia. Secara klinis, gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena

iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar

hemoglobin (Hb).

Gejala ini muncul setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7 g/dl).

Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-

kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat,

yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.

Diagnosa anemia dibedakan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laoratorik.

Pemeriksaan laboratorik terdiri dari : pemeriksaan penyaring, yaitu dengan pengukuran kadar

hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Pemeriksaan seri anemia, meliputi hitung

leukosit, dan laju endap darah. Sedangkan pemeriksaan sumsum tulang di butuhkan untuk

diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia seperti anemia aplastik, anemia megaloblastik,

serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritoid.

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena : 1) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum

tulang; 2) kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) proses penghancuran eritrosit dalam

tubuh sebelum waktunya (hemolisis)

Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Pada anemia kronik

transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung.

Page 6: Case Interna

Di sini diberikan packed red cell (PRC), jangan whole blood. Pada anemia kronik sering

dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan.

Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

Pada awal penderita masuk UGD rumah sakit (9/02/2014) dilakukan pemeriksaan darah

di lab UGD, di dapat Hb yang rendah yaitu 4,2 gr/dL sehingga pasien di diagnosa Anemia

Berat.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :

1. pengobatan hendaknya diberikan berdasarkn diagnosis definitif yang telah

ditegakkan terlebih dahulu,

2. pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan,

3. pengobatan anemia dapat berupa : terapi untuk keadaan darurat seperti

misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa

pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan

hemodinamik, terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing

anemia,terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan

anemia tersebut.

4. Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita

terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantinus). Di sini harus

dilakuan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan

perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang

kemungkinan perubahan diagnosis.

5. Transfusi diberikan pada anemia perdarahan akut dengan tanda-tanda

gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jik

anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini

diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering

dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan

dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti

furosemid sebelum transfusi.

Pada pasien oleh karena Hb 4,2 g/dL maka diberikan transfusi darah PRC untuk

meningkatkan kadar hemoglobin.

Page 7: Case Interna

Hipersplenisme lebih difokuskan pada keadaan kerja limpa yang berlebihan dan dapat

menyebabkan penyakit. Hipersplenisme adalah suatu keadaan dimana ada terdapat : a.) anemia,

leukopenia, trombositopenia atau kombinasinya, b.) sumsum tulang normal atau hiperseluler, c.)

Pembesaran limpa, d.) Klinis membaik bila dilakukan pengangkatan limpa.Hipersplenisme dapat

primer atau sekunder. Hipersplenisme primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan sekunder

dapat disebabkan penyakit infeksi atau parasit, leukemia, limphosarkoma.Pembesaran limpa

dapat disebabkan oleh karena, 1.) proses inflamasi, 2.) kongestif /bendungan splenomegali, 3.)

hiperplasia splenomegali, 4.) infiltrat splenomegali, 5.) kista dan neoplasma. Penyebab

pembesaran limpa dapat dilihat pada tabel 1.

Page 8: Case Interna

Tabel 1. Penyebab pembesaran limpa.

Proses inflamasi kongestif/bendungan

splenomegali

Hiperplasia

splenomegali

Infiltrat

splenomegali

Kista dan

neoplasma

Akut / sub akut :

tifoid, sepsis, abses

limpa, infeksi

mononucleosis.

Kronik :

tuberkulosis,

Felty’s syndrome,

rheumatoid

arthritis, malaria.

Sirosis hepatis,

trombosis yang

dapat terjadi

penghambatan vena

splenika, kegagalan

jantung.

Anemia

hemolitik

murni, anemia

kronik dengan

ada atau

tidaknya

kerusakan

darah : penyakit

hemolitik sejak

bayi,

thalasemia.

Penyakit

Gaucher’s,

Amiloidosis,

Gargoilisme.

Kista limfa,

leukemia,

penyakit

Hodgkin’s,

metastasis

keganasan.

Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit diperut karena pembesaran limpa dan

peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari kapsul limpa. Pada anemia hemolitik,

pembesaran limpa dapat mendadak sakit dan disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-

tiba penghancuran eritosit yang berat. Demikian juga hasil pemeriksaan laboratorium selain

anemia, leukopeni, trombositopenia, atau kombinasinya dan ditambaha gejala-gejala dari penyakit

sekundernya.

Pada pasien didapatkan gejala klinis adanya pembesaran limpa S8,sehingga pasien di

diagnosa anemia berat + hipersplenime.

Anemia hemolitik autoimun (AIHA), merupakan suatau kelainan di mana terdapat

antibodi terhadap sel-sel eritosit sehingga umur eritrosit memendek. Perusakan sel-sel eritrosit

yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktifasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme

seluler atau kombinasi keduanya. Gejala klinis dari AIHA adalah sama seperti gejala umum

anemia : lemah, letih, lesu, seringkali disertai demam dan jaundice (sakit kuning). Urin berwarna

gelap sering ditemukan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda jaundice, pembesaran

limpa, pembesaran hati, dan pembesaran KGB. Anemia hemolitik autoimun dapat

diklasifikasikan sebagai berikut : 1.) anemia hemolitik autoimun tipe hangat klinisnya : gejala

Page 9: Case Interna

anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik dan demam, dan tipe dingin, klinisnya : sering terjadi

aglutinasi pada suhu dingin, hemolisis berjalan kronik, anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12

g/dL, sering didapatkan akrosianosis dan splenomegali. 2.) paroxysmal Cold hemoglobinuri,

klinisnya : mengigigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam,

sering disertai urtikaria. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit yaitu dengan

Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test) : sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein

yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibody monoclonal terhadap berbagai

immunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IG dan C3d. bia pada permukaan sel terdapat

salah satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi. Indirect Antiglobuln Test

(Indirect Coomb’s Test) : untuk mendeteksi autoantibody yang terdapat pada serum. Serum

pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat

pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjainya aglutinasi.

Anemia hemolitik non imun adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat

kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk mengantikannya.

Gejala klinisnya berupa lemah, pusing, cepat capek dan sesak, kadang mengeluh ada kuning dan

urinnya kecoklatan meski jarang terjadi. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa

kuning, splenomegali, takikardi dan aliran murmur pada katup jantung. Pemeriksaan laboratorium

didapatkan : retikulositosis, Hb menurun, MCV menigkat.

Pada pasien didapatkan anemia, ikterus, hipersplenisme dan pasien adalah wanita usia

muda, sehingga kemungkinan causa anemia + hipersplenisme adalah Anemia Hemolitik

Autoimun. Tapi pada pasien tidak dapat dilakukan pemeriksaan Coomb;s Test oleh karena tidak

ada pemeriksaan, sehingga tidak dapat ditegakkan apakah penyebabnya Anemia Hemolitik

Autoimun.

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yan menyerang

eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksua didalam darah. Infeksi malaria

meberikan gejala berupa demam, mengigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut

ataupun kronik. Manifestasi klinik dari berbagai plasmodium malaria dapat dilihat pada tabel 2.

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali.

Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi

sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di

Page 10: Case Interna

punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan

kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan ovale, sedang pada

P.falciparum dan malariae keluhan prodoromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak.

Plasmodiu

m

Masa inkubasi

(hari)

Tipe panas

(jam)

Relap

s

Rekurdensi Manifestasi Klinik

Falciparum 12 (9-14) 24,36,48 -- + Gejala gastro intestinal :

hemolisis; anemia;

ikterus hemoglobinuria;

syok; algid malaria;

gejala serebral; edema

paru; hipoglikemi;

gangguan kehamilan;

kelainan retina;

kematian.

Vivax 13 (12-17) →

12 bulan

48 ++ -- Anemia kronik,

splenomegali ruptur

limpa.

Ovale 17 (16-18) 48 ++ -- Sama dengan vivax

Malariae 28 (18-40) 72 -- + Rekurdensi sampai 50

tahun; splenomegali

menetap; limpa jarang

rupture; sindroma

nefrotik.

Tabel 2 . Manifestasi Klinik Infeksi Plasmodium

Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria”secara berurutan periode dingin (15-60

menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau kain sarung dan

pada saat mengigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan

meningkatnya temperatur; diikuti periode panas: muka penderita merah, nadi cepat dan panas badan

tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat , kemudian periode berkeringat :

Page 11: Case Interna

penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih

sering terjadi pada infeksi P.vivax, pada P.falciparum mengigigil dapat berlangsung berat ataupun

tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum, 36 jam pada P.vivax dan

ovale, 60 jam pada P.malariae.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme

terjadinya anemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara,

hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis,

penghamabatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali)

sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut,

limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam

pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami

pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam

makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.

Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari retikulum disertai peningkatan makrofag.

Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada

malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi

malaria ini mungkin menimbulakan respon imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis. Gejala

malaria timbul saat pecahnya eritosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah

demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam

terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oeh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh

parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritosit yang terinfeksi

parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit

dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutofil.

Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa. Splenomegali

adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,

menghitam dan menjadi keras karena tertimbun pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.

Pada pasien didapatkan pembesaran limpa dan anemia yang penyebabnya mungkin

disebabkan oleh karena malaria yang kumat-kumatan. Malaria yang kumat-kumatan pada pasien

menyebabkan terjadinya pembesaran limpa yang menetap akibat kemungkinan pengobatan yang

tidak adekuat.

Page 12: Case Interna

Pada pasien hipersplenisme primer, splenektomi adalah yang terutama sedangkan pada

hipersplenisme sekunder sangat tergantung dengan penyakit penyebabnya. Tindakan splenektomi

dilakukan pada pasien dengan trauma limfa, tumor limfa, penyakit limfa primer. Selain itu

splenektomi biasanya dilakukan pada pasien dengan anemia karena kelainan bentuk eritrosit,

kelainan hemoglobin dan pada pasien dengan trombositopeni sehingga dengan tindakan

splenektomi diharapkan penghancuran eritosit dan trombosit terhambat atau berkurang.

Hipersplenisme yang di derita oleh pasien adalah hipersplenisme sekunder yang

kemungkinan dapat di sebabkan oleh karena malaria kronis dan AIHA. Tindakan splenektomi

pada pasien ini tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan mortalitas akibat infeksi.

RESUME

Pasien perempuan umur 13 tahun MRS dengan keluhan utama lemas, nyeri kepala, tampak

pucat, mual dan muntah-muntah. Kesadaran compos mentis, demam (-), sesak (-), Makan dan

Minum menurun, BAB/BAK baik. Riwayat malaria tertian a sejak umur 1 tahun. Dari pemeriksaan

fisik di dapatkan kesadaran compos mentis, TD : 90/40 mmHg, N : 96x/m, RR : 20x/m, SB : 36,1ºC.

pemeriksaan status interna konjungtiva anemis, sklera ikterik, hati membesar dua jari di bawah

lengkung iga, limpa membesar shufner 6-7. Hasil laboratorium Hb : 3,8 gr/dL, Leukosit : 2,7

ribu/uL, Eritrosit : 1,6 juta/uL, Trombosit : 124 ribu/uL, HCT : 13%, MCV : 81 fL, MCH : 24 pg,

MCHC : 30 g/dL, Retikulosit : 11 ,8%, LED : 75-128 mm/jam, Ureum : 26 mg/dL, Kreatinin :

0,6 mg/dL. SGOT : 46 u/L, SGPT : 18 u/L. HDT : Eritrosit sangat anisitosis dan poikilositosis,

Leukosit : kesan jumlah menurun, morfologi normal. Trombosit : kesan jumlah menurun,

morfologi normal. Pemeriksaan DDR Negatif. Pasien di diagnosa : Anemia Hemolitik +

Hipersplenisme e.c AHIA + Malaria Kronis. Terapi : infus RL ditambah Neurobion 1 amp per 12

jam, antrain 3x1 ampul (iv) k/p.

Page 13: Case Interna

Daftar Pustaka

1. Sudoyo .W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III.Edisi

IV.2006.EGC.Jakarta.Hal.681

2. Burry Water Larry.Buku Saku Hematologi.Edisi 3.2001.EGC.Jakarta.Hal 106