case anemia
DESCRIPTION
anemiaTRANSCRIPT
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Seorang laki-laki umur 67 tahun datang dengan keluhan badan terasa lemas 2
minggu SMRS
Oleh:
Dimas Swarahanura, S.Ked
Aini Nur Syafa’ah, S.Ked
Bhisma Trisandimusa SM, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11
Mei sampai dengan 20 Juli 2015
Palembang, 7 Juli 2015
dr. Mukti, Sp.PD
1
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan keadaan berkurangnya kemampuan darah untuk
membawa oksigen yang biasanya disebabkan oleh penurunan jumlah sel darah
merah1, tercermin dari konsentrasi kadar hemoglobin2 dan hematokrit yang
rendah3. Hemoglobin merupakan protein khusus di dalam eritrosit yang berfungsi
sebagai pembawa oksigen (O2) ke seluruh tubuh untuk ditukarkan menjadi
karbondioksida (CO2)2.
Walaupun nilai normal dapat bervariasi di setiap laboratorium, kadar
hemoglobin biasanya <13.5 g/dl untuk laki-laki dan <11.5 g/dl pada perempuan
dewasa4. Di negara Barat, kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah
14 g/dl dan 12 g/dl untuk perempuan, dan 11 g/dl untuk perempuan hamil5.
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai baik di klinik maupun di
lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang
menderita anemia dengan sebagian besar tingggal di daerah tropik5. Di Indonesia,
melalui Riset Kesehatan Dasar (Rikesdes) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan menyatakan bahwa prevalensi anemia di Indonesia adalah 14.8% pada
tahun 2008.
Penyebab anemia dapat berupa faktor gizi dan non gizi. Faktor gizi terkait
dengan defisiensi vitamin dan mineral, sedangkan faktor non gizi terkait infeksi6.
Sedangkan menurut International Nutritional Anemia Consultative Group
(INACG), anemia dapat disebabkan oleh defisiensi zat gizi makro dan mikro.
Pada negara berkembang anemia disebabkan oleh asupan makanan yang tidak
adekuat, khususnya zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit (protein, besi,
asam folat, vitamin B12, vitamin C, vitamin A, dan zinc)7.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit mendasar. Oleh karena itu, dalam diagnosis anemia
tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus ditetapkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali
2
penyakit dasar tersebut tersembunyi sehingga hal ini akan dapat membantu klinisi
dalam mencari arah penyakit yang mungkin dapat membahayakan.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Tn. A
b. Umur : 67 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : -
f. Alamat : Jl. S. Parman RT 12 RW 03, Tegal Rejo, Lawang Kidul
g. Tgl masuk RS : 24 Juni 2015
II. ANAMNESIS
(Dilakukan pada tanggal 26 Juni 2015, pukul 15.00 WIB)
a. Keluhan Utama
Badan terasa lemas sejak 2 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan
Tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 bulan SMRS os mengeluh nyeri ulu hati. Nyeri menjalar (-),
demam (-), mual (+), muntah (-), sakit kepala (-), lemas (+), nafsu makan
menurun (+), BAB sedikit (+), BAK tidak ada keluhan. Os mengaku tidak
mau makan dan hanya mengonsumsi teh dan roti pada pagi hari. Os rutin
mengonsumsi jamu-jamuan.
Sejak 2 minggu SMRS os merasa badan terasa bertambah lemas (+),
nafsu makan menurun (+), mata berkunang-kunang (+), mual (+), muntah
(+), isi apa yang dimakan, frekuensi 2x/hari, banyaknya ± 2 gelas
belimbing, lendir (-), darah (-), cepat lelah (+), pusing (+), demam (-),
4
BAB sedikit (+), BAK tidak ada keluhan. Os masih mengonsumsi jamu-
jamuan.
Os di bawa ke IGD RSUD dr. H.M. Rabain karena badan terus
bertambah lemas. Saat di IGD os mengaku BAB berwarna hitam setelah
diberikan obat di IGD, frekuensi 1x, BAK tidak ada keluhan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat TBC (+) satu tahun yang lalu, minum OAT teratur dan
dinyatakan sembuh
Riwayat stroke (+) satu tahun yang lalu
Riwayat penyakit maag (+)
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi disangkal
Riwayat keluarga dengan kencing manis disangkal
f. Riwayat kebiasaaan
Riwayat mengonsumsi jamu-jamuan
Riwayat mengonsumsi obat herbal untuk menghilangkan rasa nyeri
III. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 26 Juni 2015, pukul 15.30 WIB)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tekanan darah : 130/80 mmHg
4. Nadi : 105 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
5. Pernapasan : 28 x/menit
6. Suhu tubuh : 36,7 oC
5
7. BB : 55 kg
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi tampak sakit sedang, warna rambut
hitam, alopesia (-)
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-), pupil isokor, RC (+/+)
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), cavum nasi
lapang, tidak keluar cairan, epistaksis (-)
4. Mulut
Sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah pucat (-), lidah kotor (-), atrofi
papil (-), pembesaran tonsil (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus externus
lapang, tidak ada keluar cairan.
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, struma (-), isthmus (-), pembesaran KGB (-).
7. Thoraks
Paru
Inspeksi: barrel chest (-), spider naevi (-), ginekomastia (-),
statis dan dinamis simetris kiri sama dengan kanan.
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus sama pada kedua lapang
paru
6
Perkusi: sonor, batas paru hepar ICS VI, peranjakan paru hepar
1 sela iga
Aukskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi: ictus cordis tidak teraba
Perkusi: batas atas ICS II, batas kiri LMC ICS V, batas kanan
LPS dekstra
Aukskultasi: HR 105 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi: Datar, venektasi (-), massa (-)
Palpasi: Fluktuasi (-), lemas, nyeri tekan epigastrium (+),
hepar/lien tidak tidak teraba
Perkusi: timpani, shiftting dullness (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
9. Genitalia: tidak dinilai
10. Ekstremitas: palmar eritem (-/-), edema pretibial (-/-), akral pucat
(+/+), clubbing finger (-/-), CRT >2”, koilonychias (+/+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
a. Laboratorium (25 Juni 2015)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
HEMATOLOGI
Hb
Eritrosit
Leukosit
Ht
Trombosit
MCH
MCV
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
3.7
1.4
13.5
11
319
26.4
78.6
0
0
78
15
7
14-18 g/dL
4.2-4.87 106/mm3
4.5-11 103/mm3
40-50 vol%
150-450 103/µL
27-31
82-92
0-1 %
1-3 %
50-70 %
20-40 %
2-8 %
Menurun
Menurun
Meningkat
Menurun
Normal
Menurun
Menurun
Normal
Normal
Meningkat
Menurun
Normal
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
18
22
< 37
< 41
Normal
Normal
V. DIAGNOSIS
Anemia suspek defisiensi besi e.c low intake + melena e.c suspek gastritis
erosif
VI. DIAGNOSIS BANDING
Anemia penyakit kronik e.c TB paru + melena e.c suspek gastritis erosif
VII. TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Istirahat
Diet BB TKTP
Farmakologis
8
IVFD NaCl gtt xxx/m (makro)
Inj. Lansoprazole amp 2x1
Inj. Ranitidin amp 2x1
Sukralfat sirup 3x1
Ferrous sulfat tab 3x100 mg
Vitamin C tab 3x100 mg
PRC 8 x 150 cc
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Ferritin dan TIBC
BTA I/II/III
Endoskopi
Benzidine Test
IX. PROGNOSIS
a. Ad vitam: bonam
b. Ad functionam: bonam
BAB III
9
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga
mengeluh tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS. Berdasarkan keluhan utama
dan keluhan tambahan dari pasien, dapat dipikirkan beberapa kemungkinan
penyebab lemas yaitu faktor intake nutrisi, gangguan tiroid, psikosomatik, atau
kelainan pada jantung. Dengan keluhan tambahan tidak nafsu makan dapat
disimpulkan bahwa penyebab lemas adalah karena kurangnya asupan makanan
yang dapat berakibat dehidrasi dan kelainan lain seperti anemia.
Anamnesis perjalanan penyakit yang didapatkan 1 bulan SMRS os mengeluh
nyeri ulu hati. Nyeri menjalar (-), demam (-), mual (+), muntah (-), sakit kepala
(-), lemas (+), nafsu makan menurun (+), BAB sedikit (+), BAK tidak ada
keluhan. Os mengaku tidak mau makan dan hanya mengonsumsi teh dan roti pada
pagi hari. Os rutin mengonsumsi jamu-jamuan.
Sejak 2 minggu SMRS os merasa badan terasa bertambah lemas (+), nafsu
makan menurun (+), mata berkunang-kunang (+), mual (+), muntah (+), isi apa
yang dimakan, frekuensi 2x/hari, banyaknya ± 2 gelas belimbing, lendir (-), darah
(-), cepat lelah (+), pusing (+), demam (-), BAB sedikit (+), BAK tidak ada
keluhan. Os masih mengonsumsi jamu-jamuan.
Os di bawa ke IGD RSUD dr. H.M. Rabain karena badan terus bertambah
lemas. Saat di IGD os mengaku BAB berwarna hitam setelah diberikan obat di
IGD, frekuensi 1x, BAK tidak ada keluhan.
Dari pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda
atau gejala dari anemia yaitu lemah, lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-
kunang, konjungtiva palpebra anemis, akral pucat. Dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium dengan kadar Hb, eritrosit, dan hematokrit yang
menurun.
Anemia pada pasien ini dapat didiagnosis dari penilaian MCV dan MCH
didapatkan bentukan darah yang hipokrom mikrositer.
10
Pada pasien ini ada kemungkinan memiliki anemia defesiensi besi atau anemia
penyakit kronik yang bisa saja disebabkan oleh infeksi TBC yang pernah
dideritanya. Berdasarkan anamnesis ditemukan bahwa pasien memiliki keluhan
tidak nafsu makan dan lebih banyak mengonsumsi roti dan minum teh yang dapat
menganggu absorpsi besi. Walaupun belum dilakukan tes laboratorium terhadap
TIBC dan feritin, namun dari pemeriksaan fisik terdapat koilonychia yang
mengarah kepada tanda anemia defesiensi besi.
Hal lain yang mungkin menjadi penyebab anemia pada pasien ini adalah
melena yang disebabkan oleh gastritis erosif. Gastritris erosif dapat menyebabkan
perdarahan pada saluran pencernaan atas. Jika perdarahan dalam jumlah banyak,
akan ditandai dengan BAB berwarna hitam (melena). Namun pada perdarahan
minimal seringkali darah tidak dapat terlihat pada feses. Maka dibutuhkan
pemeriksaan feses secara lanjut dengan menggunakan benzidine test untuk
memeriksa adanya darah pada feses. Perdarahan kronis yang lama walaupun
sedikit jika disertai dengan intake nutrisi yang kurang akan menyebabkan
pengeluaran penyimpanan besi dalam sumsum tulang dan hati. Hal inilah yang
dapat menyebabkan anemia defesiensi zat besi pada pasien gastritis erosive
kronis.
11
4.1 Anemia
4.1.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan massa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan tepi5. Anemia ditunjukkan dengan penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit, dan eritrosit2. Karena semua sistem organ
dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis yang
luas bergantung kepada kecepatan timbulnya anemia, usia individu,
mekanisme kompensasi, tingkat aktivitas, keadaan penyakit yang mendasari,
dan beratnya anemia3.
4.1.2 Kriteria
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit5.
Tabel 1. Kadar hemoglobin berdasarkan usia8
4.1.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan menurut faktor morfologi eritrosit dan
indeks-indeksnya atau etiologi. Pada klasifikasi morfologi anemia, mikro atau
makro menunjukkan ukuran eritrosit dan krromik untuk menunjukkan
warnanya. Terdapat tiga kategori besar yaitu, normokromik normositer,
hipokromik mikrositer, dan normokromik makrositer3.
13
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan morfologi eritrosit
Morfologi MCV (27-32 pg) MCH (80-95 fl)
Normokromik normositer Normal Normal
Normokromik makrositer Meningkat Normal
Hipokromik mikrositer Menurun Menurun
MCV (mean corpuscular volume): Hematokrit
Eritrosit(106/mm3)x10
MCH (mean corpuscular hemoglobin): Hemoglobin
Eritrosit(106/mm3)x10
Sedangkan berdasarkan etiologi, anemia dapat dikategorikan sebagai
berikut5:
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
i. Anemia defesiensi besi
ii. Anemia defesiensi asam folat
iii. Anemia defesiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilitas) besi
i. Anemia akibat penyakit kronik
ii. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
i. Anemia aplastik
ii. Anemia mieloplastik
iii. Anemia pada keganasan hematologi
iv. Anemia disentropoietik
v. Anemia pada sindrom mielodisplastik
vi. Anemia akibat kekurangan eritropoetin: anemia pada gagal ginjal
kronik
B. Anemia akibat hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
14
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
i. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
ii. Gangguan enzim eritrosit: anemia defesiensi G6PD
iii. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalasemia
Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
i. Anemia hemolitik autoimun
ii. Anemia hemolitik mikroangiopati
D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan patogenesis
yang kompleks
Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
Mikrositik Hipokrom Normositik Normokrom Makrositik
MCV<80 fl
MCH <27 pg
MCV 80-95 fl
MCH >26 pg
MCV >95 fl
Defisiensi besi
Talasemia
Anemia penyakit
kronik (beberapa
kasus)
Keracunan timbal
Anemia sideroblastik
Banyak anemia
hemolitik (Seperti
G6PD)
Anemia penyakit
kronik (beberapa
kasus)
Setelah perdarahan
akut
Penyakit Ginjal
Defisiensi campuran
Kegagalan sumsum
tulang, misalnya
kemoterapi, infiltrasi
Megaloblastik;
defisiensi vit B12
atau asam folat
Non megaloblastik:
alkohol, penyakit
hati, mielodisplasia,
anemia aplastik, dll
15
oleh karsinoma, dll
4.1.4 Prevalensi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500
juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik.
De Maeyer memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun
1985 seperti terlihat pada tabel berikut5:
Tabel 4. Prevalensi anemia
Untuk Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia
pada tahun 1989 sebagai berikut:
Anak prasekolah : 30 – 40%
Anak usia sekolah : 25 – 35%
Perempuan dewasa tidak hamil : 30 – 40%
Perempuanhamil : 50 – 70%
Laki-laki dewasa : 20 – 30&
Pekerja berpenghasilan rendah : 30 – 40%
4.1.5 Patofisiologi dan Gejala Anemia
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu.
Gejala umum anemia ini timbul karena anoksia organ dan mekanisme
kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
16
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun di bawah 10 g/dl. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
1. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai
sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin
sampai kadar tertentu (Hb<l g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mend.qnging (tinnitus), mata berkunang-kunang,
kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien
tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak
ensitive karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb
<7gld1).
2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-
masing jenis anemia. Sebagai contoh:
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia)
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B 12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia
tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada
anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
17
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada
umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
4.1.5.1 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kekurangan
zat besi (Fe) yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah.Defisiensi besi merupakan penyebab terbanyak dari anemia di
seluruh dunia.Diperkirakan 30 % dari populasi dunia mengalami anemia
akibat defisiensi besi. Zat besi selain dibutuhkan untuk pembentukan Hb
yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen, juga
terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme
oksidatif, sintesa DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme yang
bekerjanya membutuhkan ion besi.
Anemia ini merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Banyaknya Fe yang diabsorpsi dari makanan
kira-kira 10 % setiap hari sehingga untuk nutrisi optimal diperlukan diet
yang mengandung Fe sebanyak 8-10 mg Fe perhari. Fe yang berasal dari
ASI diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu sapi.
Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun
pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang
diharapkan, maka dari itu diet bayi harus mengandung makanan yang
diperkaya Fe sejak usia 6 bulan.
Anemia defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe
yang berlangsung lama. Bila keseimbangan besi ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Terdapat 3 tahap defisiensi
besi, yaitu :
18
Iron depletion : Ditandai dengan cadangan besi menurun atau tidak ada
tetapi kadar Fe serum dan Hb masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme.
Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis : Pada keadaan
ini didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis. Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar Fe serum
dan saturasi transferin menurun sedangkan TIBC dan FEP meningkat.
Iron deficiency anemia : Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari
defisiensi Fe. Keadaan ini ditandai dengan cadangan besi yang
menurun atau tidak ada, kadar Fe serum rendah, saturasi transferin
rendah, dan kadar Hb atau Ht yang rendah
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberi terapi penggantian
dengan preparat besi.Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau
parenteral.
1. Terapi Oral Senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral
adalah ferous glukonat, fumarat, dan suksinat dengan dosis harian 4-6
mg/kg/hari besi elemental diberikan dalam 2-3 dosis. Penyerapan akan
lebih baik jika lambung kosong, tetapi ini akan menimbulkan efek
samping pada saluran cerna. Efek samping yang dapat terjadi adalah
iritasi gastrointestinal, yang dapat menyebabkan rasa terbakar, nausea
dan diare. Oleh karena itu pemberian besi bisa saat makan atau segera
setelah makan, meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-
50%. Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi.
2. Terapi parental Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Kemampuan untuk meningkatkan kadar Hb tidak
lebih baik dibanding peroral. Indikasi parenteral: Tidak dapat
mentoleransi Fe oral Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak
dapat dikompensasi dengan Fe oral. Gangguan traktus gastrointestinal
19
yang dapat memburuk dengan pemberian Fe oral (colitis ulserativa).
Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal. Tidak
dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa Preparat
yang sering diberikan adalah dekstran besi, larutan ini mengandung 50
mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan : Dosis besi (mg)=BB(kg) x
kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5.
3. Terapi Transfusi Transfusi sel-sel darah merah atau darah lengkap,
jarang diperlukan dalam penanganan anemia defisiensi Fe, kecuali bila
terdapat pula perdarahan, anemia yang sangat berat atau yang disertai
infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Secara umum untuk
penderita anemia berat dengan kadar Hb<10 g/dl
4.2 Gastritis Erosif
4.2.1 Definisi
Gastritis akut erosif adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi3. Disebut erosi apabila kerusakan
yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Penyakit ini
dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai
penyulit penyakit-penyakit lain atau karena sebab yang tidak diketahui.
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-
kadang dapat menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran
cerna bagian atas.Penderita gastritis akut erosif yang tidak mengalami
pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai.
Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang
sering dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja.
Diagnosis gastritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung.
4.2.2 Patofisiologi
20
Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor
agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa).
Penggunaan aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-
obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan substansi erosif,
merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam
ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri,
sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas.
Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh
berbagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya,
seperti asam lambung, pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan
faktor eksogennya adalah obat-obatan, alkohol dan bakteri yang dapat
merusak integritas epitel mukosa lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh
karena itu, gaster memiliki dua faktor yang sangat melindungi integritas
mukosanya, yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor defensif meliputi
produksi mukus yang didalamnya terdapat prostaglandin yang memiliki peran
penting baik dalam mempertahankan maupun menjaga integritas mukosa
lambung, kemudian sel-sel epitel yang bekerja mentransport ion untuk
memelihara pH intraseluler dan produksi asam bikarbonat serta sistem
mikrovaskuler yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen utama yang
menyediakan ion HCO3- sebagai penetral asam lambung dan memberikan
suplai mikronutrien dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan efek
toksik metabolik yang merusak mukosa lambung. Gastritis terjadi sebagai
akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak, sehingga dinding
lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung.
Obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain
dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung,
dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung,
hal ini menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap
kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa,
karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan
sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan
21
dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang
bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding
lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan
akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar
lambung dan keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna
abu-abu atau kehijauan (gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung
akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya
anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk
karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan
ulkus peptikum
4.2.3 Gejala dan Tanda
Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan
muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian
disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika
dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan atau
bahan kimia tertentu.
Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi,
ketidaknyamanan abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan
dapat terjadi muntah, serta cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik
dan diare dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika
sudah mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari
meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari.
4.2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan medikal untuk gastritis akut adalah dengan
menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan posisi kecil dan sering.
Obat-obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa
22
antagonis reseptor H2 inhibition pompa proton, antikolinergik dan antasid
juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat dan prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien
dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan
menghentikan obat yang dapat menjadi kuasa dan pengobatan suportif.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida dan antagonis H2
sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan,
tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan
keadaan klinis yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi
nonsteroid pencegahan yang terbaik adalah dengan misaprostol, atau Derivat
prostaglandin mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun
efek teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera
berhenti bila keadaan si pasien membaik dan lesi mukosa akan segera normal
kembali, pada sebagian pasien biasa mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu
misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika kiri atau
gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Mitchel, Richard N., et al. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran Edisi 7. Jakarta: EGC; 2008.
2. Hoffbrand, A.V., J.E. Petit, P.A.H. Moss. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Jakarta. EGC; 2005.
3. Price, Sylvia A & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Edisi 6 Vol 1. Jakarta:
EGC; 2005.
4. Kee, Joyce LeFever. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
6. Jakarta: EGC; 2007.
5. Bakta, I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo, Aru
W., et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
6. Villipando, S., et al. Iron, zinc, and iodide status in mexican children under 12
years and women 12-49 years of age: a probabilistic national survey. Salud
Publica de Mexico [internet]. 2003 [diakses 4 Juli 2015]; 45:520-529.
Available from: (http://www.redalyc.org/pdf/106/10609808.pdf)
7. UNICEF. Prevention and Control of Nutritional Anemia: A South Asia
Priority [Internet]. Nepal: United Nations Children’s Fund: 2002 [diakses 4
Juli 2015]. Available from: (http://www.unicef.org/rosa/Anaemin.pdf)
8. World Health Organization. Haemoglobin concentration for the diagnosis of
anaemia and assessment of severity. VMNIS: Vitamin and Mineral Nutrition
Information System [Internet]: 2011 [diakses 4 Juli 2015]. Available from:
(http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf)
24