cak nur tentang sekularisasi politik

Upload: zay-zy

Post on 07-Aug-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    1/23

    100

    BAB IV

    ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

    SEKULARISASI POLITIK

    A. Kerangka Metodologis Pemikiran Nurcholish

    1.  Al-Qur’an dan Kebebasan Berpikir

    Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam Islam pendekatan terhadap al-

    Qur’an adalah awal untuk memaknai dan memahami apa yang menjadi

     pengetahuan berikutnya. Sebagai  primary resources, al-Qur’an tidak hanya

    menjadi media bagi ilmu pengetahuan tetapi juga objek ilmu pengetahuan itu

    sendiri. Karenanya, pemahaman awal terhadap al-Qur’an menjadi kata kunci

    untuk kemudian menetapkan sebuah hukum. Apalagi kemudian didasarkan atas

    fakta dan ketetapan para ulama (ijma’) bahwa al-Qur’an menempati posisi

    teratas1

     dalam hierarki sumber hukum Islam.

    Penafsiran terhadap al-Qur`an merupakan tahapan awal yang menentukan

    ekspresi keberagamaan seseorang. Karena bagaimanapun juga agama itu pada

    dasarnya mengandaikan hadirnya sebuah struktur masyarakat yang mengakui

    sebuah otoritas. Kristen mengakui Bibble dan umat Islam mengakui Qur`an.

    Kita menerima al-Qur`an itu sebagai kitab suci.

    Lalu alat apakah yang bisa kita gunakan untuk mencari makna dibalik

    teks-teks suci tersebut? Dalam khazanah tafsir klasik persoalan ini sebenarnya

    1  Imam Syafi’ie menggambarkan hierariki sumber hukum Islam dalam empat sumber yakni, al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    2/23

      101

    sudah banyak dibahas. Namun, satu hal yang perlu dicermati bersama, bahwa

    keterlibatan manusia dalam kerja-kerja penafsiran, selalu melibatkan proses

     penalaran. Karenanya, akan menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana

    akal berfungsi dalam kegiatan tafsir menafsir ini.

    Hal yang paling mendasar dari persoalan ini sebenarnya adalah sejauh

    mana kemampuan akal ketika berhadapan dengan wahyu Tuhan. Atau pada titik

    yang paling ekstrem bisa juga diajukan pertanyaaan yang agak menggelitik,

     bisakah kita melawan dan mengalahkan wahyu Tuhan? Adakah misalnya batas-

     batas operasi akal ketika menjadi subyek penafsir kehendak Tuhan. Ataukah

     batasannya itu justru merupakan kebebasan tanpa batas, seperti ketika Tuhan

    menggambarkan burung yang sedemikian bebas terbang dan tak seorangpun

     bisa menghentikannya kecuali dirinya ?

    Dua obyek yang menjadi fokus persoalan kita adalah kebebasan

     berfikir/akal (manusia) dan wahyu/al-Qur’an (Tuhan). Sebagian besar umat

    Islam menilai akal sebagai satu hal yang bersifat profan, partikular dan tidak

    memiliki kebenaran mutlak. Sedangkan wahyu, karena diyakini sebagai “fatwa

    langit” sudah barang tentu memiliki kebenaran mutlak. Kurang lebih

    demikianlah pendapat umum yang biasa kita tangkap dari corak pemikiran

    keumuman umat Islam.

    Pandangan ini menimbulkan implikasi terhadap agama yang hanya

    menjadi identitas tanpa signifikansi. Karena agama hanya dimiliki oleh individu

    yang otonom memiliki kebebasan dan bertanggung jawab. Dan semuanya ada

    dalam manusia yang berakal. Bukankah agama itu sendiri adalah wadl`un

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    3/23

      102

    ilaahiyyun saiqun lidzawil `uqquli bi ikhtiyaarihi iyyahu ila al-sholaahi fil haal

    wal falaahi fil maal. Agama hanya turun pada manusia yang berakal dan

    memiliki kehendak untuk bebas memilih jalan menuju kebahagiaan di dunia dan

    akhirat.

    Menurut Nurcholish, ijtihad merupakan sebuah proses yang harus

    dilakukan secara terus menerus dari pemikiran orisinal, berlandaskan penilain

    atas gejala-gejala sosial dan sejarah, yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali

     benar salahnya menurut ukuran prinsip-prinsip Islam. Karena ijtihad merupakan

     proses, maka sudah seharusnya umat Islam menggali kebenaran tanpa berhenti.

     Namun, yang menjadi masalah adalah, selama pengamatan penulis dalam

    membaca karya-karya Nurcholish, dalam menafsirkan teks-teks al-Qur’an

    sangat jarang Nurcholish “atau malah kelupaan” terhadap penampilan sebab-

    sebab turunnya ayat al-Qur’an, padahal hal itu merupakan salah satu hal

     penguat sehingga apa yang disajikan Nurcholish tidak terkesan kehilangan

    kekayaan nuansa dalam arti konsep-konsep yang dibangunnya sendiri.

    Menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Nurcholish adalah

    sebuah tindakan politik yang menginginkan agar Islam tetap dijalankan oleh

    umatnya. Tindakan politik itu yaitu dengan selalu menyandarkan segala sesuatu

    kepada teks-teks al-Qur’an, hal ini merupakan sebuah keniscayaan.

    Politik dari pengertian orang salaf, dalam pengajian KH. Dimyati Rois,

    disebutkan adalah sebuah upaya untuk tetap membuat umat Islam tetap jaya dan

    tidak ketinggalan dari barat. Sudah sepantasnya kita tetap berpegang kepada al-

    Qur’an dan hadits demi jayanya Islam.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    4/23

      103

    Sehingga apa yang dijelaskan secara panjang lebar di depan tentang Al-

    Qur’an dan Kebebasan Berpikir merupakan sebuah langkah politik dengan

    mengembalikan kembali al-Qur’an sebagai dasar utama tanpa melupakan

    kebebasan berfikir yang merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

    2.  Sosio-Politik

    Untuk memahami setting sosial politik kehidupan Nurcholish, terutama

    masalah gagasan dan pemikiran Islam yang dilontarkan oleh Nucholish, hal itu

     bisa dilacak aktifitasnya di lingkungan keluarga, di dunia pendidikan, serta

    aktifitasnya dalam organisasi dan juga tokoh yang dijadikan panutan oleh

     Nurcholish Madjid. Dari latar belakang inilah, paling tidak, gagasan dan

     pemikiran Nurcholish diwarnai dan dipengaruhi.

    Pada dasarnya, latar belakang pemikiran Nurcholish memiliki

    keseimbangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran modernis. Hal ini

    dikarenakan, Nurcholish Madjid adalah seorang tokoh yang secara intelektual

    dididik dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi keagamaan Islam yang kuat

    dan dunia keilmuan Barat yang kritis2  Seperti yang sudah dibahas diatas,

     pemikiran Nurcholish Madjid sedemikian rupa tidak bisa dilepaskan dari

     pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarganya. Pengaruh yang paling

    menonjol terletak pada seorang ayah yang berperan besar dalam membentuk

    “embrio” dan watak pemikiran keyakinan dan intelektualitas awal Nurcholish

    Madjid. Ayahnya yang pertama-tama mengajarkan, mendidik, dan menanamkan

    2 Junaidi, Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Logung Pustaka,2004, hlm. 1 

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    5/23

      104

    nilai-nilai Qur’an dalam jiwa Nurcholish Madjid meskipun ketika itu usia

     Nurcholish Madjid 6 Tahun.3 

    Pada sisi lain, ayahnya yang merupakan salah satu tokoh partai politik

    Islam Masyumi -yang berlatar belakang tradisionalis dan modernis- juga salah

    satu yang membangun dasar-dasar pemikiran Nurcholish secara politik.4 

    Pengalaman yang sangat berpengaruh lagi terhadap perkembangan

    intelektual Nurcholish Madjid adalah studinya di Pesantren Modern Darussalam

    Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pendidikan di Gontor ini yang pada akhirnya

    menunjang kemampuan Nurcholish menguasai bahasa Internasional, yaitu

    Arab-Inggris. Dengan kemampuan tersebut, Nurcholish mampu mengakses

     bahan bacaan yang cukup luas termasuk khazanah kitab-kitab klasik.5  Inilah

    yang menjadi andalan bagi kelanjutan belajar Nurcholish Madjid sehingga

    menghasilkan keluasan wawasan yang dijadikan bekal saat pergi ke Jakarta

     pada tahun 1961.6 

    Dorongan untuk membahas masalah keharusan pembaruan pemikiran

    Islam dan salah satunya adalah tema tentang sekularisasi dan masalah integrasi

    umat, menurut Nurcholish Madjid, merupakan sebuah keharusan mengingat

    kaum Muslimin Indonesia telah mengalami kejumudan dalam pemikiran dan

     pengembangan ajaran-ajaran Islam.7 Namun, sebuah dilema segera dihadapkan

    3  Ibid . hlm. 20

    4  Idris Thaha,  Demokrasi religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,Bandung: Mizan, hlm. 98

    5 Junaidi, op. cit., hlm. 22

    6  Ibid ., hlm. 26

    7 Nurcholish Madjid, Islam kemodernan dan keIndonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 204

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    6/23

      105

    kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam

    dirinya, dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan

    mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun

    dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya

    kekuatan-kekuatan moral yang ampuh?

    Memang, ada sebuah dilema ketika harus memilih apakah akan memilih

     jalur pemikiran dirinya, dengan merugikan integrasi yang didambakan, ataukah

    akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu,

    sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan

    hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh?

     Nurcholish sepengetahuan penulis menggunakan langkah pertama, setelah

     perjalanannya ke Amerika, hal ini bisa dikarenakan atas keterpukauannya atas

    apa yang dilihat oleh Nurcholish di Amerika ataukah karena keprihatinannya

    melihat kejumudan pemikiran Islam. Menurut hemat penulis, Nurcholish dilihat

    dari sosio-politik hanya ingin menyelamatkan Islam dari belenggu kejumudan

    yang sudah sedemikian mengakar.

    B. Analisis pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi Politik

    1.  Sekularisasi

    Sebelum penulis menganalisis sekularisasi politik pemikiran Nurcholish,

    ada baiknya jika penulis menganalisis sekularisasi dalam kajian akidah terlebih

    dahulu, penulis merasa penting untuk mencantumkannya, karena ini salah satu

    yang dijadikan pijakan oleh Nurcholish dalam menggagas paham sekularisasi.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    7/23

      106

    Penulis sendiri menganalisis, bahwa kelompok yang anti-sekularisasi

    menolak dengan alasan:

    1.  Dikarenakan memang tidak ada aturan yang jelas dari Islam mengenai

    konsep sekularisasi ini. Hal ini bisa disandarkan pada salah satu tokoh

    yang menolak dengan tegas tentang konsep sekuler, sekulerisme, dan

    sekulerisme. Al-Attas, pada dasarnya Islam secara total menolak

     penerapan apa pun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi, maupun

    sekularisme, karena semuanya itu bukanlah milik Islam dan berlawanan

    dengan Islam dalam segala hal.

    8

     

    2.  Penulis menganalisisnya dengan melihat latar belakang sejarah. Jika

    disimak latar belakang yang menyebabkan terjadinya sekularisasi di

    Indonesia, hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di

    Barat, yang notabene, sebagai tempat munculnya sekularisasi dan

    sekularisme, sehingga apa yang terjadi di Barat belum tentu bisa

    digunakan di Indonesia, apalagi bagi kebanyakan tokoh yang dengan tegas

    menolak penerapan sekularisasi.

    3.  Adanya salah faham dalam penggunaan makna. Suatu perdebatan

     biasanya memang hanya berupa salah pengertian yang disebabkan karena

     perbedaan persepsi atau sudut pandang. Begitu pula dengan istilah

    “sekularisasi”, harus diketahui dari sudut pandang mana orang melihatnya.

    Melihat dengan kacamata Barat tentu saja akan berlainan dengan

    kacamata kita orang Indonesia, begitu pula kalau yang digunakan adalah

    8  Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas,  Islam dan Sekularisme, 1981 ,  Penerjemah: KarsidjoDjojosoewarno, hal. 33

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    8/23

      107

    kacamata orang lain, karena masing-masingnya dilatarbelakangi oleh

    kultur, politik, maupun sejarah yang berlainan.9 

    Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menyimak kata-kata Nurcholish

    dalam membedakan antara konsep sekularisasi dengan sekularisme:

    Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekulerime, sebab

    seculerisme is the name for an ideology, a new closed world view with function

    very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap

     bentuk liberating development  proses pembebasan ini diperlukan karena umat

    Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan

    mana nilai-nilai yang disangka Islami itu mana yang transendental dan mana

    yang temporal.

    Jadi, menurut Nurcholish, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai

     penerapan sekulerisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi

    dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat

    duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan umat Islam umtuk

    mengukhrawikannya. Dengan demikian kesedian mental untuk selalu menguji

    dan menguji kebenaran suatu nilai dihadapkan kenyataan-kenyataan materill,

    moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi

    dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagi “khalifah

    allah di bumi”.

    Dari pemikiran Nurcholish diatas, sudah tentu terdapat pro dan kontra,

    Rasjidi adalah seorang yang paling keras menentang dalam pengistilahan yang

    9  Ibid  

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    9/23

      108

    digagas oleh Nurcholish. Terbukti dengan terbitnya buku Koreksi terhadap buku

     Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. sepengetahuan penulis, dalam buku 106

    halaman tersebut, lebih pada perdebatan masalah istilah sekularisasi.

    Soal istilah “sekularisasi” itu sendiri, misalnya, telah menimbulkan

     polemik keras sejak diluncurkan oleh Nurcholish Madjid pada 2 Januari 1970.

    Ketika itu, dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di

    Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid menyatakan: “…

    dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah

    kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk

    menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan

    melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”

    Dalam bukunya, HM Rasjidi mengritik keras cara-cara Nurcholish dalam

    menggunakan istilah yang dapat menimbulkan pengertian yang menyesatkan di

    kalangan muslim. Dengan mengampanyekan “sekularisasi”, Menurut Rasjidi,

     Nurcholish Madjid melukiskan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi

    dalam arti Tauhid.

    Dalam pengantar bukunya, ia semula merasa tidak perlu ikut berpolemik,

    karena lebih suka mengutamakan pendekatan secara personal dan persaudaraan

    serta dalam kalangan terbatas, sehingga dapat menghasilkan konklusi yang tepat

    dengan tidak menghebohkan masyarakat yang sebagian besar tidak dapat

    mengikuti argumentasi serta menyelami bidang perbedaan pendapat. Ia

    mengaku telah tiga kali menyampaikan pesan itu kepada Nurcholish, melalui

    teman-temannya. Namun, harapan Prof. Rasjidi tidak mendapat tanggapan.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    10/23

      109

    Kata Rasjidi: “Kalau soalnya seperti yang dituturkan saudara Nurcholish,

    maka segala sesuatu telah menjadi arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim

     boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, atau kopi

     jahe atau es jahe dan sebagainya dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau

    saya berkata, yang saya maksud dengan pisang goreng adalah sikap manusia

    yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja,

    maka tak seorang pun berhak melarang saya berbuat demikian. Mereka hanya

    ketawa dalam hati mereka, karena keanehan istilah tersebut.”

    Sebagai ilmuwan sejati, Rasjidi berusaha berdisiplin dalam menggunakan

    istilah. Bahkan, ia mengutip pendapat Alan Richardson dalam bukunya

    “ Religion in Contemporary Debate”, yang menyatakan, bahwa “Saya lebih

    suka mengatakan bahwa tujuan agama Kristen adalah untuk menghilangkan

     bidang sekuler, sehingga tak ada bidang kehidupan yang berada di luar kuasa

    Kristus.”

    Bagi para ilmuwan, kedisiplinan dalam penggunaan istilah adalah hal yang

     prinsip. Sebab, satu istilah yang sudah dikenal secara luas di kalangan ilmuwan,

    tidak mudah begitu saja diubah, tanpa ada teori baru yang kuat.

    Istilah sekularisasi merupakan istilah yang ‘mapan’ dan tidak bisa begitu

    saja digunakan secara serampangan. Apalagi, istilah yang muncul dalam latar

     belakang tradisi Kristen-Barat itu kemudian dicangkokkan begitu saja ke dalam

    khazanah tradisi Islam. Cangkok mencangkok satu istilah – tanpa melalui proses

    adopsi dan adapsi yang tepat – akan menimbulkan dampak yang fatal.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    11/23

      110

    Ia menulis dalam bukunya dengan nada prihatin terhadap ulah anak muda

    itu: “Soal yang begitu prinsipil tidak sepatutnya dilancarkan kepada umum

    sebelum ada diskusi yang matang di kalangan orang-orang yang merasa

     bertanggung jawab.”

    Itulah sepenggal kisah sosok Nurcholish Madjid saat diberi nasehat oleh

    seorang ilmuwan besar seperti Prof. Rasjidi. Ketika itu, Nurcholish bukanlah

    “apa-apa” dibanding Rasjidi. Tetapi, nasehat Rasjidi tidak digubris dan

    dibiarkan saja berlalu.

    Selain oleh Rasjidi, tokoh yang menolak Nurcholish adalah Amien Rais,

    walau dalam makalah maupun risalahnya tidak pernah menyebutkan nama

     Nurcholish, namun dari isi statementnya dapat diketahui bahwa ia menolak

    konsep yang ditawarkan oleh Nurcholish. Menurutnya:

    “Fenomena Amerika Latin…. Memperlihatkan bahwa tesis sekularisasi tidak laku di benua Katolik itu, sehingga asumsi bahwa sekularisasi adalah suatu gejala universal tidakdapat dipertahankan lagi. Karena itu, kita agak heran bahwa ada sementara orangIndonesia yang menawarkan sekularisasi, seolah-olah tidak tahu bahwa dalam konteks

     budaya dan politik Barat sendiri sekularisasi itu sudah mulai goyah dan tidak laku.Barangkali, hal ini terjadi karena adanya semacam kelatahan intelektual yang mudah-mudahan tidak akan terulang lagi di masa depan.”10 

    Selain yang kontra diatas, ada pula tokoh yang pro kepada Nurcholish,

    diantaranya adalah Dawam Rahardjo dan Komaruddin Hidayat. Ini tidak perlu

    dijelaskan lagi karena sudah ada pembahasan dalam bab sebelumnya.

    Dari penjelasan diatas, penulis dapat menganalisa bahwasanya apa yang

    terjadi antara Nurcholish Madjid dengan tokoh-tokoh yang kontra terutama

    dengan HM. Rasjidi, hanya merupakan sebuah kesalah pahaman dalam

     penggunaan istilah kata, hal ini pun pada akhirnya disadari oleh Nurcholish,

    10 Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: PT. Temprint, 1993, hlm. 104

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    12/23

      111

    sehingga Nurcholish tidak pernah menggunakan istilah sekularisasi lagi walau

    dalam pelaksanaan sehari-hari masih menerapkan proses sekularisasi.

    Menyangkut gagasan sekularisasi sendiri, Nurcholish terpengaruh oleh

     pemikiran Cox maupun bellah. Dalam pengamatan penulis, paling tidak ada tiga

    konsep yang terdapat kemiripan antara konsep yang dilontarkan oleh Nurcholish

    Madjid dengan apa yang ditawarkan oleh Harvey Cox:

    a. Secara etimologi, hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

    Menurut Harvey Cox:

    Istilah sekuler berasal dari kata Latin saeculum yang berarti ganda, ruang

    dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu

    menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Jadi kata saeculum berarti

    masa kini atau zaman kini. Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada

     peristiwa di dunia ini, atau berupa peristiwa masa kini. Atau bisa dikatakan

     bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di

    dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.

    Sedang jika menurut Nurcholish Madjid:

    Kata-kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa barat (Inggris,

    Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa

    Latin, yaitu Saeculum, yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata

    saeculum sebenarnya adalah salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia.

    Kata lainnya adalah mundus. Tetapi, jika saeculum  adalah kata waktu, maka

    mundus adalah kata ruang.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    13/23

      112

     b. Secara Analogy

    Dalam masalah analogy ini, pada dasarnya konsep yang ditawarkan oleh

    Harvey Cox dengan apa yang ditawarkan oleh Nurcholish memiliki kesamaan,

    yaitu kesamaan dalam penganalogikan istilah. Menurut keduanya sekularisasi

    dan sekularisme akan semakin jelas jika di analogikan dengan pembedaan

    antara konsep rasionalisasi dan rasionalisme. Yang membedakan diantara

    keduanya adalah dalam hal legitimasi sekularisasi, jika Harvey cox

    menyandarkan pada ajaran Kristen, sebaliknya dengan Nurcholish yang

    menyandarkan pada ajaran agama.

    Sungguh menarik ketika membicarakan masalah ide yang muncul dari

     pemikiran Nurcholish seperti dikutip oleh Harun Nasution, yaitu:

    1.  Urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Manusia diberi

    wewenang penuh untuk memahami dunia ini.

    2.  Akal pikiran adalah alat manusia untuk memahami dan mencari

     pemecahan masalah-masalah duniawi.

    3.  Oleh karena itu terdapat konstelasi antara sekularisasi dan rasionalisasi.

    4.  Terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi

    (desakralisasi sama dengan sekularisasi dala memandang yang sakral

     bukan lagi sakral.

    5.  Membedakan antara hari Dunia dengan hari Agama. Pada hari Dunia yang

     berlaku adalah hokum kemayarakatan manusia dan pada hari Agama yang

     berlaku hokum ukhrawi. 

    6.  Bismillah artinya “Atas Nama Tuhan” dan bukan “Dengan Nama Allah”.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    14/23

      113

    7.   Al-Rahman sifat kasih Tuhan di Dunia dan Al-Rahim kasih sayang Tuhan

    di akhirat.

    8.  Dimensi kehidupan duniawi adalah ‘ilmi dan kehidupan spiritual adalah

    ukhrawi.

    9.  Islam adalah din, din adalah agama, dan agama tidak bersifat ideologis,

     politis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya.

    10.  Apa yang disebut negara Islam tidak ada.11 

    Jika melihat isi dari 10 dasar yang merupakan kesimpulan dari Harun

     Nasution, ternyata, hampir keseluruhan kajian Nurcholish berada dalam kajian

    akidah, dan hanya beberapa yang dalam kajian politik.

    Walau banyak tokoh, termasuk Harun Nasution, yang menganggap bahwa

    dari beberapa ide yang sudah disebutkan di atas, Nursholish telah sampai ke

    tingkat pemisahan dunia dari akhirat, soal dunia adalah soal dunia dan soal

    akhirat adalah soal akhirat, tetapi menurut pengamatan dan analisa penulis

     bahwasanya apa yang dilakukan oleh Nurcholish adalah sebuah upaya yang

    dilakukan untuk selalu dan selalu lebih baik.

    2.  Sekularisasi Politik

    Walau kebanyakan konsep sekularisasi yang ditawarkan oleh Nurcholish

     berkisar dalam masalah akidah, namun, sejak tahun 1970-an hingga era

    reformasi, tidak mungkin bisa dipisahkan dari konteks sosial-politik orde baru.

    Dalam teori sosial politik filsafat kata itu menimbulkan multi interpretasi.

    Kita sering mengatakan sekuralisme itu sebagaimana Amerika, anti-Tuhan.

    11 Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1989, hlm. 193

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    15/23

      114

    Amerika itu di mata saya negara yang sangat religus. Bahkan suatu hari saya

    ketemu seorang artis dan mengatakan Amerika itu negara teokrasi. Jadi di sini

    ketika orang mengatakan sekuralisme itu dan kalau dikejar apa sebetulnya yang

    dimaksud itu tidak jelas.12

     

    Menurut Komaruddin Hidayat, kalau sekuralisme dalam arti kedekatan

    urusan politik secara profesional dan kompetensi, hemat saya ada benarnya

    sehingga kemudian agama diposisikan pada posisi yang anggun, yang tidak

    terkontiminasi oleh konflik politik. Dalam pengertian itu mungkin seperti

    Vatikan yang mengambil jarak dari politik praktis. Dalam pengertian itu

    mungkin ada benarnya.

    Tapi sekularalisme dalam kontek Islam yang dimaksudkan Cak Nur,

    masih menurut Komaruddin Hidayat tidak seperti itu. Itu kan sebagai antitesis

    terhadap proses sakralisasi partai politik. Waktu itu Parpol disakralkan maka

    sekularisme dalam pengetian itu lebih tepat diletakan, maksud Cak Nur. Dan

    hemat saya pemilu kemarin membenarkan tesis Cak Nur. Kalau orang memilih

     partai bukan karena semata Islamnya tapi karena visi dan programnya. Hasil

     penelitian, orang memilih PKS bukan karena PKS Islam tapi karena efesien dan

     bersih. Jadi walaupun memakai simbol Islam tapi ketika tidak didukung

    kompetensi dan intergritas tidak akan laku. Dalam pengertian ini hemat saya,

    sekularisasi maksud Cak Nur itu lebih poporsional.

    Gagasan sekularisasi atau desakralisasi, dalam kehidupan politik, menurut

     Nurcholish, mengandung semangat dan demokratisasi dan implikasinya adalah

     penolakan terhadap partai Islam atau Negara Islam. Bagi Nurcholish, adanya

    12 www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=P9_0_3_0_C - 33k – Supplemental 

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    16/23

      115

    sekularisasi diharapkan akan menciptakan suatu efek yang meruntuhkan

    monopoli dan konsentrasi kekuasaan melalui kontrol terhadap di tangan

     pemimpin partai.13 

    Hal ini berbeda dengan pandangan Yusuf Qardhawi dan alAttas, menurut

    mereka, desakralisasi politik tidak bisa diterima karena ia bertentangan dengan

     pandangan hidup Islam, dimana agama sangat berperan dalam soal

     pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam Islam, sebagaimana diungkapkan al-

    Attas, kekuasaan politik didasarkan atas Kuasa Ilahi ( Divine Authority) dan

    kuasa Rasulullah Saw yang merefleksikan Kuasa Tuhan. Kuasa yang sama juga

    ada pada mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Karena itu setiap

    Muslim harus menolak klaim kuasa suci oleh siapa pun kecuali penguasa yang

    meneladani sunnah Rasullullah Saw dan mematuhi undang-undang Allah.

    Seorang Muslim hanya perlu taat kepada Allah, Rasulullah dan pemimpin yang

    meneladaninya.

    Desakralisasi jelas menafikan peranan ulama yang berwibawa dalam

    sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah Saw sendiri sudah mencontohkan

    dirinya sebagai pemimpin negara. Hal ini juga diikuti oleh para penggantinya,

    Khulafa al-Rasyidin yang semuanya arif dalam masalah agama. Menceraikan

    Islam dari politik akan menghalangi peranan pandangan hidup Islam untuk

    tersebar di dalam masyarakat karena agama dianggap sebagai urusan pribadi

     bukan publik.14 

    13 Junaidi Idrus, o p. cit ., hlm. 80

    14 Hidayatullahhttp://swaramuslim.net/ISLAM/more.php?id=1872_0_4_9_M 

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    17/23

      116

    Hal ini berbeda dengan pandangan Nurcholish dengan analogy yang sama,

    namun pemahaman yang berbeda, Nurcholish menganalogikan konstitusi

    Madinah zaman Rosulullah dengan Pancasila. Keduanya menurut Nurcholish

    adalah common platform, sebuah landasan pijak yang mempertemukan berbagai

    aspirasi dan kepentingan yang pluralistik. Nurcholish menganggap bahwa tidak

     perlu adanya Negara Islam karena itu sudah tercover dalam dasar Negara

    Pancasila.

    Hal inilah yang membuat hubungannya dengan para bekas pimpinan

    Masyumi, termasuk M. Natsir sedikit terganggu saat pemimpin umum majalah

    Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan "Islam yes, partai Islam no".

     Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi "Tuhan"

     baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan

    orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan

    dosa besar. "Waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak

     bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam

    semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan,

    tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan,15 

    Pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor KAMI, saat para aktivisnya

    sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish justru

    satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar.

    Bahkan Cak Nur ikut berkampanye untuk PPP, padahal Nurcholish pernah

    menggagas Islam Yes, Partai Islam No, inilah bagian dari sekularisasi politik

    15 http://www.tempointeraktif.com/harian/wawancara/waw-NurcholishMajid01.html

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    18/23

      117

    yang ditawakan oleh Nurcholish yang tetap memperhatikan keseimbangan,

     politik Cak Nur tersebut yang membuat PPP menang di daerah Jakarta dari

    Golkar.

    Pemikiran Nurcholish semakin mengkerucut setelah ia kuliah di

    Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar

    doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru

    dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisannya di

    majalah Panji Masyarakat, Tidak Ada Negara Islam, yang menggulirkan

    kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem

    di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i

    (jelas) untuk membentuk negara Islam.

    3.  Demokrasi dan Pluralisme

    Penulis menduga bahwasanya, Nurcholish berpegang pada sebuah konsep

    Musyawarah dalam Islam (Demokrasi dalam Barat) bahwasanya, yang

    terpenting dalam proses demokrasi adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau

     Negara terdapat proses terus menerus, secara dinamis dalam gerak

     perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Cukuplah suatu

    masayarakat disebut demokratis selama ia bergerak tanpa berhenti menuju ke

    arah yang lebih baik. Ayat al-Qur’an secara tekstual banyak mengatakan bahwa

     bentuk hidup manusia di akhirat akan ditentukan oleh bentuk hidup manusia di

    dunia sekarang.

    Sehingga penulis merasa, bahwa kita perlu memberikan apresiasi setinggi-

    tingginya kepada Nurcholish dalam upayanya memperkenalkan dan

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    19/23

      118

    mempropagandakan konsep sekularisasi di Indonesia. Hal ini menurut penulis

    hanya dapat berlangsung karena keteguhan dan kegigihan Nurcholish dalam

    memperjuangkan keyakinannya. Menurut penulis, ada dua factor yang

    membantu sekularisasi dapat diterima, yaitu:

    Kaitannya dengan pluralisme, Nurcholish mengungkapkan,

    “Kita bisa merefleksikan, apa yang akan terjadi, jika agama menjadi

    tertutup dan penuh kefanatikan, lalu mengklaim kebenaran sendiri dengan

    ‘mengirim ke neraka’ agama yang lain. Inilah yang menimbulkan problem yang

    disebut dalam studi agama-agama sebagai masalah ‘klaim kebenaran’ (problem

    of truth claim)”.16 

    Sehingga pada dasarnya tidak akan pernah ada kebenaran mutlak,

    kebenaran hanyalah milik Allah, sebagai umat manusia kita memang

    diperintahkan untuk saling menghargai pendapat dan keyakinan orang lain.

    Yang penting dari konsep demokrasi atau dalam istilah Islam dikenal

    dengan “musyawarah” adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau Negara

    terdapat proses terus menerus, secara dinamis dalam gerak perkembangan dan

     pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Cukuplah suatu masyarakat disebut

    demokratis selama ia bergerak tanpa berhenti menuju ke arah yang lebih baik.

    Tanpa kedua hal diatas, niscaya sekularisasi tidak akan mungkin bergerak.,

    sehingga penulis merasa yakin kedua factor diatas yang mendorong

     berlangsungnya proses skularisasi.

    16  Ibid  

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    20/23

      119

    Indonesia seperti halnya kebanyakan Negara berkembang lainnya, secara

     politik, sesungguhnya memiliki keuntungan-keuntungan keterbelakangan

    artinya sebagai Negara muda yang ada di belakang Negara-negara yang lebih

    maju dan berada di depan, Indonesia dapat belajar dari pengalaman yang baik

    dan buruk dari bangsa-bangsa lain. Hal inilah menurut hemat penulis yang

    mendorong bangsa Indonesia sejak kemerdekaan sudah mempunyai

    kemampuan yang kuat untuk memilih dan menerapkan demokrasi sendiri yang

    mengalami pasang naik dan pasang surut.

    Hal ini, menurut hemat penulis, disebabkan karena Indonesia sudah

    melakukan uji coba demokrasi sebanyak tiga kali yaitu demokrasi Liberal atau

    demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Yang

    menarik adalah bahwa demokrasi liberal dikutuk oleh elit politik yang

    menjalankan demokrasi terpimpin dan demokrasi terpimpin pun dikutuk oleh

    elit politik yang menjalankan demokrasi pancasila.

    C. Relevansi dengan Perpolitikan di Indonesia

    Walau saat ini, sudah banyak yang berbicara mengenai sekularisasi di

    Indonesia, namun tampaknya bagi beberapa kalangan istilah ini masih asing dan

    dianggap tabu. Bagi yang pro dengan istilah ini terutama masyarakat dengan

     pemikiran liberal, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh Nurcholish belum ada

    apa-apanya, karena, sepengetahuan penulis, apa yang ditawarkan oleh

    masyarakat dengan pemikiran liberal jauh memiliki pemikiran yang liberal

    dibanding dengan pemikiran Nurcholish Madjid.

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    21/23

      120

     Namun, hal ini akan berlainan jika yang ditanya adalah kelompok

    fundamentalis dan anti-liberal, karena menurut masyarakat dengan pemikiran

    fundamental, apa yang digagas dan ditawarkan oleh Nurcholish sudah

    kebablasan dan sudah tidak dapat ditolerir.

    Dalam konteks Indonesia, konflik dan perdebatan antara kelompok Islam

    dan kelompok sekuler -yang biasa disebut  Islamic nationalist   dan secular

    nationalist - sudah terjadi sebelum era kemerdekaan. Misalnya, pada 1927,

    ketika nama Soekarno mulai mencuat di pentas perpolitikan nasional.

    Soekarno adalah salah seorang pendukung penting gerakan secular

    nationalism atau nasionalisme sekuler. Sementara tokoh-tokoh Islam seperti H

    Agus Salim, Mohammad Natsir, dan juga Ahmad Hasan adalah orang-orang

    yang menolak gagasan nasionalisme. Inti perdebatan mereka ketika itu adalah

    isu nasionalisme.

    Karena itu, menjelang kemerdekaan, bentuk respons atas isu nasionalisme

    mengkristalkan pengkotakan antara mereka yang nasionalis-Islam dan yang

    nasionalis-sekuler. Mereka lalu terkelompok menjadi kubu yang menginginkan

    Pancasila dan yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Itulah puncak

     perdebatan mereka.

    Tapi yang menarik bagi saya, setelah zaman kemerdekaan, tidak ada tokoh

    muslim Indonesia yang mengangan-angankan ide khilafah. Ini patut dicatat,

    karena sebelum masa kemerdekaan, ide khilafah memang tidak pernah populer

    di pentas perpolitikan Islam Indonesia. Beberapa tokoh Islam bahkan sempat

    menertawakan gagasan khilafah. Kenyataan ini berbeda dengan di Timur

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    22/23

      121

    Tengah dan anak benua India. Di India, ada khilafat movement, tapi di

    Indonesia tidak ada gagasan seperti itu. Kalau pun ada, gaungnya tidak sekeras

    di Timur Tengah.

     Nurcholish sendiri tercatat sebagai tokoh yang tidak menginginkan

     berdirinya Negara Islam, Nurcholish menilai konsep Negara Islam tidak pernah

    ada dalam sejarah Islam, tidak didukung oleh nash-nash al-Qur’an serta

    merupakan sebuah bentuk apologia umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan

     politik Barat atas dunia Islam selama berabad-abad.

    Hal ini hampir sejalan dengan pemikiran Soekarno yang menganjurkan

    agar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, agama Islam dan Negara

    dipisahkan. Menurut pendapatnya, demokrasi di satu pihak, dan persatuan

    agama dan Negara di pihak lain, adalah dua hal yang bertentangan dan tidak

    mungkin bisa bersatu, padahal Islam mengajarkan demokrasi. Karena itu, sesuai

    dengan fleksibilitas hokum Islam, pemisahan agama dan Negara sangat

    mungkin dalam ajaran Islam. Apalagi, ia berpendapat, bahwa tidak ada ijma’

    ulama yang mewajibkan persatuan agama dan Negara dalam sistem politik

    Islam.17 

    Di Indonesia sendiri, masalah sekularisasi telah menjadi polemik dan telah

    menjadi perdebatan terutama pada dua dekade secara berturut-turut18, yaitu:

    -  Pada dekade 1970-an, ketika terjadi perdebatan antara Nurcholish, sebagai

    seorang cendekiawan muslim dengan tiba-tiba melontarkan gagasan

    17 Pardoyo, o p. cit., hlm. 104

    18  Ibid . hlm. 181

  • 8/20/2019 Cak Nur Tentang Sekularisasi Politik

    23/23

      122

    sekularisasi, dan para oposannya. Ia sendiri dikecam naik oleh teman-

    temannya, maupun oleh para tokoh yang lebih senior seperti HM. Rasjidi.

    -  Pada dekade 1980-an, ketika muncul perdebatan antara Soenawar

    Soekowati, ketua umum DPP F-PDI, dan kelompok penentangnya.

    Soenawar melontarkan pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara

    sekuler. Ini dikecam oleh teman-temannya yang terutama di kalangan

    DPR. Serta Pada akhir 1980-an, ketika Selo Soemardjan, seorang guru

     besar UI, juga melontarkan sebuah sinyalemen, bahwa pada tahun 2012

    Indonesia akan mengalami sekularisme. Hal ini juga mendorong polemik

    yang lumayan menegangkan, walaupun tidak sekeras penentangan

    terhadap Nurcholish.19

     

    Barangkali benar apa yang dikatakan Karel Steenbrink, di Indonesia,

    masalah sekularisasi atau sekularisme tidak perlu dirisaukan betul, lain di dunia

     barat, karena yang dihadapi di sana adalah ateisme, sedangkan di Indonesia,

    aplagi jika dikaitkan dengan watak dasar bangsa Indonesia yang religius, orang

    Indonesia sulit menjadi kafir. Karena itu, di Indonesia sulit lahir faham sekuler.

    Sekularisasi maupun sekularisme sulit berkembang. Apalagi jika dikaitkan

    dengan tradisi, adat, pola pikir yang masih dekat dengan hal-hal yang mistis dan

    sakral. Sartono Kartodirjo menandaskan bahwa pola pikir yang mistis seperti ini

    sulit melahirkan sekularisasi. Sekularisasi hanya akan berkembang dalam

    masyarakat yang berfikir positif rasional.20 

    19 Untuk konsep tentang sekularisasi yang digagas oleh Soenawar Soekowati serta Selo Somerdjansengaja tidak dilakukan pembahasan, hal ini dapat dilihat dari buku Pardoyo, hlm. 193-208

    20  Ibid . hlm. 194