buletin morpin edisi 66

8
Media Kreatif dan Sikap Kritis Mahasiswa Kunjungi juga kami di http://www.majalahopini.com Morpin Edisi 65/2014 @majalahopini 1 65/ 2014 Salam hangat… Semester ganjil tahun ajaran 2014- 2015 sudah dimulai. Pada bulan pertama semester ganjil ini, Morpin kembali hadir di tengah-tengah para pembaca. Pada edisi kali ini, kami akan membahas berita-berita menarik yang ada di sekitar kita. Mulai dari penyelenggaraan Penerimaan Mahasiswa Baru (2014) hingga 'lupanya' badan eksekutif mahasiswa tertinggi di Undip dengan satu dekade meninggalnya aktivis HAM, Munir. Selain itu, kami juga akan menyampaikan pandangan pakar soal penyelahgunaan media sosial dan informasi-informasi menarik lainnya. Segala apresiasi, kritik serta saran akan kami hargai, Kami berharap Morpin dapat menambah informasi. Tak lupa, kami mengucapkan selamat datang kepada mahasiswa baru 2014 di kampus kita tercinta dan selamat menempuh semestet baru untuk semuanya. Terima kasih. Salam. Red. Dari Redaksi Tragedi Munir memang masih menyisakan teka–teki yang belum juga terungkap. 7 September 2004 menjadi hari dimana aktivis HAM tersebut tewas di pesawat Garuda Indonesia di langit Amsterdam. Tentu, tragedi ini takkan terlupakan selama tabir kebenarannya belum tersingkap. Kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, bisa dilupakan begitu saja. Setiap bulan September, tragedi kematian Munir selalu diperingati oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Tahun ini misalnya, Rangkaian acara yang bertemakan Menolak Lupa diadakan oleh Koalisi Semarang untuk Munir di Undip Peleburan Semarang. Hampir sepekan, dari tanggal 7 – 11 September 2014, mereka melaksanakan peringatan 10 tahun kematian Munir. Rangkaian acara Menolak Lupa bertempat di Gedung Notariat Kompleks Undip, Pleburan. Serangkaian acara yang diadakan yakni teater, diskusi film, pertunjukan seni, pembacaaan dan musikalisasi puisi, orasi budaya, stand up comedy, dan masih banyak lagi. Salah satu acara yang menarik adalah malam panggung budaya yang didukung oleh seniman dan budayawan kota Semarang, Selasa (9/9). Meskipun pekan peringatan satu dekade kematian Munir tersebut terselenggara di Undip, namun acara ini ternyata tak melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Undip. LUPA “MENOLAK LUPA”

Upload: gerry-maulana

Post on 04-Apr-2016

242 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Sebuah buletin milik LPM OPINI FISIP Undip.

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin Morpin edisi 66

Media Kreatif dan Sikap Kritis Mahasiswa

Kunjungi juga kami di http://www.majalahopini.com

Morpin Edisi 65/2014G

@majalahopini

165/ 2014

Salam hangat…

Semester ganjil tahun ajaran 2014-2015 sudah dimulai. Pada bulan pertama semester ganjil ini, Morpin kembali hadir di tengah-tengah para pembaca. Pada edisi kali ini, kami akan membahas berita-berita menarik yang ada di sekitar kita. M u l a i d a r i p e nye l e n g ga ra a n Penerimaan Mahasiswa Baru (2014) hingga 'lupanya' badan eksekutif mahasiswa tertinggi di Undip dengan satu dekade meninggalnya aktivis HAM, Munir. Selain itu, kami juga akan menyampaikan pandangan pakar soal penyelahgunaan media sosial dan informasi-informasi menarik lainnya.Segala apresiasi, kritik serta saran akan kami hargai, Kami berharap Morpin dapat menambah informasi. Tak lupa, kami mengucapkan selamat datang kepada mahasiswa baru 2014 di kampus kita tercinta dan selamat menempuh semestet baru untuk semuanya.

Terima kasih. Salam.Red.

Dari Redaksi

Tragedi Munir memang masih menyisakan teka–teki yang belum juga

terungkap. 7 September 2004 menjadi hari dimana aktivis HAM

tersebut tewas di pesawat Garuda Indonesia di langit Amsterdam.

Tentu, tragedi ini takkan terlupakan selama tabir kebenarannya

belum tersingkap.

Kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, bisa

dilupakan begitu saja. Setiap bulan September, tragedi kematian

Munir selalu diperingati oleh berbagai kalangan masyarakat di

Indonesia. Tahun ini misalnya, Rangkaian acara yang bertemakan

Menolak Lupa diadakan oleh Koalisi Semarang untuk Munir di Undip

Peleburan Semarang. Hampir sepekan, dari tanggal 7 – 11 September

2014, mereka melaksanakan peringatan 10 tahun kematian Munir.

Rangkaian acara Menolak Lupa bertempat di Gedung Notariat

Kompleks Undip, Pleburan. Serangkaian acara yang diadakan yakni

teater, diskusi film, pertunjukan seni, pembacaaan dan musikalisasi

puisi, orasi budaya, stand up comedy, dan masih banyak lagi. Salah

satu acara yang menarik adalah malam panggung budaya yang

didukung oleh seniman dan budayawan kota Semarang, Selasa (9/9).

Meskipun pekan peringatan satu dekade kematian Munir

tersebut terselenggara di Undip, namun acara ini ternyata tak

melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM

KM) Undip.

LUPA “MENOLAK LUPA”

Page 2: Buletin Morpin edisi 66

65/ 20142

Laporan Utama

Menanggapi hal tersebut, Wakil presiden BEM

KM Undip, Miqdad Haqqony, buka suara kepada

Opini. Menurutnya, acara semacam itu seharusnya

dapat dilakukan oleh BEM KM Undip. “Mungkin ini

koreksi juga untuk BEM dikepengurusan saya, karena

memang belum menyelenggarakan acara yang spesifik

untuk kasus Munir. Tapi ini mungkin bisa menjadi

point rekomendasi buat BEM–BEM selanjutnya, tidak

hanya kasus Munir saja tetapi kasus-kasus pelanggaran

HAM lain pun harus diadakan kajian yang

komprehensif. Dan kajian ini nantinya akan menjadi

tuntutan kepada pemerintah yang berkuasa,” tuturnya.

Miqdad juga menambahkan bahwa peringatan

kematian Munir ini dapat menjadi pelajaran penting

bahwa ternyata reformasi yang terjadi tahun 1998,

belum menjamin adanya kebebasan seseorang untuk

membela diri sendiri, orang lain, dan hak-hak asasi

manusia lainnya. Alhasil, dia dibunuh akibat kemauan

kerasnya untuk memerjuangkan hak asasi manusia.

Kasus ini juga masih berlarut–larut sampai sekarang,

penyelesaiannya pun belum optimal. Bahkan dalang

pembunuhan dari kasus ini belum ditemukan. kasus ini

sangat kompleks dan melibatkan orang–orang besar.

Negara pun juga belum mampu untuk menyidangkan

kasus ini dan menyelesaikannya secara adil.

Pada momentum sepuluh tahun meninggalnya

aktivis Munir ini, diharapkan dimasa kepemimpinan

presiden yang baru kasus-kasus pelanggaran HAM

yang belum terungkap bisa segera terbuka dan dapat

diproses dengan seadil-adilnya.

Satu dekade sudah kasus pembunuhan pejuang

kemanusiaan Munir telah berlalu. Namun, aktor

intelektual yang menjadi dalang di balik kasus

pembunuhan belum juga terungkap.

Munir dikenal dengan perjuangannya membela

para aktivis yang hilang di era '98 akibat penculikan

yang dilakukan Tim Mawar. Hal itulah yang menjadi

alasan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dicopot

dan para anggota tim Mawar diadili.

Kilas balik kematian Munir di tengah

perjalanannya menuju Amsterdam untuk menempuh

pendidikannya S2 di bidang hukum humaniter di

Universitas Utrecht, Belanda. Namun sayang, beliau

harus meregang nyawa akibat teracuni oleh senyawa

arsenikum. Jasadnya diotopsi oleh Institut Forensik

Belanda.

Salah satu pelaku pembunuhan yang tak lain

adalah pilot senior Garuda Indonesia, Pollycarpus

Budihari Priyanto. Ia pun akhirnya didakwa 14 tahun

penjara. Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi Pr

pernah ditangkap karena dugaan kuat bahwa dia adalah

otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan

kesaksian mengarah padanya. Namun, pada 31

Desember 2008, Muchdi divonis bebas.

Oleh: Naomi & Dejehave

Foto oleh Exsan Ali.

Page 3: Buletin Morpin edisi 66

365/ 2014

Liputan Khusus

Sebanyak 1015 mahasiswa baru FISIP Undip resmi diterima di tahun ini. Rangkaian proses Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) pun telah terlaksana. Namun, ada yang baru dan berbeda di PMB FISIP 2014, bahkan ada yang menilai perlu dievaluasi. Apa sajakah itu?

Penerimaaan mahasiswa baru memang biasanya diikuti dengan rangkaian kegiatan mengenalkan maba dengan kehidupan kampus.

Perbedaan proses belajar mengajar, hubungan antara dosen dan mahasiswa, hubungan dengan senior, itulah yang menjadi dasar

dirancangnya kegiatan PMB.

“Rangkaian PMB FISIP Undip mulai hari pertama itu tentang pengenalan program studi, kemudian tentang peluang kerja, tentang proses

pengisian KRS, budaya dan peraturan akademik yang ada di perguruan tinggi, yang memang berlainan dengan SMA,” jelas Rihandoyo,

S.Sos, MM, M.Si, Ketua Panitia PMB 2014 dari pihak dosen.

Dari serangkaian PMB FISIP Undip, ada yang berbeda di tahun ini. Salah satunya adalah penanaman pohon massal yang dilakukan

bersamaan dengan penanaman pohon se-universitas. Drs.Wahyu Hidayat, M.Si, Pembantu Dekan III FISIP Undip menjelaskan bahwa

penghijauan yang dilakukan langsung oleh mahasiswanya bertujuan untuk menumbuhkan rasa peduli terhadap lingkungan fakultasnya.

Ketika ditanya mengapa tak mengirim semua mahasiswanya ke penghijauan tingkat universitas, Wahyu mengakui akan kesulitan

memantaunya jika hal tersebut dilakukan. “Jadi sebenarnya kita sudah mengirim perwakilan ke universitas untuk penghijauan, karena

jika semua anak FISIP ikut, saya kesulitan memantaunya. Maka dari itu, supaya bermanfaat, kita adakan penghijauan di FISIP. Di samping

itu, mahasiswa ada rasa memiliki terhadap fakultasnya,” ujar Wahyu.

Selain kegiatan penghijauan, yang tak bisa lepas dari kegiatan PMB FISIP Undip tahun 2014 adalah diadakannya aksi Long March. Jumat

(5/9), mahasiswa digiring dari FISIP ke Widya Puraya dengan rangkaian orasi dan aksi treatikal persembahan organisasi intra kampus.

Aksi treatikal tersebut bentuk penggambaran menolak kekerasan terhadap mahasiswa baru.

Galang, selaku ketua panitia PMB 2014 dari pihak mahasiswa, menjelaskan bahwa aksi Long March bertujuan untuk memberikan

pencerdasan bagi mahasiswa baru dalam melakukan aksi. “Karena aksi-aksi itu terkesan vandalis, merusak ban, merusak apa, nah kita

merubah mindset mereka bahwa aksi itu bagaimana yang sebenarnya terjadi, tidak ada aksi bakar-bakar. Kita menyampaikan aspirasi,

PMB FISIP 2014:

Evaluasi Inovasi

Page 4: Buletin Morpin edisi 66

65/ 20144

Liputan Khusus

ya, salah satu caranya menggunaan media seperti itu,” kata mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2013 tersebut.

Drs. Wahyu Hidayat, M.Si, mengatakan kegiatan ini dapat menciptakan keakraban antar jurusan, serta memberikan informasi

kepada mahasiswa baru bahwa sistem PMB dengan kekerasan sudah tidak dipakai lagi. Ia berkata, “Sebenarnya, lebih pantas

dibilang jalan sehat, ya, daripada Long March, karena jaraknya dekat. Tujuannya untuk mengenalkan lingkungan Undip,

menjalin keakraban dengan melakukan komunikasi dan memberikan kritik lewat pertunjukan teater.”

Namun, Rihandoyo tak sependapat. Ia menilai aksi Long March perlu dievaluasi lagi. “Walaupun itu bukan dalam wilayah saya,

saya tahu ada Long March pake dijemur, pake disuruh bawa tugas yang agak aneh-aneh. Ya, sebetulnya itu menjadi bahan

evaluasi bagi kami besok, dan bahwa apakah itu perlu dilakukan, apakah itu merupakan bagian dari pendidikan jasmani atau

gimana, yang penting apakah tujuannya itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak,” ungkapnya.

Rihandoyo menambahkan bahwa ada hal lain yang perlu dievaluasi, yaitu penampilan saat inagurasi. “Penampilan pura-pura

jadi banci itu kan banyak. Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan teman saya seorang aktivis gender. Beliau sangat

menyesalkan bahwa itu bukanlah lelucon, tapi pelecehan bagi wanita. Ya, memang pelakunya bukan wanita, tapi itu adalah

bagian pelecehan wanita,” pungkasnya.

Saran kepada penyelenggara juga datang dari kalangan mahasiswa. Andrew Nicolson, misalnya. Mahasiswa prodi Hubungan

Masyarakat 2013 itu menyayangkan tugas mahasiswa yang membawa makanan berujung kepada kemubaziran.

“Menurut pengamatan saya, yang perlu diperbaiki adalah tugas maba untuk membawa makanan. Banyak makanan tersisa

yang ditinggalkan, terbuang sia-sia dan berakhir di pembuangan sampah. Poin ini menunjukkan tidak adanya tanggungjawab

penyelenggara dalam mengkoordinasi makanan tersisa yang dibawa mahasiswa karena tak semua mahasiswa merasa cocok

mengkonsumsi 'tugas' makanan yang dibawanya,” ungkap Andrew.

Walaupun begitu, banyak dari mahasiswa menikmati jalannya proses PMB. Kamal Rahmatullah, mahasiswa baru jurusan

Administrasi Bisnis, berkata, “PMBnya seru, ngga seperti apa yang dibayangkan sebelumnya, yang katanya ada marah-marah,

ada kekerasan dan disuruh bawa peralatan yang aneh-aneh. Tapi PMB di Undip khususnya FISIP sangat luar biasa. Kita dilatih

buat jadi mahasiswa yang berkarakter, dilatih kekompakkan sesama mahasiswa baru, intinya PMB-nya luar biasa.”

Membentuk mahasiswa yang berkarakter, berdisiplin dan peduli lingkungan, menjadi beberapa tujuan diadakannya PMB dari

ke tahun-tahun. Tak ada sistem ospek yang menggunakan cara kekerasan. Banyak yang menilai hal tersebut sudah kuno.

Konsep PMB yang menyenangkan dan membekas bagi maba lebih diperlukan.

Mahasiswa baru diharapkan bisa menjadikan FISIP sebagai rumah tempat belajarnya. Sejauh ini, penyelenggara dinilai

berhasil menjalankan proses PMB dengan baik. Namun, bukan berarti tak ada pekerjaan rumah untuk penyelenggara tahun

berikutnya. Saran dan kritikan yang datang bisa menjadi bahan evaluasi untuk lebih baik ke depannya.

Page 5: Buletin Morpin edisi 66

565/ 2014

Wawancara

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan kasus-kasus penyalahgunaan media sosial yang dilakukan Florence Sihombing, Dinda, dan lainnya. Menanggapi hal tersebut,

OPINI mencoba meminta pandangan Lintang Ratri Rahmiaji, S.Sos., M.Si, (Pakar Psikologi Komunikasi Universitas Diponegoro) agar para pembaca bisa terhindar dari hal-

hal yang tak diinginkan dalam hal penggunaan media sosial.

Bagaimana pendapat Anda tentang perkembangan media sosial, tentang kasus viral seperti yang dialami Florence Sihombing, Dinda, atau banyak lainnya, yang

terjadi di Indonesia?

Sebenarnya begini, Ketika kita menggunakan media itu kita secara otomatis terhubungkan dengan semua orang, connected socially, apapun yang kita katakan itu sama

seperti ( apa yang dikatakan ) di media massa sebetulnya. Setiap orang akan tahu walaupun kita tidak menginginkan setiap orang tahu, nggak mungkin kita bilang

misalnya, bahwa facebook itu milik kita sendiri, so kita bisa marah-marah, mengemukakan pendapat saya, berekspresi sebebas mungkin, itu nggak bisa. Karena apa?

Karena fungsinya adalah media sosial, artinya semua orang boleh melihat, setiap orang boleh bekomentar. Malah sekarang ada tools nya seperti share, artinya semua

orang berhak untuk men-share itu.

Memang selama ini belum ada aturan yang jelas tentang bolehkah kita men-share? bolehkah kita menyebarluaskan? Tanpa sepengetahuan si pengunggah. Itu kan belum

ada peraturannya sepertinya. Tapi kita harus tahu bahwa since kita ”klik” untuk men-share status di Facebook itu sudah bukan lagi milik kita (pribadi). Ketika tulisan

“dilahirkan”, sebenarnya si penulis sudah “mati”. Kita mau bilang “stop kamu nggak boleh ini, ini, (share/menyebarluaskan)”, nggak bisa. Karena tulisan sudah dilahirkan

kok, sudah disebarluaskan. Dan harusnya kita ngga boleh marah ketika kita lihat “loh, ini kan status gue, kok bisa gini sih?”. Jadi kalo kita mau say something, harus tau

bahwa itu terkoneksi sama semua orang.

Sama halnya televesi di zaman dahulu yang menjadi barang jamak, internet sekarang itu hal yang biasa, semua orang bisa mengakses, apalagi ada smartphone, tools-nya

juga makin ramah, jadi kita nggak usah pusing “iki piye carane?”. Semua orang tahu, ini untuk share, ini posting, ini upload foto, ini ambil foto, bisa semuanya. Karena

semua orang mengerti, lebih banyak orang yang terlibat di situ kan? Percakapan kemudian menjadi panjang dan lebih lebar. Ini kan berjalan seiring penggunaan

smartphone dan internet sebetulnya, sehingga media sosial bertambah.

Tentang kasus Florence tadi, ya, kita itu sudah mulai beralih ke budaya yang berbeda. Kita yang awalnya di budaya kolektif, yang ketimuran, yang agak sungkan berbicara

di depan umum, apalagi ngomongin orang, atau aib orang, menggunakan kata-kata yang tak baik, kata kata kasar. Itu nggak kita banget dulu. Dan datanglah sebuah

media yang seolah-olah memberi kita ruang bicara, yang tadinya kita kayaknya mau bicara sungkan, gak enak, dan datang media ini yang seolah memfasilitasi kita

menjadi diri kita sendiri, di sisi lain ada positifnya seperti, kebanyakan perempuan punya ruang public untuk mengatakan pemikiran, tidak seperti dulu, ini sebenarnya

menjadi positif, karena kita bisa menyebarkan statement, seperti saya, saya menolak pernikahan usia dini, misalnya, atau waktu itu saya menolak tes keperawanan, saya

menolak jam malam terhadap perempuan, kita bisa menggunakan media sosial untuk hal seperti itu.

Tapi di sisi lain ada juga orang yang merasa bahwa ini (media sosial) untuk mengatakan apapun yang ada di kepalanya, tanpa menghitung efek yang bisa dia terima. Ini

dibicarakan di depan umum bersama “kepala-kepala” yang berbeda, dengan berbagai kepentingan, dengan interest yang berbeda. Jadi cara menanggapi suatu statement

bisa ada yang tersinggung, ada yang marah, ada yang tersindir, dan celakanya di sisi lain, kita juga sekarang boleh, seolah-olah, bebas untuk mengajukan gugatan,

sekarang orang dikit-dikit menuntut, missal; “gua gak suka sama lo, ini pencemaran nama baik!”.

Budaya penggunanya sudah berbeda, Kalau dulu kita mencari teman, sekarang nggak lagi. Sudah kaya statement pribadi, (media social) itu sudah kaya representasi dari

kita sendiri di muka publik. Bahkan bisa jadi bukan kita yang ditampilkan di situ, kita menjadi orang lain yang kita idealkan.

Permasalahnya jadi rumit, kasus Florence ini tidak hanya ngomongin perasaannya. Tapi ketika mengunggah sesuatu dan itu jadi milik publik, Jogja misalnya, kan itu

menjadi identitas orang Jogja, cuman dia nggak tahu efeknya ketika dia mengunggah. Seolah-olah ada SARA dan sebagainya. Orang jadi sensitif, dan harus tahu bahwa

Indonesia itu lagi punya kepentingan politik, dan hal-hal seperti itu bisa menjadi kepentingan politik lainnya. Menurut saya kejadian ini sangat disayangkan apalagi untuk

para akademisi, dia kan mahasiswa? Bahkan dia belajarnya bukan S1 lagi, tapi S2. Jurusan hukum juga, mungkin dia lupa bahwa di antara kebebasan itu ada batasan yang

harus kita jaga, seolah-olah ada di akun kita.

Ketika dia ngomong di media sosial, dia harus siap untuk menanggung semua resiko bahwa ada nggak orang-orang yang merasa dirugikan dan sebagainya. Kita bisa

dituntut tiba-tiba dan dia (yang dirugikan) meminta kita untuk mempertanggungjawabkan itu. Apabila pembuktian-permbuktian itu merujuk ke arah sana, kan udah ada

UU ITE juga.

Sudah efektifkah UU ITE?

Sudah, sudah efektif, buktinya sudah ada beberapa yang diurus (ditindak). Cuman sosialisasinya kita tidak optimal. Kenapa kasus Florence bisa muncul? Karena

perkembangan teknologi sudah semakin hebat. Sekarang kita pake hape aja udah bisa update di Facebook. Check In path, semua kita update setiap hari. Artinya

teknologi sekarang bisa mempermudah kita untuk berbicara.

Menurut Anda, bagaimana soal dampak perkembangan teknologi?

Saya percaya, teknologi itu alat yang memudahkan manusia. Kalau teknologi seolah-olah menyetir manusia yang salah siapa? Intinya teknologi diciptakan untuk

memudahkan kita, apabila kita menyalahgunakan, yang salah kita dong? Jadi pertanyaannya positif atau negatif, ya bisa dua-duanya. Harusnya kita menggunakan ruang

media sosial untuk hal-hal positif misalnya ajakan-ajakan yang baik, atau dengan medsos saya bisa ketemu dengan teman saya yang dulu, kok tiba-tiba ada lagi.

Kemudian saya juga bisa dapat job, karena seseorang tahu saya. Kalo hal negative, menipu, ya banyak kali. Akan jadi negatif kalau kita tak bisa menggunakannya secara

bijaksana. Kalo dari psikologi komunikasi, ya, diri kita ini nggak satu, ada banyak, cuman yang muncul yang mana.

Saran pada pengguna media sosial?

Kita itu harus sadar ketika menggunakan media sosial, jangan sampai kita diperbudak media, harus digunakan dengan tepat. Gunakan untuk hal positif karena media

memberikan ruang positif kepada kita. Bisa untuk advokasi, networking, sharing knowledge.

Jangan merendahkan fungsi media hanya untuk komunikasi yang tidak baik, tidak menghasilkan, menyakiti orang lain. Sekali kamu klik kamu akan terhubungkan dengan

dunia. So, jangan pernah berfikir ini ruang kamu.

“Jangan Sampai Diperbudak Media Sosial!”

Oleh: Aditya Fahmi & Chandra Laksmita

Page 6: Buletin Morpin edisi 66

65/ 20146

Nyemarang

Menguak Misteri bersama

Perkembangan sekelompok orang yang menamai dirinya sebagai komunitas semakin pesat di era sekarang. Adanya komunitas

pecinta klub sepakbola, binatang, seni hingga pecinta olahraga, mungkin tak asing di telinga kita. Namun, bagaimana dengan sekumpulan

orang yang mempunyai kecintaan untuk mengunjungi tempat-tempat angker?

Rabu (09/09), Opini mendapatkan kesempatan menemui pendiri komunitas Semarangker, pecinta tempat-tempat angker asal

Semarang, yang bernama Pamerado. Di tengah kesibukan menemani kru-kru salah satu tv swasta nasional shooting program acara

'Angker Banget', Pamerado bercerita banyak soal komunitas Seemarangker.

Menurut Pamerado, Semarangker merupakan sebutan dari Semarang Angker, tempat-tempat yang dianggap angker bagi

masyarakat dan punya mitos. “Kami sudah bosan dengan dunia yang ajep-ajep dan mencoba untuk lebih menguji adrenalin. Kami

penasaran dengan tempat-tempat yang angker dan memecahkan berbagai cerita mistis tersebut,” ucap Pamerado ketika ditanya soal

latar belakang mendirikan komunitasnya.

Semarangker sudah berdiri sejak 13 Maret 2007 dan dirintis oleh 5 orang. Sering berjalannya waktu, Semarangker semakin banyak

dikenal oleh umum, terutama para pengguna media sosial Facebook. Hingga akhirnya, pada tahun 2012, mereka membuka pendaftaran

bagi masyarakat umum.

Untuk bergabung dengan Semarangker, kata Pamerado, dibutuhkan iman yang kuat serta hati yang bersih. Menurut pria yang

bertubuh tambun tersebut, terakhir kali Semarangker membuka pendaftaran hanya 2 orang yang lolos dari 75 calon anggota. Intensitas

pendaftatan pun tidak pasti dalam setiap tahunnya. Dalam proses perekrutan, banyak proses yang akan ditempuh calon anggota, seperti

magang selama 3 bulan. “Selama proses tersebut kita dapat menilai watak dan hati mereka. Semarangker mengajarkan mereka untuk

mengasah mata hati dengan peduli dan berbagi. Bukan ritual dan hal yang musyrik,” tegas pria asli Semarang tersebut.

Kunjungan tempat yang dianggap angker baik oleh internal, umum dan ekslusif sudah menjadi agenda rutin Semarangker. Pamerado

mengungkapkan untuk agenda internal, anggotanya sendiri tidak dipungut biaya sepeser pun. Kunjungan umum bersama masyarakat

biasanya hanya dipungut biaya rata-rata Rp 20.000. Sedangkan tur eksklusif, ungkap Pamerado, biasanya peserta harus merogoh kocek

sebesar dua juta rupiah untuk menjelajahi 25 lokasi angker di Semarang.

Agenda rutin Semarangker ternyata tak hanya kunjungan ke tempat-tempat angker. Semarangker pun mempunyai kegiatan sosial

layaknya komunitas-komunitas lain. Acara bakti sosial bersama anak yatim piatu dan kaum dhuafa, pencinta alam dan pendakian gunung

jadi agenda lain komunitas yang sudah berumur 7 tahun tersebut.

Selain kegiatan-kegiatan yang disebut tadi, Semarangker beberapa kali diajak bekerjasama dengan perusahaan televisi, baik lokal

maupun nasional, untuk membantu shooting program acara misteri. Namun, secara tegas mereka menolak program televisi yang

dianggapnya membodohi masyarakat dengan melebih-lebihkan mitos hingga penarikan pusaka.

“Kami membaca dulu skrip yang diberikan pihak yang ingin berkejasama. Jika cocok dengan, akan kami bantu arahkan. Kami menolak

kerjasama dengan program-program acara yang berisi pembodohan masyarakat,” tutur Pamerado.

“Seperti contoh, ada program acara yang menyisipkan adegan penarikan pusaka. Itu terlalu berlebihan. Kalau yang ditarik itu gadget,

seperti iPhone, saya pasti ikut,” candanya.

Daerah yang dijadikan tujuan Semarangker ternyata bukan hanya Semarang. Tempat-tempat angker di Kendal, Bali, bahkan Korea

Selatan, pernah disambangi oleh anggotanya.

Ketika ditanya tempat yang paling angker yang pernah dikunjungi, Pamerado dengan tegas menyebut Gombel sebagai salah satu

tempat terangker di dunia. Menurutnya, suatu tempat jika semakin ditakuti dan diagung-angungkan oleh masyarakat, energi yang

ditimbulkan pun akan sangat kuat dan menunjukan dirinya ada dan diakui.

Dalam kesempatan itu, Pamerado mengungkapkan bahwa dalam setiap perjalanan untuk berkunjung ke tempat-tempat angker

tidaklah mudah. Perijinan dan prosedur perlu dipatuhi karena tidak semua tempat milik pemerintah, yang bisa dimasuki dengan

membayar tiket. Marabunta dan bekas hotel Sky Garden, misalnya, terdapat jajaran aparat dan preman yang dilibatkan dalam perijinan. Makhluk tak kasat mata bagi orang awam memiliki wujud yang beraneka. Sebenarnya, menurut Pamerado, hal itu jika dinalar dengan ilmiah dan logis hanyalah suatu energi negatif yang kelamaan akan membentuk wujud seperti asap, cahaya, bayangan hitam. Semakin manusia takut dan punya pikiran buruk terhadap makhuk gaib, kata Pamerado, energi negatif dalam tubuh semakin kuat. Sehingga mereka suka dengan manusia yang memiliki iman dan psikologis lemah. “Kita harus meyakini bahwa gaib itu ada. Kita juga harus percaya jika ada yang perlu lebih kita takuti dari hal-hal gaib yang biasa kita takuti, yaitu Tuhan,” pesan Pamerado saat dijumpai di Hutan Wisata Tinjomoyo.

SemarangkerOleh: Intan & Gerry

Page 7: Buletin Morpin edisi 66

765/ 2014

Tips and Informasi

Tahun ajaran baru telah dimulai dan pastinya kampus FISIP tercinta telah menyambut dengan baik

mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru, biasanya memiliki harapan tidak hanya bisa berprestasi di bidang

akademik tetapi juga turut aktif dalam kegiatan organisasi, seperti UPK atau UKM.

Untuk bisa aktif dalam berorganisasi, sekaligus berprestasi dalam bidang akademik, tentunya bukan hal yang

mudah. Membagi waktu antara kuliah dan organisasi adalah salah satu masalahnya. Untuk sebagian mahasiswa,

membagi waktu antara kuliah dan berorganisasi bukanlah hal yang mudah. Terkadang ada yang kuliahnya berjalan

lancar dengan nilai yang bagus, namun tidak begitu aktif berorganisasi atau juga sebaliknya, sukses dalam

berorganisasi tapi prestasi akademiknya tidak memuaskan.

Oleh karena itu, OPINI akan menyampaikan beberapa tips yang didapat dari salah satu mahasiswa aktif asal

FISIP. Ia bernama Anisah Mubarokatin. Berasal dari Ilmu Pemerintahan, ia aktif sebagai di BEM KM UNDIP bagian

Kementrian Sosial Politik, HMJ Ilmu Pemerintahan dan di luar kampus, menjadi kordinator umum alumni Pramuka

SMAN 1 Purbalingga. Dan untuk prestasinya di bidang akademik, ia tidak perlu diragukan lagi. Indeks Prestasi yang ia

terima di semester-semester ke belakang, sempurna bukan hal mustahil untuknya.

Berikut tips dalam kuliah sambil aktif berorganisasi:

1. Fokus dan serius. Jika sedang berada di dalam kelas usahakan pikiran difokuskan pada apa yang sedang

dipelajari, begitu pun saat berada di dalam organisasi, jika kita sudah memutuskan untuk bergabung dengan

sebuah organisasi, usahakan untuk tetap fokus dan serius dalam menjalankan tugas di organisasi tersebut

2. Perbanyak berdiskusi. Dengan berdiskusi bersama teman biasanya kita akan lebih memahami tentang materi

yang dipelajari. Di dalam berorganisasi pun diskusi sangat penting untuk bisa saling bertukar pikiran,

menambah wawasan dan mengembangkan organisasi.

3. Bangun rasa ingin tahu. Selalu membangun rasa ingin tahu tentang materi kuliah yang diajarkan karena jika

kita sudah memiliki rasa keingintahuan yang tinggi kita akan lebih tertangtang dan lebih mudah memahami

materi perkulihan. Pun dalam berorganisasi, membangun rasa ingin tahu, apakah kita mampu

menyelesaikan tugas kita di organisasi dengan baik.

Semoga tips yang diberikan di atas bisa bermanfaat bagi kawan-kawan yang ingin kuliah sambil berorganisasi.

Selamat mencoba!

Kuliah Berprestasi sambil Aktif Berorganisasi? Siapa Takut!

Oleh: Indriastuti Septiyani

Page 8: Buletin Morpin edisi 66

65/ 20148

Si Opin , Ngopini

Tim Kreatif

Sarana dan pra-sarana kampus Undip banyak yang

diperbaharui.

Semoga Undip sering jadi tuan rumah PIMNAS.

Tiga calon akan rebutkan satu kursi sebagai rektor

Undip.

Kalo diliat fotonya, dua dari tiga calon tampaknya pelit

senyum.

Laboratorium Kewirausahaan mulai dibangun.

Akhirnyaaa…

NGOPINI

Pemimpin Umum: Nur Fajriani FalahPemimpin Redaksi: Ayu Nabila

Redaktur Pelaksana: Gerry Maulana ThiarEditor: Ibrahim M. Ramadhan & Yuli Kurniawaty

Layout & Grafis: Anugerah Dwitama, Hilda Nurul Fathiya ChasaniReporter: Gerry Maulana Thiar, Naomi Putri Bahari Simeon, Tiffana Puspa Amarselma,

Indriastuti Septiyani, Chandra Laksmita, Intan Laraswari, Ingrid Dyah, Aditya Fahmi