buletin ekonomi moneter dan perbankan - bi.go.id · indonesia di tahun 2011 diprakirakan tumbuh...
TRANSCRIPT
1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterBank Indonesia
PelindungPelindungPelindungPelindungPelindungDewan Gubernur Bank Indonesia
Dewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorProf. Dr. Anwar Nasution
Prof. Dr. Miranda S. GoeltomProf. Dr. Insukindro
Prof. Dr. Iwan Jaya AzisProf. Iftekhar HasanDr. M. Syamsuddin
Dr. Perry WarjiyoDr. Halim Alamsyah
Dr. Iskandar SimorangkirDr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Pimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo
Dr. Iskandar Simorangkir
Direktur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDr. Andi M. Alfian Parewangi
SekretariatSekretariatSekretariatSekretariatSekretariatToto Zurianto, MBA
MS. Artiningsih, MBA
Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].
BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN
Volume 13, Nomor 3, Januari 2011
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran
Triwulan IV - 2010
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Doni Satria, Solikin M. Juhro
Inflation Targeting under Imperfect Credibility based on ARIMBI (Aggregate Rational
Inflation - Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Harmanta, M. Barik Bathaluddin, Jati Waluyo
Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage
serta Fungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara
Shareholders dengan Debtholders
Rhini Fatmasari
Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Peter Jacobs, Arlyana Abubakar, Tora Erita Siallagan
251
319
245
281
339
245ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan IV - 2010
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perekonomian Indonesia di tahun 2010 menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang cukup
tinggi di tengah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global. Perekonomian domestik
diprakirakan dapat tumbuh 6,1% pada triwulan IV-2010 sehingga untuk keseluruhan tahun
2010 perekonomian nasional dapat tumbuh sekitar 6%. Untuk tahun 2011 dan 2012, Bank
Indonesia optimis bahwa pemulihan ekonomi domestik akan semakin kuat ditopang oleh
peningkatan permintaan domestik dengan kinerja investasi yang semakin baik. Perekonomian
Indonesia di tahun 2011 diprakirakan tumbuh mencapai kisaran 6,0-6,5% dan pada tahun
2012 menjadi 6,1-6,6%.
Bank Indonesia mencatat bahwa proses pemulihan ekonomi global sepanjang tahun
2010 terus berlanjut meskipun cenderung melambat memasuki paruh kedua 2010 dan dengan
kecepatan yang tidak merata di berbagai kawasan. Pemulihan ekonomi negara-negara emerging
markets lebih kuat dibandingkan negara maju, didukung oleh konsumsi domestik yang solid
dan kinerja eksternal yang terus membaik. Sementara itu, perekonomian negara maju yang
membaik pada paruh pertama 2010, tumbuh melambat di paruh kedua tahun ini seiring
memudarnya efek stimulus fiskal yang diluncurkan tahun 2009. Selain itu, pertumbuhan ekonomi
negara maju juga dihadapkan pada krisis fiskal pada sejumlah negara Eropa dan tingginya
angka pengangguran Amerika Serikat (AS).
Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada perbedaan respons
kebijakan moneter yang ditempuh. Bank sentral negara maju terus melanjutkan kebijakan
akomodatif yang berdampak pada meningkatnya likuiditas global. Sementara itu, bank sentral
negara emerging markets melakukan normalisasi kebijakan untuk menahan tekanan inflasi
yang meningkat seiring akselerasi pemulihan ekonominya. Kondisi ini berdampak pada
penguatan nilai tukar sejumlah negara emerging markets, termasuk Indonesia, yang kemudian
direspons dengan menggunakan berbagai kombinasi instrumen kebijakan.
Kinerja pasar keuangan global mengalami rebound setelah keputusan negara-negara
maju untuk mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. Krisis fiskal yang melanda
246 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
negara-negara Eropa (PIIGS-Portugal, Ireland, Italy, Greek, Spain) telah menurunkan risk appetite
investor global. Hal ini mendorong investor untuk mengalihkan aset yang dinilai berisiko termasuk
aset negara-negara emerging markets sehingga menimbulkan tekanan pada pasar keuangan
global. Namun demikian, tekanan di pasar keuangan mulai mereda dan berangsur-angsur
pulih pada paruh kedua 2010. Sinyal kebijakan moneter negara maju yang mempertahankan
suku bunga rendah dan disertai paket stimulus moneter telah mendorong rally pada bursa
saham global termasuk di emerging markets.
Dinamika yang terjadi pada perekonomian global sepanjang tahun 2010 telah memberikan
pengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus
berlanjut khususnya di negara-negara emerging markets dan terjaganya stabilitas perekonomian
telah memberikan dampak positif bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. Kebijakan
ekonomi makro yang dilakukan telah memberikan kontribusi bagi terpeliharanya keseimbangan
internal dan eksternal dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut menjadi faktor penting
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi domestik
tahun ini ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin seimbang tercermin pada kuatnya
konsumsi dan tingginya permintaan ekspor serta investasi yang membaik. Konsumsi yang
meningkat terutama berasal dari konsumsi rumah tangga sementara konsumsi pemerintah
masih relatif terbatas seiring penyerapan anggaran yang masih terbatas. Di sisi ekspor, terjadi
peningkatan kinerja pada tahun 2010 didukung oleh meningkatnya permintaan eksternal seiring
pemulihan ekonomi global khususnya di kawasan Asia. Membaiknya kinerja ekspor juga
didorong oleh peningkatan harga komoditas global. Sementara itu, kinerja investasi juga terus
menunjukkan perbaikan didukung oleh membaiknya persepsi pasar, meningkatnya pembiayaan,
relatif rendahnya harga barang impor, dan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang
mendukung investasi.
Dari sisi penawaran, sektor nontradable dan sektor tradable menunjukkan kinerja yang
membaik di tahun 2010. Pertumbuhan sektor tradable terutama berasal dari pulihnya sektor
industri pengolahan yang mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis keuangan global yakni
sekitar 4%. Namun, membaiknya kinerja sektor industri ini tidak diikuti oleh kinerja sektor
tradable lainnya. Sektor pertanian tumbuh melambat dipengaruhi produktivitas serta luas lahan
yang menurun dengan adanya anomali cuaca. Sementara, sektor pertambangan juga mengalami
gangguan yang terkait faktor cuaca. Di sisi nontradable, pertumbuhan terutama berasal dari
sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sementara
itu, sektor nontradable lainnya cenderung melambat.
Di sisi harga, tahun 2010 diwarnai oleh tekanan inflasi yang cenderung meningkat, yang
terutama bersumber dari kelompok volatile food. Tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan
247ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
makanan (volatile food) disebabkan anomali cuaca yang mengakibatkan gangguan distribusi
dan produksi. Tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok administered prices juga meningkat
meskipun terbatas. Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) di bulan Juli 2010 tidak mendorong
kenaikan harga komoditas secara signifikan. Tekanan inflasi inti mengalami peningkatan
meskipun masih terkendali seiring nilai tukar rupiah yang menguat. Peningkatan inflasi ini
berasal dari tren peningkatan harga komoditas pasar global. Sementara itu, ekspektasi inflasi
juga sempat meningkat dipengaruhi oleh kenaikan pada harga bahan makanan. Dengan
perkembangan tersebut, sampai dengan November 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 6,33(yoy)
atau mencapai 5,98% (ytd), sementara inflasi inti mencapai 4,31%(yoy) atau 3,89%(ytd).
Pemulihan ekonomi Indonesia yang terus membaik selama tahun 2010 tersebut juga
terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara
umum, perekonomian daerah selama tahun 2010 masih terus terakselerasi ditopang oleh
kuatnya konsumsi, ekspor dan investasi. Wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua
diprakirakan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari membaiknya
kinerja perkebunan yang dipengaruhi oleh harga yang membaik. Sementara itu, kinerja sektor
pertambangan yang banyak beroperasi di wilayah tersebut diprakirakan masih terbatas akibat
anomali cuaca dan gangguan teknis produksi. Di wilayah Jakarta, Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
dan Kalimantan diprakirakan masih mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi didukung
oleh kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan. Kegiatan investasi bangunan yang
tumbuh cukup tinggi terjadi di Jakarta dan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Di sisi Neraca Pembayaran, pertumbuhan ekspor yang tetap kuat serta aliran modal masuk,
baik dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) maupun portfolio yang masih kuat membawa
dampak pada peningkatan surplus Neraca Pembayaran Indonesia. Pemulihan ekonomi global
yang terus berlangsung terutama di negara-negara emerging markets telah mendorong kuatnya
pertumbuhan ekspor. Peningkatan harga komoditas global juga turut mendorong perbaikan
ekpor Indonesia dengan pangsa komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) yang semakin
besar. Di sisi lain, peningkatan ekonomi domestik dan apresiasi nilai tukar telah mendorong
peningkatan impor yang lebih besar. Sementara itu, pemulihan ekonomi global yang tidak
seimbang telah mendorong peningkatan yang besar pada aliran masuk modal asing. Secara
keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2010 mencatat surplus yang meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, cadangan devisa
Indonesia sampai dengan akhir November 2010 tercatat sebesar USD 92,759 miliar atau setara
dengan 6,96 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah.
Nilai tukar rupiah menguat secara signifikan di tahun 2010. Penguatan rupiah didukung
oleh faktor fundamental yang solid tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang
248 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
mencatat surplus signifikan. Di samping itu, penguatan rupiah tersebut juga derasnya arus
modal masuk asing terkait dengan melimpahnya likuiditas global, kuatnya ekspektasi
berlanjutnya kebijakan suku bunga rendah di negara-negara maju dan peluncuran Quantitave
Easing tahap II oleh The Fed. Derasnya aliran masuk modal asing juga didorong oleh terjaganya
persepsi risiko dan sentimen positif sejalan dengan stabilitas makro dan sistem keuangan yang
terkendali, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan sustainabilitas fiskal yang terjaga. Dengan
kondisi tersebut, sepanjang tahun 2010 nilai tukar rupiah telah terapresiasi secara rata-rata
sebesar 3,7% (y-t-d) atau menguat 4,3% (p-t-p) dibandingkan tahun 2009. Penguatan tersebut
diikuti juga oleh tingkat volatilitas tahunan yang turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 0,9%.
Pasar keuangan domestik menunjukkan perkembangan yang terus membaik di tahun
2010 seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus terakselerasi. Transmisi kebijakan
moneter juga membaik sebagaimana tercermin pada respons suku bunga pasar uang dan
perbankan yang terus menurun, serta ekspansi kredit yang meningkat. Di pasar obligasi, transmisi
kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya. Di pasar
saham, indeks harga menunjukkan lonjakan yang membawa IHSG ke level tertinggi sebesar
3.756,9.
Ke depan, perkembangan ekonomi domestik diperkirakan akan terus membaik.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 diperkirakan terakselerasi dan dapat mencapai kisaran
6,0%-6,5%. Sementara, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2012 diperkirakan mencapai
kisaran 6,1%-6,6%. Pertumbuhan tersebut didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tetap
kuat, investasi yang membaik, serta masih solidnya kinerja ekspor seiring dengan masih kuatnya
pertumbuhan di negara mitra dagang, terutama di kawasan Asia. Di sisi harga, Bank Indonesia
memprakirakan inflasi di 2011 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 5%±1% pada
tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Meskipun demikian, perlu tetap diwaspadai
beberapa faktor risiko terhadap pencapaian sasaran inflasi tersebut maupun prospek
makroekonomi ke depan, seperti masih tingginya ketidakpastian pemulihan ekonomi global,
kenaikan harga komoditas internasional, dan derasnya aliran modal asing masuk yang memicu
currency war. Dari sisi domestik, risiko tersebut antara lain terkait dengan meningkatnya ekses
likuiditas di sektor keuangan dan kemungkinan gangguan produksi serta distribusi bahan
kebutuhan pokok. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia akan menekankan penerapan
bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta memperkuat koordinasi dengan
Pemerintah. Beberapa langkah yang sedang dipersiapkan Bank Indonesia untuk mitigasi dampak
negatif dari arus masuk modal asing dan sekaligus memperkuat ketahanan sistem perbankan
antara lain terkait dengan pengaturan GWM valas dan vostro account (rekening giro Rupiah
yang dimiliki oleh non-residen di bank domestik).
249ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010
Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia pada 3 Desember 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level
6,5% dengan koridor suku bunga sebesar ±100 bps. Keputusan tersebut juga
mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran
inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan
dan mendorong intermediasi perbankan. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian
secara umum mengarah pada kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2011
dan tahun 2012 diperkirakan meningkat dengan sumber pertumbuhan yang semakin berimbang.
250 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
251Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
PERILAKU RISIKO DALAM MEKANISME TRANSMISIKEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Doni Satria1
Solikin M. Juhro**
This study explores interconnections between risk behaviour in the financial sector, particularly
banking sector, with monetary policy stance. Referring Bernanke and Blinder (1988) modified model for
analyzing the bank credit behavior, we develop an empirical model to test the role of risk behaviour in
monetary policy transmission mechanism. Vector Error Correction Model are applied to test the significance
of interaction between risk variables and monetary policy stance in the short run dynamics of credit
behavior around its long-run cointegration with real GDP. Some empirical results emerge from this
preliminary study. First, there is early indication that risk taking channel in the monetary policy transmission
mechanism exists in Indonesia during analysis period. Second, risk variables and credit tend to move pro-
cyclicalyl while monetary policy stance tends to a-cyclical. Third, pro-cyclical behavior of credit and risk
variables reverses the effect of loose monetary policy stance, and there is an indication of asymmetric
effect between tight monetary policy and loose monetary policy in Indonesian economy. These empirical
findings bring about policy recommencations for better understanding on the risk behavior in the banking
sector, as well as integration beetween monetary dan financial sector policies.
JEL Code : E52, E58,
Key word: Monetary Policy Transmission Mechanism, Monetary Policy Stance, Banking Risk Behavior,
Risk Perception.
1 Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.** Peneliti Ekonomi Bank Indonesia dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Penelitian ini
merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi dimana penulis bekerja.
Abstract
252 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN
Pengaruh perilaku risiko pada dinamika sektor keuangan merupakan isu penelitian yang
cukup mengemuka dewasa ini, khususnya dikaitkan dengan efektivitas respon kebijakan yang
diambil terhadap krisis keuangan global yang terjadi semenjak pertengahan 2007. Beberapa
argumen dibangun untuk melihat faktor penyebab mendasar di balik krisis keuangan yang
ditengarai sebagai unprecedented crisis, baik dari segi besarnya pengaruh maupun waktu
berlalunya. Taylor (2009) mengemukakan bahwa krisis disebabkan oleh kebijakan bank sentral
yang cenderung mempertahankan tingkat bunga terlalu rendah, sebagai konsekuensi rendahnya
tingkat inflasi dalam jangka waktu yang cukup panjang sebelum terjadi krisis. Taylor memaparkan
bahwa bank sentral di negara maju tidak memperhitungkan risiko di sektor perbankan dan
keuangan dalam fungsi reaksi kebijakan moneternya, sehingga menyebabkan penetapan tingkat
bunga nominal yang salah (terlalu rendah). Implikasi dari analisis ini menunjukan adanya interaksi
antara stance kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral terhadap risiko di sektor
keuangan khususnya perbankan. Sedangkan Mishkin (2009) mengemukakan bahwa kebijakan
moneter cenderung menjadi lebih potensial dimasa krisis tingkat efektifitasnya dibandingkan
dengan kondisi normal, sehingga memberikan landasan untuk melakukan menejemen risiko
makroekonomi untuk menghadapi masalah kontraksi perekonomian selama periode krisis.
Fakta di atas menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara stabilitas moneter dengan
stabilitas sektor keuangan. Bagaimana otoritas moneter harus merespon dan bertindak dalam
menjalankan kebijakan moneternya umumnya dapat dipahami, dan relatif tidak banyak
diperdebatkan di kalangan ahli ekonomi. Namun demikian, dalam hal bagaimana otoritas
moneter harus merespon dan bertindak untuk permasalahan yang muncul dari sisi sektor
keuangan masih menjadi perdebatan di kalangan ahli ekonomi (Goodhart dan Tsomocos, 2007).
Bagi otoritas moneter, target kebijakan moneter yang dijalankan akan menjadi lebih mudah
tercapai jika stabilitas sektor keuangan berkerja dengan baik. Sedangkan jika kondisi fundamental
makroekonomi tidak stabil, akan menyebabkan gejolak pada sektor keuangan dalam
perekonomian.
Keterkaitan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sektor keuangan akhirnya menajdi
isu sentral dalam upaya untuk melihat keterkaitan antara kebijakan yang diambil, perilaku
risiko, dan berlangsungnya suatu krisis keuangan. Penelitian oleh Nier dan Zicchino (2008)
mengemukakan bahwa penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh stance kebijakan moneter
yang berinteraksi dengan tekanan pada neraca bank (balance sheet stress) yang ditransmisikan
melalui kerugian bank. Penelitian yang menyimpulkan bahwa dampak interaksi stance kebijakan
moneter dengan kerugian bank menjadi lebih kuat dalam periode krisis, dengan asumsi bahwa
besaran risiko sektor keuangan semakin tinggi pada kondisi ekonomi sedang dalam kondisi
253Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
krisis, mengimplikasikan bahwa faktor risiko sektor keuangan berinteraksi dengan stance
kebijakan moneter. Untuk kasus Kanada, Li dan St-Amant (2010) menemukan bahwa kebijakan
moneter ketat atau kontraktif memiliki dampak yang lebih kuat terhadap output dibandingkan
dengan kebijakan moneter yang ekspansif, dan kebijakan moneter yang ekspansif memiliki
dampak yang lebih kuat dibandingkan kebijakan moneter yang kontraktif saat perekonomian
dalam kondisi tekanan keuangan (risiko) yang tinggi.
Selanjutnya, Borio (2008) mengemukakan pentingnya analisis jalur pengambilan risiko
(risk taking channel) dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Hal ini berbeda dengan
jalur bank lending yang dikemukakan oleh Bernanke dan Blinder (1988) dan Bernanke dan
Gertler (1995) yang mengemukakan bahwa kebijakan moneter bekerja melalui cadangan bank
(bank reserve) dan selanjutnya mempengaruhi penawaran kredit perbankan dalam
perekonomian. Risk taking channel mempengaruhi penawaran kredit oleh perbankan melalui
keputusan bank untuk menyalurkan kredit berdasarkan perubahan perilaku bank dalam
menghadapi risiko kredit. Adrian dan Shin (2009) mengemukakan bahwa risk taking channel
ini juga berbeda dengan konsep tentang akselerator keuangan (financial accelerator) yang
dikemukakan Bernanke dan Gertler (1999). Terkait dengan itu, hasil penelitian empiris cukup
memberikan bukti tentang keberadaan risk taking channel dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter.2
Dalam konteks perekonomian Indonesia, pengamatan terhadap peran faktor risiko di
sektor keuangan pada bekerjanya mekanisme transmisi belum dilakukan secara mendalam.
Goeltom et al. (2009) secara umum menyimpulkan bahwa berdasarkan analisis empiris, persepsi
risiko cukup berperan dalam mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan
kondisi dan kompleksitas Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter, penelitian ini
mengindentifikasi permasalahan dampak asimetris dari kebijakan moneter. Kondisi asimetris
tersebut dipengaruhi oleh perilaku sektor keuangan yang cenderung pro siklis dan keberadaan
risk taking channel sebagaimana yang dikemukakan oleh Borio dan Zhu (2008). Hasil analisis
yang dilakukan tersebut masih merupakan analisis awal dengan menggunakan swap premium
sebagai indikator persepsi risiko secara umum. Hasil kajian tersebut menyarankan analisa lanjutan
dengan menggunakan model analisis dan indikator yang lebih baik dan model empiris yang
lebih mampu menangkap keberadaan peran risiko dan persepsi risiko di sektor keuangan dalam
mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia.
Terkait dengan beberapa pemikiran di atas, sejalan dengan dinamika dan perubahan
struktural dalam perekonomian Indonesia paska krisis ekonomi tahun 1998, pengelolaan
2 Lihat Gambacorta, 2009 dan Referensi dalam paper tersebut.
254 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
stabilitas sektor keuangan dan moneter masih menghadapi permasalahan rigiditas tingkat bunga
pinjaman yang disalurkan oleh perbankan ke perekonomian, dalam artian perkembangan suku
bunga pasar keuangan belum sepenuhnya merepons perkembangan suku bunga kebijakan (BI
Rate). Pengamatan menunjukan bahwa spread antara tingkat bunga kebijakan dengan cost of
fund semakin menurun, namun pada saat yang bersamaan spread tingkat bunga kebijakan
dengan suku bunga dasar kredit (SBDK) cenderung meningkat. SBDK memiliki berbagai
komponen yang salah satu diantaranya adalah premi risiko perbankan (Bank Indonesia, 2010).
Paparan di atas secara tidak langsung mengindikasikan adanya interaksi antara kebijakan
moneter dan risiko di sektor perbankan yang ditransmisikan ke perekonomian riil melalui
penawaran kredit perbankan3. Indonesia sebagai sebuah negara yang belum memiliki sektor
keuangan yang berkembang pesat seperti halnya di negara maju, tentunya belum memiliki
alternatif pembiayaan investasi yang cukup luas dan peran sektor perbankan dalam sektor
keuangan menjadi sangat dominan. Kajian untuk memahami bagaimana dampak risiko
perbankan terhadap perekonomian Indonesia menjadi sangat penting dalam konteks untuk
menjamin stabilitas sektor keuangan.4
Penelitian ini berusaha melihat keterkaitan antara risiko sektor keuangan, khususnya
perbankan, dengan kebijakan moneter, serta implikasinya terhadap mekanisme transmisi
kebijakan moneter ke sektor riil dalam perekonomian. Sampai saat ini sebagian besar analisis
tentang stabilitas sektor keuangan terfokus pada pengidentifikasian faktor-faktor yang
menentukan risiko sektor keuangan dan faktor kelembagaan yang menentukan profil risiko di
sektor keuangan. Sedangkan bagaimana feedback dari perubahan risiko di sektor keuangan
terhadap perekonomian riil masih belum banyak dimodelkan (Tieman dan Maechler, 2009).
Dengan memahami besaran pengaruh perubahan risiko sektor keuangan, khususnya perbankan
dan interaksinya dengan kebijakan moneter terhadap penawaran kredit perbankan, penelitian
ini akan memberikan gambaran mengenai dampak riil perubahan risiko dan persepsi risiko di
sektor perbankan serta kebijakan moneter (yang merupakan cerminan dari perilaku pengambilan
risiko pelaku ekonomi) terhadap perekonomian.
3 Jalur kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ini pertama kali dikembangkan oleh Bernanke dan Blinder (1988). Analisismengenai bagaimana penawaran kredit bank dipengaruhi oleh kebijakan moneter dapat melalui berbagai jalur dalam dua dasawarsaterkahir telah banyak dianalisis oleh ekonom, dan merupakan sebuah penelitian aktif dalam ilmu ekonomi. Jalur transmisi kebijakanmoneter melalui kredit perbankan yang telah dikemukakan sepengetahuan penulis antara lain, liquidity channel (Diamond danRajan, 2006), Bank Capital Channel (Van der Hauvel, 2007), Risk taking channel (Borio, 2008 dan Adrian dan Shin, 2009). Ketiganyabekerja mempengaruhi perekonomian riil melalui perubahan penawaran kredit sektor perbankan, yang selanjutnya mempengaruhibelanja riil investasi dan konsumsi.
4 Literatur yang berkembang menunjukan kecenderungan untuk menganalisis faktor apa yang mempengaruhi resiko perbankan,namun kurang memperhatikan bagaimana dampak faktor resiko perbankan terhadap perekonomian riil yang dalam hal iniditransmisikan melalui penawaran kredit perbankan.
255Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam penelitian ini dilakukan spesifikasi model empiris dengan melakukan modifikasi
model yang dikembangkan Tieman dan Maechler (2009). Secara umum, model empiris akan
menguji dampak perilaku risiko, tercermin pada indikator persepsi risiko (risk aversion) pelaku
ekonomi dan tingkat risiko dalam industri perbankan, yang berinteraksi dengan stance kebijakan
moneter pada penawaran kredit perbankan. Beberapa kesimpulan utama yang ditarik dari
penelitian ini adalah bahwa persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan
memiliki peran yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit
di Indonesia. Dalam hal ini, peran persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor
perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah
dampak kebijakan moneter yang longgar. Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat
untuk mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada
saat berinteraksi dengan variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor
perbankan.
Tulisan ini terdiri dari lima bagian. Menyambung latar belakang ini bagian kedua akan
menyampaikan sekilas landasan teoritis terkait dengan keseimbangan pasar kredit dan peran
variabel risiko sebagai faktor pendorong dan penarik dari ekspansi kredit perbankan. Bagian
ketiga akan memaparkan metodologi penelitian, khususnya dalam pengembangan model
empiris yang ditaksir dengan metode Vector Error Correction Model (ECM). Bagian berikutnya
akan menyampaikan hasil penaksiran dan analisis dampak variabel risiko dan stance kebijakan
moneter pada dinamika perkembangan kredit perbankan. Bagian penutup akan menyampaikan
beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan.
II. TEORI
Bank atau lembaga perantara keuangan dalam perekonomian diyakini berperan sangat
penting dalam mentransmisikan dampak kebijakan moneter oleh sebagian besar ahli ekonomi,
namun bagaimana cara bank dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut ke
perekonomian riil masih belum memperoleh konsensus dari ahli ekonomi dan masih menjadi
objek penelitian yang sangat penting dalam ilmu ekonomi moneter. Pendekatan awal dalam
mejelaskan peranan bank dalam mentransmisikan kebijakan moneter diyakini melalui jalur
uang atau kewajiban sektor perbankan terhadap perekonomian (money view), selanjutnya
berkembang pemikiran bahwa bank mempengaruhi perekonomian melalui jalur kredit (Bernanke
dan Blinder, 1988). Melalui jalur kredit diyakini bahwa kebijakan moneter bisa mempengaruhi
perkonomian melalui penawaran kredit dari sektor perbankan atau bank lending channel, dan
melalui neraca perusahaan dimana kebijakan moneter mempengaruhi kemampuan perusahaan
256 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dalam memperoleh sumber pembiayaan eksternal dari perbankan atau balance sheet channel
(Bernanke dan Gertler, 1995).
Berdasarkan model teoritis awal yang dikembangkan oleh Bernanke dan Blinder (BB)
tersebut, dapat dilakukan pengembangan model teoritis untuk memasukan peran risiko sektor
keuangan khususnya dari sektor perbankan dalam menganalisis keberadaan jalur risiko dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter. Pengembangan model dinamis sederhana berdasarkan
model BB, seperti yang dikembangkan oleh Escandon dan Diaz-Bautista (2000) dan Walsh
(1998) dapat dijadikan acuan dasar dalam mengembangkan model empiris yang akan digunakan
dalam penelitian ini.
Dalam versi dinamis, kurva pemintaan komoditas dan kredit «CC» dalam model BB
ditransformasikan menjadi proses penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang antara
permintaan dan penawaran aggregat di sektor riil. 5 Karena diasumsikan harga tetap, maka
penyesuaian jangka pendek terjadi melalui mekanisme ekses demand yang menyebabkan output
kembali ke kondisi keseimbangan. Kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut:
5 Standar model IS-LM dalam buku teks makroekonomi menggunakan asumsi terdapat subtitusi yang sempurna antara bonds dengankredit perbankan, model Bernanke dan Blinder (BB) melepas asumsi tersebut dan membentuk model keseimbangan IS-LM denganmemasukan pasar kredit bank dalam model. Dalam model BB permintaan kredit bank merupakan fungsi dari tingkat bunga pinjaman,tingkat bunga pasar (dengan demikian berarti tingkat bunga bonds) dan tingkat pendapatan, sehingga model ini menggunakankurva CC sebagai pengganti kurva IS. (lihat Bernanke dan Blinder 1988)
Sebagaimana dalam model BB aggregat demand ( yd ) ditentukan oleh tingkat bunga
kredit perbankan, tingkat bunga pasar, dan kebijakan fiskal. Sebagaimana juga dalam model
BB, tingkat bunga pasar ditentukan oleh kebijakan moneter (cadangan Bank, R) dan permintaan
uang (Md), maka:
y = β(yd - y) β> 0, (II.1)
Dinamika sektor keuangan berasal dari pergerakan tingkat bunga kredit perbankan (ρ)
yang menyeimbangkan pasar kredit perbankan. Dengan asumsi tanpa ada credit rationing,
variabel ini akan menyesuaikan ekses demand dan ekses penawaran di pasar kredit perbankan,
sehingga:
(II.3)i = h (R, M d) h
R < 0, f
Md > 0,
(II.2)yd = f (ρ, G,i) f
ρ < 0, f
G > 0, f
i < 0,
(II.4)ρ =α (Ld - Ls) α > 0
(II.5)Ld = L (ρ, i, y, σ d) L
ρ < 0, L
i > 0, L
y > 0, L
σd < 0
257Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Persamaan (II.4) sampai (II.6) menunjukan kondisi keseimbangan dalam pasar kredit
perbankan melalui mekanisme penyesuian harga kredit perbankan (tingkat bunga kredit),
permintaan kredit ditentukan oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar pada
bonds, tingkat perekonomian riil, dan risiko kredit dari sisi permintaan. Selanjutnya penawaran
kredit perbankan dipengaruhi oleh tingkat bunga kredit perbankan, tingkat bunga pasar bonds
dan tingkat risiko alokasi kredit perbankan.
Selain variabel risiko semua variabel yang dimasukan dalam model analisis yang
dikembangkan berdasarkan model yang dikemukakan oleh Escandon dan Diaz-Bautista (2000)
ini sama dengan model BB (1988). Dalam analisisnya Escandon dan Diaz-Bautista tidak menjelaskan
landasan teoritis untuk memasukan variabel risiko permintaan dan penawaran kredit dalam model
ini. Penjelasan lebih lanjut untuk menjustifikasi dimasukannya variabel risiko sebagai komponen
yang mempengaruhi penawaran kredit perbankan yang kemudian berinteraksi dengan kebijakan
moneter dikembangkan oleh Freixas dan Jorge (2008) dan Disyatat (2010).
Dinamika model yang direpresentasikan oleh persamaan (II.1) sampai (II.6) dapat dijelaskan
sebagai berikut. Dengan melakukan linearisasi pada kondisi keseimbangan jangka panjang
masing-masing variabel menggunakan first order Taylor expansion series akan diperoleh dinamika
dari sektor riil dengan menggunakan persamaan (II.1) sampai (II.4) sebagai berikut:
(II.6)Ls = λ (ρ, i, σ s) λ
ρ > 0, λ
i < 0, λ
σs < 0
(II.7)y = −β (y - y) + βf
ρ (ρ − ρ) + βf
G (G - G) + βf
i (i - i)
Grafik 1.Dinamika Pertumbuhan Sektor Riil
0
y*
y
y”
Karena diasumsikan dalam persamaan (II.1) β > 0, maka y, akan stabil. Sehingga secara
grafis hubungan y dengan pertumbuhan y dapat digambarkan sebagai berikut:
258 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Grafik 1, menunjukan hubungan antara perubahan variabel y (output perekonomian)
dari waktu ke waktu ( ) dengan variabel y. Karena β > 0, maka hubungan antara perubahan
y terhadap t dengan y adalah negatif. Dengan demikian pada saat pertumbuhan nilai output
perekonomian lebih besar dari nol, maka nilai y akan terus meningkat (y bergerak dari kiri ke
kanan), sebaliknya jika pertumbuhan nilai output lebih kecil dari nol, maka nilai y akan menurun
dan bergerak dari kiri ke kanan. Karena hubungan negatif antara pertumbuhan y dengan nilai
y, maka pada saat di titik y* nilai y akan stabil. Dengan melakukan langkah yang sama, maka
dinamika sektor keuangan adalah:
(II.8)
Grafik 2.Dinamika Perubahan Sektor Keuangan
0ρ*
ρ
ρ”
Karena α > 0 ( Lρ, λ
ρ) < 0 dan, maka ρ akan stabil:
Berdasarkan grafik 2. Dengan asumsi ( Lρ - λ
ρ) < 0, maka hubungan antara ρ dengan ρ
akan negatif. Untuk setiap nilai positif ataupun negatif dari ρ akan menyebabkan nilai ρ turun
atau naik (semakin besar atau semakin kecil). Akibatnya dalam jangka panjang nilai ρ akan
konstan pada saat ρ = 0 pada titik ρ*. Grafik 1 dan grafik 2 menunjukan proses menuju
keseimbangan dalam pasar barang dan jasa dan pasar kredit perbankan. Dalam model yang
digunakan oleh BB (1988) perubahan eksogen dalam keseimbangan di pasar kredit (dengan
tidak sempurnanya subtitusi antara pasar kredit dan pasar modal) dapat merubah keseimbangan
pada perekonomian.
Selanjutnya dalam mengembangkan hipotesis untuk mengetahui bagaimana dampak
masing-masing varibel terhadap perubahan eksogen dari variabel risiko dalam penyaluran kredit
+ αLσ d
(σ d − σ d) - αλσ s
(σ s − σ s)
ρ = αLy (y - y) + α (Lρ − λρ)(ρ − ρ) + α(L
i − λ
i) (i - i)
259Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
perbankan digunakan solusi matriks untuk kedua persamaan dalam sistem persamaan diferensial
tersebut:
Representasi grafis menggunakan phase diagram pergerakan dinamis pada variabel tingkat
bunga kredit perbankan dan pendapatan (PDB) disampaikan pada grafik 3. Grafik 3 adalah
hasil penggabungan grafik 1 dan grafik 2 yang dapat dianalisis dalam dua sumbu yang
menunjukan hubungan antara y dan ρ pada saat ρ dan y sama dengan nol. Berdasarkan
persamaan II.7 dan II.8, pada saat keseimbangan di titik ρ* hubungan antara ρ dan y adalah
positif, dan pada titik y* hubungan antara ρ dan y adalah negatif. Dengan menggunakan
penjelasan yang dilakukan pada grafik 1 dan grafik 2, maka untuk tiap kondisi perekonomian
yang tidak dalam keseimbangan pada pasar kredit dan pasar barang dan jasa, perekonomian
akan menuju keseimbangan dalam jangka panjang pada titik ρ* dan y*. Dalam model ini
menunjukan bahwa perubahan eksogen pada variabel G, i (tingkat bunga di pasar modal),
σ d (risiko sektor keuangan di sisi permintaan) dan σ s (risiko sektor keuangan di sisi supply) akan
menyebabkan pergeseran dari equilibrium dalam jangka panjang melalui perubahan/pergeseran
keseimbangan dalam model (titik e0).
Grafik 3.Dinamika Keseimbangan Umum
Dalam Perekonomian
y*
e0
y
ρ*
ρ
ρ=0
y=0
=− β
αLy
βfρ
α(Lρ − λ
ρ)
y - y
ρ - ρ+
βfG
0
βf1
α(Li − λ
i )
0 0
αLσ d −αλσ s
y
ρ
G − G
i − i
σ d − σ d
σ s − σ s
260 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Berdasarkan hasil penjelasan grafis menunjukkan bahwa model yang dikembangkan ini
secara dinamis stabil dan mengindikasikan bahwa perekonomian akan menuju kepada
keseimbangan jangka panjang. Landasan teoritis dalam model ini dapat diperoleh solusinya
sebagai alat untuk membentuk hipotesis dari teori ekonomi yang akan diuji dengan
menggunakan model empiris. Dalam jangka panjang, variabel ekonomi akan menuju
keseimbangan yang baru setelah adanya shock yang terjadi pada variabel eksogen. Dalam
model ini yang merupakan variabel eksogen adalah kebijakan fiskal (G), Kebijakan moneter
(R) dan variabel risiko (σ). Dampak parsial dari masing-masing variabel eksogen adalah sebagai
berikut:
Kenaikan pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal) memiliki dampak positif terhadap
keseimbangan jangka panjang PDB (output) secara langsung melalui peningkatan permintaan
riil dalam perekonomian, karenanya kurva y = 0 harus bergeser kekanan. Sedangkan kurva
ρ = 0 tidak terpengaruh karena belanja pemerintah (G) tidak secara langsung mempengaruhi
sektor keuangan.
(II.9)
Berdasarkan asumsi dalam persamaan (II.3), kebijakan moneter yang dilakukan Bank
Sentral, misalnya dengan melakukan pembelian surat berharga dengan instrumen operasi pasar
terbuka, akan meningkatkan jumlah cadangan bank. Kebijakan tersebut akan meningkatkan
penawaran kredit perbankan, menurunkan biaya pinjaman dana dari bank, sehingga mendorong
peningkatan produksi dalam perekonomian. Agar kondisi tersebut tercapai maka kurva y = 0
dan ρ = 0 harus bergeser kekanan dan pergeseran pada kurva ρ = 0 secara proporsional harus
lebih besar.
(II.11)
= fG
> 0 ;
y = 0 ρ = 0
= 0
(II.10)= f
i < 0 ;
y
i y = 0
y
i ρ = 0
=− (L
i − λ
i )
Ly
< 0
= 0 ; y
σ s y = 0
y
σ s ρ = 0
=λ
σ s
Ly
< 0
= 0 ; y
σ d y = 0
y
σ d ρ = 0
=−L
σ d
Ly
> 0
261Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Guncangan eksogen yang bersumber pada perubahan risiko dari penawaran dan
permintaan kredit perbankan dalam model ini memiliki implikasi penting terhadap perekonomian
yang ditransmisikan melalui pergeseran kondisi keseimbangan dalam pasar kredit perbankan.
Jika terjadi peningkatan risiko yang dihadapi oleh perbankan, maka risiko di sisi penawaran
kredit perbankan akan meningkat, meningkatkan biaya kredit perbankan, sehingga menurunkan
tingkat produksi (PDB atau output) perekonomian dalam jangka panjang. Secara grafis kondisi
ini dapat digambarkan sebagai pergeseran pada kurva ρ = 0.
Selanjutnya Freixas dan Jorge (2008), mengembangkan model teoritis bekerjanya
mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui risiko dengan menggunakan pendekatan partial
equilibrium dalam pasar uang antar bank. Secara garis besar dalam model ini dijelaskan kebijakan
moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral akan mempengaruhi ketersediaan likuiditas di pasar
uang antar bank, selanjutnya memaksa bank yang kekurangan likuiditas merasionalisasi kredit
yang diberikan kepada nasabahnya (terjadi credit rationing), sehingga akan menyebabkan
peningkatan ataupun penurunan produksi di sektor riil. Informasi yang tidak sempurna dalam
pasar uang antar bank merupakan sumber munculnya risiko yang ada dalam pasar uang antar
bank. Sehingga menyebabkan dampak kebijakan moneter yang diberlakukan memiliki besaran
yang lebih besar dibandingkan kondisi jika ada informasi yang sempurna dalam mekanisme
pasar uang antar bank tersebut. Model teoritis ini memberikan justifikasi bekerjanya mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit perbankan tanpa harus menggunakan asumsi
tidak ada perilaku credit rationing dalam pasar kredit perbankan. Sehingga hipotesis yang
dihasilkan berdasarkan solusi dalam versi dinamis model BB sebelumnya tetap bisa digunakan
dalam penelitian ini.
Pengembangan model risiko pada dalam jalur kredit dalam mekanisme kebijakan moneter
yang dikemukakan Disyatat (2010) juga menghasilkan kesimpulan yang relatif sama dengan
model yang dikemukakan oleh Freixas dan Jorge (2008). Dalam model tersebut dikemukakan
bahwa mekanisme risiko berperan sebagai faktor pendorong dan penarik dari ekspansi kredit
perbankan. Kesimpulan yang dihasilkan oleh kedua model ini berbeda dengan kesimpulan
awal yang dikemukakan oleh model Bernanke dan Blinder (1988). Pada model BB, kebijakan
moneter bekerja mempengaruhi jumlah pinjaman yang disalurkan perbankan melalui penurunan
jumlah deposit (dan cadangan bank) yang dapat dikumpulkan oleh bank untuk disalurkan
sebagai kredit ke dunia usaha. Sedangkan dalam kedua model ini, karena fakta empiris dalam
perekonomian yang menunjukan bahwa bank bisa mendapatkan sumber dana lain selain deposit
(misalnya melalui pinjaman antar bank), maka mekanisme kerja dalam kebijakan moneter untuk
mempengaruhi pinjaman bank adalah melalui perubahan risiko yang dihadapi oleh bank dalam
memperoleh sumber pendanaan dari pasar uang antar bank. Sedangkan pembentukan deposit
262 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dalam model Disyatat (2010) disebabkan oleh penyaluran kredit oleh perbankan (inside money).
Kesimpulan model ini menunjukan bahwa peran bank lending dalam transmisi kebijakan moneter
menjadi penting dalam perekonomian walaupun peran sektor keuangan non bank sebagai
alternatif sumber dana investasi selain bank sudah maju.
III. METODOLOGI
3.1 Dampak Riil Risiko Perbankan dan Kebijakan Moneter pada Perekonomian
Berdasarkan kajian teoritis menunjukan bahwa kebijakan moneter memiliki dampak riil
terhadap perekonomian melalui peranan kredit perbankan. Selanjutnya literatur mekanisme
transmisi kebijakan moneter menunjukan bahwa peranan sektor keuangan dalam
mempengaruhi perekonomian adalah melalui jalur kredit yang disalurkan perbankan ke sektor
riil. Berdasarkan hasil kajian teoritis menunjukan bahwa terdapat hubungan jangka panjang
antara kredit yang disalurkan perbankan dengan perekonomian, yang dalam tataran permodelan
empiris mengindikasikan adanya kointegrasi antara jumlah kredit riil yang disalurkan sektor
perbankan dengan produksi riil dalam perekonomian.
Implikasi dari model teoritis yang dikembangkan menunjukan terdapat dinamika jangka
pendek dalam perubahan perilaku risiko di penawaran kredit perbankan yang berinteraksi
dengan kebijakan moneter. Kondisi ini mempengaruhi pergerakan kredit perbankan yang
disalurkan oleh bank, sehingga perubahan perilaku risiko dari sisi penawaran kredit setidaknya
dalam jangka pendek akan memiliki pengaruh terhadap perekonomian, melalui perubahan
kredit riil yang disalurkan oleh sektor perbankan.
Dalam analisis empiris yang dilakukan dalam penelitian ini akan digunakan dua indikator
perilaku risiko di sektor perbankan ini. Indikator pertama memberikan ukuran untuk tingkat
risk averse dari pelaku sektor perbankan dalam pengelolaan aset dengan asumsi sudah secara
optimal melakukan pengalokasian asetnya. Indikator kedua menunjukan tingkat risiko dalam
industri perbankan.
Dengan demikian maka dapat digunakan spesifikasi model ekonometri dalam spesifikasi
Error Correction Model (ECM) sebagai berikut:
(II.12)
∆Cred it = α (Cred i
t-1,−β
1GDP
t-1−β
2)+ γ
1∆GDP
t-1 + γ
2∆Cred i
t-1 + γ
3Risk A
t + γ
4Risk
tDD
+ γ5,k
Stancekt + γ
6,k (RiskA * Stancek)
t + γ
7,k (RiskDD * Stancek)
t + ε
t
263Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
i = 1, 2, 3 (Kredit Investasi, Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumsi)
k = 1,2 (Stance Kebijakan Moneter Ketat dan Stance Kebijakan Moneter Longgar)
j = time lag, dan t = time
Dimana:
Cred = Kredit riil yang disalurkan perbankan pada suku bunga keseimbangan pasar
(Kredit Investasi, Modal Kerja dan Konsumsi)
GDP = Produksi Domestik Bruto riil
RiskAt = Indeks persepsi risiko pelaku di sektor perbankan
RiskDDt = Tingkat Risiko Sektor Perbankan (Distance to Default)
Stancek = Ukuran stance kebijakan moneter (Ketat dan Longgar)
Persamaan (II.12) menunjukan perubahan kredit perbankan dipengaruhi hubungan jangka
panjang antara dua variabel yang stasioner pada first difference, I(1), kredit perbankan riil dengan
perekonomian riil, dimana koefisien kecepatan penyesuaian jangka panjangnya adalah α.
Selanjutnya dalam jangka pendek perubahan kredit dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi
pada tahun sebelumnya, indikator risiko sektor perbankan dan persepsi risiko pelaku di sektor
perbankan, interaksi antara risiko perbankan dan persepsi risiko pelaku perbankan dengan indikator
stance kebijakan moneter. Dengan asumsi teoritis bahwa dalam jangka panjang terdapat
cointegrasi antara kredit dan PDB maka persamaan (II.12) akan diestimasi dengan menggunakan
VECM, sebagaimana dikemukakan oleh Johansen.6 Keuntungan hasil estimasi dengan
menggunakan model VECM adalah dimungkinkannya melihat dampak error correction term
pada dinamika jangka pendek dalam interaksi dua arah antara kredit dan PDB dalam satu sistem
permodelan. Dengan demikian, dapat diketahui apakah variabel kredit merupakan variabel yang
weakly exogenous terhadap PDB. Jika hasil estimasi menunjukan kredit merupakan variabel yang
weakly exogenous bagi dinamika jangka pendek PDB dalam mekanisme VECM yang digunakan,
berarti tidak ada feedback yang terjadi dari perubahan kredit terhadap dinamika PDB.
Untuk melakukan estimasi pada persamaan (II.12), diperlukan indikator variabel risiko
perbankan dan indikator variabel stance kebijakan moneter. Dalam penelitian ini dua indikator
risiko akan dihitung dan digunakan sebagai variabel bebas pada persamaan (II.12). Indikator
risiko yang digunakan adalah indikator risiko perbankan dan indikator persepsi risiko dari pelaku
ekonomi di sektor perbankan. Sedangkan untuk indikator stance kebijakan moneter, digunakan
selisih antara tingkat bunga optimal untuk kebijakan moneter (sesuai hasil perhitungan empiris
untuk Indonesia), dengan tingkat bunga aktual. Jika kebijakan moneter terlalu ketat, maka
tingkat bunga aktual akan lebih tinggi dibanding tingkat bunga optimal hasil estimasi, dan
6 Lihat Enders, 2004, hal 362-366.
264 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
sebaliknya. Jika tingkat bunga aktual sama dengan tingkat bunga optimal hasil estimasi berarti
kebijakan moneter bersifat netral. Estimasi tingkat bunga kebijakan moneter tersebut adalah
dengan menggunakan Taylor Monetary Policy Rules, dimana model ini dan variasinya juga
digunakan oleh Bank Indonesia untuk menganalisis kebijakan moneter di Indonesia.
Berdasarkan model ekonometri pada persamaan (II.12) dampak parsial variabel persepsi
risiko pelaku di sektor perbankan terhadap dinamika kredit adalah
(II.13)H0 : γ3 + γ
6,k = 0 dan H1 : γ3
+ γ6,k
= 0
Pengujian hipotesis penelitian terhadap dampak variabel persepsi risiko pelaku di sektor
perbankan terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan yang berinteraksi dengan stance
kebijakan moneter dapat menggunakan:
Nilai t-hitung untuk pengujian t-statistik pada hipotesa ini dapat dilakukan dengan cara:
(II.14)
Simpangan baku (standar error) dari persamaan (II.14) tidak dapat diketahui dengan
menggunakan hasil estimasi persamaan (II.12), agar bisa mendapatkan nilai simpangan baku
yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi sebagai berikut.7
Jika : γ3 + γ
6,k = θ, maka γ
3 = θ − γ
6,k , maka, sehingga modifikasi persamaan (II.12) adalah:
Sehingga:
Dengan menggunaan hasil estimasi simpangan baku yang diperoleh dari koefisien q pada
persamaan (II.15a), kita akan dapat melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan nilai
statistik t pada persamaan (II.14). Pengujian hipotesis dengan langkah dan cara yang sama
(II.15)
(II.15a)
7 Lihat Wooldridge, 2005. Hal 148-149.
= γ3 + γ6,k
stancek Cri
RiskA
γ3 + γ6,k
se (γ3 + γ6,k
)t =
∆Cred it = α (Cred i
t-1,−β
1GDP
t-1−β
2)+ γ
1∆GDP
t-1 + γ
2∆Cred i
t-1 + (θ − γ
6,k)Risk
tA
+ γ
4Risk
tDD
+ γ5,k
Stancetk + γ
6,k (RiskA * Stancek)
t + γ
7,k (RiskDD * Stancek)
t + ε
t
∆Cred it = α (Cred i
t-1,−β
1GDP
t-1−β
2)+ γ
1∆GDP
t-1 + γ
2∆Cred i
t-1 + θ Risk
tA
+ γ
4Risk
tDD
+ γ5,k
Stancetk + γ
6,k [ (RiskA * Stancek)
t − Risk
tA ] + γ
7,k (RiskDD * Stancek)
t + ε
t
265Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
dilakukan juga untuk menguji dampak parsial dari risiko sektor perbankan (DD) yang berinteraksi
dengan stance kebijakan moneter.
Selanjutnya dampak parsial stance kebijakan moneter terhadap dinamika kredit jangka
pendek adalah,
hasil ini tidak bisa dianalisa dengan menggunakan asumsi dampak stance kebijakan moneter
pada saat besarnya variabel risiko sama dengan nol. Dengan menggunakan rata-rata besarnya
nilai variabel risiko dalam sample yang digunakan, maka hasil estimasi untuk dampak stance
kebijakan moneter yang diperoleh adalah dampak stance kebijakan moneter pada saat besarnya
nilai variabel risiko sebesar rata-ratanya. Pengujian hipotesis untuk dampak stance kebijakan
moneter ini juga dapat menggunakan teknik yang sama dengan pengujian untuk dampak
variabel risiko yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika hasil pengujian untuk dampak parsial
stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel risiko signifikan, mengindikasikan
adanya bukti mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko dalam perekonomian
Indonesia selama periode analisis.
3.2. Indikator Perilaku Risiko di Sektor Perbankan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, penelitian ini menggunakan dua indikator
perilaku risiko di sektor perbankan. Indikator pertama memberikan ukuran untuk tingkat risk
averse dari pelaku sektor perbankan dalam pengelolaan aset dengan asumsi sudah secara
optimal melakukan pengalokasian asetnya. Indikator kedua menunjukan tingkat risiko dalam
industri perbankan secara keseluruhan.
3.2.1. Indikator Persepsi Risiko Pelaku Sektor Perbankan
Indikator persepsi risiko adalah indikator yang akan menjelaskan perilaku bank dalam
menilai risiko berdasarkan teori alokasi aset yang meminimalkan risiko dengan asumsi bank
berperilaku risk averse. Dengan mengasumsikan bank mengalokasikan portfolio dalam bentuk
aset tidak berisiko sebesar 1-y, maka return dari total portofolio bank adalah (Bodie. et.al, 2009):
rc = yr
p + (1-y)r
f (II.16)
Dimana: rc
= Return dari total portofolio bank
rp
= Return dari portofolio yang berisiko
rf
= Return dari portofolio yang tidak berisiko
= γ5,k + γ
3 RiskA + γ
4 RiskDD Cri
Stancek
266 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Dengan menggunakan operator ekspektasi terhadap persamaan (II.16), ekspektasi terhadap
total return dari alokasi portofolio yang berisiko dan tidak berisiko, adalah:
Dengan menggunakan asumsi fungsi utility dari bank berdasarkan ekspektasi terhadap return
dari portofolio yang dialokasikan oleh bank sebagai berikut (Bodie, et.al, 2009, halaman 157):
Dimana U adalah utility, r adalah return dari portfolio, A adalah indeks dari risk aversion bank,
dan σc2 adalah varian dari return of asset. Selanjutnya menggunakan persamaan (II.17) dapat
diketahui variance dari total aset adalah:
(3.8)
Maka alokasi optimal dari aset yang dilakukan oleh bank adalah dengan memaksimumkan
nilai utility adalah:
Solusi untuk alokasi aset yang optimal bagi bank adalah:
Sehingga koefisien perilaku bank dalam menentukan risk aversion adalah sebagai berikut:
Dimana:
A = Koefisien Risk Aversion Bank
E(rp) − r
f= Risk premium (selisih expected return portfolio yang berisiko dengan return
aset yang tidak berisiko).
y* = Jumlah aset bank yang berisiko (selain SBI dan SUN)
σp2 = Varian dari aset return
3.2.2. Indikator Tingkat Risiko di Sektor Perbankan
Selain menggunakan indikator persepsi risiko yang telah dijelaskan di atas, dalam penelitian
ini juga menggunakan indikator risiko lain, indikator tingkat risiko sektor perbankan. Jika nilai
(II.17)
(II.18)
(II.19)σc2 = y2σ
p2
(II.20)
(II.21)
(II.22)
E(rc) = r
f + y [ E(r
p) − r
f ]
U = E(rc) − 1/
2 Aσ
c2
MaxU = E(r) − 1/2 Aσ
c2 = r
f + y [ E(r
p) − r
f ] − 1/
2 Ay2σ
p2
y* =E(r
p) − r
f
Aσp
2
A =E(r
p) − r
f
y*σp
2
267Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
pasar sebuah perusahaan lebih rendah dari nilai kewajibannya, maka perusahaan itu dinyatakan
bankrut/default. Dengan menggunakan konsep ini, risiko sebuah perusahan (termasuk bank),
dapat diketahui dengan memanfaatkan informasi seberapa jauh jarak antara kondisi rasio nilai
pasar aset bank terhadap kewajiban bank yang ada dengan kondisi terjadi default. Menggunakan
teori yang dikembangkan oleh Merton (1974) untuk mengetahui Distance to Default, Vassalou
dan Xing (2004) menggunakan rumusan sebagai berikut:
(II.24)
Dimana:
DDt
= Distance to default
VA,t
= Nilai pasar dari aset
Xt
= Total Kewajiban
µ = Rata-rata Pertumbuhan Nilai Aset
σA
= Simpangan baku dari nilai pasar aset.
T = Waktu jatuh tempo dari utang perusahaan
DD menyatakan berapa standar deviasi penyimpangan dari nilai rata-rata yang diperlukan
oleh rasio nilai pasar aset terhadap kewajiban untuk sebuah perusahaan mengalami default
atau dapat dinyatakan default (Vassalou dan Xing, 2004). Bank merupakan jenis perusahaan
yang memiliki aturan yang sangat ketat serta memiliki struktur aset dan kewajiban yang berbeda
dengan perusahaan pada umumnya. Sebuah bank akan memiliki kewajiban yang jauh lebih
besar dari perusahaan lainnya karena mengelola dana dari masyarakat. Sebagai akibatnya
perhitungan yang digunakan untuk mengetahui indikator DD sebuah bank juga harus
disesuaikan. Karena metode yang dikemukakan oleh Vassalou dan Xing (2004) adalah metode
yang digunakan untuk perusahaan secara umum dan bukan yang khusus digunakan untuk
bank, maka rumusan perhitungan nilai DD harus dimodifikasi sebagaimana yang dikemukakan
oleh (Chan-Lau dan Sy, 2007) sebagai berikut:
(II.23)
(II.25)
Dimana:
DDt = Distance to CapitaltDD
PCAR = Minimum CAR (Rasio Modal Minimum) sesuai dengan regulasi perbankan
+ ( µ − σA
2 ) TDD
t =
ln VA,t ( X
t )σ
A T
DDt =
ln VA,t ( λ X
t )σ
A T
+ ( µ − σA
2 ) T
λ = 1
1-PCAR i
268 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Berdasarkan persamaan (II.24), secara implisit dalam persamaan (II.23) menunjukan nilai
λ = 1. Implikasinya persamaan (II.24) bukan lagi merupakan nilai distance to default tetapi
merupakan distance to capital yang merupakan ukuran solvency dari sebuah bank.
Grafik 4 menunjukkan hasil penghitungan indikator perilaku risiko. Dapat dilihat bahwa
perilaku resiko pelaku ekonomi (indikator risk aversion) dan tingkat risiko di sektor perbankan
(distance to default √√inverse) cenderung rendah saat risk premium, yang ditaksir dari selisih
suku bunga kredit dan suku bunga kebijakan (SBI 1bulan), tinggi dan sebaliknya. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa pelaku ekonomi sektor perbankan akan merespon pengetatan kebijakan
moneter dengan mengalokasikan dana yang dikelola ke portfolio yang relatif kurang beresiko.
Sedangkan pada saat tingkat bunga kebijakan moneter cenderung rendah, risk premium yang
tinggi mampu mengurangi efek tingginya persepsi resiko mereka terhadap perilaku mereka
dalam pengalokasian dana yang dikelola.
Grafik 4.Indikator Perilaku Risiko Sektor Perbankan
(Persen, Normalized)
3.3. Indikator Stance Kebijakan Moneter
Agar persamaan (II.12) dapat diestimasi, diperlukan indikator stance kebijakan moneter.
Stance kebijakan moneter yang digunakan sebagai variabel penjelas untuk dinamika kredit
perbankan jangka pendek dalam penelitian ini adalah selisih antara tingkat bunga kebijakan
aktual (SBI rate) dengan hasil estimasi menggunakan aturan kebijakan moneter (Monetary
Policy Rules). Mengikuti Juhro (2009), dalam penelitian ini menggunakan data stance kebijakan
moneter yang diperoleh berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan empiris Taylor Rules.
Hasil estimasi Taylor Rules tersebut adalah hasil estimasi dari modifikasi persamaan Taylor Rules
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Distance to Default (inverse)Indikator Risk Aversion BankSelisih Sk Bunga Kredit - SBI1
269Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
klasik yang dikenal sebagai interest smoothing rules sebagai berikut (Clarida, Galli,Gertler, (1997)
dalam Juhro, (2009):
(II.26)
Dimana:
it = Tingkat bunga kebijakan moneter yang optimal
πt = Inflasi aktual
πt* = Target inflasi
yt
= PDB aktual
yt* = PDB potensial yang dihitung menggunakan Hodrick-Prescot Filter
Selanjutnya berdasarkan hasil estimasi yang tersebut, maka dapat diketahui suku bunga
yang disarankan oleh Taylor Rules. Sedangkan stance kebijakan moneter adalah selisih antara
suku bunga aktual dengan tingkat bunga yang diperoleh berdasarkan Taylor Rules. Beberapa
ekonom menggunakan bentuk yang berbeda sebagai ukuran stance kebijakan moneter yang
berbasiskan Taylor Rules ini. Penelitian ini menggunakan dummy variabel sebagai cerminan
stance kebijakan moneter ketat atau longgar. Dalam hal ini, selisih suku bunga aktual dalam
kisaran +/- 25 bps dianggap mencerminkan stance kebijakan normal, sementara selisih lebih
besar/kecil dari kisaran tersebut mencerminkan stance kebijakan yang cenderung ketat/longgar.
IV. HASIL DAN ANALISIS
Sebelum dilakukan estimasi model empiris dan pengujian hipotesis, untuk menguji
keberadaan dan dampak resiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
kredit perbankan di Indonesia, dilakukan pengujian terhadap kelayakan data yang digunakan
untuk diuji dalam model empiris yang dispesifikasi. Pengujian yang dilakukan adalah uji akar
unit, uji keberadaan kointegrasi atau hubungan dalam keseimbangan jangka panjang antara
kredit dan PDB. Pengujian stasioneritas data dan uji kointegrasi memberikan hasil bahwa kredit
dan PDB berkointegrasi, sehingga analisis dengan menggunakan model Error Correction Model
(ECM) dapat digunakan. Berdasarkan hasil uji kointegrasi menunjukan bahwa ketiga jenis kredit
(konsumsi, modal kerja, dan investasi) memiliki hubungan jangka panjang dengan perekonomian.
Dengan demikian, terdapat hubungan jangka panjang antara kredit perbankan dengan
perkembangan perekonomian. Hasil analisis ini juga menjustifikasi keberadaan dampak ekonomi
dari kredit perbankan.
it = 0.8i
t-1 + 0.2[6+1.1(π
t − π
t*) +0.4 (y
t − y
t*)]
270 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis hubungan antara risiko dengan dinamika
jangka pendek kredit perbankan. Kemudian, berdasarkan dampak interaksi antara stance
kebijakan moneter dengan variabel risiko, dilakukan analisis keberadaan jalur risiko dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Hasil estimasi Vector Error Correction
Model (VECM) menyimpulkan bahwa kredit bukan merupakan variabel yang weakly exogenous
terhadap PDB, sehingga terdapat feedback yang terjadi dari perubahan kredit terhadap dinamika
PDB. Terkait dengan fokus penelitian ini, hanya temuan empiris mengenai endogeneity dari
kredit yang akan diulas secara lebih mendalam, sebagaimana disampaikan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa seluruh koefisien penyesuaian jangka pendek menuju
keseimbangan jangka panjang (ECT/Error Correction Term) dalam ketiga model kredit
menunjukan tanda negatif dan signifikan pada tingkat keyakinan 99%. Hasil ini menunjukan
Tabel 1.Hasil Estimasi Model Pada Tiga Jenis Kredit yang Di Salurkan Perbankan
Independen VariabelIndependen VariabelIndependen VariabelIndependen VariabelIndependen VariabelKredit InvestasiKredit InvestasiKredit InvestasiKredit InvestasiKredit Investasi[Dlog(CR_INV)][Dlog(CR_INV)][Dlog(CR_INV)][Dlog(CR_INV)][Dlog(CR_INV)]
ECT (α)
Stance+
Stance-
DD
A
Stance+ *A
Stance- *A
Stance+ *DD
Stance- *DD
R2
F-test
Kredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal Kerja[Dlog(CR_MK)][Dlog(CR_MK)][Dlog(CR_MK)][Dlog(CR_MK)][Dlog(CR_MK)]
Kredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit Konsumsi[Dlog(CR_KON)][Dlog(CR_KON)][Dlog(CR_KON)][Dlog(CR_KON)][Dlog(CR_KON)]
-0.082055[-3.91674]***
-0.002575[-0.21983]
0.028623[ 1.99965]**
-0.001531[-1.16145]
0.002996[ 0.24890]
-0.006795[-0.52006]
-0.032355[-1.91202]*
0.001991[ 1.25322]
-0.003427[-1.86661]*
0.4069063.185347***
-0.293294[-5.08903]***
-0.013970[-1.20977]
0.030163[ 2.43362]***
-0.002443[-1.96550]*
0.024078[ 1.89834]*
-0.023959[-1.76619]*
-0.043594[-2.45359] ***
0.004052[ 2.57037]***
-0.003327[-2.03648]**
0.5233145.097017***
-0.091933[-2.94792]***
0.012844[ 1.02093]
0.023414[ 1.75151]*
-0.000502[-0.38484]
0.025623[ 2.08346]**
-0.030875[-2.39797]***
-0.050885[-3.18399]***
0.000966[ 0.58502]
-0.001984[-1.09173]
0.3399902.391671***
Sumber: Hasil Pengolahan DataKeterangan: Angka dalam kurung hasil t-hitung, *** Signifikan Pada a 1%, **Signifikan Pada a 5%, * Signifikan Pada a 10%, Stance+ = Kebijakan Moneter Ketat,Stance- = Kebijakan Moneter Longgar
271Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
bahwa model yang digunakan cukup stabil dan sesuai dengan pondasi teoritis. Koefisien ECT
untuk dinamika jangka pendek log PDB juga menunjukan hasil yang positif dan signifikan.
Sementara itu, dalam perspektif goodness of fit permodelan, koefisien determinasi yang
menunjukan nilai antara 0.33 sampai 0.52 cukup baik untuk model yang menggunakan data
first difference. Hasil uji F-statistik juga menunjukan semua persamaan hasil estimasi signifikan
pada tingkat keyakinan 99 persen.
4.1. Dampak Perilaku Risiko pada Dinamika Kredit Jangka Pendek
Hasil perhitungan dampak parsial variabel perilaku risiko pada dinamika kredit dalam
jangka pendek dilihat pada Tabel 2. Hasil perhitungan dan pengujian statistik menunjukan
bahwa pada saat kebijakan moneter longgar terdapat pengaruh yang signifikan dari persepsi
Tabel 2.Dampak Perilaku Risiko pada Dinamika Kredit Jangka Pendek
Stance Kebijakan Moneter KetatStance Kebijakan Moneter KetatStance Kebijakan Moneter KetatStance Kebijakan Moneter KetatStance Kebijakan Moneter Ketat Standar errorStandar errorStandar errorStandar errorStandar error t-hitungt-hitungt-hitungt-hitungt-hitung
-0.003799
0.000119
-0.005252
0.00046
-0.00243
0.000464
0.00526
0.00568
0.00504
0.00098
0.00105
0.0093
-0.72224
0.0205951
-1.04026
0.469388
-2.32667**
0.498925
CRINV
A
CRKMK
A
CRKON
A
CRINV
A
CRKMK
A
aCRKON
A
CRINV
A
CRKMK
A
CRKON
A
CRINV
A
CRKMK
A
CRKON
A
Stance Kebijakan Moneter longgarStance Kebijakan Moneter longgarStance Kebijakan Moneter longgarStance Kebijakan Moneter longgarStance Kebijakan Moneter longgar:::::
-0.029359
-0.019516
-0.025262
-0.00496
-0.005770
-0.00249
0.01212
0.01322
0.0119
0.00118
0.0012
0.00098
-2.42236***
-1.47625
-2.12286**
-4.20169***
-4.80833***
-2.53673***
Sumber: Hasil Pengolahan Data. ***Signifikan Pada a 1%, **Signifikan Pada a 5%, *Signifikan Pada a 10%.
272 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
risiko pelaku ekonomi sektor perbankan (A) dan tingkat risiko sektor perbankan (DD) terhadap
dinamika kredit jangka pendek yang disalurkan oleh sektor perbankan (kecuali dampak variabel
A untuk Kredit Modal Kerja). Pada saat kebijakan moneter ketat hanya pengaruh variabel
tingkat risiko sektor perbankan dalam model kredit modal kerja yang signifikan. Hasil ini
mengkonfirmasi bahwa dalam jangka pendek terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel
persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko sektor perbankan pada dinamika kredit
perbankan di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan arah koefisien dari hasil estimasi yang lolos uji statistik, variabel
persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan memiliki dampak negatif dan signifikan
untuk dua jenis kredit (kredit investasi dan kredit konsumsi). Secara ekonomi, pada saat
berinteraksi dengan stance kebijakan moneter longgar, jika terjadi kenaikan persepsi risiko
pelaku ekonomi di sektor perbankan, hal tersebut akan menurunkan persentase perubahan
kredit yang disalurkan untuk kedua jenis kredit tersebut, ceteris paribus. Implikasi hasil temuan
ini adalah perlunya pemahaman arah pergerakan tingkat persepsi risiko pelaku ekonomi di
sektor perbankan oleh pengambil kebijakan moneter saat menjalankan kebijakan moneter
yang ekspansif, karena jika terjadi peningkatan persepsi risiko pelaku ekonomi saat kebijakan
moneter yang dijalankan ekspansif, maka dampaknya akan mereduksi atau bahkan membalikan
arah dampak kebijakan moneter yang dijalankan terhadap perekonomian melalui penurunan
ekspansi kredit.
Selanjutnya, variabel tingkat risiko sektor perbankan (yang berinteraksi dengan stance
kebijakan moneter longgar) memiliki arah pengaruh yang negatif dan signifikan, yang berarti
bahwa pada saat berlaku kebijakan moneter yang ekspansif, jika semakin rendah risiko sektor
perbankan (DD naik), akan menyebabkan turunnya persentase pertumbuhan kredit perbankan
yang disalurkan pada ketiga jenis kredit, ceteris paribus. Implikasi temuan empiris ini tidak
sesuai dengan hasil analisis teoritis yang dilakukan pada penelitian ini. Fenomena ini
membutuhkan kajian yang lebih dalam untuk penjelasannya. Penjelasan sementara dari kondisi
ini adalah interaksi risiko sektor perbankan yang pro-siklikal (+) dengan kebijakan moneter
yang bersifat kontrasiklikal (-), menyebabkan pembalikan arah dari dampak positif penurunan
risiko sektor perbankan terhadap pertumbuhan kredit.
Argumen awal yang mendukung penyebab terjadinya kondisi tersebut adalah sebagai
berikut. Pertama, adanya anomali dalam industri perbankan Indonesia, dimana walaupun
perbankan Indonesia cenderung tidak efisien dan memiliki tingkat risiko tinggi, namun tetap
memiliki margin keuntungan yang cukup tinggi. Kedua, terkait dengan isu persistensi ekses
likuiditas dan perilaku pro-siklikal kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan (Bank Indonesia,
2010). Stance kebijakan moneter longgar (forward looking) merupakan sinyal bagi pelaku
273Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
perbankan tentang arah pergerakan perekonomian yang cenderung memburuk. Sehingga
pelaku ekonomi di sektor perbankan cenderung tidak melakukan ekspansi kredit, melainkan
mempertahankan jumlah likuiditas dalam bentuk risk free portfolio yang likuid. Ketiga, hasil
temuan empiris terkait perilaku persaingan dalam industri perbankan di Indonesia (Ariefianto,
2010). Penelitian ini menemukan bahwa bank yang memiliki rasio non performing loan (NPL)
tinggi, yang berarti pada saat nilai DD nya rendah (risiko tinggi), cenderung melakukan ekspansi
kredit untuk menurunkan rasio NPL yang dimilikinya.
Kecuali untuk dampak risiko sektor perbankan pada kredit modal kerja, dampak variabel
risiko tidak signifikan terhadap dinamika jangka pendek kredit yang disalurkan perbankan saat
kebijakan moneter ketat. Penjelasan untuk kondisi ini adalah bahwa kebijakan moneter yang
kontra siklikal mengindikasikan perekonomian yang sedang booming saat kebijakan yang
dijalankan ketat, sedangkan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan
cenderung rendah pada saat perekonomian sedang dalam kondisi booming. Akibatnya, jika
terjadi kenaikan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan pada
saat kondisi ekonomi dalam keadaan perekonomian baik, hal tersebut cenderung tidak
mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek yang disalurkan oleh sektor perbankan. Hasil
ini mengindikasikan bahwa pengaruh perilaku risiko memiliki dampak yang tidak linier pada
saat kebijakan moneter ketat, atau bisa diduga perilaku risiko akan mempengaruhi dinamika
kredit jangka pendek jika melewati nilai threshold tertentu (Li dan St-Amant, 2010). Diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memperoleh penjelasan dari fenomena tersebut.
Terkait dengan dinamika kredit kerja modal, dampak tingkat risiko di sektor perbankan
signifikan, namun dampak persepsi risiko perlaku ekonomi tidak signifikan pada saat kebijakan
moneter ketat ataupun longgar. Hal ini kemungkinan dikarenakan kredit modal kerja merupakan
kredit yang bersifat hubungan jangka panjang antara bank dengan nasabahnya. Dengan
demikian, terjadi relationship banking pada kasus kredit modal kerja, yang menyebabkan persepsi
risiko pelaku perbankan terhadap nasabah yang cukup baik dikenalnya bukan merupakan faktor
penentu peningkatan penyaluran kredit perbankan. Sebaliknya, tingkat risiko di sektor perbankan
merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika kredit modal kerja jangka pendek. Hal ini
menunjukan adanya indikasi perilaku penawaran kredit yang cenderung turun saat
perekonomian sedang dalam tekanan (saat kebijakan moneter yang dijalankan longgar),
sedangkan pada saat kebijakan moneter ketat, kenaikan suku bunga kredit perbankan
menurunkan tingkat permintaan dari pelaku usaha terhadap pencairan kredit modal kerja.
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil temuan dan analisa empiris yang telah dilakukan,
tingkat risiko di sektor perbankan (yang berinteraksi dengan stance kebijakan moneter) memiliki
dampak yang signifikan dalam dinamika kredit perbankan jangka pendek pada saat kebijakan
274 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
moneter longgar. Pada saat kebijakan moneter ketat, tingkat risiko sektor perbankan hanya
signifikan untuk model kredit modal kerja. Persepsi risiko pelaku ekonomi di sektor perbankan
tidak signifikan untuk semua jenis kredit pada kondisi stance kebijakan yang ketat, sementara
pada saat kebijakan moneter longgar dampaknya signifikan pada kredit konsumsi dan kredit
investasi.
4.2 Dampak Stance Kebijakan Moneter pada Dinamika Kredit Jangka Pendek
Berdasarkan hasil estimasi yang disampaikan dalam Tabel 1, hasil perhitungan untuk
dampak dari stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.Dampak Stance Kebijakan Moneter pada Dinamika Kredit Jangka Pendek
Sumber: Hasil Pengolahan Data. *** Signifikan Pada α 1%, **Signifikan Pada α 5%, * Signifikan Pada α 10%Catatan: Angka dalam kurung adalah standar error hasil perhitungan dampak stance kebijakan moneter (menggunakan nilai rata-rata sample pada masing-masingvariabel risiko yang digunakan).
Kredit InvestasiKredit InvestasiKredit InvestasiKredit InvestasiKredit Investasi Kredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal KerjaKredit Modal Kerja Kredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit KonsumsiKredit Konsumsi
0.004322(0.00824)
-0.01786(0.00945)*
-0.00789(0.00879)
-0.02453(0.00993)***
-0.00548(0.00816)
-0.02876(0.00929)***
Cri
Stance-
Cri
Stance+
Hasil perhitungan yang disampaikan pada Tabel 3 menunjukan bahwa hanya stance
kebijakan moneter longgar yang memiliki pengaruh signifikan pada dinamika kredit perbankan
jangka pendek. Berdasarkan arah koefisien yang diperoleh, dampak stance kebijakan moneter
longgar pada pertumbuhan kredit perbankan akan lebih rendah dibandingkan dengan pada
saat stance kebijakan moneter yang dijalankan tidak longgar. Pada kredit investasi, saat kebijakan
moneter longgar, pertumbuhan kredit investasi akan 0.01786 (1.786 persen) lebih rendah dari
rata-rata pertumbuhan kredit investasi saat kebijakan moneter tidak longgar. Artinya, jika rata-
rata pertumbuhan kredit investasi adalah 10 persen pada saat tidak dilakukan kebijakan moneter
yang longgar, maka pada saat kebijakan moneter longgar, rata-rata pertumbuhan kredit investasi
adalah 8.214 persen, ceteris paribus. Hasil analisis yang sama juga dapat diberlakukan untuk
kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Pada kredit modal kerja saat kebijakan moneter longgar,
pertumbuhan kredit modal kerja akan sebesar 2.453 persen lebih rendah dari rata-rata
pertumbuhan kredit modal kerja. Pada kredit konsumsi, saat kebijakan moneter longgar,
275Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
pertumbuhan kredit konsumsi akan sebesar 2.876 persen lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan kredit konsumsi.
Implikasi dari temuan empiris untuk dampak stance kebijakan moneter ketat adalah
kontraksi moneter saat berinteraksi dengan kedua variabel perilaku risiko yang digunakan
tidak mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek pada ketiga jenis kredit yang disalurkan
oleh perbankan. Temuan empiris tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa kebijakan moneter
yang berinteraksi dengan variabel risiko mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek secara
signifikan. Temuan tersebut mengindikasikan adanya dampak variabel risiko yang bersifat
mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian. Kebijakan
moneter kontraktif dilakukan pada saat perekonomian sedang boom, sedangkan pada saat
yang bersamaan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan
cenderung rendah. Akibatnya, pengetatan moneter yang seharusnya mengkontraksi
perekonomian melalui jalur kredit menjadi hilang dampaknya. Temuan empiris tersebut
mengindikasikan bahwa walaupun bank sentral memberlakukan kebijakan moneter ketat,
namun tidak cukup ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui penurunan
pertumbuhan kredit perbankan.
Selanjutnya, pada saat kebijakan moneter longgar berinteraksi dengan variabel perilaku
risiko memiliki dampak yang negatif dan signifikan untuk ketiga jenis kredit yang disalurkan
perbankan. Temuan empiris tersebut seuai dengan teori yang menyatakan adanya dampak
signifikan dari kebijakan moneter longgar yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko.
Arah hubungan koefisien hasil estimasi menunjukan hubungan yang negatif. Hasil ini
menunjukan bahwa kebijakan moneter yang ekspansif tidak mampu meningkatkan
pertumbuhan kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter ekspansif (diberlakukan dengan
tujuan menstimulasi perekonomian yang berada dalam tekanan), persepsi risiko dari pelaku
ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung tinggi (rata-ratanya tinggi dalam
periode analisis). Akibatnya, pelonggaran kebijakan moneter tidak dapat mendorong
peningkatan perekonomian melalui peningkatan kredit perbankan, malah memiliki dampak
yang terbalik dengan menurunkan pertumbuhan kredit yang selanjutnya dapat mengkontraksi
perekonomian. Temuan ini menunjukkan bahwa pada saat pelonggaran kebijakan moneter
dijalankan oleh bank sentral, sebagai usaha untuk menggerakan perekonomian, pelaku ekonomi
sektor perbankan cenderung memiliki persepsi risiko yang tinggi. Dengan demikian, perbankan
akan menetapkan premi risiko yang tinggi dalam pada tingkat bunga kredit yang ditawarkan
sektor perbankan. Dengan kata lain, terjadi rigiditas suku bunga kredit pada saat diberlakukan
ekspansi moneter. Penjelasan lain yang dapat disampaikan adalah bahwa adanya kecenderungan
pelaku ekonomi di sektor perbankan yang memandang kebijakan moneter longgar sebagai
276 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
indikasi perekonomian sedang mengalami tekanan. Akibatnya, perbankan menjadi semakin
selektif dalam mengalokasikan asetnya ke sektor kredit.
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Beberapa kesimpulan pokok yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa persepsi
risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran yang signifikan
dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di Indonesia. Variabel persepsi
risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance
kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah dampak kebijakan moneter yang longgar.
Stance kebijakan moneter yang longgar dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor
perbankan sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang kurang baik.
Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui
jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada saat berinteraksi dengan variabel persepsi
risiko pelaku dan tingkat risiko di sektor perbankan. Hal ini kemungkinan karena adanya dampak
perilaku risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi
perekonomian.
Secara tidak langsung, temuan tersebut juga menyimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia,
stance kebijakan moneter yang longgar memiliki efek yang menyebabkan pelaku di sektor
perbankan cenderung semakin risk averse. Temuan ini berbeda dengan hasil temuan yang
dikemukakan oleh Taylor (2009) untuk kasus negara-negara maju, dimana pada negara-negara
maju pelonggaran kebijakan moneter menyebabkan pelaku ekonomi di sektor keuangan menjadi
semakin risk taker. Analisis juga menunjukkan adanya indikasi dampak yang tidak simetris dari
kebijakan moneter ketat dan longgar saat berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Pada
saat kebijakan moneter ketat, perilaku risiko cenderung mengeliminir dampak pengetatan
moneter terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter
longgar, penurunan suku bunga kebijakan bank sentral tidak mampu menurunkan suku bunga
kredit perbankan agar bisa mendorong peningkatan kredit, sebagai dampak dari perilaku risiko
yang cenderung tinggi pada saat kondisi ekonomi dalam tekanan.
Terkait dengan hasil temuan empiris di atas, terdapat beberapa implikasi kebijakan
mendasar yang mengarah pada perlunya integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial di
sektor keuangan, sebagai berikut. Pertama, perlunya Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter
dan perbankan, untuk memperhitungkan peran persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat
risiko di sektor perbankan dalam perumusan kebijakan moneter dan sistem keuangan di
Indonesia. Penelitian ini pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan awal untuk
277Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
memperhitungkan perilaku risiko di sektor keuangan dalam fungsi reaksi kebijakan moneter,
yang diharapkan dapat mengatasi isu (pro)siklikalitas perekonomian secara luas. Kedua, dalam
konteks untuk mendorong pendalaman dan perluasan peran pasar keuangan, Bank Indonesia
perlu melakukan telaah lebih mendalam terkait dengan dampak dinamika di sektor keuangan
terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan. Ketiga, sejalan dengan interaksi yang
sangat erat antara dinamika (stabilitas) sektor moneter dan sektor keuangan, penguatan
koordinasi kebijakan sangat dituntut dari para otoritas terkait dalam menjalankan kebijakan
moneter dan kebijakan di sektor keuangan secara terintegrasi.
Pada akhirnya, dapat disampaikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal. Secara
analitis, penelitian awal ini baru menghasilkan bukti keberadaan jalur risiko dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter di Indonesia, setidaknya pada saat kebijakan moneter longgar
dijalankan. Di luar fakta tersebut masih bersifat black box, mengingat bagaimana proses dan
alur dari mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko itu sendiri belum mampu
dijelaskan oleh hasil temuan ini. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk melihat lebih dalam fenomena yang terdapat di dalam black box tersebut. Di
samping itu, penyempurnaan metodologi dapat dilakukan, khususnya terkait dengan pemilihan
alternatif indikator perilaku risiko, disagregasi penaksiran indikator perilaku risiko yang mengacu
pada individu maupun kelompok bank, serta kemungkinan terdapatnya feedback mechanism
di antara kedua variabel perilaku risiko yang digunakan. Penyempurnaan tersebut diharapkan
dapat menjawab beberapa pertanyaan empiris yang belum dapat dijelaskan dengan baik dalam
penelitian ini.
278 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Tobias, and Hyun Song Shin. (2009), Prices and Quantities in the Monetary Policy
Transmission Mechanism, International Journal of Central Banking, 5(4).
Ariefianto, Doddy M, (2010), Perilaku Persaingan Industri Perbankan di Indonesia Pasca Krisis
(Analisa Dengan Pendekatan Teori Oligopoli dan Ekonometrika Panel Data Pada Periode
2002 - 2008), Desertasi Doktor Bidang Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Bank Indonesia, (2010), Response Kebijakan Moneter di Tengah Krisis Global, Laporan
Perekonomian Indonesia Tahun 2009, Bank Indonesia.
Bernanke, Ben. S, dan Alan S. Blinder (1988), Credit, Money and Aggregate Demand, The
American Economic Review, Vol 78, no. 2. American Economic Association.
Bernanke, Ben. S dan Mark Gertler (1995), Inside the Black Box: The Credit Channel of Monetary
Transmission Mechanism, Journal of Economic Perspectives, Vol 9 No.4. American Economic
Association.
Bernanke, Ben S, Mark Gertler dan Simon Gilchrist (1996), The Financial Accelerator and Flight
to Quality, The Review of Economics and Statistics, Vol 78.
Bodie, Zvi, Alex Kane dan Alan J. Marcus (2009),
Investment 8th Ed. Mc Graw-Hill International, Singapore.
Borio, Claudio dan Haibin Zhu (2008), Capital Regulation, Risk Taking and Monetary Policy: A
Missing Link in the Transmission Mechanism?, BIS Working Paper no 268. Bank for
International Settlement, Basel √ Switzerland.
Chan-Lau, Jorge A, dan Amadou N.R. Sy (2007), Distance to Default in Banking: A Bridge too
Far?,
Journal of Banking Regulation, Vol 9 No. 1. Palgrave Mc Milan.
Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2006), Money in Theory of Banking, The
American Economic Review, Vol 96 No.1, American Economic Association.
Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2001), Liquidity Creation and Financial Fragility:
A Theory of Banking, The Journal of Political Economy, Vol. 109 No. 2. The University of
Chicago Press.
Diamond, Douglas W, dan Raghuram G. Rajan, (2000), A Theory of Bank Capital, The Journal
of Finance Vol 55 No. 6, American Finance Association.
279Perilaku Risiko dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Disyatat, Piti (2010), Bank Lending Channel Revisited, BIS Working Paper No. 297. BIS Monetary
Policy Department, Basel-Switzerland.
Enders, W., (2004), Applied Econometric Time Series, New York: John Wiley & Sons
Escandon, Julio R, Alejandro Diaz-Bautista, (2000), A Simple Dynamic Model of Credit and
Aggregate Demand, El Collegio De La Frontera Norte, Working Paper No.18..
Freixas, Xavier dan Jose Jorge, (2008). The Role of Interbank Market in Monetary Policy: A
Model with Rationing, The Journal of Money Credit and Banking, September.
Gambacorta, Leonardo (2009), Monetary Policy and the Risk Taking Channel, BIS Quarterly
Review, Desember 2009. Bank for International Settlement, Basel.
Goeltom, Miranda. S, Solikin M. Juhro dan Firman Mochtar (2009), Indonesian Monetary Policy
Transmission Mechanisms and the Role of Risk Perception, Research Notes, Bank Indonesia,
March.
Goodhart, C.A.E dan D.P. Tsomocs, (2007), Analisys of Financial Stability, Bank of Canada
Conference ≈Developing a Framework to Asses Financial Stability∆ Ottawa, Canada, 7-8
November.
Juhro, Solikin M. (2009),
Telaah Policy Rules di Indonesia, Research Notes, Bank Indonesia, Maret.
Mishkin, Frederick S. (2009), Is Monetary Policy Effective During Financial Crisis?, NBER Working
Paper No. 14678.
Merton, Robert C. (1974), On the Pricing of Corporate Debt: the Risk Structure of Interest
Rates, Journal of Finance
Vol. 29.
Nier, Erlend dan Lea Zicchino, (2008), Bank Losses, Monetary Policy and Financial Stability-
Evidence From Interplay in Panel Data,
IMF Working Paper WP/08/232.
Li, Fuchun dan Pierre St-Amant (2010),
Financial Stress, Monetary Policy and Economic Activty, Bank of Canada Working Paper 2010-
12, May.
Taylor, John B. (2009), The Financial Crisis and Monetary Response: An Empirical Analysis of
What Went Wrong, NBER Working Paper Series No. 14631.
Tieman, Alexander F, dan Andrea M Maechler, (2009), The Real Effects of Financial Sector Risk,
IMF Working Paper WP/09/198, IMF Washington.
Van Den Heuvel, Skander J, (2007).
The Bank Capital Channel of Monetary Policy, Bank of Canada Conference ≈Developing a
Framework to Asses Financial Stability∆ Ottawa, Canada, 7-8 November.
280 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Vassalaou, Maria dan Yuhang Xing (2004), Default Risk in Equity Return, The Journal of Finance,
Vol 59 No, 2. April.
Wooldridge, Jeffery M. (2006), Introductory Ecoometrics: A Modern Approach 3rd Ed. Thompson
South-Western Publishing. USA.
281Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
INFLATION TARGETING UNDER IMPERFECT CREDIBILITYBASED ON ARIMBI
(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia);LESSONS FROM INDONESIAN EXPERIENCE 1
HarmantaM. Barik Bathaluddin
Jati Waluyo 2
This paper try to assess role of credibility in the implementation of inflation targeting framework
in Indonesia. It illustrates how credibility may play an important role in the evolution of the Indonesian
monetary policy. Knowing the degree of credibility would beneficial for Bank Indonesia (BI) to understand
how to adjust policy instrument to achieve a long-term inflation target.
Scaled from zero (purely not credible) to one (perfect credibility), our quantitative measurements
found that credibility index for Indonesian monetary policy converge to around 0.5. Refer to projection
and simulation results in this paper, the study shows expectation inflation of economic agents is strongly
influenced by monetary policy credibility. The more credible the monetary policy, the faster inflation
expectation would anchor to its target. In addition, high credibility also increase the efficiency of the
monetary policy transmission since the disinflation cost represented by sacrifice ratio is lower. Under
imperfect credibility the central bank prefer to attain its inflation target gradually, and if the credibility
stock is doubled, then achieving its long-term inflation target required a lot shorter time (approximately
0.4 periods than the baseline).
JEL Classification: E31, E52, E58, E61
Keywords: Disinflation, Monetary Policy, Imperfect Credibility, Sacrifice Ratio.
1 Earlier version (draft) of this paper has been presented at Central Bank Macroeconomic Modeling Workshop 19 - 20 October 2010Manila, Philippines and downloadable at:http://www.bsp.gov.ph/events/2010/cbmmw/downloads/papers 2010_CBMMW_01_paper.pdf.
2 The research team of Bank Indonesia consist of Harmanta (Associate Senior Economist), M. Barik Bathaluddin (Economist) & JatiWaluyo (Economist); Address:Economic Modelling Team (KPM), Economic Research Bureau (BRE), Directorate of Economic Researchand Monetary Policy (DKM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. The model is developed by Bank Indonesia withtechnical consultancy from Douglas Laxton and Jaromir Benes (IMF). The views in this paper are solely from the authors and do notnecessarily represent views or policies of Bank Indonesia.
Abstract
282 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN
Undang-undang No.23 Tahun 1999 mengamanatkan kepada Bank Indonesia untuk
mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah (single objective).3 Untuk mencapai mandat
tersebut Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka
kebijakan moneter. Kerangka ITF ini dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan
kepada publik dan inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di
Indonesia menekankan pentingnyanpengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target
inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil (low and stable inflation) sekitar 3% agar kompetitif
dengan Negara lain.
Kerangka ITF dapat mencerminkan strategi kebijakan moneter yang bersifat forward-
looking, yang difokuskan pada inflasi dan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi. Fitur penting ITF
adalah komitmen terhadap inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, pengumuman target
inflasi, komunikasi yang intensif termasuk penjelasan tujuan dan langkah-langkah kebijakan
moneter, serta akuntabilitas untuk memenuhi target inflasi (Mishkin, 2000). Keuntungan ITF
adalah target inflasi menjadi jelas, mudah diobservasi dan langkah-langkah kebijakan moneter
mudah dipahami. Kerangka ITF tersebut menyediakan pelaku ekonomi suatunnominal anchor
dalam membentuk ekspektasi inflasi dan memprediksi tindakan kebijakan moneter.
Jalur terpenting di mana kebijakan moneter dapat mempengaruhi inflasi adalah dengan
menggiring ekspektasi inflasi agen ekonomi agar terjangkar ke target inflasi bank sentral. Jika
ekspektasi agen ekonomi tetap tinggi, maka proses disinflasi akan berlangsung lama dan
memerlukan biaya dalam bentuk output loss yang besar (Clarida, Gali dan Gertler, 1999).
Bank sentral yang dapat mengelola ekspektasi inflasi agen ekonomi akan dapat menjalankan
kebijakan moneter secara lebih efektif, dan kebijakan moneter yang demikian dapat dikatakan
kredibel (Blinder, 1999).
Dalam beberapa studi ditunjukkan bahwa permasalahan kredibilitas kebijakan moneter
dapat muncul karena adanya ketidakpastian pelaku ekonomi mengenai preferensi otoritas
moneter. Meskipun otoritas moneter mengumumkan target inflasi, namun bisa saja tidak
sepenuhnya kredibel jika preferensi bank sentral terhadap penurunan inflasi tidak terlalu kuat
(Geraats, 2001; Kozicki dan Tinsley, 2003). Pelaku ekonomi mencoba menginterprestasikan
preferensi otoritas moneter berdasarkan langkah-langkah kebijakan moneter dan kinerja inflasi
dan selanjutnya akan memperbaharui ekspektasi mereka. King (1996) menekankan bahwa
transparansi akan mendorong learning process sehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi
akan menjangkar ke target inflasi secara lebih cepat.
3 Hal ini juga dipertegas dalam amandemen UU tentang Bank Indonesia No.3 tahun 2004.
283Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Terdapat beberapa fokus perhatian yang sangat penting terkait dengan strategi disinflasi
dalam mencapai inflasi yang rendah dan stabil yaitu: (i) cost of disinflation, terkait adanya trade
off output √ inflasi (output loss) dan (ii) lamanya disinflasi. Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa strategi disinflasi tersebut sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Apabila
kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) maka agen ekonomi belum
sepenuhnya percaya apakah kebijakan moneter dapat mencapai target inflasi sehingga learning
process agen ekonomi terhadap target inflasi otoritas moneter berjalan lambat. Kondisi ini
pada gilirannya akan mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pembentukan inflasi aktual yang
juga lambat konvergen ke target inflasi. Selanjutnya hal ini akan mempengaruhi policy rate
dan dinamika variabel makro lainnya (PDB, nilai tukar, dan lainnya).
Guna menjawab sejumlah pertanyaan yang terkait dengan dampak kredibilitas kebijakan
moneter terhadap dinamika variable makroekonomi utama khususnya dalam mencapai target
inflasi, penelitian ditujukan untuk mengembangkan model ARIMBI (Aggregate Rational Inflation
√ Targeting Model For Bank Indonesia) yang dilengkapi dengan fitur kredibilitas kebijakan
moneter. Secara khusus, tujuan penelitian adalah: (i) mengukur derajad kredibilitas kebijakan
moneter di Indonesia; (ii) mengkaji dinamika kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia dan
dampaknya terhadap dinamika variabel makro ekonomi utama (inflasi, PDB, nilai tukar, suku
bunga); dan melakukan simulasi untuk memperoleh gambaran seberapa besar cost of disinflaion
dan seberapa cepat proses disinflasi menuju target inflasi jangka menengah √ panjang di
Indonesia dengan pengetahuan mengenai derajad kredibilitas kebijakan moneter.
Pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai tinjauan teoritis yang menjelaskan mengenai
review jenis model makroekonomi, dan kredibilitas kebijakan moneter. Pada Bab 3 (Metodologi
Penelitian dan Model) menjelaskan struktur dan mekanisme transmisi model dan persamaanyang
dipergunakan di model secara detail. Selanjutnya bab 4 (Hasil dan Analisis) memaparkan hasil
simulasi dan proyeksi menggunakan model ini. Paper akan diakhiri dengan kesimpulan dan
implikasi kebijakan.
II. TEORI
2.1. Kredibilitas Kebijakan Moneter
Blinder (1999) merumuskan kredibilitas (credibility) sebagai ≈words matching deedsΔ.
Kesesuaian antara perkataan dan laku inilah yang sebenarnya menjadi inti dari kredibilitas di
atas. Bank sentral dinilai kredibel apabila benar-benar menjalankan kebijakan moneternya untuk
mencapai apa yang telah ditargetkannya. Definisi tersebut serupa dengan Svensson (1999)
yang menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang kredibel tercermin dari hubungan yang
284 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
dekat antara target inflasi dengan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi, dan demikian sebaliknya
untuk kebijakanƒyang tidak kredibel. Mengingat sifatnya yang unobserved, tingkat kredibilitas
umumnya didefinisikan dalam bentuk nilai dalam rentang 0 (tidak kredibel) sampai 1 (kredibel
sempurna).
Valentin dan Rozalia (2008) menawarkan metode pengukuran besarnya kredibilitas
kebijakan moneter dengan formulasi sebagai berikut:
(II.1)
Dengan π e adalah ekspektasi inflasi pelaku ekonomi (swasta) dan π target adalah target inflasi
bank sentral. Untuk ilustrasi, dalam hal ekspektasi inflasi berhasil terjangkar sempurna pada
target inflasi ( π e = π target ), maka dari persamaan di atas akan diperoleh credibility index
bernilai 1 atau kredibel sempurna (perfect credibility). Sebaliknya, apabila ekspektasi inflasi
lebih tinggi dua kali lipat dari target inflasi, maka credibility index akan bernilai 0 atau tidak
kredibel (no credibility). Perlu dicatat pula, pengukuran ini memberlakukan punishment simetrik.
Sebagai alternatif pengukuran kredibilitas kebijakan moneter, Cecchetti and Krause (2002)
memformulasikannya sebagai berikut:
(II.2)
Dengan π e adalah ekspektasi inflasi pelaku ekonomi (swasta) dan π target adalah target inflasi
daribank sentral. Mengacu formula di atas, apabila ekspektasi inflasi melewat batas atasnya
sebesar 20%, maka credibility index otomatis akan bernilai 0 (tidak kredibel). Berbeda dengan
pengukuran sebelumnya, Cecchetti and Krause (2002) tidak memberlakukan simetrik
punishment sehingga ekspektasi inflasi yang bergerak di bawah target inflasi merupakan suatu
keberhasilan bagi bank sentral dan credibility index bernilai 1 (sempurna).
Dalam kerangka ITF ini, kredibilitas menjadi hal yang penting, terutama bagi bank sentral
di negara berkembang yang biasanya tidak independen dari kepentingan pemerintah/politik
targettarget target
target
target target
1 , if
0, if
ee
adjusted
e
ICI
π ππ π π
π
π π π
− − − = −
p
f
%20%20)(
2.01
011
≥<<
≤
−−
−=e
etar
tare
taretar
ififif
ICπ
ππππ
πππ
285Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
yang ada. Kredibilitas ini dapat dibangun juga melalui komunikasi dan transparansi ke
masyarakat. «Melalui upaya ini, kepercayaan masyarakat kepada bank sentral akan meningkat
dan pada gilirannya ekspektasi inflasi di masyarakat dapat menjangkar pada target inflasi.
Pencapaian inflasi inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk perkembangan
makroekonomi yang baik. Bank sentral memiliki fleksibilitas yang substansial dalam
melaksanakan kebijakan moneter (al. mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas
nilai tukar, business cycle yang ada, booming asset price), tetapi tanggung jawab utama tetap
untuk pencapaian target inflasi jangka menengah-panjang. Dengan demikian, kerangka ITF
seringkali digambarkan sebagai ≈constrained discretion∆ (Bernanke dan Mishkin, 1997).
Konstrain tersebut diwujudkan melalui transparansi dan akuntabilitas bank sentral yang tinggi,
dalam rangka membangun kredibilitas kebijakan moneter yang ditujukan untuk proses disinflasi
dan mengurangi masalah time-inconsistency.
Dalam paper ini penulis akan menginternalisasi kredibilitas kebijakan moneter dalam
model makro ekonomi. Secara umum, struktur model makroekonomi dibangun dengan tujuan
untuk menangkap realita bekerjanya suatu perekonomian yang tercermin dari interaksi
hubungan berbagai variabel ekonomi. Pada dasarnya terdapat dua tujuan utama dari pemodelan
ekonomi makro yaitu: (i) menyusun proyeksi ekonomi (economic projection); dan (ii) menyusun
analisis dampak kebijakan (policy simulation).
Mengacu pada praktek permodelan yang dilakukan oleh berbagai bank sentral yang
menganut ITF, model makroekonomi yang andal harus memenuhi berbagai karakteristik: (i)
mampu mencerminkan karakteristik struktur perekonomian dan mampu menghasilkan analisis
komprehensif determinan utama inflasi; (ii) merepresentasikan bekerjanya mekanisme transmisi
kebijakan moneter; (iii) dilengkapi dengan policy rule, misalkan interest rate Taylor rule, dan
memasukkan sasaran inflasi dan mekanisme pembentukan ekspektasi yang eksplisit di dalamnya;
(iv) konsisten dengan teori yang mendasarinya (theoretically consistent); dan (v) mempunyai
kondisi steady state yang ≈well defined∆ dan dapat menghasilkan proyeksi/analisis jangka
panjang yang konsisten.
2.2. Model
Dalam praktek, biasanya terdapat trade off antara projection accuracy yang dihasilkan
dari model ekonometrik dan medium-long term policy simulation yang diperoleh dari model
DSGE (Dynamic Stochastic General Equilibrium). Proyeksi yang dihasilkan dari econometric model
belum tentu sepadan dan searah dengan hasil yang dikeluarkan oleh simulasi DSGE model.
Proyeksi jangka pendek berdasarkan goodness of fit yang baik dari model ekonometrik, belum
286 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
tentu selaras dengan hasil simulasi DSGE model. Berdasarkan trade-off tersebut, Bank Indonesia
mulai tahun 2008 berusaha mengembangkan model yang mengkombinasikan kelebihan dari
model ekonometrika (mengadopsi metode estimasi bayesian econometric) dan DSGE (model
makroekonomi New Keynesian) tersebut sehingga dapat digunakan untuk proyeksi dan simulasi
kebijakan.
Dalam tataran jenis model, ARIMBI imperfect credibility termasuk model semi-structural,
yang merupakan model DSGE sederhana. Persamaan yang dipergunakan pada model dapat
bersifat ad-hoc, dalam artian tidak murni diturunkan dari persamaan-persamaan baku
sebagaimana model DSGE murni. Hal ini memberikan keleluasaan dalam pengembangan model,
namun dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan kelayakan pengembangan.
Secara teknis, model ARIMBI merupakan model small scale macroeconomic kuartalan
yang diadopsi dari model QPM (Quarterly Projection Model) IMF dengan menambahkan fitur
kredibilitas kebijakan moneter. Namun, karena Indonesia tidak memiliki data unemployment
rate yang baik, maka persamaan unemployment rate tidak diimplementasikan. Model ini
merupakan bentuk interaksi dari variabel makroekonomi utama, yaitu output,ninflasi, suku
bunga, nilai tukar dan kredibilitas kebijakan moneter. Selain itu juga terdapat beberapa variabel
lain dan persamaan identitas yang melengkapi model.
Hubungan antar variabel di dalam model ARIMBI Imperfect Credibility dijelaskan pada
bagan berikut ini.
UIP NominalExchange
Rate
Output GapInterest Rate(Taylor Rule)
Inflation(NKPC)
InflationGap
InflationTarget
ExternalDemand
ForeignInterest
Rate
RiskPremium
RealExchange
Rate
ForeignInflation
Oil Price
Expectedand Lag
Output Gap
Credibility
LagInflation
LagInterest
Rate
ExpectedInflation
Diagram 1.Struktur ARIMBI Imperfect Credibility
287Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Diagram di atas menunjukan bahwa terdapat empat persamaan behavior yang utama
dalam model, yaitu persamaan inflasi New Keynesian Phillip Curve (NKPC), output gap, uncovered
interest rate parity (UIP) dan Taylor rule. Persamaan inflasi, selain dipengaruhi oleh forward dan
backward looking dari inflasi itu sendiri, juga dipengaruhi oleh output gap, inflasi dari perubahan
harga minyak dan nilai tukar riil. Persamaan output gap dipengaruhi oleh backward dan forward
looking dari variabel itu sendiri, suku bunga riil, nilai tukar riil dan demand eksternal (yang ditangkap
oleh PDB negara USA). Persamaan Taylor Rule untuk menentukan besarnya suku bunga nominal
dipengaruhi oleh suku bunga riil, deviasi inflasi dari targetnya dan output gap. Sedangkan UIP,
yang merupakan deviasi antara ekspektasi nilai tukar dengan nilai tukar, dipengaruhi oleh
perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (rest of the world ).
Salah satu asumsi penting yang diimplementasikan pada model adalah, bahwa pencapaian
target inflasi dengan biaya seminimal mungkin sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan
moneter. Terdapat dua cara untuk menangkap dinamika kredibilitas kebijakan moneter dalam
model yaitu melalui pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen dan endogen.
Pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen mengasumsikan bahwa kredibilitas
kebijakan moneter bergerak mengikuti auto regressive AR(1). Sedangkan pemodelan kredibilitas
kebijakan moneter secara endogen mengasumsikan bahwa kredibilitas kebijakan moneter adalah
bersifat stok dan akan bertambah atau berkurang sesuai dengan past performance inflasi
sebelumnya terhadap target. Dalam hal ini semakin meningkatƒkredibilitas kebijakan moneter
maka akan menyebabkan ekspektasi inflasi akan semakin mendekati target inflasinya, sehingga
inflasi ke depan akan terjangkar ke target.
Model ini merupakan Model Persamaan Simultan. Secara teknis, variabel tren dinotasikan
dengan menggunakan huruf alphabet dengan simbol garis / bar di atasnya, sedangkan gap
dinotasikan dengan menggunakan huruf alphabet dengan simbol topi / cap di atasnya. Variabel
rate tahunan year on year (yoy) dilambangkan dengan angka 4 setelah nama variabelnya,
sedangkan rate tahunan dari kuartalan (quarterly annualized) dilambangkan tanpa angka 4
setelah nama variabelnya, contoh CPI inflasi yoy dilambangkan dengan π 4tCPI. Untuk variabel
growth umumnya dilambangkan dengan huruf d di depan nama variabelnya, contoh
pertumbuhan PDB yoy dilambangkan dengan dy4t.
Gap merupakan perbedaan antara variabel dan nilai keseimbangannya. Variabel y
didefinisikan sebagai 100 dikalikan log dari real GDP, y sebagai 100 dikalikan log dari output
potensial dan y sebagai output gap dalam satuan persentase, dimana y = y - y. Rate tahunan
dari kuartalan inflasi ( π tCPI ) didefinisikan sebagai 400 dikalikan first difference dari log CPI.
Sedangkan yoy inflasi ( π 4tCPI ) didefinisikan sebagai 100 dikalikan selisih antara inflasi pada
suatu kuartal dengan empat kuartal sebelumnya. Beberapa variabel penting lainnya, i merupakan
288 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
suku bunga nominal, r merupakan suku bunga riil, s merupakan nominal nilai tukar mata
uang suatu negara per US dollar dan z merupakan log nilai tukar riil dibandingkan dengan
US dollar.
2.2.1. Persamaan Utama
Persamaan II.3 sampai dengan II.13 merupakan persamaan perilaku (behavioral
equation) yang juga merupakan persamaan utama yang merangkap mekanisme transmisi di
dalam model.
Persamaan II.5 di atas merupakan persamaan Taylor Rule yang digunakan untuk
menentukan nilai nominal suku bunga jangka pendek, dalam hal ini dapat diintepretasikan
sebagai policy rate untuk Indonesia (BI rate). Nilai suku bunga didefinisikan sebagai fungsi dari
nilai lag-nya (merupakan suatu smoothing device untuk menangkap perubahan rate jangka
pendek) dan respon Bank Sentral terhadap perubahan output gap pada deviasi antara ekspektasi
inflasi dengan target inflasinya. Dengan kata lain, Bank Sentral berusaha untuk mencapai
keseimbangan suku bunga jangka panjang (yang merupakan penjumlahan dari keseimbangan
(II.4)
(II.5)
Persamaan perilaku untuk output gap ( yt ) terhadap nilai lag dan lead-nya (merupakan ukuran
backward dan forward √ looking), gap suku bunga riil ( rt ), gap nilai tukar riil, output gap
negara lain, inflasi harga minyak dunia riil dan distrubance term ( et
y ).
Persamaan (II.3) merupakan persamaan New Keynesian Phillip Curve untuk menentukan
besarnya inflasi, dimana persamaan itu menghubungkan inflasi di masa lalu dengan inflasi di
masa depan, output gap, nilai tukar riil, inflasi harga minyak dunia riil dan disturbance term
untuk inflasi. Output gap merupakan variabel yang menghubungkan sisi riil dari perekonomian
dengan rate inflasi. Selain itu rate inflasi juga dipengaruhi oleh perubahan pada rate nilai tukar
riil Indonesia terhadap US secara bilateral.
(II.3)yt = β
1 y
t - 1 + β
2 y
t + 1 - β
3 r
t + β
4 y
t * + β
5 z
t - β
6 (π
t RPOIL - dz
t ) + e
t y
πtCPI
= λ
1 π
t - 1 + ( 1
-
λ
1 )Ε
tπ
t + 1
+ λ
2 y
t + λ
3 z
t + λ
4 (π
t RPOIL - dz
t ) + e
t πCPI CPI CPI
CPI CPI
it = γ
1 it - 1
+ ( 1 -
γ
1 ) ( r
t +
π
t + 1
+ γ
2 ( π4
t + 4 − π
t + 4 ) + γ
3 y
t ) + e
tiTAR CPI TAR
289Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
suku bunga riil dan ekspesktasi target inflasi 1 kuartal kedepan), dimana suku bunga tersebut
juga dapat disesuaikan sebagai respon terhadap deviasi dari ekspekatasi year-on-year rate inflasi
empat kuartal yang akan datang dari target inflasinya, , dan terhadap output
gap saat ini yt. Persamaan ini juga memiliki disturbace term, e
ti , untuk mengakomodasi
penyesuaian nominal suku bunga jika hasil yang dihasilkan oleh persamaan di atas tidak sesuai.
(II.6)
Persamaan III.6 di atas merupakan persamaan uncovered interest parity (UIP), dimana
ekspektasi depresiasi (Εt S
t + 1 − S
t) sama dengan perbedaan suku bunga nominal Indonesia
dengan US. Perhitungan ini juga memasukkan keseimbangan risk premium, premt dimana jika
rate suku bunga Indonesia lebih besar daripada Amerika, terdapat satu dari dua kemungkinan
yang dapat terjadi, atau kombinasi diantara dua kemungkinan itu, yaitu apakah nilai tukar
nominal Indonesia terhadap US akan mengalami depresiasi pada periode berikutnya (Εt S
t + 1
lebih tinggi dari St ), atau keseimbangan suku bunga nominal antara Indonesia dan US berbeda
karena adanya risk premium. Selain itu juga terdapat disturbance term ets.
Untuk perhitungan ekspektasi nilai tukar nominal, dilakukan dengan membobot antara
nilai tukar nominal ke depan yang akan terjadi dengan asumsi ekspektasi bersifat perfect
foresight, St + 1
, dengan variabel lagnya, St - 1
, yang telah ditambahkan dengan dua kali tren dari
nilai tukar nominal tiap kuartal, 2 (dz t + π
t TAR _ π
CPI_US_SS) / 4 karena variabel nilai tukar nominal
ini memiliki tren.
(II.7)
2.2.2. Persamaan Harga Minyak Dunia
Data harga minyak dunia yang digunakan adalah harga minyak yang berasal dari Minas
(USD/barel). Untuk memasukkan harga minyak dunia ke dalam model ARIMBI perlu dilakukan
beberapa langkah. Dengan asumsi bahwa inflasi US mewakili inflasi dari dunia maka harga
minyak dunia riil secara level dapat dihitung dengan persamaan:
(II.8)
Kemudian dilakukan proses filtering dengan memisahkan antara variabel tren dan gap
untuk harga minyak dunia riil secara level
π4t + 4
− πt + 4
CPI TAR
it - i
t US
= 4 (Ε
t S
t + 1 − S
t) + prem
t +
e
ts
P
t RPOIL_US
= P
t OIL_US _ π
tCPI_US
Εt S
t + 1 = σ S
t + 1 + ( 1 - σ ) ( S
t - 1 + 2 (dz
t + π
t TAR _ π
CPI_US_SS) / 4)
290 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Diasumsikan bahwa pertumbuhan tren harga minyak dunia riil adalah nol sehingga
Sedangkan secara gap harga minyak dunia riil dimodelkan secara AR(1)
Perhitungan inflasi harga minyak dunia riil adalah
Maka apabila inflasi harga minyak dunia riil yang masih dalam satuan (USD/barel) dalam mata
uang lokal
2.3.3. Persamaan Variabel Tren / Potensial
Untuk variabel output potensial, diasumsikan shock hanya terjadi pada growth rate dari
output potensial. Shock ini menyebabkan deviasi yang persisten antara growth output potensial
terhadap nilai growth pada long-run steady-state-nya.
Persamaan II.....14 menyatakan bahwa pertumbuhan output potensial dyt , pada jangka panjang
sama dengan nilai pertumbuhan steady-state-nya dyss, namun dapat menyimpang dari
pertumbuhan steady-statenya tergantung nilai errornya, apakah negatif/ positif, dan selanjutnya
akan kembali menuju ke pertumbuhan steady-state secara gradual, dengan kecepatan sesuai
dengan nilai paramternya, dimana semakin besar nilainya maka akan semakin cepat menggiring
output potensial kepada steady-state.
Untuk variabel target inflasi, risk premium dan tren suku bunga riil US, diasumsikan
bahwa dinamikanya menggunakan hubungan yang sama dengan variabel output potensial
pada persamaan di atas
(II.9)
(II.10)
(II.11)
(II.12)
(II.13)
(II.14)
P
t RPOIL_US
= P
t RPOIL_US + P
t RPOIL_US
P
t RPOIL_US
= P
t-1RPOIL_US + e
t RPOIL_USP
P
t = (1 - rho
RPOIL_US ) P
t-1 + e
tPRPOIL_USRPOIL_US RPOIL_USP
π
t RPOIL_US
= 4 ( P
tRPOIL_US - P
t-1 RPOIL_US )
π
t RPOIL
= π
t RPOIL_US + dz
t
dyt = ρ
dy dy
t - 1 + (1 − ρ
dy )
dy ss + e
tdy
291Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
dzt = r
t −
r
t −
prem
tUS
Sedangkan untuk variabel tren dari suku bunga riil dan tren depresiasi nilai tukar riil,
diasumsikan mengikuti hubungan UIP atau
(II.15)
(II.16)
(II.17)
(II.18)
(II.19)
2.3.4. Persamaan Identitas
Persamaan identitas terbagi menjadi tiga bagian yaitu persamaan untuk menghitung
pertumbuhan secara quarterly annualized dan year on year, seperti pada persamaan berikut:
(II.20)
(II.21)
(II.22)
(II.23)
(II.24)
(II.25)
(II.26)
(II.27)
(II.28)
(II.29)
Atau persamaan identitas yang merupakan proses filtering untuk memisahkan antara
variabel tren dan gap, seperti pada persamaan berikut:
πt = ρπ TAR π
t - 1 + ( 1
−
ρπ TAR
) π + e
tTAR TAR TAR_SS TARπ
premt = ρ
prem prem
t - 1 + (1 − ρ
prem )
premss +
e
tprem
rt = ρ
r US t - 1
+ (1 − ρr US ) r + e
tUS USr US_SS USr
rt = r
+ dz + premUS_SS SSSS
πt = 4 ( P
t − P
t - 1 )CPI CPI CPI
πt = 4 ( P
t − P
t - 1 )CPIUS CPIUS CPIUS
π 4t = ( P
t − P
t - 4 )CPI CPI CPI
dyt = 4 ( y
t − y
t − 1 )
dzt = 4 ( z
t − z
t − 1 )
dyt = 4 ( y
t − y
t − 1 )
dy4t = ( y
t − y
t − 4 )
dzt = 4 ( z
t − z
t − 1 )
dz4t = ( z
t − z
t − 4 )
dst = 4 ( s
t − s
t − 1 )
292 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Persamaan identitas yang mencerminkan hubungan yang berasal dari teori ekonomi sederhana
diantaranya: persamaan II.33 dan II.34 yang mendefiniskan suku bunga riil, r , sebagai selisih
antara suku bunga nominal dan ekspektasi inflasi CPI pada satu kuartal selanjutnya.
(II.30)
(II.31)
(II.32)
(II.33)
(II.34)
Persamaan II.35 mendefinisikan hubungan nilai tukar riil, zt dengan nilai tukar nominal, s
t
(yang didefinisikan sebagai mata uang Indonesia yang dibandingkan dengan Dollar Amerika
Serikat), ditambahkan dengan CPI ( ) di Amerika Serikat, dikurangi dengan CPI
Indonesia ( ). Jika terjadi kenaikan pada nilai zt , artinya telah terjadi depresiasi riil
Indonesia terhadap dolar Amerika.
(II.35)
2.3.5. Persamaan Rest of World
Dengan asumsi bahwa perekonomian Indonesia tergolong small open economy maka
persamaan Rest of the World dimodelkan secara AR(1)
(II.36)
(II.37)
(II.38)
2.3.6. Persamaan Kredibilitas Kebijakan Moneter
Fitur baru dalam model ARIMBI ini adalah adanya penambahan variabel kredibilitas.
Variabel kredibilitas yang digunakan dalam model ini adalah 1 − INCREDt , jadi variabel yang
secara eksplisit digunakan adalah variabel INCREDt atau variabel yang melambangkan seberapa
tidak kredibelnya bank sentral. Variabel INCREDt bernilai 1 berarti bank sentral tidak memiliki
kredibilitas sama sekali, sebaliknya apabila INCREDt bernilai 0 maka bank sentral memiliki
kredibilitas penuh (full credible).
yt = y
t + y
t
zt = z
t + z
t
rt = r
t + r
t
rt = i
t − π
t + 1CPI
PtCPI _US
PtCPI
rt = i
t − π
t + 1CPI _USUS US
yt * = ρ y
* yt -1
+ e ty*
it US = ρ
i USi
t − 1 + ( 1 − ρ
i US )( r
t + π ) + e
t )US US CPI US SSUS i
πt CPI_US = ρπ CPI_USπ
t − 1 + ( 1 − ρπ CPI_US )π + e
tπCPI_US CPI US SS CPI US
z t = ( s
t + P
t ) −
P
tCPI _US CPI
293Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Pada prinsipnya penambahan kredibilitas dilakukan dengan cara mengubah variabel
ekspektasi inflasi yang sebelumnya diasumsikan perfect foresight menjadi variabel
ekspektasi inflasi yang mengandung unsur penalti yang tergantung dari kredibilitas bank sentral,
atau dalam persamaan ditulis sebagai
(II.39)
Dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, parameter cpiplus menggambarkan
seberapa besar maksimum tambahan inflasi yang ditambahkan pada variabel ekspektasi inflasi
apabila bank sentral tidak memiliki kredibilitas. Misal apabila bank sentral tidak memiliki
kredibilitas sama sekali berarti variabel bernilai 1 dan nilai 0.5, maka ekspektasi inflasi bernilai
0.5% lebih tinggi dari ekspektasi inflasi yang bersifat perfect foresight.
Dalam paper ini dimodelkan dua macam model, yaitu model dengan kredibilitas eksogen
dan endogen. Model ARIMBI dengan kredibilitas eksogen dimodelkan dengan cara sederhana
yaitu dengan memodelkan variabel INCREDt ke dalam AR(1) menuju ke nilai steady state nol,
atau dengan kata lain diasumsikan kredibilitas akan meningkat dari waktu ke waktu menuju
kredibilitas penuh (full credible).
Sedangkan untuk model ARIMBI dengan kredibilitas endogen dimodelkan dengan cara
menambahkan past performance dari pencapaian inflasi terhadap targetnya ke dalam persamaan
di atas
Sehingga di model yang endogen, kredibilitas tidak selalu meningkat dari waktu ke waktu,
namun tergantung dari past performace-nya.
III. METODOLOGY
Terdapat delapan variabel observasi yang dipergunakan, yaitu PDB riil, CPI inflation, short-
term interest rate, nilai tukar, inflasi US, Fedfund rate, PDB US, dan harga minyak dunia (Minas).
Sebelum dilakukan proses filtering untuk memisahkan antara variabel tren dan variabel
gapnya,terlebih dahulu variabel observasi tersebut dihilangkan efek musimannya dengan
(II.40)
(II.41)
π t + 1CPI
π t + 1CPIE
t =
+ cpiplus INCRED
tπ
t + 1CPI
INCREDt = ρ
INCRED INCRED
t - 1 + e
t INCRED
INCREDt = ρ
INCRED INCRED
t - 1 + ( 1 − ρ
INCRED ) α ( − ) + e
tINCREDπ 4
t − 1CPI π
t − 1TAR
294 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
menggunakan metode X12 dari US Census Bureau. Proses filtering umumnya menggunakan
metode HP filter dengan beberapa adjustment terhadap level dan growth pada variabel trennya.
Data yang digunakan adalah data sejak tahun 2000Q1 sampai dengan 2009Q4. Indonesia
tidak menggunakan data yang terlalu panjang seperti negara lainnya karena beberapa alasan,
diantaranya adalah sebelum tahun 1997 Indonesia masih menganut rezim nilai tukar tetap dan
terdapat lonjakan data yang cukup signifikan akibat krisis ekonomi di akhir periode 90-an.
Parameter perilaku merupakan suatu parameter yang akan menentukan dinamika model
dalam menuju keseimbangan jangka panjang atau steady state. Parameter perilaku pada model
ARIMBI menggunakan pendekatan kalibrasi parameter dengan mengacu pada parameter dalam
model BISMA yang dimiliki Bank Indonesia serta beberapa riset lain baik dari domestik maupun
luar negeri yang memiliki karakteristik yang mirip dengan karakter perekonomian Indonesia.
Berikut parameter baseline yang digunakan dalam ARIMBI:
Tabel 1.Parameter Perilaku Model ARIMBI
NoNoNoNoNo ParameterParameterParameterParameterParameter DescriptionDescriptionDescriptionDescriptionDescription ValueValueValueValueValue
1 beta1 Backward Looking Param on Output Gap Eq. 0.8
2 beta2 Forward Looking Param on Output Gap Eq. 0.1
3 beta3 Real Interest Rate Param on Output Gap Eq. 0.15
4 beta4 External Demand Param on Output Gap Eq. 0.15
5 beta5 Real Exch. Rate Param on Output Gap Eq. 0.01
6 beta6 World Oil Price Param on Output Gap Eq. 0.01
7 lambda1 Backward Looking Param on Inflation Eq. 0.5
8 lambda2 Output Gap Param on Inflation Eq. 0.05
9 lambda3 Real Exch. Rate Param on Inflation Eq. 0.02
10 lambda4 World Oil Price Param on Inflation Eq. 0.01
11 gamma1 Smoothing Param on Taylor Rule 0.8
12 gamma2 Inflation Gap Param on Taylor Rule 1.575
13 gamma3 Output Gap Param on Taylor Rule. 0.5
14 sigma Forward Looking Param on Output Gap Eq. 0.95
15 rho_pietar AR(1) param on Inflation Target Eq. 0.8
16 rho_incred Smoothing param on Incredibility Eq. 0.9
17 alpha* Past Performace Param on Incredibility Eq. 0.1
18 rho_ygap_star AR(1) param on Foreign Output Gap Eq. 0.8
19 rho_i_us AR(1) param on Foreign Interest Rate Eq. 0.8
20 rho_dcpi_us AR(1) param on Foreign Inflation Eq. 0.8
21 rho_dybar AR(1) param on Output Trend Eq. 0.8
22 rho_prem AR(1) param on Risk Premium Eq. 0.8
23 rho_rbar_us AR(1) param on Foreign Real Int Rate Trend Eq. 0.8
24 rho_rpoilgap_us AR(1) param on Foreign Inflation Eq. 0.8
* Endogenous Credibility Model only
295Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Selain parameter perilaku, terdapat pula parameter steady state yang harus dimasukkan.
Parameter ini mencerminkan suatu keadaan dalam jangka panjang yang akan dituju. Besarnya
parameter ini didapat berdasarkan pertimbangan rata-rata historis yang telah ada serta
digabungkan dengan visi pemerintah Indonesia yang akan dituju untuk jangka panjangnya.
Berikut beberapa parameter steady state yang dimasukkan dalam model:
Dengan asumsi nilai steady state seperti tersebut di atas maka berimplikasi bahwa steady
state real interest rate adalah 1.5%, nominal interest rate adalah 4.5%, US nominal interest
rate adalah 2.5% dan nominal exchange rate depreciation adalah -0.5% atau dengan kata lain
dalam steady state akan terapresiasi sebesar 0.5%. Parameter cpiplus merupakan fitur baru
dalam model ini yang menggambarkan seberapa besar maksimum tambahan inflasi yang
ditambahkan pada variabel ekspektasi inflasi apabila bank sentral tidak memiliki kredibilitas.
Pembahasan lebih lanjut akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
Dalam pengembangan dan penggunaan Model ARIMBI with Imperfect Credibilty ini,
diperlukan initial value berupa nilai kredibilitas bank sentral pada kondisi saat ini. Dari perspektif
forecasting, nilai kredibilitas ini dimasukkan sebagai initial value yakni pada waktu dimana
data aktual terkini telah tersedia. Sebagai contoh, saat akan melakukan forecasting mulai
2010.Q2, maka indeks kredibilitas yang telah diukur akan menjadi initial value pada 2010.Q1.
Pengukuran indeks kredibilitas Bank Indonesia akan dilakukan dengan dua cara yakni ala
Valentin and Rozalia (VR, 2008) dan Cecchetti and Krause (CK, 2002). Data target inflasi yang
dipergunakan adalah data tahunan 2002-2009 baik pada masa penetapan target oleh BI maupun
oleh Pemerintah dengan masukan dari BI. Adapun untuk data ekspektasi inflasi dipergunakan
tiga data yang tersedia yakni : Survey SKDU BI, Consensus Forecast (CF) dan Aktual Inflasi. Oleh
karena itu akan diperoleh enam hasil pengukuran indek kredibilitas BI. Riset sebelumnya
(Harmanta, 2009) dengan menggunakan estimasi bayesian pada model small open DSGE dengan
Tabel 2.Parameter Steady State Model ARIMBI
NoNoNoNoNo ParameterParameterParameterParameterParameter DescriptionDescriptionDescriptionDescriptionDescription Value (%)Value (%)Value (%)Value (%)Value (%)
1 growth_ss Pertumbuhan PDB 7
2 r_us_ss US Real Interest Rate 0.5
3 dz_ss Real Exchange Rate Dep -1.5
4 prem_ss Risk Premium 2.5
5 pietar_ss Inflation 3
6 dcpi_us_ss US Inflation 2
7 cpiplus Maximum Punishment on Inflation 0.5
296 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
periode data 2000 √ 2008 menghasilkan indeks angka sebesar 0.41. Secara umum diyakini
bahwa saat ini kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia memang belum sepenuhnya
sempurna (imperfect credibility). Namun dalam jangka panjang, disertai dengan komunikasi/
transparansi/konsistensi dari Bank Indonesia, maka kredibilitas kebijakan moneter diyakini akan
meningkat secara perlahan dan pasti.
Beberapa asumsi dan kondisi penting dalam melakukan simulasi dan proyeksi variabel
makro ekonomi agregat dalam penelitian adalah sebagai berikut.
- Target inflasi jangka panjang yang ingin dicapai dengan implementasi ITF di Indonesia adalah
sebesar 3% + 1% agar kompetitif dengan negara lain (lihat misalnya Laporan Kebijakan
Moneter Bank Indonesia).
- Target inflasi jangka pendek - menengah di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan
2014 masing-masing adalah 5.0%, 5.0%, 4.5%, 4.5% dan 4.0% dengan deviasi + 1%,
sejalan dengan proses pemulihan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar
7.0% √ 7.5% di tahun 2014 .
- Sejalan dengan pengukuran kredibilitas kebijakan moneter sebagaimana disebutkan
sebelumnya (berdasarkan metode pengukuran ala Cecchetti and Krause (2002, dan ), hasil
survey SKDU dan beberapa hasil studi sebelumnya (Harmanta, 2009), initial value kredibilitas
kebijakan moneter adalah sekitar 0.5.
- Untuk melihat dampak kredibilitas kebijakan moneter terhadap dinamika variabel makro
ekonomi khususnya dalam mencapai target inflasi jangka menengah panjang dengan biaya
seminimal mungkin, terdapat tiga Skenario kredibilitas kebijakan moneter yaitu: (i) baseline
dengan initial value kredibilitas sebesar 0.5; (ii) kurang kredibel dengan initial value 0.1; dan
(iii) lebih kredibel dengan initial value 0.9.
- Strategi disinflasi untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan mangkaji:
(i) lama disinflasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target inflasi jangka
menengah dan panjang; dan (ii) cost disinflation: besarnya sacrifice ratio yaitu besarnya
output loss yang terjadi untuk setiap penurunan inflasi sebesar 1%
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Perilaku Inflasi dan Ekspektasi Inflasi di Indonesia
Dalam dua dekade terakhir perilaku inflasi Indonesia berada di level single digit yang
tinggi. Dengan menghilangkan periode krisis, rata-rata inflasi adalah sekitar 8,5%. Setelah
mengeliminir adanya pengaruh kejutan structural (shocks), inflasi Indonesia masih mencapai
7,9%. inflasi inti cenderung menurun hingga secara rata-rata mencapai 7,4% pasca
297Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
implementasi ITF (Tabel 4.3), namun inflasi Indonesia tersebut relatif cukup tinggi dibandingkan
dengan Thailand, Malaysia Singapura, atau Filipina, lihat Grafik 1.
Fenomena laju inflasi yang bertahan tinggi meski sudah menghilangkan shocks
memunculkan hipotesis adanya persistensi. Beberapa penelitian, seperti Alamsyah (2008)
mengkonfirmasi tingginya persistensi inflasi di Indonesia, di mana disagregasi berdasarkan
kelompok barang dan jasa berada di sekitar 0,8 √ 0,9. Namun, derajat persistensi inflasi tersebut
cenderung menurun seperti ditunjukkan oleh Yanuarti (2007).
Lebih lanjut, cukup tingginya persistensi inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh ekspektasi
inflasi yang cenderung backward looking.4 Berbagai studi di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir juga menunjukkan pentingnya ekspektasi inflasi tersebut sebagai penyumbang terbesar
Tabel 3.Disagregasi Inflasi di Indonesia
PeriodePeriodePeriodePeriodePeriode IHKIHKIHKIHKIHK IntiIntiIntiIntiInti VFVFVFVFVF AdmAdmAdmAdmAdm Std. Deviasi IHKStd. Deviasi IHKStd. Deviasi IHKStd. Deviasi IHKStd. Deviasi IHK
Pra Krisis (1992.01 - 1997.12) 8,08 8,50 9,13 6,91 1,92
Pra ITF (2000.01 - 2005.06) 7,94 7,69 4,47 14,96 4,34
Pasca ITF (2005.07 - 2009.08) 9,75 7,41 14,18 13,33 4,35
Total (excl. krisis) 8,47 7,93 8,84 11,44 3,40
Grafik 1.Perbandingan Inflasi Kawasan ASEAN
%
-5
0
5
10
15
20
25Indonesia Malaysia
Philipina Thailand
1993 1994 1995 1996 19971998 1999 2000 20012002 2003 2004 2005 2006 20072008 2009
Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
4 Hutabarat (2005) juga menemukan bahwa ekspektasi inflasi agen ekonomi pada periode 1999-2004 sangat mendominasipembentukan inflasi dibandingkan output gap, administered price, supply shocks, dan nilai tukar.
298 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
pembentuk inflasi.5 Oleh karena itu, ekspektasi inflasi harus dipertimbangkan dalam
memformulasikan kebijakan moneter untuk mencapai target.
Sementara itu dikaitkan dengan periode transisi dan penerapan ITF sejak 2000-2009,
realisasi inflasi lebih sering berada di luar kisaran targetnya. Hal ini dikarenakan besarnya
kejutan-kejutan (shocks) dalam perekonomian domestik, baik dari sisi pasokan maupun distribusi
pangan (volatile food) dan kebijakan-kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah (administered
prices). Selain itu, inflasi inti juga sering lebih tinggi dibanding sasaran inflasi IHK yang ditetapkan.
Grafik 2.Perincian Komponen Inflasi
2006IHK = 6,60% (yoy)
Ekspektasi Out. Gap Ex. Rate Administered Volatile Food
2,75%share:52,73%
0,37share 5,61%
-0,66%share -9,94% -0,11,
share -1,67%
4,25share 64,34%
2008IHK = 11,06% (yoy)
Ekspektasi Out. Gap Mitra DagangEx. Rate Administered Volatile Food
4,35share 39,2%
2,99,share 27,03%
0,94,share 8,49%
0,11,share 0,99%
0,09,share 0,77%
4,35,share 39,3%
Grafik 3.Dekomposisi Inflasi Indonesia
5 Studi yang dilakukan oleh Chatib Basri, Damayanti dan Sutisna (2002) dari LPEM - FEUI menunjukkan bahwa sumber inflasi Indonesiayang paling utama adalah ekspektasi inflasi, diikuti oleh depresiasi nilai tukar, dan setelah itu uang beredar.
%, yoy
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Pra Krisis Krisis Pra ITF Implementasi ITF
Volatile Food
Administered Prices
Inti
IHK
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 20012002 2003 2004 20052006 2007 2008 2009
Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
299Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Selain permasalahan seperti tersebut di atas, tingginya inflasi di Indonesia juga bersumber
dari pengaruh eksternal, antara lain melalui jalur nilai tukar Rupiah (pass through effect) dan
harga komoditas dunia. Kendati demikian, fakta yang tidak terelakkan adalah cukup dominannya
fenomena shocks pada inflasi domestik yang dampak lanjutannya bisa meluas melalui jalur
ekspektasi inflasi yang selanjutnya akan mempengaruhi core inflation dan inflasi IHK. Sebagai
contoh, tekanan inflasi di tahun 2005 dan 2008 yang bersumber dari kejutan berasal dari
eksternal karena kenaikan harga-harga komoditas global baik komoditas energi maupun pangan.
Kenaikan harga minyak dunia telah mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM secara
rata-rata hingga 28,7%. Selain memberikan dampak langsung terhadap inflasi, dampak
lanjutannya juga turut mendorong laju inflasi. Secara umum dalam hampir satu dekade terakhir,
deviasi antara realisasi dengan target inflasi disebabkan baik faktor fundamental maupun faktor
non-fundamental yang terkait erat dengan manajemen sisi penawaran. Mengingat perangkat
kebijakan moneter lebih cocok digunakan untuk mengatasi problem di sisi permintaan, maka
problem sisi penawaran memerlukan koordinasi antara lembaga termasuk di dalamnya Bank
Indonesia dan Pemerintah beserta instansi-instansi terkait.
Dengan fakta di atas, pekerjaan membawa inflasi ke arah penurunan (disinflasi) bukan
merupakan sesuatu hal yang mudah. Karakteristik inflasi yang cenderung persisten berimplikasi
pada lambatnya proses disinflasi. Salah satu penelitian tentang hal tersebut (Alamsyah, 2008)
menunjukkan bahwa persistensi disebabkan oleh perilaku pembentukan ekspektasi inflasi
Indonesia yang masih cenderung menengok ke belakang (backward looking), meskipun sebagian
sudah melihat ke depan (forward looking). Hal ini terjadi karena masih cukup besarnya proporsi
produsen yang tidak melakukan perubahan harga, yaitu mempertahankan harga dengan
melakukan indeksasi ke harga sebelumnya.6 Survei Mekanisme Pembentukan Harga BI (2000
dan 2003) mengkonfirmasi relatif enggannya perubahan harga oleh produsen. Situasi tersebut
kemungkinan disebabkan oleh harga yang kurang fleksibel dan perusahaan jarang melakukan
perubahan harga yaitu hanya 1 √ 2 kali dalam setahun.
Masih cukup besarnya perilaku backward looking dalam pembentukan ekspektasi inflasi
juga terindikasi di berbagai survei baik bersifat metrik (menyatakan level ekspektasi inflasi)
maupun non-metrik (hanya mengindikasikan arah ekspektasi inflasi). Survei ekspektasi inflasi
mencakup berbagai responden baik di level konsumen (Survei Konsumen-BI), pedagang (Survei
Penjualan Eceran-BI), perusahaan (Survei Kegiatan Dunia Usaha-BI) maupun para pakar atau
6 Dalam pembentukan persamaan inflasi dalam kerangka NKPC (New Keynesian Phillips Curve), diasumsikan bahwa perusahaanmenghadapi struktur pasar yang monopolistic competion sehingga ada perusahaan yang dapat menentukan harga (price setting)karena memiliki sedikit monopoly power. Namun demikian sebagian perusahaan masih mempertahankan harganya dengan melakukanindeksasi ke harga sebelumnya (backward looking). Dengan asumsi ini maka akan diperoleh hybrid NKPC, di mana inflasi akandipengaruhi oleh ekspektasi backward looking dan forward looking serta output gap (sebagai proksi dari marginal cost).
300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
ekonom (Survei Persepsi Pasar-BI dan Consensus Forecast (CF)). Secara umum, ekspektasi inflasi
hasil survei memiliki korelasi dengan inflasi aktual yang terjadi beserta lag-nya (CF dan SK).
Adanya unsur perilaku adaptif ekspektasi inflasi tersebut juga terlihat pada evolusi ekspektasi
inflasi CF, dimana ekspektasi inflasi bergerak searah dengan realisasi inflasi, Selain itu, sifat
backward-looking juga ditunjukkan melalui pengamatan empiris yang menyimpulkan bahwa
rata-rata inflasi aktual 6 bulan terakhir memiliki daya penjelas terhadap ekspektasi inflasi dari
CF (Bank Indonesia, 2008).
Kendati demikian, unsur forward-looking juga terindikasi muncul meskipun berjangka
waktu sangat pendek. Hal ini antara lain terlihat dari ekspektasi inflasi hasil SPE dan SK untuk
jangka waktu 3 bulan ke depan yang memiliki korelasi cukup tinggi dengan inflasi pada t+1
dan t+2. Pengujian regresi dengan melibatkan variabel makroekonomi lain juga memperlihatkan
adanya daya penjelas dari ekspektasi inflasi 3 bulan ke depan terhadap proyeksi inflasi inti
jangka sangat pendek yaitu 2-3 bulan. Hal ini menandakan bahwa ekspektasi inflasi dari survei
telah dapat dijadikan sebagai indikator tekanan inflasi meskipun berjangka sangat pendek.
Secara umum, walaupun perilaku backward looking masih cukup dominan dalam
pembentukan ekspektasi inflasi namun cenderung menurun setelah periode krisis Asia 1997.
Sebaliknya, perilaku forward looking cenderung meningkat pada periode setelah krisis
dibandingkan sebelum krisis (Alamsyah, 2008). Sebagai implikasi dari menurunnya perilaku
backward looking tersebut, derajat persistensi inflasi juga menurun. Berdasarkan kelompok
komoditas, penurunan derajat peristensi terutama terjadi pada kelompok sandang dan barang-
barang impor sejalan dengan struktur pasar yang semakin kompetitif. Secara keseluruhan,
kecenderungan penurunan derajat persistensi inflasi tersebut berdampak pada meningkatnya
peran kebijakan moneter dalam upaya mengendalikan inflasi.
4.2. Persistensi, Permasalahan Kredibilitas Kebijakan, dan Proses Disinflasi
4.2.1. Persistensi dan kredibilitas kebijakan
Masih tingginya persistensi inflasi di tengah-tengah kondisi ekonomi saat ini yang
menghadapi tekanan baik dari eksternal dan domestik menyebabkan upaya disinflasi menuju
inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka menengah-panjang mendapat tantangan yang
sangat berat. Perlu pula dicatat bahwa kemampuan bank sentral dalam mengendalikan inflasi
bukanlah inflasi IHK secara keseluruhan, namun hanya terbatas pada inflasi inti (core inflation)
yang dipengaruhi oleh faktor fundamental, yaitu output gap, nilai tukar khususnya terhadap
harga barang impor (imported inflation), dan ekspektasi inflasi. Sedangkan komponen lain
seperti volatile food dan administered price sebagai bagian dari tingkat inflasi IHK bukan
301Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
merupakan domain Bank Sentral. Dengan demikian, laju inflasi yang rendah dan stabil tidak
dapat dicapai hanya melalui kebijakan moneter Bank Indonesia tetapi juga ditentukan oleh
kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi lainnya yang ditempuh Pemerintah. Selain itu untuk
mengurangi pass through effect nilai tukar ke inflasi, maka perlu juga dukungan kebijakan
untuk menjaga agar volatilitas nilai tukar tidak terlalu besar.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, inflasi inti (core inflation) merupakan komponen
pembentuk inflasi IHK yang lebih dominan dibandingkan volatile food dan administered food.
Dalam hal ini inflasi inti lebih dominan dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang terjadi di
masyarakat dibandingkan output gap dan nilai tukar. Untuk itu, sasaran inflasi dan langkah-
langkah kebijakan moneter serta instrumen moneter yang digunakan untuk mencapainya
harusnya dikomunikasikan secara efektif kepada agen ekonomi.
Dengan demikian, selain dukungan berbagai kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah maka kredibilitas kebijakan moneter merupakan hal penting untuk mencapai tujuan
bank sentral yaitu inflasi yang rendah dan stabil. Dalam kerangka kerja ITF, apabila pelaku
ekonomi percaya bahwa kebijakan moneter akan mampu atau kredibel dalam mencapai target
inflasi maka ekspektasi inflasi pelaku ekonomi akan secepatnya menjangkar ke target inflasi
sehingga inflasi aktual juga akan terjangkar pada target inflasi. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan persistensi inflasi. Semakin kredibel kebijakan moneter maka proses penyesuaian
ekspektasi inflasi pelaku ekonomi terhadap target inflasi akan berlangsung cepat, begitu pula
sebaliknya. Sebagai indikatornya, umumnya deviasi antara ekspektasi inflasi dan inflasi aktual
terhadap target inflasi dianggap mencerminkan besarnya kredibilitas kebijakan moneter.7
Karena masih menghadapi persistensi inflasi yang masih cukup tinggi, maka disinflasi
secara cepat akan sangat mahal karena diperlukan suku bunga yang terlalu ketat sehingga
dapat menyebabkan output loss yang sangat besar. Konsekuensinya, untuk mencapai tujuan
kebijakan moneter yang meminimumkan social welfare loss maka otoritas moneter cenderung
melakukan disinflasi secara gradual. Apabila penurunan inflasi aktual yang terjadi tidak siginifikan
maka menyediakan informasi baru yang sedikit dan sehingga ekspektasi inflasi agen ekonomi
hanya akan menyesuaikan secara marginal terhadap target inflasi. Lebih lanjut, agen ekonomi
akan menggantungkan pada perilaku backward looking sehingga meningkatkan persistensi
inflasi.
7 Erceg dan Levin (2003) menunjukkan bahwa rendahnya kredibilitas kebijakan moneter USA periode 1980 - 1985 menyebabkanpersistensi inflasi yang tinggi dan biaya pengorbanan berupa sacrifice ratio yang besar. Implikasi penting dari temuan tersebut adalahbahwa persistensi inflasi bukan merupakan karakteristik inherent dari suatu perekonomian namun lebih merupakan keragamanterkait dengan kredibilitas kebijakan moneter. ditunjukkan bahwa persistensi inflasi akan rendah jika kebijakan moneter kredibel,dan sebaliknya menciptakan persistensi inflasi yang tinggi ketika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility)karena pelaku ekonomi belum sepenuhnya percaya pada target inflasi di masa datang (forward looking).
302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Pengamatan untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa kredibilitas kebijakan moneter di
Indonesia relatif rendah, dan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya persistensi
inflasi (Harmanta, 2009). Namun, sejalan dengan penerapan ITF, kredibilitas kebijakan moneter
mengalami perbaikan. Hal ini direfleksikan oleh peningkatan parameter Kalman gain,8 dari sekitar
0.2 pada periode sebelum penerapan ITF (Juli 2005) menjadi sekitar 0.4 pada periode setelah
penerapan ITF. Dapat dikemukakan bahwa dengan peningkatan kredibilitas kebijakan moneter
paska ITF, maka inflasi cenderung dipengaruhi oleh perilaku forward looking pelaku ekonomi
sehingga persistensi inflasi menurun dan ekspektasi inflasi akan mengarah ke target inflasi.9
Hal ini sesuai dengan pengamatan Orphanides dan Williams (2007) yang menunjukkan
bahwa pembentukan ekspektasi inflasi alami dengan mengarahkan pada target inflasi sebagai
sasaran utama kebijakan moneter pada era ITF akan mempermudah proses pembelajaran agen
ekonomi, jika dibandingkan dengan era non-ITF yang mempunyai tujuan akhir jamak. Proses
tersebut akan menyebabkan ekspektasi inflasi agen ekonomi menjadi lebih bersifat forward
looking dan menjangkar ke target inflasi. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan Siregar
dan Goo (2008) yang menunjukkan bahwa inflation inertia di Indonesia mengalami penurunan
baik untuk tradable goods dan non tradable goods pada periode penerapan ITF dibandingkan
dengan periode sebelum penerapan ITF.
8 Secara teknis, parameter Kalman gain tersebut menangkap forecast agen ekonomi dalam memproyeksi target inflasi otoritas moneterpada persamaan Taylor rule melalui derivasi Kalman filter. Parameter Kalman gain tersebut akan mencerminkan proses pembelajaranagen ekonomi mengenai target inflasi otoritas moneter sehingga dapat digunakan sebagai ukuran derajad kredibilitas kebijakanmoneter, dimana semakin cepat proses pembelajaran agen ekonomi mengenai target inflasi otoritas moneter maka semakin tinggiderajad kredibilitas kebijakan moneter. Parameter Kalman gain bernilai antara 0 dan 1, dimana semakin dekat dengan 1 makakebijakan moneter akan semakin kredibel.
9 Perilaku agen ekonomi yang lebih bersifat forward looking dalam pembentukan inflasi pada periode penerapan ITF tersebut sejalandengan temuan Solikin (20 04), Yanuarti (2007), dan Alamsyah (2008).
Tabel 4. Inflasi Aktual, Ekspektasi Inflasi, Target Inflasi dan Kredibilitas Kebijakan Moneterperiode 2000 √ 2009
TahunTahunTahunTahunTahun IHK AktualIHK AktualIHK AktualIHK AktualIHK Aktual Ekspektasi InflasiEkspektasi InflasiEkspektasi InflasiEkspektasi InflasiEkspektasi Inflasi Target IHKTarget IHKTarget IHKTarget IHKTarget IHK MistakeMistakeMistakeMistakeMistake SurpriseSurpriseSurpriseSurpriseSurprise AnchoringAnchoringAnchoringAnchoringAnchoring CredibilityCredibilityCredibilityCredibilityCredibility(1)(1)(1)(1)(1) (2)(2)(2)(2)(2) (3)(3)(3)(3)(3) (1) - (3)(1) - (3)(1) - (3)(1) - (3)(1) - (3) (2) - (1)(2) - (1)(2) - (1)(2) - (1)(2) - (1) (2) - (3)(2) - (3)(2) - (3)(2) - (3)(2) - (3)
2000 9,35 10,61 6,00 3,35 1,26 4,61 24242424242001 12,55 14,29 7,25 5,30 1,74 7,04 21212121212002 10,03 12,12 9,50 0,53 2,09 2,62 26262626262003 5,06 8,04 9,00 -3,94 2,98 -0,96 46464646462004 6,40 7,38 5,50 0,90 0,98 1,88 42424242422005 17,10 9,75 6,00 11,10 -7,35 3,75 323232323220062006200620062006 6,606,606,606,606,60 9,209,209,209,209,20 8,008,008,008,008,00 -1,40 2,60 1,20 23232323232007 6,60 7,47 6,00 0,60 0,87 1,47 474747474720082008200820082008 11,0611,0611,0611,0611,06 7,757,757,757,757,75 5,005,005,005,005,00 6,06 -3,31 2,75 373737373720092009200920092009 2,782,782,782,782,78 4,904,904,904,904,90 4,504,504,504,504,50 -1,72 2,12 0,40 5151515151
*) Credibility : banyaknya responden yang mempunyai ekspektasi inflasi dalam range target inflasi otoritas moneter Data Survey Kegiatan Dunia Usaha, BankIndonesia (data diolah).
303Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Sementara itu, hasil survey SKDU terhadap 2.000 perusahaan menunjukkan bahwa
banyaknya perusahaan yang ekspektasi inflasi terjangkar pada target inflasi otoritas moneter
pada akhir tahun 2009 adalah sebesar 51%. Jumlah ini mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan sebanyak 24% pada awal implementasi ITF. Jika hasil survey tersebut
dapat digunakan sebagai proksi derajad kredibilitas kebijakan moneter, maka derajad kredibilitas
kebijakan moneter mengalami peningkatan dari sekitar 0.24 menjadi 0.51 sejalan dengan
implementasi ITF secara konsisten.
4.2.2. Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Proses Disinflasi
Secara teoritis, ITF bertujuan untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah dan stabil.10
Dalam kaitan ini, walaupun belum ada kesepakatan mengenai berapa besarnya sasaran inflasi,
diyakini bahwa dalam jangka panjang level sasaran inflasi kerangka kerja ITF di negara
berkembang dan negara maju adalah sebesar 2% - 3% (Roger dan Stone, 2005). Namun,
tidak seperti negara industri maju, negara berkembang, termasuk Indonesia, menerapakan ITF
ketika level inflasinya masih jauh dari level inflasi jangka panjang yang diinginkan. Rata-rata
inflasi untuk negara berkembang pada saat menerapkan ITF adalah di atas 13% (double digit),
jauh lebih tinggi dari negara maju sebesar 4% (Fraga et al., 2004). Perbedaan tersebut membawa
implikasi berupa perbedaan dalam strategi disinflasi yang digunakan dalam ITF. Dalam hal ini
kebanyakan negara berkembang menetapkan target inflasi dalam horizon waktu jangka pendek,
umumnya target tahunan pada awal penerapan ITF dengan tujuan untuk membangun dan
meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter.
Secara empiris berdasarkan pengalaman banyak negara yang menerapkan ITF terdapat
beberapa strategi dalam menurunkan inflasi menuju level yang rendah dan stabil. Secara
umum, negara maju yang pada awal ITF biasanya sudah mempunyai level inflasi yang rendah
yaitu single digit melakukan strategi disinflasi secara agresif langsung ke level inflasi jangka
panjang sekitar 2,0% √ 3,0%. Sedangkan Negara berkembang yang pada awal ITF biasanya
mempunyai level inflasi yang cukup tinggi yaitu double digit biasanya melakukan strategi disinflasi
secara gradual dengan target inflasi jangka pendek √ menengah dengan kecepatan penurunan
sekitar 0.8% per tahun sebelum konvergen ke level inflasi jangka panjang sekitar 2,0% √
3,0% (Roger dan Stone, 2005).11
10 Pengalaman di sejumlah negara ITF menunjukkan bahwa target inflasi yang ditetapkan memiliki ciri: (i) cukup rendah, (ii) memiliki gejolakinflasi yang rendah, (iii) cukup menantang untuk dicapai oleh bank sentral, dan (iv) dapat dicapai dengan output loss yang minimum.
11 Beberapa peneliti menunjukkan bahwa strategi disinflasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter bank sentral. Negaramaju yang kebijakan moneternya dinilai lebih kredibel cenderung menerapkan strategi disinflasi yang agresif karena kebijakan moneternyamampu mengarahlan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan inflasi aktual secara cepat ke target inflasi sehingga respon suku bunga akan
304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Grafik 4.Lintasan Disinflasi di Indonesia
Pengamatan untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa proses disinflasi yang dilakukan
otoritas moneter akan membawa implikasi adanya biaya pengorbanan berupa penurunan
pertumbuhan ekonomi, mengingat kebijakan moneter yang belum kredibel (Harmanta,
2009).12 Dalam hal ini, sejalan dengan kebijakan moneter di Indonesia yang masih belum
sepenuhnya kredibel, proses pembelajaran agen ekonomi terhadap program penurunan target
inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil berjalan lambat. Hal ini menyebabkan proses
konvergensi persepsi/ekspektasi inflasi agen ekonomi ke target inflasi otoritas moneter berjalan
secara lambat dan gradual.13 Selama periode transisi dan implementasi ITF 2000 √ 2008,
kecepatan disinflasi adalah kurang lebih sebesar -0,5% per tahun, sedikit lebih rendah
dibandingkan rata-rata disinflation rate negara berkembang yang sebesar -0,7% per tahun
(Roger dan Stone, 2005).
optimal dan tidak menimbulkan output loss yang besar. Sedangkan Negara berkembang yang kebijakan moneternya dinilai belum kredibelcenderung menerapkan strategi disinflasi secara gradual karena kebijakan moneternya belum mampu mengarahlan ekspektasi inflasipelaku ekonomi dan inflasi aktual secara cepat ke target inflasi sehingga respon suku bunga belum optimal yang dapat menimbulkanoutput loss yang besar.
12 Sebagaimana ditunjukkan oleh Ball (1994, 1995) dan Roberts (1997), disinflasi dapat dilakukan tanpa pengorbanan biaya (costless)yang signifikan sepanjang ekspektasi inflasi inflasi bersifat rasional murni (purely rational expectation) dan kebijakan moneter sudahsepenuhnya kredibel (perfect credibility).
13 Dalam situasi kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel sehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan inflasi aktual lambatkonvergen ke target inflasi, otoritas moneter menganggap bahwa disinflasi secara cepat akan memerlukan respon suku bunga yangsangat besar sehingga bisa menimbulkan disinflation cost yang sangat mahal berupa output loss yang sangat tinggi. Konsekuensinya,untuk menjalankan kebijakan moneter yang meminimumkan social welfare loss maka bank sentral melakukan strategi disinflasisecara gradual. Pelaku ekonomi mengobservasi dinamika kebijakan moneter yang ditempuh tersebut dengan melihat inflasi aktualdibandingkan target inflasi. Dengan melihat penurunan inflasi yang tidak terlalu besar menyediakan informasi baru yang sedikitsehingga ekspektasi inflasi pelaku ekonomi hanya akan menyesuaikan secara marginal terhadap target inflasi bank sentral.
11,90
(%, yoy)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012 2 4 6 81012
Sasaran Inflasi saat ini
5 +/-1%4,5 +/-1%
4,0 +/ 1%
6 +/-1% 6 +/-1%
8 +/-1%
305Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Gradualisme dalam proses disinflasi di Indonesia tersebut sangat mendasar. Jika dalam
kondisi imperfect credibility kebijakan moneter terlalu agresif untuk melakukan disinflasi dalam
waktu singkat akan menyebabkan tingginya output loss dan sacrifice ratio. Dalam konteks
small open economy, dampak penurunan laju inflasi secara cepat dalam kondisi imperfect
credibility dengan kenaikan suku bunga yang sangat tinggi akan memberikan tekanan berupa
apresiasi nilai tukar yang terlalu tinggi sehingga memperparah trade off inflasi √ output.14
Selain itu, strategi proses disinflasi secarangradual di Indonesia tersebut juga karena pengalaman
level inflasi Indonesia yang terkadang mencapai double digit dan derajad persistensi yang masih
moderat dan perilaku backward looking dari agen ekonomi.
Cukierman (2005) menunjukkan bahwa salah satu karakteristik stabilisasi inflasi dari double
digit menuju inflasi jangka menengah-panjang adalah disinflasi harus dilakukan secara gradual.
Pengalaman sejumlah Negara seperti Chile juga menunjukkan bahwa proses disinflasi menuju
level inflasi yang rendah dan stabil dalam kerangka ITF memerlukan waktu yang cukup lama
yaitu kurang lebih 36 kuartal atau hampir 9 tahun (Schmidt-Hebbel and Werner, 2002). Bahkan,
selain Indonesia, saat ini masih terdapat beberapa negara yang masih melakukan proses disinflasi
seperti Phillipina - sejak 2002, Colombia - sejak 1999, Rumania - sejak 2005, dan Turki - sejak
2006 (Roger, 2009).
4.3. Indeks Kredibilitas Kebijakan Moneter di Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengukuran indeks kredibilitas kebijakan moneter
BI ini dilakukan dengan menggunakan metoda VR2008 dan CK 2002. Khusus untuk pengukuran
CK 2002 dilakukan penyesuaian batas atas yang sebelumnya sangat longgar 20% menjadi
15%. Hal ini dengan pertimbangan Indonesia yang masih negara berkembang sehingga
environment business relatif lebih penuh ketidakpastian dibandingkan negara maju. Selain itu,
berdasarkan data historis Indonesia, maka IHK (yoy) di Indonesia selama 2000 - 2009 paling
tinggi adalah 17.11% di tahun 2005 dan belum pernah mencapai 20%.
Dengan menggunakan data ekspektasi (Survey SKDU BI, Consensus Forecast dan Inflasi
Aktual), maka diperoleh hasil pengukuran Indek Kredibilitas BI sebagai berikut.
14 Ketika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredidel maka lambatnya penurunan suku bunga ketika terjadi shock penurunantarget inflasi dan aktual inflasi, yang akan menceminkan stance kebijakan moneter yang tight bias, akan bisa menghasilkan outputloss yang lebih besar. Kebijakan moneter yang seolah-olah cenderung ketat tersebut akan mempengaruhi perilaku agen ekonomidalam melakukan konsumsi sehingga akan memperlambat aggregate demand, yang selanjutnya akan mempengaruhi sisi produksisehingga output juga tidak akan meningkat. Selanjutnya kondisi ini akan membawa konsekuensi berupa output loss yang besar,yang tercermin pada sacrifice ratio
306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Dari tabel di atas terlihat bahwa penggunaan data ekspektasi inflasi dan cara pengukuran
yang berbeda akan menghasilkan indeks kredibilitas kebijakan moneter yang berbeda pula,
berkisar antara 0.581 s.d. 0.841. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kredibilitas
kebijakan moneter di Indonesia periode 2000 √ 2009 belum sepenuhnya sempurna (imperfect
credibility). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dan dengan memperhatikan hasil penelitian
Harmanta (2009) yang menemukan 0.41 dan mempertimbangkan jumlah perusahaan yang
ekspektasi inflasinya terjangkar ke target inflasi sebesar 51%, serta dengan pertimbangan
konservatif, maka selanjutnya digunakan indeks kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.50
sebagai inital value.
4.4. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Eksogen
Hasil simulasi dan proyeksi variabel makro dengan beberapa derajad kredibilitas kebijakan
moneter secara eksogen disajikan dalam grafik 5.
Berdasarkan grafik 5 terlihat bahwa pada skenario baseline dengan asumsi initial value
kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.5 dan mempertimbangkan adanya tekanan inflasi
mulai kuartal 10 (Q - 10) yang mendekati batas atas target inflasi sejalan dengan proses
pemulihan ekonomi global dan domestik, suku bunga (optimum berdasarkan Taylor rule
endogenous di ARIMBI) perlu dinaikkan pada Q √ 8 dan kemudian dapat diturunkan secara
gradual mulai Q - 12. Di satu sisi, dengan path suku bunga tersebut lintasan target inflasi
tahun 2010 √ 2014 kemungkinan besar dapat dicapai yaitu menuju 4.0% + 1% di Q-24. Di
sisi lain, dengan path suku bunga tersebut akan memberikan pertumbuhan ekonomi sekitar
5.5% - 6.4% di beberapa kuartal sebelum akan mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7.0
√ 7.5% di Q-24 . Sejalan dengan path suku bunga dan lintasan inflasi serta PDB tersebut, nilai
tukar akan bergerak pada kisaran Rp. 9.300 √ 9.750 per USD.
Pada skenario kurang kredibel dengan asumsi initial value credibility lebih rendah menjad
0.1, lintasan inflasi lebih tinggi dibandingkan baseline di Q-9 s.d. Q-12 mendekati batas atas
target dan di Q-13 akan melewati batas atas target inflasi. Mempertimbangkan adanya tekanan
Tabel 4.Indeks Kredibilitas Kebijakan Moneter di Indonesia
Jenis DataJenis DataJenis DataJenis DataJenis Data Indeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BI Indeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIIndeks Kredibilitas BIEkspektasiEkspektasiEkspektasiEkspektasiEkspektasi (ala VR2008)(ala VR2008)(ala VR2008)(ala VR2008)(ala VR2008) (ala CK2002)(ala CK2002)(ala CK2002)(ala CK2002)(ala CK2002)
1 Survey SKDU BI 0,604 0,6642 Consensus Forecast 0,789 0,8413 Aktual Inflasi 0,581 0,740
NoNoNoNoNo
307Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline, perlu kenaikan suku bunga yang lebih tinggi
dibandingkan baseline guna mencapai target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1% di
Q-24. Path suku bunga yang lebih tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah dibandingkan baseline menjadi sekitar 5.5% - 6.2% sampai Q-24. Dilihat
dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang kurang kredibel akan menyebabkan
Inflasi
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
4Ø0,5%
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Policy Rate
2,00
4,00
6,00
8,00
Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Pertumbuhan PDB
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Nilai Tukar Nominal
8900
9400
9900
10400
10900 Baseline
Less Cred
More Cred
Tim 6
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3
Sacrifice Ratio
-
0,50
1,00
1,50Baseline
Less Cred
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3
Credibility
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
Baseline
Less Cred
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Grafik 5.Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Eksogen
308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
sacrifice ratio (output loss yang terjadi untuk penurunan inflasi sebesar 1%) yang lebih tinggi
dibandingkan baseline. Dalam jangka menengah √ panjang skenario kurang kredibel juga
menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih melemah dibandingkan baseline.
Pada skenario lebih kredibel dengan asumsi initial value credibility lebih tinggi menjadi
0.9, lintasan inflasi lebih rendah dibandingkan baseline di mana inflasi bergerak mendekati
titik tengah dan atau batas bawah target inflasi. Mempertimbangkan lintasan inflasi yang
lebih rendah dibandingkan baseline dan relatif telah terjangkar ke target inflasi, suku bunga
dapat dipertahankan sampai Q-7, sebelum dapat diturunkan secara gradual. Path suku bunga
yang lebih rendah tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan baseline menjadi sekitar 5.6% - 6.6% dalam beberapa kuartal. Dilihat dari cost
of disinflation, skenario kebijakan moneter yang lebih kredibel akan menyebabkan sacrifice
ratio yang lebih rendah dibandingkan baseline. Dalam jangka menengah √ panjang skenario
lebih kredibel akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih menguat dibandingkan baseline.
4.5. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen
Grafik 6 Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen: Perbandingan
Lintasan Inflasi, BI Rate, PDB & Sacrifice Ratio.
Pada skenario baseline dengan asumsi initial credibility 0.5 dan mempertimbangkan
tekanan inflasi mulai Q-10 yang mendekati batas atas target inflasi, suku bunga (optimum
berdasarkan Taylor rule endogenous di ARIMBI) perlu dinaikkan secara gradual sejak Q-6 dan
kemudian dapat diturunkan secara gradual mulai Q-11. Dengan path suku bunga tersebut,
lintasan target inflasi kemungkinan besar dapat dicapai yaitu menuju 4.0% di jangka menengah.
Path suku bunga ini akan memberikan pertumbuhan ekonomi sekitar 5.5% - 6.2% dalam
beberapa kuartal sebelum mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 7.0 √ 7.5%. Sejalan dengan
path suku bunga dan lintasan inflasi serta PDB tersebut, nilai tukar akan bergerak menguat
dengan kisaran Rp. 9.150 √ 9.550 per USD.
Pada skenario kurang kredibel dengan asumsi initial credibility menjadi 0.1. Lintasan
inflasi lebih tinggi dibandingkan baseline di mana inflasi akan mendekati batas atas target
inflasi. Mempertimbangkan adanya tekanan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline,
bank sentral perlu menaikkan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan baseline guna
mencapai target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1%. Path suku bunga yang lebih
tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan
baseline. Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang kurang kredibel
akan menyebabkan sacrifice ratio yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Dalam jangka
309Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
menengah √ panjang skenario kurang kredibel juga menyebabkan lintasan nilai tukar yang
lebih melemah dibandingkan baseline.
Pada skenario lebih kredibel dengan asumsi initial credibility menjadi 0.9. lintasan inflasi
lebih rendah dibandingkan baseline di mana inflasi bergerak mendekati titik tengah dan atau
Grafik 6.Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen:
Perbandingan Lintasan Inflasi, BI Rate, PDB & Sacrifice Ratio
Inflasi
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
4Ø0,5%
Policy Rate
2,00
4,00
6,00
8,00
Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Pertumbuhan PDB
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
Baseline
Less Cred
Tim 6
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Nilai Tukar Nominal
8900
9400
9900
10400
10900 Baseline
Less Cred
More Cred
Tim 6
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3
Sacrifice Ratio
-
0,50
1,00
1,50Baseline
Less Cred
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3
Credibility
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
Baseline
Less Cred
More Cred
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
batas bawah target inflasi. Mempertimbangkan lintasan inflasi yang lebih rendah dibandingkan
baseline dan relatif telah terjangkar ke target inflasi, suku bunga dapat dipertahankan sampai
Q-7, sebelum dapat diturunkan secara gradual. Dengan path suku bunga yang lebih rendah
tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan baseline.
Dilihat dari cost of disinflation, skenario kebijakan moneter yang lebih kredibel akan
menyebabkan sacrifice ratio yang lebih rendah dibandingkan baseline. dalam jangka menengah
√ panjang skenario lebih kredibel akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih menguat
dibandingkan baseline.
4.6. Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Endogen: PerbandinganBaseline dan Skenario Late
Untuk melihat apakah timing respon kebijakan suku bunga berpengaruh terhadap
dinamika variabel makro ekonomi utama, maka dilakukan simulasi respon suku bunga yang
terlambat (Skenario late) dibandingkan baseline (optimum respon suku bunga), sebagaimana
terlihat pada grafik 7.
Pada skenario late, dengan asumsi initial value kredibilitas kebijakan moneter sama dengan
baseline sebesar 0.5, keterlambatan respon kenaikan suku bunga akan menyebabkan lintasan
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline di mana inflasi mendekati batas atas target
inflasi di Q-8 dan melewati batas atas target inflasi mulai Q-9. Untuk tetap dapat mencapai
target inflas jangka menengah sebesar 4% + 1% di 2014 serta mempertimbangkan lintasan
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline, suku bunga perlu dinaikkan lebih tinggi
dibandingkan baseline, sebelum dapat diturunkan secara gradual sejak Q-16. Dengan path
suku bunga yang lebih tinggi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka
menengah yang lebih rendah dibandingkan baseline. Dilihat dari cost of disinflation, skenario
kebijakan moneter yang terlambat akan menyebabkan«sacrifice yang lebih tinggi dibandingkan
baseline terutama di jangka menengah. Dalam jangka menengah √ panjang skenario respon
kebijakan moneter yang lambat tersebut akan menyebabkan lintasan nilai tukar yang lebih
melemah dibandingkan baseline.
Berdasarkan hasil simulasi di atas, penelitian ini menunjukkan bahwa keterlambatan respon
suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dan bahkan bisa melebihi
target inflasi. Konsekuensinya adalah untuk membawa inflasi ke depan agar kembali terjangkar
ke target inflasi diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya
akan berdampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini akan menimbulkan
trade off inflasi dan output yang lebih tinggi sehingga akan membawa dampak terhadap
311Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
meningkatnya sacrifice ratio sehingga untuk setiap upaya penurunan inflasi memerlukan output
loss yang lebih tinggi. Implikasi dari temuan penelitian ini adalah pentingnya Bank Indonesia
untuk menjaga konsistensinya dalam merespon tekanan inflasi secara tepat waktu dengan
Grafik 7.Hasil Simulasi Kredibilitas Kebijakan Moneter Secara Endogen:
Perbandingan Baseline dan Skenario Late
Inflasi
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Endogen
Late
4Ø0.5%
Policy Rate
2,00
4,00
6,00
8,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Endogen
Late
Nilai Tukar Nominal
8900
9400
9900
10400
10900
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3
Endogen
Late
Pertumbuhan PDB
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Endogen
Late
Credibility
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Endogen
Late
Credibility
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Endogen
Late
312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
besaran suku bunga yang optimum. Keterlambatan respon kebijakan moneter akan berdampak
pada cost of disinflation yang lebih tinggi dan upaya disinflasi yang lebih lama.
4.7. Hasil Simulasi Lamanya Disinflasi
Terkait dengan fokus strategi disinflasi mengenai lamanya disinflasi, dilakukan simulasi
dan proyeksi lamanya disinflasi menuju target inflasi jangka menengah sebesar 4% + 1% dan
target inflasi jangka panjang sebesar 3% + 1%, sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 5.Hasil Simulasi Lamanya Disinflasi
Menuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target Inflasi Menuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target InflasiMenuju Target InflasiJangka Menengah ( Jangka Menengah ( Jangka Menengah ( Jangka Menengah ( Jangka Menengah ( +++++1% )1% )1% )1% )1% ) Jangka Panjang ( 3 Jangka Panjang ( 3 Jangka Panjang ( 3 Jangka Panjang ( 3 Jangka Panjang ( 3 + + + + + 1%) 1%) 1%) 1%) 1%)
EksogenEksogenEksogenEksogenEksogen KuartaKuartaKuartaKuartaKuarta KuartaKuartaKuartaKuartaKuartaK = 0,1 25 (Q1-2016) 48 (Q4-2021)K = 0,5 19 (Q3-2014) 40 (Q4-2019)K = 0,9 11 (Q3-2012) 24 (Q4-2015)
EndogeEndogeEndogeEndogeEndogeK = 0,1 31 (Q1-2017) 64 (Q1-2025)K = 0,5 19 (Q3-2014) 56 (Q3-2022)K = 0,9 11 (Q3-2012) 22 (Q2-2015)
KredibilitasKredibilitasKredibilitasKredibilitasKredibilitas
Lamanya DisinflasiLamanya DisinflasiLamanya DisinflasiLamanya DisinflasiLamanya Disinflasi
Dari tabel di atas terlihat bahwa lamanya disinflasi untuk menjangkar ke target inflasi
jangka menengah √ panjang sangat dipengaruhi oleh derajad kredibilitas kebijakan moneter.
Pada scenario baseline dengan initial value kredibilitas kebijakan moneter sebesar 0.5, baik
secara eksogen maupun endogen, maka dibutuhkan waktu kurang lebih 19 kuartal untuk
mencapai inflasi sebesar 4% di jangka menengah. Jika initial value menurun menjadi 0.1,
maka proses disinflasi ke target 4% di 2014 memerlukan waktu yang lebih lama yaitu menjadi
25 kuartal (eksogen) atau 31 kuartal (endogen). Sebaliknya, jika initial value meningkat menjadi
0.9, maka proses disinflasi ke target 4% memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu menjadi
11 kuartal (eksogen) atau 25 kuartal (endogen). Demikian pula, untuk menuju disinflasi ke 3%
diperlukan waktu yang lebih singkat yaitu 22 √ 24 kuartal jika initial value kredibilitas sebesar
0.9, dibandingkan scenario kurang kredibel (0.1) yang butuh waktu lebih lama menjadi 48
kuartal (eksogen) atau 64 kuartal (endogen) dan dibandingkan scenario baseline (0.5) yang
butuh waktu lebih lama menjadi 40 kuartal (eksogen) atau 56 kuartal (endogen).
Jika dibandingkan dinamika kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen dan secara
endogen terlihat bahwa pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara eksogen di satu sisi
313Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
akan memberi kemudahan, namun di sisi lain hasilnya kurang realistis. Hal ini karena model
kredibilitas secara eksogen tidak dapat menangkap reward √ punishment terhadap pencapaian
target inflasi secara baik. Sebaliknya, pemodelan kredibilitas kebijakan moneter secara endogen
di satu sisi akan lebih kompleks, namun di sisi lain hasilnya lebih realistis. Hal ini karena model
kredibilitas secara endogen dapat menangkap reward √ punishment terhadap pencapaian target
inflasi secara baik karena kredibilitas kebijakan moneter secara eksplisit tertangkap melalui
deviasi inflasi terhadap target inflasi. Sebagai contoh, semakin besar kredibilitas kebijakan
moneter secara endogen maka deviasi inflasi dan target inflasi semakin kecil sehingga terdapat
reward yang menyebabkan lamanya disinflasi ke 3% akan lebih cepat dibandingkan eksogen.
Sebaliknya, semakin kecil kredibilitas kebijakan moneter secara endogen maka deviasi inflasi
dan target inflasi semakin besar sehingga terdapat punishment yang menyebabkan lamanya
disinflasi ke 3% akan lebih lambat dibandingkan secara eksogen.
Berdasarkan hasil proyeksi dan simulasi kredibilitas kebijakan moneter sebagaimana
tersebut di atas, hasil penelitian ini secara khusus menunjukkan bahwa :
• Ekspektasi inflasi agen ekonomi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter
bank sentral. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin cepat ekspektasi inflasi terjangkar
ke target inflasi sehingga semakin besar peluang inflasi aktual akan lebih cepat terjangkar
ke target inflasi. Hal ini pada gilirannya akan mempercepat proses disinflasi menuju target
inflasi yang rendah dan stabil di jangka menengah √ panjang.
• Disinflation cost sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter bank sentral.
Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah biaya disinflasi (tercermin dari sacrifice
ratio) untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah dan stabil di jangka menengah √ panjang.
Hal ini pada gilirannya akan memperkecil trade off output √ inflasi.
• Lebih terkendalinya inflasi pada level yang rendah dan stabil akan menyediakan kondisi
yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan terkendalinya nilai
tukar.
• Respon kebijakan moneter yang lambat dibandingkan kondisi optimum (baseline) akan
menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi, sehingga akan menyebabkan pencapaian
target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya
disinflasi yang lebih tinggi.
5. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Paper ini menyimpulkan beberapa hal penting berikut:
- Model ARIMBI imperfect credibility yang dikembangkan secara teori koheren, dan
reasonable fit dengan data sehingga cocok dengan perekonomian Indonesia paska
314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
implementasi ITF, dan memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai forecasting and policy
simulation (FPAS).
- Hasil perhitungan derajad kredibilitas kebijakan moneter menunjukkan bahwa kebijakan
moneter di Indonesia belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility) dengan nilai sekitar
0.5 (dari skala 0 untuk no credibility dan skala 1 untuk perfect credibility).
- Hasil estimasi dan simulasi menunjukkan bahwa disinflasi menuju target inflasi yang rendah
dan stabil di Indonesia dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Semakin kredibel
kebijakan moneter, proses disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil akan semakin
cepat tercapai. Selain itu, pemodelan persamaan kredibilitas kebijakan moneter secara
endogen lebih realistis dibandingkan secara eksogen.
- Hasil estimasi dan simulasi menunjukkan bahwa biaya disinflasi menuju target inflasi yang
rendah dan stabil di Indonesia (cost of disinflation), yang diukur berdasarkan sacrifice ratio,
sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Semakin kredibel kebijakan moneter,
sacrifice ratio semakin kecil yang berarti setiap upaya penurunan inflasi akan menyebabkan
output loss yang tidak terlalu besar. Implikasinya adalah bank sentral menghadapi trade-
off yang semakin kecil antara stabilisasi inflasi dan stabilisasi output.
- Respon kebijakan moneter yang lambat dibandingkan kondisi optimum (baseline) akan
menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi, sehingga akan menyebabkan pencapaian
target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya
disinflasi yang lebih tinggi.
- Dari sisi strategi pencapaian target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam kondisi kebijakan moneter yang belum sepenuhnya kredibel
(imperfect credibility) maka bank sentral cenderung melakukan proses disinflasi secara
gradual. Hal ini mengingat jika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel maka upaya
bank sentral untuk segera mencapai inflasi yang rendah dalam waktu yang singkat akan
berimplikasi pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi (too tight) sehingga akan
menciptakan fluktuasi output dan nilai tukar yang sangat besar.
- Penelitian menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas
kebijakan moneter. Implikasinya adalah pengelolaan ekspektasi inflasi menjadi sangat penting
walaupun tidak mudah, karena memerlukan kebijakan moneter yang kredibel. Kondisi ini
dapat dibangun dengan terus menunjukkan komitmen terhadap inflasi secara konsisten.
- Hasil simulasi mendukung amanat UU Bank Indonesia No.23 Tahun 1999 dan No.3 Tahun
2004 yang mewajibkan Bank Indonesia untuk mengumumkan target inflasi kepada publik
dan inflasi merupakan the overriding objective dari kebijakan moneter melalui implementasi
inflation targeting framework (ITF) yang forward looking. Penerapan ITF merupakan salah
satu upaya untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui komitmen pencapaian
315Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
target inflasi sehingga agen ekonomi akan mengkalkulasi kegiatannya berdasarkan tingkat
inflasi dan program disinflasi.
- Terkait dengan keterbatasan dan peluang penelitian lanjutan, dinamika kredibilitas kebijakan
moneter yang dimodelkan dalam ARIMBI saat ini masih secara linear. Ke depan, pemodelan
kredibilitas kebijakan moneter secara non linear akan menantang untuk dapat menangkap
efek punishment √ reward atas tercapainya target inflasi yang semakin baik dan realistis.
316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, H. 2008. ≈Persistensi Inflasi dan Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan
Moneter di Indonesia∆. Disertasi FEUI.
Ball, L. 1994. ≈Credible Disinflation with Staggered Price Setting∆, The American Economic
Review 84(1): 282 - 289.
Bernanke, B. and F.S. Mishkin. 1997. ≈Inflation Targeting: A New Framework for Monetary
Policy?∆, Journal of Economic Perspectives Vol.11, No.2, pp. 97-116.
Blinder A. S. 1999. ≈Central Bank Credibility: Why Do We Care? How Do We Build It?∆ NBER
Working Paper, No. 7161
Carabenciov, I., I. Ermolaev, C. Freedman, M. Juillard, O. Kamenik, D. Korshunov, and D. Laxton,
2008a, ≈A Small Quarterly Projection Model of the U.S. Economy,∆ IMF Working Paper No.
08/278 (Washington, DC.: International Monetary Fund).
Cecchetti, S., and Krause S. 2002. ≈Central Bank Structure, Policy Efficiency, and Macroeconomic
Performance: Exploring Empirical Relationships∆. Federal Reserve Bank of St. Louis Review,
No. 84(4), pp 47-59. 51
Clarida, R., J. Gali, and M. Gertler. 1999. ≈The Science of Monetary Policy : A New Keynesian
Perspective∆. Journal of Economic Literature. Vol. 37, No. 4, December 1999, p.1661-1707
Cukierman A., and Meltzer A. 1986. ≈The Theory of Ambiguity, Credibility, and Inflation under
Discretion and Asymmetric Information∆. Econometrica, Vol. 54, No. 5, pp. 1099-1128
Ercerg, C.J., and Andrew T. Levin. 2003. ≈Imperfect Credibility and Inflation Persistence∆. Journal
of Monetary Economics 50 (2003) 915-944.
Fraga, E., I. Goldfajn and A. Minella. 2004. ≈Inflation Targeting in Emerging Market Economies∆.
Mark Gertler and Kenneth Rogoff (eds), NBER Macroeconomics Annual 2003, Cambridge,
MA: MIT Press
Gali, J. 2008.
≈Monetary Policy, Inflation, and the Business Cycle: An Introduction to the New Keynesian
Framework∆. Princeton University Press.
Geraats P. (2001),
≈Why Adopt Transparency? The Publication of Central Bank Forecasts∆. ECB Working Paper,
No. 41.
317Inflation Targeting Under Imperfect Credibility Based on ARIMBI(Aggregate Rational Inflation √ Targeting Model for Bank Indonesia); Lessons from Indonesian Experience
Goeltom, Miranda S. 2005. ≈Perspectives on Implementing Time Consistency and Credibility in
Monetary Policy : The Case of Indonesia∆. International Seminar ≈Marrying Time Consistency
in Monetary Policy with Financial Stability∆ sponsored by Bank Indonesia and IMF, Denpasar,
December 2005.
Harmanta. 2009. ≈Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dampaknya Terhadap Persistensi Inflasi
dan Strategi Disinflasi di Indonesia: Dengan Model Dynamic Stochastic General Equilibrium
(DSGE)∆. Disertasi FEUI.
Harmanta, D. Hermawan, M. B. Bathaluddin. J. Waluyo, J. Adamanti. 2009. ≈Global ARIMBI:
Suatu Model Multi-Country Kebijakan Moneter Bank Indonesia∆. Directorate of Economic
Research and Monetary Policy, Working Paper WP/02/2009, Bank Indonesia.
Hutabarat, A. R. 2005. ≈Determinan Inflasi Indonesia∆. Occasional Paper No OP/06/2005. Bank
Indonesia.
King, Mervyn A. 1996.
≈How Should Central Banks Reduce Inflation: Conceptual Issues∆. Economic Review, No. 83,
pp. 5-32, Federal Reserve Bank of Kansas City
Kozicki, S., and Tinsley P. (2003), ≈Permanent and Transitory Policy Shocks in an Empirical
Macro Model with Asymmetric Information∆, Research Working Paper, No. 03-09, Federal
Reserve Bank of Kansas City.
Orphanides, A. dan J. C. Williams. 2007. ≈Inflation Targeting under Imperfect Knowledge∆.
Federal Reserve Bank of San Francisco.∆http://www.frbsf.org/ publications/economics/review/
2007/er1-23.pdf
Roger, S. (2009). ≈Inflation Targeting at 20: Achievements and Challenges∆. FMI Working
Paper 09/236. 53
Roger, S. and M. Stone. 2005. ≈On Target? The International Experience with Achieving Inflation
Targets∆. IMF Working Paper, WP/05/163.
Schmidt-Hebbel, K., and A. Werner. 2002.∆≈Inflation Targeting in Brazil, Chile, and Mexico:
Performance, Credibility, and the Exchange Rate∆. Working Paper 171, Central Bank of
Chile, Santiago.
Siregar, R. and S. Goo. 2008.
≈Inflation Targeting Policy; The Experience of Indonesia and Thailand. Centre for Applied
Macroeconomic Analysis∆, The Australian National University, Working Paper 23/2008.∆http:/
/cama.anu.edu.au
Solikin dan I. Sugema. 2004. ≈Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya pada Kebijakan Moneter
di Indonesia∆. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 7 Nomor 2, halaman 237
√ 272.
318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Svensson, Lars E.O. 1999. ≈Inflation Targeting as a Monetary Policy Rule∆. Journal of Monetary
Economics, June 1999, 43(3), pp. 607-54.
Tanuwidjaja, E. and Keen Meng Choy. 2006. ≈Central Bank Credibility and Monetary Policy in
Indonesia∆. Journal of Policy Modeling 28 (2006), pp.1011-1022.
Tjahjono E. D., Harmanta, J. Waluyo. (2009). ≈Bank Indonesia Structural MAcromodel (BISMA)∆.
Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Working Paper WP/05/2009, Bank
Indonesia.
Valentin, T and Rozalia, R.V. 2008. ≈Evaluation Of National Bank Of Romania Monetary Policy
Credibility∆.
Warjiyo, P. and J. Agung. 2002. ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia∆.
Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia.
Yanuarti, T. 2007. ≈Persistensi Inflasi di Indonesia∆. Working Paper Bank Indonesia.
319Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
HUBUNGAN ANTARA GROWTH OPPORTUNITY DENGANDEBT MATURITY DAN KEBIJAKAN LEVERAGE SERTA
FUNGSI COVENANT DALAM MENGONTROL KONFLIK KEAGENANANTARA SHAREHOLDERS DENGAN DEBTHOLDERS
Rhini Fatmasari 1
Agency conflict is a phenomenon that occurs when a firm is doing its financing policies, especially
of those related to the leverage strategies. Some of the former researches revealed some empirical evidence
of the existence of a negative effect between growth opportunity, leverage, and debt maturity as one of
the efforts in controlling the agency conflict between stockholders and bondholders.
By using panel data regression model and data observation for over six years, this studies found
that firms with high growth opportunity tend to use low leverage policies with short maturity to control
the agency conflict between stockholders and bondholders. On the other hand, firms with low growth
opportunity tend to use higher leverage policies with a longer period of debt maturity. Moreover, covenant
as a moderating variable, could lower the negative relation between growth opportunity and leverage,
but it could not diminish the negative relation between growth opportunity and debt maturity. Debt
maturity and covenant also could not be use as substitution variable to lessen the agency conflict.
1 Penulis adalah dosen Pendidikan Ekonomi PIPS FKIP Universitas Terbuka, [email protected]
Abstract
Keywords: growth opportunity, leverage, debt maturity, covenant, stockholders and bondholders
conflicts.
JEL Classification::::: D92, G31
320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN
Korporasi modern akan tetap eksis dan mendominasi kehidupan ekonomi jika memiliki
dua kombinasi yaitu asset in place (tangible asset) dan investment opportunities (intangible
asset). Kedua kombinasi tersebut dapat mempengaruhi struktur modal dan nilai perusahaan.
Selain itu, intrumen tersebut juga akan memunculkan dan mengeksploitasi kesempatan investasi
(Arifin: 209). Jika kesempatan investasi ini tidak dieksekusi, maka aktivitas ekonomi hanya
terbatas pada jual beli bahan, modal dan tenaga kerja. Padahal aktivitas ini sudah jenuh, penuh
kompetisi, dan hanya menghasilkan keuntungan yang minimal. Sedangkan pendorong utama
ekonomi modern adalah eksploitasi teknologi baru dan transfer proses produksi menjadi lebih
capital intensive. Pemanfaatan dan eksekusi kesempatan investasi hanya dapat dilakukan jika
perusahaan memiliki sumber daya keuangan, teknik dan sumber daya manusia yang memadai.
Berkaitan dengan masalah pendanaan, perusahaan dapat memperoleh dari dua sumber,
pertama dari perusahaan itu sendiri, seperti penerbitan saham, dan laba ditahan; kedua dari
luar perusahaan, berupa hutang kepada pihak ketiga yang sangat ditentukan oleh kebijakan
pendanaan oleh satu perusahaan. Sebesar apapun sebuah perusahaan agaknya kebijakan
pendanaan dari luar perusahaan berupa hutang akan menjadi pilihan strategis. Namun, bukan
berarti kebijakan ini tidak mengandung risiko. Ada kondisi yang dapat muncul dari kebijakan
tersebut yaitu munculnya apa yang disebut dengan konflik keagenan. Dalam perspektif teori
keagenan terjadinya konflik antara agen dan principal dilatarbelakangi adanya asismetri
informasi. Agen yang mempunyai informasi yang lebih banyak melakukan tindakan oportunistik
yang menguntungkan dirinya sendiri. Dilain pihak principal yang merasa memiliki informasi
yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pihak agen menuntut adanya kontribusi yang
tinggi. Konflik utama terjadi ketika principal menerima pembayaran kas dengan jumlah yang
lebih kecil. Menurut Jensen (1986), konflik keagenan muncul ketika kepentingan tersebut
bertemu dalam suatu aktivitas bersama. Konflik menciptakan masalah (agency cost) maka
masing-masing pihak akan berusaha mengurangi agency cost ini.
Pada kasus penentuan kebijakan leverage perusahaan, masalah yang muncul adalah
konflik antara shareholders dan bondholders. Konflik ini terjadi karena adanya struktur
penerimaan (pay off) dan tingkat risiko yang berbeda. Struktur penerimaan (pay off) bondholders
memperoleh pendapatan yang tetap dari bunga dan pengembalian atas pinjamannya, sedangkan
shareholders memperoleh pendapatan atas kelebihan kewajiban yang perlu dibayarkan kepada
bondholders. Sedangkan dilihat dari tingkat risiko yang dihadapi, ketika shareholders melalui
manajemen menjalankan aktivitas dengan risiko yang tinggi, maka tingkat risiko yang dihadapi
bondholders jauh lebih tinggi daripada shareholders, (Hanafi, 2005). Tinggi rendahnya konflik
keagenan dipengaruhi oleh tingkat growth opportunities. Perusahaan dengan growth
321Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
opportunities tinggi cenderung mengalami konflik yang tinggi. Konflik ini muncul ketika
perusahaan berhadapan dengan kesempatan investasi pada proyek dengan NPV positif yang
mensyaratkan penggunaan dana yang besar. Dalam kondisi free cash flow yang rendah dan
asset in place yang kecil, untuk memenuhi dana guna meneruskan proyek yang ada, maka
perusahaan cenderung mengambil hutang. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya konflik
antara shareholders dan bondholders.
Konflik keagenan yang terjadi antara bondholders dan shareholders ini bukan berarti
tidak dapat dicegah. Ada tiga mekanisme yang dapat ditawarkan, yaitu dengan pengurangan
jumlah hutang, maturity yang pendek dan covenant. Covenant di Indonesia dikenal dengan
nama perjanjian perwaliamanatan yang harus dibuat oleh perusahaan pada saat mendaftarkan
perusahaan di Bursa Efek indonesia. Perjanjian perwaliamanatan dibuat antara emiten
(perusahaan yang menerbitkan obligasi) dan Wali Amanat (UU No. 8 Th. 1995 tentang Pasar
Modal). Wali Amanat berperan sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang obligasi
sekaligus memberikan perlindungan kepada para pemegang obligasi tersebut.
Dari paparan di atas terlihat bahwa konflik keagenan merupakan satu realitas yang tidak
dapat dihindari ketika sebuah perusahaan melakukan kebijakan hutang. Fenomena yang terjadi
di Indonesia berdasarkan sejumlah penelitian, diantaranya dilakukan oleh Nurdin (2001)
mengemukakan bahwa tingkat pertumbuhan perusahan di masa lalu memiliki hubungan yang
positif dan signifikan dengan tingkat leverage di masa kini. Artinya, perusahaan yang memiliki
tingkat pertumbuhan tinggi di masa lampau akan memiliki tingkat leverage yang tinggi di
masa kini. Pada penelitian lain Widyastuti (2007) menyatakan adanya konflik kepentingan
antara manejer dan pemegang saham dan antara pemegang saham atau manejer dengan
kreditur pada perusahaan di Indonesia.
Penelitian di Indonesia berkenaan dengan konflik keagenan baru mengungkapkan ada
atau tidaknya konflik keagenan dan melihat hubungan antara investmen opportunities dan
kebijakan leverage yang memicu timbulnya konflik keagenan. Tetapi belum melihat koflik
keagenan itu sendiri. Penelitian ini mengacu pada penelitian Nurdin (2001) dan Widyastuti
(2007) tentang adanya konflik keagenan di Indonesia dengan melihat adanya variabel growth
opportunity sebagai salah satu variabel yang mempengaruhinya dan kebijakan leverage sebagai
variabel dependen. Namun kedua penelitian ini belum melihat bagaimana mengontrol konflik
keagenan tersebut. Penelitian ini akan masuk ke wilayah itu dengan variabel growth opportunity,
leverage, debt maturity dan covenant. Covenant akan digunakan sebagai variabel moderasi
yang mempengaruhi hubungan antara growth opportunity dan leverage juga sebagai variabel
moderasi yang mempengaruhi hubungan antara growth opportunity dan debt maturity.
Sekaligus diprediksi sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengontrol konflik
322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
antara shareholders dan bondholders. Variabel yang akan dikembangkan dalam penelitian ini
sebelumnya telah digunakan oleh Blillet et al. (2007) pada penelitian yang sama di AS. Penelitian
ini menggunakan growth opportunity sebagai proksi adanya konflik keagenan di Indonesia.
Proksi ini diharapkan akan menghasilkan varian baru dalam penelitian konflik keagenan di
Indonesia.
Penelitian ini mengangkat isu apakah growth opportunity mempengaruhi perubahan
leverage dan pilihan debt maturity? dan apakah pengaruh growth opportunity terhadap
perubahan leverage dan pilihan debt maturity akan berbeda jika terdapat covenants sebagai
mekanisme penjaminan terhadap hutang? Secara eksplisit, penelitian ini bertujuan untuk menguji
peran covenant terhadap perubahan leverage dan kebijakan debt maturity pada kondisi
pertumbuhan perusahaan yang berbeda-beda untuk mengontrol konflik antara stockholders
dan bondholders.
Bagian selanjutnya dari paper ini menguraikan teori dan bagian ketiga menjelaskan data
dan metodologi yang digunakan. Hasil estimasi model dan analisisnya diberikan pada bagian
keempat, sementara kesimpulan dan saran diberikan diberikan pada bagian penutup.
II. TEORI
Dasar keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana, baik sumber
dana internal maupun sumber dana eksternal. Pilihan-pilihan perusahaan ini dipengaruhi oleh
banyak hal, salah satunya adalah investment opportunity. Jensen (1986) menyatakan bahwa
perusahaan dengan investment opportunity yang tinggi biasanya memiliki tingkat pertumbuhan
yang tinggi (high growth), aktif melakukan investasi, memiliki free cash flow yang rendah dan
asset in place yang kecil. Dalam kondisi tersebut perusahaan cenderung menggunakan dana
eksternal berupa hutang.
Pada sisi lain, kebijakan hutang sebagai sumber pendanaan perusahaan berpeluang
memicu timbulnya konflik keagenan antara shareholders dan bondholders yang juga akan
menimbulkan pula biaya keagenan (Jensen dan Mecling,1976). Kondisi ini memperlihatkan
penggunaan hutang pada perusahaan yang memiliki investment opportunity tinggi menjadi
mahal dan cost of debt tinggi. Akibatnya perusahaan akan meninggalkan proyek dengan NPV
yang positif dan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh. Agar terhindar dari permasalahan
cost of debt ini, maka perusahaan dengan investment opportunity yang tinggi memilih
menggunakan hutang dalam jumlah yang kecil atau menggunakan dana internal perusahaan
sebagai alternatif pendanaan. Akhirnya hubungan antara leverage dan investment opportunity
bersifat negatif.
323Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
Kesimpulan di atas juga di dukung oleh penelitian Rajan dan Zingales (1995) Johnson
(2003) dan Billett et al. (2007) Fitriyanti dan Hartono (2002) Subekti dan Kusuma (2001) yang
menyatakan adanya hubungan negatif antara leverage dan growth opportunities. Berdasarkan
bukti-bukti empiris tersebut, maka hipotesis pertama yang akan diajukan dalam penelitian ini
adalah: growth opportunity berpengaruh negatif terhadap perubahan leverage.
Dalam kerangka mengurangi konflik keagenan, perusahaan dengan investment
opportunity tinggi cenderung menggunakan kebijakan hutang dalam jumlah kecil dan maturity
yang pendek sebagai salah satu cara mengurangi biaya investasi dan menaikkan nilai perusahaan.
Penelitian-penelitian empiris seperti Johnson (2003), Billett et al., (2007), Barclay dan Smith
(1995), mengemukakan adanya hubungan negatif antara growth opportunities dan kebijakan
leverage. Perusahaan dengan growth opportunities tinggi cenderung menggunakan kebijakan
leverage rendah dan maturity yang pendek untuk mengurangi konflik keagenan dan cost of
debt. Bertolak dari bukti-bukti empiris tersebut di atas, maka hipotesis berikutnya yang diajukan
adalah growth opportunity berpengaruh negatif terhadap debt maturity.
Hubungan negatif antara growth opportunities dan leverage dapat dikurangi dengan
disertakannya covenant dalam penerbitan hutang karena dapat mengurangi adanya konflik
antara stockholder dan bondholders. Covenant dapat dijadikan sebagai jaminan kepada
bondholders bahwa perusahaan akan menggunakan dana yang ada pada investasi yang
mendatangkan NPV positif dan jaminan bahwa perusahaan akan mendahulukan pembayaran
hutang kepada bondholders sebelum melakukan kebijakan keuangan lainnya sesuai dengan
perjanjian yang terdapat pada covenant. Penggunaan covenant dalam mengurangi konflik
keagenan antara perusahaan dan pemilik modal, terutama pada perusahan dengan growth
opportunities yang tinggi disampaikan oleh Smith dan Warner (1979). Sehingga hipotesis kedua
adalah tinggi rendahnya covenant berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara
growth opportunities dan perubahan leverage.
Pemilihan debt maturity yang berbeda pada tingkat growh opportunity yang berbeda
juga akan berdampak pada penggunaan covenant. Hutang yang tinggi dengan maturitas yang
panjang cenderung akan menggunakan covenant sebagai jaminan perusahaan terhadap
hutangnya. Sedangkan hutang yang rendah dengan maturitas yang pendek tidak perlu
mensyaratkan adanya covenant dalam perjanjian hutangnya. Maka hipotesis selanjutnya yang
diajukan dalam penelitian ini adalah tinggi rendahnya covenant berpengaruh dalam mengurangi
dampak negatif antara kebijakan growth opportunities dan debt maturity.
324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
III. METODOLOGI
III.1. Data dan Variabel
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa penerbitan
covenant. Data yang diperlukan adalah (1) data leverage perusahaan, (2) informasi covenant
(perjanjian perwaliamanatan) perusahaan, (3) struktur maturitas hutang, dan (4) growth
opportunities serta data karakteristik perusahaan lainnya seperti firm size, profitability, financially
constrained, dan fix asset.
Penelitian ini menggunakan data analisis perusahaan yang menerbitkan obligasi yang
disertai dengan penerbitan covenant (perjanjian perwaliamanatan) sejak tahun 2003 sampai
tahun 2008. Pemilihan sampel berdasarkan metode purposive sampling dengan tujuan
mendapatkan sampel yang representatif sesuai dengan kriteria: perusahaan non keuangan
yang menerbitkan obligasi pada saat mendaftar di Bursa Efek Indonesia.
1. Variabel pertama yakni leverage dihitung dengan rumus sebagai berikut.
total debt (long-term debt + debt in current liabilities)
Total assetLeverage =
2. Variabel kedua adalah debt maturity yang dproksi dengan maturitas obligasi yang diterbitkan
perusahaan yang dicantumkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan di publikasikan pada
situs www.idx.co.id
3. Variabel ketiga adalah indeks covenant yang mengukur covenant yang terdapat pada
perjanjian perjanjian perwaliamanatan. Penyusunan indeks covenant mengacu pada Billet,
et al. (2007). Namun dengan melihat sampel covenant yang ada di Indonesia beserta isi
perjanjiannya, penelitian ini menyesuaikan beberapa kelompok indeks covenant berdasarkan
perjanjian perwaliamanatan yang digunakan sehingga indeks covenant disusun menjadi
24 kelompok berdasarkan kategorinya. Pengelompokkan indikator penyusun covenant dapat
dilihat pada tabel berikut.
325Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
Tabel 1.Indikator Penyusun Indeks Covenant
No Tipe Covenant Keterangan
Divident paymentrestrictionShare repurchaseRestrictive
Funded Debt Restrictive
Subord Debt restrictiveSenior debt RestrictiveSecured Debt RestrictiveTotal Leverage Test
Sale and Lease Back
Stock Issue Restrictive
Asset Sale Clause
Invest Policy Restrictive
Merger Restrictive
Penjaminan
Perubahan bidangusahaPermodalan
Agunan
AfiliasiPinjaman
Pinjaman kepadaperusahaan asosiasiKegiatan usahatambahanKepailitanStruktur PemegangSahamPengendalian Usahaoleh Pihak LainPengambil AlihanSaham
Membatasi pembayaran pada equity holder dan yang lainnya
1
2
3
4567
8
9
10
11
12
13
14
15
16
1718
19
20
2122
23
24
Sebuah issue dikatakan sebagai divident restriction jika ada covenant yangmembatasi pembayaran divident issuer atau subsidiary issuerIssue dikatakan repurchase restriction, jika ada covenant yang membatasikebebasan untuk melakukan pembayaran terhadap shareholders dan lainnya.
Membatasi issuer untuk menerbitkan hutang yang baru dengan maturity 1 tahunatau lebihMembatasi issuer untuk menerbitkan subordinate, senior dan secured debt
Yang termasuk dalam kategori ini adalah batasan variasi dasar akuntansi darileverage, termasuk persyaratan minimum net worth sampai pada persyaratanminimum earning ratioCovenant ini membatasi issuer atau anak perusahaannya untuk menjual,menjaminkan dan melakukan leasing terhadap asset yang telah dijadikan sebagaijaminan pada debtholder tanpa persetujuan Wali AmanatMembatasi issuer untuk menerbitkan common stock atau preferred stock
Jika issue atau mengharuskan penggunaan net proceeds dari penjualan sebagianassetnya untuk mendapatkan kembali issue pada nilai pari atau pada nilai paripremiumMembatasi issuer atau anak perusahaan untuk melakukan beberapa investasiatau penyertaan saham kepada pihak lainMembatasi issuer ataupun anak perusahaan untuk melakukan merger,konsolidasi atau akuisisi dengan perusahaan lain
Melarang issuer atau anak perusahaannya untuk memberikan jaminankepada pihak lain atas kewajiban pihak lain tersebutMembatasi issuer atau anak perusahaan untuk melakukan perubahan yangpokok dari bidang usahanyaMembatasi perusahaan untuk mengurangi modal dasar dan modal disetorperusahaanMembatasi issuer atau anak perusahaannya untuk mengagunkan/menjaminkan pendapatan dan harta kekayaan emiten yang dijadikan jaminanMembatasi issuer atau anak perusahaannya untuk memberikan pinjamankepada pihak lain, kecuali yang telah diatur di dalam akta perjanjianperwaliamanatanMemberi pijaman atau kredit kepada perusahaan asosiasi
Melakukan kegiatan usaha selainyang disebutkan dalam AD
Mengajukan permohonan pailitMengubah struktur pemegang saham
Mengadakan perjanjian manajemen dengan pihak lain yang mengakibatkanusaha perseroan dikendalikan oleh pihak lainMelakukan pengambil alihan saham atau aktiva fihak lain
Pembatasan terhadap aktivitas Pembatasan terhadap aktivitas Pembatasan terhadap aktivitas Pembatasan terhadap aktivitas Pembatasan terhadap aktivitas financialfinancialfinancialfinancialfinancial
Kebijakan InvestasiKebijakan InvestasiKebijakan InvestasiKebijakan InvestasiKebijakan Investasi
Kebijakan UsahaKebijakan UsahaKebijakan UsahaKebijakan UsahaKebijakan Usaha
326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Selanjutnya 24 kategori covenants digunakan untuk membuat covenant index untuk setiap
perusahaan setiap tahunnya. Variabel ini diberi nilai=1 jika perjanjian perwaliamanatan
setidaknya memiliki satu debt instrument, dan berilai=0, jika tidak ada debt instrument.
Selanjutnya nilai tersebut dijumlahkan dan dibagi dengan 24 untuk membuat covenant
index yang berkisar dari 0 (sama sekali tidak ada covenant protection) sampai 1 (untuk
covenant yang lengkap). (Billet et al., 2007).
4. Untuk menghitung growth opportunities, digunakan investment based proxies dengan
proksi CAPXBVA, yaitu perbandingan antara capital ekspenditure dan total asset pada
awal tahun t.
Capital Expenditure
Total assetCAPXBVA =
Rasio CAPXBVA ini menunjukkan adanya kebebasan perusahaan untuk mengadakan
peluang investasi baru. Perusahaan akan memperoleh peluang investasi yang lebih besar jika
berinvestasi pada aktiva-aktiva mereka dibandingkan perusahaan yang hanya melakukan
investasi yang lebih sedikit (Adam dan Goyal, 2008).
Dalam penelitian ini, juga digunakan variabel kontrol yang dimaksudkan untuk melihat
apakah dengan dimasukkannya variabel ini dalam suatu model maka variabel independen
utama secara signifikan menjadi semakin tinggi sehingga dapat memperkecil error term.
Mengacu pada Billet et.al (2007), terdapat 3 variabel control yang dapat digunakan, yakni:
1. Fixed asset (Fix),Fixed asset (Fix),Fixed asset (Fix),Fixed asset (Fix),Fixed asset (Fix), merupakan rasio dari nilai fix asset yang tercantum pada laporan keuangan
perusahaan pada tahun terhadap book value of total asset,
2. ProfitabilityProfitabilityProfitabilityProfitabilityProfitability ( ( ( ( (profitprofitprofitprofitprofit))))) merupakan rasio EBITDA terhadap book value of total asset,
3. Firm Size (Size)Firm Size (Size)Firm Size (Size)Firm Size (Size)Firm Size (Size) merupakan logaritma natural (Ln) penjualan bersih dalam jutaan rupiah.
4. Financially ConstrainedFinancially ConstrainedFinancially ConstrainedFinancially ConstrainedFinancially Constrained
Untuk menentukan perusahaan dikategorikan sebagai financially constrained dan non
financially constrained digunakan metode yang dikembangkan Moyen (2004), Lang dan
Ofek (1996), Hovakimian dan Titman (2006) dan Hidayat (2010).
Total Fixed Asset
Book Value of Total AssetFixed Asset =
EBITDA
Book Value of Total AssetProfitability =
327Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
Klasifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan matrik (Tabel 2). Klasifikasi
pertama, perusahaan dikategorikan sebagai financially constrained dan non financially dengan
melihat tingkat leverage dan aliran kas dan. Perusahaan yang memiliki leverage lebih kecil dari
rata-rata rasio hutang seluruh sampel, dikategorikan sebagai perusahaan non financially
constrained, sedangkan perusahaan yang memiliki rasio hutang lebih tinggi dari rata-rata rasio
hutang seluruh sampel maka dikategorikan sebagai perusahaan financially constrained.
Perusahaan yang memiliki aliran kas lebih besar dari rata-rata aliran kas seluruh sampel
dikategorikan sebagai non financially constrained, sedangkan perusahaan yang memiliki aliran
kas lebih kecil dari rata-rata aliran kas seluruh sampel dikategorikan sebagai financially
constrained.
Selanjutnya perusahaan dengan cash flow tinggi dan leverage tinggi serta cash flow
rendah dan leverage rendah diklasifikasikan dengan melihat pembayaran dividen. Perusahaan
yang membayar dividen dikategorikan sebagai perusahaan non financially constrained sedangkan
perusahaan yang tidak membayar dividen dikategorikan sebagai perusahaan financially
constrained.
Tabel 2. Klasifikasi Perusahaan financially constraineddan non financially constrained
LeverageCF Tinggi Rendah
Tinggi FinancialConstrained
Rendah Non FinancialConstrained
Tabel 3.Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan
Variable Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance
Prbh_Leverage .462871 -.294715 .168156 .00678731 .099270977 .010Profitability .56779 -.27553 .29226 .0795834 .09116627 .008LN_size 7.84 10.11 17.95 14.2847 1.59090 2.531Debt_mat 7 3 10 5.30 1.854 3.439Fix_asset .980264 .019736 1.000000 .48414134 .265841728 .071CAPXBVA .824561 -.085593 .738967 .13599926 .196181581 .038Covenant_20 .40 .15 .55 .3920 .10220 .010interaksi_20cov .36 -.03 .33 .0488 .07004 .005Covenant_24 .38 .12 .50 .3442 .08698 .008interaksi_24cov .30 -.02 .28 .0437 .06161 .004
Keterangan:Jumlah sampel = 50 perusahaan. Data mentah dan pembentukan variabel tersedia pada penulis dan redaksi BEMP.
328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
III.2. Model Empiris
Metode pengolahan data yang diaplikasikan adalah regresi berganda atas tiga model
yang dikembangkan. Model pertamaModel pertamaModel pertamaModel pertamaModel pertama, menguji pengaruh growth opportunities terhadap
perubahan leverage dari tahun sebelumnya dan debt maturity.
Model 1a.Model 1a.Model 1a.Model 1a.Model 1a. 6Lev = 6Lev = 6Lev = 6Lev = 6Lev = ααααα1 1 1 1 1 + + + + + βββββ1 1 1 1 1 CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVAttttt + + + + + β β β β β2 2 2 2 2 fixfixfixfixfix
ttttt+ + + + + βββββ33333profit-profit-profit-profit-profit-ttttt + + + + + βββββ44444 Ln size Ln size Ln size Ln size Ln size
ttttt + + + + + βββββ55555 D+ D+ D+ D+ D+ errorerrorerrorerrorerror
Model 1b. Mat = Model 1b. Mat = Model 1b. Mat = Model 1b. Mat = Model 1b. Mat = ααααα2 2 2 2 2 + + + + + βββββ66666CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVAttttt + + + + + βββββ77777fix fix fix fix fix
ttttt + + + + + βββββ88888profit-profit-profit-profit-profit-ttttt + + + + + βββββ9 9 9 9 9 Ln sizeLn sizeLn sizeLn sizeLn size
ttttt + + + + + βββββ1010101010D+D+D+D+D+errorerrorerrorerrorerror
Model keduaModel keduaModel keduaModel keduaModel kedua, menguji pengaruh covenant sebagai variabel moderasi hubungan antara
growth opportunities dan perubahan leverage serta pengaruh covenant sebagai variabel
moderasi hubungan antara growth opportunities dan debt maturity.
Model 2a.Model 2a.Model 2a.Model 2a.Model 2a. 6Lev = 6Lev = 6Lev = 6Lev = 6Lev = ααααα3 3 3 3 3 + + + + + βββββ11 11 11 11 11 CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVAttttt + + + + + β β β β β1212121212 ( ( ( ( (CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVA
ttttt x indeks x indeks x indeks x indeks x indeks covenant)covenant)covenant)covenant)covenant)+ + + + + βββββ1313131313 indeks indeks indeks indeks indeks
covenant covenant covenant covenant covenant + + + + + βββββ1414141414profit-profit-profit-profit-profit-t t t t t + + + + + βββββ1515151515Ln sizeLn sizeLn sizeLn sizeLn size
ttttt +++++ βββββ1616161616D +D +D +D +D +error.error.error.error.error.
Model 2b. Mat = Model 2b. Mat = Model 2b. Mat = Model 2b. Mat = Model 2b. Mat = ααααα44444+ + + + + βββββ1717171717CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVAttttt + + + + + β β β β β1818181818 ( ( ( ( (CAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVACAPXBVA
ttttt x indeks covenant)+ x indeks covenant)+ x indeks covenant)+ x indeks covenant)+ x indeks covenant)+ βββββ1919191919fix fix fix fix fix ttttt
+ + + + + β β β β β2020202020indeks indeks indeks indeks indeks covenant covenant covenant covenant covenant + + + + + βββββ2121212121profit-profit-profit-profit-profit-ttttt + + + + + βββββ22 22 22 22 22 Ln SizeLn SizeLn SizeLn SizeLn Size
ttttt +++++ βββββ2323232323D D D D D +error.+error.+error.+error.+error.
IV. HASIL DAN ANALISIS
Salah satu variabel kontrol pada penelitian ini adalah Financially Constrained, yang
diterjemahkan kedalam model dalam bentuk variabel dummy (1 untuk perusahaan berstatus
financially constrained dan 0 untuk perusahaan non financially constrained). Perusahaan
dikategorikan sebagai financially constrained dan non financially constrained dilihat dari leverage,
cash flow dan dividen. Hasil pengklasifikasian perusahaan yang dikategorikan sebagai financially
constrained dan non financially constraiend dapat dilihat pada Tabel 4, yang mana total
Tabel 4. Klasifikasi Perusahaan Financially Constraineddan Non Financially Constrained
LeverageCF Tinggi Rendah
Tinggi 10 22 (FC)Rendah 7 (NFC) 11
Kategori Bayar Dividen Tidak Bayar Dividen( NFC ) ( ( ( ( (FC FC FC FC FC )))))
L (T) CF (T) 6 4L (R) CF (R) 9 2
Jumlah 22 28
329Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
keseluruhan perusahaan non financially constrained berjumlah 22 dan financially constrained
berjumlah 28.
Pada penjelasan hipotesis 1a dinyatakan bahwa perusahaan dengan growth opportunity
tinggi memiliki perubahan leverage yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan dengan
growth opportunity rendah. Artinya, leverage perusahaan dengan growth opportunity tinggi
akan lebih rendah pada t0 dibandingkan dengan t-1. Sebaliknya perusahaan dengan growth
opportunity rendah memiliki perubahan leverage yang lebih besar, yang berarti leverage pada
t0 lebih tinggi dibandingkan dengan leverage pada t-1. Hasil pengujian statistik hipotesis 1a
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Hasil Pengujian Hipotesis 1a
Variabel Independen Koefisien Nilai t
(Constant) -0,328 -2,852**CAPXBVA -0,152 2,006*Fix Asset 0,023 0,412Profitability 0,196 1,404Ln Size 0,023 2,943**Constraint -0,005 -0,183
** Signifikan pada level 5%* Signifikan pada level 10%
Tabel 5.Hasil Pengujian Hipotesis 1b
Variabel Independen Koefisien Nilai t
(Constant) -1,759 -0,786CAPXBVA -3,355 2,272**Fix Asset 1,886 1,773*Profitability -3,404 -1,253Ln Size 0,472 3,078**Constraint 0,226 0,444
Hasil pengujian menunjukkan β1 koefisien kesempatan investasi yang diproksi dengan
CAPXVBA bernilai negatif dan signifikan pada ± 10%. Sehingga hipotesis 1a terdukung, dimana
growth opportunity berpengaruh negatif terhadap perubahan leverage. Hal ini berimplikasi
growth opportunity yang tinggi akan menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah leverage-
nya dan lebih banyak menggunakan sumber pendanaan internal sebagai alternatif pendanaan.
Sumber pendanaan tersebut akan diguankan untuk mengeksekusi kesempatan-kesempatan
investasi yang ada. Sedangkan pada perusahaan dengan growth opportunity rendah, kebijakan
330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
leverage akan terjadi sebaliknya. Dimana penggunaan dana eksternal lebih besar. Kebijakan ini
diambil untuk mengontrol terjadinya konflik keagenan antara shareholders dan bondholders.
Selanjutnya pengujian hipotesis 1b bahwa growth opportunity berpengaruh negatif
terhadap debt maturity, dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa growth opportunity berpengaruh negatif terhadap
debt maturity yang dilihat pada koefisien CAPXVBA (yang merupakan proksi growth opportunity)
bernilai negatif dan signifikan pada level 10%. Hal ini menujukkan bahwa untuk mengurangi
terjadinya konflik antara shareholders dengan bondholders perusahaan yang mempunyai growth
opportunity tinggi menggunakan kebijakan debt maturity yang pendek. Sedangkan perusahaan
dengan growth opportunity yang rendah cenderung melakukan kebijakan penggunaan laverage
dengan debt maturity yang lebih panjang.
Hipotesa ketiga yang diuji (Hipotesis 2a) menyatakan bahwa tinggi rendahnya covenant
berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara growth opportunity dan perubahan
leverage. Artinya, interaksi antara indeks covenant dengan CAPXBVA merupakan variabel yang
dapat memoderasi pengaruh negatif antara growth opportunity dan perubahan leverage. Hasil
pengujian hipotesis 2a dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6.Hasil Pengujian Hipotesis 2a
Variabel 20 indikator covenant 24 indikator covenant
(Constant) -0,037 2,369** -0,037 2,369**CAPXBVA -0,221 3,370** -0,221 3,370**(Constant) 0,391 3,461** -0,384 3,130**Covindeks*CAPXBVA 0,306 1,694* 0,321 1,490Covenant indeks 0,111 0,950 0,025 0,180Profitability 0,181 1,366 0,202 1,498Ln Size 0,023 2,934** 0,024 3,113**Constraint -0,006 -0,241 -0,005 -0,186
Independen Koefisien Nilai t Koefisien Nilai t
Dari Tabel 6 terlihat bahwa pada 20 indikator covenant koefisien β15 CAPXBVA bernilai
positif dan signifikan pada level α10%. Sedangkan pada 24 indikator covenant koefisien
β15CAPXBVA bernilai negatif dan tidak signifikan. Berdasarkan uji statistik di atas hipotesis
terdukung pada 20 indikator covenant. Terbukti bahwa ada 20 indikator penyusun indeks
covenant yang terdapat pada Perjanjian Perwaliamanatan yang sekaligus berfungsi sebagai
variabel moderasi dalam mengurangi dampak negatif antara growth opportunities dan
perubahan leverage.
331Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
Selanjutnya hipotesis 2b menguji pengaruh covenants dalam mengurangi dampak negatif
antara growth opportunities dengan debt maturity. Pengujian statistik melihat apakah covenant
merupakan variabel moderasi. Hasil pengujian statistik untuk membuktikan hipotesis 2b dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.Hasil Pengujian Hipotesis 2b
Variabel 20 indikator covenant 24 indikator covenant
(Constant) 5,662 18,241** 5,662 18,241**CAPXBVA -2,661 -2,033* -2,661 -2,033*(Constant) -7,167 3,090** -6,641 -2,700**Covindeks*CAPXBVA 1,753 0,473 1,752 0,405Covenant indeks -1,117 -0,463 -2,563 0,936Profitability -2,242 -0,822 -2,136 -0,789Ln Size 0,519 3,299** 0,513 3,273**Constraint 0,496 0,991 0,505 1,009
Independen Koefisien Nilai t Koefisien Nilai t
Hasil uji seperti apa yang tergambar pada Tabel 7 menunjukkan β21CAPXBVA bernilai
negatif dan tidak signifikan, baik pada pengujian 20 indikator covenant maupun 24 indikator
covenant. Artinya, hipotesis tidak terdukung, covenant bukan merupakan variabel moderasi
antara growth opportunities dengan debt maturity. Tinggi rendahnya covenant tidak
berpengaruh dalam mengurangi dampak negatif antara kebijakan growth opportunities dengan
debt maturity.
Hasil penelitian yang menguji covenant sebagai variabel moderasi antara growth
opportunity dengan debt maturity tidak terbukti secara statistik. Pengujian ini menunjukkan
bahwa adanya covenant tidak memberikan keleluasaan pada perusahaan-perusahaan dengan
growth tinggi untuk melakukan pinjaman dalam jangka waktu yang lebih panjang. Implikasi
lain dari pengujian tersebut juga menunjukkan bahwa panjang-pendeknya debt maturity atau
maturitas obligasi yang diterbitkan tidak berkaitan dengan secara langsung dengan butir-butir
perjanjian yang terdapat pada perjanjian perwaliamanatan. Pengamatan terhadap debt maturity
menunjukkan bahwa di Indonesia pola kebijakan maturitas obligasi tidak terlalu beragam,
berkisar antara 3 sampai 10 tahun. Sebagian besar diantaranya (54%) jatuh tempo dalam
jangka waktu 5 tahun.
Covenant yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Perjanjian Perwaliamanatan yang
dibuat antara issuer dengan Wali Amanat. Item-item dalam Perjanjian Perwaliamanatan dianalisis
untuk melihat indikator yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan indeks covenant. Analisis
332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
awal menghasilkan 24 item perjanjian yang dijadikan sebagai indikator penyusunan indeks
covenant. Tapi tidak semua indeks covenant yang telah disusun berfungsi sebagai variabel
moderasi mengurangi hubungan negatif antara growth opportunity dengan leverage dan antara
growth opportunity dengan debt maturity. Indeks covenant yang telah ada selanjutnya dianalisis
untuk mendapatkan indikator yang paling tepat. Pada analisis akhir diperoleh 20 indikator
dalam perjanjian perwaliamanatan untuk menghitung indeks covenant yang secara signifikan
berfungsi variabel moderasi. Indikator tersebut adalah sebagai berikut.
a. Covenant yang membatasi pembayaran pada equity holder dan yang lainnya, terdiri dari:
Divident payment restriction, Share repurchase restrictive
b. Covenant yang memberikan pembatasan terhadap aktivitas financial, yang terdiri dari: Funded
debt restrictive, Senior debt restrictive, Total leverage test, Sale and lease back
c. Covenant yang berhubungan dengan kebijakan investasi, terdiri dari: Invest policy restrictive,
Merger restrictive,
d. Covenant yang berhubungan dengan kebijakan usaha, terdiri dari Penjaminan, Perubahan
bidang usaha, Permodalan, Agunan, Afiliasi, Pinjaman, Pembatasan memberi pijaman atau
kredit kepada perusahaan asosiasi, Pembatasan melakukan kegiatan usaha selainyang
disebutkan dalam AD, Pembatasan untuk mengajukan permohonan pailit, Pembatasan untuk
mengubah struktur pemegang saham, Pembatasan mengadakan perjanjian manajemen
dengan pihak lain yang mengakibatkan usaha perseroan dikendalikan oleh pihak lain,
Pembatasan untuk melakukan pengambil alihan saham atau aktiva fihak lain.
Konflik keagenan merupakan salah satu fenomena yang muncul ketika perusahaan
menerapkan kebijakan pendanan terutama berkaitan dengan kebijakan leverage. Konflik disini
disebabkan terjadinya benturan kepentingan antara shareholder dengan debtholders. Banyak
penelitian menjelaskan upaya yang ditempuh perusahaan untuk mengontrol konflik keagenan
ini, salah satunya adalah kebijakan leverage yang rendah dan debt maturity yang pendek pada
perusahaan dengan growth opportunity yang tinggi. Sebaliknya perusahaan dengan growth
opportunity yang rendah menerapkan kebijakan leverage yang tinggi dengan debt maturity
yang pendek. Sejalan dengan penelitian di atas, penelitian ini juga menunjukkan suatu hal
yang sama. Tetapi dalam dari sisi operasionalnya penelitian ini menekankan pada perubahan
leverage. Sedangkan dari sisi konseptual sama-sama membahas tentang leverage.
Dari banyak penelitian serupa yang dilakukan perusahaan dengan growth opportunity
tinggi memiliki size kecil, free cash flow yang rendah dan asset in place yang kecil. Perusahaan
ini berhadapan dengan kesempatan investasi yang besar namun terkendala dengan keterbatasan
pendanaan. Ketika kebijakan hutang diambil oleh perusahaan untuk mengatasi keterbatasan
pendanaan tersebut, maka akan rentan munculnya konflik keagenan antara shareholders dengan
333Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
debtholder. Akhirnya, untuk mengontrol konflik keagenan ini, perusahaan dengan growth
opportunity tinggi mengambil kebijakan leverage yang rendah dan debt maturity yang singkat.
Bahkan cenderung menggunakan sumber dana internal untuk mengeksekusi kesempatan
investasi yang ada. Kebijakan ini tentu saja akan berakibat pada keterbatasan pendanaan ketika
kesempatan investasi yang akan dieksekusi membutuhkan dana yang besar. Hal ini akan
menyebabkan perusahaan dengan growth opportunity tinggi kehilangan kesempatan investasi
dan pada akhirnya akan kehilangan kesempatan untuk bertumbuh. Sebaliknya perusahaan
dengan growth opportunity rendah merupakan perusahaan yang sudah berskala besar dengan
free cash flow yang tinggi. Tingginya free cash flow menyebabkan terjadinya konflik antara
shareholders dan manejer, karena shareholders beranggapan free cash flow harus dibagikan
sebagai dividen sedangkan manejer beranggapan bahwa ia memiliki kepentingan untuk
menggunakannya dalam investasi yang berkaitan dengan kesempatan untuk tumbuh. Untuk
mengatasi konflik tersebut maka perusahaan dengan growth opportunity rendah cenderung
menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan investasi pada proyek-proyek yang baru.
Dengan kata lain kebijakan leverage pada perusahaan dengan growth opportunity rendah
merupakan salah satu cara untuk mengontrol konflik keagenan yang terjadi di dalam perusahaan
Agar perusahaan dengan growth opportunity yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan
pendanaan secara maksimal dan dalam jangka panjang tidak kehilangan kesempatan untuk
bertumbuh, maka kebijakan lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengontrol konflik
keagenan adalah dengan menyertakan covenant dalam penerbitan hutang. Hasil penelitian
menunjukkan Perjanjian Perwaliamanatan berpengaruh secara signifikan sebagai variabel yang
dapat mengontrol konflik keagenan.Terdapat 20 item dalam Perjanjian Perwaliamanatan yang
secara signifikan berfungsi sebagai variabel yang dapat mengurangi terjadinya konflik keagenan.
Sehingga pada saat penyusunan Perjanjian Perwaliamanatan ke-20 item ini dapat dicantumkan.
V. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Adanya pengaruh negatif antara growth opportunity dengan perubahan leverage.
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung mengunakan leverage
yang lebih rendah dan lebih banyak menggunakan dana intern untuk membiayai
pertumbuhannya. Kebijakan ini diambil sebagai salah satu cara untuk mengontrol konflik
keagenan antara shareholders dengan debtholer dan mengurangi biaya hutang yang
akhirnya akan beresiko terhadap struktur modalnya.
334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2. Pengujian berikutnya menunjukkan pengaruh negatif antara growth opportunity dengan
debt maturity. Artinya perusahaan dengan growth opportunity tinggi memiliki debt maturity
yang lebih pendek dibandingkan dengan perusahaan dengan growth opportunity yang
rendah. Kebijakan debt maturity yang pendek juga merupakan salah satu alternatif yang
pemecahan konflik keagenan antara shareholders dengan bondholders.
3. Covenant terbukti secara signifikan sebagai variabel moderasi yang dapat mengurangi efek
negatif antara growth opportunity dengan leverage. Hal ini berarti covenant yang dibuat
antara issuer dengan Wali Amanat menjadikan perusahaan dengan growth opportunity
tinggi dapat melakukan kebijakan leverage yang tinggi agar dapat mengeksekusi peluang
pertumbuhan.
Perjanjian Perwaliamanatan yang dibuat pada waktu perusahaan menerbitkan obligasi secara
signifikan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menerbitkan obligasi dengan nominal
yang besar.
4. Covenant yang diprediksi dapat mengurangi efek negatif pengaruh growth opportunity
terhadap debt maturity tidak terbukti secara signifikan. Perjanjian Perwaliamanatan yang
disusun tidak menyebabkan perusahaan dengan growth opportunity tinggi dapat mengambil
kebijakan debt maturity yang lebih panjang. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Billet et al.(2007) yang menyatakan adanya peningkatan covenants protection pada
peningkatan debt maturity.
5. Indeks covenant yang secara signifikan berfungsi sebagai variabel moderasi berjumlah 20
indikator. Indikator tersebut tidak bersifat mutlak, jumlahnya bisa terus bertambah tergantung
pada aspek yang dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan. Pada penelitian ini, dari 24
indikator yang disusun pada awal penelitian, ternyata hanya signifikan di 20 indikator.
Indikator yang secara siknifikan mengurangi pengaruh negatif antara growth opportunity
dengan leverage pada Perjanjian Perwaliamanatan.
Perlu digarisbawahi bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan dan dapat
menjadi ruang pengembangan penelitian lebih lanjut. Keterbasatan yang pertama adalah bahwa
penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menentukan jumlah sampel. Keterbatasan ini
disebabkan sulitnya mengakses data Perjanjian Perwaliamanatan, karena belum lengkapnya
data tersebut di pusat data dan jumlah perusahaan non keuangan yang menerbitkan obligasi
yang disertai dengan perjanjian perwaliamanatan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
perusahaan keuangan. Kedua, jumlah sampel penelitian ini hanya 35 perusahaan non keuangan
dengan periode tahun 2003 √ 2008. Penelitian selanjutnya disarankan menambah sampel
perusahaan keuangan dengan pendekatan proksi yang lebih bervariasi agar jumlah data lebih
besar. Ketiga, proksi yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan data laporan
335Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
keuangan tanpa memasukkan harga pasar. Hal ini disebabkan beberapa sampel hanya
menerbitkan obligasi tanpa penerbitan saham, sehingga tidak dapat diperoleh nilai pasarnya.
Keempat, penelitian ini mengabaikan aspek fungsi dan peran dari Lembaga Wali Amanat dan
aspek yuridis formal. Penelitian selanjutnya dapat memasukan kedua aspek tersebut dalam
variabel yang dapat mengurangi terjadinya konflik keagenan di Indonesia.
336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Adam, Tim and Goyal, K Vidhan (2008), ≈The Investment Opportunity Set and Its Proxy Variable≈,
The Journal of Financial Research. Vol. XXXI, (1), pp 41-63
Arifin, Zaenal, (2005), ≈Teori Keuangan dan Pasar Modal≈, Yogyakarta: Ekonosia. Barclay,
Michael J., and Clifford W. Smith Jr. (1995), ≈The Maturity Structure of Corporate Debt∆,
Journal of Finance 50, 609√631.
Billett, et al (2007) ≈Growth Opportunities and The Choice Of Leverage, Debt Maturity, and
Covenants≈ The Journal Of Finance Vol. Lxii, No. 2 April 2007
Fitrijanti, Tettet dan Hartono, Jogiyanto (2002), ≈ Set Kesempatan Investasi: Konstruksi Proxy
dan Analisis Hubungannya dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia Vol. 5, Januari 2002.
Hanafi, Mamduh (2005), Manajemen Keuangan, Jogjakarta: BPFE UGM.
Hidayat, Riskin (2010), Keputusan Investasi dan Financial Constrains: Studi Empiris pada Bursa
Efek Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 12 No. 4, April 2010,
hal. 445-468.
Hovakimian, Gayané and Titman, Sheridan (2006) ≈Corporate Investment with Financial
Constraints: Sensitivity of Investment to Funds from Voluntary Asset Sales≈, Journal of Money,
Credit & Banking, Mar 2006, Vol. 38 Issue 2, p357-374.
Jensen, Michael C., and William H. Meckling (1976), ≈Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs, and Capital Structure≈, Journal of Financial Economics 3, 305√360.
Johnson, Shane A., (2003) ≈Debt Maturity and The Effects of Growth Opportunities and Liquidity
Risk on Leverage≈, Review of Financial Studies 16, 209√236.
Lang, Larry and Ofek, Eli (1996) ≈Leverage, Investment, and Firm Growth≈, Journal of Financial
Economics, Jan1996, Vol. 40 Issue 1, p3-29, 27.
Moyen, Nathalie (2004) ≈Investment√Cash Flow Sensitivities: Constrained Versus Unconstrained
Firms≈, Journal Of Finance, Oct 2004, Vol. 59 Issue 5, P2061-2092.
Nurdin (2001) Pengaruh Risiko Bisnis , Profitabilitas, Tingkat Pertumbuhan dan Securable Asset
Terhadap tingkat Leverage Perusahaan, Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Rajan, Raghuram G., and Luigi Zingales (1995), ≈What Do We Really Know about Capital
Structure? Some Evidence from International Data∆, Journal of Finance 50, 1421√1460.
Smith Jr. Clifford W.,dan Ross L.Watss (1992), ∆The Investment Opportunity Set and Corporate
Financing, Dividend,and Compensation Policies,∆Journal of Fianancial Economics, 2:263-
292
DAFTAR PUSTAKA
337Hubungan antara Growth Opportunity dengan Debt Maturity dan Kebijakan Leverage sertaFungsi Covenant dalam Mengontrol Konflik Keagenan antara Shareholders dengan Debtholders
Subekti, Iman dan Kusuma, Wijaya (2001), ≈ Asosiasi antara Kebijakan Pendanaan dan Dividen
Perusahaan, serta Implikasinya peda Perubahan Harga Saham≈ Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia Vol. 4, Januari 2001.
Widiyastuti, Listiani (2007) ≈Free Cash Flow Agency Cost, Earning Management dan Mekanisme
Kontrol Konflik Keagenan≈ Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Tim Studi Perwaliamanatan di Pasar Modal Indonesia (2005), ≈Studi tentang Perwaliamanatan
di Pasar Modal Indonesia≈, Departemen Keuangan RI BAPEPAM: Proyek Peningkatan Efisiensi
Pasar Modal.
338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
339Analisis Perilaku Indikator Debt Market
ANALISIS PERILAKU INDIKATORDEBT MARKET
PPPPPeter Jacobs, Arlyana Abubakar, Tora Erita Siallagan 1
This paper analyze the debt market, focusing on the behavior of soverign yield and Credit Default
Swap (CDS). We build several empirical models to test the factors determine these two indicators and
apply them using the Indonesian and peers data. The result confirm the significance impact of foreign
reserves and VIX index on the bond yield in Indonesia and its peers country. On the composite sovereign
bond, the result shows that the real effective exchange rate (REER) and the debt service ratio (DSR)
significantly affect the yield, while on the corporate bond yield, the significant explanatory variables are
return on equity (ROE), inflation, the current ratio (CR) and net profit margin (NPM). However, there is an
anomaly where the impact of the last two variables (CR and NPM) are contrary to the theory.
Keyword: Sovereign, bond, yield, debt market, risk, corporate fundamentals.
JEL Classification: H63, G31
1 Peter Jacobs adalah kepala bagian Analisis Pinjaman Luar Negeri dan Hubungan Investor √ Direktorat Internasional Bank Indonesia([email protected]), Arlyana Abubakar adalah Analis Ekonomi Madya ([email protected]) dan Tora Erita Siallagan adalah Analis EkonomiMuda Senior ([email protected]), pada bagian yang sama.
Abstract
340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. PENDAHULUAN
Perkembangan pasar keuangan global yang sangat cepat dan semakin terintegrasi tidak
mungkin dapat dibendung. Perubahan yang terjadipun direspon cepat oleh indikator pasar
keuangan. Perkembangan pasar keuangan yang semakin pesat dan semakin terintegrasi
memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pasar keuangan dalam negeri.
Mudahnya efek penularan krisis merupakan salah satu dampak negatifnya. Berbagai isu
dibelahan dunia, bahkan yang tidak terkait langsung dengan kondisi suatu negara atau korporasi,
direspon secara cepat oleh pergerakan indikator pasar keuangan, khususnya debt market. Lalu
bagi Bank Indonesia, seberapa penting untuk selalu mencermati perkembangan indikator pasar
keuangan, khususnya debt market?
Indikator debt market merefleksikan apresiasi pasar terhadap risiko memberikan pinjaman
luar negeri, khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di primary maupun secondary
market. Hal ini secara langsung mempengaruhi bagaimana pergerakan supply demand valas
yang berasal dari pinjaman luar negeri dan portfolio investment.
Dengan menganut rejim nilai tukar bebas mengambang (dan inflasi sebagai sasaran akhir)
dapat dicapai independensi kebijakan moneter dan integrasi pasar keuangan, maka Bank
Indonesia diyakini tidak dapat secara simultan mencapai sasaran stabilitas nilai tukar (exchange
Bagan 1. Struktur Supply-Demand Valas
Kurs
Supply
Demand
Import
Pinjaman Luar Negeri
Portfolio Outflow
FDI Outflow
Export
Pinjaman Luar Negeri
Portfolio Inflow
FDI Inflow
341Analisis Perilaku Indikator Debt Market
rate stability) yang dikenal dengan Impossible Trinity Theory. Nilai tukar akan berfluktuasi
ditentukan oleh kekuatan supply demand valas dipasar. Namun demikian, supply demand devisa
tetap perlu dikelola agar nilai tukar rupiah bergerak sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi
dan tidak berfluktuasi berlebihan. Fluktuasi nilai tukar yang berlebihan menggangu kestabilan
makro dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sementara itu,
struktur supply demand valas sendiri pada dasarnya terdiri dari 4 aliran, yaitu: (1) Export-
Import; (2) Pinjaman Luar Negeri; (3) Portfolio Investment; dan (4) Foreign Direct Investment
(FDI). Oleh karena itu, sangatlah penting bagi Bank Indonesia untuk mencermati dan meneliti
pergerakan (behaviour) dari berbagai indikator debt market, khususnya faktor-faktor yang secara
fundamental mempengaruhi pergerakan indikator debt market.
Indikator debt market yang banyak dipakai adalah yield global bond dan belakangan
yang banyak digunakan adalah CDS. Sebagai contoh, pada 26 Februari 2009, pemerintah
Indonesia melakukan penawaran Global Medium Term Notes (GMTN) senilai total USD 3 miliar
dengan rating Ba3 (Moody»s)/BB- (S&P) dan BB (Fitch) yang terdiri dari 2 bagian (tranches).
Tranche 1 sebesar USD 1 miliar, bertenor 5 tahun, diterbitkan dengan kupon 10.375%, yield
10.5% (8,474% diatas UST dengan tenor sama) dan pada posisi harga diskon 99.455%;
sedangkan Tranche 2 sebesar USD 2 miliar, tenor 10 tahun, kupon 11.625%, yield 11.75%
(8,759% diatas UST dengan tenor sama) dan price 99.276%. Notes tersebut merupakan surat
utang terbesar di Asia dan surat utang terbesar yang pernah ditawarkan oleh pemerintah
Indonesia.
Jika dibandingkan dengan penerbitan surat utang negara peers (memiliki rating hampir
sama dengan Indonesia), yaitu pemerintah Philipine pada Januari 2009, Turkey pada September
Grafik 1. Obligasi Pemerintah 10 tahun dan CDS Indonesia dan Peers
Sumber : Bloomberg 2009
50
70
90
110
130
150
170
190
210
230
250
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
1800
1900
4thweek
5thweek
1stweek
2ndweek
3rdweek
24 25 26 27 28
Juli Aug last week
Credit Default Swap Indonesia dan Peers
CDS Argentina (lhs)
CDS Venezuela (lhs)
CDS Philippines (rhs) CDS Turkey (rhs)CDS Peru (rhs) CDS Indonesia (rhs)
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
%
Indo '14 Indo '16Indo '15 Indo '17Indo '19 Indo '18 Indo'14 (5 tahun)
4th 5th 1stweek
2ndweek
3rdweek
24 25 26 27 28
Juli Aug last week
Yield Global Bond Indonesia 10 & 5 Tahun
342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2008 dan Brazil pada awal 2009, kupon dan yield penerbitan GMTN pemerintah Indonesia
tersebut termasuk mahal. Namun harga yang mahal ini tidak dapat dihindari karena pada saat
penerbitan GMTN, yield global bond Indo»18 (10 tahun) berada pada kisaran 10% sd 11% dan
CDS Indonesia berada pada kisaran 640 sd. 661 bps. Peningkatan yield global bond Indo»18
(10 tahun) dan CDS terjadi secara signifikan pada awal bulan menjelang penerbitan GMTN dan
mencapai puncaknya pada saat pricing dilakukan. Peningkatan indikator yield global bond dan
CDS dari waktu ke waktu, secara sigifikan mempengaruhi cost of fund penerbitan global
Indonesia, diharapkan demikian pula sebaliknya.
Tabel 1.Yield Global Bond Pemerintah Indonesia
2003 2004 2005 2006 2007 2008
INDO»17 (coupon = 7.5%) 3-Feb-06 7.00% - - - 6.78 6.22 7.92INDO»14 (coupon = 6.75%) MarchΩ3, 2004 6.85% - 7.50 6.85 6.62 6.08 7.46INDO»15 (coupon = 7.25%) AprilΩ13, 2005 7.38% - - 7.27 6.69 6.15 7.70INDO»16 (coupon = 7.5%) OctoberΩ5, 2005 7.63% - - 7.33 6.76 6.21 7.80INDO»35 (coupon = 8.5%) OctoberΩ5, 2005 8.63% - - 8.23 7.36 6.89 8.58INDO»37 (coupon = 6.75%) 7-Feb-07 6.75% - - - - 6.89 8.44INDO»38 (coupon = 6.75%) JanuaryΩ17, 2008 7.75% - - - - - 8.63INDO»18 (coupon = 6.875%) JanuaryΩ17, 2008 6.95% - - - - - 7.96INDO»140504 (coupon = 10.3750%) 4-Mar-09 10.50% - - - - - -INDO»190304 (coupon=11.625%) 4-Mar-09 11.75% - - - - - -
Sumber: Bloomberg 2009
Tahun Issuance date Yieldat Issuance
Lebih lanjut, pada 16 April 2009, pemerintah Indonesia telah menetapkan harga
penawaran SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau Sukuk Negara sebesar USD 650 juta.
Sukuk tersebut dijual dengan harga nominal 100% dengan tingkat imbalan tetap sebesar 8,8%
per tahun, tenor 5 tahun dengan tanggal penerbitan 23 April 2009. Penerbitan Sukuk Negara
valas tersebut merupakan penerbitan perdana bagi Pemerintah di pasar internasional sekaligus
penerbitan straight sukuk terbesar dalam denominasi USD di luar negara-negara GCC dan
merupakan benchmark pertama sukuk dalam denominasi USD di Asia sejak tahun 2007. Harga
Sukuk Negara yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan penerbitan sebelumnya,
selain disinyalir karena struktur transaksi yang lebih secure, tidak terlepas dari kondisi reference
yield global bond dan CDS Indonesia yang cenderung menurun.
Beberapa penelitian indikator debt market telah dilakukan, diantaranya meneliti hubungan
antara CDS korporasi dan yield obligasi (Houweling et al 2001)2 dan Hull et al (2003), perbedaan
CDS korporasi dan yield spread hanya timbul pada jangka pendek namun akan mencapai harga
2 Howeling, P. and T. Vorst (2001) «»An Empirical Comparison of Default Swap Pricing Models»», mimeo, Rabobank, December 2001
343Analisis Perilaku Indikator Debt Market
ekuilibrium dalam jangka panjang (Zhu 2006). Penelitian lain dengan menerapkan Vector Error
Correction Model (VECM) ditemukan bahwa sovereign CDS dan sovereign bond market
mempunyai perbedaan harga yang signifikan. Namun sangat jarang kajian yang meneliti CDS
sebagai indikator sovereign risk (Cossin and Jung 2005).
Disamping individual yield spread, terdapat juga yield composite yang merupakan indikator
yang dibaca pasar sebagai indikasi performa debt market negara atau kawasan tertentu. Yield
spread composite seperti EMBI, EMBI Global, EMBI+ dan CEMBIC menggambarkan yield
beberapa negara emerging market (sovereign bond untuk tiga pertama dan corporate bond
untuk yang terakhir). Spread composite yang diterbitkan oleh J.P Morgan tersebut
menggambarkan perbedaan antara yield obligasi sovereign bonds emerging market dengan
yield obligasi yang dianggap «risk free» (T-bill atau T-bond yang diterbitkan oleh pemerintah AS
atau negara maju lainnya).
Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini secara
khusus meneliti behaviour dari beberapa indikator debt market yang umum dijadikan acuan
oleh pelaku dan analis debt market internasional pada pasar obligasi pemerintah dan swasta
Indonesia. Namun untuk indikator tertentu, dalam rangka mempertajam analisis, juga
dibandingkan dengan negara-negara peers antara lain dikawasan Asia (Philippine dan Turkey),
Latam (Brazil) dan Afrika Selatan. Oleh karena itu, memperhitungkan kemungkinan keunikan
kondisi negara maka setidaknya hasil penelitian ini dapat menggambarkan kondisi Indonesia
walaupun tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan untuk negara lainnya, terutama untuk
negara dengan karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia.
Secara umum, penelitian difokuskan pada indikator debt market yang sering digunakan
sebagai cerminan apresiasi pasar dalam memberikan pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta,
khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di primary maupun secondary market,
yaitu: yield sovereign global bond, yield corporate global bond, composite yields dan CDS.
Secara khusus, paper ini bertujuan untuk menganalisis dan memformulasikan langkah-
langkah strategis untuk menjaga agar pergerakan indikator debt market Indonesia tidak terlalu
berfluktuasi dan tetap mencerminkan faktor-faktor fundamentalnya. Dasar penentuan langkah-
langkah ini mengacu antara lain pada hasil identifikasi dan pengukuran faktor-faktor dominan
yang mempengaruhi pergerakan indikator debt market. Menjaga agar indikator debt market
tidak terlalu fluktuatif dan mencerminkan faktor-faktor fundamentalnya sangatlah penting agar
dapat diperoleh cost of fund pinjaman luar negeri yang wajar dan berada dalam kapasitas
risiko yang terukur. Peningkatan risiko yang tidak dalam kapasitas yang terukur akan mendorong
short capital flow secara cepat yang dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan Indonesia.
344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Bagian kedua dari paper ini menguraikan teori dan studi literatur. Bagian ketiga mengulas
metodologi sementara hasil dan analisis diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan dan
rekomendasi menjadi bagian penutup.
II. TEORI
Terdapat berbagai indikator debt market yang sering digunakan dari sudut pandang
analis debt market atau investor dalam menilai risiko pinjaman luar negeri suatu negara dan
perusahaan, khususnya dalam bentuk penerbit global bond baik di pasar primer maupun
sekunder. Beberapa indikator yang sering digunakan antara lain yield sovereign global bond,
yield corporate global bond, composite yields, spread Credit Default Swap (CDS), credit rating,
credit worthiness, dan rasio keuangan.
Dalam penelitian ini difokuskan pada indikator debt market yang banyak dipakai sebagai
benchmark dalam pricing penerbitan obligasi dan pemberian pinjaman bagi pemerintah dan
swasta Indonesia dalam bentuk yield (imbal) yaitu yield sovereign global bond, yield corporate
global bond, composite yields dan CDS.
Indikator debt market tersebut secara umum memberikan gambaran atas risiko pinjaman
luar negeri, khususnya dalam bentuk penerbitan global bond baik di pasar primer maupun
sekunder (portfolio investment). Indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan dengan
baik tinggi rendahnya risiko gagal bayar dengan sudut pandang yang mungkin berbeda. Yield
obligasi menggambarkan risiko gagal bayar (default) dari pemerintah / negara / perusahaan
penerbit utang dalam melakukan pembayaran bunga serta hutang pokok pada waktu yang
telah ditetapkan berdasarkan performa dari obligasi penerbit. Dapat juga menunjukkan risiko
kegagalan emiten untuk memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan dalam kontrak obligasi.
Sedangkan credit default swaps adalah bentuk paling murni dari kredit derivatif, yang
menunjukkan risiko penerbit surat berharga khususnya negara berdasarkan besarnya jumlah
kompensasi yang diharapkan pembeli surat berharga atas risiko yang mungkin dialami oleh
penerbit. Jika terjadi suatu credit event, protection buyer akan menerima sejumlah pembayaran
dari protection seller. Premi yang dibayarkan protection buyer kepada protection seller bisa
dilakukan sekaligus (lumpsum) atau secara periodik.
Sekilas bila dilihat perkembangan pergerakan beberapa indikator global bond Indonesia
yang direpresentasikan oleh yield obligasi global Pemerintah dan swasta Indonesia sejak tahun
2004 hingga Agustus 2009 (Grafik 2), terlihat bahwa telah terjadi lonjakan pada periode
September dan Oktober 2008 hampir sekitar dua kali lipat. Lonjakan serupa namun lebih tinggi
juga ditunjukkan oleh indikator CDS yang sebelumnya hanya berkisar 500-an basis points
345Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Grafik 2.Perkembangan Pergerakan Beberapa Indikator PLN
Indo»14Indo»15Indo»16Indo»17
Indo»18Indo»19New Indo»15(5tahun)
15
13
11
9
7
5
2004 2005 2006 2007 2008 2009Apr Jun Ags Okt Des Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun AgsFeb
2004 2005 2006 2007 2008 2009Apr Jun Ags Okt Des Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun AgsFeb
Indo»35Indo»37Indo»38
15
16
14
13
12
11
10
9
8
7
6
2004 2005 2006 2007 2008 2009Apr Jun Ags Okt Des Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun AgsFeb
100
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009Apr Jun Ags Okt Des Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun Ags Okt DesFeb Apr Jun AgsFeb
35
30
25
20
15
10
5
0
100
80
60
40
20
0
INDOSATNED
PGNMATPUTBANLIP
BANDAN
BANNI
2004 2005 2006 2007 2008 2009Apr JunAgs Okt Des Apr JunAgs Okt DesFeb Apr JunAgs Okt DesFeb Apr JunAgs Okt DesFeb Apr JunAgs Okt DesFeb Apr JunAgsFeb
5000
4500
4000
3500
2000
2500
2000
1500
1000
500
0
700
600
500
400
300
200
100
0
IndonesiaArgentina
VenezuelaTurkeyPhilippines
PeruBrazil
ColombiaPanamaAfrika Selatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009
6
5
4
3
2
1
0Mei Jul Sep Nov Jul Sep NovJan Mar Mei Jul Sep NovJan Mar Mei Jul Sep NovJan Mar Mei Jul Sep NovJan Mar Mei JulJan Mar Mei
UST Note (lhs) German Bund (lhs) Japan Bond (rhs)
346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
berubah menjadi diatas 1000an basis points. Kondisi yang lebih parah ditunjukkan oleh negara
peers seperti Argentina dan Venezuela serta Turkey (mencapai diatas 4000-an basis points).
Kondisi yield emerging market pada saat itu juga mengalami peningkatan sekitar dua kali lipat
dari sebelumnya. Namun kondisi tersebut berangsur-angsur membaik yang ditunjukkan oleh
tren penurunan angka-angka indikator tersebut. Bahkan kelihatannya pada Agustus 2009
mencapai level serupa seperti sebelum terjadinya lonjakan tersebut. Kondisi ini menunjukkan
adanya perbaikan performa indikator debt market Indonesia dan peers.
Bila dibandingkan dengan pergerakan yield dari obligasi negara maju seperti G3 (US,
Jepang dan Jerman) tampaknya tidak terdapat pengamatan yang khusus untuk periode sekitar
September dan Oktober 2008 tersebut. Tampaknya guncangan yang terjadi di debt market
global khususnya pada emerging market telah menyebabkan flight to quality sehingga yield
obligasi global G3 tersebut justru menurun pada periode tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa indikator-indikator tersebut sangat
baik dalam menjelaskan performa pinjaman luar negeri suatu negara atau perusahaan
diantaranya adalah Min (1998). Selanjutnya, dalam penelitiannya, Min (1998) menyatakan
bahwa beberapa tahun terakhir banyak negara yang mempromosikan perkembangan pasar
bond masing-masing dan hasilnya pasar obligasi korporasi melambung sebesar fixed-income
securities pada pasar domestik dan internasional yang secara terus-menerus menurunkan
ketergantungan pada pembiayaan perbankan. Tetapi sedikit sekali yang mengetahui determinan
apa saja yang mempengaruhi yield spreads dari bond yang diterbitkan oleh negara berkembang.
Perubahan pada pola pembiayaan korporasi ini disebabkan oleh keperluan investasi yang
substansial dalam infrastruktur dan proyek peningkatan kapital yang memerlukan pinjaman
jangka panjang dengan tingkat suku bunga tetap. Hal ini yang mendorong Min melakukan
penelitian mengenai determinan dari bond yield spread beberapa negara berkembang.
Lain halnya dengan Alexander & Kaeck (2007) yang menyebutkan bahwa seiring dengan
perkembangan pasar CDS yang sangat pesat menyebabkan pentingnya bagi financial analyst,
traders, dan pembuat kebijakan ekonomi untuk memahami determinan dari CDS. Selain itu,
CDS lebih likuid dan memiliki waktu jatuh tempo yang berbeda-beda jika dibandingkan dengan
corporate bond.
Selain itu, Karlson & Willebrand (2009) juga menyatakan bahwa semenjak terjadinya
krisis kredit, banyak bank-bank besar yang mengalami gagal bayar (default). Oleh karena itu
menjadi menarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi resiko kredit
dari institusi keuangan. CDS spreads merupakan indikator resiko kredit yang lebih baik. CDS
spreads juga mengacu pada indeks CDS karena menunjukkan resiko kredit dari perusahaan
individual dibandingkan group dari beberapa perusahaan. Karena CDS spreads bank-bank besar
347Analisis Perilaku Indikator Debt Market
telah meningkat maka akan sangat penting untuk mengidentifikasikan determinan dari CDS
spreads.
2.1. Sovereign Global Bond
Budina & Mantchev (2000) menguji determinan dari harga Brady bond Bulgaria
menggunakan data bulanan dari bulan Juli 1994 sampai dengan bulan Juli 1998. Dalam
penelitian ini disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, gross foreign reserves dan ekspor
memiliki efek positif terhadap harga bond. Sedangkan real exchange rate dan depresiasi nominal
exchange rate Mexico memiliki efek negatif.
Sementara itu, Nogues & Grandes (2001) menguji determinan dari spread Argentina»s
floating rate bond (FRB) menggunakan data bulanan sejak bulan Januari 1994 sampai dengan
Desember 1998. Mereka menyimpulkan bahwa krisis Mexico, debt service to export,
pertumbuhan GDP, fiscal balance dan 30 year US Treasury yield memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap spread.
Min (1998) menganalisa determinan dari yield spreads obligasi dalam valuta US Dollar
dari 11 negara berkembang dalam kurun waktu 1991 sampai dengan 1995. Hasilnya adalah
bahwa perbedaan bond spreads antar negara tersebut ditentukan oleh debt to GDP, reserves
to GDP, debt service to export, export dan import growth rate, inflation rate, net foreign asset,
term of trade index, dan real exchange rate. Min (1998) menyimpulkan bahwa kemampuan
mengakses pasar luar negeri sangat ditentukan faktor fundamental dalam negeri. Oleh karena
itu disarankan agar negara-negara berkembang yang ingin mencari akses yang lebih besar
terhadap pasar obligasi internasional, harus meningkatkan fundamental makroekonominya.
Namun Eichengreen & Mody (1998) menegaskan arti penting faktor eksternal selain
faktor fundamental dalam analisa sentiment pasar. Dengan menganalisa hampir 1000 data
obligasi negara maju yang diterbitkan antara tahun 1991 sampai dengan 1996 ditemukan
bahwa spreads yield obligasi bergantung pada issue size, credit rating issuer, debt to GDP, dan
debt service to export ratio. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa perubahan
dalam sentiment pasar, tidak hanya bergantung pada fundamental, tetapi juga faktor pasar
atau faktor eksternal.
Goldman Sachs (Ades et. al. (2000)) bahkan memodelkan spreads sovereign negara
berkembang dengan menambahkan faktor default history disamping beberapa faktor
fundamental. Dengan menganalisa data bulanan 15 negara berkembang sejak Januari 1996
sampai dengan Mei 2000, diperoleh beberapa variabel yang memiliki efek signifikan terhadap
348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
spreads yaitu GDP growth rate, total external amortizations as a ratio of foreign reserves,
external debt to GDP ratio, fiscal balance, export to GDP ratio, real exchange rate misalignment,
international interest rate, dan default history dari negara tersebut.
Selanjutnya Rowland & Torres (2004) dengan menggunakan teknik data panel memeriksa
determinan spread dari 16 negara berkembang yang menerbitkan sovereign bond. Dengan
menggunakan data tahunan dari tahun 1998 sampai dengan 2002, diperoleh bahwa GDP
growth rate, external debt to GDP ratio, external debt service to GDP ratio, debt to export ratio,
reserve to GDP ratio, dan export to GDP ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
spread.
Kemudian Rowland (2004) melanjutkan penelitian sebelumnya dengan melakukan analisa
pada 29 negara berkembang dari tahun 1998 sampai dengan akhir Juli 2003. Hasilnya adalah
hanya GDP growth rate dan inflation rate yang berpengaruh signifikan terhadap spread.
Berbecaru Claudia-Floriana (2008), salah satu referensi utama dalam penelitian ini, selain
mengevaluasi determinan dari sovereign bond yang diterbitkan negara-negara berkembang di
Eropa, juga melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa pentingnya kontribusi dari faktor
eksternal dalam perkembangan spread dari sovereign bond Romania. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa bukan hanya faktor fundamental yang mempengaruhi perkembangan
dari spread obligasi Romania tetapi juga faktor eksternal seperti risk appetite dari investor
internasional. Hasil penelitian Berbecaru Claudia-Floriana tersebut mempertegas hasil penelitian
sebelumnya oleh Eichengreen & Mody (1998).
Berdasarkan data historis, pada tahun 2007 telah terjadi penurunan spread EMBIG
Romania dan EMBIG composite yang diiringi dengan meningkatnya real domestik fundamental
(seperti menurunnya inflasi, meningkatnya pertumbuhan GDP, menurunnya ketidakseimbangan
eksternal) pada banyak negara berkembang. Menurut Berbecaru Claudia-Floriana, penurunan
tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor domestik fundamental tetapi juga faktor eksternal.
Ditunjukkan bahwa pada tahun 2002 risk appetite dari investor pada pasar internasional juga
meningkat dengan cepat. Hal inilah yang mendasari Berbecaru Claudia-Floriana melakukan uji
empiris menggunakan faktor fundamental dan eksternal.
Sebagai salah satu determinan spread EMBIG yang paling penting, menurut penelitian
tersebut, faktor fundamental dinilai dari rezim nilai tukar, inflasi, GDP, current account, external
debt, national savings, foreign exchange reserves, kebijakan fiskal dll. Dalam konteks tersebut,
yang bersangkutan menggunakan peringkat sovereign untuk setiap negara dalam jangka
panjang yang diterbitkan oleh lembaga rating internasional (S&P) sebagai indikator aggregat
yang menunjukkan perkembangan fundamental dari setiap negera.
349Analisis Perilaku Indikator Debt Market
2.2. Corporate Global Bond
Penelitian mengenai determinan dari corporate global bond tidak sebanyak sovereign
global bond. Salah satu di antaranya adalah Douglas, Huang & Vetzal (2009). Dalam
penelitiannya, ditemukan bahwa cash flow volatility secara ekonomi berpengaruh signifikan
terhadap yield spread. Yasmine Meitasari & Amelia (2007) melakukan penelitian mengenai
faktor makroekonomi dan rasio-rasio keuangan terhadap return obligasi korporasi dalam negeri
pada tahun 2003-2005. Hasilnya adalah suku bunga deposito, asset turnover, quick ratio, debt
to equity ratio, dan return on asset tidak berpengaruh terhadap return obligasi korporasi dalam
negeri.
Salah satu tujuan dan keunggulan dari rasio adalah dapat digunakan untuk
membandingkan hubungan return dan resiko dari perusahaan dengan ukuran yang berbeda.
Rasio juga dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, karakteristik ekonomi, strategi bersaing
dan keunikan karakteristik, keuangan dan investasi (IG. K. A. Ulupui, 2006). Menurut James C.
Van Home (Sawir, 2001), analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat memberikan
pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan dibandingkan
analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan sendiri-sendiri yang tidak berbentuk rasio.
Selain itu menurut White et.al. (2002), rasio keuangan digunakan untuk membandingkan resiko
dan tingkat imbal hasil dari berbagai perusahaan untuk membantu investor dan kreditor
membuat keputusan investasi dan kredit yang baik.
Sementara itu, White et.al. (2002) mengelompokkan rasio keuangan menjadi 4 bagian,
yaitu analisis likuiditas perusahaan, analisis Solvency dan Long Term Debt (Leverage), analisis
Profitabilitas Perusahaan dan analisis Aktivitas.
1) Analisis likuiditas perusahaan
Pada umumnya perhatian pertama analis keuangan adalah likuiditas. Analisis ini mengukur
kecukupan sumber kas perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan
kas dalam jangka pendek. Rasio likuiditas yang umum digunakan adalah current ratio (rasio
Lancar). Current ratio merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui
kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek karena rasio ini menunjukan seberapa
jauh tuntutan dari kreditor jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang dipekirakan menjadi
uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo utang.
Current Ratio = Current Assets/Current Liabilities
350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
2) Analisis Solvency dan Long Term Debt (Leverage)
Analisis ini menelaah struktur keuangan dan modal perusahaan. Struktur keuangan adalah
bagaimana cara perusahaan mendanai aktivanya. Aktiva perusahaan didanai dengan utang
jangka pendek, utang jangka panjang, dan modal pemegang saham, sehingga seluruh sisi
kanan dari neraca memperlihatkan struktur keuangan.
Struktur modal adalah pendanaan permanen yang terdiri utang jangka panjang, saham
preferen, dan modal pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari
saham biasa, modal disetor atau surplus, modal dan akumulasi laba ditahan. Dengan
persamaan :
Struktur Keuangan - Hutang Lancar = Struktur Modal
Pemilihan struktur keuangan merupakan masalah yang menyangkut komposisi pendanaan
yang akan digunakan oleh perusahaan, yang pada akhirnya berarti penentuan berapa banyak
hutang (leverage keuangan) yang akan digunakan oleh perusahaan untuk mendanai
aktivanya.
Bila semua dana untuk membiayai aktiva perusahaan berasal dari pemilik dalam bentuk
saham biasa, perusahaan tidak terikat pada kewajiban tetap untuk membayar bunga atas
hutang yang diambil dalam rangka pendanaan perusahaan. Bunga adalah biaya tetap
keuangan yang harus dibayar dan ditambahkan pada biaya tetap operasi tanpa
mempedulikan tingkat laba perusahaan. Jadi, suatu perusahaan yang menggunakan utang
akan lebih berisiko daripada perusahaan tanpa utang, karena selain mempunyai resiko bisnis,
perusahaan yang menggunakan hutang mempunyai resiko keuangan. Resiko keuangan
timbul karena penggunaan utang, yang menyebabkan lebih besarnya variabilitas laba bersih
(net income).
Leverage keuangan adalah penggunaan hutang. Apabila hasil pengembalian atas aktiva,
yang ditunjukkan oleh besarnya rentabilitas ekonomis, lebih besar daripada biaya hutang,
maka leverage tersebut menguntungkan dan hasil pengembalian atas modal (rentabilitas
modal sendiri) dengan penggunaan leverage ini juga akan meningkat.
Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara resiko dan pengembalian.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan sehubungan dengan struktur modal.
Yang pertama adalah resiko bisnis perusahaan, atau tingkat resiko yang terkandung pada
aktiva perusahaan apabila ia tidak menggunakan hutang. Makin besar resiko perusahaan,
makin rendah resiko utang yang optimal. Faktor kunci yang kedua adalah posisi pajak
perusahaan. Alasan utama untuk menggunakan hutang adalah karena biaya bunga dapat
dikurangkan dalam perhitungan pajak, sehingga meminimalkan biaya hutang yang
sesungguhnya. Faktor ketiga adalah fleksibilitas keuangan, atau kemampuan untuk
351Analisis Perilaku Indikator Debt Market
menambah modal dengan persyaratan yang masuk akal dalam kedaan yang kurang
menguntungkan.
Rasio-rasio leverage yang umum digunakan antara lain, adalah rasio utang terhadap ekuitas
atau DER (Debt to Equity Ratio). Rasio ini menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas
dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan
tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya.
DER = Total Debt / Total Equity
3) Analisis Profitabilitas Perusahaan
Rasio profitabilitas akan memberikan jawaban akhir tentang efektivitas manajemen
perusahaan. Rasio ini memberi gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan.
Salah satu rasio profitabilitas yang umum digunakan adalah margin laba bersih (Net Profit
Margin atau Profit Margin on Sales). Rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap
penjualan.
Net Profit Margin = Earning After Taxes ( Net Income) / Sales
4) Analisis Aktivitas
Mengevaluasi revenue dan output yang dihasilkan oleh aset perusahaan.
Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) Eduardo Cavallo & Patricio Valenzuela (2007) menguji determinan spread corporate bond
dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada tahun 1999 sampai dengan tahun
2006. Hasilnya menunjukkan spread corporate bond ditentukan oleh variabel khusus
perusahaan, karakteristik bond, kondisi makroekonomi, resiko sovereign, dan faktor global.
Adapun variabel khusus perusahaan yang digunakan meliputi EBIT/Asset, Equity/Capital,
Debt/Asset, Size, dan volatility equity. Sedangkan kondisi makroekonomi diwakilkan oleh
pertumbuhan GDP dan GDP per kapita.
2.3. Credit Default Swap (CDS)
Credit derivative, salah satu produk kredit terstruktur dan sekuritisasi, dituduh telah secara
khusus berkontribusi kepada terjadinya krisis global (Longstaff dan Myers 2009)3. Diantara
produk derivatif, yang paling populer dan banyak diminati oleh para investor adalah credit
default swap (CDS). Oleh karena itu, adalah umum bagi pasar untuk membaca pergerakan
CDS sebagai salah satu indikator yang menggambarkan risiko default negara.
3 Longstaff F.A and Myers B., 2009. Valuing toxic Assets: An Analysis of CDO equity, National Bureau of Economic Research.
352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Alexander & Kaeck (2007) melakukan penelitian mengenai determinan dari CDS spreads
sejak Juni 2004 sampai dengan Juni 2007. Hasilnya adalah interest rate, stock returns dan
implied volatility berpengaruh signifikan terhadap CDS spreads.
Keng-Yu Ho & Yu-Jen Hsio (2004) menggunakan model Merton dan mengujinya secara
empiris menggunakan data dari tahun 2001 sampai dengan 2004 untuk menganalisa
determinan dari CDS spread. Hasilnya menunjukkan bahwa leverage dan implied volatility
berpengaruh positif dan risk free rate berpengaruh negatif terhadap CDS spread.
Selanjutnya Karlson & Willebrand (2009), melakukan penelitian mengenai determinan
dari CDS spreads dari European financial institution. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji seberapa baik determinan teoritis mampu menjelaskan CDS spread dan apakah ada
faktor lain yang mempengaruhinya. Determinan teoritis berdasarkan model Merton adalah
leverage, volatility, dan risk free rate. Data yang digunakan adalah data mingguan CDS spread
30 lembaga keuangan dari Desember 2005 sampai dengan November 2008. Dengan melakukan
estimasi linier data panel menggunakan variabel determinan teoritis dan variabel tambahan
lainnya, diperoleh bahwa perubahan dalam historical volatility, risk free rate, equity return,
implied volatility, square of risk free rate, slope of the yield, bid-ask spread, dan lagged CDS
spread secara statistik signifikan dalam menjelaskan hubungannya dengan perubahan CDS
spread.
Sama seperti bond spreads, CDS telah menjadi salah satu key indicator dari kualitas
kredit dari korporasi, bank dan pemerintah. Biasanya Credit default swap market yang
menentukan bond market sehingga kebanyakan price discovery terjadi di pasar CDS4. Studi
empiris dari Deutsche Bundesbank5 menginformasikan bahwa CDS spread dan bond spread
berkontribusi bagi price discovery di pasar kredit Eropa6. Pasar CDS lebih mendominasi pada
saat normal namun pada saat krisis price discovery lebih ditentukan oleh bond spread. Kedua
nya mengalami fluktuasi pada masa krisis.
2.4. Credit Rating
Credit rating merupakan indikator ketepatwaktuan pembayaran pokok dan bunga utang
bond atau obligasi. Selain itu, credit rating mencerminkan skala resiko bond yang
diperdagangkan. Dengan demikan credit rating menunjukkan skala keamanan bond dalam
4 Blanco, R., S. Brennan, and I.W. Marsh, 2003 ≈An Empirical Analysis of the Dynamic Relationship between Investment Grade Bondsand Credit Default Swaps∆ Working Paper, Bank of England.
5 Niko Dötz, 2007. Time-varying Contributions by the Corporate Bond and CDS Markets to Credit Risk Price Discovery, DeutscheBundesbank, Discussion Paper, Series 2: Banking and Financial Studies
6 The study is based on companies listed in the iTraxx CDS index.
353Analisis Perilaku Indikator Debt Market
membayar kewajiban pokok dan bunga secara tepat waktu. Semakin tinggi ratingnya, semakin
menunjukkan bahwa bond tersebut terhindar dari resiko default. Sebagaimana dijelaskan diatas,
credit rating untuk sebagaian peneliti seperti Berbecaru Claudia-Floriana (2008) menganggap
Credit rating yang diterbitkan oleh lembaga rating yang independen, sebagai interpretasi dari
kondisi fundamental suatu negara.
Dalam penelitian Berbecaru Claudia-Floriana (2008), dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara spread EMBIG Romania dan beberapa negara berkembang
lainnya dengan faktor fundamental yang diwakilkan oleh credit rating serta faktor risk appetite
investor internasional yang diwakilkan oleh volatilitas indeks VIX. Hasilnya adalah terdapat
hubungan jangka panjang antara spread EMBIG, credit rating dan indeks VIX.
Di Indonesia terdapat dua lembaga rating, yaitu PEFINDO (Pemeringkat Efek Indonesia)
dan Kasnic Credit Rating Indonesia. Sedangkan dalam lingkup internasional terdapat cukup
banyak lembaga rating, di antaranya adalah Moody»s, S&P, dan Fitch. Lembaga rating tersebut
membantu investor dalam memberikan informasi investasi mengenai kemampuan ekonomi
dan finansial penerbit (issuer) bond. Rating bond yang dilakukan oleh lembaga rating
memberikan gambaran tentang kredibilitas (credit worthiness) dan mempengaruhi penjualan
bond tersebut (Fabozzi, 2000). Posisi credit rating biasanya berubah apabila terjadi perubahan
yang cukup signifikan pada faktor-faktor determinannya, misalnya perbaikan kondisi ekonomi,
sosial dan politik yang didukung oleh berbagai paket kebijakan pemerintah yang lebih baik,
atau sebaliknya, memburuknya perekonomian suatu negara. Namun kondisi rating dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor global. Perubahan credit rating tidaklah secepat perubahan yield
obligasi ataupun CDS.
III. METODOLOGI
3.1. Spesifikasi Model Empiris
Mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, berikut spesifikasi model yang digunakan
pada penelitian ini dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing
indikator :
1)1)1)1)1) Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Yield Sovereign Global BondYield Sovereign Global BondYield Sovereign Global BondYield Sovereign Global BondYield Sovereign Global Bond
Yield sovereign global bond dikelompokkan menjadi dua, yaitu yield individual sovereign
global bond dan yield composite sovereign global bond. Individual sovereign global bond
merupakan obligasi global atau luar negeri yang diterbitkan oleh pemerintah suatu negara.
Obligasi Pemerintah INDO14 dipilih sebagai wakil dari obligasi-obligasi yang diterbitkan
354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
pemerintah Indonesia karena ketersediaan data yang cukup panjang. Sedangkan composite
sovereign global bond adalah komposit dari obligasi global atau foreign emerging market
bond index (EMBI) yang diproduksi oleh JP. Morgan.
Pemilihan model dibawah ini, sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
memasukkan beberapa variable makroekonomi yang menentukan pergerakan dari spread yield
obligasi seperti penelitian dari Budina & Mantchev (2000), Nogues & Grandes (2001), Min
(1998), Goldman Sachs (Ades et. al. (2000), Rowland & Torres (2004) dan Rowland (2004).
Namun demikian, pengembangan model dilakukan sesuai dengan penelitian dari Eichengreen
& Mody (1998) yang menyimpulkan bahwa bukan hanya fundamental yang menentukan
pandangan pasar tetapi juga faktor eksternal. Oleh karena itu, ditambahkan variabel news
dalam bentuk dummy sebagai faktor yang mempengruhi pergerakan yield sovereign global
bond Indonesia dan Peers dan composite yield.
Secara umum, model empiris yang digunakan terbagi menjadi dua, yakni model penentu
yield obligasi global dengan vektor variabel penentu yang berasal dari domestik dan eksternal.
Berpedoman pada model yang dikembangkan oleh Berbecaru Claudia-Floriana (2008), untuk
menguji apakah faktor-faktor eksternal juga mempengaruhi individual sovereign global bond
Indonesia dengan model empiris berikut:
Indo 14 = f( GDP, FB/GDP, INF, FR, VIX, Fut. RATE, Volat. rate) (III.1)
Dengan menggunakan data yang lebih luas, varian model ini juga dipergunakan untuk
menganalisis determinan yield sovereign global bond beberapa negara yakni Indonesia dan
negara-negara peers-nya. Spesifikasi varian model ini adalah:
Yield = f(GDP, FB/GDP , INF, FR, TEXTD/FR, D1, VIX) (III.2)
Untuk yield komposit, model empiris diaplikasikan pada data Indonesia dan negara-negara
peers-nya sebagai berikut:
EMBI = f (GDP, FB/GDP, REER, DSR, D1) (III.3)
2)2)2)2)2) Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator YieldYieldYieldYieldYield Corporate Global Corporate Global Corporate Global Corporate Global Corporate Global BondBondBondBondBond
Sebagaimana yield global sovereign bond, yield corporate global bond dikelompokkan
menjadi dua, yaitu yield individual corporate global bond dan yield composite corporate global
bond. Individual corporate global bond merupakan obligasi global atau luar negeri yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan. Sedangkan composite corporate global bond (CEMBI)
merupakan komposit dari obligasi global atau luar negeri yang diterbitkan oleh beberapa
perusahaan di beberapa negara berkembang.
355Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Model yang dibentuk dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Eduardo Cavallo &
Patricio Valenzuela (2007) dengan mengkombinasikan faktor-faktor mikro dan makro sebagai
determinan dari pergerakan spread corporate bond. Penelitian lain yang merupakan pendukung
kajian ini adalah Douglas, Huang & Vetzal (2009), Yasmine M Eduardo Cavallo & Patricio
Valenzuela (2007), Itasari & Amelia (2007) yang selain faktor makro juga memasukkan rasio
keungan perusahaan (unsur mikro). Menurut IG. K. A. Ulupui, 2006 dan James C. Van Home
(Sawir, 2001), rasio juga dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, karakteristik ekonomi,
strategi bersaing dan keunikan karakteristik, keuangan dan investasi analisis . White et.al. (2002)
juga melakukan penekanan pada faktor penting rasio keuangan untuk membandingkan resiko
dan tingkat imbal hasil dari berbagai perusahaan untuk membantu investor dan kreditor
membuat keputusan investasi dan kredit yang baik. Spesifikasi persamaannya adalah:
Yield corporate global bond= f (CR, DER, NPM, ROE, INF)
3)3)3)3)3) Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Yield Credit Default SwapYield Credit Default SwapYield Credit Default SwapYield Credit Default SwapYield Credit Default Swap (CDS) (CDS) (CDS) (CDS) (CDS)
Penelitian ini mengembangkan model Karlson & Willebrand (2009) yang merupakan
pengembangan dari model Merton. Merton menggunakan variable leverage, volatility, dan
risk free rate untuk menjelaskan pergerakan spread CDS sedangkan Karlson & Willebrand
menambahkan variable historical volatility, risk free rate, equity return, implied volatility, square
of risk free rate, slope of the yield, bid-ask spread, dan lagged CDS spread yang secara statistik
signifikan dalam menjelaskan hubungannya dengan perubahan CDS spreads.
Penelitian lain yang mengemukakan variabel CDS yang juga sebagai referensi dalam
penelitian ini adalah Alexander & Kaeck (2007) dan Keng-Yu Ho & Yu-Jen Hsio (2004) yang
menggunakan model Merton dan menghasilkan bahwa leverage dan implied volatility
berpengaruh positif dan risk free rate berpengaruh negatif terhadap CDS spread. Model
emprisinya adalah:
Yield CDS = f( UST, VSTOXX, CDS Bid ask, CDS-1 , GDP)
3.2. Teknik Estimasi dan Data
Teknis estimasi regresi data panel digunakan untuk model yield sovereign peers, yield
composite dan yield CDS peers. Untuk mengestimasi model regresi dengan data panel dapat
digunakan 3 pendekatan yaitu OLS (common effect), variabel dummy (fixed effect), dan random
effect.
356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Data yang digunakan pada penelitian ini terutama data Indonesia (INDO). Namun untuk
mempertajam analisa, dilakukan perbandingan dengan dengan beberapa negara peers (dalam
hal ini memiliki credit rating dalam range yang sama) yaitu Brazil (BRA), Colombia (COL), Panama
(PAN), Peru (PERU), Phillipina (PHIL), Turkey (TURK), dan South Africa (SA). Untuk indikator
corporate global bond, sampel yang digunakan adalah 10 korporasi yang terdiri dari 6
perusahaan dan 4 bank, dimana korporasi tersebut adalah korporasi yang menerbitkan foreign
bond atau global bond yaitu PT. Indosat Tbk (INDOSAT), Medco Energy International (MEDCO),
PT. Excelcomindo Tbk (EXCEL), PT. Matahari putra Prima (MATPUT), Sanyo Elektronik Indonesia
(SANYO), Perusahaan Gas Negara (PGN), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Danamon
(BANDAN), Bank Niaga (BANNI), Bank Lippo (BANLIP). Untuk model data panel, digunakan
data tahunan. Sedangkan untuk model data time series, digunakan data bulanan. Sumber
data yang digunakan adalah Bloomberg, Moody»s, IFS, dan Bank Indonesia.
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Yield Individual Sovereign Global Bond
Dengan menggunakan data Indonesia, hasil estimasi atas pengaruh faktor fundamental
dan faktor eksternal terhadap yield obligasi sovereign pemerintah Indonesia (INDO14) diberikan
di bawah ini. Model empiris ini mengacu pada Berbecaru Claudia & Floriana (2008):
Hasil estimasi ini menunjukkan bawah faktor fundamental yang paling signifikan mempengaruhi
yield sovereign global bond Indonesia adalah foreign reserves (FR) sementara faktor eksternalnya
adalah indeks VIX.
Peran foreign reserve sangat signifikan dalam menentukan besarnya asuransi yang
diperlukan oleh investor ketika membeli surat berharga suatu negara. Pengujian empiris ini
menunjukkan bahwa untuk peningkatan foreign reserves sebesar 1% akan menyebabkan
penurunan yield sovereign global bond Indonesia sebesar 0.737%. Sementara itu, indeks VIX
sebagai salah satu pengukuran utama dari ekspektasi pasar volatilitas jangka pendek (30 hari),
yang biasanya menjadi bahan pertimbangan banyak orang untuk menjadi barometer dari
sentimen investor dan volatilitas pasar global, juga sangat signifikan mempengaruhi besarnya
kompensasi yang diperlukan oleh investor ketika memegang surat utang Indonesia. Sebagaimana
357Analisis Perilaku Indikator Debt Market
dikemukakan sebelumnya, VIX cenderung turun saat sentimen pasar meningkat. Oleh karena
itu, VIX dapat dipertimbangkan sebagai suatu proksi bagi investor untuk menghindari resiko
dan dapat menjelaskan pergerakan spread dari emerging market bond (K.Hartelius, K. Kashiwase,
L.E. Kodres 2008). Namun, berdasarkan penelitian ini, pengaruh foreign reserves lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh indeks VIX.
Untuk data kawasan meliputi Indonesia dan peer-nya, estimasi model empiris dilakukan
dengan menggunakan teknik estimasi data panel common effect, dan hasilnya diberikah sebagai
berikut :
Model ini menunjukkan bahwa yield sovereign global bond secara signifikan dipengaruhi
oleh foreign reserves (FR) dan indeks VIX, dan dummy issue (D1). Berdasarkan hasil uji empiris
di atas, persentase perubahan foreign reserves mempengaruhi secara negatif terhadap yield
sovereign global bond yang berarti peningkatan cadangan devisa akan menurunkan yield
sovereign global bond negara-negara tersebut. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Budina & Mantchev (2000), bahwa foreign reserves dipertimbangkan menjadi faktor
penting pertama saat membahas peluang terjadinya krisis. Karenanya semakin rendah foreign
reserves suatu negara maka semakin rendah peringkat resiko negara tersebut, artinya semakin
besar peluang terjadinya default.
Indeks VIX, berpengaruh positif terhadapyield obligasi soverign global, dimana setiap
peningkatan 1% indkes VIX akan mendorong peningkatan yield sebesar 0,75%. Siginifikansi
indeks VIX ini sejalan dengan pernyataan K.Hartelius, K. Kashiwase, L.E. Kodres (2008) bahwa
indeks VIX dapat dipertimbangkan sebagai suatu proksi bagi investor untuk menghindari resiko.
Yield sovereign gobal bond mencerminkan default risk dari suatu negara dan tingkat
unwillingness investor untuk membeli obligasi negara tersebut. Jadi risk appetite dari investor
yang ditentukan oleh kondisi keuangan investor, resiko likuiditas dalam debt market, sangat
mempengaruhi pergerakan yield sovereign global bond.
Hal yang menarik dari hasil ini adalah variabel dummy issue signifikan mempengaruhi
yield, artinya issue khususnya berita negatif secara signifikan meningkatkan yield. Oleh karena
itu, tampaknya tidaklah tepat apabila pengambil kebijakan meremehkan berbagai isu yang
beredar di pasar terutama apabila isu yang berkembang tersebut bersifat negatif. Untuk
358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
merespon hal ini, pemangku kebijakan perlu mengolah berbagai isu yang berkembang di pasar
serta mengupayakan berbagai usaha untuk meminimalisir isu negatif mengenai Indonesia di
pasar internasional. Beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain memberi penjelasan,
mengarahkan dan secara konsisten menjaga kredibilitas informasi yang disampaikan.
4.2. Yield Composite Sovereign Global Bond
Dan untuk melihat hubungan antara yield composite sovereign global bond dengan faktor
fundamental beberapa negara termasuk Indonesia, dengan menggunakan estimasi data panel,
maka berdasarkan uji pemilihan model, model yang akan dianalisa adalah model dengan
menggunakan metode common effect. Hasil estimasinya sebagai berikut:
Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa untuk data Indonesia dan negara peers-nya, variabel
yang mempengaruhi yield komposit región ini hanya nilai tukar riile efektif (REER) dan resiko
default (DSR), sementara variabel fundamental yakni GDP dan issu pasar, justru tidak memberikan
berpengaruh secara signifikan.
REER atau nilai tukar riil efektif yang merupakan nilai tukar tertimbang suatu mata uang
terhadap sekaranjang mata uang (basket currency) yang telah disesuaikan dengan inflasi pada
tahun tertentu. Umumnya, bobot timbangan nilai tukar masing-masing mata uang ini
menggunakan nilai perdagangan negara-negara tersebut. Karenanya REER lebih tepat digunakan
sebagai indeks untuk mengukur tingkat daya saing ekspor suatu negara. Berdasarkan hasil
estimasi model, apresiasi REER sebesar 1% akan menyebabkan penurunan indeks yield komposit
sebesar 0.2%.
Selain REER, variabel DSR juga signifikan mempengaruhi yield composite sovereign global
bond secara positif. Rasio ini menunjukkan berapa banyak jumlah pendapatan yang dibutuhkan
dalam setahun untuk membayar total hutang tahunan, sehingga semakin besar DSR maka
resiko default akan semakin besar. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa peningkatan resiko
default akibat peningkatan DSR sebesar 1% akan mendorong peningkatan yield komposit
EMBI sebesar 0.289%.
359Analisis Perilaku Indikator Debt Market
4.3. Yield corporate global bond
Dalam menganalisa kasus yield corporate global bond, berdasarkan jurnal Eduardo Cavallo
& Patricio Valenzuela (2007) dan dengan menggunakan estimasi data panel dan uji pemilihan
model, diperoleh hasil estimasi menggunakan metode common effect sebagai berikut:
Dari hasil estimasi dapat dilihat bahwa hampir seluruh variabel kecuali debt equity ratio (DER)
secara signifikan mempengaruhi yield individual corporate global bond untuk korporasi di
Indonesia.
Return on Equity (ROE) signifikan mempengaruhi yield korporasi Indonesia. Rasio ini
menunjukkan kemampuan modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan. Jadi ketika ROE
suatu perusahaan meningkat maka yield korporasi Indonesia akan menurun. Secara empiris
untuk pasar obligasi perusahaan di Indonesia, peningkatan ROE 1% akan menekan yield obligasi
perusahaan sebesar 0.03%.
Spesifikasi model empiris di atas hanya memasukkan satu variabel makro yaitu inflasi.
Hal ini dikarenakan inflasi merupakan indikator harga yang akan mempengaruhi produksi dan
profit dari korporasi. Berdasarkan hasil estimasi di atas, ternyata inflasi sangat mempengaruhi
yield korporasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari besarnya koefisien inflasi. Jika inflasi
meningkat sebesar 1% maka yield korporasi Indonesia akan meningkat sebesar 0.702982%.
Pada sisi lain, hasil estimasi empiris di atas menunjukkan adanya anomali dimana pengaruh
current ratio (CR) dan net profit margin (NPM), memberikan pengaruh positif terhadap yield obligasi
korporasi, dan ini berkebalikan dengan teori. Current ratio menunjukkan perbandingan aset lancar
perusahaan terhadap utang lancar, sehingga magnitude CR yang lebih besar menunjukkan
fundamental perusahaan yang semakin baik. Konsekuensinya adalah, yield obligasi yang diterbitkan
perusahaan yang sehat tersebut, tidak perlu besar atau cenderung lebih rendah dibandingkan
perusahaan yang fundamentalnya lebih lemah. Ini berarti CR seharusnya berpengaruh negatif
terhadap yield. Logika yang sama juga berlaku untuk keuntungan perusahaan (NPM).
Berdasarkan penelitian Ulupui (2006), dugaan mengenai anomali ini adalah karena pasca
krisis ekonomi, investor mulai memperhatikan manajemen kas, piutang, dan persediaan
perusahaan sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi. Dengan demikian, meskipun
360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
aset lancar jauh melebihi kewajiban lancar atau meskipun tingkat keuntungan semakin besar
namun kondisi-kondisi tersebut masih tetap memberikan kekhawatiran bagi investor akan
kemampuan perusahaan dalam mengelola kas dan piutang.
Pada dasarnya, current ratio menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) atau
kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Tetapi suatu perusahaan
dengan current ratio yang tinggi belum tentu menjamin akan dapat dibayarnya hutang
perusahaan yang sudah jatuh tempo karena terdapat kemungkinan bahwa besarnya persediaan
yang menjadi faktor penyebab menggunungnya aset. Proporsi atau distribusi dari aktiva lancar
yang tidak menguntungkan, karena jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan taksiran
tingkat penjualan yang akan datang tersebut menyebabkan tingkat perputaran persediaan
rendah dan menunjukkan adanya over investment dalam persediaan tersebut. Ditambah lagi
kondisi saldo piutang yang besar namun sulit untuk ditagih. Oleh karena itu, rendahnya
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan bagi perusahaan akan meningkatkan
risiko perusahaan tersebut mengalami default. Oleh karena itu, yield masih tetap meningkat.
Disamping itu, meskipun pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak
mengandung risiko dari pada suatu current ratio yang tinggi, tetapi kadang-kadang suatu current
ratio yang rendah malahan menunjukkan pimpinan perusahaan menggunakan aktiva lancar dengan
sangat efektif. Yaitu bila saldo disesuaikan dengan kebutuhan minimum saja dan perputaran
piutang dari persediaan ditingkatkan sampai pada tingkat maksimum. Jumlah kas yang diperlukan
tergantung dari besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang yang diperlukan untuk
membayar utang lancar, berbagai biaya rutin dan pengeluaran darurat (Tunggal, 1995: 157).
Dalam hal NPM, secara umum NPM merupakan salah satu rasio profitabilitas yang akan
memberikan jawaban akhir tentang efektivitas manajemen perusahaan. Rasio ini memberi
gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan. Semakin besar rasio NPM maka
net profit-nya juga akan semakin besar sehingga dapat dikatakan tingkat efektivitas pengelolaan
perusahaan semakin baik. Hal ini akan berdampak pada resiko default akan semakin kecil.
Tetapi jika net profit yang besar tersebut lebih banyak digunakan untuk membayar pajak atau
biaya-biaya lainnya yang jumlahnya lebih besar dari pembayaran utang maka dampaknya
terhadap resiko default akan cenderung membesar.
4.4. Yield CDS
Berdasarkan model yang digunakan dalam penelitian Alexander & Kaeck (2007) untuk
menganalisa hubungan antara yield CDS Indonesia dengan faktor determinansinya, hasil estimasi
menggunakan metode OLS adalah sebagai berikut:
361Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Berdasarkan hasil estimasi di atas, terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi
yield CDS Indonesia. Pertama adalah implied volatility yang mencerminkan pandangan pasar
terhadap Indonesia yang dicerminkan oleh perubahan VStoxx index. Jika terjadi peningkatan
index sebesar 1%, akan meningkatkan probabilitas terjadinya default (yield) sebesar 0.138352%.
Selain itu yield CDS juga dipengaruhi secara positif oleh nilai yield CDS sebelumnya sebesar
0.891946%.
Selain faktor eksternal, terdapat faktor fundamental makroekonomi yang mempengaruhi
yield CDS Indonesia secara negatif, yaitu pertumbuhan GDP riil. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat risiko negara khususnya Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan
ekonomi Indonesia, yang dicerminkan oleh GDP riil Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa semakin baik kondisi ekonomi suatu negara semakin kecil risiko default
negara tersebut dipandang oleh investor. Namun dari ketiga variabel yang signifikan
mempengaruhi pergerakan yield CDS Indonesia tersebut, yang memiliki pengaruh paling besar
adalah yield CDS sebelumnya. Oleh karenanya, upaya yang terus-menerus untuk menjaga
pergerakan CDS pada level yang dianggap aman sangat penting dilakukan.
Untuk menganalisa hubungan antara yield CDS Indonesia dan peers dengan faktor
determinansinya digunakan model yang sama dengan sebelumnya, hanya saja metode yang
digunakan berbeda yaitu estimasi data panel. Maka berdasarkan uji pemilihan model, model
yang akan dianalisa adalah model menggunakan metode fixed effect :
362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
_PHILƒC -0.644844_INDOƒC 0.138755_BRAƒC -1.266955_COLƒC 2.481957_PERUƒC -0.680520_TURKƒC 0.225518_PANƒC -0.553362_SAƒC 0.299449
dengan fixed effect (cross) masing-masing negara sebagai berikut :
Sama halnya dengan yield CDS Indonesia, perubahan VStoxx index yang mencerminkan
tingkat risiko negara berlaku juga untuk peers. Meningkatnya volatilitas akan meningkatkan
probabilitas terjadinya default. Dan ketika probabilitas default meningkat maka biaya asuransi
untuk default tersebut yang digambarkan oleh yield CDS, akan meningkat juga. Oleh karena
itu, yield CDS akan meningkat ketika volatilitas meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa yield
CDS sangat ditentukan oleh volatilitas yang diproksikan oleh indeks VStoxx.
V. KESIMPULAN
Penelitian ini menganalisis pasar hutang di Indonesia dengan fokus pada 2 indikator
yakni yield obligasi (individual maupun komposit) dan yield CDS (Credit Default Swap). Penelitian
ini memberikan beberapa kesimpulan, pertama, secara empiris penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam pasar hutang di Indonesia, tingkat inflasi, cadangan luar negeri (yang
mencerminkan kondisi likuiditas) dan indeks VIX (yang mencerminkan tingkat sentimen pasar),
berpengaruh terhadap pergerakan yield obligasi global pemerintah Indonesia. Kesimpulan ini
sejalan dengan kondisi pasar hutang individual sejumlah negara peers Indonesia. Untuk yield
komposit obligasi pemerintah (composite sovereign global bond), faktor yang berpengaruh
adalah nilai tukar efektif riil atau REER dan debt service ratio (DSR). Kedua, pergerakan yield
untuk obligasi korporasi, dipengaruhi oleh kondisi fundamental perusahaan yakni current ratio,
net profit margin, return on equity dan juga oleh inflasi. Untuk indikator yield CDS, yield CDS
Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh indeks VSTOXX, yield CDS sebelumnya dan
pertumbuhan GDP
Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi. Bagi otoritas moneter, paling tidak
terdapat 2 hal, pertama mengingat bahwa inflasi secara signifikan mempengaruhi pergerakan
yield global government bond Indonesia. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas
yang bertanggungjawab dalam menjaga tingkat inflasi perlu memiliki komitmen yang kuat
363Analisis Perilaku Indikator Debt Market
untuk secara kontinyu meningkatkan transparansi dan kecepatan informasi atas kebijakan
moneter yang diambil sesuai dengan international best practices dalam inflation targeting
framework. Disamping itu juga perlu melakukan optimasi penggunakan media dan perluasan
akses bagi pasar dalam penyampaian infomasi dan data terkait kebijakan moneter. Kedua,
Bank Indonesia perlu terus melakukan upaya dalam mengamankan jalur supply likuiditas valas
agar tidak menimbulkan tekanan pada nilai tukar dan agar nilai tukar benar-benar mencerminkan
faktor fundamentalnya, baik dalam bentuk supply demand valas untuk kegiatan ekspor-impor,
FDI, pinjaman luar negeri maupun portfolio investment.
364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
Ades, Alberto, Frederico Kaune, Paulo Leme, Rumi Masih, and Daniel Tenengauzer, 2000,
≈Introducing GS-ESS: A New Framework for Assessing Fair Value in Emerging Markets Hard-
Currency Debt∆, Global Economic Paper No. 45, Goldman Sachs, New York.
Alexander, Carol., and Kaeck, Andreas., 2007, ≈Regime Dependent Determinants of Credit
Default Swap Spreads∆, ICMA Centre, University of Reading, UK.
Blanco, R., S. Brennan, and I.W. Marsh, 2003, ≈An Empirical Analysis of the Dynamic Relationship
between Investment Grade Bonds and Credit Default Swaps∆, Working Paper, Bank of
England.
Budina, Nina, and Tzvetan Mantchev, 2000, ≈Determinants of Bulgarian Brady Bond Prices: An
Empirical Assessment∆, Policy Research Working Paper No. WPS 2277, The World Bank,
Washington D.C.
Cavallo, E., and Valenzuela, P., 2007, ≈The Determinants of Corporate Risk in Emerging Markets
: An Option-Adjusted Spread Analysis∆, IMF Working Paper No. WP/07/228.
Claudia-Floriana, Berbecaru, 2008, ≈Determinants of Spreads of Romanian Sovereign Bonds :
An Application on The EMBIG Spreads∆, dissertation paper of The Academy of Economic
Studies Bucharest.
Douglas, Alan.V.S., Huang, Alan.G, and Vetzal. Kenneth.R., 2009, ≈Cash Flow Volatility and
Corporate Bond Yield Spreads∆, School of Accounting and Finance, University of Waterloo,
Kanada.
Edwards, Sebastian, 1983, ≈LDC»s Foreign Borrowing and Default Risk: An Empirical Investigation
1976-1980∆, Working Paper No. 298, Department of Economics, University of California,
Los Angeles.
Eichengreen, Barry, and Ashoka Mody, 1998, ≈What Explains Changing Spreads on Emerging-
Market Debt? Fundamentals or Market Sentiment?∆, NBER Working Paper No 6408
(Cambridge, MA : National Bureau of Economic Research).
Howeling, P. and T. Vorst, 2001, «»An Empirical Comparison of Default Swap Pricing Models»»,
mimeo, Rabobank.
IMF and World Bank, 2003, ≈Guideline for Public Debt Management,∆∆IMF Publication on
Public Debt.
Karlson, E. and Willebrand, N., 2009, ≈Examining The Determinants of Credit Default Swap
Spreads∆, A Study of European Financial Institutions, Stockholm University.
DAFTAR PUSTAKA
365Analisis Perilaku Indikator Debt Market
Longstaff F.A and Myers B., 2009, ≈Valuing toxic Assets : An Analysis of CDO equity∆, National
Bureau of Economic Research.
Meitasari, Yasmine, dan Emelia, 2007, ≈Analisa Pengaruh Suku Bunga dan Rasio-Rasio Keuangan
terhadap Return Obligasi Korporasi (Studi Kasus pada Obligasi yang Memiliki Peringkat
Investment Grade yang Terdaftar di Bursa Efek Surabaya Periode 2003-2005)∆, Skripsi
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Merton, R., 1974, ≈On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of Interest
Rates,∆∆Journal of Finance No. 29 Vol. 2, pp. 449-70.
Niko Dötz, 2007, ≈Time-varying Contributions by the Corporate Bond and CDS Markets to
Credit Risk Price Discovery∆, Deutsche Bundesbank, Discussion Paper, Series 2 : Banking
and Financial Studies.
Nogués, Julio, and Martín Grandes, 2001, ≈Country Risk: Economic Policy, Contagion Effect or
Political Noise?∆, Journal of Applied Economics, Vol. 4, No. 1, May, pp.125-162.
Rojas, Alvaro, and Felipe Jaque, 2003, ≈Determinants of the Chilean Sovereign Spread : Is It
Purely Fundamentals?∆, Documentos de Trabajo, Banco Central de Chile.
Rowland, Peter, 2004, ≈The Colombian Sovereign Spread and its Determinants∆, Borradores
de Economía, Banco de la República, Bogotá.
, 2004, ≈Determinants of Spread, Credit Ratings and Creditworthiness for Emerging
Market Sovereign Debt : A Follow-Up Study Using Pooled Data Analysis∆,∆Borradores de
Economía, Banco de la República, Bogotá.
, and Torres, Jose.L., 2004, ≈Determinant of Spread and Creditworthiness for Emerging
Market Sovereign Debt : A Panel Data Study∆, Borradores de Economía, Banco de la República,
Bogotá.
Sawir, A., 2001, Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. PT. Gramedia
Putaka Utama, Jakarta.
Tunggal, AW., 1995, Dasar-dasar Analisa Laporan Keuangan. Rineka Utama, Jakarta.
Ulupui, I. G. K. A, 2006, ∆Analisis Pengaruh Rasio Likuiditas, Leverage, Aktivitas, dan Profitabilitas
terhadap Return saham (Studi pada Perusahaan Makanan dan Minuman dengan Kategori
Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Jakarta)∆,∆Jurnal Akuntansi dan Bisnis. Vol. 2. No.
1, Januari: 88 √ 102.
White G.I., Ashwinpaul C. Sondhi dan Dov Fried, 2003, ≈The Analysis and Use of Financial
Statements∆. USA : John Wiley. pg. 119ƒ135.
366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 2.500.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to: [email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/
jel_class_system.html.
8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
368 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Januari 2011
I. JUDUL BAB
I.1. Sub Bab
I.1.1. Sub Sub Bab
9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a. Publikasi buku:
John E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. Hanke dan Arthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
Jersey.
b. Artikel dalam jurnal:
Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.
d. Kertas kerja (working papers):
Kremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, Michael dan Chen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous
Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, John. ≈Can Parental Decision Explain
U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, Robert dan HestonHestonHestonHestonHeston, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.