bukulahanrawa

552
KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 200 6

Upload: raden-mas-jhoko-hadiningrat

Post on 29-Dec-2015

58 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

as

TRANSCRIPT

Microsoft Word - Cover Teknologi Lahan Rawa-fnl.doc

KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan PertanianBadan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian2006KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWAPENGARAH :Irsal LasPENYUNTING :Didi Ardi S. Undang Kurnia Mamat H.S. Wiwik Hartatik Diah SetyoriniREDAKSI PELAKSANA :Karmini GandasasmitaSuwarto Widhya Adhy SukmaraDiterbitkan oleh :

BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIANBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123

Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256 e-mail : [email protected]

HYPERLINK http://www.soil-climate.or.id http://www.soil-climate.or.idEdisi pertama tahun 2006

ISBN 979-9474-52-3

KATA PENGANTARLahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai lembaga penelitian dan kegiatan, terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar PenelitiandanPengembanganSumberdayaLahanPertaniantelah mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara komprehensif dan menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang ada, sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa. Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di dalam terbitan ini.

Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat informasi tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan rawa secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi pengelolaan lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis di lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan, untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan efisien.

Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku ini, saya sampaikan terima kasih.

Bogor, Desember 2006

Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana, MSi

DAFTAR ISIHalaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................i

DAFTAR ISI ...............................................................................................iii

I.KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA .........................1

Subagyo H.II. LAHAN RAWA PASANG SURUT ......................................................23

Subagyo H.III. LAHAN RAWA LEBAK .......................................................................99

Subagyo H.IV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM ..............117

Didi Ardi Suriadikarta dan Diah SetyoriniV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT .................151

Wiwik Hartatik dan Didi Ardi SuriadikartaVI. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ...................181

Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-RizaVII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA .....................203

Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal SarwaniVIII. KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA .......................229

Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-JabriIX. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ............275

Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyahiii

KLASIFIKASI DAN PENYEBARANLAHAN RAWASubagyo H.1

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa1.1. PENGERTIANLahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti swamp, marsh, bog dan fen, masing-masing mempunyai arti yang berbeda.

Swamp adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.

Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa reeds (tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), sedges (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan rushes (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau mendong, dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau salt- water marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).

Bog adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi) masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog, dan "raised bog. Blanket bog adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang tebal, disebut hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.

2

SubagyoFed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis reeds, sedges, dan rushes, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut laagveen atau lowmoor.

Lahan rawa merupakan lahan basah, atau wetland, yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah marsh, fen, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).

Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayu- kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal.

1.2. KLASIFIKASI WILAYAH RAWALahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.

3

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaPada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut.

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:

Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

Zona Ill: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

1.2.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payauWilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin.

Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh water).

4

SubagyoGambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai

(DAS) bagian bawah dan tengah

Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi, ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat forests).

Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di

5

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawabawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut tidal flats, atau mudflats. Pada bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih digenangi air pasang, disebut tidal marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.

Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar.

Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam- garam yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian.

Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,

6

Subagyoatau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5 km.

1.2.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawarWilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.

Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri- kanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.

Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub- landform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai.

7

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaMakin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak

kuat.Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).

1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surutWilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan

8

Subagyo"berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau berikutnya.

1.3. PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA1.3.1. Penyebaran lahan rawaSumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di Pulau Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan pada Gambar 1.2.

Di Sumatera, penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung. Di pantai barat, lahan rawa menempati dataran pantai sempit, terutama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekitar Meulaboh dan Tapaktuan), Sumatera Barat (Rawa Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan), dan Bengkulu (selatan kota Bengkulu).

Di Kalimantan, penyebaran lahan rawa yang dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai barat, termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat; pantai selatan, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kalimantan Selatan; serta pantai timur dan timur laut, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Penyebaran rawa lebak yang cukup luas, terdapat di daerah hulu Sungai Kapuas Besar, sebelah barat Putussibau, Kalimantan Barat, serta di sekitar Danau Semayang dan Melintang, sekitar Kotabangun, di Daerah Aliran

Sungai (DAS) bagian tengah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.9

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

10

SubagyoDi Papua, penyebaran lahan rawa yang terluas terdapat di dataran rendah sepanjang pantai selatan, termasuk wilayah Kabupaten Fakfak, dan pantai tenggara dalam wilayah Kabupaten Merauke. Kemudian di daerah Kepala Burung, di sekeliling Teluk Berau-Bintuni, dalam wilayah Kabupaten Manokwari dan Sorong.

Selanjutnya di sepanjang dataran pantai utara, memanjang dari sekitar Nabire (Kabupaten Paniai) sampai Sarmi (Kabupaten Jayawijaya). Penyebaran lahan rawa lebak yang cukup luas terdapat di lembah Sungai Mamberamo, yang terletak hampir di bagian tengah pulau.

Di Sulawesi, penyebaran lahan rawa relatif tidak luas, dan terdapat setempat-setempat di dataran pantai yang sempit. Lahn rawa yang relatif agak luas ditemukan di pantai barat-daya kota Palu, dalam wilayah Kabupaten Mamuju, kemudian di sekitar Teluk Bone, sepanjang pantai timur-Iaut Palopo, dan sedikit di pantai selatan Kabupaten Toli-toli di sekitar Teluk Tomini.

1.3.2. Luas lahan rawaBelum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya, kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.

Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S. Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di

11

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaKalimantan Selatan, sebagian besar penelitian dikonsentrasikan di wilayah Delta Pulau Petak, seperti di Barambai, Jelapat, dan Belawang. Selanjutnya penelitian wilayah lahan rawa terakhir, dilakukan antara tahun 1996-1998, yaitu pada wilayah rawa antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuas-Kapuasmurung yang diteliti dalam rangka pelaksanaan proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar) di wilayah tersebut.

Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S. Digul- Kabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986). Wilayah rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai utara pulau antara NabiredanSarmibelumpernahditelititanahnya.Timpeneliti Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan Nationwide study of coastal and near coastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya pada tahun 1982-

1984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984, lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh pemerintah pusat.

Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa, maka data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara lebih pasti dan akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa yang bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1.

Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa. Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar

23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada Lampiran1.1.Berdasarkanpeta-petalaporanakhirstuditersebut, Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa

lebak.12

SubagyoTabel 1.1. Estimasi luas lahan rawa di Indonesia

Lahan rawaSumber dataPulau

Tanah gambut

TanahmineralRawa lebakTotal ha ... Polak, 1952Indonesia16.349.865

Mulyadi, 1977Sumatera13.211.000

Kalimantan12.764.000

Papua12.980.500

Sulawesi469.000

Total39.424.500

Nedeco/Euroconsult-Sumatera4.200.1504.742.7908.942.940

Biec, 1984Kalimantan3.156.0003.872.3507.028.350

Papua

Sulawesi

Total1.906.500tad9.262.6505.872.000

tad

14.487.1407.778.500-23.749.790

Subagyo et al., 1990Sumatera6.407.7506.804.51113.212.261

Kalimantan5.352.5005.645.32310.997.823

Papua3.129.7509.866.00012.995.750

Sulawesi-1.115.8141.115.814

Maluku-775.500775.500

Total14.890.00024.207.14839.097.148

Nugroho et al., 1991Sumatera4.798.0001.806.0002.786.0009.390.000

Kalimantan4.674.8003.452.1003.580.50011.707.400

Papua1.284.2502.932.6906.305.77010.522.710

Sulawesi145.5001.039.450608.5001.793.450

Total10.902.5509.230.24013.280.77033.413.560

Puslittanak, 2000Sumatera6.590.3455.862.80612.453.151

Kalimantan4.447.5235.259.9739.707.496

Papua2.011.7808.293.25110.305.031

Sulawesi127.7441.212.6771.340.421

Maluku24.885478.975503.860

Total13.302.27621.107.68234.309.958

Catatan:

- Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia.

- Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau.

- Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data.

- Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas

lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk lahan rawa lebak.

13

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaSelanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia, memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.

Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia. Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala

1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P. Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT 1991, dan berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas lahan rawa 33.413.560 ha. Hasil penelitiannya, yang dilakukan berdasarkan tipologi lahan diuraikan agak mendetail dan disajikan pada Lampiran 1.2.

Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha, yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha, dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi lahan.

Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini, kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan beberapaproyek pengembanganlahan rawa Badan LitbangPertanian

Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated14

SubagyoSwamp Development Project) 1994-2000, dan Proyek PSLPSS (Pengembangan

Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) 1997-2000.

Sementara itu, berdasarkan sebaran jenis tanah dari Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000), luas lahan rawa sudah termasuk lahan rawa lebak, dapat dihitung, dan diperoleh luas 34,31 juta ha, terdiri atas lahan/tanah gambut 13,20 juta ha, dan tanah mineral basah

21,11 juta ha. Rincian luas lahan rawa berdasarkan jenis tanah, disajikan pada

Lampiran 1.3.

Berdasarkan keempat penelitian terakhir (Tabel 1.1) agak sulit menentukan berapa angka yang dipilih untuk luas lahan rawa di Indonesia. Studi Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) menunjukkan luas lahan rawa tidak termasuk lahan lebak, di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) sebesar

23,75 juta ha. Seandainya data dari Nugroho et al. (1991) untuk lahan rawa di P. Sulawesi (1,79 juta ha), dan rawa lebak di tiga pulau besar (12,67 juta ha) ditambahkan, maka luas lahan rawa seluruhnya akan mencapai 38,22 juta ha. Sementara itu, data luas lahan gambut juga berbeda, estimasi terendah berkisar antara 9,26-10,90 juta, dan yang lebih tinggi antara 13,20-14,89 juta ha.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar

13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara

9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an) sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (1969-

1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari

yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.15

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaPENUTUPDari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian, yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau. Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk pertanian, sering kali kata rawa, air tawar, dan air asin/payau dihilangkan, sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau swampland, dan termasuk dalam kelompok lahan basah, atau wetlands.

Ditinjau dari keluasannya, lahan pasang surut adalah paling dominan, diikuti oleh lahan lebak, kemudian lahan pasang surut air asin/payau yang karena kandungan garamnya relatif tinggi, atau salinitasnya tinggi, disebut lahan salin. Lahan salin ini, karena kendala kandungan garam yang tinggi dengan reaksi tanah netral sampai agak alkalis (pH 7,0-8,4), tidak cocok untuk budidaya tanaman pertanian, sehingga umumnya tidak di reklamasi atau dibuka untuk persawahan dan pemukiman. Pilihan penggunaan yang lebih sesuai adalah untuk budidaya tambak, atau tetap dipertahankan keberadaannya sebagai wilayah konservasi alam, untuk tujuan pengamanan sumberdaya hayati dan plasma nutfah, ekologi, dan lingkungan hidup.

Sementara itu, yang paling luas di reklamasi selama pembukaan wilayah pasang surut secara besar-besaran, sekitar 1970-1984, adalah lahan pasang surut di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Lampung), dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan), serta sedikit di Provinsi Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Lahan pasang surut di Pulau Papua (Irian Jaya), karena begitu besarnya volume pekerjaan reklamasi di Sumatera dan Kalimantan, belum sempat tertangani oleh pemerintah, walaupun 2-3 survei pendahuluan telah dilakukan pada lahan rawa di wilayah pantai bagian selatan pulau. Sampai awal tahun

1998, menurut data Dirjen Pengairan Departemen PU (sekarang Kimpraswil), reklamasi lahan rawa seluruhnya mencapai 5,39 juta ha. Khusus untuk lahan pasang surut telah direklamasi 3,84 juta ha, yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh

pemerintah dan 2,90 juta ha oleh swadaya masyarakat.16

SubagyoLahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang besar untuk dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian ke depan, untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan nasional, inventarisasi biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing lahan pasang surut, lahan lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih mendapatkan perhatian di masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini, yang diestimasi antara 33-39 juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu benar. Secara khusus, lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia, terutama di Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan informasinya masih sangat terbatas, perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti luas dan potensi alaminya, baik potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun sebagai sumberdaya hayati untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKAAlihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan. h. 1-18. Dalam 1. A. Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (penyunting). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 2000.

Direktorat Rawa. 1992. Prasarana fisik bagi pengembangan lahan pasang surut: Jaringanreklamasirawadanbangunanpenunjang,serta operasionalisasinya. h. 63-80. Dalam Sutjipto Ph., dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa.

Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998; 93 hal.

Monkhouse, F.J., and J. Small. 1978. A Dictionary of the Natural Environment. A Halsted Press Book. John Wiley & Sons, New York.

Mulyadi, D. 1977. Sumberdaya Tanah Kering. Penyebaran dan potensinya untuk kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi I, Jakarta, 27-29

Oktober 1977.17

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaNedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and

Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume

3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia. Ministry of

Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development.

Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No.

1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan

Agroklimat.

Polak, B. 1952. Veen en Veenontginning in Indonesia. Overdruk van het M.I.A.I Nr. 5 en 6.Sept.- Dec. 1952.

Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.

Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Sungai Digul, Kabupaten Merauke. Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 222 hal.

Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1986. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat TinjauDaerahMerauke(SungaiDigul-PantaiKasuari).Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian,

235 hal.

SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms.

SSSA, Madison, Wisconsin, USA. August 1984.

Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,

25-27 Juni 1996.

Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai. 1990. Wet soils of Indonesia. p.

248-259. In Kimble, J.M. 1992 (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl. Meeting

(VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet Soils.18

SubagyoLousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil

Survey Center, Lincoln, NE.

Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. h. 43-63.

Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian, Univ. Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991.

Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An Overview of Indonesia Wetland Sites- IncludedinWetlandDatabase.WetlandsInternational-Indonesia Programme, PHPA, Bogor.

Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.

Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-

38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

19

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaLampiran 1.1. Area of coastal and near coastal swamp of Indonesia

Landform and islandNot suitableSuitableTotal

ha Deep peatsSumatra3.972.3753.972.375

Kalimantan3.156.0003.156.000

Papua1.542.5001.542.500

Subtotal8.670.87508.670.875Complexes of deep peats with floodplainPapua364.000364.000

Sumatra227.775227.775

Subtotal591.7750591.775Tidal flatsPapua1.515.0001.515.000

Sumatra531.325531.325

Kalimantan995.200995.200

Subtotal3.041.52503.041.525Meander beltsKalimantan34.80034.800Lowland, poorly drained, tidalPapua1.570.0001.570.000

Kalimantan1.232.6751.232.675

Sumatra1.380.1401.380.140

Subtotal4.182.8154.182.815

Lowland, poorly drained, braided riverPapua360.375191.625552.000Lowland, poorly drained, floodplainKalimantan280.00074.375354.375

Sumatra728.125130.000858.125

Papua474.95098.750573.700

Subtotal1.483.075303.1251.786.200Lowland, poorly drained, low terracesKalimantan66.10066.100

Papua979.875979.875

Subtotal1.045.9751.045.975MiscellaneousPapua138.750258.250397.000

Sumatra168.525168.525

Subtotal307.275258.250565.525Occupied landsKalimantan1.189.2001.189.200

Sumatra2.089.1002.089.100

Subtotal3.278.30003.278.300TOTAL17.768.0005.981.79023.749.790Sumber : Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984.20

SubagyoLampiran 1.2. Luas lahan rawa di Indonesia

Pembagian lahan rawa dengan tipologi lahanSimbolLuasLuas. ha .Lahan rawa lebak13.280.770Lebak dangkalR14.167.530

Lebak tengahanR23.444.550Asosiasi Lebak tengahan, dengan Gambut- dangkal dan Gambut-sedang

R2/G12.630.530

Lebak dalamR3677.550Asosiasi Lebak dalam, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang

R3/G12.360.610

Subtotal13.280.770Lahan rawa pasang surut20.132.790Gambut-dangkal dan Gambut-sedangG14.261.900Asosiasi Gambut-dangkal dan Gambut-sedang, dengan Lahan agak salin

G1/S1103.000

Gambut-dalamG23.720.650Asosiasi Gambut-dalam dan Gambut-sangat dalam

G2/G32.817.000

Subtotal10.902.550Lahan potensialP30.130Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan agak salin

P/S11.205.430

Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan salinP/S2832.400

Subtotal2.067.960

Sulfat masam potensialSM11.132.750Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan

Gambut-dangkal dan Gambut-sedang

Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan agak salin

Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan salin

SM1/G166.000

SM1/S11.017.430

SM1/S22.127.800

Subtotal4.343.980Asosiasi Sulfat masam aktual, dengan Lahan salin SM2/S22.374.000Lahan agak salinS1304.000

Lahan salinS2140.300

Subtotal444.300

Total lahan rawa33.413.560Sumber : Nugroho et al. (1991)21

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan RawaLampiran 1.3. Jenis tanah dan luas lahan rawa di Indonesia

SPTTakson tanah (Soil

Tanah

Tanah Survey Staff, 1999) Bahan induk Sub-landform mineral gambut

. ha .23Haplohemists Haplosaprists HaplohemistsOrganik

OrganikKubah gambut

Dataran gambut-

-6.474.932

5.384.017

4Sulfihemists

EndoaquentsAluvium danDataran pasang1.508.0751.005.384

Organiksurut

5Haplohemists

HydraquentsAluviumDataran pasang3.064.938-

Sulfaquentssurut

6Endoaquepts

EndoaquentsAluviumDataran pasang

surut1.380.634-

7Endoaquepts

HalaqueptsAluviumDataran pasang

surut285.310-

814Udipsamments

Endoaquents

EndoaqueptsAluvium

AluviumPesisir pantai

Delta atau dataran454.179

2.225.819-

-

Sulfaquentsestuarin

15EndoaqueptsAluviumRawa belakang669.668-

16Sulfaquents

EndoaqueptsAluvium danBasin aluvial506.916337.944

organik(lakustrin)

17Haplohemists

EndoaqueptsAluviumBasin aluvial83.019-

(lakustrin)

18Endoaquents

EndoaqueptsAluviumBasin aluvial24.102-

(lakustrin)

20DystrudeptsEndoaqueptsAluviumJalur aliran sungai4.606.942-

Dystrudepts

25

27Sulfaquepts

Sulfaquents

EndoaqueptsAluvium

AluviumDataran aluvial

Dataran aluvial400.239

5.486.743-

-

Dystrudepts

26Endoaquepts

EndoaquentsAluviumDataran aluvial411.098

Total :21.107.68213.202.276

Total lahan rawa :34.309.958

Sumber : Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000)22

LAHAN RAWA PASANG SURUTSubagyo H.23

Lahan Rawa Pasang Surut2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUTDalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah, atau "wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian tempat relatif kecil, yaitu sekitar 0-0,5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman.

Secara umum, ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah non-gambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 3-

5 m. Bentuk kubah gambut umumnya lonjong atau hampir bujur telur, dan ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang (SRI, 1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang

sekitar 17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2002).29

Lahan Rawa Pasang SurutPada awal pembukaan lahan rawa pasang surut di Sumatera dan Kalimantan, yang survei tanahnya dilakukan secara intensif antara tahun 1969 dan 1984, banyak ditemukan wilayah kubah gambut di berbagai tempat, baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Di Sumatera, kubah gambut ditemukan di daerah rawa Sumatera Selatan, seperti di Sugihan Kiri, Delta Upang, Delta Telang, Pulau Rimau, dan Karang Agung Ulu (Wiradinata dan Hardjosusastro,

1979), serta di Delta Reteh antara S. Reteh dan S. Inderagiri di Provinsi Riau. Di Kalimantan Barat, terdapat beberapa kubah gambut besar di Delta S. Kapuas, di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan Kubu-Terentang, pada wilayah rawa pasang surut sebelah selatan kota Pontianak, di bagian muara S. Kapuas (LPT, 1969). Di Provinsi Kalimantan Tengah, wilayah kubah gambut ditemukan sangat luas di wilayah delta antara S. Mentaya, Katingan, Sebangau, Kahayan, Kapuas, dan Barito (Jaya, 2002).

Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian dari wilayah kubah gambut tersebut, terutama yang telah berhasil dijadikan areal pemukiman transmigrasi, telah lenyap dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya tinggal berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut dangkal atau tanah bergambut. Sebagai contoh, wilayah dimana kubah gambut telah lenyap atau tinggal sedikit sekali, di antaranya terdapat di Delta Upang, Delta Telang, Sugihan Kiri, dan Pulau Rimau di Sumatera Selatan, serta Delta Pulau Petak di Kalimantan Selatan.

Bagian yang terluas dari zona II adalah wilayah dataran rawa belakang, yakni wilayah bertopografi datar yang menempati posisi di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi di bagian tengah antara dua sungai besar. Di berbagai pulau delta, baik di Sumatera maupun Kalimantan, wilayah rawa belakang ini merupakan wilayah yang menjadi tujuan reklamasi rawa oleh P4S-PU (1969-

1984), dan dewasa ini merupakan persawahan pasang surut yang utama di lahan rawa. Menurut BPS (2001) luas lahan sawah yang aktif ditanami padi adalah

591.877 ha, terutama tersebar di delapan provinsi, yang bila diurutkan dari yang terluas sampai tersempit adalah Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Lampung, dan Sumatera

Utara.Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya

30

Subagyosenyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian.

Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH 4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai kelabu gelap.

Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat. Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca leucadendron).

2.2. GENESIS TANAH RAWASeperti telah diuraikan sebelumnya, lahan rawa pasang surut berada di bagian muara sungai-sungai besar, berupa pulau-pulau delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai contoh yang pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada muara S. Musi-Banyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau, dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan Selatan.

Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti bahwa lahan rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation),

yaitu proses pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami,32

Subagyokarena pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) di wilayah bagian muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan "menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau "mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen, sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya menjadi dataran rawa pasang surut, tidal marsh, atau salt marsh, yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove.

Mencermati bentuk-bentuk pantai di Indonesia dimana lokasi rawa pasang surut berada, dapat disimpulkan bahwa pantai-pantai Indonesia bukan termasuk shorelines of submergence (Strahler, 1973), yaitu bentuk-bentuk pantai yang terbentuk karena permukaan air laut naik, atau kerak bumi menurun. Juga tidak termasuk shorelines of submergence, yaitu bentuk-bentuk pantai yang terjadi karena permukaan air laut menurun, atau kerak bumi meninggi. Tetapi termasuk dalam neutral submergence, yaitu apabila pantai terbentuk sebagai akibat penambahan bahan-bahan baru ke dalam laut. Kata netral di sini diartikan, tidak ada perubahan relatif pada posisi permukaan air laut atau posisi kerak bumi. Bentuk-bentuk pantai Indonesia, karena berbentuk delta-delta, dapat dimasukkan sebagai delta shorelines.

Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia, tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fisika dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim gabungan antara peneliti-peneliti dari Land and Water Research Group (LAWOO) dan dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober

1987 sampai sekitar Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau

Petak dilaporkan oleh Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990).

Sampai sekitar 5.500 tahun yang lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak sekarang ini masih merupakan wilayah teluk yang berpantai dangkal. Dari 5.500

33

Lahan Rawa Pasang Suruttahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur (eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini.

Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan radiometric dating periode zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es (glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973). Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut, permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik. Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil,

1997).

Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia

Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons,1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai, yakni prosesakreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran C-14 dating contoh- contoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah

pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di34

Subagyosekitar S. Batanghari di Jambi menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S. Siak Kanan di Riau, masing-masing berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM (Neuzil, 1997). Di pantai P. Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat, menunjukkan umur

4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam, Kalimantan Timur,

4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari S. Lassa dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.500-

5.000 dan 4.000 tahun SM (Neuzil, 1997).

2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWASeperti telah diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin tereduksi, serta lapisan tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual pada lahan rawa pasang surut air salin/payau (Zona I) dan air tawar (Zona II), terdapat pirit.

Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang individu- individu kristal tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran 8%, disebut Hydraquents; (iii) yang berasal dari bahan endapan sungai (fluvio = sungai), ditunjukkan kandungan C-organik pada kedalaman 15-125 cm menurun secara tidak teratur, dan mencapai 0,25% atau lebih pada kedalaman 125 cm, disebut Fluvaquents; (iv) yang secara dominan mengalami penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquents; dan (v) yang bertekstur pasir kasar, yakni pasir halus berlempung atau lebih kasar (psammos = pasir), seperti pada beting pasir pantai, disebut Psammaquents.Dalam Aquepts terdapat empat great grup, yaitu (i) yang mempunyai horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquepts; (ii) yang karena pengaruh air pasang dari air laut, banyak mengandung garam natrium/sodium,

51

Lahan Rawa Pasang Surutatau mempunyai horison salik atau berupa tanah salin, disebut Halaquepts; (iii) yang mempunyai lapisan bahan organik cukup tebal di permukaan, yaitu epipedon histik, disebut Humaquepts; dan (iv) yang secara dominan mengalami penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquepts.Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup ditambahkan nama awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri, disebut Typic, atau sifat tambahan ke great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain. Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya berasal dari great grup yang sama, yaitu selain Histic, Sulfic,dan Sodic, juga terdapat Haplic, Thapto-Histic, dan Aeric. Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan dapat berasal dari great grup yang sama, seperti Histic dan Sulfic, Aeric, dan Vertic, atau sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti Salidic, Hydraquentic, dan Fiuvaquentic. Arti dari masing-masing sifat tambahan ini adalah:

Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau kandungan liat 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu atau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan. Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great grup Hydraquents.

Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik menurun secara tidak teratur di dalam kedalaman 25-125 cm; atau kandungan C-organik pada kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut

merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents.52

SubagyoDalam kaitan ini, tanah sulfat masam potensial, karena mempunyai pirit atau bahan sulfidik belum teroksidasi, dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi sebagai Entisols, termasuk great grup Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat masam aktual, yang proses oksidasi bahan sulfidiknya belum selesai dan ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0, diklasifikasikan sebagai Entisols, yaitu masuk subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents. Sementara tanah sulfat masam aktual yang oksidasi bahan sulfidiknya sudah selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5, diklasifikasikan sebagai lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts.Tanah-tanah basah yang relatif masih mentah pada wilayah rawa zona I, diklasifikasikan sebagai Hydraquents, dapat termasuk sebagai Sulfic, Sodic, atau Thapto-Histic Hydraquents. Tanah-tanah pada beting, atau bukit-bukit pasir pantai,apabila

basahdengan kondisiaquik,diklasifikasikansebagai Psammaquents.Apabila keringtidakmempunyai

ciri-ciri kondisi aquik, dimasukkan sebagai Psamments, yakni Entisols yang bertekstur pasir kasar. Apabila pasirnya didominasi oleh pasir kuarsa (quartz), termasuk dalam (great grup) Quartzipsamments, dan jika bukan kuarsa diklasifikasikan sebagai (great grup) Udipsamments, yaitu Psamments yang berada di lingkungan iklim lembab/humid (udus = lembab/humid).Tanah-tanah tanggul sungai, sebagian besar merupakan Fluvaquents, apabila mempunyai ciri kondisi aquik, dan dapat termasuk (subgrup) Sulfic Fluvaquents jika masih mempunyai bahan sulfidik relatif belum teroksidasi, atau belum sempurna teroksidasi. Atau sebagai Thapto-Histic Fluvaquents, jika terdapat bahan organik tertimbun di dalam tanahnya, atau sebagai Aeric Fluvaquents, jika tidak mengandung bahan sulfidik, tetapi tanah bagian atasnya antara 25-75 cm, sudah teroksidasi. Tanah tanggul sungai yang kering, dan tidak

mempunyai ciri kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai (subordo) Fluvents.53

Lahan Rawa Pasang Surut2.4.3. Klasifikasi tanah gambutDalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah gambut disebut Histosols, dan didefinisikan secara kuantitatif atau terukur, mengikuti definisi ini, maka Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik, yaitu:

kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat (0%);

atau kandungan C-organik minimal 18%, apabila mengandung fraksi liat 60% atau lebih; atau jika kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka kandungan C-organik adalah

12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1).

Tingkat dekomposisi atau pelapukan/perombakan bahan organik gambut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik (awal), hemik (tengahan), dan saprik (Ianjut), tergantung dari kandungan serat (fibers) yang menyusunnya.

Fibrik: gambut dengan tingkat dekomposisi awal, yaitu kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga perempat bagian dari volumenya.

Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan, yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya.

Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 17%, atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya. Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam. Sifat-sifatnya, baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah stabil.

Batasan tanah gambut sebagai Histosols, dengan demikian adalah: (i) terdiri atas bahan tanah organik; dan(ii) jenuh air, selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan(iii) ketebalannya minimal 60 cm, apabila tersusun dari bahan fibrik, atau jika bobot-isinya kurang dari 0,1 g/cm3; atau(iv) ketebalannya minimal 40 cm, apabila tersusun dari bahan saprik, atau bahan hemik, atau jika terdiri atas bahan fibrik kandungan serat jaringan kurang dari

bagian volume, dan bobot-isinya harus 0,1 g/cm3 atau lebih.54

SubagyoPada taksa, atau kategori lebih ke bawah yaitu tingkat subordo, Histosols pada wilayah rawa berdasarkan tingkat dekomposisi bahan gambutnya dibagi menjadi tiga subordo, yaitu Fibrists, Hemists, dan Saprists. Tanah gambut di wilayah rawa pasang surut, mempunyai tanah dasar mineral berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik, sehingga keberadaan bahan sulfidik atau horison sulfurik berikut kedalamannya dari permukaan tanah, termasuk dalam definisi tanah gambut, dan ikut menentukan namanya.

Pada Hemists dan Saprists, yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, disebut great grup Sulfihemists dan Sulfisaprists. Apabila mempunyai horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm, disebut (great grup) Sulfohemists dan Sulfosaprists. Di dalam definisi Histosols, tidak disebutkan keberadaan horison sulfurik di dalam kedalaman 50-100 cm dari permukaan tanah, oleh karena di alam memang tidak ditemukan horison sulfurik pada kedalaman tersebut. Apabila bahan sulfidik terletak lebih dalam, yaitu pada kedalaman lebih dari 100 cm (1 m), disebut Haplohemists dan Haplosaprists. Akan halnya Fibrists, di daerah tropika, tampaknya belum ditemukan Fibrists yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm, ataupun horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm dari permukaan. Yang ditemukan umumnya mempunyai bahan sulfidik yang terletak dalam, yaitu lebih dari 100 cm, dan oleh karena itu disebut (great grup) Haplofibrists.

Untuk menetapkan sifat-sifat Histosols, dimana suatu sifat atau ciri tanah harus ditetapkan, misalnya apakah bahan gambutnya dari tipe fibrik, hemik, atau saprik, ataukah ada sisipan tanah mineral, atau lapisan air di dalam tanah gambut, digunakan penampang kontrol (control section) yaitu kedalaman tanah gambut, dihitung dari permukaan tanah gambut, dimana sesuatu sifat harus ditetapkan. Untuk tanah gambut, kedalaman penampang kontrol adalah 130 atau

160 cm, dan terdiri atas tiga lapisan gambut, atau tier, yaitu tier permukaan, tier bawah (permukaan), dan tier dasar. Tier permukaan umumnya 0-30 cm, tetapi bila bahan gambutnya dari lumut spaghnum, atau bobot isinya 300 cm) bersifat ombrogen, dan komposisinya sama, yaitu sebagian besar merupakan Typic Haplohemists dan sebagian kecil Typic Haplofibrists.

2.5. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-TIPE LAHAN2.5.1. Tipologi lahanReklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder, dan tersier, yang dimaksudkan untuk mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Pada kenyataannya, sesudah selesainya penggalian saluran-saluran tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu

mencapai kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian. Pada lahan petani,57

Lahan Rawa Pasang Surutmengikuti kondisi hidrotopografi permukaan lahan, ada bagian-bagian lahan yang selalu terkena genangan setiap kali pasang naik, tetapi ada juga bagian lahan yang tidak pernah terkena genangan pasang. Bagian yang rendah yang selalu tergenang pasang harian, umumnya telah disawahkan.

a. Klasifikasi tipologi lahan versi awalDalam awal pelaksanaan Proyek Penelitian Pertanian Lahan pasang Surut dan Rawa, SWAMPS-II, sekitar tahun 1986-1987, (Proyek PPLPSR-Swamps II,

1993a), dirasakan perlunya pembagian kelompok-kelompok tanah rawa yang kurang-Iebih sama sifat-sifatnya, dan memiliki respons yang relatif sama pula terhadap perlakuan pengelolaan tanah dan air. Hal ini diperlukan untuk perencanaan dan pengujian model usahatani yang akan dikembangkan, dimana penelitiannya dilaksanakan melalui pendekatan agroekosistem.

Telah diketahui bahwa pada lahan rawa terdapat agroekosistem tanah gambut dan tanah mineral. penggunaan sistem klasifikasi murni seperti Taksonomi Tanah, untuk membedakan antara Sulfihemists dan Sulfohemists serta Sulfaquents dan Sulfaquepts, yaitu tanah gambut dan tanah mineral yang bahan sulfidiknya belum dan sudah teroksidasi, dirasakan rumit dan kurang praktis oleh para praktisi dan peneliti agronomis yang menangani pengelolaan tanah dan air, serta upaya peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut.

Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, maka I P.G. Widjaja-Adhi, sekitar 1986-1987, mengusulkan penggunaan klasifikasi tipe-tipe lahan, atau tipologi lahan pada wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak dengan persyaratan-persyaratan atau kriteria-kriterianya seperti tercantum pada Tabel 2.4.

58

SubagyoTabel 2.4. Tipologi lahan di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi tahun 1987

Tipologi lahanSimbolKriteria

Lahan potensialPKadar pirit 50 cm dari permukaan tanah, termauk tanah sulfat masam potensial. Kendala produksi dan kemungkinan munculnya kendala tersebut diperkirakan kecil.

Lahan sulfat masam

Sulfat masam

potensial

SMLapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal, 100 cm) dan lahan

potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut59

Lahan Rawa Pasang Surutmenjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman lapisan gambut di permukaan tanah antara 25-50 cm. Sebelumnya Nugroho et al. (1991) juga membagi lahan salin pantai ke dalam dua tipe lahan, yaitu tanah/lahan agak salin, salin 1 (S1), yang dipengaruhi air asin/payau, dan tanah/lahan salin, salin 2 (S2), yang dipengaruhi air asin. Disebut tanah salin apabila kadar garam >1.000 ppm, atau daya hantar listrik >1.400 dS/m, tetapi tidak disebutkan kriteria atau batas pembagian kandungan garam, atau daya hantar listrik, antara lahan agak salin dan lahan salin.

Klasifikasi tipologi lahan seperti ini relatif mudah dipahami, oleh karena itu secara luas telah digunakan untuk klasifikasi tipologi lahan pertanian guna pengelolaan lahan rawa secara terpadu oleh institusi dan berbagai proyek penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian Dep. Pertanian seperti, Balittra (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (1985-

1994), ISDP (Integrated Swamp Development Project) (1994-2000), dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) (1997-2000). Demikian juga berbagai tulisan dan makalah tentang lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun 2002, masih banyak yang menggunakan istilah-istilah tipologi lahan tersebut.

Namun dalam perkembangannya, telah timbul berbagai kritikan tentang penamaan tipologi lahan tersebut, yang seringkali menimbulkan kerancuan dan kesalahpengertian (Sudarsono, 1999). Yang dipersoalkan, sebenarnya hanyalah terletak pada istilah: lahan potensial (P), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidiknya terdapat pada kedalaman >50 cm vs sulfat masam potensial (SMP), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidik terletak pada kedalaman 100 cmAluvial bersulfida dalamSMP-250-100 cmAluvial bersulfida dangkal SMP-1300 cm gambut) (GSDL)

Klasifikasi tipologi lahan (2004)Gambut-dangkal bersulfat (G-1sr)Gambut-sedang (G-

2)Gambut-sedang bersulfida (G-2sf)Gambut-sedang bersulfat (G-2sr)Gambut-dalam (G-

3)Gambut-dalam bersulfida (G-3sf)Gambut-sangat dalam (G-4)

Kedalaman pirit/bahan sulfidik# Tebal gambut

50-100 cm (0-50cm, horison sulfurik)Tebal gambut

101-200 cm (0-200 cm, tanpa bahan sulfidik)

Tebal gambut

101-200 cm (0-100 cm, bahan sulfidik)

Tebal gambut

101-200 cm (0-50 cm, horison sulfurik)Tebal gambut

201-300 cm (0-300 cm, tanpa bahan sulfidik)

Tebal gambut

201-300 cm (0-100 cm, bahan sulfidik)

Tebal gambut

>300 cm (>300 cm, tanpa bahan sulfidik)

Taksonomi tanah(1999;2003)@ HISTOSOLS: TypicSulfohemists/TypicSulfosaprists

HISTOSOLS Haplofibrists/Haplohemists/ Haplosaprists

HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa pristsHISTOSOLS: Typic Sulfohemists/Sulfos aprists

HISTOSOLS Haplofibrists/Haplohemists/ Haplosaprists

HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa pristsHISTOSOLS Haplofibrists/Haplohemists/

Haplosaprists*) Widjaja-Adhi et al. (1992) dan PPPLPSR-Swamps Il (1993a; 1993b); ** Proyek PSLPSS (1998;1999); @ Soil Survey Staff (1999; 2003); # Kedalaman pirit/bahan sulfidik dihitung dari permukaantanah mineral; Ketebalan gambut dihitung dari permukaan tanah gambut.67

Gambar 2.4. Skema pembagian tipologi lahan rawa pasang surut, berdasarkan kedalaman bahan sulfidik/pirit, dan ketebalan gambut

Subagyo2.5.2. Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahanUntuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah dari tanah- tanah rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil analisis tanah dari 346 profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang diperoleh dari survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah (PPT, 1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delta S. Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a), dan S. Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari survei dan pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan, Kapuas, dan Barito, di wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta hektar, 1996-1998 (Puslittanak, 1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak (SRI, 1973), serta sebagian kecil dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur.

Uraian ringkas dari sifat-sifat kimia tanah, yang diberikan berikut ini diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1, Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP), Sulfat Masam Aktual (SMA), dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat Masam Potensial Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan Gambut- sangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan rata- rata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7, sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8.

a. Tanah mineralTanah tanggul sungaiDalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam (natural levee) seringkali mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 300 cm). Tanah- tanah lainnya yang tergolong ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan gambut kurang dari 30 cm dengan kadar karbon antara

15 hingga 30% (Koswara, 1973).

Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein, dan lain-lain. Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993). Sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5) dan umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik (Driessen, 1978).

Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan

Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu152

Hartatik dan Suriadikartakomposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%.

Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Air pasang surut mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan karena terbawa oleh aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974; Leiwakabessy, 1978).

5.2. KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT5.2.1. Kesuburan tanah gambutKesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusunan gambut, dan (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Tabel

5.1).

Tabel 5.1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambutTingkat

Kandungan

kesuburanP2O5CaOK2OAbu

.. % bobot kering gambut ..Eutrofik> 0,25> 4> 0,1> 10

Mesotrofik0,20-0,251-40,15-10

Oligotrofik0,05-0,200,25-10,03-0,12-5

Sumber : Polak, 1949.153

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan GambutTingginyakandunganbasa-basagambuteutrofikdisebabkan pembentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran air laut dan air sungai). Gambut mesotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air sungai, sedangkan gambut oligotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy,

1978).

Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil penelitian Halim (1987) dan Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) yaitu tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75. Sedangkan pH H2O tanah gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar 4,1-4,3 (Hartatik et al., 2004).

Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978), kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Tabel 5.2). Tanah gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayu- kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson,

1994).

Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari

10% (Tim Institut Pertanian Bogor, 1974), demikian juga nilai KB tanah gambut

dataran rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).154

Hartatik dan SuriadikartaTabel 5.2. Komposisi gambut Ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation

(Driessen, 1978)

KomposisiBobotKTKLignin%64-74me/100g150-180

Senyawa humat10-2040-80

Selulosa0,2-107

Hemiselulosa1-21-2

Lainnya0,1 mM menurunkan bobot kering tanaman bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992). Wang et al. (1967) mendapatkan pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu, tetapi pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap pertumbuhan akar tanaman tebu.

Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 M menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum serta asam ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 M menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai.

Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan organik berpengaruh terhadap perubahan permeabilitas sel tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, menghambat dan menunda perkecambahan. Selain bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji, menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdil, mengganggu serapan hara, klorosis layu, dan akhirnya dapat mematikan tanaman (Patrick,

1971).157

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut5.3. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN GAMBUTRendahnya produktivitas lahan gambut disebabkan oleh adanya berbagai faktor pembatas, diantaranya kandungan asam-asam fenolat yang tinggi, kemasaman yang tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi dengan kejenuhan basa dan ketersediaan P yang rendah.

Mengusahakan lahan gambut dengan cara disawahkan, secara tidak langsung dapat menekan terjadinya penurunan permukaan tanah (subsident), namun permasalahan yang dihadapi adalah munculnya asam-asam organik dalam konsentrasi yang tinggi yang meracuni tanaman, terutama asam-asam fenolat (Tadano et al.,1990; Rachim 1995; Prasetyo, 1996; Salampak, 1999). Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan (Tsutsuki dan Kondo, 1995).

Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat dapat dikurangi dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, Zn (Rachim, 1995; Prasetyo,

1996; Saragih 1996). Penurunan asam-asam fenolat disebabkan oleh adanya erapan kation-kation polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam organik sehingga membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson,

1994). Tapak-tapak reaktif di dalam tanah gambut berasal dari gugus fungsional asam organik yang mengandung oksigen (C=O, OH, dan COOH), terutama dari gugus OH asam fenolat.

Penelitian Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan stabil berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan dengan kation Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi pengikatan P sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P (Rachim, 1995).

Upayapeningkatanproduktivitaslahangambutmelaluiteknologi pencampuran dengan tanah mineral telah lama dipraktekkan di lahan gambut. Tanah mineral yang sesuai sebagai bahan amelioran untuk menekan aktivitas asam-asam fenolat tergantung kandungan asam-asam fenolat dominan pada gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang mengandung asam ferulat lebih tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang mengandung besi tinggi. Sedangkan pada gambut Sumatera Selatan yang mengandung asam p- hidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian tanah mineral perlu

158

Hartatik dan Suriadikartadikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani di Belanda mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut yang ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman

40 cm. Sedangkan petani di Rusia mencampurkan tanah mineral dengan gambut dengan cara menyebarkan tanah mineral di atas tanah gambut sebanyak 300-

400 m3/ha atau setebal 3-4 cm, kemudian dibajak agar tanah mineral tercampur

rata dengan tanah gambut. Praktek petani di Jerman untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut dengan tanah mineral berbeda dengan Belanda dan Rusia. Tanah mineral yang diangkut dari tempat terdekat, disebar rata di atas permukaan tanah gambut setebal 10 hingga 12 cm atau 1.000 hingga 1.200

m3/ha, tetapi tidak dicampur dengan gambut (Skoropanov, 1968). Pemberian

tanah mineral setebal 6 cm atau setara 600 t/ha pada tanah gambut Hokaido Jepang meningkatkan hasil padi 4,3 t/ha (Miyake, 1982). Soepardi dan Surowinoto (1986) melaporkan bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha mampu meningkatkan hasil tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pemupukan.

Halim (1987) melakukan pencampuran tanah gambut Sumatera Selatan dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai (levee) sebesar 16 ton bahan tanah dan 3 ton dolomit + 1,5 ton kalsit serta 80 kg besi per hektar meningkatkan hasil kedelai sebesar 17,7 ku/ha. Rachim et al. (1991) melaporkan takaran tanah mineral berpirit sebanyak 20% dari bobot tanah gambut meningkatkan hasil tanaman jagung dan padi. Bila takaran campurannya ditingkatkan menjadi 40%, maka cenderung menurunkan hasil, karena meningkatnya bobot gabah yang hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit perlu diwaspadai karena dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman, karena meningkatnya Al-dd, H-dd, dan SO4 2-.

Pemanfaatanbahanamelioranlumpurlautdankapurterhadap peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan Barat menunjukkan bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut melalui perbaikan sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan Ca dan Mg, kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5% meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001).

Ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik,

2003). Salampak (1999) melaporkan pemberian tanah mineral berkadar besi159

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambuttinggi sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari

Kalimantan Tengah mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar

30% dan meningkatkan produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha (Tabel 5.3). Pemberian tanah mineral juga dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih baik. Selain itu, ikatan dengan koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan gambut menjadi terhambat (Alexander, 1977) sehingga gambut sebagai sumber daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Tabel 5.3. Rata-rata bobot gabah akibat pemberian bahan amelioran pada dua jenis gambut di Kalteng (Salampak, 1999)

Bobot gabah padaBahan amelioran

Gambut pasang surut (Samuda)Gambut transisi (Sampit)% erapan maksimum Fe... t /ha ...02,557,510

0,73 a*

1,22 a

2,06 b

3,24 c

2,15 c

0,57 a

1,19 ab

1,87 c

2,75 d

2,03 d*) Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Kation besi dari amelioran tanah mineral dapat menciptakan tapak erapan baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengika