buku riset upah buruh industri di kota medan

178
1 Realitas Upah Buruh Industri Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) Oleh Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si Didukung Oleh: Oxfam Novib Netherland Medan, 2006

Upload: tua-hasiholan-hutabarat

Post on 18-Jun-2015

1.198 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Tentang kondisi pengupahan buruh industri di Kota Medan

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

1

Realitas Upah Buruh Industri

Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS)

Oleh Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Didukung Oleh: Oxfam Novib Netherland

Medan, 2006

Page 2: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

2

Kata Pengantar Lembaga

Persoalan-persoalan perburuhan yang terjadi di tingkat lokal maupun nasional

semakin lama cenderung semakin kompleks. Mulai dari hak-hak normatif yang kerap

dilanggar oleh pengusaha dengan perlindungan yang minim dari pemerintah, kebebasan

berserikat yang tidak sepenuhnya terjamin dan pengekangan hak-hak sosial politik, maupun

ketidakpastian nasib buruh sebagai dampak penerapan liberalisasi pasar tenaga kerja menjadi

realita sehari-hari yang harus dihadapi oleh buruh.

Tanggapan pemerintah sendiri terkait persoalan-persoalan yang dihadapi oleh buruh

tersebut sangat minimal dibandingkan perhatian yang diberikan kepada strategi dan langkah-

langkah pembangunan ekonomi maupun penciptaan iklim investasi. Beban dan tekanan yang

dihadapi oleh buruh malah dianggap sebagai salah satu faktor penghambat ataupun

pengganggu masuknya investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu alat yang digunakan oleh pengusaha dan pemerintah dalam rangka

menjaga pemulihan dan pertumbuhan ekonomi adalah menerapkan sistem pengupahan yang

mendukung sistem yang dibangun oleh pemerintah. Sistem pengupahan tersebut kita kenal

sebagai upah minimum. Walaupun sebenarnya sistem tersebut sekaligus sebagai jaring

pengaman bagi buruh, pada kenyataannya upah minimum kurang berkontribusi terhadap

kesejahteraan buruh, karena beban yang diterima oleh buruh tidak sesuai dengan

produktivitas ataupun hasil yang dinikmati oleh pengusaha.

Kepentingan pemerintah terhadap pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, pengusaha

dengan akumulasi modalnya dan buruh dengan hak-hak dasarnya tersebutlah yang terus

menerus menjadi polemik setiap tahun. Pertarungan kepentingan tersebut tentunya berjalan

secara tidak seimbang akibat ketimpangan kekuatan antar pihak tersebut. Walaupun tersedia

sebuah institusi yang seakan-akan mendemokratiskan proses penentuan upah, tetap saja

memposisikan buruh sebagai korban dari pemberlakuan sistem pengupahan.

Penelitian ini adalah bagian dari strategi membuka ketimpangan pengupahan yang

ada. Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sebagai sebuah organ yang

berkonsentrasi pada penguatan buruh maupun serikat buruh merasa berkewajiban untuk

mengungkap sistem pengupahan yang selama ini dianggap menindas buruh. Semua pihak

nantinya setelah membaca hasil penelitian ini akan menilai bagaimana proses penindasan

berlangsung melalui pemberlakuan sistem pengupahan dan konsep upah minimum.

Page 3: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

3

Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sebagai sebuah organisasi non

pemerintah yang bergerak di bidang perburuhan dalam posisi ini mencoba menjadi

intelektual organik bagi kepentingan buruh. Salah satunya adalah dengan melakukan studi-

studi yang bermanfaat bagi proses perubahan sosial dengan tujuan membongkar sistem yang

menghisap, menindas dan tidak adil terhadap komponen rakyat marginal.

Medan, Jumat 23 Februari 2006

DIREKTUR EKSEKUTIF PKPS SAHAT LUMBANRAJA

Page 4: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

4

KATA PENGANTAR PENULIS

Setelah dua tahun berjalan, akhirnya penelitian pengupahan yang dilaksanakan oleh PKPS sampai pada titik akhir. Dengan diterbitknnya buku hasil penelitian ini diharapkan mengantarkan PKPS sebagai salah satu institusi non pemerintah bidang perburuhan dan isu-isu sosial lainnya menjadi lebih memposisikan diri di pihak rakyat yang menjadi korban pembangunan, terutama buruh.

Diakui bahwasannya ada banyak kendala yang menyebabkan hasil penelitian ini dari segi waktu cukup terlambat dipublikasikan kepada masyarakat luas yang memiliki perhatian sekaligus keprihatinan sama terhadap kondisi perburuhan, terutama terhadap sistem pengupahan yang dirasakan sangat tidak adil.

Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) sendiri yang sudah 15 tahun mengikatkan diri dalam perjuangan-perjuangan rakyat akar rumput dan buruh belum banyak melakukan kerja-kerja kajian yang kemudian dipublikasikan secara lebih luas ke masyarakat umum. Hasil-hasil kajian yang dilakukan lebih banyak untuk kepentingan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan buruh dan diasumsikan punya relasi kuat terhadap perjuangan-perjuangan buruh dan masyarakat terpinggirkan lainnya, khususnya di Sumatera Utara.

Melalui penelitian pengupahan ini setidaknya PKPS sudah memulai lebih maju dalam melakukan riset-riset perburuhan, sehingga tidak lagi sekedar melakukan kajian bagi kepentingan pengorganisasian, namun juga bagi tujuan-tujuan dalam skala makro, seperti pengungkapan fakta-fakta sosial lebih luas semisal sistem pengupahan. Tujuan-tujuan seperti itu tentunya menuntut penggunaan metodologi penelitian yang lebih empirik, ataupun setidaknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui oleh lembaga pemerintah dan masyarakat akademik. Aplikasi metodologi tersebut tentunya digunakan dengan catatan-catatan tertentu. Bukan sekedar untuk memenuhi kaidah empirisme semata, namun juga tetap diboboti dengan analisis keberpihakan yang tegas terhadap buruh.

Apalagi ketika dipahami bahwasannya selama ini ilmu pengetahuan dan metodologi riset yang digunakan untuk mengungkapkan fakta atau realitas sosial sarat dengan kepentingan rejim penguasa dan menghegemoni teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal itu dapat dilihat dari perkembangan riset akademis maupun di kalangan organisasi non pemerintah yang dengan mengatasnamakan empirisme, objektivitas, dan beberapa konsep penelitian ilmiah lainnya sebenarnya melakukan pembelokan terhadap realitas yang berlangsung di masyarakat. Penggunaan metodologi ilmiah selama ini lebih cenderung bukan sebagai aktivitas memahami fakta yang sebenarnya, namun didasarkan atas kepentingan yang lebih besar, yakni bagaimana realitas sosial yang diungkap ke permukaan berkontribusi terhadap pembangunan.

Beberapa riset pengupahan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya institusi yang memiliki kewenangan terhadap perumusan dan penetapan pengupahan selama ini dianggap menggunakan azas-azas riset yang kurang lebih mengindikasikan praktek ketidakadilan dalam melihat fakta sosial. Hal itu dapat dilihat dari proses survey Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang banyak mereduksi realitas ekonomi yang dialami buruh sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang menyimpang jauh dari kondisi riil yang dialami buruh. Penyimpangan-penyimpangan tersebut terkesan semakin lama semakin dilegitimasi oleh pemerintah sehingga semakin mengentalkan kepentingan pemerintah dan modal.

Page 5: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

5

Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera (PKPS) menyadari betul ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem pengupahan yang didukung oleh paradigma pembangunan dan ilmu pengetahuan yang sekedar melegalkan kepentingan mereka. Untuk itu jalan satu-satunya adalah dengan mengembalikan paradigma riset pada prinsip objektivisme yang tidak direduksi oleh kepentingan-kepentingan penguasa.

Melalui riset pengupahan ini diharapkan realitas kehidupan buruh dapat terungkap sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan dasar pengkritisan terhadap sistem pengupahan yang selama ini tidak adil bagi buruh. Studi terhadap sistem pengupahan yang berlaku saat ini menjadi dasar bahwasannya upah yang diterima buruh berdasarkan proses perumusan dan penetapan yang ada sudah sangat jauh dari kebutuhan hidup buruh. Hal itu dapat dilihat dari persepsi buruh tentang institusi perumus upah, dasar yang digunakan dalam penentuan upah, kebijakan yang diterapkan, dan respon buruh terhadap kebutuhan konsumsinya berdasarkan upah yang diterima.

Gambaran terhadap kondisi kehidupan buruh tersebut adalah sebuah fakta bahwasannya sistem pengupahan yang dijalankan saat ini tidak layak lagi untuk dijadikan dasar penentuan upah buruh. Tekanan ekonomi yang sudah sangat besar terhadap buruh, minimnya peran buruh dalam proses penentuan upah, kuatnya kepentingan modal dalam proses perumusan dna penentuan upah, tidak adilnya standar yang digunakan oleh pemerintah dalam perumusan upah, reduksi terhadap proses kerja institusi, dan metodologi yang digunakan adalah indikasi ketidaklayakan sistem pengupahan yang berjalan saat ini. Menyerahkan perubahan terhadap sistem pengupahan kepada pemerintah dan institusi yang terlibat tidak mungkin dilakukan karena kepentingan akan investasi, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi selalu akan mengalahkan kepentingan buruh. Melakukan perubahan parsial dengan harapan sekedar kenaikan jumlah nominal upah juga tidak menjawab karena akan menuntun buruh kembali pada posisi terjebak pada sistem yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini paling tidak diperoleh pemahaman bahwasannya perubahan yang lebih adil terhadap sistem pengupahan menuntut proses yang lebih menyeluruh, menyangkut sistem ekonomi, politik ekonomi, kebijakan dan konsep dasar tentang kerja dan upah.

Akhirnya, hanya buruh yang mengetahui apa yang disebut dengan keadilan, termasuk keadilan pada sistem pengupahan. Hasil riset ini menjadi penghantar motif-motif perubahan yang harus dilakukan demi kehidupan buruh yang lebih baik.

Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah memulai penelitian ini, yakni Lina Sudarwaty, Henry Sitorus, yang keduanya adalah dosen di Jurusan Sosiologi FISIP USU, Sri R.M dan kawan-kawan buruh anggota SBMI, baik itu yang ada di Mabar, Binjai dan Tanjung Morawa. Keterlibatan kawan-kawan sangat menentukan penelitian ini dapat dilaksanakan, mengingat sulitnya memulai sebuah penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur KPS, Sahat Lumbanraja, Berliana Siregar sebagai sekretaris, kawan-kawan CO KPS, Daniel Marbun, Mesersius Manalu, Relies Yanti, Rosmawaty, Daniel (Dolok) Sibarani, Juan Lingga dan Franky Sinaga. Dukungan juga diperoleh dari Gindo Nadapdap, Tua Tampubolon, Kiki divisi Kampanye Pembelaan, Yudi dan Sorta Gultom. Seluruh kontribusi kawan-kawan sedikit banyaknya menjadi indikasi bahwasannya kolektivitas pengerjaan penelitian ini dapat dilaksanakan.

Medan, Februari 2006

Page 6: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

6

Penulis

Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Page 7: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

7

DAFTARDAFTARDAFTARDAFTAR ISIISIISIISI

Kata Pengantar Lembaga

� �

Kata Pengantar dari Tim Peneliti

� � �

Daftar Isi

���� V

Daftar Tabel

� Latar Penelitian Pengupahan….1

� Gambaran Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia….14

� Sekilas Tentang Sistem Pengupahan….32

� Realitas Sistem Pengupahan di Mata Buruh….46

� Respon Buruh Terhadap Sistem Pengupahan….104

� Sistem Pengupahan yang Tidak adil….117

Page 8: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

8

DAFTARDAFTARDAFTARDAFTAR GRAFIKGRAFIKGRAFIKGRAFIK Grafik Responden Berdasarkan Kelompok Umur ......................................... 16

Grafik Responden Berdasarkan Status Kependudukan ................................. 17

Grafik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................... 18

Grafik Responden Berdasarkan Status Kawin ............................................... 21

Grafik Responden Berdasarkan Keanggotaan Serikat Buruh ........................ 26

Grafik Pengetahuan komponen/lembaga yang termasuk dalam UMP/UMSP41

Grafik Buruh Perlu Dilibatkan Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP ......... 44

Grafik Komposisi Pengeluaran Biaya Sosial Buruh Lajang dan Menikah .... 75

Page 9: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

9

����

Latar Penelitian Pengupahan_______

“…Atas dasar tjara produksi ini biaja produksi buruh terdiri dari djumlah bahan² keperluan hidup-atau harga bahan² keperluan hidup itu menurut uang-jang rata² diperlukan untuk membuat dia sanggup bekerdja, mendjaga dia tetap sanggup bekerdja, dan untuk menggantinja dengan buruh baru, setelah dia pergi karena usia tua, sakit, atau mati…”

Karl Marx

� SEKILAS TENTANG KONDISI PENGUPAHAN

Kondisi pengupahan di Indonesia selama ini boleh dikatakan tidak mengalami

perubahan yang signifikan terhadap perubahan nasib buruh menjadi lebih baik. Pada

sisi kebijakan, perubahan pengupahan selama puluhan tahun tidak mampu

mendongkrak kesejahteraan buruh menjadi lebih tinggi dibandingkan masa-masa

ketika regulasi kebijakan perburuhan belum menjadi prioritas pemerintah. Malah

Yang terjadi saat ini adalah, sistem pengupahan yang dibangun oleh pemerintah

bersifat menghisap dan tidak bertujuan sesuai dengan kepentingan buruh dalam

memberbaiki kondisi buruh, namun lebih pada kepentingan pengusaha ataupun

investasi secara umum1.

Walaupun secara formal regulasi kebijakan perburuhan dan pengupahan sudah

berjalan selama 3 dekade belakangan, namun kebijakan tersebut secara substansial

masih belum memenuhi aspek keadilan bagi buruh. Kebijakan perburuhan dan secara

khusus tentang pengupahan masih sebatas memenuhi unsur formal, yakni dalam

1 Sumut Pos, Tanggal 19 februari 2004 dengan judul; Kadin-Apindo Siap Bela PT Japfa

Page 10: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

10

kerangka besar pseudo demokrasi2 ekonomi. Jika acuan dan kepentingan dasarnya

adalah kepentingan dan kebutuhan buruh, jelas berbagai aturan pemerintah bidang

perburuhan dan pengupahan sama sekali tidak memenuhi prinsip keadilan.

Pemertintah sebagai lembaga regulator kebijakan pengupahan masih mendefinisikan

keadilan dari sisi pengusaha atau pemodal yang punya kontribusi langsung terhadap

pertumbuhan ekonomi nasional.

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh dan pembelaan yang maksimal

terhadap pelaku industri tampak jelas dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan,

mulai dari kebijakan pengupahan masa orde lama hingga orde reformasi. Suara-suara

pengusaha dan pemodal selalu menjadi fokus perhatian pemerintah, sedangkan

kepentingan buruh dan pekerja sekedar menjadi analisis komplementer semata. Hal

itu dapat dilihat salah satunya adalah ketika pengusaha keberatan dengan adanya

rencana pemerintah yang dituangkan pada UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003

yang akan menetapkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar perumusan dan

penetapan upah. Pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia

(APINDO) sangat keberatan dengan rencana tersebut. Menurut mereka, penerapan

upah berdasarkan KHL punya konsekuensi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

dan kapasitas penyerapan tenaga kerja.

Pada satu sisi APINDO menyatakan, peberlakukan UMP berdasarkan KHL

akan meningkatkan upah buruh secara drastis. Namun peningkatan upah tersebut

dinyatakan akan berdampak negatif terhadap kondisi perusahaan. Untuk menetapkan

upah, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yakni produktivitas buruh,

kemampuan perusahaan, dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga faktor tersebut harus

dipertimbangkan ketika pemerintah bermaksud merubah standar Kebutuhan Hidup

Minimum (KHM) dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pihak pengusaha

menyatakan, perubahan seperti itu akan menyulitkan, bukan hanya dalam menetapkan

standar kehidupan layak, namun juga dalam proses perumusan dan penetapannya

2 Yakni demokrasi semu atau demokrasi seakan-akan.

Page 11: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

11

yang sangat rumit. Pengusaha sendiri melalui APINDO cenderung lebih menyetujui

proses penetapan upah dilakukan secara bipartit, yakni antara pengusaha (pemberi

kerja) dengan pekerja atau buruh. Proses seperti ini akan lebih menguntungkan

karena yang mengetahui kondisi internal perusahaan dan produktivitas buruh adalah

dua komponen tersebut.

Keberatan tersebut kemudian secara otomatis dijadikan pertimbangan oleh

pemerintah, sehingga pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja mengeluarkan

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tertanggal 16 Juli 2004 yang meminta kepada

seluruh gubernur untuk tetap menggunakan Kebutuhan Hidup Minimum (KHL)

sebagai dasar penentuan UMP pada tahun 20043. Realitas seperti ini menjadi bukti

bahwasannya keberatan, protes, kritikan, negosiasi pihak pemodal dan pengusaha lah

yang menjadi panduan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pengupahan.

Walaupun kebijakan yang di atas telah mengakomodir kepentingan buruh, namun di

tingkat implementasi dan aturan pelaksanaannya, pemerintah masih terlalu besar

menerima kepentingan pengusaha dan investor.

Pada sistem ekonomi kapitalistik seperti yang diberlakukan di Indonesia saat

ini, buruh pada sektor industri hanya menjadi salah satu alat produksi semata. Dengan

logika seperti ini, posisi buruh tidak akan pernah menjadi menjadi elemen penting

dalam sebuah lembaga produksi. Posisi elemen buruh yang bekerja di perusahaan

disamakan dengan alat produksi lain, seperti bahan baku, mesin, dan input lainnya

dalam proses produksi. Otomatis, jika landasan berfikir seperti itu yang menjadi

fundamen sistem ekonomi dan pengupahan, maka perlakuan terhadap buruh

dipengaruhi oleh prinsip efisiensi, efektifitas dan logika ekonomi pasar lainnya.

Ibarat sebuah rantai dalam sebuah sistem produksi, maka buruh (khususnya

upah buruh) merupakan mata rantai terlemah. Lemah dalam artian sebagai satu sub

sistem yang paling mudah ditekan, dilemahkan, untuk kemudian akan ditiadakan

dalam satu proses produksi. Buruh sebagai sebuah elemen yang hidup diperlakukan

3 Kompas, 29 Juli 2004

Page 12: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

12

sama dengan komponen alat produksi lain yang penggunaannya ditentukan oleh

dinamika pasar. Dengan demikian, serupa dengan komponen produksi lainnya, buruh

dipaksa untuk fleksibel. Salah satu fleksibilitas yang selalu dipaksakan terhadap

buruh adalah upah.

Pada sisi kebijakan, berbagai penyimpangan dan ketidakberpihakan pemerintah

dan pengusaha terhadap nasib buruh akan semakin jelas terlihat. Namun

ketidakberpihakan tersebut mudah untuk ditutupi sehingga tidak mendapat tentangan

yang besar bagi buruh dan masyarakat secara umum. Kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah perihal pengupahan selama ini dipandang sebagai satu alternatif

paling masuk akal sekaligus paling manusiawi dibandingkan kebijakan sebelumnya.

Setiap kebijakan baru tentang pengupahan dianggap lebih punya kontribusi positif

terhadap kesejahteraan buruh dibandingkan kebijakan sebelumnya, padahal, dari

tahun ke tahun, walupun kebijakan pengupahan diperbaharui, korelasinya terhadap

kesejahteraan buruh nyaris tidak ada sama sekali. Upah buruh tetap menjadi

permainan pemain ekonomi global yang tidak menginginkan membaiknya

(menguatnya) posisi buruh.

Hal itu dapat dilihat dari berbagai argumentasi pemerintah dan pemilik modal

yang sangat defensif dalam menanggapi tuntutan kenaikan upah buruh. Segala cara

dilakukan oleh pengusaha yang didukung oleh pemerintah untuk mencegah dan

menghindar dari kecenderungan kenaikan upah setiap tahunnya. Dengan alasan

menarik investor, mencegah hengkangnya (relokasi)4 beberapa perusahaan ke luar

negeri, keamanan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah menolak tuntutan

kenaikan upah yang disuarakan buruh. Pernyataan tersebut tentunya bertolak

belakang dengan pernyataan beberapa Organisasi Non Pemerintah (Ornop) beserta

Serikat Buruh/Serikat Pekerja (SB/SP. Kalangan serikat buruh dan pekerja yang

4 Medan Bisnis, 27Oktober 2003, yang diungkapkan oleh Direktur Utama PT Kawasan Industri Medan (KIM) sebagai hasil seminar Himpunan Kawasan Industri Indonesia. Pada seminar itu dinyatakan, nilai UMP yang setiap tahun naik rata-rata 20% sehingga akan menyulitkan perusahaan. Untuk itu kalangan pengusaha menginginkan agar sistem pengupahan harus ditentukan oleh pasar atau berdasarkan supply dan demmand seperti yang diberlakukan di negara-negara lain.

Page 13: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

13

kemudian didukung oleh Organisasi Non Pemerintah menyatakan, banyaknya

perusahaan yang tutup (lock out) kemudian direlokasi ke beberapa negara di Asia

Tenggara bukanlah disebabkan oleh kecenderungan kenaikan upah setiap tahunnya,

namun lebih disebabkan faktor-faktor non upah, salah satunya adalah disebabkan

besarnya biaya siluman yang harus dikeluarkan perusahaan untuk berinvestasi

maupun sekedar memproteksi aktivitas produksi, biaya yang harus dikeluarkan oleh

perusahaan untuk upah buruh (direct labour cost) menurut penelitian hanya sebesar

kurang lebih 5,3% dari seluruh total biaya produksi, sedangkan komposisi biaya

siluman ataupun pungutan liar dapat mencapai 30% dari total biaya produksi.5

Standar pengupahan, maupun proses penentuan yang diberlakukan di Indonesia

jelas masih jauh dari harapan buruh. Jika ingin dieksplorasi lebih dalam dan

kemudian dicari akar permasalahannya, maka yang ditemui adalah jaringan

kepentingan modal yang cukup kuat. Untuk mendobraknya dibutuhkan kekuatan dan

pengorbanan yang cukup besar. Pemerintah selama ini juga memiliki argumentasi

yang tidak jauh berbeda. Pemerintah yang sebenarnya memiliki otoritas tertinggi

dalam hal pengupahan juga tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan modal dan

sistem pasar dunia yang turut campur dalam urusan politik dan ekonomi melalui

paket-paket kebijakan ekonomi6 Mau tidak mau, agar ekonomi suatu negara bisa

bertahan maka paket-paket pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh lembaga

keuangan internasional yang di dalamnya terdapat negara industri maju harus

diterima secara mutlak. Intervensi lembaga keuangan internasional tersebut salah

satunya dalam bentuk prasyarat penciptakan kondisi yang kondusif bagi investasi.

Secara tidak langsung, kebijakan seperti ini akan menekan buruh. Selama ini, buruh

dianggap sebagai salah satu elemen penghalang investasi. Buruh dipandang sebagai

elemen yang dapat merusak iklim investasi, sehingga gejolak yang ditimbulkannya

harus diredam seminimal mungkin. 5 Harian Waspada, 11 Desember 2003. Untuk menanggulangi biaya siluman dan pungutan liar tersebut, Jabsu (Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara) menginginkan pemerintah harus membuat Peraturan Daerah (Perda) anti biaya siluman, yang bersifat mengikat dan berisi sanksi. 6 Baswir, Revrisond, 2003, Di Bawah Ancaman IMF, Jakarta.

Page 14: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

14

Jika kita kembali ke masalah upah buruh, maka salah satu strategi yang

dijalankan oleh pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan

sistem ekonomi yang kompetitif adalah dengan menciptakan ketersediaan buruh

murah. Di tengah angka angkatan kerja yang berlimpah,7 jumlah penyerapan tenaga

kerja yang minim dan angka pengangguran yang sangat tinggi tersebut, maka

kebijakan upah murah menjadi pilihan yang paling masuk akal sekaliguys paling

menguntungkan bagi pemodal, punya peran terhadap penyerapan tenaga kerja dan

mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana tidak? Rakyat butuh

pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan pribadi, sementara

untuk keluar dan mencari pekerjaan yang lebih baik sangatlah sulit, mengingat

sempitnya lapangan kerja. Maka satu-satunya cara agar dapat bertahan hidup, mampu

memenuhi kebutuhan dasar keluarga, sekedar makan adalah bekerja pada perusahaan-

perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan upah yang sangat rendah.

Untuk itulah, ketika kebijakan Upah Minimum (UM) dan konsep Kebutuhan

Fisik Minimum (KFM) maupun Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) diberlakukan,

tidak banyak penolakan yang muncul dari masyarakat. Apalagi dasar pertimbangan

keluarnya kebijakan upah minimum tersebut diembel-embeli dengan upaya

meminimalisir kesewenangan pengusaha dalam pemberian upah kepada buruh.

Latarbelakang seperti itulah yang menjadikan tidak adanya penolakan terhadap

pemberlakuan kebijakan tersebut. Apalagi dengan kondisi pasar kerja yang sangat

timpang dimana jumlah pencari kerja jauh lebih besar daripada jumlah lapangan kerja

yang ada. Kondisi seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah dan

menjadikan posisi buruh menjadi sangat lemah. Lihat saja pada tahun 2002. Menurut

catatan BPS, penduduk usia kerja pada tahun itu sudah mencapai 148.729.934 jiwa,

dengan perincian; angkatan kerja 100.779.270, pengangguran terbuka 9.132.104 jiwa

dan bukan angkatan kerja sebesar 47.950.664 jiwa8. Kondisi seperti itu tampaknya

7 Harian Kompas, Tanggal 29 April 2003 tentang jumlah pengangguran secara Nasional yang sudah mencapai angka 40 juta dan penambahan pengangguran tahun 2003 yang mencapai angka 1,6 juta orang. 8 Badan Pusat Statistik, tahun 2002

Page 15: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

15

dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan kecenderungan

negatif. Mulai tahun 2003 sampai 2004 kondisi tersebut juga tidak mengalami

perubahan. Jumlah setengah pengangguran dan pengangguran terbuka dari berbagai

kelompok umur, pendidikan, jenis kelamin dan sebagainya mengalami peningkatan

cukup berarti. Tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka naik menjadi 9,531 juta

jiwa, sehingga dari dalam satu tahun terjadi kenaikan hampir 400 ribu jiwa.

Pemerintah menjadikan besarnya angka pengangguran dan pencari kerja sebagai

keunggulan dalam mengundang investor, dengan cara menyediakan buruh murah

bagi pemodal yang akan menanamkan investasinya di Indonesia. Selain

memberlakukan upah murah, salah satu kebijakan terbaru yang semakin

menyudutkan posisi buruh adalah dengan mengeluarkan UU Ketenagakerjaan No.13

Tahun 2003. Point penting yang paling mengganggu posisi buruh adalah yang terkait

dengan outsourcing. Praktek outsourcing yang seharusnya diberlakukan secara ketat

malah dijadikan strategi perusahaan untuk menekan biaya produksi9. Atas nama krisis

dan recovery sektor ekonomi, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan

pengupahan yang tidak adil bagi buruh. Sampai saat ini kelihatannya malah

pemerintah yang paling kuat mempertahankan kebijakan tersebut. Tanpa

memperhatikan realitas hidup buruh dan kondisi ekonomi kontemporer, pemerintah

masih tetap memakai pola standar lama dalam pengupahan.

Penelitian ini hanya salah satu cara untuk melihat realitas kehidupan buruh

untuk kemudian dihubungkan dengan level kebijakan pengupahan. Betapa memang

kebijakan pengupahan selama ini sudah sangat jauh dari realitas kebutuhan hidup

buruh, sedangkan pemerintah dianggap terlalu mementingkan pertumbuhan ekonomi

dan kepentingan pengusaha tanpa berusaha melihat keadaan hidup buruh yang

sesungguhnya.

Selama ini kebijakan pengupahan yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap

tahunnya tidak pernah mendapat tentangan yang cukup kuat dari berbagai elemen

9 Medan Bisnis, Tanggal 18 Maret 2004.

Page 16: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

16

buruh, sehingga angka yang direkomendasikan oleh institusi pengupahan (DPD)

sebagai lembaga yang punya fungsi perumusan dan penentuan jumlah upah minimum

selalu disetujui oleh Gubernur. Setiap tahun, kenaikan jumlah Upah Minimum

Propinsi (UMP) yang terlalu kecil selalu berjalan mulus dengan penolakan yang

minimal baik dari kalangan gerakan demokrasi maupun dari elemen buruh sendiri.

Pada tahun 2000 memang pernah terjadi kenaikan jumlah UMP (dahulu dikenal

dengan UMR=Upah Minimum Regional) yang cukup tinggi, yakni mencapai 25% di

36 daerah melalui Kepmenaker No 20/MEN/2000.10 Namun kenaikan tersebut

dianggap memiliki muatan politik yang cukup besar dan hanya menaikkan

popularitas pemerintah semata tanpa perhitungan yang matang11. Lonjakan-lonjakan

seperti inilah yang menjadikan kebijakan upah minimum semakin mapan dan tidak

terbantahkan. Dengan sengaja pemerintah memberikan angin segar kepada buruh, dan

membuat kesan bahwasannya upah minimum memang merupakan konsep paling

relevan dalam pengupahan buruh. Pemerintah menganggap kebijakan upah minimum

punya dasar teoritik dan basic realitas yang paling kuat sehingga mampu mendorong

peningkatan kesejahteraan buruh menjadi lebih baik, dan membangun kesan seakan-

akan kebijakan upah minimumlah yang terbaik bagi buruh. Dalam hal ini pemerintah

merasa yang paling memiliki otoritas data, fakta dan realitas sebenarnya dalam

menyusun standar pengupahan. Atas dasar itulah, penelitian ini menjadi alat untuk

sedikit mengupas kondisi pengupahan yang selama ini dianggap kurang berpihak

kepada buruh.

10 Kompas, Selasa 22 Februari 2000 11 Kompas, Rabu 2 Agustus 2000

Page 17: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

17

����

BEBERAPA PERMASALAHAN PENGUPAHAN

Sudah sangat banyak sebenarnya penelitian dan bahasan yang dilakukan

pemerintah, pengusaha, kalangan elemen gerakan buruh dan berbagai stakeholder

pengupahan. Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan selalu memunculkan

perdebatan yang semakin lama semakin memperuncing pertarungan kepentingan

berbagai stakeholder pengupahan. Namun pada intinya, segala perdebatan tersebut

kurang melihat respon dan persepsi buruh yang sebenarnya. Salah satu aspek yang

sering menjadi perdebatan adalah seputar kebijakan pengupahan12, peran institusi

perumus dan penentu jumlah upah13, berbagai indikator yang menjadi pertimbangan

penetapan upah, peran serikat buruh (SB) dalam mempengaruhi kebijakan

pengupahan dan beberapa indikator kebutuhan buruh, seperti standar kebutuhan fisik

minimum (KFM), kebutuhan hidup minimum (KHM), kebutuhan hidup layak (KHL)

dan perihal pengeluaran buruh14.

Penelitian ini sebenarnya mengambil sisi yang hampir bersamaan dengan

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Selain dilakukan secara spesifik di 3

zona pusat industri sekitar kota Medan, instrumen yang digunakan lebih menekankan

pada pencarian latar pengetahuan, pengalaman, dan perilaku buruh dalam

menanggapi berbagai persoalan upah.

Fokus utama penelitian ini adalah ingin melihat persepsi buruh tentang berbagai

sisi pengupahan, yakni terhadap kebijakan pengupahan, keterlibatan dalam

perumusan dan penetapan upah, tentang kebutuhan buruh, seputar pendapatan dan

pengeluaran buruh, strategi buruh dalam menghadapi kebijakan upah yang tidak adil

dan berbagai upaya perubahan menuju keadilan sistem pengupahan.

12 Haryadi, Dedy, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari dan Juni Thamrin, 1994, Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung. 13 Lihat hasil penelitian Popon Anarita dan Resmi Setia M.S., 2003, tentang Dewan Pengupahan, Strategiskah Sebagai Media Perjuangan Buruh, AKATIGA, Bandung. 14 Ritongan, Bisman Agus, 2001, laporan Survey Pengeluaran Buruh Cimahi dan Majalaya, AKATIGA, Bandung.

Page 18: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

18

Page 19: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

19

TUJUAN PENELITIAN

Selama ini penerapan kebijakan pengupahan banyak mendapat kritikan dan

penolakan dari kalangan NGO maupun buruh. Efek kebijakan dan prinsip yang

digunakan telah menjauhkan proses, mekanisme perumusan, penetapan dan jumlah

upah dari kepentingan buruh. Perseteruan antara pemodal dan pemerintah dengan

buruh sangat jelas dan berlangsung kasat mata.Kepentingan pengusaha atau pemilik

modal dan alat poduksi adalah sangat jelas. Sebagai organisasi bisnis, perusahaan

bertujuan meningkatkan nilai perusahaan yang salah satunya adalah memperoleh

laba. Walaupun perusahaan juga memiliki fungsi menyediakan kesempatan kerja,

membantu penerimaan negara melalui pajak, dan peningkatan sumberdaya manusia15,

namun secara keseluruhan tujuan utamanya adalah keberlangsungan usaha.

Tujuan berbagai aksi protes dan aksi tuntutan buruh adalah kenaikan upah.

Upaya yang dilakukan buruh hanya satu, yakni meningkatkan kesejahteraan melalui

kenaikan upah yang lebih adil sesuai dengan kontribusi yang dilakukan oleh buruh

dalam proses produksi. Namun kenaikan jumlah upah dan secara tidak langsung

terhadap kesejahteraan buruh harus dibungkus dalam satu sistem yang mendukung.

Mulai dari perundangan dan peraturan, fundamen sistem ekonomi, prinsip produksi,

relasi pengusaha buruh sampai dengan berbagai aspek yang berhubungan kenaikan

jumlah upah adalah lahan yang harus digarap menuju sistem pengupahan yang

berkeadilan. Penelitian ini adalah satu upaha menuju perubahan sistem tersebut.

Bukan kenaikan upah an sich, revisi kebijakan, penguatan peran SB yang bersifat

parsial, karena strategi seperti itu tidak akan menyentuh persoalan substansial tidak

adilnya upah.

15 Lihat Hendarmin, Ali, 2002, Kesejahteraan buruh dan kelangsungan Usaha, Upah Minimum dari Sisi Pandang Pengusaha, dalam Jurnal Analisis Sosial AKATIGA, Vol.7 No.1 februari 2002, Bandung.

Page 20: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

20

MEMADU PENDEKATAN SURVEY DENGAN YANG LEBIH BERPIHAK.

Salah satu pertimbangan dalam penelitian ini adalah menjadikan hasil penelitian

sebagai salah satu draft usulan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan

pengupahan yang lebih adil bagi buruh. Dalam banyak kebijakan, pemerintah sering

berlindung disebalik obyektivitas. Fakta yang dijadikan dasar kebijakan selalu

berlandaskan paradigma obyektifitas yang dianggap lebih dapat menggambarkan

keadaan kondisi sosial yang sebenarnya. Para pihak yang kontra terhadap berbagai

kebijakan pemerintah memakai paradigma sebaliknya, yakni pada satu pendekatan

yang lebih bersifat subyektif dan berpihak. Dua perspektif tersebut tentunya sulit

untuk diketemukan. Apalagi selama ini kalangan yang menyatakan dirinya berpihak

pada pembangunan sangat sulit untuk menerima paradigma lain (kritis) yang sering

bertolakbelakang dengan logika pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dari

pemerintah dan pemilik modal. sama sekali tidak memiliki kontribusi terhadap

pembangunan.

Walaupun penelitian ini juga menggunakan pendekatan yang selama ini

dianggap tidak melihat kondisi buruh secara subyektif, namun kombinasi dengan

pendekatan FGD (Focus Group Discussion) dan penggalian melalui wawancara

mendalam terhadap pikiran aktor sosial (buruh) akan menutupi kelemahan metode

kuantitatif yang kurang dapat menangkap perspektif subyek16 sehingga melalui

pendekatan tersebut pandangan dari sisi pelaku akan terlihat. Demikian juga dengan

penggunaan pendekatan FGD. Pendekatan tersebut akan semakin membuka respon

dari buruh secara individual melalui kontrol yang dilakukan oleh individu lain17,

16 Salim, Agus, 2001, teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya, Tiara Wacana, Yogyakarta. 17 Bungin, Burhan, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 21: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

21

dengan demikian informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap, mendalam dan

terkoreksi oleh pandangan dari pelaku lainnya.

Memang pendekatan utama dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik

survey dalam memperoleh informasi dan respon dari buruh, namun bobot kualitatif

juga tidak ditinggalkan sama sekali. Data yang bersifat kuantitatif diperoleh dari

respon 505 sampel tentang beberapa variabel penelitian, khususnya tentang variabel

upah, potongan yang dikenakan kepada buruh, kondisi sosial ekonomi buruh dan

beberapa variabel lainnya. Data yang bersifat kuantitatif tersebut dalam konteks

penelitian ini digunakan untuk melihat sisi makro respon buruh terhadap beberapa

variabel pengupahan dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ada tiga jenis. Teknik yang

pertama adalah dengan menyebarkan kuesioner kepada 505 orang buruh yang berasal

dari 22 perusahaan di 3 (tiga) zona dampingan lembaga, yakni Zona Mabar, Zona

Tanjung Morawa dan Zona Binjai. Jumlah responden dari ketiga zona tersebut tidak

sama besar. Responden terbesar adalah yang berasal dari Zona Mabar, yakni

sebanyak 270 orang, kemudian di Zona Tanjung Morawa sebanyak 152 orang dan di

Zona Binjai sebanyak 80 orang.

Jumlah 505 responden tersebut tentunya tidak mewakili jumlah buruh secara

keseluruhan di Kota Medan ataupun dari ketiga zona tersebut. Diakibatkan oleh tidak

representatifnya jumlah sampel tersebut maka metode analisis statistik yang

digunakan hanyalah dengan menggunakan teknik statistik nonparamatrik. Artinya,

analisis yang digunakan tidaklah dapat digeneralisir atas seluruh populasi, yakni total

buruh sektor industri yang ada di Kota Medan, namun hanya pada sebatas sampel

penelitian.

Dikarenakan metode yang digunakan adalah kombinasi antara pendekatan

kuantitatif dan kualitatif, maka proses analisisnya juga adalah kombinasi antara

keduanya. Namun titik sentral analisis data adalah pada data dari hasil survey untuk

kemudian dipertegas oleh data hasil FGD (Focus Group Discussion) dan Indepth

Interview. Data yang diperoleh dengan pendekatan kualitatif akan dianalisis melalui

Page 22: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

22

interpretasi pada respon yang diberikan subyek tentang pengetahuan dan

pengalaman18.

Harus diakui juga bahwasannya beberapa data dan informasi yang diberoleh

melalui pendekatan survey tidak memenuhi target seperti yang direncanakan. Begitu

besarnya jumlah responden dan banyaknya item pertanyaan dalam kuesioner

sebenarnya bertujuan untuk meng-cover beberapa variabel yang terkait dengan

pengupahan, namun diakibatkan pelaksanaan di tingkat teknis yang kurang maksimal,

sehingga respon seluruh responden terhadap beberapa item pertanyaan tidak

sepenuhnya terjawab. Penyimpangan seperti itu tentunya menuntut perubahan proses

analisis, dari yang sebelumnya direncanakan menggunakan analisa statistik inverensi

non paramatrik, menjadi sekedar analisis deskriptif dengan sedikit sekali

menggunakan teknik-teknik analisis parametrik.

18Lihat Salim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal 25 yang menyatakan, yang menyatakan bahwa metode tersebut akan mengandalkan pada ungkapan secara subyektif mengenai arti yang diberikan oleh individu.

Page 23: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

23

����

Gambaran Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia

Pasca krisis ekonomi 1997 dan 1998, tidak seorangpun bisa mengambil suatu

kesimpulan, apakah Indonesia sudah pada posisi recovery ekonomi ataupun malah

semakin terpuruk. Pada satu sisi, setelah lewat 5 sampai 6 tahun, pertumbuhan

ekonomi secara nasional masih tergolong sangat rendah. Sebelum krisis berlangsung,

pertumbuhan ekonomi secara nasional bisa mencapai hampir 8% pertahun, bahkan

pada tahun 1996, pertumbuhan bisa mencapai angka 7,8%. Setelah krisis berlangsung

dan rencana pemulihan ekonomi berjalan, pertumbuhan masih berada di bawah angka

5%.

Rendahnya angka pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh keruntuhan

ekonomi nasional tersebut dalam perspektif ekonom liberal akan berdampak pada

banyak hal, salah satunya adalah pengaruh terhadap pasar tenaga kerja. Titik ekstrim

dapat dilihat pada tahun 1999. Kala itu, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 0,8%,

sedangkan pertambahan angkatan kerja baru mencapai 2,11 juta orang dan

pengangguran terbuka sebesar 6,23 juta atau 6,6%. Kondisi tersebut seakan semakin

terpola sampai saat ini. Walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan,

yakni 4,9% pada tahun 2000, 3,4% pada tahun 2001, 3,7% tahun 2002 dan 4,0 pada

tahun 200319, namun tetap saja tidak mampu mendorong penyerapan tenaga kerja dan

mengurangi angka pengangguran.

19 Lihat Harian Kompas, 17 Juni 2004 yang mengutip data Sakernas, proyeksi Bapenas.

Page 24: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

24

Menurut kalangan ekonom, pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,5 sampai

dengan 5% sebenarnya masih sangat jauh dari memadai. Jika dilihat dari

pertambahan jumlah angkatan kerja sebesar hampir 2,5 juta pertahun, maka angka

pertumbuhan ekonomi tersebut sama sekali tidak mendukung pengurangan

pengangguran yang . Ketika angka tersebut dikaitkan dengan kondisi ekonomi makro

(khususnya keberadaan APBN), maka semakin tampaklah kerapuhan ekonomi

nasional20.

Kecenderungan tidak membaiknya kondisi ekonomi yang kemudian berdampak

pada rendahnya perluasan kesempatan kerja maupun peningkatan angka

pengangguran setiap tahunnya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Dan Dan Pengangguran Terbuka Pengangguran Terbuka

Pengangguran Terbuka

Periode

Jumlah Angkatan

Kerja (Juta)

Angkatan Kerja Baru (Juta)

Pertumbuhan ekonomi (persen)

Jumlah orang yang

bekerja (juta)

Tambahan Lapangan

Kerja (juta)

Juta %

1996 88,19 3,96 7,82 83,90 3,79 4,29 4,86 1999 94,85 2,11 0,79 88,82 1,14 6,03 6,36 2000 95,65 0,94 4,92 89,84 1,00 5,81 6,07 2001 98,81 3,16 3,44 90.81 0,97 8,00 8,10

2002 100,78 1,97 3,66 91,65 0,84 9,13 9,06 2003 102,8 2,10 3,99 92,75 1,10 10,13 9,85 2004 104,98 2,10 4,49 94,15 1,40 10,83 10,32 2005 107,08 2,10 5,03 95,89 1,75 11,19 10,45

Keterangan: Untuk tahun 1996, 1999, 2000, 2001 dan 2002 menggunakan angka Sakernas_BPS. Untuk tahun 2000 tanpa Propinsi Maluku. Untuk tahun 2001 dan 2002 menggunakan definisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk propinsi Maluku. Untuk tahun 2003-2005 menggunakan angka proyeksi BAPENAS Sumber: Makalah Dr. Soekarno Wirokartono, Deputi Bidang Ekonomi BAPENAS dalam Workshop Report, “Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, SMERU, 2004, Jakarta.

Data di atas semakin meneguhkan anggapan semakin melemahnya kondisi

ketenagakerjaan di Indonesia. Setiap tahun sejak krisis ekonomi tahun 1997 terjadi,

lonjakan jumlah pengangguran terbuka, sedangkan pertumbuhan ekonomi sama

20 Harian Medan Bisnis, 12 September 2003

Page 25: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

25

sekali tidak mendukung perluasan kesempatan kerja yang setiap tahunnya jauh

melebihi pertambahan angkatan kerja baru.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan semakin tidak tertampungnya angkatan

kerja semakin diperparah dengan adanya kebijakan kenaikan beberapa tarif dasar,

seperti Tarif Dasar Listrik (TDL), telepon dan BBM pada awal 2003. Kenaikan

tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan terutama

buruh industri yang masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Pemerintah sendiri yang kemudian menawarkan dana kompensasi sebagai pengganti

subsidi BBM ternyata tidak serius mengelola dana sehingga target pengurangan

kemiskinan dan bantuan kepada kalangan ekonomi lemah tidak tercapai. Pada tahun

ini kondisi serupa juga terjadi. Pemerintah terkesan menjalankan suatu skenario

menaikkan harga BBM pasca penetapan UMP dan UMK di seluruh Indonesia. Bagi

buruh mekanisme seperti ini sesungguhnya sangat merugikan. Apalagi diketahui

selama ini, pertimbangan utama kenaikan UMP/UMK masih didasarkan pada inflasi,

belum terlalu memperhitungkan faktor-faktor lainnya yang juga berkontribusi

terhadap peningkatan dan variasi harga kebutuhan pokok masyarakat.

Pada awal tahun 2005 pemerintah kembali mengeluarkan menaikkan BBM.

Kebijakan yang tidak pernah populer di mata masyarakat ini dinyatakan sebagai

sebuah keharusan akibat besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh

pemerintah, yakni sebesar kurang lebih 70 triliun rupiah setiap tahunnya.

Pemerintah merasa subsidi BBM yang berlangsung selama ini ternyata lebih

banyak dinikmati oleh masyarakat ekonomi kelas menengah dan atas. Subsidi Bahan

Bakar Minyak (BBM) yang diperuntukkan memperingan biaya produksi dan

meningkatkan beban ekonomi masyarakat dianggap salah sasaran sehingga harus

dirubah.

Sebagai ganti pengurangan subsidi BBM, pemerintah menyediakan dana

kompensasi ke 3 sektor utama yakni; pendidikan (pemberian beasiswa), kesehatan

dan penyediaan beras miskin (Raskin), disamping pada sub sektor lain, seperti

Page 26: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

26

pembangunan infrastruktur perdesaan dan permukiman rakyat21. Namun kenaikan

kenaikan tersebut mendapat tentangan keras dari berbagai pihak. Salah satu kritikan

mengatakan, kenaikan

Di Propinsi Sumatera Utara sendiri, kondisi ketenagakerjaan dan industri tidak

jauh berbeda dengan kondisi nasional. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk ke

4 terbesar secara nasional, propinsi ini juga mengalami banyak persoalan

ketenagakerjaan. Pada tahun 2002 saja penduduk Sumatera Utara sudah mencapai

angka 11,85 juta dengan kepadatan 165 jiwa per km2. Sebahagian besar penduduk

Sumatera Utara masih terkonsentrasi di wilayah perdesaan yakni sebesar 6,78 jiwa

atau 57,26%, sedangkan yang tinggal di perkotaan telah mencapai angka 5,06 juta

atau 42,74%.

Pada sisi ketenagakerjaan, sebahagian besar angkatan kerja di Sumatera Utara

masih berpendidikan SD ke bawah, yakni mencapai 45,92%. Angkatan kerja yang

berpendidikan setingkat SLTP mencapai 23,01% dan SLTA mencapai 25,99

sedangkan sisanya sebesar 5,08% adalah yang berpendidikan di atas SLTA.

Dari sejumlah tenaga kerja yang masih aktif bekerja, sebanyak 31,16% adalah

buruh atau karyawan, sedangkan penduduk yang berusaha dengan dibantu anggota

keluarga adalah sebesar 20,43% dan yang bekerja sebagai pekerja keluarga mencapai

24,22%. Jumlah penduduk Sumatera Utara yang merupakan angkatan kerja adalah

sebanyak 5,28 juta jiwa yang terdiri dari 4,93 juta jiwa masuk dalam kategori bekerja

dan sebesar 0,36 juta jiwa masuk dalam kategori pencari kerja karena tidak bekerja

tau sebagai pengangguran terbuka. Sebahagian besar penduduk yang bekerja terdapat

pada sektor pertanian, yakni sebesar 55,56%. Sektor kedua terbesar dalam menyerap

tenaga kerja adalah perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 16,45%. Sektor lainnya

adalah jasa (termasuk pegawai negeri sipil) yakni sebesar 11,25% dan hanya 6,55%

atau 322.807 yang bekerja di sektor industri22

21 Harian Sumut Pos, 18 Februari 2005 22 Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, yang diambil dari Buku, Sumatera Utara dalam Angka tahun 2002.

Page 27: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

27

Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Propinsi Sumatera Utara,

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Medan sebagai ibukota propinsi

menunjukkan angka yang lebih rendah. Pada tahun 2002, TPAK di Sumatera Utara

mencapai 69,45%. Sedangkan di Kota Medan sendiri, TPAK hanya sebesar 64,82.

Sedangkan di kabupaten dan kota lain, misalnya Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan,

Kabupaten langkat secara berurutan mencapai 68,19%, 72,50% dan 70,08%. Hal itu

menunjukkan bahwasannya penduduk usia kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi,

baik dalam keadaan bekerja maupun sedang mencari pekerjaan di Kota Medan

sebenarnya lebih rendah dibandingkan di kabupaten lain yang basis ekonominya

belum pada sektor industri.

Menurut data terakhir, jumlah pengangguran terbuka di Sumatera Utara

mencapai jumlah 389.023 atau 6,5%23. Dibandingkan dengan dengan tahun

sebelumnya, kecenderungan kenaikan jumlah pengangguran terbuka tersebut semakin

besar. Pada tahun 2003, jumlah angkatan kerja mencapai 5,296.825 juta, sedangkan

pada tahun 2002 masih sekitar 5,27 juta orang. Jika dilihat jumlah pengangguran

terbuka pada tahun 2002 sebesar 355.467 orang, maka tingkat pengangguran terbuka

menaik tajam. Hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja, angka pengangguran terbuka

naik sebesar 0,6%.

23 Harian Medan Bisnis, 6 Januari 2004

Page 28: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

28

����

APA KABAR BURUH DI TIGA ZONA INDUSTRI KOTA MEDAN?

Seperti yang direncanakan sebelumnya, jumlah sampel yang menjadi responden

dalam penelitian ini tergolong cukup besar. Besarnya sampel tersebut diupayakan

akan meningkatkan keterwakilan (reprentativenes) buruh di Kota Medan dan

Kabupaten Deli Serdang. Walaupun secara “statistik” jumlah tersebut tidaklah

representatif dari keseluruhan buruh yang jumlahnya puluhan ribu, namun paling

tidak dengan jumlah responden yang mencapai 505 orang mampu menggambarkan

beberapa karakter buruh industri di kota Medan dan sekitarnya, khususnya beberapa

variabel yang terkait dengan persoalan pengupahan.

Secara umum yang menjadi responden dalam penelitian ini sebahagian besar

adalah buruh yang masuk dalam kategori usia muda, yakni yang berumur 15 sampai

25 tahun18 dengan jumlah 281 orang atau 55,6%, sedangkan responden yang berusia

dewasa (26 sampai dengan 35) sebanyak 191 orang (37,8%) dan golongan umur tua

(>36 tahun) sebesar 33 orang atau (6,5%).

Tabel Responden Berdasarkan Golongan Umur

Sumber: Kuesioner

Besarnya jumlah responden yang masuk dalam golongan usia muda tersebut

merupakan fenomena umum yang terjadi dalam sektor industri saat ini. Sebagian

besar dari mereka adalah buruh tamatan SMU yang terpaksa mencari pekerjaan

selepas sekolah yang salah satunya disebabkan oleh ketiadaan biaya untuk

Golongan umur Jumlah % dewasa 191 37,8 muda 281 55,6 Tua 33 6,5 Total 505 100

Sumber: Kuesioner

Page 29: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

29

melanjutkan pendidikan ke level yang lebih tinggi. Hal itu didukung dengan data

SUSENAS 1999-2002, dimana pada kelompok umur 10 sampai dengan 26 tahun

mencapai 31,1% dari total angkatan kerja24. Jika dikaitkan dengan status

kependudukan maka akan terlihat bahwasannya sebahagian besar buruh yang menjadi

responden dalam penelitian ini adalah yang berasal dari luar Kota Medan dan Deli

Serdang. Di wilayah Propinsi Sumatera Utara, tempat tinggal asal mereka tersebar

hampir diseluruh Kabupaten, yakni Kabupaten Tapanuli Tengah, Pematang Siantar,

Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Langkat, Tebing Tinggi, Tapanuli Selatan, Samosir,

Toba Samosir, Nias, dan berbagai daerah lainnya. Selain itu, jumlah buruh yang

berasal dari luar Sumatera Utara juga cukup banyak. Mereka sebahagian besar

didominasi oleh buruh yang berasal dari Jawa Timur, bahkan ada yang berasal dari

Aceh, Ujung Pandang, Padang, dan Riau25. Di wilayah Propinsi Sumatera Utara

Sendiri, mereka datang dari berbagai kawasan pelosok yang selama ini dikenal

sebagai kantong sumber tenaga kerja, yakni; Tandam Hilir II, Sei Rampah, Sei Piring

Aek Kanopan, Perbaungan, Pagar Merbau, Pasar Bengkel, Nias, Kotacane, Galang,

dan berbagai kawasan lainnya.

24 diolah kembali dari data SUSENAS 1999 sampai dengan 2002 BPS. 25 hal ini diasumsikan memiliki hubungan dengan jumlah Upah minimum di Sumatera Utara yang cenderung selalu lebih besar dibandingkan Upah Upah Minimum di beberapa propinsi lain. Menurut data pencapaian UMP (yang pada tahun 2000 dikenal dengan nama Upah Minimum Regional/UMR, pencapaian Upah Minimum dengan KHM=Kebutuhan Hidup Minimum, sudah mencapai 97,32%. Ada 9 propinsi yang capaian UMR dengan KHM di atas 90%, yakni Riau Kepulaian, Jawa Timur wilayah II, Jawa Timur wilayah IV , Riau, Jawa Timur, Batam, Papua, Jawa Barat Wilayah IV dan Jawa Timur wilayah I, sedangkan propinsi lain, seperti Kalbar, Yogyakarta, Kaltyeng, DKI Jakarta, Jambi danm lain-lain masih pada kisaran 80-89%, maupun Sumatera Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan timur dan lain-lain yang capaian UMR dengan KHM masih pada kisaran 70-80%. Besaran relatif UMR/UMP dan capaian dengan KHM Sumatera Utara tersebut menyebabkan migrasi buruh ataupun angkatan kerja dari propinsi yang UMP/UMR nya lebih rendah, Harian Kompas, 22 Februari 2000.

Page 30: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

30

303 / 60%

202 / 40%pendatang

Penduduk Asli

Sumber: Kuesioner

Grafik Responden Berdasarkan Status Kependudukan

Hal ini menunjukkan bahwasannya jumlah buruh yang bekerja di sektor industri

yang ada di kota-kota besar (termasuk Medan) sebahagian besar adalah pendatang.

Mereka meninggalkan desa-desa dan kampung halaman dengan tujuan mencari

pekerjaan di sektor Industri yang memang sudah sangat jenuh akan tenaga kerja.

Sebahagian besar dari mereka seperti yang telah disebutkan di atas adalah lulusan

Sekolah Menengah Atas, yakni sebanyak 355 orang (70,3%).

Pendidikan

perguruan tinggi

SLTA

SLTP

tamat SD

tidak tamat SD

Jum

lah

360

320

280

240

200

160

120

80

40

0

Sumber: Kuesioner

Grafik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Page 31: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

31

Jika diasumsikan sebahagian besar responden adalah lulusan SMU, sedangkan

mayoritas responden adalah berumur 23 tahun (13,7% dari total responden),

sedangkan umur seseorang menamatkan SLTA adalah 19 tahun, maka dapat diambil

kesimpulan bahwasannya sebahagian besar buruh (yang tergolong usia muda)

tersebut telah bekerja kurang lebih selama 3 sampai dengan 4 tahun. Grafik di bawah

akan semakin menegaskan bahwasannya buruh sebagian besar telah bekerja selama 1

sampai dengan 4 tahun, yakni sebesar 48,7% dari total responden, sedangkan yang

bekerja dalam masa kurang dari 1 tahun hanya 25 orang atau 5%.

Satu temuan yang merupakan cerminan dari realitas sempitnya lapangan

pekerjaan pada saat ini adalah ditemukannya sejumlah responden yang pernah

mengecap pendidikan tinggi. Walaupun jumlahnya sangat kecil tidaklah sebesar

buruh yang berpendidikan SLTA maupun SLTP, namun kondisi tersebut menjadi

indikasi bahwa sempitnya lapangan pekerjaan telah mendorong buruh yang

berpendidikan tinggi untuk masuk ke lapangan pekerjaan yang selama ini didominasi

oleh buruh berpendidikan SLTA ataupun SLTP. Kecenderungan seperti ini bukan

hanya berlangsung pada sektor industri di kota Medan, namun menjadi fenomena

umum di seluruh tanah air.

Pada tahun 2002, pencari kerja dari tingkat pendidikan SLTA jauh lebih besar

dibandingkan jumlah pencari kerja tidak lulus SD, lulus SD, SLTP dan akademi atau

universitas, yakni mencapai angka 50,24%. Namun jika dikaitkan dengan tipe daerah,

perbedaan pencari kerja atau pengangguran tersebut tidak terlalu jauh antara pencari

kerja di perdesaan maupun perkotaan. Misalnya pada tahun 2002, pencari kerja

lulusan SLTA di perkotaan sebesar 55,48%, sedangkan di perdesaan sebesar

41,11%26. Realitas seperti itu kelihatannya akan tetap berlangsung. Lulusan SLTA

yang tidak tertampung pada pertambahan lapangan kerja akan berkompetisi lebih

ketat lagi, sehingga diprediksikan, struktur ketenagakerjaan yang didasarkan pada

26 BPS Propinsi Sumatera Utara yang diolah dari MK 2000 dan Susenas 2002

Page 32: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

32

tingkat pendidikan pada tahun yang akan datang tetap akan didominasi oleh buruh

lulusan SLTA.

Tenaga kerja tamatan perguruan tinggi yang seharusnya masuk dalam kategori

skilled labour dan diorientasikan untuk bekerja pada jenis pekerjaan yang

memerlukan keahlian lebih tinggi telah ikut berkompetisi dalam pasar kerja yang

selama ini didominasi oleh buruh yang mayoritas berpendidikan rendah dan

menengah. Realitas sempitnya lapangan kerja, melimpahnya angkatan kerja,

ditambah dengan rendahnya mutu perguruan tinggi diasumsikan menjadi penyebab

munculnya fenomena seperti ini.

Pada buruh yang menamatkan pendidikan tinggi, hanya sebahagian kecil saja

yang bekerja pada posisi yang memerlukan keahlian khusus. Misalnya ada yang

bekerja pada bidang storage administrator, control cuality, dan teknisi listrik. Namun

ada juga beberapa responden berpendidikan tinggi tersebut yang bekerja pada bagian

yang tidak memerlukan keahlian khusus, misalnya pada bagian dumping. Namun

pada beberapa bidang khusus yang dilakukan oleh buruh berpendidikan tinggi,

ternyata posisinya juga ditempati oleh buruh yang hanya berpendidikan SLTP dan

SLTA. Hal ini menunjukkan sebenarnya yang dimaksud dengan keahlian khusus

tersebut bukanlah satu bidang pekerjaan yang mensyaratkan level pendidikan

tertentu. Beberapa jenis pekerjaan yang sebenarnya membutuhkan keahlian khusus

juga dapat dikerjakan oleh buruh tamatan SLTP dan SLTA, seperti pada bidang

operator mesin, teknisi, research and development dan berbagai bidang lainnya. Hal

ini menunjukkan sebenarnya level pendidikan tidaklah terlalu bermanfaat dalam

teknis operasi pekerjaan di berbagai bidang pada perusahaan, khususnya sektor

industri padat karya dimana sebahagian besar responden bekerja.

Tabel Kategori Masa Kerja

Kategori waktu Jumlah % <1 25 5,0 >4 234 46,3 1-4 246 48,7

Total 505 100,0

Page 33: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

33

Sumber: Kuesioner

Dibandingkan dengan buruh yang lulus perguruan tinggi, jumlah buruh

tamatan SLTA jauh lebih besar. Bahkan jumlah responden yang berpendidikan SLTP

masih lebih besar dibandingkan yang berpendidikan tinggi, yakni sebesar 113 orang

(22,4%) dari total responden. Dengan demikian terlihat bahwasannya perusahaan

dimana responden bekerja sebahagian besar memperkerjakan buruh yang

berpendidikan SLTA (SMU). Dalam banyak kasus perburuhan, level pendidikan

rendah selalu dijadikan dasar penentuan upah buruh, khususnya pada perusahaan

padat karya yang mempekerjakan buruh berpendidikan rendah, karena buruh yang

pendidikannya rendah akan lebih mudah untuk ditekan dan diperlakukan semena-

mena oleh perusahaan. Pada aspek lainnya, ada kecenderungan dari perusahaan untuk

memperkerjakan buruh yang masih belum menikah atau buruh lajang. Data dari profil

responden memperlihatkan bahwasannya jumlah buruh yang belum menikah lebih

besar dibandingkan yang sudah menikah, yakni sebesar 53,7% (271 orang). Ada

beberapa asumsi yang dapat dijadikan dasar oleh perusahaan untuk lebih memilih

buruh yang belum menikah untuk diperkerjakan di perusahaan. Pertama, buruh yang

belum menikah memiliki kebutuhan dan tuntutan hidup yang lebih kecil

dibandingkan buruh yang sudah menikah. Dengan demikian, tanggungan suami, anak

dan tanggungan lain, maupun aspek kebutuhan sosial tidak menjadi komponen dalam

proses perhitungan upah. Kedua, buruh yang sudah menikah tentunya memiliki

beberapa keterbatasan sebagai konsekuensi sebagai buruh yang sudah

berumahtangga, misalnya kebutuhan waktu untuk cuti hamil (maternal leaves),

urusan keluarga (kondangan, arisan, pesta), dan lain-lainnya yang bagi buruh lajang

tidak terlalu dibutuhkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan aktivitas sosial.

Tuntutan bagi buruh yang sudah menikah tentunya akan lebih besar dibandingkan

buruh yang belum menikah. Hal ini tentunya dianggap sebagai beban oleh perusahaan

dan mereka anggap menjadi penyebab rendahnya kapasitas produksi perusahaan.

Buruh yang terlalu banyak mengambil cuti melahirkan, cuti haid dan cuti mengikuti

aktivitas sosial, menuntut tunjangan anak maupun kebutuhan buruh berkeluarga

Page 34: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

34

lainnya dianggap oleh pengusaha akan menambah labour cost, merendahkan

produktivitas buruh, dan akhirnya memperkecil keuntungan perusahaan.

Status kawin

Status kawin

belum kawinkawin

Fre

quen

cy

300

280

260

240

220

200

180

160

140

120

100

80

60

40

200

271

234

Sumber: Kuesioner

Grafik Responden Berdasarkan Status Kawin

Jika data di atas bandingkan dengan masa kerja maka ada beberapa hal yang

bisa disimpulkan. Pertama untuk buruh yang bekerja di bawah 1 tahun, hanya 5 orang

yang sudah berstatus kawin, sedangkan yang berstatus belum kawin sebanyak 20

orang. Perbandingan ini menunjukkan, bahwa sebahagian besar buruh yang baru

bekerja/atau ketika diterima bekerja adalah yang berstatus belum kawin. Hal itu

terlihat pada buruh yang masuk dalam kategori masa kerja antara 1 (satu) sampai 4

(empat) tahun. Jumlah buruh yang belum kawin masih lebih besar, yakni 191 orang,

sedangkan buruh yang sudah kawin hanya sebesar 67 orang. Hal ini juga

menunjukkan kesimpulan yang sama, bahwasannya buruh cenderung memilih untuk

tidak menikah ketika masa kerja masih belum mencapai masa kerja lebih dari 4

tahun. Kedua, ketika masa kerja buruh sudah lebih dari 4 tahun rasio tersebut menjadi

terbalik. Sebahagian besar buruh dalam masa kerja ini sudah berstatus kawin. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwasannya setelah bekerja lebih dari 4 tahun, barulah

memutuskan untuk menikah.

Page 35: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

35

Jika dianalisis lebih jauh, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan dari

informasi ini. Pertama, perusahaan memang boleh dikatakan alergi untuk melakukan

perekrutan terhadap buruh yang sudah menikah diakibatkan beberapa konsekuensi

lanjutan yang nantinya harus dipenuhi oleh perusahaan. Keputusan buruh untuk

menikah bukanlah disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kesiapan

mental, keluarga, maupun persoalan keterbatasan ekonomi, namun lebih disebabkan

oleh sulitnya buruh untuk memperoleh pekerjaan ketika sudah berstatus kawin. Status

belum menikah tersebut ternyata tetap bertahan ketika buruh sudah bekerja.

Walaupun sudah melewati masa kerja 1 sampai 4 tahun, ternyata sebahagian besar

buruh belum memutuskan untuk menikah. Barulah ketika kondisi sudah sedikit

mapan, masa kerja sudah lebih lama dari 4 tahun buruh memiliki keberanian untuk

menikah. Kedua, keputusan buruh untuk tidak segera menikah tentunya dilandasi

oleh beberapa alasan. Sulit memang untuk mengungkapkan alasan dari buruh

tersebut, namun dari pola data di bawah, terlihat ada satu aturan tidak tertulis yang

membuat buruh untuk menunda pernikahan. Menurut beberapa buruh yang pernah

mencoba melamar pekerjaan, status menikah memang lebih sulit dibandingkan buruh

lajang untuk diterima bekerja pada perusahaan. Untuk mengantisipasi kendala

tersebut, sebagian besar buruh terpaksa menunda perkawinan, dan sebagian lagi

malah ada yang memanipulasi status pernikahan agar sekedar dapat diterima bekerja

di pabrik.

Tabel Status Kawin

Berdasarkan Kategori Masa Kerja

Status kawin kategori masa kerja <1

tahun 1-4

tahun> 4

tahunTotal

Kawin 5 67 161 233Belum kawin 20 191 61 272

25 258 222 505

Sumber: Kuesioner

Page 36: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

36

Secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini bekerja dalam perusahaan

yang memproduksi 15 jenis produk. Responden terbanyak adalah yang bekerja di

perusahaan yang memproduksi tali, ala, tikar dan benang, yakni PT United Rope

sebayak 75 orang (14,9%), sedangkan jenis produk kedua terbesar tempat bekerja

responden adalah pada PT Medan Canning, PT Growth Pasifik dan PT Toba Surimi

Industri (PT TSI), yakni sebanyak 62 orang, atau 12,3% dari total responden.

Tabel Responden Berdasarkan Jenis Produksi Perusahaan Tempat Bekerja

No Jenis Produksi Frequency Percent 1 Anti nyamuk 33 6,5 2 Barang pecah belah 24 4,8 3 Besi, beton, kawat beton, baja, kawat duri, plat

dan paku 33 6,5

4 Gas, oksigen 9 1,8 5 Kaca Mata 43 8,5 6 Komponen elektronik 35 6,9 7 Pakan ternak 11 2,2 8 Pengawetan Hasil Laut 62 12,3 9 Permen 30 5,9 10 Piala 26 5,1 11 Plastik, pipa, sambungan pipa, selang, elbow 30 5,9 12 Rotan setengah jadi, pengawetan rotan dll 19 3,8 13 Sepatu 23 4,6 14 Tali, jala, tikar, pipa dan benang 75 14,9 15 Ubin, meubel, kayu, floring. keramik kayu, piner 52 10,3 Total 505 100,0 Sumber: Kuesioner

Salah satu jenis produksi yang jumlah responden dalam penelitian ini cukup

banyak adalah yang bergerak dalam bidang pengawetan dan produksi hasil laut.

Perusahaan yang memproduksi hasil laut terkonsentrasi di Zona Mabar. Ada beberapa

perusahaan yang menghasilkan jenis produksi yang sama di zona tersebut, yakni PT

Medan Canning, PT Growth Pacific dan PT TSI (Toba Surimi Industry).

Perusahaan tempat responden bekerja dan yang dijadikan sampel dalam

penelitian ini secara keseluruhan adalah 22 perusahaan. Perusahaan tersebut tersebar

Page 37: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

37

di 3 (tiga zona), yakni Zona Mabar, Zona Binjai dan Zona Tanjung Morawa. Berikut

data nama perusahaan tempat responden bekerja.

Tabel Daftar Nama Perusahaan

Tempat Responden Bekerja

No Nama Perusahaan Frekuensi % 1 PMU 11 2,2 2 PT Asahi 12 2,4 3 PT. Canggih Lestari 30 5,9 4 PT. Duta Multi Inti Optik 43 8,5 5 PT. Girvi Mas 23 4,6 6 PT. Growth Pasifik 22 4,4 7 PT. Gunung Gahapi Sakti 33 6,5 8 PT. IAD 23 4,6 9 PT. Kedaung 24 4,8 10 PT. Manao Sumatera 19 3,8 11 PT. Medan Canning 23 4,6 12 PT. Medan Raya Jasa Abadi 9 1,8 13 PT. Mustindo Utama 19 3,8 14 PT. Pakanindo 6 1,2 15 PT. Samawood 52 10,3 16 PT. Serba Trophy 26 5,1 17 PT. Toba Surimi Industri 18 3,6 18 PT. Union Convectionary L 30 6,0 20 PT. United Rope 75 14,9 21 PT.GPS 4 ,8 22 PT.Perkasa Mustindo Utam 3 ,6

Total 505 100,0 Sumber: Kuesioner

Berdasarkan keanggotaan dalam serikat buruh, sebahagian besar responden

adalah anggota SBMI (191 orang) atau 37,8% dari total responden. Dikarenakan

kedekatan kelembagaan dan hubungan personal, akses terhadap responden lebih

mudah dilakukan terhadap SBMI yang merupakan mitra kerja dari KPS. Namun

responden dari serikat buruh lain juga cukup banyak dicover dalam penelitian ini. Hal

itu untuk menjaga keseimbangan dan keterwakilan sehingga buruh yang berasal dari

serikat buruh lain juga dijadikan responden dalam penelitian ini. Responden yang

Page 38: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

38

berasal dari SPSI dalam penelitian ini adalah sebesar 141 orang atau 27,9%,

sedangkan yang berasal dari SBSI adalah sebesar 30 orang (5,9%).

Satu hal yang patut disoroti adalah, jumlah responden yang bukan anggota

dari serikat buruh manapun ternyata cukup besar. Menurut data hasil lapangan,

ketidakikutsertaan buruh dalam serikat buruh tersebut terbagi atas dua kategori, yakni

buruh yang memang tidak menjadi anggota anggota SB, dan buruh yang tidak ikut

menjadi anggota Serikat Buruh (SB) akibat tidak adanya SB di dalam perusahaan.

Sedangkan sisanya, adalah serikat buruh lain yang keanggotaannya sedikit, yakni

Gaspermi, PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), dan SPKIM.

Page 39: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

39

Grafik Responden Berdasarkan Keanggotaan Serikat Buruh

tidak ada SB

bukan anggota SB

lainnya

SBMI

PPMI

SBSI

SPSI

J U

M L A H

300

250

200

150

100

50

0

Sumber: Kuesioner Berdasarkan etnis atau suku, secara garis besar responden penelitian

didominasi oleh suku Jawa, yakni mencapai 235 orang (46,5%), sedangkan

yang kedua adalah pada suku Batak, yakni sejumlah 143 orang (28,3%),

sedangkan sisanya adalah yang berasal dari suku lain, seperti; Simalungun,

Mandailing, Karo, Aceh, Minangkabau, dan sebagainya. Dominasi jumlah

buruh yang ber-etnis Jawa tersebut disebabkan oleh sebahagian besar buruh

tersebut memang berasal dari kantong-kantong tenaga kerja di sekitar kawasan

perkebunan lama. Mereka adalah keturunan dari buruh kontrak yang

didatangkan pada akhir abad XIX dan awal abad XX untuk bekerja di beberapa

perkebunan besar kolonial di daerah Tanah Deli.

Tabel Responden Berdasarkan Suku/Etnis

No Suku/Etnis Jumlah % 1 Aceh 7 1,4 2 Banjar 4 0,8 3 Banten 2 0,4 4 Batak Toba 143 28,3 5 Chinese 1 0,2

Page 40: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

40

6 Gayo 1 0,2 7 India 1 0,2 8 Jawa 235 46,5 9 Kalimantan 2 0,4 10 Karo 21 4,2 11 Mandailing 29 5,7 12 Melayu 28 5,5 13 Minangkabau 7 1,4 14 Nias 5 1,0 15 Pakpak Dairi 2 0,4 16 Punjabi 1 0,2 17 Simalungun 13 2,6 18 Sunda 3 0,6

Total 505 100,0 Sumber: Kuesioner

Deskripsi responden berdasarkan etnisitas tersebut boleh dikatakan menjadi

gambaran sederhana tentang karakteristik buruh industri berdasarkan suku bangsa di

Kota Medan. Walaupun komposisinya tidak begitu tepat, namun gambaran seperti di

atas sangat membantu dalam melihat respon buruh berdasarkan asal-usul suku bangsa

tersebut tentang pengupahan.

Page 41: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

41

����

Selintas Tentang Sistem Pengupahan

� Sejalan dengan semakin terpuruknya ekonomi secara nasional, regional dan

lokal, kondisi buruh (dalam hal ini persoalan upah) juga mendapat pengaruh yang

cukup besar. Hal itu tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi sistem pengupahan di

negara-negara lain, terutama di negara berkembang, seperti negara-negara di Asia

Tenggara27 yang mendapat pukulan cukup besar akibat pukulan krisis ekonomi

global.

Di Indonesia sendiri, krisis ekonomi global tersebut muncul dalam berbagai

bentuk. Dari sisi moneter, ketenagakerjaan, perbankan dan sektor riil, semuanya

mendapat hantaman keras dari gejolak ekonomi yang khususnya terjadi di kawasan

Asia Tenggara ini. Namun yang dibandingkan negara-negara tetangga seperti

Malaysia, Thailand, Philipina dan negara lainnya, pemulihan ekonomi di Indonesia

berjalan lebih lambat sehingga pengaruhnya semakin dalam.

Sektor yang mendapat pengaruh cukup besar akibat krisis ekonomi di Indonesia

adalah sektor ketenagakerjaan, salah satunya terhadap sistem pengupahan. Tragedi

ekonomi yang berlangsung mulai tahun 1998 menjadi bukti bahwasannya pemerintah

Indonesia memiliki kemampuan yang sangat rendah dalam hal manajemen krisis.

Investor yang enggan datang, kondisi ketidakamanan yang berlarut-larut,

hengkangnya beberapa industri strategis dari Indonesia, meningkatnya jumlah

27 Salah satunya adalah negara Philipina, dimana persoalan utama yang sering menjadi permasalahan perburuhan adalah pengupahan. Hampir sama dengan di Indonesia, Philipina juga menggunakan konsep upah minimum yang perumusan dan penetapannya dilakukan oleh sebuah institusi pengupahan di tingkat nasional dan lokal untuk kemudian secara formal ditetapkan oleh pemerintah.

Page 42: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

42

pengangguran terbuka dan setengah terbuka tidak tertangani secara tepat, malah

terkesan berlarut-larut.

Satu persoalan yang terkesan berlarut-larut dan nyaris tanpa solusi adalah krisis

ketenagakerjaan. Pasca 1998 jumlah pengangguran terbuka maupun setengah terbuka

meningkat tajam. Tahun 2002 saja BPS mencatat jumlah 8,1 juta atau 8% dari seluruh

angkatan kerja dan telah mencapai 9 juta jiwa atau 9,1% pada tahun 200319, demikian

juga pada tahun 2004 dan kemungkinan juga akan terjadi pada tahun 2005. Pantaslah

kiranya beberapa ekonom Indonesia memberi kritikan yang sangat tajam terhadap

pemerintah perihal kondisi ketenagakerjaan yang berlangsung beberapa tahun

belakangan. Para ekonom memandang, jika melihat kinerja pemerintah saat ini, maka

tidak akan ada perubahan yang sangat berarti dalam bidang ketenagakerjaan. Malah

beberapa diantaranya menyatakan, pemerintah malah tidak punya solusi apapun

dalam mengatasi angka pengangguran di Indonesia.

Setiap tahunnya pertambahan jumlah pencari kerja baru dapat mencapai angka

2 juta jiwa, sedangkan kemampuan pemerintah –dalam hal ini Departemen Tenaga

Kerja setiap tahunnya hanya sekitar 130.000 jiwa, jadi dalam satu tahun beban

pertambahan pengangguran akan mencapai 1,5 juta jiwa. Bisa dibayangkan jika

dalam satu pertambahan jiwa mencapai 2 juta lebih sedangkan dalam yang dapat

diserap tidak lebih dari 500 ribu jiwa, maka pada satu waktu akumulasi jumlah

pengangguran di Indonesia akan sangat luar biasa besar20.

Kondisi serupa juga ditemui pada aspek sistem pengupahan di Indonesia sendiri

yang merupakan suatu contoh dari suatu kebijakan yang tidak pernah secara tulus

berpihak kepada buruh, karena lebih memprioritaskan pada kepentingan pengusaha

dan atau penanam modal. Berbagai upaya regulasi kebijakan ekonomi makro secara

umum tetap saja selalu menguntungkan pengusaha tanpa melihat kepentingan buruh

19 Koran Tempo, 14 Januari 2002 20 Lihat Harian Kompas 22 April 2003 dimana dinyatakan, Depnakertrans sendiri pada tahun 2003 hanya mampu menyerap 128.337 tenaga kerja, dan program yang dilakukan untuk itu hanya dua, yakni program peningkatan ketrampilan dan profesionalitas kerja, serta program perluasan dan pengembangan kerja yang dilakukan di 30 propinsi yang dananya diambil dari APBN dan dana kompensasi BBM sebesar Rp. 177,629 miliar

Page 43: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

43

secara lebih luas. Lihat saja beberapa kebijakan investasi di Indonesia yang seperti

jalan tol, membuka seluas-luasnya iklim investasi, pemanfaatan sumberdaya alam

maupun menggunakan tenaga kerja tanpa batas. Berbagai kemudahan dan tindakan

penciptaan situasi kondusif-pun dilakukan oleh pemerintah agar perusahaan dan

pemodal asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti yang

dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) yang membentuk task

force yang beranggota wakil-wakil dari aparat keamanan, penegak hukum, serta

instansi terkait yang bertugas membantu perusahaan-perusahaan untuk memecahkan

permasalahan yang dihadapi.

Strategi yang dilakukan oleh BKPM tersebut jelas menjadikan institusi

tersebut sebagai satu badan terdepan dalam menciptakan kondisi ekonomi dan politik

yang lebih memadai untuk masuknya investasi. BKPM menjadi institusi hamba pasar,

pendukung maupun partner para pemodal yang memiliki niat melakukan investasi di

Indonesia. Namun upaya menarik investor luar negeri dan penanam modal dalam

negeri tersebut selalu mengangkangi kepentingan rakyat, khususnya terhadap buruh.

PENGUPAHAN SECARA TEORITIK

Seorang intelektual yang dianggap sebagai peletak dasar konsep pengupahan

adalah Karl Marx. Sebagai tokoh yang banyak mengkritisi perkembangan ekonomi

kapitalisme klasik, Marx melihat ada kecenderungan eksploitatif dalam sistem

kapitalisme, khususnya antara pemilik modal atau pengusaha terhadap buruh atau

kelas pekerja.

Marx beranggapan, akar dari seluruh eksploitasi kelas borjuis (pemilik modal)

terhadap kelas pekerja adalah pada relasi kerja antar dua kelas tersebut, khususnya

diakibatkan oleh perbedaan kepemilikan alat produksi. Perbedaan tersebutlah yang

kemudian menjadi fondasi bangunan struktur sosial ekonomi masyarakat. Struktur

ekonomi seperti ini mengutamakan cara berproduksi yang menggunakan tenaga kerja

Page 44: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

44

manusia, penggunaan mesin dan teknik30. Konsekuensi dari perbedaan kepemilikan

alat produksi tersebutlah kemudian yang melahirkan struktur produksi eksploitatif

pada masyarakat dan negara. Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi dan

hanya memiliki tenaga harus menyerahkan dalam proses produksi kepada kelas

pemilik modal dan pengusaha.

Sebagai hasil dari penyerahan tenaga dalam proses produksi tersebutlah

kemudian buruh menerima upah sesuai tenaga dan waktu yang dihabiskan di dalam

pabrik. Pengusaha sebagai pembeli tenaga kerja kemudian memberikan upah sesuai

dengan harga pasar. Untuk lebih jelasnya, berikut analisa Brian Burkitt31 tentang

pandangan Marx terhadap upah.

“…Marx stresses the dual character of labor; the worker sells his or her own labor power, but the capitalist buys the worker's labor time, which is an undefined, productive potential, determined by the hours worked, the machinery employed and the intensity of the labor process. In Marx's analysis, the crucial distinction remains that the wage is the price of labor power, exchanged by buyers and sellers in the labor market, but not the price of labor itself…”

Penjelasan seperti itu menjadi penegas bahwasannya dalam ekonomi

kapitalistik terdapat dualisme pandangan terhadap buruh yang saling bertolak

belakang. Pada satu sisi, buruh menjadi komponen penting dalam proses produksi

karena memiliki peran merubah bahan mentah dan alat produksi lainnya agar

memiliki nilai. Walaupun bahan mentah dan alat produksi sudah memiliki nilai

tersendiri namun buruh melengkapi melalui kerja yang dilakukan dalam proses

produksi. Nilai yang diberikan oleh kerja buruh sangat penting sehingga perannya

tidak dapat ditiadakan. Pada sisi lain, ternyata peran buruh dalam proses produksi

tersebut tidak dihargai dengan semestinya. Apa yang dimaksud oleh kerja yang

dilakukan oleh buruh dalam proses produksi dalam sistem ekonomi kapitalistik

30 Jean Francois Dortier, Marx dan Sosiologi, dalam Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Force, Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004. 31 Marx's Wage Theory in Historical Perspective: Its Origin, Development Interpretation. - Review - book reviews

Labor History, Nov, 1999 by Brian Burkitt

Page 45: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

45

bukanlah biaya produksi kerja yang dilakukan buruh dalam satu jam, satu hari,

ataupun satu bulan, namun diterjemahkan sebagai biaya produksi buruh hidup buruh.

Para ekonom kapitalistik memandang buruh yang bekerja dalam proses

produksi sama dengan menyewakan dirinya secara utuh pada majikan. Dengan kata

lain, yang dijual oleh buruh bukanlah sekedar tenagakerjanya saja, namun juga

menjual ataupun menyewakan dirinya dalam jangka waktu tertentu. Nilai baru yang

ditambahkan buruh terhadap barang tidak kemudian dikembalikan kepada buruh

sebagai ganti kontribusi yang diberikan, namun yang diberikan pada buruh adalah

sebatas besaran biaya produksi dirinya. Biaya produksi buruh yang kemudian

diberikan pemberi kerja merupakan nilai yang diberikan perusahaan agar buruh

sekedar dapat dan sanggup bekerja32

Hal senada juga dinyatakan oleh Frederich Engels. Atas ganti kerja yang

dilakukan oleh buruh dalam proses produksi, buruh kemudian mendapatkan upah

sesuai dengan nilai atau jumlah yang dibutuhkan oleh buruh untuk memperoleh

bekal-bekal kehidupan (means of existance) yang diperlukan, sesuai standar hidup,

dan menjaga kemampuan kerjanya. Tidak mungkin perusahaan atau majikan akan

memberikan upah sesuai dengan produk atau hasil kerjanya sendiri, karena pemberi

kerja atau majikan memiliki kepentingan untuk memperluas usaha dengan cara

mengakumulasi keuntungannya. Agar produksi tetap berjalan, satu-satunya cara

dalam ekonomi kapitalistik hanyalah dengan memberikan upah sesuai dengan

kebutuhan standar pekerja33.

Pada sistem pengupahan sistem kapitalistik upah dianggap sebagai imbalan

yang diterima pekerja atas jasa yang diberikan dalam proses memproduksi barang

atau jasa di perusahaan. Upah dalam perspektif ekonomi kapitalistik masih

32 Dikutip dari situs: www.Marxist.org, Karya Karl Marx dan Frederich Engels tentang Kerja Upahan dan Kapital. Makalah ini merupakan ceramah-ceramah Karl Marx pada 14-30 Desember 1847, diterbitkan dalam Neue Rheinische Zeitung tahun 1849, diterbitkan sebagai brosur dengan kata pengantar dan disusun oleh Frederich Engels di Berlin tahun 1891, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia ole S.Maun, dan diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, Jakarta. 33 Dikutip dari situs: www.marxists.org, merupakan karya Frederich Engels dengan judul “Upah Sehari yang Layak Bagi Kerja Sehari yang Layak, tahun 2002.

Page 46: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

46

menetapkan standar kebutuhan dasar buruh, antara lain untuk pangan, sandang,

perumahan dan kebutuhan lainnya. Pada prinsipnya, upah hanya sekedar dijadikan

alat untuk mempertahankan buruh agar dapat bekerja. Agar buruh dapat bekerja, ia

harus memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya. Pekerja yang kurang protein akan

menderita lesu darah dan tidak akan produktif, sehingga kesejahteraan dan kualitas

hidup buruh dan keluarganya harus tetap dipelihara34.

Buruh yang bekerja di perusahaan dalam proses meningkatkan nilai barang

akan menerima upah sesuai dengan biaya produksi seorang buruh agar dapat tetap

bekerja. Artinya, upah yang diterima hanya merupakan bentuk biaya pengganti

pengeluaran hidup buruh secara minimal. Prinsip sistem pengupahan seperti itulah

yang kemudian banyak diterapkan di beberapa negara dunia ketiga, seperti Indonesia.

Tidak terbendungnya penyebaran paham ekonomi kapitalistik merupakan faktor

utama pendorong diterapkannya sistem pengupahan seperti yang berlangsung saat ini

di Indonesia. Percepatan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi seperti yang saat ini

dilakukan pemerintah mensyaratkan sebuah kondisi yang sangat kondusif sehingga

dapat memacu produksi dan konsumsi masyarakat. Salah satu strategi menumbuhkan

perekonomian adalah dengan meningkatkan jumlah investasi. Konsep ini merupakan

kata kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dikarenakan adanya keterbatasan

modal pemerintah dalam merangsang pemulihan ekonomi negara.

Atas dasar meningkatkan investasi tersebutlah kemudian pemerintah

membangun sebuah sistem pengupahan yang paling mendukung kondusifitas

investasi. Pilihan yang paling tepat dalam rangka mewujudkan iklim investasi,

sekaligus mempertinggi comparative advantage adalah dengan menyediakan buruh

murah dengan cara menerapkan Upah Minimum (UM) dalam sistem pengupahan.

Strategi tersebut dapat dikatakan cukup lazim diterapkan oleh negara-negara

berkembang yang mengutamakan investasi sebagai pemicu percepatan pertumbuhan

ekonomi.

34 Simanjuntak, Pajaman, “Reformasi Sistem Pengupahan Nasional”, dalam Informasi Hukum, Vo. 5 Tahun VI, jakarta, Tahun 2004.

Page 47: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

47

KEBIJAKAN PENGUPAHAN YANG TIDAK PERNAH BERPIHAK

Sejarah kebijakan pengupahan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sejarah

yang dipenuhi dengan ketidakadilan. Rejim demi rejim sudah berganti, namun

kebijakan pengupahan yang diterapkan tetap tidak memenuhi unsur keadilan bagi

buruh. Walaupun dari sisi perundangan telah semakin mengalami perbaikan (yang

katanya disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks ekonomi kontemporer) namun

tetap saja tidak memiliki keberpihakan terhadap nasib dan sesuai dengan tekanan

ekonomi buruh yang setiap tahunnya terus mengalami kenaikan cukup tinggi.

Untuk memahami sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini, menurut

Hotman Siahaan harus ditelusuri jauh ke belakang, yakni pada proses sejarah

perkembangan industri dan ekonomi nasional. Terbentuknya sistem ekonomi maupun

sistem pengupahan tersebut harus dipahami melalui interaksi 3 (tiga) aktor, yakni

industri, negara dan rakyat sebagai sumber tenaga kerja. Hubungan ketiga aktor

tersebutlah yang membentuk beberapa karakter tertentu dari sistem ekonomi dan

pengupahan sampai pada akhirnya berpengaruh terhadap konsep dasar maupun sistem

pengupahan.

Sejak masa-masa awal pertumbuhan ekonomi di Indonesia, gejala

penyimpangan dan pergeseran ke arah sistem ekonomi dan industri yang tidak sehat

sebenarnya sudah terlihat. Hal itu tampak ketika sektor ekonomi masa kolonial yang

digerakkan oleh sistem ekonomi tanam paksa yang kemudian dilanjutkan dengan

pertumbuhan industri besar di pedesaan. Situasi ekonomi dan industri seperti telah

melahirkan sistem ekonomi dualistik, dimana basis ekonomi industri dengan

fundamental ekonomi masyarakat menjadi sangat timpang.

Tekanan ekonomi yang sangat tinggi, terbatasnya masyarakat pada faktor

produksi, minimnya lahan dan semakin tingginya pertumbuhan penduduk seperti

inilah yang kemudian di wilayah-wilayah tertentu di Pulau Jawa memunculkan

involusi ekonomi pertanian. Proses involusi tersebutlah yang kemudian menciptakan

petani gurem dan pengangguran dengan jumlah besar akibat terbatasnya lahan

pertanian yang dapat diolah untuk tanaman pangan atau perkebunan. Semakin

Page 48: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

48

sempitnya lahan pertanian, besarnya buruh tani di perdesaan dan semakin melebarnya

kemiskinan tersebut mendorong tingkat migrasi para pengangguran, lulusan sekolah,

kaum perempuan ke kawasan perkotaan yang akhirnya memperbesar jumlah pencari

kerja dan pengangguran di kota-kota besar seluruh Indonesia.

Tingginya angka pencari kerja dan pengangguran tersebut lama-kelamaan

kemudian pasti akan berpengaruh terhadap bangunan struktur ekonomi dan sektor

industri. Selama beberapa dasawarsa pertumbuhan ekonomi dan industri masih

berbasiskan industri manufaktur padat karya yang memanfaatkan supply tenaga kerja

yang kurang terdidik. Untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan industri tersebut

maka pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi dan

perburuhan yang mendukung investasi, salah satunya adalah dengan mengeluarkan

kebijakan upah murah. Karena jika tidak maka pemerintah akan kesulitan menarik

investor dan pemodal yang selalu mensyaratkan kemudahan-kemudahan investasi,

rendahnya biaya produksi dan buruh murah.

Struktur ekonomi dan industri seperti itulah yang kemudian dikembangkan oleh

pemerintah sampai diterapkannya secara luas sistem upah minimum, dimana tonggak

sejarah kebijakan pengupahan di Indonesia sudah mulai terstandarisasi. Walaupun

kebijakan tersebut sudah mulai terumuskan, namun sebagai konsep awal, kebijakan

tersebut belum bisa dilaksanakan. Barulah setelah antara tahun 1974 sampai dengan

1976 secara terbatas kebijakan pengupahan tersebut sudah mulai diterapkan pada

perusahaan milik negara.

Penerapan konsep pengupahan tersebut ternyata tidak serta-merta menjadi

fokus perhatian dan dijadikan agenda penting bagi pemerintah. Untuk mengejar

ketertinggalan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerintah masih

menyelesaikan masalah perburuhan yang pada saat itu dianggap sebagai faktor

penghambat masuknya investasi. Berbagai kebijakan (misalnya kebijakan kontrol

terhadap serikat buruh dan konsep hubungan Industri Pancasila). Praktis kebijakana

pengupahan sama sekali tidak memiliki manfaat apapun yang sesuai dengan tujuan

awalnya. Pemerintah malah secara sengaja mengendalikan serikat buruh sehingga

Page 49: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

49

membuat organisasi buruh menjadi semakin lemah dan tidak mengganggu iklim

investasi.

PENGUPAHAN MASA ORDE BARU

Penerapan kebijakan pengupahan secara lebih jelas di Indonesia sebenarnya

berlangsung pada tahun 1990-an. Hal ini tidak merupakan inisiatif dari pemerintah

sendiri, diakibatkan oleh tekanan dari buruh sendiri. Berdirinya beberapa serikat

buruh pada awal tahun 1990 an membentuk satu kekuatan perlawanan yang lebih

besar dari buruh, sehingga memaksa pemerintah untuk menelurkan beberapa

kebijakan perburuhan, salah satunya adalah perihal kebijakan pengupahan.

Landasan awal kebijakan pengupahan yang sampai saat ini masih dijadikan

pegangan oleh pemerintah, sekaligus menjadi ganjalan keadilan pengupahan adalah

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tentang Upah Minimum (UM).

Konsep dasar tentang upah minimum sendiri sebenarnya sudah sangat lama

dimunculkan oleh suatu institusi pengupahan yang bernama Dewan Penelitian

Pengupahan Nasional dan daerah (DPPN/D) pada tahun 1969 dan 1970. Akan tetapi

seperti yang disebutkan di atas, kejelasan penerapannya baru berlangsung pasca

keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989.

Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) merupakan suatu lembaga

bentukan pemerintah yang bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada

pemerintah tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pengupahan. Keanggotaan institusi

tersebut terdiri dari departemen-departemen pemerintah, asosiasi pengusaha,

perguruan tinggi, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan

elemen serikat pekerja (SPSI). Sedangkan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah

(DPPD) yang berkedudukan di bawah Gubernur. Institusi ini berfungsi melakukan

penelitian untuk kemudian diajukan ke Gubernur dan Menteri Tenaga Kerja. Jika

memang jumlah yang diusulkan oleh DPPD dan DPPN sudah dianggap sesuai dengan

pertimbangan Menteri Tenaga Kerja dan Gubernur, maka jumlah tersebut akan

ditetapkan menjadi UMR.

Page 50: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

50

Seperti yang disebutkan sebelumnya, perubahan proses kebijakan pengupahan

di Indonesia telah mengalami perubahan sejak kebijakan otonomi daerah

diberlakukan di seluruh wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Tentunya kebijakan

tersebut membawa konsekuensi pada pengalihan beberapa kewenangan yang

sebelumnya terpusat di Jakarta menjadi terdistribusi ke daerah propinsi dan

kabupaten kota, dari yang sifatnya terpusat di kementrian tenaga kerja dialihkan ke

kepala daerah.

Proses peralihan kewangan tersebut adalah selaras dengan semangat

desentralisasi, dimana beberapa kewenangan politik dan ekonomi yang selama ini

berada di tangan pemerintah pusat didistribusikan ke daerah, termasuk dalam hal ini

kewenangan dalam permasalahan pengupahan. Namun semangat tersebut dari

perspektif keadilan hanya menyentuh sisi permukaan, dimana pemerintahan daerah

memiliki peran politik dan ekonomi yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Ketidakadilan yang diretas hanya keadilan otoritas politik dan ekonomi pusat dan

daerah, namun sebenarnya tidak menyentuh substansi keadilan yang sebenarnya,

yakni antara kelas masyarakat yang tereksploitasi dengan minoritas pengusaha, dan

pemodal yang berkuasa atas sumberdaya alam dan faktor produksi.

Tidak ada perubahan yang begitu besar sebenarnya dengan perubahan

kebijakan pengupahan tersebut. Pada sisi institusional, memang terdapat perbubahan

dalam hal komposisi yang terlibat dalam lembaga penelitian dan pemberi saran

jumlah upah. Dari yang sebelumnya dianggap belum memenuhi aspek keseimbangan

antara beberapa stakeholder pengupahan menjadi keterwakilan yang lebih berimbang

antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan dan penetapan

upah. Maksud dari konsep keterwakilan berimbang ini adalah, keterlibatan tripihak,

antara pengusaha, pemerintah dan dari kalangan buruh dalam institusi ini menjadi

lebih seimbang dari sebelumnya.

Page 51: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

51

Tabel Perbedaan Institusi Pengupahan Masa DPPN/DPPD

Kriteria DPPN/D DPD/DEPEDA Fungsi Merumuskan UMR Merumuskan UMP/K Komposisi Keanggotaan

Dominasi pemerintah Model keterwakilan berimbang

Kewenangan Penetapan UM

Menteri Tenaga Kerja Gubernur/Bupati/Walikota

Pelaksana Survei Depnaker Unsur pemerintah, pengusaha dan serikat buruh.

Mekanisme Penetapan Keanggotaan

Menteri Tenaga Kerja/Gubernur menjadi penentu usulan struktur keanggotaan yang diajukan oleh Depnaker

Gubernur/Bupati menjadi penentu usulan struktur keanggotaan yang diajukan oleh Disnaker

Mekanisme Pertanggung-jawaban

DPPN/D bertanggungjawab terhadap Menaker/Gubernur

DPD bertanggung jawab kepada Gubernur/Bupati

Sumber: Akatiga

Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya titik berat yang dikatakan

perubahan hanyalah pada persoalan peralihan kewenangan, tanggungjawab dan

komposisi perwakilan komponen yang terlibat dalam Dewan Pengupahan Daerah

(DPD). Dewan Pengupahan Daerah (DPD/DEPEDA) bertugas melakukan penelitian

dan memberikan usulan kepada Gubernur dan Bupati perihal jumlah UMP yang akan

diterapkan selama satu tahun.

Secara konseptual, lembaga tersebut sudah memenuhi rasa keadilan,

khususnya bagi elemen buruh. Bersamaan dengan semakin banyaknya bermunculkan

Serikat buruh, maka keterlibatan elemen buruh dalam dewan pengupahan menjadi

semakin besar. Secara kuantitas keterwakilan buruh memang semakin besar dari

tahun ke tahun. Asumsinya, semakin banyak elemen buruh yang terlibat dalam DPD,

maka semakin terwakililah aspirasi buruh dalam proses penentuan upah. Namun

secara kualitas, aspirasi buruh ternyata teredam oleh berbagai kepentingan dan

Page 52: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

52

kemampuan elemen pengusaha dan pemerintah. Jelas bahwasannya jika diamati lebih

dalam, perubahan kebijakan dari DPPN/D menjadi DPD Propinsi dan Kabupaten

Kota belumlah mampu secara signifikan merubah substansi persoalan upah yang

dihadapi oleh buruh.

Setelah beberapa dekade diterapkannya Upah Minimum (UM), terbukti sistem

tersebut tidak banyak merubah wajah buruh di Indonesia. Jika dilihat perkembangan

kontemporer dari kebijakan tersebut, ternyata hampir tidak ada keseriusan pemerintah

untuk benar-benar mensejahterakan buruh. Pertama; dari sisi kebijakan tidak ada

perubahan yang berarti yang pernah dilakukan pemerintah berdasarkan tuntutan

buruh dan masyarakat. Perkembangan terakhir pasca krisis ekonomi malah

berdampak secara negatif, salah satunya adalah memperlemah pertumbuhan sektor

formal35 yang sama sekali belum mendapat perlindungan yang sepantasnya oleh

pemerintah maupun pemberi kerja.

Penerapan kebijakan upah minimum yang pada awalnya merupakan upaya

memproteksi buruh dari kesewenangan pengusaha ternyata berubah menjadi

belenggu bagi buruh. Bukanlah peningkatan kesejahteraan yang kemudian dirasakan

oleh buruh, namun ternyata malah membatasi hak kaum pekerja untuk hidup lebih

baik dan melampaui batas minimum hidup. Kebijakan upah minimum yang sudah

diterapkan selama beberapa dekade ternyata cenderung lebih banyak merugikan

buruh karena sekedar dijadikan legitimasi oleh pihak-pihak yang menentang hak-hak

buruh. Bukti-bukti yang bisa diajukan untuk mengkritisi upah minimum sudah sangat

banyak muncul ke permukaan. Salah satunya adalah terkait dengan kenaikan jumlah

upah minimum setiap tahunnya yang belum sesuai dengan kenaikan kebutuhan hidup,

namun masih sekedar pada hitung-hitungan inflasi36. Padahal ada banyak faktor yang

35 Tulisan M Chatib Basri yang mengutip hasil penelitian Bird dan Chriss Manning pada tahun 2002 yang menyatakan adanya kecenderungan perkembangan sektor informal dan lemahnya sektor formal adalah disebabkan oleh kebijakan upah minimum. 36 Kompas, 22 September, 2004, dimana dinyatakan kenaikan upah buruh hanya berdasarkan inflasi, sehingga menyulitkan buruh untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kenaikan upah yang terjadi paling besar hanya 20%, bahkan beberapa perusahaan besar hanya menaikkan upah sebesar maksimal 8% , sedangkan kebutuhan hidup terus melonjak, terutama pada hari-hari besar.

Page 53: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

53

mengharuskan pemerintah dan pengusaha untuk menetapkan kenaikan upah dalam

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan harga pasar, antara lain kenaikan BBM,

Tarif Dasar Listrik (TDL) dan beberapa kebutuhan lainnya37.

Dapat dikatakan malah, kenaikan upah yang terjadi pada saat ini sebenarnya

bukanlah kenaikan yang sebenarnya, namun masih merupakan penyesuaian atas

inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok di pasar. Kenaikan yang sebenarnya

sendiri belum pernah dirasakan oleh buruh, sehingga wajar saja jika banyak pihak

yang menyatakan, buruh tidak dapat berharap banyak dari UMP, karena tetap saja

pemerintah dan pengusaha tidak menyetujui kenaikan upah yang sesuai dengan

peningkatan biaya hidup buruh38

Argumentasi seperti itulah yang secara terus-menerus dijadikan alasan oleh

pemerintah untuk menahan kenaikan upah buruh. Apalagi jika dilihat dari sisi standar

kehidupan buruh yang selama ini masih didasarkan oleh 43 komponen atau jenis

kebutuhan pokok buruh. Ke empat puluh tiga (43) komponen tersebutlah yang setiap

tahunnya diteliti oleh Dewan Pengupahan Daerah (DPD) sebagai parameter

perumusan dan penentuan kenaikan upah setiap tahunnya sesuai dengan standar

Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).

Paramater kebutuhan hidup pokok yang dicantumkan dalam KHM sendiri

selama beberapa tahun malah belum 100% dicapai di setiap propinsi. Upah Minimum

Propinsi (UMP) pada tahun 2004 mungkin dapat mewakili kondisi ini. Pada tahun

2004, dari 30 propinsi, hanya 10 (sepuluh) propinsi yang sudah menetapkan UMP di

atas KHM, sedangkan sisanya masih lebih rendah dari KHM, bahkan untuk beberapa

37 Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (SP RTMM) pada tahun 2002 menyatakan, upah minimum untuk wilayah Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2002 seharusnya mencapai Rp.750.000,- dan jumlah ini belum termasuk adanya rencana kenaikan BBM, TDL dan kebutuhan hidup lainnya, Kompas, 29 Desember 2001. 38 Di Propinsi DKI Jakarta, kenaikan UMP tahun 2005 oleh Dewan Pengupahan Daerah (DPD) tidak akan mungkin sama dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), karena dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan.

Page 54: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

54

propinsi, seperti Propinsi Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa

Barat dan Propinsi Bangka Belitung masih menerapkan UMP 90% dari KHM39.

Berdasarkan kondisi tersebut, tampaknya sangat sulit jika ada keinginan

elemen gerakan buruh termasuk pemerintah yang ingin menetapkan UMP agar sesuai

dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Walaupun standar KHL sudah dicantumkan

dalam Undang-Undang Perburuhan No.13 Tahun 2003, khususnya pada Pasal 88 dan

Pasal 8912. Namun sampai saat ini walaupun secara formal UUK No.13 Tahun sudah

diberlakukan, belum ada langkah-langkah dari pemerintah untuk menuangkan

kebijakan ketenagakerjaan, khususnya tentang upah layak dalam bentuk peraturan

yang lebih aplikatif. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya Surat Edaran Menakertrans

No. B.601/2004 tentang Penetapan UMP/UMK berdasarkan KHM. Keluarnya

peraturan tersebut jelas telah mengingkari UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun yang

secara eksplisit sudah mencantumkan kebutuhan hidup layak sebagai parameter upah

buruh40.

Pengingkaran dan penolakan dari pemerintah dan pengusaha tersebut menjadi

bukti bahwasannya nasib buruh atau pekerja di Indonesia memang dalam jangka

waktu cukup lama tidak akan mengalami perbaikan. Walaupun sudah terjadi

pergeseran kebijakan pengupahan sesuai dengan tuntutan pekerja, namun belum tidak

secara otomatis diterapkan. Kepentingan yang lebih besar, seperti penciptaan iklim

investasi yang kondusif, mengindari pemberhentian pekerja akibat beban ekonomi

yang ditimbulkan oleh biaya upah, maupun meningkatkan daya saing produk

39 Dikutip dari Direktorat Pengupahan, Jamsos dan Kesejahteraan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 12 dalam penjelasan UU No.13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. 40 Dalam Harian Kompas tanggal 22 November 2004, keluarnya kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh argumentasi dari pihak pengusaha yang menyatakan, kenaikan upah sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) akan meningkatkan angka pengangguran, sebab pengusaha secara terpaksa akan memberhentikan pekerja akibat ketidakmampuan untuk menggaji pekerja, sehingga pengusaha lebih setuju jika kenaikan upah hanya didasarkan oleh inflasi semata.

Page 55: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

55

domestik masih menjadi prioritas dibandingkan kepentingan untuk mensejahterakan

buruh di Indonesia.

Sistem Pengupahan Di Masa Liberalisasi Ekonomi

Kondisi terbaru memperliatkan ada beberapa perubahan terhadap sistem

pengupahan. Mulai tahun 2004 sampai 2005 pemerintah tampaknya semakin gencar

mengeluarkan beberapa kebijakan pengupahan. Didukung oleh semangat otonomi

daerah dan implementasi liberalisasi ekonomi pemerintah melakukan regulasi

kebijakan perburuhan yang semakin memperkuat belenggu terhadap buruh.

Sangat disayangkan sebenarnya, ketika kondisi yang semakin sulit dihadapi

buruh ternyata dijawab dengan keluarnya beberapa kebijakan perburuhan yang tidak

berpihak. Di satu sisi, dalam pemahaman awam, kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah menyangkut persoalan pengupahan adalah wujud dari pendemokrasian

sistem pengupahan dan sistem politik nasional. Melalui keluarnya kebijakan tersebut

pemerintah beranggapan akan dianggap lebih demokratis di mata masyarakat,

khususnya terhadap buruh.

Tahun 2003 tampaknya menjadi awal petaka paling besar yang kemudian

berlanjut sampai saat ini. Liberalisasi ekonomi semakin serius ditanggapi oleh

pemerintah sehingga mau tidak mau merembet pada seluruh sistem yang

berhubungan dengan sistem ekonomi, salah satunya terhadap sistem pengupahan.

Keluarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menjadi start awal

yang paling vulgar untuk diungkap. Kebijakan tersebut di satu sisi merupakan bentuk

akomodasi pemerintah terhadap keinginan berbagai pihak dalam pendemokratisan

sistem ketenagakerjaan. Namun buruh memandang kebijakan tersebut justru malah

memperlemah posisi tawar dan memposisikan buruh semakin tidak pasti.

Kebijakan paling baru adalah yang terkait dengan kebijakan pengupahan.

Setelah mengalami perubahan berkali-kali, pada tahun 2004 pemerintah

mengeluarkan Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.

Melalui kebijakan ini pemerintah mempertegas fungsi Dewan Pengupahan sebagai

Page 56: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

56

sebuah lembaga nonstruktural yang bersifat tripartit, dimana salah satu tugas

utamanya adalah memberikan saran, pertimbangan kepada pemerintah dalam rangka

perumusan dan penetapan upah minimum, baik itu di tingkat nasional, propinsi

maupun kabupaten/kota.

Kebijakan ini pada hakekatnya bersifat mempertegas kebijakan sebelumnya

tentang Dewan Pengupahan, karena beberapa pasal yang di muat telah

mencantumkan secara lebih jelas tentang peran, tugas, dan keberadaan dewan

pengupahan di tengah-tengah institusi ketenagakerjaan. Pada aturan tersebut

dijelaskan bahwasannya terdapat stratifikasi Dewan Pengupahan, dari tingkat

nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap level dewan pengupahan tersebut

memiliki kewenangan dan tugas yang disesuaikan dengan kewenangan yang

diberikan oleh pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Keberadaan kebijakan dewan pengupahan tersebut kemudian disusul oleh

keluarnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 17 Tahun 2005

tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Keluarnya kebijakan tersebut sebenarnya cukup membantu proses perumusan upah

minimum, dimana beberapa standar upah minimum sudah jelas diatur. Kebijakan ini

juga menurut pemerintah sudah mengakomodir kepentingan elemen pergerakan

buruh yang selama ini berupaya meningkatkan standar pengupahan. Sebelum

kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah, standar upah minimum masih

menggunakan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang merupakan perubahan dari

Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Tuntutan untuk meningkatkan upah buruh agar

sesuai dengan kondisi beban hidup buruh kemudian diakomodir oleh pemerintah

melalui keluarnya Keputusan Menteri tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Pada dasarnya kebijakan ini tidak merubah substansi proses perumusan dan

penetapan upah yang sebelumnya diberlakukan. Namun penekanan pada otonomi

daerah pada beberapa sisi sedikit merubah mekanisme kerja Dewan Pengupahan yang

ada di daerah maupun propinsi.

Page 57: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

57

����

Realitas Sistem Pengupahan Dimata Buruh

Hampir sama dengan kondisi buruh lainnya di Kota-kota besar di Indonesia,

kondisi perburuhan di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan tidak jauh berbeda

daerah-daerah lain yang sama-sama mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, salah

satunya tekanan dalam sisi pengupahan. Hal itu diakibatkan oleh standar umum

kebijakan pengupahan dari pemerintah yang tidak pernah mempertimbangkan

kebutuhan dan produktivitas buruh yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa

tahun terakhir regulasi kebijakan perburuhan telah memasukkan karakteristik lokal

(Kabupaten/Kota) dalam proses perumusan dan penetapan upah, namun realitas upah

yang berjalan masih sangat jauh dari kelayakan yang diharapkan oleh buruh.

Salah satu aspek yang menyebabkan rendahnya upah dan tidak sejahteranya

buruh adalah adanya beberapa kebijakan pengupahan yang sangat tidak adil dan tidak

berpihak terhadap buruh. Sejak proses kebijakan pengupahan dirubah –dari yang

ditentukan oleh Presiden berdasarkan masukan dari kepala daerah (Gubernur dan

Bupati) menjadi diputuskan oleh pemerintah setingkat kepala daerah- kebijakan

pengupahan tetap tidak membawa perbaikan pada kondisi upah buruh.

Ada banyak reduksi yang berlangsung ketika kebijakan pengupahan diserahkan

pada Gubernur dan Bupati. Walaupun sebenarnya pengalihan wewenang tersebut

adalah bertujuan untuk mengakomodir berbagai karakteristik daerah (yang

merupakan satu bentuk penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 Tahun

Page 58: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

58

1999), namun pelaksanaannya di lapangan ternyata tetap tidak membawa perubahan

yang cukup berarti bagi buruh. Perubahan kebijakan tersebut masih sekedar

menggeser kewenangan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah (propinsi dan

kabupaten/kota) tanpa merubah substansi dari kebijakan tersebut. Konsep-konsep inti

kebijakan pengupahan yang dirasakan tidak adil ternyata tidak mengalami perubahan

sama sekali, sehingga membuat pergeseran kewenangan pengupahan dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah tersebut sama sekali menjadi tidak bermanfaat dalam

meningkatkan kesejahteraan buruh, malah menciptakan potensi-potensi

penyelewengan dan pembodohan yang lebih besar terhadap buruh.

Pada banyak sisi, sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini belum sesuai

dengan harapan buruh, demikian juga secara institusional, konsep dasar, mekanisme,

maupun pada level aplikasi, sistem pengupahan masih jauh dari dimensi keadilan,

demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan

dari penelitian yang lebih dalam tentang sistem pengupahan, khususnya bagi buruh

sektor industri di perkotaan.

Realitas ketidakadilan sistem pengupahan dan tidak berpihaknya kebijakan

perburuhan tersebut dapat dilihat dengan cara mendeskripsikan pengetahuan,

pemahaman, atau persepsi buruh tentang berbagai aspek dalam sistem dan kebijakan

pengupahan, institusi yang memiliki otoritas dalam perumusan dan penetapan upah,

baik itu tentang proses, peran dari institusi atau stakeholder, maupun harapan dan

keinginan buruh terkait dengan proses perumusan dan penetapan upah. Apa yang

ingin diungkapkan nantinya akan menggambarkan bagaimana sebenarnya realitas

(pemahaman, pengetahuan dan persepsi buruh) tentang kebijakan maupun proses

perumusan dan penetapan upah. Selama ini pemahaman buruh memang kurang

diperhatikan sebagai pertimbangan lembaga pengupahan. Padahal, kebijakan

pengupahan yang menindas ini sudah lama berlangsung, sehingga pastinya akan

membentuk pemahaman dan pengetahuan secara subjektif.

Selama ini, upaya pengkritisan sistem pengupahan cenderung dilakukan secara

sepihak, antara lain dari perspektif pemerintah, kalangan elemen masyarakat pro

Page 59: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

59

demokrasi, tanpa melihat penilaian atas persepsi buruh sendiri. Bagaimanapun juga,

sikap buruh terhadap sistem pengupahan terbentuk berdasarkan realitas kehidupan

sehari-hari mereka. Buruh yang mengalami secara langsung minimnya upah,

sehingga pantaslah jika pandangan kritis buruh tersebutlah yang harus diangkat ke

permukaan jika berkeinginan merubah sistem pengupahan yang berlaku saat ini.

Page 60: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

60

KEBIJAKAN PENGUPAHAN DI MATA BURUH

Ada 2 variabel tentang kebijakan pengupahan yang ingin di lihat dalam proses

survey ini.

1. Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam

perumusan kebijakan pengupahan (UMP dan UMSP)

2. Persepsi buruh tentang keterlibatan buruh dalam proses perumusan kebijakan

pengupahan

Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam perumusan

kebijakan pengupahan (UMP dan UMSP)

Pengetahuan dan pemahaman buruh terhadap elemen yang terlibat dalam proses

perumusan dan penetapan kebijakan UMP/UMSP sangat penting dalam

mempengaruhi penguasaan buruh tentang konsep upah secara umum. Tanpa

pengetahuan dan pemahaman yang cukup, buruh tidak akan mengerti haknya tentang

upah. Ketidakpahaman seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pengusaha,

pemerintah, maupun stakeholder lain yang berperan dan punya kepentingan yang

sangat besar dalam proses perumusan maupun penetapan upah buruh.

Tabel Pengetahuan Responden Tentang Jumlah UMP 2003 yang Ditetapkan Pemerintah

Respon Jumlah % Ya (tahu) 238 47,1 Tidak tahu 267 52,9 Total 505 100,0

Data pada tabel di atas layaknya seperti membuka kotak pandora kebijakan

buruh. Angka tersebut sekaligus menjadi fakta disebalik kebijakan pengupahan yang

sudah berlangsung selama bertahun-tahun tersebut tersembunyi fakta ketidakpahaman

Page 61: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

61

buruh tentang upah. Buruh sendiri yang menjadi objek pemberlakuan kebijakan

pengupahan lebih banyak yang tidak mengetahui jumlah upah yang ditetapkan oleh

pemerintah. Sebahagian besar responden (52,9%) menyatakan tidak tahu jumlah

UMP pada tahun 2003. Bagi buruh yang menyatakan mengetahui, ternyata mereka

lebih banyak mengetahui informasi jumlah UMP dari Serikat Buruh, yakni sebanyak

128 orang (25,3%). Hal ini menunjukkan pemerintah sebagai regulator kebijakan

pengupahan tidak menjalankan fungsi yang sebenarnya. Seharusnya, pemerintah

sebagai pelaksana kebijakan harus lebih aktif dalam memberikan informasi tentang

UMP/UMSP setiap tahunnya. Tugas yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah

dalam melakukan sosialisasi ataupun memberikan informasi tentang upah buruh

hampir tidak dijalankan sama sekali. Hal itu dapat dilihat dari respon buruh yang

sangat minimal tentang peran pemerintah dalam mensosialisasikan upah. Hasil

tabulasi membuktikan hanya 13 (2,6%) responden buruh yang menyatakan

pemerintah pernah memberikan ataupun mensosialisasikan UMP/UMSP. Hal ini

membuktikan bahwasannya pemerintah (Gubernur) belum mampu secara efektif

melakukan sosialisasi terhadap sistem pengupahan yang sedang berlangsung,

termasuk komponen yang berperan dan institusi yang memiliki otoritas legal dalam

menetapkan jumlah UMP/UMSP.

Lemahnya sosialisasi tersebut tentunya membawa konsekuensi terhadap

kurangnya pemahaman buruh tentang sistem pengupahan yang diterapkan pada

mereka. Satu hal yang paling sederhana dipahami oleh buruh adalah, selama ini yang

paling bertanggungjawab terhadap rendahnya upah yang diterima oleh buruh adalah

pengusaha. Salah satu penyebab dari pemahaman ini adalah adanya anggapan dari

buruh bahwasannya pengusaha merupakan pihak terdepan sekaligus paling

bertanggungjawab yang bertugas mensosialisasikan ataupun menerapkan kebijakan

upah yang telah diputuskan oleh Gubernur.

Mengharapkan informasi kebijakan upah dari perusahaan pada saat ini

merupakan harapan yang sangat sulit untuk dipenuhi. Kebijakan upah minimum yang

pada setiap tahunnya diperbaharui terus-menerus, disembunyikan, bahkan di tunda

Page 62: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

62

publikasinya oleh perusahaan untuk tidak diketahui oleh kalangan buruh. Perusahaan

dengan sengaja tidak memberitahukan kepada buruh tentang adanya kenaikan,

maupun jumlah kenaikan yang sudah diputuskan. Respon dari buruh memperlihatkan

bahwasannya informator yang lebih aktif dalam kebijakan upah setiap tahunnya

adalah dari Serikat Buruh. Serikat Buruh memiliki peran dan fungsi yang lebih jelas

sehingga buruh menjadi mengetahui dan mengerti kenaikan UMP/UMSP setiap

tahunnya.

Efektivitas peran serikat buruh/pekerja dalam mensosialisasikan informasi

tentang upah tersebut dapat dilihat dari beberapa media yang digunakan, antara lain

diskusi-diskusi informal di tingkat pabrik, penggunaan radio komunitas, buletin dan

selebaran dan media lainnya. Penggunaan media informasi tersebut cukup efektif bagi

beberapa serikat buruh/pekerja sehingga buruh dapat mengetahui informasi upah

minimum setiap tahunnya maupun sistem pengupahan yang diberlakukan pada

mereka.

Tabel Informasi yang diperoleh Tentang jumlah UMP/UMSP

Sumber Informasi Jumlah % Media massa 52 10,3 Pemerintah 13 2,6 Pengusaha 25 5,0 Teman sekerja 22 4,8 SB (Serikat Buruh) 128 25,3 Total 242 47,9 Tidak menjawab 263 52,1 505 100,0

Sumber: Hasil pengolaan data kuesioner

Jika dikaitkan dengan keanggotaan SB, maka sangat jelas bahwasannya keanggotaan dalam SB sangat membantu buruh dalam mengerti dan mengetahui jumlah UMP/UMSP yang ditetapkan oleh pemerintah. Buruh yang menjadi anggota Serikat Buruh lebih banyak yang mengetahui informasi tentang jumlah UMP/UMSP dari Serikat Buruh, dan bukan dari sumber informasi lainnya, seperti Media Massa, Pengusaha, Pemerintah, teman sekerja, dan sumber informasi lainnya. Keikutsertaan dalam SB menjadi media bagi buruh untuk mengetahui jumlah upah secara lebih terperinci. Jika berdasarkan sumber informasi lain, seperti media massa, buruh hanya

Page 63: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

63

mengetahui kenaikan jumlah UMP secara umum tanpa mengetahui jumlah upah per sektor industri (UMSP).

Minimnya pemahaman buruh terhadap sistem pengupahan secara umum dan upah minimum sektoral tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Untuk memahami sistem pengupahan secara holistik dibutuhkan satu proses pendidikan dan pelatihan yang sistematis sehingga materi-materi tentang sistem upah dapat secara lengkap dipahami oleh buruh. Sedangkan untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, dibutuhkan waktu, biaya dan material pendidikan yang minim dimiliki oleh buruh maupun serikat buruh.

Setelah dilakukan uji statistik Kolomogorov Smirnov dapat disimpulkan

bahwasannya berbagai sumber informasi tentang UMP memang menunjukkan

perbedaan yang signifikan. Artinya, berbagai sumber tersebut memang punya peran

yang berbeda terhadap pengetahuan buruh tentang UMP. Sumber informasi yang

berkontribusi terhadap pengetahuan buruh sangat tidak merata antara media masa,

pemerintah, pengusaha, teman sekerja dan serikat buruh.

Kondisi tersebut diperparah lagi ketika dikaitkan dengan pengetahuan

responden buruh tentang komponen atau lembaga yang terkait dengan perumusan

atau penentuan kebijakan UMP/UMSP. Dari total responden buruh, hanya 52 orang

atau 10,3% yang menyatakan mengetahui, sedangkan yang menyatakan tidak adalah

sebanyak 427 responden (84,6%). Hal itu menunjukkan, buruh memang sangat

terasing dengan pihak-pihak yang turut dalam mekanisme penentuan UMP/UMSP.

Responden sendiri sebahagian besar bukan hanya tidak mengetahui komponen yang

terlibat dalam penentuan upah, namun juga tidak mengetahui pihak yang berwenang

dalam penetapan UMP/UMSP. Walaupun sebahagian besar responden menjawab

bahwasannya pemerintahlah yang paling berwenang, namun yang menyebutkan

Gubernur secara eksplisit sangatlah minim. Ada sebahagian responden buruh yang

bahkan menyebut lembaga yang berwenang untuk menetapkan UMP/UMSP adalah

pengusaha, manajer, Depnaker, DPRD, dan Serikat Buruh seperti SPSI. Fakta

tersebut tentunya menggambarkan ketidaktahuan buruh tentang konsep proses

perumusan atau penetapan UMP/UMSP. Walaupun secara eksplisit setiap tahunnya

gubernur selalu mengeluarkan Surat Keputusan UMP/UMSP, namun hal itu tidak

membentuk pemahaman buruh tentang institusi yang bertugas menetapkan. Ada

Page 64: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

64

kekacauan pemahaman di kalangan buruh, sebenarnya pihak atau lembaga mana yang

ikut melakukan proses perumusan dan penentuan jumlah UMP/UMSP dan institusi

atau lembaga mana yang berwenang menetapkan dalam bentuk keputusan tentang

jumlah upah yang akan diberlakukan dalam satu tahun di sebuah pemerintahan

propinsi.

Page 65: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

65

Grafik Pengetahuan komponen/lembaga yang termasuk dalam UMP/UMSP

tidak menjaw abTidak tahutahu

J U

M

L A

H

500

400

300

200

100

0 26

427

52

Sumber: Hasil Pengolahan data Kuesioner

Respon buruh tentang komponen yang terlibat dalam proses penentuan upah

buruh ternyata cukup memadai. Buruh memahami bahwasannya pemerintah,

pengusaha, serikat buruh, akademisi dan DPD terlibat secara formal dalam

menentukan upah buruh. Respon yang tergolong tinggi dari buruh adalah tentang

keterlibatan pengusaha. Sebanyak 397 orang buruh menjawab pengusaha menjadi

bagian dari komponen yang menetapkan UMP/UMSP. Namun buruh kurang

mengetahui tentang keterlibatan akademisi dalam proses tersebut. Buruh yang

menjawab akademisi menjadi bagian komponen penetapan upah hanyalah 140 orang,

sedangkan yang menjawab tidak adalah 152 orang, dan yang menjawab tidak tahu

sebanyak 177 orang. Respon terhadap akademisi ini adalah yang paling rendah dan

paling lemah dari keseluruhan. Dengan kata lain, buruh kurang memahami

bahwasannya elemen akademisi punya peran yang sangat besar dalam proses

penentuan jumlah UMP/UMSP.

Fakta di sebalik temuan ini adalah, buruh sebenarnya memiliki pemahaman

yang cukup tentang siapa yang terlibat dalam proses penetapan upah. Namun

pemahaman tersebut masih didominasi oleh pandangan bahwasannya pengusaha

adalah pihak yang paling berperan dalam penentuan upah. Disebalik itu sebenarnya

Page 66: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

66

pihak lain juga memiliki tanggungjawab yang tidak kalah besarnya dengan

pengusaha, seperti akademisi, pemerintah, dan serikat buruh/pekerja.

Selain itu, sebahagian besar buruh juga beranggapan bahwasannya legislatif

juga memiliki peran dalam proses perumusan maupun penetapan upah.

Mencantumkan komponen legislatif dalam penelitian ini sebenarnya hanya ingin

melihat respon buruh terhadap institusi negara yang berperan terhadap pengupahan.

Besarnya buruh yang memilih DPRD sebagai pihak yang berwenang dalam

pengupahan menjadi indikasi bahwasannya buruh secara umum belum memahami

istitusi yang bertanggungjawab terhadap penentuan upah. Buruh memiliki

pemahaman bahwasannya sebagai wakil rakyar, DPRD punya wewenang terhadap

upah, padahal yang sebenarnya peran legislatif secara institusional tidak terlibat.

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki wewenang yang berbeda dengan eksekutif,

dalam hal ini pemerintah. Walaupun legislatif memiliki peran dalam sistem

ketenagakerjaan, namun dalam perumusan upah hanya sebagai institusi yang dimintai

pendapat oleh pemerintah tanpa ada garansi untuk dilaksanakan.

Page 67: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

67

Tabel Respon Buruh Tentang Komponen yang terlibat dalam Penetapan UMP/UMSP

Jawaban Komponen yang terlibat dalam penetapan UMP/UMSP Ya Tidak Tidak

tahu Pemerintah 437 19 34 DPRD 330 72 85 Pengusaha 397 63 32 Serikat Buruh 376 58 54 DPD 246 56 178 Akademisi 140 152 177

Ket: Total Responden 505 orang dan sebahagian kecil responden ada yang tidak menjawab sama sekali. Sumber: Hasil pengolahan data Kuesioner

Seperti yang disebutkan oleh seorang mantan anggota DPD (Dewan Pengupahan

Daerah) yang berasal dari komponen Serikat Buruh (SB). Walaupun pemerintah

sudah memiliki tim ahli yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi dan dianggap

memiliki kapasitas penguasaan sistem upah yang cukup memadai, namun dalam

prakteknya tidaklah demikian. Banyak personal dari pihak pemerintah yang

ditugaskan untuk terlibat dalam DPD ternyata tidak menguasai masalah. Secara

teoritis dan praktek di lapangan, komponen yang berasal dari akademisilah yang lebih

banyak berperan dalam hal landasan teoritis dari upah. Mereka lebih punya landasan

berfikir yang lebih murni, sehingga dapat diterima oleh personal lainnya dalam

komponen DPD. Peran yang mereka tunjukkan dalam setiap proses diskusi bahkan

cenderung lebih dominan. Mereka memegang posisi yang sangat vital dalam institusi

DPD, dan hal inilah yang kurang dimengerti oleh buruh tentang besarnya peran

akademisi dalam proses perumusan kebijakan upah tersebut.

Page 68: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

68

PERSEPSI TENTANG KETERLIBATAN BURUH DALAM PROSES PERUMUSAN

KEBIJAKAN PENGUPAHAN

Keterlibatan buruh dalam proses penetapan upah, atau perumusan kebijakan pengupahan terlihat sangat minim. Minimalnya keterlibatan buruh yang telah berlangsung pada masa pemertintahan rejim Soeharto tetap berlangsung sampai saat ini. Ketika kebijakan pengupahan mengalami perubahan dari pola lama yang bersifat sentralistis menjadi lebih terdesentralisasi, ternyata prinsip keterlibatan dan partisipasi buruh ternyata masih jauh dari harapan. Aturan penyerahan kewenangan penetapan jumlah upah kepada kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) tidak menjadikan kebijakan pengupahan menjadi lebih berpihak kepada buruh. Malah yang terjadi adalah sebaliknya. Penyerahan kewenangan dari Menteri Tenaga Kerja kepada kepala daerah telah menciptakan kesewenangan baru. Gubernur dan Bupati/Walikota malah telah menjadi rejim lokal yang tidak pernah menunjukkan niat baiknya untuk meningkatkan keterlibatan buruh. Padahal, esensi dari aturan kewenangan tersebut adalah mendekatkan proses perumusan kebijakan pengupahan dengan dengan buruh. Diharapkan dengan memperbesar wewenang kepala daerah, maka kepentingan buruh akan semakin cepat dan lebih besar terakomodir dalam penentuan jumlah upah. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Pertimbangan dan konsideran yang dijadikan referensi penentuan jumlah upah tetap semakin jauh dari kepentingan dan harapan buruh. Bahkan mungkin kondisinya lebih parah dari sebelumnya. Selain memasukkan berbagai aspek ekonomi, politik dan keamanan secara nasional sebagai dasar pertimbangan, acuan penentuan jumlah upah juga ditambah dengan aspek lokal, seperti kondisi sosial, politik, demografis dan keamanan propinsi, Kabupaten/Kota. Jika hal demikian yang berlangsung, maka tujuan penyerahan kewenangan tersebut akan hilang sama sekali. Prinsip dasar pergeseran kewenangan tersebut tertutupi oleh berbagai pertimbangan lain yang tidak berkorelasi langsung dengan kepentingan dan harapan buruh.

Tentunya, harapan buruh untuk dilibatkan dalam proses perumusan dan

penetapan jumlah upah sangatlah besar. Keinginan buruh untuk turut serta dalam

proses perumusan kebijakan maupun penetapan jumlah UMP/UMPS sangatlah tinggi,

sehingga harus diakomodir. Melalui tabel di bawah terlihat bahwa harapan buruh

tersebut sama sekali belum sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan buruh.

Grafik Buruh Perlu Dilibatkan Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP

Page 69: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

69

tidak menjaw abtidakya

J U

M L

A H

500

450

400

350

300

250

200

150

100

50

03644

425

Sebanyak 84,2% responden buruh menyakan komponen buruh harus dilibatkan

dalam proses penetapan UM/UMSP, sedangkan yang menyatakan “tidak” hanya 44

orang (8,7%) dari total responden. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh

buruh yang menyetujui keterlibatan buruh tersebut.

Tabel Alasan Jawaban Perlunya Buruh Dilibatkan Dalam Proses Penetapan UMP/UMSP

No Alasan 1. Agar buruh bisa memberikan masukan 2. Agar buruh juga tahu tentang pengupahan 3. Agar buruh tahu berapa kenaikan upah 4. Agar buruh tahu bagaimana prosesnya 5. Agar buruh tahu UU ketenaga kerjaan 6. Agar pemerintah tahu kebutuhan buruh 7. Agar pemerintah tidak sewenang-wenang 8. Agar pengusaha tahu keluhan pekerja 9. Agar tahu sistem pengupahan 10. Agar tidak melenceng dari yang ada 11. Agar upahnya sesuai dengan kebutuhan 12. Agar mereka mengetahui kondisi buruh 13. Belum cocok 14. Biar buruh bisa memprotes dan menyetujui segala keputusan 15. Biar kebijakan bisa adil 16. Buruh yang merasakan kalau ujpah yang diterimanya tidak cukup 17. Buruh punya hak untuk berbicara mengenai nasibnya

Page 70: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

70

18. Buruh yang lebih mengetahui berapa kebutuhan hidupnya dalam sebulan 19. Buruh yang mengalami akibat dari UMP/UMSP yang rendah 20. Buruh yang mengalami akibat dari upah yang rendah 21. Karena ada kerjasama buruh dengan pengusaha sehingga buruh perlu diminta

pendapat mengenai upah 22. Karena buruh ingin lebih sejahtera 23. Karena selama gaji tidak mencukupi 24. Kepentingan buruh perlu diperjuangkan 25. Nasib buruh yang paling memprihatinkan 26. Sebagai buruh berhak menentukan gaji sendiri sesuai dengan pekerjaan 27. Sebagai karyawan ya harus ikut dilibatkan penentuan upah, biar tahu dan

tidak ditipu 28. Selama ini buruh yang memberikan tenaga, maka buruh yang dapat mengukur

kebutuhan yang diperlukan 29. Supaya seimbang antara keinginan pengusaha dan buruh

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Secara umum ada 29 alasan yang dikemukakan buruh tentang keterlibatan

buruh dalam proses penetapan upah. Ada 4 alasan yang patut dicermati lebih dalam.

Misalnya saja tentang alasan agar tidak melenceng dari yang ada. Alasan seperti ini

tentunya punya dasar tersendiri dan riil dialami oleh buruh. Buruh melihat, proses

penentuan kebijakan pengupahan (khususnya penetapan UMP/UMSP) selama ini

dianggap melenceng atau tidak sesuai dengan mekanisme yang sebenarnya.

Akhirnya, ketika proses atau mekanisme tersebut melenceng, maka kebijakan yang

dihasilkan tentunya bukanlah kebijakan yang adil dan diharapkan bagi buruh. Ada

beberapa level proses perumusan dan penetapan jumlah upah yang dianggap buruh

sudah tidak sesuai lagi dengan aturan yang dalam undang-undang.

1. Pada level penentuan komponen personal dan institusi yang terlibat dalam DPD

2. Pada level investifasi atau riset jumlah harga kebutuhan pasar 3. Proses diskusi penetapan jumlah oleh DPD 4. Referensi atau dasar pertimbangan penentuan jumlah upah 5. Proses sosialisasi dan penetapan jumlah upah secara resmi oleh Gubernur atau

Bupati/Walikota

Buruh menganggap, pelencengan penerapan kebijakan pengupahan telah

berlangsung pada tiap tahapan tersebut. Apalagi jika diketahui selama ini

Page 71: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

71

bahwasannya posisi buruh selalu lemah dan dianggap lemah ketika berhadapan

dengan kemampuan dan kapabilitas komponen DPD lainnya, seperti akademisi,

asosiasi pengusaha dan pemerintah. Buruh sendiri mengakui bahwasannya terdapat

keterbatasan kemampuan buruh –khususnya dalam memahami upah secara teoritis

maupun dalam kaitannya dengan sistem ekonomi secara makro. Keterbatasan

kemampuan buruh tersebutlah yang sering dimanfaatkan oleh komponen lainnya

sehingga suara dan kepetingan buruh kurang terakomodir dalam proses perumusan

jumlah UMP/UMSP. Konsekuensi dari lemahnya kapabilitas dan posisi buruh

tersebut tentunya sangat besar mempengaruhi posisi tawar, sehingga dalam beberapa

tahun, kenaikan upah yang diharapkan oleh buruh tidak pernah terrealisasi. Walaupun

prinsip keterwakilan berimbang sudah diterapkan dalam institusi perumus

pengupahan, namun secara kualitas posisi buruh masihlah sangat lemah, sehingga

sering dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar dari komponen pengusaha dan

pemerintah.

Buruh juga melihat bahwasannya proses penentuan kebijakan pengupahan yang

berlangsung selama ini mengandung unsur penipuan (alasan no 27). Untuk itu, buruh

beranggapan, agar tidak terjadi proses penipuan, maka buruh harus dilibatkan. Alasan

yang terakhir, ternyata buruh menginginkan adanya keseimbangan suara dalam

proses penentuan upah. Satu hal yang pasti dari alasan seperti ini adalah, buruh

menganggap elemen yang selama ini terlibat dalam proses kebijakan pengupahan

tidak berlaku adil. Buruh menganggap proses yang berlangsung selama ini tidak

benar-benar melihat kebutuhan buruh sehari-hari, sehingga jumlah upah yang

ditetapkan selalu jauh berada dibawah kebutuhan buruh.

Selain mengharapkan perlunya keterlibatan buruh dalam proses penetapan upah

dan kebijakan pengupahan, terdapat juga jawaban yang sebaliknya, yakni tidak

mengharapkan buruh untuk ikut dalam proses tersebut. Ada beberapa alasan yang

dikemukakan buruh tentang itu.

1. Buruh hanya bekerja, organisasi lain yang menentukan 2. Karena pekerja tidak tidak mungkin menetapkan upah

Page 72: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

72

3. Karena tidak mau digugat 4. Namanya saja pekerja, kalau upahnya naik syukur, kalau tidak tidak apa-

apa 5. Sebagai seorang yang bekerja itu bukanlah tugas kita atau hak kita netapan kebijakan UMP/UMSP 6. Tidak ada gunanya 7. Tidak ingin terlibat karena rumit 8. Yang mengurus biar saja pemerintah dan pengusaha

Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh buruh tersebut, ada beberapa hal

yang bisa dijadikan kesimpulan. Pertama, buruh melihat bahwasannya proses

penentuan kebijakan pengupahan bukanlah kompetensi buruh. Selain karena

dianggap sangat rumit, buruh juga menganggap bukanlah tugas buruh untuk

mempengaruhi proses penentuan upah. Upah dalam aras kebijakan tidak menjadi

bagian tugas buruh, untuk itu harus diserahkan saja kepada pemerintah dan

pengusaha yang dianggap lebih mengerti. Pernyataan seperti ini sebenarnya dapat

dipahami dalam dua artian. Pertama, terdapat buruh yang memang merasa

bahwasannya buruh memang tidak pantas untuk dilibatkan dalam proses perumusan

dan penetapan upah. Buruh merasa sadar bahwasannya kemampuan yang mereka

miliki tidak adakan mampu membahas hal-hal diluar pekerjaan, untuk itu harus

diserahkan kepada pihak lain yang dianggap lebih mengerti, seperti pemerintah dan

pengusaha. Dengan kata lain, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa buruh merasa

kurang percaya diri dan tidak akan bisa memahami hal-hal di luar kerja rutin yang

mereka lakukan di pabrik. Kedua, pernyataan tersebut memiliki arti bahwasannya

buruh merasa skeptis dan pesimis terhadap proses perumusan dan penetapan upah

yang berlangsung saat ini yang sama sekali tidak pernah berpihak pada kepentingan

buruh. Dengan kata lain, buruh sudah merasa bosan dengan kegagalan dan

ketidakmampuan elemen buruh dalam mempengeruhi proses tersebut. Alasan seperti

inilah yang sebenarnya lebih mendominasi keengganan buruh untuk terlibat dalam

perumusan pengupahan. Berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh elemen buruh

Page 73: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

73

untuk mempengaruhi tidak pernah terakomodir secara lebih proporsional, sehingga

memunculkan rasa tidak percaya bagi buruh.

Salah satu elemen yang dalam aturan proses penetapan upah adalah Serikat

Buruh (SB). Tanggapan buruh tentang keterlibatan Serikat Buruh menunjukkan

kondisi yang cukup positif. Positif dalam artian tingginya keinginan buruh untuk

terlibat dalam proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP.

Tabel Serikat Buruh (SB) perlu dilibatkan pada proses penetapan kebijakan UMP/UMSP

Jumlah % Ya 415 82,2 Tidak 44 8,7 Tidak menjawab 46 9,1 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data Kuesioner

Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya keinginan buruh agar Serikat Buruh

(SB) agar dilibatkan dalam proses penetapan upah sangatlah tinggi, yakni mencapai

415 orang (82,2%), sedangkan yang menyatakan tidak menyetujui adalah sebanyak

44 orang (8,7%) dari total responden buruh. Walaupun demikian (walau hanya

sebahagian kecil), terdapat buruh yang tidak menyetujui keterlibatan buruh dalam

proses penetapan upah. Buruh yang menjawab tidak perlu dilibatkan memiliki 2 (dua)

alasan utama. Pertama, buruh tersebut tidak pernah menjadi dan memahami manfaat

dari Serikat Buruh. Kedua, buruh tersebut tidak menemui ada organisasi buruh yang

dapat dimasuki. Namun ada juga buruh yang tetap beranggapan bahwa urusan

penetapan upah bukanlah menjadi tugas buruh, namun menjadi wewenang

pemerintah dan elemen lain yang dianggap lebih memahami proses dan mekanisme

perumusan dan penetapan upah.

Jika dilihat penyebaran dari respon buruh terhadap tidak perlunya buruh

dilibatkan dalam proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP, terlihat

bahwasannya pernyataan tersebut tidaklah tergantung pada keanggotaan dalam

Serikat Buruh. Bukan hanya buruh yang tidak menjadi anggota salah satu SB yang

Page 74: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

74

memiliki persepsi negatif tentang hal tersebut, namun juga bagi buruh yang sudah

menjadi anggota SB. Hal itu membuktikan bahwasannya keterlibatan keterlibatan

dalam SB tidak menjadi penentu pandangan optimisme tentang peran buruh dalam

proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP.

Bagi buruh yang menganggap keterlibatan Serikat Buruh diperlukan dalam

proses penetapan upah, ada beberapa tahapan keterlibatan yang harus diintervensi

oleh Serikat Buruh (SB).

Tabel Respon Buruh dalam Tiap Tahapan Proses Penetapan UMP/UMSP

Jawaban Tahapan Proses penetapan UMP/UMSP Ya Tidak Tahapan perencanaan 395 22 Tahapan pengumpulan data 371 76 Tahapan perumusan 366 28 Tahapan Penetapan 367 35 Tahapan Sosialisasi 365 28

Ket: Total Responden 505 orang dan sebahagian kecil responden ada yang tidak menjawab sama sekali.

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Tabel di atas memperlihatkan tingginya keinginan buruh agar SB terlibat dalam

setiap tahapan penetapan upah sangatlah tinggi. Jika didasarkan pada respon

responden buruh tentang sudah tepatnya proses penetapan UMP/UMSP, maka

menjadi masuk akal keinginan buruh untuk diikutsertakan dalam setiap proses

penetapan upah.

Jika dikaitkan respon buruh tersebut terhadap keanggotaan SB, maka dapat

dilihat bahwasannya asumsi terdapatnya pengaruh antara keterlibatan buruh dalam

SB mempengaruhi respon perlunya buruh dilibatkan dalam proses perumusan dan

penetapan upah adalah benar. Hal itu dapat dlihat dari besarnya responden yang

menjadi anggota SB yang menyatakan perlunya SB dilibatkan dalam proses

perumusan dan penetapan UMP/UMSP. Hal itu bisa dipahami dikarenakan buruh

Page 75: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

75

yang telah ikut serikat buruh memiliki pemahaman pemahaman lebih dari buruh yang

tidak ikut dalam SB dalam hal manfaat dan fungsi dari organisasi.

Tabel Respon Buruh Tentang Perlunya Dilibatkan dalam Proses Perumusan dan Penetapan Kebijakan UMP/UMSP Berdasarkan Keanggotaan SB

Keanggotaan SB (serikat buruh)

Serikat buruh perlu dilibatkan pada proses penetapan kebijakan

UMP/UMSP

Total

Ya Tidak Tdk menjawab

SPSI 128 13 6 148 SBSI 25 2 2 29 PPMI 1 2 3 SBMI 167 4 14 185 Lainnya 18 1 - 19 Bukan anggota SB 50 20 25 95 tidak ada SB di Perusahaan

4 1 8 13

Total 393 41 57 492

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Sebagai wadah penyalur kepentingan dan harapan buruh, keberadaan serikat

buruh menjadi penting ketika secara individual, maupun dalam kelompok kecil upaya

tuntutan kenaikan upah dan berbagai tuntutan hak normatif lainnya sulit untuk

dicapai. Buruh yang sudah tergabung dengan serikat buruh dapat memahami

bahwasannya tuntutan yang disalurkan melalui serikat buruh akan membawa hasil

yang lebih baik dibandingkan jika melakukan tuntutan secara individual. Khususnya

bagi buruh yang tergabung dalam SPSI, mereka tidak membedakan pada tahapan

mana prioritas keterlibatan SB harus lebih besar. Walaupun ada perbedaan jumlah

responden yang menjawab namun secara statistikal, perbedaan tersebut tidak besar,

sehingga dapat disimpulkan bahwasannya anggota SPSI menginginkan peran serikat

buruh pada setiap level proses perumusan dan penetapan jumlah upah. Demikian juga

dengan responden buruh yang berasal dari SBSI dan SBMI memiliki harapan yang

Page 76: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

76

besar jika SB dilibatkan dalam setiap tahapan proses perumusan dan penetapan

UMP/UMSP. Harapan dan kepentingan buruh tersebut cukup beralasan jika dikaitkan

dengan respon buruh tentang sudah tepat atau tidaknya proses perumusan dan

penetapan UMP/UMSP yang dijalankan oleh institusi yang berwenang dalam

kebijakan pengupahan di daerah.

Tabel Proses Penetapan UMP/UMSP Sudah Tepat

Respon Jumlah % Cumulative %

Valid 2 0,4 0,4 Ya 85 16,8 17,2 Tidak 251 49,7 66,9 Tidak tahu 157 31,1 98,0 tidak

menjawab 10 2,0 100,0

Total 505 100,0 Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Selama ini buruh merasa tidak puas dengan hasil proses penetapan upah yang

sudah dijalankan oleh pemerintah. Walaupun elemen serikat buruh (dalam hal ini

SPSI dan SBSI) sudah dilibatkan, namun tetap saja buruh merasa hasilnya kurang

memuaskan kepentingan dan harapan buruh. Ada beberapa alasan yang dikemukakan

oleh buruh yang menjawab proses penetapan upah belum tepat, antara lain adalah;

1. Adanya keberpihakan yang tidak menguntungkan buruh 2. Tidak adanya kompromi terhadap buruh tentang proses perumusan dan

penetapan upah 3. Keterwakilan buruh di DPD yang hanya diwakilkan buruh hanya

diwakilkan segelintir orang 4. Tidak validnya pengumpulan data dan proses survey pada lapisan paling

bawah 5. Adanya tindakan KKN dalam proses perumusan dan penetapan upah 6. Masih jauhnya jumlah upah yang ditetapkan dibandingkan dengan

kebutuhan buruh untuk hidup layak. 7. Masih kecilnya pelibatan buruh dibandingkan peran yang dijalankan

oleh pemerintah dan pengusaha.

Page 77: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

77

Sebahagian besar buruh yang berpendapat kurangtepatnya proses penetapan

upah adalah yang terlibat dalam Serikat Buruh. Hal ini menjadi satu kesimpulan

bahwasannya menjadi anggota dalam serikat buruh dapat membantu memahami dan

meningkatkan kekritisan buruh tentang kebijakan upah. Sebahagian besar responden

buruh yang terlibat dalam serikat buruh menyatakan ketidakpuasannya terhadap

proses perumusan dan penetapan UMP/UMSP yang berlangsung selama ini. Namun

ada pengecualian untuk buruh yang berasal dari SPSI. Jika sebahagian besar buruh

dari SBMI dan SBSI lebih banyak yang menyatakan ketidakpuasannya, ternyata

setengah responden buruh dari SPSI menyatakan proses perumusan dan penetapan

jumlah UMP/UMSP sudah tepat. Jika ditelusuri lebih jauh, ada satu hal yang

diasumsikan menjadi penyebab respon tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan

komponen SPSI yang sebenarnya sudah cukup besar dalam institusi DPD. Selama

institusi DPD berdiri keterlibatan SPSI memang sudah sangat besar. Sebagai sebuah

organisasi pekerja/buruh yang didirikan oleh pemerintah, SPSI mengklaim sebagai

serikat pekerja/buruh yang memiliki anggota terbesar, sehingga keterlibatan dalam

proses perumusan dan penetapan kebijakan upah harus lebih besar dibandingkan

dengan serikat buruh lainnya. Diakibatkan oleh besarnya keterlibatan itulah yang

menyebabkan respon buruh SPSI terhadap proses perumusan dan penetapan upah

menjadi lebih positif dibandingkan dengan serikat buruh lainnya.

Page 78: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

78

KONDISI TEMPAT TINGGAL BURUH

Data tempat tinggal buruh adalah berisi tentang realitas kondisi tempat tinggal

sehari-hari buruh. Pada umumnya tempat tinggal buruh masih sangat jauh dari

kondisi ideal. Parameter utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter

fisik, karena dengan demikian akan terlihat bagaimana nantinya dengan upah dan

pendapatan yang ada buruh dapat memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggalnya.

Melalui realitas kondisi tempat tinggal tersebut dapat digambarkan bagaimana

sebenarnya upah yang diterima buruh selama bekerja dapat memenuhi kebutuhan

untuk membangun dan membiayai tempat tinggal. Penggambaran tersebut akan lebih

jelas melihat bagaimana kesejahteraan buruh dari sisi tempat tinggalnya, selain

berdasarkan pemenuhan kebutuhan pokok semata.

Tempat tinggal buruh berdasarkan kepemilikan rumah dapat dilihat pada tabel

berikut ini. Pada tabel ini, pada umumnya buruh tinggal di ruang kost, yakni

mencapai 30,3%, sedangkan yang sudah memiliki rumah sendiri sebanyak 140 orang

(27,7%) dan yang mengontrak rumah adalah juga sebanyak 140 orang. Jumlah buruh

yang masih tinggal di rumah orang tua tidak terlalu banyak, yakni 12,3%, sedangkan

yang tinggal di tempat-tempat yang disediakan perusahaan hanya 6 orang.

Tabel Status kepemilikan rumah yang ditempati

Status Jumlah % rumah sendiri 140 27,7 Kontrak 140 27,7 Kost 153 30,3 Menumpang orang tua

62 12,3

Disediakan perusahaan

6 1,2

lain-lain 4 0,8 Total 505 100,0

Page 79: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

79

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Besarnya jumlah buruh yang memiliki rumah sendiri tersebut tentunya

merupakan satu hal yang luarbiasa. Namun jika dilihat sumber kepemilikan rumah

tersebut, ternyata sebahagian besar adalah warisan dari orang tua. Hal itu

menunjukkan, bahwasanya bukanlah kemampuan buruh yang berasal dari upah-lah

yang mendorong kemampuan buruh. Dari angka 140 orang (27,7%) dari total

responden buruh tersebut, ternyata 58 orang mendapatkannya dari warisan orang tua,

sedangkan 53 orang dibangun sendiri, 7 orang mendapatkan rumah dengan cara

mencicil, dan 2 orang mendapatkannya dari perusahaan.

Tabel Cara Mendapatkan Rumah Milik Sendiri

Jumlah % Valid Percent

Cumulative Percent

385 76,2 76,2 76,2 Warisan 58 11,5 11,5 87,7 cicilan/kredit 7 1,4 1,4 89,1 dibangun sendiri 53 10,5 10,5 99,6 diberi oleh perusahaan

2 0,4 04 100,0

Total 505 100,0 100,0 Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Tetap saja angka tersebut dianggap belum menunjukkan kondisi buruh yang

sebenarnya. Dari sisi kondisi tempat tinggal, biasanya buruh tinggal di sekitar

kawasan industri yang sudah lebih baik kondisi permukimannya. Jadi, walaupun

fasilitas kamar, WC, air dan listrik sudah tersedia, namun itu bukan fasilitas tersendiri

yang diperoleh dari kemampuan upah buruh. Pada umumnya buruh tinggal di ruang

kost secara bersama-sama oleh beberapa orang sekaligus (3-4 orang untuk satu

kamar). Dari data yang diperoleh, ukuran kamar buruh sudah cukup memadai. Dari

seluruh 470 buruh yang mengisi jawaban ukuran kamar tidur, 187 orang tinggal di

kamar berukuran 3x 3 meter, sedangkan yang lainnya sebanyak 96 orang tinggal di

kamar berukuran 3x4.

Page 80: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

80

Sudah dibuktikan bahwasannya kepemilikan sendiri tempat tinggal tidak

menjadi indikasi dari kemampuan buruh. Sebahagian besar memperolehnya dari

warisan. Fakta seperti itu juga semakin jelas berdasarkan hasil pengujian antara masa

kerja dan status kepemilikan rumah. Hasil korelasi menunjukkan negatif. Artinya,

hubungan antara masa kerja bersifat terbalik terhadap status kepemilikan rumah.

Semakin panjang masa kerja seorang buruh, maka kecenderungan untuk lebih layak

dalam hal tempat tinggal semakin rendah. Buruh yang sudah lama bekerja, belum

tentu akan semakin baik status kepemilikan tempat tinggal. Bahkan kecenderungan

yang muncul adalah, semakin lama buruh bekerja, semakin kurang baik atau kurang

mapanlah kepemilikan buruh atas tempat tinggal.

Kecenderungan negatif antara masa kerja dengan status kepemilikan tempat

tinggal juga terbukti jika didasarkan pada usia. Seperti yang disebutkan sebelumnya,

usia berkorelasi dengan masa kerja. Semakin tua usia buruh, maka semakin panjang

jugalah masa kerja yang dijalani. Hasil pengujian membuktikan, semakin tua usia

buruh, maka buruh cenderung tidak mapan dalam hal kepemilikan tempat tinggal. Hal

ini tentunya menunjukkan adanya kecenderungan yang negatif, berlawanan dengan

beberapa prinsip beberapa komponen upah dimana masa kerja menjadi salah satu

pertimbangan meningkatnya jumlah upah.

Semakin lama buruh bekerja di sebuah perusahaan, ternyata tidak menjamin

buruh untuk lebih sejahtera. Salah satu ukurannya kesejahteraan tersebut adalah

kepemilikan tempat tinggal sendiri. Buruh yang sudah bekerja puluhan tahun ternyata

tidak berhubungan dengan kemandirian kepemilikan rumah. Sebahagian buruh yang

sudah berusia tua malah tidak lebih mandiri dan mapan dibandingkan dengan buruh

yang masih tergolong dewasa dan muda. Namun dari sejumlah buruh golongan usia

muda dan dewasa, sebahagian besar memperolehnya dari hasil warisan keluarga,

sedangkan yang mendapatkannya dari cicilan/kredit, membangun sendiri, dan diberi

perusahaan sangat sedikit. Hal ini membuktikan bahwasannya kemampuan buruh,

baik yang dalam golongan usia muda, dewasa dan tua tidaklah murni.

Page 81: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

81

Page 82: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

82

Tabel Tabulasi Silang Antara Golongan Umur dengan Cara Mendapatkan Rumah Sendiri

Golongan umur Dewasa muda Tua

Total

Warisan 32 44 2 78 cicilan/kredit 7 7 1 15 dibangun sendiri 27 9 15 51

Cara mendapatkan rumah milik sendiri

diberi oleh perusahaan

- 1 1

Total 66 61 18 145 Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Dalam proses perumusan jumlah UMP/UMSP, salah satu item yang dijadikan

landasan oleh komponen DPD dalam menentukan jumlah upah yang akan

diberlakukan dalam satu tahun adalah pengeluaran sewa rumah dalam satu bulan.

Ukuran seperti itu tentunya sama sekali tidak memperhitungkan dari sisi luas, kualitas

maupun lokasi dari rumah tinggal ataupun ruang kost yang ditempati. Dengan kata

lain, ukuran yang digunakan oleh pemeritah dalam menetapkan jumlah upah sama

sekali tidak menggunakan standar khusus yang lebih spesifik tentang kualitas, luasan,

bentuk, maupun hal-hal lain yang lebih layak bagi tempat tinggal buruh.

Berdasarkan hubungan antara usia dan masa kerja dengan status kepemilikan

tempat tinggal dapat dilihat bahwasannya point sewa rumah yang terdapat dalam

komponen upah tidaklah mampu memberdayakan buruh untuk mampu membeli,

maupun mencicil rumah. Jika memang komponen sewa rumah tersebut selama ini

diterapkan, dari sisi jumlah jelas sangat tidak memungkinkan buruh untuk memiliki

rumah sendiri. Upah yang diberikan selama ini hanya cukup untuk membiayai sewa

rumah dengan kondisi yang seadanya. Buruh yang sudah bekerja dalam waktu yang

cukup lama tentunya punya kemampuan lebih dibandingkan buruh yang baru satu

atau 4 tahun bekerja di perusahaan. Tapi kenyataannya sama sekali tidak

memungkinkan bagi buruh untuk menyisihkan upah yang diterima untuk menyimpan

sejumlah uang bagi persiapan membangun atau mencicil pembelian rumah.

Page 83: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

83

Sebahagian besar buruh (50,1%) menyatakan kurang dan 28,3% menyatakan upah

tidak cukup untuk ditabung (lihat lampiran).

Antara buruh yang bekerja kurang dari 1 tahun, antara 1 sampai 4 tahun dan

lebih dari 4 tahun

Page 84: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

84

PERSEPSI BURUH TENTANG UPAH

Konsepsi persepsi berkaitan dengan berbagai aspek kognitif maupun afektif dari

buruh. Pengetahuan, pemahaman, pengalaman buruh tentang upah merupakan aspek

kognitif. Artinya, yang lebih banyak mempengaruhi adalah perhitungan secara

rasional tentang bagaimana upah yang diterima buruh dapat memenuhi beberapa

kebutuhan. Sedangkan aspek afektif adalah yang terkait dengan sisi emosional buruh

tentang bagaimana kecukupan upah bagi kehidupan buruh. Namun tidaklah mungkin

untuk menyajikan respon tersebut secara terpisah, karena dalam membentuk persepsi,

dua aspek tersebut saling pengaruh-mempengaruhi sehingga memunculkan suatu

pandangan tentang upah.

Terdapat 6 item yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat persepsi

buruh tentang upah dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup.

Upah dapat memenuhi kebutuhan makan keluarga/bulan

Berdasarkan upah yang diterima buruh, sebahagian besar buruh menyatakan

bahwasannya upah yang diterima sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makan

keluarga dalam satu bulan.

Tabel Persepsi Upah dalam Memenuhi Kebutuhan Makan Keluarga

Jumlah % Lebih 5 1,0 Cukup 342 67,7 Kurang 152 30,1 sangat kurang 6 1,2 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Jika respon di atas dikorelasikan dengan kategori upah yang diterima oleh buruh,

maka dapat dilihat bahwasannya buruh yang sebahagian besar menyatakan upah

Page 85: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

85

cukup memenuhi kebutukan makan keluarga adalah yang menerima upah sesuai

dengan UMP yang diberlakukan pada tahun 2003. Namun juga tidak dipungkiri

terdapat juga responden buruh yang masuk dalam kategori upah di bawah UMP,

namun menyatakan upah yang diterima sudah cukup memenuhi kebutuhan makan.

Tabel Persepsi Pemenuhan Kebutuhan Makan Berdasarkan Kategori Upah

kategori upah

Upah dapat memenuhi kebutuhan makan keluarga/bulan (persepsi

tentang upah) Total

lebih cukup kurang sangat kurang

<UMP 38 19 57 UMP 5 299 132 6 442 layak 5 1 6

5 342 152 6 505 Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Dengan kata lain, untuk kebutuhan dasar, 67,7% dari total responden menyatakan

cukup. Hanya sebahagian kecil saja, yakni 1% yang menyatakan lebih. Namun dari

data tersebut dapat dilihat bahwa tidaklah sedikit buruh yang menyatakan upah yang

diterima kurang memenuhi kebutuhan makan keluarga dalam satu bulan.

Upah dapat memenuhi kebutuhan pakaian keluarga/bulan

Ketika upah yang diterima dipertanyakan kecukupannya untuk memenuhi

kebutuhan lainnya, yakni kebutuhan pakaian, terlihat sudah semakin sedikit yang

menyatakan upah sudah mencukupi.

Tabel Persepsi Upah Dalam Memenuhi Kebutuhan Pakaian Keluarga

Jumlah % lebih 2 0,4 cukup 191 37,8 kurang 299 59,2 sangat kurang 13 2,6 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Page 86: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

86

Dari total responden, hanya 191 orang yang menyatakan cukup, sedangkan lebih dari

setengah (59,2%) buruh menyatakan kurang, dan 13 orang menyatakan sangat

kurang. Hal ini menunjukkan, upah yang diterima buruh sudah semakin sedikit

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sandang. Semakin kebutuhan bergeser

ke arah diluar sekedar kebutuhan makan, maka terlihat kemampuan buruh semakin

rendah. Memang untuk mengukur respon buruh tersebut akan sangat sulit. Namun

respon buruh tersebut menunjukkan bahwasannya kemampuan buruh untuk

memenuhi kebutuhan pakaian keluarga menjadi semakin lemah. Memang terdapat

juga sejumlah buruh yang menyatakan upah sudah mencukupi dalam memenuhi

kebutuhan untuk membeli pakaian. Namun jika dijabarkan lebih dalam arti dari

cukup tersebut sebenarnya sungguh jauh dari mampu. Alokasi uang yang

dibelanjakan oleh buruh untuk membeli pakaian masih terlalu kecil dibandingkan

harga pakaian dan sandang lainnya yang semakin lama harganya semakin tinggi.

Dibandingkan dengan prioritas kebutuhan lainnya, kebutuhan untuk membeli pakaian

ditempatkan pada posisi belakangan, sebab masih banyak kebutuhan lain dari buruh

yang sangat mendesak.

Respon buruh tentang pemenuhan kebutuhan pakaian tersebut tidak terlalu

berbeda antara buruh perempuan dan laki-laki. Walaupun sedikit ada perbedaan

dimana respon buruh laki-laki lebih baik daripada perempuan, hal itu dilandasi oleh

kebutuhan buruh laki-laki akan pakaian yang sedikit lebih sederhana dibandingkan

buruh perempuan. Buruh laki-laki hanya membutuhkan beberapa potong kemeja dan

celana panjang dalam satu tahun, sedangkan kebutuhan buruh perempuan lebih rumit

dari itu. Buruh perempuan tidak sekedar membutuhkan pakaian penutup tubuh

semata, namun juga harus mempertimbangkan aspek estetika dan kecantikan yang

harus dipenuhi dalam memenuhi kebutuhan akan pakaian.

Tabel Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Pakaian Keluarga/bulan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Kawin

Page 87: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

87

Status kawin

Upah dapat memenuhi kebutuhan pakaian

keluarga/bulan (persepsi tentang upah)

Jenis kelamin

laki-laki perempuan

Total

Lebih - 1 1 Cukup 53 25 78 Kurang 97 52 149 sangat kurang 5 - 5

kawin

Total 155 78 233 Lebih 1 - 1 Cukup 45 68 113 Kurang 49 101 150 sangat kurang 3 5 8

belum kawin

Total 98 174 272 Sumber: Hasil pengolahan data kuesiner

Jika didasarkan pada jenis kelamin dan status kawin, respon buruh tentang upah

untuk memenuhi kebutuhan pakaian keluarga dalam satu bulan cenderung tidak

berbeda. Pada buruh laki-laki yang sudah kawin sebahagian besar menyatakan upah

kurang mampu memenuhi kebutuhan pakaian. Hal ini disebabkan tanggungjawab

yang lebih besar dari buruh laki-laki sebagai suami, sehingga ia lebih memahami

bagaimana ketidakmampuan upah yang diterima dalam mencukupi kebutuhan akan

sandang atau pakaian. Untuk buruh yang belum menikah, respon negatif cenderung

didominasi oleh buruh perempuan. Walaupun tidak secara total buruh perempuan

menyatakan upah sangat minim dalam memenuhi kebutuhan pakaian, namun jumlah

tersebut menjadi salah satu indikator bahwasannya kemampuan sebahagian besar

buruh perempuan lajang sangatlah rendah dalam memenuhi kebutuhan pakaian.

Upah dapat memenuhi kebutuhan sewa/bulan rumah

Respon tentang kemampuan upah dalam memenuhi kebutuhan sewa rumah juga

tidak jauh berbeda dengan respon sebelumnya. Walaupun tidak seluruh responden

buruh menjawab pertanyaan tersebut, namun dari 318 reponden, 229 orang

Page 88: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

88

menyatakan upah yang diterima sudah cukup memenuhi kebutuhan sewa rumah,

sedangkan 87 orang menyatakan kurang, dan hanya 2 orang yang menyatakan lebih.

Tabel Persepsi Upah dalam Memenuhi Kebutuhan Sewa Rumah

Jumlah % Respon 187 37,0

Lebih 2 ,4 Cukup 229 45,3 Kurang 87 17,2 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Uang Transport/bulan Keluarga

Data pada tabel di bawah menunjukkan bahwasannya buruh yang menyatakan

upah buruh masih dirasakan kurang untuk memenuhi pembiayaan transportasi cukup

besar, yakni mencapai 40,6%, sedangkan yang menyatakan sangat kurang hanya

2,4%. Kebutuhan transportasi bagi buruh tergolong vital. Selain butuh biaya untuk

pergi ke tempat kerja, buruh juga butuh sejumlah uang yang diperoleh dari upah

untuk membiayai mobilitas untuk kepentingan lain, seperti rekreasi, mengunjungi

keluarga dan mengikuti aktivitas sosial lainnya.

Tabel Persepsi Responden Terhadap Upah dalam Memenuhi Kebutuhan Transport

Respon Jumlah % Tidak menjawab

119 23,6

Cukup 169 33,5 Kurang 205 40,6 sangat kurang 12 2,4 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Fakta di atas memang tidak menunjukkan kondisi ekstrim. Perbandingan antara

buruh yang merespon negatif dengan yang cenderung menilai upah sudah cukup

memenuhi kebutuhan transportasi tidak terlalu jauh. Alokasi biaya yang dikeluarkan

oleh buruh untuk transportasi dalam satu bulan biasanya antara Rp.30.000,- sampai

Page 89: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

89

dengan Rp.70.000,-. Untuk beberapa buruh yang tinggal berdekatan dengan lokasi

pabrik, tentunya biaya transportasi yang harus dikeluarkan lebih kecil dibandingkan

dengan buruh yang tempat tinggalnya jauh dengan tempat kerja. Sedangkan pada saat

ini, pihak perusahaan sering sekali mengambil buruh dari kawasan-kawasan tertentu

yang sangat jauh dari lokasi pabrik. Padahal, tidak semua perusahaan menyediakan

transportasi khusus bagi buruh masing-masing.

Pada beberapa perusahaan yang menyediakan jasa bis bagi buruhnya,

sebahagian besar biaya transportasi dikenakan kepada buruh. Sangat jarang terdapat

perusahaan yang secara gratis menyediakan pelayanan transportasi dari lokasi pabrik

ke tempat tinggal buruh. Salah satu pola yang digunakan oleh perusahaan adalah

melakukan pemotongan dari gaji buruh. Untuk buruh yang lokasi tempat tinggalnya

sangat jauh dari kawasan pabrik, maka tidak ada pilihan selain merelakan sebahagian

gajinya dipotong. Rata-rata untuk buruh yang lokasi tempat tinggalnya jauh, jumlah

uang yang dipotong dari upah antara Rp.60.000,- sampai dengan Rp.70.000,-. Jumlah

tersebut tentunya sangat memberatkan buruh. Jika dalam satu bulan buruh menerima

upah sebesar Rp.600.000,- maka sisa upah yang diterima oleh buruh setelah dipotong

biaya transportasi adalah sebesar Rp.530.000,- sampai dengan Rp.540.000,-. Belum

lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh untuk aktivitas lain diluar aktivitas

kerja. Padahal, buruh juga butuh melakukan aktivitas lain diluar kegiatan kerja,

seperti mengunjungi keluarga, rekreasi, berbelanja, dan berbagai aktivitas lain yang

membutuhkan alat transportasi.

Page 90: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

90

Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Biaya Sosial

Sebahagian responden buruh (53,9%) sudah menikah, sedangkan sisanya

adalah buruh lajang. Bagi masyarakat yang masih memegang nilai tradisi budaya.

Dari segi etnis, 28,3% responden adalah Batak Toba, dan yang terbesar adalah etnis

Jawa, yakni sebesar 46,5% disusul suku Karo, Mandailing, Melayu dan berbagai suku

lain. Bagi suku Batak Toba yang sudah menikah, maka akan diikuti oleh konsekuensi

sosial budaya yang cukup besar. Jika seorang keluarga buruh Batak Toba yang sudah

menikah, maka akan muncul keharusan untuk mengikuti aktivitas sosial budaya, jika

tidak maka akan berimplikasi secara negatif kehidupan keluarga tersebut. Demikian

juga dengan suku lain, seperti Jawa, Mandailing, Karo dan sebagainya. Ada tuntutan

bagi seseorang yang sudah berkeluarga untuk mengikuti berbagai aktivitas

tradisional. Aktivitas tradisi tersebut bukan hanya bersifat memaksa kepada seseorang

yang sudah berkeluarga, namun juga merupakan satu strategi bagi buruh untuk tetap

bertahan dikala sulit. Keluarga besar dan ikatan kesukuan merupakan satu jaringan

penting yang harus tetap dibangun dan dapat dijadikan jaminan sosial buruh dan

keluarga buruh. Untuk itu aktivitas sosial menjadi satu kegiatan penting yang harus

dilakukan, dan itu memerlukan biaya yang tidak kecil.

Tabel Persepsi Buruh Tentang Upah dalam Memenuhi Kebutuhan Biaya Sosial

Jumlah % 51 10,1

cukup 145 28,7 kurang 278 55,0 sangat kurang 31 6,1 Total 505 100,0

Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

Berdasarkan tabel di atas, sebahagian besar responden buruh menyatakan

pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan biaya sosial tidaklah cukup jika

berasal dari upah. Hanya sebahagian kecil saja yang menyatakan upah yang diterima

Page 91: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

91

dalam satu bulan bisa menutupi kebutuhan buruh untuk melakukan aktivitas sosial.

Ada berbagai aktivitas sosial yang dalam satu bulan harus dilakukan. Bagi buruh

yang sudah berkeluarga tuntutan tersebut akan semakin besar dibandingkan buruh

lajang. Buruh yang sudah berkeluarga dituntut untuk tetap melakukan interaksi sosial

yang lebih intensif, seperti menghadiri pesta perkawinan, upacara kematian,

bergabung dengan kelompok persaudaraan, komunitas lingkungan dan hajatan

lainnya. Sedangkan bagi buruh yang masih lajang tuntutan tersebut lebih berkurang.

Namun bukan tidak ada sama sekali. Buruh lajang juga sering menghadiri beberapa

kegiatan sosial sebagai bentuk solidaritas dan kohesi mereka pada komunitas dimana

buruh hidup.

Tabel Upah dan Kebutuhan Biaya Sosial

Berdasarkan Status Kawin dan Kategori Upah

Status kawin

Upah dapat memenuhi kebutuhan biaya sosial (persepsi tentang upah)

Kategori upah Total

<UMP UMP layak kawin Cukup 2 61 1 64 Kurang 13 115 4 132 sangat kurang 1 15 - 16 Tidak menjawab 1 20 - 21 Total 17 211 5 233 belum kawin

Cukup 10 71 - 81

Kurang 22 123 1 146 Sangat kurang 4 11 - 15 Tidak menjawab 4 26 - 30 Total 40 231 1 272

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Page 92: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

92

Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya pada satu sisi, sebahagian besar

buruh menyatakan upah memang kurang dapat memenuhi kebutuhan biaya sosial.

Hal itu dialami bukan saja oleh buruh yang upahnya masih berada di bawah UMP

sebesar Rp.505.000 (UMP tahun 2003), namun juga oleh buruh yang upahnya sudah

sesuai standar upah minimum. Hal itu menandakan bahwasannya sebenarnya tidak

ada perbedaan kemampuan yang signifikan antara buruh yang upahnya sudah sesuai

dengan UMP ataupun yang masih berada di bawah upah minimum.

Ada satu realita penting yang juga dilihat dari tabel tersebut. Pertama, bukan

hanya buruh yang sudah menikah saja yang butuh merasakan kecilnya kemampuan

untuk mengikuti kegiatan sosial berdasarkan jumlah upah yang ada, namun juga hal

itu dirasakan oleh buruh yang masih lajang. Bahkan, jumlah buruh yang lajang yang

menyatakan kurangnya upah untuk membiayai kebutuhan sosial lebih besar dari

buruh yang sudah menikah. Dengan demikian, asumsi yang menyatakan

bahwasannya kegiatan sosial hanya diwajibkan pada buruh yang sudah menikah,

namun juga oleh buruh yang masih lajang. Tentunya, buruh lajang memiliki alasan

tersendiri sehingga memberi respon seperti itu.

Upah dapat memenuhi kebutuhan biaya rekreasi

Bagi buruh yang sudah penat dan lelah bekerja dalam kurun waktu tertentu,

rekreasi merupakan sebuah pilihan paling sederhana untuk menghilangkan kejenuhan

maupun kepenatan buruh. Untuk dapat berrekreasi, tentunya dibutuhkan sejumlah

biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh ataupun keluarga buruh. Sebahagian besar

responden buruh menyatakan bahwasannya upah memang kurang bisa andalkan

untuk membiayai kegiatan rekreasi.

Tabel Persepsi Buruh Tentang Upah dalam Memenuhi Kebutuhan Biaya Rekreasi

Jumlah % Respon 43 8,5

cukup 88 17,4

Page 93: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

93

kurang 345 68,3 sangat kurang 29 5,7 Total 505 100,0

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner

Bagi buruh yang masa kerjanya masih di bawah 1 tahun, 1 sampai dengan 4

tahun ataupun di atas 4 tahun sama-sama memberi respon negatif tentang kondisi ini.

Sebahagian besar buruh menyatakan upah kurang dapat memenuhi kebutuhan akan

rekreasi. Keterbatasan tersebut bukan hanya dialami oleh buruh yang sudah menerima

upah sesuai UMP, namun juga oleh buruh yang masih menerima di bawah upah

minimum. Buruh yang sudah bekerja lebih dariu 4 tahun juga tetap merasakan

bahwasannya upah yang diterima selama ini kurang mampu membiayai aktivitas

rekreasional buruh. Lamanya masa kerja buruh tidak menjamin dipenuhinya

kebutuhan untuk menghilangkan sejenak kejenuhan dan kepenatan bekerja.

Tabel Upah Dapat Memenuhi Kebutuhan Biaya Rekreasi

Kategori masa kerja

Upah dapat memenuhi kebutuhan biaya rekreasi

Kategori upah Total

<UMP UMP LAYAK <1 tahun Cukup - 4 - 4 Kurang - 17 - 17 sangat kurang - 1 - 1 1 2 - 3 Total 1 24 - 25 1-4 tahun Cukup 8 44 52 Kurang 23 149 2 174 sangat kurang 4 11 - 15 1 16 - 17 Total 36 220 2 258 > 4 tahun Cukup 1 31 - 32 Kurang 15 135 4 154 sangat kurang 2 11 - 13 2 21 - 23 Total 20 198 4 222 Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

Page 94: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

94

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari realitas di atas. Pertama,

untuk pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makan, pakaian, dan sewa rumah,

sebahagian besar buruh lebih banyak yang menyatakan cukup. Upah yang selama ini

didasarkan pada kebutuhan hidup minimum (KHM) sudah dapat memenuhi beberapa

kebutuhan dasar. Walaupun demikian, terdapat juga buruh yang menyatakan, upah

yang diterima selama ini kurang, dan sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan

dasar. Namun ketika kebutuhan sudah beranjak pada komponen kebutuhan sosial dan

rekreasi, terlihat lebih banyak buruh yang menyatakan kurang dan kurang cukup.

PENGELUARAN DAN PENDAPATAN BURUH

Pengeluaran

Ada beberapa item yang masuk dalam kategori pengeluaran buruh. Data yang

diperoleh dalam pendekatan survey dianggap kurang dapat menggambarkan

pengeluaran buruh secara riil setiap bulannya. Melalui proses FDG dengan beberapa

kelompok buruh di beberapa zona, maka dapat digambarkan pola pengeluaran buruh

secara lebih jelas.

Variasi pengeluaran buruh lajang laki-laki dan perempuan terlihat cukup besar.

Pengeluaran beberapa buruh lajang cukup besar, bahkan hampir menyamai

pengeluaran buruh yang sudah berkeluarga.

Secara umum ada 19 item pengeluaran rutin yang harus dikeluarkan oleh buruh

lajang, yakni;

Tabel Jenis Pengeluaran Rutin Buruh Lajang

1 Makan 11 listrik,air 2 sewa rumah 12 komunikasi 3 transport ketempat kerja 13 salon (perempuan) 4 iuran organisasi, jamsostek 14 kondom/alat kontrasepsi 5 Rokok 15 biaya kesehatan 6 kosmetik (untuk perempuan) 16 biaya rekreasi 7 peralatan mandi 17 angsuran/kredit

Page 95: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

95

8 pembalut (perempuan) 18 tabungan setiap bln 9 Pakaian 10 jula-jula

Rata-rata pengeluaran buruh laki-laki dan perempuan terlihat cukup bervariasi.

Ada beberapa buruh lajang laki-laki yang pengeluarannya cukup besar sehingga

hampir menyamai buruh yang sudah berkeluarga. Misalnya saja pengeluaran buruh

bernama Hotdianto. Setiap bulannya, ia harus menghabiskan uang sebanyak

Rp.848.610,-. Jika dilihat komposisi pengeluarannya tersebut, maka terlihat

bahwasannya pengeluaran Hotdianto paling besar ternyata adalah untuk membayar

hutang. Diakibatkan oleh tidak mencukupinya upah yang diterima oleh Hotdianto,

maka ia harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam satu bulan.

1. makan Rp 150.000 17,67% 2. Sewa rumah Rp 40.000 3. Listrik dan air Rp 10.000 4. transport Rp 25.000 5. Jula-jula Rp 200.000 23,5% 6. Pakaian Rp 150.000 7. Odol/sikat gigi Rp 25.000 8. Sosial Rp 100.000 9. Kredit/utang Rp 210.000 24,7% 10. Iuran SBMI Rp 2500 11. Jamsostek Rp 11.110

Jumlah Rp 848.610

Page 96: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

96

Rata-rata Pegeluaran Buruh Setiap Bulan

Pengeluaran rutin dalam satu bulan tentunya tidak akan bisa menggambarkan

relitas kebutuhan buruh yang sebenarnya. Ada banyak hal yang muncul setiap hari

yang membebani biaya pengeluaran buruh.

Tabel Rata-rata total pengeluaran buruh berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin

Rata-rata (Rp)

Laki-laki Rp. 570.000,-

Perempuan Rp. 568.800,- Total Rp. 1.138.800,-

Sumber: Diolah dari data FGD

Untuk buruh yang sudah berkeluarga dan atau yang memiliki tanggungan

lainnya, tentunya pengeluaran per bulan akan semakin besar jumlahnya. Bagi buruh

yang sudah berkeluarga secara otomatis beberapa item pengeluaran, dari sisi kualitas

maupun kuantitasnya akan bertambah. Misalnya, untuk yang sudah berkeluarga

namun belum memiliki anak, maka akan dibutuhkan biaya lainnya, seperti

penambahan biaya kesehatan, makan, biaya sosial (pesta dan resepsi) dan berbagai

kebutuhan lainya. Tentunya bagi keluarga buruh yanag sudah memiliki anak beban

pengeluaran akan semakin besar.

Biaya pengasuhan satu anak minimal dibutuhkan biaya antara Rp.80.000

sampai dengan Rp.200.000,- per bulan. Tentunya itu merupakan hitungan minimal.

Sebuah keluarga buruh tidak hanya memberikan makan dan minum saja kepada anak.

Kebutuhan akan kesehatan dan penambahan gizi bagi anak sudah harus diperhatikan

pula. Jika seorang buruh menghabiskan uang Rp.150.000 per bulannya untuk makan,

maka jika sudah berkeluarga pengeluaran untuk makan akan bertambah dua kali lipat.

Page 97: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

97

Seorang buruh yang belum berkeluarga juga belum tentu tidak memiliki

tanggungan sama sekali. Terdapat beberapa buruh yang masih sendiri ternyata harus

membiayai kebutuhan saudaranya. Biaya yang biasanya dikeluarkan oleh buruh

tersebut adalah untuk membiayai sekolah adik dan membantu kebutuhan sehari-hari

keluarga.

Secara umum, berdasarkan jenis kelamin, maka dapat digambarkan

bahwasannya responden buruh laki-laki lebih banyak memiliki tanggungan

dibandingkan buruh perempuan.

Tabel Ada atau tidaknya Tanggungan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin

Ada tidaknya tanggungan

Total Status kawin

Ada tidak ada Kawin

Belum kawin

laki-laki 157 96 253 155 98 perempuan 98 154 252 78 174 Total 255 250 505 233 272

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner Data di atas selain dapat menggambarkan lebih banyaknya buruh laki-laki yang

memiliki tanggungan, namun jika dilihat jumlah buruh laki-laki yang berstatus kawin,

maka dapat disimpulkan bahwasannya tanggungan buruh laki-laki tersebut hanyalah

tanggungan untuk istri. Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan buruh perempuan.

Walaupun secara umum jumlah buruh perempuan yang memiliki tanggungan lebih

kecil dari buruh laki-laki, jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan yang

sudah menikah, maka tanggungan buruh perempuan sebahagian besar adalah

terhadap anggota keluarga lain, seperti adik dan saudara. Misalnya seorang responden

buruh bernama Monda. Ia bekerja di perusahaan PT Narindu yang memproduksi

Mebel di Jalan Binjai. Pengeluaran total yang harus dihabiskannya dalam satu bulan

adalah Rp.830.000,-. Uang yang ia harus keluarkan untuk membiayai uang sekolah

Page 98: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

98

adiknya adalah Rp.150.000,- per bulan, atau 18,07% dari total pengeluarannya per

bulan.

Jika diperbandingkan pengeluaran buruh antara yang sudah menikah dan

masih lajang, tergambar bahwasannya pengeluaran buruh yang sudah menikah pada

beberapa pos pengeluaran jauh lebih besar. Misalnya saja pengeluaran untuk

konsumsi, dimana pengeluaran buruh yang sudah menikah adalah dua kali lipat dari

buruh yang masih lajang. Kemudian juga pada pos pengeluaran untuk biaya sosial.

Buruh yang masih lajang hanya menghabiskan uang Rp.25.000,- sampai dengan

Rp.70.000,- per bulan, sedangkan buruh yang sudah menikah mencapai Rp.250.000,-.

Jumlah ini sangat mencolok dibandingkan dengan pengeluaran lainnya, sebab

tanggungjawab buruh yang berkeluarga untuk menghadiri pesta atau kemalangan

lebih besar dibandingkan buruh yang masih lajang.

Menurut data survey, jumlah pengeluaran buruh untuk biaya sosial tersebut

tidak begitu jauh berbeda. Untuk buruh lajang yang belum menikah, uang yang harus

dikeluarkan adalah sebesar kurang lebih Rp.28.000,-, sedangkan bagi buruh yang

sudah menikah, rata-rata pengeluaran adalah sebesar kurang lebih Rp.40.000,-.

Namun jumlah tersebut merupakan rata-rata dalam satu bulan. Kurang lebih 10,7%

buruh harus mengeluarkan uang lebih dari Rp.50.000,- untuk biaya sosial dalam satu

bulan.

Dari sisi jenis kelamin, terlihat biaya sosial yang dikeluarkan oleh buruh

perempuan dan laki-laki berbeda. Buruh laki-laki cenderung lebih banyak

mengeluarkan biaya sosial dibandingkan buruh perempuan. Dalam satu bulan, 33

buruh laki-laki bisa menghabiskan lebih dari Rp.50.000,- untuk melakukan aktivitas

sosial. Menurut data survey, malah ada beberapa buruh laki-laki yang menghabiskan

biaya sebesar Rp.150.000,- sampai dengan Rp.200.000,- perbulannya.

Page 99: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

99

Tabel Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Pengeluaran Biaya Sosial

Jenis kelamin kategori pengeluaran biaya

sosial Total

<11ribu 11-50ribu >50ribu laki-laki 55 134 33 222

Perempuan 45 141 12 198 Total 100 275 45 420

Sumber: hasil pengolahan data kuesioner

28,20

4,70

5,60

buruh menikah

buruh laki-laki

buruh perempuan

Grafik Komposisi Pengeluaran

Biaya Sosial Buruh Lajang dan Menikah

Namun jika diperbandingkan pengeluaran buruh lajang perempuan dan laki-

laki, jelas, pada 6 pos pengeluaran, buruh perempuan masih lebih besar. Hanya pada

satu pos pengeluaran laki-laki lebih besar, yakni pengeluaran untuk konsumsi atau

makan.

Page 100: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

100

Tabel Komposisi Pengeluaran Buruh Lajang dan Menikah

Jenis pengeluaran Buruh Lajang %

Perempuan %

Laki-laki %

Buruh Menikah %

Konsumsi/makan 19,2 19,8 39,6 Transportasi 6,8 5 14,1 Biaya sosial 5,6 4,7 28,2 Kesehatan 2,26 1,5 6,8 Sewa rumah 4 3,01 6 listrik, air dll 5,31 3,4 7,3 Pengeluaran sandang (pakaian, kometik, dll)

7,06 6,21 22,6

Sumber: Hasil pengolahan data kuesioner dan FGD

Page 101: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

101

Pengeluaran Untuk Konsumsi

Salah satu item pengeluaran yang sangat besar untuk dihabiskan oleh buruh

dalam satu bulan adalah pengeluaran konsumsi. Dalam penelitian ini, item konsumsi

dijadikan satu item penting yang mempengaruhi buruh, terutama kesehatan buruh.

Berdasarkan hasil FGD, frekuensi makan buruh sebenarnya belumlah layak.

Frekuensi makan buruh dalam satu bulan belum memenuhi kebutuhan dasar.

Beberapa buruh hanya makan 1 sampai 2 kali dalam satu hari, sehingga dalam satu

bulan hanya makan sebanyak 20 dan 60 kali. Tentunya frekuensi seperti ini masih

jauh dari kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh buruh. Misalnya saja Evi, Alal Ali

dan Purwanto yang frekuensinya tidak sampai 90 kali dalam satu bulan. Tidak

rutinnya buruh makan nasi disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya saja kasus

Purwanto yang masih tinggal dengan orang tua. Ia tidak menyukai makan nasi,

namun menggantinya dengan makan ikan dan telur. Ia mengkonsumsi telur lebih

banyak dari buruh lainnya, yakni sekitar butir.

Beratnya kerja buruh tentunya mengeluarkan energi yang sangat besar bagi

buruh. Dengan pola makan yang tidak teratur dan input gizi yang tidak memadai,

tentunya akan mempengaruhi kesehatan dan kemampuan buruh untuk bekerja.

Kemampuan buruh dalam memenuhi kebutuhan pemenuhan gizi juga masih sangat

rendah.

Tabel Frekuensi dan Sumber Minum Susu dalam 1 Minggu Sumber

Frekuensi

Frekuensi minum

Jawaban

Jlh % Membeli

sendiri

Diberi perusah

aan

Diberi teman/keluarg

a

0-1x 2-3x >4x

Konsumsi Susu Ya 136 26,9 235 71 4 28 28 75

Page 102: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

102

Kadang2

150 29,7 34 78 28

tidak 219 43,4 21 13 5

Konsumsi Makan daging

Me

mb

eli

sen

diri

Dib

eri

pe

rusa

ha

Dib

eri

tem

an

/kel

Sa

at

pe

sta

Ya 82 16,2 48 24 6 Kadang2

215 42,6 216 11 7 29 113 60 6

tidak 173 34,3 66 26 3

Konsumsi Makan Buah-buahan

Mem

beli

send

iri D

iber

i pe

rusa

haa

Dib

eri

tem

an/k

elD

ari

kebu

n La

in2

Ya 155 30,7 24 37 89 Kadang2

241 47,7 342

2 1 12 1 53 123 40

Tidak 109 21,6 35 24 3 Sumber: Diolah sendiri Tabel di atas memperlihatkan bahwasannya sebahagian besar buruh (43,4%)

menyatakan tidak pernah minum susu dalam satu minggu. Setelah dikoreksi melalui

jawaban frekuensi minum, jawaban tidak diartikan dengan frekuensi minum yang

sangat rendah, yakni antara 1-3 kali dalam satu minggu. Buruh yang menyatakan

jawaban “ya”, jumlahnya sebanyak 136 orang, atau 26,9%, dan yang menjawab

“kadang-kadang” sebanyak 150 orang. Jika dikoreksi melalui sumber memperoleh

susu, ternyata buruh yang menyatakan “ya” dan “kadang-kadang” tersebut sebanyak

235 orang memperolehnya dari membeli sendiri, dan hanya 71 orang yang

mendapatkannya dari perusahaan. Hal ini tentunya sangat memberatkan buruh. Upah

yang rendah, kerja berat yang dilakukan buruh tidak diimbangi dengan perhatian

perusahaan dalam memberikan input energi yang cukup. Jika dibandingkan antara

buruh yang menjawab “ya” untuk minum susu dalam satu minggu dengan yang

Page 103: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

103

menjawab “tidak”, maka angka 75 orang yang minum susu lebih dari 4 kali dalam

satu minggu hanyalah 55,1% dari 136 orang. Bandingkan dengan angka buruh yang

menyatakan “tidak” namun menjawab minum lebih dari 4 kali dalam 1 minggu yang

hanya 5 orang (2,8% dari 219 orang). Jadi, secara total, buruh yang minum susu

dalam kategori jawaban “tidak” hanyalah 17,8% dari total 219 orang. Angka ini

tentunya sangatlah kecil dibandingkan kebutuhan ideal susu bagi buruh.

Kondisi serupa juga terjadi pada keluarga buruh. Dari 372 buruh yang

menjawab pertanyaan tentang frekuensi keluarga buruh dalam minum susu, hanya 59

orang yang menyatakan “ya”, sedangkan yang menjawab “kadang-kadang” dan

“tidak” adalah sebanyak 313 orang. Data seperti ini tentunya berkorelasi dengan

konsumsi susu buruh secara personal. Rendahnya konsumsi buruh secara individual

juga terjadi pada keluarga buruh. Rendahnya frekuensi keluarga buruh untuk membeli

susu menjadi cerminan ketdakmampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

susu.

Konsumsi daging malah menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan

konsumsi susu dalam satu minggu. Dua ratus lima belas responden (42,6%) buruh

menyatakan kadang-kadang minum susu, sedangkan 82 orang menyatakan “ya” dan

34,3 buruh menyatakan “tidak”. Namun jika dilihat berdasarkan sumber memperoleh

daging, 216 orang membelinya sendiri, sedangkan yang diberi oleh perusahaan

hanyalah 11 orang. Salah satu kesempatan makan daging selain membeli sendiri,

diberi teman atau keluarga dan diberi perusahaan adalah makan daging pada saat

pesta. Kesempatan mengikuti pesta biasanya akan dimanfaatkan oleh buruh.

Tentunya kesempatan seperti itu tidak pasti ada dalam satu minggu. Tetap saja,

dengan begitu keadaan gizi buruh sangat jauh dari kebutuhan idealnya.

Demikian juga dengan konsumsi buah-buahan. Sebahagian besar buruh

memperoleh buah-buahan untuk dikonsumsi dari membeli sendiri, yakni 342 orang,

sedangkan yang diberi oleh perusahaan hanya dua orang. Buruh yang menyatakan

“kadang-kadang”, ternyata 123 orang (57% dari 216 orang) hanya makan buah-

buahan sebanyak 2 sampai 3 kali. Frekuensi makan buah dalam kasus ini bukan

Page 104: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

104

hanya dalam artian memakan buah dalam bentuk utuh dan segar. Beberapa buruh

ternyata memperoleh buah-buahan ketika makan rujak. Mengkonsumsi rujak

dianggap oleh buruh sama dengan mengkonsumsi buah segar. Salah satu alasan

paling mempengaruhi rendahnya konsumsi buruh adalah tidak cukupnya gaji yang

diperoleh. Berdasarkan keterbatasan upah yang dimiliki, maka buruh harus memilih

antara makan daging, minum susu atau makan buah. Jika dihadapkan pada pilihan

tersebut, maka berdasarkan kebutuhan, maka buruh lebih memilih untuk makan

daging atau minum susu. Dalam kondisi lebih parah, ketika upah sudah tidak

mencukupi lagi maka sering sekali buruh mengganti minum susu dengan hanya

minum teh manis.

Konsumsi Lauk dalam Satu Bulan

Seperti disebutkan sebelumnya, aktivitas kerja yang berat tentunya

membutuhkan energi yang sangat besar. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut,

tentunya konsumsi buruh pada beberapa jenis lauk berprotein tinggi menjadi sangat

penting.

Page 105: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

105

Tabel Frekuensi konsumsi lauk

Frekuensi Konsumsi dalam 1 bulan Jenis Lauk

< 4 x % 4-10

x % >10 %

Responden yang tidak menjawab

Makan lauk daging sapi/kambing dalam sebulan

166 32,8 32 6,3 2 0,4 305

Makan lauk daging ayam dalam sebulan

215 42,6 208 41,2 19 3,8 63

Makan lauk ikan laut dalam sebulan

20 4,0 150 29,7 305 60,4 30

Makan lauk ikan mas dalam sebulan

79 15,6 17 3,4 2 0,4 407

Makan lauk udang dalam sebulan

123 24,4 51 10,1 5 1,0 326

Makan lauk kepiting dalam sebulan

59 11,7 13 2,6 6 1,2 427

Makan lauk kerang dalam sebulan

117 23,2 30 5,9 4 0,8 354

Makan lauk ikan teri dalam sebulan

42 8,3 192 38,0 200 39,6 71

Makan lauk ikan asin dalam sebulan

107 21,2 196 38,8 64 12,7 138

Makan lauk ikan lele/belut

44 8,7 66 13,1 5 1,0 390

Makan lauk telur dalam sebulan

34 6,7 228 45,1 207 41,0 36

Makan lauk tahu dalam sebulan

66 13,1 253 50,1 80 15,8 106

Makan lauk tempe dalam sebulan

55 10,9 261 51,7 106 21,0 83

makan indomie dalam sebulan

69 13,7 192 38,0 156 30,9 88

Makan tulang sop dalam sebulan

94 18,6 33 6,5 4 0,8 374

Keterangan: Tidak seluruhnya responden menjawab pertanyaan Sumber: hasil analisis data kuesioner

Berdasarkan tabel di atas, hanya pada 2 (dua) jenis jenis lauk yang dikonsumsi

oleh buruh lebih dari 10 kali dalam satu bulan, yakni konsumsi ikan laut dan

Page 106: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

106

konsumsi ikan teri, sedangkan untuk konsumsi lauk daging sapi/kambing, daging

ayam, ikan mas, udang, kepiting, kerang, dan sop tulang sebahagian besar responden

mengkonsumsinya kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Artinya, untuk beberapa jenis

lauk, sebahagian besar buruh mengkonsumsi kurang dari 4 kali. Hal ini berarti dalam

satu minggu, belum tentu buruh mampu mengkonsumsi beberapa jenis lauk yang

mengandung protein tinggi, seprti daging, kepiting, ikan mas, sop dan lain-lain yang

harganya lebih mahal dibandingkan ikan laut. Misalnya saja konsumsi daging

sapi/kambing dan daging ayam. Sebanyak 32,8% dari 200 orang yang jawab

pertanyaan tentang konsumsi daging sapi/kambing hanya punya kemampuan

mengkonsumsi kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Demikian juga dengan konsumsi

daging ayam. Sebanyak 215 orang menyatakan kurang dari 4 kali mengkonsumsi

daging ayam dalam satu bulan. Sedangkan yang menyatakan mengkonsumsi lebih

dari 10 kali hanya 19 orang atau 3,8% dari total responden.

Frekuensi konsumsi yang lebih dari 10 kali dalam satu bulan hanyalah pada

lauk ikan laut dan ikan teri. Kemungkinan pertama dari jumlah ini adalah, ikan laut

dan teri merupakan lauk utama yang paling banyak disediakan di rumah-rumah

makan. Buruh yang sebahagian besar kost dan kontrak tentunya lebih banyak makan

di kedai atau rumah makan dibandingkan memasak makanan sendiri, sehingga mau

tidak mau pola konsumsi lauk disesuaikan dengan lauk yang tersedia di rumah

makan. Kemungkinan kedua, lauk ikan laut dan ikan teri cenderung lebih murah

dibandingkan menu lauk lainnya seperti daging dan jenis lauk laut non ikan.

Menu lauk lain yang cenderung lebih stabil untuk dikonsumsi oleh buruh

adalah menu telur, tahu, tempe dan indomie. Jumlah buruh yang mengkonsumsi tahu,

tempe, telur dan indomie, 4 sampai 10 kali dan lebih dari 10 kali dalam satu bulan

tidak terpaut terlalu besar. Hal ini menunjukkan menu lauk tersebut menjadi menu

umum yang dikonsumsi. Jika pun angka konsumsi lebih dari 10 kali dalam satu bulan

tersebut tidaklah terlalu besar, hal itu dikarenakan keinginan buruh untuk membuat

variasi dari menu yang dimakan dalam satu bulan.

Page 107: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

107

Perilaku mengkonsumsi lauk buruh menunjukkan beberapa karakter

ketidakmampuan buruh dalam memenuhi kebutuhan makan. Secara umum, dapat

dikatakan pilihan lauk untuk dikonsumsi cenderung homogen atau tunggal. Pilihan-

pilihan lauk sangat tidak bervariasi, sehingga konsekuensinya akan menurunkan

kualitas kesehatan buruh.

Dari proses analisis statistik, sebenarnya sangat sedikit yang berkorelasi

secara signifikan. Maksud dari hubungan signifikan dalam hubungan ini adalah,

dalam satu bulan konsumsi satu jenis lauk pasti akan diikuti dengan konsumsi jenis

lauk lainnya. Dengan kata lain, dalam satu bulan, buruh mengkonsumsi dua jenis lauk

secara mencukupi. Dari seluruh proses analisis statistik, ada kurang lebih 33 proses

analisis yang menunjukkan hubungan signifikan, yakni;

1. antara lauk tahu dengan lauk ikan asin (0,240) 2. antara lauk tempe dengan makan ikan asin (0,271) 3. antara makan lele/belut dengan makan lauk tempe (0,329) 4. antara makan lauk telur dengan lauk tempe (0,213) 5. antara lauk tahu dengan lauk tempe (0,698) 6. antara makan indomie dengan tempe (0,197) 7. antara usia dengan makan lauk tahu (0,029) 8. antara makan buah dengan makan lauk tahu (-0,121) 9. antara ikan laut dengan lauk tahu (0,115) 10. antara makan kepiting dengan makan indomie (-0,269) 11. antara minum susu dengan makan lauk tahu (-0,199) 12. antara makan telur dengan makan lauk tahu (0,281) 13. antara lauk tahu dengan makan tahu (0,229) 14. antara makan indomie dengan lauk tahu (0,229) 15. antara lauk daging ayam dengan ikan lele/belut (0,335) 16. antara lauk kerang dengan lauk telur (0,257) 17. antara lauk tahu dengan ikan lele/belut (0,205) 18. antara lauk tahu dengan lauk telur (0,281) 19. antara makan indomie dengan lauk telur (0,308) 20. antara lauk udang dengan lauk kerang (0,492) 21. antara kepiting dengan kerang (0,511) 22. antara makan daging dengan ikan asin (-0,126) 23. antara usia dengan kepiting (-0,183) 24. antara usia dengan daging (-0,111) 25. antara makan buah dengan makan daging (0,236) 26. antara makan daging ayam dengan makan daging (0,254)

Page 108: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

108

27. antara konsumsi susu dengan makan kepiting (-0,210) 28 antara makan tulang sop dengan makan daging (0,272) 29 antara makan buah dengan makan ikan laut (0,242) 30antara makan buah dengan lauk ikan mas (0,341) 31 antara makan buah dengan lauk daging ayam (0,197) 32 antara makan ikan lele/belut dengan lauk daging ayam (0,335)

Sumber: hasil analisis statistik dari data kuesioner

Dari seluruh proses analisis tersebut, korelasi yang cukup meyakinkan hanyalah

antara konsumsi lauk tempe dengan tahu yakni sebesar 0,698. Artinya, besarnya

jumlah konsumsi lauk tempe dalam satu bulan, ternyata diimbangi dengan konsumsi

lauk tahu. Apa yang bisa diambil dari bukti seperti ini? Lauk tempe dan tahu

tergolong murah dan tersedia mencukupi di pasar tradisional, kedai di sekitar tempat

tinggal buruh dan di tersedia cukup banyak di rumah makan disekitar tempat tinggal

buruh. Kecenderungan seperti itu ternyata tidak diikuti dengan konsumsi jenis lauk

lain. Diantaranya adalah konsumsi susu dan kepiting, indomie dengan kepiting, usia

dengan daging, dan konsumsi buah dengan makan lauk tahu. Masing-masing jenis

lauk tidak dikonsumsi secara bersamaan dalam satu bulan. Jika buruh sudah

mengkonsumsi susu, maka kepiting ditiadakan, jika buruh mengkonsumsi indomie,

maka lauk kepiting bukan jadi pilihan pengganti, jika usia buruh semakin tinggi,

maka konsumsi daging semakin berkurang, dan jika buruh mengkonsumsi buah,

maka konsumsi tahu ditiadakan.

Fenomena ini memperlihatkan, buruh sangat jarang memiliki pilihan untuk

mengkonsumsi beberapa jenis lauk sekaligus dalam satu bulan. Buruh harus memilih

jenis lauk yang lebih murah. Konsumsi beberapa jenis lauk yang sedikit mahal

otomatis akan menghilangkan kemampuan buruh untuk mengkonsumsi jenis lauk lain

yang lebih murah.

Salah satunya adalah tentang konsumsi lauk indomie. Dalam satu bulan,

sebanyak 156 orang mengkonsumsi indomie sebanyak lebih dari 10 kali. Bahkan

terdapat sejumlah buruh yang mengkosumsi indomie 30 (tigapuluh) kali dalam satu

bulan. Dengan demikian, dalam satu bulan, setiap harinya buruh hanya

Page 109: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

109

mengkonsumsi indome. Bisa dibayangkan jika buruh mengkonsumsi indomie setiap

hari. Bagaimana buruh bisa bekerja dan tetap mempertahankan kesehatan agar dapat

bekerja jika setiap harinya hanya mengkonsumsi indomie.

Bagi buruh yang mencoba untuk membuat menu lebih bervariasi, misalnya

dengan makan kepiting, maka kemampuan buruh untuk mengkonsumsi indomie akan

jauh berkurang. Demikian juga dengan konsumsi susu dan kepiting. Dalam satu bulan

rata-rata buruh mengkonsumsi susu dan lauk kepiting sebanyak 4 kali. Namun

konsumsi dua jenis lauk tersebut jarang bersamaan. Buruh harus memilih, antara

mengkonsumsi susu atau kepiting. Jika buruh sudah mengkonsumsi susu, maka mau

tidak mau ia harus mengurangi makan kepiting, dan sebaliknya, jika buruh memilih

makan kepiting, maka ia harus mengurangi minum susu.

Pola makan seperti itu tentunya tidak hanya terjadi pada menu-menu tertentu

yang tercantum dalam penelitian ini saja. Kesimpulan umum yang bisa ditarik dari

fenomena ini adalah;

1. Secara umum kemampuan buruh untuk mengkonsumsi lauk lebih bervariasi

sangatlah rendah. Dalam satu bulan, menu yang dikonsumsi buruh cenderung

sama. Sangat jarang ditemui buruh yang mampu mengkonsumsi beberapa jenis

lauk secara bersamaan dalam satu bulan.

2. Ada kecenderungan buruh yang ingin membuat menu lauk bervariasi ternyata

harus memilih antara jenis menu lauk tertentu. Jika buruh mencoba mengganti

satu jenis menu yang sering dikonsumsi, maka konsekuensinya, buruh harus

meniadakan jenis menu tertentu yang biasa dikonsumsi.

Dua kecenderungan seperti ini tentunya merupakan dampak dari kecilnya

upah yang diterima buruh. Walaupun secara umum buruh merasa upah sudah cukup

memenuhi kebutuhan makan keluarga, namun deskripsi dari kebutuhan makan

tersebut masih sangat minimal. Ada kemungkinan buruh sudah merasa cukup ketika

sudah mampu mengkonsumsi indomie setiap hari. Hal ini tentunya menunjukkan

kesederhanaan pemahaman buruh tentang kebutuhan makan. Buruh tidak menyadari

Page 110: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

110

bahwasannya yang disebut “cukup” bukan sekedar bisa makan setiap harinya, namun

lebih dari sekedar itu. Kebutuhan konsumsi bukan sekedar frekuensi makan dan

kuantitas menu yang dikonsumsi dalam satu bulan, namun juga terkait dengan variasi

menu dalam satu bulan dan kualitas menu tersebut.

Dari seluruh buruh yang mengkonsumsi jenis menu tertentu yang tergolong

mahal, ternyata tidak keseluruhan jenis lauk tersebut dibeli oleh buruh. Beberapa

buruh menyatakan, mengkonsumsi daging ayam, daging sapi dan beberapa jenis lauk

berharga mahal hanya ketika buruh menghadiri pesta, hanya pada saat gajian, karena

disediakan atau dimasak oleh orang tua, menu rantangan, dan alasan lainnya yang

bukan didasarkan kemampuan buruh untuk membeli. Dengan kata lain, beberapa

buruh yang mencoba untuk membuat menu dalam satu bulan bervariasi bukanlah atas

dasar keinginan dan kemampuan buruh. Sebahagian besar buruh dengan sengaja

memanfaatkan momentum menghadiri pesta untuk sekedar dapat makan daging dan

menu lauk lain yang harganya mahal. Sebahagian besar buruh menyatakan tidak

mampu membeli daging atau mengkonsumsi daging secukupnya dalam satu bulan.

Buruh yang benar-benar sadar tentang pentingnya variasi menu makanan sangatlah

sedikit. Mereka hanya mampu membeli dan mengkonsumsi daging hanya pada saat-

saat tertentu, seperti pada saat gajian saja.

Page 111: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

111

P E N D A P A T A N

Upah Buruh

Data yang diperoleh melalui proses survey memperlihatkan upah pokok

responden secara umum sebagian besar sudah sesuai dengan Upah Minimum propinsi

(UMP) tahun 2003, yakni Rp.505.000,-.

Tabel Jawaban Responden Berdasarkan Kategori Upah

Kategori UMP

Jumlah %

<UMP 57 11,3 >UMP 179 35,4 UMP 269 53,3 Total 505 100,0

Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Hanya 57 (11,3%) responden buruh yang upah pokoknya masih di bawah UMP,

sedangkan 53,3% sesuai dengan UMP dan 179 orang (35,4%) yang upahnya sudah

berada di atas UMP. Rata-rata upah buruh secara keseluruhan adalah

Rp.552.362,23,- sehingga jika memang ukuran kesejahteraan dan perbaikan nasib

buruh adalah kesesuaian antara kebijakan Upah Minimum (UM) dengan realitas upah

di pabrik, maka berdasarkan hasil survey kondisinya dapat dikatakan sudah lebih

baik. Namun jika dilihat dari sisi pengeluaran dan kebutuhan riil buruh sehari-hari,

upah berdasarkan standar UMP tersebut sangatlah tidak mencukupi lagi.

Jika didasarkan pada status pekerjaan, beberapa jenis masukan yang dapat

digolongkan pada komponen buruh ternyata realitasnya masih sangat jauh dari

harapan. Ada 11 komponen upah yang sebenarnya harus dipenuhi oleh pengusaha,

baik kepada buruh tetap, kontrak, borongan dan buruh harian lepas.

1. upah pokok

Page 112: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

112

2. uang makan (/hari) 3. uang transport (/hari) 4. tunjangan perumahan 5. uang kerajinan (/bulan) 6. insentif 7. bonus 8. upah berkala (/3 tahun) 9. cuti haid 10. tunjangan kemahalan 11. Uang Lembur

Tabel Gambaran Respon Komponen Upah

Berdasarkan Status Pekerjaan

Status Pekerjaan

Buruh tetap Buruh harian lepas

kontrak borongan Home base

worker No

Komponen Upah

ada Tidak ada tidak ada tidak Ada tidak ada tidak 1 Upah pokok 450 2 25 9 14 1 3 1 - - 2 Uang

makan 289 163 8 26 - 15 - 4 - -

3 Uang transpor

295 157 2 32 - 15 - 4 - -

4 Tunjangan perumahan

9 443 - 34 - 15 - 4 - -

5 Uang kerajinan

221 229 5 29 - 15 - 4 - -

6 Insentif 162 290 3 31 - 15 - 4 - - 7 Bonus 74 376 3 31 3 12 - 4 - - 8 Upah

berkala 193 259 - 34 - 15 - 4 - -

9 Cuti haid 197 255 5 29 - 15 - 4 - - 10 Tunjangan

kemahalan 30 422 1 33 - 15 - 4 - -

11 Uang lembur

303 149 8 26 1 14 1 3 - -

Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Berdasarkan data di atas, sebagian besar buruh non tetap banyak tidak menerima

komponen upah. Pada beberapa komponen upah, hak buruh tetap juga masih belum

Page 113: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

113

sepenuhnya terpenuhi. Misalnya saja pada komponen uang makan, uang transpor,

tunjangan perumahan, uang kerajinan, insentif, bonus, upah berkala, tunjangan

kemahalan dan upah lembur. Satu-satunya komponen upah yang hampir secara

keseluruhan dipenuhi hanyalah pada item upah pokok. Namun masih tetap ada

responden dari buruh tetap (2 orang) yang menyatakan belum menerima upah tetap.

Kondisi paling parah adalah terlihat pada buruh dalam kategori buruh harian lepas,

kontrak dan borongan. Dari seluruh komponen upah yang ada, hanya sedikit sekali

buruh yang hak upahnya dipenuhi oleh perusahaan, dan sebahagian besar malah tidak

menjawab sama sekali. Tidak menjawab sama sekali dalam hal ini diartikan buruh

tidak pernah bahkan tidak mengenal sebahagian besar komponen upah yang ada.

Jelas melalui tabel ini dapat kita lihat bahwasannya hak buruh kontrak, buruh harian

lepas dan buruh borongan masih jauh dari kondisi ideal.

Jika upah pokok ditambah dengan beberapa komponen upah lainnya

dijumlahkan dalam satu bulan, nominal yang sepantasnya (sebelum dilakukan

potongan) juga masih jauh dari kebutuhan buruh. Seperti yang terjadi pada buruh di

zona Mabar. Rata-rata mereka menerima upah pokok sebesar Rp.540.000,- per bulan.

Jika memang perusahaan tempat mereka bekerja memenuhi beberapa komponen upah

secara lebih baik, maka kenaikan upah yang sepantasnya mereka tidaklah signifikan.

Misalnya saja seorang buruh bernama Janter. Ia menerima upah pokok sebesar

Rp.540.000,-. Ada 3 (tiga) komponen upah yang secara rutin diterimanya dari

perusahaan, yakni tunjangan jabatan, lembur dan jaminan hari tua. Total, jika ia

menerima beberapa komponen upah tersebut dalam satu bulan, maka yang ia terima

hanyalah Rp.692.000,-. Berdasarkan kebutuhan hidupnya sebagai buruh yang sudah

berkeluarga, maka tentungan angka tersebut masih jauh lebih kecil dari pengeluaran

yang harus dia keluarkan dalam satu bulan, yakni sebesar Rp.964.000,- dengan

perincian sebagai berikut:

1. makan Rp 350.000,- 2. listrik dan air Rp 70.000,- 3. transport sosial Rp 50.000,-

Page 114: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

114

4. transport kerja Rp 75.000,- 5. uang sekolah anak Rp21.000,- 6. uang jajan anak Rp30.000,- 7. uang kridit Rp353.000,- 8. rokok Rp150.000,- 9. sosial kemalangan dll Rp250.000,- 10. uang iuran organisasi kerja Rp 5.000,- 11. uang iuran jamsostek Rp30.000,- 12. Jumlah Rp 964.000

Dengan demikian, jika dibandingkan antara pendapatan dan pengeluaran Janter,

maka akan ada kekurangan sebesar Rp. 272.000,- yang harus dia cari untuk

menambah kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mengatasi

kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam satu bulan. Beberapa

diantaranya adalah dengan menjadi agen sepeda motor, membungakan uang, Multi

Level Marketing (MLM) dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh melalui

pekerjaan sampingan tersebut untuk beberapa buruh sangat membantu menambah

upah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalnya saja, bagi seorang buruh yang

bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi tali. Dalam satu bulan ia

memperoleh upah riil sebesar Rp.700.000,-. Untuk menambah kebutuhan hidupnya

sehari-hari, ia bekerja sebagai agen sepeda motor di sela-sela waktu kerjanya. Dalam

satu bulan, rata-rata ia bisa memperoleh keuntungan dari pekerjaannya tersebut

sebesar Rp. 100.000, sehingga total uang yang ia bisa alokasikan untuk memenuhi

kebutuhan rutin sehari-hari adalah Rp.800.000,-. Ada juga buruh yang menambah

penghasilannya dengan cara membungakan uang. Keuntungan yang ia bisa dapatkan

dari pekerjaan sampingannya tersebut adalah Rp.150.000,-. Jika dalam satu bulan ia

memperoleh upah dari perusahaan sebesar Rp.900.000,- , maka dalam satu bulan ia

bisa mengantongi uang sebesar Rp.1.050.000,-.

Tentunya tidak semua buruh memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah

penghasilannya dalam satu bulan. Sebahagian besar buruh mengalami kesulitan

dalam hal mencari pekerjaan sampingan yang tidak mengganggu pekerjaannya di

pabrik. Selain itu, untuk mencari pekerjaan sampingan dianggap oleh buruh tidaklah

Page 115: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

115

mudah. Untuk melakukan usaha sampingan, buruh menyatakan diperlukan beberapa

syarat agar secara berkesinambungan dapat dilakukan, yakni harus ada bakat, waktu,

modal, relasi dan tempat.

Page 116: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

116

Potongan Perusahaan Terhadap Buruh

Ada 8 (delapan) item potongan yang dicantumkan dalam daftar pertanyaan.

Potongan yang paling umum dikenakan kepada buruh adalah potongan Jamsostek,

yakni mencapai 81,2%. Dari angka ini masih terlihat adanya beberapa jumlah buruh

yang tidak dikenakan potongan. Dengan kata lain, 18,8% buruh tersebut tidak atau

belum menjadi anggota Jamsostek. Potongan untuk OKP yang selama ini

diasumsikan mempengaruhi upah buruh ternyata tidak terlihat. Memang tidaklah

mungkin perusahaan dengan sengaja mencantumkan secara khusus item potongan

untuk OKP dari upah yang diterima buruh. Tidaklah mungkin secara terus terang

perusahaan secara langsung memotong upah buruh untuk kepentingan OKP. Untuk

mengetahuinya, memang perlu ada suatu penelitian khusus. Namun dari respon yang

ada, 3 orang buruh yang menyatakan adanya potongan merupakan satu temuan yang

penting. Selama ini, seperti pernah disebutkan dalam beberapa penelitian, salah satu

kontributor biaya tinggi (high cost) sektor industri di Indonesia adalah banyaknya

pungutan liar. Pungutan yang dimaksud bukan hanya dilakukan oleh aparat

pemerintah yang dengan sengaja mengambil keuntungan dalam berbagai mekanisme

birokratis, namun juga dilakukan oleh kelompok pemuda yang terorganisir. Dengan

alasan keamanan, biasanya OKP meminta bantuan kepada perusahaan. Dengan

terdapatnya respon tersebut, tentunya semakin memperkuat bukti bahwasannya

jumlah upah buruh yang sudah sangat kecil harus di tekan lagi dengan adanya

potongan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan relasi buruh-pengusaha

dalam proses produksi.

Satu hal yang bisa dicermati adalah adanya potongan denda akibat kesalahan.

Dari total responden buruh, 59 orang (11,7%) menyatakan adanya potongan jika

buruh melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan, sedangkan 446 orang buruh

menyatakan tidak ada potongan kesalahan tersebut. Jika dilihat nominal potongan

terhadap upah buruh, rata-rata jumlah potongannya adalah Rp.10.603,-. Jumlah

potongan terlihat bervariasi antar buruh.

Page 117: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

117

Tabel Respon Buruh Terhadap Beberapa Jenis Potongan

Respon buruh Jenis potongan Ya % tidak %

potongan jamsostek 410 81,2 95 18,8 potongan iuran SB 339 67,1 166 32,9 potongan keagamaan 42 8,3 463 91,7 potongan koperasi 117 23,2 388 76,8 potongan biaya transportasi

17 3,4 488 96,6

potongan OKP 3 0,6 502 99,4 potongan denda karena kesalahan

59 11,7 446 88,3

potongan lain-lain 13 0,6 418 99,4 Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Tabel Rata-rata, Jumlah Minimum dan Maksimum Potongan

Nilai Mean, minimum dan Maximum Jenis potongan Mean Minimum Maximum

Jumlah potongan jamsostek

Rp. 10.603 Rp. 1100 Rp. 53.000

Jumlah potongan iuran SB Rp. 2206 Rp. 500 Rp. 11.000 Jumlah potongan keagamaan

Rp. 3166 Rp. 1000 Rp. 15.000

Jumlah potongan koperasi Rp. 11.360 Rp. 1000 Rp. 96.650 Jumlah potongan transportasi

Rp. 21.125 Rp. 1000 Rp. 90.000

Jumlah potongan OKP Rp. 1000 Rp. 1000 Rp. 1000 Jumlah potongan denda karena kesalahan

Rp. 17.130 Rp. 3000 Rp. 50.000

Jumlah potongan lain-lain Rp. 15.400 Rp. 1000 Rp. 50.000

Sumber: hasil analisisi data kuesioner

Jika buruh dalam tiap bulannya harus dikenakan potongan-potongan seperti

diatas, tentunya didasarkan jumlah upah yang diterima (take home pay) sudah sangat

memberatkan. Total potongan rata-rata jika setiap potongan di atas dikenakan pada

buruh, maka dalam satu bulan, upah buruh harus dipotong sebesar Rp. 81.990,-. Jika

upah yang diterima buruh dalam satu bulan hanya Rp.600.000,- maka jumlah

Page 118: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

118

potongan tersebut sudah mencapai 13,6% dari total upah. Jika dibandingkan dengan

alokasi untuk kebutuhan lain, tentunya jumlah potongan tersebut sudah menyamai

atau bahkan lebih besar. Misalnya saja untuk kebutuhan pembiayaan transportasi.

Total biaya transportasi buruh dalam satu bulan dari gaji hanya mencapai 6%.

Sedangkan potongan bisa mencapai 13,6%, sehingga dapat disimpulkan, biaya yang

dipotong dari buruh bisa lebih besar dari beberapa jenis pengeluaran lain.

Page 119: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

119

����

Respon Buruh Terhadap Kebijakan Pengupahan

Persepsi buruh terhadap kebijakan pengupahan yang berlangsung di Sumatera

Utara menunjukkan bukti bahwasannya proses penentuan jumlah upah maupun

terhadap institusi yang berwenang menentukan upah tersebut kurang disetujui dan

dipahami oleh buruh. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, buruh menganggap

proses penetapan UMP/UMSP tidak tepat. Sebahagian besar buruh (49,7%)

menyatakan proses penetapan upah tidaklah tepat. Ada begitu banyak alasan yang

dikemukanan oleh buruh perihal tidak tepatnya proses penetapan UMP/UMPS.

Beberapa buruh menyatakan, proses penetapan UMP/UMPS yang berlangsung

selama ini belum melibatkan buruh secara maksimal. Padahal, buruh merasa

merekalah yang paling mengetahui kebutuhan hidup yang selama ini sudah semakin

mahal. Kebutuhan yang sudah sangat tinggi tersebut dianggap buruh tidak dijadikan

perhitungan dalam proses penentuan jumlah UMP/UMPS. Buruh juga beranggapan,

dominasi dari pemerintah dan pengusaha terlalu besar dalam proses penentuan upah

tersebut. Dengan demikian, buruh merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi ada

anggapan dari buruh bahwasannya terdapat unsur KKN dalam proses penentuan

tersebut. Kepentingan yang begitu besar dari pemerintah beserta pengusaha selalu

meminggirkan kepentingan buruh yang sudah semakin besar.

Secara umum, buruh menganggap alasan utama ketidaktepatan proses penetapan

upah adalah terkait dengan ketidaksesuaian jumlah dengan kebutuhan buruh yang

Page 120: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

120

sudah semakin besar. Buruh menanggap angka yang selama ini ditetapkan masih jauh

dari kebutuhan riil sehari-hari buruh. Kehidupan buruh yang sudah semakin tinggi

tidak dibarengi dengan peningkatan upah pokok yang sesuai, sehingga kesejahteraan

dan kehidupan yang layak masih jauh dari harapan.

Buruh juga menyinggung tentang kurang transparannya proses penetapan yang

dilakukan oleh DPD. Buruh merasa penelitian yang dilakukan oleh DPD tidak sesuai

dan tidak sampai pada tingkat bawah. Belum lagi jika dikatkan dengan keterbukaan

DPD. Buruh selama ini hanya menjadi objek kebijakan tanpa mengerti proses yang

berlangsung didalamnya. Apa yang menjadi pertimbangan, bagaimana proses

penetapannya, bagaimana riset yang dilakukan oleh DPD tidak dipahami oleh buruh.

Saat di bandingkan dengan pengetahuan buruh tentang komponen yang terlibat dalam

DPD, maka semakin jelas bahwasannya buruh memang menjadi mainan elemen yang

terlibat dalam DPD. Bahkan dari jawaban yang diberikan, buruh tidak mengetahui

komponen yang terlibat dalam DPD.

Walaupun sebenarnya elemen buruh juga sudah terlibat dalam elemen DPD,

namun buruh sendiri tetap menganggap keterlibatan buruh masih sangat minimal.

Keterlibatan elemen buruh dalam DPD tidaklah secara langsung menjadi garansi

bahwasannya kepentingan dan keinginan buruh akan terwakili didalamnya. Jadi,

dapat disimpulkan bahwasannya keterwakilan buruh yang cukup di DPD tidak

menjamin jumlah upah akan meningkat sesuai dengan kebutuhan buruh.

Salah satu kendala yang menghempang kepentingan buruh untuk benar-benar

terakomodir dalam proses perumusan dan penetapan upah dalam istitusi DPD adalah

tentang komposisi yang kurang seimbang antara komponen buruh dengan non buruh.

Menurut salah seorang mantan anggotan DPD yang berasal dari komponen Serikat

Buruh, ada dua kepentingan yang saling bertarung ketat dalam setiap proses

perumusan dan penentuan jumlah UMP/UMSP setiap tahunnya dalam institusi DPD

di Sumatera Utara. Pada kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2003, anggota DPD

propinsi Sumatera Utara sebanyak 25 orang dengan perincian; 7 orang dari Serikat

Buruh, 7 orang dari elemen pengusaha, 7 orang dari pemerintah dan 4 orang dari

Page 121: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

121

Dewan Pakar atau elemen akademisi. Tarik-menarik kepentingan paling kuat adalah

terjadi pada antara pihak serikat buruh dengan non serikat buruh. Walaupun

komponen yang terlibat sudah menganut keterwakilan berimbang, namun dalam

setiap proses perumusan dan penetapan, keempat komponen (SB, Pengusaha,

Pemerintah dan Dewan Pakar) langsung terpolarisasi dalam dua kubu yakni, kutub

serikat buruh dan non serikat buruh. Namun dalam setiap perumusan, kekuatan buruh

terpecah dalam beberapa bagian lagi sehingga melemahkan suara buruh untuk

berhadapan dengan komponen lain di luar buruh.

Besarnya suara Serikat Buruh dalam institusi DPD tidak menjadi jaminan

bahwasannya kepentingan dan suara buruh bisa mempengaruhi proses perumusan dan

penetapan jumlah UMP/UMSP. Dalam setiap proses perumusan dan penetapan upah,

suara buruh terbagi atas beberapa bagian yang saling berbeda satu sama lain. Prinsip

keterwakilan berimbang yang tujuannya agar dapat mengakomodir kepentingan

buruh menjadi lebih besar ternyata menjadi sia-sia ketika suara buruh sendiri

terpecah. Serikat buruh yang sejarah pembentukannya di dukung oleh pemerintah

cenderung lebih berpihak kepada pengusaha dan pemerintah dibandingkan

menyuarakan kepentingan buruh. Apalagi ketika dalam setiap proses pengambilan

keputusan, institusi DPD sering menggunakan mekanisme voting. Ketika mekanisme

ini dijalankan, melihat minimnya perwakilan dari buruh maka sudah dapat dipastikan

suara buruh selalu akan kalah.

Harus diakui juga bahwasannya kemampuan buruh dibandingkan komponen lain

menjadi satu masalah tersendiri yang menjadikan kekuatan buruh menjadi lemah.

Penguasaan terhadap materi konsep upah dari buruh masih lebih rendah dibandingkan

kapasitas komponen lain, seperti pengusaha, pemerintah dan dewan pakar. Dengan

kata lain, dalam setiap proses survey, analisis data hasil investigasi dan diskusi,

komponen diluar buruh masih sangat mendominasi. Dominasi bukan hanya dalam hal

penguasaan materi belaka, namun juga dalam kemampuan mempengaruhi antar

komponen. Walaupun sulit untuk dibuktikan tentang pengaruh tersebut, namun dalam

Page 122: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

122

banyak tahapan voting, suara buruh tidak pernah satu dalam mengusung kepentingan

jumlah upah sesuai dengan kebutuhan buruh secara umum.

Kenaikan upah dari tahun ke tahun yang tidak pernah sesuai dengan kebutuhan

riil buruh tentunya kontradiktif dengan keinginan buruh untuk terlibat dalam DPD

dan realitas keikutsertaan beberapa Serikat Buruh dalam DPD. Jika memang

keterlibatan buruh tidak mampu mengangkat jumlah UMP/UMPS, berarti ada

masalah lain yang lebih berpengaruh dibandingkan dari sekedar buruh terlibat dalam

DPD. Jika memang aspek kuantitas sudah terpenuhi, maka terdapat aspek kualitas

yang belum terpenuhi. Menurut Penelitian AKATIGA, salah satu aspek kurang

mampunya elemen buruh dalam mempengaruhi kinerja DPD adalah akibat dominasi

elemen pengusaha dan pemerintah yang terlalu besar sehingga meminggirkan

kepentingan dan kebutuhan buruh. Pada satu sisi, kelemahan buruh memang bisa

dipahami sehingga tidak terlalu maksimal dalam menyuarakan kepentingan buruh

dalam tubuh DPD. Elemen lain yang terdiri atas pemerintah dan pengusaha sering

sekali sulit untuk dibendung oleh elemen buruh.

Belum lagi jika dikaitkan dengan suara elemen buruh yang secara sengaja

diredam oleh elemen pengusaha dan pemerintah. Kepentingan pengusaha adalah

jelas. Mereka ingin jumlah kenaikan UMP/UMPS serendah mungkin sehingga tetap

dapat mengambil keuntungan yang sebesar mungkin dari tenaga buruh, sedangkan

kepentingan pemerintah adalah menciptakan stabilitas ekonomi, politik dan

pertimbangan yang lebih bersifat makro. Ditengah proses penetapan UMP/UMPS

yang terjadi selama ini, sangat jarang terdengar pertentangan yang sengit antara

elemen buruh dengan elemen pengusaha dan pemerintah. Walaupun elemen buruh

sudah terwakilkan dalam DPD, namun suara keras dan penentangan terhadap jumlah

yang ditetapkan dari tahun ke tahun tidak terdengar sama sekali dari elemen buruh.

Hal ini menunjukkan bahwasannya elemen buruh sendiri kurang kuat menyampaikan

kepentingan atas kenaikan upah yang sesuai dengan kebutuhan buruh.

Jika dikaitkan dengan keanggotaan dalam keterlibatan SB dan persepsinya

terhadap kepuasan proses penetapan UMP/UMPS, maka dapat dilihat bahwasannya

Page 123: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

123

buruh yang menyatakan puas lebih besar dari SPSI. Sebagai organisasi buruh jaman

orde baru, bagaimanapun respon buruh terhadap proses penetapan upah lebih banyak

yang menyatakan sudah puas. Dari 161 orang yang merupakan anggota SPSI, 25,5%

menyatakan proses penetapan UMP/UMPS sudah tepat, 43,5% menyatakan tidak,

dan 30,4% menyatakan tidak tahu. Dibandingkan dengan buruh yang berasal dari

SBMI dan SBSI, tentunya respon buruh dari SPSI tersebut lebih besar. Buruh yang

berasal dari SBMI hanya 12% yang menyatakan proses tersebut sudah tepat.

Tabel Uji Beda Serikat Buruh Terhadap Proses Penetapan UMP/UMPS

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 29,443 18 0,043 Likelihood Ratio 30,280 18 0,035 N of Valid Cases 505

Jika data dibawah dianalisis lebih lanjut, maka salah satu kesimpulan yang dapat

diambil adalah, respon buruh yang berasal dari berbagai Serikat Buruh tersebut

berbeda satu dengan lainnya. Uji Chi Square menunjukkan bahwasannnya antara

SPSI, SBSI, SBMI, PPMI, dan lainnya tersebut memiliki respon yang berbeda. Atau

dengan kata lain, beberapa serikat buruh tersebut memiliki perbedaan dalam

memandang proses penetapan UMP/UMPS.

Tabel Respon Terhadap Proses Penetapan UMP/UMPS

Berdasarkan Keanggotaan SB

Proses penetapan UMP/UMSP sudah tepat Keanggotaan

SB ya Tidak tidak tahu tidak

menjawab Total

SPSI 41 70 49 1 161 SBSI 4 20 5 - 29 PPMI 1 1 1 - 3 SBMI 22 106 51 6 185 lainnya 3 9 7 - 19 Bukan anggota SB

13 40 39 3 95

Page 124: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

124

tidak ada SB di Perusahaan

1 7 5 - 13

85 253 157 10 505

UPAH MURAH DAN JALAN LAIN UNTUK HIDUP Seperti yang disebutkan pada Bab sebelumnya, secara nominal, upah buruh

berdasarkan Upah Minimum tidak akan pernah mencukupi untuk membiayai

kehidupan sehari-hari buruh lajang apalagi buruh yang sudah berkeluarga. Upah

buruh yang ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan Gubernur dengan

kebijakan UMP/UMPS-nya selalu berada di bawah kebutuhan hidup buruh secara

layak. Jangankan untuk hidup layak, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari

secara normalpun dirasakan oleh buruh sudah sangat sulit. Untuk memenuhi

kebutuhan buruh tersebut, ada berbagai cara yang pernah dilakukan oleh buruh.

Tekanan kebutuhan buruh sehari-hari memaksa buruh untuk melakukan pekerjaan

lain yang sudah pasti akan membawa konsekuensi pada kesehatan buruh. Itupun

sebenarnya tidak dilakukan oleh seluruh buruh. Ada berbagai keterbatasan yang

membuat buruh tidak memiliki kesempatan untuk menambah pendapatannya. Salah

satunya adalah jam kerja yang memaksa buruh untuk tidak punya pilihan atau

alternatif lain untuk memperoleh penghasilan tambahan.

Dengan kondisi seperti itu, maka sudah dapat dipastikan posisi buruh akan

semakin tertekan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak pernah dijadikan

pertimbangan untuk menentukan upah buruh. Memang dalam lembaga penentu

jumlah UMP/UMPS, salah satu tahapan yang dilakukan adalah melakukan survey

untuk melihat harga-harga kebutuhan buruh. Namun jika dilihat realitasnya di

lapangan, jumlah yang ditetapkan tetap saja masih jauh dari kebutuhan yang

sebenarnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan standar atau acuan yang dijadikan dasar

penetapan UMP yang masih berdasarkan kehidupan hidup minimum. Jika

sebelumnya kebijakan pengupahan didasarkan pada standar kebutuhan fisik minimum

Page 125: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

125

(KFM), maka saat ini sudah pada kehidupan hidup minimum (KHM). Perubahan

tersebut ternyata jumlah upah sama sekali tidak mengubah secara signifikan terhadap

kebutuhan hidup buruh.

Standar kebutuhan hidup buruh yang dijadikan acuan penentuan jumlah upah

masih pada kisaran kebutuhan dasar semata, tanpa mempetimbangkan aspek

kebutuhan lain yang memang sudah mendesak untuk diperhitungkan. Selama ini,

acuan Dewan Pengupahan Daerah (DPD) dalam menentukan jumlah UMP masih

tetap pada kebutuhan dasar tersebut. Seakan pemerintah (melalui DPD dan Gubernur)

tidak memahami realitas yang sebenarnya, bahwa kebutuhan buruh bukan sekedar

kebutuhan untuk “asal” dapat hidup saja. Jelas dalam mekanisme yang ada, buruh

belum dianggap manusia yang sebenarnya, karena aspek sosiologis dan psikologis

buruh tidak dijadikan komponen yang penting dalam menentukan jumlah

UMP/UMPS.

Dasar penentuan upah minimum yang berlaku sepanjang orde baru hingga saat

ini adalah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan kemudian berubah menjad KHM

(Kebutuhan Hidup Minimum). Konsep KHM merupakan perbaikan dari konsep KFM

yang dianggap acuan lama yang sudah diterapkan sejak tahun 1959. Secara

kuantitatif, jumlah komponen yang ditetapkan dalam KHM sebenarnya lebih sedikit

dibandingkan dengan acuan KFM. Dari yang sebelumnya 47 komponen menjadi

hanya 31 komponen. Salah satu dasar perubahan tersebut adalah ada beberapa jenis

komponen yang secara kualitatif lebih baik dibandingkan dengan komponen yang ada

dalam KFM. Misalnya saja komponen pakaian. Dalam KFM tidak ada dibedakan

antara pakaian wanita dengan pria, sedangkan pada KHM, sudah dibedakan antara

celana atau rok kualitas sedang, kemeja tangan pendek atau blus kualitas sedang.

Pembedaan tersebut memang pada satu sisi sudah mengakomodir kebutuhan

sandang dan pakaian berdasarkan perspektif gender. Namun jika dilihat komponen

lainnya, ada banyak komponen yang sudah dipangkas. Misalnya saja tentang

kebutuhan makanan dan minuman. Pada KFM, buruh masih bisa menikmati beras

sebagai standar kebutuhan makanan pokok. Sedangkan pada KHM, buruh dipaksa

Page 126: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

126

untuk memilih antara beras, jagung atau sagu. Penurunan tersebut juga terjadi pada

komponen lain, seperti kebutuhan buruh daalam mengkonsumsi teh dan kopi. Pada

acuan KFM, buruh masih bisa menikmati 2 item tersebut, sedangkan pada KHM,

buruh dipaksa untuk memilih antara mengkonsumsi teh atau kopi. Standar seperti itu

tentunya merupakan penurunan dari acuan yang ada dalam KFM. Konsep KFM

sudah lebih baik sebagai acuan upah buruh. Dengan demikian, konsep KHM secara

kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingan acuan yang sebelumnya.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui survey, ada 23 komponen kebutuhan

buruh yang tercakup untuk melihat kebutuhan buruh dalam satu bulan. Hasil

perhitungan memperlihatkan bahwasannya hanya berdasarkan 23 komponen tersebut,

secara rata-rata kebutuhan buruh dalam satu bulan sudah mencapai Rp. 1.688.697,-.

Tentunya jumlah ini jauh lebih besar UMP yang ditetapkan oleh pemerintah selama

ini.

Hal itu dapat dilihat dari komponen kebutuhan fisik minimum (KFM) yang

sebelumnya menjadi acuan penentuan UMR. Dari 47 komponen KFM, yang terkait

dengan kebutuhan selain kebutuhan fisik dasar sangatlah minim. Misalnya saja

komponen rekreasi. Komponen tersebut malah digabungkan dengan kebutuhan lain-

lain yang hanya 15% dari total komponen KFM bersama dengan komponen

transportasi, pendidikan/bacaan, obat-obatan, sikat gigi, pasta gigi, dan lain-lain,

pengeluaran buruh dalam buruh dalam satu bulan sebesar Rp.650.000,- dan

kebutuhan pakaian, perumahan/alat dapur, bahan bakar/penerangan/peneduh,

makanan/minuman sebesar Rp.560.000,- maka hanya tinggal Rp.90.000,- uang yang

dibagi untuk biaya pendidikan, obat-obatan, transportasi, rekreasi dan kebutuhan

lainnya. Tentunya jumlah tersebut sangat tidak mampu memenuhi kebutuhan buruh

yang seharusnya. Bagaimana buruh bisa memenuhi kebutuhan akan obat-obatan,

tansportasi, sikat gigi, rekreasi dan lain-lain jika alokasi pengeluaran hanya sebesar

15% dari total pendapatan buruh. Jika pendapatan buruh dalam satu bulan sebesar

Rp.650.000, maka uang yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan obat-obacan,

sikat gigi, pendidikan, transportasi dan sebagainya hanya sebesar Rp.97.500,-. Jika

Page 127: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

127

uang sejumlah itu dibagi secara merata untuk 6 pos pengeluaran, maka alokasi untuk

masing-masing hanya sebesar Rp.16.250,-. Bagaimana mungkin dengan sejumlah

uang tersebut buruh bisa berrekreasi menghilangkan penat setelah selama satu bulan

bekerja. Apalagi jika seorang buruh sudah berkeluarga, maka biaya rekreasi

membutuhkan biaya yang lebih besar.

Standar penentuan jumlah upah memang sudah mengalami perubahan. Dari

yang hanya berdasarkan kebutuhan fisik semata, kemudian dikatakan meningkat

menjadi standar kehidupan minimum (KHM). Pada komponen lain-lain, seperti

transport, rekreasi, obat-obatan, pendidikan, pangkas rambut dan lain-lain, porsinya

diperbesar menjadi 20%. Jika pendapatan buruh tetap sebesar Rp.650.000,- dalam

satu bulan, maka alokasi pengeluaran untuk komponen lain-lain adalah sebesar

Rp.130.000,- yang akan dibagi untuk 6 atau lebih pos pengeluaran. Kalau sejumlah

uang tersebut dibagi secara merata, maka masing-masing pos pengeluaran hanya

mendapat kurang lebih Rp.18.000,- sampai dengan Rp.21.000,-.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, secara kualitatif komponen kebutuhan

hidup buruh sudah mengalami perbaikan dibandingkan dengan sebelumnya ketika

masih berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KHM). Salah satu pos pengelaran yang

porsinya diperbesar adalah komponen pengeluaran lain-lain sebesar 20% dari total

kebutuhan makanan dan minuman, perumahan dan fasilitas rumah tangga, dan

sandang/pakaian. Berdasarkan realitas kebutuhan hidup buruh saat ini, sangatlah tidak

mungkin jika alokasi alokasi untuk kebutuhan lain-lain tersebut hanya pada kisaran

Rp.18.000,- sampai dengan Rp.21.000,-.

Data yang diperoleh dari hasil FGD menunjukkan, bahwasannya kebutuhan

buruh untuk transportasi saja sebenarnya sudah lebih dari Rp.40.000,-, bahkan ada

yang mencapai Rp.90.000 per bulannya. Jika alokasi pengeluaran buruh untuk

kebutuhan lain-lain tersebut hanya Rp.130.000,- maka sisa yang untuk membiayai

kebutuhan lain selain transportasi hanyalah Rp.40.000,-. Bisa dibayangkan jika buruh

hanya memiliki uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan, dikat gigi,

kosmetik, pendidikan dan sebagainya.

Page 128: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

128

Jumlah upah yang ditetapkan oleh pemerintah (dalam hal ini gubernur melalui

hasil penelitian yang diusulkan DPD) memang sudah sangat tidak sesuai dengan

kebutuhan buruh yang sebenarnya. Prinsip dasar yang menjadi acuan penentuan

jumlah upah pokok sudah tidak sesuai dengan realitas ekonomi dan sosial buruh yang

sudah sangat tinggi. Jadi, boleh dikatakan tuntutan pemenuhan hak normatif seperti

yang dilakukan selama ini oleh elemen buruh bersama elemen lain sudah tidak

mampu mengatasi masalah yang sebenarnya.

Sudah sejak tahun diberlakukannya kebijakan UMP sampai sekarang, terlihat

kenaikan upah memang sudah tidak mencukupi lagi bagi pemenuhan kebutuhan

buruh. Jumlah upah yang ditetapkan oleh pemerintah seperti merangkak pelan,

sedangkan angka inflasi, kenaikan harga barang dan sebagainya melaju cepat

mendahului pendapatan buruh. Jika pemerintah tetap berpegang pada prinsip lama,

yakni dengan konsep Upah Minimum, maka sudah dapat dipastikan kondisi buruh

akan semakin tertekan. Tertekan bukan saja diakibatkan oleh kondisi kerja yang

sangat tidak manusiawi, namun juga tekanan dari kenaikan kebutuhan sehari-hari di

pasar-pasar yang sudah semakin tinggi.

Hal itu semakin tampak ketika beberapa variabel karakteristik buruh

dihubungkan dengan kondisi upah yang ada. Dari segi lama bekerja saja dapat dilihat

bahwasannya masih banyak upah buruh yang berada di bawah UMP, walaupun masa

kerja buruh sudah lebih dari 4 tahun. Walaupun sebahagian besar responden buruh

sudah menerima upah sama dengan UMP ataupun lebih besar dari UMP, namun tidak

dapat dipungkiri dari angka ini, bahwasannya penerapan UMP belum sepenuhnya

dijalankan. Hal ini dapat diartikan sebagai tindakan ketidakpatuhan dari pengusaha

untuk secara otomatis memberikan upah sebagaimana yang sudah tercantum didalam

peraturan ketenagakerjaan bahwasannya walaupun buruh bekerja dalam waktu 0

(null) tahun sudah harus menerima upah pokok sebesar UMP.

Page 129: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

129

TabelUpah Minimum Propinsi Berdasarkan Masa Kerja

Kategorial UMP <UMP UMP >UMP

Total

<1 tahun

1 18 6 25

1-4 tahun

36 162 60 258

kategori masa kerja

> 4 tahun

20 90 112 222

Total 57 270 178 505 Secara kasat mata, jumlah buruh dalam masa kerja >4 tahun yang menerima

upah sesuai atau >UMP sudah cukup besar, yakni sebanyak 112 orang. Namun jika

dilihat dari angka korelasi antara masa kerja dengan jumlah UMP, ternyata hasilnya

tidak cukup besar. Walaupun secara nyata terdapat hubungan antar masa kerja dengan

jumlah upah, besarnya hanya sebesar 0,275. Angka sebesar itu memiliki arti

hubungan yang sangat rendah. Walaupun perbedaan kategori upah memiliki

perbedaan secara signifikan dengan kategori UMP, namun tidak berarti hubungan

antara masa kerja dengan jumlah upah menjadi besar. Dengan kata lain, masa kerja

memang berhubungan dengan semakin tingginya upah yang diterima buruh, namun

hubungan tersebut tidaklah tinggi. Artinya, setiap pertambahan masa kerja buruh dari

0 (nol) tahun sampai lebih dari 4 tahun belum tentu akan mempertinggi upah yang

diterima oleh buruh.

Jika dihubungkan dengan tingkat pendidikan, terlihat ada perbedaannya

terhadap jumlah upah atau kategori upah berdasarkan UMP. Sebahagian besar buruh

yang menerima upah di sesuai UMP adalah buruh yang berpendidikan SMA, yakni

sebesar 355 orang, sedangkan buruh berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD dan

SLTP adalah sebesar 11, 13 dan 95 orang. Namun jika dilihat dari sisi umur,

hubungannya dengan upah tidaklah terlalu signifikan. Walaupun secara statistik

terlihat ada hubungan antara umur dengan jumlah upah pokok yang diterima, namun

hubungan tersebut tidaklah pasti (hanya sebesar 0,250). Artinya, semakin tua usia

Page 130: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

130

buruh, belum tentu jumlah upah yang diterima akan semakin besar. Padahal dari hasil

korelasi antara usia dengan masa kerja, terlihat sangatlah signifikan. Dengan kata

lain, semakin tua usia buruh, maka semakin panjang masa kerja yang sudah dia

lewati. Hal ini menunjukkan, pada umumnya buruh rata-rata masuk kerja pada usia

muda, dan sangat jarang ditemukan yang masuk pada usia dewasa atau tua. Jika dua

hubungan tersebut dikombinasikan, terlihat bahwasannya masa kerja dan usia buruh

tidaklah berkorelasi secara meyakinkan terhadap kenaikan upah buruh. Salah satu

item yang kelihatan ditiadakan dalam komponen upah adalah lemahnya penerapan

upah berkala. Jika komponen upah berkala dijalankan sebagaimana mestinya,

semakin lama buruh bekerja, tentunya akan berkorelasi terhadap jumlah kenaikan

upah. Namun hal tersebut tidak ditemukan dari hasil penelitian ini.

Efektifkah Keberadaan Serikat Buruh di Dewan Pengupahan? Selama dua tahun terakhir, keberadaan serikat buruh independen dan

serikat pekerja lokal sudah mulai dilibatkan dalam proses perumusan upah di

daerah, baik itu di propinsi maupun di kabupaten/kota. Pada satu sisi

keterlibatan tersebut menjadi indikasi bahwasannya serikat buruh yang selama

ini kritis terhadap pemerintah maupun pengusaha.

Selama ini serikat buruh/pekerja yang kritis cukup mendapat tekanan dari

pemerintah maupun pengusaha. Serikat buruh/pekerja independen yang kritis tersebut

dianggap terlalu banyak mengganggu iklim investasi dengan aksi-aksi yang

mengangkat persoalan struktural. Pengakuan tersebut pada awalnya diterima secara

positif oleh serikat buruh, dikarenakan selama ini serikat buruh kritis lebih banyak

memainkan strategi di luar sistem sehingga tidak dapat mengetahui proses perumusan

dan penetapan upah yang sebenarnya.

Pada tahun 2005, khususnya di Kota Medan dan Sumatera Utara terdapat

beberapa serikat buruh/pekerja yang cukup kritis terhadap pemerintah duduk dalam

Page 131: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

131

dewan pengupahan. Tentunya posisi tersebut menimbulkan beberapa perdebatan di

kalangan pengurus maupun anggota serikat buruh. Keberadaan serikat buruh

independen pada satu sisi harus ditempatkan secara permanen di luar sistem, karena

sistem yang ada saat ini tidak dapat dipercaya dan cenderung meminggirkan

kepentingan-kepentingan buruh yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari

keterlibatan beberapa serikat buruh di tahun-tahun sebelumnya yang tidak dapat

mewarnai proses perumusan dan penetapan upah sesuai dengan kepentingan dan

kebutuhan buruh.

Atas dasar tersebutlah keberadaan serikat buruh kemudian melakukan

pertimbangan secara serius terhadap tawaran tersebut. Namun di sisi lain, beberapa

pihak di serikat buruh beranggapan bahwasannya tawaran untuk duduk di dewan

pengupahan sangat positif bagi serikat. Keberadaan serikat buruh mandiri di dewan

pengupahan dapat digunakan untuk merekam proses yang terjadi di dewan

pengupahan. Selama ini serikat buruh kritis kurang mengetahui proses dan

mekanisme yang terjadi didalam institusi tersebut, sehingga dengan masuknya utusan

serikat buruh maka segala perkembangan dan proses yang terjadi di dewan

pengupahan dapat diketahui.

Kedua, dengan terlibat di dewan pengupahan maka setidaknya serikat buruh

sejati dapat memberi warna ataupun mempengaruhi proses kerja dewan sehingga

beberapa kepentingan dan kebutuhan buruh yang selama ini diabaikan dapat

terakomodir. Selama ini yang diketahui oleh serikat buruh kritis masih samar-samar

tentang mekanisme yang dijalankan oleh dewan pengupahan. Dengan masuk ke

dalam sistem tersebut maka hal-hal teknis yang selama ini hanya didengar dari luar

dapat diketahui dengan jelas.

Untuk kepentingan yang kedua memang cenderung sulit untuk dijalankan oleh

utusan yang ada dewan pengupahan, sebab selama ini dari sisi jumlah, serikat buruh

sendiri jumlahnya sangat kecil di dewan sehingga akan sulit untuk mempengaruhi

kerja-kerja di dewan pengupahan. Apalagi jika dilihat pengalaman dari pemerintah

Page 132: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

132

dan pengusaha yang sudah belasan tahun duduk di dewan pengupahan. Pengalaman

panjang seperti itu tentunya dapat digunakan oleh pemerintah, pengusaha dan serikat

pekerja kuning sebagai strategi menutup kepentingan serikat buruh kritis. Jika hal itu

yang terjadi maka keberadaan serikat buruh kritis akan semakin sulit untuk

memasukkan kepentingan basis-basis serikat yang sudah sangat tertekan.

Satu kasus mungkin dapat dijabarkan dalam penelitian ini, yakni tentang

keberadaan SBMI di Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA) Kota Medan. Sebagai

sebuah institusi pengupahan yang masih baru terbentuk di kota Medan, sebenarnya

kesempatan utusan SBMI cukup strategis sehingga dapat memasukkan kepentingan-

kepentingan SBMI yang selama ini cenderung lebih banyak melakukan pengkritisan

dari luar sistem.

Secara garis besar ada beberapa alasan yang menguatkan SBMI untuk

mendudukkan utusannya dalam dewan pengupahan kota Medan. Pertama, dewan

pengupahan kota Medan masih baru terbentuk sehingga kesempatan untuk

mempengaruhi perumusan sistem kerja sangatlah terbuka. Peran tersebut dapat

dimainkan dikarenakan pada awal masa kerja, Dewan Pengupahan Kota Medan

belum memiliki format kerja yang jelas, sedangkan petunjuk pelaksanaan dari

Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 minim sekali mengatur hal-hal teknis

penuntun kerja dewan pengupahan.

Dengan kekosongan format kerja tersebut maka SBMI berharap akan dapat

memasukkan beberapa point mekanisme kerja yang sesuai dengan kepentingan

buruh. Selama ini, seperti yang dilakukan di dewan pengupahan propinsi, terdapat

mekanisme kerja yang dirasakan tidak adil dan memanipulasi buruh. Antara lain

tentang mekanisme kerja survey, proses pembahasan maupun pada saat pengambilan

keputusan. Beberapa persoalan yang timpang, tidak adil dan tidak transparan dalam

kerja-kerja dewan pengupahan kemungkinan akan dapat diperbaiki jika masukan dari

serikat buruh dapat tertampung dalam proses penyusunan mekanisme kerja dewan

pengupahan.

Page 133: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

133

Tujuan selanjutnya adalah yang paling minimal dapat dilakukan utusan serikat

buruh di dewan pengupahan, yakni sekedar memahami mekanisme kerja dari dewan

pengupahan. Selama ini serikat buruh kritis, seperti SBMI lebih banyak

mendengarkan persoalan-persoalan pengupahan hanya dari media dan beberapa

informasi jaringan yang ikut dalam dewan pengupahan. Strategi kampanye dan

publikasi maupun aksi tentang pengupahan yang dilaksanakan selama ini masih

didasarkan pada sumber-sumber data dan informasi skunder.

Melalui pelibatan dalam dewan pengupahan, maka informasi dan data terkait

dengan mekanisme atau proses kerja, pengambilan keputusan maupun penetapan

upah minimum dapat diketahui dengan jelas. Memasukkan utusan ke dalam dewan

pengupahan dianggap sebagai proses penelitian secara terlibat sehingga informasi dan

data yang diperoleh tidak diragukan lagi validitas dan objektivitasnya. Informasi dan

data tersebut akan lebih mengena nantinya ketika akan dikemas dalam bentuk isu

pengupahan, baik itu yang akan dijadikan strategi pengorganisasian serikat buruh,

kampanye, dan publikasi persoalan perburuhan.

Dari dua tujuan yang ditetapkan oleh serikat buruh tersebut, ternyata dalam

pelaksanaanya hanya satu yang terpenuhi, yakni menjadikan keterlibatan SBMI

sebagai sebuah penelitian tentang kerja-kerja yang dilakukan oleh dewan

pengupahan. Dari awal terbentuknya dewan pengupahan, proses survey dan

pembahasan, sampai mekanisme pengambilan keputusan diperoleh secara lengkap

oleh serikat buruh. Namun tujuan yang prinsipil tentang keberadaan serikat buruh di

dewan pengupahan jelas masih sangat sulit untuk dilakukan, disebabkan di dalam

institusi tersebut telah terkondisi proses dominasi, hegemoni dari pihak-pihak

mayoritas terhadap pihak-pihak yang terlemah dan terkecil dari sisi kuantitas.

Dalam kerja-kerja dewan pengupahan, keberadaan serikat buruh kritis dapat

dikatakan sulit bergerak. Hal itu dikarenakan kondisi institusi dewan pengupahan

sengaja diciptakan bersifat intimidatif, sehingga suara-suara kritis dan berbeda

terhadap suara mayoritas dengan mudah dapat dianulir ataupun ditiadakan. Dalam

Page 134: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

134

beberapa tahapan utusan dari serikat buruh merasa telah dilangkahi hak-haknya

sebagai salah satu komponen dewan pengupahan. Hal itu salah satunya dapat dilihat

dari proses survey. Kecilnya jumlah utusan serikat buruh kritis dalam tim survey yang

dibentuk oleh dewan merupakan salah satu titik lemah dari serikat buruh. Dari

beberapa tim survey yang dibentuk, serikat buruh kritis hanya bisa menempatkan

utusannya di satu atau dua tim saja. Dalam tim dimana utusan serikat buruh kritis

berada sebenarnya pengawasan terhadap kerja-kerja tim dapat dikontrol dengan

maksimal karena tim yang terdiri atas pengusaha, pemerintah dan serikat buruh dapat

bekerja secara kolektif dalam melakukan survey di satu pasar tradisional. Namun

untuk tim survey lainnya, proses kontrol sulit untuk dilakukan karena sebahagian

besar berasal dari utusan yang selama ini kurang berpihak terhadap buruh.

Keyaninan serikat buruh untuk menerapkan proses survey yang adil ternyata

cukup sulit untuk dilakukan. Walaupun tim survey merupakan gabungan 3 unsur

tripartit yang bekerja secara kolektif namun pada prakteknya tidak dapat dijalankan

dengan baik. Hal itu disebabkan adanya kesempatan tim untuk mengatur sendiri

metode kerja survey di pasar tradisional. Dari pengamatan yang dilakukan di dewan

pengupahan kota dan propinsi di wilayah Sumatera Utara, tim survey dapat bekerja

secara terpisah. Ketika terdapat 2 atau lebih pasar yang akan disurvey maka yang

lebih didorong untuk melakukan survey adalah individu-individu dalam tim tersebut.

Dengan demikian, tim tidak bekerja secara bersama-sama namun terjadi penugasan-

penugasan pribadi yang ada dalam tim.

Mekanisme kerja survey tersebut tentunya tidak dapat dikatakan menyalahi

aturan, karena aturan teknis survey tidak dijelaskan secara cukup detail dalam

Permennakertrans No. 17 Tahun 2005 tentang Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup

Layak. Persoalan-persoalan seperti inilah yang tampaknya mendominasi kaburnya

kerja-kerja dewan pengupahan daerah.

Selain dari sisi kebijakan pengupahan yang dirasakan belum adil, ketidakjelasan

aturan teknis kerja dewan pengupahan tampaknya menjadi persoalan yang harus

Page 135: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

135

diperbaiki. Dari pengalaman yang terjadi di dewan pengupahan propinsi Sumatera

Utara dan Kota Medan, ketiadaan ataupun ketidakjelasan aturan pelaksanaan kerja

dewan pengupahan ibarat sebagai sebuah lobang besar yang dapat dimanfaatkan oleh

komponen terkuat di dewan pengupahan. Salah satunya adalah mekanisme analisis

dan pembahasan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Aturan dalam Perpres

No 17 Tahun 2004 hanya mengatur tentang proses pembahasan hasil survey yang

dilakukan oleh dewan pengupahan dengan koordinasi pemerintah, terutama Badan

Pusat Statistik (BPS). Namun pada prakteknya ternyata tidaklah demikian. Unsur

sekretariat yang merupakan komponen pendukung administrasi dewan pengupahan

ternyata berperan lebih besar dibandingkan Badan Pusat Statistik. Hal ini dapat

dibuktikan ketika ternyata hasil survey yang dilakukan oleh tim survey ternyata

diolah oleh anggota sekretariat yang sebahagian besar dari pemerintahan daerah

(Pemda) dan Dinas Tenaga kerja yang notabene saat ini berada di bawah pemerintah

daerah.

Demikian juga dalam proses pembahasan hasil analisis yang dilakukan oleh

forum rapat dewan pengupahan. Mekanisme yang dijalankan oleh dewan pengupahan

Kota Medan dan Propinsi Sumatera Utara cenderung “asal-asalan” dan tidak

sistematis. Dalam setiap rapat dewan pengupahan terjadi pengulangan pembahasan

sehingga tidak jelas sistematika ataupun alur yang jelas. Pengalaman di dewan

pengupahan kota Medan, sistematika pembahasan hampir selurunya dilakukan oleh

pimpinan dewan pengupahan, dalam hal ini oleh unsur pemerintah daerah (utusan

dari Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi). Kemudian alur yang disusun oleh

pimpinan dewan pengupahan ditawarkan kepada anggota dewan dalam rapat pleno

yang dihadiri oleh seluruh anggota. Hal ini berlangsung terus menerus dalam setiap

rapat dewan.

Konsekuensi dari kacaunya alur pembahasan tersebut tidak dianggap terlalu

serius oleh seluruh unsur di dewan pengupahan terutama ketua dewan. Padahal

dampaknya bagi proses pembahasan secara umum sangatlah besar karena telah

Page 136: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

136

membuka peluang perubahan yang terus menerus terhadap aturan main pembahasan.

Salah satu dampak paling besar namun tidak dianggap serius adalah tentang hak suara

dan berpendapat. Sebelum pembahasan hasil survey dilakukan, tidak ada kesepakatan

dari dewan tentang bagaimana aturan main hak suara dan pendapat, sehingga masing-

masing institusi yang terlibat dapat memberikan pendapat atau melakukan ulasan

terhadap hasil survey. Namun kemudian dalam rapat-rapat selanjutnya, muncul suara-

suara dari anggota dewan yang meminta agar pendapat dan suara ditentukan oleh

unsur tripartit yang ada dalam dewan pengupahan. Dengan demikian, pemerintah,

pengusaha, serikat buruh/pekerja dan unsur pakar hanya memiliki satu pendapat

ataupun suara. Usulan ini tentunya menimbulkan polemik di kalangan anggota dewan

sebab muncul secara tiba-tiba dan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk permainan

ataupun strategi satu komponen untuk meniadakan ataupun meminimalisasi peran

institusi lain.

Ketidakjelasan mekanisme pembahasan di dewan pengupahan juga dapat

dikaitkan dengan kurang jelasnya penggunaan panduan maupun prinsip-prinsip

pembahasan. Padahal, keberadaan dewan pengupahan jelas-jelas harus menggunakan

dua aturan pengupahan, yakni Perpres No. 107 Tahun 2004 dan Permennakertrans

No. 17 Tahun 2005. Realitanya, dua aturan utama tersebut sangat minim dipatuhi

oleh dewan pengupahan. Salah satunya adalah tentang penggunaan standar KHL.

Sudah jelas bahwasannya berdasarkan dua aturan tersebut dewan pengupahan

hanyalah memiliki tugas mengembangkan sistem pengupahan dan

merekomendasikan upah minimum yang akan diberlakukan selama satu tahun kepada

kepala daerah. Namun beberapa anggota dewan pengupahan malah memasukkan

prinsip tahapan pencapaian KHL menjadi salah satu tugas dari dewan pengupahan.

Usulan untuk memasukkan prinsip pencapaian KHL menjadi panduan kerja

dewan pengupahan tentunya adalah salah satu bentuk kesalahan interpretasi dari

unsur dewan pengupahan, karena tahapan pencapaian KHL menjadi kewenangan

Gubernur. Tidak ada hak dewan pengupahan untuk merubah hasil survey ataupun

Page 137: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

137

menegasikan angka yang muncul dari proses pembahasan dewan. Masuknya

pemikiran untuk menggunakan prinsip tahapan pencapaian KHL dianggap sebagai

strategi beberapa unsur dewan pengupahan untuk meniadakan hasil survey yang

merupakan angka paling riil untuk upah minimum.

Tentunya usulan tersebut kemudian dibahas kembali oleh dewan pengupahan.

Jika prinsip tersebut ditetapkan di awal rapat dewan, maka usulan-usulan yang

menyalahi peraturan jelas langsung akan ditolak oleh forum dewan sehingga tidak

mengganggu alur pembahasan. Akhirnya, kesalahan paling fatal akibat ketiadaan

mekanisme kerja pembahasan di dewan pengupahan adalah ketika dewan meniadakan

hasil survey sebagai nilai patokan dasar pembahasan upah.

Kejadian seperti ini tampaknya di tahun-tahun depan akan terjadi jika tidak ada

ketegasan dari pemerintah dan dorongan dari serikat buruh kritis. Pada tahun-tahun

sebelumnya, yang disebut dengan kenaikan upah minimum sudah cukup menyalah

karena terjadi bukanlah kenaikan, namun sekedar penyesuan upah minimum yang

didasarkan oleh inflasi. Pola seperti itu tampaknya masih terjadi pada proses

perumusan dan penetapan upah minimum tahun 2006.

Pada awalnya, seluruh anggota dewan pengupahan sepakat bahwasannya

landasan penetapan upah adalah hasil survey KHL yang dilakukan pada bulan

September 2006 yakni setelah dirata-ratakan sebesar Rp. 799.000,-. Kemudian sesuai

dengan Permennakertrans No. 17 Tahun 2005, angka tersebut akan ditambahkan

dengan inflasi berjalan dan yang akan berlaku pada tahun berikutnya. Setelah itu

beberapa pertimbangan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan

perusahaan dimasukkan dalam pembahasan. Ternyata pembahasan di dewan

pengupahan tidak seperti yang tertera dalam peraturan tersebut.

Secara khusus, komponen pengusaha memberi argumentasi, bahwasannya

angka hasil survey KHL tidak dapat mentah-mentah digunakan sebagai patokan

pembahasan upah minimum. Argumentasi tersebut jelas-jelas sudah melanggar

Page 138: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

138

kesepakatan awal dan sudah menyalahi aturan resmi pengupahan yang mensyaratkan

dasar pembahasan upah minimum dari hasil survey KHL. Namun yang patut

disayangkan, forum ternyata menyediakan waktu kepada pihak-pihak yang memberi

argumentasi menyimpang tersebut. Ditambah lagi, kalangan akademisi dan pakar

yang sebenarnya harus memberikan referensi akademis ternyata malah mendukung

argumentasi tersebut dengan memberi perhitungan-perhitungan dan logika

penyesuaian dan bukan kenaikan.

Alasan yang dikemukakan oleh unsur pengusaha ternyata masih menggunakan

landasan-landasan lama pada tahun-tahun sebelumnya, yakni menjadikan inflasi

sebagai variabel utama perubahan upah minimum. Dari hasil analisis dan pemetaan

kepentingan diantara unsur yang ada di dewan pengupahan, pihak pengusaha sendiri

sebenarnya sudah terjebak dengan kesepakatan pertama dimana upah minimum harus

didasarkan pada hasil survey KHL, sehingga dianggap akan memberatkan dunia

usaha di kota Medan.

Munculnya angka Rp. 799.000,- sebagai hasil perhitungan survey KHL

dianggap oleh pengusaha tidaklah masuk akal untuk diterapkan, sehingga harus

digunakan mekanisme lama yang lebih realistis. Hal itu diperparah lagi dengan

adanya beberapa argumentasi dari beberapa anggota serikat pekerja, pemerintah dan

pakar yang menyatakan bahwa inflasi sudah merupakan representasi dari perubahan

ekonomi lokal, sehingga patut dijadikan faktor utama pembahasan upah minimum.

Simplifikasi seperti itu sesungguhnya merupakan proses pembodohan yang

sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Unsur pemerintah dan terutama pengusaha

sendiri dari situasi ini ternyata tidak siap untuk memberlakukan aturan pengupahan.

Namun yang harus dilihat dari semuanya adalah, kepentingan dunia usaha dan

pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kondusifitas iklim investasi, stabilitas

ekonomi lokal dan nasional masih menjadi tujuan utama proses penetapan upah

minimum. Namun kepentingan tersebut selalu ditutupi dengan pertimbangan-

pertimbangan sulit untuk dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari

Page 139: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

139

seluruh argumentasi yang diungkapkan, tidak satupun yang bersifat membela

kepentingan buruh yang sudah semakin tertekan.

Keseluruhan kesalahan dan penyimpangan yang berlangsung di dalam dewan

pengupahan ini jelas mendapat penentangan dari unsur serikat buruh kritis. Namun

penolakan dan kritikan tersebut tampaknya tidak diakomodir secara proporsional oleh

sebahagian besar anggota maupun pemimpin dewan pengupahan. Apalagi dengan

jumlah utusan yang sangat minim maka serikat buruh kritis semakin sulit melakukan

pelurusan proses pembahasan.

Kesulitan tersebut terjadi dalam beberapa aspek dan tahapan perumusan

maupun penetapan upah. Pertama, dari sisi jumlah unsur serikat buruh kritis kalah

jauh dengan unsur lain sehingga akan selalu kalah jika pengambilan keputusan

didasarkan pada logika mayoritas. Kedua, minimnya jumlah anggota dari unsur

serikat buruh kritis akan berdampak pada kecilnya keterlibatan utusan serikat buruh

dalam setiap kerja-kerja komisi ataupun tim. Ketiga, praksis utusan serikat buruh

kritis tidak mendapat dukungan dari unsur lainnya akibat kedekatan unsur-unsur lain,

seperti pengusaha, serikat pekerja kuning, pemerintah, dan akademisi. Kekuatan

gabungan beberapa unsur tersebut jelas menimbulkan kondisi intimidatif yang sangat

besar pengaruhnya terhadap utusan serikat buruh kritis.

Keempat, ketiadaan mekanisme yang detail tentang kerja-kerja dewan

pengupahan ternyata merugikan serikat buruh pada umumnya, karena dengan

demikian alur perumusan sangat kondisional sifatnya dan menegasikan beberapa

aturan dan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Untuk memperbaiki kondisi ini,

mau tidak mau dewan pengupahan dan pemerintah daerah harus segera melakukan

perubahan dengan cara menyusun sistem pengupahan dan mekanisme perumusan

yang sistematis.

Jauh hari sebelum ceremonial perumusan dan penetapan upah yang biasanya

berlangsung mulai dari bulan September sampai dengan Desember, dewan

Page 140: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

140

pengupahan harus bekerja lebih awal sehingga memiliki banyak waktu untuk

merumuskan sistematika dan proses pembahasan upah minimum yang berkeadilan

bagi seluruh komponen yang terlibat.

Seluruh proses yang berlangsung di dewan pengupahan pada saat ini menjadi

indikasi awal bahwasannya posisi buruh sangatlah lemah berhadapan dengan unsur

dewan lain yang dari segi kuantitas tidak seimbang. Walaupun utusan dari serikat

buruh memiliki kemampuan dan pemahaman yang cukup luas dan mendalam tentang

sistem pengupahan, namun itu tidak menjamin kepentingan buruh dapat terakomodir.

Kuantitas keanggotaan di dewan pengupahan masih menjadi landasan perumusan

upah minimum, sehingga proses demokratisasi yang berlangsung pun cenderung pada

penindasan mayoritas terhadap minoritas.

Sulitnya menyuarakan kepentingan buruh berhadapan dengan komponen dewan

pengupahan lainnya cukup menjadi alasan bahwasannya keberadaan serikat buruh,

khususnya serikat buruh kritis kurang efektif. Jika tidak ada mekanisme dan

sistematika kerja yang jelas di dewan pengupahan, maka keberadaan serikat buruh

kritis hanya menjadi pelengkap semata tanpa memiliki kontribusi yang signifikan

terhadap perubahan nasib buruh.

Akhirnya, kepentingan pemerintah untuk menjadikan dewan pengupahan

sebagai alat legitimasi upah minimum tampaknya sudah tercapai. Keberadaan serikat

buruh hanyalah pelengkap untuk membentuk image bahwasannya upah minimum

sudah ditetapkan secara demokratis dan memenuhi syarat-sarat legal. Tetap saja

kepentingan pertumbuhan ekonomi, peningkatan investiasi dan stabilitas ekonomi

menjadi tujuan utama dengan meminggirkan kepentingan buruh yang saat ini sudah

semakin tertekan akibat liberalisasi ekonomi.

Page 141: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

141

����

Sistem Pengupahan yang Tidak Adil

Tujuan utama dilakukannya penelitian ini bukan sekedar memberi gambaran secara lebih luas tentang kebijakan upah, penerapan aturan upah dalam sektor industri, beserta hubunganya dengan realitas kehidupan buruh. Namun yang ingin dicapai adalah bagaimana melihat kebijakan upah yang diterapkan selama ini, prinsip yang mendasarinya, serta tekanan yang bersifat struktural lainnya telah menjadikan nasib buruh sampai saat ini belum beranjak menuju perbaikan yang lebih berarti.

Kacaunya sistem pengupahan dan minimnya aspek keadilan kebijakan pengupahan tersebut ternyata belum disoroti secara serius oleh elemen demokrasi di Indonesia. Memang sejak kebijakan upah minimum diberlakukan secara nasional, perdebatan kebijakan pengupahan tidak pernah berhenti. Namun perdebatan tersebut masih sekedar pengkritisan pelaksanaan sistem, maupun terhadap beberapa konsep dasar upah dan belum dilanjutkan dengan perubahan terhadap kebijakan yang sebelumnya dianggap sebagai kendala upaya perbaikan nasib pekerja.

Perdebatan yang bermuara pada keinginan perubahan kebijakan yang selama

ini berlangsung masih bersifat incremental (tambal sulam)41. Sejak kebijakan upah

minimuum dijalankan, praktis sebenarnya tidak ada perubahan yang cukup mendasar

dan komprehensif. Lihat saja misalnya kebijakan pergeseran kewenangan

41 Abidin, Jaenal, Kedaulatan Buruh, sebuah makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengupahan yang diselenggarakan oleh Kelompok Pelita Sejahtera, Medan, 2004. Pada makalah ini dikatakan, perubahan kebijakan yang berlangsung saat ini bersifat incremental, sehingga hanya cocok pada jangka pendek. Pada jangka panjang harus ada pemikiran yang komprehensif dan menyentuh akar masalah oleh gerakan buruh dalam meretas persoalan perburuhan.

Page 142: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

142

pengupahan dari pusat ke daerah, yang sebenarnya hanya merupakan konsekuensi

formal dari diberlakukannya undang-undang desentralisasi atau otonomi daerah.

Pergeseran kewenangan tersebut di tingkat substansial tidak merubah persoalan

utama pengupahan.

Proses demokratisasi pengupahan masih dilihat secara parsial, namun masih

tetap dalam ruang kebijakan yang sama. Fokus persoalan yang selama ini

diasumsikan menjadi substansi pengupahan masih pada aspek konsistensi, ketaatan

pemerintah dan pengusaha dalam menerapkan kebijakan perburuhan, termasuk aturan

pengupahan, redefinisi konsep dasar upah, maupun pada level peran institusi

stakeholder pengupahan. Tuntutan yang diusung oleh elemen pergerakan buruh

masih pada seputar tekanan kepada pemerintah dan pengusaha untuk menjalankan

aturan pengupahan tanpa melihat sisi fundamen politik ekonomi yang mendasari

berbagai kebijakan upah buruh.

Contoh paling jelas dalam melihat periferal-nya elemen perburuhan dalam

persoalan pengupahan adalah yang diungkapkan oleh ILO (International Labour

Organization). Laporan organisasi buruh internasional tersebut cenderung melihat

persoalan pengupahan pada level marginal. Ada sebelas konklusi yang telah mereka

peroleh dalam memandang sistem pengupahan di Indonesia.

1. Rendahnya secara relatif jumlah upah pada berbagai jenis pekerjaan, dan

turunnya upah riil berdasarkan kenaikan harga pasar kebutuhan.

2. Lemahnya kemampuan/kekuatan tawar serikat buruh

3. Ketidakakuratan dan inkonsistensi proses koleksi data dalam menyusun

jumlah kebutuhan fisik minimum (sekarang kebutuhan hidup minimum)

sebagai dasar kebijakan upah minimum

4. Jenjang atau rasio yang terlalu jauh antara level upah tertinggi dan upah

minimum

5. Tidak adanya sumberdaya manusia, atau staf yang bekerja secara penuh pada

komisi pengupahan nasional dan propinsi dan rendahnya pemahaman,

kemampuan teknis tentang administrasi pengupahan

Page 143: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

143

6. Di tingkat pabrik, kenaikan upah belum sepenuhnya dipengaruhi oleh

peningkatan produktivitas

7. Regulasi pengupahan yang diberlakukan masih menggunakan standar umum

yang dijalankan oleh perusahaan

8. Terlalu banyaknya regulasi pengupahan yang pelaksanaannya tidak

transparan

9. Kegagalan beberapa pemberi kerja untuk menerapkan berbagai aturan dan

regulasi pengupahan, dan juga rendahnya penegakan hukum pengupahan

10. Banyaknya perusahaan yang tidak memiliki skema strata dan struktur

penggajian yang komprehensif

11. Tidak dijalankannya evaluasi kerja (job evaluation) di perusahaan-

perusahaan besar.42

Identifikasi persoalan pengupahan tersebut sebenarnya riil dihadapi oleh buruh. Demikian juga dengan berbagai analisis teoritik yang digunakan dalam memahami dan mengkritik sistem pengupahan. Ada beberapa kerangka teoritik yang sering digunakan, antara lain; kerangka teoritik pertama adalah yang mempertimbangan sisi permintaan tenaga kerja sebagai dasar penentuan tingkat upah sektor industri. Sisi permintaan menekankan berbagai aspek kompetisi, motif maupun tekanan ekonomi yang mempengaruhi tingkat upah. Tidak ada pertimbangan lain dalam prinsip seperti ini. Sistem permintaan tenaga kerja menawarkan satu konsep yang melulu berdasarkan pertimbangan ekonomi semata. Jika demikian, maka buruh atau pekerja dianggap sebagai salah satu komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha dalam melakukan proses produksi. Dengan demikian, kemampuan pengusaha untuk memproduksi suatu barang tergantung dari kemampuannya menyediakan modal dan membeli tenaga kerja dalam kuantitas tertentu. Jika dalam waktu tertentu dan nilai atau harga dari suatu produk tertentu pengusaha hanya mampu memperkerjakan sejumlah tenaga kerja atau buruh, maka tingkat upah yang diberikan kepada buruh adalah sebesar hasil pengurangan hasil penjualan produk dalam volume tertentu dengan modal yang dikeluarkan. Aspek kedua adalah pertimbangan penawaran tenaga. Jika pada sisi

permintaan dasar pertimbangan utamanya adalah kompetisi, tekanan dan motif

ekonomi, maka pada sisi penawaran tenaga kerja, tekanan diletakkan pada aspek

42 International Labour Organization (ILO), Social Adjustment Through Sound Industrial Relations and Labour Protection, Final Report of An ILO/UNDP TSS1 Advisory Mission, Jakarta, 1995.

Page 144: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

144

kualitas sumberdaya manusia. Pada sisi ini, tingkat upah lebih ditentukan oleh tingkat

pendidikan, pengalaman kerja, keahlian kerja dan berbagai pertimbangan lainnya.

Aspek ketiga yang menjadi saat sekarang ini menjadi acuan di banyak negara

adalah adalah intervensi dari pemerintah dan serikat buruh. Dikarenakan tidak

terjadinya kesempurnaan pasar dalam menentukan tingkat upah, maka perlu ada

konsep penyangga sehingga kepentingan buruh tidak selalu dikalahkan oleh

ketidakpastian pasar. Konsep ketiga inilah yang menawarkan adanya jaring

pengaman (safety net) dalam kebijakan upah buruh. Melepaskan jumlah upah buruh

berdasarkan mekanisme pasar dianggap tidak sangat manusiawi, sehingga perlu

ditetapkan satu jumlah minimal agar buruh dapat sekedar hidup dan bekerja.

Dalam perspektif ekonomi klasik dapat kita telusuri konsep upah minimum

tersebut dari tawaran David Ricardo. Sebagai salah satu peletak dasar ekonomi klasik,

Ricardo mengusulkan adanya tingkat upah tertentu sebagai imbal jasa bagi tenaga

kerja. Imbalan tersebut hanya sekedar buruh dapat mempertahankan dan melanjutkan

kehidupan. Dalam teori upah yang ditawarkan oleh Ricardo, tingkat upah yang

diterapkan merupakan harga keseimbangan tenaga kerja. Memang tidak selamanya

jumlah upah akan tetap, namun dikarenakan adanya akumulasi modal, kemajuan

teknologi dan tekanan ekonomi lainnya, jumlah upah tersebut akan turun naik.

Berdasarkan realitas upah yang dialami oleh buruh maupun kebijakan

pengupahan yang dimunculkan oleh pemerintah, jelas landasan teori dan fundamen

yang mendasari kebijakan upah masih sangat kental dengan kepentingan pengusaha.

Secara terbuka pemerintah lebih menyetujui tingkat upah ditentukan oleh mekanisme

pasar. Tetapi dalam mekanisme pasar, tidak ada kepastian tentang jumlah upah bagi

buruh. Tingkat upah lebih ditentukan oleh hitung-hitungan biaya yang dikeluarkan

oleh pengusaha dalam satu proses produksi, kompetisi antar perusahaan, jumlah

permintaan dan penawaran tenaga kerja dan kepentingan pertumbuhan ekonomi dari

pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Adam Smith ada dua atau tiga bagian nilai

yang dihasilkan buruh, yakni upah untuk buruh, keuntungan untuk pengusaha yang

menyediakan modal dan membeli bahan mentah, serta uang sewa untuk pemilik

Page 145: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

145

tanah. Dalam tatanan yang lebih modern, pembagian dari Adam Smith tersebut sudah

tidak sesuai lagi. Smith tidak memasukkan faktor negara atau pemerintah sebagai

salah satu komponen yang turut menerima keuntungan dari sistem ekonomi

kapitalistik yang dibangun.

Sebagai komponen regulator bidang ekonomi, peran pemerintah sudah

sedemikian besar terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga berbagai kebijakan

ekonomi maupun secara khusus kebijakan sektor industri dan perburuhan adalah yang

mampu menopang pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Apalagi ketika

muncul kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintahan melalui Undang-Undang

otonomi Daerah. Salah satu aspek yang turut terpengaruh oleh kebijakan tersebut

adalah dalam hal kebijakan pengupahan.

Proses penetapan kebijakan upah yang sebelumnya ditentukan oleh

pemerintah pusat melalui Menteri Tenaga Kerja sudah mulai didistribusikan kepada

kepala daerah, yakni Gubernur dalam menentukan UMP (Upah Minimum Propinsi),

Bupati/Walikota yang merumuskan dan menentukan UMK (Upah Minimum

Kabupaten/Kota). Prinsip pergeseran kewenangan yang sebenarnya bertujuan agar

unsur lokalitas lebih dipertimbangan dalam proses perumusan dan penetapan upah

ternyata tidaklah signifikan sama sekali dalam menaikkan upah buruh, apalagi

meningkatkan kesejahteraan buruh secara umum.

Ada beberapa aras proses perumusan dan penetapan upah buruh yang masih

timpang dalam sistem yang berlangsung saat ini.

1. Pada proses penentuan komponen yang dilibatkan dalam Dewan Pengupahan

Daerah (DPD,

2. Pada tahapan survey dan penelitian kondisi kebutuhan buruh yang didasarkan

kondisi pasar harga

3. Dasar kebutuhan hidup buruh yang masih sebatas Kebutuhan Hidup Minimum

4. Pada tahapan analisis dan diskusi informasi hasil survey,

5. Pada proses pengambilan keputusan jumlah upah, dan

Page 146: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

146

6. Pada proses sosialisasi kebijakan jumlah upah UMP

Terlihat bahwasannya dalam setiap tahapan perumusan dan penetapan upah,

secara institisional, DPD dengan Gubernur telah cacat. Hal itu tidak terlalu jauh

berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh seorang mantan anggota DPD yang berasal

dari komponen serikat buruh. Pada tahapan survey dan penelitian terdapat indikasi

beberapa anggota dalam DPD tidak melakukan hal yang sebagaimana mestinya.

Walaupun sulit untuk dibuktikan, namun dari setiap hasil survey dan penelitian, data

yang ditemukan selalu sangat berbeda dengan data atau informasi yang diperoleh oleh

komponen DPD dari Serikat Buruh.

Selain keenam keganjilan tersebut, satu hal yang kurang mendukung proses

perumusan dan penetapan upah adalah ketiadaan dana. Secara formal, alokasi dana

yang secara khusus membiayai proses perumusan dan penetapan upah oleh institusi

DPD sangatlah minim. Padahal, dilihat dari tanggungjawab, proses kerja dan efek

dari kerja yang dilakukan oleh DPD sangatlah besar. Kondisi tersebutlah yang

diasumsikan menyebabkan kerja-kerja yang dilakukan DPD secara institusional tidak

efektif. Secara personal, input materi yang diberikan kepada anggota DPD hanya

pada saat diskusi dan rapat perumusan. Belum lagi jika dikaitkan dengan dana yang

diberikan dalam setiap proses survey dan penelitian yang sampai saat ini belum jelas

sama sekali. Pemerintah propinsi yang sebenarnya paling bertanggungjawab terhadap

kinerja DPD tidak memiliki format khusus dalam hal pembiayaan. Sampai saat ini

tidak ada alokasi yang jelas dan cukup besar dalam membiayai kerja-kerja DPD,

padahal efek yang ditimbulkan dari institusi ini membawa pengaruh yang sangat

besar terhadap kondisi ekonomi Sumatera Utara dan kesejahteraan buruh.

Apa yang terjadi di dewan pengupahan kota Medan tampaknya menjadi satu pelajaran bahwasannya anggaran dewan pengupahan memang sangat menentukan kinerja dewan. Di dewan pengupahan kota Medan sebenarnya sudah tersedia anggaran operasional yang tercantum dalam APBD. Namun dari surat keputusan penetapan dewan pengupahan kota Medan dicantumkan satu point tentang nomor rekening dewan pengupahan. Hal ini jika tidak diawasi dengan tepat akan membuka ruang penyalahgunaan wewenang yang nantinya akan mengganggu independensi

Page 147: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

147

dewan pengupahan. Memang belum ada bukti bahwasannya rekening tersebut disalahgunakan oleh pimpinan dewan pengupahan ataupun pemerintah daerah, namun keberadaannya harus dicermati secara teliti oleh serikat buruh maupun komponen yang ada di dewan pengupahan. Untuk menghindari hal-hal yang akan memperlemah dewan pengupahan, anggaran dewan dalam APBD dan rekening dewan harus dikelola secara transparan.

Minimnya anggaran operasional dewan pengupahan sendiri sebenarnya dapat

diterjemahkan dari dua sisi yang sifatnya dapat menguatkan maupun melemahkan.

Satu sisi, utusan yang ada di dewan pengupahan tidak meratas secara materiil. Pihak

pengusaha dan pemerintah jelas-jelas tidak akan terganggu dengan minimnya

anggaran tersebut karena kerja-kerja mereka dalam dewan pengupahan adalah bagian

dari kerja-kerja pemerintahan. Sedangkan pengusaha tentunya tidak akan kesulitan

karena kontribusi utusan tiap-tiap perusahaan dalam asosiasi pengusaha sudah jelas.

Bagi komponen serikat buruh kritis yang masih berusaha mandiri, minimnya

ketersediaan dana operasional jelas sangat mengganggu. Apalagi kerja-kerja di dewan

pengupahan memang sangat membutuhkan anggaran yang cukup, seperti dalam

pembiayaan proses survey, pembahasan, pencarian refferensi, penyediaan tempat

rapat yang kondusif dan mungkin juga biaya pengganti waktu bagi anggota dewan.

Namun di sisi lain, kecukupan dana tersebut dapat melemahkan posisi dewan maupun

anggota karena akan memunculkan ketergantungan yang kemudian berdampak

kepada independensi maupun kekritisan dewan. Ketatnya perdebatan di dewan

pengupahan mengakibatkan permasalahan anggaran akan semakin sensitif sehingga

mau tidak mau harus dikelola secara jelas dan transparan, sebab jika tidak akan

memunculkan ruang-ruang manipulasi dan penyelewengan baru.

Sistem pengupahan yang diberlakukan di Sumatera Utara dan secara umum

di Indonesia sampai saat ini memang sangat tidak jelas. Di mata buruh, sistem

pengupahan yang berjalan masih sangat kabur. Pada beberapa sisi, seperti

pengetahuan tentang komponen, begaimana proses perumusan dan penetapan

berjalan, institusi yang berperan, jumlah upah yang ditetapkan maupun aspek

informasi dari kebijakan upah masih sangat kurang dipahami oleh buruh. Hal itulah

Page 148: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

148

yang mendorong persepsi buruh terhadap sistem kebijakan upah yang dijalankan

dirasakan masih sangat jauh dari kepentingan dan kebutuhan buruh.

Keterlibatan buruh dalam sistem yang dijalankan juga masih sangat rendah.

Prinsip keterwakilan berimbang dalam komponen DPD terbukti tidak signifikan

dalam memperbesar pengaruh serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan

UMP. Pengaruh komponen lain, seperti pengusaha, pemerintah dan kaum pakar dari

institusi akademik masih memarjinalisasi kepentinga dan kebutuhan buruh. Walaupun

ada juga buruh yang beranggapan bahwa keterlibatan buruh dalam sistem kebijakan

upah tidak diperlukan, namun hal itu lebih disebabkan oleh pengalaman negatif pada

masa lalu. Selama kebijakan pengupahan dijalankan, jumlah upah yang ditetapkan

tidak pernah sesuai dengan kebutuhan buruh. Kenaikan upah tidak pernah menyentuh

jumlah yang diinginkan oleh buruh. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan jumlah UMP

yang selalu jauh lebih rendah dari kenaikan riil pengeluaran buruh. Hal itulah yang

menjadi pendorong beberapa buruh memiliki persepsi negatif terhadap keterlibatan

buruh dalam proses perumusan dan penetapan UMP pada institusi DPD. Keterlibatan

buruh dalam DPD dianggap tidak ada guna, buruh tidak memiliki kapasitas untuk

membahas upah dan proses penetapan upah bukan dianggap tugas dari buruh.

Bagi yang masih menganggap keterlibatan buruh sangat penting dalam proses

perumusan dan penetapan upah, keterlibatan tersebut harus pada setiap tahapan

proses. Selain agar semakin besarnya kepentingan buruh dapat terakomodir dalam

proses tersebut, buruh menganggap mekanisme yang berjalan masih penuh

kecurangan. Praktek KKN, tidak benarnya proses penelitian, dan adanya kompromi

antar pihak yang terlibat dalam DPD menjadi beberapa faktor yang mendorong

elemen buruh untuk terlibat lebih dalam dalam proses perumusan dan penetapan

jumlah UMP.

Satu hal yang patut dicatat dari hasil penelitian ini adalah, persepsi buruh

terhadap kemampuan upah dalam memenuhi kebutuhan hidup buruh cukup lemah.

Semakin kebutuhan mengarah kepada hal-hal yang lebih pada kebutuhan sosial, maka

kemampuan buruh untuk membiayainya semakin sulit. Untuk kebutuhan akan makan

Page 149: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

149

keluarga, sebahagian besar buruh terlihat masih mampu. Namun jika sudah mengarah

pada kebutuhan membiayai kebutuhan sosial dan rekreasi, maka kemampuan buruh

semakin lemah.

Jika dibandingkan dengan pendapatan yang diterima buruh dari hasil kerja di

pabrik, terlihat sangatlah timpang dengan pengeluaran yang harus dibiayai oleh buruh

dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata pengeluaran buruh laki-laki

maupun perempuan memang tidak terlalu jauh dari jumlah upah yang diterima dalam

satu bulan. Jika hanya didasarkan pada fakta tersebut tentunya tingkat kesulitan

pemenuhan kebutuhan buruh menjadi lebih rendah. Namun jika dilihat dari

komponen pengeluaran buruh, terlihat sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan

satu orang secara layak. Volume makan, jenis barang konsumsi yang dibeli sangat

minim sehingga wajar jika pengeluaran buruh tidak terlalu besar. Namun jika

dikomparasikan pada buruh lainnya yang berusaha untuk hidup lebih layak, maka apa

yang dikonsumsi, frekuensi makan, jenis makanan yang dikonsumsi terlihat sangat

tidak masuk akal. Hal itu salah satunya diakibatkan oleh adanya strategi buruh untuk

tetap bertahan hidup. Dengan kondisi upah yang sangat minim, buruh dipaksa untuk

mengurangi pengeluaran. Dari sisi volume dan kualitas, apa yang dikonsumsi oleh

buruh sangat jauh dari kebutuhan hidup manusia secara normal.

Dari beberapa komponen, pengeluaran buruh terbesar adalah untuk

konsumsi.Sebahagian besar pengeluaran konsumsi dibeli oleh buruh. Hal itu terlihat

dari konsumsi buruh akan susu, daging dan buah-buahan. Beban kerja yang sangat

berat tentunya membutuhkan kalori yang cukup besar. Rata-rata buruh sangat jarang

mengkonsumsi sumber makanan yang berkalori dan bervitamin tinggi seperti susu,

daging dan buah-buahan. Tentunya hal ini akan sangat mengganggu kesehatan buruh

dalam jangka waktu lama. Kemampuan buruh yang sangat rendah untuk

mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang berkualitas baik tidak didukung oleh

supplay suplemen makanan dari perusahaan. Dari beberapa jenis lauk yang umum

dikonsumsi, rata-rata frekuensi hanya kurang dari 4 kali dalam satu bulan. Bisa

dibayangkan jika dalam satu bulan buruh hanya makan daging 1 atau 2 kali dalam

Page 150: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

150

satu bulan. Satu-satunya jenis lauk yang mampu dibeli dan dikonsumsi dalam

frekuensi yang cukup tinggi hanyalah ikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan,

variasi jenis lauk yang dikonsumsi oleh buruh sangatlah rendah. Dari seluruh jenis

lauk, yang paling sering dikonsumsi oleh buruh adalah yang berharga murah, seperti

indomie, tempe, tahu dan telur. Ada berbagai alasan yang dikemukakan buruh tentang

kondisi tersebut. Salah satunya adalah, makanan seperti itu yang cukup tersedia di

sekitar permukiman buruh sekaligus cukup murah dibandingkan jenis lauk lain.

Pada sisi pendapatan, rata-rata buruh sudah menerima sesuai dengan UMP. Data

seperti ini tentunya dapat menjadi bumerang bagi buruh. Jika ukurannya adalah

kebutuhan hidup minimum, maka kebijakan standar upah minimum (UMP)

sudah sudah tercapai. Namun jika ukurannya adalah kelayakan hidup buruh, maka

sama sekali pendapatan tersebut masih sangat timpang. Apalagi jika dilihat dari

beberapa komponen upah yang umum diterima oleh buruh. Dari keseluruhan

komponen upah, hanya komponen upah pokok yang rutin diberikan kepada buruh

tetap. Tentang komponen upah lainnya, ternyata hanya sebahagian kecil yang merasa

dipenuhi. Kondisi buruh kontrak, buruh harian lepas dan borongan lebih parah lagi.

Sebahagian besar komponen upah tidak diterima oleh buruh non tetap. Hal ini

menunjukkan, status buruh memang sangat mempengaruhi pendapatan buruh. Bukan

hanya dari sisi ketidakpastian status, namun juga pada sisi pemenuhan hak normatif

buruh. Padahal, saat ini proses peralihan status dari buruh tetap menjadi buruh

kontrak atau borongan semakin tinggi. Undang-undang yang mengatur perlindungan

hak buruh kontrak dan borongan terbukti tidak efektif.

Upah minimum yang selalu diperbaharui setiap tahunnya ternyata sama sekali

tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh buruh. Jumlah upah

yang merangkak naik masih jauh dari kebutuhan hidup buruh untuk hidup layak.

Berbagai kebutuhan buruh yang sebenarnya layak untuk dipenuhi masih jauh dari

harapan. Ketika dikomparasikan dengan kondisi saat ini, maka upah minimum sama

sekali tidak akan mampu memenuhi kebutuhan buruh. Untuk itu, berbagai aspek yang

terkait dengan sistem pengupahan harus mengalami perubahan.

Page 151: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

151

Berbagai kajian dan analisis tentang pengupahan sudah banyak dilakukan, baik itu oleh elemen gerakan perburuhan, organisasi non pemerintah, akademisi perguruan tinggi, serikat buruh maupun lembaga perburuhan internasional. Kajian yang dilakukan oleh berbagai institusi tersebut kebanyakan mengacu pada sisi normatif dari kebijakan pengupahan. Demikian juga dengan upaya-upaya perlawanan buruh serta serikat buruh tentang upah.

Sejak kebijakan upah minimum diberlakukan, boleh dikatakan intensitas perlawanan buruh dengan mengusung isu upah semakin tinggi. Sebagai sebuah kebijakan jaring pengaman, upah minimum belum dilaksanakan secara maksimal. Pemberlakuan upah minimum kemudian membongkar praktek-praktek curang dalam pengupahan di tingkat perusahaan. Setiap tahunnya, bermunculan kasus-kasus pengupahan secara nasional maupun di tingkat lokal, dan hal ini menjadi indikasi bahwasannya persoalan upah menjadi isu penting, selain kasus perburuhan lainnya.

Mengapa isu pengupahan selalu muncul dalam dinamika perburuhan pada

intensitas frekuensi yang sangat tinggi? Padahal, jika dilihat dari regulasi yang

dikeluarkan legislatif dan pemerintah, tema-tema pengupahan menjadi priorotas yang

cukup besar. Sejak awal orde baru berkuasa sampai saat ini, belasan aturan sudah

dikeluarkan, namun tampaknya kontribusi regulasi tersebut terhadap kesejahteraan

buruh masih sangat jauh.

Beberapa kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwasannya

kekacauan persoalan pengupahan di Indonesia dilatarbelakangi oleh satu konsep

yakni kebijakan ketentuan upah minimum. Setidaknya kesimpulan seperti itulah yang

sering dikemukakan oleh kalangan reformis perburuhan. Mulai kebijakan tersebut

diterapkan sampai saat ini, output pemberlakukan upah minimum tersebut tidak

membawa kesejahteraan bagi buruh.

Seperti yang sudah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya, upah minimum

merupakan sebuah jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan

pengusaha. Ketentuan upah minimum tersebut muncul ketika mekanisme pasar

permintaan dan penawaran tenaga kerja maupun sistem ekonomi pasar tidak mampu

melindungi buruh dalam sektor industri.

Indonesia sebagai sebuah negara yang tengah merangkak menuju sistem

ekonomi berbasis industri juga mengalami hal yang sama. Situasi tersebut terutama

dialami pada masa-masa awal pemerintahan orde baru. Target pertumbuhan ekonomi

Page 152: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

152

yang berusaha dicapai dengan penciptaaan stabilitas ekonomi, politik dan

peningkatan jumlah investasi kurang memperhatikan nasib buruh. Program-program

pembangunan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan orde baru terlalu memihak

pada kepentingan pengusaha dan investor, tanpa mempertimbangkan penghisapan

dan kesewenangan perusahaan terhadap buruh.

Menjelang akhir tahun 1980-an, barulah intervensi pemerintah dalam bidang pengupahan mulai diterapkan secara serius. Hal itu salah satunya disebabkan oleh tekanan dari berbagai elemen perburuhan dalam maupun luar negeri yang khawatir dan prihatin dengan kondisi ekonomi maupun perburuhan di Indonesia. Salah satunya adalah dilatarbelakangi oleh prasyarat dari beberapa negara importir produk manufaktur, yakni Amerika Serikat yang menghendaki perubahan kondisi ketenagakerjaan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal itulah kemudian yang mendorong pemerintah Indonesia harus menata kondisi ketenagakerjaan nasional agar produk non migas diterima di negara-negara importir43.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menata sistem ketenagakerjaan di Indonesia adalah mengenai upah minimum (UM). Tekanan dari negara-negara tujuan ekspor produk manufaktur Indonesia mendorong pemerintah untuk mengurangi dampak eksploitasi modal terhadap buruh.

Kebijakan upah minimum tersebut mulai diterapkan secara serius oleh

pemerintah mulai tahun 1989, yakni setelah keluarnya Peraturan Menteri Tenaga

Kerja no. 05/Men/1989 tentang ketentuan upah minimum. Peraturan tersebut adalah

bertujuan menetapkan upah terendah yang boleh diberikan pengusaha kepada

buruhnya44. Setelah dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun, kemudian aturan

upah minimum tersebut diperbaiki kembali melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja

Ri No. Per-01/Men/1999 yang merupakan penyempurnaan dari kebijakan

sebelumnya.

Selama itu pula beberapa aturan pelaksana upah minimum dikeluarkan oleh

pemerintah, termasuk pembentukan institusi yang berwenang dalam merumuskan dan

menetapkan jumlah upah minimum, salah satunya adalah surat Dirjen BINAWAS

No. B.16/BW/2001 tentang Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA/DPD). Namun

43 Suryahadi Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, dan Sudarno Sumarto, dalam Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 7 No.1 Februari, Bandung, 2002, hal 21. 44 Tjandraningsih Indrasari, Kebutuhan Fisik Minimum dan Upah Minimum, dalam Dedy Haryadi, dkk, 1994, TinjauanKebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung. Akatiga.

Page 153: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

153

pelaksana kebijakan upah minimum tersebut tetap saja belum memenuhi rasa

keadilan bagi buruh, khususnya tentang keterwakilan buruh dalam lembaga DPD

tersebut.

Ada banyak sebenarnya persoalan yang muncul sebagai dampak dari

pemberlakuan kebijakan upah minimum tersebut. Selain secara institusional belum

memenuhi aspek keadilan, tidak konsistennya kontrol yang dilakukan pemerintah,

lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan upah

minimum maupun persoalan-persoalan di tingkat pelaksanaan, konsekuensi paling

besar sebenarnya terletak pada stagnasi nilai upah buruh dan eksploitasi sistematis

terhadap buruh.

Selain sebagai jaring pengaman, ada satu landasan penerapan upah minimum

yang sampai saat ini sulit untuk dimengerti. Secara teoritik, tingkat upah ditentukan

oleh mekanisme permintaan dan penawaran tenaga, dan juga beberapa variabel

lainnya. Upah minimum merupakan jalan tengah ketika mekanisme pasar telah gagal

menjaga stabilitas tingkat upah sesuai dengan kebutuhan dan produktivitas buruh.

Beberapa studi empirik menyatakan, jika upah minimum berada di atas tingkat upah

keseimbangan pasar, maka efeknya akan mengurangi tingkat permintaan tenaga kerja

dan kemudian memperbesar angka pengangguran45. Teori seperti inilah yang banyak

dijadikan pedoman negara-negara di dunia maju dan berkembang dalam menangani

persoalan upah. Dengan pedoman seperti itu maka pemerintah di negara berkembang,

termasuk Indonesia kemudian menjalankan kebijakan upah minimum.

Pada satu sisi, memang kebijakan seperti itu mampu menyelamatkan iklim

investasi di negara berkembang. Dengan tingkat upah yang rendah dan berada di

bawah upah keseimbangan pasar, maka akan menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal

itu juga dapat menolong pemodal domestik yang berusaha berkembang dengan

kemampuan investasi dan finansial yang terbatas. Pada satu fase memang kebijakan

upah minimum memang menguntungkan. Selain bisa menarik investor, juga

45 Suryahadi Asep, dkk, Upah dan Kesempatan Kerja, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal Perkotaan, Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Bandung, Vol.7 No. 1 Februari 2002.

Page 154: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

154

menolong pemodal domestik yang masih lemah. Namun ternyata pada fase

selanjutnya, ketika pertumbuhan ekonomi sudah cukup baik, kontribusi pemodal

nasional terhadap pertumbuhan ekonomi sudah memadai, kebijakan upah minimum

sebenarnya sudah sangat tidak layak untuk diterapkan.

Ada beberapa alasan yang menjadi landasan ketidaklayakan kebijakan upah

minimum untuk diterapkan lagi. Pertama, kebijakan upah minimum sering dijadikan

alasan oleh pemerintah untuk enggan menaikkan tingkat upah sesuai dengan

kebutuhan dan produktivitas buruh. Sejak upah minimum diberlakukan secara merata

tahun 1989 sampai saat ini, tidak satupun tahapan kenaikan upah yang mampu

mengejar tingkat inflasi dan kenaikan kebutuhan hidup buruh secara layak. Walaupun

ada beberapa fase, yakni tahun 1990, 1994 dan 2000 dimana kenaikan upah minimum

riil pernah mencapai lebih dari 50%,21 namun tetap saja belum dibarengi dengan

peningkatan daya beli buruh terhadap beberapa kebutuhan hidup.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pemerintah selalu berpedoman

pada aspek teoritik dalam masalah pengupahan. Kenaikan upah secara terus menerus

dianggap akan memperbesar beban pengusaha sehingga nantinya memperkecil

jumlah penyerapan tenaga kerja, yang akhirnya mempertinggi angka pengangguran.

Padahal teori seperti ini juga masih harus dipertanyakan lagi. Lihat saja penilaian dari

beberapa lembaga riset ekonomi internasional. Walaupun tingkat upah di Indonesia

secara nominal tergolong rendah, namun sama sekali tidak menjadikan negara ini

sebagai tujuan investasi penting bagi investor47

Kedua, kebijakan upah minimum sendiri sebenarnya mengingkari sistem

pengupahan alternatif yang lebih berkeadilan. Konsep upah minimum sendiri

sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara berkembang lain, khususnya

di kawasan asia tenggara. Secara empirik, upah minimum yang diberlakukan di

46 Ibid, hal 24. 47 Bahkan menurut seorang pengusaha besar di Kota Medan dan Sumatera Utara, pemberlakuan upah minimum telah menyulitkan pengusaha dalam mengatur sistem pengupahan di tingkat perusahaan. Di tiap perusahaan terdapat perbedaan kemampuan dalam menggaji buruhnya, sehingga harus diberi kebebasan membentuk sistem tersendiri.

Page 155: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

155

Indonesia bertolakbelakang dengan dinamika ekonomi yang sedang berjalan. Walau

pernyataan tersebut berasal dari perspektif ekonomi pasar, namun hal ini menjadi

indikasi betapa terbelakangnya Indonesia dalam hal sistem pengupahan. Jika memang

prinsip upah keseimbangan pasar diterapkan secara murni, upah minimum yang

diberlakukan saat ini sudah sangat kecil dibandingkan upah yang ditentukan oleh

pasar48.

Ketiga, upah minimum telah dijadikan indikator utama bagi upah buruh

sektor formal. Hal ini tentunya berbahaya bagi penciptaan sebuah sistem pengupahan

yang lebih adil bagi buruh. Menjadikan upah minimum sebagai indikator upah telah

merembet ke berbagai konsep-konsep lainnya, seperti kesejahteraan, keadilan,

stabilitas ekonomi, politik sampai pada persoalan kemanusiaan.

Melebarnya pemaknaan upah minimum tersebut tentunya telah mereduksi

banyak hal. Menyamakan upah minimum dengan kesejahteraan buruh, pertumbuhan

ekonomi dan keadilan sosial merupakan praktek pembodohan terhadap buruh. Lihat

saja beberapa perdebatan setiap tahunnya tentang upah minimum antara elemen

buruh dengan institusi pengupahan bersama dengan pemerintah. Polemik yang

berlangsung tentang pengupahan masih sekedar pada nominal upah semata, tanpa

melihat aspek yang lebih mendasar dan pada skala yang lebih luas. Padahal, dari sisi

standar yang digunakan, institusi yang terlibat dalam proses perumusan dan kriteria-

kriteria yang digunakan sudah menyalah.

Setiap tahun, hanya satu sisi yang selalu menjadi topik pengupahan, yakni

mengenai jumlah upah minimum yang akan diberlakukan untuk satu tahun ke depan.

Pihak pemerintah dan pengusaha selalu bertahan dengan jumlah kenaikan serendah

mungkin berdasarkan hasil survey pasar, indeks harga konsumen, tingkat inflasi,

kondisi investasi dan pertumbuhan ekonomi maupun berbagai variabel lainnya,

48 Harian Medan Bisnis, 19 November 2003. Pada kolom ini, seorang ekonom di Sumatera Utara menyatakan, upah yang ditentukan oleh pasar sebenarnya lebih baik jika didasarkan pada konsep upah minimum. Pasar tidak dapat didustai, karena dinamika pasar akan berbanding lurus dengan jumlah upah. Untuk itu, antara pengusaha dan buruh harus bekerja sama untuk meningkatkan permintaan agar secara otomatis menaikkan upah buruh. Negara-negara yang tetap menerapkan upah minimum nantinya akan terjebak pada upah buruh yang rendah.

Page 156: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

156

sedangkan elemen buruh menginginkan kenaikan upah lebih besar dari hasil survey

dan perumusan institusi pengupahan.

Walaupun dalam jangka pendek perdebatan tersebut bermanfaat, namun

sebenarnya telah menjebak buruh dalam persoalan yang tidak substansial. Padahal

jika dilihat dari perdebatan yang ada, argumentasi, landasan teoritik maupun bukti

empirik yang diajukan oleh pemerintah dan pengusaha masih perlu diuji

kebenarannya. Misalnya saja tentang alasan akan adanya pengurangan permintaan

tenaga kerja akibat kenaikan upah minimum. Memang ada hasil kajian yang

menunjukkan adanya korelasi kenaikan upah minimum terhadap pengurangan

permintaan tenaga kerja. Menurut penelitian dari SMERU49, yang menyatakan setiap

kenaikan upah minimum riil akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di

sektor formal perkotaan sebesar 2%, lepangan kerja bagi buruh perempuan dan

pekerja berusia muda sebesar 6% dan lapangan kerja bagi unskilled workers sebesar

4%, namun tetap saja masih bisa dipertanyakan. Salah satunya adalah hasil penelitian

yang dilakukan oleh Islam dan Nazara tahun 200050. Hasil penelitian yang mereka

lakukan membuktikan sebenarnya tidaklah ada hubungan antara kenaikan upah

dengan berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Penelitian tersebut juga menyatakan,

bahwa keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan skala menengah dan besar

sebenarnya tidak berkurang akibat kenaikan upah minimum. Dan secara nasional, jika

terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 4%, maka akan dapat meningkatkan upah

minimum sebesar 24% per tahun. Kenaikan ini pada kenyataannya tidak akan

berpengaruh terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja.

Perbedaan pandangan dan bukti empirik seperti inilah yang membuat setiap

proses perumusan dan penetapan upah minimum selalu menimbulkan polemik.

Namun tetap saja, korban pertama dari polemik tersebut adalah buruh. Keterbatasan

49 Suryadi, Asep, dll, 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Market, Jakarta. 50 Setia, Resmi, Serba-serbi Sistem Pengupahan:Tinjauan Singkat Terhadap Kebiajakan Upah Minimum di Indonesia, makalah pada Semiloka Pengupahan Alternatif, yang diselanggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan. 2004.

Page 157: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

157

data dari serikat buruh, lemahnya argumentasi empirik tentang pengupahan

menjadikan elemen buruh terpinggirkan dalam setiap proses perumusan dan

penentuan upah. Hal ini berkaitan dengan alasan keempat.

Secara institusional dan di tingkat regulasi, stakeholder pengupahan memang

tidak punya kompetensi yang mencukupi untuk membahas sesuatu yang menyangkut

kelangsungan hidup buruh. Ambil contoh tentang keberadaan Dewan Pengupahan

Daerah (DPD/Depeda). Lembaga ini sebenarnya memiliki kewenangan yang cukup

besar dalam merumuskan dan menetapkan jumlah upah minimum di tingkat propinsi

maupun di kabupaten/kota. Namun kewenangan tersebut tidak dilanjutkan dengan

kewenangan memutuskan besaran upah yang melalui proses survey tersebut.

Dewan Pengupahan Daerah (DPD) merupakan institusi perumus besaran upah

untuk kemudian merekomendasikannya ke kepala daerah propinsi dan

kabupaten/kota. Sesuai dengan Surat Dierjen Binawas No.B 16/BW/2001 tanggal 30

April 2001 ditegaskan, bahwa dari sisi keanggotaan, Dewan Pengupahan Daerah

(DPD) terdiri dari unsur tripartit plus dengan komposisi 1:1:1 ditambah unsur dari

perguruan tinggi, sedangkan keterlibatan serikat buruh/pekerja diatur dalam

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep.201/MEN/2001

tanggal 10 Desember 2001 tentang keterwakilan dalam kelembagaan hubungan

industrial51.

Sebagai sebuah institusi pengupahan yang memiliki kewenangan cukup besar

di bidang pengupahan, kontribusi DPD untuk menaikkan besaran upah sebenarnya

sangat diharapkan. Namun diakibatkan lemahnya posisi tawar buruh, besarnya

kepentingan pengusaha, kolaborasi beberapa komponen dalam menekan komponen

buruh, korporatisme dalam beberapa serikat buruh, proses perumusan maupun

mekanisme pengambilan keputusan yang tidak demokratis membuat lembaga ini

hanya menjadi alat bagi pengusaha untuk melegitimasi kepentingan mereka atas upah

murah.

51 Sitorus, Toga, Sistem Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) di Propinsi Sumatera Utara, disampaikan dalam Semiloka Pengupahan Alternatif yang diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan. 2004.

Page 158: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

158

Seperti yang ditunjukkan dari penelitian Popon Anarita dan Resmi Setia

tentang dewan pengupahan propinsi Jawa Barat. Secara umum ada 5 sisi yang harus

disoroti mengenai Dewan Pengupahan Daerah di propinsi Jawa Barat, dan mungkin

juga menjadi titik lemah DPD secara nasional.

Pertama, tidak adanya transparansi dan kriteria yang baku dalam proses pemilihan

unsur DPD. Selama ini proses pembentukan DPD sangat tidak transparan, khususnya

dalam menentukan unsur yang terlibat dalam DPD. Disnaker sebagai pihak yang

pertama kali menyusun keanggotaan DPD tidak pernah memberikan informasi

tentang pertimbangan untuk mengundang komponen yang terlibat dalam DPD,

sehingga memungkinkan unsur yang diundang untuk mengutus orang-orang yang

kurang berkompeten dalam masalah pengupahan.

Kedua, terdapat beberapa komponen yang sebenarnya tidak relevan untuk dilibatkan,

namun tetap diundang dan dimasukkan dalam DPD. Komponen yang kurang relevan

tersebut biasanya berasal dari pemerintah. Misalnya saja seperti yang terjadi di

Propinsi Jawa Barat. Dinas perkebunan yang tidak berurusan dan mengatur masalah

perburuhan dipaksakan untuk masuk dalam institusi DPD. Jelas keberadaan

komponen yang tidak relevan untuk dilibatkan tersebut patut dicurigai, karena terlihat

sekedar memperkuat posisi pemerintah dalam proses perumusan upah.

Ketiga, proses survey yang tidak optimal. Mulai dari fase persiapan survey,

penyusunan komponen kebutuhan yang akan di survey, peran unsur tripartit dalam

proses survey, pelaksanaan survey, maupun kualitas data yang diperoleh dipenuhi

kecurangan dan rekayasa. Misalnya saja, dalam proses survey, sudah menjadi

kebiasaan DPD untuk melakukan survey di lokasi pasar yang jumlahnya lebih sedikit

dari jumlah lokasi pasar yang direncanakan.

Keempat, Netralitas yang berpihak dari unsur perguruan tinggi. Salah satu

pertimbangan mengapa komposisi DPD adalah tripartit plus adalah guna memenuhi

aspek netralitas, dan unsur yang dipilih adalah dari perguruan tinggi. Namun dalam

banyak kasus, unsur perguruan tinggi yang sebenarnya harus berdiri pada posisi

netral ternyata lebih berpihak kepada pengusaha dan pemerintah. Kapabilitas yang

Page 159: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

159

dimiliki unsur perguruan tinggi ternyata tidak dimanfaatkan untuk menengahi

perbedaan antara unsur tripartit, namun malah digunakan untuk mendukung salah

satu unsur, yakni pengusaha dan atau pemerintah.

Kelima, ketiadaan aliansi dan koordinasi antar komponen serikat buruh. Keterlibatan

beberapa serikat buruh dalam proses perumusan dan penetapan besaran upah di

tingkat daerah ternyata tidak diikuti dengan peningkatan peran. Dari sisi komposisi,

kekuatan buruh sendiri sebenarnya sudah lemah jika pemerintah dan pengusaha

berkolaborasi. Lemahnya posisi serikat buruh tersebut ternyata semakin diperparah

dengan adanya perbedaan sikap, sehingga membatasi kemungkinan koordinasi dan

aliansi untuk melawan tekanan pemerintah, pengusaha dan unsur dari perguruan

tinggi.

Keenam, seringnya mekanisme voting dilakukan dalam pengambilan keputusan.

Perdebatan dalam institusi DPD dalam merumuskan besaran upah biasanya sangatlah

sengit, terutama antara serikat buruh dengan pengusaha. perdebatan tersebut biasanya

berakhir dengan ketiadaan kesepakatan. Seringkali, dikarenakan mengejar target

waktu dan efektivitas kerja, DPD menggunakan voting dalam mengambil keputusan.

Walaupun memenuhi aspek demokrasi, namun jelas mekanisme seperti ini

mengingkari tahapan-tahapan sebelumnya. Dengan demikian, jika mekanisme voting

selalu dilakukan, maka proses penetapan upah minimum bukan lagi merupakan

perumusan dan penetapan besaran upah yang didasarkan kondisi objektif kebutuhan

buruh, namun sudah berubah menjadi pertarungan kekuatan dari berbegai

kepentingan pengupahan.

Page 160: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

160

Langkah Ke Depan Menuju Sistem Pengupahan yang Lebih Adil

Melihat kondisi pengupahan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, kecil

kemungkinan kesejahteraan buruh akan terangkat. Jika memang demikian, sistem

pengupahan seperti apakah yang paling tepat untuk diterapkan, sekaligus realistis

dijalankan berdasarkan sistem ekonomi nasional dan internasional yang berlangsung

saat ini?

Memang tidak mudah untuk memunculkan sistem pengupahan alternatif di

negara ini. Upaya seperti itu akan semakin sulit ketika sistem ekonomi nasional dan

global memang tidak memberi peluang lahirnya sistem ekonomi dan pengupahan

yang lebih berkeadilan, sedangkan buruh sebagai sebuah kelas sosial posisinya

semakin lama dikondisikan secara struktural semakin lemah dan tidak diuntungkan

dalam sistem sosial, ekonomi maupun politik.

Lihat saja misalnya upaya-upaya kaum modal dan pengusaha dunia, baik itu

institusi keuangan internasional maupun perusahaan multi dan transnasional. Mereka

berupaya membangun sistem ekonomi liberal yang sangat tidak berpihak kepada

kaum buruh. Dengan berbagai strategi ekonomi maupun politik yang mereka

jalankan, ada upaya menyingkirkan peran-peran negara dalam kesejahteraan rakyat,

untuk kemudian membentuk sistem ekonomi pasar yang terlepas sama sekali dari

intervensi pemerintah.

Di kalangan aktivis pro demokrasi, akademisi dan ilmuan sosial politik,

degradasi hak sosial politik dan ekonomi kelas masyarakat yang termarginalisasi,

termasuk buruh menjadi perdebatan sengit jika dilihat dari perspektif peran

pemerintah. Sebahagian dari antara mereka –yakni yang memiliki pandangan modern

tentang developmentalism- sudah saatnya sistem ekonomi, sosial dan politik saat ini

dilepaskan dari kepentingan dan intervensi pemerintah.

Dalam sebuah sistem ekonomi dan sosial politik modern, liberal dan demokratis,

peran pemerintah harus diminimalisir sehingga tidak mengganggu mekanisme

Page 161: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

161

berjalannya sistem ekonomi dan sosial politik. Pemerintah sendiri tampaknya mulai

dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan proses global yang berlangsung pada saat

ini, dimana peran pemerintah (government) harus pada batasan pengaturan proses dan

hak-hak dasar yang tidak mungkin diserahkan kepada sektor publik. Hal ini dapat

dilihat dari paket pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh IMF ketika Indonesia

jatuh ke dalam krisis.

Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 memaksa pemerintah untuk

menderegulasi berbagai kebijakan intervensi sosial politik dan ekonomi menjadi lebih

demokratis (baca:liberal). Output dari pesanan IMF tersebut dapat dilihat kemudian

dalam beberapa tahun sesudah Letter of Intent (LoI) ditandatangani. Sebagai contoh

dapat dilihat perubahan status di beberapa badan usaha milik negara (BUMN) yang

semakin lama karakter pelayanannya semakin menciut, digantikan dengan karakter

profit yang diorientasikan semakin besar. Badan usaha milik negara yang berfungsi

pelayanan kepada masyarakat dan secara finansial ditanggungjawabi oleh pemerintah

jumlahnya semakin sedikit. Sebahagian besar badan usaha tersebut kini berubah

bentuk menjadi layaknya perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah mencetak

keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemerintah52.

Di sisi lain, intervensi pemerintah terhadap berbagai kebijakan ekonomi nasional

dianggap masih diperlukan, mengingat dunia usaha sama sekali belum memiliki misi

sosial sama sekali, sehingga dapat mengancam kepentingan masyarakat umum yang

rentan pelanggaran hak ekonomi dari kalangan swasta. Hal itulah yang pada era tahun

1970 sampai 1980-an kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan

pengupahan yang menggunakan sistem upah minimum.

Walaupun penerapannya secara riil baru pada tahun 1990-an, namun jelas visi

utamanya adalah melindungi kepentingan pekerja yang diperlakukan sewenang-

52 Menurut Revrisond Baswir dalam “Drama Ekonomi Indonesia, Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, jumlah BUMN yang berfungsi pelayanan, seperti Perjan dan Perum semakin lama semakin sedikit, sedangkan dari tahun ke tahun, jumlah Perseroan Terbatas, baik itu yang bersifat tunggal maupun patungan semakin besar jumlahnya, sehingga kontribusinya terhadap penerimaan pajak dan bukan pajak mengalami peningkatan taham untuk pemerintah.

Page 162: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

162

wenang oleh perusahaan, khususnya dalam hal upah. Di luar persoalan apakah

kebijakan tersebut sudah bisa mensejahterakan buruh atau tidak, sistem upah

minimum yang kemudian disebut dengan UMR (Upah Minimum Regional) yang

kemudian berganti menjadi Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota sedikit sudah

mendisiplinkan perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebijakan pemerintah.

Kelompok liberal menyatakan, diserahkannya berbagai mekanisme ekonomi

kepada komponen yang terlibat langsung dalam proses produksi akan menghindari

para pemburu rente yang selama ini membebani sektor industri menjadi tidak

efisien53. Namun realitas saat ini tampaknya langkah-langkah isolasi dunia usaha,

termasuk dalam hal pengupahan sangat spekulatif untuk dilakukan.

Ada beberapa hal yang diasumsikan meletakkan kebijakan liberalisasi sistem

pengupahan menjadi sangat spekulatif. Pertama, pihak dunia usaha sendiri secara

praktis belum bersedia menjalankan proses perumusan dan penentuan upah secara

internal antara buruh dan pengusaha yang didasarkan oleh karakteristik perusahaan

dan aturan sistem pasar. Perusahaan tampaknya sudah terlalu menikmati proses yang

berlangsung saat ini yakni pemberlakuan upah minimum54.

Realitas seperti ini menjadi kendala serius dalam upaya membangun sebuah

tatanan masyarakat yang lebih sejahtera, salah satunya dengan menciptakan satu

sistem pengupahan yang lebih berkeadilan bagi buruh. Membicarakan masalah upah

tidak lagi sekedar urusan perusahaan dengan buruhnya, bukan juga hanya terkait

dengan perusahaan, buruh dan pengusaha, dalam konteks mikro. Namun upaya

membangun sistem pengupahan sudah akan melibatkan satu struktur ekonomi dan

53 Menurut Arya B Gaduh dan Raymond Atje dalam Economics Working Paper Series, CSIS Tahun 2004, efisiensi tersebut merupakan bagian dari reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF, untuk melindungi dan mengisolasi dunia usaha agar tercipta institusi pengelola yang kuat dan memunculkan transparansi kebijakan yang harus dilaksanakan dengan segera. 54 Dalam banyak media, perusahaan setiap tahunnya selalu memprotes kenaikan upah minimum propinsi (UMP) atau Kota/kabupaten, namun mengingat dominannya peran mereka beserta pemerintah dalam institusi pengupahan (DPD), maka protes yang diungkapkan kalangan pengusaha sepertinya hanya ingin memunculkan persepsi ketertekanan yang dialami oleh dunia usaha kepada kalangan buruh.

Page 163: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

163

politik yang lebih luas, karena semakin banyak pihak yang berkepentingan terhadap

pengupahan.

Sistem pengupahan tidak hanya terkait dengan beberapa unsur lama seperti,

keuntungan perusahaan, produktivitas buruh, faktor produksi, kebijakan pemerintah,

komponen kebutuhan, pertumbuhan ekonomi, maupun aspek mikro lainnya. Bicara

masalah sistem pengupahan juga telah melibatkan berbegai kepentingan non ekonomi

dan keuangan semata, namun sudah terkait dengan kepentingan ekonomi global,

perdagangan internasional, dinamika politik internasional, pertumbuhan sektor

industri, bahkan telah menyinggung persoalan ideologi.

Ada dua aliran, perspektif, ataupun paradigma dalam memandang sistem

pengupahan yang berlangsung saat ini. Dua aliran atau paradigma tersebut setidaknya

muncul dari berbagai pihak yang melihat sistem pengupahan yang berlangsung saat

ini kurang memenuhi aspek keadilan bagi buruh, sehingga harus dilakukan

perubahan.

Perspektif pertama lebih melihat ketimpangan sistem pengupahan yang

berlangsung saat ini adalah disebabkan ketidakadilan yang terjadi di dalam sistem

pengupahan itu sendiri. Sudut pandang seperti ini cenderung melihat persoalan

pengupahan, baik itu aspek ketidakadilannya, ketimpangannya, maupun kecilnya

kontribusi terhadap kesejahteraan buruh lebih pada aspek unsur, ketentuan, institusi,

aturan/kebijakan, kriteria, maupun unsur-unsur pengupahan yang bersifat mikro.

Salah satu persoalan yang selalu dianggap menjadi penghalang utama ketidakadilan

pengupahan adalah kepentingan institusi yang terlibat dalam pengupahan.

Dalam sistem pengupahan, terdapat 3 institusi yang terlibat, yakni pemerintah,

pengusaha beserta asosiasinya dan serikat buruh. Ketiga elemen inilah yang

dipandang oleh perspektif pertama menjadi penentu status quo atau perubahan dalam

sistem pengupahan. Pertarungan, perdebatan maupun dinamika pengupahan hanya

dapat ditelaah dari berbagai kepentingan tiga elemen tersebut. Untuk itu, perubahan

dan pergeserannya harus didasarkan pada motif, kepentingan, maupun nilai yang

dianut oleh ketiganya.

Page 164: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

164

Pada sisi pemerintah, terdapat unsur regulator dan fungsi-fungsi kenegaraan

lainnya, seperti stabilisator ekonomi, politik, sosial dan budaya, fungsi integrasi

politik, nasionalisme dan target-target pertumbuhan ekonomi, yang semuanya

dibatasi dalam kawasan teritorial tertentu yang dinamakan negara. Pemerintah

memiliki otoritas ataupun kekuasaan politik yang mutlak dalam sebuah sistem

kenegaraan, sehingga berhak membuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada

kesejahteraan rakyat.

Pengusaha memiliki fungsi yang sedikit berbeda dengan pemerintah. Mereka

adalah agen ekonomi yang punya fungsi ganda dalam melakukan aktivitasnya. Pada

satu sisi, perusahaan punya target komersial atau orientasi profit yang mutlak.

Artinya, keberlangsungan sebuah perusahaan ditentukan oleh kemampuannya

memperoleh keuntungan dengan penggunaan faktor dan modal produksi minimal.

Selain itu, pemodal juga memiliki fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik yang

bersifat melayani publik atau masyarakat. Mulai dari faktor produksi maupun barang

yang dihasilkan selalu bersentuhan dengan masyarakat banyak sebagai konsumen.

Dengan demikian, fungsi yang dijalankan oleh perusahaan/pemodal punya implikasi

sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tidak terisolasi.

Unsur ketiga yang paling lemah dalam sistem pengupahan dalam perspektif

pertama ini adalah institusi buruh dengan asosiasinya, yakni serikat buruh. Lepas dari

ideologi ataupun nilai apapun yang memandangnya, fungsi buruh adalah tetap sama,

yakni sebagai salah satu “faktor produksi” dalam sebuah sistem produksi. Walaupun

tidak sama dengan faktor produksi lainnya, seperti teknologi, modal dan bahan baku,

keberadaan buruh adalah mutlak, sehingga tidak mungkin dilepaskan dalam sistem

pengupahan. Yang membedakannya dari unsur lain adalah, buruh merupakan elemen

yang hidup, tidak seperti faktor produksi lain yang hanya barang mati. Buruh punya

tenaga, punya beban psikologis dan sosiologis. Buruh memiliki keterbatasan-

keterbatasan kemampuan dan ketahanan tertentu yang sedikit ditemui pada faktor

produksi lainnya. Ada unsur kemanusiaan, kolektivitas dan psikologis pada elemen

buruh yang membuatnya harus diperlakukan berbeda dengan faktor produksi lainnya.

Page 165: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

165

Masih dalam perspektif pertama, persoalan pengupahan akan terkait dengan

beberapa unsur berikut ini, yakni; Kebijakan pengupahan, struktur kebutuhan hidup

buruh, peran institusi pengupahan, peran dan kontrol negara sebagai regulator

pengupahan, peran serikat buruh dalam mendorong, mengkritisi dan menuntut

kenaikan upah, transparansi keuangan dan motif profit pengusaha, penegakan hukum

oleh institusi hukum, maupun saat ini sudah dihubungkan dengan elemen lain yang

menyebabkan tertekannya jumlah upah buruh.

Ketidakpatuhan ketiga elemen ini dalam menjalankan kebijakan pengupahan

yang telah ditetapkan ditenggarai menjadi pemicu ketidakadilan sistem pengupahan.

Untuk itu, perbaikan, penegakan hukum atas pelanggaran kebijakan pengupahan,

optimalisasi fungsi kontrol pemerintah, soliditas kekuatan serikat buruh, regulasi

kebijakan pengupahan, maupun peningkatan representativeness institusi pengupahan,

dan keadilan mekanisme proses dan penentuan upah menjadi entry point paling

relevan dalam perbaikan sistem pengupahan.

Pada kasus lokal dan nasional perdebatan dari sisi inilah yang paling sering

berlangsung. Sebut saja misalnya upaya dari beberapa serikat buruh dalam merubah

standar (struktur dan komponen) pengupahan dari Kebutuhan Fisik Minimum (KFM)

menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan kemudian tuntutan dari KHM

menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Alasan dari tuntutan tersebut adalah sederhana, yakni bagaimana standar,

komponen dan struktur kebutuhan hidup buruh sudah sangat tidak sesuai lagi dengan

beban ekonomi dan kebutuhan hidup buruh yang sebenarnya. Perubahan standar

kebutuhan hidup buruh dari kebutuhan fisik minimum (KFM) yang kemudian

berubah menjadi kebutuhan hidup minimum (KHM) belum menjawab kebutuhan dan

keinginan buruh dalam memperbaiki ekonominya. Dasar kebutuhan hidup tersebut

hampir sama dengan yang dikatakan oleh Marx bahwasannya upah masih sekedar

jaminan kepada buruh untuk dapat bekerja, tanpa mempertimbangkan aspek

kebutuhan lain sebagai manusia.

Page 166: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

166

Dasar kebutuhan hidup minimum sendiri yang sudah diberlakukan selama

beberapa tahun sama sekali masih jauh dari kebutuhan hidup buruh yang sebenarnya.

Apalagi diketahui bahwasannya ukuran kebutuhan dasar buruh seperti KFM dan

KHM sendiri penerapannya belum maksimal. Ukuran kebutuhan dasar yang

ditetapkan, baik itu KHM dan KHM sebenarnya belum sesuai dengan pengeluaran riil

buruh. Sejak diberlakukannya KFM dan KHM sebagai nilai barang atau jasa

minimum yang dibutuhkan oleh buruh dalam satu bulan, persentase upah minimum

dalam memenuhi standar tersebut hanya pada kisaran 70%. Bisa dibayangkan dengan

dasar kebutuhan fisik yang ada saja buruh sudah mengalami kesulitan, apalagi jika

upah yang diterima hanya sebesar 70% dari KFM55. Dengan jumlah upah yang tidak

mencapai kebutuhan fisik tersebut, maka tidak dapat dibayangkan lagi bagaimana

buruh harus hidup.

Setelah kebutuhan fisik minimum mengalami perubahan,dan digantikan dengan

kebutuhan hidup minimum (KHM), ternyata kontribusinya dalam meningkatkan

kondisi buruh masih sangat kecil. Sejak diberlakukan sampai saat ini, UM

Proponsi/kota/kabupaten tetap mengalami kondisi yang sama ketika KFM digunakan,

yakni upah yang diberlakukan belum mencapai 100% dari kebutuhan hidup minimum

buruh. Bahkan dari tahun ke tahun, setiap kebijakan kenaikan upah annual bukan

hanya masih berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum, namun juga belum

secara disiplin dipatuhi oleh perusahaan.

Setiap tahunnya selalu banyak perusahaan yang merasa tidak mampu untuk

memberikan upah buruh sesuai dengan UMP/UM Kota/Kabupaten. Banyak alasan

yang dikemukakan oleh pihak perusahaan untuk melakukan penundaan penerapan

kebijakan kenaikan upah minimum, yang hampir keseluruhannya terkait dengan

kebijakan dan peran pemerintah, seperti dampak kenaikan BBM dan beberapa tarif

dasar, biaya produksi yang tinggi akibat pengeluaran non produktif seperti pungutan 55 Sedangkan ketika upah sudah 100% memenuhi KFM, dalam satu hari buruh pada tahun 1990 dan 1990 dalam satu hari hanya mampu mengeluarkan uang sebesaar Rp.800,- sehingga dalam satu kali makan hanya Rp.400,-. Jumlah uang tersebut setara dengan 2 bungkus mie instan, 8 potong gorengan, atau semangkuk mie ayam, yang hanya mengenyangkan namun kualitas gizinya tidak terjamin.

Page 167: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

167

liar, biaya entertaiment kepada birokrat, biaya administrasi yang tinggi, kebijakan

ekonomi makro dari pemerintah yang tidak efektif, kompetisi pasar produk yang

tidak menguntungkan dan berbagai alasan lainnya.

Namun sering sekali akar dari berbagai permasalahan ekonomi yang membuat

perusahaan punya argumentasi untuk menunda pelaksanaan upah minimum adalah

kondisi ekonomi makro, melalui kebijakan pemerintah yang tidak mendukung

keberadaan dunia usaha di Indonesia. Menyalahkan kondisi makro selalu menjadi

alasan perusahaan, yang sering dikemukakan oleh institusi atau asosiasi yang

mewakili perusahaan-perusahaan swasta. Keberadaan asosiasi ini terbukti sangat

efektif dalam melakukan lobby dan negosiasi kepada pemerintah untuk memahami

“kesulitan” yang dialami oleh perusahaan.

Buntut dari segala argumentasi ini adalah, perusahaan pasti akan mengumumkan

kepada buruh bahwasannya perusahaan dalam keadaan merugi. Tentu alasan seperti

ini sangat ampuh sehingga buruh dengan mudah memahaminya. Namun pada

umumnya perusahaan hanya mengungkapkan kondisi perusahaan hanya secara

sepihak, tersembunyi sehingga kondisi riil keuangan perusahaan sama sekali tidak

diketahui oleh buruh. Strategi ini selalu mulus dijalankan oleh perusahaan, sedangkan

pemerintah sama sekali tidak memiliki kemampuan kontrol, atau memang “tidak

ingin” secara lebih jauh melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap

perusahaan-perusahaan yang memanipulasi kondisi internal (keuangan) perusahaan

untuk menunda pemberlakukan upah minimum setiap tahunnya.

Contoh kasus adalah apa yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Buruh

Sumatera Utara (JABSU), mulai dari tahun 2002, 2003 dan 2004. Mereka pertama

kali melandasi perubahan standar kebutuhan buruh tersebut berdasarkan adanya

kenaikan beberapa tarif dasar listrik dan BBM tahun 2003. Kenaikan tarif dasar yang

berkorelasi dengan kebutuhan hidup dasar buruh tersebut ditenggarai telah

menyebabkan kenaikan beberapa kebutuhan dasar buruh, seperti pangan, sandang,

papan/perubahan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Kenaikan beberapa kebutuhan

Page 168: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

168

dasar tersebut telah meningkatkan beban hidup buruh, sedangkan kenaikan nilai upah

buruh sama sekali tidak pada level yang signifikan untuk membantu buruh.

Jaringan Advokasi Buruh Sumatera Utara juga menilai, upah buruh di Indonesia

masih sangat rendah dibandingkan dengan total biaya produksi. Mereka mengutip

beberapa penelitian dan investigasi yang menyatakan bahwasannya total direct labour

cost yang dialokasikan untuk upah buruh masih 5% dari total biaya produksi.

Komposisi seperti ini tergolong masih sangat rendah dibandingkan komposisi lain,

seperti untuk biaya siluman dan biaya lobby, ataupun masih terlalu rendah

dibandingkan komposisi upah di negara lain, seperti Thailand dan Malaysia yang

mencapai angka 13%.

Pola pengkritikan dan tuntutan yang dilakukan dalam perspektif ini terlihat

ketika JABSU menyoroti ketiadaan perubahan substansial sejak desentralisasi

kebijakan pengupahan. UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang

memperbesar kewenangan pemerintah daerah dalam beberapa hal, termasuk tentang

pengupahan melalui SK Menakertrans No. 226 tahun 2000 tentang peralihan

kewenangan pengupahan dari Menteri ke Gubernur tidak mampu menyentuh

kepentingan buruh.Legitimasi kepala daerah (Gubernur dan Bupati/walikota) dalam

kebijakan pengupahan jelas dianggap tidak mampu merubah substansi kebijakan

pengupahan. Pergeseran kewenangan ternyata tetap mempertahankan upah murah

yang sangat tidak adil dan layak.

Ada dua hal pokok yang disoroti oleh JABSU guna menumbuhkan sebuah sistem

pengupahan yang berkeadilan. Pertama adalah dalam level penetapan upah. Hal ini

dikaitkan dengan keberadaan serikat buruh yang menjadi bagian dalam institusi

pengupahan daerah (Dewan Pengupahan Daerah/DPD) propinsi. Keberadaan serikat

buruh tertentu dalam institusi DPD dijadikan legitimasi pemerintah dalam melakukan

perumusan dan penetapan jumlah Upah Minimum Propinsi (UMP), padahal hanya

sebahagian kecil serikat buruh yang sudah terlibat, sedangkan sebahagian besar sama

sekali belum.

Page 169: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

169

Proses penetapan UMP juga dianggap belum transparan, karena suara publik

masih sangat minim dilibatkan. Dewan Pengupahan Daerah dianggap tidak

menjalankan mekanisme keterbukaan, melalui seminar, dialog publik, sosialisasi

melalui media dan strategi lain dalam menampung partisipasi masyarakat. Penelitian

yang dilakukan DPD juga masih sangat timpang. Misalnya dalam proses penelitian.

Proses penelitian yang dilakukan oleh DPD tidak mengakomodir kepentingan serikat

buruh dan serikat pekerja di Sumatera Utara, sehingga jumlah UMP yang keluar pun

jauh dari harapan buruh.

Level kedua yang disoroti oleh JABSU adalah tentang standar upah. Mereka

cenderung melihat ketidakadilan upah yang berlangsung secara nasional dan lokal

masih kurang memenuhi syarat-syarat kemanusiaan. Padahal dalam beberapa nilai

dasar negara dan kemanusiaan global sangat mendukung perubahan upah menjadi

lebih layak, seperti Deklarasi hak asasi manusia (DUHAM) dan UUD 1945.

Sistem pengupahan, khususnya standar upah dianggap telah bertentangan dengan

nilai-nilai kemanusiaan nasional dan internasional. Salah satu kebijakan yang

dianggap melanggar nilai dasar tersebut adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.1

Tahun 1999 tentang upah minimum. Kebijakan telah mengkerdilkan kehidupan

buruh, karena menetapkan standar hidup dibawah nilai-nilai kelayakan sebagai

manusia. Misalnya saja dengan menetapkan standar kebutuhan hidup manusia pada

43 komponen kebutuhan hidup semata.

Atas dua alasan tersebutlah kemudian organisasi seperti JABSU merancang

strategi perubahan sistem pengupahan. Untuk itu JABSU kemudian menyusun satu

komponen kebutuhan hidup layak berdasarkan standar hidup yang lebih tinggi,

misalnya dengan meningkatkan jenis kebutuhan menjadi 61 komponen, dan

memperbesar beberapa komponen tunjangan56

Apa yang dilakukan oleh JABSU merupakan salah satu strategi perubahan

sistem pengupahan dalam perspektif pertama. Organisasi seperti itu tetap bermain

56 Dikutip dari pernyataan sikap dan tuntutan jaringan advokasi buruh Sumatera Utara tentang Upah Minimum Propinsi 2004.

Page 170: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

170

dalam sistem pengupahan yang ada, dengan melakukan perbaikan dan perubahan

secara parsial terhadap standar, konsep, proses, mekanisme dan peran dari beberapa

institusi yang terlibat.

Perspektif kedua melihat persoalan sistem pengupahan dalam sudut pandang

yang lebih luas daripada perspektif pertama. Persoalan sistem pengupahan yang

timpang, eksploitatif dan tidak berkeadilan tidak sekedar implikasi dari lemahnya

peran serikat buruh, kurangnya kontrol dari pemerintah, minimnya standar upah,

menyimpangnya mekanisme perumusan dan penetapan upah, maupun ketiadaan

transparansi dari perusahaan, namun mencakup aspek yang lebih luas, yakni

menyangkut persoalan-persoalan struktural, penghisapan kelas penguasa,

ketimpangan ekonomi, sejarah dominasi alat produksi dan hegemoni pemerintah yang

berkolaborasi dengan modal dalam melakukan penghisapan terhadap buruh.

Persoalan sistem pengupahan dalam perspektif kedua melihatnya dalam wilayah

yang lebih luas, yakni melibatkan aspek sistem ekonomi nasional dan internasional,

struktur sosial, politik dan budaya, maupun sisi ideologis yang melatarbelakangi

sebuah sistem ekonomi.

Berdasarkan luasnya cakupan dalam perspektif ini sehingga konsep perubahan

yang ditawarkan menjadi lebih absurd57 dibandingkan perspektif pertama. Perubahan

sistem pengupahan akan menyentuh konsep-konsep dasar tentang sistem ekonomi

yang menjadi fundamen upah itu sendiri. Ada proses elaborasi dan dialektika yang

cukup mendalam tentang konsep upah, sehingga proses perubahan yang ditawarkan

juga akan menyentuh level teori, ideologi ekonomi dan prinsip-prinsip dasar sebuah

sistem ekonomi.

Tidak banyak memang elemen perburuhan yang mengkritisi prinsip dasar atau

dimensi struktural dari sebuah sistem pengupahan. Hal ini diakibatkan oleh luasnya

cakupan konsep yang harus dielaborasi dalam melakukan perubahan sistem

pengupahan. Salah satunya adalah tentang sistek ekonomi kapitalistik yang dari

57 Kaum developmentalisme memandang analisis struktural dalam menganalisis persoalan ekonomi sangat utopis sehingga kecil kemungkinan untuk diwujudkan.

Page 171: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

171

awalnya memang sama sekali kurang mendukung sebuah sistem pengupahan yang

berkeadilan. Selama sistem ekonomi tersebut masih dijadikan acuan sistem

pengupahan, maka selama itu juga sistem pengupahan tidak akan pernah adil.

Sistem ekonomi kapitalis adalah yang paling mendukung perdagangan liberal

dimana akumulasi, pertukaran dan lalu lintas modal berlangsung tanpa batas. Aktor

utama dari pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dan mendukung berdagangan

bebas maupun pemuja pasar bebas adalah pemodal, pengusaha swasta. Merekalah

yang menjadi pemegang kunci pertumbuhan ekonomi, sehingga berbagai sub sistem

ekonomi haruslah melindungi aktivitas produksi.

Sistem ekonomi kapitalistik menjadi sangat eksploitatif dikarenakan tidak

terkontrolnya kepemilikan pribadi atas faktor produksi. Kepemilikan atas faktor

produksi pada segelintir orang tersebutlah yang memicu sistem ini menjadi sangat

memeras dan merugikan kelompok masyarakat lain, yakni buruh yang hanya

memiliki tenaga dan terbatas aksesnya terhadap faktor produksi. Kepemilikan alat

produksi yang tidak terkontrol dan lemahnya intervensi pemerintah, ditambah dengan

akses yang terbatas dari kelompok masyarakat terpinggir inilah yang memicu proses

akumulasi modal menjadi tidak terbatas.

Di tingkat perusahaan proses akumulasi menjadi contoh paling jelas untuk

menggambarkan proses penghisapan melalui akumulasi modal yang dilakukan

perusahaan terhadap buruh. Proses akumulasi tersebut secara nyata dapat dilihat

dalam sistem pengupahan. Dikarenakan segelintir orang yang memiliki modal dan

alat produksi, maka mereka berhak atas sebahagian besar keuntungan yang

dihasilkan. Padahal, sebagian besar keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan

tersebut merupakan kontribusi tenaga buruh. Komposisi dari keuntungan yang

merupakan kontribusi buruh tersebutlah yang tidak kembali kepada buruh dalam

bentuk upah dan tunjangan lainnya.

Menurut kajian yang dilakukan oleh elemen buruh, total biaya yang dialokasikan

untuk upah buruh dari seluruh biaya produksi hanya sebesar 5%. Sedangkan total

biaya produksi biasanya lebih kecil dari hasil penjualan yang diperoleh perusahaan

Page 172: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

172

dalam jangka waktu tertentu. Jika memang total biaya produksi lebih kecil dari hasil

penjualan, maka komposisi labor cost dalam bentuk upah yang diambil dari hasil

penjualan adalah lebih kecil dari 5% (<5%).

Dalam tataran teoritik, khususnya perspektif Marx, keuntungan dari hasil

penjualan barang produksi yang tidak kembali ke buruh tersebutlah yang dinamakan

surplus value (nilai lebih). Untuk itu, arah perubahan yang diharapkan oleh perspektif

kedua ini adalah bagaimana mengembalikan surplus value tersebut kepada buruh.

Untuk memperoleh hak buruh yang sebenarnya atas surplus value yang dicuri

oleh pemilik modal dan rente ekonomi lain tersebut, maka strategi perubahan sistem

pengupahan bukan lagi sekedar mereformasi sistem pengupahan yang tidak adil,

namun harus sudah masuk pada tataran dekonstruksi sistem yang ada, untuk

kemudian membangun sistem pengupahan yang lebih adil dan berpihak kepada

buruh.

Tentunya target seperti itu menghendaki penyusunan sebuah tatanan sistem

ekonomi (termasuk sistem pengupahan) yang sangat mendalam, karena dalam proses

dekonstruksi sistem ekonomi, harus disandingkan dengan sebuah tawaran sistem

ekonomi alternatif. Untuk membangun sebuah sistem ekonomi dan sistem

pengupahan yang lebih berpihak kepada buruh, harus ada tawaran konsep yang

minimal memuat beberapa sub sistem ekonomi yang cukup lengkap. Sistem ekonomi

alternatif tersebut harus menawarkan satu sub sistem kepemilikan alat produksi

alternatif, sub sistem relasi buruh dan majikan, struktur produksi,

ketenagakerjaan/perburuhan, kejelasan konsep keadilan, sistem pasar alternatif,

konsep akumulasi modal, maupun teori tentang nilai yang berbeda dengan nilai dalam

perspektif kapitalistik. Semua konsep dan sistem tersebut haruslah berpihak kepada

buruh dan memuat nilai-nilai keadilan.

Melakukan elaborasi, memberi definisi, sampai kemudian membangun sebuah

sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang berkeadilan seperti inilah belum tuntas.

Belum muncul sebuah tawaran sistem alternatif yang memuat nilai keadilan sekaligus

Page 173: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

173

relevan untuk diterapkan guna menghilangkan aspek eksploitasi dan penghisapan

pemodal terhadap buruh.

Memang terdapat jalan tengah dari antara dua perspektif tersebut. Jika perspektif

pertama menghendaki reformasi pada sistem ekonomi dan sistem pengupahan yang

ada dan perspektif kedua menuntut adanya dekonstruksi untuk kemudian membangun

sistem ekonomi alternatif, maka sistem pengupahan (dan juga sistem ekonomi) jalan

tengah menghendaki reformasi dan dekokstruksi sistem ekonomi dan pengupahan

secara parsial. Namun gejala pencarian jalan tengah perubahan sistem tersebut sering

diterjemahkan dalam dua aras.

Pertama, jalan tengah yang dimaksud adalah membangun sebuah sistem

pengupahan yang liberal. Artinya, mekanisme perumusan dan penetapan upah buruh

diserahkan pada level bipartit, yakni antara buruh dengan pengusaha. Tentunya

proses seperti ini mengharuskan adanya transparansi keuangan perusahaan, dan

diakuinya keberadaan serikat buruh, melalui dewan buruh di tingkat perusahaan.

Ketika sistem seperti ini diterapkan, maka penentuan jumlah upah merupakan

hasil tawar-menawar antara buruh dengan pengusaha, tanpa adanya intervensi dari

pemerintah dalam bentuk kebijakan. Sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini

masih mensyaratkan adanya intervensi atau campur tangan pemerintah. Salah satu

intervensi tersebut adalah melalui Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 01 Tahun 1999

tentang upah minimum (UM). Apa yang dimaksud oleh kebijakan ini sebenarnya

bertujuan sebagai jaring pengaman (safety net) bagi buruh dari kesewenangan dan

pelanggaran yang dilakukan pengusaha dalam pengupahan.

Jika sistem dengan prinsip safety net ini dirubah, dan kemudian digantikan

dengan sistem yang lebih liberal, dimana kebijakan upah diserahkan secara bipartit,

antara buruh dan pengusaha, maka intervensi atau campur tangan pemerintah akan

minimal atau hilang sama sekali. Apakah sistem seperti ini layak untuk diterapkan?

Jika layak dan kemudian dapat dilaksanakan, maka buruh akan terjebak pada sistem

ekonomi liberal murni yang memang pada akhirnya merupakan tujuan pemodal.

Padahal, komponen buruh sendiri belumlah kuat. Jika posisi buruh masih lemah

Page 174: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

174

seperti sekarang, maka pemberlakukan mekanisme seperti itu akan sangat merugikan

buruh.

Sistem lain yang dianggap lebih memenuhi beberapa aspek keadilan tanpa

melakukan dekonstruksi terhadap sistem yang ada adalah melalui restrukturisasi

kepemilikan alat produksi secara parsial. Dalam sistem seperti ini, sub sistem yang

harus dirubah adalah kepemilikan alat produksi dan reposisi buruh dalam sistem

produksi. Dalam sistem seperti ini, buruh harus memiliki wadah serikat buruh yang

kuat, baik itu di tingkat pabrik maupun dalam geopolitik nasional. Posisi buruh

tersebut harus benar-benar kuat, sehingga memiliki pengaruh di tingkat perusahaan

untuk mempengaruhi berbagai kebijakan produksi (termasuk kebijakan pengupahan),

sekaligus memiliki posisi tawar dalam konstalasi politik nasional guna mempengaruhi

kebijakan pemerintah dalam bidang politik ekonomi.

Persoalan yang muncul saat ini tentang pengupahan adalah, hanya ada dua

sistem umum yang bisa diterapkan, yakni sistem pengupahan yang berlaku saat ini,

yakni menggunakan kebijakan upah minimum (UM) sebagai bentuk intervensi

pemerintah dengan keterlibatan tripartit (pemerintah, buruh dan pengusaha) dan

sistem pengupahan yang bersifat sosialistik dimana upah yang diterima oleh buruh

didasarkan pada kebutuhan buruh yang seutuhnya diproteksi dan diolah oleh

pemerintah.

Sistem terakhir inilah yang kemudian memunculkan perdebatan panjang diantara

elemen perburuhan dan pro demokrasi, karena sistem tersebut sangat sarat dengan

muatan ideologis dan politis. Jika dilihat implementasi kebijakan upah yang

berlangsung saat ini, sedikitpun tidak ada kemungkinan berkontribusi terhadap

kesejahteraan buruh. Dari tahun ke tahun, sistem pengupahan yang menggunakan

konsep upah minimum ini penuh pelanggaran, baik itu yang dilaksanakan oleh

pemerintah dan pengusaha. Dengan berbagai kepentingannya, baik itu secara

institusional maupun dalam scope yang lebih luas tidak ada niatan dari pemerintahan

yang menganut ekonomi liberal maupun ekonomi pasar untuk memberikan hak yang

seharusnya diterima oleh buruh.

Page 175: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

175

Analisis Karl Marx tentang upah minimum sangatlah persis dalam

menggambarkan kesia-siaan mengharapkan kapitalisme dalam mensejahterakan

buruh, khususnya dalam menyusun kebijakan yang lebih adil. Diakui bahwasannya

sistem pengupahan yang berlangsung pada saat ini masih jauh dari harapan buruh. Di

Sumatera Utara sendiri yang upah minimum pada tahun 2003 sudah 110,75% dari

KHM juga tidak menjamin kesejahteraan buruh. Tahun 2003 UMP di Sumatera Utara

ditetapkan oleh Gubernur sebesar Rp. 505.000,- sedangkan KHM sebesar Rp.

455.996,-. Jika melihat jumlah ini, maka kondisi di Sumatera Utara sudah jauh lebih

baik dibandingkan Propinsi Naggroe Aceh Darusalam yang masih 81,59%, Bengkulu

65, 35%, Riau 67,58%, DKI Jakarta 84,57%.58

Persentase UMP berdasarkan KHM di beberapa propinsi pada tahun 2003

tersebut menunjukkan bahwasannya kebijakan upah minimum yang dilandaskan

kebutuhan hidup minimum pada masa otonomi daerah ini masih jauh dari harapan.

Hasil penelitian dari penelitian ini juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda

dengan kondisi pengupahan dan buruh secara lebih luas. Kebutuhan dasar buruh

sendiri, yang tercantum dalam standar kebutuhan hidup minimum (KHM) masih

sangat jauh dari kebutuhan riil buruh yang harus dikeluarkan setiap hari atau setiap

bulannya. Angka 3000 kalori minimal setiap hari yang tercantum dalam KHM dan 43

jenis kebutuhan buruh lajang tiap harinya adalah ibarat praktek penghancuran

generasi secara sistematis.

Seperti yang disinggung sebelumnya, sangatlah sulit menjadikan sistem

pengupahan yang diberlakukan saat ini sebagai dasar peningkatan kesejahteraan

buruh. Fundamen bangunan sistem pengupahan saat ini didirikan di atas struktur

ekonomi dan politik ekonomi yang sangat kental dengan ketidakadilan bagi kelas

masyarakat yang terbatas aksesnya terhadap alat-alat produksi. Buruh dipandang

sebagai salah satu skrup dalam sistem ekonomi makro yang nasibnya sangat

58 Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial, 2003.

Page 176: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

176

ditentukan oleh mekanisme pasar dan kebaikan hati kaum modal dan pemerintah

yang sudah pasti sangat sulit untuk diperoleh.

Sebagai komponen paling penting dalam proses produksi, nilai kerja yang

dihasilkan buruh menjadi sangat marginal ketika komponen tersebut dianggap

sebagai salah satu alat produksi yang harus mengikuti dinamika permintaan dan

penawaran. Dengan kata lain, buruh bukan dianggap sebagai manusia lagi, namun

sudah disamakan dengan bahan baku, teknologi, dan input lainnya dalam proses

produksi yang ketersediaan dan permintaanya ditentukan oleh pasar tenaga kerja.

Satu sisi, perbaikan ke arah sistem pengupahan yang lebih baik namun tetap

dalam kerangka struktur ekonomi yang ada terus dicita-citakan oleh kalangan buruh

dan komponen sosial politik yang paham akan nasib buruh. Perbaikan parsial, baik itu

dari sisi penegakan aturan pengupahan, optimalisasi peran berbagai institusi,

demokratisasi kebijakan pengupahan, perbaikan standar kebutuhan hidup buruh

maupun peningkatan posisi tawar buruh dalam proses perumusan dan penentuan

jumlah upah minimum.

Page 177: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

177

DAFTAR BACAAN

Baswir, Revrisond, 2004. Drama Ekonomi Indonesia, Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Baswir, Revrisond, 2003. Di Bawah Ancaman IMF, Jakarta. Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Burkitt, Brian, 1999. Marx's Wage Theory in Historical Perspective: Its Origin, Development Interpretation. Review - book reviews, Labor History, Dikutip dari situs: www.Marxist.org

Gaduh, Arya, B., dan Raymond Atje, 2004. Economics Working Paper Series, CSIS. Haryadi, Dedy, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari dan Juni Thamrin, 1994.

Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Bandung. Hendarmin, Ali, 2002. Kesejahteraan buruh dan kelangsungan Usaha, Upah

Minimum dari Sisi Pandang Pengusaha, dalam Jurnal Analisis Sosial AKATIGA, Vol.7 No.1 februari 2002, Bandung.

International Labour Organization (ILO), 1995. Social Adjustment Through Sound Industrial Relations and Labour Protection, Final Report of An ILO/UNDP TSS1 Advisory Mission, Jakarta.

Jean Francois Dortier, 2004. Marx dan Sosiologi, dalam Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Force, Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Ritongan, Bisman Agus, 2001. Laporan Survey Pengeluaran Buruh Cimahi dan Majalaya, AKATIGA, Bandung.

Salim, Agus, 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Simanjuntak, Payaman, 2004. Reformasi Sistem Pengupahan Nasional, dalam Informasi Hukum, Vo. 5 Tahun VI, Jakarta.

Sitorus, Toga, 2004. Sistem Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) di Propinsi Sumatera Utara, disampaikan dalam Semiloka Pengupahan Alternatif yang diselenggarakan Kelompok Pelita Sejahtera, Medan..

Suryahadi Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, dan Sudarno Sumarto, 2002. dalam Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 7 No.1 Februari, , hal 21, Akatiga, Bandung

Suryahadi Asep, dkk, 2002. Upah dan Kesempatan Kerja, Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Formal Perkotaan, Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol.7 No. 1 Februari, Bandung.

Page 178: Buku Riset Upah Buruh Industri Di Kota Medan

178

Tjandraningsih Indrasari, 1994. Kebutuhan Fisik Minimum dan Upah Minimum, dalam Dedy Haryadi, dkk, TinjauanKebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, Akatiga, Bandung.