bab ii pengupahan dan ketentuan upah proses , hasil ...€¦ · pekerja/buruh yang apabila hak dan...

30
BAB II PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES , HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan dari interaksi soasial itu sendiri. Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia. Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES ,

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES

    Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

    Tentang Ketenagakerjaan

    Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan

    membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya,

    baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat

    berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau

    berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan

    dari interaksi soasial itu sendiri.

    Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern

    seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan

    manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam

    memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini

    adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia.

    Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan

    dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk

  • dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan, dan

    kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya

    mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja.1 Di

    dalam upah sendiri juga ada kebijakan pengupahan yang mengatur guna melindungi

    pekerja/buruh yang apabila hak dan kewajibannya sebagai pekerja/buruh tidak

    dipenuhi. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan meliputi:

    1. Upah minimum;

    2. Upah kerja Lembur;

    3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

    4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

    5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

    6. Bentuk dan cara pembayaran upah;

    7. Denda dan potongan upah;

    8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah

    9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

    10. Upah untuk membayar pesangon; dan

    11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.2

    Dengan demikian bisa dikatakan bahwa prinsip kebijkan pengupahan harus sesuai

    dengan kebutuhan hidup yang layak yang diperoleh sehingga pekerja/buruh memenuhi

    penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak, di

    mana jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu untuk

    1 R Joni Bambang,Hukum Ketenagakerjaan. Bandung. Penerbit Pustaka setia Bandung. 2013. Hal 15 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bab X-Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88

  • memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi

    makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan

    jaminan hari tua.3

    Pekerja/buruh selain berbicara tentang pengertian umum dan upah yang harus

    diberikan, penulis juga melihat bahwa pekerja/buruh harus ada pengertian-pengertian

    tentang Hubungan Kerja. Salah satu bidang di antara banyak bidang Hukum

    Ketenagakerjaan yang sangat penting jika dikaitkan dengan perlindungan

    pekerja/buruh.

    B. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

    Setelah mengetahui pengertian hubungan kerja dan perjanjian kerja sebagaimana

    diterangkan di atas, maka hal pokok lain yang wajib diketahui agar sebuah perjanjian

    yang dibuat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak yang melakukan

    perjanjian, adalah syarat sahnya sebuah perjanjian. Apabila syarat perjanjian tidak

    terpenuhi, maka perjanjian dapat menjadi batal atau bahkan batal demi hukum. Aturan

    mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 52 ayat (1)

    Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan

    bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar, yakni :

    a. Kesepakatan kedua belah pihak

    Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

    mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja

    harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang

    3 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan indonesia. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.2014. Hal 122

  • dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima

    pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk

    dipekerjakan. Dengan kata lain tidak adanya unsur terjadinya penipuan (dwang),

    paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog) dalam kesepakatan kedua belah pihak.

    b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

    Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

    maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.

    Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan

    telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberi batasan

    umur minimal 18 Tahun bagi seseorang dianggap cakap membuat

    perjanjian kerja, sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (26)

    Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69

    Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi

    pengecualian bagi anak yang berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15

    Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu

    perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Selain itu juga

    seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika

    seseorang tersebut tidak dibawah pengampuanyaitu tidak terganggu

    jiwanya/sehat.

    c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

    Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu

    yang diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari

    perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh,

    yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajibanpara pihak.

  • d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

    umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku.

    Pada dasarnya obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh

    bertentangan dengan undang-undang,ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan

    yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan

    secara jelas.

    Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi

    semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas

    kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat

    perjanjian lebih bersifat syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang

    membuat perjanjian. Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan

    yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut

    obyek perjanjian. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal

    demi hukum artinya bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

    Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat subyektif, pihak-pihak yang tidak

    memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang tua/wali atau pengampu bagi

    yang tidak cakap membuat perjanjiandapat meminta pembatalan perjanjian kepada

    hakim. Dengan demikian,perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama

    belum dibatalkanoleh hakim.4

    4Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi ke-12, PT.

    Rajagrafindo Persada, Depok, hlm 64.

  • Unsur perintah pada perjanjian bisa ditemukan pada kewajiban dalam

    perjanjian.Namun tidak semua kewajiban mempunyai unsur perintah. Hal prinsip

    inilah yang membedakan antara hubungan kerja dan hubungan tentang kerja.

    Berdasarkan perbedaan ciri di atas dapat ditarik beberapa unsur-unsurdari hubungan

    kerja kerja.5

    a. Adanya unsur Pekerjaan (work)

    Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek

    perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan

    hanya seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hak ini

    dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1630a yang berbunyi: “Buruh wajib

    melakukan sendiri pekerjaanya;hanya dengan seizin majikan ia dapat

    menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang

    dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan

    keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jiika pekerja meninggal

    dunia, perjanjian kerja batal demi hukum.

    b. Adanya unsur Perintah

    Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan pekerja oleh perusahaan adalah

    pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk

    melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan

    kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan

    pasien dan pengacara dengan klienya. Hubungan tersebut bukan

    merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada

    perintah dan pasien.

    5Lalu Husni, Op.Cit, hlm 56.

  • c. Adanya upah

    Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja.

    Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seseorang pekerja bekerja pada

    pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur

    upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja.

    C. Upah Proses

    1. Pengertian tentang Upah Proses

    Sesuai Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan dihubungkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upah proses seharusnya dibayar

    sampai putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkuatan hukum tetap (inkracht van

    gewijde). sebagaimana yang telah dikatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

    pasalnya 155 ayat 2 mengatakan bahwa selama belum ada putusan hakim yang

    berkekuatan hukum tetap maka baik pekerja maupun pengusaha sama-sama melakukan

    kewajibannya. Upah proses bisa batal demi hukum apabila memang baik pekerja dan

    pengusaha dalam keadaan sama-sama tidak ada tekanan memang tidak melakukan

    kewajibannya lagi maka upah proses itu pun tidak bisa ditetapkan. Dalam praktik

    peradilan, hakim PHI tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah

    proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya

    merujuk pada Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kelompok ini

    menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak pernah mencabut

    Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses

    di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi berlaku. Alasannya,

  • Undang-Undang No 13 Tahun 2003 memiliki kedudukan lebih tinggi dari

    Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 telah

    mengatur upah proses Pemutusan Hubungan Kerja tanpa batas waktu. Dalam kaitan

    upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan Pengadilan

    Hubungan Industrial. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah

    proses selama enam bulan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar

    upah proses lebih dari enam bulan. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha

    membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Putusan menghukum

    enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000. Putusan

    hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap

    merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Dan, yang memutus upah

    proses sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), murni berkiblat pada

    Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tiga macam putusan di

    atas sekaligus sebagai petunjuk bahwa di dalam PHI terdapat tiga aliran hakim

    mengenai upah proses.6

    Dalam praktik, waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perselisihan PHK tidak

    sama. PHI tingkat pertama relatif mampu menyelesaikan pemeriksaan perkara dalam

    waktu 50 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004. Pencari

    keadilan mulai mengeluhkan masalah waktu khususnya di tingkat kasasi. Penyebab

    utama adalah UU No 2 Tahun 2004 tidak secara baku mengatur tahapan waktu

    berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat

    pertama.

    6 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef3dcaacf2c6/putusan-mk-dan-ragam-tafsir-tentang-upah-proses-phk-broleh--juanda-pangaribuan-

  • Pengusaha tidak semua menyelesaikan kasus PHK menurut hukum. Pengusaha ada

    yang melakukan PHK tetapi tidak menyelesaikan PHK pada lembaga yang berwenang

    sesuai Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003. Di seluruh PHI, buruh lebih banyak

    mengambil inisiatif mengajukan gugatan PHK. Waktu mengajukan gugatan oleh buruh

    dilakukan dalam waktu beragam. Dalam praktik, buruh yang mengalami PHK tidak

    serta merta mengajukan gugatan. Gugatan diajukan beberapa bulan setelah PHK

    terjadi. Karena itu, bila pengusaha mendiamkan kasus PHK sama artinya pengusaha

    berinvestasi dengan masalah. Jika gugatan PHK diajukan pada bulan ke sepuluh dan

    PHI memutus pada bulan ke tiga belas maka, bila PHI memutus upah proses selama 13

    bulan, keadaan itu timbul karena kelalaian pengusaha.

    2. Ketentuan-Ketentuan tentang Upah Proses

    a. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (2)

    dan Ayat (3) berbunyi :

    2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

    industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun

    pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

    3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap

    ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan

    skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses

    pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah

    beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

  • Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat

    dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh

    pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

    pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

    Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (3), Dalam

    hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan

    persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan

    pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan

    hubungan industrial.

    b. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Nomor

    Kep-150/Men/2000 pasalnya yang ke 17 berbunyi :

    1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia

    Daerah atau Panitia Pusat sedangkan pengusaha tidak melakukan

    skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap

    memenuhi segala kewajibannya;

    2. Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh

    pengusah dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka

    pengusaha wajib

    membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar

    100%(seratus perseratus);

    3. Dalam hal pekerja tidak memenuhi segala kewajibannya

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kemauan pekerja

  • sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah pekerja

    selama dalam proses;

    4. Dalam hal pegusaha dan pekerja tidak dapat memenuhi segala

    kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan

    karena pekerja dilarang bekerja oleh pengusaha atau bukan atas

    kemauan pekerja sendiri, maka pengusaha wajib membayar upah

    pekerja selama dalam proses sebesar 75% (tujuh puluh lima per

    seratus).

    c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 antara Pemohon drg.

    Ugan Gandar, Ir. Eko Wahyu, dan Ir. Rommel Antonius Ginting, hakim

    menyatakan di Amar Putusan :

    1. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

    (Lembaran Negara Republik Undonesia Tahun 2003 Nomor 39,

    Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia nomor 4279)

    adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum

    berkekuatan hukum tetap;

    2. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,

    tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

    tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

    dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.

  • Dengan demikian selama putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan

    hukum tetap, pekerja/buruh dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya,

    atau pengusaha juga bisa melakukan skorsing kepada pekerja/buruh.

    B. HASIL PENELITIAN

    Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor

    01/G/2013/PHI.Yk, yang akan diuraikan sebagai berikut :

    1. Para Pihak dalam Kasus

    Kasus yang terjadi adalah antara penggugat Abdul Jalil, pekerjaan : Karyawan

    Hotel Ogh Doni Jogja sebagai Staf Engineering yang beralamat di jalan tribata No.

    1A, Yogyakarta, 55222. Alamat tempat tinggal Abdul Jalil : Karang Elak, RT/RW

    009/004, Desa Pereng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa

    Tengah, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang masing-masing bernama

    : Mahendra Handoko, S.H.I., Advocate & Legal Consultant pada Law Firm

    Mahendra&Partner yang beralamat di kompleks perkantoran Theater Msataram

    Blok B-3, Jalan Dr. Sutomo No.57- Daerah Istimewa Yogyakarta, baik

  • sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal

    28 November 2012 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Yogyakarta pada tanggal

    10 Januari 2013 di bawah register No: W.13-U1/1/SK/PHI/2013, untuk selanjutnya

    disebut sebagai Penggugat. Sedangkan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa),

    beralamat di jalan Tribata No. 1A Yogyakarta, 55222, dalam hal ini diwakili oleh :

    Afiq Anysyori CH, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 18 Februari

    2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada

    Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2013 di bawah register

    Nomor : W13-U1/8/SK/PHI/2013 untuk selanjutnya sebagai tergugat.

    2. Kasus Posisi

    Bahwa Penggugat/Pemohon adalah karyawan hotel Tergugat/Termohon yang

    ditugaskan pada bagian staf Engineering, mulai bekerja menjadi karyawan hotel

    pada bulan Januari 1998, Penggugat/Pemohon telah bekerja di hotel selama 14

    Tahun, selama 14 Tahun bekerja Penggugat/Pemohon hanya mendapatkan upah

    sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) setiap bulannya, yang mana

    besaran upah tersebut tidak sesuai dengan nilai Upah Minimum Propinsi D.I.

    Yogyakarta dan bertentangan dengan isi Surat Keputusan Gurbernur D.I.

    Yogyakarta Nomor 298/KEP/2011 tentang Upah Minimum Propinsi yakni sebesar

    Rp. 892.660 (Delapan Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Enam Ratus Enam Puluh

    Rupiah). Tergugat/Termohon melaksanakan jam kerja 3 shift : a. Pukul 07.00 WIB

    s/d 15.00 WIB; b. Pukul 15.00 WIB s/d 23.00 WIB; c. Pukul 23.00 WIB s/d 07.00

    WIB dan Penggugat/Pemohon bekerja di hotel Tergugat/ Termohon selama 8 jam

    sehari serta Penggugat/Pemohon kerap kali bekerja atau mendapatkan giliran kerja

    over time/lembur pada saat hari libur (tanggal merah) dan hari libur nasional,

    kemudian selama Penggugat/Pemohon kerja over time/lembur, Tergugat/

  • Termohon tidak pernah memberikan upah atas kerja over time/lembur tersebut dan

    Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan upah lembur atas waktu kerja lembur yang

    telah dijalaninya selama 14 tahun dan Penggugat/ Pemohon hanya mendapatkan

    gaji sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Seharusnya upah lembur wajib

    diberikan oleh Tergugat/ Termohon kepada karyawannya sebagaimana sesuai

    dengan pasal 77 dan 78 UU No. 13 Tahun 2003 jo. Kepmenakertrans No.

    102/MEN/VI/2004, selama Penggugat/Pemohon menjadi karyawan

    Tergugat/Termohon, Penggugat/Pemohon tidak dimasukkan dan atau

    diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sehingga

    kemudian Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja

    yang telah diberikan dan atau pemerintah telah memberikan jaminan hak-hak

    pekerja yakni berupa : Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan

    Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana kemudian diatur

    dalam UU No. 3 Tahun 1992 dan PP No. 14 Tahun 1993. Selama

    Penggugat/Pemohon menjadi karyawan Tergugat/Termohon, Tergugat/Termohon

    tidak pernah memberikan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang sesuai dengan

    ketentuan Permenakertrans No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya kepada

    Penggugat/Pemohon.

    Bahwa awal mula terjadinya permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial

    adalah pada saat Penggugat/Pemohon mendapatkan Surat Peringatan dari pihak

    Tergugat/Termohon tertanggal 11 Oktober 2011 dengan alasan

    Penggugat/Pemohon datang terlambat, pulang awal tanpa ada pemberitahuan

    kepada atasan/security, lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada

    saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk

    menyalakan genzet, atas kejadian tersebut pada tanggal 31 Januari 2012 Pihak

  • Tergugat/Termohon melakukan pemanggilan kepada Penggugat/Pemohon dan

    sekaligus memberikan surat yang beriisi “Penggugat/Pemohon diminta untuk

    mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang

    engineering” dan di dalam surat tersebut sekaligus menerangkan perihal hak-hak

    dari pengunduran diri dan Penggugat/Pemohon diminta agar berkoordinasi dengan

    pihak personalia dan Security koordinator. setelah hal tersebut dikordinasikan

    dengan pihak personalia, alhasil didapati nilai yang ditawarkan pihak

    Tergugat/Termohon adalah sebesar Rp. 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) atau 2 (dua)

    kali gaji dan kemudian tawaran uang tersebut ditolak oleh Penggugat/Pemohon

    dengan alasan dan pertimbangan lamanya waktu Penggugat/Pemohon bekerja,

    kemudian Penggugat/Pemohon mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan

    tersebut dengan Tergugat/Termohon, namun tidak ada titik temu, dan akhirnya

    Penggugat/Pemohon mencatatkan permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial

    tersebut ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sekitar

    awal bulan April tahun 2012. Menindaklanjuti pencatatan Perselisihan Hubungan

    Industrial tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta

    telah melakukan klarifikasi dengan memanggil Penggugat/Pemohon dan

    Tergugat/Termohon ke kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota

    Yogyakarta dan kemudian beberapa kali diadakan pertemuan/pemanggilan untuk

    mediasi/sidang, PERTAMA pada tanggal 09 Mei 2012, KEDUA tanggal 11 Juni

    2012, KETIGA tanggal 15 Juni 2012, KEEMPAT tanggal 28 Juni 2012), KELIMA

    10 Juli 2012, KEENAM 11 Juli 2012, dan dibuat Perjanjian Bersama pada hari

    Kamis 19 Juli 2012 bertempat di ruang Pertemuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi, namun pertemuan atau mediasi yang telah diupayakan tetap tidak

    membuahkan hasil, atas permasalahan tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan

  • Transmigrasi Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor :

    565/7321 tertanggal 07 November 2012 dan ditandatangani oleh Kepala Dinas

    Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan Mediator yang

    ditujukan kepada Tergugat/Termohon dan Penggugat/Pemohon yang berisi anjuran

    agar Pihak Tergugat/Termohon membayarkan hak-hak Penggugat/Pemohon

    sebesar Rp. 33.215.143,15 (Tiga Puluh Tiga Juta Dua Ratus Lima Belas Ribu

    Seratus Empat Puluh Tiga Rupiah Lima Belas Sen) dan Tergugat/Termohon hanya

    menawarkan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah),

    kemudian diadakan beberapa kali pertemuan/mediasi/sidang, Pertemuan

    PERTAMA tanggal 27 Juni 2012, KEDUA tanggal 04 Juli, KETIGA tanggal 19

    Juli dan KEEMPAT tanggal 25 Juli 2012, Penggugat/Pemohon tetap pada sikapnya

    yakni meminta hak-hak pekerja sesuai dengan Peraturan Perundang-udangan.

    Sementara sikap Tergugat/Termohon-pun tetap yakni hanya memberi uang

    kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) kepada Penggugat/Pemohon

    yang mana hal tersebut sesuai dengan Surat Risalah Penyelesaian Perselisihan

    Hubungan Industrial tertanggal 30 November 2012 terlampir yang ditandatangani

    oleh Mediator Hubungan Industrial Bpk. R. Irwantono, SH.

    Upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari Tergugat/Termohon. Berdasarkan

    pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal

    19 September 2011, Penggugat/Pemohon mohon kepada Pengadilan Perselisihan

    Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk berkenan memberikan

    putusan sela berupa perintah kepada Tergugat/Termohon untuk membayar Upah

    Proses yang belum dibayarkan dan hak–hak lainnya yang biasa diterima

    Penggugat/Pemohon sebagai pekerja, selama proses penyelesaian terhitung dari Bulan

  • Januari- Desember 2012, secara tunai dan sekaligus, yaitu sebesar : 12 Bulan x Upah

    Minimum Propinsi : 12 x Rp. 892.660 = Rp. 10.711.920 Uang Tunjangan Hari Raya

    tahun 2012 = Rp. 892.660

    = Rp. 11.604.580

    (Sebelas Juta Enam Ratus Empat Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Rupiah).

    oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil

    menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada

    Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan

    upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.

    Atas gugatan tersebut Tergugat telah mengajukan jawabannya tertanggal 26

    Februari 2013, sebagai berikut:

    EKSEPSI

    Gugatan Penggugat/Pemohon Prematur

    Bahwa gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada pasal 156 Ayat (2) dan

    Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang No:13 tahun 2003 untuk menuntut pesangon

    maupun uang penghargaan sebagai pekerja/buruh yang telah di PHK adalah

    keliru/salah, karena pada pokoknya dalam pasal telah jelas dinyatakan bahwa: “uang

    pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

    diterima pekerja/buruh diberikan oleh pengusaha apabila telah terjadi pemutusan

    hubungan kerja”.

  • Bahwa pada saat ini Penggugat/Pemohon masih berstatus sebagai pekerja/buruh di

    Hotel OGH DONI JOGJA (Yogya Plassa), sehingga dengan demikian dirinya belum

    berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian

    hak lainnya, maka dengan demikian gugatan Penggugat/Pemohon haruslah dinyatakan

    premature.

    Gugatan Penggugat/Pemohon Kabur (Obscuur Libel)

    Bahwa gugatan penggugat/Pemohon sangat tidak jelas dan kabur, karena perihal

    gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon adalah: Gugatan Perselisihan

    Hubungan Industrial, namun di dalam petitum Penggugat/Pemohon mengajukan

    permohonan Pemutusan Hubungan Kerja beserta hak-haknya. Bahwa berdasarkan

    hal-hal tersebut di atas jelaskah bahwa gugatan Penggugat/Pemohon PREMATUR dan

    kabur (obscuur libel), sehingga oleh karenanya haruslah ditolak atau setidak-tidaknya

    dinyatakan tidak dapat diterima.

    JAWABAN (Pokok Perkara):

    1. Bahwa Tergugat/Termohon menolak seluruh dalil-dalil gugatan

    Penggugat/pemohon untuk seluruhnya, terkecuali yang nyata-nyata diakui

    kebenarannya oleh Tergugat/Termohon.

    2. Bahwa tidak benar apabila Penggugat/Pemohon mendalilkan bahwa dirinya selama

    14 (empat belas) tahun hanya mendapatkan upah sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu

    rupiah).

    3 Bahwa Tergugat/Termohon telah memberikan upah kepada Penggugat/Pemohon

    sesuai dengan Upah Minimum Propinsi dan juga Tunjangan Hari Raya (THR)

    sebagaimana mestinya.

  • 4 Bahwa walaupun Tergugat/Termohon tidak mengikutsertakan program Jamsostek

    para pekerja/buruh, namun Tergugat/Termohon telah menjamin kesehatan dan

    keselamatan para pekerja/buruh, hal ini telah dibuktikan oleh Tergugat/Termohon

    dengan memberikan bantuan atau santunan yang sangat layak kepada para

    pekerja/buruh ketika ada pekerja/buruh yang mengalami halhal sebagaimana tercantum

    dalam Jamsostek.

    5 Bahwa Penggugat/Pemohon bukanlah pekerja yang baik karena sering melakukan

    kesalahan yang sama dan seakan-akan memang disengaja agar kemudian dilakukan

    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan maksud agar mendapatkan pesangon dan

    hak-hak lainnya sebagaimana layaknya pekerja yang telah di PHK oleh suatu

    perusahaan.

    6. Bahwa kesalahan besaryang diulang-ulang oleh Penggugat/Pemohon antara lain:

    • Sering mangkir/tidak masuk kerja tanpa alasan maupun pemberitahuan terlebih

    dahulu.

    • Membiarkan enginering kosong pada saat listrik padam/mati padahal sedang ada

    event (kegiatan tamu hotel).

    • Bekerja seenaknya (tidak melakukan perintah atasannnya) sehingga membuat

    rekan-rekan pekerja lainnnya menghindari jangan sampai bekerja satu shift dengan

    Penggugat/Pemohon.

    7. Bahwa dengan kesalahan tersebut di atas maka sangat wajarapabila kemudian

    Tergugat/Termohon memberikan surat peringatan I dan kemudian dilanjutkan dengan

    Surat Peringatan II pada tanggal 11 Oktober 2011.

  • 8. Bahwa walaupun Penggugat/Pemohon telah melakukan kesalahan-kesalahan besar

    (fatal), namun tergugat/Termohon tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)

    dan tetap akan memperkerjakan Penggugat/Pemohon dengan cara memberikan suatu

    pekerjaan lain yang layak.

    9. Bahwa namun demikianpada kenyataannya, semenjak disampaikan Surat Peringatan

    II (11 Oktober 2011), Penggugat/Pemohon malah tidak pernah lagi masuk kerja

    (mangkir) sehingga hal ini membuat kacaunya bagian enginering dan tentu saja hal ini

    sangat merugikan perusahaan (hotel), dan kemudian mengajukan gugatan.

    10. Bahwa oleh karena Penggugat/Pemohon telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja

    atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan buktibukti

    yang sah, maka hal tersebut dikualifikasikan mengundurkan diri (sesuai Pasal 168 Ayat

    (1), maka oleh karenanya gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada Pasal

    156 Ayat (2) jo. Pasal 164 Ayat (3) haruslah ditolak.

    Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan

    Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk.

    Menimbang, bahwa Gugatan Penggugat telah pula dilampiri Risalah Penyelesaian

    Perselisihan Hubungan Industrial yang diterbitkan serta ditandatangani Mediator Dinas

    Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kota Yogyakarta tertanggal 30

    Nopember 2012, dengan demikian Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

    Negeri Yogyakarta berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas

    perkara ini bahwa atas Gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah menyampaikan

  • bantahannya melalui Eksepsi, Jawaban Pokok Perkara, sekaligus mengajukan Gugatan

    Rekonvensi, mengingat ketentuan Pasal 163 HIR yang menyatakan : “Barang siapa

    yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian

    untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu

    harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Dengan demikian baik

    Penggugat maupun Tergugat dibebani beban pembuktian yang seimbang, yang harus

    dibuktikan kebenarannya, hanyalah apa yang disankal saja oleh yang digugat baik

    dalam Konvensi maupun rekonvensi. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis

    Hakim.

    Sebelum perkara ini masuk ke dalam pengadilan antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh

    Doni Jogja, telah diadakan mediasi untuk kedua belah pihak namun oleh karena

    mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil menggugat pengusaha

    Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

    Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan upah proses di posita

    gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.

    Selanjutnya, dalam Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.YK, hakim

    mempertimbangkan permintaan upah proses pada bagian pertimbangan hukumnya

    yang isinya tidak mengabulkan permintaan upah proses oleh Abdul Jalil.

  • C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan

    Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk yang menyatakan hubungan

    hukum antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa)

    Dikualifasikan Sebagai Hubungan Kerja

    Das sollen Upah Proses terdapat didalam Pasal 155 Ayat (2) dan (3)

    Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi Ayat (2)

    “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum

    ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala

    kewajibannya”, dan Ayat (3) “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap

    ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada

    pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib

    membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”.

    Kemudian terdapat juga didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    37/PUU-IX/2011 Amar putusannya yang ke 2 berbunyi, Frasa “belum ditetapkan”

    dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,

    Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan

    dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

    tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap, atau apabila diperjelas kalimatnya

    menjadi “Selama Putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan hukum tetap

    pekerja dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya. Kemudian das sein

    dalam putusan ini adalah, pekerja tidak bekerja maka pengusaha tidah memberikan

  • upah (prinsip no work no pay) sehingga kemudian pertimbangan hakim tidak

    mengabulkan permintaan upah proses.

    Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan

    kerja ada setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam

    suatu perjanjian kerja. Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja

    yang telah melakukan pekerjaan, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam

    hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja dan atas jasanya dalam bekerja

    yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

    Sebelum penulis menganalisis lebih jauh mengenai pelaksanaan perjanjian kerja

    antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja ada baiknya dilihat kembali duduk

    permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai perbedaan pertimbangan

    hukum Majelis Hakim tentang status hubungan hukum yang terjadi.

    Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio

    decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai pada

    putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan

    memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan

    segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiel

    tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan

    hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.7 Maka setelah

    dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus kepada

    7 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana

    Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 158.

  • kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar pada

    fakta-fakta materielnya.

    a. Objek dan Subjek Perselisihan

    Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab sebelumnya, maka

    penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek dan subjek dalam perkara yang

    sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah hal yang dipertentangkan atau yang

    menjadi isu hukum dalam perkara antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh Jogja.

    Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut.

    Jika membicarakan hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah tidak lepas

    dari titik awal terjadinya suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tidak memberikan

    suatu rumusan dari perikatan, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut

    rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih,

    yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas

    prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut.8

    Objek dalam perkara aquo ialah permasalahan akibat penggugat yang sebagai

    pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis

    yang dilengkapi dengan bukti-bukti yang sah sebagaimana telah juga disebutkan dalam

    kasus posisi. Karena Penggugat telah lalai dalam kewajibannya sebagai karyawan

    engineering yang disebabkan lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan

    pada saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga

    untuk menyalakan genzet serta mangkir 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa

    8 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan I, 1996, hal. 1.

  • keterangan tertulis. Juga kelelaian Tergugat terhadap kewajibannya terkait gaji dan

    hak-hak Penggugat.

    Dengan demikian pada hakikatnya setiap hubungan kerja yang dibuat oleh para pihak

    didasari dengan perjanjian kerja. Seperti pelaksanaan hubungan kerja yang dibuat

    antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja didasari dengan perjanjian kerja karena

    perjanjian kerjasama tersebut sebenarnya merupakan perjanjian kerja. Syarat sah

    perjanjian kerja diatur berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun

    2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan :

    a. kesepakatan kedua belah pihak;

    Bahwa sesuai fakta yang ada dalam pembuatan perjanjian kerja tersebut antara

    Pemberi kerja yaitu Hotel Ogh Doni Jogja dengan pihak pekerja/buruh yaitu Abdul

    Jalil telah sepakat melakukan perjanjian kerja.

    b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

    Kedua belah pihak telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan

    hubungan kerja.

    c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

    Abdul jalil sebagai Pekerja/buruh di Hotel Ogh Doni Jogja. Penggugat mulai bekerja

    sebagai karyawan hotel yang ditugaskan menjadi staf engineering di Hotel Ogh

    Doni Jogja sejak bulan januari tahun 1998 telah bekerja di hotel selama 14 tahun

    lamanya.

  • d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

    kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pekerjaan sebagai Karyawan Hotel merupakan pekerjaan yang halal, tidak

    bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Obyek

    dalam perjanjian ini sudah disebutkan secara jelas.

    Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga semua syarat tersebut harus

    terpenuhi agar perjanjian tersebut sah. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat

    subyektif, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi berakibat dibatalkannya perjanjian.

    Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif apabila tidak terpenuhi batal

    demi hukum perjanjian tersebut.

    Setelah penulis membahas mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja seperti yang

    telah diuraikan di atas, selanjutnya akan dijelaskan pihak dalam perjanjian kerja ialah

    pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dalam perjanjian kerja dan

    hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU

    Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja.

    Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 dan angka 5 UU Ketenagakerjaan

    menyatakan:

    Pasal 1 angka 3 “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima

    upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

    Pasal 1 angka 4 “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,

    atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah

    atau imbalan dalam bentuk lain”.

  • Pasal di atas membuktikan bahwa Hotel Ogh Doni Jogja (Tergugat) merupakan

    subjek hukum dalam hukum ketenagakerjaan. Karena Hotel Ogh Doni Jogja

    merupakan suatu bentuk usaha yang berbadan hukum yang mempunyai pengurus dan

    mempekerjakan Abdul Jalil dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain

    sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan

    demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara antara

    Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja ialah sesuai dengan ketentuan dalam

    Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undangt Penyelesaian Pengadilan

    Hubungan Industrial.

    Pendapat peneliti berkenaan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

    Hubungan Imdustrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menyatakan bahwa

    Abdul Jalil berhak atas uang pesangon dan penggantian hak sebagai pekerja setelah di

    PHK sudah tepat. Berdasarkan bukti dipersidangan bahwa hubungan kerja antara

    Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja telah berlangsung selama 14 tahun

    berturut-turut. Sesuai ketentuan pasal 57 ayat (2) UUK jo pasal 10 ayat (3) Kepmen No.

    100/Men/VI/2004 yang menyatakan bahwa, “ Perjanjian kerja untuk waktu tertentu

    yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak

    tertentu”. Hakim pun tidak mempertimbangkan upah proses karena di petitum

    dimintakan lagi tentang upah proses, seharusnya bila di posita ada sekalipun tidak

    dicantumkan dalam petitum, hakim akan mempertimbangkan upah proses tersebut.

    Penulis tidak sependapat dengan eksepsi tergugat yang menyatakan Gugatan

    penggugat/pemohon prematur dan gugatan penggugat/pemohon kabur, padahal sudah

    sangat jelas apa yang sudah dipaparkan oleh penggugat benar adanya dan sesuai

    dengan bukti-bukti yang jelas, peneliti juga tidak sependapat dengan Tergugat yang

    menyatakan hubungan antara para Penggugat dengan Tergugat bukan merupakan

  • hubungan kerja seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tetapi

    merupakan hubungan perdata berdasarkan adanya Perjanjian Kerjasama sebagaimana

    diatur dalam KUHPerdata. Jika dikatakan sebagai perjanjian kerjasama antara pihak

    yang membuat perjanjian mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, yang

    akhirnya menciptakan kedudukan yang sederajat. Tetapi dalam kasus yang terjadi

    antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja, perjanjian yang dibuat tidak

    menunjukan kedudukan yang sama dan seimbang.

    Berdasarkan analisis di atas mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

    Hubungan Industrial Yogyakarta yang menyatakan Menimbang, bahwa berdasarkan

    pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa

    tidak benar Tergugat telah memberikan upah kepada Penggugat telah sesuai dengan

    Upah Minimum Propinsi D.I. Yogyakarta, yang benar bahwa Tergugat telah

    memberikan Upah kepada Penggugat berdasarkan bukti P-8 sebesar Rp 625.000,-

    terdiri dari Gaji Pokok Rp 500.000,- + Uang makan Rp 125.000,- berarti masih

    dibawah Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tahun 2011 yang

    ditetapkan sebesar Rp 808.000,- per-bulan, bahwa mengingat Peraturan Menteri

    Tenaga Kerja Nomor :

    PER-04/MEN/1994 Tanggal 16 September 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya

    Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan; Pasal 3 ayat (1) menyatakan : “Besarnya THR

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

    a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih

    sebesar 1 (satu) bulan upah;

    b. dst; Pasal 3 ayat (2) menyatakan : “ Upah satu bulan sebagaiman dimaksud dalam

    ayat (1) adalah Upah Pokok ditambah Tunjangan Tetap”. Di kasus ini penulis juga

  • melihat bahwa penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk kerja

    sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan

    November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji

    kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan

    demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat

    sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.

    Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berkesimpulan karena Tergugat

    tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana dipersyaratkan Pasal 161 dan pasal 168

    Undang undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka untuk keadilan

    dan kemanfaatan bagi Pekerja dan keluarganya yang membutuhkan perlindungan,

    maka konsekuensinya Tergugat sebagai pengusaha berkewajiban memberikan

    kompensasi pesangon 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2) dan Uang penghargaan masa

    kerja 1 x berdasarkan ketentua pasal 156 ayat (3) dan uang Penggantian hak

    berdasarkan pasal 156 ayat (4). Hal demikian sudah tentu pertimbangan hukum dari

    Majelis Hakim tingkat I sudah tepat dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Majelis

    Hakim juga memberikan tanggapan untuk tidak menanggapi posita penggugat tentang

    upah proses karena penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk

    kerja sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan

    November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji

    kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan

    demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat

    sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.

    Sehingga penulis setuju bahwa atas pertimbangan hakim diputusan ini tidak perlu

    ada upah proses karena sudah jelas penggugat tidak pernah lagi bekerja di hotel ogh

  • doni Jogja selaku tergugat dan Penggugat dan tergugat sama-sama sudah tidak

    melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.