buruh dan kekuatan politik perjuangan...
TRANSCRIPT
BURUH DAN KEKUATAN POLITIK
PERJUANGAN KONFEDERASI SERIKAT PEKERJA
INDONESIA (KSPI) DALAM MENUNTUT PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Wahyu Putra Hardiyanto
1111112000039
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
BURUH DAN KEKUATAN POLITIK: PERJUANGAN KONFEDERASI
SERIKAT PEKERJA INDONESIA (KSPI) DALAM MENUNTUT
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 04 Januari 2018
Wahyu Putra Hardiyanto
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Wahyu Putra Hardiyanto
NIM : 1111112000039
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
BURUH DAN KEKUATAN POLITIK: PERJUANGAN KONFEDERASI
SERIKAT PEKERJA INDONESIA (KSPI) DALAM MENUNTUT
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 04 Januari 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rosyidin Hasan M.Si Ana Sabhana Azmy, M.I.P.
NIP: 19701013 200501 1 003 NIDN: 2010018601
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
BURUH DAN KEKUATAN POLITIK: PERJUANGAN KONFEDERASI
SERIKAT PEKERJA INDONESIA (KSPI) DALAM MENUNTUT
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
oleh
Wahyu Putra Hardiyanto
1111112000039
Telah di uji dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Januari
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekertaris
Dr. Iding RosyidinHasan M.Si Suryani M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003 NIP: 19770424 200710 2 003
Penguji I, Penguji II,
Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Adi Prayitno, M.I.P.
NIP:196105242000032002 NIP:
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 15 Januari 2018
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rosyidin Hasan M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis perjuangan KSPI dalam menuntut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Permasalahan
penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum
Provinsi (UMP) selalu menjadi ritual tahunan di Indonesia. Dari waktu ke waktu,
masalah penetapan upah minimum selalu menjadi pokok masalah tuntutan buruh. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Pemerintah Indonesia lewat Kementerian
Ketenagakerjaan mengeluarkan kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Namun, diterbitkannya PP No.78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan nyatanya malah mengundang reaksi negatif dari kalangan
buruh atau serikat buruh. Kalangan buruh atau serikat buruh menganggap
kebijakan tersebut merugikan buruh dikarenakan tidak diikutsertakannya buruh
dalam perundingan penetapan upah minimum.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta
pemahaman mendalam. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
strategi kelompok kepentingan dari G. Calvin Mackenzie dan Gabriel A. Almond
untuk melihat saluran-saluran yang dipakai oleh kelompok kepentingan.
Kelompok kepentingan berperan mempengaruhi setiap kebijakan yang dianggap
merugikan agar sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Sehingga, untuk
menelaah upaya kelompok kepentingan dalam mempengaruhi sebuah kebijakan, akan
dianalisa strategi apa saja yang digunakan KSPI sebagai kelompok kepentingan
dalam menuntut Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.
Sedangkan, untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat strategi yang dimiliki
oleh KSPI tersebut, merujuk pada pandangan dari David Easton mengenai sistem
politik. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana proses kelompok
kepentingan mengartikulasikan kepentingan dalam mempengaruhi kebijakan
publik.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa strategi KSPI dalam menuntut
Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan belum berjalan
optimal dan efektif sehingga belum berimpilkasi pada dicabutnya PP No. 78 Tahun
2015 Pentang Pengupahan. Hal ini disebabkan adanya hambatan-hambatan yang
dialami KSPI dalam usahanya mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut.
Hambatan-hambatan tersebut terdiri dari dua faktor, yaitu pertama, hambatan internal
berupa isu yang perjuangan yang tidak fokus, serikat buruh terfragmentasi, rendahnya
kualitas pendidikan buruh, tidak adanya perwakilan KSPI di parlemen dan tidak
adanya dukungan dari partai politik. Sedangkan hambatan eksternal berupa
ketidakberpihakan pemerintah dan adanya kepentingan pengusaha dibalik kebijakan
PP No. 78 Tahun 2015.
Kata kunci: Kelompok kepentingan, Serikat Buruh, Peraturan Pemerintah.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat, dan
hidayat-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW. Penulis merasa bahagia dan bersyukur karena dapat
menyelesaikan salah satu persyaratan dalam memperolehgelar sarjana Program
Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian yang berjudul Buruh dan Kekuatan Politik: Analisa Terhadap
Perjuangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Dalam Menuntut
Pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan, dapat terselesaikan tentunya melibatkan semua pihak lain yang telah
membantu dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial, dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Iding Rosyidin Hasan, M.Si.,selaku Ketua Program Studi Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Suryani, M.Si.,selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ana Sabhana Azmy, M.I.P., selaku dosen pembimbing yang bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Serta penulis mengucapkan banyak terima kasih atas saran,
nasehat, dan semangat yang di berikan dalam menyempurnakan skripsi
ini.
vii
5. Selaku Penguji I dan Penguji II pada saat sidang skripsi berlangsung,
yang bersedia memberikan saran dan nasihat dalam menyempurnakan
skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik yang tidak
bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala dedikasinya yang
telah memberikan banyak ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.
7. Muhamad Rusdi Selaku Sekertaris Jendral KSPI beserta staffnya,
Juprianus Manurung, SH selaku Kasi Standarisasi Pengupahan Direktorat
Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja RI beserta
staffnya, P. Agung Pambudhi selaku Direktur Eksekutif, Dewan
Pengusaha Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) beserta
staffnya, Dede Yusuf M. E sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode
2014-2019 beserta staffnya dan Timboel Siregar selaku Pengamat
Perburuhan yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis.
8. Seluruh keluarga, yaitu Ibu Haryati dan Bapak Sunardi yang selalu
mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Mereka
berdua yang menjadi alasan penulis untuk menyelesaikan kewajiban ini
dan karena kerja keras beliau berdua penulis bisa sampai pada saat ini.
Untuk kedua adik, yaitu, Bayu Sakti Hardiyansyah dan Israwan Bagus
Hariyadi yang selalu menghibur penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Politik 2011,
yaitu: Muhammad Fauzi, Iskandar, Handi, Derio, Fadhli, Dami, Hendra,
Afdal, Sony, Wisnu, Abi, Aco, Bayu, Irfan, Reza, Nurcholis, Roy, Hijri,
Faisal, Amar, Zamiral, Nasrul, Sulton, Icksan, Sutisna, Nukman, Heni,
Atina, Sitta, Neneng, Mareta, dan lain-lain yang penulis tidak bisa
sebutkan. Terima kasih atas keseruannya selama 5 tahun ini.
10. Keluarga Besar H. Matamin, terutama Ijal, Astrid, Audy, Kak Sela,
Labib, Mas Abas, Esya, Faisal, Kak Gadis, Om adan, Tante Reva, Kak
Selmy, Dita, Akim, Felis dan lain-lain yang selalu tertawa bareng,
viii
mendukung, memberikan solusi, semangat dan menjadi motivasi penulis
agar segera menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman semasa kerja di Pizza Hut yaitu Hendy Giant, Eka, Lulu,
Arman, Engkos dan sahabat semasa SMA yaitu Ali Imron yang telah
menghibur dan mendukung penulis dikala putus asa.
12. Teman-teman KKN ANGSA 2014, yaitu Muhammad Fauzi, Handi
Raitiardi, Muhammad Iskandar, Aprilia Sari, Mujib, Anam, Lutfi, Reno,
Mona, Asmah, Mila, Rizka, Nisa dan Rahma yang telah memberikan
kesan menarik dan arti sebuah tanggung jawab.
13. Ayu Sri Rahayu calon guru yang dengan sabar telah menemani,
memberikan semangat dan menghibur penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini serta selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikannya
agar tidak tertunda.
Karena tanpa mereka, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan
penelitian ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan membalas segala
kebaikan mereka yang tanpa sadar telah banyak membantu dalam penyusunan
skripsi ini. Dan tentunya, penulis bukanlah orang yang sempurna sehingga mohon
maaf atas segala kekurangan dalam penelitian ini. Tentunya penulis sangat
terbuka atas kritik dan masukan yang membangun dalam menyempurnakan
penelitian ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 04 Januari 2018
Wahyu Putra Hardiyanto
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ......................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 14
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 15
E. Tinjauan Pustaka ................................................................ 15
F. Metode Penelitian............................................................... 18
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 21
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Kelompok Kepentingan ............................................ 22
1. Definisi Kelompok Kepentingan ................................ 22
2. Jenis-Jenis Kelompok Kepentingan ........................... 26
a) Kelompok Anomi ................................................ 26
b) Kelompok Nonasosiasional ................................. 27
c) Kelompok Institusional ....................................... 27
d) Kelompok Asosiasional....................................... 27
3. Strategi Kelompok Kepentingan ................................ 28
a) Lobi ..................................................................... 29
b) Dukungan Kampanye .......................................... 29
c) Publisitas ............................................................. 30
d) Proses Pengadilan ................................................ 31
4. Saluran-Saluran Kelompok Kepentingan ................... 32
a) Demonstrasi dan Kekerasan ................................ 32
b) Hubungan Pribadi ................................................ 33
x
c) Perwakilan Langsung .......................................... 33
d) Formal dan Institusi Lainnya............................... 34
1) Media Massa ................................................ 34
2) Partai Politik ................................................. 34
3) Badan Legislatif, Kabinet dan Birokrasi ...... 35
B. Teori Sistem Politik ........................................................... 35
1. Definisi Sistem Politik ............................................... 35
2. Skema Kerja Sistem Politik Menurut
David Easton .............................................................. 37
BAB III GAMBARAN PROFIL ORGANISASI KSPI
A. Sejarah Singkat Organisasi Buruh di Indonesia ................. 40
1. Periode Kolonial Belanda dan Jepang Sampai
Orde Lama .................................................................... 40
2. Periode Orde Baru ........................................................ 41
3. Periode Reformasi ........................................................ 42
B. Profil Konfederasi Serikat Pekerja Indonesai (KSPI) ........ 44
1. Sejarah KSPI ................................................................ 48
2. Struktur Organisasi KSPI ............................................. 49
3. Visi, Misi dan Program Perjuangan KSPI .................... 50
BAB IV PERJUANGAN KSPI DALAM MENUNTUT PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 78 TAHUN
2015 TENTANG PENGUPAHAN
A. Strategi KSPI Dalam Menuntut Pencabutan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan ....................................................................... 55
1. Lobi KSPI Kepada Pejabat Publik Selaku
Pembuat Kebijakan Perburuhan ................................... 56
2. Publisitas KSPI Melalui Aksi Demonstrasi
Dan Mogok Kerja ......................................................... 63
3. Tuntutan KSPI Melalui Proses Pengadilan Dengan
Mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah
Agung ........................................................................... 73
B. Hambatan KSPI Dalam Menuntut Pencabutan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan ......................................................... 77
1. Hambatan Internal ........................................................ 79
a) Isu Perjuangan Tidak Fokus .................................. 79
b) Tidak Adanya Perwakilan Buruh KSPI Baik di
Lembaga Legislatif Maupun Eksekutif ................. 84
2. Hambatan Eksternal ..................................................... 90
a) Ketidakberpihakan Pemerintah Kepada Buruh ..... 91
xi
b) Adanya Kepentingan Pengusaha Dibalik Kebijakan PP
No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan ............. 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 100
B. Saran ................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1. Upah Minimum Regional Negara-Negara ASEAN................ 8
Tabel I.A.2. Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2016 ........................ 10
Tabel I.A.3. Jumlah Sikap Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh Terhadap
PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan......................... 12
Tabel III.C.1. Pengurus Dewan Eksekutif Nasional KSPI Periode 2012-
2017 ........................................................................................ 49
Tabel IV.B.1. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia 2016-2017 ....... 82
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.B.1. Skema Kerja Sistem Politik Menurut David Easton ........... 37
Gambar III.C.1. Struktur Organisasi KSPI ................................................... 48
Gambar III.C.2. Struktur Pengurus Dewan Eksekutif Nasional KSPI .......... 48
Gambar IV.A.1. KSPI Melobi Komisi IX DPR RI ....................................... 58
Gambar IV.A.2. Tahapan Proses Agenda Setting ......................................... 65
Gambar IV.A.3. Strategi Publisitas KSPI Melalui Social Media
Facebook ............................................................................ 69
Gambar IV.A.4. Demonstrasi KSPI Menutut Pencabutan PP No. 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan ..................................... 71
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) ...................................................................... xv
Lampiran 2: Surat Hasil Wawancara/Penelitaan Dari Kementrian Ketenaga-
kerjaan RI Direktorat Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja ............................................................................ xvi
Lampiran 3: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Dari Kepengurusan Nasional
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ............................... xvii
Lampiran 4: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Dari Pengamat Perburuhan:
Timboel Siregar……………………………………………….. xviii
Lampiran 5: Transkip Wawancara Dengan Muhamad Rusdi Selaku Sekerta-
ris Jendral (Sekjen) Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) ....................................................................................... xix
Lampiran 6: Transkip Wawancara Dengan Juprianus Manurung, S.H.
Selaku Kasi Standarisasi Pengupahan Direktorat Pengupahan,
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga
Kerja RI………………………………………………………. xxvii
Lampiran 7: Transkip Wawancara Dengan P. Agung Pambudhi Selaku Direk-
tur Eksekutif Dewan Pengusaha Nasional, Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO)………………………………………….. xxix
Lampiran 8: Transkip Wawancara Dengan Timboel Siregar Selaku Pengamat
Perburuhan…………………………………………………... xxxiii
Lampiran 9: Transkip Wawancara Dengan Dede Yusuf Macan Effendi
Selaku Ketua Komisi IX DPR RI Periode 2014-2019 ............ xl
Lampiran 10: Dokumentasi Bersama Narasumber ........................................ xliv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia kekuatan politik pekerja/buruh
merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan. Bahkan pada periode pra-
proklamasi, gerakan buruh merupakan gerakan teroganisir pertama di Indonesia
yang menempatkan aksi penggulingan kekuasaan kolonial Hindia-Belanda
sebagai salah satu tujuan perjuangannya.1
Istilah pekerja dan buruh sendiri sebenarnya mempunyai makna yang
berbeda. Pengertian pekerja sendiri lebih kepada proses dan bersifat mandiri. Bisa
saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh
pekerja ini antara lain petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja
memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat
sendiri.2 Sedangkan menurut ILO, buruh merupakan seseorang yang bekerja pada
orang lain/badan hukum dan mendapatkan upah sebagai imbalan atas upayanya
menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain semua
orang yang tidak mempunyai alat produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi
maka bisa disebut sebagai buruh. Konsep ini juga sejalan dengan pemikiran Marx
tentang borjuis dan proletar dimana pada hakekatnya di dunia ini hanya ada dua
kelas yaitu borjuis dan proletar. Borjuis adalah pemilik alat produksi dan proletar
1 Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (Jakarta: TURC, 2007), h. 30.
2 Payaman J. Simajuntak, Undang-Undang Yang Baru Tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Jakarta: Work In Freedom, 2002), h. 8.
2
adalah orang yang tidak memiliki alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena
sebenarnya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar.3
Pada dasarnya, para pekerja di perusahaan pada mulanya memang
digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah pekerja operasional
atau lebih menggunakan kekuatan fisik dalam bekerja disebut pekerja kasar.
Mereka pada umumnya bekerja dengan mesin-mesin sehingga pakaiannya cepat
kotor. Supaya tidak cepat kotor, pakaian pekerja kasar tersebut biasanya diberi
warna biru dan kemudian dinamakan blue-collar workers atau pekerja kerah biru.
Di negara Barat mereka juga disebut labourers dan di Indonesia sering disebut
buruh. Seperti pekerja pabrik, konveksi, cleaning service, satpam dan sebagainya.
Kelompok kedua adalah pekerja yang mengerjakan pekerjaan halus dan lebih
menggunakan kemampuan intelektualnya untuk bekerja. Mereka biasanya
memakai baju kerah putih atau white collar karena sifat pekerjaannya pakaian
putih tersebut tidak cepat kotor. Seperti pengusaha, karyawan perkantoran, guru
honorer, tenaga penyuluh dan tenaga kesehatan. Mereka biasanya tidak bisa
disebut buruh akan tetapi pada umumnya tidak keberatan jika disebut pekerja.4
Penulis menggunakan istilah buruh atau blue collar dengan melihat
kondisi riil yaitu sifat pekerjaannya yang bergantung pada orang lain atau pemilik
perusahaan, lebih mengutamakan penggunaan kekuatan fisik dalam bekerjanya
dan umumnya bekerja dengan mesin-mesin sehingga pakaiannya cepat kotor.
Meskipun dalam penelitian ini, KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia)
3 Grendi Hendrastomo, “Menakar Kesejahteraan Buruh : Memperjuangkan Kesejahteraan
Buruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi,” Jurnal Informasi Vol. 16 No.2 (2010), h. 4. 4 Simajuntak, Undang-Undang Yang Baru, h. 9.
3
yang menjadi bahan penelitian terdiri dari berbagai afiliasi federasi. Salah satu
afiliasi tersebut terdapat white collar yaitu PB PGRI (Pengurus Besar Perguruan
Guru Republik Indonesia).
Dalam sejarah perjalanannya, buruh selalu mewarnai kehidupan politik
Indonesia. Pada awal periode pra-proklamasi, gerakan buruh merupakan gerakan
teroganisir pertama di Indonesia yang menempatkan aksi penggulingan kekuasaan
kolonial Hindia-Belanda sebagai salah satu tujuan perjuangannya.5 Sedangkan,
pada periode pasca proklamasi Republik Indonesia yaitu masa awal kemerdekaan,
gerakan buruh juga aktif dalam politik guna memperkuat kemerdekaan
Indonesia.6 Adapun, kemenangan gerakan buruh dalam perpolitikan Indonesia
sebagai salah satu kekuatan politik yang patut diperhitungkan ketika gerakan
buruh berafiliasi dengan partai politik yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI
merupakan partai ke empat pemenang pemilu yang bersaing dengan partai besar
lainnya seperti Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), PNI (Partai
Nasional Indonesia) dan Partai NU (Nahdatul Ulama) pada pemilu pertama tahun
1955.7 PKI sendiri mendapatkan 32 kursi di parlemen sehingga dapat dikatakan
PKI merupakan salah satu kendaraan politik kaum buruh yang paling sukses saat
itu. Namun, masa keemasan buruh sebagai salah satu kekuatan politik di
Indonesia harus berakhir pada 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan
peristiwa G30SPKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia).
5 Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, h. 30.
6 Rekson Silaban, Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 143. 7 Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 39-40.
4
Barulah setelah reformasi yang dipicu oleh krisis moneter dan turunnya
presiden Soeharto dari pucuk kekuasaan, perubahan terhadap organisasi buruh
mulai terjadi dan pertumbuhan serikat buruh semakin pesat. Indikasi atas
perubahan tersebut adalah dengan diratifikasinya Konvensi ILO (International
Labour Organization) tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) RI No. 83 Tahun 1998
oleh pemerintah yang menjadikan kebebasan berserikat bagi buruh.8
Dalam sejarah singkat buruh di Indonesia yang telah dipaparkan di atas,
sesungguhnya ada dua hal penting yang menyertai kehidupan buruh di Indonesia.
Pertama, buruh dalam perkembanganya selalu mengorganisasikan dirinya melalui
serikat buruh. Hal ini dikarenakan buruh seringkali dihadapkan dengan
permasalahan yang rumit diselesaikan karena melibatkan kelompok lain yaitu
penguasaha. Secara logis buruh memiliki kedudukan yang sangat lemah, baik
ditinjau dari segi ekonomi maupun kedudukan dan pengaruhnya terhadap
pengusaha. Oleh karena itu, buruh tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-
haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasikan dirinya
dalam suatu wadah yang dapat membantu mereka untuk mencapai tujuannya.9
Dengan dipengaruhi oleh kuantitas buruh yang cukup signifikan, kuantitas ini
diikuti juga dengan adanya kesadaran bahwa nasib mereka dan kepentingan yang
ingin dicapai sama akan menjadikan buruh sebagai kekuatan politik patut
diperhitungkan.
8 Simajuntak, Undang-Undang Yang Baru, h. 8.
9 Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009), h. 17.
5
Adapun pengertian serikat buruh menurut pasal 1 ayat 17 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:
“Serikat pekerja/buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.” 10
Kalau diperhatikan perumusan di atas, maka jelas bahwa serikat buruh
merupakan wadah aspirasi yang mewakili buruh dalam memperjuangkan hak dan
kepentingannya dari permasalahan-permasalahannya yang ada di Indonesia.
Kedua, dalam perkembangannya buruh selalu dihadapkan oleh permasalahan
yang berbeda-beda disetiap periodenya. Bahkan pasca reformasi buruh masih
dihadapkan oleh permasalahan-permasalahan buruh lainnya. Adapun masalah
utama perburuhan pasca reformasi yaitu masalah pengangguran, meningkatnya
jumlah pekerja informal, masalah pendidikan buruh, masalah upah buruh, masalah
sistem pengawasan tenaga kerja, praktek outsourcing dan buruh kontrak serta
masalah jaminan sosial tenaga kerja.11
Salah satu permasalahan buruh yang baru terjadi pada 23 Oktober 2015
adalah bahwa pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja menerapkan
regulasi baru dalam penetapan upah minimum dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP tersebut,
penetapan upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan
upah minimum yaitu “(UMn) Upah Minimum yang ditetapkan = (UMt) Upah
10
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 17. 11
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 47-49.
6
Minimum tahun berjalan + {(UMt) Upah Minimum tahun berjalan x (Inflasit + %
Δ PDBt)}.” Dalam hal ini, inflasit adalah inflasi yang dihitung dari periode
September tahun lalu sampai dengan September tahun berjalan. Sementara PDB
adalah pertumbuhan produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi) yang
dihitung dari PDB kuartal III dan IV tahun sebelumnya dan kuartal I dan II
periode tahun berjalan (tahun berikutnya). Data inflasi dan pertumbuhan ekonomi
itu didasarkan pada perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).12
Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan beranggapan bahwa PP
No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan dinilai akan menjadi solusi dari
perselisihan penentuan upah minimum yang terjadi setiap tahun. Peraturan baru
ini memberikan kepastian kepada pemilik modal untuk berinvestasi karena aturan
tersebut akan memperluas lapangan kerja dengan semakin banyaknya investasi
masuk.13
Adapun yang dimaksud dengan upah menurut pasal 1 ayat 30 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”14
12
Sabrina Asril, “Bagaimana Penetapan Upah Minimum dalam PP pengupahan yang
Baru?,” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/
11/03/13182601/Bagaimana.Penetapan.Upah.Minimum.dalam.PP.Pengupahan.yang.Baru.?page=a
ll 13
Indra Akuntono, “Menaker Tegaskan PP Pengupahan Tak akan Direvisi,” artikel diakses
pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/25/ 074700326/
Menaker.Tegaskan.PP.Pengupahan.Tak.Akan.Direvisi
14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30.
7
Upah merupakan salah satu unsur terpenting dalam suatu hubungan kerja,
karena dalam melaksanakan suatu pekerjaan ada beberapa makna yang dapat
diperoleh buruh. Makna ini dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1. Ditinjau dari segi individu, merupakan gerak daripada badan dan
pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup badaniah
dan rohaniah.
2. Ditinjau dari segi sosial adalah melakukan pekerjaan untuk
menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyrakat.
Berkaitan dengan makna yang pertama maka upah merupakan tujuan
utama mengapa buruh melakukan pekerjaan diperusahaan. Jika upah bukan
merupakan tujuan utama, bisa jadi hubungan itu bukanlah kerja.15
Dengan
diterbitkannya PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, tentu saja mengundang
reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kalangan pengusaha melalui Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan
pengusaha mendukung penetapan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Mereka menilai peraturan pemerintah tersebut memberikan kepastian pengupahan
terhadap buruh. Sedangkan dilain pihak sebagian besar buruh menolak PP No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan dikarenakan merasa dirugikan dengan adanya
peraturan tersebut.
Hal ini dikarenakan pertama, tidak diikutsertakannya buruh dalam
perundingan penetapan upah minimum. Dalam pasal 43 ayat 7 PP No. 78 tahun
2015 tentang Pengupahan disebutkan upah minimum ditetapkan dengan
menggunakan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yang angkanya
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga dianggap meniadakan
15
Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, 13-14.
8
peran dan hak dari serikat buruh untuk berunding dalam penetapan upah
minimum. Padahal, apabila mengacu pada pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan bahwa penetapan upah minimum itu di tetapkan oleh
Gubernur setelah mendapat rekomendasi usulan dari Dewan Pengupahan Daerah
atau Walikota/Bupati dan berdasarkan usulan komisi penelitian pengupahan dan
Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah. Kedua, dengan adanya formula
tersebut juga dapat menciptakan praktek upah murah yang selama ini terus
berlangsung.16
Sebagai contoh UMP (Upah Minimum Provinsi) Banten tahun
2015 sekitar Rp. 1.600.000 namun diterapkannya PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan kenaikan upah minimum rata-rata pada tahun 2016 menjadi sebesar
Rp 1.784.000 atau naik 11,5 persen.17
Padahal apabila melihat kenaikan UMP
(Upah Minimum Provinsi) Banten dari tahun 2014 ke tahun 2015 kenaikan upah
berkisar sebesar 21% dari RP. 1.325.000 menjadi Rp. 1.600.000.18
Oleh karena
itu, dengan adanya PP tersebut, buruh merasa dirugikan karena kenaikan upah
tidak lagi naik secara signifikan.
Selama ini, permasalahan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) selalu menjadi ritual tahunan di
Indonesia. Dari waktu ke waktu, masalah penetapan upah minimum tersebut
16
Budi Santoso, “Benarkah PP Penguapahan Perbaiki Nasib Buruh,” artikel diakses pada
tanggal 6 Maret 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/526104/benarkah-pp-pengupahan-
perbaiki-nasib-buruh 17
BPS, “Inilah Peringkat UMP 2018 Seluruh Indonesia, DIY Terendah,” artikel diakses
pada tanggal 09 September 2017 dari http://www.biaya.net/2015/11/inilah-daftar-upah-minimum-
provinsi-ump.html 18
WageIndicator Foundation, “Minimum Wages in Indonesia with effect from 01-01-2014
to 31-12-2014,” artikel diakses pada tanggal 16 Januari 2018 dari https://wageindicator.org/main
/salary/minimum-wage/indonesia/archive/0
9
memang menjadi pokok masalah tuntutan buruh. Hal ini dikarenakan, para buruh
berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai manusia, yaitu upah
yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya. Hal ini bertolakbelakang
dengan kondisi Indonesia yang selama ini menganut upah murah.
Tabel I.A.1.
Upah Minimum Regional Negara-Negara ASEAN
Nama Negara
(Mata Uang)
Gaji Bulanan
Nilai Tukar per
1 Dollars
Amerika (US$)
Dalam Mata
Uang Negara
Dalam Mata Uang
Dollars Amerika
(US$)
Filipina (Peso) 8.850 - 14.430 187 - 312 47,18
Thailand (Baht) 9.000 257 34.93
Indonesia (Rupiah) 1.100.000 -
3.100.000
83 - 236 13.106
Malaysia (Ringgit) 800 – 900 199 - 231 4,061
Vietnam (Dong) 2.400.000 -
3.500.000
106 - 155 22.527
Kamboja
(Cambodian real
560.000 140 4.000
Laos (Kip) 900.000 109 8.228
Myanmar (Kyat) 108.000 89 1.204
Sumber: (Diolah Secara Pribadi) dari National Wage and Productivity
Commission (NWPC)19
Mengutip data di atas, dari National Wage and Productivity Commission
(NWPC) pada tanggal 29 Juli 2016 yang berdomisili di Filipina, upah buruh di
Indonesia sebesar 83-236 Dollar AS atau sebesar Rp.1.100.000-3.100.000 (kurs
Rp.13.106). Dalam data tersebut, Indonesia berada pada peringkat ketiga dalam
upah minimum tertingginya yaitu sebesar 236 Dollar AS terhadap negara-negara
19
National Wage and Productivity Commission (NWPC), “Comparative Wages in Selected
Countries” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://www.nwpc.dole.gov.ph/pages/
statistics/stat_comparative.html
10
di ASEAN. Meskipun Indonesia berada diperingkat ketiga dalam upah minimun
tertingginya namun data yang dikutip dan telah diperbaharui 10 Juli 2016 melalui
WageIndicator Foundation mengungkapkan hanya provinsi DKI Jakarta dan
beberapa daerah kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang dan
Surabaya yang angkanya dapat dan hampir menyentuh upah tertinggi sebesar 236
Dollar AS.20
Adapun tabel Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2016 yaitu
sebagai berikut:
Tabel I.A.2.
Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2016
No. Provinsi Upah Minimum Provinsi (UMP)
1 Aceh RP. 2.118.500
2 Sumatera Utara RP. 1.811.875
3 Sumatera Barat RP. 1.800.725
4 Sumatera Selatan RP. 2.206.000
5 Riau RP. 2.095.000
6 Kep. Riau RP. 2.178.710
7 Jambi RP. 1.906.650
8 Bangka Belitung RP. 2.341.500
9 Bengkulu RP. 1.605.000
10 Lampung RP. 1.763.000
11 Banten RP. 1.784.000
12 DKI Jakarta RP. 3.100.000
13 Jawa Barat RP. 2.250.000
14 Jawa Tengah RP. 1.265.000
15 Jawa Timur RP. 1.283.000
16 Yogyakarta RP. 1.237.700
17 Bali RP. 1.807.600
18 NTT RP. 1.425.000
19 NTB RP. 1.482.950
20 Kalimantan Barat RP. 1.739.400
20
WageIndicator Foundation, “Minimum Wages in Indonesia with effect from 01-01-2016
to 31-12-2016,” artikel diakses pada tanggal 8 Maret 2016 dari http://www.wageindicator.org
/main/salary/minimum-wage/indonesia
11
21 Kalimantan Timur RP. 2.161.253
22 Kalimantan Selatan RP. 2.085.050
23 Kalimantan Utara RP. 2.175.340
24 Kalimantan Tengah RP. 2.057.528
25 Maluku RP. 1.775.000
26 Maluku Utara RP. 1.681.266
27 Gorontalo RP. 1.875.000
28 Sulawesi Selatan RP. 2.250.000
29 Sulawesi Utara RP. 2.400.000
30 Sulawesi Tengah RP. 1.670.000
31 Sulawesi Tenggara RP. 1.850.000
32 Sulawesi Barat RP. 1.864.000
33 Papua RP. 2.435.000
34 Papua Barat RP. 2.237.000
Sumber: (Diolah Secara Pribadi) dari National Wage and Productivity
Commission (NWPC)21
Berdasarkan data diatas, dapat kita ketahui bahwa dari 34 provinsi di
Indonesia hanya DKI Jakarta yang menyentuh upah tertinggi sebesar 236 Dollar
AS atau 3,1 juta rupiah. Dengan kata lain, provinsi dan daerah-daerah lain di
Indonesia upah minimumnya masih dibawah angka tersebut. Pada kondisi inilah
peran serikat buruh sebagai kelompok kepentingan dibutuhkan untuk mengontrol
setiap kebijakan yang dapat merugikan buruh dan mempengaruhi kebijakan
tersebut agar sesuai dengan kepentingan buruh serta berperan sebagai wadah
untuk menampung aspirasi buruh.
Saat ini, serikat buruh di Indonesia yang tercatat dalam data
Kemenakertrans menurut Ditjen Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja pada tahun 2015 yaitu 6 Konfederasi Serikat Buruh (SB), 92 Federasi
21
National Wage and Productivity Commission (NWPC), “Comparative Wages in Selected
Countries” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari https://wageindicator.org/main
/salary/minimum-wage/indonesia/archive/2
12
Serikat Buruh (SB), 11.852 SB Tingkat Perusahaan dan 170 Serikat Buruh (SB)
BUMN. Dan total jumlah anggota Serikat Buruh (SB) seluruhnya mencapai
3.414.455 orang.22
Adapun, beberapa konfederasi yang merupakan wadah terbesar
serta menaungi kelompok serikat buruh telah menyatakan sikapnya terhadap
diterbitkannya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, sebagai berikut:
Tabel I.A.3.
Sikap Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh Terhadap PP No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan
No. Nama Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh Sikap
1.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) Yoris Raweyai
Mendukung
2.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) Andi Gani
Menolak
3. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Menolak
4.
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(KSBSI)
Menolak
5. Konfederasi Kongers Aliansi Serikat Buruh Indonesia
(K.KASBI)
Menolak
6. Komite Persiapan Konfederasi Perjuangan
Buruh Indonesia (KP-KPBI)
Menolak
7. Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Menolak
Sumber: (Diolah Secara Pribadi)23
Seperti yang telah dijelaskan tabel di atas, meskipun sebagian banyak
serikat buruh yang menolak kebijakan tersebut namun adapula serikat buruh yang
22
Fadjri, dkk., “Pola Verifikasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam Kerangka Kebebasan
Berserikat,” artikel diakses pada tanggal 8 Maret 2016 dari http://kemnaker.go.id/penelitian-info-
naker/puslitbang/pola-verifikasi-serikat-pekerjaburuh-dalam-kerangka-kebebasan-berserikat
23 Eky Jagurawalta dan Ibas, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://
www.bantenpos.co/arsip/2015/11/200-advokat-siap-backup-aksi-mogok-nasional-5-juta-buruh dan
http://redaksikota.com/2015/11/27/benarkah-ada-manuver-ketua-serikat-buruh-orang-asing-
provokasi-anak-bangsa/
13
mendukung. Adapun dari beberapa serikat buruh yang menolak, peneliti memilih
KSPI sebagai bahan kajian penelitian. Alasan peneliti memilih organisasi buruh
KSPI dikarenakan KSPI merupakan organisasi buruh yang konsisten dalam
memperjuangkan kenaikan upah minimum dan gencar menolak adanya PP No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Kenyataan itu dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan KSPI
dalam menolak PP tersebut. Pertama, terpilihnya ketua KSPI Said Iqbal sebagai
Presidium Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) yang
menolak PP tersebut. GBI sendiri, merupakan gabungan dari konfederasi-
konfederasi serikat buruh seperti KSPSI-AGN, KSBSI, KSPI, KP KPBI, KASBI
dan KSN.24
Kedua, KSPI merupakan konfederasi yang mendapat dukungan dari
Serikat Buruh Internasional (International Trade Union Confederation (ITUC))
dalam penolakan PP tersebut.25
Terakhir, KSPI dalam hal ini adalah konfederasi
yang konsisten menolak PP tersebut dengan tindakan nyata yaitu melakukan
pertemuan dengan Perwakilan Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Ansory Siregar dan
memberi masukan terkait pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan.26
24
Jagurawalta, “200 Advokat Siap Backup Aksi Mogok Nasional 5 Juta Buruh.”
25 Subekti, “Tolak PP Pengupahan Buruh Cari Dukungan Internasional,” artikel diakses
pada tanggal 6 Maret 2016 dari https://m.tempo.co/read/news/2016/02/04/090742287/tolak-pp-
pengupahan-buruh-cari-dukungan-internasional
26 Kabar Parlemen, “KSPI Minta DPR Cabut PP Nomor 78 tentang Pengupahan,” artikel
diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://kabarparlemen.com/index.php/2016/04/13/kspi-
minta-dpr-cabutan-pp-nomor-78-tentang-pengupahan/
14
Melihat fenomena di atas, maka peneliti mengangkat permasalahan
tersebut untuk dijadikan skripsi dengan tema “Buruh dan Kekuatan Politik:
Perjuangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam Menuntut
Pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan.”
B. Pertanyaan Penelitian
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, agar penelitian ini lebih
terfokus dan terarah, peneliti telah merumuskan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi KSPI sebagai kelompok kepentingan dalam menuntut
pencabutan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan?
2. Apa hambatan yang dimiliki oleh KSPI dalam upaya pencabutan Peraturan
Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban secara ilmiah
terhadap masalah yang diuraikan diatas, yakni :
1. Mengetahui peranan dan strategi KSPI sebagai kelompok kepentingan
dalam menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015
tentang Pengupahan.
2. Mengetahui hambatan apa saja yang dimiliki oleh KSPI dalam upaya
pencabutan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
15
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, ada dua macam tujuan yang dapat diperoleh bagi
berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. adapun manfaat itu
adalah:
1. Manfaat Akademik
Penulisan ini dapat dijadikan referensi serta informasi yang berguna untuk
pengembangan studi bagi kalangan Akademisi maupun pihak lain dalam
kajian tentang perjuangan kelompok buruh dalam memperjuangkan hak
dan kepentingannya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat diharapkan memberikan pelajaran bagi
masyarakat terutama buruh dalam hal mempengaruhi suatu kebijakan
dengan tujuan memperjuangkan hak dan kepentingannya.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian ini, ada beberapa literatur yang peneliti
gunakan sebagai acuan dan tinjauan pustaka, dalam melakukan penelitian tentang
“Buruh dan Kekuatan Politik,” di antaranya:
Pertama, skripsi yang berjudul “Buruh dan Politik : Perjuangan KSPSI
dan K.KASBI dalam Menuntut Penghapusan Sistem Outsourching dan Kenaikan
UMP DKI Jakarta 2013," oleh Umar Algifari mahasiswa jurusan Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif
16
Hidayatullah Jakarta.27
Dalam skripsi ini membahas mengenai perbedaan strategi
gerakan KSPSI dan K.KASBI dalam menyikapi tuntutan pengahapusan sistem
outsourching dan menuntut kenaikan UMP DKI Jakarta 2013. Serta bagaimana
pengaruh dari dikeluarkannya kebijakan tentang sistem outsourching dan
kenaikan UMP DKI Jakarta 2013. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini
adalah dimana kedua gerakan tersebut memiliki strategi yang berbeda dalam
menyikapi tuntutan penghapusan sistem outsourching dan menuntut kenaikan
UMP DKI Jakarta 2013. KSPSI menggunakan strategi diskusi, seminar dan
diplomasi terhadap pemerintah dan pengusaha sedangkan K.KASBI sendiri
menggunakan strategi menggagas konsep yang kemudian diberikan kepada
pemerintah dan aksi demonstrasi. Meskipun kedua gerakan tersebut memiliki
strategi yang berbeda namun tujuan mereka sama yaitu menuntut penghapusan
sistem outsourching dan menuntut kenaikan UMP DKI Jakarta 2013.
Kedua, skripsi yang berjudul “Peranan Serikat Buruh dalam
Memperjuangkan Hak Upah dan Politik : Serikat Buruh Medan Independen” oleh
Ganda Syahputra S. mahasiswa jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara.28
Dalam skripsi ini membahas
tentang serikat buruh Medan (SBMI) dalam memperjuangkan hak-hak buruh
terutama masalah kenaikan UMP di medan. Skripsi ini juga membahas bagaimana
pentingnya gerakan buruh dalam politik, terutama pentingnya gerakan buruh
27
Umar Algifari, Buruh dan Politik : Perjuangan KSPSI dan K.KASBI dalam Menuntut
Penghapusan Sistem Outsourching dan Kenaikan UMP DKI Jakarta 2013 (Jakarta: Skripsi Fisip
UIN Syarif Hidayatullah, 2013). 28
Ganda Syahputra S., Peranan Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Hak Upah dan
Politik : Serikat Buruh Medan Independen (Medan: Skripsi Fisip Universitas Sumatera Utara,
2009).
17
dalam mengawal proses kebijakan pemerintah yang bersangkutan dengan masalah
buruh. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa SBMI belum berhasil dalam
memasukan agenda perubahan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan di
Sumatera Utara terutama dalam penetapan upah yang layak.
Ketiga, Jurnal Politik Muda, Volume 4, Nomor 2, diterbitkan Apri-Juli
2015, halaman 150-157, yang berjudul “Strategi Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia dalam Menuntut Kenaikan Upah Minimum Kota Surabaya
Tahun 2014-2015” oleh Ari Dwiantoro mahasiswa jurusan Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga.29
Dalam jurnal ini
membahas tentang strategi perjuangan serikat buruh yaitu Konfederasi Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dalam mempengaruhi kebijakan pengupahan
kota Surabaya tahun 2015. Selain itu, hambatan apa saja yang diterima oleh
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) selama proses
penuntutan kenaikan Upah Minimum Kota Surabaya Tahun 2015. Kesimpulan
dari jurnal ini adalah ada dua strategi yang digunakan oleh serikat pekerja dan
buruh kota Surabaya. Pertama, menggunakan strategi perjuangan jalanan meliputi
aksi turun jalan, demonstrasi dan mogok kerja. Kedua, strategi melalui dewan
pengupahan meliputi negoisasi, musyawarah dan menetapkan survei KHL
(Kebutuhan Hidup Layak) yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam
penetapan upah minimum baru.
29
Ari Dwiantoro, “Strategi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dalam Menuntut
Kenaikan Upah Minimum Kota Surabaya Tahun 2014-2015,” Jurnal Politik Muda Vol. 4 No.2
(Apri-Juli 2015), h. 150-157.
18
Sedangkan hambatan yang terjadi ialah pertama, konflik kepentingan yang
terjadi antara dua unsur inti yaitu pengusaha dan buruh yang tidak dapat dihindari.
Sehingga, berujung dengan keluarnya APINDO dari Dewan Pengupahan Kota dan
Provinsi yang membuat posisi pemerintah menjadi sulit karena syarat penentuan
upah salah satunya adalah keikutsertaan unsur pengusaha yang selama ini diwakili
oleh APINDO. Kedua, hambatan dari buruh itu sendiri yaitu pemahaman
mengenai pentingnya buruh untuk bergabung dengan serikat buruh saat ini sangat
kurang. Hal tersebut dibuktikan dengan bergabungnya anggota baru karena
sebelumnya mengalami masalah.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara
purposive, teknik pengumpulan dengan triangulasi atau gabungan, analisis
data bersifat induktif atau kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.30
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan
fakta-fakta yang berkaitan dengan tema lalu menganalisanya dengan tujuan
30
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 15.
19
untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan.31
Dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif, maka penulis dapat menggambarkan hal-hal
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, serta mengkaji dan menelaah
lebih jauh mengenai perjuangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) dalam menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah
sebagai berikut:
a. Studi literatur dan dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan
data sekunder dengan menganalisis dokumen publik untuk
mendapatkan gambaran yang terkait mengenai masalah-masalah
penelitian yang bersangkutan melalui literatur buku, notulen, rekaman,
surat kabar, jurnal, undang-undang laporan penelitian internet dan lain-
lain yang berkaitan dengan objek yang sedang diteliti.32
b. Teknik wawancara, teknik pengumpulan data melalui wawancara
dilakukan dengan cara mengumpulkan atau memperoleh data primer
dan informasi melalui percakapan yang berbentuk tanya jawab atau
tatap muka dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pihak-
pihak yang berkompeten. Dalam menentukan informan, penulis
menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan
31
Etta Mamang Sangadji dan Sopiah, Metedologi Penelitian: Pendekatan Praktis dalam
Penelitian (Yogyakarta: ANDI, 2010), h. 21. 32
John W. Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Diantara Lima
Pendekatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 222-223.
20
sampel yang dipilih dengan cermat, agar dalam sampel itu terdapat
wakil-wakil yang dapat mewakili dan mengetahui penelitian.
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk
deskriptif, yakni berupa kata-kata lisan atau tulisan tentang tingkah laku
manusia yang diamati. Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah
pengumpulan dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan
interpretasi tentang arti data tersebut. Dalam penelitian kualitatif, proses
analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada
orang lain.33
Oleh karena itu, teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membuat gambaran
terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan
penafsiran atau interpretasi terhadap data-data yang diperoleh penulis. Penulis
berpedoman pada buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan Skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
33
Creswell, Penelitian Kualitatif & Desain Riset, h. 222-223.
21
G. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran umum, peneliti akan menyajikan sistematika penulisan
dalam lima bab. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan secara sistematis
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah dipahami oleh
pembaca penelitian ini. Adapun pembahasan dan penulisan penelitian secara garis
besar yaitu:
Bab I: membahas pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan yang berisi susunan dari
lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab.
Bab II: membahas mengenai landasan teori yang terdiri dari teori
kelompok kepentingan dan teori sistem politik.
Bab III: membahas mengenai sejarah singkat organisasi buruh di
Indonesia, sejarah KSPI, struktur organisasi KSPI serta visi, misi dan program
perjuangan KSPI.
Bab IV: membahas mengenai analisis strategi dan hambatan KSPI dalam
menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Bab V: merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya dan saran.
22
BAB II
KERANGKA TEORI
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu
menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan
dari segi mana peneliti mengamati masalah-masalah yang akan diteliti. Perlu
diketahui bahwa teori adalah suatu rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi
dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
cara merumuskan hubungan antar konsep.34
Sedangkan menurut F. N. Karlinge,
teori adalah suatu konsep atau konstruksi yang berhubungan satu sama lain, suatu
set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari
fenomena.35
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep teori
untuk mendukung permasalahan yang akan di teliti. Konsep teori tersebut yaitu
kelompok kepentingan dari Gabriel A. Almond dan G. Calvin Mackenzie serta
sistem politik dari David Easton.
A. Teori Kelompok Kepentingan
1. Definisi Kelompok Kepentingan
Setiap sistem politik mempunyai cara-cara tertentu di dalam merumuskan
dan menanggapi tuntutan-tuntutan ataupun kepentingan-kepentingan yang datang
dari masyarakatnya. Individu atau sekelompok individu di dalam masyarakat
34
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendy, Metode Penelitian Sosial Survei (Jakarta :
Rajawali Pers, 1999), h. 11. 35
Joko Sobagyo, Metode Penelitian DalamTeori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997),
h. 20.
23
untuk menyalurkan kepentingan-kepentingannya kepada badan-badan politik atau
pemerintah, antara lain melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk
bersama. Di dalam setiap masyarakat, sekelompok individu untuk menyalurkan
atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya mungkin sekali melalui
struktur dan cara yang berbeda dengan cara yang ditempuh oleh sekelompok
individu yang lainnya. Salah satu struktur yang menyalurkan atau
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan sekelompok individu tadi adalah
kelompok kepentingan atau sering pula dikenal dengan sebutan interest group
atau kelompok kepentingan.
Awal mula munculnya kelompok-kelompok kepentingan pertama kali
pada abad ke-19. Kelompok kepentingan biasanya cenderung memfokuskan diri
pada satu masalah tertentu saja. Keanggotaannya terdiri atas golongan-golongan
terpinggirkan, seperti kaum buruh di Eropa dan golongan Afrika-Amerika di
Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah memperbaiki nasib dan meningkatkan
kualitas hidup (quality of life).36
Adapun berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dan
ahli politik tentang kelompok kepentingan, yaitu:
a. Eugene J. Kolb dalam bukunya yang berjudul “A Framework for
Political Analysis” yang dimaksud dengan kelompok kepentingan
adalah sekumpulan individu yang terorganisir secara formal maupun
informal dan bekerjasama untuk melindungi atau mempromosikan
suatu tujuan yang sama.37
b. Menurut Ramlan Subakti, kelompok kepentingan (interest group)
adalah sekumpulan orang yang memiliki persamaan sifat, sikap,
36
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Peratama,
2008), h. 383-384. 37
Haryanto, Sistem Politik: Suatu Pengatar (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 73
24
kepercayaan, tujuan dan sepakat menyatukan dirinya dalam sebuah
perkumpulan atau organisasi guna melindungi dirinya serta mencapai
tujuannya. Kelompok ini memfokuskan perhatiannya pada upaya-
upaya untuk mengartikulasi kepentingannya kepada pemerintah
sehingga harapannya pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang
menampung aspirasi dan kepentingan kelompok bersangkutan. Maka
dapat disimpulkan bahwa kelompok kepentingan lebih berorientasi
pada perumusan kebijakan umum yang dibuat pemerintah.38
c. Menurut, Andrew Heywood kelompok kepentingan adalah asosiasi
terorganisir yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan atau
tindakan pemerintah. Kelompok kepentingan mempunyai 3
karakteristik yaitu pertama, bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah dari luar lingkup pemerintahan yaitu dari masyarakat.
Kedua, bergerak dalam bidang isu yang terfokus, misalnya isu senjata
api, isu lingkungan hidup dan lain-lain. Ketiga, berusaha merangkul
masyarakat dari bermacam latar belakang seperti pengusaha, buruh,
kelompok agama, suku dan lain-lain. 39
d. Menurut, Gabriel A. Almond kelompok kepentingan adalah setiap
organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah
tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan
publik, yaitu jabatan politik maupun pemerintahan. Kelompok-
kelompok kepentingan yang dibentuk ini bertujuan untuk memperkuat
dan mengefektifkan tuntutan-tuntutan mereka dengan mengartikulasi-
kan kepentingan mereka melalui anggota dewan, parlemen, atau
pejabat pemerintahan.40
Namun, dari berbagai macam definisi para sarjana dan ahli politik yang
telah dikemukakan diatas, penulis lebih memfokuskan definisi yang diungkapkan
oleh Gabriel A. Almond. Hal ini dikarenakan dalam konteks politik Indonesia
seringkali individu-individu yang mewakili suatu organisasi kelompok
kepentingan juga merupakan bagian dari partai politik. Seperti yang diungkapkan
oleh Gabriel A. Almond faktanya keanggotaan kelompok kepentingan dan
keanggotaan partai politik sering tumpang tindih dan lebih lagi kelompok
38
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia,
2007), h. 109. 39
Andrew Heywood, Politics (3rd ed.) (New York: Palgrave Macmillan, 2007), h. 296. 40
Mohtar Mas‟oed dan Colin Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press), h. 65.
25
kepentingan sering terlibat dalam penseleksian calon-calon partai dan selalu
berusaha agar anggotanya-anggotanya terwakili dalam komisi-komisi pemerintah.
Kadang-kadang pula, kelompok kepentingan itu bahkan berkembang menjadi
partai politik misalnya Partai Buruh di Inggris berasal dari gerakan serikat
buruh.41
Contohnya, dalam konteks Indonesia seperti ketua Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yaitu Yorrys Raweyai yang juga merupakan
kader partai Golongan Karya (GOLKAR) serta menjabat sebagai anggota Komisi
I DPR RI yang membidangi urusan Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi dan
juga ketua KSPI sendiri yaitu Said Iqbal yang pernah menjadi Calon Legislatif
(Caleg) dari Partai Keadilam Sejahtera (PKS) tahun 2009 Daerah pemilihan
Kepulauan Riau. Bahkan langkah yang diambil oleh ketua serikat buruh tersebut
juga di ikuti oleh anggota-anggota bawahannya yang lainnya yaitu enam puluh
lima anggota KSPI menjadi caleg pada pemilihan legislatif 2014.42
Serta yang
terbaru adalah wacana pendirian partai politik yaitu partai buruh oleh serikat
buruh.43
Kadang-kadang istilah “pressure group” atau kelompok penekan sering
dipergunakan untuk menyebut kelompok kepentingan. Hal ini terjadi dikarenakan
41
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 66. 42
Ady, “KSPI Restui Puluhan Kadernya Jadi Caleg,” artikel diakses pada tanggal 6 Maret
2016 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53422ba15232c/kspi-restui-puluhan-
kadernya-jadi-caleg
43 Angga Indrawan, “KSPI Gagas Pendirian Partai Politik Buruh,” artikel diakses pada
tanggal 6 Maret 2016 dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/04/29/
o6dam6365-kspi-gagas-pendirian-partai-politik-buruh
26
kelompok kepentingan muncul untuk menekan pemerintah. Namun, ada
perbedaan diantara kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Perbedaan
kelompok penekan dengan kelompok kepentingan terletak pada cara dan sasaran,
yakni kelompok kepentingan lebih berorientasi kepada proses kebijakan umum
yang dibuat oleh pemerintah, sedangkan kelompok penekan secara sengaja
mengkelompokan diri secara khusus dan setelah tujuannya tercapai maka
kelompok penekan ini akan membubarkan diri. Kelompok penekan ini secara
khusus juga berusaha mempengaruhi dan menekan para pejabat publik atau
pemerintah baik secara halus ataupun paksaan agar menyutujui tuntutan mereka.44
Dalam hal ini KSPI dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan karena
kepentinganlah yang menjadi dasar bagi terbentuknya organisasi ini. KSPI sendiri
secara khusus dibentuk oleh para buruh sebagai wadah untuk menampung aspirasi
dalam mengontrol setiap kebijakan yang dapat merugikan buruh. Seperti yang
telah diungkapkan sebelumnya bahwa peran serikat buruh yaitu melindungi hak
dan kepentingan para buruh.
2. Jenis-Jenis Kelompok Kepentingan
Menurut Gabriel Almond dan Bingham G. Powell kelompok kepentingan
dibagi menjadi empat jenis, yakni:
a. Kelompok Anomi
Kelompok ini tidak mempunyai organisasi yang legal, tetapi
individu-individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan
ketidakpuasan yang sama. Dilihat dari keanggotaannya dan pola
44
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 140.
27
gerakannya, kelompok jenis ini bersifat spontan dan cenderung tidak
terorganisir karena lebih bersifat pada tindakan segera dan tiba-tiba seperti
demonstrasi dan pemogokan yang tidak terkontrol hingga berakhir pada
kekerasan.
b. Kelompok Nonasosiasional
Kelompok kepentingan ini tumbuh berdasarkan rasa solidaritas
pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok etnis dan
pekerjaan. Biasanya kelompok ini tidak aktif secara politik dan tidak
punya organisasi yang ketat, walaupun demikian kelompok ini mempunyai
ikatan yang kuat daripada kelompok anomi.
c. Kelompok Institusional
Kelompok ini bersifat formal yang memiliki struktur, visi, misi,
tugas, fungsi serta artikulasi kepentingan. Kelompok ini berada atau
bekerja sama secara erat dengan pemerintahan seperti birokrasi dan
kelompok militer. Contohnya di Indonesia: Darma Wanita, KORPRI,
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
d. Kelompok Asosiasional
Kelompok ini dibentuk dengan tujuan yang jelas dan
pengorganisasian lembaga yang baik. Hal ini menjadikan mereka lebih
efektif dalam memperjuangkan aspirasinya. Contohnya: serikat buruh,
kamar dagang, asosiasi etnis dan agama.45
45
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 67.
28
Dalam hal ini, KSPI dapat dikategorikan sebagai kelompok asosiasional
yang dalam hal ini meliputi serikat buruh ataupun kamar dagang. Layaknya
kelompok asosiasional, KSPI mempunyai tujuan yang jelas. KSPI juga
mempunyai pelembagaan dan pengorganisasian yang baik dengan dipimpin oleh
Presiden Organisasi dan Sekertaris Jenderal (Sekjen) yang berfungsi memimpin
serta mengawasi setiap pelaksanaan kegiatan organisasi.
3. Strategi Kelompok Kepentingan
Dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditetapkannya kelompok
kepentingan harus mampu mencapai dan mempengaruhi pembuat keputusan.
Adapun cara yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan untuk mencapai dan
mempengaruhi para pembuat keputusan tidaklah sama satu dengan yang lainnya.
Kelompok kepentingan yang satu mungkin mempergunakan cara yang berbeda
dengan cara yang digunakan oleh kelompok kepentingan yang lainnya. Perbedaan
cara ini sudah merupakan satu kewajaran, karena tujuan-tujuan yang akan dicapai
oleh tiap-tiap kelompok kepentingan berbeda satu dengan yang lainnya. Andre
Heywood menyebutkan bahwa kelompok kepentingan memiliki beberapa strategi
yang dibagi dalam dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung. Metode
langsung dilakukan dengan cara melobi pemerintah, birokrasi dan lembaga
legislatif. Sedangkan secara tidak langsung dengan cara melalui media massa,
kampanye opini public dan demonstrasi.46
Sementara itu, G. Calvin Mackenzie
juga menyebutkan bahwa kelompok kepentingan menggunakan berbagai strategi
dan teknik untuk memengaruhi kebijakan public serta menjelaskan maksud dari
46
Andrew Heywood, Politics (3rd ed.), h. 305-306.
29
strategi yang digunakan kelompok kepentingan.47
Adapun strategi tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Lobi
Melobi merupakan cara konvensional yang menggambarkan
kontak langsung antara perwakilan kelompok kepentingan dengan pejabat
publik. Target para pelobi tidak hanya terdiri dari para legislator, namun
juga meliputi staf legislatif, pejabat poltik dan birokrat di cabang eksekutif
dan kepala eksekutif beserta para stafnya. Tujuan utama para pelobi adalah
untuk meyakinkan para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang
sesuai dengan kepentingan kelompok yang mereka wakili. Dalam hal ini,
lobi merupakan suatu usaha yang dilakukan pihak luar untuk memberikan
pengaruh didalam kongres atau instansi pemerintahan dengan
menyediakan informasi dan isu serta dukungan dan bahkan dapat memberi
ancaman.
b. Dukungan Kampanye
Kelompok kepentingan dengan sumber daya yang cukup sering
mengambil bagian aktif dalam kampanye politik. Alasannya yaitu jika
seorang pejabat terpilih percaya bahwa kelompok kepentingan membantu
dia mencapai jabatan publik menjadikan dia sangat mungkin untuk
menjadi ramah untuk kelompok kepentingan yang mendukungnya.
Dengan kata lain, cara ini memungkinkan adanya timbal balik atas
dukungan diberikan kelompok kepentingan terhadap pejabat tersebut
47
G. Calvin Mackenzie, American Government: Politics and Public Policy (New York:
Random House, 1986), h. 98-107.
30
sehingga kelompok kepentingan akan memiliki akses ke pejabat itu dan
dengan demikian kelompok kepentingan memiliki kesempatan untuk
mempresentasikan pandangannya.48
c. Publisitas
Sementara tujuan utama publisitas adalah untuk menunjukkan
terdapatnya permasalahan sosial atau ekonomi yang signifikan yang
membutuhkan perhatian dan solusi dari pemerintah. Sebuah permasalahan
yang diakui sebagai suatu masalah yang harus dicari jalan keluarnya
merupakan langkah yang penting dalam proses memengaruhi kebijakan
publik. Para ahli politik menyebutnya sebagai fungsi agenda setting.
Tantangan pertama yang utama bagi berbagai kelompok kepentingan
adalah untuk mendapatkan perhatian atau dukungan dalam agenda publik
dan dipertimbangkan secara aktif oleh para pejabat publik sehingga
tindakan kebijakan bisa diambil.
Oleh karena itu, dalam melakukan publisitas biasanya kelompok
kepentingan melakukan suatu demonstrasi dan mogok kerja yang nantinya
akan dipublikasi melalui saluran media massa seperti koran, televisi, radio
dan lain-lain. Sebuah demonstrasi biasanya memiliki dua sasaran. Target
utama adalah pejabat publik yang berwenang untuk menangani masalah
dan terinspirasi karena adanya demonstrasi. Target kedua adalah
masyarakat umum, dengan harapan mendapatkan dukungan rakyat untuk
48
Mackenzie, American Government, h. 98-107.
31
sponsor dari demonstrasi dan akan diterjemahkan ke dalam peningkatan
tekanan pada pejabat publik untuk menanggapi suatu masalah.49
d. Proses pengadilan
Pada kenyataannya, pengadilan baru-baru ini mengambil sejumlah
fungsi pembuatan kebijakan sebelumnya yang dilakukan oleh legislator
dan administrator. Pengadilan dengan tindakan tuntutan hukum adalah
teknik yang paling sering digunakan oleh kelompok-kelompok
kepentingan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dalam hal ini,
kelompok kepentingan mengajukan gugatan untuk menantang kepatutan
atau konstitusional hukum dan keputusan administratif. Mereka menuntut
pejabat atau instansi pemerintah, untuk menunjukkan tindakan
administrator atau pelaksanaan prosedur yang tidak benar dan melanggar
perlindungan hukum atau konstitusi.
Ada dua alasan utama kelompok kepentingan menggunakan
pengadilan sebagai strateginya. Pertama, ia akan beralih ke litigasi jika
telah mencoba strategi lain dan mereka telah gagal. Karena litigasi mahal
dan sering memakan waktu, kelompok kepentingan sering beralih ke itu
hanya sebagai upaya terakhir. Alasan kedua adalah pengadilan telah lama
menjadi strategi utama dan penting bagi kaum minoritas atau kelompok-
kelompok kepentingan kecil yang kurang memiliki pengaruh politik.50
49
Mackenzie, American Government, h. 98-107. 50
Mackenzie, American Government, h. 98-107.
32
4. Saluran-saluran Kelompok Kepentingan
Andrew Heywood menyebutkan beberapa saluran-saluran yang digunakan
oleh kelompok kepentingan dalam usaha mempengaruhi suatu kebijakan yaitu
birokrasi, majelis, pengadilan, media massa, partai politik dan badan-badan
internasional.51
Sementara itu, Gabriel A. Almond juga mengemukakan serta
menjelaskan tentang saluran-saluran yang dipergunakan oleh kelompok
kepentingan dalam menyalurkan tuntutan-tuntutan mereka, yaitu 52
a. Demonstrasi dan kekerasan
Demonstrasi dan tindakan kekerasan adalah merupakan salah satu
saluran yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan untuk menyatakan
kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutannya. Demonstrasi dan
tindakan kekerasan (yang didalamnya termasuk huru-hara, kerusuhan,
konfrontasi, dan lain-lainnya) merupakan saluran yang sering
dipergunakan oleh kelomok kepentingan anomi. Tetapi tidak tertutup
kemungkinan bagi kelompok-kelompok kepentingan yang lainnya untuk
mempergunakan saluran ini. Biasanya kelompok-kelompok kepentingan
yang lainnya (bukan kelompok kepentingan anomik) juga mempergunakan
saluran ini dikarenakan saluran-saluran yang lainnya (saluran yang
sifatnya konvensional, seperti perwakilan langsung) sudah tertutup untuk
dapat mencapai dan mempengaruhi para pembuat keputusan.
51
Andrew Heywood, Politics (3rd ed.), h. 304. 52
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58.
33
b. Hubungan pribadi
Hubungan pribadi juga merupakan saluran yang dipergunakan oleh
kelompok kepentingan untuk mencapai dan mempengaruhi para pembuat
keputusan. Hubungan pribadi ini biasanya dapat melalui hubungan
keluarga, hubungan kekerabatan atau hubungan-hubungan yang sifatnya
kedaerahan. Pada umumnya saluran hubungan pribadi dipergunakan oleh
kelompok-kelompok kepentingan non assosiasional, akan tetapi tidak
tertutup kemungkinan bagi kelompok-kelompok yang lainnya
mempergunakan saluran tersebut.53
e. Perwakilan Langsung
Perwakilan langsung dalam badan legislatif atau birokrasi sangat
memungkinkan kelompok-kelompok kepentingan mengkomunikasikan
kepentingan-kepentingannya secara langsung dan terus menerus. Anggota-
anggota kelompok kepentingan yang mewakili kelompoknya dalam
komisi-komisi parlemen dapat secara terus-menerus mengkomunikasikan
kepentingan-kepentingan kelompoknya.
Saluran yang berwujud perwakilan langsung ini dapat
berlangsung atau berjalan apabila kelompok kepentingan yang
bersangkutan mempunyai anggota-anggota yang duduk dalam badan
legislatif maupun badan eksekutif. Dalam prakteknya, anggota-anggota
kelompok kepentingan sering mempunyai hubungan yang erat dengan
para pembuat keputusan atau kebijaksanaan sehingga kelompok
53
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58.
34
kepentingan dapat terlibat didalam proses pembuatan keputusan atau
kebijaksanaan.54
f. Formal dan Institusi lainnya
Keberadaan saluran ini biasanya ada didalam sebuah sistem politik
modern. Bentuk saluran ini dapat melalui tiga jalur yaitu:
1) Media Massa
Media massa termasuk didalamnya adalah televisi, radio,
surat kabar, dan majalah adalah merupakan salah satu saluran
untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun
tuntutan-tuntutan dari kelompok kepentingan. Pada tiap-tiap
masyarakat atau negara, peranan media massa untuk
mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-
tuntutan dari kelompok kepentingan berbeda-beda.
2) Partai Politik
Partai politik juga merupakan saluran yang dapat
dipergunakan oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk
mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan atau tuntutan-
tuntutannya. Hal yang seperti ini sudah merupakan sesuatu yang
wajar karena salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana
untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan.55
54
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58.
55
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58.
35
3) Badan Legislatif, Kabinet dan Birokrasi
Kelompok-kelompok kepentingan juga dapat menyalurkan
kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutannya melalui
saluran-saluran yang berwujud badan legislatif, kabinet dan
birokrasi. Saluran-saluran tersebut ternyata memegang peranan
yang cukup penting. Misalnya saja, hubungan dengan birokrasi,
diberbagai tingkatan maupun diberbagai departemen mempunyai
arti yang sangat penting apabila wewenang pembuatan keputusan
dilimpahkan atau didelegasikan kepada cabang-cabang birokrasi
itu.56
B. Teori Sistem Politik
1. Definisi Sistem politik
Dewasa ini dalam mempelajari sistem politik ada dua perwujudan
pendekatan sistem, yakni teori analisis sistem yang di kembangkan oleh David
Easton dan teori perbandingan sistem politik antara struktural dan fungsional yang
dikembangkan oleh Gabriel Almond. Baik David Easton dan Gabriel Almond
mempunyai cara tersendiri dalam menjelaskan tentang sistem politik. David
Easton memberikan difinisi sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yaitu:57
56
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58. 57
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan
Empirik (Bogor: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 20.
36
a. Sistem politik menetapkan nilai-nilai (berbentuk keputusan-keputusan
atau kebijakan-kebijakan)
b. Nilai-nilai tersebut dalam penetapannya bersifat paksaan dan
kewenangan.
c. Penetapan yang bersifat paksaan tersebut berhasil kemudian mengikat
masyarakat keseluruhan.
Sedangkan Gabriel Almond mendefinisikan sistem politik sebagai sistem
interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka tertentu, yang menjalankan
fungsi-fungsi intergrasi dan adaptasi. Fungsi integrasi disini adalah fungsi yang
dijalankan dengan tujuan untuk mencapai persatuan dan kesatuan dalam
masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adaptasi adalah fungsi
penyesuaian terhadap lingkungan, baik lingkungan masyarakat domestik atau
lingkungan masyarakat internasional. Dengan kata lain, yang dimaksud sistem
politik adalah menunjuk kepada seluruh lingkup aktivitas politik yaitu membahas
proses, hubungan dan interaksi antara unit-unit atau lembaga dalam kegiatan atau
usaha melaksanakan fungsi-fungsinya untuk menghasilkan keputusan-keputusan
kebijaksanaan (policy decision) berupa nilai-nilai yang mengikat masyarakat
keseluruhan.
37
2. Skema Kerja Sistem Politik Menurut David Easton
Berikut adalah skema kerja sistem politik menurut David Easton sebagai
berikut:
Gambar II.1. Skema Kerja Sistem Politik Menurut David Easton
Sumber: (Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews. 2008: 5) 58
Adapun pengertian dari istilah-istilah yang ada pada skema kerja sistem
politik menurut David Easton, yaitu:59
a. Masukan (input) merupakan masukan dari masyarakat yang berupa
tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana adalah sebagai
perangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara merata oleh
sistem politik kepada masyarakat yang ada dalam cakupan sistem
politik. Sedangkan dukungan merupakan upaya atau tindakan dari
masyarakat untuk (positif) melestarikan atau (negatif) menolak kinerja
sebuah sistem politik. Dukungan dapat diberikan oleh berbagai pihak,
baik secara perseorangan atau kelompok guna menunjang tuntutan-
tuntutan yang telah dibuat tadi agar dapat diproses lebih lanjut.
b. Sistem politik merupakan proses, hubungan dan interaksi antara unit-
unit atau lembaga-lembaga dalam kegiatan atau usaha melaksanakan
fungsi-fungsinya untuk menghasilkan output (keputusan atau
58
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 5. 59
Maksudi, Sistem Politik Indonesia, h. 26-28.
38
kebijakan) dari suatu input (tuntutan dan dukungan dari aspirasi rakyat
atau dari luar sistem itu sendiri) agar dapat dicapainya tujuan tersebut.
Dalam proses tersebut, sistem politik melibatkan supra struktur politik
seperti legislatif, yudikatif, eksekutif dan infra struktur politik yang
seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, alat
komunikasi politik (media), tokoh politik dan lain-lain.
c. Keluaran (input) merupakan hasil dari proses konversi yang berupa
keputusan dan tindakan. Keputusan sendiri adalah pemilihan satu atau
beberapa pilihan tindakan yang di pilih sebagai tindak lanjut proses
dari masukan (input). Sedangkan tindakan merupakan implementasi
konkret pemerintah atas keputusan yang dibuat dan biasanya keluaran
(output) ini berupa sebuah kebijakan publik.
d. Umpan balik (feedback) merupakan dampak yang diterima masyarakat
terhadap suatu keluaran (output) atau kebijakan publik. Dalam
kebijakan tersebut bisa berdampak positif maupun negatif akan
menjadi umpan balik atau dikembalikan yang akan dimanfaatkan oleh
perumus kebijakan publik tersebut sebagai masukan-masukan (input)
baru yang nantinya akan diproses kedalam sistem politik kembali agar
sesuai tujuannya dan begitu seterusnya.
e. Lingkungan (environtment) merupakan suatu keadaan sosial, politik,
ekonomi, kebudayaan, keamanan, geografi yang ada dan diterapkan di
suatu negara. Setiap negara memiliki keadaan-keadaan yang berbeda-
beda dan hal ini dapat mempengaruhi seluruh sub-sub atau nilai-nilai
sistem politik yang ada dinegara tersebut. Dalam hal ini, lingkungan
(environtment) biasanya melibatkan masyarakat atau rakyat disuatu
negara.
Sedangkan, proses politik dalam sistem politik menurut pendekatan yang
dikembangkan oleh Easton dan Almond dapat dijelaskan sebagai berikut :
”Proses politik berawal dari masukan input yang berupa kepentingan
yang diartikulasikan oleh kelompok kepentingan, diagregasikan,
dipadukan oleh partai politik sehingga menjadi suatu kebijakan yang
bersifat umum, selanjutnya dimasukkan dalam proses pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif. Dalam tahap ini
input itu diubah menjadi output berupa kebijaksanaan karena tahap ini
disebut dengan konversi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan oleh birokrasi,
kesungguhan pelaksanaan ini dijamin dan diawasi oleh fungsi
penghakiman yang dijalankan oleh fungsi badan peradilan. Demikian
proses tersebut berjalan, dari input berupa tuntutan kepentingan diubah
menjadi output, yang selanjutnya melalui umpan balik masuk kembali ke
dalam sistem politik dan memulai proses baru lagi menjadi input dan
seterusnya.”60
60
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. xiv.
39
Dalam hal ini KSPI yang merupakan serikat buruh dapat dikatakan sebagai
unit-unit dalam sitem politik tersebut. Hal ini dikarenakan serikat buruh adalah
sebuah organisasi atau kelompok kepentingan yang tujuannya memperjuangkan
hak dan kepentingan buruh. Melalui masukan-masukan buruh berupa tuntutan dan
dukungan, serikat buruh melakukan fungsinya sebagai kelompok kepentingan
yaitu mengartikulasikan kepentingan buruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan publik sesuai dengan kepentingannnya.
40
BAB III
GAMBARAN PROFIL ORGANISASI KSPI
A. Sejarah Singkat Gerakan Buruh di Indonesia
1. Periode Kolonial Belanda dan Jepang Sampai Orde Lama
Awal kemunculan gerakan buruh di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
ideologi sosialisme dan marxisme. Paham dan pengaruh kedua ideologi tersebut
tumbuh subur ditanah eropa salah satunya Belanda yang kemudian paham-paham
tersebut dibawa oleh pekerja Belanda yang datang ke Indonesia.61
Pada tahun
1894 muncul serikat pekerja di Indonesia seperti NIOG (Nederland Indies
Onderw Genoots) yaitu perserikatan dari guru-guru bangsa Belanda.62
Kemudian,
tahun 1908 berdiri organisasi buruh seperti, VSTP (Vereeniging van Spoor-en
Tremwege Personel in naderland indie) dipimpin Semaoen dan para pimpinannya
yang beraliran Sosialis Komunis yang bertujuan membela hak-hak dan kemajuan
kaum buruh kereta api. Pada periode ini pula, gerakan buruh dianggap gerakan
teroganisir pertama di Indonesia yang menempatkan aksi penggulingan kekuasaan
kolonial Hindia-Belanda sebagai salah satu tujuan perjuangannya.63
Oleh karena itu, ketika memasuki masa pendudukan Jepang tahun (1941-
1945), praktis tidak ada satupun kekuatan politik termasuk gerakan buruh yang
dapat bertahan. Pada masa ini, semua gerakan buruh dibubarkan karena dianggap
sebagai gerakan politik rakyat dan semua buruh dialihkan ke proyek paksa atau
61
Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia (Jakarta: TURC, 2007) h. 5. 62
Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, h. 3. 63
Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, h. 30.
41
kerja paksa. Itu dilakukan untuk mendukung pengadaan pangan dan logistik
tentara Jepang.64
Selanjutnya pada pasca proklamasi kemerdekaan, masa awal kemerdekaan
gerakan buruh juga aktif dalam politik guna memperkuat kemerdekaan Indonesia.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sejumlah
perwakilan buruh di Jakarta guna merumuskan platform bersama dalam cara
bagaimana gerakan buruh bisa ikut memperkuat republik yang baru berdiri
tersebut. Pertemuan itu memunculkan BBI (Barisan Buruh Indonesia). Kemudian
berdiri juga ditahun yang sama yaitu SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia) menggantikan GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia). 65
2. Periode Orde Baru
Periode ini dimulai pada 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan
peristiwa (G30SPKI). Saat itu, PKI melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap para Jendral Militer. Penghancuran PKI menyusul peristiwa G30SPKI
telah mengakibatkan lenyapnya tradisi politik gerakan serikat buruh dan warisan
ini terus menghambat organisasi buruh di Indonesia.66
Hal ini dikarenakan
keterkaitan gerakan buruh atau serikat buruh terhadap PKI menjadikan rezim orde
baru menganggap buruh bagian dari PKI. Soeharto menata gerakan buruh pada
64
Iskandar Tedjasukmana, Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Jakarta:
TURC, 2008), h. 28-30. 65
Rekson Silaban, Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 143. 66
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 144.
42
tiga fase yang menjadikan posisi dan kekuatan tawar buruh menjadi lemah bahkan
dalam banyak hal menjadi tak berdaya, diantaranya:67
Fase pertama, (1966-1970) fase pelarangan terhadap segala bentuk
pengorganisasian serikat buruh, dikarenakan semua serikat buruh adalah produk
dari kepemimpinan Soekarno yang berafiliasi kepada gerakan politik kiri. Fase
kedua, (1970-1990) fase mengambil alih semua kekuatan serikat buruh di bawah
kendali militer. Pengendalian militer bahkan sampai masuk ke dalam tempat
kerja, mengintervensi pemilihan ketua serikat buruh, membatasi partisipasi dari
buruh, mengendalikan tuntutan upah buruh. Fase ketiga, (1990-1998) fase di
mana sebuah kebijakan ekonomi pasar menjadi topeng dari pemerintah untuk
melanjuti proyek kooptasi dan eksploitasi atas sebuah kekuatan politik buruh
melalui HIP (Hubungan Industrial Pancasila).
3. Periode Reformasi
Terakhir periode pasca reformasi, masa ini dimulai ketika jatuhnya rezim
Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto atau dikenal dengan istilah era
reformasi. Reformasi yang dialami kaum buruh adalah ketika pemerintah
meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan Keputusan Presiden RI No. 83
Tahun 1998. Hal ini juga sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang
dikuasai oleh SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).68
Selanjutnya, diperkuat
67
Launa, “Buruh dan Politik: Tantangan dan Peluang Gerakan Buruh Indonesia
Pacareformasi,” Jurnal Sosial Demokrasi Vol. 10 (Januari Maret 2011), h. 7 68
Payaman J. Simajuntak, Undang-Undang Yang Baru Tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Jakarta: Work In Freedom, 2002), h. 8.
43
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No 21
Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh pada era Abdurrahman Wahid tahun 2000 era
serikat buruh tunggal yang dapat dikontrol negara diberhentikan.69
a. Bahwasannya kemerdekaan berserikat, berkumpul, dalam
mengeluarkan pikiran secara lisan atau tulisan, mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan layak bagi manusia, dan mempunyai kedudukan
yang sejajar (sama) dalam hukum adalah merupakan hak dari setiap
warga negara.
b. Bahwasannya dalam rangka mewujudkan kemerdekaan dalam
berserikat, pekerja/buruh berhak mendirikan atau membentuk dan juga
mengembangkan sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang bebas,
mandiri, bertanggung jawab, terbuka, dan demokratis.
c. Bahwasannya serikat pekerja/serikat buruh merupakan sebuah sarana
untuk melindungi, membela, dan memperjuangkan dari kepentingan
juga kesejateraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta
mewujudkan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
dan pemerintah sehingga dapat menghasilkan suasana yang harmonis,
dinamis dan adil.
d. Bahwasannya berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang telah
dijelaskan pada huruf a, b, c, maka perlu ditetapkan undang-undang
tentang serikat pekerja/serikat buruh. (Undang-Undang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh No 21 Tahun 2000).
Dalam Undang-Undang ini bermaksud mengatur pembentukan,
keanggotaan, pemberitahuan, pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan
kekayaan, serta pembubaran dan juga hal-hal lain yang memang menyangkut
persoalan perserikatan buruh. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut maka
serikat buruh dapat didirikan secara bebas, mandiri, bertanggung jawab, terbuka,
dan demokratis sehingga buruh dapat berkumpul, menentukan sikap dan
menyatukan kepentingannya.
69
Undang-Undang Republik Indonesian Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
44
B. Profil Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI)
1. Sejarah KSPI
Sejarah pembentukan KSPI tidak dapat dilepaskan dari dinamika yang
terjadi dalam tubuh SPSI pasca 1998. Pertama, seperti yang telah diketahui
sebelum reformasi, rezim Orde Baru mengambil alih semua kekuatan serikat
buruh dan mematikan watak gerakan politik buruh dengan menerapkan organisasi
tunggal kepada organisasi buruh. Hal ini menjadikan buruh hanya memiliki satu
organisasi tunggal yaitu FBSI yang kemudian berganti nama menjadi SPSI.70
Kedua, SPSI dianggap sebagai organisasi buruh milik pemerintah dikarenakan
berada dibawah kendali pemerintah. Kendali tersebut berupa mengintervensi
pemilihan ketua serikat buruh, membatasi partisipasi dari buruh, mengendalikan
tuntutan upah buruh.71
Hal ini dapat terlihat ketika para pengurus SPSI mulai mempertanyakan
kejelasan bentuk dari organisasi mereka yang berbentuk Federation dengan
kedaulatan tertinggi di tangan anggota. Sementara dalam Anggaran Dasar SPSI
menyatakan hal yang berbeda bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Komisariat
DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Harian.72
Sebelumnya, format SPSI bukanlah
berbentuk Federation namun format Unitaris (kesatuan) yang dipergunakan oleh
rezim Orde Baru untuk mengekang kebebasan berserikat kepada organisasi
70
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 144. 71
Launa, “Buruh dan Politik, h. 7 72
KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/sejarah-kspi
45
buruh.73
Dalam format Unitaris (kesatuan) ini, buruh tidak diberi kebebasan yaitu
hak suara dalam pemilihan kepengurusan SPSI itu sendiri.74
Hal lain yang terjadi pada tahun 1998 Indonesia sedang mengalami krisis
ekonomi yang menyebabkan terjadinya inflasi hingga 68%. Inflasi yang tinggi
memicu perdebatan di Dewan Pengupahan mengenai kenaikan upah yang layak.
Salah satu anggota Dewan Pengupahan, Sjaiful DP yang saat itu masih di SPSI
mengusulkan kenaikan upah 30% sampai 35% untuk mempertahankan daya beli
buruh. DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang awalnya menyatakan mendukung
tuntutan ini ternyata kemudian mengikuti kemauan pemerintah untuk tidak
menaikkan upah buruh, sehingga menimbulkan kekecewaan pada anggota dan
pengurus yang duduk di Lembaga Tripartit Nasional.75
Namun, perubahan mulai terjadi sejak diterbitkannya Kepmenaker No. 5
Tahun 1998 tentang pendaftaran serikat pekerja dan diteruskan oleh Presiden
Habibie yang meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Hal ini kemudian
mendorong terbentuknya SPSI Reformasi. Pembentukan SPSI Reformasi ini
didukung oleh ICFTU yang sebelumnya mencurigai bahwa SPSI adalah
organisasi buruh milik pemerintah.76
Pada saat yang sama, di luar SPSI mulai
73
Kspsi, “Sejarah KSPSI”, KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 30 Mei 2016
dari http://kspsi.com/tentang-kspsi-3/ 74
Egi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringat Mengering (Jakarta: Persaudaraan
Pekerja Muslim Indonesia, 2009), h. 9. 75
KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/sejarah-kspi 76
M.S. Hidayat, Seabad Gerakan Buruh Indonesia (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), h.
135.
46
bermunculan serikat buruh lainnya sehingga makin menimbulkan kekhawatiran
mengenai perpecahan dalam gerakan buruh di kalangan pengurus SPSI.
Mulai tahun 2000, 2001 dan 2002 ada upaya membentuk payung besar
yang menyatukan seluruh serikat buruh kembali tapi pada saat yang sama tidak
menghalangi kebebasan untuk membentuk serikat buruh. Akhirnya, dihasilkan
kesepakatan untuk membentuk tim panitia yang bertugas merumuskan pokok-
pokok pikiran mengenai „wadah‟ yang hendak dibangun. Duduk di dalam tim itu
adalah Djoko Daulat (FSP Pariwisata), J. Simamora (FSP Transportasi), Sofiati
Mukadi (Kahutindo), Saeful Tavip (ASPEK), Sjafri (BUMN). Namun, hingga tiga
bulan sejak pembentukannya tim ini tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Kemudian dibentuk tim baru yang disebut Komite Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) yang dipimpin oleh Sjaeful DP (FSP KEP). Tim ini, selain berhasil
merumuskan pokok-pokok pikiran untuk menyatukan serikat buruh juga
menyiapkan pertemuan untuk membentuk KSPI dalam Konvensi.77
Pada 1 Februari 2003, diadakan kongres pertama pembentukan KSPI di
Wisma Kinasih Bogor dan disepakati terbentuknya Kongres Serikat Pekerja
Indonesia. Presiden pertama KSPI adalah Rustam Aksan dan Sekertaris Jendral
yaitu Rindorindo. Kongres pertama itu dihadiri oleh 11 serikat buruh yaitu FSP
Farkes Reformasi, FSP Kahutindo, FSP Pariwisata Reformasi, ASPEK Indonesia,
FSP KEP, FSPMI, FSP PPMI, FSP ISI, PB PGRI, FSP BUMN dan SPN.
Pada kongres kedua yang diadakan 31 Januari sampai 2 Februari 2007 di
Malang. Terjadi ketidaksepahaman mengenai pemimpin organisasi yang berujung
77
KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/sejarah-kspi
47
dengan non aktifnya empat afiliasi KSPI yaitu ASPEK Indonesia, FSP ISI, FSP
Kahutindo dan SPN. Saat itu yang terpilih menjadi Presiden KSPI adalah Thamrin
Mosii (FSPMI) dan Sekertaris Jendral Rusli (PGRI). Kemudian, pada periode ini
yaitu 23 November 2007 KSPI merubah namanya menjadi Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia.
Terakhir, kongres ketiga yang diadakan 29 Januari sampai 1 Februari 2012
di Hotel Grand Jaya Raya, Cisarua Bogor. Saat itu, Said Iqbal (Presiden DPP
FSPMI) terpilih sebagai Presiden KSPI untuk periode 2012-2017 dan Muhammad
Rusdi (dari Aspek Indonesia) sebagai Sekretaris Jenderal periode 2012-2017.
Pada periode ini KSPI di diukung oleh delapan afiliasi serikat buruh seperti FSP
Farkes Reformasi, FSP Pariwisata Reformasi, ASPEK Indonesia, FSP KEP,
FSPMI, FSP PPMI, FSP ISI, PB PGRI dan SPN. 78
Adapun jumlah anggota yang
dimiliki KSPI menurut data terakhir di tahun 2017 sebesar 1,8 juta anggota
aktif.79
Adapun struktur organisasi dan struktur pengurus dari KSPI yaitu sebagai
berikut:
78
KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/sejarah-kspi 79
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
48
2. Struktur Organisasi
Gambar III.C.1.
Struktur Organisasi KSPI
Sumber: AD/ART Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Periode 2012-2017
Gambar III.C.2.
Struktur Pengurus Dewan Eksekutif Nasional KSPI
Sumber: AD/ART Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Periode 2012-2017
Ketua Umum/ Presiden
Wakil Presiden
Sekertaris Jendral
Bendahara
Anggota
Majelis Nasional Dewan Eksekutif
Nasional
Perwakilan Daerah Komite Pekerja
Muda
Komite Perempuan
49
Tabel III .C.1.
Pengurus Dewan Eksekutif Nasional KSPI Periode 2012-2017
NAMA PENGURUS JABATAN
Ir. H. Said Iqbal, ME Presiden
Dra. Harfini Suhardi Wakil Presiden Bidang Penelitian dan Pengembangan
H. Ali Akbar Wakil Presiden Bidang Pendidikan
Wawan Erfianto Wakil Presiden Bidang Hubungan Industrial
Didi Suprijadi Wakil Presiden Bidang Politik dan Organisasi
Tuti Suwartini Wakil Presiden Bidang Pemberdayaan Perempuan
Sofyan Abdul Latif Wakil Presiden Bidang Pengupahan
Prihanani Wakil Presiden Bidang Internasional
Iwan Kusmawan Wakil Presiden Bidang Jaminan Sosial
Widadi WS Wakil Presiden Bidang Hukum dan Advokasi
Muhamad Rusdi Sekretaris Jenderal
Dr. H. Muhir Subagia Wakil Sekretaris Jenderal
Edi Iriawadi Wakil Sekretaris Jenderal
Bambang Surjono Bendahara
Sumber: AD/ART Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Periode 2012-2017
Adapun daftar serikat-serikat buruh anggota afiliasi KSPI adalah:
ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja) Indonesia
Ketua umum : Mirah Sumirat, SE
Sekertaris Umum : Sabda Peranawa Jati
PB PGRI (Pengurus Besar Perguruan Guru Republik Indonesia)
Ketua umum : Dr. Unifah Rosyidi, MPd
Sekertaris Umum : M. Qudrat Nugraha, Ph. D
FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia)
Ketua umum : Ir. H. Said Iqbal, ME
Sekertaris Umum : Riden Hatam Azis
50
SPN (Serikat Pekerja Nasional)
Ketua umum : Iwan Kusmawan, SH
Sekertaris Umum : Ramidi
FSP ISI (Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia)
Ketua umum : Wijayadi
Sekertaris Umum : Moh. Yamin
FSP FARKES-Ref (Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan)
Ketua umum : Djufnie Ashary
Sekertaris Umum : Idris Idham, SE
FSP PAR-Ref (Federasi Serikat Pekerja Pariwisata-Reformasi)
Ketua umum : Sofyan Abdul Latif
Sekertaris Umum : Endang Winarsih
FSP KEP (Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan,
Minyak, Gas Bumi dan Umum)
Ketua umum : Sjaiful DP.
Sekertaris Umum : Bambang Surdjono, SE, SH.
Sumber: AD/ART Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Periode 2012-2017
3. Visi, Misi dan Program Perjuangan KSPI
Visi dan misi KSPI tertuang pada Pasal 7 Anggaran Dasar KSPI, adalah:80
a. Terhimpunnya federasi-federasi serikat pekerja dan terciptanya
kesetiakawanan serta tali persahabatan diantara sesama serikat pekerja,
baik secara nasional maupun secara internasional.
80
KSPI, “Visi dan Misi”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/visi-misi
51
b. Terciptanya KSPI dan afiliasi yang sehat, kuat, demokratis,
independen, professional dan bertanggungjawab.
c. Terciptanya penegakan hukum dan perlindungan HAM di dalam
seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
khususnya di bidang ketenagakerjaan.
d. Terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi buruh khususnya
serta rakyat Indonesia pada umumnya dengan mengaktualisasikan
perintah konstitusi yaitu khususnya Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 33 ayat (1) Amandemen
Keempat UUD 1945.
e. Terciptanya kehidupan dan penghidupan dan demokratis dan
berkeadilan dalam hubungan industrial dengan membela serta
melindungi hak dan kepentingan afiliasi.
Dalam menjalankan fungsi dan perannya KSPI mempunyai berbagai
program kerja atau disebut dengan program aksi diantaranya:81
a. Organisasi.
Program aksinya adalah meningkatkan keanggotaan baru dan
verifikasi secara berkala, meningkatkan kualitas kartu keanggotaan untuk
perlindungan anggota secara legal, meningkatkan kerjasama antar
konfederasi, membentuk dan memperkuat perwakilan KSPI di tiap
provinsi, membentuk dan memperkuat komite perempuan serta
merencanakan, melaksanakan dan menegakkan aturan KSPI.
b. Treasure dan Keuangan.
Untuk meningkatkan rencana kerja KSPI, setiap afiliasi harus
membayar iuran setiap bulan. Selain itu, treasure dan vice treasure juga
harus meningkatkan keuangan KSPI dari sumber-sumber lain dengan
aktivitas ekonomi seperti koperasi, memonitor, mengevaluasi dan
81
KSPI, “Visi dan Misi”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/visi-misi
52
memperbarui program kerjasama dengan donor serta membuat laporan
keuangan untuk audit internal dan eksternal.
c. Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi.
Meliputi membuat silabus pelatihan, pendidikan dan sistem
regenerasi; membuat database, daftar kader dan afiliasi untuk
meningkatkan kompetensi, membangun dan meningkatkan pelatihan dan
pendidikan hukum, politik, ekonomi dan Informasi Teknologi.
d. Hubungan Industrial.
Program aksinya meliputi meningkatkan implementasi hubungan
industrial untuk meningkatkan kesejahteraan anggota KSPI dan
keluarganya serta seluruh warga negara Indonesia, mengimplementasikan
dialog sosial yang produktif dan inovatif, membentuk tim bantuan hukum
dan konsultasi dengan memberdayakan anggota dan kader.
e. Upah, Jaminan Sosial dan Kesejahteraan.
Program aksinya meliputi studi dan analisis sistem pengupahan
nasional dan juga menciptakan konsep dan reformasi upah,
memberdayakan anggota dan afiliasi KSPI dalam dewan pengupahan
nasional dan daerah, memperjuangkan standard upah untuk mencapai upah
layak, mengorganisir buruh sektor informal termasuk buruh migrant dan
pekerja domestik, menganalisis dan melakukan studi mengenai kebijakan
ekonomi global.
f. Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan.
53
Program aksinya meliputi mendorong berdirinya komite
Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan, meningkatkan law
enforcement dari Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan,
menempatkan dan memberdayakan anggota KSPI dalam Dewan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Nasional (DK3N), menciptakan
program pendidikan mengenai Kesehatan, Keselamatan Kerja dan
Lingkungan dan mensosialisasikan aturan-aturan mengenai Kesehatan,
Keselamatan Kerja dan Lingkungan dengan kampanye nasional.
g. Penelitian dan pengembangan.
Program aksinya meliputi mengimplementasikan kerjasama
dengan universitas untuk training tentang riset dan pengembangan bagi
anggota KSPI, mengimplementasikan hasil riset berdasarkan kebutuhan
KSPI dan mempublikasikan hasil penelitian kepada seluruh anggota KSPI.
h. Publikasi dan Hubungan Kemasyarakatan.
Program aksinya meliputi sosialisasi keputusan-keputusan kongres
KSPI, mempromosikan kegiatan-kegiatan KSPI melalui media cetak dan
media elektronik di tingkat lokal, nasional dan internasional serta
membuat newsletter KSPI dan membuat website KSPI.
i. Internasional.
Program aksinya meliputi meningkatkan kerjasama yang sudah ada
dan membangun kerjasama baru dengan Global Union Federation (GUF)
dan konfederasi lain, mengirimkan kader potensial untuk mengikuti
54
pelatihan-pelatihan ditingkat internasional dan berkontribusi secara aktif
dalam lembaga-lembaga internasional.
55
BAB IV
PERJUANGAN KSPI DALAM MENUNTUT
PENCABUTAN PP NOMOR 78 TAHUN 2015
TENTANG PENGUPAHAN
Pada bab ini, penulis akan menganalisa strategi KSPI sebagai kelompok
kepentingan dalam menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun
2015 tentang Pengupahan yang merujuk pada teori strategi kelompok kepentingan
dari G. Calvin Mackenzie dan Gabriel A. Almond untuk melihat saluran-saluran
yang dipakai oleh kelompok kepentingan. Selain itu, dalam bab ini penulis juga
akan menganalisa hambatan-hambatan yang dimiliki oleh KSPI dalam upaya
pencabutan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
sehingga mengakibatkan strategi KSPI belum berimpilkasi pada pencabutan
Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Untuk mengetahui
hambatan-hambatan yang dimiliki oleh KSPI tersebut, penulis akan merujuk pada
pandangan dari David Easton mengenai sistem politik. Hal ini dimaksudkan untuk
meilhat bagaimana proses kelompok kepentingan mengartikulasikan kepentingan
dalam mempengaruhi kebijakan publik.
A. Strategi KSPI Dalam Menuntut Pencabutan PP Nomor 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan
Menurut G. Calvin Mackenzie bahwa dalam usahanya mencapai tujuan
yang telah ditetapkannya, kelompok kepentingan harus mampu mencapai dan
mempengaruhi pembuat keputusan. Adapun cara yang dipergunakan oleh
kelompok kepentingan untuk mencapai dan mempengaruhi para pembuat
keputusan tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Namun, menurutnya ada
56
empat strategi yang sering digunakan kelompok kepentingan yaitu lobi, dukungan
kampanye, publisitas dan proses pengadilan.82
Sementara itu, kelompok
kepentingan juga diharuskan memiliki saluran-saluran dalam menyalurkan
tuntutan-tuntutan mereka. Hal ini dimaksudkan agar strategi-strategi yang
digunakan kelompok kepentingan efektif dan tepat sasaran. Dalam hal ini, Gabriel
A. Almond mengemukakan beberapa saluran-saluran yang sering digunakan oleh
kelompok kepentingan diantaranya yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan
pribadi, perwakilan langsung dan formal dan institusi lainnya seperti media
massa, partai politik dan badan legislatif, kabinet dan birokrasi.83
Namun, analisa
yang didapatkan penulis dari penilitian ini menyatakan bahwa hanya ada beberapa
strategi dan saluran yang digunakan KSPI dalam pencabutan PP No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan sesuai dengan teori G. Calvin Mackenzie dan Gabriel
A. Almond. Adapun strategi dan saluran itu yaitu sebagai berikut:
1. Lobi KSPI Kepada Pejabat Publik Selaku Pembuat Kebijakan
Perburuhan
Melobi pada dasarnya merupakan bagian dari aktivitas komunikasi yang
dilakukan individu ataupun kelompok dengan tujuan mempengaruhi pimpinan
organisasi lain maupun orang yang memiliki kedudukan penting dalam organisasi
dan pemerintahan sehingga dapat memberikan keuntungan untuk diri sendiri
82
G. Calvin Mackenzie, American Government: Politics and Public Policy (New York:
Random House, 1986), h. 98-107 83
Mohtar Mas‟oed dan Colin Andrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press), h. 58.
57
ataupun organisasi dan perusahaan pelobi.84
Sedangkan, menurut Mackenzie lobi
merupakan cara yang menggambarkan kontak langsung antara perwakilan
kelompok kepentingan dengan pejabat publik. Tujuan utama para pelobi adalah
untuk meyakinkan para pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang sesuai
dengan kepentingan kelompok yang mereka wakili.85
Terutama dalam kasus ini,
lobi dapat dikatakan sebagai suatu usaha yang dilakukan pihak luar untuk
memberikan pengaruh didalam instansi pemerintahan agar nanti instansi
pemerintahan tersebut dapat membuat atau merevisi kebijakan yang sesuai dengan
kepentingan kelompok mereka.
Dalam usahanya, KSPI seringkali melakukan lobi terhadap pejabat publik
seperti Kementrian Ketenagakerjaan dan DPR RI yaitu ketua dan wakil ketua
DPR serta fraksi-fraksi Komisi IX yang membidangi masalah tentang
ketenagakerjaan. Seperti fraksi partai PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Golkar,
(Golongan Karya), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Demokrat, PAN
(Partai Amanat Nasional) dan Partai Nasdem (Nasional Demokrat). Dalam
prakteknya, KSPI telah melakukan usaha untuk melobi pemerintah dalam hal ini
diwakili oleh Kementrian Ketenagakerjaan.86
Namun, KSPI mendapat hambatan
serius dalam melobi lembaga ekskutif dikarenakan KSPI memiliki relasi atau
hubungan yang buruk terhadap pemerintahan Jokowi. Seperti yang telah diketahui
hubungan buruk ini disebabkan oleh dukungan yang diberikan oleh KSPI kepada
84
Redi Panuju, Jago Lobi dan Negosiasi (Jakarta: Interprebook, 2010), h. 18. 85
Mackenzie, American Government: Politics and Public Policy, h. 98. 86
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
58
capres lainnya yaitu Prabowo pada pemilu 2014.87
Hal tersebut, tentunya
menjadikan KSPI kesulitan dalam membangun kedekatan kepada pemerintah
untuk menjalin komunikasi yang lebih intens dan serius. Salah satu cara terakhir
menjalin komunikasi yang baik dengan stakeholder hanya melalui komisi IX DPR
RI sebagai badan legislatif.
Gambar IV.A.1
KSPI Melobi Komisi IX DPR RI
Sumber : Foto Diambil Dari Dokumentasi KSPI yang Dikirim Oleh Anggota KSPI Melalui
Aplikasi Whatsapp.
Adapun proses lobi KSPI terhadap DPR RI dimulai dengan pertemuan
antara KSPI beserta konfederasi serikat buruh lainnya dengan Komisi IX DPR RI
untuk memberi masukan dan menjelaskan bahwa adanya masalah yang terdapat
dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sehingga PP tersebut dapat
dikaji ulang. Sedangkan, maksud dari KSPI melobi Komisi IX DPR RI agar
87
Rendy Sadikin, “Buruh KSPI Dukung Prabowo-Hatta,” artikel diakses pada tanggal 10
Juni 2017 dari http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/02/buruh-kspi-dukung-prabowo-
hatta
59
terbentuknya tim Pansus (Panitia Khusus) atau tim Panja (Panitia Kerja) sehingga
PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dapat dibahas untuk dikaji dan
dievaluasi dalam rapat kerja DPR. 88
Untuk merespon lobi-lobi yang dilakukan
oleh KSPI beserta konfederasi serikat buruh lainnya, DPR kemudian mengundang
dan mengadakan Rapat Kerja (Raker) pada tanggal 19 November 2015 dengan
Kementrian Ketenagakerjaan. Dalam rapat tersebut, Komisi IX DPR RI dan
Kementrian Ketenagakerjaan membahas isu-isu ketenagakerjaan dan PP No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan. Hasil dari Rapat Kerja (Raker) tersebut berupa
Komisi IX DPR RI akan membentuk tim Panja (Panitia Kerja) Pengupahan untuk
mengkaji dan mengevaluasi kembali PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Setelah tim Panja (Panitia Kerja) Pengupahan terbentuk, kemudian mereka
mengundang dan mengadakan beberapa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
dengan berbagai pihak seperti Apindo sebagai perwakilan pengusaha, Dewan
Pengupahan Nasional, Perwakilan Serikat Buruh, Para ahli dan Pakar. Tim Panja
(Panitia Kerja) Pengupahan berpandangan bahwa semua masukan yang
didapatkan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) akan menjadi bahan
untuk Panja Pengupahan dalam menyusun rekomendasi. 89
Selain itu, Tim Panja (Panitia Kerja) Pengupahan juga melakukan
kunjungan kerja ke perusahaan-perusahaan guna meninjau langsung permasalahan
pengupahan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 78 tentang
88
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. Ia Mengatakan Masalah PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan
yaitu tidak diikutsertakannya buruh dalam perundingan penetapan upah minimum dan formula
tersebut juga dapat menciptakan praktek upah murah. 89
Wawancara dengan Dede Yusuf M. E sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode 2014-
2019, tanggal 14 September 2017 di Gedung Nusantara I DPR RI.
60
Pengupahan, apakah akan dilanjutkan atau direvisi pelaksanaannya dengan
mendengarkan audiensi dari kalangan pengusaha, buruh serta pemerintah daerah
itu sendiri. Serta untuk mengetahui sesungguhnya di pasal-pasal mana saja pada
PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini yang membuat para buruh
keberatan.90
Terakhir, tim Panja (Panitia Kerja) Pengupahan nantinya akan
menyusun dan menghasilkan rekomendasi yang akan dikirim kepada pemerintah
sebagai bahan pertimbangan agar pemerintah mau merevisi PP No. 78 Tahun
2015 Tentang Pengupahan. Pada tanggal 27 April 2016 tim Panja (Panitia Kerja)
Pengupahan telah menghasilkan beberapa rekomendasi yang menyangkut
permasalahan kebijakan pengupahan ini. Adapun hasil dari rekomendasi yang
telah dihasilkan dari Panja (Panitia Kerja) Pengupahan sebagai berikut:91
a. Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk mencabut PP No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan.
b. Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk membuat Peraturan
Pemerintah yang baru dengan formula baru yang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c. Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk tidak meninggalkan
kewenangan daerah (tripartit), hak berunding (bipartit), penetapan
KHL (Kebutuhan Hidup Layak) dan penentuan inflasi daerah per satu
tahun sekali.
d. Komisi IX DPR RI meminta pemerintah untuk menyelesaikan
Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang baru dalam jangka
waktu tiga bulan dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada
seluruh pemangku kepentingan.
90
Pemerintah "Tim Panja Komisi IX DPR RI Melakukan Kunjungan Kerja Ke Kabupaten
Karawang,” artikel diakses pada tanggal 9 September 2016 dari http://www.karawangkab.
go.id/headline/tim-panja-pengupahan-komisi-ix-dpr-ri-melakukan-kunjungan-kerja-ke-kabupaten-
karawang 91
Kahar S. Cahyono, “Panja Pengupahan Komisi IX DPR RI Rekomendasikan PP No. 78
Tahun 2015 Dicabut,” artikel diakses pada tanggal 9 September 2016 dari https://www.
koranperdjoeangan.com/panja-pengupahan-komisi-ix-dpr-ri-rekomendasikan-pp-no-78-tahun-
2015-dicabut/
61
Melihat hasil rekomendasi di atas, dapat dipahami bahwa Komisi IX DPR
RI secara langsung mendukung adanya pencabutan dan revisi terhadap PP No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan. Komisi IX DPR RI beranggapan bahwa PP No.
78 Tahun 2015 tentang Pengupahan harus direvisi dikarenakan dianggap
prematur dan melanggar ketentuan aturan diatasnya yaitu UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.92
Dede Yusuf selaku Ketua Komisi IX DPR RI
mengatakan bahwa DPR sendiri tidak menyetujui adanya PP No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan tersebut. Walaupun proses RUU (Rancangan Undang-
Undang) ini sejak lama, namun PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan ini
adalah PP yang lahirnya terkesan prematur tanpa adanya konsultasi DPR terlebih
dahulu. Dalam hal ini, legislator tidak turut dilibatkan dalam perumusan hingga
pemberlakuan PP tersebut. Kemudian Komisi IX DPR RI juga menilai bahwa PP
No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan memang memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut berupa adanya beberapa poin hak buruh yang dihilangkan
dalam PP tersebut.
Adapun kelemahan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan yaitu
pertama, mengenai hak bernegosiasi yang sudah tertuang dalam UU No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Seharusnya dalam penentuan upah diharuskan
melalui mekanisme bipartit (pengusaha dengan pekerja) dan tripartit (peran
pemerintah menjadi mediator) sehingga benar-benar menghasilkan kesepakatan
bersama. Kedua adalah dibatasinya kewenangan pemerintah daerah dalam
menetapkan KHL (Komponen Hidup Layak) menjadi lima tahun. Artinya, selama
92
DPR RI, “Buletin Parlementaria”, artikel diakses pada tanggal 9 September 2016 dari
http://www.dpr.go.id/dokpemberitaan/buletin-parlementaria/b-905-5-2016.pdf
62
empat tahun ke depan apabila ada permasalahan Dinas Ketenagakerjaan dan
Pemerintah Daerah dainggap lepas tangan. Jadi dapat dikatakan kebijakan ini
dinilai menghambat ruang daerah untuk membuat kebijakan sendiri berupa
formulasi pengupahan yang sesuai dengan inflasi di daerah masing-masing.93
Oleh karena itu, Komisi IX DPR RI meminta pemerintah tidak meninggalkan
kewenangan daerah (tripartit), hak berunding (bipartit), penetapan KHL dan
penentuan inflasi daerah per satu tahun sekali. Komsi IX DPR RI juga mendesak
pemerintah untuk menyelesaikan PP tentang pengupahan yang baru dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada seluruh
pemangku kepentingan sesuai dengan hasil rekomendasi Panja (Panitia Kerja)
Pengupahan.94
Namun demikian, sampai saat ini belum ada respon dari pemerintah
terhadap hasil rekomendasi Panja (Panitia Kerja) Pengupahan menjadikan sebuah
pertanyaan mengapa pemerintah tidak menanggapi hasil rekomendasi tersebut.
Sedangkan, Juprianus Manurung selaku Kasi Standarisasi Pengupahan Direktorat
Pengupahan menganggap pemerintah tidak perlu mengikuti rekomendasi Panja
(Panitia Kerja) Pengupahan dikarenakan hanya dianggap sebagai keputusan
politik dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi atau dijalankan
sehingga apabila diabaikan pun hal tersebut tidak akan membawa konsekuensi
hukum. Ia menambahkan sebaiknya serikat buruh mengikuti aturan yang berlaku.
Kalau ada yang keberatan terhadap PP No. 78 Tahun 2015 tentang Penguapahan
93
Wawancara dengan Dede Yusuf M. E sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode 2014-
2019, tanggal 14 September 2017 di Gedung Nusantara I DPR RI. 94
Ferdinand Waskita, “Komisi IX DPR Desak Pemerintah Laksanakan Rekomendasi Panja
Pengupahan,” artikel diakses pada tanggal 9 September 2016 dari http://www.tribunnews.com/
nasional/2017/01/24/komisi-ix-dpr-desak-pemerintah-laksanakan-rekomendasi-panja-pengupahan
63
dipersilahkan mengajukan gugatan uji materil melalui Mahkamah Agung. Apabila
Mahkamah Agung menerima alasan penggugat maka pemerintah dalam hal ini
kementrian ketenagakerjaan akan merubah pasal yang digugat.95
Berdasarkan penjelasan diatas, menunjukan KSPI sebagai kelompok
kepentingan sudah melakukan strategi lobi terhadap berbagai pihak baik kepada
pemerintah maupun Komisi IX DPR RI. Namun demikian, strategi ini belumlah
dianggap berhasil dikarenakan hubungan buruk yang dimiliki KSPI dengan
pemerintahan Jokowi mengakibatkan ketidakmampuan KSPI dalam melobi
pemerintah saat ini. Padahal dalam menjalankan stategi lobi diharuskan memiliki
hubungan yang baik agar terciptanya kesepakatan bersama. Meskipun hasil yang
didapat KSPI dalam melobi DPR RI dianggap berhasil karena dikeluarnya
rekomendasi Panja Pengupahan. Namun, yang terjadi hasil rekomendasi belum
berimplikasi pada pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena
sampai saat ini tidak ada respon dari pemerintah terhadap hasil rekomendasi panja
pengupahan tersebut.
2. Publisitas KSPI Melalui Aksi Demonstrasi dan Mogok Kerja
Publisitas merupakan pesan yang direncanakan, dieksekusi dan didistibusi-
kan melalui media tertentu untuk memenuhi kepentingan publik tanpa membayar
pada media. Pada dasarnya publisitas dimaknai sebagai cara memperoleh
perhatian publik melalui penyebaran baik melalui media cetak dan elektronik
95
Wawancara dengan Juprianus Manurung, S.H, sebagai Kasi Standarisasi Pengupahan
Direktorat Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja RI, tanggal 21 September 2016 di Kementerian Tenaga
Kerja RI.
64
yang mencakup surat kabar, majalah, televisi, radio, talk show, dan acara lainnya,
ataupun publisitas online melalui media sosial, dan website.96
Sementara tujuan
utama publisitas adalah untuk menunjukkan terdapatnya permasalahan sosial atau
ekonomi yang signifikan yang membutuhkan perhatian dan solusi dari
pemerintah. Para ahli politik menyebutnya sebagai fungsi agenda setting. 97
Istilah
„agenda setting‟ dimaknai sebagai sebuah proses dimana perhatian yang diberikan
pada suatu permasalahan melalui liputan berita, menimbulkan kesadaran pada
masyarakat tentang masalah tersebut. Sebagai efek selanjutnya, hal ini dapat
membuat efek pada kebijakan publik.98
Sedangkan Dearing dan Rogers
mendefinisikan agenda setting sebagai persaingan terus-menerus diantara
berbagai isu penting untuk mendapatkan perhatian dari para pekerja media, publik
dan penguasa.99
Dalam hal ini, agenda setting dimaknai sebagai salah satu upaya
menunjukkan isu-isu dan image yang penting dan menonjol kedalam pikiran
masyarakat sehingga nantinya isu tersebut mendapatkan perhatian dari pemerintah
dan masyarakat. Seperti telah diketahui, sebuah isu yang dianggap sebagai suatu
masalah yang harus dicari jalan keluarnya merupakan langkah yang penting dalam
proses memengaruhi kebijakan publik. Adapun beberapa tahapan dalam
pemprosesan isu yang dapat diangkat dan dijadikan agenda setting, dapat
digambarkan sebagai berikut:
96
Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian Untuk Public Relations Kualitatif dan Kualitatif
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 263. 97
Mackenzie, American Government, h. 98-107. 98
Dennis Mc Quail, Mass Communication Theory (4th ed.) (London: Sage Publication,
2000), h. 426. 99
Mc Quail, Mass Communication Theory (4th ed.), h. 513.
65
Gambar IV.A.2
Tahapan Proses Agenda Setting100
Sumber : Tahapan Proses Agenda Menurut Samodra Wibawa dalam buku “Politik Perumusan
Kebijakan Publik.”
Gambar diatas menjelaskan bahwa lahirnya sebuah kebijakan bermula dari
adanya suatu masalah yang sedang berkembang. Awalnya masalah tersebut
bermula dari adanya isu publik yang dikemas oleh media. Kemudian, isu publik
tersebut berkembang menjadi opini publik di masyarakat. Dari kedua hal inilah
yang akhirnya menyebabkan timbulnya masalah kebijakan. Dari sekian banyak
masalah kebijakan yang timbul hanya sedikit masalah yang mendapatkan
perhatian pemerintah karena masalah tersebut harus melewati tahap
pengidentifikasian sehingga dapat ditemukan masalah mana yang lebih
berpeluang. Dari penyeleksian masalah inilah kemudian diangkat menjadi agenda
kebijakan. Di agenda kebijakan inilah tahapan yang paling penting sebelum
nantinya masalah tersebut menjadi penyusunan alternatif kebijakan yang akhirnya
dikeluarkan sebagai kebijakan publik.
Hal inilah yang menjadi alasan KSPI menggunakan publisitas sebagai
strategi perjuangannya. Terlebih lagi, biasanya kelompok kepentingan seperti
KSPI melakukan dan memanfaatkan suatu aksi demonstrasi dan mogok kerja
sebagai strategi publisitas. Seperti yang telah diketahui, aksi demonstrasi dan
100
Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011). Hal 59-62.
66
mogok kerja sendiri merupakan salah satu saluran yang dipergunakan oleh
kelompok kepentingan untuk menyatakan aspirasi ataupun tuntutan-
tuntutannya.101
Dalam prakteknya seringkali aksi demonstrasi dan mogok kerja
dianggap sebagai bahan bagi para pemburu berita sehingga nantinya aksi tersebut
secara tidak langsung akan dipublikasikan melalui saluran media massa seperti
koran, televisi, radio dan lain-lain.102
Hal ini dikarenakan media massa memiliki
kemampuan membuat agenda dimana isu diramu dan dikemas atau biasa disebut
dengan framing untuk didiskusikan oleh publik dengan melakukan seleksi tentang
isu atau peristiwa yang akan diberikan kepada masyarakat dan mengarahkan
masyarakat terhadap reaksi yang timbul dalam pemberitaan tersebut.103
Sehingga
nantinya melalui reaksi yang timbul tersebut, dapat memberikan kontrol atau
penekanan-penekanan kepada pemerintah berkaitan isu-isu tertentu yang
diberitakan.104
Adapun isu framing yang digunakan oleh KSPI dalam menanggapi
munculnya PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan adalah “Tolak Upah
Murah dan Cabut PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.”105
Sedangkan
tujuan utama dari aksi demonstrasi dan mogok kerja yaitu untuk menunjukkan
terdapatnya permasalahan yang signifikan sehingga membutuhkan perhatian dan
solusi dari pemerintah. Sedangkan, target utama adalah pejabat publik yang
101
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 58. 102
Mackenzie, American Government, h. 98-107. 103
Charles R. Wright, Sosiologi Komunikasi Massa diterjemahkan oleh Lilawati dan
Jalaludin Rakhmat (Bandung : Remadja Karya, 1985), h. 20. 104
Kacung Marizan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde-Baru
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 281. 105
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
67
berwenang untuk menangani masalah dan terinspirasi karena adanya demonstrasi
dan mogok kerja. Target kedua adalah masyarakat umum, dengan harapan
mendapatkan dukungan rakyat untuk sponsor dari demonstrasi dan mogok kerja
sehingga akan diterjemahkan ke dalam peningkatan tekanan kepada pejabat publik
untuk menanggapi suatu masalah.106
Namun, sebelum melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja tersebut
biasanya KSPI akan membuat sebuah konsep. Adapun tujuan pembuatan konsep
adalah pertama, konsep merupakan suatu proses pembentukan isu dan opini di
internal organisasi serikat buruh. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan untuk
menyebarluaskan apa yang buruh tuntut dari permasalahannya. Sehingga setiap
isu yang diperjuangkan oleh KSPI didukung oleh konsepsi yang jelas. Dengan
adanya konsep, buruh dapat mengetahui alasan mengapa mereka memperjuangkan
sebuah isu yang berkaitan erat dengan kesejahteraan buruh tersebut, seperti dalam
hal ini menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. 107
Kedua, konsep juga digunakan sebagai dasar untuk memberikan usulan dalam
melakukan lobi kepada pemerintah selaku badan eksekutif maupun DPR RI
selaku badan legislatif.
Dalam perjalanannya, sebuah konsep yang komprehensif dan mendalam
tentang satu isu perjuangan didapatkan melalui mekanisme atau proses seminar,
workshop, Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi lainnya. Seminar
dilakukan dengan mengundang para ahli dari stakeholder perburuhan, baik dari
106
Mackenzie, American Government, h. 104-105 107
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
68
kalangan buruh, pengusaha, pemerintah, legislatif serta kalangan akademisi yang
diharapkan dapat memberikan gagasan dan pandangannya yang mendalam
tentang satu isu perjuangan yang akan diperjuangkan oleh KSPI. Hasil berupa
poin-poin penting dalam seminar kemudian dibahas kembali dalam sebuah
workshop yang terdiri dari 20 sampai 30 orang untuk merumuskan sebuah pokok-
pokok fikiran tentang satu isu perjuangan yang akan diperjuangkan. Tidak
berhenti di workshop, KSPI juga mengadakan beberapa kali Focus Group
Discussion (FGD) untuk mempertajam pokok-pokok fikiran hasil dari workshop.
Setelah mendapatkan satu rumusan konsep yang tajam dan komprehensif, KSPI
kemudian melakukan sosialisasi baik melalui rapat-rapat baik itu ditingkat
pimpinan nasional serta daerah maupun dikalangan grassroort melalui rapat-rapat
akbar.108
Kemudian, konsep tersebut dimuat dalam sebuah tulisan dan realese
yang nantinya akan disebar melalui Whatsapp atau pesan singkat serta media
massa berupa Koeran Perdjoangan dan website KSPI sedangkan melalui social
media KSPI menggunakan media Facebook sebagai media kampanyenya. Setelah
konsep yang dibuat untuk membangun sebuah isu tersebut telah dibentuk, KSPI
kemudian melakukan sebuah aksi demonstrasi dan mogok kerja sebagai rangkaian
lanjutan dari strategi publisitas. Adapun salah satu contoh strategi publikasi KSPI
yang telah dimuat dalam sebuah tulisan dan realese melalui social media yaitu,
sebagai berikut:
108
Koran Perdjoeangan, “Ringkasan Eksekutif Laporan Pertanggungjawaban DEN KSPI:
Ketimpangan dan Ketidakadilan Masih Terjadi,” artikel diakses pada tanggal 10 Juni 2017 dari
https://www.koranperdjoeangan.com/ringkasan-eksekutif-laporan-pertanggungjawaban-den-kspi-
ketimpangan-dan-ketidakadilan-masih-terjadi/
69
Gambar IV.A.3.
Strategi Publisitas KSPI melalui Social Media Facebook
Sumber: Foto Screenshot Diambil Dari Facebook KSPI dapat diakses melalui https://web.
facebook.com/permalink.php?story_fbid=803630073114750&id=240954696048960
Gambar diatas menjelaskan strategi publikasi yang dilakukan KSPI
melalui social media yaitu Facebook dalam upayanya mencabut PP No. 78 tahun
2015 tentang Pengupahan. Dalam sejarahnya, aksi demonstrasi dan mogok kerja
buruh bukanlah hal yang baru bagi gerakan perburuhan di Indonesia. Jauh
sebelumnya, pada tahun 1882 sekitar 10 ribu buruh tani dari 30 pabrik gula dan
perkebunan di Yogyakarta melakukan aksi mogok dan protes selama hampir tiga
bulan.109
Pemicunya, selain faktor upah yang rendah dan beratnya beban kerja,
juga karena faktor eksploitasi feodalis dan kapitalis lain. Bahkan sampai saat ini,
demonstrasi dan mogok kerja masih menjadi pilihan terbaik bagi buruh dan telah
109
Ratri Virianita, “Partisipasi Buruh Dalam Aksi Unjuk Rasa,” Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 02 No. 03 (Desember 2008), h. 321.
70
menjadi ikon gerakan buruh pasca ambruknya otoritarianisme Soeharto untuk
mengemukakan aspirasi atau pendapat di muka umum. Secara periodik, kita dapat
melihat aksi protes buruh yang secara rutin terjadi di berbagai daerah menuntut
kenaikan upah minimum tiap tahunnya. Belum lagi, jika melihat kecenderungan
aksi demonstrasi dan mogok kerja buruh tiap tahun ketika merayakan hari buruh
sedunia atau May Day. Hal ini dikarenakan demonstrasi dan mogok kerja diyakini
oleh buruh sebagai pilihan strategis yang bersifat kolektif dan efektif sebagai
sarana untuk memperkuat posisi tawar-menawar buruh terhadap perusahaan dan
pemerintah. Meski demonstrasi dan mogok kerja bukan satu-satunya sarana, akan
tetapi ia merupakan senjata yang ampuh bagi buruh, dan ditakuti jika ia bersifat
massal, kolektif dan terorganisasi.110
Apalagi demonstrasi dan mogok kerja buruh
pada beberapa tahun terakhir telah turut mempengaruhi dan menentukan proses
kenaikan upah minimum di beberapa kota dan provinsi.111
Meskipun serikat buruh menganggap demontrasi dan mogok kerja sebagai
metode perjuangan utama mereka karena pengorganisasiannya yang sederhana
dan efektif. Namum dalam kenyataannya, aksi demontrasi dan mogok kerja
memiliki dampak negatif juga bagi buruh itu sendiri seperti dikenai sanksi PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja) apabila ikut serta dalam kegiatan aksi demontrasi
dan mogok kerja. Bahkan dampak negatif juga dialami oleh perusahaan dan
negara seperti menurunnya produktivitas karena hilangnya jam kerja, apalagi jika
disertai dengan tindakan anarkis maka secara makro dapat menghambat
110
Virianita, “Partisipasi Buruh Dalam Aksi Unjuk Rasa,” h. 322. 111
B.H. Juliawan, “Street-level Politics:Labour Protests in Post-authoritarian Indonesia.,”
Majalah BASIS, Vol. 58 No. 09-10 (2011), h. 364-366.
71
pertumbuhan ekonomi nasional. Seringkali aksi demonstrasi dan mogok kerja
buruh di Indonesia diikuti oleh tindakan anarkis yang berakhir dengan tindakan
pengerusakan fasilitas perusahaan, fasilitas umum dan menganggu kepentingan
umum. Hal ini tentu saja menjadikan para investor yang sudah menanamkan
modalnya di Indonesia mengancam akan memindahkan modalnya ke negara
lain.112
Meski berdampak negatif, aksi demonstrasi buruh ini sejatinya sulit
dihindari karena bagi buruh demonstrasi buruh merupakan hak fundamental yang
berhubungan erat dengan hak kaum buruh untuk berunding.113
Gambar IV.A.4.
Demonstrasi KSPI Menutut Pencabutan PP No. 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan
Sumber : Foto Diambil Dari Dokumentasi KSPI yang Dikirim Oleh Anggota KSPI Melalui
Aplikasi Whatsapp.
Gambar diatas menjelaskan rangkaian aksi demonstrasi dan mogok kerja
buruh yang dilakukan KSPI dalam mencabut PP No. 78 tahun 2015 tentang
112
Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2001), h. 14-16. 113
Aloysius Uwiyono, Hak mogok di Indonesia , h. 20-24
72
Pengupahan. Dalam hal ini, KSPI beserta konfederasi-konfederasi serikat buruh
lainnya seperti KSPSI-AGN, KSBSI, KP KPBI, KASBI dan KSN sepakat untuk
membentuk Gabungan Buruh Indonesia (GBI) bersama.114
Adapun alasan,
dibentuknya GBI (Gabungan Buruh Indonesia) adalah melakukan aksi demontrasi
dan mogok kerja bersama dimulai dari tanggal 15 sampai 30 Oktober 2015 untuk
menolak PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.115
Bahkan sejak tahun 2016
sampai saat ini tahun 2017 dalam setiap peringatan hari buruh sedunia atau May
Day KSPI selalu menyertakan penolakan PP No. 78 tahun 2015 tentang
Pengupahan dalam aksi tuntutannya terhadap pemerintah.116
Namun demikian,
sampai saat ini hasil dari aksi demonstrasi dan mogok kerja yang dilakukan buruh
belum mampu mempengaruhi kebijakan tersebut.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas, penulis menganalisis bahwa
aksi demonstrasi dan mogok kerja merupakan bagian dari strategi publisitas KSPI
dalam menuntut pencabutan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut.
Hal ini dikarenakan, melalui aksi demonstrasi dan mogok kerja tersebut KSPI
mengharapkan perhatian dan dukungan baik dari masyarakat terhadap isu dan
permasalahan yang dihadapi oleh buruh. Kemudian nantinya melalui opini publik
yang terbentuk oleh masyarakat dapat memberi tekanan kepada pemerintah untuk
merevisi kebijakan yang dianggap merugikan kaum buruh. Seperti yang telah
114
Eky Jagurawalta, “200 Advokat Siap Backup Aksi Mogok Nasional 5 Juta
Buruh.”artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://www.bantenpos.co/arsip/2015
/11/200-advokat-siap-backup-aksi-mogok-nasional-5-juta-buruh 115
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. 116
Robertus Belarminus, “Ratusan Ribu Buruh Se-Jabodetabek Akan Aksi di Depan Istana
Presiden,” artikel diakses pada tanggal 10 Juni 2017 dari http://megapolitan.kompas.com
/read/2017/05/01/08491351/ratusan.ribu.buruh.se-jabodetabek.akan.aksi.di.depan.istana.presiden
73
diketahui, dalam melakukan publisitas biasanya kelompok kepentingan
melakukan suatu demonstrasi dan mogok kerja yang nantinya akan dipublikasi
melalui saluran media massa seperti koran, televisi, radio dan lain-lain. Adapun
hasil dari aksi demonstrasi dan mogok kerja dalam menuntut pencabutan PP No.
78 tahun 2015 tentang Pengupahan belum dapat mempengaruhi pemerintah untuk
mencabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Meskipun demikian, aksi
demonstrasi dan mogok kerja dalam menuntut pencabutan PP No. 78 tahun 2015
tentang Pengupahan masih terus dilakukan oleh KSPI disetiap peringatan hari
buruh sedunia atau May Day dan pada akhir tahun ketika penetapan upah
minimum.
3. Tuntutan KSPI Melalui Proses Pengadilan Dengan Mengajukan
Judicial Review kepada Mahkamah Agung
Seperti yang telah dijelaskan di BAB II bahwa pengadilan baru-baru ini
telah mengambil sejumlah fungsi pembuatan kebijakan yang sebelumnya
dilakukan oleh legislator. Dalam hal ini, kelompok kepentingan mengajukan
gugatan untuk menantang legalitas atau konstitusional hukum dan kebijakan
administratif. Mereka menuntut pejabat atau instansi pemerintah, untuk
menunjukkan tindakan atau pelaksanaan aturan yang tidak benar dan melanggar
perlindungan hukum atau konstitusi. Sementara itu, alasan utama kelompok
kepentingan menggunakan proses pengadilan sebagai strateginya yaitu kegagalan
kelompok kepentingan dalam menggunakan berbagai strateginya. Kelompok
kepentingan juga sering beralih ke proses pengadilan sebagai upaya terakhir
74
dikarenakan biaya yang mahal dan sering memakan waktu.117
Terutama dalam
kasus ini, PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dianggap melanggar
ketentuan aturan diatasnya yaitu melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun, dikarenakan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
merupakan produk hukum sehingga untuk menilai dan menguji kembali legalitas
dari suatu PP tersebut maka diperlukan upaya hukum seperti Judicial Review.
Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan
oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.118
Dengan kata lain, melalui Judicial Review nantinya lembaga pengadilan diberi
kewenangan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan
dengan konstitusi. Dalam kasus ini, dikarenakan peraturan ini berupa Peraturan
Pemerintah (PP) maka biasanya gugatan diajukan kepada MA (Mahkamah
Agung). Hal ini didasarkan dengan adanya pasal 31 ayat 2 UU No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Adapun pasal 31 ayat 2 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
117
Mackenzie, American Government, h. 105-107. 118
Dian Rositawati, S.H., “Judicial Review” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2017
http:// lama.elsam.or.id/downloads/1295596097_Mekanisme_Judicial_Review_di_Indonesia.pdf
75
“MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.”119
Oleh karena itu, KSPI menilai bahwa mereka berhak melakukan gugatan
terhadap PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan melalui Judicial Review
kepada MA (Mahkamah Agung). 120
Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
Pengamat Perburuhan Timboel Siregar yang menyatakan bahwa strategi lebih
pasti untuk membatalkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan adalah
melalui Mahkamah Agung dengan Judicial Review. Karena ia merasa yakin
bahwa pasal 43 ayat 7 dan 44 dalam PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
itu bertentangan dengan pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mana peran-peran serikat buruh yang ada didalam UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihilangkan di PP tersebut. 121
KSPI sendiri telah mengajukan uji materiil PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan terhadap UU 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh
dan pasal 44 ayat 2 PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap UU No.
13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.122
Namun, informasi terbaru
menyatakan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah menolak gugatan KSPI terkait
PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Mahkamah Agung (MA) menyatakan
119
Undang-Undang Nomor 05 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung pasal 31 ayat 2. 120
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. 121
Wawancara dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal 19 Oktober
2016 di Rumah Pribadi. 122
Handoyo dan Dupla KS, “Empat Uji Materi PP Pengupahan Kandas di MA” artikel
diakses pada tanggal 10 Juni 2017 dari http://nasional.kontan.co.id/news/empat-uji-materi-pp-
pengupahan-kandas-di-ma
76
proses pengujian peraturan perundang-undangan harus dihentikan dengan alasan
payung hukumnya yaitu UU No. 13 Tahun 2003 sedang dalam proses pengujian
di MK (Mahkamah Konstitusi).123
Seperti yang telah dijelaskan diatas, kelemahan
dari strategi ini adalah adanya pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang dapat menghentikan proses gugatan PP tersebut di
Mahkamah Agung. Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa:
“Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang
dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan.”124
Dengan kata lain, menghadang Judicial Review di MA cukup dengan
mengajukan UU yang menjadi dasar Judicial Review itu ke MK, maka
permohonan tidak bisa diproses. Hal ini tentu saja, merugikan pihak pemohon
yang mengajukan gugatan Judicial Review melalui MA karena prosesnya harus
dihentikan sampai adanya putusan dari MK untuk UU yang menjadi payung
hukum tersebut. Belum lagi dalam proses pengujian Judicial Review di MA sering
memakan waktu yang cukup lama bahkan pemohon juga dihukum untuk
membayar biaya perkara yang mahal meskipun proses pengujiannya dihentikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, menunjukan bahwa KSPI sudah
menjalankan beberapa strateginya untuk menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun
2105 tentang Pengupahan. Bahkan KSPI telah menggunakan upaya terakhir yaitu
mengajukan Judicial Review kepada Mahakamah Agung (MA). Namun demikian,
123
Mahkamah Agung, “Putusan Nomor 69 P/HUM/2015,” artikel diakses pada tanggal 09
September 2017 dari https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/25a2fcd2176d9
dc9f3c7ea61d90f195b/pdf 124
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 55.
77
strategi tersebut tidak berhasil sehingga belum berimplikasi pada pencabutan PP
No. 78 Tahun 2105 tentang Pengupahan. Padahal strategi ini, dianggap lebih
konkrit untuk mencabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena
dianggap bertentangan dengan payung hukumnya yaitu UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Tetapi, adanya pasal 55 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang dapat menghentikan proses gugatan PP tersebut di
Mahkamah Agung menjadi penghalang KSPI dalam memperjuangkan
kepentingannya.
B. Analisa Hambatan KSPI Dalam Menuntut Pencabutan (PP) Nomor 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa sistem politik merupakan seluruh
lingkup aktivitas politik yaitu membahas proses, hubungan dan interaksi antara
unit-unit atau lembaga dalam kegiatan atau usaha melaksanakan fungsi-fungsinya
untuk menghasilkan keputusan-keputusan kebijaksanaan (policy decision) berupa
nilai-nilai yang mengikat masyarakat keseluruhan. 125
Dimana, dalam proses
tersebut dimulai dengan suatu input berupa dukungan atau tuntutan yang
diartikulasikan oleh individu maupun kelompok kepentingan agar suatu keputusan
yang dihasilkan sesuai dengan kepentingannya. Dukungan atau tuntutan dapat
dikatakan sebagai perangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara merata
125
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, 29-37.
78
oleh sistem politik kepada semua lapisan masyarakat.126
Dalam proses
mengartikulasikan suatu kepentingan seringkali terlihat sederhana karena
merupakan tahap awal terbentuknya suatu kebijakan yaitu sebuah input yang
berupa tuntutan atau dukungan. Namun, berbagai fakta yang terjadi dalam proses
mengartikulasikan input berupa dukungan atau tuntutan itu seringkali tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan atau diaharapkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini
dikarenakan sebuah input harus melalui konversi sebagai proses, hubungan dan
interaksi yang melibatkan suprastruktur politik seperti legislatif, yudikatif,
eksekutif dan infrastruktur politik seperti partai politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan, alat komunikasi politik (media), tokoh politik dan lain-lain.
Belum lagi, dalam proses konversi juga dipengaruhi oleh lingkungan
(environtment) yang merupakan suatu keadaan sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan, keamanan, geografi yang ada dan diterapkan di suatu negara. 127
Hal
tersebut, menjadikan kelompok kepentingan seringkali mendapatkan hambatan
dalam upayanya meyakinkan lembaga suprastruktur dan infrastrukur bahwa
terdapat masalah dalam sebuah kebijakan. Sehingga mengakibatkan input yang
diperjuangkan tidak mendapatkan hasil sesuai harapan.
Seperti dalam kasus ini, KSPI yang mendapat hambatan serius dalam
melobi lembaga ekskutif dikarenakan KSPI memiliki relasi atau hubungan yang
buruk terhadap pemerintahan Jokowi. Pada Bab ini penulis akan menjelaskan dan
menganalisa beberapa hambatan yang dihadapi KSPI dalam dalam menuntut
126
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan
Empirik (Bogor: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 26. 127
Maksudi, Sistem Politik Indonesia, h. 26.
79
pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan. Adapun hambatan atau kendala yang di hadapi KSPI sebagai
berikut:
1. Hambatan Internal KSPI
Penulis menemukan terdapat beberapa hambatan yang datang dari dalam
internal KSPI sendiri baik organisasinya maupun mengenai strateginya sebagai
upaya dalam menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.
Beberapa hambatan internal tersebut dapat dikatakan berpengaruh dalam proses
mempengaruhi kebijakan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Adapun
hambatan tersebut sebagai berikut:
a. Isu yang Diperjuangkan Tidak Fokus
Seperti yang telah diketahui dalam kasus ini, KSPI menuntut pencabutan
PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Dalam sebuah tututannya KSPI
menilai bahwa PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan telah melanggar
ketentuan aturan diatasnya yaitu melanggar pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena dengan adanya formulasi baru dalam
penetapan upah minimum pada pasal 43 ayat 7 yaitu dengan menggunakan inflasi
nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yang angkanya dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap meniadakan peran dan hak dari serikat
buruh untuk berunding dalam penetapan upah minimum. Padahal, apabila
mengacu pada pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
bahwa penetapan upah minimum itu di tetapkan oleh Gubernur setelah mendapat
80
rekomendasi usulan dari Dewan Pengupahan Daerah atau Walikota/Bupati dan
berdasarkan usulan komisi penelitian pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah.128
Sementara itu, dengan adanya pasal 43 ayat 7 dan 44
ini tidak ada lagi peran dari dewan pengupahan tersebut yang didalamnya terdiri
dari terdiri dari tiga unsur yaitu pengusaha, pemerintah dan serikat buruh yang
selama ini melakukam negosisasi dan survei KHL kelapangan selama bulan Juli
sampai September untuk menetapkan kenaikan upah minimum tahun
berikutnya.129
Dalam pernyataannya, Muhammad Rusdi mengatakan KSPI menuntut
pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Ia juga mengharapkan
agar pemerintah dalam penetapan upah minimum kembali menggunakan atau
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan serta 60 komponen
KHL yang telah ditetapkan.130
Dengan kata lain, KSPI dalam hal ini menuntut
pencabutan PP tersebut secara keseluruhan dan kembali menggunakan aturan
yang telah ada sebelumnya. Namun, tuntutan KSPI yang menginginkan
pencabutan PP tersebut secara keseluruhan dianggap tidak relevan. Menurut
Timboel Siregar, tidak pas juga melihat bahwa PP No. 78 tahun 2015 tentang
Pengupahan harus dibatalkan secara kesuluruhan. Pertama, PP tersebut
merupakan amanat pasal dari pasal 97 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang selama 12 tahun diabaikan. Kemudian, secara subtansial isi
128
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 89 ayat 3. 129
Surya Tjandra dkk., Advokasi Pengupahan Di Daerah: Strategi Serikat Buruh di Era
Otonomi Daerah (Jakarta: TURC, 2007), h. 17-30. 130
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
81
dari PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan tidaklah semuanya salah dan
merugikan kaum buruh. Dalam PP tersebut sendiri ada hal yang baik pula untuk
kebaikan kaum buruh yaitu salah satunya kewajiban perusahaan membuat dan
memberitahukan struktur dan skala upah. Apabila PP No. 78 tahun 2015 tentang
Pengupahan harus dicabut maka akan berdampak pada struktur dan skala upahnya
dan hal baik lainnya akan hilang juga. Seharusnya buruh fokus pada poin
permasalahannya yaitu pasal 43 ayat 7 dan 44 sehingga hal-hal yang
menguntungkan kaum buruh dalam PP tersebut tidak ikut dicabut atau dibatalkan.
Terutama dengan fokus terhadap permasalahan utamanya diharapkan dapat
memberikan efesiensi dikarenakan MA tidak perlu mengkaji setiap pasal yang
nantinya akan memakan waktu yang lama.131
Dalam prakteknya, sering sekali serikat buruh seperti KSPI melakukan
penolakan tehadap suatu kebijakan namun tidak disertai dengan konsep alternatif
bagaimana sebaiknya kebijakan itu dilakukan tanpa merusak kepentingan buruh.
Gaya perjuangan buruh yang lebih dominan reaksioner yaitu menunggu
pemerintah mengeluarkan kebijakan lalu melakukan reaksi. Namun, sayangnya
reaksi yang dilakukan bukanlah reaksi yang memberikan solusi atas permasalahan
yang ada. Ditambah lagi, serikat buruh seringkali tidak objektif dalam mengemas
dan memperjuangkan sebuah isu.132
Sehingga terlihat bahwa kapasitas serikat
buruh sangat lemah dalam menguasai data. Sebagai akibatnya, kemampuan
gerakan buruh tidak sebanding bila berhadapan dengan mitra perusahaan dan
131
Wawancara dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal 19 Oktober
2016 di Rumah Pribadi. 132
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 114.
82
pemerintah apabila melakukan perundingan. Kapasitas ini juga mengakibatkan
ketidakmampuan serikat buruh mengelola konflik internal serikat buruh sehingga
menimbulkan banyaknya perpecahan di dalam serikat buruh. Rendahnya kapasitas
ini sepertinya berkaitan dengan latarbelakang pendidikan kalangan buruh yang
dianggap masih rendah. Kebanyakan buruh hanya tamatan sekolah menengah
bahkan banyak diantaranya yang hanya lulusan sekolah dasar. Adapun yang
memiliki tamatan sarjana hanyalah segelintir yaitu elit-elit serikat buruh yang
memegang jabatan strategis.133
Berikut tabel mengenai tingkat pendidikan tenaga
kerja di Indonesia sebagai berikut:
Tabel IV.B.1.
Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia 2016-2017
Pendidikan 2016 2017
≤ Tamat SD 52,43 juta (43,46%) 52,58 juta(42,22%)
SLTP 21,48 juta (17,80%) 22,62 juta(18,17%)
SMU/SMK 33,05 juta (27,40%) 34,06 juta(27,35%)
Akademi/Diploma 3,20 juta (2,65%) 3,68 juta(2,96%)
Universitas 10,49 juta (8,69%) 11,59 juta(9,31%)
Jumlah Tenaga Kerja 120,65 juta (94,50%) 124,54 juta(94,68%)
Jumlah Pengangguran 7,02 juta (5.50%) 7,01 juta (5,34%)
Total 127,68 juta 131,55 juta
Keterangan: Sumber Data BPS (Diolah)134
133
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 115. 134
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), “Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu,
2008-2016,” artikel diakses pada tanggal 10 Juli 2017 dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis
/view/id/1909
83
Informasi dari tabel di atas, menunjukan bahwa kualitas pendidikan tenaga
kerja di Indonesia masih sangat rendah. Kurang lebih 50% diantaranya tenaga
kerja di Indonesia masih tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Hal ini tentu saja mencerminkan keadaan dari kualitas buruh itu
sendiri yang menjadikan gerakan buruh sulit bersaing dengan kekuatan politik
lainnya. Sementara itu, Timboel Siregar selaku Pengamat Perburuhan menilai
bahwa gerakan buruh saat ini, kurang mengedepankan pada pendidikan seperti
bagaimana membangun sebuah kekuatan serikat buruh dalam hal pemikiran
kepada semua anggota. Kenyataannya saat ini, antara elit dan anggota dibawahnya
kualitas pendidikannya sangat jauh sehingga yang pintar hanyalah elit-elitnya saja
sedangkan anggota dibawahnya hanya sebagai objek peserta. Seharusnya anggota
serikat buruh dijadikan sebagai subjek yang dicerdaskan dengan begitu serikat
buruh akan lebih objektif dalam memperjuangkan isu-isu mereka.”135
Bahkan dalam beberapa kasus di Indonesia seringkali jenjang pendidikan
yang rendah membuat buruh kurang menyadari arti pentingnya keberadaan serikat
buruh itu sendiri. Artinya kaum buruh di Indonesia dianggap belum sepenuhnya
memiliki kesadaran subjektif sebagai satu kelas yang sama sekali berbeda
kepentingan dengan kaum pengusaha dan mau memperjuangkan kepentingannya
itu. Padahal sangat penting buruh memiliki kesadaran akan hak dan
kepentingannya sehingga buruh tidak lagi dianggap kelas yang tertindas.
Penjelasan diatas menunjukan bahwa serikat buruh sejatinya memiliki masalah
yang kompleks didalam organisasinya itu sendiri. Rendahnya kualiatas
135
Wawancara Pribadi dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal 19
Oktober 2016 di Rumah Pribadi.
84
pendidikan buruh mengakibatkan kapasitas serikat buruh dianggap belum mampu
menguasai isu-isu perjuangannya sendiri.
Informasi tersebut menunjukan bahwa KSPI dalam hal ini dituntut lebih
objektif dalam menetapkan isu yang diperjuangkan sehingga nantinya isu-isu
yang diperjuangkan masuk akal dan dapat diterima oleh pemerintah. Isu yang
diperjuangkan KSPI seharusnya hanya fokus pada point permasalahannya yaitu
pada pasal 43 dan 44 yang dianggap telah merugikan kaum buruh. Penulis
menilai, dalam hal ini KSPI perlu melakukan kajian yang lebih dalam lagi dalam
tentang isu menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Hal
ini dikarenakan penulis sepakat bahwa tidak seharusnya PP No. 78 Tahun 2015
tentang pengupahan dicabut secara keseluruhan dengan pandangan bahwa tidak
keseluruhan dalam isi PP tersebut dianggap merugikan buruh. Seharusnya isu
yang diperjuangkan adalah menuntut revisi pasal 43 dan 44 PP No. 78 Tahun
2015 tentang pengupahan. Sehingga pemerintah dapat menilai bahwa apa yang
diperjuangkan KSPI sebagai serikat buruh jelas dan sesuai dengan permasalahan
utamanya. Dengan adanya permasalahan tersebut, tentunya dapat menghambat
upaya KSPI dalam mempengaruhi kebijakan yang dianggap merugikan kaum
buruh.
b. Tidak Adanya Perwakilan Buruh KSPI Baik di Lembaga Legislatif
Maupun Eksekutif
Dalam konsep perwakilan politik, perwakilan diartikan sebagai hubungan
diantara dua pihak yaitu wakil dengan terwakil dimana wakil memegang
85
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan atau membuat keputusan yang
berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan pihak terwakil. Sedangkan,
perwakilan politik dianggap sebagai terwakilinya kepentingan anggota
masyarakat oleh wakil-wakil mereka didalam lembaga-lembaga dan proses
politik.136
Gabriel A. Almond mengungkapkan bahwa keanggotaan kelompok
kepentingan sering terlibat dalam penseleksian calon-calon partai dan selalu
berusaha agar anggotanya-anggotanya terwakili dalam komisi-komisi pemerintah.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat dan mengefektifkan tuntutan–tuntutan
mereka dengan mengartikulasikan kepentingan mereka melalui anggota dewan,
parlemen, atau pejabat pemerintahan.137
Hal tersebut seharusnya juga dilakukan oleh KSPI sebagai kelompok
kepentingan dalam upayanya mempengaruhi suatu kebijakan. Namun faktanya,
KSPI tidak memiliki anggota-anggota yang mampu mewakili kelompok mereka
dilembaga legislatif atau eksekutif dalam memperjuangkan kepentingannya.
Kalaupun ada anggota serikat buruh yang menjadi anggota lembaga legislatif atau
ekskutif, hal tersebut dikatakan percuma karena pada akhirnya yang dominan
adalah kepentingan partai yang mengusungnya ataupun kepentingan individu.
Contohnya saja KSPI yang mempunyai perwakilan di DPRD Kabupaten Bekasi
dikarenakan perwakilan KSPI tersebut diusung oleh partai lain sehingga sulit
untuk mengeluarkan aspirasinya tentang permasalahan buruh.138
Dengan kata lain,
136
Arbi Sanit, Perwakilan Politik Di Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1985), h. 23. 137
Mas‟oed dan Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 66. 138
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI.
86
dalam banyak kasus di Indonesia menyatakan bahwa ideologi partai politiklah
yang akan melebur dalam serikat buruh bukan sebaliknya.139
Padahal masuk ke
dalam lembaga parlemen adalah salah satu jalan secara konstitusional untuk
mempengaruhi keputusan politik. Namun demikian nampaknya buruh sendiri
masih mengalami kesulitan dalam meraih kembali suara-suara buruh pada
pelaksanaan pemilu.
Ketidakmampuan KSPI mempunyai perwakilan politik dilembaga
legislatif atau eksekutif berkaitan dengan suara partai buruh di kontestasi pemilu.
Pasca reformasi, partai yang berhaluan buruh bisa dikatakan hanya sebagai
penggembira saja. Karena belum mampu menunjukkan eksistensinya sebagai
partai politik yang mendapat legitimasi dari rakyat. Legitimasi merupakan suatu
pengakuan amanah rakyat kepada partai politik maupun pemimpin untuk
menjalankan amanat. Legitimasi rakyat terhadap partai politik tercermin dalam
perolehan suara partai politik dalam pemilu. Dalam pemilu khususnya, pasca
reformasi ini terlihat masih jauh dari harapan. Bahkan pemilu pasca reformasi
yang sudah dilaksanakan selama empat kali yaitu pemilu tahun 1999, 2004, 2009
dan 2014 perolehan suara partai yang berhaluan buruh hanya kurang dari 2,5
persen.
Adanya aturan dari elektroral threshold 2,5% (KPU, 2014) mengakibatkan
partai yang berhaluan buruh tidak satupun lolos dalam pemilihan tahun 2014.140
139
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 95. 140
Triyono, “Analisis Prospek Politik Buruh Pasca Pemilu 2014,” Jurnal Review Politik,
Vol. 06 No. 01 (Juni 2016), h. 125.
87
Padahal partai berhaluan buruh sangat diperlukan dalam upaya buruh
mempengaruhi suatu kebijakan dengan mengusung perwakilannya melalui partai
buruh. Seperti yang telah diketahui, dalam sistem politik salah satu fungsi partai
politik sendiri yaitu agregasi kepentingan, dimana partai politik akan menyalurkan
kepentingan-kepentingan dan tuntutan yang diartikulasikan oleh kelompok
kepentingan dan kelompok penekan kepada pembuat kebijakan yaitu lembaga
legislatif atau ekskutif. Dalam masyarakat demokratis, partai berperan
menawarkan program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif,
dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan
tawar-menawar (bargaining) pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok
kepentingan tersebut mendukung calon yang diajukan.141
Dengan kata lain, peran
serta dukungan dari partai politik sangatlah penting dalam mempengaruhi sebuah
kebijakan dalam suatu proses sistem politik.
Adapun penyebab partai buruh sulit mendapatkan suara dalam kontestasi
pemilu dikarenakan serikat buruh di Indonesia saat ini sedang menghadapi
masalah yaitu terfragmentasi dalam berbagai kelompok sehingga mengakibatkan
kesulitan dalam membangun kekuatan buruh yang solid dan tidak memiliki tawar-
menawar (bargaining) sosial politik yang kuat. Fragmentasi ini ditandai dengan
menjamurnya serikat buruh di Indonesia pasca reformasi. Faktanya persentase
pertambahan jumlah serikat buruh baru yang muncul lebih pesat dibandingkan
141
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hal. 86-103.
88
jumlah buruh yang masuk menjadi anggota serikat buruh.142
Contohnya tahun
2013 pekerja atau buruh yang berserikat sekitar 3,5 juta orang tapi saat ini
mengalami penurunan menjadi 2,7 juta orang.143
Dengan kata lain, serikat buruh
gagal meyakinkan buruh untuk menjadi anggota serikat buruhnya. Federasi serikat
buruhnya sampai 111, konfederasinya sampai 6, serikat buruhnya di tingkat
perusahaan ribuan tapi buruh yang berserikat hanya 2,7 juta orang. Sementara
pekerja atau buruh formal di luar pegawai negeri sebanyak 30 juta orang artinya
yang menjadi anggota buruh hanya sebesar 10%. Serikat buruh saat ini, lebih
dominan mementingkan mendirikan organisasi serikat buruh yang baru dari pada
membentuk kesatuan gerakan serikat buruh itu sendiri. Hal ini dikarenakan
ketidakdewasaan elit buruh saat kongres, kalah kemudian membentuk serikat
buruh yang baru dan akhirnya menciptakan serikat buruh bertambah dan pecah-
memecah menjadi lebih kecil. Padahal semakin banyak serikat buruh hanya akan
menghancurkan nasib buruh karena semakin banyak jumlah serikat, berarti
semakin kecil jumlah anggota sebuah serikat buruh. Kecilnya keanggotaan akan
menyulitkan gerakan serikat buruh dalam memelakukan tawar-menawar
(bargaining) politik dan finansial guna membiayai program-program
kegiatannya.144
Akibatnya, serikat buruh lebih sibuk memainkan isunya masing-
masing dengan muncul dimedia atau sering menggelar demonstrasi hanya untuk
mendapatkan pengakuan eksistensi dari publik.
142
Rekson Silaban, Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 107-109. 143
Wawancara dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal 19 Oktober
2016 di Rumah Pribadi. 144
Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, h. 108
89
Bahkan pasca pemilu 2014 sikap buruh semakin terpecah dan semakin
terkotak-kotak. Sehingga akan mengakibatkan antar buruh sendiri tidak sejalan
dalam memperjuangkan hak-haknya. Di sisi lain setelah pasca pemilu 2014,
organisasi buruh akan semakin terkooptasi oleh partai politik. Menjadikan serikat
buruh sering sekali dimanfaatkan untuk memainkan isu-isu yang tidak
berhubungan dengan kepentingan mereka dan serikat buruh biasanya hanya
digunakan sebagai kendaraan untuk meraih suara.145
Hal ini tentunya
mengakibatkan sulitnya membentuk kesatuan gerakan serikat buruh yang mampu
merumuskan tujuan bersama yang ingin dicapai.146
Padahal potensi gerakan buruh
sangatlah besar, disatu sisi buruh memiliki massa yang besar, disisi lain struktur
partai mudah terbentuk karena hampir seluruh wilayah Indonesia telah berdiri
sekretariat serikat pekerja ataupun serikat buruh. Namun karena membangunnya
di dasari dengan politik praktis dan memainkan isu masing-masing, akhirnya dari
serikat buruh dengan serikat buruh lainnya kehilangan kepercayaan dan akhirnya
jalan sendiri-sendiri.147
Pada akhirnya, pemerintah juga melihat gerakan buruh
bukan lagi sebagai kekuatan yang besar.
Informasi ini menunjukan bahwa permasalahan serikat buruh menjadi
lebih kompleks karena dapat kita lihat bagaimana lemahnya ideologi serikat buruh
dengan ketidakmampuan KSPI dan serikat buruh lainnya mengelola sumber
dayanya untuk mengisi tempat-tempat strategis. Padahal, idealnya keberadaan
145
Vedi R Hadis, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto
(Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2005), h. 5. 146
Triyono, “Analisis Prospek Politik Buruh Pasca Pemilu 2014,” h. 129. 147
Mochtar Habibe, “Gerakan Buruh Pasca Soeharto: Politik Jalanan di Tengah Himpitan
Pasar Kerja Fleksibel,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 16 No. 3 (Maret 2013), h. 201.
90
serikat buruh akan memiliki arti strategis atau keuntungan baik di lembaga
legislatif atau eksekutif maupun dipartai politik apabila serikat buruh itu mewakili
sebuah kelompok besar sehingga menghasilkan suatu tawar-menawar
(bargaining) politik yang besar dipartai. Jadi anggota serikat buruh yang masuk di
lembaga legislatif atau eksekutif maupun ke partai politik tidak hanya mewakili
kepentingan individu tapi juga membawa serta program politik buruh kedalam
program partai. Pada akhirnya ketidakmampuan tersebut mengakibatkan upaya
yang dilakukan oleh KSPI sangat sulit dalam mempengaruhi PP No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan.
2. Hambatan Eksternal KSPI
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa serikat buruh dalam hal
ini KSPI sesungguhnya memiliki permasalahan internal yang kompleks sehingga
menghambat perjuangan mereka. Namun dari permasalahan internal yang
kompleks itu, KSPI juga memiliki hambatan eksternal yang juga dapat
menghambat mereka memperjuangkan kepentingan mereka terutama dalam hal
menuntut pencabutan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Seperti yang
telah diketahui, hambatan eksternal merupakan hambatan yang berasal dari luar
lingkungan buruh atau serikat buruh KSPI yang dapat mempengaruhi upaya
tuntutan dalam pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Adapun
hambatan eksternal KSPI dalam upaya menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun
2015 Tentang Pengupahan adalah sebagai berikut:
91
a. Ketidakberpihakan Pemerintah Kepada Buruh
Dalam mempengaruhi sebuah kebijakan yang merugikan kepentingan
suatu kelompok terutama serikat buruh diperlukan bukan hanya strategi namun
juga dukungan dari si pembuat kebijakan. Dalam sistem politik, apabila ada
tuntutan-tuntuan negatif dari buruh yang merupakan feedback (umpan balik)
berarti ada kesalahan dengan output (kebijakan) yang dikeluarkan sehingga perlu
di evaluasi. Dalam hal ini, pemerintah dituntut lebih objektif untuk menerima
tuntutan-tuntutan dari buruh karena itu merupakan bentuk dukungan agar output
(kebijakan) yang dikeluarkan akan lebih baik.
Melalui pernyataannya, KSPI menilai bahwa pemerintah selama ini tidak
berpihak kepada kaum buruh karena seharusnya Kementrian Ketenagakerjaan itu
melindungi kaum buruh. Bahkan KSPI beranggapan bahwa statement yang
dikeluarkan pemerintah bukan untuk kepentingan buruh melainkan untuk
kepentingan pengusaha.148
Seperti yang diketahui, pemerintah melalui menteri
ketenagakerjaan mengatakan bahwa adanya PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan dianggap menguntungkan buruh. Hal tersebut tentu saja bertolak
belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan.149
Bukti lainnya bahwa
pemerintah tidak berpihak kepada buruh adalah tidak adanya respon pemerintah
terhadap hasil rekomendasi Panja Pengupahan. Contoh lainnya juga yaitu dalam
148
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. 149 Septian Deny, “Menaker: PP Pengupahan Justru Menguntungkan Buruh,” artikel diakses
pada tanggal 6 september 2017 dari http://bisnis.liputan6.com/read/2374519/menaker-pp-
pengupahan-justru-menguntungkan-buruh
92
beberapa kasus, kebijakan yang diambil pemerintah nyatanya sering merugikan
kaum buruh. Salah satunya yaitu kebijakan sistem outsourcing yang sampai saat
ini menghantui kaum buruh. Sistem outsourcing didefinisikan sebagai proses
mengalihdayakan atau memindahkan atau memborongkan kegiatan usaha ke
pihak ketiga atau penyedia jasa tenaga kerja.150
Terkait sistem outsourcing dalam
aturannya bila merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain ada lima jenis pekerjaan yang biasa
diterapkan sistem itu. Lima pekerjaan itu adalah cleaning service, catering,
security, driver dan jasa penunjang perminyakan.151
Namun kenyataannya,
banyak perusahaan penyedia jasa outsourcing menyediakan pekerjaan di luar lima
bidang tersebut. Hal ini tentu saja merugikan para buruh dikarenakan sistem
outsourcing membuat perusahaan lebih memilih mengangkat pekerja secara
sistem outsourcing daripada menjadikan mereka sebagai pekerja tetap. Dengan
ketidakjelasan status sebagai pekerja tetap menjadikan perusahaan dengan
mudahnya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau memperkerjakan
buruh itu kembali sebagai pekerja kontrak. Faktanya pelanggaran yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut juga sampai sekarang tidak ada tindak tegas dari
pemerintah.
150
Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati, dan Suhadmadi, Diskriminatif & Eksploitatif
Prektek Kerja Kontrak Dan Outsourcing Buruh Di Sektor Industri Metal Di Indonesia (Bandung:
Akatiga, Fspjuliami, Fes, 2010), h. 9. 151
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun
2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pasal
17 ayat 3.
93
Sedangkan dilain pihak, sikap pemerintah dinilai tidak adil kepada kaum
buruh dalam hal ini KSPI. Contohnya saja saat demo buruh PP No. 78 tahun 2015
tentang Pengupahan pada 30 Oktober 2015 lalu terjadi penangkapan terhadap 26
orang dan ditetapkan dijadikan tersangka. 152
Buruh yang ditangkap dikenakan
pasal 216, pasal 218 KUHP junto pasal 7 huruf F berkaitan dengan Peraturan
Kapolri. Dengan alasan massa berdemo sudah melebihi batas waktu sesuai UU
No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat Dimuka
Umum.153
Padahal menurut KSPI, waktu mahasiswa demo terhadap kenaikan
BBM bisa sampai malam dan tidak ditangkap. Sementara itu, Timboel Siregar
selaku Pengamat Perburuhan mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah
merangkul serikat buruh dengan mengajak diskusi, negosiasi dan dialog sosial
untuk bekerja sama menemukan solusi terbaik bukannya malah bertindak
semaunya. Menurutnya, apa yang diperjuangkan buruh itu memang adalah haknya
karena PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan ini bertentangan dan hak demo
sudah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Dimuka Umum. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah haruslah
menjadi penengah bukan agen dari salah satu unsur yang ada.154
Informasi diatas, menjelaskan bahwa KSPI menganggap sikap pemerintah
terhadap serikat buruh akhirnya menimbulkan kesan ketidakberpihakan
152
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. 153
Mei Amelia R, “Polisi Tetapkan Sekjen KSPI Jadi Tersangka Demo Ricuh di Istana,”
artikel diakses pada tanggal 6 september 2016 dari https://news.detik.com/berita/3076219/polisi-
tetapkan-sekjen-kspi-jadi-tersangka-demo-ricuh-di-istana 154
Wawancara dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal 19 Oktober
2016 di Rumah Pribadi.
94
pemerintah kepada buruh. Namun, penulis menilai bahwa sebenarnya apa yang
dilakukan KSPI juga tidak dibenarkan dalam aturan yaitu UU No. 9 Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Pada pasal
mengatur bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menaati hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini aturan demonstrasi
yang tidak boleh melebihi waktu lebih dari jam 6 (enam) malam. Namun, dilain
pihak pemerintah juga dituntut berperan sebagai penengah dari konflik industrial
antara serikat buruh dan pengusaha. Dalam hal ini, pemerintah diharuskan
berperan sebagai regulator yang dapat mengakomodasi baik kepentingan buruh
maupun pengusaha sehingga menciptakan keadilan sosial. Dengan kata lain,
sejumlah kebijakan pemerintah tidak boleh lagi terkesan berdiri sendiri memihak
kepentingan pengusaha atas nama investasi. Terutama dalam kasus PP No. 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan, ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh
tentu saja menjadikan hambatan serius bagi KSPI dalam mempengaruhi kebijakan
sesuai dengan kepentingannya.
b. Adanya Kepentingan Pengusaha Dibalik Kebijakan PP No. 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan
Seperti yang telah diketahui, dalam upaya mempengaruhi kebijakan
seringkali kelompok kepentingan menghadapi hambatan dari kelompok lain. Hal
ini dikarenakan secara tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan terjadi
pertarungan kepentingan. Dimana, kelompok kepentingan yang satu dengan yang
lainnya saling berusaha mencoba mempengaruhi sebuah kebijakan agar sesuai
95
dengan kepentingannya. Dalam kasus PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan, dapat dilihat pertarungan yang pengaruh yang terjadi antara serikat
buruh dengan kelompok pengusaha. Melalui pernyataannya, Muhamad Rusdi
selaku sekjen KSPI menganggap bahwa PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan merupakan kebijakan yang menguntungkan kelompok pengusaha.
Dimana pemerintah telah melegalkan praktek upah murah yang selama ini
diharapkan atau diinginkan oleh para pengusaha.155
Lebih lanjut, KSPI
mengatakan bahwa kelompok pengusaha ikut serta dalam mempengaruhi
kebijakan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan sehingga kebijakan
tersebut lebih menguntungkan pengusaha daripada buruh.
Adanya kepentingan pengusaha dibalik PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan dikarenakan dalam beberapa tahun belakangan proses penetapan
kenaikan upah di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Namun,
kenaikan yang masih diingat oleh pihak pengusaha adalah kenaikan upah ditahun
2013. Saat itu, kenaikan upah minimum DKI Jakarta mencapai angka 43,88%,
yang awalnya upah minimum dari Rp. 1,529,150 (Satu Juta Lima Ratus Dua
Puluh Sembilan Seratus Lima Puluh Rupiah) di tahun 2012 ke angka Rp.
2,200,000 (Dua Juta Dua Ratus Ribu Rupiah).156
Bahkan sejumlah daerah
penyangga DKI Jakarta juga menetapkan upah minimum yang nilainya kurang
lebih sama dengan DKI Jakarta. Depok sebesar Rp. 2.042.000 (Dua Juta Empat
155
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di Kantor Sekertariat Dewan
Eksekutif Nasional KSPI. 156
Kompas, “UMP DKI Rp 2,2 Juta,” artikel diakses pada tanggal 09 September 2017dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/21/02540928/UMP.DKI.Rp.2.2. Juta
96
Puluh Dua Ribu Rupiah), Bekasi dan Bogor sebesar Rp. 2.002.000 (Dua Juta Dua
Ribu Rupiah), Tangerang sama dengan DKI Jakarta dan Tangerang Selatan
bahkan sedikit lebih tinggi dari DKI Jakarta dengan Rp. 2.202.000 (Dua Juta Dua
Ratus Dua Ribu Rupiah).157
Kenaikan upah minimum tersebut dianggap merupakan kenaikan upah
minimum tertinggi sejak era reformasi. Hal tersebut, tentu saja dianggap sebagai
pukulan telak bagi pengusaha dan menimbulkan ketakutan kepada pengusaha
terhadap kenaikan upah minimum setiap tahunnya. Seperti yang telah diketahui,
selama ini pengusaha merasa terbebani dengan tuntutan kenaikan upah yang
terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan upah yang terlalu tinggi dapat menghambat
dunia bisnis dan menimbulkan PHK yang disebabkan ketidakmampuan
perusahaan dalam menanggung mahalnya biaya produksi.158
Apalagi saat ini
sedang terjadi perlambatan baik dipasar lokal ataupun ekspor yang disebabkan
perlambatan ekonomi maupun kepercayaan konsumen yang menurun. Sehingga,
konsumen memilih menyimpan uangnya dibanding untuk konsumsi. Belum lagi,
dalam penetapan kenaikan upah gubernur sebagai pengambil keputusan terakhir
sering sekali lebih banyak menggunakan pertimbangan politis daripada
rekomendasi yang diperoleh dari dewan pengupahan. Jadi dalam konteks ini,
pengusaha menganggap bahwa dewan pengupahan dan mekanisme tripartit tidak
berfungsi dengan baik dikarenakan selama ini dalam pengambilan keputusan
157
Surya Tjandra, “Politisasi Upah Buruh,” artikel diakses pada tanggal 09 September 2017
dari http://bola.kompas.com/read/2013/05/01/02211254/.Politisasi.Upah.Buruh 158
Dahlan Frinaldo, “Mendengarkan Jeritan Buruh,” artikel diakses pada tanggal 09
September 2017 dari http://harian.analisadaily.com/opini/news/mendengarkan-jeritan-buruh/12925
0/2015/04 /29
97
seringkali lebih menggunakan keputusan politis daripada hasil yang telah
disepakati melalui dewan pengupahan dan mekanisme tripartit.159
Maka dari itu, hal inilah yang menjadi alasan pengusaha sangat
mendukung adanya PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Karena dengan
adanya PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dapat menjamin kepastian
bagi pengusaha dalam planning atau perencanaan usaha sehingga pengusaha bisa
lebih mengkalkulasi kemungkinan proyeksi kedepannya dalam perhitungannya
yang lebih baik.160
Tercatat penetapan upah minimum sudah tiga kali dilakukan
dengan menggunakan formulasi PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan
yaitu pada tahun 2016, 2017 dan 2018. Data yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan kenaikan upah minimum rata-rata pada tahun 2016
sekitar 11,5 persen, 2017 sekitar 8,25 persen dan terakhir 2018 sekitar 8,71
persen.161
Adapun hasil dari penetapan upah minimum semenjak PP No. 78 Tahun
2015 Tentang Pengupahan ditetapkan kenaikan upah di Indonesia dapat dikatakan
stabil dan terkendali. Dengan kata lain, melalui PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan kelompok pengusaha dianggap berhasil mempengaruhi sebuah
kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya namun dilain pihak buruh merasa
PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan merugikan mereka.
159
Wawancara dengan P. Agung Pambudhi sebagai Direktur Eksekutif Dewan Pengusaha
Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), tanggal 30 September 2016 di Gedung
Permata Kuningan. 160
Wawancara dengan P. Agung Pambudhi sebagai Direktur Eksekutif Dewan Pengusaha
Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), tanggal 30 September 2016 di Gedung
Permata Kuningan. 161
BPS, “Inilah Peringkat UMP 2018 Seluruh Indonesia, DIY Terendah,” artikel diakses
pada tanggal 09 September 2017 dari http://www.biaya.net/2015/11/inilah-daftar-upah-minimum-
provinsi-ump.html
98
Bukti lainnya adalah banyak pengusaha berbondong-bondong terjun dalam
dunia politik karena umumnya, motivasi utama para pengusaha atau berpolitik
guna mempertahankan kepentingan bisnisnya. Di Indonesia riset yang dilakukan
Yoshihara Kunio (1990), Richard Hefner (1998), serta Robinson dan Hadiz
(2004) mengkonfirmasikan pola di atas. Pengusaha adalah pemburu rente dari
hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa. Kelompok bisnis ini kemudian
yang tertarik untuk berpolitik. Bukan hanya masuk, melainkan mengendalikan
karena berada di pucuk pimpinan partai politik. Contoh trio pengusaha besar Jusuf
Kalla, Surya Paloh, dan Agung Laksono berhasil menguasai Partai Golkar dan
Sutrisno Bachir yang berhasil menguasai PAN setelah Amien Rais tidak ingin lagi
maju sebagai ketua Umum PAN. Begitu pula bila melihat tubuh kabinet di
pemerintahan, wajah-wajah pengusaha yang menduduki posisi penting sebagai
contoh yaitu Jusuf Kala sebagai wakil presiden Republik Indonesia, mantan
Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dan lain-lain.162
Melalui posisi-posisi
strategis tersebut kelompok pengusaha akan dengan mudah mempengaruhi sebuah
kebijakan seperti dalam kasus ini yaitu PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan.
Berdasarkan informasi diatas, menyatakan bahwa KSPI mendapatkan
hambatan dari kelompok lain yaitu pengusaha. Keberadaan kelompok pengusaha
dalam mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan menjadikan sulitnya
KSPI memperjuangkan kepentingannya yaitu menuntut pencabutan PP No. 78
162
Muhammad Ali Azhar, “Relasi Pengusaha-Penguasa Dalam Demokrasi: Fenomena Rent
Seeker Pengusaha jadi Penguasa,” Jurnal Universitas Udayana. Vol. 2 No. 1 (Maret 2012), h. 43-
46.
99
Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Sehingga sampai saat ini, upaya yang
dilakukan KSPI belum berimplikasi pada pencabutan PP No. 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan.
100
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diterbitkannya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengundang
reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kalangan pengusaha menilai
peraturan pemerintah tersebut memberikan kepastian pengupahan terhadap buruh.
Sedangkan dilain pihak sebagian besar buruh, dimana salah satunya KSPI
(Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) menolak PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan dikarenakan merasa dirugikan dengan adanya peraturan tersebut
dikarenakan tidak diikutsertakannya buruh dalam perundingan penetapan upah
minimum dan formula tersebut juga dapat menciptakan praktek upah murah yang
selama ini terus berlangsung. KSPI sendiri dikategorikan sebagai kelompok
asosiasional yang dalam hal ini meliputi serikat buruh ataupun kamar dagang.
Layaknya kelompok asosiasional, KSPI mempunyai tujuan yang jelas. KSPI juga
mempunyai pelembagaan dan pengorganisasian yang baik dengan dipimpin oleh
Presiden Organisasi dan Sekertaris Jenderal (Sekjen) yang berfungsi memimpin
serta mengawasi setiap pelaksanaan kegiatan organisasi.
Merasa menjadi pihak yang dirugikan, KSPI selaku perwakilan buruh
melakukan beberapa upaya untuk menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan. Namun, analisa yang didapatkan penulis dari penilitian ini
menyatakan hanya ada beberapa strategi dan saluran yang digunakan KSPI dalam
pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sesuai dengan teori G.
101
Calvin Mackenzie dan Gabriel A. Almond yaitu pertama, lobi KSPI kepada
pejabat publik selaku pembuat kebijakan perburuhan, kedua, publisitas KSPI
melalui aksi demonstrasi dan mogok kerja, terakhir, tuntutan KSPI melalui proses
pengadilan dengan Judicial Review. Adapun hasil dari strategi-strategi yang telah
digunakan oleh KSPI sampai saat ini masih belum berhasil sehingga belum
berimplikasi pada pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Sementara itu, dalam mempengaruhi kebijakan, kelompok kepentingan
seringkali mendapatkan hambatan dalam upayanya meyakinkan lembaga
suprastruktur dan infrastrukur bahwa terdapat masalah dalam sebuah kebijakan.
David Easton mengemukakan bahwa hal ini dikarenakan dalam sistem politik
sebuah input harus melalui sebuah konversi sebagai proses, hubungan dan
interaksi yang melibatkan suprastruktur politik seperti legislatif, yudikatif,
eksekutif dan infrastruktur politik seperti partai politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan, alat komunikasi politik (media), tokoh politik dan lain-lain.
Adapun beberapa hambatan yang dihadapi oleh KSPI diantaranya adalah
hambatan internal yang berupa isu yang diperjuangkan tidak fokus dan tidak
adanya perwakilan buruh dilembaga legislatif dan eksekutif. Sedangkan hambatan
eksternal yaitu ketidakberpihakan pemerintah kepada buruh dan adanya
kepentingan pengusaha dibalik kebijakan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan. Hambatan ini tentunya menjadi penghalang KSPI dalam upaya
menuntut pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
102
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah di jelaskan penulis, maka dirumuskan
beberapa saran yaitu
1. Sebagai pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan atau
industrial seperti serikat buruh, pemerintah dan pengusaha agar lebih
mengutamakan jalur perundingan. Baik serikat buruh maupun pengusaha
harus menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik agar mendapatkan
solusi bersama sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Terutama
pemerintah harus bersikap adil dalam memainkan perannya sebagai
regulator yang dapat mengakomodasi baik kepentingan buruh maupun
pengusaha. Sehingga menciptakan keadilan sosial dan tidak menimbulkan
kesan ketidakberpihakan kepada salah satu pihak.
2. Selain itu, dalam strategi menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, serikat buruh yakni KSPI dituntut
harus mampu menyelesaikan permasalahan sendiri yang menjadi
kelemahannya tersebut. Seperti permasalahan internal yaitu, kedewasaan
dari elit serikat buruh, kualitas pendidikan anggota serikat buruh sampai
dengan perpecahan antar serikat buruh. Sedangkan permasalahan eksternal
seperti menjalin hubungan yang baik antara pemerintah maupun
pengusaha karena penting membina hubungan tersebut. Apalagi dalam
upaya mempengaruhi kebijakan ini serikat buruh akan menghadapi
kekuatan besar yang juga memiliki kepentingan. Terutama, serikat buruh
seharusnya memiliki perwakilan baik di legislatif maupun eksekutif
103
sehingga serikat buruh memiliki posisi tawar-menawar (bargaining)
politik yang lebih baik.
3. Dalam dunia akademik, pengembangan studi ilmu politik khususnya
kajian tentang perjuangan kelompok kepentingan dalam memperjuangkan
hak dan kepentingannya juga diperlukan dalam memberikan pendidikan
politik berbangsa dan bernegara. Sehingga, hal tersebut menjadi penting
bagi mahasiswa/i dalam menelaah mengenai upaya kelompok kepentingan
dalam mempengaruhi suatu kebijakan.
104
D A F T A R P U S T A K A
Buku
Ardianto, Elvinaro. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations Kualitatif dan
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Creswell, John W. Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Diantara Lima
Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
DS, Soegiri dan Edi Cahyono. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Belanda
Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra, 2003.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008.
Hadis, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto.Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2005.
Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengatar. Yogyakarta: Liberty, 1982.
Heywood, Andrew. Politics (3rd ed.). New York: Palgrave Macmillan, 2007.
Hidayat, M.S. Seabad Gerakan Buruh Indonesia. Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2012.
Koirudin. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Mackenzie, G. Calvin. American Government: Politics and Public Policy. New
York: Random House, 1986.
Maksudi, Beddy Iriawan. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik
dan Empirik. Bogor: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Mas‟oed, Mochtar dan Collin Mac Andrews. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Mc Quail, Dennis. Mass Communication Theory. Edisi Keempat. London: Sage
Publication, 2000.
105
Panuju, Redi. Jago Lobi dan Negosiasi. Jakarta: Interprebook, 2010.
Simajuntak, Payaman J. Undang-Undang Yang Baru Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Jakarta: Work In Freedom, 2002.
Tedjasukmana, Iskandar. Watak Politik: Gerakan Serikat Buruh Indonesia.
Jakarta: TURC, 2008.
Sagala, S. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2010.
Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Jakarta: TURC, 2007.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah. Metedologi Penelitian: Pendekatan Praktis
dalam Penelitian. Yogyakarta: ANDI, 2010.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta: CV Rajawali, 1985.
Silaban, Rekson. Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendy. Metode Penelitian Sosial Survei. Jakarta:
Rajawali Pers, 1999.
Sobagyo, Joko. Metode Penelitian DalamTeori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 1997.
Sudjana, Egi. Bayarlah Upah Sebelum Keringat Mengering. Jakarta:
Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2009.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana
Indonesia, 2007.
Suwignyo, Andito. Buruh Bergerak: Membangun Kesadaran Kelas. Jakarta:
Friedrich Ebert Stiftung, 2012.
Tjandra, Surya dkk. Advokasi Pengupahan Di Daerah: Strategi Serikat Buruh di
Era Otonomi Daerah. Jakarta: TURC, 2007.
Tjandraningsih, Indrasari, Rina Herawati dan Suhadmadi. Diskriminatif &
Eksploitatif Prektek Kerja Kontrak Dan Outsourcing Buruh Di Sektor
Industri Metal Di Indonesia. Bandung: Fes, 2010.
106
Uwiyono, Aloysius. Hak mogok di Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
Zaeni, Asyhadie. Peradilan Hubungan Industrial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009
Wright, Charles R. Sosiologi Komunikasi Massa. diterjemahkan oleh Lilawati dan
Jalaludin Rakhmat. Bandung: Remadja Karya, 1985.
Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Jurnal Ilmiah
Ali Azhar, Muhammad. “Relasi Pengusaha-Penguasa Dalam Demokrasi:
Fenomena Rent Seeker Pengusaha jadi Penguasa,” Jurnal Universitas
Udayana. Volume 2 Noomor 1 (Maret 2012).
Dwiantoro, Ari. “Strategi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dalam
Menuntut Kenaikan Upah Minimum Kota Surabaya Tahun 2014-2015,”
Jurnal Politik Muda, Volume 4, Nomor 2, (Apri-Juli 2015).
Habibe, Mochtar. “Gerakan Buruh Pasca Soeharto: Politik Jalanan di Tengah
Himpitan Pasar Kerja Fleksibel,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Volume 16, Nomor 3, (Maret 2013).
Hendrastomo, Grendi. “Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan
Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi,” Jurnal
Informasi, Volume 16, Nomor 2, (2010).
Juliawan, B.H. “Street-level Politics: Labour Protests in Post-authoritarian
Indonesia.,” Majalah BASIS, Volume 58, Nomor 09-10, (2011).
107
Launa, “Buruh dan Politik: Tantangan dan Peluang Gerakan Buruh Indonesia
Pacareformasi,” Jurnal Sosial Demokrasi, Volume 10, (Januari-Maret
2011).
Triyono, “Analisis Prospek Politik Buruh Pasca Pemilu 2014,” Jurnal Review
Politik, Volume 06, Nomor 01, (Juni 2016).
Virianita, Ratri. “Partisipasi Buruh Dalam Aksi Unjuk Rasa,” Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Volume 02, Nomor 03,
(Desember 2008).
Dokumen dan Laporan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19
Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Pihak Lain.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Media Online
Ady, “KSPI Restui Puluhan Kadernya Jadi Caleg,” artikel diakses pada tanggal 6
Maret 2016 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53422ba15232c
/kspi-restui-puluhan-kadernya-jadi-caleg
Angga Indrawan, “KSPI Gagas Pendirian Partai Politik Buruh,” artikel diakses
pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://nasional.republika.co.id/berita/
108
nasional/politik/16/04/29/o6dam6365-kspi-gagas-pendirian-partai-politik-
buruh
BPS, “Inilah Peringkat UMP 2018 Seluruh Indonesia, DIY Terendah,” artikel
diakses pada tanggal 09 September 2017 dari http://www.biaya.net
/2015/11/inilah-daftar-upah-minimum-provinsi-ump.html
BPS, “Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2017,” artikel diakses pada
tanggal 9 September 2016 dari https://www.bps.go.id/website/brsind/brsInd-
20170505104425.pdf
Budi Santoso, “Benarkah PP Penguapahan Perbaiki Nasib Buruh,” artikel diakses
pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/526104/
benarkah-pp-pengupahan-perbaiki-nasib-buruh
Dahlan Frinaldo, “Mendengarkan Jeritan Buruh,” artikel diakses pada tanggal 09
September 2017 dari http://harian.analisadaily.com/opini/news/
mendengarkan-jeritan-buruh/12925 0/2015/04 /29
Dian Rositawati, S.H., “Judicial Review” artikel diakses pada tanggal 6 Maret
2017 http://lama.elsam.or.id/downloads/1295596097_Mekanisme_Judicial_
Review_di_Indonesia.pdf
DPR RI, “Buletin Parlementaria”, artikel diakses pada tanggal 9 September 2016
dari http://www.dpr.go.id/dokpemberitaan/buletin-parlementaria/b-905-5-
2016.pdf
Eky Jagurawalta dan Ibas, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://
www.bantenpos.co/arsip/2015/11/200-advokat-siap-backup-aksi-mogok-
nasional-5-juta-buruh dan http://redaksikota.com/2015/11/27/benarkah-ada-
manuver-ketua-serikat-buruh-orang-asing-provokasi-anak-bangsa/
Fadjri, dkk., “Pola Verifikasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam Kerangka Kebebasan
Berserikat,” artikel diakses pada tanggal 8 Maret 2016 dari http://kemnaker
.go.id/penelitian-info-naker/puslitbang/pola-verifikasi-serikat-pekerjaburuh-
dalam-kerangka-kebebasan-berserikat
Handoyo dan Dupla KS, “Empat Uji Materi PP Pengupahan Kandas di MA”
artikel diakses pada tanggal 10 Juni 2017 dari http://nasional.kontan.co.id/
news/empat-uji-materi-pp-pengupahan-kandas-di-ma
Indra Akuntono, “Menaker Tegaskan PP Pengupahan Tak akan Direvisi,” artikel
diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://bisniskeuangan.kompas.com/
read/2015/11/25/074700326/Menaker.Tegaskan.PP.Pengupahan.Tak.Akan.
Direvisi
109
Kabar Parlemen, “KSPI MintaDPR Cabut PP Nomor 78 tentang Pengupahan,”
artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://kabarparlemen.com/
index.php/2016/04/13/kspi-minta-dpr-cabutan-pp-nomor-78-tentang-
pengupahan/
Kahar S. Cahyono, “Panja Pengupahan Komisi IX DPR RI Rekomendasikan PP
No. 78 Tahun 2015 Dicabut,” artikel diakses pada tanggal 9 September
2016 dari https://www.koranperdjoeangan.com/panja-pengupahan-komisi-
ix-dpr-ri-rekomendasikan-pp-no-78-tahun-2015-dicabut/
Kompas, “UMP DKI Rp 2,2 Juta,” artikel diakses pada tanggal 09 September
2017dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/11/21/02540928/UMP.
DKI.Rp.2.2. Juta
Koran Perdjoeangan, “Ringkasan Eksekutif Laporan Pertanggungjawaban DEN
KSPI: Ketimpangan dan Ketidakadilan Masih Terjadi,” artikel diakses pada
tanggal 10 Juni 2017 dari https://www.koranperdjoeangan.com/ringkasan-
eksekutif-laporan-pertanggungjawaban-den-kspi-ketimpangan-dan-
ketidakadilan-masih-terjadi/
KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/sejarah-kspi
KSPI, “Visi dan Misi”, artikel diakses pada tanggal 9 Maret 2016 dari
http://www.kspi.or.id/visi-misi
Kspsi, “Sejarah KSPSI”, KSPI, “Sejarah KSPI”, artikel diakses pada tanggal 30
Mei 2016 dari http://kspsi.com/tentang-kspsi-3/
Mahkamah Agung, “Putusan Nomor 69 P/HUM/2015,” artikel diakses pada
tanggal 09 September 2017 dari https://putusan.mahkamahagung.go.id/
putusan/downloadpdf/25a2fcd2176d9 dc9f3c7ea61d90f195b/pdf
Mei Amelia R, “Polisi Tetapkan Sekjen KSPI Jadi Tersangka Demo Ricuh di
Istana,” artikel diakses pada tanggal 6 september 2016 dari https://news.
detik.com/berita/3076219/polisi-tetapkan-sekjen-kspi-jadi-tersangka-demo-
ricuh-di-istana
National Wage and Productivity Commission (NWPC), “Comparative Wages in
Selected Countries” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari http://
www.nwpc.dole.gov.ph/pages/ statistics/stat_comparative.html
Rakyat Merdeka, “Said Iqbal: Ada Upaya Nyata Dari Luar Untuk Melemahkan
Soliditas Buruh,” artikel diakses pada tanggal 09 September 2017 dari
http://www.rmol.co/read/2016/01/28/233748/Said-Iqbal:-Ada-Upaya-
Nyata-Dari-Luar-Untuk-Melemahkan-Soliditas-Buruh-
110
Rendy Sadikin, “Buruh KSPI Dukung Prabowo-Hatta,” artikel diakses
padatanggal 10 Juni 2017 dari http://www.tribunnews.com/pemilu-
2014/2014/06/02/buruh-kspi-dukung-prabowo-hatta
Robertus Belarminus, “Ratusan Ribu Buruh Se-Jabodetabek Akan Aksi di Depan
Istana Presiden,” artikel diakses pada tanggal 10 Juni 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/01/08491351/ratusan.ribu.bur
uh.se-jabodetabek.akan.aksi.di.depan.istana.presiden
Sabrina Asril, “Bagaimana Penetapan Upah Minimum dalam PP pengupahan
yang Baru?,” artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari
http://nasional.kompas.com/read/2015/11/03/13182601/Bagaimana.Penetap
an.Upah.Minimum.dalam.PP.Pengupahan.yang.Baru.?page=all
Subekti, “Tolak PP Pengupahan Buruh Cari Dukungan Internasional,”artikel
diakses pada tanggal 6 Maret 2016 dari https://m.tempo.co/read/news/2016
/02/04/090742287/tolak-pp-pengupahan-buruh-cari-dukungan-internasional
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), “Penduduk Berumur 15 Tahun Ke
Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kegiatan
Selama Seminggu yang Lalu, 2008-2016,” artikel diakses pada tanggal 10
Juli 2017 dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis /view/id/1909
Surya Tjandra, “Politisasi Upah Buruh,” artikel diakses pada tanggal 09
September 2017 http://bola.kompas.com/read/2013/05/01/02211254/.
Politisasi.Upah.Buruh
Viva News, “Ini Alasan KSPI Dukung Penuh Prabowo-Hatta,” artikel diakses
pada tanggal 9 September 2016 dari http://www.viva.co.id/berita/politik/
509012-ini-alasan-kspi-dukung-penuh-prabowo-hatta
WageIndicator Foundation,“Minimum Wages in Indonesia with effect from 01-
01-2016 to 31-12-2016,” artikel diakses pada tanggal 8 Maret 2016 dari
http://www.wageindicator.org/main/salary/minimum-wage/indonesia
Karya Ilmiah
Skripsi Umar Algifari, “Buruh dan Politik: Perjuangan KSPSI dan K.KASBI
dalam Menuntut Penghapusan Sistem Outsourching dan Kenaikan UMP
DKI Jakarta 2013.” Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif
Hidayatullah.
111
Ganda Syahputra S., “Peranan Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Hak Upah
dan Politik: Serikat Buruh Medan Independen.” Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Sumatera Utara.
Wawancara
Wawancara dengan Muhamad Rusdi sebagai Sekertaris Jendral (Sekjen)
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tanggal 16 September 2016 di
Kantor Sekertariat Dewan Eksekutif Nasional KSPI.
Wawancara dengan Juprianus Manurung, S.H, sebagai Kasi Standarisasi
Pengupahan Direktorat Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja RI,
tanggal 21 September 2016 di Kementerian Tenaga Kerja RI.
Wawancara dengan P. Agung Pambudhi sebagai Direktur Eksekutif Dewan
Pengusaha Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), tanggal 30
September 2016 di Gedung Permata Kuningan.
Wawancara dengan Timboel Siregar sebagai Pengamat Perburuhan, tanggal
19 Oktober 2016 di Rumah Pribadi.
Wawancara dengan Dede Yusuf M. E sebagai Ketua Komisi IX DPR RI
periode 2014-2019, tanggal 14 September 2017 di Gedung Nusantara I DPR RI.
xv
Lampiran 1: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI)
xvi
Lampiran 2: Surat Hasil Wawancara/Penelitaan Dari Kementrian Ketenaga-
kerjaan RI Direktorat Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
xvii
Lampiran 3: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Dari Kepengurusan Nasional
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)
xviii
Lampiran 4: Surat Hasil Wawancara/Penelitan Dari Pengamat Perburuhan:
Timboel Siregar
xix
Lampiran 5 :Transkip wawancara
Narasumber : Muhamad Rusdi
Bagian : Sekertaris Jendral (Sekjen) Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI)
Hari/Tanggal : 16 September 2016
Tempat : Kantor Sekertariat Dewan Eksekutif Nasional KSPI.
Putra : Apa yang melatarbelakangi KSPI untuk menuntut
pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan?
Muhamad Rusdi : Yang pertama PP 78 isinya ini secara konstitusi
bertentangan dengan UU no. 13, dimana aturan mengenai
kenaikan upah minimum pasal 44 hanya berlandaskan
kepada persentase pertumbuhan ekonomi nasional
ditambah inflasi nasional. Sedangkan di UU. No. 13 pasal
44 menyatakan bahwa kenaikan upah minimum acuannya
berlandaskan kepada kebutuhan hidup layak, pertumbuhan
ekonomi dan produktivitas. Jadi secara langsung hal
tersebut bertentangan dikarenakan kebijakan yang
dibawahnya melanggar kebijakan yang diatas.
Kedua, secara konstitusi dengan fromula pasti yang
tentunya seragam maka menghilangkan fungsi dan hak dari
serikat nuruh untuk berunding dalam penetapan upah
minimum. Hal ini tentu saja melanggar konvensi ilo no. 98
tentang hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersama dan konvensi upah minimum 131 tentang hak
negoisasi. Jadi jelas PP ini melanggar UU. No. 13,
melanggar hak usul buruh nerunding dan peran serikat
buruh.
Ketiga, based on atau standar upah di Indonesia sangat
kecil, ILO mengatakan upah rata-rata kita itu hanya 171 US
Dollars jauh dibawah vietnam 181 US Dollars sedangkan
dibandingkan malaysia dan singapura sangat jauh
tertinggal. Contohnya hampir semua propinsi sebagian
kecil di jawa tengah, jawa timur dan jawa barat 1.300.000
sampai 1.500.000 jadi based onnya sangat kecil, meskipun
naiknya 10 sampai 11 persen pun masih sangat kecil. Jawa
tengah misalkan hanya solo yang 1.600.000 tapi diluar solo
xx
itu hanya 1.300.000. Kalau naik 10-11% berarti hanya
sekitar 130.000-150.000 ribuanlah. Berarti kenaikannya
hanya menjadi 1.430.000-1.450.000. Pertanyaan apakah
cukup dengan upah tersebut orang dapat memenuhi
kebutuhan hidup. Jadi aneh, bekerja tapi tetap miskin di
Indonesia ini. Disatu sisi PP 78 yang katanya
menyelesaikan permasalahan upah ya tidak terbukti. Kami
hitung-hitung lima tahun kedepan misalkan upah naik
hanya 10-11%, dijawa tengah hanya menjadi 2.200.000
sedangkan dikarawang yang saat ini upahnya 3,3 juta 5
tahun kedepan sudah hampir 7 juta, gapnya jauh sekali.
Hal lainnya non teknisnya lah, misalkan proses pengupahan
itu tidak melalui mekanisme dialog atau tidak melibatkan
perwakilan buruh. Kita baru di undang tanggal 12 dan 13
oktober sedangkan tanggal 15 sudah diputuskan. Padahal
kita sepakat hampir 99% serikat buruh menolaklah tetapi
tetap saja tidak di respon oleh pemerintah. Dengan kata
lain, kita di undang bukan untuk mendiskusikan tapi untuk
mensosialisasikan peraturan yang sudah jadi. Jadi itu
bertentangan dengan yang selama ini digembar gemborkan
oleh pemerintah bahwasanya pemerintah mengutamakan
sosial dialog dalam setiap permasalahan perburuhan dan
pengambilan kebijakan.
Dengan alasan-alasan tersebutlah, makanya kami menuntut
pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.
Kami juga mengharapkan agar pemerintah dalam penetapan
upah minimum kembali menggunakan UU No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan serta 60 komponen KHL
yang telah ditetapkan
Putra : Bagaimana peran KSPI dalam menuntut pencabutan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan?
Muhamad Rusdi : Kita sebagai induk organisasi yang membawahi serikat
buruh di setiap perusahaan melakukan kordinasi dengan
pimpinan organisasi yang ada bagaimana menyikapi hal
tersebut. Tentunya tentang cacat prosedural, melanggar
UU, merugikan kaum buruh makannya kita kemudian
melakukan pengordinasian untuk menolak PP 78. Dengan
xxi
membuat tulisan-tulisan, selembaran dan merealese data
yang ada. Agar anggota kita, pengurus-pengurus dibawah
kita paham kenapa kita menolak. Kemudian selanjutnya,
kita melakukan aksi unjuk rasa dengan sebelumnya
mengkordinirsikan kepada lintas konfederasi buruh lain
yang tergabung dalam GBI (Gabungan Buruh Indonesia)
untuk sepakat untuk melakukan aksi bersama dan
berkelanjutan mulai dari tanggal 15, 24, 27, 28, 29 sampai
30 Oktober. Dan apabila 30 Oktober belum ada
perkembangan maka kita sepakat melakukan mogok
nasional pada bulan 24, 25, 26, 27 dan 28 November.
Putra : Metode apa yang di gunakan KSPI dalam
memperjuangkan setiap kasus buruh terutama dalam
menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No.
78 Tahun 2015 tentang Pengupahan?dan apa
alasannya?
Muhamad Rusdi : Kita menggunakan metode KLA (Konsep, Lobi dan Aksi).
Apa itu Konsep? Konsep itu isinya tentang mengapa kita
harus berjuang, apa yang kita perjuangkan, apa yang kita
tuntut, apa yang kita tolak. Itu kita buat dalam sebuah
tulisan dan realese, kita sebar melalui whatsapp, facebook,
wartawan dan media. Konsep tersebut sebelumnya melalui
diskusi, kita punya tim riset, tim media, teman-teman
tripartit yang nantinya merumuskan konsep tersebut untuk
ditulis dan direalese. Konsep itu tidak mudah terkadang kita
seminar dulu mengundang ahli-ahli, stakholder juga dan
termasuk dari apindo juga. Bagaimana pandangan mereka,
kemudian hasil dari seminar kita workshop kan agar
anggota sadar kita mau bahas apa. Setealh di workshop kita
rumuskan dan ringkas lagi hingga jadi satu halaman. Jadi
memang proses diskusi panjang sehingga ketika konfedrasi
atau kita menyatakan penolakan atau perlawanan akan
secara masif. Jadi proses membangun isu, opini di anggota
juga tidak ujug-ujug instruksi. Kita kasih pemahaman yang
bener dan utuh, mereka juga kan terbuka jadi kita harus
menggunakan metode yang objektif, ilmiah dan nasional
ketika kita menyatakan ini harus ditolak atau ini harus
diperjuangkan. Secara logis juga buruh saat ini tidak
xxii
bodoh-bodoh amat dan dibeberapa sektor memeiliki
pengetahuan yang cukup untuk menilai ini benar atau salah.
Kedua, apa itu lobi? Lobi itu melobi teutama pemerintah
dan DPR, apabila mentok kita melobi kementrian terkait
seperti kementrian ketenagakerjaan, ketua DPR, wakil
ketua DPR dan juga fraksi-fraksi Komisi IX DPR RI kita
sampaikan mengapa kita menolak. Kita lobi semuanya agar
mereka juga yakin dan melobi DPR tujuannya agar
terbentuknya sebuah tim panja (Panitia Kerja) ataupun
pansus (Panitia Khusus). Dan alhamdulillah terbentuk panja
upah, kita diundang secara resmi ke komisi IX. dan sudah
beredar pada mei 2016 hasli kerja panja komisi IX itu
hasilnya adalah minta mencabut PP 78 karena melanggar
UU. No. 13. Namun kita cek kepemerintah mereka
beralasan belum menerima hasil panjanya. Kita juga melobi
media agar membantu kita menyebarluaskan apa yang kita
tuntut.
Ketiga aksi, melakukan unjuk rasa terhadap kebijakan
pemerintah agar dapat diliput seperti aksi kantor gubernur
dan walikota. Alasannya karena itu metode yang
komprehensif, kita gak mungkin buruh menggunakan
konsep tanpa ada lobi dan aksi atau aksi dan lobi tanpa
konsep apalagi konsep dan aksi tanpa lobi pasti kurang.
Bahkan kita mau menambah satu lagi yaitu politik, dimana
buruh harus berpolitik, buruh harus punya partai politik
karena kebijakan PP dan UU itu kebijakan politik yang
dirumuskan oleh eksekutif dan legislatif. Dan untuk
mencapai tujuan kesana kita harus mengikuti sistem dan
pola yang ada, ya selama ini buruh dan mahasiswa itu
hanya sebagai presser group saja dalam menanggapi
kebijakan yang kurang baik atau bagus. Setelah itu,
mahasiswa habis demo pulang ke kampus dan buruh habis
demo pulang ke pabrik menang atau kalah.
Putra : Sudah sampai sejauh mana hasil dari metode ini?
Muhamad Rusdi : Secara lobi kita sudah mendapatkan hasil berupa dukungan
DPR dalam penolakan terhadap PP 78 dan dari opini publik
juga pemerintah sudah mulai terdesak dan satu lagi kita
mengugat melalui MA (Mahkamah Agung) atau melalui
xxiii
proses judicial review. Karena ini PP produknya makannya
ke MA sedangkan kalau UU kan ke MK. Namun sampai
saat ini belum di proses dan alasannya adalah adanya
kebijakan terkait UU No. 13 yang sedang dibahas di MK.
Dikarenakan kalau payung hukumnya digugat jadinya tidak
relevan lagi.
Putra : Apakah ada pertemuan antara ketiga pihak yaitu
pemerintah serikat buruh dan pengusaha dalam
menyelesaikan permasalahan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini? Jika
ada, apa yang dihasilkan dari pertemuan tersebut?
Muhamad Rusdi : Kalau sebelum ditetapkan proses pengupahan tidak
melibatkan dialog, dimana pimpinan konfederasi tidak
dilibatkan. Kita baru diundang pada tanggal 12 Oktober dan
tanggal 15 sudah ditetapkan. Semenjak 12 Oktober kita
diundang dua kali dan kita sepakat hampir 99,9 persen
buruh menolak tetapi tidak direspon oleh pemerintah. Jadi
pertemuan tersebut bukanlah untuk mendiskusikan tetapi
untuk mensosialisasikan PP tersebut. Pemerintah dengan
gampangnya mereka akan jalan terus dan itu bukanlah
berdialog. Dan itu bertentangan dengan selama ini
diungkapkan pemerintah yang lebih mengutamakan sosial
dialog dalam setiap penyelesaian permasalahan perburuhan
dan mengambil setiap kebijakan namun nyatanya tidak.
Kalau sesudanhya ada baru-baru ini yang diperkasai oleh
ILO, hasilnya mereview sistem pengupahan termasuk PP
78 walaupun debatnya panjang dikarenakan pemerintah dan
pengusaha satu suara, untung saja ILO memback up kita.
Sekarang pemrintah ini, saya tidak mengerti ini.
Seharusnya namanya bukan menteri tenaga kerja tapi
menteri pengusaha karena statmentnya menterinya itu
adalah statment pengusaha.
Putra : Upaya apa saja yang telah dilakukan KSPI dalam
menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No.
78 Tahun 2015 tentang Pengupahan?
Muhamad Rusdi : Pertama, menkordinasikan internal KSPI melalui diskusi-
diskusi internal yang nantinya merumuskan konsep. Kedua,
xxiv
mengkordinasikan pada jaringan konfederasi-konfederasi
lain. Ketiga, melobi DPR. Keempat kita melakukan
kampanye melalui media maupun sosial media kita sebar.
Di internal kita punya web KSPI dan beberapa afilasi juga
punya web, kemudian melalui tabloid dengan nama koeran
perdjoangan dan terakhir facebook. Eksternalnya kita press
konfrens ke media cetak dan media elektronik kita undang.
Kita juga melobi media agar membantu kita
menyebarluaskan apa yang kita tuntut. Kelima, kita juga
samapaikan ke induk organisasi internasional yaitu
International Trade Union Confederation (ITUC), mereka
juga melobi-lobi kepada negara kita juga. Keenam baru
aksi. Ketujuh, melakukan gugatan judicial review di MA
Putra : Dalam menjalankan program organisasi,
membutuhkan dana yang besar. Berasal dari manakah
dana tersebut?
Muhamad Rusdi : Iya kalu dana kita independen dari iuran anggota yaitu 1 %
dari upah, dimana 60%nya dikelola oleh serikat di
perusahaannya masing-masing 40%nya dikelola oleh
federasi yang digunakan untuk alokasi pendidikan,
advokasi dan lain-lain.
Putra : Adakah donator-donatur yang membantu berjalannya
kegiatan/program KSPI? Jika ada, siapakah donatur
tersebut? Jika tidak ada, bagaimanakah KSPI
mengatasi masalah tersebut (menjalankan program)?
Muhamad Rusdi : Tidak pernah ada. Dan di AD/ARTnya di atur bahwa tidak
boleh karena harus independen agar serikat buruh kuat dan
tidak bisa dipengaruhi dari luar. Iya kalau kita aksi
melakukan kegiatan unjuk rasa segala macam ya itu
dibebankan oleh iuran anggota juga dengan melakukan
konsolidasi ke anggotanya masing-masing untuk
melakukan aksi.
Putra : Selain afiliasi dengan serikat buruh. Apakah ada kerja
sama antara KSPI dengan partai politik?
Muhamad Rusdi : Kalau dengan partai politik sampai saat ini belum ada.
Kenapa dibilang belum ada, kita menilai secara langsung
xxv
partai politik sekarang belum bisa menjanjikan kepada
buruh. Misalanya contoh kemaren tentang pp 78 sangat
lemah itu dukungan partai politik untuk melakukan
penolakan. Kalaupun kemaren tentang pilpres itu kenapa
kita mendukung salah satu kandidat itu, karena dia mau
melakukan kontrak politik yaitu spultura (10 tuntutan
rakyat) dan kalau sudah jadi akan menjalankan spultura ini.
Terus selama mereka kampanye kemaren mereka
meyuarakan itu kedaerah-daerah. Kalau kerja sama
langsung tidak ada kita karena di organisasi atau di
AD/ART kita itu kita tidak boleh kerjasama politik
langsung dengan partai politik. Apalagi kerjasama yang
tidak berpengaruh pada organisasi kita
Putra : Adakah perwakilan buruh yang duduk dalam parlemen
atau DPR? Kalau ada apakah perwakilan tersebut juga
yang mempengaruhi masukan KSPI tentang
permasalahan ini sehingga dapat diterima oleh DPR?
Muhamad Rusdi : Sekarang ini tidak ada. Tapi di DPRD kabupaten Bekasi
ada tapi kan masih numpang partai lain jadi susah bersuara
nyaring. Oleh karena itu kita rencananya kedepan ingin
membikin partai politik agar dapat menyuarakan kebijakan-
kebijakan tentang buruh.
Putra : Baru-baru DPR RI Komisi IX Bidang Ketenagakerjaan
dan Kesehatan telah menerima masukan terkait dengan
pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan untuk di bahas dalam
pembahasan Panitia Kerja (Panja) agar dapat
dievaluasi. Lalu, bagaimana proses keseluruhan
sehingga PP tersebut dapat diterima oleh DPR untuk
dibahas dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) agar
dapat di evaluasi?
Muhamad Rusdi : Panja sendiri sudah selesai dan DPR telah
merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencabut PP
78. Iya karena akumulasi aksi ini meluas bukan hanya
dijakarta tapi nasional dan bukan hanya satu warna bendera
serikat buruh tapi mayoritas dan kita telah merealese opini
publik maka logika DPR, mereka akhirnya langsung
merespon dan mereka sepakat bikin panja walaupun kita
xxvi
mintanya pansus karena panja hanya komisi IX dan pansus
itu bisa lintas komisi kan permasalahan bukan hanya upah
tapi bidang industri, perekonomian dan lain-lain. Setelah itu
terbentuk akhirnya mereka (DPR) mengundang stakholder
yang ada yaitu serikat buruh, pemerintah, pengusaha dan
ahli juga diundang. Dan mereka juga terjun atau survei
langsung kedaerah-daerah, bener gak nih apa yang di
opinikan oleh kaum buruh.
Putra : Apa yang menjadi faktor pendukung dalam
keberhasilan KSPI sehingga PP tersebut dapat diterima
oleh DPR untuk dibahas dalam pembahasan Panitia
Kerja (Panja) agar dapat di evaluasi?
Muhamad Rusdi : Karena secara opini publik ini sudah cukup kuat melalui
aksi-aksi yang merata dan hampir diseluruh indonesia serta
media yang memberitakan sehingga mereka cepat
merespon dan ada lobi-lobi dan pendekatan-pendekatan
terhadap individu-individu dari partai poitik juga. Dan
alasannya memang kuat yaitu melanggar UU.
Putra : Adakah solusi dari KSPI dalam sistem pengupahan di
Indonesia?
Muhamad Rusdi : Upah berdasarkan KHL, dan yang bermaslah sekarang
adalah item yang ada di KHL kurang. Kan ada 60 item kita
usulkan ada 84 item. Kedua, mekanisme perhitungannya
yang perlu disempurnakan sehingga jomplang antara
jabodetabek dan jawa tengah ini bisa gapnya tidak terlalu
jauh pasti bedalah walaupun itemnya sama tapi kan harga
barang berbeda-beda disetiap daerah tapi tidak terlalu
jomplang karena bedanya cuma 10-15% lah. Jadi upah bruh
itu bener-bener layak, kita tidak minta tinggi tapi layak.
Ketiga, bagi sektor tertentu yang dianggap menonjol
upahnya disesuaikan lagi seperti otomotif, elektronik,
perumahan, IT, pertambangan dan kimia upahnya dinaikan
lagi. Kesimpulannya sistemnya sudah benar hanya yang
terpenting KHL dan sistem perhitungannya yang dibenerin
Putra : Adakah kendala atau hambatan yang diterima KSPI
dalam menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan?
xxvii
Muhamad Rusdi : Di Internal kita tidak ada tapi di eksternal ada. Pertama,
dari pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum buruh
dan harusnya departemen ketenagakerja itu melindungi
kaum buruh karena yang membela pengusaha sudah ada
yaitu menteri perindustrian, menteri perdagangan dan
BKPM badan Koordinasi Penanaman Modal.
Kemudian, saat demo buruh PP 78 pada 30 Oktober 2015
lalu terjadi penangkapan terhadap 26 orang dan ditetapkan
dijadikan tersangka termasuk saya. kita dikenai Pasal 216,
Pasal 218 KUHP junto Pasal 7 huruf F berkaitan dengan
Peraturan Kapolri. Dengan alasan massa berdemo sudah
melebihi batas waktu sesuai UU No 9 Tahun 1999 tentang
penyampaian pendapat di muka umum. Padahal waktu
mahasiswa demo terhadap kenaikan BBM saja sampai
malam.
Apalagi waktu kita mogok nasional dalam perjuangan upah
itu sekarang demo-demo dikawasan industri itu dilarang
karena ada kebijaka melalui Kepmen Perindustrian nomor
466/ M-IND/ Kep/ 8/ 2014 tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Perindustrian nomor 620/ M-IND/
Kep/ 12/ 2012 tentang Obyek Vital Nasional Sektor
Industri. Kebijakan tersebut melarang demostrasi di
kawasan industri karena dianggap objek vital sehingga
tentara dan polisi masuk ke perusahaan. Dan kita juga
minta direvisi tuh karena unjuk rasa dan mogok di
perusahaan itu adalah haknya buruh.
Terakhir, tentu saja dari pengusaha yang menginginkan
praktek upah murah di Indonesia. Sampai kapan pun
mereka akan berusaha buat upah yang sesuai kepentingan
mereka. Adanya PP No. 78 artinyakan pemerintah telah
melegal praktek upah murah yang selama ini diharapkan
atau diinginkan oleh para pengusaha.
Lampiran 6: Transkip wawancara
Narasumber : Juprianus Manurung, S.H,
Bagian : Kasi Standarisasi Pengupahan Direktorat Pengupahan,
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
xxviii
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja
RI
Hari/Tanggal : 21 September 2016
Tempat : Kementerian Tenaga Kerja RI.
Putra : Apa alasan Kementrian Ketenagakerjaan dalam hal ini
bagian dari pemerintah menerapkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan tersebut?
Juprianus Manurung: Pertama, karena ini amanat UU No. 13 tahun 2003 pasal
97, dimana amanat tersebut berupa supaya pemerintah
menuyusun peraturan pelaksanaan pengupahan berupa PP.
Putra : Bagaimana tanggapan Kementrian Ketenagakerjaan
tentang polemik yang terjadi tentang Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan tersebut?
Juprianus Manurung: Jadi sebelumnya, kami menganggap tidak perlu mengikuti
rekomendasi panja pengupahan karena kami menganggap
itu hanya keputusan politik dan tidak memiliki kekuatan
hukum untuk dieksekusi atau dijalankan sehingga apabila
diabaikan pun hal tersebut tidak akan membawa
konsekuensi hukum. Polemik itu silahkan prosedurnya itu
dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku. Kalau ada yang
keberatan silahkan uji materil kalau PP berarti melalui
Mahkamah Agung. Apabila MA menerima alasan
penggugat kita turuti dan akan merubah pasal yang digugat.
Terkait PP 78 kita masih diskusi tapi tidak diskusi ekstrem
terkait PP 78.
Putra : Apakah ada pertemuan antara ketiga pihak yaitu
pemerintah, serikat buruh dan pengusaha dalam
meneyelesaikan permasalahan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini?
Juprianus Manurung: Jadi gini, baik sebelum dan sudah ada pertemuan untuk
sosialisasi karena sudah 12 tahun sebelum kita tetapkan kita
sudah diskusi antara pemerintah, pengusaha dan serikat
buruh. Kalau kita lihat dari formilnya dan materilnya sudah
kita lakukan. Formilnya kita sudah sesuaikan dengan UU
No. 12 tentang tata cara penyusunan peraturan
xxix
pembangunan sedangkan materilnya kita sudah diskusikan
ketika merumuskan pasal-pasal PP 78 dan merumuskan itu
kita undang serikat buruh dan pengusaha berdialog.
Pemerintah itu menetapkan UU tidak akan merugikan pasti
kita mengatur agar lebih baik.
Putra : Apa langkah yang akan dilakukan Kementrian
Ketenagakerjaan kedepannya untuk membenahi atau
memperbaiki sistem pengupahan di Indonesia?
Juprianus Manurung: Pertama, kita akui sampai saat ini belum ada sistem
pungupahan yang berbasis nasional karena PP 78 itu kan
masih sub sistem. Tapi bagaimana kita merespon agar
sistem pengupahan nasional itu dapat berbasis nasional
sebenarnya kita punya dewan pengupahan nasional yang
akan melakukan kajian-kajian untuk pengembangan suatu
sistem yang berlaku nasional. Kedua, bulan oktober dan
november nanti kita akan rembuk bersama, kita akan
rumuskan bagaimana bangunan dari sistem pengupahan
berbasis nasional itu. Kita ingin sistem pengupahan itu
berlaku diseluruh di Indonesia.
Lampiran 7: Transkip wawancara
Narasumber : P. Agung Pambudhi
Bagian : Direktur Eksekutif Dewan Pengusaha Nasional Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO)
Hari/Tanggal : 30 September 2016
Tempat : Gedung Permata Kuningan.
Putra : Bagaimanakah anda menanggapi Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan?
P. Agung Pambudhi: PP 78 tentu positif dalam artian terbatas menjamin
kepastian sehingga bisnis itu bisa lebih mengkalkulasi
kemungkinan proyeksi kedepannya dalam perhitungannya
akan seperti apa. Dan selama ini tidak pernah didapatkan
karena meskipun selama ini sudah ada mekanisme
kelembagaan melalui dewan pengupahan daerah maupun
nasional. Tetapi faktanya sebagian besar rekomendasi dari
xxx
dewan pengupahan itu diabaikan oleh pengambil keputusan
terakhir yaitu gubernur. Dimana mereka lebih banyak
menggunakan pertimbangan politis daripada apa yang telah
direkomendasikan oleh dewan pengupahan jadi dalam
konteks itu apa gunanya dewan pengupahan dan
mekanisme tripartit kalau akhirnya seperti itu. Maka untuk
menjamin kepastian, pengusaha lebih cenderung memilih
formula yang pasti seperti itu.
Putra : Alasan apa yang menjadikan Apindo mendukung
Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan?
P. Agung Pambudhi: Pertama, PP 78 memberi kepastian upah pada dunia usaha.
Kedua, kita ini hanya bicara upah minimum bukan upah
secara keseluruhan. Upah minimum ini kan jaring
pengaman yang diharapkan melaui upah minimum itulah
maka pekerja yang bersakungkatan mendapatkan upah
layak dan agar tidak terjun dijurang kemiskinan. Dan Upah
layak ini diharapkan benar-benar menjadi jaring pengaman
karena dtidak ada hubungannya dengan prestasi dan
produktivitasnya diperusahaan. Ketiga, itu juga tidak
melanggar apapun kalau ada pihak yang mengatakan PP
tersebut melanggar negosiasi bipartit, tidak saya katakan!
Karena di PP itu khususnya disebagian formula bicara
tentang upah minimum bukan upah keseluruhan. Nah, upah
minimum lebih baik menggunakan mekanisme teknokratis
daripada bipartit karena dia akan lepas dari kepentingan
politis dan akan munculnya pertimbangan objektif dengan
data yang berbicara.
Putra : Apa ada pengusaha yang menolak adanya Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan? Jika ada, apa alasan pengusaha tersebut
menolak PP tersebut?
P. Agung Pambudhi: Ada, invest dunia usaha menanggung baiaya yang lebih
tinggi dengan rumusan seperti ini.
Putra : Menurut anda, apa dengan adanya PP No. 78 ini, sistem
penguapahan di Indonesia menjadi lebih baik?
xxxi
P. Agung Pambudhi: Menurut saya belum ideal, mengapa saya katakan belum
ideal karena faktanya kalau dari sisi dunia usaha, invest
dunia usaha menanggung baiaya yang lebih tinggi dengan
rumusan seperti ini. Dibandingkan hasil-hasil dengan
negoisasi melalui dewan pengupahan tapi karena sudah
terlalu capek dengan ketidakpastian ya sudah kita terima ini
dan diharapkan ke depannya ada kepastian. Jadi itu yang
lebih mendasari kita untuk mengatakan bahwa formula ini
relatif bagus tapi mengapa saya mengatakan relatif tidak
sepenuhnya bagus karena tidak mencerminkan kondisi di
daerah dengan produktivtas daerah. Hal ini dikarenakan
yang dipake kan angka inflasi nasional dan pertumbuhan
nasional bukan daerah, barangkali ada kekhawatiran di
pemerintah pusat khususnya kalau daerah yang saat ini
memiliki upah minimum kecil dan belum mencapai KHL
upah minimumnya bisa-bisa tidak bisa mencapai pada upah
layak karena produktivitasnya rendah tapi inflasinya tinggi.
Jadi GAP antara daerah yang sudah bagus dan yang belum
bisa lebih melebar tapi itu tidak mencerminkan
penghargaan yang pas untuk pekerja, ya seharusnya kan
yang produktivitasnya tinggi berhak mendapatkan tinggi
sedangkan yang rendah ya berhak kurang. Tapi melalui ini
disamaratakan berarti ada subsidi silang. Jadi mungkin
formulasi sudah lebih baik untuk menjamin kepentingan
nasional. Apa yang saya bilang kepentingan nasional itu
penciptaan nilai tambah dan akhirnya penciptaan lapangan
kerja. Yang pasti bagi pengusaha lebih baik karena adanya
aspek kepastian PP 78 itu, karena kalau tanpa adanya
kepastian itu size ekonominya tidak akan bertambah karena
tidak adanya kepastian itu tidak menarik bagi investasi.
Putra : Apakah ada pertemuan antara ketiga pihak yaitu
pemerintah serikat buruh dan pengusaha dalam
menyelesaikan permasalahan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini? Jika
ada, apa yang dihasilkan dari pertemuan tersebut?
P. Agung Pambudhi: Sudah ada baik sebelum maupun sesudah ditetapkannya PP
78. Sebelumnya ditetapkan sudah ada pembahasan tapi
tidak ada kesepakatan antara pengusaha dan serikat buruh
tapi kita kembalikan kepada pemerintah yang ini sebagai
xxxii
pemegang otoritas untuk memutuskan. Sesudahnya juga
beberapa kali ada pertemuan terkahir dua minggu lalu
ketika saya level meeting tripartit dengan pak iqbal dari
KSPI juga ada disitu, sudah ada pembahasan tentang sistem
kerja. Salah satunya terkait pengupahan, dan ketika kita
bicara pengupahan tentu akan bicara PP 78, pada saat itu
memang ada beberapa kali ketidaksepakatan tapi akhirnya
kita semua sepakat menandatangani bersama hasil dari high
level tripartit meeting itu. Dan disitu dikatakan bahasanya
adalah jalankan dulu PP 78 sambil kita melakukan evaluasi
atas implementasi ini.
Putra : Bagaimana menurut anda dengan tindakan buruh yang
melakukan gerakan massa atau demonstrasi dalam
menyelesaikan permasalahan mereka?
P. Agung Pambudhi: Demonstrasi kita, sebelumnya kita harus bedakan dulu
antara demonstrasi dan mogok kerja. Mogok kerja itu
definisinya adalah bisa terjadi akibat gagalnya perundingan
antara dua pihak antara pengusaha dan serikat buruh. Kalau
ada kegagalan perundingan itu silahkan hak pekerja untuk
mogok dan hak pengusaha untuk log out atau tutup pabrik.
Dan kita respect dengan itu asal dijalankan dengan damai.
Tapi yang kita tolak itu demonstrasi yang sifatnya agitasi
dan provokasi serta tidak ada hubungannya dengan
gagalnya perundingan. Misalkan PP 78 yang kemaren.
Demonstrasi yang kita tolak lainnya pertama, demonstrasi
yang merusak akses produksi dan menghentikan proses
produksi, kedua, sweeping pekerja lainnya yang tidak mau
ikut demo dipaksa ikut berhenti bekerja untuk demo.
Ketiga, adanya ancaman pada pekerja lain yang tidak mau
ikut demo, agar ikut demo mereka di intimidasi baik secara
fisik dan verbal omongan. Keempat demonstrasi yang
mengakibatkan gangguan kepada sarana dan prasarana
publik, misalnya ngblok jalan tol apa hubungannya dengan
urusan yang di ungkapkan oleh para pendemo dengan
masarakat yang ingin mendapatkan akses cepat jalan tol.
Jadi itu yang kita respect dan tolak dengan adanya
demonstrasi.
xxxiii
Putra : Adakah solusi dari Apindo dalam sistem pengupahan di
Indonesia?
P. Agung Pambudhi: Solusi terbaik ya berdasarkan produktivitas jadi kalau mau
bahasa simpelnya kalau produktivitas-nya tinggi ya berhak
lebih tinggi dan yang produktivitasnya rendah ya berhak
dikurangi jadi lebih adil.
Lampiran 8: Transkip wawancara
Narasumber : Timboel Siregar
Bagian : Pengamat Perburuhan
Hari/Tanggal : 19 Oktober 2016
Tempat : Rumah Pribadi.
Putra : Bagaimanakah pandangan anda terkait Peraturan
Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan?
Timboel Siregar : Jadi memang begini PP 78 bagian yang tidak terpisahkan
dari paket kebijakan ekonomi ke 6. Ini memang dibuat oleh
pemerintah untuk bagaimana iklim investasi itu masuk dan
meningkat di indonesia. Terutama mengenai kenaikan upah
minimum yang dinilai oleh pemerintah selama ini selalu
bergejolak ketika adanya kenaikan upah minimum setiap
tahunnya seperti adanya demonstrasi. Akhirnya pemerintah
menetapkan PP 78 tahun 2015 itu, dan dalam PP tersebut
terdapat yaitu pasal 44 menyatakan bahwa kenaikan upah
minimum nantinya tidak perlu diskusi atau negosiasi. Tapi
menggunakan rumus pasti yaitu inflasi nasional dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang datanya dikeluarkan
oleh badan pusat statistik. Jadi sesuai pasal tersebut BPS
mengeluarkan angka inflasi 3,07% dan angka pertumbuhan
nasional 5,18% jadi ditotal menjadi 8,25% untuk kenaikan
upah minimum 2017 yang persentasenya itu akan
diterapkan sama dan bersama seluruh Indonesia.
Pertama, ini merupakan masalah bagi serikat buruh
sedangkan pemerintah mengangap sebuah kepastian yang
tidak akan menimbulkan gejolak dan demonstrasi. Apabila
kita mengacu pada pasal 89 ayat 3 uu 13 tahun 2003 bahwa
penetapan upah minimum itu di tetapkan oleh gubernur
xxxiv
setelah mendapat rekomendasi usulan dari dewan
pengupahan daerah atau walikota/bupati. Namun dengan
adanya PP 78 ini, dewan pengupahan daerah atau
walikota/bupati tidak lagi dapat merekomendasikan. Dewan
pengupahan daerah sendiri terdiri dari tiga unsur yaitu
pengusaha, pemerintah dan buruh yang selama ini
melakukam negosisasi dan survei KHL kelapangan selama
bulan september, oktober dan november untuk menetapkan
kenaikan upah minimum tahun berikutnya. Sementara itu
dengan adanya pasal 44 dan 45 ini tidak ada lagi peran dari
dewan pengupahan tersebut oleh karena itu negoisasi dapat
dikatakan tertutup karena penetapannya mengunakan
formulasi yang ada di Pasal 44 itu yaitu menggunakan
inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan
pasal 45 yaitu dewan pengupahan tidak perlu melakukan
survei kelapangan karena angka dari inflasi nasional dan
pertumbuhan ekonomi nasional akan dikeluarkan oleh BPS.
Demikian pula kewenangan dari walikota dan bupati juga
tertutup karena gubernur tidak lagi perlu menunggu
rekomendasi atau usulan walikota dan bupati yaitu dengan
menggunakan formulasi yang sudah ada.
Kedua, bahwa pertumbuan ekonomi dan inflasi yang
ditetapkan sebagai unsur penentu kenaikan upah minimum
ini juga tidak secara objektif menentukan kondisi riil buruh.
Dimana inflasi nasional diambil dari 200 sampai 300an
barang dan jasa dari inflasi mobil mewah, berlian, pangan,
sandang dan sebagainya. Sementara apabila kita mengacu
pada pasal 43 pp 78 terkait KHL yang didalam ada 60 item
saja dan disitu tidak ada mobil mewah dan berlian. Dengan
kata lain penentuan angka inflasi nasional tidak objektif
pada 60 item yang ada di dalam KHL.
Ketiga, permasalahannya pertumbuhan ekonomi juga tidak
objektif karena pertumbuhan ekonomi setiap daerah pasti
berbeda-beda, dan prakteknya malah di sama ratakan dan
sama rasa semestinya yang PDRB yang bagus yah dikasih
bagus sebagai reward kalau PDRB yang tidak bagus ya itu
resikonya disesuaikan sehingga nantinya akan lebih adil.
xxxv
Nah, jadi intinya PP 78 tahun 2015 ini punya masalah yaitu
pasal 44 dan 45 yang melanggar ketentuan diatasnya yaitu
pasal 89 ayat 3 uu 13 tahun 2013 dan tidak objektif dalam
pelaksanaan dilapangan sehingga menurut saya daya beli
buruh ini akan turun. PDB kan dikontrbusi oleh konsumsi
rumah tangga secara makro, investasi, goverment
expenditure, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
dan sebagainya, eksport dan import. Konsumsi rumah
tangga ini kan dikonribusi banyak oleh pekerja atau rumah
tangga yang bekerja apabila daya beli untuk mengkonsumsi
turun maka akan mempengaruhi PDB yang turun, PDB
yang turun akan berkontribusi pada upah minimum yang
nantinya akan seperti lingkaran setan.
Putra : Bagaimana kualitas dari Peraturan Pemerintah (PP)
No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut?
Timboel Siregar : Saya, tidak dalam posisi menolak PP Nomor 78 tapi hanya
mengkritisi beberapa pasal dalam PP tersebut. PP Nomor
78 merupakan amanat dari pasal 97 UU No. 13 tahun 2003
yang selama 12 tahun diabaikan. Dalam PP Nomor 78
sendiri terdapat hal yang baik yaitu kewajiban perusahaan
membuat dan memberi tahukan struktur dan skala upah.
Dengan adanya struktur dan skala upah itu pekerja atau
buruh akan tahu jenjang karirnya sehingga akan menjamin
upah diatas upah minimum bagi pekerja atau buruh yang
sudah bekerja diatas satu tahun. Dan untuk menjamin hal
tersebut bagi perusahaan yang melanggar akan ada sanksi
administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan
usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat
produksi, dan pembekuan kegiatan usaha. Dengan adanya
struktur dan skala upah ini nantinya akan menyelesaikan
permasalahan upah minimum.
Meskipun ada yang baik dari PP No. 78 namun ada juga
yang harus dikeritisi dari PP No. 78 yaitu pasal 44 dan 45.
Pertama, pasal tersebut melanggar ketentuan diatasnya
yaitu pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003. Seharusnya
PP itu patuh pada aturan diatasnya. Apabila kita mengacu
pada pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa
penetapan upah minimum itu di tetapkan oleh Gubernur
xxxvi
setelah mendapat rekomendasi usulan dari Dewan
Pengupahan Daerah atau Walikota/Bupati. Sementara itu,
dengan adanya pasal 44 dan 45 ini tidak ada lagi peran dari
dewan pengupahan tersebut yang didalamnya terdiri dari
terdiri dari tiga unsur yaitu pengusaha, pemerintah dan
serikat buruh yang selama ini melakukam negosisasi dan
survei KHL kelapangan selama bulan September, Oktober
dan November untuk menetapkan kenaikan upah minimum
tahun berikutnya.
Oleh karena itu negoisasi dapat dikatakan tertutup karena
penetapannya mengunakan formulasi yang ada yaitu
menggunakan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi
nasional. Dewan Pengupahan juga tidak perlu melakukan
survei kelapangan karena angka dari inflasi nasional dan
pertumbuhan ekonomi nasional akan dikeluarkan oleh BPS.
Demikian pula kewenangan dari Walikota dan Bupati juga
tertutup karena Gubernur tidak lagi perlu menunggu
rekomendasi atau usulan walikota dan bupati yaitu dengan
menggunakan formulasi yang sudah ada.
Putra : Menurut anda, strategi apa saja yang harusnya
dilakukan serikat buruh dalam memperjuangkan
kepentingannya dari permasalahan-permasalahan
buruh yang ada? Terutama dalam hal ini
mempengaruhi suatu kebijakan yaitu PP 78?
Timboel Siregar : Menurut saya, strategi yang lebih pasti adalah membatalkan
PP No. 78 itu melalui mahkamah agung dengan Judicial
Review. Karena saya sangat yakin pasal 44 itu bertentangan
dengan pasal 89 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003 dimana
peran-peran yang ada di UU No. 13 Tahun 2003
dihilangkan di PP No. 78 dan yakin Mahkamah Agung
akan membatalkan. Cuma yang menjadi masalah kan PP
No. 78 ini sudah dimasukan tapi serikat buruh kan maunya
membatalkan PP No. 78 keseluruhan. Seharusnya mereka
fokus pasal 44 saja yang dikatakan sangat krusial. Karena
apabila memang Mahkamah Agung harus di hapuskan
berartikan Mahkamah Agung harus mengkaji pasal-
perpasal dan ini jadinya memakan waktu yang lama.
xxxvii
Putra : Menurut anda terkait penolakan PP 78 ini, apa yang
menjadi hambatan serikat buruh dalam menuntut
pencabutan PP 78 tersebut? Baik hambatan dari
internal serikat buruh maupun eksternal dari serikat
buruh?
Timboel Siregar : Di internal Pertama, menurut saya tidak pas juga melihat
bahwa PP 78 harus dibatalkan secara kesuluruhan. Pertama,
PP 78 merupakan amanat pasal dari pasal 97 UU No. 13
tahun 2003 yang selama 12 tahun diabaikan. dimana, secara
subtansial atau isinya tidak semua salah. Hal ini
dikarenakan dalam PP Nomor 78 sendiri terdapat hal yang
baik yaitu kewajiban perusahaan membuat dan
memberitahukan struktur dan skala upah. Apabila PP 78
harus dibatalkan akan berdampak pada struktur dan skala
upahnya akan hilang juga. Seharusnya buruh fokus pada
poin permasalahannya yaitu pasal 44 dan 45. Menurut saya,
kalau yang lainnya tidak ada masalah dan bagus, yang tadi
tidak diwajibkan membuat struktur dan skala upah sekarang
wajib yang apabila tidak memberitahukan kepada
pekerjanya perusahaan bisa mendapatkan sanksi
administratif. Adapun hal baik lainnya, misalnya ada
kewajiban expatriate TKA (Tenaga Kerja Asing) kalau
digaji itu harus pakai rupiah. Selama ini, banyak yang pakai
dollar, dollarnya naik gajinya ikut naik dan menimbulkan
ketidakadilan dengan pekerja atau buruh lainnya yang
berasal dari kita. Dan inilah yang menurut saya sesuatu hal
yang baik, tidak boleh kita melihat sebagai sesuatu hal yang
salah semua. Jadi intinya dengan fokus terhadap
permasalahan utama memberikan efesiensi dikarenakan
MA tidak perlu mengkaji setiap pasal.
Kedua, sebenarnya potensi gerakan buruh sangatlah besar
namun karena membangunnya di dasari dengan politik
praktis yang memainkan isu masing-masing, akhirnya dari
serikat buruh dengan serikat buruh lainnya kehilangan
kepercayaan dan akhirnya jalan sendiri-sendiri. Dan
pemerintah juga akhirnya melihat gerakan buruh bukan lagi
sebagai kekuatan yang besar. Ditambah lagi serikat buruh
gagal meyakinkan buruh untuk menjadi anggota serikat
buruhnya. Federasi serikat buruhnya sampai 111,
xxxviii
konfederasinya sampai 6, serikat buruhnya di tingkat
perusahaan ribuan tapi buruh yang berserikat hanya 2,7 juta
orang. Sementara pekerja atau buruh formal di luar pegawai
negeri sebanyak 30 juta orang artinya yang menjadi
anggota buruh hanya sebesar 10%. Yang selama ini terjadi
kan, ketidakdewasaan elit serikat buruh saat kongres kalah
kemudian membentuk serikat buruh yang baru dan
akhirnya menciptakan serikat pekerja bertambah dan pecah-
memecah menjadi lebih kecil. Kalau saja bertambahnya
didasari dengan banyaknya anggota berserikat itu baik tapi
kan ini sebaliknya serikat buruhnya bertambah sedangkan
jumlah anggotanya turun. Contohnya tahun 2013 pekerja
atau buruh yang berserikat sekitar 3,5 juta orang tapi saat
ini mengalami penurunan menjadi 2,7 juta orang.
Ketiga, gerakan ini juga kurang mengedepankan pada
pendidikan, bagaimana membangun sebuah kekuatan
serikat buruh dalam hal pemikiran kepada semua anggota.
Jadi yang ada antara elit dan anggota dibawahnya kualitas
pendidikannya sangat jauh sehingga yang pinter hanyalah
elit-elitnya saja sedangkan anggota dibawahnya hanya
sebagai objek peserta. Seharusnya kan anggotanya
dijadikan sebagai subjek yang di cerdaskan dengan begitu
serikat buruh akan lebih objektif dalam memperjuangkan
isu-isu mereka.
Kemudian, eksternalnya jadi gerakan buruh memang selalu
mengkritisi yang terkait dengan masalah-masalah
industrial. Tapi sekarang ini, gerakan buruh sudah digeser
kepada politik praktis, ini mungkin akibat pemilhan
presiden sebelumnya. Hal ini menjadikan isu-isu yang
dimainkan buruh tidak lagi objektif dan terkait dengan
permasalahan utama dalam industrial. Misalkan saja, buruh
memainkan isu tentang tax amnesty dan reklamasi teluk
Jakarta yang bukan ranah perjuangannya. Meskipun
menurut saya, gerakan buruh kita sudah semakin maju tapi
janganlah sampai kehilangan arah dan dibawa kepada
politik praktis. Menjadikan persatuan serikat buruh
akhirnya tidak tercapai. Saat ini, gerakannya bukanlah
dalam konteks satu tetapi gerakannya memainkan isu
masing-masing dikarenakan adanya gerakan buruh yang
xxxix
digeser kepada politik praktis tersebut yang seakan di setir
oleh kepentingan politik kelompok lain, akhirnya
melahirkan ketidakpercayaan sesama serikat buruh yang
nantinya menimbulkan perpecahan antara buruh itu sendiri.
Dengan situasi seperti itu tentu saja pemerintah
mengganggap bukan lagi kekuatan yang patut
diperhitungkan untuk melakukan tawar-menawar
(bargaining) politik.”
Kedua, kalau pemerintah mau jujur juga, mereka ini kan
salah membuat PP 78 khususnya pasal 44 seharusnya kalau
ada demo berarti ada kesalahan dalam kebijakannya. Oleh
karena itu, penangkapan yang terjadi 26 aktivis yang
melakukan demo terlampau berlebihan dari kepolisian.
Karena namanya demo kan diatur dalam UU No. 9 Tahun
1998, dan banyak kok yang melibihi jam 6 malam dan tidak
dipermasalahkan seperti mereka ini. Artinya kan
pemerintah berlebihan dan di nilai bertindak posesif
terhadap serikat buruh padahal apa yang diperjuangkan
buruh itu memang haknya karena PP No. 78 ini
bertentangan. Seharusnya pemerintah merangkul serikat
buruh ajak diskusi, negosiasi dan dialog sosial untuk
bekerja sama menemukan solusi terbaik bukannya malah
bertindak semaunya. Contohnya waktu itu ada tripartite
nasional, apa pemerintah mengajak dialog tentang PP No.
78? Tapi kan tidak, pemerintah juga jangan egois karena
kan sudah ada kesepakatan apabila ada permasalahan
tentang ketenagakerjaan di lakukan diskusi, negoisasi dan
dialog sosial dalam forum tripartit yang didalamnya terdiri
dari unsur pemerintah, unsur serikat buruh dan unsur
pengusaha. Oleh karena itu saya bilang pemerintah haruslah
menjadi penengah bukan agen dari salah satu unsur yang
ada.
Putra : Adakah solusi dari anda dalam sistem pengupahan di
Indonesia?
Timboel Siregar : Pengupahan adalah hal yang krusial dan mudah
menyebabkan konflik. Oleh sebab itu, sistem pengupahan
nasional kita harus melibatkan peran pemerintah untuk
mendukung daya beli buruh dengan memberikan subsidi-
xl
subsidi. Jadi pengupahan kita bukannya hanya dari
pengusaha namun juga melibatkan pemerintah. Pemerintah
yang merupakan aktor hubungan industrial juga harus
mendukung daya beli, ketika upah buruh hanya naik 10
persen dan dapat dilihat bahwa upah tersebut terlampau
kecil maka buruh-buruh tersebut harus di berikan subsidi
oleh pemerintah. Jadi daya beli itu kan bukan hanya dari
pemasukan yang diterima tapi juga ditentukan berapa
pengeluarannya. Apabila pemasukannya terbatas tapi
pengeluarannya bisa dihemat melalui subsidi artinya
safeting atau simpanannya bisa dipertahankan. Nah,
pemerintah dalam hal ini masuk menjaga pengeluaran ini
agar nantinya buruh dapat menyimpan uangnya untuk
tabungan mereka sehingga daya beli buruh akan naik juga.
Ada tiga yang kita analisa pengeluaran yang memakan
biaya besar dalam mempengaruhi daya beli buruh yaitu
pangan, perumahan, dan transportasi
Lampiran 9: Transkip wawancara
Narasumber : Dede Yusuf Macan Effendi, ST, .MiPol
Bagian : Ketua Komisi IX DPR RI periode 2014-2019
Hari/Tanggal : 14 September 2017
Tempat : Gedung Nusantara I DPR RI.
Putra : Mengapa DPR RI Komisi IX menerima masukan untuk
membahas Peraturan Pemerintah (PP) No .78 Tahun
2015 tentang Pengupahan dalam Panitia Kerja(Panja)
DPR RI ? Apa yg menjadi alasannnya?
Dede Yusuf : Sebelumnya, DPR sendiri tidak menyetujui adanya PP No.
78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan tsbesret . PP No. 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan ini adalah PP yang
lahirnya sangat mendadak. Walaupun proses RUU
(Rancangan Undang-Undang) ini sejak lama, namun
formulasi PP itu lahir dalam waktu yang singkat. Lahirnya
PP ini masuk dalam paket kebijakan ekonomi 4. Kami di
pimpinan Komisi IX DPR RI sudah melayangkan surat
kepada presiden untuk menunda pemberlakukan PP ini.
xli
Sebab, lahirnya PP tersebut terkesan prematur tanpa adanya
konsultasi DPR terlebih dahulu. dimana, legislator tidak
turut dilibatkan dalam perumusan hingga pemberlakuan PP
tersebut. Bahkan dalam PP tersebut dinilai terdapat
formulasi yang tidak cocok dengan buruh.
Saya mendapat telepon dari Menteri Tenaga Kerja, pada
tanggal 22 Oktober 2015 yang menjelaskan bahwa pada 23
Oktober 2015 pemerintah akan memberlakukan dan
mensosialisasikan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan. Kemudian ketika sudah diputuskan presiden,
kami melihat buruh dan juga kepala daerah melakukan
protes terhadap pemberlakuan PP tersebut. Seharusnya,
sebelum PP ini diberlakukan, dijelaskan pula dengan DPR
RI Komisi IX formula mana yang sesuai sehingga kami
sebagai legislator tidak lagi mempertanyakan isi formulasi
dari PP tersebut. Karena kalau peraturan baru mengenai
kenaikan upah untuk buruh tersebut sesuai dengan aturan
diatasnya, tentu kami dukung.
Putra : Bagaimana kualitas dari Peraturan Pemerintah (PP)
No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menurut anda?
Dede Yusuf : Jadi sesungguhnya kami menilai, PP No. 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan memang memiliki kelemahan.
Dikarenakan ada beberapa poin hak buruh yang
dihilangkan dalam PP tersebut. Pada dasarnya, cukup
banyak kami mendengar masalah mengenai PP No. 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan ini, oleh karena itu ada
beberapa isu yang perlu kita luruskan. Pertama, mengenai
hak bernegosiasi yang sudah tertuang dalam UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam penentuan
upah diharuskan melalui mekanisme bipartit (pengusaha
dengan pekerja) dan tripartit (peran pemerintah menajadi
mediator) yang akan menghasilkan kesepakatan bersama.
Untuk pola penentuannya berdasarkan komponen hidup
layak (KHL). Dimana Kehidupan Hidup Layak (KHL)
diatur melalui perundingan antara dewan pengupahan yang
teridiri dari pengusaha dengan pekerja bersama pemerintah
sebagai mediatornya.
xlii
Dengan begitu, penentuan upah minimum tersebut harus
diwajibkan dengan cara berdialog. Akan tetapi, dalam PP
No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan malah ditiadakan
dan seolah-olah ada sebuah rumusan. Dimana penetapan
pengupahan dilakukan menggunakan sebuah rumusan yang
hanya ditentukan oleh pemerintah setingkat provinsi saja,
itu saja sudah menyalahi Undang-Undang.
Padahal seharusnya tidak begitu. UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan untuk mewajibkan dialog tidak
boleh dilanggar. Maka dari itu kami di komisi IX
membentuk panitia kerja (Panja) pengupahan. Dan
Alhamdulillah Panja tersebut telah menghasilkan
rekomendasi yang mana PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan ini kami usulkan untuk direvisi. Jadi penetapan
tidak bisa by rumusan. Rumusan boleh tapi harus lihat
komponen x nya. Komponen x ini ini yang didialogkan
antara pekerja dan perusahaan
Kekurangan kedua, adalah dibatasinya kewenangan
pemerintah daerah dalam menetapkan KHL menjadi lima
tahun. Artinya, selama empat tahun ke depan dia (Dinas
Ketenagakerjaan dan Pemerintah Daerah) lepas tangan.
Kalau ada permalasahan apa-apa lepas tangan. Dengan kata
lain menghambat ruang daerah untuk membuat kebijakan
sendiri sehingga dapat menentukan formulasi pengupahan
sesuai inflasi di daerah masing-masing.
Oleh karena itu kami segera meminta pemerintah membuat
PP baru dalam waktu tiga bulan ke depan dimana PP itu
akan mengakomodir yang sesuai dengan Undang-undang,
bagaimana peran daerah, kemudian inflasi dan
pertumbuhan ekonomi daerah yang itu kan berbeda dengan
pertumbuhan inflasi pusat dan hak berunding untuk para
pekerja karena ada yang namanya tripartite,
Putra : Tahap-tahap apa saja yang dilakukan Panja (Panitia
Kerja) Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan dari awal sampai akhirnya
xliii
menghasilkan rekomendasi Panja (Panitia Kerja)
Pengupahan?
Dede Yusuf : Awalnya kami mendapatkan banyak masukan dari kalangan
buruh yang mengeluhkan adanya kebijakan Peraturan
Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Untuk merespon hal tersebut, akhirnya kami mengadakan
Rapat Kerja (Raker) pada tanggal 19 November 2015
dengan Kementrian Ketenagakerjaan. Rapat tersebut
menghasilkan Komisi IX DPR RI akan membentuk tim
Panja (Panitia Kerja) Pengupahan untuk mengkaji dan
mengevaluasi kembali PP No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan. Kenapa kami membentuk Panja (Panitia
Kerja) bukan Pansus (Panitia Khusus) karena masalah upah
utamanya adalah masalah ketenagakerjaan jadi tidak perlu
melibatkan lintas komisi. Setelah Panja (Panitia Kerja)
dibentuk kemudian kami mengundang dan mengadakan
beberapa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
berbagai pihak seperti perwakilan pengusaha, Dewan
Pengupahan Nasional, perwakilan Serikat Buruh, para ahli
dan Pakar. Terkahir kami yang tergabung dalam Tim Panja
(Panitia Kerja) Pengupahan juga melakukan kunjungan
kerja kebeberapa daerah untuk medapatkan informasi
langsung. Dari rapat-rapat dan kunjungan kerja tersebut,
kami dapatkan masukan-masukan yang nantinya akan
menghasilkan berupa rekomendasi Tim Panja (Panitia
Kerja) Pengupupahan.
Putra : Rekomendasi apa saja yang telah dihasilkan dari Panja
(Panitia Kerja) Peraturan Pemerintah (PP) No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan? Dan bagaimana
respon pemerintah terhadap hasil rekomendasi panja
tersebut?
Dede Yusuf : Pertama, Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk
mencabut Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan. Kedua, Komisi IX DPR RI meminta
Pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang
baru dengan formula baru yang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
xliv
Ketenagakerjaan. Ketiga, Komisi IX DPR RI meminta
Pemerintah untuk tidak meninggalkan kewenangan daerah
(tripartit), hak berunding (bipartit), penetapan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) dan penentuan inflasi daerah per satu
tahun sekali. Keempat, Komisi IX DPR RI meminta
pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Pemerintah
tentang Pengupahan yang baru dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada
seluruh pemangku kepentingan.
Lampiran 11: Dokumentasi bersama narasumber
Foto bersama Juprianus Manurung, S.H, selaku Kasi Standarisasi Pengupahan
Direktorat Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja RI, tanggal 21
September 2016 di Kementerian Tenaga Kerja RI.
xlv
Foto bersama Dede Yusuf Macan Effendi, ST selaku Ketuan Komisi IX DPR RI
Periode 2014-2019, tanggal 14 September 2017 di Gedung Nusantara I Komplek
DPR RI.
Foto bersama P. Agung Pambudhi selaku Direktur Eksekutif Dewan Pengusaha
Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), tanggal 30 September 2016 di
Gedung Permata Kuningan.
xlvi
Foto bersama Timboel Siregar selaku Pengamat Perburuhan, tanggal 19 Oktober
2016 di Rumah Pribadi.