[buku cerita] [mahabrata] keputusan sulit prabu salya

9

Click here to load reader

Upload: jarjitupinipinjarjit

Post on 14-Apr-2016

14 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

buku cerita

TRANSCRIPT

Page 1: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

[Mahabharata] Keputusan sulit Prabu Salya (1)

Diceritakan kembali dari: Komik "Mahabharata" (R.A. Kosasih)

Berita ini sungguh membuat bimbang Prabu Salya. Keinginannya untuk berpihak pada Pandawa

pada pertempuran yang kelak bernama Bharatayudha itu, terhalang oleh berita dari Hastina.

Ya, Prabu Duryudana mengirim utusannya ke perkemahannya, membawa berita tentang

sakitnya Banowati, anaknya yang bungsu yang menjadi permaisuri Prabu Duryudana.

Hatinya sungguh berpihak kepada Pandawa. Bukan hanya pada Pandawa, pada ayah mereka,

mendiang Pandu Dewanata pun, dia tetap mengaguminya sampai sekarang. Kesatria yang

cakap dan jujur. Dulu ia rela adiknya Dewi Madrim mendapatkan Pandu sebagai suaminya

walau dia sendiri gagal mendapatkan Kunti Nalibrata (Dewi Kunti) karena dikalahkan Pandu,

saat diadakan sayembara di Negara Mandura untuk memperebutkan Dewi Kunti. Walau kalah,

ia senang Pandu menjadi suami adiknya, yang ia jadikan taruhan bila dia kalah dari Pandu.

Kecintaannya pada Pandawa bertambah saat Madrim melahirkan Nakula-Sadewa, dua anak

kembar yang kelak menjadi kesatria-kesatria cakap dan berbudi seperti kakak-kakaknya. Prabu

Salya pun bersimpati pada perjalanan hidup Pandawa, yang seringkali menderita karena

kecurangan saudara-saudara misannya sendiri, para Kurawa. Direbut haknya atas tahta Hastina

sebagai penerus ayahnya Pandu, sampai harus mendirikan kerajaan sendiri (Indraprasta) di

tanah yang dulunya hutan belantara (hutan Kandawa), dan toh akhirnya tetap harus kehilangan

Indraprasta karena permainan dadu oleh Kurawa, berkat olah fikiran licik Sangkuni.

Salya menyadari ia bukanlah seorang yang rendah hati, bahkan dikatakan orang sebagai orang

sombong (apalagi sewaktu masih muda), tapi dia mencintai kebenaran dan kejujuran.

Kecintaannya pada kebenaran dan kejujuran inilah yang membuat hatinya berpihak pada

Pandawa.

Maka ketika ia mendengar berita tentang kesepakatan Pandawa dan Kurawa untuk berhadapan

di padang Kurusetra, dan setelah ia mendapat surat permintaan bantuan dari Prabu Yudhistira,

ia pun tak berpikir panjang lagi, mempersiapkan pasukannya dan berangkat ke Wirata, tempat

para Pandawa berdiam saat ini.

Kedatangan utusan Prabu Duryudana di tengah perjalanannya ke Wirata dengan membawa

berita ini tentu saja membuat ia bimbang, apakah akan meneruskan perjalanannya ke Wirata

bersama pasukannya, atau harus membatalkan rencana ini dan pergi ke Hastina untuk

menengok Banowati. Ia harus mengambil keputusan malam ini, sebelum esok hari harus

Page 2: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

kembali melanjutkan perjalanan.

Maka malam itu, saat ia menimbang-nimbang keputusannya, pikirannya pun melayang ke masa

lalu

....

....

Narasoma, demikian namanya waktu muda dulu, dia adalah putra mahkota di Kerajaan

Mandaraka. Orang bilang dia pemuda yang angkuh, sombong, percaya diri tinggi. Ganteng

memang, makanya banyak gadis yang suka. Suatu saat dia melawan ayahnya, Prabu Artayana,

ketika akan dijodohkan dengan pilihan ayahnya. Maka diusirlah ia karena dianggap melawan

orang tua, berkuda seorang diri tanpa tahu arah yang dituju. Menjalani gunung, hutan, dan

ngarai. Sampai dia melewati sebuah padang.

Tanpa ia sadari ada yang sesosok tubuh besar melayang-layang di udara, mendekatinya.

Sesosok tubuh raksasa, namun berpakaian brahma (resi). Sekonyong-konyong resi inipun

mendarat dan menghadang Narasoma dan kudanya, sampai kudanya meringkik kaget. Sang resi

raksasa ini pun memperkenalkan

dirinya, Resi Bagaspati namanya. Dia tanya identitas Narasoma. Narasoma pun terus terang saja

membuka identitasnya.

Tak disangka sang resi mengatakan bahwa dia ingin menikahkan Narasoma dengan putrinya.

Tentu saja Narasoma kaget, tak percaya apa yang didengarnya. Apa? Menikah dengan seorang

anak raksasa? Siapa yang mau?

Aku, anak seorang raja, yang diingini setiap wanita, menikah dengan seorang raksesi? Mimpi

buruk pun tak pernah. Maka keluarlah semua kata-kata makian Narasoma, yang merasa dirinya

dilecehkan sebagai seorang putra mahkota.

Tersinggung sang resi. Tapi ternyata dia orang sabar. Wajarlah namanya juga resi. Bagaspati

bilang, janganlah Narasoma menilai putrinya dari sosok ayahnya. Lihatlah dulu dia baru boleh

menilai. Anakku adalah seorang putri cantik, kata Bagaspati. Tapi mana Narasoma mau percaya.

Anak raksasa ya pasti raksasa juga, katanya.

Maka kemudian sang resi menceritakan tentang anaknya. Katanya, anaknya suatu malam

bermimpi, bertemu dengan seorang kesatria sangat tampan, dan menikah dengannya. Sang

anak minta agar bapaknya berusaha menemukan pria impiannya itu. Maka berbulan-bulan

sudah ia mencari sang pemuda, sampai bertemu dengan Narasoma sekarang dan ia punya

Page 3: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

firasat Narasoma-lah yang telah hadir dalam mimpi sang anak.

Mendengar cerita ini, dasar pemuda sombong, Narasoma tetap tak mau percaya. Dia malah

menantang tanding dengan sang resi, karena tetap merasa dihina. Maka tak ada pilihan bagi

Bagaspati meladeni pemuda sombong ini.

Narasoma pun melepas panah-panahnya, namun semua itu hancur sebelum menyentuh kulit

sang resi. Semua ajian Narasoma dapat dengan mudah dipatahkan Bagaspati, dan akhirnya

Narasoma pun dilumpuhkan sampai pingsan. Bagaspati pun kemudian membawanya terbang

ke tempat tinggalnya, sebuah padepokan bernama Padepokan Argabelah.

Tiba di padepokan Narasoma siuman dan dia mendengar suara seorang wanita yang menjawab

panggilan ayahnya yang baru datang. Sang ayah menyuruh si anak melihat ke luar, apakah

pemuda yang ia bawa ini cocok dengan yang diimpikan sang anak. Dan ternyata benarlah. Kata

si anak, dialah pemuda tampan yang telah hadir di mimpinya. Malah dia sangat ingat dengan

hidungnya yang `bangir' (mancung).

Narasoma yang semula sama sekali tak ingin melihat ke depannya, pelan-pelan membuka

matanya begitu mendengar suara yang merdu. Dan ketika ia melihat si gadis, tak percaya dia

dengan apa yang dilihatnnya. Sesosok anak manusia yang sangat jelita. Tak pernah ia melihat

wanita secantik itu. Pakaiannya sederhana sebagaimana gadis desa, tanpa `make-up' pula,

namun sungguh cantik. Benarlah

kata Bagaspati, anaknya adalah seorang manusia sempurna, cantik pula.

Ya namanya juga resi, mungkin sang resi dinikahkan dengan seorang bidadari dari kahyangan

karena budi pekerti dan kekuatan spiritualnya, dan lahirlah makhluk secantik ini, pikir

Narasoma. Tapi tak pentinglah asal-muasal itu. Yang penting dia langsung jatuh cinta pada

pandangan pertama kepada gadis itu. Pujawati namanya. Tak perlu ditanya dua kali oleh sang

resi, Narasoma langsung berubah

fikiran dan bersedia menikah dengan Pujawati.

Maka dinikahkanlah Narasoma dengan Pujawati oleh Resi Bagaspati di padepokan Argabelah.

Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, namun sungguh indah dan agung terasa oleh

keduanya, mengikrarkan cinta sehidup semati. Hanya kebahagiaanlah yang meliputi perasaan

mereka berdua. Sang resi pun mengambil janji dari Narasoma bahwa hanya Pujawati-lah satu-

satunya wanita dalam hidupnya.

Berbulan-bulan Narasoma tinggal di Argabelah, tak ada hal yang penting dalam hidupnya

Page 4: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

kecuali rasa cintanya pada sang istri. Demikian pula Pujawati, bahagia tak terkira mendapat

suami ganteng impiannya yang juga mencintainya.

Suatu hari, ketika mereka memadu kata cinta, Pujawati berkata bahwa, cintanya pada kanda

Narasoma bagai kuku. Setiap kali dipotong, selalu tumbuh lagi. Demikianlah cinta Pujawati, tak

akan pernah mati, dan ia akan setia menemani Narasoma dalam hidupnya. Sungguh

perumpamaan yang indah, kata Narasoma.

Narasoma pun tak kekurangan kata cinta. Dia katakan, cinta yang ia rasakan pada Pujawati

sangatlah murni sekaligus lezat, bagai sepiring nasi putih yang hangat dan harum. Namun

sayang, kata Narasoma, ada sebiji gabah terselip di antara nasi itu, yang mengganggu

kenikmatan makan nasi tersebut.

Hmm, sebuah perumpamaan yang membuat penasaran Pujawati.

Apakah gerangan hakikat `gabah' itu, kakanda? Beritahukanlah pada adinda agar adinda dapat

menghilangkannya, sehingga tak lagi mengganggu cinta kita. Demikian kata Pujawati.

Semula Narasoma enggan menjawab pertanyaan istrinya, namun setelah didesak berkali-kali

akhirnya Narasoma menyuruh Pujawati menanyakannya pada ayahnya, karena pasti sang resi

memahami apa yang ia maksud.

Maka esok paginya, Pujawati pun menghadap ayahandanya, dan dengan polosnya

menceritakan pembicaraannya dengan suaminya, khususnya perumpamaan yang dibuat

suaminya. Setelah mendengar semua cerita Pujawati, Bagaspati terlihat murung, berkat

kebijakannya diapun memahami semua arti perumpamaan menantunya itu.

[Mahabharata] Keputusan sulit Prabu Salya (2)

Setelah menyimak cerita anaknya, Resi Bagaspati pun bertanya kepada Pujawati.

"Anakku, aku ingin bertanya padamu dan kau harus menjawab dengan jujur.

Siapakah yang lebih kau cintai, aku ayahmu atau suamimu?"

Mendapat pertanyaan ini tentu saja Pujawati kaget dan bingung. Alih-alih

Page 5: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ia kini malah harus menjawab pertanyaan

yang tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya. Lama ia berfikir, namun

akhirnya iapun mencoba menjawab dengan hati-hati.

"Ayah, aku sangat mencintai Ayah dan juga Kanda Narasoma. Hidupku terasa

lengkap dan bahagia bersama kalian berdua. Seandainya Ayah tiada, maka niscaya

remuklah hati hamba. Dan seandainya Kanda Narasoma tiada, maka kiranya hamba

tak kuasa lagi hidup di dunia."

Mendengar jawaban anaknya Bagaspati pun berkata,

"Anakku Pujawati, sungguh engkau wanita yang berbudi. Aku bangga mendapat

jawaban seperti itu darimu. Memang sudah sepatutnya demikianlah jawaban dari

seorang istri yang berbakti dan mencintai suaminya. Sekarang, coba kau panggil

suamimu Narasoma. "

Pujawati pun memanggil suaminya dan tak lama kemudian mereka berdua menghadap

Resi Bagaspati.

Kemudian sang resi berkata pada menantunya Narasoma,

"Anakku Narasoma, aku telah mendengar cerita Pujawati tentang pembicaraannya

denganmu dan aku sepenuhnya memahami arti perumpamaan yang kau sebutkan itu."

Sejenak Bagaspati terdiam, dan Narasoma pun merasa tak enak serta khawatir

mertuanya akan memarahinya.

"Aku paham hakikat gabah yang kau maksud itu, dan aku tak menyalahkanmu. Akulah

gabah itu, benar kan Narasoma?" Narasoma hanya dapat terdiam, ada sedikit

perasaan penyesalan dalam hatinya namun ia juga sadar sepenuhnya bahwa apa yang

ia telah berkata jujur pada istrinya, mengungkapkan apa yang ia rasakan apa

adanya.

"Anakku, sebagai anak raja kau merasa malu memiliki mertua sepertiku, seorang

raksasa. Apalagi kelak kau akan pulang dan menjadi raja menggantikan ayahmu.

Tak pantas seorang raja memiliki mertua seorang raksasa. Demikian yang kau

fikirkan, Narasoma?" tanya Resi Bagaspati.

Kembali Narasoma hanya dapat terdiam.

Page 6: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

"Dengarlah Narasoma. Aku mencintaimu anakku, namun aku sadar kau tak dapat

menerima sepenuhnya cintaku sebagai ayah kepadamu. Kiranya sudah waktunya kita

untuk berpisah. Sudah waktunya kau kembali ke tempatmu di Mandraka membawa

istrimu Pujawati. "

"Namun sebelum berpisah…" lanjut Bagaspati, "aku ingin membekalimu sebuah

kesaktian, sebagai tanda cintaku padamu dan sebagai bekalmu menghadapi berbagai

tantangan di masa depan, dan juga untuk melindungi Pujawati istrimu. Aku

mempunyai ajian, berupa seorang raksasa bernama Candrabirawa. Dia bersemanyam

dalam tubuhku. Dia adalah seorang raksasa sakti. Dia dapat dipanggil kapan

saja olehku, dan melakukan apa saja yang diperintahkan olehku. Kesaktiannya

adalah, apabila ia dilukai, maka setiap tetes darahnya akan menjelma menjadi

Chandrabirawa yang baru, demikian seterusnya sampai jumlahnya bisa ratusan

bahkan ribuan, sebelum ia dapat menunaikan tugasnya. Nah aku ingin menurunkan

ajian Candrabirawa ini padamu untuk kau gunakan sebagai bekal bagimu di masa

depan. Bersediakah kau anakku?"

Lama Narasoma terdiam. Dia tak pernah meminta apapun dari mertuanya, termasuk

ajian seperti ini. Namun ia pun tak ingin menolaknya. Ia sadar sebagai seorang

raja tentunya ia membutuhkan kesaktian untuk menghadapi berbagai kemungkinan

ancaman terhadap negaranya.

"Saya bersedia, Rama." jawab Narasoma pada akhirnya.

Maka Resi Bagaspati pun menyuruh Narasoma bersemedi memusatkan segala

fikirannya, dan ia pun duduk bersemedi di samping Narasoma.

Lama mereka bersemedi, sampai kemudian sebuah bayangan berbentuk raksasa keluar

dari tubuh Resi Bagaspati dan masuk ke tubuh Narasoma.

Namun setelah itu Resi Bagaspati tak bangun dari semedinya, ia tetap memusatkan

perhatiannya.

Tanpa disadari oleh Narasoma, tubuh Resi Bagaspati perlahan lenyap. Narasoma

baru menyadari raibnya sang resi ketika Pujawati menubruknya sambil menangis

tersedu. Dia mengatakan pada suaminya bahwa ayahnya telah menghilang.

Page 7: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

Tiba-tiba terdengar oleh mereka berdua suara Resi Bagaspati dari atas mereka.

"Wahai anakku Pujawati dan Narasoma. Inilah saat perpisahan aku dengan kalian.

Aku tak akan bertemu lagi dengan kalian selama-lamanya.

Narasoma, rupanya cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Aku tahu bahwa

cintamu pada Pujawati terganggu, karena akulah gabah yang kau maksudkan ada di

sepiring nasi itu. Engkau merasa malu memiliki mertua seorang raksasa.

Ketahuilah anakku Narasoma, aku adalah titisan Betara Dharma. Dulu Betara

Dharma menitis pada seorang raksasa juga, namanya Sukrasana, seorang yang

berbudi. Dia punya seorang kakak yang tampan bernama Sumantri. Mereka berdua

saling mencintai, tapi sayang sang kakak merasa malu memiliki adik seorang

raksasa, dan ia pun tanpa sengaja membunuh adiknya itu karena Sukrasana selalu

ingin berada di dekat Sumantri.

Dulu aku ingin kembali dekat dengan titisan Sumantri, karena itu aku berdoa agar

diberi anak perempuan cantik agar dapat kunikahkan dengan titisan Sumantri, dan

doaku terkabul hingga mendapat Pujawati yang sekarang menjadi istrimu, dan

engkaulah titisan Sumantri itu.

Namun seperti Sumantri terhadap Sukrasana, engkau pun tak ingin dekat denganku.

Engkau malu sebagai anak raja dan kelak menjadi seorang raja memiliki mertua

seorang raksasa sepertiku. Maka kuputuskan bahwa sudah saatnya kita berpisah

sekarang.

Narasoma, aku telah membekalimu dengan ajian Chandrabirawa. Terimalah ia

sebagai rasa cintaku padamu, dan gunakanlah ia untuk melindungi Pujawati.

Jagalah dan cintailah Pujawati sepenuh hatimu.

Anakku, sejak saat ini berhati-hatilah engkau dengan titisan Betara Dharma,

karena boleh jadi kematianmu akan terjadi melalui perantaraannya.

Dan Pujawati, anakku tersayang. Cintailah suamimu segenap hatimu, dan sejak

saat ini namamu kuganti menjadi Setiawati, karena kesetiaanmu pada suamimu.

Selamat tinggal anak-anakku."

Page 8: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

Demikianlah kata-kata dan wejangan terakhir Resi Bagaspati, dan iapun tak pernah

kembali. Pujawati pun menangis sedih ditinggal ayahnya secara tiba-tiba seperti

ini. Narasoma tak dapat berkata apa-apa, ia sadar semua telah menjadi takdir

yang tak dapat diubah.

Sesuai perintah ayahnya mereka pun kemudian meninggalkan padepokan Argabelah

menuju Mandraka. Beberapa tahun kemudian Prabu Artayana ayah Narasoma

meninggal dan Narasoma pun diangkat menjadi raja Mandraka dengan nama Prabu

Salya, bersama Setiawati permaisurinya yang setia.

-----

Lamunan Prabu Salya pun buyar, dan waktu menjelang pagi hari. Di saat mengingat

masa lalunya seperti sekarang selalu terlintas dalam fikirannya siapakah

gerangan titisan Betara Darma, dan kapankah akan ia temui? Apakah ia akan

menemuinya di peperangan yang segera terjadi ini?

Iapun ingat Banowati, anak yang dikasihinya, saat ini katanya sakit.

Cinta Prabu Salya sebagai orang tua kepada anaknya mengalahkan segalanya,

apalagi setelah ia ingat masa lalunya tentang cintanya pada istrinya. Maka ia

pun menggagalkan rencananya untuk pergi ke Wirata membela Pandawa, berubah arah

menuju Hastina diiringi beberapa ponggawa, dan memerintahkan pasukannya untuk

kembali ke Mandraka.

Sebuah keputusan yang kelak ia sesali, manakala ia tahu bahwa berita itu adalah

jebakan belaka dari Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni, yang tak rela raja yang

sakti itu memihak Pandawa. Banowati tidaklah sakit seperti diberitakan. Namun

Prabu Salya tak dapat lagi keluar dari Hastina karena bujuk rayu Kurawa dan rasa

kesatrianya.

Kelak ia pun harus terjun ke kancah perang Bharatayudha, terpaksa menghadapi

keponakan-keponakannya Pandawa yang ia cintai.

Sekian.

(Teddy T)

Page 9: [Buku Cerita] [Mahabrata] Keputusan Sulit Prabu Salya

==