budaya feodal menjadi salah satu faktor terjadinya post power syndrome

2
BUDAYA FEODAL MENJADI SALAH SATU FAKTOR TERJADINYA POST POWER SYNDROME? Mochtar Lubis pada sekitar tahun 1977 mengungkapkan 12 sifat buruk orang Indonesia. Salah satunya adalah berjiwa feodal. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai, yang kecil dan yang tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Hal seperti ini sampai saat ini ternyata masih ada bahkan seperti menjadi budaya. Sejak jaman orde baru seorang pejabat sering menjadi pengurus atau bahkan ketua dalam sebuah organisasi. Sudah sangat lazim bila seorang menteri menjadi ketua umum suatu organisasi keolahragaan misalnya. Hal ini bahkan menurun kepada istri/suami dan anak-anak sang pejabat yang diberi posisi penting dalam sebuah organisasi. Seringkali posisi yang diduduki sama sekali tidak sesuai dengan kompetensi si pejabat dan kerabat si pejabat. Namun sebenarnya tujuan dari penunjukan mereka di posisi penting di suatu organisasi adalah mungkin untuk mendekatkan organisasi tersebut kepada sumber daya. Sumber daya ini bisa berupa dana, tenaga ahli, peralatan, teknologi dan lain sebagainya. Dengan menjadikan seorang pejabat atau kerabat dekatnya menjadi petinggi organisasi, maka diharapkan organisasi tersebut bisa lebih mudah mendapatkan sumber daya demi kelangsungan hidup organisasi tersebut. Sikap dan budaya feodal juga bisa kita lihat dalam upacara atau kegiatan resmi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kalau ada suatu acara yang mengundang pejabat sebagai tamu (kehormatan), maka yang pasti si pejabat akan duduk di deretan paling depan, si pejabat pastinya diberi waktu untuk memberikan petunjuk, wejangan atau apapun itu yang dibungkus dengan nama kata sambutan. Bahkan seringkali acara belum akan dimulai bila beliau belum datang walaupun mengorbankan susunan acara yang sudah dibuat.

Upload: tyler-christensen

Post on 23-Dec-2015

1 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Feodalisme

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Feodal Menjadi Salah Satu Faktor Terjadinya Post Power Syndrome

BUDAYA FEODAL MENJADI SALAH SATU FAKTOR TERJADINYA POST POWER SYNDROME?

Mochtar Lubis pada sekitar tahun 1977 mengungkapkan 12 sifat buruk orang Indonesia. Salah satunya adalah berjiwa feodal. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai, yang kecil dan yang tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Hal seperti ini sampai saat ini ternyata masih ada bahkan seperti menjadi budaya. Sejak jaman orde baru seorang pejabat sering menjadi pengurus atau bahkan ketua dalam sebuah organisasi.

Sudah sangat lazim bila seorang menteri menjadi ketua umum suatu organisasi keolahragaan misalnya. Hal ini bahkan menurun kepada istri/suami dan anak-anak sang pejabat yang diberi posisi penting dalam sebuah organisasi. Seringkali posisi yang diduduki sama sekali tidak sesuai dengan kompetensi si pejabat dan kerabat si pejabat. Namun sebenarnya tujuan dari penunjukan mereka di posisi penting di suatu organisasi adalah mungkin untuk mendekatkan organisasi tersebut kepada sumber daya. Sumber daya ini bisa berupa dana, tenaga ahli, peralatan, teknologi dan lain sebagainya. Dengan menjadikan seorang pejabat atau kerabat dekatnya menjadi petinggi organisasi, maka diharapkan organisasi tersebut bisa lebih mudah mendapatkan sumber daya demi kelangsungan hidup organisasi tersebut.

Sikap dan budaya feodal juga bisa kita lihat dalam upacara atau kegiatan resmi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kalau ada suatu acara yang mengundang pejabat sebagai tamu (kehormatan), maka yang pasti si pejabat akan duduk di deretan paling depan, si pejabat pastinya diberi waktu untuk memberikan petunjuk, wejangan atau apapun itu yang dibungkus dengan nama kata sambutan. Bahkan seringkali acara belum akan dimulai bila beliau belum datang walaupun mengorbankan susunan acara yang sudah dibuat.

Hal inilah yang bisa berpotensi menimbulkan apa yang disebut dengan post power syndrome. Ketika sang pejabat pensiun, maka bisa jadi seluruh “penghormatan” yang dia dapatkan selama menjabat akan hilang. Tanda tangan dan memo yang dulu bisa begitu sakti tiba-tiba tidak berarti lagi. Ketika biasanya dalam suatu acara orang-orang pada menyambut, memberi jalan dan sebagainya tiba-tiba orang-orang sudah “tidak kenal” lagi. Ketika dulu petunjuk dan omongan begitu disimak dengan cermat tiba-tiba sekarang jarang lagi orang minta petunjuk kepadanya. Hanya tingkat ketaqwaan kepada Tuhan yang tinggilah yang bisa menghindari seorang mantan pejabat dari post power syndrome ini.

Sebetulnya budaya feodal ini tidak hanya datang dari sang pejabat. Seringkali hal ini timbul dari diri masyarakat sendiri. Sikap penghormatan yang berlebihan, ewuh pakewuh (kalo orang Jawa bilang), bahkan niat untuk “memanfaatkan” si pejabat untuk kepentingan sendiri atau kelompok (seperti yang sudah disebutkan di atas) bisa menjadi faktor timbulnya budaya feodal. Masih banyak sebetulnya pejabat yang ingin diperlakukan sewajarnya tanpa penghormatan berlebihan.