bronkopneumonia

15
II.5 PATOGENESIS Virus masuk dan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel sel PMN akan didapatkan di dalam saluran nafas kecil, bila proses ini meluas dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi ini dapat mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel, maka dari itu pneumonia pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial karena rusaknya barier mukosa (Lichenstein et all, 2003). Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan respon tubuh akan membentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini BRONKOPNEUMONIA Page 10

Upload: dika316

Post on 06-Feb-2016

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bronkopneumonia sadnasdjsandjsadjasnjdanjsanjndsaklndasjn jsldanlasndlsakdnlskandnsalknlsakndklsankdlsnaklndskalndklasn klsdankldnsakld

TRANSCRIPT

Page 1: bronkopneumonia

II.5 PATOGENESIS

Virus masuk dan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya

mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia

epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi awal adalah

infiltrasi sel sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil

sel sel PMN akan didapatkan di dalam saluran nafas kecil, bila proses ini meluas

dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel sel inflamasi yang meningkat

dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun

total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang

mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi ini dapat mengakibatkan

terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel, maka dari itu pneumonia pada anak

merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial karena rusaknya barier

mukosa (Lichenstein et all, 2003).

Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen,

kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses

pneumonia tergantung interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas

penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan

cairan epitelial yang mengandung opsonin dan respon tubuh akan membentuk

antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini terjadi fagositosis oleh makrofag

alveolar (sel alveolar tipe II) dan sebagian kecil kuman akan dieliminasi melalui

perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting untuk kuman yang

tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat

merusak bakteri didalam alveolar maka leukosit PMN dengan aktifitas fagositnya

akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga terjadi proses inflamasi. Hal ini

mengakibatkan terjadinya kongesti vascular dan edema yang luas dan hal ini

merupakan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi

oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori pori Kohn

(the pores of Khon). Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan

membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin dan sel

leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi merah

(Lichenstein et all, 2003).

BRONKOPNEUMONIA Page 10

Page 2: bronkopneumonia

Tahap selanjutnya adalah hepatisasi abu abu yang ditandai dengan fagositosis

aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolizin

melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek

sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini mengakibatkan kaburnya struktur

seluler paru (Lichenstein et all, 2003).

Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul

dan leukosit PMN meneruskan aktifitas fagositnya dan sel sel monosit akan

membersihkan debrisnya. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi

keterlibatan intersisial) parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel

alveolar akan terjadi setelah terapi berhasil (Lichenstein et all, 2003).

Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat

kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan

volume ini tubuh berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume

tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan

tanda tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara

ventilasi perfusi tidak tercapai yang disebut sebagai ventilation perfusion mismatch,

tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien

terlihat sesak. Selain itu berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses

inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan

pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia, dan pada keadaan ini bisa terjadi

gagal nafas (Lichenstein et all, 2003).

Kemudian bila berkelanjutan dapat menyebabkan bronkopneumonia yang

dapat terjadi lewat hematogen maupun langsung (penyebaran lewat sel)

mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah

terjadi fase peradangan lumen bronkus berserbukan sel radang akut, terisi eksudat

(nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan neutrofil dan

sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran

akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkietaksis. Selain itu organisasi

eksudat dapat terjadi karena aborsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula mula

encer dan keruh, mengandung banyak kuman. Selanjutnya eksudat berubah menjadi

purulen dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat

mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas

(Hasan, 2000).

BRONKOPNEUMONIA Page 11

Page 3: bronkopneumonia

Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan

peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus

sehingga timbul gerakan silia pada lumen bronkus dan akan timbil reflek batuk

(Hasan, 2000).

II.6 GEJALA KLINIS

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara

ringanhingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang

berat,mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan

perawatan di RS.Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia

pada anak adalah imaturitas anatomikdan imunologik, mikroorganisme penyebab

yang luas,gejala klinik yang kadang – kadang tidak khas terutama pada bayi,

terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif

lebih sering,dan faktor patogenesis. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mutah atau diare;kadang – kadang

ditemukan geala infeksi ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,takipnea,

nafas cuping hidung, air hunger , merintih, dan sianosis

II.7 PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :

Suhu tubuh ≥ 38,5o C

Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung.

Takipneu berdasarkan WHO:

Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit

Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit

Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit

Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit

Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.

Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.

BRONKOPNEUMONIA Page 12

Page 4: bronkopneumonia

Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles

(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.

Dan kadang terdengar juga suara bronkial.4

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas

normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000

– 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan

laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah

perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri

secara pasti.1,4

2. C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri

superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan

infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan

untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.1,4

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan

radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai

CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml. 6

3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin

dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret

nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman

ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.4

4. Pemeriksaan serologis

BRONKOPNEUMONIA Page 13

Page 5: bronkopneumonia

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik

mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi

Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti

antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara

fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia

pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak

bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.4,6

5. Pemeriksaan Roentgenografi

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis

utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya

direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa

takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen

toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya

pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah

pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada

foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan

diagnosis.1,4,6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru

berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru

disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.

Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan

etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung

terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,

bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. 4

II.9 DIAGNOSIS

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis

merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak

BRONKOPNEUMONIA Page 14

Page 6: bronkopneumonia

selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada

gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan

dapat menyingkirkan dugaan pneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal,

dan suprasternal merupakan indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni,

bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga

menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru,

pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat

dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal.

Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.4,6

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, upaya

penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang

sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala

klinis yang dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan

penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat

minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil. 4

Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :

Pneumonia berat

- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5

tahun ≥ 40 x/menit

- Adanya retraksi

- Sianosis

- Anak tidak mau minum

- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)

- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik

Pneumonia

- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5

tahun ≥ 40 x/menit

- Adanya retraksi

- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan

Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi.

Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :

BRONKOPNEUMONIA Page 15

Page 7: bronkopneumonia

Pneumonia

- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas

- Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan pneumonia

- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

II.10 PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan antibiotika

Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

Pneumonia ringan

- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.

Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-

90 mg/kgBB.

- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)

dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

Pneumonia berat

- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam

- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam

- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5

mg/kgBB sehari sekali

- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB

sehari sekali

- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa

komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi

antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

- ampicillin + aminoglikosid

- amoksisillin-asam klavulanat

- amoksisillin + aminoglikosid

- sefalosporin generasi ke-3

BRONKOPNEUMONIA Page 16

Page 8: bronkopneumonia

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

- beta laktam amoksisillin

- amoksisillin-amoksisillin klavulanat

- golongan sefalosporin

- kotrimoksazol

- makrolid (eritromisin)

Anak usia sekolah (> 5 thn)

- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

2. Penatalaksaan suportif

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak

nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena

dengan dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa

ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa

dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).

- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak

diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi

reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita

dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang

nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai

dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada

tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah

antibiotik tidak efektif).5

3. Penatalaksanaan bedah

Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi

pneumotoraks atau pneumomediastinum.7

BRONKOPNEUMONIA Page 17

Page 9: bronkopneumonia

II.11 PROGNOSIS

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat

diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein

dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.1

BRONKOPNEUMONIA Page 18

Page 10: bronkopneumonia

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan

Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.

2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2.

EGC, Jakarta: 2006. hal 554.

3. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.

4. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak,

UNPAD, Bandung: 2005.

5. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.

6. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta: 2010.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.

8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.

BRONKOPNEUMONIA Page 19