bronkopneumonia
DESCRIPTION
bronkopneumonia sadnasdjsandjsadjasnjdanjsanjndsaklndasjn jsldanlasndlsakdnlskandnsalknlsakndklsankdlsnaklndskalndklasn klsdankldnsakldTRANSCRIPT
II.5 PATOGENESIS
Virus masuk dan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya
mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia
epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen. Respon inflamasi awal adalah
infiltrasi sel sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil
sel sel PMN akan didapatkan di dalam saluran nafas kecil, bila proses ini meluas
dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel sel inflamasi yang meningkat
dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun
total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang
mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi ini dapat mengakibatkan
terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel, maka dari itu pneumonia pada anak
merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial karena rusaknya barier
mukosa (Lichenstein et all, 2003).
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen,
kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses
pneumonia tergantung interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas
penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan
cairan epitelial yang mengandung opsonin dan respon tubuh akan membentuk
antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar (sel alveolar tipe II) dan sebagian kecil kuman akan dieliminasi melalui
perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting untuk kuman yang
tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat
merusak bakteri didalam alveolar maka leukosit PMN dengan aktifitas fagositnya
akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga terjadi proses inflamasi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kongesti vascular dan edema yang luas dan hal ini
merupakan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi
oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori pori Kohn
(the pores of Khon). Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan
membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin dan sel
leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi merah
(Lichenstein et all, 2003).
BRONKOPNEUMONIA Page 10
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi abu abu yang ditandai dengan fagositosis
aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolizin
melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek
sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini mengakibatkan kaburnya struktur
seluler paru (Lichenstein et all, 2003).
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul
dan leukosit PMN meneruskan aktifitas fagositnya dan sel sel monosit akan
membersihkan debrisnya. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi
keterlibatan intersisial) parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel
alveolar akan terjadi setelah terapi berhasil (Lichenstein et all, 2003).
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan
volume ini tubuh berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume
tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan
tanda tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara
ventilasi perfusi tidak tercapai yang disebut sebagai ventilation perfusion mismatch,
tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien
terlihat sesak. Selain itu berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses
inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan
pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia, dan pada keadaan ini bisa terjadi
gagal nafas (Lichenstein et all, 2003).
Kemudian bila berkelanjutan dapat menyebabkan bronkopneumonia yang
dapat terjadi lewat hematogen maupun langsung (penyebaran lewat sel)
mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah
terjadi fase peradangan lumen bronkus berserbukan sel radang akut, terisi eksudat
(nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan neutrofil dan
sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran
akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkietaksis. Selain itu organisasi
eksudat dapat terjadi karena aborsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula mula
encer dan keruh, mengandung banyak kuman. Selanjutnya eksudat berubah menjadi
purulen dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat
mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas
(Hasan, 2000).
BRONKOPNEUMONIA Page 11
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan
peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus
sehingga timbul gerakan silia pada lumen bronkus dan akan timbil reflek batuk
(Hasan, 2000).
II.6 GEJALA KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringanhingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
berat,mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS.Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
pada anak adalah imaturitas anatomikdan imunologik, mikroorganisme penyebab
yang luas,gejala klinik yang kadang – kadang tidak khas terutama pada bayi,
terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif
lebih sering,dan faktor patogenesis. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mutah atau diare;kadang – kadang
ditemukan geala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,takipnea,
nafas cuping hidung, air hunger , merintih, dan sianosis
II.7 PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Suhu tubuh ≥ 38,5o C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
BRONKOPNEUMONIA Page 12
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.
Dan kadang terdengar juga suara bronkial.4
II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas
normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000
– 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan
laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri
secara pasti.1,4
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan
untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.1,4
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan
radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai
CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml. 6
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.4
4. Pemeriksaan serologis
BRONKOPNEUMONIA Page 13
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara
fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia
pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.4,6
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis
utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa
takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.1,4,6
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.
Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. 4
II.9 DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis
merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak
BRONKOPNEUMONIA Page 14
selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada
gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan
dapat menyingkirkan dugaan pneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal,
dan suprasternal merupakan indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni,
bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga
menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru,
pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat
dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal.
Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.4,6
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, upaya
penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala
klinis yang dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan
penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil. 4
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :
Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5
tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5
tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik
Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :
BRONKOPNEUMONIA Page 15
Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik
II.10 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.
Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-
90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)
dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa
komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal
Pemberian antibiotik berdasarkan umur
Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
BRONKOPNEUMONIA Page 16
Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
2. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak
nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena
dengan dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa
ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa
dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif).5
3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.7
BRONKOPNEUMONIA Page 17
II.11 PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.1
BRONKOPNEUMONIA Page 18
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.
2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2.
EGC, Jakarta: 2006. hal 554.
3. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.
4. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak,
UNPAD, Bandung: 2005.
5. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.
6. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: 2010.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.
BRONKOPNEUMONIA Page 19